ANDROGENESIS: UPAYA TEROBOSAN UNTUK PENYEDIAAN TANAMAN HAPLOID ATAU HAPLOID GANDA PADA ANTHURIUM
BUDI WINARTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Androgenesis: Upaya Terobosan untuk Penyediaan Tanaman Haploid atau Haploid Ganda pada Anturium adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pusaka di bagian akhir disertasi ini
Bogor, September 2009 Budi Winarto NRP A161060111
© Hak Cipta milik IPB tahun 2009 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ABSTRACT BUDI WINARTO. Androgenesis: A Breakthrough Effort for Preparing Haploid or Double-haploid Plants in Anthurium. Under supervisory committee of NURHAYATI A. MATTJIK, AGUS PURWITO and BUDI MARWOTO. Androgenesis via anther or microspore culture is one of important technological breakthrough in producing plant homozygous lines. Conventionally, producing the plants is laborious and time consuming. More or less 219 haploid technology protocols for 33 species were established. Ninety percent (90%) of them was established via anther culture and 8% through microspore culture. Anthuriums are bisexual and protogynous, with the spadix first producing a female phase followed by, after about a month, a male phase. This prevents and reduces selfpollination frequency of the flowers and causes cross-pollination in high frequency for the plants. Therefore establishment of anther culture method for producing the homozygous lines in Anthurium is important tool in strengthening Anthurium agribusiness in Indonesia in accordance with producing high qualified new hybrids and seeds. The aim of the study was to establish anther or microspore culture for producing haploid or double haploid plants. Spadix of Anthurium andreanum Linden ex André c.v. Tropical, callus, shoot, root and acclimatized plants derived from the method were utilized in the study. The study involves plant donor selection, explant donor evaluation, study of callus formation, regeneration of callus, plantlet preparation and chromosome doubling, and evaluation of regenerants derived from anther culture of Anthurium. Factorial experiments were arranged by completely randomized design (CRD) and randomized complete block design (RCBD) with four replications. Regression and correlation analysis were also applied in a part of the study. Results of the study showed that MWR-3 optimized by increasing sucrose concentration from 30 to 60 g/l and supplemented with 30 g/l glucose was the most suitable basic medium in callus formation. Half- anther cultured in adaxial-side down position without treatment was the most appropriate isolation technique in anther culture of anthurium. Callus produced in anther was originated from anther wall cells. MWR supplemented with 1.0 mg/l 2,4-D and 0.5 mg/l TDZ was the appropriate medium for callus regeneration. High shoot regeneration for slow growth and haploid callus was established in MRM-6. Highqualified plantlets were etablished on MP-7 and MPH-1. Root tip and root cultured in medium containing 1% activated carchoal were suitable explant and root type for in vitro chromosome staining. Ploidy ratio of regenerants derived from anther culture of anthurium was about 22.5-33.9% haploid, 60.4-75% diploid, and 2.35.7% triploid. Colchicine of 0.05% for 10 days of application time was the most appropriate combination treatment in chromosome doubling of anthurium. Plants derived from the anther culture had morphological variations with varied-characters. Some of them had potential to be developed. Androgenesis via anther culture and double haploid plants for anthurium were successfully established in the study. The system was also successfully applied to produce double haploid plants on other anthurium cultivars such as A. andreanum cv. Carnaval, Casino, Laguna and local anthuriums Keywords: Anther and microspore culture, medium of Winarto (MW-1) and Rachmawati-3 (MWR-3), explant ploidy, Anthurium.
RINGKASAN BUDI WINARTO. Androgenesis : Upaya Terobosan untuk Penyediaan Tanaman Haploid atau Haploid Ganda pada Anturium. Dibimbing oleh NURHAYATI A. MATTJIK, AGUS PURWITO dan BUDI MARWOTO. Androgenesis melalui kultur antera atau mikrospora merupakan salah satu terobosan teknologi penting dalam produksi tanama n haploid atau haploid ganda. Tanaman tersebut merupakan sumber genetik penting dalam produksi hibrida unggul baru dan biji berkualitas melalui program pemuliaan dan perbenihan yang terkontrol. Produksi tanaman tersebut melalui pemuliaan konvensional memerlukan banyak tenaga dan waktu. Sampai saat ini lebih kurang 219 protokol produksi tanaman haploid ganda, terkait dengan 33 species dan hibrida interspesifik pada serealia, sayuran, buah-buahan dan tanaman hias berhasil dikembangkan. Sembilan puluh persen (90%) dihasilkan melalui kultur antera dan delapan (8%) melalui kultur mikrospora. Anturium merupakan tanaman biseksual dan protoginous, dimana fase betina masak lebih kurang satu bulan lebih awal dibanding fase jantannya. Kondisi ini menjadi pembatas terjadinya penyerbukan sendiri, sehingga penyerbukan silang memiliki frekuensi yang tinggi dibanding penyerbukan sendiri. Anturium merupakan salah satu tanaman hias penting di Indonesia. Potensi agribisnis anturium cukup besar, namun belum tergarap dengan baik. Bertolak dari kenyataan tersebut, keberhasilan pengembangan androgenesis melalui kultur antera atau mikropora anturium yang dilakukan pada penelitian ini diharapankan mampu menjadi roda penggerak agribisnis anturium di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kultur antera atau mikrospora yang efektif sebagai penyedia tanaman haploid atau haploid ganda pada anturium. Penelitian ini diawali dengan studi tahap perkembangan mikrospora, seleksi tanaman donor, dan seleksi donor eksplan yang sesuai untuk androgenesis anturium. Dari studi awal diketahui bahwa Anturium andreanum Linden ex André kultivar Tropical, antera yang diisolasi dari daerah transisi spadik merupakan tanaman donor dan donor eksplan yang sesuai untuk androgenesis anturium. Beberapa hal penting yang dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian adalah melakukan studi pembentukan kalus, regenerasi kalus, penyiapan plantlet dan penggandaan kromosom, dan evaluasi regeneran hasil kultur antera anturium. Bahan penelitian yang digunakan adalah spadik A. andreanum kultivar Tropical, kalus, tunas, akar, plantlet dan tanaman haploid, dan media terseleksi. Penelitian ini meliputi studi pembentukan kalus, regenerasi kalus, penyiapan plantlet dan penggandaan kromosom, dan evaluasi regeneran hasil kultur antera anturium. Pada studi pembentukan kalus, beberapa formula media dasar (MW-1, MW-2, MW3) dan optimasinya (MWR-1, MWR-2, dan MWR-3), teknik isolasi dan optimasinya diuji kemampuannya dalam menginduksi pembentukan kalus. Studi histologi juga dilakukan untuk mengetahui asal sel yang membentuk kalus pada kultur antera anturium. Pada studi regenerasi kalus, beberapa media dasar terseleksi (MW-1 dan MWR-3) dan konsentrasi NH4 NO3 , variasi konsentrasi 2,4-D dan TDZ, glutamin dan serin, sukrosa dan glukosa diaplikasikan pada media terseleksi untuk meningkatkan kemampuan media dalam menginduksi pembentukan tunas. Pada tahap ini, optimasi regenerasi kalus tumbuh lambat dan haploid juga dilakukan. Pada studi penyiaapan plantlet dan penggandaan kromosom, beberapa media pengakaran diuji kemampuannya dalam menginduksi pembentukan akar. Variasi konsentrasi kolkisin dan waktu aplikasinya juga dipelajari untuk mendapatkan konsentrasi dan waktu aplikasi kolkisin yang optimal untuk penggandaan kromosom. Pada eva luasi
sitologi, dilakukan seleksi eksplan, metode pewarnaan kromosom, penghitungan jumlah kromosom untuk menetahui rasio ploidi eksplan baik in vitro maupun ex vitro. Sedangkan pada evaluasi fenotipe, UPOV TG-86 yang telah diadaptasikan untuk kondisi Indonesia digunakan untuk karakterisasi dan mengetahui keragaman tanaman hasil kultur antera anturium. Peubah yang diamati dalam studi ini ialah (1) persentase tumbuh antera (PTA, %), (2) persentase antera membentuk kalus (PAMK, %), (3) jumlah antera membentuk kalus (JK), (4) volume kalus (mm3 ), (5) skoring jumlah bakal tunas, (SJBT) – s/d ++++, dimana – tidak ada bakal tunas yang teramati, + terdapat 1-5 bakal tunas, ++ terdapat 6-10 bakal tunas, +++ terdapat 1120 bakal tunas, dan ++++ terdapat lebih dari 20 bakal tunas per eksplan yang diamati, (6) jumlah tunas (JT), (7) jumlah akar (JA), (8) persentase kematian (%), (9) variasi ploidi tanaman, (10) persentase tanaman haploid ganda (PTHG, %), (11) persentase keberhasilan penggandaan kromosom (PKK, %). Percobaan faktorial dan percobaan faktor tunggal disusun menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) atau kelompok (RAK) dengan empat ulangan digunakan pada beberapa percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini. Analisis regresi dan korelasi juga diaplikasikan pada sebagian percobaan. Dari studi pembentukan kalus diketahui bahwa MW-1 dan MWR-3 merupakan media yang paling sesuai untuk kultur antera anturium dengan respon pembentukan kalus terbaik. Setengah antera tanpa diberi perlakuan (TI-1) yang dikultur pada posisi terlentang dan phytagel (3.0 g/l) merupakan teknik isolasi dan jenis agar yang sesuai untuk kultur antera ini. MWR-3 dengan 60 g/l sukrosa dan 30 g/l glukosa merupakan medium perbaikan terbaik dalam meningkatkan pembentukan kalus dengan potensi antera tumbuh mencapai 92%, 67% antera yang membentuk kalus dan 4.0 jumlah rata-rata antera membentuk kalus per perlakuan. Pada studi histologi, kalus yang terbentuk pada kultur antera berasal dari sel-sel dinding antera. Pada studi regenerasi kalus, kombinasi 1.0 mg/l 2,4-D dengan 0.5 mg/l TDZ pada MWR-3 merupakan kombinasi terbaik untuk regenerasi kalus dan menghasilkan 5.3 tunas per eksplan. Hasil yang hampir sama ditunjukkan oleh setengah kekuatan MW-1 dengan NH4 NO3 205 mg/l meningkatkan pertumbuhan kalus tertinggi (205 mm3 ) dengan jumlah tunas terbanyak, yaitu: 5.2 tunas per eksplan. Sementara MRM-6 (MW-1 yang mengandung 0.5 mg/l 2,4-D, 1.0 mg/l TDZ, 10.0 mg/l BAP, 0.02 mg/l NAA, dan 20 g/l sukrosa) merupakan medium regenerasi tunas terbaik untuk kalus tumbuh lambat dan tanaman haploid dengan pembentukan tunas yang tertinggi mencapai 4.8 tunas per ekaplan. Pada studi penyiapan plantlet, MP-7 + 1% arang aktif merupakan medium induksi pembentukan jumlah dan kualitas akar terbaik dengan 4.5 akar per tunas dan 83% nya ialah akar yang sesuai untuk uji kromosom. Sedangkan MPH-1 (MS + 0.2 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA) merupakan medium pengakaran yang sesuai untuk induksi pembentukan akar pada tunas haploid dengan 2.5 akar per tunas. Pada penggandaan kromosom, aplikasi 0.05% kolkisin selama 10 hari merupakan perlakuan yang sesuai untuk mendapatkan tanaman haploid ganda dengan persentase yang tinggi mencapai 76.5%. Pada evaluasi regeneran hasil kultur antera anturium diketahui bahwa ujung akar dan akar yang ditumbuhkan pada medium yang mengandung 1% arang aktif merupakan jenis eksplan dan akar yang sesuai untuk evaluasi sitologi. Rasio ploidi regeneran hasil kultur antera anturium adalah 22.5-33.9% adalah haploid, 60.4-75% diploid, dan 2.3-5.7% triploid. Metode penghitungan jumlah kloroplas pada sel pelindung stomata dan jumlah mikrospora dalam antera merupakan metode penentuan level ploidi tak langsung terbaik dengan tingkat kepercayaan 94.5% dan 81.3%. Keragaman morfologi dan variasi karakter juga diamati pada tanaman hasil regenerasi anturium. Penampilan dan karakter
menarik yang ditemukan pada sampel 258, 324, 239 (haploid) dan 16 yang memiliki potensi untuk pengembangan pemuliaan anturium. Tanaman dengan warna spate putih merupakan tanaman dominan hasil kultur antera anturium. Androgenesis melalui kultur antera berhasil dikembangkan pada anturium. Metode juga telah diaplikasikan untuk memproduksi tanaman haploid ganda pada kultivar anturium lain seperti A andreanum kultivar Carnaval, Casino, Laguna dan anturium lokal. Kata-kata kunci: Kultur antera dan mikospora anturium, medium Winarto-1 (MW1), medium Winarto dan Rachmawati-3 (MWR-3), ploidisasi eksplan, dan anturium.
ANDROGENESIS: UPAYA TEROBOSAN UNTUK PENYEDIAAN TANAMAN HAPLOID ATAU HAPLOID GANDA PADA ANTURIUM
BUDI WINARTO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi Departemen Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji pada Ujian Tertutup
: Dr. Irawati Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi
Penguji pada Ujian Terbuka
: Dr. Ir. Ika Mariska, MS, APU Dr. Ir. Nurul Khumaida, MS
Judul Disertasi Nama NRP
: Androgenesis : Upaya Terobosan untuk Penyediaan Tanaman Haploid atau Haploid Ganda pada Anthurium : Budi Winarto : A 161060111
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Nurhayati A. Mattjik, MS Ketua
Dr. Ir. Agus Purwito, MSc Anggota
Dr. Ir. Budi Marwoto, MS, APU Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: .........................
Tanggal Lulus: ....................................
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Bapa dalam Kristus Yesus yang dengan segala limpah rahmat dan kasih karuniaNya telah memberkati, menopang dan menolong penulis hingga berhasil menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih yang mendalam penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Nurhayati. A. Mattjik, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Agus Purwito, M. Agric. Sc dan Dr. Ir. Budi Marwoto, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, kritikan, saran dan masukan yang sangat berharga sejak persiapan, pelaksanaan penelitian hingga selesainya penulisan disertasi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian,
Departemen
Pertanian
yang
telah
memberikan
kesempatan, kepercayaan dan dukungan biaya selama masa tugas belajar S3 ini berlangsung. Kepada ”Indonesian Torey Science Foundation (ITSF)-Jepang” yang telah memberikan sebagian dukungan biaya penelitian. Kepada Mr. Andre Smaal dari AGRIOM Achterweg 58A 1424 PR De Kwakel, The Netherland s untuk dukungan beberapa bahan kimia penting penunjang kegiatan penelitian. Terima kasih yang sangat mendalam penulis ucapkan untuk istriku Nuri Rianti M, S.Pd (Almarhumah), anakku Yoga Aninditya dan Rexy Damarjati untuk kedalaman cinta, dukungan semangat dan pengorbanan yang telah mereka berikan. Kepada Ir. Fitri Rachmawati, M.Si, Dewi Pramanik, S.P., Euis Rohayati, Amd, Supenti, Nina Marlina, Dedi Rusnandi, Iwan Royada untuk dukungan dan kerjasama selama penelitian berlangsung. Kepada rekan-rekan seperjuangan, Ir. Sri Rianawati, MS, Ir. Suskandari Kartkaningrum, MS, Ir. Debora Herlina, MS beserta keluarga atas semua hal berharga yang telah diberikan. Kepada semua orang yang tak dapat disebutkan satu-per satu, kiranya Tuhan memberkati dan menyempurnakan semua yang telah dilakukan. Amin.
Bogor, Oktober 2009 Budi Winarto
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Grobogan pada tanggal 04 Agustus 1967 anak ke-2 dari empat bersaudara pasangan suami- istri Sugiyono (Alm.) dan Sulastri. Pendidikan S1 Biologi diselesaikannya di Fakultas Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga pada tahun 1990. Pada tahun 1995 bergabung dengan Balai Penelitian Tanaman Hias (Dahulu bernama: Sub Balai Hortikultura Segunung) sebagai staf peneliti di laboratorium biokontrol dan mikologi. Pada tahun 2000, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S2 di Universiti Putra Malaysia bidang Bioteknologi Petanian, Departemen Sains Tanaman pada Fakultas Pertanian yang diselesaikan pada tahun 2002. Sejak tahun 2003 hingga sekarang penulis aktis menjadi staf peneliti pada laboratorium kultur jaringan dan bioteknologi.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL……………………………………………………………
xiii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………...
xvi
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………
xix
PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang………………………………………………………..
1
Tujuan………………………………………………………………...
10
Manfaat Penelitian……………………………………………………
11
Ruang Lingkup Penelitian……………………………………………
12
STUDI PEMBENTUKAN KALUS/EMBRIO Pendahuluan………………………………………………………….
13
Bahan dan Metode……………………………………………………
18
Hasil…………………………………………………………………..
26
Pembahasan…………………………………………………………..
46
Simpulan……………………………………………………………...
63
STUDI REGENERASI KALUS Pendahuluan…………………………………………………………..
64
Bahan dan Metode……………………………………………………
69
Hasil......................................................................................................
74
Pembahasan…………………………………………………………..
94
Simpulan……………………………………………………………...
104
STUDI PENYIAPAN PLANTLET DAN PENGGANDAAN KROMOSOM Pendahuluan …………………………………………………………
105
Bahan dan Metode……………………………………………………
108
Hasil………………………………………………………………….
110
Pembahasan…………………………………………………………..
118
Simpulan...............................................................................................
123
EVALUASI REGENERAN HASIL KULTUR ANTERA ANTURIUM Pendahuluan ………………………………………………………….
124 xi
Bahan dan Metode……………………………………………………
127
Hasil…………………………………………………………………..
132
Pembahasan…………………………………………………………..
144
Simpulan...............................................................................................
151
PEMBAHASAN UMUM…………………………………………………….
152
SIMPULAN UMUM…………………………………………………………
170
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...
172
LAMPIRAN………………………………………………………………….
204
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Perkembangan mikrospora berdasarkan tahap perkembangan spadiknya……………………………………………………………….
8
2.
Formula medium dasar untuk pembentukan kalus……………………..
20
3.
Formula medium dasar yang dioptimasi untuk pembentukan kalus……
21
4.
Pengaruh formula media dasar terhadap pembentukan kalus pada kultur antera anturium tahap awal...........................................................
29
Pengaruh perbaikan medium dasar terseleksi terhadap pembentukan kalus pada kultur antera anturium tahap optimasi...................................
31
6.
Pengaruh teknik isolasi yang berbeda terhadap pembentukan kalus.......
32
7.
Pengaruh jenis agar yang berbeda terhadap pembentukan kalus.............
33
8.
Pengaruh interaksi antara posisi kultur antera dan media induksi terhadap jumlah antera yang membentuk kalus per perlakuan (JK)……
35
Pengaruh media induksi kalus terseleksi terhadap pembentukan kalus...
36
10. Pengaruh pengurangan kandungan garam mineral medium terseleksi terhadap pembentukan kalus pada kultur antera anturium.......................
36
11. Pengaruh konsentrasi amonium nitrat terhadap pembentukan kalus.......
37
12. Pengaruh interaksi media dasar dan konsentrasi amonium nitrat terhadap jumlah antera yang membentu kalus per ulangan (JK).............
38
13. Pengaruh interaksi kombinasi-konsentrasi 2,4-D dan TDZ terhadap jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus per perlakuan (JK)........
39
14. Pengaruh glutamin terhadap pembentukan kalus.....................................
40
15. Pengaruh serin terhadap pembentukan kalus...........................................
41
16. Pengaruh interaksi sukrosa dan glukosa terhadap jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus per perlakuan (JK)...................................
42
17. Pengaruh media dasar terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus........
76
5.
9.
xiii
18. Pengaruh konsentrasi amonium nitrat terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus........................................................................................
77
19. Skor jumlah bakal tunas per eksplan pada perlakuan medium dasar dan konsentrasi amonium nitrat......................................................................
78
20. Pengaruh interaksi antara media dasar dan konsentrasi amonium nitrat terhadap volume kalus (VK, mm3 )..........................................................
79
21. Pengaruh interaksi antara media dasar dan konsentrasi amonium nitrat terhadap jumlah tunas (JT).......................................................................
79
22. Pengaruh kombinasi konsentrasi 2,4-D dan TDZ terhadap skor bakal tunas......................................................................................................... 23. Pengaruh interaksi kombinasi-konsentrasi 2,4-D dan TDZ terhadap pertumbuhan volume kalus (VK, mm3 )...................................................
81 82
24. Pengaruh interaksi kombinasi-konsentrasi 2,4-D dan TDZ terhadap jumlah tunas yang dihasilkan per eksplan (JT)........................................
82
25. Pengaruh glutamin terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus.............
83
26. Pengaruh serin terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus...................
83
27. Skor jumlah bakal tunas per eksplan perlakuan glutamin dan serin........
84
28. Pengaruh interaksi glutamin dan serin terhadap jumlah tunas per eksplan (JT)..............................................................................................
86
29. Skor jumlah bakal tunas per eksplan pada perlakuan sukrosa dan glukosa.....................................................................................................
87
30. Pengaruh interaksi sukrosa dan glukosa terhadap volume kalus per eksplan (VK, mm3 )..................................................................................
88
31. Pengaruh interaksi sukrosa dan glukosa terhadap jumlah tunas per eksplan JT)...............................................................................................
88
32. Respon pertumbuhan kalus, pembentukan bakal tunas dan tunas kalus tumbuh lambat pada media regenerasi yang berbeda..............................
89
33. Pengaruh media regenerasi terhadap pertumbuhan kalus, pembentukan bakal tunas dan tunas pada kalus haploid ................................................
90
34. Pengaruh interaksi jenis eksplan dan sampel tanaman haploid terhadap jumlah tunas yang teregenerasi…………………………………………
93 xiv
35. Pengaruh interaksi jenis eksplan dan sampel tanaman haploid terhadap jumlah akar yang teregenerasi………………………………………….
94
36. Pengaruh interaksi arang aktif dan media pengakaran terhadap jumlah akar..........................................................................................................
112
37. Pengaruh interaksi arang aktif dan media pengakaran terhadap persentase akar berkualitas (PAB, %)......................................................
113
38. Rasio ploidi hasil perlakuan konsentrasi kolkisin yang berbeda pada plantlet haploid ………………………………………………………….
117
39. Rasio ploidi hasil perlakuan 0.05% kolkisin pada waktu perendaman yang berbeda……………………………………………………………
117
40. Pengaruh sumber eksplan yang berbeda terhadap keberhasilan penghitungan jumlah kromosom. .............................................................
133
41. Variasi level ploidi pada sampel yang dapat dihitung jumlah kromosom................................................................................................
133
42. Pengaruh tipe akar terhadap keberhasilan pewarnaan kromosom................................................................................................
134
43. Variasi dan rasio level ploidi pada akar udara dan akar yang tumbuh dalam medium dengan arang aktif sebagai sumber eksplan...................
135
44. Variasi level ploidi pada sampel berhasil dihitung jumlah kromosomnya...........................................................................................
135
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Klasifikasi spadik berdasarkan tahap perkembangaan.............................
7
2.
Tahap perkembangan mikrospora dalam antera Anturium andraeanum Linden ex André……………………………………………………….
8
3.
Pencoklatan eksplan dalam kultur antera anturium..................................
27
4.
Perkembangan pembentukan kalus dalam kultur antera anturium...........
28
5.
Respon pertumbuhan antera pada formula media dasar yang berbeda.....
29
6.
Pengaruh posisi kultur antera (A) dan media induksi (B) terhadap induksi pembentukan kalus pada kultur antera anturium……………….
34
7.
Variasi respon sel-sel antera anthurium dalam androgenesis…………...
43
8.
Proses inisiasi pembentukan kalus pada kultur antera anturium………..
44
9.
Hasil studi histologi pembentukan kalus dan tunas……………………..
45
10.
Pengaruh media dasar dan konsentrasi amonium nitrat terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus hasil kultur anturium.........................
75
Bakal tunas dan tunas yang teregenerasi pengaruh perlakuan 2,4-D dan TDZ...........................................................................................................
81
Pencoklatan kalus dalam kultur antera anturium sebagaian disebabkan oleh perlakuan serin..................................................................................
84
Pertumbuhan kalus dan regenerasinya pada medium terseleksi yang mengandung 250 mg/l glutamin dan tanpa serin......................................
85
Respon pertumbuhan dan regenerasi kalus tumbuh lambat, kalus regenerasi daun dan petiol sampel tanaman haploid pada MRM-4 dan MRM-6………………………………………………………………….
91
15.
Respon pembentukan tunas dan akar pada eksplan yang berbeda………
92
16
Respon pembentukan tunas dan akar pada sampel tanaman haploid yang berbeda…………………………………………………………….
93
11.
12.
13.
14.
xvi
17.
Variasi warna kalus organogenik hasil kultur antera anturium kultivar Tropical.....................................................................................................
97
18.
Pengaruh media pengakaran terhadap jumlah akar..................................
111
19
Jumlah dan kualitas akar yang maksimal pada MP-7 yang mengandung 1% arang aktif...........................................................................................
113
Pengaruh media pengakaran terhadap induksi pembentukan akar pada tunas haploid.............................................................................................
115
21.
Induksi pembentukan akar tunas haploid pada MPH-3d dan MPH-1......
115
22.
Pertumbuhan tanaman haploid setelah aklimatisasi…………………….
116
23.
Respon pertumbuhan tanaman akibat perlakuan kolkisin………………
118
24.
Susunan kromosom somatik pada A. andreanum cv. Uniwa, 2n = 30.....
125
25.
Tiga tipe akar yang digunakan evaluasi sitologi....................................... 128
26.
Hasil pewarnaan kromosom pada eksplan yang berbeda.........................
27.
Hasil pewarnaan kromosom yang potensial digunakan untuk studi kariotipe (Rachmawati, 2005)................................................................... 136
28.
Variasi hasil pewarnaan kromosom menggunakan modifikasi metode Sharma dan Sharma (1994)....................................................................... 137
29.
Sebaran data, regresi dan korelasi antara metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar dengan jumlah kloroplas pada sel pelindung stomata………………………………………………………
20.
132
138
30.
Komparasi metode penhitungan jumlah kromosom dan jumlah kloroplas pada variasi ploidi tanaman hasil kultur antera........................ 139
31.
Sebaran data, regresi dan korelasi antara metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar dengan jumlah mikrospora per anteranya …
139
Sebaran data, regresi dan korelasi antara metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar dengan kepadatan stomata per mm2 epidermis daun…………………………………………………………
140
Sebaran data, regresi dan korelasi antara metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar dengan rasio panjang lebar stomata………
140
32.
33.
xvii
34.
Sebaran data, regresi dan korelasi antara metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar dengan rasio panjang lebar daun…………
141
35.
Distribusi frekuensi warna dan jumlah tanaman hasil kultur antera……
142
36.
Tanaman haploid yang tidak berbunga .....................................................
143
37.
Penampilan daun yang terlihat berbeda antara tanaman haploid, diploid dan triploid ………………………………………………………………
147
38.
Siklus kromosom selama C-mitosis (Reider dan Palazzo, 1992)………
165
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Rekapitulasi nilai F pada persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan awal seleksi formula media dasar............................................
204
Rekapitulasi nilai F pada persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan optimasi formula media dasar..................................................
204
Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh antera (PTA, %), persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan teknik isolasi dan jenis agar.......
204
Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh antera (PTA, %), persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan posisi kultur dan media induksi.
205
Pengaruh interaksi antara posisi kultur dan media terhadap potensi tumbuh antera (PTA, %)...........................................................................
205
Pengaruh interaksi antara posisi kultur dan media terhadap persentase regenerasi antera (PAMK, %)...................................................................
206
Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh antera (PTA, %), persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan media terseleksi dan pengurangan kandungan garam mineral....................................................
206
Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh antera (PTA, %), persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan media dasar dan konsentrasi NH4 NO3 dalam pembentukan kalus..........................................................
207
Pengaruh interaksi media dasar dan konsentrasi amonium nitrat terhadap potensi tumbuh antera (PTA, %)................................................
207
10. Pengaruh interaksi media dasar dan konsentrasi amonium nitrat terhadap persentase antera membentuk kalus (PAMK, %).......................
208
11. Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh antera (PTA, %), persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan 2,4-D dan TDZ dalam pembentukan kalus....................................................................................
208
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
xix
12. Pengaruh interaksi kombinasi-konsentrasi 2,4-D dan TDZ terhadap potensi tumbuh antera (PTA, %)...............................................................
209
13. Pengaruh interaksi kombinasi-konsentrasi 2,4-D dan TDZ terhadap persentase antera membentuk kalus (PAMK, %)......................................
209
14. Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh antera (PTA, %), persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan glutamin dan serin dalam pembentukan kalus....................................................................................
210
15. Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh antera (PTA, %), persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan sukrosa dan glukosa dalam pembentukan kalus....................................................................................
210
16. Pengaruh sukrosa terhadap pembentukan kalus…………………………
211
17. Pengaruh glukosa terhadap pembentukan kalus…………………………
211
18. Pengaruh interaksi sukrosa dan glukosa terhadap persentase tumbuh antera (PTA, %).........................................................................................
212
19. Pengaruh interaksi sukrosa dan glukosa terhadap persentase antera membentuk kalus (PAMK, %)..................................................................
212
20. Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh kalus (PTA, %), volume kalus (VK, mm2 ) dan jumlah rata-rata tunas per eksplan (JT) pada percobaan media dasar dan konsentrasi NH4 NO 3 dalam pertumbuhan dan pembentukan tunas....................................................................................
213
21. Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh kalus (PTK, %), volume kalus (VK, mm3 ) dan jumlah rata-rata tunas per eksplan (JT) pada percobaan 2,4-D dan TDZ dalam pertumbuhan kalus dan pembentukan tunas.........
213
22. Pengaruh 2,4-D terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus...................
214
23. Pengaruh TDZ terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus.....................
214
24. Pengaruh interaksi kombinasi-konsentrasi 2,4-D dan TDZ terhadap persentase tumbuh kalus (PTK, %)...........................................................
215
25. Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh kalus (PTK, %), volume kalus (VK, mm3 ) dan jumlah rata-rata tunas per eksplan (JT) pada percobaan glutamin dan serin dalam pertumbuhan kalus dan pembentukan tunas....
215 xx
26. Pengaruh interaksi glutamin dan serin terhadap persentase tumbuh kalus (PTK, %)..........................................................................................
216
27. Pengaruh interaksi glutamin dan serin terhadap volume kalus (VK, mm2 )..........................................................................................................
216
28. Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh kalus (PTK, %), volume kalus (VK, mm3 ) dan jumlah rata-rata tunas per eksplan (JT) pada percobaan sukrosa dan glukosa dalam pertumbuhan kalus dan pembentukan tunas..
217
29. Pengaruh interaksi sukrosa dan glukosa terhadap persentase tumbuh kalus (PTK, %)..........................................................................................
217
30. Sidik ragam regresi jumlah kromosom dengan beberapa metode estimasi level ploidy secara tak langsung yang diuji……………………
218
31. Sidik ragam regresi jumlah kromosom dengan jumlah mikrospora per antera…………………………………………………………………….
218
32. Sidik ragam regresi jumlah kromosom dengan kepadatan stomata per mm2 epidermis daun……………………………………………………
218
33. Sidik ragam regresi jumlah kromosom dengan rasio panjang lebar stomata…………………………………………………………………..
218
34. Sidik ragam regresi jumlah kromosom dengan rasio panjang lebar daun.
219
35. Metode penghitungan jumlah kromosom pada kalus menutur Fukui (1996)........................................................................................................
219
36. Metode penghitungan jumlah kromosom pada daun muda menurut Fukui (1996)..............................................................................................
220
37. Metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar menurut Darnaedi (1991)…………………………………………………………
221
38. Prosedur pembuatan bahan penunjang kegiatan pewarnaan kromosom...
222
39. Data gambar tanaman hasil kultur antera anturium...................................
224
40. Data karakterisasi kultivar Tropical dibandingkan dengan sampel 258 (Diploid)………………………………………………………………...
229
41. Data karakterisasi kultivar Tropical dibandingkan dengan sampel 324 (Diploid)…………………………………………………………………
230 xxi
42. Data karakterisasi lokal merah dibandingkan dengan sampel 112(Triploid)…………………………………………………………….
231
43. Data karakterisasi lokal merah dibandingkan dengan sampel 110(Triploid)……………………………………………………………
232
44. Data karakterisasi lokal putih dibandingkan dengan sampel 239 (Haploid)…………………………………………………………………
233
45. Data karakter sampel 115 dan 16 yang memiliki potensi sebagai tanaman pot……………………………………………………………...
234
46. Data karakter sampel dominan hasil kultur antera anturium (Sampel 49 dan 151)………………………………………………………………….
235
xxii
PENDAHULUAM UMUM
Latar Belakang
Tujuan utama penggunaan bioteknologi di bidang pertanian ialah untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan kualitas hasil tanaman. Berbagai teknologi ini dari tingkat yang sederhana hingga yang komplek telah dimanfaatkan untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu teknologi yang telah diaplikasikan dan memberi dampak nyata terhadap kemajuan pro gram pemuliaan dan perbenihan tanaman ialah teknologi haploid (Kush dan Virmani, 1996; Thomas et al., 2003). Teknologi ini dieksplorasi dan diaplikasikan untuk memproduksi tanaman haploid dan/atau haploid ganda pada tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Maluszynski et al., 2003a). Teknologi haploid dapat dikembangkan melalui (1) partenogenesis dan apogamy, (2) eliminasi dan reduksi kromosom somatik dan (3) kultur in vitro (Radzan, 1993). Di antara ketiga metode tersebut, kemajuan dan aplikasi kultur in vitro berkembang lebih pesat dibandingkan yang lain (Maluszynski et al., 2003a). Kultur ini mencakup kultur antera, mikrospora maupun ovule yang belum dibuahi (Mukhambetzhanov, 1997; Maluszynski et al., 2003a). Lebih kurang 219 protokol 33 spesies dan tanaman hibrida interspesifik telah berhasil dikembangkan (Maluszynski et al., 2003b). Sembilan puluh persen (90%) di antaranya diperoleh melalui kultur antera dan 8% nya menggunakan kultur mikrospora. Aplikasi dan pemanfaatan kultur antera atau mikrospora dalam produksi tanaman haploid ganda disebut dengan androgenesis, sementara kultur ovul disebut juga dengan gynogenesis (Radzan, 1993). Pada tanaman hias, teknik kultur antera telah berhasil dikemb angkan pada lili (Han et al., 1997), Cyclamen (Ishizaka, 1998), dan bunga matahari (Saji dan Sujatha, 1998 ). Kultur mikrospora telah dikembangkan pada bunga matahari (Coumans dan Zhong, 1995), Camellia japonica (Pedroso dan Pais, 1997), mawar (Wissemann et al., 1998). Selanjutnya aplikasi dan pengembangan teknologi haploid pada famili Araceae, khususnya anturium masih sangat terbatas. Kultur ovul pada spatiphyllum telah dilakukan oleh Eeckhaut et al. (2001), namun
2
keberhasilannya masih sangat rendah. Studi biologi bunga, perkembangan mikrospora dalam antera, teknik isolasi, studi pendahuluan pembentukan kalus pada kultur antera anturium, seleksi tanaman donor, kultur mikrospora dan kultur “shed-microspore” telah dilakukan (Winarto et al., 2004; Rachmawati, 2005; Winarto dan Rachmawati, 2007). Meskipun beberapa studi masih gagal, khususnya kultur mikrospora dan shed-microspore, beberapa data dasar yang diperoleh sangat penting pada pengembangan teknologi haploid anturium. Pengembangan teknologi haploid pada anturium memiliki arti yang sangat penting bagi pengembangan agribisnis anturium di Indonesia mengacu pada kenyataan bahwa (1) potensi agribisnis anturium yang cukup besar di Indonesia, (2) hampir seluruh kultivar anturium berkualitas yang beredar di Indonesia adalah produk-produk negara maju yang telah dipatenkan, sehingga pemanfaatan produk tersebut untuk berbagai tujuan harus mendapatkan ijin dari pemegang hak paten yang disertai juga dengan kewajiban membayar royalty-nya, (3) pemuliaan anturium di Indonesia, terutama pemuliaan terprogram dengan arah dan tujuan yang jelas dan berkelanjutan masih sangat terbatas, (4) belum atau tidak tersedianya benih dan bibit yang berkualitas untuk menunjang agribisnis anturium di Indonesia dan (5) Anthurium andreanum adalah tanaman biseksual yang menyerbuk silang (Augustine , 2009; Caroll, 2007). Produksi tanaman haploid ganda atau galur murni melalui pemuliaan konvensional, termasuk pada anturium memerlukan waktu yang lama dan tenaga yang cukup banyak dengan keberhasilan yang rendah (Kush dan Vermani, 1996; Thomas et al., 2003). Karena itu pengembangan teknologi haploid yang efektif dan efisien pada anturium memiliki arti yang sangat penting bagi pengembangan agribisnis anturium di Indonesia, terkait dengan peluang produksi hibrida- hibrida unggul baru dan biji berkualitas yang mampu menjadi primadona dan tuan di negeri sendiri. Harapan terbesar produksi tanaman haploid ganda pada anturium dapat dicapai melalui kultur mikrospora dibandingkan dengan kultur anteranya, mengingat potensi mendapatkan tanaman haploid dan haploid ganda spontan yang lebih besar. Pengembangan teknologi haploid pada anturium meliputi beberapa aspek diantaranya: pemilihan dan perlakuan tanaman donor, seleksi eksplan,
3
inisiasi dan regenerasi kalus/embio, penyiapan plantlet, evaluasi ploid i, dan evaluasi fenotipe tanaman yang dihasilkan dan akan diuraikan lebih mendalam pada bagian-bagian berikutnya dalam disertasi ini. Anturium (Anthurium andreanum Linden ex André)
Anturium merupakan genus terbesar dalam famili Araceae (Geier, 1990; Chen et al., 2001), mencakup lebih dari 1.000 spesies (Croat, 1992). Lebih dari 800 spesies berasal dan tersebar di negara-negara tropis Amerika Selatan dan Tengah, seperti:
Mexico, Costa Rica, Cuba hingga Brazil dan Argentina
(Marutani et al., 1993; Chen et al., 2001). Keragaman spesies tertinggi ditemukan di dataran rendah dan menengah di America Selatan, Panama, dan Costa Rica; dan di hutan Amazon dari Bolivia, khususnya di Peru, Ecuador and Colombia (Anonim, 2006). Beberapa spesies juga ditemukan di India Barat dan daerah Karibia (Marutani et al., 1993). Pada perkembangan selanjutnya, tanaman ini juga dikembangkan di berbagai negara di Asia seperti: Cina (Xiaohan et al.,1998), Philippina (Rosario, 1998), Srilangka (Dhanasekera, 1998), Malaysia (Jong et al., 2001) dan Indonesia (Nurmalinda dan Satsijati, 2004). Anthurium andreanum Linden ex André. dan A. scherzerianum Schott merupakan 2 spesies yang banyak dikembangkan secara komersial, baik sebagai bunga potong maupun tanaman pot (Hamidah et al., 1997; Martin et al., 2003). Species dan hybrid anturium memiliki bunga yang sangat menarik, warna yang bervariasi, daya simpan yang lama dengan daun yang eksotik (Aswath dan Biswas, 1999; Budhiprawira dan Saraswati, 2006). Struktur yang umumnya disebut bunga merupakan kombinasi antara spate (modifikasi daun dengan beragam warna) dan spadik berisi ratusan bunga-bunga kecil yang tersusun berurutan membentuk spiral pada tongkol bunga yang memanjang (Kamemoto dan Kuehnle, 1996). Anturium merupakan tanaman hias penting di berbagai negara, utamanya Belanda, Hawai, Mauritius dan India (Puchooa dan Sookun, 2003; Nair, 2005; Evans, 2006), baik sebagai bunga potong maupun tanaman pot. Di Indonesia permintaan pasar akan produk tanaman ini sangat prospektif, tetapi produksinya
4
masih terbatas. Pengembangan anturium sangat ditentukan oleh kesesuaian lahan, potensi pasar, volume produksi dan mtu hasil (Zainal, 1999). Tahun 2001 pasokan bunga potong anturium ke pasar bunga Rawa Belong mencapai 2.866.100 tangkai dengan nilai perdagangan mencapai 7.295.300.000,- (Nurmalinda dan Satsijati, 2004). Ekspor ke berbagai negara hanya mencapai 211.332 tangkai (Anonim, 2004). Tahun 1993 kebutuhan benih anturium di Indonesia mencapai 10.800.000 benih dengan volume impor mencapai 400.000 benih. Tahun 2004 impor benih mencapai 51.684 kg dari Malaysia dan 20.000 batang dari Belanda (Anonim, 2004). Sedangkan harga bunga potong anturium di pasar lokal berkisar Rp. 1.5002.500,- per tangkai, sementara harga tanaman potnya berkisar antara Rp. 25.00045.000,- (Nurmalinda dan Satsijati, 2004). Anthurium andreanum adalah tanaman biseksual dan menyerbuk silang (Augustine, 2009; Caroll, 2007). Peluang tanaman menyerbuk sendiri sangat rendah karena fase betina masak lebih kurang satu bulan lebih awal dibanding fase jantannya. Pemuliaan anturium umumnya dilakukan menggunakan seleksi biji hasil hibridisasi. Tanaman baru dengan karakter unggul diperoleh dengan mengandalkan kombinasi gen kedua tetuanya (Kamemoto dan Kuehnle, 1996). Hibridisasi secara konvensional ini umumnya memerlukan waktu yang cukup lama. Pada A. andreanum dibutuhkan waktu sekitar 6-7 bulan sejak penyerbukan hingga biji masak, sementara itu 10-12 bulan untuk A. scherzerianum. Biji tidak dapat disimpan dan harus segera ditanam. Seleksi dan evaluasi tanaman F1 dapat dilakukan setelah 2-3 tahun sejak penanaman biji. Kondisi ini menyebabkan kemajuan program pemuliaan anturium menjadi sangat lambat. Hibridisasi menghasilkan populasi tanaman yang bersegregasi dengan karakter bunga yang beragam. Namun umumnya 1/3 populasi segregan tersebut dibuang sebelum berbunga karena penampilannya inferior (Geier, 1990).
Induksi
mutasi
menggunakan radiasi sinar gamma 5 hingga 15 Gy juga telah dilakukan, tetapi belum memberikan hasil yang optimal (Puchooa dan Sookun, 2003) Di negara-negara produsen anturium, hibridisasi dan aplikasi teknologi kultur jaringan telah dilakukan secara rutin untuk menghasilkan varietas unggul baru dan penyediaan benih skala masal. Di Indonesia kegiatan pemuliaan
5
anturium, baik konvensional maupun in-konvensional yang terprogram dan terarah dengan tujuan yang jelas dan berkesinambungan masih sangat terbatas, sehingga kultivar-kultivar unggul baru produk dalam negeri yang mampu bersaing dipasar lokal dan global tidak ditemukan. Demikian pula aplikasi teknik kultur jaringan yang beorientasi pada produksi benih berkualitas di Indonesia juga belum berkembang pesat, sehingga kebutuhan benih berkualitas yang menunjang agribisnis anturium tidak dapat terpenuhi. Akibatnya agribisnis anturium di dalam negeri terus mengandalkan benih dan bibit berkualitas, serta varietas unggul impor dari negara-negara maju. Untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain, diperlukan terobosan teknik pemuliaan dan perbenihan anturium di Indonesia.
Teknologi Haploid dan Manfaat nya
Ruang lingkup Teknologi haploid meliputi regenerasi kalus dan/atau embrio haploid dari gamet jantan dan betina hingga menghasilkan tanaman haploid dan/atau haploid ganda (Maluszynski et al., 2003ab). Teknologi ini paling cepat untuk me nghasilkan galur murni suatu tanaman (Kush dan Virmani, 2003). Teknik kultur antera pertama kali diperkenalkan oleh Guha dan Maheshwari (1964, 1966) pada Datura innoxia Mill, kemudian berkembang pesat dan diaplikasikan pada berbagai jenis tanaman (Maluszynski et al., 2003ab). Totipotensi sel gamet jantan dan dinding antera berpengaruh terhadap diperolehnya tanaman haploid. Pada kondisi yang sesuai, perkembangan sel polen dapat diubah dari pembentukan polen (jalur gametofitik) ke pembentukan embrio (jalur sporofitik), tanaman haploid dan/atau haploid ganda (Supena, 2004). Tanaman haploid ganda terbentuk akibat terjadinya penggandaan spontan atau melalui proses penggandaan kromosom. Tanaman haploid ganda dan teknologi pendukungnya sangat bermanfaat di bidang (1) pemuliaan hibrida, (2) pemuliaan mutasi, (3) perbenihan, (4) transformasi/rekayasa tanaman dan (4) pemetaan gen (Kush dan Virmani, 1996; Maluszynski et al., 1996; Thomas et al., 2003; Forster dan Thomas, 2003; Shim dan Kasha, 2003; Szarejsko, 2003 ). Di bidang pemuliaan, penerapan teknologi ini
6
dapat mempercepat diperolehnya homozigositas pada satu atau lebih generasi untuk menunjang pemuliaan hibrida (Thomas et al., 2003). Dengan demikian teknologi ini sangat bermanfaat bagi pengembangan hibrida baru yang memiliki karakter unggul dari proses heterosis tetua galur murni. Selain itu teknologi haploid dapat digunakan untuk seleksi resistensi tanaman terhadap penyakit di dalam rumah kaca dan mempelajari penurunan karakter-karakter kualitatif (Radzan, 1993). Pada pemuliaan mutasi, aplikasi teknologi haploid ganda dapat dilakukan untuk skrining mutan dominan dan resesif pada generasi pertama setelah perlakuan mutagen, yang pada gilirannya dapat mempersingkat waktu dalam produksi mutan galur murni, meningkatkan efisiensi seleksi mutan dengan menggunakan metode seleksi in vitro pada level haploid dan haploid ganda (Radzan, 1993; Maluszynski et al., 1996; Szarejsko, 2003). Pada bidang transformasi /rekayasa tanaman, mikrospora yang diisolasi dari antera sangat potencial untuk penembakan gen, dan seleksi transgen secara in vitro (Shim dan Kasha, 2003). Sedangkan pada pemetaan gen, tanaman haploid ganda dapat digunakan untuk memperbaiki variasi genetik setelah satu siklus rekombinasi (Forster dan Thomas, 2003).
Teknologi Haploid pada Anturium
Pada anturium, pengembangan teknologi haploid masih sangat terbatas dan belum pernah dilaporkan pada skala interna sional. Inisiasi teknologi kultur antera pada anturium sesungguhnya sudah diawali sejak tahun 2003, melalui beberapa tahap. Tahap pertama, studi tentang perkembangan spadik (Winarto et al., 2004, Rachmawati, 2005; Winarto dan Rachmawayi, 2007). Dari studi ini diketahui bahwa kepala putik mencapai masa reseptif optimal berkisar antara 8-16 hari setelah spate membuka. Periode reseptif tercepat ditunjukkan oleh kultivar Amigo dengan angka rata-rata 10 hari, diikuti oleh kultivar Carnaval (13 hari) dan Tropical (15 hari). Oleh karena itu waktu tersebut menjadi acuan waktu yang tepat untuk memanen spadik untuk tujuan kultur antera. Tahap berikutnya ialah studi
7
kotak spora. Dari studi ini diketahui dua tipe kota spora yang menyimpan jumlah spora yang berbeda. Kotak spora yang lebih kecil dan tebal memiliki jumlah spora yang lebih banyak. Rata-rata jumlah spora per kotak spora berkisar antara 29.00068.000 sel. Amigo 39.000-46.000 sel per kotak antera, 42.000-48.000 sel untuk Carnaval dan 31.000-37.000 sel untuk Tropical. Studi perkembangan mikrospora diperoleh informasi bahwa spadik dibedakan dalam 4 kategori, yaitu: muda, transisi, awal reseptif, reseptif optimal (Gambar 1 dan 2). Dari studi ini terungkap bahwa tahap transisi merupakan tahap dengan persentase late-uninucleate tertinggi (Tabel 1). Sementara viabilitas sel mikrospora berkisar antara 36% – 75% dengan rata-rata viabilitas 70% untuk kultivar Amigo, 59% untuk tropical dan 46% untuk Carnaval (Winarto dan Rachmawati, 2007).
Muda
Transisi Awal reseptif
Reseptif optimal
Gambar 1. Klasifikasi spadik berdasarkan tahap perkembangannya. Reseptif optimal ditandai dengan produksi lendir yang banyak di ujung stigma/kepala putik. Pada tahun 2004 dilakukan teknik isolasi antera, kultur mikrospora dan ovul. Dari studi ini diketahui bahwa isolasi ½ antera bagian ujung yang diikuti dengan penanaman secara langsung pada media kultur setengah padat menunjukkan hasil yang paling potensial untuk kultur antera anturium. Te knik ini memiliki tingkat
8
kontaminasi hingga 64%, tetapi keberhasilan pembentukan kalusnya hanya mencapai 4.3%.
Kultur
mikrospora
pada
medium
cair
tidak
berhasil
dikembangkan, karena tingginya masalah kontaminasi.
A
B
C
D
Gambar 2. Tahap perkembangan mikrospora dalam antera Anturium andraeanum Linden ex André. A. Early- middle uninucleate, B. Late- uninucleate, C. Early binucleate D. Binucletae. Bar = 50 µm.
Tabel 1. Perkembangan mikrospora berdasarkan tahap perkembangan spadiknya ========================================================== Tahap Perkembangan mikrospora (%) Spadik -----------------------------------------------------------------------------------Awal inti Inti sel di Inti sel di Awal inti Inti ganda di tengah tengah tepi dinding ganda sel --------------------------------------------------------------------------------------------------Muda 5.3 ± 1.94 61.3 ± 6.90 25.0 ± 5.58 5.9 ± 2.14 0 Transisi 1.9 ± 1.08 11.1 ± 2.61 75.7 ± 5.96 5.3 ± 2.05 1.2 ± 1.12 Awal Reseptif 0 5.4 ± 1.49 70.2 ± 5.18 17.3 ± 1.86 2.5 ± 0.41 Reseptif Optimal 0 0 6.9 ± 2.63 68.2 ± 6.21 14 ± 2.69 ========================================================== Keterangan: Data ± SD yang disajikan merupakan rata-rata dari 10 kali isolasi dan pengamatan. Uji ini hanya dilakukan pada kultivar Tropical
Dalam 24 jam periode inkubasi, seluruh media dan kultur mikrospora terkontaminasi bakteri. Peningakatn frekuensi subkultur setiap 24 jam sekali juga telah dilakukan, tetapi tidak member hasil signifikan. Sedangkan kultur ovul, yang memiliki tingkat kesulitan isolasi yang lebih tinggi, meski persentasi kontaminasi rendah, tetapi respon ovul setelah beberapa waktu inkubasi tidak menggembirakan (Winarto et al., 2004). Oleh karena itu pengembangan teknik isolasi antera anturium menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Di samping itu rendahnya
9
persentase keberhasilan studi ini diduga juga berkaitan dengan tidak sesuainya formula medium inisiasi, sehingga pengembangan formula media dasar khususnya untuk kultur anturium menjadi hal mendasar yang perlu dilakukan. Tahun 2005, tiga kultivar Anturium andreanum Linden ex André, yaitu: Amigo, Carnaval dan Tropical dipelajari peluangnya untuk pengembangan teknologi haploid pada anturium (Rachmawati, 2005). Dari kegiatan tahun tersebut diketahui bahwa (1) kultivar Tropical paling potensial digunakan sebagai tanaman model, (2) antera yang paling responsif diisolasi dari daerah transisi pada spadik yang 50% pistilnya reseptif, dimana 76% mikrosporanya berada pada fase lateuninucleate, (3) dua jenis kalus dengan kecepatan tumbuh yang berbeda (cepat dan lambat) diperoleh dalam kultur antera. Kultur antera utuh pada medium dua lapis NLN-13 dan MNM juga telah dilakukan pada studi pendahuluan, tetapi kultur antera ini gagal karena kontaminasi bakteri. Kultur mikrospora anthurium pada kepadatan 30 ribu sel / ml pada medium NLN dengan variasi sukrosa dari 3, 6, 13 dan 17% sukrosa telah dilakukan, tetapi masih gagal akibat kontaminasi bakteri. Kultur mikrospora pada NLN dengan 13% sukrosa yang disertai dengan filtrasi dan subkultur berulang interval 12 jam juga telah dilakukan, tetapi belum memberikan hasil karena penurunan viabilitas mikrospora dan kontaminasi bakteri (Winarto, 2005). Meskipun kultur mikrospora masih
gagal
diinisiasi
dan dikembangkan
karena
kontaminasi
bakteri,
pengembangan kultur mikrospora pada anthurium tetap menarik untuk diupayakan mengingat tingkat keberhasilan mendapatkan tanaman haploid dan haploid ganda yang lebih besar dibanding teknik haploid yang lain. Hasil- hasil penelitian pendahuluan tersebut memberi peluang, menjadi tantangan dan pijakan dasar yang baik bagi pengembangan teknologi haploid pada anturium hingga dihasilkannya tanaman haploid ganda. Tanaman haploid ganda terseleksi diharapkan dapat menjadi modal dasar pengembangan hibrida- hibrida unggul baru dan penyiapan benih berkualitas memberikan manfaat yang besar bagi pemulia, pelaku dan perkembangan agribisnis anthurium di Indonesia.
10
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini ialah mengembangkan teknologi haploid yang efektif dan efisien melalui kultur antera atau mikrospora untuk menyediakan tanaman haploid ganda pada anturium. Alur penelitian adalah sebagai berikut:
Teknologi Haploid Anthurium
Seleksi tanaman donor Diperoleh A. andreanum kultivar Tropical
Perlakuan Tanaman Donor Seleksi eksplan
Diperoleh pada antera yang diisolasi dari daerah transisi spadik Studi Pembentukan Kalus / Embrio ? Studi Regenerasi Kalus / Embrio ? Studi Penyiapan Plantlet dan Penggandaan Kromosom ? Evaluasi Tanaman 1. Evaluasi Sitologi 2. Evaluasi Fenotipe ? Tanaman Haploid Ganda
11
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini ialah: 1. Minimal terdapat satu formula medium dasar, medium perbaikan, dan metode isolasi yang optimal untuk pembentukan kalus /embrio . Sel mikrospora, dinding antera dan sel penghubun dapat diinduksi membentuk kalus atau embrio. 2. Minimal terdapat satu medium yang optimal untuk regenerasi kalus/embrio hingga tunas atau plantlet. 3. Sedikitnya terdapat satu medium yang optimal untuk penyiapan plantlet dan perlakuan kolkisin yang sesuai untuk penggandaan kromosom 4. Terdapat keragaman ploidi dan fenotipe regeneran hasil kultur antera atau mikrospora
Manfaat Penelitian
Terdapat beberapa manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini, antara lain: 1. Protokol kultur antera atau mikrospora, yang dapat digunakan untuk memproduksi tanaman haploid ganda pada beberapa kultivar anturium yang lain, baik untuk bunga potong maupun tanaman pot 2. Tanaman haploid ganda dapat langsung dimanfaatkan dan dilepas sebagai kultivar baru atau dijadikan sebagai tetua yang baik dalam persilangan konvensional untuk menghasilkan tanaman hibrida unggul baru dan benih yang berkualitas 3. Aplikasi kedua produk penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih luas, baik kepada pemulia, pelaku agribisnis anturium maupun pemerintah dalam penyediaan produk-produk anturium baru dan berkualitas yang mampu bersaing dengan produk-produk dari negara lain dan menjadi tuan dan produk unggulan dinegeri sendiri.
12
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi studi: 1. Pembentukan kalus/embrio terkait dengan formula medium dasar dan optimasinya , teknik isolasi, dan histologi dalam kultur antera anturium 2. Regenerasi kalus terkait dengan aplikasi medium terselaksi dan perbaikan nya untuk mendukung pertumbuhan dan regenerasi kalus
hingga
membentuk tunas. 3. Penyiapan plantlet dan penggandan kromosom terkait dengan induksi pengakaran tunas dan aplikasi kolkisin 4. Evaluasi sitologi terkait dengan pewarnaan kromosom, penghitungan rasio ploidi dan komparasi beberapa metode estimasi ploidi secara tak langsung. 5. Evalusi fenotipe terkait dengan karakterisasi tanaman dan distribusi warna spate hasil kultur antera.
13
STUDI PEMBENTUKAN KALUS / EMBRIO
Pendahuluan
Formula media dasar, teknik isolasi dan histologi merupakan salah satu hal mendasar yang diperlukan dalam pengembangan teknologi haploid pada anturium. Formula medium dasar khusus untuk kultur antera atau mikrospora pada anturium belum pernah dilaporkan. Beberapa medium dasar yang telah diaplikasikan dalam kultur jaringan anturium tidak selalu memiliki kesesuaian yang tinggi untuk pengembangan teknologi haploid. Teknik isolasi penting artinya terkait dengan pemilihan metode haploid yang sesuai dan akan dikembangkan pada anturium. Perbaikan medium terseleksi diperlukan untuk meningk atkan respon pembentukan kalus/embrio yang dihasilkan. Studi histologi penting eksistensinya, ketika kalus/embrio didahului pembentukannya oleh inisiasi kalus. Beberapa aspek penting tersebut diuraikan sebagai berikut. Keberhasilan penerapan kultur jaringan tanaman untuk perbanyakan tanaman, produksi bahan tanaman yang berkualitas, produksi metabolit sekunder, maupun sebagai alat dalam pengembangan bioteknologi tergantung pada med ium yang digunakan (George, 1993). Pertumbuhan eksplan memerlukan beberapa nutrien penting pada komposisi dan konsentrasi yang sesuai (Niedz dan Evens, 2004). Beberapa nutrisi penting yang diperlukan oleh tanaman dalam jumlah yang besar (disebut elemen makro) di antaranya ialah: nitrogen (N), kalium (K), kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg) dan sulfur (S). Sementara garam mineral yang diperlukan dalam jumlah kecil (disebut elemen mikro) diantaranya: besi (Fe), natrium (Na), klor (Cl), mangan (Mn), zeng (Zn), boron (B), kuprum (Cu), molybdenum (Mo) dan kemungkinan nikel (Ni). Kadang juga diperlukan kobal (Co) dan aluminium (Al) (Goerge, 1993; Goerge et al., 2008). Ditambah dengan bahan organik, vitamin, asam amino, zat pengatur tumbuh (ZPT) dan bahan lain disusun menjadi satu formula yang sesuai untuk tujuan yang diinginkan (Niedz dan Evens, 2004 dan 2007) dan respon spesifik eksplan yang dikultur (Aswath dan Biswas, 1999). Beberapa jenis eksplan/tanaman sensitif terhadap konsentrasi
14
senyawa makro tinggi, beberapa pada komponen mikro, vitamin atau pemberian ZPT tertentu (George et al., 2008). Berbagai jenis formula media dasar, seperti: media Knop, White, Knudson, Nitsch dan Nitsch, Vacint dan Went, Murashige dan Skoog, N6, Chi dan Pool, Murashige dan Miller, dll. telah berhasil dikembangkan dalam kultur jaringan untuk berbaga i jenis tanaman (George, 1993; Mulyaningsih dan Nikmatullah, 2009). Namun medium Murashige dan Skoog (MS) (1962) merupakan salah satu komposisi atau formula media dasar yang sangat populer dan sesuai pada berbagai kultur jaringan tanaman (George, 1993). Medium ini diformulakan dengan memperhatikan konsentrasi tiap garam mineral yang menyusun medium. Medium MS juga merupakan formula media dasar yang sering digunakan dalam kultur jaringan anturium, (Pierik et al., 1974; Pierik dan Steegmans, 1976; Kunisaki, 1980; Kuehnle et al., 1992; Hamidah et al., 1997; Chen et al., 1997; Teng, 1997; Martin et al., 2003; Joseph et al., 2003; Vargas et al., 2004); kemudian diikuti kemudian dengan medium Nitsch (Geier, 1986, 1987, 1988); dan medium Pierik (Kuehnle dan Sugii, 1991). Modifikasi media dasar tersebut dilakukan dengan meningkatkan dan menurunkan, menambahkan dan mengurangi kandungan garam mineral yang ada didalam media baik pada elemen makro (khususnya NH4 NO 3 ), mikro maupun vitamin (Kuehnle et al., 1992; Matsumoto et al., 1996; Hamidah et al., 1997; Puchooa dan Sookun, 2003). Media-media tersebut
umumnya
digunakan
untuk
mengkultur
organ
atau
eksplan
somatik/vegetatif seperti daun, tangkai daun maupun bunga, spate, spadik maupun biji yang dikecambahkan secara in vitro baik pada Anturium andraeanum maupun A. scherzerianum (Geier, 1990, Kamemoto dan Kuehnle, 1996; Aswath dan Biswas, 1999), untuk tujuan pembentukan kalus, tunas adventif maupun pembentukan embrio. Tetapi medium yang diformulakan secara khusus untuk kultur eksplan generatif seperti antera, mikrospora maupun ovul belum pernah dilaporkan. Beberapa teknik isolasi antera dan/atau mikrospora yang sering diaplikasikan, yaitu: (1) pelepasan secara spontan, (2) homogenisasi dan filtrasi dan (3) teknik celah/pemotongan (Dixon, 1985; Dunwell, 1996). Teknik ketiga
15
merupakan teknik yang paling potensial dikembangkan dalam kultur antera anturium. Pada anturium isolasi langsung dengan memotong antera pada bagian ujung yang diikuti dengan penanaman langsung di atas media semi padat ternyata memberikan hasil pembentukan kalus yang paling potensial. Perbaikan teknik ini dapat dilakukan melalui pemberian perlakuan pada antera dan isolasi mikrospora pada medium semi padat. Perbaikan teknik isolasi juga dapat dilakukan dengan cara mengubah posisi aksplan saat dikultur pada media semi padat. Referensi pada kultur antera sangat terbatas, tetapi pada eksplan somatik memberikan hasil yang sangat signifikan. Posisi terlentang (Adaxial side down ) merupakan posisi yang sesuai untuk menginduksi eksplan dalam organogenesis dan pembentukan kalus, seperti dilaporkan pada anyelir (van Altvorst et al., 1992, Winarto, 2002), pada apricot (Perez-Tornero et al., 2000), pada anggrek (Chen dan Chang, 2000). Jenis dan konsentrasi agar dalam kultur jaringan dilaporkan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan eksplan (Cardoso et al., 2007), kultur jaringan sel somatik lili dan sucorebutia (Scholten dan Pierik , 1998), mawar, cordyline dan homalomena (Podwyszynska dan Olszewski, 1995); kultur antera lili (ArzetaFernandez et al., 1997; Han et al., 1997), bunga matahari (Saji dan Sujatha, 1998), cyclamen (Ishizaka, 1998), kedelai (Cardoso et al., 2007), kultur ovul spatiphyllum (Eeckhaut et al., 2001) dan Allium cepa (Martinez, 2003). Pada studi pendahuluan gelrite merupakan jenis agar yang digunakan dalam pembentukan kalus, semenara aplikasi jenis dan konsentrasi agar yang lain belum pernah dilakukan. Optimasi media dasar terseleksi umumnya dilakukan untuk meningkatkan kemampuan medium dalam menginduksi pembentukan kalus, embrio, maupun regenerasi eksplan yang dikultur. Optimasi tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara, diantaranya dengan (1) mengurangi kandungan garam mineral medium terseleksi, (2) menguji ulang media dasar terseleksi yang dikombinasikan dengan pemberian NH4 NO 3, (3) memvariasikan pemberian 2,4-D dengan TDZ, (4) glutamin dan serin, (5) sukrosa dan glukosa pada kombinasi dan konsentrasi yang berbeda.
