Versi 28 April 2017
DRAFT MAIN MESSAGES VNR TPB/SDGs TAHUN 2017 Tema HLPF SDGs tahun 2017 adalah “Eradicating poverty and promoting prosperity in a changing world” (“Menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan di dalam dunia yang berubah”). Indonesia telah melakukan banyak upaya di bidang penanggulangan kemiskinan dalam 10 tahun terakhir, sehingga berhasil menurunkan kemiskinan dari 17,75 persen (2006) menjadi 10,7 persen (2016). Bukan hanya dari sisi jumlah, tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan juga mengalami penurunan. Meskipun telah menurun drastis, secara absolut jumlah kemiskinan Indonesia masih cukup besar, mencapai 22,76 juta penduduk. Sejalan dengan tema tersebut, tantangan besar yang dihadapi Indonesia saat ini yaitu bagaimana menurunkan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan bagi penduduk. Dengan memperhatikan ketujuh tujuan yang dilaporkan dalam VNR 2017 yang terkait dengan tema HLPF kali ini, maka Indonesia merumuskan keterkaitan (interconnectedness) antara Tujuan dengan Tema tersebut yang digambarkan sebagai berikut: Indonesia mendasarkan pembahasan antara tema dan tujuan dalam SDGs untuk pencapaian penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan yang merupakan goal 1 SDGs dengan berfokus pada dua aspek utama, yaitu (1) Peningkatan pembangunan manusia dan (2) Peningkatan peluang ekonomi untuk penghidupan berkelanjutan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia memfokuskan pada pencapaian di bidang Kesehatan (goal 3), Ketahanan Pangan dan Pertanian berkelanjutan (goal 2), serta Pendidikan (goal 4), meskipun isu pendidikan bukan menjadi fokus Gambar 1. Keterkaitan antara Tujuan dalam utama pembahasan VNR 2017 yang menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan disepakati di tingkat global, namun isu tersebut penting dalam upaya kesejahteraan penanggulangan kemiskinan. Lebih lanjut, peningkatan peluang ekonomi untuk penghidupan berkelanjutan dicapai dengan upaya peningkatan di bidang industri, inovasi dan infrastruktur (goal 9) serta perlindungan dan pemanfaatan ekosistem kelautan secara berkelanjutan (goal 14). Kedua aspek utama dengan fokus bidang-bidang tersebut akan dapat dicapai apabila faktor penguat juga diperhatikan dan dilaksanakan. Faktor penguat (enabling environment) tersebut adalah gender (goal 5), kemitraan di berbagai bidang, data, serta pembiayaan (goal 17). Pesan Utama yang disampaikan oleh Indonesia pada VNR 2017 ini tentang: 1) kepemilikan nasional dengan proses partispasi dan inklusivitas, 2) kerangka sistematis pelaksanaan SDGs di Indonesia, 3) capaian pembangunan Indonesia sesuai tema HLPF dari ketujuh bidang yang saling terkait (interconnected), 4) faktor penguat pelaksanaan SDGs, 5) serta langkah selanjutnya (next steps).
1
Versi 28 April 2017
1. Menciptakan Kepemilikan Nasional (National Ownership) dengan Proses Partisipasi dan Inklusivitas Hal penting yang disampaikan oleh Indonesia dalam pelaksanaan SDGs adalah tentang upaya Indonesia menciptakan national ownership melalui proses partisipasi dan inklusivitas baik dalam perencanaan dan pelaksanaan SDGs, maupun dalam penyusunan VNR tahun 2017. Salah satu kekuatan Indonesia dalam pelaksanaan SDGs adalah keterlibatan semua pihak dari sejak proses perencanaan hingga pelaksanaan dan nantinya dalam pemantauan serta evaluasinya. Keterlibatan semua pihak ini terjalin dalam bentuk kemitraan jauh sebelum komitmen SDGs dilakukan di tingkat global, yaitu sejak disusunnya agenda paska 2015 dengan ditunjuknya Indonesia oleh Sekretaris Jenderal PBB sebagai saah satu co-chair di High Level Panel of Eminent Persons for the Post 2015 Development Agenda (2012 – 2013). Indonesia juga menjadi anggota dalam Open Working Group on Sustainable Development Goals (20132014) pada tahun 2015, serta berperan aktif dalam setiap negosiasi perumusan Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030. Indonesia juga memiliki Special Envoy of the President for High-Level Panel of Eminent Persons for the Post-2015 Development Agenda (HLP). Indonesia dalam HLP berhasil mengedepankan isu kemitraan global (global partnership) untuk implementasi pembanguan berkelajutan. Sebagai salah satu negara yang mengedepankan isu kemitraan global maka Indonesia aktif menerapkan pendekatan multi-stakeholder partnerships dalam persiapan dan pelaksanaan SDGs. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas ditugaskan untuk mengkoordinasikan seluruh proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, serta evaluasi dan pelaporan, dengam melibatkan seluruh stakeholders. Indonesia menerapkan hubungan saling percaya antara pemerintah, CSO, filantropi dan bisnis, serta akademisi. Dengan ditempatkannya wakil dari setiap pihak tersebut dalam keanggotaan Tim Pelaksana dan Kelompok Kerja di dalam Tim Koordinasi Nasional SDGs, telah memberikan ruang bagi pihak tersebut untuk terlibat secara aktif. Dengan demikian, para pihak tidak hanya terlibat dalam pelaksanaan, namun juga dalam menentukan arah pelaksanaan SDGs. Keterlibatan multipihak tersebut tercermin pada proses pembahasan berbagai macam pedoman untuk pelaksanaan SDGs. Sebagai contoh dalam penyusunan pedoman metadata SDGs dan pedoman penyusunan Rencana Aksi dilakukan dalam bentuk konsultasi publik offline dan konsultasi publik online secara luas. Proses penyusunan Voluntary National Review (VNR) SDGs tahun 2017 inipun melibatkan keterwakilan tidak hanya pemerintah tapi juga non-state actors. Indonesia menerapkan prinsip inklusif dalam penyiapan VNR1. Hal ini dilakukan agar seluruh pemangku kepentingan terlibat dalam proses penyusunannya dengan melalui mekanisme yang transparan dan partisipatif. Tim teknis yang dibentuk dengan keterwakilan semua platform telah menyusun draf VNR. Penyusunan VNR dilakukan dalam beberapa tahapan, mulai dari penyamaan persepsi, penyusunan outline, kesepakatan jadwal penyusunan, substansi setiap bab, mekanisme konsultasi, main message, hingga finalisasi VNR secara lengkap. Setiap hasil 1
Seluruh proses penyusunan VNR Indonesia menerapkan 6 (enam) prinsip utama dalam proses pelibatan para pihak yang menunjukkan inklusivitas yaitu: (1) Ketersediaan jadwal yang disampaikan kepada para pemangku kepentingan; (2)Kampanye publik untuk mendorong para pihak agar berpartisipasi secara aktif dalam keseluruhan proses penyusunan; (3) Saluran yang beragam yang bervariatif, baik online maupun offline guna membuka ruang seluas-luasnya kepada para pihak untuk memberi masukan; (4) Pelibatan secara luas seluruh pemangku kepentingan baik dari pemerintah, maupun di luar pemerintah seperti akademisi dan pakar, filantropi dan pelaku usaha, serta organisasi kemasyarakatan dan media untuk memastikan keterwakilan dari seluruh kelompok atau elemen masyarakat; (5)Dokumentasi dan publikasi untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dari proses konsultasi yang dilaksanakan; (6) Bahasa yang mudah dipahami untuk mengurangi gap informasi para pihak yang terlibat.
