KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji di Arab Saudi Tahun 1436 H/2015
Disusun oleh: KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA Jl. Kramat Raya No. 85 +62-21 3920708, 3909743, 31922183 Jakarta 10420 e-mail:
[email protected] Website: www.kphi.go.id Data: Dokumentasi Komisi Pengawas Haji Indonesia
KOMISI PENGAWAS HAJI INDONESIA THE SUPERVISORY COMMISSION FOR THE INDONESIAN PILGRIMAGES
KOMISIONER KPHI (2013-2016) Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si (Ketua) Drs. H. Imam Addaruquthni, SQ, MA (Wakil Ketua) Drs. H. M. Samidin Nashir, MM (Anggota) Ir. H. Agus Priyanto (Anggota) Dr. H. Samsul Ma’arif, MA (Anggota) Drs. H. Mohammad Thoha, M.Si (Anggota) Dr. H. Abidinsyah Siregar, DHSM,M.Kes (Anggota) Drs. H. Ahmed Machfudh, MPA (Anggota) Dra. Hj. Lilien Ambarwiyati (Anggota)
Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. (Q.S. Ali-Imran: 97)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan pertolongannya, sehingga pada 2015 Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) dapat menyelesaikan tugasnya melakukan pemantauan dan pengawasan operasional penyelenggaraan ibadah haji tahun 1436 H/2015 di Arab Saudi. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, tugas dan fungsi KPHI melakukan pemantauan, pengawasan dan analisis data pertimbangan perbaikan penyelenggaraan haji sejak perencanaan hingga usai pelaksanaannya. Dalam kerangka itu, KPHI telah melakukan pemantauan, pengawasan dan analisis sejak tahap perencanaan, persiapan operasional, rekrutmen petugas, pelatihan, persiapan embarkasi dan pemberangkatan jamaah, pengawasan atas penyediaan pemondokan, persiapan katering, persiapan transportasi, kedatangan jamaah di Jeddah dan Madinah, penempatan jamaah di hotel-hotel (baik di Makkah maupun Madinah), pelaksanaan ibadah di Makkah, penyelenggaraan ibadah Wukuf dan rangkaiannya di Arafah, Muzdalifah dan Mina, masalah kesehatan, keamanan dan kenyamanan jamaah, hingga kepulangannya sampai kembali ke Tanah Air. Sejak diangkat dan dilantik pada Maret 2013 hingga KPHI periode pertama akan berakhir pada Maret 2016, KPHI belum memiliki organisasi yang memadai. Sampai laporan ini dibuat, KPHI di luar Komisioner, belum memiliki Satker, sehingga untuk menangani tugas sekretariat dibantu seorang Kasubdit yang difungsikan sebagai Sekretaris dengan tujuh orang staf. Dengan tugas yang begitu besar sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang, khususnya yang berkaitan dengan tugas pengawasan yang laporannya bisa dibaca di buku ini, tugas tersebut akhirnya harus dilakukan sendiri oleh komisioner. Para Komisioner sebanyak sembilan orang membagi tugas untuk melakukan pengawasan secara mendalam terhadap aspek-aspek
v
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
tertentu. Kemudian, mendiskusikan hasil pengawasannya dengan seluruh komisioner. Melalui cara itu, segera akan kelihatan rangkaian permasalahan yang ada. Dengan sendirinya, akan kelihatan tali-temali dan kelindan persoalan penyelenggaraan haji secara konprehensif. Dari situlah KPHI kemudian memberikan rekomendasi bagi terwujudnya perbaikan pada penyelenggaraan haji tahun berikutnya. Karena pengawasan ini dilakukan langsung oleh Komisioner, setiap ada sesuatu fakta yang meragukan dilakukan pengecekan ulang oleh Komisioner yang lain. Jadi laporan ini boleh disebut laporan pandangan mata para komisioner tentang apa yang terjadi di lapangan. Kami bersyukur bahwa kami dapat mengambil hikmah dari belum adanya tenaga yang memadai untuk tugas dan fungsi KPHI. D e n ga n a d a n ya b e b e rapa kejadian atau m usibah pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 1436 H/2015 M seperti musibah robohnya crane di Masjidil Haram dan musibah Jalan 204 di Mina yang menimbulkan korban meninggal pada jamaah haji Indonesia Hal ini harus menjadi perhatian khusus dan serius bagi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama untuk dijadikan catatan berharga guna perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji tahun berikutnya. Kepada Bapak Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, kami sampaikan laporan ini. Mudahmudahan rekomendasi kami dapat dijadikan bahan penentuan kebijakan bagi perbaikan penyelenggaraan haji tahun yang akan datang. “Tiada gading yang tak retak”, begitu juga dengan buku laporan ini. Untuk itu, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan yang ada. Kepada berbagai pihak yang telah memberikan kerjasamanya selama kami menjalankan tugas, khususnya para petugas PPIH, baik di dalam negeri maupun di Arab Saudi, kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya. Wallahulmuwaffiq ila aqwamiththariq Wassalamu’alaikumWr. Wb.
Jakarta, 1 Desember 2015 Komisi Pengawas Haji Indonesia Ketua,
Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si.
vi
EXECUTIVE SUMMARY Memasuki tahun ketiga masa pengabdian Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) pada musim haji 1436 H/2015 M, KPHI telah melaksanakan pemantauan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia sejak tahap perencanaan/persiapan hingga pelaksanaan dan pemulangan jamaah haji Indonesia. Pada tahap perencanaan persiapan, KPHI telah menyusun laporan hasil pengawasan beserta rekomendasinya untuk ditindaklanjuti sejak awal. Harapannya, dapat meminimalisir potensi penyimpangan atau kekurangsiapan dalam penyelenggaraan ibadah haji Indonesia tahun 1436 H/2015 M. Pada tahap pelaksanaan pemberangkatan jamaah haji Indonesia dari Tanah Air, pelayanan selama di Tanah Suci hingga pemulangan kembali ke Tanah Air telah dilakukan pemantauan dan pengawasan oleh KPHI meliputi bidang Organisasi dan Petugas, Administrasi dan Sistem, Bimbingan Ibadah, Transportasi, Konsumsi, Kesehatan, Perlindungan Jamaah, serta Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. Hasil pemantauan dan pengawasan ini dideskripsikan, dianalisis, dan diberikan rekomendasi serta saran tindak lanjutnya yang disusun dalam sebuah buku “Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia Tahun 1436 H/2015 M”. Hasil pengawasan bidang Organisasi dan Petugas menunjukan bahwa PPIH Arab Saudi telah dapat berjalan maksimal, tetapi belum optimal. Hal ini karena terdapat beberapa kendala, di antaranya: 1. Kelompok pimpinan terlalu besar, sehingga otoritas dan komando pengendaliannya kurang efektif; 2. Terjadi pemisahan manajemen unsur kesehatan sehingga mobilitas pelayanan kurang sinergis; 3. Tidak ada jabatan Kepala Staf Operasional, sehingga arus komunikasi kurang terkelola dan dinamika lapangan kurang cepat diatasi; 4. Kurangnya petugas unsur perlindungan dan pengamanan, sehingga sebagian daerah rawan tidak terawasi/terpantau; 5. Rekrutmen petugas kloter dan nonkloter terdapat kompetensi, kedisiplinan, dan kepemimpinan yang rendah, sehingga kinerjanya kurang; 6. Pakaian seragam petugas warnanya tersamar dengan jamaah, radio bravo untuk petugas kurang dan gelang jamaah mudah terlepas.
vii
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Dalam bidang administrasi dan sistem, terjadi keterlambatan penerbitan visa jamaah di seluruh embarkasi. Keterlambatan penerbitan visa, antara lain disebabkan penerapan e-hajj yang secara sistem belum siap 100 persen. Alasan teknis menyangkut ketidaksiapan sumber daya manusia, belum terintegrasinya Siskohat dengan sistem e-hajj, serta kurang antisipasi sistem baru. Akibatnya, sebagian jamah tertunda keberangkatan, terpisah dari kloter, dan berdampak pada penempatan akomodasi jamaah serta koper yang terpisah. Bimbingan Ibadah sebagai indikator utama keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji kurang diprioritaskan. Kegiatan bimbingan manasik hanya dialokasikan enam kali pertemuan Akibatnya, banyak jamaah haji yang belum memahami dengan benar dan target jamaah mandiri sesuai amanat undang-undang sulit dicapai. Belum adanya regulasi badal haji bagi jamaah risti karena sakit mengakibatkan jumlah jamaah risti dan meninggal dunia meningkat tajam. Adanya KBIH yang masih dominan mengatur jamaahnya dibanding dengan petugas kloter mengakibatkan jamaah tidak disiplin terhadap pengaturan beribadah di Tanah Suci. Inkonsistensi pemerintah Arab Saudi dalam penentuan status Mina Jadid mengakibatkan jamaah ragu bermabit di Mina Jadid, sehingga jamaah bermigrasi ke hotel di Makkah. Sesuai ketentuan e-hajj, akomodasi jamaah haji pada 2015 menggunakan hotel bintang tiga dan empat di Makkah dan Madinah dengan standar per kamar ditempati empat hingga lima jamaah haji. Tahun ini hampir tidak ada pemadatan kamar, tetapi tidak tersedia dapur bagi jamaah. Perkemahan di Arafah tahun ini ada penambahan water cooler. Tetapi karena cuaca sangat panas, pengaruhnya tidak signifikan. Sementara listrik di beberapa maktab sering padam. Sedang tenda di Arafah roboh sebelum hari Arafah karena tertiup angin kencang. Adapun kondisi tenda di Mina masih seperti tahun lalu, yaitu sempit dengan MCK yang terbatas. Jika tahun depan kuota jamaah haji Indonesia normal, akan terjadi kekurangan fasilitas perkemahan di Mina. Transportasi jamaah dari Indonesia ke Arab Saudi dan sebaliknya cukup lancar, tetapi masih terjadi delay pesawat pada saat awal pemulangan. Permasalahan yang timbul adalah terjadi rekonfigurasi kloter akibat sebagian jamaahnya belum keluar visanya, sehingga terdapat seat yang kosong. Transportasi darat di Arab Saudi menggunakan bus standar dari Naqobah yang di dalamnya terdapat bus milik Abu Sharhad. Sesuai rekomendasi KPHI pada peninjauan pengawasan tahap persiapan, mencegah digunakannya
viii
Executive Summary
bus non-upgrade (seperti Abu Sharhad). Namun, bus tetap digunakan pada gelombang satu, sehingga sebagian bus jamaah mogok/rusak di tengah jalan Madinah-Makkah. Akibatnya, sebagian jamaah telantar dan terpapar panas yang menyengat. KPHI merekomendasikan dilakukan kontijensi plan dan dapat ditindaklanjuti pasca-Armina dengan mengganti bus upgrade. Penyediaan konsumsi jamaah haji Indonesia tahun ini terdapat jatah makan siang bagi jamaah haji ketika di Makkah sebanyak 15 kali selama 15 hari, sedang di Madinah masih tetap dua kali makan per hari dan selama Armina tiga kali makan per hari. Jamaah haji selama di Makkah sangat membutuhkan pelayanan makan minimal dua kali per hari karena pemondokan mereka berupa hotel tidak ada dapur untuk memasak bagi jamaah haji. Sementara harga makanan di restoran hotel cukup tinggi dan penjual makanan di kaki lima diusir petugas Arab Saudi. Persoalan yang muncul dalam pelayanan konsumsi masih berkisar pada distribusi yang lambat, standar yang kurang dipenuhi oleh pihak catering. Selain itu, ada kekurangan jumlah makanan dan minuman yang didistribusikan ketika prosesi wukuf di Arafah dan Mabit di Mina. Pelayanan kesehatan jamaah haji tahun ini terdapat permasalahan kurang terintegrasinya manajemen pelayanan kesehatan dengan menajemen operasional PPIH Arab Saudi. Pelayanan kesehatan kurang proaktif mengikuti dinamika operasional di lapangan yang membutuhkan kecepatan pelayanan di pos-pos terdepan. Jamaah haji yang risti mencapai 60,9 persen ditambah cuaca yang sangat panas mengakibatkan peningkatan jumlah jamaah haji yang sakit dan meninggal dunia. Angka kematian meningkat tajam hingga dua kali lipat dibanding tahun lalu (termasuk korban tragedi Mina dan musibah jatuhnya crane di Mekkah). Persoalan lainnya adalah belum berfungsinya sebagian pos kesehatan satelit yang digelar di sektor-sektor Daker Mekkah. Sementara itu pemeriksaan kelayakan kesehatan jamaah haji sebelum berangkat masih belum ketat, sehingga banyak jamaah yang tidak layak dari aspek kesehatan (tidak isthithaiah) dapat berangkat haji. Sedang kualifikasi dan kinerja petugas kesehatan di Arab Saudi masih belum memuaskan. Perlindungan dan pengamanan jamaah haji pada tahun ini mengalami problem sangat kurangnya petugas dari personel TNI/Polri, sehingga jangkauan dan kualitas pengamanan dan pemanduan terhadap jamaah haji terbatas. Beberapa daerah rawan dan daerah abu-abu, seperti terjadi pada tragedi Mina, tidak terpantau oleh petugas keamanan PPIH Arab Saudi. Timsus pencegah dan pencari jamaah tersesat jalan di setiap Daker tidak dibentuk. Kekurangan personel perlindungan dan pengamanan
ix
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
tersebut tidak mampu di-back up oleh unsur-unsur petugas lainnya. Masalah perlengkapan pendukung juga turut andil terhadap kurang maksimalnya pemberian perlindungan dan pengamanan jamaah haji, seperti radio bravo dan tersamarnya warna pakaian seragam petugas dengan jamaah haji, serta gelang jamaah haji yang mudah terlepas. Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus (PIHK) ditemukan masih adanya pelayanan yang kurang serta pelanggaran terhadap ketentuan standar pelayanan minimal (SPM) PIHK. Belum ada standar pelayanan kesehatan serta perlindungan dan keamanan bagi jamah haji khusus. Kuota PIHK tahun ini juga masih tersisa sekitar 485 orang yang tidak terisi. Permasalahan lain adalah masih banyaknya jamaah haji nonkuota yang berangkat dengan menggunakan berbagai macam visa, seperti visa undangan, visa ziarah, visa pekerja musiman. Sering terjadi pihak travel kurang bertanggung jawab, sehingga jamaahnya telantar dan menjadi beban petugas PPIH Arab Saudi. Memperhatikan banyaknya permasalahan yang perlu diperbaiki ke depan, maka sejumlah rekomendasi KPHI telah dirumuskan yang terangkum sebagai berikut: 1. Organisasi dan Petugas: restrukturisasi PPIH dengan merampingkan kelompok pimpinan dan menambah jabatan Kasops di tingkat PPIH, Daker, dan Sektor. Pembenahan rekrutmen calon petugas kloter dan nonkloter serta pemenuhan kebutuhan perlengkapan. 2. Administrasi dan Sistem: percepatan pembahasan BPIH lebih awal yang terkait dengan siklus persiapan penyelenggaraan haji dan input data, menyiapkan sumberdaya manusia dan mengintegrasikan Siskohat dengan sistem e-hajj. 3. Bimbingan Ibadah: tingkatkan bimbingan manasik menjadi minimal 10 kali pertemuan, penerbitan regulasi ibadah haji bagi calon jamaah haji yang tidak layak kesehatan (badal haji) dan penerapan sertifikasi calon pembimbing ibadah (TPIHI). 4. Penyediaan Akomodasi: tetapkan besaran BPIH paling lambat pada awal tahun Hijriah agar tidak terlambat dan sesuai e-hajj, penyewaan hotel yang layak serta terintegrasi dengan pelayanan transportasi ke Haram dan pelayanan konsumsi. 5. Pelayanan Transportasi: tingkatkan pelayanan bus antarkota perhajian dengan bus yang di-upgrade, peraturan rute penerbangan jamaah gelombang I dan II tetap seperti yang ditetapkan pada 1436H/2015M.