16
Medium MS dengan ½ kandungan garam mineral makro yang mengandung 1 g/l glycine, 60 g/l sukrosa merupakan medium induksi kalus yang optimal pada kultur anther asparagus (Woylin dan Nichols, 2003). Pada Trapa japonica, ½ MS yang ditambah 2.7 mM 2,4-D, 108.0 mM casein hydrolisat, dan 10.8 mM floroglusinol merupakan medium yang maksimum untuk induksi kalus (Hoque dan Arima, 2002). Medium ½ MS yang ditambah dengan 4 mg/l 2,4-D juga optimal untuk meningkatkan pembentukan kalus pada Bupleurum kaoi (Chen et al., 2005). Selanjutnya pada kultur antera Prunus persica 10 ppm NH4 NO3 sesuai untuk pembentukan kalus (Biggs dan Sherman, 1980). Pada Colocasia esculenta
penurunan konsentrasi NH4NO 3 dari 700 menjadi 200 mg/l
meningkatkan pembentukan kalus (Malamug et al., 1992). NH4 NO 3 pada 10.30 mM konsentrasi optimum untuk pembentukan kalus pada barley (Chauhan dan Kothari, 2004). Keseimbangan kombinasi konsentrasi hormon dalam medium berpengaruh pada morfogenesis eksplan. Thangene et al. (1994) menemukan medium MS yang ditambah dengan 1.0 mg/l 2,4-D dan 0.5 mg/l BAP untuk induksi pembentukan embrio pada kultur antera bunga matahari. Pada tanaman yang sama, Coumans dan Zong (1995) menggunakan medium N6 yang mengandung 1.0 mg/l NAA dan 0.2 mg/l BA, kemud ian Saji dan Sujatha (1998) memanfaatkan 0.1 mg/l NAA dan 0.5 mg/l BA pada medium MS untuk pembentukan kalus. Pembentukan kalus pada kultur antera lili dilakukan pada medium N6 yang mengandung 2 mg/l 2,4-D (Arzeta-Fernandez et al., 1997). Pada kultur antera cyclamen, Ishizaka (1998) menemukan medium B5 yang ditambah dengan 0.1-1.0 mg/l NAA atau 1.0 mg/l 2,4-D untuk induksi kalus embriogenik. Pemberian asam amino dalam medium seringkali juga diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas medium dalam inisiasi kalus. Pada kultur antera padi, 5 mM aspartat dan 5 mM glutamine pada medium B5 sesuai untuk meningkatkan efisiensi pembentukan kalus (Masaaki et al. 2000). Pemberian 200 mg/l glutamine pada medium ½ MS sesuai untuk kultur kalus Colocasia esculenta var. Esculenta (Yam et al., 1991), 3.5g/l glutamine pada medium N6 untuk kacang tanah (Wilcox
17
et al., 1991), 25 mg/1 asparagine dan glutamine pada medium DS untuk Sophora japonica dan Ailanthus glandulosa (Civínová dan Sladký, 1990). Penambahan dan penurunan kombinasi konsentrasi sumber karbon juga ditemukan meningkatkan respon ekspla dalam pembentukan kalus. Pada kultur antera Linum usitatissimum 2.5% sukrosa dan 2.5% glukosa merupakan kombinasi konsentrasi sumber karbon yang paling efektif untuk induksi kalus (RutkowskaKrause et al., 2003) Pemberian 9% atau 12% sukrosa meningkatkan pembentukan kalus pada Linum usitatissimum kultivar 'Lirina', 'Barbara' dan 'Szaphir' (Burbulis et al., 2005), Peningkatan konsentrasi sukrosa dari 8 % menjadi 20% meningkatkan kemampuan Brassica napus ssp. oleífera dalam menginduksi pembentukan embrio (Dunwell dan Thurling, 1985). Aplikasi berbagai perlakuan tersebut diharapkan mampu meningkatkan kemampuan medium terseleksi pada kultur antera anturium dalam membentuk kalus. Histologi dalam kultur antera atau mikrospora merupakan salah satu langkah penting yang perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi asal sel yang membentuk kalus, tunas adventif atau embrio yang proses pembentukannya didahului dengan inisiasi kalus (indirect organo atau embriogenesis) seperti yang dilaporkan pada Narcissus (Hussey, 1982), anggur (Altamura et al., 1992), kacang kedelai (Rodrigues et al., 2004), kubis (Zhao et al., 2006). Pada kultur antera anturium, asal sel pembentuk kalus pada setengah antera yang dikultur ada medium terseleksi juga belum diketahui. Tiga jenis sel berpotensi membentuk kalus, yaitu: sel mikrospora, jaringan dinding sel dan penghubung. Karena itu histologi dalam kultur antera anturium merupakan hal penting yang harus dilakukan untuk memastikan asal sel kalus. Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa studi pembentukan kalus / embrio terdiri dari beberapa percobaan penting dengan tujuan yang berbeda. Percobaan – percobaan media dasar bertujuan untuk mendapatkan formula, melakukan modifikasi, seleksi dan optimasi medium dasar yang sesuai untuk pembentukan kalus/embrio. Percobaan teknik isolasi dan optimasinya bertujuan untuk mengetahui cara isolasi, menemukan posisi kultur antera, mendapatkan jenis dan konsentrasi agar yang sesuai untuk pembentukan kalus. Percobaan optimasi
18
medium terseleksi bertujuan untuk melakukan optimasi medium terseleksi melalui pengurangan kandungan garam mineral, menguji ulang mediu dasar dengan variasi konsentrasi NH4 NO3 , memvariasikan konsentrasi 2,4-D dengan TDZ, glutamin dan serin, sukrosa dan glukosa yang berbeda untuk pembentukan kalus. Percobaan histologi bertujuan untuk mengungkap asal sel yang membentuk kalus. Hipotesis yang diajukan ialah minimal terdapat satu formula medium dasar, metode isolasi, jenis dan konsentrasi agar, dan medium teroptimasi yang sesuai untuk pembentukan kalus pada kultur antera anturium. Mikrospora, dinding antera dan jaringan penghubung memiliki potensi untuk diinduksi membentuk kalus.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilakukan di laboratorium kultur jaringan Balai Penelitian Tanaman Hias pada bulan Agustus 2006 hingga Mei 2008. Anturium andreanum kultivar Tropical yang ditanam pada polibag plastik (diameter 30 cm) pada campuran media arang sekam, humus bambu dan pakis (1:1:1, v/v/v) digunakan dalam penelitian ini. Spadik yang 50% pistilnya berada dalam kondisi reseptif optimal dipanen dari tanaman dan digunakan sebagai donor antera. Spadik diletakkan di bawah air mengalir selama 0.5-1.0 jam, kemudian dipindahkan ke dalam larutan 1% benomil + bactomycin selama 30 menit dan dibilas dengan air destilasi beberapa kali hingga bersih. Setelah itu spadik direndam sambil digojok dalam larutan 2% natrium hipoklorida (NaOCl) + 5 tetes Tween 20 selama 5 menit kemudian pindahkan ke dalam larutan 1% NaOCl selama 10 menit dan dibilas dengan air destilasi steril hingga bersih (5-6x, @ 5 menit). Prosedur isolasi antera dimulai dengan memotong spadik pada bagian transisinya. Spadik yang telah dipotong kemudian dibuka dan dibuang petalpetalnya secara hati- hati menggunakan pisau kultur. Antera yang telah terbuka dipotong melintang pada bagian tengahnya dan diberi perlakuan sesuai tujuan percobaan untuk kemudian ditanam pada medium yang diuji.
19
Media yang telah disiapkan, dimasak kemudian dituang ke dalam botolbotol kultur (± 30 cc per botol). Botol berisi media selanjutnya disterilk an dalam autoklaf pada suhu 121ºC selama 20 menit pada tekanan atmosfir 15 kPsi. Setelah botol disterilkan disimpan dalam rak-rak media dan siap digunakn pada hari berikutnya.
Formula , modifikasi, seleksi dan optimasi medium dasar
Formula , modifikasi dan seleksi medium dasar.
Percobaan 1, formula medium dasar awal yang dikembangkan ialah (1) MW-1, (2) MW-2, (3) MW-3 (Tabel 2). MW-3 yang berbasis medium MS dimodifikasi dengan menambahkan 50 ppm Cefotaxim (C) dan 2 mg/l asam panthotenat (P) menjadi MW-3 + C, MW-3+P dan MW-3+C+P. Dengan demikian terdapat 3 formula media dasar baru dan 3 formula media dasar modifikasi yang akan diuji dalam penelitian ini.
Optimasi formula mediun dasar
Percobaan 2, MW-1 diketahui merupakan formula medium dasar yang paling potensial untuk kultur antera anturium. MW-1 dioptimasi melalaui peningkatan
atau
penurunan
konsentrasi
komponen
medium
dasar
dan
penambahan atau pengurangan satu atau dua komponen medium dasar (Tabel 3). Formula media dasar baru yang dikembangkan ialah (1) MW-1, sebagai kontrol, (2) MWR-1, (3) MW R-2, dan (4) MWR-3. Percobaan 1 dan 2 disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 ulangan. Tiap perlakuan berisi 4 botol, tiap botol berisi 5 antera, sehingga total antera yang dikultur tiap perlakuan ialah 80 antera.
20
Tabel 2. Formula medium dasar untuk pembentukan kalus =========================================================== Komponen Formula media Winarto (MW, mg/l) media -----------------------------------------------------------------------MW-1 MW-2 MW-3 --------------------------------------------------------------------------------------------------Elemen makro mg/l mg/l mg/l NH4 NO3 550 650 825 KNO3 1250 1100 900 Ca(NO3)2 .4H2 O 392.5 MgSO4 180 195.3 195 CaCl2 300 220 NaH 2 PO4 .H2O 200 KH2 PO4 150 165 85 Elemen mikro H3BO 3 KJ MnSO4.H2 O ZnSO4 .7H2 O Na2 MoO4 .2H2 O CuSO4 .5H2 O CoCl2 .6H2 O Na2 EDTA.2H2 O FeSO4 .7H2O
mg/l 5.7 0.65 15.5 7.5 0.2 0.02 0.02 37.3 27.5
mg/l 6.2 2.85 5.35 0.20 0.025 0.025 37.3 27.5
mg/l 6.2 0.83 16.9 10.6 0.25 0.025 0.025 37.3 27.5
Vitamin Glycin Myo- inositol Asam nikotin Pyridoxin-HCl Thiamin-HCl
mg/l 110.0 0.5
mg/l 50.0 0.5 0.3 1.0
mg/l 2.0 100.0 0.5 0.5 0.1
Hormon 2,4-D NAA TDZ BAP Kinetin
mg/l 0.01 0.5 1.0 -
mg/l 0.2 0.5 -
mg/l 0.1 0.5 0.5
Sumber karbon g/l g/l g/l Sukrosa 30 30 60 ===========================================================
21
Tabel 3. Formula medium dasar yang dioptimasi untuk pembentukan kalus =========================================================== Komponen Formula media Winarto dan Rachmawati (MWR, mg/l) media -----------------------------------------------------------------------MW-1 MWR-1 MWR-2 MWR-3 --------------------------------------------------------------------------------------------------Elemen makro mg/l mg/l mg/l mg/l NH4 NO3 550 750 (NH4 )2 SO4 750 500 KNO3 1250 1300 1500 1750 Ca(NO3)2 .4H2 O 250 300 250 MgSO4 180 195 215 200 CaCl2 300 50 NaH 2 PO4 .H2O 200 195 150 150 KH2 PO4 150 165 180 125 Elemen mikro H3BO 3 KJ MnSO4.H2 O ZnSO4 .7H2 O Na2 MoO4 .2H2 O CuSO4 .5H2 O CoCl2 .6H2 O Na2 EDTA.2H2 O FeSO4 .7H2O
mg/l 5.7 0.65 15.5 7.5 0.2 0.02 0.02 37.3 27.5
mg/l 5.6 0.65 15.5 7.5 0.20 0.02 0.02 37.3 27.5
mg/l 4.75 0.55 14.75 6.5 0.15 0.015 0.015 37.3 27.5
mg/l 4.75 0.45 12.5 6.5 0.1 0.01 0.01 37.3 27.5
Vitamin Myo- inositol Thiamin-HCl
mg/l 110.0 0.5
mg/l 125.0 0.65
mg/l 130.0 0.75
mg/l 125.0 0.55
Hormon 2,4-D NAA TDZ BAP
mg/l 0.01 0.5 1.0
mg/l 0.75 0.5 2.0 -
mg/l 0.75 0.01 1.0 1.0
mg/l 0.02 1.5 0.75
Sumber karbon g/l g/l g/l g/l Sukrosa 30 30 30 30 =========================================================== Semua kultur antera diinkubasi pada kondisi gelap ± selama 2 bulan. Setelah itu kultur dipindahkan pada inkubasi terang dengan lama penyinaran 12 jam di bawah lampu fluoresen (13 µmol.m-2 .s-1 ) hingga kalus terbentuk.
22
Parameter yang diamati dalam percobaan ini ialah (1) persentase antera membentuk kalus (PAMK, %), (2) jumlah antera yang membentuk kalus (JK), dan (3) skor pembentukan kalus (- s/d +++, dimana - - tidak ada kalus, + - sedikit kalus, kurang dari 25% dari total eskplan, ++ - kalus agak banyak, 25-50% total eksplan, +++ - kalus banyak, >50% total eksplan). Pengamatan dilakukan 2.5 bulan setelah kultur inisiasi. Pengamatan dilakukan 2.5 bulan setelah kultur awal. Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA) dengan program SAS Release Window 6.12. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji jarak berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Teknik isolasi dan optimas inya
Pengaruh teknik isolasi dan jenis agar terhadap pembentukan kalus
Pada percobaan 3 ini beberapa teknik isolasi dan jenis agar diuji. Teknik isolasi (TI) yang dikembangkan ialah: (1) setengah antera bagian ujung tanpa diberi perlakuan penekanan kotak antera untuk mengeluarkan sebagian mikrospora yang ada di dalamnya (TI-1), setengah antera bagian ujung yang diberi perlakuan (TI-2), dan kultur mikrospora 5.000-10.000 sel (TI-3). Sementara jenis agar (JA) yang diuji ialah (1) Gelrite (JA-1, 1.5 g/l), (2) Phytagel (JA-2, 2.5 g/l) dan (3) agar Swallow (JA-3, 6 g/l). Formula medium dasar yang digunakan ialah MWR-3 + 30 g/l sukrosa. Media ini dalam pembuatannya ditambah dengan 30 g/l sukrosa dan diatur pHnya pada 5.8.
Pengaruh posisi kultur antera dan media induksi terhadap pembentukan kalus
Percobaan 4, posisi kultur antera yang diuji dalam penelitian ini ialah (1) telungkup (Pos-1), (2), terlentang (Pos-2) dan (3) berdiri tegak (Pos-3). Media induksi kalus yang diteliti ialah (1) MW-1 tanpa 0.5 mg/l 2,4-D, (2) MWR-3 tanpa 0.5 mg/l 2,4-D, (3) MW-1 yang ditambah dengan 0.5 mg/l 2,4-D dan (4) MWR-3
23
yang mengandung 0,5 mg/l 2,4-D. Dua formula media dasar yang digunakan dalam penelitian ini ialah (1) MW-1 dan (2) MWR-3. Keduanya ditambah dengan 30 g/l sukrosa dan 2.0 g/l gelrite. pH media diatur pada 5.8. Percobaan faktorial yang disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 ulangan digunakan dalam percobaan 3 dan 4. Tiap perlakuan terdapat 3 botol dan tiap boto l berisi 6 antera yang dikultur, sehingga total antera yang dikultur untuk tiap perlakuan ialah 72 antera. Semua kultur antera diinkubasi pada kondisi gelap ± selama 2 bulan. Setelah itu kultur dipindahkan pada inkubasi terang dengan 12 jam fotoperiode dan diletakkan dibawah lampu fluoresen (13 µmol.m-2 .s-1 ) hingga kalus terbentuk. Peubah yang diamati ialah: (1) potensi tumbuh antera (PTA, %) adalah antera yang tetap segar setelah 1 bulan inkubasi. PTA diamati 1 bulan setelah kultur inisiasi. (2) persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) (diamati 2.0 bulan setelah kultur inisiasi) dan (3) jumlah antera yang membentuk kalus (JK), (diamati 3.0 bulan setelah kultur inisiasi). Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA) dengan program SAS Release Window 6.12. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Perbaikan medium terseleksi dalam pembentukan kalus Pengaruh media terseleksi dan pengurangan kandungan garam mineral terhadap pembentukan kalus Percobaan 5, dua media terseleksi yang diuji ialah (1) MW-1 dan (2) MWR-3. Kandungan garam mineral yang dipelajari ialah kandungan penuh (kontrol), setengah, seperempat, seperdelapan, seperenambelas dan tanpa garam mineral (hanya 2.0 g/l gelrite). Pengurangan kandungan garam mineral medium dilakukan dengan menurunkan konsentrasi garam mineral secara bertahap sesuai dengan perlakuan. Kandungan setengah artinya konsentrasi setiap garam mineral dan vitamin
24
penyusun medium diturunkan konsentrasinya hingga setengahnya. Misal: kandungan penuh NH4NO 3 MW-1 ialah 550 mg/l, kandungan setengah berarti 550 x ½ = 225 mg/l; kandungan seperempat berarti 550 x ¼ = 112.5 mg/l, dan seterusnya sesuai perlakuan pada semua garam mineral dan vitamin penyusun medium. Pengaruh media dasar dan konsentrasi amonium nitrat yang berbeda terhadap pembentukan kalus Pada percobaan 6, media dasar yang digunakan dalam percobaan ini ialah: (1) ½ MW-1, (2) ½ MWR-3, dan (3) MWR-3. Sedangkan konsentrasi amonium nitrat yang diaplikasikan ialah (1) 750 mg/l, (2) 550 mg/l, (3) 413 mg/l, (4) 206 mg/l, dan (5) 103 mg/l.
Pengaruh kombinasi konsentrasi 2,4-D dan TDZ yang berbeda terhadap pembentukan kalus Pada percobaan 7, konsentrasi 2,4-D yang digunakan ialah (1) 0 mg/l, (2) 0,5 mg/l, (3) 1,0 mg/l dan (4) 2,0 mg/l. Sedangkan konsentrasi TDZ yang digunakan dalam percobaan ini ialah (1) 0 mg/l, (2) 0,5 mg/l, (3) 1,0 mg/l dan (4) 2,0 mg/l. Medium dasar yang digunakan dalam percobaan ini adalah MWR-3. Pengaruh kombinasi konsentrasi glutamin dan serin yang berbeda terhadap pembentukan kalus Pada percobaan 8, asam amino yang digunakan dalam penelitian ini ialah ialah L-glutamin dan L-serin. Konsentrasi L- glutamin yang digunakan dalam percobaan ini ialah (1) 0 mg/l, (2) 250 mg/l, (3) 500 mg/l, dan (4) 750 mg/l. Sedangkan konsentrasi L-serin yang digunakan ialah (1) 0 mg/l, (2) 250 mg/l, (3) 500 mg/l dan (4) 750 mg/l. Medium dasar yang digunakan dalam percobaan ini adalah MWR-3.
25
Pengaruh kombinasi konsentrasi sukrosa dan glukosa yang berbeda terhadap pembentukan kalus Pada percobaan 9, pengaruh konsentrasi dan kombinasi antara sukrosa dan glukosa terhadap pembentukan kalus dipelajari. Konsentrasi sukrosa yang digunakan ialah (1) 20 g/l, (2) 40 g/l, (3) 60 g/l dan (4) 80 g/l. Sementara konsentrasi glukosa yang digunakan ialah (1) 0 g/l, (2) 10 g/l, (3) 30 g/l dan (4) 60 g/l. Medium dasar yang digunakan dalam percobaan ini adalah MWR-3. Percobaan faktorial yang disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 ulangan digunakan dalam percobaan 5, 6, 7, 8 dan 9. Tiap perlakuan terdapat 3 botol dan tiap boto l berisi 6 antera yang dikultur, sehingga total antera yang dikultur untuk tiap perlakuan ialah 72 antera. Semua kultur antera diinkubasi pada kondisi gelap ± selama 2 bulan. Setelah itu kultur dipindahkan pada inkubasi terang dengan 12 jam fotoperiode dan diletakkan dibawah lampu fluoresen (13 µmol.m-2 .s-1 ) hingga kalus terbentuk. Peubah yang diamati ialah: (1) potensi tumbuh antera (PTA, %) adalah antera yang tetap segar setelah 1 bulan inkubasi. PTA diamati 1 bulan setelah kultur inisiasi. (2) persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) (diamati 2.0 bulan setelah kultur inisiasi) dan (3) jumlah antera yang membentuk kalus (JK), (diamati 3.0 bulan setelah kultur inisiasi). Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA) dengan program SAS Release Window 6.12. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Histologi pembentukan kalus dan regenerasi tunas
Percobaan 10 adalah studi histologi pembentkan kalus. Antera yang digunakan dalam histologi ialah antera hasil isolasi langsung untuk inkubasi 0 hari. Antera yang mulai membentuk ka lus untuk sampel 1 bulan setelah kultur inisiasi dan antera dengan kalus yang semakin besar ukurannya untuk sampel 2 bulan setelah kultur inisiasi. Antera yang disampel adalah antera yang dikultur pada
26
MWR dan diinkubasi gelap selama ± 2 bulan. Sedangkan kalus yang beregenerasi membentuk tunas diambil dari kalus yang sudah mengalami subkultur (1-3 kali subkultur) dan terlihat mulai membentuk bakal tunas hingga bakal tunas terlihat jelas. Setiap periode inkubasi diambil minimal 3-5 sampel. Antera dan kalus hasil sampling selanjutnya difiksasi dalam larutan FAA (formalin: asam asetat glasial: 50% etanol, 5:5:90 (v/v/v)) selama 48 jam. Sampel kemudian didehidrasi menggunakan seri etanol (30, 50, 75, 95, 100% (v/v)) dua kali selama 30 menit untuk tiap serinya. Setelah didehidrasi eksplan direndam dalam larutan xyline: paraffin pada rasio yang berbeda (75: 25, 50: 50, 25: 75, 0: 100) selama satu jam untuk tiap rasionya dan pada akhir kegiatan direndam dalam 100% paraffin selama 1 malam. Sampel se lanjutnya dicetak dalam paraffin pada posisi yang jelas untuk membantu proses dan tujuan pengirisannya. Sampel yang telah dicetak diparafin selanjutnya dipotong pada ketebalan (10-15 µm) dengan mikrotom rotari model 820 Spencer. Irisan sampel selanjutnya dilekatkan pada kaca obyek dengan larutan 10% albumin- glycerin (Lampiran 30). Kaca obyek dan irisan sampel kemudian disimpan dalam oven bersuhu 30ºC selama minimal 3 hari. Spesimen selanjutnya diwarnai menggunakan larutan 1% asam- fuchsin dan 0.05% toluidine blue. Pengecatan dimulai dengan perendaman specimen dalam xylin selama 5 menit dan seri alkohol dari 100, 90, 80, 70, 60, 50, 40 dan 30% selama masing- masing 10 detik, kemudian dicelupkan dalam air destilasi selama 10 detik. 1% asam- fuchsin (Lampiran 30) selama 1 menit, 0.05% toluidine-blue (Lampiran 30) selama 1 menit, dan air destilasi kurang dari 5 detik. Setelah kering, specimen diawetkan menggunakan larutan entelan, selanjutnya diamati di bawah mikroskop dan difoto sesuai kebutuhan penelitian.
Hasil
Pencoklatan eksplan merupakan masalah serius pada kultur antera anturium. Persentase pencoklatan eksplan ini berkisar antara 19-100%. Masalah tersebut muncul 5-15 hari setelah kultur inisiasi. Warna antera yang dikultur
27
berubah dari putih ke arah kecoklatan. Warna coklat ini makin menjadi jelas dan pada akhirnya eksplan berwarna hitam dan mati. Antera yang mati terjadi pada 1-2 bulan setelah kultur inisiasi (Gambar 3). Kasus ini tidak hanya terjadi pada pembentukan kalus, tetapi juga terjadi pada kalus yang telah berhasil diregenerasikan.
A
B
D
E
C
F
Gambar 3. Pencoklatan eksplan dalam kultur antera anturium. A-B. Eksplan (antera atau antera + kalus yang teregenerasi) yang sedang mengalami pencoklatan (panah coklat). A-B. Sebagian eksplan tumbuh dan beregenerasi membentuk kalus (panah hijau). C. Antera teregenerasi membentuk kalus dan mati (panah merah). D. Kalus yang tumbuh bagus dan kalus yang sebagian mengalami pencoklatan. E. Antera yang tidak teregenerasi dan mati (Panah merah). F. Kalus teregenerasi dari antera yang mati. Bar hijau = 0.45 cm, bar hitam = 0.80 cm.
Setengah antera yang diisolasi secara langsung dan dikultur pada medium uji akan berada pada fase stagnasi selama 5-15 hari setelah kultur inisiasi (Gambar 4A). Setelah itu sel- sel dinding antera akan mengalami dideferensiasi akibat respon terhadap komponen medium dan hormon. Sel kompeten ini akan berubah menjadi meristemiatik yang aktif membelah. Secara visual kondisi ini terlihat dari perubahan ukuran antera yang lebih besar dan terbentuknya kalus 20-35 hari setelah kultur inisiasi (Gambar 4B). Kalus yang tidak mengalami pencoklatan,
28
akan terus berkembang dan bertumbuh. Kalus yang berukuran 0.15 – 0.50 cm mudah diamati ± 3.0 bulan setelah kultur inisiasi (Gambar 4C).
A
B
C
Gambar 4. Perkembangan pembentukan kalus dalam kultur antera anturium. A. Kondisi antera pada awal kultur. B. Antera yang potensial tumbuh dan sebagian telah membentuk kalus. C. Kalus hasil regenerasi 3 bulan setelah kultur inisiasi. Bar = 0.6 cm.
Formula, modifikasi, seleksi dan optimasi medium dasar
Formula, modifikasi, dan seleksi medium dasar
Formula media dasar dan modifikasinya ternyata memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap respon pertumbuhan antera yang ditanam (Lampiran 1). Respon pertumbuhan yang baik umumnya ditandai dengan kondisi antera yang tetap segar dan inisiasi kalus pada daerah bekas potongan pisau kultur, meskipun sebagian besar mati akibat pencoklatan (Gambar 5B-C). Antera yang tetap segar memiliki peluang terinduksi membentuk kalus, meskipun tidak setiap antera yang segar dapat membentuk kalus. Kalus terus bertumbuh dan berkembang dan terlihat jelas 2.5 bulan setelah kultur inisiasi. Antera memiliki peluang tumbuh dan mampu membentuk kalus pada formula media dasar yang pertama (MW-1) dan MW-3 yang dimodifikasi dengan menambahkan 50 ppm cefotaxim dan 2 g/l asam panthotenat (MW-3 + C + P) (Gambar 5B, Tabel 4). MW-1 merupakan formula media dasar yang paling potensial untuk kultur antera anturium. Formula tersebut mampu menginduksi persentase antera yang membentuk kalus, jumlah antera yang mementuk kalus dan
29
skor pembentukan kalus tertinggi dibanding formula media dasar yang lain (Tabel 4). Semua antera yang dikultur pada media MW-2, MW-3 + C dan MW-3 + P mengalami pencoklatan dan mati (Gambar 5C).
A
B
C
Gambar 5. Respon pertumbuhan antera pada formula media dasar yang berbeda. A. Antera yang tumbuh bagus dengan pembentukan kalus yang optimal pada MW-1, B. Antera yang tumbuh dengan pembentukan kalus yang minimal pada MW-3 + C + P, C. Antera yang mati karena pencoklatan yang ditumbuhkan pada MW-2, MW-3 + C dan MW-3 + P. Panah hijau = antera yang membentuk kalus, panah putih = antera yang mati. Bar = 0.45 cm
Tabel 4. Pengaruh formula media dasar terhadap pembentukan kalus pada kultur antera anturium tahap awal. ========================================================== Formula media dasar PAMK (%) JK Skor pembentukan (MW) kalus (- s/d ++++) --------------------------------------------------------------------------------------------------MW-1 11.3 a 2.3 a ++/+++ MW-2 0.0 c 0.0 c MW-3 0.0 c 0.0 c MW-3 + C 0.0 c 0.0 c MW-3 + P 0.0 c 0.0 c MW-3 + C + P 7.5 b 1.5 b + --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 11.39 10.78 ========================================================== Keterangan: PAMK – persentase antera membentuk kalus (%), JK – jumlag antera yang membentuk kalus. Skor kalus: - tidak ada kalus, + - sedikit kalus, kurang dari 25% dari total eskplan, ++ - kalus agak banyak, 25-50% total eksplan, +++ - kalus banyak, >50% total eksplan. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak adanya pe rbedaan yang nyata menurut uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
30
Optimasi formula medium dasar
Perbaikan MW-1 melalui reformula komponen medium berpengaruh nyata terhadap pembentukan kalus (Lampiran 2). Reformula melalui perubahan konsentrasi komponen elemen makro NH4 NO3 dari 550-750 mg/l, KNO3 dari 1250 menjadi 1750 mg/l, MgSO4 dari 180 ke 200 mg/l, penambahan Ca(NO3)2 .4H2 O pada konsentrasi 250 mg/l dan penghilangan CaCl2 , penurunan konsentrasi NaH2PO 4 . H2 O dari 200 – 150 mg/l dan KH2 PO 4 dari 150-125 mg/l. Selanjutnya penurunan seluruh konsentrasi elemen mikro dari MW-1 ke MW-6 (H3 BO 3 dari 5.7 ke 4.75 mg/l; KJ dari 0.65 ke 0.45 mg/l; MnSO4 . H2 O dari 15.5 ke 12.5 mg/l; ZnSO4 . 7H2 O dari 7.5 ke 6.5 mg/l; Na2MoO4 . 2H2 O dari 0.2 ke 0.1 mg/l, CuSO4 . 5H2 O dan CoCl2 . 6H2O dari 0.02 ke 0.01 mg/l. Peningkatan konsentrasi myo-inositol 110 mg/l ke 125 mg/l myo- inositol dan thiamin-HCl dari 0.5 ke 0.55 mg/l dan perubahan konsentrasi 0.01 mg/l NAA, 0.5 mg/l TDZ dan 1.0 mg/l BAP pada MW-1 menjadi 0.02 mg/l NAA, 1.5 mg/l TDZ dan 0.75 mg/l BAP pada MWR-3 menyebabkan formula tersebut lebih sesuai untuk pembentukan kalus. MW R-3 memiliki persentase antera membentuk kalus, jumlah kalus dan skor pembentukan kalus terbaik dan berbeda nyata dibandingkan formulai media yang lain (Tabel 5). NH4NO3 pada formula medium dasar diduga memberikan pengaruh yang nyata terhadap kemampuan medium dalam pembentukan kalus. Substitusi NH4 NO3 dengan (NH4)2 SO4 pada MW-4 dan MW-5 justru menekan pertumbuhan antera. Ini menunjukkan bahwa masuknya (NH4 )2 SO 4 menggantikan NH4 NO3 ternyata tidak sesuai untuk kultur antera anturium. Diduga pemberian garam mineral tersebut bersifat toksik terhadap antera, sehingga menyebabkan 100% antera yang dikultur pada MWR-1 dan MWR-3 mengalami pencoklatan dan mati. Dari percobaan 1 dan 2 terlihat bahwa formula medium dasar berpengaruh terhadap pertumbuhan antera yang dikultur. Perubahan beberapa komponen media yang ada di dalamnya memiliki dampak yang berbeda. Perubahan tersebut dapat berakibat positif dalam pembentukan kalus seperti yang terdapat pada MWR-3, tetapi juga berakibat negatif seperti yang terdapat pada MW R-1 dan MWR-2. Pada
31
kedua media tersebut perubahan komponen medium mengakibatkan pencoklatan dan kematian antera.
Tabel 5. Pengaruh perbaikan medium dasar terseleksi terhadap pembentukan kalus pada kultur antera anturium tahap optimasi. ========================================================== Formula media dasar PAMK (%) JK Skor pembentukan (MW) kalus (- s/d ++++) --------------------------------------------------------------------------------------------------MW-1 12.5 b 2.5 b +++ MWR-1 0.0 c 0.0 c MWR-2 0.0 c 0.0 c MWR-3 20.0 a 4.0 a ++++ --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 9.39 8.64 ========================================================== Keterangan: PAMK – persentase antera membentuk kalus (%), JK – jumlag antera yang membentuk kalus. Skor kalus: - tidak ada kalus, + - sedikit kalus, kurang dari 25% dari total eskplan, ++ - kalus agak banyak, 25-50% total eksplan, +++ - kalus banyak, >50% total eksplan. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata menurut uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Teknik isolasi dan optimasinya
Pengaruh teknik isolasi dan jenis agar terhadap pembentukan kalus Perbaikan teknik isolasi antera dan pemanfaatan jenis agar yang berbeda memberikan pengaruh terhadap pembentukan kalus (Lampiran 3), meskipun pengaruh interaksi yang nyata tidak ditemukan. Perbaikan teknik isolasi me lalui penekanan dinding setengah antera untuk mengeluarkan sebagian sel mikrospora yang ada di dalamnya (TI-2) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pembentukan kalus. Perlakuan tersebut justru menekan pembentukan kalus. Perlakuan tersebut diduga menyebabkan stress eksplan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah antera yang menjadi coklat dan mati, serta kontaminasi eksplan oleh bakteri. Pada mikrospora yang diisolasi dari kotak antera yang dikultur langsung pada medium semi padat (TI-3) memiliki resiko kontaminasi rendah. Potensi
32
tumbuh sel mikrospora juga rendah dan tidak ditemukan kalus dan/atau embrio yang teregenerasi dari sel tersebut. Diduga sel-sel mikrospora mati beberapa hari setelah inkubasi. Sedangkan setengah antera yang diisolasi secara la ngsung dan dikultur pada medium semi padat tanpa perlakuan (TI-1) tetap merupakan teknik isolasi yang paling sesuai (Tabel 6). TI-1 menghasilkan potensi tumbuh antera hingga 28% dengan 7% antera membentuk kalus dan jumlah rata-rata antera yang membentuk ka lus adalah 1.1 antera. Hasil tersebut berbeda nyata dibanding teknik isolasi yang lain (TI-2 dan TI-3). Jenis agar juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap pembentukan kalus. JA-1 dan JA-2 memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata secara statistik, namun berdasarkan nilai rataan JA-2 memberikan hasil yang lebih baik dibanding JA-1. JA-2 menginduksi potensi tumbuh antera hingga 31% dengan 7% antera membentuk kalus dan jumlah antera yang membentuk kalus ialah 1.1 antera (Tabel 7). Sementara agar swallow memberikan hasil terendah. Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas dan tingkat kemurnian agar yang rendah menekan respon pertumbuhan antera. Pada kultur antra anturium, phytagel dan gelrite merupakan dua jenis agar yang sesuai.
Tabel 6. Pengaruh teknik isolasi yang berbeda terhadap pembentukan kalus =========================================================== Jenis teknik isolasi (T-1) PTA (%) PAMK (%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------TI-1 27.8 a 6.8 a 1.1 a TI-2 26.4 a 3.7 b 0.6 b TI-3 28.5 a 0.0 b 0.0 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV) 16.80 18.29 17.95 =========================================================== Keterangan: PTA – potensi tumbuh antera (%), PAMK – persentase antera membentuk kalus (%), JK – jumlah antera yang membentuk kalus. TI-1, setengah antera bagian ujung tanpa diberi perlakuan penekanan kotak antera untuk mengeluarkan sebagian mikrospora yang ada di dalamnya, TI-2 setengah antera bagian ujung yang diberi perlakuan, dan TI-3, dan kultur mikrospora 5.000-10.000 sel per isolasi. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata menurut uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
33
Tabel 7. Pengaruh jenis agar yang berbeda terhadap pembentukan kalus =========================================================== Jenis agar (JA) PTA (%) PAMK (%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------JA-1 29.2 a 6.3 1.0 a JA-2 31.2 a 7.1 a 1.1 a JA-3 20.8 b 2.4 b 0.4 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV) 16.80 18.29 17.95 ===================================================== ====== Keterangan : PTA – potensi tumbuh antera (%), PAMK – persentase antera membentuk kalus (%), JK – jumlah antera yang membentuk kalus. JA-1 - 2.0 g/l Gelrite, JA-2 – 3.0 g/l Phytagel, dan JA-3 – 7.0 g/l Swallow agar. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata menurut uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Pengaruh posisi kultur antera dan media induksi pada pembentukan kalus
Perbaikan kultur antera melalui penanaman antera pada posisi dan media induksi yang berbeda memberikan pengaruh yang signifikan terhadap induksi pembentukan kalus. Kedua perlakuan ini juga memberikan pengaruh interaksi yang nyata (Lampiran 4). Perlakuan posisi kultur antera memberikan pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan media. Perubahan posisi kultur dari telungkup ke posisi berdiri tegak dan terlentang ternyata memberikan pengaruh terhadap keberhasilan kultur antera anturium. Antera yang dikultur pada posisi terlentang menghasilkan potensi tumbuh antera hingga 47% dengan 19% regenerasi antera dan jumlah antera yang membentuk kalus hingga 1.2 antera (Gambar 6A). Hasil tersebut diikuti oleh posisi antera yang dikultur berdiri dan telungkup. Penambahan 0.5 mg/l 2,4-D pada MW1 menstimulasi potensi tumbuh antera hingga 49% dengan 21% antera membentuk kalus dan jumlah antera membentuk kalus hingga 1.3 antera (Gambar 6B). Hasil ini kemudian diikuti oleh MWR-3 tanpa penambahan 2,4-D.
34
50 40
a
a a
Pos-1 Pos-2 Pos-3
b
50 40
a
MW-1
a
MWR-3 MW-1D
b
MWR-3D
30
30
a
20
a
b
10
A ba a
a
20
a
B b
10
b
bb
aa
0
0 PTA %
PAMK %
JK
PTA %
PAMK %
JK
Gambar 6. Pengaruh posisi kultur antera (A) dan media induksi (B) terhadap induksi pembentukan kalus pada kultur antera anturium. Pos-1, posisi antera telungkup, Pos-2, posisi antera berdiri, dan Pos -3, posisi antera terlentang. MW1-D, MW-1 + 0.5 mg/l 2,4-D, MWR-3D , MWR-3 + 0.5 mg/l 2,4-D. PTA – potensi tumbuh antera (%), PAMK – persentase antera membentuk kalus (%), JK – jumlah antera yang membentuk kalus. Histogram yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Kombinasi antera yang dikultur terlentang (Pos-3) pada MW-1D memberikan pengaruh paling baik untuk pembentukan kalus. Kombinasi perlakuan tersebut mempunyai potensi tumbuh antera (PTA) hinga 63% dengan 38% antera membentuk kalus (PAMK) dan jumlah antera membentuk kalus hingga 3.4 antera per perlakuan (Tabel 8 Lampiran 5 dan 6). Sedangkan Pos-3 pada MWR menstimulasi potensi tumbuh antera hingga 58% dengan 29% antera membentuk kalus dan jumlah antera yang membentuk kalus hingga 2.3 antera per perlakuan (Tabel 8. Lampiran 5 dan 6). Antera yang dikultur pada posisi berdiri tegak (Pos2) memberikan hasil terbaik pada MW-1. Sementara antera yang dikultur pada posisi telungkup (kontrol) pada semua kombinasi memberikan hasil yang rendah.
35
Tabel 8. Pengaruh interaksi antara posisi kultur antera dan media induksi terhadap jumlah antera yang membentuk kalus per perlakuan (JK) =========================================================== Medium induksi Posisi kultur antera (Pos) --------------------------------------------------------------2,4-D (mg/l) Pos-1 Pos-3 Pos-3 --------------------------------------------------------------------------------------------------MW-1 0 0.0 a 0.3 a 0.3 b MWR-3 0 0.0 a 0.8 a 2.3 a MW-1D 0.5 0.5 a 1.3 a 3.4 a MWR-3D 0.5 0.5 a 1.0 a 0.4 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi 19.02 23.14 17.05 (CV, %) =========================================================== Keterangan: Pos-1, posisi antera telungkup, Pos-2, posisi antera berdiri, dan Pos-3, posisi antera terlentang. MW-1D, MW-1 + 0.5 mg/l 2,4-D, MWR-3D , MWR-3 + 0.5 mg/l 2,4-D. PTA – potensi tumbuh antera (%), PRA – persentase regenerasi antera (%), JK – jumlah antera yang membentuk kalus. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%
Perbaikan medium terseleksi untuk pembentukan kalus
Pengaruh media terseleksi dan pengurangan kandungan garam mineral medium terhadap pembentukan kalus.
Dua media kultur antera terseleksi dan pengurangan kandungan garam mineral memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon antera yang dikultur (Lampiran 7), meskipun responnya tidak sebaik yang ditemukan pada penelitian sebelumnya. Tetapi interaksi antar kedua perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata. MWR-3 tetap merupakan medium pembentukan kalus yang sesuai dibanding MW-1 yang ditambah dengan 2,4-D (0.5 mg/l) (Tabel 9). Pengurangan kandungan garam mineral juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah kalus yang terbentuk. Pengurangan
kandungan
garam mineral
medium
secara
bertahap
berpengaruh nyata terhadap pembentukan kalus. Pada kandungan garam mineral penuh nilai hasil pengamatan pada semua peubah berada pada nilai rataan yang rendah. Penurunan kandungan pada level berikutnya memberikan nilai rataan yang
36
meningkat. Pengurangan kandungan garam mineral hingga1/8 memberikan hasil terbaik dengan potensi tumbuh antera mencapai 58 %, 29 % antera membentuk kalus dan 1.8 antera yang membentuk kalus per perlakuan (Tabel 10). Hasil terbaik kedua ditunjukkan oleh 1/16 kandungan garam mineral dan medium tanpa kandungan garam mineral. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa inisiasi dan pembentukan kalus pada kultur antera anturium memerlukan ketersediaan hara yang rendah. Bahkan pada medium tanpa hara pun pembentukan kalus dapat dicapai, tetapi kualitas dan peluang antera tumbuh pada stadia lebih lanjut rendah.
Tabel 9. Pengaruh media induksi kalus terseleksi terhadap pembentukan kalus =========================================================== Medium terseleksi 2,4-D (mg.l-1 ) PTA (%) PAMK (%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------MWR-3 0 48.3 a 18.8 a 1.2 a MW-1D 0.5 46.2 a 11.1 b 0.7 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 10.89 20.67 19.43 =========================================================== Keterangan: MW-1D , MW-1 + 0.5 mg/l 2,4-D. PTA – potensi tumbuh antera (%), PRA – persentase antera membentuk kalus (%), JK – jumlah antera yang membentuk kalus. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Tabel 10. Pengaruh pengurangan kandungan garam mineral medium terseleksi terhadap pembentukan kalus pada kultur antera anturium. =========================================================== Kandungan garam PTA (%) PAMK (%) JK mineral medium --------------------------------------------------------------------------------------------------Penuh 37.5 c 4.2 b 0.3 b ½ bagian 42.7 bc 7.3 b 0.4 a ¼ bagian 52.1 ab 11.5 b 0.7 b 1/8 bagian 58.4 a 29.2 a 1.8 a 1/16 bagian 54.2 ab 25.0 a 1.5 a 0 bagian 38.5 c 12.5 b 0.8 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 10.89 20.67 19.43 =========================================================== Keterangan: PTA – potensi tumbuh antera (%), PAMK – persentase antera membentuk kalus (%), JK – jumlah antera yang membentuk kalus. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
37
Pengaruh media dasar dan amonium terhadap pembentukan kalus. Konsentrasi amonium nitrat dalam media terseleksi berpengaruh nyata terhadap pembentukan kalus (Lampiran 8). Selain itu diketahui pula bahwa antar faktor perlakuan berpengaruh terhadap semua peubah yang diamati. Terdapat interaksi yang nyata antara kedua perlakuan dimana konsentrasi amonium nitrat memberikan pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan media dasar. Jumlah antera yang membentuk kalus per ulangan pada penelitian ini hanya berkisar antara 1 - 4 antera dengan rata-rata tertinggi hanya mencapai 2.3 kalus per ulangan. Pada penelitiaan ini jenis media dasar ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati. Ini menunjukkan bahwa jenis media dasar memiliki potensi yang sama dalam pembentukan kalus. Persentase tumbuh antera berkisar antara 25-31% dengan 10-12% antera yang membentuk kalus dan 0.6-0.7 jumlah rata-rata antera ya ng membentuk kalus per perlakuan. Konsentrasi amonium nitrat dalam media terseleksi memberikan pengaruh yang sangat nyata dalam pembentukan kalus. Meskipun tidak berbeda nyata dengan konsentrasi normal, penurunan konsentrasi dari 750 mg/l menjadi 206 mg/l memberi pangaruh yang lebih baik dibanding konsentrasi yang lain (Tabel 11) dengan 38% persentase tumbuh antera, 19% antera yang membentuk kalus dan dan 1.1 jumlah rata-rata antera membentuk kalus per perlakuan.
Tabel 11. Pengaruh konsentrasi amonium nitrat terhadap pembentukan kalus =========================================================== Konsentrasi amonium PTA (%) PAMK (%) JK nitrat (mg/l) --------------------------------------------------------------------------------------------------750 33.3 ab 14.6 a 0.8 a 550 26.4 b 8.4 b 0.5 b 413 26.4 b 7.7 b 0.5 b 206 37.5 a 18.8 a 1.1 a 103 18.1 c 5.6 b 0.3 b ---------------------------------- ----------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV,%) 14.99 19.75 16.77 =========================================================== Keterangan: PTA - persentase tumbuh antera, PAMK – persentase antera yang membentuk kalus, JK – jumlah antera yang membentuk kalus. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaa 5%.
38
Konsentrasi 750 mg/l amonium nitrat yang dikombinasikan dengan ½ MW-1 memberikan hasil yang tertinggi pada semua peubah uji. Pada kombinasi ini nilai potensi tumbuh antera (PTA) dapat mencapai 54% dengan 38% antera yang membentuk kalus dan 2.3 jumlah rata-rata antera membentuk kalus per perlakuan (Tabel 12, Lampiran 9 dan 10). Penurunan kandungan garam mineral MW-1 menjadi ½ bagian pada konsentrasi amonium nitrat 750 mg/l memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan kalus. MWR-3 yang dikombinasikan dengan 206 mh/l amonium nit rat memberikan hasil yang nyata dibanding kombinasi yang lain. Kombinasi ini mampu menginduksi potensi tumbuh antera hingga 46% dengan 29% antera yang membentuk kalus dan 1.8 jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus per perlakuan (Tabel 12, Lampiran 9 dan 10), meskipun tidak berbeda nyata dengan 206 mg/l amonium nitrat yang dikombinasikan dengan ½ MWR-3.
Tabel 12. Pengaruh interaksi media dasar dan konsentrasi amonium nitrat terhadap jumlah antera yang membentu kalus per ulangan (JK) =========================================================== Media dasar Konsentrasi amonium nitrat (mg/l) ----------------------------------------------------------------------------750 550 413 206 103 ---------------------------- ----------------------------------------------------------------------Setengah MW-1 2.3 a 0.8 a 0.5 a 0.1 b 0.0 a Setengah MWR-3 0.3 b 0.4 a 0.5 a 1.5 a 0.5 a MWR-3 0.0 b 0.4 a 0.4 a 1.8 a 0.5 a --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi 11.99 23.00 23.57 14.56 19.44 (CV, %) =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaa 5%.
Pengaruh 2,4-D dan TDZ terhadap induksi pembentukan kalus. Meskipun jumlah antera yang membentuk kalus tidak setinggi yang diharapkan (beriksar antara 1-4 antera), tetapi kombinasi-konsentrasi 2,4-D dan TDZ terbukti memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pembentukan
39
tunas (Lampiran 11). Kedua perlakuan juga memberikan pengaruh interaksi yang sangat nyata terhadap semua peubah yang diamati. Konsentrasi 2,4-D memberikan pangaruh yang nyata terhadap kultur antera anturium. Konsentrasi 0.5 mg/l 2,4-D merupakan konsentrasi yang paling sesuai untuk pembentukan kalus. Perlakuan ini meningkatkan potensi tumbuh antera hingga 46% dengan 25% antera yang membentuk kalus dan 1.5 jumlah rata-rata antera membentuk kalus per perlakuan. Konsentrasi 2,4-D yang lain justru menurunkan potensi pembentukan kalus. Peningkatan konsentrasi TDZ cenderung meningkatkan keberhasilan kultur antera. Konsentrasi 2.0 mg/l TDZ merupakan konsetrasi terbaik, dengan 15% antera yang membentuk kalus dan 0.9 jumlah ratarata antera membentuk kalus per perlakuan. Konsentrasi 0.5 mg/l 2,4-D yang dikombinasikan dengan 2.0 mg/l TDZ paling sesuai untuk pembentukan kalus. Kombinasi ini menginduksi potensi tumbuh antera hingga 58% dengan 38% antera yang membentuk kalus dan 2.3 jumlah rata-rata antera membentuk kalus per perlakuan (Tabel 13, Lampiran 13 dan 14). Sedangkan 0.5 mg/l 2,4-D dengan 1.0 mg/l TDZ merupakan kombinasi perlakuan terbaik yang kedua dengan potensi tumbuh antera (PTA) mencapai 50%, 29% antera yang membentuk kalus (PAMK) dan 1.8 jumlah rata-rata antera membentuk kalus per perlakuan (Tabel 13, Lampiran 12 dan 13).
Tabel 13. Pengaruh interaksi kombinasi- konsentrasi 2,4-D dan TDZ terhadap jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus per perlakuan (JK). =========================================================== Konsentrasi TDZ Konsentrasi 2,4-D (mg/l) (mg/l) -----------------------------------------------------------------------0 0.5 1.0 2.0 --------------------------------------------------------------------------------------------------0 0.0 b 0.4 b 1.5 a 0.0 b 0.5 0.0 b 1.5 a 0.5 b 0.3 a 1.0 0.4 b 1.8 a 0.2 b 0.0 b 2.0 1.3 a 2.3 a 0.0 b 0.0 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 16.93 14.57 20.29 11.39 =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%
40
Pengaruh glutamin dan serin terhadap induksi pembentukan kalus Kombinasi konsentrasi glutamin dan serin tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan kalus. Kedua perlakua n ini juga tidak memberikan pengaruh interaksi yang nyata (Lampiran 14). Perlakuan serin memberikan pengaruh yang lebih nyata dibanding perlakuan glutamin. Secara statistik perlakuan glutamin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pembentukan kalus, tetapi terdapat tren yang berbeda pada tiap konsentrasi yang digunakan. Aplikasi glutamin pada 250 mg/l dan 750 mg/l menstimulasi pembentukan kalus hingga 1.3 jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus per perlakuan (Tabel 14). Perlakuan serin memberikan pengaruh yang lebih baik dibanding glutamin. Serin pada konsentrasi 500 mg/l merupakan konsentrasi ya ng paling sesuai untuk pembentukan kalus dan berbeda nyata dengan konsentrasi yang lain. Serin 500 mg/l tersebut meningkatkan potensi tumbuh antera hingga 55% dengan 24% antera yang membentuk kalus dan 1.4 jumlah rata-rata antera membentuk kalus per perlakuan (Tabel 15). Penurunan atau peningkatan konsentrasi serin dari 500 mg/l menurunkan pembentukan kalus. Tabel 14. Pengaruh glutamin terhadap pembentukan kalus =========================================================== Konsentrasi glutamin (mg/l) PTA (%) PAMK(%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------0 52.3 a 12.5 a 0.8 a 250 47.7 a 20.8 a 1.3 a 500 45.4 a 16.7 a 1.0 a 750 47.7 a 18.7 a 1.3 a --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 12.77 20.84 20.85 =========================================================== Keterangan: PTA - potensi tumbuh antera, PAMK – persentase antera yang membentuk kalus, dan JK – jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
41
Tabel 15. Pengaruh serin terhadap pembentukan kalus =========================================================== Konsentrasi serin (mg/l) PTA (%) PAMK (%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------0 43.8 b 11.5 b 0.7 b 250 45.2 b 17.7 ab 1.1 ab 500 55.2 a 23.9 a 1.4 a 750 48.2 ab 15.6 ab 0.9 ab --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 12.77 20.84 20.85 =========================================================== Keterangan: PTA - potensi tumbuh antera, PAMK – persentase antera yang membentuk kalus, dan JK – jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Pengaruh sukrosa dan glukosa terhadap pembentukan kalus.
Kombinasi konsentrasi sukrosa dan glukosa berpengaruh sangat nyata terhadap pembentukan kalus (Lampiran 15). Perlakuan ini juga memberikan pengaruh interaksi sangat nyata pada semua peubah yang diamati. Sukrosa memiliki pengaruh yang lebih besar dibanding perlakuan glukosa. Konsentrasi sukrosa pada 60 g/l merupakan konsentrasi terbaik dan berbeda nyata dibanding konsentrasi yang lain. Perlakuan tersebut mampu menginduksi potensi tumbuh antera hingga 58% dengan 31% antera yang membentuk kalus dan 1.9 jumlah rata-rata antera membentuk kalus per perlakuan (Lampiran16). Konsentrasi sukrosa 80 g/l merupakan konsentrasi terbaik yang kedua dengan potensi tumbuh antera mencapai 51%, 17% antera yang membentuk kalus dan 1.0 jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus per perlakuan. Glukosa pada konsentrasi 30 g/l menunjukkan hasil yang terbaik dan berbeda nyata dengan konsentrasi yang lain. Perlakuan ini mampu menstimulasi potensi tumbuh antera hingga 55% dengan 30% antera yang membentuk kalus dan 1.8 jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus per perlakuan (Lampiran 17). Sukrosa 60 g/l yang dikombinasikan dengan glukosa 30 g/l merupakan kombinasi perlakuan yang paling sesuai untuk menginduksi kalus pada kultur antera anturium dan berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan yang lain.
42
Kombinasi ini mampu menginduksi potensi tumbuh antera hingga 92% dengan 67% antera yang membentuk kalus dan 4.0 jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus per perlakuan (Tabel 16, Lampiran 18 dan 19). Kombinasi terbaik kedua ialah perlakuan sukrosa 60 g/l yang dikombinasikan dengan glukosa 60 g/l, yang mampu menginduksi potensi tumbuh antera hingga 67%, 33% antera yang membentuk kalus dan 2.0 jumlah rata-rata antera membentuk kalus per perlakuan (Lampiran 18 dan 19).
Tabel 16. Pengaruh interaksi sukrosa dan glukosa terhadap jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus per perlakuan (JK). ========================================================== Konsentrasi Konsentrasi sukrosa (g/l) glukosa -----------------------------------------------------------------------(g/l) 20 40 60 80 --------------------------------------------------------------------------------------------------0 0.8 a 1.0 a 1.5 b 0.8 a 10 1.3 a 0.0 a 0.0 c 1.5 a 30 1.0 a 1.0 a 4.0 a 1.3 a 60 0.3 a 0.3 a 2.0 b 0.5 a --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 23.82 23.18 13.42 26.26 =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Studi histologi pembentukan kalus dan regenerasi tunas
Hasil studi ini menunjukkan bahwa sel-sel dinding antera merupakan selsel yang membentuk kalus (Gambar 7, panah biru). Sel-sel yang berasal dari jaringan penghubung yang semula diduga mampu membentuk kalus ternyata tidak mengalami dediferensiasi. Sel-sel ini tidak memiliki kompetensi membentuk kalus dan pada pertumbuhan selanjutnya sel-sel ini mati dan tersebar ke berbagai arah mengikuti kecepatan pembelahan sel-sel dinding antera (Gambar 7, panah merah). Kemudian sel-sel mikrospora yang semula diduga memiliki kompetensi dan totipotensi membentuk embriogenik yang selanjutnya aktif membelah hingga membentuk kalus, ternyata sel-sel mikrospora juga tidak mengalami diferensiasi.
43
Sel-sel ini tetap berada dalam keadaannya (sel tunggal; Gambar 7, panah kuning) dan selanjutnya terpencar dan mati seiring dengan kecepatan pembelahan dan pertumbuhan sel- sel meristematik yang berasal dari dinding antera.
Gambar 7. Variasi respon sel- sel antera anthurium dalam androgenesis. Sel-sel jaringan penghubung yang mati tidak responsive (Panah kuning). Selsel mikrospora yang tidak responsif (Panah biru). Sel-sel meristematik yang aktif tumbuh yang berasal dari sel-sel dinding antera (Panah merah).
Dari hasil pengamatan histology pada 15-20 hari setelah kultur inisiasi, sel-sel pada dinding antera mengalami perubahan dan responsif terhadap nutrisi dan hormon yang trdapat dalam medium. Sel-sel dinding antera mengalami dediferensiasi dan berubah menjadi kompeten, yang ditandai dengan perubahan possisi dan ukuran inti sel dari kecil dan di tepi dinding sel menjadi lebih besar dan cenderung berada di tengah sel (Gambar 8A ke B). Inti sel-sel ini kemudian membelah dari satu inti menjadi dua, dua menjadi empat, empat menjadi delapan dan seterusnya (Gambar 8C-F) menjadi meristematik. Sel-sel meristematik ini aktif membelah hingga membentuk kalus. Inisiasi pembentukan kalus umumnya terlihat 1 bulan setelah kultur. Kalus ini terus bertumbuh dan berubah dalam bentuk dan ukuran yang terlihat jelas 2-3 bulan setelah kultur.
44
A
D
B
E
C
F
Gambar 8. Proses inisiasi pembentukan kalus pada kultur antera anturium. A. Selsel dinding antera pada awal kultur, B. Sel yang mengalami dediferensiasi dan menjadi kompeten, C. Sel kompeten yang mulai membelah menjadi 2 inti dalam satu sel, C-D Sel kompeten yang inti selnya membelah membentuk 4 inti atau lebih, F Sel-sel meristematik.
Sel-sel dinding antera memiliki kompetensi dan totipotensi tinggi. Sel tersebut mudah mengalami dediferensiasi dan membentuk sel- sel meristimatik setelah beberapa waktu inkubasi. Terletak diantara sel-sel jaringan pengubung dan epidermis bagian dalam kotak spora. Dari empat kantong yang mengandung sel-sel mikrospora yang terbagi menjadi dua bagian utama Gambar 9a-1 dan 2), kedua kantong utama tersebut memiliki respon morfogenesis untuk menghasilkan sel-sel yang meristematik (Gambar 9b). Sel meristematik selanjutnya beregenerasi membentuk kalus dan tumbuh lebih cepat dibanding bagian yang lain (Gambar 9c). Kalus yang dihasilkan tumbuh menjauh dari posisi sel-sel penghubung (Gambar 9c). Selama proses pembentukan kalus, sel-sel mikrospora tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
45
a
b 1
1
2
2 d
c
e
g
f mab
pd
dm ma
mab mab
sjpb
sjpb
sjp
Gambar 9. Hasil studi histologi pembentukan kalus dan tunas. a-irisan melintang antera pada saat awal kultur, b. irisan lintang antera 15-20 hari setelah kultur inisiasi, sel-sel dinding antera mengalami dediferensiasi dan menjadi meristematik, c kalus yang teregenerasi dan berkembang dari sel-sel dinding antera 2.0-3.0 bulan setelah kultur inisiasi, d-e perkembangan awal meristem apical 4.0-4.5 bulan setelah kultur inisiasi, f-awal perkembangan tunas 4.5-6.0 bulan setelah kultur inisiasi. g – tunas yang berkembang lebih dari 6 bulan setelah kultur inisiasi. Panah hijau = sel-sel jaringan penghubung, panah merah = sel-sel dinding antera yang memiliki kompetensi dan totipotensi tinggi, panah biru = sel-sel mikrospora, mab – meristem apikal yang sedang berkembang, ma – meristem apikal, sjpb – sel-sel pembentuk jaringan penghubung yang sedang berkembang, sjp – sel-sel jaringan penghubung, pd – primordial daun, dm – daun muda. Bar biru = 0.11 mm, bar kuning = 0.06 mm, bar hijau = 0.28 mm, bar merah = 0.001 mm.
46
Sel-sel tersebut tetap terjaga dan terpelihara dalam posisi semula dari awal kultur hingga 2-3 bulan kemudian (Gambar 9a-c, panah biru). Sebagian sel mikrospora ini diduga lisis (pecah) akibat pertumbuhan dan perkembangan sel-sel dinding antera yang aktif membelah (Gambar 9c). Kalus yang teregenerasi dari ½ antera yang dikultur pada medium terseleksi terus bertumbuh dan berkembang. Setelah pemindahan di bawah kondisi inkubasi terang dan satu hingga tiga kali subkultur, perkembangan apikal meristem mulai terlihat (Gambar 6d-e). Pada tahap ini area meristimoid yang mengandung sel-sel sitoplasmik yang padat, selanjutnya terbentuk bakal meristem apikal (Gambar 9f). Meristem apikal mulai berkembang membentuk primordia daun (Gambar 9f). Pada pertumbuhan selanjutnya bakal tunas-tunas kecil akan terlihat dengan jelas yang diiringi dengan perubahan warna kalus menjadi lebih hijau. Empat setengah hingga enam bulan setelah kultur, tunas-tunas baru secara jelas dapat ditemukan (Gambar 9g).
Pembahasan
Pencoklatan yang diikuti oleh kematian eksplan yang dikultur merupakan masalah utama kultur jaringan pada beberapa jenis tanaman herbaceous maupun berkayu (Krishna et al., 2008; Ozygit, 2008). Masalah ini dapat terjadi pada semua jenis eksplan, tetapi lebih banyak terjadi pada eksplan yang lebih muda (Krishna et al., 2008). Pencoklatan eksplan ini ternyata juga merupakan masalah penting pada kultur antera anturium. Persentase pencoklatan berkisar antara 19-80%, tetapi pada kondisi tertentu dapat mencapai 100%, yang berarti seluruh antera yang dikultur mengalami kematian. Pencoklatan eksplan umumnya terjadi akibat adanya senyawa fenol dan total fenol yang dihasilkannya (Ozygit, 2008), yang beroksidasi dengan oksigen (O2) membentuk senyawa kinon atau quinon (Anonim, 2008). Arnaldos et al. (2008) melaporkan bahwa pencoklatan eksplan ini disebabkan oleh adanya asam fenolat yang dihasilkan eksplan, yang selanjutnya diidentifikasi sebagai asam ferulat. Menurut El- Hadrami dan D’auzac (1992) berhasil mengungkapkan bahwa
47
pencoklatan eksplan disebabkan oleh terjadinya aktivitas enzim perosidase pada proses regenerasi eksplan membentuk kalus atau embryo. Akumulas asam fenolat di sekitar eksplan menyebabkan penurunan kapasitas eksplan dalam pembelahan dan pertumbuhan (Vatanpour-Azghandi et al., 2001). Namun pada kultur antera anturium, pencoklatan pada masa inisiasi kalus terjadi akibat pemotongan eksplan dan kegiatan sub-kultur seperti yang dinyatakan oleh Ahmad (1993) dan Herman (2000). Pemotongan antera menyebabkan kerusakan sel yang dapat menyebabkan bercampurnya bahan-bahan sub seluler sel yang ada dalam sitoplasma dan vakuola (Laukkanen et al., 1999; Kim et al., 2001). Segera setelah itu oksidasi senyawa fenolik oleh enzim polifenol oksidase dan adanya oksigen menyebabkan terbentuknnya senyawa-senyawa quinon (Marshall et al., 2000) atau komplek polimer yang menghasilkan warna coklat, bersifat racun dan menyebabkan kematian eksplan (Stom et al., 2006; Ozygit et al., 2007).