2
Versi 28 April 2017
tahapan diskusi offline oleh para pihak terkait dikomunikasikan secara online melalui email dan website SDGs Indonesia (www.sdgsindonesia.or.id) untuk mendapatkan masukan yang lebih luas. 2. Kerangka Sistematis Pelaksanaan SDGs Indonesia Sistem perencanaan pembangunan di Indonesia terdiri atas tiga jenis yaitu Perencanaan Pembangunan jangka panjang (20 tahun), jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (1 tahun) yang menjadi satu dengan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) tahunan. Tujuan pembangunan Indonesia merupakan penjabaran dari Preambul UUD tahun 1945 yaitu melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta memelihara perdamaian dunia. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia pada saat ini berlaku mulai tahun 2005 – 2025. Setiap presiden terpilih akan menjabarkan ke dalam visi misi pembangunan yang dirumuskan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RPJMN Indonesia, saat ini telah memasuki pariode ketiga yaitu tahun 2015-2019. Kedepan, SDGs 2015 – 2030 juga akan dimasukkan kedalam RPJMN tahap keempat tahun 2020 – 2025. Selain itu SDGs juga akan diarusutamakan kedalam RPJP 2025 – 2045 yang saat ini dalam proses penyusunan. Dalam RPJMN 2015 – 2019 berbagai substansi SDGs yang dibahas dalam Agenda Paska 2015 telah diintegrasikan secara harmonis. Beberapa Tujuan dalam SDGs memperkuat prioritas penting dalam pengembangan tiga dimensi pembangunan di Indonesia yaitu: (1) pembangunan sosial meliputi pengentasan kemiskinan, kelaparan dan kekurangan gizi, peningkatan kesehatan, pendidikan dan kesetaraan gender (2) pembangunan lingkungan meliputi pemenuhan akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi layak, pengembangan kota dan permukiman berkelanjutan, penerapan konsumsi dan produksi bertanggung jawab, penanganan perubahan iklim, perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem laut dan ekosistem darat; (3) untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan isu baru yang akan difokuskan pada pengembangan energi bersih yang terjangkau, pemenuhan pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi, inovasi industri dan infrastruktur, pengurangan kesenjangan, dan peningkatan kemitraan; (4) tiga dimensi ini didukung oleh terwujudnya keadilan dan tatakelola pemerintahan yang baik. Transformasi mendasar dalam SDGs yaitu internalisasi ramah lingkungan dan keberlanjutan pembangunan manusia ke dalam pembangunan ekonomi dan penghidupan berkelanjutan. Dengan demikian mengintegrasikan SDGs ke dalam Rencana Pembangunan Nasinoal adalah awal untuk terjadinya pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) ke dalam agenda nasional. Untuk memastikan pelaksanaan SDGs yang terinternalisasi dalam agenda pembangunan nasional, Indonesia membentuk Tim Koordinasi SDGs Nasional yang didukung oleh Sekretariat SDGs. Tim Koordinasi Nasional ini memastikan terjadinya koordinasi baik secara horizontal di tingkat nasional antara lintas Kementerian/Lembaga serta antara pemerintah dan non-state actors, juga koordinasi vertikal antara pemerintah di tingkat nasional dengan pemerintah daerah. Tim Koordinasi Nasional juga memastikan keterlibatan masyarakat (societies) sehingga dalam pelaksanaan SDGs tidak ada yang tertinggal (no one will be left behind). Penerapan dari prinsip no-one left behind ini juga tercermin pada disagregasi data untuk SDGs Indonesia. Indonesia telah memiliki 87 dari 241 indikator global, sedangkan sisanya akan dikembangkan. Untuk kepentingan nasional, Indonesia memiliki 234 indikator proksi. Semua indikator telah dideskripsikan definisi operasionalnya, cara perhitungan, manfaat, 3
Versi 28 April 2017
sumber data, frekuensi pengumpulan data serta disagregasi untuk menjawab prinsip no-one left behind. Belum semua indikator mempunya disagregasi secara lengkap, sebagai contoh ketersediaan disagregasi terhadap kelompok disabilitas dan status migrasi. Indonesia akan berupaya untuk melengkapi disagregasi melalui berbagai sensus maupun survei yang telah ada. Sumber data yang digunakan dalam penyusunan Voluntary National Review 2017 berasal dari data BPS, kementerian/Lembaga teknis dan sumber lain dari CSO dan lembaga riset. 3. Keterkaitan antara Tema dan Tujuan (Interconnectedness) Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa untuk pencapaian tema HLPF tahun 2017, Indonesia mengaitkan dua aspek yaitu (1) meningkatkan pembangunan sumber daya manusia dan (2) peluang ekonomi untuk penghidupan berkelanjutan, dengan bidang yang tercermin dalam Tujuan-Tujuan di dalam SDGs yang menjadi fokus utama VNR 2017. Strategi penanggulangan kemiskinan di Indonesia dalam RPJMN 2015-2019 bertumpu pada 3 pilar, yaitu perlindungan sosial yang komprehensif, peningkatan pelayanan dasar, dan penghidupan berkelanjutan. Hasil analisa pencapaian tersebut dijelaskan sebagai berikut: 3.a Peningkatan Pembangunan Sumber Daya Manusia (Improving Human Resources Development) Merujuk pada Tujuan (goal) yang menjadi fokus pada VNR 2017, maka pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia dapat dicapai dengan upaya pembangunan di tiga bidang utama yaitu bidang ketahanan pangan dan gizi (goal 2), bidang kesehatan (goal 3) serta bidang pendidikan. Meskipun bidang pendidikan (goal 4) bukan menjadi Tujuan (goal) utama dalam pembahasan VNR 2017, namun Indonesia memandang