BIODIVERSITAS | 51
Dillenia exelsa, Dracontomelon costatum, Durio carinatus, Dyeara costulata, Elaeocarpus sphaericas, Eugenia cymosa, Ficus variegata, Forestina mollissima, Gymnacranthera eugeniifolia, Gyneoetroches axillaris, Hopea sangal, H. paucinervis, Horsfieldia valida, H. irya, H. crassifolia, Jackia omate, Knema conferta, K. latifolia, K. laurina, Koompassia axelsa, Litsea, Macaranga macrophylla, Madhuca, Mallotus macrostachyus, Pithecelebium cylpearia, Poikilospermum suaveolescens, Polyalthia laterifolia, P. sumatrana, Ptemandra galeata, Radermachera glandulosa, Rauwolifia sumatrana, Rhodamnia cinerea, Shorea acuminata, S. pauciflora, S. macroptera, S. palembatica, S. leprosula, Shorea spp. Uncaria gambir, Zallacca conferta, Willughbeia (Muhadiono, 2001). Sedangkan pada daerah terbuka ditemukan jenis: Ceraptopteris thanllictriodes, Cyclosorus gingilodas, Pandanus ortrocarpus, Rhyncosfora camymbosa, Scleria praeformis, S. purpurescens, S. sumatrana, dan Stemochlaena palutris. Rawa gambut merupakan suatu formasi hutan yang diberi batasan lebih dikarenakan habitatnya yang khusus dari pada struktur dan fisiognominya. Hutan gambut di daerah tropis umumnya memiliki jenis flora yang khusus dan relatif terbatas (Whitmore, 1990). Vegetasi yang tumbuh di gambut ombrogen memiliki kharakteristik zonasi yang berlapis menuju pusat kubah gambut (peat dome). Vegetasi yang tumbuh bervariasi mulai hutan gambut campuran dengan lebih 100 spesies di zona terluar hingga tegakan murni satu spesies, misalnya Shorea, di zona tengah (Sylvius et al., 1987; Whitten et al., 1988). Karena permukaan gambut ombrogen berbentuk kubah dan satu-satunya masukan hara dan air hujan, terdapat kecenderungan hara menuju pusat gambut, terutama Posfat (P) dan Kalium (K). Kecenderungan penurunan kesuburan ke arah pusat daerah gambut tercermin dari keadaan vegetasinya, antara lain; (a) penurunan tinggi tajuk, (b) penurunan diameter/keliling jenis-jenis tertentu, (c) penurunan total biomasa, (d) peningkatan ketebalan daun sebagai akibat adaptasi terhadap tanah miskin hara, (e) ditemukannya jenis-jenis indikator tanah miskin unsur hara yang makin melimpah, terutama Nephentes spp. Variasi rawa gambut yang relatif sama ditunjukkan dengan ditemukannya hutan yang ditumbuhi pohon-pohon kerdil (dwarf forest) antara lain, dominasi pelawan (Tristania) di Semenanjung Pareh, dominasi pelawan (Tristania obovata) dan bunyuk (Ploiarium alternifolium) di delta Musi, Sumatera Selatan, dominasi Polyalthia glauca di bagian tengah hutan gambut Sumatera Selatan, serta dominasi nyamplung (Calophyllum spp.) di Pulau Padang, Riau. Dibandingkan tipe hutan lainnya, hutan gambut termasuk miskin akan spesies. Sebanyak 146 spesies pohon ditemukan di hutan gambut, sama dengan hutan kerangas (Brunig dalam Whitmore, 1975). Namun menurut Mabberley (1992) jumlah spesies total tumbuhan yang ditemukan di hutan kerangas adalah 849 spesies dan di hutan gambut 234 spesies (di Pulau Kalimantan, termasuk Serawak), Epifit yang ditemukan di hutan gambut umumnya mendapatkan hara mineral dari substrat dimana epifit tersebut menempel dan dari air hujan. Hampir semua epifit memberikan perlindungan kepada sejenis semut yang tidak agresif, dan sebaliknya epifit memperoleh hara mineral dari sisa-sisa makanan semut, semut yang mati, dan limbah lainnya (Whitten et al., 1988). Selain itu di hutan gambut banyak ditemukan spesies tumbuhan pemakan serangga, Nepenthes spp., yang merupakan indikator habitat miskin hara (Haryanto, 1989). Beberapa spesies yang umum mendominasi hutan gambut campuran antara lain; pisang-pisangan (Goniothalamus gigantea), punak (Tetramerista glabra), suntai (Palaqium burckii), bengku (G. motleyana). PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
52 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Lahan gambut merupakan sumberdaya lahan yang penting bagi masyarakat karena dari lahan gambut dihasilkan bahan papan (ramin, meranti, belangiran, bambu, nyatoh, kempas, pulai, terantang, geronggang, mahang, punak, bertanggur, dan balam), bahan sandang (daun kayu, kulit kayu), bahan pangan (padi, , jagung, sagu, ubi-ubian, dan sayur-sayuran), bahkan bahan obat-obatan atau farmako (kapayang, kirinyu, katalayu, lukut, galam, luwa, rengas, sarigading, jingah, gulinggang) dan bahan kebugaran (pasak bumi, temu-temuan) serta bahan industri (rotan, rami, jelutung). Jenis tanaman tahunan dan buah-buahan juga banyak diusahakan di lahan gambut antara lain kelapa, kopi, karet, kakao, kelapa sawit, lada, jeruk, rambutan, durian, cempedak, nangka dan nenas. Beberapa jenis buah-buahan eksotik yang sudah jarang ditemukan juga didapat di lahan gambut seperti manggis besar (Garcinia sp.), srikaya besar (Annona, sp.), durian berdaging merah (Durio sp.) serta kerabatnya seperti pampakin, lai lidung, lahong, mahrawin, kamudai, dan likol/leko (Durio graveolens), jenis rambutan seperti tarap dan kopuan (Arthocarpus spp), buah mentega (Diosperus discarlon), pitanak (Leukconitis spp), gitaan (L. corpidae), rambai padi (Baccaurea multeana), kapul/puak, ramunia (Bouea macrophylla) dan balangkasuwa (Noor, 2010). Beberapa jenis tanaman hias yang terkenal antara lain berbagai jenis anggrek (Dendrobium sp); Vanda sp, Geoderum sp., Grammotophyllum sp., teratai (Nelumbo sp., Nympaea sp.), pandan (Pandanus sp.) dan kantong semar (Nephentes sp.) terdapat di lahan gambut (Wibisono dan Noor, 2004). Pada lahan gambut terdapat sekitar 60 jenis pohon yang bernilai ekonomis penghasil kayu (Barchia, 2006. Tidak kurang dari 310-376 jenis tumbuhan terdapat pada lahan gambut baik di Kalimantan maupun Sumatera dengan kerapatan antara 1.300-3.200 individu per hektar (Anderson, Simbolon dan Mimanto, Suzuki, dalam Wibisono et al., 2005). Menurut Anderson dalam Mackinon et al. (2000) terdapat 927 jenis tanaman berbunga, 224 marga dan 70 suku tumbuhan paku di hutan gambut Brunei Darussalam dan Serawak, Kalimantan. Keanekaragaman hayati lahan gambut kaya dibandingkan dengan hutan pegunungan dan hutan bakau atau serupa dengan hutan subpegunungan daerah tropika dan hutan kerangas. Keanekaragaman hayati dan kearifan lokal dalam pembudidayaan terhadap sumber flora dan fauna (sebagai flasma nutfah) merupakan aset penting nasional dan regional yang perlu digali dan dikembangkan. Boleh jadi keanekaragaman hayati dan sumber flasma nutfah dari lahan gambut di atas mulai terancam punah apabila perhatian dan upaya restorasi dan rehabilitasi untuk mempertahankan habitatnya terabaikan. Pemanfaatan hutan rawa gambut tidak mengherankan, karena walaupun ia tergolong jenis lahan yang marjinal dari sisi pertanian, namun dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang bersifat ekonomi, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan dan agroforestry (Salim, 1987). Penggunaan untuk masingmasing kegiatan tersebut disesuaikan dengan jenis dan sifat gambutnya. Disamping itu, juga dapat dinilai dari aspek fungsi (manfaat langsung dan tidak langsung), produk yang dihasilkan, dan atribut yang melekat padanya (Sugandhy, 1997). Penilaian dengan mempertimbangkan aspek-aspek tidak langsung ini disebut dengan penilaian penuh suatu sumberdaya hutan, yang biasanya tidak dipertimbangkan dalam ekonomi klasik, padahal nilai ini seringkali lebih besar dari pada nilai manfaat langsung (Sjarkowi, 1997; Maryadi, 1984). Fungsi langsung dari rawa gambut (mengatur aliran air, pelindung dari keganasan alam, rekreasi dan pendidikan, produksi makanan dan kebutuhan penduduk setempat), sedangkan yang tidak langsung atau fungsi ekologis yaitu dapat mencegah pendangkalan (sedimentasi), menjaga persediaan bahan makanan, dan stabilitas iklim mikro. Aspek produksi berupa penyuplai air ke ekosistem lain, sumber kayu bakar, LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 53
kayu dan etah serta obat-obatan, sumber kehidupan liar, sumberdaya pertanian dan energi. Aspek atribut berupa keragaman hayati, keunikan tumbuhan, dan merupakan habitat bagi kelangsungan hidup flora dan fauna. Fungsi dan manfaat hutan rawa gambut dirangkum pada Tabel 19. Tabel 19. Manfaat Sumberdaya Hutan Gambut dan Potensi Penggunaannya Fungsi/Atribut
Pengaturan hidrologi
Stabilitas Iklim
Biodiversitas (Keanekaragaman hayati)
Sumber produk alam Pendidikan dan Penelitian
Manfaat a. Pengendali banjir, mencegah banjir pada areal pertanian atau pemukiman sekitarnya b. Mengatur pengaliran air ke areal pertanian dan pemukiman sekitarnya. c. Penyuplai air untuk minum, mencuci, irigasi dan penggunaan lainnya. d. Mencegah intrusi air laut a. Penyimpan karbon b. Pengatur iklim a. Sumber plasma nutfah b. Tempat tinggal kehidupan liar c. Tempat tinggal ikan d. Tempat tumbuhnya tumbuhan e. Tempat rekreasi f. Hutan rimba Menghasilkan kayu komersial seperti ramin, jelutung, meranti dan lain-lain. Kombinasi fungsi, atribut dan kegunaan potensial di atas, membuat hutan gambut berguna untuk pendidikan dan Penelitian.
1. Kelompok Pohon Hasil penelitian tumbuhan kelompok pohon di kawasan Rawa Gambut Tripa disajikan pada Tabel 20. Berdasarkan data Tabel 20 dapat dijelaskan bahwa di kawasan Rawa Gambut Tripa masih dijumpai beberapa spesies penciri rawa gambut yang umum dijumpai di Indonesia dan jenis yang ditemukan tersebut memiliki nilai ekonomis. Oleh karenanya agar fungsi Rawa Gambut Tripa dapat dipertahankan maka rawa gambut yang masih tersisa harus dipertahankan baik ditinjau dari aspek konservasi maupun ekologis sebagai pendukung kehidupan (life suppotting system). Tabel 20. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis-jenis pohon yang ditemukan di kawasan Rawa Gambut Tripa selama penelitian
Nama Umum Ara merah (A) Ara putih (A) Sukun hutan (I) Beringin (I) Cempedak (I) Sukun (I) Ara, kiara, bunut Nangka (I) Waru (I)
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Nama Ilmiah Ficus septida Ficus fistilosa Artocarpus camansi Ficus benjamina Artocarpus champeden Artocorpus communis Ficus microcarpa Artocarpus heterophylla Hibiscus tilaceus
Familia Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Malvaceae
54 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
10. Panjau (A) Ceiba petandra 11. Bidara (I) Ziziphus mauritiana 12. Meranti bunga (I) Shorea leprosula 13. Meranti kecil (I) Shorea uliginosa 14. Cemara laut (I) Casuarina citrifolia 15. Belimbing (I) Averhoa bilimbi 16. Durian (I) Durio zebetinus 17. Jambu air (I) Eugenia aquaeum 18. Kakao (I) Theobroma cacao 19. Karet (I) Hevea brasiliensis 20. Kelapa (I) Cocos nucifera 21. Ketapang (I) Terminalia catappa 22. Pinang (I) Areca catechu 23. Rambutan (I) Nephelium lappaceum 24. Sawit (I) Elaeis quanensis 25. Pauh (I) Acronchia poreteri 26. Gerunggung (S) Adina minutiflora 27. Tulang-tulang jantan (I) Timonius wallichianus 28. Rayutan cina (I) Trycalisia Sp 29. Parak tulang (S) Aglia ignea 30. Medang (I) Alseodhapne coreaceae 31. Medang kalong (BL) Cinnamomun inners 32. Medang talang (P) Cryptocaria crassinervea 33. Medang buaya (B) Vryptocarya gryffithiana 34. Huru madang (SD, J) Litsea angulata 35. Pulai putih (S) Alstonia pnumathopora 36. Pulai gabus (S) Alstonia spatulata 37. Pulai (I) Alstonia scholaris 38. Melabui (S) Dyrea constulata 39. Mersawa daun lebar (J) Anisoptera costata 40. Meranti daun lebar (I) Shorea uliginosa 41. Kayu lundu (I) Antidesma puncticulatum 42. Mahang putih (J), Tapu (A) Macaranga pruinosa 43. Mahang merah (I) Macaranga semiglobosa 44. Bintangur onjem (S) Callophyllum pulcherrium 45. Jangkar (B) Callophyllum sclerophyllum 46. Gerunggung (K) Cratoxylum arborescens 47. Meranti daun lebar (I) Camnosperma coreaceum 48. Kayu budeng (J) Dyospiyos hermaphroditicha 49. Pendarahan (I, J) Knema cinerea 50. Arang gambut (I) Myristica lowiana 51. Jambu cai (SD) Eugenia jambos 52. Pelawan tudak (BL) Tristinia maingayi 53. Ara (I) Ficus microcarpa 54. Ramin (U) Gonystyllus bancanus 55. Gading (I) Ilex macrophylla 56. Papungi (K) Maducca crassipes 57. Balam suntau (S) Palaquium dasyphyllum 58. Hangkang (K) Palaquium lelocarpus 59. Jangkang paya (I) Xylopia fusca 60. Mengkudu Morinda citrifolia 61. Ki acret (S) Spatodea campanulata Keterangan : I = Indonesia, J = Jawa, A = Aceh, S = Sunda
Malvaceae Rhamnaceae Dipterocarpaceae Dipetrocarpaceae Casuarinaceae Oxalidaceae Bombacaceae Myrtaceae Thebromaliaceae Euphorbiaceae Arecaceae Combretaceae Arecaceae Sapindaceae Arecaceae Rutaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Meliaceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Apocynaceae Apocynaceae Apocynaceae Apocynaceae Dipterocarpaceae Dipeterocarpaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Clusiaceae Clusiaceae Clusiaceae Anacardiaceae Ebenaceae Myristicaceae Myristicaceae Myrtaceae Myrtaceae Moraceae Thymelaeaceae Aquifoliaceae Sapotaceae Sapotaceae Sapotaceae Annonaceae Rubiaceae Bignoneaceae
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 55
Selain jenis tumbuhan penciri rawa gambut yang dijumpai pada saat penelitian dilakukan bahwa jenis tumbuhan yang tidak lazim dijumpai di kawasan rawa juga ditemukan diantaranya cempedak, sukun, nangka, belimbing, durian, jambu air, kakao, karet, kelapa, rambutan, sawit, pisang, dan pinang. Jenis yang telah disebutkan merupakan kelompok tanaman buah-buahan yang ditanam oleh masyarakat di lahan rawa gambut Tripa. Fakta ini mengindikasikan bahwa kawasan rawa gambut Tripa sudah berubah fungsi alami baik sebagai lahan yang dimanfaatkan oleh penduduk menjadi kebun maupun yang dimanfaat dan dikuasai oleh perusahaan dengan menanam kelapa sawit. Perubahan fungsi alami hutan rawa gambut Tripa baik sebagai kebun masyarakat dalam skala kecil maupun kebun kelapa sawit dalam skala besar tentu berdampak terhadap fungsi ekologis rawa gambut Tripa. Pembangunan dengan melakukan pembukaan lahan rawa gambut, bila tidak dilakukan dengan perhitungan yang cermat akan membawa dampak besar bagi lingkungan. Hal ini karena pembukaan lahan gambut sangat berbeda dengan kawasan tanah mineral (Setiadi, 1998). Pembukaan kawasan tanah mineral mungkin hanya berpengaruh ”on site”, sedangkan pada kawasan lahan rawa gambut selain berpengaruh pada ”on site” seperti vegetasi, substrat gambut dan hidrologi, tetapi juga berpengaruh ”off site” seperti kualitas air di bagian hilir, yang secara regional mempengaruhi keseimbangan neraca air dan secara global mempengaruhi keseimbangan unsur karbon di udara. Untuk itulah sebelum suatu kegiatan pemanfaatan lahan tersebut dilakukan, maka evaluasi lingkungan yang mendalam dan komprehensif perlu dilakukan untuk mencapai keseimbangan yang terbaik antara prioritas ekonomi dan lingkungan. Pembukaan rawa gambut yang disertai pembangunan saluran drainase menyebabkan keluarnya air dari sistem ini ke sistem lain, karena permukaan gambut berada di atas permukaan air sekitarnya. Sehingga dapat memicu terjadinya penurunan muka tanah (subsidensi) dan peningkatan potensi kebakaran gambut dan hutan (Haryanto, 1993). Penurunan muka tanah dapat terjadi karena penyusutan masa gambut (shrinkage) akibat proses pematangan gambut atau oksidasi/mineralisasi (de Glopper et al.,1986; Drajat et al., 1986), dan penurunan garis tinggi energi air tanah (Anonim, 1992 dalam Haryanto, 1993). Kebakaran hutan terjadi akibat keluarnya masa air dan gambut, sehingga terbentuk bahan organik kering yang mudah terbakar. Boul et al (1980) mengemukakan bahwa bahaya kebakaran meningkat apabila lahan gambut dikeringkan. Kebakaran gambut sulit dikendalikan dan dapat terbakar hingga beberapa bulan, menimbulkan pencemaran udara dan kerusakan bahan organik. Penurunan muka tanah juga disebabkan oleh pematangan gambut (soil repening). Pematangan tanah merupakan proses oksidasi/mineralisai gambut yang terjadi karena masuknya udara ke dalam lapisan tanah, meningkatnya suhu lingkungan, dan pengaruh cahaya matahari sehingga aktivitas mikroorganisme meningkat. Masuknya udara ke dalam lapisan tanah disebabkan karena keluarnya air dari masa tanah sebagai akibat dari evaporasi yang meningkat dan drainase melalui sistem kanal yang dibangun. Dalam proses pematangan ini terjadi perubahan-perubahan secara fisik dan kimia (Haryanto, 1993). Lahan gambut sangat kaya dengan berbagai jenis produk bernilai ekonomi tinggi, baik kayu maupun non kayu. Beberapa jenis kayu tersebut antara lain ramin (Gonystylus sp.), meranti (Shorea sp.), dan geronggang (Crotaxylum), sedang produk non kayunya seperti rotan, damar, dan buah-buahan. Produk-produk ini hanyalah sebagian kecil manfaat langsung hutan gambut. Bagi ekonomi lingkungan yang diperhatikan bukan saja manfaat langsung tersebut, tetapi juga manfaat tidak langsung, yang seringsekali PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
56 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
nilainya lebih tinggi bila diberi nilai moneter (Sjarkowi, 2000). Burbridge (1996) juga menyatakan bahwa fungsi lahan gambut dapat beraneka ragam baik produk lingkungan maupun ekonomi dan jasa. Contoh produksi ekonomi yaitu kayu dan rotan, sedangkan untuk jasa seperti mengurangi polusi udara dan aliran permukaan. 2. Jenis Flora Khas Rawa Gambut Bernilai Ekonomi Hasil penelitian tumbuhan kelompok pohon khas rawa yang dijumpai di kawasan rawa selengkapnya dijelaskan pada Gambar 19 s/d 52 (Metode : Spesies Identification Sheet (SIS) menurut Istomo, 2012): Gambar 19. Adina minutiflora. Kayu untuk peralatan yang dipegang di tangan untuk jembatan dan tiang pancang di air bergaram.
