Catatan Akhir Tahun Anggaran Refleksi Penganggaran Daerah 2013
BIROKRASI SANDRA APBD, MINIM KONTRIBUSI Oleh: Triono Hadi et. all Pemda Semakin Tidak Kreatif Bergantung Dengan Dana Perimbangan Inti dari otonomi keuangan daerah adalah bagaimana Pemerintah daerah mempunyai kemampuan managerial secara prima dalam mengumpulkan pendapatan dan kemudian mengalokasikannya untuk belanja pemerintahan yang proporsional. Hal ini dimaksud agar pengelolaan anggaran daerah mampu memberikan efek positif terhadap meningkatnya pertumbuhan ekonomi, ekonomi, kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah. daerah Memang perlu diapresiasi, tiga tahun terakhir peningkatan pendapatan yang menjadi intrumen pembangunan daerah terus mengalami peningkatan. Tahun 2012 -2013 peningkatan pertembuhan pendapatan secara u umum mum hampir terjadi semua daerah di Provinsi Riau mengalami pertumbuhan antara 10 sampai 30%. Namun, sayangnya pertumbuhan pendapatan daerah yang terjadi itu tidak merubah porsi pendapatan asli daerah (PAD) dalam komposisi penerimaan daerah.
Komposisi Penerimaan Daerah Tahun 2013 Kab. Kepulauan Meranti Kota Pekanbaru Kota Dumai Kab. Siak Kab. Rokan Hulu Kab. Rokan Hilir Kab. Pelalawan Kab. Kuantan Singingi Kab. Kampar Kab. Indragiri Hulu Kab. Indragiri Hilir Kab. Bengkalis
2.8% 18,8% 13,0% 10,7% 3,4% 6,3% 4,9% 2,8% 5,9% 3,4% 4,0% 7,2%
0,0% PAD
86% 65% 77% 83% 86% 89% 84% 88% 86% 87% 89% 92% 20,0%
Dana Perimbangan
40,0%
60,0%
11,2% 15,7% 10,4% 6,3% 10,2% 4,6% 10,7% 9,5% 7,9% 9,5% 6,7% 1,3% 80,0%
100,0%
120,0%
Lain-lain lain Pendapatan Daerah yang Sah
Komposisi penerimaan enerimaan daerah kabupaten se Provinsi Riau, rata ketergantungan pendaptan daerah dari alokasi dana perimbangan pusat mencapai 85%. Bahkan kabupaten bengkalis sumbangan dana perimbangan pusat ke daerah mencapai 92%. Hal itu menunjukkan pemerintah daerah semakin semakin tidak kreatif untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya sebagai upaya mewujudkan kemandirian keuangan daerah dari penggalian potensi daerahnya. Tingginya tingkat ketergantungan kepada dana perimbangan pusat, tentu akan membuat pemerintah daerah semakin lalai dengan upaya-upaya upaya starategis mewujudkan kemandirian keuangan daerah. Sementara kekuatan PAD untuk membiayai pembangunan daerah ah hanya berada dibawah angka 5%. 5%. Kecuali Kota Pekanbaru dan Kabupaten Siak yang sudah mencapai lebih dari 10%. Bahkan Bahkan terdapat tujuh kabupaten kekuatan PAD untuk membiayai belanja daerah dibawah 5 %.
Rasio PAD - Belanja Daerah 6.000.000 5.000.000
6,0% 5,0%
4,9%
4.000.000
3,7%
3.000.000
3,5% 2,6%
2.000.000
4,0% 3,2%
2,5%
3,0% 2,2% 2,0%
1.000.000
1,0%
-
0,0% Kab. Bengkalis
Kab. Indragiri Hilir
Kab. Indragiri Hulu
Kab. Kuantan Singingi
Belanja Daerah
Kab. Kab. Rokan Kab. Pelalawan Hulu Kepulauan Meranti Rasio PAD
Masih rendahnya kemampuan daerah untuk mendanai secara mandiri berbagai kegiatan pembangunan menjadi tantangan bagi bag pemerintah dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal untuk dapat mendorong peningkatan kemampuan pendapatan daerah. Sebagai ukuran derajat desentralisasi, dengan meningkatnya kontribusi PAD maka menunjukkan meningkatnya kemampuan penyelenggaraan desentralisasi. desentralisasi Daerah Boros Belanja Aparatur Pertumbuhan APBD Lebih Banyak Dinikmati Birokrasi
Genderang reformasi birokrasi pertama kali ditabuh pada tahun 2007 melalui pemberian remunerasi pada beberapa Kementerian/Lembaga. Dengan adanya reformasi birokrasi diharapkan birokrasi semakin efisien dari sisi struktur maupun biaya. Faktanya, belanja pegawai terus mengalami peningkatan, pertumbuhan belanja lebih banyak dinikmati oleh alokasi pegawai. Struktur birokrasi juga semakin gemuk, dengan semakin banyaknya lembaga non struktural yang dibentuk. Hal ini ti tidak dak hanya terjadi di Pemerintah Pusat, namun juga di daerah, sebagin besar anggarannya dialokasikan untuk belanja pegawai.
