MEKANISME PENGAWASAN KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA (KPHI) PADA PENYELENGGARAAN HAJI DI INDONESIA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
PIPIT DEVIYANTI 1111053100011
JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH KONSENTRASI MANAJEMEN HAJI DAN UMROH FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2015 M
ABSTRAK Pipit Deviyanti (1111053100011) Mekanisme Pengawasan Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) pada Penyelenggaraan Haji di Indonesia Pengawasan merupakan proses untuk menjamin sebuah kegiatan yang telah direncanakan untuk meminimalisir penyimpangan agar pekerjaan terlaksana sesuai rencana atau standar yang sudah ditetapkan dengan efektif dan efisien serta organisasi dapat melakukan tugas dan fungsinya dengan baik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme pengawasan KPHI dalam melakukan pengawasan pada operasional penyelenggaraan haji di Indonesia serta rekomendasi-rekomendasi KPHI pada penyelenggaraan haji tahun 2013 dan perbaikan-perbaikan yang sudah dilakukan dari hasil pengawasan KPHI. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan melakukan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang diamati. Peneliti menganalisis berbagai informasi dari hasil observasi, wawancara dan pengumpulan dokumen-dokumen seperti Laporan Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 2013 dan Buletin KPHI. Dari hasil penelitian, mekanisme atau tahapan pengawasan KPHI yaitu dengan menetapkan instrumen pengawasan, melakukan sidak ke PPIH dan pembuktian di lapangan. KPHI sudah banyak menemukan masalah pada penyelenggaran haji tahun 2013 dan sudah merekomendasikan beberapa hal pada setiap aspek untuk dijadikan perbaikan ke depannya seperti perekrutan petugas yang lebih professional, peningkatan bimbingan manasik haji, kontrak transportasi yang lebih detail, peninjauan kembali pemondokan, pencantuman menu dan waktu konsumsi pada saat di Arab Saudi, pelayanan kesehatan haji online, peningkatan kuantitas dan kualitas petugas untuk perlindungan dan jamaah serta penindakan tegas bagi PIHK yang tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Adapun beberapa rekomendasi guna perbaikan yang diusulkan KPHI dan sudah terealisasi yaitu diberlakukannya aturan bagi para petugas PPIH Arab Saudi yang sudah melaksanakan haji tidak bertugas sambil menjalankan haji yang diberlakukan mulai tahun 2014 dan adanya katering satu kali makan di Makkah mulai tahun 2015. Kata kunci : Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Penyelenggaraan Haji di Indonesia
i
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb Puji serta syukur saya haturkan kehadirat Illahi Rabbi yang telah memberikan bermacam-macam kenikmatan yang tak dapat terhitung oleh akal manusia sekalipun. Tidak lupa pula shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan sampai zaman terang benderang seperti sekarang, beserta para keluarga, sahabatnya dan kaum Muslim yang telah berjihad dijalannya mendirikan panji-panji Islam dan Risalahnya. Alhamdulillahirrabil’alamin atas izin Allah SWT akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Mekanisme Pengawasan Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) pada Penyelenggaraan Haji di Indonesia”. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyarat memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Manajemen Dakwah Konsentrasi Manajemen Haji dan Umroh. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu dan turut serta berjuang di dalamnya, karena tanpa adanya bantuan dari orang-orang tersebut, sulit rasanya untuk menyelsaikan skripsi ini. Yang paling utama penulis haturkan terimakasih adalah kepada kedua orangtua penulis, Ayahanda Bapak Juweni, S.Pd dan Ibunda Ibu Aam Komariah, S.Pd yang selalu mendidik, menasihati, melindungi, menjaga dan mendo’akan penulis di siang maupun malam dengan kasih sayang yang tidak terhingga dan tidak ternilai dengan
ii
apapun, menyekolahkan anaknya dari Pendidikan Dasar hingga Perguruan Tinggi saat ini penulis menyelsaikan tugas akhir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Haturnuhun Ibu, Bapa. Berkat dukungan mereka, penulis selalu mendapatkan semangat dan dapat menyelsaikan skripsi ini dengan baik. Ucapan terimakasih, penulis haturkan juga kepada : 1. Dr. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Suparto, M.Ed, Ph.d selaku Wadek I, Dr. Hj. Roudhonah, MA selaku Wadek II dan Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wadek III Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Drs. Cecep Castrawijaya, MA selaku Ketua Jurusan Manajemen Dakwah yang sekaligus merangkap sebagai Ketua Sidang Skripsi. 4. Drs. Sugiharto, MA selaku Sekertaris Jurusan Manajemen Dakwah yang sekaligus merangkap sebagai Sekertaris Sidang Skripsi. 5. Muammar Aditia, SE. M.Ak selaku Dosen Penasihat Akademik Manajemen Haji dan Umroh tahun 2011. 6. Dra. Hj. Jundah Sulaiman, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu memberikan masukan masukan, kritikan dan arahan kepada penulis sehingga skripsi ini bisa diselsaikan dengan baik. 7. Tim Penguji Sidang Skripsi Drs. H. Hasanuddin Ibnu Hibban, MA selaku Penguji I dan Muhammad Zen, S.Ag. MA selaku Penguji II. 8. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberikan ilmu-ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis dalam menyelesailan studi maupun dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
iii
9. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi beserta stafnya. 10. Seluruh Komisioner Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) periode 2013-2016. Bapak Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si selaku Ketua KPHI, Bapak Drs. H. Imam Addaruquthni, SQ, MA selaku Wakil Ketua KPHI dan seluruh Anggota KPHI khususnya Bapak Drs. H. Ahmed Machfudh, MMC, MPA dan Bapak Dr. H. Syamsul Ma’arif, MA yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi narasumber primer bagi penulis dalam melakukan penelitian ini. 11. Seluruh Staff Sekretariat KPHI khususnya Bapak H. Arif Nurrawi selaku Kepala Sekretariat KPHI dan Ibu Hj. Retno Dwi Astuti yang selalu mengarahkan dan menerima kedatangan penulis dengan sangat baik serta menjadi informan juga bagi penulis dalam melakukan penelitian ini. 12. Nenek tersayang Hj. E. Hafsah yang selalu memberikan dorongan dan motivasi yang kuat pada setiap langkah penulis. 13. Saudara sekandung penulis Ajeng Dita Aprilian dan Farhan Haban Nugraha kedua adik tersayang yang selalu memberikan keceriaan kepada penulis juga keluarga besar Abah Sulaiman dan Abah E. Hidayat. Uwa, bude, pakde, bibi, mamang, teteh dan sepupu-sepupu semuanya yang selalu membuat penulis menjadi ceria setiap harinya. 14. Donni Bhestadi Saputra, S..Kom.I yang tidak pernah lelah untuk mendengar segala keluh kesah penulis selama menyelsaikan skripsi ini. 15. Teman-temanku Rizka Zahara, Difla Karisha, Annisa Nuraddina, Putri Debby Iswara. R, Kicky Mayantie yang selalu ada kehadiran dan kebersamaan setiap harinya selama penulis menjalani kuliah.
iv
16. Kawan-kawan seperjuanganku Siti Khadijah Nurfijri, Aprilia Dwi Permatasari, Nurunajah, Fuad Hilmi, Dimas Hasanudin Al-Ayubbi, Fahrul Yusuf, Noprian yang sudah menjadi partner penulis untuk berbagi cerita. Juga seluruh teman-teman Manajemen Haji dan Umroh 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga jalan kita semua dimudahkan ke depannya oleh Allah SWT. 17. Adik-adik satu atap kamar kost Qonita Surayya dan Anisa Novitasari yang selalu memberikan penulis semangat dalam menyelsaikan skripsi ini. 18. KKN Origami UIN Jakarta 2014. Penulis senantiasa berdoa semoga amal baik yang telah diberikan mendapatkan ridha dari Allah SWT. Penulis serahkan semuanya dengan harpan semoga skripsi ini memberikan manfaat yang besar khusus bagi penulis dan umumnya bagi yang membacanya. Wassalamualaikum. Wr. Wb
Jakarta, 15 Oktober 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii DAFTAR ISI ..................................................................................................... vi DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. viii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F.
Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1 Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................. 9 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 10 Metode Penelitian .............................................................................. 12 Tinjauan Pustaka ................................................................................ 17 Sistematika Penulisan ........................................................................ 19
BAB II LANDASAN TEORI A. B. C. D.
Mekanisme ...................................................................................... 20 Pengawasan ..................................................................................... 21 Pengawasan KPHI ........................................................................... 29 Penyelenggaraan Haji Indonesia....................................................... 37
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA (KPHI) A. B. C. D. E. F. G.
Sejarah ............................................................................................. 48 Tugas dan Fungsi ............................................................................. 51 Kedudukan dan Peran ...................................................................... 54 Tata Kerja ........................................................................................ 55 Perkembangan ................................................................................. 56 Visi, Misi dan Motto ........................................................................ 58 Struktur Organisasi Periode Pertama ................................................ 58
vi
BAB IV MEKANISME PENGAWASAN KPHI DALAM OPERASIONAL PENYELENGGARAAN HAJI DI INDONESIA A. Mekanisme Pengawasan KPHI ........................................................ 60 B. Rekomendasi KPHI Pengawasan Haji 2013 ..................................... 77 C. Perbaikan yang Sudah dilakukan dari Hasil Pengawasan KPHI ........ 80 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................... 82 B. Saran................................................................................................ 84 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 85 LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................. 88
vii
DAFTAR SINGKATAN Baleg
:
Badan Legislasi
BPK
:
Badan Pemeriksa Keuangan
BPKP
:
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan
CEQDA
:
Center for Quality Development and Assurance
Ditjen PHU
:
Direktur Jendral Penyelenggara Haji dan Umroh
DPD RI
:
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
DPR RI
:
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Itjen Kemenag :
Inspektorat Jendral Kementerian Agama
KBBI
:
Kamus Besar Bahasa Indonesia
KBIH
:
Kelompok Bimbingan Ibadah Haji
Kemenag
:
Kementerian Agama
Keppres
:
Keputusan Presiden
KPHI
:
Komisi Pengawas Haji Indonesia
KPK
:
Komisi Pemberantas Korupsi
MoU
:
Memorandum of Understanding
MUI
:
Majelis Ulama Indonesia
NU
:
Nahdatul Ulama
ORI
:
Omdusman Republik Indonesia
Perppu
:
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
PIHK
:
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
PPIH
:
Panitia Penyelenggara Ibadah Haji viii
PP
:
Peraturan Pemerintah
Raker
:
Rapat Kerja
RUU
:
Rancangan Undang-Undang
Satker
:
Satuan Kerja
SDM
:
Sumber Daya Manusia
SPM
:
Standar Pelayanan Minimal
TKHI
:
Tim Kesehatan Haji Indonesia
TPHI
:
Tim Pemandu Haji Indonesia
TPIHI
:
Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia
UU
:
Undang-Undang
ix
DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1
Tahapan Pengawasan KPHI dalam Penyelenggaraan Haji di Indonesia................................................................................ 60
x
DAFTAR TABEL Tabel 3.1
Struktur KPHI Periode Pertama.................................................... 59
Tabel 4.1
Dampak Kebijakan Pengurangan Kuota Tahun 2013....................69
xi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
: Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 2
: Surat Penelitian Skripsi
Lampiran 3
: Surat Keterangan Hasil Penelitian
Lampiran 4
: Hasil Wawancara
Lampiran 5
: PP No. 28 tahun 2010 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Komisi Pengawas Haji Indonesia
Lampiran 6
: PP No. 50 tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pengawas Haji Indonesia
Lampiran 7
: Dokumentasi Pengawasan Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI)
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Ibadah haji merupakan perjalanan yang bernilai, pengembaraan yang sakral dan perjalanan wisata yang agung, dimana kaum muslimin mendatangi negeri yang aman dengan jiwa-raganya untuk bermunajat kepada Tuhan semesta
alam.1
Pada
hakekatnya
merupakan
aktivitas
suci
yang
pelaksanaannya diwajibkan oleh Allah kepada seluruh umat muslim yang telah mencapai istitho’ah (mampu). Disebut aktivitas suci karena seluruh rangkaian kegiatannya adalah ibadah. Haji juga disebut sebagai ibadah puncak secara fisik, material maupun spiritual.
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa
1
Nashir Ibn Musfiraz-Zahrani, Indahnya Ibadah Haji, (Jakarta: Qisthi Press), 2007, h. 7
1
2
mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS.Al-Imran:97) Penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional karena jumlah jamaah haji yang sangat besar melibatkan berbagai instansi dan lembaga, baik dalam negeri maupun luar negeri dan berkaitan dengan berbagai aspek antara lain administrasi, bimbingan ibadah, transportasi, konsumsi, kesehatan, akomodasi dan keamanan. Proses penyelenggaraan haji terbilang unik karena tidak hanya dilakukan di tanah air, namun juga di tanah suci serta melibatkan berbagai instansi/lembaga di kedua negara. Itulah mengapa pelaksanaan ibadah haji perlu koordinasi yang baik di bawah tanggung jawab Kementerian Agama.2 Di
sisi
penyelenggaraan
lain ibadah
adanya haji
upaya
untuk
merupakan
meningkatkan
tuntutan
reformasi
kualitas dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan tata kelola pemerintahan yang baik. Sehubungan dengan hal tersebut, penyelenggaraan ibadah haji perlu dikelola secara profesional dan akuntabel dengan mengedepankan kepentingan jamaah haji dengan prinsip nirlaba. Penyelenggaraan ibadah haji ini bukanlah pekerjaan yang sederhana, mengingat jumlah jamaah haji yang harus dikelola merupakan yang terbanyak di dunia. Sistem yang efektif dan efisien, kebijakan yang tepat, petugas haji yang disiplin dan professional serta kerjasama yang baik dari seluruh jamaah
2
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji & Umrah. Haji dari Masa ke Masa, (Jakarta: Dirjen PHU), 2012, h.179.
3
dan
pihak-pihak
yang
terlibat
merupakan
prasyarat
mutlak
bagi
terselenggaranya ibadah haji yang khusyu, aman dan nyaman.3 Sistem penyelenggaraan ibadah haji kita masih perlu banyak pembenahan agar lebih efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Petugas haji kita dalam beberapa aspek masih harus lebih ditingkatkan kedisiplinan dan profesionalismenya dan beberapa kebijakan penting dan strategis harus segera dibuat untuk perbaikan haji ke depan.4 Penyelenggaraan ibadah haji bukan semata-mata urusan ibadah, melainkan juga pengelolaan manajemen penyelenggaraan yang kompleks. Penanganan atas kompleksitas persoalan yang dihadapi menjadi salah satu faktor penting dan mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji. Kondisi ini memerlukan sinergi pengelolaan yang efektif dibarengi dengan tingkat pengawasan yang tinggi dari pihak-pihak terkait.5 Dalam UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) Pasal 6 dinyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan, keamanan, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh jemaah haji. Oleh karena itu, pemerintah tidak hanya berkewajiban memberikan jaminan terhadap kelancaran proses penyelenggaraan ibadah haji sejak proses pendaftaran sampai proses kepulangan para jemaah haji saja. Namun, 3
Suroso, Kabag Tata Usaha Kanwil Kemenag Prov. Jateng, Jurnal Haji “Sertifikasi Pembimbing Ibadah Haji Menuju Petugas Haji Yang Berkualitas” diakses pada 15 September 2014 dari www.jurnalhaji.com 4 Muhammad M. Basyuni, Reformasi Manajemen Haji, (Jakarta: FDK PRESS), 2008, h.9. 5 Slamet Effendy Yusuf, KPHI Periode Pertama dalam Buletin KPHI ; Media Komunikasi & Informasi, (Jakarta : KPHI), 2014, Edisi 1, h.3.
4
Pemerintah juga bertanggung jawab dalam meningkatkan mutu pelayanan berikut jaminan manajemen penyelenggaraan ibadah haji sebaik-baiknya yang bebas korupsi, kolusi, lebih hemat biaya, dan memberikan kenyamanan bagi jemaah haji. Dengan demikian, pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji menjadi sangat penting untuk memastikan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan tersebut telah sesuai dengan aturan dan standar yang berlaku sesuai perencanaan. Dari pengawasan dengan standar dan indikator yang telah ditetapkan itu dapat diketahui apakah ada penyimpangan untuk mengambil tindakan perbaikan. Selama ini pengawasan penyelenggaraan ibadah haji dilakukan secara paralel dan simultan oleh berbagai instansi pengawasan, antara lain Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Inspektorat Jenderal Kementerian Agama (Itjen Kemenag), di samping pengawasan oleh ormas Islam dan lembaga swadaya masyarakat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) juga ikut mengawasi penyelenggaraan ibadah haji. Pengawasan oleh BPK dan BPKP menyangkut pengelolaan keuangan penyelenggaraan haji. Pengawasan oleh DPD RI dan DPR RI adalah pengawasan yang bersifat politi s menurut fungsi dan amanat sebagai wakil rakyat untuk mencermati kebijakan pemerintah beserta implementasinya. Sementara pengawasan Itjen Kemenag menyangkut
5
pengawasan intern Kementerian Agama untuk melakukan pengendalian dan pengawasan kinerja Kementerian Agama dalam penyelenggaraan ibadah haji. Dengan terbentuknya Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), pengawasan terhadap penyelenggaran ibadah haji seharusnya menjadi lebih komprehensif. Pasalnya, pengawasan penyelenggaraan ibadah haji yang menjadi tugas dan tanggung jawab KPHI dilakukan mulai dari tahap perencanaan hingga tahap operasional. KPHI juga bertugas menghimpun berbagai masukan, saran, dan pertimbangan dari berbagai pihak dalam rangka penyempurnaan manajemen dan peningkatan penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia. 6 Tumbuhnya kritik atas pelaksanaan ibadah haji bukan tanpa alasan. Tidak sedikit kasus yang muncul berkenaan dengan masalah penyelenggaraan haji oleh Kementerian Agama. Kasus-kasus yang berkaitan dengan proses pelaksanaan dan penyelenggaraan haji dewasa ini kemudian memunculkan kritik tajam yang tidak hanya mempertanyakan tingkat profesionalisme pengelola, tapi juga mendorong lahirnya berbagai pandangan yang menghendaki perubahan pola penyelenggaraan pelaksanaan haji yang selama ini menjadi kewenangan Kementerian Agama. 7 Ada beberapa hal contohnya yang perlu mendapatkan evaluasi lebih lanjut dari pelaksanaan ibadah haji. Masalah jarak pemondokan banyak di atas 2,5 kilometer. Jarak pemondokan ini tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh Kementerian Agama saat rapat dengan Komisi VIII DPR. Jarak
6
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434 H / 2013, Jakarta: Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), h.2 BAB I. 7 A. Chunani Shaleh, Penyelenggaraan Haji Era Reformasi ; Analisis Internal Kebijakan Publik Departemen Agama, (Jakarta: Pustaka Alvabet), 2008, h.3.
6
pemondokan 90% jamaah maksimal sejauh 2 kilometer. Adapula jamaah yang kehilangan uang. Untuk masalah ini Kementerian Agama seharusnya memperketat mengatur orang-orang yang beraktivitas ke tempat-tempat pemondokan. Selain petugas, harus jelas identitas dan tujuanya. Masalah lainnya juga yaitu travel yang melayani jamaah di bawah standar yang telah ditetapkan. Karena itu Kementerian Agama harus mengevaluasi izin para travel tersebut sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Tim pengawas juga mencatat berbagai masalah penyelenggaraan ibadah haji di tanah air diantaranya banyak calon jamaah yang gagal berangkat menunaikan ibadah haji, penyebabnya karena banyak biro perjalanan yang tidak mengantongi izin dari Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umroh (Ditjen PHU).8 Sekian banyak masalah lainnya pula yang menyangkut perhajian yang sudah menjadi rahasia umum mulai dari administrasi, bimbingan, transportasi, kesehatan, akomodasi, pembinaan, pelayanan, perlindungan dan keamanan. Masalah-masalah haji ini masih banyak mendapat sorotan dan masih harus diawasi agar permasalahan tersebut dapat dikontrol, dievaluasi dan ditingkatkan agar lebih baik lagi ke depannya. Pengawasan menjadi siklus manajemen yang lengkap dan membawa organisasi ke perencanaan. Akan semakin jelas, lengkap dan terkoordinir rencana-rencana akan semakin lengkap pula pengawasannya. Pengawasan itu terdiri atas penentuan standar-standar, pengawasan/supervisi kegiatan atau
8
Jazuli Juwani, islampos.com, Lima Masalah Haji di Indonesia Menurut Jazuli Juwani, diakses pada 17 Desember 2014 Pukul 22:11 WIB.
