PENGUJIAN DAYA HASIL GALUR-GALUR PADI GOGO HASIL KULTUR ANTERA DAN RESISTENSINYA TERHADAP PENYAKIT BLAS DAUN (Pyricularia grisea)
RICHENLY NANLOHY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengujian Daya Hasil GalurGalur Padi Gogo Hasil Kultur Antera dan Resistensinya terhadap Penyakit Blas Daun (Pyricularia grisea) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2011
Richenly Nanlohy NIM A252070111
ABSTRACT
RICHENLY NANLOHY. Yield Trial of Upland Rice Lines Obtained from Anther Culture and Their Resistance to Blast Disease. Under supervision of MUNIF GHULAMAHDI as chairman, BAMBANG S. PURWOKO and SUGIYANTA as members of the advisory committee. The objective of the research was to obtain high yielding and blast resistant line of upland rice. Research consisted of three experiments. First yield trial was conducted in Bogor from May-September 2008. Second trial was conducted in Sukabumi from November 2008-March 2009. Resistant study to blast disease was conducted in Sukabumi from November 2008-March 2009. Sixteen doubled haploid lines and four varities (Jatiluhur, Limboto, Batutegi and Cisokan) were used in the two trials. Genotypes
IW-54, IW-67, WI-43, WI-44, GI-7, IG-19,
IG-38, B13-2e (ranged 3,33-3,77 ton/ha) have the same yield or higher than control Batutegi (3,50 ton/ha), but they are lower than control Jatiluhur (4,71 ton/ha) and Limboto resistant control (5,35 ton/ha). Genotype IW-54, IW-56, IW67, WI-43, WI-44, IG-7, O18b-1, GI-19, GI-38, B13-2a, B13-2d, B13-2e, dan D19-1 were resistant to leaf blast disease. Genotype IW-64, A3-2, and A3-7 were susceptible to blast based on disease incidence. Genotype A3-2 and A3-7 were susceptible to leaf and neck blast. IW-54, IW-67, WI-43, WI-44, GI-7, IG19, IG-38, and B13-2e have blast resistance and high yield potential, low to medium amylase, low-high gelatinization temperature. It is suggested that those potential lines to be tested further for multilcation trials.
Keywords: Efficient test result, genotype, disease blast
RINGKASAN RICHENLY NANLOHY. Pengujian Daya Hasil Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera dan Resistensinya terhadap Penyakit Blas Daun (Pyricularia grisea). Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI, BAMBANG S. PURWOKO dan SUGIYANTA.
Produktivitas padi di lahan kering umumnya rendah karena lahan kering kurang subur dan intensitas serangan penyakit blas (Pyricularia grisea) sangat tinggi. Perakitan varietas-varietas yang berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit blas sangat diharapkan. Kultur antera merupakan teknologi yang dapat membantu mempercepat program pemuliaan tanaman dalam menghasilkan tanaman haploid ganda. Dengan demikian kultur antera sesuai digunakan untuk perakitan varietas yang tahan penyakit blas karena perubahan ras Pyricularia grisea di lapangan sangat cepat yang sulit diimbangi dengan metode konvensional yang memerlukan waktu yang lama untuk menghasilkan varietas baru. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan galur-galur padi gogo hasil kultur antera yang berdaya hasil tinggi dan resisten terhadap penyakit blas daun. Penelitian dilakukan di Desa Babakan, Kecamatan Darmaga, Bogor dan Desa Bojong, Kecamatan Cikembar Sukabumi, Jawa Barat, sejak Mei 2008 – Maret 2009. Uji mutu beras dilakukan di Balai Penelitian Padi Muara, Bogor pada bulan Mei 2009. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan. Galur-galur hasil kultur antera yang digunakan adalah IW-54, IW56, IW-64, W-67, WI-43, WI-44, GI-7, O18b-1, IG-19, IG-38, A3-2, A3-7, B13-2a, B13-2d, B13-2e, D19-1 dengan pembanding Jatiluhur (Percobaan di Babakan dan Sukabumi), Batutegi, Limboto (tahan) dan Cisokan (rentan) (Percobaan di Sukabumi). Galur-galur ini berasal dari persilangan tetua Way-Rarem, Gajah Mungkur, ITA -247, Jatiluhur, Dupa dan Dodokan karena memiliki ketahanan terhadap kekeringan, resisten terhadap penyakit blas (Pyricularia grisea, dan hasil tinggi . Percobaan pertama uji daya hasil di Bogor menunjukkan, hasil dari galurgalur kultur antera yang diuji lebih rendah dibandingkan kontrol Jatiluhur. Pada uji daya hasil di Sukabumi ada 8 galur (IW-54, IW-67, WI-43, WI-44, GI-7, GI-19, GI38, B13-2e) yang mempunyai hasil yang sama atau lebih tinggi dibandingkan kontrol Batutegi. Kedelapan galur ini hasilnya konsisten dengan percobaan I.
Galur-galur padi gogo hasil kultur antera yang tahan terhadap penyakit blas yaitu : IW-54, IW-56, IW-67, WI-43, WI-44, GI-7, O18b-1, GI-19, GI-38, B13-2a, B132d, B13-2e, D19-1. Galur IW-64, A3-2, A3-7 rentan terhadap penyakit blas daun (Pyricularia grisea). Pengujian galur-galur padi gogo terhadap ketahanan penyakit blas dilakukan di daerah endemik blas dengan inokulum alami. Pengujian berdasarkan skala penyakit, intensitas serangan dan periode laten. Galur-galur yang tahan memiliki skala penyakit < 10%, intensitas serangan rendah dan periode latennya lebih lama. Pengujian mutu beras terhadap bentuk beras, suhu gelatinasi dan kadar amilosa menunjukkan beras galur-galur padi gogo hasil kultur antera berbentuk sedang, suhu gelatinasi rendah-tinggi ( 74,5 – 800C), kadar amilosa galur-galur antara 17 – 29%, (kadar rendah sampai tinggi). Galur-galur dengan hasil tinggi dan tahan blas disarankan untuk uji multilokasi.
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya a. Pengutipan
hanya
untuk
kepentingan
pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PENGUJIAN DAYA HASIL GALUR-GALUR PADI GOGO HASIL KULTUR ANTERA DAN RESISTENSINYA TERHADAP PENYAKIT BLAS DAUN (Pyricularia grisea)
RICHENLY NANLOHY
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Tesis
: Pengujian Daya Hasil Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera dan Resistensinya terhadap Penyakit Blas Daun (Pyricularia grisea)
Nama
: Richenly Nanlohy
NRP
: A252070111
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S Ketua
Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, M.Sc.
Dr.Ir. Sugiyanta, M.Si
Anggota
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Agronomi dan Hortikultura
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 10 -12-2010
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada ujian Tesis : Dr.Ir. Ahmad Junaedi M.Si
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah di Surga karena kasih dan AnugerahNya
penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis
sesuai dengan
ketentuan. Tesis ini disusun berdasarkan penelitian pengujian daya hasil galur-galur padi gogo hasil kultur antera dan resistensinya terhadap penyakit blas daun (Pyricularia grisea) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dengan terselesainya tesis ini, penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada : 1.
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS, Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, MSc dan Dr. Ir. Sugiyanta, MSi, selaku pembimbing atas bimbingan dan arahannya sejak perencanaan penelitian sampai dengan penulisan tesis ini.
2. Departemen Pendidikan Nasional dan KMNRT atas pendanaan Hibah Bersaing dan Riset Unggulan Terpadu (RUT) (Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, MSc sebagai ketua peneliti) untuk pengembangan galur-galur haploid ganda. 3. Dr. Ir. Iswari Saraswati Dewi, atas saran dan masukan serta bantuannya. Bapak Imam dan Yeny di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian Bogor atas bantuannya. 4. Ir. Anggiani Nasution, MS. di Balai Besar Penelitian Padi, Muara, Bogor yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini. 5. Badan Pusat Sumber Daya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. 6.
Teman-teman S2 AGH angkatan 2007 yang selalu memberi semangat dalam menyelesaikan penelitian ini.
7.
Keluarga Bapak Nurjani yang telah membantu percobaan di lapangan.
8.
Suami, orang tua dan seluruh keluarga atas doa dan dorongan spirit dan materiil yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. Penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi yang memerlukan informasi terkait padi gogo. Bogor, Februari 2011 Richenly Nanlohy
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 22 Agustus 1969, sebagai anak dari Ibu Naomi Nanlohy. Tahun 1996 penulis menyelesaikan pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Program Studi Agronomi. Tahun 2000 diterima sebagai Pegawai Negeri pada Dinas Pertanian Kabupaten Maluku Tengah (Propinsi Maluku). Tahun 2005 – sekarang penulis menjadi staf pada Direktorat Budidaya Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian di Jakarta. Tahun akademi 2007/2008 penulis tercatat sebagai mahasiswa pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Program Studi Agronomi dan Hortikultura.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………………......
xi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….........
xii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….....
xiii
PENDAHULUAN ……………………………………………………………....... Latar Belakang …………………………………………………….........
1
Tujuan Penelitian ………………………………………………….........
4
Hipotesis Penelitian ……………………………………………….........
4
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………….......... Kendala Budidaya Tanaman Padi Gogo di Lahan Kering ……..........
5
Peningkatan Produksi Tanaman Padi …..………………………........
6
Aplikasi Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman ..…………..........
7
Penyakit Blas pada Tanaman Padi ….………………………….........
8
BAHAN DAN METODE Uji Daya Hasil Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera ……..........
11
Uji Ketahanan Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera terhadap Penyakit Blas Daun …………………..………………............
12
Uji Daya Hasil Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera di Daerah Endemik Penyakit Blas …………………………………...........
14
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum ……………………………………………………...........
18
Uji Daya Hasil Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera …..............
19
Uji Ketahanan Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera terhadap Penyakit Blas Daun ……………………………………..........
26
Uji Daya Hasil Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera di Daerah Endemik Penyakit Blas …………………………………..........
31
PEMBAHASAN UMUM .................................................................................
40
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………......
42
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………....
43
LAMPIRAN ………………………………………………………………...........
49
DAFTAR TABEL Halaman
1.
Skala penyakit berdasarkan Standar IRRI ……………………............... 14
2.
Standarisasi tipe beras berdasarkan ukuran dan bentuk beras ...........
16
3.
Pedoman penilaian suhu gelatinasi …………………………….............
17
4.
Nilai analisis ragam peubah galur-galur padi gogo hasil kultur antera dan varietas Jatiluhur, di Babakan Bogor MK 2008 …………...
20
Nilai rata-rata karakter agronomi galur-galur padi gogo hasil kultur antera dan varietas Jatiluhur, di Babakan Bogor MK 2008…………………………............................................................
21
Nilai rataan umur berbunga, umur panen dan komponen hasil galur-galur padi gogo hasil kultur antera dan varietas Jatiluhur, di Babakan Bogor MK 2008….………....................................................
22
Nilai rataan hasil galur-galur hasil kultur antera dan varietas Jatiluhur di Babakan Bogor MK 2008…………………………………….
25
Skala penyakit dan intensitas serangan penyakit blas daun pada galur/varietas yang diuji ……………………………………………
29
Periode laten penyakit blas daun pada galur-galur hasil kultur antera yang diujikan ……………………………………………….
30
5.
6.
7. 8. 9.
10. Hasil rekapitulasi sidik ragam peubah galur-galur padi gogo hasil kultur antera dan varietas pembanding, di Sukabumi daerah endemik penyakit blas MH 2008/2009 …..........................……........... 11.
12.
31
Nilai rataan tinggi tanaman, jumlah total anakan,dan jumlah anakan produktif galur-galur padi gogo hasil kultur antera dan varietas pembanding di Sukabumi daerah endemik penyakit blas MH 2008/2009 ……………………………….................
32
Nilai rataan umur berbunga, umur panen dan komponen hasil galur-galur padi gogo hasil kultur antera dan varietas pembanding di Sukabumi daerah endemik blas MH 2008/2009……..
34
13. Nilai rataan hasil galur-galur padi gogo hasil kultur antera dan varietas pembanding di Sukabumi daerah endemik blas MH 2008/2009 ……………………………………………………………. 14. Tampilan beras, suhu gelatinasi dan kadar amilosa dari galur-galur padi gogo hasil kultur antera dan varietas pembanding yang diujikan ..............................................……..............
37
39
DAFTRA GAMBAR Halaman
1. Persentase gabah isi dan gabah hampa galur-galur padi gogo hasil kultu antera dan varietas Jatiluhur …………
24
2. Kontrol rentan dan galur tahan pada uji ketahanan blas daun di daerah endemik blas………………………………………….
27
3. Gejala serangan penyakit blas daun …………………………..
28
4. Persentase gabah isi dan gabah hampa galur-galur padi gogo hasil kultur antera dan varietas pembanding ……..
36
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data curah hujan bulan April – September 2008 ………………
49
2. Data curah hujan bulan Oktober 2008 - April 2009 ……………
50
3. Deskripsi varietas Jatiluhur …………………………………. .......
51
4. Deskripsi varietas Limboto …………………………………. .......
52
5. Deskripsi varietas Batutegi …………………………………..........
53
6. Deskripsi varietas Cisokan …………………………………..........
54
7. Denah percobaan I .......................................................................
55
8. Denah percobaan II ......................................................................
56
9. Denah percobaan III .....................................................................
57
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan beras sebagai salah satu sumber pangan utama penduduk Indonesia terus meningkat, karena selain penduduk terus bertambah dengan peningkatan sekitar 2 % per tahun, juga adanya perubahan pola konsumsi penduduk dari non beras ke beras. Terjadinya penciutan lahan sawah irigasi subur akibat konversi lahan untuk kepentingan non pertanian, dan munculnya fenomena degradasi kesuburan menyebabkan peningkatan produktivitas padi sawah irigasi cenderung melandai (“leveling of”“)
sehingga tidak mampu
mengimbangi laju peningkatan penduduk. Produksi total padi nasional tahun 2008 sebanyak 60,33 juta ton yang berasal dari padi sawah 57,17 juta ton dengan luas panen 11,26 juta ha dan padi gogo 3,16 juta ton dengan luas panen 1,07 juta ha, sedangkan produksi pada tahun 2009 (Angka Tetap 2009) mencapai 64,4 juta ton yang berasal dari padi sawah 61,2 juta ton dengan luas panen 11,75 juta ha dan padi gogo 3,2 juta ton dengan luas panen 1,09 juta ha (BPS 2009). Sumbangan padi gogo di berbagai pulau di Indonesia masih sangat terbatas (Deptan 2008). Luas lahan kering di Indonesia sekitar 52,83 juta ha dan yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan sekitar 5,1 juta ha, sedangkan luas panen sekitar 1,12 juta ha (Hidayat et al. 1997). Pengembangan lahan kering akan jauh lebih murah karena relatif tidak memerlukan kelengkapan sarana penunjang seperti pada lahan sawah irigasi. Perluasan areal padi ke lahan kering merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan peningkatan produksi beras nasional. Usaha peningkatan produksi padi gogo disamping untuk meningkatkan produksi beras nasional juga dapat memenuhi kebutuhan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani setempat. Pengembangan padi gogo di lahan kering menghadapi berbagai kendala seperti penanaman di lahan marjinal dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah, cekaman abiotik (kekeringan, Al), cekaman biotik (hama dan penyakit), sehingga produksi jauh lebih rendah dibandingkan padi sawah. Peningkatan produksi di lahan kering dapat dilakukan dengan perbaikan potensi daya hasil dan adaptasi tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik disertai cara budidaya yang berbasis pengetahuan fisiologi atau ekofisiologi. Pengembangan budidaya padi gogo di lahan kering merupakan
2
salah satu alternatif untuk peningkatan produktivitas padi dalam memenuhi kebutuhan pangan (Sopandie 2006). Di Indonesia, penyakit blas merupakan salah satu masalah utama dalam upaya peningkatan produksi, terutama pada pertanaman padi gogo. Serangan patogen blas lebih serius pada pertanaman padi gogo karena sifat fisik dan kimia tanah, kelembaban daun dan ketidakseimbangan penyerapan hara akibat kondisi yang kering. Penyakit blas dapat menginfeksi tanaman pada fase vegetatif (blas daun) dan fase generatif menginfeksi tangkai malai (blas leher malai) yang dapat menyebabkan malai patah yang menghambat proses pengangkutan fotosintat ke biji . Blas leher malai dapat menyebabkan gabah hampa dan tanaman puso. Penyakit blas dapat diantisipasi dengan penggunaan fungisida dan pemberian silikat. Namun demikian pendekatan tersebut memerlukan biaya yang tinggi dan penggunaan fungisida yang tidak sesuai aturan dapat merusak
lingkungan.
