Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
CATUHA 2010 Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
TAHUN KOSMETIK POLITIK ; ANGGARAN TERANCAM INKONSTITUSIONAL
Disusun Oleh : Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
1
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
2
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010 TAHUN KOSMETIK POLITIK ; ANGGARAN TERANCAM INKONSTITUSIONAL Dipublikasikan oleh :
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Tim Penyusun : Yuna Farhan Yenny Sucipto Uchok Sky Khadafi Hadi Prayitno Muhammad Maulana Tim Input Data : Lukman Hakim Ahmad Taufik Zulkifli
3
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
4
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Daftar Isi
5
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
TAHUN KOSMETIK POLITIK, ANGGARAN TERANCAM INKONSTITUSIONAL
6
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
T
ahun 2010, adalah tahun pertama periode kedua Presiden SBY terpilih kembali menjadi Presiden RI. Pada masa Pemerintahannya yang kedua, seharusnya SBY lebih berani dalam mengambil kebijakan anggarannya. Tidak semata mementingkan politik pencitraannya. “Pemulihan Perekonomian Nasional dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat” yang dijadikan tema prioritas APBN 2010, masih sebatas jargon politik. Realitanya, anggaran semakin jauh dari pasal 23 konsitusi, sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, dikelola secara terbuka dan bertanggung jawab. Dalam Belanja Pemerintah Pusat pada APBN-P 2010, 40,7% anggaran dipergunakan untuk kepentingan rutin birokrasi dan elit pejabat ketimbang rakyatnya. Rp. 162,6 trilyun dialokasikan untuk belanja pegawai, Rp. 19,5 trilyun untuk belanja perjalanan dan Rp. 153,6 triliyun untuk pembayaran bunga dan pokok utang. Berikut adalah catatan FITRA atas kebijakan anggaran sepanjang tahun 2010 :
1. Remunerasi ; Masker Tebal bagi Reformasi Birokrasi. Resep pemerintah memberikan remunerasi untuk mengeliminir perilaku korup birokrat, tidak mujarab dengan mencuatnya kasus Gayus seorang Pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu. Langkah lingkaran istana membentuk berbagai Satuan Tugas (Satgas) , dan mengisi posisi Menteri dan wakil Menteri, secara sistematin berkonstribusi pada kegagalan reformasi birokrasi yang masih sebatas jargon. Keduanya menjadi masker tebal , pada reformasi birokrasi yang melahirkan format birokrasi “Kaya Struktur, Miskin Fungsi dan Inefisiensi” Penambahan belanja pegawai Rp.34,7 trilyun pada tahun 2010, secara nyata tidak memperlihatkan perbaikan pada layanan birokrasi.
2. Anggaran Perjalanan ; sebagai uang saku masuk Salon. Bukti anggaran sebagai kosmetik politik terlihat jelas dari belanja perjalanan dinas yang lebih banyak dinikmati elit birokrasi. Hampir setiap tahun penyusunan anggaran Presiden selalu menghimbau, melakukan penghematan belanja perjalanan. Namun himbauan tidak sesuai dengan fakta, dimana dalam 3 tahun terakhir, belanja perjalanan selalu mengalami peningkatan signifikan senilai Rp.4 trilyun setiap tahunnya. Hal ini menunjukan penghematan belanja perjalanan masih sebatas retorika
7
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
politik. Belanja perjalanan selalu membengkak pada saat perubahan anggaran, bahkan membengkak dalam realisasinya. Pada APBN 2009, ditetapkan Rp. 2,9 trilyun, meningkat menjadi Rp. 12,7 trilyun, dan membengkak menjadi Rp. 15,7 trilyun dalam realisasinya. Hal yang sama pada APBN 2010, ditetapkan Rp. 16,2 trilyun dan meningkat menjadi Rp. 19,5 trilyun atau 4 kali anggaran JAMKESMAS pada anggaran Perubahan. Belanja perjalanan juga menjadi lahan subur tambahan penghasilan. Berdasarkan audit BPK, setidaknya pada 35 Kementerian/Lembaga ditemukan penyimpangan anggaran perjanalan dinas senilai Rp.73,6 milyar, dengan modus perjalanan fiktif, tiket palsu dan pembayaran ganda .
3. Anggaran Kesejahteraan ; Lipstik Kegenitan Pemerintah. APBN 2010 terdapat utang yang secara keseluruhan, baik cicilan maupun bunga utang, yang bernilai Rp 159,7 triliun (15%). Jumlah ini lebih besar daripada anggaran yang dialokasikan untuk rakyat, seperti anggaran fungsi kesehatan yang hanya mencapai 31,6 triliun dan dana bencana Rp 6,4 triliun. Anggaran kesehatan pada APBN 2010 sebesar 2,3% masih jauh dari amanat UU sebesar 5%. Sebagai Negara yang rawan bencana, alokasi yang tersedia, masih jauh dari memadai. Anggaran bencana tersebar di berbagai Kementerian/lembaga yang berakibat pada membengkaknya anggaran birokrasinya. Pemerintah juga menganggap PNPM sebagai obat mujarab penanggulangan kemiskinan. Yang terjadi, justru menjadi instrumen politik menarik simpati rakyat, namun tidak berpengaruh signifikan pada laju penurunan kemiskinan. Tahun 2008, anggaran PNPM ditambah Rp.1,3 trilyun berhasil menurunkan 2,2 juta orang miskin, sementara tahun 2009 anggaran PNPM ditambah Rp.4,9 trilyun, namun hanya mampu menurunkan 2,4 juta orang miskin. Begitu pula anggaran pendidikan yang menjadi keranjang sampah tersebar di berbagai Kementerian/Lembaga, termasuk untuk kegiatan SEA GAMES. Temuan BPK, di daerah juga menunjukan pendidikan menjadi lahan subur penyimpangan anggaran senilai Rp. 900 milyar di 80 daerah.
4. Ketertutupan Informasi Anggaran ; Kotak Kosmetik yang selalu Dijinjing. Dari hasil uji akses permintaan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran)
8
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Kementerian/Lembaga, mayoritas masih menganggap anggaran sebagai dokumen rahasia Negara. Dari 69 Badan Publik, 84% (54) badan publik tidak memberikan DIPA. Dari 15 badan publik yang memberikan DIPA, separuh diantaranya baru memberikan setelah diajukan surat keberatan. Ironisnya, banyak badan publik beralasan sedang meminta konfirmasi dari Kemenkeu dan BPK, yang justru kedua institusi ini tidak menjadi lokomotif dalam keterbukaan anggaran. Praktek ini, menunjukan mandat konstitusi; anggaran dikelola secara terbuka belum di lakukan pada tahun 2010.
5. Ritual Tahunan Audit BPK, sebagai pulasan akhir Penghapus Masker. Pemerintah boleh saja bangga, setelah 5 tahun berturut-turut memperoleh opini disclaimer (tidak memberikan pendapat/TMP), hasil audit BPK semester I Tahun 2010, memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) pada LKP. Persoalannya, hasil audit BPK masih sebatas ritual tahunan yang hasilnya sedikit yang ditindaklanjuti. Opini BPK-pun masih rawan dijadikan tawar menawar. Hasil audit yang diserahkan ke DPR ini, tidak mendapat perhatian serius dibandingkan saat pembahasan anggaran. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI, sebagai alat kelengkapan baru DPR, belum menunjukan kinerjanya, terutama terhadap hasil audit BPK. Padahal, meskipun opini LKPP meningkat, namun dari sisi jumlah kasus temuan dan jumlah kerugian, hasil audit BPK justru meningkat pada tahun 2008 ke 2009. Pada tahun 2008 Hasil pemeriksaan BPK, menemukan 378 kasus dengan nilai penyimpangan Rp. 3,7 trilyun, pada tahun 2009 meningkat adanya 650 kasus ketidak-patuhan terhadap ketentuan perundang-undangan dengan nilai total Rp 4,98 triliun
6. Negosiasi Anggaran sebagai Pewarna Utama Pemerah Pipi Pemerintah DPR yang memiliki fungsi anggaran dan diharapkan mengkritisi anggaran Pemerintah, justru terjebak menggunakan fungsi anggarannya untuk kepentingan pragmatis golongannya. Tercatat, sepanjang 2010 DPR ngotot memperjuangkan kepentingannya, membangun gedung mewah Rp. 1,6
9
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
trilyun dan ngotot membagi-bagi jatah plesiran ke Luar Negeri ditengah terjadinya bencana. Dengan dalih aspirasi, DPR juga kekeuh melancarkan perampokan uang rakyat dengan mengusulkan dana aspirasi dan pembangunan rumah aspirasi. DPR yang mayoritas terdiri dari wajah baru pada tahun pertama, justru telah menimbulkan defisit kepercayaan dari rakyat, berada pada zona kedap kritik publik. Sulit mengharapkan DPR yang kritis terhadap anggaran Pemerintah, disaat kelakuan DPR lebih mementingkan anggaran untuk perutnya.
7. Keuangan Daerah, peninggalan sampah Kosmetik. Presiden pada pengantar Nota Keuangan mengklaim selalu meningkatkan transfer ke daerah. Pemerintah mengklaim telah meningkatkan anggaran transfer ke daerah 2 kali lipat lebih, dari Rp. 150,4 trilyun pada tahun 2005 menjadi Rp. 344,6 trilyun pada APBN-P 2010. Namun sebenarnya dibandingkan belanja Negara yang terus meningkat, proporsi belanja transfer ke daerah stagnan dikisaran 30% dari total belanja Negara. Di tengah ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana perimbangan yang mencapai 82%, pemerintah daerah justru mengalokasikan belanja pegawai mencapai 51% dari total belanja daerah atau naik secara signifikan dari tahun 2009 sebesar Rp153 triliun menjadi Rp168 triliun pada tahun 2010. Akibatnya belanja modal yang orientasinya lebih dekat untuk penyediaan sarana dasar pelayanan public hanya mendapatkan porsi 17%. Di tengah keterbatasan ruang fiscal daerah dan setengah hati desentralisasi fiscal oleh pusat, daerah juga salah kelola mempertanggungjawabkan anggarannya yang minim. Dari hasil audit BPK, penyalahgunaan anggaran daerah tahun 2009 telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp306,6 miliar atau mengalami kenaikan fantastis sebesar 173% dibandingkan dengan tahun 2008.
Di penghujung tahun 2010, para elit politik yang menduduki jabatan Kementerian/Lembaga semakin kerap tampil di media, mengklaim keberhasilannya atau sekedar sosialisasi program, disaat programnya akan berakhir. Padahal, ini modus untuk menghabiskan anggaran secara cepat ditengah lambannya penyerapan anggaran. Kekhawatiran dipotongnya pagu
10
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
anggaran akibat anggaran yang tidak terserap pada tahun 2010, menjadi momok bagi K/L. K/L kembali akan berorientasi sekedar menghabiskan anggaran, tanpa mempertimbangkan efektivitas pencapaian kinerja dari anggaran yang telah dialokasikan. Pemerintah-pun meng-klaim melakukan penghematan anggaran 2010 senilai Rp. 100 trilyun, padahal merupakan bentuk kegagalan menyerap anggaran. Akibat buruknya perencanaan anggaran, yang mengumbar nafsu peningkatan belanja setiap tahun, sebagai justifikasi untuk terus berutang. Dan, ketidakmampuan Kementerian Keuangan menyisir usulan-usulan proyek K/L, tanpa mempertimbangkan kemampuan menyerap dan mata anggaran di atas standar harga. Catatan buruk pengelolaan anggaran sepanjang tahun 2010, menunjukan anggaran semakin jauh dari pasal 23 amanat konstitusi. Reformasi birokrasi, kesejahteraan rakyat dan penghematan masih sebatas retorika sebagai kosmetik untuk memoles citra penguasa dan elit politik. Lambannya penyerapan anggaran yang baru mencapai 78,2% pada akhir November 2010, menyebabkan Prioritas APBN 2010 “Pemulihan Ekonomi” akan sulit tercapai. Peningkatan anggaran Rp. 509,6 trilyun dari tahun 2005 sebesar menjadi Rp. 1.126 trilyun pada APBN 2010. Tidak memberikan perubahan berarti bagi kesejahteraan rakyat. Indeks Pembangunan Manusia kita justru terus terpuruk. Jika, tahun 2006, Indonesia berada di peringkat ke-107, merosot ke peringkat ke-109 pada tahun 2007-2008, dan pada 2009 menjadi peringkat ke-111. Bahkan lebih buruk dari peringkat Palestina (110) dan Sri Lanka (102) yang sedang dilanda konflik.
11
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
Proyeksi dan Resolusi Tahun Anggaran 2011
12
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
P
engelolaan anggaran pada tahun 2011 belum terlepas dari penyakit kronis Kosmetik Politik menuju 2014. Permasalahan yang sama terus berulang, pemborosan, anggaran sebagai komoditas kepentingan elit, penyerapan lamban dan kebocoran anggaran.
Pada tahun 2011, Pemerintah menetapkan arah kebijakan anggaran “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan didukung Pemantapan Tata Kelola dan Sinergi Pusat Daerah”. Dalam Penyampaian Pidato Nota Keuangan oleh Presiden SBY, tidak berbeda jauh dengan tahun 2010, hanya menyampaikan kondisi yang baik saja. Faktanya, apa yang disampaikan dalam Pidato, berbeda dengan kebijakan anggaran sesungguhnya. Misalnya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Pemerintah mengklaim meningkatkan belanja modal menjadi Rp. 121,7 trilyun. Sesungguhnya dari segi komposisi belanja menurut jenis, belanja modal belumlah menjadi prioritas. Pasalnya, belanja modal adalah belanja terkecil dibandingkan belanja subsidi (Rp. 184,8 T), belanja pegawai (Rp.180,6 T) dan belanja barang (Rp. 131,5 T). Nilai tersebut juga belum dapat dipastikan siapa penerima manfaat dan mekanisme yang terbuka pada implementasinya.
Pemerintah juga mengklaim anggaran transfer ke daerah meningkat secara tajam dari kurun waktu 2005-2011. Akan tetapi, secara proporsional kenaikan transfer daerah sesungguhnya stagnan dikisaran 30-31%. Bahkan pengalihan dana BOS sebagai belanja transfer daerah, hanyalah kamuflase komitmen Pemerintah Pusat, karena daerah hanya sekedar mencatat saja pada APBDnya, tanpa memiliki diskresi fiskal.
Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang rencana penghematan (akan menerbitkan Perpres dan Inpres untuk membentuk tim evaluasi penghematan anggaran) sama sekali tidak tercermin dalam RAPBN 2011. Pada RKA KL 2011 ditemukan data peruntukan belanja modal untuk kepentingan birokrasi dan berpotensi pemborosan serta tidak memiliki konstribusi pada pertumbuhan ekonomi. Sedikitnya akan diadakan 4,041 kendaraan dinas roda 4/6 dan roda 2 senilai Rp. 371,5 Milyar di 20 Kementerian/Lembaga dan 3.109 notebook maupun komputer senilai Rp 32,5 milyar di 7 K/L. Di lain pihak, usulan K/L dalam pengadaan kendaraan
13
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
dan Computer berada di atas harga standar biaya, menandakan masih carutmarutnya peran Kemenkeu dalam menyisir usulan K/L. Dipastikan, BPK akan kembali menemukan penyimpangan-penyimpangan yang terus berulang
Dibutuhkan keberanian Presiden SBY untuk melakukan perombakan total terhadap tata kelola kebijakan anggaran. FITRA meyampaikan resolusi tata kelola anggaran pada tahun 2011 sebagai berikut :
1. Mengkaji Ulang Disain Reformasi Birokrasi, Moratarium Remunerasi & Rekrutmen PNS Pemberian remunerasi untuk mengurangi korupsi dan memperbaiki kinerja reformasi birokrasi terbukti tidak efektif. Pada tahun 2011, belanja pegawai kembali meningkat Rp. 17,9 trilyun. Kenaikan gaji dan rekrutmen PNS setiap tahun, akan berimplikasi semakin beratnya beban anggaran yang bersifat rutin. Ruang fiskal anggaran untuk pembangunan semakin terbatas. Penting, Pemerintah untuk menghentikan remunerasi dan rekrutment PNS. Mengkaji arah reformasi birokrasi, pada arah birokrasi yang lebih efisien dan kaya struktur.
2. Penghematan Pada Tahap Penyusunan Anggaran Agar penghematan anggaran tidak sekedar menjadi retorika politik. Penghematan harus diawali pada saat penyusunan anggaran. Kemenkeu sebagai Pejabat Pengelola Keuangan harus membangun sistem yang lebih selektif terhadap usulan K/L. Kemenkeu juga harus melakukan standarisasi nomenklatur/mata anggaran pada RKA-K/L, menyisir usulan yang berada di atas standar harga dan menerbitkan peraturan berkaitan dengan belanja perjalanan dan belanja iklan di K/L.
3. Internalisasi Transparansi Anggaran Implementasi UU KIP haru menjadi bagian dalam perbaikan tata kelola anggaran. Kementerian/Lembaga, harus segera membenahi birokrasi yang mempermudah publik dalam mengakses informasi anggaran. Dokumen RKA-KL, DIPA, Laporan Realisasasi Anggaran, seharusnya
14
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
dipublikasikan pada masing-masing situs Pemerintah.
4. Pembenahan Tata Kelola Anggaran Kesejahteraan Tidak diragukan Pemerintah punya komitmen untuk memperbesar anggaran kesejahteraan. Terpenting dari anggaran yang telah dialokasikan adalah efektivitas realisasi anggaran yang berkonstribusi pada program penanggulangan kemiskinan. Program kesejahteraan tidak hanya menjadi keranjang sampah yang menampung program K/L yang tidak relevan dengan kesejahteraan. Oleh karenanya, badan seperti TNP2K (Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan) harus memiliki peran melakukan penyisiran program-program kesejahteraan pada berbagai K/ L, seperti anggaran kemiskinan, pendidikan dan ksehatan.
5. DPR Sebagai Lokomotif Reformasi Tata Kelola Anggaran DPR akan mendapatkan legitimasi dan dukungan rakyat dalam mengkritisi anggaran yang diajukan Pemerintah. Dengan catatan, DPR menjadi lokomotif dalam tata kelola anggarannya. DPR harus membuka Rencana Anggarannya sebelum ditetapkan untuk mendapatkan masukan publi. DPR juga harus terbuka anggaran di rumah tangganya, memangkas belanja yang bersifat pemborosan.
6. Revisi UU Perimbangan Revisi undang-undangan perimbangan yang berkeadilan bagi daerah harus segera dilakukan. Pemberian 70% urusan ke Pemerintah Daerah harus disertai ruang fiskal yang memadai bagidaerah. Pemerintah juga harus menghapuskan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang menjadi urusan daerah untuk diserahkan daerah. Dana perimbangan sebagai intrumen mengatasi kesenjangan antar daerah harus menjadi mainstream dalam perbaikan UU dana perimbangan.
15
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
16
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
CATUHA 2010 1.
Remunerasi ; Masker Tebal bagi Reformasi Birokrasi.
2.
Anggaran Perjalanan ; sebagai uang saku masuk Salon.
3.
Anggaran Kesejahteraan ; Lipstik Kegenitan Pemerintah.
4.
Ketertutupan Informasi Anggaran ; Kotak Kosmetik yang selalu Dijinjing.
5.
Ritual Tahunan Audit BPK ; pulasan akhir Penghapus Masker.
6.
Negosiasi Anggaran ; Pewarna Utama Pemerah Pipi Pemerintah
7.
Keuangan Daerah ; peninggalan sampah Kosmetik.
17
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
REMUNERASI: MASKER TEBAL REFORMASI BIROKRASI
P
royek percobaan reformasi birokrasi diluncurkan pertama kali tahun 2008 untuk tiga kementerian/lembagayaitu: Kemenkeu, BPK dan Mahkamah Agung. Reformasi Birokrasi yang dijalankan ini menggunakan asumsi bahwa tambahan remunerasi akan meningkatkan prestasi dan mengurangi korupsi. Inilah jalan sesat reformasi birokrasi dengan logika terbalik yang dibangun rezim SBY: SESAT 1. Remunerasi Tidak Mengurangi Birokrat yang Birokrat kapitalis. PNS berpangkat rendah sekelas Gayus mampu menjadi makelar pajak. Bahkan, seorang office boy di kantor pajak Surabya mampu memanipulasi pajak. Hakim yang memutus kasus Gayus, harta kekayaan Mantan Ditjen Pajak (Bahasyim), serta harta pejabat lain di lingkungan Depkeu yang tidak wajar, membuktikan masih berkuasanya para birokrat kapitalis kapitalis yang tidak bisa dipuaskan hanya dengan kenaikan remunerasi.
SESAT 2. Remunerasi Tidak Meningkatkan Prestasi. Remunerasi membuat prestasi meningkat, jelas tidak terbukti. Kenaikan belanja pegawai dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 27% atau Rp34,9 triliyun tidakmembuat layanan birokrasi semakin membaik. Sebagai penganut anggaran berbasis kinerja, seharusnya penambahan anggaran satu rupiahpun harus bisa diukur kiner-
18
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
janya. Tentunya ini logika terbalik yang menyesatkan. Bagi orang awam, anak sekolah harus belajar rajin dahulu untuk memperoleh nilai tinggi, umat beragama harus berbuat baik untuk mendapatkan pahala, dan birokrasi hasus menunjukan prestasi dahulu untuk memperoleh tambahan tunjangan, bukan sebaliknya.
SESAT 3. Tidak Memiliki Landasan Hukum Yang Jelas. Tambahan remunerasi dengan label “Reformasi Birokrasi” pertama kali diluncurkan oleh kementerian Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 289/KMK.01/2007 dan 290/KMK.01/2007. Dalam Keputusan tersebut, pejabat setingkat Dirjen, yang merupakan jabatan tertinggi di Kemenkeu, memperoleh tambahan remunerasi sebanyak Rp46,9 Juta. Tentu saja tambahan remunerasi ini mendapatkan kritik oleh BPK. Tak lama kemudian, BPK juga mendapatkan tambahan remunerasi melalui keputusan internal mereka sendiri. Sedangkan Mahkamah Agung, melalui Perpres No. 19 tahun 2008, mendapatkan tunjangan kinerja, dimana jabatan setingkat Ketua MA meningkat sebesar Rp50 Juta. Remunerasi reformasi birokrasi di tiga kementerian/lembaga ini tidak memiliki landasan hukum yang jelas dan hanya mengandalkan keputusan internal saja.
SESAT 4. Remunerasi Menghamburkan Uang Rakyat, Menambah Beban Anggaran. Berdasarkan analisis FITRA, tambahan remunerasi birokrasi berakibat pada kenaikan belanja pegawai pada tahun 2008. Tiga lembaga (Kemenkeu, BPK, dan MA) menyedot anggaran hingga Rp9,5 Triliun dengan kenaikan belanja pegawai di Depkeu sebesar 270%, MA 230%, dan BPK 163%. Dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2010, pemerintah kembali mengalokasikan Rp13,9 triliun untuk tambahan remenurasi reformasi birokrasi di beberapa kementerian/lembaga, dimana Rp10,6 triliun pada APBN 2010 ditambahkan Rp3,3 triliun pada APBN-P. SESAT 5. Remunerasi Memunculkan Kecemberuan PNS di Kementrian/ Lembaga Lain. Remunerasi akan menimbulkan kecemburuan di lingkungan birokrasi. PNS yang dekat dengan pejabat di bironya akan memperoleh tambahan remunerasi lebih besar daripada PNS beprestasi yang tidak mengenal pejabat tersebut. Tidak ada dasar yang menyatakan bahwa Kemenkeu, BPK,
19
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
maupun MA memiliki peran yang lebih penting dibandingkan kementerian/ lembaga lain. Kemenkeu sebagai Bendahara Negara tidak serta merta dapat menambah penghasilannya sendiri melalui keputusan internal. Begitu pula dengan BPK dan MA. Jelas, kucuran remunerasi hanya mengamankan birokrat elit.
SESAT 6. Istana Menggemukkan Birokrasi. Ditetapkannya UU No. 39 tahun 2008 tentang kementerian/lembaga, dimanfaatkan presiden sedapat mungkin dengan membentuk kabinet sejumlah 39 kementerian/lembaga untuk mengakomodasi seluruh anggota koalisinya. Tidak cukup sampai disana, presiden juga menambah 10 jabatan wakil menteri yang sampai saat ini belum jelas pembagian kerjanya dengan menteri maupun pejabat eselon I. Bahkan, presiden sempat berencana untuk menaikkan gaji para menteri dan pejabatnya di tahun 2010 ini.
Lembaga kepresidenan sebagai lokomotif reformasi birokrasi justru tidak mampu memberikan contoh bagi kementerian/lembaga lain. Lembaga Kepresidenan semakin gemuk dalam struktur dengan adanya tambahanlembaga di lingkungan istana seperti, staf khusus, staf pribadi, juru bicara, Unit Kerja, Dewan Pertimbangan Presiden , Satgas Mafia Hukum, hingga Tim 8 yang telah berkahir masa jabatannya. Ironisnya, pembentukan lembagalembaga ini tidak pernah dievaluasi efektifitasnya. Bahkan cenderung menambah beban anggaran negara. Pada APBN 2010, Unit Kerja presiden telah memiliki nomenklatur sendiri dengan anggaran Rp17,1 miliar dan Dewan Pertimbangan Presiden dengan anggaran Rp34,5 miliar.
SESAT 7. Miskin Fungsi, Kaya Struktur: Belanja Pegawai Bengkak. Dalam 5 tahun terakhir, belanja pemerintah pusat didominasi belanja subsidi. Namun pada anggaran 2010, justru belanja terbesar adalah belanja pegawai sebesar Rp160 triliun yang mengalahkan belanja subsidi Rp157 triliun. Belanja pegawai dari APBN-P 2009 ke 2010 meingkat sebanyak Rp26 triliun atau meningkat 21%. Belanja pegawai terdiri atas gaji dan tunjangan, honorarium dan vakasi, serta konstribusi sosial.
20
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Komponen gaji dan tunjangan pada belanja pegawai dialokasikan untuk kenaikan sebanyak 5%, gaji ke-13 dan acrees. Sementara komponen honorarium dan vakasi yang direncanakan untuk kenaikan gaji menteri, presiden serta remunerasi di 10 kementerian/lembaga lain, anggarannya meningkat Rp11 triliun, dari Rp13,9 triliun pada APBNP 2009 menjadi Rp25,43 triliun di APBN 2010. Ironisnya, kenaikan belanja pegawai ini justru mengorbankan belanja yang bersentuhan langsung dengan rakyat miskin. Belanja subsidi berkurang Rp297 milyar.Subsidi yang paling banyak berkurang adalah subsidi non-energi, yang paling banyak dirasakan oleh orang miskin, dengan penurunan Rp6,8 triliun.. Subsidi non-energi yang dikurangi adalah pangan Rp1,5 triliun, pupuk Rp3,7 triliun, benih Rp56 milyar, dan obat generik sebanyakRp350 milyar. Belanja bantuan sosial, yang didalamnya terdapat terdapat BOS, Jamkesmas, PKH, dan PNPM, untuk tahun 2010 juga dikurangi Rp8,3 triliun.
DARI KETUJUH JALAN SESAT REFORMASI BIROKRASI, PEMERINTAH HARUS:
1.
MORATORIUM REMUNERASI. Pemerintah harus menghentikan remunerasi karena terbukti tidak efektif untuk menghapuskan birokrat kapitalis kapitalis dan meningkatkan prestasi. Malah, remunerasi ini menambah beban belanja pegawai dan kecemberuan diantara PNS. DPR harus menghapuskan tambahan remunerasi birokrasi pada APBN -P 2010
2.
PEMBUKTIAN TERBALIK. Reformasi birokrasi harus diawali dengan pembuktian terbalik untuk mengidentifikasi para birokrat kapitalis dengan harta kekayaan tidak wajar dari penyalahgunaan jabatannya.
3.
PEMBERSIHAN BIROKRAT KAPITALIS. Reformasi Birokrasi harus dilakukan dengan membersihkan para birokrat kapitalis Karena sepanjang mereka masih bercokol di birokrasi, maka rekrutmen PNS baru akan terkontaminasi menjadi tangan-tangan birokrat kapitalis yang baru
4.
KEMBALIKAN APBN PADA FUNGSI KESEJAHTERAAN SESUAI PASAL 23 UUD’45. Alokasi angggaran remunerasi pada APBNP 2010 senilai Rp13,9 triliun direlokasikan untuk penambahan anggaran Jaminan Kesehatan Orang Miskin dan program-program kemiskinan lainnya.
21
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
ANGGARAN PERJALANAN ; UANG SAKU MASUK SALON
S
etiap penyusunan anggaran, presiden selalu mengimbau kementerian/lembaga untuk melakukan penghematan atau membatasi biaya perjalanan dinas dan kegiatan yang bersifat seminar/workshop. Bahkan, Menteri Keuangan, pada setiap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur pagu indikatif kementerian/lembaga selalu mengingatkan hal yang sama. Pada prakteknya, dalam 3 tahun terakhir, belanja perjalanan selalu mengalami peningkatan signifikan senilai Rp4 triliun setiap tahunnya. Hal ini menunjukan penghematan belanja perjalanan masih sebatas retorika politik. Peningkatan belanja perjalanan biasanya terjadi pada saat APBN Perubahan (APBN-P), di saat publik dan presiden tidak menaruh perhatian pada proses ini. Pada APBN 2009 misalnya, pemerintah mengusulkan belanja perjalanan Rp2,9 triliun, namun melonjak pada APBNP 2009 menjadi Rp12,7 triliun, dan melonjak kembali menjadi Rp15,2 triliun dalam APBN realisasi. Hal yang sama juga terjadi di tahun 2010. Pemerintah menetapkan belanja Perjalanan di APBN sebesar Rp16,2 triliun, tetapi pada APBNP membengkak menjadi Rp19,5 triliun.