7
pemeriksaan, pembandingan hasil dengan standar serta kegiatan mengkoreksi standar.9 Pemerintah melalui Kementerian Agama sebagai penyelenggara ibadah haji harus didampingi oleh suatu lembaga independen yang bertugas untuk
mengawasi
penyelenggaraan
mulai
saat
perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, sampai operasional haji selesai. Lembaga yang harus mendampingi adalah Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) yang
diangkat
dan
bertanggung
jawab
kepada
Presiden
serta
mempertanggung jawabkan laporan mereka melalui mekanisme Raker DPR RI, bukan ke Menteri Agama. 10 Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah menilai kinerja KPHI yang bertugas melakukan pengawasan terhadap proses pemberangkatan, pemondokan, dan pelaksanaan haji belum maksimal. Semestinya, saat ini KPHI telah bekerja melakukan pengawasan terhadap proses pemberangkatan, pemondokan, dan pelaksanaan haji. Faktanya KPHI masih lebih banyak berdiam diri. Belum kelihatan langkah-langkah strategis yang mereka lakukan dalam meningkatkan kualitas pelayanan haji. KPHI dibentuk berdasarkan amanat UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Peraturan Pemerintah sebagai turunannya pun sudah diterbitkan. Secara legal dan formal, lembaga ini sudah sama dengan komisi-komisi lain yang dibentuk sebelumnya. Sangat disayangkan jika kinerja KPHI belum terasa sama sekali. Sebagai lembaga baru, pemerintah dan DPR semestinya memfasilitasi dan membantu kerja-kerja KPHI. Mengawasi 200 ribu lebih jamaah haji tentu sangat sulit. Apalagi, hanya dilakukan sembilan orang anggota KPHI. Dengan kewenangan yang sangat terbatas, lembaga ini dikhawatirkan akan mandul. Kalau dipahami dalam aturan perundangan yang terkait, lembaga ini hanya berhak mengawasi, memberi catatan, merekomendasi, dan melaporkan. Mereka tidak berhak menjatuhkan tindakan apa pun, termasuk memberi hukuman. Selain belum bekerja, KPHI juga belum begitu dikenal. Wilayah kerja dan otoritasnya belum banyak diketahui. Orang-orang yang diangkat pun tidak semuanya dikenal oleh karena itu, wajar bila orang-orang belum bisa berharap banyak kepada lembaga baru ini. Di lain pihak, masih banyak orang yang menilai bahwa lembaga ini di bawah kordinasi dan kendali Kementerian Agama. Padahal KPHI adalah lembaga independen yang dapat 9
Sondang P. Siagian. Fungsi-Fungsi Manajerial, (Jakarta: PT Bumi Aksara), 2007, h.63. Kementerian Agama RI Direktorat Jendral Penyelenggaraan Haji & Umrah, “Intisari Langkah-Langkah Pembenahan Haji”, (Jakarta: Dirjen PHU), 2010, h. 49-50. 10
8
mengoreksi kerja-kerja Kementerian Agama dalam mengelola pelaksanaan ibadah haji. Independensi itulah semestinya yang menjadi kekuatannya. Karena itu, kalau sedang melakukan pengawasan, anggota komisioner haji tidak perlu berangkat bersama rombongan amir al-haj dan para pejabat. Mereka harus turun langsung berbaur dengan jamaah-jamaah reguler di tanah suci. Dengan begitu, mereka bisa merasakan kesulitan dan kendala yang dihadapi para jamaah. 11 Alasan penulis tertarik melakukan penelitian ini dikarenakan peningkatan kualitas pelayanan penyelenggaraan haji pada setiap tahunnya sudah merupakan sebuah tuntutan yang mutlak. Mengingat semakin hari semakin
banyak
para
peminat
ibadah
haji,
entah
apapun
yang
mempengaruhinya baik dari segi agama (keislaman), sosial, ekonomi maupun budaya dapat kita lihat dari melambungnya tingkat waiting list penggiat dan pemburu ibadah haji di negeri ini. Memaksimalkan pelayanan dalam penyelenggaraan haji merupakan satu hal yang tidak dapat ditawar lagi, namun pada kenyataannya masih banyak permasalahan haji di Indonesia yang harus dibenahi. Pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji menjadi sangat penting untuk memastikan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan tersebut telah sesuai dengan aturan dan standar yang berlaku sesuai perencanaan. Dari pengawasan dengan standar dan indikator yang telah ditetapkan itu dapat diketahui apakah ada penyimpangan untuk mengambil tindakan perbaikan. Maka dari itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai mekanisme pengawasan KPHI mengingat KPHI ini adalah merupakan amanat undang-undang. Ketika mekanisme pengawasan yang dilakukan KPHI sesuai, teratur, baik dan efektif
11
AntaraNEWS.com, Kinerja Komisi Pengawas Haji Indonesia Dinilai Belum Maksimal, diakses pada 17 Desember 2014 pukul 21:48 WIB.
9
dan terlihat jelas hasilnya maka ini akan mencerminkan kinerja KPHI sudah maksimal atau belum. Ketika pengawasan yang dilakukan oleh KPHI sudah maksimal, maka ini akan mencerminkan bahwa penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia setiap tahunnya akan mengalami peningkatan yang baik atas dasar unsur pengawasan yang maksimal, efektif efisien dan tepat sasaran. Namun jika KPHI belum maksimal dalam melakukan pengawasannya, maka KPHI hanya akan menjadi beban negara saja tanpa diketahui kinerjanya dengan jelas. Inipun akan menjadi tidak terawasinya penyelenggaraan ibadah haji secara independen yang tentu tidak akan membawa perubahan terhadap dunia perhajian. Dapat kita lihat begitu besarnya peran KPHI untuk melakukan pengawasan demi terciptanya penyelenggaraan yang lebih baik. Dari gambaran tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap yang dituangkan dalam skripsi dengan judul “Mekanisme Pengawasan
Komisi
Pengawas
Haji
Indonesia
(KPHI)
dalam
Penyelenggaraan Haji Indonesia”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar membatasi
pembatasan
masalah
ini
lebih terarah, maka penulis
masalah yang akan dibahas yaitu mekanisme pengawasan
KPHI pada operasional penyelenggaraan haji di Arab Saudi pada tahun 2013.
10
2. Perumusan Masalah Perumusan masalah adalah suatu pernyataan yang dirumuskan dalam kalimat tanya, bersifat padat isi, jelas maksudnya serta memberikan petunjuk tentang kemungkinan mengumpulkan data guna menjawab pernyataan yang terkandung di dalamnya.12 Rumusan masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana mekanisme pengawasan KPHI dalam penyelenggaraan haji di Indonesia? b. Bagaimana rekomendasi-rekomendasi yang diajukan setelah dilakukannya pengawasan KPHI tahun 2013? c. Apa saja perbaikan yang telah dilakukan setelah adanya KPHI dalam mengawasi penyelenggaraan haji?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Dengan mengacu pada latar belakang dan perumusan masalah yang sudah dinyatakan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah : a. Untuk
mengetahui
mekanisme
pengawasan
KPHI
dalam
penyelenggaraan haji di Indonesia. b. Untuk mengetahui rekomendasi-rekomendasi yang diajukan setelah dilakukannya pengawasan pada tahun 2013.
12
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : CV Rajawali), 1993, h.71.
11
c. Untuk mengetahui perbaikan yang dilakukan setelah adanya KPHI dalam mengawasi penyelenggaraan haji di Indonesia. 2. Manfaat Penelitian a. Akademis Dalam penelitian ini diharapakan dapat memberikan kajian yang menarik dan menambah pengetahuan bagi para pembaca khususnya Mahasiswa Konsentrasi Manajemen Haji dan Umroh mengenai sistem pengawasan haji di Indonesia sebagai tambahan referensi atau perbandingan bagi keberlanjutan studi ke depannya bahkan untuk pengetahuan secara umum. b. Praktisi Diharapkan dapat menambah wawasan baru bagi para praktisi yang bergerak dalam ilmu manajemen dan perhajian di Indonesia. c. Lembaga Terkait Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah
dalam
hal
ini
presiden
untuk
meningkatkan
kinerja/pengawasan Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) agar dapat menjadi lebih baik lagi. Serta acuan-acuan bagi lembaga terkait seperti Ditjen PHU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan dan PIHK mengenai mekanisme pengawasan KPHI dalam mengawasi penyelenggaraan haji di Indonesia. d. Masyarakat Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat mengetahui lebih dalam bahwa dibalik Penyelenggaraan Haji di Indonesia ini ada
12
lembaga independen yang mengawasi Penyelenggaraan Haji secara gamblang dan objektif yaitu Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). Ketika lebih banyak lagi masyarakat yang mengetahui keberadaan KPHI maka masyarakat akan mempunyai wadah yang tepat untuk pengaduan terhadap penyimpangan dalam pelaksanaan ibadah haji di Indonesia guna perbaikan ke depannya dan ini akan membantu KPHI dalam melakukan pengawasanmya secara tidak langsung.
D. Metodologi Penelitian a. Metode Penelitian Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Untuk memahami istilah penelitian kualitatif ini, menurut Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Loxy Moleong yang mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.13 Penulis menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan suatu utaian mendalam tentang ucapan, tulisan dan tingkah laku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, organisasi tertentu dalam suatu konteks setting tertentu yang 13
2009), h.4.
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
13
dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif dan holistik.14 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode studi kasus sebagai sub dari penelitian kualitatif, dimana studi kasus merupaka tipe pendekatan dalam penelitian yang menelaah satu kasus secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif. Oleh karena itu, pendekatan kualitatif ini dipilih oleh penulis berdasarkan tujuan penelitian yang ingin mendapatkan gambaran proses dari mekanisme pengawasan KPHI dalam mengawasi operasional penyelenggaraan haji Indonesia dimana untuk mendapatkan hasil dari penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data yang diperlukan secara intensif dan kemudian menguraikan fakta-fakta yang terjadi secara alamiah disertai pengujian kembali atas semua yang telah dikumpulkan. 3.
Subjek dan Objek Penelitian a.
Subjek dalam penelitian ini adalah komisioner dan staff KPHI yang dapat memberikan informasi mengenai mekanisme pengawasan KPHI dalam melakukan pengawasan pada penyelenggaraan haji di Indonesia.
b.
Objek Penelitiannya adalah mekanisme pengawasan KPHI dalam penyelenggaraan operasional haji Indonesia pada tahun 2013 dan rekomendasi-rekomendasi apa saja yang direkomendasikan KPHI serta pebaikan apa saja yang sudah dilakukan dari hasil pengawasan KPHI.
4.
Waktu Penelitian dan Tempat Penelitian 14
Rosady Ruslan, Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 213.
14
Dalam penelitian ini penulis membatasi waktu penelitian dari Bulan Juni 2015 - September 2015. Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian di kantor kesekretariatan KPHI, Jl.Kramat Raya No. 85, Senen-Jakarta Pusat 10420, Telp. 021-3909743, 31922183, e-mail
[email protected], website www.kphi.go.id. 5.
Sumber Data Sumber data merupakan sesuatu hal yang sangat penting untuk digunakan dalam penelitian guna menjelaskan valid atau tidaknya suatu penelitian tersebut. Dalam hal ini penulis menggunakan: a. Data Primer Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama, dari individu seperti hasil wawancara atau hasil pengisian kuosioner yang dilakukan peneliti, yakni peneliti melakukan sendiri observasi di lapangan maupun di laboratorium.15 Pelaksanaanya dapat berupa survei dengan mewawancarai komisioner KPHI. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen maupun informasi dari pihak masyarakat berupa opini dan komentar-komentar. Dalam penelitian ini undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri agama, keputusan pemerintah, laporan hasil pengawasan KPHI, buku-buku, majalah, jurnal, website dan sumber informasi lainnya yang memiliki relevansi dengan masalah penelitian sebagai penunjang penelitian. 15
Dergibson Siagian dan Sugiarto, Metode Statistik untuk Bisnis dan Ekonomi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 16.
15
6.
Teknik Pengumpulan Data Teknik menggunakan
pengumpulan teknik
data
pengumpulan
yang data
penulis
lakukan
kualitatif,
yaitu
adalah berupa
pengumpulan data dalam bentuk kata-kata dan pernyataan. Dalam pelaksanaannya melalui: a.
Observasi Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis
terhadap gejala-gejala yang diteliti. 16 Teknik observasi pada awalnya dipergunakan dalam penelitian etnografi, yakni merupakan studi tentang kebudayaan suatu bangsa dan tujuannya adalah untuk memahami suatu cara hidup dari pandangan orang-orang yang terlibat didalamnya.17 b.
Wawancara Wawancara atau interview adalah percakapan atau tanya jawab
antara dua orang atau lebih untuk mendapatkan sebuah informasi. Dalam penelitian ini penulis menggunakan wawancara tidak terstruktur, yakni wawancara yang tidak tertuju pada satu pedoman wawancara atau wawancara yang dilakukan bebas dimana penulis hanya menggunakan garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. 18 Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara dengan garis besar permasalahan yang diteliti, yakni tentang evaluasi untuk semua
16
Husaini Usman dan Purnomo Akbar Setiady, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003), h. 53. 17 Rosady Ruslan, Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 33. 18 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: ALFABETA, 2008), h..140.
16
aspek dalam proses pengawasan yang dilakukan oleh KPHI dalam penyelenggaraan haji Indonesia. c.
Dokumentasi Dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh melalui
dokumen-dokumen19 seperti berupa data-data, arsip-arsip dan gambargambar ataupun bentuk lainnya. Dimana dalam kaidah metodologi penelitian, sumber data di bagi menjadi dua menurut cara perolehannya yakni data primer (primary data) yang merupakan data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian perorangan, kelompok atau organisasi dan data sekunder (secondary data) yakni data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi atau tersedia melalui publikasi dan informasi yang dikeluarkan di berbagai organisasi atau perusahaan, termasuk majalah jurnal, website dsb.20 7.
Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan ke dalam pola, kategori dan suatu uraian dasar kemudian dianalisa agar mendapatkan hasil berdasarkan yang ada. Hal ini disesuaikan dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif.21 Ada berbagai cara untuk menganalisa data, tetapi secara garis besarnya dengan langkah sebagai berikut:
19
Husaini Usman dan Purnomo Akbar Setiady, Metodologi Penelitian Sosial , h. 57. Rosady Ruslan, Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama), 2003, h.29-30. 21 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), Cet ke-9, h.11. 20
17
a. Redaksi data, yang merupakan bentuk analisis yang relevan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulannya dapat ditarik dan diverifikasi. b. Penyajian data, setelah data mengenai manajemen diperoleh maka data tersebut disajikan dalam bentuk narasi, visual, gambar, matriks, bagan, tabel bahkan dengan uraian pun sehingga tujuan dari penelitian dapat terjawab. c. Penyimpulan data yang tersaji pada analisa antar kasus khususnya yang berisi jawaban atas tujuan penelitian diuraikan secara singkat, sehingga dapat mengambil kesimpulan mengenai Mekanisme Pengawasan Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) dalam Penyelenggaraan Haji di Indonesia. 8.
Pedoman Penulisan Skripsi Dalam penulisan ini, penulis berpedoman dan mengacu kepada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh Center for Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Januari 2007.
E. Tinjauan Pustaka Pada penelitian ini, peneliti melakukan tinjauan pustaka dengan tujuan untuk meyankinkan bahwa penulisan skripsi ini bukan merupakan hasil plagiat dari skripsi sebelumnya. Selain itu dalam penelitian ini pun keabsahan teori yang tercantum dapat penulis pertanggung jawabkan dan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
18
Berikut ini judul skripsi yang dijadikan tinjauan pustaka : 1.
Ichwan, “Sistem Pengawasan Direktorat Jendral Penyelenggaraan Haji dan Umrah dalam Pelayanan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus” mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan Manajemen Dakwah Konsentrasi Manajemen Haji dan Umrah dengan NIM 109053100011 pada tahun 2014.
2.
Ratih Khairunnisa, “Mekanisme Kredit Pemilikan Rumah (KPR) BRI Syariah Kantor Cabang Pembantu (KCP) Cipulir dalam Membantu Masyarakat Memliki Rumah” mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Jurusan Manajemen Dakwah Konsentrasi Manajemen Haji dan Umrah dengan NIM 109053100011 pada tahun 2014. Dari tinjauan pustaka yang tertulis diatas, telah jelas bahwa penulis
tidak melakukan penelitian yang sama terhadap apa yang sudah diteliti meskipun yang dibahas adanya persamaan yakni mengenai mekanisme pada skripsi kedua dan pengawasan pada skripsi pertama. Untuk itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Mekanisme Pengawasan Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) dalam Penyelenggaraan Haji Indonesia”. Perbedaan dari judul yang penulis akan teliti dengan penelitian sebelumnya adalah yakni terletak pada bahasan serta subjek dan objek yang akan diteliti. Penulis bermaksud melakukan fokus penelitian kepada bentuk tahapan-tahapan atau mekanisme yang ada dalam proses pengawasan di KPHI.
19
E. Sistematika Penulisan BAB I Pendahuluan, Pada bab ini menguraikan Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan. BAB II Landasan Teori, Berisi tentang tinjauan teori yang membahas
Mekanisme,
Pengawasan,
Pengawasan
KPHI
dan
Penyelenggaraan Haji di Indonesia. BAB III Gambaran Umum Tentang KPHI, Berisi tentang gambaran umum Komisi Pengawas Haji Indonesia seperti Sejarah, Tugas dan Fungsi, Kedudukan dan Peran, Tata Kerja, Perkembangan, Visi Misi dan Motto serta Struktur Organisasi. BAB IV Mekanisme Pengawasan KPHI dalam Operasional Penyelenggaraan Haji di Indonesia, Membahas mengenai Mekanisme Pengawasan
KPHI,
Rekomendasi-Rekomendasi
KPHI
pada
Penyelenggaraan Haji Tahun 2013 dan Perbaikan yang sudah Dilakukan dari Hasil Pengawasan KPHI. BAB V Penutup, Pada bab ini memuat tentang Kesimpulan dan Saran dari Skripsi ini.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Mekanisme Mekanisme berasal dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu mechane yang memiliki arti instrumen, mesin pengangkat beban, perangkat, peralatan untuk membuat sesuatu dan dari kata mechos yang memiliki arti sarana dan cara menjalankan
sesuatu. Mekanisme dapat diartikan dalam banyak
pengertian yang dapat dijelaskan menjadi empat pengertian. Pertama, mekanisme adalah pandangan bahwa interaksi bagian-bagian dalam bagianbagian lainnya dalam suatu keseluruhan atau sistem secara tanpa disengaja menghasilkan kegiatan atau fungsi-fungsi sesuai dengan tujuan atau disebut dengan mekanisme kerja. Kedua, mekanisme adalah teori bahwa semua gejala dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin tanpa bantuan intelegensi sebagai suatu sebab atau prinsip kerja. Ketiga, mekanisme adalah teori bahwa semua gejala alam bersifat fisik dan dapat dijelaskan dalam kaitan dengan perubahan material atau materi yang bergerak. Keempat, mekanisme adalah upaya memberikan penjelasan mekanis yakni dengan gerak setempat dari bagian yang secara intinsik tidak dapat berubah bagi struktur internal benda alam dan bagi seluruh alam.1
1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h.621 dikutip dalam Ratih Khairunnisa, “Mekanisme Kredit Pemilikan Rumah (KPR) BRI Syariah Kantor Cabang Pembantu (KCP) Cipulir dalam Membantu Masyarakat Memiliki Rumah”, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta), h. 16.
20
21
Jadi arti mekanisme memiliki banyak pengertian tergantung penggunanya. Dari keempat pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa mekanisme adalah cara kerja suatu hal. Dalam konteks ini, pengertian mekanisme yang paling mendekati dengan bahasan skripsi yang sedang saya angkat adalah yaitu pada pengertian pertama, yakni bahwa pandangan bahwa interaksi bagian-bagian dalam bagian-bagian lainnya dalam suatu keseluruhan atau sistem secara tanpa disengaja menghasilkan kegiatan atau fungsi-fungsi sesuai dengan tujuan atau disebut dengan mekanisme kerja.
B. Pengawasan 1. Pengertian Pengawasan Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata
pengawasan secara bahasa berasal dari kata awas yang artinya dapat melihat baik-baik, tajam tiliknya, memperhatikan dengan baik, hati-hati. Kemudian mendapat imbuhan peng- pada awal kata dan mendapat akhiran –an menjadi pengawasan yang artinya penilikan (pemeriksaan) dan
penjagaan,
penilikan
dan
pengarahan
kebijakan
jalannya
perusahaan.2 Kemudian menurut istilah yang dikemukakan oleh Ibrahim Lubis, pengawasan adalah kegiatan yang mengusahakan agar pekerjaanpekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang betapapun baiknya akan gagal sama sekali bilamana manajer tidak melakukan pengawasan, agar
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2007), h.79.