Formula , modifikasi, seleksi dan optimasi medium dasar
Formula , modifikasi dan seleksi medium dasar
Mendapatkan formula media dasar yang sesuai untuk kultur antera atau mikrospora pada pengembangan teknologi haploid merupakan hal mendasar yang sangat penting dilakukan pada tahap awal penelitian. Kesesuaian formula media dasar dan eksplan yang dikultur bersifat spesifik . Tingkat kesesuaian terlihat pada respon pertumbuhan dan perkembanga n eksplan yang dikultur di dalam atau di atas medium (Maluszynski et al., 2003a), baik dalam pembentukan kalus, embrio, tunas maupun plantet. Tiga formula media dasar dan modifikasinya (MW-1 s/d MW-3+C+P, Tabel 3) telah diuji kesesuaiannya dalam menginduks i pembentukn kalus. Dari enam media dasar, MW-1 merupakan formula media dasar yang paling potensial untuk pembentukan kalus (Tabel 3). Potensi tersebut terlihat dari nilai persentase antera membentuk kalus, jumlah kalus dan skor pembentukan kalus yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan formula media yang lain. Pada penelitian lain empat formula media (MS, Gamborg B5, Nitsch dan Nitsch dan
48
White) diuji pada kultur antera bunga matahari dan formula medium MS merupakan formula medium dasar yang optimal untuk pembentukan kalus (Thangene et al,,1994). Empat media (N6, MS, Gamborg B5, dan White) diuji pada kultur antera lili, formula medium N6 merupakan formula media dasar paling baik untuk pembentukan kalus (Arzate-Fernandez et al., 1997). Media Nitsch dan Nitsch, Linsmaier dan Skoog, Gresshof dan Doy, dan MS diuji dalam percobaan ini dan medium dasar MS merupakan medium paling baik dalam kultur antera tomat (Shtereva et al., 1998). Hasil penelitian ini dan penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tiap kultur antera memerlukan medium dasar yang berbeda. Pada formula MW-1 komponen vitamin yang hanya mengandung myoinositol dan thiamin diduga meningkatkan kesesuain medium dasar dalam pembentukan kalus. Menurut Mulyaningsih dan Nikmatullah (2009) myo-inositol dan thiamin-HCl adalah suplemen yang berpengaruh nyata terhadap morfogenesis eksplan dibanding vitamin yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa komponen vitamin yang sederhana diperlukan dalam kultur antera anturium. Kompone n vitamin yang terbatas juga terbukti efektif pada kultur antera kentang (Tai dan Xiong, 2003). Konsentrasi 50 mg/l myo- inositol dan 0.2 mg/l thiamin- HCl mampu menginduksi kalus kentang secara signifikan. Namun pada kultur antera asparagus kombinasi vitamin yang lengkap dengan thiamin- HCl 0.4 mg/l, asam nikotin 0.5 mg/l, piridoksin-HCl 0.5 mg/l, myo- inositol 100 mg/l dan glycine 1 mg/l (Wolyn dan Nichols, 2003). Bahkan vitamin yang lebih lengkap juga diperlukan dalam kultur antera jeruk dengan myo-inositol 100 mg/l, asam nikotin 5 mg/l, piridoksinHCl 0.5 mg/l, thiamin-HCl 0.5 mg/l, biotin 0.5 mg/l, dan asam folat 0.5 mg/l (Germana, 2003). Selain hal tersebut, meskipun pengaruhnya tidak terlalu besar, pemberian asam pantotenat dalam kultur antera juga memberi pengaruh positif terhadap keseluruhan peran formula media dasar pada avocado (Nel et al., 1983), kentang dan konservasinya (Espinoza et al., 1984) dan embriogenesis jagung manis (Anonymous, 2009a), Kombinasi formula media dasar dan kesesuaian kombinasi konsentrasi hormon diduga juga berperan dalam meningkatkan kemampuan media dasar
49
(George et al., 2007). Pada kultur antera anturium, MW-1 yang mengandung NAA 0.01 mg/l, TDZ 0.5 mg/l dan BAP 1.0 mg/l diduga memiliki kesesuaian dan keseimbangan yang lebih baik untuk pembentukan kalus. Pada beberapa tanaman hias lain, medium dasar MS yang ditambah dengan NAA 2.0 mg/l merupakan medium terbaik untuk induksi kalus pada kultur antera bunga matahari (Thangene et al., 1994). Sementara itu pada tanaman yang sama Saji dan Sujatha (1998) menemukannya pada MS yang ditambah NAA 2.0 mg/l dan BA 1.0 mg/l. Pada kultur antera lili, medium dasar N6 dengan 2,4-D 2.0 mg/l merupakan medium dasar optimal untuk induksi kalus (Arzate-Fernandez et al., 1997). Medium dasar Gamborg B5 yang mengandung NAA 0.1-1.0 mg/l atau 2,4-D 1.0 mg/l paling baik untuk pembentukan kalus pada kultur antera cyclamen (Ishizaka, 1998). Kombinasi NAA 0.02 mg/l, 2,4-D 0.02 mg/l, kinetin 1.0 mg/l, BA 0.5 mg/l dan zeatin 0.5 mg/l pada medium dasar N6 yang dikombinasikan dengan vitamin dari medium Nitsch dan Nitsch (1969) merupakan kombinasi terbaik untuki pembentukan kalus pada kultur antera jeruk (Germana, 2003). Sementara penambahan NAA 2.0 mg/l dan BA 1.0 mg/l pada medium dasar Tsay (1996) paling sesuai untuk kultur antera asparagus (Wolyn dan Nichols, 2003). Pemberian IAA 0.1 mg/l dan BA 2.5 mg/l pada medium Uhr85 dan MSU93 merupakan medium induksi kalus yang optimal pada kultur antera kentang (Tai dan Xiong, 2003). Medium dasar N6 yang ditambah dengan BA 0.5 mg/l, NAA 0.5 mg/l dan GA3 0.1 mg/l merupakan medium optimal untuk induksi kalus pada kultur antera kacang tanah (Hoque, et al., 2007).
Optimasi formula medium dasar terseleksi
Optimasi formula medium dasar potensial merupakan langkah lanjutan yang diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan kultur jaringan tanaman (Maluszynski et al., 2003a). Pada kultur antera anturium, optimasi MW-1 menjadi MWR-3 yang dilakukan melalui peningkatan, penurunan, penambahan dan pengurangan beberapa komponen medium
ternyata mampu meningkatkan
kesesuaian formula medium dalam pembentukan kalus. Reformulasi komposisi
50
medium dasar potensial pada kultur antera juga berhasil dilakukan oleh Tai dan Xiong (2003) pada kentang dengan menurunkan konsentrasi myo- inositol dari 100 mg/l menjadi 50 mg/l pada medium Uhr85 dan menambahkan glutamin 7.3 mg/l dan asparagin 6.6 mg/l pada medium MSU93. Pada kultur ovul Allium cepa dilakukan dengan mengganti spermidin 0.1 mM dengan putrescine 2.0 mM pada medium A-1 (Martinez, 2003). Pada jeruk peningkatan konsentrasi komponen medium MS hingga 25% nya (Niedz dan Evens, 2007). Peningkatan konsentrasi NH4 NO3 dan KNO3 pada formula medium dasar kultur antera anturium ternyata memberikan pengaruh nyata terhadap kemampuan medium dalami pembentukan kalus. Menurut George (1993), George et al. (2007), ul-Hag (2005) dan Anonymous (2009a) peningkatan konsentrasi garam mineral tersebut meningkatkan kapasitas regenerasi dan pertumbuhan eksplan yang dikultur. Decruse dan Seeni (2002)
menyatakan bahwa NH4 NO3 mampu
meningkatkan kapasitas regenerasi eksplan hingga 59% pada kultur Holostemma annulare, meskipun pada kultur taro penurunan konsentrasi dari 720 mg/l hingga 200 mg/l justru mampu meningkatkan kapasitas media dalam pembentukan kalus (Malamug et al., 1992). Peningkatan konsentrasi NO3 - : NH4 + dalam medium meningkatkan pembentukan kalus dan regenerasi eksplan. Perubahan rasio tersebut berpengaruh terhadap regenerasi dan respon eksplan membentuk kalus, proliferasi tunas aksiler, pembentukan tunas adventif maupun embrio (George, 1993; Maluszynski et al., 2003a dan George et al., 2007). Rasio garam mineral tersebut juga berpengaruh terhadap pertambahan biomasa eksplan (Nowak et al., 2007). Pada tembakau rasio NO3 -: NH4 + 2.0 menginduksi pembentukan kalus dan tunas. Pada Prunus avium rasio 2.82 menginduksi proliferasi tunas. Pada kultur antera Peltophorum pterocarpum rasio 3.47 menginduksi pembentukan dan regenerasi kalus (George, 1993). Sedangkan pada kultur antera anturium perubahan rasio NO 3 - : NH4+ dari 2.21 menjadi 2.27 berpengaruh positif terhadap pembentukan kalus. Pemberian (NH4 )2 SO4 menggantikan NH4 NO3 ternyata tidak sesuai untuk kultur antera anturium. Senyawa tersebut bersifat toksik terhadap antera. Akibatnya 100% antera yang dikutur pada medium yang mengandung (NH4)2 SO4
51
(MWR-1 dan MWR-2) mengalami pencoklatan dan akhirnya mati. Pengaruh yang sama juga ditemukan pada kultur tembakau, amonium sulfat menyebabkan toksisitas pada eksplan dan menurunkan berat keringnya (Vessey et al., 1990). Igbinnosa et al. (1996) menemukan penghambatan pertumbuhan tunas pada kultur Striga hermonthica dan total berat kering eksplan setelah 20 dan 40 hari setelah kultur awal. Oleh karena itu penggunaan amonium sulfat pada kultur antera anturium harus dihindarkan. Secara keseluruhan pengembangan formula media dasar untuk kultur antera anthrium berhasil dilakukan. Formula MW-1 merupakan formula media dasar yang paling potensial untuk kultur antera anturium. MW-1 mampu menginduksi persentase antera membentuk kalus hingga 11 % dengan rata-rata 2.3 antera yang dikultur membentuk kalus dan skor pembentukan kalus hingga 50% dari tota l volume antera. MWR-3 merupakan perbaikan MW-1 yang mampu menginduksi persentase antera membentuk kalus hingga 20 %, rata-rata antera membentuk kalus hingga 4.0 antera dengan skor pembentukan kalus tinggi. NH4 NO3 merupakan garam mineral penting dalam kultur antera anturium, tetapi pemberian (NH4 )2SO 4 dalam formula medium dasar tidak dianjurkan. Teknik isolasi dan optimasinya
Pengaruh teknik isolasi dan jenis agar terhadap induksi pembentukan kalus Pada T-2, tambahan perlakuan penekanan dinding antera justru meningkatkan kerusakan sel dan stress.
Kerusakan sel menyebabkan
bercampurnya bahan-bahan sub seluler sel yang ada dalam sitoplasma dan vakuola (Laukkanen et al., 1999; Kim et al., 2001), terjadinya oksidasi senyawa fenolik dan membentuk senyawa-senyawa quinon (Marshall et al., 2000) bersifat racun dan menjadi penyebab kematian eksplan (Stom et al., 2006; Ozygit et al., 2007). Pada studi lebih mendalam yang dilakukan oleh Vatanpour -Azghandi et al. (2001) diketahui bahwa pada sel-sel yang stres akumulasi polifenol akan ditranslokasi dari sitoplasma ke vakuola sel. Akumulasi elektron polifenol yang padat pada vakuola tersebut selanjutnya membentuk masa yang makin besar seiring dengan
52
meningkatnya akumulasi. Masa polifenol yang terdapat didalam vakuola tidak dapat dipindahkan ke sel yang lain. Hal ini menyebabkan sel tidak dapat membelah dan membesar. Pada studi lain Arnaldos et al. (2008) menemukan bahwa pada sel yang mengalami pencoklatan ditemukan penurunan kandungan asam ferulat di dalam sitoplasma. Penurunan asam ferulat akan diikuti senesensi eksplan. Pemanfaatan sel-sel mikrospora anturium (TI-3) pada pengembangan teknologi haploid kurang potensial digunakan dalam induksi dan produksi tanaman haploid dan/atau haploid ganda. Peluang yang sangat rendah tersebut disebabkan oleh tingginya kontaminasi oleh bakteri (Winarto dan Rachmawati, 2007), rendahnya respon sel mikrospora dalam androgenesis dan rendahnya viabilitas sel mikrospora (Rachmawati, 2005). Oleh karena itu meskipun tingkat kontaminasi dapat direduksi hingga level yang rendah, tetapi viabilitas dan respon yang rendah menyebabkan sel mikrospora tidak bertumbuh sama sekali setelah masa inkubasi. Dari hasil studi histologi juga diketahui bahwa sel mikrospora tidak mengalami pertumbuhan dan pembelahan selama masa inkubasi dan akhirnya sel tidak terdeteksi lagi setelah pertumbuhan kalus yang teregenerasi dari dinding sel menutupinya. Pengaruh stres eksplan dan respon yang rendah pada T-2 dan T-3 memberi bukti bahwa pada kultur antera anturium semakin rendah stres yang ditimbulkan, semakin tinggi peluang keberhasilannya. Oleh karena itu, isolasi langsung antera melalui pemotongan antera yang diikuti dengan penanaman pada medium kultur merupakan teknik isolasi yang paling sesuai untuk kultur anthuium. Isolasi antera tanpa pemotongan antera juga kurang potensial digunakan, karena respon regenerasi antera juga sangat rendah (Custer, 2004) Kualitas dan tingkat kemurnian agar berpengaruh terhadap keberhasilan kultur antera anturium. Dari tiga jenis agar yang diuji, JA-2 dan JA-1 merupakan dua jenis agar yang sesuai untuk kultur antera. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas agar berpengaruh terhadap respon eksplan (George et al., 2007). Perbedaan respon eksplan terhadap jenis agar yang berbeda juga dilaporkan oleh Scholten dan Pierik (1998) pada lili dan sulcorebutia dan Cardoso et al. (2007)
53
pada kultur antera kedelai. Penggunaan agar dengan kualitas dan kemurnian yang lebih tinggi memberik an respon pertumbuhan eksplan hasil yang lebih baik (Cardoso et al. (2007). Oleh karena itu (JA-3) memberikan hasil yang terendah dibanding JA-1 dan JA-2. Respon pertumbuhan eksplan yang baik disebabkan oleh konsentrasi garam- garam mineral dan Cl¯ yang rendah, tidak mengandung bahan yang bersifat racun (Scholten dan Pierik, 1998). Pada konsentrasi yang tepat JA-2 dan JA-1 menstimulasi pertumbuhan eksplan, tetapi peningkatan konsentrasi JA-2 dan JA-1 justru menghambat pertumbuhan pada kultur gladiol dan tembakau (Chauvin et al., 1999). Meskipun pada konsentrasi lebih tinggi dapat mereduksi peluang vitrifikasi (Winarto, 2002; Abdoli et al., 2007; Bornman dan Vogelmann, 2008). Sementara pada JA-3 respon antera dalam membentuk kalus paling rendah. Menurut Ar regui et al.(2003) respon yang rendah tersebut dipengaruhi oleh kandungan mineral dan bahan organik yang lebih tinggi, polisakarida dan asam lemak rantai panjang (George dan Sherrington, 1984). Menurut Pierik (1991) agar dengan kualitas rendah dicirikan dengan konduktivitas listrik yang tinggi, warna agar krem, kuning hingga coklat dengan konsentrasi garam mineral (N, Ca, Na, Mn, Cl, Br, I, dll) yang tinggi. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa kultur antera dengan cara langsung tanpa memberi perlakuan (TI-1) merupakan teknologi isolasi yang optimal dalam pengembangan kultur antera anturium. Antera dikultur pada MWR yang dipadatkan dengan phytagel (JA-2, 3.0 g/l) maupun gelrite (JA-1, 2.0 g/l) beregenerasi secara maksimal. Perlakuan pada dinding antera tidak optimal untuk pembentukn kalus. Pengembangan teknologi haploid anturium kurang optimal bila menggunakan mikrospora karena tingginya kontaminasi, rendahnya viabilitas dan respon mikrospora dalam medium kultur terseleksi.
Pengaruh posisi kultur antera dan media induksi terhadap pembentukan kalus Pemberian 2,4-D di dalam dan di luar sel yang dikultur secara in vitro memiliki peran nyata terhadap pembelahan sel (Leguay and Guern, 1977). Selanjutnya konsentrasi optimum 2,4-D pada tiap bahan tanaman yang dikultur
54
secara in vitro bervariasi antara satu dengan yang lain (Oggema et al., 2007). Perbaikan MW dengan menambahkan 0.5 mg/l 2,4-D secara nyata meningkatkan kapasitas dan kemampuan medium dalam menginduksi pembentukan kalus. Peningkatan kemampuan medium tersebut dapat diukur melalui potensi tumbuh antera, persen regenerasi antera dan jumlah kalus per perlakuan. Penambahan 2,4-D ke dalam medium terseleksi diduga berperan penting dalam meningkatkan kemampuan regenerasi sel-sel pada dinding antera sejak dediferensiasinya, pembentukan sel-sel meristematik, hingga pertumbuhan kalus yang dihasilkan, seperti yang dilaporkan oleh Rodrigues et al.(2004) pada kultur antera kedelai. Pemberian 2,4-D juga berpengaruh nyata terhadap viabilitas sel-sel eksplan (Mishiba et al., 2001). Perbaikan medium melalui penambahan 2,4-D untuk induksi dan inisasi pembentukan kalus juga dilaporkan pada kultur antera bunga matahari oleh Thangene et al. (1994), lili oleh Arzate-Fernandez et al. (1997), ubi jalar oleh Oggema et al. (2007). Thangene et al. (1994) mengoptimasi medium MS untuk kultur antera bunga matahari dengan meningkatkan konsentrasi 2,4-D dari 0.2 menjadi 2.0 mg/l. Medium N6 ditambah dengan 2 mg/l 2,4-D dan 9% sukrosa
menginduksi kalus pada lili (Arzate-Fernandez et al., 1997).
Sementara Oggema et al. (2007) menyatakan bahwa pembentukan kalus ubi jalar pada medium MS yang mengandung 0.5 mg/l 2,4-D. Perubahan posisi kultur antera ternyata memberikan pengaruh yang signifikan terhadap induksi pembentukan kalus pada kultur antera anturium. Perubahan dari telungkup, berdiri dan terlentang berpengaruh nyata pembentukan kalus. Dari studi histologi diketahui bahwa antera yang dikultur pada posisi terlentang mempunyai kapasitas morfogenesis dan produksi kalus yang lebih tinggi. Hal ini serupa dengan regenerasi tunas adventif yang tinggi pada ekslan daun anyelir yang ditanam dengan posisi terlentang diatas medium (Winarto, 2002). Posisi ini ternyata juga berpengaruh terhadap pembentukan tunas adventif pada apricot (Perez-Tornero et al., 2000) dan embriogenesis pada Oncidium ‘Gower Ramsey’ (Chen and Chang, 2000). Pada posisi terlentang diduga meningkatkan luas permukaan yang kontak dengan medium sehingga berpengaruh positif terhadap peningkatan penyerapan
55
nutrisi dan hormon yang terdapat dalam medium. Hal ini meningkatkan kompetensi dan kemampuan sel-sel dinding antera berdediferensiasi, berubah menjadi meristematik, aktif membelah dan bertumbuh membentuk kalus. Pada petunia penyerapan nutrisi dan ZPT dalam medium yang lebih baik ini menjadi prasyarat bagi pembentukan tunas yang lebih cepat (Auer et al., 1992). Orientasi eksplan pada posisi ini pada pada kultur jaringan apel ternyata mampu meningkatkan kemampuan palisade parenkim untuk memindahkan nutrien dan ZPT dari medium ke dalam eksplan lebih baik dibanding posisi yang lain (Welander, 1985; Blancke dan Blecher, 1989). Hal yang hampir sama juga dilaporkan oleh Raghavan (2004) pada Arabidopsis. Pembelahan sel diinisiasi pada sel prokambial dari dasar kotiledon yang berada pada posisi terlentang. Posisi terlentang merupakan posisi kultur antera yang paling optimum dalam pembentukan kalus. Sedangkan MW-1D merupakan medium yang optimal untuk tujuan yang sama. Kombinasi kedua perlakuan tersebut ternyata merupakan kombinasi perlakuan terbaik yang mampu menginduksi potensi tumbuh antera hinga 63% dengan 38% regenerasi antera dan jumlah kalus yang terbentuk hingga 3.4 kalus per perlakuan.
Perbaikan medium terseleksi untuk pembentukan kalus
Pengaruh media terseleksi dan reduksi kandungannya dalam induksi pembentukan kalus. Hasil penelitian penggunaan medium dasar untuk kultur antera anturium terlihat tidak konsisten. Jika pada penelitian sebelumnya MW-1 yang ditambah dengan 2,4-D (0.5 mg/l) menjadi medium yang paling baik, tetapi pada tahap ini MWR-3 menjadi medium induksi kalus yang lebih baik dari MW-1 yang ditambah dengan 0.5 mg/l 2,4-D. Hasil dua percobaan berurutan tersebut makin menegaskan bahwa dua media terseleksi menjadi dua formula media yang dapat diaplikasikan dalam kultur antera anturium, khususnya pada kultivar Tropical. Penurunan kandungan garam mineral pada medium terseleksi ternyata memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kultur antera anturium, dimana
56
reduksi kandungan garam mineral hingga 1/8 nya merupakan medium terbaik untuk pembentukan kalus. Selain itu pengurangan kandungan garam mineral medium juga memberikan hasil yang baik pada kultur in vitro tanaman lain. Hoque dan Arima (2002) mereduksi kandungan garam mineral medium MS hingga setengah bagian dan menambahkan 2.7 mM 2,4-D, 108.0 mM casein hydrolyzate, dan 10.8 mM floroglucinol untuk mendapatkan pembentukan kalus yang maksimum. Lima puluh persen kecepatan pembentukan kalus utama ditemukan pada eksplan Bupleurum kaoi yang ditanam pada ½ MS yang mengandung 4 mg/l 2,4-D selama 8 minggu inkubasi gelap (Chen et al., 2005). Induksi kalus Viola wittrockiana yang tinggi ditemukan pada medium ½ MS yang ditambah dengan 0.45 µmol l- 1 2,4-D dan 8.9 µmol l- 1 BA (Wang and Bao, 2007). Sementara itu kalus dengan totipotensi yang tinggi pada Paphiopedilum hibrida (Paphiopedilum callosum ‘Oakhi’ × Paph. lawrenceanum ‘Tradition’) dengan mudah diinduksi dari biji turunan protokorm pada medium ½ MS yang ditambah dengan 1-10 mg/l 2,4-D dan 0.1–1 mg/l TDZ (Lin et al., 2000) 2,4-D merupakan ZPT golongan auksin yang menginduksi pembentukan kalus. ZPT ini ternyata memberikan pengaruh yang tidak stabil pada kultur antera pada anturium. Jika pada penelitian sebelumnya MW-1D medium yang dominan memberikan hasil yang optimal, tetapi pada penelitian ini MWR-3 tanpa 2,4-D memberikan hasil yang lebih baik. Pemberian dan konsentrasi 2,4-D dalam menunjang keberhasilan kultur antera anturium masih memerlukan penelitian lebih lanjut pada dua media terseleksi yang ditemukan dalam penelitian ini. MWR-3 merupakan medium yang paling baik untuk pembentukan kalus. Sedangkan penurunan kandungan garam mineral medium hingga 1/8 bagian kandungannya mampu menunjang keberhasilan kultur antera anturium pada level tertinggi dibanding perlakuan yang lain. Sementara medium yang hanya mengandung 2.0 g/l gelrite tanpa garam mineral di dalamnya, mampu menginduksi pembentukan kalus, tetapi kalus yang terinduksi sangat sedikit dengan pertumbuhan lambat.
57
Pengaruh media dasar dan amonium terhadap pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus. Keberhasilan inisiasi dan pembentukan kalus dalam kultur jaringan tanaman sangat dipengaruhi oleh komponen nutrisi dalam medium (Niedz dan Evens, 2007). Perubahan satu atau dua komponen penting pada medium terseleksi akan berpengaruh terhadap respon eksplan yang dikultur dan hal tersebut ternyata juga ditemukan dalam kultur antera anturium. Perubahan konsentrasi amonium nitrat dalam media memberikan berpengaruh nyata terhadap pembentukan kalus. Peran amonium nitrat dalam pertumbuhan dan perkembangan eksplan dalam kultur in vitro juga dilaporkan kultur antera peach (Biggs dan Sherman, 1980), Linum usitatissimum (Nichterlein, 2003), asparagus (Wolyn dan Nichols, 2003), poplar (Andersen, 2003), bawang merah (Martinez, 2003). Pada konsentrasi yang sesuai,
pemberian
amonium
nitrat
tersebut
dapat
meningkatkan
respon
pembentukan kalus. Pada ½ MW-1, konsentrasi amonium nitrat 750 mg/l merupakan konsentrasi yang sesuai, sedangkan pada MWR-3, konsentrasi amonium nitrat 205 mg/l merupakan konsentrasi optimal untuk pembentukan kalus. Pada kultur antera peach 10 ppm amonium nitrat pada medium MS sesuai untuk pembentukan kalus (Biggs dan Sherman, 1980). Konsentrasi amonium nitrat 165 mg/l pada medium MS sesuai untuk kultur antera Linum usitatissimum (Nichterlein, 2003). Konsentrasi amonium nitrat 825 mg/l pada medium Tsay (1996) sesuai untuk kultur antera asparagus (Wolyn dan Nichols, 2003). Konsentrasi amonium nitrat 165 mg/l pada medium MS sesuai untuk poplar (Andersen, 2003). Variasi konsentrasi amonium nitrat pada medium dasar yang berbeda menunjukkan adanya kebutuhn yang berbeda pada tiap tanaman. Optimasi konsentrasi amonium nitrat pada medium terseleksi untuk berbegai tujuan termasuk pada pembentukan kalus dapat dilakukan melalui penurunan, peningkatan konsentrasi amonium dan penambahan komponen ini dalam medium. Pada kultur antera anturium dilakukan melalui penurunan kandungan garam mineral MW-1 hingga ½ bagian dengan mempertahankan konsentrasi amonium nitrat pada 750 mg/l atau menurunkan konsentrasi hingga
58
205 mg/l pada MWR-3. Pada kultur antera asparagus optimasi dilakukan dengan menurunkan konsentrasi amonium nitrat dari 1650 mg/l menjadi 825 mg/l (Wolyn dan Nichols, 2003), pada kultur antera poplar dari 400 mg/l menjadi 165 mg/l (Andersen, 2003). Penambahan amonium nitrat pada konsentrasi 165 mg/l ke dalam medium dilaporkan meningkatkan respon pembentukan kalus pada kultur antera Linum usitatissimum (Nichterlein, 2003). Sementara pada kultur antera jeruk dengan menambahkan 463 mg/l amonium nitrat ke dalam medium (Germana, 2003).
Pengaruh 2,4-D dan TDZ terhadap keberhasilan pembentukan kalus
Pada pembentukan kalus, konsentrasi ZPT yang lebih tinggi umumnya diperlukan untuk proses morfogenesis awal. Aplikasi bahan tersebut berperan dalam didiferensiasi dan pembentukan sel-sel meristematik. Setelah kultur inisiasi, sel-sel dinding antera akan berada pada fase tidak responsif terhadap nutrisi dan ZPT hingga ± 15 hari inkubasi. Selanjutnya sel-sel menjadi responsif menyerap nutrisi dan ZPT, mengalami dediferensiasi (George, 1993; Taji et al., 2001). Inti sel membesar dan bergerak ke tengah sel dan membelah dari satu inti menjadi 2, 4, 8 dan seterusnya. Ukuran sel menjadi lebih kecil dan kompak. Sel menjadi aktif membelah (meristematik). Pada tahap inilah peran ZPT pada level tinggi sebagai pendorong terhadinya dediferensiasi dan peningkatan kompetensi sel sangat diperlukan seperti yang juga dilaporkan pada kacang kapri (Nordstrom dan Elliasson, 1991) dan Vigna radiate (Narciso et al., 1996). Setelah sel aktif membelah, peran ZPT menjadi menurun. Dari tahap ini akan teregenerasi dua jenis kelompok sel yaitu: meristematik dan non meristematik sel (George et al., 2007) dan pada kultur antera, sel yang aktif membelah ini kemudian membentuk dua tipe kalus, yaitu: organogenik dan non-organogenik. Pada pembentukan kalus, pemberian 2,4-D memiliki peran signif ikan dalam pembentukan kalus, terkait dengan dediferensiasi dan peningkatan kompetansi sel. Konsentrasi yang tinggi umumnya diaplikasikan untuk mencapai tujuan tersebut. Thangene et al. (1994) menggunakan 1.0 mg/l 2.4-D dan 0.5 mg/l
59
BA pada kultur antera bunga matahari. Konsentrasi 2.0 mg/l ZPT yang sama digunakan dalam induksi pembentukan kalus pada kultur antera lili (ArzetaFernandez et al., 1997). Penggunaan 2,4-D 2.0 mg/l dan 1.0 mg/l BAP sesuai untuk pembentukan kalus pada kultur antera Linum usitatissimum (Nichterlein, 2003). Sedangkan pada kultur antera anturium, 0.5 mg/l 2,4-D yang dikombinasikan dengan 2.0 mg/l TDZ, 0.75 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA merupakan kombinasi yang sesuai untuk pembentukan kalus. Konsentrasi 0.5 mg/l 2,4-D pada awal kultur antera diduga menjadi pendorong dediferensiasi dan peningkatan kompetensi sel-sel dinding antera. TDZ (2.0 mg/l) yang tinggi selain mendukung pembelahan sel yang cepat diduga juga berperan penting dalam translokasi, distribusi 2,4-D dan NAA dalam sel- sel dinding antera dan akumulasinya pada sel-sel yang memiliki totipotensi tinggi seperti yang dilaporkan Murch dan Saxena (2001) pada Pelargonium. Kombinasi peran ZPT juga berpengaruh terhadap keberhasilan kultur antera anturium, seperti yang juga dilaporkan oleh Murch dan Saxena (2001) pada Pelargonium, Srangsam dan Kanchanapoom (2003) pada pisang, Wang et al. (2003) pada kultur antera kedelai hitam. Pada tahap berikutnya ZPT auksin tersebut akan menginduksi terjadinya dediferensiasi dan meningkatkan kompetensi sel. Sel kemudian menjadi sel-sel meristematik yang aktif membelah hingga terbentuk kalus.
Pengaruh glutamin dan serin terhadap pembentukan kalus.
Glutamin maupun serin dalam kultur in vitro memiliki peran yang sangat penting terkait dengan dediferensiasi, proliferasi dan menjaga potensi embriogenik eksplan (Ogita et al., 2001). Pada tanaman dan eksplan yang dikultur secara in vitro kedua jenis asam amino ini diperlukan untuk sintesis protein. Oleh karena itu pemberian glutamin dan serin pada konsentrasi tertentu (umumnya level tinggi) dapat menghasilkan dan menjaga potensi embriogenik eksplan dengan cara meningkatkan level endogenusnya. Peran yang sangat nyata dari asam amino ini ditemukan pada kultur in vitro Cryptomeria japonica (Ogita et al., 2001). Tetapi pada kultur antera anturium asam amino tersebut tidak memberikan pengaruh yang
60
nyata dalam pembentukan kalus. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Zeng et al. (2003) pada kultur in vitro Crocus sativus. Meski secara statistik tidak berbeda nyata, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan glutamin dalam medium menjadi pilihan alternatif dalam kultur antera anturium. Sementara pada penelitian lain, Ogita et al. (1997) menemukan bahwa glutamin 500 mg/l dalam medium Campbell dan Durzan merupakan konsentrasi optimal dalam induksi kalus embriogenik pada kultur in vitro Picea jezoensis. Pemberian glutamin pada konsentrasi 233 mg/l sesuai pertumbuhan kalus Beta vulgaris (Saunders et al., 1997). Konsentrasi glutamin 100 mg/l pada medium MS sesuai untuk Juniperus excelsa (Shanjani, 2003). Penggunaan glutamine 150 mg/l pada medium MS sesuai untuk induksi kalus gandum (Rakesh dan Chawla, 2002). Mengingat pengaruhnya yang sama, aplikasi glutamin pada konsentrasi 250 mg/l dianjurkan untuk digunakan pada kultur antera anturium. Sedangkan serin aplikasinya pada 500 mg/l menjadi pilihan terbaik untuk meningkatkan keberhasilan kultur antera anturium, kendati berdasarkan nilai pengamatan yang dicatat tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa kombinasi konsentrasi glutamin dan serin memberikan pengaruh nyata terhadap keberhasilan kultur in vitro. Anonymous (1991) berhasil menginduksi kalus embrogenik pada kultur in vitro bunga matahari dengan mengaplikasikan 800 mg/l glutamin dan 160 mg/l serin. Namun pada kultur antera anturium, pengaruh nyata penggunaan dua jenis asam amino tersebut untuk pembentukan dan regenerasi kalus tidak ditemukan. Jadi secara keseluruhan meski keberhasilan induksi pembentukan kalus yang ditunjukkan tidak berada pada kondisi yang diharapkan, tetapi aplikasi asam amino ini dapat menjadi alternatif dalam pengembangan metode kultur antera anturium. Pengaruh sukrosa dan glukosa terhadap pembentukan kalus. Pemberian sukrosa berpengaruh terhadap pembentukan kalus dalam kultur antera anturium. Perlakuan ini diduga terkait dengan akumulasi pati dalam sel- sel kalus. Akumulasi pati dalam plastida sel-sel eksplan tanaman yang dik ultur secara in vitro ternyata merupakan prasyarat bagi terjadinya morfogenesis, baik
61
pembentukan maupun regenerasi kalus (George, 1993; Saji dan Sujatha, 1998). Pati tersebut dibentuk dari sukrosa dan gula yang ditambahkan dalam medium kultur in vitro (Thorpe et al., 1986). Bahan tersebut kemungkinan bertindak sebagai sumber energi cadangan sel yang sangat dibutuhkan dalam proses morfogenesis dan peran tersebut segera menghilang saat meristimoid dan bakal tunas mulai terbentuk. Pada penelitian lain diketahui bahwa sel/jaringan/organ yang membentuk kalus umumnya didahului dengan akumulasi pati sebelum pembentukan tunas dan akar. Kondisi tersebut tidak ditemukan pada kalus dengan kemampuan morfogenesis rendah (George, 1993). Pemberian sukrosa pada kultur antera anturium sebagai sumber energi dalam pembentukan kalus memiliki peran yang lebih penting dibanding glukosa. Hasil yang sama juga dilaporkan pada kultur antera bunga matahari (Saji dan Sujatha, 1998). Konsentrasi sukrosa 60 g/l dengan 30 g/l glukosa paling sesuai untuk pembentukan kalus. Peningkatan konsentrasi sukrosa dari 30 ke 60 g/l dengan menambahkan 30 g/l glukosa pada MWR mampu meningkatkan kemampuan medium dalam menunjang keberhasilan kultur antera pada anturium. Peningkatan keberhasilan pembentukan kalus dalam kultur antera sebagai akibat peningkatan konsentrasi gula tersebut juga dilaporkan pada kultur antera lili (Han et al., 1998), kentang (Tai dan Xiong, 2003). Peneliti tersebut meningkatkan konsentrasi sukrosa dari 30 g/l menjadi 60 g/l pada lili, sementara 20 g/l menjadi 60 g/l pada kentang. Sukrosa pada konsentrasi tersebut juga optimal untuk induksi kalus pada kultur antera Linum usitatissimum (Burbulis et al., 2005). Saji dan Sujatha (1998) mendapatkan respon yang berbeda, peningkatan konsentrasi sukrosa dari 30 g/l menjadi 40 g/l justru menurunkan respon antera dalam membentuk kalus. Sedangkan Thangene et al. (1994) menemukan bahwa 40 g/l sukrosa merupakan konsentrasi terbaik dalam kultur antera bunga matahari. Aplikasi sukrosa dan glukosa memberikan pengaruh nyata dalam pembentukan kalus pada kultur antera anturium.
Konsentrasi 20 g/l sukrosa
dengan 20 g/l glukosa merupakan konsentrasi yang sesuai untuk pembentukan kalus pada kultur antera saparagus (Wolyn dan Nichols, 2003). Konsentrasi sukrosa 25 g/l dengan glukosa 25 g/l paling efektif untuk induksi kalus pada
62
Linum usitatissimum (Rutkowska-Krause et al., 2003). Dampak positif kombinasi perlakuan ini juga dilaporkan pada kultur antera Brassica carinata (Last dan Brettell, 1988). Meskipun aplikasi kombinasi konsentrasi sukrosa dan glukosa ini belum banyak diaplikasikan dalam kultur antera, tetapi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua gula tersebut menunjang keberhasilan kultur antera anturium.
Studi histologi pembentukan kalus dan regenerasi tunas
Respon sel-sel pada kultur setengah antera yang ditanam dalam medium terseleksi terhadap nutrisi dan ZPT yang ada di dalamnya merupakan langkah awal bagi inisiasi kalus. Hal ini juga diamati oleh Nicuta et al. (2005) pada kultur antera Brassica oleracea. Dari tiga jenis sel yang ada pada kultur setengah antera (sel- sel dinding antera, jaringan penghubung dan mikrospora), sel- sel dinding antera merupakan sel-sel yang responsif terhadap nutrisi dan ZPT yang ada dalam medium terseleksi. Respon yang lebih tinggi tersebut menyebabkan sel- sel mengalami dediferensiasi, menjadi kompeten, aktif membelah dan membentuk selsel yang meristematik. Oleh karena itu kalus yang teregenerasi dari kultur antera anturium berasal dari sel-sel dinding antera. Studi pada padi menunjukkan bahwa masa kalus yang dihasilkan dari kultur antera teregenerasi dari sel-sel jaringan penghubung (Maeda et al., 1978), sementara pada kultur antera Vitis rupcstris, kaulogenesis berasal dari seluruh jaringan antera kecuali andothecium (Altamura et al., 1992). Dinding antera terdiri dari tiga lapis sel, yaitu satu lapis sel endotecium, satu atau beberapa lapis sel tengah (middle layers) dan satu lapis sel tapetum (Büyükkartal et al., 2005). Pada penelitian ini sel-sel dinding antera yang responsif dan memiliki kompetensi tinggi hingga teregenerasi membentuk kalus diduga berasal dari sel-sel middle layer dan tapetum. Pendugaan ini didasarkan pada pengamatan mikroskopi (Gambar 7 dan 8) yang me mperlihatkan bahwa sel- sel pada kedua lapisan tersebut merupakan sel-sel yang banyak mengalami
63
dediferensiasi, kemudian aktif membelah dan membentuk kalus seperti yang juga dilaporkan pada kultur antera anggur (Altamura et al., 1992). Sel-sel dari jar ingan penghubung pada kultur antera anturium kurang responsif dalam pembentukan kalus. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan sel-sel tersebut memanfaatkan nutrisi dan ZPT yang ada dalam medium, sehingga sel tersebut lambat terdediferensiasi.
Respon androgenesis
yang rendah pada sel-sel mikrospora dalam kultur antera anturium diduga berkaitan erat dengan tingginya aktivitas sel-sel dinding antera yang aktif membelah dan bertumbuh. Hasil yang berbeda ditemukan Rodrigues et al. (2004) pada kultur antera kedelai. Pada tanaman ini sel-sel penghubung aktif membelah dan bertumbuh. Tidak adanya respon androgenesis pada mikrospora diduga juga berkaitan erat dengan viabilitas sel mikrospora yang rendah. Dari studi histologi akhirnya dapat diketahui bahwa kalus yang terbentuk pada kultur antera berasal dari sel- sel dinding antera yang kompeten dan memiliki totipotensi yang tinggi dibanding sel-sel jaringan penghubung dan mikropora.
Simpulan Dari hasil penelitian dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut: 1. MW-1 dan MWR-3 merupakan media yang paling sesuai untuk kultur antera anturium dengan respon pembentukan kalus terbaik. 2. Setengah antera tanpa diberi perlakuan (TI-1) yang dikultur pada posisi terlentang dan phytagel (3.0 g/l) merupakan teknik isolasi dan jenis agar yang sesuai untuk kultur antera ini. 3. MWR-3 dengan 60 g/l sukrosa dan 30 g/l glukosa merupakan medium perbaikan terbaik dalam meningkatkan pembentukan kalus dengan potensi antera tumbuh mencapai 92%, 67% antera yang membentuk kalus dan 4.0 jumlah rata-rata antera membentuk kalus per perlakuan. 4. Pada studi histologi, kalus yang terbentuk pada kultur antera berasal dari sel-sel dinding antera.
64
STUDI REGENERASI KALUS
Pendahuluan
Inkonsistensi hasil pada studi pembentukan kalus merupakan salah satu kenyataan yang ditemukan pada studi tersebut. Persentase antera membentuk kalus berkisar antara 11-67% dengan 2.3-4.0 jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus per perlakuan. Pada beberapa studi ditemukan bahwa medium yang optimal untuk pembentukan kalus, juga sesuai untuk pertumbuhan dan regenerasi kalus seperti yang dilaporkan pada anturium (Rachmawati, 2005), gerbera (Kumar dan Kanwar, 2007). Beberapa yang lain dilaporkan bahwa tiap tahap perkembangan tanaman memerlukan medium yang berbeda seperti yang dilaporkan pada gerbera (Aswath dan Chaudary, 2002), dan Viola wittrockiana (Wang dan Bao, 2007), sehingga variasi dan optimasi medium perlu dilakukan. Optimasi media dasar terseleksi untuk pertumbuhan dan regenerasi kalus dapat dilakukan melalui (1) pengujian ulang media dasar terseleksi yang dikombinasikan dengan pemberian NH4 NO3 pada konsentrasi yang berbeda, (2) memvariasikan pemberian 2,4-D dengan TDZ, (3) glutamin dan serin, (4) sukrosa dan glukosa (George, 1993). Pengaruh nyata perlakuan-perlakuan tersebut dalam optimasi medium dasar diuraikan pada bagian berikut. MW-1 dan MWR-3-3 merupakan medium yang sesuai untuk pembentukan kalus. Setengah antera yang dikultur pada medium tersebut juga menunjuk kan respon pertumbuhan yang positif. Setengah antera yang dikultur berdediferensiasi, membentuk sel-sel meristematik hingga kalus, meskipun sebagian besar mati akibat pencoklatan. Modifikasi kandungan garam mineral media pada elemen makro, mikro dan vitamin telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan media dalam pembentukan kalus, meskipun konsistensi hasil belum ditemukan. NH4NO3 merupakan elemen makro penting dalam pembentukan kalus. Diduga bahan ini juga berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan regene rasi kalus. Oleh karena itu kombinasi perlakuan media dasar terseleksi dan pemberian NH4NO3 yang berbeda untuk pertumbuhan dan regenerasi kalus perlu dipelajari lebih lanjut.
65
Setiap perubahan konsentrasi NH4 NO3 dilakukan maka perubahan rasio +
NH4 : NO3 - juga terjadi (Matsubayashi dan Sakagami, 1998; Nowak et al., 2007; Roosta et al., 2009). Perubahan rasio NH4+ : NO 3 - tersebut berpengaruh terhadap pembentukan kalus, embrio, regenerasi tunas, dan berat biomasa ekaplan (Robert et al., 1987; Matsubayashi dan Sakagami, 1998; Chauhan dan Kothari, 2004; Nowak et al., 2007; Roosta et al., 2009). Pada kultur asparagus, rasio amoniumnitrat 0.30 mM merupakan rasio optimal untuk menjaga proliferasi sel (Matsubayashi dan Sakagami, 1998). Pada Prunus domestica 1:2 atau 1:4 rasio NH
4
+
:NO
3
–
paling sesuai untuk regenerasi eksplan (Nowak et al., 2007).
Pemberian 5 mM NH4 NO3 terus menerus menurunkan kemampuan regenerasi ketimun (Roosta et al. 2009). Sedangkan pada kultur antera anturium, konsentrasi NH4 NO3 550-750 mg/l sesuai untuk pembentukan kalus, namun konsentrasi tersebut belum optimal. Karena itu modifikasi konsentrasi amonium nitrat dalam media dasar terseleksi diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan regenerasi kalus dalam kultur antera anturium. Pemberian ZPT merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan kultur jaringan. Pada beberapa kasus ZPT menjadi faktor pembatas inisiasi, pertumbuhan dan regenerasi kalus. Pertumbuhan dan morfogenesis eksplan dalam kultur jaringan tanaman dikendalikan oleh interaksi dan keseimbangan antara zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen (Laslo dan Vicas, 2008). ZPT berpengaruh langsung terhadap mekanisme- mekanisme seluler terkait pertumbuhan dan perkembangan eksplan.
Beberapa ZPT sintetik juga dapat memodifikasi dan
mempengaruhi ZPT endogen, yang kadang bersifat menurun pada generasi berikutnya. 2,4-D dan TDZ merupakan auksin dan sitokinin yang diaplikasikan untuk menginduksi pertumbuhan dan regenerasi kalus tanpa atau bersama dengan hormon yang lain. Pada kultur Paphiopedilum philippinense, 4.52 µM 2,4-D and 0.45 µM TDZ menginduksi pembentukan tunas, tetapi jumlah tunas tertinggi hingga 4.52 tunas per eksplan ditemukan pada medium MS yang hanya ditambah 4.52 µM 2,4D (Chen et al., 2002). Pada hibrida yang lain, 4.52 µM 2,4-D dan 0.45 µM TDZ pada medium MS merupakan kombinasi yang sesuai untuk mendapatkan
66
regenerasi tunas yang tinggi (Chen et al., 2004). Pemberian 0.5 mg l- 1 TDZ and 1.0 mg l- 1 NAA pada medium NN merupakan kombinasi TDZ yang optimal untuk regenerasi tunas tertinggi mencapai 93.3% persentase regenerasi dan 3.83 tunas per eksplan pada lili (Fei et al., 2009). Frekuensi tinggi regenerasi tunas dengan jumlah tunas per eksplan yang tinggi pada Carthamus tinctorius ditemukan pada medium yang ditambah dengan TDZ + NAA pada kisaran konsentrasi yang luas (Radhika et al., 2006). Pada kultur antera Dianthus, regenerasi tunas tertinggi ditemukan pada medium B5 yang ditambah dengan 1 mg L-1 TDZ + 0.1 mg L-1 NAA (Nontaswatsri et al., 2007). Kombinasi 1.5 mg/l TDZ, 0.75 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA pada MWR-3 dan 0.5 mg/l TDZ, 1.0 mg/l BAP dan 0.01 mg/l NAA pada MW-1 merupakan kombinasi ZPT yang sesuai untuk pembentukan kalus pada kultur antera anturium. Penambahan 0.5 mg/l 2,4-D pada MW-1 potensial untuk pembentukan kalus, tetapi pada MWR-3 terjadi sebaliknya. Variasi aplikasi 2,4-D dan TDZ dalam pertumbuhan dan regenerasi kalus diduga juga dapat meningkatkan pertumbuhan dean regenerasi kalus hingga membentuk tunas. Asam amino juga merupakan salah satu faktor penunjang yang menentukan keberhasilan kultur jaringan tanaman (George et al., 2007). Senyawa ini merupakan salah satu sumber nitrogen (Saunders et al, 1997) yang berperan dalam pembentukan kalus, regenerasi tunas adventif, embriogenesis dan androgenesis eksplan (Masaaki et al., 2000; Ogita et al., 2001). Beberapa jenis asam amino yang dapat digunakan ialah: alanine, arginine, asparagine, cysteine, glutamin, glycine, leucine, isoleucine, lysine, methionine, ornithine, phenylalanine, proline, serine, threonine, tryptophane tyrosine, dan valine (Ogita et al., 1997 dan 2001; AshokKumar and Murthy. 2004). Di antara asam amino tersebut glutamin merupakan asam amino yang sering digunakan (Masaaki et al., 2000; Ogawa et al., 2000; Ogita et al., 2001), juga serin (Pola et al., 2007; Anonymous, 2009b). Pemberian 3.5 g/l glutamin pada medium N6 meningkatkan respon androgenesis pada kultur antera kacang tanah (Willcox et al., 1991). Aplikasi 200 mg/l glutamin pada medium ½ MS sesuai untuk pembentukan dan regenerasi kalus (Yam et al., 1991). Penggunaan 5 mM glutamin pada medium N6 meningkatkan deferensiasi plantlet pada kultur antera padi (Ogawa et al., 2000). Aplikasi 5 mM
67
glutamin pada medium B5 meningkatkan regenerasi antera padi (Masaaki et al., 2000). Pemberian 1000 mg/l glutamin dan serin pada medium meningkatkan regenerasi tunas Shorgum bicolor (Pola et al., 2007).
Pada kentang, medium
MSU93 yang ditambah dengan 7.3 mg/l glutamin dan 6.6 asparagin meningkatkan regenerasi tunas hingga 27 tunas / 100 antera (Tai dan Xiong, 2003). Pada Linum usitatissimum, 750 mg/l glutamin paling baik untuk pembentukan kalus (Nichterlein, 2003). Pada kultur antera apel, glutamin (1256 mg/l) sesuai untuk pembentukan dan regenerasi kalus (Höffer, 2003). Pemberian glutamin (200 mg/l) sesuai untuk embriogenesis pada kultur antera jeruk (Germana, 2003). Pada penelitian ini, pemberian glutamin dan serin dilakukan untuk meningkatkan pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus. Pemberian gula dalam medium sangat diperlukan dalam kultur in vitro sel, jaringan dan organ tanaman. Pada kenyataannya hanya sejumlah kecil spesies tanaman yang dikultur in vitro mampu menyediakan gula sendiri melalui aktivitas fotosintesis (bersifat autotropik) (George, 1993). Banyak tanaman autotropik yang memiliki kemampuan fotosintesis rendah dalam kultur in vitro karena ketersediaan CO2 yang terbatas. Sebagian besar spesies tanaman yang diperbanyak secara in vitro memerlukan pemberian gula sebagai sumber energi untuk pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Gula atau sakarida diketahui berperan sebagai sumber energi, agen osmotikum, pelindung stres dan molekul sinyal pada tanaman (Lipavska dan Konradova, 2004 ). Ramage dan Williams (2002) menyatakan bahwa pada spesies tanaman yang sulit diperbanyak secara in vitro memerlukan karbohidrat untuk mengoptimalkan kenerja ZPT. Sumber karbohidrat ini memiliki peran yang mendasar pada proliferasi dan pertumbuhan tunas, serta ketahanan hidup eksplan (Priyakumari et al., 2002). Sukrosa merupakan salah satu jenis sumber karbon dan energi yang telah banyak digunakan dalam perbanyakan in vitro untuk berbagai tujuan (Priyakumari et al., 2002; Ramage dan Williams, 2002; Lipavska dan Konradova, 2004). Dua hingga lima persen (2-5%) merupakan konsentrasi gula yang paling lazim digunakan dalam kultur jaringan pada berbagai jenis tanaman (Br idgen, 1994). Pada kultur antera, bahan ini digunakan pada kisaran antara 2%-13% tergantung
68
respon antera yang dikultur (Sopory dan Munshi, 1996; Maluszynski et al., 2003a) baik untuk tujuan induksi pembentukan kalus, embriogenesis maupun regenerasinya. Pada kultur antera lili digunakan 6% sukrosa (Han et al., 1997) sementara Arzeta-Fernandez et al. (1997) menggunakan 1.5% sukrosa pada tanaman yang sama. Pemberian glukosa 3% dan maltosa 3% sesuai untuk kultur antera bunga matahari (Saji dan Sujatha, 1998), tetapi Thangene et al. (1994) menggunakan sukrosa 4%, Coumans dan Zhong (1995) menggunakan 12% sukrosa untuk tanaman yang sama. Penggunaan sukrosa 3% sesuai untuk kultur antera Cyclamen (Ishizaka, 1998). Pada anturium digunakan sukrosa pada konsentrasi 3% (Rachmawati, 2005; Winarto dan Rachmawati, 2007). Glukosa juga merupakan salah satu sumber karbon dan energi untuk menunjang kultur antera. Glukosa ini telah diaplikasikan pada kultur antera kubis (Arora dan Bhojwani, 1988). Glukosa yang dikombinasikan dengan sukrosa sesuai untuk kultur antera asparagus (Wolyn dan Nichols, 2003). Meskipun aplikas inya dalam kultur antera masih terbatas, kombinasi sukrosa dan glukosa pada anturium memberikan pengaruh positif dalam pembentukan kalus (Winarto et al., 2005). Pada studi awal diketahui bahwa kombinasi 20 g/l sukrosa dan 10 g/l glukosa pada medium terseleksi memberikan hasil yang lebih baik dibanding medium tanpa glukosa. Pada kultur antera gandum, selain potensi osmotikum medium, glukosa dilaporkan menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan pembentukan kalus (Last dan Brettell, 1990). Peran sukrosa dan glukosa dalam regenerasi tunas dilaporkan pada almond (Gürel dan Gülsen, 1998), pada gladiol (Kumar et al., 1999), pada peach (Younas et al., 2008) dan Linum usitatissimum (Chen dan Debnenki, 2004). Variasi pertumbuhan kalus yang berbeda juga ditemukan dalam percobaan ini. Terdapat kalus yang tumbuh cepat dan mudah diregenerasi membentuk tunas. Terdapat juga kalus yang tumbuh lambat, sulit diregenerasi untuk membentuk tunas dan umumnya menghasilkan tunas haploid. Kendala lain yang dihadapi pada perbanyakan eksplan haploid adalah pencoklatan dan kontaminasi oleh bakteri. Eksplan haploid yang disubkultur untuk tujuan perbanyakan seringkali eksplan hasil subkultur mengalami pencoklatan yang disertai kematian eksplan atau
69
terkontaminasi oleh bakteri. Eksplan yang berhasil tumbuh, memiliki pertumbuhan yang lambat dan sulit diregenerasi membentuk tunas (Rachmawati, 2005; Winarto et al., 2005; Anonim, 2009). Oleh karena itu regenerasi dan perbanyakan kalus tumbuh lambat dan haploid menjadi langkah penting yang harus diupayakan dalam pengembangan kultur antera anturium dan beberapa media regenerasi diuji untuk tujuan tersebut. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa studi regenerasi kalus memiliki tujuan untuk (1) menguji dan meningkatkan medium terseleksi pada pembentukan kalus untuk pertumbuhan dan regenerasi kalus hasil kultur antera anturium dan (2) meningkatkan kemampuan regenerasi kalus tumbuh lambat dan haploid dalam membentuk
tunas.
Optimasi
medium
terseleksi
dilakukan
dengan
mengkombinasikan (a) perlakuan media dasar terseleksi dan konsentrasi amonium nitrat, (b) kombinasi konsentrasi 2,4-D-TDZ, (c) glutamin –serin, dan (d) sukrosaglukosa. Diduga terdapat satu medium terseleksi yang optimal untuk pertumbuhan dan regenerasi kalus hasil kultur antera anturium dan regenerasi kalus tumbuh lambat dan haploid.
Bahan dan Metode
Kalus, kalus tumbuh lambat dan kalus haploid hasil kultur antera dari penelitian sebelumnya digunakan dalam penelitian ini. Daun muda dan petiol dari sampel tanaman ha ploid no. 1, 16, 50, 166, 231, 306, 323, 330 dan 400. MW-1 dan MWR-3 sebagai medium dasar. Medium ini pada kondisi normal mengandung 3% sukrosa dan dipadatkan dengan 2.0 g/l gelrite, tetapi medium dimodifikasi sesuai tujuan percobaan yang dilakukan. Penyiapan kalus untuk percobaan dilakukan dengan menanam antera pada MWR-3. Botol kultur yang telah ditanami antera selanjutnya diinkubasi ke dalam ruang gelap pada suhu 24±1ºC selama 2 bulan. Setelah itu botol kultur diinkubasi pada kondisi terang dengan lama penyinaran 12 jam pada suhu yang sama di bawah lampu fluoresen dengan intensitas cahaya ± 13 µmol.m-2.s-1 untuk pertumbuhan dan perkembangan kalus. Kalus hasil regenerasi selanjutnya
70
dipotong ± 3 mm panjang, lebar dan tingginya. Potongan ini selanjutnya dikultur pada medium uji. Pada regenerasi kalus tumbuh lambat, kalus dipotong dengan ukuran yang lebih besar (panjang:lebar:tinggi, 0.9 x 0.8 x 0.8 cm) untuk memperkecil pencoklatan. Eksplan tersebut kemudian dikultur pada media regenerasi yang diuji. Eksplan daun muda dipanen dari tanaman donor, disterilisasi di bawah air mengalir selama 1 jam, kemudian digojok dengan detergen 1% selaman 30 menit, 1% benomil dan bactomycin selama 30-45 menit, 30% larutan natrium hipoklorida selama 3-5 menit, dan alkohol 70-80% selama 3 menit. Setelah itu eksplan dibilas dengan air destilasi steril 5-6 kali masing- masing 5 menit. Eksplan kemudian dikeringkan pada erlenmeyer besar dengan posisi terbalik, sedangkan untuk mengeringkan eksplan dari pengaruh air sterilan digunakan tissu kering steril.
Pertumbuhan dan regenerasi kalus hasil kultur antera anturium. Pengaruh media dasar dan konsentrasi amonium nitrat yang berbeda terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus Pada percobaan 11, media dasar yang digunakan dalam percobaan ini ialah: (1) ½ MW-1, (2) ½ MWR-3-3, dan (3) MWR-3-3. Sedangkan konsentrasi amonium nitrat yang diaplikasikan ialah (1) 750 mg/l, (2) 550 mg/l, (3) 413 mg/l, (4) 206 mg/l, dan (5) 103 mg/l.
Pengaruh kombinasi konsentrasi 2,4-D dan TDZ yang berbeda terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus Pada percobaan 12, konsentrasi 2,4-D yang digunakan ialah (1) 0 mg/l, (2) 0,5 mg/l, (3) 1,0 mg/l dan (4) 2,0 mg/l. Sedangkan konsentrasi TDZ yang digunakan dalam percobaan ini ialah (1) 0 mg/l, (2) 0,5 mg/l, (3) 1,0 mg/l dan (4) 2,0 mg/l.
71
Pengaruh kombinasi konsentrasi glutamin dan serin yang berbeda terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus Percobaan 13 mempelajari pengaruh asam amino L- glutamin dan L-serin terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus. Konsentrasi L-glutamin yang digunakan dalam percobaan ini ialah (1) 0 mg/l, (2) 250 mg/l, (3) 500 mg/l, dan (4) 750 mg/l. Sedangkan konsentrasi L-serin yang digunakan ialah (1) 0 mg/l, (2) 250 mg/l, (3) 500 mg/l dan (4) 750 mg/l.
Pengaruh kombinasi konsentrasi sukrosa dan glukosa yang berbeda terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus Percobaan 14 mempelajari pengaruh konsentrasi dan kombinasi antara sukrosa dan glukosa terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus. Konsentrasi sukrosa yang digunakan ialah (1) 20 g/l, (2) 40 g/l, (3) 60 g/l dan (4) 80 g/l. Sementara konsentrasi glukosa yang digunakan ialah (1) 0 g/l, (2) 10 g/l, (3) 30 g/l dan (4) 60 g/l. Pada percobaan 11, 12, 13 dan 14, percobaan faktorial disusun menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 ulangan. Tiap ulangan terdapat 3 botol. Tiap botol terdiri dari 4 eksplan dengan ukuran ± 3 x 3 x 3 mm. Botol kultur yang berisi kalus diinkubasikan pada kondisi terang dengan lama penyinaran 12 jam di bawah lampu fluoresen yang berintensitas 13 mmol.m2 -1
.s untuk pertumbuhan dan regenerasi kalus. Peubah yang diamati pada pertumbuhan dan regenerasi kalus ialah: (1)
Persentase tumbuh kalus (PTK, %), (2) Volume kalus (VK, mm3 ), (3) Skor bakal tunas (SBT) – s/d ++++, dimana – tidak ada bakal tunas yang teramati, + terdapat 1-5 bakal tunas, ++ terdapat 6-10 bakal tunas, +++ terdapat 11-20 bakal tunas, dan ++++ terdapat lebih dari 20 bakal tunas per eksplan yang diamati), dan (4) Jumlah tunas (JT). Pengamatan dilakukan 2.5 – 3.0 bulan setelah kultur awal pada skoring bakal tunas, sedangkan jumlah tunas diamati 4.5 bulan setelah kultur inisiasi. Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA) dengan program SAS Release Window 6.12. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata
72
perlakuan akan digunakani lanjut menggunakan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Pertumbuhan dan regenerasi kalus tumbuh lambat dan haploid
Pertumbuhan kalus, pembentukan bakal tunas dan tunas pada kalus tumbuh lambat Pada percobaan 15, media regenerasi yang digunakan dalam percobaan ini ialah: (1) MRM-1, MWR-3 yang mengandung 1.5 mg/l TDZ, 0.75 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA, dan 20 g/l sukrosa (Kontrol), (2) MRM-2, MWR-3 yang mengandung 1.5 mg/l TDZ, 0.75 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA, dan 60 g/l sukrosa, (3) MRM -3, medium ½ MWR-3
yang ditambah dengan 413 mg/l
NH4 NO3 , 1.5 mg/l TDZ, 0.75 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA, dan 60 g/l sukrosa, (4) MRM-4, MW-1 yang mengandung 0.5 mg/l 2,4-D, 1.0 mg/l TDZ, 0.5 mg/l BAP, 0.02 mg/l NAA, dan 20 g/l sukrosa, (5) MRM-5, MW-1 yang mengandung 0.5 mg/l 2,4-D, 1.0 mg/l TDZ, 5.0 mg/l BAP, 0.02 mg/l NAA, dan 60 g/l sukrosa, dan (6) MRM-6, MW-1 yang mengandung 0.5 mg/l 2,4-D, 1.0 mg/l TDZ, 10.0 mg/l BAP, 0.02 mg/l NAA, dan 20 g/l sukrosa. Kalus tumbuh lambat yang telah dipotong-potong dengan ukuran yang hampir sama digunakan sebagai donor eksplan pada percobaan ini. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat ulangan. Tiap perlakuan terdiri atas 3 botol. Tiap botol terdapat 3-4 kalus yang dikultur. Peubah yang diamati dalam percobaan ini ialah (1) volume kalus (VK, mm3 ), (2) skoring jumlah bakal tunas, (SJBT) – s/d ++++, dimana – tidak ada bakal tunas yang teramati, + terdapat 1-5 bakal tunas, ++ terdapat 6-10 bakal tunas, +++ terdapat 11-20 bakal tunas, dan ++++ terdapat lebih dari 20 bakal tunas per eksplan yang diamati, dan (3) jumlah tunas (JT) dan (4) jumlah akar (JA). Pengamatan dilakukan ± 4.0 bulan setelah kultur inisiasi. Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian dengan program SAS Release Window 6.12. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan akan
73
diujii lanjut menggunakan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Pertumbuhan k alus, pembentukan bakal tunas dan tunas pada eksplan haploid . Pada percobaan 16, media regenerasi yang digunakan dalam percobaan ini ialah: (1) MRM-1, MWR-3 yang mengandung 1.5 mg/l TDZ, 0.75 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA, dan 20 g/l sukrosa (Kontrol), (2) MRM-2, MWR-3 yang mengandung 1.5 mg/l TDZ, 0.75 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA, dan 60 g/l sukrosa, (3) MRM -3, medium ½ MWR-3
yang ditambah dengan 413 mg/l
NH4 NO3 , 1.5 mg/l TDZ, 0.75 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA, dan 60 g/l sukrosa, (4) MRM-4, MW-1 yang mengandung 0.5 mg/l 2,4-D, 1.0 mg/l TDZ, 0.5 mg/l BAP, 0.02 mg/l NAA, dan 20 g/l sukrosa, (5) MRM-5, MW-1 yang mengandung 0.5 mg/l 2,4-D, 1.0 mg/l TDZ, 5.0 mg/l BAP , 0.02 mg/l NAA, dan 60 g/l sukrosa, dan (6) MRM-6, MW-1 yang mengandung 0.5 mg/l 2,4-D, 1.0 mg/l TDZ, 10.0 mg/l BAP, 0.02 mg/l NAA, dan 20 g/l sukrosa. Kalus dari tanaman haploid sampel no 50 yang telah dipotong-potong digunakan sebagai donor eksplan pada percobaan ini. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat ulangan. Tiap perlakuan terdiri dari 2 botol. Tiap botol terdapat 4 kalus yang dikultur. Peubah yang diamati dalam percobaan ini ialah (1) volume kalus (VK, mm3 ), (2) skoring jumlah bakal tunas, (SJBT) – s/d ++++, dimana – tidak ada bakal tunas yang teramati, + terdapat 1-5 bakal tunas, ++ terdapat 6-10 bakal tunas, +++ terdapat 11-20 bakal tunas, dan ++++ terdapat lebih dari 20 bakal tunas per eksplan yang diamati, dan (3) jumlah tunas (JT) dan (4) jumlah akar (JA). Pengamatan dilakukan ± 4.0 bulan setelah kultur inisiasi. Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian dengan program SAS Release Window 6.12. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan akan diujii lanjut menggunakan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
74
Pembentukan kalus dan regenerasi eksplan tanaman haploid.