Berbeda dengan jenis belanja lainnya yang mengharuskan tender terbuka, belanja perjalanan merupakan belanja yang rawan penyimpangan. Belanja perjalanan belanja selalu habis digunakan. Padahal dalam prakteknya, biaya seperti tiket perjalanan dan akomodasi tidak selalu persis dengan pagu. Penyusunan standar biaya perjalanan yang diterbitkan Kemenkeu adalah
22
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
alokasi yang sudah mempertimbangkan kenaikan harga, artinya masih mungkin ada sisa. Tidak mengherankan jika belanja perjalanan menjadi lahan subur penghasilan birokrasi baru. Berdasarkan audit BPK semester I 2010, belanja perjalanan adalah belanja yang paling banyak mengalami penyimpangan. Pada 35 kementerian/lembaga ditemukan penyimpangan anggaran perjalanan dinas paling tidak senilai Rp73,6 milyar. Modus yang masih banyak terjadi di birokrasi misalnya perjalanan fiktif, tiket palsu, pembayaran ganda, dan kelebihan perjalanan dinas . Temuan ini diyakini masih jauh lebih besar lagi, mengingat audit BPK masih dilakukan sebatas uji petik Kementerian/Lembaga Melakukan Penyimpangan Perjalanan Dinas Tahun 2009.
No
Lembaga
1 2 3 4 5 6 7 8 9
MPR MA Kejaksaan Setneg Kemendagri Pertanian Kemendiknas Kemenkes Kemenakertrans Kemensos Kemenkokesra Kemenbudpar Kemen BUMN KUKM KNPP KemenPAN Bappenas
10 11 12 13 14 15 16 17
JUMLAH
Jumlah (Rp) 497.190.000 4.790.000.000 12.000.000 1.598.027.410 8.995.577.417 32.861.900 3.604.746.621 36.642.345.538 755.775.800 10.033.000 188.350.800 975.695.928 166.632.450 36.830.000 20.437.700 1.030.061.240 403.878.624
No 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Lembaga BPN Kemkominfo Polri BNN KNPDT BKKBN Komnas HAM BMKG PPATK
27 LIPI 28 Batan 29 BPPT 30 Lapan 31 Bakosurtanal 32 BPKP 33 Kemenpera 34 PNPB 35 BNP2TKI 73.558.306.005
Jumlah (Rp) 435.378.400 2.249.481.105 179.340.950 71.393.000 271.752.000 43.720.000 141.436.900 2.714.966.132 77.234.240 77.870.000 5.240.000 5.058.700 183.000.000 108.690.000 3.140.530.000 4.012.924.450 49.215.700 30.630.000
Sumber: Data diolah Seknas FITRA dari Audit Semester I 2010 BPK
23
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
Hobi untuk berlomba plesiran ke luar negeri menggunakan uang rakyat juga melanda pemerintah. Dari hasil penelusuran DIPA APBN 2010 pada 19 kementerian/lembaga, lembaga kepresidenan memiliki pagu anggaran kunjungan luar negeri tertinggi senilai Rp179 miliar, diikuti DPR diurutan kedua dengan Rp170 miliar. Mahalnya kunjungan luar negeri presiden dikarenakan dalam setiap keberangkatan, presiden menggunakan pesawat sewaan dan membawa rombongan besar. Seharusnya sebagai kepala negara, presiden memberikan contoh kepada kementerian/lembaga lain yang dipimpinnya dengan berhemat menggunakan pesawat komersil seperti beberapa kepala negara lain. Sehingga tidak mengherankan, jika himbauan presiden untuk berhemat biaya perjalanan tidak akan pernah terwujud mengingat elit-elit presiden dan DPR memiliki hobi plesiran yang sama.
Anggaran Plesiran Kementerian/Lembaga Tahun 2010 No 1 2 3 4 5
24
Lembaga
6 7 8 9 10
Presiden DPR Kementerian Kesehatan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Kementerian Perhubungan Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga DPD Kementerian Kelautan dan Perikanan MPR Departemen Pendidikan Nasional
11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kementerian Dalam Pertanian Kementerian Dalam Negeri Kementerian Kehutanan KPK BPPT PPATK Badan Pusat Statistik Arsip Nasional RI KPU
Plesiran Ke Luar negeri 179.034.756.000 170.351.584.000 145.302.273.000 60.806.180.000 59.080.443.000 38.574.175.000 35.863.471.000 13.839.606.000 12.668.150.000 12.232.071.000 9.053.614000 8.726.583.000 7.247.450.000 5.785.160.000 2.408.025.000 2.260.862.000 1.267.368.000 782.400.000 767.216.000
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Sumber Data: Diolah Seknas FITRA, dari Rincian DIPA APBN 2010 di 19 Kementerian/Lembaga
Elit pemerintah dan DPR benar-benar tidak sensitif terhadap rakyatnya. Uang rakyat yang dikeruk ternyata dihamburkan untuk plesiran ke luar negeri. Sementara program BOS dan penanggulangan kemiskinan, seperti PNPM senilai Rp7,4 triliun, malah berasal dari Utang. Pada APBN 2010, total belanja perjalanan dinas, termasuk ke luar negeri menghabiskan anggaran Rp19,5 triliun atau 4 kali lipat lebih banyak dari anggaran JAMKESMAS yang hanya Rp4,5 triliun. Melihat kondisi ini, Pemerintah dan DPR telah mengingkari amanat konstitusi pasal 23 ayat (1) yang menyatakan bahwa APBN ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kritik yang dibuat publik kepada DPR, justru merupakan upaya penyadaranagar DPR menjadi contoh dalam penghematan perjalanan luar negeri. Sulit bagi DPR agar dapat mengkritisi anggaran luar negeri pemerintah, jika mereka sendiri terbuai dengan hobi plesirannya. Untuk itu, Seknas FITRA meminta DPR untuk segera menghentikan kebiasaan buruk jalan-jalan ke luar negeri dan mulai mengkritisi belanja perjalanan dinas luar negeri di kementerian/lembaga.
25
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
ANGGARAN KESEJAHTERAAN ; LIPSTIK KEGENITAN PEMERINTAH
A
PBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang. APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Selama ini sektor yang dominan dalam memberikan kontribusi terhadap besarnya pendapatan APBN adalah pajak dalam negeri. Semestinya menjadi keharusan jika anggaran digunakan kembali untuk kesejahteraan dan kepentingan rakyat, mengingat mayoritas APBN berasal dari masyarakat melalui pajak. Tahun 2010 dikatakan sebagai tahun anggaran yang tidak berpihak kepada rakyat. Negara sepertinya tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat dan malah semakin membebani rakyat. Pemerintah seakan-akan terus melestarikan kemiskinan, seperti terlihat dari beberapa kebijakan yang dilahirkan TA 2010, antara lain:
1.
Kebijakan Pemerintah yang Memiskinkan Rakyat.
Pemerintah meningkatkan kembali utang negara. Dalam 100 APBN 2010 terdapat utang 15 yang secara keseluruhan, baik 10 cicilan maupun bunga utang, 2,8 bernilai Rp159,7 triliun (15% 1 1 dari anggaran). Jumlah ini 0,5 Pembayaran Kesehatan PNPM Dana Bencana Utang lebih besar daripada angga0,1 ran yang dialokasikan untuk rakyat seperti anggaran fungsi kesehatan yang hanya mencapai Rp31,6 triliun dan dana bencana sebesar Rp6,4 triliun. Persentase
Perbandingan Pembayaran Utang, Kesehatan dan Dana Bencana dalam APBN/P 2010
Di sisi lain, pemerintah juga melakukan penarikan pinjaman luar negeri, baik pinjaman proyek maupun program, sebesar Rp70,8 triliun. Ironisnya, penarikan pinjaman tersebut lebih banyak dimanfaatkan untuk pembiayaan sektor
26
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
perbankan mencapai Rp45,4 triliun, dan pembiayaan non perbankan (privatisasi, Surat Berharga Negara, dan restrukturisasi BUMN) sebesar Rp87 triliun.
2. Rendahnya Komitmen Pemerintah dalam Mengatasi Persoalan Kesehatan Masyarakat. Sejak APBN 2001 sampai tahun 2010, anggaran kesehatan masih berputar pada angka 2% dari total APBN. Pilihan pembangunan yang diwujudkan cenderung mengingkari komitmen global MDGs yang ditandai dengan lahirnya kebijakan dan program yang alokasi anggarannya belum dapat menjawab permasalahan yang ada. Ketidakpekaan pemerintah terhadap hak-hak dasar yang seharusnya dimiliki rakyat miskin semakin jauh tak terjangkau. Akibatnya, muncul fenomena yang mengikuti derita kaum miskin, seperti perdagangan manusia, eksploitasi seksual, kasus balita dan anak mengalami gizi buruk, busung lapar, hingga kematian.
Anggaran Kesehatan Pada APBN-P 2010 No 1 2 3
4
Uraian Fungsi Kesehatan APBN-P 2010 DAK Kesehatan 2010 Kesehatan Pada DPIPD (Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah) Tambahan 2010 Kesehatan Pada DPDFPPD (Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah Total Belanja Kesehatan pada APBN-P 2010 Belanja APBN-P 2010 Persentase Belanja Kesehatan terhadap APBN-P
Jumlah (Rp) 19.801.500.000.000 2.829.760.000.000
575.935.500.000
794.890.798.960 24.002.086.298.960 1.126.146.476.312.0 00 2,13%
Global Hunger Index (GHI) menyatakan bahwa posisi Indonesia dalam situasi kelaparan dan gizi buruk tergolong ‘sangat serius' dan berada di bawah tingkat yang mengkhawatirkan. Menurut catatan dari Depkes masih tercatat 4,1
27
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
juta balita penderita gizi buruk dan kurang gizi, itu pun hanya jumlah kasus yang terdeteksi.
Anggaran Perbaikan Gizi 694,5 700 600
600 600 600 449,8
500 Rp Milyar
400
Program Perbaikan 300 175 Gizi Masyarakat 2010 200 100 hanya dialokasikan 0 Rp449,8 milyar, yang 2005 2006 2007 2008 2009 2010 digunakan untuk pengadaan pemberian multivitamin, buffer stock sebagai Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita maupun ibu hamil, dan penanggulangan anemia. Untuk mendukung penyelenggaraan program tersebut di daerah, pemerintah hanya menyediakan Rp164,2 miliar dalam bentuk dana Dekonsentrasi dari besaran anggaran Program Perbaikan Gizi Masyarakat. Jika alokasi anggaran sebesar Rp449,8 miliar tersebut dibagikan kepada 4,1 juta kasus gizi buruk pada balita/anak, maka setiap penderita gizi buruk hanya akan mendapatkan porsi sebesar Rp109 ribu per tahunnya.
3.
Minimnya Anggaran Bencana.
Dalam APBN-P 2010, pemerintah mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana sebesar Rp3,79 triliun, ditambah dengan Rp2,64 triliun yang tersebar di 8 kementerian/lembaga sehingga totalnya Rp6,43 triliun (0,53% dari belanja daerah). Alokasi dana penanggulangan bencana alam dalam APBN dinilai tidak cukup, mengingat luasnya tingkat kerusakan dan dampak lain yang ditimbulkan akibat bencana alam akhir-akhir ini. Minimnya alokasi dana untuk penanggulangan bencana di APBN menunjukkan bahwa pemerintah masih memandang remeh ancaman bencana di Indonesia. Angka Rp6,43 trilliun lebih terlihat sebagai bentuk “formalitas” untuk memenuhi tuntutan “isu bencana” yang sedang hangat di masyarakat daripada sebagai kesadaran pemerintah akan bahaya bencana.
28
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Program kegiatan pengendalian bencana berupa pengembangan sistem early warning tsunami, cuaca, dan iklim hanya dianggarkan Rp137,85 milyar (Badan Meteorologi, Klimatologi dan geofisika), pengembangan sistem manajemen dan penetapan zona rawan bencana baik darat maupun laut sebesar Rp42,27 milyar (BNPB dan Bakor Survey dan Pemetaan Nasional). Sedangkan untuk pelaksanaan tanggap darurat sebesar Rp666,12 milyar (Mabes TNI, Kementerian PU, Kementrian Sosial, BNPB dan Basarnas). Untuk Pengendalian Lahar Gunung Berapi Rp6,89 miliar dan pengendalian bencana banjir Rp1,5 triliun, itu pun hanya digunakan untuk membangun sarana dan prasarana penanggulangan banjir yang dikerjakan di bawah Departemen PU. Kesadaran pemerintah akan bahaya bencana seharusnya diikuti dengan langkah-langkah konkrit dalam pemenuhan anggaran bencana. Berkaca pada bencana tsunami Aceh, dimana pembiayaan tanggap darurat saja menghabiskan anggaran Rp1,25 triliun. Mengingat banyak wilayah di Indonesia yang berpotensi bencana, pemerintah paling tidak mengalokasikan anggaran khusus untuk penanggulangan bencana minimal 1% dari total APBN (sekitar Rp12 triliun untuk tahun 2010). Contohnya dapat kita lihat pada bencana merapi saat ini, dimana tercatat 289.613 pengungsi yang setiap harinya membutuhkan Rp4,34 milyar untuk 3 (tiga) kali makan dalam sehari, nilai itu belum termasuk kebutuhan tanggap darurat lainnya.
