UJI STABILITAS GALUR-GALUR PADI GOGO HASIL KULTUR ANTERA SELAMA DUA MUSIM
ADIN AFIYATA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Uji Stabilitas Galur-Galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera Selama Dua Musim adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini . Bogor, Januari 2013
Adin Afiyata NRP A253100111
ABSTRACT ADIN AFIYATA. Yield Stability Evaluation of Upland Rice Lines from Anther
Culture for Two Seasons. Under direction of BAMBANG SAPTA PURWOKO as chairman, ISWARI SARASWATI DEWI and MUHAMAD SYUKUR as members of the advisory committee. The objective of this research was to study the adaptation and yield stability of upland rice lines obtained from anther culture. Ten lines of upland rice obtained from anther culture and two check varieties (Way Rarem and Batutegi) were evaluated for their potential yield in seven different locations in the rainy season 2010/2011 and 2011/2012. In each location, the design was Randomized Complete Block Design with four replications. The method of Francis & Kannenberg, Finlay & Wilkinson, Eberhart & Russel, and AMMI (Additive Main Effect Multiplicative Interaction) were used to analyze the adaptation and yield stability. WI-44 line achieved the highest yield average (4.88 ton ha-1), higher than Batutegi and not significantly different from Way Rarem and has the highest potential yield (10.28 ton ha-1) in Malang in the second season. IW-67 yielded an average of 4.53 ton ha-1, not significantly different from Batutegi and has potential yield (9.09 ton ha-1) in Malang in the second season. WI-44 line has a superior yield average in seven environment. WI-44, IW-67 and IW-56 lines have an ability to adapt in optimal environments. I5-10-1-1, GI-7 and O18-b-1 were adapted in the marginal environments with yield above the average of the genotype tested. Key words : anther culture, upland rice, yield stability
RINGKASAN ADIN AFIYATA. Uji Stabilitas Galur-Galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera Selama Dua Musim. Dibimbing oleh BAMBANG SAPTA PURWOKO sebagai ketua, ISWARI SARASWATI DEWI dan MUHAMAD SYUKUR sebagai anggota komisi pembimbing. Ketahanan pangan menjadi penting sebagai salah satu faktor penjamin stabilitas nasional. Peningkatan produksi padi ditempuh melalui usaha pengembangan padi pada lahan kering. Program pemuliaan tanaman pengembangan padi gogo dipilih sebagai salah satu usaha potensial pemanfaatan lahan kering. Teknologi kultur antera dilaporkan mampu mempersingkat waktu untuk mendapatkan galur homozigot fertil. Stabilitas adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan daya hasil terhadap perubahan kondisi lingkungan. Uji multilokasi sebagai uji adaptabilitas merupakan suatu tahapan penting sebelum varietas dilepas dan hasil uji multilokasi diharapkan dapat diperoleh genotipe-genotipe yang dapat beradaptasi baik di lingkungan tertentu dan berdaya hasil stabil pada beberapa lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan galur padi gogo yang memiliki potensi hasil tinggi dan stabil pada lingkungan yang luas. Pengujian dilaksanakan di tujuh lokasi selama dua musim hujan (MH) 2010/2011 dan 2011/2012. Lokasi pengujiannya yaitu : Taman Bogo dan Natar – Lampung, Sukabumi dan Indramayu – Jawa Barat, Purworejo – Jawa Tengah, Wonosari – DI Yogyakarta, dan Malang – Jawa Timur. Bahan pengujian ialah 12 genotipe, yang terdiri atas 10 galur harapan padi gogo hasil kultur antera dan dua varietas pembanding. Sepuluh galur harapan padi gogo tersebut ialah III3-4-6-1, I5-10-1-1, WI-44, GI-7, O18-b-1, IW-67, IG-19, IG-38, IW 56, B13-2e dan varietas pembandingnya adalah Batutegi dan Way Rarem. Pelaksanaan pengujian di tiap lokasi menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang diulang sebanyak empat kali. Satuan percobaan berupa petakan lahan berukuran 4 m x 5 m, sehingga tiap lokasi terdiri atas 48 satuan percobaan. Pengujian stabilitas menggunakan empat metode yaitu Francis & Kanennberg, Finlay & Wilkinson, Eberhart & Russel, dan AMMI. Pengujian di tujuh lokasi selama dua musim menunjukkan, galur WI-44 memiliki rata-rata produktivitas paling tinggi (4.88 ton ha-1) lebih tinggi dibanding Batutegi dan tidak berbeda nyata dari Way Rarem dengan potensi produktivitas mencapai 10.28 ton ha-1 pada lingkungan Malang musim ke dua. Galur IW-67 memiliki rata-rata produktivitas (4.53 ton ha-1) tidak berbeda nyata dengan Batutegi dan memiliki potensi produktivitas (9.09 ton ha-1) pada lingkungan Malang musim ke dua. Produktivitas gabah kering giling rata-rata galur WI-44 unggul di tujuh lingkungan, I5-10-1-1 unggul di empat lingkungan dan IW-67 unggul di dua lingkungan. Galur WI-44, IW67 dan IW-56 merupakan galur-galur yang peka terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi khusus pada lingkungan optimal. Galur-galur I5-10-1-1, GI-7 dan O18-b-1 merupakan galur yang mampu beradaptasi pada lingkungan marginal dan memiliki rata-rata produktivitas yang lebih tinggi dibanding rata-rata lingkungannya. Kata kunci : kultur antera, padi gogo, stabilitas hasil
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
UJI STABILITAS GALUR-GALUR PADI GOGO HASIL KULTUR ANTERA SELAMA DUA MUSIM
ADIN AFIYATA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Desta Wirnas, S.P. M.Si.
Judul Tesis Nama NRP
: Uji Stabilitas Galur-Galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera Selama Dua Musim : Adin Afiyata : A253100111
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, M.Sc. Ketua
Dr. Muhamad Syukur, S.P. M.Si. Anggota
Dr. Ir. Iswari Saraswati Dewi Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Si.
Tanggal Ujian : 4 Desember 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Judul tesis ini adalah Analisis Stabilitas Hasil Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera Selama Dua Musim. Tesis merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Dengan terselesaikannya penulisan tesis ini, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, M.Sc., Dr. Ir. Iswari Saraswati Dewi dan Dr. Muhamad Syukur, S.P. M.Si. selaku komisi pembimbing atas bimbingan dan arahannya selama perencanaan, pelaksanaan, dan penulisan tesis ini. 2. Program IMHERE atas pendanaan dan bantuan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian ini (Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, M.Sc. sebagai ketua peneliti). 3. Dr. Desta Wirnas, S.P. M.Si. selaku dosen penguji ujian tesis ini. 4. Orang tua dan keluarga atas dukungan penyelesaian studi memperoleh gelar Magister Sains. 5. Teman-teman S2 PBT angkatan 2010 atas kebersamaan dan kekompakan selama ini. Penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi yang memerlukan.
Bogor, Desember 2012
Adin Afiyata
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Purwokerto pada tanggal 31 Agustus 1988 sebagai anak pertama
dari
pasangan
Subechi
dan Sri
Lestari Tutiningsih.
Penulis
menyelesaikan pendidikan dasar sampai Sekolah Menengah Atas di Purwokerto tahun 1994 sampai dengan 2006. Penulis menyelesaikan studi sarjana tahun 2010 di Program Studi Pemuliaan Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman. Penulis tercatat sebagai mahasiswa pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Tahun akademik 2010/2011.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xxi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xxiii
PENDAHULUAN ........................................................................................... Latar Belakang........................................................................................ Tujuan ................................................................................................... Hipotesis .................................................................................................
1 1 3 4
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... Botani Padi ............................................................................................. Kultur Antera pada Program Pemuliaan Padi .......................................... Interaksi Genotipe x Lingkungan ............................................................ Adaptabilitas dan Stabilitas Hasil ............................................................
5 5 7 10 11
BAHAN DAN METODE ................................................................................ Waktu dan Tempat .................................................................................. Bahan dan Alat ....................................................................................... Metode Penelitian ................................................................................... Pelaksanaan Penelitian ............................................................................ Pengamatan ............................................................................................ Analisis Data .......................................................................................... Tahapan Analisis Data ..................................................................... Uji Normalitas ................................................................................. Analisis Ragam Tiap Lokasi ............................................................ Uji Kehomogenan Ragam ................................................................ Analisis Ragam Gabungan ............................................................... Analisis Stabilitas ............................................................................
19 19 19 19 20 21 22 22 22 22 24 24 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ Kondisi Umum Penelitian ....................................................................... Analisis Stabilitas Hasil Selama Dua Musim Tanam ............................... Analisis Stabilitas Francis dan Kannenberg ...................................... Analisis Stabilitas Finlay dan Wilkinson .......................................... Analisis Stabilitas Eberhart dan Russel ............................................
31 31 32 39 41 43
xvii
Analisis Stabilitas Model AMMI ...................................................... Keragaan Karakter Agronomi ................................................................. Keragaan Umum .............................................................................. Tinggi Tanaman ............................................................................... Jumlah Anakan Total dan Jumlah Anakan Produktif ........................ Umur Berbunga dan Umur Panen ..................................................... Panjang Malai .................................................................................. Gabah Isi, Persentase Gabah Isi dan Gabah Hampa .......................... Bobot 1000 butir ..............................................................................
44 48 48 50 53 57 61 62 68
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. Simpulan ................................................................................................ Saran ......................................................................................................
73 73 73
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
75
LAMPIRAN ....................................................................................................
81
xviii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Perbandingan waktu pemuliaan antara sistem pedigree dan kultur antera.........................................................................................................
8
Masalah dan penelitian yang telah dilakukan untuk penggunaan kultur antera dalam program pemuliaan padi ........................................................
9
3
Pengelompokan metode analisis stabilitas oleh Lin et al. (1986) ................
12
4
Galur-galur dan varietas pembanding padi gogo yang digunakan dalam penelitian .........................................................................................
19
5
Sidik ragam karakter padi gogo pada masing-masing lokasi uji ..................
24
6
Sidik ragam gabungan menggunakan model acak .......................................
25
7
Sidik ragam analisis stabilitas Eberhart dan Russel .....................................
28
8
Model analisis ragam AMMI .....................................................................
29
9
Sidik ragam gabungan produktivitas gabah kering giling dari 14 lingkungan .................................................................................................
33
10 Rata-rata produktivitas di 7 lokasi selama dua musim ................................
38
11 Parameter stabilitas hasil gabah kering giling dari 14 lingkungan ...............
39
12 Sidik ragam AMMI 14 lingkungan .............................................................
45
13 Rekapitulasi analisis stabilitas pada genotipe-genotipe yang diuji ...............
48
14 Analisis ragam gabungan pengaruh genotipe (G), lokasi (E), dan interaksi G × E karakter agronomi padi gogo pada 7 lokasi selama dua musim ........................................................................................................
49
15 Variabel komponen hasil rata-rata dari 7 lokasi selama dua musim tanam .........................................................................................................
50
16 Rata-rata tinggi tanaman di 7 lokasi selama dua musim ..............................
52
17 Rata-rata jumlah anakan total di 7 lokasi selama dua musim ......................
54
18 Rata-rata jumlah anakan produktif di 7 lokasi selama dua musim ...............
56
19 Rata-rata umur berbunga di 7 lokasi selama dua musim .............................
58
20 Rata-rata umur panen di 7 lokasi selama dua musim ..................................
60
21 Rata-rata periode pengisian biji dan efisiensi laju pembentukan hasil .........
61
22 Rata-rata panjang malai di 7 lokasi selama dua musim ...............................
63
2
xix
23 Rata-rata gabah isi per malai di 7 lokasi selama dua musim ........................
65
24 Persentase gabah isi di 7 lokasi selama dua musim .....................................
66
25 Rata-rata tingkat kerapatan malai ...............................................................
67
26 Rata-rata gabah hampa per malai di 7 lokasi selama dua musim .................
69
27 Rata-rata bobot 1000 butir di 7 lokasi selama dua musim ...........................
71
xx
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Skema jalur evolusi padi Asia dan Afrika ....................................................
6
2
Bagan alir penelitian .................................................................................... 23
3
Interpretasi umum nilai b dari pola populasi genotipe ketika koefisien regresi genotipe diplot terhadap nilai rata-rata hasil genotipe........................ 26
4
Rata-rata kekurangan dan kelebihan produktivitas galur-galur yang diuji terhadap pembanding ................................................................................... 34
5
Fluktuasi produktivitas gabah kering giling (GKG) di 7 lokasi selama dua musim ................................................................................................... 35
6
Hubungan koefisien keragaman genotipe dengan rata-rata produktivitas ...... 40
7
Pola linier produktivitas genotipe-genotipe padi gogo yang tergolong stabil berdasarkan metode Finlay & Wilkinson............................................. 41
8
Pola linier produktivitas genotipe-genotipe padi gogo yang tergolong stabil di bawah rata-rata berdasarkan metode Finlay & Wilkinson ............... 42
9
Pola linier produktivitas genotipe-genotipe padi gogo yang tergolong stabil di atas rata-rata berdasarkan metode Finlay & Wilkinson ................... 43
10 Interpretasi dari parameter bi dan δ2 pada pendekatan regresi untuk menentukan stabilitas ................................................................................... 44 11 Biplot pengaruh interaksi model AMMI2 untuk produktivitas GKG genotipe-genotipe padi gogo hasil kultur antera pada dua musim tanam ....... 46
xxi
xxii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Asal persilangan galur-galur padi gogo yang digunakan .............................
83
2
Silsilah dan deskripsi tetua galur-galur padi gogo yang digunakan .............
84
3
Deskripsi Varietas Padi Gogo.....................................................................
85
4
Karakteristik umum lingkungan pengujian .................................................
90
5
Data klimatologi lingkungan pengujian ......................................................
91
xxiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penjamin stabilitas nasional. Beras merupakan makanan pokok di Indonesia. Konsumsi beras tahun 2011 139 kg/kapita (Puslitbang Tanaman Pangan 2012) dan perkiraan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 sebesar 241 juta jiwa (BPS 2012) memerlukan ketersediaan beras yang mencukupi. Dengan laju pertumbuhan penduduk 1.49% (BPS 2012), kebutuhan akan beras meningkat. Tingginya tingkat konsumsi beras dan terbatasnya produksi padi nasional dapat menurunkan ketahanan pangan nasional. Data Kementerian Pertanian (2012) menunjukkan produksi padi tahun 2011 sebesar 66.76 juta ton dengan produktivitas 4.98 ton ha-1. Kontribusi padi gogo terhadap produksi padi nasional hanya sebesar 4.84% (3.23 juta ton). Produksi padi nasional masih belum mencukupi kebutuhan beras penduduk Indonesia. Kendala dalam mempertahankan ketahanan pangan antara lain ialah adanya konversi lahan optimal bagi budidaya tanaman pangan terutama lahan sawah. Perluasan sawah makin sulit dilakukan. Hal ini menjadikan arah ekstensifikasi lahan tanaman pangan ke lahan suboptimal antara lain lahan kering. Abdurachman et al. (2008) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan lahan basah seluas 40.20 juta ha (22%) dari 188.20 juta ha total luas daratan. Total luas lahan kering 148 juta ha, yang sesuai untuk budidaya pertanian hanya sekitar 76.22 juta ha (52%), sebagian besar terdapat di dataran rendah sebesar 70.71 juta ha atau (93%). Luas wilayah dataran rendah yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23.26 juta ha dan pada dataran tinggi hanya sekitar 2.07 juta ha. Potensi lahan kering tidak terlepas dari masalah lahan sub optimal yaitu kesuburan tanah yang rendah, cekaman biotik (hama penyakit) dan cekaman abiotik. Pengembangan padi gogo berpotensi meningkatkan produksi beras nasional. Program pengembangan tersebut perlu didukung pemuliaan tanaman sebagai upaya mengatasi permasalahan dalam pengembangan teknologi budidaya
2
padi gogo. Perakitan padi gogo yang toleran terhadap cekaman abiotik tertentu dan mampu beradaptasi luas pada lingkungan suboptimal menjadi topik program pemuliaan padi gogo. Program pemuliaan diharapkan mampu merakit beberapa kultivar padi gogo yang mempunyai potensi hasil tinggi. Program pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperoleh varietas baru dengan produksi tinggi dan memiliki kestabilan pada berbagai lingkungan. Kegiatan pemuliaan yang dilakukan mencakup persilangan, introduksi, mutasi, introgresi gen, seleksi dan evaluasi. Perakitan varietas baru perlu terus dilakukan karena varietas-varietas padi gogo yang sudah ada walaupun daya hasilnya sudah cukup tinggi, namun masih menghadapi cekaman abiotik dan biotik akibat lahan potensial pengembangan padi gogo merupakan lahan suboptimal. Perakitan padi gogo toleran lingkungan abiotik seperti toleran aluminium (Bakhtiar 2007) dan toleran naungan (Sasmita 2006) telah dilakukan untuk pengembangan padi gogo di daerah suboptimal. Perakitan dimulai dengan menyeleksi tetua yang memiliki ketahanan terhadap cekaman
abiotik
tersebut.
Metode
pemuliaan
tanaman
konvensional
membutuhkan banyak waktu penggaluran, seleksi dan selanjutnya pengujian galur-galur yang mampu beradaptasi dengan cekaman abiotik tersebut. Proses mempercepat pembentukan galur murni padi gogo tipe baru dengan sifat-sifat yang diharapkan dari induknya dapat dilakukan dengan mempergunakan metode kultur antera (Abdullah et al. 2008, Dewi dan Purwoko 2001, 2011). Pembentukan galur murni dengan metode kultur antera hanya memerlukan waktu kurang lebih 12 bulan (Sasmita 2007). Proses ini lebih cepat bila dibandingkan dengan cara konvensional yang membutuhkan waktu yang lama (5-10 tahun) untuk mendapatkan kestabilan genetik galur-galur hasil persilangan (Safitri et al. 2010) atau memerlukan 10-12 generasi setelah persilangan (Sasmita 2007). Metode kultur antera akan menghasilkan tanaman dihaploid yang homozigos fertil (Safitri et al. 2010). Kultur antera mempercepat mendapatkan galur murni, tetapi waktu yang dibutuhkan untuk evaluasi uji daya hasil dan uji stabilitas tetap sama. Peran kultur antera dalam perakitan galur adalah memperoleh tanaman homogen homozigos dalam waktu relatif singkat, efisiensi proses seleksi meningkat, variabilitas
genetik
meningkat melalui
produksi
variasi gametoklonal,
3
mempercepat terekspresinya karakter yang dikendalikan gen resesif, efisiensi biaya, waktu dan tenaga kerja (Dewi dan Purwoko 2001, Abdullah et al. 2008, Safitri et al. 2010). Galur-galur harapan padi gogo hasil program pemuliaan perlu diuji sebelum dilepas. Tahapan pelepasan varietas menurut peraturan Menteri Pertanian No 61 tahun 2011 mengenai metoda baku uji adaptasi dan uji observasi. Observasi daya hasil (ODH) merupakan uji lapangan untuk mengetahui karakter agronomi dan daya hasil pada tahap awal. Hal tersebut diikuti dengan uji daya hasil pendahuluan (UDHP) yang dilakukan pada petak uji minimum dan uji daya hasil lanjut (UDHL) yang dilakukan pada petak uji minimum serta dilakukan di beberapa lokasi pengujian berbeda atau musim berbeda. Uji stabilitas dilakukan setelah uji daya hasil lanjut dengan tujuan untuk memperoleh informasi tingkat stabilitas hasil galur-galur yang akan dilepas. Hasil pengujian menjadi dasar pertimbangan pelepasan suatu galur menjadi varietas. Galur-galur padi gogo dihaploid dari beberapa persilangan beberapa varietas unggul pada penelitian sebelumnya melalui metode kultur antera telah diperoleh. Galur-galur IW-56, IW-67, IG-19, IG-38, GI-8 merupakan galur-galur hasil kultur antera yang toleran naungan (Sasmita 2007). Galur O18-b-1, B13-2e (Bambang Sapta Purwoko, komunikasi pribadi), III3-4-6-1 dan I5-10-1-1 (Herawati et al. 2009) adalah galur toleran aluminium hasil kultur antera. Galurgalur yang dihasilkan perlu diuji adaptasi dan stabilitasnya untuk melihat keragaannya di berbagai kondisi lingkungan sesuai aturan pelepasan varietas. Pengujian multi lokasi tahun I telah dilakukan pada tahun 2011. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian multi lokasi tahun II untuk melihat potensi hasil dan adaptabilitas padi gogo dihaploid di dua tahun uji, sesuai syarat pelepasan varietas. Tujuan Tujuan penelitian ini ialah untuk: 1.
mengevaluasi daya adaptasi dan stabilitas hasil galur-galur harapan padi gogo selama dua musim pengujian.
2.
memperoleh galur-galur harapan padi gogo yang stabil statis untuk dilepas sebagai varietas
4
Hipotesis Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini ialah: 1.
terdapat perbedaan hasil pada lokasi yang berbeda.
2.
terdapat interaksi genotipe lingkungan (G x E) yang nyata.
3.
terdapat galur yang stabil statis.
TINJAUAN PUSTAKA Botani Padi Klasifikasi botani tanaman padi menurut Vaughan et al. (2003) tergolong kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, digolongkan dalam sub divisi Angiospermae, karena biji berkeping satu digolongkan ke dalam kelas Monocotyledonae, dengan ordo Glumiflorae termasuk dalam keluarga rumputrumputan atau disebut juga Graminae (Poaceae) dan dikenal dengan genus Oryza. Padi yang dikenal dan dibudidayakan sebagaian besar tergolong dalam spesies Oryza sativa. Genus Oryza terdistribusi di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia. Genus Oryza terdiri atas 23 spesies liar dan dua spesies yang dibudidayakan, yaitu, O. sativa di daerah Asia dan O. glaberrima di daerah Afrika. Oryza sativa didomestikasi di Asia, namun sekarang telah menyebar ke hampir seluruh daerahdaerah di dunia, sedangkan O. glaberrima, terbatas di barat Afrika. Jumlah kromosom dasar dari genus ini adalah n = 12. Spesies normal memiliki kromosom dalam keadaan diploid dengan 2n = 2x = 24 kromosom atau tetraploid dengan 2n = 2x = 48 kromosom. Berdasarkan analisis genom dan tingkat kompatibilitas persilangan, spesies Oryza dikelompokkan menjadi sembilan genom yang berbeda, yaitu, A, B, C, D, E, F, G, H dan J (Tripathi et al. 2011). Pusat
asal dan pusat
keanekaragaman
dua spesies
yang telah
dibudidayakan (O. sativa dan O. glaberrima) telah diidentifikasi menggunakan keanekaragaman genetik, bukti-bukti sejarah, arkeologi dan penyebaran geografis. Daerah Asia terutama daerah Cina dan India merupakan pusat asal O. sativa sementara daerah Niger di Afrika sebagai pusat utama O. glaberrima. Dua spesies mirip diyakini berevolusi secara alami dari dua nenek moyang yang berbeda, yaitu. O. nivara dan O. barthii. Gambar 1 merujuk pada skema evolusi padi di daerah Asia dan Afrika. Nenek moyang O. sativa disimbolkan menjadi genom AA sebagai spesies diploid Asia dan O. glaberrima menjadi genom AA spesies diploid Afrika (Gambar 1).
6
Nenek moyang umum (O. perennis) Padi Afrika (Tropikal Afrika)
Padi Asia (Asia selatan dan barat daya)
Liar umur panjang
O. rufipogon (AA)
Liar tahunan
O. longistaminata (AA)
ras rumput tahunan
O. nivara (AA)
O. spontanea Dibudidayakan tahunan Indica
O. sativa (AA)
O. barthii (AA)
O. stapfii
O. glaberrima (AA) Temperate japonica
Japonica Tropical japonica (Javanica)
Gambar 1 Skema jalur evolusi padi Asia dan Afrika (Tripathi et al. 2011) Oryza sativa L. dengan dua sub spesies yaitu Indica (padi cere) dan Japonica (padi bulu) merupakan spesies yang paling umum ditanam di Indonesia. Towuti, Cirata, Limboto, Danau Gaung, Batutegi, Way Rarem, Situ Patenggang dan Situ Bagendit merupakan varietas padi gogo sub spesies Indica atau padi cere (Suprihatno et al. 2010). Plasma nutfah padi lokal Indonesia terutama yang berada di Pulau Jawa tergolong tropical japonica (javanica). Plasma nutfah padi lokal Mandel, Segreng, Cempo Merah, Saodah Merah, Andel Merah, Pandan Wangi, Mentik Putih, Rojolele Gepyok, Kenanga, Menur, Lestari dan Cempo Putih teridentifikasi di daerah Yogyakarta (Kristamtini et al. 2012). Garris et al. (2004) menguji kekerabatan beberapa plasma nutfah Oryza sativa L. di dunia menggunakan marka molekuler SSR (Simple Sequence Repeat). Plasma nutfah Padi Kasalle, Cicih Beton (Bali), Gundil Kuning, Jambu, Tondok, Gotak Gatik dan Gogo Lempuk yang berasal dari Indonesia diklasifikasikan dalam sub spesies tropical japonica. Tanaman padi memiliki ribuan varietas yang termasuk dalam Oryza sativa L. dan mempunyai ciri khas sehingga dapat dibedakan dengan varietas yang lain.
7
Varietas unggul padi gogo yang mampu beradaptasi pada cekaman biotik maupun abiotik masih kurang sehingga memacu berkembangnya programprogram pemuliaan padi gogo di Indonesia. Varietas unggul padi gogo yang telah dilepas dari tahun 1988 – 1993 antara lain: Batur, Danau Atas, Poso, Laut Tawar, C22 dan Danau Tempe memiliki hasil tinggi (potensi hasil 3.0-5.0 ton ha-1) namun memiliki kelemahan pada mutu beras yang rendah. Periode tahun 2001 – 2003 telah dilepas empat varietas padi gogo (potensi hasil 4.0-5.0 ton ha-1) yaitu Danau Gaung, Batutegi, Situ Patenggang dan Situ Bagendit. Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 8, Inpago Unram 1 dan Inpago Unsoed 1 merupakan varietas padi gogo yang dilepas pada periode tahun 2010 – 2011 dengan potensi hasil 5.88.1 ton ha-1 (Kementerian Pertanian, 2012).
