1
SELEKSI GALUR HAPLOID GANDA PADI GOGO TENGGANG ALUMINIUM PADA TINGKAT SEMAIAN1 Bakhtiar1, Bambang S Purwoko2, Trikoesoemaningtyas2), Iswari Sari Dewi3 1)
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Unsyiah, Banda Aceh Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB, Bogor 3) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian, Bogor. 2)
ABSTRAK Keracunan Aluminium (Al) merupakan salah satu faktor penting yang menghambat produksi padi gogo pada tanah masam. Secara ekonomi, pengapuran tidak selalu dapat mengatasi keracunan Al. Salah satu pendekatan alternatif untuk mengatasi hal tersebut adalah menyeleksi genotipe tenggang Al. Galur haploid ganda hasil kultur antera telah diseleksi pada kultur hara yang mengandung Al berdasarkan panjang akar relatif (PAR). Berdasarkan penapisan pada kultur hara dengan menggunakan PAR, dari 113 galur haploid ganda yang diseleksi diperoleh 15 tenggang, 73 moderat dan 25 peka Al.
Kata Kunci : upland rice, doubled haploid, anther culture, aluminum tolerant ABSTRACT Aluminum toxicity is an important growth limiting factor for upland rice production in acid soils. Al toxicity is not always economically corrected with soil liming. An alternative approach to solve Al toxicity would be to select or breed plant genotype tolerant to Al. The doubled haploid (DH) rice lines were screened under nutrient solution containing either 0 or 45 ppm Al. The relative root length (RRL) was determined at 14-dayold stage to characterize Al-tolerant genotypes in nutrient solution. The differential tolerance for Al toxicity among genotypes was found to be highly significant for RRL in nutrient solution. Among the 113 DH lines tested, 15, 73 and 25 lines were found to be Al-tolerant, moderate and susceptible, respectively based on RRL.
Key words : upland rice, doubled haploid, anther culture, aluminum tolerant PENDAHULUAN Kebutuhan beras terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat peningkatan pendapatan. Selama ini, produksi beras sangat tergantung pada padi sawah beririgasi. Peningkatan produksi beras saat ini terganjal oleh dikonversi lahan sawah subur untuk keperluan non pertanian masih berjalan, lahan yang sesuai untuk persawahan baru terbatas dan biaya pembangunan sistem irigasi serta pencetakan sawah baru sangat mahal. Alternatif peningkatkan produksi padi dapat dilakukan dengan perluasan areal pertanaman padi gogo pada lahan kering. Lahan kering yang tersedia cukup luas dan tersebar di berbagai provinsi. Berdasarkan Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1:1.000.000 terbitan Puslitbangtanak tahun 2000, dari sekitar 148 juta ha lahan kering di Indonesia, 102,8 juta ha (69,4%) berupa tanah masam.
1
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Banda Aceh 10 – 13 Maret 2008
2 Lahan kering yang sesuai untuk tanaman pangan diperkirakan mencapai 11 juta ha lebih, yang telah diusahakan mencapai 1.14 juta ha atau 10.5% (Puslitbangtan 2006). Lahan kering tersebut sebagian besar merupakan tanah jenis Podsolik Merah Kuning (PMK). Keracunan Aluminium (Al) merupakan kendala utama untuk budidaya padi gogo pada tanah PMK. Kelarutan Al pada tanah PMK dengan pH kurang dari 5.5 sangat tinggi sehingga meningkatkan Al dapat dipertukarkan (Aldd) dan dapat beracun bagi tanaman (Kochian et al., 2004; Vitorello et al., 2005). Pendekatan budidaya untuk mengatasi keracunan Al pada tanah masam dapat dilakukan dengan pengapuran. Namun demikian, pendekatan tersebut tidak ekonomis terutama untuk daerah yang jauh dari sumber kapur dan sarana transportasi tidak baik. Alternatif lain yang berjangka panjang adalah perakitan varietas tenggang Al melalui program pemuliaan tanaman. Namun demikian diperlukan waktu yang lama untuk mendapatkan varietas tersebut. Kultur antera dapat mempercepat perolehan tanaman homozigos untuk pengembangan varietas baru. Purwoko et al. (2000) telah membentuk 113 galur haploid ganda hasil persilangan antara beberapa varietas unggul dan aksesi plasma nutfah tenggang aluminium. Penapisan terhadap bahan genetik tersebut diperlukan untuk mendapatkan galur yang dapat beradaptasi pada lahan masam. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera yang tenggang Al dan untuk mengetahui proporsi keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan pada keadaan tercekam Al.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian, Bogor. Bahan tanaman yang digunakan pada kultur hara adalah 120 genotipe, terdiri atas 113 galur haploid ganda hasil kultur antera, 5 tetua asal persilangan dan dua pembanding yaitu Dupa dan ITA131 masing-masing sebagai pembanding tenggang dan peka Al. Varietas tetua digunakan adalah Krowal, Sigundil, Grogol, Jatiluhur dan Gajah Mungkur. Media tanam yang digunakan pada perlakuan tanpa cekaman Al adalah larutan hara untuk tanaman padi yang disarankan Yoshida et al., (1976). Perlakuan cekaman Al dilakukan dengan penambahan 45 ppm AlCl3 ke larutan hara (Bakhtiar et al., 2007). pH larutan diatur pada 4.0 ± 0.1 dengan penambahan NaOH 1 N atau HCl 1 N. Setiap pot diisi 2 liter larutan hara dan diberi aerasi supaya Al dan hara tidak mengendap. Air yang hilang akibat transpirasi diganti dengan menambahkan aquades setiap dua hari sekali dengan pH tetap dipertahankan sekitar 4.0 ± 0.1. Kecambah normal yang berumur satu minggu dengan panjang akar yang seragam dipindahkan ke media percobaan. Batang kecambah tersebut dibalut dengan gabus busa lunak kemudian dimasukkan ke lubang-lubang styrofoam yang telah disiapkan dan diapungkan pada larutan hara dalam pot. Galur haploid ganda, tetua dan pembanding ditanam pada media tanam
3 bercekaman Al dan tanpa cekaman Al. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan empat ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap panjang akar, tinggi tanaman, bobot kering akar, bobot kering tajuk dan dihitung relatif dari setiap peubah tersebut serta nisbah akar tajuk (NAT) pada umur 14 hari setetelah tanam (HST). Analisis ragam dilakukan terhadap semua semua peubah pada setiap genotipe yang diuji dan jika terdapat perbedaan yang nyata, setiap genotipe dibandingkan dengan varietas pembanding tenggang berdasarkan uji BNT pada taraf 5%. Ragam genotipe (Vg2) dan ragam fenotipe (Vp2) dan heritabilitas dalam arti luas (Hbs) diduga berdasarkan sidik ragam untuk percobaan dalam rancangan acak kelompok (Singh et al., 1993). Koefisien korelasi genotipik (rg) dan koefisien korelasi fenotipik (rp) antar sifat diduga berdasarkan sidik kovarian (Singh dan Chaudhary, 1979).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi percobaan ideal digunakan untuk penapisan genotipe tenggang Al karena cekaman Al yang diberikan berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati. Adanya pengaruh interaksi antara genotipe dan cekaman Al mengindikasikan penapisan genotipe tenggang Al harus dilakukan pada lingkungan target sesuai dengan tingkat cekaman Al (Tabel 1). Chozin (2006) menyatakan bahwa seleksi pada lingkungan bercekaman cenderung menghasilkan genotipe yang beradaptasi baik pada lingkungan bercekaman dan didapatkan sumber keragaman untuk pemuliaan lingkungan spesifik. Tabel 1 Kuadrat tengah cekaman aluminium terhadap panjang akar, panjang tajuk, bobot kering akar dan bobot kering tajuk galur haploid ganda Sumber keragaman Aluminium (A) Genotipe (G) AxG
Panjang akar 8.243,438** 99,279** 12,474**
Kuadrat tengah Panjang tajuk BK akar 19.237,311** 0,535** ** 148,395 0,022** ** 28,370 0,002tn
BK tajuk 40,648** 0,193** 0,031**
** berpengaruh sangat nyata, tn tidak nyata, BK = bobot kering
Respon setiap peubah berbeda-beda terhadap cekaman Al. Cekaman Al dapat menurunkan bobot kering tajuk hampir 50%, sedangkan penurunan bobot kering akar hanya mencapai sekitar 20%. Penurunan bobot kering tajuk disebabkan oleh hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tajuk tidak optimum akibat terganggunya penyerapan dan transportasi hara di akar (Polle dan Konzak 1990; Rout et al., 2001; Kochian et al., 2004). Sebaliknya, penurunan bobot kering akar tidak sebesar penurunan bobot kering tajuk karena walaupun panjang akarnya menurun tetapi akar lebih besar dan akar-akar adventif lebih banyak tumbuh pada leher akar. Fageria et al., (1988) juga mendapatkan bahwa bobot kering tajuk lebih peka terhadap keracunan Al dibandingkan bobot kering akar.