x
Executive Summary
6. Pelayanan Konsumsi: menambah jatah makan jamaah di Madinah menjadi tiga kali sehari dan di Mekkah minimal dua kali sehari, tercukupinya kebutuhan minum di Armina minimal tiga liter per hari per orang, serta tingkatkan standar gizi dan kalorinya. 7. Pelayanan Kesehatan: integrasikan manajemen pelayanan kesehatan menjadi satu kesatuan manajemen PPIH Arab Saudi, tingkatkan fungsi dan peran kesehatan kloter yang di-back up kesehatan sektor, perbaiki rekrutmen petugas kesehatan, dan penuhi kebutuhan obat-obatan. 8. Perlindungan dan Pengamanan: tambah petugas dari personel TNI/ Polri dua kali lipat, bentuk Timsus Pengawasan daerah rawan dan Timsus penanganan kedaruratan secara terpadu, lengkapi bravo petugas dan perbaiki warna pakaian seragam petugas serta ganti gelang jamaah dengan yang lebih kuat, elastis, dan disertai GPS. 9. Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus: Perketat pengawasan pelayanan oleh penyelenggara haji khusus dengan perbaikan standar pelayanan minimum, perlu pengaturan khusus untuk penyelenggaraan ibadah haji dengan visa nonkuota agar setiap WNI dapat perlindungan yang layak di Arab Saudi. Dengan sejumlah rekomendasi tersebut di atas, bila dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah dan penyelenggara haji khusus, maka penyelenggaraan ibadah haji Indonesia ke depan akan jauh lebih baik.
xi
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .........................................................................
v
EXECUTIVE SUMMARY ..................................................................
vii
DAFTAR ISI ......................................................................................
xii
DAFTAR TABEL ...............................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................ I
-
1
A. Pengawasan KPHI ....................................................................
I
-
3
B. Kebijakan PIH 2015 .................................................................. I
-
4
BAB II ORGANISASI DAN PETUGAS ......................................... II - 1 A. Temuan Organisasi dan Petugas ............................................. II - 2 B. Rekomendasi dan Saran Tindak Lanjut ................................... II - 13 BAB III ADMINISTRASI DAN SISTEM ......................................... III - 1 A. Temuan Sistem E-Hajj .............................................................. III - 2 B. Rekomendasi dan Saran Tindak Lanjut ................................... III - 12 BAB IV BIMBINGAN IBADAH ...................................................... IV - 1 A. Temuan Bimbingan Ibadah ....................................................... IV - 2 B. Rekomendasi dan Saran Tindak Lanjut ................................... IV - 20 BAB V PELAYANAN AKOMODASI .............................................. V - 1 A. Temuan Pelayanan Akomodasi ................................................ V - 2 B. Rekomendasi dan Saran Tindak Lanjut ................................... V - 14 BAB VI PELAYANAN TRANSPORTASI ....................................... VI - 1 A. Temuan Pelayanan Transportasi .............................................. VI - 2 B. Rekomendasi dan Saran Tindak Lanjut ................................... VI - 16 BAB VII PELAYANAN KONSUMSI ............................................... VII - 1 A. Temuan Pelayanan Konsumsi .................................................. VII - 2 B. Rekomendasi dan Saran Tindak Lanjut ................................... VII - 13
xii
Daftar Isi
BAB VIII PELAYANAN KESEHATAN ........................................... VIII - 1 A. Temuan Kesehatan ................................................................... VIII - 2 B. Rekomendasi dan Saran Tindak Lanjut .................................... VIII - 17 BAB IX PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN JAMAAH......... IX - 1 A. Temuan Perlindungan dan Pengamanan Jamaah ................... IX - 2 B. Rekomendasi dan Saran Tindak Lanjut ................................... IX - 37 BAB X PENYELENGGARA IBADAH HAJI KHUSUS ................. X - 1 A. Temuan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus ....................... X - 2 B. Rekomendasi dan Saran Tindak Lanjut ................................... X - 37 BAB XI PENUTUP ........................................................................ XI - 1
xiii
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
DAFTAR TABEL Tabel IV-1 Permasalahan dan Penyelesaian Bimbingan Ibadah Haji ......................IV - 7 Tabel IV-2 Rekap Laporan Pelaksanaan Bimbingan Ibadah di Sektor 3 Madinah .. IV - 10 Tabel V-1. Nama Majmuah Pengelola Hotel JHI di Madinah Tahun 2015 ...............V - 3 Tabel V-2. Hotel untuk Jamaah Haji Indonesia di Makkah dengan Kapasitas Lebih dari 2.000 Jamaah ............................................................................... V - 8 Tabel V-3. Jumlah Hotel bagi Jamaah Haji Indonesia di Makkah Tahun 2015 ....... V - 8 Tabel VI-1. Kinerja Fase 1 Pemberangkatan Jamaah Haji Indonesia ..................... VI - 5 Tabel VI-2. Kinerja Fase 2 Pemulangan Jamaah Haji Indonesia .............................VI - 6 Tabel IX-1. Daftar Jamaah Gelombang I Ghaib di Madinah .................................... IX - 6 Tabel IX-2. Data Jamaah Haji Yang Terluka Akibat Musibah Crane ........................ IX - 10 Tabel IX-3. Daftar Nama Korban Wafat pada Musibah Crane di Masjidil Haram pada 11 September 2015 ...................................................................... IX - 11 Tabel IX-4. Kejadian Menonjol di Makkah 2015 .......................................................IX - 12 Tabel IX-5. Data Kriminalitas, Kecelakaan, Tersesat Jalan dan Wafat Tahun 2015 ..................................................................................................... IX - 14 Tabel IX-6. Bus Antar-kota Perhajian yang Rusak pada Gelombang Pertama Tahun 2015 .......................................................................................... IX - 15 Tabel IX-7. Jamaah Haji Indonesia Wafat dalam Musibah Mina Tahun 2015 ......... IX - 26 Tabel IX-8. Daftar Kebutuhan Petugas dari Unsur TNI/POLRI PPIH Arab Saudi .... IX - 43 Tabel X-1. Kuota Haji Khusus Tahun 2015 ............................................................ X - 4 Tabel X-2. Pertumbuhan PIHK Tujuh Tahun Terakhir ............................................. X - 6 Tabel X-3. Penyelenggara PIHK 2013-2015 ............................................................ X - 7 Tabel X-4. Jumlah Jamaah Haji Khusus .................................................................. X - 7 Tabel X-5. PIHK Memiliki Lebih dari 180 Jamaah .................................................... X - 8 Tabel X-6. PIHK Gabungan dengan Jumlah Masing-Masing di Atas 45 Jamaah ... X - 9 Tabel X-7. Penggabungan PIHK Jamaah Lebih Sedikit Jadi Pimpinan ................... X - 10 Tabel X-8. Penggabungan Banyak PIHK ................................................................. X - 10
xiv
Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. (Q.S. Ali-Imran: 96)
BAB I
PENDAHULUAN
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Keberadaan Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, Peraturan Presiden RI No.13 tahun 2013 tentang Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), serta Peraturan Presiden RI Nomor 50 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPHI. Sesuai dengan amanat tiga kebijakan ini, KPHI telah menjalankan amanat pengawasan atas penyelenggaraan ibadah haji yang diselenggarakan Pemerintah (Kementerian Agama) sejak persiapan, pelaksanaan, hingga selesai atau kepulangan Jamaah Haji Indonesia. Pelaksanaan tugas KPHI pada 2015 untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji merupakan kegiatan tahunan ketiga yang sudah berjalan sejak tahun 2013. Intinya, dalam rangka meningkatkan pelayanan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia, sesuai dengan Pasal 12 ayat 1 UU 13 Tahun 2008. Sesuai dengan tugas dan fungsinya, KPHI secara bersama-sama maupun tim kecil, telah melakukan pengamatan/pemantauan sebagai bagian dari pengawasan menyeluruh Pengawasan penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi mencakup sembilan bidang Organisasi dan Petugas, Administrasi dan Sistem, Bimbingan Ibadah, Transportasi, Konsumsi, Kesehatan, Perlindungan Jamaah, serta Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. Pengawasan KPHI pada musim haji tahun 2015 diselenggarakan sejak 6 September hingga 10 Oktober 2015 yang menjangkau seluruh aktifitas jamaah dan penyelenggaraannya di Arab Saudi, yakni di Jeddah, Makkah, Armina, dan Madinah Pada 2015 Calon Jamaah Haji (CJH) Indonesia berangkat dari 12 embarkasi di Indonesia dalam kelompok terbang yang keseluruhannya berjumlah 381 Kloter. Jamaah Indonesia sebagian besar (sekitar 63 persen) jamaah resiko tinggi dan lebih 50 persen adalah JH yang resiko tinggi dengan masalah penyakit (pengguna gelang merah dan gelang kuning). Hal khusus yang terlihat adalah banyaknya jamaah dengan usia di atas 70 tahun dan beberapa jamaah dengan keharusan cuci darah (HD). Ke depan, pelayanan kepada jamaah haji perlu mendapat perhatian lebih serius. Sesuai penjelasan Menteri Agama RI pada saat acara ta’aruf dengan seluruh Petugas Haji pada 20 September 2015 di Makkah, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi akan mengembalikan kuota jumlah haji kepada angka normal, yaitu 1/1.000 jumlah penduduk muslim suatu negara, sehingga Indonesia akan mendapat kuota 210.000 orang jamaah. Bahkan, di hadapan Presiden Jokowi dalam kunjungan kenegaraan beliau pada 10-11 September 2015 ke Arab Saudi, Raja Salman memberikan
I-2
Pendahuluan
tambahan 10.000 jemaah, sehingga total tahun 2016 akan mendapat kuota 220.000 calon jamaah haji. Artinya meskipun belum ditetapkan, dengan akan bertambah lebih 50.000 calon JHI, ini suatu tantangan yang perlu disikapi secara konsepsional dan jelas. A. Pengawasan KPHI Pengawasan KPHI pada tahap operasional merupakan kelanjutan dari tahap perencanaan (30 April hingga 11 Mei 2015) serta tahap praoperasional (11-22 Juni 2015). Pengawasan mulai tahapan perencanaan hingga operasional dilakukan oleh seluruh Komisioner KPHI (sembilan orang) dengan dukungan staf Sekretariat KPHI. Pengawasan dilakukan dengan melihat kondisi lapangan (peninjauan), investigasi, serta wawancara langsung dengan pembuat kebijakan, penyelenggara ibadah haji, instansi lembaga terkait, dan jamaah. Adapun tiga tujuan pengawasan operasional penyelenggaraan Ibadah Haji di Arab Saudi. Pertama, melaksanakan amanat UU penyelenggaran Ibadah Haji. Kedua, untuk mendapatkan gambaran dan kesimpulan apakah kebijakan penyelenggaraan haji sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintah (Menteri Agama c.q. Dirjen PHU) telah benar-benar dijabarkan dalam suatu kerangka kerja mulai dari tingkat perencanaan, persiapan dan operasional penyelenggaraan ibadah haji oleh TUH. Ketiga, mengecek sejauh mana rekomendasi KPHI pada tahap perencanaan, praoperasional dan tahun-tahun sebelumnya dijalankan oleh penyelenggara ibadah haji. Laporan hasil pengawasan KPHI tahun 2015 ini mendapat dukungan dari semua unsur KPHI, pimpinan dan anggota serta sekretariat. Tim Pengawas KPHI secara bersama-sama melihat, mendalami, mengkaji dan mengkritisi setiap objek dan subjek pengamatan dan pengawasan. Dalam melihat setiap objek dan subjek, tercapai prinsip pendalaman yang komprehensif, faktual, dan akuntabel. Memperhatikan perkembangan pelaksanaan penyelenggaran haji tahun 2015, diakui ada perbaikan terutama secara fisik tempat penginapan jamaah. Namun, jika PPIH memperhatikan dengan seksana masukan dan rekomendasi KPHI, sesungguhnya banyak hal bisa ditingkatkan dan pada akhirnya meningkatkan kualitas pelayanan dan sekaligus kepuasan dari para Jemaah. Banyak rekomendasi KPHI kurang diperhatikan, utamanya karena penyelenggara tahun berjalan “tidak nyambung” dengan tahun sebelumnya. Misalnya dalam pelayanan kesehatan, pimpinan pelaksana pelayanan
I-3
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
kesehatan di seluruh Balai pengobatan Haji Indonesia (BPHI) maupun Sektor hampir semua orang baru atau jika sudah pernah, setelah 5 hingga 6 tahun sebelumnya. Padahal, rekomendasi KPHI menegaskan perlunya memperhatikan kesinambungan yang dengan itu dapat dilakukan perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan. B. Kebijakan PIH 2015 Pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji pada 2015 dengan memperhatikan kebijakan operasional pada tahun ini. Sebagai kelanjutan kebijakan dalam sistem perhajian (e-hajj), tahun ini penyelenggaraan ibadah haji Indonesia harus mengikuti e-hajj secara penuh. Sistem tersebut antara lain dimaksudkan untuk mendeteksi pelayanan jamaah terkait dengan pemondokan, katering, dan transportasi. Penyelesaian visa di Indonesia sebagai dokumen haji juga didasarkan atas sistem e-hajj. Sesuai Memorandum of Understanding dengan Menteri Agama, pelayanan paspor Jamaah Haji Indonesia (JHI) meliputi JHI reguler 155.200 orang, JHI khusus 13.600 orang, dan petugas 3.225 orang. Untuk pelayanan akomodasi, kebijakan akomodasi pada 2015 di Makkah adalah akomodasi jamaah Haji di Makkah berada pada enam wilayah (Jarwal, Misfalah, Mahbas Jin, Aziziyah, Raudhah, dan Syisyah) dengan jarak akomodasi jemaah haji di Makkah dari dan ke Masjidil Haram paling jauh sekitar 4.500 meter. Sementara penempatan JHI di Madinah dilakukan dengan kontrak sewa layanan dengan blocking time di 92 hotel dalam tiga wilayah markaziyah (Garbiah, Janubiah, Syimaliah). Pelayanan konsumsi jamaah haji di Arab Saudi diberikan kepada jemaah haji selama berada di Bandara Internasional King Abdul Aziz Jeddah, Madinah (dua kali sehari plus snack pagi hari selama sembilan hari), Makkah (sehari sekali selama 15 hari), dan di Armina. Menu konsumsi yang disediakan memenuhi standar gizi, kesehatan, kebersihan dan keamanan. Semantara pelayanan konsumsi di Arafah dan Mina dilaksanakan oleh Mutaahidin dan Muassasah. Pelayanan transportasi udara masih dilayani dua maskapai (Garuda Indonesia dan Saudia Arabia). Pelayanan transportasi darat meliputi angkutan sha-lawat dan angkutan antarkota perhajian (gelombang pertama non-upgrade). Pelayanan angkutan shalawat diberikan kepada jemaah haji yang menempati pemondokan pada wilayah dengan jarak 2.000 meter atau lebih dan wilayah tertentu yang ditetapkan (Aziziyah, Mahbas Jin, Syisyah, Raudhah, Biban/Jarwal, dan Nakkasah/Misfalah).
I-4
Pendahuluan
Kebijakan penyelenggaraan ibadah haji pada 2015 mengacu pada beberapa peraturan, yaitu 1. Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 34 Tahun 2009. 2. Peraturan Pemerintah (PP) No 79 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU nomor 13 tahun 2008 tentang Penyenggaraan Ibadah Haji. 3. PMA Nomor 14 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler. 4. PMA Nomor 22 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. 5. PMA Nomor 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. 6. PMA No. 6 Tahun 2014 Tentang Penyediaan Konsumsi Jamaah Haji Indonesia di Arab Saudi. 7. PMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyediaan Transportasi Darat Jamaah Haji Indonesia di Arab Saudi. 8. PMA Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agama RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penyediaan Konsumsi Jamaah Haji Indonesia di Arab Saudi. 9. PMA Nomor 19 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penyvvediaan Akomodasi Jemaah Haji Indonesia di Arab Saudi. 10. Kepdirjen PHU Nomor D/338/2015 tentang Standar Pelayanan, Akomodasi, Konsumsi, Transportasi dan Angkutan Jemaah Haji Indonesia. 11. Kepudirjen PHU Nomor D/46/2015 tentang Pembentukan Tim Seleksi Perusahaan Penyedia Transportasi Darat Jamaah Haji Indonesia di Arab Saudi Tahun 1436 H/2015 M; 12. Kepdirjen PHIU Nomor D/47/2015 tentang Pembentukan Tim Seleksi Perusahaan Katering Penyedia Konsumsi Jamaah Haji Indonesia di Arab Saudi Tahun 1436 H/2015 M; 13. Kepdirjen PHU Nomor D/94/2015 tentang Pedoman Seleksi Perusahaan Katering Penyedia Konsumsi Jamaah Haji Indonesia di Arab Saudi Tahun 1436 H/2015 M 14. Peraturan Urusan Haji (at-Ta'limat al-Munadhdhomah Li Syuünil Hajj) Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tahun 1436 H/2015 M.