22
pekerjaan-pekerjaan sesuai dengan rencana atau maksud yang telah ditetapkan maka ia harus melakukan kegiatan pengawasan3. Pengawasan dapat diartikan sebagai proses untuk “menjamin” bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Pengertian ini menunjukan adanya hubungan yang sangat erat antara perencanaan dan pengawasan.4 Setelah Ibrahim Lubis memberikan pandangannya tentang pengawasan, kemudian Hadibroto juga memberikan pandanganya tentang pengawasan bahwa pengawasan adalah kegiatan penilaian terhadap organisasi atau kegiatan dengan tujuan agar organisasi atau kegiatan tersebut melaksanakan fungsinya dengan baik dan dapat memenuhi tujuannya yang telah ditetapkan.5 Schermorhorn yang dikutip dalam buku Erni Tisnawati , Pengantar Manajemen menyatakan bahwa pengawasan merupakan “sebagai proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan tersebut”6. Kemudian Stoner mempersingkat definisi pengawasan namun tidak merubah apa yang telah disampaikan sebelumnya oleh para alhli di atas dan hanya
3
Ibrahim Lubis, Pengendalian dan Pengawasan Proyek dalam Manajemen, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h. 154. 4 T. Tani Handoko, Manajemen, Edisi ke-2, (Yogyakarta: BPFE, 2014), h. 357. 5 HS. Hadibroto dan Oemar Witarsa, Sistem Pengawasan Intern, (Jakarta:BPFE), h.2 dalam Jusuf Anwar, Penegakan Hukum dan Pengawasan Pasar Modal Indonesia, (Bandung; Alumni, 2008), h. 129. 6 Erni Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), h.317.
23
memperjelas dengan mendefinisikan bahwa “pengawasan sesuai dengan apa yang telah direncanakan”.7 Kemudian menurut Harold Koontz dan Cyril O’donnel yang dikutip dalam buku Ibrahim Lubis mereka berpandangan lebih mengedepankan koreksi yang dilakukan ketika pelaksanaan kegiatan dengan maksud untuk mendapatkan keyakinan atau menjamin bahwa tujuan-tujuan perusahaan dan rencana-rencana yang digunakan untuk mencapainya dilaksanakan. 8 Jika pengawasan menurut pandangan para ahli merupakan sebuah penilaian dan diperlukan koreksi agar tujuan dapat tercapai maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan adalah suatu proses penilaian, penilikan atau pemeriksaan yang diusahakan agar pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana dan standar yang sudah ditetapkan agar setiap bidang melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, juga merupakan proses untuk menjamin sebuah kegiatan yang telah direncanakan untuk meminimalisir penyimpangan agar sesuai dengan apa yang telah direncanakan hingga tujuan tercapai dengan efektif dan efisien. 2. Peran Pengawasan Secara
umum
ada
beberapa
manfaat
yang
diperoleh
dengan
diberlakukannya pengawasan pada suatu organisasi, yaitu: a. Pengawasan memiliki peran penting terutama dalam memastikan setiap pekerjaan terlaksana sesuai dengan yang direncanakan
7 8
Ibid, h.317-318. Ibrahim Lubis, Pengendalian dan Pengawasan Proyek dalam Manajemen, h. 155-156.
24
b. Membangun manajer dalam mengawal dan mewujudkan keinginan visi dan misi perusahaan dan tidak terkecuali telah menempatkan manajer sebagai pihak yang memiliki wewenang sentral di suatu organisasi. c. Pengawasan bernilai positif dalam membangun hubungan yang baik antara pimpinan dan karyawan d. Pengawasan
yang
baik
memiliki
peran
dalam
menumbuh
kembangkan keyakinan para stakeholders’ pada organisasi.9 3. Tujuan dan Fungsi Pengawasan Tujuan pengawasan yakni agar hasil pelaksanaan pekerjaan diperoleh secara berdaya guna (efektif) dan berhasil guna (efisien) sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Fungsi pengawasan meliputi beberapa hal berikut ini: a. Mempertebal rasa dan tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi tugas dan wewenang dalam melaksanakan pekerjaan. b. Mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai prosedur yang telah ditentukan. c. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan penyelewengan, kelalaian dan kelemahan agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan. d. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan agar pelaksanaan pekerjaan tidak mengalami hambatan dan pemborosan.10 4. Jenis-Jenis Pengawasan
9
Irham Fahmi, Manajemen: Teori, Kasus dan Solusi, (Bandung; ALFABETA, 2012),
h.85-86. 10
Maringin Masry Simbolon, Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), h. 62.
25
a. Waktu Pengawasan Bedasarkan waktu pengawasan, pengawasan dibedakan atas dua hal yaitu pengawasan preventif dan pengawasan repressip. Pengawasan prefentif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum terjadi penyimpangan, kesalahan atau dengan kata lain diadakan langkahlangkah
pencegahan
sebelum
terjadinya
kesalahan-kesalahan.
Sedangkan pengawasan repressif adalah pengawasan yang dilakukan setelah rencana sudah dilaksanakan, yaitu dengan mengukur hasilhasil yang dicapai. b. Objek Pengawasan Dilihat
dari
objek
pengawasannya,
pengawasan
terdiri
dari
pengawasan personal, uang, waktu dan materi (kualitas / kuantitas). c. Subjek Pengawasan Dilihat dari subjeknya, pengawasan dapat dibagi menjadi pengawasan intern dan ekstern. Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh atasan dari petugas yang bersangkutan, pengawasan macam ini disebut juga dengan pengawasan formal, karena yang melakukan pengawasan adalah orang yang memiliki wewenang dalam organisasi atau lembaga terkait. Sedangkan yang dimaksud dengan pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orangorang yang
di luar organisasi atau lembaga terkait. Pengawasan
macam ini biasa disebut dengan pengawasan sosial (social control) atau pengawasan informal. d. Cara Pengumpulan Fakta-Fakta Guna Pengawasan
26
Dilihat dari pengukuran fakta-fakta guna pengawasan, pengawasan ini terdiri dari pengawasan pribadi, interview, laporan tertulis dan laporan tidak tertulis dan pengawasan kepada hal-hal yang bersifat istimewa (pengawasan berdasarkan pengecualian).11 5. Bentuk dan Metode Pengawasan Menurut H. Hadari Nawawi bentuk pengawasan ada dua macam, pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Pengawasan internal yaitu kegiatan pengawasan dilakukan oleh pimpinan manajer puncak
atau pimpinan unit/satuan.
Pengawasan eksternal
yaitu
pengawasan yang dilakukan oleh organisasi kerja dari luar organisasi kerja yang diawasi dalam menjalankan tugas pokoknya12. Metode Pengawasan terbagi menjadi: a. Pengawasan langsung, yakni kegiatan pengawasan yang dilakukan dengan mendatangi personil dan atau unit kerja yang diawasi. Kegiatannya
dapat
dikumpulkan
dengan
mengumpulkan
dan
mempelajari dokumen-dokumen, melakukan observasi, wawancara, pengujian sampel dan lain-lain. b. Pengawasan tidak langsung, yakni kegiatan pengawasan yang dilakukan dengan mengevaluasi laporan baik tertulis maupun lisan. Pengawasan ini disebut juga dengan pengawasan jarak jauh.13 6. Langkah-langkah Pengawasan
11
M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), h.130. Hadari Nawawi, Manajemen Strategi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), cet ke-3, h.120. 13 Sukanto Reksohadiprojo, Dasar-Dasar Manajemen, h. 64. 12
27
Langkah-langkah pengawasan menurut George Terry yang dikutip Ibrahim Lubis meliputi: a. Penetapan ukuran atau standar. Sebelum melakukan pengawasan, pelaku pengawasan sudah seharusnya mempunyai standar atau tolak ukur karena dalam pengawasan harus ada sebuah pedoman sebagai penilaian atas kinerja atau kegiatan yang terjadi. b. Penilaian atau pengukuran kegiatan dengan standar yang sudah ditetapkan untuk mengetahui penyimpangan yang terjadi. c. Perbaikan atau pembetulan terhadap penyimpangan yang terjadi. 14 Jika dalam buku Pengantar Manajemen karya Ismail Solihin, hal ini merupakan salah satu dari tindakan manajerial. Dalam buku itu ditulis bahwa , tindakan manajerial setelah melakukan evaluasi terhadap kinerja yang telah dicapai organisasi meliputi tiga hal: a. Tindakan perbaikan Tindakan perbaikan dilakukan agar penyimpangan yang terjadi tidak akan dilakukan secara terus menerus dalam kegiatan berikutnya. b. Revisi standar Selain melakukan perbaikan kinerja, yang perlu dilakukan manajerial yakni
tindakan
koreksi
terhadap
standar
karena
bisa
jadi
penyimpangan yang terjadi akibat ketidakrelevanan sebuah standar. c. Tidak melakukan apa-apa
14
Ibrahim Lubis, Pengendalian dan Pengawasan Proyek dalam Manajemen, h. 160.
28
Selain kedua tindakan di atas, dapat juga manajerial membiarkan penyimpangan tersebut terjadi. Asalkan penyimpangan tersebut tidak berdampak terlalu besar terhadap perusahaan/organisasi15. 7. Pengawasan yang Efektif Untuk menjadi efektif, sistem pengawasan harus memenuhi kriteria tertentu. Kriteria-kriteria utama adalah bahwa sistem seharusnya mengawasi kegiatan-kegiatan yang benar, tepat waktu, dengan biaya yang efektif, tepat-akurat dan dapat diterima oleh yang bersangkutan. Semakin dipenuhinya kriteria-kriteria tersebut semakin efektif sistem pengawasan. Karakteristik-karakterstik pengawasan yang efektif menurut Indra Iman dan Siswandi ini dapat lebih diperinci sebagai berikut: a. Akurat. Informasi tentang pelaksanaan kegiatan harus akurat. Data yang tidak akurat dari sistem pengawasan dapat menyebabkan organisasi mengambil tindakan koreksi yang keliru atau bahan menciptakan masalah yang sebenarnya tidak ada. b. Tepat waktu. Informasi harus dikumpulkan, disampaikan dan dievaluasi secepatnya bila kegiatan perbaikan harus dilakukan segera. c. Objektif dan menyeluruh. Informasi harus mudah difahami dan bersifat objektif serta lengkap. d. Terpusat pada titik-titik pengawasan strategik. Sistem pengawasan harus
memusatkan
perhatian
pada
bidang-bidang
di
mana
penyimpangan dari standar paling sering terjadi atau yang akan mengakibatkan kerusakan paling fatal.
15
Ismail Solihin, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h. 195.
29
e. Realistik secara ekonomis. Biaya pelaksanaan pengawasan harus lebih rendah atau paling tidak sama dengan kegunaan yang diperoleh dari sistem tersebut. f. Realistik secara organisational. Sistem pengawasan harus cocok atau harmonis dengan kenyataan-kenyataan organisasi. g. Terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi. Informasi pengawasan harus terkordinasi dengan aliran kerja organisasi karena setiap tahap dari proses pekerjaan dapat epengaruhi sukses atau kegagalan keseluruhan operasi dan informasi pengawasan harus sampai pada seluruh personalia yang memerlukannya. h. Fleksibel.
Pengawasan
harus
mempunyai
fleksibelitas
untuk
memberikan tanggapan atau reaksi terhadap ancaman ataupun kesempatan dari lingkungan. i. Bersifat sebagai petunjuk dan operasional. Sistem pengawasan efektif harus menunjukkan baik deteksi atau deviasi dari standar, tindakan koreksi apa yang seharusnya diambil. j. Diterima para anggota organisasi. Sistem pengawasan harus mampu mengarahkan pelaksanaan kerja para anggota organisasi dengan mendorong perasaan otonomi, tanggungjawab dan berprestasi16. k. Pengawasan
yang
efektif
harus
memberi
petunjuk
tentang
kemungkinan adanya deviasi/penyimpangan. 17
16
Indra Iman dan Siswandi, Aplikasi Manajemen Perusahaan (Analisis Kasus dan Pemecahannya), Edisi 2, (Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media, 2009), h.207-208. 17 Sondang P. Siagian, Fungsi-Fungsi Manajerial, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), h. 130.
30
C. Pengawasan KPHI 1. Objek Pengawasan Dalam pembahasan skripsi ini, objek pengawasan KPHI adalah: Pertama,
Kementerian
Agama RI
khususnya Direktorat
Jendral
Penyelenggara Haji dan Umroh (Ditjen PHU) beserta jajarannya. Kedua, Kementerian Perhubungan RI. Ketiga, Kementerian Kesehatan RI dan yang terakhir adalah Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), bahkan Kementerian Hukum dan HAM juga sebenarnya terlibat untuk masalah imigrasi. Lalu untuk PIHK juga sebenarnya bagian dari satuan kerja Kemenag, namun PIHK hanya mengatur urusan haji khusus saja.18 Semua aspek perhajian diawasi KPHI dalam penyelenggaraan haji di Indonesia baik dari penyelenggaraan haji regular maupun haji khusus dimulai dari pendaftaran, bimbingan ibadah, akomodasi, transportasi,
katering,
peribadatan,
perlindungan
jamaah
dan
sebagainya. 19 KPHI melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga yang juga melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan haji. Pada tahap awal KPHI melakukan pertemuan koordinasi dengan KPK, Omdusman, BPKP, BPK dan Inspektorat Jendral Kementerian Agama (Irjen Kemenag). Laporan hasil pengawasan dari masing-masing lembaga dimaksud dianalisis dan disinkronkan dengan program pengawasan KPHI. Style KPHI adalah proaktif, yaitu dengan melakukan silaturahim 18
Wawancara pribadi dengan Syamsul Ma’arif (Komisioner KPHI) pada 27 Agustus 2015 pukul 13:00-15:00 WIB di Kantor KPHI. 19 Wawancara langsung dengan Ahmet Machfud (Komisioner KPHI) pada 21 Juni 2015 pukul 11:00-1500 WIB di Kantor KPHI.
31
ke sejumlah lembaga pengawasan dan berdialog secara kemitraan dalam posisi KPHI sebagai leading sector dalam kepengawasan perhajian. 20 2. Bentuk Pengawasan Pengawasan yang dilakukan yaitu dengan melakukan koreksi terhadap pelayanan yang diberikan kepada jamaah. Dengan berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan kebijakan pada tahun berjalan, dengan demikian dapat dikatakan bahwasanya pengawasan ini dilakukan oleh pihak terkait di luar pemerintahan/organisasi. Jika pengawasan pada umumnya dilakukan oleh sistem manajerial organisasi itu sendiri yang biasa disebut pengawasan internal, tetapi di sini tidak. Pengawasan justru dilakukan oleh pihak di luar penyelenggara ibadah haji yang dikenal dengan pengawasan eksternal. Pengawasan dalam manajerial perusahaan secara umum, tujuan antara pengawasan internal dan eksternal sama yaitu untuk kepentingan perusahaan agar tidak ada penyelewengan dan terjadinya kerugian yang tidak diinginkan. Akan tetapi pengawasan eksternal yang dilakukan KPHI terhadap penyelenggara ibadah haji di Indonesia ini bukan untuk kepentingan lembaga namun kepentingan masyarakat banyak agar hakhak jamaah haji dapat terjamin, ketika ditemukan kesalahan-kesalahan maka hal ini akan menjadi catatan bagi KPHI untuk perbaikan ke depannya.
Di sini dapat
difahami
bahwa
paling tidak pihak
penyelenggara haji memberikan pelayanan kepada jamaah sesuai dengan SPM yang sudah ditetapkan. Dari uraian ini kita ketahui bahwa bentuk
20
Buletin KPHI (Media Komunikasi & Informasi), (KPHI; 2014), Edisi 2, h.23.
32
pengawasan KPHI terhadap penyelenggara haji merupakan pengawasan eksternal. 3. Metode Pengawasan Metode pengawasan
KPHI
dalam penyelenggaraan
haji
menggunakan metode pengawasan langsung dan tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan oleh komisioner KPHI saat melakukan peninjauan langsung terkait pelayanan yang diberikan di Tanah Air maupun di Arab Saudi. Untuk melihat apakah penyelenggaraan haji telah sesuai dengan program dan standar atau belum dan untuk mencari berbagai penyimpangan yang terjadi. Saat melakukan pengawasan, komisioner KPHI juga melakukan sinkronisasi pelayanan terhadap kebijakankebijakan yang sudah ditetapkan. Pengawasan tidak langsung dilakukan komisioner KPHI dengan menganalisa laporan-laporan yang masuk ke Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). Laporan-laporan tersebut selanjutnya disinkronkan dengan fakta-fakta lapangan dan kemudian komisioner KPHI melakukan cross check apakah pelayanan tersebut sesuai dengan standar kebijakankebijakan tahun tersebut atau tidak. Jika tidak maka ini akan menjadi catatan bagi KPHI yang akan dilaporkan pada presiden. Penggunaan metode pengawasan juga tergantung kepada bentuk dari pelayanan tersebut. Melihat dari keseluruhan pelayanan, terdapat 2 kategori pelayanan. Pelayanan yang berupa kegiatan lapangan dan pelayanan yang diberikan berupa data-data administratif. KPHI melakukan pengawasan dengan menggunakan kedua metode tersebut. Meski
33
menggunakan keduanya, tetapi selama ini metode yang sepenuhnya diterapkan yaitu metode pengawasan langsung dengan cara meninjau langsung di Tanah Air maupun di Arab Saudi. Pengawasan yang efektif harus memberi petunjuk tentang kemungkinan adanya deviasi/penyimpangan21, dan pelayanan berupa kegiatan lapangan inilah yang lebih banyak adanya kemungkinan penyimpangan yang terjadi dan harus diawasi secara langsung. Misalkan saja pelayanan berupa akomodasi, sebagai contoh pada tahun 2013 ada hotel yang menurut kami tidak layak karena levelnya satu dan listriknya sering mati padahal
jamaah harus dipenuhi segala haknya untuk
melancarkan ibadah haji, itukan tidak memungkinkan untuk dihuni terlebih kapasitas hotel tersebut kecil, hal tersebut oleh KPHI diawasi dan diberikan rekomendasi untuk ke depannya bahwa hotel ini tidak boleh untuk dipergunakan lagi22. Kemungkinan-kemungkinan seperti ini yang seharusnya dilakukan peninjauan secara langsung. Berikut point singkat bahan dan data pengawasan KPHI tentang penyelenggaraan ibadah haji tahun 2013 diperoleh dari:23 a. Data primer yang diperoleh berdasarkan survei lapangan dengan instrumen yang bersifat kuantitatif dan kualitatif; 1) Observasi lapangan 2) Pengamatan mendalam
21
Sondang P. Siagian, Fungsi-Fungsi Manajerial, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), h.
130. 22
Wawancara Pribadi dengan Ahmed Machfud pada 26 Juni 2015 pukul 11:00-15:00 WIB di Kantor KPHI. 23 Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434 H / 2013 M Komisi Pengawas Haji Indonesia, h.8 BAB I.
34
3) Wawancara b. Kajian data sekunder 1) Bahan dari Kementerian Agama 2) Bahan dari sumber lain 4. Waktu Pengawasan KPHI melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji tahun 2013. Pengawasan operasional penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi dilakukan saat awal musim haji pada 4-10 September 2013 oleh seorang Komisioner KPHI 12-21 September 2013 oleh enam Komisioner KPHI. Seluruh Komisioner KPHI mengawasi langsung penyelenggaraan ibadah haji pada 5 Oktober hingga 2 November 2015. Berdasarkan waktu pengawasan, M Manullang dalam bukunya Dasar-Dasar Manajemen menjelaskan bahwa pengawasan dibedakan atas dua hal yaitu pengawasan preventif dan pengawasan repressip, maka penulis mengklasifiksikan pengawasan yang dilakukan KPHI adalah pengawasan repressif yang tujuannya yaitu untuk mengukur hasil-hasil yang sudah dicapai dalam penyelenggaraan haji di Indonesia. 5. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Dukungan
pelaksanaan
pengawasan
KPHI
terhadap
penyelenggaraan haji tidak lepas dari beberapa pihak yang terkait. Yang pertama pengaduan jamaah haji atas pelayanan selama menjalankan ibadah haji yang ditujukan kepada KPHI. Dengan adanya pengaduan ini KPHI dapat mengetahui penyimpangan dari penyelenggaraan haji tahun tersebut. Dukungan lainnya yaitu motivasi masyarakat yang selalu
35
menginginkan penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya mengalami perbaikan. Hal ini akan terus menjadi amunisi KPHI dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Lalu adapun dukungan-dukungan dari beberapa lembaga terkait yang akan membantu KPHI dalam melakukan pengawasan dengan cara menganalisa laporan dari badan-badan tersebut. Meskipun upaya perbaikan peningkatan penyelenggaraan ibadah haji sudah dilakukan secara optimal, KPHI masih terkendala dengan beberapa hal. Hambatan dan masalah yang dihadapi KPHI dalam melaksanakan tugasnya sebagai lembaga mengawasi dan memantau penyelenggaraan haji di Indonesia antara lain: a)
Kondisi KPHI sebagai lembaga masih bersifat formatif sehingga berbagai rancangan kegiatan masih terhambat oleh persoalan teknis yang sifatnya struktural seperti kesekretariatan yang masih diposisikan sebagai Subdit pada Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, anggaran belanja menempel di PHU dan nomenklatur Subdit Fasilitasi KPHI sangat sensitif dengan objek kerja projustica KPK.
b) Keterbatasan anggaran yang berdampak pada jangkauan objek pengawasan, kedalaman masalah dan penyediaan instrument pengawasan. Karena anggarannya terlalu kecil maka kami hanya melakukan pengawasan sekali sampai dua kali ke Arab Saudi. Padahal pada pengawasan awal seharusnya harus ditindaklanjuti. Paling tidak empat kali pengawasan dari semenjak persiapan awal, persiapan kedua, operasional dan yang terakhir evaluasi. Hingga saat
36
ini bahkan honorarium komisioner belum ada dan saya belum pernah menerima satu rupiah pun. c)
Unit
penyelenggara
administrasi,
yaitu
sekretariat.
