setiap Puskesmas meliputi pelayanan untuk berbagai jenjang usia, mulai dari anak-anak hingga lansia. Berdasarkan data Sistem Informasi Kesehatan Mental (SIKM), yaitu sebuah sistem informasi hasil kerjasama antara CPMH (Center for Public Mental Health) Fakultas Psikologi UGM dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, pada tahun 2011-2013 diketahui bahwa jumlah pasien anak (usia 1-19 tahun) yang berkunjung ke Puskesmas mencapai 1902 orang. Pasien anak yang dibawa ke Puskesmas memiliki diagnosis yang bervariasi yaitu ada 46,37% pasien anak yang mengalami gangguan perilaku dan emosi, 28,81% mengalami gangguan perkembangan psikologis, 16,5% mengalami gangguan neurotik, somatoform dan gangguan terkait stres, 3,78% mengalami retardasi mental, 3,68% mengalami sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, 0,52% mengalami episode depresif sedang, dan 0,31% mengalami perubahan kepribadian yang berlangsung lama. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa kebanyakan pasien anak dan remaja yang dibawa ke Puskesmas mengalami gangguan perilaku dan emosi. Gangguan perilaku dan emosi yang dialami anak juga bervariasi, dimana jumlah kasus hiperkinetik menempati posisi terbesar dalam golongan ini (18,66%) (CPMH, 2013). Hyperkinetic Disorder (ICD-10) (World Health Organization [WHO], 1993),
atau
yang
lebih
dikenal
dengan
Attention-Deficit/Hyperactivity
Disorder/ADHD (DSM-IV TR) (American Psychiatric Association [APA], 2000) pertama kali dikemukakan oleh George Still pada tahun 1901 (Fitzgerald, Bellgrove, & Gill, 2007). Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
2
Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III), gangguan ini disebut sebagai gangguan hiperkinetik. Gangguan hiperkinetik merupakan gangguan yang meliputi suatu kombinasi antara perilaku yang terlalu aktif, dan perilaku yang kurang bermodulasi dengan ditandai sangat kurangnya perhatian serta ketekunannya dalam melakukan suatu tugas, dimana ciri perilaku ini mewarnai berbagai situasi dan berlanjut secara lama. Ciri utama gangguan ini adalah kurang tekun pada suatu kegiatan yang menuntut keterlibatan kognitif dan cenderung untuk berpindah dari satu kegiatan ke kegiatan lain tanpa menyelesaikan satu tugaspun, ditambah pula dengan aktivitas yang mengacau, tidak beraturan dan berlebihan. Anak dengan hiperkinetik seringkali nekad dan impulsif, mudah mengalami kecelakaan dan sering terlibat dalam tindakan indisipliner karena tidak disengaja melanggar peraturan dan tata tertib (dan bukan karena mereka bersikap menentang). Biasanya sering terjadi hendaya kognitif, dan sering terjadi kelambanan
dalam
perkembangan
motorik
dan
dalam
kepandaian
bercakap/berbahasa (Departemen Kesehatan R. I, 1993). Gangguan hiperkinetik atau ADHD empat kali lebih mungkin terjadi pada laki-laki dari pada perempuan pada populasi umum, dan enam sampai sembilan kali lebih mungkin terjadi pada laki-laki pada sampel klinik (Gordon & Schroeder, 2002). Prevalensi ADHD di Indonesia tidak diketahui secara jelas, namun berdasarkan hasil penelitian Saputro (2004) di DKI Jakarta diketahui prevalensi ADHD pada anak Sekolah Dasar (SD) mencapai 26,2 %.
