Secawan Cinta Pesan-Pesan Kearifan dari Lereng Muria
MUHAMMAD ZUHRI
Barzakh Foundation
SECAWAN CINTA Oleh: Muhammad Zuhri Copyright © 2013 by Muhammad Zuhri
Penerbit Barzakh Foundation www.pakmuh.com
[email protected]
Desain Sampul: Ozzy Esha
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Bersama Muhammad Zuhri Miranda Risang Ayu
T
ulisan ini mungkin bukan pengantar bagi sebuah buku. Pengantar biasanya mengulas tentang isi buku. Tetapi sepanjang pengetahuan saya, buku hanya sebuah pengejawantahan kecil dari kedirian penulisnya, Muhammm mad Zuhri, yang telah mengajar bukan hanya dengan kata-kata yang diucap atau dituliskan, tetapi dengan kehadm dirannya, baik disengaja maupun tidak. Jadi, izinkan saya menulis tentang yang mengejawantah itu, sedikit saja. Sejak pertemuan pertama saya dengannya di tahun 1988 di rumahnya yang sejuk oleh zikir nun di Desa Sekarjm jalak, Pati, Jawa Tengah, Muhammad Zuhri tidak pernah mau betul-betul disebut guru, tidak pernah mau mengikat apalagi membaiat, dan tidak pernah menyuruh apalagi memm maksa, setidaknya kepada saya. Dalam kerangka tradism si tasawuf yang kini dominan, saya mungkin tidak pernah resmi menjadi muridnya. Tetapi saya ternyata sudah mengim ikutinya sekian lama, baik sebagai pengikut yang kagum lagi patuh maupun sebagai pengikut yang marah dan berm rontak. Dalam koridor penerimaan dan kesabarannya, saya
belajar menjadi sesuatu yang sudah digariskan Allah sejak setiap manusia masih dalam kandungan: menjadi murid kehm hidupan. Selama tahunan saya duduk di ruang riset saya yang sunyi di Australia pun, saya masih selalu ingat tawanm nya yang khas saban berkata, “ … Nanti kita akan menemm mukan, di mana-mana sebetulnya sama saja. Wajah Tuhan ada di mana-mana. Mau lari ke mana …?” Sudah tak terhitung tulisan saya yang menyitir kebijakam an-kebijakan Muhammad Zuhri. Tetapi hingga kini, sambm bil menulis berbagai kolom, puisi, atau bahkan penelitian ilmiah, dengan agak cemas saya masih sering berharap, semm moga dia tidak membaca tulisan-tulisan saya. Bagaimana jika ternyata ia kecewa? Atau murid-muridnya yang juga paham dalam diam, mengangkat alis bersama senyum geli para malaikat? Tetapi biarlah. Saya terpaksa mengakui bahwa pulm luhan kolom yang telah saya tulis selama bertahun-tahun di berbagai media, selama itu bersinggungan dengan cara menghikmati hidup, adalah celupan warna pemikirannya. Mungkin seindah batik, mungkin juga seburuk kain luntur, pokoknya celupannya. Terakhir, ujian akhir lisan tingkat doktoral yang baru saya lalui di Law Faculty, Universitm ty of Technology Sydney, Australia atas beasiswa AusAID, walaupun seperti tidak ada hubungannya dengan tasawuf sama sekali, menuai pujian dari penguji. Dan karena jiwa dari disertasi itu sesungguhnya adalah semangat untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam seperti yang selalu dicm contohkan oleh Muhammad Zuhri, saya kualat jika tidak meneruskan pujian itu kepadanya, dan kepada Allah Yang Menciptakannya, tentu saja. | Secawan Cinta