Gedung
kesekretariatan kami masih punya kemenag, bahkan operasionalnya pun masih dibiayai oleh Kemenag. KPHI belum mempunyai satuan kerja (satker) sendiri. d) Kurangnya SDM yang concern terhadap peninjauan langsung ke lapangan. KPHI merupakan lembaga yang seharusnya mendapatkan fasilitas yang cukup. Bukan berarti fasilitas pribadi, namun fasilitas lembaga yang nantinya akan dipergunakan untuk mejalankan tugastugasnya sesuai denga aturan yang berlaku yaitu kepentingan pengawasan. Itu yang belum sepenuhnya kami miliki, baru sebagian saja. Misalnya KPHI kemarin melakukan pengawasan hanya oleh 9 orang komisioner dibantu 3 orang staff sementara inspektorat bisa lima kali lipat dari kami. e)
Kurangnya kepercayaan pemerintah dalam pengambilan keputusan yang bersumber dari rekomendasi KPHI, karena sejauh ini pemerintah masih lebih mempercayai DPR dalam mengambil keputusan.24
24
Akumulasi hasil wawancara pribadi dengan Syamsul Ma’arif (Komisioner KPHI) pada 27 Agustus 2015 dan Buletin KPHI edisi pertama.
37
D. Penyelenggaraan Haji di Indonesia Sejarah penyelenggaraan haji di Indonesia mengalami masa yang panjang, dimulai sejak masuknya agama Islam ke Indonesia, masa penjajahan, masa orde lama, masa orde baru hingga sekarang. Dari masa ke masa penyelenggaraan haji banyak mengalami dinamika yang bermuara pada persoalan pokok, yaitu peraturan yang menyangkut hubungan bilateral antara dua negara yang memiliki perbedaan sosio-budaya, bentuk pemerintahan dan status kenegaraan, Indonesia yang menganut sistem Republik dan Saudi Arabia yang berbentuk Kerajaan. Pada masa penjajahan, permasalahan utamanya adalah keamanan dan terbatasnya fasilitas. Kini pada saat dunia telah aman dan fasilitas semakin canggih, besarnya jumlah jamaah haji terkait dengan keterbatasan kuota dan kemampuan sarana dan prasarana menjadi persoalan utama. 1.
Penyelenggaraan Haji pada masa Pasca Kemerdekaan Pada tahun 1945, Syekh Hasyim Asyhari dari Masyumi, mengeluarkan fatwa kepada seluruh umat Islam Indonesia bahwa “haram bagi umat Islam meninggalkan tanah airnya dalam keadaan melakukan perang melawan agama; tidak wajib pergi haji, dimana berlaku fardhu ‘ain bagi umat Islam melakukan peran melawan penjajah bangsa dan agama”. Pada tahun 1948 pemerintah Indonesia mengirimkan misi haji, yang terdiri dari K.R.H. Moh. Adnan, H. Ismail Banda, H. Saleh Suady dan H. Samsir Sutan Ameh, ke Makkah menghadap Raja Arab Saudi, misi tersebur mendapat sambutan hangat dari Baginda Raja Ibnu Saud dan pada tahun itu juga bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan di
38
Arafah. Upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut semakin mendorong ke arah penyelenggaraan haji yang lebih baik sehingga calon jamaah haji yang berangkat tahun 1949 cukup banyak. Pada waktu itu jamaah haji yang berhasil diberangkatkan oleh Pemerintah mencapai 9.892 orang, sedangkan yang wafat sebanyak 320 orang atau 3,23%-nya, sedangkan panitia yang dilibatkan guna membantu jamaah haji dalam bidang administrasi dan pengurusan di tanah suci sebanyak 27 orang, adapun tim kesehatan yang juga ikut diberangkatkan sebanyak 14 orang. Kemudian pada tahun 1950-an, kaum muslimin Indonesia yang mampu melaksanakan ibadah haji sebanyak 10.000 orang, (memang hanya daerah-daerah tertentu yang penduduknya hampir mayoritas beragama Islam, dan berpenghasilan dari sumber daya alam seperti bertani dan nelayan yang pada waktu itu memiliki kesempatan perdagangan yang lebih luas, sehingga memungkinkan mereka untuk melaksanakan ibadah haji). Di samping 10.000 orang yang berangkat haji, pemerintah memiliki data lain yaitu jamaah haji yang berangkat secara mandiri sebanyak 1.843 orang, wafat 42 orang atau 2,28%, sedangkan petugas administrasi 6 orang, tim kesehatan 15 orang. Pada awal kemerdekaan penyelenggaraan ibadah haji dilakukan oleh Penyelenggara Haji Indonesia (PHI) yang berada pada setiap keresidenan
atau
pemerintahan
daerah.
Dalam
perkembangan
selanjutnya, Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) mendirikan sebuah yayasan yang secara khusus menangani ibadah haji yaitu Panitia
39
Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia (PPHI) yang diketuai oleh K.H.M. Sudjak. Kedudukan PPHI semakin kuat tatkala Menteri Agama mengeluarkan Surat Kementerian Agama RIS No. 3170 Tahun 1950 dan Surat Edaran Menteri Agama RIS No. A. III/I/648 Tahun 1950 yang menunjuk PPHI sebagai lembaga yang sah di samping pemerintah untuk mengurus dan menyelenggarakan Ibadah Haji di Indonesia. Pada masa itu salah satu langkah penting pembenahan penyelenggaraan Ibadah Haji oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Agama adalah dialihkannya transportasi laut ke transportasi udara yang lebih modern agar mengurangi penderitaan jamaah haji apabila menaiki kapal laut yang penuh dengan bahaya. Pada masa tahun 1950-an tersebut penanganan haji secara langsung tidak dilakukan oleh Departemen Agama melainkan oleh panitia haji. Hampir setiap tahun umat Islam yang berminat untuk menunaikan ibadah haji tidak pernah surut, bahkan laju perkembangannya menunjukkan grafik yang meningkat walaupun biaya yang ditetapkan oleh pemerintah selalu menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan setiap tahunnya, yaitu sejak tahun 1949 sebesar Rp. 3.395,14 meningkat dua kali lipat pada tahun 1950 dan tahun 1951 sebesar Rp. 6.487,25 atau sekitar 52,3%. Biaya perjalanan ibadah haji justru mengalami kenaikan hanya sekitar 10%, yaitu pada tahun 1951 sebesar Rp. 6.487,25. Jumlah jamaah haji Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1951 sebanyak 9.502 orang, petugas haji Indonesia 20 orang, jamaah haji yang wafat sebanyak 384 orang atau 4,04%
40
Membaiknya kehidupan perekonomian negara dan kemajuan teknologi yang melanda dunia berpengaruh pula terhadap pengelolaan perhajian di Indonesia sehingga mulai tahun 1952 transportasi jamaah haji pemerintah menyediakan kesempatan kepada calon jamaah haji untuk mempergunakan transportasi udara. Tentunya terdapat perbedaan tarif angkutan haji yang cukup besar, hampir dua kali lipat, yaitu untuk tarif haji udara sebesar Rp. 16.691, sedangkan haji laut sebesar Rp. 7.500. Dengan adanya transportasi jamaah haji udara maka pada tahun 1952 jumlah jamaah haji meningkat sebanyak 14.324 orang, dengan perincian yang menggunakan kapal laut sebanyak 14.031 orang, pesawat udara 293 orang, jumlah jamaah haji yang wafat 278 orang atau 1,94%, sedangkan petugas haji yang diberangkatkan sebanyak 32 orang, tim kesehatan haji sebanyak 28 orang.25 Pada tahun 1964 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 122 tahun 1964 yang berisi tentang upaya mengatasi pengangkutan jamaah haji (laut) dari Indonesia, maka pada tanggal 1 Desember 1964 berdirilah PT. Arafat yang bergerak di bidang pelayanan ibadah haji dengan kapal laut. Tujuan didirikannya PT. Arafat adalah: a)
Menyelenggarakan pengangkutan para jamaah haji (laut);
b)
Menjalankan segala upaya dalam rangka membantu usaha pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung yang berkenaan dengan bidang pelayanan.
25
37
Achmad Nidjam dan Alatief Hanan, Manajemen Haji, (Jakarta: Media Cita), 2006, h.
41
c)
Armada kapal laut yang digunakan untuk pengangkutan jamaah haji antara lain KM. Gunung Jati, KM. Tjut Nyak Dien, KM. Ambulombo, KM. Pasific Abeto, KM. Belle Abetto, KM. Le Havre Abeto dan KM. La Grande Abeto. Kapal laut untuk pengangkutan jamaah haji ini termasuk kapal laut yang memiliki keunggulan teknologi pada saat itu dan dapat berlayar untuk jangka waktu satu bulan. Di kapal ini seluruh calon jamaah haji Indonesia melakukan kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan masalah manasik haji dan pengkajian agama secara mendalam. 26
2.
Penyelenggaraan Haji pada Masa Orde Baru Tugas awal penguasa orde baru sebagai pucuk pimpinan Negara pada tahun 1966 adalah membenahi dan menormalkan sistem kenegaraan yang porak-poranda akibat G 30S PKI dan kekuasaan orde lama. Pembenahan sistem pemerintahan ini berpengaruh pula terhadap penyelenngaraan
haji
dengan
dibentuknya
Departemen
Agama,
selanjutnya mengubah struktur dan tata kerja organisasi Menteri Usaha haji dan mengalihkan tugas penyelenggaraan ibadah haji di bawah wewenang Direktur Jenderal Urusan Haji, termasuk besarnya biaya, sistem manajerial dan bentuk organisasi yang kemudian ditetapkan dalam keputusan Dirjen Urusan Haji Nomor 105 tahun 1966. Pada tahun itu ditetapkan pula biaya perjalanan ibadah haji dalam tiga kategori, yaitu haji dengan kapal laut sebesar Rp. 27.000, haji berdikari sebesar Rp. 67.500, haji dengan pesawat udara sebesar Rp. 110.000. Jumlah jamaah 26
Ibid, h.42-43.
42
haji yang diberangkatkan seluruhnya mencapai 15.983 orang, yaitu dengan kapal laut sebanyak 15.610 orang, dengan pesawat udara 373 orang, sedangkan jumlah haji kapal laut yang wafat 114 orang, dan 2 orang jamaah haji udara, atau 0,73%.27 Pemerintah ikut bertanggung jawab secara penuh dalam penyelenggaraan ibadah haji, sejak penentuan biaya hingga pelaksanaan serta hubungan antara dua negara yang mulai dilaksanakan pada tahun 1970. Dengan keputusan tersebut, maka rakyat merasa diperhatikan langsung oleh pemerintah. Dalam rangka mengefisienkan pelaksanaan penyelenggaraan haji, maka pada tahun tersebut biaya perjalanan ibadah haji
ditetapkan
oleh
presiden
berdasarkan
kriteria
penggunaan
transportasi melalui Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 1970, yaitu biaya perjalanan pesawat terbang sebesar Rp. 380.000, sedangkan berdikari sebesar Rp. 336.000. Secara resmi pemerintah tidak menetapkan biaya haji dengan kapal laut karena jumlah calon jamaah haji yang menggunakan kapal laut mengalami penurunan yang signifikan. Sekalipun demikian, pemerintah memberikan kebebasan kepada jamaah haji berdikari tetap menggunakan kapal laut. Sesuai data tahun tersebut jamaah haji berdikari yang menggunakan kapal laut sebanyak 12.845 orang, sedangkan yang menggunakan pesawat terbang sebanyak 1.229 orang. Dalam tahun-tahun berikutnya, antara tahun 19711973 penyelenggaraan ibadah haji tidak banyak mengalami perubahanperubahan kebijakan.
27
Ibid, h.44-45.
43
Pada tahun 1974, sebuah peristiwa besar menghentikan sanubari bangsa Indonesia dan mengejutkan dunia ketika pesawat udara Martin Air yang mengangkut jumlah haji mengalami kecelakaan di Colombo. Kecelakaan ini menewaskan 1.126 orang dan merupakan peristiwa besar yang tak terlupakan dalam sejarah perhajian Indonesia. Penyebab kecelakaan tersebut tidak diketahui secara pasti, yang jelas pesawat tersebut menabrak gunung. Ada pula kejadian yang berada di luar perhitungan pemerintah sebanyak 79 orang jamaah melahirkan. Dengan kejadian tersebut pemerintah semakin selektif alat transportasi udara yang akan dipergunakan untuk menyelenggarakan haji, dan diharapkan kejadian tersebut tidak terulang kembali. Pada tahun 1974, Keputusan Presiden menetapkan biaya perjalanan ibadah haji berdikari sebesar Rp. 556.000, dan pesawat terbang sebesar Rp. 560.000. Pada waktu itu jumlah ibadah haji berdikari kapal laut sebanyak 15.396 orang dan pesawat udara sebanyak 53.752 orang.28 Banyaknya problema perjalanan haji dengan kapal laut yang tidak dapat diselesaikan, termasuk pailitnya PT. Arafat, mulai tahun 1979 pemerintah melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: SK72/OT.001/Phb79, memutuskan untuk meniadakan pengangkutan jamaah haji dengan kapal laut dan menetapkan bahwa penyelenggaraan angkutan haji dilaksanakan dengan menggunakan pesawat udara. Pada awal penghapusan jamaah haji laut, bangsa Indonesia kembali ditimpa kedukaan yang luar biasa akibat terjadinya kecelakaan
28
Ibid, 47-48.
44
pesawat udara yang mengangkut jamaah haji untuk kedua kalinya. Kecelakaan ini juga terjadi di Colombo yang disebabkan oleh kesalahan navigasi pesawat Loft Leider. Jamaah haji yang wafat seluruhnya 960 orang, termasuk yang wafat bukan karena kecelakaan ini. Dengan banyaknya pengalaman dalam penyelenggaraan ibadah haji pada tahuntahun sebelumnya, maka pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama, mengkaji ulang penyelenggaraan ibadah haji agar lebih terjamin. Pada tahun 1979, bersama Menteri Kehakiman, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan tentang penyelenggaraan Umroh, peraturan ini merupakan cikal bakal dari peraturan penyelenggaraan ibadah haji. Pada saat itu banyak di antara para jamaah haji yang mencari jalan pintas akibat gagal melaksanakan ibadah haji, yakni melaksanakan ibadah umroh lebih dulu kemudian tinggal sementara untuk menunggu waktu haji tiba. Hal ini banyak menimbulkan persoalan bagi pemerintah Arab Saudi. Banyak di antara jamaah haji yang kemudian tidak bisa kembali ke kampung halaman karena kehabisan bekal (biaya). 29 Dasawarsa 1980-an terjadi perkembangan menarik dimana pemerintah
mulai
memberi
peluang
(kembali)
swasta
dalam
penyelenggaraan urusan haji, khususnya untuk pelayanan eksklusif yang dikenal dengan nama program ONH Plus. Pihak swasta sendiri menyebut kegiatan itu merupakan sub-sistem atau bagian dari penyelenggaraan haji oleh pemerintah. Disebut subsistem karena otoritas mengenai ketentuan perusahaan mana saja, kuota, dan harga paket ONH Plus masih di tangan
29
Achmad Nidjam dan Alatief Hanan, Manajemen Haji, h. 50-51
45
pemerintah hingga kini. Selain melibatkan perusahaan yang bergerak di bidang ONH Plus, pemerintah juga memberi kesempatan kepada berbagai yayasan, majelis ta’lim, ormas, milik masyarakat mengorganisir jamaah haji di lingkungannya. Kegiatan itu tidak lepas dari kontrol pemerintah dan tetap tergabung dalam paket penyelenggaraan urusan haji yang dikelola pemerintah30. Meningkatnya jamaah haji setiap tahunnya dapat dijadikan sebagai parameter peningkatan pembangunan manusia seutuhnya dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan beragama. Besarnya jumlah jamaah haji ini mengakibatkan makin berat pula beban pemerintah karena penyelanggaraan ibadah haji merupakan kegiatan yang terusmenerus rutin, teknis dan fungsional, apalagi meningkatnya taraf hidup dan daya kritis masyarakat akan menimbulkan tuntutan yang makin tinggi terhadap kualitas pelayanan ibadah haji. Bertambahnya jumlah jamaah haji menimbulkan suatu permasalahan tersendiri karena tempat atau wilayah peribadatan haji di Arab Saudi tetap yaitu Makkah, Mina, Arafah, Muzdalifah dan Madinah. Wilayah ini juga tidak mungkin akan mampu menampung jumlah jamaah haji yang terus bertambah dari negara-negara lain. Hal ini jelas akan membebani masing-masing jamaah haji secara fisik, seperti kelelahan, kebisingan, serta kemacetan, dan bahkan kemungkinan besar dapat mengganggu kekhusyukan jamaah haji dalam melaksanakan ibadah hajinya. 31 30 31
http://www.hamline.edu diakses pada 19 Agustus 2015 Pukul 17:38 WIB. Achmad Nidjam dan Alatief Hanan, Manajemen Haji, h. 59-60
46
3.
Penyelenggaraan Haji pada Masa Reformasi Pada masa reformasi tepatnya pada tahun 1999 akhirnya dimulailah era baru pada penyelenggaraan haji di Indonesia dengan keluarnya UU No. 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dengan keluarnya Undang-Undang ini diharapkan Penyelenggaraan Ibadah Haji di Indonesia dapat dilakukan dengan lebih berkualitas. Pasal 5 UU No. 17 Tahun 1999 mengatur bahwa ”Penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan manajemen penyelenggaraan yang baik agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar, dan nyaman sesuai dengan tuntunan agama serta jemaah haji dapat melaksanakan ibadah secara mandiri sehingga diperoleh haji mabrur” inilah hal yang dituju dalam Undang-Undang tersebut dalam hal penyelenggaraan Ibadah Haji, yaitu memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan manajemen penyelenggaraan yang baik. Tetapi, apa yang dicanangkan dalam Undang-Undang ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dari tahun ke tahun tidak ada gebrakan pembenahan sistem dan manajemen penyelenggaraan Ibadah Haji yang lebih baik. Hal tersebut diperparah oleh kejadian pada musim haji tahun 2006 Masehi/1427 Hijriyah dimana terjadi kelaparan pada jamaah haji reguler disebabkan keterlambatan yang amat sangat lama dalam menyediakan dan membawa makanan oleh pihak penyedia katering makanan bagi jamaah haji reguler.
47
Dengan berbagai pertimbangan diatas UU nomor 17/1999 di revisi dengan UU nomor 13/2008 yang menegaskan bahwa Pemerintah dalam hal ini Depag masih menjadi Operator penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Hal itu tertuang jelas dalam Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi “Pemerintah sebagai penyelenggara Ibadah Haji berkewajiban mengelola dan melaksanakan Penyelenggaraan Ibadah Haji. 32 Untuk pencapaian kualitas dalam pelayanan penyelenggaraan operasional haji, maka dibutuhkan karyawan/pegawai atau dengan kata lain sumber daya manusia yang professional (mampu bersaing era globalisasi) dan berdedikasi (mempunyai naluri inovasi, motivasi, pro aktif) yang tinggi, adanya sistem dan manajemen yang tersusun rapih serta dibutuhkannya metode pengawasan terhadap institusi terkait yang dilaksanakan secara efektif. Di samping itu, terciptanya hubungan kerja yang baik di antara beberapa unit terkait dalam penyelenggaraan ibadah haji, yaitu Departemen Agama Pusat, kantor Wilayah Departemen Agama, Kantor Departemen Kabupaten/Kota, kemudian dengan instansi lain di luar Departemen Agama seperti Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Luar Negeri, Departemen Perhubungan, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, lembaga keuangan dan unsur-unsur pemerintahan daerah serta kedutaan besar Kerajaan Arab Saudi dalam hal ijin masuk (visa) ke Negara Arab Saudi dan ketentuan tentang penyelenggaraan haji yang ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi.
32
www.rasio.wordpress.com diakses pada 19 Agustus 2015 Pukul 17:38 WIB.
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA (KPHI) A. Sejarah Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Sesuai dengan namanya, KPHI adalah sebuah komisi yang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji. KPHI
merupakan
lembaga
mandiri
yang
dibentuk
dalam
rangka
meningkatkan pelayanan penyelenggaran ibadah haji Indonesia. Hampir dua setengah tahun proses untuk mencari anggota Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) periode pertama. Proses pendaftaran calon anggota KPHI dari berbagai tes telah dimulai sejak Oktober 2010. Namun Komisioner KPHI baru ditetapkan pada Maret 2013.1 Calon anggota KPHI ini mengikuti Pasal 14 UU PIH. (1) Terdiri atas Sembilan orang anggota. (2) Keanggotaan terdiri atas unsur masyarakat enam orang dan unsur pemerintah tiga orang. (3) Unsur masyarakat terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat Islam. (4) Unsur pemerintah dapat ditunjuk dari departemen/instansi yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Ibadah Haji (Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan). Proses selanjutnya, presiden menyampaiakan calon anggota KPHI kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapat pertimbangan. 1
Buletin KPHI: Media Komunikasi & Informasi, (Jakarta: KPHI), 2014, Edisi, h.1.