Kultur Antera pada Program Pemuliaan Padi Perakitan varietas tanaman menyerbuk sendiri seperti padi ditujukan untuk memperoleh galur yang hampir mendekati 100% homozigotitas dengan sifat-sifat yang unggul. Metode konvensional dalam perakitan varietas memerlukan prosedur penelitian yang sistematik, mulai dari perumusan tujuan, pemilihan tetua, persilangan, seleksi galur, pengujian daya hasil hingga pelepasan varietas yang membutuhkan waktu 7 -10 tahun (Dewi dan Purwoko 2001). Galur-galur murni baru akan terbentuk dengan cara persilangan yang diikuti oleh serangkaian seleksi pada tiap generasi, seperti pada pedigree. Kombinasi metode persilangan dengan metode kultur antera dalam program pemuliaan padi mampu meningkatkan efektifitas dan efisiensi seleksi. Dewi dan Purwoko (2001) menjelaskan bahwa galur murni dapat diseleksi dari populasi dihaploid yang homogen dan homozigot. Populasi seleksi menjadi lebih sedikit bergantung pada jumlah gen untuk seleksi. Jika perbedaan pada tetua persilangan sebanyak n (jumlah gen yang diinginkan) gen dan diasumsikan tidak terpaut maka dengan dihaploid hanya perlu menanam 2 n tanaman agar semua genotipe homozigot terwakili. Pemuliaan konvensional membutuhkan 4 n tanaman. Perbandingan waktu penggunaan metode kultur antera dan konvensional tertera pada Tabel 1.
8
Tabel 1 Perbandingan waktu pemuliaan antara sistem pedigree dan kultur antera (Dewi dan Purwoko 2001) Waktu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Sistem pedigree Hibridisasi F1 F2 Pedegree (F3-F9) (Skrining dan Pengujian-pengujian)
Kultur Antera Hibridisasi F1 dan Kulture Antera Perbanyakan Benih Skrining dan pengujian Uji daya hasil Uji Adaptasi Regional Perbanyakan Benih
Uji Adaptabilitas Regional Perbanyakan Benih
Pembentukan tanaman dihaploid dari tanaman haploid diperoleh melalui dua tahap, yaitu tahap induksi butir tepung sari menjadi kalus atau embrioid dan selanjutnya tahap diferensiasi menjadi tanaman kecil atau planlet. Tanaman dihaploid asal kultur antera dapat diperoleh dengan induksi kolkisin atau secara spontan melalui fusi spontan inti sel dan dengan pemangkasan (ratooning) (Dewi dan Purwoko 2001). Tanaman haploid dapat diinduksi melalui proses androgenesis dengan kultur antera dan kultur mikrospora atau proses gynogenesis dengan kultur ovule,
hibridisasi jenis tanaman yang berbeda
(distant
hybridization), polinasi tertunda (delayed pollination), penggunaan polen yang sudah diradiasi, perlakuan hormon, shock dengan temperatur tinggi (Poelman dan Sleper 1995). Karakter tanaman haploid dan dihaploid ditampilkan pada keadaan hemizygous yang dikendalikan oleh gen dominan maupun gen resesif, sehingga seleksi lebih mudah dilakukan pada tingkat monohaploid atau dihaploid untuk menghasilkan tanaman super jantan unggul pada asparagus contohnya, menghasilkan tanaman dihaploid dan tetraploid homozigot dan tanaman triploid pada kentang, dan sebagai tetua pembentuk hibrida F1 contohnya pada kentang atau tanaman lain yang dibudidayakan secara vegetatif (Dewi dan Purwoko 2011). Tanaman haploid dapat digunakan untuk menghasilkan galur murni secara cepat tanpa melalui banyak generasi silang, sebagaimana yang dilakukan pada metode pemuliaan konvensional (Syukur et al. 2012).
9
Kultur antera padi mulai diintroduksikan di Indonesia pada tahun 1991 oleh beberapa peneliti yang dikirim ke IRRI. Awal penelitian kultur antera masih berfokus pada media untuk induksi kalus dan regenerasi. Tahun 1997, IPB bekerja sama dengan Balitbio dalam pengembangan kultur antera pada padi gogo. Penelitian berupa perbaikan media kultur antera menggunakan poliamin dan usaha perakitan padi gogo toleran cekaman intensitas cahaya rendah dan aluminium (Dewi dan Purwoko 2001). Penelitian dengan kultur antera melalui pemberian spermin dapat meregenerasikan tanaman hijau pada tiga genotipe dari subspesies indica (Purwoko 2004), namun regenerasi pada kultur antera padi F1 yang diberi 10-3M putresin memberikan hasil yang lebih baik (Dewi et al. 2007). Beberapa penelitian perbaikan melalui kultur antera disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Masalah dan penelitian yang telah dilakukan untuk penggunaan kultur antera dalam program pemuliaan padi (Dewi dan Purwoko 2001) Masalah yang Dipecahkan
Penelitian/Studi Telah dilakukan pada :
Metode untuk mendapatkan jumlah 1. Media; komposisi media dasar (MS, N6, LS, He, L8, M8) tanaman yang cukup (seleksi, evaluasi) ZPT: 2,4-D, NAA, IAA, Kinetin, BA Suplemen: CW ekstrak labu, ekstrak kentang CH, poliamin 2. Anther Culture Ability Genotipe (high anther culturability) Kondisi fisiologi tanaman donor Tahap perkembangan antera (uninukleat) Pra perlakuan (suhu rendah 5-10 0C) Populasi antera Subkultur kalus (ukuran 1-2 mm, jenis embriogenik) Aklimatisasi (air, lumpur, intensitas cahaya) Konfirmasi stabilitas genetik dari Studi generasi DH1-DH5 pada kondisi yang sama dengan hasil, vigor tidak menurun, progeni karakter morfologi dan agronomi tetap stabil. Seleksi dapat dilakukan pada generasi awal. Metode pemuliaan yang efisien, karena ada batasan terhadap rekombinasi gen pada kultur antera F1
1. Eksplan dari F2 terseleksi 2. Eksplan F1 dari metode persilangan multiple crosses (pesilangan ganda) 3. Metode seleksi recurrent yang dikombinasikan dengan kultur antera
10
Interaksi Genotipe x Lingkungan Stabilitas dapat dianalisis dari adanya interaksi genotipe dan lingkungan. Interaksi genotipe lingkungan menjadi penting pada uji stabilitas jika suatu individu yang merupakan bagian dari populasi tidak menunjukkan penampilan yang berbeda nyata pada lokasi berbeda. Interaksi genotipe dan lingkungan terjadi bila penampilan nisbi (relative performance) atau peringkat variabel hasil beberapa genotipe akan berubah dengan perubahan lingkungan. Hal ini menunjukkan mengapa kultivar-kultivar berdaya hasil tinggi yang ditanam pada suatu lingkungan akan memberikan hasil yang berbeda pada lingkungan yang lain. Perbedaan lingkungan yang spesifik memiliki efek lebih besar terhadap variabel hasil untuk suatu genotipe dibandingkan genotipe yang lain (Falconer dan Mackay 1996). Ada tidaknya pengaruh interaksi dapat dideteksi dari perilaku respon suatu faktor pada berbagai kondisi faktor lain. Jika respon suatu faktor berubah pola dari kondisi tertentu ke kondisi yang lain untuk faktor yang lain maka kedua faktor dikatakan berinteraksi. Jika pola respon dari suatu faktor tidak berubah pada berbagai kondisi faktor yang lain, maka dapat dikatakan kedua faktor tersebut tidak berinteraksi (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Ada atau tidaknya interaksi antar genotipe atau genotipe-genotipe tanaman dengan kisaran variasi lingkungan spasial yang luas, ataupun dengan variasi lingkungan pada suatu wilayah spesifik merupakan hal yang sangat penting bagi pemulia dalam menentukan genotipe tanaman yang akan dipilih untuk dilepas atau dirilis, ataupun untuk digunakan dalam mengukur komponen ragam suatu karakter tertentu (Baihaki dan Noladhi 2005). Interpretasi dan pemanfaatan informasi interaksi G × E bervariasi antar peneliti. Eberhart dan Russel (1966) menyatakan bahwa interaksi G × E dapat mempengaruhi kemajuan seleksi dan sering mengganggu dalam seleksi genotipegenotipe unggul. Nasrullah (1981) berpendapat bahwa interaksi G × E sering mempersulit pengambilan pilihan dari suatu percobaan varietas uji multilokasi yang kisaran lingkungannya luas. Informasi interaksi G × E sangat penting bagi negara-negara yang variabilitas biogeofisiknya luas seperti Indonesia. Pemulia dapat memanfaatkan potensi lingkungan spesifik dalam kebijakan penentuan
11
penerapan kebijakan wilayah sebaran suatu varietas unggul baru. Dalam hal ini ada dua alternatif pilihan, yaitu : (1) melepas varietas unggul baru dengan potensi hasil tinggi untuk kisaran spasial yang luas (wide adaptability), (2) melepas varietas unggul baru dengan potensi hasil tinggi pada wilayah tumbuh yang spesifik (spesifik lingkungan tumbuh-specific adaptability). Adaptabilitas dan Stabilitas Hasil Rendahnya jumlah varietas yang beradaptasi luas dan terabaikannya varietas yang beradaptasi sempit, serta rendahnya jumlah varietas unggul baru yang dilepas, dapat menggambarkan rendahnya tingkat efisiensi dan efektivitas proses pelepasan varietas unggul di Indonesia. Hal ini akan dapat diatasi apabila varietas unggul spesifik wilayah juga diperhitungkan dalam kebijakan pelepasan varietas, sehingga dapat menekan biaya dan waktu yang selama ini terbuang percuma. Baihaki dan Noladhi (2005) menyebutkan keuntungan yang akan diperoleh apabila varietas unggul spesifik wilayah dapat dilepas, antara lain : (1) efisiensi penggunaan dana dan waktu, (2) memperbanyak varietas unggul baru yang dilepas, (3) secara nasional produktivitas akan meningkat dan dengan sendirinya produksi akan meningkat pula, (4) akan menekan harga benih/ bibit, (5) akan terbentuk “regional buffering” yang sangat diperlukan untuk meredam meluasnya hama atau penyakit tanaman, (6) memberikan pilihan alternatif varietas yang cukup bagi petani, (7) memanfaatkan potensi kekayaan alam dengan baik, dan (8) mendorong terselenggaranya pembangunan pertanian yang sinambung. Beberapa pihak meragukan dilepasnya varietas unggul spesifik wilayah, dengan alasan bahwa varietas semacam ini tidak akan menarik industri perbenihan untuk memproduksinya, karena wilayah pemasarannya menjadi terbatas. Hal ini dapat diatasi dengan cara mengidentifikasi ciri-ciri wilayah yang serupa dengan wilayah pelepasan utama yang teridentifikasi dari uji multilokasi. Konsep adaptabilitas dan stabilitas harus mampu diestimasi dan dibuktikan secara statistik. Metode analisis stabilitas dikelompokkan menjadi empat kelompok dan tiga konsep stabilitas berdasarkan deviasi pengaruh rata-rata genotipe, pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan, serta pengaruh gabungan
12
keduanya (Lin et al. 1986). Pengelompokan metode analisis stabilitas tersebut tertera pada Tabel 3. Kelompok A mendasarkan metode analisisnya pada deviasi pengaruh ratarata genotipe. Stabilitas diukur berdasarkan pada terbentuknya variasi suatu genotipe dalam berbagai lingkungan. Kelompok B berdasar pada pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan. Kelompok C
dan D mendasarkan pada
pengaruh gabungan deviasi rata-rata genotipe dan interaksi genotipe dan lingkungan.
Tabel 3 Pengelompokan metode analisis stabilitas oleh Lin et al. (1986) Kelompok
Tipe
Model Persamaan
Penggagas
Konsep Stabilitas
q
1
Si2
1
CVi = Si X i.
Francis & Kannenberg (1978)
(X ij − X i. )2 / q − 1
= j=1
A
q
2
θi =
p 2 p−1 (q−1)
X ij − X i. − X .j + X .. + 2
Plaisted & Peterson (1959)
SS GE p−1 (q−1)
j=1
Statik
Dinamik
q
2
θi =
−p p−1 (p−2)(q−1)
X ij − X i. − X .j + X .. +
SS GE p−2 (q−1)
j=1
B
Plaisted (1960)
Dinamik
Wrickle (1962)
Dinamik
Shukla (1972)
Dinamik
Finlay & Wilkinson (1963)
Statik/ Dinamik
Perkins & Jinks (1968)
Dinamik
q
2
Wi2 =
X ij − X i. − X .j + X .. j=1 q
2
ζ2i =
p p−2 (q−1)
SS GE
X ij − X i. − X .j + X .. + (p−1) p−2
(q−1)
j=1 q
2
bi =
q
X ij − X i. / j=1
C
X .j − X ..
2
j=1
q
2
βi =
q
X ij − X i. − X .j + X .. X.j − X .. / j=1
3
1 q−2
q
X ij − X i. j=1
D
2
− β2i
X .j − X ..
3
=
1 q−2
Dinamik
q
X ij − X i. − X .j + X .. j=1
Eberhart & Russel (1966)
2
j=1
q
δ2i
2
j=1 q
δ2i =
X .j − X ..
2
− β2i
X .j − X .. j=1
2
Perkins & Jinks (1968)
Dinamik
Keempat kelompok tersebut mampu menjelaskan tiga konsep stabilitas yang dibuat Lin et al. (1986), dimana suatu genotipe dikatakan stabil jika : (1)
13
memiliki koefisien keragaman yang kecil dalam lingkungannya (2) respon terhadap lingkungannya sebanding dengan rata-rata respon seluruh genotipe yang diuji, atau sebanding dengan indeks lingkungannya (3) memiliki kuadrat tengah sisa yang kecil dari garis regresi indeks lingkungannya. Konsep stabilitas tipe 1 dan 3 bersifat statis, dimana suatu genotipe hanya dapat dilihat stabil atau tidaknya saja. Adapun konsep stabilitas tipe 2 bersifat dinamis karena dapat menunjukan pola stabilitas dan adaptabilitas suatu genotipe. Kelompok A mampu menjelaskan konsep stabil tipe 1, kelompok B mampu menjelaskan konsep stabil tipe 2, kelompok D menjelaskan konsep stabil tipe 3, sedangkan kelompok C menjelaskan konsep stabil tipe 1 dan 2. Analisis stabilitas Finlay dan Wilkinson (1963) didasarkan pada koefisien regresi (bi) antara hasil rata-rata suatu genotipe dengan rata-rata umum semua genotipe yang diuji dan semua lingkungan pengujian. Analisis ini dapat menjelaskan fenomena stabilitas dan adaptabilitas suatu genotipe. Genotipegenotipe yang mempunyai slope regresi (bi) : > 1, = 1, dan < 1 berturut-turut mempunyai stabilitas di bawah rata-rata, setara rata-rata, dan di atas rata-rata. Eberhart dan Russel (1966) mengembangkan metode pengujian stabilitas yang didasarkan pada deviasi dari regresi nilai rata-rata genotipe pada indeks lokasi (lingkungan). Suatu genotipe dikatakan stabil hanya bila kuadrat tengah sisa dari garis regresi adalah kecil. Nilai δ2 (parameter deviasi) yang besar atau Ri2 (koefisien determinasi) yang kecil menunjukkan bahwa model regresi yang diperoleh tidak menggambarkan data yang sebenarnya dan dengan sendirinya tidak dapat dipakai sebagai ukuran stabilitas. Metode yang dapat digunakan dalam memvisualisasi dan menjelaskan respon genotipe terhadap lingkungan serta stabilitas daya hasilnya adalah metode Additive Main Effect Multiplicative Interaction (AMMI). Analisis AMMI adalah suatu teknik analisis data percobaan faktorial dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif, sedangkan pengaruh interaksi dimodelkan dengan model bilinear. Pada dasarnya analisis AMMI menggabungkan analisis ragam aditif dengan pengaruh multiplikatif pada analisis komponen utama (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).
14
Penggunaan analisis AMMI memiliki tiga tujuan, yaitu : (1) sebagai analisis pendahuluan untuk mencari model yang lebih tepat; (2) untuk menjelaskan interaksi galur x lingkungan (G × E); (3) meningkatkan keakuratan dugaan respon interaksi galur dan lingkungan. Tahapan analisis AMMI yang dilakukan adalah : (1) menyusun matriks pengaruh interaksi dalam bentuk matriks Ig × l (2) melakukan penguraian bilinear terhadap matriks Ig × l melalui SVD (singular value decomposition) (3) menentukan banyaknya Komponen Utama I (KUI) nyata melalui postdictive success (4) membuat biplot AMMI. Suatu galur dianggap stabil jika posisinya berada dekat dengan sumbu utama. Galur dianggap spesifik pada lokasi tertentu dapat dilihat melalui posisi masing-masing galur terhadap garis lokasi (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Untuk menentukan berapa banyak sumbu komponen utama yang dipakai sebagai penduga digunakan dua metode yaitu metode postdictive success dan predictive succes. Metode postdictive success berhubungan dengan kemampuan suatu model yang tereduksi untuk menduga data yang digunakan dalam membangun model tersebut. Salah satu caranya adalah berdasarkan banyaknya sumbu tersebut yang nyata pada uji F analisis ragam. Predictive success berhubungan dengan kemampuan suatu model dugaan untuk memprediksi data lain yang sejenis tetapi tidak digunakan dalam membangun model tersebut (data validasi). Penentuan jumlah sumbu komponen utama berdasarkan predictive success dilakukan dengan validasi silang, yaitu membagi data menjadi dua kelompok, satu kelompok untuk membangun model dan kelompok lain digunakan untuk validasi (menentukan jumlah kuadrat sisaan). Hal ini dilakukan berulangulang pada setiap ulangan dibangun model dengan berbagai sumbu komponen utama. Jumlah komponen utama yang terbaik adalah yang rataan akar kuadrat tengah sisa (Root Mean Square Predictive Different (RMSPD)) dari data validasi paling kecil (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Metode pengukuran stabilitas hasil seperti Stabilitas Francis dan Kannenberg, Finlay dan Wilkinson, Stabilitas Eberhart dan Russel, dan AMMI (Additive Main Effect Multiplicative) adalah sebagai berikut: 1.
Stabilitas Francis dan Kannenberg (1978)
15
Konsep analisis stabilitas didasarkan pada terbentuknya variasi suatu genotipe dalam berbagai lingkungan. Terbentuknya variasi ini didekati kuadrat tengah
genotipe
serta
koefisien
variasi
genotipe.
Pendekatan
tersebut
menunjukkan bahwa dengan semakin kecilnya nilai pengukuran, maka semakin stabil genotipe tersebut. Jika nilai CV suatu genotipe kurang dari 20% dikategorikan stabil. 2.
Stabilitas Finlay dan Wilkinson (1963) Ukuran pengaruh lingkungan berasal dari rata-rata produksi dari masing-
masing lingkungan dan musim. Regresi didasarkan pada produksi masing-masing varietas di plot terhadap rata-rata populasi. Rata-rata populasi mempunyai koefisien regresi = 1.0 sebagai genotipe yang stabil. Penambahan nilai koefisien terhadap 1.0 berarti meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan, dan bila penurunan nilai koefisien terhadap 1.0 berarti meningkatkan ketahanan terhadap lingkungan. Regresi cukup efektif untuk mengetahui respon produksi varietas dalam kisaran lingkungan alami. Batas kisaran lingkungan berkurang akan mengurangi proporsi komponen keragaman bagi interaksi genotipe x lingkungan yang ditunjukkan oleh ragam pada koefisien regresi secara individu. 3.
Stabilitas Eberhart dan Russel (1966) Prinsip stabilitas Eberhart dan Russel yaitu menggabungkan jumlah
kuadrat dari lingkungan (E) dan interaksi genotipe x lingkungan (GE) serta membaginya ke dalam pengaruh linier antar lingkungan (derajat bebas = 1) dan pengaruh linier dari genotipe x lingkungan (derajat bebas E = 2). Pengaruh residual kuadrat tengah dari model regresi antar lingkungan digunakan sebagai indeks stabilitas. Genotipe stabil bila memiliki nilai deviasi (simpangan) regresi kuadrat tengah δ2 = 0 dan memiliki nilai koefisien regresi (bi) = 1. 4.
AMMI (Additive Main Effect Multiplicative). Analisis AMMI adalah suatu teknik analisis data percobaan dua faktor
perlakuan dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif sedangkan pengaruh interaksi dimodelkan dengan model bilinier. Model AMMI dapat digunakan untuk menganalisis
percobaan
lokasi
ganda.
Pada
dasarnya
analisis
AMMI
menggabungkan analisis ragam aditif bagi pengaruh utama perlakuan dengan analisis komponen utama ganda dengan permodelan bilinier bagi pengaruh
16
interaksi (Mattjik dan Sumertajaya 2006). AMMI sangat efektif menjelaskan interaksi genotipe dengan lingkungan. Penguraian interaksi dilakukan dengan model bilinear, sehingga kesesuaian tempat tumbuh bagi genotipe akan dapat dipetakan. Selain itu biplot yang digunakan memperjelas pemetaan genotipe dan lingkungan secara simultan (Sumertajaya 2007). Model AMMI sebagai berikut: Yger = µ + g + βe +
𝜆𝑗 𝜑𝑔𝑗 𝜌𝑒𝑗 + 𝛿𝑔𝑒 + εger
dimana: Yger = nilai pengamatan pada genotipe ke -g, lingkungan ke-e dan kelompok ke-r µ = rataan umum g = pengaruh aditif dari pengaruh utama genotipe ke-g βe = pengaruh aditif dari pengaruh utama lingkungan ke-e 𝜆𝑗 = nilai singular untuk komponen bilinier ke-n 𝜑𝑔𝑗 = pengaruh ganda genotipe ke-g melalui komponen bilinier ke-n 𝜌𝑒𝑗 = pengaruh ganda lokasi ke-e melalui komponen bilinier ke-n 𝛿𝑔𝑒 = simpangan dari pemodelan linier εger = pengaruh acak pada genotipe ke-g, lokasi ke-e dan kelompok ke-r Sumertajaya (1998) mengemukakan tiga tujuan penggunaan analisis AMMI yaitu: 1. AMMI sebagai analisis pendahuluan untuk mencari model yang lebih tepat. Jika tidak ada satupun komponen yang nyata maka pemodelan cukup dengan aditif saja. Sebaliknya jika hanya pengaruh ganda saja yang nyata maka pemodelan sepenuhnya ganda, berarti analisis yang tepat adalah komponen utama saja. Jika semua komponen interaksi nyata berarti pengaruh interaksi benar-benar sangat kompleks, tidak memungkinkan dilakukannya pereduksian tanpa kehilangan informasi penting. 2. Menjelaskan interaksi galur x lingkungan. Biplot AMMI meringkas pola hubungan antar galur, antar lingkungan dan antar interaksi galur dan lingkungan.
17
3. Meningkatkan keakuratan dugaaan respon interaksi galur x lingkungan. Hal ini terlaksana jika hanya sedikit komponen AMMI saja yang nyata dan tidak mencakup seluruh jumlah kuadrat interaksi. Sedikitnya komponen yang nyata menyatakan bahwa jumlah kuadrat sisanya hanya galat saja. Dengan menghilangkan galat ini berarti dugaan respon per galur x lingkungan menjadi lebih akurat. Metode AMMI sudah dapat diterapkan untuk model tetap (AMMI) yaitu jika genotipe dan lingkungan ditentukan secara subyektif oleh peneliti dan kesimpulan yang diharapkan hanya terbatas pada genotipe dan lingkungan yang dicobakan saja. Pada model campuran (M-AMMI: Mixed AMMI) dimana salah satu sumber keragaman (genotipe atau lingkungan) bersifat acak maka kesimpulan untuk faktor acak hanya berlaku untuk populasi dari faktor acak. Model kategorik (GLM-AMMI/General Linear Model AMMI) yaitu jika respon yang diamati bersifat kategorik seperti tingkat serangan hama (ringan, sedang dan berat). Disamping itu, AMMI juga telah dikembangkan untuk menangani data hilang yaitu dengan EM-AMMI (Expectation Maximitation AMMI) (Sumertajaya 2007).
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada musim hujan (MH) 2010/2011 dan 2011/2012 di 7 (tujuh) lokasi yaitu Taman Bogo dan Natar (Lampung); Sukabumi dan Indramayu (Jawa Barat); Purworejo (Jawa Tengah); Wonosari (DIY); Malang (Jawa Timur). Karakteristik masing masing lokasi terdapat pada Lampiran 1. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain: benih padi gogo yang terdiri atas 10 galur dan 2 varietas pembanding (Tabel 4) dengan sejarah persilangan masing-masing galur dan deskripsi varietas pada Lampiran 2 dan Lampiran 3, pupuk kandang/dasar (10 ton ha-1), Urea (200 kg ha-1), SP-36 (100 kg ha-1), KCl (100 kg ha-1) dan pestisida. Alat yang digunakan antara lain: meteran, timbangan, alat penghitung 1000 biji, hand counter, serta alat tulis dan software analisis SAS 9.0.
Tabel 4 Galur-galur dan varietas pembanding padi gogo yang digunakan dalam penelitian Kode Genotipe
Keterangan
Kode
Genotipe
Keterangan
B1 B2 B3 B4 B5 B6
Toleran aluminium Toleran aluminium Toleran naungan Toleran naungan Toleran aluminium Toleran naungan
B7 B8 B9 B10 B11 B12
IG-19 IG-38 IW-56 B13-2-e Batu Tegi Way Rarem
Toleran naungan Toleran naungan Toleran naungan Toleran aluminium Varietas cek Varietas cek
III3-4-6-1 I5-10-1-1 WI-44 GI-7 O18-b-1 IW-67
Metode Penelitian Penelitiaan uji daya hasil di tiap lokasi menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan perlakuan genotipe padi gogo. Perlakuan terdiri atas 10 galur dan 2 varietas padi gogo, dengan ulangan sebanyak 4 (empat) dan ulangan tersarang dalam lokasi sehingga terdapat 48 satuan percobaan di tiap lokasi.
