Artikel untuk Buletin Ditjen Penataan Ruang
Seknas Habitat Indonesia: Common House Pengembangan Perkotaan? Saat ini sekitar 50% penduduk dunia tinggal di perkotaan. Suatu fenomena yang luar biasa mengingat pada petengahan tahun 1970-an sekitar dua pertiga penduduk dunia masih tinggal di daerah perdesaan. Bahkan pada tahun 1950-an hanya kota New York yang mempunyai jumlah penduduk lebih dari 10 juta. Sekarang sudah lebih dari 19 kota dunia berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa. Dalam kurun waktu 50 tahun sejak tahun 1950 jumlah kota yang berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa melonjak 4 kali lipat, dari 80 kota menjadi 365 kota. Lonjakan jumlah penduduk yang begitu pesat menjadi kekhawatiran banyak praktisi pembangunan dan pemerhati masalah perumahan dan permukiman. Banyak kota masih belum mampu menangani kebutuhan dan tuntutan penduduk dan tidak siap dengan meningkatnya jumlah penduduk yang begitu pesat, yang akan membawa dampak pada kebutuhan perumahan, infastruktur, penggunaan energi, jasa pelayanan, kapasitas institusi, sumberdaya dan kebijakan perkotaan. Bila kota tidak dapat menampung pertumbuhan tersebut maka dikhawatirkan akan terjadi urbanisasi kemiskinan. Di samping itu bagaimana kita hidup sehari-hari akan berdampak pada lingkungan dan kapasitasnya untuk mendukung kehidupan sekarang maupun di masa mendatang.
“The Habitat Agenda is a global call to action at all levels. It offers, within a framework of goals, principles and commitments, a positive vision of sustainable human settlements — where all have adequate shelter, a healthy and safe environment, basic services and productive and freely chosen employment. The Habitat Agenda will guide all efforts to turn this vision into reality.”
Hal-hal ini menjadi kekhawatiran para pemimpin dunia dalam Konferensi Kota tahun 1996 di Istanbul, Turki (dikenal sebagai Habitat II). Dua tema yang diangkat dalam Habitat II dan juga menjadi tujuan dari Agenda Habitat adalah ‘Hunian yang Layak bagi Semua’ (Adequate Shelter for All) dan ‘Permukiman yang Berkelanjutan dalam Dunia yang Semakin Mengkota’ (Sustainable Human Settlements in an Urbanizing World). Hunian yang layak penting untuk kesejahteraan manusia, baik dari segi fisik, fisiologis, sosial dan ekonomi. Sementara pembangunan berkelanjutan membutuhkan pembangunan sosial-ekonomi dan perlindungan lingkungan.
1
Agenda Habitat Agenda Habitat adalah aksi global dan kerangka kerja yang diharapkan dapat mendorong masyarakat dunia untuk bertanggung-jawab dalam mempromosikan dan menciptakan permukiman yang berkelanjutan. Dengan mengadopsi Agenda Habitat, maka setiap negara juga mengadopsi kedua tema yang menjadi tujuan Agenda Habitat, serta mempunyai komitmen untuk melaksanakan Agenda Habitat dalam rangka mencapai kedua tujuan tersebut. Hal ini menurut Konferensi Habitat II, sangat tergantung pada kemitraan antara berbagai pemangku kepentingan, antar negara maupun di dalam negara masing-masing, baik antar pemerintah, LSM, swasta, organisasi masyarakat dan individu. Kemitraan dapat membantu penggalangan sumberdaya, berbagai pengetahuan, praktekpraktek terbaik dari berbagai kota serta kemungkinan untuk berbagi peran dan saling membantu dalam mengatasi berbagai persoalan. Ada 7 komitmen utama dalam Agenda Habitat. Dua komitmen pertama terkait langsung dengan tema atau tujuan Agenda Habitat yaitu: 1) hunian yang layak bagi semua (adequate shelter for all), 2) permukiman yang berkelanjutan (sustainable human settlements atau sekarang disebut sebagai sustainable urbanization). Sedangkan 5 komitmen lain terkait dengan pelaksanaan Agenda Habitat: 3) pemberdayaan dan peran serta, 4) kesetaraan gender, 5) pembiayaan hunian dan permukiman 6) kerjasama internasional dan 7) monitoring dan evaluasi pencapaian.