48
49
Setahun lebih tanpa ada kabar, pada 6 hingga 8 Februari 2012 Komisi VIII DPR mengundang dan mendengarkan paparan dari masingmasing calon anggota KPHI di ruang sidang komisi VIII DPR. Melalui rapat, komisi VIII menyampaikan hasil pertimbangan kepada presiden. Karena wakil dari Kementerian Kesehatan (Dr. H. Chalik Marsulili, MSc.) wafat, Kementerian Kesehatan mengajukan nama pengganti untuk mendapat pertimbangan DPR. Setelah melalui proses panjang yang ditunggu calon dan masyarakat, setahun kemudian pada awal 2013 presiden menetapkan sembilan anggota KPHI melalui Keppres No. 13 P Tahun 2013 tanggal 13 Februari 2013. Selanjutnya, Menteri Agama mengambil sumpah jabatan sembilan anggota KPHI pada 26 Maret 2013 di Aula Kantor Kemenag Jalan M.H Thamrin. Adapun anggota KPHI periode pertama yang bertugas selama tiga tahun (2013-2016) adalah enam unsur dari masyarakat: Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si; Drs. H. Imam Addaruquthni, SQ, MA; Ir. H. Agus Priyanto; Dr. H. Syamsul Ma’arif, MA; Drs. H. M. Samidin Nashir, MM; Drs. H. Mohammad Thoha, M.Si. Sementara tiga Komisioner unsur pemerintah adalah: Drs. H. Ahmed Machfudh, MPA (Kementerian Agama); Dr.H. Abidinsyah Siregar, DHSM, M.Kes (Kementerian Kesehatan); Dra. Hj. Lilien Ambarwiyati (Kementerian Perhubungan). Sesuai dengan ketentuan, Ketua dan Wakil Ketua KPHI dipilih dari dan oleh anggota Komisi. Komisioner KPHI periode pertama telah memilih
50
Slamet Effendy Yusuf sebagai ketua dan Imam Addaruquthni sebagai Wakil Ketua.2 Terbentuknya Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) sesuai dengan
amanah
Undang-undang
Nomor
13
Tahun
2008
tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH). KPHI semestinya terbentuk setahun setelah UU PIH diundangkan pada 2008. Dorongan untuk pembentukan KPHI mencuat dalam Evaluasi Nasional Penyelenggaraan Ibadah Haji pada Januari 2010. Secara historis, pembentukan KPHI sebagai institusi mandiri merupakan sejarah baru dalam penyelenggaraan ibadah haji Indonesia sebagai
wujud
pemisahan
fungsi
kebijakan,
penyelenggaraan,
dan
pengawasan. Sejarah baru bersifat reformatif terhadap penyelenggaraan ibadah haji yang dikelola pemerintah sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan. Dengan lahirnya KPHI sebagai komisi pengawas, fungsi Kemenag terbatas pada fungsi pembuat kebijakan dan penyelenggara operasional haji. Fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji menjadi sangat penting untuk memastikan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan tersebut telah sesuai dengan aturan dan standar yang berlaku sesuai perencanaan. Dari pengawasan dengan standar dan indikator yang telah ditetapkan itu dapat diketahui, apakah ada penyimpangan untuk mengambil tindakan perbaikan.
2
Agus Priyanto, Komisioner KPHI dalam Buletin KPHI; Media Komunikasi & Informasi, Edisi 1, (Jakarta: KPHI) , 2014, h. 7-8.
51
Selama ini pengawasan penyelenggaraan ibadah haji dilakukan secara paralel dan simultan oleh berbagai instansi pengawasan, antara lain Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Ombudsman Republik Indonesia (ORI), dan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama (Itjen Kemenag). Dari sisi justisia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut mengawasi penyimpangan dalam penyelenggaraan ibadah haji. Dengan terbentuknya KPHI, pengawasan terhadap penyelenggaran ibadah haji menjadi lebih komprehensif. Pengawasan penyelenggaraan ibadah haji yang menjadi tugas dan tanggung jawab KPHI dilakukan mulai dari tahap perencanaan hingga tahap operasional.
KPHI
juga
bertugas
menghimpun berbagai masukan, saran, dan pertimbangan dari berbagai pihak dalam rangka penyempurnaan manajemen dan peningkatan mutu pelayanan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia.3
B. Tugas dan Fungsi Sesuai dengan UU PIH Pasal 12 ayat (3), KPHI bertugas melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap penyelenggaraan ibadah haji serta merumuskan perimbangan untuk penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji. Sementara menurut pasal 12 ayat (4), KPHI memiliki empat fungsi. Pertama, memantau dan menganalisis kebijakan operasional penyelenggaraan
3
ibadah
haji
Indonesia.
Kedua,
menganalisis
hasil
Webste resmi KPHI www.kphi.go.id diakses pada 20 Agustus 2015 pukul 20:40 WIB
52
pengawasan dari berbagai lembaga pengawasan dan masyarakat. Ketiga, menerima masukan dan saran masyarakat mengenai penyelenggaraan ibadah haji. Keempat, merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah haji. Sebelum KPHI terbentuk, pengawasan penyelenggaraan ibadah haji dilakukan secara pararel dan simultan oleh berbagai instansi pengawasan, antara lain Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Omdusman Republik Indonesia (ORI) dan Inspektorat Jendral Kementerian Agama (Itjen Kemenag). Dari sisi justisia, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) ikut mengawasi penyimpangan dalam penyelenggaraan haji. Dengan
pembentukan
KPHI,
pengawasan
terhadap
penyelenggaraan ibadah haji menjadi lebih komprehensif. Pengawasan yang menjadi tugas dan tanggung jawab KPHI dilakukan mulai dari tahap perencanaan hingga tahap operasional. KPHI juga bertugas menghimpun berbagai masukan, saran dan pertimbangan dari berbagai pihak dalam rangka penyempurnaan
manajemen
dan
peningkatan
mutu
pelayanan
penyelenggaraan ibadah haji Indonesia4 Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, sesuai dengan UU PIH Pasal 12 ayat (5), KPHI dapat bekerja sama dengan pihak-pihak terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan. KPHI melaporkan hasil pelaksanaan
4
Ibid, h.3.
53
tugasnya secara tertulis kepada Presiden dan DPR paling sedikit satu kali dalam setahun. Tugas pokok dan fungsi ini mengharuskan KPHI benar-benar dapat berjalan sesuai dengan asas keadilan, profesionalitas dan akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU PIH. Asas keadilan berarti penyelenggaran ibadah haji berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak dan tidak sewenang-wenang dalam penyelenggaraan ibadah haji. Kunci agar pengawasan berjalan efektif terletak pada transparansi atau keterbukaan dalam penyelenggaraan ibadah haji. Adapun yang dimaksud dengan asas
“profesionalitas” adalah
penyelenggaraan ibadah haji harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan keahlian para penyelenggaranya. Pengawas haji memerlukan profesional yang memenuhi syarat: (1) menguasai bidang (kompeten), (2) memiliki spirit dan motivasi (loyalitas), (3) mempunyai nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan (integritas) dan (4) berpegang teguh pada professionalisme (komitmen). Sementara,
asas
“akuntabilitas
dengan
prinsip
nirlaba”
mengharuskan penyelenggaraan ibadah haji dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan secara etik dan hukum dengan prinsip tidak untuk
mencari
keuntungan
.
Akuntabilitas
berkaitan
erat
dengan
petanggungjawaban terhadap efektivitas pengawasan kegiatan dalam pencapaian sasaran, target kebijaksanaan atau program.5
5
Ibid, Edisi 1, h.4.
54
C. Kedudukan dan Peran Sesuai dengan namanya, KPHI adalah sebuah komisi yang melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji. KPHI
merupakan lembaga mandiri yang dibentuk dalam rangka meningkatkan pelayanan penyelenggaran ibadah haji Indonesia. Hasil pengawasan KPHI diharapkan dapat mendorong penyelenggara untuk melakukan perbaikanperbaikan sehingga jamaah haji merasa aman dan nyaman dalam menunaikan ibadah sesuai syariat guna mencapai haji mabrur. Sebagai institusi baru, KPHI merupakan lembaga mandiri yang bertanggung jawab kepada Presiden. Keanggotaannya bersifat komisioner yang terdiri atas unsure masyarakat dan pemerintah. Melalui proses panjang selama dua setengah tahun dengan berbagai tahapan. Komisioner KPHI periode pertama diambil sumpahnya pada 26 Maret 2013. Saat pengambilan sumpah, Menteri Agama berharap dengan adanya KPHI nantinya pengawasan independen dapat dilaksanakan dengan baik. Selain itu, KPHI juga diharapkan dapat merangkul semua pihak, termasuk tokoh masyarakat, akademisi, praktisi dan organisasi masyarakat
untuk mewujudkan
penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia yang lebih baik dan kredibel. 6 Imam Addaruquthni menjelaskan bahwa peran KPHI dalam memastikan optimalisasi layanan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia adalah dengan melakukan telaah mendalam dan kritis terhadap kebijakan perencanaan layanan penyelenggaraan ibadah haji dari Menteri Agama.
6
Buletin KPHI: Media Komunikasi & Informasi, (Jakarta: KPHI), 2014, Edisi I, h.3-4.
55
Telah dimaksud ditempuh dengan menimbang relevansi kebijakan dengan instrumen organisasional di Kementerian Agama yaitu workability, practicability dan applicability. Pertimbangan kebijakan juga terkait dengan kualitas layanan penyelenggaraan haji; dan apakah saran atau rekomendasi dari berbagai lembaga pengawasan sudah ditindaklanjuti.
D. Tata Kerja KPHI melakukan koordinasi dengan lembaga-lembaga yang juga melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan haji. Pada tahap awal KPHI melakukan pertemuan koordinasi dengan KPK, Omdusman, BPKP, BPK dan Inspektorat Jendral Kementerian Agama (Irjen Kemenag). Laporan hasil pengawasan dari masing-masing lembaga dimaksud dianalisis dan disinkronkan dengan program pengawasan KPHI. Style KPHI adalah proaktif, yaitu dengan melakukan silaturahim ke sejumlah lembaga pengawasan dan berdialog secara kemitraan dalam posisi KPHI sebagai leading sector dalam kepengawasan perhajian.7 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam KPHI wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik secara internal maupun eksternal sesuai dengan bidang tugas masing-masing. KPHI melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1(satu) bulan atau sewaktuwaktu jika diperlukan.Dalam rapat sebagaimana dimaksud pada KPHI dapat mengundang instansi dan/atau pihak terkait. Pengambilan keputusan KPHI dilakukan secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam hal
7
Buletin KPHI: Media Komunikasi & Informasi, (Jakarta: KPHI), 2014, Edisi 2, h.23.
56
pengambilan keputusan secara musyawarah untuk mencapai mufakat tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Keputusan sebagaimana dimaksud dinyatakan sah apabila rapat KPHI dihadiri paling sedikit 5 (lima) orang anggota KPHI dengan keterwakilan unsur pemerintah dan masyarakat. Lalu KPHI melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
E. Perkembangan Pada tahun pertama, KPHI menyiapkan kelembagaan dan infrastruktur pendukung, meskipun dengan keterbatasan sumber daya (staf kesekretariatan dan dana). Selama tiga bulan pertama, KPHI menumpang kantor dengan fasilitas seadanya hingga pada pertengahan tahun 2013 KPHI menempati gedung kantor di Jalan Kramat Raya No. 85, Jakarta Pusat. Keterbatasan yang ada menjadi tantangan bagi Komisioner KPHI dalam menjalankan tugasnya. KPHI bersama sekretariat menyiapkan berbagai instrumen pengawasan, tata tertib organisasi dan kode etik. Komisioner juga melakukan fungsi monitoring dan pengawasan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2013 di Tanah Air maupun di Tanah Suci serta menyusun laporan sebagai pertanggung jawaban tugas kepada presiden. Dengan modal pengalaman pengawasan pada tahun pertama, KPHI lebih mantap melakukan fungsi pengawasan pada tahun 2014. Modalnya tentu pemahaman terhadap kebijakan, isu strategis, situasi dan kondisi di embarkasi dan Arab Saudi serta perbaikan instrumen pengawasan. Dalam
57
menjalankan fungsinya, KPHI telah bertemu dengan pemangku kepentingan ibadah haji dari lembaga pengawasan (DPD, BPK, BPKP, KPK, Omdusman, Itjen Kementerian Agama) serta pemangku kepentingan lain dari asosiasi penyelenggara ibadah haji khusus dan kelompok bimbingan ibadah haji. Keterbatasan jumlah staf justru menjadi tantangan bagi Komisioner KPHI untuk melakukan pengawasan langsung (ainul yaqin). Dengan pengamatan langsung ke obyek serta bertemu dan berdialog dengan narasumber, Komisioner KPHI benar-benar yakin terhadap fakta dan temuan di lapangan. Misalnya, Tim Pengawas KPHI menemukan rencana pemadatan jamaah di beberapa hotel Mekkah pada saat pengawasan pra operasional penyelenggaraan ibadah haji. Ketika dilaporkan tidak ada lagi pemadatan karena ada reposisi saat operasional, Komisioner KPHI masih menemukan ada pemadatan, sehingga langsung disampaikan kepada penyelenggara untuk perbaikan. Tidak mudah membangun lembaga baru. KPHI periode pertama telah berjuang dan membuat pijakan bagi KPHI periode berikutnya, Hasil spirit perjuangan periode pertama itu berupa pondasi organisasi beserta perangkatnya yang kelak akan dilanjutkan pada periode berikutnya agar KPHI menjadi lembaga pengawas haji yang kuat dan disegani. 8
8
Slamet Effendy Yusuf (Ketua KPHI), dalam Buletin KPHI; Media Komunikasi & Informasi, Edisi 1, (Jakarta: KPHI), 2014, h. 5.
58
F. Visi, Misi dan Motto 1.
Visi : “Terwujudnya KPHI yang Kredibel untuk Pengawasan Efektif Penyelenggaraan Ibadah Haji.”
2.
Misi a. Memujudkan Pengawasan Efektif untuk Ketersediaan Pembinaan Jemaah Haji. b. Meningkatkan Pengawasan Efektif untuk Kualitas Pelayanan Jemaah Haji. c. Memperluas Pengawasan Efektif untuk Keterjaminan Perlindungan Jemaah Haji. d. Mendorong Pengawasan Efektif untuk Keberlanjutan Manajemen PIH. Motto : “Pengawasan Haji yang Kredibel dan Akuntabel”. 9
3.
G. Struktur Organisasi Periode 2013-2016 KPHI dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua. Beranggotakan 9 (sembilan) orang yang terdiri dari unsur: 1.
Masyarakat sebanyak 6 (enam) orang terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat Islam.
2.
Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang yang dapat ditunjuk dari kementerian/instansi yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Ibadah Haji.
9
Webste resmi KPHI www.kphi.go.id diakses pada 20 Agustus 2015 pukul 20:40 WIB.
59
3.
Anggota KPHI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada halaman berikutnya penulis sajikan Struktur Komisi Pengawas
Haji Indonesia (KPHI) periode tahun 2013-2016. Tabel 3.1 Struktur KPHI Periode Pertama
Anggota Komisi: Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si (Ketua) Drs. H. Imam Addaruquthni, SQ, MA. (Wakil) Drs. H. Muhammad Samidin Nashir, MM. Dr. H. Syamsul Ma'arif, MA. Ir. H. Agus Priyanto Drs. H. M Thoha, M.Si dr. H. Abidin Syah Siregar, DHSM, M.Kes. Drs. H. Ahmed Machfud, MMC, MPA. Dra. Hj. Lilien Ambarwiyati
Subdit Fasilitas KPHI (PMA 80 Tahun 2013)
Seksi Fasilitas Administrasi
Seksi Pengaduan Masyarakat, Informasi dan Komunikasi
Sumber : Buletin KPHI Edisi I Tahun 2014
Seksi Analisis dan Pelaporan
BAB IV MEKANISME PENGAWASAN KPHI DALAM OPERASIONAL PENYELENGGARAAN HAJI DI INDONESIA A. Mekanisme Pengawasan KPHI Langkah-langkah
yang
diterapkan
dalam
pengawasan
dalam
penyelenggaraan ibadah haji meliputi penetapan ukuran standar, penilaian kinerja dengan standar serta pencatatan terhadap penyimpangan yang terjadi yang kemudian akan dilaporkan pada presiden guna perbaikan ke depannya. Berikut ini adalah gambaran dari skema langkah-langkah pengawasan KPHI dalam penyelenggaraan haji di Indonesia. Gambar 4.1 Tahapan Pengawasan KPHI dalam Penyelenggaraan Haji di Indonesia
Membuat instrumen pengawasan.
Melakukan sidak dan mendatangi Panitia PPIH sesuai dengan kapasitas masing-masing
Pembuktian di lapangan
Sumber point : Dr. H. Syamsul Ma’arif, MA (wawancara pribadi)
60
61
1.
Membuat Instrumen Pengawasan (Penetapan Ukuran Standar) Instrumen ini sudah baku yang selalu digunakan dari tahun ke tahun kecuali ada penambahan-penambahan. 1 Pemerintah bertanggung jawab atas kebijakan penyelenggaraan ibadah haji secara nasional. Kebijakan tersebut ditetapkan oleh Menteri Agama berkoordinasi dengan kementerian/instansi terkait. Dalam Pasal 7 UU PIH dikatakan, jemaah haji berhak memperoleh pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dalam menjalankan ibadah haji yang meliputi : a. Pembimbingan manasik haji dan/atau materi lainnya, baik di Tanah Air, di perjalanan, maupun di Arab Saudi; b. Pelayanan akomodasi, konsumsi, transportasi, dan pelayanan kesehatan yang memadai di Tanah Air, selama di perjalanan, maupun di Arab Saudi; c. Perlindungan sebagai Warga Negara Indonesia; d. Penggunaan paspor haji dan dokumen lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan ibadah haji; dan e. Pemberian kenyamanan transportasi dan pemondokan selama di Tanah Air, di Arab Saudi, dan saat kepulangan ke Tanah Air. Untuk memberikan pelayanan kepada jemaah haji, Kementerian Agama bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lainnya, misalnya Kementerian Kesehatan, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Hukum dan HAM RI. Penyelenggaraan ibadah haji mempunyai landasan yang diatur dalam sejumlah Undang-Undang, Peraturan Menteri Agama,
1
Wawancara pribadi dengan Syamsul Ma’arif (Komisioner KPHI) pada 27 Agustus 2015 pukul 13:00-15:00 WIB di Kantor KPHI.
62
Peraturan
Direktur
Jenderal
Penyelenggaraan
Haji
dan
Umrah
Kementerian Agama di ti ngkat pusat sampai peraturan lainnya di tingkat provinsi dan kabupatn/kota. Dalam pengawasan harus ada sebuah pedoman sebagai tolak ukur penilaian atas kinerja atau kegiatan yang terjadi. Sebagai pelaku pengawasan eksternal, dalam mengawasi penyelenggaraan haji di Indonesia KPHI sudah mempunyai pedoman penilaian sebagai acuan dasar berupa: a.
Organisasi, Tata Kerja dan Petugas Dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji, Menteri Agama menunjuk petugas yang menyertai jamaah haji yang terdiri atas Tim Pemandu Haji Indonesia (TPHI), Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI) dan Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI). Petugas yang tergabung dalam kelompok terbang (kloter) ada dua komponen yang berasal dari unsur jamaah, yaitu Ketua Rombongan (Karom) dan Ketua Regu (Karu). Penyelengggaraan ibadah haji dilaksanakan oleh organisasi yang sifatnya permanen dan organisasi kepanitiaan. Organisasi permanen terdiri
dari
tingkat
nasional
oleh
Direktorat
Jendral
(Ditjen)
Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), tingkat provinsi oleh Kantor Wilayah
Kementerian
Agama
(Kanwil
Kemenag)
dan
tingkat
kabupaten/kota oleh Kantor Kementerian Agama (Kankemenag). Penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi (perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan evaluasi) dilaksanakan oleh Kantor Urusan Haji (KUH)
63
yang secara organisatoris administratif berada di bawah Konsulat Jendral Republik Indonesia di Jeddah. Organisasi penyelenggara ibadah haji yang sifatnya kepanitiaan meliputi Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Indonesia dan PPIH Arab Saudi. PPIH Arab Saudi dibentuk oleh Menteri Agama sebelum pelaksanaan ibadah haji dimulai yang terdiri atas unsur Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan dan unsure terkait di Arab Saudi. Untuk memberikan pelayanan kepada jamaah haji di Arab Saudi, PPIH Arab Saudi membentuk tiga Daerah Kerja (Daker); Daker Jeddah, Makkah dan Madinah yang membawahi beberapa sektor. b. Bimbingan Ibadah Undang-undang Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Pasal 3 mengamanatkan bahwa “Penyelenggaraan Ibadah Haji
bertujuan
untuk
memberikan
pembinaan,
pelayanan
dan
perlindungan yang sebaik-baiknya bagi jamaah haji, sehingga jamaah haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam”, Untuk itu, segala hal yang mendukung terwujudnya tujuan tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin. UU PIH menegaskan Pemerintah berkewajiban memberikan bimbingan kepada jamaah haji. Tujuan bimbingan untuk memberikan bekal pengetahuan kepada jamaah tentang pelaksanaan dan tata cara ibadah haji di Tanah Air dan Arab Saudi. Ruang lingkup bimbingan berupa manasik haji, proses perjalanan haji, akhlakul karimah dan
64
panduan di Arab Saudi agar jamaah haji dapat melaksanakan ibadah haji dengan tertib, lancar, aman dan nyaman sesuai tuntutan syariat. c.