I-5
BAB II
Komisioner KPHI sedang berkoordinasi dengan PPIH Arab Saudi
ORGANISASI DAN PETUGAS
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
A. TEMUAN ORGANISASI DAN PETUGAS 1. Amirul Haj Keberadaan Amirul Haj yang setiap musim haji selalu ada merupakan lembaga yang secara struktural terpisah dari PPIH Arab Saudi yang bertugas memimpin dan mewakili jamaah haji Indonesia di Arab Saudi. Sebagaimana tahun-tahun yang lalu, pada 2015 personel yang dilibatkan sebagai rombongan Amirul Haj merupakan tokohtokoh muslim tingkat nasional yang merepresentasikan keterwakilan dari ormas Islam yang besar. Namun, hingga saat ini belum ada pembakuan/standarisasi/kriteria siapa saja yang bisa masuk dalam lembaga Amirul Haj tersebut. Penunjukannya lebih kental nuansa kedekatan atau selera pejabat yang memiliki otoritas, sehingga proporsionalitasnya kurang. Akibat dari rekruitmen rombongan Amirul Haj seperti itu, fungsi dan peran rombongan Amirul Haj kurang maksimal. Hal ini sangat terlihat dari operasional sehari-hari yang bergerak dalam rombongan besar dan lebih bersifat seremonial. Yang menonjol adalah kegiatan Amirul Haj yang dijabat rangkap oleh Menteri Agama memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga banyak menjangkau sasaran strategis dalam penyelenggaraan ibadah haji Indonesia di Arab Saudi. 2. Struktur Organisasi PPIH Arab Saudi Sebagaimana pengorganisasian PPIH Arab Saudi tahun yang lalu, pada pengorganisasian PPIH Arab Saudi tahun 1436 H/2015 juga masih terjadi dikotomi antara unsur Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dikotomi ini sebagai implikasi dari Keputusan Menteri yang berbeda dan sumber dana yang berbeda pula. Secara spesifikasi, tugas dan keahlian dua kementerian ini memang berbeda. Namun jika keputusan tertinggi berasal atau terpusat pada satu otoritas Kemenag sebagai Penanggung Jawab Utama dibantu oleh Kemenkes sebagai supporting dengan pendanaannya juga sama, dikotomi itu bisa dieliminasi. Sinergitas dalam manajemen maupun operasional di lapangan sangat dibutuhkan untuk menangani tugas PPIH Arab saudi dengan dinamika tinggi a. Kelompok Pimpinan PPIH Di samping masalah kurangnya sinergitas yang dirasakan langsung di lapangan antara unsur Kemenag dan Kemenkes, dalam pengorganisasian PPIH Arab Saudi pada 2015 ini masih dirasakan
II-2
Organisasi dan Petugas
besarnya kelompok unsur pimpinan PPIH Arab Saudi. Akibatnya, otorisasi kewenangan di lapangan menjadi rancu dan jalur Komando Pengendalian (Kodal) beragam atau sebaliknya, yaitu saling menunggu. Dampaknya, menimbulkan keraguan petugas pelaksana dan berakibat kurang cepatnya penanganan masalah yang terjadi di lapangan. Terjadinya dua kasus yang berdampak besar terhadap jamaah haji Indonesia di Arab Saudi pada tahun ini merupakan sebagian indikator dari otoritas yang rancu dan Kodal yang kurang jelas, yaitu: 1) Terjadinya bus-bus yang rusak dan mogok di tengah jalan saat mengangkut jamaah haji dari Madinah ke Makkah pada jamaah haji Indonesia gelombang satu. Cuaca sedang sangat panas dan jamaah tidak disediakan tempat berteduh, kecuali di dalam bus yang rusak tersebut. Kondisi ini menjadi beyond health atau pemicu awal dehidrasi jamaah. Ketika memasuki Armina, jumlah jamaah yang jatuh sakit dan meninggal dunia melonjak sangat tinggi. Kasus ini terjadi tiap hari tanpa ada penanganan yang berarti karena diserahkan kepada pihak Naqobah atau perusahaan. Langkah mereka antara lain mendatangkan bus pengganti tetapi ternyata rusak lagi. Penanganan serius dilakukan setelah KPHI mendesak Kemenag RI dan PPIH Arab Saudi untuk segera melakukan kontijensi plan agar dampaknya kepada jamaah tidak semakin meluas, maka untuk pengangkutan jamaah haji gelombang kedua diganti dengan bus upgrade. 2) Terjadinya tragedi Mina pada 10 Zulhijjah 1436 H di Jalan 204 Syouqul Arab sekitar pukul 08.00 hingga 10.00 WAS. Saat itu jamaah haji Indonesia yang berasal dari perkemahan Mina Jadid akan melontar jumroh Aqabah. Semula mereka berjalan menyusuri rute yang lazim dipakai jamaah haji Indonesia, yaitu Jalan Malik Fahd. Di tengah perjalanan, tiba-tiba terjadi penutupan jalan oleh askar Arab Saudi, sehingga jamaah haji Indonesia dibelokkan ke arah Jalan 204. Akibatnya, terjadi pemusatan arus jamaah dari tiga jalur jalan menjadi satu jalur jalan tanpa panduan dan pengawalan oleh petugas, sehingga jamaah saling berdesakan, kepanikan, dan kekurangan oksigen yang menyebabkan jatuhnya korban wafat ribuan orang jamaah haji. Kasus ini telah dilaporkan oleh petugas Pos Muasim 3 kepada Kasatgas Mina pada pukul 09.00 WAS. Namun, responnya kurang tepat dan tidak ditindaklanjuti dengan prosedur Kodal yang benar dalam menangani keadaan darurat. Satops Armina/PPIH Arab Saudi baru bergerak ke tempat
II-3
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
kejadian peristiwa (TKP) pada sekitar pukul 11.00 WAS di mana peristiwa telah terjadi dan korban berserakan di sepanjang Jalan 204. Struktur PPIH Arab Saudi tahun ini terdapat sejumlah jabatan yang merupakan kelompok pimpinan PPIH Arab Saudi berjumlah 17 orang, terdiri atas: a) Penanggung Jawab dan Wakil Penanggung Jawab (2 orang) b) Koordinator, Koordinator Harian, dan Askor (6 orang) c) Pengendali Teknis/pejabat eselon II Kemenag (6 orang) d) Ketua dan Wakil Ketua PPIH Arab Saudi (3 orang) Kelompok pimpinan sebanyak ini ditambah dengan rombongan Amirul Haj menjadi semakin tambah hiruk-pikuknya kelompok pimpinan PPIH Arab Saudi. Akibatnya, efektifitas dan efisiensinya menjadi kurang, khususnya dalam penggunaan Kodal Operasional PPIH Arab Saudi. b. Kepala/Koordinator Staf Operasional Dalam pengorganisasian PPIH Arab Saudi tidak terdapat jabatan Kepala/Koordinator Staf Operasional (Kasops). Padahal, rentang kendali pimpinan PPIH Arab Saudi beserta satuan operasional di bawahnya demikian luas dan bersifat kompleks. Ketua PPIH Arab Saudi membawahkan dan mengendalikan 11 Kepala Bidang dan empat Satuan Pelaksana serta dua Staf Administrasi. Kepala Bidang terdiri atas Bidang Ibadah dan Pengawasan Kelompok Bimbingan, Bidang Pengendalian Petugas, Bidang Pengawasan PIHK, Bidang Perumahan, Bidang Katering, Bidang Transportasi, Bidang Data dan Informasi, Bidang Akuntansi dan Pelaporan, Bidang Perlindungan Jamaah, Bidang Pelayanan Kedatangan dan Kepulangan, dan Bidang Kesehatan (unsur Kemenkes). Sementara Satuan Pelaksana terdiri atas Daerah Kerja (Daker) Bandara, Daker Makkah, Daker Madinah dan Satops Armina. Demikian pula pengorganisasian di tingkat Satuan Pelaksana (Daker dan Satops) jumlah unsur pembantu pimpinan atau Staf Pelaksana mirip yang ada di tingkat PPIH Arab Saudi (Teknis Urusan Haji). Bahkan, pada Satuan Pelaksana PPIH Arab Saudi mempunyai Satuan Pelaksana di bawahnya lagi berupa sektor-sektor yang jumlahnya banyak. Daker Bandara membawahkan dua sektor, Daker Makkah membawahi 10 sektor, Daker Madinah membawahkan enam sektor.
II-4
Organisasi dan Petugas
Dengan pengorganisasian seperti ini, betapa padat dan kompleksnya jalur komunikasi yang masuk dan keluar dari seorang pimpinan PPIH Arab Saudi maupun Satuan Pelaksana di bawahnya. Di tingkat KUHI (TUH), seorang Ketua PPIH harus mengelola komunikasi yang berasal dari pimpinan yang lebih tinggi sebanyak 20an jalur dan unsur-unsur di bawahnya sebanyak 17 jalur. Selain itu, mengelola komunikasi dengan unsur-unsur mitra kerja dari instansi pemerintah dan pengelola perhajian di Arab Saudi yang demikian banyak. Bila ditambah dengan unsur-unsur pengawasan, seorang Ketua PPIH harus mengelola jalur komunikasi formal mencapai 50-an jalur. Hal ini belum termasuk jalur informal dari tokoh-tokoh nasional yang terkait dan kelompok penyelenggara haji khusus. Akibat dari sangat padat dan kompleksnya jalur komunikasi yang keluar dan masuk kepada Pimpinan PPIH Arab Saudi (KUHI), Daker, dan Sektor berakibat campur-aduknya informasi yang harus dikelolanya. Akibatnya, hal-hal sangat urgent yang menyangkut keselamatan jamaah bisa terkalahkan atau tertimpa oleh informasi lain yang datangnya dari atas atau dari institusi yang lebih tinggi tokoh tertentu. Dalam organisasi yang demikian besar dan kompleks permasalahannya, diperlukan pejabat yang menangani hal ini, yaitu Kepala Staf Operasional (Kasops) untuk membantu pimpinan demi terselenggaranya operasional penyelenggaraan ibadah haji yang lancar.
Gambar II-1: Komisioner KPHI sedang rapat dengan Kepala Daker Makkah
II-5
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
3. Rekrutmen Petugas a. Kinerja Petugas Kinerja petugas haji tahun 2015, baik yang melekat pada kloter maupun nonkloter, masih dirasakan ada yang kurang maksimal. Sebagai contoh yang ditemukan KPHI dalam pengawasan di lapangan antara lain: 1) Para Ketua Kloter (TPHI), terutama yang jamaahnya menjadi korban tragedi Mina 2015, memiliki disiplin dan kepemimpinan yang kurang, sehingga tidak mampu mengatur dan mengendalikan jamaahnya saat pelontaran jumrah Aqabah. Bahkan, ada Ketua Kloter yang mensosialisasikan jadwal melontar hanya secara informal dan tidak tahu pelaksanaan melontar bagi jamaahnya (kapan saja, siapa dan berapa orang, serta pimpinannya siapa). 2) Petugas pembimbing ibadah di sektor ada yang tidak menguasai tugasnya dan bukan berlatar belakang pendidikan Agama, sehingga tidak mampu berkoordinasi dan mengendalikan pelaksanaan bimbingan ibadah yang diselenggarakan oleh TPIHI di kloter-kloter dalam sektornya. Dari dua macam contoh di atas tentu ada benang merahnya dengan proses rekrutmen, walaupun tidak menggambarkan secara menyeluruh. Karena dari proses rekrutmen juga telah ditemukan secara sample oleh KPHI beberapa kekurangan dalam tes calon petugas, antara lain: a) Tidak ada perbedaan yang jelas pada soal tes di daerah/wilayah antara calon petugas TPHI, TPIHI, dan PPIH, sehingga tidak bisa menggambarkan kemampuan petugas yang sebenarnya pada masing-masing kelompok. b) Soal tes tertulis di tingkat daerah bentuknya esai yang mudah dan sederhana karena lebih banyak bersifat hafalan suatu pengertian, bukan bersifat problem solving terhadap suatu permasalahan yang akan dihadapi dalam tugas TPHI, TPIHI, dan PPIH. Sementara soal tes wawancara terbatas pada materi bacaan al Quran, bahasa Arab dan manasik. c) Kelulusan tes tidak ditentukan di tempat/instansi di mana mereka mengikuti tes yang langsung menilai hasilnya, tetapi ditentukan di instansi yang lebih tinggi, sehingga rawan terjadi manipulasi.
II-6
Organisasi dan Petugas
d) Lembar jawaban tes masih tercetak ada kolom untuk mencantumkan identitas peserta tes. Walaupun nama tidak boleh diisi, identitas instansi dan jabatannya masih diisi. Karena itu, kurang menggambarkan obyektifitas dalam penilaian. e) Kunci jawaban tes yang diselenggarakan di tingkat Provinsi/ Kanwil Kemenag untuk petugas nonkloter (PPIH) berupa plastik transparan dengan kode kotak hitam untuk jawaban pada nomor/angka yang benar, sehingga sulit mengetahui secara persis apa jawaban yang diberikan oleh peserta. Hal ini bisa terjadi salah menilai dan merugikan peserta. b. Tenaga Musiman Rekrutmen tenaga musiman (temus) haji yang jumlahnya sebanyak 533 personel di antaranya diisi dari para mahasiswa Indonesia di negara kawasan Timur Tengah. Tahun ini mereka mengalami keterlambatan, di antaranya alasan visa. Akibatnya, layanan Daker Bandara (Madinah dan Jeddah), serta berbagai tugas pemanduan dan pelayanan kedatangan jamaah ke pemondokan juga mengalami hambatan dan membebani tenaga administratif karena harus turun ke lapangan langsung. Karena itu, pada tahun mendatang agar rekrutmen temus diutamakan dari kelompok masyarakat Indonesia yang tinggal di Saudi (mukimin) dengan kriteria yang ketat. Misalnya, badan sehat dan berusia di bawah 50 tahun, memiliki ketrampilan pada bidang tertentu, dan cakap berbahasa Arab. Keuntungan rekrutmen mukimin secara selektif, di antaranya: 1) Menghilangkan atau mengurangi kecemburuan yang menyebabkan ketidakpuasan di kalangan Mukimin. 2) Dapat mengurangi (efek migrasi) angka kriminalitas terhadap jamaah seperti, penipuan dengan berkedok menawarkan jasa/ pertolongan bantuan. 3) Lebih efisien dan memiliki kepastian, misalnya tanpa adanya waktu pengurusan visa dan biaya serta waktu perjalanan dari Indonesia ke Arab Saudi. 4) Lebih menguasai lapangan, medan, wilayah dan lebih memahami kultur dan tradisi di Arab Saudi.