perlu mengangkat pengaruh dari pentingnya pendidikan dalam penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya di bidang kesehatan yang memberikan dampak pada pembangunan Sumber Daya Manusia, diantaranya dengan dikembangkannya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada tahun 2004 yang salah satu penerapannya adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2014 dengan menerbitkan Kartu Indonesia Sehat (KIS). JKN adalah pemberian jaminan kesehatan bagi penduduk miskin (PBI – Penerima Bantuan Iuran) yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah. JKN sebagai salah satu skema dari sistem perlindungan sosial dasar merupakan terobosan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia dengan diterapkannya universal health coverage. Proporsi penduduk penerima Kartu Indonesia Sehat (KIS) pada tahun 2016 sebanyak 171,9 juta penduduk (66,4 persen), meningkat dari 51,8 persen di tahun 2014. Cakupan JKN di Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Dalam pelaksanaan JKN dihadapi beberapa tantangan antara lain ketersediaan Basis Data Terpadu (BDT) sebagai acuan kepesertaan program penanggulangan kemiskinan yang masih belum optimal. Tantangan lainnya adalah cakupan JKN yang belum sepenuhnya menjangkau pekerja informal dan pekerja penerima upah. Langkah perbaikan yang dilakukan antara lain mengembangkan skema Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) dan mekanisme pendaftaran mandiri (MPM) dengan melibatkan pemerintah daerah. Dalam rangka untuk memastikan kesehatan generasi Indonesia, maka salah satu program di bidang kesehatan yang penting dilakukan di Indonesia adalah program untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu. Angka kematian ibu (AKI) mengalami penurunan dari sebesar 346 kematian (SP 2010) menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (SUPAS 2015). Upaya yang dilaksanakan untuk menurunkan AKI antara lain dengan dilaksanakannya Jaminan Persalinan (Jampersal) yang saat ini telah diintegrasikan kedalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bidang kesehatan. Selain itu telah dilaksanakan program SIJARI EMAS yaitu pengembangan sistem rujukan maternal neonatal lewat program EMAS (Expanding Maternal 4
Versi 28 April 2017
and Neonatal Survival). Upaya lainnya adalah mengintegrasikan indikator kesehatan ibu dan anak dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan. Angka kematian bayi (AKB) dan balita (AKBa) terus menurun. AKB Menurun dari 68 pada tahun 1991 menjadi 32 pada tahun 2012 (SDKI) per 1000 kelahiran hidup. Pada periode tahun yang sama Angka Kematian Balita (AKBa), menurun dari 97 pada tahun 1991 menjadi 40 tahun 2012 (SDKI). Upaya yang dilakukan untuk menurunkan AKB dan AKBa antara lain dengan dilaksanakannya Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) mencakup pemenuhan fasilitas kesehatan dasar dan meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan terutama bidan untuk dapat memberikan penanganan kesehatan anak. Tantangan terbesar yang dihadapi dalam upaya menurunkan Angka Kematian Ibu dan Angka kematian Balita adalah belum optimalnya kualitas pelayanan kesehatan maternal termasuk diantaranya kompetensi SDM, fasilitas kesehatan dan peralatan tempat persalinan, serta rumah sakit. Upaya lain yang komprehensif untuk memperbaiki status kesehatan ibu dan anak adalah dengan dilaksanakannya conditional cash transfer dengan sasaran keluarga miskin dan rentan melalui Program Keluarga Harapan (PKH). Kegiatan PKH mencakup pendidikan anak, kesehatan ibu dan balita, serta pelayanan bagi penyandang disabilitas dan lansia di atas 70 tahun. Cakupan Program Keluarga Harapan (PKH) meningkat hampir 6 kali lipat dari 1,1 juta keluarga pada tahun 2011 menjadi mencapai 6 juta keluarga pada tahun 2016. Capaian di bidang pangan dan gizi Indonesia telah berhasil mengurangi ketidakcukupan konsumsi pangan. Pada tahun 2015 produksi padi mencapai 75,40 juta ton dan jagung 19,612 juta ton. Dengan tingkat produksi itu, secara agregat Indonesia telah mampu memenuhi kebutuhan beras sebagai pangan pokok bagi seluruh masyarakat. Produksi daging sapi dalam periode 2006-2015 tumbuh 3,11%/tahun, demikian pula pertumbuhan produksi telur dalam periode 10 tahun terakhir yang cukup tinggi, yaitu 4,50%/tahun dan untuk daging ayam pada periode 2010-2015 meningkat sebesar 5,74%/tahun. Sumber pangan dan gizi lainnya berasal dari hasil perikanan laut yang merupakan salah satu solusi masalah kurang gizi di Indonesia. Apalagi perairan Indonesia mempunyai 8500 jenis ikan atau 45% jumlah spesies ikan dunia. Pemerintah telah menginisiasi Gerakan memasyarakatkan makan ikan (GEMARIKAN) untuk meningkatkan kesadaran tentang manfaat pentingnya mengkonsumsi ikan. Target konsumsi ikan nasional pada tahun 2019 adalah 54kg per kapita per tahun. Produksi perikanan tangkap laut Indonesia terus meningkat dari 4,8 juta ton pada tahun 2011 menjadi 5,3 juta ton pada tahun 2014 yang masih berada di bawah tangkapan yang diperbolehkan. Selain itu, kualitas konsumsi pangan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan yang ditandai dengan membaiknya Skor Pola Pangan Harapan (PPH) selama periode 2009 - 2013 rata-rata sebesar 82,9. Indonesia juga telah meningkatkan ketersediaan pangan berkelanjutan dan produktivitas pertanian. Hal ini ditandai dengan pelepasan 57 varietas unggul baru (VUB) padi, 25 VUB jagung, dan 10 VUB kedelai. Tantangan yang dihadapi, antara lain alih fungsi lahan pertanian sehingga perlu mempercepat penerbitan Peraturan Daerah tentang alokasi kawasan untuk pertanian pangan berkelanjutan. Upaya lainnya mengintensifkan kegiatan penelitian dan pengembangan pertanian secara berkesinambungan untuk menciptakan inovasi teknologi pertanian. Status gizi masyarakat Indonesia menunjukkan perbaikan meskipun secara umum status gizi belum sepenuhnya baik yang ditandai dengan masih tingginya prevalensi kekurangan gizi pada bayi, balita dan ibu hamil. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mengungkapkan, prevalensi balita kurus (wasting) menurun secara signifikan dari 13,6% pada tahun 2007 menjadi 9,8% tahun 2016. Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada balita menurun dari 36,8% 5
Versi 28 April 2017
pada tahun 2007 menjadi sebesar 33,6% pada tahun 2016 (Sirkesnas, 2016) meskipun angka ini masih cukup tinggi. Cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi usia enam bulan juga meningkat dari 15,3% pada tahun 2010 menjadi 30,2% pada tahun 2013 (Riskesdas). Tantangan yang dihadapi dalam perbaikan pangan dan gizi adalah masih belum kuatnya pendekatan perbaikan pangan dan gizi secara lintas sektor, untuk itu telah diintensifkan implementasi Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Perbaikan pangan dan gizi berkaitan dengan pendidikan dan keadaan lingkungan. Pendidikan mempengaruhi perilaku (pola asuh dan pola makan) yang pada gilirannya akan mempengaruhi status gizi anak, semakin rendah pendidikan maka status gizi anak akan cenderung lebih buruk. Oleh karea itu, pendidikan sebagai salah satu wujud dari pelayanan sosial dasar untuk masyarakat miskin mempunyai peran penting. Akses pendidikan yang diukur dengan Rasio angka partisipasi murni (APM) telah cukup bagus. Rasio APM perempuan/laki-laki di Sekolah Dasar (SD) dan sederajat pada kelompok masyarakat miskin dan rentan sebesar 99,93% pada tahun 2016. Di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat Rasio APM perempuan/laki-laki sebesar 107,93%. Demikian pula pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat sebesar 112,19%. Kaitan gizi dengan lingkungan digambarkan dengan besarnya akses rumah tangga terhadap air minum dan sanitasi layak. Masyarakat miskin dan rentan (40 % penduduk berpenghasilan terbawah) yang telah memperoleh air minum layak meningkat dari 61,57% pada tahun 2015 menjadi 61,94% pada tahun 2016. Pada periode waktu yang sama, sanitasi layak mengalami peningkatan dari 47,76% menjadi 54,12%. Pelayanan sosial dasar untuk menurunkan tingkat kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan penduduk merupakan prakondisi bagi penduduk miskin untuk memperoleh penghidupan berkelanjutan. Penyediaan pelayanan sosial dasar bagi kelompok miskin ini merupakan tugas sentral pemerintah yang dilakukan melalui penetapan affirmative policy untuk memenuhi hak-hak dasar kelompok miskin. Dengan demikian penduduk miskin yang telah terpenuhi hak-hak dasarnya akan menjadi lebih sehat dan terdidik sehingga mempermudah mereka untuk memperoleh penghidupan yang berkelanjutan. Kehidupan kelompok miskin dengan penghidupan yang berkelanjutan akan mengantarkan mereka keluar dari kemiskinan, sehingga akan mempunyai kemampuan lebih besar untuk mengakses pelayanan sosial dasar guna mempertahankan kehidupan yang lebih baik. 3.b Peningkatan Peluang Ekonomi untuk Penghidupan Berkelanjutan (Enhancing Economic Opportunity for Sustainable Livelihood) Penurunan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan di Indonesia ditandai dengan meningkatnya penghidupan keberlanjutan penduduk yang ditunjukkan dengan menurunnya penduduk Indonesia yang hidup di bawah US$ 1,25 per kapita per hari dari 28,32% pada tahun 2006 menjadi 8,8% tahun 2015, yang diukur dengan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP). Selain itu, tingkat pengangguran nasional menurun dari 10,28% tahun 2006 menjadi sebesar 5,61% tahun 2016. Pendapatan PDB per kapita penduduk meningkat dari USD1420 pada tahun 2006 menjadi USD3605 tahun 2016. Capaian ini antara lain dikontribusikan dengan makin terbukanya peluang ekonomi untuk penghidupan berkelanjutan. Pembangunan infrastruktur dan pengembangan industri akan mendukung terbukanya peluang ekonomi. Capaian dalam hal infrastruktur ditunjukkan dengan percepatan pembangunan infrastruktur jalan, tol, jalur kereta api, pelabuhan dan bandara, terutama di kawasan timur untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan. Kondisi mantap jalan mencapai 94% pada tahun 2014, panjang jalur kereta meningkat hampir 100% selama empat tahun terakhir, pelabuhan bertambah 244 selama tiga tahun terakhir. Prioritas pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal, terluar dan terdepan, telah mengurangi disparitas harga
6
Versi 28 April 2017