20
Pelaksanaan Penelitian Tahap awal penelitian dimulai dengan persiapan lahan yang terdiri atas pengukuran luas lahan, pembersihan lahan, pengolahan tanah dan pembuatan petak percobaan. Petak percobaan penelitian dibuat berukuran 4 m x 5 m dengan jarak antar petak dalam ulangan 0.5 m dan antar ulangan 1 m. Total petak percobaan sebanyak 48 petak untuk 4 ulangan di tiap lokasi. Penanaman menggunakan sistem tugal dengan kedalaman 3-5 cm. Jarak tanam 30 cm x 15 cm, sehingga terdapat 13 baris dan 33 lubang tanam tiap baris sehingga terdapat 429 lubang tanam untuk tiap petak. Setiap lubang berisi 3-5 benih padi gogo. Aplikasi pemupukan yang dilakukan pada penelitian ini adalah pupuk kandang dan pupuk sumber NPK. Pupuk kandang sebanyak 10 ton ha -1 diberikan bersamaan dengan pengolahan lahan yaitu 1 minggu sebelum tanam. Pupuk kandang disebar dan dicampur dengan tanah. Sumber pupuk NPK yang digunakan adalah Urea (200 kg ha-1), SP-36 (100 kg ha-1) dan KCl (100 kg ha-1). Aplikasi pupuk sumber NPK dilakukan dengan cara memberikannya pada larikan berjarak 5 cm dari tanaman. Waktu aplikasi pupuk sumber NPK dibagi dalam 3 tahap, yaitu: 1.
Pemupukan pertama dilakukan 1 minggu setelah penanaman yaitu dengan memberikan Urea (80 gram/petak), SP-36 (200 gram/petak) dan KCl (200 gram/petak),
2.
Pemupukan kedua diberikan 4 MST (minggu setelah tanam) Urea (160 gram/petak),
3.
Pemupukan ketiga diberikan setelah penyiangan pada 7 MST yaitu Urea (160 gram/petak). Kegiatan pemeliharaan meliputi penyulaman dan penjarangan yang
dilakukan bersamaan pada umur 2 MST. Penyulaman dilakukan dengan sistem sulam pindah. Pengendalian gulma dilakukan selama tanaman berumur 2-7 MST dengan cara penyiangan. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan bila perlu hingga menjelang panen. Penyiraman disesuaikan dengan kondisi cuaca dan tanaman. Tahap akhir yaitu pemanenan tanaman yang dilakukan berdasar kriteria
21
masak fisiologis yang ditandai oleh malai yang berwarna kuning hingga mencapai 80% dalam satu plot. Pengamatan Unit pengamatan dilakukan terhadap 5 tanaman sampel dan populasi tiap petak percobaan untuk komponen-komponen tanaman padi gogo, antara lain: 1. Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai tertinggi terhadap 5 rumpun tanaman sampel. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan menjelang panen. 2. Jumlah anakan saat vegetatif, dihitung dari jumlah anakan pada saat tanaman berumur 50-60 hari setelah tanam. 3. Jumlah anakan produktif, dihitung berdasarkan jumlah anakan yang menghasilkan malai tiap rumpun. Penghitungan jumlah anakan produktif dilakukan menjelang panen. 4. Panjang malai, diukur dari pangkal malai (leher malai) hingga ujung malai. 5. Umur berbunga, diamati mulai tanam sampai tanaman berbunga 50% dalam tiap petak percobaan. 6. Umur panen, dihitung dari mulai tanam hingga gabah berwarna kuning (masak) telah mencapai 80% dalam tiap petak percobaan. 7. Jumlah gabah total per malai, dihitung dari jumlah gabah dalam tiap malai dari 5 malai utama. Jumlah gabah total per malai berasal dari total gabah isi maupun gabah hampa dalam tiap malai. 8. Jumlah gabah bernas per malai dan gabah hampa per malai, dihitung dari jumlah gabah bernas dan hampa dari 5 malai utama. 9. Persen gabah isi, dihitung menggunakan rumus: Persen gabah isi
= Jumlah gabah isi x 100% Jumlah gabah total
10. Hasil gabah kering per petak, dilakukan pada seluruh malai hasil panen dalam satu petak dikurangi 2 baris keliling (sebagai tanaman sampel dan border). Jumlah rumpun yang dipanen dihitung, kemudian ditimbang gabah kering panen (GKP). Kadar air dihitung berdasarkan nilai rata-rata dari 3 kali pengukuran kadar air gabah hasil panen (GKP). Setelah gabah
22
dijemur hingga mencapai kadar air + 14% dan dibersihkan, kemudian ditimbang gabah kering giling (GKG) tiap petak. 11. Bobot 1000 butir gabah (gram), ditimbang dari 1000 butir gabah bernas dari setiap petak dengan kadar air ± 14%.
Analisis Data Tahapan Analisis Data Data pengujian musim 2010/2011 merupakan data sekunder dari penelitian Sulaeman (2012) dan data pengujian musim 2011/2012 merupakan data primer. Bagan alir penelitian dan analisis data disajikan pada Gambar 2.
Uji Normalitas Uji untuk mengetahui suatu data menyebar normal menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) yaitu uji Lilliefors. Hipotesis yang diuji adalah H0 : populasi contoh menyebar normal. Statistik ujinya adalah: D = maksimum 𝑆 𝑥 − 𝐹0 (𝑥) dimana :
𝑆 𝑥 =
jumlah amatan contoh x 𝑛
𝐹0 (𝑥) = 0.5 – P(0
(𝑋− 𝜇 ) 𝜎
Analisis Ragam Tiap Lokasi Analisis ragam dilakukan pada tiap lokasi untuk karakter-karakter padi gogo yang diamati. Analisis ragam berdasarkan metode yang digunakan oleh Singh dan Chaudhary (1979) disajikan pada Tabel 5. Model linier untuk RAK tiap lokasi, sebagai berikut: Yik = µ + ρk + i + εik i = 1,2,3, ….,12 dan k = 1,2,3,4 dimana: Yik = Hasil pengamatan galur dan varietas pembanding ke-i dan ulangan ke-k µ
= Rataan umum
ρk = Pengaruh ulangan ke-k i = Pengaruh perlakuan ke-i εik = Pengaruh acak dari galur dan varietas pembanding ke-i dan ulangan ke-k
23
Uji tahun I Musim hujan 2010/2011 (data sekunder) Sulaeman (2012) Uji Daya Hasil Lokasi I
Uji Daya Hasil Lokasi II
Uji Daya Hasil Lokasi III, dst
Uji tahun II November 2011 – Maret 2012 Uji Daya Hasil Lokasi I
Sidik Ragam Lingkungan I
Uji Daya Hasil Lokasi II
Sidik Ragam Lingkungan II
Uji Daya Hasil Lokasi III, dst
Sidik Ragam Lingkungan III, dst
Uji Homogenitas Ragam Karakterisasi Keragaan Agronomi
homogen Analisis Gabungan Seluruh Lokasi Uji Stabilitas Daya Hasil
Visualisasi dengan AMMI
Informasi galur padi gogo beradaptasi baik pada semua lingkungan Gambar 2 Bagan alir penelitian.
tidak homogen
24
Tabel 5 Sidik ragam karakter padi gogo pada masing-masing lokasi uji. Derajat Bebas (r-1)
Jumlah kuadrat JK 3
M3 = JK 3/(r-1)
M3/ M1
g-1
JK 2
M2 = JK2/(g-1)
M2/ M1
Galat
(r-1) (g-1)
JK 1
M1 = JK1/(r-1) (g-1)
Total
rg-1
Sumber Keragaman Ulangan Genotipe (G)
Kuadrat Tengah
F-Hitung
-
Keterangan : r (jumlah ulangan), g (jumlah genotipe)
Uji Kehomogenan Ragam Uji Bartlett menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) digunakan sebagai pengujian kehomogenan ragam galat. Hipotesis yang diuji adalah H0 : 𝜎12 = 𝜎22 = .... = 𝜎𝑘2 . Prosedur pada uji Bartlett ini menggunakan pendekatan khi-kuadrat dengan (k-1) derajat bebas. Statistik ujinya adalah: χ2 = 2.3026
𝑟𝑖 − 1
𝑟𝑖 − 1 log Si2
log S2 −
𝑖
𝑖
dimana: 𝑆𝑖2 =
− 𝑌𝑖. )2 (𝑛𝑖 − 1)𝑆𝑖2 ; 𝑆2 = 𝑟𝑖 − 1 𝑁−𝑡
𝑗 (𝑌𝑖𝑗
Nilai χ2 dikoreksi sebelum dibandingkan dengan nilai χ𝛼2 ,𝑘−1 . Nilai χ2 terkoreksi adalah (1/FK) χ2 , dengan FK adalah: 𝐹𝐾 = 1 +
1 3(𝑡 − 1)
𝑖
1 − 𝑟𝑖 − 1
1 𝑟𝑖 − 1
Analisis Ragam Gabungan Analisis ragam gabungan (Tabel 6) dilakukan untuk menganalisis hasil pengamatan di semua lingkungan uji untuk karakter padi gogo yang diamati. Model linear untuk RAKL gabungan antara genotipe dan lingkungan seperti dikemukakan oleh Baihaki (2000) sebagai berikut:
Yijk = µ + αi + βj/k + τk + (ατ)ik + εijk i = 1,2,3,…..12 ; j = 1,2,3,4 ; k = 1,2,3,……14
25
dimana: Yijk = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j, lingkungan ke-k
µ αi βj/k τk εijk
= nilai rata-rata umum
= pengaruh perlakuan ke-i = pengaruh ulangan ke-j dalam lingkungan ke-k = pengaruh lingkungan ke-k = pengaruh acak pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j, lokasi ke-k
Tabel 6 Sidik ragam gabungan menggunakan model acak Sumber Keragaman
db
Kuadrat Tengah
Nilai F
Lingkungan (E)
L-1
M5
M5/ M4
L(r-1)
M4
-
g-1
M3
M3/M1
GxE
(L-1)(g-1)
M2
M2/M1
Galat
L(r-1)(g-1)
M1
-
Ulangan/Lingkungan Genotipe (G)
Keterangan : L (jumlah lokasi), r (jumlah ulangan), g (jumlah genotipe)
Analisis Stabilitas Analisis stabilitas dilakukan untuk memperoleh galur-galur yang memiliki stabilitas hasil di semua lokasi uji. Pendugaan parameter kestabilan dilakukan dengan menggunakan empat pendekatan stabilitas hasil yaitu analisis stabilitas menurut Francis dan Kannenberg (1978), analisis stabilitas menurut Finlay dan Wilkinson (1963) analisis stabilitas menurut Eberhart dan Russel (1966) dan analisis AMMI. a.
Analisis stabilitas menurut Francis dan Kannenberg (1978) Ragam lingkungan (𝑆𝑖2 ) dan koefisien ragam (CVi) digunakan untuk
menentukan kestabilan suatu genotipe. CVi =
𝑆𝑖2 𝑌𝑖𝑜
x 100%
dimana: CVi = Koefisien variasi genotipe 𝑆𝑖2 = Kuadrat tengah dalam genotipe 𝑌𝑖𝑜 = Nilai rata-rata genotipe ke-i pada seluruh lingkungan ke-q
26
Nilai koefisien variasi dari tiap genotipe digunakan untuk menentukkan stabil tidaknya suatu genotipe. Suatu genotipe dikatakan stabil jika nilai koefisien variasi genotipenya kurang dari 25%. b.
Analisis stabilitas Finlay dan Wilkinson (1963) Analisis stabilitas menurut Finlay dan Wilkinsons menggunakan regresi
antara genotipe dengan rataan genotipe di setiap lingkungan dalam skala log. Rata-rata hasil semua genotipe pada tiap lingkungan digunakan sebagai absis, dan hasil tiap genotipe pada tiap lingkungan digunakan sebagai ordinat. Sudut koefisien regresi menunjukkan wilayah adaptabilitas dan stabilitas genotipe. 1. suatu genotipe yang memiliki koefisien regresi b yang lebih besar dari satu dan signifikan menunjukkan bahwa genotipe tersebut beradaptasi baik pada lingkungan subur dengan kata lain adaptif terhadap perubahan lingkungan (Gambar 3), 2. genotipe dengan nilai b yang lebih kecil dari satu tidak sensitif terhadap perubahan lingkungan, karena itu beradaptasi pada lingkungan yang kurang subur (Baihaki 2000).
Spesifik beradaptasi pada lingkungan baik
1.0
kurang beradaptasi
stabilitas rata-rata
beradaptasi baik pada semua lingkungan
Spesifik beradaptasi pada lingkungan kurang baik Rata-rata hasil
Gambar 3 Interpretasi umum nilai b dari pola populasi genotipe ketika koefisien regresi genotipe diplot terhadap nilai rata-rata hasil genotipe (Finlay & Wilkinson 1963)
27
c.
Analisis stabilitas Eberhart dan Russel (1966) Analisis stabilitas untuk hasil dan komponen hasil menggunakan metode
menurut Eberhart dan Russel (1966) dalam Singh dan Chaudhary (1985), dengan model regresi yang digunakan adalah : Yij = m + βiIj + δij dimana: Yij = hasil/komponen hasil rataan dari genotipe ke-i di lingkungan ke-j m
= rataan umum untuk hasil/komponen hasil genotipe ke-i dari semua lingkungan
βi
= koefisien regresi, respon genotipe ke-i pada lingkungan berbeda
Ij
= indeks lingkungan yaitu rata-rata semua genotipe pada lingkungan ke-j dikurangi rata-rata seluruh percobaan 𝑖 𝑌 𝑖𝑗
Ij =
−
𝑔
𝑖
𝑗
𝑌 𝑖𝑗
𝑔𝑙
δij = simpangan regresi dari genotipe ke-i pada lingkungan ke-j Parameter stabilitasnya: 1. Koefisien regresi (bi);
bi =
𝑗
𝑌 𝑖𝑗 𝐼𝑗 2 𝑗 𝐼𝑗 2 j δij
2. Simpangan dari regresi δ2; δ2 = dimana:
𝑆𝑒2 𝑟
l−2
−
S2e r
= dugaan galat gabungan 𝛿𝑖𝑗2 = 𝑗
𝑌𝑖𝑗2 − 𝑗
( 𝑌𝑖2 − 𝑔
2 𝑗 𝑌𝑖𝑗 𝐼𝑗 ) 2 𝑗 𝐼𝑗
Genotipe stabil bila memiliki nilai koefisien regresi (bi) = 1 dan memiliki nilai deviasi (simpangan) regresi kuadrat tengah δ2 = 0. Tabel sidik ragam analisis stabilitas menurut Eberhart dan Russel (1966) disajikan pada Tabel 7. d.
Analisis AMMI Analisis AMMI merupakan teknik analisis data percobaan dua faktor
perlakuan dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif sedangkan pengaruh interaksi dimodelkan dengan model bilinier. Prinsipnya analisis AMMI menggabungkan analisis ragam aditif bagi pengaruh utama perlakuan dengan analisis komponen utama ganda dengan permodelan bilinier bagi pengaruh interaksi (Mattjik dan Sumertajaya 2006). AMMI sangat efektif menjelaskan
28
interaksi genotipe dengan lingkungan. Biplot digunakan
untuk memperjelas
pemetaan genotipe dan lingkungan secara simultan (Sumertajaya 2007).
Tabel 7 Sidik ragam analisis stabilitas Eberhart dan Russel Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah 2 𝑖 𝑌𝑖..
Galur (G)
g–1
Interaksi G x L
g (L – 1)
𝑛
𝑗 𝑌.𝑗 𝐼𝑗
Galur 1
L–2
𝑖 𝑌𝑖𝑗 𝐼𝑗 2 𝑗 𝐼𝑗
𝑖
2
𝑖
𝑌𝑖𝑗2 − 𝑗
L–2
Galur 12
L–2
− 𝐽𝐾 𝑙𝑖𝑛𝑔𝑘. (𝑙𝑖𝑛𝑖𝑒𝑟) 𝛿𝑖𝑗2
g (L – 2)
Galur 2
2
2 𝑗 𝐼𝑗
𝑟𝑣
g–1
𝑛
𝑗
L
Interaksi G x L (linier) Simpangan gabungan
2 𝑖 𝑌𝑖
𝑌𝑖𝑗2 − 𝑖
Lingkungan (linier)
− 𝐹𝐾
𝑗
𝑌𝑖2 − 𝑛
𝑗 𝑌𝑖𝑗 𝐼𝑗 2 𝑗 𝐼𝑗
2
⋮ 𝑌𝑔𝑗2 𝑗
Galat gabungan
L (g – 1) (r – 1)
Total
gL–1
𝑌𝑔2 − − 𝑛
𝑗 𝑌𝑔𝑗 𝐼𝑗 2 𝑗 𝐼𝑗
2
Yij2 − FK i
j
Keterangan: L (jumlah lokasi), r (jumlah ulangan), g (jumlah genotipe)
Pemodelan bilinier pengaruh interaksi genotipe dengan lingkungan sebagai berikut: Menyusun pengaruh interaksi dalam bentuk matriks genotipe (baris)* lingkungan (kolom) sehingga matriks berukuran a x b: 𝛾=
𝛾11 … 𝛾𝑎1
… … …
𝛾1𝑏 … 𝛾𝑎𝑏
Menguraikan bilinier terhadap matriks pengaruh interaksi 𝑛
𝛾𝑔𝑒 =
𝜆𝑗 𝜑𝑔𝑗 𝜌𝑒𝑗 + 𝛿𝑔𝑒 𝑗 =1
Model AMMI secara lengkap dapat ditulis sebagai berikut dan model analisis ragam AMMI (Tabel 8):
29 Yger = µ + g + βe +
𝝀𝒋 𝝋𝒈𝒋 𝝆𝒆𝒋 + 𝜹𝒈𝒆 + εger
dimana: Yger = nilai pengamatan pada genotipe ke -g, lingkungan ke-e dan kelompok ke-r µ
= rataan umum
g
= pengaruh aditif dari pengaruh utama genotipe ke-g
βe
= pengaruh aditif dari pengaruh utama lingkungan ke-e 𝜆𝑗 = nilai singular untuk komponen bilinier ke-n
𝜑𝑔𝑗 = pengaruh ganda genotipe ke-g melalui komponen bilinier ke-n 𝜌𝑒𝑗
= pengaruh ganda lokasi ke-e melalui komponen bilinier ke-n
𝛿𝑔𝑒 = simpangan dari pemodelan linier εger
= pengaruh acak pada genotipe ke-g, lokasi ke-e dan kelompok ke-r
Tabel 8 Model analisis ragam AMMI Sumber Keragaman Lingkungan (L) Ulangan /Lingkungan Genotipe (G) GxL
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
Nilai F
IAKU1 IAKU2
L-1 L(r-1) G-1 (L-1)(G-1) G+L-1-(2x1) G+L-1-(2x2)
KTL KTr/L KTG KTG*L KTIAKU1 KTIAKU
KTL/ KTGalat KTr/L/KTGalat KTG/KTGalat KTG*L/KTGalat KTIAKU1/ KTGalat KTIAKU2/ KTGalat
IAKUn Galat Total
g+L-1-(2xn) L(r-1)(G-1) G L r-1
KTIAKUn KTGalat
KTIAKU1n/ KTGalat -
Keterangan: L (lingkungan), G (genotipe), r (ulangan), IAKU (Interaksi Analisis Komponen Utama)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Kondisi umum penelitian cukup baik. Karakteristik lingkungan pengujian berbeda-beda antar lokasi. Kondisi tanah di Taman Bogo pada musim uji pertama memiliki kejenuhan Al agak tinggi pada ulangan I sehingga tanaman kurang tumbuh secara optimal (Sulaeman 2012). Kondisi tanah di Taman Bogo pada musim kedua lebih baik dibanding musim pertama. Lingkungan tumbuh di Natar musim pertama dan kedua merupakan lahan kering tegalan. Karakteristik lahan lingkungan Indramayu pada musim pertama merupakan lahan di bawah tegakan pohon jati. Lingkungan penanaman Indramayu pada musim kedua merupakan lahan kering dengan kondisi tidak rata. Lokasi Sukabumi musim pertama dan kedua merupakan lahan sawah yang dikeringkan. Lokasi Purworejo musim pertama dan kedua merupakan lahan kering di dataran rendah dengan tekstur tanah sedikit berpasir. Lokasi pengujian Wonosari merupakan lahan kering berteras dataran rendah dan sedikit berbatu. Lokasi Malang musim pertama merupakan lahan kering dikelilingi pohon dan musim kedua merupakan lahan sawah dikeringkan dan terletak di dataran agak tinggi. Karakteristik umum lingkungan pengujian disajikan pada Lampiran 4. Pengujian musim pertama dilaksanakan selama bulan Oktober 2010 hingga April 2011 (Sulaeman 2012). Pengujian musim kedua dilaksanakan bulan November 2011 hingga Maret 2012 kecuali lokasi Malang yang dilaksanakan bulan Maret hingga Juli 2011. Pertumbuhan awal tanaman secara umum baik di semua lokasi karena ketersediaan air yang cukup. Curah hujan yang cukup mendukung pertumbuhan vegetatif tanaman di semua lokasi penanaman. Data klimatologi lingkungan pengujian disajikan pada Lampiran 5. Hama mentul (Phillophaga helleri) muncul di Wonosari pada musim pertama maupun kedua, tetapi penyebarannya dapat dicegah sehingga tidak sampai menyebabkan kerusakan tanaman pada fase pertumbuhannya. Serangan blas daun (Pyricularia grisea pv. oryzae) dan Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) terjadi di Sukabumi musim pertama dan kedua, Indramayu, Purworejo, Taman Bogo dan Natar dengan tingkat serangan berbeda-beda.
32
Sukabumi merupakan daerah endemik blas daun. Serangan ini masih dapat ditanggulangi dengan pengendalian penyakit secara intensif sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang parah. Serangan walang sangit (Leptocorisa oratorius) terjadi pada saat muncul malai sampai bulir padi matang susu. Bulir padi yang dihisap cairannya oleh walang sangit menyebabkan gabah menjadi hampa dan berubah warna. Serangan walang sangit terjadi di Natar, Indramayu dan Sukabumi dengan tingkat serangan rendah. Pengendalian intensif dengan aplikasi insektisida efektif mengendalikan serangan walang sangit. Serangan burung terjadi pada fase generatif sampai menjelang panen. Lokasi Sukabumi, Purworejo, dan Malang musim pertama menunjukkan serangan burung sejak awal pengisian biji. Hal ini disebabkan karena ketidaksamaan waktu tanam dengan areal pertanaman sekitar dan umur genotipe yang diuji lebih genjah, sehingga serangan burung terkonsentrasi pada satu tempat tertentu. Rata-rata kehilangan hasil akibat serangan burung di lingkungan Malang musim pertama mencapai 30% untuk varietas berumur panjang (Sulaeman 2012). Serangan burung hampir tidak terjadi di semua lokasi pengujian musim kedua. Serangan burung yang cukup terlihat hanya pada lokasi Malang dengan tingkat serangan rendah.
Analisis Stabilitas Hasil Selama Dua Musim Tanam Penelitian stabilitas musim tanam pertama sudah dilakukan oleh Sulaeman (2012). Data produktivitas GKG musim pertama dan musim kedua dikompilasi untuk kemudian dilakukan analisis stabilitas hasil. Sidik ragam gabungan karakter produktivitas GKG dari tujuh lokasi pengujian musim pertama dan kedua akan ditampilkan dengan asumsi perbedaan musim tanam dianggap sebagai lingkungan yang berbeda. Hal tersebut menjadikan lingkungan pengujian menjadi 14 lingkungan. Sidik ragam gabungan 14 lingkungan diperlihatkan pada Tabel 9.
33
Tabel 9 Sidik ragam gabungan produktivitas gabah kering giling dari 14 lingkungan (7 lokasi selama dua musim pengujian) Sumber
db
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Lokasi (E) 13 553.98 42.61 Ulangan/Lokasi 42 100.26 2.39 Genotipe (G) 11 270.74 24.61 G×E 143 452.51 3.16 Galat 462 210.85 0.46 Total 671 1588.34 Keterangan : ** berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 %.
Nilai F 93.37** 5.23** 53.59** 6.93**
Kontribusi terhadap keragaman (%) 34.88 6.31 17.05 28.49
Sidik ragam gabungan dari 14 lingkungan menunjukkan semua sumber keragaman sangat nyata terhadap hasil gabah kering giling (Tabel 8). Interaksi genotipe dan lingkungan (G × E) juga berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas gabah kering giling. Interaksi genotipe lingkungan yang sangat nyata menunjukkan setiap genotipe memberikan respon yang berbeda terhadap 14 lingkungan pengujian. Lokasi mempunyai peran 34.88% terhadap keragaman produktivitas GKG dan merupakan penyumbang keragaman paling besar diantara sumber keragaman yang lain. Hal ini mengindikasikan produktivitas GKG pada tiap lokasi pengujian sangat dipengaruhi keberagaman lokasi pengujian. Genotipe hanya menyumbang 17.05% dari keragaman yang ada. Interaksi genotipe dan lingkungan yang nyata berkontribusi pada keragaman sebesar 28.49% (Tabel 9). Galur yang diterima dalam pengujian daya produktivitas karena penampilannya sangat baik pada suatu daerah tertentu, tetapi pengaruh interaksi genotipe dengan lingkungan di daerah tersebut mempunyai peranan sangat besar dalam memunculkan keragaman. Stratifikasi lingkungan dapat digunakan untuk mengurangi interaksi genotipe lingkungan. Stratifikasi tersebut didasarkan pada perbedaan lingkungan makro antara lain perbedaan temperatur, penyebaran hujan dan tipe tanah. Dengan metode stratifikasi ini dapat ditemukan suatu pengurangan nilai interaksi genotipe dan lingkungan sampai sebesar 30% (Eberhart and Russel, 1966). Meskipun demikian metode stratifikasi memiliki kelemahan karena nilai interaksi antara genotipe dan lingkungan masih terlalu besar.
34
Kompilasi data produktivitas GKG selama dua musim menunjukkan bahwa genotipe WI-44 merupakan galur dengan produktivitas GKG terbaik (4.88 ton ha-1) dibanding sembilan galur lainnya. Produktivitas GKG rata-rata WI-44 masih lebih tinggi dibanding varietas pembanding Batutegi dan berdasarkan uji Duncan produktivitas GKG WI-44 tidak berbeda nyata dengan Way Rarem (Tabel 10). Rata-rata produktivitas GKG varietas pembanding yang digunakan, yaitu Batutegi dan Way Rarem masing-masing adalah 4.60 dan 4.98 ton ha-1 (Tabel 10). Perbandingan
produktivitas
GKG
tiap
genotipe
dengan
varietas
pembanding Batutegi dan Way Rarem diperlihatkan pada Gambar 4. Genotipe IW-44 unggul 0.28 ton ha-1 dibanding Batutegi dan menjadi satu-satunya genotipe diantara sepuluh genotipe yang lebih unggul dibandingkan dengan Batutegi. Galur IW-67 merupakan galur dengan peringkat kedua tertinggi rata-rata produktivitas GKG. Rata-rata produktivitas GKG galur IW-67 (4.53 ton ha-1) tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan dengan varietas Batutegi (Tabel 10). Potensi produktivitas GKG tertinggi dimiliki galur WI-44 yang mencapai 10.28 ton ha-1 pada lingkungan Malang musim kedua. Galur IW-67 memiliki potensi produktivitas GKG 9.09 ton ha-1 pada lingkungan yang sama. Kondisi lingkungan Malang musim kedua merupakan kondisi lingkungan terbaik yang mampu menunjukkan potensi produktivitas kedua galur tersebut.