Pada percobaan 17, eksplan yang digunakan ialah (1) daun dan (2) petiol muda. Tanaman haploid yang digunakan ialah sampel no 1, 16, 166, 231, 306, 323, 330 dan 400. Percobaan faktorial disusun menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 ulangan. Tiap perlakuan terdiri atas 2 botol. Tiap botol terdapat 3 eksplan yang dikultur. Peubah yang diamati dalam percobaan ini ialah (1) volume kalus (VK, 3
mm ), (2) skoring jumlah bakal tunas, (SJBT) – s/d ++++, dimana – tidak ada bakal tunas yang teramati, + terdapat 1-5 bakal tunas, ++ terdapat 6-10 bakal tunas, +++ terdapat 11-20 bakal tunas, dan ++++ terdapat lebih dari 20 bakal tunas per eksplan yang diamati, dan (3) jumlah tunas (JT) dan (4) jumlah akar (JA). Pengamatan dilakukan ± 4.0 bulan setelah kultur inisiasi. Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian dengan program SAS Release Window 6.12. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan akan diujii lanjut menggunakan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Hasil
Pertumbuhan dan regenerasi kalus hasil kultur antera anturium.
Pengaruh media dasar dan konsentrasi amonium nitrat yang berbeda terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus Kalus yang disubkultur ternyata mampu beradaptasi dan tumbuh dengan baik. Kalus yang berwarna kuning pada awal kultur berubah menjadi kehijauan atau kemerahan disertai perubahan bentuk dan ukuran kalus ± 1 bulan setelah kultur inisiasi (Gambar 10B). Kalus terus bertumbuh dan berkembang dan inisiasi bakal tunas terlihat jelas pada 2.5-3.0 bulan setelah kultur awal (Gambar 10C). Kemudian tunas dengan 1 hingga 2 daun dapat diamati pada 4.0-4.5 bulan setelah
75
kultur inisiasi (Gambar 10D). Jumlah tunas yang teregenerasi pada percobaan ini bervariasi antara 1-10 tunas per eksplan, dengan rata-rata tertinggi 5.3 tunas per eksplan ditemukan pada ½ MW-1 dengan 103 mg/l amonium nitrat (Gambar 10D). Perlakuan
media dasar dan konsentrasi amonium nitrat ternyata
memberikan pengaruh yang sangat nyata pada volume kalus (VK) dan jumlah tunas (JT) yang dihasilkan. Selain itu terdapat interaksi antara media dasar dan konsentrasi amonium nitrat yang nyata terhadap volume kalus (VK) dan jumlah tunas (JT) yang dihasilkan (Lampiran 20). Persentase tumbuh kalus sangat tinggi dan tidak berbeda nyata pada semua perlakuan dan kombinasi.
A
B
C
D
Gambar 10. Pengaruh media dasar dan konsentrasi amonium nitrat terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus hasil kultur anturium. A. Kalus pada awal kultur inisiasi. B. Kalus ± 1 bulan setelah kultur inisiasi, C. Kalus dengan bakal tunas 2.5-3.0 bulan setelah kultur inisiasi, D. Kalus dengan tunas yang teregenerasi 4.0-4.5 bulan setelah kultur inisiasi pada ½ MW-1 dengan 103 mg/l amonium nitrat. Bar merah=0.3 cm, bar hijau = 0.55 cm.
76
Setengah MWR-3 merupakan media yang paling baik dalam meningkatkan pertumbuhan dan regenerasi kalus, meskipun tidak berbeda nyata dengan ½ MW1. Media tersebut menstimulasi pertumbuhan kalus hingga 136 mm3 per eksplan yang dikultur dengan 2.6 tunas per eksplan (Tabel 17). Sementara ½ MW meningkatkan pertumbuhan kalus hingga 123 mm3 dengan 2.4 tunas per eksplan. Jika dibandingkan dengan rata-rata volume kalus awal (27 ± 2.1 mm3 per kalus), maka pertumbuhan kalus pada ½ MWR-3 meningkat hingga 400%, sementara pada ½ MW-1 meningkat hingga 356%. Perbedaan konsentrasi amonium nitrat ini memberikan pengaruh tidak simultan pada volume kalus. Pada konsentrasi amonium nitrat normal (750 mg/l), volume kalus meningkat nyata, tetapi penurunan konsentrasi ammonium nitrat hingga 550 mg/l menyebabkan penurunan volume kalus yang signifikan, kemudian meningkat kembali pada konsentrasi ammonium nitrat yang lebih reanda (Tabel 18). Volume kalus tertinggi ditemukan pada perlakuan amonium nitrat 103 mg/l, meskipun tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 750 mg/l. Kondisi yang berbeda ditemukan pada jumlah tunas yang dihasilkan. Penurunan konsentrasi ammonium nitrat meingkatkan jumlah tunas yang dihasilkan. Amonium nitrat 103 mg/l merupakan konsentrasi terbaik. Respon ini diduga bersifat spesifik pada kultur antera anturium.
Tabel 17. Pengaruh media dasar terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus =========================================================== Media dasar PTK (%) VK (mm3 ) JT --------------------------------------------------------------------------------------------------Setengah MW-1 91.7a 123a 2.4a Setengah MWR-3 95.0a 135a 2.6a MWR-3 98.3a 70b 0.2b ---------------------------------- ----------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV,%) 13.32 11.83 12.54 =========================================================== Keterangan: PTK – persentase tumbuh kalus, VK – volume kalus, JT – jumlah rata-rata tunas per eksplan. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taaraf kepercayaa 5%.
77
Tabel 18. Pengaruh konsentrasi amonium nitrat terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus. ===================================================== ====== Konsentrasi PTK (%) VK (mm3 ) JT amonium nitrat (mg/l) --------------------------------------------------------------------------------------------------750 94.5a 123ab 1.3c 550 94.5a 93c 1.9ab 413 94.5a 96c 1.4c 206 97.2a 100bc 1.8b 103 94.5a 135a 2.3a --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi(CV, %) 13.32 11.83 12.54 =========================================================== Keterangan: PTK – persentase tumbuh kalus, VK – volume kalus, JT – jumlah rata-rata tunas per eksplan. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Berdasarkan skor jumlah bakal tunas yang dihasilkan ternyata kombinasi media dasar dan konsentrasi amonium nitrat memberikan hasil yang bervariasi. Pada penelitian ini jumlah bakal tunas yang dihasilkan berkisar antara 6 s/d lebih dari 20 tunas per eksplan. Kombinasi antara ½ MWR-3 dengan konsentrasi amonium nitrat meningkatkan jumlah bakal tunas seiring dengan penurunan konsentrasi amonium nitrat. Kecenderungan yang sama juga terlihat pada kombinasi ½ MW-1 dengan semua konsentrasi amonium nitrat. Sementara tren yang berbeda terlihat pada kombinasi MWR-3 dengan
konsentrasi amonium
nitrat. Penurunan kadungan garam mineral MWR-3 hingga ½ bagian menjadi kombinasi terbaik untuk pembentukan bakal tunas per eksplan lebih dari 20 tunas (Tabel 19). Sedangkan kombinasi yang lain menunjukkan hasil yang cenderung menurun.
78
Tabel 19. Skor jumlah bakal tunas per eksplan pada perlakuan medium dasar dan konsentrasi amonium nitrat =========================================================== Konsentrasi Media dasar amonium -------------------------------------------------------------------------------nitrat (mg/l) ½ MW-1 ½ MWR-3 MWR-3 --------------------------------------------------------------------------------------------------750 ++/+++ +++ +++ 550 ++ +++ +++ 413 ++/+++ +++/++++ +++ 206 +++/++++ +++/++++ ++/+++ 103 +++/++++ ++++ +++/++++ =========================================================== Keterangan: – tidak ada bakal tunas yang teramati, + terdapat 1-5 bakal tunas, ++ terdapat 6-10 bakal tunas, +++ terdapat 11-20 bakal tunas, dan ++++ terdapat lebih dari 20 bakal tunas per eksplan yang diamati. Kombinasi perlakuan ½ MW-1 dengan 103 mg/l merupakan kombinasi terbaik dalam pertumbuhan kalus dan regenerasi tunas (Tabel 20 dan 21). Pada kombinasi ini pertumbuhan kalus dapat mencapai 205 mm3 dengan 5.2 tunas per eksplan, diikuti kombinasi ½ MW-1 dengan 203 mg/l yang meghasilkan kalus hingga 171 mm3 dan 3.7 tunas per eksplan. Selanjutnya kombinasi ½ MWR-3 dengan 750 mg/l memberikan hasil yang terbaik dan berbeda nyata dengan kombinasi yang lain, tetapi pertumbuhan kalus yang baik tidak diikuti dengan kemampuan regenerasi tunas yang baik pula. Pertumbuhan kalus mencapai 185 mm3 dengan 1.8 tunas per eksplan. Sementara kombinasi ½ MWR-3 dengan 550 mg/l
sedik it
menginduksi
pertumbuhan
kalus
hingga 144
meningkatkan regenerasi tunas hingga 4.7 tunas per eksplan.
mm3
tetapi
Sedangkan
kombinasi MWR-3 dengan amonium nitrat pada berbagai konsentrasi memberikan hasil yang tidak signifikan dibanding kombinasi-kombinasi perlakuan sebelumnya.
79
Tabel 20. Pengaruh interaksi antara media dasar dan konsentrasi amonium nitrat terhadap volume kalus (VK, mm3 ). =========================================================== Konsentrasi Media dasar Amonium --------------------------------------------------------------------------------Nitrat (mg/l) ½ MW-1 ½ MWR-3 MWR3 ----------------------------------------------------------------------------------------------------750 119bc 185a 65b 550 56d 144ab 78ab 413 64cd 135b 90ab 206 171ab 115b 27c 103 205a 98b 102a ----------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV,%) 12.79 10.05 11.03 =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taaraf kepercayaa 5%. Tabel 21. Pengaruh interaksi antara media dasar dan konsentrasi amonium nitrat terhadap jumlah tunas (JT). =========================================================== Konsentrasi Media dasar amonium ---------------------------------------------------------------------------------nitrat (mg/l) ½ MW-1 ½ MWR-3 MWR3 ----------------------------------------------------------------------------------------------------750 1.9c 1.8c 0.0a 550 1.1cd 4.7a 0.0a 413 0.3d 3.0b 0.8a 206 3.7b 1.8c 0.0b 103 5.2a 1.7c 0.0b ----------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV,%) 10.81 10.47 23.32 =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taaraf kepercayaa 5%.
Pengaruh 2,4-D dan TDZ terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus.
Perlakuan 2,4-D dan TDZ memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan regenerasi tunas (Lampiran 21). Kedua perlakuan tersebut juga
80
memberikan pengaruh interaksi yang nyata pada semua peubah yang diamati. Perlakuan 2,4-D cenderung menurunkan persentase pertumbuhan kalus (PTK), tetapi meningkatkan pertumbuhan dan regenerasi kalus. Pertumbuhan kalus tertinggi mencapai 175 mm3 per kalus dan tunas terbanyak 2.5 tunas per eksplan ditamukan pada perlakuan 1.0 mg/l 2,4-D-3, diikuti oleh 2.0 mg/l 2,4-D-4 dengan 152 mm3 per kalus dan 1.4 tunas per eksplan (Lampiran 22). Hal ini berarti bahwa 1.0 mg/l 2,4-D ialah konsentrasi yang optimal untuk pertumbuhan dan regenerasi kalus dan aplikasi 2,4-D lebih tinggi tidak disarankan. Perlakuan TDZ pada 0 mg/l meningkatkan persentase tumbuh kalus hingga 81% dengan 133 mm3 per kalus dan 1.6 tunas per eksplan. Hasil tersebut meningkat pada perlakuan 0.5 mg/l TDZ dengan pertumbuhan kalus mencapai 158 mm3 dan jumlah tunas hingga 1.9 tunas per eksplan (Lampiran 23). Perlakuan tersebut juga berbeda nyata dengan perlakuan yang lain. Berdasarkan pengaruh sederhana ini terlihat bahwa 0.5 mg/l TDZ merupakan konsentrasi tertinggi untuk meningkatkan pertumbuhan dan regenerasi kalus. Makin tinggi konsentrasi TDZ justru menurunkan pertumbuhan dan regenerasi kalus. Perlakuan 1.0 mg/l 2,4-D yang dikombinasikan dengan berbagai konsentrasi TDZ ternyata meningkatkan induksi bakal tunas yang lebih baik dibandingkandengan
kombinasi perlakuan yang lain. Bakal tunas terinduksi
berkisar antara 1- 10 bakal tunas (Tabel 22). Kombinasi 2.0 mg/l 2,4-D dengan variasi konsentrasi TDZ juga meningkatkan bakal tunas yang diinduksi. Bakal tunas terlihat jelas 3.5 bulan setelah kultur inisiasi. Bakal tunas ini terus bertumbuh hingga membentuk tunas sempurna dengan 1-2 daun pada 4.5 bulan setelah kultur inisiasi (Gambar 11).
81
A
B
Gambar 11. Bakal tunas dan tunas yang teregenerasi pengaruh perlakuan 2,4-D dan TDZ. A. Bakal tunas yang teregenerasi ± 3 bulan setelah kultur inisiasi. B. Tunas yang terbentuk ± 4 .5 bulan setelah kultur inisiasi. Panah putih = bakal tunas, panah merah = tunas. Tabel 22. Pengaruh kombinasi konsentrasi 2,4-D dan TDZ terhadap skor bakal tunas =========================================================== Konsentrasi TDZ Konsentrasi 2,4-D (mg/l) (mg/l) -----------------------------------------------------------------------0 0.5 1.0 2.0 --------------------------------------------------------------------------------------------------0 + ++ + 0.5 + ++ +/++ 1.0 -/+ + +/++ +/++ 2.0 + + + =========================================================== Keterangan: – tidak ada bakal tunas yang teramati, + terdapat 1-5 bakal tunas, ++ terdapat 6-10 bakal tunas, +++ terdapat 11-20 bakal tunas, dan ++++ terdapat lebih dari 20 bakal tunas per eksplan yang diamati. Nilai tertinggi hasil pengamatan ditemukan pada kombinasi perlakuan yang berbeda. Kombinasi 2.0 mg/l 2,4-D dengan 0.5 mg/l TDZ merupakan kombinasi perlakuan terbaik dengan persentase tumbuh kalus mencapai 94% (Lampiran 24) dan pertumbuhan kalus mencapai 280 mm3 per kalus (Tabel 23). Kombinasi 1.0 mg/l 2,4-D dengan 0.5 mg/l TDZ merupakan kombinasi terbaik untuk regenerasi kalus dengan 5.3 tunas per eksplan (Tabel 24, Gambar 11), diikuti perlakuan tanpa 2,4-D dan TDZ dengan 3.0 tunas per eksplan. Jumlah tunas yang terbentuk dari seluruh perlakuan berkisar antara 1-9 tunas per eksplan.
82
Tabel 23. Pengaruh interaksi kombinasi- konsentrasi 2,4-D dan TDZ terhadap pertumbuhan volume kalus (VK, mm3 ). =========================================================== Konsentrasi TDZ Konsentrasi 2,4-D (mg/l) (mg/l) -----------------------------------------------------------------------0 0.5 1.0 2.0 --------------------------------------------------------------------------------------------------0 124 a 29 b 241 a 148 ab 0.5 89 a 100 a 164 a 280 a 1.0 167 a 26 b 155 a 109 b 2.0 137 a 24 b 142 a 70 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koef. variasi (CV, %) 21.81 19.64 24.34 21.69 =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5% Tabel 24. Pengaruh interaksi kombinasi- konsentrasi 2,4-D dan TDZ terhadap jumlah tunas yang dihasilkan per eksplan (JT). =========================================================== Konsentrasi TDZ Konsentrasi 2,4-D (mg/l) (mg/l) -----------------------------------------------------------------------0 0.5 1.0 2.0 --------------------------------------------------------------------------------------------------0 3.0 a 0.0 2.4 ab 0.9 a 0.5 0.0 b 0.0 5.3 a 2.3 a 1.0 1.0 ab 0.0 1.8 ab 1.0 a 2.0 0.0 b 0.0 0.8 b 1.6 a --------------------------------------------------------------------------------------------------Koef. variasi (CV, %) 21.81 24.34 21.69 =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%
Pengaruh glutamin dan serin terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus Berbeda dengan tahap induksi pembentukan kalus, kombinasi konsentrasi glutamin dan serin ternyata memberikan pengaruh yang sangat nyata pada pertumbuhan dan regenerasi kalus. Kedua perlakuan tersebut juga memberikan pengaruh interaksi yang sangat nyata (Lampiran 25). Glutamin memiliki pengaruh yang lebih baik dibanding perlakuan serin.
83
Penambahan glutamin pada medium terseleksi memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus. Konsentrasi glutamin pada 250 mg/l paling sesuai dan meningkatkan potensi tumbuh antera hingga 38% dengan pertumbuhan kalus mencapai 102 mm3 per kalus dan 1.4 tunas per eksplan (Tabel 25). Pemberian serin justru menekan pertumbuhan kalus. Kalus umumnya menjadi coklat kemudian mati (Gambar 12). Akibatnya potensi tumbuh kalus, pertumbuhan dan regenerasi kalus menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi serin (Tabel 26). Karena itu media uji ya ng tidak ditambah dengan serin justru memberikan hasil yang terbaik dan berbeda nyata dibanding perlakuan yang lain. Tabel 25. Pengaruh glutamin terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus =========================================================== Konsentrasi glutamin (mg/l) PTK (%) VK (mm3 ) JT --------------------------------------------------------------------------------------------------0 24.5 b 30 b 0.0 b 250 38.0 a 102 a 1.4 a 500 2.1 c 25 b 0.0 b 750 15.1 b 26 b 0.3 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 21.27 17.58 13.30 =========================================================== Keterangan: PTK – persentase tumbuh kalus, VK – volume kalus, JT – jumlah tunas yang terbentuk per eksplan. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Tabel 26. Pengaruh serin terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus =========================================================== Konsentrasi serin (mg/l) PTK (%) VK (mm3 ) JT --------------------------------------------------------------------------------------------------0 33.3 a 83 a 1.1 b 250 24.0 ab 27 b 0.2 a 500 16.1 bc 38 b 0.2 b 750 6.2 b 26 b 0.1 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 21.27 17.58 13.30 =========================================================== Keterangan: PTK – persentase tumbuh kalus, VK – volume kalus, JT – jumlah tunas yang terbentuk per eksplan. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
84
A
B
C
D
E
F
Gambar 12. Pencoklatan kalus dalam kultur antera anturium sebagaian disebabkan oleh perlakuan serin. A-C Proses pencoklatan kalus yang sedang berlangsung. D. Kalus yang mati akibat pencoklatan, E-F – Pencoklatan yang disertai difusi fenol ke dalam medium.
Perlakuan glutamin tanpa penambahan serin menunjukkan hasil yang terbaik dibanding perlakuan lain. Hal ini memberi indikasi bahwa MWR-3 yang ditambah 250 mg/l glutamin tanpa pemberian serin merupakan kombinasi perlakuan terbaik untuk pertumbuhan dan rege nerasi kalus (Tabel 27). Kombinasi perlakuan yang lain justru menekan pertumbuhan kalus akibat penambahan serin dan inkubasi terang. Tabel 27. Skor jumlah bakal tunas per eksplan perlakuan glutamin dan serin =========================================================== Konsentrasi serin (mg/l) Konsentrasi glutamin (mg/l) --------------------------------------------------------------0 250 500 750 --------------------------------------------------------------------------------------------------0 -/+ ++ -/+ + 250 + -/+ 500 + -/+ 750 -/+ =========================================================== Keterangan: – tidak ada bakal tunas yang teramati, + terdapat 1-5 bakal tunas, ++ terdapat 6-10 bakal tunas, +++ terdapat 11-20 bakal tunas, dan ++++ terdapat lebih dari 20 bakal tunas per eksplan yang diamati
85
Kombinasi perlakuan glutamin dan serin memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus. Penambahan 250 mg/l glutamin merupakan perlakuan terbaik. Perlakuan tersebut mampu mempertahankan persentase tumbuh kalus (PTK) mencapai 77% dengan pertumbuhan kalus hingga 237 mm3 per kalus dan jumlah tunas mencapai 4.0 tunas per eksplan (Tabel 28, Lampiran 26 dan 27, Gambar 13). Sementara itu kalus yang dikultur pada medium tanpa penambahan glutamin dan serin mampu mempertahankan persentase tumbuh kalus hingga 50% dengan pertumbuhan kalus mencapai 49 mm3 tanpa satupun tunas teregenerasi.
A
C
B
D
Gambar 13. Pertumbuhan kalus dan regenerasinya pada medium terseleksi yang mengandung 250 mg/l glutamin dan tanpa serin. A. 10-15 hari setelah kultur inisiasi, B. ± 2 bulan setelah kultur inisiasi, C. Bakal tunas terbentuk 2.5-3.0 bulan setelah kultur inisiasi. D. Tunas dengan 1-2 daun terbentuk 4.0-4.5 bulan setelah kultur inisiasi.
86
Tabel 28. Pengaruh interaksi glutamin dan serin terhadap jumlah tunas per eksplan (JT). =========================================================== Konsentrasi serin (mg/l) Konsentrasi glutamin (mg/l) --------------------------------------------------------------0 250 500 750 --------------------------------------------------------------------------------------------------0 0.0 4.0 a 0.6 a 0.6 a 250 0.0 0.7 b 0.0 a 0.3 a 500 0.0 0.5 b 0.0 a 0.2 a 750 0.0 0.3 b 0.0 a 0.0 a --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 20.37 16.12 =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Pengaruh sukrosa dan glukosa pertumbuhan dan regenerasi kalus.
Kombinasi konsentrasi sukrosa dan glukosa berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus (Lampiran 28). Kombinasi perlakuan tersebut juga memberikan interaksi yang sangat nyata. Glukosa memberikan pengaruh yang lebih tinggi dibanding pemberian sukrosa. Konsentrasi sukrosa pada 20 g/l merupakan konsentrasi yang sesuai untuk pertumbuhan dan regenerasi kalus. Perlakuan tersebut meningkatkan persentase tumbuh kalus hingga 94% dengan 275 mm3 per kalus, tetapi perlakuan ini tidak mampu menginduksi pembentukan tunas yang lebih baik. Perlakuan sukrosa pada 40 g/l meskipun memiliki persentase tumbuh kalus 85%, 185 mm3 kalus, tetapi mampu meregenerasi tunas hingga 1.4 tunas per eksplan. Pemberian glukosa pada 0 g/l ternyata memberikan hasil tertinggi dengan persentase tumbuh kalus hingga 85%, 292 mm3 per kalus dan 1.7 tunas per eksplan. Perlakuan glukosa 10 g/l merupakan perlakuan terbaik yang kedua dengan persentase tumbuh ka lus 85%, 149 mm3 per kalus dan 0.5 tunas per eksplan. Pemberian sukrosa 60 g/l merupakan konsentrasi yang paling sesuai untuk pembentukan bakal tunas. Perlakuan ini menginduksi bakal tunas antara 6-10 (++)
87
bakal tunas (Tabel 29). Perlakuan sukrosa pada 40 g/l merupakan hasil terbaik yang kedua untuk pembentukan bakal tunas. Berbagai kombinasi perlakuan yang lain terlihat tidak atau hanya menginduksi bakal tunas dalam jumlah yang sangat rendah.
Tabel 29. Skor jumlah bakal tunas per eksplan pada perlakuan sukrosa dan glukosa =========================================================== Sukrosa (g/l) Glukosa (g/l) -----------------------------------------------------------------------0 10 30 60 --------------------------------------------------------------------------------------------------20 + -/+ -/+ 40 +/++ + + -/+ 60 ++ -/+ 80 =========================================================== Keterangan: – tidak ada bakal tunas yang teramati, + terdapat 1-5 bakal tunas, ++ terdapat 6-10 bakal tunas, +++ terdapat 11-20 bakal tunas, dan ++++ terdapat lebih dari 20 bakal tunas per eksplan yang diamati.
Kombinasi perlakuan sukrosa dan glukosa memberikan hasil yang bervariasi. Berdasarkan peubah PTK, terdapat banyak kombinasi perlakuan dengan nilai yang tinggi (100%, Lampiran 29), tetapi nilai ini tidak berkorelasi positif terhadap peubah yang lain. Konsentrasi sukrosa 20 g/l tanpa pemberian glukosa (0 g/l) merupakan kombinasi yang paling sesuai untuk pertumbuhan kalus. Kombinasi tersebut menginduksi pertumbuhan kalus hingga 570 mm3 per kalus (Tabel 30). Berdasarkan jumlah tunas yang teregenerasi, perlakuan sukrosa 60 g/l tanpa glukosa (0 g/l) merupakan kombinasi yang paling baik untuk pembentukan tunas dengan 3.2 tunas per eksplan (Tabel 31). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan sukrosa berpengaruh terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus, sementara pemberian glukosa justru menekan pertumbuhan kalus dan regenerasi tunasnya.
88
Tabel 30. Pengaruh interaksi sukrosa dan glukosa terhadap volume kalus per eksplan (VK, mm3 ) =========================================================== Sukrosa (g/l) Glukosa (g/l) ------------------------------------------------------- ----------------0 10 30 60 --------------------------------------------------------------------------------------------------20 570 a 157 b 294 a 80 a 40 220 b 301 a 196 ab 26 b 60 332 b 94 b 67 b 24 b 80 46 b 44 b 52 b 29 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 22.74 20.12 19.77 11.61 =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%. Tabel 31. Pengaruh interaksi sukrosa dan glukosa terhadap jumlah tunas per eksplan (JT). =========================================================== Sukrosa (g/l) Glukosa (g/l) -----------------------------------------------------------------------0 10 30 60 --------------------------------------------------------------------------------------------------20 1.0 ab 0.5 ab 0.0 b 0.0 40 2.6 a 1.6 a 1.4 a 0.0 60 3.2 a 0.0 b 0.0 b 0.0 80 0.0 b 0.0 b 0.0 b 0.0 --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 25.37 19.28 20.07 =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Pertumbuhan dan regenerasi kalus tumbuh lambat dan haploid
Pertumbuhan kalus, pembentukan bakal tunas dan tunas pada kalus tumbuh lambat dan haploid
Kalus tumbuh lambat memiliki respon regenerasi yang berbeda. Media regenerasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan kalus, induksi
89
bakal tunas dan tunas. Jumlah bakal tunas cukup banyak, tetapi yang tumbuh normal dan menghasilkan daun sempurna berkisar antara 1-2 tunas. Pertumbuhan kalus tertinggi mencapai 421 mm 3 pada MRM-4. Bakal tunas yang terbentuk mencapai 20 bakal tunas per eksplan, tetapi jumlah tunas yang teregenerasi sedikit (1.8 tunas per eksplan). MRM-6 merupakan medium yang terbaik untuk regenerasi tunas. Medium tersebut mampu menstimulasi pembentukan tunas antara 3-8 tunas dengan nilai rata-rata 4.8 tunas per eksplan (Tabel 32).
Tabel 32. Respon pertumbuhan kalus, pembentukan bakal tunas dan tunas kalus tumbuh lambat pada media regenerasi yang berbeda. ========================================================== Medium regenerasi Volume kalus Skor jumlah bakal Jumlah tunas (mm3 ) --------------------------------------------------------------------------------------------------MRM-1 119.9 c +++/++++ 0.3 c MRM-2 234.5 c ++/+++ 0.8 c MRM-3 267.1 bc +++ 2.6 b MRM-4 421.3 a +++/++++ 1.8 bc MRM-5 356.3 ab ++/++++ 1.5 bc MRM-6 400.2 a +++/++++ 4.8 a --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 19.74 18.37 =========================================================== Keterangan: Skoring jumlah bakal tunas, (SJBT) – s/d ++++, dimana – tidak ada bakal tunas yang teramati, + terdapat 1-5 bakal tunas, ++ terdapat 6-10 bakal tunas, +++ terdapat 11-20 bakal tunas, dan ++++ terdapat lebih dari 20 bakal tunas per eksplan yang diamati. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Pertumbuhan kalus terlihat dengan pertambahan panjang, lebar dan tinggi. Pertumbuhan kalus tersebut selanjutnya diikuti dengan regenerasi bakal tunas. Bakal tunas terlihat jelas 1.5 bulan setelah kultur inisiasi. Bakal tunas bertumbuh hingga membentuk tunas dengan 1-3 daun yang membuka sempurna. Jumlah tunas yang teregenerasi pada percobaan ini berkisar 1-10 tunas per eksplan. Jumlah tertinggi (10 tunas per eksplan) ditemukan pada MRM-6.
90
Pertumbuhan kalus yang baik tidak selalu diikuti oleh regenerasi bakal tunas dan tunas yang baik. Pada MRM -1 pertumbuhan kalus mencapai 529 mm3, jumlah bakal tunas berkisar 11-25 bakal tunas, tetapi jumlah tunas ha nya mencapai 21 tunas per eksplan (Tabel 33). Jumlah tunas tertinggi (4.4 tunas per eksplan) ditemukan pada kalus yang dikultur pada MRM-4, diikuti dengan 3.3 tunas per eksplan pada MRM-6.
Tabel 33. Pengaruh media regenerasi terhadap pertumbuhan kalus, pembentukan bakal tunas dan tunas pada kalus haploid ========================================================== Medium regenerasi Volume kalus Skor jumlah bakal Jumlah tunas (mm3) --------------------------------------------------------------------------------------------------MRM-1 529.0 a +++/++++ 2.1 b MRM-2 115.3 c +/++ 0.8 c MRM-3 460.3 ab +/++ 0.4 c MRM-4 443.4 ab +++ 4.4 a MRM-5 455.0 ab +/++ 1.4 bc MRM-6 337.5 b +++ 3.3 a --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 19.59 14.07 =========================================================== Keterangan : Skoring jumlah bakal tunas, (SJBT) – s/d ++++, dimana – tidak ada bakal tunas yang teramati, + terdapat 1-5 bakal tunas, ++ terdapat 6-10 bakal tunas, +++ terdapat 11-20 bakal tunas, dan ++++ terdapat lebih dari 20 bakal tunas per eksplan yang diamati. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5% Hasil percobaan menunjukkan bahwa regenerasi tunas pada kalus yang berbeda memerlukan medium regenerasi yang berbeda. MRM-6 yaitu MW-1 yang mengandung 0.5 mg/l 2,4-D, 1.0 mg/l TDZ, 10.0 mg/l BAP, 0.02 mg/l NAA, dan 20 g/l sukrosa dan MRM-4 yaitu MW-1 yang mengandung 0.5 mg/l 2,4-D, 1.0 mg/l TDZ, 0.5 mg/l BAP, 0.02 mg/l NAA, dan 20 g/l sukrosa sesuai untuk pembentukan tunas (Gambar 14). Media terseleksi inilah yang selanjutnya akan digunakan dalam percobaan-percobaan berikutnya.
91
A
C
E
B
D
F
Gambar 14. Respon pertumbuhan dan regenerasi kalus tumbuh lambat, kalus regenerasi daun dan petiol sampel tanaman haploid pada MRM-4 dan MRM-6. A-B, kalus tumbuh lambat dan hasil regenerasinya, C-D, kalus dari daun sampel tanaman haploid dan hasil regenerasinya, E-F, kalus dari petiol sampel tanaman haploid dan hasil regenerasinya.
Pertumbuhan dan regenerasi eksplan tanaman haploid Jenis eksplan dan variasi tanaman haploid memberikan respon yang berbeda pada MRM-4. Kedua perlakuan tersebut berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas dan jumlah akar yang dihasilkan per eksplan. Kedua perlakuan juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap semua peubah yang diamati. Skor pembentukan tunas berkisar 0-10 tunas, sedangkan jumlah akar antara 1 – 4 akar. Petiol muda ternyata lebih responsif dalam pembentukan tunas dan akar dibanding daun muda. Eksplan tersebut mampu membentuk tunas hingga 1,3 tunas per eksplan dengan 0.5 akar per eksplan (Gambar 15). Tanaman haploid sampel no 400 merupakan tanaman haploid yang memiliki kemampuan regenerasi tunas dan akar yang tertinggi hingga 4.1 tunas per eksplan dan 1.3 akar per eksplan (Gambar 16), diikuti oleh sampel no 16. Sebagian besar tanaman haploid memiliki respon yang rendah dalam pembentukan tunas dan akar.
92
Daun muda dari tanaman haploid sampel no 400 (S-400) merupakan jenis eksplan dan tanaman haploid dengan respon pembentukan tunas tertinggi (6.0 tunas per eksplan) (Tabel 34). Sedangkan petiol muda dari tanaman haploid sampel no 16 (S-16) membentuk tunas hingga 4.0 tunas per eksplan. Jumlah akar yang terbentuk berkisar 1-4 akar per eksplan dengan hasil tertinggi 1.8 akar per eksplan yang ditemukan petiol tanaman haploid sampel no 231. Sedangkan pada eksplan daun ditemukan pada tanaman haploid sampel no 323 (Tabel 35). Pada tanaman haploid yang lain akar teregenerasi dalam jumlah yang terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa regenerasi tunas dan akar pada eksplan tanaman haploid
Jumlah tunas atau akar
berada dalam jumlah yang terbatas dan memiliki pertumbuhan yang lambat.
1,5
a b
Daun
1
Petiol
0,5
b
a
0 JT
JA
Peubah yang diamati Gambar 15. Respon pembentukan tunas dan akar pada eksplan yang berbeda. JT – jumlah tunas, JA – jumlah akar. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada histogram yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%
93
Jumlah tunas atau akar
5
a
JT
4
JA
3
b
2 1
c c
c
c
ab bc
c
ab
c
c c
a c c
0 S-1
S-16 S-166 S-231 S-306 S-323 S-330 S-400 Sampel tanaman haploid
Gambar 16. Respon pembentukan tunas dan akar pada sampel tanaman haploid yang berbeda. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada histogram yang berwarna sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Tabel 34. Pengaruh interaksi jenis eksplan dan sampel tanaman haploid terhadap jumlah tunas yang teregenerasi. =========================================================== Jenis eksplan Jumlah tunas (JT) ------ --------------------------------------------------------------------------S-1 S-16 S-166 S-231 S-306 S-323 S-330 S-400 --------------------------------------------------------------------------------------------------Daun 0.0 a 0.3 b 1,3 a 0.3 a 0.0 b 0.8 a 0.5 a 6.0 a Petiol 0.8 a 4.0 a 0.3 a 0.3 a 1,5 a 0.3 a 0.8 a 2.3 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien 10.93 9.08 11.66 8.76 5.72 12.24 12.46 13.80 variasi (%) =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%
94
Tabel 35. Pengaruh interaksi jenis eksplan dan sampel tanaman haploid terhadap jumlah akar yang teregenerasi. =========================================================== Jenis eksplan Jumlah akar (JA) --------------------------------------------------------------------------------S-1 S-16 S-166 S-231 S-306 S-323 S-330 S-400 ---------------------------------------------------- ----------------------------------------------Daun 0.0 0.0 0.0 b 0.0 b 0.0 1.8 b 0.0 1.0 a Petiol 0.0 0.0 0.8 a 1.8 a 0.0 0.0 a 0.0 1.5 a --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien 6.06 14.72 14.72 9.67 variasi (%) =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis eksplan dan sampel tanaman haploid yang digunakan memberikan respon yang berbeda dalam induksi pembentukan kalus, bakal tunas dan jumlah tunas yang dihasilkan. Respon yang rendah tersebut menunjukkan bahwa kemampuan regenerasi eksplan dan sampel tanaman haploid juga rendah.
Pembahasan
Pertumbuhan dan regenerasi kalus hasil kultur antera anturium
Pengaruh media dasar dan amonium terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus. Penurunan kandungan garam mineral media dasar sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus. Penurunan kandungan garam minral medium dasar ternyata juga dilaporkan oleh Nichterlein (2003) pada kultur antera Linum usitatissimum. Penurunan beberapa komp onen makro medium Nichterlein hingga ½ bagian dan mikro hingga ¼ bagian sesuai untuk kultur antera Linum usitatissimum. Reduksi kandungan garam mineral medium MS hingga ¼ bagian sesuai untuk regenerasi tunas pada kultur in vitro Lilium speciosum (van Aartrijk
95
dan Blom- Barnhoorn, 1980). Pada studi lain, penurunan kandungan bahan medium MS hingga ½ bagian menjadi kunci keberhasilan pada regenerasi dan perbanyakan tunas dengan variasi ZPT yang digunakannya pada Trapa japonica (Hoque dan Arima, 2002), pada Bupleurum koi (Chen et al., 2005), pada Prunus domestica (Nowak et al., 2007) dan pada Viola wittrockiana (Wang dan Bao, 2007) Pada kultur antera anturium, respon pertumbuhan dan regenerasi kalus bersifat spesifik. Regenerasi kalus terjadi karena pengurangan amonium nitrat pada medium seperti yang dilaporkan pada kultur antera Linum usitatissimum (Nichterlein, 2003) atau peningkatan konsentrasinya hingga 100% lebih seperti yang dilaporkan pada kultur antera poplar (Andersen, 2003). Pada kultur antera anturium ½ MW-1 dengan 103 mg/l amonium nitrat dan ½ MWR-3 dengan 550 mg/l amonium nitrat merupakan kombinasi yang sesuai untuk pertumbuhan dan regenerasi kalus dengan jumlah tunas yang tinggi. Kekhususan jenis medium dan konsentrasi amonium nitrat untuk tujuan regenerasi tunas juga ditemukan pada medium WPM dengan 400 mg/l amonium nitrat untuk kultur antera poplar (Andersen, 2003), medium Tsay (1996) dengan 1650 mg/l amonium nitrat untuk kultur antera asparagus (Wolyn dan Nichols, 2003), medium Nichterlein tanpa amonium nitrat untuk kultur antera Linum usitatissimum.
Pengaruh 2,4-D dan TDZ terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus.
Pada pertumbuhan dan regenerasi kalus hingga pembentukan tunas, TDZ dalam konsentrasi yang tinggi tidak diperlukan lagi. Penurunan konsentrasi TDZ dari 2.0 mg/l pada tahap pembentukan kalus menjadi 0.5 mg/l dan peningkatan konsentrasi 2,4-D dari 0.5 mg/l menjadi 1.0 mg/l diketahui sesuai untuk regenerasi tunas. MWR-3 tanpa 2,4-D dan TDZ juga baik untuk regenerasi tunas. Hasil penelitian ini manunjukkan bahwa untuk pertumbuhan dan regenerasi kalus diperlukan kombinasi konsentrasi ZPT yang berbeda. Meski hasil penelitian ini belum maksimal, tetapi penurunan konsentrasi 1-2 ZPT tertentu ataupun tanpa ZPT diperlukan untuk regenerasi tunas. Kecenderungan tersebut ternyata juga ditemukan pada kultur antera lili (Han et al., 1998), pada Cyclamen (Ishizaka,
96
1998), bunga matahari (Saji dan Sujatha, 1998), poplar (Andersen, 2003), apel (Höfer, 2003), jeruk (Germana, 2003). Linum usitatissimum (Nichterlein, 2003), kentang (Tai dan Xiong, 2003) dan asparagus (Wolyn dan Nichols, 2003). Konsentrasi 2 mg/1 picloram dan 2 mg/1 zeatin untuk induksi kalus pada lili, sementara 0.1 atau 0.5 mg/l picloram dan 0.01 mg/l BA untuk regenerasi tunas (Han et al., 1998). Konsentrasi 2.0 mg/l NAA dan 1.0 mg/l BA sesuai untuk pembentukan kalus pada kultur antera bunga matahari, sedangkan 0.5 mg/l BA untuk regenerasi kalus (Saji dan Sujatha, 1998). Medium MS yang mengandung 5 µM BA sesuai untuk medium induksi dan WPM yang ditambah dengan 1.5 µM BA sesuai untuk medium regenerasi pada kultur antera poplar (Andersen, 2003). Pada asparagus, medium Tsay (1996) ditambah 2.0 mg/l NAA dan 1.0 mg/l BA digunakan untuk medium induksi sedangkan 1.0 mg/l NAA dan 0.5 mg/l BA untuk regenerasinya (Wolyn dan Nichols, 2003). Tai dan Xiong (2003) menggunakan medium Uhr85 yang ditambah 0.1 mg/l IAA dan 2.5 mg/l BA sesuai untuk medium induksi, sedangkan medium tanpa ZPT sesuai untuk regenerasi. Beberapa hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk induksi pembentukan dan regenerasi kalus diperlukan medium spesifik. 2,4-D dan TDZ menjadi ZPT penting pada kultur antera antur ium. Pembentukan bakal tunas dan tunas pada kultur in vitro dipengaruhi oleh berbagai faktor (George, 1993; Taji et al., 2001; George et al., 2007; Shen et al., 2008), di antaranya ialah jenis dan intensitas cahaya yang diterima oleh eksplan (Moreira-Dias et al., 2000; Seabrook, 2005; Sunandakumari, et al., 2005). Cahaya merah/merah jauh merupakan jenis cahaya yang berpengaruh terhadap regenerasi dan pembentukan tunas (Moreira da Silva dan Debergh, 1997). Pada inkubasi terang, kalus hasil regenerasi akan berubah warna menjadi hijau / kehijauan / kemerahan /
warna
lain
yang
menjadi
indikasi
potensi
kemampuan
organogenesisnya (Widyanto et al., 2001; Pickens et al., 2005) dan pada kalus hasil kultur antera anturium kalus berubah dari warna putih-kuning menjadi hijau atau kemerahan (Rachmawati, 2005, Gambar 17). Penurunan peran ZPT pada tahap pembentukan tunas ini diduga juga berkaitan dengan masih adanya pengaruh ZPT yang diserap dan masuk ke sel- sel
97
eksplan pada tahap inisiasi. Hal ini umum ditemukan pada tanaman herbaseus (Andersen, 2003; Tai dan Xiong, 2003; Wolyn dan Nichols, 2003). Sementara pada anturium yang memiliki respon tumbuh yang lambat, baik in vivo maupun in vitro (Geier, 1990; Aswath dan Biswas, 1999; Rachmawati, 2005), pemberian ZPT dan inkubasi di bawah cahaya tetap diperlukan untuk proses pembentukan tunas. Perlakuan 1.0 mg/l 2,4-D, 0.5 mg/l TDZ, 0.75 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA menjadi kombinasi konsentrasi ZPT yang sesuai untuk regenerasi tunas.
Gambar 17. Variasi warna kalus organogenik hasil kultur antera anturium kultivar Tropical. Panah merah = warna asli kalus hasil tahap induksi.
98
Pengaruh glutamin dan serin terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus. Pada studi pertumbuhan dan regenerasi kalus, meski persentasenya tidak terlalu tinggi, pencoklatan kalus hasil kultur antera ini diduga berkaitan dengan sensitivitas kalus terhadap inkubasi terang seperti yang dilaporkan oleh Gow et al. (2009) pada Phalaenopsis. Pencoklatan kalus ini menyebabkan terjadinya degenerasi dan kematian eksplan (Pirttila et al., 2008). Warna hitam kecoklatan yang terdifusi ke dalam medium kultur pada kalus hasil kultur antera anturium (Gambar 12.E-F) juga menunjukkan bahwa pencoklatan eksplan juga dipacu oleh adanya p roduksi fenol (Huang et al., 2002; Abdelwahd et al. 2008; Arnaldos et al., 2008) dan adanya keterbatasan jumlah CO2 dalam botol kultur (Vyas dan Purohit, 2003). Kematian kalus hasil kultur antera anturium pada penelitian ini diduga terjadi karena dampak senesensi akibat pemberian serin seperti yang juga dilaporkan oleh Zhu et al. (2004) pada kultur in vitro Spirodela polyrrhiza. Peneliti tersebut menemukan bahwa aplikasi serin menyebabkan terjadinya senesensi eksplan baik sebagian maupun seluruhnya, baik pada inkubasi terang maupun gelap yang berakibat pada kematiannya. Dalam penelitian ini aplikasi serin baik pada konsentrasi 250, 500 maupun 750 mg/l diduga menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi serin andogenus eksplan. Peningkatan konsentrasi serin menyebabkan proses senesensi berlangsung lebih cepat. Disisi lain inkubasi terang dalam jangka waktu yang lama menyebabkan aktivitas enzim serin glioksilat amino transferase, yang berperan mengkonversi L-serin menjadi hidroksipiruvat, menurun secara bertahap (Zhu et al. 2004). Penurunan peran enzim tersebut menyebabkan akumulasi serin terjadi akibatnya senesensi dan kematian eksplan juga berlangsung lebih cepat. Hasil penelitian ini juga memberi bukti pentingnya peran glutamin dalam menstimulasi pertumbuhan dan regenerasi kalus antera anturium pada konsentrasi tertentu. Pemberian glutamin pada konsentrasi 250 mg/l merupakan konsentrasi yang optimum dan sesuai untuk meningkatkan proliferasi kalus, pembentukan tunas (Das et al., 1995; Vengadesan et al., 2002; Pola et al., 2007) dan menekan dampak kematian eksplan karena pencoklatan dan senesensi kalus (Zhu et al.,
99
2004; Gow et al., 2009). Glutamin eksogenus pada konsentras i yang sesuai yang diaplikasikan dalam penelitian ini akan meningkatkan dan menjaga potensi regenerasi kalus (Guevin dan Kirby, 1997) dengan meningkatkan konsentrasi glutamin dalam kalus. Peningkatan konsentrasi glutamin endogenus ini selanjutnya meningkatkan aktivitas metabolisme sel dalam sintesis asam amino dan protein lain (Ogita et al., 2001) yang berdampak pada meningkatnya kemampuan tumbuh dan regenerasi kalus dalam membentuk tunas. Sementara konsentrasi yang lebih tinggi dan kombinasinya dengan ser in justru menurunkan kemampuan tumbuh kalus dan regenerasinya. Informasi mekanisme glutamin dalam mempengaruhi pembentukan tunas secara in vitro masih sangat terbatas. Menurut Coruzzi dan Last (2000) glutamin merupakan salah satu asam amino utama yang terlibat dalam metabolisme tanaman, utamanya menyediakan nitrogen dalam biosintesis asam-asam amino, nukleat dan senyawa N lainnya. Sementara Hamasaki et al. (2005) menduga bahwa asam amino tersebut berperan dalam menstimulasi pembentukan tunas dengan mengaktifkan metabolisme aromatik melalui jalur pentosa fosfat. Aktifnya jalur tersebut akan mengatur biosintesis auksin dan sitokinin, yang kemudian meningkatkan konsentrasi auksin dan sitokinin endogen. Pada kultur in vitro nanas, mereka menemukan bahwa pemberian 8 mM glutamin ini meningkatkan konsentrasi hormon endogen eksplan (khususnya IAA dan 2- iP) 5 hari setelah kultur. Meningkatnya konsentrasi hormon endogen tersebut meningkatkan respon eksplan dalam membentuk tunas (Hamasaki et al., 2005). Dari penelitian ini diketahui bahwa glutamin merupakan salah satu jenis asam amino yang bermanfaat dalam meningkatkan keberhasilan kultur antera anturium. Asam amino ini berpengaruh positif terhadap pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus. Aplikasinya pada konsentrasi yang tepat dapat meningkatkan dan mempertahankan kemampuan dediferensiasi antera, proliferasi dan regenerasi kalus hasil kultur antera anturium.
100
Pengaruh sukrosa dan glukosa terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus.
Sumber karbon dalam konsentrasi yang tinggi umumnya diperlukan pada tahap awal morfogenesis (Aruga dan Nakajima, 1985) terutama untuk menjaga osmolitas medium yang mudah berubah akibat aktivitas enzim (Ball et al., 1992). Burbulis et al. (2005) menggunakan sukrosa hingga 12% untuk mendapatkan respon pembentukan kalus yang tinggi pada kultur antera Linum usitatissimum. Pemberian sukrosa hingga 9% pada medium MS untuk induksi kalus pada kultur antera neem (Chaturvedi et al., 2003). Sedangkan regenerasi kalus membentuk tunas umumnya diperlukan konsentrasi sumber karbon yang lebih rendah seperti yang dilaporkan pada kultur antera Linum usitatissimum (Rutkowska-Krause et al., 2003), Phalaenopsis (Tokuhara dan Mii, 2003), Solanum melongena (Mukherjee et al., 1991), Cydonia oblonga (Baker dan Bhatia, 1993). Pada kultur antera Linum usitatissmum penurunan konsentrasi dari 2.5% menjadi 2.0% meningkatkan efektivitas pembentukan tunas (Rutkowska-Krause et al., 2003). Penurunan konsentrasi sukrosa dari 58.4 mM menjadi 29.2 mM sesuai untuk regenerasi tunas pada Phalaenopsis kultivar Snow Parade (Tokuhara dan Mii, 2003). Konsentrasi sukrosa 22 mM merupakan konsentrasi yang sesuai untuk regenerasi tunas Solanum melongena, sementara konsentrasi yang lebih tinggi atau lebih rendah justru menurunkan efektivitas regenerasi tunas (Mukherjee et al., 1991). Penurunan konsentrasi sukrosa kurang dari 3% pada medium MS sesuai untuk meningkatkan regenerasi tunas pada Cydonia oblonga (Baker dan Bhatia, 1993). Pada kultur antera anturium, regenerasi tunas justru efektif pada konsentrasi sukrosa yang tinggi. Pemberian sukrosa 60 g/l merupakan konsentrasi yang paling sesuai untuk pertumbuhan, regenerasi kalus dan pembentukan tunas pada anturium. Sedangkan kombinasi sukrosa dengan glukosa menyebabkan penurunan kemampuan medium dalam menstimulasi pertumbuhan dan regenerasi kalus. Konsentrasi sukrosa 60 g/l juga dilaporkan menjadi konsentrasi yang sesuai untuk pembentukan dan regenerasi kalus pada kultur in vitro almond (Gürel and Gülsen, 1998) dan Oncidium (Hong et al., 2008), Peningkatan konsentrasi sukrosa
101
dari 20 g/l menjadi 30 g/l menjadi konsentrasi yang optimum untuk regenerasi tunas pada kultur antera asparagus (Wolyn dan Nichols, 2003). Hasil- hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan energi dan stabilisasi osmolitas medium tetap diperlukan pada regenerasi tunas.
Pertumbuhan dan regenerasi kalus tumbuh lambat dan haploid
Medium regenerasi memiliki peran yang penting dalam pertumbuhan kalus, pembe ntukan bakal tunas hingga tunas pada kalus tumbuh lambat hasil kultur antera anturium. Medium ini memberikan pengaruh yang nyata terhadap pembentukan kalus dan regenerasi eksplan daun yang berasal dari tanaman haploid. MRM-6 yang berbasis MW dan mengandung 0.5 mg/l 2,4-D, 1.0 mg/l TDZ, 10.0 mg/l BAP, 0.02 mg/l NAA, dan 20 g/l sukrosa merupakan medium regenerasi yang sesuai untuk kalus tumbuh lambat hasil kultur antera anturium. Sementara MRM-4 yang juga berbasis MW yang mengandung 0.5 mg/l 2,4-D, 1.0 mg/l TDZ, 0.5 mg/l BAP, 0.02 mg/l NAA, dan 20 g/l sukrosa sesuai untuk pertumbuhan kalus, pembentukan bakal tunas dan tunas pada kalus dari tanaman haploid . Hasil ini berbeda dengan yang ditemukan Rachmawati (2005). Pada studinya, MWR yang mengandung 1.5 mg/l TDZ, 0.75 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA, 30 g/l sukrosa merupakan medium yang sesuai untuk perbanyakan tunas kalus tumbuh cepat hasil kultur antera anturium. Medium mendukung pertumbuhan kalus dan bakal tunas yang cepat, tetapi tidak mampu mendukung pembentukan tunas pada kalus tumbuh lambat, yang umumnya menghasilkan tunas haploid (Winarto et al., 2005). Medium tersebut juga tidak mampu mendukung regenerasi tunas pada kalus hasil induksi daun tanaman haploid. Medium MW yang ditambah dengan 0.5 mg/l 2,4-D, meningkatkan konsentrasi TDZ dari 0.5 menjadi 1.0 mg/l, penurunan konsentrasi BAP dari 0.75 menjadi 0.5 mg/l atau peningkatannya mencapai 10.0 mg/l dengan reduksi sukrosa dari 30 menjadi 20 g/l sesuai untuk regenerasi tunas dan akar pada eksplan haploid . Pada kalus tumbuh cepat, MWR yang ditambah dengan 1.5 mg/l TDZ, 0.75 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA, 30 g/l sukrosa merupakan medium yang
102
sesuai untuk regenerasi dan perbanyakan (Rachmawati, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa tiap kalus memerlukan medium spesifiknya masing- masing. Kespesifikan tersebut juga dilaporkan pada kultur antera lili (Han et al., 1997), kultur in vitro Gerbera jamesonii (Aswath dan Choudary, 2002), Glycine max (Radhakrishnan dan Ranjithakumari. 2007), Viola wittrockiana (Wang dan Bao, 2007). Perubahan penggunaan 2 mg/1 picloram dan 2 mg/l zeatin pada medium MS dengan 0,1 or 0.5 mg/l picloram dan 0.01 mg/1 BA merupakan medium regenerasi yang sesuai untuk kultur antera lili (Han et al, 1997). Peningkatan konsentrasi BAP dari 0.4 menjadi 1.0 mg/l penurunan konsentrasi NAA dari 4.0 menjadi 2.0 mg/l dan 3% (w/v) sukrosa pada medium MS ternyata mampu meningkatkan kemampuan organogenesis kalus hingga 83.3% pada Gerbera jamesonii, (Aswath dan Choudhary, 2002). Pengurangan 13.5 mg/l 2,4-D pada medium B5 yang mengandung 13.3 µ M BAP menjadi medium yang optimal untuk regenerasi tunas kedelai (Radhakrishnan dan Ranjithakumari. 2007). Peningkatan kandungan garam mineral dari ½ bagian menjadi 1 bagian penuh, penggantian peran 2,4-D dan BAP dengan 2.9 µmol/l GA3 , 23.6 µmol/ l AgNO3, 0.02% arang aktif dan 4.5 µmol/l TDZ pada medium MS sesuai untuk regenerasi tunas Viola wittrockiana (Wang dan Bao, 2007). Jenis eksplan dan sampel tanaman haploid yang dikultur pada MRM-4 memberikan respon yang berbeda. Meski secara keseluruhan petiol merupakan eksplan yang lebih responsif dibanding daun, namun pada kombinasi tertentu eksplan daun menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding petiol, baik dalam pembentukan tunas maupun akar. Daun muda dari sampel tanaman haploid no 400 (S-400) dan petiol dari sampel tanaman haploid no 16 (S-16) merupakan jenis eksplan dan sampel yang baik dalam pembentukan tunas. Sementara petiol dari sampel tanaman haploid no 231 merupakan jenis eksplan dan sampel yang sesuai untuk pembentukan akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap sampel bahkan tiap eksplan memiliki respon yang berbeda dalam pembentukan tunas maupun akar, seperti yang juga dilaporkan pada terung (S harma dan Rajam, 1996), Oncidium (Chen dan Chang, 2002) dan gerbera (Nhut et al., 2008). Sharma dan
103
Rajam (1996) menemukan hipokotil sesuai untuk pembentukan tunas adventif, dan daun pada pembentukan kalus embriogenik. Chen dan Chang (2002) menemukan daun paling muda sesuai untuk pembentukan embrio. Sementara kuncup bunga merupakan eksplan yang baik untuk pembentukan tunas pada kultur jaringan Gerbera (Nhut et al., 2008). Perbedaan respon jenis eksplan dan genotipe tanaman donor juga dilaporkan pada kultur antera bunga matahari (Thangene et al., 1994), tomat (Shtereva et al., 1998), kentang (Chani et al., 2000), apel (Höfer, 2004), dan anyelir (Fu et al., 2008). Antera yang mikrosporanya berada dalam tahap inti sel tunggal yang dipanen dari genotipe yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap kapasitas embriogenesis eksplan (Thangene et al., 1994). Shtereva et al. (1998) menemukan bahwa ukuran antera dan tahap perkembangan mikrospora di dalamnya berpengaruh terhadap pembentukan dan regenerasi kalus. Genotipe yang berbeda juga menjadi sumber terjadinya variasi (Chani et al., 2000). Antera dan mikrospora memiliki respon yang sama dalam pembentukan embrio, tetapi perbedaan genotipe mempengaruhi embrio yang dihasilkan (Höfer, 2004). Pada anyelir, kultivar Carpet menunjukkan respon tertinggi dalam pembentukan embrio (Fu et al., 2008). Perbedaan respon pembentukan dan regenerasi kalus juga dipengaruhi oleh umur eksplan (Niederwieser dan van Staden, 1990; Summer et al., 1992; Hoque and Mansfield, 2004), posisi dan orientasi eksplan (Sharma. dan Rajam, 1996; Gow et al., 2008). Beberapa sampel yang diuji dalam penelitian ini mempunyai respon yang rendah, bahkan sebagian sangat sulit diinduksi menjadi tunas dan akar. Hasil ini menunjukkan bahwa regenerasi tunas dan akar pada kalus hasil regenerasi tanaman haploid berada dalam jumlah yang terbatas dan umumnya memiliki respon tumbuh yang rendah dan lambat. Hasil ini sekaligus mendukung hasil penelitian sebelumnya, yang menemukan adanya beberapa kalus yang memiliki respon pertumbuhan dan perkembangan yang sangat rendah (Rachmawati, 2005; Winarto et al., 2005). Sebagian besar respon yang rendah ini juga menunjukkan bahwa kemampuan regenerasi eksplan dan sampel tanaman haploid berada pada level yang terbatas (Anonim, 2009).
104
Media regenerasi berpengaruh terhadap respon eksplan yang ditanam. MRM-4 dan MRM-6 yang berbasis MW-1 merupakan medium regenerasi yang sesuai untuk kalus dan/atau eksplan tumbuh lambat dan eksplan haploid. Daun muda dari sampel tanaman haploid nomor 400 merupakan eksplan dan jenis sampel yang paling responsif dala m regenerasi tunas dan akar, meskipun sebagian besar eksplan dan sampel memiliki respon yang rendah.
Simpulan
Dari beberapa studi yang dilakukan di atas dapat diambil simpulan: 1. Setengah kekuatan MW-1 dengan NH4 NO3 205 mg/l meningkatkan pertumbuhan kalus tertinggi (205 mm3 ) dengan jumlah tunas terbanyak, yaitu: 5.2 tunas per eksplan. 2. Kombinasi 1.0 mg/l 2,4-D dengan 0.5 mg/l TDZ pada MWR-3 merupakan kombinasi terbaik untuk regenerasi kalus dan menghasilkan 5.3 tunas per eksplan. 3. Penambahan 250 mg/l glutamin pada MWR-3 meningkatkan pertumbuhan dan regenerasi kalus dengan persentase tumbuh antera hingga 77%, 237 mm3 per kalus dan 4.0 tunas per eksplan. 4. Kombinasi sukrosa 60 g/l dan 0 g/l glukosa pada MWR-3 merupakan kombinasi paling sesuai untuk pertumbuhan dan regenerasi kalus dengan 332 mm3 per kalus dan 3.2 tunas per eksplan. 5. MRM-6 (MW-1 yang mengandung 0.5 mg/l 2,4-D, 1.0 mg/l TDZ, 10.0 mg/l BAP, 0.02 mg/l NAA, dan 20 g/l sukrosa) merupakan medium regenerasi tunas terbaik untuk kalus tumbuh lambat dan tanaman haploid dengan pembentukan tunas yang tertinggi mencapai 4.8 tunas per ekaplan.
105
STUDI PENYIAPAN PLANTLET DAN PENGGANDAAN KROMOSOM
Pendahuluan
Pengakaran eksplan bukan masalah serius dalam penyiapan plantlet anturium yang akan diaklimatisasi. Pengakaran secara in vitro mudah diinduksi dengan cara menanam tunas pada medium kultur dengan sedikit atau tanpa ZPT (Aswath dan Biswas, 1999). Tunas-tunas diploid dan triploid hasil kultur antera anturium mudah diinduksi pengakarannya pada medium MW-1 dengan atau tanpa ZPT. Jumlah akar bervariasi dari 1-7 akar per tunas. Akar yang terbentuk umumnya ialah akar udara, yaitu akar lateral yang tumbuh pada ketiak daun. Akar tumbuh ke arah samping atau atas tanpa menyentuh media sedangkan akar yang tumbuh ke dalam media sangat terbatas. Pengakaran justru menjadi masalah pada tunas-tunas haploid. Hasil percobaan pendahuluan, tunas-tunas tersebut lebih sulit berakar dengan jumlah akar yang terbatas. Pengakaran level in vitro pada kultur antera anthurium memiliki dua manfaat penting, yaitu: (1) menyiapkan plantlet yang sehat untuk tujuan aklimatisasi dan (2) menyiapkan akar yang berkualitas untuk evaluasi sitologi. Aklimatisasi plantlet hasil kultur in vitro anthurium bukan merupakan masalah. Keberhasilan aklimatisasi tersebut berada pada kisaran yang tinggi (50-100%) (Winarto et al., 2005). Sedangkan evalusi ploidi pada level in vitro memiliki tingkat keberhasilan yang rendah (1-15%) sebagai akibat dari kuaitas donor yang tidak optimal. Kalus, daun muda dan akar udara hasil kultur in vitro tidak memberikan hasil pewarnaan kromosom yang baik. Pewarnaan kromosom yang tidak jelas dan mosaik kromosom menjadi hasil akhir evaluasi ploidi seperti yang dilaporkan pada bunga matahari (Cavallini dan Lupi, 2006). Kondisi tersebut menjadi hambatan besar juga dalam evaluasi ploidi pada anturium. Oleh karena itu mempersiapkan donor yang baik untuk pewarnaan kromosom menjadi penting dalam penelitian ini. Pembentukan akar pada level in vitro dipengaruhi oleh genotipe, umur eksplan, medium (jenis media dasar, konsentrasi NH4NO 3, kandungan garam
106
mineral), ZPT, jenis dan konsentrasi agar, serta cahaya (Geier, 1986; Geier, 1990; Chen et al., 1997; Aswath dan Biswas, 1999; Martin et al., 2003; Keatmetha dan Suksa-Ard, 2004). Geier (1986) menggunakan medium dasar Nitsch yang mengandung 720 mg/l NH4 NO3 . Chen et al. (1997) memodifikasi medium MS yang mengandung 2.2 µM BA pada cahaya yang rendah. Martin et al. (2003) menggunakan ½ medium MS yang ditambah 0.54 mM NAA dan 0.93 mM kinetin. Keatmetha dan Suksa-Ard (2004) memanfaatkan ½ medium MS tanpa ZPT yang mengandung 8 g/l arang aktif, 30 g/l sukrosa, 12 g/l agar atau 1.5 g/l phytagel. Media tersebut sesuai untuk induksi akar pada tunas hasil regenerasi jaringan vegetatif, tetapi tidak sesuai digunakan untuk tunas yang berasal dari jaringan generatif. Tunas diploid dan triploid berhasil diinduksi pembentukan akarnya pada medium MW-1 tanpa ZPT, tetapi masih belum berhasil pada tunas haploid. Penggandaan kromosom secara spontan dalam kultur antera merupakan fenomena penting, sering terjadi dan berdampak positif terhadap produksi tanaman haploid ganda. Beberapa peneliti melaporkan kejadian ini de ngan variasi keberhasilan. Kahrizi dan Mohammadi (2009) melaporkan bahwa frekuensi penggandaan kromosom secara spontan pada kultur antera barley mencapai 6576%, pada Brassica rapa ssp. chinensis mencapai lebih dari 70% ( Gu et al., 2003), pada kentang antara 4-67% (Chauvin et al., 2003). Pada kultur antera Anemone coronaria, 11 dari 19 plantlet yang berhasil diregenerasi (58%) merupakan tanaman haploid ganda yang terjadi secara spontan (Laura et al., 2006). Pada tanaman dengan persentase pengggandaan kromosom secara spontan yang tinggi, maka aktivitas penggandaan kromosom umumnya tidak diperlukan lagi. Kenyataan lain menunjukkan bahwa teknologi kultur antera
dan/ atau
mikrospora tidak disertai dengan persentase penggandaan kromosom secara spontan yang tinggi. Pada kubis penggandaan kromosom spontan hanya mencapai 15% (Chen et al., 1994). Ishizaka (1998) mendapatkan 12 tanaman (28%) dari 43 tanaman Cyclamen purpurescens mengganda secara spontan. Sementara pada Allium cepa penggandaan kromosom spontan hanya mencapai 1% saja (Campion et al., 1995). Pada kondisi demikian, maka penggandaan kromosom menjadi faktor
107
penting
penunjang
keberhasilan
produksi
tanaman
haploid
ganda
pada
pengembangan teknologi haploid. Beberapa bahan efektif agen penggandaan kromosom tanaman ialah kolkisin (Currah dan Ockendon. 1987; Chen et al., 1994; Hensen dan Andersen, 1998; Corredor dan Naranjo, 2007), orizalin (Chauvin et al., 2003; Petersen et al., 2003), trifuralin (Rey et al., 2002), amiprophos- methyl (APM) (Ramulu et al., 1991; Wang et al., 2006). Diantara bahan tersebut, kolkisin merupakan bahan antimitosis yang banyak digunakan untuk tujuan penggandaan kromosom. Kolkisin telah digunakan secara ekste nsif sejak tahun 1937 hingga saat ini untuk menghasilkan tanaman poliploid. Diaplikasikan untuk menahan tahap metafase pada pembelahan sel (Ramulu et al., 1991) dan menginduksi terjadinya variasi tanaman (Zaffar et al., 2003). Keberhasilan aplikasi kolkisin untuk penggandaan kromosom telah dilaporkan pada Allium cepa (Campion et al., 1995), jagung (Saisingtong et al., 1996), cocayam (Tambong et al., 1998), Lilium formolongi (Ishimori dan Niimi, 2004), gandum (Navarro-Alvarez et al., 2006), jeruk (Zeng et al., 2006) dan kubis (Klíma et al., 2008). Kolkisin tersebut diaplikasikan dengan berbagai variasi konsentrasi, waktu dan metode aplikasinnya. Tetapi aplikasi kolkisin untuk tujuan penggandaan kromosom pada regenerant hasil kultur antera anturium belum pernah dilaporkan. Penelitian pada tahap penyiapan plantlet dan penggandaan kromosom bertujuan untuk mengetahui (1) respon pembentukan akar atau plantlet berkualitas pada beberapa media pengakaran yang berbeda, dan (3) konsentrasi dan waktu aplikasi kolkisin terhadap keberhasilan penggandaan kromosom. Hipotesis yang diajukan ialah minimal (1) terdapat satu jenis medium pengakaran yang sesuai dan optimal untuk penyiapan donor akar yang baik dalam pewarnaan kromosom dan (2) minimal terdapat satu konsentrasi dan waktu aplikasi kolkisin yang sesuai untuk penggandaan kromosom.
108
Bahan dan metode
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah tunas-tunas hasil kultur antera anturium (baik tunas diploid/triploid maupun tunas haploid) dengan 1-3 daun yang membuka sempurna. Tunas tersebut merupakan tunas-tunas hasil penelitian sebelumnya. Pengakaran tunas hasil kultur antera anturium Pembentukan akar pada tunas-tunas hasil kultur antera anturium
Percobaan 18 mempelajari pengarakan pada tunas dengan 1-3 daun sempurna hasil kultur antera anturium. Konsentrasi arang aktif yang digunakan ialah (1) 0% dan (2) 1%. Media pengakaran yang digunakan ialah: (1) MWR-3 + 1,0 mg/l kinetin + 0,2 mg/l NAA (MP-1), (2) MW-1 + 0,05 mg/l TDZ + 1,0 mg/l BAP + 0,02 mg/l NAA (MP-2), (3) MW-1 + 0,05 mg/l TDZ + 1,5 mg/l BAP + 0,02 mg/l NAA (MP-3), (4) MW-1 + 0,05 mg/l TDZ + 2,5 mg/l BAP + 0,02 mg/l NAA (MP-4), (5) MW-1 + 1,0 mg/l BAP + 0,1 mg/l NAA (MP-5), (6) MW-1 + 2,5 mg/l BAP + 0,1 mg/l NAA (MP-6), (7) MW-1 tanpa hormon (MP-7), (8) MWR-3 tanpa hormon (MP-8). Percobaan faktorial disusun menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 ulangan. Tiap perlakuan terdiri atas 4 botol. Tiap botol berisi 4 tunas yang dikultur. Tunas-tunas yang telah dikultur diinkubasi pada lama penyinaran 12 jam di bawah lampu fluoresen (± 13 mmol.m-2 .S-1 ) pada suhu 24±1Cº hingga akar terbentuk. Peubah yang diamati ialah (1) jumlah akar per tunas (JA), dan (2) persentase akar yang berkualitas (PJAB, %). Akar yang berkualitas dalam percobaan ini dinilai dari panjang daerah aktif tumbuh yang terlihat pada ujung akarnya. Akar dinilai berkualitas jika daerah aktif tumbuhnya lebih dari 1 mm. Pengamatan dilakukan ± 4.0 bulan setelah kultur inisiasi
109
Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA) dengan program SAS Release Window 6.12. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan akan diuji lanjut menggunakan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Pembentukan akar pada tunas haploid hasil kultur antera anturium
Enam media pengakaran dengan satu medium pembanding digunakan dalam percobaan 19. Enam media tersebut ialah (1) MS + 0.2 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA (MPH-1), (2) MS yang mengandung 0.1 mg/l BAP dan 0.01 mg/l NAA (MPH-2), (3) MW-1 yang ditambah dengan 0.5 mg/l IAA dan 5.0 mg/l BAP (MPH-3), (4) Medium MS (1/2 makro) yang mengandung 0.5 mg/l TDZ, 1.0 mg/l BAP dan 0.01 mg/l NAA (MPH-4), (5) Medium MS (1/2 makro) ditambah 0.5 mg/l IAA dan 5.0 mg/l BAP (MPH-5), dan (6) Medium MS (1/2 makro) dengan 1.0 mg/l IAA dan 10 mg/l BAP (MPH-6). Percobaan disusun menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 ulangan. Tiap perlakuan terdiri dari 4 botol. Tiap botol berisi 4 tunas haploid. Tunas-tunas yang telah dikultur diinkubasi pada lama penyinaran 12 jam di bawah lampu fluoresen (± 13 mmol.m-2 .S-1 ) pada suhu 24±1Cº hingga akar terbentuk. Peubah yang diamati ialah (1) jumlah akar per tunas (JA), dan (2) persentase akar yang berkualitas (PJAB, %). Akar yang berkualitas dalam percobaan ini dinilai dari panjang daerah aktif tumbuh yang terlihat pada ujung akarnya. Akar dinilai berkualitas jika daerah aktif tumbuhnya lebih dari 1 mm. Pengamatan dilakukan ± 4.0 bulan setelah kultur inisiasi Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA) dengan program SAS Release Window 6.12. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan akan diuji lanjut menggunakan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
110
Penggandaan kromosom
Pada percobaan 20, plantlet haploid dengan 2-3 daun dan akar yang sehat digunakan sebagai sumber eksplan. Akar plantlet dicuci bersih dari pengaruh agar. Plantlet tersebut kemudian ditanam dalam botol kultur yang berisi arang sekam steril yang telah disiram dengan medium cair MW-1 yang telah ditambah kolkisin sesuai perlakuan. Botol kultur yang berisi plantlet selanjutnya diinkubasi dalam ruang kultur dengan lama penyinaran 12 jam dibawah lampu fluoresen pada suhu 24±1ºC. Konsentrasi kolkisin yang diuji dalam percobaan ini ialah (1) 0.05%, (2) 0.1%, (3) 0.25%, dan (4) 0.5% (Lampiran 43). Lama perendaman kolkisin pada percobaan ini ialah 7 hari. Sedangkan lama perendaman kolkisin yang diuji ialah (1) 0 jam, (2) 24 jam, (3) 3 hari, (4) 5 hari, (5) 7 hari dan (5) 10 hari. Konsentrasi kolkisin yang digunakan ialah 0.05%. Dua percobaan ini tidak digabung mengingat keterbatasan plantlet haploid yang berhasil disiapkan. Pada kedua percobaan tersebut, tiap perlakuan terdapat 25 plantlet haploid yang ditanam. Peubah yang diamati ialah (1) persentase kematian (%), (2) variasi ploidi tanaman, (3) persentase tanaman haploid ganda (PTHG, %) dan (4) persentase keberhasilan penggandaan kromosom (PKK, %). Pengambilan data dilakukan 5 bulan setelah perlakuan. Konfirmasi ploidi dilakukan menggunakan metode pewarnaan aceto-orcein Sharma dan Sharma (1994) yang telah dimodifikasi. Data yang ditampilkan dalam penelitian ini merupakan data total tanaman yang diamati.
Hasil
Pengakaran tunas hasil kultur antera anturium Perlakuan arang aktif dan media pengakaran memberikan pengaruh yang nyata terhadap kualitas akar yang dihasilkan pada tunas-tunas hasil kultur antera. Kedua perlakuan juga memberikan pengaruh interaksi nyata pada semua peubah yang diamati. Jumlah akar yang dihasilkan berkisar 2-6 akar per tunas dengan nilai rata-rata tertinggi 4.5 akar per tunas ditemukan pada MP-7.
111
Penggunaan arang aktif pada
pembentukan
akar
memang
tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah dan kualitas akar yang dihasilkan. Jumlah akar yang dihasilkan ialah 3.3 per tunas pada medium tanpa arang aktif dan 3.5 akar per tunas pada medium yang ditambah 1% arang aktif (Tabel 36). Tetapi persentase jumlah akar berkualitas mencapai 66% dan lebih tinggi dibanding akar yang dihasilkan pada medium tanpa arang aktif yang hanya 41% (Tabel 37). Media pengakaran berpengaruh terhadap jumlah akar yang dihasilkan,
meskipun
tidak
memberikan
pengaruh
yang
nyata
terhadap
kualitasnya. MP-7 merupakan medium terbaik dalam menginduksi jumlah dan kualitas akar tertinggi dengan 4.1 akar per tunas dimana 63% nya merupakan akar
Jumlah akar
yang berkualitas untuk uji kromosom (Gambar 18). 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
a
ab abc bc
bc
bc
abc b
MP-1 MP-2 MP-3 MP-4 MP-5 MP-6 MP-7 MP-8 Media pengakaran Grafik 18. Pengaruh media pengakaran terhadap jumlah akar. Histogram yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah ganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
Kombinasi perlakuan arang aktif dengan media pengakaran ternyata memberikan pengaruh yang nyata terhadap penyiapan akar yang berkualitas. MP-3 merupakan medium pengakaran yang maksimal dalam pembentukan akar, meski tidak berbeda nyata dengan MP-2 (Tabel 35). Penggunaan 1% arang aktif mengubah kemampuan medium dalam menginduksi pembentukan akar dan MP-7
112
merupakan medium terbaik dengan jumlah akar mencapai 4.5 akar per tunas (Tabel 36). Penggunaan 1% arang aktif memberikan pengaruh yang maksimal terhadap persentase akar berkualitas yang dihasilkan oleh tunas-tunas yang dikultur di atasnya. Pada media pengakaran tanpa pemberian arang aktif, persentase akar berkualitas berada pada kisaran angka 30-54% (Tabel 37). Media pengakaran yang ditambah dengan 1% arang aktif persentase akar bekualitasnya mencapai 100%. Hal ini berarti semua akar yang dihasilkan dapat digunakan sebagai donor eksplan yang sesuai untuk pewarnaan kromosom. Persentase akar berkualitas tertinggi ditemukan pada tunas yang dikultur pada MP-7 yang mencapai 83% (Tabel 37).
Tabel 36. Pengaruh interaksi arang aktif dan media pengakaran terhadap jumlah akar. =========================================================== Medium Jumlah akar per tunas Pengakaran --------------------------------------------------------------------------------(MP) Konsentrasi arang aktif (KAR, %) --------------------------------------------------------------------------------KAR-1 (0%) KAR-2 (1%) --------------------------------------------------------------------------------------------------MP-1 3.4 ab 3.0 bc MP-2 4.0 a 2.5 c MP-3 4.1 a 2.3 c MP-4 3.7 ab 4.0 ab MP-5 3.4 ab 3.8 ab MP-6 3.5 ab 3.3 bc MP-7 3.7 ab 4.5 a MP-8 2.5 b 3.0 bc --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 10.98 9.74 =========================================================== Angka rataan yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah ganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
113
Tabel 37. Pengaruh interaksi arang aktif dan media pengakaran terhadap persentase akar berkualitas (PAB, %). =========================================================== Persentase akar berkualitas (PAB, %) --------------------------------------------------------------------------------------------------Medium Konsentrasi arang aktif (KAR, %) Pengakaran (MP) ---------------------------------------------------------------------------KAR-1 (0%) KAR-2 (1%) --------------------------------------------------------------------------------------------------MP-1 45.8 a 54.2 b MP-2 46.3 a 58.4 ab MP-3 30.2 a 66.7 ab MP-4 45.7 a 56.7 ab MP-5 45.5 a 79.2 ab MP-6 29.6 a 75.0 ab MP-7 43.6 a 82.5 a MP-8 54.2 a 58.4 ab -------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 15.67 10.57 =========================================================== Angka rataan yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah ganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
A
B
C
Gambar 19. Jumlah dan kualitas akar yang maksimal pada MP-7 yang mengandung 1% arang aktif. A. Akar yang dominan tumbuh ke bawah menembus medium. B. Akar berkualitas dengan titik aktif tumbuh yang lebih panjang dan berada didasar medium. C. Akar berkualitas yang ujung akarnya aktif tumbuh.
Penggunaan arang aktif pada media pengakaran memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan kualitas akar. Kondisi medium yang gelap akibat pemberian arang aktif menyebabkan akar tumbuh ke arah bawah,
114
menembus medium (Gambar 19A) dan memiliki ujung akar yang aktif tumbuh lebih panjang (Gambar 19B). MP-7 yang megandung 1% arang aktif paling sesuai untuk pembentukan jumlah dan kualitas akar yang terbaik. Pembentukan akar pada tunas haploid berlangsung lebih lambat dibanding tunas lain hasil dari kultur antera anturium. Akar yang dihasilkan pun berada pada jumlah yang lebih terbatas. Pembentukan akar mulai terlihat 2.5 bulan setelah kultur inisiasi. Sementara tunas lain hasil kultur antera anturium mulai 1.5 bulan setelah kultur. Akar tumbuh lambat, dengan panjang akar yang hanya mencapai 0.5-1.0 cm. Jika jumlah akar diploid dan triploid berkisar antara 2-6 akar per tunas dengan 3.9 akar rata-rata per tunas (MPH-3d). Sedangkan pada tunas haploid hanya berkisar antara 1-4 akar dengan 2.5 rata-rata per tunas (MPH-1). Media pengakaran berpangaruh nyata terhadap pembentukan akar pada tunas haploid. MPH-1 merupakan medium yang paling sesuai untuk pembentukan akar. Medium tersebut mampu membentuk akar hingga 2.5 akar per tunas (Gambar 20, Gambar 21B). MPH-3d mampu membentuk akar lebih banyak hingga 3.9 akar per tunas pada tunas diploid dan/atau triploid (Gambar 21A), namun tidak mampu meninduksi pembentukan akar yang maksimal pada tunas haploid (MPH-3h). Media lain memberikan hasil yang lebih rendah, bahkan pada MPH-4 tidak terdapat pembentukan akar . Hasil percobaan kedua juga menunjukkan bahwa perbedaan level ploidi tunas hasil kultur antera anturium memberikan respon pembentukan akar yang berbeda. Medium yang maksimal untuk satu jenis tunas, tidak selalu memberikan hasil yang maksimal juga pada jenis tunas yang lain. Tunas-tunas haploid umumnya memberikan respon pembentukan akar lama, pertumbuhan yang lambat dengan jumlah akar yang terbatas.
Jumlah akar
115
a
4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
b c d
d
d
d
Medium pengakaran haploid (MPH) Gambar 20. Pengaruh media pengakaran terhadap induksi pembentukan akar pada tunas haploid. Histogram yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
A
B
Gambar 21. Induksi pembentukan akar tunas haploid pada MPH-3d dan MPH-1. A. Akar tunas diploid pada MPH-3d. B. Akar tunas haploid pada MPH-1. Penggandaan kromosom
Penggunaan
kolkisin
dalam
menunjang
keberhasilan
pengandaan
kromosom plantlet haploid hasil kultur antera anturium. Sebagian tanaman yang
116
diberi perlakuan mengalami perubahan jumlah kromosomnya. Tanaman berubah dari haploid menjadi haploid ganda/dihaploid dan triploid dengan variasi keberhasilan. Aplikasi kolkisin juga menyebabkan terjadinya kematian plantlet. Kematian tersebut berkisar 8-44% dengan nilai rata-rata mencapai 22%. Plantlet yang gagal tumbuh ditandai dengan munculnya penguningan di tepi daun (Gambar 26A). Daun kemudian menguning, selanjutnya berubah menjadi coklat yang diikuti dengan pembusukan (Gambar 22B) dan akhirya mati (Gambar 22C).
B
A
C
Gambar 22. Pertumbuhan tanaman haploid setelah aklimatisasi. A. Sepuluh hari setelah aklimatisasi, penguningan ditepi daun mulai terlihat. B. Satu bulan setelah aklimatisasi, seluruh daun menguning dan berubah menjadi coklat dan busuk. C. Satu bulan setengah setelah aklimatisasi, seluruh daun telah luruh dan tinggal sisa tangkai dan batang yang terus membusuk dan akhirnya mati.
Variasi konsentrasi kolkisin memberikan pengaruh yang nyata terhadap penggandaan kromosom. Semakin besar konsentrasi kolkisin, semakin besar peluang terjadinya penggandaan kromosom. Pada konsentrasi 0.5% yang diaplikasikan selama 7 hari, seluruh plantlet mengganda kromosomnya (Tabel 38). Tetapi berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, yaitu mendapatkan tanaman haploid ganda maka konsentrasi 0.25% merupakan konsentrasi yang maksimal dalam mendapatkan tanaman haploid ganda. Perlakuan ini mampu menghasilkan tanaman haploid ganda hingga 80% berhasil tetap tumbuh.
atau 16 tanaman dari 20 tanaman yang
Kolkisin konsentrasi tinggi menghasilkan kromosom
tanaman mengganda hingga membentuk tanaman triploid.
117
Tabel 38. Rasio ploidi hasil perlakuan konsentrasi kolkisin yang berbeda pada plantlet haploid. =========================================================== Konsentrasi PPK kolkisin
Jumlah
Jumlah
Persentase
Variasi ploidi tanaman PTHG
tanaman
tanaman kematian ----------------------------- (%) (%) hidup (%) Haploid HD Triploid ------------------------------------------------------------------------------------------------------------0.05% 25 17 32 12 5 0 29.4 29.4 0.1% 25 19 24 8 11 0 57.9 57.9 0.25% 25 20 20 3 16 1 80.0 85.0 0.5% 25 18 28 0 12 6 66.8 100.0 ================================================================
Keterangan: Data yang disajikan ialah total tanaman yang diberi perlakuan dan diamati. HD – haploid ganda, PTHG – persentase tanaman haploid ganda. PPK- persentase penggandaan kromosom. Waktu aplikasi kolkisin juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap keberhasilan penggandaan kromosom. Makin lama waktu aplikasi kolkisin makin tinggi keberhasilan penggandaan kromosom. Meskipun waktu aplikasi maksimal belum ditemukan, namun 10 hari periode aplikasi kolkisin merupakan waktu perlakuan dengan hasil tanaman haploid ganda tertingi. Perlakuan tersebut menghasilkan tanaman haploid ganda hingga 13 tanaman dari 17 tanaman yang berhasil tumbuh (Tabel 39).
Tabel 39. Rasio ploidi hasil perlakuan 0.05% kolkisin pada waktu perendaman yang berbeda ================================================================ Waktu Jumlah Jumlah Persentase Variasi ploidi tanaman PTHG PPK perendaman tanaman tanaman kematian ------------------------------ (%) (%) hidup (%) Haploid HD Triploid -----------------------------------------------------------------------------------------------------------0 jam 25 23 8 23 0 0 0.0 0.0 24 jam 25 14 44 14 0 0 0.0 0.0 3 hari 25 17 32 15 2 0 7.1 7.1 5 hari 25 23 8 19 4 0 17.4 17.4 7 hari 25 19 24 12 7 0 36.8 36.8 10 hari 25 17 43.3 4 13 0 76.5 76.5 ================================================================
Keterangan: Data yang disajikan ialah total tanaman yang diberi perlakuan dan diamati. HD – haloid ganda, PTHG – persentase tanaman haploid ganda. PPK – persentase penggandaan kromosom.
118
Gambar 23. Respon pertumbuhan tanaman akibat perlakuan kolkisin. Panah kuning ialah tanaman yang mengalami penggandaan kromosm. Panah putih ialah tanaman yang tetap haploid, yang sebagian mati. Tanaman yang tetap dalam kondisi haploid umumnya memiliki pertumbuhan yang terhambat, tidak normal dan mudah mati (Gambar 23, panah putih). Sementara tanaman yang mengganda kromosomnya memiliki pertumbuhan yang sehat, vigor dengan ukuran yang lebih besar (Gambar 23, panah kuning). Hasil ini menunjukkan bahwa keterbatasan daya tumbuh dan adaptasi tanaman haploid berubah saat kromosom yang ada didalam selnya mengganda.
Pembahasan Induksi pengakaran tunas -tunas hasil kultur antera anturium
Penambahan arang aktif dalam medium kultur memiliki beberapa manfaat terkait dengan respon pertumbuhan eksplan yang di kultur. Menurut van Winkle dan Pullman (1995) arang aktif hanya memperbaiki kualitas dan kesegaran
119
tanaman, tetapi juga meningkatkan kemampuan hidup dan pertumbuhan tanaman, serta berat basah eksplan (Moraes et al., 2003). Manfaat positif dalam morfogenesis kemungkinan berkaitan erat dengan kemampuan arang aktif dalam menjaga keseimbangan pH medium (Wann et al., 1997; Pan dan Staden, 1999), menyerap senyawa-senyawa penghambat dan menurunkan metabolit yang bersifat racun, seperti fenol yang menjadi penyebab terjadinya pencoklatan eksplan (Thomas, 2008). Meskipun di sisi lain arang aktif juga menyebabkan reduksi penyerapan mikro elemen medium, khususnya ion Cu dan Zn karena diserap oleh bahan ini. Penggunaan arang aktif dalam pembentukan akar pada tunas hasil kultur antera anturium tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah akar yang dihasilkan. Arang aktif tersebut memberikan pengaruh yang nyata terhadap kualitas akar yang dihasilkan, seperti yang juga dilaporkan pada Picea abies (van Winkle dan Pullman, 1995). Penggunaan arang aktif (8 g/l) yang dikombinasikan dengan 30 g/l sukrosa, dan 1.5 g/l phytagel meningkatkan kecepatan pembentukan akar pada anturium hingga 93.3% dengan 3.0 akar per tunas dan 11.7 mm rata-rata panjang akar (Keatmetha dan Suksa-Ard, 2004). Seratus persen (100%) pengakaran Lilium morfolongi berhasil diinduksi pada medium MS yang mengandung 0.5 g/l arang aktif dan 0.25 mg/l NAA (Thao et al., 2006). Pada Pinus pinaster, pemberian arang aktif meningkatkan kapasitas pembentukan akar hingga 78% (Dumas dan Monteuuis, 1995). Pada percobaan ini 1% arang aktif yang ditambahkan pada MP-7 menginduksi pembentukan akar hingga 4.5 akar per tunas dan 83% akarnya sesuai untuk pewarnaan kromosom. Hasil ini memperbaiki hasil penelitian sebelumnya (Rachmawati, 2005), dimana sebagian besar akar memiliki kualitas yang rendah untuk pewarnaan kromosom. Pemberian ZPT sangat berpengaruh terhadap pembentukan akar. ZPT dari kelompok auksin (IAA, NAA, IBA pada konsentrasi yang bervariasi) diketahui memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan akar. Pada anturium, pemberian ZPT untuk pembentukan akar juga dilaporkan oleh Kuehnle et al. (1992) dan Martin et al. (2003) menggunakan medium MS yang mengandung 0.2 mg/l BA dan 2% sukrosa. Hamidah et al. (1997) modifikasi medium MS dengan
120
mena mbah 4.5 µM 2,4-D, dengan/atau tanpa 0.44 µM BA. Puchooa dan Sookun (2003) menggunakan medium Nitsch yang mengandung 1.0 mg/l IBA dan 0.04% arang aktif. Lima et al. (2006) menambahkan 5.71 mM NAA pada medium MS dan menginduksi pembentukan akar hingga 6.5 akar per tunas pada medium cairnya. Pada tunas diploid dan/atau triploid kultur antera anturium, tunas mudah berakar pada MP-7 (MWR-0) tanpa ZPT. Hasil menunjukkan bahwa pemanfaatan ZPT untuk pembentukan akar pada tunas-tunas tersebut tidak mutlak diperlukan. Hasil yang berbeda terlihat pada tunas haploid. Enam media pengakaran diuji, tetapi sebagian besar media tidak sesuai untuk pemb entukan akar. MPH-3 yang sesuai untuk tunas diploid/triploid, ternyata tidak memberikan hasil yang baik pada tunas haploid. Tunas tidak menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Hasil penelitian ini juga makin memberi bukti bahwa eksplan haploid memiliki respon pertumbuhan dan perkembangan yang rendah, baik pada level in vitro maupun ex vitro. Selanjutnya MPH-1 (medium MS yang mengandung 0.2 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA) merupakan medium yang paling sesuai untuk pengakaran in vitro tunas haploid. Ini berarti ZPT dan medium yang berbeda dibutuhkan untuk pengakaran tunas haploid. Hasil ini hampir sama dengan beberapa hasil penelitian induksi pengakaran in vitro lain pada anturium yang dilaporkan oleh Kuehnle et al. (1992), Chen et al. (1997), Hamidah et al. (1997), Martin et al. (2003), dan Lima et al. (2006). Akar yang terinduksi pada dua percobaan umumnya ialah akar lateral yang tumbuh dari ketiak daun. Akar ini memiliki bulu akar yang banyak dengan titik tumbuh ujung akar yang terbatas. Ketika akar ini tumbuh menembus medium, bulu akar menurun jumlahnya, beberapa bagian pucuknya tidak aktif tumbuh lagi pada ukuran tertentu. Menurut Keatmetha dan Suksa-Ard (2004) akar tersebut tidak dapat berfungsi secara maksimal untuk menunjang pertumbuhan tunas. Tetapi pemberian 1% arang aktif terlihat mengubah kondisi dan pertumbuhan akar udara menjadi akar yang sesuai untuk pewarnaan kromosom.
121
Penggandaan kromosom
Kondisi haploid merupakan kondisi yang rentan terhadap berbagai perlakuan eksternal yang diaplikasikan maupun kondisi ex vitro disekitarnya. Tanaman haploid anturium memiliki kemampuan tumbuh dan adaptasi yang rendah. Daun tanaman mudah menguning, kecoklatan, busuk dan akhirnya mati. Selain karena kondisi yang haploid, kematian tanaman haploid antur ium pada percobaan penggandaan kromosom ini diduga dipengaruhi oleh pemberian kolkisin. Kematian dan kerusakan tanaman akibat perlakuan kolkisin juga dilaporkan pada kubis Brussel (Currah dan Ockendon, 1987). Kolkisin bersifat toksik (Petersen et al., 2003), menyebabkan terjadinya penurunan viabilitas, penundaan pembelahan dan pertumbuhan sel-sel tanaman (Zeng et al., 2006). Konsentrasi dan waktu aplikasi kolkisin berpengaruh terhadap keberhasilan penggandaan kromosom.
Setiap tanaman memerlukan konsentrasi dan waktu
aplikasi kolkisin yang berbeda. Konsentrasi kolkisin 0.25% yang diaplikasikan selama 7 hari sesuai untuk mendapatkan tanaman haploid ganda pada persentase yang tinggi mencapai 80%. Sementara konsentrasi kolkisin 0.05% yang diaplikasikan selama 10 hari persentase tanaman haploid ganda mencapai 76.5%. Konsentrasi dan waktu tersebut merupakan konsentrasi dan waktu aplikasi yang sesuai untuk anturium. Persentase keberhasilan, konsentrasi dan waktu aplikasi kolkisin yang berbeda juga dilaporkan pada tanaman lain. Pada Allium cepa 46% keberhasilan penggandaan kromosom ditemukan pada eksplan yang diberi perlakuan dengan 10 mg/l kolkisin selama 3 hari (Campion et al., 1995). Pada kubis keberhasilan penggandaan 80-88% diperoleh dengan 500 mg/l kolkisin yang diaplikasikan selama 15 hari (Zhou et al., 2002), 19-73% keberhasilan dengan 0.2% selama 3 hari pada gandum (Navarro-Alvarez et al., 2006), 29.23% keberhasilan dengan kolkisin 0.1% selama 8 hari pada jeruk (Zeng et al., 2006), 44.4% keberhasilan dengan kolkisin 0.1% selama 36 jam pada Lespedeza formosa (Wei et al., 2007). Variasi ploidi yang dihasilkan dalam kegiatan penggandaan kromosom menjadi indikator keberhasilan aplikasi kolkisin. Aplikasi kolkisin menghasilkan
122
tanaman haploid ganda dan triploid. Haploid dan haploid ganda ditemukan pada Allium cepa (Campion et al., 1995), gandum (Hensen dan Andersen, 2006; Navarro-Alvarez et al., 2006), kubis (Zhao dan Simmonds, 2006; Klima et al., 2008). Diploid dan tetraploid pada jeruk (Zeng et al., 2006) dan lavender (Urwin et al., 2007). Perlakuan kolkisin mempengaruhi pertumbuhan dan perubahan penampilan tanaman. Tanaman menjadi lebih segar, vigor, berdaun lebih besar dan tebal dengan ukuran tanaman yang lebih besar. Perubahan-perubahan morfologi ini, baik yang berdampak positif maupun negatif, ternyata juga dilaporkan pada penelitian lain. Pada Crocus sativus, perlakuan kolkis in menyebabkan daun menjadi lebih tebal, ukuran lebih kecil, jumlah daun berkurang, penundaan masa berbunga, jumlah dan ukuran yang berubah (Zaffar et al., 2003). Pembungkus bakal buah yang lebih tebal, bunga dan biji yang lebih besar ditemukan pada lavender (Urwin et al., 2007). Tanaman yang lebih pendek, batang yang lebih tebal dan daun yang lebih lebar ditemukan pada Lespedeza formosa (Wei et al., 2007). Pertumbuhan yang lebih kompak dan melebar dengan daun yang lebih tebal ditemukan pada Platanus acerifolia (Liu et al., 2007). Pertumbuhan kubis terhambat dan jumlah biji yang tereduksi ditemukan pada tanaman yang diberi perlakuan kolkisin (Chen et al., 1994). Meskipun tidak setiap perubahan morfologi tanaman membawa dampak positif bagi tanaman, tetapi perlakuan kolkisin pada tanaman hasil kultur antera anturium memberikan dampak yang positif. Tanaman yang tumbuh lebih baik umumnya ialah tanaman yang fertile (Hensen dan Andersen, 1998) dan telah menggenda kromosomnya. Perlakuan kolkisin menginduksi terjadinya penggendaan kromosom pada plantlet haploid hasil kultur antera anturium, meskipun hasil yang optimal belum dapat ditunjukkan melalui penelitian ini karena keterbatasan bahan tanaman. Perlakuan kolkisin disamping bersifat racun dan merusak pada beberapa plantlet haploid, namun perlakuan tersebut menghasilkan tanaman yang lebih sehat, vigor dengan ukuran yang lebih besar. Keberhasilan perlakuan terlihat dari jumlah dan pertumbuhan tanaman yang tetap hidup dan variasi ploidi yang ditunjukkan.
123
Simpulan
Secara keseluruhan dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut: 1. MP-7 + 1% arang aktif merupakan medium induksi pembentukan jumlah dan kualitas akar terbaik dengan 4.5 akar per tunas dan 83% nya ialah akar yang sesuai untuk uji kromosom. MPH-1 merupakan medium pengakaran yang sesuai untuk induksi pembentukan akar pada tunas haploid dengan 2.5 akar per tunas. 2. Konsentrasi kolkisin 0.25% dengan 7 hari waktu aplikasi dan 0.05% dengan 10 hari periode aplikasi merupakan perlakuan yang sesuai untuk mendapatkan tanaman haploid ganda dengan persentase yang tinggi 80% dan 76.5%.
124
EVALUASI REGENERAN HASIL K ULTUR ANTERA ANTURIUM
Pendahuluan
Variasi respon pertumbuhan dan regenerasi kalus pada media dasar terseleksi ditemukan dalam kultur antera anturium pada level in vitro. Variasi tersebut terlihat dengan ditemukannya kalus yang tumbuh cepat dan mudah diregenerasi membentuk tunas, terdapat juga kalus tumbuh lambat dan sulit diregenerasi membentuk tunas. Terdapat tunas dengan akar yang banyak, juga tunas dengan sedikit atau tanpa akar. Variasi morfologi dan tipe pertumbuhan tanaman ternyata juga ditemukan pada tanaman yang telah teradaptasi dan tumbuh di lingkungan rumah kaca. Variasi tersebut terlihat dari pola pertumbuhannya; ada tidaknya anakan; bentuk dan ukuran daun; bentuk, ukuran dan warna spatespadiknya. Variasi tersebut baik level in vitro maupun ex vitro mengindikasikan adanya variasi ploidi dan karakter yang berbeda. Oleh karena itu evaluasi sitologi pada level in vitro dan ex vitro regeneran dan evaluai fenotipe dilakukan untuk mengetahui keragaman ploidi pada regeneran hasil kultur antera anturium. Jumlah kromosom dari 95 species yang berbeda pada anturium telah dilaporkan. Itu berarti sekitar 15% dari species yang telah diketahui. Kisaran jumlah kromosom bervariasi dari 2n = 24 hingga 66 dengan 30 merupakan jumlah yang umum ditemukan (Sheffer dan Croat, 1983). Dari hasil penelitian mereka juga diketahui bahwa jumlah kromosom somatik membentuk empat seri poliploid dari 20-40-60, 24-48-84, 28-56 dan 30-60-90- hingga 124. Kromosom tersebut umumnya terdiri dari 4 kromosom metasentrik atau sub-metasentrik besar, 2 kromosom akosentrik besar, 2 kromosom satelite dan 22 kromosom yang lebih kecil (Marutani et al., 1993). Jumlah kromosom somatik Anturium andreanum yang telah dilaporkan ialah 2n = 30 dan 32. Pada studi karyotipe A andreanum cv. Kaumana dan cv. Uniwai memperlihatkan bahwa kromosom kedua kultivar tersebut terdiri ata 4 kromosom metasentrik yang besar, 2 kromosom satelit besar yang sebanding dan 24 kromosom yang lebih kecil (Kaneko dan Kamemoto, 1978). Namun menurut
125
Marutani et al. (1993) A andreanum cv. Uniwai memiliki jumlah kromosom 2n = 30, yang terdiri atas 4 kromosom metasentrik atau sub-metasentrik yang besar, 2 kromosom akosentrik besar yang sebanding, 2 kromosom satelit dan 22 kromosom yang kecil (Gambar 24) dan kromosom akosentrik sebagai pasangan besar kedua yang bersifat spesifik. Sedangkan pada sel induk polen pada tahap prometafase I untuk seluruh takson, kromosom berjumlah 15 pasang (Marutani et al., 1993).
Gambar 24. Susunan kromosom somatik pada A. andreanum cv. Uniwa, 2n = 30. Susunan kromosomnya terdiri dari 4 kromosom metasentrik besar, 2 kromosom akosentrik yang sebanding, 2 kromosom satelit dan 22 kromosom yang berukuran lebih kecil (Marutani et al., 1993).
Analisis sitologi kromosom pada tanaman ini umumnya dilakukan menggunakan teknik penghitungan jumlah kromosom pada ujung
akar
yang
sedang aktif berkembang (Marutani dan Kamemoto, 1983; Marutani et al., 1993). Metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar menurut Marutani et al. (1993), Sastrosumardjo ( 2006), Darnaedi (1991) dan McClintock (1929) merupakan metode baku yang memberikan hasil maksimal dalam studi kromosom. Namun kesesuaiannya untuk regeneran hasil kultur antera anturium belum pernah diteliti. Komparasi beberapa metode baku dan modifikasinya dipelajari untuk mengetahui tingkat kesesuaian dengan donor anturium. Pada skala laboratorium, teknik baku ini juga telah berhasil diaplikasikan untuk mengetahui jumlah ploidi regeneran hasil kultur antera anturium (Rachmawati, 2005). Teknik lain yang juga dapat digunakan pada skala in vitro ialah penghitungan jumlah kromosom pada kalus dan daun muda (Fukui, 1996), tetapi teknik ini belum pernah diaplikasikan pada kalus dan eksplan hasil kultur antera anturium. Karena itu evaluasi beberapa donor untuk pewarnaan kromosom diuji dalam penelitian ini.
126
Metode lain yang diaplikasikan untuk menentukan level ploidi ialah metode secara tak langsung. Metode tersebut diantaranya ialah penghitungan jumlah klorop las dalam sepasang sel pelindung stomata, rasio panjag lebar stomata, daun, panjang bunga, dan panjang petal (Santos and Handro, 1983; Jacobs and Yoder, 1989; Singsit and Ozias-Akins, 1992; Qin and Rotino, 1995; Sari et. al., 1999; Beck et al., 2003). Beberapa metode tak langsung ini ternyata juga memberikan hasil yang valid dalam menentukan level ploidi pada beberapa tanaman, namun belum pernah dilaporkan pada anturium. Studi komparasi beberapa metode estimasi ploidi tak langsung dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasinya dalam penentuan ploidi regeneran hasil kultur antera anturium. Karakterisasi tanaman merupakan salah satu aktivitas penting dalam mempersiapkan tanaman untuk kepentingan koleksi, pelestarian dan pemuliaan (Sabran et al., 2003; Kartikaningrum et al., 2004). Karakterisasi berarti mengamati, mengukur, mendokumentasikan dan mengevaluasi adanya perbedaan dan persamaan ciri organ-organ tanaman untuk memudahkan dalam membedakan antara satu tanaman dengan yang lain (Solvia et al., 2004). Karakterisasi juga berarti mengenal perbedaan morfologi dan kualitas tanaman (Bermawie et al., 2002) dengan panduan yang telah baku dan diakui keberadaannya. Pada anturium, karakterisasi dilakukan menggunakan panduan UPOV yang telah diadaptasikan untuk anturium di Indonesia. Karakterisasi tanaman hasil kultur antera anturium diharapkan dapat menunjukkan keunikan karakter yang dimiliki tanaman tersebut Penelitiaan pada tahap evaluasi regeneran hasil kultur antera anturium bertujuan untuk mengetahui (1) kesesua ian beberapa metode pewarnaan kromosom dan modifikasinya terhadap kualitas hasil pewarnaan kromosom, (2) donor yang sesuai untuk pewarnaan kromosom, (3) tingkat akurasi beberapa metode penentuan ploidi tak langsung dalam penentuan level ploidi anturium, dan (4) keragaman morfologi dan variasi karakter tanaman hasil kultur antera anturium. Dari tujuan 1, 2, dan 3 rasio ploidi regeneran hasil kultur antera anturium in vitro maupun ex vitro dapat diketahui. Hipotesis yang diajukan ialah (1) minimal terdapat satu metode pewarnaan kromosom yang efektif dan berkulitas untuk anturium, (2) minimal satu donor yang sesuai untuk pewarnaan
127
kromosom, (3) terdapat satu metode penentuan level ploidi tak langsung dengan tingkat akurasi yang tinggi, dan (4) tersedia data variasi morfologi dan karakter tanaman hasil kultur antera anturium.
Bahan dan metode
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah kalus, daun muda, dan variasi akar hasil kultur in vitro dan ex vitro. Bahan penunjang yang digunakan ialah larutan yodium 10%, aceto-orcein 2%, 1 N HCl, 45% asam asetat, 0002 M hidroksiquinolin (Lampiran 43).
Pewarnaan kromosom dan evaluasi ploidi eksplan tingkat laboratorium Jenis eksplan dan metode pewarnaan kromosom terhadap kualitas hasil pewarnaan kromosom. Pada percobaan 21, terdapat tiga jenis donor yang diuji dan digunakan yaitu: (1). kalus, (2) daun muda dan (3) ujung akar. Metode pewarnaan kromosom yang digunakan ialah (1) modifikasi metode Fukui (1996) untuk kalus dan daun muda dengan 2% aceto-orcein (Lampiran 35 dan 36), (3) metode pewarnaan kromosom pada ujung akar menurut Darnaedi (1991) (Lampiran 37).
Perbedaan jenis akar hasil pengakaran in vitro terhadap kualitas hasil pewarnaan kromosom. Pada percobaan 22, tiga jenis akar yang berbeda yang digunakan ialah (1) akar udara (akar yang tumbuh pada ruang udara atau di atas media pertumbuhannya), (2) akar yang tumbuh didalam medium tanpa penambahan arang aktif, dan (3) akar yang tumbuh pada medium yang ditambahkan arang aktif (Gambar 25). Metode pewarnaan kromosom menurut Darnaedi (1991) dengan pemanasan ujung akar pada 1N HCl : 45% asam asetat (3:1, v/v) selama 10 menit dan perlakuan aceto-orcein selama 15 menit.
128
Tipe akar 1 (panah merah) Tipe akar 2 (panah hijau)
Tipe akar 3
Gambar 25. Tiga tipe akar yang digunakan evaluasi sitologi
Pada kedua percobaan, tiap perlakuan terdapat 50 sampel yang diuji dan tiap sampel terdapat 1-3 akar yang dianalisis dan diamati. Pangambilan gambar dilakukan
sesuai
kebutuhan.
Penghitungan
jumlah
kromosom
dilakukan
TM
menggunakan Stereo Mikroskop Photophop (Nikon ) pada perbesaran 400 dan 1000x. Hitung jumlah kromosom pada beberapa sel dan dilakukan pengembilan gambar seperlunya. Rasio
ploidi hasil pewarnaan dihitung berdasarkan jumlah
variasi ploidi dibagi jumlah total sampel yang diamati.
Pewarnaan kromosom dan evaluasi ploidi tingkat rumah kaca Percobaan 23 adalah pewarnaan kromosom dan evaluasi ploidi tingkat rumah kaca. Akar yang aktif tumbuh dipanen dan dugunakan sebagai donor eksplan. Akar selanjutnya dicuci bersih dengan air. Tudung akar selanjutnya dibuang menggunakan pisau kultur. Ujung akar selanjutnya dibelah secara memanjang dari ujung menuju ke pangkal sepanjang 0.5 cm. Perlakuan selanjutnya dilakukan mengikuti metode pewarnaan yang telah dioptimasi untuk akar anturium (Modifikasi Darnaedi 1991). Teknik lain yang diaplikasikan dalam pewarnaan kromosom adalah modofikasi Sharma dan Sharma (1994) dengan waktu perendaman ujung akar dalam 1 N HCl selama 120 detik. Ujung akar yang telah dipanen dan dibersihkan dibuang tudung akarnya. Potong ujung akar ± 1.0
129
mm panjangnya. Ujung akar kemudian dimasukkan dalam tabung reaksi yang berisi larutan 1N HCl dan dipanaskan dalam air bersuhu 60ºC selama 120 detik. Ambil ujung akar dan masukkan dalam arutan aseto-orsein 2% selama 1 jam. Setelah pengecatan pindahkan ujung akar diatas kaca obyek, tetesi dengan 1-2 tetes larutan aseto-orsein baru, tutup dengan kaca penutup dan pencet dengan ibu jari hingga terbentuk lapisan tipis satu sel akar. Tutup tepi kaca penutup dengan entelan untuk menjaga stabilitas spesimen hasil pewarnaan. Amati hasil pewarnaan menggunakan mikroskop Labophot II Nikon pada perbesaran 400 dan 1000x. Hitung jumlah kromosom pada beberapa sel dan dilakukan pengembilan gambar seperlunya. Rasio
ploidi hasil pewarnaan dihitung berdasarkan jumlah variasi
ploidi dibagi jumlah total sampel yang diamati. Komparasi variasi metode estimasi ploidi tak langsung
Penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar
Penghitungan jumlah kromosom ujung akar dilakukan menggunakan metode pewarnaan arseto-orcein (Sharma dan Sharma, 1994) yang dimodifikasi perlakuan 1 N HCl dan aseto-orcein-nya. Ujung akar yang aktif tumbuh dipanen pada pagi hari antara jam 08.00 s/d 10.00 WIB. Tudung akar dibuang menggunakan pisau kultur, kemudian dipotong ± 1 mm. Potongan ujung akar ini selanjutnya dimasukkan dalam larutan 1 N HCl dalam penangas air bersuhu 60ºC selama 2 menit. Sampel direndam dalam larutan 2% arseto-orcein selama ± 1.5 jam pada suhu ruangan. Potongan yang telah diwarnai diambil dan diletakkan di atas gelas obyek, tetesi dengan 1-2 tetes larutan arseto-orcein yang baru, tutup dengan kaca penutup dan pencet menggunakan ibu jari hingga sel- sel ujung akar tersebar merata dan tipis. Kaca penutup dikeringkan dengan kerta tisu dan ditutup dengan entalan agar tidak mudah mongering. Preparat kemudian diamati dibawah mikroskop pada perbesaran 400 dan 1000x untuk pengamatan dan pengambilan gambar.
130
Penghitungan jumlah kloroplas pada sepasang sel pelindung stomata, pengukuran rasio panjang-lebar stomata dan penghitungan jumlah stomata per stuan luas (mm 2 ). Penghitungan jumlah kloroplas pada sepasang sel pelindung stomata dilakukan dengan membuat irisan tipis epidermis daun bagian bawah menggunakan pisau kultur atau silet. Letakkan irisan tipis daun diatas kaca obyek yang telah ditetesi dengan 10-15% larutan yodium. Tutup irisan daun + larutan yodium dengan kaca penutup dan biarkan selama 10-15 menit sebelum pengamatan. Pengamatan jumlah kloroplas dilakukan dibawah mikroskop pada perbesaran yang sama. Irisan tipis daun yang diberi perlakuan dengan larutan yodium ini juga digunakan dalam pengukuran, rasio panjang- lebar stomata, dan jumlah stomata per satuan luas (mm2). Pada rasio panjang- lebar stomata dihitung dengan membagi hasil pengukuran panjang dengan lebarnya. Pengukuran stomata dilakukan menggunakan mikrometer okuler yang telah terkalibrasi dengan mikrometer obyektifnya (factor kalibrasi – fk).
Penghitungan jumlah mikrospora dalam kotak antera
Penghitungan jumlah mikrospora dilakukan dengan melakukan isolasi antera dari spadik. Antera selanjutnya diletakkan dalam eppendorf (1.5 ml) yang telah diisi dengan 1-2 tetes air destilasi (3-5 antera), kemudian digerus secara perlahan menggunakan batang plastic hingga seluruh mikrospora keluar dari kotak antera. Mikrospora selanjutnya dipipet dan diletakkan diatas kotak hitung haemasitometer. Tambahkan sedikit larutan arseto-orcein untuk mempermudah penghitungan mikrospora dan tutup dengan kaca penutup. Pengamatan dan penghitungan mikrospora dilakukan di bawah mikroskop pada perbesaran 100 hingga 400x. Jumlah mikrospora yang tersebar dihaemasitometer dihitung pada 5 kotak besar yang dipilih secara acak. Jumlah mikrospora dalam 5 kotak dijumlahkan kemudian dikalikan dengan 2000 untuk mendapatkan kepadatannya. Nilai kepadatan ini merupakan kepadatan untuk 3-5 antera, selanjutnya untuk menentukan jumlah per antera, data jumlah total dibagi dengan jumlah antera yang digerus.
131
Pengukuran rasio panjang-lebar daun
Rasio panjang-lebar dihitung dengan mengukur panjang daun dan lebar daun dan membagi hasil pengukuran panjang dengan lebarnya. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan penggaris pada semua daun dalam tiap sampel tanaman. Seluruh data pengamatan, pengukuran dan perhitungan yang diperoleh dalam studi ini selanjutnya dianalisa regresi dan korelasinya menggunakan SAS Release Window 6.12 untuk mengetahui arah dan korelasinya. Data hasil penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar merupakan data dasar yang digunakan sebagai pembanding bagi data pengamatan hasil metode uji yang lain. Sebaran data, grafik dan persamaan-nya disajikan pada setiap uji korelasi antar 2 metode yang digunakan dalam penelitian ini. Korelasi antara 2 metode uji ploidi dinilai berdasarkan nilai interval koefisiennya sebagai berikut: 0,00 – 0,199 àsangat rendah, 0,20 – 0,399 à rendah, 0,40 – 0,599 sedang, 0,60 – 0,799 à kuat, dan 0,80 – 1,000 à sangat kuat.
Keragaman morfologi tanaman
Semua tanaman yang menunjukkan variasi morfologi yang berbeda (ukuran tanaman; bentuk dan ukuran daun; bentuk warna, ukuran spate dan spadik yang berbeda) dipilih dan digunakan dalam penelitian ini. Tanaman terpilih ini selanjutnya dikarakterisasi berdasarkan UPOV TG/86 revisi tahun 2008 yang telah diadaptasikan untuk tanaman anturium yang ada di beberapa sentra tanaman hias (Cipanas-Cianjur, Cihideung-Lembang, Bandungan-Ambarawa, Tawangmangu dan Selekta Malang) untuk mengetahui variasi morfologi pada beberapa karakter yang dimilikinya. Beberapa karakter spesifik yang menarik dan berbeda didokumentasikan menggunakan kamera Nikon D40X. Data hasil karakterisasi selanjutnya ditabulasikan, beberapa karakter spesifik dimunculkan dan dibandingkan untuk kajian pembahasan lebih lanjut.
132
Hasil
Pewarnaan kromosom dan deteksi ploidi eksplan tingkat laboratorium Hasil pewarnaan kromosom menunjukkan bahwa penggunaan kalus dan daun muda sebagai sumber eksplan, tidak memberikan hasil pewarnaan yang baik. Pada sel-sel kalus tidak ditemukan kromosom yang sedang mengalami mitosis. Sel hasil pewarnaan terlihat adanya titik-titik ungu yang bervariasi jumlahnya (Gambar 24A). Meski kemungkinan titik-titik ungu tersebut ialah kromosom yang memendek ukurannya, tetapi hasil pewarnaan tersebut kurang memberi kepastian. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada eksplan daun
muda. Sel dengan
kromosom yang jelas juga tidak ditemukan (Gambar 26B). Sel dengan kromosom yan agak jelas dengan peluang yang lebih banyak hanya ditemukan pada ujung akar sebagai sumber eksplannya (Gambar 26C).
A
B
C
Gambar 26. Hasil pewarnaan kromosom pada eksplan yang berbeda. A. Kalus, B. Daun muda, C. Ujung akar. Panah hitam = mosaik kromosom Kalus dan daun muda tidak sesuai digunakan sebagai sumber eksplan untuk pewarnaan kromosom. 100% sel tidak menghasilkan pewarnaan kromosom yang baik (Tabel 40). Meski peluang menemukan sel dengan kromosom yang agak jelas hanya mencapai 30% dari total eksplan yang diamati, tetapi hasil ini menunjukkan potensi yang lebih baik dibanding dua eksplan yang lain. Hasil yang belum maksimal mungkin dipengaruhi oleh belum maksimalnya seri perlakuan yang ada dalam metode pewarnaan kromosom. Oleh karena itu perbaikan atau
133
modifikasi metode uji kromosom menggunakan ujung akar perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Selanjutnya dari 15 sampel yang berhasil diamati 5 sampel ialah haploid dan sisanya ialah diploid (Tabel 41). Tabel 40. Pengaruh sumber eksplan yang berbeda terhadap keberhasilan penghitungan jumlah kromosom. ========================================================== Jenis eksplan Kategori hasil pewarnaan kromosom ------------------------------------------------------------------------------Sel tanpa Sel + kromosom Sel + Kromosom Sel + kromosom Kromosom tidak jelas dan agak jelas dan jelas dan mudah sulit dihitung dapat dihitung dihitung --------------------------------------------------------------------------------------------------Kalus 50 (100%) Daun muda 50 (100%) Ujung akar 15 (30%) 20(40%) 15 (30%) ===========================================================
Tabel 41. Variasi level ploidi pada sampel yang dapat dihitung jumlah kromosom. =========================================================== Jenis eksplan Level ploidi -----------------------------------------------------------------------Haploid Diploid Triploid Tetraploid --------------------------------------------------------------------------------------------------Kalus Daun muda Ujung akar 5 10 =========================================================== Tidak semua jenis akar hasil kultur in vitro sesuai sebagai sumber eksplan dalam pewarnaan kromosom. Akar yang ditanam pada medium yang mengandung 1 % arang aktif merupakan akar yang sesuai untuk pewarnaan kromosom. Akar jenis tersebut umumnya lunak, memiliki daerah ujung akar aktif tumbuh yang lebih panjang, berwarna kuning, mudah difiksasi, dimaserasi dan diwarnai dengan aceto-orcein. Persentase keberhasilan pewarnaan kromosom berkisar 12-46% dari total sampel yang digunakan dengan nilai rata-rata mencapai 33.4% (Tabel 42). Hasil terbaik berikutnya ditemukan pada akar udara dengan rata-rata persentase keberhasilan mencapai 2%.
134
Tabel 42. Pengaruh tipe akar terhadap keberhasilan pewarnaan kromosom ========================================================== Tipe akar Kategori hasil pewarnaan kromosom ------------------------------------------------------------------------------Sel tanpa Sel + kromosom Sel + Kromosom Sel + kromosom Kromosom tidak jelas dan agak jelas dan jelas dan mudah sulit dihitung dapat dihitung dihitung --------------------------------------------------------------------------------------------------Akar udara 44.3 (88.7%) 4.0 (8.0%) 1.7 (3.3%) Akar ? arang 50.0 (100 %) aktif Akar + arang 16.7 (33.4%) 16.7 (33.4%) 13.0 (26.0%) 3.7 (7.4%) aktif =========================================================== Akar yang tumbuh dalam medium tanpa 1% arang aktif merupakan jenis eksplan yang tidak sesuai untuk pewarnaan kromosom. Akar jenis tersebut sedikit atau tidak memiliki area yang aktif tumbuh pada bagian ujungnya dan menjadi keras ketika mengalami proses pewarnaan. Akibatnya baik proses fiksasi, maserasi sel hingga pewarnaannya tidak berjalan dengan baik. Jika ada yang dapat terproses dengan baik umumnya menghasilkan sel- sel yang kosong dan kromosom tidak ditemukan. Kondisi inilah yang pada akhirnya menyebabkan proses penghitungan kromosomnya tidak berhasil. Jumlah total sampel yang berhasil dihitung jumlah kromosomnya ialah 53 sampel. Dari jumlah tersebut 18 (33.9%) ialah haploid, 32 (60.4%) diploid dan 3 (5.7%) triploid (Tabel 43). Kisaran jumlah kromosom pada eksplan yang haploid antara 15 - 20 dengan rata-rata 17 ± 2.6 kromosom per sel, pada eksplan diploid antara 28 - 34 dengan 31 ± 2.8 kromosom per sel, sedangkan pada eksplan triploid antara 45 – 53 dengan rata-rata 49 ± 4.2 kromosom per sel. Variasi jumlah kromosom tersebut diduga sebagai akibat aktivitas mitosis yang cepat dan tidak seimbang. Meskipun rasio level ploidi eksplan belum mampu memberikan gambaran yang sesungguhnya terhadap variasi ploidi regeneran yang dihasilkan dari kultur antera anturium, tetapi hasil ini menunjukkan bahwa variasi ploidi ditemukan dalam kultur antera anturium.
135
Tabel 43. Variasi dan rasio level ploidi pada akar udara dan akar yang tumbuh dalam medium dengan arang aktif sebagai sumber eksplan =========================================================== Jenis eksplan Level ploidi -----------------------------------------------------------------------Haploid Diploid Triploid Tetraploid --------------------------------------------------------------------------------------------------Akar udara 1 4 Akar + arang aktif 17 28 3 --------------------------------------------------------------------------------------------------Jumlah total 18 32 3 =========================================================== Pewarnaan kromosom dan evaluasi ploidi tingkat rumah kaca Dari sampel berhasil dihitung jumlah kromosomnya diketahui terdapat adanya variasi ploidi pada tanaman hasil kultur antera anturium. Pada penghitungan jumlah kromosom menggunakan modifikasi Darnaedi (1991) dari 93 sampel yang berhasil dihitung jumlah kromosomnya, 21 sampel (22.5%) adalah haploid, 68 sampel (73%) diploid dan 4 sampel (4.3%) triploid (Tabel 44). Sementara pengitungan jumlah kromosom berdasarkan modifikasi Sharma dan Sharma (1994) dari 88 sampel, 20 (22.7%) adalah haploid, 66 (75.0%) diploid dan 2 (2.3%) triploid.
Tabel 44. Variasi level ploidi pada sampel berhasil dihitung jumlah kromosomnya. =========================================================== Metode Level ploidi -----------------------------------------------------------------------Haploid Diploid Triploid ---------------------------------- ----------------------------------------------------------------Modifikasi Darnaedi (1991) 21 68 4 Modifikasi Sharma dan Sharma (1994) 20 66 2 --------------------------------------------------------------------------------------------------Total 46 111 5 ===========================================================
136
Gambar 27. Hasil pewarnaan kromosom yang potensial digunakan untuk studi kariotipe (Rachmawati, 2005).
Beberapa gambar kromosom hasil pewarnaan menggunakan modifikasi Darnaedi (1991) (Gambar 27) menunjukkan potensi hasil pewarnaan untuk studi kariotipe. Perbaikan metode tersebut pada penelitian ke yang akan datang diharapkan dapat digunakan untuk studi kariotipe kromosom pada anturium. Sedangkan keberhasilan modifikasi metode Sharma dan Sharma (1994) untuk anturium ini dapat menjadi terobosan baru untuk mengembangkan metode pewarnaan kromosom yang lebih sesuai untuk penghitungan jumlah kromosom atau kariotipenya. Aplikasi modifikasi metode tersebut memerlukan waktu yang singkat, proses yang lebih sederhana dan kualitas pewarnaan yang baik (Gambar 28). Cepat karena aplikasinya hanya memerlukan waktu ± 1.5-2.0 jam, sementara metode sebelumnya memerlukan waktu 6-8 jam. Sederhana karena hanya meliputi 4 tahapan, yaitu: (1) pengambilan dan penyiapan sampel, (2) pelunakan menggunakan 1N HCl, (3) pewarnaan aceto-orcein dan (4) squashing, sementara metode sebelumnya melalui 6-8 tahapan. Hasil evaluasi ploidi tingkat laboratorium dan rumah kaca me nunjukkan bahwa variasi pertumbuhan, morfologi dan karakter tanaman hasil kultur antera anturium juga menghasilkan tanaman dengan jenis ploidi yang berbeda. Rasio ploidi regeneran anturium hasil kultur antera anturium berkisar antara 22.5-33.9% adalah haploid, 60.4-75% diploid, dan 2.3-5.7% triploid.
137
Gambar 28. Variasi hasil pewarnaan kromosom menggunakan modifikasi metode Sharma dan Sharma (1994) Komparasi metode estimasi ploidi tak langsung
Metode estimasi level ploidi tak langsung memberikan arah dan korelasi yang berbeda. Hampir semua kombinasi memberikan pengaruh yang nyata (Lampiran 30, 31, 32 dan 33). Dari lima metode tak langsung yang diuji, hanya terdapat 2 metode yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi untuk menentukan level ploidi tanaman hasil kultur antera, yaitu penghitungan jumlah kloroplas pada sepasang sel pelindung stomata dan jumlah mikrospora yang terdapat pada antera. Kepadatan stomata per mm2 epidermis daun dan rasio panjang lebar stomata memiliki korelasi yang sedang, sementara rasio panjang lebar daun memiliki korelasi yang paling rendah. Penghitungan jumlah kloroplas pada sel pelindung stomata merupakan metode penentuan ploidi secara tak langsung yang memiliki tingkat kepercayaan yang paling tinggi dibanding metode yang lain. Koefisien korelasi antara metode ini dengan metode baku (penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar) mencapai 94.5% (R2=0.945). Regresi kedua metode ini bersifat positif (y=0.930x
138
+ 1.884) (Gambar 29), artinya setiap peningkatan nilai x (jumlah kromosom) berpengaruh terhadap meningkatnya nilai y (jumlah kloroplas). Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah kloroplas yang terdapat pada sel pelindung stomata dapat menjadi acuan yang valid dalam menentukan level ploidi tanaman hasil kultur antera anturium secara tidak langsung (Gambar 30). 60 Jumlah kloroplas
50
y = 0.930x + 1.884 r = 0.945
40 30 20 10 0 0
20 40 Jumlah kromosom
60
Gambar 29. Sebaran data, regresi dan korelasi antara metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar dengan jumlah kloroplas pada sel pelindung stomata.
Metode tak langsung lain yang memiliki korelasi yang tinggi ialah penghitungan jumlah mikrospora yang terdapat dalam antera. Korelasi metode ini dengan metode baku mencapai 81.3% (R2=0.813) (Gambar 31), regresinya sangat nyata (Lampiran 31) dan bersifat positif, artinya setiap peningkatan jumlah kromosom meningkatkan jumlah mikrospora. Koefisien korelasi kedua metode masih tergolong sangat kuat. Hal ini menunjukkan bahwa penghitungan jumlah mikrospora pada kotak antera menjadi metode penentuan le vel ploidi tak langsung kedua yang valid diaplikasikan pada anturium.
139
n=x=18
2n=2x=29
2n=3x=48
n=x=17
2n=2x=29
2n=3x=50
Jumlah mikrospora per anther
Gambar 30. Komparasi metode penhitungan jumlah kromosom dan jumlah kloroplas pada variasi ploidi tanaman hasil kultur antera
35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
y = 576.0x - 4597 r = 0.813
0
10
20
30
40
50
60
Jumlah kromosom Gambar 31. Sebaran data, regresi dan korelasi antara metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar dengan jumlah mikrospora per anteranya. Penghitungan kepadatan stomata per mm2 epidermis daun dan rasio panjang lebar stomata meskipun hasil regresi menunjukkan nilai yang nyata (Lampiran 32 dan 33), tetapi memiliki tingkat kepercayaan yang rendah hingga sedang (R2=0.341 untuk kepadatan stomata dan R2=0.435 untuk rasio panjang
140
lebar stomata) (Gambar 32 dan 33). Sedangkan rasio panjang lebar daun merupakan metode tak langsung yang tidak sesuai untuk anturium. Metode ini memberikan regresi yang tidak nyata, bersifat negatif dengan tingkat kepercayaan
Kepadatan stomata per mm 2
yang sangat rendah (Lampiran 34 dan Gambar 34).
14
y = -0.086x + 9.382 r = 0.341
12 10 8 6 4 2 0
0
10
20
30
40
50
60
Jumlah kromosom
Rasio panjang lebar stomata
Gambar 32. Sebaran data, regresi dan korelasi antara metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar dengan kepadatan stomata per mm2 epidermis daun. 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
y = 0.007x + 1.066 r = 0.435
0
10
20
30
40
50
60
Jumlah kromosom Gambar 33. Sebaran data, regresi dan korelasi antara metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar dengan rasio panjang lebar stomata.
Rasio panjang lebar daun
141
2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
y = -0.001x + 1.650 r= 0.023
0
10
20
30
40
50
60
Jumlah kromosom Gambar 34. Sebaran data, regresi dan korelasi antara metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar dengan rasio panjang lebar daun. Keragaman morfologi tanaman hasil kultur antera anturium
Kultur antera Anturium andreanum kultivar Tropical menghasilkan beberapa tanaman dengan variasi morfologi yang berbeda. Perbedaan tersebut terlihat pada bentuk, warna, maupun ukuran dan organ tanaman. Terdapat ukuran tanaman sedang dan kecil. Terdapat posisi spate bunga yang agak dibawah (Sampel 109, 110, 115, 257), sejajar, agak di atas maupun jauh di atas (Sampel 62), tetapi sebagian besar memiliki posisi hampir sejajar atau agak sedikit di atas. Terdapat variasi warna spate yaitu: warna merah darah tua (Sampel 258), oranye (Sampel 324), pink (Sampel 115), merah lokal (Sampel 109, 110, 112, 257), putih pink (Sampel 151) dan put ih kehijauan (Sampel 49). Terdapat beragam warna spadik, diantaranya: putih pink (Sampel 258), hijau kuning putih (Sampel 49, 62, 151, 255), ungu merah (Sampel 110, 112, 115), pink merah (Sampel 109, 257), dan putih hijau (Sampel 16 dan 239). Terdapat ukuran spadik panjang, sedang dan pendek. Data gambar disajikan pada lampiran 39. Frekuensi distribusi persentase warna spate dan jumlah tanaman hasil kultur antera ialah 1.4% (2 tanaman) dengan spate putih, 1.4% (2 tanaman) spate oranye, 2.2% (3 tanaman) spate pink, 3.0% (4 tanaman) spate merah darah tua,
142
5.1% (7 tanaman) spate merah lokal, 21.7% (30 tanaman) spate putih kuning kehijauan dengan spate ovate memanjang dan 58% (80 tanaman) putih kuning pink dengan spate ovate membulat (Gambar 35). Tetapi bila semua spate berbasis warna putih dikelompokkan menjadi satu, frekuansi warna putih mencapai 81.1% (112 tanaman) dari 138 tanaman berbunga yang diamati. Hasil ini menunjukkan bahwa warna merah bukan bersifat dominan terhadap warna yang lain. Sebaliknya warna putih yang mendominasi warna spate tanaman dimungkinkan terjadi jika gen resesif ganda yang epistatik terhadap gen pembawa warna selain putih. Variasi warna spate menunjukkan bahwa kultivar Tropical diduga berasal dari persilangan tetua pembawa warna merah yang tidak dominan dengan tetua pembawa warna
Persentase dan jumlah tanaman
putih yang resesif.
80 70 60
PWS
50
JT
40 30 20 10 0 MDT
ML
P
O PL Warna spate
PKP-B PKK-M
Gambar 35. Distribusi frekuensi warna dan jumlah tanaman hasil kultur antera. PWS – persentase warna spate (%), JT – jumlah tanaman, MDT – merah darah tua, ML – merah local, P-pink, O-oranye, PL – tutih local, PKP-B - putih kuning pink -spate ovate membulat dan PKK-M –putih kuning kehijauan-ovate memanjang. Beberapa warna spate dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan kesamaan karakter atau penampilan yang unik, yaitu: (1) kelompok Tropical, (2) lokal merah dan (2) lokal putih. Kelompok Tropical dengan kesamaan bentuk spate terlihat pada sampel 258; kesamaan posisi relatif lekukan
143
spate terdapat pada sampel 324 (Lampiran 40 dan 41). Kelompok lokal merah dengan kesamaan warna, bentuk spate dan penampilan spadik terlihat pada sampel 112; kesamaan warna spate dan penampilan spadik pada sampel 110 (Lampiran 42 dan 43). Kelompok lokal putih dengan kesamaan penampilan dan warna spate terlihat pada sampel 235 (Lampiran 44). Sampel 16 dan 115 (warna spatenya) berpotensi dikembangkan sebagai tanaman pot (Lampiran 45). Ukuran tanaman, posisi spate dibanding daun, sudut antara spate dengan tangkai bunga, warna, bentuk, ukuran dan jumlah bunga merupakan karakter penting penentu kualitas tanaman. Berdasarkan karakter penting tersebut sampel 258, 324, 239 dan 16 memiliki potensi untuk dikembangkan dalam pemuliaan anturium. Sebagian besar hanya berpotensi memperkaya keragaman genetik anturium. Selanjutnya tanaman haploid hasil kultur antera memiliki potensi untuk pengembangan pemuliaan anturium, meskipun jumlahnya terbatas. Sebagian besar tanaman haploid umumnya mati pada masa aklimatisasi. Tanaman yang tetap hidup umumnya tumbuh kurang baik, tidak berbunga (Gambar 36) dan sedikit yang berbunga. Sampel 239 berspate putih berspadik hijau-putih, sampel 109 berspate merah lokal berspadik merah-pink-kuning, dan semua sampel yang tidak berbunga menjadi sumber daya genetik penting dalam pemuliaan anturium setelah penggandaan kromosomnya.
Gambar 36. Tanaman haploid yang tidak berbunga
144
Pembahasan
Evaluasi ploidi regeneran hasil kultur antera anthurium
Keberhasilan aplikasi metode pewarnaan kromosom menggunakan acetoorcein dipangaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: pemilihan eksplan/donor uji kromosom,
pra-perlakuan,
fiksasi,
maserasi,
pewarnaan
dan
proses
penyelesaiannya (Taniguchi, 1996; Sharma dan Sharma, 1994; 1999). Kesesuaian setiap faktor dalam proses pewarnaan akan menghasilkan gambar kromosom yang jelas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tiga eksplan yang digunakan sebagai donor dalam pewarnaan kromosom memberikan hasil yang berbeda. Ujung akar merupakan eksplan yang paling potensial untuk pewarnaan kromosom di tingkat laboratorium. Eksplan kalus tidak memberikan hasil pewarnaan yang baik. Pada sel kalus ditemukan banyak titik-titik ungu gelap yang mengelompok atau tersebar dengan jumlah yang bervariasi. Kondisi ini menunjukkan adanya penyimpangan. Hasil penelitian Cavallini dan Lupi (2006) titik-titik ungu gelap tersebut disebut dengan mozaik kromosom (aneusomary). Variasi tersebut utamanya disebabkan oleh keberadaan eksplan yang mixoploid (Fras et al., 2007). Jumlah kromosom yang bervariasi dari satu sel ke sel yang lain sebagai akibat perlakuan ZPT (Mehra dan Anand, 2006) khususnya 2,4-D pada konsentrasi yang tinggi (Dolezel dan Novak, 1984; Dolezel et al., 1987; Jin et al., 2008), periode subkultur dan inkubasi kalus (Bouman dan De Klerk, 2001). Sedangkan faktor lain ialah endoreduplikasi, endomitosis, susunan mikrotubul yang abnormal dan kerusakan atau metilasi DNA (Fras et al., 2007; Pietsch dan Anderson, 2007), yang pada gilirannya menyebabkan terjadinya poliploidisasi regeneran (Reuther dan Becker, 1985; Fras dan Maluszynska, 2004). Mosaik kromosom tersebut ternyata juga ditemukan pada eksplan yang berasal dari daun, meski tidak sebanyak pada eksplan kalus. Variasi somaklonal hasil regenerasi kalus berkaitan erat dengan aktivitas mitosisnya. Hasil penelitian Cellárová et al. (2004) menunjukkan bahwa profase merupakan aktivitas mitosis utama pada kultur kalus, metafase dan telofase berada
145
pada frekuensi yang rendah, sedangkan anaphase sangat jarang terjadi. Akibat pertumbuhan sel-sel kalus yang cepat menyebabkan sel berada dalam ketidakseimbangan aktivitas mitosis Ketidakseimbangan tersebut pada gilirannya menyebabkan terjadinya variasi jenis dan respon organogenesis kalus (Boumann dan De Klerk, 2001) maupun ploidinya. Pada kultur antera anturium ketidakseimbangan mitosis menyebabkan terjadinya variasi morfologi dan respon pertumbuhan eksplan maupun ploidinya. Bahkan variasi tersebut juga ditemukan pada jumlah kromosom regeneran yang bervariasi dala m satu jenis ploidi. Keadaan tersebut ternyata juga ditemukan pada kapas (Jin et al., 2008). Akar yang ditumbuhkan pada medium yang mengandung 1% arang aktif merupakan jenis akar yang paling sesuai sebagai donor pewarnaan kromosom pada level in vitro. Berbeda dengan akar yang digunakan pada percobaan sebelumya, akar tersebut memberikan hasil pewarnaan kromosom yang paling baik dibanding dua akar yang lain yang digunakan dalam percobaan ini. Hasil penelitian ini memperkuat hasil studi sebelumnya yang menyatakan bahwa akar yang ditumbuhkan dalam medium yang mengandung arang aktif ini memiliki kualitas yang lebih baik seperti yang juga dilaporkan pada Dendrobium (Martin et al., 2005), lili (Thâo et al., 2006), dan anggrek terrestrial (Temjensangba, 2006). Variasi jumlah kromosom ternyata juga menunjukkan adanya variasi level ploidi. Hasil evaluasi in vitro dan ex vitro menunjukkan bahwa rasio ploidi regeneran hasil kultur antera anturium berkisar 22.5-33.9% adalah haploid, 60.475% diploid, dan 2.3-5.7% triploid. Hasil ini menunjukkan bahwa variasi ploidi regeneran menjadi ciri umum pengembangan teknologi haploid melalui kultur antera, seperti yang dilaporkan juga pada Pelargonium (Tokumasu dan Kato, 1979), lili (Han et al., 1997), bunga matahari (Saji dan Sujatha, 1998), pada Solanum commersonii (Cardi et al., 1993) dengan variasi ploidi yang berbeda. Pada kultur antera pelargonium dihasilkan regeneran diploid dan tetraploid (Tokumasu dan Kato, 1979); 5 haploid, 2 diploid dan 4 mixoploid (Han et al., 1997); 8.3% regeneran haploid (Saji dan Sujatha, 1998); 60% diploid dan 40% tetraploid (Cardi et al., 1993). Selanjutnya pada jagung dilaporkan 53% regeneran ialah haploid, 27% mixoploid dan 20% diploid (Martin dan Widholm, 1996).
146
Variasi ploidi pada gandum adalah 43.6% haploid, 1.3% nanoploid, 1.0% dodecaploid, dan 11.1% aneuploid (Kim et al., 2003). Ockendon (2008) menemukan variasi ploidi dengan 1% haploid, 41% diploid, 5% triploid dan 53% tetraploid pada kultur antera kubis.
Komparasi variasi metode estimasi ploidi tak langsung
Metode estimasi level ploidi secara tak langsung yang berbeda ternyata memberikan arah regrasi dan tingkat kepercayaan yang berbeda. Dua metode yang arah regresinya bersifat positif dengan tingkat kepercayaan yang sangat kuat ialah penghitungan jumlah kloroplas pada sel pelindung stomata dan jumlah mikrospora yang ada dalam antera. Sementara rasio panjang lebar stomata, kepadatan stomata per mm2 epidermis daun dan rasio panjang lebar daun memiliki arah regresi yang berbeda dengan tingkat kepercayaan yang sangat rendah hingga sedang. Jumlah kloroplas yang terdapat dalam sel pelindung stomata ternyata merupakan metode estimasi level ploidi secara tak langsung tingkat korelasi yang paling tinggi hingga mencapai 94.5% (r=0.945, p<0.01). Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah kloroplas yang ada dalam sel pelindung stomata memiliki korelasi yang tinggi dengan jumlah kromosom yang ada pada ujung akar. Hasil ini juga memperkuat hasil- hasil penelitian sebelumnya yang melaporkan tingginya validitas metode penghitungan jumlah kloroplas dalam penentuan level ploidi tanaman, seperti yang dilaporkan pada kapas (Chaudhari dan Barrow, 1975), pada petunia (Santos dan Handro, 1983), pada gandum (Pyke dan Leech, 1987), pada kacang tanah (Singsit dan Ozias-Akins, 1992), pada cabai (Qin dan Rotino, 1995; Supena et al., 2006), semangka (Sari et al., 1999), dan pada jagung (Ho et al., 2006). Tingkat kepercayaan jumlah kloroplas sebagai penentu level ploidi tanaman secara tak langsung berkisar antara 95 - 97% (Singsit dan Ozias-Akins, 1992; Qin dan Rotino, 1995; Supena et al., 2006). Meskipun pada tanaman yang lain tingkat keakurasian metode tersebut menurun (Pyke dan Leech, 1987). Penghitungan jumlah mikrospora juga sesuai sebagai penduga level ploidi pada anturium. Tingkat korelasi metode tersebut mencapai 81.3% (r=0.813,
147
p<0.01). Meskipun pada Corydalis, penghitungan jumlah mikrospora tidak memberikan hasil yang meyakinkan (Fukuhara,2005ab), namun metode tersebut sesuai untuk anturium. Pada penelitian lain dilaporkan bahwa ukuran mikrospora memiliki akurasi yang tinggi dalam penentuan level ploidi tanaman (Singsit dan Ozias-Akins, 1992; Jacob dan Pierret. 1998; Fukuhara, 2005a). Akurasi yang tinggi disebabkan oleh pembentukan pollen dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman dan memiliki korelasi yang positif terhadap jumlah kromosom (Jacob dan Pierret, 1998; Fukuhara, 2005a). Rasio panjang lebar stomata dan kepadatan stomata pada penelitian lain dilaporkan merupakan metode penentu level ploidi yang valid pada Bromus inermis (Tan dan Dunn, 1973), Lactuca sativa (Eenink dan Alvarez, 1975), semangka (Sari et al., 1999), pisang (Ganga et al., 2002), Acacia mearnsii (Beck et al., 2003), Phragmites australis (Salstonstall et al., 2007), Buddleja macrostachya (Chen et al., 2009).
Tetapi kedua metode tersebut tidak sesuai untuk anturium.
Dua metode tersebut memberikan tingkat kepercayaan yang rendah hingga sedang. Ketidak-berhasilan yang sama pada pemanfaatan metode tersebut juga dilaporkan oleh Vandenhout et al. (1995) pada pisang. Rasio panjang lebar daun juga tidak sesuai untuk anturium. Metode tersebut memiliki korelasi yang sangat rendah dengan jumlah kromosom. Meskipun secara visual terdapat perbedaan bentuk daun yang nyata (Gambar 37), tetapi secara keseluruhan data rasio panjang lebar daun tidak berbeda nyata.
A
B
C
Gambar 37. Penampilan daun yang terlihat berbeda antara tanaman haploid, diploid dan triploid. A. Haploid, B. Diploid dan C. Triploid
148
Meskipun pada Phragmites australis Damnacanthus (Naiki
(Paucã-Comãnescu et al., 1999) dan
dan Nagamasu, 2004) metode tersebut valid dalam
penentuan level ploidinya, tetapi aplikasinya pada anturium tidak disarankan. Penghitungan jumlah kloroplas pada sel pelindung stomata dan jumlah mikrospora dalam antera ialah dua metode estimasi level ploidi tak langsung yang valid dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. Rasio panjang lebar stomata, kepadatan stomata per mm2 dan rasio panjang lebar daun tidak dianjurkan pemanfaatannya dalam identifikasi level ploidi pada anturium karena tingkat kepercayaannya rendah ke sedang.
Keragaman morfologi tanaman hasil kultur antera anturium
Variasi morfologi menunjukkan variasi karakter dan ploidi.
Variasi
tersebut tersebut terlihat pada ukuran tanaman, panjang lebar daun, posisi bunga, warna, bentuk, ukuran bunga, dll. Variasi tersebut menjadi bukti bahwa metode kultur antera menghasilkan tanaman yang beragam, tidak hanya morfologi tetapi juga ploidi. Perbedaan bentuk dan ukuran daun dilaporkan pada Lilium longiflorum (Qu et al., 1988). Variasi berat kering bahan tanaman dilaporkan pada Lolium multiflorum (Zare et al., 2002). Ukuran daun, panjang petiol, pembelahan daun dan warna kortek dilaporkan pada wortel (Kozik et al., 2002). Tinggi dan ketebalan batang, jumlah batang per tanaman dan ukuran panjang lebar daun dilaporkan pada kultur antera medicago (Zagorska et al., 1997). Kecepatan pertumbuhan, panjang lembaran dan bentuk dasar daun dilaporkan pada kultur antera poplar (Kiss et al., 2001). Tinggi tanaman dan ukuran buah dilaporkan pada kultur antera pepaya (Rimberia et al., 2006). Ukuran tanaman, jumlah dan ukuran daun per tanaman, jumlah anakan per tanaman, letak posisi spate dibanding kedudukan daun, posisi spate dibanding tangkai bunganya, warna bentuk ukuran dan jumlah bunga, serta daya simpan bunga pada anturium berpengaruh besar terhadap potensi pemanfaatannya (Lichty dan Nishijima, 1999; Thawiang et al., 2007; Shiva dan Nair, 2008). Ukuran tanaman yang sedang hingga besar, jumlah dan ukuran daun cukup banyak (10-20
149
daun per tanaman), posisi spate yang agak di atas atau jauh di atas dibanding posisi daunnya, posisi spate yang membentuk sudut tumpul dibanding tangkai bunganya, warna spate yang cerah, bentuk eleptik melebar dengan ukuran yang besar dan daya simpan yang lama merupakan ciri yang baik untuk anturium potong. Sementara ukuran tanaman yang sedang hingga kecil, jumlah anakan antara 2-3 per tanaman dan jumlah bunga 5-10 bunga per tanaman menjadi daya tarik untuk anturium pot (Callotte, 2004). Karakter unggul bunga potong yang berkualitas, diminati pasar dan konsumen dan berada pada rangking tertinggi hingga tahun 2009, tetap dimiliki oleh kultivar Tropical (Anthura, 2009), diikuti oleh warna hijau Midori dan putih Angle. Dari beberapa tanaman hasil kultur antera anturium yang terkarakterisasi, sampel 258, 324, 239 dan 16 merupakan tanaman yang potensial dikembangkan untuk anturium pot berkualitas. Terdapat 3 gen pengendali produksi pigmen pada anturium, yaitu: gen M, gen O dan gen P (Kamemoto et al., 1988; Callotte, 2004) Gen M mengendalikan produksi cyanidin 3-rutinosida atau cyanidin 3-rhamnoglukosida. Gen O mengendalikan produksi pelargonidin 3-rutinosida
atau
perlargonidin
3-
rhamnoglukosida. Sementara gen P mengendalikan warna peonidin 3-rutinosida. Sifat resesif oo berwarna putih, epistatik terhadap M dan P. Gen M ini bersifat dominan dan menutup ekspresi gen yang lain dan pertambahan efek gen M lebih besar daripada efek gen O (Kamemoto et al., 1988). Berdasarkan uraian di atas diduga gen M pembawa warna merah pada kultivar Tropical tidak berada dalam kondisi homozygot. MmOo atau MmOoPp adalah genotipe berwarna merah (Kamemoto et al., 1988) diduga juga menjadi genotipe kultivar Tropical. Dari genotipe yang heterozygot tersebut dihasilkan turunan tanaman dengan warna spate yang bervariasi. Kemudian dominasi warna spate putih diduga gen pembawa warna putih bersifat resesif dominan terekspresi pada turunan kultivar Tropical. Tanaman berwarna spate putih diduga memiliki genotipe MmooPP / MmooPp / MmooPP / MmooPp / mmooPP / mmooPp / mmoopp (Kamemoto et al., 1988). Kultivar Tropical diduga merupakan hasil persilangan tetua bergenotip MMOoPP dengan MmOoPp
150
Rendahnya jumlah tanaman haploid hasil kultur antera anturium menunjukkan rendahnya potensi mendapatkan tanaman haploid ganda melalui metode kultur antera. Dari ± 450 tanaman hasil kultur antera yang tumbuh dan teradaptasi baik di rumah kaca, hanya 36 tananaman haploid (8%) dan hanya 5 tanaman yang berbunga. Sebagian besar tidak berbunga dan berada pada kondisi yang abnormal. Hasil yang hampir sama dilaporkan pada poplar (Kiss et al., 2001), jeruk (Chiancone et al.,2006), dan kubis (Ockendon, 2008). Pada poplar persentase tanaman haploid hanya 8 tanaman dari 208 tanaman adalah haploid (Kiss et al., 2001). Pada kubis 1% dari 418 tanaman ialah haploid (Ockendon, 2008), pada asparagus 8% regeneran islah haploid (Zhang et al., 1994) dan pada jeruk tanaman haploid gagal tumbuh secara ex vitro (Chiancone et al., 2006). Tanaman haploid, baik yang berbunga maupun yang tidak berbunga merupakan materi penting dalam pemuliaan anturium. Tanaman haploid ini merupakan tanaman sporofitik dengan jumlah kromosom gametofitik (Germana, 2006) yang memiliki potensi tinggi menghasilkan galur-galur murni dalam satu gene rasi (Hermsen dan Ramana, 1981). Variasi tanaman haploid hasil penelitian ini merupakan sumber genetik potensial untuk menghasilkan tanaman fertil (haploid ganda) yang penting pada pengembangan hibrida-hibrida unggul baru. Tanaman diploid dan triploid dengan variasi karakter hasil kultur antera anturium juga merupakan sumber genetik baru yang bermanfaat dalam pengembangan anturium. Beberapa tanaman dengan karakter yang baik dapat digunakan sebagai sumber genetik baru dalam aktivitas pemuliaannya (Hutami et al., 2006). Tanaman-tanaman tersebut juga meningkatkan keragaman genetik anturium, karena pada beberapa tanaman lain keragaman genetik menjadi faktor pembatas pada peningkatkan program pemuliaannya, seperti yang dilaporkan pada nilam (Mariska dan Lestari, 2003), sungkai (Imelda et al., 2007) dan keladi tikus (Syahid, 2008). Metode kultur antera anturium melalui inisiasi kalus menghasilkan keragaman morfologi dengan variasi karakter. Teknologi ini menghasilkan tanaman haploid dalam jumlah yang rendah. Gen M, gen pengendali warna merah pada kultivar Tropical diduga berada dalam kondisi heterozygot. Spate berwarna
151
putih yang dominan menunjukkan besarnya pengaruh gen pembawa warna putih yang muncul akibat kultur antera. Diduga resesif ganda (oo) terdapat pada sebagian besar tanaman hasil kultur antera anturium. Tanaman diploid dan triploid dengan variasi karakter dan penampilannya semakin memperkaya keragaman genetik anturium.
Simpulan
Dari beberapa penelitian di atas dapat diambil simpulan sebagai berikut: 1. Ujung akar dan akar yang ditumbuhkan pada medium yang mengandung 1% arang aktif merupakan jenis eksplan dan akar yang sesuai untuk evaluasi ploidi. Rasio ploidi regeneran hasil kultur antera anturium adalah 22.5-33.9% adalah haploid, 60.4-75% diploid, dan 2.3-5.7% triploid. 2. Metode penghitungan jumlah kloroplas pada sel pelindung stomata dan jumlah mikrospora dalam antera merupakan metode penentuan level ploidi tak langsung terbaik dengan tingkat kepercayaan 94.5% dan 81.3%. 3. Keragaman morfologi dan variasi karakter juga diamati pada tanaman hasil regenerasi anturium. Penampilan dan karakter menarik yang ditemukan pada sampel 258, 324, 239 (haploid) dan 16 yang memiliki potensi untuk pengembangan pemuliaan anturium. 4. Tanaman dengan warna spate putih merupakan tanaman dominan hasil kultur antera anturium.
152
PEMBAHASAN UMUM
Pendahuluan
Disertasi ini merupakan kombinasi beberapa seri penelitian baik aspek dasar maupun aplikasi dalam kultur antera anturium. Hasil- hasil utama penelitian terkait dengan aspek dasar ialah formula medium dasar, teknik isolasi, histologi, dan penggandaan kromosom. Kombinasi hasil studi pendahuluan yang meliputi tahap
perkembangan
bunga,
rasio
perkembangan
mikrospora,
viabilitas
mikrospora, dan seleksi tanaman donor dengan hasil penelitian dasar tersebut menjadi informasi dasar penting teknologi haploid pada anturium. Sementara hasilhasil penelitian terkait dengan aspek aplikasi meliputi perbaikan formula medium dasar, teknik isolasi, pewarnaan kromosom dan karakterisasi morfologi tanaman. Perbaikan-perbaikan temuan awal dan dasar menyempurnakan teknologi haploid pada anturium. Hasil- hasil penelitian tersebut akan dibahas secara komprehensif pada bagian berikut dengan penekanan pada relevansinya dengan aspek teoritis dan aplikasi pada kultur antera dan prospek pemanfaatan teknologi kultur antera anturium dimasa depan.
Formula medium dasar dalam kultur antera
Jenis, kombinasi dan konsentrasi komponen makro, mikro, vitamin, sumber karbon, dan
ZPT merupakan komponen penting penyusun media yang
berpengaruh terhadap androgenesis maupun gynogenesis (Ferrie et al., 1995; Sopory dan Munshi, 1996; Maluzsynski et al., 2003a; George et al., 2007). Penambahan asam amino, kasein hidrolisat, asam askorbat, arang aktif, dan bahan penunjang lain diaplikasikan untuk menyempurnakan komposisi medium dalam meningkatkan keberhasilan pengembangan teknologi haploid (Tai dan Xiong, 2003; Wolyn dan Nichols, 2003). Tiap komponen diracik sedemikian rupa untuk mendapatkan respon terbaik dari eksplan yang dikultur.
153
Pada langkah awal, variasi media dasar berbasis medium MS yang berhasil untuk menginduksi pembentukan kalus dan/atau embrio dalam kultur in vitro anturium secara bertahap diuji kesesuaiannya untuk kultur antera anturium. MS medium (1/2 makro elemen) yang ditambah 18 µM 2,4-D dan 6% sukrosa (Hamidah et al., 1997), ½ MS yang ditambah dengan 1 mg/l 2,4-D dan 1.0 mg/k kinetin (Kuehnle et al., 1992), ½ MS yang mengandung
1.11 µM N-6-
benzyladenin (BA), 1.14 µM asam asetat indol (IAA) dan 0.46 µM kinetin (Martin et al., 2003), dan medium MS yang mengandung 4.4 µM BA dan 0.05 µM asam asetat naftalene (NAA) (Vargas et al., 2004) dan modifikasinya telah diuji secara bertahap dan ternyata tidak terdapat respon positif dari antera yang dikultur, baik dalam pembentukan kalus dan/atau embrio. Antera yang tidak terkontaminasi mengalami pencoklatan dan mati. Titik terang pengembangan teknologi haploid anturium ditemukan ketika salah satu dari 3 formula media dasar (MW-1, MW-2 dan MW-3) dan 3 modifikasi MW-3 dengan menambahkan 50 ppm cefotaxim (MW-3 +C), 2 g/l asam pantotenat (MW-3 + P), dan MW-3 + C + P memberikan respon positif dalam pembentukan kalus. Medium tersebut adalah MW-1 yang mampu menstimulasi pembentukan kalus hingga 11% (2.3 antera membentuk kalus per ulangan) dengan pertumbuhan kalus yang baik. Meskipun penambahan cefotaxim dan asam pantotenat pada MW-3 yang berbasis medium MS memberikan respon positif pada pembentukan kalus, tetapi medium tersebut kurang sesuai untuk kultur antera anturium. Pertumbuhan kalus pada antera berlangsung lambat dan mudah mati akibat pencoklatan. NH4 NO3 , diduga merupakan komponen penting dalam kultur antera anturium dan memainka n peranan penting dalam pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus dalam kultur antera anturium. Pada penelitian lain NH4 NO3 dan Fe merupakan komponen penting pada pertumbuhan dan regenerasi kalus jeruk (Randall dan Terrence, 2007). Ca, P dan Fe medium MS dan DKW berperan penting dalam regenerasi dan pertumbuhan tunas pada Cymbidium dan Gerbera (Bouman dan Tiekstra, 2001). NH4 +, NO 3 - , K +, Ca2+, Mg2+, Fe3+ pada medium MS mengendalikan arah pertumbuhan eksplan (pembentukan kalus, embriogenesis
154
maupun organogenesis) melon pada kultur in vitro (Kintzios et al., 2004). Lebih lanjut mereka melaporkan bahwa pembentukan kalus terjadi saat konsentrasi ion K + dan Ca2+ dalam jaringan meningkat, sementara ion Mg2+ and Fe3+ menurun. Peningkatan konsentrasi ion NH4 + dan NO 3 - meningkatkan pembentukan tunas sebagai akibat meningkatnya penyerapan nitrogen dan produktivitas eksplan (Cao dan Tibbitts, 1993), sementara peningkatan ion Mg2+ menstimulasi embriogenesis. Sedangkan akumulasi Na+ dan Cl- pada eksplan me reduksi pertumbuhan tunas (Abdolzadeh et al., 2008). Perbaikan MW-1 dan MWR-3 menghasilkan respon yang bervariasi. Setengah MW-1 dengan 205 mg/l amonium nitrat, pemberian 1.0 mg/l 2,4-D dengan 0.5 mg/l TDZ pada MWR-3, penambahan 250 mg/l glutamin, aplikasi sukrosa 60 g/l dan 30 g/l glukosa merupakan perlakuan-perlakuan yang secara statistik berpengaruh nyata terhadap peningkatan pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus. Peningkatan tersebut diduga disebabkan oleh peningkatan konsentrasi NH4 + dan NO3 - , N2 , sukrosa dan keseimbangan komponen media seperti yang juga dilaporkan pada melon (Kintzios et al., 2008). Chauhan dan Kothari (2004 ) juga melakukan perbaikan medium MSB5 dengan menambah 20.70 µM picloram, 10.30 mM NH4 NO 3 , 6.25 mM KH2 PO 4 , 2.06 µM Na2 MoO4, 0.55 µM CoCl2 , and 26.64 µM glycine untuk meningkatkan pembentukan kalus; 12.47 µM picloram, 10.30 mM NH4 NO3 , and 0.55 µM CoCl2 untuk subkultur kalus; dan 0.2 µM picloram and 10.3 mM NH4 NO 3 untuk pembentukan tunas pada barley rekalsitran. Kothar i et al. (2004) menemukan konsentrasi 60 µM ZnSO4 or 0.5 µM CuSO4 sesuai untuk regenerasi kalus pada kultur in vitro Eleusine coracana. Berbagai komponen dan perbaikan media dasar, serta perlakuan yang diberikan pada antera anturium memberikan pengaruh yang nyata terhadap pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus. Pelukaan pada antera menginduksi terjadinya (1) sintesis protein yang didahului dengan meningkatnya mRNA yang mengkode enzim 3-deoxy-D-arabino-heptulosonate-7-fosfat sintase (DAHPS, EC 4.1.2.15) dan (2) sintesis metabolit sekunder dengan adanya mRNA yang mengkode enzim fenilalanine ammonia lyase (Dyer et al., 1989). Aktivitas enzim DAHPS menyebabkan beberapa jalur metabolism, seperti jalur sikimat,
155
biosintesis asam amino aromatic menjadi aktif (Beaudoin-Eagan dan Thorpe, 1983). Sukrosa dan glukosa dalam media diserap oleh eksplan melalui sel-sel jaringan penghubung atau sel-sel mesofil pada daerah terluka melalui fenomena “apoplastic loading” (Maynard dan Lucas, 1982). Bahan tersebut berperan sebagai sumber karbon (penyedia kerangka karbon) dan energi, agen osmotik, pelindung stress dan pemberi sinyal pada tanaman (Lipavska & Konradova, 2004), kemudian diubah menjadi piruvat dan malat melalui 2 jalur utama, yaitu: jalur glikolisis dan oksidasi pentose fosfat (Anonymous, 2009c). Glikolisis karbohidrat menghasilkan energi dalam bentuk ATP dan kerangka karbon penting pembentuk asam amino (fosfogliserat (3C), piruvat (2C), a-ketoglutarat (5C) dan oxaloacetat (4C)) dan fosfoenolpiruvat (PEP, 3C), prekursor penting jalur sikimat untuk membentuk asam-asam amino aromatik (Leustek et al., 2000; Kopriva et al., 2002). Jalur pentose fosfat memiliki peran utama menyediakan NADPH sebagai sumber energi pada reaksi- reaksi biosintesis, ribose 5- fosfat untuk sintesis nukleotida dan eritrose 4-fosfat untuk sintesis turunan-turunan asam sikimat (Anonymous, 2009c). Aktivitas enzim DAHPS yang tinggi akibat pelukaan eksplan akan merubah fosfoenolpiruvat dan eritrose-4-fosfat menjadi 3-deoksi-D-arabinoheptulosonate-7-fosfat (DAHP) dan masuk dalam jalur sikimat (Leustek et al., 2000; Kopriva et al., 2002). DAHP melalui beberapa tahap sintesis yang melibatkan beberapa enzim akan menghasilkan korismat. Korismat merupakan prekursor utama sintesis asam amino dan hormon melalui jalur antranilate dan prepenate. Pada jalur antranilate, korismat membentuk triptofan, kemudian menghasilkan asam asetat indol (IAA). Peeningkatan konsentrasi IAA endogen inilah yang selanjutnya menstimulasi pembelahan dan pembesaran sel menjadi lebih aktif (Davies, 2004). Dari jalur prepenate, korismat akan diubah menjadi tyrosin, bahan penting dalam pembentukan tunas (Beaudoin-Eagan dan Thorpe, 1983) dan fenilalanin menjadi prekursor penting pembentuk lignin, flavonoid dan antosianin (Winkel-Shirley. 2002). Pada jalur biosintesis yang berbeda, fosfogliserat akan diubah menjadi serine, cystein dan glysin. Piruvat akan diubah menjadi alanin, leusin dan valin. Oksaloasetat akan diubah menjadi aspartat oleh enzim aspartat aminotransferase.
156
Aspartat tersebut menjadi prekursor utama pembentukan asparagin, lysine, treonin, methionin, dan isoleusin. a-ketoglutarat menjadi salah satu kerangka karbon penting dalam siklus sintesis glutamate dan bersama dengan ion NH3, N 2, asparagin, urea, asam-asam keton membentuk glutamine, glutamate, dan asamasam amino (Leustek et al., 2000; Kopriva et al., 2002). Glutamin menjadi prekursor utama pembentukan histidin, asparagin, arginin, ureides, dan asam-asam nukleat. Dari glutamate akan terbentuk prolin, arginin, dan aminolevulinate (bahan penting pembentuk klorofil). Pada siklus inilah ion NH4 +, NO3-, glutamine sebagai sumber N sangat diperlukan untuk meningkatkan respon pertumbuhan dan perkembangan sel-sel eksplan yang dikultur secara in vitro. Dampak peningkatan konsentrasi NH4 NO3 , KNO3 dan pemberian Ca(NO3 )2 .4H2O pada MWR tersebut pada kultur antera anturium diduga factor pemacu pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus yang lebih baik. Uraian di atas menunjukkan bahwa berbagai komponen media dasar, baik sebagai sumber elemen makro, mikro, vitamin, karbon, nitrogen maupun dll menginduksi pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus, tunas dan akar melalui peran bahan tersebut dalam mengaktifkan berbagai jalur biosintesis dan metabolisme biomulekul yang ada dalam eksplan. Pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi terjadi karena adanya energi (ATP dan NADPH), asam amino, asam nukleat, ZPT (seperti: zeatin riboside (ZR), dihydro- zeatin riboside (DHZR), abscisic acid (ABA), indole-3-acetic acid (IAA), and isopentenyl-adenine (IPA)), dan bahan pentin lain yang dihasilkan melaui berbagai jalur biosintesis dan metabolisme tersebut. Pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi tersebut optimal ketika berbagai jalur biosintesis dan metabolisme tersebut berada dalam keseimbangan (Hildebrand et al., 1981) dan tiap eksplan/tananaman memiliki respon spesifiknya masing- masing (Aswath dan Biswas, 1999). Tidak adanya respon pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus pada kultur antera anturium terjadi karena pencoklatan eksplan. Pencoklatan terjadi karena oksidasi phenol menjadi quinon (Arnaldos et al., 2001, Ozygit et al., 2007). Pelukaan antera menyebabkan kandungan sitoplasma dan vakuola bercampur dan keluar didaerah yang dilukai (Laukkanen et al., 1999; Kim
et
al., 2001).
157
Senyawa-senyawa fenolik yang ada dalam campuran tersebut segera teroksidasi membentuk
senyawa-senyawa
quinon
karena
adanya
aktivitas
enzim
polifenoloxidase dan ketersediaan O2 (Laukkanen et al., 1999). Oksidasi tersebut menyebabkan asam amino, asam nukleat, protein, endogenus ZPT, yang berperan penting dalam pembelahan, pemanjangan, pertumbuhan dan perkembangan sel terhambat pembentukannya (Volpert et al., 1995; Arnaldos et al., 2001). Cathecol menjadi o-benzoquinon, hidroquinon à p-benzoquinon, tyrosin à melanin, cystein à cystein-quinon dll (Marshall et al., 2000). Senyawa-senyawa tersebut bersifat racun dan menyebabkan terhentinya pergerakan protoplasma sel (Stom et al., 2006). Terhentinya pergerakan protoplasma berarti terhentinya juga suplai bahan-bahan subseluler penting penunjang aktivitas kehidupan sel. Pada kondisi normal, enzim polifenol oxidase berada dalam plastida, sementara senyawa-senyawa fenolik menempati vakuola sel (Lobreaux et al., 1995). Kerusakan atau pelukaan sel menyebabkan bercampurnya bahan-bahan sub seluler yang ada dalam sitoplasma dan vakuola. Segera setelah bercampurnya bahan sub-seluler dan didukung dengan tersedianya oksigen, enzim polifenol oksidase menjadi aktif dan mengubah banyak senyawa fenolik menjadi senyawasenyawa quinon (Kim et al., 2001) atau komplek polimer yang menghasilkan warna coklat, bersifat racun (Marshall et al., 2000; Stom et al., 2006; Ozygit et al., 2007). Akibatnya eksplan mengalami pencoklatan dan mati. Kondisi tersebut diduga juga terjadi pada banyak antera yang mati.
Teknik isolasi dalam kultur antera anturium
Teknik isolasi pada pengembangan teknologi haploid banyak dipengaruhi oleh metode kultur yang diaplikasikan. Pada kultur mikrospora homogenasi dan filtrasi bertahap merupakan teknik isolasi yang umum digunakan dan telah diaplikasikan pada barley (Kasha et al., 2001), gandum (Kasha et al., 2003), kubis (Dias, 2001), asparagus (Peng dan Wolyn, 1999), apel (Höfer et al, 1999). Tingkat keberhasilan aplikasi teknik isolasi tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah dan
158
viabilitas mikrospora per antera (Winarto, 2005). Jumlah dan viabilitas mikrospora yang tinggi meningkatkan keberhasilan embriogenesisnya. Isolasi antera secara langsung setelah aplikasi beberapa pra-perlakuan yang diikuti dengan penanaman antera dalam petridis yang berisi medium cair merupakan teknik isolasi yang sering digunakan dalam kultur antera. Teknik tersebut telah diaplikasikan pada kultur antera barley (Cistué et al., 1999; Caredda et al., 2000), gandum (Pauk et al., 1995), jagung (Barnabas, 2003), Linum usitatissimum (Chen et al., 1998), lili (Arzeta-Frnandez et al., 1997), cabai (Kim et al., 2004; Supena et al., 2006). Antera dikultur pada medium cair dan umumnya menghasilkan embrio yang berasal dari mikrospora yang ada di dalamnya. Metode tersebut dikenal dengan nama “shed microspore culture”. Teknik tersebut sangat menguntungkan karena tidak memerlukan peralatan yang mahal, mudah dan cepat dalam aplikasi, kepastian mendapatka n embrio dan tanaman haploid ganda yang tinggi, mudah dalam deteksi level ploidi, dan memerlukan waktu yang lebih singkat. Homogenasi- filtrasi dan shed microspore culture juga telah dicoba diaplikasikan pada anturium, tetapi tidak memberikan hasil positif yang bermanfaat pada pengembangan teknologi haploid pada tanaman tersebut. Tingginya kontaminasi bakteri Xanthomonas axonopodis pv. dieffenbachiae (Norman dan Alvarez, 1994; Duffy, 2000) dan rendahnya viabilitas mikrospora menjadi kendala utama pengembangan kedua teknik isolasi tersebut pada anturium. Setengah antera tanpa perlakuan yang dikultur pada medium semi padat merupakan teknik isolasi yang paling sesuai untuk pengembangan teknologi haploid pada anturium. Meskipun persentase tanaman haploid yang dihasilkan rendah, namun metode kultur antera pada anturium berhasil dikembangkan melalui teknik isolasi tersebut. Pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus berhasil diinisiasi dari sel-sel dinding antera yang memiliki totipotensi dan kompetensi yang lebih tinggi dibanding sel-sel jaringan penghubung dan mikrospora. Teknik isolasi tersebut juga berhasil diaplikasikan pada androgenesis timothy (Phleum pratense) (Guo et al., 1999), kentang ( Aziz et al., 1999) dan jeruk (Germana et al.,
159
2000). Pemotongan antera pada ketiga tanaman tersebut di atas meningkatkan pembentukan kalus embriogenik yang selanjutnya menghasilkan embrio. Tetapi pada kultur antera anturium hanya menghasilkan kalus organogenik, akibatnya untuk mendapatkan tanaman haploid ganda membutuhkan tahap dan proses yang labih panjang.
Pembentukan regeneran haploid dalam kultur antera anturium
Regeneran haploid, baik dalam bentuk kalus, tunas, plantlet maupun embrio merupakan produk antara yang sangat penting dalam pengembangan teknologi haploid tanaman. Keberhasilan mendapatkan regeneran tersebut menjadi tahap yang sangat penting pengembangan teknologi haploid (Maluzsynski et al., 2003a). Pada kultur mikrospora, peluang mendapatkan regeneran haploid sangat besar dan lebih mudah. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa mikrospora merupakan sel gamet jantan dengan satu set kromosom (1N). Frekuensi mendapatkan regeneran yang mengganda secara spontan juga sangat besar. Pada barley frekuensi mengganda secara spontan mencapai 70-100% (Davies dan Morton, 1998; Kasha et al., 2001), pada gandum mencapai 70% (Kasha et al., 2003), 43-91% pada brokoli (Dias, 1999), 49% pada asparagus (Peng dan Wolyn, 1999). Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada kultur antera, dimana eksistensi mikrospora yang ada di dalamnya memiliki viabilitas dan kemampuan sporogenesis yang tinggi. Peluang mendapatkan regeneran haploid juga tinggi dan mencapai 80-90% pada barley (Cistué et al., 1999). 43% pada padi (Chu et al., 1975), 66% pada timothy (Guo et al., 1999), 20-60% pada kentang (Aziz et al., 1999), 40% pada Linum usitatissimum (Chen et al., 1998). Pada mikrospora dan shed microspora, regeneran haploid berasal dari mikrospora. Reduksi peluang dan frekuensi mendapatkan regeneran haploid umumnya ditemukan pada kultur antera, dimana eksistensi mikrosporanya memiliki viabilitas dan kemampuan sporogenesis yang rendah. Frekuensi mendapatkan regeneran haploid dan/atau haploid ganda juga rendah. Pada kultur antera kubis hanya mencapai 15% (Chn et al., 1994), 28% pada Cyclamen (Ishizaka, 1998), 10-12%
160
pada tembakau (Touraev dan Heberle-Bors, 2003). Pada kultur demikian, regeneran haploid umumnya teregenerasi dari sel-sel somatik yang berasal dari jaringan penghubung dan/atau dinding antera (Maeda et al., 1978; Altamura et al., 1992; Saji dan Sujatha, 1998; Rodrigues et al., 2004). Regenerasi eksplan haploid dari sel- sel somatik antera, baik sel-sel jaringan penghubung maupun dinding antera terjadi akibat ketidakstabilan kromosom pada kalus hasil regenerasinya (Koornneef et al., 1989). Eksistensi 2,4-D, TDZ, BAP diduga menjadi stimulan penting bagi terjadinya aktivitas pembelahan sel yang cepat seperti dilaporkan pada kultur antera kedelai (Rodrigues et al., 2004). Pembelahan yang cepat menstimulasi terjadinya ketidakseimbangan aktivitas mitosis (Cellárová et al., 2004) atau aberasi mitosis (Dolezel dan Novák, 1984). Aktivitas mitosis tertinggi pada tahap profase, menurun pada tahap metafase dan telofase,
dan sangat jarang terjadinya tahap anafase. Akibatnya terjadi
endoreduplikasi, endomitosis dan pembentukan mikrotubul yang abnormal serta kerusakan DNA (Fras et al., 2007) yang diikuti dengan reduksi kromosom (Fras dan Maluzsynska, 2004). Jadi regeneran ha ploid pada kultur antera terjadi karena ketidakseimbangan mitosis sebagai akibat penggunaan ZPT. Hal inilah yang juga diyakini penulis terjadi pada kultur antera anturium.
Evaluasi ploidi dalam kultur antera anturium
Keberhasilan pengembangan metode kultur antera anturium melalui pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus dari sel- sel dinding antera menghasilkan variasi morfologi dan pertumbuhan eksplan. Variasi tersebut disebabkan oleh adanya variasi sel yang membentuk kalus, media, aplikai ZPT dan frekuensi sub -kultur kalus. Variasi regeneran hasil regenerasi kalus juga dilaporkan pada anturium (Kunisaki, 1980; Geier, 1986, 1987; Kuehnle dan Sugii, 1991; Vargas et al. (2004), asparagus (Pontaroli dan Camadro, 2005), kentang (Fleming et al., 2008), pepaya (Rimberia et al., 2008). Variasi tersebut juga mengindikasikan adanya variasi ploidi eksplan seperti yang dilaporkan pada lili (Han et al., 1997), jagung (Martin dan Widholm, 1996), gandum (Kim et al.,
161
2003) dan kubis (Ockendon, 2008). Ini berarti bahwa analisis level ploidi eksplan/regeneran hasil kultur antera menjadi langkah penting yang harus dilakukan. Analisis
kromosom
pada
anturium
umumnya
dilakukan
dengan
menghitung jumlah kromosom pada ujung akar (Kaneko dan Kamemoto, 1978; Sheffer dan Croat, 1983; Marutani et al., 1993). Metode tersebut didasarkan pada kondensasi pola kromosom pada tahap mitosisnya, seperti daerah heterokromatin, konstriksi, nukleolar dll (Noguchi dan Tanaka, 1981) dan aceto-orcein digunakan sebagai pewarnanya (Sharma dan Sharma, 1994). Pewarnaan aceto-orcein tersebut sampai saat ini masih tetap diaplikasikan dan digunakan pada banyak tanaman untuk penentuan level ploidi dan studi kariotipenya (Sharma dan Sharma, 1999) karena hasil yang dapat dipercaya, gambar yang tajam dengan kontras yang tinggi, cepat dan sederhana prosesnya (Taniguchi, 1996; Sharma dan Sharma, 1999). Pada teknik ini kromosom tercat ungu tua gelap, sedangkan sitoplasmanya berwarna pucat transparan (Sharma dan Sharma, 1994; 1999). Teknologi juga menjadi metode baku pewarnaan kromosom eksplan, tunas maupun plantlet hasil kultur anther anturium baik pada level in vitro maupun ex vitro. Modifikasi metode Darnaedi (1991) dengan pemanasan ujung akar pada 1N HCl : 45% asam asetat (3:1, v/v) 10 menit dan perlakuan aseto-orcein 15 menit itambah dengan perlakuan pembuangan tudung akar dan pembelahan ujung akar; Sharma dan Sharma (1994) dengan waktu pelunakan potongan ujung akar dalam 1 N HCl selama 120 detik merupakan metode pewarnaan kromosom yang paling sesuai untuk eksplan, tunas atau plantlet hasil kultur antera anturium. Meskipun perbaikan kedua metode tersebut masih diperlukan untuk mendapatkan kualitas hasil pewarnaan kromosom yang labih baik lagi, namun kedua metode tersebut merupakan metode pewarnaan kromosom yang sesuai untuk kondisi laboratorium di Indonesia. Modifikasi metode Sharma dan Sharma (1994) dapat dipandang sebagai terobosan baru dalam pewarnaan kromosom. Metode tersebut sangat sederhana, cepat dalam aplikasinya, nemun menghasilkan kualitas gambar kromosom yang baik. Sederhana karena hanya meliputi 4 tahapan pewarnaan, yaitu: (1) penyiapan,
162
(2) pelunakan (maserasi), (3) pewarnaan dan (4) pembuatan lapisan tipis akar (squashing). Cepat karena proses pewarnaan kromosom hingga sampel siap diamati hanya memerlukan waktu 1.5 sampai dengan 2 jam saja. Metode inilah yang kedepan akan diperbaiki untuk beberapa tujuan pewarnaan kromosom, diantaranya: studi kariotipe dan kelainan kromosom. Penghitungan jumlah kloroplas pada sel pelindung stomata merupakan metode estimasi level ploidi secara tak langsung yang paling sesuai untuk anturium. Metode tersebut memiliki tingkat korelasi yang sangat tinggi mencapai 94.5% (r=0.945, p<0.01) dibandingkan dengan metode estimasi yang lain. Akurasi tinggi penggunaan metode tersebut juga dilaporkan pada petunia (Santos dan Handro, 1983), gandum (Pyke dan Leech, 1987), kacang tanah (Singsit dan OziasAkins, 1992), cabai (Qin dan Rotino, 1995; Supena et al., 2006), semangka (Sari et al., 1999), jagung (Ho et al., 2006). Korelasi yang tinggi tersebut didasarkan pada jumlah kloroplas dengan kandungan DNA inti (Butterfass, 1983). Ini berarti bahwa peningkatan jumlah kloroplas pada sel pelindung stomata diikuti ole h peninkatan jumlah DNA inti. Berdasarkan kandungan DNA melalui analisis flow cytometry terbukti bahwa kandungan DNA terendah berkaitan dengan ploidi tanaman dimiliki oleh tanaman haploid < diploid < mixoploid (Dolozel, 1991), haploid < haploid ganda < decaploid < nanoploid (Kim et al., 2003). Bendich (2007) juga menunjukkan bahwa penurunan sifat/karakter pada kloroplas dan inti bersifat konstan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu aplikasi metode penghitungan jumlah kloroplas pada sel pelindung stoma ta sangat dianjurkan aplikasinya pada penentuan ploidi anturium.
Sedangkan penghitunan jumlah
mikrospora dalam antera dapat menjadi metode estimasi alternatif pada anturium. Meskipun aplikasi metode tersebut kurang lazim digunakan, namun korelasi yang tinggi menjadi bukti validitas metode dalam penentuan level ploidi anturium. Variasi morfologi eksplan, tunas dan tanaman hasil kultur antera anturium menunjukkan adanya variasi ploidi. Hasil evaluasi ploidi in vitro dan ex vitro menunjukkan bahwa rasio ploid i eksplan, tunas dan tanaman hasil kultur antera anturium adalah 22.5-33.9% haploid, 60.4-75% diploid, dan 2.3-5.7% triploid. Hasil ini menunjukkan bahwa pengembangan teknologi haploid anturium melalui
163
kultur antera menghasilkan eksplan, tunas dan tanaman dengan ploidi yang bervariasi.
Persentase
haploid
yang
rendah
menjadi
konsekuensi
logis
pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi tanaman dari kalus yang berasal dari sel-sel dinding antera dan/atau sel jaringan penghubung yang bersifat diploid seperti yang dilaporkan pada padi (Maeda et al., 1978), anggur (Altamura et al., 1992), poplar (Kiss et al., 2001), jeruk (Chiancone et al.,2006), dan kubis (Ockendon, 2008).
Penggandaan kromosom dalam kultur antera anturium
Penggandaan kromosom tidak selalu menjadi kebutuhan penting dalam pengembangan teknologi haploid tanaman. Pada tanaman dengan frekuensi penggandaan kromosom spontan yang tinggi (lebih dari 30% regeneran) seperti yang dilaporkan pada kultur antera barley (Kahrizi dan Mohammadi, 2009), Brassica rapa ssp. chinensis (Gu et al., 2003), kentang (Chauvin et al., 2003), Anemone coronaria (Laura et al., 2006), maka penggandaan kromosom tidak diperlukan lagi. Tetapi pada tanaman dengan frekuensi penggandaan kromosom spontan yang rendah seperti yang dilaporkan pada (Chen et al., 1994), Cyclamen (Ishizaka, 1998), Allium cepa (Campion et al., 1995), maka penggandaan kromosom menjadi faktor penting dalam produki tanaman haploid ganda. Pada kultur antera anturium identifikasi eksplan, tunas dan tanaman yang mengalami penggandaan kromosom secara spontan sangat sulit dilakukan. Kendala tersebut terjadi karena (1) jumlah kromosom pada setiap level ploidi berada dalam kisaran (Sharma dan Bhattacharyya, 1961; Sheffer dan Croat, 1983; Petersen, 1989; Mohamed et al., 2006).
Pada Anturium andreanum , jumlah
kromosom normal adalah 2n = 2x = 30 (Marutani et al., 1993), dan (2) hasil pewarnaan kromosom yang belum optimal. Variasi jumlah kromosom tersebut terjadi karena adanya asesori kromosom (Sharma dan Bhattacharyya, 1961; Kaneko dan Kamemoto, 1979). Kedua hal tersebut diduga menyebabkan variasi hasil penghitungan jumlah kromosom pada eksplan, tunas dan tanaman hasil kultur
164
antera anturium. Pada tanaman haploid jumlah kromosom berkisar antara 14-20, 28-34 adalah diploid dan 45-53 adalah triploid. Keberhasilan pewarnaan kromosom pada tingkat laboratorium memberikan peluang penyiapan plantlet haploid untuk kepentingan penggandaan kromosom melalui perbanyakan eksplan haploid. Namun tingginya kontaminasi dan pencoklatan eksplan menyebabkan perbanyakan in vitro eksplan haploid tidak berhasil dengan baik. Oleh karena itu aklimatisasi beberapa tunas haploid yang berakar menjadi alternatif pemecahan masalah. Meskipun resiko kematian plntlet haploid juga tinggi, tahap ini berhasil mengadaptasikan beberapa plantlet haploid tumbuh dalam kondisi ex vitro. Tanaman tersebut selanjutnya di kultur in vitro untuk penyiapan plantlet haploid dan berhasil dipersiapkan menggunakan medium MS yang mengandung 0.2 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA. Konsentrasi kolkisin 0.25% dengan waktu aplikasi 7 memberikan hari hasil penggandaan kromosom dan jumlah tanaman haploid ganda terbanyak. Namun penggunaan konsentrasi dan waktu aplikasi tersebut tidak disarankan mengingat resiko yang lebih besar. Kolkisin merupakan bahan yang bersifat racun dan dapat menimbulkan kerusakan dan kematian sel (Currah dan Ockendon, 1987; Petersen et al., 2003). Oleh karena itu konsentrai 0.05% dengan 10 hari waktu aplikasi lebih disarankan, karena tingkat keamanan yang lebih tinggi dengn tingkat keberhasilan cukup tingi. Mekanisme penggandaan kromosom akibat penggunaan kolkisin ini disebut dengan Colchicine-mitosis (C- mitosis) (Reider dan Palazzo, 1992). Setelah aplikasi, kolkisin diserap oleh eksplan (kalus/tunas/akar). Pada sel/kelompok sel yang aktif tumbuh dan membelah, bahan tersebut akan memblok proses metafase sel (Ramulu et al., 1991). Pada tahap berikutnya depolimerisasi mikrotubul terjadi dan menginduksi sinkronisasi dan pembelahan multipolar sel, pembentukan kromosom “bridge”, fragmen dan inti mikro (Wang et al., 2006; Zhao dan Simmonds, 2006), yang diikuti dengan fusi inti (Kasha et al., 2001). Kondisi tersebut menyebabkan terganggunya fungsi benang gelendong (spindle), terbentuk struktur-struktur baru yang mengandung tubulin yang memungkinkan terjadinya rekonstruksi 4C inti dengan jumlah DNA lebih banyak (Tambong et al., 1998),
165
masuk kembali ke dalam siklus sel (Caperta et al., 2006), dan penggandaan kromosom terjadi. Selanjutnya satu atau dua inti yang mengalami endoreduplikasi sebelum terjadinya fusi inti menyebabkan terbentuknya tanaman triploid atau poliploid yang lain (Kasha et al., 2001). Pada studi khusus Rieder dan Palazzo (1992) menguraikan siklus kromosom selama C- mitosis sebagai berikut. Setelah pembungkus inti pecah (Gambar 38A-B) kromosom menjadi menebal dan memendek. Dua kromatid yang terdiri atas setiap kromosom kemudian terpisah di sepanjang ukurannya (Gambar 38C-D), tetapi masih terhubung pada daerah sentromernya (Gambar 38E). Selama C-anafase kromatid-kromatid secara sempurna tidak tergabung (Gambar 38F) untuk membentuk “pa ir of skis”. Setelah periode yang singkat, masih dalam durasi C-mitosis, kromatid -kromatid mengalami dekondensasi telofase (Gambar 38G) untuk membentuk inti mikro pengganti inti (Gambar 38H). Inti-inti mikro dengan kandungan DNA yang lebih tinggi akibat endoreduplikasi dampak perlakuan kolkisin inilah yang pada akhirnya menghasilkan tanaman dengan kromosom yang mengganda.
Gambar 38. Siklus kromosom selama C-mitosis (Reider dan Palazzo, 1992)
Pada studi yang berbeda Famelaer et al. (2007) menemukan bahwa pengandaan kromosom diawali dengan pemblokan mitosis dari pembelahan, penyebaran kromosom metafase pada G2 , pengelompokan ulang kromosom, pembentukan dinding sel inti pada satu atau kromosom yang mengalami
166
pengelompokan ulang, restitusi inti dengan kandungan DNA yang digandakan. Sel tanaman yang diberi perlakuan kolkisin mempunyai jumlah inti yang relatif rendah pada saat G1 dan jumlah inti yang tinggi pada saat G2 . Sedangkan pada sel tanaman yang tidak diberi perlakuan memiliki jumlah inti yang rendah pada saat fase S (sintesa) (Tambong et al., 1998). Penggandaan kromosom pada plantlet haploid hasil kultur antera anturium, menghasilkan tanaman haploid ganda dan triploid. Tamanan yang mengganda kromosomnya memiliki penampilan dan ukuran bagian-bagian tanaman yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang tidak mengganda. Tanaman lebih tinggi dan segar, dengan daun yang lebih lebar dan tebal. Perubahan positif dampak perlakuan kolkisin juga dilaporkan pada Crocus sativus (Zaffar et al., 2003), lavender (Urwin et al., 2007), Lespedeza formosa (Wei et al., 2007).
Keragaman tanaman dalam kultur antera anturium
Keragaman tanaman hasil kultur antera pada anturium merupakan satu konsekuensi logis sebagai dampak langsung pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi tanaman yang berasal dari kalus seperti yang juga telah dibuktik an pada kultur antera lili (Han et al., 1997), asparagus (Pontaroli dan Camadro, 2005), kentang (Fleming et al., 2008), pepaya (Rimberia et al., 2008) dan kubis (Ockendon, 2008). Kalus yang berasal dari sel-sel dinding antera yang terus bertumbuh dan berkembang menghasilkan keragaman, (1) warna dan jenis kalus, (2) tipe pertumbuhan kalus, (3) morfo logi kalus, (4) ploidi eksplan pada tingkat laboratorium. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan pada kultur antera anturium kultivar Carnaval (Winarto dan Mattjik, 2009a), lokal (Winarto dan Mattjik, 2009b), kultivar Laguna, Casino dan Safari. Variasi produk kultur antera pada level in vitro menghasilkan variasi tanaman hasil kultur antera yang telah tumbuh dan teradaptasi pada rumah kaca. Hasil karakterisasi tanaman menunjukkan adanya keragaman bentuk, ukuran, warna tanaman/daun/spate/spadik, posisi bunga dibandingkan daun, posisi spadik dibandingkan tangkai bunga, dll. Variasi tersebut terutama disebabkan oleh adanya
167
variasi somaklonal (Roylance et al., 1994; El-Dougdoug et al., 2007), akibat penggunaan ZPT (Aswath dan Chaudary, 2002, Mori et al., 2005; Kumar dan Kanwar, 2007), terutama 2,4-D (Mishiba et al., 2001). Variasi tersebut juga terjadi akibat penggandaan jumlah kromosom (fusi endo- mitosis), perubahan struktur kromosom (pindah silang), perubahan gen dan sitoplasma (Hutami, et al., 2006). Meskipun tidak setiap variasi memiliki nilai ekonomi dan potensi yang baik sebagai sumber genetik pembangun karakter tanaman, namun beberapa diantaranya memiliki potensi dikembangkan sebagai anturium potong, pot dan tetua persilangan yang baik pada pengembangan anturium. Keragaman tanaman hasil kultur antera anturium juga meningkatkan karagaman genetik tanaman. Keragaman tersebut menjadi salah satu prasyarat penting dalam pemuliaan tanaman (Mariska dan Lestari, 2003; Imelda et al., 2007; Syahid, 2008). Keragaman genetik tanaman juga menjadi donor penting dalam aplikasi studi penanda genetik (Sales et al., 2001, Nemri et al., 2007), variasi ukuran genom (Bennetzen et al., 2005), variasi berat kering biomasa (Sparnaaij and Bos, 1996), kariotipe (Setyawan dan Sutikno, 2000), dll. Meskipun keragaman genetik pada anturium bukan menjadi masalah krusial dalam pemuliaan, namun meningkatnya keragaman genetik meningkatkan juga kesempatan memilih tanaman dengan karakter uniknya untuk berbagai tujuan pengembangan anturium.
Prospek pemanfaatan teknologi kultur antera anturium Androgenesis melalui kultur antera berhasil dikembangkan pada penelitian ini. Androgenesis tersebut meliputi tahap (1) inisiasi kalus, (2) regenerasi kalus membentuk tunas, (3) penyiapan plantlet dan penggandaan kromosom, dan (4) evaluasi regeneran hasil kultur antera anturium, baik evaluasi ploidi maupun karakterisasi tanaman. Dihasilkan beberapa penemuan penting, yaitu (1) formula media dasar MW-1 dan MWR-3, (2) setengah antera yang diisolasi secara langsung tanpa perlakuan yang dikultur dalam posisi terlentang menjadi teknik isolasi yang sesuai untuk kultur antera anturium, (3) penyiapan plantlet haploid, (4) metode pengandaan kromosom, (4) dua metode pewarnaan kromosom (modifikasi metode Darnaedi (1991) dan Sharma-Sharma (1994)), (5) metode estimasi ploidi
168
tanaman secara tidak langsung melalui penghitungan jumlah kloroplas pada sel pelindung stomata, (6) pedoman karakterisasi tanaman berbasis UPOV TG/86 yang telah diadaptasikan untuk anturium lokal. Prospek pemanfaatan hasil penelitian dimasa yang akan datang: 1. Androgenesis melalui kultur antera yang ditemukan dalam penelitian ini memberikan peluang produksi tanaman haploid ganda pada anturium lain yang bernilai ekonomi tinggi baik bunga potong maupun tanaman pot. Tersedianya
banyak
tanaman
haploid
ganda
diharapkan
dapat
meningkatkan program-program pemuliaan dan perbenihan anturium sebagai roda penggerak kemajuan agribisnis anturium di Indonesia. 2. Metode
kultur
antera
tersebut
dapat
menjadi
metode
alternatif
pengembangan teknologi haploid untuk jenis Araceae yang lain, seperti Spatiphyllum. 3. Pemanfaatan MW-1
dan MWR-3 sebagai
medium
dasar
dalam
pengembangan teknologi kultur jaringan anggota famili Araceae yang lain untuk tujuan perbanyakan masa dan penyiapan benih yang berkualitas. 4. Pemanfaatan metode pewarnaan kromosom terseleksi untuk deteksi ploidi dan berbagai studi kromosom pada tanaman lain.
Arah pengembangan dan perbaikan teknologi kultur antera anturium
Teknologi kultur antera untuk penyediaan tanaman haploid atau haploid ganda pada anturium memang telah berhasil dikembangkan dalam penelitian ini. Akan tetapi kultur antera tersebut masih diperhadapkan pada beberapa kendala terkait dengan sistem dan kualit as produk yang dihasilkan. Pada penelitian ini, kultur antera berhasil dikembangkan melalui sistem organogenesis tidak langsung. Akibatnya proses produksi tanaman haploid dan haploid ganda memerlukan tahapan dan proses yang lebih panjang, sejak pembentukan kalus hingga evaluasi tanaman yang dihasilkan. Disamping itu kualitas tanaman haploid dan haploid ganda yang dihasilkan masih memerlukan perbaikan. Oleh karena itu arah pengembangan dan perbaikan teknologi kultur antera anturium perlu dilakukan
169
untuk meningkatkan efisiensi dan dan kualitas produk yang dihasilkan. Beberapa aspek penting yang perlu dilakukan untuk mencapai hal tersebut diuraikan dalam bagan alir dibawah ini:
Kultur Antera Anturium
Penyiapan tanaman donor
Perbaikan formula media terseleksi à embryogenesis sel gamet jantan
Perbaikan sistem kultur dan inkubasi
Perbaikan teknik penggandaan kromosom
Perbaikan sistem evaluasi sitologi dan fenotipe tanaman
Teknologi kultur antera yang efektif dan efisien melalui embriogenesis dan tanaman haploid ganda yang berkualitas
170
SIMPULAN UMUM
Simpulan
Dari rangkaian percobaan yang telah dilakukan maka dapat diambil simpulan umum sebagai berikut: 1. Androgenesis melalui kultur antera anturium berhasil dikembangkan dan menghasilkan tanaman haploid ganda yang memiliki arti penting pada pengembangan anturium melalui produksi hibrida unggul baru dan biji berkualitas. 2. Kultur antera anturium meliputi tahap (1) seleksi tanaman donor, (2) seleksi donor eskplan, (3) inisiasi kalus, (4) regenerasi kalus, (5) penyiapan plantlet haploid, (5) penggandaan kromosom, (6) evaluasi ploidi (7) evaluasi keragaman tanaman. 3. MW-1, MWR-3 dan beberapa variasi modifikasi terseleksi dapat digunakan untuk pembentukan kalus. Setengah antera diisolasi secara langsung tanpa perlakuan dengan posisi terlentang pada medium tersebut. 4. Regenerasi kalus dilakukan dengan mengkultur kalus pada MWR-3 yang mengandung 1.0 2,4-D dan 0.5 TDZ. 5. Plantlet haploid disiapkan dengan mengkultur tunas pada medium MS yang mengandung 0.2 mg/l BAP dan 0.02 mg/l NAA. 6. Penggandaan kromosom dilakukan dengan memberi perlakuan plantlet dengan 0.05% kolkisin selama 10 hari. 7. Evaluasi ploidi dilakukan menggunakan modifikasi metode Darnaedi (1991) atau Sharma dan Sharma (1994). 8. Evaluasi
tanaman
hasil
kultur
antera
anturium
dilakukan
dengan
mengkarakterisasi karakter-karakter tanaman dan distribusi keragamannya. UPOV TG/86 yang telah diadaptasikan untuk kondisi di Inddonesia digunakan sebagai panduan karaakterisasinya.
171
Saran
Kultur antera yang berhasil dikembangkan pada penelitian ini masih memiliki beberapa keterbatasan dan memerlukan perbaikan. Kegagalan induksi embriogenesis diduga dipengaruhi oleh tidak adanya penyiapan dan perlakuan tanaman donor. Ploidisasi yang solid belum berhasil dikembangkan melalui penelitian ini. Variasi dan perubahan kromosom juga belum berhasil dipelajari. Oleh karena itu beberapa hal penting disarankan untuk penelitian berikutnya, yaitu: 1. Perlu dilakukan penyiapan dan perlakuan tanaman donor pada ruang khusus (growth chamber) setelah kuncup bunga terlihat untuk meningktkan peluang embriogenesis. Setelah kuncup bunga terlihat tanaman disimpan pada ruangan terkontrol dengan suhu 10ºC konstan / 5ºC periode malam10ºC periode siang / 10ºC periode malam-15ºC periode siang / 15ºC periode malam-20ºC periode siang dengan kelembaban 65-70% dan intensitas cahaya 150-200 µE.m-2.s-1 /35,000-50,000 lux dengan 16 jam lama penyinaran. 2. Perlu penelitian khusus terkait dengan aplikasi beberapa bahan penting (PVP, asan askorbat, asam sitrat, asam carnosik, rosmanol, perak nitrat, gluthation, putrescin, dll) untuk mengatasi pencoklatan eksplan. 3. Perlu perbaikan formula medium dasar MW-1, MWR-3 dan modifikasinya yang diarahkan untuk menginduksi terbentuknya embrio dan/atau kalus embriogenik. 4. Perlu perbaikan kultur dan aplikasi kolkisin pada tahap kalus untuk mendapatkan ploidisasi tanaman yang solid. 5. Perlu perbaikan modifikasi metode Darnaedi (1991) dan Sharma -Sharma (1994) untuk meningkatkan kualitas pewarnaan kromosom
172
DAFTAR PUSTAKA
Abdelwahd, Hakam RN, Labhilili M, Udupa SM. 2008. Use of an adsorbent and antioxidants to reduce the effects of leached phenolics in in vitro plantlet regeneration of faba bean. African J. Biotech. 7(8): 997-1002 Abdoli M, Moieni A, Dehghani H. 2007. Effects of cultivar and agar concentration on in vitro shoot organogenesis and hyperhydricity in sunflower (Helianthus annuus L.). Pak. J. Bot., 39(1): 31-35 Abdolzadeh A, Shima K, Lambers H, Chiba K. 2008 Change in uptake, transport and accumulation of ions in Nerium oleander (rosebay) as affected by different nitrogen sources and salinity. Ann Bot (Lond). 102(5): 735-746. Ahmad Z. 1993. A Study of The Chemical Manipulations Involved in The Clonal Propagation of Pistacia Vera. Thesis. Institute of Chemistry University of the Punjab, Lahore. 235 pages Altamura MM, Cersosimo A, Majoli C, Crespan M. 1992. Histological study of embryogenesis and organogenesis from anthers of Vitis rupcstris du Lot cultured in vitro. Protoplasma 171:134-141. Andersen SB. 2003. Doubled haploid production in poplar. pp: 293-296. In: Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I (Eds.) Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston/London Anonim. 2004. Impor Benih Tanaman Hortikultura 2004. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura. Jakarta. 7Halaman _______, 2006. Anturium. Portal Pertanian Indonesia. www.trubus-online.com. _______. 2008. Cara Mengatasi Browning Dalam Kultur Jaringan http://kjtvedca.blo gspot. com /2008/11/cara-mengatasi- browning-dalamkultur.html. Data akses. 11.September 2008 _______. 2009. Beberapa Teknik Khusus Dalam Pemuliaan Tanaman. http://fp.uns.ac.id/~hamasains/bab8pemuliaan.htm. Data akses 19 Juni 2009. Anonymous. 1991. US Patent 5017491 - Process for regenerating sunflowers by embryogenesis. US Patent Issued on May 21, 1991. http://www.patentstorm.us/patents/5017491/ fulltext.html Access date: 3 Juni 2009
173
Anonymous. 2009a. Plant Tissue Culture. www.oup.com/uk/orc/bin/780199254682 /ch02.pdf - Access date 12 June 2009 __________. 2009b. Other factors affecting androgenesis. http://www.molecularplant-biotechnology.info/plant-tissue -culture/other- factors-affectingandrogenesis.htm . Access date 4 June 2009. __________. 2009c. Primary Carbohydrate Metabolism in Plants http://people.ok.ubc.ca/neggers/Chem422A/Plant%20Carbohydrate%20Me tabolism.pdf. Access date 16 September 2009. Anthura. 2009. Top 10 of Anturium in the market. Anthurinfo. April. 2009. 4 phages Arnaldos TL, Muñoz R, Ferrer MA, Calderón AA. 2008. Changes in phenol content during strawberry (Fragaria×ananassa, cv. Chandler) callus culture. Physiol. Plant. 113(3): 315 – 322 Arora R, Bojwani SS. 1988. Production of androgenic plants through pollen embryogenesis in anther cultures of Brassica carinata A. BRAUN . Biol. Plant. 30 (1) : 25-29. Arregui LM, Veramendi J, Mingo-Castel AM. 2003. Effect of gelling agents on in vitro tuberization of six potato cultivars. Am. J. Pot. Res. 5 pages. Aruga K, Nakajima T. 1985. Role of anther on pollen embryogenesis in anther culture of Nicotiana tabacum L. Japan J. Breed. 35: 390-397. Arzate-Fernandez AM, Nakzaki T, Yamagata H, Tanisaka T. 1997. Production of double haploid plants from Lilium longiflorum Thunb. Anther culture. Plant Sci. 123: 179-187. Ashok-Kumar HG, Murthy HN. 2004. Effect of sugars and amino acids on androgenesis of Cucumis sativus. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 78(3): 201-208 Aswath C, Biswas B. 1999. Anturium. pp: 198-213. In: Biotechnology of Horticultural Crops. Parthasarathy VA, Bose TK, Das P. (Eds.). Vol. 3. Naya Prokash. India. Aswath CR, Choudhary ML. 2002. Rapid Plant Regeneration From Gerbera jamesonii Bolus Callus Cultures. Acta Bot. Croat. 61 (2): 125–134. Auer CA, Laloue M, Cohen JD, Cooke TJ. 1992. Uptake and metabolism of benzyladenine during shoot organogenesis in Petunia leaf explants. Plant Growth Regul. 11: 105-114.
174
Augustine ST, 2009. Taxonomy and Biology of Anturium. http://sta.uwi.edu/ anturium/ strengths_opportunities.asp. Access date 28 September 2009 Aziz AN, Seabrook JEA, Tai GCC, De Jong H. 1999. Screening diploid Solanum genotypes responsive to different anther culture conditions and ploidy assessment of anther-derived roots and plantlets. Amer. J. Pot. Res. 76: 916. Baker BS, Bhatia SK. 1993. Factors effecting adventitious shoot regeneration from leaf explants of quince (Cydonia oblonga). Plant Cell, Tissue and Organ Cult 35(3): 273-277 Ball ST, Zhou H, Konzak CF. 1992. Sucrose Concentration and Its Relationship to Anther Culture in Wheat. Crop Sci 32:149-154. Barnabas, B. 2003. Anther culture of maize (Zea mays L.) pp: 103-108. In: Advances in Haploid Production in Higher Plants. Touraev A, Brian P, Forster S, Mohan-Jain S. Springer Publisher. The Netherlands Beaudoin-Eagan LD, Thorpe TA. 1983. Shikimate Pathway Activity during Shoot Initiation in Tobacco Callus Cultures. Plant Physiol. 73: 228-232 Beck SL, Dunlop RW, Fossey A. 2003. Stomatal length and frequency as measure of ploidy level in black wattle, Acacia mearnsii (de Wild). Bot. J. Linnean Soc. 141: 177-181. Bendich AJ. 2007. The size and form of chromosomes are constant in the nucleus, but highly variable in bacteria, mitochondria and chloroplasts BioEssays 29(5): 474-483. Bennetzen JL, Ma J, Devos KM. 2005. Mechanisms of recent genome size variation in flowering plants. Ann Bot (Lond). 95(1):127-32 Bermawie N, Ajijah N, Rostiana O. 2002. Karakterisasi morfologi dan mutu adas (Foeniculum vulgare MILL.) Bul. Tan. Rempah Obat 13(2): Abstrak Biggs RH, Sherman WB.1980. Some Factors Affecting Callus Production By Peach Anthers. Proc. Fla. State Hort. Soc. 93:106-108. Blancke MM, Belcher AR. 1989. Stomata of apple leaves cultured in vitro. Plant Cell Tissue Organ Cult. 19: 85-89. Bornman CH, Vogelmann TC. 2008. Effect of rigidity of gel medium on benzyladenine-induced adventitious bud formation and vitrification in vitro in Picea abies. Physiol. Plant. 61(3): 505 – 512
175
Bouman H, De Klerk GJ. 2001. Measurement of the extent of somaclonal variation in begonia plants regenerated under various conditions. Comparison of three assays. Theor. App. Genet . 102(1): 111-117. Bouman H, Tiekstra A. 2001. Mineral nutrition in tissue culture: Influence on propagation and quality of the plantlets. Pp: 316-317. In: Plant Nutrition – Horst WJ. et al. (Eds.) Food Security and Sustainability of Agroecosystems. Kluwer Academic Publishers. The Netherlands. Bridgen MP. 1994. A review of plant embryo culture. Hort. Sci. 29:1243-1245. Budhiprawira S, Saraswati D. 2006. Anturium. Penebar Swadaya. Jakarta. 92 Halaman Burbulis N, Blinstrubiene A, Sliesaravicius A, Venskutoniene E. 2005. Influence of genotype, growth regulators, sucrose level and preconditioning of donor plants on flax (Linum usitatissimum L.) anther culture. Acta Biol Hung. 56(3-4):323-31. Butterfass T. 1983. A nucleotypic control of chloroplast reproductio n Protoplasma 118(1): 71-74. Büyükkartal HN, Çölgeçen H, Marasali B. 2005. Development of Anther Wall Throughout Microsporogenesis in Vitis vinifera L. Cv. Çavus. Int. J. Agric. Biol. 7(4): 616–620 Callotte V. 2004. Anturium aristocracy. New Zealand Garden. J. 7(1): 3-5 Campion BE, Perri MT, Azzimonti, Vicini E, Schiavi M. 1995. Spontaneous and induced chromosome doubling in gynogenic lines of onion (Allium cepa L.). Plant breed. 114(3): 243-246 Cao W, Tibbitts TW . 1993. Study of various NH4+/NO3- mixtures for enhancing growth of potatoes. J Plant Nutr. 16(9):1691-1704 Caperta AD. et al. 2006. Colchicine-induced polyploidization depends on tubulin polymerization in c-metaphase cells. Protoplasma. 227(2-4): 147-153. Cardi T, Iannamico V, D'ambrosio F, Filippone E, Lurquin PF. 1993. In vitro regeneration and cytological characterization of shoots from leaf explants of three accessions of Solanum commersonii. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 34(1): 107-114. Cardoso MB, Bodanese-Zanettini MMH, De Mundstock E, Kaltchuk-Santos EK. 2007. Evaluation of Gelling Agents on Anther Culture: Response of Two Soybean Cultivars. Braz. Arch. Biol. Tech. 50(6) : pp.933-939.
176
Caredda S, Doncoeur C, Deveux P, Sangwan RS, Clement C. 2000. Plastid differentioation during androgenesis in albino and non-albino producing cultivars of barley (Hordeum vulgare L.). Sex. Plant Reprod. 13: 95-104. Carroll, N. 2007. The Pollination of Anturium Flowers. http://www.aroid.org/ TAP/Articles/ anthpollination.php. Access date 28 September 2009 Cavallini A, Lupi MC. 2006. Cytological Study of Callus and Regenerated Plants of Sunflower (Helianthus annuus L.) Plant Breed. 99: 203-238 Cellárová E, Rychlová M, Seidelová A, Hon riv R. 2004. Comparison of mitotic activity and growth in two long term callus cultures of Matricaria recutita L. Acta Biotech. 10(3): 245-251 Chani E, Veilleux RE, Boluarte-Medina T. 2000. Improved androgenesis of interspeci?c potato and ef?ciency of SSR markers to identify homozygous regenerants. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 60: 101–112. Chaturvedi R, Razdan MK, Bhojwani SS. 2003. Production of haploids of neem (Azadirachta indica A. Juss.) by anther culture. Plant Cell Rep. 21(6):531537. Chaudhari HK, Barrow JR. 1975. Identification of Cotton Haploids by Stomatal Chloroplast-count Technique. Crop Sci. 15: 760-763. Chauhan M, Kothari SL. 2004. Optimization of nutrient levels in the medium increases the efficiency of callus induction and plant regeneration in recalcitrant indian barley (Hordeum vulgare L.) in vitro. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant 40(5):520-527. Chauvin JE, Marhadour S, Cohat J, Le Nard M. 1999..Effects of gelling agents on in vitro regeneration and kanamycin efficiency as a selective agent in plant transformation procedures. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 58(3): 213217. __________, Souchet C, Dantec JP, Ellissèche D. 2003. Chromosome doubling of 2x Solanum species by oryzalin: method development and comparison with spontaneous chromosome doubling in vitro. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 73(1): 65-73. Chen FC, Kuehnle AR, Sugii N. 1997. Anturium roots for micropropagation and Agrobacterium mediated gene transfer. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 49: 71-74. Chen G, Sun WB, Sun H. 2009. Morphological characteristics of leaf epidermis and size variation of leaf, ?ower and fruit in different ploidy levels in Buddleja macrostachya (Buddlejaceae). J. Sys. Evol. 47 (3): 231–236.
177
Chen JDB, McConnel, Henny RJ, Everitt KC. 2001. Cultural Guidelines for Commercial Production of Interiorscape Anturium. University of Florida IFAS Extension. 7p. Chen JT, Chang WC. 2000. Efficient plant regeneration trough somatic embrogenesis from callus cultures of Oncidium (Orchidaceae). Plant Sci. 160:87-93 Chen UC, Chueh FS, Hsia CN, Yeh MS, Tsay HS. 2005. Influence of 2,4dichlorophenoxyacetic Acid on Leaf Callus Induction, proliferation and Saikosaponin Formation of in vitro Bupleurum kaoi Liu, Chao et Chuang. Crop, Envi. Bioinfo. 2: 39-49 Chen Y, Kenaschuk E, Drebnenki P. 1998. High frequency of plant regeneration from anther culture in flax (Linum usitatissimum L.) Plant Breed. 117: 463467. Chen Y, Dribnenki P. 2004. Effect of medium osmotic potential on callus induction and shoot regeneration in flax anther culture. Plant Cell Reps. 23(5):272-276. Chen ZZ, Snyder S, Fan ZG, Loh WH. 1994. Efficient production of doubled haploid plants through chromosome doubling of isolated microspores in Brassica napus. Plant breed. 113(3): 217-221. Chiancone B, Tassoni A, Bagni N, Germana MA. 2006. Effect of polyamines on in vitro anther culture of Citrus clementina Hort. ex Tan. Plant Cell Tiss Organ Cult. 87:145–153. Chu et al. 1975. Establishment of an efficient medium for anther culture of rice through comparative experiments of the nitrogen sources. Sci. Sin. 18: 659668. Cistué L, Ramos A, Castillo AM. 1999. Influence of anther pre-treatment and culture medium composition on production of barley doubled haploids from model and low responding cultivars. Plant Cell, Tissue Organ Cult. 55: 159-166. Civínová B, Sladký Z. 1990. Stimulation of the regeneration capacity of tree shoot segment explants in vitro. Biol. Plan t. 32(6): 407-413 Corredor E, Naranjo T. 2007. Effect of colchicine and telocentric chromosome conformation on centromere and telomere dynamics at meiotic prophase I in wheat-rye additions. Chrom. Res. 15(2):231-45. Coruzzi G, Last R (2000) Amino acids. In: Buchanan B, Groissem W, Jones R (eds), Biochemistry & Biology of Plants, pp. 358-410. American Society of Plant Physiologists, USA.
178
Coumans MP, Zhong D. 1995. Doubled haploid sunflower (Helianthus annuus L.) plant production by androgenesis: fact or artifact? 1. In vitro isolated microspore culture. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 41: 203-20 Croat TB. 1992. Species diversity of Araceae in Columbia: preliminary survey. Ann. Missouri Bot. Garden. 79: 17-28. Currah L, Ockendon DJ. 1987. Chromosome doubling of mature haploid Brussels sprout plants by colchicine treatment. Euphytica 36(1): 167-173 Custer JBM. 2004. Preliminary research in anther culture of anturium. HAPLIN Report, Number 20. HORTIN Project. 6 pages. Darnaedi D. 1991. Informasi Kromosom. Pelatihan Sitogenetika. PAU Ilmu Hayat, IPB. 5 November 1991. Bogor. Das AB, Rout GR, Das P. 1995. In vitro somatic embryogenesis from callus culture of the timber yielding tree Hardwickia binata Roxb. Plant Cell Rep. 15:147-149. Davies PA, Morton S. 1998. A comparison of barley isolated microspore and anather culture and the influence of cell culture density. Pant Cell Reps. 17(206): 210. Decruse SW, Seeni S. 2002. Ammonium nitrate in the culture medium influences regeneration po tential of cryopreserved shoot tips of Holostemma annulare. Cryolett. 23(1): 55-60. Dhanasekera DMUB. 1998. Cut Flower Production in Sri Langka. http://www.fao.org/documents/show_cdr.asp?url_file=/DOCREP/005/AC4 52E/AC452E00.HTM Access date December 15th, 2006 Dias JS. 2001. Effect of incubation temperature regimes and culture medium on brocoli microspore culture embryogenesis. Euphytica 119: 389-394. Dixon, R.A. (Eds). 1985. Plant Cell Culture : A practical approach. IRL Press. Oxford. Washington DC. P. 21-35. Dolezel J, Novák FJ. 1984. Cytogenetic effect of plant tissue culture medium with certain growth substances on Allium sativum L. meristem root tip cells. Biol. Plant. (26(4): 293-298 _________, Lucretti S, Novák FJ. 1987. The influence of 2,4dichlorophenoxyacetic acid on cell cycle Kinetics and Sister-Chromatid Exchange Frequency in Garlic (Allium sativum L.) Meristem Cells. Biol. Plant. 29(4): 253-257.
179
Dolezel J. 1991. Flow cytometric analysis of nuclear DNA content in higher plants. Phytochem. Anal. 2: 143-154. Duffy, B. 2000. Survival of the Anturium blight patogen Xanthomonas axonopodis pv. dieffenbachiae, in field crop residues. European J. Plant Path. 106: 291-295. Dumas E, Monteuuis O. 1995. In vitro rooting of micropropagated shoots from juvenile and mature Pinus pinaster explants: influence of activated charcoal. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 40: 231-235 Dunwell, JM, Thurling N. 1985. Role of Sucrose in Microspore Embryo Production in Brassica napus ssp. oleifera J. Exp. Bot. 36(9): 1478-1491. Dunwell, J.M. 1996. Microspore culture. In: Mohan Jain, S., S.K. Sopory and R.E. Veileux (Eds.). In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht/Boston/London. 1: 177-245. Dyer WE, Henstrandt JM, Handat AK, Herrmann KM. 1989. Wounding induces the first enzyme of the shikimate pathway in Solanaceae (3-deoxy-Darabino-heptulosonate-7-phosphate synthase). Proc. Nati. Acad. Sci. USA 86: 7370-7373. Eeckhaut T, Werbrouck S, Dendauw J, van Bockstaele E, Debergh P. 2001. Induction of homozygous Spatiphyllum wallisii genotypes through gynogenesis. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 67: 181-189. Eenink AH, Alvarez JM. 1975. Indirect selection for tetraploidy in lettuce (Lactuca sativa L.) Euphytica 24(3): 661-668. El-Dougdoug, Kh A, El- Harthi HMS, Korkar HM, Taha RM. 2007. Detection of some nuclear variations in banana tissue culture using isozyme an DNA fingerprint analysis. J. App. Sci. Res. 3(7): 622-627. El-Hadrami I, D'auzac J. 1992. Effects of Growth Regulators on Polyamine Content and Peroxidase Activity in Hevea brasiliensis callus. Ann. Bot. 69: 323-325. Espinoza N. et al. 1992. Tissue Culture: Micropropagation, Conservation and Export Potato Germplasm. CIP Reseach Guide 1. CIP, Lima, Peru Evans A. 2006. Anturium sets sail to: Tropical Plants. FlowerTECH. 9(2): 6-8.
180
Famelaer I, Verhoeven HA, Dijkhuis P, Ramulu KS. 2007. A study of the process of synchronisation and micronucleation in Beta vulgaris and the monitoring of an isolation procedure for micro-nuclei and microprotoplasts by confocal laser scanning microscopy and flow cytometry . Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 90(2): 169-179. Fei XL, Wang MF, Dong L. 2009. Plant regeneration from in vitro cultured leaves of Lanzhou lily (Lilium davidii var. unicolor). Sci. Hort. 119(4): 458-461. Ferrie AMR, Palmer CE, Keller WA. 1995. Haploid embryogenesis. p: 309344. In: In Vitro Embryogenesis in Plants. Thorpe TA (Ed.) Kluwer Academic Publishers. Dordrecht/Boston/London. Fleming, M.L.M.H., M.J. De Maine and W. Powell. 2008.Ploidy doubling by callus culture of potato dihaploid leaf explants and the var iation in regenerated plants. Ann. App. Biol. 121(1): 183 – 188 Fras A, Juchimiuk J, Siwinska D, Maluszynska J. 2007. Cytological events in explants of Arabidopsis thaliana during early callogenesis. Plant Cell Reps. 26(11): 1933-1939. Fras A, Maluszynska J. 2004. The correlation between the chromosome variation in callus and genotype of explants of Arabidopsis thaliana. Genetica 121(2): 145-154. Forster BP, Thomas WTB. 2003. Doubled haploide in genetic mapping and genomics. pp: 367-390. In: Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP and Szarejsko I (Eds.) Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston/London Fu XP, Yang SH, Bao MZ. 2008. Factors affecting somatic embryogenesis in anther cultures of Chinese pink (Dianthus chinensis L.) In Vitro Cell. Dev. Biol.- Plant, 44(3):194-202 Fukuhara T. 2005a. Pollen grain size in four ploidy levels of genus Avena. Euphytica. 83(2): 103-108. __________. 2005b. Variation of pollen and ovule parameters among different ploidy levels of Corydalis (Fumariaceae). Plant Sys. Evol. 224(1-2): 1-12. Fukui K. 1996. Plant Chromosomes at Mitosis. pp: 1-18. In: Fukui, K. and S. Nakayama (Eds.) Plant Chromosomes: Laboratory Methods. CRC Press. Boca Raton. Ganga M, Chezhiyan N, Kumar N, Soorianathasundaram K. 2002. Stomatal and chloroplast traits as ploidy assessment techniques for ploidy screening of in vitro induced tetraploids of banana. Phytomorph. 52(2-3): 113-120
181
Geier T. 1986. Factor affecting plant regeneration from leaf segments of Anturium scherzerianum Schott (Araceae ) cultured in vitro. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 6: 115-125. _______. 1987. Micropropagation of Anturium scherzerianum: Propagation schemes and plant conformity. Acta Hort. 212: 439-443. _______. 1988. Ploidy variation in callus and regenerated plants of Anturium scherzerianum Schott. Acta Hort. 226: 293-298. _______. 1990. Anturium. In: Aminirato PV, Evans DA, Sharp WR & Bajaj YPS. (Ed.) Handbook of Plant Cell Culture, Orna mental Species, Vol. 5 (pp 228252). McGraw-Hill, New York. George EF, 1993. Plant Propagation by Tissue Culture: The Technology. 2nd Exegetics Ltd. Edington, Wilts. England _________, Hall MA, De Klerk GJ. 2007. Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition: Volume 1. The Background. Exegetic Basingstone. UK. 508 pages. George EF, Hall MA, De Klerk GJ. 2008. The Components of Plant Tissue Culture Media I: Macro- and Micro-Nutrients pp: 65-113. In: George EF, Hall MA and De Klerk GJ (Eds). Plant Propagation by Tissue Culture: The Background. Vol. 1. 3rd Edition Springer. Netherlands. _________, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Exegetics Limited, England. 709p Germana MA, Crescimmano FG, Motisi A. 2000. Factor affecting androgenesis in Citrus clementina Hort. ex. Tan. Adv. Hort. Sci. 14(2): 43-51. ___________. 2003. Haploids and doubled haploids in Citrus spp. pp: 303-308. In: Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP and Szarejsko I (Eds.) Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP and Szarejsko I (Eds.). Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston/London ___________. 2006. Doubled haploid production in fruit crops. Plant Cell, Tissue and Organ Cult . 86:131–146 Gow WP, Chen JT, Chang WC. 2008. Effects of genotype, light regime, explant position and orientation on direct somatic embryogenesis from leaf explants of Phalaenopsis orchids. Acta Physiol. Plant. P: 1-7
182
Gow WP, Chen JT, Chang WC. 2009. Effects of genotype, light regime, explant position and orientation on direct somatic embryogenesis from leaf explants of Phalaenopsis orchids. Acta Physiol Plant 31:363–369 Gu HH, Zhou WJ, Hagberg P. 2003. High frequency spontaneous production of doubled haploid plants in microspore cultures of Brassica rapa ssp. chinensis. Euphytica 134: 239–245 Guevin TG, Kirby EG. 1997. Induction of embryogenesis in cultured mature zygotic embryos of Abies fraseri (Pursh) Poir. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 49: 219–222. Guha S, Maheshwari SC. 1964. In vitro production of embryos from anthers of Datura. Nature. 204: 496. ___________________. 1966. Cell division and differentiation of embryos in the pollen grains of Datura innoxia . Nature 212: 97-98. Guo YD, Sewon P, Pulli S. 1999. Improved embryogenesis from anther culture and plant regeneration in timothy. Plant Cell Tissue Organ Cult. 57: 85-93. Gürel S, Gülsen Y. 1998. The Effects of Different Sucrose, Agar and pH Levels on In Vitro Shoot Production of Almond (Amygdalus communis L.) Tr. J. of Bot. 22 (1998) 363-373 Hamasaki RM, Purgatto E, Mercier H. 2005. Glutamine enhances competence for organogenesis in pineapple leaves cultivated in vitro Braz. J. Plant Physiol. 17(4): 14 pages Hamidah M, Karim AGA, Debergh P. 1997. Somatic embryogenesis and plant regeneration in Anturium scherzerianum . Plant Cell Tissue and Organ Cult. 48: 189-193 Han DS, Niimi Y, Nakano M. 1997. Regeneration of haploid plants from anther cultures of the Asiatic Irbid lily ‘Connecticut King’. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 47: 153-158. Hansen NJP, Andersen SB. 1998. In vitro chromosome doubling with colchicine during microspore culture in wheat (Triticum aestivum L.) Euphytica 102(1): 101-108 __________, Andersen SB. 2006. Efficient production of doubled haploid wheat plants by in vitro treatment of microspores with trifluralin or APM. Plant Breed. 117(5): 401-405. Herman. 2000. Control of Browning during Explant Establishment. Agricell Report.
[email protected] . Access date: 6 November 2008
183
Hermsen JGT, Ramanna MS. 1981. Haploidy and plant breeding. Biol. Sci. 292(1062): 499-506. Hildebrand DF, Harper JE, Hymowitz T. 1981. Effects of nitrate level on nitrogen metabolism in winged bean and soya bean. Ann. Bot. 48:307-314 Ho I, Wan Y, Widholm JM, Rayburn AL. 2006. The Use of Stomatal Chloroplast Number for Rapid Determination of Ploidy Level in Maize. Plant Breed. 105(3): 203-210. Höfer M. 2003. In vitro androgenesis in apple. pp: 287-292. In: Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP and Szarejsko I (Eds.). Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston/London ________. 2004. In vitro androgenesis in apple—improvement of the induction phase. Plant Cell Reps. 22:365–370 ________, Touraev A, Heberle-Bors E. 1999. Induction of embryogenesis from isolated apple microspores. Plant Cell Reps. 18: 1012-1017. Hong PI, Chen JT, Chang WC. 2008. Promotion of direct somatic embryogenesis of Oncidium by adjusting carbon sources Biol. Plant. 52(3): 597-600. Hoque A, Arima S. 2002 .Overcoming Phenolic Accumulation during Callus Induction and In Vitro Organogenesis in Water Chestnut (Trapa Japonica Flerov). In Vitro Cell. Dev. Biol.—Plant. 38:342–346. ________, Biswas MK, Alam S. 2007. Variation of callus induction through anther culture in water chestnut (Trapa sp.). Turk J Biol 31: 41-45 Hoque M, Mansfield J. 2004. Effect of Genotype and Explant Age on Callus Induction and Subsequent Plant Regeneration from Root-derived Callus of Indica Rice Genotypes. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 78(3): 217-223. Huang LC, Lee YL, Huang BL, Kuo CI, Shaw JF. 2002. High polyphenol oxidase activity and low titratable acidity in browning bamboo tissue culture. In Vitro Cell. Dev. Biol. - Plant, 38(4): 358-365. Hussey G. 1982. In vitro Propagation of Narcissus. Ann. Bot. 49: 707-719 Hutami S, Mariska I, Supriati Y. 2006. Peningkatan Keragaman Genetik Tanaman melalui Keragaman Somaklonal. J. AgroBiogen 2(2):81-88
184
Igbinnosa I, Cardwell KE, Okonkwo SNC. 1996. The effect of nitrogen on the growth and development of giant itchweed, Striga hermonthica Benth.: effect on cultured germinated seedlings in host absence. European J. Plant Path. 102: 77-86. Imelda M, Estiati A, Sari L, Erlyandari F. 2007. Keseragaman Genetik Bibit Sungkai (Peronema canescens Jack) Hasil Kultur Jaringan. B i o d i v e r s i t a s. 8(1): 54-57. Ishimori T, Niimi Y. 2004. Similar effects of colchicine and low temperature on initiation and elongation of stems in bulblets developed on scales of 'white aga' (Lilium x formolongi) cultured in vitro. ISHS Acta Horticulturae 673: IX International Symposium on Flower Bulbs. www.actahort.org/members /showpdf ?booknrarnr =673_51. Access date 8 July 2009. Ishizaka H. 1998. Production of microspore-derived plants by anther culture of an interspecific F1 hybrid between Cyclamen persicum and C. purpurascens. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 54: 21-28. Jacobs JP, Yoder JI. 1989. Ploidy levels in transgenic tomato plants determined by chloroplast number. Plant Cell Reps 7:662-664. Jacob P, Pierret V. 1998. Pollen size and ploidy level in the genus Rosa. ISHS Acta Horticulturae 508: XIX International Symposium on Improvement of Ornamental Plants. www.actahort.org/members/showpdf?booknrarnr = 508_48. Access date 12 July 2009 Jin S, Mushke R, H. Zhu, L. Tu, Z. Lin, Y. Zhang and X. Zhang. 2008. Detection of somaclonal variation of cotton (Gossypium hirsutum ) using cytogenetics, flow cytometry and molecular markers. Plant Cell Reps. 27(8):1303-1316. Jong LH, Saad MRM, Hamir NA. 2001. Cut flower production in Malaysia. http:// www.fao.org/documents/show_cdr.asp?url_file=/DOCREP/005/AC4 52E/AC452E00.HTM Access date December 15th, 2006 Joseph D, Martin KP, Madassery J, Philip VJ. 2003. In vitro propagation of three commercial cut flower cultivars of Anturium andraeanum L. Hort. Indian J. Exp. Biol. 41: 154-159. Kahrizi D, Mohammadi R. 2009. Study of androgenesis and spontaneous chromosome doubling in barley ( Hordeum vulgare L.) genotypes using isolated microspore culture. Acta Agron. Hungarica 57(2): 155-164 Kamemoto H, Kuehnle AR. 1996. Breedings anturium in Hawaii. University of Hawaii Press, Honolulu, Hawaii.
185
Kamemoto H, Iwata RY, Marutani M. 1988. Genetic of the major spathe colors in anturium. Res. Series. Collage Tropical Agriculture and Human Resources. University of Hawaii. No: 056: 11p Kaneko K, Kamemoto H. 1978. Cytological studies of ”Kaumana” and ”Uniwa” anturium. J. Am. Soc. Hort. Sci. 103: 699-701. _________, Kamemoto H. 1979. Karyotype and B chromosomes of Anturium warocqueanum. J. Heredity. :70(4):271-272 Kartikaningrum S, Widiastoety D, Effendie K. 2004. Panduan Karakterisasi Tanaman Anggrek. Departemen Pertanian, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Komisi Nasional Plasma Nutfah. 24 halaman. Kasha KJ, Hu TC, Oro R, Simion E, Shim YS. 2001a. Nuclear fusion leads to chromosome doubling during mannitol pretreatment of barley (Hordeum vulgare L.) microspores. J. Exp. Bot. 52(359): 1227-1238 _________ et al. 2001b. An improved in vitro technique for isolated microspore culture of barley. Euphytica 120: 379-385. _________, Simion E, Miner M, Letarte J, Hu TC. 2003. Haploid wheat isolated microspore culture protocol. Pp: 77-81. In: Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I. (Eds.) Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston/London. Keatmetha W, Suksa-Ard P. 2004. Effects of rooting substrates on in vitro rooting of Anturium andreanum L. cv. Avanti. Walailak J. Sci & Tech 1(2): 49-55. Kim JY et al. 2001. Two polyphenol oxydase are differentially expressed during vegetative and reproductive development and in response to wounding in the Fuji apple, Plant Sci., 161: 1145-1152. Kim
KM, Baenziger PS, Rybczynski JJ, Arumuganathan K. 2003. Characterization of ploidy levels of wheat microspore-derived plants using laser flow cytometry. In Vitro Cell. Dev. Biol.- Plant 39(6):663-668.
Kim M, Kim J, Yoon M, Choi DI, Lee KL. 2004. Origin of multicellular pollen and pollen embryos in cultured anthers of pepper (Capsicum annuum). Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 77: 63–72. Kintzios S, Stavropoulou E, Skamneli S. 2004. Accumulation of selected macronutrients and carbohydrates in melon tissue cultures: association with pathways of in vitro dedifferentiation and differentiation (organogenesis, somatic embryogenesis). Plant Sci. 167(3): 655-664.
186
Kiss J et al. 2001. Morphological and RAPD analysis of poplar trees of anther culture origin. Euphytica 118: 213–221. Klíma M, Vyvadilová M, Kucera V. 2008. Chromosome Doubling Effects of Selected Antimitotic Agents in Brassica napus Microspore Culture. Czech J. Genet. Plant Breed. 44, (1): 30–36 Koornneef M et al. 1989. Chromosomal instability in cell- and tissue cultures of tomato haploids and diploids. Euphytica 43 : 179-186. Kopriva S et al. 2002. Interaction of Sulfate Assimilation with Carbon and Nitrogen Metabolism in Lemna minor. Plant Physiol. 130: 1406-1413. Kothari SL, Agarwal K, Kumar S. 2004. Inorganic Nutrient Manipulation for Highly Improved In Vitro Plant Regeneration in Finger Millet – Eleusine Coracana (L.) Gaertn. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant. 40(5): 515-519 Kozik EU et al. 2002. Morphological diversity of androgenic carrot plants. J. Appl. Genet . 43(1): 49-53 Krishna H et al. 2008. Mango explant browning: Effect of ontogenic age, mycorrhization and pre-treatments. Sci. Hort. 118(2):132-138 Kuehnle AR, Chen FC, Sugii N. 1992. Somatic embryogenesis and plant regeneration in Anturium andraeanum L. hybrids. Plant Cell Reports. 11: 438-442. ___________, Sugii N. 1991. Callus induction and plantlet regeneration in tissue cultures of Hawaiian Anturiums. HortSci. 26(7): 919-921. Kumar A, Sood A, Palni LMS, Gupta AK. 1999. In vitro propagation of Gladiolus hybridus Hort.: Synergistic effect of heat shock and sucrose on morphogenesis. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 57: 105–112. Kumar S, Kanwar JK. 2007. Plant Regeneration from Cell Suspensions in Gerbera jamesonii Bolus. J. Fruit Orna. Plant Res. 15: 157-166 Kunisaki, JT. 1980. In vitro propagation of Anturium andraeanum L. Lind. HortSci. 15(4): 508-509. Kush GS, Virmani SS. 1996. Haploids in plant breeding. pp: 11-33. In: Mohan Jain S, Sopory SK, Veileux RE. (Eds.) In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Volume 1. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston / London Laslo VA, Vicas S. 2008. The influence of certain phitohormons on organogenesis process for “in vitro” culture of apricot (Armeniaca vulgaris). Analele Universitatii din Oradea, Fascicula: Protectia Mediului, 13: 200-205
187
Last DI, Brettell RIS. 1990. Embryo yield in wheat anther culture is influenced by the choice of sugar in the culture medium . Plant CelI Reps. 9:14-16. Laukkanen H, Häggman H, Kontunen-Soppela S, Hohtola A (1999). Tissue browning of in vitro cultures of Scots pine: Role of peroxidase and polyphenol oxidase. Physiol. Plant. 106: 337-343 Laura M, Safaverdi G, Allavena A. 2006. Androgenetic plants of Anemone coronaria derived through anther culture. Plant Breed. 125: 629-634. Leguay JJ, Guern J. 1977. Quantitative Effects of 2,4-Dichlorophenoxyacetic Acid on Growth of Suspension-cultured Acer pseudoplatanus Cells: II. Influence of 2,4-D Metabolism and Intracellular pH on the Control of Cell Division by Intracellular 2,4-D Concentration. Plant Physiol. 60(2): 265–270. Leustek L, Martin MN, Bick JA, Davies JP. 2000. Pathways And Regulation of Sulfur Metabolism Revealed Through Molecular And Genetic Studies. Annu. Rev. Plant Physiol. Plant. Mol. Biol. 51: 141-165. Lichty JI, Nishijima WT. 1999. Fertilizer and media affect anturium cut flower production and quality. J. Hawaiian Pacific Agric. 10: 53-57. Lima FC et al. 2006. Anturium andraeanum Lindl. cv.Eidibel in vitro rooting and acclimatization with arbuscular mycorrhizal fungi. AGRARIA, Revista Brasileira de Ciências Agrárias. 1: 13-16 Lin YH, Chang C, Chang WC. 2000. Plant regeneration from callus culture of a Paphiopedilum hybrid. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 62(1): 21-25 Lipavska H, Konradova H. 2004. Somatic embryogenesis in conifers: The role of carbohydrate metabolism. In Vitro Cell. Biol.-Plant., 40: 23-30. Liu G, Li Z, Bao M. 2007. Colchicine-induced chromosome doubling in Platanus acerifolia and its effect on plant morphology. Euphytica 157(1-2): 145154. Lobreaux S, Thoiron S, Briat JF (1995). Induction of ferritin synthesis in maize leaves by an iron- mediated oxidative stress. Plant J. 8: 443-448. Maeda E, Villalobos VM, Sugiura T. 1978. Fine structure of the regenerating cells in Fragaria anther cultures. Japan. J. Breed. 28(2): 143-146. Malamug JJF, Yazawa S, Asahira T. 1992. Callus formation and multiplication in Taro. J. Japan. Soc. Hort. 60(4): 927-933.
188
Maluszynski M, SzarejskoI, Sigurbjornsson B. 1996. Haploidy and mutation techniques. In: Jain SM, Sopory SK, Veilleux RE. (Eds.). In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Vol.1. pp: 67-93. Kluwer Academic Publishers. Netherlands. ______________, Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I. 2003a. Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston / London. 428p ______________, Kasha KJ, Szarejsko I. 2003b. Published protocols for other crop plant species. pp: 309-336. In: Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I (Eds.) Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston/London Mariska I, Lestari EG. 2003. Pemanfaatan kultur in vitro untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman nilam. J. Litbang Pert. 22(2): 64-69. Marshall, M.R., J. Kim and C.I. Wei. 2000. Enzymatic Browning in Fruits, Vegetables and Seafoods. www.fao.com/browning explant/Enzymatic Browning.html. Access date 16 September 2009. Martin B, Widholm JM. 1996. Ploidy of small individual embryo- like structures from maize antera cultures treated with chromosome doubling agents and calli derived from them. Plant Cell Reps 15:781-785 Martin KP, Joseph D, Madassery J, Philip VJ. 2003. Direct shoot regeneration from lamina explants of two commercial cut flower cultivars of Anturium andraeanum L. Hort. In Vitro Cell. Dev. Biol-Plant. 39 (5): 500-504. _________, Geevarghese J, Madassery JDJ. 2005. In vitro propagation of Dendrobium hybrids using flower stalk node explants. Indian J. Exp Biol. 43(3): 280-285. Martinez L. 2003. In vitro gynogenesis induction and doubled haploid production in onion (Allium cepa L.). pp: 275-279. In: Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I (Eds.). Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston/London. Marutani M, Kamemoto H. 1983. Transmission and significance of B chromosomes in Anturium waroqueanum. Am. J. Bot 70: 40-46. ___________Sheffer RD, Kamemoto H. 1993. Cytological analysis of Anturium andreanum (Araceae), its related taxa and their hybrids. Am. J. Bot.. 80: 93-103. Masaaki D, Osamu K, Yuji N. 2000. Efficient anther culture method of the japonica rice cultivar Koshihikari. Breed Sci.. 50(3): 197-202
189
Matsubayashi Y, Sakagami Y. 1998 Effects of the medium ammonium- nitrate ratio on competence for asparagus cell division induced by phytosulfokinea. Plant Cell Reps. 17: 368–372 Matsumoto TK, Webb DT, Kuehnle AR. 1996. Histology and origin of somatic embryo derived from Anturium andraeanum Linden ex. Andre´ lamina. J. Am. Soc. Hort. Sci. 121: 404–407. Maynard JW, Lucas WJ. 1982. Sucrose and Glucose Uptake into Beta vulgaris Leaf Tissues. A Case for General (Apoplastic) Retrieval Systems. Plant Physiol. 70: 1436-1443 McClintock B. 1929. Step-by-step Instructions for Staining and Studying Plant Chromosomes. Stain Tech. 4:53-56. Mehra PN, Anand M. 2006. Callus of Pinus roxburghii (Chir pine) and its cytology. Physiol. Plant. 58(3): 282-286 Mishiba K, Okamoto T, Mii M. 2001 . Increasing ploidy level in cell suspension cultures of Doritaenopsis by exogenous application of 2,4dichlorophenoxyacetic acid. Physiol. Plant. 112(1): 142 - 148 Mohamed TR, Khalifa SF, El-Dine RMS. 2006. Leaf Protein Electrophoretic Profiles and Chromosome Numbers of Some Araceae Int. J. Agri. Biol., 8(2) : 231–234. Moraes LM, Faria RT, Cuquel FL. 2003. Activated charcoal for in vitro propagation of brazilian orchids. ISHS Acta Horticulturae 683: V International Symposium on New Floricultural Crops. www.actahort.org/members/showpdf booknrarnr =683_50- Access date 14 July 2009. Moreira da Silva MH, Debergh PC. 1997. The effect of light quality on the morphogenesis of in vitro cultures of Azorina vidalii (Wats.) Feer . Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 51: 187–193 Moreira-Dias JM, Molina RV, Bordón Y, Guardiola JL, García-Luis A. 2000. Direct and Indirect Shoot Organogenic Pathways in Epicotyl Cuttings of Troyer Citrange Differ in Hormone Requirements and in their Response to Light. Ann. Bot. 85: 103-110. Mori S, Adach Y, Horimoto S, Suzuki S, Nakano M. 2005. Callus Formation and Plant Regeneration In Various Lilium Species and Cultivars. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant. Pp. 783–788.
190
Mukhambetzhanov SK. 1997. Culture of nonfertilized female gametophytes in vitro. Plant Cell, Tisue and Organ Cult. 48: 111-119. Mukherjee SK, Rathinasabapathi B, Gupta N. 1991. Low sugar and osmotic requirements for shoot regeneration from leaf pieces of Solanum melongena L. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 25(1): 13-16 Mulyaningsih T, Nikmatullah A. 2009. Gaya Belajar Kultur Jaringan Melalui Publikasi World Wide Web. Fakultas Pertanian, Universitas Mataram http://e- learning.unram.ac. id/KulJar/Unsur Hara Dalam Media.htm. Akses data 30 April 2009 Murch SJ, Saxena PK. 2001. Molecular fate of thidiazuron and its effects on auxin transport in hypocotyls tissues of Pelargonium × hortorum Bailey. Plant Growth Regul. 35: 269–275 Naiki A, Nagamasu H. 2004. Correlation between distyly and ploidy level in Damnacanthus (Rubiaceae). Am. J. Bot. 2004;91:664-671 Nair GK. 2005. Anturium: a flower with potential in domestic, global markets. http://www.blonnet.com/2004/10/29/stories/2004102901111200.htm Access date December 15th, 2006 Narciso JO, Hattori K, Wada T. 1996. Histological observation of callus formation in Mungbean (Vigna radiata. (L.) Wilczek) cotyledon culture. Jpn. J. Crop. Sci. 65(4): 663-671. Navarro-Alvarez W, Baenziger PS, Eskridge KM, Hugo M, Gustafson VD. 2006. Addition of Colchicine to Wheat Anther Culture Media to Increase Doubled Haploid Plant Production. Plant Breed. 112(3): 192-198. Nel DD, Kotzé JM, Snyman CP. 1983. Progress In Tissue Culture of Avocado. South African Avocado Growers’ Association Year book . 6:90-91 Nemri A, Neff MM, Burrell M, Jones JDG, Studholme DJ. 2007. Marker development for the genetic study of natural variation in Arabidopsis thaliana Bioinformatics 23(22):3108-3109 Nhut DT, Le BV, Van KTT. 2001 Manipulation of The Morphogenetic Pathways of Lilium Longiflorum Transverse Thin Cell Layer Explants by Auxin and Cytokinin In Vitro Cell. Dev. Biol.& Plant 37:44-49 ________ et al. 2008. Effect of genotype, explant size, position, and culture medium on shoot generation of Gerbera jamesonii by receptacle transverse thin cell layer culture. Sci. Hort . 111(2): 146-151
191
Nichterlein K . 2003. Anther culture of linseed (Linum usitatissimum L.) pp: 249254. In: Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I (Eds.) Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston/London. Nicuta ND, Toma IN, Ghiorghi GI. 2005. Morphogenetical and histological studies of „In Vitro” anther cultures of Brassica Oleracea L. Genet. Sci. Biol. Mol. TOM V: 111-118 Niederwieser JG, van Staden J. 1990. The relationship between genotype, tissue age and endogenous cytokinin levels on adventitious bud formation on leaves of Lachenalia. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 22: 223-228. Niedz RP, Evens TJ. 2004. A solution for the cationic +/anionic- balance problem in mineral nutrition studies. Proc. Fla. State Hort. Soc. 117: 109-111. ________, Evens TJ. 2007. Regulating plant tissue growth by mineral nutrition. In Vitro Cell. Dev. Biol.- Plant 43:370–381
Noguchi J, Tanaka R. 1981. C-banding after aceto-orcein staining for plant chromosomes. Jpn. J. Genet. 56: 529-532. Nontaswatsri C, Ruamrungsri S, Fukai S. 2007. Callus induction and plant regeneration of Dianthus chinensis L. and Dianthus barbatus L. via anther culture. ISHS Acta Horticulturae 788: International Workshop on Ornamental Plants. www.actahort.org/books/788/788_12.htm. Acces date 12 August 2009. Nordstrom AC, Eliasson L. 1991. Levels of endogenous indole-3-acetic acid and indole-3-acetylaspartic acid during adventitious root formation in pea cuttings. Phyisiol. Plant. 82: 599-605. Norman, and Alvarez. 1994. Latent infections of iv vitro anturium caused by Xanthomonas campestris pv. dieffenbachiae. Plant Cell, Tissue Organ Cult. 39: 55-61. Nowak BKK, Miczynski, Hudy L. 2007. The effect of total inorganic nitrogen and the balance between its ionic forms on adventitious bud formation and callus growth of `Wegierka Zwykla' plum (Prunus domestica L.) Acta Physiol. Plant. 29(5): 479-484 Nurmalinda, Satsijati S. 2004. Profil Tanaman Hias. Balai Penelitian Tanaman Hias. Cianjur. 124 Halaman.
192
Ockendon DJ. 2008. The ploidy of plants obtained from antera culture of cauliflowers (Brassica oleracea var. botrytis). Ann. App. Biol. 113(2): 319325. Ogawa IR et al. 2000. An Efficient Anther Culture System in Rice Cultivar Koshihikari. Res. Bul. Aichi-ken Agric. Res. Center. 32: 11-16 Oggema JN, Kinyua MG, Ouma JP. 2007. Optimum 2,4-D concentration suitable for embryogenic callus induction in local Kenyan sweet potato cultivars. Asian J. Plant Sci. 6 (3): 484-489. Ogita S, Kubo T, Fushitani M. 1997. Caulogenic Callus Induction and Adventitious Bud Formation from Embryos of Long-term Stored Seeds of Picea jezoensis . J. For. Res. 2:141-145. Ogita S, Sasamoto H, Yeung EC, Thorpe TA. 2001 The effects of glutamine on the maintenance of embryogenic cultures of Cryptomeria japonica. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant 37:268-273 Ozyigit II, Kahraman MV, Ercan O (2007). Relation between explant age, total phenols and regeneration response of tissue cultured cotton (Gossypium hirsutum L.). Afr. J. Biotechnol, 6(1): 3-8. Ozyigit II. 2008. Phenolic changes during in vitro organogenesis of cotton (Gossypium hirsutum L.) shoot tips. African J. Biotech. 7(8): 1145-1150 Pan MJ, Staden JV. 1999. Effect of activated charcoal, autoclaving and culture media on sucrose hydrolysis. Plant Growth Regul. 29(3): 135-141 Paucã-Comãnescu M, Clevering OA, Hanganu J, Gridin M. 1999. Phenotypic differences among ploidy levels of Phragmites australis growing in Romania. Aquatic Bot. 64(3-4): 223-234. Pauk J et al. 1995. New winter wheat variaty: “GK Delibab” developed via combining conventional breeding and in vitro androgenesis. Cereal Res. Commun. 23(3): 251-256. Pedroso MC, Pais S. 1997. Anther and microspore culture in Cammellia japonica L. pp: 89-107. In: In Vitro Haploid Production in Higher Plant Vol 5. Jain SM, Sopory SK, Veilleux RE. (Eds.) Kluwer Academic Publishers. Dordrecht. Peng M, Wolyn DJ. 1999. Improved callus formation and plant regeneration for shed-microspore culture in asparagus (Asparagus officinalis L.) Plant Cell Reps. 18: 954-958.
193
Perez-Tornero O, Egea J, Vanoostende A, Burgos L. 2000. Assessment of factors affecting adventitious shoot regeneration from in vitro cultured leaves of apricot. Plant Sci. 158: 61-70. Petersen G. (1989). Cytology and systematics of Araceae. Nord. J. Bot. 9: 119158. Petersen KK, Hagberg P, Kristiansen K. 2003. Colchicine and oryzalin mediated chromosome doubling in different genotypes of Miscanthus sinensis. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 73(2): 137-146 Pickens KA, Cheng ZM, Trigiano RN. 2005. Axillary bud proliferation and organogenesis of Euphorbia pulchurrima winter rose™ In Vitro Cell. Dev. Biol. - Plant 41(6):770-774. Pierik RLM, Steegmans HHM, van der Meys JAJ. 1974. Plantlet formation in callus tissues of Anturium andraeanum L. Lind. Sci. Hort. 2: 193-198. ____________. Steegmans HHM. 1976. Vegetave propagation of Anturium scherzerianum Schott through callus cultures. Sci. Hort. 4: 291-292. ____________, 1991. Commercial aspects of micropropagation. pp: 141-153. In: Horticulture-New Technologies and Applications. (Eds.). Prakash J, Pierik RLM Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Pietsch GM, Anderson NO. 2007. Epigenetic variation in tissue cultured Gaura lindheimeri. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 89(2-3): 91-103 Pirttila AM, Podolich O, Koskimaki JJ, Hohtola E, Hohtola A. 2008. Role of origin and endophyte infection in browning of bud -derived tissue cultures of Scots pine (Pinus sylvestris L.). Plant Cell Tissue Organ Cult 95:47–55 Podwyszynska M, Olszewski T. 1995. Influence of gelling agents on shoot multiplication and the uptake of macroelements by in vitro culture of rose, cordyline and homalomena. Sci. Hort. 64: 77-84 Pola S, Saradamani N, Ramana T. 2007. Enhanced shoot regeneration in tissue culture studies of Sorghum bicolor. J. Agric. Tech. 3(2): 275-286. Pontaroli AC, Camadro EL. 2005. Somaclonal variation in Asparagus officinalis plants regenerated by organogenesis from long-term callus cultures. Genet. Mol. Biol. 28(3). July/Sept. 2005 Online Journal. Priyakumari I, Sheela VL, George S, Mirsa RL. 2002. Effect of carbon sources on In vitro shoot proliferation and rooting of gladiolus. Floriculture Research Trend in India. Proceedings of the National Symposium on Indian Floriculture in new milliennium, Lal-Bagh,Bangalore, Feb, 2002.
194
Puchooa D, Sookun D. 2003. Induced mutation and in vitro culture of Anturium andreanum. AMAS. Food and Agricultural Research Council, Reduit, Mauritius. pp: 17-27. Pyke KA, Leech RM. 1987. The control of chloroplast number in wheat mesophyll cells. Planta 170: 416-420. Qin X, Rotino GL. 1995. Chloroplast number in guard cells as ploidy indicator of in vitro- grown androgenic pepper plantlets. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 41: 145-149. Qu Y, Mok MC, Mok DWS, Stang JR. 1988. Phenotypic and cytological variation among plants derived from anther cultures of Lilium longiflorum. In Vitro Cell. Dev. Biol. 24(5): 471-476. Rachmawati F. 2005. Kultur Anther pada Anturium (Anturium andreanum Linden ex André). Thesis. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 146 Halaman. Radhakrishnan R, Ranjithakumari BD. (2007). Callus induction and plant regeneration of Indian soybean (Glycine max (L.) Merr. cv. CO3) via half seed explant culture. J. Agricult. Tech. 3(2): 287-297. Radhika, K., M. Sujatha, and T. Nageshwar Rao. 2006. Thidiazuron stimulates adventitious shoot regeneration in different safflower explants. Biol. Plant. 50(2): 174-179 Radzan MK. 1993. An Introduction to Plant Tissue Culture. Intercept. Andover, Hampshire, UK. 398. Raghavan V. 2004. Role of 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-d) in somatic embryogenesis on cultured zygotic embryos of arabidopsis: cell expansion, cell cycling, and morphogenesis during continuous exposure of embryos to 2,4-d. Am. J. Bot. 91(11): 1743–1756. Rakesh Y, Chawla HS. 2002. Role of genotypes, growth regulators and amino acids on callus induction and plant regeneration from different developmental stages of inflorescence in wheat. Indian J. Gen. Plant Breed 62(1): 55-60 Ramage CM, Williams RR. 2002. Mineral nutrition and plant morphogenesis. In Vitro Cell. Biol. -Plant., 38: 116-124. Ramulu KS, Verhoeven HA, Dijkhuis P. 1991. Mitotic blocking, micronucleation, and chromosome doubling by oryzalin, amiprophos- methyl, and colchicine in potato. Protoplasma 160(2-3): 65-71.
195
Randall N, Terrence E. 2007. Regulating plant tissue growth by mineral nutrition. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant, 43(4): 370-381 Reuther G, Becker U. 1985. Relationships between ploidy variations and organogenic potency in long-term callus cultures of asparagus off. Ishs Acta Horticulturae 212: Symposium on In Vitro Problems Related to Mass Propagation of Horticultural Plants www.actahort.org/members/showpdf? Booknrarnr=212_23 Access date 20 July 2009 Rey HY et al. 2002. Colchicine, trifluralin, and oryzalin promoted development of somatic embryos in Ilex paraguariensis (Aquifoliaceae) Euphytica 123(1): 49-56. Rieder CL, Palazzo RE. 1992. Colcemid and the mitotic cycle. J. Cell Sci.102: 387-392 Rimberia F, Adaniya S, Etoh T, Ishimine Y. 2006. Sex and ploidy of antera culture derived papaya (Carica papaya L.) plants. Euphytica. 149(1-2): 53-59. Robert ML, Herrera JL, Contreras F, Scorer KN. 1987. In vitro propagation of Agave fourcroydes Lem. (Henequen). Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 8:37-48 Rodrigues LR, Forte BC, Oliveira JMS, Mariath JEA, Bodanese- Zanettini MH. 2004. Effects of light conditions and 2,4-D concentration in soybean anther culture. Plant Growth Regul. 44: 125–131 Roosta HR, Sajjadinia A, Rahimi A, Schjoerring JK. 2009. Responses of cucumber plant to NH4 + and NO3 - nutrition: The relative addition rate technique vs. cultivation at constant nitrogen concentration. Sci. Hort. 121(4): 397-403 Rosario TL. 1998. Cut Flower Production in Philippines. http://www.fao.org/ documents/show_cdr.asp?url_file=/DOCREP/005/AC452E/AC452E00 HTM. Access date December 15th, 2006 Roylance JT, Hill NS, Parrott WA. 1994. Detection of Somaclonal Variation in Tissue Culture Regenerants of Tall Fescue. Crop Sci 34:1369-1372 Rutkowska-Krause I, Mankowska G, Lukaszewicz M, Szopa J. 2003. Regeneration of flax ( Linum usitatissimum L.) plants from anther culture and somatic tissue with increased resistance to Fusarium oxysporum. Plant Cell Reps. 22(2):110-116. Sabran M, Krismawati A, Galingging YR, Firmansyah MA. 2003. Eksplorasi dan Karakterisasi Tanaman Anggrek di Kalimantan Tengah. Bul. Plasma Nutfah 9(1): 1-6
196
Saisingtong S, Schmid JE, Stamp P, Biiter B. 1996. Colchicine- mediated chromosome doubling during anther culture of maize ( Zea mays L.). Theor Appl Genet 92:1017-1023. Saji KV, Sujatha M. 1998. Embryogenesis and plant regeneration in anther culture of sunflower (Helianthus anuus L.) Euphytica 103: 1-7. Sales E, Nebauer SG, Mus M, Segura J. 2001. Population genetic study in the Balearic endemic plant species Digitalis minor (Scrophulariaceae) using RAPD markers. Am. J. Bot. 88:1750-1759 Saltonstall K, Glennon K, Burnett A, Hunter RB, Hunter KL. 2007. Comparison of morphological variation indicative of ploidy level in Phragmites australis (poaceae) from eastern north America. Rhodora 109(940):415429. Santos RF, Handro W. 1983. Morphological patterns in Petunia hybrid plants regenerated from tissue cultures and differing by their ploidy. Theor. Appl. Genet. 66: 55-60. Sari N, Abak K, Pitrat M. 1999. Comparison of ploidy level screening methods in watermelon: Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. and Nakai. Sci. Hort. 82(3-4): 265-277. Sastrosumardjo S. 2006. Sitogenetika Tanaman: Variasi Jumlah Kromosom. Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. IPB. 268 halaman. Saunders JW, Tsai CJ, Samper E. 1997. Evaluation of alternative nitrogen and carbon sources for sugarbeet suspension culture platings in development of cell selection schemes. In Vitro Cell. Dev. Biol-Plant 33(1): 56-61 Scholten HJ, Pierik RLM. 1998. Agar as a gelling agent: differential biological effects in vitro. Sci. Hort. 77 :109-116. Seabrook JEA. 2005. Light Effects on the Growth and Morphogenesis of Potato (Solanum tuberosum ) In Vitro: A Review. Am. J. Pot. Res. 22 pages Setyawan AD, Sutikno. 2000. Karyotipe Kromosom pada Allium sativum L. (Bawang Putih) dan Pisum sativum L. (Kacang Kapri). BioSMART 2(1): 20-27. Shanjani PS. 2003. Nitrogen Effect on Callus Induction and Plant Regeneration of Juniperus excels. Int. J. Agric. Biol. 5(4): 419-422
197
Sharma AR, Bhattacharyya UR. 1961. Structure and behaviour of chromosomes in species of anturium with special reference to the accessory chromosomes. Chromosoma 27(5): 317-327. Sharma AK, Sharma A. 1994. Chromosome Techniques – A Manual. Harwood Academic Publisher, Australia. 368 pages. __________________________. 1999. Plant Chromosomes : Analysis, Manipulation and Engineering. Harwood Academic Publisher, France. 371 pages. Sharma P, Rajam MV. 1996. Genotype, explant and position effects on organogenesis and somatic embryogenesis in eggplant (Solanum melongena L.). J. Exp. Bot. 46(282): 135-141 Sheffer RD, Croat TB. 1983. Chromosome numbers in the genus Anturium (Araceae) II. Am. J. Bot. 70: 858-871. Shen X, Kane ME, Chen J. 2008. Effects of genotype, explant source, and plant growth regulators on indirect shoot organogenesis in Dieffenbachia cultivars. In Vitro Cell.Dev.Biol.-Plant 44:282–288. ShimYS, Kasha KJ. 2003. Barley microspora transformation protocol by biolistic gun. pp: 363-366. In: Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I (Eds.). Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston/London Shiva KN, Nair SA. 2008. Variability and character association in anturium under island ecosystem. Indian J. Hort. 65(3): 12-17 Shtereva LA, Zagorska NA, Dimitrov BD, Krule va MM, Oanh HK. 1998. Induced androgenesis in tomato (Lycopersicon esculentum Mill).II. Factors affecting induction of androgenesis. Plant Cell Reps 18: 312–317. Singsit C, Ozias-Akins P. 1992. Rapid estimation of ploidy levels in in vitroregenerated interspecific Arachis hybrids and fertile triploids. Euphytica 64: 183-188. Sparnaaij L.D, Bos I. 1996. Genetic variation in dry weight of carnation cuttings: its causes and consequences. Euphytica 90 (2): 175-181 Solvia N, Sulyo Y, Effendie K, Winarto B. 2004. Panduan Karakterisasi Tanaman Anturium. Departemen Pertanian, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Komisi Nasional Plasma Nutfah. 22 halaman.