Gambar 20. Aglaia ignea. Kayu digunakan untuk tonggak dalam pembuatan rumah dan pembuatan kapal.
Gambar 21. Alseodaphne coreacea. Kayu digunakan untuk bangunan rumah, terutama konstruksi ringan dalam ruangan, interior, furniture, veneer dan kayu lapis, kulit digunakan untuk bahan campuran obat nyamuk.
Gambar 22. Alstonia penumatophora. Kayu komersial yang disebut kayu pulai, cocok untuk peti, ukiran, kayu lapis, getah untuk obaT sakit kulit dan kulit kayu mengandung alkoloid untuk obat.
Gambar 23. Alstonia spatulata. Kayu komersial yang disebut kayu pulai, cocok untuk peti, ukiran, kayu lapis, getah untuk obat sakit kulit dan kulit kayu mengandung alkoloid untuk obat.
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 57
Gambar 24. Alstonia scholaris. Kayu komersial yang disebut kayu pulai, cocok untuk peti, ukiran, kayu lapis, getah untuk obat sakit kulit dan kulit kayu mengandung alkoloid untuk obat, dan digunakan sebagai tanaman pelindung di kota.
Gambar 25. Anisoptera costata. Kayu komersial yang disebut mersawa, yang cocok untuk bangunan interior, pembuatan kapal, konstruksi umum, veneer dan kayu lapis Gambar 26. Antidesma puncticulatum. Kayu digunakan untuk konstruksi tiang/pancang, barangbarang kecil seperti tongkat, buah dapat dimakan, daun untuk lalap, kulit dan daun mengandung alkoloid untuk obat darah tinggi dan penyakit kotor. Gambar 27. Calophyllum pulcherrium. Menghasilkan kayu bintangur, khususnya untuk tiang, alat pancing, tiang kapal, buah dapat dimakan tetapi berasa masam.
Gambar 28. Calophyllum sclerophyllum. Kayu komersial yang disebut bintangur, yang dapat digunakan untuk konstruksi umum.
Gambar 29. Camnosperma coriaceum. Kayu komersial disebut terentang.
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
58 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Gambar 30. Cinnamomum iners. Penghasil kayu medang, untuk pembuatan rumah dan pembuatan laci kerja, getah digunakan untuk pembuatan abat nyamuk, produk plastik, formika, lem, cat dan fibre glass. Gambar 31. Cratoxylum arborescens. Kayu komersial terkenal yang disebut geronggang.
Gambar 32. Cryptocarya crassinervia. Penghasil kayu medang.
Gambar 33. Cryptocarya griffitiana. Penghasil kayu medang untuk bangunan rumah, interior, furniture, peralatan pertanian, veneer, dan kayu lapis.
Gambar 34. Diospyros hermaphroditicha. Penghasil kayu ebony, untuk kayu konstruksi.
Gambar 35. Dyeara constullata. Penghasil kayu jelutung yang lunak dan terang, mudah dikerjakan untuk pensil, pigura, ukiran papan tulis, mainan kayu, furniture, untuk bakiak dan langit-langit rumah, pemisah ruangan, akar kadang-kadang digunakan untuk sumbat dan kayu untuk gagang kampak, dan pengahsil getah jelutung.
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 59
Gambar 36. Eugenia jambos. Buah berbau wangi (harum) seperti mawar, enak untuk diamakan, daun dapat dibuat parfum, kulit menghasilkan tannin ntuk pencelupan warna tenunan. Gambar 37. Ficus microcarpa. Kayu kadang- kadang dapat digunakan untuk konstruksi ringan, kotak buah, papan serat dan kayu bakar.
Gambar 38. Gonystyllus bancanus. Penghasil kayu sangat penting yang disebut kayu ramin, kayu sangat baik untuk konstrksi cerah dan pada tempat yang bersih, kayu berwarna keputihan sangat menarik, kayu teras dapat digunakan untuk dupa. Gambar 39. Ilex macrophylla. Kayu untuk bangunan rumah, rangka pintu dan jendela, interior, furniture, ukiran, peralatan tangan, pensil, sumpit (chop stick), kotak kemas, juga kayu lapis dan moulding.
Gambar 40. konstruksi, bangunan rumah, lantai, bangunan kapal, interior dinding panel, kotak kemas, kayu lapis, kertas bungkus, kertas tulis, dan kayu bakar.
Gambar 41. Litsea angulata. Kayu secara lokal digunakan untuk kayu bangunan rumah.
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
60 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Gambar 42. Macaranga pruinosa. Kayu untuk konstruksi rumah, terutama untuk rumah penduduk asli yang tidak bersentuhan langsung tanah, untuk kotak kemas, kerangka ringan dari kayu di Filipina digunakan untuk bahan sepatu dari kayu. Gambar 43. Macaranga semiglobosa. Kayu untuk konstruksi rumah, terutama untuk rumah penduduk asli yang tidak bersentuhan langsung tanah, untuk kotak kemas, kerangka ringan dari kayu, di Filipina digunakan untuk bahan sepatu dari kayu.
Gambar 44. Myristica lowiana. Menghasilkan kayu mendarahan atau penarahan, buah sebagai makanan burung enggang.
Gambar 45. Palaquium dasyphylum. Penghasil kayu yang disebut nyatoh.
Gambar 46. Palaquium lelocarpus. Penghasil kayu nyatoh, menghasilkan getah percha, yang dicampur dengan getah percha kualitas baik.
Gambar 47. Trycalsia sp. Berpotensi sebagai tanaman hias.
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 61
Gambar 48. Tristanea maingayi. Menghasilkan kayu keras, digunakan untuk konstruksi ringan, untuktiang/pancang, pembuatan jembatan, tiang listrik, peralatan tangan, dayung, kayu bakar dan arang.
Gambar 49. Morinda citrifolia. tanaman obat.
Digunakan
sebagai
Gambar 50. untuk Terminalia catapa. Digunakan konstruksi ringan, kayu bakar, dan sebagai tanama pelindung dan penghijauan.
ambar 51. Jabon. Digunakan untuk konstruksi ringan, kayu bakar, kayu lapis, dan furniture.
Gambar 52. Spatodea campanulata. Digunakan untuk konstruksi ringan, kayu bakar, kayu lapis, dan furniture.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa ditemukan 34 jenis pohon penciri di rawa Tripa. Jenis tersebut lazim ditemukan dibeberapa kawasan rawa di Indonesia baik yang telah diteliti di kawasan Riau, Sumatera, dan Kalimantan. Dengan demikian nilai keanekaragaman flora di kawasan rawa gambut Tripa perlu dikonservasi, sehingga fungsi ekologisnya dapat dipertahankan. Flora rawa gambut meliputi tumbuhan spesies palem, pandan, Podocarpus dan wakil kebanyakan familia yang biasa ditemukan di hutan tropis basah, termasuk familia Dipterocarpaceae. Banyak spesies yang khas pada hutan rawa gambut. Jumlah spesies PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
62 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
anggota vegetasi gambut terbatas, karena pH yang rendah (pH=3,2); dan habitatnya hampir steril, jumlah jenis hutan gambut di Sumatera sekitar 100 jenis. Hutan gambut mempunyai kecenderungan membentuk vegetasi hampir murni, menutup daerah yang sangat luas, misalnya Gonystyllus bancanus dan G. macrophyllus di hutan gambut Sukalanting (Kalimantan Barat) dan Campnosperma macrophylla di Sumatera. Komposisi floristik berangusur-angsur berubah dari tepi ke arah pusat gambut. Di beberapa tempat, di Sumatera mulai dari pinggir ”hutan merapung”, hutan gambut tipis kurang dari 0,5 m tebal bahan organik sampai ke arah pusat gambut dijumpai zona berikut : (i) hutan dengan tumbuhan bawah lebat terutama jenis palem (Licuala dan Zalacca), (ii) hutan lebat, (iii) ”higt forest” dengan pohon berbatang kecil bercampur pohon berbatang kecil bercampur pohon cebol, dan (iv) hutan cebol didominasi oleh Tristania di pusat gambut dimana lapisan gambut paling tebal adalah Tristania abovata dan Pleiarium alternifolium yang dominan. Disini terdapat Nephentes ampularia sebagai liana (Muhadiono, 2001). Jenis komponen hutan rawa gambut antara lain; Alstonia pneumatophora, A. angustifolia, Antidesma puncticulatum, Aphanamiscis grandifolia, Aporosa facifera, Articarpus elasticus, A. kemando, Baccaurea bracteata, B. motleyana, Calophylum spectabile, Campnosperma macrophylla, C. Minor, Cratoxylon arborescens, Dehaadia Sp., D. Lowii, Dillenia exelsa, Dracontomelon costatum, Durio carinatus, Dyeara costulata, Elaeocarpus sphaericas, Eugenia cymosa, Ficus variegata, Forestina mollissima, Gymnacranthera eugeniifolia, Gyneoetroches axillaris, Hopea sangal, H. paucinervis, Horsfieldia valida, H. irya, H. crassifolia, Jackia omate, Knema conferta, K. latifolia, K. laurina, Koompassia axelsa, Litsea, Macaranga macrophylla, Madhuca, Mallotus macrostachyus, Pithecelebium cylpearia, Poikilospermum suaveolescens, Polyalthia laterifolia, P. sumatrana, Ptemandra galeata, Radermachera glandulosa, Rauwolifia sumatrana, Rhodamnia cinerea, Shorea acuminata, S. pauciflora, S. macroptera, S. palembatica, S. leprosula, Shorea spp. Uncaria gambir, Zallacca conferta, Willughbeia (Muhadiono, 2001). Pada tempat terbuka ditemukan jenis : Ceraptopteris thanllictriodes, Cyclosorus gingilodas, Pandanus ortrocarpus, Rhyncosfora camymbosa, Scleria praeformis, S. purpurescens, S. sumatrana, dan Stemochlaena palutris. Hutan gambut merupakan suatu formasi hutan yang diberi batasan lebih dikarenakan habitatnya yang khusus dari pada struktur dan fisiognominya. Hutan gambut di daerah tropis umumnya memiliki jenis flora yang khusus dan relatif terbatas (Whitmore, 1990). Vegetasi yang tumbuh di gambut ombrogen memiliki kharakteristik zonasi yang berlapis menuju pusat kubah gambut (peat dome). Vegetasi yang tumbuh bervariasi mulai hutan gambut campuran dengan lebih 100 spesies di zona terluar hingga tegakan murni satu spesies, misalnya Shorea, di zona tengah (Sylvius et al., 1987; Whitten et al., 1988). Karena permukaan gambut ombrogen berbentuk kubah dan satu-satunya masukan hara dan air hujan, terdapat kecenderungan hara menuju pusat gambut, terutama Posfat (P) dan Kalium (K). Kecenderungan penurunan kesuburan ke arah pusat daerah gambut tercermin dari keadaan vegetasinya, antara lain; (a) penurunan tinggi tajuk, (b) penurunan diameter/keliling jenis-jenis tertentu, (c) penurunan total biomasa, (d) peningkatan ketebalan daun sebagai akibat adaptasi terhadap tanah miskin hara, (e) ditemukannya jenis-jenis indikator tanah miskin unsur hara yang makin melimpah, terutama Nephentes spp. Sebagian besar anggota familia tumbuhan yang terdapat di hutan hujan dataran rendah terdapat hutan gambut, kecuali Combretaceae, Lythraceae, Proteaceae dan Styracaceae. Palem (Arecaceae) jarang dijumpai di hutan gambut, tetapi beberapa spesies palem nampaknya terbatas keberadaannya dalam tipe hutan ini, antara lain; LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 63
Salacca conferta, Cyrtostachys lakka, Livistonia hasseltii dan Licuala spinosa. Namun di Suaka Margasatwa Berbak, Jambi ditemukan 22 spesies palem di hutan gambut. Hal ini menyebabkan hutan gambut di kawasan ini dinyatakan terkaya akan spesies palem (Dransfield, 1974). Spesies indikator yang mencirikan hutan gambut antara lain; ramin (Gonystylus bancanus), suntai (Palaquium burckii), meranti rawa (Shorea teysmaniana), durian burung (Durio carianatus), dan punak (Tetramerista glabra). Dibandingkan tipe hutan lainnya, hutan gambut termasuk miskin akan spesies. Sebanyak 146 spesies pohon ditemukan di hutan gambut, sama dengan hutan kerangas (Brunig dalam Whitmore, 1975). Namun menurut Mabberley (1992) jumlah spesies total tumbuhan yang ditemukan di hutan kerangas adalah 849 spesies dan di hutan gambut 234 spesies (di Pulau Kalimantan, termasuk Serawak), Epifit yang ditemukan di hutan gambut umumnya mendapatkan hara mineral dari substrat dimana epifit tersebut menempel dan dari air hujan. Hampir semua epifit memberikan perlindungan kepada sejenis semut yang tidak agresif, dan sebaliknya epifit memperoleh hara mineral dari sisa-sisa makanan semut, semut yang mati, dan limbah lainnya (Whitten et al., 1988). Selain itu di hutan gambut banyak ditemukan spesies tumbuhan pemakan serangga, Nepenthes spp., yang merupakan indikator habitat miskin hara (Haryanto, 1989). Beberapa spesies yang umum mendominasi hutan gambut campuran antara lain; pisang-pisangan (Goniothalamus gigantea), punak (Tetramerista glabra), suntai (Palaqium burckii), bengku (G. motleyana). A.