Melokalkan Agenda Habitat Dokumen Agenda Habitat terdiri atas lebih dari 100 komitmen dan 600 rekomendasi. Agenda Habitat cukup komprehensif The Habitat Agenda is tapi diakui oleh banyak pihak bahwa dokumen ini sangat sulit quite comprehensive, but dipahami dan juga tidak mudah dilaksanakan. Agenda Habitat merupakan dokumen yang ditulis dan disepakati oleh difficult to understand. Pemerintah 171 negara, bukan merupakan agenda yang disusun bersama dan disepakati oleh masyarakat. Di lain pihak, banyak aktor yang terlibat dalam pembangunan perkotaan seperti Pemda, pengembang, LSM, dan komunitas lokal belum mengetahui apa isi Agenda Habitat. Untuk itu, dirasakan perlu untuk melokalkan (membumikan ? ) Agenda Habitat sehingga menjadi dokumen yang dapat dipahami para pemangku kepentingan. Bahkan dianjurkan agar setiap kota dapat menyusun Agenda Habitat Lokal. Juga diperlukan suatu sistem untuk memantau pelaksanaan Agenda Habitat di tingkat lokal. Karena itu UN Economic and Social Comission for Asia (UN-ESCAP) menyusun suatu panduan untuk melokalisasi Agenda Habitat di wilayah Asia Pasifik (baca: Guidelines for Localizing the Habitat Agenda in the Asia Pacific, UN-ESCAP 2001). Maksud dari panduan tersebut adalah a) mendorong proses perdebatan dan diskusi partisipatif (dalam bentuk sebuah urban forum) tentang isu perkotaan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk mengkaji kondisi perkotaan (dengan hasil State of the City Report), dan b) mengkaji kemajuan pelaksanaan AgendaHabitat di tingkat kota dan c) mengembangkan rencana aksi (Agenda Habitat Lokal) untuk meningkatkan kualitas kota dan memonitor pelaksanaan rencana aksi secara berkala. Agenda Habitat memang perlu disesuaikan dengan kondisi di Indonesia sehingga menjadi dokumen yang relevan untuk semua aktor perkotaan, yang sesuai dengan kondisi lokal, baik sosial-budayaekonomi maupun lingkungan. Itulah yang antara lain menjadi komitmen setiap negara yang ikut 2
menandatangani Deklarasi Istanbul dan Agenda Habitat, termasuk Indonesia. Pemerintah tingkat pusat/nasional dapat menyusun kebijakan ekonomi makro dan berbagai peraturan perundangundangan yang mendukung implementasi Agenda Habitat, namun pelaksanaan sebenarnya terjadi di tingkat lokal oleh pemerintah daerah, masyarakat sipil, swasta dan berbagai kelompok masyarakat.
Sekretariat Nasional Habitat Indonesia Sekretariat Nasional Habitat Indonesia (Seknas Habitat) dibentuk tahun 2008 berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Negara Perumahan Rakyat tentang Pembentukan Sekretariat Nasional Habitat. Seknas Habitat Indonesia merupakan organisasi antardepartemen yang diketuai Direktur Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum dengan Wakil Ketua Sekretaris Kementerian Negara Perumahan Rakyat, dengan anggota dari Kementerian Negara Perrumahan Rakyat, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Departemen Dalam Negeri dan Departemen Pekerjaan Umum. Tugas utama Seknas Habitat Indonesia yang terdiri dari Tim Pengarah, Tim Pelaksana, Tim Pakar dan didukung Sekretariat Harian - adalah untuk mendukung implementasi Agenda Habitat di Indonesia. Meskipun terkesan berbaju pemerintah, Seknas Habitat juga didukung oleh Mitra Seknas Habitat yang terdiri atas para pemerhati dan praktisi perumahan dan permukiman – akademisi, peneliti, LSM, asosiasi profesi dll. Seknas Habitat diharapkan berfungsi sebagai common house dan knowledge center bidang perumahan dan permukiman yang dapat memberikan manfaat bagi pemangku kepentingan, sehingga ke depan pembangunan permukiman dapat lebih baik dan berkelanjutan. Sebagai knowledge center atau pusat pengetahuan dalam bidang perumahan dan permukiman yang tentunya tidak terlepas dari kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan, Seknas Habitat diharapkan dapat mengumpulkan, memilah, mendokumentasi dan mempublikasikan berbagai praktek terbaik maupun pelajaran (lessons learned) terkait bidang perumahan dan pembangunan perkotaan kepada pemangku kepentingan. Pengetahuan mengenai praktek terbaik masih