Pelayanan Akomodasi Pasal 37 UU Nomor 13 Tahun 2008 Ayat (1) menyatakan bahwa Menteri Agama wajib menyediakan akomodasi bagi jamaah haji tanpa memungut biaya tambahan dari jamaah haji di luar BPIH yang telah ditetapkan. Dalam ketentuan ayat (2), akomodasi bagi jamaah haji harus memenuhi standar kelayakan dengan memperhatikan aspek kesehatan, keamanan, kenyamanan dan kemudahan jamaah haji beserta barang bawaannya. Pelayanan akomodasi diberikan kepada jamaah haji di asrama haji embarkasi dan di Arab Saudi. Pemondokan jamaah haji di Arab Saudi meliputi pemondokan berupa hotel di Makkah, Madinah dan Jeddah (transito). Pemondokan di Makkah dilakukan dengan sistem sewa kontrak langsung kepada pemilik hotel, sedangkan pemondokan di Madinah dilakukan melalui majmu’ah (service group atau kelompok pengusaha hotel dan penginapan).
d. Pelayanan Transportasi Penyediaan
fasilitas
dan
pelayanan
transportasi
dalam
penyelenggaraan ibadah haji merupakan amanat UU Nomor 13 Tahun 2008 Pasal 33 Ayat (1) yang menyatakan, pelayanan transportasi jamaah haji ke Arab Saudi dan pemulangannya ke tempat embarkasi asal Indonesia menjadi tanggung jawab Menteri Agama dan berkoordinasi dengan menteri yang ruang lingkuo tugas dan tanggung jawabnya di
65
bidang
perhubungan
dengan
memperhatikan
aspek
keamanan,
keselamatan, kenyamanan dan efisiensi. Transportasi udara harus memenuhi persyaratan standar kelayakudaraan, persyaratan administrative, kapasitas pesawat dan standar teknis lainnya. Sementara transportasi darat yang dihubungkan selama di Arab Saudi sebagai sarana angkutan jamaah haji antar kota perhajian Jeddah, Makkah dan Madinah, antara pemondokan di Makkah ke Masjidil Haram (shalawat) serta antara Arafah, Muzdalifah dan Mina (Masyair) dengan bus taraddudi. e. Pelayanan Konsumsi Menurut Pasal 26 PP Nomor 79 Tahun 2012, pemerintah memberikan pelayanan konsumsi kepada para jamaah haji di asrama haji embarkasi dan di Arab Saudi. Pelayanan konsumsi di Arab Saudi harus memenuhi kualitas standar gizi yang memperhatikan aspek kesehatan, keamanan dan kenyamanan. Penyedia konsumsi juga harus memiliki persyaratan administratif, peralatan, tenaga, bahan baku, pengolah, distribusi, pelayanan, pengawasan dan penjaminan mutu. Konsumsi bagi jamaah haji Indonesia di Arab Saangan didk deudi diberikan di Madinah, Jeddah dan Armina serta di Makkah pada tahun
2015.
pendaftaran,
Mekanisme penilaian
pengadaannya
administrasi,
teknis,
berupa:
pengumuman,
peninjauan
lapangan
(kasyfiah), uslan penetapan perusahaan, pengumuman calon pelaksana katering
dan
penandatanganan
supervise/konsultan hukum.
kontrak
dengan
didampingi
66
f. Pelayanan Kesehatan Sesuai Pasal 31 UU PIH, pembinaan dan pelayanan kesehatan ibadah haji baik pada saat persiapan maupun pelaksanaan PIH dilakukan oleh Kementerian Kesehatan yang dikoordinasi oleh Menteri Kesehatan. Pembinaan dan pelayanan kesehatan jamaah haji diberikan sebelum keberangkatan, selama pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji dan setelah kembali ke Indonesia. Pelayanan kesehatan jamaah haji sebelum keberangkatan meliputi medical check up dan vaksinasi sesuai ketentuan Pemerintah Arab Saudi. Pemerintah membentuk panitia khusus untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan, yakni Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) dan Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD) oleh gubernur atau bupati/walikota. Tim kesehatan haji Indonesia adalah petugas yang menyertai jamaah haji dalam kelompok terbang yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan bagi jamaah haji. TKHI yang lulus seleksi ditetapkan oleh Menteri Kesehatan setelah berkoordinasi dengan Menteri Agama. g. Perlindungan dan Keamanan Jamaah Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan dan menjamin keamanan jamaah haji Indonesia. Perlindungan hukum terhadap berbagai persoalan yang dihadapi para jamaah haji di Arab Saudi merupakan tanggung jawab pemerintah melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi.
67
PPIH perlindungan
dan
melakukan
berbagai
keamanan
jamaah
upaya haji
untuk
memberikan
Indonesia.
Pertama,
mendapatkan personel pengamanan pada tiga daker sesuai dengan prioritas keamanan. Kedua, mencegah, mengatasi kasus-kasus yang
dan menyelsaikan
menimpa jamaah haji (kehilangan uang/barang,
tersesat jalan, penyalahgunaan barang bawaan dan lain lain). h. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus Keberadaan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) diatur oleh beberapa peraturan, mulai dari Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri Agama (KMA) hingga Keputusan Direktur Jendral Haji dan Umrah (Kepdirjen PHU). UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) Pasal 38 hingga 42 telah mengatur PIHK. Disebut khusus karena sesuai Pasal 38 (1) dan (2) UU PIH, PIHK diperuntunkan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan khusus dengan pengelolaan dan pembiayaan bersifat khusus yang dijalankan oleh PIHK yang telah mendapat izin dari Menteri Agama. Persyaratan dan kewajiban PIHK tertuang dalam Pasal 39 dan 40 UU PIH serta Peraturan Pemerintah (PP) No.79 Tahun 2012 tentang pelaksanaan UU PIH. Lebih lanjut kewajiban PIHK tertuang dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 22 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) PIHK. Kebijakan lainnya adalah PMA No. 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
68
i.
Kebijakan Pemerintah Arab Saudi Selain berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, penyelenggaraan ibadah haji terkait dengan kebijakan Pemerintah Arab Saudi. Penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi didasarkan pula oleh Ta’limatul Hajj. Misalnya, mulai tahun 2009 Pemerintah Arab Saudi dalam Ta’limatul Hajj menyatakan jamaah haji dari seluruh dunia harus menggunakan paspor internasional. Pemerintah Arab Saudi tidak melayani visa, kecuali yang memiliki paspor hijau. Pada 6 Juni 2013 Pemerintah Arab Saudi memberlakukan kebijakan pemotongan kuota haji 20 persen tanpa terkecuali untuk setiap Negara di dunia karena adanya proses pemugaran Masjidil Haram. Akibat renovasi Masjidil Haram, kapasitas daya tamping tawaf 48.000 jamaah per jam berkurang menjadi 22.000 jamaah per jam. Selain itu, fasilitas tawaf temporer hanya menampung 7.000-10.000 jamaah per jam. Pengembangan Masjidil Haram dan fasilitas tawaf selama tiga tahun akan menambah kapasitas menjadi 105.000 jamaah/jam. Kebijakan Pemerintah Arab Saudi ini jelas berdampak pada perencanaan penyelenggaraan haji Indonesia. Akibat pemotongan kuota haji, jumlah jamaah haji dan petugas haji Indonesia ikut dipotong 20 persen. Dampak lebih lanjut, antrean jumlah jamaah haji Indonesia semakin
panjang.
Untuk
itu,
Kementerian
Agama
melakukan
penyesuaiana dengan pemotongan 20 persen dengan meningkatkan pelayanan serta memprioritas jamaah usia lanjut untuk berangkat lebih dulu.
69
Tabel 4.1 Dampak Kebijakan Pengurangan Kuota Tahun 2013 Semula
Menjadi
Haji reguler
194.000
155.200
Haji khusus
17.000
13.800
Kloter
484
387
Maktab
72
48
Petugas nonkloter
836
736
Sumber: PPIH 2013 yang dikutip pada Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 2013
Kebijakan baru di Arab Saudi dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2013 yang terkait maupun tidak terkait dengan pemotongan kuota 20 persen jemaah haji adalah: 1) Penomoran maktab oleh Muassasah tetap menggunakan angka 1 hingga 72, tapi tidak berurutan. Dengan demikian, terjadi perubahan beberapa nomor maktab hasil undian (qur’ah). 2) Perubahan kebijakan mengenai kendaraan operasional haji. 3) Peningkatan pelayanan katering (nilai, kualitas, pelayanan dan boks Armina). 4) Tambahan kepulangan slot Madinah (Medan). 5) Larangan transit di Jeddah (secara gradual). 6) Jarak maksimal pemondokan di Mekkah 2.750 meter dan Madinah 650 meter.
70
7) Layanan kantor sektor, termasuk kesehatan, melekat di pemondokan Madinah. 8) Upgrading transportasi Shalawat dan antarkota perhajian. 9) Sektor Khusus di sekitar Masjidil Haram. 10) Himbauan untuk pencegahan penyakit virus Corona.2
Mulai tahun 2015 Pemerintah Arab Saudi menerapkan sistem e-hajj secara penuh. Melalui sistem e-hajj in setiap jamaah haji mendapat informasi lebih awal/sebelum tiba di Arab Saudi tentang pelayanan paket seperti penginapan, transportasi dan pelayanan katering. Pihak otoritas dapat memantau dan menindaklanjuti apakah pelayanan yang diberikan sesuai dengan yang tertera
di dalam dokumen visa melalui sistem yang
terintegrasi. Dengan sistem ini, diharapkan penyimpangan pelayanan tidak terjadi dan pelayanan diberikan sesuai dengan kebijakan dan peraturan yang berlaku. Penerapan sistem e-hajj akan berpengaruh pada penyesuaian kebijakan penyelenggaraan ibadah haji pada tahun ini. Dokumen jamaah (paspor) harus disiapkan lebih awal (Rabiul Awal) sehingga permintaan input data jamaah ke dalam sistem e-hajj bisa dipenuhi; pelayanan akomodasi jamaah haji di Madinah dengan sistem sewa satu musim atau sewa pada tanggal tertentu dengan syarat jadual kedatangan jamaah sudah pasti; pelayanan konsumsi jamaah diberikan di Madinah, Makkah dan Armina; 2
sistem
pengadaan
pelayanan
(akomodasi,
konsumsi
dan
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434 H / 2013 M Komisi Pengawas Haji Indonesia, h.6-9, BAB II.
71
transportasi) dan pembayaran melalui jalur elektronik (e-punchrasing epayment).
2.
Melakukan sidak dan mendatangi Panitia PPIH sesuai dengan kapasitas masing-masing.3 Sidak ini dilakukan KPHI untuk mengetahui sejauh mana rencana penyelenggaraan haji pada tahun 2013 yang akan dilaksanakan dan seperti apa. Sidak yang dilakukan KPHI kepada PPIH ini dilakukan pada PPIH di Tanah Air maupun PPIH di Arab Saudi dengan cara menggali dengan pertanyaan-pertanyan untuk mengetahui perencanaanperencanaan seperti apa yang akan dilakukan dalam penyelenggaraan haji pada tahun berjalan pada kapasitasnya masing-masing, seperti pada akomodasi, konsumsi, transportasi, kesehatan, perlindungan jamaah, organisasi-organisasi haji bahkan sidak ini pun dilakukan pada penyelenggara haji khusus. Pada umumnya perencanaan haji setiap tahunnya dalam segi operasional sama seperti tahun-tahun sebelumnya karena perencanaan ini mengacu pada kebijakan penyelenggaraan tahun berjalan.4
3.
Pembuktian di lapangan Inilah inti dari pengawasan yakni menyesuaikan kegiatan penyelenggaraan dengan standar dan perencanaan yang sudah dilakukan (pembuktian lapangan). Dalam pengawasan KPHI, kegiatan ini 3
Wawancara pribadi dengan Syamsul Ma’arif (Komisioner KPHI) pada 27 Agustus 2015 pukul 13:00-15:00 WIB di Kantor KPHI. 4 Ibid.
72
merupakan proses sinkronisasi antara peraturan yang berlaku beserta kebijakan-kebijakannya dengan penyelenggaraan yang terjadi. Dengan peraturan itu, komisioner pengawas dapat melakukan verifikasi terhadap daftar program perjalanan para penyelenggara haji yang nantinya digunakan sebagai instrument pengawasan. Proses verifikasi ini untuk mengetahui apakah pelayanan dan penyelenggaraan ibadah haji menyimpang atau tidak dengan standar atau sesuai atau tidak dengan daftar program pnyelenggaraan Ditjen PHU dan PIHK. Pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 1434H/2013, KPHI melakukan
serangkaian
pengawasan
sejak
pemberangkatan
dan
pemulangan jemaah haji di Tanah Air dan operasional penyelenggaraan di Arab Saudi. Dari monitoring dan pengawasan yang dilakukan sejak September hingga November 2013, KPHI menemukan sejumlah masalah yang terkait organisasi, tata kerja dan petugas, bimbingan ibadah, pelayanan transportasi, pelayanan pemondokan, pelayanan konsumsi, pelayanan
kesehatan,
perlindungan
dan
pengamanan
jemaah,
penyelenggaraan ibadah haji khusus, dan beberapa hasil temuan lainnya. Dampak dari permasalahan tersebut telah dianalisis dan dilengkapi dengan rekomendasi dan saran langkah yang akan terus dipantau oleh KPHI. Informasi dan hasil analisis diuraikan secara detail dalam “Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434H/2013” yang terdiri atas lima bab. Khusus analisis hasil pengawasan dari berbagai lembaga pengawas dan masyarakat akan disajikan dalam laporan terpisah.
73
a. Secara umum, organisasi dan tata kerja PPIH dapat berjalan, namun masih terdapat beberapa kendala. Misalnya, organisasi PPIH embarkasi dan di Arab Saudi belum optimal, pemahaman terhadap SOP dan kinerja petugas belum maksimal. Selain itu, terdapat jabatan di TUH yang tumpang tindih (inefisiensi), petugas yang beban tugasnya melebihi kapasitas jabatan aslinya, jumlah petugas di sebagian unsur PPIH ti dak seimbang dengan beban tugasnya, mutasi petugas yang belum diikuti dengan SOP yang jelas, perekrutan tenaga musiman (mukimin dan mahasiswa Timur Tengah) yang perlu penajaman aspek integritas dan kompetensinya. b. Bimbingan ibadah haji merupakan hal yang paling penting dalam proses penyelenggaraan ibadah haji. Sementara Pemerintah masih memprioritaskan aspek pelayanan yang bersifat material, yaitu pelayanan akomodasi, transportasi, dan konsumsi. Jumlah pelatihan bimbingan ibadah masih kurang, sehingga bekal pemahaman manasik jemaah masih kurang. Ketidaksempurnaan bimbingan haji ini telah menyebabkan banyak kasus seperti jemaah tersesat saat tawaf dan sa’i karena mengandalkan pembimbing ibadah dalam menjalankan syarat rukun dan wajib haji. Kebingungan membayar dam, perbedaan paham tentang Mina Jadid, pelaksanaan ritual Tarwiyah, serta kasus-kasus lain yang mengindikasikan jemaah ti dak mandiri dalam beribadah. c. Transportasi merupakan salah satu tonggak penyangga yang besar pengaruhnya terhadap sukses dan lancarnya penyelenggaraan ibadah
74
haji. Kursi kosong pesawat pada fase pemberangkatan dan pemulangan masih banyak yang mengindikasikan inefi siensi dan kontradiksi dengan daftar tunggu jemaah untuk bisa berangkat haji yang hingga saat ini ada yang mencapai lebih dari 15 tahun. Di sisi lain, masih terdapat keterlambatan penerbangan karena masalah operasional. Pada saat pemulangan masih banyak jemaah yang tidak mentaati peraturan yang telah ditetapkan terkait berat bagasi dan isi bagasi. Untuk angkutan darat di Arab Saudi, PPIH kurang dapat memilih bus maupun sopir bus karena kontrak dengan Naqabah kurang detail. Bus untuk angkutan Salawat masih terdapat keterlambatan dan penumpukan jemaah di terminal setelah salat Isya. d. Dalam hal pemondokan untuk jemaah, kasus lama terus terulang. Kekisruhan penempatan jemaah dalam pemondokan, baik di Madinah maupun di Makkah, selalu menjadi ti ti k lemah. Jarak jauh dan dekat kini menjadi relati f, lokasi sulit ditemukan, serta kondisi/kualitas bangunan pemondokan yang kurang memadai, juga menjadi kendala. Faktor negosiasi dan kontrak dengan Muassasah dan Majmu’ah menjadi hal yang harus diperbaiki segera. Masalah pemondokan harus dievaluasi dan diaudit secara ketat agar rumah atau hotel yang disewa untuk pemondokan jemaah haji Indonesia lebih berkualitas dan nyaman serta ti dak hanya mengandalkan dekat masjid, tapi minim fasilitas.
75
e. Persoalan yang mengemuka dalam pelayanan konsumsi adalah masih ditemukan kurang memadainya pelayanan katering. Terkait dengan waktu distribusi konsumsi yang kadang ti dak sesuai dengan jadwal makan bagi jemaah haji Indonesia, ketidaksesuaian atau berkurangnya menu konsumsi yang diadakan oleh katering, makanan kedaluwarsa, dan kurangnya pengawasan terhadap perusahaan katering. Pilihan nasi boks untuk mengganti kan prasmanan di Armina masih ada kendala dalam distribusi. f. Kondisi kesehatan jemaah haji sangat menentukan kelancaran pelaksanaan ibadah selama di Tanah Suci. Lama masa aktivitas yang relatif panjang 41 hari membuat kondisi fisik jemaah secara perlahan bisa semakin menurun. Ditemukan banyak faktor yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dan dapat mempengaruhi kesehatan setiap jemaah, yakni pemeriksaan kesehatan jemaah di Tanah Air belum sungguh-sungguh, tempat dan ruang pelayanan kesehatan kloter di Makkah dan Madinah belum memadai, nutrisi jemaah di Armina dan Madinah kurang dikontrol ketercukupan gizinya, aktivitas jemaah yang kurang terkontrol dan melampaui kemampuan fisik jemaah ketika di Makkah. g. Perlindungan dan keamanan jemaah haji Indonesia ketika di Saudi Arabia merupakan tugas dan tanggung jawab bersama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Realitanya masih banyak aspek-aspek dari perlindungan dan keamanan jemaah haji yang kurang ditangani dengan baik oleh
76
pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Persoalan perlindungan jemaah haji Indonesia mulai muncul di saat kedatangan di bandara Arab Saudi dan proses pelayanan kedatangan jemaah di pemondokan. Jumlah petugas yang kurang di titik-titik rawan kriminalitas dan berpotensi membingungkan, berdampak pada terjadinya banyak jemaah yang tersesat jalan dan kehilangan uang serta barang berharga lainnya. Selain itu, kurang maksimalnya pengendalian operasional Armina. Pengendalian PIHK sulit dilakukan karena jumlah petugas di lapangan terbatas. Meskipun sudah membayar lebih mahal, jemaah haji khusus ada yang mendapatkan pelayanan (akomodasi dan konsumsi) tidak sesuai yang dijanjikan. Seperti tahun sebelumnya, masih ada jemaah haji nonkuota yang tidak bisa berangkat ke Arab Saudi atau dikembalikan ke tanah air. h. Pengendalian PIHK sulit dilakukan karena jumlah petugas di lapangan terbatas. Meskipun sudah membayar lebih mahal, jamaah haji khusus ada yang mendapatkan pelayanan (akomodasi dan konsumsi) tidak sesuai yang dijanjikan. Seperti tahun haji sebelumnya masih ada jamaah nonkuota yang tidak bisa berangkat ke Arab Saudi dan dikembalikan ke Tanah Air.5
5
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434 H / 2013 M Komisi Pengawas Haji Indonesia, h.ix-xi.