29
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
Fragmentasi Anggaran Dana Bencana di 8 Kementerian/Lembaga No
Kementerian/Departemen/Lembaga/Program
1
DEPARTEMEN DALAM NEGERI – DITJEN PEMERINTAHAN UMUM Program Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemda Dalam Usaha Mitigasi Bencana dan Bahaya Lainnya
2
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM – DITJEN SDA Penanggulangan Bencana/Tanggap Darurat Program Pembangunan Sarana/Prasarana Pengendali Banjir Program Pembangunan Sarana/Prasarana Pengendalian Lahar Gunung Berapi Rehabilitasi Sarana/Prasaran Pengendali Banjir Rehabilitasi Sarana/Prasaran Pengendalian Lahar Gunung Berapi Operasi Pemeliharaan Prasarana Pengendalian Banjir
4
6
7
Pelaksanaan Pemberian Bantuan Sosial (Pencarian Penyelamatan Musibah) BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI, DAN GEOFISIKA
17,81 milyar 1,475 trilyun 116,79 milyar 130,76 milyar 6,89 milyar 103,76 milyar 290,36 milyar 7,05 milyar
Pengembangan Sistem Peringatan Dini Tsunami
84,60 milyar
Pengembangan Sistem Peringatan Dini Cuaca
43,85 milyar
Pengembangan Sistem Peringatan Dini Iklim
9,40 milyar
BAKOR SURVEY DAN PEMETAAN NASIONAL Penetapan Zona Daerah Rawan Bencana Alam Darat dan Laut
3,70 milyar
Penyediaan Kerangka Geodesi Kebencanaan
2,00 milyar
BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA Pengembangan Sistem Manajemen Penanggulangan Bencana Nasional
38,57 milyar
Pengembangan Pasca Bencana Alam dan Kerusuhan Sosial
60,36 milyar
Monitoring Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
20,32 milyar
8
BADAN SAR NASIONAL 348,40 milyar
9
Pengadaan Sarana dan Prasarana Penunjang Pencarian dan Penyelamatan DEPARTEMEN PENDIDIKAN Pemberian Tunjangan Khusus Bagi Guru di Daerah Terpencil, Terbelakang. Pedalaman, Bencana
25.032.304.00
TOTAL
30
2,50 milyar
DEPARTEMEN SOSIAL – DITJEN BANTUAN DAN JAMSOS Penyelenggaraan Pencarian Penyelamatan Musibah Bencana Alam dan Bencana Lainnya
5
13,75 milyar
DEPARTEMEN PERTAHANAN – MARKAS BESAR TNI Penanggulangan Bencana/Tanggap Darurat
3
Anggaran
2,64 trilyun
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
4.
PNPM Tidak Mengurangi Angka Kemiskinan.
PNPM dipercaya pemerintah sebagai obat mujarab bagi kemiskinan. Tidak tangung-tanggung, pemerintah menggenjot dana PNPM dari 3,9 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp11,8 trilyun di tahun 2010. Ironisnya, pemerintah berani berutang US$ 744 juta (Rp7,4 triliun ) kepada Bank Dunia untuk program ini. Namun, efektifitas program PNPM dalam menanggulangi kemiskinan masih patut dipertanyakan. Anggaran tersebut cenderung meningkat setiap tahunnya namun tidak memberikan dampak kepada pengurangan angka kemiskinan. PNPM lebih dikatakan sebagai program yang sarat politik. Pada tahun 2009 yang merupakan tahun Pemilu, tiba-tiba terdapat peningkatan yang signifikan mencapai Rp4,2 trilyun dibanding tahun sebelumnya. Jika pada 2008 dibutuhkan anggaran Rp543 ribu untuk menurunkan 1 orang miskin, di tahun 2009 justru dibutuhkan anggaran Rp2,8 juta untuk menurunkan 1 orang miskin. Hal ini menunjukan semakin mahalnya biaya untuk menurunkan 1 orang miskin. Di sisi lain, daerah juga dipaksa untuk mengalokasikan Dana Daerah Urusan Bersama (DDUB) sebagai pendamping PNPM yang besarnya antara 20-40% dari dana PNPM yang diterima. Padahal, PNPM bukan merupakan Dana Perimbangan maupun Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Artinya, PNPM juga telah melanggar azas Dana Perimbangan pada UU 33/2004.
31
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
Anggaran PNPM dan Kemiskinan 2007
2008
2009
PNPM Pedesaan
Kegiatan
1.957.050.000.000
4.309.349.000.000
6.348.850.000.000
9.685.750.000.000
PPNPM Perkotaan PNPM Daerah Tertinggal PNPM Infrastruktur Sosek
1.946.100.000.000
1.974.460.000
1.849.404.000.000
1.356.425.000.000
283.900.000
119.750.000.000
11.375.500.000
707.516.000.000
810.500.000.000
425.500.000.000
205.500.000.000
355.500.000.000
355.500.000.000
3.903.150.002.000
5.224.623.362.00
9.484.004.002.00
11.834.550.502.01
16.58%
15.42%
14.15%
13.33%
37.168.300
34.963.300
32.530.000
31.020.000
1.321.473.360.001
4.259.380.640.001
2.350.546.500.001
2.205.000
2.433.300
1.510.000
543.079
2.820.782
PNPM Infrastruktur Pedesaan Total PNPM Tingkat Kemiskinan Angka Kemiskinan Total Kenaikan PNPM Total Penurunan Angka Kemiskinan Unit Cost Penurunan Angka Kemiskinan
5.
2010
Anggaran Pendidikan, Semakin Besar Semakin Tidak Akuntabel
Terpenuhinya 20% anggaran pendidikan yang sedemikian besar seharusnya sudah menampakkan hasil terhadap akses pendidikan yang luas dan berkualitas. Namun, sayangnya, setelah 2 tahun terpenuhi belum terlihat titik terang yang menggembirakan. Bangunan sekolah rusak, banyak anak putus sekolah, dan kualitas UN yang semakin meragukan, menggambarkan carut marutnya dunia pendidikan di republik ini. Semakin besar anggaran pendidikan justru tidak menjadi jaminan terhadap perluasan akses pendidikan yang berkualitas. Hal ini terjadi karena rendahnya akuntabilitas pengelolaan anggaran pendidikan.
Pertama, hasil audit BPK menunjukan dua Kementerian yang memperoleh anggaran pendidikan terbesar yaitu, Depdiknas dan Depag justru memperoleh opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau disclaimer dalam 3 tahun terakhir. Berdasarkan hasil audit BPK semester I 2009 misalnya, ditemukan 24 kasus ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan dengan nilai Rp2,2 triliun dan Departemen Agama sebanyak 39 kasus dengan nilai Rp2,2 triliun. Hal ini menggambarkan ketidaksiapan dua kementerian ini terhadap besarnya anggaran yang dikelola.
32
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Kedua, Besarnya anggaran pendidikan juga masih dipandang sebagai proyek bagi-bagi jatah pada berbagai kementerian/lembaga. Pada tahun 2009 misalnya, anggaran pendidikan tersebar hampir di 16 kementerian/ lembaga yang langsung terkait maupun tidak terkait.
Sebaran Anggaran Pendidikan Pemerintah Pusat No 1 2 3 4
Pos Pembiayaan Dep. Pendidikan Nasional Dep. Agama Dep. Pekerjaan Umum Dep. Kebudayaan & Pariwisata
Jumlah 61.525.476.815.000 23.275.218.223.000 42.377.950.000 67.228.388.000
% 68,7 26,0 0,0 0,1
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Perpustakaan Nasional Dep. Keuangan Dep. Pertanian Dep. Perindustrian Dep. ESDM Dep. Perhubungan Dep. Kesehatan Dep. Kehutanan Dep. Kelautan dan Perikanan Badan Pertanahan Nasional BMG Badan Tenaga Nuklir Nasional Bagian Anggaran 69 TOTAL
259.951.730.000 64.700.000.000 75.000.000.000 100.000.000.000 23.100.000.000 800.000.000.000 1.300.000.000.000 14.900.000.000 250.000.000.000 24.500.000.000 16.000.000.000 7.400.000.000 1.705.000.000.000 89.550.853.106.000
0,3 0,1 0,1 0,1 0,0 0,9 1,5 0,0 0,3 0,0 0,0 0,0 1,9 100,0
Ketiga, Pemerintah tidak siap dengan grand desain pendidikan yang murah dan berkualitas. Pada RAPBNP 2010, pemerintah mengajukan tambahan anggaran pendidikan Rp11,7 triliun sehingga menjadi Rp221,4 triliun. Ironisnya, alasan penambahan anggaran pendidikan ini diakibatkan meningkatnya total belanja negara, bukan berdasarkan peta kebutuhan pendidikan. Karena itu tidak mengherankan jika tambahan anggaran pendidikan ini tersebar pada Kemendiknas senilai Rp6,3 triliun, Kementerian Agama Rp2 triliun, Kemenhub Rp600 miliar dan Kemenkes Rp300 milyar untuk beasiswa tenaga kesehatan.
33
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
Keempat, besarnya anggaran pendidikan di daerah berhubungan dengan semakin banyaknya penyimpangan anggaran pendidikan di daerah. Berdasarkan hasil audit BPK semester II 2009 terhadap 189 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, di 42% atau 80 daerah ditemukan adanya penyimpangan anggaran pendidikan sebanyak Rp900,7 miliar atau mendekati 1 triliun. Mulai dari kepala dinas hingga kepala sekolah terlibat dalam penyimpangan tersebut. Hal ini cukup mengkhawatirkan. Besarnya anggaran pendidikan dengan skema yang tidak akuntabel semakin memperluas aktor-aktor korupsi hingga ke tingkat sekolah. Kelima, kebijakan alokasi anggaran pendidikan daerah tidak efektif. Berdasarkan hasil analisis FITRA terhadap 41 Kota/kabupaten, umumnya daerah telah memenuhi amanat konstitusi. Persoalannya, 20% anggaran pendidikan lebih banyak dialokasikan untuk belanja tidak langsung. Begitu pula dengan kontribusi Dana Alokasi Khusus terhadap belanja langsung pendidikan yang terus meningkat dari 2007 sampai 2009. Pada tahun 2007 DAK rata-rata membiayai sekitar 33% belanja langsung sektor pendidikan. Kontribusi ini meningkat menjadi 38% pada tahun 2008 dan mencapai 50% pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan anggaran pendidikan daerah yang tidak efektif dan masih banyak tergantung dari pembiayaan Pemerintah Pusat.
34
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Grafik Kebijakan Alokasi Anggaran Pendidikan Daerah Ko ta Surabaya
552
Garut
54 6
M alang
4 70
Ko ta Semarang
4 10
Cilacap
409
B o yo lali
3 56
Ko ta P adang
3 50
Sumedang
331
P asuruan
3 14
A ceh Utara
307
B o jo nego ro
306
Semarang
287
Ko ta B andar Lampung
285
Kendal
2 72
Lo mbo k Timur
2 71
Ko ta Surakarta
244
B o ndo wo so
2 11
Situbo ndo
205
Ko ta P o ntianak
203
Serdang B edagai
19 7
A ceh B esar
18 4
Lo mbo k B arat
18 0
Ko ta P alangkaraya
16 4
P o lewali M andar
152
Ko ta P alu
151
Do mpu
14 7
Sidrap
13 3
B o ne
12 5
Ko ta Go ro ntalo
12 1
Ko ta P ekalo ngan
116
A ceh B arat
116
Wajo
116
Ko ta P arepare
Belanja Tidak Langsung Belanja Langsung
95
Ko ta B litar
87
Sumbawa B arat
70
Ko ta P adang P anjang
64
Ko ta B anjar
R p M ilya r
26
0
100
200
300
400
500
600
Ketidakjelasan peruntukan 20% anggaran pendidikan, membuka peluang anggaran menjadi komodifikasi politik. Perlu disadari, anggaran pendidikan yang besar bukanlah jaminan untuk mendongkrak kualitas pendidikan negeri ini. Sepanjang penggunaan anggaran tidak efisien dan efektif, bukan tidak mungkin bibit-bibit korupsi dilayanan pendidikan semakin bersemai.
35
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
KETERTUTUPAN ANGGARAN ; KOTAK KOSMETIK YANG SELALU DIJINJING
s
udah enam bulan UU KIP diberlakukan tetapi efektifitas implementasinya di badan publik patut dipertanyakan. Tidak banyak infrastruktur dan sistem yang dibangun untuk melaksanakan mandat UU KIP. Infrastruktur UU KIP yang paling terlihat adalah terbentuknya Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi di sejumlah provinsi, serta Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2010 sebagai pendukung UU KIP. Akan tetapi, Badan Publik, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, lembaga negara nonkementerian, dan lembaga lainnya; masih menutup informasi anggaran publik yang dikelolanya. Hasil uji akses Dokumen DIPA di 69 Badan Publik yang dilakukan Seknas FITRA menunjukan :
1.
DIPA masih dianggap rahasia!
Mayoritas badan publik masih menganggap informasi anggaran dalam DIPA sebagai rahasia negara. Dari 69 badan publik, 54 diantaranyatidak memberikan DIPA. Dari jumlah tersebut, 13 badan publik tidak memberikan DIPA dengan berbagai alasan. Sedangkan 41 badan publik lainnya tidak memberikan tanggapan apapun. Hanya 15 badan publik yang memberikan DIPA.
36
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Banyak badan publik yang tidak memberikan DIPA beralasan sedang meminta konfirmasi dari Kemenkeu dan BPK, yang juga tidak memberikan DIPA mereka. Padahalkedua institusi ini menjadi lokomotif dalam keterbukaan anggaran. Praktek ini menunjukkan bahwa mandat konstitusi agar anggaran dikelola secara terbuka, belum di lakukan pada tahun 2010. (lihat lampiran)
2.
Sistem Birokrasi Tidak Mampu Melaksanakan UU KIP.
Sistem birokrasi Badan Publik masih belum siap dalam menjalankan mandat keterbukaan informasi UU KIP. Badan publik tidak responsif dalam memberikan DIPA kepada pemohon informasi. Dari 15 badan publik yang memberikan DIPA, 8 diantaranya baru memberikan DIPA setelah diajukan surat keberatan. Dua badan publik memberikan DIPA setelah melewati batas waktu respon permintaan, yaitu lebih dari 17 hari kerja (Kemsetneg dan DPD RI), empat badan publik memberikan DIPA antara 11-17 hari kerja (Kembudpar, KPU, KPK, dan Bawaslu), dan hanya 1 badan publik yang langsung merespon permintaan DIPA, yaitu Kementerian Perhubungan.
3. Tidak ada Badan Publik Yudikatif (MA, MK, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK) yang merespon dan memberikan DIPA, kecuali KPK. Sebagai pelaksana dan penjaga penegakan hukum, lembaga yudikatif seharusnya menjadi teladan dalam menjalankan mandat UU KIP bagi badan publik lainnya. Tetapi pada prakteknya, hanya KPK yang langsung merespon per-
37
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
mintaan dan memberikan DIPA. Lembaga yudikatif lain bahkan tidak merespon permintaan DIPA. Hal ini memperkuat opini ketidakpercayaan publik pada lembaga yudikatif. Tidak aneh jika publik terus beranggapan ’miring’ atas kinerja lembaga-lembaga yudikatif. Respon No
Badan Publik
Langsung Merespon
Merespon setelah diajukan Keberatan
1 Mahkamah Agung 2 Mahkamah Konstitusi 3 Kejaksaan agung RI 4 Kepolisian RI 5 KPK TOTAL
V 1
Pemberian DIPA
Tidak Merespon
Memberi DIPA
Tidak Memberi DIPA
V
V
V
V
V V
V V V 1
4
4
4. Tidak ada Badan Publik Legislatif (DPR, MPR, DPD) yang merespon dan memberikan DIPA, kecuali DPD. Klaim DPR dan MPR sebagai rumah wakil rakyat yang terbuka dan siap menerima kritik atas pengelolaan anggaran ternyata hanya ‘pemanis bibir’. DPR yang memiliki fungsi legislasi, bahkan yang mengesahkan UU KIP tahun 2008, malah tidak merespon dan memberikan DIPA, begitu juga dengan MPR. Sebaliknya, DPD dengan keterbatasan kewenangan dalam kebijakan publik, ternyata lebih responsif atas permintaan informasi anggaran, walaupun DIPA baru diberikan 24 hari setelah surat permintaan diajukan. Pemberian DIPA Tidak Memberi Tidak Memberi Merespon DIPA DIPA
Badan Publik
1
MPR RI
V
2
DPR RI
V
3
DPD RI TOTAL
38
Respon Merespon setelah diajukan Keberatan
No
Langsung Merespon
V 1
V V V
0
2
1
2
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
5.