relatlif sedikit. Kalaupun ada masih tersebar di antara beberapa pemangku kepentingan dan belum tentu dapat diakses pemangku kepentingan lainnya. Bahkan terjemahan Agenda Habitat ke dalam Bahasa Indonesia yang komunikatif belum ada, sehingga tidak heran bila masih banyak pemangku kepentingan yang belum pernah mendengar tentang Agenda Habitat ataupun memahami isinya. Sebagai rumah bersama diharapkan Seknas Habitat dapat dimanfaatkan berbagai pemangku kepentingan untuk saling berbagi pengalaman, pengetahuan dan memberikan masukan untuk pengembangan kebijakan yang mendukung pencapaian tujuan Agenda Habitat. Untuk mendukung fungsi tersebut Seknas Habitat akan meluncurkan situs (website), menerbitkan paket info mengenai Agenda Habitat , membuka perpustakaan, memfasilitasi seri diskusi tematik (dengan mengundang pembicara dari praktisi atau akademisi) dan seri kegiatan yang melibatkan pemangku kepentingan dalam penyusunan aksi bersama. Dalam prosesnya, diharapkan dapat terbentuk jejaring pemangku kepentingan yang dapat ikut mensosialisasikan Agenda Habitat. Arus lintas informasi dan hasil diskusi diharapkan dapat mendorong peningkatan pemahaman pemangku kepentingan, mengkonsolidasikan berbagai ide mengenai implementasi Agenda Habitat (termasuk masukan kebijakan) dan mendorong kemitraan di antara pemangku kepentingan. 3
Forum Perumahan dan Permukiman UN-Habitat menganjurkan terbentuknya forum perkotaan untuk mendukung implementasi Agenda Habitat, yaitu diskusi berkala yang memungkinkan terbentuknya suatu proses kerjasama dan kolaborasi antar berbagai kelompok pemangku kepentingan dan menjamin bahwa sudut pandang berbagai aktor dipertimbangkan dalam penyusunan dan pelaksanaan rencana kegiatan perkotaan. Konsultasi ini dapat terjadi di tingkat lokal, provinsi dan nasional dan meningkatkan informasi dan komunikasi antar anggota forum. Meskipun suatu forum dapat menghasilkan rencana aksi, namun pelaksanaannya tetap diserahkan pada pemangku kepentingan yang berwenang. Untuk tingkat dunia UN-Habitat bekerjasama dengan pemerintah kota tuan rumah menyelenggarakan World Urban Forum (setiap 2 tahun sekali sejak tahun 2002). Di tingkat Asia Pasifik pernah diselenggarakan Asia Pacific Urban Forum (APUF) di Bangkok tahun 1993 sebelum Konferensi tingkat Menteri tentang Urbanisasi di kawasan Asia Pasifik. Forum ini menghasilkan ‘Regional Action Plan on Urbanization’ yang kemudian dibahas dalam Konferensi Tingkat Menteri. Kemudian UN-ESCAP bekerjasama dengan Kongres CITYNET menyelenggarakan forum tingkat Asia Pasifik yang bertema ‘Making Milenium Development Goals Work for Cities’ di Hanoi, 14-15 Oktober 2005. Seknas Habitat juga memfasilitasi forum pemangku kepentingan diantaranya Sustainable Urban Development (SUD) Forum dan Bakoel Koffie. SUD Forum yang dimotori Ditjen Penataan Ruang dengan berbagai pemangku kepentingan adalah salah satu forum multli-stakeholder yang diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan mendorong pemikiran yang kritis mengenai pembangunan perkotaan berkelanjutan, dan bersama-sama pemangku kepentingan melalui berbagai kegiatan seperti diskusi, lokakarya dsb dapat menghasilkan suatu rencana aksi dan melakukan kajian kondisi perkotaan Indonesia (misalnya semacam ‘State of the World Cities Report’ untuk perkotaan Indonesia ). Sedang Bakoel Koffie, yang namanya diambil dari nama lokasi pertemuan di Jakarta, merupakan kelompok diskusi pemerhati perumahan dan permukiman yang sejak awal 2008 secara rutin berkumpul untuk membahas terobosan pemikiran dan pendekatan baru untuk mengatasi isu perumahan dan permukiman yang lebih berkelanjutan. Perlu waktu agar sebuah forum dapat memperoleh pengakuan pemangku kepentingan. Hal ini banyak tergantung pada fasilitator dan sekretariat bersama yang mampu menstimulasi diskusi, menjaring masukan, menjembatani perbedaan kepentingan, mengkomunikasikan hasil forum kepada pemangku kepentingan terkait, serta mengupayakan hasil forum menjadi masukan pengembangan kebijakan yang mendukung pembangunan perkotaan berkelanjutan.