Fauna Teristerial Hutan Rawa Gambut Tripa
1.
Jumlah dan Komposisi Jenis
Survey lapangan yang dilakukan pada tiga lokasi sampling (stasiun). Tiap kawasan yang dikunjungi direkam titik koordinat dengan menggunakan GPS Garmin dan selanjutnya dipetakan dalam peta distribusi titik sampling. Distribusi dan temuan fauna penting disajikan dalam peta distribusi fauna (Gambar 52). Temuan fauna dapat berupa fisik satwa atau jejak sarang dan jejak kaki yang ditinggalkan. Berdasarkan hasil yang dilakukan pada sebaran titik sampling, dalam kawasan yang dikunjungi ditemukan 96 jenis fauna dalam Kawasan Rawa Tripa Kabupaten Nagan dan Kabupaten Aceh Barat Daya. Rincian jumlah jenis yang paling banyak ditemukan dari kelas aves (50 jenis), kelas insekta 24 jenis, kelas mamalia 14 jenis, kelas amphibi/reptil hanya 8 jenis. Spesies fauna kunci yang terdapat di Hutan Rawa Tripa antara lain Harimau (Panthera tigris sumatrae), Beruang madu (Helarctos malayanus), Rusa (Cervus timorensis), Orang utan (Pongo Pygmaeus), Burung Tong-tong (Leptoptilos javanicus), Lutung hitam (Trachypithecus auratus), Elang bondol (Haliastur Indus) dan buaya muara (Crocodylus porosus). Berbeda dengan jenis-jenis fauna di hutan rawa gambut lain di Indonesia, fauna yang terdapat di Rawa Tripa dijumpai jenis mamalia besar Orang utan (Pongo pygmaeus) dan kelompok burung didominasi oleh burung punai (Treron sp). Silalahi (2007) menyebutkan bahwa Hutan Rawa Gambut Zamrud di Kabupaten Siak tidak dihuni oleh Orang Utan (Pongo pygmaeus). Sehingga kebaradaaan Orang Utan menjadi keunikan bagi Hutan Rawa Gambut Tripa di Aceh. Perbandingan proporsi fauna berdasarkan tipe habitat yang berbeda menunjukkan temuan yang menarik yaitu dominansi jenis fauna ditemukan pada tipe habitat hutan sekunder sebanyak 58 jenis (32,22%) dan diikuti hutan primer dan yang paling sedikit adalah di kebun sawit perusahaan (14 jenis) (Gambar 53).
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
64 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Gambar 53. Peta Distribusi Fauna Penting dalam Kawasan Hutan Gambut Rawa Tripa
Gambar 53. Proporsi Jumlah Jenis Fauna di Kawasan Rawa Tripa
Gambar 54. Proporsi Jumlah Jenis Fauna di Kawasan Rawa Tripa Dalam ekosistem Rawa Gambut Tripa ditemukan spesies penting (keynotes species) dalam habitat yaitu Pongo abilii (Orang utan), Panthera tigris sumatrae (Harimau Sumatera), Haliastur indus (Elang bondol) dan Ardea sumatrana (Kuntul besar). Keberadaan keynotes species menunjukkan bahwa Hutan Rawa Tripa masih memiliki kondisi habitat optimal bagi fauna (Gambar 55 s.d Gambar 57)
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 65
Gambar 55. Haliastur indus (Elang bondol)
Gambar 56. Ardea sumatrana (Kuntul besar)
Gambar 57. Jejak Pongo pygmaeus (Orang utan) berdasarkan sarang 2. Jenis Fauna Potensial Ekonomi dan Ekologi Jenis fauna yang memiliki potensi ekonomi atau bernilai ekologi yang terdapat di Rawa Tripa ditemukan sebanyak 14 jenis (Tabel 21). Nilai potensi ekonomi dari fauna dalam bentuk nilai estetika (keindahan) atau nilai potensi sumber protein, sedangkan nilai yang jauh lebih penting lainnya adalah nilai keseimbangan dalam ekosistem seperti distribusi biji dan keseimbangan rantai makanan.
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
66 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Tabel 21. Jenis Fauna Potensial Ekonomi dan Ekologi No. 1.
Nama Daerah Rusa
Nama Ilmiah Cervus timorensis
2.
Orang utan (Maweh) Tokek Beruang Lutung Hitam Harimau
Pongo pygmaeus
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
11.
Trengiling Burung Bangau Tongtong (Dhuk) Burung Pengicau Burung Punai (Rampeuneung)
Gecko sp. Helarctos malayanus Trachypithecus auratus Panthera tigris sumatrae Manis javanica Leptoptilos javanicus Prinia familiaris Treron capellei Loriculus catamene
12.
Burung Sirindit Hitam Balam
13. 14.
Burung Kutilang Burung Tiong Besar
Pycnonotus aurigaster Acridotheres javanicus
3.
Streptopelia sinensis
Nilai Ekonomi Sumber protein Nilai estetika Kesehatan Nilai estetika Nilai estetika Nilai estetika
Nilai Ekologi Rantai makanan Distribusi biji dan rantai makanan Rantai makanan Rantai makanan Rantai makanan Rantai makanan
Kesehatan Sumber protein Nilai estika Sumber protein dan nilai estetika Nilai estetika
Rantai makanan Rantai makanan
Sumber protein dan nilai estetika Nilai estetika Nilai estetika
Rantai makanan
Rantai makanan Rantai makanan
Rantai makanan
Rantai makanan Rantai makanan
Fauna Endemik Rawa Tripa dan Status Konservasi
Rawa Gambut Tripa memiliki jenis fauna endemik dengan status konservasi beragam. Jenis fauna endemik yang terdapat di Rawa Tripa berada dalam kondisi habitat yang terisolir dan terfragmentasi dalam habitat kecil. Ditemukan 18 jenis fauna endemik yang dilindungi di Kawasan Hutan Rawa Gambut (Tabel 22). Tabel 22. Fauna Endemik Rawa Tripa dan Status Konservasi No. 1.
Nama Daerah Burung Rangkong
Nama Ilmiah Buceros rhinoceros
Status Konservasi Dilindungi, terancam punah
2.
Burung Elang Putih
Haliastur indus
Dilindungi, terancam punah
3.
Burung Elang Laut
Haliaeetus pelagicus
Dilindungi, terancam punah
4. 5.
Kedih (Reungkah) Kukang
Presbytis thomasy Nectycebus coucamg
Dilindungi Dilindungi, terancam punah
6.
Lutung Kelabu
Trachypithecus cristatus
Dilindungi, terancam punah
7. 8.
Rusa Orang utan (Maweh) Tokek
Cervus timorensis Pongo pygmaeus
Dilindungi Dilindungi, terancam punah
Gecko sp
Dilindungi
9.
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 67
10.
Beruang
Helarctos malayanus
Dilindungi, terancam punah
11.
Lutung Hitam
Trachypithecus auratus
Dilindungi, terancam punah
12.
Harimau
Panthera tigris sumatrae
Dilindungi, terancam punah
13.
Trengiling
Manis javanica
Dilindungi, terancam punah
14.
Leptoptilos javanicus
Dilindungi, terancam punah
15.
Burung Bangau Tongtong (Dhuk) Buaya Muara
Crocodylus porosus
Dilindungi, terancam punah
16.
Burung hantu
Tyto alba
Dilindungi, terancam punah
17.
Burung Tiong Besar
18.
Ular Piton
Dilindungi
Acridotheres javanicus Phyton reticulatus
Dilindungi
4. Jenis-jenis Fauna di Rawa Tripa Jenis-jenis fauna yang terdapat di Rawa Tripa yang berhasil didata selama survey di lapangan adalah sebanyak 96 jenis. Seperti yang telah disebutkan pada Tabel 23. Aktivitas lapangan pengumpulan data jenis-jenis fauna di lapangan dilakukan dengan cara (1) survey langsung lapangan dengan menggunakan garis transek dan (2) melakukan wawancara dengan masyarakat untuk mendapatkan data sekunder dan data fauna potensial ekonomi. Tabel 23. Rekapitulasi data fauna di kawasan rawa Gambut Tripa yang ditemukan selama penelitian
No.
Nama Lokal
3.
Kelas Mamalia Kedih (Reungkah) Kera ekor panjang Kukang
4.
Tupai
5.
Lutung Kelabu
6.
Rusa
7. 8.
Orang utan (Maweh) Beruang
9.
Lutung Hitam
1. 2.
Nama Ilmiah
Jenis Habitat Hutan Kebun sekunsawit der masya rakat
Hutan campuran
Hutan primer
√
√
√
Fisik
√
√
√
Fisik
√
√
√
√
√
Informasi Masyarakat Fisik
√
√
Fisik
√
√
Jejak
Presbytis thomasy Macaca fascicularis Nectycebus coucamg Lariscus insignus Trachypithecus cristatus Cervus timorensis Pongo Abeliik Helarctos malayanus Trachypithecus auratus
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Kebun sawit perusah aan
Data temuan
√
√
Jejak sarang
√
√
√
√
Informasi Masyarakat Fisik
68 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
10.
Harimau
11. 12. 13.
Cerpelai Babi hutan Trengiling
Panthera tigris sumatrae Unidentified Sus scrofa Manis javanica
14.
Landak
-
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Kelas Aves Burung pelatuk Cicem Jantong-madu Burung Gagak Hitam Burung Kutilang Burung cucak rawa Burung cucak rawa hutan Burung cucak rawa Bangka
22.
Cempala paki
23.
Burung Manyar (Miriek) Burung Balam (Lheuk) Burung pipit (Tulo) Kepala Putih Burung Beruwak Burung Hujanhujan Burung Punai (Rampeuneung) Burung Sirindit Hitam Burung Perling Hitam Thet-thet brown prinia Rangkong dada putih
24. 25.
26. 27. 28.
29. 30. 31. 32. 33.
34. 35. 36. 37. 38.
Raja Udang/King fisher Kuntul kerbau Kuntul perak Kuntul besar Burung Raja Udang Burung Bangau Tongtong (Dhuk)
√ √
Picoides tridactylus Aethopyga siparaja Corvus enca
√
Pycnonotus aurigaster Copsychus sp1
√
√
√
Informasi Masyarakat Fisik Fisik Informasi Masyarakat
√ √
√ √ √
√
√
Informasi Masyarakat
√
√
Sarang
√
√
Fisik √ √
√
Copsychus sp2
Fisik √
√
√
√
Fisik
√
Fisik
Copsychus sp3
√
Copsychus saularis Ploceus manyar
√
√
√
√
√
Streptopelia chinensis Lonchura maja
√
√
√
√
√
√
Amaurornis phoenicurus Psarisomus dalhousiae
√
√
√
√
√
√
√
√
Fisik
Fisik
√
Fisik Fisik
√
Fisik Fisik
√
Fisik Fisik
√
Fisik
Treron capellei Loriculus catamene Aploins panayensis Prinia plychroa
√
Fisik
√
Fisik
√
Fisik
Authracoceros convexus
√
Informasi masyarakat
Halcyon capensis
√
Fisik
Bubulcus ibis Eggretta garzetta Eggretta alba Alcedo atthis
√ √
√ √
√ √
√
Leptoptilos javanicus
√
Fisik Fisik
√
√
Fisik Fisik Fisik
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 69 39. 40. 41.
42. 43. 44. 45. 46.
47.
48. 49. 50.
51.
52. 53. 54. 55. 56.
Burung Pengicau Burung Rangkong Burung Bangau (Cenggrik) Burung Cirek Burung Elang Putih Burung pipit loreng Burung Elang Laut Burung Raja Udang Besar Biru Burung Bangau Bulu Merah Tua (Bakoh) Burung Merbok Buaya Muara Burung Rangkong Kecil Burung Poksay Kuda Biru kecil Burung gotgot Burung Puyuh Hutan Burung hantu Burung raja udang biru Burung Jalak (Tiong) Besar
57.
Kelas Amfibi dan Reptil Kura-kura
58.
Biawak
59. 60.
Amfibi (Kodok Hutan) Kadal Hutan
61.
Ular Piton
62. 63. 64.
Kadal Kodok Tokek
Prinia familiaris
√
Buceros rhinoceros Ardea sumatrana
Fisik Fisik
√
Haliastur indus
Fisik
√
Fisik Informasi Masyarakat Fisik
√
Lonchura punctuate Haliaeetus pelagicus Halcyon pileata
√
√
Fisik
Ardea purpurea
√
Fisik
Geopelia striata
√
Fisik
Crocodylus porosus Buceros sp
√
Informasi Masyarakat Fisik
Garrulax rufifrons
√
Centropus sinensis Perdicula asiatica Tyto alba
√
√
√
Fisik
√
√
Halcyon pileata
√
√
√
Informasi Masyarakat Informasi Masyarakat Fisik
Acridotheres javanicus
√
√
√
Fisik
Chelidra cerpentina Varanus varanus Ingerophrynus biporcatus Takydromus sexlineatus Phyton reticulatus Mabouya sp. Bufo sp Gecko sp
√
Fisik
√
√
Fisik
√
Informasi Masyarakat Suara
√ √ √
√ √
√ √
Fisik Informasi Masyarakat Fisik Fisik Fisik
√ √ √
Kelas Insekta 65.
Capung Hijau
Diplacodes trivialis
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
√
Fisik
70 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
66.
Belalang
67.
Belalang Antena Panjang (Jangkrik) Semut Hitam
68.
Locusta migratoria Gryllus assimilis
√
Fisik
√
Fisik
Lasius fuliginosus Copsychus malabaricus
√
Fisik
√
Fisik
√
Suara
69.
Burung Murai (Cempala) Hitam
√
70.
Ayam Hutan
Gallus varius
71.
Brachymesia furcata Monomorium pharaonis
√
72.
Capung Merah Semut hitam
√
√
√
Fisik
73.
Semut
√
√
√
Fisik
74.
Semut
√
√
√
Fisik
75.
Semut
√
√
√
√
Fisik
76. 77.
Semut Semut
√
√ √
√ √
√ √
Fisik Fisik
78. 79.
Kumbang Kumbang
Oecophylla smaragdina Camponotus pennsylvanicus Dorymyrmex smithi Lasius niger Taeniogonalos gundlachii Cupes capitatus Lophobaris sp
√ √
√ √
√ √
Fisik Fisik
80.
-
√
√
√
Fisik
81.
Capung
√
√
√
Fisik
82. 83.
Capung Kupu-kupu
√ √
√ √
√ √
√ √
Fisik Fisik
84.
Kupu-kupu
√
√
√
√
Fisik
85.
Kupu-kupu
√
√
√
Fisik
86.
Belalang
√
√
√
Fisik
87.
Belalang
√
√
Fisik
88.
Lintah Daun
√
Williamsonia fletcheri Neurothemis fluctuans Argia apicalis Eurema simulatrix Catopsilia frorella Neophasia terlooii Dichromorpha elegans Aptenopedes aptera Annelida
Fisik
√ 34
30
Fisik 58
32
26
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 71
Contoh foto jenis-jenis fauna yang ditemukan di Kawasan Rawa Tripa disajikan pada Gambar 58 sampai 69 dan foto-foto selama penelitian disajikan pada gambar 70s/d 74.