Pemerintah mulai menyadari semakin beratnya beban belanja pegawai seiring dengan reformasi birokrasi. Tepat tanggal 1 September 2011 2011,, Pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium Pegawai Negeri Sipil (PNS) resmi diberlakukan selama 16 bulan. Kebijakan yang berlaku sampai 31 Desember 2012 ini, ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani tiga menteri; Menteri Keuangan, Keuangan, Menteri Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Menteri Dalam Negeri. Lagi-lagi Lagi kebijakan ini, sekedar “pepesan kosong” dan “menelan ludah” sendiri. Mulai bulan Juli 2012, Pemerintah kembali membuka lowongan CPNS. Pertumbuhan Belanja vs Pertumbuhan Belanja Pegawai 45,0% 40,0% 35,0% 30,0% 25,0% 20,0% 15,0% 10,0% 5,0% 0,0%
26,9%
20,3%
23,0%
15,2% 15,6% 20,2%
16,8% 11,5%
Prov. Riau
Kab. Indragiri Kab. Indragiri Kab. Kuantan Hilir Hulu Singingi
Pertumbuhan Belanja
15,4%
14,0%
Kab. Pelalawan
Pertumbuhan Belanja Pegawai
Antara tahun 2012 12 – 2013 ini, prtumbuhan belanja lebih banyak dinikmati birokrasi. Bahkan pertumban belanja daerah di enam daerah termasuk Provinsi Riau pertumbuhan belanja birokrasi (gaji pegawai) lebih besar dari pertumbuhan belanja daerah. Seperti Provinsi Riau pertumbuhan pertumbuhan belanja antara tahun 2012-2013 2012 mencapai 20,2 %, sementara pertumbuhan belanja pegawai (langsung dan tidak langsung) tumbuh mencapai 20,3%. Begitu juga di empat daerah lainnya yang cendrung pertumbuhan belanja pegawai jauh lebih besar dibandingkan pertumbuhan pertumbuhan belanja daerah. (lihat grafik diatas). Meskipun demikian besarnya porsi APBD yang diperuntukkan untuk belanja pegawai namun tidak dibarengi semakin membaiknya pelayanan publik. Dengan demikian jelas
daerah hanya buang-buang buang duit untuk membiayai belanja belanja aparatur untuk birokrasi yang tidak produktif. Lima Daerah Tertinggi Porsi Belanja Pegawai 2013 Terdapat lima daerah yang mengalokasikan porsi belanja pegawai tahun 2013 antara 46-53% 53% dari total belanja daerahnya. Kota Pekanbaru 53% belanja APBD dialokasikan untuk belanja pegawai, kemudian Kabupaten Kampar 51% anggaran APBD dialokasikan untuk belanja pegawai. Kemudian kabupate Indragiri Hilir yang anggaran belanja daerahnya sedikit justru mengalokasikan anggaran 49% untuk gaji birokrasinya. Diurutan an nomor empat kabupaten Kuantan sengingi yang juga sedikit APBD nya juga mengalokasikan 48% anggaran untuk kebutuhan belanja pegawai. Dan yang terakhir adalah Kota Dumai mengalokasikan anggaran APBD sebesar 46% untuk belanja begawai. Hal ini sangat meng mengejutkan, ejutkan, tujuan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah dengan mendekatkan pelayanan publik akan sulit dicapai, dengan postur penganggaran seperti ini. Hal ini terlihat dari semakin tingginya belanja pegawai, menggerus belanja modal. Padahal belanja modal adalah salah satu yang memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi. ekonomi
Porsi Belanja Pegawai tahun 2013 54% 52%
53% 51%
50%
49%
48%
48% 46%
46% 44% 42% Kota Pekanbaru
Kab. Kampar Kab. Indragiri Kab. Kuantan Hilir Singingi
Kota Dumai
Sangat mengejutkan lagi, Kota Pekanbaru yang merupakan tertinggi alokasi belanja pegawainya secara persentase dari total belanja daerahnya, namun Indek Integritas Pemerintah daerah berdasarkan survey Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilansir pada 16 desember 2013 di gedung KPK Ri, menunjukkan Kota Pekanbaru adalah salah satu daerah yang menempati posisi terburuk ke empat ditinjau dari sector pelayanan publiknya. Lagu Lama Lambannya Penyerapan Anggaran Birokrasi “Bebal” Penyandra Penyerapan Anggaran Waktu Tersisa 45 Hari, Anggaran ggaran harus terserap Rp. 79,2 Miliyar /Hari Menjelang akhir tahun, persoalan lambannya penyerapan anggaran kembali muncul. Seolah birokrasi ini “bebal” selalu mengulangi kesalahan yang sama setiap tahunnya. Menjadi njadi pertanyaan, mengapa persoalan ini terus muncul?. muncul? Sejak Indonesia memiliki
UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
seharusnya soal lambannya penyerapan anggaran ini sudah selesai. Aturan ini, merupakan tonggak reformasi utama keuangan negara kita. Azas keuangan negara, tidak lagi berimbang dinamis, dimana pendapatan dan belanja harus berimbang. Format yang dipergunakan
“T account”
yang lebih berorientasi pada input, input dimana kinerja
Kementerian/Lembaga diukur dari habis atau tidaknya anggaran yang dialokasikan. Saat ini, anggaran kita menggunakan azas surplus defisit, dimana pendapatan dan belanja tidak harus berimbang, bisa mengalami surplus (pendapatan lebih besar dari belanja), atau sebaliknya defisit. Format yang digunakan-pun digunakan pun berubah men menjadi “I account” yang lebih berorientasi pada outputatau atau dengan pendekatan berbasis kinerja. Artinya, habis atau tidaknya anggaran Kementerian/Lembaga bukanlah suatu ukuran, melainkan pada kinerja yang dicapai. Dimana setiap rupiah yang dikeluarkan, harus bisa diukur keluaran dan kinerja yang dihasilkan. Lalu kenapa soal penyerapan anggaran ini masih diributkan. Tidak akan jadi soal, kalau anggaran yang tidak terserap, lebih karena efisiensi dengan capaian kinerja yang
sama atau terlampauinya target pendapatan. pendapatan. Masalahnya, anggaran tidak terserap karena kegiatan yang tidak terlaksana dan kinerja tidak tercapai. Alasan utama birokrasi Kementerian/Lembaga adalah prosedur pengadaan barang jasa yang terlalu lama menjadi penghambat rendahnya realisasi anggaran. anggara Tidak sepenuhnya dapat di “amini”, pasalnya aturan ini sudah berganti. Keppres 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa, sudah berganti menjadi Perpres 54 tahun 2010, bahkan kembali dirubah menjadi Perpres No 70 tahun 2012. Pada perpres terbaru ini, prosedur dan waktu tender dipangkas hampir setengahnya. Bahkan pengadaan kendaraan dinas, tidak perlu melalui tender. Metode tender pun diwajibkan dengan sistem elektronik. Seharusnya, sudah tidak ada alasan lagi, realisasi anggaran tahun 2013 2013 rendah. Faktanya, ktanya, persoalan lambannya penyerapan anggaran masih terus terjadi dan seakan menjadi tradisi karena hampir terjadi setiap tahunnya. Provinsi Riau APBD tahun 2013 mencapai Rp. 8,9 Triliun lebih, sampai pertengahan November 2013 penyerapan anggaran masih berkisar erkisar antara 60%. Dengan demikian pemerintah daerah harus menghabiskan lebih dari Rp. 3,564 Triliun dengan waktu yang tersisa 45 hari. Tentu bagaimana anggaran dapat dilaksanakan dengan baik jika pemerintah harus menghabiskan anggaran Rp. 79,2 Miliyar per pe hari sampai 31 Desember 2013. Realisasi anggaran yang menumpuk di akhir tahun, menyebabkan kualitas belanja menjadi buruk. K/L hanya berorientasi menghabiskan anggaran tanpa melihat capaian kinerjanya. Tidak mengherankan menjelang akhir tahun, perjalan dinas melonjak tajam, hotel-hotel hotel penuh dengan pertemuan, dan Iklan di media elektronik melonjak. Jelas sekali bahwa kegiatan diakhir tahun adalah kegiatan yang mengada-ada. mengada Iklan layanan masyarakat lebih banyak menampilkan prestasi pejabatnya “I Love Me” Me”, sekalipun berisi sosialisasi program tidak akan efektif, karena realisasi program tidak mungkin dilakukan dipenghujung tahun, disaat program tersebut akan berakhir.