II-7
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
4. Perlengkapan Petugas dan Jamaah a. Perlengkapan Petugas PPIH Sejak tahun 2014 hingga 2015, pakaian petugas nonkloter maupun Kemenag menggunakan seragam baju putih dan celana hitam disertai rompi warna hitam. Sebelumnya, warna pakaian petugas adalah baju biru telor dan celana biru dongker disertai rompi warna biru tua. Sementara itu, petugas kesehatan tetap konsisten sejak dahulu menggunakan seragam baju putih. Sementara jamaah haji pada umumnya selama di Arab Saudi lebih banyak menggunakan pakaian berwarna putih, termasuk pakaian ihram dibanding dengan seragam batik nuansa hijau bagi jamaah Indonesia. Persoalannya adalah ketika petugas PPIH berada pada kerumunan jamaah haji yang sangat banyak atau posisi petugas PPIH jaraknya jauh dari kelompok jamaah haji Indonesia. Jamaah Haji Indonesia akan sulit mengenali keberadaan petugas-petugas PPIH. Padahal, saat itu jamaah haji Indonesia sedang menghadapi masalah yang perlu mendapatkan bantuan segera dari petugas PPIH. Mungkin saat itu di lokasi yang bermasalah ada petugas PPIH. Karena sulit dikenali dengan cepat (kecuali jarak dekat), jamaah haji Indonesia di tempat itu menganggap tidak ada kehadiran petugas PPIH. Permasalahan lain adalah kurangnya alat komunikasi berupa bravo untuk petugas. Menurut data PPIH, ada sekitar 150 buah bravo untuk petugas, tetapi kondisinya belum tentu semuanya baik (ready) untuk operasional. Selain itu, belum tentu semua petugas terampil menggunakan bravo, sehingga pada operasional haji tahun ini KPHI jarang mendengar suara bravo petugas PPIH, termasuk saat operasional Armina. Umumnya, mereka berkomunikasi menggunakan handphone dan WhatsApp, tetapi alat ini lebih bersifat individual. Sementara bravo bersifat public, sehingga orang yang ada di dekatnya bisa mengetahui dan ikut berperan terhadap komunikasi yang sedang dipancarkan. b. Perlengkapan Jamaah Haji Jamaah Haji Indonesia tiap tahun telah mendapatkan perlengkapan yang cukup lengkap terdiri atas pakaian seragam, kain ihram/mukena, koper, tas tenteng, dan tas paspor serta gelang. Perlengkapan ini sangat membantu jamaah haji Indonesia dalam beraktifitas di luar pemondokan, dan sebagai identitas Nasional. Dengan seragam dan gelang khusus, Jamaah Haji Indonesia itu
II-8
Organisasi dan Petugas
Gambar II-2: Model gelang Jamaah Haji Reguler dan Jamaah Haji Furada yang kurang kuat/mudah terlepas
mudah dikenali ketika berada di luar pemondokan, baik secara perorangan maupun kelompok dan rombongan. Persoalan yang masih belum terselesaikan oleh Pemerintah adalah masalah tanda identitas yang demikian kuat ketika jamaah haji Indonesia mengalami tersesat jalan, ghaib, atau meninggal dunia karena kecelakaan atau terkena musibah. Tragedi Mina dan musibah crane di Masjidil Haram tahun 2015 memberikan pelajaran kepada kita betapa sulitnya mengidentifikasi korban yang meninggal atau luka-luka parah. Karena rata-rata identitas yang nampak jelas berupa buku paspor dan kartu-kartu identitas yang lain telah hilang atau rusak. Demikian pula, pakaian rata-rata telah sulit dikenali karena rusak atau berubah warna. Salah satu andalan identitas yang diharapkan masih melekat di tubuh jamaah adalah “gelang haji” yang terbuat dari platina/ perunggu/baja putih yang di dalamnya terdapat data nama, kloter dan nomor paspor serta bendera merah putih ukuran sangat kecil. Gelang ini tahan api bila jamaah mengalami musibah kebakaran, tetapi mudah terlepas karena ringnya bisa dibuka atau dibesarkan atau sebaliknya dikecilkan. Karena gelang ini bisa dilepas dengan mudah, ketika jamaah berdesak-desakan atau terhimpit sesuatu bisa mengakibatkan gelang tersebut terlepas/hilang. Karena itu, gelang jamaah perlu diganti dengan model/jenis lain yang lebih kuat dan mudah untuk mengidentifikasi.
II-9
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
5. Analisis Dampak a. Masalah Peran Rombongan Amirul Haj Persoalannya terletak pada kriteria baku yang belum ada dalam rekrutmen calon rombongan Amirul Haj, sehingga perannya menjadi sumir. Apakah sebagai representasi konfigurasi jamaah haji, sebagai supervisor, atau sebagai konsultan haji. Karena belum diaturnya pedoman rekrutmen terhadap mereka, berakibat peran mereka sebagai tim atau rombongan Amirul Haj tidak maksimal untuk memback up pimpinan Amirul Haj. Pimpinan Amirul Haj yang berperan sebagai pimpinan delegasi jamaah haji Indonesia di Arab Saudi memberikan peran pertimbangan dalam segala aspek penyelenggaraan haji Indonesia demi kelancaran, kenyamanan, dan kekhusukan jamaah haji dalam beribadah. Untuk itu, kepemimpinan Amrul Haj sebaiknya tidak dijabat oleh Menteri Agama, melainkan oleh wakil masyarakat untuk lebih menghindari konflik kepentingan (conflict of interest). b. Masalah Pengorganisasian PPIH 1) Banyaknya jumlah pejabat pada kelompok pimpinan PPIH. Jumlah pejabat pada kelompok pimpinan tinggi PPIH Arab Saudi yang mencapai 19 orang (Wakil Ketua PPIH Arab Saudi sampai dengan Penanggung Jawab) di luar Rombongan Amirul Haj akan berdampak antara lain: a) Otorisasi kewenangan bisa tumpang tindih atau tidak sepenuhnya (setengah-setengah). b) Rantai komando dan pengendalian menjadi rancu dan kabur. c) Inefisiensi sumber daya manusia dan anggaran. Akibatnya, pimpinan PPIH Arab Saudi kurang cepat tanggap mengatasi setiap dinamika operasional yang berkembang secara cepat seperti contoh temuan fakta di atas. Dampaknya kepada tingkat pelayanan terhadap jamaah haji Indonesia menjadi kurang dan berimplikasi pada terjadinya kerugian personel (sakit dan meninggal dunia) atau materiil (kerusakan, kehilangan, kesalahan/ campur aduk dan lain-lain). 2) Tidak adanya jabatan Kepala Staf Operasional Organisasi yang besar dan strategis (berdimensi luas dan multifungsi), apalagi memiliki waktu dan tempat terbatas, sehingga dinamika persoalan bisa berkembang dengan cepat dan
II-10
Organisasi dan Petugas
kompleks. Untuk itu, diperlukan unsur-unsur pembantu pimpinan yang lengkap sesuai kompleksitas tugas yang dihadapi. Di samping itu, perlu adanya pejabat yang mengkoordinir sehari-hari sebagai tangan kanan ketua PPIH Arab Saudi untuk mengelola terhadap informasi/laporan dan kegiatan operasional yang langsung berhubungan dengan sasaran tugas, yaitu pelayanan jamaah haji Indonesia. Sementara itu, tugas-tugas yang bersifat administratif dikelola sehari-hari oleh pejabat fungsional yang dikendalikan oleh Wakil Ketua PPIH. Kenyataan dalam pengorganisasian, PPIH Arab Saudi yang mengendalikan petugas sekitar 3.500 orang dan sasarannya untuk melayani sekurang-kurangnya sebanyak 154.000 orang jamaah haji dengan lokasi di negara lain yang memiliki karakteristik jauh berbeda dengan Indonesia, baik geografis, demografis, maupun kulturalnya. Di samping itu, lokasi penyelenggaranya juga terbatas dan waktunya telah ditetapkan sedemikian sempit. Sementara jamaah haji dari negara lain sedunia yang jumlahnya sekitar sepuluh kali lipat jamaah haji Indonesia juga melakukan hal yang sama di tempat yang sama dan waktu yang bersamaan pula. Kondisi demikian sangat diperlukan adanya pejabat pembantu utama Pimpinan PPIH Arab Saudi, yaitu Kepala Staf Operasional (Kasops). c. Masalah Rekrutmen Petugas Dalam temuan KPHI, pada proses seleksi calon petugas haji kloter maupun nonkloter bahwa untuk menghasilkan performa petugas yang profesional (minimal terampil) diperlukan sistem rekrutmen yang tepat, jujur, dan transparan. Di antaranya dengan menerapkan persyaratan khusus untuk calon yang akan menduduki jabatan/tugas khusus dalam organisasi PPIH Arab Saudi maupun kloter. Pengalaman rekrutmen yang lalu terdapat kekurangcermatan terhadap kualifikasi calon, sehingga berakibat kompetensi petugas yang direkrut ada yang tidak tepat. Hal ini diperparah dengan soal untuk tes terhadap calon petugas yang bersifat general tanpa ada pembeda antara soal tes untuk bidang-bidang tertentu yang bersifat spesifik. Metode ini berasumsi bahwa semua tugas perhajian bisa dilakukan dengan baik oleh semua orang tanpa kualifikasi tertentu. Kesalahan ini berakibat pada kinerja sebagian petugas tidak maksimal.
II-11
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
d. Masalah Perlengkapan Petugas dan Jamaah Kebutuhan bravo yang jumlahnya masih kurang untuk alat komunikasi dan pengendalian petugas PPIH Arab Saudi sangat mendesak. Meskipun teknologi komunikasi sekarang telah menjadikan tiap orang merasa wajib memiliki HP, sehingga semua petugas PPIH secara pribadi telah memiliki alat komunikasi ini. Untuk komunikasi publik, HP memiliki keterbatasan karena memang bukan diperuntukkan untuk kebutuhan itu. Oleh sebab itu kebutuhan bravo bagi petugas perlu diprioritaskan untuk dipenuhi. Namun, perlu diperhatikan etika penggunaannya jangan sampai bravo dimanfaatkan untuk berkomunikasi di luar kepentingan tugas karena akan menjadikan arus komunikasi terlalu padat dan mengganggu urusan tugas. Persoalan warna pakaian petugas perlu penelitian lebih mendalam agar penggunaannya betul-betul memberi manfaat yang optimal bagi jamaah haji Indonesia maupun petugas yang memakainya. Karena fungsinya adalah untuk memudahkan jamaah mengenali keberadaan petugas PPIH Arab Saudi, maka warnanya harus mencolok dan tidak sama dengan warna pakaian yang umum dipakai petugas lain atau jamaah haji dari seluruh dunia. Misal warna kemerahan, hijau toska atau biru tua merupakan warna yang mencolok dan belum banyak dipakai sebagai warna pakaian seragam negara lain. Sementara perlengkapan bagi jamaah haji Indonesia yang perlu disempurnakan adalah tanda identitas yang kuat terhadap kerusakan a k i b a t terken a ge se kan, a i r da n a p i serta p raktis penggunaannya. Bentuk gelang sangat ideal diterapkan, tetapi perlu dibuat yang permanen Gambar II-3: Contoh seragam petugas haji yang mencolok warnanya sehingga mudah dikenali dan elastis. Gelang tersebut hanya bisa dilepaskan bila dipotong dengan gunting besi atau dirusak klemnya. Namun, perlu diperhatikan agar gelang tersebut tidak sempit dipakai jamaah haji agar tidak menghalangi keabsahan bersuci dan nyaman dipakai. Apabila, gelang tersebut diberi alat semacam “chips GPS” yang sewaktu-waktu bisa dikontrol posisinya. Dengan begitu, akan sangat memudahkan petugas PPIH untuk mendeteksi jamaah tersebut ketika dicari pada saat terjadi suatu musibah atau hilang atau tersesat jalan.
II-12
Organisasi dan Petugas
B. REKOMENDASI DAN SARAN TINDAK LANJUT ORGANISASI DAN PETUGAS Rekomendasi 1. Jabatan pimpinan Amirul Haj sebaiknya tidak dirangkap Menteri Agama dan kriteria rekrutmen anggota Amirul Haj agar dibakukan, sehingga tugas, fungsi dan perannya jelas. 2. Pemerintah agar merestrukturisasi PPIH Arab Saudi dengan memperkecil jumlah pimpinan dan menambah jabatan baru Kepala Staf Operasional di tingkat KUHI, Daker dan Sektor. 3. Pemerintah agar melakukan proses seleksi petugas haji yang ketat dan transparan dengan kompetensi petugas kloter dan nonkloter yang disesuaikan spesifikasi tugas yang akan dihadapi. 4. Pemerintah agar menyiapkan pakaian petugas PPIH Arab Saudi dengan menggunakan warna yang mencolok, spesifik dan secara umum tidak sama dengan warna pakaian jamaah haji. 5. Pemerintah agar melengkapi kebutuhan bravo untuk petugas dan mengganti gelang jamaah haji dengan yang lebih kuat dan tidak bisa lepas/rusak.
Saran Tindak Lanjut a. Rekrutmen calon anggota Amirul Haj agar dibakukan unsur dan kriterianya, sehingga tugas, fungsi dan peran yang akan dilakukan mereka jelas dan dapat dilaksanakan secara maksimal. Unsurunsurnya terdiri dari: 1) Unsur ormas Islam tingkat nasional, pesantren terbesar dan Perguruan Tinggi Islam lima orang. 2) Unsur pakar sesuai bidang yang terkait dalam penyelenggaraan ibadah haji (kesehatan, transportasi, perlindungan, manajemen) empat orang b. Restrukturisasi PPIH Arab Saudi agar dilakukan dengan cara: 1) Memperkecil jumlah pimpinan dengan mereposisi para Pengedali Teknis dan KUHI menjadi: a) Pengendali Teknis Luar Negeri menjadi Ketua PPIH Arab Saudi b) Pengendali Teknis lainnya (5 orang) menjadi Tim Asistensi c) Pejabat KUHI/TUH Jeddah menjadi Wakil Ketua/Ketua Pelaksana Harian (Kalakhar) PPIH Arab Saudi.
II-13
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
2) Menambah jabatan baru, yaitu Kepala Staf Operasional (Kasops) untuk mengelola informasi dan komunikasi timbal balik yang sangat padat guna kepentingan pengambilan keputusan dan sarana Kodal Ketua PPIH. Di samping itu, Kasops berperan sebagai pengendali sehari-hari kegiatan operasional yang terkait langsung dengan jamaah haji Indonesia. Nomenklatur jabatannya sebagai berikut: a) Kepala Staf Operasional (Kasops) untuk tingkat PPIH/KUHI b) Kepala Seksi Operasional (Kasiops) untuk tingkat Daker c) Pelaksana Operasional (Palakops) untuk tingkat Sektor 3) Struktur organisasinya sebagai berikut: a) Untuk tingkat PPIH KETUA PPIH
KABID-KABID (11)
DAKER
KASOPS
DAKER
DAKER
SES
SATOPS
b) Untuk tingkat Daker KADAKER
KASI-KASI
KASIOPS
SEKTOR-SEKTOR
II-14
SES
Organisasi dan Petugas
c) Untuk tingkat Sektor KASEKTOR
KORWIL
PELAKSANA
KASOPS
SES
KLOTER-KLOTER
c. Kompetensi petugas kloter dan nonkloter agar ditata kembali sesuai dengan tugas dan fungsi yang diemban. Materi seleksi juga harus dibedakan antara petugas yang menangani fungsi umum dan fungsi khusus (tidak digeneralisasi). 1) Untuk petugas kloter perlu dibenahi kelemahan yang lalu yaitu masalah kedisiplinan dan kepemimpinannya. Karena itu, perlu adanya contoh Ketua Kloter yang memiliki kualifikasi demikian yang ditempatkan di tiap daerah (Kabupaten Kota) satu orang. Calonnya bisa direkrut dari TNI/Polri atau profesi lain yang disiplin dan kepemimpinannya baik, serta memiliki ketakwaannya baik pula. 2) Untuk petugas nonkloter agar diklasifikasi calon dan materi seleksinya sesuai kebutuhan dalam PPIH Arab Saudi, seperti spesifikasi administrasi, keuangan, transportasi, katering, ustaz, pengawasan, dan kesehatan. 3) Rekrutmen petugas tenaga musiman diprioritaskan mukimin di Arab Saudi yang memiliki keterampilan tertentu, menguasai medan dan sikon di Arab Saudi, serta cakap berbahasa Arab.