Tidak semua Informasi Anggaran DIPA diberikan pada publik.
Tidak semua DIPA yang diterima sesuai dengan permintaan. Dari 15 Badan Publik, 5 diantaranya memberikan DIPA tidak lengkap. Beberapa halaman penting pada DIPA Kemsetneg, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan BNN sepertinya sengaja dihilangkan. Halaman 3-4 pada DIPA Setneg hilang, dan terlihat disobek, padahal di dalamnya bisa diidentifikasi informasi pengadaan kendaraan. Di DIPA BPPT, tidak ada halaman II-11 dan II-12, sehingga tidak bisa diidentifikasi anggaran peningkatan kelembagaan. Begitu juga di BNN, tidak ditemukan halaman 4. Selain itu, DIPA Bawaslu dan Badan Standarisasi Nasional (BSN) juga tidak lengkap. DIPA Bawaslu tidak terlihat jenis belanjanya, seluruh pengeluaran di-generalisir dalam kategori “Belanja Lain-Lain”. Sementara DIPA BSN tidak ditemukan lampiran II, III, dan IV yang berisi anggaran perjalanan dinas keluar negeri. Berangkat dari temuan-temuan hasil studi di atas, FITRA memandang bahwa badan publik masih ’ngeri’ membuka informasi anggaran. Padahal, jika mereka semakin terbuka kepada publik, partisipasi masyarakat dalam pembangunan negara juga semakin baik, Sebagaimana semangat UU KIP yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan bernegara.
39
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
Untuk itu Seknas FITRA menyatakan : 1. Meminta badan publik agar lebih terbuka atas informasi anggaran publik. Badan publik hanyalah pengelola anggaran yang sumbernya dari rakyat. Karena itu rakyat berhak untuk mengetahui pengelolaan anggarannya. 2. Badan publik segera membentuk dan mensosialisasikan PPID di masingmasing kelembagaan agar publik mengetahui lebih jelas mekanisme permintaan informasi. 3. Mempertegas dan memperjelas kategorisasi dokumen yang dikecualikan dengan melakukan uji konsekwensi. Tidak hanya melalui pernyataanpernyataan ’pemanis bibir’, tetapi melalui mekanisme uji konsekwensi sebagaimana diatur dalam PP No. 61 tahun 2010 dan Perkip No. 1 Tahun 2010.
40
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
RITUAL TAHUNAN AUDIT BPK ; PULASAN AKHIR PENGHAPUS MASKER
P
Trilyun
ada setiap bulan Agustus, BPK melansir hasil pemeriksaanya terhadap Laporan Keuangan Pemerintah. Sejak berlakunya UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan, BPK menjadi institusi yang diandalkan. Hasil audit BPK semester I 2010, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), setelah 5 tahun Trend Temuan Audit BPK 6.000 460 berturut-turut memperoleh 450 opini disclaimer (tidak 5.000 440 memberikan pendapat/ 4.980 4.000 420 TMP). Persoalannya, hasil 3.731 3.000 400 audit BPK masih sebatas 2.000 380 378 ritual tahunan yang 1.000 360 hasilnya sedikit yang 0 340 ditindaklanjuti. Opini BPK2008 2009 pun masih rawan dijadikan Jumlah Temuan Kasus tawar menawar. Hasil audit yang diserahkan ke DPR ini, tidak mendapat perhatian serius dibandingkan saat pembahasan anggaran. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI, sebagai alat kelengkapan baru DPR, belum menunjukan kinerjanya, terhadap hasil audit BPK. Padahal, meskipun opini LKPP meningkat, namun dari sisi jumlah kasus temuan dan jumlah kerugian, audit BPK justru meningkat pada tahun 2008 ke 2009. Pada tahun 2008 Hasil pemeriksaan BPK, menemukan 378 kasus dengan nilai penyimpangan Rp. 3,7 trilyun, pada tahun 2009 meningkat adanya 650 kasus ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangandengan nilai total Rp4,98 triliun, seperti terlihat pada tabel 1 di bawah ini:
41
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
Tabel. 1 Kelompok Temuan Pemeriksaan KL Tahun 2009 No
Kelompok Temuan
Jumlah Kasus
Nilai (juta Rp)
Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan yang Mengakibatkan: 1.
Kerugian Negara
172
80.469,88
2.
Potensi Kerugian Negara
59
2.316.709,01
3.
Kekurangan Penerimaan*
112
2.256.123,64
4.
Administrasi
245
-
5.
Ketidakhematan/Pemborosan
26
7.305,22
6.
Ketidakefektifan*
36
320.250,53
Jumlah
650
4.980.858,30
* Terdapat nilai valas yang telah dikonversi sesuai kurs tengah BI per 30 Juni 2010 pada indikatorKekurangan Penerimaan dan Ketidakefektifan
Potensi Kerugian Negara dan Kekurangan Penerimaan merupakan indikator yang menyebabkan kerugian tertinggi. Kontribusi masing-masing indikator adalah 46,5% dan 45,3%. Bagian Anggaran Penerusan Pinjaman merupakan lembaga dengan potensi kerugian terbesar dengan Rp1,65 Triliun atau 33%, serta Kementerian Pekerjaan Umum (KemenPU) sebesar Rp1,32 Triliun atau 27% dari total kerugian. Kementerian Dalam Negeri [Kemendagri] sebesar Rp557,6 Miliar atau 11%, Kementerian Kesehatan [Kemenkes] sebesar Rp264,6 Miliar dan Kementerian Luar Negeri [Kemenlu] sebesar Rp245,8 Miliar atau masingmasing 5% dari total kerugian. Selebihnya dari 73 kementerian/lembaga lainnya berada di bawah 5%, seperti; Kementerian Sosial [Kemensos] sebesar Rp202,1 Miliar atau 4%. Kementerian Pendidikan Nasional [Kemendiknas] sebesar Rp153,9 Miliar atau 3%, Kepolisian Negara Republik Indonesia [Polri] sebesar Rp121,5 Miliar atau 2%, Kementerian Komunikasi dan Informatika [Keminfo] sebesar Rp62 Miliar atau 1%, Kementerian Kehutanan [Kemenhut] sebesar Rp51 Miliar atau 1% dari total kerugiannya, dan kementerian/lembaga lainnya.
42
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Kasus-kasus kerugian negara pada umumnya berupa: Pengadaan barang/jasa fiktif. Rekanan pengadaan barang/jasa tidak menyelesaikan pekerjaan. Kekurangan volume pekerjaan. Kelebihan pembayaran. Pemahalan harga di atas standar yang ditetapkan (mark up) Pembayaran honorarium dan/atau biaya perjalanan dinas ganda Spesifikasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak Pembebanan biaya tidak sesuai atau melebihi ketentuan, dll. Sedangkan pada kasus Potensi Kerugian Negara, biasanya berupa: Aset dikuasai pihak lain. Pembelian aset yang berstatus sengketa. Aset tetap tidak diketahui keberadaannya. Piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi tidak tertagih. dll. Beberapa kasus yang ditemukan BPK bermodus penggunaan langsung pendapatan negara. Modus seperti ini ada pada sektor Pendapatan. Misalnya, penggunaan PNBP secara langsung tanpa melalui mekanisme APBN yangbanyak ditemukan di kementerian/lembaga. Pada sektor belanja, modusnya adalah kelebihan pembayaran dan keterlambatan denda yang belum disetorkan ke kas negara. Sedangkan pada sektor Aset atau Barang Milik Negara (BMN), modusnya adalah aset atau BMN tidak memiliki bukti kepemilikan resmikarena lemahnya pengawasan internal Beberapa temuan BPK di KemenPU, misalnyadi sektor pendapatan terdapat kasus Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Badan Layanan Umum Badan Pengatur Jalan Tol (BLU-BPJT) sebesar Rp12,5 miliar yang belum disetorkan ke Kas Negara. Ada juga kasus lemahnya kontrak antara pihak BLUBPJT dengan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) yang mengakibatkan 5 Investor BUJT belum melunasi kewajiban membayar nilai tambah dan denda sebesar Rp14,46 miliar. Di Kementerian Kesehatan, terdapat pungutan pada Politeknik Kesehatan (Poltekkes) II Jakarta, Poltekkes III Jakarta, Poltekkes Manado, Poltekkes Denpasar, Poltekkes Makassar, dan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas
43
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
I Makassar senilai paling tidak Rp15,66 miliar yang tidak ada dasar hukumnya, dimanaRp10,96 miliar dari nilai tersebut digunakan langsung di luar mekanisme APBN. Di Kejaksaan, terdapat pendapatan berupa uang rampasan dari perkara yang memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht), denda tilang, serta jasa giro yang belum disetorkan ke kas negara senilai Rp4,45 miliar (Nilai awalnya sebesar Rp4,49 miliar, baru Rp40,33 juta yang sudah disetorkan ke kas negara). Pada sektor belanja, terdapat kasus kelebihan pembayaran sebesar Rp4,46 triliun kepada pihak ketiga, dan denda keterlambatan senilai Rp25,99 juta atas 15 paket pekerjaan jasa konsultasi dan 4 kegiatan pada 8 satuan kerja KemenPU. Terdapat juga kasus kerugian karena pengadaan barang yang tidak sesuai dengan spesifikasinya, seperti di Kemendagri terdapat kasus pengadaan Harddisk Eksternal serta Notebook pada Satker Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) yang tidak sesuai spesifikasi sebesar Rp55,72 juta. Kasus lain yang juga perlu diperhatikan adalah penggunaan Aset/ BMNsenilai Rp1,28 triliun oleh pihak lain yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, Misalnya, tanah dan bangunan senilai Rp1,26 triliun serta kendaraan dinas sebesar Rp23,67 juta yang digunakan oleh pensiunan tetapi digunakan juga oleh pihak lain. Di Kementerian Pendidikan Nasional juga terdapat aktiva tetap yang belum bersertifikat atau belum didukung bukti kepemilikan yang sah sehingga apabila terjadi sengketa, berpotensi menimbulkan permasalahan hukum dan dikuasai oleh pihak lain di kemudian hari. Hal ini menunjukkan keamanan BMN kurang terjamin dan berpeluang bagi pihak lain untuk memiliki BMN tersebut. Sayangnya, semua temuan BPK seperti di atas belum banyak ditindaklanjuti oleh masing-masing kementerian/lembaga. Hal ini terlihat pada hasil pemantauan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan di lingkungan Pemerintah Pusat, mengungkapkan bahwa hingga akhir Semester I 2010 dari 85 KL terdapat 11.673 temuan pemeriksaan senilai Rp968,01 triliun serta sejumlah valuta asing (valas) Sebanyak 4.195 rekomendasi penyelesaiannya masih belum sesuaidan dalam proses tindak lanjut. Sisanya, sebanyak 4.782 rekomendasi senilai Rp123,02 triliun serta sejumlah valas belum ditindaklanjut.
44
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
NEGOSIASI ANGGARAN ; PEWARNA UTAMA PEMERAH PIPI PEMERINTAH
S
epanjang tahun 2010, kinerja DPR mendapat sorotan publik. DPR periode baru yang diharapkan membawa angin perubahan, justru memperoleh rapor merah. Pasalnya, sejak awal menjabat, kinerja fungsi anggaran DPR lebih ditujukan bagi kepentingan ‘perut’ anggota dewan. Kritik yang dilontarkan publik tidak membuat mereka bergeming dan malah berada pada zona kebal kritik. Berikut adalah catatan buruk DPR RI sepanjang tahun 2010:
1. Gedung Mewah Rp1,8 triliun, DPR Berfasilitas SPA dan Kolam Renang Rencana pembangunan Gedung baru DPR pertama kali dikenal tanggal 15 Januari 2010 ketika Sekjen DPR, DRA. Nining Indra Shaleh, M.Si, berpidato untuk pertama kalinya saat rapat pertama anggota BURT (Badan Urusan Rumah Tangga) DPR dengan Sekjen DPR. Pidato tersebut berjudul “Nota Penjelasan Sekretaris Jenderal DPR RI Tentang Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) DPR RI Tahun 2010” yang berisi rincian alokasi anggaran untuk DPR sebesar Rp1,2 triliun, dan alokasi anggaran untuk Sekjen DPR sebesar Rp734 juta. Dalam nota penjelasan itu, Sekjen DPR meminta persetujuan anggota BURT mengenai rencana pembangunan gedung baru DPR yang membutuhkan anggaran Rp1.645.143.159.900 (dibulatkan menjadi Rp1,6 Triliun), serta anggaran sebesar Rp1,6 triliun yang sebelumnya sudah disetujui anggota DPR tahun 2004 – 2009.