Gambar 58. Copsychus saularis
Gambar 60. Copsychus sp
Gambar 62. Geopelia striata
Gambar 64. Macaca fascicularis
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Gambar 59. Mabouya sp.
Gambar 61. Steptopelia sinensis
Gambar 63. Leptoptilos javanicus
Gambar 65. Burung Raja Udang
72 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Gambar 66. Ardea sumatrana
Gambar 68. Buceros sp.
Gambar 70. Jejak kaki Rusa (Cervus unicolor)
Gambar 67. Treron sp.
Gambar 69. Centropus sinensis
Gambar 71. Tim survey biodiversity sedang melakukan survey
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 73
Gambar 72. Tim survey biodiversity sedang melakukan wawancara dengan masyarakat
Gambar 73. Tim survey biodiversity sedang melakukan survey
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
74 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Gambar 74. Ketua tim Survey Biodiversity Fauna Teresterial menuju hutan primer di kawasan Krueng Seuneuam, Nagan Raya
Gambar 75. Tim sedang melakukan wawancara dengan tokoh masyarakat di Desa Ie Mirah Kec. Babah Krueng (Lokasi potensi koridor). 5. Potensi Pembentukan Kawasan Koridor Hutan Konservasi Pembentukan koridor penghubung kawasan satwa berpotensi dibentuk di daerah yang masih tersisa hutan primer atau sekunder. Koridor I: mulai dari Kawasan Muara Krueng Rawa Tripa Desa Babah Lueng dan Desa Alue Seupek Kec. Darul Makmur serta Kawasan PT Gelora Sawita Makmur (Kawasan Krueng Seuneuam) sampai dengan Kawasan Krueng Seumayam Kawasan sisa hutan PT Surya Panen Subur 2. Koridor II: mulai dari hutan LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 75
primer dan hutan sekunder Desa Ie Mirah Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya sampai dengan Kawasan Kulam Gajah Desa Lama Tuha Kecamatan Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya. Kawasan hutan konservasi yang ditinggalkan oleh PT. Surya Panen Subur kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan mengingat sebagian kawasan sudah berubah menjadi areal perkebunan kelapa sawit, sementara areal yang disisakan kondisi vegetasinya sebagian besar pohon mengalami kematian. Oleh karenannya lahan yang belum ditebang disarankan untuk tetap dikonservasi, mengingat vegetasi untuk strata pohon kepadatan masih cukup padat, dan penutupan pohon tergolong masih baik. Penghubung hutan Rawa Tripa juga berpotensi dibentuk koridor penghubung dengan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yaitu di kawasan Desa Ie Mirah Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya. Kawasan melintasi jalan raya, pemukiman dan perkebunan masyarakat, namun masih berpotensi karena didominasi oleh pohon pohon milik masyarakat. Adapun potensi koridor dan pembentukan kawasan perlindungan satwa masih membutuhkan kajian yang lebih mendalam. B.
Fauna Akuatik Ikan Hutan Rawa Gambut Tripa
1.
Kelimpahan dan Distribusi Ikan
Sebanyak 765 ekor ikan yang terdiri dari 75 spesies terdiri dari 33 spesies air tawar dan 37 ikan payau dan 4 spesies ditemukan di perairan tawar dan payau. Dari 75 spesies ikan yang tercatat dapat dikelompokkan dalam 36 Famili dan 48 Genus (Lampiran 1). Famili Cyprinidae merupakan ikan yang dominan baik dari jumlah genus maupun jumlah spesies dari genus yang ada didalam familia tersebut (Gambar 76). Cyprinidae juga mendominasi spesies ikan di Muara Enim Sumatera Selatan (Junaidi, 2004), Lembah sungai Yangtze Cina (Fu et al. 2002) dan waduk Ahning Malaysia (Sharuddin and Ali, 2002). Cyprinidae dikenal sebagai kelompok terbesar ikan-ikan air tawar sejati. Sedangkan jika dilihat dari keragaman jenis berdasarkan Genus maka Ambassis, Mystus , Rasbora dan Lutjanus memiliki anggota spesies terbanyak, yaitu masing-masing 4 spesies.
Gambar 76. Komposisi Spesies ikan di Ekosistim Rawa Gambut Tripa berdasarkan Familia Jumlah generasi dan spesies terbanyak dijumpai di Kuala Tripa (Nagan Raya) dan Kuala Batee (Aceh Barat Daya), sedangkan jumlah genera dan spesies yang paling rendah PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
76 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
dijumpai di Krueng Matee, Aceh Barat Daya (Tabel 24). Analisis ditribusi lokal ikan di Rawa Gambut Tripa menunjukkan 59 spesies sangat jarang (78,7%), 14 spesies jarang ditemukan (18,7%), dan 2 spesies (Hampala macrolepidota dan Puntius brevis) sering ditemukan (2,7%) (Lampiran 1). Dari 75 jenis yang ditemukan, sebanyak 15 jenis diantaranya belum berhasil diidentifikasi sampai tingkat jenis, diantaranya; Butis sp. (cong rahang panjang), Caranx sp. (langkitok), Channa sp. (gabus), Cyclocheilichthys sp. (serukan), Glossogobius sp. (cong rahang pendek), Osteochilus sp. (serukan biru), Oxyeletris sp. (ketutu), Poropuntius sp. (naleh), Puntius sp. (putihan), Rasbora sp. (bileh) dan Xiphophorous sp. Kemungkinan besar ada diantaranya adalah spesies baru atau endemik di kawasan ini. Tabel 24. Kekayaan Jenis Ikan berdasarkan Lokasi Sampling Total Genus 25 10 7 5 18 8
Total Spesies 30 10 7 5 21 10
Alue Sapek Kr. Seumayam
6 9
8 11
23 103
9.
Ranto Kepala Gajah
5
6
19
10.
Alue Ie Itam
10
16
136
11.
Krueng Matee
4
5
24
12.
Kr. Lamie (Keubejagat & Jembatan)
5
6
28
No.
Lokasi sampling
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kuala Tripa Suak Tripa Kuala Seuneuam Pulo Ie Kuala Batee Kuala Tadu
7. 8.
Total Individu 231 24 19 22 59 59
2. Indek Biologi Ikan Indek keragaman (H’) menyatakan kekayaan spesies dalam komunitas dan memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian individu setiap spesies. Nilai ini akan semakin meningkat jika jumlah spesies semakin banyak dan proporsi setiap spesies (jumlah individu setiap jenis) semakin merata (Kreb, 1978). Dari penelitian ini diperoleh nilai H’ berkisar antara 1,23 – 2,71, indek keragaman tertinggi dijumpai di Kuala Batee, sedangkan terendah dijumpai di Alue Ie Itam, masing-masing terletak di Aceh Barat Daya dan Nagan Raya (Tabel 17). Odum (1971) mengklasifikasi nilai keragaman sebagai berikut; H>3, maka keanekaragaman jenis tinggi; 1
0,75), 3 lokasi katergori sedang (0,5-0,75) dan 1 lokasi ketegori rendah (<0,50) (Tabel 18). Sehingga secara umum dapat disebutkan indek kemerataan tergolong tinggi, artinya kelimpahan individu pada setiap spesies merata dan juga mengidikasikan tidak ada spesies yang dominan . Kemiripan struktur komunitas ikan atar lokasi penelitian di LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 77
Ekosistim Rawa Gambut Tripa tergolong rendah, yaitu berada dibawah 40% (Gambar 77), artinya secara umum struktur komunitas ikan disetiap lokasi bersifat unik disebabkan oleh komposisi dan kekayaan jenis yang agak berbeda.
Gambar 77.
Kemiripan populasi Gambut Rawa Tripa
ikan
antar
stasiun
penelitian
di
Ekosistim
Tabel 25. Beberapa Indek Biologi ikan di Ekosistim Rawa Gambut Tripa Kekayaan spesies
Indek kemerataan
Kuala Tripa
5,33
0,69
Indek Keragaman Shanmon 2.36
Suak Tripa Kuala Seuneuam Pulo Ie Kuala Batee Kuala Tadu Alue Sapek Krueng Seumayam Ranto Kepala Gajah Alue Ie Itam Krueng Matee Kr. Lamie (Keubejagat & Jembatan)
2.83 2,04 1,29 4,91 2,21 2.23 2.16 1,82 3,05 1,26 1.50
0.90 0,85 0.96 0,89 0.68 0.89 0.73 0,89 0,44 0.87 0.93
1,66 1,66 1.54 2,71 1.57 1.85 1.74 1.43 1,23 1.40 1.67
No.
Lokasi sampling
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
3. Status Konservasi dan Ekonomis Ikan di Rawa Gambut Tripa Sejauh ini belum teridentifikasinya adanya ikan endemik bagi kawasan ini, namun demikian satu spesies ikan yaitu Tor tambra tergolong ikan yang terancam punah (Threatened). Selama penelitian tercatat 4 spesies ikan introduksi, yaitu Hyposarkus pardalis sapu kaca) Oreochromis niloticus (nila), Channa setriata (gabus) dan Trichopodus pectoralis (sepat siam) (Gambar 78). Dua spesies terakhir dintroduksi pada beberapa dasawarsa silam dan ikan-ikan tersebut sudah beradaptasi dengan baik di kawasan ini khususnya dan Indonesia umumnya. Sedangkan O. niloticus (nila) PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
78 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
diintroduksi ke Indonesia oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Air Tawar, Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia pada Tahu 1969 dan diprediksi masuk ke Aceh pada tahun 1990an (Muchlisin, 2012), sedangkan ke kawasan Rawa Tripa tidak ada catatan yang pasti tahun masuk ikan tersebut. Sedangkan H. pardalis, menurut masyarakat Dusun Alue Sapek dimana ikan ini ditemukan selama survey bahwa ikan ini mulai ditemukan di perairan setempat lebih kurang 5-10 tahun lalu (kurun 2000an), kemungkinan pada awalnya ikan ini dipelihara sebagai ikan hias pembersih akuarium dan setelah besar tidak menarik lagi dan dilepaskan ke perairan mungkin disebabkan oleh pengetahuan yang terbatas sehingga tidak memahami dampak yang akan ditimbulkan. Dampak introduksi spesies asing ke suatu perairan selengkapnya dapat dibaca pada laporan Muchlisin (2012). Introduksi ikan asing ke suatu perairan menyebabkan populasi ikan asli setempat turun dan bahkan punah. (Saunders et al., 2002), hal ini disebabkan karena terjadinya pemangsaan terhadap ikan lokal (Nicola et al., 1996), kompetesi dalam mendapatkan makanan dan pemanfaatan habitat (Alcaraz and Garcia-Bethou, 2007), kegagalan untuk mendapatkan pasangan (Seehausen et al., 1997), meningkatkan peluang penyebaran patogen penyebab penyakit pada ikan bahkan manusia (FAO, 2005), terjadinya kawin silang yang tidak diharapkan dengan species lokal (Almodovar et al., 2006) yang menyebabkan hilangnya gen-gen pembawa sifat unggul, misalnya ketahanan terhadap penyakit. Sebagai ilustrasi, introduksi ikan ‘redbreast sunfish’ (Lepomis auritus) ke beberapa danau di Italia telah menyebabkan populasi ikan asli setempat Alburnus alburnus berkurang drastis dan populasinya digantikan oleh ikan pendatang tersebut, dan introduksi ikan trout Salmo trutta ke perairan New Zealand juga menyebabkan populasi ikan endemic New Zealand grayling (Protoctes oxyrhynchus) turun drastis (Wargasasmita, 2002). Lebih lanjut Strecker (2006) melaporkan bahwa populasi ikan Cyprinodon sp and Gambusia sexradiata di Laguna Chichancanab, Mexico menurun tajam setelah terjadinya invasi ikan Astyanax fasciatus and Oreochromis (African cichlid), bahkan Cyprinodon simus yang hidup disana dilaporkan sangat sukar dijumpai dan prediksi telah pupus. Suatu fenomena yang sangat terkenal yang terjadi di Danau Victoria dan Danau Kyoga yang terletak di bagian timur Afrika, peristiwa ini didokumentasi dengan baik dan menarik perhatian para saintis. Jumlah species dan kelimpahan ikan lokal menurun drastis setelah introduksi ikan nile perch (Lates niloticus) di kedua danau tersebut. Akibatnya sangat buruk, menyebabkan produksi perikanan di Nyanza Gulf, Kenya kolaps pada Tahun 1985. Seluruh nelayan menerima dampak buruk dari peristiwa ini akibat kehilangan mata pencaharian dan terpaksa dipindah dari teluk tersebut (Barlow and Lisle, 1987). Hal serupa bukan tidak mungkin terjadi jika kawasan Gambut Rawa Tripa jika introduksi spesies asing ini tidak diatur dan dibatasi. Analisis nilai ekonomi berdasarkan status ikan-ikan yang diperdagangkan baik sebagai ikan konsumsi maupun ikan hias, maka dari 75 spesies tersebut 20 spesies (26,7%) diantaranya merupakan ikan konsumsi (Tabel 26 dan Gambar 72) dan 5 spesies berpotensi sebagai ikan hias karena corak dan warnanya yang menarik, yaitu; , Mystus caviatus, Rasbora torneiri, Toxotes jaculatrix, Trichopodus trichopterus, Xiphophorous sp. (Gambar 79) yang diperdagangkan ditingkat lokal maupun keluar daerah. Menurut Muchlisin (2013) bahwa tercatat sebanyak 40 spesies ikan air tawar yang benilai ekonomis sebagai ikan konsumsi dimana 14 spesies diantaranya bernilai ekonomis tinggi dan 21 spesies berpotensi sebagai ikan hias. Ikan-ikan yang bernilai ekonomis yang
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 79
ditemukan di kawasan Rawa Gambut Tripa tersebut sebagian merupakan ikan-ikan yang dilaporkan oleh Muchlisin (2013).
Gambar 78. Ikan-ikan Introduksi yang ditemukan di Perairan Rawa Gambut Tripa Namun demikian secara umum jumlah ikan introduksi di kawasan Rawa Tripa masih tergolong rendah berbanding kawasan lainnya di Aceh dan distribusinya juga masih rendah, sebagai pembanding di Danau Laut Tawar ditemukan 6 spesies ikan introduksi dan saluran irigasi Sibreh, Aceh Besar sebanyak 5 spesies (Muchlisin, 2012). Namun demikian ancaman terhadap peningkatan jumlah spesies asing di kawasan dinilai tinggi, hal ini disebabkan adanya kegiatan buidaya perikanan yang dominan menggunakan spesies ikan asing sebagai ikan target budidaya, misalnya ikan mas (Cyprinus carpio) dan lele dumbo (Clarias gariepinus), namun kedua ikan ini tidak ditemukan dilokasi sampling, namun kami menduga kedua ikan tersebut sudah berada di perairan Rawa Gambut Tripa ini, namun penyebarannya masih terbatas. Oleh karena itu diperlukan suatu kegiatan penyadaran bagi masyarakat akan ancaman dan bahaya ikan-ikan eksotik tersebut bagi lingkungan secara jangka panjang dan masyarakat perlu digalakkan untuk membudidayakan ikan-ikan lokal yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Selain itu juga diperlukan adanya kebijakan pembatasan introduksi ikan-ikan asing khususnya di kawasan Rawa gambut Tripa.
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
80 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Xiphophorus
sp.(?)
Toxotes jaculatrix
Mystus cavasius
Trichopodus trichopterus
Rasbora torneiri,
Gambar 79. Ikan-ikan yang berpotensi sebagai ikan hias yang hidup di Rawa Tripa.