Mulanya, saya pernah berusaha memberontak. Saya bandingkan pemikirannya dengan pemikiran dan ajaran orang-orang saleh lain yang dengan mudah dapat ditemukm kan di buku-buku. Jika objektivitas absolut tidak mungkin ada, paling tidak, jarak memungkinkan saya tidak terlalu tertarik ke dalam subjektivitasnya. Saya ingin menegasinya. Saya tidak ingin hilang dalam konsep-konsepnya. Saya bahkm kan pernah berkata di hadapan Tuhan bahwa demi Tuhan saya ingin memberontak darinya dengan sekuat-kuat pembm berontakan, karena secara filosofis, itulah tanda seorang manusia bereksistensi, dan itu jugalah yang saya lakukan ketika saya keluar dari agama lama saya yang menuhankan Nabi Isa, ke dalam Islam. Ketika itu saya yakin, saya menm negasi ketuhanan Nabi Isa justru karena saya mencintai Isa dengan benar; Nabi Isa tentu ingin setiap pengikutnya menm nuhankan Allah Yang Maha Esa dan bukan mengultuskannm nya. Dan jika kemudian dengan sadar saya memilih untuk memberontak dari Muhammad Zuhri, itu pun saya lakukm kan karena saya tiba-tiba sudah menemukan diri hampir mengultuskannya. Tetapi tahukah Anda, bahwa keinginan untuk membm berontak darinya yang sedemikian kuat itu justru ada karm rena begitu kuatnya sifat Nabi Isa yang hangat, pengasih, penyayang dan pemaaf, saya temukan dalam dirinya? Sifm fat itu bahkan lebih nyata saya temukan ketika ber-Islam bersama Muhammad Zuhri daripada ketika saya mengim ikuti agama saya semula, yang jelas-jelas menuhankan Isa, sampai saya panik sendiri. Jadi, yang saya berontaki itu sesm sungguhnya adalah kelemahan saya yang sulit menerima kenyataan, sulit berdamai dengan diri sendiri, butuh tetapm pi sombong, lemah tetapi merasa kuat, dan gelisah. Saya
Bersama Muhammad Zuhri |
mengikatkan diri kuat-kuat pada ajaran-ajarannya dengan cara saya sendiri, lantas sesak sendiri. Dia sesungguhnya diam saja di situ, asyik menghikmati semesta yang selalu sibuk mewartakan kebenaran yang telah dibawakan oleh sang insan kamil, Rasulullah Muhammad. Jin dan malaikm kat pun sungguh layak untuk tertawa. Saya datang kepadanya dan membaca tulisan-tulisannm nya selama belasan tahun dengan niat yang sesungguhnya masih sama, yakni untuk menemukan Islam yang sudah saya pilih, bukan sebagai diskursus rasional yang memilm lah-milah, membanding-bandingkan, menilai, angkuh dan repot oleh kontekstualisasi yang tak henti-henti, tetapi sebm bagai penemuan batin yang menyatukan, mendamaikan, menyirami, mengembangkan, yang langgeng lagi bening. Ada dua kalimat Muhammad Zuhri yang hingga kini masm sih terus bergaung dalam kesadaran saya. Pertama, ia pernm nah berkata bahwa puncak cinta adalah pemberontakan, dan kedua, ia juga pernah berkata bahwa keikhlasan adalm lah tidak berontak. Saya ingin menemukan kedua kalimat yang bertentangan itu bersama-sama menjadi diri saya, dalm lam cinta yang matang kepada Allah dan Rasul-Nya. Untm tuk itu, dia selalu ada untuk berdialog. Jika kini ia menulis buku lagi, yang tentu saja, untuk dibaca, mungkin saja, buku ini juga akan bisa menjadi refm ferensi penting pembaca dan saya, tidak hanya untuk mempm perluas pengetahuan tentang spiritualitas, tetapi juga untuk belajar membaca yang sesungguhnya harus dibaca, yakni tanda-tanda-Nya yang bertebaran di mana-mana: di dalam Al-Quran, di ufuk-ufuk cakrawala, hingga di dalam diri tiap persona pembaca sendiri. Dalam tulisan-tulisan Muhm | Secawan Cinta
hammad Zuhri, pelajaran itu ada. Dialog untuk menemukm kan itu pun terbuka. Selamat membaca. Semoga menemukan.
Juli 2007 Miranda Risang Ayu
Bersama Muhammad Zuhri |
Sekapur Sirih Nadjib Kartapati Z.