4 Genotipe yang diuji berbeda nyata pada keempat peubah yang diamati, yang menunjukkan populasi yang diuji sangat beragam. Ragam genetik panjang akar, panjang tajuk, bobot kering akar dan bobot kering tajuk pada kondisi tercekam Al lebih tinggi dibandingkan ragam lingkungan. Ragam genetik nisbah akar tajuk (NAT) lebih rendah dibandingkan ragam lingkungan. Koefisien keragaman genetik panjang tajuk dan NAT lebih rendah dibandingkan karakter lain (Tabel 2). Tabel 2 Komponen ragam dan heritabilitas dari panjang akar, panjang tajuk, bobot kering akar, bobot kering tajuk dan NAT pada kondisi tercekam Al Komponen Vg Vp Ve KKG KKF Hbs
Panjang akar 13.767 16.162 2.395 29.719 32.200 0.852
Panjang tajuk 20.015 29.819 9.805 13.656 16.668 0.671
BK akar 0.003 0.004 0.001 25.801 31.595 0.667
BK tajuk 0.020 0.027 0.008 26.044 30.737 0.718
NAT 0.005 0.012 0.007 19.177 28.978 0.438
NAT = nisbah akar/tajuk, Vg = ragam genotip, Vp = ragam fenotip, Ve = ragam lingkungan, KKG = koefisien keragaman genotip, KKF= koefisien keragaman fenotip, Hbs = heritabilitas dalam arti luas
Nilai heritabilitas dalam arti luas panjang akar, panjang tajuk, bobot kering akar, bobot kering tajuk cukup tinggi berkisar 0.67 – 0.85, kecuali NAT. Heritabilitas NAT lebih kecil dibandingkan karakter lain pada kondisi tercekam Al (Tabel 2). Heritabilitas tinggi pada panjang akar, menunjukkan bahwa keragaman panjang akar antar galur disebabkan oleh faktor genetik sehingga seleksi ketenggangan Al dapat dilakukan pada populasi galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera berdasarkan panjang akar. Hasil pengamatan terhadap panjang tajuk relatif menunjukkan bahwa penurunan panjang tajuk tidak mencapai 50%. Nilai panjang tajuk relatif yang terendah adalah 0,58 pada SGJT31 dan yang tertinggi adalah 1,01 pada SGGM10. Dalam penelitian ini, panjang tajuk tidak digunakan sebagai penciri ketenggangan Al karena tidak mencerminkan tingkat ketenggangan Al pada populasi galur haploid ganda hasil kultur antera. Koefisien keragaman genetik panjang tajuk juga lebih rendah dibandingkan koefisien keragaman genetik panjang akar (Tabel 2). Rusdiansyah et al., (2001) melaporkan bahwa Al kurang berpengaruh terhadap panjang tajuk pada stadia bibit. Nilai PAR pada varietas Dupa (pembanding tenggang Al) sebesar 0.78 dan PAR varietas ITA131 (pembanding peka) sebesar 0.41. Berdasarkan kriteria yang disarankan Khatiwada et al., (1996) maka Dupa dapat digolongkan sebagai genotipe yang tenggang dan ITA 131 sebagai genotipe peka. Hasil ini konsisten dengan yang dilaporkan sebelumnya oleh Jagau (2000) dan Prasetiyono (2003) bahwa Dupa tergolong tenggang Al. Dengan demikian kedua varietas tersebut dapat digunakan sebagai pembanding dalam penapisan ketenggangan Al untuk menyeleksi populasi galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera. Dalam penelitian ini pengelompokan tingkat ketenggangan tanaman terhadap Al dilakukan berdasarkan penyebaran nilai PAR yang mengikuti pola sebaran normal. Populasi yang dievaluasi