77
B. Rekomendasi KPHI Pengawasan Haji Tahun 2013 Setelah
melakukan
pengawasan
dan
pemantauan
terhadap
penyelenggaraan ibadah haji serta menganalisis kebijakan operasional penyelenggaraan ibadah haji guna peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) berpendapat bahwa penyelenggaraan ibadah haji Indonesia tahun 2013 dengan adanya pengurangan kuota jemaah haji 20 persen berpengaruh signifikan terhadap pelayanan jemaah sehingga hasilnya lebih baik dari tahun lalu. Namun, masih ditemukan permasalahan yang memerlukan pembenahan dengan
sungguh-sungguh
di
masa
depan.
Untuk
itu,
KPHI
merekomendasikan kepada Presiden beberapa hal berikut. 1. Organisasi, Tata Kerja, dan Petugas Pengorganisasian
PPIH
Arab
Saudi
dirasakan
kurang
menerapkan prinsip efektif dan efisien, sehingga kinerja petugas kurang optimal. Untuk itu, perlu penataan pengorganisasian PPIH Arab Saudi dan rekruitmen petugas yang lebih profesional dan transparan disertai standarisasi honor petugas tenaga musiman (Temus) yang tersosialisasikan dengan baik sejak awal rekruitmen 2. Bimbingan Ibadah Bimbingan
ibadah
haji
merupakan
inti
keberhasilan
penyelenggaraan ibadah haji. Untuk itu, penyelenggara ibadah haji harus meningkatkan bimbingan manasik dengan menambah jumlah bimbingan manasik, kelengkapan sarana visualisasi bimbingan ibadah,
78
menambah biaya/anggaran manasik, menyiapkan pembimbing ibadah tersertifikasi dan memberikan buku pedoman manasik lebih awal. 3. Pelayanan Transportasi Transportasi udara dari dan ke Arab Saudi di masa depan perlu mempertimbangkan penggunaan perusahaan penerbangan lainnya dengan prinsip keterbukaan dan kompetisi. Dalam kontrak pelayanan transportasi darat, perlu dibuat perjanjian lebih detail dengan sanksi yang tegas kepada Naqabah di Arab Saudi. 4. Pelayanan Akomodasi Jarak jauh atau dekat antara rumah pemondokan jemaah dengan Masjidil Haram sudah tidak relevan menjadi pertimbangan dalam penyewaan pemondokan/rumah. Dalam menyewa pemondokan, penyelenggara
haji
agar
lebih
memperti
mbangkan
aspek
kenyamanan, keamanan, dan kemudahan akses rumah/pemondokan ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. 5.
Pelayanan Konsumsi PPIH Arab Saudi agar mewajibkan perusahaan katering di tiap pemondokan/kemah untuk mencantumkan secara jelas menu dan waktu penyajian (kualitas, rasa, keamanan dan ketepatan penyediaan katering). Untuk mengatasi penurunan ketahanan fisik jemaah akibat kurangnya
asupan
kalori
selama
di
Mekah
perlu
langkah
penyeragaman pemberian makan bagi jemaah selama di Mekah (minimal sehari sekali). 6. Pelayanan Kesehatan
79
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan haji perlu dijadikan satu kesatuan sistem yang tercatat dan online secara nasional (termasuk rekam medik) dengan didukung pelayanan kesehatan haji yang akuntabel dan profesional. Aspek kesehatan jemaah calon haji agar dijadikan sebagai salah satu unsur perti mbangan bagi keberangkatan jemaah (isti tha’ah). 7. Perlindungan dan Keamanan Jemaah Perlindungan dan keamanan jemaah haji Indonesia merupakan salah satu kebutuhan dasar yang harus dijamin oleh pemerintah. Untuk itu, pelayanan perlindungan dan keamanan jemaah haji Indonesia selama di Arab Saudi wajib dipenuhi secara optimal dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas petugas yang memadai serta koordinasi yang intens dengan Pemerintah Arab Saudi. 8. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus Untuk memenuhi standar pelayanan PIHK yang telah ditetapkan oleh Ditjen PHU perlu penataan terhadap PIHK agar dapat memberikan pelayanan yang baik kepada jemaah haji khusus. PIHK yang
belum
terdaftar
di
Kemenag
dan
ternyata
melayani
pemberangkatan jemaah haji khusus wajib ditindak secara tegas.6
6
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434 H / 2013 M Komisi Pengawas Haji Indonesia, h. iv.2 – iv.3.
80
C. Perbaikan-Perbaikan yang Sudah Dilakukan dari Hasil Pengawasan KPHI Setelah rekomendasi tersebut sampai pada presiden, tindakan selanjutnya dari pemerintah adalah tindakan perbaikan, revisis standar dan tidak melakukan apa-apa. Kebijakan tidak lepas dari teori yang tertera dalam buku Pengantar Manajemen karya Ismail Solihin,
yang
menyatakan bahwa tindakan dalam manajerial perusahaan apabila terjadi penyimpangan adalah tindakan perbaikan, revisi standar dan tidak melakukan apa-apa.7 Secara singkat dari 2013 sampai 2015 hasil-hasil pengawasan yang sudah dilaksanakan oleh KPHI (komisioner) ada beberapa rekomendasi yang sudah ditindaklanjuti. Dalam artian ada rekomendasi yang menjadi catatan KPHI direspon positif karena dalam pengawasan KPHI selama ini, KPHI tidak semata-mata melakukan pengawasan tetapi melihat bagaimana penyelenggaraan ibadah haji berjalan sesuai dengan regulasi yang berlaku, kebijakan di Tanah Air maupun kebijakan di Arab Saudi. Beberapa rekomendasi yang sudah dilaksanakan: Pertama, terkait dengan petugas yang ditugaskan untuk menjadi PPIH Arab Saudi, rekomendasinya agar petugas dapat lebih berkonsentrasi terhadap pelayanan jamaah, maka bagi petugas haji maupun petugas PPIH yang sudah berhaji maka mulai tahun 2014 tidak diperkenankan dan sangat disarankan untuk tidak berhaji melihat realisasinya di lapangan. Kedua,
7
Ismail Solihin, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h. 195.
81
untuk di Makkah karena selama ini yang diberikan kepada jamaah adalah uang living cost untuk sehari-hari di sana, memang belum sama seperti di Madinah yang diberikan makan dua kali sehari, maka mulai tahun ini disarankan jamaah haji diberi makan satu kali di Makkah. Ini tidak menutup kemungkinan ke depan akan disamakan dengan Madinah atau tidak maka itu dalam perkembangan selanjutnya.8 Rekomendasi tersebut ada yang ditindaklanjuti dan ada yang tidak. Pernah KPHI pernah merekomendasikan agar pembayaran DAM Tamattu itu dikoordinir oleh pemerintah yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga tertentu yaitu seperti Islamic Development Bank (IDB) agar hasil dari sembelih hewan dam dapat dikirim ke Indonesia, namun sampai sekarang hal tersebut masih belum ditindaklanjuti.9
8
Wawancara langsung dengan Arif Nurrawi (Kepala Sekretariat KPHI) pada 2 September 2015 di Kantor KPHI. 9 Wawancara langsung dengan Syamsul Ma’arif (Komisioner KPHI) pada 27 Agustus 2015 pukul 13:00-15:00 di Kantor KPHI.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh KPHI yaitu yang pertama adalah membuat instrumen pengawasan atau penetapan ukuran standar, kedua melakukan sidak dan mendatangi panitia PPIH sesuai dengan kapasitasnya
masing-masing
untuk
menanyakan
sejauh
mana
perencaaan-perencanaan yang dilakukan oleh PPIH, dan yang ketiga adalah pembuktian di lapangan dimana sebuah proses verifikasi untuk mengetahui apakah pelayanan dan penyelenggaraan ibadah haji menyimpang atau tidak dengan standar atau sesuai atau tidak dengan daftar program penyelenggaraan yang sudah direncanakan sebelumnya. 2. Rekomendasi yang diajukan KPHI setelah dilakukannya pengawasan pada tahun 2013 sudah menyeluruh yaitu diantaranya dari aspek pengorganisasian,
bimbingan
ibadah,
transportasi,
pemondokan,
katering, kesehatan, perlindungan dan keamanan jamaah serta tindakan bagi PIHK nakal. Semua aspek tersebut sudah KPHI tuangkan dalam laporan hasil pengawasan haji pada tahun 2013 kepada presiden guna perbaikan penyelenggaraan haji ke depannya. 3. Perbaikan-perbaikan yang sudah dilakukan setelah adanya KPHI dalam mengawasi penyelengaraan haji yaitu secara singkat dari 2013 sampai 2015 hasil-hasil pengawasan yang sudah dilaksanakan oleh KPHI ada beberapa
rekomendasi
yang
sudah
ditindaklanjuti.
Beberapa
rekomendasi yang sudah dilaksanakan: Pertama, terkait denga petugas 82
83
yang ditugaskan untuk menjadi PPIH Arab Saudi, rekomendasinya agar petugas dapat lebih berkonsentrasi terhadap pelayanan jamaah, maka bagi petugas haji maupun petugas PPIH yang sudah berhaji maka mulai tahun 2014 tidak diperkenankan dan sangat disarankan untuk tidak berhaji melihat realisasinya di lapangan. Kedua, untuk di Makkah karena selama ini yang diberikan kepada jamaah adalah uang living cost untuk sehari-hari di sana, memang belum sama seperti di Madinah yang diberikan makan dua kali sehari, maka mulai tahun ini disarankan jamaah haji diberi makan satu kali di Makkah.
84
B. Saran Untuk mengembangkan dan meningkatkan kinerja Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) dalam melakukan pengawasan, maka saran penulis antara lain: 1. Untuk KPHI, perlunya sosialisasi yang lebih luas mengenai keberadaan KPHI
kepada
masyarakat.
Semakin
banyak
masyarakat
yang
mengetahui keberadaan KPHI maka akan semakin akurat segala informasi yang didapat karena sumber informasi pengawasan akan bertambah. Masyarakat pun akan merasa mempunyai wadah untuk memberikan
pengaduan
ketika
ada
permasalahan
haji
yang
menyimpang. 2. Kepada pemerintah untuk memberikan dana yang sudah seharusnya menjadi anggaran untuk KPHI dalam menjalankan tugasnya serta untuk membuat satuan kerja tersendiri untuk KPHI karena jika dilihat saat ini yang posisi KPHI
masih menempel pada PHU dalam segi
kesekretariatan, fasilitas dan staff maka ini akan mengindikasikan bahwa KPHI belum independen. 3. Memberikan kepercayaan terhadap KPHI dalam menanggapi berbagai persoalan dan masukan-masukan mengenai perhajian di Indonesia. Juga memberikan perhatian yang lebih bagi KPHI demi terciptanya kinerja yang maksimal.
85
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Jusuf. Penegakan Hukum dan Pengawasan Pasar Modal Indonesia, Bandung; Alumni. 2008. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bulan Bintang. 2003. Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 1996. Basyuni, Muhammad M, Reformasi Manajemen Haji. Jakarta: FDK PRESS, 2008. Fahmi, Irham. Manajemen (Teori, Kasus dan Solusi). Bandung; ALFABETA. 2012. Handoko, T Tani. Manajemen. Cetakan ke-2. Yogyakarta: BPFE. 2014. Hamzah dan Lamatenggo, Nina. Teori Kinerja dan Pengukurannya. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2012. Iman, Indra dan Siswandi. Aplikasi Manajemen Perusahaan (Analisis Kasus dan Pemecahannya). Edisi 2. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media. 2009. Kadarman, A M. Pengantar Ilmu Manajemen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1996. Lubis, Ibrahim. Pengendalian dan Pengawasan Proyek dalam Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1985. Manullang, M. Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1996. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2009. Musfiraz-Zahrani, 2007.
Nashir Ibn.
Indahnya Ibadah Haji. Jakarta: Qisthi Press.
Nawawi, Hadari. Manajemen Strategi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2005. Nidjam, Achmad. Hanan, Alatief. Manajemen Haji, Jakarta: Media Cita, 2006. Ruslan, Rosady. Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003.
86
Siagian, Dergibson dan Sugiarto. Metode Statistik untuk Bisnis dan Ekonomi.. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2000. Siagian. Sondang P. Fungsi-Fungsi Manajerial. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2007. Simbolon, Maringin Masry. Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2004. Solihin, Ismail. Pengantar Manajemen. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2009. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA. 2008. Sule, Erni Tisnawati dan Saefullah. Kurniawan. Pengantar Manajemen. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2005. Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta : CV Rajawali. 1993. Usman, Husaini dan Setiady, Purnomo Akbar. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2003.
Sumber Lain: Buletin KPHI (Media Komunikasi & Informasi). Jakarta: Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). Edisi 1 dan Edisi 2. 2014. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Balai Pustaka. 2007. Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji & Umrah. Haji dari Masa ke Masa, Jakarta: Dirjen PHU. 2012. Kementerian Agama RI Direktorat Jendral Penyelenggaraan Haji & Umrah. Intisari Langkah-Langkah Pembenahan Haji. Jakarta: Dirjen PHU. 2010. Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1434 H / 2013 Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2010 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Komisi Pengawas Haji Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pengawas Haji Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
87
Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Ahmed Machfud, MMC. MPA. Jakarta 26 Juni 2015 di Kantor KPHI. Wawancara Pribadi dengan Dr. H. Syamsul Ma’arif, MA Jakarta 27 Agustus 2015 di Kantor KPHI. Wawancara Pribadi dengan H. Arif Nurrawi. Jakarta 2 September 2015 di Kantor KPHI.
Internet: antaranews.com,, “Kinerja Komisi Pengawas Haji Indonesia Dinilai Belum Maksimal”, diakses pada 17 Desember 2014 pukul 21:48 WIB. hamline.edu diakses pada 19 Agustus 2015 Pukul 17:38 WIB islampos.com Juwani. Jazuli. Lima Masalah Haji di Indonesia Menurut Jazuli Juwani, diakses pada 17 Desember 2014 Pukul 22:11 WIB. jurnalhaji.com, Suroso Kabag Tata Usaha Kanwil Kemenag Prov. Jateng “Sertifikasi Pembimbing Ibadah Haji Menuju Petugas Haji Yang Berkualitas”. Artikel diakses pada 15 September 2014. www.rasio.wordpress.com diakses pada 19 Agustus 2015 Pukul 17:38 WIB. tribunnews.com, “SBY Terbitkan Perpres Komisi Pengawas Haji Indonesia”. diakses pada 17 Desember 2014 pukul 22:00 WIB.
WAWANCARA TAHAP PERTAMA Narasumber : Drs. H Ahmed Machfud, MMC. MPA. Jabatan
: Komisioner KPHI
Tanggal
: 26 Juni 2015
Lokasi
: Kantor KPHI
Waktu
: 11:00-12:00 dan 13:00-15:00 WIB
1. Apa saja yang perlu diawasi oleh KPHI? Seluruh aspek dalam perhajian 2. Yang diawasi haji regular saja atau sekaligus haji khusus? Semuanya diawasi oleh KPHI 3. Apakah haji regular mempunyai
Standar Pelayanan Minimum (SPM)
seperti halnya haji khusus? Iya, haji regular juga mempunyai standar-standar pelayanan, standar secara keseluruhan merupkan pada kepuasan jamaah. Jadi jika dibaca dari UU No. 13 Tahun 2008 bahwa
KPHI dalam perhajian ini adalah
bagaimana memberikan saran dan rekomendasi untuk meningkatkan layanan ibadah haji. Sebagai contoh, tahun 2013 ada hotel yang menurut kami tidak layak karena levelnya satu dan listriknya sering mati padahal jamaah harus dipenuhi segala haknya untuk melancarkan ibadah haji, itukan tidak memungkinkan untuk dihuni terlebih kapasitas hotel tersebut kecil, hal tersebut oleh KPHI diawasi dan diberikan rekomendasi untuk ke depannya bahwa hotel ini tidak boleh untuk dipergunakan lagi, seperti itu. 4. Bagaimana saja untuk tahapan-tahapan pengawasan KPHI? Kami melihat dulu dari kebijakannya seperti apa, jika tidak ada kebijakan maka kami tidak bisa mengawasi. Misal kebijakan tertulisnya adalah yang penting jamaah haji sampai di Arab dan bisa pulang ke Indonesia lagi atau seperti itu? Sehingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Dirjen Haji mengenai petugas, hotel, transportasi, konsumsi bahkan sudah ditetapkan standar pelayanannya seperti apa.
5. Lalu standar-standar haji regular itu seperti apa saja Pak? a. Segi kebijakan umum : Orang yang sudah membayar BPIH bisa diberangkatkan dan bisa dipulangkan dan ketika di sana berhak mendapat akomodasi, konsumsi, bimbingan dsb yang layak b. Standar akomodasi : Sesuai dengan aturan sistem informasi haji di Arab Saudi bahwa 1 orang menempati sekitar 4m, artinya jika ada suatu ruangan ditempati oleh berpuluh-puluh orang (tidak sesuai dengan standar) maka itu tidak boleh. Masalah rumahnya bagaimana dan seperti apa itu bukan masalah karena sekarang terdapat banyak rumah seperti layaknya apartemen, ada yang bentuknya hotel, ada yang mereka namakan perumahan namun bukan perumahan biasa karena sekarang perumahan itu banyak yang versinya seperti bangunan bertingkat
dan ada liftnya. Semuanya tergantung dari bagaimana
penawarannya. c. Standar jarak : Jika dahulu standar jarak antara penginapan ke Masjidil Haram sekitar 2km, sekarang semenjak tahun 2013 tidak ada lagi standar jarak, kenapa? Karena semua jamaah haji regular diberikan fasilitas transportasi untuk menuju Masjidil Haram dan pulang ke pemondokan. Transportasi ini ada selama 24 jam untuk mengangkut semua jamaah Indonesia, bis ini diberi nama Bis Sholawat. Bis Sholawat akan berhenti pada setiap penginapan yang ada bendera merah-putihnya yang menandakan sebagai penginapan orang-orang Indonesia.
Bis
tersebut
akan
terbuka
pintunya
pada
setiap
pemberhentian baik ada yang menaiki ataupun tidak. Dan akan tertutup kembali secara otomatis (tanpa gedoran). Sebenarnya segalanya dipermudah dan kami buat senyaman mungkin, misalnya pada tahun 2014 bis yang mengangkut para jamaah didesain supaya ibu-ibu yang memakai kain dapat melangkah tangga bis dengan leluasa. d. Standar Katering : Katering kita menggunakan box karena lebih mudah membagikannya dan tidak repot harus antri sampai panjang. Madinah, Arafah dan Mina seperti itu. Konsumsi parasmanan diberikan hanya kepada para pejabat-pejabat seperti Panitia PPIH.
e. Standar Pembinaan : Dahulu pembinaan dilakukan 7 kali di KUA dan 3 kali di Kantor Kementerian agama di Kota/Kabupaten, sekarang sudah mungkred dananya untuk mengatasi ini dan sekarang 6 kali di KUA dan 2 kali di Kantor Kementerian agama di Kota/Kabupaten. Sayangya jatah dana kita untuk pembinaan itu begitu kecil dan menurut pengakuan para jamaah, KBIH cenderung melarang jamaahnya untuk mengikuti pembinaan di KUA karena ini merupakan perbedaan saiangan antara fasilitator dan competitor. Bahkan sebenarnya harusnya menurut para ulama, jamaah haji ini harus sudah mendapat pembinaan haji sejak lunas membayar BPIH. f. Standar Perlindungan : Memang betul PPIH betul-betul melindungi jamaah-jamaah yang bermasalah misalnya jamaah hilang, jamaah kecopetan, jamaah yang dirampok dsb, hal-hal ini akan dilindungi layaknya hak sebagai Warga Negara Indonesia (WNI), misalnya jamaah tersebut hilang maka jamaah tersebut akan dicari dan dikembalikan ke tempat asalnya, jamaah yang sakit maka jamaah tersebut akan dibawa ke rumah sakit dan jikalau jamaah itu meninggal maka jamaah tersebut akan diurusi oleh maktab, dan segala administrasi penggantiannya akan dapat diklaim. 6. Tahapan-tahapan pengawasannya seperti apa? Dengan kondisi yang ada, kami mempunyai 3 macam pengawasan: a. Pengawasan perencanaan penyelenggaraan ibadah haji b. Pengawasan persiapan ibadah haji c. Pengawasan pelaksanaan ibadah haji 7. Pembagian petugas KPHI sendiri bagaimana untuk mengawasi jalannya ibadah haji? Sekarang ini ada 9 komisioner, masing-masing ditugaskan satu bidang tertentu yang mengawasi di dalam maupun di luar negeri misalkan saja: a. Saya bagian perumahan (dari departemen agama), aspek-aspek yang ada dalam perumahan adalah seperti asrama haji dan penginapan di Arab Saudi,
yang mengawasi aspek perumahan ini bersama-sama
namun leading sektornya dan yang membuat laporannya adalah saya
yang berarti saya harus lebih banyak memahami mengenai perumahan. Hal-hal yang diawasi seperti: kamar yang terlalu sempit, tempat tidur yang sudah tidak layak g. Ada yang bagian transportasi (dari departemen perhubungan), hal-hal yang diawasi seperti: transportasi dari embarkasi ke bandara, apakah selalu tepat waktu atau tidak (on time performance) dan berapa waktu yang sudah terbuang, transportasi di luar negeri terutama bagaimana untuk mengangkut jamaah dari Madinah ke Mekkah, Mekkah ke Jeddah dan juga bis sholawat, bis-bis ini dinilai dari keluhan atau komentar-komentar para jamaah, dari segi kenyamanannya bejubel atau tidak, dari sopirnya dinilai komunikatif atau tidak, dsb. Saya pernah mengawasi aspek transportasi ini dengan ikut naik bis sholawat dari jam 10 sampai jam 1, saya diam di sana dan ternyata ada kasus ketika jamaah ingin berhenti dan terjadi kurangnya sopir yang komunikatif, ketika masalah bahasa yang membuat tidak sefaham. Kondisi seperti ini kami usulkan supaya sopirnya diganti dan usulan untuk dalam bimbingan agar diberikan juga pengetahuan-pengetahuan dasar berbahasa. h. Kesehatan (dari departemen kesehatan), i.