2.00 1.00
III3-4-6-1 I5-10-1-1 WI-44 GI-7 O18-b-1 IW-67 IG-19 IG-38 IW-56 B13-2e Batutegi
-2.00
3.00 2.00 1.00 0.00
0.00 -1.00
4.00
B
-1.00 -2.00 -3.00
III3-4-6-1 I5-10-1-1 WI-44 GI-7 O18-b-1 IW-67 IG-19 IG-38 IW-56 B13-2e Wayrarem
ton ha-1
3.00
5.00
ton ha-1
4.00
6.00
A
3.24 4.05 4.88 3.49 2.95 4.53 3.38 3.50 4.10 3.87 4.60
5.00
3.24 4.05 4.88 3.49 2.95 4.53 3.38 3.50 4.10 3.87 4.98
6.00
Gambar 4 Rata-rata kekurangan dan kelebihan produktivitas galur-galur yang diuji terhadap pembanding. (A) Batutegi (B) Way Rarem. Fluktuasi produktivitas GKG yang tinggi ditunjukkan pada lingkungan Malang musim kedua. Kisaran GKG pada lingkungan tersebut antara 2.19 ton ha-1
35
hingga 10.28 ton ha-1. Perbedaan lingkungan Malang musim pertama dan kedua sangat berbeda. Lingkungan dengan fluktuasi rendah ditunjukkan oleh lingkungan Wonosari musim kedua (Gambar 5). Suatu genotipe atau varietas sekalipun, tidak akan selalu memberikan produktivitas yang sama besar jika ditanam pada lingkungan yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya keragaman lingkungan makro geofisik yang sangat besar yang akan memberikan keragaman lingkungan tumbuh yang sangat besar pula (Satoto et al. 2009). Pola interaksi genotipe lingkungan yang ditunjukkan pada Gambar 5 merupakan interaksi genotipe lingkungan
kualitatif.
Interaksi
genotipe
lingkungan
kualitatif
karakter
produktivitas merupakan perbedaan peringkat produktivitas genotipe di suatu lokasi dengan lokasi lain. Pola interaksi genotipe lingkungan kualitatif dicontohkan oleh genotipe WI-44 dengan produktivitas 5.55 ton ha-1 unggul di lingkungan Purworejo musim pertama dibanding Way Rarem (4.35 ton ha-1). Di lingkungan Purworejo musim kedua Way Rarem (4.38 ton ha-1) unggul dibanding WI-44 (3.99 ton ha-1). Interaksi genotipe lingkungan kualitatif
berpotensi
menyulitkan pemulia untuk memilih genotipe-genotipe yang akan dilepas. Kondisi tersebut menyebabkan perlunya pengujian lebih lanjut berupa analisis stabilitas untuk menentukan genotipe, galur, atau varietas yang lebih tepat ditanam di suatu lingkungan (Cooper et al. 1996). Pola interaksi genotipe lingkungan kualitatif juga ditemukan pada penelitian Sulaeman (2012). 12.00
ton ha-1
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 SKB1 SKB2 IND1 IND2 PWJ1 PWJ2 WNS1 WNS2 TBG1 TBG2 MLG1 MLG2 NTR1 NTR2
III3-4-6-1 O18-b-1 IW-56
I5-10-1-1 IW-67 B13-2e
WI-44 IG-19 Batutegi
GI-7 IG-38 Way Rarem
Gambar 5 Fluktuasi produktivitas gabah kering giling (GKG) di 7 lokasi selama dua musim.
36
Rata-rata produktivitas GKG galur WI-44 dibanding galur uji lain unggul di tujuh lingkungan pengujian: lingkungan Sukabumi, Indramayu, Malang dan Natar pada musim pengujian pertama serta Indramayu, Purworejo dan Malang pada musim pengujian kedua. Produktivitas WI-44 dipengaruhi lingkungan tumbuh yang baik di lokasi tersebut. Lingkungan Malang musim kedua dan Sukabumi merupakan lingkungan sawah yang dikeringkan dengan tingkat curah hujan tinggi. Galur WI-44 memiliki produktivitas tinggi di lingkungan Indramayu musim pertama (dikelilingi tegakan pohon jati muda) dan Malang musim kedua (sawah dikeringkan). Galur WI-44 teridentifikasi sebagai galur toleran naungan (Sasmita 2006). Galur WI-44 memiliki kemampuan efisiensi fotosintesis sehingga mampu mempertahankan hasilnya pada lingkungan dengan intensitas cahaya rendah. Produktivitas WI-44 tertinggi pada lingkungan Malang sesuai dengan pengujian Sulaeman (2012) pada musim pertama (Tabel 10). Galur I5-10-1-1 unggul di empat lingkungan pengujian: lingkungan Sukabumi dan Wonosari musim pengujian kedua serta lokasi Taman Bogo baik musim pengujian pertama maupun kedua. Galur I5-10-1-1 merupakan galur dengan kemampuan toleransi terhadap aluminium (Herawati et al. 2008). Galur I5-10-1-1 mampu beradaptasi pada lingkungan dengan cekaman Al seperti pada lingkungan Taman Bogo. Produktivitas I5-10-1-1 pada pengujian musim kedua unggul dibanding galur uji lain seperti hasil yang ditunjukkan pada pengujian musim pertama pada penelitian Sulaeman (2012). Rata-rata produktivitas galur I510-1-1 (4.04 ton ha-1) menempati peringkat ke empat dari galur uji lain. Produktivitas galur IW-67 (4.53 ton ha-1) menempati peringkat ke dua diantara galur uji lain setelah WI-44. Galur IW-67 unggul di lingkungan Purworejo musim pengujian pertama. Galur IW-67 merupakan galur hasil kultur antera persilangan ITA-247 dengan Way Rarem yang memiliki kemampuan toleran naungan (Sasmita 2006). Produktivitas galur IW-56 (4.10 ton ha-1) menempati peringkat ke tiga diantara galur uji lain dan unggul di Wonosari musim pengujian pertama (Tabel 10). Rata-rata produktivitas GKG tertinggi ditunjukkan oleh lokasi Malang pada musim kedua dengan nilai (6.29 ton ha-1). Kondisi lingkungan yang berbeda ditunjukkan oleh nilai indeks lingkungan yang berbeda (Tabel 10). Lokasi dengan
37
nilai indeks lingkungan tinggi akan mempunyai rata-rata produktivitas tinggi (Harsanti et al. 2003). Indeks lingkungan tertinggi (2.33) dimiliki oleh lingkungan Malang musim kedua. Indeks lingkungan terendah (-1.02) ditunjukkan oleh lingkungan Indramayu musim pengujian pertama. Rata-rata produktivitas di lokasi Indramayu musim pertama 2.77 ton ha-1 merupakan rata-rata produktivitas terendah dibanding lingkungan uji lain. Rata-rata produktivitas di lingkungan Taman Bogo musim pertama dan kedua tidak berbeda nyata secara statistik. Indeks lingkungan Taman Bogo musim pertama dan kedua adalah 0.03 dan -0.03. Secara indeks lingkungan, kondisi Taman Bogo musim pertama lebih baik dibanding musim kedua. Lokasi Malang dan Sukabumi pada musim pertama dengan rata-rata produktivitas 4.46 ton ha-1 dan 4.30 ton ha-1 tidak berbeda nyata. Indeks lingkungan Malang musim pertama (0.49) masih lebih baik dibanding lingkungan Sukabumi musim pertama (0.34). Rata-rata produktivitas lingkungan Natar musim pertama dan Wonosari musim kedua tidak berbeda secara statistik. Indeks lingkungan Natar musim pertama dan Wonosari musim kedua -0.57 dan -0.52 (Tabel 10). Koefisien keragaman tertinggi terdapat pada lokasi Taman Bogo musim ke satu yaitu sebesar 25.66%. Lokasi Malang musim kedua memiliki koefisien keragaman paling rendah yaitu 8.70%. Keragaman hasil di masing-masing lingkungan menunjukkan adanya respon yang berbeda-beda dari tiap galur, baik terhadap lokasi dan musim pengujian. Interaksi yang nyata antara genotipe lingkungan (G x E) membuat pemeringkatan galur-galur di setiap lokasi pengujian berbeda-beda. Interaksi genotipe dan lingkungan dalam penelitian ini tergolong interaksi kualitatif. Interaksi kualitatif menyulitkan pemulia di dalam memilih genotipe stabil dengan produktivitas tinggi. Interaksi genotipe lingkungan kuantitatif lebih disukai karena interaksi tersebut menunjukkan pemeringkatan galur yang sama walaupun terjadi penurunan atau kenaikan produktivitas di lingkungan yang berbeda.
Tabel 10 Rata-rata produktivitas di 7 lokasi selama dua musim Galur
Lokasi
Rata-rata Way lingkungan Rarem -1 _____________________________________________________________ton ha _____________________________________________________________________ III3-4-6-1
I5-10-1-1
WI-44
GI-7
O18-b-1
IW-67
IG-19
IG-38
IW-56
B13-2e
Batutegi
IL
KK (%)
SKB1
2.59
f
4.70
bcd
5.69
b
3.73
de
3.45
ef
5.08
bc
3.40
ef
3.70
de
4.14
cde
4.07
cde
4.16
cde
6.95
a
4.30
CD
0.34 15.55
SKB2
4.27
bcde
5.40
a
4.91
ab
3.57
def
3.66
cdef
4.57
abc
3.51
ef
3.33
ef
4.49
abcd
3.08
f
4.13
bcde
4.96
ab
4.16
DE
0.19 14.42
IND1
2.95
abcd
2.88
abcd
3.24
ab
2.72
abcd
2.17
bcd
3.14
abc
1.86
d
2.06
cd
2.51
bcd
2.91
abcd
3.01
abc
3.79
a
2.77
I
-1.20 24.03
IND2
2.28
d
3.27
bc
3.82
ab
2.43
d
2.76
cd
3.75
ab
2.28
d
2.33
d
3.17
bc
3.12
bc
3.41
abc
4.09
a
3.06
GH
-0.91 14.25
PWJ1
4.88
bcd
4.62
bcde
5.55
abc
2.53
f
3.19
ef
6.94
a
2.66
f
3.28
ef
6.81
a
3.54
def
5.89
ab
4.35
cde 4.52
C
0.56 20.64
PWJ2
1.39
f
2.69
cde
3.99
ab
1.79
def
1.66
ef
3.74
abc
2.33
def
2.22
def
2.89
bcd
3.55
abc
3.82
abc
4.38
a
2.87
HI
-1.09 25.27
WNS1
2.39
d
3.44
abc
3.74
ab
2.60
bc
2.41
d
4.35
a
3.61
abc
3.38
abc
4.39
a
2.52
bc
3.14
abc
3.87
a
3.32
FG
-0.65 23.17
WNS2
2.59
b
4.14
a
4.08
a
3.25
ab
2.97
ab
3.14
ab
3.20
ab
3.28
ab
3.35
ab
3.94
a
3.27
ab
4.10
a
3.44
F
-0.52 22.62
TBG1
3.36
bc
4.51
ab
4.02
abc
3.69
bc
2.52
c
3.85
abc
4.48
ab
4.13
abc
3.21
bc
4.41
ab
5.54
a
4.24
ab
4.00
E
0.03 25.66
TBG2
2.87
d
4.94
a
3.87
bc
4.88
a
3.84
bc
3.13
cd
3.99
bc
4.43
ab
2.76
d
3.95
bc
4.58
ab
3.93
bc
3.93
E
-0.03 13.68
MLG1
3.11
h
4.11
def
5.98
a
5.10
bc
3.58
fgh
3.90
efg
4.32
de
4.51
cde
3.25
gh
4.66
bcd
4.28
def
5.33
ab
4.46
CD
0.49 10.61
MLG2
5.89
d
4.29
f
10.28
a
4.50
ef
2.19
g
9.09
b
4.05
f
4.52
ef
8.72
b
5.31
de
7.41
c
9.29
b
6.29
A
2.33 8.70
NTR1
2.79
ef
2.99
de
4.15
bc
2.68
ef
2.68
ef
3.76
c
2.26
f
2.31
ef
3.53
dc
4.00
c
4.66
ab
4.99
a
3.40
F
-0.57 12.60
NTR2
4.04
d
4.76
bcd
4.96
abc
5.42
ab
4.22
cd
4.94
abc
5.45
ab
5.60
ab
4.16
cd
5.08
abc
5.79
a
5.47
ab
4.99
B
1.02 11.30
Rata-rata galur
3.24
d
4.05
c
4.88
a
3.49
d
2.95
e
4.53
b
3.38
d
3.50
d
4.10
c
3.87
c
4.60
b
4.98
a
3.96
Keterangan :
Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5 %. Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5 %. SKB (Sukabumi), IND (Indramayu), PWJ (Purworejo), WNS (Wonosari), TBG (Taman Bogo), MLG (Malang), NTR (Natar); Angka 1 dibelakang inisial lokasi merujuk pada pengujian musim hujan tahun 2010/2011 dan angka 2 merujuk pada pengujian musim 2011/2012. IL = Indeks lingkungan.
39
Analisis Stabilitas Francis dan Kannenberg Pengujian stabilitas selama dua musim tanam menggunakan konsep stabilitas yang dikemukakan Lin et al. (1986). Suatu genotipe dikatakan stabil jika (1) keragaman dalam lingkungannya kecil; (2) respon terhadap lingkungannya sebanding dengan respon rata-rata seluruh genotipe yang diujikan; (3) kuadrat tengah sisa dari indeks regresi lingkungannya kecil. Analisis stabilitas Francis dan Kannenberg merupakan uji stabilitas yang mewakili konsep stabil pertama dimana genotipe stabil merupakan genotipe dengan keragaman dalam lingkungannya kecil. Rekapitulasi parameter pengujian stabilitas yang didasarkan pada masingmasing metode uji stabilitas disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Parameter stabilitas hasil gabah kering giling dari 14 lingkungan (7 lokasi selama dua musim pengujian) Rata-rata (ton ha-1)
CVi (%)
bi
δ2
Ri2
Yi pada 2 ton ha-1
Yi pada 6 ton ha-1
III3-4-6-1
3.24
36.05
1.059tn
0.453
0.002
1.16
5.40
I5-10-1-1
4.05
21.04
0.574*
0.231
0.224
2.92
5.22
WI-44
4.88
36.12
1.664*
1.748
0.127
1.61
8.26
GI-7
3.49
32.20
0.812*
0.581
0.025
1.90
5.14
O18-b-1
2.95
24.98
0.276*
0.321
0.865
2.41
3.51
IW-67
4.53
36.58
1.462*
1.550
0.070
1.65
7.50
IG-19
3.38
30.29
0.712*
0.449
0.071
1.99
4.83
IG-38
3.50
30.04
0.855*
0.372
0.017
1.83
5.24
IW-56
4.10
41.69
1.448*
1.759
0.061
1.25
7.05
B13-2e
3.87
21.12
0.656*
0.086
0.159
2.58
5.20
Batutegi
4.60
28.15
1.178*
0.677
0.017
2.29
7.00
Way Rarem
4.98
30.24
1.305*
1.191
0.037
2.42
7.64
Rata-rata
3.96
Galur
Keterangan: CVi = koefisien keragaman genotipe; bi = koefisien regresi genotipe, nilai bi * 2 (berbeda nyata dengan 1), tn (tidak berbeda nyata dengan 1); δ =deviasi dari regresi 2 kuadrat tengah; Ri =koefisien determinasi; Yi=perkiraan hasil pada indeks lingkungan tertentu pada uji stabilitas Finlay&Wilkinson.
Uji stabilitas Francis dan Kannenberg (1978) yang mendasarkan pengujian berdasarkan koefisien keragaman (CVi) setiap genotipe yang diuji pada beberapa lingkungan. Genotipe I5-10-1-1, O18-b-1 dan B13-2e merupakan genotipe dengan nilai koefisien keragaman < 25%, dengan nilai berturut-turut 21.04%, 24.98% dan 21.12%. Hubungan produktivitas galur uji dengan nilai koefisien keragaman
40
genotipe ditunjukkan Gambar 6. Galur I5-10-1-1 merupakan galur yang terkategori stabil statis dan memiliki produktivitas (4.05 ton ha-1) lebih tinggi dibanding galur stabil statis lain (B13-2e dan O18-b-1).
rata-rata produktivitas (ton ha-1)
6.00 III3-4-6-1 5.00
I5-10-1-1 WI-44
4.00
GI-7
3.00
O18-b-1 IW-67
2.00
IG-19 1.00
IG-38 IW-56
0.00
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
(CVi) Koefisien keragaman genotipe (%)
50.0
B13-2e Batutegi
Gambar 6 Hubungan koefisien keragaman genotipe dengan rata-rata produktivitas
Keragaman genotipe yang timbul akibat respon genotipe terhadap pengaruh lingkungan pengujian menjadi dasar konsep stabilitas Francis dan Kannenberg. Konsep stabilitas Francis dan Kannenberg bersifat statis karena hanya melihat respon masing-masing genotipe terhadap lingkungannya, tidak ada pembandingan langsung antar genotipe. Konsep stabilitas Francis dan Kannenberg dikategorikan sebagai stabilitas biologi yang berbeda jauh dengan konsep stabil secara agronomi (Becker dan Léon 1988). Jumlah wilayah dan lokasi pengujian sangat mempengaruhi konsep stabilitas ini. Semakin luas wilayah dan lokasi pengujian menyebabkan kondisi lokasi pengujian semakin beragam, sehingga konsep stabilitas ini menjadi tidak berarti. Stabil secara biologi tetap memperhatikan produktivitas dari genotipe yang diuji. Genotipe yang stabil dan memiliki produktivitas lebih tinggi dibanding ratarata seluruh genotipe merupakan genotipe yang akan dipilih dan diproduksi lebih lanjut. Genotipe stabil biologis yang dapat direkomendasikan untuk dilepas sebagai varietas ialah genotipe I5-10-1-1 (4.05 ton ha-1) karena rata-rata
41
produktivitas GKG nya masih lebih tinggi dibanding rata-rata total produktivitas GKG dari seluruh genotipe uji.
Analisis Stabilitas Finlay dan Wilkinson Uji stabilitas Finlay dan Wilkinson (1963) merupakan metode analisis stabilitas yang didasarkan pada koefisien regresi (bi) antara produktivitas rata-rata suatu genotipe dengan rata-rata umum semua genotipe yang diuji di semua lingkungan pengujian. Pengujian ini mewakili konsep kedua yang dikemukakan oleh Lin et al. (1986). Konsep adaptabilitas dan stabilitas dapat dijelaskan dengan metode ini. Pengelompokan nilai koefisien regresi bi berdasarkan Finlay dan Wilkinson sebagai standar stabilitas dalam tiga kelompok, yaitu (1) stabilitas di bawah rata-rata, jika nilai bi > 1; (2) stabilitas setara rata-rata, jika nilai bi = 1; (3) stabilitas di atas rata-rata, jika nilai bi < 1. Uji stabilitas Finlay dan Wilkinson yang dilakukan pada kompilasi data musim pertama dan kedua menunjukkan hanya genotipe III3-4-6 yang nilai koefisien regresi (bi) tidak berbeda nyata dengan 1 (1.059) (Tabel 11). Produktivitas GKG genotipe ini selalu tidak berbeda jauh dengan nilai indeks lingkungannya. Produktivitas secara umum memang masih lebih rendah dari
produktivitas (ton ha-1)
indeks lingkungannya (Gambar 7).
8.00
bi = 1
6.00 4.00 2.00 0.00 -2.00
0
1
2 3 4 indeks lingkungan (ton ha-1) III3-4-6-1
5
6
rata-rata lingkungan
Gambar 7 Pola linier produktivitas genotipe-genotipe padi gogo yang tergolong stabil luas berdasarkan metode Finlay & Wilkinson. Genotipe yang dikategorikan memiliki stabilitas di bawah rata-rata yaitu genotipe WI-44, IW67, IW-56, Batutegi dan Way Rarem dengan nilai bi berturut-
42
turut 1.66, 1.46, 1.45, 1.18 dan 1.31. Genotipe dengan stabilitas di bawah rata-rata secara umum nilai prediksi produktivitas pada indeks lingkungan 2 ton ha-1 berkisar di bawah 2 ton ha-1 kecuali genotipe Batutegi dan Way Rarem yang sedikit berada di atas 2 ton ha-1. Genotipe-genotipe ini mampu menunjukkan penampilan yang sangat baik ketika indeks lingkungan 6 ton ha-1, semua genotipe menunjukkan produktivitas di atas 6 ton ha-1. Secara umum genotipe di bawah rata-rata mampu menunjukkan performa pada lingkungan optimal (Gambar 8).
rata-rata produktivitas (ton ha-1)
10.00
bi>1
WI-44
8.00 IW-67 6.00 IW-56 4.00
Batutegi 2.00 Way Rarem 0.00 -2.00
0
1
2
3
4
5
6
rata-rata lingkungan
indeks lingkungan (ton ha-1) -4.00
Gambar 8 Pola linier produktivitas genotipe-genotipe padi gogo yang tergolong stabil di bawah rata-rata berdasarkan metode Finlay & Wilkinson. Genotipe
I5-10-1-1,
GI-7,
O18-b-1,
IG-19,
IG-38
dan B13-2e
dikategorikan sebagai genotipe stabil di atas rata-rata. Nilai koefisien regresinya berturut-turut yaitu, 0.57, 0.81, 0.28, 0.71, 0.86 dan 0.66. Genotipe tersebut mampu beradaptasi di lingkungan marginal. Produktivitas GKG menunjukkan pada indeks lingkungan 2 ton ha-1 semua genotipe tersebut secara umum mampu mempertahankan produktivitasnya mendekati indeks lingkungan atau bahkan ada yang lebih tinggi, namun pada indeks lingkungan 6 ton ha-1 hasilnya tidak mampu mencapai hasil setara dengan indeks lingkungan (Gambar 9). Galur I5-10-1-1 , GI-7, O18-b-1 memiliki hasil rata-rata GKG yang lebih tinggi dari pada indeks lingkungan 2 ton ha-1. Potensi produktivitas I5-10-1-1 pada indeks lingkungan 2 ton ha-1 mampu mencapai 2.92 ton ha-1. Hal ini menunjukkan galur I5-10-1-1 mampu menunjukkan produktivitas yang baik di lingkungan marginal yang selama ini merupakan lingkungan budi daya padi gogo. Hubungan nilai koefisien
43
keragaman genotipe (CVi) dengan nilai koefisien regresi genotipe I5-10-1-1 menunjukkan galur tersebut memiliki potensi produktivitas tinggi dan stabil pada lingkungan budi daya padi gogo (indeks lingkungan 2-4 ton ha-1). Galur I5-10-1-1 dapat menunjukkan produktivitas yang lebih unggul dari rata-rata hingga indeks
rata-rata produktivitas (ton ha-1)
lingkungan 4 ton ha-1 (Gambar 9).
7.00
I5-10-1-1
bi<1
6.00
GI-7
5.00
O18-b-1 4.00
IG-19
3.00 2.00
IG-38
1.00
B13-2e
0.00
0
1
2
3
4
indeks lingkungan (ton ha-1)
5
6
rata-rata lingkungan
Gambar 9 Pola linier produktivitas genotipe-genotipe padi gogo yang tergolong stabil di atas rata-rata berdasarkan metode Finlay & Wilkinson.
Analisis Stabilitas Eberhart dan Russel Deviasi dari regresi nilai rata-rata genotipe pada indeks lingkungan menjadi dasar analisis stabilitas Eberhart dan Russel (1966). Genotipe stabil jika deviasi kuadrat tengah dari garis regresinya adalah kecil. Parameter stabilitasnya dilihat dari nilai deviasi regresi (δ2) dan koefisien determinasi (Ri2) genotipe yang diuji. Genotipe dikatakan stabil jika memiliki nilai δ2 kecil (tidak berbeda nyata dengan 0) dan Ri2 besar (mendekati 1). Uji stabilitas Eberhart dan Russel selama dua musim tanam menunjukkan tidak ada genotipe yang stabil. Galur I5-10-1-1, O18-b-1 dan B13-2e merupakan tiga genotipe dengan nilai deviasi dari regresi terkecil diantara galur lain namun masih berbeda nyata dengan 0. Koefisien determinasi ketiga genotipe tersebut berturut-turut 0.224, 0.865 dan 0.159 dimana hanya nilai koefisien determinasi O18-b-1 yang mendekati 1 (Tabel 11). Nilai koefisien determinasi mengindikasikan bahwa model regresi yang digunakan untuk memperkirakan kestabilan ke tiga galur tersebut model regresi galur-galur lainnya.
lebih baik dibanding
44
Hubungan nilai koefisien regresi dengan nilai deviasi regresi dapat digunakan untuk menentukan stabilitas suatu genotipe (Gambar 10). Nilai koefisien regresi galur III3-4-6-1 tidak berbeda nyata dengan 1. Galur B13-2e, I510-1-1 dan O18-b-1 memiliki nilai deviasi regresi yang kecil. Gambar 11 menunjukkan tidak ada galur yang stabil berdasarkan kriteria uji stabilitas Eberhart dan Russel yang berdasarkan nilai koefisien regresi dan deviasi regresi. Galur yang dikategorikan stabil berdasarkan uji stabilitas Eberhart dan Russel harus memenuhi dua syarat dimana galur harus mempunyai nilai koefisien regresi tidak berbeda nyata dengan 1 dan mempunyai deviasi regresi tidak berbeda nyata dengan 0. 1.80
bi > 1 ( beradaptasi pada lingkungan optimal) WI-44
1.20 1.00
IW-56 Way Rarem
Batutegi
Stabilitas hasil rendah
1.40
0.80
IW-67
Stabilitas hasil tinggi
(bi) Koefisien regresi genotipe
1.60
III3-4-6-1 IG-38
GI-7
B13-2e
IG-19,
0.60 I5-10-1-1
0.40
0.20
O18-b-1
bi < 1 (beradaptasi pada lingkungan marginal )
0.00
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
(δ2) deviasi dari regresi kuadrat tengah
Gambar 10 Interpretasi dari parameter bi dan δ2 pada pendekatan regresi untuk menentukan stabilitas. Analisis Stabilitas Model AMMI Sidik ragam gabungan untuk menganalisis stabilitas model AMMI mengacu pada Tabel 9. Berdasarkan sidik ragam gabungan produktivitas GKG tersebut, pengaruh genotipe, lingkungan, dan interaksi genotipe dan lingkungan berbeda sangat nyata (Tabel 9). Analisis AMMI dilakukan karena adanya
45
pengaruh interaksi genotipe lingkungan yang nyata berdasarkan sidik ragam gabungan.