Sekjen Anggota BURT kemudian menyambut rencana pembangunan gedung baru DPR tersebut, bahkan mereka menambahkan proyeksi anggaran yang bermula sebesar Rp1,6 triliun menjadi Rp1,8 triliun. Penambahaan anggaran digunakan untuk memperbaiki atau memperkuat struktur gedung Nusantara I sebesar Rp67,8 miliar dan pembangunan gedung baru dengan anggaran
45
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
sebesar Rp133,3 miliar melalui skema multiyears (dibayar berkala selama beberapa tahun). Penambahaan anggaran rencana pembangunan gedung baru bisa dilihat dari APBNP seperti tabel dibawah ini:
No 1 2 3 4 5
Uraian Program Grand Design Renovasi ruang kerja anggota Perkuatan struktur gedung Nusantara I Pembuatan ruang TA, legal drafter, dan Peneliti Pergantian rel dan mengatur ulang lift gedung Nusantara I Total
DIPA APBN P 2010 133,2 miliar 4,5 miliar 35 miliar 25 miliar 3,3 miliar 201,1 miliar
Sumber Seknas FITRA diolah dari APBN P 2010 Unit Kerja Sekjen DPR RI
Persetujuan rencana pembangunan gedung baru DPR serta penambahan anggaran pembangunan gedung baru oleh Badan anggaran sepertinya bukan persetujuan yang rasional dan penuh pertimbangan. Atas rekomendasi dari anggota DPR lama atau anggota DPR tahun 2004 – 2009, pembangunan gedung baru DPR bisa dilaksanakan 2, 3, 4 atau beberapa tahun ke depan. Jadi, pembangunan gedung baru DPR itu tidak perlu dilaksanakan saat itu juga. Selain itu, pembangunan gedung baru DPR bisa menjadi lahan proyek bagi anggota BURT. Anehnya, setelah mendapat kritik publik, anggaran Rp1,6 triliun bisa dipangkas hingga Rp1,2 triliun. Hal ini memperkuat dugaan adanya permainan dalam pembangunan ‘Gedung Mewah’ DPR tersebut. Seolah berada di dunia yang berbeda dari rakyat, DPR tetap kekeuh mengalokasikan pembangunan gedung senilai Rp 200 miliar pada APBNP 2010. 2. CALO ANGGARAN BERJUBAH DANA ASPIRASI Tuntutan dana aspirasi untuk daerah pemilihan anggota DPR RI masih bergulir pada APBN 2011. SPada APBNP 2010, Komisi XI yang merasa berjasa meningkatkan estimasi penerimaan pajak, meminta jatah atas uang jasanya
46
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
sebesar Rp2 triliun untuk dijadikan sangu bagi daerah pemilihannya. Tuntutan itu kembali berlanjut ketika fraksi Golkar memberikan tanggapan atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal tahun 2011 yang meminta alokasi dana pembangunan untuk daerah pemilihan sebesar Rp15 miliar per tahun per satu daerah pemilihan setiap anggota DPR. Total permintaan tersebut akan menguras APBN sebesar Rp8,4 triliun. Fraksi Golkar beralasan, bahwa dana tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban anggota terpilih pada daerah pemilihannya serta meratakan anggaran pada wilayah yang sedikit, atau tidak teralokasi oleh belanja negara. Usulan Golkar semakin bergulir dan disetujui oleh berbagai fraksi lain di DPR. Tuntutan ini jelas merupakan pork barrel yang dilegalkan. Pemberian dana aspirasi kepada anggota DPR lebih baik ditolak karena 10 alasan sebagai berikut: A. Dana Aspirasi Menyuburkan Calo Anggaran. DPR tak ubahnya menjadi calo anggaran yang legal bagi daerah pemilihannya. Para perwakilan daerah akan berlomba-lomba datang ke Jakarta untuk melobi anggota DPR daerah pemilihan masing-masing dalam rangka memperoleh dana aspirasi. Peluang adanya pemotongan dana aspirasi ke daerah sebagai setoran ke anggota DPR sangat mungkin terjadi.Seharusnya DPR belajar dari kasus P2SEM di Jawa Timur, dimana uang pemberdayaan masyarakat yang berdasarkan rekomendasi DPRD , malahmenjerat mereka sendiri di provinsi dan kabupaten/kota di Jawa Timur, karena menerima setoran dana P2SEM. B. Dana Aspirasi Memperbesar Jurang Kemiskinan Antar Daerah. Alasan dana aspirasi untuk memeratakan anggaran juga tidak masuk akal. Adanya dana aspirasi berdasarkan daerah pemilihan justru akan memperlebar antara daerah miskin dan kaya karena anggaran hanya terpusat pada daerah-daerah yang banyak penduduknya dibandingkan daerah yang miskin (sesuai dengan perimbangan penentuan daerah pemilihan). Sebagai contoh, DKI Jakarta
47
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
yang memiliki angka kemiskinan terendah yaitu 3,62% akan memperoleh dana aspirasi sebesar Rp315 miliar. Sementara Maluku yang angka penduduknya lebih sedikit dan kemiskinannya lebih tinggi (28,3%) hanya mendapat dana aspirasi Rp90 miliar. Usulan ini jelas bertentangan dengan logika pemerataan yang dijadikan alasan oleh DPR. Logika pemerataan itu seharusnya, semakin miskin daerah, semakin besar alokasi anggaran yang dikucurkan. Selain itu, dana aspirasi juga tidak akan menjawab persoalan kemiskinan dan kesejahteraan rakyat. Besarnya dana aspirasi lebih ditentukan oleh kekuatan lobi dan akses para konstituen daerah pemilihan terhadap anggota DPR. C. Dana Aspirasi Mengacaukan Sistem Perencanaan Penganggaran dan Perimbangan Keuangan. Sistem Perencanaan Penganggaran menggunakan pendekatan level pemerintahan mulai dari kabupaten/kota, provinsi dan pusat. Sedangkan dana aspirasi menggunakan pendekatan daerah pemilihan yang tidak identik dengan sistem pemerintahan. Data-data statistik seperti angka kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, serta pengangguran merupakan pendekatan pemerintah dalam menentukan alokasi dana perimbangan . Dengan adanya dana aspirasi, anggaran suatu daerah akan semakin sulit diukur dampaknya. D. Dana Aspirasi Tidak Sesuai dengan Pendekatan Anggaran Berbasis Kinerja. Sejak tahun 2003, Indonesia memiliki UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang mengubah paradigma penganggaran dari sistem tradisional berorientasi pada input menjadi anggaran berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja yang dimandatkan dalam UU ini adalah anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari alokasi biaya (input) yang ditetapkan. Adanya dana aspirasi yang dibagi rata menurut daerah pemilihanberarti DPR masih menggunakan paradigma lama anggaran yang hanya berorientasi pada input atau sekedar menghabiskan anggaran tanpa melihat kinerja yang akan dicapai. E. Dana Aspirasi Bertentangan Dengan Azas Dana Perimbangan. Adanya dana aspirasi semakin menambah panjang deretan dana liar ke daerah yang tidak sesuai dengan azas dana perimbangan seperti diamanatkan UU No 33 tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan,. DPR tidak bisa mengalokasikan dana aspirasi sebelum melakukan perubahan pada UU No. 33 tahun 2004. F. Dana Aspirasi Menyebabkan Anggaran Tidak Efisien. Dana aspirasi
48
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
menyebabkan fragmented budget dan menjadikan anggaran tidak efisien. Misalnya, Jawa Barat yang memiliki angka kematian ibu yang tinggi, dengan 91 kursi berarti memperoleh dana aspirasi Rp1,3 triliun. Dengan jumlah anggaran sebesar itu, seharusnya bisa menyelesaikan masalah kematian ibu di Jawa Barat. Namun karena 91 kursi dimiliki oleh partai yang berbeda, maka penggunaan anggaran menjadi terpisah (fragmented) dan tidak efisien dananggaran yang besar tersebut menjadi tidak mampu menjawab persoalan yang ada. G. Dana Aspirasi Tidak Memiliki Landasan Hukum. Jika dana aspirasi ini jadi dialokasikan pada APBN 2011, maka bisa dikatakan dana aspirasi ini merupakan dana ilegal karena tidak memiliki dasar hukum. Pasal 12 ayat (2) UU No. 17 tahun 2003 menyatakan RAPBN disusun berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah, tidak berdasarkan daerah pemilihan karena DPR tidak memiliki instrumen perencanaan yang merupakan kewenangan pemerintah. H. DPR Tidak Memiliki Hak atas Anggaran. DPR selama ini salah mengerti mengenaihak anggaran. Baik konstitusi maupun UU No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, dan DPD, tidak mengenal adanya hak anggaran bagi DPR. DPR hanya memiliki fungsi anggaran sebagaimana pasal 70 ayat (2) yang menyatakan, fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap RUU yang diajukan oleh presiden. Jadi, tidak ada hak bagi DPR untuk meminta jatah alokasi anggaran dana aspirasi. Fungsi anggaran DPR ditujukan agar RAPBN yang diajukan pemerintah mencapai tujuan dalam bernegara. J. Dana Aspirasi Tidak Memberikan Insentif Politik Bagi DPR. Dana aspirasi tidak akan membawa insentif politik bagi DPR, karena DPR bukanlah pelaksana anggaran. DPR hanya bisa menganggarkan dana aspirasinya untuk dilaksanakan oleh Unit Kerja Pemerintah pusat atau daerah sehingga sulit bagi DPR untuk memperoleh insentif politik dari dana aspirasi. K. Dana Aspirasi Melanggengkan Status Quo. Menjelang pemilu dana aspirasi akan menjadi efektif sebagai pork barrel untuk menarik simpati pemilih. Ini akan menghasilkan persaingan politik yang tidak sehat antar peserta Pemilu dan hanya memberikan peluang akan berkuasanya DPR yang status quo.
49
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
3.
ATAS NAMA ASPIRASI MENGUSULKAN RUMAH ASPIRASI
Anggota DPR pernah mengatasnamakan ’aspirasi Rakyat’ dengan mengusulkan “rumah aspirasi sebesar Rp200 juta per anggota per tahun atau Rp112 miliar. Usulan “rumah aspirasi” hanya menyebabkan terjadinya tumpang tindih anggaran.Sebelumnya, DPR telah memiliki alokasi penyerapan aspirasi yang besarnya Rp57,15 miliar, kunjungan kerja sesuai tata tertib (6 kali), kunjungan kerja reses (4 kali setahun) dan kunjungan kerja perorangan sebesar Rp173 miliar dan Tunjangan komunikasi intensif Rp14 juta per orang per bulan. Artinya, dalam setahun anggaran penyerapan aspirasi tanpa “rumah aspirasi” saja sebesar Rp579 juta peranggota per tahun sudah lebih dari cukup. Berikut adalah anggaran yang telah diperoleh oleh setiap anggota DPR: Fasilitas Penyerapan Aspirasi DPR No
Uraian
Jumlah
1
Rumah Aspirasi
Rp. 112 Miliar
2
Penyerapan Aspirasi Masyarakat dalam rangka peningkatan komunikasi intensif Kunjungan Kerja DN Perorangan
Rp. 57, 15 Miliar
Tunjangan Komunikasi Intensif Pejabat Total tanpa Rumah Aspirasi
Rp. 94, 37 Miliar
3
4
Total dengan Rumah Aspirasi
Rp. 173,16 Miliar
Rp. 324,68 Miliar Rp. 436,68 Miliar
Keterangan Rp. 200 Juta/ Anggota Ketua Rp. 10 Jt/bln Wk Rp. 9 jt/bln Anggota Rp. 8,5 Jt/bln Kunker sesuai Tatib (6 kali setahun), Kunker reses (4 kali setahun), Kunker perorangan (sekali setahun) Berdasarkan slip gaji DPR 2009, setiap bulan diterima Rp. 12 juta Rp 579 juta/org/thn Rp. 787 juta/org/th
Sumber: Data diolah Seknas FITRA, DIPA DPR RI 2010
Anggaran penyerapan aspirasi selama ini tidak memiliki akuntabilitas yang jelas, DPR mendapatkan bnayak anggaran reses tanpa mempertanggungjawabkan aspirasi apa yang diperoleh selama reses.Usulan “rumah aspirasi” juga menunjukkan tidak bekerjanya partai politik pengusung DPR untuk
50
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
menyatukan dan menjabarkan aspirasi. Seharusnya DPR mengoptimalkan peran partai politik masing-masing sebagai wadah “rumah aspirasi”. Kemudian. “Rumah Aspirasi” dicurigai hanya akan menjadi instrumen balas jasa anggota DPR untuk menampung para tim suksesnya di daerah pemilihan maupun kolega serta kerabatnya. Kasus ini bisa dilihat dari tim ahli DPR yang banyak berasal dari kerabat ataupun kolega partai politiknya, dan tidak berdasarkan profesionalisme. 4. Selain itu semua, usulan rumah aspirasi adalah usulan yang illegal. Dalam UU No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, tidak ada satupun pasal yang mengamanatkan DPR membentuk rumah aspirasi, berbeda dengan DPD yang dimandatkan dalam undang-undang ini untuk membentuk kantor di daerah.
Pembagian JATAH PLESIRAN KE LUAR NEGERI Kesan ‘bagi-bagi’ jatah plesiran ke luar negeri terlihat jelas dalam desain anggaran perjalanan luar negeri DPR. Setiap Komisi, seluruh alat kelengkapan DPR, serta unsur pimpinan memperoleh jatah plesiran ke luar negeri. Selain itu, setiap pembahasan 1 RUU, DPR juga memperoleh jatah Rp1,7 miliar untuk plesiran. Diluar uang tersebut, DPR juga memperoleh jatah untuk menghadiri konferensi-konferensi internasional. Ketertarikan DPR ke luar negeri juga diikuti dengan uang harian yang besar antara Rp20-30 juta setiap orang selama 7 hari (tergantung negara yang dikunjungi) ditambah uang representasi senilai Rp20 juta untuk sekali keberangkatan. Sungguh tidak mengherankan jika seluruh fraksi di DPR, baik oposisi maupun koalisi, bersama-sama menutup telinga atas kritik publik dan tetap melakukan plesiran dikala rakyat terkena bencana alam. Bahkan, Badan Kehormatan yang diharapkan menjadi ‘Penjaga Kehormatan’ DPR, ikut memperburuk citra DPR dengan melakukan kunjungan ke Yunani untuk belajar etika demokrasi bahkan menyempatkan rekreasi ke Turki.
51
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
Pembagian Jatah Anggaran Plesiran No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kegiatan Kunker LN dalam rangka penetapan RUU Inisiatif Kunker LN Baleg Kunker LN dalam rangka pembahasan RUU usul DPR Kunker LN Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Kunker LN 11 komisi Kunker LN Komisi untuk kasus spesifik Kunker LN Badan Anggaran Delegasi dalam Kegiatan Organisasi Parlemen Internasional Delegasi dalam Kegiatan Parlemen Regional Kunjungan Teknis LN BKSAP, Australia, Qatar, Suriah, China, Korea Utara, Mexico, Afrika Selatan Kunker LN Badan Kehormatan Studi Komparasi Pengelolaan Anggaran Parlemen BURT Kunker LN Pimpinan DPR RI
DIPA 2010 Rp17.852.550.000 Rp2.067.947.000 Rp26.778.825.000 Rp940.640.000 Rp14.987.610.000 Rp2.242.210.000 Rp2.026.922.000 Rp8.110.065.000 Rp4.071.606.000
Rp6.830.121.000 Rp1.616.349.000 Rp3.028.578.000 Rp15.505.053.000
Pada DIPA tahun 2010, anggaran kunjungan luar negeri anggota DPR sebesar miliarRp122 miliar. Anggaran kunjungan ini diberi nama muhibah, konferensi internasional, dan studi banding sebagai masukan untuk materi RUU yang akan dibahas. Anggaran kunjungan ke luar negeri anggota DPR bisa dilihat pada tabel dibawah ini: No 1 2 3 4
Uraian Kunjungan dalam rangka Delegasi Kunjungan dalam Rangka Hubungan Bilateral kunjungan kerja Per Komisi dan Lembaga Kunjugan kerja Pertemuan Regional Total Jumlah
Rp 7.557.240.000 6.683.470.000 103.712.036.000 4.139.050.000 122.091.796.000
Sumber dari seknas FITRA diolah dari DIPA 2010 Kemudian, pada APBN Perubahaan 2010, anggaran kunjungan ke Luar negeri ditambahkan sebesar Rp48 miliar. Alasan penambahaan ini dilandasi:
52
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
a)miliarUntuk satu RUU ditetapkan masing-masing 2 negara. Jadwal kunjungan ke luar negeri untuk 2 negara ini dilakukan ketika anggota DPR belum melakukan pembahasan RUU, dan sebelum penetapan RUU menjadi UU; b) Kunjungan ke luar negeri meningkat dari 2 negara menjadi 3 negara. Jadwal kunjungan dilakukan sebelum pembahasan RUU, ketika pembahasan RUU, dan sebelum penetapan RUU menjadi UU. Berikut ini penambahaan anggaran APBN Perubahan 2010: Tabel. Kunjungan Kerja Luar Negeri Pada APBN-P 2010 No 1 2 3 4 5 6 7
Uraian Kunjungan Kerja LN Dalam penetapan RUU Komisi IV Komisi VI Komisi VI (Pembentukan RUU) Komisi VII Komisi VII (Pembahasan RUU) Kunjungan Kerja Luar negeri GKSB DPR RI Total Jumlah
Rp 23.208.315.000 3.131.150.000 2.007.820.000 4.888.883.000 2.833.730.000 8.809.690.000 3.380.200.000 48.259.788.000
Sumber dari seknas FITRA diolah dari DIPA P 2010
53
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
Data Kunker DPR sampai November 2010 No
1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Alat Kelengkapan / Komisi Badan Anggaran BKSAP Wakil Ketua Polkam Komisi III Pansus RUU Pencucian Uang BURT Pansus RUU Protokol Panja RUU Cagar Budaya Panja RUU Grasi Panja RUU Holtikultura Panja RUU Pramuka RUU Keimigrasian RUU Mata Uang Badan Legislasi Badan Kehormatan RUU OJK Pengawasan Haji Total
Negara Tujuan
Waktu
Anggaran
Jan-Maret
571,8 juta*
Jan-Maret
1,7 miliar*
Jan-Maret
844 juta*
-
Jan-Maret
995 juta*
Perancis, Australia
Juni
1,7 miliar**
Maroko, Jerman, Perancis Prancis
Juli
3 miliar**
11-17 Juli
1,7 miliar**
Turki-Belanda
Juli-Agustus
1,7 miliar**
BelandaSelandia Baru BelandaNorwegia Afsel, Korsel, Jepang Inggris, Perancis
Juli
1,7 miliar**
17-23 Agustus September
1,7 miliar**
Sept & Okt
1,7 miliar**
Kanaca, Swiss
Sept-Okt
1,7 miliar**
Jepang Filipinan
Okt
2 miliar
Yunani
Okt
1,6 miliar**
Jerman, Ingris, Korsel Jepang Arab Saudi
Okt-Nov
1,7 miliar**
Nov
4,9 miliar**
-
1,7 miliar**
30,91 miliar
Sumber : Seknas FITRA, diolah dari Laporan realisasi triwulan I DPR dan berbagai sumber
54
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
5.
PENYELEWENGAN RUMAH JABATAN ANGGOTA DPR KALIBATA.
Anggaran renovasi Rumah Jabatan Anggota (RJA) DPR Kalibata dalam APBN 2009 sebesar Rp155.400.151.685, dan APBN 2010 sebesar Rp290.105.315.000. Total anggaran APBN 2009 dan 2010 adalah Rp445.505.466.685. Tetapi dalam nilai kontrak antara DPR dengan P.T. Adhi Karya, nilai kontrak renovasi pembangunan rumah RJA DPR kalibata hanya sebesar Rp355.544.100.000. Dengan demikian, ada kelebihan anggaran dari nilai kontrak sebesar Rp89.961.366.685. Pada APBNP 2010, DPR menambahkan anggaran lagi buat renovasi RJA DPR Kalibata sebesar Rp89.964.500.000. Penambahaan anggaran ini melanggar Keppres 80 Tahun 2003, pasal 37 ayat (3), yang berbunyi sebagai berikut: “Konsultan perencana yang tidak cermat dan mengakibatkan kerugian pengguna barang/ jasa dikenakan sanksi berupa keharusan menyusun kembali perencanaan dengan beban biaya dari konsultan yang bersangkutan, dan/atau tuntutan ganti rugi” Selain melanggarKeppres tersebut, renovasi pembangunan RJA DPR Kalibata, juga melanggar Pasal 32 ayat (3) dan (4), karena melakukan subkontraktor dengan perusahaan lain. Bunyi pasal 32 ayat (3) sebagai berikut: “Penyedia barang/jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab seluruh pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain”. Sedangkan Pasal 32, ayat (4) berbunyi sebagai berikut: “Terhadap pelanggaran atas larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam kontrak”. Sesuai dengan dokumen yang ditemukan Seknas FITRA yaitu “Surat Perjanjian Borongan”, ternyata P.T. Adhi karya melakukan Subkontraktor kepada P.T. Pembangunan Perumahan, dan P.T. Pembangunan Perumahan melakukan subkontraktor lagi dengan perusahaan-perusahaan lainnya.
55
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
Renovasi RJA dibagi ke dua perusahaan: P.T. Adhi Karya, dan P.T. Pembangunan Perumahan. P.T.Adhi Karya akan melakukan Revonasi RJA dari blok A, B, dan C, ditambah dengan 10 rumah baru. Sedangkan P.T. Pembangunan Perumahaan mendapat order alias subkontraktor dari P.T. Adhi Karya untuk melakukan renovasi RJA DPR pada Blok D, E, dan F sebesar 40% dari total 495 unit atau sebanyak 210 unit Rumah. Blok D, E, dan F ini P.T.dilakukan subkontraktor lagi oleh P.T. Pembangunan Perumahaan kepada perusahaanperusahaan lainnya. Dengan demikian, permasalahan renovasi RJA sebagai berikut: 1. Untuk Renovasi RJA DPR Kalibata, P.T. Pembangunan Perumahaan memperoleh anggaran untuk Renovasi RJA kalibata dari P.T. Adhi Karya sebesar Rp130 miliar untuk 210 unit rumah. Jadi, P.T. Pembangunan Perumahan mendapat order dari P.T. Adhi Karya untuk renovasi satu unit rumah RJA kalibata sebesar Rp619.047.619. Kemudian, P.T. Pembangunan Perumahaan melakukan subkontraktor kepada Perusahaan lain untuk renovasi satu unit rumah sebesar Rp152.500.000. Anggaran real untuk renovasi RJA Kalibata yang dikerjakan oleh perusahaan lain selaku subkontrator P.T. Pembangunan Perumahaan sebesar Rp152 juta dikalikan 210 buah unit adalah sebesar Rp32.025.000.000 (Rp32 miliar). Ini berarti ada mark up untuk renovasi RJA Kalibata sebesar Rp97.975.000.000 (Rp.97 miliar). 2. Renovasi RJA DPR Kalibata telah melanggar Keppres No. 80 tahun 2003, dimana P.T. Adhi Karya telah melakukan subkontraktor kepada P.T. Pembangunan Perumahaan, dan P.T. Pembangunan Perumahaan telah melakukannya lagi kepada perusahaan lainnya.
56
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
KEUANGAN DAERAH ; PENINGGALAN SAMPAH KOSMETIK
P
ada tahun 2010, pemerintah daerah mengalami ancaman kebangkrutan akibat kenaikan gaji PNS berturut-turut pada tahun 2009 sebesar 15% dan tahun 2010 sebesar 5% sehingga menimbulkan pembengkakan belanja birokrasi. Di tengah ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana perimbangan yang mencapai 82%, pemerintah daerah justru mengalokasikan belanja pegawai mencapai 51% dari total belanja daerah atau naik signifikan dari tahun 2009 sebesar Rp153 triliun menjadi Rp168 triliun pada tahun 2010. Akibatnya, belanja modal yang ditujukan untuk penyediaan sarana dasar pelayanan publik hanya mendapatkan porsi 17%. Ada beberapa hal yang mempengaruhi efektivitas pengelolaan anggaran daerah. Pertama, tidak seimbangnya belanja antara pemerintah pusat dan daerah yang semakin menyudutkan daerah, terutama daerah-daerah yang miskin sumber daya alamnya. Kedua, diskresi pengelolaan keuangan daerah yang menurun setiap tahun karena peningkatan komponen belanja pegawai sebagai konsekuensi dari kebijakan di tingkat pusat. Ketiga, salah kelola keuangan daerah menimbulkan kerugian negara yang besar. Keempat, pemborosan yang diulang-ulang semakin mengecilkan pos anggaran untuk pelayanan publik.
A. Dana Perimbangan Yang Tak Kunjung Berimbang Konsekuensi dari penerapan otonomi daerah adalah lahirnya kebijakan tentang dana perimbangan bagi kabupaten/kota. Pemerintah juga menyerahkan 16 urusan kepada daerah tanpa disertai pendanaan yang memadai dengan hanya memberikan 30% dana transfer. Pemerintah berdalih, selain dana transfer ke daerah, terdapat 30% belanja pusat lain yang juga dibelanjakan ke daerah seperti dana dekonsentrasi, tugas pembantuan, dana vertikal, belanja subsidi, PNPM, Jamkesmas, dan BOS. Padahal, pada pasal 108 UU No. 33 tahun 2004 menyatakan bahwa dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah, secara bertahap dialihkan menjadi DAK. Tetapi pusat tidak rela menjadikan dana dekonsentrasi dan
57
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
tugas pembantuan menjadi DAK. Pasalnya, PP yang mengaturnya baru diterbitkan 4 tahun kemudian pada PP No. 7 tahun 2008. Itupun masih diatur bertahap pengalihannya. Ringkasan APBN/LKPP T.A. 2005-2010 URAIAN
LKPP 2005
LKPP 2006
LKPP 2007
NEGARA
495.224,2
637.987,2
Dalam
493.919,4
Penerimaan Penerimaan bukan
PENDAPATAN Penerimaan
Hibah BELANJA Belanja
Pemerintah
Transfer ke Daerah
707.806,1
APBN 2008 981.609,4
APBN 2009 985.725,3
RAPBN 2010 911.475,8
636.153,1
706.108,3
979.305,4
984.786,5
910.054,3
347.031,1
409.203,0
490.988,6
658.700,8
725.843,0
729.165,2
146.888,3
226.950,1
215.119,7
320.604,6
258.943,6
180.889,0
1.304,8
1.834,1
1.697,7
2.304,0
938,8
1.421,5
509.632,4
667.128,7
757.649,9
985.730,7
361.155,2
440.032,0
504.623,3
693.355,9
1.037.067, 3 716.376,3
1.009.485, 7 699.688,1
150.463,9
226.179,9
253.263,2
292.433,5
320.691,0
309.797,6
Grafik 1 Persentase Transfer ke Daerah terhadap Pendapatan Dalam Negeri PERSENTASE TRANSFER KE DAERAH DARI JUMLAH PENDAPATAN DALAM NEGERI 40,0% 35,0% 30,0% 25,0% 20,0% 15,0% 10,0% 5,0% 0,0% 2004
35,6%
35,9%
30,5%
2005
2006
29,9%
2007
2008
32,6%
2009
34,0%
2010
2011
Bila dilihat pada grafik 1, tampak bahwa komposisi belanja APBN masih didominasi pos belanja pemerintah pusat hingga 70 persen, dan sisanya dibagi kepada seluruh 531 propinsi, kabupaten/kota secara proporsional pada ta-
58
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
hun 2010. Hal ini menunjukkan fakta adanya perimbangan keuangan yang tidak berimbang antara pemerintah pusat dan daerah, mengingat daerah memiliki beban berat karena harus membiayai banyak program pembangunan yang salah satunya adalah upaya untuk mengentaskan kemiskinan
B. Dana Liar ke Daerah, Tumbuhkan Calo Anggaran. Pada APBN-P 2010, perubahan anggaran transfer ke daerah yang paling signifikan mengalami kenaikan adalah Dana Penyesuaian sebesar Rp13,8 triliun, atau menjadi Rp21,1 triliun setara dengan DAK. Dana Penyesuaian pada awalnya digunakan untuk menampung Dana Kurang Bayar Dana Perimbangan. Namun sejak tahun 2008 Dana Penyesuaian juga digunakan untuk menampung dana non-hold harmless, serta program-program adhoc. Tahun 2008 dikenal istilah DISP (Dana Infratruktur Sarana dan Prasarana), yang tahun 2009 menjadi Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF PPD) dan pada tahun 2010 ditambah lagi komponen Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah (DPIPD), serta Dana Percepatan Infrastruktur Pendidikan (DPIP). Dana-dana infratruktur ke daerah ini telah menyalahi UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah karena komponen dana perimbangan yang dikenal dalam UU itu adalah DAU, DBH dan DAK Dana Otonomi Khusus, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Formula penentuan daerah penerima DPDF PPD dan DPIPD yang tidak jelas, akan menjadi lahan baru bagi calo-calo anggaran di DPR dan pemerintah untuk menjual kewenangannya kepada daerah yang menginginkan pengucuran dana ini. Hal ini menunjukan kekuatan lobi politik menjadi penentu perolehan kucuran anggaran, dibandingkan kebutuhan prioritas daerah.
59
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
Tambahan Dana Penyesuaian Pada APBN P 2010, Rawan Calo Anggaran (miliar) Dana Penyesuaian
No 1
Tambahan Penghasilan Guru PNSD 2 Dana Insentif Daerah
APBN
APBN-P
Selisih
5.800,0
-
-
1.387,8
-
-
3 Kurang Bayar DAK
80,2
-
-
4 Kurang Bayar DISP
32,0
-
-
5 DPDF-PPD
-
7.100,0
7.100,0
6 DPIPD
-
5.500,0
5.500,0
7 DPIP
-
1.250,-
1.250,-
Total
7.300,0
13.850,-
21.150,-
2 3 4 5 6 7
sumber : Seknas FITRA, Diolah dari Laporan Panja Banggar Transfer Ke Daerah (28 April 2010)
Sebagai contoh, daerah yang memiliki indeks kapasitas fiskal tinggi dan indeks kemiskinan rendah di bawah rata-rata nasional seperti Kab. Berau dan Kab. Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur, justru memperoleh alokasi DPIPD lebih tinggi. Bandingkan dengan daerah yang memiliki indeks fiskal rendah dan indeks kemiskinan di atas rata-rata Nasional, seperti Kab. Timor Tengah Selatan dan Kupang di Nusa Tenggara Timur. Begitu pula dengan alokasi DPF PPD yang disamaratakan, seperti digambarkan dalam tabel 3. Maka, tidak mengherankan jika otonomi daerah tidak mampu menjadi pendongkrak kesejahteraan rakyat daerah dengan pola penganggaran seperti ini.