II-15
BAB III
Pemantauan penyelenggaraan administrasi Siskohat oleh Komisioner KPHI
ADMINISTRASI DAN SISTEM
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
A. TEMUAN SISTEM E-HAJJ
E-Hajj merupakan sistem elektronik yang dibuat oleh Kementerian Haji untuk dua tujuan. Pertama, untuk mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan kepada jamaah haji selama berada di Arab Saudi. Kedua, untuk merealisasikan transparansi paket-paket pelayanan, yaitu dengan mewajibkan seluruh pemangku kepentingan (stake holder), baik pemerintah maupun swasta/travel, untuk melakukan transaksi pelayanan melalui sistem elektronik yang terintregrasi. Penerbitan visa haji akan bergantung kepada kelengkapan paket pelayanan, yaitu perumahan, katering dan transportasi. Dengan sistem e-hajj, dimungkinkan jamaah haji akan mengetahui segala jenis pelayanan yang diterimanya ketika di Tanah Air dan memudahkan pihak pengawas untuk memonitor apakah paket pelayanan yang diberikan sesuai. Jamaah tercatat dalam sistem, sehingga meminimalisir pelanggaran pihak-pihak tertentu dalam memberikan pelayanan. Selain itu, perubahan Kebijakan Pemerintah Saudi akan mengubah seluruh transaksi pelayanan dari manual menuju elektronic service. Langkah-langkah penerapan e-hajj mencakup lima aktivitas: penunjukkan penanggung jawab aktivasi e-hajj, penyiapan biaya jaminan pelayanan, pelaksanaan kontrak, paket pelayanan serta penerbitan visa. Untuk mewujudkan sistem e-hajj, Kantor Urusan Haji melakukan kontrak-kontrak pelayanan haji dengan Muasasah Thawaffah Makkah, Muasasah Adilla Madinah, Maktab Wukalla al Muwahhad, perumahan jamaahhaji di Makkah dan Madinah, transportasi dengan Naqabah dan upgrade, serta pelaksana katering. Sementara pihak Kementerian Agama menyusun paket pelayanan yang akan diberikan kepada jamaah haji. Paket Pelayanan tersebut meliputi perumahan (Makkah dan Madinah), transportasi, katering (Makkah, Madinah, Masyair). Setelah mengentri data jamaah haji dan menyusun seluruh paket pelayanan yang diberikan kepada mereka, Kementerian Agama mengirimkannya kepada Kementerian Haji. Kementerian Haji Arab Saudi akan menindaklanjuti dengan mengirim data-data tersebut kepada Kementerian Luar Negeri untuk kemudian dimintakan penerbitan visanya. Sistem e-hajj sebenarnya sudah mulai disosialisasikan sejak dua tahun lalu. Dasar pelaksanaan e-service hajj adalah: a. Keputusan Dewan Menteri Nomor 386 Tanggal 22 Dzulhijjah 1433H tentang Persetujuan Proyek Pendirian Jalur Elektronik Untuk Pelayanan Jamaah Haji Luar. b. MoU Menteri Haji Arab Saudi dengan Menteri Agama RI pada tanggal 20 Rabiul Awwal 1435H/21 Januari 2014 tentang Persiapan Haji Tahun 1435H/2014M yang salah satu isinya meminta Kantor Urusan Haji
III-2
Administrasi dan Sistem
untuk melakukan seluruh proses transaksi dengan sistem elektronik dan penerbitan visa haji akan dikaitkan dengan kelengkapan paket pelayanan yang diberikan kepada jamaah haji. 1. Keterlambatan Visa a. Kendala teknis Penyelenggaraan ibadah haji tahun 2015 Masehi atau 1436 Hijriyah ditandai dengan keterlambatan penerbitan visa jamaah di seluruh embarkasi. Penyebab keterlambatan penerbitan visa, antara lain disebabkan penerapan e-hajj yang secara sistem belum siap 100 persen. Beberapa embarkasi yang mengalami keterlambatan visa jamaah, antara lain: 1. Pada saat keberangkatan (21/8/2015), 51 jamaah calon haji (calhaj) tidak bisa diberangkatkan dari Embarkasi Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah karena belum memiliki visa. Jamah yang tertunda keberangkatannya terdiri atas kloter 1 (18 orang), kloter 2 (20 orang) dan kloter 3 (13 orang).Karena problem teknis, akhirnya yang ditunda keberangkatannya tidak hanya 51 calhaj, tetapi ditambah 17 orang yang merupakan pasangan atau pendamping calhaj yang mengalami masalah visa. 2. Pada 2 September 2015 sebanyak 80 visa calhaj di embarkasi Surabaya mengalami keterlambatan. 3. Pada penerbangan pertama (21 Agustus 2015) 41 JCH NTB tertunda keberangkatannya. Jumlah calhaj NTB kloter pertama sebanyak 360 orang ditambah dengan petugas haji. 4. Di Embarkasi Makassar, sebanyak 18 calhaj dari kloter satu masih belum berangkat pada 21 Agustus 2015 karena visa yang belum terbit. Sementara di kloter empat dari Provinsi Papua Barat terdapat 11 calhaj belum mendapatkan visa pada 25 Agustus 2015. Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, persoalan visa haji terjadi karena faktor teknis. Pemasukan (input) data dokumen membutuhkan waktu lama karena ada perubahan dibanding dengan tahun lalu. Data yang dimasukkan lebih rinci (seperti nama jamaah, nomor paspor, maskapai, hotel, katering dan transportasi darat) yang dikelola dalam satu sistem, yakni e-hajj. Karena keterbatasan petugas dan kesalahan calon haji dalam menulis nama dan meletakkan foto, data itu ditolak sistem, sehingga perlu pendataan ulang. Keterlambatan visa haji tidak hanya dialami di Indonesia saja, tetapi juga dialami calon jamaah dari negara lain. Selain Indonesia, ada negara yang menggunakan sistem e-hajj dan mengalami hal serupa
III-3
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
seperti Indonesia, di antaranya Nigeria. Dari 66 ribu calon jemaah haji Nigeria, ada 24 ribu calon jemaah haji yang terkendala visa. Direktur Jenderal (Dirjen) Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Abdul Djamil juga mengemukakan kendala teknis aturan baru sistem e-hajj karena untuk mendapatkan visa bagi jamaah harus melalui tahapan-tahapan pemaketan data jamaah. Tahapan itu antara lain jamaah itu harus sudah jelas mendapatkan hotel di Tanah Suci, termasuk transportasi dan penyedia kateringnya. Kendala lain adalah keterlambatan pengiriman dokumen dari Kanwil Kemenag di daerah ke pusat. Kendala lain sistem e-hajj bermasalah (hang), sehingga selama 14 hari proses tidak bisa mencetak visa. Setelah sistem normal, PPIH tidak bisa memilih visa mana yang harus lebih dahulu dicetak.
Gambar III-1: Proses penyiapan visa Jamaah Haji Indonesia
b. Kesiapan SDM Seluruh jajaran Kementerian Agama dan Kedutaan Besar Arab Saudi di Indonesia serius menangani persoalan keterlambatan visa haji Indonesia. Pada 24 Agustus 2015, jumlah visa yang belum diselesaikan sebanyak 6.563 buah atau kira-kira 4 persen. Sehari berikutnya, visa yang belum bisa diselesaikan 4.149 visa. Bahkan, pada pukul 20.00 WIB ternyata visa yang tersisa hanya tinggal 1.707 buah. Dalam rentang waktu yang sangat pendek, bisa diselesaikan proses penyelesaian visa sebanyak 2.665 buah. Namun, pada hari-hari berikutnya terjadi pelambatan di dalam penyelesaian visa ini, yaitu hanya dapat diselesaikan sebanyak 871
III-4
Administrasi dan Sistem
visa dan masih kurang 1.109 visa. Kemudian, malam harinya bisa lagi diselesaikan sebanyak 366 visa, sehingga masih tersisa sebanyak 743 visa. Lalu keluar lagi visa sebanyak 571. Total sisa visa pada 27 Agustus 2015 sebanyak 192 buah dan bisa dituntaskan pada 28 Agustus 2015. Keterlambatan pengurusan visa sebagian calon jamaah haji terkait dengan kesiapan petugas dalam mengantisipasi potensi masalah dari penerapan sistem e-hajj. Dengan sistem baru, PPIH semestinya sudah mengantisipasi sejak dini dengan menyiapkan petugas (kuantitas dan kualitas). Khususnya, kecermatan petugas dalam melakukan check and re-check terhadap tahapan dan proses pengurusan visa jamaah haji. Pengurusan visa memang bukan menjadi tugas Siskohat. Siskohat hanya memberikan akses bagi bagian dokumen untuk mengecek posisi jamaah yang sudah lunas membayar sebagai dasar pengurusan visa. Visa bagi jamaah baru akan diproses setelah jamaah melunasi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) pada 1-30 Juni 2015 (tahap I) dan 7-13 Juli 2015 (tahap II). Keterlambatan dalam penetapan BPIH (yang baru ditetapkan pada 22 April 2015 dan Keppresnya turun pada 25 Mei 2015) berdampak pada tahapan selanjutnya: kontrak fasilitas pelayanan, pelunasan, pengurusan paspor, hingga pengurusan visa. Karena itu, agar tidak terjadi keterlambatan visa calon jamaah haji pada 2016, penetapan BPIH lebih awal. Di sisi lain, SDM pengelolaan haji pun harus diinovasi untuk menyesuaikan Siskohat dengan sistem e-hajj.
Gambar III-2: Penyiapan dokumen visa
III-5
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
c. Penggabungan kloter Untuk menyiasati keterlambatan pemberangkatan, PPIH melakukan penggabungan antar kloter. Calon haji yang gagal berangkat sesuai jadwal kloter akan diikutkan ke kloter berikutnya. Kekurangan kapasitas jamaah di kloter pertama diikutkan ke kloter berikutnya yang visanya sudah jadi. Kloter dua digabung dengan kloter satu, kloter tiga digabung dengan kloter dua. Keterlambatan visa untuk sebagian jamaah haji asal Indonesia berimbas pada penempatan di pemondokan. Jamaah haji yang terlambat tiba di Makkah langsung berkoordinasi dengan petugas untuk menyampaikan keterlambatan visa. Jamaah yang sudah bergabung dengan kloter akan pulang bersama-sama dengan kloternya. Daker Makkah akan menawarkan pilihan tersebut agar jamaah tidak merasa dirugikan karena masa tinggalnya berkurang di Makkah. Jamaah haji asal Indonesia tinggal paling lama 39 hari di Arab Saudi. Jika jamaah yang terlambat kembali ke kloternya, jumlah masa tinggal di Arab Saudi berkurang. Tidak ada masalah dengan pemulangan jamaah yang dengan masa tinggal lebih cepat di Arab Saudi. Selama ini, PPIH di Arab Saudi menerapkan mekanisme tanazul untuk jamaah yang ingin pulang lebih cepat. Jamaah haji tanazul diprioritaskan untuk jamaah yang sakit. Namun, jamaah juga bisa mengajukan tanazul dengan alasan ada acara yang harus dihadiri. Selama ini, jamaah pulang dini tidak bersamaan dengan kloter dan dengan syarat masih ada seat. Jamaah yang visanya terlambat pun bisa dimasukan dalam jamaah pulang dini. 2. Proses e-hajj Proses e-hajj di lingkungan Kementerian Agama dilakukan oleh dua pihak, yaitu Kantor Urusan Haji di Jeddah dan Subdit Dokumen Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU). Masing-masing mempunyai tugas sesuai dengan struktur organisasinya. Kantor Urusan Haji (KUH) di Jeddah sebagai penanggung jawab operator e-hajj yaitu: (a) melakukan aktivasi e-hajj sebagaimana protapnya. Aktivasi dilakukan sejak awal Maret 2015 dengan pemberian user name. Setelah itu, ada kewajiban yang harus dilakukan antara lain: input kontrak layanan akomodasi Makkah dan Madinah, input layanan katering di Makkah, Madinah, dan Masyair, serta input data jamaah.