Pola
interaksi
genotipe
lingkungan
dari
analisis
AMMI
divisualisasikan dengan biplot. Sidik ragam AMMI menunjukkan nilai interaksi (G x E) berbeda nyata. Hasil penguraian terhadap interaksi (G x E) menjadi 11 interaksi antar komponen utama (IAKU) menunjukkan hanya IAKU1 sampai IAKU5 yang menunjukkan berbeda nyata. Kontribusi ragam yang nyata dapat diterangkan oleh masingmasing komponen utama interaksi (KUI) berturut-turut adalah 64.05%, 15.60%, 7.19%, 5.15% dan 3.47% (Tabel 12).
Tabel 12 Sidik ragam AMMI 14 lingkungan (7 lokasi selama dua musim tanam) Sumber keragaman
Derajat bebeas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Nilai F
Nilai P
Kontribusi terhadap keragaman (%) 34.88 6.31 17.05 28.49
Lokasi 13 553.98 42.61 93.37 0.000 Ulangan/Lokasi 42 100.26 2.39 5.23 0.000 Galur 11 270.74 24.61 53.93 0.000 Galur x Lokasi 143 452.51 3.16 6.93 0.000 IAKU1 23 289.85 12.60 27.61 0.000 IAKU2 21 70.61 3.36 7.37 0.000 IAKU3 19 32.52 1.71 3.75 0.000 IAKU4 17 23.29 1.37 3.00 0.000 IAKU5 15 15.72 1.05 2.30 0.004 IAKU6 13 7.76 0.60 1.31 0.204 IAKU7 11 5.44 0.49 1.08 0.373 IAKU8 9 4.66 0.52 1.13 0.336 IAKU9 7 1.46 0.21 0.46 0.865 IAKU10 5 1.09 0.22 0.48 0.793 IAKU11 3 0.11 0.04 0.08 0.972 Galat 462 210.85 0.46 13.27 Total 671 1588.34 Keterangan : Nilai P=Peluang, IAKU=Interaksi Analisis Komponen Utama.
Kontribusi terhadap keragaman G xE (%)
64.05 15.60 7.19 5.15 3.47 1.71 1.20 1.03 0.32 0.24 0.02
Sidik ragam AMMI (Tabel 12) menunjukkan bahwa interaksi analisis komponen utama yang nyata ada lima dengan nilai F sebesar 27.61, 7.37, 3.75, 3.00 dan 2.30 serta serta memiliki nilai peluang nyata masing-masing sebesar 0.000, 0.000, 0.000, 0.000 dan 0.004. Hal ini menunjukkan bahwa produksi GKG padi gogo hasil kultur antera dalam penelitian ini dapat diterangkan dengan model AMMI5.
46
Berdasarkan sidik ragam AMMI tersebut, semua komponen ragam menunjukkan interaksi yang nyata. Hal ini memperkuat bahwa model AMMI 5 adalah model terbaik untuk menjelaskan fenomena interaksi genotipe-genotipe padi gogo hasil kultur antera tersebut dengan lingkungannya. Model AMMI 5 mampu menerangkan keragaman pengaruh interaksi sebesar 95.46%. Namun karena keterbatasan visualisasi grafik yang hanya mampu menampilkan grafik dua dimensi, maka model yang digambarkan dalam tesis ini adalah AMMI 2. Biplot pengaruh interaksi model AMMI2 untuk produksi GKG genotipe-genotipe padi gogo hasil kultur antera disajikan pada Gambar 11. Biplot pengaruh interaksi model AMMI2 mampu menjelaskan pengaruh interaksi sebesar 79.65%.
Gambar 11 Biplot pengaruh interaksi model AMMI2 untuk produktivitas GKG genotipe-genotipe padi gogo hasil kultur antera pada dua musim tanam. Keterangan: SKB (Sukabumi), IND (Indramayu), PWJ (Purworejo), WNS (Wonosari), TBG (Taman Bogo), MLG (Malang), NTR (Natar); Angka 1 dibelakang inisial lokasi merujuk pada pengujian musim hujan tahun 2010/2011 dan angka 2 merujuk pada pengujian musim 2011/2012.Kode Galur B1(III3-4-61), B2(I5-10-1-1), B3(WI-44), B4(GI-7), B5(O18-b-1), B6(IW-67), B7(IG-19), B8(IG-38), B9(IW-56), B10(B13-2e), B11(Batutegi) dan B12 (Way Rarem).
Biplot interaksi antar komponen utama 1 dan komponen utama 2 dapat menjelaskan galur-galur mana saja yang stabil pada seluruh lokasi uji atau spesifik pada lokasi tertentu. Mattjik dan Sumertajaya (2006) menyatakan bahwa suatu galur atau genotipe dikatakan stabil apabila berada dekat dengan sumbu atau titik
47
(0,0). Adapun galur atau genotipe yang berada jauh dari sumbu tetapi berdekatan dengan garis lokasi, maka galur tersebut tergolong galur-galur yang spesifik lokasi. Berdasarkan hal tersebut maka hanya varietas pembanding Batutegi saja yang stabil pada seluruh lokasi pengujian. Galur B13-2e (B10) spesifik lokasi Malang pada musim pengujian pertama, IG-19 (B7) dan IG-38 (B8) spesifik lokasi Natar musim pengujian kedua dan III3-4-6 (B1) spesifik lokasi Purworejo musim pengujian pertama. Rekapitulasi analisis stabilitas disajikan dalam Tabel 13. Berdasarkan uji stabilitas yang telah dilakukan terhadap sepuluh galur yang diuji dalam penelitian ini, hanya Batutegi yang dikategorikan stabil pada semua lingkungan pengujian berdasarkan analisis AMMI. Berdasar dua uji stabilitas Francis-Kannenberg dan Eberhart-Russel genotipe I5-10-1-1, O18-b-1 dan B13-2e merupakan genotipe yang dikategorikan stabil statis. Satu galur yang dikategorikan stabil dinamis yaitu III3-4-6 berdasarkan metode Finlay-Wilkinson. Hasil ini menunjukkan tidak terdapat genotipe yang terkategori dalam stabil dinamis maupun statis. Uji stabilitas yang telah dilakukan menunjukkan bahwa galur-galur tersebut hanya dapat dijelaskan oleh satu konsep stabilitas saja. Secara kuantitas, dari 4 metode analisis stabilitas hasil tidak ada genotipe yang terkategori stabil oleh dua atau lebih metode analisis. Genotipe III3-4-6-1 terkategori stabil dinamis (Tabel 13). Pelepasan varietas menghendaki adanya galur stabil statis. Galur stabil statis mengakomodasi perbedaan lingkungan yang luas namun umumnya galur stabil statis tidak memiliki produktivitas tinggi. Pelepasan varietas perlu mengakomodasi stabilitas dinamis sebagai dasar pemilihan galur. Konsep ini dapat menjelaskan stabilitas dan adaptabilitas suatu genotipe, walaupun demikian potensi produktivitas suatu galur tetap harus diperhatikan mengingat tujuan pelepasan varietas masih pada peningkatan produktivitas secara kuantitas.
48
Tabel 13 Rekapitulasi analisis stabilitas pada genotipe-genotipe yang diuji Analisis Stabilitas Genotipe
Francis Kannenberg
Finlay-Wilkinson
EberhartRussel
AMMI
III3-4-6-1
Tidak stabil statis
Stabil dinamis
Tidak stabil dinamis
Spesifik Purworejo musim pertama
I5-10-1-1
Stabil statis
Beradaptasi lingkungan marginal Beradaptasi lingkungan optimal Beradaptasi lingkungan marginal Beradaptasi lingkungan marginal Beradaptasi lingkungan optimal Beradaptasi lingkungan marginal Beradaptasi lingkungan marginal Beradaptasi lingkungan optimal Beradaptasi lingkungan marginal Beradaptasi lingkungan optimal Beradaptasi lingkungan optimal
Tidak stabil dinamis Tidak stabil dinamis Tidak stabil dinamis Tidak stabil dinamis Tidak stabil dinamis Tidak stabil dinamis Tidak stabil dinamis Tidak stabil dinamis Tidak stabil dinamis Tidak stabil dinamis Tidak stabil dinamis
WI-44
Tidak stabil statis
GI-7
Tidak stabil statis
O18-b-1
Stabil statis
IW-67
Tidak stabil statis
IG-19
Tidak stabil statis
IG-38
Tidak stabil statis
IW-56
Tidak stabil statis
B13-2e
Stabil statis
Batutegi
Tidak stabil statis
Way Rarem
Tidak stabil statis
Tidak stabil Tidak stabil Tidak stabil Tidak stabil Tidak stabil Spesifik Natar musim kedua Spesifik Natar musim kedua Tidak stabil Spesifik Malang musim pertama Stabil luas Tidak stabil
Keragaan Karakter Agronomi
Keragaan Umum Hasil analsis ragam gabungan pada karakter agronomi menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap semua karakter yang diamati. Pengaruh lokasi juga menunjukkan hal yang serupa. Interaksi antara genotipe dan lokasi (G × E) ini juga berpengaruh secara nyata (Tabel 14). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan respon genotipe-genotipe yang diuji dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perbedaan pengaruh interaksi genotipe lingkungan sangat tergantung pada susunan genetik suatu genotipe dan kompleksitas lingkungan yang mempengaruhinya.
49
Tabel 14
Analisis ragam gabungan pengaruh genotipe (G), lokasi (E), dan interaksi G × E karakter agronomi padi gogo pada 7 lokasi selama dua musim Karakter
Jumlah Anakan Total Jml Anakan Produktif Tinggi Tanaman Umur Berbunga Umur Panen Panjang Malai Gabah Total Gabah Isi Gabah Hampa Persentase Gabah Isi Bobot 1000 butir
F Hit Genotipe
F Hit Lokasi
230.36** 183.86** 163.15** 770.82** 1014.62** 64.73** 214.76** 126.85** 166.42** 39.76** 618.54**
152.61** 133.36** 52.30** 903.16** 2684.86** 42.42** 98.14** 128.46** 97.11** 123.20** 67.73**
F Hit G × E 5.08** 4.67** 2.79** 14.92** 23.50** 3.88** 4.29** 5.93** 7.48** 5.53** 7.33**
Keterangan : ** berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 %.
Nilai rata-rata karakter agronomi pada tujuh lokasi selama dua musim pengujian disajikan pada Tabel 15. Galur IW-67 memiliki jumlah anakan total dan anakan produktif paling banyak dibanding galur uji lain (24.6 anaka/rumpun dan 19.2 anakan/rumpun). Way Rarem dan Batutegi memiliki tinggi tanaman paling tinggi (128.8 cm dan 128.6 cm). Genotipe dengan umur berbunga kurang dari 80 HST dan memiliki umur panen kurang dari 100 HST ialah: GI-7, O18-b-1, IG-19 dan IG-38. Umur berbunga dan umur panen menunjukkan hasil yang serupa dengan penelitian Sulaeman (2012). Batutegi merupakan genotipe dengan jumlah gabah total per malai paling banyak (266.6 bulir/malai) dan galur III3-4-6-1 (160.6 bulir/malai) merupakan galur dengan gabah total per malai terbanyak dibanding galur uji lain. WI-44 merupakan genotipe dengan persen gabah isi paling tinggi (81.3%). Galur GI-7 dan IG-38 merupakan dua galur dengan bobot 1000 butir terbaik (38.2 gram dan 38.1 gram).
50
Tabel 15 Variabel komponen hasil rata-rata dari 7 lokasi selama dua musim tanam Galur
JAT
JAP
(Anakan/ rumpun)
(Anakan/ rumpun)
TT (cm)
UB (HST)
UP (HST)
PM (cm)
GT (bulir/ malai) 160.6 154.9 124.5 115.1 173.7 98.8 112.1 115.8 102.6 145.1 266.6
PGI (%)
B1000 (gram)
III3-4-6-1 13.1 10.5 121.9 85.9 109.9 26.9 70.1 28.5 I5-10-1-1 16.9 14.2 112.6 82.1 105.9 24.2 80.3 22.1 WI-44 21.1 16.3 100.8 82 106.4 24.3 81.3 27.7 GI-7 10.8 9.6 110.8 74.6 98.6 22.4 78.1 38.2 O18-b-1 12.1 10.6 88.1 75.4 99.0 22.9 72.6 28.4 IW-67 24.6 19.2 80.3 85.1 108.2 22.4 78.1 27.8 IG-19 11.5 9.9 111.7 75.0 99.5 22.2 77.9 37.9 IG-38 11.9 10.2 113.4 74.5 99.8 22.6 78.5 38.1 IW-56 23.5 18.2 79.9 86.3 108.8 22.5 78.8 26.9 B13-2e 16.7 14.3 117.9 85.5 108.9 23.5 80.4 24.4 Batutegi 12.2 10.1 128.6 93.4 118.4 25.3 67.3 24.7 Way 167.5 79.9 14.2 11.8 128.8 87.9 112.2 22.5 26.9 Rarem Keterangan: JAT=Jumlah Anakan Total; JAP=Jumlah Anakan Produktif; TT=Tinggi Tanaman; UB=Umur Berbunga; UP=Umur Panen; PM=Panjang Malai; GT=Gabah Total; PGI=Persentase Gabah Isi; B1000=Bobot 1000 Butir; HST=Hari Setelah Tanam.
Tinggi Tanaman Karakter tinggi tanaman menjadi perhatian dalam tingkat penerimaan petani terhadap varietas baru. Tingkat kerebahan dan efisiensi dalam pemanenan sangat dipengaruhi oleh tinggi tanaman. Petani kurang menyenangi varietas yang berpostur tinggi karena mudah rebah, sedangkan varietas berpostur pendek menyulitkan proses pemotongan rumpun padi saat panen. Keragaan tinggi tanaman rata-rata dari genotipe yang diuji pada tujuh lokasi pengujian tersaji pada Tabel 16. Rata-rata tinggi tanaman genotipe-genotipe di 7 lokasi selama dua musim pengujian dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 3, yaitu : (1) < 90 cm, genotipe-genotipe yang termasuk kelompok ini adalah O18-b-1, IW-67, dan IW56 (2) 91 – 115 cm, yaitu genotipe I5-10-1-1, WI-44, GI-7, IG-19, dan IG-38 (3) > 115 cm, yaitu genotipe III3-4-6-1, B13-2e, Batutegi, dan Way Rarem. Genotipe yang memiliki tinggi tanaman sedang, yaitu kurang dari 130 cm merupakan ideotipe tanaman varietas unggul padi gogo yang berdaya hasil tinggi berdasarkan Vergara et al. (1973). Sepuluh galur yang diuji pada penelitian ini memiliki tinggi tanaman rata-rata kurang dari 130 cm, sehingga memenuhi sebagai ideotipe varietas unggul. Penggolongan yang berbeda berdasarkan IRRI (1996)
51
menyatakan bahwa galur dengan tinggi tanaman di bawah 100 cm dikategorikan pendek. Galur O18-b-1, IW-67 dan IW-56 (88.1 cm, 80.3 cm dan 79.9 cm) merupakan galur dengan tinggi tanaman kategori pendek. Genotipe dengan tinggi di atas 125 cm merupakan galur yang dikategorikan tinggi. Way Rarem dan Batutegi (128.8 cm dan 128.6 cm) merupakan genotipe dengan tinggi tanaman kategori tinggi. Hasil penelitian Sulaeman (2012) pada musim pertama menunjukkan galur O18-b-1, IW-67, dan IW-56 merupakan galur dengan tinggi tanaman < 90 cm dan hal ini konsisten dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini. Galur dengan tinggi tanaman antara 91 – 110 cm ialah I5-10-1-1, WI-44, GI-7, IG-19, dan IG38 sesuai dengan pengujian musim pertama. Tinggi tanaman Batutegi di lokasi Purworejo musim pertama mampu mencapai 192.7 cm (Sulaeman 2012). Batutegi merupakan genotipe dengan tinggi tanaman paling tinggi dibanding genotipe uji lain. Lokasi Purworejo musim pertama berinteraksi baik dengan Batutegi ditandai dengan rata-rata tinggi tanaman yang tinggi di lokasi tersebut. Tinggi tanaman yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerebahan dan mengakibatkan kehilangan hasil yang cukup tinggi. Menurut Manurung et al. (1988), tanaman yang tinggi tanpa didukung oleh batang yang kuat dan kokoh akan rebah pada masa-masa awal pertumbuhan dan menjadi rebah sekali pada pemupukan N dosis tinggi. Tanaman yang rebah dapat menyebabkan tanaman banyak menghasilkan gabah hampa Perbedaan rata-rata tinggi tanaman di tiap lingkungan menunjukkan adanya interaksi nyata genotipe dengan lingkungan. Lingkungan Purworejo musim pertama menunjukkan ratarata tinggi tanaman tertinggi dan pada musim kedua menjadi yang terendah bersama dengan lokasi Indramayu musim pertama (Tabel 16). Semua lokasi menunjukkan hasil yang berbeda dari musim pertama dan kedua. Hal ini menandakan kondisi yang sangat berbeda terjadi pada pengujian musim pertama dan kedua. Pengaruh lingkungan tumbuh, cuaca, perbedaan musim mampu mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Tabel 16 Rata-rata tinggi tanaman di 7 lokasi selama dua musim Galur
LOKASI SKB1
SKB2
IND1
IND2
PWJ1
PWJ2
WNS1
WNS2
________________________________________________________________________________
cm
TBG1
123.1
b
103.9 ab
122.9 b
142.4 bc
102.7 b
119.3 a
119.7
b
98.6
I5-10-1-1
95.0
cd
108.2
c
93.3
cd
110.7 d
143.9 bc
108.2 ab
101.7 bcd
117.1
b
WI-44
92.9
cd
105.9
c
76.1
e
102.6 e
132.2 bc
88.3
c
95.2
100.5
GI-7
97.6
cd
107.6
c
108.5 a
111.3 d
125.5 bc
79.9
cd
106.3 abc
O18-b-1
75.9
e
88.1
d
89.0
d
98.75 e
104.7 bc
77.6
cd
88.7
d
IW-67
80.6
e
81.4
d
64.2
f
84.45 f
107.8 bc
74.6
d
89.8
d
IG-19
90.7
d
102.3
c
107.3 a
110.3 d
119.4 bc
84.6
cd
IG-38
98.4
c
105.4
c
104.9 ab
114.7 cd
125.9 bc
88.6
IW-56
76.6
e
84.75
d
65.3
f
88.7
103.2 c
74.4
B13-2e
120.0 b
120.3
b
92.0
d
121.3 bc
153.8 abc
101.6 b
Batutegi
138.1 a
135.2
a
101.1 abc
132.4 a
192.7 a
Way Rarem
133.3 a
124.5
b
96.9
bcd
131.3 a
156.7 ab
EF
91.8
I
110.8 CDE 134.0 A
Rata-rata lingkungan
102.7
GH 107.2
KK (%)
4.51
4.73
6.17
4.38
23.12
MLG1
MLG2
NTR1
NTR2
________________________________________________________________________________
III3-4-6-1 133.2 a
f
TBG2
Rata-rata galur
125.2 a
126.2
b 136.4 a
113.6 bc
123.4 bc
121.9
b
104.4 c
121.1 a
127.2
b 116.8 c
100.0 e
106.3 d
112.6
d
c
90.9
d
105.1 b
109.5
c
98.6
92.9
100.8
e
123.1
ab
98.6
cd
129.8 a
123.4
b 99.9
e
107.6 cd
124.1 bc
110.8
d
91.6
c
71.1
e
93.9
c
87.0
d 73.4
g
86.8
f
93.6
e
88.1
f
77.3
d
65.2
e
81.6
d
88.8
d 85.7
f
78.5
g
76.9
f
80.3
g
113.1 abc
128.2
ab
98.7
cd
127.8 a
127.4
b 106.6 de
103.6 de
121.9 bc
111.7
d
c
118.2 a
129.4
ab
99.0
cd
126.1 a
123.1
b 109.4 cd
106.7 d
120.5 c
113.4
d
d
89.9
78.8
d
74.6
e
78.2
86.0
d 83.9
78.1
71.2
79.9
g
117.2 a
118.5
b
121.1 b
121.4 a
121.5
b 127.0 b
117.0 b
115.7 c
117.9
c
104.7 b
116.0 ab
135.6
a
131.1 a
124.9 a
143.8
a
131.8 ab
129.7 a
135.3 a
128.6
a
117.4 a
121.8 a
128.7
ab
133.7 a
131.2 a
139.1
a
139.0 a
130.9 a
129.5 ab
128.8
a
91.9
106.4 EFG
112.4
CD 98.9
113.8 BC
116.9
B 110.0 CDE
7.98
I
8.95
cd
d
7.05
7.04
cd
H
5.57
d
3.77
110.1 cd
4.66
f
e
g
e
f
104.2 FG 109.3 DE 4.09
5.14
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. SKB = Sukabumi, IND = Indramayu, PWJ = Purworejo, WNS = Wonosari, TBG = Taman Bogo, MLG = Malang, NTR = Natar. Angka 1 dan 2 di belakang inisial lokasi merujuk pada musim pengujian; 1 (musim pengujian 2010/2011), 2 (musim pengujian 2011/2012).
53
Jumlah Anakan Total dan Jumlah Anakan Produktif Jumlah anakan total per rumpun tiap genotipe menunjukkan pola yang bervariasi di tiap lokasi pengujian (Tabel 17). Karakter jumlah anakan selain dipengaruhi secara genetik, juga dipengaruhi oleh lingkungan (Soemartono 1993). Penjelasan lain mengenai faktor lingkungan yang mempengaruhi jumlah anakan menurut Arraudeau dan Vergara (1988) adalah curah hujan, jarak tanam, teknik budidaya, dan ketersediaan unsur hara. Rata-rata jumlah anakan total seluruh galur di Indramayu musim pertama dan Purworejo musim kedua lebih sedikit dibanding lokasi lain dan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%. Hal ini terkait dengan kondisi budidaya, kondisi tanah dan curah hujan di lingkungan tersebut yang kurang mendukung. Lain halnya di Malang dan Wonosari, rata-rata jumlah anakan total seluruh galur relatif banyak. Faktor lingkungan di kedua lokasi tersebut cukup mendukung untuk pertumbuhan anakan. Las et al. (2004) mengkategorikan varietas padi menjadi 4 kelompok berdasarkan jumlah anakan total per rumpun, yaitu varietas dengan jumlah anakan sedikit (< 10), sedang (11 - 15), banyak (16 - 20), dan sangat banyak (> 20). Berdasarkan pengelompokan tersebut maka genotipe III3-4-6-1, GI-7, O18-b-1, IG-19, IG-38, Batutegi, dan Way Rarem termasuk genotipe dengan jumlah anakan sedang. Genotipe I5-10-1-1 dan B13-2e memiliki jumlah anakan banyak, sedangkan WI-44, IW-67, dan IW-56 termasuk genotipe dengan jumlah anakan sangat banyak (Tabel 16). Kush (2000) menyebutkan ciri morfologi padi tipe baru antara lain ialah jumlah anakan sedikit (8-10 anakan) dengan anakan produktif/menghasilkan malai, malai lebat (200 - 250 butir gabah/malai) dan memiliki batang kokoh/kuat. Jumlah anakan produktif berkisar antara 10.8 – 24.6 anakan total/rumpun. Jumlah anakan total per rumpun di lokasi Indramayu dan Purworejo tergolong paling sedikit dibanding lokasi uji lain. Hal ini dikarenakan karakteristik lingkungan dan tingkat curah hujan di lokasi tersebut yang kecil. Lokasi Malang memiliki curah hujan yang cukup sehingga rata-rata jumlah anakan total per rumpunnya banyak
Tabel 17 Rata-rata jumlah anakan total di 7 lokasi selama dua musim LOKASI Galur SKB1
SKB2
IND1
IND2
PWJ1
PWJ2
WNS1
WNS2
TBG1
TBG2
MLG1
MLG2
NTR1
NTR2
Rata-rata galur
_______________________________________________________________________ anakan/rumpun _____________________________________ _________________________________________ III3-4-6-1 11.4 de
15.7
de
7.8
fg
10.0
ef
16.0
d
7.3
de
7.6
c
12.3
de
14.6
bcd
13.9
bc
12.6
de
19.8
cd
15.9
defg 19.3
ef
13.1
f
I5-10-1-1
11.8 d
18.7
cd
9.5
def
15.0
ab
21.8
b
10.7
abc
14.4
ab
16.5
bcd
16.3
bc
15.7
b
15.8
c
25.7
b
18.9
cd
25.9
c
16.9
d
WI-44
15.0 bc
21.4
bc
12.3
bc
13.7
bc
27.9
ab
12.0
ab
18.9
a
20.9
a
25.3
a
19.6
a
20.6
b
25.8
b
29.1
bc
33.0
b
21.1
c
GI-7
8.6
e
10.2
f
7.4
fg
9.2
ef
13.3
de
6.9
e
10.1
bc
11.9
e
10.0
d
11.3
d
10.6
e
14.9
e
11.3
fgh
16.3
f
10.8
h
O18-b-1
9.6
de
13.6
e
6.7
g
10.3
ef
12.4
ef
8.5
cde
9.9
bc
13.8
de
12.4
bcd
10.9
d
11.9
de
17.3
de
12.5
efgh 19.3
ef
12.1
g
IW-67
19.9 a
27.4
a
16.9
a
15.9
a
33.5
a
13.1
a
20.3
a
20.9
a
27.0
a
18.9
a
24.2
a
30.8
a
35.3
ab
40.7
a
24.6
a
IG-19
8.1
e
9.2
f
7.1
g
8.4
f
10.7
f
9.4
bcde
10.9
bc
14.0
de
11.4
cd
11.5
d
12.2
de
17.9
de
10.7
h
19.9
ef
11.5
gh
IG-38
9.8
de
9.9
f
6.7
g
9.7
ef
12.5
def
10.2
abcd
10.6
bc
14.7
cde
10.7
d
11.3
d
11.1
e
20.4
cd
11.0
gh
17.8
ef
11.9
g
IW-56
20.5 a
24.5
ab
13.4
b
15.1
ab
28.2
ab
12.9
a
17.7
a
18.5
abc
26.7
a
19.7
a
22.5
ab
30.5
a
37.2
a
41.2
a
23.5
b
B13-2e
14.8 b
19.1
c
10.7
cd
12.7
cd
19.1
c
11.1
abc
15.3
ab
20.0
ab
17.3
b
14.1
bc
14.9
cd
23.4
bc
18.3
cd
23.8
cd
16.7
d
Batutegi
10.3 cd
12.6
ef
8.4
efg
9.6
ef
14.2
def
8.7
cde
11.5
bc
10.7
e
11.5
cd
13.0
cd
12.5
de
14.6
e
15.9
def
17.5
ef
12.2
g
Way Rarem
11.8 d
14.0
e
10.3
cde
11.1
de
19.6
c
11.4
abc
10.6
bc
13.5
de
14.0
bcd
bc
13.3
cde
18.2
de
15.8
de
21.0
de
14.2
e
Rata-rata lingkungan
12.6 GH 16.3
D
9.7
I
11.7
H
19.1
C
10.2
I
13.1
G
15.6
DE
16.4
D
F
15.2
EF
21.6
B
19.3
C
24.6
A
KK (%)
10.5
13.9
14.53
10.3
13.05
18.37
29.26
17.5
19.73
15.0 14.6 9.59
13.52
14.11
14.36
9.18
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. SKB = Sukabumi, IND = Indramayu, PWJ = Purworejo, WNS = Wonosari, TBG = Taman Bogo, MLG = Malang, NTR = Natar. Angka 1 dan 2 di belakang inisial lokasi merujuk pada musim pengujian; 1 (musim pengujian 2010/2011), 2 (musim pengujian 2011/2012).
55
Lingkungan Natar musim kedua menunjukkan rata-rata jumlah anakan total paling tinggi dibandingkan lingkungan lain. Lingkungan Indramayu musim pertama dan Purworejo musim kedua menunjukkan rata-rata jumlah anakan total paling rendah. Perbedaan musim di tiap lokasi pengujian berpengaruh pada jumlah anakan total di tiap lingkungan ditunjukkan dengan tidak adanya pola yang sama di suatu lokasi pada musim yang berbeda (Tabel 17). Tabel 18 menyajikan rata-rata jumlah anakan produktif per rumpun. Genotipe-genotipe dengan jumlah anakan produktif > 15 antara lain: WI-44, IW67, dan IW-56 menunjukkan keragaan jumlah anakan produktif per rumpun paling banyak diantara genotipe yang lainnya, yaitu berturut-turut 19.2, 18.2 dan 16.3. Ideotipe tanaman varietas unggul padi gogo yang berdaya hasil tinggi berdasarkan Vergara et al. (1973) adalah genotipe dengan daya merumpun sedang (11-15) tetapi produktif. Genotipe yang sesuai ideotipe varietas padi gogo berdaya hasil tinggi yaitu: I5-10-1-1, B13-2e dan Way Rarem. Genotipe dengan jumlah anakan rendah (< 11) antara lain: III3-4-6-1, GI-7, O18-b-1, IG-19, IG-38 dan Batutegi. Hasil pengujian musim pertama oleh Sulaeman (2012) menunjukkan hasil serupa dengan pengujian yang telah dilakukan. Galur WI-44, IW-67, dan IW-56 merupakan galur dengan jumlah anakan produktif paling banyak. Galur dengan anakan produktif banyak berpotensi menghasilkan produktivitas tinggi. Lingkungan Natar musim kedua masih menunjukkan rata-rata jumlah anakan produktif paling tinggi dibanding lingkungan uji lain. Hal ini dikarenakan curah hujan yang cukup pada lokasi Natar selama musim pengujian kedua. Lingkungan
Indramayu
musim
pertama
dan
Purworejo
musim
kedua
menunjukkan rata-rata jumlah anakan produktif paling rendah (Tabel 18). Curah hujan yang rendah di kedua lingkungan tersebut dan ketersediaan air selama fase pembentukan anakan menjadi faktor yang mempengaruhi pembentukan anakan total. Perbedaan musim di tiap lokasi pengujian berpengaruh pada jumlah anakan total di tiap lingkungan ditunjukkan dengan tidak adanya pola yang sama di suatu lokasi pada musim yang berbeda. Genotipe dengan jumlah anakan total tinggi cenderung mampu menghasilkan anakan produktif yang tinggi pula.
Tabel 18 Rata-rata jumlah anakan produktif di 7 lokasi selama dua musim Galur
LOKASI SKB1
SKB2
IND1
IND2
PWJ1
PWJ2
WNS1
WNS2
TBG1
TBG2
MLG1
MLG2
NTR1
NTR2
Rata-rata galur
_________________________________________________________ anakan/rumpun _______________________________________________________________ III3-4-6-1 8.2
de 10.1 c
I5-10-1-1 10.1 d
15.7 a
7.4
def
9.6
ef
13.6 d
6.4
e
7.4
8.2
def
14.5
ab
20.0 b
9.4
abc
f
11.8
cd
10.9 bcd
9.6
d
10.2
d
16.2
cd
11.0 defg 15.3
de
10.5
f
13.1 cde 15.4
abc
13.4 bc
10.3
d
13.9
bc
19.1
bc
13.8 cd
21.9
c
14.2
d
WI-44
12.4 bc 14.3 ab
11.3 b
13.6
bc
22.2 ab
10.1 ab
20.0 ab
19.4
a
14.1 b
14.9
b
13.8
bc
19.7
b
15.4 bc
27.9
b
16.3
c
GI-7
7.4
e
c
6.6
ef
9.5
ef
13.3 de
6.5
e
9.9
def
11.2
cd
9.1
9.5
d
9.6
d
12.5
ef
8.4
12.4
e
9.6
g
O18-b-1
9.0
de 12.7 b
6.2
ef
10.3
def
10.8 ef
7.9
bcd
9.9
def
13.7
bcd
11.2 bcd
9.8
d
10.3
d
12.1
ef
10.0 efgh 15.1
de
10.6
f
IW-67
17.8 a
15.5 a
14.9 a
15.9
a
24.3 a
10.7 a
22.5 a
19.2
a
17.7 a
16.8
a
18.1
a
22.9
a
17.6 ab
34.6
a
19.2
a
IG-19
6.7
e
8.6
c
6.6
ef
8.5
f
10.3 f
7.4
cde
9.7
def
13.4
bcd
10.0 cd
9.2
d
11.0
cd
14.8
de
7.4
h
14.6
de
9.9
fg
IG-38
8.5
de 8.9
c
6.1
f
9.9
ef
11.8 def
7.6
bcde
10.0 def
14.0
bcd
8.6
9.4
d
10.0
d
15.7
d
8.1
gh
13.9
de
10.2
fg
IW-56
16.5 a
16.3 a
12.0 b
15.2
ab
22.2 ab
9.8
abc
16.2 bc
16.9
ab
19.1 a
15.8
ab
16.3
ab
22.8
a
19.5 a
36.2
a
18.2
b
B13-2e
13.1 b
13.8 ab
10.3 bc
11.9
dc
17.4 c
9.1
abcd
14.4 cd
18.8
a
14.2 b
12.5
c
11.8
cd
19.6
b
13.7 cd
19.7
c
14.3
d
Batutegi
10.3 cd 9.5
c
8.3
de
8.7
ef
12.4 def
6.8
de
9.4
10.1
d
10.0 cd
10.3
d
9.9
d
11.6
f
11.3 def
13.8
de
10.1
fg
Way Rarem
10.1 d
9.6
c
9.3
cd
10.6
de
16.8 c
8.9
abcd
10.5 def
12.9
bcd
11.9 bcd
9.8
d
11.0
cd
15.7
d
11.6 de
16.6
d
11.8
e
12
DE
8.9
G
11.5
EF
16.2 B
8.4
G
12.7 D
14.7
C
12.5 D
11.5
EF
12.1
DE 16.9
B
12.3 DE
20.2
A
10.97
18.43
23.12
18.19
16.68
10.93
15.14
9.94
Rata-rata 10.8 lingkungan
KK (%)
13.91
F
9.2
13.69
14.65
10.29
ef
d
d
15.03
11.98
fgh
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. SKB = Sukabumi, IND = Indramayu, PWJ = Purworejo, WNS = Wonosari, TBG = Taman Bogo, MLG = Malang, NTR = Natar. Angka 1 dan 2 di belakang inisial lokasi merujuk pada musim pengujian; 1 (musim pengujian 2010/2011), 2 (musim pengujian 2011/2012).
57
Umur Berbunga dan Umur Panen Umur berbunga dan umur panen tiap genotipe berbeda di tiap lingkungan pengujian. Pola umum keragaan umur berbunga dan panen hampir sama antar genotipe pada tiap lingkungan. Genotipe dengan umur berbunga lebih cepat tentu akan menunjukkan umur panen yang lebih cepat juga. Kisaran rata-rata umur berbunga genotipe-genotipe di tujuh lokasi selama dua musim pengujian adalah antara 74 – 93 hari setelah tanam (HST). Genotipe Batutegi memiliki umur ratarata berbunga paling lama yaitu pada 93.4 HST. Genotipe dengan umur berbunga paling pendek yaitu IG-38, GI-7, O18-b-1 dan IG-19 (< 80 HST) (Tabel 19). Umur berbunga menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Sulaeman (2012). Empat galur (IG-38, GI-7, O18-b-1 dan IG-19) mempunyai umur berbunga paling cepat. Perbedaan umur berbunga antar lokasi tidak terlalu signifikan. Zen (1995) menyatakan bahwa umur berbunga dan umur panen memiliki nilai heritabilitas yang tinggi, sehingga tampak bahwa umur berbunga dan umur panen lebih dominan dipengaruhi oleh faktor genetik. Lingkungan mempunyai faktor yang kecil dalam mempengaruhi umur berbunga dan umur panen. Lingkungan dengan umur berbunga paling lama ditunjukkan oleh lokasi Malang pada musim kedua dimana mencapai 101.3 HST. Lingkungan Natar baik musim pertama maupun kedua tidak berbeda nyata dan menunjukkan rata-rata umur berbunga paling cepat dibandingkan lingkungan lain yaitu 76.0 dan 76.3 HST (Tabel 19). Kondisi lingkungan di Natar musim pertama dan kedua mendukung untuk pertumbuhan tiap genotipe secara optimal. Umur panen dari tiap genotipe di tujuh lakasi pengujian selama dua musim ditunjukkan pada Tabel 20. Siregar (1981) mengelompokkan umur panen varietas padi menjadi empat kelompok, yaitu sangat genjah (< 110 hari), genjah (110 – 115 hari), sedang (115 – 125 hari), dan berumur dalam (125 – 150 hari). Berdasarkan pengelompokan tersebut maka seluruh genotipe yang diuji tergolong sangat genjah, kecuali Way Rarem yang tergolong genjah dan Batutegi yang tergolong sedang (Tabel 20). Ideotipe tanaman varietas unggul padi gogo yang berdaya hasil tinggi adalah tanaman dengan umur genjah (110-115 hari).
Tabel 19 Rata-rata umur berbunga di 7 lokasi selama dua musim Galur
LOKASI SKB1
SKB2
IND1
IND2
PWJ1
PWJ2
WNS1
WNS2
TBG1
TBG2
MLG1
MLG2
NTR1
NTR2
Rata-rata galur
____________________________________________________________Hari setelah tanam__________________________________________________________________ III3-4-6-1
90.0 b
89.8
d
84.0
cd
72.5
b
86.0
c
82.3
cde
81.0
d
85.8
c
87.0
ab
82.5
d
96.0
bc
108.5
b
82.0 b
77.5
c
85.9
cd
I5-10-1-1
86.0 ef
85
f
80.0
e
70.8
cb
81.0
e
78.0
fg
80.0
d
84.0
de
82.0
ab
81.0
e
88.0
e
100.5
e
79.0 c
75.0
d
82.1
f
WI-44
85.0 f
87
e
80.0
e
70.0
cb
81.0
e
80.0
def
80.0
d
83.3
e
82.0
b
79.3
f
89.0
e
98.5
f
79.0 c
74.5
de
82
f
GI-7
75.0 h
77.5
h
71.0
f
63.0
d
74.0
f
79.0
efg
74.0
g
72.0
g
71.0
c
70.5
h
78.0
f
97.8
f
69.0 d
74.0
de
74.6
h
O18-b-1
71.0 i
82
g
72.0
f
63.0
d
80.0
e
81.5
cdef
77.0
e
78.0
f
69.0
c
75.3
g
77.0
f
92.8
g
65.0 e
73.5
e
75.4
g
IW-67
90.0 b
91.5
c
83.0
de
72.5
b
83.0
d
83.0
cde
77.0
e
83.5
de
88.0
a
84.0
c
92.0
d
104.8
cd
81.0 b
77.8
c
85.1
e
IG-19
77.0 g
75.8
h
72.0
f
63.0
d
75.0
f
80.0
def
76.0
ef
72.5
g
70.0
c
70.5
h
78.0
f
97.5
f
69.0 d
75.0
d
75.0
gh
IG-38
75.0 h
76.3
h
71.0
f
63.0
d
74.0
f
75.3
g
75.0
fg
72.3
g
68.0
c
70.5
h
78.0
f
97.5
f
70.0 d
77.5
c
74.5
h
IW-56
89.0 bc
93.5
b
86.0
cd
72.5
b
84.0
d
84.5
bc
86.0
b
84.8
cd
87.0
ab
82.8
cd
97.0
b
103.3
d
81.0 b
78.8
b
86.3
c
B13-2e
88.0 cd
93.3
b
89.0
ab
72.3
b
84.0
d
87.5
b
83.0
c
83.3
e
82.0
ab
83.5
cd
94.0
c
105.3
c
79.0 c
73.8
e
85.5
de
Batutegi
95.0 a
99.3
a
91.0
a
80.0
a
93.0
a
93.5
a
95.0
a
103.3
a
85.0
ab
95.5
a
103.0 a
110.5
a
83.0 a
81.5
a
93.4
a
Way Rarem
87.0 de
93.8
b
87.0
abc
71.0
cb
90.0
b
84.0
bcd
95.0
a
96.0
b
87.0
ab
90.3
b
97.0
b
99.0
ef
78.0 c
77.0
c
87.9
b
Rata-rata lingkungan
84.0 D
87.0
C
80.0
GH
69.5
J
82.0
EF
82.4
E
81.0
F
83.2
D
80.0
H
80.5
G
89.0
B
101.3
A
76.0 I
76.3
I
KK (%)
1.09
1.34
1.30
0.88
3.27
1.87
1.10
3.07
1.47
1.06
4.67
1.05
1.34
1.61
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. SKB = Sukabumi, IND = Indramayu, PWJ = Purworejo, WNS = Wonosari, TBG = Taman Bogo, MLG = Malang, NTR = Natar. Angka 1 dan 2 di belakang inisial lokasi merujuk pada musim pengujian; 1 (musim pengujian 2010/2011), 2 (musim pengujian 2011/2012).
59
Galur dengan umur panen tercepat dimiliki GI-7 (98.6 HST) diikuti O18b-1, IG-19 dan IG-38. Uji Duncan pada taraf 5 % menunjukkan umur panen GI-7 dan O18-b-1 tidak berbeda serta umur panen IG-19 tidak berbeda dengan IG-38. Varietas pembanding Batutegi memiliki umur panen paling lama (118.4 HST) diikuti Way Rarem dengan umur panen 112.2 HST (Tabel 20).
Hasil yang
diperoleh sesuai dengan penelitian Sulaeman (2012) dimana galur GI-7, O18-b-1, IG-19 dan IG-38 merupakan galur dengan umur panen tercepat. Kondisi
lingkungan
mempengaruhi
waktu
panen.
Pemeringkatan
lingkungan berdasarkan umur panen yang berbeda dengan umur berbunga dikarenakan tiap lingkungan mengalami perbedaan iklim mikro selama umur berbunga hingga panen. Lingkungan Indramayu pada musim kedua menunjukkan bahwa rata-rata umur panen dari semua genotipenya hanya 90.7 HST. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan Indramayu musim kedua mampu mendukung pengisian bulir dan pematangan bulir dengan cepat. Intensitas cahaya dan suhu yang optimal menjadikan lingkungan Indramayu musim kedua menunjukkan ratarata umur panen yang lebih cepat dibanding lingkungan lain. Lingkungan dengan rata-rata umur panen < 100 HST antara lain: Indramayu musim kedua, Wonosari musim pertama dan Taman Bogo musim pertama dengan rata-rata umur panen berturut-turut 90.7 HST, 93.0 HST dan 99.0 HST (Tabel 20). Waktu rata-rata antara berbunga sampai panen berkisar antara 22.5 – 25.3 hari. Selang waktu dari umur berbunga ke umur panen merupakan periode pengisian biji. Periode pengisian biji tercepat dimiliki galur IW-56 dan periode pengisian biji terlama dimiliki oleh IG-38 (Tabel 21). Efisiensi pembentukan hasil galur WI-44 (45.20 kg/hari) tertinggi dibanding Way Rarem dan Batutegi maupun galur uji lain. Hal ini menunjukkan galur WI-44 merupakan tanaman paling efisien dalam pembentukan hasil. Galur III3-4-6-1 (29.32 kg/hari) dan O18-b-1 (30.13 kg/hari) merupakan galur dengan efisiensi pembentukan hasil terendah disbanding galur uji lain (Tabel 21). Umur tanaman galur O18-b-1 yang pendek (99 HST) tidak diimbangi rata-rata produktivitas yang tinggi sehingga memiliki efisiensi pembentukan hasil yang rendah.
Tabel 20 Rata-rata umur panen di 7 lokasi selama dua musim Galur
LOKASI SKB1
SKB2
IND1
IND2
PWJ1
PWJ2
WNS1
WNS2
TBG1
TBG2
MLG1
MLG2
NTR1
NTR2
Rata-rata galur
____________________________________________________________Hari setelah tanam_________________________________________________________________________ III3-4-6-1
119.0
b
114.3
c
105.0 bcd
92.0
c
111.0 b 113.8
cd
94.0
c
101.0
de
105.0 b
111.0
c
126.0 a
135.5
ab
110.0
b
102.5
c
109.9
c
I5-10-1-1
114.0
c
111.5
d
101.0 e
92.0
c
100.0 e
112.8
cd
90.0
d
100.5
e
100.0 c
109.0
d
120.0 c
132.5
cd
101.0
de
99.8
e
105.9
f
WI-44
115.0
c
111.8
d
103.0 de
92.0
c
100.0 e
116.0
bc
90.0
d
102.5
cd
100.0 c
108.8
d
118.0 d
132.8
bcd
101.0
d
102.3
c
106.4
f
GI-7
103.0
d
102.3
f
92.0
f
85.0
d
94.0
g 111.8
cd
84.0
g
96.0
f
90.0
d
100.5
f
106.0 e
128.0
f
92.0
g
97.0
f
98.6
i
O18-b-1
103.0
d
105.5
e
93.0
f
85.0
d
95.0
f
114.5
cd
88.0
e
96.0
f
88.0
d
104.5
e
106.0 e
122.5
g
91.0
g
95.0
g
99.0
hi
IW-67
119.0
b
113.5
cd
104.0 cd
92.0
c
102.0 d 113.0
cd
89.0
de
102.0
cde
106.0 b
110.0
cd
121.0 c
133.8
bc
107.0
c
102.8
c
108.2
e
IG-19
103.0
d
100.8
f
92.0
f
85.0
d
94.0
g 116.0
bc
86.0
f
96.5
f
90.0
d
100.5
f
107.0 e
129.5
ef
94.0
f
99.5
e
99.5
gh
IG-38
103.0
d
100.8
f
93.0
f
85.0
d
94.0
g 120.0
b
85.0
fg
96.0
f
91.0
d
100.8
f
107.0 e
130.3
def
94.0
f
99.3
e
99.8
g
IW-56
120.0
ab
115.3
c
105.0 bc
92.0
c
99.0
e
111.5
cd
97.0
b
103.0
c
106.0 b
110.3
cd
121.0 c
134.0
bc
107.0
c
102.0
c
108.8
d
B13-2e
115.0
c
119.3
b
106.0 bc
93.8
b
110.0 c
110.0
d
96.0
c
112.0
b
100.0 c
110.3
cd
123.0 b
131.5
cde
100.0
e
101.0
d
108.9
d
Batutegi
120.0
a
126
a
112.0 a
102.0
a
113.0 a
134.5
a
108.0 a
115.5
a
111.0 a
127.0
a
127.0 a
137.5
a
115.0
a
109.3
a
118.4
a
Way Rarem
115.0
c
119.3
b
107.0 b
92.0
c
113.0 a
112.0
cd
108.0 a
113.0
b
106.0 b
117.8
b
124.0 b
133.0
bcd
107.0
c
105.8
b
112.2
b
Rata-rata lingkungan
112.0
D
111.7
D
101.8 I
90.7
L
102.0 G 115.5
C
93.0
102.8
F
99.0
109.2
E
117.0 B 131.7
A
101.0
H
101.3
HI
KK (%)
0.59
1.63
1.11
1.42
0.82
2.67
1.15
K
1.10
1.89
J
0.88
0.85
1.38
0.73
0.58
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. SKB = Sukabumi, IND = Indramayu, PWJ = Purworejo, WNS = Wonosari, TBG = Taman Bogo, MLG = Malang, NTR = Natar. Angka 1 dan 2 di belakang inisial lokasi merujuk pada musim pengujian; 1 (musim pengujian 2010/2011), 2 (musim pengujian 2011/2012).
61
Tabel 21 Rata-rata periode pengisian biji dan efisiensi laju pembentukan hasil Genotipe
Produksi -1 (ton ha )
Umur tanaman (hari)
Periode pengisian biji (hari)
3.24 d
109.9 e
23.9 cdef
29.32
g
4.05 c
105.9 f
23.9 cdef
38.41
c
4.88 a
106.4 f
24.4 bc
45.20
a
3.49 d
98.6 i
24.0 cde
35.38 ef
2.95 e
99.0 hi
23.6 def
30.13
g
4.53 b
108.2 e
23.1 fg
41.63
b
3.38 d
99.5 gh
24.4 bc
34.20
f
3.50 d
99.8 g
25.3
a
35.28 ef
4.10 c
108.8 d
22.5
g
37.53 cde
3.87 c
108.9 d
23.5 ef
35.55 def
4.60 b
118.4 a
25.0 ab
38.10 cd
III3-4-6-1 I5-10-1-1 WI-44 GI-7 O18-b-1 IW-67 IG-19 IG-38 IW-56 B13-2e Batutegi Way Rarem
Efisiensi (kg/hari)
4.98 a 24.3 bcd 44.10 ab 112.2 b Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %.
Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi proses tersebut. Seluruh genotipe yang diuji memiliki umur panen yang lebih cepat dibanding varietas cek yaitu Batutegi (118 HST) dan Way Rarem (112 HST). Waktu panen yang tergolong genjah menjadi pertimbangan pemilihan galur bagi petani. Genotipe padi gogo dengan umur sangat genjah (< 110 hari) memungkinkan ditanam dua kali siklus panen dalam satu musim hujan. Hal ini dapat meningkatkan produktivitas GKG per musimnya.
Panjang Malai Rata-rata panjang malai genotipe-genotipe pada tujuh lokasi selama dua musim pengujian disajikan pada Tabel 22. Panjang malai merupakan karakter yang dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah biji per malai. Semakin panjang malai diharapkan semakin banyak jumlah biji. Kisaran rata-rata panjang malai yang diuji di tujuh lokasi adalah 22.2 cm sampai dengan 26.9 cm. Genotipe IG-19 memiliki panjang malai terpendek (22.2 cm), sedangkan genotipe III3-4-61 memiliki panjang
malai terpanjang (26.9 cm). Uji Duncan pada taraf 5%
menunjukkan genotipe yang tergolong malai tidak berbeda dengan IG-19 antara lain: GI-7, IW-67, IG-38, IW-56 dan Way Rarem.
62
Rusdiansyah (2006) mengelompokkan panjang malai dalam tiga kelompok, yaitu pendek (≤ 20 cm), sedang (20 – 30 cm), dan panjang (> 30 cm). Berdasarkan kriteria tersebut maka seluruh genotipe yang diuji termasuk kategori malai dengan ukuran sedang. Galur GI-7, IW-67, IG-38, IW-56 memiliki ukuran panjang malai tidak berbeda nyata dari Way Rarem. Galur I5-10-1-1, WI-44 dan B13-2e memiliki panjang malai lebih panjang dibanding Way Rarem. Hanya genotipe III3-4-6-1 yang memiliki ukuran malai lebih panjang dibanding kedua varietas pembanding. Hasil pengujian Sulaeman (2012) menunjukkan hasil yang sama dengan hasil yang diperoleh. Galur III3-4-6-1 merupakan galur dengan panjang malai terpanjang dibanding galur uji lain. Pengaruh lingkungan terhadap panjang malai menunjukkan pemeringkatan panjang malai yang berbeda di tiap lingkungan. Uji Duncan menunjukkan empat lingkungan memiliki rata-rata panjang malai terpanjang yang tidak berbeda nyata antara lain: Purworejo musim pertama (24.76 cm), Malang musim pertama (24.98 cm), Wonosari musim pertama (25.10 cm) dan Taman Bogo musim kedua (25.31 cm). Lingkungan dengan panjang malai terpendek dimiliki oleh lingkungan Taman Bogo (21.60 cm) dan Sukabumi musim pertama (21.59 cm) (Tabel 22).
Gabah Isi, Persentase Gabah Isi dan Gabah Hampa Jumlah gabah isi per malai tiap galur yang diuji ditunjukkan pada Tabel 23. Varietas Batutegi memiliki rata-rata jumlah gabah isi per malai paling tinggi. Galur I5-10-1-1 dan O18-b-1 memiliki rata-rata gabah isi per malai (127.1 dan 129.4 bulir/malai) tidak berbeda nyata dengan varietas Way Rarem (135.4 bulir/malai). Galur IW-67 memiliki rata-rata gabah isi per malai paling rendah (78.3 bulir/malai). Potensi gabah isi per malai tertinggi (388 bulir/malai) dicapai varietas Batutegi di lingkungan Malang musim kedua dan Wonosari musim kedua. Lingkungan Malang musim pertama dan Wonosari musim kedua menunjukkan rata-rata gabah isi per malai paling tinggi (172.7 dan 179.6 bulir/malai).