Gambar 80. Ikan-ikan yang bernilai ekonomis sebagai ikan konsumsi yang ditemukan di perairan Gambut Rawa Tripa Tabel 26. Ikan-ikan yang bernilai ekonomi yang hidup di Perairan Rawa Gambut Tripa No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Nama Ilmiah Anguilla bicolor Channa lucius Channa striata Channa sp. Clarias batrachus Cyclocheilichthys sp. Hampala macrolepidota Johnius coitor
Nama lokal Kirai Bujok Bacei Bacei Sengko Mirah mata Kebere Gelama
Namun umum Sida Bujuk Gabus Gabus Lele Kebarai
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 81 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Lethrinus sp. Lutjanus argentimaculatus Lutjanus fuscescens Lutjanus johnii Lutjanus russellii Oreochomis niloticus Osteochilus hasseltii Osteochilus schegelii Oxyeletris sp. Polydactylus sexfilis Scatophagus argus Tor tambra
Tenga Bateng Ikan tanda Ramong Ikan tanda Nila Serukan Serukan Ketutu Senangin Kitang Kureling
Lampan Lampan Betutu
Tambra
D. Fauna Akuatik Makrozoobentos 1. Komposisi Jenis dan Distribusi Makrozoobentos Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di perairan estuaria kawasan rawa gambut Tripa kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya Provinsi Aceh pada bulan Mai sampai dengan Juni 2013, teridentifikasi sebanyak 30 spesies makrozoobenthos yang tersebar pada 5 stasiun. Dari jumlah tersebut 18 spesies dari Kelas Gastropoda (Filum Mollusca), 6 spesies dari Kelas Bivalvia (Filum Mollusca), 5 spesies dari Kelas Crustacea (Filum Arthropoda) dan 1 spesies dari Kelas Insekta (Filum Arthropoda) (Lampiran 2). Spesies yang paling dominan dari segi jumlah individu yang tertangkap adalah Faunus ater dari Kelas Gastropoda yaitu sebanyak 1734 individu, sedangkan dan jenis yang paling sedikit jumlah invidunya adalah Brotia costula, Lophiotoma indica, dan Nerita atramentosa dari Kelas Gastropoda dan Progomphus obscurusdari Kelas Insekta sebanyak masing-masing satu individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas makrozoobentos di kawasan Rawa Gambut Tripa didominasi oleh kelas Gastropoda (Gambar 81). Gastropoda dilaporkan juga mendominasi spesies makrozoobentos di Muara Sungai Belawan Sumatera Utara (Yeanny, 2007) dan Perairan Morosari Kabupaten Demak (Andri et al., 2012), ini disebabkan kondisi lingkungan yang sesuai dengan kehidupannya. Selain dominan dari segi jumlah individu, Faunus ater juga tergolong memiliki ditribusi yang luas dan paling sering ditemukan (80%) berbanding spesies lainnya, diikuti oleh Neritina natalensis (60%), Theodoxus vespertinus dan Episesamu versicolor, masing-masing 60% (Gambar 74). Gastropoda memiliki daya adaptasi hidup yang lebih baik berbanding kelas yang lain, karena gastropoda pada umumnya memiliki cangkang tebal dan kuat (Dharma (1988), sehingga organisme tersebut tidak mudah dimangsa oleh predator dan dapat berlindung dalam cangkang jika keadaan lingkungan kurang mengutungkan dan bahkan dapat bepindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan cara merayap sehingga melimpah dan distribusinya termasuk tinggi. Selain itu juga diduga gastropoda dapat hidup dan berkembang dengan baik pada berbagai jenis substrat yang memiliki kesediaan makanan yang cukup dan kondisi fisika kimia perairan yang mendukung. Jumlah genera dan spesies terbanyak dijumpai di Kuala Batee (Aceh Barat Daya), sedangkan jumlah genera dan spesies yang paling sedikit dijumpai di Krueng Seuneam (Tabel 27).
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
82 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Gambar 81. Pembagian proporsi jumlah spesies makrozoobentos berdasarkan kelas Tabel 27. Kekayaan Jenis Makrozoobentos berdasarkan Stasiun Penelitian Stasiun
Jumlah Genus
Jumlah Spesies
Jumlah Individu
Kuala Tripa
9
10
1500
Suak Tripa
8
8
565
Muara Seunaam Kuala Batee
6 12
6 13
508 2017
Kuala Taduu
9
9
427
Parameter kualitas air yang diukur adalah salinitas, kecerahan, suhu, oksigen terlarut (DO) dan derajat keasaman (pH). Secara umum salinitas berkisar antara 3 ‰ sampai dengan 5,7 ‰ , nilai kecerahan berkisar antara 20 cm sampai dengan 45 cm, dan suhu berkisar antara 26,8 °C sampai dengan 33,5 °C. Menurut Adriman (1995) suhu merupakan faktor langsung yang mempengaruhi laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup makrozoobenthos, batas toleransi tertinggi untuk keseimbangan struktur populasi hewan bentos adalah mendekati 32˚C, oksigen terlarut (DO) berkisar antara 0,5 mg/L sampai dengan 4,5 mg/L. Secara teoritas oksigen terlarut mempengaruhi jumlah dan jenis makrobenthos di perairan. Semakin tinggi kadar DO terlarut maka jumlah makrozoobentos semakin tinggi (Sastrawijaya, 2000) dan nilai derajat keasaman (pH) berkisar antara 7,45 sampai dengan 7,89. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan umumnya mereka menyukai nilai pH sekitar 7 - 8,5, sedangkan pH ideal bagi gastropoda adalah 7.0-8.7 dan pH 5.6-8.3 untuk bivalvia (Effendi, 2003). Kondisi fisika kimia pada masing-masing stasiun dapat dilihat pada Lampiran 2. Secara umum tipe subtrat di stasiun penelitian adalah lumpur berpasir (dominan lumpur) dan pasir berlumpur (dominan pasir) (Tabel 28). Dari 30 spesies makrozoobentos beberapa diantarnya memiliki nilai ekonomis yang cukup baik ditingkat lokal karena sudah diperjualbelikan sebagai bahan makanan (konsumsi), diantaranya adalah; Funus ater, Battisa violacea, Brotia kelantanensis, Melaniodes plicaria, Melanopsis tingitane.
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 83
Gambar 82. Spesies Makrozoobentos yang paling sering ditemui dan terdistrubusi luas di kawasan Rawa ganbut Tripa Tabel 28. Tipe Subtrat pada setiap Stasiun Penelitian di kawasan Rawa gambut Tripa No. 1. 2. 3. 4. 5.
Stasiun Kuala Tripa Suak Tripa Krueng Seunaam Kuala Batee Kuala Taduu
Tipe substrat Lumpur berpasir (dominan lumpur) Pasir berlumpur Pasir berlumpur Pasir berlumpur Pasir berlumpur
2. Indek Biologi Makrozoobentos Indek keragaman (H’) menyatakan kekayaan spesies dalam komunitas dan memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian individu setiap spesies. Nilai ini akan semakin meningkat jika jumlah spesies semakin banyak dan proporsi jenis semakin merata (Kreb, 1978). Indeks keragaman (H’) makrozoobentos berkisar 0,43 - 1,63, yaitu kategori rendah sampai sedang. Indek keragaman tertinggi dijumpai di Suak Tripa, sedangkan yang terendah dijumpai di Kuala Tadu (Tabel 29). Dari lima lokasi yang dikaji, tiga lokasi diantaranya tergolong keragaman rendah dan dua lainnya karagaman sedang, sehingga dengan demikian dapat dikatakan indek keragaman makrozoobentos di Rawa Gambut Tripa tergolong rendah. Rendahnya keragaman makrozoobentos berkaitan erat dengan ketersediaan makanan di perairan khususnya pada subtrat atau sedimen yang ada di dasar perairan, hasil penelitian menunjukkan umumnya substrat di semua lokasi dominan berpasir sehingga dengan demikian kandungan bahan organik rendah dan menyebabkan pertumbuhan dan kelimpahan makrozoobentos menjadi rendah pula. Secara teoritis keragaman jenis suatu area sangat dipengaruhi oleh tipe dan kualitas substrat, kelimpahan sumber makanan, kompetisi antar dan intra spesies, gangguan dan kondisi dari lingkungan sekitarnya (pencemaran). PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
84 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Tabel 29. indeks biologis pada masing-masing stasiun di kawasan Rawa Gambut Tripa Stasiun Kuala Tripa Suak Tripa Muara Seunaam Kuala Batee Kuala Tadu
Kekayaan jenis 1,23 1,11 0,80 1,58 1,32
Indeks kemerataan 0,24 0,78 0,54 0,43 0,19
Indeks keragaman(H’) 0,56 1,63 0,97 1,11 0,43
Nilai similiritas makrozoobentos di setiap wilayah secara umum tergolong rendah, yaitu berada dibawah 40%, artinya setiap lokasi memiliki ciri tersendiri. Namun demikian, kemiripan struktur komunitas yang agak tinggi diumpai antara Kuala Batee dan Kuala Seunaam, hal ini menunjukkan bahwa komposisi spesies yang menyusun komunitas makrozoobentos dikedua lokasi hampir sama (Gambar 75).
Gambar 83. Bray curtis similarity antar lokasi penelitian di Rawa Gambut Tripa E. Manajemen Sumberdaya Perikanan (SDP) Kawasan Rawa Gambut Tripa 1. Pengertian dan Tujuan Manajemen SDP Manajemen sumberdaya perikanan adalah suatu manajemen yang mengatur pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sedangkan manajemen itu sendiri adalah serangkaian proses mulai dari pengumpulan data hingga pelaksanaan kebijakan dan tindakan-tindakan manajemen untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (Sondita, 2010). Menurut Undang-Undang Nomor 31/2004, yang dimaksud dengan pengelolaan (manajemen) perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi serta penegakan hukum dari perundangundangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lainnya yang diarahkan untuk memcapai kelangsungan produktifitas sumberdaya hayati perairan, sumberdaya hayati ikan dan tujuan yang telah disepakati. Dengan demikian tujuan dari manajemen sumberdaya perikanan adalah untuk menjamin kelestarian sumberadya ikan dan keberlanjutan usaha perikanan yang LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 85
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat khususnya pelaku perikanan. Hal ini senada dengan Murdiyanto (2004), yang menyatakan bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah melestarikan sumberdaya hayati ikan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial nelayan, dan menjamin suplai bahan pangan untuk masyarakat dan bahan baku industri, baik pengolahan untuk menghasilkan produk pangan maupun non pangan. 2. Nilai Ekonomi Sumberdaya Perikanan Perikanan telah menjadi salah satu industri yang sangat penting dalam rangka memenuhi kebutuhan protein hewani yang murah sehingga dapat dijangkau oleh seluruh lapiran masyarakat, selain itu juga protein dari ikan diketahui banyak mememiliki kelebihan berbanding dengan protein hewani lainnya. Permintaan akan ikan konsumsi teus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran dalam penjagaan kesehatan. Hal tersebut telah memberi dampak bagi peningkatan produksi perikanan khususnya dari perikanan tangkap yang terus meningkat dalam kurun waktu 1950a sampai kurun waktu 1970an, namun produkssi perikanan tangkap menunjukkan trend yang stagnasi dan cendreung menurun setelah kurun waktu tersebut. Di lain pihak permintaan akan produk perikanan semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring pula dengan pertambahan penduduk dunia dan kesadaran masyarakat akan penjagaan kesehatan dan pengetahuan akan kelebihan atau keuntungan zat gizi yang berasal dari ikan dibandingkan dengan hewan darat lainnya. Sebagai contoh misalnya pada tahun 2020 diprediksi penduduk dunia akan mencapai jumlah 8.5 milliar jiwa, dibandingkan jumlah saat ini sekitar 6 miliar jiwa Sumber protein hewani dari ikan memiliki kelebihan dibandingkan dengan protein hewani lainnya selain karena komposisi asam-asam aminonya yang relatif lengkap juga karena protein hewani dari ikan dapat dikonsumsi oleh semua kalangan mulai anak-anak sampai orang tua bahkan orang yang sakit jatung koroner sekalipun masih boleh mengkonsumsi ikan. Protein hewani ikan juga merupakan sumber protein yang relatif murah sehingga dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, mulai golongan miskin sampai orang kaya.Menurut Kraut (1957) yang disitasi oleh Zonneveld et al. (1991), protein ikan mengandung lebih kurang 8 jenis asam amimo, yaitu; Isoleusin, Leusin, Lisin, Metionin, Fenilalanin, Treonin, Triptofan dan Valin. Lisin adalah asam amino yang cukup dominan dalam protein ikan. Oleh karena itu tidak heran jika permintaan pasokan ikan terus akan meningkat. Oleh karena itu, banyak negara sudah mulai mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan produk perikanan. Usaha budidaya ikan adalah salah satu usaha yang dapat ditempuh untuk mengatasi problem menurunnya hasil tangkapan dan meningkatnya permintaan ikan. Saat ini kemajuan dan produkssi ikan dari usaha budidaya berkembang cukup signifikan, pada tahun 1984 misalnya, produksi perikanan budidaya hanya menyumbang 8% dari kebutuhan ikan, nilai ini meningkat menjadi 25% pada tahun 1998, dan ini terus meningkat dan diharapkan produksi ikan dari budidaya akan dapat menyumbangkan dua pertiga kebutuhan ikan dunia pada tahun 2020 mendatang. Oleh karena itu prospek pengembangan budidaya khususnya ikan nila sangat cerah, selain karena permintaan pasar yang terus meningkat, Indonesia juga memiliki lahan yang berpotensi dijadikan lahan budidaya baik budidaya tawar maupun laut. Selain sebagai lahan bisnis bagi masyarakat, perikanan juga telah menyumbang pendapatan bagi negara baik dari pajak maupun pendapatan dari ekspor. Menurut Grahadyarini (2007) nilai ekspor perikanan Indonesia pada tahun 2006 mencapai 927.470 ton atau setara dengan 2,1 juta USD. PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
86 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Dalam kaitan dengan nilai ekonomi sumberdaya perikanan di Rawa Gambut Tripa, tercatat sekurangnya 75 spesies ikan hidup di perairan rawa Gambut Tripa, dimana 20 spesies diantaranya memiliki nilai ekonomis sebagai ikan konsumsi, dari jumlah ikan ekonomis tersebut 12 spesies diantaranya adalah ikan air tawar yang memiliki potensi untuk dibudidayakan. Salah satu ikan air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat adalah ikan lele (Clarias spp.), dan ikan ini telah menjadi trade mark nya kawasan ini, artinya belum sah rasanya jika berkunjung ke kawasan ini jika belum menikmati masakan khas Aceh masam keung (gulai asam pedas) ikan lele lokal. Sayangnya selama survey hanya berhasil mencatat satu spesies ikan lele lokal di kawasan ini, yaitu Clarias batrachus, yang jumlah dan ukurannya rendah, namun demikian diduga jumlah spesies lele yang menghuni perairan Gambut Rawa Tripa lebih banyak lagi. Menurut Muchlisin dan Azizah (2009) tercatat sekurangnya 4 spesies lele hidup diperairan Aceh, yaitu; Clarias teijsmanni, Clarias nieuhofii, Carias batrachus, dan Clarias gariepinus, spesies terakhir adalah ikan introduksi. Pengurangan kelimpahan dan kekayaan jenis ikan lele ini diduga berkaitan erat dengan kerusakan hutan gambut Tripa, yang menyebabkan banyak kawasan yang dulu tergenang yang merupakan habitat ikan lele menjadi kering. Menurut data yang ada jumlah kawasan hutan gambut yang telah dikonversikan menjadi lahan perkebunan, khususnya perkebunan sawit meningkat secara signifikan, pada tahun 1999 misalnya lebih kurang 60% dari 62.657 Ha Hutan Gabut Rawa Tripa masih tersisa, jumlah tersebut menurun menjadi hanya 51% pada tahun 2007 dan kemudian pada tahun 2009 hanya tersisa 24% saja (Tim Monitoring YLIAFEP, 2008). Saat ini diprediksi hutan gambut yang tersisa di Tripa kurang dari 12.000 ha. Hasil analisis tim pakar hidrologi Unsyiah menyatakan bahwa salah satu kekeliruan fatal yang dilakukan oleh pihak perusahaan khususnya adalah kesalahan dalam desain kanal. Kanal yang dibuat belum mengikuti spesifikasi kanal untuk kawasan gambut, sehingga menyebutkan terjadi pengeringan gambut yang secara berlebihan (over drain) sehingga mengeringkan banyak habitat ikan, baik habitat pemijahan, pengasuhan maupun habitat mencari makan, jika ditinjau dari aspek perikanan. Selain itu juga beberapa kawasan, misalnya di Sungai Seuneam terindikasi telah terjadi pencemaran limbah pabrik sawit, yang dapat diamati dengan jelas dengan adanya koloid pada air sungai. Menurut penuturan masyarakat setempat di kemukiman Seumanyam dan Seuneam, bahwa pada kurun waktu 1970an sampai 1980an populasi ikan lele sangat melimpah, menurut mereka dalam satu malam mereka bisa mendapatkan 5 sampai 10 kg ikan lele untuk satu bubu (alat tangkap tradisional berupa perangkap yang terbuat dari bilah bambu yang diberi umpan), saat ini satu bubu untuk mendapatkan 1 kg saja sudah sangat sulit bahkan tidak jarang tidak ada ikan lele yang tertangkap sama sekali dan ikanikan yang tertangkap juga berukuran relatif kecil. Dari penuturan ini merupakan satu indikasi telah terjadinya penurunan populasi ikan lele di kawasan Rawa Gambut Tripa, dan diyakini kondisi yang sama juga telah terjadi pada spesies ikan lainnya yang luput dari perhatian masyarakat, misalnya ikan keureling (ikan dari kelompok Genus Tor) yang hanya ditemukan satu ekor saja (Tor tambra) selama sampling yaitu di Sungai Seumanyam. Sedangkan menurut Muchlisin dan Siti Azizah (2009) tercatat ada 3 spesies ikan keureling hidup di perairan yaitu, yaitu Tor soro, Tor tambra dan Tor tambroides. 3. Beberapa Ancaman Terhadap Sumberdaya Perikanan di Kawasan Gambut Rawa Tripa Hasil penelitian dan pengamatan lapangan beberapa ancaman yang ada terhadap kelangsungan sumberdaya perikanan di kawasan Rawa Gambut Tripa, antara lain: LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 87