Katering, kami mengecek dari mulai segi kehigienisan, ragam menu, masakan dan chef Indonesia atau bukan, meal test yang dicoba layak atau tidak, Katering ini dipilih berdasarkan tender, diukur seberapa mampu mereka melayani jamaah kita, ada yang mampu 5 ribu orang, ada yang mampu 17 ribu dan itu beragam.
j.
Peribadatan, mengawasi bagaimana jalannya peribadatan ibadah haji termasuk mengawasi pembimbing-pembimbing yang mengawasi dalam membimbing jamaah haji di sana (TPIHI), mengawasi seperti hal-hal memakai kain ihram sudah benar atau tidak, sudah thawaf tujuh putaran atau belum,
k. Haji khusus, mengawasi pada jalannya pelaksanaan ibadah haji pada biro perjalanan haji khusus. Ketika ada travel nakal maka akan kami buat catatan pada buku hitam agar masauk pada daftar-daftar masukan
agar travel itu dapat diberikan sanksi yang layak. Ketika Presiden sudah mengijinkan maka
hal ini akan diurus lebih lanjut oleh
kementerian. l.
Perlindungan jamaah, misalnya ketika ada orang yang ditipu itu harus kami bantu, ketika ada jamaah yang kehilangan uang itu harus bagaimana.Pada tahun 2000 saya pernah diwawancarai oleh reporter TVRI di Madinah “Pak apakah benar orang pelit ketika berhaji maka uangnya akan hilang?”. Ada sebagian masyarakat berargumen bahwa jika seseorang ketika di tanah air pelit maka ketika naik haji akan kehilangan uang, hal-hal mitos tersebut bisa saja terjadi karena agar dia tau kepelitan dia itu, bisa juga tidak karena ketika kita melihat orang Malaysia naik haji dia tidak akan kehilangan uang karena mereka tidak membawa uang (menggunakan ATM). Hal-hal seperti ini (menggunakan fasilitas ATM ketika naik haji) sudah pernah saya usulkan pada tahun 2013 ke Pak Dirjen namun belum dapat terealisasi sampai sekarang oleh pemerintah karena beragam macam perbedaan pendapat.
m. Organisasi,
misalnya mengawasi-mengawasi
seperti
Panitia
Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Indonesia dan PPIH Arab Saudi (Daker Jeddah, Daker Makkah dan Madinah) 8. KPHI sendiri memiliki kegiatan-kegiatan apa saja? a. Rapat 1 minggu sekali (sesuai kebutuhan) b. Pertemuan dengan steak holder ketika ada saran-saran maka akan kami tampung, acara pertemuan ini diagendakan karena membutuhkan dana yang besar dan ini merupakan pertemuan besar. Ada sekitar seratus orang yang hadir yang akan memberikan komentar, saran dan sharingsharing
mengenai
perjalanan
bagaimana
peningkatan
kualitas
perjalanann ibadah haji yang lebih baik. Jangka waktu pertemuan ini dilakukan selama 1 tahun sekali dan disesuaikan sesuai dengan anggaran yang diberikan.
WAWANCARA TAHAP KEDUA Narasumber : Dr. H Syamsul Ma’arif, MA Jabatan
: Anggota Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI)
Tanggal
: 27 Agustus 2015
Lokasi
: Kantor KPHI
Waktu
: 13:00-15:00 WIB
1. Bagaimana langkah-langkah pengawasan KPHI? a. Membuat instrumen pengawasan. Instrumen ini sudah baku yang selalu digunakan dari tahun ke tahun kecuali ada penambahanpenambahan b. Melakukan sidak dan mendatangi Panitia PPIH sesuai dengan kapasitas masing-masing (kita gali dan kita tanya perencanaan yang akan dilakukan) c. Pembuktian di lapangan Ada
beberapa
kali
kami
melakukan
pengawasan
untuk
penyelenggaraan ibadah haji. -
Persiapan,
-
Operasional
-
Evaluasi Yang sudah kita lakukan adalah persiapan awal. Jadi
melakukan pengawawasan dalam
hal kontrak seperti kontrak
akomodasi dengan pemilik rumah maupun dengan transportasi dan katering. Dokumen juga kami awasi sudah sesuai atau belum. Dokumen itu biasanya kita tahu ketika sudah ada permasalahan. Jika belum terjadi, dokumen itu biasa-biasa saja. 2. Pengawasan yang dilakukan bagaimana? -
Persiapan awal
-
Pelaksanaan
-
Akhir
Pengawasan-pengawasan ini dilakukan dengan menggunakan standar-standarnya 3. Objek pengawasan KPHI? Jadi penyelenggara ibadah haji itu adalah pemerintah oleh Kementeriaan Agama yang melibatkan kementerian-kementerian yang lainnya seperti Kementerian
Kesehatan
dan
Kementerian
Perhubungan
bahkan
Kementerian Hukum dan HAM juga sebenarnya terlibat untuk masalah imigrasi. Lalu kami juga melakukan kepada Penyelenggara Ibadah Haji Khusus, PIHK juga sebenarnya bagian dari satuan kerja Kemenag, namun PIHK hanya mengatur urusan haji khusus saja. 4. Untuk kasus-kasus PIHK ilegal (tidak berizin) apakah dibawah pengawasan KPHI juga? Jika PIHK tersebut terdaftar mendapatkan izin resmi namun tidak bertindak sebagaimana mestinya (nakal) maka itu termasuk di bawah pengawasan kami yang selanjutnya akan menjadi catatan KPHI untuk perbaikan dan peminimalisiran PIHK nakal ke depannya. Namun jika PIHK tersebut ilegal (tidak berizin) maka kami tidak mempunyai kewenangan, kami mungkin bisa melaporkan PIHK tersebut, namun itu adalah tanggung jawab pemerintah karena sudah termasuk penipuan dan akan diserahkan pada kepolisian. 5. KPHI mengawasi umroh juga atau tidak? Nomenklatur kami hanya mengawasi bidang haji saja. Namun ke depannya sedang kami diskusikan apakah pengawasan tersebut melibatkan umroh juga atau tidak. 6. Kenapa KPHI belum begitu dikenal? Lembaga ini baru 2 tahun. Kami masih butuh sosialisasi, butuh kerja dan penyelsaian internal. 7. Para
penyelenggara
haji
apakah
mengirimkan
laporan-laporan
penyelenggaraan haji atau tidak ke KPHI? Seharusnya ada tembusan-tembusan. Seperti hal-hal tertentu dalam bidang keuangan.
8. Salahsatu tugas dan fungsi KPHI adalah merekomendasikan hal-hal yang sudah menjadi catatan untuk penyelenggaraan haji pada tahun berikutnya. Sudah adakah rekomendasi-rekomendasi tersebut yang ditindaklanjuti oleh pemerintah? Ya, banyak yang sudah ditindaklanjuti walaupun tidak semuanya. Misalnya, katakanlah kami pernah merekomendasikan jamaah untuk diberikan makan di Makkah, tahun ini akan mulai dipraktekan walaupun hanya
sekali.
Kemudian
perbaikan-perbaikan
tentang
pelayanan
akomodasi banyak yang sudah ditindaklanjuti. Rekomendasi tersebut ada yang ditindaklanjuti dan ada yang tidak. Saya pernah merekomendasikan agar pembayaran DAM Tamattu itu dikoordinir oleh pemerintah yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga tertentu, dan itu sampai sekarang masih belum ditindaklanjuti, mudahmudahan tahun depan.. 9. Faktor penghambat dalam pengawasan selama ini apa saja Pak? a. Sumber Daya. KPHI merupakan lembaga yang seharusnya mendapatkan fasilitas yang cukup. Bukan berarti fasilitas pribadi, namun fasilitas lembaga yang nantinya akan dipergunakan untuk mejalankan tugastugasnya sesuai denga aturan yang berlaku yaitu kepentingan pengawasan. Itu yang belum sepenuhnya kami miliki, baru sebagian saja. Misalnya saya sebagai anggota komisi pengawas terkadang menjalankan tudas merangkap menjadi TU, menjadi tukang ketik dan melayani yang seestinya bukan urusan saya. Jadi SDMnya masih kurang. Misalnya KPHI kemarin melakukan pengawasan hanya oleh 9 orang komisioner dibantu 3 orang staff sementara inspektorat bisa lima kali lipat dari kami. b. Sarana dan Prasarana Gedung
kesekretariatan
operasionalnya
pun
kami
masih
masih
punya
kemenag,
bahkan
dibiayai
oleh
Kemenag.
KPHI
belummempunyai satuan kerja (satker) sendiri. c. Pendanaan Karena anggarannya terlalu kecil maka kami hanya melakukan pengawasan sekali sampai dua kali ke Arab Saudi. Padahal pada
WAWANCARA TAHAP KETIGA Narasumber : H. Arif Nurrawi Jabatan
: Ketua Sekretariat KPHI
Tanggal
: 2 September 2015
Lokasi
: Kantor KPHI
Waktu
: 10:00 – 11:00 WIB
Apa saja rekomendasi KPHI yang sudah direalisasikan? Sesuai dengan UU No 13 Tahun 2008, proses rekruitmen tahun 2010 kemudian pelantikan para komisioner pada tahun 2013, maka sejak itu KPHI mulai melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengawas penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Air mapun di Tanah Suci. Secara singkat dari 2013 sampai 2015 hasil-hasil pengawasan yang sudah dilaksanakan oleh KPHI (komisioner) ada beberapa rekomendasi yang sudah ditindaklanjuti. Dalam artian ada rekomendasi yang menjadi catatan KPHI direspon positif karena dalam pengawasan KPHI selama ini, KPHI tidak semata-mata melakukan pengawasan tetapi melihat bagaimana penyelenggaraan ibadah haji berjalan sesuai dengan regulasi yang berlaku, kebijakan di Tanah Air maupun kebijakan di Arab Saudi. Beberapa rekomendasi yang sudah dilaksanakan: Pertama, terkait denga petugas yang ditugaskan untuk menjadi PPIH Arab Saudi, rekomendasinya agar petugas dapat lebih berkonsentrasi terhadap pelayanan jamaah, maka bagi petugas haji maupun petugas PPIH yang sudah berhaji maka mulai tahun 2014 tidak diperkenankan dan sangat disarankan untuk tidak berhaji melihat realisasinya di lapangan. Kedua, untuk di Makkah karena selama ini yang diberikan kepada jamaah adalah uang living cost untuk sehari-hari di sana, memang belum sama seperti di Madinah yang diberikan dua kali sehari, maka mulai tahun ini disarankan jamaah haji diberi makan satu kali di Makkah. Ini tidak menutup kemungkinan ke depan akan disamakan dengan Madinah atau tidak maka itu dalam perkembangan selanjutnya.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN ANGGOTA KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, perlu mengatur tata cara pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi Pengawas Haji Indonesia;
Mengingat :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5061);
MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN
PRESIDEN
PENGANGKATAN
DAN
TENTANG
TATA
PEMBERHENTIAN
CARA
ANGGOTA
KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA.
BAB I ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 2 -
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan : 1. Komisi Pengawas Haji Indonesia yang selanjutnya disebut KPHI adalah lembaga mandiri yang dibentuk untuk melakukan pengawasan
dalam
rangka
meningkatkan
pelayanan
Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia. 2. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang agama.
Pasal 2 Anggota KPHI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 3 (1) Anggota KPHI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari: a. Unsur masyarakat 6 (enam) orang; b. Unsur Pemerintah 3 (tiga) orang. (2) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat Islam. (3) Unsur ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
(3) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditunjuk dari Kementerian/Instansi yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Pasal 4 (1) Dalam rangka pengusulan calon Anggota KPHI, Menteri membentuk Panitia Seleksi calon Anggota KPHI. (2) Panitia Seleksi calon Anggota KPHI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Menteri. (3) Ketentuan
mengenai
tata
cara
pembentukan,
susunan
keanggotaan, masa kerja, dan tata kerja Panitia Seleksi calon Anggota KPHI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB II TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN Bagian Kesatu Pengangkatan Pasal 5 (1) Menteri mengusulkan calon Anggota KPHI sebanyak 2 (dua) kali dari jumlah setiap unsur Keanggotaan KPHI kepada Presiden paling lambat 2 (dua) bulan sebelum masa bakti Anggota KPHI periode berjalan berakhir. (2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan keterangan bahwa calon Anggota KPHI yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan data diri calon Anggota KPHI yang bersangkutan. Pasal 6 ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
Pasal 6 Presiden memilih 9 (sembilan) orang calon Anggota KPHI dan mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk memperoleh pertimbangan.
Pasal 7 Presiden mengangkat Anggota KPHI yang telah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 8 Sebelum memangku jabatannya, Anggota KPHI wajib mengucapkan sumpah yang berbunyi sebagai berikut: " Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota Komisi Pengawas Haji Indonesia dengan sebaik-baiknya, menjalankan tugas dan wewenang secara sungguh-sungguh, seksama, obyektif, jujur, adil, amanah serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada masyarakat, bangsa, dan negara ".
Pasal 9 (1) Anggota KPHI diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun. (2) Anggota KPHI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya selama 3 (tiga) tahun sepanjang yang bersangkutan memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
Pasal 10 Anggota KPHI yang berasal dari unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dapat dijabat secara ex-officio oleh pejabat struktural atau fungsional.
Bagian Kedua Pemberhentian Pasal 11 (1) Anggota KPHI diberhentikan karena : a.
berakhir masa jabatan sebagai anggota;
b.
mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c.
meninggal dunia;
d.
bertempat tinggal tetap di luar wilayah Republik Indonesia;
e.
sakit yang berkepanjangan dan/atau tidak mampu lagi melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara terusmenerus;
f.
tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana mestinya;
g.
dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Selain berhenti karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anggota KPHI yang berasal dari unsur Pemerintah diberhentikan apabila yang bersangkutan diberhentikan dari Pegawai Negeri Sipil sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 12 ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 6 Pasal 12 (1) Anggota KPHI yang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana kejahatan diberhentikan sementara dari jabatannya. (2) Pemberhentian
sementara
Anggota
KPHI
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPHI. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh KPHI.
Pasal 13 Anggota KPHI diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga Anggota KPHI Pengganti Pasal 14 (1) Untuk mengisi kekosongan Anggota KPHI yang diberhentikan karena alasan selain berakhirnya masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, Presiden dapat mengangkat Anggota KPHI Pengganti atas usul Menteri. (2) Calon Anggota KPHI Pengganti yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari unsur yang sama dengan Anggota KPHI yang digantikan.
Pasal 15 ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 7 Pasal 15 Sebelum mengangkat Anggota KPHI Pengganti, Presiden meminta pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 16 Pengangkatan Anggota KPHI Pengganti dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 17 Masa jabatan Anggota KPHI Pengganti adalah sisa masa jabatan Anggota KPHI yang digantikannya.
BAB III KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 18 Ketentuan mengenai batas waktu pengusulan calon Anggota KPHI oleh Menteri kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), tidak berlaku untuk pengusulan calon Anggota KPHI yang pertama kali.
BAB IV ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
- 8 BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 Mei 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum, ttd Dr. M. Iman Santoso
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a. bahwa dalam rangka efektivitas pelaksanaan tugas Komisi
Pengawas
Haji
Indonesia,
perlu
diatur
mengenai Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pengawas Haji Indonesia; b. bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pengawas Haji Indonesia; Mengingat
: 1. Pasal
4
ayat
(1)
Undang-Undang
Dasar
Negara
2008
tentang
(Lembaran
Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang
Nomor
Penyelenggaraan
Ibadah
13
Tahun
Haji
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun
2009
Nomor
142,
Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5061); MEMUTUSKAN: …
-2-
MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN
PRESIDEN
TENTANG
ORGANISASI
DAN
TATA KERJA KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan: 1. Komisi Pengawas Haji Indonesia yang selanjutnya disebut KPHI adalah lembaga mandiri yang dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap Penyelenggaraan Ibadah Haji. 2. Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah rangkaian kegiatan pengelolaan
pelaksanaan
Ibadah
Haji
yang
meliputi
pembinaan, pelayanan, dan perlindungan Jemaah Haji. 3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
BAB II KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI Bagian Kesatu Kedudukan Pasal 2 KPHI berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Bagian Kedua ...
-3-
Bagian Kedua Tugas
Pasal 3
KPHI
mempunyai
tugas
pemantauan terhadap memberikan
melakukan
pengawasan
dan
Penyelenggaraan Ibadah Haji serta
pertimbangan
untuk
penyempurnaan
Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia. Bagian Ketiga Fungsi
Pasal 4
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, KPHI berfungsi: a. memantau
dan
menganalisis
kebijakan
operasional
Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia; b. menganalisis hasil pengawasan dari berbagai lembaga pengawas dan masyarakat; c. menerima masukan dan saran masyarakat mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji; dan d. merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji. BAB III ...
-4-
BAB III SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 5
Susunan organisasi KPHI terdiri atas: a. Ketua; b. Wakil Ketua; dan c. Anggota.
Pasal 6 KPHI dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.
Pasal 7 (1) KPHI beranggotakan 9 (sembilan) orang yang terdiri dari unsur: a. Masyarakat; dan b. Pemerintah. (2) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sebanyak 6 (enam) orang terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat Islam. (3) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sebanyak 3 (tiga) orang yang dapat ditunjuk dari kementerian/instansi
yang
berkaitan
dengan
Penyelenggaraan Ibadah Haji. Pasal 8 ...
-5-
Pasal 8 Anggota KPHI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
BAB IV TATA KERJA Pasal 9 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Ketua, Wakil Ketua, dan
anggota KPHI
wajib
menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik secara internal maupun eksternal sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Pasal 10 (1) KPHI melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan. (2) Dalam rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) KPHI dapat mengundang instansi dan/atau pihak terkait.
Pasal 11 (1) Pengambilan
keputusan
KPHI
dilakukan
secara
musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Dalam ...
-6-
(2) Dalam hal pengambilan keputusan secara musyawarah untuk
mencapai
mufakat
tidak
tercapai,
keputusan
diambil berdasarkan suara terbanyak. (3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), sah apabila rapat KPHI dihadiri paling sedikit 5 (lima) orang
anggota
KPHI
dengan
keterwakilan
unsur
Pemerintah dan masyarakat.
Pasal 12
KPHI melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
BAB V SEKRETARIAT KPHI
Pasal 13
(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KPHI dibantu Sekretariat. (2) Sekretariat KPHI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), secara fungsional dilaksanakan oleh satu unit organisasi di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. (3) Sekretariat KPHI mempunyai tugas memberikan dukungan teknis dan administratif kepada KPHI. Pasal 14 ...
-7-
Pasal 14
(1) Sekretariat KPHI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dipimpin oleh seorang sekretaris. (2) Sekretaris KPHI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
dan
diberhentikan
oleh
Menteri
atas
pertimbangan KPHI. (3) Sekretaris
dalam
melaksanakan
tugasnya
secara
fungsional bertanggung jawab kepada pimpinan KPHI.
BAB VI PENDANAAN DAN HONORARIUM
Pasal 15
Segala pendanaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dan fungsi KPHI dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada bagian anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
Pasal 16
(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, anggota KPHI diberikan honorarium. (2) Ketentuan mengenai honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VII ...
-8-
BAB VII KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 17
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian tugas, fungsi, dan tata kerja KPHI diatur dengan Peraturan Menteri. (2) Rincian tugas, fungsi, dan tata kerja KPHI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh KPHI.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan organisasi dan tata kerja Sekretariat KPHI diatur dengan Peraturan Menteri setelah
mendapat
persetujuan
menyelenggarakan
urusan
dari
Menteri
pemerintahan
di
yang bidang
pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi.
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Peraturan
Presiden
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
diundangkan.
Agar ...
-9-
Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Mei 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Juni 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 120
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Deputi Bidang Kesejahteraan Rakyat,
Siswanto Roesyidi
DOKUMENTASI PENGAWASAN KPHI DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN TERHADAP PENYELENGGARAAN HAJI DI INDONESIA
Sidak lapangan
Pemantauan jamaah haji yang sakit di Arafah
Audiensi dengan BPK RI
Audiensi dengan DPR RI
Koordinasi KPHI
Pengawasan Persiapan Operasional
Rekomendasi KPHI ke Dirjen PHU