5 sudah diketahui memiliki latar belakang genetik ketenggangan Al yang jelas dari tetua persilangan yang digunakan untuk menghasilkan tanaman haploid ganda dan populasi yang digunakan merupakan galur homozigot yang tidak bersegregasi lagi pada generasi selanjutnya (Bakhtiar et al., 2007). Untuk mendapatkan kurva normal data panjang akat relatif (PAR) ditransformasi menjadi nilai baku Z. Tingkat ketenggangan genotipe dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu peka jika Z ≤ -1 SD, moderat jika, -1 SD < Z < +1 SD dan tenggang jika Z ≥ +1SD (Aluko dan Oard 2004). Setelah dikembalikan ke data asal maka genotipe dianggap peka jika PAR ≤ 0.54, moderat jika 0.54 < PAR < 0.82 dan toleran, PAR ≥ 0.82. Hasil pengelompokan berdasarkan nilai PAR dengan metode kultur hara yang diberi 45 ppm Al disajikan pada Tabel 3. Dari 113 galur haploid ganda yang diuji diperoleh sebanyak 15 genotipe tenggang, 73 genotipe moderat dan 25 genotipe peka (Tabel 3). Sebanyak 11 dari 15 galur haploid ganda tenggang Al merupakan keturunan dari persilangan dengan menggunakan varietas Grogol sebagai salah satu tetua. Hal ini mengindikasikan bahwa Grogol dapat dipertimbangkan sebagai salah tetua untuk perakitan padi tenggang Al. Tabel 3 Pengelompokan genotipe berdasarkan PAR pada penapisan dengan metode kultur hara hara Kelompok Tenggang Moderat
Peka
Genotipe KRGM4, JTGR16, GRGM14, GRGM25, GRGM6, GRGM4, GRGM9, SGJT27, JTGR17, JTKR5, JTGR18, JTKR1, GRJT11, JTGR13, JTGR2 dan Grogol SGGM9, GRJT4, SGJT9, JTGR7, SGGM13, SGJT6, GRGM12, GRJT28, JTGR1, SGJT19, GMGR5, SGJT37, GRGM3, SGJT34, KRGM2, SGGM8, GRJT42, GRJT8, SGJT29, GRJT14, GRJT18, JTGR4, JTKR6, KRGM1, SGGM5, GRJT16, GRJT27, GRGM7, JTKR3, JTGR15, GRJT5, GRJT25, GRJT30, JTGR10, SGJT3, GRJT23, GRGM5, SGJT30, KRGM3, SGJT33, GRGM1, JTGR5, SGJT11, GRJT19, GRJT34, SGJT36, SGJT28, JTGR20, GRJT10, JTKR7, SGJT13, SGJT25, GMGR3, GRJT32, GRGM2, GRJT22, SGJT16, SGJT23, SGJT17, SGJT26, SGJT18, JTGR3, JTGR19, SGGM2, GMGR1, SGGM10, JTKR8, SGJT22, GRJT7, GRJT29, GRJT31, SGJT10, GMGR6, Sigundil, Krowal, Gajah Mungkur dan Dupa KRJT1, SGJT21, GRJT20, JTKR2, GRJT44, GMGR2, KRJT3, GRJT1, GRJT6, GRGM15, GRJT39, SGJT5, GRJT17, GRJT36, SGJT2, GRJT47, GRJT12, GRGM11, GRJT33, GRGM10, GRJT24, SGJT12, GRJT2, SGJT31, GRJT49, Jatiluhur dan ITA131
Metode seleksi cepat pada stadia bibit dengan menggunakan media kultur hara sangat efisien pada tahapan awal program pemuliaan tanaman untuk menapis genotipe tenggang Al dari populasi bahan seleksi dalam jumlah banyak sebelum diuji di lapangan. Ketenggangan Al pada tanaman padi dikendalikan oleh banyak gen (Ma et al., 2002; Nguyen et al., 2001; Wu et al., 2000) sehingga tidak semua genotipe akan memiliki semua gen pengendali ketenggangan Al. Setiap gen atau kombinasinya akan memiliki peran dalam meregulasi mekanisme ketenggangan Al pada tanaman padi, sehingga setiap genotipe akan memiliki mekanisme ketenggangan Al yang berbeda.
6 Ada gen yang terekspresi pada stadia bibit dan ada gen yang terekspresi pada tahap perkembangan tanaman yang lebih dewasa.
KESIMPULAN Ketenggangan Al galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera yang diuji sangat bervariasi. Hasil penapisan ketenggangan Al berdasarkan PAR pada kultur hara, dari 113 galur diperoleh 15 tenggang, 73 moderat dan 25 peka Al. Penapisan pada awal program pemuliaan dengan jumlah benih sedikit dan galur banyak dengan menggunakan metode kultur hara. Heritabilitas dalam arti luas untuk panjang akar, panjang tajuk, bobot kering akar, bobot kering tajuk pada keadaan tercekam Al tergolong cukup tinggi. Panjang akar, bobot kering akar dan bobot kering tajuk dapat dipilih sebagai kriteria seleksi ketenggangan Al untuk populasi galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera pada kondisi tercekam Al.
UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan kepada Ditjen Dikti atas pembiayaan penelitian ini melalui Hibah Bersaing IX tahun 2003-2005.
KEPUSTAKAAN Aluko GK, Oard JH. 2004. Evaluation of discriminant analysis as tool for rapid identification of marker associated with drought resistance in rice. Di dalam Rockefeller Foundation Workshop. hlm 83-84. Bakhtiar, BS Purwoko, Trikoesoemaningtyas, MA Chozin, IS Dewi, M Amir. 2007. Penapisan galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera untuk toleransi terhadap cekaman aluminium. Bul Agron. 3 (1): 6-14. Chozin MA. 2006. Peran ekofisiologi tanaman dalam pengembangan teknologi budidaya pertanian.Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Agronomi. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 24 Juni 2006. Fageria NK, Wright RJ, Baligar VC. 1988. Rice cultivar response to aluminum in nutrient solution. Commun Soil Sci Plant Anal 19: 1133-1142. Jagau Y. 2000. Fisiologi dan pewarisan sifat efisiensi nitrogen dalam keadaan tercekam Al pada padi gogo. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Khatiwada SP. Senadhira D, Carpena AL, Zeigler RS, Fermandez PG. 1996. Variability and genetics of tolerance for aluminum toxicity in rice. TAG 93: 738-744. Kochian LV, Heokenga OA, Pineros MA. 2004. How do crop plants tolerate acid soils? Mechanisms of aluminum tolerance and phosphorous efficiency. Annu Rev Plant Biol 55 : 459-493. Ma JF, Shen R, Zhao Z, Wissuwa M, Takeushi Y, Ebitani T, Yano M. 2002. Response of rice to Al stress and identification of quantitative trait loci for Al tolerance. Plant Cell Physiol 43:652659. Nguyen, VT, Burow MD, Nguyen HT, Le BT, Le TD, Paterson AH. 2001. Molecular mapping of genes conferring aluminum tolerance in rice (Oryza sativa L.). TAG 106:1002-1010.
7 Polle EA, Konzak CF. 1990. Genetics and breeding of cereals for acid soils and nutrient efficiency. Di dalam. Baligar VC, Duncan RR, editor. Crops as Enhancers of Nutrient Use. New York: Academic Pr. hlm: 81-130. Prasetiyono J. 2003. Identifikasi marka mikrosatelit yang terpaut dengan sifat toleransi terhadap keracunan aluminium pada padi persilangan Dupa x ITA131. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana , Institut Pertanian Bogor. Purwoko BS, Hanarida I, Dewi IS, Santosa E. 2000. Penggunaan poliamin untuk meningkatkan regenerasi tanaman hijau pada kultur antera padi dan aplikasinya dalam program pemuliaan padi. Laporan Hibah Bersaing VIII/2. Jakarta; Depdiknas. [Puslitbangtan] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2006. Laporan Tahunan 2005 Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengambangan Pertanian. Rout GR, Samantaray S, Das P. 2001. Aluminum toxicity in plants: a review. Agronomie 21: 3-21. Rusdiansyah, Rohaeni N, Trikoesoemaningtyas. 2001. Evaluasi beberapa kultivar padi gogo asal Kalimantan Timur untuk ketahanan terhadap aluminium menggunakan metode kultur hara. Bul Agron 29: 73-77. Singh M, Ceccarelli S, Hamblin J. 1993. Estimation of heritability from varietals trials data. TAG 86: 437-441. Singh RK, Chaudhary RD. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. New Delhi: Kalyani Press. Vitorello VA, Capaldi FR, Stefanuto VA. 2005. Recent advances in aluminum toxicity and resistance in higher plants. Braz J Plant Physiol 17: 129-143. Wu P, Liao CY, Hu B, Yi KK, Jin WZ, Ni JJ, He C. 2000. QTL and epistasis for aluminum tolerances in rice (Oryza sativa L.) at different seedling stages. TAG 100: 1295-1303. Yoshida S. Forno DA, Cock JH, Gomez KA. 1976. Laboratory Manual for Physiological Studies of Rice. Los Banos, Philippines: IRRI.