Daerah endemik penyakit blas adalah Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Jawa Barat (Sukabumi) (Santoso et al. 2008). Pendekatan yang lebih efisien, aman dan ramah lingkungan adalah penggunaan varietas yang tahan. Varietas-varietas yang diperkenalkan kepada petani hanya dapat bertahan 2-3 musim tanam saja selanjutnya berubah menjadi rentan (Amir 2002). Hal ini disebabkan kemampuan cendawan Pyricularia grisea dapat dengan cepat membentuk ras baru yang bersifat virulen (Ou 1985). Oleh sebab itu perakitan varietas padi yang tahan penyakit blas
harus dilakukan
dengan cepat dan berkesinambungan serta sesuai dengan keberadaan ras cendawan Pyricularia grisea yang berkembang di lapangan (Amir 2002). Kehilangan hasil pada varietas rentan dapat mencapai 50 – 90 % (Amir & Kardin 1991) Pengembangan varietas yang tahan telah diusahakan oleh para peneliti sejak awal penyakit ini dikenal di Indonesia, tetapi sampai saat ini belum didapat varietas yang tahan lama (durable). Varietas tahan yang diperkenalkan kepada petani selama ini hanya memiliki satu gen ketahanan blas sehingga pada umumnya segera patah. Oleh karena itu plasma nutfah padi yang meliputi spesies liar, lanras, galur-galur lokal, varietas unggul nasional, galur-galur introduksi, dan tanaman padi mutan, perlu diuji sifat ketahanannya secara bertahap dalam rangka mencari sumber gen ketahanan baru. Koleksi spesies liar
3
memiliki banyak karakter bermanfaat untuk program pemuliaan tanaman, seperti sifat ketahanan terhadap beberapa penyakit. Program pemuliaan diarahkan kepada pembentukan varietas yang tahan atau
resisten
terhadap
penyakit
blas.
Sejalan
dengan
perkembangan
bioteknologi tanaman khususnya di bidang kultur jaringan, teknik kultur antera dilaporkan telah berhasil dan berpeluang dapat menunjang program pemuliaan tanaman. Dalam program pemuliaan konvensional untuk memperoleh galur murni diperlukan waktu yang cukup lama. Dalam upaya memperpendek waktu yang diperlukan untuk memperoleh galur padi gogo telah dilakukan upaya kombinasi prosedur pemuliaan konvensional dan bioteknologi melalui kultur antera (Purwoko 2004). Kultur antera merupakan salah satu teknik kultur in-vitro yang dapat mempercepat perolehan tanaman haploid ganda homozigos (galur murni) dari tanaman heterozigos tanpa disukarkan oleh hubungan dominan resesif,
sehingga
siklus
pemuliaan
dapat
lebih
singkat
karena
dapat
menghilangkan sebagian besar dari kegiatan seleksi pada proses memperoleh galur murni (6-8 generasi) yang umum pada pemuliaan konvensional (Fehr 1987 ; Dewi et al. 1996). Proses seleksi menjadi lebih efisien, karena galur murni (DH0) dapat segera diperoleh pada generasi yang pertama. Evaluasi karakter agronomi utama dapat dilakukan pada generasi selanjutnya, yaitu pada DH1 dan DH2 . Oleh sebab itu bila dibandingkan dengan sistem konvensional, keuntungan lain dari penggunaan kultur antera dalam program pemuliaan ialah menghemat biaya, waktu dan tenaga kerja (Dewi et al. 1996; Sanint et al. 1996). Sejumlah galur haploid ganda padi gogo dari persilangan antara beberapa varietas unggul padi gogo dan aksesi plasma nutfah tenggang aluminium dan tahan penyakit blas telah diperoleh dari penelitian sebelumnya melalui kultur antera (Purwoko et al. 2007). Berdasarkan evaluasi di lapangan terhadap galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera diperoleh galur - galur yang beradaptasi baik pada tanah masam dan toleran terhadap naungan. Toleransi cekaman almunium (Al) dan toleransi terhadap naungan dari galurgalur tersebut konsisten antara penapisan di rumah kaca, pada kondisi terkontrol dan uji di lapangan (Sasmita 2006 ; Bakhtiar 2007). Varietas unggul padi gogo yang dijadikan tetua adalah varietas Way Rarem, Gajah Mungkur, Jatiluhur, ITA 247, Dupa, Dodokan karena memiliki ketahanan terhadap kekeringan, resisten terhadap penyakit blas (Pyricularia grisea), penyakit bercak coklat, toleran Al dan memiliki hasil tinggi. Dari hasil
4
penelitian sebelumnya melalui kultur antera telah diperoleh galur-galur IW-53, IW-54, IW-56, IW-64, IW-67, IG-19, IG-38
yang toleran terhadap naungan
(Sasmita 2006) dan galur O18b-1, A3-2, A3-7, B13-2a, B13-2d, B13-2e toleran aluminium (Purwoko 2007). Dalam penelitian ini akan diuji daya hasil galur-galur tersebut dan ketahanannya terhadap penyakit blas daun di lapangan.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan galur-galur padi gogo yang berpotensi hasil tinggi dan resisten terhadap penyakit blas.
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1.
Terdapat galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera yang memiliki daya hasil yang tinggi di lapangan.
2.
Terdapat beberapa galur haploid ganda padi gogo hasil kultur antera yang tahan terhadap penyakit blas daun .
5
TINJAUAN PUSTAKA Kendala Budidaya Tanaman Padi Gogo di Lahan Kering Lahan kering sebagai tempat pertanaman padi gogo memiliki beberapa keterbatasan yaitu kesuburan tanah yang rendah, kekahatan berbagai unsur hara, dan adanya keracunan berkaitan dengan reaksi tanah (pH) yang memiliki kemasaman
yang
tinggi.
Pada tanah masam
faktor pembatas utama
pertumbuhan adalah keracunan alumunium (Al). Pengaruh utama alumunium ialah terhadap pertumbuhan akar, yang menyebabkan akar tampak pendek membengkak, tidak memiliki akar lateral yang sehat (Sopandie 1997; Syafruddin et al. 2006). Keracunan Al pada padi dapat
menyebabkan terjadinya
penghambatan pemanjangan akar (Rusdiansyah et al. 2001; Watanabe & Okada 2005b). Hambatan pertumbuhan tajuk (Fageria et al. 1988)
merupakan
pengaruh sekunder akibat induksi kekahatan hara terutama Mg, Ca, dan P serta induksi cekaman kekeringan sebagai gangguan pertumbuhan dan aktivitas perakaran sehingga pertumbuhan akar padi menjadi kerdil . Lilley dan Fukai (1994)
menemukan
menyebabkan
bahwa
penurunan
kekeringan
hasil
yang
selama
nyata.
tahap
Stres
vegetatif
selama
tiga
dapat tahap
pertumbuhan padi yaitu penyemaian, vegetatif dan anthesis dapat mengurangi tinggi tanaman, komponen hasil dan hasil biji padi (Dey & Upadhyaya 1996). Kendala terpenting pada pola budidaya tanaman sela di bawah tegakan tanaman perkebunan adalah intensitas cahaya rendah, defisit cahaya dapat menyebabkan penurunan daya hasil 53-67% pada galur padi gogo yang peka (Sopandie et al. 2003). Kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap naungan dan perubahan iklim mikro yang terjadi ditentukan oleh faktor genetika tanaman. Menurut Mohr dan Schopfer (1995) secara genetik tanaman yang toleran terhadap naungan mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan. Fukai dan Cooper (1995), menjelaskan bahwa sebagian besar galur padi yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan berkembang relatif
baik
selama kekeringan adalah dengan memelihara potensial air daun tetap tinggi. Tanaman dapat memelihara potensial air tetap tinggi dengan cara memperbaiki serapan air dan menyimpannya dalam jaringan tanaman, dan mengurangi hilangnya air. Tanaman pada kondisi kekeringan akan bertahan hidup dengan
6
cara pemeliharaan turgor sel melalui penambahan kedalaman akar, efisiensi sistem perakaran dan mengurangi kehilangan air. Secara
umum,
tanaman
yang
ternaungi
akan menurunkan
titik
kompensasi dan perlambatan fotosintesis (Salisbury & Ross 1995). Penurunan intensitas cahaya juga akan menyebabkan peningkatan jumlah tilakoid, menghambat transpirasi, menghambat respirasi, menghambat sintesis protein, menghambat
produksi
hormon,
menghambat
translokasi,
menghambat
pertumbuhan akar, dan menghambat penyerapan mineral (Marschner 1995), pengurangan proses respirasi gelap dan kerapatan stomata (Marler 1994) dan pengurangan sintesis rubisco (Mae et al. 1993).
Peningkatan Produksi Tanaman Padi Pemuliaan tanaman padi untuk daya hasil tinggi dilakukan untuk memadukan karakter-karakter yang mendukung peningkatan daya hasil. Peningkatan daya hasil dapat dicapai dengan perbaikan potensi hasil, peningkatan daya adaptasi pada berbagai faktor lingkungan yang dapat mengurangi produktivitas, dan perbaikan lingkungan tumbuh (Dalrymple 1986). Kontribusi padi gogo terhadap produksi nasional relatif masih rendah, sehingga pengembangannya perlu terus diupayakan. Produktivitasnya sebesar 2,57 ton/ha, jauh lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas padi sawah (4,75 ton/ha) (Departemen Pertanian, 2004). Rendahnya produktivitas padi gogo disebabkan antara lain oleh kondisi iklim dan tanah yang bervariasi, penerapan teknologi budidaya yang belum optimal terutama dalam penggunaan varietas unggul, pemupukan dan pengendalian penyakit blas (Toha, 2005). Vergara et al (1973), Chang dan De Datta (1979) telah menetapkan ideotipe tanaman varietas unggul padi gogo yang berdaya hasil tinggi yaitu : tinggi tanaman sedang (kurang dari 130 cm), daya merumpun sedang tetapi produktif, umur genjah (110-135 hari) tergantung lokasi, vigor awal besar, perakaran besar dan dalam, toleran terhadap hama dan penyakit utama, dan adaptabilitasnya tinggi. Disamping itu, varietas padi gogo perlu memiliki sifat malai yang berat untuk mengimbangi jumlah anakan yang sedikit (Sing & Nanda, 1976). Jumlah anakan akan mempengaruhi jumlah anakan produktif. Menurut Mukhlis (2000) dan Permadi et al (2000) peningkatan anakan total per rumpun dapat meningkatkan jumlah malai setiap rumpunnya. Peng et al. (1999) melaporkan bahwa penyebab rendahnya pengisian biji pada padi adalah apikal
7
dominan yang kecil pada malai, susunan gabah pada malai, dan terbatasnya seludang pembuluh untuk pengangkutan asimilat. Menurut Kobata dan Iida (2004), rendahnya pengisian biji pada padi disebabkan karena rendahnya efisiensi partisi asimilat ke biji. Mutu beras yang kurang baik mengakibatkan padi gogo tidak disukai oleh petani dan konsumen. Varietas unggul baru yang berdaya hasil tinggi, bermutu beras baik dan berumur genjah merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kontribusi padi gogo terhadap padi nasional. Beras yang bermutu baik dan bertekstur pulen lebih disukai oleh konsumen dan mempunyai harga jual yang lebih tinggi (Allidawati dan Kustianto 1993).
Aplikasi Kultur Antera dalam Pemuliaan Tanaman Padi Pada pemuliaan tanaman konvensional, varietas tanaman menyerbuk sendiri seperti padi terdiri atas genotipe, homogen dan homozigos. Hasil rekombinasi sifat-sifat yang diinginkan dari genom tetua yang disilangkan kemudian diseleksi pada generasi bersegregesi selanjutnya digalurkan 6-10 generasi untuk fiksasi gen agar diperoleh galur murni homozigos (Khush dan Virmani 1996; Dewi dan Purwoko 2001). Hal ini mengakibatkan pembentukan varietas memerlukan waktu lama. Kultur antera adalah salah satu teknik kultur jaringan yang dapat diaplikasikan pada program pemuliaan tanaman dalam rangka mempercepat proses mendapatkan galur murni. Melalui teknik kultur antera dapat diperoleh galur murni lebih cepat dibandingkan dengan cara pemuliaan konvensional yang memerlukan beberapa generasi setelah persilangan sehingga dapat menghemat waktu dan biaya (Hu 1985). Aplikasi kultur antera memberi harapan untuk membantu program pemuliaan tanaman (Somantri et al. 1985). Kultur antera merupakan metode yang sudah banyak digunakan untuk memproduksi tanaman haploid (Jensen 1986). Kultur antera lebih sederhana dan efisien diantara metode produksi tanaman haploid yang ada (Hu 1988), sehingga dapat meningkatkan program pemuliaan tanaman. Kultur antera memiliki beberapa keuntungan, yaitu (a) memperpendek siklus pemuliaan dengan diperoleh homosigositas secara cepat, (b) menambah efisiensi seleksi, (c) memperluas variabilitas genetik melalui produksi variasi gametoklonal, (d) gen resesif terekspresi lebih cepat, dan (e) menghemat waktu, biaya dan tenaga (Zapata 1990 ; Dewi et al. 1996; Masyhudi et al. 1997; Kim and Baenziger 2005). Teknik kultur antera
mempunyai
8
beberapa kelemahan yaitu : (a) persentase regenerasi tanaman hijau rendah, karena dihasilkan tanaman albino, dan tidak semua genotipe responsif terhadap kultur anter, (b) beragamnya ploidi tanaman yang dihasilkan, (c) penampilan galur inbred turunan haploid ganda mungkin lebih inferior dibanding penampilan galur inbred hasil pemuliaan konvensional (Dewi et al. 1996, Masyhudi et al. 1997; Somantri et al. 2003). Secara konvensional, seleksi sifat yang dikendalikan oleh gen mayor akan efektif pada populasi F2 jika alelnya dominan, tetapi jika dikendalikan oleh alel resesif maka proporsi kombinasi akan muncul pada F2
sangat kecil yaitu
n
(1/4) , dimana n adalah jumlah lokus. Akibatnya peluang alel-alel yang diinginkan pada populasi yang dihasilkan rendah. Sebaliknya, dengan menggunakan populasi haploid ganda, genotipe tersebut akan muncul dengan frekuensi (1/2)n. Frekuensi fiksasi sifat pada haploid ganda yang berasal dari F1 sama dengan akar kwadrat dari frekuensi pada F2
(Snape 1989) sehingga populasi yang
diperlukan untuk seleksi lebih sedikit.
Penyakit Blas pada Tanaman Padi Penyakit blas adalah penyakit utama pada padi
yang disebabkan oleh
cendawan Pyricularia grisea (Cooke) Sacc, Sinonimnya Pyricularia oryzae Cavara (Rossman et al. 1990). Penyakit ini dapat menyerang pertanaman padi sawah dan padi gogo. Cendawan blas dapat menginfeksi tanaman padi pada setiap tahapan pertumbuhannya dengan membentuk bercak pada daun, ruas batang, leher malai, malai yang dapat menyebabkan kehampaan pada biji sehingga mengakibatkan terjadinya puso atau gagal panen. Secara umum ada dua jenis serangan blas yaitu blas daun yang menyerang tanaman pada persemaian dan blas leher malai yang menyerang pada awal pembungaan (Bonman 1992). Patogen penyakit blas bersifat dinamis, rasnya dapat berubah dalam waktu yang singkat dan berkembang
membentuk ras baru, dan mematahkan
ketahanan varietas yang tahan menjadi rentan. Pengendalian penyakit blas secara terpadu meliputi penggunaan varietas tahan, pupuk N dengan takaran yang tidak berlebihan, dan penggunaan fungisida pada waktu yang tepat (Sudir et al. 2002). Gejala yang terlihat adalah muncul bercak pada daun dan pelepah daun yang berbentuk belah ketupat. Pada varietas padi rentan (R), bercak dapat meluas dan akhirnya bersatu sehingga helaian daun kering dan mati.
Pada
9
varietas padi tahan (T) terhadap cendawan ini gejala serangan hanya berupa bintik kecil berwarna coklat (Ou 1985). IRRI (1996) merekomendasikan klasifikasi sifat ketahanan tanaman berdasarkan tipe bercak yang muncul.
Bercak belah ketupat dengan pusat
berwarna abu-abu dikelompokkan sebagai tipe bercak rentan. Bercak berbentuk gelendong dan bercak berupa bintik kecil dan bercak elips tanpa pusat sporulasi dikelompokkan sebagai bercak tahan. Tanaman yang sangat rentan memiliki daun yang penuh dengan bercak sehingga hijau daun tidak nampak, lamakelamaan tanaman akan mengering dan mati. Menurut Bastian et al. (1991) hal ini terjadi karena proses fotosintesis terhambat, respirasi pada daun yang terinfeksi meningkat, konsumsi asimilat diambil alih oleh patogen dan proses penuaan daun dipercepat. Serangan blas pada leher malai menyebabkan leher malai membusuk dan bulir hampa. Bercak juga tampak pada permukaan bulir pada padi (Semangun 1991). Membusuknya leher malai dapat menghambat pengiriman fotosintat ke biji sehingga menyebabkan bulir-bulir padi menjadi hampa dan dapat menurunkan hasil. Ketahanan terhadap blas leher malai cukup untuk menekan penurunan hasil akibat serangan penyakit blas (Bonman, 1996). Tingkat serangan blas leher malai ditetapkan berdasarkan persentase malai terinfeksi terhadap total malai yang dihasilkan oleh tanaman. Reaksi ditetapkan berdasarkan skala penyakit. Skala 1-3 adalah tanaman tahan, sedangkan tanaman rentan memiliki skala 5-9 (IRRI 1996). Penyakit blas mempunyai ras patogenik yang berbeda kemampuannya dalam menginfeksi tanaman padi. Adanya beberapa ras utama dalam suatu daerah menyulitkan untuk memberikan anjuran varietas yang sebaiknya ditanam di daerah itu. Usaha mengembangkan secara luas suatu varietas tertentu akan menimbulkan perubahan komposisi ras utama cendawan pada musim tanam selanjutnya, dan suatu saat akan mengakibatkan serangan blas yang menyebar di seluruh daerah tersebut (Rahama 1988). Hasil pengujian blas daun dan blas leher malai menunjukkan ada empat kombinasi sifat ketahanan tanaman terhadap blas, yaitu tahan terhadap blas daun dan leher malai, tahan blas daun rentan blas malai, rentan blas daun tahan blas malai, dan rentan terhadap keduanya (Ramli 2000). Ketahanan tanaman adalah salah satu aspek dalam pengendalian blas di lapangan. Pada awal upaya mencari varietas tahan, para peneliti bekerja dengan
10
sifat ketahanan yang dimiliki suatu varietas terhadap suatu ras cendawan blas. Varietas dengan satu gen ketahanan tersebut ternyata tidak dapat bertahan menghadapi ras cendawan blas yang demikian cepat berkembang. Oleh karena itu pemuliaan mulai diarahkan kepada mencari varietas yang dapat bertahan menghadapi infeksi beragam ras blas di lapangan pada musim yang berbeda.