barang kebutuhan sehari-hari membantu mengurangi beban pengeluaran penduduk berpendapatan rendah dan miskin. Pembangunan infrastruktur menjadi landasan mengembangkan industri, hingga tahun 2016 tiga (3) kawasan industri baru sudah beroperasi di Kawasan Timur Indonesia. Pengembangan industri Indonesia difokuskan pada industri padat karya maupun industri yang mengolah sumber daya lokal. Industri dengan kategori tersebut mampu menyerap tenaga kerja yang tinggi maupun meningkatkan value added dan membawa multiplier effect di daerah setempat dan sekitarnya. Melalui pengembangan aglomerasi dan pendalaman industri maka penyerapan tenaga kerja akan lebih tinggi dan sangat berhubungan dengan pengurangan kemiskinan. Sektor industri manufaktur mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 12 persen terhadap total tenaga kerja setiap tahunnya. Kontribusi sektor industri dalam pembentukan PDB menjadi yang teratas diikuti oleh sektor pertanian. Kontribusi industri pengolahan non migas terhadap PDB mengalami peningkatan sejak tahun 2013 meskipun nilainya belum terlalu signifikan. Tantangan pengembangan industri inklusif dan infrastruktur antara lain keterbatasan anggaran yang diatasi melalui kemitraan dengan swasta dan skema pembiayaan alternatif yaitu pembiayaan investasi non APBN (PINA) dan penjaminan pembiayaan infrastruktur. Tantangan penurunan kontribusi sektor industri pada PDB diatasi dengan penetapan kawasan industri sebagai prioritas nasional. Pembangunan industri berorientasi pro-poor diwujudkan dengan pengembangan industri berbasis pertanian maupun sumber daya lokal, serta pembangunan industri padat karya. Peningkatan peluang ekonomi untuk penghidupan berkelanjutan juga dicapai pada bidang kelautan di Indonesia. Disamping kaya dengan sumber daya alam darat, sumberdaya kelautan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan kawasan perairan terluas dunia memiliki kekayaan laut yang sangat besar. Hingga tahun 2016 telah dicapai kawasan konservasi perairan seluas 17,9 juta hektar yang terdiri atas 165 Marine Protected Area (MPA) dari target 20 juta hektar tahun 2020. Indonesia juga fokus mengelola MPA guna memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan terkelolanya MPA, wilayah yang menjadi tempat pemijahan (nursery ground) dan tempat ruaya (spawning ground) terjaga kelestariannya, sehingga ikan-ikan yang bernilai ekonomis dapat dimanfaatkan masyarakat secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Pemanfaatan ekonomi kawasan-kawasan konservasi tersebut dilakukan melalui kegiatan perikanan tangkap, budidaya, pariwisata bahari, dan penelitian serta pendidikan. Indonesia juga secara tegas memberantas perikanan yang melanggar hukum, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing). Untuk mengembangkan nelayan skala kecil, selama periode 2012-2016, Indonesia telah memberikan kredit kecil untuk sektor perikanan dengan peningkatan volume kredit rata-rata 10 persen per tahun. Selama periode yang sama pula, jumlah penerima kredit kecil di sektor perikanan juga meningkat secara signifikan dari 6.644 penerima (2012) melonjak menjadi 48.513 penerima (2016). Dalam rangka perlindungan nelayan kecil, juga telah diberikan bantuan asuransi, sertifikasi hak atas tanah nelayan, pembentukan koperasi, dan sistem informasi untuk nelayan. Tantangan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan antara lain belum efektifnya pengelolaan kawasan konservasi perainan. Hal ini membutuhkan upaya peningkatan kelembagaan dan sarana prasarana dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan. Tantangan lainnya adalah belum termanfaatkannya potensi produksi perikanan dengan adanya peningkatan pemberantasan IUU fishing. Untuk itu diperlukan dukungan ketersediaan sarana prasarana dan kapasitas sumber daya manusia yang memadai dalam memanfaatkan potensi perikanan yang sebelumnya dimanfaatkan oleh kapal-kapal asing secara illegal. Tantangan lainnya adalah dalam memberikan bantuan kepada nelayan kecil perlu mempertimbangkan 7
Versi 28 April 2017
ketersediaan sumber daya ikan sehingga tidak berdampak terjadinya over fishing. Untuk itu penyusunan regulasi yang tepat dalam mengatur pemanfaatan bantuan pendanaan bagi nelayan skala kecil yang tetap dapat menjaga pemanfaatan sumber daya ikan secara berkelanjutan merupakan hal yang perlu diwujudkan. 4. Faktor Penguat (Enabling Environment) Pencapaian tujuan-tujuan yang saling terkait dan mendukung dalam pencapaian kedua aspek yang bermuara pada penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraaan di Indonesia tidak lepas dari faktor-faktor penguat (Enabling Environment) yaitu kemitraan (Partnership), kesetaraan gender, ketersediaan data, peran Indonesia di tingkat global serta pembiayaan. 4.a Kemitraan (Partnership) Kemitraan antarstakeholders dalam pelaksanaan SDGs untuk penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan sangat diperlukan karena persoalan kemiskinan cukup besar dan tidak dapat ditangani oleh pemerintah saja. Dalam rangka pelaksanaan kebijakan terkait aksesibilitas pelayanan sosial dasar dan kebijakan pembangunan industri yang inklusif, kebijakan pengembangan sektor pertanian dan perikanan skala kecil, maka tidak hanya bertumpu pada peran pemerintah namun juga didukung oleh peran dari baik pihak swasta, organisasi masyarakat dan akademisi. Upaya bersama tersebut perlu didukung oleh sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah sehingga terjadi sinergi antarstakeholders baik pada level nasional maupun sub-nasional. Namun hal ini menimbulkan implikasi perlunya koordinasi cukup kuat antara nasional, provinsi dan kabupaten/kota agar terjadi sinergi program pembangunan khususnya untuk penanggulangan kemiskinan di tingkat nasional dan daerah. Kemitraan multistakeholders ini juga diperlukan untuk peningkatan kapasitas semua pihak, baik di level pemerintah yaitu antar pemerintah maupun antara pemerintah dengan non state actors, juga antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Selain kemitraan untuk sinkronisasi kebijakan serta peningkatan kapasitas, maka kemitraan juga melalui penerapan mekanisme yang inovatif atau innovative mechanism bukan hanya di dalam pelaksanaan SDGs namun juga untuk menjawab keberagaman Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya, agama dan etnik grup dan menjangkau penduduk secara lebih luas. Mekanisme yang inovatif misalnya untuk pelayanan sosial dilakukan dengan mekanisme pembayaran non tunai (cashless), untuk meningkatkan ketepatan sasaran, mengurangi fraud dan sekaligus mendorong financial inclusion. Sebagai contoh melalui penerapan Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sejahtera (KIS) dan dilaksanakannya Program Keluarga Harapan (PKH) berupa program bantuan tunai bersyarat conditional cash transfer. Sistem ini memerlukan kerjasama dan kemitraan antara pemerintah nasional dengan daerah dengan menggunakan Basis Data Terpadu bagi penduduk miskin. Dukungan pihak swasta dan perbankan diperlukan untuk menerapkan system pembayaran non tunai tersebut. Sejak tahun 2016, mulai dirintis perlindungan terhadap nelayan kecil melalui pemberian bantuan premi asuransi. 4.b Kesetaraan dan Keadilan Gender Kesetaraan dan keadilan gender merupakan faktor penguat dalam pencapaian seluruh Tujuan (goal) SDGs yang juga sudah diarusutamakan dalam agenda pembangunan Indonesia. Kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia telah diatur dengan regulasi khusus tentang pengarusutamaan Gender (PUG) dan Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (PPRG).
8
Versi 28 April 2017
Dalam Review tahun 2017, gender juga merupakan faktor penguat dalam bidang kesehatan, akses terhadap pelayanan dasar, pendidikan, politik dan manajerial, teknologi, layanan keuangan yang tepat termasuk keuangan mikro, yang sebagian besar datanya telah terpilah. Usia perkawinan masih merupakan satu isu penting di bidang gender yang mempengaruhi pencapaian sasaran SDGs, khususnya perkawinan usia anak. Data menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan yang menikah di usia anak masih hidup dalam rumah tangga pada tingkat kesejahteraan terendah2. Data pada tahun 2016 menunjukkan bahwa sekitar 2 dari 10 perempuan usia 20-24 tahun yang pernah kawin, menikah pertama kali sebelum usia 18 tahun. Angka tersebut lebih rendah hampir 20% dibandingkan tahun 2008, meskipun demikian tren selama sewindu terakhir menunjukkan penurunan yang lambat. Penurunan yang lebih cepat terjadi pada usia perkawinan pertama kurang dari 15 tahun. Pada tahun 2016 persentase perempuan usia 20-24 tahun yang pernah kawin dan menikah pertama kali sebelum usia 15 tahun telah menurun hingga sepertiga dari angka pada tahun 2008. Masih rendahnya usia kawin pertama perempuan dan tingginya angka pernikahan anak menjadi tingginya angka Aged Specific Fertility Rate (ASFR) 15-19 tahun yaitu 48 per 1000 perempuan. Untuk itu diperlukan upaya promosi melalui program KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) di masyarakat dan institusi formal, serta meningkatkan APK SMA/MA/SMK/sederajat. Di bidang politik terjadi kesempatan bagi perempuan dalam proses pengambilan keputusan mengalami peningkatan. Pada pemilu tahun 2004 keterwakilan perempuan di DPR sebesar 11,84% dan meningkat menjadi sebesar 17,86% pada tahun 2009. Namun pada tahun 2014 sedikit menurun menjadi 17,3%. Pada periode 2014-2019, 3 dari 34 provinsi mempunyai anggota DPD perempuan lebih banyak dari laki-laki, 6 provinsi memiliki anggota DPD perempuan dan laki-laki sama, sementara 13 provinsi mempunyai anggota DPD perempuan lebih sedikit dibanding laki-laki. Sedangkan 11 provinsi lainnya tidak memiliki anggota DPD perempuan. Selain itu, proporsi perempuan di posisi managerial (Eselon I-IV) pada lembaga eksekutif dalam periode 2011-2015 cenderung meningkat. Masih rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen menjadi tantangan yang dihadapi di bidang kesetaraan dan keadilan gender yang diindikasikan dengan belum tercapainya 30% seperti ditargetkan dalam affirmative action (UU No. 8/ Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum). Untuk itu diperlukan sosialisasi yang terus menerus, public awareness dan pengkaderan, serta peningkatan kapasitas secara berkala kepada kader maupun calon legislatif perempuan. Regulasi Pengarus Utamaan Gender (PUG) di Indonesia sudah cukup kuat, namun demikian implementasinya masih menghadapi tantangan seperti mindset dan political will terkait PUG yang masih beragam, dan ketersediaan data terpilah yang belum optimal. Untuk itu diperlukan peningkatan pemahaman dan pengetahuan, dan upaya mempelajari dan mengidentifikasikan apa yang berhasil dan apa yang tidak berhasil untuk meningkatkan implementasi PUG. Salah satu pembelajaran penting dalam implementasi kesetaraan dan keadilan gender adalah dilaksanakannya Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang) Perempuan Tingkat Kabupaten di Lombok Timur dan Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, tahun 2016. Hal ini dilakukan untuk mengisi kesenjangan musrenbang reguler yang selama ini cenderung meninggalkan kepentingan perempuan sehingga menghambat upaya kesetaraan dan keadilan gender.
2
Kemajuan yang Tertunda, Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia, BPS dan UNICEF, 2016
9
Versi 28 April 2017
4.c Ketersediaan Data Ketersediaan data dan informasi yang berkualitas menjadi syarat utama dalam pengambilan keputusan yang tepat untuk melaksanakan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan, serta memastikan ketepatan penetapan prioritas dan tidak ada satupun penerima dan pelaksana program yang akan terlewatkan. Dalam pengembangan metadata SDGs Indonesia menerapkan prinsip SDGs yang inklusif. Pengembangan metadata SDGs Indonesia memberikan pembelajaran tentang pentingnya metadata sebagai rujukan bersama yang lebih terukur dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan pembangunan. SDGs juga memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk mengembangkan data khususnya pengukuran perilaku yang berkelanjutan di dalam masyarakat dalam kaitannya dengan perilaku yang ramah lingkungan. Tantangan dalam penyediaan data adalah ketersediaan disagregasi yang menganut prinsip noone left behind. Untuk itu Indonesia berupaya mengembangkan satu pintu data masuk dan keluar dengan dibangunnya portal Onedata yang dikoordinasikan oleh Bappenas dan BPS. 4.d Peran Indonesia dalam Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) KSST adalah sebagai salah satu cara pelaksanaan kerjasama internasional dalam melaksanakan SDGs. Indonesia sebagai lower middle income country mulai menunjukkan perannya sebagai negara “provider” dan tidak hanya sebagai “recipient” melalui KSST. KSST juga menjadi sarana untuk knowledge sharing yang memberi manfaat tidak hanya bagi negara yang dibantu namun juga bagi Indonesia di fora internasional. Dalam rangka pelaksanaan KSST yang inklusif, Pemerintah Indonesia telah melibatkan berbagai stakeholders antara lain akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan pihak swasta. Pelaksanaan KSST Indonesia juga diarahkan untuk mendukung program penanggulangan kemiskinan dalam konteks yang lebih luas baik di Indonesia maupun di negara-negara berkembang lainnya. Beberapa program KSST yang mendukung penanggulangan kemiskinan antara lain dukungan program ketahanan pangan untuk petani, peternak dan nelayan, bantuan peralatan dan mesin pertanian, pendampingan tenaga ahli bidang pertanian tanaman pangan dan knowledge sharing program pengentasan kemiskinan seperti PNPM dan PKH. Kementerian PPN/Bappenas juga melakukan koordinasi program Reverse Linkage yang difokuskan pada penanggulangan kemiskinan melalui model pemberdayaan masyarakat. Program Reverse Linkage adalah kerjasama Triangular yang melibatkan Indonesia, IDB dan negara-negara anggota IDB. Beberapa program training yang telah dilakukan melalui KSST diantaranya adalah program triangular antara Pemerintah Indonesia, Timor-Leste dan Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk peningkatan kapasitas bagi insinyur jalan Timor Leste pada tahun 2014. Contoh kegiatan lain adalah pelatihan pengembangan strategi kemitraan antara organisasi berbasis keagamaan dengan pimpinan umat Muslim dalam hal Keluarga Berencana di tahun 2014 dan 2015 yang melibatkan negara-negara seperti Afghanistan, Bangladesh, Ethiopia, Ghana, Nepal, Nigeria, Pakistan dan Filipina. Tantangan dalam pelaksanaan KSST diantaranya adalah terbatasnya sumber pendanaan dalam negeri untuk implementasi kegiatan KSST. Untuk itu, Tim Koordinasi Nasional KSST telah menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk mitra pembangunan (development partners). Pelibatan mitra pembangunan diharapkan dapat mendukung pelaksanaan KSST Indonesia dengan lebih efektif dan berkesinambungan, tidak hanya dalam hal pendanaan,
10
Versi 28 April 2017
namun juga di bidang peningkatan kapasitas kelembagaan, pelaksanaan pilot projects, dan pengembangan modalitas kerjasama triangular yang inovatif. 4.e Pendanaan SDGs (SDGs Financing) Untuk menguatkan sumberdaya pembangunan dari dalam negeri, Indonesia terus melakukan peningkatan kualitas pembelanjaan pemerintah, yang diawali dengan perencanaan yang lebih efektif dan efisien, peningkatan kerjasama pemerintah – swasta dalam pembiayaan proyekproyek strategis maupun pengembangan layanan perbankan untuk mendukung pembangunan dan kegiatan masyarakat di berbagai bidang. Dari sisi penerimaan pajak, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah diantaranya dengan diterapkannya amnesti pajak dengan diberlakukannya UU no. 16 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, serta perbaikan administrasi perpajakan dan sanksi yang tegas terhadap pengemplang pajak. Upaya ini dilakukan dalam rangka untuk mengurangi ketergantungan pada bantuan dari mitra pembangunan (Official Development Assistance/ODA). Salah satu potensi pembiayaan alternatif untuk pembangunan yang dapat diakui kontribusinya dalam pelaksanaan SDGs adalah dari dana filantropi dan dana sosial keagamaan seperti zakat, infaq, shodaqoh (ZIS), dana punia, kolekte dan perpuluhan. Potensi sumber pendanaan pembangunan lainnya adalah dana swasta. Dalam dokumen Rencana Aksi SDGs Indonesia nantinya akan memuat kontribusi dan komitmen dari pihak non-state actors yang terdiri dari filantropi dan pelaku usaha serta CSO. Dalam dokumen rencana aksi tersebut besarnya kontribusi filantropi dan pihak swasta menjadi jelas terdokumentasinya, dapat diukur serta dimonitor dan dievaluasi sebagai bagian dari pencapaian pelaksanaan SDGs di Indonesia. Dana pihak swasta dapat bersumber dari alokasi Corporate Social Responsibility (CSR) atau filantropi seperti halnya zakat yang telah dijelaskan di atas. Guna mendukung kegiatan yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan maka Indonesia telah menyusun pedoman untuk green banking dan green financing. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki peran untuk mendukung komitment penurunan gas rumah kaca melalui program keuangan berkelanjutan (sustainable finance). Program ini merupakan kerjasama berbagai pihak untuk mendukung pembiayaan kepada lembaga yang menerapkan prinsip keuangan berkelanjutan. Namun demikian, dalam pelaksanaanya masih diperlukan kesadaran swasta, serta dukungan peraturan pelaksanaan yang kondusif. Tantangan dalam domestic resource mobilization diantaranya masih banyaknya kegiatankegiatan yang tidak sustainable yang dapat menjadi potensi sumberdaya untuk mendukung kegiatan yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan. Tantangan lainnya adalah penggunaan dana CSR belum sepenuhnya dapat menyasar pada penerima manfaat (beneficiaries) yang tepat serta program yang tepat sehingga diperlukan mapping seluruh kegiatan CSR yang mendukung program pembangunan dan terjadi sinergi program. 5. Langkah Selanjutnya (Next Steps) Bagi Indonesia, memastikan pelaksanaan SDGs berarti juga melaksanakan pembangunan nasional, karena SDGs sejalan dengan Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Dengan pengarusutamaan SDGs dalam RPJMN, sebagian besar dari target SDGs telah menjadi bagian tak-terpisahkan dari target nasional, sehingga sumber daya pelaksanannya selama lima tahun pertama telah terjamin. Sementara itu, untuk target SDGs yang belum terdapat dalam RPJMN dan relevan dengan agenda pembangunan nasional, akan dikembangkan dan ditindaklanjuti dalam perumusan rencana aksi nasional. Salah satu sumbangan utama SDGs dalam pembangunan nasional adalah semakin menajamkan indikator capaian pembangunan secara lebih terukur pada tingkat nasional maupun daerah dan 11
Versi 28 April 2017
sekaligus memastikan pembangunan agar bisa bermanfaat bagi semua melalui prinsip no one left behind. Lebih lanjut, SDGs juga semakin menguatkan proses pembangunan agar berjalan inklusif dengan melibatkan partisipasi para pihak, termasuk sinergi dengan mitra pembangunan internasional. Indonesia berkomitmen untuk secara reguler dan periodik memonitor capaian SDGs dan akan selalu melakukan perbaikan secara berkelanjutan (continous improvement). Indonesia membuka diri untuk berbagi pengalaman pengarusutamaan SDGs dalam pembangunan nasional, proses yang inklusif melibatkan semua stakeholder dalam setiap tahapan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan, serta kelembagaan pelaksanaan yang inklusif dan didukung oleh Sekretariat SDGs. Indonesia juga terbuka untuk mendapatkan pembelajaran bermakna pelaksanaan SDGs yang telah dilakukan oleh negara lain. Indonesia berkomitmen menggunakan SDGs untuk penerapan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan, sesuai dengan cita-cita pembangunan nasional. SDGs memberikan sumbangan berharga terhadap tolok ukur yang bersifat universal, baik pada negara berkembang dan maju, tentang keberhasilan pembangunan berkelanjutan dalam mencapai kesejahteraan dan keadilan. SDGs adalah mercusuar pembangunan global yang menjadi acuan pembangunan setiap negara maupun kerjasama internasional. Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk terbesar ke empat dunia, maka keberhasilan capaian pembangunan Indonesia akan mempunyai kontribusi yang besar terhadap kesejahteraan global. Indonesia memiliki 16,9% penduduk pemuda yang berumur 15 – 24 tahun (tahun 2016) dan akan mengalami bonus demografi pada sekitar periode 2020-2040, mereka merupakan potensi dan investasi besar bagi Indonesia. Generasi muda (youth) Indonesia merupakan potensi dan investasi besar bagi pembangunan berkelanjutan. Untuk itu Indonesia akan lebih melibatkan generasi muda dalam proses pelaksanaan SDGs, baik sebagai pemanfaat pembangunan maupun agen perubahan. Dalam tahap proses pencapaian pembangunan berkelanjutan, Indonesia saat ini masih dalam tahap inisiasi untuk mengembangkan “Circular Economy” dengan seoptimal mungkin meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan mengurangi limbah, salah satunya melalui pemanfaatan limbah sebagai input produksi. Ke depan Indonesia akan menyusun kebijakan untuk mendorong circular economy makin berkembang. Indonesia juga telah menerumuskan arah kebijakan dan strategi pembangunan untuk memastikan penerapan prinsip-prinsip Sustainable Consumption and Production dalam business cycle dan business process yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan serta menggalakkan penggunaan teknologi bersih. Indonesia juga akan mempromosikan kepada masyarakat untuk menjalankan perubahan perilaku yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan. Tantangan Indonesia untuk mencapai SDGs sangatlah besar, terutama memastikan prinsip no one left behind pada 258 juta penduduk yang tersebar pada sekitar 17 ribu pulau dengan karakteristik budaya, suku, agama maupun bahasa yang berbeda-beda. Namun demikian, tantangan yang membentang (enormous) tersebut tidaklah membuat Pemerintah Indonesia jerih. Justru tantangan tersebut adalah kehendak sejarah yang harus dipenuhi oleh Indonesia untuk menjamin pembangunan berkelanjutan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Indonesia juga sangat terbuka dan siap untuk bekerjasama dengan komunitas global untuk pencapaian pelaksanaan SDGs.
12