Harapan dari Para Pemangku Kepentingan Gagasan pengembangan Seknas Habitat oleh Departemen Pekerjaan Umum dan Kementerian Negara Perumahan Rakyat disambut baik oleh kalangan masyarakat sipil, baik dari perguruan tinggi, LSM maupun media. Namun rupanya keberadaannya di lingkungan pemerintah, apalagi dasar hukum pendiriannya yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Negara Perumahan Rakyat dan hanya menekankan keanggotaan di lingkungan birokrasi mungkin dapat dirasakan sebagai ‘barrier of entry’ bagi kalangan masyarakat sipil. Hal ini ditambah 4
dengan masih kurangnya kegiatan yang melibatkan masyarakat sipil atau wakil-wakil komunitas perkotaan yang cukup banyak ragam, kepentingan dan perannya. Bila hendak menjadi pemberi masukan dalam pengembangan kebijakan dan program pemerintah, maka Sekretariat Nasional Habitat harus lebih mampu menampung berbagai pandangan masyarakat sipil dalam pengembangan ‘Kota untuk Semua’ (City for All) yang tanggap terhadap berbagai persoalan dan kebutuhan warganya. ‘Kota untuk Semua’ yang merupakan prasyarat terwujudnya kota yang berkelanjutan harus dapat dikembangkan secara kolektif oleh warganya dan kemudian kota tersebut akan mewadahi kegiatan pengembangan diri warganya, atau dengan ungkapan lain dapat dikatakan ‘warga membentuk kotanya, kemudian kota membentuk warganya’. Untuk dapat mengembangkan kemitraan yang saling menguntungkan, diperlukan saling percaya antar pihak yang bermitra, dan untuk membentuk saling percaya diperlukan pembentukan pemahaman bersama dan nilai bersama. Dengan adanya pemahaman dan nilai-nilai bersama , pihakpihak yang terlibat akan terdorong untuk menyelenggarakan kegiatan bersama (‘Renewing Governance: Governing by Learning in the Information Age’, Steven A. Rosell, 1999). Sebagai rumah bersama (common house), Sekretariat Nasional Habitat harus mampu membangun pemahaman, nilai-nilai dan kerangka aksi bersama dalam sebauh mekanisme kemitraan antar-pihak. Hal tersebut tentu tidaklah mudah dilakukan, karena perlu keberanian untuk membongkar dindingdinding penyekat antar-pihak dan antar-sektor yang seringkali sangat kokoh karena diperkuat oleh mental-block yang membentuk mind-set para pelakunya. Namun dengan niat awal bersama untuk mencari solusi dari berbagai permasalahan bersama bangsa, dan dengan didasari positive-thinking antar pihak, serta keberanian untuk meninggalkan ‘zona kenyamanan’ masing-masing, maka bukan tidak mungkin kita melakukan pembaharuan tata kelola kota kita.
Referensi Rossel, Steven A. (1999) Renewing Governance: Governing by Learning in the Information Age UN-ESCAP (2001), Guidelines for Localizing the Habitat Agenda in the Asia Pacific UN-Habitat (1996), The Habitat Agenda - Goals and Principles, Commitments and the Global Plan of Action
5
Foto-foto (bisa disisipkan di dalam artikel)
Jakarta – pembangunan kota yang pesat tapi menghasilkan banyak ketimpangan sosial-ekonomi
Kantor Seknas Habitat saat peresmian gedung tanggal 8 Feb 2009. 6
Kantor Seknas Habitat di Jalan Wijaya I /68
Diskusi SUD Forum
7
8