11
BAHAN DAN METODE I. Uji Daya Hasil Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera. Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Babakan, Kecamatan Darmaga, Bogor Jawa Barat. Kebun terletak pada ketinggian 190 m di atas permukaan laut (dpl) (Lampiran 1). Percobaan
dilaksanakan pada musim
kemarau dari bulan Mei 2008 – September 2008. Bahan dan Alat Pada percobaan ini digunakan benih dari 16 galur padi gogo hasil kultur antera yaitu : IW- 54, IW-56, IW- 64, IW-67, WI-43, WI-44, GI-7, O18b-1, IG-19, IG-38, A3-2, A3-7, B13-2a, B13-2d, B13-2e, D19-1 dan Jatiluhur sebagai varietas pembanding. Alat yang digunakan cangkul, ember, tali, bambu dan alat tulis.
Pelaksanaan Percobaan Persiapan Tanam : Tanah diolah dua minggu sebelum tanam. Tanah yang sudah diolah kemudian dibuat petakan sebanyak 51 petak dengan ukuran tiap petak 3,0 m x 3,6 m, jarak antar petak 0,5 m. Pupuk kandang diberikan seminggu sebelum ditanam sebanyak 10,8 kg/petak atau 10 ton/ha. Pupuk anorganik diberikan dengan dosis Urea 200 kg/ha (diberikan 3 kali), SP36 100 kg/ha dan KCl 75 kg/ha. Pupuk SP36 dan KCl diberikan seluruhnya dan Urea 1/3 pada saat tanam, diberikan dengan cara dilarik disamping baris tanaman. Benih ditanam dengan jarak tanam 30 cm x 20 cm dengan cara ditugal sebanyak 3 butir/lubang sedalam 3 cm dan diberi Furadan. Benih sebelum ditanam dioven selama 2 hari dengan suhu 40 0C. Total populasi tiap petak 180 rumpun. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan meliputi penyulaman pada 2 MST, pengairan (disesuaikan dengan kondisi lapangan), penyiangan dan pengendalian hama penyakit. Sisa pupuk Urea 1/3 diberikan pada 5 MST dan 1/3 bagian saat primordia bunga dan diberikan dengan cara dilarik di samping tanaman. Penyiangan dilakukan dengan menggunakan kored dan tangan. Pengendalian hama dilakukan pada saat munculnya gejala serangan hama dan penyakit.
12
Pengamatan Pengambilan 5 tanaman contoh secara acak dilakukan pada setiap petak percobaan. Tanaman contoh terletak bukan di baris terluar. Karakter-karakter yang diamati meliputi fase vegetatif, komponen hasil dan hasil. Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga daun terpanjang, pengamatan dilakukan pada 45 HST, sedangkan tinggi tanaman saat panen diukur dari permukaan tanah hingga malai terpanjang. Jumlah anakan dihitung
pada waktu panen.
Umur berbunga (hari) dihitung jika malai telah muncul 80 % dari populasi tanaman. Umur panen (hari) dihitung jika 80 % malai siap dipanen. Jumlah anakan produktif (batang/rumpun) dihitung berdasarkan jumlah anakan bermalai pada saat panen. Panjang malai, diukur dari leher malai sampai ujung malai (cm) (diambil 3 malai dari tiap tanaman contoh). Peubah lain yang diukur adalah jumlah gabah per malai (butir), jumlah gabah hampa per malai (butir), jumlah gabah isi per malai (butir), persentase gabah isi dan persentase gabah hampa, bobot 1000 butir (g), hasil per rumpun (g), hasil per petak (kg). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji F, dan jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5 %. II. Uji Ketahanan Galur-Galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera terhadap Penyakit Blas Daun. Waktu dan Tempat Percobaan
dilaksanakan
Desa
Bojong,
Kecamatan
Cikembar,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yang merupakan daerah endemik panyakit blas (Pyricularia grisea L). Percobaan dilakukan pada musim hujan dari bulan November 2008 - Maret 2009. Bahan dan Alat Dalam percobaan digunakan benih dari 16 galur padi gogo hasil kultur antera yaitu : IW- 54, IW-56, IW- 64, IW-67, WI-43, WI-44, GI-7, O18b-1, IG-19, IG-38, A3-2, A3-7, B13-2a, B13-2d, B13-2e, D19-1 dan varietas Jatiluhur, Batutegi, Limboto sebagai varietas tahan dan Cisokan varietas rentan. Alat yang digunakan pacul, ember, tali, bambu dan alat tulis.
13
Pelaksanaan Percobaan Tanah diolah dua minggu sebelum tanam. Ada 20 galur/varietas. Setiap galur ditanam 2 baris. Jarak antar baris 10 cm, jarak dalam baris 5 cm, panjang baris 50 cm. Benih ditanam secara larikan. Pupuk buatan diberikan dengan dosis Urea 200 kg/ha (diberikan 3 kali), SP36 100 kg/ha dan KCl 75 kg/ha. Pupuk SP36 dan KCl diberikan seluruhnya dan Urea 1/3 pada saat tanam, diberikan dengan cara dilarik disamping baris tanaman. Percobaan ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan meliputi penyulaman pada 2 MST, pengairan (disesuaikan dengan kondisi lapangan), penyiangan. Sisa pupuk Urea 1/3 diberikan pada 5 MST dan 1/3 bagian saat primordia bunga dan diberikan dengan cara dilarik di samping tanaman. Penyiangan dilakukan dengan menggunakan kored dan tangan. Pengamatan Pengamatan dilakukan dengan mengambil
5 tanaman contoh. Daun
yang diamati adalah tiga daun dari pucuk daun yang membuka sempurna. Pengamatan dilakukan setiap minggu. Pengamatan dilakukan terhadap : 1. Skala penyakit : Penetapan skala berdasarkan standar IRRI (1996) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Skala penyakit berdasarkan standar IRRI Skala
Gejala
0
Tidak ada bercak
1
Bercak sebesar ujung jarum (0,5%) dan berwarna coklat, tanpa ada pusat Sporulasi.
2
Bercak nekrotik keabu-abuan, bundar sampai sedikit memanjang berdiameter sekitar 1-2 mm, dengan pinggir berwarna coklat lebih besar dari ujung jarum. Bercak umumnya dijumpai pada bagian bawah daun (luas daun terserang 1 %).
3
Tipe bercak seperti pada skala 2, tetapi jumlah bercak nyata lebih banyak pada bagian atas daun (luas daun terserang 2 %).
4
Bercak tipe rentan, khas blas (belah ketupat dengan pusat abu-abu), sepanjang 3 mm atau lebih panjang, menginfeksi kurang dari 4 % luas daun.
14
Skala
Gejala
5
Bercak tipe rentan, khas blas (belah ketupat dengan pusat abu-abu), menginfeksi 4-10 % luas daun.
6
Bercak tipe rentan, khas blas (belah ketupat dengan pusat abu-abu), menginfeksi 11-25 % luas daun.
7
Bercak tipe rentan, khas blas (belah ketupat dengan pusat abu-abu), menginfeksi 26-50 % luas daun.
8
Bercak tipe rentan, khas (belah ketupat dengan pusat abu-abu ), menginfeksi 51-75 % luas daun.
9
Menginfeksi lebih dari 75 % luas daun.
Pengelompokan sifat ketahanan berdasarkan sistem “ Standard Evaluation for Blast Disease “ dari IRRI (1996). Skala
Ketahanan
0
Sangat tahan
1-3
Tahan
4-6
Moderat tahan atau rentan
7-9
Bersifat rentan.
2. Intensitas serangan (%) : dihitung dengan rumus sebagai berikut : I =
Σ ( n x v ) x 100 % (N X V)
Keterangan : I = Intensitas serangan n = Jumlah daun terserang v = Skala masing-masing daun terserang N = Jumlah daun yang diamati V = Skala tertinggi dalam blas daun (9) 3. Periode laten : Waktu terinfeksinya tananam oleh patogen. III. Uji Daya Hasil Galur-Galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera di Daerah Endemik Penyakit Blas. Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yang merupakan daerah endemik panyakit blas (Pyricularia grisea L) . Percobaan dilakukan pada musim hujan dari bulan November 2008 - Maret 2009.
15
Bahan dan Alat Dalam percobaan digunakan benih dari 16 galur padi gogo hasil kultur antera yaitu : IW- 54, IW-56, IW- 64, IW-67, WI-43, WI-44, GI-7, O18b-1, IG-19, IG-38, A3-2, A3-7, B13-2a, B13-2d, B13-2e, D19-1 dan varietas Jatiluhur, Batutegi, Limboto (kontrol tahan) dan Cisokan (kontrol rentan).
Alat yang
digunakan cangkul, ember, tali, bambu dan alat tulis. Pelaksanaan Percobaan Tanah diolah dua minggu sebelum tanam. Dibuat petakan sebanyak 60 petak dengan ukuran tiap petak 3 m x 3,6 m, jarak antar petak 0,5 m. Jarak tanam 30 cm x 15 cm. Benih sebelum ditanam dioven selama 2 hari dengan suhu 40 0C. Benih ditanam sebanyak 3 butir/lubang dengan cara ditugal sedalam 3 cm. Total populasi tiap petak 240 rumpun. Pupuk buatan diberikan dengan dosis Urea 200 kg/ha (diberikan 3 kali), SP36 100 kg/ha dan KCl 75 kg/ha. Pupuk SP36 dan KCl diberikan seluruhnya dan Urea 1/3 pada saat tanam, diberikan dengan cara dilarik disamping baris tanaman. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan meliputi penyulaman pada 2 MST, pengairan (disesuaikan dengan kondisi lapangan), penyiangan dan pengendalian hama penyakit. Sisa pupuk Urea 1/3 diberikan pada 5 MST dan 1/3 bagian saat primordia bunga dan diberikan dengan cara dilarik di samping tanaman. Penyiangan dilakukan dengan menggunakan kored dan tangan. Pengamatan
Pengambilan 5 tanaman contoh secara acak dilakukan pada setiap petak percobaan. Tanaman contoh terletak bukan di baris terluar. Karakter-karakter yang diamati meliputi fase vegetatif, fase generatif dan komponen hasil . Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga daun terpanjang, pengamatan dilakukan
pada 45 HST, sedangkan tinggi tanaman saat panen diukur dari
permukaan tanah hingga malai terpanjang. Jumlah anakan dihitung pada waktu panen. Umur berbunga (hari) dihitung jika telah muncul 80% dari populasi tanaman. Umur panen (hari) dihitung jika 80% malai siap dipanen. Jumlah anakan produktif (batang/rumpun) dihitung berdasarkan jumlah anakan bermalai pada saat panen. Panjang malai, diukur dari leher malai sampai ujung malai (cm)
16
(diambil 3 malai dari tiap tanaman contoh). Peubah lain yang diukur adalah jumlah gabah per malai (butir), jumlah gabah hampa per malai (butir), jumlah gabah isi per malai (butir), persentase gabah isi dan persentase gabah hampa, bobot 1000 butir (g), hasil per rumpun (g), hasil per petak (kg). Pengamatan mutu beras meliputi : 1. Ukuran dan bentuk beras Butir beras pecah kulit dan beras giling dari masing-masing galur diukur dengan menggunakan jangka sorong. Dari tiap galur diukur 10 butir beras pecah kulit dan beras giling. Ukuran dan bentuk beras mengikuti Tabel 2. Tabel 2. Standarisasi tipe beras berdasarkan ukuran dan bentuk beras. Skala USDA Ukuran
Beras Pecah Kulit
Beras Giling
7,5
7,0
Ukuran (mm) Sangat panjang (extra long) Panjang (long)
6,61 - 7,5
Sedang (medium)
5,51 - 6,60
5,50 - 5,99
5,51
5,0
Lonjong (slender)
3,0
3,0
Sedang (medium)
2,1 – 3,0
-
2,1
2,0 – 3,0
-
2,0
Pendek (short)
6 - 6,99
Bentuk (panjang/lebar)
Agak bulat Bulat (round)
Sumber USDA dalam Damardjati dan Purwani (1993). 2. Kadar amilosa. Sampel tepung beras sebanyak 40 g dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian ditambahkan air sebanyak 200 ml dan dikocok sampai homogen, kemudian dibilas dengan 160 ml air lagi. Larutan kemudian dimasukkan ke Brabender, pemanasan pertama pada suhu 300C selama 3 menit, setelah itu suhu dinaikkan sampai menjadi 970C selama 43,5 menit, lalu setelah mencapai suhu tersebut dipertahankan selama 20 menit. Tahap selanjutnya adalah pendinginan, yaitu dengan menurunkan suhu sampai 500C selama 30 menit. Hasil dari proses dalam Brabender tercetak pada grafik yang kemudian dari
17
grafik tersebut dapat diketahui viscositas optimum, waktu gelatinasi dan waktu granula pecah. 3. Suhu gelatinasi Uji suhu gelatinasi ditentukan dengan menggunakan uji alkali, yaitu pengembangan dan kelarutan butir beras dalam larutan alkali lemah. Kegiatan pengujiannya adalah dengan menggunakan 6 butir beras utuh yang diletakkan dalam cawan petri kecil, kemudian ditambahkan larutan KOH 1,7% sebanyak 10 ml, ditutup dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 300C atau pada suhu kamar. Setelah itu dilakukan pengamatan visual terhadap tipe dan tingkat disintegrasi dari butir beras. Skala pengembangan dimulai dari nilai 1 (butir beras tetap utuh ) sampai nilai 7 ( butir beras hancur sama sekali) (Tabel 3).
Tabel 3. Pedoman penilaian suhu gelatinasi Nilai
Pengembangan (Speering)
Kejernihan (Clearing)
1
Biji tetap utuh
Biji putih bersih
2
Biji membesar
Biji putih retak-retak
3
Biji membesar, sedikit retak-retak
Biji putih, keruh
4
Biji membesar retak-retak melebar
Bagian tengah mengkilat, bagian tepi keruh
5
Biji membelah, melebar tetapi masih merupakan kesatuan
Bagian tengah mengkilat, bagian tepi terang
6
Biji berpencar dan hancur
Bagian tengah keruh, bagian tepi terang
7
Biji hancur sama sekali
Seluruh bagian terang
Sumber USDA dalam Damardjati dan Purwani (1993).
18
HASIL DAN PEMBAHASAN I. Kondisi Umum Percobaan I,II dan III Pada percobaan I ketersediaan air untuk padi gogo tidak dapat diatur sebagaimana tersedianya air pada padi sawah. Hal ini disebabkan adanya ketergantungan tanaman padi gogo pada air hujan, baik curah hujan maupun distribusinya.
Waktu awal penanaman, pertumbuhan tanaman cukup baik, tapi
ada 3 (tiga) galur kurang baik pertumbuhan awalnya yaitu galur A3-2, A3-7 dan D19-1, dilakukan penanaman ulang ketiga galur tersebut, setelah satu bulan penanaman. Hanya 2 galur ( A3-2 dan A3-7 ) yang dapat tumbuh dengan baik sedangkan galur D19-1 daya tumbuhnya kurang pada ulangan 3 sehingga tidak diamati dalam penelitian ini. Rendahnya curah hujan saat pertumbuhan menyebabkan menurunnya produksi. Pada awal pertanaman padi curah hujan bulanan 277 mm/bulan (Lampiran 1). Pada masa pertumbuhan hingga masa pembungaan, curah hujan rendah sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan pengisian gabah. Pada masa pembungaan tanaman diserang oleh penggerek batang (strem borer) dengan intensitas sekitar 5%,
yang menyebabkan malai menjadi mati. Penggerek
batang termasuk hama penting pada tanaman padi yang sering menimbulkan kerusakan berat dan kehilangan hasil pada tanaman padi. Pada fase generatif, saat muncul malai hingga bulir padi matang susu, hama yang menyerang adalah walang sangit (Leptocorisa oratorius). Walang sangit menghisap cairan bulir padi sehingga menyebabkan gabah berubah warna dan mengapur serta hampa. Penyakit yang menyerang tanaman adalah hawar daun bakteri (BLB) yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae dan penyakit blas. Penyakit ini menyerang beberapa galur sehingga mempengaruhi pada hasil tanaman padi. Pengendalian berupa penyemprotan insektisida dan pemeliharaan lahan percobaan, pengendalian terhadap burung di pasang jaring. Gulma yang tumbuh antara lain golongan teki diantaranya Cyperus difformis L. Golongan rumput diantaranya : jajagoan (Echinochloa crussgalli), dan Paspalum disticum. Pada percobaan II dan III, waktu awal tanam curah hujan 488 mm belum dapat menciptakan lingkungan yang optimum untuk mendukung perkembangan penyakit. Pengujian ketahanan terhadap penyakit blas memerlukan curah hujan yang tinggi dan kelembaban yang tinggi untuk mendukung perkembangan
19
penyakit. Pemunculan gejala penyakit pada permukaan daun padi terjadi karena tiga faktor yaitu, daya infeksi patogen yang cukup kuat, kerentanan tanaman dan kondisi
lingkungan
terutama
suhu
dan
kelembaban,
yang
mendukung
berkembangnya penyakit. Pada awal penanaman kondisi lingkungan kurang mendukung serangan penyakit. Pada hari ke 35 setelah tanam baru mulai terlihat gejala penyakit blas daun di permukaan daun pada beberapa galur.