III-6
Administrasi dan Sistem
Mulai April hingga Juni 2015, sistem e-hajj masih dalam masa koordinasi dengan pihak programmer. Hal ini disebabkan dari pihak programmer nampaknya belum siap 100 persen terkait eksekusi dengan input-input dimaksud. Sempat terjadi permasalahan dengan data jamaah. Pada tahap pembicaraan awal, mandatory dalam sistem e-hajj hanya dua kata untuk nama jamaah. Jika nama jamaah dalam paspor terdiri atas dua kata, sistem sudah dapat menerima. Namun dalam perkembangannya, setelah melakukan koordinasi dengan pihak programmer, ternyata programmer masih belum dapat memastikan apakah dengan dua atau tiga kata. Hal ini menjadikan permasalahan di daerah karena ada beberapa jamaah yang paspornya sudah selesai dengan nama dua kata. Sementara informasi yang didapat bahwa sistem hanya akan menerima nama dengan tiga kata. Pengubahan nama tidak mungkin. Dalam paspor, jika terjadi perubahan nama adalah dengan sistem indoors. Sistem ini biasanya bukan pada halaman pertama, melainkan pada halaman pengesahan. Jika nama dengan dua kata (misalnya “Ahmad Maulana”) lalu diminta dengan tiga kata, bukan di halaman pertama. Jika yang diminta adalah perubahan pada halaman pertama, berarti harus mengubah paspor. Karena itu, pernah dilakukan indoors dari dua kata menjadi tiga kata. Secara sistem, sebenarnya hal ini tidak dimungkinkan karena sistem hanya membaca pada lembar pertama dan tidak bisa pada lembar pengesahan.Untungnya, penggunaan dua kata yang merupakan mandatory itu dapat dibaca oleh sistem, sehingga permasalahan ini dapat terselesaikan. 3. Request visa Permasalahan berikutnya adalah terkait dengan proses request visa. Penjelasan yang disampaikan oleh pihak programmer kepada tim KUH pada pertama kali berbeda-beda. Seorang programmer menjelaskan hal yang tidak sama dengan penjelasan programmer lain pada minggu berikutnya. Pada waktu penjelasan Penasihat Menteri Haji Bidang E-hajj dengan Staf Teknis Haji I, termasuk staf lainnya, ternyata belum ada kata sepakat terkait dengan request visa dalam sistem e-hajj. Padahal, awal Juni 2015 proses visa sudah dibuka oleh pihak Kedutaan Besar Arab
III-7
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Saudi di Jakarta. Waktu itu diusulkan agar proses visa tidak dikaitkan dengan paket e-hajj. Hal yang terpenting adalah input data terkait dengan kontrak pelayanan dan input data jamaah oleh Ditjen PHU. Proses input data jamaah tidak mengalamani kesulitan karena tahun pada 2014 KUH sudah memiliki alat pemindai sebanyak lima unit yang dapat membaca data. Sekitar Juli 2015 KUH membeli alat serupa sebanyak tiga unit. Sampai dengan 28 Juli 2015 proses input data berjalan lancar. Hal tersebut disebabkan belum ada kebijakan Pemerintah Arab Saudi terkait dengan paket e-hajj sebagai bagian yang mandatory dalam request visa. Sejak 28 Juli 2015 Kementerian Haji Arab Saudi mensyaratkan bahwa paket e-hajj adalah bagian yang mandatory atau keharusan. Padahal, pada awalnya paket tersebut bukan mandatory. Bahkan, awalnya yang dimaksud dengan paket adalah yang terkait dengan akomodasi dan konsumsi dimasukkan dalam sistem. Setelah itu, input data jamaah. Jadi, paket yang dimaksud adalah ada pengelompokan jamaah yang menyebutkan akomodasi dan katering. Namun, pada akhirnya paket yang dimaksud harus disesuaikan pula dengan kesamaan jadwal pemberangkatan jamaah. Penjelasan yang kurang tuntas dari pihak programmer mendorong Ditjen PHU menyiapkan pengelompokan dengan jumlah 500 orang jamaah karena tidak dinyatakan ada keharusan penyesuaian dengan jadwal keberangkatan. Pengelompokan oleh Ditjen PHU didasarkan atas paspor yang datang dan dikemas dalam koper untuk dikirim ke Kedutaan Besar Arab Saudi. Tiap koper yang dikirim diberi nomor urut. Jika koper nomor 1 telah selesai, Ditjen PHU melakukan pengecekan apakah semua paspor sudah beres dan jumlahnya tidak kurang dan demikian seterusnya. Pengelompokan tersebut akhirnya berantakan karena pengelompokan harus berdasarkan jadwal kedatangan. Kesemrawutan terjadi sejak 28 Juli 2015 hingga 12 Agustus 2015 dan terjadi macet (stucked). Pihak Kantor Urusan Haji di Jeddah melakukan konsolidasi dengan pihak programmer. Namun, mereka tidak dapat melakukan eksekusi. Alasannya, hal tersebut merupakan kebijakan dari Kementerian Haji Arab Saudi. Karena itu, pihak Kantor Urusan Haji Jeddah berkoordinasi dengan Wakil Menteri Bidang Umrah Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang juga memahami e-hajj. Selain pakar teknologi informasi (TI), pejabat ini
III-8
Administrasi dan Sistem
juga melakukan koordinasi dengan Wakil Menteri Bidang E-hajj. Namun, hasil koordinasi tidak dapat mengubah kebijakan, yaitu paket e-hajj harus disertakan juga jadwal kedatangan. Kantor Urusan Haji Jeddah dan Ditjen PHU menghadapi beberapa kendala. Pertama, sudah melakukan alur proses pemvisaan dengan pengelompokan awal tanpa penyertaan jadwal kedatangan. Kedua, pada awalnya dalam pembuatan paket tidak dibatasi jumlah akomodasi di Makkah dan Madinah dan yang dipentingkan adalah jamaah sudah ada ketetapan penempatan hotel di Makkah dan Madinah. 4. Blocking Time Sejak 28 Juli 2015 paket hotel di Madinah tidak boleh lebih dari satu, sedangkan hotel di Makkah boleh dua. Ketentuan ini menyebabkan permasalahan baru, yaitu kontrak hotel di Madinah berdasarkan blocking time. Sementara hotel di Makkah berdasarkan sewa gedung. Kapasitas hotel yang dikontrak di Makkah sangat bervariasi. Sementara kapasitas maksimum hotel yang dikontrak di Madinah adalah 455 dengan variasi 450, 393 dan 360. Jumlah tersebut disesuaikan dengan kapasitas pesawat terbang yang mengangkut jamaah. Ini adalah jumlah jika satu kloter ditempatkan dalam satu hotel. Kenyataan terjadi bahwa satu kloter ditempatkan tidak di satu hotel. Dalam sistem e-hajj, input data hotel di Madinah hanya menfasilitasi satu tempat. Pengelompokan oleh Ditjen PHU sebanyak 500 setelah dimasukkan dalam e-hajj untuk akomodasi di Madinah ternyata tidak ada satu pun yang muncul, meskipun input kontrak hotel sudah dimasukkan. Ketidakmunculan tersebut disebabkan oleh jumlah input yang melebihi kapasitas hotel, yaitu input pengelompokan 500 dengan kapasitas 455 atau lebih rendah. Kondisi ini membuat Ditjen PHU membongkar lagi pengelompokan jamaah berdasarkan kapasitas hotel yang dikontrak. Pihak Kantor Urusan Haji Jeddah sudah menginformasikan agar input jamaah oleh Ditjen PHU disesuaikan dengan kapasitas setiap hotel. Jika harus satu kloter harus terpisah, kapasitasnya harus disesuaikan pula. Sesuatu yang sangat kaku dan membuat PPIH Pusat harus bekerja dua kali. Sejak 28 Juli 2015 konfigurasi input jamaah dibuat agar di Madinah hanya masuk dalam satu hotel. Proses ini menyebabkan penyelesaian visa menjadi lama. Setelah pengelompokan jamaah dengan akomodasi
III-9
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
di Makkah dan Madinah serta penyedia katering, masih ada lagi penyelesaian rute transportasi yang akan ditempuh jamaah di kota perhajian Jeddah–Makkah–Madinah. 5. Proses panjang Sistem yang dipergunakan oleh Muassasah membuat jalur panjang proses pemvisaan. Meski e-hajj sudah selesai, pihak Muassasah mempunyai sistem tersendiri. Setelah sistem paket e-hajj selesai, sebelum ditransfer ke sistem yang ada di Kementerian Luar Negeri Arab Saudi, data harus masuk dulu dalam sistem Muassasah Adillah dan Muassasah Thawwafah. Saat dilihat oleh Muassasah dan ditemukan keseragaman data, masalah tersebut dipertanyakan. Pihak Kantor Urusan Haji Jeddah menjelaskan bahwa hal tersebut memang disusun tidak berdasarkan kedatangan jamaah. Hal tersebut disebabkan oleh pengelompokan yang didasarkan oleh paspor yang dikirim oleh masing-masing provinsi. Pihak Muassasah tidak mau melakukan persetujuan jika input tidak didasarkan atas kedatangan jamaah. Ini berarti bahwa satu grup adalah satu kloter yang datang dan pulang secara bersamaan. Pada mulanya Muassasah berpegang teguh pada prinsipnya. Namun, KUH Jeddah menjelaskan bahwa jika Muassasah tidak mau menyetujui akan terjadi permasalahan besar visa. Saat belum mulai pemberangkatan, sejak 28 Juni hingga 12 Agustus 2015 sudah nampak permasalahan yang dihadapi, yaitu pemvisaan. Rentang waktu tersebut dimanfaatkan untuk berkoordinasi dengan Kementerian Haji Arab Saudi melalui Wakil Menteri Haji, programmer, Penasihat Menteri dan terakhir dengan pihak Muassasah. Akhirnya, pihak Muassasah mau menyetujui input data yang tidak berdasarkan kedatangan (kloter riil). Input data pengelompokan tersebut masih campuran dari berbagai kloter dan embarkasi. Sejak persetujuan pihak Muassasah, 12 Agustus 2015 proses pemvisaan mulai lancar. Ke depan, keterlambatan proses pemvisaan perlu diantisipasi. Kenyataan menunjukkan ada beberapa jamaah yang harus berangkat pada kloter awal ternyata proses pemvisaan mendekati tanggal pemberangkatan. Masih dengan pemahaman lama, dikira prosesnya seperti tahun sebelumnya yang pemvisaan berbasis sistem yang ketat. Pada 2014 proses pemvisaan hanya cukup input dari dokumen kemudian dikirim ke sistem yang ada di Kedutaan
III-10
Administrasi dan Sistem
Besar Arab Saudi. Proses pemvisaan adalah input data dari Kementerian Agama masuk ke sistem pada Ministry of Hajj Arab Saudi, lalu dikelompokkan dengan paket layanan akomodasi, katering dan transportasi. Dari sini baru masuk ke sistem yang ada di Muassasah. Oleh pihak Muassasah, baru akan dilakukan eksekusi pemasukan ke kloter. Hasilnya, proses eksekusi Muassasah tersebut akan memasukkan ke dalam satu maktab sampai berjumlah sekitar 3.000 orang. Setelah persetujuan dari sistem Muassasah, baru akan dikirim ke sistem yang ada di Ministry of Foreign Affairs Arab Saudi. Setelah data dikirim ke Kementerian Haji, baru dapat dicetak visanya. Perbandingan dengan tahun 2014, pemrosesan visa dari Ministry of Foreign Affais bisa langsung diterbitkan visa. Komunikasi yang terjadi adalah antara Bagian Dokumen Ditjen PHU dengan Kedutaaan Besar Arab Saudi. Sementara pada 2015, input data masuk ke sistem Ministry of Hajj Affairs, lalu masuk ke sistem Muassasah, kemudian ditransfer ke sistem di Ministry of Foreign Affairs. 6. Batal ganti Permasalahan batal ganti jamaah membutuhkan waktu lama. Ada 593 jamaah yang mengajukan pembatalan setelah jamaah proses 155.200 selesai. Meski sudah dilakukan pembatalan, nama-nama itu dalam sistem masih ada. Akibatnya, penggantinya tidak dapat dilakukan input datanya. Proses batal ganti ini belum banyak dipahami. Pernah terjadi pengeluaran visa terlalu banyak karena belum secara riil diinput. Namun, secara sistem tidak mau menerima input baru. Hal ini disebabkan perhitungan kuota sudah habis. Penyebabnya, dapat terjadi ada input pada tanggal tertentu dan belum ada yang dibatalkan, sehingga terjadi perhitungan ganda. Permasalahan ini memakan waktu sekitar satu minggu untuk melakukan konsolidasi jumlah dan kuota. Secara riil, paspor yang dikirim ke Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta belum mencapai 155.200 buku. Jumlahnya sudah melebihi 155.200, sehingga paspor yang datang tidak dapat diinput atau ditolak. Untuk paspor yang di-cancel, terjadi permasalahan karena entry dianggap dua kali. Konsolidasi dilakukan lagi agar pembatalan visa paspor dilakukan di Ministry of Foreign Affairs. Pihak PPIH yang berpegang
III-11
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
pada sistem pada Kementerian Haji tidak dapat melakukan pembatalan. Proses ini stuck sekitar seminggu karena paspor yang sudah dibatalkan visanya belum dapat diganti dengan lainnya melalui input data yang baru.
B. REKOMENDASI DAN SARAN TINDAK LANJUT SISTEM E-HAJJ Rekomendasi
1. Pemerintah agar mempercepat pembahasan BPIH lebih awal dan segera memberitahukan kepastian keberangkatan calon jamaah haji. 2. Pemerintah agar menyiapkan sumberdaya manusia yang memenuhi jumlah dan memiliki kualitas untuk dapat mengintegrasikan Siskohat dengan sistem e-hajj.
Saran Tindak Lanjut
1. Pemerintah membahas BPIH pada awal tahun dengan tahapan: a) Setelah penetapan besaran BPIH dilakukan pelunasan, diikuti dengan pengiriman dokumen yang didasarkan atas keberangkatan jamaah. b) Setelah penetapan BPIH, dapat dilakukan penyusunan kloter yang bergantung kepada jadwal yang diberikan oleh pihak penerbangan. c) Jadwal penerbangan terkait pula dengan kontrak akomodasi di Madinah kalau masih menggunakan sistem seperti sekarang yaitu blocking time. 2. Pemerintah cq Kemenag mempersiapkan sumber daya manusia untuk: a) Mengintegrasikan data Siskohat (data jamaah) dengan sistem e-hajj. b) Meng-input data jamaah dan data pelayanan lebih awal. c) Melakukan check and re-check agar tidak terjadi kesalahan input data.
III-12
BAB IV
9 Komosioner KPHI melaksanakan pemantauan ibadah
BIMBINGAN IBADAH
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
A. TEMUAN BIMBINGAN IBADAH
Penyelenggaraan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pembinaan, pelayanan dan perlindungan jamaah haji. Pembinaan adalah serangkain kegiatan yang meliputi penyuluhan dan bimbingan ibadah. Oleh karena itu, bimbingan ibadah adalah tugas yang paling utama bagi penyelenggaraan ibadah haji. Bimbingan ibadah akan sangat menentukan kualitas ibadah, bahkan keabsahan ibadah itu sendiri. Sayangnya, dalam praktik, bimbingan ibadah justru kurang mendapat perhatian oleh penyelenggara dibandingkan dengan pelayanan (akomodasi, kesehatan, transportasi). Di sisi lain, bimbingan ibadah belum menjadi indikakator keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji. Karena itu, sulit menyatakan keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji jika tidak ada indikator kesuksesan dalam bimbingan ibadah.
Gambar IV-1: Suasana ibadah di Masjidil Haram
1. Bimbingan Manasik di Tanah Air a. Frekuensi bimbingan Bimbingan manasik di Tanah Air masih sangat minim. Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor D/222 Tahun 2015, bimbingan manasik di daerah dilaksanakan enam kali pertemuan, yaitu empat kali pertemuan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan dan dua kali pertemuan di Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota. Padahal pada tahun sebelumnya (2014) manasik diadakan sebanyak 10 kali, tujuh kali di tingkat kecamatan oleh KUA dan tiga kali di tingkat kabupaten/kota yang dirasakan masih kurang. Karena itu, KPHI pada laporan hasil pengawasan penyelenggaraan
IV-2
Bimbingan Ibadah
ibadah haji tahun 1435H/2014M merekomendasikan bimbingan ibadah minimal 15 kali untuk penyelenggaraan haji tahun 2015. Namun, justru pemerintah dalam pembahasan dengan DPR justru mengurangi menjadi enam kali. b. Materi Bimbingan Secara teori, pelaksanaan manasik dengan enam kali pertemuan dianggap masih belum memadai. Materi pembahasannya terlalu banyak (12 jenis). Sementara latar belakang pendidikan jamaah relatif rendah, sehingga secara akademik dianggap kurang efektif. Adapun materi bimbingan ibadah sebagai berikut: 1) Kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji di Tanah Air 2) Ta’limatul Hajj 3) Tata Cara Ibadah Haji (manasik) Praktek Lapangan 4) Fiqh Haji 5) Manasik Perjalanan dan Keselamatan Penerbangan 6) Hikmah Ibadah Haji 7) Arbain dan Ziarah 8) Kesehatan 9) Hak dan Kewajiban Jamaah Haji 10) Ahlak, Adat Istiadat, dan Budaya Arab Saudi 11) Pembentukan Ketua Regu dan Ketua Rombongan 12) Melestarikan Haji Mabrur Menurut keterangan dari jamaah haji dan Petugas Kloter (TPIHI), pertemuan bimbingan manasik yang dilakukan hanya enam kali pertemuan sangat minim. Dampaknya, jamaah kurang memahami manasik secara komprehensif. Bahkan, banyak jamaah yang tidak memahami pokok-pokok manasik (seperti rukun dan wajib haji). Hal ini terjadi seperti pada kloter SOC 23, SOC 4, JKS 25, BTJ 3, SUB 54, dan UPG 17. Temuan dan masalah yang ada dalam bimbingan manasik di Tanah Air, antara lain: 1. Hampir semua pelaksanaan manasik di Kabupaten Kota dilaksanakan setelah bulan Syawal atau menjelang pemberangkatan calon jamaah haji, kecuali di DKI Jakarta. 2. Distribusi buku/materi manasik ke daerah terlambat, sehingga jamaah tidak dapat mempelajari dalam waktu cukup. 3. Para jamaah yang tergabung dalam KBIH menganggap tidak terlalu penting terhadap bimbingan yang diadakan oleh Pemerintah. Alasannya, jamaah sudah mendapatkan bimbingan manasik dari KBIH dalam jumlah yang lebih banyak dan sudah lebih dulu.