a. Kerusakan Habitat Ikan Kerusakan habitat ikan umumnya terjadi karena pengeringan kawasan perairan. Pengeringan kawasan Gambut Tripa umumnya terjadi akibat pembukaan hutan dan pembuatan kanal-kanal yang membuang air secara berlebihan. Hal ini menyebabkan beberapa kawasan yang sebelum tergenang yang merupakan habitat ikan baik untuk pemijahan, pengasuhan, mencari makan dan pembesaran menjadi hilang. Selain kekeringan, kebakaran lahan lambut juga memberikan kontribusi bagi kerusakan habitat ikan. Lahan gambut yang kering sangat rawan kebakaran, dan kebakaran tersebut secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi bagi penurunan populasi ikan di kawasan ini. Beberapa spesies ikan diketahui menggunakan tumbuhan air tertentu untuk tempat pemijahannya (membuat sarang dan meletakkan telurnya), jika tumbuhan tersebut tidak ada (punah akibat kekeringan) menyebabkan spesies berkenaan gagal memijah, tidak ada rekruitmen baru menyebabkan populasinya menurun dan akhirnya punah. Bagi spesies yang bersifat migrasi, baik untuk tujuan pemijahan, mencari makan maupun migrasi untuk menghidari pemangsa, kekeringan juga akan menyebabkan ikan-ikan berkenaan gagal beruaya yang pada akhirnya menyebabkan populasinya di alam turun dan jika terjadi terus menerus akan menyebabkan kepunahan spesies tersebut. b. Introduksi Spesies Asing Introduksi spesies asing juga menjadi ancaman bagi kelangsungan sumberdaya ikan di kawasan gambut Rawa Tripa. Selama sampling berhasil dicatat empat spesies introduksi, namun 2 diantaranya sudah dapat beradaptasi dengan baik karena sudah diintroduksi lebih dari seabad lalu, sedangkan 2 spesies yang lain, yaitu Hyposarkus pardalis dan Oreochromis niloticus adalah pendatang baru di Indonesia umumnya dan perairan Aceh khususnya di Rawa Gambut Tripa. Secara umum, introduksi ikan asing ke suatu perairan menyebabkan populasi ikan asli setempat turun dan bahkan punah, hal ini disebabkan karena terjadinya pemangsaan terhadap ikan lokal, kompetesi dalam mendapatkan makanan dan pemanfaatan habitat, kegagalan untuk mendapatkan pasangan, meningkatkan peluang penyebaran patogen penyebab penyakit pada ikan bahkan manusia, terjadinya kawin silang yang tidak diharapkan dengan species yang menyebabkan hilangnya gen-gen pembawa sifat unggul, misalnya ketahanan terhadap penyakit (Muchlisin, 2011). c. Pencemaran Sebagian besar kawasan gambut disini telah dikonversikan sebagai areal perkebunan sawit. Perusahaan-perusahaan besar umumnya membangun pabrik pengolah CPO sendiri, namun sayangnya umumnya instalasi pengolahan limbahnya kurang baik sehingga mencemari sungai-sungai di sekitarnya sebagaimana yang diamati di Krueng Seuneam, dimana limbah pabrik salah satu perusahaan yang menurut pengakuan masyarakat belum memiliki instalasi pengolahan limbah (masih dalam proses pembangunan) namun sayangnya produksi sudah berjalan. Jika masalah pengolahan limbah ini tidak menjadi perhatian pihak terkait maka ancaman pencemaran dari industri ini akan semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan peningkatan produksi dan penurunan kualitas lingkungan. Beberapa kawasan hulu sungai di Kabupaten Nagan Raya dan Abdya disinyalir sudah marak penambangan emas ilegal yang umumnya menggunakan air raksa (Hg) dalam proses pemisahan emas, kondisi ini akan mengancam biota akuatik yang berada di kawasan Rawa Gambut Tripa sebagai
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
88 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
beberapa muara-muara sungai tersebut. Namun demikian belum ada penelitian yang mengkaji kandungan atau akumulasi logam berat baik di perairan maupun biota akuatik di kawasan Rawa Gambut Tripa. Oleh karena itu dirasa penelitian tersebut penting untuk dilakukan dimasa depan, sebagai upaya pencegahan dampaknya bagi manusia yang mengkonsumsi ikan atau hewan akuatik lainnya. d. Penggunaan Alat dan Cara Penangkapan Ikan yang tidak ramah lingkungan Seiring dengan penurunan populasi ikan di alam maka akan menyebabkan hasil tangkapan nelayan atau masyarakat juga akan menurun, dan secara logis nelayan akan menyesuaikan alat tangkap dan cara penangkapan ikan dengan keadaan terkini, dimana mereka akan berusaha untuk meningkatkan atau mempertahankan hasil tangkapannya dengan menggunakan alat tangkap yang lebih efektif, misalnya penggunaan ukuran mata jaring yang lebih kecil, penggunaan alat tangkap yang lebih banyak dan bahkan pengunaan bahan racun dan peledak. Selama penelitian aktifitas penangkapan yang disebutkan diatas tidak ada yang teramati, namun demikian bukan berarti tidak ada. Oleh karena itu pengaturan tentang tata cara menangkap ikan perlu disusun sebaiknya oleh masyarakat lokal itu sendiri. e. Perubahan Iklim Global Perubahan iklim global diduga juga memberikan dampak negatif terhadap sumberdaya ikan di kawasan Rawa Gambut Tripa. Dampak yang ditimbulkan secara umum adalah peningkatan suhu rata-rata air dan peningkatan muka air laut. Peningkatan permukaan air laut akan mengakibatkan perubahan arus laut di wilayah pesisir, hilangnya lahanlahan budidaya baik pertanian maupun perikanan, perubahan suhu dan salinitas air di wilayah pesisir dapat menyebabkan kerusakan ekosistim mangrove dan terumbu karang (bleaching) sebagai habitat penting bagi ikan sehingga biodiversitas dan produktivitas perairan menurun dan dampak lanjutannya adalah mengancam ketahanan pangan. 4. Strategi Konservasi Sumberdaya Perairan Secara umum strategi konservasi sumberdaya perikanan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu konservasi habitat dan konservasi spesies. Pemilihan strategi ini sangat tergantung kepada kondisi wilayah dan tujuan. Konservasi habitat memiliki spektrum yang lebih luas meliputi semua spesies baik spesies target maupun spesies non target. Sedangkan konservasi spesies hanya difokuskan kepada spesies tertentu dimanapun spesies tersebut berada, umumnnya ditujukan pada spesies yang bersifat endemik atau terancam punah. Dalam kaitan dengan kondisi di Rawa Gambut Tripa, maka pendekatan habitat dinilai lebih sesuai untuk diterapkan. Dalam konsep konservasi modern, konservasi pada prinsipnya adalah tidak melarang penangkapan atau pemanfaatan akan tetapi lebih kepada mengatur penangkapan/pemanfaatan sehingga penangkapan atau pemanfaatan yang dilakukan tidak melebihi kemampuan ikan untuk berkembang sehingga kelangsungan hidup spesies atau populasi ikan dapat terjamin. Pada pelaksanaan konservasi habitat, kawasan yang telah ditetapkan akan dibagi menjadi beberapa zona, yaitu pembagian wilayah perairan umum (reservat) yang didasarkan pada keadaan fisik lingkungan serta sifat kehidupan dan penyebaran populasi ikan dalam usaha mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan agar sesuai dengan urutan prioritas fungsi perairan umum. Secara umum zona kawasan lindung tersebut terbagi atas; LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 89
• Zona inti (suaka) adalah zona yang berperan sebagai wilayah pengamanan perairan dan merupakan daerah sasaran yang dilestarikan, termasuk di dalamnya pelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemnya. • Zona penyangga (buffer) adalah zona /daerah di wilayah perikanan yang berfungsi untuk melindungi zona inti dari pengaruh-pengaruh atau gangguan yang bersifat merusak. • Zona usaha adalah zona di wilayah perikanan yang berfungsi sebagai usaha penangkapan ikan. Penangkapan ikan hanya boleh dilakukan dengan alat tangkap yang bersifat tradisional. • Zona bebas adalah zona di wilayah perikanan yang dimanfaatkan untuk usaha penangkapan dan budidaya ikan serta kegiatan lainnya (pariwisata) selama kegiatankegiatan tersebut tidak merusak, mencemari perairan dan mengganggu keseimbangan lingkungan perairan. Untuk menentukan zona-zona tersebut diperlukan adanya kajian lebih detil pada setiap kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan reservasi. Pemanfaatan atau penangkapan ikan pada zona-zona yang tidak terlarang diatur dengan suatu ketentuan yang bersifat mengikat (peraturan daerah) dengan mempertimbangkan pelestarian sumber dan azas manfaat, sehingga untuk kawasan perairan umum yang sudah ditetapkan sebagai reservat (khususnya zona inti/suaka) tertutup bagi usaha penangkapan ikan. 5. Pemilihan Lokasi Konservasi (reservat) Perairan Pemilihan lokasi reservat dapat dilakukan dengan beberapa pertimbangan diantaranya adalah; aspek keragaman ikan (biologis), kondisi lingkungan perairan (ekologis), dan aspek sosial budaya masyarakat setempat (sosio-psikologis). Aspek-aspek tersebut selanjutnya diberi skor dan bobot. Lokasi dengan nilai tertinggi merupakan calon lokasi yang paling baik. Perhitungan lengkap disajikan pada Lampiran 1. Aspek Biologis (Bobot 3) a. Indek Kekayaan jenis: No. Kriteria: 1. Indek Kekayaan Jenis Ikan Tinggi (>4) 2. Indek Kekayaan Jenis Ikan Sedang (2-4) 3. Indek Kekayaan Jenis Ikan Rendah (<2)
Skor: 2 1 0
b. Indek keragaman: No. Kriteria: 1. Indek Keragaman Ikan Tinggi (>3) 2. Indek Keragaman Ikan Sedang (1-3) 3. Indek Keragaman Ikan Rendah (<1)
Skor: 2 1 0
Ekologis (Bobot 2) a. Sumber Pencemaran No. Kriteria: 1. Tidak ada potensi sumber pencemaran 2. Potensi sumber pencemaran rendah/sedikit 3. Potensi sumber pencemaran tinggi PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Skor: 2 1 0
90 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
b. Keberadaan Hutan Primer/Sekunder/Bakau No. Kriteria: 1. Hutan masih ada dan kondisi baik dan luas 2. Hutan masih ada namun kondisinya terancam dan luasannya terbatas 3. Tidak ada hutan sama sekali
Skor: 2 1 0
Sosio-psikologis (Bobot 1) a. Dukungan masyarakat No. Kriteria: 1. Masyarakat sangat mendukung 2. Masyarakat cukup mendukung 3. Masyarakat tidak mendukung
Skor: 2 1 0
b. Keberadaan Pemukiman/kebun dalam wilayah calon lokasi No. Kriteria: 1. Tidak ada pemukiman/kebun masyarakat 2. Ada pemukiman/kebun masyarakat namun tidak luas 3. Ada pemukiman/kebun masyarakat yang cukup luas
Skor: 2 1 0
Berdasarkan hasil skoring terlihat bahwa Kuala Batee memiliki skor tertinggi, oleh karena itu lokasi ini memiliki potensi yang lebih baik sebagai lokasi reservat berbanding lokasi lainnya. Secara ekologis lokasi tersebut banyak ditumbuhi oleh mangrove dari golongan Rhyzopora dan nipah. Kondisi perairan sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Dari segi keragaman ikan tergolong lebih baik berbanding lokasi lainnya (baca Bab IV dan Bab V). Ikan-ikan yang tertangkap di kawasan ini adalah ikan muara dan laut, dan umumnya berukuran anakan. Sehingga dengan demikian, kawasan ini diduga sebagai kawasan pemijahan dan pengasuhan bagi ikan-ikan laut, payau maupun tawar. Namun demikian diperlukan penelitian lanjutan yang lebih dalam untuk menentukan pembagian zonazona dan luasannya. VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A.
Biodiversitas Flora dan Fauna Teresterial
1.
Jenis fauna yang ditemukan di Rawa Tripa Kabupaten Nagan dan Aceh Barat Daya sebanyak 91 jenis, 18 jenis diantaranya memiliki nilai ekonomi dan ekologi dan 14 jenis memiliki nilai endemik dan dilindungi.
2.
Keberadaan flora fauna dalam kawasan berada dalam daerah terisolir dan di lokasi yang terfragmentasi di sepanjang pantai.
3.
Jenis flora khas rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya yang berhasil diidentifikasi relatif sama dengan jenis flora yang dijumpai dibeberapa kawasan rawa gambut di Indonesia, baik di Sumatera, Riau, maupun Kalimantan. Akibat perubahan rawa gambut Tripa di Kabupaten Nagan Raya menjadi perkebunan kelapa sawit menyebabkan berkurangnya populasi jenis flora pada kawasan tersebut dan menghadirkan beberapa spesies yang tidak umum dijumpai di kawasan rawa LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 91
gambut, seperti tanaman palawija, tanaman buah- buahan, dan jenis khas daerah terbuka (terdedah). 4.
Vegetasi hutan rawa gambut meliputi tumbuhan spesies palem, pandan, Podocarpus dan wakil kebanyakan familia yang biasa ditemukan di hutan tropis basah, termasuk familia Dipterocarpaceae. Banyak spesies yang khas pada hutan rawa gambut. Jumlah spesies anggota vegetasi gambut terbatas.
5.
Jenis pohon rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya sebagian besar memiliki nilai ekonomi yang perlu dilestarikan, selain fungsi ekologi untuk memp ertahankan kestabilan komunitas di sekitarnya.
B.
Biodiversitas Flora dan Fauna Akuatik
1.
Berdasarkan hasil penelitian teridentifikasi sebanyak 30 spesies makrozoobenthos, dengan komposisi 18 spesies dari Kelas Gastropoda (Filum Mollusca), 6 spesies dari Kelas Bivalvia (Filum Mollusca), 5 spesies dari Kelas Crustacea (Filum Arthropoda) dan 1 spesies dari Kelas Insekta (Filum Arthropoda).
2.
Spesies makrozoobentos yang paling dominan dari segi jumlah individu adalah Faunus ater dari Kelas Gastropoda yaitu sebanyak 1734 individu, sedangkan yang paling adalah Brotia costula, Lophiotoma indica, dan Nerita atramentosa dari Kelas Gastropoda dan Progomphus obscurusdari Kelas Insekta. Makrozoobentos yang paling dominan adalah kelas Gastropoda.