Hal ini
disebabkan oleh curah hujan yang cukup tinggi 515 mm, sehingga menciptakan lingkungan yang optimum untuk perkembangan penyakit blas. Di antara galurgalur hasil kultur antera yang diuji terdapat galur yang terinfeksi penyakit blas daun dan leher malai yaitu galur A3-2 dan A3-7. Pada pertumbuhan vegetatif, pertanaman mengalami kekeringan karena curah hujan tidak merata pada saat tanaman berumur
6 minggu sehingga
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Tanaman juga terkena serangan hama lundi, sehingga pertumbuhan tanaman terganggu, tanaman menjadi kerdil dan pinggir daunnya menjadi kuning. Tanaman padi diserang oleh hama penggerek batang. Bila serangan terjadi pada pembibitan sampai fase anakan, hama ini disebut sundep, dan jika terjadi pada saat berbunga disebut beluk. Pada percobaan ini penggerek batang menyerang pada saat berbunga yang menyebabkan malai mati sehingga gabah menjadi hampa.
II. Uji Daya Hasil Galur-galur Padi Gogo hasil Kultur Antera Berdasarkan
analisis
statistika
keragaman
peubah
yang
diamati
berpengaruh nyata, kemudian dilakukan uji lanjut dengan uji jarak berganda Duncan /DMRT pada taraf 5%. Berdasarkan koefisien keragaman , peubah yang menunjukkan keragaman relatif besar yaitu jumlah total anakan (27,5%), jumlah gabah hampa (31,5%), persentase gabah hampa (29,5%) dan bobot/petak (43,2%) (Tabel 4). Pada Tabel 4 terlihat hasil analisis ragam peubah-peubah yang diamati. Genotipe memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap peubah yang diamati.
20
Tabel 4. Hasil Analisis Ragam Peubah Galur-Galur Hasil Kultur Antera dan Varietas Jatiluhur. Peubah 1. Tinggi tanaman 45 HST (cm) 2. Tinggi tanaman saat panen (cm)
JKP
KTP
F hitung
8283,3 13893,5
552,1 926,2
1138,6
75,9
3*
4. Jumlah anakan produktif
749,6
49,9
9,9**
5. Panjang malai (cm)
142,5
9,5
3,4*
6. Jumlah gabah / malai
10677,5
711,8
4,3*
7. Jumlah gabah isi / malai
10512,1
700,8
5,1*
8. Jumlah gabah hampa / malai
19023,9
1268,3
9,2**
9. Persentase gabah hampa
8132,2
542,2
6,2 *
10. Persentase gabah isi
9812,8
4906,4
97,5**
865,1
57,6
9,5**
9,8
0,65
2*
3. Jumlah total anakan
11. Bobot/rumpun 12. Bobot / petak (kg)
35,8 ** 16,6**
Keterangan : Uji Fhit , ** berpengaruh sangat nyata, * nyata, JKP= jumlah kuadrat Perlakuan, KTP= kuadrat tengah perlakuan.
Tinggi Tanaman, Jumlah Anakan Total dan Jumlah Anakan Produktif Pengamatan tinggi tanaman pada 45 HST menunjukkan galur IG-38 nyata lebih tinggi dibandingkan varietas Jatiluhur. Tinggi tanaman saat panen galur-galur padi gogo hasil kultur antera menunjukkan galur GI-7, IG-38 dan A3-2, nyata lebih tinggi dibandingkan varietas Jatiluhur (Tabel 5). Galur O18b-1, IG-19, A3-7, B13-2d dan B13-2e memiliki tinggi yang sama dengan Jatiluhur (86 cm) . Penampilan tinggi tanaman lebih disebabkan oleh oleh faktor genetik galur/varietas tersebut. Jumlah anakan total per rumpun 16 galur tidak berbeda dengan varietas Jatiluhur (Tabel 5). Berdasarkan pada pengelompokan yang dilakukan oleh Las et al. (2004) dan Sunihardi et al. (2004), terdapat 2 galur yaitu galur GI-7 dan galur IG-38 yang termasuk jumlah anakan sedikit (9 – 10 batang), 3 galur yaitu galur O18b-1, IG-19, dan A3-2 termasuk jumlah anakan sedang (12-14 batang), 3 galur yaitu, A3-7, B13-2a dan B13-2e termasuk jumlah anakan banyak (15-20 batang) dan
7 galur IW-54, IW-56, IW-64, IW-67, WI-43, WI-44, B13-2d
termasuk jumlah anakan sangat banyak (>20 batang). Galur IG dan GI memiliki jumlah anakan sedikit mengikuti tetuanya yaitu Gajah Mungkur yang memiliki anakan 6-8 batang.
21
Tabel 5. Nilai rata-rata karakter agronomi galur-galur padi gogo hasil kultur antera dan varietas Jatiluhur di Babakan Bogor MK 2008. Varietas Tinggi Tinggi Jumlah Jumlah Tanaman Tanaman Anakan Anakan 45 HST (cm) Saat Panen(cm) Total Produktif IW-54 37,1 g 54,4 f 24,3 a 19,4 ab IW-56 35,9 g 57,2 f 21,3 ab 18,8 ab IW-64 38,4 g 55,8 f 20,3 abc 17,7 abc IW-67 36,3 g 58,9 f 23,3 ab 18,2 abc WI-43 36,1 g 58,4 f 24,1 a 18,7 ab WI-44 41,7 g 63,6 ef 25,5 a 21,5 a GI-7 70,3 ab 102,8 a 10,1 d 9,9 f O18b-1 65,7 abcd 75,4 de 12,7 bcd 11,7 ef IG-19 69,1 abc 90,7 abc 13,5 bcd 9,3 f IG-38 70,9 a 101,5 ab 10,4 cd 9,7 f A3-2 57,3 e 102,5 a 12,6 bcd 9,9 f A3-7 50,4 f 83,7 cd 17,5 abcd 15,8 bcd B13-2a 57,8 e 74,3 de 19,5 abcd 15,8 bcd B13-2d 63,1 bcde 84,9 cd 21,9 ab 14,3 cde B13-2e 58,6 de 88,3 bcd 17,8 abcd 15,4 bcd Jatiluhur 62,2 cde 86,1 cd 18,9 abcd 11,0 ef Keterangan : *) Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukan tidak berbeda nyata pada tahap uji DMRT 5 %.
Jumlah
anakan
akan
mempengaruhi
anakan
produktif.
Menurut
Soemartono (1993) karakter jumlah anakan selain dipengaruhi secara genetik karakter ini juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Arraudeau dan Vergara (1988) juga menegaskan bahwa banyaknya jumlah anakan dipengaruhi oleh faktor genetik, curah hujan, jarak tanam, teknik budidaya dan ketersediaan unsur hara. Air yang cukup untuk metabolisme tanaman, pemupukan dengan dosis yang tepat, dapat mendukung jumlah anakan maksimal. Jumlah anakan produktif merupakan karakter produksi penting pada tanaman padi. Dalam percobaan ini jumlah anakan produktif galur-galur, IW-54, IW-56, IW-64, IW-67, WI-43, WI-44, A3-7, B13-2a, B13-2d dan B13-2e (15,421,5 anakan) lebih banyak dibanding varietas Jatiluhur (11 anakan) (Tabel 5).
Umur Berbunga, Umur Panen dan Komponen Hasil Umur berbunga antar galur sangat berbeda, hal ini disebabkan karena umur berbunga dan umur panen pada padi gogo memiliki heritabilitas tinggi (Zen 1995). Galur yang berbunga paling cepat yaitu O18b-1. Galur yang paling lama berbunga yaitu A3-7, B13-2a, B13-2d dan B13-2e. Umur panen dari galur-galur yang diuji berkisar antara 97-125 HST. Galur O18b-1 adalah galur yang paling
22
cepat dipanen dan galur yang paling lama dipanen ialah IW-54, WI-44, GI-7, GI38, B13-2d dan B13-2e (Tabel 6). Siregar (1981), menggolongkan umur panen varietas padi menjadi empat kelompok, yaitu sangat genjah (< 110 hari), genjah (110-115 hari), sedang (115125 hari), dalam (125-150 hari). Berdasarkan pengelompokan tersebut diperoleh satu galur sangat genjah, yaitu O18b-1, satu galur genjah, yaitu IW-56, 13 galur berumur sedang. Varietas Jatiluhur tergolong dalam umur genjah (Tabel 6). Tabel 6. Nilai rataan umur berbunga, umur panen dan komponen hasil galurgalur padi gogo hasil kultur antera dan varietas Jatiluhur di Babakan Bogor MK 2008. Varietas
Umur
Umur
Panjang Malai
Jumlah
Jumlah
Berbunga
Panen
(cm)
Gabah/Malai
Gabah Isi
Jumlah Gabah Hampa
per Malai
Per Malai
(hari)
(hari)
IW-54
78
125
16,5 ef
79,2 de
62,4 bcd
16,8 b
IW-56
73
115
18,8 bcdef
83,7 cde
66,3 abcd
17,0 b
IW-64
76
121
16,2 f
65,1 e
48,8 cd
17,1 b
IW-67
78
124
17,9 cdef
92,5 bcd
70,2 abc
25,5 b
WI-43
75
121
18,1 cdef
86,9 bcde
65,2 abcd
21,7 b
WI-44
74
125
18,9 abcde
84,7 cde
63,5 bcd
20,9 b
GI-7
60
125
22,1 a
110,9 ab
88,5 b
22,1 b
O18b-1
55
97
20,0 abc
100,8 bcd
25,1 e
77,0 a
IG-19
62
119
19,2 abcde
86,7 bcde
70,4 abc
16,6 b
IG-38
62
125
21,9 ab
99,5 bcd
78,8 b
21,1 b
A3-2
68
119
19,8 abcde
106,9 abc
33,5 e
73,1 a
A3-7
80
119
19,7 abcde
96,7 bcd
23,1 e
68,9 a
B13-2a
80
117
16,9 def
75,6 de
56,1 bcd
19,1 b
B13-2d
80
125
17,9 cdef
86,1 bcde
65,2 abcd
25,1 b
B13-2e
82
125
17,2 cdef
87,2 bcde
68,1 abcd
18,9 b
Jatiluhur
70
111
20,5 abc
92,8 a
37,2 b
130,0 a
Keterangan : *) Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukan tidak berbeda nyata pada tahap uji DMRT 5
Hasil analisis rata-rata panjang malai galur-galur IW-54 dan IW 64 berbeda dengan Jatiluhur, sedangkan galur yang lainnya tidak berbeda dengan Jatiluhur. Galur yang memiliki panjang malai terpanjang yaitu galur GI-7(22.1 cm), sedangkan galur yang memiliki panjang malai terpendek yaitu IW-64 (16.2 cm) (Tabel 6). Rusdiansyah (2006) mengelompokkan panjang malai ke dalam tiga kelompok yaitu malai pendek (≤ 20 cm), malai sedang (panjang 20-30 cm), dan malai panjang (panjang > 30 cm). Panjang malai galur-galur IW-54, IW-56, IW-64, IW-67, WI-43, IW-44, IG-19, A3-2, A3-7 B13-2a, B13-2d, B13-2e
23
termasuk katagori malai pendek. Panjang malai galur GI-7, O18b-1, IG-38, termasuk kategori malai sedang
(20-22.1 cm). Tidak terdapat galur dengan
malai panjang berdasarkan pengelompokan Rusdiansyah (2006). Panjang malai dapat menentukan jumlah biji per malai. Semakin panjang malai diharapkan jumlah biji semakin banyak. Malai yang panjang mampu mengimbangi kurangnya jumlah anakan. Produksi dapat mencapai 10 – 30% lebih tinggi jika tanaman memiliki panjang malai yang panjang. Untuk varietas padi gogo diperlukan sifat malai berat untuk mengimbangi jumlah anakan sedang. Bobot malai ditentukan oleh panjang malai, jumlah gabah per malai (Sing dan Nanda, 1976), bobot 1000 butir (IRRI 1978) dan persentase gabah isi. Jumlah gabah/malai galur GI-7, A3-2 tidak berbeda dengan varietas Jatiluhur (Tabel 6). Galur dengan jumlah gabah terendah adalah galur IW-64 (65,1 gabah/malai) dan jumlah gabah tertinggi adalah galur GI-7 (110,9 gabah/malai). Penggunaan varietas unggul serta didukung oleh penerapan komponen teknologi produksi dapat meningkatkan komponen hasil (Syahrial 2009). Jumlah gabah isi per malai galur IW-56, IW-67, WI-43, IG-19, B13-2d dan B13-2e tidak berbeda dengan Jatiluhur. Galur yang memiliki gabah isi/malai terendah adalah galur O18b-1, A3-2, A3-7 (23,1 - 33,5 gabah isi/malai) (Tabel 6). Jumlah gabah isi menunjukkan kemampuan suatu genotipe dalam proses pengisian biji. Jumlah gabah hampa per malai
galur IW-54, IW-56, IW-64, IW-67,
WI-43, WI-44, GI-7, IG-19, IG-38, B13-2a, B13-2d, B13-2e tidak berbeda dengan Jatiluhur (Tabel 6). Kehampaan dapat diakibatkan oleh sifat genetik dan lingkungan. Dalam
penelitian ini galur O18b-1 diserang oleh penyakit hawar
daun bakteri (BLB) yang menyebabkan daun menjadi kering sehingga proses fotosintesis terhambat yang mengakibatkan pengisian biji tidak optimal. Waktu panen galur O18b-1 lebih genjah dibandingkan dengan galur lain dan varietas Jatiluhur yang diuji yaitu 97 hari. Galur A3-2 dan A3-7 waktu tanam terlambat satu bulan dibandingkan dengan galur-galur yang lain dan Jatiluhur. Hal ini mengakibatkan galur-galur tersebut diserang oleh hama penggerek batang yang menyerang pada saat pembungaan sehingga malai menjadi mati dan juga penyakit blas yang mengakibatkan jumlah gabah hampa lebih banyak.
24
Persentase Gabah Hampa dan Gabah Isi Persentase gabah hampa yang tertinggi dimiliki oleh galur O18b-1, A3-2 dan A3-7 (> 60%) (Gambar 1). Hal ini disebabkan karena serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri hawar daun (BLB), penyakit blas dan
hama
penggerek batang yang menyebabkan penurunan hasil yang sangat signifikan pada galur-galur ini. Persentase gabah isi galur-galur yang diuji mulai dari 24,279,8%. Persentase gabah isi yang rendah dimiliki oleh galur O18b-1, A3-2 dan A3-7 (24,2-32,2%). Persentase gabah isi yang tinggi dimiliki 13 galur (74,279,8%) lebih tinggi dibandingkan dengan Jatiluhur (67,7%) (Gambar 1).