Tabel 22 Rata-rata panjang malai di 7 lokasi selama dua musim Galur
LOKASI SKB1
SKB2
IND1
IND2
PWJ1
PWJ2
WNS1
WNS2
TBG1
TBG2
MLG1
MLG2
NTR1
NTR2
Rata-rata galur
_____________________________________________________________________cm _______________________________________________________________________________ III3-4-6-1
24.40 a
28.19
a
28.03 a
26.76
a
30.02 a
27.66 b
27.92 a
24.78
bcd
24.18 ab
27.76
ab
27.55 a
25.48
a
25.86 a
27.70
a
26.9
a
I5-10-1-1
22.30 abc
23.17
bcd
25.14 bc
21.80
cde
26.47 b
24.66 cd
26.25 b
24.08
bcdef
22.91 c
25.81
bc
25.94 b
23.28
bc
24.02 bc
24.34
cd
24.2
c
WI-44
24.13 a
25.53
ab
24.00 bcd
23.02
bcd
26.31 b
23.44 e
25.10 bcd
22.73
cdefg
21.97 c
26.96
abc
25.68 b
23.00
bc
23.69 b
24.91
c
24.3
c
GI-7
20.67 bcd
20.58
dc
21.38 ef
21.41
de
23.07 d
20.03 f
23.84 d
24.20
bcde
21.28 cd
25.58
bc
25.35 bc
21.10
d
23.70 de
23.28
defg
22.4
ef
O18-b-1
21.42 bcd
20.99
dc
23.15 cde
23.12
bc
22.23 d
23.75 de
25.31 bcd
22.32
defg
20.17 def
29.16
a
23.73 cd
20.55
d
20.71 f
23.95
cde
22.9
e
IW-67
19.78 d
21.08
dc
23.12 cde
22.84
bcd
24.57 c
23.41 e
24.12 cd
21.35
efg
19.10 f
21.54
e
24.98 bc
22.60
c
22.56 cd
23.15
efg
22.4
ef
IG-19
20.23 cd
19.54
d
21.52 ef
20.97
e
22.56 d
20.12 f
24.43 bcd
26.10
ab
19.95 def
25.06
bcd
25.45 bc
20.88
d
21.50 ef
22.88
efg
22.2
f
IG-38
20.85 bcd
22.81
bcd
21.04 f
20.96
e
22.68 d
20.80 f
24.47 bcd
25.55
bc
21.42 cd
25.22
bcd
25.35 bc
20.75
d
21.68 de
22.61
fg
22.6
ef
IW-56
19.88 cd
22.44
bcd
22.44 def
23.53
b
24.56 c
23.40 e
23.91 d
20.83
g
19.43 ef
23.87
cde
24.00 bc
22.35
c
22.67 c
22.28
g
22.5
ef
B13-2e
21.31 bcd
24.48
abc
23.20 cde
21.90
bcde
24.67 c
25.73 c
24.95 bcd
21.46
efg
21.06 cde
25.41
bcd
23.73 cd
23.05
bc
23.76 b
23.75
def
23.5
d
Batutegi
23.02 ab
22.73
bcd
25.29 b
23.55
b
25.58 bc
28.83 a
25.79 bc
28.49
a
25.06 a
25.09
bcd
25.78 b
23.63
b
25.52 a
26.16
b
25.3
b
Way Rarem
21.06 bcd
19.60
d
22.66 def
21.79
cde
24.41 c
25.62 c
25.08 bcd
21.15
fg
22.69 bc
22.25
de
22.20 d
20.73
d
23.51 bc
22.78
efg
22.5
ef
Rata-rata lingkungan
21.59 F
22.59
DE
23.41 BC
22.64
DE
24.76 A
23.95 B
25.10 A
23.59
BC
21.60 F
25.31
A
24.98 A
22.28
E
23.27 CD
23.98
B
KK (%)
6.85
11.40
5.41
4.44
3.59
3.22
4.37
7.77
4.98
8.02
4.47
2.79
2.74
3.02
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. SKB = Sukabumi, IND = Indramayu, PWJ = Purworejo, WNS = Wonosari, TBG = Taman Bogo, MLG = Malang, NTR = Natar. Angka 1 dan 2 di belakang inisial lokasi merujuk pada musim pengujian; 1 (musim pengujian 2010/2011), 2 (musim pengujian 2011/2012).
64
Persentase gabah isi per malai genotipe-genotipe yang diuji di tujuh lokasi selama dua musim disajikan dalam Tabel 24. Galur WI-44 memiliki persentase gabah isi paling tinggi, yaitu 81.3%. Galur lain yang secara uji Duncan tdak berbeda dengan WI-44 adalah galur B13-2e (80.4%) dan I5-10-1-1 (80.3%). Batutegi merupakan genotipe dengan rata-rata persentase gabah isi per malai paling rendah yaitu 67.3%. Pengisian biji dipengaruhi faktor lingkungan tumbuh dan tingkat serangan hama penyakit. Selama penelitian kehilangan hasil biji oleh hama penyakit tidak berpengaruh nyata. Pengisian biji yang baik diindikasikan dengan persen gabah isi yang tinggi. Semakin tinggi persentase gabah isi menunjukkan proses pengisian biji yang baik. Persentase gabah isi juga mampu mengindikasikan galur-galur yang mampu berproduksi baik, ditunjukkan dengan tingkat bulir bernasnya. Kondisi lingkungan pengujian berinteraksi nyata terhadap genotipe yang diuji. Lingkungan pengujian Wonosari pada musim pertama menunjukkan nilai rata-rata persentase gabah isi yang paling tinggi (95.5%). Persentase gabah isi di lingkungan Wonosari musim kedua masih menunjukkan penampilan yang baik (91.4%). Hal ini menunjukkan respon rata-rata persentase gabah isi yang baik dari tiap genotipe yang ditanam pada lokasi Wonosari baik musim pertama maupun kedua. Kondisi lingkungan yang kurang mendukung pada rata-rata persentase gabah isi ditunjukkan oleh lingkungan Indramayu dan Purworejo pada musim kedua dengan rata-rata persentase gabah isinya 66.6% dan 67.1% (Tabel 24). Galur dengan rata-rata gabah total tertinggi ialah O18-b-1 dibanding galur uji lain (173.7 bulir/malai). Batutegi merupakan genotipe dengan rata-rata galur terbanyak (266.6 bulir/malai). Perbandingan jumlah gabah total dengan panjang malai dapat digunakan untuk mengetahui kerapatan biji per malai. Kerapatan biji tertinggi dimiliki oleh galur O18-b-1 dibanding galur uji lain. Galur IW-67 dan IW-56 merupakan galur dengan kerapatan biji paling rendah (Tabel 25). Kerapatan biji bisa digunakan sebagai indikasi bentuk biji dari masing-masing galur. Hasil penelitian yang diperoleh konsisten dengan penelitian Sulaeman (2012).
Tabel 23 Rata-rata gabah isi per malai di 7 lokasi selama dua musim Rata-rata galur
LOKASI
Galur SKB1
SKB2
IND1
IND2
PWJ1
PWJ2
WNS1
WNS2
TBG1
TBG2
MLG1
MLG2
NTR1
NTR2
____________________________________________________________________bulir/malai ______________________________________________________________________________ III3-4-6-1
52.0 e
112.2 ab
114.5b
67.7 def
127.2 bc
I5-10-1-1
97.5 abc
114.4 ab
106.3b
77.1 de
151.0 a
WI-44
89.2 bcd
95.0 bcd
76.4c
76.1 de
124.5 bc
GI-7
68.2 de
68.9 ef
84.0c
56.4 fg
64.2 e
119.7 a
83.2 cde
106.9b
92.3 bc
123.8 bc
IW-67
51.8 e
65.2 ef
76.1c
60.6 fg
93.6 d
IG-19
63.3 de
57.8 f
78.2c
51.4 g
IG-38
78.7 cd
65.1 ef
82.8c
53.1 fg
IW-56
53.6 e
78.3 def
74.0c
B13-2e
87.5 bcd
121.0 a
110.2b
125.8 a
158.3a 121.3b
O18-b-1
Batutegi
111.4 ab
Way Rarem
83.6 cd
103.3 abc
Rata-rata lingkungan
79.7 G
90.8 F
KK (%)
20.18
16.52
99.1EF 12.36
162.2 bc
160.5
bcd
73.6 cde
118.8 abc
171.2
bcd
133.1 bc
164.5 bc
211.5
b
88.9 bc
141.9 a
197.6
bc
94.9 cd
118.4 bc
148.5
cde
68.3 def
86.7 cd
155.6
56.9 e
137.0 bc
149.9
cde
61.8 defg
112.1 abc
160.6
101.8 c
180.5 bc
209.9
b
77.2 cd
145.0 a
191.8
bcd
73.9 de
107.6 c
106.8
e
49.0 g
45.5 e
121.2
f
63.8 e
59.0 e
148.1 bc
162.3
bcd
56.5 efg
112.2 abc
152.1
71.7 e
55.6 e
135.5 bc
169.2
bcd
59.4 efg
106.1 bc
166.7
63.1 efg
99.8 d
72.3 de
113.5 c
118.4
de
51.5 fg
67.6 de
81.9 cd
107.6 cd
107.9 c
159.4 bc
161.0
bcd
85.7 bc
121.8 a
125.7 bc
191.1 a
287.3 a
388.0
a
96.8 b
135.1 ab
130.4 b
196.4 b
174.8
74.9 G
107.3 DE
94.1 F
179.6
13.1
13.86
84.8 cd 100.2 c
15.79
159.2 29.34
B
17.58
111.6 c
133.1 bc
115.9 c
116.1 bcde
96.8 d
116.1 d
127.1 b
def
110.1 bcde
85.0 e
110.1 de
102.8 d
cdef
95.2 cde
72.4 f
95.2 ef
91.3 e
90.5 de
144.5 ab
129.4 b
86.2 de
73.1 f
86.2 fg
78.3 g
def
88.1 de
71.8 f
88.1 fg
89.5 ef
cde
92.6 cde
70.2 f
92.6 f
92.8 e
128.4
ef
76.1 e
74.1 f
76.1 g
81.9 fg
103.8 bc
174.3
bcd
123.5 bcd
117.3 c
123.5 cd
118.9 c
132.9 a
135.7 ab
242.7
a
388.0 a
157.4 a
157.5 a
194.5 a
bc
101.9 b
110.6 abc
210.8
ab
143.3 b
144.2 b
143.3 ab
135.4 b
A
75.5 G
107.2 DE
172.7
A
133.1 C
97.0 F
113.9 D
14.43
20.10
14.54
144.5 b
19.42
6.90
9.23
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. SKB = Sukabumi, IND = Indramayu, PWJ = Purworejo, WNS = Wonosari, TBG = Taman Bogo, MLG = Malang, NTR = Natar. Angka 1 dan 2 di belakang inisial lokasi merujuk pada musim pengujian; 1 (musim pengujian 2010/2011), 2 (musim pengujian 2011/2012).
Tabel 24 Persentase gabah isi di 7 lokasi selama dua musim Galur
LOKASI SKB1
SKB2
IND1
IND2
PWJ1
PWJ2
WNS1
WNS2
TBG1
TBG2
MLG1
MLG2
NTR1
NTR2
Rata-rata galur
______________________________________________________________ % ________________________________________________________________________ III3-4-6-1
64.4 e
71.1
bcd
78.3 ab
55.6
e
67.4 cd
52.7
d
91.5 e
84.8
b
61.6 c
70.1
bc
73.2 de
59.4 c
75.0 c
75.8
c
70.1
f
I5-10-1-1
82.5 abcd
82.2
a
83.2 ab
70.7
abcd
81.8 ab
84.5
a
96.2 abc
93.9
a
74.7 b
74.2
abc
74.9 cde
63.7 c
77.1 c
84.0
b
80.3
abc
WI-44
87.7 ab
80.0
ab
79.1 ab
75.6
a
86.6 a
82.8
a
98.9 a
93.5
a
79.8 ab
57.7
d
85.1 a
65.1 c
84.2 ab
82.2
b
81.3
a
GI-7
74.1 d
73.2
bcd
81.3 ab
65.4
bcd
69.3 cd
64.9
bcd
94.5 cde
91.0
a
79.4 ab
71.4
abc
77.8 abcd
81.5 a
82.4 ab
86.6
ab
78.1
cd
O18-b-1
74.8 cd
64.0
d
71.7 cd
53.7
e
73.6 bc
62.0
bcd
95.2 bcd
93.0
a
64.9 c
72.2
abc
79.7 abcd
67.8 bc
66.2 d
77.2
c
72.6
e
IW-67
75.1 cd
69.2
cd
84.9 a
72.8
abc
79.9 ab
74.0
ab
97.0 abc
89.7
ab
75.0 b
43.3
e
81.6 abc
81.3 a
83.5 ab
86.2
ab
78.1
cd
IG-19
78.7 bcd
70.5
cd
78.2 ab
65.2
bcd
62.3 d
67.5
bc
94.5 cde
91.0
a
76.1 b
81.0
a
73.8 cde
80.0 a
81.7 b
90.0
a
77.9
d
IG-38
84.4 abc
72.6
bcd
77.1 bc
64.7
cd
68.3 cd
58.9
cd
95.2 bcd
90.5
ab
81.6 ab
80.0
ab
76.8 bcd
80.0 a
81.6 b
87.6
ab
78.5
bcd
IW-56
76.6 cd
78.3
abc
79.8 ab
66.9
bcd
89.4 a
67.5
bc
97.7 abc
88.5
ab
75.5 b
65.1
cd
75.1 cde
74.3 ab
84.1 ab
84.3
b
78.8
bcd
B13-2e
88.9 a
72.8
bcd
83.4 ab
73.3
ab
72.1 bcd
63.3
bcd
92.7 de
92.0
a
88.9 a
79.1
ab
85.0 a
62.6 c
87.0 a
84.9
ab
80.4
ab
Batutegi
65.4 e
52.4
e
69.1 d
63.7
d
64.5 cd
57.3
cd
95.1 bcd
94.5
a
64.5 c
65.1
cd
68.7 e
51.8 d
69.1 d
60.6
d
67.3
g
Way Rarem
79.9 abcd
72.7
bcd
79.1 ab
72.1
abcd
65.3 cd
70.1
bc
98.0 ab
94.7
a
80.0 ab
72.8
abc
84.1 ab
79.6 a
85.2 ab
84.4
b
79.9
abcd
Rata-rata lingkungan
77.7 D
71.6
FG
78.8 D
66.6
I
73.4 EF
67.1
I
95.5 A
91.4
B
75.2 E
69.3
H
78.0 D
70.6 GH
79.8 D
82.0
C
KK (%)
7.53
7.83
5.16
7.76
8.99
11.94
2.17
4.12
8.63
8.97
6.11
8.40
3.79
4.15
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. SKB = Sukabumi, IND = Indramayu, PWJ = Purworejo, WNS = Wonosari, TBG = Taman Bogo, MLG = Malang, NTR = Natar. Angka 1 dan 2 di belakang inisial lokasi merujuk pada musim pengujian; 1 (musim pengujian 2010/2011), 2 (musim pengujian 2011/2012).
67
Bentuk gabah dipengaruhi dominan oleh faktor genetik. Identifikasi bentuk gabah dilakukan secara visual oleh Sulaeman (2012). Kelompok galur dengan bentuk gabah besar dan bulat yaitu galur GI-7, IG-19, dan IG-38. Kelompok galur dengan bentuk gabah panjang dan ramping yaitu galur WI-44, IW-56, dan IW-67. Kelompok galur dengan bentuk ramping kecil yaitu galur I510-1-1, O18-b-1, dan B13-2e. Nilai kerapatan malai Batutegi, Way Rarem, dan O18-b-1 tergolong tinggi (Tabel 25). Batutegi dan Way Rarem memiliki bentuk gabah agak bulat dan kecil. Galur-galur GI-7, IG-19, dan IG-38 memiliki nilai rata-rata kerapatan malai 5 bulir/cm. Ketiga galur tersebut memiliki bentuk gabah agak bulat dan besar. Tiga galur dengan kerapatan malai paling rendah yaitu IW67, IW-56, dan WI-44 (4.4, 4.5 dan 5.1 bulir/cm) memiliki bentuk gabah yang ramping dan panjang. Galur III3-4-6-1, B13-2e, dan I5-10-1-1 memiliki bentuk gabah bulat dengan kisaran nilai kerapatan malai 6 – 6.3 bulir/cm (Tabel 25). Tabel 25 Rata-rata tingkat kerapatan malai Genotipe III3-4-6-1 I5-10-1-1 WI-44 GI-7 O18-b-1 IW-67 IG-19 IG-38 IW-56 B13-2e Batutegi Way Rarem
Panjang Malai (cm) 26.9 a 24.2 c 24.3 c 22.4 ef 22.9 e 22.4 ef 22.2 f 22.6 ef 22.5 ef 23.5 d 25.3 b 22.5 ef
Jumlah Gabah Total (bulir/malai) 160.6 cd 154.9 d 124.5 e 115.1 g 173.7 b 98.8 h 112.1 g 115.8 fg 102.6 h 145.1 e 266.6 a 167.5 cb
Kerapatan malai (bulir/cm) 6.0 d 6.3 c 5.1 e 5.1 e 7.6 b 4.4 f 4.9 e 5.1 e 4.5 f 6.2 cd 10.5 a 7.4 b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %.
Hasil pengujian menunjukkan galur III3-4-6-1 memiliki gabah hampa tertinggi dibanding galur uji lain (44.7 bulir/malai). Hasil ini sesuai dengan penelitian Sulaeman (2012). Genotipe Batutegi merupakan genotipe dengan gabah total, gabah isi dan gabah hampa terbanyak. Gabah hampa per malai dari dua
68
belas genotipe yang diuji selama dua musim ditunjukkan pada Tabel 26. Galur dengan rata-rata gabah hampa per malai paling rendah antara lain: WI-44 (21.7 bulir/malai), IW-67 (20.5 bulir/malai), IG-19 (22.6 bulir/malai) dan IW-56 (20.7 bulir/malai). Varietas Batutegi memiliki rata-rata gabah hampa per malai paling banyak (72.1 bulir/malai). Lingkungan Wonosari musim pertama menunjukkan rata-rata gabah hampa per malai paling rendah (7.8 bulir/malai). Lokasi Wonosari musim pertama tidak terdapat serangan hama penyakit yang menyebabkan tingkat kehampaan tinggi. Lokasi Malang musim pertama dan Purworejo musim kedua merupakan lokasi dengan tingkat gabah hampa tertinggi.
Bobot 1000 butir Bobot 1000 butir gabah dapat digunakan sebagai penanda ukuran gabah. Makin tinggi bobot 1000 butir maka ukuran gabah semakin besar. Tabel 27 menyajikan nilai rata-rata bobot 1000 butir gabah bernas genotipe-genotipe yang diuji di tujuh lokasi selama dua musim pengujian. Genotipe GI-7, IG-38, dan IG19 adalah tiga genotipe yang memiliki bobot 1000 butir gabah paling tinggi dan ketiganya tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan pada taraf 5% (Tabel 27). Rata-rata bobot 1000 butir genotipe GI-7 mencapai 38.2 gram. Rata-rata bobot 1000 butir genotipe IG-38 dan IG-19 masing-masing adalah 38.1 gram dan 37.9 gram. Genotipe yang memiliki bobot 1000 butir paling rendah adalah I5-10-1-1 yaitu 22.1 gram. Varietas cek yang digunakan, yaitu Way Rarem dan Batutegi, rata-rata bobot 1000 butir gabahnya berturut-turut adalah 26.2 gram dan 24.7 gram. Galur-galur lain yang memiliki bobot 1000 butir lebih tinggi dibandingkan dua varietas pembandingnya antara lain adalah: III3-4-6-1, WI-44, O18-b-1, IW67 dan IW-56 dengan bobot 1000 butir berturut-turut 28.5 gram, 27.7 gram, 28.4 gram, 27.8 gram dan 26.9 gram.
Tabel 26 Rata-rata gabah hampa per malai di 7 lokasi selama dua musim LOKASI
Galur
SKB1
SKB2
IND1
IND2
PWJ1
PWJ2
WNS1
WNS2
TBG1
TBG2
MLG1
MLG2
NTR1
NTR2
Rata-rata galur
_______________________________________________________________ bulir/malai _________________________________________________________________________ III3-4-6-1
29.2
bc
46.8
b
32.3
bc
53.6
b 61.4
a
76.5
b
15.6
a
31.0
a
44.2
b
48.9
bcd
62.2
bc
43.3
a
37.4
c
43.3
b
44.7
b
I5-10-1-1
20.8
cde 24.3
c
21.3
cd
31.7
b 34.0
bc
18.2
d
6.5
bc
13.6
b
29.3
c
49.8
bcd
66.9
b
21.9
bc
28.6
d
21.9
cd
27.8
d
WI-44
12.5
de
23.0
c
20.6
cd
24.7
b 19.4
cd
19.6
d
1.3
c
10.5
b
17.2
de
63.6
ab
27.4
f
23.9
bc
16.2
e
23.9
cd
21.7
f
GI-7
24.6
cd
25.2
c
19.8
cd
29.7
b 29.0
bc
30.6
d
7.9
bc
14.4
b
16.9
de
44.3
cd
47.0
cde
14.7
cd
15.3
e
14.7
de
23.9
ef
O18-b-1
40.7
b
46.8
b
42.4
b
82.2
a
b
62.1
b
8.9
abc
15.7
b
40.6
b
56.2
bc
49.1
bcd
42.9
a
46.1
b
42.9
b
44.3
b
IW-67
16.5
cde 27.5
c
13.6
d
22.8
b 22.1
cd
26.1
d
3.3
c
12.2
b
16.0
de
57.8
abc
27.5
f
13.6
cd
14.5
e
13.6
de
20.5
f
IG-19
17.3
cde 24.6
c
22.0
cd
27.6
b 38.9
b
28.3
d
8.2
abc
16.0
b
17.8
de
25.5
e
53.7
bcd
10.0
d
16.3
e
10.0
e
22.6
f
IG-38
14.3
cde 24.6
c
24.7
cd
29.2
b 33.4
bc
38.9
cd
6.7
bc
18.0
b
13.5
de
26.5
e
50.0
bcd
13.4
cd
15.9
e
13.4
de
23.0
ef
IW-56
16.0
cde 21.9
c
19.2
cd
31.1
b 12.0
d
34.9
cd
2.7
c
14.9
b
16.3
de
36.0
de
43.4
def
14.0
cd
14.0
e
14.0
de
20.7
f
B13-2e
10.7
e
45.4
b
22.0
cd
29.9
b 41.2
b
62.0
b
12.8
ab
14.1
b
10.3
e
27.2
e
30.7
ef
21.8
bc
17.6
e
21.8
cd
26.2
de
Batutegi
58.7
a
111.8
a
72.2
a
70.3
a
69.5
a
142.5
a
15.8
a
22.1
ab
73.1
a
71.4
a
106.1
a
22.1
bc
70.5
a
102.9
a
72.1
a
Way Rarem
19.4
cde 36.7
bc
32.4
bc
38.1
b 71.9
a
55.4
bc
4.2
c
9.6
b
23.5
cd
40.3
de
40.1
def
26.5
b
25.2
d
26.5
c
32.1
c
Rata-rata lingkungan
23.4
EF
C
28.5
D
39.2
C 39.7
C
49.6
A
7.8
H
16.0
G
26.5
DE
45.6
B
50.3
A
22.35 F
26.5
DE 29.1
D
KK (%)
35.29
29.39
16.08
Keterangan :
38.2 26.85
28.93
27.1
43.2
24.11
27.71
61.44
52.93
16.08
20.31
22.38
23.75
Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. SKB = Sukabumi, IND = Indramayu, PWJ = Purworejo, WNS = Wonosari, TBG = Taman Bogo, MLG = Malang, NTR = Natar. Angka 1 dan 2 di belakang inisial lokasi merujuk pada musim pengujian; 1 (musim pengujian 2010/2011), 2 (musim pengujian 2011/2012).
70
Hasil yang didapat konsisten dengan pengujian yang dilakukan Sulaeman (2012). GI-7, IG-38 dan IG-19 merupakan galur-galur dengan bobot rata-rata 1000 butir tertinggi dibanding varietas cek dan galur uji lain. Galur I5-10-1-1 merupakan galur dengan bobot 1000 butir paling rendah. Bobot 1000 butir dapat digunakan sebagai indikasi bentuk bulir gabah. Galur GI-7, IG-38 dan IG-19 memiliki bentuk gabah besar dan bulat. Galur I5-10-1-1 memiliki bentuk ramping kecil sehingga bobot 1000 butirnya rendah. Bobot 1000 butir lebih ditentukan oleh bentuk gabah. Bentuk gabah yang lonjong dan besar akan mempunyai berat yang lebih tinggi dibandingkan dengan gabah yang berbentuk bulat dan kecil. Pengaruh lingkungan terhadap rata-rata bobot 1000 butir di tiap lingkungan pengujian beragam. Rata-rata bobot 1000 butir tertinggi dimiliki lingkungan Indramayu musim pertama dengan rata-rata bobot 1000 butir 32.89 gram. Indramayu pada musim kedua masih menunjukkan rata-rata bobot 1000 butir tertinggi kedua. Rata-rata bobot 1000 butir yang tidak berbeda nyata antar musim pengujian berdasarkan uji Duncan pada taraf 5% ditunjukkan pada lokasi Sukabumi dan Wonosari. Lingkungan Malang musim pertama memiliki rata-rata bobot 1000 butir paling rendah (24.95 gram).