Y
ayasan Barzakh adalah tempat di mana Kang Muh—sapaan akrab Muhammad Zuhri (Desember 1939-Oktober 2011)—melalukan aktivitasnya membimbing studi tasawuf, atau mengajarkan pemikiran sufismenya kepm pada murid-muridnya. Mendengar kata “sufi”, orang sering membayangkan bagaimana sesosok figur itu menyendiri, memisah dari lingkungannya untuk secara intens menggm gali potensi spiritual/kerohaniannya guna menemukan Tuhm han. Kalau itu yang terjadi, maka kita akan salah besar di dalam melihat Kang Muh. Ajaran Kang Muh yang paling esensial justru adalah mencapai ridha Allah dengan menjadm di orang yang bermanfaat bagi sesama dan semata-mata lilll lahi ta‘ala. Dan itu hanya bisa dicapai dengan berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Kita bisa melihat, dalam periodm de panjang akhir hayatnya, Kang Muh tanpa lelah menerimm ma tamu-tamunya yang datang dari segala penjuru dengan beragam kepentingan, di luar waktunya berceramah di bebm berapa tempat yang rutin dan berkala itu. 10
Suatu hari, dalam omong-omong dengan saya di rumm mahnya, di Desa Sekajalak, Margoyoso, Pati (Jateng), dari uraian Kang Muh tentang status kita sebagai hamba Allah dan fungsi kita sebagai wakil-Nya di muka bumi, bergulm lir sebuah kalimat, “Salah satu tanda bahwa seseorang itu disayang Allah adalah dia disayang oleh banyak orang.” Logikanya, seseorang tidak mungkin akan disayang oleh banyak orang kalau dia tidak pernah berbuat sesuatu kebm baikan kepada orang lain. Sekurang-kurangnya, ucapan Kang Muh di atas mengisyaratkan atau bahkan mewajibkm kan kita (yang telah berhasil memiliki ‘diri personal’ berkm kat perhubungan kita dengan sesama) sanggup menemukan ‘diri sosial’ dengan memerankan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat. Sebagai adik kandung (Kang Muh sulung dan saya bungsu), saya tidak pernah melewatkan kesempatan berdm diskusi, atau lebih tepatnya menimba ilmu dan hikmah darinya, setiap kali saya bertandang ke rumahnya. Tidak jarang saya secara spontan membantah pendapatnya yang sering mengejutkan saya. Bantahan saya bukan karena saya menolak pendapatnya yang unik dan orisinal itu, tetapi lebm bih pada upaya untuk mendapatkan argumentasinya lebih jauh dan detail. Mengenali Kang Muh lebih intens membuam at saya enggan bertanya soal hukum-hukum fiqih, karena kemudian saya tahu bahwa Kang Muh lebih berada pada wilayah hikmah dan kebijaksanaan yang mendorong terwujm judnya kebaikan atas kehidupan manusia di alam semesta ini. Bahkan pandangannya tentang Tuhan pun menyiratkm kan harapan akan perbuatan seseorang untuk berperilaku positif.
Sekapur Sirih | 11
“Sifat Tuhan kamu adalah cerminan dari cara hidup kamu di dunia ini,” kata Kang Muh suatu ketika. “Kalau ada orang yang pelitnya na‘udzubillah terhadap orang lain, bagaimana dia bisa bilang kalau Tuhannya bersifat Pemurm rah dan Maha Pemberi? Kalau kamu berwatak bengis dan gemar njotos istri dan anakmu, jangan pernah berkata bahwm wa Tuhan kamu itu Maha Pengasih dan Penyayang! Tuhan yang kamu sembah itu pasti sebengis diri kamu.” Betapa ungkapan Kang Muh di atas itu terasa kuat sekm kali mengandung seruan agar kita mengimplementasikan sifm fat-sifat Tuhan dalam berhubungan dengan sesama. Pertanyaannya kemudian, apakah semasa hidupnya Kang Muh sudah memberikan manfaat kepada sesamanya? Barangkali pihak yang paling relevan menjawab adalah murid-muridnya, terutama yang tergabung dalam Yayasan Barzakh. Seberapa besar manfaat yang diberikan oleh Kang Muh kepada murid-muridnya, hanya merekalah yang bisa mengukurnya. Dan justru dalam rangka memperpanjang manfaat itulah maka Yayasan Barzakh berinisiatif untuk menerbitkan kembali karya-karya Kang Muh ini. Waktu sudah habis bagi Kang Muh untuk melaksanakan fungsi kekhalifahannya, namun almarhum masih akan terus berhm hak menikmati “royalti” pahala dari karyanya, sejauh ilmu yang pernah diberikan semasa hidupnya itu terus bermanfm faat, sekurang-kurangnya memberikan inspirasi positif. Sampai pada saat tulisan ini dibuat, buku Kang Muh yang sudah terbit dan beredar sebanyak empat judul. Pertm tama Qasidah Cinta, diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Salmm man tahun 1993. Dalam buku ini Kang Muh menuangkan pemikiran tasawufnya dengan menggunakan puisi sebagai wahana. Lalu disusul kemudian dengan buku kedua berjm 12 | Secawan Cinta