Gambar 1. Persentase gabah hampa dan gabah isi
Hasil Bobot 1000 butir gabah menunjukkan ukuran gabah dan tingkat kebernasan biji. Makin tinggi bobot 1000 butir maka ukuran gabah semakin besar. Hasil pengamatan menunjukkan bobot 1000 butir galur-galur yang diuji tidak berbeda dibandingkan dengan Jatiluhur, kecuali bobot 1000 butir galur GI-7 (39 g), IG-19 (41 g) dan IG-38 (40 g) memiliki bobot 1000 butir tertinggi (Tabel 7). Bobot per rumpun dan bobot per petak dari galur-galur padi gogo hasil kultur antera lebih rendah dibandingkan Jatiluhur (Tabel 7). Hasil per hektar galur-galur IW-54, IW-56, IW-64, IW-67, WI-43, WI-44, GI-7, O18b-1, GI-19, GI38, A3-2, A3-7, B13-21, B13-2d, B13-2d (0,65-2,04 ton/ha) lebih rendah dibandingkan dengan varietas Jatiluhur (2,42 ton/ha) (Tabel 7). Walaupun dalam penelitian ini hasil galur-galur padi gogo lebih rendah dibanding varietas Jatiluhur, tetapi komponen hasil yang menunjang produksi seperti anakan produktif (IW-54, IW-56, IW-64, IW-67, WI-43, WI-44, A3-7, B13-2a, B13-2d,
25
B13-2e), panjang malai (GI-7, IG-19, IG-38 WI-44, O18b-1, A3-2, A3-7), jumlah gabah per malai (GI-7 dan A3-2) dan gabah isi (IW-56, IW-67, WI-43, IG-19, B13-2d, B13-2e) dari galur-galur tersebut sama atau lebih tinggi dibanding Jatiluhur. Produktivitas yang menurun dari galur-galur tersebut disebabkan terserang hama penggerek batang (beluk), pada stadia generatif, larva menggerek tanaman yang akan bermalai, sehingga aliran hasil asimilat tidak sampai ke dalam bulir padi. Kerugian hasil yang disebabkan oleh setiap gejala beluk berkisar 1-3% (Pathak
Khan, 1994) dengan rata-rata 1,2% (Halteren
1977). Penyakit blas, yang merupakan salah satu masalah dalam produksi padi dapat menyebabkan kehilangan hasil berkisar antara 1-50% (Koga 2001). Kerusakan hasil padi karena BLB bervariasi antara 10-95 %, tetapi pada umumnya berkisar antara 15-23 % (Kadir 2000). Hasil yang rendah dapat juga disebabkan oleh curah hujan yang rendah. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, Sasmita (2006) melaporkan galur IW-56 dan IG-19 memiliki hasil yang tidak berbeda dengan Jatiluhur yaitu 3.52 – 3.87 t/ha, lebih tinggi dibanding produksi rata-rata padi gogo nasional sebesar 2,57 t/ha. Dengan demikian galur-galur hasil kultur antera memiliki potensi hasil yang tinggi yang dapat dikembangkan. Tabel 7. Nilai rataan hasil galur-galur padi gogo hasil kultur antera dan varietas Jatiluhur di Babakan Bogor MK 2008. Galur IW-54 IW-56 IW-64 IW-67 WI-43 WI-44 GI-7 O18b-1 IG-19 IG-38 A3-2 A3-7 B13-2a B13-2d B13-2e Jatiluhur
Bobot 1000 butir (g) 23,3 b 21,8 b 22,0 b 21,6 b 21,4 b 26,0 ab 39,3 a 23,8 b 40,5 a 40,2 a 21,4 b 19,8 b 23,2 b 22,3 b 23,9 b 22,4 b
Bobot/ rumpun (g) 17,2 d 16,2 de 12,4 fg 12,4 fg 16,2 de 15,9 def 19,8 bc 8,6 gh 19,5 c 20,1 b 8,6 gh 7,8 gh 13,1 fg 13,7 fg 15,2 def 21,5 a
Bobot/ petak (kg) 1,43 bc 1,42 bc 0,84 c 0,98 c 1,84 b 1,50 bc 1,63 bc 0,89 c 1,70 b 1,93 b 0,74 c 0,64 cd 1,09 c 1,09 c 1,53 bc 2,33 a
Hasil ton/ha 1,92 bc 1,90 bc 1,14 c 1,33 c 2,44 b 2,00 bc 2,19 bc 1,18 c 2,28 b 2,51 b 0,99 c 0,86 cd 1,46 c 1,47 c 2,04 bc 3,09 a
Keterangan : *) Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukan tidak berbeda nyata pada tahap uji DMRT 5 %.
26
II. Uji Ketahanan Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera terhadap Penyakit Blas Daun Penentuan Sifat Ketahanan Tanaman. Munculnya gejala penyakit padi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu inang rentan, patogen bersifat virulen dan lingkungan yang mendukung. Lingkungan berupa komponen lingkungan fisik (suhu, kelembaban dan cahaya) maupun biotik (musuh alami, organisme kompetitor) dari faktor tersebut jelas sekali perubahan satu komponen akan berpengaruh terhadap intensitas penyakit yang muncul. Ketahanan penyakit padi ditentukan berdasarkan dua kriteria yang ditetapkan berdasarkan skala baku yang dikeluarkan oleh IRRI (1996) yaitu skala penyakit dan intensitas penyakit. Skala ditentukan berdasarkan pengamatan bercak dan luas daun yang terinfeksi secara visual. Daur penyakit meliputi tiga fase, yaitu infeksi, kolonisasi dan sporulasi (Leung dan Shi, 1994). Fase infeksi dimulai dengan pembentukan konidia yang dilepaskan oleh konidiofor. Konidia berpindah ke permukaan daun yang tidak terinfeksi melalui percikan air atau bantuan angin. Konidia menempel pada daun karena ada perekat/getah pada ujungnya. Konidia akan berkecambah pada kondisi optimum dengan membentuk appresoria (Bourett dan Howard, 1990). Appresoria menembus kutikula daun dengan bantuan melanin yang ada pada dinding appresoria. Pertumbuhan hifa yang terus-menerus menyebabkan terbentuknya bercak. Pada kelembaban yang tinggi, bercak pada tanaman yang rentan menghasilkan konidia selama 3-4 hari. Konidia ini sangat mudah tersebar dan merupakan inokulum untuk infeksi selanjutnya (Leung dan Shi, 1994). Cendawan Pyricularia grisea memerlukan waktu sekitar 6-10 jam untuk menginfeksi tanaman. Suhu optimum adalah sekitar 25-28 0C. Peran embun/titik air hujan sangat menentukan keberhasilan infeksi. Secara umum tanaman dapat bertahan dari serangan patogen dengan kombinasi sifat pertahanan diri yang dimiliki, yaitu (1). Sifat-sifat struktural yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan menghambat patogen yang akan masuk dan berkembang di dalam tumbuhan, dan (2) reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tumbuhan yang menghasilkan zat beracun bagi patogen atau menciptakan kondisi yang menghambat pertumbuhan patogen pada tumbuhan tersebut. Kombinasi antara sifat struktural dan reaksi biokimia yang digunakan untuk pertahanan bagi tumbuhan berbeda antara setiap sistem
27
kombinasi inang – pathogen (Agrios 1988). Secara visual penampakan galur yang tahan dan galur yang rentan ditampilkan pada Gambar 3.
B
A
Gambar 2. Galur A3-2 rentan (A ) dan galur B13-2a tahan (B) pada uji blas daun
1. Skala Penyakit Bentuk khas dari bercak blas daun adalah belah ketupat dengan dua ujungnya kurang lebih runcing. Bercak bermula kecil berwarna hijau gelap, abuabu, sedikit kebiru-biruan. Bercak ini terus berkembang pada varietas yang rentan, khususnya bila keadaan lembab. Bercak pada daun yang rentan tidak membentuk tepi yang jelas. Bercak tersebut dikelilingi oleh warna pucat (halo area), terutama pada lingkungan yang kondusif seperti keadaan lembab dan ternaungi. Selain itu, perkembangan bercak juga dipengaruhi oleh kerentanan varietas. Tingkat inokulum yang tinggi sangat berbahaya bagi tanaman padi yang rentan (Scardaci et al. 1997). Bercak tidak akan berkembang dan tetap seperti titik kecil pada varietas yang tahan. Hal ini karena proses perkembangan konidia dari cendawan P. grisea dalam jaringan inangnya terhambat. Bercak akan berkembang sampai beberapa milimeter berbentuk bulat atau elips dengan tepi berwarna cokelat pada varietas dengan reaksi moderat tahan (Ou, 1985).
28
Galur-galur yang diuji memiliki skala penyakit yang bervariasi. Galur – galur IW-54, IW-56, WI-44 GI-7, O18b-1, IG-19, IG-38, B13-2a, B13-2d, B13-2e, D19-1 menunjukkan sifat tahan terhadap penyakit blas daun (skala 1 - 3), sama dengan Jatiluhur, Limboto dan Batutegi. Galur IW-67, WI-43 menunjukkan sifat moderat tahan (skala 3). Galur A3-7 dan IW-64 menunjukkan sifat moderat rentan (skala 5). Galur A3-2 menunjukkan sifat rentan (skala 7) terhadap penyakit blas daun dan juga blas leher malai (Tabel 8).
Gambar 3. Gejala serangan blas (Pyricularia grisea) pada daun padi gogo
2. Intensitas Serangan Intensitas serangan menunjukkan besarnya tingkat serangan penyakit pada populasi genotipe tertentu. Gejala serangan blas pada daun padi gogo dapat dilihat pada Gambar 4. Tingkat kerusakan semakin tinggi dengan semakin besarnya intensitas serangan. Tingkat kerusakan ditetapkan berdasarkan skala penyakit yang telah dibakukan oleh IRRI, demikian pula pengelompokan galur tahan dan rentan (IRRI,1996). Reaksi “tahan“ jika nilai intensitas serangan kurang dari atau sama dengan 10 %, dan jika intensitas serangan melebihi dari 10 %, maka tanaman dikelompokkan sebagai kelompok “ rentan ”.
29
Tabel 8. Skala penyakit blas daun dan intensitas serangan pada galur/varietas yang diuji ketahanannya . Reaksi No Galur Skala penyakit Intensitas .serangan (%) Skala Reaksi 8,42 T 1 IW-54 1 - 3 T 7,21 T 2 IW-56 1 - 3 T 17,80 R 3 IW-64 4 - 5 MR 9,24 T 4 IW-67 3 T 9,03 T 5 WI-43 1 - 3 T 8,43 T 6 WI-44 3 T 8,81 T 7 GI-7 1 T 7,13 T 8 O18b-1 1 T 8,82 T 9 IG-19 1 T 8,83 T 10 IG-38 1 T 46,61 R 11 A3-2 7 R 31,13 R 12 A3-7 4 - 5 MR 8,02 T 13 B13-2a 1 - 3 T 9,20 T 14 B13-2d 1 - 3 T 7,44 T 15 B13-2e 1 - 3 T 5,13 T 16 D19-1 1 T 2,81 T 17 Jatiluhur 1 T 5,13 T 18 Limboto 1 T 9,34 T 19 Batutegi 1 T 53,33 R 20 Cisokan 7 R Keterangan : T = Tahan, MT = Moderat Tahan, MR = Moderat Rentan, dan R = Rentan. Berdasarkan intensitas serangan dalam percobaan ini didapat 13 galur yang tahan dengan intensitas serangan 5-9,2% yaitu IW-54, IW-56, IW-67, WI43, WI-44, GI-7, O18b-1, IG-19, IG-38, B13-2a, B13-2d, B13-2e, dan D19-1, tidak berbeda dengan Jatiluhur, Limboto dan Batutegi sedangkan IW-64, A3-2 dan A3-7 (17,8-46,6%) termasuk rentan tidak berbeda dengan Cisokan (rentan) (Tabel 8).
3. Periode Laten. Periode laten adalah waktu dimana patogen menginfeksi tanaman. Dalam percobaan uji ketahanan galur terhadap penyakit blas daun di daerah endemik blas, galur-galur yang diuji mulai terinfeksi penyakit pada hari ke 35 - 56 hari setelah tanam. Periode laten adalah periode yang dibutuhkan oleh patogen untuk menimbulkan gejala sakit pertama kali pada tanaman inang. Hasil percobaan menunjukkan gejala penyakit mulai muncul pada 35 HST sampai 56 HST (Tabel 9).
30
Tabel 9. Periode laten penyakit blas daun pada galur-galur padi gogo hasil kultur antera yang diujikan. Periode Laten (HST)
Galur-galur
Jumlah
35
A3-2, B13-2a, B13-2e
3
42
IW-64, A3-7, B13-2d, Cisokan
4
49
IW-54, IW-56, IW-67, WI-43, WI-44, O18b-1, Batutegi
7
56
GI-7 , IG-19, IG-38, D19-1, Jatiluhur dan Limboto
6
Secara
umum,
galur
yang
memiliki
intensitas
10%
ke
bawah
memperlihatkan periode laten yang lebih lama (Tabel 9) dan skala penyakit rendah (Tabel 8) sehingga dapat dimasukkan ke dalam kelompok tahan. Dengan demikian untuk menentukan tingkat ketahanan suatu genotipe harus memperhatikan periode laten, skala penyakit dan intensitas serangan penyakit. Roumen (1993) melaporkan bahwa periode laten bukan merupakan komponen penting dari ketahanan parsial terhadap blas daun, tetapi beberapa peneliti tetap mengamati periode laten sebagai bagian dari komponen ketahanan padi terhadap penyakit blas (Santoso 2005). Pada awal percobaan di Sukabumi, lingkungan kurang mendukung perkembangan penyakit karena curah hujan yang rendah, memasuki akhir Desember terjadi curah hujan yang mendukung perkembangan penyakit. Lama tidaknya periode inkubasi suatu tanaman dipengaruhi oleh kemampuan patogen untuk mengadakan kontak dengan tanaman. Keadaan ini sangat didukung oleh keadaan lingkungan yang optimum.
III. Uji Daya Hasil Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera di Daerah Endemik Penyakit Blas. Berdasarkan hasil analisis ragam, genotipe/galur berpengaruh nyata terhadap peubah yang diamati, kemudian dilakukan uji lanjut dengan DMRT 5 %. Berdasarkan koefisien keragaman , peubah yang menunjukkan keragaman relatif
31
besar yaitu anakan produktif (20,8%), bobot/rumpun (23,4%) dan bobot/petak (23,5%) (Tabel 10) .
Tabel 10.
Hasil rekapitulasi sidik ragam peubah galur-galur padi gogo hasil kultur antera dan pembanding, di Sukabumi daerah endemik penyakit blas MH 2008/2009. Peubah
1. Tinggi 45 HST (cm) 2. Tinggi tanaman saat panen (cm)
JKP
JKT
F hitung
5145,1
270,8
13,9*
759,8
11*
14 437
3. Jumlah total anakan
723,7
38
4. Jumlah anakan produktif
493,6
25,9
6,4*
5. Panjang malai (cm)
179,5
9,4
2,9 *
6. Jumlah gabah / malai
10,8*
125 722
6 616
28,6*
7. Jumlah gabah isi / malai
59 246
3 118
18*
8. Jumlah gabah hampa / malai
39 968
2103,6
35,3*
9. Persentase gabah hampa
8 713
458,6
19*
10. Persentasei gabah isi
9 165
483
20,6*
11. Bobot / rumpun (g)
11 083
58,3
4*
12. Bobot / petak (kg)
28
1,5
6,5*
Keterangan :, * = Berpengaruh nyata pada uji F, tn = tidak berbeda nyata pada uji F, JKP= jumlah kuadrat Perlakuan, KTP= kuadrat tengah perlakuan.
Tinggi Tanaman, Jumlah Total Anakan dan Jumlah Anakan Produktif. Berdasarkan hasil analisis tinggi tanaman pada 45 HST, galur GI-7, IG38, A3-2, dan D19-1 (51,5-53,4 cm) memiliki tinggi yang tidak berbeda dengan Jatiluhur, Limboto dan Batutegi (47,9-55,9 cm), sedangkan galur-galur lainnya memiliki tinggi tanaman nyata lebih tinggi dibanding Cisokan (Tabel 11). Tinggi tanaman saat panen galur A3-2, B13-2a, dan B13-2d memiliki tinggi tanaman yang tidak berbeda dibanding Jatiluhur, Limboto dan Batutegi. Tinggi tanaman galur WI-44, O18b-1 tidak berbeda dengan varietas Cisokan (Tabel 11). Tinggi tanaman tertinggi dicapai oleh Batutegi (125,8 cm) dan tinggi tanaman terendah yaitu galur IW-64 (73,9 cm). Menurut Mukhlis (2000) keseragaman tinggi antara beberapa galur dan varietas pembandingnya menunjukkan pertumbuhan yang baik di lokasi percobaan. Perbedaan tinggi tanaman merupakan salah satu faktor penting pilihan petani. Pengembangan varietas dianjurkan untuk mendapat
32
varietas yang berdaya hasil tinggi dan tinggi tanaman yang berkatagori sedang untuk menghindari kerebahan pada musim hujan. Tabel 11. Nilai rataan tinggi tanaman, jumlah total anakan dan jumlah anakan produktif galur-galur padi gogo hasil kultur antera dan pembanding di Sukabumi daerah endemik penyakit blas MH 2008/2009 Varietas
IW-54 IW-56 IW-64 IW-67 WI-43 WI-44 GI-7 O18b-1 IG-19 IG-38 A3-2 A3-7 B13-2a B13-2d B13-2e D19-1 Jatiluhur Limboto Batutegi Cisokan
Tinggi Tanaman 45 HST (cm)
30,1 32,3 31,8 31,4 35,7 32,9 51,5 46,4 45,8 52,2 51,7 46,7 42,8 46,0 46,9 53,4 47,9 55,7 55,9 26,7
ef ef ef ef ed ef ab bc bc ab ab bc cd bc bc ab abc a a f
Tinggi Tanaman Panen (cm)
78,3 e 76,5 e 73,9 e 80,5 e 81,1 e 88,2 de 107,7 bc 89,4 de 106,5 bc 98,9 cd 115,8 ab 101,0 bcd 116,2 ab 112,1 abc 109,5 bc 106,1 bc 116,2 ab 112,4 abc 125,8 a 87,27 de
Jumlah Anakan Total
19,4 15,1 16,2 15,8 16,5 14,4 7,5 7,3 7,7 6,7 9,4 9,5 10,6 10,9 12,0 9,7 13,8 11,7 9,6 12,3
a bc ab b ab bcd gh gh gh h fgh fgh efg defg cdef fgh bcde cdef fgh cdef
Jumlah Anakan Produktif
13,7 13,1 14,0 14,8 13,9 13,7 6,9 6,7 6,5 6,1 8,4 6,6 8,5 9,1 10,1 8,1 11,0 7,9 6,9 10,6
ab ab ab a ab abc def def ef f cdef ef cdef cdef bcde cdef abc cdef def bcd
Keterangan : *) Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukan tidak berbeda nyata pada tahap uji DMRT 5 %.