3
Berdasarkan PPDGJ III, gangguan hiperkinetik selalu timbul pada masa perkembangan dini, biasanya pada umur 5 tahun pertama (Departemen Kesehatan R. I, 1993). Menurut DSM IV, onset ADHD adalah sebelum usia 7 tahun dan 5080% anak dengan diagnosis ADHD juga didiagnosis memiliki gangguan lain (Gordon & Schroeder, 2002). Komorbiditas paling sering terjadi antara ADHD dengan dua gangguan lain dalam DSM IV yaitu Oppositional Defiant Disorder (ODD) dan Conduct Disorder (CD) yang terjadi rata-rata 40-90% dari kasus ADHD. Studi lain juga menemukan bahwa lebih dari 30% anak dengan ADHD memiliki gangguan mood, dimana gangguan depresi mayor dan distimia paling sering muncul (Gordon & Schroeder, 2002). ADHD juga sering komorbid dengan Learning Disorder (LD) (Silver, 2004; Beauchaine & Hinshaw, 2008), dan anak dengan ADHD lebih besar kemungkinannya untuk mengalami LD yang spesifik (Holowenko, 1999). Sekitar 20-40% anak dengan ADHD mengalami LD yang spesifik, seperti membaca atau matematika (Holowenko, 1999), serta menulis (Miranda, Soriano, Fernandez, & Melia, 2008). Secara umum, 70 % anak dengan ADHD juga hadir dengan beberapa tipe LD sekaligus yaitu membaca, menulis dan berhitung (Miranda dkk., 2008).
Hal ini menyebabkan prestasi akademik cenderung terpengaruh. Hal
tersebut bisa jadi merupakan akibat masalah perhatian dan impulsivitas yang khas pada ADHD, atau mungkin disebabkan oleh hendaya otak yang mungkin bertanggungjawab atas timbulnya gangguan ini (Holowenko, 1999). Anak ADHD juga cenderung tidak populer dan ditolak oleh teman sebayanya. Masalah-masalah
4
dengan teman sebaya ditambah umpan balik negatif yang sering dilontarkan oleh orangtua dan guru seringkali membuat anak-anak ini memiliki self esteem yang rendah (Durand & Barlow, 2007). Gangguan ADHD atau hiperkinetik sering muncul bersama gangguan lain dan masalah akademik serta hambatan dalam hubungan sosial, sehingga para ahli menjadi lebih sulit dalam menentukan diagnosis (Holowenko, 1999; Silver, 2004). Kesulitan dalam menegakkan diagnosis gangguan hiperkinetik juga dialami oleh psikolog Puskesmas Kabupaten Sleman. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Siregar (2013), sebelum menegakkan diagnosis, psikolog Puskesmas Kabupaten Sleman mengalami beberapa kesulitan dalam proses asesmen. Kesulitan tersebut yaitu (1) beberapa orangtua dan guru kurang kooperatif dan terlalu sibuk sehingga tidak dapat menjalani asesmen dalam waktu yang lama, (2) wawancara dan observasi anak tidak dapat dilakukan sepenuhnya karena kurangnya alat permainan, dan ruangan yang tidak memadai, (3) waktu pelayanan di Puskesmas sangat terbatas yaitu rata-rata 4 jam per hari, dimana hanya ada satu orang psikolog klinis pada masing-masing Puskesmas. Hal ini menyebabkan pasien yang datang ke Puskesmas harus menunggu lama karena bergantian dengan pasien lain untuk mendapatkan pelayanan psikologi (Siregar, 2013). Antony dan Barlow (2002) mengatakan bahwa pelayanan kesehatan primer membutuhkan alat skrining yang singkat untuk memudahkan dalam melakukan asesmen masalah psikiatri, meskipun hal ini mendapat banyak kritikan. Menurut mereka, data yang dikumpulkan melalui alat skrining tersebut dapat membantu dalam diagnosis yang lebih akurat di seting pelayanan kesehatan
5
primer. Bahkan alat skrining ini dapat digunakan oleh tenaga kesehatan lain yang tidak memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai kesehatan mental. Tenaga kesehatan ini (seperti, perawat, bidan, dokter umum) dapat menjadi gate keepers untuk menjaring pasien yang memiliki masalah psikologis di pelayanan kesehatan primer. Instrumen yang paling sering digunakan di Eropa dan Amerika untuk mengukur gejala psikopatologis pada anak-anak dan remaja adalah kuesioner Rutter dan Achenbach. Kuesioner Rutter adalah skala penilaian singkat untuk diisi oleh orang tua dan guru yang telah terbukti menjadi indeks reliabel dan valid dalam banyak konteks psikopatologi anak. Kuesioner Rutter dikembangkan lebih dari tiga dekade lalu, sehingga dinilai agak usang dimana tidak cukup untuk menutupi banyak