IV-3
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
2. Pelaksanaan Manasik Haji Masih banyak jamaah yang belum melaksanakan manasik haji dan umrah secara benar. Ibadah haji yang benar adalah ibadah yang sesuai dengan fiqh manasik. Di antara fiqh manasik yang paling utama adalah memenuhi rukun dan wajib haji yang harus dikerjakan dan beberapa larangan yang harus ditinggalkan. Dalam Mazhab Syafi’i, yang termasuk rukun haji adalah ihram, tawaf ifadah, wuquf di Arafah, memotong rambut, dan tertib. Adapun rukun umrah adalah ihram, tawaf, sai, memotong rambut, tartib. Sementara yang termasuk wajib haji adalah ihram dari miqat, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina dan melontar jumrah, menjauhi laranganlarangan ihram. Wajib umrah adalah ihram dari miqat dan menghindari semua larangan ihram. Larangan-larangan ihram bagi laki-laki, yaitu memakai pakaian berjahit, memakai sepatu yang menutupi mata kaki, memakai penutup kepala. Larangan-larangan ihram bagi perempuan adalah bersarung tangan dan bercadar. Adapun larangan ihram untuk lakilaki dan perempuan adalah memakai wangi-wangian, memotong kuku, mencukur dan mencabut rambut badan, bercukur, bersetubuh, bertengkar atau mencaci-maki dengan sesama. 3. Pembimbing Ibadah Ada tiga kelompok yang bertanggung jawab dalam bimbingan ibadah dan masing-masing mempunyai tugas dan tanggung jawab: • Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI) • Pembimbing Ibadah Sektor • Pembimbing Ibadah Daker Dari ketiga kelompok ini, yang paling bertanggung jawab secara langsung dalam bimbingan ibadah terhadap jamaah adalah TPIHI. Persoalan yang terkait dengan TPIHI, antara lain: 1) Jumlah personilnya hanya satu orang. Sementara beban dan tanggung jawabnya terlalu berat karena harus membimbing ibadah satu kloter yang jumlah jamaahnya 350-450 jamaah. Apalagi, pada awal kedatangan di Makkah saat jamaah harus melakukan umrah wajib. 2) Rangkaian ibadah umrah wajib sering kali mengalami masalah. Misalnya, jamaah terpisah dengan rombongan, sementara
IV-4
Bimbingan Ibadah
jamaah belum menyelesaikan tawaf dan sa’i. Seperti terjadi di kloter JKG 31, PLM 13, dan PLM 8. Bahkan, menurut penuturan Kepala Sektor Khusus di Makkah, tidak kurang dari 50 orang jamaah tiap hari yang sesat jalan di sekitar Masjidil Haram dan mayoritas belum menyelesaikan ibadah umrahnya. 3) Rata-rata petugas TPIHI belum mengikuti proses sertifikasi yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) Kementerian Agama (Kemenag). Hal ini menurut keterangan Kepala Bidang (Kabid) Haji Kemenag Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Selatan karena pelaksanaan sertifikasi pembimbing ibadah masih jarang dilakukan. Karena itu, petugas TPIHI ratarata belum mendapatkan sertifikat pembimbing. 4) Demikian juga pembimbing ibadah sektor tidak jelas pekerjaannya. Mereka lebih banyak mengurusi hal-hal yang bukan bidangnya, seperti akomodasi atau katering jamaah. Sementara pekerjaan utama sebagai pembimbing ibadah sektor justru tidak banyak mereka lakukan, seperti merekap laporan kasus yang terkait dengan ibadah pada setiap kloter. 5) Sebagian TPIHI di bawah tekanan pimpinan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang seharusnya berfungsi sebagai mitra TPIHI. Sebagai contoh jamaah pada kloter SUB 48, JKS 61, BTH 14, dan SUB 6, melakukan umrah beberapa kali, sehingga jamaah kelelahan. Saat melontar jumrah, jamaah menggunakan waktu afdhol tanpa mempertimbangkan dampak dan resiko yang akan terjadi. 6) Kualitas pembimbing ibadah di bawah standar. Bahkan, tidak bisa masuk dalam kualifikasi pembimbing, terutama bimbingan manasik. Contoh, adanya jamaah yang tidak niat umrah dan sudah melewati Miqat. Oleh TPIHI, jamaah tersebut hanya disuruh ke Tan’im sebagai miqatnya. 7) Bahkan menurut keterangan Kepala Seksi Ibadah Daker Makkah, setengah pembimbing ibadah sektor tidak mempunyai pengetahuan manasik yang memadai (baik dalam pengalaman, praktik, maupun teori) karena sebagian tidak berlatar belakang pendidikan yang berbasis agama. 8) Dirjen PHU membuat kebijakan pada 2015, petugas PPIH yang sudah berhaji tidak berhaji saat bertugas dengan menandatangi surat perjanjian, kecuali mendapatkan mendapat penugasan.
IV-5
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Saat operasional, beberapa petugas mengajukan surat keberatan terhadap kebijakan ini. Dalam prakteknya, seorang petugas sektor dari SOC menyampaikan info banyak petugas yang berhaji. Mereka mengenakan pakaian petugas (tidak berihram) ketika berhaji dan wukuf di Arafah. Sebagai petugas, mereka tentu memahami rukun haji, tapi mereka memiliki pemahaman lain. 9) Sebagian besar pembimbing haji tidak memiliki rekam jejak ibadah jamaah. Namun, TPIHI dari SOC dibekali dengan formulir rekam jejak ibadah, misalnya, kloter SOC 49. Bahkan, ketua rombongan (Karom) membantu TPIHI untuk mengisi rekam ibadah (niat, tawaf umrah, sai, tahalul), serta formulir menyangkut rukun haji. Formulir ini memudahkan pembimbing ibadah untuk memastikan jamaah yang belum melaksanakan umrah atau rukun haji, serta pembayaran dam. Model formulir dengan mengefektifkan peran kepala regu (karu) dan karom ini semestinya dapat dikembangkan bagi pembimbing ibadah di daerah lain. 10) Formulir rekam jejak ibadah masing-masing rombongan, kemudian direkapitulasi oleh TPIHI. Dengan begitu, TPIHI dapat memastikan prosentasi jamaah yang sudah menunaikan rukun haji. Selanjutnya, formulir ini semestinya direkap oleh pembimbing ibadah sektor untuk melihat keberhasilan pelaksanaan ibadah haji jamaah serta mencari solusi terhadap masalah yang ada. Namun karena formulir rekam ibadah tidak selalu ada di tiap daerah/kloter, sulit bagi pembimbing ibadah sektor untuk membuat rekap bimbingan ibadah di sektornya.
Gambar IV-2: Contoh form isian rekam jejak ibadah jamaah.
IV-6
Tugas pembimbing ibadah sektor kurang maksimal, salah satunya adalah pelaporan problematika ibadah dari jumlah 9 sektor hanya 4 sektor yang melaporkan kegiatannya ke Daker dan laporannya sangat minim.
Tabel IV-1.
Bimbingan Ibadah
IV-7
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
4. Bimbingan Manasik di Arab Saudi a. Bimbingan Manasik di Makkah Hampir semua prosesi ibadah haji dan umrah dilaksanakan di daerah Makkah. Karena itu, bimbingan ibadah di Makkah seharusnya diprioritaskan. Pelaksanaan bimbingan ibadah di Makkah dilakukan oleh TPIHI dalam bentuk ceramah yang dibantu oleh para pimpinan KBIH, visitasi ke kamar-kamar, membuka konsultasi bimbingan, serta membimbing langsung dalam pelaksanaan ibadah, seperti tawaf dan sa’i. Adapun pembimbing ibadah sektor hanya bersifat membantu TPIHI dan melakukan rekap laporan pera pembimbing ibadah kloter. Dua tugas ini tidak benar-benar dilakukan, terutama pada rekap laporan (lampiran bukti hingga laporan sampai selesai prosesi ibadah haji). Di antara tugas yang sudah dilakukan oleh pembimbing ibadah daker sebagai berikut: 1) Membuka layanan konsultasi di kantor Daker Makkah yang ditangani oleh Prof. Dr. Aswadi 2) Membuka layanan bimbingan melalui akun twitter bimbadmkh2015. 3) Melakukan visitasi bimbingan ibadah pada sektor Daker Makkah di 11 lokasi bersama-sama dengan anggota Amirul Hajj dan 18 lokasi dilakukan oleh pembimbing daker sendiri. 4) Melakukan pendampingan jamaah tersesat di tiga titik, yaitu di tempat tawaf (mataf), Shafa dan Marwa, dilakukan oleh petugas sebanyak tiga orang (shift setiap 8 jam) per hari, termasuk melayani prosesi tahalul. 5) Melakukan bimbingan jamaah safari wukuf sebanyak 132 jamaah (99 jamaah pada posisi duduk dan 33 jamaah yang lain pada posisi berbaring). 6) Melakukan proses seleksi dan penetapan pelaksana badal haji sebanyak 224 orang yang meliputi jamaah yang meninggal di Tanah Air dan di Tanah Suci, jamaah yang sakit di ICU, serta pasien psikiatri. Adapun persoalan dan temuan di seputar bimbingan ibadah di Makkah, antara lain: 1) Tahun 2015 PPIH tidak membentuk Tim Konsultasi Ibadah di Daker. Padahal, di tahun-tahun sebelumnya selalu ada. Tim Konsultasi Ibadah ini sangat dibutuhkan karena tim ini terdiri atas para pakar dan kyai yang bertugas konsultan petugas TPIHI dalam hal Fiqh Manasik.
IV-8
Bimbingan Ibadah
2) Kurang koordinasi di antara TPIHI, pembimbing ibadah sektor dan daker. Indikasinya, hingga menjelang wukuf hanya empat sektor yang memberikan laporan harian tentang kegiatan ibadah. Itu yang dilaporkan hanya 2-3 jenis masalah untuk tiap sektor. 3) Sebagian petugas pembimbing Ibadah sektor tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ibadah dan belum pernah berhaji. 4) Kurangnya pelayanan bimbingan ibadah dari petugas PPIH yang berada di sekitar Masjidil Haram, sehingga banyak sekali jamaah haji yang tersesat. Padahal, mereka belum menyelesaikan ibadah umrahnya. Laporan Kepala Sektor Khusus Makkah, tiap hari ditemukan jamaah tersesat jalan berkisar antara 50 hingga 100 orang dan di antara mereka masih banyak yang belum menyelesaikan ibadah umrahnya, 5) Pada Sektor Khusus tahun ini tidak ada petugas bidang ibadah. 6) Pendampingan jamaah haji di Masjidil Haram baru dapat dilayani pada pekan ketiga, yaitu di sekitar Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim (satu orang petugas), jalur menuju Shafa (satu orang petugas) dan pada Bukit Marwah (satu orang petugas).
Gambar IV-3: Komisioner KPHI berdialog dengan jamaah haji yang tersesat
Akibat kurangnya pelayanan pembimbing ibadah, muncul masalah-masalah yang terkait dengan manasik termasuk pelanggaran ihram, antara lain sebagai berikut: 1) Tidak mengerti tentang bagian-bagian tawaf, termasuk hal-hal yang ada di sekitar Ka’bah, seperti Maqam Ibrahim dan Hijir Ismail (terjadi pada kloter JKS 15).
IV-9
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Tabel IV-2.
Kegiatan bimbingan ibadah di madinah sangat minim, terlihat dalam tabel pelaporan yang dilakukan oleh masingmasing ketua kloter.
Bimbingan Ibadah
2) Belum menyelesaikan tawaf dan umrah, tetapi jamaah sudah kembali ke pemodokan (terjadi pada kloter PLM 8). 3) Tidak mengertinya perhitungan tawaf (terjadi pada kloter SOC 17 dan JKG 6). 4) Belum menyelesaikan sai, tetapi jamaah sudah kembali ke pemondokan (terjadi pada kloter PLM 13 dan JKG 31). 5) Sebagian jamaah haji ada yang tidak paham manasik (terjadi pada kloter SUB 38 dan JKG 31). 6) Jamaah tidak mengerti miqat (Makani) dan dari mana harus mengambil miqa (terjadi pada kloter LOP 8, SOC 32, SUB 40, PLM 13, dan JKG 3). 7) Jamaah tidak mengerti tentang dam (terjadi pada kloter SUB 9, JKS 15, dan UPG 1). 8) Jamaah memotong kuku saat sedang berihram (terjadi pada jamaah SUB 54). 9) Jamaah sedang ihram, tapi menggunakan pakaian berjahit (terjadi pada SUB 54, SUB 40, UPG 17, SOC 32, JKG 31, UPG 07, BPN 6, BTH 15, UPG 1, JKS 1, JKS 9, dan PLM 13). 10) Jamaah yang tidak menutup aurat secara sempurna bagi wanita ketika berihram (hanya terjadi di sebagain kloter) termasuk terdapat dari petugas haji. b. Bimbingan Ibadah di Madinah Mulai tahun ini (2015) semua jamaah haji gelombang satu langsung datang ke Madinah. Di kota Suci ini, jamaah akan melaksanakan serangkaian kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan ibadah haji secara langsung. Namun, para jamaah haji penting sekali melakukannya, seperti salat berjamaah di Masjid Nabawi selama 40 kali berturut-turut (arbain), berziarah ke makam Rasulullah Saw dan makam Baqi, serta berziarah ke tempat-tempat bersejarah. Oleh karena itu, pembimbing ibadah haji kloter atau TPIHI sudah memulai bertugas memberikan bimbingan di Madinah. Adapun bahasan materi yang diberikan oleh petugas TPIHI di Madinah, antara lain adalah tentang umrah wajib, ihram, dan hal-hal terkait (seperti larangan-larangan ihram). Selanjutnya, berkenaan dengan fadlilah salat arbain, adab ziarah ke Makam Rasulullah, ziarah ke Baqi, keutamaan salat di Raudhah, dan ziarah ke tempat bersejarah (Masjid Quba, Masjid Qiblatain, dan Jabal Uhud). Adapun bagi jamaah haji gelombang kedua, pembimbing ibadah hanya memberikan materi seperti yang di atas. Pembimbing
IV-11
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
tidak lagi menjelaskan tentang umrah/haji karena prosesi umrah/haji sudah dilakukan. Para pembimbing ibadah menambahkan materi tentang haji mabrur dan menjaga kemabruran. Namun demikian, masih ditemukan beberapa petugas pembimbing kloter (TPIHI) dalam catatan hariannya minim sekali melakukan bimbingan atau mungkin kurang melaporkan kegiatan bimbingan ibadah kpada para jamaahnya. Misalnya, pada kloter SOC 12, JKS 14 Adapun kegiatan ibadah di Madinah yang paling menonjol adalah melaksanakan arbain (salat berjamaah di Masjid Nabawi selama 40 waktu berturut-turut). Arbain pada tahun ini tidak ada kendala karena hampir semua hotel berjarak dekat dengan Masjid Nabawi (markaziah). Dalam kontrak Bayan Tarhil yang ditandatangani oleh TPIHI pun cukup, bahkan ada beberapa kloter kelebihan waktu hingga dua waktu salat. Temuan masalah di Madinah antara lain: 1) Pada kloter SUB 30 ada satu bus yang tidak berhenti di Bir Ali. Sementara jamaahnya belum niat ihram dan terlewat hingga kilometer 170. Akhirnya, bus yang membawa rombongan calon jamaah haji kembali lagi ke Bir Ali. Padahal, di bus tersebut terdapat petugas TPIHI. 2) Kloter SUB, ada jamaah lanjut usia tidak bisa berjamaah di masjid Nabawi dan ada lagi yang tidak mau ikut ziarah karena khawatir tidak bisa ikut slat Arbain. 3) Tidak ada ruangan luas yang bisa dijadikan tempat bimbingan dalam kloter. Dari sekian banyak masalah yang terkait dengan ibadah, terutama ibadah yang secara langsung berkaitan dengan haji, dapat disimpulkan menjadi dua masalah besar. Pertama, minimnya jumlah bilangan bimbingan di Tanah Air. Kedua, rendahnya kualitas kerja sama antar pembimbing (kloter, sektor, dan daker) serta kurang penguasaan materi. c. Bimbingan Ibadah di Arafah Kegiatan utama di Arafah adalah wukuf dan dilaksanakan pada 9 Zulhijjah diawali dengan hutbah wuquf. Pada tahun ini kutbah wukuf disampaikan oleh KH Masdar Farid Mas’udi (Naib Amirul Hajj) di tenda Misi Haji Indonesia. Sementara di tenda jamaah juga diadakan kegiatan yang sama dan kutbah wukufnya disampaikan oleh petugas kloter TPIHI, ada juga yang dari perwakilan pimpinan KBIH. Kemudian dilanjutkan dengan melaksanakan solat duhur dan asar dengan cara jama dan qasar serta diakhiri dengan membaca zikir bersama maupun pribadi-pribadi.
IV-12
Bimbingan Ibadah
Wukuf di Arafah adalah inti dari ibadah haji. Juga salah satu rukun haji yang tidak bisa ditinggal dan tidak bisa digantikan oleh orang lain, sehingga semua jamaah haji termasuk yang dalam keadaan sakit (di rumah sakit maupun di BPHI) harus dibawa ke Arafah melalui safari wukuf. Menurut catatan petugas pembimbing ibadah Daker Makkah, pada 2015 ada 138 jamah yang disafariwukufkan. Selama berada di Arafah, jamaah haji hampir semua larut dalam dalam kegiatan ibadah dengan cara berzikir, istighotsah, baca alQuran, dan muhasabah. Namun demikian, masih ada jamaah yang belum memaksimalkan waktunya untuk beribadah dan zikir. Bahkan, beberapa jamaah yang mengobrol hingga larut malam di luar tenda. Pada pelaksanaan kutbah wukuf, dalam satu kloter kadang-kadang dibacakan dua khatib, sehingga suara khatib satu dengan yang lain saling mengganggu karena tenda dalam satu kloter itu sering kali tidak tertib penataan lokasinya.