3.
Indeks keragaman makrozoobentos berkisar 0,43 - 1,63, yaitu kategori rendah sampai sedang. Indek keragaman tertinggi dijumpai di Suak Tripa, sedangkan yang terendah dijumpai di Kuala Tadu. Secara umum dapat dikatakan indek keragaman makrozoobentos di Rawa Gambut Tripa tergolong rendah. Nilai similiritas makrozoobentos disetiap wilayah secara tergolong rendah, yaitu berada dibawah 40%, Namun demikian, kemiripan struktur komunitas yang agak tinggi diumpai antara Kuala Batee dan Kuala Seunaam, hal ini menunjukkan bahwa komposisi spesies yang menyusun komunitas makrozoobentos di kedua lokasi hampir sama.
4.
Sebanyak 765 ekor ikan yang terdiri dari 75 spesies terdiri dari 33 spesies air tawar dan 37 ikan payau dan 4 spesies ditemukan di perairan tawar dan payau. Dari 75 spesies ikan yang tercatat dapat dikelompokkan dalam 36 Famili dan 48 Genus. Famili Cyprinidae merupakan ikan yang dominan baik dari jumlah genus maupun jumlah spesies dari genus yang ada didalam familia tersebut.
5.
Dari 75 jenis yang ditemukan, sebanyak 15 jenis diantaranya belum berhasil diidentifikasi sampai tingkat jenis, diantaranya; Butis sp. (cong rahang panjang), Caranx sp. (langkitok), Channa sp. (gabus), Cyclocheilichthys sp. (serukan), Glossogobius sp. (cong rahang pendek), Osteochilus sp. (serukan biru), Oxyeletris sp. (ketutu), Poropuntius sp. (naleh), Puntius sp. (putihan), Rasbora sp. (bileh) dan Xiphophorous sp. Kemungkinan besar ada diantaranya adalah spesies baru atau endemik di kawasan ini.
6.
Dari penelitian ini diperoleh nilai keragaman berkisar antara 1,23 – 2,71, indek keragaman tertinggi dijumpai di Kuala Batee dan terendah dijumpai di Alue Ie Itam. Oleh karena itu secara umum nilai indek keragaman ikan di Ekosistem Rawa Tripa pada kategori sedang. Indek kemerataan berkisar 0,44 sampai 0,96, dimana nilai terrtinggi dijumpai di Pulo Ie dan terendah di Alue Ie Itam (Tabel 18). Sehingga secara umum dapat disebutkan indek kemerataan tergolong tinggi. Kemiripan struktur komunitas ikan antar lokasi penelitian di Ekosistim Rawa Gambut Tripa
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
92 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
tergolong rendah, yaitu berada di bawah 40%, artinya secara umum struktur komunitas ikan di setiap lokasi bersifat unik disebabkan oleh komposisi dan kekayaan jenis yang agak berbeda. C.
Rekomendasi
1.
Potensi Pembentukan Kawasan Perlindungan Satwa (KPS)
Berdasarkan hasil survey tim kajian I biodiversity menemukan bahwa sebagian besar Kawasan Hutan Rawa Gambut yang terletak di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya telah mengalami kerusakan yang serius. Kerusakan tersebut disebabkan oleh (1). Pembukaan lahan hutan gambut oleh perusahaan yang berada di sekitarnya, (2) Pembukaan lahan hutan Rawa Gambut oleh masyarakat untuk perkebunan sawit masyarakat dan (3) pembukaan lahan untuk perkebunan bukan sawit. Namun di sisi lain masih banyak dijumpai lahan hutan sekunder dan primer yang masih dihuni oleh satwa dan vegetasi hutan gambut sebagai habitatnya untuk berlindung dari gangguan yang dilakukan oleh perusahaan dan masyarakat, maka berdasarkan survey langsung di lapangan dan wawancara dengan masyarakat di Kawasan Hutan Rawa Gambut, tim biodiversity merekomendasikan dua Kawasan Perlindungan Satwa yang sangat berpotensi untuk diusulkan yaitu: Kawasan Perlindungan Satwa I (KPS I): untuk pembentukan kawasan konservasi untuk mamalia besar seperti Orang utan (Pongo pygmaeus), kedih (Presbytis thomasy), lutung dan burung pantai, yang terletak mulai dari Kawasan Muara Kruen Rawa Tripa Desa Babah Lueng dan Desa Alue Seupek Kec. Darul Makmur serta Kawasan PT Gelora Sawita Makmur (Kawasan Krueng Seuneuam) sampai dengan Kawasan Krueng Seumayam Kawasan sisa hutan PT Surya Panen Subur Kawasan Perlindungan Satwa II (KPS II): untuk pembentukan kawasan konservasi burung besar daratan dan water birds), yang terletak mulai dari hutan primer dan hutan sekunder Desa Ie Mirah Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya sampai dengan Kawasan Kulam Gajah Desa Lama Tuha Kecamatan Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya. Berdasarkan Undang-undang Pelestarian Sumberdaya Alam Hayati Nomor 5 Tahun 1990 yang digunakan sebagai pedoman pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia, maka usulan kawasan konservasi satwa tersebut memiliki pertimbangan sebagai berikut: Pertimbangan Kriteria Ekologi a. Keanekaragaman, Kawasan Hutan Gambut Rawa Tripa ini memiliki ekosistem hutan primer dan hutan sekunder yang terletak sepanjang pantai. Hutan primer yang terdapat di hutan hujan tropis ini memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. b. Tingkat Endemisitas, Kawasan Hutan Gambut Rawa Tripa memiliki jenis-jenis flora dan fauna endemic. Ditemukan 18 jenis fauna endemik yang dilindungi di Kawasan Hutan Rawa Gambut. c. Alamiah, hutan primer yang ,masih tersisa ini masih bersifat alami belum direklamasi atau replant dengan tumbuhan lain atau spesies introduksi. d. Ketergantungan, yaitu spesies-spesies yang terdapat dalam kawasan Hutan Rawa tingkatan yang mana suatu spesies tergantung pada daerah yang ditempati, atau tingkatan yang mana suatu ekosistem tergantung pada proses ekologis yang terjadi di daerah tersebut. LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 93
e. Perwakilan (Representativeness), dalam Kawasan Hutan Gambut Rawa Tripa .memiliki tingkatan organisme yang mewakili tipe habitat hutan rawa gambut, hutan pantai, hutan sekunder, hutan primer, proses ekologis, komunitas biologis, kondisi fisiografis atau karakteristik alam lainnya. f.
Produktivitas, Kawasan Hutan Gambut Rawa Tripa memiliki proses produksi yang menghasilkan biomassa hutan primer dan hutan sekunder yang dapat menyumbangkan keuntungan-keuntungan kepada spesies flora, fauna dan manusia.
g. Kerentanan (Vulnerability), Kawasan Hutan Gambut Rawa Tripa memiliki tingkat kerentanan spesies, habitat dan ekosistem yang tinggi. Ancaman kerentanan disebabkan tingginya degradasi habitat oleh pengalihan fungsi kawasan. h. Keunikan, Kawasan Hutan Gambut Rawa Tripa sebagai salah satu ekosistem unik di dunia yang memiliki jenis-jenis flora fauna yang unik Pertimbangan Kriteria Sosial a. Dukungan masyarakat, masyarakat sekitar Kawasan Hutan Gambut Rawa Tripa mendukung pembentukan kawasan konservasi ekosistem gambut. Informasi ini berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada masyarakat sekitar kawasan gambut Rawa Tripa. b. Rekreasi, Kawasan Hutan Gambut Rawa Tripa berpotensi dijadikan sebagai kawasan ekowisata pengamatan satwa, terutama pengamatan burung dan mamalia di sepanjang hutan pantai. c. Budaya, kawasan ini memiliki kebiasan masayarakat dalam merawat dan menjaga hutan adat, kebiasaan berburu dan lain-lain. d. Nilai Estetika, keberadaan kawasan ini di sepanjang pantai menyajikan panorama yang luar biasa dan terdapat sungai yang indah. e. Penyelamatan Kawasan Hutan Gambut Rawa Tripa ini sangat perlu segera diselamatkan dari ancaman yang sangat tinggi f.
Penelitian dan pendidikan, Kawasan Hutan Gambut Rawa Tripa ini memiliki berbagai sumberdaya hayati sebagai objek penelitian dan pendidikan . Kawasan ini berpotensi sebagai hutan penelitian dan pendidikan.
Pertimbangan Kriteria Ekonomi a. Keuntungan ekonomi, keberadaan hutan ini memberikan produksi kawasan sebagai akibat dari manfaat dari kawasan hutan. Perlindungan kawasan ini akan mempengaruhi ekonomi lokal jangka panjang. b. Pariwisata, berpotensi sebagai ekowisata. Pertimbangan Kriteria Pragmatik a. Urgensi, perlindungan kawasan hutan Gambut Rawa Tripa sangat mendesak. Tindakan perlindungan harus segera dilakukan untuk menyelamatkan kawasan gambut dan biodiversitasnya. b. Peluang, perlindungan kawasan ini masih memiliki peluang untuk diselamatkan karena masih ada kawasan hutan primer dan sekunder, sehingga harus berpacu dengan laju degradasi yang sangat tinggi.
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
94 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
c. Ketersediaan (Availability), Kawasan Hutan Gambut Rawa Tripa memiliki ketersediaan kawasan yang cukup untuk dikonservasi. d. Pemulihan, kesempatan untuk pemulihan masih sangat terbuka. Kondisi hutan tropis yang memiliki laju perbaikan atau recovery yang cepat menjadi modal untuk pemulihan kawasan. 2. Rekomendasi Pembentukan Reservat Perikanan Berdasarkan hasil penilaian lokasi kawasan reservat dengan teknik skoring menunjukkan bahwa bahwa Kuala Batee memiliki skor tertinggi, oleh karena itu lokasi ini memiliki potensi yang lebih baik sebagai lokasi reservat berbanding lokasi lainnya. Secara ekologis kawasan ini banyak ditumbuhi oleh magrove dari golongan Rhyzopora dan nimpah. Kondisi perairan sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Dari segi keragaman ikan tergolong lebih baik berbanding lokasi lain. Pengembangan perikanan budidaya yang berbasis ikan lokal ekonomis tinggi dipandang sebagai salah satu langkah strategis untuk pemberdayaan masyarakat di dalam kawasan Rawa Tripa. Beberapa ikan ekonomis tinggi yang memiliki potensi untuk dibudidayakan antara lain ikan lele (Clarias batrachus), ikan keureling (Tor tambra), ikan ileah (Anguilla bicolor) dan ikan gabus (Channa striata). DAFTAR PUSTAKA Adrim, M dan Fahmi, 2010, Panduan penelitian untuk ikan laut. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta. Adriman. 1995. Kualitas perairan pesisir dumai ditinjau dari karakteristik fisika-kimia Dan struktur komunitas hewan bentos makro. Tesis, Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Alcaraz, C dan E. Garcia-Berthou. 2007. Food of an endangered cyprinodont (Aphanius iberus): ontogenetic diet shift and prey electivity. Environmental Biology of Fishes, 78: 193–207. Alikodra, H.S. 1986. Pengelolaan habitat satwa liar. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Almodovar, A., G.G. Nicola, B. Elvira and J.L. Garcia-Marin. 2006. Introgression variability among Iberian brown trout Evolutionary Significant Units: the influence of local management and environmental features. Freshwater Biology, 51: 1175–1187. Barlow, C.G dan A. Lisle. 1987. Biology of the nile perch Lates niloticus (Pisces: Centropomidae) with reference to its proposed role as a sport fish in Australia. Biological Conservation, 39: 269-289. Cox, G.W. 2002. Laboratory manual of general ecology. WM.C. Brown Company Publisher, USA. Dance, S. P. 1997. The Encyclopedia of shells. Blandford Press, London. Davidar, P. Yoganand, T. Ganesh. 2001. Distribution of forest birds in Andaman Island: Important of key habitats. Journal of Biogeography 28: 663-671. Dobson, M, dan C. Frid. 1998. Ecology of aquatic systems. Addison Wesley Longman, Singapore.
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 95
FAO. 2005. International mechanism for the control and responsible use of alien species in aquatic ecosystem. Report of an ad hoc expert consultation 27-30 August 2003, Xishuangbanna, People’s Republic of China. Fitriana Y,R. 2006. Keanekaragaman dan kemelimpahan makrozoobentos di hutan mangrove hasil rehabilitasi taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Biodiversitas, 7 (1) : 67-72. Giesen, W. 1991. Berbak wildlife reserve, Jambi. Reconnaisance Survey Report. PHPA/AWB Sumatra Wetland ProjectReport No. 13. Asean Wetland BureauIndonesia, Bogor. Haryanto. 1989. Studi pendahuluan struktur vegetasi Hutan Gambut di Pulau Padang. Propinsi Riau. Media konservasi, 2(4):29-43. _______. (1993). Variasi Lokal Tipe Vegetasi dalam Ekosistem Hutan Gambut dan Dampak Pembukaannya di Suaka Margasatwa Danau Pulau Besar dan Danau Bawah. Riau. (Tesis). Pasca Sarjana IPB, Bogor. Haryono, 2010. Panduan lapangan ikan perairan lahan gambut. LIPI, Jakarta. Hemminga, M. A., C.M. Duarte. 2000. Seagrass ecology. Cambridge University Press, London-United Kingdom (UK). Indriyanto. 2005. Dendrologi. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Istomo. 2012. Pengenalan jenis tumbuhan di Hutan Rawa Gambut. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Kottelat, M. dan T. Whitten. 1996. Freshwater biodiversity in Asia with special reference to fish. World Bank Technical Paper, 343, 59. Kottelat, M., J.A. Whitten, S. Wirjoatmodjo, dan S.N. Kartikasari. 1993. Freshwater fishes of western Indonesia and Sulawesi. Periplus Edition Ltd., Jakarta: Krebs, C. J. 1985. Ecology The eksperimental analysis of distribution and abudance. Third edition. Haeper and Row Publisher, New york. Krebs, C.J. 2002. Ecology: The experimental analysis of distribution and abudance. Second Edition. Harper & Row Publisher. New York Hagerstown San Francisco, London. Mackinnon, J., 1990. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Maryono, A. 2005. Ecological hydraulics of river development. Edisi Kedua. Magister Sistem Teknik Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Masson, J. S, dan R. Schodde. 1997. Zoological catalogue of Australia Vol.37. CSIRO Publishing, Australia. Michael, P. 1994. Metode ekologi untuk penyelidikan ladang dan laboratorium. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Muchlisin, Z.A. dan M.N. Siti Azizah. 2009. Diversity and distribution of freshwater fishes in Aceh waters, northern Sumatera, Indonesia. International Journal of Zoological Research, 5(2): 62-79. Muchlisin, Z.A. 2008. Ikan air tawar di Nanggroe Aceh Darussalam dan Kawasan Ekosistim Leuser. Laporan Penelitian Univeritas Syiah, Banda Aceh. PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
96 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Muchlisin, Z.A. 2011. Analisis kebijakan introduksi spesies ikan asing di perairan umum daratan Provinsi Aceh. Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 1(1): 79-89. Muchlisin, Z.A. 2012. First report on introduced freshwater fishes in the waters of Aceh, Indonesia. Archieves of Polish Fisheries, 20: 129-135. Muchlisin, Z.A. 2013. Study on potency of freshwater fishes in Aceh waters as a basis for aquaculture development programs. Jurnal Iktiologi Indonesia, 13(1): 91-96. Murdiyanto, B. 2004. Pengelolaan sumberdaya perikanan pantai. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Depertemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Nicola, G.G., A. Almodovar, dan B. Elvira 1996. The diet of introduced largemouth bass, Micropterus salmoides, in the Natural Park of the Ruidera Lakes, central Spain. Polskie Archiwum Hydrobiologii, 43: 179–184. Noor, M. 2010. Lahan Gambut. Pengembangan, Konservasi, dan Perubahan Iklim. Gadjah Mada University Press. Bulak Sumur Yogyakarta. Nybakken, J. W. 1988. Biologi laut. Suatu pendekatan ekologis. Diterjemahkan dari Marine Biology an Ecological Approach oleh M. Eidman. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar ekologi. Diterjemahkan dari Fundamental of Ecology oleh T. Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Peristiwadi, T. 2006, Ikan-ikan laut ekonomis penting di Indonesia (petunjuk identifikasi). LIPIPpress, Jakarta. Robert, D. S. Soemodihardje dan W. Kastoro. 1982. Shallow water marine molluscs Of North-West Java. Lembaga Oseonologi Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Saanin, H, 1968. Taksonomi dan knci identifikasi ikan. Binatjipta, Bandung. Samingan, T. 1998. Dasar-dasar ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Satgas REDD+. 2012. Visi dan Misi Pemulihan Kondisi Lahan Gambut Rawa Tripa. Satgas REDD/UKP4, Jakarta. Saunders, D. L., J.J. Meeuwig dan C. J. Vincent. 2002. Freshwater protected area: strategies for conservation. Conservation Biology, 16:30-41. Short F. T., Coles R. G. (eds). 2003. Global Seagrass Research Methods. Elsevier Science BV., Amsterdam. Silalahi, M. 2007. Hutan rawa gambut Zamrud Siak: Startegi penyelamatan dan masa depan ekosistem hutan Rawa Gambut Zamrud Siak di Tengah Balada Kehancuran Hutan Riau (online). http://alamsumatra.wordpress.com. Sondita, M.F.A. 2010. Manajemen sumberdaya perikanan. Universitas Terbuka, Jakarta. Setiadi, B. 1998. Dampak lingkungan proyek lahan gambut sejuta hektar. Seminar Setengah Hari Natural Laboratory of Peat Swamp Forest. Jakarta, 20 Nopember 1998.