Tabel 27 Rata-rata bobot 1000 butir di 7 lokasi selama dua musim Galur
LOKASI SKB1
SKB2
IND1
IND2
PWJ1
PWJ2
WNS1
WNS2
TBG1
TBG2
MLG1
MLG2
NTR1
NTR2
Rata-rata galur
_________________________________________________ gram/1000 butir____________________________________________________________ III3-4-6-1
29.30 c
29.30
c
31.01 cd
29.10
cd
31.23 b
27.26
bc
26.50 c
29.04
c
26.80 bc
27.65
b
27.03 a
27.83
bc
27.97 b
29.68
b
28.5
b
I5-10-1-1
23.87 f
22.68
h
23.93 g
22.13
e
23.14 f
22.72
f
21.33 f
21.41
h
20.80 d
25.35
f
22.28 c
22.88
g
20.70 e
21.83
h
22.1
h
WI-44
28.93 cd
27.73
de
34.98 b
28.75
cd
28.12 cd
26.36
bcd
25.68 cd
26.38
de
26.15 bc
26.50
de
26.61 a
27.08
bcd
27.24 bc
26.93
de
27.7
d
GI-7
41.49 a
42.05
a
41.93 a
42.52
a
37.91 a
36.96
a
39.86 a
39.28
a
38.85 a
28.85
a
27.49 a
39.25
a
38.39 a
39.85
a
38.2
a
O18-b-1
29.82 c
28.55
cd
32.41 bc
35.56
b
29.32 c
27.44
b
28.67 b
27.39
d
25.60 bc
27.20
bc
22.89 bc
28.48
b
26.14 c
28.58
bc
28.4
bc
IW-67
29.01 cd
27.25
ef
34.74 b
31.40
bc
29.41 c
26.05
bcd
25.65 cd
27.10
d
25.75 bc
26.40
e
26.03 a
26.48
cde
26.84 bc
27.50
cd
27.8
cd
IG-19
39.55 b
40.83
b
42.78 a
42.57
a
37.85 a
37.05
a
38.39 a
38.63
ab
39.10 a
28.83
a
26.83 a
39.75
a
39.28 a
40.53
a
37.9
a
IG-38
41.33 a
42.18
a
43.87 a
42.96
a
37.55 a
36.00
a
38.58 a
37.79
b
39.20 a
28.60
a
26.85 a
39.15
a
39.07 a
40.40
a
38.1
a
IW-56
26.85 e
28.10
de
29.05 cde
28.60
cd
29.02 c
24.83
de
23.89 de
25.75
e
30.60 b
27.15
bcd
24.27 b
26.18
de
26.29 bc
25.85
ef
26.9
e
B13-2e
26.03 e
26.43
fg
24.88 fg
26.35
de
24.54 e
23.38
ef
23.46 e
23.16
fg
23.40 c
25.05
f
22.06 c
24.25
f
23.87 d
25.05
fg
24.4
g
Batutegi
27.27 de
25.63
g
28.34 def
23.24
e
24.77 e
25.14
cde
21.29 f
22.80
g
24.45 bc
26.90
cde
22.76 bc
24.60
f
24.52 d
24.05
g
24.7
g
Way Rarem
28.68 cd
27.35
def
26.79 efg
29.38
cd
26.95 d
27.34
b
23.68 e
24.21
f
24.33 c
26.38
e
24.26 b
25.20
ef
26.82 bc
25.83
ef
26.2
f
Rata-rata lingkungan
31.01 C
30.67
C
32.89 A
31.88
B
29.98 D
28.38
GH
28.08 H
28.58
FGH
28.75 GH
27.07
I
24.95 J
29.26
EF
28.93 FG
29.67
DE
KK (%)
3.79
2.58
7.33
9.32
2.99
4.84
4.45
2.79
13.48
1.64
4.03
3.27
3.80
3.21
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%. SKB = Sukabumi, IND = Indramayu, PWJ = Purworejo, WNS = Wonosari, TBG = Taman Bogo, MLG = Malang, NTR = Natar. Angka 1 dan 2 di belakang inisial lokasi merujuk pada musim pengujian; 1 (musim pengujian 2010/2011), 2 (musim pengujian 2011/2012).
73
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pengujian di tujuh lokasi selama dua musim menunjukkan, galur WI-44 memiliki rata-rata produktivitas paling tinggi (4.88 ton ha-1), lebih tinggi dibanding Batutegi dan tidak berbeda nyata dengan Way Rarem dengan potensi hasil mencapai 10.28 ton ha-1. Galur IW-67 memiliki rata-rata produktivitas (4.53 ton ha-1) tidak berbeda nyata dengan Batutegi dan memiliki potensi hasil (9.09 ton ha-1). Produktivitas GKG rata-rata galur WI-44 unggul di tujuh lingkungan, I5-101-1 unggul di empat lingkungan dan IW-67 unggul di dua lingkungan. Galur WI44, IW67 dan IW-56 merupakan galur-galur yang peka terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi khusus pada lingkungan optimal. Galur-galur I5-10-11, GI-7 dan O18-b-1 merupakan galur yang mampu beradaptasi pada lingkungan marginal dan memiliki rata-rata produktivitas yang lebih tinggi dari rata-rata lingkungannya. Galur I5-10-1-1, B13-2e dan O18-b-1 merupakan galur yang stabil statis beradaptasi luas pada seluruh lingkungan pengujian. Produktivitas rata-rata galur I5-10-1-1 mencapai 4.05 ton ha-1.
Saran Disarankan memilih galur I5-10-1-1 sebagai galur potensial yang dilepas sebagai galur stabil dengan tingkat produktivitas tinggi (4.05 ton ha-1). Dalam pengajuan pelepasan varietas galur padi gogo hasil kultur antera yang telah diuji sebaiknya dipilih kembali lokasi pengujian yang mendukung persyaratan pelepasan varietas supaya didapatkan galur yang benar-benar stabil dan memiliki produktivitas tinggi. Dipilih 4 lokasi terbaik di musim pertama dan kedua. Galur WI-44 dan IW-67 dapat dipertimbangkan sebagai galur-galur berproduktivitas tinggi dan ditanam di lingkungan optimal budidaya padi gogo. Pengujian lebih lanjut terhadap ketahanan hama dan penyakit serta kualitas nasi (tekstur, rasa, kadar amilosa, indeks glikemik) perlu dilakukan untuk melengkapi deskripsi varietas sebelum diajukan lebih lanjut untuk pelepasan varietas.
74
75
DAFTAR PUSTAKA Abdullah B, Tjokrowidjojo S, Sularjo. 2008. Perkembangan dan prospek perakitan padi tipe baru di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 27(1):1-9. Abdurachman A, Dariah A, Anny M. 2008. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. Jurnal Litbang Pertanian 27(2): 43-49. Arraudeau MS, Vergara BS. 1988. A Farmers Primer on Growing Upland Rice. Manila : IRRI-IRRAT. Bakhtiar. 2007. Penapisan galur padi gogo (Oryza sativa L.) hasil kultur antera untuk ketenggangan aluminium dan ketahanan terhadap penyakit blas. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Intitut Pertanian Bogor. Bakhtiar, Purwoko BS, Trikoesoemaningtyas, Chozin MA, Dewi IS, Mukelar A. 2007. Penapisan galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera untuk toleransi terhadap cekaman aluminium. Bul Agron 35 (1):8-14. Baihaki A. 2000. Teknik Rancang dan Analisis Penelitian Pemuliaan. Bandung: Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Baihaki A, Noladhi W. 2005. Interaksi genotipe x lingkungan, adaptabilitas dan stabilitas hasil dalam pengembangan tanaman genotipe unggul di Indonesia. Zuriat 16 (1):1-8. [BPS] Badan Pusat Statistik . 2012. Penduduk Indonesia menurut provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010. [terhubung berkala]. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=12 ¬ab=1.html [8 Okt 2012]. Cooper M, DeLacy IH, Basford KE. 1996. Relationships among analytical methods used to analyse genotypic adaptation in multi-environment trials. Di dalam: Cooper M, Hammer GL, editor. Plant Adaptation and Crop Improvement. Manila : CAB Inernational-IRRI. hlm 193-224. Dewi IS, Purwoko BS. 2001. Kultur antera untuk mendukung program pemuliaan tanaman padi. Bul Agron 29 (2):59-63. Dewi IS, Purwoko BS, Hajrial A, Somantri IH. 2007. Regenerasi tanaman pada kultur antera padi: pengaruh persilangan dan aplikasi putresin. Bul Agron 35 (2):68-74.
76
Dewi IS, Purwoko BS. 2011. Kultur in vitro untuk produksi tanaman haploid androgenik. Di dalam: Wattimena GA, Mattjik NA, Armini NMW, Purwito A, Efendi D, Purwoko BS, Khumaida N, editor. Bioteknologi dalam Pemuliaan Tanaman. Edisi ke-1. Bogor: IPB Press. Hlm 107-157 Eberhart SA, WA Russel. 1966. Stability parameters for comparing varieties. Crop Sci 6:36-40. Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics. Fourth Edition. England: Longman Group Ltd. Farid N. 1997. Pengujian plasma nutfah padi gogo untuk ketenggangan terhadap tanah masam dan ketahanan terhadap penyakit blas. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Finlay KW, Wilkinson GN. 1963. The analysis of adaptation in a plant breeding programme. Aust J Agric Res 4:742-754. Francis TR, Kannenberg LW. 1978. Yield stability studies in short-season maize, a descriptive methods to for grouping genotype. Can J Plant Sci 58:10291034. Garris AJ, Thomas HT, Jason C, Steve K, Susan MC. 2004. Genetic structure and diversity in Oryza sativa L. Genetics 169:1631-1638. Gomez AA, Gomez KA. 1983. Multiple Cropping in the Humid Tropics of Asia. Ottawa Int. Dev. Res. Cent. Harsanti L, Hambali, Mugiono. 2003. Analisis daya adaptasi 10 galur mutan padi sawah di 20 lokasi uji daya hasil pada dua musim. Zuriat 14: 1-7. Herawati R, Purwoko BS, Khumaida N, Dewi IS, Abdullah B. 2008. Pembentukan galur haploid ganda padi gogo dengan sifat-sifat tipe baru melalui kultur antera. Bul Agron 36 (3):181-187. Herawati R, Purwoko BS, Dewi IS. 2009. Keragaman genetik dan karakter agronomi galur haploid ganda padi gogo dengan sifat-sifat tipe baru hasil kultur antera. J Agron Indonesia 37 (2):87-94. Herawati R, Purwoko BS, Dewi IS. 2010. Characterization of doubled haploid derived from anther culture for new type upland rice. J Agron Indonesia 38(3): 170-176 [IRRI] International Rice Research Institute. 1996. Standard Evaluation System for Rice. Manila: International Rice Research Institute.
77
Jagau Y. 2000. Fisiologi dan pewarisan sifat efisiensi nitrogen dalam keadaan tercekam Al pada padi gogo. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [Kemtan] Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 2011. Peraturan Mentan No. 61/Permentan/OT.140/10/2011. [terhubung berkala]. http://www.litbang. deptan.go.id/regulasi/one/19/file/PERMENTAN_No 61PermentanOT.pdf. [8 Okt 2012]. [Kemtan] Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 2012. Luas panen, produktivitas dan produksi padi ladang, tahun 2011 / ATAP. [terhubung berkala].http://tanamanpangan.deptan.go.id/index.php/statistik/komoditas. html [8 Okt 2012]. Kristamtini et al. 2012. Keragaan vegetatif beberapa plasma nutfah padi lokal DIY. [terhubung berkala]. http://yogya.litbang.deptan.go.id/ind/index.php. [13 Des 2012]. Kush GS. 2000. New plant type of rice for increasing the genetic yield potential. Di dalam: Rice Breeding and Genetics. New Hampshire: Science Publisher. Inc. Las I, Widiarta IN, Suprihatno B. 2004. Perkembangan varietas dalam perpadian nasional. Hal 1-25. Lin CS, Binns MR, Levkovitch LP. 1986. Stability analisis : where do we stand. Crop Science Vol. 26 : 894-900. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan, dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Edisi kedua. Bogor: IPB Press. Manurung SO dan Ismunadji M. 1988. Morfologi dan fisiologi padi. Di dalam: Ismunadji M, Partohardjono S, Syam M, Widjono A, editor. Padi Buku 1. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. hlm 55-102. Nasrullah. 1981. A modified procedure for identifying varietal stability. Agric Sci 3 (4):153–159. Poehlman JM, Sleper DA. 1995. Breeding Field Crops 4th edition. Ames.USA: Iowa State University Press. Purwoko BS. 2004. Pengunaan spermin dalam regenerasi tanaman pada kultur antera beberapa aksesi padi gogo. Bul Agron 32 (2):21-24. Puslitbang Tanaman Pangan. 2012. Peningkatan produksi padi menuju 2020. [terhubung berkala]. http://pangan.litbang.deptan.go.id/index.php?bawaan =download/download_detail&&id=35.html [8 Okt 2012].
78
Ramli M. 2000. Ketahanan dan dinamika ketahanan selama pertumbuhan beberapa genotipe padi terhadap blas daun dan blas leher malai. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rusdiansyah. 2006. Identifikasi padi gogo dan padi sawah lokal asal Kecamatan Sembakung dan Sebuku Kabupaten Nunukan. Proyek FORMACS-CARE Internasional Indonesia-Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Samarinda. Samarinda. Safitri H. 2010. Kultur antera dan evaluasi galur haploid ganda untuk mendapatkan padi gogo tipe baru. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Safitri H, Purwoko BS, Wirnas D, Dewi IS, Abdullah B. 2010. Daya kultur antera beberapa persilangan padi gogo dan padi tipe baru. J Agron Indonesia 38 (2):81-87. Sasmita P. 2006. Karakterisasi dan evaluasi padi gogo haploid ganda hasil kultur antera terhadap naungan. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sasmita P. 2007. Aplikasi Teknik Kultur Antera pada Pemuliaan Tanaman Padi. Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Sukamandi: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. hlm 595-609. Satoto, Utomo STW, Widyastuti Y, Rumanti IA. 2009. Usulan pelepasan varietas padi hibrida H45, H47, H64, H68 dan H78. [Makalah pada Sidang Pelepasan Varietas]. Subang : Balai Besar Penelitian Padi. Singh RK, Chaudhary BD. 1985. Biometrical Methods in Quantitative Genetical Analysis. New Delhi: Kalyani Publication. hlm 54-57. Siregar H. 1981. Budidaya Tanaman Padi. Jakarta : Sastra Hudaya. Soemartono. 1993. Pewarisan sifat komponen hasil padi gogo (Oryza sativa L.). Ilmu Pertanian 5(2):613-622. Sulaeman DD. 2012. Analisis stabilitas hasil dan keragaan galur galur padi gogo hasil kultur antera. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sumertajaya IM. 1998. Perbandingan model AMMI dan regresi linier untuk menerangkan pengaruh interaksi percobaan lokasi ganda. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Intitut Pertanian Bogor.
79
Sumertajaya IM. 2007. Analisis statistik interaksi genotipe dengan lingkungan. Bogor: Departemen Statistik, Fakultas Matematika dan IPA. Institut Pertanian Bogor. Suparto H. 1999. Evaluasi ketenggangan padi gogo terhadap cekaman aluminium dan efisiensi penggunaan nitrogen. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suprihatno B, Daradjat AA, Satoto, Baehaki SE, Suprihanto, Setyono A, Indrasari SD, Wardana IP, Sembiring H. 2010. Deskripsi Varietas Padi. Subang: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Syakhril. 1997. Evaluasi reaksi galur-galur padi gogo terhadap cekaman aluminium dan kekurangan nitrogen. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Jakarta: Penebar Swadaya. Trikoesoemaningtyas. 2002. Fisiologi dan pewarisan sifat efisiensi kalium dalam keadaan tercekam aluminium pada padi gogo (Oryza sativa L.). [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tripathi KK, Ranjini W, Govila OP, Vibha A. 2011. Biologi of Oryza sativa L (Rice). Department of Biotechnology Ministry of Science and Technology & Ministry of Environment and Forest Goverment of India. hlm 62. Vaughan DA, Morishimay H, Kadowaki K. 2003. Diversity in the Oryza genus. Current Opinion. Plant Biology 6:139–146 Vergara BS, Gomez KA, Visperas RM, Salivas E. 1973. Characteristic of Upland Rice. IRRI Saturday Seminar. April 1973. 19p. Wirnas D. 1999. Evaluasi ketenggangan padi gogo terhadap cekaman aluminium dan efisiensi penggunaan hara kalium. [tesisi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zen S. 1995. Heritabilitas, korelasi genotipik dan fenotipik karakter padi gogo. Zuriat 6: 25-31.
80
81
LAMPIRAN
82
83
Lampiran 1 Asal persilangan galur-galur padi gogo yang digunakan Galur III3-4-6-1 I5-10-1-1
Asal Persilangan Tetua toleran Al SGJT-28, SGJT-36
Tujuan persilangan
Peneliti
Tahun
Hasil tinggi toleran Al
Reny Herawati et al.
2008
Hasil tinggi toleran Al
Bambang Sapta Purwoko et al.
2003
Padi lahan kering toleran naungan
Priatna Sasmita et al.
2001
Tetua unggul padi Fatmawati dan Way Rarem O18-b-1 B13-2e
Tetua toleran Al Krowal (KR), Grogol (GR), Sigundil(SG) Tetua unggul padi gogo Gajah Mungkur (GM) Jatiluhur (JT)
WI-44 IW-67 IW-56 GI-7 IG-19 IG-38
WI = asal persilangan Way Rarem/ITA-247, IW = resiprok persilangan Way Rarem/ITA-247 GI = asal persilangan Gajah Mungkur/ITA-247, IG = resiprok persilangan Gajah Mungkur/ITA-247
84
Lampiran 2 Silsilah dan deskripsi tetua galur-galur padi gogo yang digunakan Genotipe Krowal
Silsilah Varietas lokal asal Lumajang, Jawa Timur
Deskripsi Peka Al di lapang (Syakhril 1997) tenggang Al dan efisien dalam penggunaan N pada kultur hara (Suparto 1999, Jagau 2000) dan efisien penggunaan K dalam keadaan tercekam Al (Trikoesoemaningtyas 2002, Wirnas 1999) Sigundil Varietas lokal Tenggang terhadap Al pada kultur hara (Jagau asal Gresik, 2000), pada percobaan pot dan di lapang (Suparto Jawa Timur 1999), efisien penggunaan K (Wirnas 1999), sangat tahan blas daun ras IG-1 dan 173, peka blas leher malai ras IG-1 dan 173 (Ramli 2000) Grogol Varietas lokal Tenggang terhadap Al di lapang (Farid 1997) dan asal Bantul, DI. di kultur hara (Jagau 2000) dan efisien dalam Yogyakarta penggunaan N (Suparto 1999) tahan blas daun dan leher malai dari inokulum alami (Farid 1997) Jatiluhur Varietas unggul Agak tenggang terhadap Al dan efisien K pada nasional asal kultur hara (Trikoesoemaningtyas 2002, Wirnas persilangan 1999), hanya tahan blas daun dari inokulum Tox alami (Farid 1997) tahan blas ras IG-1 dan 173 1011//Ranau (Ramli 2000), tenggang naungan, daya hasil tinggi (2.2-3.5 t/ha) Gajah Varietas Tenggang kekeringan, sangat tahan blas daun ras Mungkur nasional IG-1, tahan blas malai ras IG-1, blas daun dan introduksi leher malai ras 173 (Ramli 2000) dan berdaya Kenya hasil tinggi (2.5 t/ha) SGJT-28 Tanaman SGJT-28 sangat tenggang Al, SGJT-36 tenggang SGJT-36 doubledAl (Bakhtiar 2007) haploid (DH) hasil persilangan Sigundil dan Jatiluhur Sumber: lampiran tesis Bakhtiar (2007).
85
Lampiran 3 Deskripsi Varietas Padi Gogo 1.
Batutegi
Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna helai daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap Penyakit
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
TB154E-TB-2 B6876B-MR-10/B6128B-TB-15 Cere 112 – 120 hari Tegak 120 – 128 cm 8 – 12 batang Hijau Hijau Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar Tegak Mendatar Bulat sedang Kuning bersih Sedang Tahan Pulen 22. 3% 25 g 3.0 t/ha 6.0 t/ha
:
Cekaman lingkungan
:
Anjuran tanam
:
Pemulia
:
Teknisi Alasan utama dilepas
: :
Dilepas tahun
:
Tahan terhadap blas daun, blas leher, bercak daun coklat Agak toleran terhadap keracunan Al, dan bereaksi moderat terhadap kekeringan Baik dibudidayakan pada lahan kering subur dan lahan kering Podzolik Merah Kuning (PMK) dengan tingkat keracunan alumunium sedang, dari dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl. E. Lubis, M. Diredja, W. S. Ardjasa, B. Kustianto dan Suwarno. Tusrimin, Sularjo, Gusnimar dan Ade Santika Padi gogo, hasil tinggi, tahan blas, mutu beras baik, nasi pulen 2001
86
2.
Way Rarem
Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna helai daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Potensi hasil Ketahanan terhadap Penyakit
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
IR83/Carreon/B981k Cere (Indica) 100 – 110 hari Tegak 95 – 100 cm sedang Ungu Bergaris ungu Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar Tegak-miring Tegak Bulat besar Kuning kotor Tahan Pera 27.0% 28 g 3.0- 4.0 t/ha gabah kering
:
Cekaman lingkungan
:
Penciri
:
Pemulia Dilepas tahun
: :
Tahan terhadap blast (Pyricularia oryzae) dan bercak coklat (Helminthosporium oryzae) Cukup toleran terhadap keracunan Al dan toleran terhadap keracunan Fe Muka daun licin, warna gabah kuning Baik untuk padi lahan kering (padi gogo) sampai ketinggian 500 mdpl E. Lubis, M. Diredja, Soecipto Kr. 1994
87
3.
Gajah Mungkur
Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna helai daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Potensi hasil Ketahanan terhadap Penyakit Cekaman lingkungan Penciri
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
IRAT 112 Introduksi dari Kenya Cere, kadang berbulu 90 – 95 hari Tegak 90 – 100 cm Sedang (6-8 batang) Hijau tua Hijau Hijau Tidak berwarna Hijau Licin Tegak-miring Tegak Medium Kuning keemasan Agak tahan Sedang 23.20% 36 g 2.5 t/ha gabah kering
: : :
Pemulia Dilepas tahun
: :
Tahan terhadap blast (Pyricularia oryzae) Cukup toleran terhadap kekeringan Muka daun licin, warna gabah kuning keemasan Baik ditanam sebagai padi gogo di daerah beriklim kering Z. Harahap, Erwina Lubis, Murdani D. 1994
88
4.
Jatiluhur
Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna helai daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Potensi hasil Ketahanan terhadap Penyakit Cekaman lingkungan
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Tox 1011/Ranau Cere (Indica) 110 – 115 hari Tegak 95 – 100 cm Sedang (6-8 batang) Ungu Bergaris ungu Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau tua Kasar Tegak-miring Miring Bulat besar Kuning kotor Agak tahan Pera 27.60% 27 g 2.5 – 3.5 t/ha gabah kering
: : :
Pemulia
:
Dilepas tahun
:
Tahan terhadap blast (Pyricularia oryzae) Toleran naungan Baik untuk padi lahan kering (gogo) sampai ketinggian 500 mdpl Erwina Lubis, Murdani Direja, Suwarno, Susanto Tw. Dan Hadis S. 1994
89
5.
Fatmawati
Nomor seleksi Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna daun Muka daun Daun bendera Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Jumlah gabah/malai Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap Hama Penyakit
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
BP364B-MR-33-3-PN-5-1 BP68C-MR-4-3-2/Maros Cere 105 – 115 hari Tegak 95 – 110 cm 8 – 14 batang Hijau Hijau Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau tua Berbulu halus Tegak Tegak, panjang dan lebar Ramping Kuning bersih Lebat (200 – 400 butir gabah per malai) Sedang Sedang Pulen 23 % 29 g 6,0 t/ha 9,0 t/ha
: :
Anjuran tanam
:
Pemulia Alasan utama dilepas Kelemahan Dilepas tahun
: : : :
Agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3 Tahan terhadap penyakit HDB strain III, agak tahan strain IV, rentan strain VIII Baik ditanam di lahan sawah dataran rendah sampai sedang (ketinggian 600 m dpl). B. Abdullah, Soewito T. dan B. Kustianto., PTB, malai panjang dan lebat, potensi hasil tinggi Kehampaan tinggi dan tahan rontok 2003
90
Lampiran 4 Karakteristik umum lingkungan pengujian Lokasi
Karakteristik
Taman Bogo
Lahan kering dengan tingkat kejenuhan Al tinggi pada ulangan I pada pengujian musim pertama. Lahan kering tegalan.
Natar
Lahan kering tegalan.
Sukabumi
Lahan sawah dikeringkan dan terdapat rembesan air di permukaannya, lahan berteras sebagai pembeda ulangan.
Indramayu
Lahan kering di kelilingi tegakan pohon jati pada musim pengujian pertama. Lahan kering dengan kontur lahan tidak rata dan berteras pada musim pengujian kedua.
Purworejo
Lahan kering hamparan dengan tanah berpasir.
Wonosari
Lahan kering dataran rendah sedikit berbatu dan lahan berteras.
Malang
Lahan tegalan, terletak di dataran agak tinggi dan lokasi lahan dikelilingi pepohonan pada musim pertama. Lahan sawah dikeringkan dan terdapat rembesan air di permukaannya, terletak di dataran agak tinggi pada musim kedua.
91
Lampiran 5 Data klimatologi lingkungan pengujian Lingkungan
Bulan/Tahun
Taman Bogo
November/2010 Desember/2010 Januari/2011 Februari/2011 Maret/2011 November/2011 Desember/2011 Januari/2012 Februari/2012 Maret/2012 November/2010 Desember/2010 Januari/2011 Februari/2011 Maret/2011 November/2011 Desember/2011 Januari/2012 Februari/2012 Maret/2012 November/2010 Desember/2010 Januari/2011 Februari/2011 Maret/2011 November/2011 Desember/2011 Januari/2012 Februari/2012 Maret/2012
Natar
Sukabumi
Curah Hujan (mm/hari) 211.7 161.6 224.2 224.8 273.7 411.6 173.1 194.2 142.4 157.9 105.9 254.5 129.3 13.0 4.8 2.6 1.2 -
Suhu rata-rata (0C) 27.5 26.7 27.7 26.2 26.9 27.6 28.1 27 27 26 27 28 27 28 27
Radiasi surya (Jm-2) 15.6 15.8 16.7 14.8 18.3 22.8 22.6 6.5 6.9 4.5
92
Lingkungan
Bulan/Tahun
Purworejo
November/2010 Desember/2010 Januari/2011 Februari/2011 Maret/2011 November/2011 Desember/2011 Januari/2012 Februari/2012 Maret/2012 November/2010 Desember/2010 Januari/2011 Februari/2011 Maret/2011 November/2011 Desember/2011 Januari/2012 Februari/2012 Maret/2012 November/2010 Desember/2010 Januari/2011 Februari/2011 Maret/2011 November/2011 Desember/2011 Januari/2012 Februari/2012 Maret/2012
Wonosari
Malang
Keterangan: (-) data tidak tersedia
Sumber : BMKG
Curah Hujan (mm/hari) 274.0 208.0 206.0 79.0 178.2 165.4 207.6 267.0 89.0 180.0 174.0 321.0 241.0 195.0 292.0
Suhu rata-rata (0C) 27 27 26 26 25 26 27.1 26.8 26.8 26.6 -
Radiasi surya (Jm-2) 45.6 48.2 29 42.1 3.2 32 16.2 14.5 16.6 19.6 -