Jumlah anakan total pada saat panen galur IW-54, IW-64 dan WI-43 nyata lebih banyak dibandingkan dengan Jatiluhur, Limboto, Batutegi dan Cisokan. Jumlah total anakan galur IW-56, IW-67, dan WI-44 tidak berbeda dengan Jatiluhur, galur B13-2e tidak berbeda dengan Limboto dan Cisokan, galur A3-2, A3-7 dan D19-1 tidak berbeda dengan Batutegi. Rata-rata jumlah anakan galur-galur hasil kultur antera berkisar 7-19 anakan, sedangkan varietas pembanding berkisar 10-14 anakan (Tabel 11). Taryat et al. (1993) menyatakan bahwa perbedaan masa pertumbuhan
total
pada fase vegetatif, lebih
dipengaruhi oleh sifat genetik atau tergantung pada sensitivitas varietas yang dibudidayakan terhadap lingkungan. Jumlah anakan terutama anakan produktif merupakan peubah produksi penting bagi tanaman padi karena menentukan jumlah malai per rumpun yang dipanen. Jumlah anakan produktif galur IW-54, IW-56, IW-64, IW-67, WI-43, WI-
33
44 tidak berbeda dibandingkan dengan Jatiluhur. Jumlah anakan produktif B13-2e tidak berbeda dengan Cisokan. Jumlah anakan produktif A3-2, B13-2a, B13-2e dan D19-1 tidak berbeda dibanding Limboto. Varietas Batutegi memiliki anakan produktif tidak berbeda dengan GI-7 dan O18b-1 (Tabel 11). Peningkatan jumlah anakan produktif memberikan kontribusi positif bagi peningkatan produksi.
Umur Berbunga, Umur Panen dan Komponen Hasil Umur berbunga galur-galur hasil kultur antera berkisar dari 75 – 96 HST, sedangkan varietas pembanding 87-101 HST. Galur-galur yang berbunga lebih awal adalah GI-7, O18b-1, IG-19, IG-38, A3-2 (75 - 79 HST) sedangkan galur yang berbunga paling lambat IW-64 (99 HST) (Tabel 12). Umur panen galur yang diuji paling genjah dan paling dalam berturut-turut adalah GI-7, O18b-1, IG19, IG-38 (114 HST), galur IW-54, IW-56, IW-67, IW-64, WI-44, A3-2, A3-7, B13-2a, B13-2d, B13-2e, D19-1, sama dengan Jatiluhur dan Limboto (125 HST) (Tabel 12). Berdasarkan penggolongan umur yang dikemukakan oleh Siregar (1981), Umur galur-galur yang diuji digolongkan sebagai berikut : Umur genjah : IW-54, IW-56, IW-64, IW-67, WI-44, WI-43, GI-7, O18b-1, IG-19, IG-38, A3-2, A3-7, B13-2a, B13-2d, B13-2e. Umur varietas unggul yang lebih pendek dari varietas lokal sangat penting artinya bagi petani dalam menyusun pola pertanaman sepanjang tahun. Bila dengan varietas lokal petani hanya memperoleh satu pertanaman dalam setahun, dengan varietas unggul mereka dapat memanen dua pertanaman padi. Panjang malai dan kerapatan butir gabah menentukan jumlah gabah per malai yang dapat dipanen. Malai yang lebih panjang dengan susunan gabah yang rapat diharapkan memiliki jumlah gabah yang lebih banyak dibandingkan dengan panjang malai yang pendek. Panjang malai galur-galur hasil kultur antera yang diuji berkisar 18,7 – 21,6 cm. Panjang malai galur-galur IW-54, IW-56 IW64, IW-67, WI-43, IW-44, GI-7, O18b-1, IG-19, IG-38, A3-2, A3-7, B13-2a, B132d, B13-2e, D19-1 tidak berbeda dengan panjang malai Jatiluhur, Batutegi dan Cisokan tetapi nyata lebih pendek dibanding Limboto (Tabel 12).
34
Tabel 12. Nilai rataan umur berbunga, umur panen dan komponen hasil galurgalur hasil kultur antera dan pembanding, di Sukabumi Jawa Barat daerah endemik penyakit blas MH 2008/2009 Varietas
IW-54 IW-56 IW-64 IW-67 WI-43 WI-44 GI-7 O18b-1 IG-19 IG-38 A3-2 A3-7 B13-2a B13-2d B13-2e D19-1 Jatiluhur Limboto Batutegi Cisokan
Umur
Umur
Panjang
Jumlah
Berbunga
Panen
Malai
(hari)
(hari)
(cm)
99 99 99 97 98 95 79 75 79 79 82 93 93 96 96 96 93 91 100 101
125 125 125 125 125 125 114 114 114 114 125 124 125 125 125 125 125 125 120 120
20,2 20,1 19,7 18,9 20,5 21,6 20,1 20,8 18,7 19,9 21,5 19,9 21,2 20,8 19,7 19,2 21,2 26,5 23,1 23,1
bc bc bc c bc bc bc bc c bc bc bc bc bc bc c bc a b b
Gabah/
Jumlah Gabah. Isi
Jumlah Gabah. Hampa
Malai
per Malai
per Malai
81,8 gh 82,9 gh 72,7 h 72,8 h 80,5 gh 86,6 gh 92,6 fgh 134,4 de 80,5 gh 90,7 fgh 118,2 def 121,5 de 126,4 de 115,3 def 106,4 efg 166,3 c 185,3 bc 195,2 b 246,1 a 138,2 d
67,6 de 58,5 f 51,1 f 51,2 f 65,2 ef 64,0 ef 71,1 cd 110,0 ab 62,2 ef 68,4 cd 62,2 ef 36,3 g 96,5 ab 82,0 bc 85,8 bc 70,9 cd 127,0 ab 158,0 a 144,0 a 75,9 cd
21,3 24,4 25,9 21,6 20,6 22,6 16,4 45,0 18,4 22,2 55,8 85,2 29,9 33,2 20,6 95,4 57,9 43,1 101,2 62,3
e e e e f e g cde f e cd b de de f b cd cde a c
Keterangan : *) Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukan tidak berbeda nyata pada tahap uji DMRT 5 % .
Hasil uji DMRT 5 % memperlihatkan bahwa peubah jumlah gabah per malai semua galur yang diuji berbeda nyata dengan Jatiluhur, Batutegi dan Limboto. Jumlah gabah galur O18b-1, A3-2, A3-7, B13-2a dan B13-2d sama dengan Cisokan, tetapi jumlah gabah galur D19-1 berbeda nyata lebih tinggi dibanding Cisokan. Galur hasil kultur antera dengan jumlah gabah paling banyak dan paling sedikit berturut-turut adalah galur D19-1(166,3 butir) dan galur IW-56 (69,6 butir) (Tabel 12). Jumlah gabah isi galur-galur yang diuji dari yang paling banyak sampai paling sedikit berturut-turut adalah O18b-1 (110 butir) dan galur A3-7 (36.3 butir). Hasil analisis statistika jumlah gabah isi galur B13-2a dan O18b-1 tidak berbeda dengan varietas Batutegi, varietas Limboto dan varietas Jatiluhur. Jumlah gabah isi galur GI-7, IG-38, dan D19-1 tidak berbeda dengan Cisokan (Tabel 12).
35
Dibandingkan dengan Percobaan pertama (Tabel 6), jumlah gabah isi galur IW-56, IW-67, WI-43, IG-19, B13-2d dan B13-2e tidak berbeda dengan Jatiluhur. Jumlah gabah isi menunjukan kemampuan suatu genotipe dalam proses pengisisan biji. Hasil analisis menunjukkan beda nyata antara galur-galur yang diuji dengan varietas pembanding. Jumlah gabah hampa galur O18b-1, A3-2 tidak berbeda dengan Jatiluhur, Limboto dan Cisokan, sedangkan jumlah gabah hampa galur lain lebih rendah dibanding Jatiluhur, Limboto, Batutegi dan Cisokan (Tabel 12). Jumlah gabah hampa tertinggi dicapai oleh galur O18b-1, A3-7, D19-1. dan terrendah WI-43, IG-19, dan B13-2e. Dibandingkan dengan percobaan di Bogor (percobaan I), jumlah gabah hampa semua galur yang diuji tidak berbeda dengan varietas Jatiluhur, kecuali galur O18b-1, A3-2 dan A3-7 mempunyai jumlah galur hampa yang tinggi. Kehampaan yang tinggi karena kemampuan tanaman untuk menyediakan asimilat sangat terbatas. Hubungan kemampuan pengisian gabah pada malai dapat dilihat dari persentase kehampaannya.
Persentase Gabah Hampa dan Gabah Isi Persentase gabah hampa galur-galur kultur antera
berkisar antara
22,47 – 68,83%, sedangkan pembandingnya varietas Limboto (tahan) 22,47%, varietas Cisokan (rentan) 44,83%, varietas Jatiluhur (30,40%) dan varietas Batutegi (39,03%). Persentase gabah hampa galur dari terkecil - terbesar berturut-turut adalah IG-19 (22,47%) dan A3-7 (68,83%). Peubah ini berkorelasi sangat nyata terhadap bobot gabah per rumpun (Tabel 13). Persentase gabah hampa galur-galur kultur antera di atas 50% yaitu A3-7 (68,83%) dan D19-1 (57,86%) (Gambar 5),
serangan hama penggerek batang pada saat
pembungaan yang membuat malai mati (beluk), serangan penyakit blas daun dan blas leher malai dan penyakit hawar daun bakteri (Bacterial Leaf Blight) pada galur D19-1. Berdasarkan hasil penelitian, persentase gabah isi sangat dipengaruhi oleh varietas dan cara budidaya. Persentase gabah isi terkecil ( 29,80%) dicapai oleh galur A3-7 dan persentase gabah isi terbesar (80,60%) dicapai oleh galur B13-2d.
Persentase
gabah
isi
varietas
pembandingnya
(54,90-78,30%)
(Gambar 4). Menurut Vergara ( 1995 ), persentase gabah isi yang diharapkan bagi varietas unggul adalah ≥ 80%, sehingga terdapat satu galur yang dapat dikembangkan sebagai idiotipe varietas unggul padi gogo.
36
Gambar 4. Persentase gabah hampa dan gabah isi
Hasil Bobot 1000 butir gabah merupakan peubah komponen hasil penting setelah panjang malai dan gabah isi per malai. Bobot 1000 butir gabah dapat menunjukkan kualitas dan ukuran suatu gabah. Berdasarkan hasil
analisis,
bobot 1000 butir galur IW-54, IW-56, IW-64, IW-67, WI-43, O18b-1, A3-2, A3-7, B13-2a, B13-2d dan B13-2e, D19-1 tidak berbeda dibanding Jatilihur, Limboto, Batutegi, dan Cisokan (20-24 g), tetapi berbeda dengan galur WI-44, GI-7, IG-19 dan IG -38 (28-40 g). Bobot 1000 butir terberat dicapai oleh galur GI-7 dan IG-19 (40 g) dan yang paling ringan galur IW-56 (20 g) (Tabel 13). Bobot 1000 butir galur IG dan GI tertinggi karena mengikuti tetuanya yaitu Gajah Mungkur yang memiliki bobot 1000 butir 36 g. Bobot 1000 butir galur IG dan GI lebih berat dibanding tetuanya yaitu 39-40 g. Berdasarkan hasil analisis bobot gabah per rumpun galur GI-7 dan IG-38 tidak berbeda dengan varietas Jatiluhur, varietas Limboto dan varietas Batutegi. Bobot gabah per rumpun galur IW-54, IW-67, WI-43, IW-44, O18b-1, A3-2, B132a, B13-2d dan B13-2e berbeda lebih berat dibanding Cisokan, sedangkan bobot per rumpun galur IW-56, IW-64, dan D19-1 sama dengan Cisokan (Tabel 13). Bobot per petak galur WI-43 dan IW-54 lebih berat dibanding varietas Batutegi. Bobot per petak galur IW-67, WI-44, GI-7, IG-38, IG-39, dan O18b-1 sama dengan Batutegi. Bobot per petak galur IW-64, A3-2 dan B13-2a nyata
37
lebih rendah dibanding Cisokan. Bobot per petak galur B13-2d dan D19-1 sama dengan Cisokan
(Tabel 13).
Dari hasil uji lanjut DMRT 5 % hasil per hektar galur IW-54, IW-67, WI-43, IW-44, GI-7, O18b-1, IG-38 dan IG-19 (3,43 - 3,77 ton/ha) sama dengan Batutegi (3,50 ton/ha). Hasil per hektar galur IW-56, B13-2d, B13-2e dan D19-1 (2,78 - 3,27 ton/ha) sama dengan Cisokan (2,69 ton/ha) (Tabel 13). Tabel 13. Nilai rataan hasil galur-galur hasil kultur antera dan varietas Batutegi, Limboto, Jatiluhur dan Cisokan, di Sukabumi Jawa Barat daerah endemik penyakit blas MH 2008/2009 Varietas IW-54 IW-56 IW-64 IW-67 WI-43 WI-44 GI-7 O18b-1 IG-19 IG-38 A3-2 A3-7 B13-2a B13-2d B13-2e D19-1 Jatiluhur Limboto Batutegi Cisokan
Bobot 1000 butir (g) 23,4 c 19,9 c 23,7 c 23,2 c 23,4 c 27,9 b 40,1 a 22,3 c 39,8 a 39,4 a 21,8 c 22,2 c 24,4 c 22,9 c 23,3 c 23,1 c 23, 3 c 24,3 c 24,8 c 21,7 c
Bobot/ rumpun (g) 17,4 bcd 11,4 ef 12,7 ef 16,9 bcdef 16,5 bcdef 14,1 def 21,8 abc 16,6 bcdef 18,0 bcdef 22,7 ab 14,9 cdef 9,3 f 15,1 cdef 13,3 def 14,9 cdef 11,4 ef 23,3 ab 25,5 a 20,3 abcd 12,1 ef
Bobot/petak (kg) 2,82 bcd 2,41 defg 1,84 fg 2,73 cdef 2,90 bc 2,84 cde 2,54 cdefg 2,83 cde 2,63 cdefg 2,64 cdefg 1,64 fg 1,19 g 1,83 fg 2,14 efg 2,52 defg 2,09 efg 3,62 ab 4,13 a 2,68 cdef 2,07 efg
Hasil ton/ha 3,67 c 3,12 d 2,42 e 3,53 c 3,77 c 3,68 c 3,33 c 3,68 c 3,43 c 3,47 c 2,16 e 1,56 f 2,40 e 2,78 d 3,27 cd 2,71 d 4,71 b 5,37 a 3,50 c 2,69 d
Keterangan : *) Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom menunjukan tidak berbeda nyata pada tahap uji DMRT 5 %.
Dibandingkan dengan percobaan di Bogor (percobaan I), hasil per hektar percobaan tiga lebih tinggi, karena lingkungan yang mendukung pertumbuhan lebih baik dan jumlah populasi tanaman yang lebih banyak (tanaman padi gogo yang dipanen tiap petak 180 rumpun) sedangkan percobaan pertama kondisi lingkungan yang kurang mendukung dan jumlah populasi tanaman yang dipanen lebih sedikit (tanaman padi gogo yang dipanen tiap petak 130 rumpun). Galur-galur yang memiliki produksi yang rendah disebabkan serangan penyakit blas daun dan blas leher malai, penyakit yang disebabkan oleh bakteri
38
hawar daun bakteri (bacterial leaf blight), dan hama penggerek batang. Pada perkembangan
tanaman
sekitar
40-50
HST,
terjadi
kekeringan
yang
menyebabkan tanaman mengalami stres, hal ini mempengaruhi pembentukan malai, sehingga malai yang terbentuk lebih sedikit. Setelah kekeringan proses metabolisme berjalan normal kembali, tetapi berpengaruh terhadap hasil beberapa galur yang memiliki potensi hasil yang tinggi berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Sasmita 2006).
Pengujian Mutu Beras Pengujian tampilan beras memperoleh data tentang ukuran rata-rata panjang dan bentuk beras pecah kulit dan beras giling, suhu gelatinasi dan kadar amilosa. Data tersebut menunjukkan adanya keragaman mutu beras dari varietas yang diuji. Mutu beras ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan maupun teknik budidaya dan teknik penanganan pasca panen. Bentuk dan ukuran gabah lebih ditentukan oleh faktor genetik tanaman. Sifat fisik yang diamati yaitu panjang dan bentuk beras pecah kulit dan beras putih. Bentuk fisik beras semua galur yang diuji (16 galur hasil kultur antera ) memiliki beras yang tergolong berbentuk sedang (2,1 – 3,0 mm) sama dengan varietas Jatiluhur, varietas Limboto, varietas Batutegi dan varietas Cisokan. Sifat beras yang digunakan sebagai kriteria mutu tanak dan prosesing beras adalah kadar amilosa, uji alkali untuk menentukan suhu gelatinasi. Kadar amilosa merupakan faktor utama yang mempengaruhi kepulenan nasi (Somantri et al. 1985). Kandungan amilosa beras dibagi menjadi lima golongan ( Singh et al. 2000) yaitu, 1). Ketan (0%), 2). Kadar amilosa sangat rendah (3-9%), 3). Kadar amilosa rendah (10-19%), 4). Kadar amilosa sedang (20-25%), dan kadar amilosa sangat tinggi (> 25%) (Tabel 14). Dari hasil penelitian ini terdapat tiga galur dengan kadar amilosa rendah (17,2-19,1 %) dengan tekstur nasi pulen, delapan galur dengan kadar amilosa sedang (20,9-24,2%) dengan tekstur nasi pulen, dan lima galur dengan kadar amilosa tinggi (25,8-28,8%) dengan tekstur nasi pera. Beras dengan kadar amilosa sedang (20-24%) lebih disenangi oleh masyarakat Indonesia (Suwarno et al. 1982). Kadar amilosa merupakan sifat terbaik untuk menggambarkan kepulenan dan rasa nasi (IRRI 1996) dan kadar amilosa lebih menentukan rasa dari sifat lainnya seperti suhu gelatinasi dan konsistensi gel (Juliano 1979).