daerah kontemporer seperti konsentrasi, impulsif, victimization, dan perilaku prososial. Kuesioner Achenbach dinilai lebih baik karena kuesioner diselesaikan oleh orang tua (Child Behavior Checklist/CBCL), guru (Teacher Report Form/TRF) dan anak (Youth Self Report/YSR). Kuesioner Achenbach tampaknya sangat relevan ketika digunakan untuk menilai anak-anak dan remaja dalam penggunaan klinis, namun kurang berguna ketika digunakan untuk tujuan skrining atau penelitian karena kuesioner tersebut cukup panjang dan mengandung banyak aitem yang tidak relevan dengan mayoritas dari anak-anak (Muris, Meesters, & van den Berg, 2003). Goodman merevisi kuesioner Rutter dengan memperbarui isinya dan menambahkan aitem tentang kekuatan anak, proses yang pada akhirnya mengarah pada pengembangan Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ). SDQ adalah
6
kuesioner singkat yang terdiri dari 25 aitem yang meliputi 5 subskala yaitu masalah emosional, masalah perilaku, hiperaktif-inatensi, dan masalah dengan teman sebaya serta perilaku prososial. Skoring SDQ dapat dilakukan dengan melihat skor pada masing-masing subskala atau melihat skor total kesulitan yang merupakan penjumlahan skor pada 4 subskala (masalah emosional, masalah perilaku, hiperaktif-inatensi, dan masalah dengan teman sebaya) serta skor kekuatan dengan melihat skor subskala prososial. SDQ dapat diisi oleh orang tua (SDQ Parent Report), guru (SDQ Teacher Report), dan anak itu sendiri (SDQ Self Report) (Goodman, 1994; Goodman, Meltzer, & Bailey, 1998). SDQ telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 60 bahasa, termasuk Bahasa Indonesia dan bebas digunakan untuk non-komersial. Hal ini dapat di download dari SDQ homepage
dengan petunjuk skoring, data normatif dari beberapa
negara, dan algoritma yang menggabungkan gejala dan dampaknya dari guru, orangtua dan laporan diri untuk memprediksi kemungkinan berisiko mengalami gangguan kesehatan mental umum (http://www.sdqinfo.org/). Penelitian mengenai SDQ pertama kali dilakukan di Inggris oleh Goodman (1997) yang menunjukkan hasil bahwa SDQ Parent Report (SDQ-PR) dan SDQ Teacher Report (SDQ-TR) memiliki fungsi yang sama baiknya dengan kuesioner Rutter. SDQ Self Report (SDQ-SR) juga berkorelasi secara baik dengan SDQ-PR dan SDQ-TR (Goodman dkk., 1998). Struktur prediksi 5 faktor SDQ (emotional, conduct, hyperactivity-inattention, peer problem and prosocial) juga dapat dikonfirmasi. Realibilitas secara umum memuaskan, apakah dengan
7
konsistensi internal (Alpha Cronbach = 0,73), korelasi cross informant (0,34), maupun stabilitas test retest setelah 4-6 bulan (0,62) (Goodman, 2001). SDQ-PR dan SDQ-TR Inggris secara substansial memiliki korelasi yang signifikan dengan diagnosis klinis yang independen (Goodman, Renfrew, & Mullick, 2000), dimana SDQ-TR lebih baik dari pada SDQ-PR dan SDQ-SR dalam memprediksi gangguan hiperkinetik (Goodman, Ford, Simmons, Gatward , & Meltzer, 2003). SDQ-TR Inggris memiliki sensisitivitas 72,4 % untuk prediksi gangguan hiperkinetik pada anak usia 5-10 tahun (Goodman, Ford, Corbin, & Meltzer, 2004). SDQ-PR Inggris juga telah terbukti secara signifikan lebih baik daripada CBCL dalam mendeteksi inatensi dan hiperaktivitas (Goodman & Scott, 1999). Penelitian mengenai SDQ-TR, SDQ-PR dan SDQ-SR telah dilakukan diberbagai negara. SDQ-PR Swedia memiliki konsistensi internal yang memuaskan pada semua subskalanya (α = 0,67-0,87) kecuali subskala masalah tingkahlaku (α = 0,52). Optimum cut-off dari subskala hiperaktif-inatensi menurut analisis ROC adalah ≥ 4 dengan sensitivitas 75% dan spesivisitas 75,3% (Malmberg, Rydell, & Smedje, 2003). Berdasarkan hasil analisis ROC, SDQ-TR dan SDQ-PR Norwegia subskala hiperaktivitas-inatensi juga menunjukkan nilai optimum cut-off ≥ 4 dengan nilai sensitivitas 95% dan spesivisitas 82% untuk SDQ-TR, nilai sensitivitas 88% dan spesivisitas 76% untuk SDQ-PR (Ullebo, Posseud, Heiervang, Gillberg, & Obel, 2011). Nilai cut-off ≥ 4 adalah lebih rendah dari pada nilai cut-off SDQ-TR dan SDQ-PR Inggris untuk subskala hiperaktivitas-inatensi.
8
Penelitian SDQ Jerman menunjukkan bahwa semua subskalanya memiliki realibilitas yang memuaskan (nilai α = 0,72-0,81 untuk SDQ-PR, α =0,75-0,83 untuk SDQ-TR). Cut-off untuk 5 subskala SDQ versi Jerman lebih rendah dari pada versi Inggris, khususnya subskala hiperaktivitas/inatensi. Semua subskala SDQ berkorelasi secara signifikan dengan CBCL (α Cronbach = 0,72-0,83) dan dengan TRF (α Cronbach = (0,75-0,83). SDQ subskala hiperaktivitas-inatensi memiliki prediksi yang lebih akurat untuk ADHD (AUC = 0,766 untuk SDQ-PR dan AUC = 0,792 untuk SDQ-TR) dari pada CBCL (AUC = 0,703) dan TRF (AUC = 0,722). Baik dengan menggunakan skor total atau subskala masalah khusus, SDQ-PR, SDQ-TR dan SDQ-SR efektif dalam memprediksi masingmasing kategori klinis seperti pada CBCL, TRF dan YSR (Woerner, Becker, & Rothenberger,
2004;
Becker,
Woerner,
Hasselhorn,
Banaschewski,
&
Rothenberger, 2004). Penelitian SDQ-PR dan SDQ-SR Belanda menunjukkan bahwa struktur 5 faktor SDQ dapat dikonfirmasi. Konsistensi internal untuk berbagai subskala SDQ umumnya memuaskan, rata-rata Alpha adalah 0,7 untuk SDQ-PR dan 0,64 untuk SDQ-SR. Stabilitas test retest dengan koefisien korelasi interkelas berada dalam kisaran 0,7 atau lebih tinggi. Korelasi substansi ditemukan antara skor total kesulitan SDQ dan skor total CBCL (r = 0,7) (Muris dkk., 2003). Konsistensi internal SDQ-TR dinilai lebih baik yaitu rata-rata α untuk semua subskala adalah 0,8 (van Widenfelt, Goedhart, Treffers, & Goodman, 2003). Hipotesis pola korelasi antara SDQ-PR atau SDQ-TR dengan CBCL/TRF dapat diterima (Mieloo dkk., 2012).
9
Penelitian di Australia menunjukkan bahwa realibilitas internal SDQ-PR untuk semua subskalanya adalah sedang sampai dengan tinggi (α = 0,59 - 0,8) (Hawes & Daads, 2004). SDQ-PR Jepang memiliki realibilitas yang baik untuk semua subskalanya (α = 0,52-0,77) dan cut-off dari subskala hiperaktivitasinatensi SDQ-PR adalah sama dengan SDQ-PR Inggris (Matsuishi dkk., 2008). SDQ-PR Perancis memiliki konsistensi internal yang baik (α = 0,54-0,74) dan cut-off yang sama dengan SDQ-PR Inggris dan Amerika pada hampir dari semua subskala, kecuali subskala prososial dimana cut-off nya lebih rendah daripada Inggris dan Amerika (Shojaei, Wazana, Pitrou, & Kovess, 2009). SDQ Cina memiliki konsistensi internal dengan α = 0,45-0,81 untuk SDQ-PR dan α = 0,550,84 untuk SDQ-TR. Nilai cut-off subskala kesulitan adalah 17 untuk SDQ-PR dan 15 untuk SDQ-TR (Lai dkk., 2010). SDQ Spanyol memiliki nilai konsistensi internal α = 0,64-0,83 untuk SDQ-TR dan α = 0,58-0,77 untuk SDQ-PR (Rodriguez-Hernandez dkk., 2012). SDQ-PR Denmark memiliki nilai konsistensi internal yang baik untuk total kesulitan dan subskala hiperaktivitas yaitu α ≥ 0,7 (Niclasen dkk., 2012). Selain memiliki properti psikometri yang baik dan memiliki korelasi yang signifikan dengan diagnosis klinis yang independen, SDQ-PR dapat dengan baik mendeteksi komorbiditas ODD pada anak dengan gangguan hiperkinetik atau ADHD (Aebi dkk., 2010), dimana kehadiran gangguan lain yang menyertai dapat memprediksi tingkat keparahannya (Miranda dkk., 2008) dan merefleksikan karakteristik perilaku, emosi dan sosial anak dengan gangguan tersebut (Iizuka dkk., 2010).
10
Penelitian yang telah dilakukan di berbagai negara menunjukkan hasil yang konsisten bahwa SDQ memiliki properti psikometri yang baik dan sensitif untuk skrining gangguan hiperkinetik atau ADHD dan komorbiditasnya, meskipun terjadi perbedaan skor cut-off pada beberapa negara. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya pengaruh budaya (Becker dkk., 2006), atau perbedaan instrumen yang digunakan sebagai gold standard dalam mendiagnosis psikopatologi (Shojaei dkk., 2009). SDQ-TR, SDQ-PR dan SDQ-SR telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tjhin Wiguna dan Yohana Hestyanti dan telah digunakan baik untuk keperluan penelitian maupun untuk keperluan klinis. Sejauh apa yang diketahui peneliti, belum diketahui secara jelas mengenai penggunaannya sebagai instrumen skrining gangguan hiperkinetik. Panduan skoring SDQ Indonesia yang tersedia di www.sdq.info.org juga masih menggunakan norma Inggris. Padahal studi literatur menunjukkan bahwa nilai cut-off untuk masing-masing negara berbeda-beda karena kemungkinan dipengaruhi oleh budaya. Terkait hal tersebut dan untuk menjawab kebutuhan yang ada di Puskesmas mengenai alat skrining, penelitian ini secara umum bertujuan untuk melakukan adaptasi dan memvalidasi SDQ-TR Indonesia sebagai instrumen skrining gangguan hiperkinetik. Secara khusus, selain melakukan adaptasi, penelitian ini bertujuan melakukan pengujian kualitas skrining dan menemukan nilai cut-off SDQ-TR Indonesia dalam skrining gangguan hiperkinetik pada anak. Pengujian terhadap kualitas skrining memerlukan adanya standar baku emas diagnosis (gold standard diagnosis) (Dahlan, 2001). Aboraya, France,
11
Young, Curci, dan Lepage (2005) mendefinisikan gold standard diagnosis sebagai standar yang memanfaatkan seluruh validitas kriteria yang tersedia. Banyak sekali tes khusus yang ditawarkan untuk melakukan diagnosis ADHD, namun tidak ada tes psikologi atau battery test yang dapat dijadikan gold standard (Brock, Jimerson, & Hansen, 2009), dan tidak ada tes yang formal yang dapat digunakan untuk mendiagnosis anak dengan ADHD (Silver, 2004), serta tidak ada tes fisik, laboratorium ataupun neurologi yang berhubungan dengan gangguan ini. Meskipun demikian, Aboraya dkk. (2005) mengatakan bahwa penggunaan wawancara terstruktur dipandang dapat meningkatkan keakuratan diagnosis dibandingkan dengan hanya menggunakan keterampilan klinis saja. Peneliti menggunakan wawancara dan observasi terstruktur berdasarkan PPDGJ III yang dilakukan oleh psikolog Puskesmas sebagai gold standard untuk diagnosis gangguan hiperkinetik dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberi manfaat secara teoritis
dalam
memperkaya
khasanah
ilmu
psikologi,
terutama
dalam
pengembangan instrumen skrining masalah perilaku dan emosi untuk anak dan remaja. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan secara luas dalam kegiatan deteksi dini gangguan hiperkinetik pada anak dan remaja di sekolah, Puskesmas, Rumah Sakit maupun klinik kesehatan lainnya. Penggunaan SDQ-TR juga diharapkan dapat memberikan manfaat dalam praktik psikologi yaitu dapat membantu psikolog klinis dalam mempermudah melakukan asesmen gangguan hiperkinetik pada anak dan dalam mengevaluasi efek dari tritmen yang telah diberikan.
12