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 97
Setyobudiandi, I. 1997. Makrozoobentos. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Steenis, C.G.G.J. 1992. Flora untuk sekolah di Indonesia. Diterjemahlan oleh Moesa Surjowinoto. Pradya Paramita, Bandung. Syarkowi, F. 2000. Towards sustainable management of a tropical peatland forst ecosystem throug “SESA”. University of Nottinggham UK 25-29 th April 2000 Wahyunto, S. Ritung, Suparto dan H. Subagyo. 2005. Sebaran gambut dan kandungan karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indoesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada, Bogor. Wargasasmita, S. 2002. Ikan air tawar Sumatera yang terancam punah. Jurnal Iktiologi Indonesia, 2 (2):41-49. Waycott, M. K.M. Mahon, J. Mellors, A. Calladine dan D. Kleine. 2004. A Guide to Tropical Seagrass of The Indo-West Pacific. James Cook University, TownsvilleQueensland Australia. Whitten, A.J. S.J. Damanik, J. Anwar dan Hisyam. 1988. The ecology of Sumatera. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Wibisono, M.S. 2005. Pengantar ilmu kelautan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. YLI-AFEP. 2008. Laporan pemantauan kondisi terkini hutan Rawa Gambut Tripa Kawasan Ekosistem Leuser. Program Aceh Forest and Environment Project. Yayasan Leuser Internasional, Banda Aceh. Zonneveld, N., E.A. Huisman dan J.H. Boon. 1993. Prinsip-prinsip budidaya ikan. PT. Gramedia, Jakarta.
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BIODIVERSITAS | 98
Lampiran 1. Skoring untuk Pemilihan Calon Lokasi Reservat Perikanan di Kawasan Rawa Gambut Tripa
No.
Nama Lokasi
Kekayaan jenis (A)
Potensi Sumber Pencemaran (C)
Keragaman jenis (B)
Keberadaan hutan/bakau (D)
Dukungan masyarakat (E)
Keberadaan pemukiman/perke bunan masyarakat (F)
Nilai
Bobot
Total (NxB)
Nilai
Bobot
Total (NxB)
Nilai
Bobot
Total (NxB)
Nil ai
Bobot
Total (NxB)
Nilai
Bobot
Total (NxB)
Nilai
Bobot
Total (NxB)
Total Skor (A+B+ C+D+E +F)
Prioritas
1.
Kuala Tripa
2
3
6
1
3
3
1
2
2
0
2
0
0
1
0
0
1
0
11
II
2.
Suak Tripa
1
3
3
1
3
3
2
2
4
0
2
0
0
1
0
1
1
1
11
III
3.
Alue Sapek
1
3
3
1
3
3
1
2
2
0
2
0
1
1
1
0
1
0
9
4.
Pulo Ie Kr. Seuneuam Krueng Seumanyam Kuala Batee Ranto Kepala Gajah Kuala Tadu Krueng Matee Krueng Lamie (Keubejagat dan Jembatan) Alue Ie Itam
0
3
0
1
3
3
1
2
2
1
2
2
1
1
1
1
1
1
11
1
3
3
1
3
3
1
2
2
1
2
2
1
1
1
1
1
1
10
1
3
3
1
3
3
1
2
2
0
2
0
0
1
0
0
1
0
8
2
3
6
1
3
3
2
2
4
1
2
2
1
1
1
2
1
2
18
0
3
0
1
3
3
1
2
2
0
2
0
0
1
0
0
1
0
5
1
3
3
1
3
3
1
2
2
0
2
0
0
1
0
2
1
2
10
0
3
0
1
3
3
2
2
4
1
2
2
0
1
0
1
1
1
10
0
3
0
1
3
3
1
2
2
0
2
0
0
1
0
0
1
0
5
1
3
3
1
3
3
1
2
2
1
2
2
1
1
1
1
1
1
12
5. 6. 7. 8. 9. 10.
11.
12.
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
I
BIODIVERSITAS | 99
Lampiran 2. List Jumlah Ikan-ikan yang Tertangkap selama Penelitian dan Distribusinya
Nama latin
Nama lokal
1
Ambassis nalua
Serideng
4
0
0
0
4
0
6
28
Ranto Kepal a Gajah 0
2
Ambassis Vachellii
Serideng
48
0
0
0
0
0
0
0
3
Ambassis miops
Serideng
5
2
0
0
5
0
0
4
Ambassis kopsii
Serideng
0
0
7
0
0
3
0
6
Apogon hyalosoma
Serideng
0
0
0
0
3
3
7
Anabas testudineus
krup
0
0
0
0
0
8
Anguilla bicolor
0
0
0
0
9
Butis gymnopomus
2
0
0
10
Butis sp.
0
2
11
Butis sp2.
1
12
Caranx sp
kiree Cong panjang rahang Cong Cong kelabei Langkituk
13
Caranx sexfasciatus
14
Alue ie itam
Kr. Mate e
Kr. Lami e
Dist. Lokal
0
0
0
33,333
0
0
0
3
16,667
0
0
0
0
0
25
0
0
0
0
0
16,667
0
0
0
0
0
0
16,667
0
0
0
1
2
0
0
16,667
0
0
2
0
0
0
0
0
16,667
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
33,333
12
2
0
0
0
11
0
0
0
0
0
0
25
merah mata
0
0
0
0
10
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
Channa lucius
Bujok
4
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
16,667
15
Channa sp.
gabus
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
16,667
16
Channa striata
gabus
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
16,667
17
Clarias batrachus
Lele
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
2
0
25
18
Chelonodon patoca
bukum
4
2
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
33,333
19
Cyclocheilichthys
Mirah mata
0
0
0
0
0
0
0
2
0
6
0
0
16,667
No.
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Kuala Tripa
Suak Tripa
Kuala Seune am
Pulo ie
Kuala Bate e
Kual a Tadu
Alue Sape k
Kr. Seuma nyam
100 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
repasson 20
Cyclocheilichthys sp.
Naleh
0
0
0
0
0
0
0
2
0
2
0
0
16,667
21
Gerres acinases
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
22
Glossogobius sp.
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
16,667
23
Glossogobius aureus
kapas Cong rahang pendek Cong Puteh
2
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
16,667
24
Hampala macrolepidota
Kebaree
2
2
0
0
0
0
0
2
1
1
0
2
50
25
Hyposarcus pardalis
sapu-sapu
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
8,3333
26
Johnius coitor
Gelama
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
27
Kryptopterus minor
Leupek
0
0
0
0
0
0
0
11
0
0
0
0
25
28
Krytoterus sp.
Leupek
15
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
33,333
29
Kuhlia marginata
Besi-besi
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
30
Tenga
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
33,333
Bateng
2
2
1
0
9
0
0
0
0
0
0
0
33,333
32
Lethrinus sp. Lutjanus argentimaculatus Lutjanus johnii
ramong
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
33
Lutjanus fuscescens
ikan tanda
0
0
1
0
6
0
0
0
0
0
0
0
16,667
34
Lutjanus russellii
Ikan tanda
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
33,333
35
Leiognathus longispinis
cirik
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
36
Leiognathus equulus
cirik tanah
0
8
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
37
Puntius brevis
Groe
2
0
0
0
0
1
6
39
4
9
4
9
66,667
38
Megalops cyprinoides
ikan bulan
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
39
Mystus olysroides
suik
0
0
0
4
0
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
40
Microphis brachyurus
kuda kuala
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
41
Mugil cephalus
belanek
6
0
0
0
0
31
0
0
0
0
0
0
16,667
31
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 101 42
Mystus micracanthus
Baong
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
8,3333
43
Mystus nigriceps
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
16,667
44
Mystus cavasius
0
0
2
0
0
0
0
0
0
2
0
0
16,667
45
Ophiocara porocephala
Baong Baong tanda Cong itam
0
0
2
5
0
0
0
0
0
0
0
0
16,667
46
Oreochormis niloticus
Nila
6
0
0
0
1
3
0
0
0
0
0
0
16,667
47
Osteochilus hasseltii
Serukan
0
0
0
0
0
0
3
10
0
1
5
5
41,667
48
Osteochilus schlegelii
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8
0
0
8,3333
49
Osteochilus sp.
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
50
Oxyeletris sp.
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
8,3333
51
Valamugil cunnecius
0
0
0
0
0
4
0
0
0
0
0
0
8,3333
52
3
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
16,667
cicak bakoi
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
54
Valamugil permata Periopthalmodon schlosseri Platycephalus indicus
Serukan Serukan Biru Ketetu kadra panjang Kadra
Baji-baji
9
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
55
Polydactylus sexfilis
senangin
6
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
16,667
56
Poropuntius sp.
Naleh
0
0
0
0
0
0
0
4
0
0
0
0
8,3333
57
Puntius sp.
0
0
0
0
0
0
0
0
2
98
0
0
16,667
58
Rasbora sp.
0
0
0
4
0
0
0
0
0
0
0
0
16,667
59
Rasbora sumatrana
Putihan bileh krueng kedawah
0
0
0
0
0
0
0
2
1
1
0
3
33,333
60
Rasbora argyrotaenia
bileh
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
11
0
8,3333
61
Rasbora torneiri
Bileh
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
8,3333
62
Scatophagus argus
kitang
0
0
0
0
2
1
0
0
0
0
0
0
16,667
63
Sillago sihama
Cuet
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
64
Stolephorus indicus
Cet-cet
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
16,667
53
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
102 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
66
Synaptura commersoniana Solea ovata
67
Tetraroge barbata
Leupoh
82
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
16,667
68
Tetraroge sp.
Lepoh
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
33,333
69
Tor tambra
kereling
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
16,667
70
Terapon jarbua
kekirong
0
1
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
25
71
Trichopodus pectoralis Trichopodus trichopterus Toxotes jaculatrix
sepat siam
0
2
0
7
0
0
0
0
0
1
0
0
25
sepat rawa
0
0
0
0
0
0
0
0
10
14
0
0
16,667
sumpit
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
0
0
6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
231
24
25
22
63
59
23
103
19
150
24
22
65
72 73 74 75
Xiphophorous sp. Zenarchopterus beauforti
sebelah
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8,3333
sebelah
0
0
5
0
3
0
0
0
0
0
0
0
16,667
ikan murung
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 103
Lampiran 3. Jenis dan Jumlah Makrozoobentos serta Distribusinya di Ekosistim Gambut Rawa Tripa
1
Ashtoret lunaris
Muara Tripa -
3
Distribusi Lokal (%) 20
2
Batissa violacea
16
20
40
3
Brotia costula
1
-
-
-
4
Brotia kelantanesis
30
65
-
-
-
1
20
-
95
40
5
Brotia mariae
-
-
-
-
392
392
20
6
Bufonaria crumena
-
-
-
-
3
3
20
7
Cerithium nigrinum
-
-
-
9
-
9
20
8
Clithon corona
-
-
-
-
3
3
20
9
Coenobita Sp.
-
-
6
469
-
475
40
10
Faunus ater
-
131
351
1249
3
1734
80
11
Lophiotoma indica Mactra veneroformis Maytilus edulis
-
-
-
-
1
1
20
-
-
35
-
-
35
20
-
-
-
5
-
5
20
No.
12 13 14
Speies
Suak Tripa -
Muara Seunaam -
Muara Batee 3
Muara Tadu -
4
-
-
-
Jumlah
57
64
-
-
-
121
40
1312
-
-
-
-
1312
20
16
Melanoides plicaria Melanopsis tingitana Modiolis auriculatus
-
176
-
-
-
176
20
17
Nerita atramentosa
1
-
-
-
-
1
20
18
Neritina semiconica
-
-
-
2
-
2
20
19
Neritina natalensis Neritodryas subsulcata Parathelphusa maculata Pomacea canaliculata Saccostrea glomerata Soleterina diphos Stenomelania torulosa Talamita crenata Theodoxus vespertinus Thiara Sp. Episesarma versicolor Progomphus obscurus
-
5
-
19
15
39
60
1
-
-
6
-
7
40
-
3
-
9
-
12
40
2
-
-
-
-
2
20
-
-
-
205
-
205
20
-
-
93
26
-
119
40
76
117
-
-
-
193
40
-
-
-
9
-
9
20
-
-
-
-
3
3
20
4
-
18
-
5
27
60
-
-
5
6
2
13
60
-
-
-
-
1
1
20
15
20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
104 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Lampiran 4. Foto-foto ikan yang tertangkap di Ekosistim Gambut Rawa Tripa
Ambassis nalua
Anguilla bicolor
Butis sp1.
Channa sp.
Ambassis vechelii
Apogon hyalosoma
Butis sp2.
Chelonodon patoca
Anabas testudineus
Butis gymnopomus
Channa lucius
Channa striata
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 105
Clarias batrachus
Cyclocheilichthys repasson Chelonodon patoca
Cyclocheilichthys sp.
Gerres acinaces
Glossogobius aureus
Glossogobius sp.
Hampala macrolepidota
Hyposarcus pardalis
Johnius coitor
Krytoterus minor
Leiognathus equulus argentimaculatus
Krytoterus sp.
Kuhlia marginata
Lethrinus sp.
Lutjanus
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
106 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Lutjanus fuscescens
Lutjanus johnii
Megalops cyprinoides
Mystus cavasius
Osteochilus hasseltii
Osteochilus schegelii
Lutjanus russellii
Oreochomis niloticus
Oxyeletris sp.
Platycephalus indicus
Polydactylus sexfilis
Poropuntius sp.
Rasbora sumatrana
Rasbora torneiri
Sillago sihama
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 107
Scatophagus argus
Tetraroge barbata
Toxotes jaculatrix trichopterus
Stolephorus indicus
Terapon jarbua
Tetraroge sp.
Tor tambra
Trichopodus pectoralis
Xiphophorous sp. (??)
Trichopodus
Zenarchopterus beauforti
Lampiran 4. Spesies Makrozoobentos yang ditemui di Ekosistim Gambut Rawa Tripa
Melanoides plicaria
Neritina semiconica
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Melanopsis tingitana
108 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
Ashtoret lunaris
Pomacea canaliculatao
Battisa violacea
Faunus Ater
Brotia kelantanensis
Brotia mariae
Episesarma versicolor
Thiara sp.
Bufonaria crumena
Neritodryas subsulcata
Clithon corona
Coenobita sp.
LAPORAN UTAMA
BIODIVERSITAS | 109
Progomphus obscurus
Mactra veneroformis
Maytilus edulis
Theodoxus vespertinus
Cerithium nigrinum
Lophiotoma indica
Nerita atramentosa
Soleterina diphos
Neritina natalensis
Stenomelania torulosa
Modiolus auriculatus
Saccostrea glomerata
PROJECT IMPLEMENTATION UNIT - STUDI EKOSISTEM RAWA TRIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA