2
SALAM REDAKSI Assalamu’alaikum wr. wb. Alhamdulillah, wassyukru lillah. Komisi Pengawas Haji Indonesia atau KPHI mulai tahun 2014 menerbitkan sarana komunikasi dalam bentuk buletin. Sarana ini dimaksudkan antara lain untuk menyampaikan hal-hal yang terkait dengan tugas dan fungsi KPHI kepada masyarakat. Selain itu, media ini juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyampaikan hal-hal yang terkait dengan masalah perhajian, baik berupa ide maupun kritik, guna perbaikan penyelenggaraan ibadah haji. KPHI dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Sesuai dengan nama nya, KPHI adalah sebuah komisi yang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji. KPHI merupakan lembaga mandiri yang dibentuk dalam rangka meningkatkan pelayanan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Peran strategis KPHI serta tugas dan fungsinya juga tersaji pada edisi kali ini. Hasil pengawasan KPHI diharapkan dapat mendorong penyelenggara untuk melakukan perbaikan-perbaikan, sehingga jamaah haji merasa aman dan nyaman dalam menunaikan ibadah sesuai syariat guna mencapai haji mabrur. Unsur keamanan yang perlu dilakukan dalam penyelenggaraan ibadah haji antara lain memahami akar masalah mengapa jamah haji Indonesia banyak yang tersesat jalan. Kemudian
menelaah konsep strategi jaring laba-laba untuk meminimalkan jamaah yang tersesat jalan dan terkena musibah yang jumlahnya sangat banyak. Ibadah suci yang cukup melelahkan secara fisik ini sangat dinantikan oleh masyarakat. Mereka rela menunggu antrean untuk dapat menuju ke Baitullah. Bahkan di beberapa daerah mereka sabar menunggu sampai belasan tahun. Bagaimana cara memangkas antrean tersebut? Dalam edisi ini juga disajikan tulisan yang penting disimak, yaitu masalah panjangnya seleksi calon anggota KPHI, regulasi penyelenggaraan ibadah haji Indonesia, sejak zaman penjajahan hingga sekarang, serta permasalahan yang sering timbul pada prosesi mabit di Muzdalifah dan Mina. Setiap Jamaah Calon Haji Indonesia (JCHI) sebelum berangkat menunaikan ibadah haji mengikuti bimbingan manasik. Bimbingan dimaksud selain dilakukan oleh KUA/Kemenag Kab/Kota juga dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri KBIH yang berperan sebagai fasilitator. Namun belakangan, fungsi fasilitator dalam pembimbingan di tanah air seolah menjadi kompetitor di Arab Saudi. Artikel Antara PPIH dan KBIH: facilitator or competitor merupakan salah satu sajian kali ini guna memahami makna sebenarnya. Selamat membaca, semoga bermanfaat. Wassalamu’alaikum wr. wb.
1
TOPIK UTAMA
KPHI
PERIODE PERTAMA Oleh: Slamet Effendy Yusuf
Penyelenggaraan ibadah haji Indonesia mulai 2013 menandai babak baru dengan kehadiran Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). Lima tahun setelah diamanatkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (UU PIH), akhirnya lahir juga bayi itu. Ya, bayi itu bernama Komisi Pengawas Haji Indonesia yang sudah ditunggu-tunggu kehadirannya. KPHI periode pertama yang lahir bersamaan dengan pengambilan sumpah sembilan Komisioner KPHI pada akhir Maret 2013 mempunyai peran penting dan strategis. Kehadiran KPHI diharapkan dapat melakukan fungsi pengawasan agar penyelenggaraan ibadah haji lebih baik dari waktu ke waktu. Pembentukan KPHI termasuk telat karena sesuai dengan amanat UU PIH, mestinya KPHI terbentuk setahun setelah UU PIH diundangkan pada 2008. Dorongan untuk pembentukan KPHI mencuat dalam Evaluasi Nasional Penyelenggaraan Ibadah Haji pada Januari 2010.
2
Menteri Agama Republik Indonesia saat itu, Suryadharma Ali, menegaskan bahwa pemerintah akan membentuk Kantor Misi Haji Indonesia (KMHI) di Arab Saudi. Caranya dengan mengubah secara terstruktur institusi Penyelenggara Ibadah Haji dari Kantor Teknis Urusan Haji (TUH) menjadi Kantor Misi Haji Indonesia (KMHI). Pengubahan ini ditujukan untuk mempertajam fungsi pelayanan haji. Terkait erat dengan upaya peningkatan mutu pelayanan haji, Kementerian Agama (Kemenag) juga memproses pembentukan KPHI yang diperkirakan sudah dapat bekerja melaksanakan tugas pemantauan dan pengawasan pada musim haji 2011. Secara historis, pembentukan KMHI di Arab Saudi dan KPHI sebagai institusi mandiri merupakan sejarah baru dalam penyelenggaraan ibadah haji Indonesia sebagai langkah pemisahan fungsi regulator, operator, dan pengawasan. Dengan kelahiran KPHI sebagai komisi pengawas, fungsi Kemenag terbatas pada fungsi pembuat kebijakan dan penyelenggara operasional haji. Peran Strategis Penyelenggaraan ibadah haji menyangkut persiapan di Tanah Air hingga pelaksanaan di Tanah Suci. Karena itu, penyelenggaraan
TOPIK UTAMA ibadah haji akan selalu berhadapan dengan berbagai persoalan yang makin kompleks dan dinamis dari tahun ke tahun. Misalnya, kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang memangkas kuota jamaah haji 20 persen mulai pada 2013 hingga 2015 membuat perencanaan penyelenggaraan ibadah haji terganggu. Penyelenggaraan ibadah haji bukan semata-mata urusan ibadah, melainkan juga pengelolaan manajemen penyelenggaraan yang kompleks. Penanganan atas kompleksitas persoalan yang dihadapi menjadi salah satu faktor penting dan mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji. Kondisi ini memerlukan sinergi pengelolaan yang efektif dibarengi dengan tingkat pengawasan yang tinggi dari pihak-pihak terkait. Sebagai penyelenggara ibadah haji, Kemenag khususnya Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan, keamanan, dan halhal lain yang diperlukan oleh jamaah haji. Untuk itu, Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan mutu pelayanan berikut jaminan manajemen penyelenggaraan ibadah haji sebaik-baiknya yang bebas korupsi, kolusi, lebih hemat biaya, dan memberikan kenyamanan bagi jamaah haji. Fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji menjadi sangat penting untuk memastikan kebijakan dan pelaksanaan
kegiatan tersebut sesuai dengan aturan dan standar perencanaan. Dari pengawasan dengan standar dan indikator yang telah ditetapkan itu dapat diketahui apakah ada penyimpangan guna mengambil tindakan perbaikan. Sebelum KPHI terbentuk, pengawasan penyelenggaraan ibadah haji dilakukan secara paralel dan simultan oleh berbagai instansi pengawasan, antara lain Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Ombudsman Republik Indonesia (ORI), dan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama (Itjen Kemenag). Dari sisi justisia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut mengawasi penyimpangan dalam penyelenggaraan ibadah haji. Dengan pembentukan KPHI, pengawasan terhadap penyelenggaran ibadah haji menjadi lebih komprehensif. Pengawasan yang menjadi tugas dan tanggung jawab KPHI dilakukan mulai dari tahap perencanaan hingga tahap operasional. KPHI juga bertugas menghimpun berbagai masukan, saran, dan pertimbangan dari berbagai pihak dalam rangka penyempurnaan manajemen dan peningkatan mutu pelayanan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Sebagai institusi baru, KPHI merupakan lembaga mandiri yang bertanggung jawab kepada Presiden. Keanggotaannya bersifat komisioner yang terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah. Melalui proses panjang
3
TOPIK UTAMA selama dua setengah tahun dengan berbagai tahapan, Komisioner KPHI diambil sumpahnya pada 26 Maret 2013. Saat pengambilan sumpah, Menteri Agama berharap, dengan adanya KPHI nantinya pengawasan independen dapat dilaksanakan dengan baik. Selain itu, KPHI juga diharapkan dapat merangkul semua pihak, termasuk tokoh masyarakat, akademisi, praktisi, dan organisasi masyarakat untuk mewujudkan penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia yang lebih baik dan kredibel. Tugas dan Fungsi Sesuai dengan UU PIH Pasal 12 ayat (3), KPHI bertugas melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap penyelenggaraan ibadah haji serta merumuskan pertimbangan untuk penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji. Sementara menurut pada Pasal 12 ayat (4), KPHI memiliki empat fungsi. Pertama, memantau dan menganalisis kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Kedua, menganalisis hasil pengawasan dari berbagai lembaga pengawasan dan masyarakat. Ketiga, menerima masukan dan saran masyarakat mengenai penyelenggaraan ibadah haji. Keempat, merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah haji. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, sesuai UU PIH Pasal 12 (5), KPHI dapat bekerja sama dengan pihak-pihak terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan. KPHI melaporkan hasil pelaksanan tugasnya secara ter-
4
tulis kepada Presiden dan DPR paling sedikit satu kali dalam setahun. Tugas pokok dan fungsi ini mengharuskan KPHI benar-benar dapat berjalan sesuai asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU PIH. Asas “keadilan” berarti penyelenggaraan ibadah haji berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak, dan tidak sewenangwenang dalam penyelenggaraan ibadah haji. Kunci agar pengawasan berjalan efektif terletak pada transparansi atau keterbukaan dalam penyelenggaraan ibadah haji Adapun yang dimaksud dengan asas “profesionalitas” adalah penyelenggaraan ibadah haji harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan keahlian para penyelenggaranya. Pengawasan haji memerlukan profesional yang memenuhi syarat: (1) menguasai bidang (kompeten), (2) memiliki spirit dan motivasi (loyalitas), (3) mempunyai nilai kejujuran, kebenaran, dan keadilan (integritas), dan (4) berpegang teguh pada profesionalisme (komitmen). Sementara, asas “akuntabilitas dengan prinsip nirlaba” mengharuskan penyelenggaraan ibadah haji dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum dengan prinsip tidak untuk mencari keuntungan. Akuntabilitas berkaitan erat dengan pertanggungjawaban terhadap efektivitas pengawasan kegiatan dalam pencapaian sasaran, target kebijaksanaan, atau program.
TOPIK UTAMA Pengawasan Langsung Pada tahun pertama, KPHI menyiapkan kelembagaan dan infrastuktur pendukung, meskipun dengan keterbatasan sumber daya (staf kesekretariatan dan dana). Selama tiga bulan pertama, KPHI menumpang kantor dengan fasilitas seadanya. Syukurlah, pada pertengahan 2013 KPHI menempati gedung kantor di Jalan Kramat Raya No. 85, Jakarta Pusat. Keterbatasan yang ada menjadi tantangan bagi Komisioner KPHI dalam menjalankan tugasnya. KPHI bersama Sekretariat menyiapkan berbagai instrumen pengawasan, tata tertib organisasi, dan kode etik. Komisioner juga melakukan fungsi monitoring dan pengawasan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2013 di Tanah Air maupun di Tanah Suci, serta menyusun laporan sebagai pertanggungjawaban tugas kepada Presiden. Dengan modal pengalaman pengawasan pada tahun pertama, KPHI lebih mantap melakukan fungsi pengawasan pada 2014. Modalnya tentu pemahaman terhadap kebijakan, isu strategis, situasi, dan kondisi di embarkasi dan Arab Saudi, serta perbaikan instrumen pengawasan. Dalam menjalankan fungsinya, KPHI telah bertemu dengan pemangku kepentingan ibadah haji dari lembaga pengawasan (DPD, BPK, BPKP, KPK, Ombudsman, Itjen Kementerian Agama), serta pemangku kepentingan lain dari asosiasi penyelenggara ibadah haji khusus dan kelompok bimbingan ibadah haji.
Keterbatasan jumlah staf justru menjadi tantangan bagi Komisioner KPHI untuk melakukan pengawasan langsung (ainul yaqin). Dengan pengamatan langsung ke obyek serta bertemu dan berdialog dengan narasumber, Komisioner KPHI benar-benar yakin terhadap fakta dan temuan di lapangan. Misalnya, Tim Pengawas KPHI menemukan rencana pemadatan jamaah di beberapa hotel Makkah pada saat pengawasan praoperasional penyelenggaraan ibadah haji. Ketika dilaporkan tidak ada lagi pemadatan karena ada reposisi saat operasional, Komisioner KPHI masih menemukan ada pemadatan, sehingga langsung di sampaikan kepada penyelenggara untuk perbaikan.
Tidak mudah membangun lembaga baru. KPHI periode pertama telah berjuang dan membuat pijakan bagi KPHI periode berikutnya. Hasil spirit perjuangan periode pertama itu berupa fondasi organisasi beserta perangkatnya yang kelak akan dilanjutkan pada periode berikutnya agar KPHI menjadi lembaga pengawas haji yang kuat dan disegani. Slamet Effendy Yusuf adalah Ketua KPHI.
5
REPORTASE
SELEKSI PANJANG
Anggota KPHI Oleh: Agus Priyanto
Proses seleksi hingga pengangkatan Komisioner KPHI memerlukan waktu dua tahun lebih. Hampir dua setengah tahun proses untuk mencari anggota Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) periode pertama. Proses pendaftaran calon anggota KPHI dan berbagai tes telah dimulai sejak Oktober 2010. Namun, Komisioner KPHI baru ditetapkan pada Maret 2013. Inilah proses seleksi anggota komisi negara yang mungkin terlama di Indonesia. Panitia Seleksi (Pansel) Anggota KPHI mulai menjaring calon anggota KPHI dengan membuka pendaftaran melalui laman Kementerian Agama (www.kemenag.go.id) serta pemberitahun ke Kantor Kementerian Agama seluruh Indonesia dan berbagai organisasi masyarakat. Pembukaan calon anggota KPHI dimulai pada 10 Oktober 2010. Selanjutnya, Pansel menerima pendaftaran calon anggota di Kantor Kementerian Agama, Lapangan Banteng, Jakarta, dari 18 hingga 26 Oktober 2010. Sesuai dengan Pasal 17 UU PIH, Pansel Anggota KPHI memberikan persyaratan kepada calon yang akan mengikuti tahapan seleksi: a. Warga Negara Indonesia; b. berusia
6
paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 65 tahun; c. mempunyai komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji; d. mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas dan mendalam tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji; e. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; f. mampu secara rohani dan jasmani; g. bersedia bekerja sepenuh waktu. Selain melampirkan biodata serta surat keterangan dokter dan Surat Keterangan Berkelakuan Baik (SKKB), calon dari organisasi masyarakat juga melampirkan rekomendasi dua orang tokoh. Sementara calon dari kementerian terkait menyertakan surat pengantar dari kementeriannya. Setelah melakukan proses seleksi administrasi terhadap berkas calon yang masuk, Pansel menetapkan 71 calon lolos seleksi administrasi melalui laman kemenag.go.id pada 12 November 2010. Dari seleksi administrasi ini, Panitia membagi calon anggota KPHI dalam tiga kategori: unsur pemerintah (13 orang), unsur ormas Islam (34 orang), dan tokoh masyarakat Islam (24 orang). Peserta yang lolos seleksi administrasi mengikuti tes kompetensi di Hotel Milenium, Jakarta Pusat, pada 4 Desember 2010. Psikotes terhadap calon anggota KPHI dilakukan oleh tim psikologi dari Universitas
REPORTASE Islam Negeri (UIN) Jakarta yang terbiasa melakukan psikotes. Selama dua setengah jam pertama, peserta psikotes yang berasal dari latar belakang dan pendidikan berbeda itu ‘khusyuk’ mengerjakan soal yang jumlahnya ratusan dalam bentuk pilihan berganda. Meskipun soalnya hanya memilih, sebagian peserta (termasuk yang berlatar belakang profesor dan doktor), mengaku baru pertama kali dan bingung mengerjakan psikotes. Soal psikotes dalam bentuk matematika sederhana (penjumlahan, perkalian) serta melihat kesamaan pola untuk melihat karakter peserta dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Belum lagi pusing mengerjakan soal psikotes yang begitu banyak dalam waktu singkat, peserta langsung mengikuti tes tertulis. Selama satu setengah jam peserta menjawab soal tertulis menyangkut pengetahuan seputar penyelenggaraan haji dan KPHI. Dari hasil psikotes dan tes tertulis, Pansel mengumumkan calon yang lolos tes kompetensi pada 12 Desember 2010 melalui laman Kemenag. Hasilnya, 36 calon lolos tes kompetensi: unsur pemerintah (tujuh orang), ormas Islam (17 orang), tokoh masyarakat (12 orang). Kemudian, Sekretariat Pansel mengubungi satu-persatu calon dari 36 orang ini untuk mengikuti tes wawancara di Ruang Aula Kantor Kemenag, Jl. M.H Thamrin pada 15 Desember 2010. Peserta tes wawancara harus bersabar menunggu giliran dipanggil satu-persatu pada tes yang dilakukan secara maraton dari pagi sampai sore. Sambil menunggu giliran dipanggil wawancara, para peserta ada yang
tekun membaca untuk persiapan wawancara dan sebagian lagi asyik mengobrol dengan teman-teman barunya. Setiap peserta akan masuk ke ruangan untuk menjawab pertanyaan lima orang penguji yang berasal dari akademisi dan Kemenag. Pertanyaan yang diajukan kepada peserta tes wawancara terkait dengan pengetahuan haji dan visi misi menjadi anggota KPHI. Tentu saja penguji juga menanyakan komitmen peserta untuk berkarya di KPHI. Sembilan Anggota Berdasarkan rapat pleno, pada 29 Desember 2010 Pansel menetapkan 18 nama lolos seleksi calon anggota KPHI: enam dari unsur pemerintah dan 12 dari unsur masyarakat. Setelah mendengarkan masukan dari masyarakat dan rapat beberapa kali dengan Instansi terkait, pada akhirnya Pansel mengirimkan sembilan nama calon anggota KPHI kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sembilan nama calon anggota KPHI ini mengikuti Pasal 14 UU PIH. (1) Terdiri atas sembilan orang anggota. (2) Keanggotaan terdiri atas unsur masyarakat enam orang dan unsur Pemerintah tiga orang. (3) Unsur masyarakat terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat Islam. (4) Unsur Pemerintah dapat ditunjuk dari departemen/instansi yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Ibadah Haji (Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan). Proses selanjutnya, Presiden menyampaikan calon anggota KPHI kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapat pertimbangan.
7
REPORTASE Setahun lebih tanpa ada kabar, pada 6 hingga 8 Februari 2012 Komisi VIII DPR mengundang dan mendengarkan paparan dari masing-masing calon anggota KPHI di Ruang Sidang Komisi VIII DPR. Melalui Rapat, Komisi VIII menyampaikan hasil pertimbangan kepada Presiden. Karena wakil dari Kementerian Kesehatan (Dr. H. Chalik Marsulili, MSc.) wafat, Kementerian Kesehatan mengajukan nama pengganti untuk mendapat pertimbangan DPR. Setelah melalui proses panjang yang ditunggu calon dan masyarakat, setahun kemudian pada awal 2013 Presiden menetapkan sembilan anggota KPHI melalui Keppres No. 13 P Tahun 2013 tanggal 13 Februari 2013. Selanjutnya, Menteri Agama mengambil sumpah jabatan sembilan anggota KPHI pada 26 Maret 2013 di Aula Kantor Kemenag Jalan M.H Thamrin.
Adapun anggota KPHI periode pertama yang bertugas selama tiga tahun (2013-2016) adalah enam dari unsur masyarakat: Drs.H. Slamet Effendy Yusuf, MSi; Drs.H.Imam Addaruquthni, SQ, MA; Ir.H. Agus Priyanto; Dr.H. Samsul Ma’arif, MA; Drs.H.M. Samidin Nashir, MM; Drs.H. Mohammad Thoha, Msi. Sementara tiga Komisioner unsur pemerintah adalah Drs.H. Ahmed Machfudh, MPA (Kementerian Agama); Dr.H. Abidinsyah Siregar, DHSM, Mkes (Kementerian Kesehatan); Dra.Hj. Lilien Ambarwiyati (Kementerian Perhubungan). Sesuai dengan ketentuan, Ketua dan Wakil Ketua KPHI dipilih dari dan oleh anggota Komisi. Komisioner KPHI periode pertama telah memilih Slamet Effendy Yusuf sebagai Ketua dan Imam Addaruquthni sebagai Wakil Ketua.Agus Priyanto, Komisioner KPHI.
Komisioner KPHI menandatangani surat sumpah jabatan.
8
OPINI
MASALAH JAMAAH HAJI
Tersesat Jalan
Oleh: Eddy Hardiyanto, M.SA *)
S
etiap jamaah haji yang telah berniat berhaji secara tulus karena Allah, memohon kepada Allah SWT agar dapat menunaikan ibadah hajinya dengan lancar dan memperoleh kemabruran. Lancar perjalanannya, lancar pemenuhan kebutuhan sehari-harinya dan lancar ibadahnya. Dengan kelancaran seperti itu, mereka berharap bisa meraih kemabruran secara sempurna, baik aspek manasik maupun manafi’nya. Betapa bangga dan bahagianya seorang jamaah haji yang dapat meraih kesempurnaan ibadahnya selama di tanah suci. Berbagai kesulitan, penderitaan dan pengorbanan yang dilaluinya akan hilang dari pikiran dan perasaannya karena telah tergantikan oleh kebahagiaan luar biasa yang diperolehnya dari ritual haji yang sempurna. Harapan setiap jamaah haji seperti itu tampaknya tidak semuanya dapat dicapai sebagaimana diidamkan. Permasalahannya karena di antara mereka ada yang terkendala secara fisik, bukan disebabkan difabel atau kategori risti (resiko tinggi), melainkan karena “tersesat jalan”. Kalau tersesat jalan hanya setengah hari barangkali dianggap biasa. Tetapi jika tersesat sehari semalam, bahkan berhari-hari, itulah yang berdampak langsung kepada tidak sempurnanya ibadah mereka.
Sebagian dari mereka yang tersesat itu justru pada saat melakukan manasik haji yang wajib seperti Tawaf, Sa’i, dan melontar Jumroh. Akibatnya, mereka tidak bisa menyelesaikan kewajiban-kewajiban mereka. Di sinilah peran pentingnya pemanduan dan pengendalian oleh petugas kloter serta pengawasan dan pertolongan oleh petugas PPIH Arab Saudi di tempat-tempat rawan tersesat itu. Mengapa Jamaah Haji Indonesia mudah tersesat jalan? Beberapa faktor penyebab terjadinya jamaah haji Indonesia tersesat jalan, bahkan ghoib/hilang selama menunaikan ibadah haji dan beraktifitas lainnya di Arab Saudi, pada umumnya disebabkan: 1. Faktor Internal a. Tingkat Pendidikan. Jamaah haji Indonesia tiap tahun jumlahnya sangat banyak karena jumlah penduduk muslim di Indonesia terbesar dibanding negara-negara lain, bahkan negara-negara di jazirah Arab sekalipun. Sesuai kesepakatan OKI, tiap negara yang berpenduduk muslim diberikan alokasi kuota haji tiap tahun sebanyak satu per mil dari jumlah penduduk muslim di negara tersebut. Dari data Panitia Penyelenggara Ibadah Haji Kemenag, tiap tahun calon jamaah haji Indonesia yang berangkat haji umumnya berpendidikan rendah (berpendidikan dasar) mencapai
9
OPINI rata-rata 60%. Bahkan kalau kita cermati secara sungguh-sungguh, masih ditemukan adanya jamaah haji yang belum lancar baca tulis huruf latin maupun arab. Kondisi demikian sangat potensial menyebabkan jamaah mudah tersesat jalan atau ghoib di tanah suci. b. Tingkat kesehatan. Kondisi kesehatan seseorang sangat berpengaruh terhadap tingkat kebugaran dan penampilan kesehariannya dalam merespon kondisi lingkungan yang dinamis. Ibadah haji sangat banyak menuntut kesiapan fisik yang prima. Karena di samping kondisi alam yang berbeda jauh dengan Indonesia, aktivitas jamaah haji juga sangat banyak yang harus dilakukan dengan berjalan kaki seperti tawaf, Sa’i dan melontar jumrah ?serta beribadah shalat di Masjid Al Haram. Apalagi bila dalam melakukan aktivitas ibadah itu harus berdesak-desakan dengan jamaah dari negara-negara Afrika dan Timur Tengah yang fisiknya lebih besar dan kekar. Oleh sebab itu, “ibadah haji sering disebut ibadah fisik”. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, setiap jamaah haji harus “sehat dan kuat”. Ironisnya, banyak jamaah haji kita akhir-akhir ini yang kondisi kesehatannya kurang mampu dan diklasifikasikan sebagai jamaah “RISTI” (risiko tinggi). Jumlah mereka pada musim haji tahun 1435 H/2014 M cukup besar, mencapai sekitar 54%. Apabila mereka pergi dari pemondokan di Makkah dan Madinah atau kemah di Armina maka akan berpotensi besar tersesat jalan karena fisik
10
mereka tidak mampu mengikuti gerakan rombongannya sehingga tertinggal, terus terpisah, dan akhirnya tersesat.
Jamaah haji tahun 2014 pasutri yang keduanya risti dan wafat pasca Armina karena dehidrasi.
c. Tingkat pengalaman. Sering terjadi orang yang berpendidikan formal rendah tetapi mampu bepergian jauh beberapa hari dengan lancar, baik saat berangkat maupun saat kembali. Orang ini punya daya ingat yang tinggi dan kepercayaan dirinya terbangun dari pengalaman hidupnya yang sering bepergian jauh. Dia sebenarnya telah menjalani pendidikan yang cukup melalui pengalaman-pengalamannya. Sebaliknya, jamaah haji yang tidak mempunyai pengalaman bepergian jauh walaupun tingkat pendidikannya lumayan, apalagi yang pendidikannya rendah, mereka inilah yang potensial mudah tersesat jalan ketika menunaikan ibadah haji. 2. Faktor Eksternal a. Kondisi geografis Arab Saudi berbeda dengan Indonesia. Jamaah haji Indonesia banyak yang berasal dari kampung atau pedesaan yang jauh dari kota-kota besar. Ketika mereka tiba di Arab Saudi pada umumnya tercengang karena tiga hal:
OPINI 1) Kondisi alam berupa hamparan padang pasir yang nyaris tidak bertepi dan gunung-gunung batu yang tak berpohonkan sedikitpun, 2) Cuaca yang ekstrem ketika musim panas maupun musim dingin, dan 3) Model bangunan rumah penduduk dan hotel yang berbentuk kotak-kotak hampir serupa. Kondisi demikian tentu membingungkan para jamaah haji yang berlatar belakang kehidupan di pedesaan sewaktu di tanah airnya. b. Tanda penunjuk arah dan papan nama tidak berbahasa Indonesia. Beberapa wilayah yang menjadi pusat konsentrasi jamaah haji Indonesia maupun di sekeliling tempat-tempat ibadah sulit ditemukan tanda-tanda arah yang jelas dengan bahasa Indonesia maupun Melayu. Demikian pula papan nama yang berbahasa Indonesia juga sulit ditemukan. Sebagai contoh, di sekitar Masjidil Haram tanda-tanda dan papan nama itu hanya berbahasa Arab dan Inggris seperti Mathaf, Mas’a dan sebagainya. Selama di tanah air, istilah-istilah tersebut belum dipopulerkan sehingga ketika berada di Masjidil Haram mereka tidak paham apa maksud tulisan tersebut. Terlebih lagi ketika jamaah berada di Mina dan Jamarat, tidak ada petunjuk arah ke kemah Indonesia apalagi dengan bahasa Indonesia. Memang di Arab Saudi kita tidak diizinkan memasang tanda-tanda penunjuk arah atau papan nama di area publik, apalagi berbahasa Indonesia. Kalau
kita pasang pasti dalam waktu sekejap mata akan dicabut oleh Askar atau Baladiah Arab Saudi. Tetapi sebagian negara Timur Tengah ada yang memasangnya. c. Banyak jalan layang, terowongan, dan persimpangan jalan tanpa penunjuk arah yang jelas. Perkembangan kota Makkah, Madinah dan Jeddah demikian pesatnya. Akibatnya, banyak jalan layang dan jalan arteri yang dibangun, sehingga persimpangan jalan juga semakin banyak. Sayangnya, minim papan petunjuk arah di tempat-tempat rawan tersesat jalan tersebut. Apabila ada jamaah haji yang terlanjur masuk jalur-jalur tanpa petunjuk arah tersebut dapat dipastikan jamaah haji kita akan tersesat jalan. Bahkan, ketersesatannya bisa sangat jauh karena mengikuti habisnya jalur jalan tersebut.
Banyak Jamaah yang tersesat di Masjidil haram.
d. Kurangnya petugas pemandu PPIH. Setiap tahun jumlah jamaah haji yang tersesat jalan cukup banyak, selalu di atas 5.000 orang setiap musim haji. Kondisi ini dari sisi perlindungan dan pengamanan jamaah haji sungguh memprihatinkan. Karena tidak jarang di antara jamaah yang tersesat jalan itu bisa berhari-hari. Akibatnya mereka kelelahan, kekurangan makanan, dan jatuh
11
OPINI sakit. Tidak jarang di antara jamaah yang tersesat beberapa hari itu ditemukan oleh petugas Arab Saudi sehingga langsung dikirim ke Rumah Sakit Arab Saudi (RSAS). Dari sekian jamaah haji yang dievakuasi ke RSAS itu akhirnya wafat tanpa diketahui sebelumnya oleh petugas Indonesia. Setelah ada pemberitahuan dari pihak RSAS atau kebetulan tim surveilan sedang mencari-cari jamaah Indonesia di RSAS itulah jamaah tersebut ditemukan. Hal ini jika jamaah itu masih membawa identitas. Jika tidak ada identitas maka akan sangat sulit mencarinya, akhirnya dinyatakan ghoib atau hilang. Persoalannya, pada akhir-akhir ini jumlah petugas haji nonkloter maupun tenaga musiman (temus) jumlahnya relatif sedikit sehingga tidak cukup untuk menggelar pospos statis ataupun mobil yang bertugas memandu, menyekat, menolong dan mengevakuasi jamaah yang berlalu lalang di daerah yang rawan tersesat jalan. e. Peran petugas kloter lemah. Setiap kloter terdapat seorang TPHI (Tim Pembimbing Haji Indonesia) yang berperan sebagai ketua kloter, seorang TPIHI (Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia), tiga orang tenaga medis dan paramedis, ditambah 1 - 3 orang TPHD (Tim Pembimbing Haji Daerah). Tugas mereka untuk mengkoordinir, mengendalikan, memandu, melayani dan melaporkan kondisi dan aktifitas jamaah di kloternya sejak berangkat dari daerah embarkasi sampai di Arab Saudi, selama berada di Arab Saudi hingga kepulangan ke tanah air. Setiap petugas kloter mestinya melekat dengan jamaah di kloternya ke mana, di mana dan kapan pun. Hal yang
12
terjadi adalah banyak jamaah suatu kloter yang lepas kendali dari petugas kloter, baik saat ke masjidil Haram dan masjid Nabawi maupun saat prosesi mabit di Mina dan melontar Jamarat. Bisa juga awalnya jamaah dikendalikan kemudian lamakelamaan longgar kendalinya dan akhirnya dibiarkan jamaah cari jalan sendiri. Akibatnya satu persatu mulai tercerai berai dan jamaah yang rentan tersesat benar benar jadi tersesat jalan...,.,. Anehnya, banyak kloter yang tidak ketat memberlakukan absensi setiap malam dan setiap selesai aktifitas jamaah di luar pemondokan atau kemah. Hal ini diakibatkan oleh sebagian kloter yang lemah dalam kepemimpinan lapangan, disiplin dan kepedulian kurang. Perlu dicoba untuk merekrut unsur tni dan polri di daerah yang memiliki kemampuan kepemimpinan dan berinteraksi sosial yang baik dengan masyarakat di daerah guna mengisi salah satu petugas kloter tersebut. Disiplin yang tinggi, fisik yang prima, ditambah pengamalan agama yang baik serta didukung kepemimpinan lapangan dan komunikasi sosial yang baik, kiranya bisa mendongkrak kinerja petugas kloter mendatang. Inilah sebagian dari faktor penyebab mengapa jamaah haji Indonesia banyak yang tersesat jalan. Semoga ke depan jamaah haji kita yang tersesat jalan dapat diminimalkan sedikit mungkin. _________________________
*) Penulis adalah seorang akuntan dan pemerhati sosial keagamaan beralamat di Pondok Gede, Jaktim
OPINI
REGULASI PENYELENGGARAAN
Haji di Indonesia
Oleh Abdul Khaliq Ahmad *)
M
ayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dengan jumlah 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010. Sementara pemeluk agama selain Islam berjumlah 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, dan 0,13% agama lainnya. Dari data statistik itu, Indonesia menjadi salah satu dari lima negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, dengan peringkat teratas yang diikuti oleh Pakistan, India, Bangladesh, dan Turki. Kecuali India, keempat negara tersebut merupakan anggota OKI (Organisasi Konperensi Islam) yang didirikan di Rabat, Maroko pada 25 September 1969. OKI beranggotakan 57 negara berpeduduk muslim yang sejak 28 Juni 2011 berubah nama menjadi Organisasi Kerjasama Islam. Indonesia juga merupakan negara dengan jumlah jamaah haji terbanyak di dunia. Menurut catatan Pusat Dokumentasi IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia), secara kumulatif sejak awal kemerdekaan hingga tahun 2014 tercatat 5.449.284 orang yang sudah menunaikan ibadah haji. Setiap
musim haji, Indonesia selalu mengirimkan calon jamaah haji ke Tanah Suci lebih banyak dibanding negara-negara muslim lainnya. Berdasarkan Kesepakatan KTT OKI 1986 di Amman, Jordan, kuota jamaah haji suatu negara adalah 1 per-mil atau 1 : 1000. Artinya, dari 1000 muslim kuota hajinya 1 orang. Jadi, jika saat ini Indonesia berpenduduk muslim 221.000.000, berhak atas 221.000 kuota haji, sebagaimana yang telah berlangsung sepanjang musim haji 2011-2012. Pada 20132014 kuota haji mengalami pemotongan 20% dari kuota yang semestinya karena kebijakan Pemerintah Arab Saudi terkait perluasan komplek Masjidil Haram. Sejak sebelum kemerdekaan, terutama pada masa pemerintahan kolonial Belanda, penyelenggaraan ibadah haji selalu menjadi perhatian pemerintah, dengan dikeluarkannya regulasi untuk menjamin kelancaran dan ketertiban pelaksanaan ibadah haji bagi setiap orang yang akan menunaikan Rukun Islam kelima itu, Regulasi Penyelenggaraan Haji Berbagai bentuk regulasi yang mengatur penyelenggaraan ibadah haji yang pernah dan sedang dijalankan sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut:
13
OPINI 1. Ordonansi Haji Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dikeluarkan regulasi berupa peraturan tentang perhajian yang disebut Pelgrims Ordonnantie Staatsblaad tahun 1922 Nomor 698 berikut perubahan dan tambahannya (Sb.1922 No. 698, 1923 No. 15 en 597, 1924 No. 529, 1925 No. 258, 1927 No. 286, 1932 No. 554, 1937 No. 507, 1939 No. 357, 1947 No. 50). Kemudian pada 1938 pemerintah kolonial Belanda kembali mengeluarkan regulasi berupa peraturan Pelgrims Verordening Staatsblaad tahun 1938 nomor 670 berikut perubahan dan tambahannya (Sb.1938 No. 670, 1947 No. 50). 2. Peraturan Presiden Pasca kemerdekaan sampai beberapa belas tahun berikutnya pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia masih mengacu pada peraturan yang ada pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda. Baru pada tahun 1960 pemerintahan Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 1960 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji. 3. Keputusan Presiden Untuk melaksanakan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 1960, kemudian Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 112 tahun 1964 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji Secara Interdepartemental. Peraturan ini tetap berlaku hingga 1969, meskipun tampuk pemerintahan dan kepemimpinan nasional telah berpindah dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dikeluarkan beberapa Keputusan Presiden, yaitu:
14
a. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji Oleh Pemerintah; b. Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1981 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji; c. Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 1983 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah; d. Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji; dan e. Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah. 4. Undang-Undang Sejak gerakan Reformasi digulirkan yang ditandai oleh berhentinya Presiden Soeharto dan beralihnya kekuasaan pemerintahan ke Presiden Habibie pada tahun 1999, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004-2014, terdapat tiga UU yang mengatur Perhajian. Dua UU tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang keduaduanya merupakan usul inisiatif DPR, dan satu UU tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang berasal dari usul inisiatif Pemerintah, yaitu : a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji UU ini lahir karena atas dasar kebutuhan masyarakat akan perlunya aturan hukum yang kuat, jelas serta dapat mengatur dan melindungi kepentingan masyarakat yang akan menunaikan ibadah haji agar dalam pelaksanaannya dapat berlangsung dengan mudah, aman, tertib, dan nyaman. UU ini bermula dari Rancangan Undang-Undang
OPINI (RUU) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji atas inisiatif DPR yang diajukan dan diputuskan menjadi UU, dan disahkan oleh Presiden Habibie pada tanggal 3 Mei 1999 sebagai UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. UU Nomor 17 Tahun 1999 adalah salah satu produk era reformasi, dan menjadi UU pertama yang dibentuk DPR bersama Presiden sejak Indonesia merdeka sebagai hukum positif yang mengatur masalah penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. b. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Setelah berlaku selama 9 (sembilan) tahun, UU No. 17 Tahun 1999 dinyatakan harus diganti karena sudah tidak sesuai lagi perkembangan kebutuhan masyarakat karena berbagai sebab, antara lain masih melekatnya tiga fungsi sekaligus pada Departemen Agama, yaitu sebagai fungsi regulator, operator, dan pengawas. Akhirnya UU No. 17 Tahun 1999 pun direvisi dan diganti dengan UU No. 13 Tahun 2008. Proses revisi UU No. 17 Tahun 1999, juga atas inisiatif DPR setelah menerima banyak masukan dan desakan dari masyarakat untuk meningkatkan penyelenggaraan ibadah haji menjadi lebih baik karena dirasakan banyak kekurangan yang terdapat dalam UU No. 17 Tahun 1999 yang dibuat pada era Presiden Habibie. Setelah melalui proses pembahasan, DPR memutuskan RUU menjadi UU dan disahkan oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 28 april 2008 sebagai UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pelaksanaan UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sudah dianggap baik karena antara lain sudah memisahkan fungsi pengawasan penyelenggaraan ibadah haji kepada komisi khusus dengan mencantumkan secara eksplisit dalam Pasal 12 hingga Pasal 20 mengenai Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). Namun demikian, masalahmasalah teknis pemondokan, katering, transportasi, kesehatan yang dikeluhkan jamaah haji terus berulang setiap musim haji, karena dilaksanakan oleh kepanitiaan yang tidak profesional dan bersifat ad hoc. Kemudian masih menyatunya fungsi regulator dan operator pada penyelenggaraan haji. Hal-hal inilah yang mendorong perlunya revisi UU No. 13 Tahun 2008. Puncaknya adalah pada penyelenggaraan haji tahun 2011. Setelah melakukan pengawasan intensif dan menemukan berbagai kekurangan dalam penyelenggaraan haji, DPR menyatakan perlunya revisi UU Haji dan munculnya wacana badan khusus penyelenggara ibadah haji. Revisi UU No. 13 Tahun 2008 pun masuk dalam daftar Prolegnas DPR 2012. Kemudian Komisi VIII DPR yang membidangi haji mengundang kelompok masyarakat, termasuk IPHI untuk memberikan pandangan dan pemikiran mengenai revisi UU Haji, dan
15
OPINI segera menindaklanjuti dengan menyusun RUU tentang Pengelolaan Ibadah Haji dilengkapi dengan Naskah Akademisnya, serta meneruskannya ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Setelah RUU ini berada di tangan Baleg DPR hingga selesai masa jabatan DPR 2009-2014, tidak jelas kelanjutan revisi UU Haji tersebut. Dalam kesempatan RDPU dengan Komisi VIII DPR 2014-2019 pada 10 November 2014, IPHI mengingatkan kembali mengenai keberadaan dan kelanjutan pembahasan RUU tentang Pengelolaan Ibadah Haji yang merupakan revisi terhadap UU No. 13 Tahun 2008 dan telah masuk dalam daftar Prolegnas DPR. c. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji UU Pengelolaan Keuangan Haji lahir atas usul inisiatif Pemerintah dan diajukan setelah DPR terlebih dahulu mengajukan usul inisiatif revisi UU No. 13 Tahun 2008. Namun dalam pembahasannya, RUU inisiatif Pemerintah itu yang diprioritaskan dan diputuskan oleh DPR di akhir masa jabatannya, yakni tanggal 29 September 2014. Kemudian disahkan oleh Presiden SBY pada tanggal 17 Oktober 2014 sebagai UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. UU ini mengatur bahwa pengelolaan keuangan haji yang meliputi penerimaan, pengeluaran, dan kekayaan dilakukan oleh lembaga yang bernama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sebagai
16
badan hukum publik yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama. 5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (Perppu) Pada Desember 2008, Pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan mengenai pemberlakuan paspor biasa (ordinary passport) yang berlaku secara internasional bagi setiap jamaah haji dari seluruh negara, termasuk Indonesia mulai tahun 1430 Hijriyah. Hal ini memaksa pemerintah Indonesia harus merubah UU No. 13 Tahun 2008, khususnya pasal yang mengatur paspor khusus haji yang berwarna coklat. Karena untuk mengubah UU tersebut dengan prosedur biasa memakan waktu yang lama, sementara kebutuhannya mendesak. Untuk itu, Presiden menempuh cara dengan mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No. 13 Tahun 2008 yang ditetapkan pada 17 juli 2009, kemudian diterima dan disahkan menjadi UU oleh DPR dalam Rapat Paripurna 14 September 2009. Dengan pengesahan Perppu menjadi UU, maka ketentuan paspor haji yang berwarna coklat dihapus dan diganti dengan paspor biasa yang berwarna hijau, sebagaimana paspor yang lazim digunakan masyarakat untuk bepergian ke luar negeri. Penutup Demikianlah tulisan singkat mengenai Regulasi Penyelenggaraan Haji di Indonesia. Semoga ada manfaatnya untuk menambah pengetahuan dan memperluas wawasan. _________________________
*) Penulis adalah Ketua Departemen OKK-Hublu PP-IPHI (Organisasi, Keanggotaan, Kaderisasi, dan Hubungan Luar negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia).
OPINI
STRATEGI JARING LABA-LABA
dalam Perlindungan Jamaah Haji (Bagian I) Oleh : M. Samidin Nashir
A
lkisah, ketika Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah, beliau ditemani Abu Bakar Siddiq RA membuat strategi jitu untuk melemahkan strategi musuh dengan menghilangkan jejak agar tidak terlacak oleh pasukan Quraisy yang akan menyergapnya. Pada suatu malam saat keluar dari rumah Ali RA, yang saat itu dijaga sangat ketat oleh algojo-algojo Quraisy, beliau bergegas mencari tempat persembunyian yang aman, yaitu di Gua Tsur yang berjarak sekitar 5 kilometer arah selatan dari kota Makkah. Begitu beliau berdua masuk gua, atas kehendak Allah, seketika itu laba-laba yang ada di situ membuat sarang berupa jaringjaring untuk menutup mulut gua tersebut sehingga terkesan bahwa gua itu telah lama tidak ada penghuninya apalagi manusia yang bertubuh besar. Ketika pasukan pemburu lewat di depan gua, mereka yakin tidak ada penghuni di dalamnya apalagi orang yang dikejarnya. Karena tidak mungkin jaring laba-laba itu utuh bila ada orang menerobos masuk ke dalam gua. Bahkan, burung merpati pun dengan tenangnya bertelor di sarangnya di mulut gua yang sempit itu. Akhirnya para pemburu itu tidak jadi masuk ke dalam gua dan meninggalkan lokasi itu, sehingga selamatlah Rasulullah SAW dan Abu Bakar Siddiq dari kejaran pasukan Quraisy yang akan membunuhnya.
Kejadian ini diabadikan dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 40 yang artinya: “Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah); sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia berkata kepada sahabatnya ‘jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’” Sarang laba-laba berbentuk jaring-jaring memiliki keunggulan strategi dalam menangkap sasaran atau binatang kecil yang menjadi sasaran atau mangsanya. Betapa tidak, setiap kali mangsa itu menyentuh bagian jaring itu dapat dipastikan tidak akan bisa lepas karena lengket dan terlilit jaring, sehingga sang penjaga -yaitu pemilik sarang- akan secepat kilat menyergapnya. Hasil sergapan itu segera dibawa ke poskonya untuk dieksekusi. Gelaran jaring laba-laba yang lazim berbentuk melingkar dapat dibagi menjadi tiga. Paling tengah lingkarannya lebih rapat sebagai inti jaring atau ring 1, kemudian melebar agak renggang sebagai ring 2, dan yang paling pinggir/ luar lebih jarang lagi sebagai ring 3. Pada bagian pinggir itu ternyata tidak semuanya jarang, tetapi ada bagian atau sektor tertentu membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang cukup
17
OPINI rapat yang diprediksi untuk menangkap sasaran yang diincar pada sektor tersebut. Betapa hebat sang laba-laba dalam menggelar strategi penangkapan terhadap sasaran-sasaran strategis yang diprediksi lewat di daerah operasinya.
gelombang kedua). Di kota tersebut bangunan yang ada pada umumnya gedung bertingkat dan bangunan lainnya yang bentuknya sama (kotak), dihubungkan oleh jalur-jalur jalan yang lebar dan banyak persimpangan serta banyak jalan layangnya.
Jamaah Haji Indonesia Rawan Tersesat Jalan
Kondisi tersebut di atas menjadikan jamaah haji asal Indonesia dengan latar belakang demikian sangat mudah bingung bila dilepas dalam kelompok-kelompok kecil, apalagi perseorangan, sehingga mereka mudah tersesat jalan. Walaupun mereka bergerak dalam jumlah yang cukup besar -sekitar satu rombongan (45 orang) ketika awal kedatangan- bila tanpa penunjuk jalan yang hafal kondisi Makkah dan Madinah mereka bisa tersesat jalan secara berjamaah. Ketika prosesi Armina dalam kondisi fisik yang sudah lemah, waktu dan tempat istirahat tidak memadai serta daerahnya sangat asing, ditambah kepadatan jamaah haji dari seluruh dunia tumplek menjadi satu, maka akan
Jamaah haji Indonesia menempati jumlah terbesar dari seluruh dunia. Ironisnya, sebagian besar dari jamaah haji tersebut berasal dari pedesaan dengan tingkat pendidikan yang rendah, belum pernah bepergian jauh apalagi ke luar negeri. Ketika jamaah haji tiba di Bandara KAAIA Jeddah atau Bandara AMAA Madinah mereka sudah dibuat tercengang dan takjub melihat kegemerlapan bandara yang sangat luas dibanding bandara di Indonesia, apalagi pada malam hari. Area yang sangat luas dengan petunjuk jalan atau arah yang nihil bahasa Indonesia membuat mereka semakin bingung ke mana arah yang akan dituju. Kebingungan jamaah semakin parah ketika diangkut bus-bus besar melewati jalan-jalan yang sangat lebar dan di kiri kanan jalan terbentang padang pasir yang sangat luas bagaikan hamparan pasir yang tak bertepi. Lalu masuk sebuah kota apakah Madinah (bagi jamaah gelombang pertama) atau pun Makkah (bagi jamaah
18
OPINI terjadi titik kulminasi kebingungan jamaah. Akhirnya, sikap yang mereka teguhkan dalam hati adalah “tidak boleh lepas dari rombongan dan pemandu/pembimbing”. Permasalahannya adalah ketika jamaah haji itu mulai bergerak dari suatu lokasi ibadah ke lokasi lainnya dalam hiruk-pikuk jamaah haji dengan pakaian yang sama (serba putih) maka ketika ada yag terlepas dari rombongan karena sesuatu hal maka di situlah awal terjadinya jamaah tersesat jalan atau bahkan ghaib/hilang. Tanggung Jawab Pemerintah RI Selaku Penyelenggara Pemerintah Cq Kementerian Agama RI dan Kedutaan Besar RI di Saudi Arabia sesuai ketentuan wajib melindungi setiap warga negara Indonesia yang sedang menunaikan ibadah haji di Arab Saudi dan menjamin kelancaran ibadahnya agar menjadi haji yang mabrur. Apalagi setiap jamaah haji Indonesia telah memenuhi kewajiban-kewajiban kepesertaannya sebagai jamaah haji, termasuk sudah melunasi biaya-biaya yang menjadi kewajiban mereka sebelum berangkat. Implementasi tanggung jawab Pemerintah selaku penyelenggara ibadah haji setiap tahun membentuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) di Arab Saudi yang bertugas menyiapkan, mengkoordinasikan dan mengendalikan serta mengevaluasi operasional penyelenggaraan ibadah haji Indonesia di Arab Saudi. Dalam membentuk PPIH setiap tahun unsur-unsur TNI dan Polri dilibatkan untuk menangani masalah perlindungan dan pengamanan jamaah haji Indonesia. Namun realitanya dari tahun
ke tahun jumlah pelibatan unsur TNI/Polri tersebut sangat sedikit dibanding beban tugas yang harus dihadapi di lapangan. Keberhasilan tugas perlindungan dan pengamanan itu memang tidak bisa ditentukan hanya dari banyaknya jumlah petugas dari unsur TNI/Polri, tetapi merupakan sinergi dari semua aspek yang terkait, seperti: 1. Pengorganisasian yang menjamin terselenggaranya perlindungan jamaah secara baik selama di Arab Saudi 2. Strategi perlindungan yang efektif dan efisien diterapkan pada setiap fase ibadah 3. Fasilitas (sarana dan prasarana) yang mendukung terselenggaranya perlindungan jamaah haji 4. Tingkat kerja sama dengan aparat keamanan Arab Saudi 5. Peran petugas kloter dan kesiapan jamaah menghadapi permasalahan di Arab Saudi. Strategi Perlindungan dan Pengamanan Jamaah Haji Pelibatan secara formal unsur TNI/Polri dalam PPIH Arab Saudi terjadi sejak musim haji tahun 2005 yang melibatkan 30 orang perwira menengah. Saat itu fokus penanganan tugas yang dibebankan kepada para perwira menengah TNI/Polri adalah pembenahan manajemen operasional Armina. Tujuannya untuk menata sistem komando dan pengendalian, meminimalkan terjadinya musibah kecelakaan di Muaisim hingga Jamarat dan bagaimana menangani jamaah tersesat jalan yang sangat banyak serta upaya memperlancar operasional Armina. Saat itu dibentuk organisasi Satuan
19
OPINI Operasional (Satops) Armina yang membawahi Satgas Arafah, Satgas Muzdalifah dan Satgas Mina, Masing-masing Satgas diawaki oleh personel dari Daker secara lengkap sehingga Kadaker menjadi Dansatgas. Seadng Kasatops
Karena itu, berdasarkan kajian empirik dan pertimbangan geografis di kawasan Arafah, Muzdalifah, Mina-Jamarat dan Al Haram pada musim haji tiap tahun, maka mulai musim haji 2005 diterapkan suatu strategi Perlindungan dan Pengamanan Jamaah Haji Indonesia yang diilhami dari pola penyelamatan yang dilakukan oleh sang laba-laba terhadap Rasulullah SAW saat diburu pasukan Quraisy.
Sang laba-laba (atas kehendak Allah) dengan jaring-jaringnya berhasil menyelamatkan Rasulullah SAW, sehingga strategi ini oleh pengJaring Imajiner dalam strategi pengamanan jamaah haji Indonesia di Makkah gagasnya disebut Armia dipimpin Katim TNI / Polri. Pada tahun- “Strategi Jaring Laba-laba”. Gelar operasiotahun sebelumnya pola operasional Armina nalnya melibatkan semua petugas haji nonbelum tertata baik, sehingga berdampak pada kloter dan temus dengan membuat simpuljatuhnya korban jiwa jamaah haji Indonesia simpul jaring komunikasi dan pengendalian yang dikoordinasi perwira TNI/Polri di tiap yang cukup besar pada prosesi Armina. titik simpulnya, sehingga secara imajiner Belajar kepada sang laba-laba yang membuat jaringan perlindungan dan pengadengan membentangkan jaring-jaringnya manan haji seperti sarang laba-laba yang siap dapat menutup mulut lubang gua yang di setiap saat menyelamatkan jamaah haji yang dalamnya ada kekasih Allah yang harus memerlukan bantuan keamanan. diselamatkan itu, kiranya dapat dijadikan * Penulis adalah purnawirawan TNI, Sarjana Agama dan lulusan sebagai pelajaran yang sangat berharga untuk Seskoad yang diberikan amanah oleh Menteri Agama pada musim haji 2005 untuk membenahi manajemen operasional Armina dengan diterapkan dalam mengatasi banyaknya membentuk Satops Armina dan menjadi ketua tim TNI/Polri sebagai haji non kloter. Pada musim haji 2006 dan 2008 ditugaskan jamaah haji yang tersesat jalan saat prosesi petugas untuk mensupervisi penerapan Satops Armina. Sekarang menjabat haji. Bukankah Allah SWT mengingatkan Direktur Lembaga Percetakan Al-Qur’an (LPQ) di Ciawi Bogor dan Ketua Bakor Muhaqi IPHI Pusat. kita dalam firman-Nya: “Sesungguhnya ada pada binatang itu pelajaran bagimu.” (Q.S. Al-Mu’minun: 21)
20
OPINI
ANTRE ....., ANTRE ....., ANTRE .......! Oleh: Ahmed Machfudh
“Antre ataukah antri?” Tanya seorang yang di belakangku ketika aku menyebut istilah antri. Aku gamang mau menjawab dengan istilah yang kupakai, yaitu “antri”. Maklum, aku orang Jawa yang sejak kecil menyebut technical term dari “suatu kegiatan berdiri berderet-deret memanjang menunggu untuk mendapat giliran” dengan istilah antri. Jadi, orang yang mengatakan antre aku kira kurang fasih. Dengan perasaan kesal kujawab asal saja, “Mau pakai antre atau antri terserah! Yang penting harus sabar mau menunggu gilirannya.” Aku terpaksa menyerah setelah membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dianggap referensi utama paling valid. Ternyata istilah “antre” tidak hanya digunakan untuk menunggu untuk mendapat giliran dalam mendapatkan jatah karcis bioskop, karcis kereta api, ransum atau jatah makan dan sebagainya. Orang yang mau berangkat ke tanah suci guna menunaikan ibadah haji pun harus antre. Mereka harus sabar menunggu antrean. Jumlah peminat haji yang melebihi jatah kuota haji setiap tahun menyebabkan antrean semakin panjang. Untuk jamaah haji regular, lama antrean bahkan sampai belasan tahun.
“Bu, katanya dari Surabaya, kok ikut jamaah Kloter JKS ....,” sapaku kepada seorang haji yang baru tiba dari tanah suci di Debarkasi Bekasi. Spontan ia menjawab, “Wadduh Paaaaak! Kalau di Surabaya harus menunggu sembilan belas tahun. Lha umur sudah lewat enam puluh tahun, gimana kondisiku sembilan belas tahun yang akan datang? Aku ya ikut haji bersama-sama saudaraku yang di Bogor saja! Hanya empat tahun.” “Memang ibu mendaftar haji tahun berapa?” lanjutku. “Dua ribu sepuluh Pak,” sahutnya. Empat tahun yang lalu saja menunggu sembilan tahun. Kalau sekarang mendaftar, berapa lama lagi gilirannya? Haji sandal jepit tanpa antre Terkadang hukum ekonomi “terpaksa” berlaku dalam memangkas antrean bagi sebagian orang. Supply and demand seolah menjadi terbiasa bagi masyarakat kalangan akar rumput. Jika persediaan atau kuota (supply) untuk berangkat haji setiap tahun hanya sekitar 200 ribu orang, sedangkan keperluan, permintaan atau tuntutan (demand) masyarakat yang ingin berhaji melebihinya, maka harga akan naik. Begitu hukum ekonomi yang pernah kudengar dari Prof. Francois. Itu mungkin sebabnya sebagian jamaah haji tahun 2013 dari daerah Jawa Timur yang kutemui di Bandara Sukarno
21
OPINI Hatta berani membayar Rp75 juta sebagai haji “sandal jepit”. Biaya resmi waktu itu sekitar Rp32 juta. Istilah “haji sandal jepit” ditujukan bagi mereka yang berhaji tidak melalui prosedur yang ditetapkan oleh Kementerian Agama. Mereka tidak ikut termasuk dalam rombongan kloter. Tidak ada panitia yang sejak di tanah air mengurus kepentingan untuk dapat berangkat. Iming-iming yang diterima adalah dalam waktu singkat dapat berangkat, tanpa menunggu antrean panjang. Mereka hanya disertai oleh pimpinan rombongan. Jamaah yang saya temui waktu itu berasal dari daerah Kabupaten Lamongan, pekerjaannya adalah beternak kambing. Seorang lagi dari Surabaya, pekerjaannya adalah mengajar mengaji anakanak di kampungnya. “Mana pimpinan rombongannya, Pak?” tanyaku kepada mereka. “Itu, suami isteri yang tidur,” jawabnya sambil menunjuk dua orang yang memakai pakaian berwarna hitam tidur di atas bangku tunggu di luar Terminal F Bandara Soekarno-Hatta. Waktu itu menunjukkan pukul 14:00 WIB. “Dari Surabaya jam berapa, Pak?” “Jam tujuh pagi,” jawabnya. Nah, inilah salah satu nasib mereka. Pesawat yang mau mereka tumpangi untuk menuju Jeddah dari Jakarta pukul 16:00 sore, tetapi harus menunggu selama tiga belas jam di luar gedung terminal tanpa kejelasan. Mereka sabar duduk-duduk di lantai bawah sambil ngobrol ke sana ke mari. Sebagian ada yang menikmati kudapan yang dibawa dari rumah. Mereka sudah dilekati kata “sabar” di dadanya jika mau berhaji.
22
“Berapa membayarnya, Pak?” “Tujuh puluh lima juta rupiah,” sahutnya. Tanyaku lagi, “Kenapa Bapak-Bapak tidak ikut yang dari Departemen Agama saja, kan murah Pak! Bayarnya kurang dari separuhnya!” “Tapi katanya harus antri, Pak! Lha kapan saya bisa berangkat!” tukasnya. Gantian aku yang tidak bisa memberikan argumentasi yang dapat diterima dengan mudah oleh rombongan mereka. Antre dua puluh tahun. Umur jamaah sudah enam puluh tahun. Giliran panggilan berangkat berarti dalam usia delapan puluh tahun. Aduh ......, benar juga alasan mereka kepada berani membayar dua kali lipat mumpung badannya masih sehat dan kuat. Kondisi seseorang dalam usia lanjut membuat mereka dalam kondisi risiko tinggi. Mungkin harus disafariwukufkan, mungkin terkena dehidrasi, mungkin harus dibantu dengan kursi roda. Itulah kondisi jamaah haji Indonesia. Ide memangkas antrean Antrean panjang pernah diusulkan untuk dipangkas dengan moratorium. Tidak ada lagi pendaftaran haji. Jadi pendaftaran haji untuk sementara ditutup sampai mereka yang termasuk dalam daftar tunggu dapat diberangkatkan semua. Setelah tidak ada antrean jamaah haji, baru pendaftaran ditutup. Itu adalah salah satu poin yang pernah dibahas antara KPHI dengan Ombudsman Repulbik Indonesia. Setelah pengangkatan sumpah anggota KPHI pada bulan Maret 2013, beberapa komisioner melakukan temu wicara dengan sejumlah lembaga yang “peduli” dengan perhajian. Salah satunya adalah
OPINI Ombudsman. Empat orang komisioner KPHI berdiskusi dengan pihak Ombudsman yang berkantor di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Namun usulan tentang moratorium tersebut sampai tahun 2014 belum diterima sebagai salah satu upaya pemangkasan antrean haji. Pihak Ombudsman menyatakan bahwa jumlah antrean yang panjang antara lain disebabkan oleh pemberian dana talangan dari pihak bank. Jadi pertama kali yang dilakukan adalah larangan kepada pihak bank untuk memberikan dana talangan kepada calon jamaah haji. Ide seperti ini juga sama dengan yang didiskusikan di kalangan para komisioner KPHI. Ketika pemerintah melihat jumlah antrean semakin banyak, mungkin dengan menaikkan setoran awal haji dari Rp20 juta menjadi Rp25 juta akan mengurangi jumlah pendaftar baru. Memang bagi seorang petani yang ingin berangkat haji harus bertahun-tahun mengumpulkan dana untuk keperluan berangkat haji.
Dana talangan = hutang? Ada hal yang dilupakan oleh pihak penentu kebijakan, yaitu kesempatan bagi pihak bank menawarkan “jasa baik”
kepada masyarakat berupa dana talangan. Melalui dana talangan tersebut masyarakat dapat mendaftar haji dengan segera tanpa berlama-lama mengumpulkan setoran awal yang menambah panjang kesempatan mendaftar. Mereka yang mendapat dana talangan akan melakukan cicilan kepada pihak bank. Menurut teori di perbankan, tidak mungkinlah seseorang yang dipinjami uang sebesar Rp25 juta akan mengembalikannya dalam jumlah yang sama. Kalau di pengajian, seorang kiyai atau ustadz sering menyatakan bahwa meminjamkan uang dengan meminta tambahan saat mengembalikan hukumnya adalah haram. Namun, jika yang berhutang dengan senang hati memberikan tambahan uang saat mengembalikan, maka hal itu tidak haram. Artinya, agama membolehkan. Jadi kalau mengembalikan uang pinjaman tanpa tambahan juga boleh. Nah, mungkinkah pihak bank yang memberikan dana talangan tersebut tanpa imbalan jasa? Langka, menurut istilah orang Banyumasan. Meskipun bank yang ditunjuk untuk pendaftaran haji dipersyaratkan bank syariah, namun pengembalian dana talangan dengan cara cicilan tetap harus memberikan tambahan uang sesuai dengan interest rate yang diberlakukan. Hitungannya mungkin menggunakan utang hipotek atau mortgage. Pihak bank syariah mungkin punya istilah lain yang lebih “syar’iy” untuk istilah tersebut. Peristilahan yang dipakai di bank syariah memang disesuaikan dengan peristilahan transaksi yang dipakai dalam hukum fikih. Namun, kata kawanku yang
23
OPINI
mengajar akuntansi di Universitas Pancasila, Jakarta, “Wah ....! Bank syariah sebenarnya juga menggunakan perhitungan bunga!” Aku berkilah, “Ah, tidak. Bank syariah semuanya menggunakan akad yang sesuai hukum fikih. Ada akad mudlorobah dan sebagainya.” Tapi beliau menolak, “Bapak kan hanya teori kan? Sudah melihat praktek sesungguhnya?” Jawaban kawanku saya cari dalam layanan Bank Syariah. Setelah memasukkan sejumlah uang ke bank dengan akad bagi hasil karena dana tersebut untuk bisnis jual beli, kubiarkan beberapa tahun. Setelah empat tahun, aku coba melihat saldo akhir. Ternyata, hitungan “bagi hasilnya” tidak jauh berbeda dengan interest rate yang diberlakukan oleh bank, terakhir sebesar 2,5%. Moratorium sebagai alternatif Mengingat perilaku pihak perbankan dan sikap masyarakat untuk dapat berhaji melalui dana utangan, mungkin cara pangkas yang tepat adalah dengan moratorium. Tahun 2013 aku secara berseloroh menegur salah seorang jamaah haji yang berhaji karena dana talangan. Ia mengaku masih mencicil, “tapi kan sudah berhaji,” katanya. Kukatakan, “Pak, salah satu syarat berhaji adalah istithoah.
24
Jadi kalau belum mampu membayar biaya haji, agama tidak mewajibkan. Bapak tidak berdosa jika seandainya sampai akhir ternyata tidak dapat menunaikan ibadah haji lantaran tidak mampu.” “Lha pengin dadi kaji kok utang,” lanjutku dalam bahasa Jawa. Eh, tak kusangka beliau marah. Ia berdalih mampu untuk membayar utang atas dana talangan yang dipakai untuk berangkat haji. “Wah, keliru aku berbicara,” gumamku. Semestinya ini adalah domain pak kiyai dan pak ustadz dalam pengajiannya. Bagaimana dengan penghentian pendaftaran haji untuk sementara? Moratorium, kata orang yang suka istilah keren. Kemungkinan moratorium akan dapat memangkas antrean panjang. Namun perlu diperhitungkan jumlah calon jamaah yang ingin mendaftar haji tetap semakin banyak, dan makin lama umurnya makin tua, makin sepuh. Dikhawatirkan dari jamaah haji tersebut termasuk kriteria S-2 atau S-3. Itu bukan kriteria pendidikan jamaah. S-2 artinya stres – sakit dan S-3 maksudnya stres – sakit – sedo atau wafat. Apakah dengan moratorium permasalahan pendaftaran haji dan antrean tuntas tanpa efek lainnya?
OPINI Kalau pada 2014 seseorang harus menunggu giliran berhaji selama 20 tahun, lalu dilakukan moratorium, tidak ada lagi orang yang harus menunggu giliran lama. Giliran lama menyebabkan jamaah pendaftar tersebut berangkat dalam usia senja, usia sepuh (kata orang Jawa), dengan kondisi yang sudah stres atau sakit. Bahkan kemungkinan jamaah tersebut sudah pada huruf “S” yang ketiga, yaitu sudah meninggal dunia. Tetapi setelah tahun kedua puluh sejak moratorium diberlakukan dan dibuka kembali para pendaftar baru, jamaah pendaftarnya sudah pada bertambah umurnya sebanyak tahun sejak pemberlakuan moratorium. Jadi ketika tahun 2015 diberlakukan moratorium, seorang jamaah yang berumur 60 tahun tak
dapat mendaftar, kecuali nanti ketika yang bersangkutan sudah berumur 80 tahun. Ini adalah hitungan ala kampungan yang sering muncul di benak masyarakat akar rumput. “Jadi, gimana dong .....,” tanya seseorang yang mendapat penjelasan tentang rencana moratorium yang mau diusulkan. Kujawab, “Ya ikut saja rombongan jamaah haji yang diselenggarakan oleh PIHK!” “Apa itu PIHK?” tanyanya kepadaku. “Penyelenggara Ibadah Haji Khusus, yang dulu disebut ONH Plus itu lho,” jelasku kepadanya. Tapi, saya pikirpikir, memang gara-gara ada dana talangan, masyarakat dapat mendaftar sehingga harus antreeeee, antreeeeee, dan antreeeeeee panjang. Ahmed Machfudh adalah Komisioner KPHI.
ISTILAH-ISTILAH DALAM MANASIK HAJI HAJI adalah menyengaja mengunjungi Ka‘bah Baitullah dan melaksanakan berbagai rukun haji sesuai syarat yang telah ditentukan. Merupakan rukun Islam yang kelima dan dilaksanakan oleh yang mampu dengan niat ikhlas karena Allah swt. HAJI IFRAD adalah melaksanakan ibadah haji terlebih dahulu kemudian umrah dalam waktu berbeda tetapi dalam satu musim haji, Artinya, pelaksanaan ibadah haji dilakukan terlebih dahulu, selanjutnya melakukan umrah dalam satu musim haji. HAJI TAMATTU‘ adalah melaksanakan umrah terlebih dahulu dan setelah selesai baru melaksanakan haji. Banyak jamaah haji yang memilih haji Tamattu‘ karena relatif lebih mudah. HAJI QIRAN adalah melaksanakan ibadah haji dan umrah secara bersamaan. Dengan cara ini seluruh pelaksanaan umrahnya tercakup dalam pelaksanaan haji.
25
IHWAL
MABIT
di Muzdalifah & Mina Oleh: Samsul Ma’arif
M
abit di Muzdalifah dan Mina merupakan bagian dari ibadah haji. Semua calon haji yang menginginkan ibadah hajinya sempurna dan mabrur, harus memahami persoalan Mabit di Muzdalifah dan Mina. Pada zaman Rasulullah SAW, yang tidak mabit di Muzdalifah hanya orang yang kurang sehat atau kaum ibu yang lanjut usia, atau para pekerja pengairan zamzam. Akhirakhir ini banyak jamaah yang tanpa sebab tidak mabit di Muzdalifah hingga pagi.
Menurut Ibnu Katsir, Masy'aril Haram adalah Muzdalifah seluruhnya. Di tempat itu jamaah haji melakukan mabit minimal telah melewati tengah malam. Memang, yang lebih utama mabit dilakukan sampai selesai salat Subuh sebelum berangkat ke Mina untuk melempar Jumrah Aqabah.
Melihat fenomena ini, tampaknya ada beberapa hal yang mesti diketahui oleh calon jamaah haji terkait dengan ibadah mabit di Muzdalifah dan Mina. Hal-hal tersebut antara lain adalah: (1) hukum mabit, (2) waktu pelaksanakan mabit, (3) area mabit, (4) amalan yang dilakukan selama mabit, dan (5) kekeliruan selama mabit. Dengan memahami beberapa hal tersebut, diharapkan semua calon jamaah haji dapat melaksanakan mabit dengan benar di Muzdalifah dan Mina sesuai petunjuk Rasulullah SAW.
Para imam mazhab sependapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya wajib, kecuali bagi orang yang mendapatkan uzur. Misalnya, bertugas melayani jamaah, sakit, merawat orang sakit, dan menjaga harta. Kewajiban mabit di Muzdalifah didasarkan atas hadis Nabi saw riwayat Jabir, yang artinya: Nabi saw mendatangi Muzdalifah, lalu salat Maghrib dan Isya dengan azan sekali dan dua kali iqamat, dan tidak salat sunat antara keduanya. Kemudian berbaring (tidur) sampai terbit fajar, lalu salat Subuh setelah masuk waktu Subuh dengan sekali azan dan sekali iqamat. Nabi kemudian mengendarai Qoswaa hingga sampai di Masy'aril Haram. Beliau menghadap kiblat, berdoa, bertakbir, bertahlil, membaca kalimat tauhid lalu berdiam sampai terang benar, dan berangkat sebelum terbit matahari. (HR Muslim.)
Mabit di Muzdalifah Mabit di Muzdalifah artinya bermalam, berhenti sejenak, atau menginap di Muzdalifah pada malam 10 Dzulhijjah selepas wukuf di Arafah. Di bagian sebelah barat dari Muzdalifah, terletak Masy'aril Haram, yaitu gunung Quzah.
Ketentuan tentang mabit di Muzdalifah menurut para mujtahid berbeda. Menurut mazhab Syafi’i, jamaah harus berada di Muzdalifah walaupun sebentar, sekurangkurangnya melewati pertengahan malam setelah wuquf di Arafah dan tidak perlu
26
IHWAL berdiam, baik jamaah haji tahu sedang berada di Muzdalifah atau tidak. Mazhab Hanafi menyatakan bahwa berada di Muzdalifah merupakan wajib haji, dan cukup sesaat sebelum fajar. Apabila tidak berada di Muzdalifah sebelum terbit fajar, jamaah haji harus membayar dam, kecuali ada alasan syara’ seperti sakit. Imam Hambali berpendapat bahwa berada di Muzdalifah adalah wajib haji dan dapat dilakukan kapan saja, sejenak dari pertengahan kedua malam Nahar, bukan karena dia petugas pengairan atau penggembala. Sementara menurut mazhab Maliki, yang termasuk wajib haji adalah turun di Muzdalifah sekadarnya dalam perjalanan setelah wuquf di Arafah, waktunya pada malam hari saat menuju Mina. Imam al-Nawawi Al-Dimasqi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab menyatakan bahwa bagi yang meninggalkan mabit di Muzdalifah dikenakan dam jika tidak ada udzur. Tempat mabit menurut Imam Ahmad adalah seluruh kawasan Muzdalifah, kecuali lembah Mahasir yang terletak antara Muzdalifah dan Mina. Hanya saja, mabit di Quzah dinilai lebih utama berdasarkan hadis riwayat Abu Dawud dari Ali ra. Dalam Fiqhus Sunnah disebutkan bahwa Quzah merupakan bukit di Muzdalifah, yang dalam surat al-Baqarah ayat 198 disebut sebagai Masy'aril Haram. Aktivitas Mabit Aktivitas yang dilakukan saat mabit di Muzdalifah adalah salat Maghrib dan Isya jama'takhir dan qosor berjamaah dengan sekali adzan dan 2 kali iqamat, tanpa salat sunat antara keduanya. Jamaah haji mengumpulkan batu kerikil sejumlah yang diperlukan (70 butir bagi yang mengambil
nafar tsani dan 49 butir bagi nafar awal) untuk melempar jumrah di Mina. Sesudah salat, beristirahat (tidur) sampai terbit fajar lalu salat Subuh berjamaah. Seusai salat Subuh lalu berdiam di Masy'aril Haram, berdoa, membaca tahmid, tahlil, dan kalimat tauhid (Laa Ilaaha illallah) sampai terang. Selanjutnya menuju ke tempat Jumrah Aqabah di Mina sebelum matahari terbit. Suasana mabit di Muzdalifah
Kekeliruan yang dilakukan Jamaah Kekeliruan yang sering dilakukan jamaah haji saat di Muzdalifah adalah kesibukan mengambil batu kerikil, membaca takbir mursal, dan meninggalkan Muzdalifah sebelum tengah malam. Saat pertama tiba di Muzdalifah, sebagian jamaah sibuk memungut batu kerikil sebelum melaksanakan salat Maghrib dan Isya. Mereka berkeyakinan bahwa batu kerikil pelempar Jumrah harus diambil dari Muzdalifah. Padahal dibolehkan mengambil batu kerikil dari seluruh tempat di Tanah Haram. Nabi tidak pernah menyuruh agar dipungutkan batu kerikil pelempar Jumrah Aqabah dari Muzdalifah. Hanya saja beliau pernah dipungutkan batu waktu pagi ketika meninggalkan Muzdalifah setelah masuk Mina. Tidak pula disyariatkan mencuci batu dengan air. Mungkin yang mencucinya
27
IHWAL bertujuan agar ketika dibawa dan dipegang tangan tidak kotor. Sering pula jamaah mengumandangkan takbir mursal saat mabit di Muzdalifah seperti di tanah air, terutama setelah tengah malam lewat. Menurut Imam al-Nawawi al-Dimasyqy dalam al-Idhah fi Manasikil Hajj wal 'Umrah, takbir mursal sunah dikumandangkan untuk menggantikan talbiyyah kalau jamaah haji telah melempar Jumrah Aqabah, minimal untuk lemparan pertama. Kekeliruan lain adalah banyak jamaah yang meninggalkan Muzdalifah sebelum tengah malam (ba'da zawal). Mereka berebut bus, ingin buru-buru ke Mina untuk melontar Jumrah Aqabah atau ke Makkah untuk Tawaf Ifadah. Mayoritas imam mazhab sepakat bahwa mabit di Muzdalifah sekurang-kurangnya sampai tengah malam, dan yang afdal berlangsung sampai subuh. Jamaah yang meninggalkan Muzdalifah sebelum zawal wajib membayar dam. Mabit di Mina Ada dua pendapat tentang mabit di Mina. Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Syafi’i menyatakan bahwa mabit pada hari tasyrik hukumnya wajib, kecuali ada uzur syar’i. Jika sama sekali tidak mabit di Mina pada hari tasyrik, maka wajib membayar dam seekor kambing. Bila meninggalkan mabit satu malam, maka wajib membayar fidyah satu mud (3/4 liter beras atau semacamnya), dan bila meninggalkan dua malam bagi yang mengambil nafar tsani, maka wajib membayar fidyah dua mud. Imam Abu Hanifah dan satu pendapat lain dari Imam Syafi’i menyatakan bahwa mabit di
28
Mina hukumnya sunah. Apabila sama sekali tidak mabit pada hari tasyrik, maka disunatkan membayar dam seekor kambing, dan apabila hanya sebagian saja, maka disunatkan membayar fidyah. Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta tentang mabit di Mina adalah: 1. Jumhur ulama (Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali) mengatakan bahwa jamaah haji yang tidak mabit di Mina diwajibkan membayar dam. 2. Mazhab Hanafi mengatakan bahwa jamaah haji yang tidak mabit di Mina tidak diwajibkan membayar dam, hanya dinilai kurang baik. Rasulullah SAW memberikan dispensasi kepada Abbas bin Abdul Mutholib untuk tinggal di Makkah karena bertugas mengurusi air minum. (HR Muslim dari Ibnu Umar.) 3. Jamaah haji agar berusaha untuk mabit di Mina pada malam hari tasyrik. Jika hal itu menimbulkan kesulitan, mereka diperbolehkan tidak mabit. 4. Jamaah haji yang tidak mabit di Mina selama satu malam agar bersedekah satu mud (7 ons) beras. Jika dua malam, dua mud (1,4 kg.) beras, dan jika tiga malam maka wajib membayar dam. Namun jika tidak mampu, maka tidak wajib. 5. Jamaah haji yang mabit di Mina hendaknya memperbanyak zikir kepada Allah SWT. Waktu mabit adalah tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Tempat mabit bagi jamaah haji Indonesia adalah di Haratul Lisan yang berada di wilayah Mina. Sedangkan wilayah Mina terletak di antara Muzdalifah dan Makkah al-Mukarramah. Ketetapan batas wilayah
IHWAL Mina tidak ada dalil qath’i (pasti), baik dari al-Quran maupun hadis. Dasar penentuan batas luas wilayah tempat mabit di Mina merupakan masalah ijtihadi dan bukan masalah tauqifi (ketentuan yang sudah baku). Karena merupakan masalah ijtihadi, maka hal tersebut termasuk masalah khilafiyah. Oleh karena itu ulil amri perlu ikut menentukan sikap demi kesatuan umat. Dasarnya adalah menghindari perpecahan dan sengketa umat lebih utama dari pada mendahulukan pendapat perorangan. Mengingat jumlah jamaah haji yang mabit di Mina semakin bertambah banyak, maka wilayah mabit di Mina akan berkembang sesuai dengan kebutuhan jamaah yang akan melaksanakan mabit. Kemungkinan pengembangan wilayah seperti ini sama halnya dengan pengembangan wilayah Masjid Nabawi dan Masjidil Haram. Sejak tahun 1984 pemerintah Arab Saudi telah menetapkan Haratul Lisan sebagai tempat jamaah haji Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya, dan di sampingnya adalah jamaah haji dari Turki dan Eropa. Pemerintah Indonesia telah membicarakan dengan pemerintah Arab Saudi mengenai ketetapan tersebut. Lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa di Arab Saudi telah mengadakan pembahasan dan penelitian yang mendalam berdasarkan kaidahkaidah syara’ dan memutuskan batas-batas wilayah Mina. Oleh karena itu, sejak 1984 pemerintah Arab Saudi sebagai ulil amri telah memutuskan batas-batas wilayah Mina untuk mabit jamaah haji di Haratul Lisan, termasuk di dalamnya jamaah haji dari
Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Turki, dan Eropa. Keputusan tersebut dipatuhi, baik secara perorangan maupun oleh para pakar hukum Islam. Ijtihad ulil amri merupakan dasar ketiga dalam syariat Islam. Apabila suatu pendapat telah disepakati, maka setiap orang wajib melaksanakannya. Keputusan Arab Saudi tersebut telah dikaji bersama pada 1987 di Makkah yang dipimpin Syekh Yasin Padang. Kajian tim ahli manasik haji bersama pejabat Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama, pada 2 Maret 1993 di Jakarta juga membenarkan kebijakan penyelenggara haji bahwa Haratul Lisan termasuk wilayah Mina. Nafar Awal dan Nafar Tsani Menurut bahasa, nafar berarti rombongan. Sedangkan menurut istilah, nafar adalah keberangkatan jamaah haji meninggalkan Mina pada hari tasyrik. Nafar dibagi menjadi dua bagian, yaitu (a) nafar awal, keberangkatan jamaah haji meninggalkan Mina lebih awal pada 12 Dzulhijjah setelah melontar jumrah untuk tanggal tersebut, dan (b) nafar tsani, keberangkatan jamaah haji meninggalkan Mina pada 13 Dzulhijjah. Jamaah haji diperkenankan untuk memilih nafar awal atau nafar tsani. Pengetahuan tentang mabit di Muzdalifah dan di Mina merupakan bagian penting dari rangkaian ibadah haji. Pemahaman tentang persoalan mabit di Muzdalifah dan Mina serta pengamalan ajaran, aturan, dan tata cara mabit yang benar sesuai ajaran Rasulullah saw merupakan faktor kemabruran haji. Wallahu a'lam bisshawab. Samsul Ma'arif adalah Sekretaris umum MUI DKI Jakarta periode 2010-2015
29
RAGAM
ANTARA PPIH DAN KBIH:
Facilitator or Competitor? Oleh: Imam Addaruqutni
P
elaksanaan ibadah haji oleh masyarakat nusantara secara historis telah berlangsung sejak jauh sebelum masa kemerdekaan. Pada awalnya, pelaksanaan ibadah haji dilakukan secara swadaya oleh para calon jamaah. Artinya, bukan hanya penyiapan kesanggupan (istitha’ah) untuk memenuhi berbagai persyaratan baik fisik material maupun spiritual, tapi juga bagaimana memastikan keberangkatan dengan sarana transportasinya. Pada umumnya waktu itu calon jamaah haji menggunakan transportasi laut karena transportasi udara belum memadai.
transportasi yang lebih cepat dan masif pun harus diwujudkan. Hal ini paralel dengan antusiasme spiritual dari umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji yang diyakini sebagai Rukun Islam kelima dengan kewajiban hanya sekali seumur hidup bagi yang mampu (istitha’ah). Kondisi ini jelas meningkatkan animo umat Islam untuk menunaikan ibadah haji. Karena peningkatannya semakin tinggi, diperlukan pula sistem pengelolaan secara profesional dengan keterlibatan peran negara (pemerintah) secara penuh. Hal ini dimaksudkan agar seluruh aspek baik keamanan, kelancaran, dan kenyamanan dalam berhaji terpenuhi secara optimal.
Era Kemerdekaan-Sekarang Babak baru manajemen penyelenggaraan ibadah haji terus berevolusi sejak era kemerdekaan dan terus berkembang sampai sekarang. Sejalan dengan kesadaran kolektif umat Islam yang terus meluas akan tuntutan jaminan negara bagi perlindungan dan keselamatan warganya, berlangsung pula kesadaran pemerintah akan tanggung jawabnya atas nama negara.
Sejalan dengan tuntutan umat akan kehadiran peran negara (pemerintah), alih-alih ikut membantu pemerintah, bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, berkembang pulalah kelompokkelompok terorganisasi. Kelompok tersebut dibungkus sebagai peran komplementer bagi akselerasi peran pemerintah meskipun menyelipkan kepentingan yang kuat. Kelompok komplementer tersebut kemudian sangat dikenal dengan nama Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH).
Oleh karena itu, berbagai cara mulai dari administrasi/sistem penyelenggaraan ibadah haji dan umrah hingga penyiapan sarana
Fenomena KBIH Sejalan dengan tuntutan profesionalisme dalam penyelenggaraan ibadah haji,
30
RAGAM pemerintah, dalam hal ini PPIH juga dituntut untuk memprogramkan serta melaksanakan bimbingan manasik yang sebenarnya merupakan persoalan inti dari ibadah haji. Meskipun demikian, aspek manasik yang merupakan inti justru nyaris terabaikan karena tersita oleh persoalan administrasi maupun manajemen penyelenggaraan ibadah haji. Kondisi ini dicermati dengan baik oleh KBIH yang semakin hari semakin “hegemonic”. Pada awalnya KBIH bersifat komplementer bagi peran pemerintah, akan tetapi pada akhirnya menjelma menjadi kekuatan penyeimbang dan bahkan cenderung berhadapan secara vis-à-vis pemerintah (PPIH). Kalau semula KBIH melakukan peran fasilitator, kian hari ada yang mengarah kompetitor. Sebagai contoh, kesepian bimbingan manasik yang diprogramkan pemerintah secara ironis berarti keramaian bimbingan manasik oleh KBIH meski dengan biaya mahal. Realita ini dimungkinkan karena, untuk sebagian, KBIH merekrut kelompok terampil seperti alumni Timur Tengah, khususnya Saudi, dengan pengalaman matang. Mereka siap menjadi relawan muthawwif atau pembimbing manasik bagi jamaah haji/umrah. Lebih dari itu, bagi KBIH yang telah berubah menjadi Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), massifikasi reklame juga sering menampilkan figur kiyai atau ulama untuk mendorong marketability. Jelas bahwa realitas ini juga mengakselerasi proses komoditasi peribadatan haji. Berbagai variasi harga khususnya PIHK bahkan penarifan harga bersaing secara siluman terjadi saat-saat paling krusial
menjelang penutupan pemberangkatan haji. Pembayaran ongkos haji dengan tarif yang bisa mencapai ratusan juta rupiah sering terjadi di lingkup PIHK. Sampai batas ini, konteks pelaksanaan ibadah haji dengan peran KBIH yang telah menjadi tren secara ekstrem tak bisa dipisahkan dari rekayasa industrialisasi haji. Hal itu sebab kesengajaan meletakkan dalam spektrum bisnis yang semakin melibatkan penyerapan dana masyarakat (jamaah) dengan jumlah yang fantastis dan seringkali juga instan. Persoalannya, seperti apakah arah kebijakan selanjutnya sehingga penyelenggaraan ibadah haji/umrah ini tetap mampu mempertahankan idealitas dan kesucian (sanctity). Rehabilitasi dan Revitalisasi Kiranya perlu ditinjau kembali berbagai peraturan perundangan termasuk misalnya Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 14/2014 Bab IV, pasal 14-19. Ini dimaksudkan terutama untuk merehabilitasi dan merevitalisasi martabat kebijakan dan peraturan yang dilekatkan pada penyelenggaraan dan pelaksanaan ibadah haji, sehingga tidak terjadi deviasi. Sulit dibedakan antara peran negara sebagaimana mestinya dan peran KBIH sebagaimana mestinya. Peran KBIH mestinya tidak bersifat kompetitif, melainkan suportif komplementer. Amanat inti dari PMA dimaksud adalah bahwa masalah bimbingan haji merupakan tanggung jawab atau kewajiban pemerintah, sejak sebelum keberangkatan, ketika di
31
RAGAM Saudi, bahkan sampai kepulangan jamaah. Jika demikian, peran KBIH perlu ditertibkan kembali. Peran KBIH adalah komplementer dan fasilitator terhadap PPIH dan jamaah. Jika demikian, operasionalisasi KBIH dan para pembimbing dari KBIH pun tidak seharusnya diposisikan menjadi ketua rombongan atau lainnya. Kontrol terhadap konsistensi pelaksanaan PMA pun tercecer di lingkup PPIH. Sering terjadi Kantor Kemenag kabupaten/kota memasukkan para pembimbing KBIH ikut melakukan pembimbingan sampai MakkahMadinah-Armina. Bahkan yang bertindak sebagai ketua rombongan sangat operatif, agresif, dan proaktif melakukan akumulasi jamaah peserta bimbingannya. Hegemoni peran pem-
bimbing KBIH bahkan sampai pada praktik pengumpulan dana denda (dam) yang ditentukan bagi haji tamattu’ atau selain haji ifrad. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan pembicaraan bersama antara pemerintah (PPIH), KBIH, dan kelompok masyarakat seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia. Pengikutsertaan masyarakat dalam pembicaraan tersebut karena masyarakat merupakan stakeholders. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah adalah penyumbang terbesar jumlah jamaah haji setiap tahunnya. Sementara Majelis Ulama Indonesia adalah lembaga yang cocok untuk menangani masalah ibadah haji. Wallah a’lam wa Allah al-Musta’an. Imam Addaruqutni adalah Wakil Ketua KPHI
ISTILAH-ISTILAH DALAM MANASIK HAJI & UMRAH UMRAH artinya meramaikan atau berziarah ke Baitullah dengan melaksanakan kegiatan tertentu.Disebut juga haji kecil, dikerjakan dalam waktu haji atau di luar musim haji, atau dapat dilakukan setiap saat sepanjang tahun, kecuali pada hari-hari haji dan hari-hari Tasyrik yaitu tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah. UMRAH WAJIB adalah umrah yang dilaksanakan untuk pertama kalinya dalam kaitan dengan pelaksanaan ibadah haji dalam satu kesatuan. Umrah ini disebut sebagai umrah wajib. MIQAT berarti batas, yaitu garis batas yang tidak boleh dilintasi oleh seseorang yang melakukan haji atau umrah, kecuali dalam keadaan berihram. Sebelum melintasi miqat itulah setiap jamaah haji atau umrah harus berpakaian ihram dan melafalkan niat haji atau umrah sambil mengetuk pintu perbatasan yang dijaga oleh para penghuni surga. Dengan mengucapkan talbiyah dalam keadaan berpakaian ihram.
32
33