executive summary
UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2013
SYI
A KUALA
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA
AS IT
H
Collaboration Between Syiah Kuala University and United Nations Development Programme Under controlled by SATGAS REDD+/UKP4
V UN I ER S
SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
1 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
RINGKASAN EKSEKUTIF
E
kosistem hutan rawa gambut Tripa (Tripa Peat Swamp Forest = TPSF) merupakan suatu areal yang terletak di Kabupaten Aceh Barat Daya dan
Kabupaten Nagan Raya. Dalam areal tersebut terdapat suatu areal hutan rawa gambut, yang dikenal dengan sebutan areal TPSF yang merupakan salah satu dari tiga areal rawa gambut di pesisir barat Provinsi Aceh, selain Kluet dan Singkil. Secara administratif, 60% luas Rawa Tripa berada di Kecamatan Darul Makmur dan Tripa Makmur Kabupaten Nagan Raya, dan 40% berada di wilayah Kecamatan BabahRot Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) tersebut telah ditetapkan menjadi bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (Keppres Nomor 33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Leuser). Sebagai bagian Kawasan Strategis Nasional maka wilayah ini harus mendapat perhatian khusus, terutama terkait dengan aspek lingkungan hidup. Upaya penanganan aspek lingkungan hidup di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) harus mendapat prioritas yang lebih tinggi bila dibandingan lokasi yang berada di luar Kawasan Ekosistem Leuser. Sebagai kawasan hutan rawa, wilayah ini memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan mengandung karbon yang cukup tinggi karena sebagian dari rawa ini terdapat bahan gambut yang tebal. Selain sebagai tempat penyimpan karbon, jika di lihat dari sudut pandang agroekologi, hutan rawa ini disamping sebagai daerah penyangga dan tempat penyimpan air bagi masyarakat juga berfungsi sebagai pengatur iklim lokal maupun global. Beberapa hasil studi yang telah dilakukan pada wilayah ekosistem TPSF ini telah dilaporkan bahwa di wilayah TPSF ini juga terdapat aneka satwa yang unik atau satwa yang harus dilindungi yaitu tempat hidup orang utan Sumatera yang sudah masuk dalam kategori endemik. Rawa gambut juga merupakan ekosistem perairan yang di dalamnya terkandung sumberdaya hayati akuatik, termasuk di antaranya adalah ikan dan bentos.
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
Selain berfungsi sebagai sumber mata
EXECUTIVE SUMMARY | 2
pencaharian penduduk, ekosistem akuatik ini juga menjadi sumber plasma nutfah bagi kehidupan organisme perairan (akuatik), sehingga sangat penting perannya dalam upaya pemanfaatannya ke depan. Saat ini ekosistem Rawa Tripa diperkirakan telah terjadi deforestasi karena adanya kegiatan konversi areal hutan rawa menjadi lahan pertanian atau lahan perkebunan kelapa sawit. Akibat konversi hutan ini maka akan terjadi perubahan pada pola penggunaan lahan yang memberikan implikasi luas terhadap perubahan tata lingkungan dan pola kehidupan ekonomi masyarakat yang ada di sekitarnya. Di satu sisi, dari aspek ekonomi, konversi hutan menjadi lahan pertanian khususnya perkebunan mungkin akan mendatangkan manfaat secara ekonomi sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat atau keuntungan pada perusahaan perkebunan yang pada akhirnya akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun di sisi lain, secara ekologis dalam jangka panjang, konversi ini akan menjadi ancaman terhadap kelestarian alam dan akan berdampak pada kerugian secara materil bagi masyarakat setempat maupun secara global. Untuk mengetahui seberapa besar perubahan ekosistem Rawa Tripa di Provinsi Aceh, maka telah dilakukan suatu kajian yang bertujuan untuk melakukan analisis kondisi biofisik, potensi dan cadangan karbon, sosial ekonomi budaya, aspek legalitas dan status lahan, kajian degradasi lahan dan disain teknis rehabilitasi lahan di wilayah ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa di Provinsi Aceh. Luas areal TPSF adalah 60.657,29 hektar yang mencakup wilayah Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya seluas 36.850,29 ha atau sekitar 60 persen, dan wilayah Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya seluas 23.807 ha atau sekitar 40 persen dari luas areal dan secara secara geografis ekosistem TPSF terletak pada 030 44’-030 56’ LU dan 960 23’ - 960 46’ BT. Kegiatan studi di lapangan dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Agustus 2013. Studi ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif yaitu melalui kegiatan survai dan pengamatan lapangan, analisis laboratorium, dan analisis
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
3 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
spasial (GIS). Kegiatan survai lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan parameter utama yaitu berupa kondisi biofisik wilayah, potensi dan cadangan karbon, persepsi masyarakat dan kondisi sosial ekonomi budaya, serta data ekologis lainnya yang diperoleh melalui pengamatan dan pengukuran lapangan, analisis laboratorium, dan dengan melakukan wawancara dengan responden. Data sekunder merupakan data pendukung yang berkaitan dengan kondisi iklim, aspek legal formal, dan sosial ekonomi budaya (sosekbud) masyarakat di dalam dan di luar areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) yang diperlukan untuk analisis dan penyusunan program rehabilitasi tanaman dan konservasi lahan. Studi Rawa Tripa (TPSF) ini meliputi 9 (Sembilan) aspek, yaitu : (1) kajian biodiversitas (flora dan fauna), (2) kajian jasa ekosistem dan isu-isu sosial budaya, (3) kajian aspek legalitas/hukum yang berkaitan konsesi penggunaan lahan, (4) kajian sosial ekonomi dan kehidupan masyarakat, (5) kajian ekologi rawa dan disain teknis rehabilitasi lahan, (6) kajian implementasi canal blocking serta analisis dampak lingkungan (7) kajian perencanaan restorasi lahan rawa, (8) analisis cadangan karbon di bawah tanah, dan (9) analisis cadangan karbon bagian atas. Berdasarkan hasil kajian biodiversitas, Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) merupakan ekosistem hutan primer dan hutan sekunder yang terletak sepanjang pantai. Hutan primer merupakan hutan hujan tropis dan dianggap sebagai salah satu ekosistem unik di dunia yang memiliki jenis-jenis flora dan fauna yang khas dengan tingkat keanekaragaman tinggi. Areal hutan di ekosistem TPSF yang masih memiliki keaslian sebagai hutan rawa gambut luasnya hanya sekitar 8.225 ha dan akibat adanya konversi lahan maka areal hutan yang memiliki vegetasi asli inipun secara perlahan ikut pula mengalami degradasi.