39
Tabel 14. Tampilan bentuk beras, suhu gelatinasi dan kadar amilosa dari galur-galur padi gogo hasil kultur antera yang diujikan Galur
IW-54
Beras Pecah Kulit Ukuran (mm) Bentuk 7,6
IW-56
7,3
Sedang Sedang
Beras Putih Ukuran (mm) Bentuk 2,5 2,1
Suhu Nilai
Gelatinasi
Sedang
6-7
Sedang
6-7
74,5 - 80 C 74,5 - 80 C
IW-64
7,3
Sedang
2,3
Sedang
1-2
IW-67
7,6
Sedang
2,5
Sedang
1-2
WI-43
7,1
Sedang
2,5
Sedang
6-7
WI-44
7,5
Sedang
2,5
Sedang
1-2
0
< 70 C
20,9
0
< 70 C
22,1 0
23,9
0
22,3
0
< 70 C
23,5 0
24,2
0
17,2
0
23,4
0
19,1
0
17,3
0
27,6
74,5 - 80 C
GI-7
7,5
Sedang
3,0
Sedang
4-5
70 - 74 C
O18b-1
7,2
Sedang
2,6
Sedang
1-2
74,5 - 80 C
Sedang
1-2
74,5 - 80 C 74,5 - 80 C
IG-19
7,8
Sedang
3,0
IG-38
8,4
Sedang
3,0
Sedang
1-2
A3-2
7,3
Sedang
2,5
Sedang
1-2
74,5 - 80 C
A3-7
6,7
Sedang
2,7
Sedang
1-2
74,5 - 80 C
B13-2a
5,6
Pendek
2,5
Sedang
1-2
74,5 - 80 C
B13-2d
6,0
Sedang
2,5
Sedang
1-2
74,5 - 80 C
B13-2e
5,7
Pendek
2,5
Sedang
1-2
74,5 - 80 C
Sedang
1-2
74,5 - 80 C 74,5 - 80 C
D19-1
5,5
Pendek
2,1
Jatiluhur
6,1
Sedang
2,5
Sedang
1-2
Limboto
6,3
Sedang
2,7
Sedang
1-2
Kadar Amilosa (%)
0
24
0
26,3
0
28,8
0
28,7
0
25,8
0
26,6
0
24
0
22,3
0
27
74,5 - 80 C
Batutegi
6,0
Sedang
2,5
Sedang
1-2
74,5 - 80 C
Cisokan
6,5
Sedang
2,4
Sedang
1-2
74,5 - 80 C
Suhu gelatinasi (SG) digolongkan menjadi tiga : rendah /low (< 700C), sedang/intermediate (70-740C) dan tinggi/high (74,5-800C) (Tabel 14). Hasil percobaan memperlihatkan bahwa rata-rata galur yang diuji memiliki suhu gelatinasi yang tinggi/high. Suhu gelatinasi menunjukkan lamanya menanak nasi. Menurut Damardjati (1991) beras yang mempunyai suhu gelatinasi tinggi apabila dimasak membutuhkan lebih banyak air dan waktu tanak lama dibandingkan beras bersuhu gelatinasi rendah. Dari 20 galur/varietas yang diuji memiliki nilai pengembangan dan kejernihan 1, 2, 4, 5, 6 dan 7. Dari nilai-nilai ini dapat ditentukan suhu gelatinasi. Dari galur-galur yang diuji terdapat 3 galur yang tergolong rendah, satu galur tergolong sedang dan 13 galur gelatinasi yang tinggi. Varietas pembanding tergolong tinggi/high (Tabel 14).
memiliki suhu
mempunyai suhu gelatinasi
40
PEMBAHASAN UMUM
Produktivitas padi di lahan kering masih rendah karena lahan kering umumnya kurang subur, dan intensitas serangan penyakit blas (Pyricularia grisea) sangat tinggi. Perakitan varietas-varietas yang berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit blas sangat diharapkan para petani di daerah lahan kering. Melalui program pemuliaan, kultur antera merupakan salah satu teknologi yang dapat membantu mempercepat program pemuliaan tanaman dalam menghasilkan tanaman haploid ganda. Kultur antera dapat mempersingkat waktu dalam memperoleh galur murni, dibandingkan dengan metode konvensional (Chung 1992). Dengan demikian metode kultur antera cocok digunakan untuk perakitan varietas yang tahan penyakit blas karena perubahan ras Pyricularia grisea di lapangan sangat cepat yang sulit diimbangi dengan
metode
konvensional yang memerlukan waktu yang lama untuk perakitan varietas baru. Pada penelitian ini dilakukan uji daya hasil dan uji ketahanan penyakit blas daun terhadap 16 galur (IW-54, IW-56, IW-64, IW-67, WI-43, WI-44, GI-7, O18b-1, GI-19, GI-38, A3-2, A3-7, B13-2a, B13-2d, B13-2e, D19-1) padi gogo hasil kultur antera. Pada percobaan pertama uji daya hasil yang dilakukan di Bogor diperoleh hasil (Tabel 7), hasil galur-galur padi gogo hasil kultur antera lebih rendah dibandingkan dengan Jatiluhur. Walaupun demikian komponen hasil dan hasil (jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi dan berat 1000 butir) dari galur padi gogo hasil kultur antera sama atau lebih tinggi dibanding varietas Jatiluhur. Pada percobaan kedua di daerah endemik penyakit blas di daerah Sukabumi dengan inokulum alami, diperoleh hasil 13 galur (WI-54, WI-56, WI-67, IW-43, IW-44, GI-7, O18b-1, GI-19,GI-38, B13-2a, B13-2d, B13-2e dan D19-1) (Tabel 8), padi gogo hasil kultur antera tahan terhadap penyakit blas daun dan 3 galur (WI-64, A3-2, A3-7) (Tabel 8), rentan terhadap penyakit blas daun. Pengujian berdasarkan skala penyakit, intensitas serangan dan periode laten. Galur-galur yang tahan memiliki skala penyakit kurang dari 10 % dengan intensitas yang rendah, juga periode latennya lebih lama. Ada 2 galur (A3-2 dan A3-7) rentan terhadap penyakit blas daun dan leher malai. Dengan demikian galur-galur hasil kultur antera perlu diuji ketahanannya terhadap penyakit blas
41
leher malai, karena seringkali serangan blas leher malai yang parah dapat terjadi tanpa didahului oleh parahnya serangan blas daun (Zhu et al. 2005). Pada percobaan di Sukabumi jarak tanamnya lebih rapat yaitu secara larikan dan percobaan uji daya hasil (30 cm x 15 cm) dibandingkan dengan percobaan di Bogor (30 cm x 20 cm), hal ini disebabkan karena percobaan di Sukabumi menguji ketahanan padi gogo terhadap penyakit blas, sehingga diciptakan lingkungan yang mendukung terinfeksinya penyakit. Dengan semakin rapat jarak tanam dan tingkat curah hujan yang tinggi maka tingkat kelembaban tanaman akan semakin tinggi,
yang dapat mendukung terjadinya tanaman
terinfeksi oleh penyakit blas. Percobaan uji daya hasil di daerah endemik penyakit blas diperoleh hasil semua galur padi gogo hasil kultur antera yang diuji memiliki hasil yang lebih rendah dari varietas Jatiluhur dan Limboto (tahan), tetapi ada 8 galur (memiliki hasil yang sama dengan Batutegi. Ada 4 galur (IW-56, B13-2d, dan D19-1) yang hasilnya sama dengan Cisokan (rentan) (Tabel 13). Berdasarkan hasil yang diperoleh pada percobaan 1 di Bogor (MK) dan percobaan ke 2 di Sukabumi (MH), produksi padi gogo lebih tinggi pada percobaan di Sukabumi dibandingkan dengan percobaan di Bogor. Hal ini berhubungan dengan kebiasaaan menanam padi gogo pada musim hujan (Oktober-Maret) karena curah hujannya lebih tinggi (Lampiran 2), dibandingkan dengan percobaan di Bogor yang curah hujannya lebih rendah (MK) (Lampiran 1), sehingga air cukup tersedia untuk pertumbuhan dan perkembangan padi gogo. Pada percobaan di Sukabumi, curah hujan yang tinggi juga berpengaruh terhadap penyakit blas. Tingkat kelembaban yang tinggi (25-280C) dapat mempercepat perkecambahan konodium dan pembentukan apresorium dan selanjutnya dapat menginfeksi jaringan tanaman. Kandungan silikon dalam jaringan tanaman menentukan ketebalan dan kekerasan dinding sel sehingga mempengaruhi terjadinya penetrasi patogen kedalam jaringan tanaman. Tanaman padi yang berkadar silikon rendah akan lebih rentan terhadap infeksi patogen. Pupuk nitrogen berkorelasi positif terhadap keparahan penyakit blas. Artinya makin tinggi pupuk nitrogen keparahan penyakit makin tinggi. Penggunaan varietas harus disesuaikan dengan kondisi struktur populasi ras yang ada. Pergiliran varietas dengan varietas unggul lokal yang umumnya tahan terhadap penyakit blas sangat dianjurkan.
42
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Galur hasil kultur antera, IW-54 ,IW-67, WI-43, WI-44, GI-7, IG-19, IG-38, B13-2e, (3,43 – 3,77 ton/ha), memiliki hasil yang sama dengan atau lebih tinggi dibanding kontrol Batutegi (3,50 ton/ha), namun lebih rendah dibanding kontrol Jatiluhur (4,71 ton/ha) dan Limboto kontrol tahan ( 5,35 ton/ha). Galurgalur kultur antera memiliki potensi hasil yang relatif tinggi. 2. Galur IW-54, IW-56, IW-67, WI-43, WI-44, IG-7, GI-19, GI-38, O18b-1, B132a, B13-2d,
WI-44, B13-2e, D19-1, termasuk galur yang tahan terhadap
penyakit blas daun. Galur A3-2, IW-64 dan A3-7 termasuk galur yang rentan terhadap blas berdasarkan skala intensitas serangan. Galur A3-2 dan A3-7 rentan terhadap blas daun dan leher malai. 3. Bentuk beras galur-galur padi gogo hasil kultur antera yang diuji berbentuk sedang, memiliki suhu gelatinasi yang tinggi (74,5– 800C) dan kadar amilosa 17–29%. Kualitas beras baik. Kualitas beras galur-galur yang diuji memiliki persentase beras kepala yang tinggi.
Saran 1. Perlu dilakukan uji multilokasi terhadap galur IW-54 ,IW-67, WI-43, WI-44, GI-7, IG-19, IG-38, B13-2e, pada musim tanam yang berbeda dan uji ketahanan terhadap penyakit blas di rumah kaca dengan infeksi langsung.
43
DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 1988. Plant Pathology. 3d Ed. Acad. Press. New York. 803pp. Allidawati, Kustianto B. 1993. Metode Uji Mutu Beras dalam Program Pemuliaan Padi. Di dalam : Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor . hal 365375 Amir M, Kardin MK. 1991 Pengendalian penyakit jamur. Di dalam . Padi Buku 3: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Amir M. 1995. Petunjuk teknik pengendalian penyakit blas (Pyricularia grisea cav) pada padi gogo di Indonesia. Dalam Suwarno, Toha HM, Ismail B.P. Masalah khusus ketersedian teknologi dan peluang pengembangan padi gogo. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Amir M. 2002. Strategi penyelamatan padi gogo dari ancaman penyakit blas. Risalah Seminar 2000-2001 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Arraudeau MS. Vergara BS. 1988. A farmers primer on growing upland rice. IRRI-IRRAT. Philippines. 284 p. Bakhtiar. 2007. Penapisan galur padi gogo (Oryza sativa L.) hasil kultur antera untuk ketenggangan aluminium dan ketahanan terhadap penyakit blas (disertasi). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bastian L, Kropff MJ. 1991. Impact of leaf blast on rice study from quantifying damage by air pollution and leaf blast. p.21-26. In F.W.T. Pening de Vries MJ, Kropff P, Teng S and Krik GJD (eds). IRRI Research Paper Series. System Simulation at IRRI. Bonman JM. 1992b. Durable resistance to rice blast disease- environmental influences. Euphytica 63 : 115-123. Bourett TM, Howard RJ.1990. In vitro development of penetration structure in the rice blast fungus Magnaporthe grisea. Can J. Bot. 68:329-342. Boyer JS. 1982. Plant productivity and environment. Science 218:443-448. [BPS]. Badan Pusat Statistika. 2010. Statistika Indonesia 2009. Badan Pusat Statistika, Jakarta. Chozin MA. 2006. Peran Ekofisiologi Tanaman dalam Pengembangan Teknologi Budidaya Pertanian, Orasi ilmiah guru besar tetap ilmu Agronomi, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor . hlm12-13. Chu CC. 1978. The N6 media and its application to anther culture of cereal crops. Proc Symp. Plant Tissue Culture. Peking. May 25-30 science. Press Peking p. 43-50.
44
Damardjati DS, Purwani EY. 1991. Mutu beras. Di dalam Padi Buku 3. Edi S et al (Ed), Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan . Bogor. Departemen Pertanian. 2004. Statistik Pertanian 2003. Departemen Pertanian RI. Jakarta. Departemen Pertanian. 2008. Statistik Pertanian 2007. Departemen Pertanian RI. Jakarta. Dewi IS, Ambarwati AD, Masyhudi MF, Soewito T, Suwarno. 1994. Induksi kalus dan regenerasi kultur antera padi (Oryza sativa L). Ris Hasil Penel Tan Pangan 2 : 136-143. Dewi IS, Hanarida I, Rianawati S. 1996. Anther culture and its application for rice improvement program in Indonesia. Indon Agric Res Dev J 18 : 51-56 Dewi IS, Purwoko BS. 2001. Teknik kultur antera untuk mendukung program pemuliaan tanaman. Simposium Pemuliaan Tanaman bagi Lingkungan Spesifik Cekaman Biotik dan Abiotik. Bogor 24-25 April 2001. Dey MM, Upadhyaya HK. 1996. Yield loss due to drought cold and submergence in Asia. P.291-303. In : Rice Research in Asia: Progress and priorities. Eveson RE, Herd RW and Hossain M. (Eds). CAB. International Fageria NK , Robello. 1987. Tolerance of rice to iron toxicity. J. of Plant Nutr. 10 : 653 – 661. Fageria NK, Wright RJ, Baligar VC. 1988. Rice cultivar response to aluminum in nutrient solution. Commun Soil Sci Plant Nutrition 19: 1133-1142 Fehr WR. 1987. Principles of Cultivar Development : Theory and Techique. New York: McGraw-Hill. Fukai S, Cooper M. 1995. Development of drought resistant cultivars using physio-morphological traits in rice. Field Crops Res. 40: 67 – 86 Halteren P. 1997. Yield Losses and Economic Injury Levels of Rice Insect Pest in South Sulawesi, Indonesia Hidayat A, Soekardi M, Prasetyo BH. 1997. Ketersediaan sumberdaya lahan dan arahan pemanfaatan untuk beberapa komoditas. Pros. Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. P. 1 – 20. Hu H. 1988. In-vitro induced haploids in higher plant. In. Genetic Manipulation in Crops, Proceeding of the International Symposium on Genetic Manipulation in Crops: the 3rd International Symposium on Haploidy. Beijing, Oktober 1984. Manila, Philippines: IRRI and Acad Sinica. Hlm: 8 – 12. [IRRI] International Rice Research Institute. 1978. Effects of partial clipping of spikelets and drought on 1000 grain weight. P. 20-25. Annual Report for 1977. IRRI. Los Banos, Philippines. [IRRI] International Rice Reasearch Institute. 1996. Standard Evaluation System of Rice . IRRI. Philippines.
45
Jensen CJ. 1986. Haploid induction and production in crop plant. In. Horn W, editor. Genetic Manipulation in Plant Breeding. Berlin : Walter de Gruyer. Hlm:231-256 Juliano BO. 1979. The chemical basic of rice grain quality. Dalam : Proceding of the Worshop on Chemical Aspect of Rice Grain Quality. International Rice Research Institute Philipines. Kadir TS. 2000. Penyakit hawar daun bakteri. Dalam Prosiding Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian. Kobata T, Iida K. 2004 Low grain ripening in the new plant type rice due to shortage of assimilate supply. New directions for a diverse planet: Proceeding of the 4 th International Crop Science Congress Brisbane, Australia, 26 Sep- 1 Oct 2004. Khush GS, Virmani SS. 1996. Haploids in plant breeding. Di dalam : Jain SM, Sopory SK, Veilleux RE, editor. In Vitro Haploid Production in Higher Plant. The Netherlands: Kluwer Acad. Hlm 11-33. Koga H. 2001. Cytological aspects of infection by the rice blast fungus Pyricularia oryzae. In Sreenivasaprasad S and Johnson R. (Ed), Major Fungal Disease of Rice Recent Advances.p. 87-110. Kluwer Academic Publishes Kim K, Baenziger PS. 2005. A simple wheat haploid and doubled haploid production system using anther culture. In Vitro Cell. Dev. Biol. 41:22-27. Las I, Widiarta IN, Suprihatno B. 2004. Perkembangan varietas dalam perpadian nasional. 1-25 hal. Leung H, Shi Z. 1994. Genetic regulation of sporulation in the rice blast fungus. In Zeigler, R. S. et al. (Ed). Rice Blast Disease. P65-86. Manila. Philippines: CAB International IRRI. Lilley JM, Fukai S. 1994. Effect to timing and severity of water deficit on four diverse rice cultivars. Field Crops Res. 37 (3):205-213. Mae T, Thomas H, Gay AP, Makino A, Hidema J. 1993. Leaf development in Lolium termulentum to synthesis and photosyntesic protein in leaf senescing under different irradiances. Plant Cell Physiol. 34 : 391-399. Marler TE. 1994. Development light level affects growth, morphology, and leaf physiology of young carambola trees. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 199 (4) : 711-718. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition in Higher Plants. Second edition. Acad. Press Inc. San Diego, USA. P131-183. Masyhudi MF, Soewito T, Rianawati S, Dewi IS. 1997. Regenarasi kultur antera beberapa varietas tanaman padi sawah di Indonesia. Penelitian Pertanian 16 (2):77-85. Mohr H, Schopfer P. 1995. Plant Physiology. Translator Gudrun dan. Lawlor DW, Springer-Verlag, New York. 629p.