60
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Perbandingan Daerah Kaya dan Miskin Yang Menerima Dana Penyesuaian
No
Daerah
Indeks Fiskal
Indeks Kemiskinan
DPIPD
DPF PPD
1
Kab. Berau
2,999
0,886
17.335.000.000
4.931.137.019
2
Kab, Penajam Paser Utara
2,935
0,698
24.175.000.000
0
3
Kab Timor Tengah Selatan
0,243
1,857
12.000.000.000
4.931.137.019
4
Kab. Kupang
0,271
1,46
4.835.000.000
0
C. Krisis Diskresi dan Kreativitas Keleluasaan pemerintah daerah dalam mengelola anggaran semakin terbatas. Hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah pusat yang menaikkan belanja pegawai sebesar 15% dan rekrutmen pegawai negeri sipil yang tidak bisa dihindari dan harus dibiayai oleh APBD, sehingga diskresi fiskal dan ruang fiskal daerah semakin menurun.
Tren diskresi fiskal kab/kota Berdasarkan propinsi 2009
2010
70% 60% 50% 40% 30% 20%
Prov. Papua Barat
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Gorontalo
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Banten
Prov. Bangka Belitung
Prov. Papua
Prov. Maluku Utara
Prov. Maluku
Prov. Nusa Tenggara Timur
Prov. Bali
Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Jawa Timur
Prov. Kalimantan Barat
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Jawa Barat
Prov. Jawa Tengah
Prov. Lampung
Prov. DKI Jakarta
Prov. Bengkulu
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Riau
Prov. Jambi
Prov. Sumatera Barat
Prov. Sumatera Utara
0%
Prov. Nanggroe Aceh Darussalam
10%
Sumber: Seknas Fitra 2010
61
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
Tren Ruang Fiskal 2007-2010
Sumber: DJPK 2010
Dampak penurunan diskresi fiskal daerah berakibat pada kinerja pelayanan publik yang melambat. Sedangkan ruang fiskal daerah yang menurun berakibat pada berkurangnya dana yang bisa digunakan secara bebas oleh daerah sesuai dengan kebutuhannya. Hal tersebut mengakibatkan implementasi program-program akselerasi seperti pembangunan pendidikan, kesehatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan hanya bersifat residual atau bersumber dari sisa-sisa anggaran yang sebagian besar sudah dibelanjakan untuk kepentingan belanja pegawai dan birokrasi. Ironisnya, di tengah krisis kewenangan anggaran dan berkurangnya dana yang dapat dikelola secara bebas, pemerintah daerah masih saja mengutamakan belanja tidak langsung yang banyak terserap untuk kepentingan birokrasi, sehingga mengurangi belanja langsung untuk kepentingan pelayanan publik.
Masalah krisis diskresi tidak selayaknya dijadikan alasan oleh sebagian besar pemerintah daerah atas kegagalan mereka dalam melakukan akselerasi dan percepatan pelaksanaan program pemenuhan hak dasar, serta penanggu-
62
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
langan kemiskinan. Akan tetapi, hal tersebut harus ditanggapi secara positif dengan mengupayakan sumber pendapatan asli daerah secara progresif melalui intensifikasi pajak daerah, retribusi daerah, dan pengelolaan kekayaan daerah tanpa menimbulkan beban baru bagi masyarakat. Potensi PAD yang dimiliki, faktanyahanya menopang 8% dari pendapatan daerah (secara nasional 2010). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak serius dan tidak kreatif untuk menyelesaikan masalah keterbatasan fiskalnya.
D. Salah Kelola Anggaran, Ciptakan Kerugian Negara Berdasarkan hasil audit BPK semester 1 2009 (atas realisasi anggaran tahun 2008) terdapat lebih dari Rp112,5 miliar kerugian keuangan daerah akibat penyalahgunaan anggaran untuk berbagai fasilitas elit politik di 104 daerah. Banyaknya manipulasi terhadap berbagai anggaran diantaranya dengan mark up biaya perjalanan dinas, tunjangan perumahan DPRD, memberikan honor gaji buta untuk kepala daerah, biaya BBM kendaraan dinas pejabat yang di mark up, pembayaran ganda di beberapa pos perjalanan dinas, dsb. Biarpun modusnya berbeda, tetapi penyalahgunaan anggaran daerah 2009 juga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp306,6 miliar atau mengalami kenaikan fantastis sebesar 173% dibandingkan tahun 2008. Jumlah Kerugian & Potensi Kerugian Prop/Kab/Kot Berdasarkan Propinsi N0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Entitas Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Barat Provinsi Riau Provinsi Jambi Provinsi Sumatera Selatan Provinsi Bengkulu Provinsi Lampung Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Provinsi Kepulauan Riau Provinsi DKI Jakarta Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Tengah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Provinsi Jawa Timur Provinsi Banten
Kerugian Daerah Potensi Kerugian Jml Jml Nilai Nilai Kasus Kasus 27 22.706,81 9 24.229,61 90 20.013,73 7 11.028,25 50 7.064,59 21 49.422,54 32 11.237,51 7 973.334,66 33 10.455,37 13 16.333,93 52 9.496,03 10 5.995,14 40 8.920,45 1 782,34 34 8.153,04 10 228.485,68 26 2.365,40 9 1.479,18 37 17.547,66 7 33.937,41 31 7.632,35 1 27 2.542,80 1 35 2.691,50 18 20.433,75 12 2.307,85 102 7.291,09 19 151.114,11 44 13.188,09 7 40.294,85
Kerugian Daerah N0
Entitas
17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Provinsi Bali Provinsi Nusa Provinsi Nusa Provinsi Kalimanta Provinsi Kalimanta Provinsi Kalimanta Provinsi Kalimanta Provinsi Sulawesi Provinsi Sulawesi Provinsi Sulawesi Provinsi Sulawesi Provinsi Gorontalo Provinsi Sulawesi Provinsi Maluku Provinsi Papua Provinsi Papua Jumlah
Potensi Kerugian Daerah
Jml Kasus
Nilai
Jml Kasus
Nilai
37 23 22 19 94 32 19 36 48 41 57 36 43 7 39 21 1.246
8.486,73 1.280,40 5.395,26 2.863,84 18.581,26 5.426,16 9.117,01 16.342,29 12.631,61 9.313,65 19.796,63 5.695,31 8.817,80 524,93 12.982,21 15.767,85 306.637,34
10 5 18 3 15 13 4 4 17 12 12 5 6 11 2 277
9.694,54 3.549,33 35.231,87 5.205,47 7.049,41 22.963,56 460.560,38 1.477,58 51.411,61 6.091,86 27.280,51 30.338,84 23.885,38 8.971,13 3.562,90 2.254.145,97
Sumber: Seknas Fitra 2010
63
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
E. Mengulang Pemborosan Inefisiensi penggunaan anggaran daerah mengakibatkan efektifitas kinerja tidak dapat tercapai. Pos anggaran yang berpotensi boros terdapat pada belanja bantuan sosial, belanja hibah, honorarium ,dan belanja barang jasa yang merupakan bagian belanja pegawai pada belanja langsung. Pos anggaran tersebut tingkat akuntabilitasnya sangat rendah dan rawan penyimpangan.Tetapi pemerintah daerah selalu membuat alokasi yang cukup besar sehingga mengurangi porsi belanja pelayanan dasar publik. Selain itu, pemerintah daerah tidak mampu menekan pos anggaran lain yang berpotensi boros seperti perjalanan dinas, belanja operasional, dan penunjang baik bagi DPRD, kepala daerah maupun SKPD terkait. Berikut modus pemborosan anggaran daerah pada 10 daerah yang memberikan kontribusi kerugian negara terbesar pada realisasi APBD 2009.
Modus Pemborosan Anggaran di 10 daerah Modus No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Daerah Kab. Gayo Lues Kota Sorong Kab. Natuna Kota Manado Kab. Kerinci Kab. Konawe Selatan Kab. Asahan Kab. Lingga Kab. Kolaka Kab. Ogan Komering Ulu
Belanja Bansos
Belanja Hibah
311.500.000 820.000.000
2.876.430.000
44.917.560 1.850.998.200 1.762.350.000 802.375.436
4.500.000.000
3.358.700.000
1.340.000.000
Perjalanan Dinas 1.681.445.807
Penunjang & Operasional
Barang & Jasa
9.257.400.000 6.924.535.510 745.815.000
4.727.395.000 33.700.000 3.201.567.500 43.200.000
198.680.000
1.075.900.000 1.031.615.457
Sumber: Seknas Fitra 2010
Pada umumnya, kasus inefisiensi meliputi pengadaan barang/jasa melebihi kebutuhan, adanya penetapan kualitas dan kuantitas barang/jasa yang digunakan tidak sesuai dengan standar, dan terjadi pemborosan keuangan daerah, serta kemahalan harga. Pada tahun 2009 terdapat 155 kasus inefisiensi senilai Rp71,26 miliar sebagaimana terangkum dalam tabel di bawah.
64
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Penyebab ketidakhematan anggaran daerah Penyebab Ketidakhematan Barang/jasa melebihi kebutuhan Penetapan kualitas & kuantitas barang/jasa Pemborosan keuangan atau kemahalan harga
Jml Kasus 9 3
Nominal (Rp. juta) 795,49 417,14
143
70,050,00
Kasus-kasus inefisiensi terjadi karena pejabat yang bertanggungjawab lalai, tidak cermat dalam melaksanakan tugas, dan tidak berpedoman pada ketentuan yang berlaku, serta lemah dalam pengawasan dan pengendalian. Untuk mencegahnya dibutuhkan keberanian kepala daerah dalam memberikan sanksi kepada pejabat yang bertanggungjawab. Penyebab lain pemborosan adalah ketidakefektifan. Ini berarti adanya kegiatan yang tidak memberikan manfaat serta fungsi instansi yang tidak optimal sehingga tujuan organisasi tidak tercapai. Hasil pemeriksaan atas 348 LKPD tahun 2009 menunjukkkan adanya 339 kasus ketidakefektifan senilai Rp420,45 miliar yang terdiri atas: Penyebab ineffectiveness anggaran daerah Penyebab Ketidakhematan
Jml
Nominal
Kasus
(Rp miliar)
Penggunaan anggaran tidak tetap sasaran
172
200,07
Pemanfaatan barang/jasa tidak sesuai rencana
11
16,68
Barang yang dibeli belum/tidak dapat dimanfaatkan
90
79,50
Pemanfaatan barang/jasa tidak berdampak thd pencapaian tujuan organisasi
5
38,28
Pelaksanaan kegiatan terlambat/terhambat
42
70,36
Pelayanan kepada masyarakat tidak optimal
9
8,23
Fungsi dan tugas instansi tidak diselenggarakan dengan baik
10
7,30
65
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
Pos anggaran yang berpotensi pemborosan secara berulang setiap tahunnya dan cenderung naik secara signifikan. Akibatnya, belanja modal yang terdapat pada APBD secara nasional dialokasikan hanya 20% pada tahun 2010 atau mengalami penurunan cukup drastis jika dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai angka 30%. Sebaiknya pemerintah daerah tidak boleh mengulang tradisi pemborosan anggaran yang merugikan kepentingan masyarakat ini dengan cara konsolidasi belanja bantuan sosial dan belanja hibah menjadi bagian dari belanja langsung APBD. Kemudian ditindak lanjuti dengan mengefektifkan pengelolaan belanja langsung melalui penertiban belanja barang jasa, belanja perjalanan dinas, dan mengurangi porsi belanja honorarium secara proporsional.
66
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Lampiran-Lampiran Badan Publik Yang Merespon dan memberikan DIPA Eksekutif
1. 2. 3. 4. 5.
Kem. Sekretariat Negara Kem. Perindustrian Kem. Pertanian Kem. Perhubungan Kem. Kebudayaan dan Pariwisata
Legislatif Yudikatif Lembaga Negara Kementerian
1. 1. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 4.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD KPK Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Badan Pusat Statistik Komisi Pemilihan umum Bawaslu BNN PPATK Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi (BPPT) Badan Standarisasi Nasional (BSN)
Non-
Badan Lain
5.
Badan Publik yang Merespon tetapi tidak Memberikan DIPA No
Badan Publik
1
Kementerian Luar Negeri
2 3
Kementerian Pertahanan Kemdagri
4 5
Kem-PU Kemkoninfo
6 7
Kemristek Kem. Pemberdayaan Perempuan BPKP Batan Bapeten Dewan Ketahanan Nasional Perpustakaan Nasional Kementerian Kelautan dan Perikanan
8 9 10 11 12 13
Alasan belum/ tidak memberi DIPA Setelah konsultasi ke BPK dan BPKP, DIPA dapat disalahgunakan oleh pihak ketiga. DIPA tidak ada di Kemhan, mintanya ke kemkeu Janji mau memberikan tetapi belum juga diterima Merasa sudah dishare di website kemPU Hanya memberikan software DIPA, tidak dengan passwordnya. Menunggu hasil kordinasi dengan Kemkeu DIPA sedang direvisi Mempersilahkan ambil di kantor, tetapi masih di”pimpong” Buka di website kemkeu, tetapi tidak ada Surat belum diterima, tidak bisa memberikan informasi (setelah diajukan keberatan)
67
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
Badan Publik yang tidak merespon, diam saja Eksekutif
68
1
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
2
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
3
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
4
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
5
Kementerian Keuangan
6
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
7
Kementerian Perdagangan
8
Kementerian Kehutanan
9
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
10
Kementerian Kesehatan
11
Kementerian Pendidikan Nasional
12
Kementerian Sosial
13
Kementerian Agama
14
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
15
Kementerian Lingkungan Hidup
16
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
17
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal
18
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional
19
Kementerian Badan Usaha Milik Negara
20
Kementerian Perumahan Rakyat
21
Kementerian Pemuda dan Olahraga
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
Legislatif 1
Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
2
Dewan Perwakilan Rakyat RI
Yudikatif dan Penegakan Hukum 1
Mahkamah Agung
2
Mahkamah Konstitusi
3
Kejaksaan agung RI
4
Kepolisian RI
Lembaga Non-Kementerian 1
Badan Intelijen Negara (BIN)
2
Badan Kepegawaian Negara (BKN)
3
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
4
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
5
Badan Pertanahan Nasional (BPN)
6
Badan Urusan Logistik (BULOG)
7 8
LAPAN BKPM
9 10
BPK BI
11
LIPI
Badan Lain 1
Komisi Yudisial
2
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
3
Komisi Ombudsman Nasional
69
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
70
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran
71
Catatan Akhir Tahun Anggaran 2010
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Jl. Guru Alif No. 34 Rt. 04 Rw 06 Kel. Duren Tiga, Jakarta Selatan Tlp/ Fax : 021-7940133
[email protected] Www.seknasfitra.org / www.budget-info.com
72