Jenis fauna yang
ditemukan di ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa saat ini tinggal sebanyak 91 jenis, di mana 18 jenis di antaranya memiliki nilai ekonomi dan ekologi dan 14 jenis memiliki nilai endemik dan dilindungi. Keberadaan flora dan fauna dalam wilayah ini berada dalam daerah yang terisolir terfragmentasi di sepanjang
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
EXECUTIVE SUMMARY | 4
pantai. Vegetasi hutan rawa gambut meliputi tumbuhan spesies palem, pandan, Podocarpus dan wakil kebanyakan familia yang biasa ditemukan di hutan tropis basah, termasuk familia Dipterocarpaceae. Banyak spesies yang khas pada hutan rawa gambut namun jumlah spesies anggota vegetasi gambut terbatas. Penyelamatan habitat flora dan fauna dalam areal ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa yang masih tersisa ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan konservasi berbasis masyarakat. Pendekatan konservasi habitat dan spesies masih dapat dilakukan pada lahan yang masih tersisa dalam habitat terfragmentasi. Hutan primer yang masih tersisa dan hutan sekunder yang ada dapat menjadi habitat hunian bagi satwa dan sekaligus berfungsi sebagai tempat berlindung dari berbagai gangguan. Berdasarkan hasil kajian jasa lingkungan dan isu-isu sosial budaya serta kajian sosial ekonomi dan kehidupan kemasyarakatan terungkap bahwa keberadaan hutan dalam areal TPSF sebagai bagian dari komponen ekosistem memiliki arti penting dalam menyangga sistem kehidupan. Berbagai manfaat besar dapat diperoleh dari keberadaan hutan melalui fungsinya baik sebagai penyedia kebutuhan manusia seperti kayu dan bahan makanan, juga dapat menjaga keseimbangan lingkungan, penyerapan karbon, pemasok oksigen di udara, penyedia jasa wisata dan mengatur iklim global. Masyarakat yang menetap di areal Hutan Rawa Gambut Tripa terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Pendatang sebagian besar berasal dari daerah yang berdekatan dengan Ekosistem TPSF, seperti dari dari kecamatan-kecamatan yang di Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Aceh Barat, dan sebagian kecil ada pendatang dari Sumatera Utara dan daerah Jawa. Umumnya mereka datang ke kecamatan dalam areal TPSF adalah untuk mencari pekerjaan, melakukan perdagangan atau melakukan hubungan perkawinan. Penduduk angkatan kerja di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya relatif lebih banyak, masing-masing 67,34%, dan 57,86%. Sebahagian besar mereka mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian dan perkebunan.
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
5 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Mata pencaharian lain masyarakat di sekitar ini adalah menjadi tenaga kerja tetap dan/atau tenaga buruh atau pekerja pada perusahaan perkebunan. Penduduk lokal saat ini banyak yang beralih usaha untuk membuat kebun sendiri karena pendapatannya lebih tinggi dibandingkan dengan menjadi buruh kebun. Sumber mata pencaharian lainnya adalah usaha peternakan atau pemeliharaan hewan ternak seperti sapi, kerbau, dan kambing. Usaha ini umumnya dilakukan di areal yang berdekatan dengan desa/gampong yang ada di pinggiran areal TPSF. Analisis potensi sumberdaya lahan ditemukan bahwa adanya empat sungai yang melintasi wilayah ini yaitu Krueng Tripa, Krueng Seumayam, Krueng Batee dan Krueng Seunaam telah memberikan banyak manfaat secara ekonomi bagi masyarakat di areal tersebut. Melalui pendekatan terhadap Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) baik nilai ekonomi langsung (use value) maupun nilai ekonomi tidak langsung (non use value) diketahui bahwa areal TPSF ini sebenarnya bisa menjadi lahan usaha bagi masyarakat baik dengan memanfaatkan potensi alam yang ada maupun menggarap potensi alam dalam berabagai bentuk usaha khususnya usaha pertanian, perkebunan, dan perikanan. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa ini sangat penting untuk menjaga kesinambungan fungsi ekologi dan daya dukung lingkungan serta menjadi sumber kegiatan ekonomi bagi masyarakat setempat dan daerah. PDRB Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya terbesar disumbangkan oleh sektor pertanian, masing-masing 45,04% dan 30,20%. Penggunaan lahan di areal TPSF terluas adalah lahan kering/tegalan, kemudian diikuti untuk penggunaan pemukiman dan sawah. Tinggi dan stabilnya harga sawit ditambah dengan masuknya perusahaan besar yang mengusahakan tanaman kelapa sawit sudah mendesak penggunaan lahan pertanian lainnya, seperti sawah, perkebunan kakao dan karet. Komoditas unggulan dari kelompok perkebunan adalah kelapa sawit, diikuti karet dan kakao. Komoditas unggulan dari kelompok tanaman pangan adalah padi, diikuti oleh kedelai dan jagung di Kecamatan Darul Makmur dan Tripa Makmur, sementara di Kecamatan Babahrot
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
EXECUTIVE SUMMARY | 6
adalah padi, kacang tanah dan kacang hijau. Untuk kelompok tanaman sayur, komoditas unggulannya adalah kacang panjang, dan kelompok buah-buahan, komoditas unggulan adalah mangga dan durian. Komoditas unggulan dari kelompok peternakan adalah sapi, diikuti oleh kambing/domba dan kerbau. Komoditas unggulan dari kelompok perikanan didominasi oleh perikanan tangkap. Lele alam sebagai produk unggulan dari kelompok perikanan darat di Ekosistem TPSF menurun drastis sehubungan dengan pesatnya perluasan kebun kelapa sawit. Produk ikutan dari kelompok kehutanan, seperti madu alam dan rotan tidak terdapat lagi sehubungan alih fungsi lahan dari hutan ke perkebunan sawit. Pola Interaksi masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit di daerah penelitian umumnya bersifat pola interaksi diasosiatif, yang diindikasikan oleh adanya konflik penguasaan lahan antara PT. Kalista Alam dengan masyarakat sekitarnya, termasuk lahan yang disengketakan dan dicabut izin pemanfaatannya seluas sekitar 1600 ha oleh Pemerintah Aceh di areal TPSF. Sementara jarang terjadi kasus konflik atau kecemburuan sosial antara penduduk pribumi dan tenaga kerja pendatang. Penduduk asli berpendapat bahwa mereka tidak ada masalah dan terbuka dengan kedatangan tenaga kerja profesional dari luar, mereka menyadari kelemahan SDM lokal untuk menduduki posisi penting di perusahaan perkebunan. Namun mereka berharap seharusnya pihak perusahaan perkebunan bersedia melepaskan lahan-lahan di sekitar perkampungan untuk mendukung peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat setempat minimal 2 ha per Kepala Keluarga. Dengan demikian mereka dapat hidup berdampingan, saling mendukung dan saling menguntungkan dengan perusahaan perkebunan besar. Pola hubungan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit juga berbentuk asimetris (tidak seimbang) yang diindikasikan dengan perusahaan perkebunan berada pada pihak yang kuat mengabaikan hak dan kepentingan ekonomi masyarakat setempat. Akibatnya muncul perilaku anarkis masyarakat terhadap fasilitas yang dimiliki pihak perkebunan.
Persoalan utama yang
dikeluhkan masyarakat sekitar HGU adalah HGU yang diberikan pemerintah
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
7 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
kepada perusahaan perkebunan besar kurang mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan ekonomi dari masyarakat sekitarnya sehingga muncul konflik sosial yang merugikan pembangunan ekonomi daerah dan masyarakat. Persepsi masyarakat terhadap kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerah penelitian ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Persepsi positif umumnya diungkapkan oleh mereka yang merasa adanya keuntungan akibat kehadiran perusahaan perkebunan sawit, diterimanya sebagai karyawan, pekerja lepas, dan kemudahan akses ekonomi lainnya. Sementara itu, persepsi negatif terhadap perusahaan perkebunan sawit umumnya diungkapkan oleh mereka tanahnya berdekatan dengan HGU dan berkonflik dengan perusahaan, kurang puas terhadap ganti rugi atas tanah dan tanam tumbuh yang ada di atasnya. Kegiatan pertanian tanaman pangan terganggu oleh serangan hama babi dan hama lainnya. Persepsi masyarakat adanya gangguan hama ini disebabkan oleh kerusakan Ekosistem TPSF, sehigga hama tersebut masuk ke lahan pertanian masyarakat. Lahan sebagai salah satu faktor produksi yang penting untuk mendukung penghidupan, masyarakat memperolehnya dengan cara membuka lahan berdasarkan surat adat, adanya bantuan pemerintah untuk membangkit ekonomi masyarakat, melalui harta warisan, dan membeli lahan dari sesama anggota masyarakat. Kesediaan melepaskan lahan untuk merestorasi hutan di Ekosistem TPSF, sebagian mereka setuju kalau ada lahan pengganti sebagai tempat penghidupan, dan mereka berpartisipasi langsung dalam program restorasi. Analisis finansial studi kelayakan sawit pada Ekosistem TPSF menunjukkan bahwa tingkat pengembalian modal atas investasi (IRR) di atas 30%, benefit cost rasio di atas 2,5, payback period pada tahun ke 12, investor lebih bersedia menanamkan modalnya pada perkebunan kelapa sawit. Harga Crude Palm Oil (CPO) yang cenderung terus meningkat membuat pengusahaan tanaman kelapa sawit lebih menguntungkan daripada pengusahaan tanaman lainnya. Dalam skenario
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
EXECUTIVE SUMMARY | 8
memperluas areal hutan, perbandingan manfaat-biaya dengan pendekatan TEV adalah 143,1, dan pendekatan DUV adalah 0,7. Konfliks penggunaan lahan pada dasarnya dapat diselesaikan manakala kedua pihak dapat duduk bersama mencari solusi yang saling menguntungkan. Apabila pemberdayaan terhadap petani, pemerintah dan perkebunan sawit dapat dilakukan secara seimbang dan didukung dengan pihak perbankan dan lembaga mitra/LSM, maka akan dapat mengubah kondisi eksisting pertanian Aceh menuju pencapaian outcome yang lebih baik, yaitu: (1) menguatnya pola interaksi asosiatif
masyarakat-perusahaan
perkebunan
sawit,
(2)
produktivitas
perkebunan sawit rakyat meningkat, (3) kemandirian ekonomi lokal dan petani meningkat, dan
(4) terperbaikinya konservasi dan degradasi hutan di areal
gambut Rawa Tripa. Dari aspek legal berdasarkan hasil kajian ini menunjukkan bahwa seluruh areal yang berada dalam ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) berdasarkan fungsi kawasan merupakan Area Penggunaan Lain (APL) yang sudah ditanami perkebunan sawit baik oleh perusahaan maupun masyarakat sekitar areal. Total luas areal hutan yang masih berhutan di area Rawa Tripa berdasarkan interpretasi peta citra satelit adalah 11.809,54 Ha, kebun campuran 30.338,15 Ha, kebun sawit seluas 15.217,8 Ha dan Lahan Terbuka sekitar 2.900 Ha. Ada beberapa perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) yang mengelola perkebunan kelapa sawit di wilayah Hutan Rawa Gambut Tripa antara lain : PT Kalista Alam (KA), PT Gelora Sawita Makmur (GSM), PT Astra Prima Lestari atau PT Surya Panen Subur (SPS), PT Cemerlang Abadi (CA), PT Dua Perkasa Lestari, dan Proyek PIR Pemda Aceh Barat Daya. Berdasarkan dokumen yang terdaftar pada instansi terkait (BPN) maka luas seluruh areal yang dipunyai oleh 5 (lima) perusahaan perkebunan yang direncanakan untuk areal hutan rawa gambut Tripa seluas 38.565,41 Ha. Hasil penelitian juga mengindikasikan bahwa disamping penguasaan tanah dengan status HGU oleh perusahaan perkebunan terdapat juga penguasaan tanah oleh perorangan warga setempat. Penguasaan tanah oleh perorangan
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
9 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
pada umumnya belum mempunyai surat bukti hak sebagaimana ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan tetapi menunjukkan adanya penguasaan secara fisik. Penguasaan secara fisik dimaksud ada yang terindikasi adanya hubungan hukum yang kuat antara orang dengan tanah yang dikuasainya yang ditunjukkan dengan adanya pengusaaan tanah yang telah berlangsung lama dan terus menerus dan adanya tanaman keras di atas tanah tersebut. Di samping itu terdapat juga penguasaan tanah yang belum terindikasi adanya hubungan hukum yang kuat, tetapi masih pada tingkat hubungan penggarapan yang ditunjukkan masih berupa lahan yang baru diusahakan. Terdapat indikasi adanya lahan-lahan yang telah diberikan HGU yang tidak diuasahakan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan dan diterlantarkan. Semua HGU yang berada dalam areal ini telah mendaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat, tetapi atas areal HGU masih terdapat sengketa-sengketa dengan warga masyarakat karena dalam areal HGU terindikasi adanya lahan-lahan warga dan belum mendapat penyelesaian. Hasil kajian biofisik dan ekologi rawa dapat dikemukakan bahwa areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) merupakan wilayah yang termasuk ke dalam iklim tropika basah atau wilayah dengan tipe iklim basah dengan curah hujan rata-rata tahunan mencapai 3967.54 mm per tahun dengan variasi antara 2.822-4.109 mm per tahun. Hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem yang rentan (fragile) atau sangat mudah terganggu/rusak dan sangat sulit untuk dapat kembali ke bentuk semula.
Areal TPSF ini juga terdapat dataran aluvial terutama yang
terbentuk dan senantiasa dipengaruhi oleh luapan air sungai yang luas penampang dan debit air sungainya berbeda. Ekosistem di areal TPSF merupakan daerah depresi (cekungan) yang membentuk tiga kubah gambut (dome). Pemisah antara tiga kubah gambut ini adalah dataran Aluvial yang membentuk tebing sungai. Topografi wilayah TPSF ini merupakan daerah dengan kelas lereng tunggal yaitu memiliki bentuk wilayah yang datar dengan kemiringan lahan 0 - 2 persen dan merupakan dataran yang berbatas langsung dengan bibir pantai di bagian muaranya.
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
EXECUTIVE SUMMARY | 10
Wilayah TPSF terdapat dua jenis tanah yaitu tanah mineral atau tanah Aluvial dan tanah organik/Gambut. Tanah Aluvial terdiri atas dua macam yaitu Aluvial yang terbentuk atas material endapan sungai dan Aluvial yang telah bercampur dengan gambut sehingga berkembang tiga macam tanah yaitu Aluvial (Entisol dan Inceptisol), dan Gley Humus (Entisol) seluas 26.105,20 ha dan tanah gambut (peat soils) atau Organosol (Histosol) seluas 34.552.09 ha. Lahan bergambut tersebut dapat dibedakan atas tiga kedalaman, yaitu areal yang mempunyai ketebalan gambut kurang 50-200 cm seluas 2.844,46 ha, 201-300 cm seluas 19.411,40 ha, dan areal dengan ketebalan gambut lebih dari 300 cm seluas 12.296,22 ha. Namun akibat pembukaan lahan untuk areal budidaya dengan membuat sistem drainase permukaan yang sangat intensif, maka saat ini praktis tidak ada lagi lahan gambut yang tergenang air yang mencirikan ekosistem rawa gambut. Lama masa pengeringan lahan akibat pembukaan lahan ini ternyata
sangat
berpengaruh terhadap kondisi bahan gambutnya di mana semakin lama waktu setelah dilakukan pengeringan, maka semakin besar nilai bobot isinya (bulk density) sehingga semakin kecil kemampuan menyerap air dan semakin lambat pula permeabilitasnya. Hasil survai lapangan terhadap bentuk wilayah, pola penggunaan lahan, jenis tanah dan pengukuran ketebalan dan identifikasi tingkat kematangan gambut, ditetapkan bahwa di areal TPSF dapat dibagi atas 16 satuan lahan dengan sifat dan ciri tanah yang bervariasi terutama antara tanah mineral dengan tanah organik/Gambut. Berdasarkan data laboratorium, beberapa sifat tanah yang sangat variatif adalah nilai bulk sensity (BV), kemampuan menyerap air, porositas, tekstur, kadar C organik, KTK, dan pH tanah. Secara umum reaksi tanah Aluvial berada pada pH agak masam hingga agak netral sedangkan pada tanah Gambut reaksi tanah sangat masam hingga masam, tetapi tidak ada indikasi lapisan pirit pada lapisan tanah Gambut dan Aluvial. Kandungan C organik lapisan atas pada tanah Aluvial berkisar antara 2,5-3,5 %, sedangkan pada tanah Gambut kandungan C organic berada antara 45,21-67,10 %.
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
11 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Hasil penilaian terhadap kemampuan lahan menunjukkan bahwa areal Hutan Rawa Gambut Tripa dapat dibagi atas 5 sub klas kemampuan lahan, yaitu II-d2 dengan pembatas ancaman genangan/banjir, III-o2 dengan pembatas juga ancaman genangan/banjir, IV-o3 dengan pembatas juga ancaman genangan/banjir, VII-p4 dengan pembatas permeabilitas tanah, dan VIII-P5, Fb dengan pembatas permeabilitas tanah/ kematangan gambut. Kelas dengan kemampuan VII dan VIII ini harus dibiarkan menjadi lahan konservasi/areal lindung yaitu seluas 11.809,54 hektar. Sebagian besar areal dalam ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) yang telah dikonversi menjadi lahan perkebunan ternyata sesuai (S2 hingga S3) untuk tanaman perkebunan kelapa sawit dan tanaman lainnya seperti karet, kakao, kemiri, dan kopi robusta dan juga sesuai untuk tanaman pangan lahan kering. Namun, ada juga sebagian lahan yang telah dibuka dan yang telah diusahakan ternyata tidak sesuai (N) untuk lahan pertanian karena terdapat faktor pembatas penggunaan lahan yaitu ketebalan gambut melebihi 300 cm dan rawan genangan/banjir. Pada areal yang masih terdapat hutan rawa (vegetasi hutan primer), hasil penilaian menunjukkan bahwa areal ini tidak sesuai untuk lahan pertanian karena memiliki gambut yang dalam dan belum matang (gambut fibrik). Oleh karena itu, lahan ini harus dipertahankan tetap menjadi areal hutan dan jika telah terlanjur dibuka tetapi belum ditanami, maka sebaiknya dilakukan rehabilitasi dengan penanaman pohon dari jenis spesies pohon hutan setempat. Konversi hutan rawa di areal TPSF menjadi lahan perkebunan/pertanian telah menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang ditandai dengan menurunnya ketebalan gambut dan kemampuan menambat air (water holding capacity) serta perubahan pada karakteristik biofisik gambut yaitu perubahan pada profil horizon, ketebalan, tingkat dekomposisi, kadar air, kadar abu, pH, C-organik dan biomassa tanaman serta meningkatnya emisi CO2 akibat percepatan dekomposisi bahan organik/gambut. Lahan rawa gambut di TPSF yang telah lama digunakan untuk pertanian/perkebunan karakteristiknya telah terjadi perubahan yang ekstrim dari sifat aslinya sehingga sulit untuk dikembalikan kepada kondisi
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
EXECUTIVE SUMMARY | 12
semula. Dampak lain dari konversi rawa gambut menjadi areal budidaya adalah terjadinya degradasi hutan yang ditandai dengan menurunnya tingkat keanekaragaman hayati, meningkatnya emisi karbon ke atmosfir akibat dekomposisi aerobik yang sangat pesat, menurunnya permukaan air tanah dan subsidensi serta dapat membuat gambut mudah terjadi kebakaran. Pengaturan muka air tanah pada lahan gambut dapat menghambat laju degradasi biofisik lahan gambut di areal TPSF khususnya pada lahan yang dikelola untuk perkebunan kelapa sawit dan kebun campuran. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat sistem drainase yang sesuai dengan karakteristik lahan setempat misalnya dengan membuat canal blocking di areal TPSF. Luas areal yang dapat diarahkan untuk dijadikan sebagai ekosistem konservasi adalah seluas 19.257,53 ha atau 31,75 persen dari luar areal TPSF, sedangkan ekosistem budidaya pertanian yang meliputi wilayah pengembangan perkubunan dan pertanian lahan kering seluas 41.399,76 hektar (68,25 %). Areal konservasi terbagi atas : (1) areal konservasi hutan asli (hutan rawa)/areal flora dan fauna seluas 8.318,91 ha, (2) areal konservasi hutan mangrove seluas 748,96 ha, (3) areal konservasi hutan pesisir dan sempadan pantai seluas 5.639,90 ha, dan (4) areal sempadan sungai seluas 4.549,76 ha. Areal budidaya pertanian yang sudah terlanjur dikelola, berdasarkan pertimbangan kehidupan masyarakat dan karkateristik tanah maka dapat saja dimanfaatkan untuk perkebunan asalkan di dalam pengelolaannya harus memperhatikan kaedah-kaedah konservasi dan kelestarian lingkungan dan menghindari hal-hal yang mempercepat laju degradai lahan. Kajian yang dilakukan terhadap pembangunan canal blocking menyatakan bahwa sistem perairan di Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) sangat mendukung usaha reklamasi lahan rawa menjadi lahan perkebunan yang saat ini masih dalam Tahap Awal yaitu pembuatan saluran drainase yang dapat dilanjutkan pada Tahap Menengah dengan mengaplikasikan sistem tata air yang benar dan disempurnakan pada Tahap Akhir dengan menyediakan suplai recharge water pada sistem saluran yang telah dibangun. Metode sistem saluran yang dibangun
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
13 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
adalah sistem blocking lahan dengan dua jenis saluran yaitu kolektor dan transport dan perlu diubah menjadi sistem sisir dengan menerapkan hierarki saluran pembuang tersier, saluran pembuang sekunder dan saluran pembuang primer atau pembuang utama yang layoutnya dibuat sentris dan menyediakan lahan untuk lajur hijau (green belt) disepanjang sungai dan saluran pembuang utama. Pada Tahap Awal program reklamasi lahan rawa seperti sekarang ini dan mau melangkah ke Tahap Menengah memiliki jumlah bangunan canal blocking yang sangat terbatas, konstruksinya masih sangat sederhana dan darurat sifatnya yang mengandalkan fungsionalnya saja. Bangunan canal blocking perlu dibangun pada saluran kolektor (tersier) khususnya pada lahan gambut di sekitar kubah gambut yang meupakan gambut tebal dengan pemanfaatan terbatas. Bangunan pelimpah ambang tipis terbuat dari sheetpile plastik dinilai layak untuk diterapkan sebagai bangunan canal blocking karena karakteristik material memenuhi persyaratan untuk digunakan pada tanah dengan kekuatan rendah dan mudah cara membuatnya serta ringan perawatan konstruksinya. Berdasarkan kajian rencana restorasi lahan rawa mengungkapkan bahwa areal yang menjadi ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) pada dasarnya merupakan kawasan banjir yang terletak di bagian hilir dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Woyla – Tripa. Banjir yang terjadi di kawasan ini merupakan banjir tahunan dengan lama genangan berkisar antara 1 sampai 5 hari. Dari sungai-sungai yang terdapat di Rawa Tripa, sungai Krueng Seumayam memiliki pengaruh yang sangat dominan terhadap banjir di Rawa Tripa. Limpasan banjir dari sungai ini sangat mempengaruhi sistem imbangan air rawa dan kualitas air rawa. Perubahan terhadap kualitas air rawa memberikan pengaruh yang sangat besar pada tingkat keasaman lahan di areal TPSF. Limpasan banjir yang terjadi dari sungai Krueng Tripa mempengaruhi bahagian Barat dari kawasan Rawa Tripa. Kawasan yang dipengaruhi meliputi areal perkebunan PT. GSM, perkebunan campuran milik rakyat dan kawasan sepadan sungai. Banjir dari sungai Tripa membawa sedimen dalam jumlah besar dan
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
EXECUTIVE SUMMARY | 14
memberi suplai tanah mineral ke dalam sistem rawa Tripa. Banjir yang terjadi dari sungai Krueng Batee mempengaruhi sistem rawa yang terletak di sebelah Timur kawasan. Banjir dari Krueng Batee memberi pengaruh sangat dominan pada kawasan gambut di lahan perkebunan PT Cemerlang Abadi dan PT Patriot GSA. Banjir dari sungai Krueng Batee mempengaruhi secara langsung kondisi kolam-kolam rawa yang terletak di sepadan pantai dari bagian Timur wilayah ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa. Berdasarkan kondisi imbangan air, alih fungsi penggunaan lahan di areal TPSF memberi dampak yang sangat ekstrim terhadap hidrologi dan biofisik tanah. Perubahan penggunaan lahan dari kawasan hutan rawa menjadi perkebunan sawit menyebabkan terjadinya pengeringan air dari Rawa Tripa ke sungai-sungai yang ada di kawasan rawa. Proses ini menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah akibat berkurangnya air di rawa. Untuk menjaga keseimbangan air di lahan rawa TPSF, sistem tata air di areal TPSF yang dilakukan oleh beberapa perusahaan yang berada di Rawa Tripa perlu segera diperbaiki dengan membangun sistem saluran yang dapat mengatur tata air yang baik yaitu dengan membangun sistem canal blocking. Selanjutnya, rekayasa aliran air Sungai Krueng Seumayam dengan pembuatan bendung sederhana yang dapat menyediakan suplai recharge water pada sistem saluran yang telah dibangun di lahan rawa TPSF sangat diperlukan. Suplai recharge water ke lahan TPSF ditujukan untuk mempertahankan tinggi jagaan air tetap konstan dan memadai agar dapat menahan laju penurunan muka air (water table) akibat drainase yang berlebihan (over drainage), terutama pada musim kemarau dimana curah hujan yang menjadi sumber utama suplai recharge water tidak tersedia. Dengan pembangunan sistem canal blocking dan rekayasa aliran air maka keseimbangan air di areal TPSF dapat terjaga sehingga diharapkan dapat mengurangi laju degradasi lahan dan emisi gas karbon dioksida. Hubungan antara komponen hidrologi seperti curah hujan terhadap laju emisi karbon ke udara masih belum dapat dijelaskan secara baik. Namun, curah hujan yang terjadi akan meningkatkan water table dan kadar air tanah yang
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
15 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
selanjutnya menurunkan CO2 fluks. Besarnya emisi dipengaruhi oleh temperatur tanah, kadar air volumetrik tanah, electroconduktivity tanah dan water table. Monitoring dan evaluasi kondisi TPSF perlu dilakukan dan kegiatan tersebut harus menjadi program/kegiatan prioritas daerah agar ekosistem di areal Hutan Rawa Gambut Tripa dapat dikelola secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil kajian cadangan karbon bawah tanah menemukan bahwa ratarata kedalaman gambut dari 16 plot dan 65 titik sampel di areal TPSF adalah 361,28 (SEM= 26,48) cm. Kedalaman beragam mulai dari kedalaman minimum 50 cm hingga maksimum mencapai 840 cm. Konsentrasi karbon (C) dan nitrogen (N) adalah 29,36% (±0,91) dan 1,47% (±0,12), dengan konsentrasi berkisar antara 1,09-62,77 dan 0,04-30,04 untuk C dan N secara berurutan. Rata-rata kerapatan karbon pada hutan primer (36,86±2,68 Mg ha-1), kebun kelapa sawit/kebun campuran (39,33±2,04 Mg ha-1), hutan sekunder (26,68±1,95 Mg ha-1), dan Lahan bukaan (12,06±1,89). Total cadangan karbon di TPSF dengan menggunakan luas penggunaan lahan menghasilkan nilai 76.206.098 Mg. Total cadangan C di bawah permukaan tanah mulai dari tahun 2007 hingga 2013 telah mengalami perubahan. Pada hutan primer menurun hampir 19.627.165 Mg, pada hutan sekunder C menurun hingga 6.765.395 Mg, pada kebun kelapa sawit dan kebun campuran (pertanian lahan kering) meningkat hingga menjadi 21.241.959 Mg, dan lahan terbuka menjadi 908.740 Mg. Penambahan cadangan C
di
bawah
permukaan
tanah
untuk
kebun
kelapa
sawit/kebun
campuran/pertanian lahan kering diakibatkan oleh penambahan luas lahan hampir 17,091.33 ha. Total cadangan C di bawah permukaan tanah yang hilang dari seluruh ekosistem TPSF dari tahun 2007-2013 adalah 4,241,861. Akibat konversi lahan dan perubahan tata guna lahan telah terjadi perubahan terhadap neraca dan stok karbon di areal TPSF. Hasil kajian cadangan karbon atas tanah menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan stok karbon atas pemukaan total pada Tahun 2013 seluruh Kawasan Gambut Rawa Tripa mencapai 2.469.310,02 Mg C atau setara dengan 9.054.136,75 Mg CO2-e. Emisi CO2 yang terjadi di Kawasan Gambut Rawa Tripa
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
EXECUTIVE SUMMARY | 16
dipengaruhi temperatur gambut, kadar air gambut, kedalaman muka air gambut dan electrical conductivity gambut. Perkiraan total emisi yang terjadi pada Tahun 2013 di seluruh Kawasan Rawa Gambut Tripa mencapai 96.322.647,79 Mg CO2-e atau setara dengan 26.269.813,03 Mg (ton) C. Dampak lingkungan terhadap masyarakat di sekitar desa Kecamatan Babahrot dan Tripa Makmur akibat konversi Hutan Rawa Tripa dilihat berdasarkan kriteria 7 (tujuh) kriteria yaitu (1) kualitas dan kuantitas air, (2) kualitas udara, (3) suhu udara, (4) tingkat kebisingan, (5) kualitas tanah, (6) ancaman banjir dan erosi, dan (7) ketersediaan sumberdaya hutan. Hasil wawancara terhadap masyarakat diperoleh bahwa ketersediaan sumberdaya hutan, kualitas dan kuantitas tanah, suhu udara, ancaman banjir dan erosi adalah dampak lingkungan yang paling dirasakan oleh masyarakat pada desa-desa di Kecamatan Babahrot dan Tripa Makmur. Desa yang paling merasakan dampak lingkungan tersebut akibat konversi hutan Rawa Tripa adalah Desa Babah Lueng, Cot Simantok dan Kuala Tripa. Sementara dampak terhadap kualitas tanah dan tingkat kebisingan sebagian besar masyarakat di empat lokasi desa menganggap sampai saat ini tidak ada masalah. Hasil pengkajian secara menyeluruh terhadap areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF), dapat diajukan rekomendasi sebagai berikut : (1) Hutan primer dan hutan skunder yang ada dalam ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) perlu dijaga dan dipertahankan karena selain berfungsi sebagai habitat bagi pelestarian flora dan fauna yang dapat memberikan jasa ekologi yang terkandung di dalamnya juga terdapat lapisan tanah gambut yang dalam (> 300 cm) yang berfungsi sebagai cadangan karbon dan tempat penyerapan air. (2) Pembukaan lahan baru untuk dijadikan areal perkebunan dalam areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) perlu dihentikan (dihindarkan) untuk mencegah terjadinya degradasi lahan/hutan yang lebih luas. Pada lahan rawa gambut dalam dianjurkan mempertahankan kondisi hutan yang ada dan apabila vegetasi hutan telah tiada, maka dianjurkan untuk melakukan penanaman baru dengan menggunakan jenis tumbuhan hutan asli setempat seperti jelutung, ramin, semantok, meranti dan jenis–jenis lainnya.
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
17 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
(3) Lahan yang diperioritaskan sebagai lahan konservasi di Ekosistem Hutan rawa gambut Tripa (TPSF) dapat dibedakan atas empat subekosistem yaitu : (1) areal konservasi hutan rawa gambut dan konservasi flora dan fauna seluas 8.318,91 ha, (2) areal konservasi hutan pantai dan sempadan pantai seluas 5.639,90 ha, (3) areal konservasi hutan mangrove seluas 748,96 ha, dan (4) areal konservasi sempadan sungai seluas 4.549,76 ha dengan total luas areal adalah 19.257,53 ha atau 31,75 persen dari luar areal TPSF. Secara menyeluruh, areal Hutan Gambut Rawa Tripa (TPSF) berdasarkan keunikan ekosistemnya
disarankan
untuk
dijadikan
kawasan
ekowisata
dan
laboratorium alam yang bermanfaat bagi penelitian, dan pendidikan. (4) Diperlukan segera pembentukan kawasan perlindungan satwa untuk menampung fauna terutama mamalia dan burung (aves) yang masih tersisa dalam areal hutan rawa gambut Tripa ini dan ada peluang pembentukan koridor satwa di sepanjang wilayah Hutan Rawa Tripa yang terdiri dari koridor I dan Koridor II. (5) Untuk menjaga ekosistem rawa gambut, maka diperlukan tindakan penutupan saluran drainase (blocking canal) dan revegetasi dengan jenis– jenis tumbuhan yang sesuai dengan habitat lahan rawa bergambut. (6) Untuk mendapatkan informasi yang lebih detail dan lebih akurat terhadap rencana aksi rehabilitasi dan konservasi TPSF, maka diperlukan kajian lanjut untuk penyusunan dokumen master plan dan rencana detilnya, khususnya dalam menetapkan batas-batas wilayah konservasi, teknis pembangunan canal blocking dan pengelolaan tata air secara komprehensif melalui rekayasa aliran air sungai Krueng Seumayam dengan pembuatan bendung sederhana yang dapat mengendalikan recharge dan discharge di lahan rawa TPSF yang didukung oleh kajian mengenai hasil air (water yield) berdasarkan pola penggunaan lahan di TPSF. (7) Upaya konservasi lahan gambut rawa Tripa harus melibatkan ketiga komponen utama secara seimbang dan proporsional, yaitu Pemerintah
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala
EXECUTIVE SUMMARY | 18
Daerah, Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit, dan masyarakat lokal serta melibatkan pihak Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM dan Perguruan Tinggi untuk pengawasan, penelitian dan pengembangan. (8) Monitoring dan evaluasi kondisi lahan TPSF perlu dilakukan untuk mengetahui tindak lanjut dari hasil kajian ini dan mengevaluasi secara lebih mendalam tentang kondisi kekinian areal TPSF pada tahap implementasi rencana aksi restorasi dan rehabilitasi termasuk kajian dampak positif dan negatifnya terhadap lingkungan dan masyarakat di TPSF. (9) Perlu dibentuk suatu lembaga yang bersifat otonom yang memiliki authoriti mengorganisir implementasi Program Rehabilitasi dan Pengelolaan areal TPSF. Lembaga tersebut dapat berperan dalam melaksanakan fungsi koordinasi, pengawasan, dan pengontrolan agar program yang dilaksanakan di areal TPSF tidak tumpang tindih melainkan saling bersinergi. Selain itu juga perlu segera pembentukan Forum Rawa Tripa yang berfungsi sebagai penyeimbang dalam proses sosialisasi dan pengawasan implementasi program di lapangan.
PIU-SERT Universitas Syiah Kuala