198
Sopory SK, Munshi M. 1996. Anther culture. In: In Vitro Haploid Production in Higher Plants. Mohan Jain S, Sopory SK, Veileux RE (Eds.) Volume 1. p: 145-176. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht/Boston/London. Srangsam A, Kanchanapoom K. 2003. Thidiazuron induced plant regeneration in callus culture of triploid banana (Musa sp.) ‘Gros Michel’, AAA group. Songklanakarin J. Sci. Technol. 25(6) : 689-696 Stom DJ, Ivanova GG, Bashkatova GV, Trubina TP, Kozhova OM . 2006. About the Role of Quinones in the Action of Some Polyphenols on the Streaming of Protoplasm in Nitella sp. Cells. Acta hydrochimica et hydrobiologica 21(5): 407-412 Summers WL, Jaramillo J, Bailey T. 1992. Microspore Developmental Stage and Anther Length Influence the Induction of Tomato Anther Callus. HortSci. 27: 718-856. Sunandakumari C, Zhang C, Martin KP, Slater A, Madhusoodanan PV. 2005. Effect of auxins on indirect in vitro morphogenesis and expression of gusa transgene in a lectinaceous medicinal plant, Euphorbia nivulia Buch.-Ham. In Vitro Cell. Dev. Biol.- Plant 41(5):695-699. Supena EDJ. 2004. Innovation in Microspora Embryogenesis in Indonesian Hot Pepper (Capsicum annuum L.) and Brassica napus L. Ph.D. Thesis. Wageningen University. Netherlands. Supena EDJ, Suharsono S, Jacobsen E, Custers JBM. 2006. Successful development of a shed-microspore culture protocol for doubled haploid production in Indonesian hot pepper (Capsicum annuum L.). Plant Cell Rep. 25: 1–10 Syahid SF. 2008. Keragaman morfologi, pertumbuhan, produksi, mutu dan fitokimia keladi tikus (Typonium flagelliforme Lodd.) Blume. J. Littri 14(3): 113 – 118. Szarejsko I. 2003. Doubled haploid mutant production. pp: 351-362. In: Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I (Eds.). Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston/London Tai GCC, Xiong XY. 2003. Haploid production of potatoes by anther culture. pp: 229-234. In: Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I (Eds.). Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston/London Taji A, Kumar PP, Lakshmanan P. 2001. In Vitro Plant Breeding. Howarth Press Inc. UK. 167 pages
199
Tambong JT, Sapra VT, Garton S. 1998. In vitro induction of tetraploids in colchicine-treated cocoyam plantlets. Euphytica. 104(3): 191-197. Tan GY, Dunn GM. 1973. Relationship of Stomatal Length and Frequency and Pollen-Grain Diameter to Ploidy Level in Bromus inermis Leyss. Crop Sci 13:332-334 Taniguchi, K. 1996. Plant chromosome at metabolic phase. pp: 35-50 In: Plant Chromosomes: Laboratory Methods. Fukui K, Nakayama S (Eds.) CRC Press, Inc. Boca Raton, FL. Temjensangba DCR. 2006. In vitro propagation of threatened terrestrial orchid, Malaxis khasiana Soland ex. Swartz through immature seed culture. Indian J. Exp. Biol. 44(9): 672-676. Teng WL. 1997. Regeneration of Anturium adventitious shoots using liquid or raft culture Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 49: 153–156. Thangene SR, Joshi MS, Khuspe SS, Mascarenhas AE. 1994. Anther culture in Helianthus annuus L., influence of genotype and culture conditions on embryo induction and plant regeneration. Plant Cell Reports 13:222-226. Thâo NTP, Hoàng NQT, Mai T. 2006. Rapid propagation of Lilium formolongi by in vitro culture technique. TC Công ngh? sinh h?c . 4(1): 117-123. Thawiang N, Buanong M, Kanlayanarat S. 2007. Effect of ethanol on postharvest quality of cut anturium flowers (Anturium andraeanum. cv. Marshall). ISHS Acta Horticulturae 755: International Conference on Quality Management in Supply Chains of Ornamentals. www.actahort.org/members/showpdf? Booknrarnr = 755_56. Access date 8 July 2009. Thomas WTB, Forster BP, Gertsson B. 2003. Doubled haploids in breeding. In: Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I (Eds.) Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. pp: 337-350. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Bosto n/London Thorpe TA, Joy IV RW, Leung MW. 1986. Starch turnover in shoot- forming tobacco callus. Physiol. Plant. 66: 58-62. Tokuhara K, Mii M. 2003. Highly-efficient somatic embryogenesis from cell suspension cultures of Phalaenopsis orchids by adjusting carbohydrate sources. In Vitro Cell. Dev. Biol. - Plant 39(6): 635-639 Tokumasu S, Kato M. 1979. Variation of chromosome numbers and essential oil co mponents of plants derived from anther culture of the diploid and the tetraploid in Pelargonium roseum. Euphytica 28: 329-338
200
Touraev A, Heberle-Bors E. 2003. Anther and microspore culture in tobacco. pp: 223-228. In: Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I (Eds.). Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston/London Ul-Haq
I. 2005. Callus proliferation and somatic embryogenesis in cotton (Gossypium hirsutum L.) African Journal of Biotechnology 4(2): 206-209
Urwin NAR, Horsnell J, Moon T. 2007. Generation and characterisation of colchicine- induced autotetraploid Lavandula angustifolia . Euphytica. 156(1-2): 257-266. Van Altvorst AC et al. 1992. Adventitious shoot formation from in vitro leaf explants of carnation (Dianthus caryophyllus L.). Sci. Hort. 51: 223-235. van Aartrijk J, Blom- Barnhoorn GJ. 1980. Effects of sucrose, mineral salts, and some organic substances on the adventitious regeneration in vitro of plantlets from bulb-scale tissue of Lilium speciosum 'rubrum' ISHS Acta Horticulturae 109: III International Symposium on Flower Bulbs. www.actahort.org/members/showpdf?booknrarnr=109_41 Access data 1303-2009 Vandenhout H, Ortiz IR, Vuylsteke D, Swennen R, Bai KV. 1995. Effect of ploidy on stomatal and other quantitative traits in plantain and banana hybrids. Euphytica 83: 117-122. Van Winkle SC, Pullman GS. 1995. The Role of Activated Carbon in Tissue Culture Medium. CAER - University of Kentucky, Center for Applied Energy Research. Energeia 6(6): 1-6. Vatanpour-Azghandi A, Villiers TA, Ghorbani AM, Tajabadi A. 2001. The Microscopy of Tissue Decolouration and Browning Problem in Pistachio Callus Cultures. ISHS Acta Horticulturae 591: III International Symposium on Pistachios and Almonds www.actahort.org/books/591/591_58.htm Access date: 6 November 2008 Vargas TE, Mejias A, Oropeza M, de Garcia E. 2004. Plant regeneration of Anturium andraeanum L. cv. Rubrun. Electronic J. Biotech. 7(3) 5p. Vengadesan GA, Ganapathi V, Ramesh Anbazhagan, Prem Anand R. 2002. Somatic embryogenesis in cell suspension cultures of Acacia Sinuata (Lour.) Merr. In Vitro Cell. Dev. Biol.—Plant 38:52–57 Vessey JK, Raper Jr CD, Henry LT. 1990. Effect of ammonium sulfate, ammonium chloride and root-zone acidity on inorganic ion content of tobacco. J Plant Nutr. 13(7):827-42.
201
Volpert R, Osswald W, Elstner EF. 1995. Effects of cinnamic acid derivates on indole acetic acid oxidation by peroxidase. Phytochemistry, 38: 1922 Vyas S, Purohit SD. 2003. In vitro growth and shoot multiplication of Wrightia tomentosa Roem et Schult in a controlled carbon dioxide environment. Plant Cell, Tissue and Organ Cult 75: 283–286. Wang J, Bao MZ. 2007. Plant regeneration of pansy (Viola wittrockiana) ‘Caidie’ via petiole-derived callus. Sci. Hort. 111(3): 266-270 Wang RC, Hsieh SY, Yeh M. 2003. Studies on the anther culture of black soybean and vegetable soybean. Tainan District Agricultural Improvement Station, Res. Bull. 41:35-43. Wang ZY, Zou LZ, Fan BL, Peng YK. 2006. Abnormal Metaphase Cell Division Induced by Microtubules Depolymerization and Photosystem II Inhibiting Herbicides. Cytologia . 71(3): 289-295. Wann SR, Veazey RL, Kaphammer J. 1997. Activated charcoal does not catalyze sucrose hydrolysis in tissue culture media during autoclaving. Plat Cell, Tissue and Organ Cult. 50(3): 221-224. Wei L, Dong- nan H, Hui L, Xiao-yang C. 2007. Polyploid induction of Lespedeza formosa by colchicine treatment . Forestry Studies in China. 9(4): 283-286. Welander M. 1985. in vitro shoot and root formation in apple cultivar Akero. Ann. Bot. 55: 249-261. Widiyanto SN, Erytrina D, Rahmania H. 2001. Adventitious shoot formation on teak (Tectona grandis L.F.) callus cultures derived from internodal segments. ISHS Acta Horticulturae 692: II International Symposium on Biotechnology of Tropical and Subtropical Species. www.actahort.org/books/692/692_20.htm. Access date 27 May 2009 Willcox MC, Reed SM, Burns JA, Wynne JC. 1991. Effect of microspore stage and media on anther culture of peanut (Arachis hypogaea L.). Plant Cell, Tissue Organ Cult. 24: 25-28, 1991 Winarto B. 2002. Development micropropagation system and reduction of hyperhydricity in regenerants of carnation (Dianthus caryophyllus L.cv. Maldives). Thesis, Crop Science Dept., Faculty of Agriculture, Universiti Putra Malaysia. 330p _________. 2005. HAPLIN Traning Mission Report. Mission report number 23. Plant Research International. Wageningen. 34 pages.
202
Winarto B, Rachmawati F, Pramanik D, Hanudin. 2004. Studi teknik isolasi dan kultur inisiasi pada kultur anther anturium. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Hias Cianjur. 2004. Tidak dipublikasikan _________, Rachmawati F, Pramanik D, Nuryani W. 2005. Analisa tingkat ploidi regeneran, perbaikan teknik kultur anther dan perbanyakan regeneran hasil kultur anther. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Hias. Cianjur. 8 Halaman (Tidak dipublikasikan). _________, Rachmawati F. 2007. Teknik kultur anther pada pemuliaan anturium. J. Hort. 17(2): 127-137. Winkel-Shirley B. 2002. Biosynthesis of flavonoids and effects of stress. Current Opinion Plant Biol. 5: 218-223 Wissemann V, Mollers C, Hellwig FH. 1998. Microspore culture in the genus Rosa, Further investigation. Angew Botanik 72 (1-2): 7-9. Woylin DJ, Nichols B. 2003. Asparagus microspore culture and anther culture. pp: 265-274. In: Maluszynski M, Kasha KJ, Forster BP, Szarejsko I (Eds.). Double Haploid Production in Crop Plants: A Manual. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht / Boston/London Xiaohan Y, Guangshu L, Lu Z. 1998. Cut Flower Production in China. http://www.fao.org/documents/show_cdr.asp?url_file=/DOCREP/005/AC4 52E/AC452E00.HTM . Access date December 15th, 2006 Yam TW, Ichihashi S, Arditti J. 1991. Callus Growth and Plantlet Regeneration in Taro, Colocasia esculenta var. esculenta (L) Schott (Araceae) Ann. Bot. 67: 317-323 Younas,M., H.U. Rahman, S.U. Siddiqui and M.F. Chaudhary. 2008. Effect of different carbon sources on in vitro shoot proliferation and rooting of peach rootstock GF 677. Pak. J. Bot., 40(3): 1129-1134, 2008. Zaffar G, Wani SA, Anjum T, Zeerak NA. 2003. Colchicine induced variability in saffron. ISHS Acta Horticulturae 650: I International Symposium on Saffron Biology and Biotechnology. www.actahort.org/books /650/650 _31.htm. Access date 8 July 2009. Zagorska N, Dimitrov B, Gadeva P, Robeva AP. 1997. Regeneration and characterization of plants obtained from anther cultures in medicago sativa. In Vitro Cell. Dev. Biol.-Plant 33:107-110. Zainal D. 1999. Prospek dan Potensi Budidaya Bunga Potong Anturium. Dokumen PT. Rizki Kurnia Alam, November 1999.
203
Zare AG, Humphreys MW, Rogers JW, Mortimer AM, Collin HA. 2002. Androgenesis in a Lolium multi?orum × Festuca arundinacea hybrid to generate genotypic variation for drought resistance. Euphytica 125: 1–11. Zeng SH, Chen CW, Hong L, Liu JH, Deng XX. 2006. In vitro induction, regeneration and analysis of autotetraploids derived from protoplasts and callus treated with colchicine in Citrus. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 87(1): 85-93. Zeng Y, Yan F, Tang L, Chen F. 2003. Increased crocin production and induction frequency of stigma- like-structure from ?oral organs of Crocus sativus by precursor feeding. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 72: 185–191. Zhang CJ, Wang HL, Ma Y, Kang YQ. 1994. Regeneration of haploid plants from isolated microspores of asparagus (Asparagus officinalis L.). Plant Cell Reps. 13(11): 637-640. Zhao J, Simmonds DH. 2006. Application of trifluralin to embryogenic microspore cultures to generate doubled haploid plants in Brassica napus. Physiol. Plant. 95(2): 304-309. Zhao Y, Green J, Yu M, Grout BWW. 2006. Histology of adventitious shoot production in micropropagated walking stick cabbage (Brassica oleracea var. longata). Acta Hort. 2 (725): 231-234. Zhou WJ, Tang GX, Hagberg P. 2002. Efficient production of doubled haploid plants by immediate colchicine treatment of isolated microspores in winter Brassica napus . Plant Growth Regul. 37(2): 185-192. Zhu YR et al. 2004. High level of endogenous L-serine initiates senescence in Spirodela polyrrhiza. Plant Sci. 166(5): 1159-1166
204
LAMPIRAN
1.
Rekapitulasi nilai F pada persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan awal =========================================================== Sumber keragaman db PAMK (%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------Blok 3 0.28 tn 0.35 tn MW 5 75.20 ** 66.47** ---- ----------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 11.39 10.78 =========================================================== Keterangan: tn – tidak nyata, * - berbeda nyata, ** - berbeda sangat nyata. MW – formula medium dasar. 2.
Rekapitulasi nilai F pada persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan optimasi. =========================================================== Sumber keragaman db PAMK (%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------Blok 3 1.70 tn 1.00 tn MW 3 310.19 ** 160.26** --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 9.30 8.63 =========================================================== Keterangan: tn – tidak nyata, * - berbeda nyata, ** - berbeda sangat nyata. MW – formula medium dasar. 3.
Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh antera (PTA, %), persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan teknik isolasi dan jenis agar =========================================================== Sumber keragaman db PTA (%) PAMK (%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------Ulangan 3 1.06 tn 1.64 tn 1.63 tn Teknik Isolasi (TI) 1 0.24 tn 7.51 * 7.58 * Jenis Agar (JA) 3 3.15 * 7.58 * 7.58 * TI*JA 3 0.06 tn 0.41 tn 0.42 tn --------------------------------------------------------------------------------------------------Koef. Var (CV) 15.91 17.74 17.39 =========================================================== Keterangan: tn – tidak nyata, * - berbeda nyata, ** - berbeda sangat nyata.
205
4.
Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh antera (PTA, %), persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan posisi kultur dan media induksi =========================================================== Sumber keragaman db PTA (%) PAMK (%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------Blok 3 1.74 tn 1.55 tn 1.74 tn Posisi kultur (Pos) 2 4.68* 12.85** 12.93** Media (Med) 3 6.14* 11.00** 11.06** Pos * Med 6 3.49* 3.49* 3.63* --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 11.64 19.64 16.94 =========================================================== Keterangan: tn – tidak nyata, * - berbeda nyata, ** - berbeda sangat nyata.
5.
Pengaruh interaksi antara posisi kultur dan media terhadap potensi tumbuh antera (POT, %). =========================================================== Medium induksi Orientasi kultur antera (Pos) ---------------------------------------------------------------2,4-D (mg/l) Pos-1 Pos-3 Pos-3 --------------------------------------------------------------------------------------------------MW-1 0 35.8 a 30.0 b 29.2 c MWR-3 0 34.2 a 41.7 ab 58.4 ab MW-1D 0.5 35.0 a 55.9 a 62.5 a MWR-3D 0.5 37.5 a 50.0 ab 39.2 bc --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi 12.95 17.14 15.17 (CV, %) =========================================================== Keterangan: 2,4-D-dichlorophenoxy acetic acid MW-1 –medium Winarto, MWR3 – medium Winarto dan Rachmawati, MW-1D- medium Winarto + 0.5 mg/l 2,4-D, MWR-3D – medium Winarto dan Rachmawati + 0.5 mg/l 2,4-D. Pos -1 – posisi telungkup, Pos-2 – posisi berdiri, Pos-3posisi terlentang. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%
206
6. Pengaruh interaksi antara posisi kultur dan media terhadap persentase regenerasi antera =========================================================== Medium induksi Orientasi kultur antera (Pos) -----------------------------------------------------------------2,4-D (mg/l) Pos-1 Pos-2 Pos-3 --------------------------------------------------------------------------------------------------MW-1 0 0.0 a 4.2 a 4.2 b MWR-3 0 0.0 a 12.5 a 29.1 a MW-1D 0.5 8.4 a 20.8 a 37.5 a MWR-3D 0.5 8.4 a 16.7 a 6.3 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi 24.39 28.10 13.82 (CV, %) =========================================================== Keterangan: 2,4-D-dichlorophenoxy acetic acid MW-1 –medium Winarto, MWR3 – medium Winarto dan Rachmawati, MW-1D- medium Winarto + 0.5 mg/l 2,4-D, MWR-3D – medium Winarto dan Rachmawati + 0.5 mg/l 2,4-D. Pos -1 – posisi telungkup, Pos-2 – posisi berdiri, Pos-3posisi terlentang. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%
7.
Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh antera (PTA, %), persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan media terseleksi dan pengurangan kandungan garam mineral =========================================================== Sumber keragaman db PTA (%) PAMK (%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------Blok 3 1.52 tn 1.66 tn 1.66 tn Media terseleksi (Med) 1 0.35 tn 4.70 * 4.71* Kand. Garam mineral (KG) 5 4.49 * 4.94 * 5.00* Med*KG 5 1.16 tn 1.00 tn 1.01 tn --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 10.89 20.67 19.43 =========================================================== Keterangan: tn – tidak nyata, * - berbeda nyata, ** - berbeda sangat nyata.
207
8.
Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh antera (PTA, %), persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan media dasar dan konsentrasi NH4 NO 3 dalam pembentukan kalus =========================================================== Sumber keragaman db PTA (%) PAMK (%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------Blok 3 1.44 tn 2.71 tn 2.30 tn Media dasar (MD) 2 2.00 tn 0.47 tn 0.63 tn* Konsentrasi NH4 NO3 (KN) 4 7.43 ** 9.29 * 8.99* MD*KN 8 7.23 ** 16.40** 17.18 ** --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 14.99 19.75 16.77 =========================================================== Keterangan: tn – tidak nyata, * - berbeda nyata, ** - berbeda sangat nyata.
9. Pengaruh interaksi media dasar dan konsentrasi amonium nitrat terhadap potensi tumbuh antera (PTA, %) =========================================================== Media dasar Konsentrasi amonium nitrat (mg/l) ----------------------------------------------------------------------------750 550 413 206 103 --------------------------------------------------------------------------------------------------Setengah MW-1 54.2 a 25.0 a 16.7 b 20.9 b 8.4 b Setengah MWR-3 25.0 b 29.2 a 33.3 a 45.8 a 20.9 ab MWR-3 20.9 b 25.0 a 29.2 ab 45.8 a 25.0 a --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi 12.23 15.33 14.25 13.28 22.69 (CV, %) =========================================================== Keterangan: MW-1–medium Winarto, MWR-3–medium Winarto dan Rachmawati. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaa 5%.
208
10. Pengaruh interaksi media dasar dan konsentrasi amonium nitrat terhadap persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) =========================================================== Media dasar Konsentrasi amonium nitrat (mg/l) ----------------------------------------------------------------------------750 550 413 206 103 --------------------------------------------------------------------------------------------------Setengah MW-1 37.5 a 25.5 a 8.4 a 2.1 b 0.0 a Setengah MWR-3 4.2 b 6.3 a 8.4 a 25.0 a 8.4 a MWR-3 2.1 b 6.2 a 6.3 a 29.1 a 8.4 a --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi 16.56 27.54 28.24 16.24 23.65 (CV, %) =========================================================== Keterangan: MW-1–medium Winarto, MWR-3–medium Winarto dan Rachmawati. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaa 5%.
11. Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh kalus (PTA, %), volume kalus (VK, mm2 ) dan jumlah rata-rata tunas per eksplan (JT) pada percobaan media dasar dan konsentrasi NH4 NO3 dalam pertumbuhan dan pembentukan tunas =========================================================== Sumber keragaman db PTA (%) VK JT --------------------------------------------------------------------------------------------------Blok 3 0.42 tn 1.05 tn 0.50 tn Posisi kultur (Pos) 2 1.38 tn 29.32 ** 136.06 ** Media (Med) 4 0.12 tn 5.01 * 8.13* Pos * Med 8 0.81tn 13.20** 37.47 ** --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 13.32 11.83 12.54 =========================================================== Keterangan: tn – tidak nyata, * - berbeda nyata, ** - berbeda sangat nyata.
209
12. Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh antera (PTA, %), persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan 2,4-D dan TDZ dalam pembentukan kalus =========================================================== Sumber keragaman db PTA (%) PAMK (%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------Blok 3 0.81 tn 2.69 tn 2.69 tn 2,4-D 3 19.69 ** 43.47 ** 43.17 ** TDZ 3 2.74 tn 3.78 * 3.59* 2,4-D* TDZ 9 7.15 ** 13.31** 13.11 ** --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 14.33 19.95 15.67 =========================================================== Keterangan: tn – tidak nyata, * - berbeda nyata, ** - berbeda sangat nyata.
13. Pengaruh interaksi kombinasi-konsentrasi 2,4-D dan TDZ terhadap potensi tumbuh a ntera (PTA, %) =========================================================== Konsentrasi TDZ Konsentrasi 2,4-D (mg/l) (mg/l) -----------------------------------------------------------------------0 0.5 1.0 2.0 --------------------------------------------------------------------------------------------------0 37.5 ab 29.2 b 50.0 a 25.0 ab 0.5 20.9 b 45.8 ab 20.9 b 29.2 a 1.0 25 ab 50.0 a 14.6 b 12.6 c 2.0 41.7 a 58.4 a 12.6 b 14.6 bc --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 15.98 13.09 13.59 14.09 =========================================================== Keterangan: 2,4-D-dichlorophenoxy acetic acid, TDZ – thidiazuron. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%
210
14. Pengaruh interaksi kombinasi-konsentrasi 2,4-D dan TDZ terhadap persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) =========================================================== Konsentrasi TDZ Konsentrasi 2,4-D (mg/l) (mg/l) -----------------------------------------------------------------------0 0.5 1.0 2.0 --------------------------------------------------------------------------------------------------0 0.0 b 6.3 b 25.0 a 0.0 b 0.5 0.0 b 25.0 a 8.4 b 4.2 a 1.0 6.3 b 29.2 a 2.1 b 0.0 b 2.0 20.9 a 37.5 a 0.0 b 0.0 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 22.16 16.94 26.29 17.03 =========================================================== Keterangan: 2,4-D-dichlorophenoxy acetic acid, TDZ – thidiazuron. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%
15. Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh kalus (PTK, %), volume kalus (VK, mm3 ) dan jumlah rata-rata tunas per eksplan (JT) pada percobaan 2,4-D dan TDZ dalam pertumbuhan kalus dan pembentukan tunas =========================================================== Sumber keragaman db PTK (%) VK (mm3 ) JT --------------------------------------------------------------------------------------------------Ulangan 3 1.74 tn 1.93 tn 1.61 tn 2,4-D 3 29.61** 8.64 ** 6.89 * TDZ 3 2.88 * 1.99 tn 2.16 tn 2,4-D*TDZ 9 3.18 ** 1.89 tn 2.39 * --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 15.31 20.48 19.41 =========================================================== Keterangan: tn – tidak nyata, * - berbeda nyata, ** - berbeda sangat nyata
211
16. Pengaruh 2,4-D terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus =========================================================== Konsentrasi 2,4-D (mg/l) PTK (%) VK (mm3 ) JT --------------------------------------------------------------------------------------------------0 90.6 a 129 a 1.0 bc 0.5 31.3 c 36 b 0.0 c 1.0 65.6 b 175 a 2.5 a 2.0 87.5 a 152 a 1.4 ab --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 15.31 20.48 19.41 =========================================================== Keterangan: 2,4-D-dichlorophenoxy acetic acid. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%
17. Pengaruh TDZ terhadap pertumbuhan dan regenerasi kalus =========================================================== Konsentrasi 2,4-D (mg/l) PTK (%) VK (mm3 ) JT --------------------------------------------------------------------------------------------------0 81.3 a 133 ab 1.6 ab 0.5 65.6 b 158 a 1.9 a 1.0 65.6 b 112 ab 1.0 ab 2.0 62.5 b 90 b 0.6 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 15.31 20.48 19.41 =========================================================== Keterangan: TDZ -thidiazuron. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%
212
18. Pengaruh interaksi kombinasi-konsentrasi 2,4-D dan TDZ terhadap persentase tumbuh kalus (PTK, %). =========================================================== Konsentrasi TDZ Konsentrasi 2,4-D (mg/l) (mg/l) -----------------------------------------------------------------------0 0.5 1.0 2.0 --------------------------------------------------------------------------------------------------0 87.5 a 18.8 b 56.3 a 87.5 a 0.5 87.5 a 81.3 a 62.5 a 93.8 a 1.0 93.8 a 18.8 b 68.8 a 81.3 a 2.0 93.8 a 6.3 b 75.0 a 87.5 a --------------------------------------------------------------------------------------------------Koef. variasi (CV, %) 10.70 31.71 16.01 9.06 =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%
19. Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh antera (PTA, %), persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan glutamin dan serin dalam pembentukan kalus =========================================================== Sumber keragaman db PTA (%) PAMK (%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------Blok 3 0.34 tn 1.80 tn 1.81 tn Glutamin (Glut) 3 0.80 tn 1.47 tn 1.74 tn Serin (Ser) 3 2.50 tn 3.15 * 3.15* Glut*Ser 9 2.99 * 1.81 tn 1.81 tn --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 12.77 20.84 20.85 =========================================================== Keterangan: tn – tidak nyata, * - berbeda nyata, ** - berbeda sangat nyata
213
20. Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh kalus (PTK, %), volume kalus (VK, mm3 ) dan jumlah rata-rata tunas per eksplan (JT) pada percobaan glutamin dan serin dalam pertumbuhan kalus dan pembentukan tunas =========================================================== Sumber keragaman db PTK (%) VK (mm3 ) JT --------------------------------------------------------------------------------------------------Ulangan 3 1.88 tn 0.92 tn 2.82 tn Glutamin (Glut) 3 13.07** 14.96 ** 32.57 ** Serin (Ser) 3 7.54 * 7.02 * 18.03 ** Glut*Ser 9 3.12 * 3.73 * 13.53 ** --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 21.27 17.58 13.30 =========================================================== Keterangan: tn – tidak nyata, * - berbeda nyata, ** - berbeda sangat nyata
21. Pengaruh interaksi glutamin dan serin terhadap persentase tumbuh kalus (PTK, %). =========================================================== Konsentrasi serin (mg/l) Konsentrasi glutamin (mg/l) --------------------------------------------------------------0 250 500 750 --------------------------------------------------------------------------------------------------0 25.0 ab 77.1 a 8.3 a 22.9 a 250 50.0 a 25.0 b 0.0 a 20.8 a 500 14.6 ab 33.3 b 0.0 a 16.7 a 750 8.3 b 16.6 b 0.0 a 0.0 a --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 26.03 20.66 15.21 21.70 =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
214
22. Pengaruh interaksi glutamin dan serin terhadap volume kalus (VK, mm2 ). =========================================================== Konsentrasi serin (mg/l) Konsentrasi glutamin (mg/l) --------------------------------------------------------------0 250 500 750 --------------------------------------------------------------------------------------------------0 49 a 237 a 27 a 37 a 250 37 a 34 b 24 a 25 a 500 25 a 82 b 25 a 45 a 750 24 a 57 b 24 a 24 a --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 16.89 22.62 4.38 15.49 =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
23. Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh antera (PTA, %), persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) dan jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus (JK) pada percobaan sukrosa dan glukosa dalam pembentukan kalus =========================================================== Sumber keragaman db PTA (%) PAMK (%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------Blok 3 0.17 tn 1.84 tn 1.79 tn Sukrosa (Suk) 3 7.14 * 9.47 ** 9.73 ** Glukosa (Gluk) 3 5.88 * 8.45 ** 8.59 ** Suk*Gluk 9 10.81** 6.58 ** 6.60 ** --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 12.55 20.90 18.42 =========================================================== Keterangan: tn – tidak nyata, * - berbeda nyata, ** - berbeda sangat nyata
215
24. Pengaruh sukrosa terhadap pembentukan kalus ========================================================== Konsentrasi sukrosa (g/l) PTA (%) PAMK (%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------20 43.1 bc 13.6 b 0.8 b 40 40.4 c 9.4 b 0.6 b 60 57.9 a 31.2 a 1.9 a 80 50.8 ab 16.6 b 1.0 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 12.55 20.90 18.42 =========================================================== Keterangan: PTA – potensi tumbuh antera (%), PAMK – persentase antera membentuk kalus (%), JK – jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
25. Pengaruh glukosa terhadap pembentukan kalus ========================================================== Konsentrasi sukrosa (g/l) PTA (%) PAMK (%) JK --------------------------------------------------------------------------------------------------0 52.5 ab 16.6 b 1.0 b 10 45.2 bc 11.5 b 0.7 b 30 55.2 a 30.2 a 1.8 a 60 39.4 c 12.5 b 0.8 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 12.55 20.90 18.42 =========================================================== Keterangan: PTA – potensi tumbuh antera (%), PAMK – persentase antera membentuk kalus (%), JK – jumlah rata-rata antera yang membentuk kalus. Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf keperca yaan 5%.
216
26. Pengaruh interaksi sukrosa dan glukosa terhadap persentase tumbuh antera (PTA, %). ========================================================== Konsentrasi Konsentrasi sukrosa (g/l) glukosa -----------------------------------------------------------------------(g/l) 20 40 60 80 --------------------------------------------------------------------------------------------------0 54.2 a 62.5 a 43.3 c 50.0 ab 10 54.2 a 31.7 b 30.0 c 65.0 a 30 41.7 a 33.3 b 91.7 a 51.2 a 60 22.5 b 34.2 b 66.6 b 34.2 b --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 12.01 14.05 11.41 11.90 =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
27. Pengaruh interaksi sukrosa dan glukosa terhadap persentase antera membentuk kalus (PAMK, %). ========================================================== Konsentrasi Konsentrasi sukrosa (g/l) glukosa -----------------------------------------------------------------------(g/l) 20 40 60 80 --------------------------------------------------------------------------------------------------0 12.5 a 16.7 a 25.0 b 12.5 a 10 20.9 a 0.0 a 0.0 c 25.0 a 30 16.6 a 16.7 a 66.7 a 20.8 a 60 4.2 a 4.2 a 33.4 b 8.4 a --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 27.42 27.17 14.47 29.85 =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
217
28. Rekapitulasi nilai F pada potensi tumbuh kalus (PTK, %), volume kalus (VK, mm3 ) dan jumlah rata-rata tunas per eksplan (JT) pada percobaan sukrosa dan glukosa dalam pertumbuhan kalus dan pembentukan tunas =========================================================== Sumber keragaman db PTK (%) VK (mm3 ) JT --------------------------------------------------------------------------------------------------Ulangan 3 2.31 tn 2.94 tn 2.51 tn Sukrosa (Suk) 3 15.38 ** 16.28 ** 6.54 * Glukosa (Gluk) 3 15.58 ** 18.51 ** 10.12 ** Suk*Gluk 9 4.68 * 5.51 * 2.74 * --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 11.97 17.61 18.81 =========================================================== Keterangan: tn – tidak nyata, * - berbeda nyata, ** - berbeda sangat nyata
29. Pengaruh interaksi sukrosa dan glukosa terhadap persentase tumbuh kalus (PTK, %) =========================================================== Sukrosa (g/l) Glukosa (g/l) -----------------------------------------------------------------------0 10 30 60 --------------------------------------------------------------------------------------------------20 100 a 91.7 ab 91.7 a 91.7 a 40 91.7 a 100 a 100 a 50.0 ab 60 91.7 a 75.0 b 50.0 b 25.0 b 80 58.4 b 75.0 b 91.7 a 50.0 ab --------------------------------------------------------------------------------------------------Koefisien variasi (CV, %) 8.44 7.70 9.17 14.74 =========================================================== Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.
218
30. Sidik ragam regresi jumlah kromosom dengan beberapa metode estimasi level ploidy secara tak langsung yang diuji. ================================================================ Sumber keragaman Db Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F-hitung F-tabel -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Regresi 1 8228.41286 8228.41286 1109.422** 0.0001 Residual 64 474.67805 7.41684 -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Total 65 8703.09091 ================================================================
Keterangan: Db-derajat bebas, ** - regresi yang sangat nyata pada taraf kepercayaan 1%. 31. Sidik ragam regresi jumlah kromosom dengan jumlah mikrospora per antera =================== ============================================= Sumber keragaman Db Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F-hitung F-tabel -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Regresi 1 3150383827 3150383827 279.509** 0.0001 Residual 64 721353115.1 11271142.423 -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Total 65 3871736942.1 ================================================================
Keterangan: Db-derajat bebas, ** - regresi yang sangat nyata pada taraf kepercayaan 1%. 32. Sidik ragam regresi jumlah kromosom dengan kepadatan stomata per mm2 epidermis daun. ================================================================ Sumber keragaman Db Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F-hitung F-tabel ------------------------------------------------------------------------------------------------------------Regresi 1 100.75859 100.75859 36.890** 0.0001 Residual 71 193.92634 2.73136 ------------------------------------------------------------------------------------------------------------Total 72 294.68493 ================================================================
Keterangan: Db-derajat bebas, ** - regresi yang sangat nyata pada taraf kepercayaan 1%. 33. Sidik ragam regresi jumlah kromosom dengan rasio panjang lebar stomata ================================================================ Sumber keragaman Db Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F-hitung F-tabel ----------------------------------------------------------------------------------------------------------Regresi 1 0.48958 0.48958 49.459** 0.0001 Residual 64 0.63353 0.00990 -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Total 65 1.12311 ================================================================
Keterangan: Db-derajat bebas, ** - regresi yang sangat nyata pada taraf kepercayaan 1%.
219
34. Sidik ragam regresi jumlah kromosom dengan rasio panjang lebar daun ================================================================ Sumber keragaman Db Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F-hitung F-tabel ------------------------------------------------------------------------------------------------------------Regresi 1 0.02159 0.02159 1.510 tn 0.2237 Residual 64 0.91538 0.01430 -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Total 65 0.93698 ================================================================
Keterangan: Db-derajat bebas, ** - regresi yang sangat nyata pada taraf kepercayaan 1%. 35. Metode penghitungan jumlah kromosom pada kalus menutur Fukui (1996). Prosedur kerja metode tersebut adalah sebagai berikut: a. Ambil kalus dan pecah hingga ukuran yang lebih kecil (0.1-0.3 mm) b. Masukkan dalam larutan 0.02 M 8-hydroxyquinolin selama 2-3 jam pada suhu 18ºC c. Masukkan ke dalam larutan fiksasi Farmer’s hingga warna hijau kalus hilang d. Fiksasi sampel dengan larutan modifikasi larutan Carnoy’s (kloroform: 96% alkohon: asam asetat glasial; 6:3:1, v/v/v) selama 15 menit pada suhu 18ºC e. Rendam dalam asam asetat 45% selama 10 menit f. Masukkan dalam botol yang berisi campuran HCl dengan asam asetat 45% perbandingan 3:1 selama 2 menit g. Hidrolisis dengan larutan 1N HCl selama 15 menit pada suhu 60ºC dalam water bath. h. Cat dengan 2% aceto-orcein selama 10 menit i.
Letakkan dalam gelas obyek yang telah diberi 1-2 tetes entelan, tutup dengan gelas penutup
j. Tekan dengan ibu jari hingga membentuk lapsan tipis satu sel. k. Amati di bawah mikroskop dan ambil gambar sesuai keperluan
220
36. Metode penghitungan jumlah kromosom pada daun muda menurut Fukui (1996). Prosedur kerja metode tersebut adalah: a. Potong daun muda dekat dengan titik tumbuh (1-5 mm) b. Masukkan dalam botol yang berisi cairan Former’s (Etanol : asam asetat; 3:1 v/v) hingga warna hijau daun hilang c. Ulangi kegiatan kedua jika warna hijau daun belum hilang secara sempurna d. Masukkan daun yang telah hilang warna hijaunya kedalam botol yang berisi larutan 1N HCl dingin e. Letakkan dan biarkan botol terapung dalam water bath pada suhu 60ºC selama 10 menit f. Buang larutan 1N HCl yang hangat, pindahkan ke dalam larutan 1N HCl yang dingin. g. Bilas sampel 3-4x daun dengan air destilasi masing- masing selama 5 menit h. Ganti air dengan 1 ml larutan reagen Schiff’s
(0.5 g basic fuchsin
dilarutkan dalam 100 ml air mendidih. Larutan disaring, 10 ml 1N HCl dan 0.5 g potasium metabisulfat ditambahkan) dan biarkan daun terwarnai selama 30 menit s/d 1 jam. i.
Cuci sampel 2x dengan larutan 0.5% asam sulforous (5 ml 10% larutan bisulfida dan 5 ml 1N HCl campur dengan air hingga volume 100 ml) selama 10 menit tiap pencucian
j. Letakkan daun pada gelas obyek, potong-potong daun menjadi ukuran yang lebih kecil dengan satu tetes asam asetat 45%. k. Tutup gelas obyek dengan gelas penutup l.
Pencarkan potongan-potongan daun secara merata dengan tusuk gigi hingga merata (tidak ada yang menumpuk).
m. Tekan gelas penutup dengan ibu jari tanpa menyebabkan pergerakan gelas penutup n. Amati sampel di bawah mikroskop dan ambil gambar sampel sesuai kebutuhan.
221
o. Penambahan 1 tetes aceto-orcein 2% diperlukan jika hasil pengecatan kurang maksimal hasilnya.
37. Metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar menurut Darnaedi (1991) Prosedur kerja metode adalah sebagai berikut: a. Ambil ujung akar aktif (dilakukan pada jam 08.00 – 10.00 pagi) b. Potong (± 1 cm dari ujung akar) kemudian masukkan botol yang berisi 0,8 hydroxyquinolin dan inkubasi selama 3-5 jam pada suhu 20ºC c. Ambil ujung akar dan bilas dengan air destilasi bersih d. Tambahkan kedalam botol eksplan larutan 45% asam asetat hingga ujung akar terendam larutan 45% asam asetat, setelah itu biarkan selama 10 menit e. Buang larutan 45% asam asetat dan tambahan larutan 1N HCl : 45% asam asetat (3:1, v/v) dan biarkan selama 3 menit dalam water bath bersuhu 60ºC. f. Pindahkan potongan akar ke atas kaca obyek, buang tudung akar dan potong ± 1 mm. g. Tambahkan 1-3 tetes aseto -orcein dan tutup dengan kaca penutup h. Tekan akar dengan pensil berkaret / tangan hingga membentuk lapisan yang tipis. i.
Angkat kaca penutup dan tambahkan lagi larutan aseto-orcein secukupnya
j. Lakukan squashing lagi hingga terbentuk lapisan yang sangat tipis dan menyebar secara merata, lakukan fiksasi diatas api dengan cara melalukannya k. Tutup kaca penutup dengan entelan /kutek untuk mencegah spesimen menjadi kering. l.
Amati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x, 400x dan 1000x , dan ambil gambar terbaik menggunakan kamera yang sesuai.
222
38. Prosedur pembuatan bahan penunjang kegiatan pewarnaan kromosom 1) Larutan fiksasi FAA. Pipet 850 ml alkohol 70%, tambahkan 100 ml formaldehid sebanyak 100 ml, kemudian tambahkan 50 ml asam asetat glasial. 2) Larutan 8-hydroxyquinolin 0.002 M. Timbang 0.3 gr hydroxyquinolin dalam 1 liter akuades pada suhu 70ºC. Di stirer selama 1 jam hingga terlihat warna kekuningan. Simpan dalam lemari es pada botol yang tertutup rapat agar tidak terkena sinar matahari 3) Larutan reagen Schiff’s. Timbang 0.5 g basic fuchsin dan dilarutkan dalam 100 ml air mendidih. Larutan disaring, 10 ml 1N HCl dan 0.5 g potasium metabisulfat ditambahkan 4) Albumin-glycerin (10%). Pipet 2 ml acetone dan tambahkan ke dalamnya 1 tetes metal-benzoat (Larutan A). Timbang 1 gr albumin dan larutkan dalam 10 ml air destilasi, setelah larut tambahkan 10 ml gliserin (Larutan B). Campurkan larutan B ke larutan A secara perlahan-lahan. Aduk hingga merata. Simpan dalam botol gelap pada suhu ruang. 5) Asam fuchsin (1%). Timbang 1 gr fuchsin dan larutkan dalam asam asetat glacial (1%) hingga larut. Simpan dalam botol gelap pada suhu ruang. 6) Toluidine-blue (1%). Timbang 1 gr toluidine -blue dan larutkan dalam air destilasi sambil diaduk hingga larut. Simpan dalam botol gelap pada suhu ruang. 7) Membuat larutan 10% Yodium. Sepuluh (10 ml) larutan yodium ditambah dengan air destilasi hingga 100 ml. Simpan larutan dalam botol gelap. 8) Membuat larutan kolkisin 0,05, 0.1, 0.25, dan 0.5%. Kolkisin 0.05, 0.1, 0.25 dan 0.25 gram dilarutkan dengan 5 ml etanol, lalu ditambah 95 ml akuades dan diaduk hingga larut. Disimpan dalam botol tertutup rapat, berwarna gelap, dalam lemari es bersuhu 5ºC. 9) Asam Asetat Glasial 45%. Asam asetat glasial 45 ml dan 55 ml akuades diaduk hingga larut, lalu disimpan dalam botol tertutup pada suhu kamar.
223
10) Asam klorida 1N. Asam klorida pekat 1 bagian ditambah 11 bagian akuades, digojok hingga larut dan disimpan dalam botol tertutup pada suhu kamar. 11) Aseto-orsein 2%. Asam asetat glasial 45 ml dipanaskan hingga hampir mendidih (90-100ºC), ditambah 2 gram orsein, dididihkan lagi selama 10 menit sambil diaduk. Didinginkan pada suhu kamar dan ditambah 55 ml akuades, serta digojok hingga lar ut. Kemudian disaring dan disimpan dalam botol tertutup, berwarna gelap, pada suhu kamar. Setelah tiga hari penyimpanan biasanya terbentuk endapan, untuk itu sebelum digunakan sebaiknya digojok dan disaring lagi.
224
39. Data gambar tanaman hasil kultur antera anturium Kelompok Tropical
Anturium andreanun kultivar Tropical
Sampel 258 (Diploid)
Sampel 324 (Diploid)
225
Kelompok lo kal merah
Lokal merah (Tanaman induk)
Sampel 112 (Triploid)
Sampel 110 (Triploid)
226
Kelompok lo kal putih
Lokal putih (Tanaman induk)
Sampel 239 (Haploid)
Variasi tanaman hasil kultur antera yang lain Sampel 109 (Haploid)
227
Sampel 255 (Diploid)
Sampel 49 (Diploid)
Sampel 151 (Diploid)
228
Sampel 115 (Diploid)
Sampel 16 (Diploid)
Sampel 257 (Triploid)
229
40. Data karakterisasi kultivar Tropical dibandingkan dengan sampel 258 (Diploid)
================================================= Karakter yang diamati
Tropical
Sampel 258/Diploid
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Sedang Sedang Sedang Ovate Ada Saling bebas Mirip sudut Sempit meruncing Hijau gelap (139A) Lemah Sedang Panjang Sedang Hijau muda (146A)
Kecil Sedang Sedang Ovate Ada Saling bebas Meruncing Sempit meruncing Hijau (137A) Sedang Pendek Pendek Kurus Hijau muda (148A)
Lemah
Lemah-sangat lemah
Agak ke atas Kecil-sedang Hampir bulat Saling menekan (Rendah –sedang) Melengkung
Agak di atas Kecil Ovate melebar Saling bersentuhan
Sempit meruncing Merah (45 A-B) Merah (45B) Sedang Kuat – sangat kuat Cekung Tumpul
Sempit-meruncing Merah (46A) Merah (45A) Sedang Sangat-lemah Cekung Tumpul
Sangat pendek
Sangat pendek
Sangat panjang Sedang Lengkung ke dalam lemah Sedang
Pendek Sempit Lengkung ke dalam lemah Sangat-lemah
Kuning (N144A)
Merah (40C)
Kuning (13B)
Merah (49A)
Kuning (13D)
Merah (49C)
Kuning (11D)
Merah (49D)
15. 16. 17. 18. 20.
(*) Ukuran tanaman Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) (*) Bentuk helaian daun (*) Ada tidaknya lekukan helaian daun Posisi relatif lekukan helaian daun Sudut bagian bawah helaian daun (*) Bentuk ujung helaian daun Intensitas warna hijau daun bagian atas Lepuhan bagian atas helaian daun Panjang tangkai daun (*) Panjang tangkai bunga influoresen Ketebalan tangkai bunga influoresen Intensitas warna hijau bagian titik Tengah tangkai bunga influoresen Pewarnaan anthosianin tangkai bunga Influoresen (*) Posisi spate dibandingkan dengan daun (*) Ukuran spate (*) Bentuk eleptik spate (*) Posisi relatif lekukan spate
21. (*) Bentuk lengkungan bagian dasar dari spate 22. (*) Bentuk ujung spate 23. (*) Warna utama bagian atas spate 24. Warna utama bagian bawah spate 25. Tingkat ke”mengkilap”an spate 26. Lepuhan spate 27. Bentuk irisan lintang spate 28. Sudut antara bagian dasar spate dengan tangkai bunga influoresen 29. Jarak antara posisi spadik dengan sinus spate 30. (*) Panjang spadik 31. Lebar bagian terlebar spadik 33. (*) Lengkungan aksis memanjang spadik 34. Tingkat kelancipan/kelonjongan spadik dari arah dasar menuju ke ujung 35. (*) Warna utama bagian dasa spadik segera sebelum anthe keluar 36. (*) Warna bagian bawah spadik segera sebelum anther keluar 37. Warna bagian dasar spadik segera setelah Anther keluar dan pecah 38. Warna bagian bawah spadik segera Setelah anther keluar dan pecah
Membulat
===========================================================
230
41. Data karakterisasi kultivar Tropical dibandingkan dengan sampel 324 (Diploid) =========================================================== Karakter yang diamati
Tropical
Sampel 324 /Diploid
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Sedang Sedang Sedang Ovate Ada Saling bebas Mirip sudut Sempit meruncing Hijau gelap (139A) Lemah Sedang Panjang Sedang Hijau muda (146A)
Kecil Pendek Sempit Ovate Ada Saling bebas-menutup Runcing Sempit meruncing Hijau (137A) Lemah Sedang Pendek Kurus Hijau muda (146D)
Lemah
Lemah
Agak ke atas Kecil-sedang Hampir bulat Saling menekan (Rendah – sedang) Melengkung
Agak di atas Kecil Ovate Saling menekan, rendah
Sempit meruncing Merah (45 A-B) Merah (45B) Sedang Kuat – sangat kuat Cekung Tumpul
Sempit -meruncing Merah oranye (N30A) Merah oranye (N30B) Kuat Kuat Cekung Tegak lurus-lancip
Sangat pendek
Sangat pendek
Sangat panjang Sedang Lengkung ke dalam lemah Sedang
Pendek Sempit Lengkung ke dalam lemah Lemah
Kuning (N144A)
Oranye kuning (20A)
Kuning (13B)
Oranye kuning (20B)
Kuning (13D)
Oranye kuning (20D)
Kuning (11D)
Oranye kuning (20D)
15. 16. 17. 18. 20.
(*) Ukuran tanaman Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) (*) Bentuk helaian daun (*) Ada tidaknya lekukan helaian daun Posisi relatif lekukan helaian daun Sudut bagian bawah helaian daun (*) Bentuk ujung helaian daun Intensitas warna hijau daun bagian atas Lepuhan bagian atas helaian daun Panjang tangkai daun (*) Panjang tangkai bunga influoresen Ketebalan tangkai bunga influoresen Intensitas warna hijau bagian titik Tengah tangkai bunga influoresen Pewarnaan anthosianin tangkai bunga Influoresen (*) Posisi spate dibandingkan dengan daun (*) Ukuran spate (*) Bentuk eleptik spate (*) Posisi relatif lekukan spate
21. (*) Bentuk lengkungan bagian dasar dari spate 22. (*) Bentuk ujung spate 23. (*) Warna utama bagian atas spate 24. Warna utama bagian bawah spate 25. Tingkat ke”mengkilap”an spate 26. Lepuhan spate 27. Bentuk irisan lintang spate 28. Sudut antara bagian dasar spate dengan tangkai bunga influoresen 29. Jarak antara posisi spadik dengan sinus spate 30. (*) Panjang spadik 31. Lebar bagian terlebar spadik 33. (*) Lengkungan aksis memanjang spadik 34. Tingkat kelancipan/kelonjongan spadik dari arah dasar menuju ke ujung 35. (*) Warna utama bagian dasa spadik segera sebelum anthe keluar 36. (*) Warna bagian bawah spadik segera sebelum anther keluar 37. Warna bagian dasar spadik segera setelah Anther keluar dan pecah 38. Warna bagian bawah spadik segera Setelah anther keluar dan pecah
Membulat
===========================================================
231
42. Data karakterisasi lokal merah dibandingkan dengan sampel 112(Triploid) ====================================================================== Karakter yang diamati Lokal merah Sampel 112/Triploid 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 20.
(*) Ukuran tanaman Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) (*) Bentuk helaian daun (*) Ada tidaknya lekukan helaian daun Posisi relatif lekukan helaian daun Sudut bagian bawah helaian daun (*) Bentuk ujung helaian daun Intensitas warna hijau daun bagian atas Lepuhan bagian atas helaian daun Panjang tangkai daun (*) Panjang tangkai bunga influoresen Ketebalan tangkai bunga influoresen Intensitas warna hijau bagian titik Tengah tangkai bunga influoresen Pewarnaan anthosianin tangkai bunga Influoresen (*) Posisi spate dibandingkan dengan daun (*) Ukuran spate (*) Bentuk eleptik spate (*) Posisi relatif lekukan spate
21. (*) Bentuk lengkungan bagian dasar dari spate 22. (*) Bentuk ujung spate 23. (*) Warna utama bagian atas spate 24. Warna utama bagian bawah spate 25. Tingkat ke”mengkilap”an spate 26. Lepuhan spate 27. Bentuk irisan lintang spate 28. Sudut antara bagian dasar spate dengan tangkai bunga influoresen 29. Jarak antara posisi spadik dengan sinus spate 30. (*) Panjang spadik 31. Lebar bagian terlebar spadik 33. (*) Lengkungan aksis memanjang spadik 34. Tingkat kelancipan/kelonjongan spadik dari arah dasar menuju ke ujung 35. (*) Warna utama bagian dasa spadik segera sebelum anthe keluar 36. (*) Warna bagian bawah spadik segera sebelum anther keluar 37. Warna bagian dasar spadik segera setelah Anther keluar dan pecah 38. Warna bagian bawah spadik segera Setelah anther keluar dan pecah
Besar Sedang Besar Ovate Ada Saling bebas Mirip sudut Sempit meruncing Hijau gelap (139A) Sedang Panjang Panjang Tebal Hijau muda (146A)
Sedang Sedang Sedang Ovate Ada Saling bebas Runcing Sempit meruncing Hijau (137A) Sedang Sedang Sedang Sedang Merah abu-abu (182B)
Lemah-sedang
Sedang
Sejajar Sedang-besar Ovate Saling bebas
Agak di atas-sejajar Sedang Eleptik melebar Saling bebas
Membulat
Membulat
Sempit meruncing Merah (47C) Merah (48C) Lemah-sangat lemah Lemah Cekung Tumpul
Sempit-meruncing Merah (47B) Merah (54B) Sedang Sedang Cekung Tumpul
Sangat pendek
Sangat pendek
Sangat panjang Lebar-sangat lebar Lengkung ke dalam lemah-lurus Sangat lemah
Sedang Lebar Lurus
Merah (51C)
Hijau kuning (N144A)
Merah (51C)
Merah (52A)
Merah (51C)
Merah (51B)
Merah (51C)
Ungu abu-abu (186C)
Sangat-lemah
===========================================================
232
43. Data karakterisasi lokal merah dibandingkan dengan sampel 110(Triploid) =========================================================== Karakter yang diamati
Lokal merah
Sampel 110/Triploid
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Besar Sedang Besar Ovate Ada Saling bebas Mirip sudut Sempit meruncing Hijau gelap (139A) Sedang Panjang Panjang Tebal Hijau muda (146A)
Sedang Sedang Sedang Ovate Ada Saling bebas Runcing Sempit meruncing Hijau (147A) Sedang Sedang Sedang Sedang Hijau-kuning (146C)
Lemah-sedang
Sangat lemah-sedang
Sejajar Sedang-besar Ovate Saling bebas
Agak di bawah Kecil Eleptik melebar Saling bebas
Membulat
Membulat
Sempit meruncing Merah (47C) Merah (48C) Lemah-sangat lemah Lemah Cekung Tumpul
Sempit-meruncing Merah (47B) Merah (54B) Sedang Sedang Cekung Tumpul
Sangat pendek
Sangat pendek
Sangat panjang Lebar-sangat lebar Lengkung ke dalam lemah-lurus Sangat lemah
Sedang Sedang Lurus-lengkung ke dalam lemah Sangat-lemah
Merah (51C)
Merah (52A)
Merah (51C)
Merah (51A)
Merah (51C)
Ungu abu-abu (186C)
Merah (51C)
Ungu abu-abu (186C)
15. 16. 17. 18. 20.
(*) Ukuran tanaman Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) (*) Bentuk helaian daun (*) Ada tidaknya lekukan helaian daun Posisi relatif lekukan helaian daun Sudut bagian bawah helaian daun (*) Bentuk ujung helaian daun Intensitas warna hijau daun bagian atas Lepuhan bagian atas helaian daun Panjang tangkai daun (*) Panjang tangkai bunga influoresen Ketebalan tangkai bunga influoresen Intensitas warna hijau bagian titik Tengah tangkai bunga influoresen Pewarnaan anthosianin tangkai bunga Influoresen (*) Posisi spate dibandingkan dengan daun (*) Ukuran spate (*) Bentuk eleptik spate (*) Posisi relatif lekukan spate
21. (*) Bentuk lengkungan bagian dasar dari spate 22. (*) Bentuk ujung spate 23. (*) Warna utama bagian atas spate 24. Warna utama bagian bawah spate 25. Tingkat ke”mengkilap”an spate 26. Lepuhan spate 27. Bentuk irisan lintang spate 28. Sudut antara bagian dasar spate dengan tangkai bunga influoresen 29. Jarak antara posisi spadik dengan sinus spate 30. (*) Panjang spadik 31. Lebar bagian terlebar spadik 33. (*) Lengkungan aksis memanjang spadik 34. Tingkat kelancipan/kelonjongan spadik dari arah dasar menuju ke ujung 35. (*) Warna utama bagian dasa spadik segera sebelum anthe keluar 36. (*) Warna bagian bawah spadik segera sebelum anther keluar 37. Warna bagian dasar spadik segera setelah Anther keluar dan pecah 38. Warna bagian bawah spadik segera Setelah anther keluar dan pecah
===========================================================
233
44. Data karakterisasi lokal putih dibandingkan dengan sampel 239 (Haploid) =========================================================== Karakter yang diamati
Lokal putih
Sampel 239/Haploid
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Sedang Pendek-sedang Sedang Ovate Ada Saling menutup Runcing Meruncing Hijau (137A) Lemah Sedang Sedang Sedang Hijau muda (146A)
Kecil Pendek Sempit Ovate Ada Saling bebas Mirip sudut Sempit meruncing Hijau (137A) Lemah Pendek Pendek Kurus Hijau muda (N144C)
Tidak ada
Tidak ada
Jauh di bawah Kecil Ovate Saling bebas
Agak di bawah Kecil Ovate Saling bebas
Membulat
Membulat
Sempit meruncing Putih (155C) Putih (155B) Sedang Lemah-sangat lemah Cembung Tegak lurus lancip
Sempit-meruncing Putih (155C) Putih (155C) Lemah Lemah Cekung Tumpul
Sangat pendek
Sangat pendek
Sedang Lebar Lengkung ke dalam lemah-lurus Lemah
Sedang Sedang Lengkung ke dalam lemah
Ungu abu-abu (186A) Merah (48B) Ungu abu-abu (186A)/(75B) Ungu abu-abu (186C)/(75C) Ungu abu-abu (186D)/(75D)
Hijau kuning (N144C)
15. 16. 17. 18. 20.
(*) Ukuran tanaman Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) (*) Bentuk helaian daun (*) Ada tidaknya lekukan helaian daun Posisi relatif lekukan helaian daun Sudut bagian bawah helaian daun (*) Bentuk ujung helaian daun Intensitas warna hijau daun bagian atas Lepuhan bagian atas helaian daun Panjang tangkai daun (*) Panjang tangkai bunga influoresen Ketebalan tangkai bunga influoresen Intensitas warna hijau bagian titik Tengah tangkai bunga influoresen Pewarnaan anthosianin tangkai bunga Influoresen (*) Posisi spate dibandingkan dengan daun (*) Ukuran spate (*) Bentuk eleptik spate (*) Posisi relatif lekukan spate
21. (*) Bentuk lengkungan bagian dasar dari spate 22. (*) Bentuk ujung spate 23. (*) Warna utama bagian atas spate 24. Warna utama bagian bawah spate 25. Tingkat ke”mengkilap”an spate 26. Lepuhan spate 27. Bentuk irisan lintang spate 28. Sudut antara bagian dasar spate dengan tangkai bunga influoresen 29. Jarak antara posisi spadik dengan sinus spate 30. (*) Panjang spadik 31. Lebar bagian terlebar spadik 33. (*) Lengkungan aksis memanjang spadik 34. Tingkat kelancipan/kelonjongan spadik dari arah dasar menuju ke ujung 35. (*) Warna utama bagian dasa spadik segera sebelum anthe keluar 36. (*) Warna bagian bawah spadik segera sebelum anther keluar 37. Warna bagian dasar spadik segera setelah Anther keluar dan pecah 38. Warna bagian bawah spadik segera Setelah anther keluar dan pecah
Sangat-lemah
Hijau-kuning (145D) Hijau-kuning (155D) Hijau-kuning (155A)
===========================================================
234
45. Data karakter sampel 115 dan 16 yang memiliki potensi sebagai tanaman pot =========================================================== Karakter yang diamati
Sampel 115/Diploid
Sampel 16/Diploid
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Kecil-sedang Sedang Sedang Ovate Ada Saling bebas-bersentuhan Runcing Sempit meruncing Hijau (137A) Lemah Sedang Pendek Sedang Merah oranye (N34A)
Kecil Sedang Sedang Ovate Ada Saling menutup Meruncing Sempit meruncing Hijau (137A) Lemah Pendek Pendek Sedang Hijau muda (137C)
Sangat kuat
Sangat lemah
Agak di atas-sejajar Kecil Eleptik Saling bebas
Agak di atas Kecil Ovate melebar Saling bersentuhan
Membulat
Membulat
Sempit-meruncing Ungu merah (69A) Ungu merah (69B) Sedang Lemah Cekung Tumpul
Sempit-meruncing Kuning (11D) Kuning (11D) Sedang Kuat Cekung Tumpul
Sangat pendek
Sangat pendek
Sedang Sedang Lurus Lemah
Pendek Sempit Lengkung ke dalam lemah Lemah
Merah (52A)
Hijau-kuning (151B)
Merah (52C)
Hijau-kuning (152C)
Merah (52C)
Oranye kuning (14B)
Merah (52C)
Oranye kuning (14C)
15. 16. 17. 18. 20.
(*) Ukuran tanaman Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) (*) Bentuk helaian daun (*) Ada tidaknya lekukan helaian daun Posisi relatif lekukan helaian daun Sudut bagian bawah helaian daun (*) Bentuk ujung helaian daun Intensitas warna hijau daun bagian atas Lepuhan bagian atas helaian daun Panjang tangkai daun (*) Panjang tangkai bunga influoresen Ketebalan tangkai bunga influoresen Intensitas warna hijau bagian titik Tengah tangkai bunga influoresen Pewarnaan anthosianin tangkai bunga Influoresen (*) Posisi spate dibandingkan dengan daun (*) Ukuran spate (*) Bentuk eleptik spate (*) Posisi relatif lekukan spate
21. (*) Bentuk lengkungan bagian dasar dari spate 22. (*) Bentuk ujung spate 23. (*) Warna utama bagian atas spate 24. Warna utama bagian bawah spate 25. Tingkat ke”mengkilap”an spate 26. Lepuhan spate 27. Bentuk irisan lintang spate 28. Sudut antara bagian dasar spate dengan tangkai bunga influoresen 29. Jarak antara posisi spadik dengan sinus spate 30. (*) Panjang spadik 31. Lebar bagian terlebar spadik 33. (*) Lengkungan aksis memanjang spadik 34. Tingkat kelancipan/kelonjongan spadik dari arah dasar menuju ke ujung 35. (*) Warna utama bagian dasa spadik segera sebelum anthe keluar 36. (*) Warna bagian bawah spadik segera sebelum anther keluar 37. Warna bagian dasar spadik segera setelah Anther keluar dan pecah 38. Warna bagian bawah spadik segera Setelah anther keluar dan pecah
===========================================================
235
46. Data karakter sampel dominan hasil kultur antera anturium (Sampel 49 dan 151) =========================================================== Karakter yang diamati
Sampel 49/Diploid
Sampel 151/Diploid
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Kecil Sedang Sedang Ovate Ada Saling menutup Runcing Sempit meruncing Hijau (137C) Lemah Sedang Sedang Sedang Hijau muda (146A)
Kecil Pendek Sedang Ovate Ada Saling menutup Runcing Sempit meruncing Hijau (137A) Lemah Sedang Sedang Sedang Hijau-kuning (144A)
Sangat lemah
Sangat lemah
Agak di atas Kecil Ovate Saling menutup
Agak di atas Kecil Eleptik melebar Saling lepas
Membulat
Membulat
Sempit-meruncing Putih (155D) Putih (155C) Sedang Sedang Cekung Tumpul-tegak lurus
Sempit-meruncing Putih (155A) Putih hijau (157C) Lemah Sedang Cekung Tumpul
Sangat pendek
Sangat pendek
Pendek Sedang Lengkung ke dalam lemah Lemah
Pendek Sedang Lengkung kedalam lemah Lemah
Oranye (26A)
Hijau kuning (N144A)
Oranye (26A)
Oranye (25B)
Merah (38C)
Oranye (31B)
Merah (38C)
Oranye (29D)
15. 16. 17. 18. 20.
(*) Ukuran tanaman Panjang daun (cm) Lebar daun (cm) (*) Bentuk helaian daun (*) Ada tidaknya lekukan helaian daun Posisi relatif lekukan helaian daun Sudut bagian bawah helaian daun (*) Bentuk ujung helaian daun Intensitas warna hijau daun bagian atas Lepuhan bagian atas helaian daun Panjang tangkai daun (*) Panjang tangkai bunga influoresen Ketebalan tangkai bunga influoresen Intensitas warna hijau bagian titik Tengah tangkai bunga influoresen Pewarnaan anthosianin tangkai bunga Influoresen (*) Posisi spate dibandingkan dengan daun (*) Ukuran spate (*) Bentuk eleptik spate (*) Posisi relatif lekukan spate
21. (*) Bentuk lengkungan bagian dasar dari spate 22. (*) Bentuk ujung spate 23. (*) Warna utama bagian atas spate 24. Warna utama bagian bawah spate 25. Tingkat ke”mengkilap”an spate 26. Lepuhan spate 27. Bentuk irisan lintang spate 28. Sudut antara bagian dasar spate dengan tangkai bunga influoresen 29. Jarak antara posisi spadik dengan sinus spate 30. (*) Panjang spadik 31. Lebar bagian terlebar spadik 33. (*) Lengkungan aksis memanjang spadik 34. Tingkat kelancipan/kelonjongan spadik dari arah dasar menuju ke ujung 35. (*) Warna utama bagian dasa spadik segera sebelum anthe keluar 36. (*) Warna bagian bawah spadik segera sebelum anther keluar 37. Warna bagian dasar spadik segera setelah Anther keluar dan pecah 38. Warna bagian bawah spadik segera Setelah anther keluar dan pecah
===========================================================