46
Mukhlis E. 2000. Penampilan sifat agronomi galur-galur padi sawah dataran rendah pada berbagai jarak tanam. Jurnal Agronomi Universitas Jambi 4 (1): 33-40 Ou SH. 1985. Rice Diseases. Kew Surrey : Commonwealth Mycological Institute. Okada K, Fischer AJ, Ferez-Salazar FA, Canon-Romero Y. 2003. Difference in retention of Ca and Al as possible mechanisms of Al resistance in upland rice. Soil Sci Plant Nutr 49:889-895. Pathak MD, Khan ZR. 1994. Insect Pests of Rice. IRRN. ICIPE.p.1-12 Paxton JD, Groth J. 1994. Contraints on pathogen attacking plants. Review in Plant Sci 13 : 77-95.
Critical
Peng S, Cassman KG, Virmani SS, Sheehy J, Khush GS. 1999. Yield potential trends of tropical rice since the release of IR8 and the challenge of increasing rice yield potential. Crop Sci. 39:15552-1559. Permadi K, Guswara A, Toha HM. 2000. Pengaruh pupuk phosmag plus terhadap pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi sawah kultivar IR64. Jurnal Ilmiah Pertanian Kultura Universitas Sumatera Utara 35 (1) : 41-51 Purwoko BS. 2004. Penggunaan spermin dalam regenerasi tanaman pada kultur antera beberapa aksesi padi gogo. Bul. Agron 32:21-24 Purwoko BS. 2007. Aplikasi kultur antera dan marka RAPD dalam perakitan padi gogo toleran cekaman lingkungan. Laporan Riset Unggulan Terpadu Bidang Pertanian dan Pangan. Rahama S. 1988. Inventarisasi ras Pyricularia oryzae Cav. di Sulawesi Selatan dan uji patogenesitasnya pada beberapa varietas padi. Tesis S2. Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor 87 hlm. Ramli M. 2000. Ketahanan dan dinamika ketahanan selama pertumbuhan beberapa genotype padi terhadap blas daun dan blas leher malai [Tesis]. Bogor : Program Pascasarja, Institut Pertanian Bogor. Rossman AY, et al. 1990. Pyricularia grisea, the correct name for the rice blast disease fungus. J. Mycologia, 82:509-512. Roumen EC. 1993. Effect of leaf age on component of partial resistance in rice to leaf blast. Euphytica 63 : 271-279 Rusdiansyah, Rohaeni N, Trikoessoemaningtyas. 2001. Evaluasi beberapa kultivar padi gogo asal Kalimantan Timur untuk ketahanan terhadap aluminium menggunakan metode kultur hara. Bul Agron 29: 73-77 Rusdiansyah. 2006. Identifikasi padi gogo dan padi sawah lokal asal kecamatan Sembakung dan Sebuku Kabupaten Nunukan. Proyek FORMACS-CARE International Indonesia-Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman Samarinda. Samarinda. 33 hal. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan jilid 2. Penerjemah Diah R. Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB, Bandung 173 p
47
Santoso. 2005. Analisis ketahanan 28 genotipe padi terhadap penyakit blas daun dan hubungannya dengan keberadaan gen Pi-b dan Pi-a. (tesis). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Santoso, Nasution A. 2008. Pengendalian penyakit blas dan penyakit cendawan lainnya. Di dalam : Daradjat AA, Setyono A, Makarim AK, Hasanuddin A, Editor. Padi Inovasi Teknologi Produksi, Buku 2. Jakarta. LIPI Press. hlm 531-557. Sanint LR, Martinez CP, Lentini Z. 1996. Anther culture as rice breeding tool: a profitable investment. In GH Khush (ed). Rice genetics III. Proceeding of the 3 rd International Rice Genetices Symposium. IRRI. Philippines, Los Banos, pp. 511-531. Sasmita P. 2006. Karakterisasi dan evaluasi toleransi padi gogo haploid ganda hasil antera terhadap naungan. (disertasi). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Scardaci SC et al. 1997. Rice blast: a new disease in California. Agronomy fact sheet series 1997-2. Department of Agronomy and Range Science, University of California, Davis. 3 pp. Semangun H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. 449p. Sing DP, Nanda DS. 1976. Inheritance of yield contributing characters in rice. Indian J. agric. Sci 46 (7): 11 p. Singh H, Ingram KI. 1991. Sensitivity of rice to water deficit at different growth stages. Phil J. Crop Sci 16 (1): 11 p. Singh RK, Singh US, Khush GS. 2000. Aromatic Rice. Oxford & IBH Publishing Co, Pvt. Ltd New Delhi & Calcuta 105p. Siregar H. 1981. Budidaya Tanaman Padi. Jakarta Sastra Hudaya. Snape JW. 1989. Double haploid breeding : Theoretical basic and practical applications. Di dalam Mujeeb-Kazi A dan Stich LA, editor. Review of Advances in Plant Biotechnologi 1985-1988. Manila, Philippines : International Maize and Wheat Improvement Center/International Rice Research Institute. hlm 19-30. Soemartono.1993. Pewarisan sifat komponen hasil padi gogo (Oryza sativa L.). Ilmu Pertanian 5(2): 613-622. UGM Yogyakarta Somantri I, Baihaki HA, Harahap Z , Suwandi D.1985. Pewarisan kadar amilosa pada padi. Journal Penelitian Pertanian 5 (3) ; 33-35. Somantri IA, Ambarwati AD, Apriana A. 2003. Perbaikan varietas padi melalui kultur antera. Prosiding Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Hal 208-214. Sopandie D. 1997. Toleransi kedelai terhadap aluminium: Deteksi visual toleransi dengan metode pewarnaan hematoxylin. Jurusan Budidaya Pertanian, Faperta IPB.
48
Sopandie D, Chozin MA, Sastrosumarjo S, Juhaeti T, Sahardi. 2003. Toleransi terhadap naungan pada padi gogo. Hayati 10: 71-75 Sopandie D. 2006. Perspektit Fisiologi dalam Pengembangan Tanaman Pangan di Lahan Marjinal, Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisiologi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor 2006. Sudir, Suprihatno B, Guswara A, Toha HM. 2002. Pengaruh genotipe, pupuk dan fungisida terhadap penyakit blas leher pada padi gogo. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 21 : 39-42. Sunihardi, Hermanto, Sadikin D. 2004. Deskripsi Varietas Unggul Padi dan Palawija 2002/2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 54 hal Suwarno AB, Surono, Harahap Z. 1982. Hubungan antara kadar amilosa beras dengan rasa nasi. Journal Penelitian Pertanian. 2(1) : 33-35. Suwarno AB, Toha HM, Ismail BP. 2005. Ketersediaan teknologi dan peluang pengembangan padi gogo. Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan Buku Satu. Prosiding Seminar Nasional Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hlm :129-144. Syafrudin, Trikoesoemaningtyas, Sopandie D. 2006. Ketenggangan genotipe jagung terhadap cekaman aluminium. Bul Agron. 34 : 1-10 Taryat T, Simanulang ZA, Sumadi E. 2000. Keragaan padi unggul varietas Digul, Way Apo Buru dan Widas di lahan potensial dan marginal. Paket dan komponen teknologi produksi padi. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Toha HM, Permadi K, Prayitno, Yuliardi I. 2005. Peningkatan produksi padi gogo melalui pendekatan model pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Seminar Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor, Juli 2005. Badan Litbang Pertanian. Vergara BS, Gomez KA, Visperas RM, Salivas E. 1973. Characteristic of Upland Rice. IRRI Saturday Seminar. April 1973. 19p Watanabe T, Okada K. 2005b. Interactive effect of Al, Ca and other cations on root elongation of rice cultivars under low pH. Ann Bot 95 : 379-385 Wang Z, Stass A, Horts WJ. 2004. Apoplastic binding of aluminum is involved in silicon- induced amelioration of aluminum toxicity in maize. Plant physiol 136 : 3762-3770. Zapata FJ. 1990. Tissue Cultural Techniques. RBTW 1 October-23 November 1990. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. Zen S. 1995. Heritabilitas, koreksi genotipik dan genotipik karakter padi gogo. Zuriat 6:25-31.
49
Zhu YY, Fang H, Wang YY, Fan JX, Yang SS, Mew TW, Mundt CC. 2005. Panicle blast and canopy moisture in rice cultivar mixtures. Phytopathology 95:433-438
50
Lampiran 1. Data curah hujan April-Sep Darmaga Bogor 2008 Lokasi : Darmaga Bogor Lintang : 060 33' LS : 1060 45' BT Elevasi : 190 m Tanggal Menakar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jumlah
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
48.5 5.5 0.4 0 0 6.8 67.5 34.5 6.0 5.0 2.9 51 49.2 TTU 6.8 41.7 45.5 0 43.6 TTU 29.1 7.9 12.5 0.2 0 TTU 14.0 TTU 0 48.4 0 527
17.0 0 0 1.5 2.6 0 70.0 TTU TTU 0 1.3 0 0 6.4 34.7 0 1.0 0 43.5 41.6 24.1
45.5 0 0 0.1 0 TTU 24.3 0 0 0.1 33.0 0 34.0 1.7 1.0 3.9 0 0.4 0 1.4 0 4.8 0.1 12.0 0 0 0 9.2 0 0
0 TTU 0 0 102.2 0 0 0 0 0 0 0 0 TTU 0 0 7.2 TTU 0 0 0.5 0 TTU 0 0 29.4 32.7 4.0 13.6 0 0 172.4
6.6 0 22.5 TTU 0 0 9.5 0 0 0 0 TTU 0 0 7.2 TTU 0 0 0.5 0 TTU 0 29.4 32.7 4.0 0 0 27.6 11.0 11.0 162
18.7 0.3 TTU TTU 49.6 0.7 TTU TTU 6.1 5.1 11.8 10.0 TTU TTU 7.2 TTU 0.2 TTU TTU 2.5 TTU 12.0 15.4 1.3 80.2 2.0 0.4 TTU 24.2 95.5 0 343.2
0.4 9.5 0 23.5 TTU 0 0 0 0 277.1
171.5
Keterangan : Curah Hujan ditakar dalam mm. 0,0 : berarti tidak hujan, TTu (tak terukur).
51
Lampiran 2. Data curah hujan Okt - Aprl Cimanggu Sukabumi 2008 Lokasi : Cicatih Lintang : 06 0 57' LS : 1060 45' BT Desa/Kec: Cimanggu/Cikembar Tanggal Menakar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jumlah
Okt
Nop
Des
Jan
Peb
Mar
Apr
21 20 0 0 0 0 0 0 0 0 10 13 0 30 65 16 0 0 11 52 48 0 0 0 18 21 11 78 13 0 0 427
0 19 15 17 23 10 0 37 49 52 21 8.0 14 19 15 11 10 0 0 7 0 0 31 20 40 0 0 0 0 70 0 488
16 53 0 20 14 7.0 24 10 0 39 68 0 0 30 43 19 0 21 25 13 7.0 0 0 22 20 31 0 0 15 0 18 515
0 24 0 12 0 0 19 33 0 60 41 53 87 20 0 42 0 0 0 0 12 2.0 0 0 13 0 0 4 8 0 60 490
31 66 6 0 13 20 43 6.0 0 0 0 27 23 20 24 0 0 0 0 17 0 9.0 14 0 0 26 0 0 0 0 0 345
0 0 38 0 7 0 0 0 0 0 0 12 0 0 0 0 0 0 0 49 40 0 14 0 16 15 14 3 28 31 9 276
0 9.0 0 0 0 11 37 0 13 0 0 35 0 0 41 4.0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 16 25 0 32 0 223
Keterangan: Curah Hujan ditakar dalam mm. 0,0 berarti tidak ada hujan,TTU (tak terukur)
52
Lampiran 3. Deskripsi varietas Jatiluhur Identitas/Karakter Nomor Asal Golongan Umur Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan Produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk Gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Berat 1000 butir Potensi hasil Ketahanan/toleransi Penciri Pemulia Tahun dilepaskan
Keterangan _ : Persilangan Tox 1011/Ranau : Cere (Indica) : 110 - 115 hari : Tegak : 95 - 100 cm : Sedang (6-8 batang) : Ungu : Bergaris ungu : Tidak berwarna : Tidak berwarna : Hijau tua : Kasar : Tegak sampai miring : Miring : Bulat besar : Kuning kotor : Agak tahan : Sedang : Pera : 27.6% : 27 g : 2.5 - 3.5 ton/ha gabah kering : Tahan blas dan toleran naungan : Baik ditanam untuk padi lahan kering (gogo) sampai ketinggian 500 m dpl : Erwina Lubis, Murdani Diredja, Suwarno, Susanto Tw, Hadi S : 1994
53
Lampiran 4. Deskripsi varietas Limboto
Identitas/Karakter Nomor Seleksi Asal Persilangan Golongan Umur Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan Produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk Gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Berat 1000 butir Hasil Ketahanan terhadap Cekaman lingkungan Hama Penyakit Anjuran tanam Pemulia Teknisi Dilepas tahun
Keterangan : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
: : : :
TB47H-MR-5 Papah Aren/IR36/Dogo Cere 105 hari Tegak 100 cm Sedang Hijau Hijau Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar Tegak Mendatar Bulat besar Kuning bergaris coklat Sedang Tahan Sedang 24 % 28 g 3 - 5 ton/ha
Toleransi kekeringan dan agak toleran keracunan Al Tahan terhadap lalat bibit Tahan terhad blas daun dan blas leher Cocok ditanam pada laha kering (gogo) yang subur dengan ketinggian kurang dari 500 m dpl : E. Lubis, Murdani Diredja, Suwarno, dan W.S. Ardjasa : Tusrimin dan Ade Santika : 1999
54
Lampiran 5. Deskripsi varietas Batutegi Identitas/Karakter Nomor Seleksi Asal Persilangan Golongan Umur Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan Produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk Gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Berat 1000 butir Hasil
Keterangan : : : : : : : : :
TB154E-TB-2 B6876B-MR-10/B6128B-TB-15 Cere 116 hari Tegak 124 cm Sedikit Hijau Hijau
: : : : : : : : : : : : : : :
Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar Tegak Mendatar Bulat sedang Kuning bersih Sedang Tahan Pulen 22,3 % 25 g 3 ton/ha gabah kering giling Tahan terhadap blas daun, blas leher, bercak daun coklat, agak toleran keracunan Al, dan bereaksi moderat terhadap kekeringan Baik dibudidayakan pada lahan kering subur dan lahan kering Podzolik Merah Kuning (PMK) dengan tingkat keracunan alumunium sedang, dari dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl. E. Lubis, Murdani Diredja, Suwarno, dan W.S. Ardjasa, B. Kustianto Tusrimin, Sularjo, Gusminar dan Ade Santika 2001
Ketahanan Keterangan
:
Pemulia
:
Teknisi Dilepas tahun
: :
55
Lampiran 6. Deskripsi varietas Cisokan
Identitas/Karakter Nomor Seleksi Asal Persilangan Golongan Umur Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan Produktif Warna kaki Warna batang Warna telinga daun Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk Gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Berat 1000 butir Ketahanan terhadap Hama
Penyakit Anjuran Pemulia Dilepas tahun
Keterangan : : : : : : : : :
B4070d-Pn-199-43 PB36/Pelita I-1 Cere, kadang-kadang berbulu 110 - 120 hari Tegak 90 - 100 cm 20 - 25 Hijau Hijau muda
: : : : : : : : : : : : :
Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar Tegak Intermediate Lonjong - sedang Kuning bersih Sedang Sedang Pera 22 % 22 g
: - Tahan wereng coklat biotipe 1, 2,3 - Peka wereng coklat biotipe 3 : - Agak tahan bakteri hawar daun (Xanthomonas oryzae) : Cukup baik sebagai padi sawah dengan ketinggian sampai dengan 500 m dpl : Soewito Tj, Susanto Tw, Adijono Pa., dan Z. Harahap : 1985
56
Lampiran 7. Denah percobaan I di Bogor 3,6 m P4
3m
P7
P17
P13
P5
P2
P9
P10
P8
P6
P12
P14
P1
P3
P11
P15
P16
P13
P7
P12
P17
P10
P2
P11
P9
P14
P6
P4
P8
P15
P3
P5
P1
P16
P13
P10
P12
P9
P6
P14
P11
P4
P7
P16
P17
P8
P3
P1
P5
P2
P15
I
II
III
57