Gambar IV-4: Jamaah haji sedang melaksanakan ibadah wukuf di Arafah
5. Tarwiyah Tarwiyah adalah proses ibadah haji yang perjalanannya dimulai dari Makkah menuju ke Mina pada tanggal 8 Zulhijjah (hari tarwiyah). Jamaah haji Indonesia pada umumnya mengikuti pola yang sudah diatur/ disepakati Pemerintah Indonesia dengan Muassasah yaitu, jamaah haji pada 8 Zulhijah berangkat ke Arafah dan bermalam. Pola ini dilakukan untuk kemaslahatan secara luas, terutama dari aspek ketertiban dan keamanan. Pada 9 Zulhijjah jamaah haji harus melaksanakan wukuf di Arafah yang merupakan rukun haji yang tidak bisa digantikan dengan ibadah lainnya, sehingga pemerintah menetapkan satu pola. Tetapi pada praktiknya, masih banyak jamaah haji Indonesia yang mengambil pola tarwiyah. Jumlah jamah haji Indonesia yang melakukan tarwiyah semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2015 jamaah haji Indonesia yang mengikuti tarwiyah sebanyak 12.434 orang jamaah haji. Mereka mengikuti tarwiyah ini dengan alasan Sunnah Nabi. Sementara bagi pemerintah, jamaah haji yang datang langsung ke Arafah dan tidak melalui Mina dengan alasan demi kemaslahatan dan ketertiban serta
IV-13
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
menghindari kemudharatan. Pemerintah tidak melarang jamaah haji Indonesia yang memilih tarwiyah dan hanya meminta rombongan yang akan melakukan tarwiyah untuk melapor. Karena ketidaktegasan pemerintah, muncul berbagai masalah dari jamaah haji mengikuti tarwiyah: 1) PPIH tidak memberikan fasilitas transportasi, katering, kesehatan dan jaminan keamanan (perlindungan). Jamaah kesulitan mendapatkan makanan saat di Mina pada 8 Zulhijah. 2) Jamaah haji membayar sendiri biaya operasional untuk tarwiyah dengan rata-rata sebesar SAR200 karena biaya tarwiyah tidak ada dalam komponen BPIH. 3) Lebih banyak jamaah haji melakukan tarwiyah dengan berjalan kaki dari Mina ke Arafah karena jalan dari Mina menuju Arafah sangat padat dengan kendaraan umum. Berdasarkan kenyataan di atas, KPHI menyarankan agar Pemerintah tegas dalam mengambil kebijakan, yaitu memberikan fasilitas minimal kepada para jamaah haji yang mengikuti tarwiyah atau menghentikan program tarwiyah. Jamaah haji Indonesia tidak mengikuti satu pola yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan alasan “mencegah bahaya harus diutamakan dari pada sekadar mencari kebaikan”. 6. Mina Jadid dan Jamarat Mina Jadid masih bermasalah dalam praktik. Salah satu wajib haji yang harus dilakukan oleh jamaah haji adalah mabit di Mina. Ada persoalan yang mendasar terkait dengan mabit di Mina bagi jamaah haji Indonesia (JHI) yang ditempatkan di Mina Jadid. Persoalannya, tidak hanya pada aspek fikih seperti yang selama ini diperbincangkan, apakah Mina Jadid itu termasuk Mina (secara geografis) yang dibolehkan untuk dijadikan mabit pada malam tanggal 11,12, dan 13 Zulhijah. Namun, ada persoalan lain yang dalam segi praktik terdapat unsur “hilah”, yaitu penamaan nama Mina Jadid ketika digunakan jamaah untuk mabit pada 11, 12, 13 Zulhijjah. Sementara tempat yang sama dikatakan sebagai Muzdalifah dan ditempati oleh jamaah untuk mabit di Muzdalifah pada malam 10 Zulhijjah. Di sinilah maktab dan PPIH tidak konsisten mengenai tempat. Padahal, penamaan tempat ini mempunyai konsekuensi hukum. Menurut pendapat Syafii, mabit di Muzdalifah dan mabit di Mina adalah bagian dari wajib haji dan jika ditinggalkan akan terkena dam. Oleh karena itu, KPHI merekomendasikan kepada pemerintah agar tahun depan ada kejelasan dan konsisten dalam penamaan sebuah
IV-14
Bimbingan Ibadah
tempat ibadah. Jika Mina Jadid dihukumi Mina, jamaah haji pada malam 10 Zulhijjah tidak langsung ditempatkan di Mina Jadid, tetapi harus ditempatkan di daerah Muzdalifah (yang bukan Mina Jadid). Persoalan lain adalah ketidakdisiplinan jamaah dalam melontar jumrah dan kurangnya sosialisasi jadwal melontar jumrah. Melontar jumrah adalah salah satu wajib haji yang harus dilakukan. Jumrah Aqabah dilakukan pada 10 Zulhijjah, sementara jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah (kubra) dilakukan pada 11, 12 dan 13 Zulhijjah. Adapun waktu pelontaran sebagaimana telah dijadwal oleh Mu’assasah Asia Tenggara, yaitu untuk jamaah haji Indonesia, terutama tidak mengambil waktu-waktu afdal dengan alasan keamanan dan keselamatan. Waktu afdal lempar jumrah Aqabah (hari nahar tanggal 10 Dzulhijjah) adalah waktu duha atau setelah terbit matahari. Sementara waktu afdal melontar Ula, Wustha, dan Aqabah pada 11, 12 dan 13 Zulhijah adalah bada zawal, kira-kira setelah masuk waktu duhur. Sementara waktu melontar yang diberikan kepada jamaah Indonesia untuk melontar jumrah Aqabah adalah bada duhur, sore, atau malamnya. Sementara untuk melontar tanggal 11,12 dan 13 Zulhijah (Ula, Wustha, Aqabah) adalah pagi dan malam hari. Penjadwalan melontar ini dengan alasan menghindari desak-desakan jamaah dan keselamatan. Praktik di lapangan, masih banyak jamaah haji Indonesia memilih waktu afdal dengan alasan mengikuti sunah nabi. Demikian antara lain dituturkan oleh anggota jamaah KBIH Safara Probolinggo. Berbeda dengan penuturan petugas TPIHI kloter 14 BTH, menurutnya, kloternya melontar jumrah Aqabah pada pagi hari (waktu afdal) bukan karena ingin mencari keafdlalan dalam melontar, melainkan
Gambar IV-5: Suasana pelaksanaan ibadah di Jamarat
IV-15
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
karena waktu menunggu hingga pukul 14.00 (sebagaimana jadwal yang diberikan oleh Muassasah) terlalu lama dan dianggap panas. Sementara kloternya sudah berada di Mina Jadid sejak malam ke sepuluh Zulhijah pukul 21.00. Melontar di waktu afdal memang penting dan perlu selagi tidak membahayakan dirinya karena harus berdesak-desakkan. Waktu melontar jumrah jamaah haji Indonesia sudah dijadwal. Namun, sosialisasi kepada jamaah masih lemah. Bahkan, jadwal melontar jumrah hanya ditempel di dinding dan lift yang tidak banyak dibaca oleh banyak orang. Ini antara lain disampaikan oleh jamaah dari kloter SUB 48, BTH 14. Beberapa petugas kloter yang tinggal di Mina Jadid mengaku tidak mengetahui sosialisasi ketentuan melontar. Padahal, sosialisasi melontar sudah disampaikan saat pembekalan kepada petugas di embarkasi. Untuk mengatasi persoalan ketidakdisplinan jamaah terhadap jadwal yang sudah diatur dan kurangnya sosialisasi jadwal melontar, jadwal melontar untuk jamaah haji Indonesia harus sudah disosialisasikan sejak di Tanah Air dengan lebih jelas agar jamaah mengetahui betul dan mengerti akan resikonya. 7. Dam Tamattu dan Qiran Pembayaran dam tamattu dan qiran belum tersistem. Dalam catatan petugas pembimbing ibadah Daker, jamaah haji indonesia rata-rata mengambil haji tamattu’ (mendahulukan umrah dari pada haji) dalam pelaksanaannya. Kurang dari sepuluh persen yang melaksanakan haji ifrad (mendahulukan haji dari pada umrah), misalnya kloter SUB 2 terdapat 1 orang, JKS 41 terdapat 2 orang. Memang ada kloter yang mengambil haji ifrad cukup banyak jumlahnya, yaitu UPG 16 dengan jumlah 201. Sementara yang mengambil haji qiran (haji dan umrahnya berbarengan) hampir tidak ada. Dalam fikih manasik, seseorang yang melaksanakan haji tamattu’ dan qiran wajib hukumnya membayar dam satu ekor kambing (dam lil an-nusuk). Walaupun ada pilihan cara lain, yaitu dengan cara berpuasa tiga hari di Tanah Suci dan tujuh hari ketika sudah pulang ke Tanah Air, mayoritas jamaah membayar dam dengan cara memotong satu ekor kambing. Ada beberapa cara yang dilakukan oleh jamaah dalam membayar dam, yaitu dengan membayar melalui bank, membayar lewat perantara mukimin, dan yang paling banyak adalah pelaksanaan pembayaran dam lewat KBIH. Adapun jumlah biaya pembayaran dam berkisar antara SAR 300 sampai SAR 600 dan biasanya jamaah yang membayar agak tinggi
IV-16
Bimbingan Ibadah
disertai bonus umrah gratis. Seperti yang dilakukan oleh beberapa KBIH antara lain, Zamzami, Arafah, An nahdliyah, Aisyiyah, Ashofa, Muslimat, Arrahmah, Al-madinah. Secara syar’i, dam tamattu ini adalah kewajiban individu. Masingmasing orang mempunyai hak untuk menentukan cara dan harga kambing untuk pelaksanaan dam. Namun dalam praktik di lapangan, pelaksanakan dam seringkali terjadi penyelewengan oleh oknum, baik penyelewengan pembayaran maupun distribusi daging yang tidak jelas. Masalah yang sering terjadi dalam pembayaran dam adalah penyelewengan oknum yang diberi amanah atau titipan untuk melaksakannya dan pendistribusian daging yang tidak jelas. Oleh karena itu, KPHI kembali mengusulkan kepada pemerintah untuk yang ketiga kalinya agar pemerintah menindaklanjuti kesepakatan yang belum terealisasi dan membuat sistem dan kebijakan yang mengatur dan mengkordinir pembayaran dam tamattu melalui kerja sama dengan lembaga yang mempunyai kompetensi, dalam hal ini seperti dengan Islamic Development Bank (IDB). Ide ini sudah disepakati juga oleh Amirul haj tahun 2013 dan akan dilaksanakan pada tahun 2014, tapi sayang tidak terealisasi hingga sekarang dengan berbagai alasan. 8. Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Keberadaan KBIH perlu dipertegas tugas dan fungsinya. KBIH merupakan lembaga sosial keagamaan yang telah mendapat ijin dari Kementerian Agama untuk melaksanakan bimbingan terhadap jamaah haji. Adapun tugas dan fungsinya adalah melaksanakan bimbingan ibadah haji dan bukan sebagai penyelenggara ibadah haji, melainkan sebagai mitra pemerintah. Dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah (PP) No 79 tahun 2012 tentang pelaksanaan UU PIH disebutkan, jamaah haji sebelum keberangkatan ke Arab Saudi dapat menerima bimbingan ibadah haji yang diselenggarakan oleh masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok bimbingan, atas biaya jamaah haji. KBIH sebagai mitra pemerintah mempunyai kewenangan melakukan bimbingan ibadah selama di Tanah Air. Setelah jamaah masuk ke embarkasi, kewenangan bimbingan ibadah sepenuhnya berada di tangan TPIHI. Namun, KBIH tetap diperbolehkan membantu dalam bimbingan di Tanah Suci dengan prinsip kebersamaan dan mengikuti aturan pemerintah/PPIH. Dalam praktik di lapangan, KBIH masih bermanfaat, bagi sebagian jamaah dan petugas kloter. Pola bimbingan KBIH dianggap efektif karena pembimbing KBIH rata-rata mengenal jamaah yang dibimbing
IV-17
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Sebagian jamaahnya adalah anggota majelis taklimnya, seperti KBIH Assyukroniyah JKG, KBHI Nahdlatul Ulama JKS 9, KBIH Miftahul Hidayah JKS 10, KBIH Darussalam Pondok Pesantren Blok Agung Banyuwangi SUB 8, KBIH Al kautsar SUB 14, KBIH As Shafa SOC 16, KBIH Ar Rahmah BTH 1, KBIH Al Haramain MES 5, KBIH An Nissa BPN 2, dan KBIH Armina Barokah PDG 7. Bimbingan KBIH dilakukan jauh hari sebelum bimbingan ibadah Kementrian Agama dan jumlahnya rata-rata lebih dari 10 kali pertemuan. Bahkan, ada KBIH yang memberikan bimbingan lebih dari 15 kali pertemuan. Bagi jamaah yang belum paham manasik, KBIH memberikan waktu setiap saat. Contoh KBIH YPP Al Hasan JKS 9, KBIH Al Muttaqin JKS 10, KBIH Zam-zam UPG 1, KBIH Muhammadiyah Rembang SOC 16, KBIH Nurul Hikmah LOP 4, KBIH Al Haramain MES 5, KBIH Abi Khubais SUB 27. Untuk bimbingan lebih dari 15 kali, KBIH (seperti di daerah Yogyakarta) tidak terlalu mengambil untung besar. Biaya manasik setiap jamaah hanya Rp 1,5 juta dan digunakan, antara lain untuk memberangkatkan pembimbing ibadah (biasanya ketua yayasan). Di sisi lain, keberadaan KBIH masih sangat dibutuhkan, terutama dalam membantu tugas-tugas kloter. Pembimbing ibadah dari KBIH, antara lain membantu pelaksanaan umrah wajib di awal kedatangan, penyambung atau alat kordinasi antara petugas kloter dan jamaah, membantu dalam memberikan materi ceramah. Sering kali pimpinan KBIH (ulama) sebagai referensi manasik ketika pembimbing ibadah mendapatkan problematika manasik. Bahkan, menurut penuturan TPIHI kloter 23 SOC, separo tugasnya bisa terselesaikan oleh pimpinan KBIH. Namun demikian, masih ada persoalan terkait dengan KBIH, antara lain KBIH kadang-kadang mengambil tugas-tugas dan peran petugas kloter tanpa koordinasi, melakukan pembagian kunci kamar hotel, mengatur penghuni kamar hotel, mengadakan pertemuan tanpa koordinasi. Selain itu, KBIH mengajak jamaah untuk umrah sunah berkali-kali tanpa koordinasi dan tanpa memperhatikan faktor kesehatan serta mengkordinir pembayaran dam. 9. Badal Haji Badal haji adalah pelaksanaan ibadah haji yang dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain yang sudah meninggal (sejak di embakasi dan sebelum pelaksanaan wukuf). Badal haji juga bagi jamaah haji yang uzur jasmani dan rohani (tidak dapat diharapkan kesembuhanya menurut medis, sakit bergantung pada alat medis, dan gangguan jiwa), sehingga tidak dapat melaksanakan wukuf di Arafah
IV-18
Bimbingan Ibadah
(sesuai Keputusan Dirjen PHU No. D/456 tahun 2015). Adapun badal haji menurut fiqh haji adalah ibadah haji seseorang yang pelaksanaannya diwakilkan atau digantikan orang lain. Praktik di lapangan, PPIH telah membadalkan sebanyak 178 orang jamaah haji yang terdiri atas 116 orang jamaah haji yang meninggal dunia sebelum pekasanaan wukuf dan 62 orang jamaah haji sakit yang diperkirakan belum sembuh hingga wukuf (atas referensi BPHI/Balai Pengobatan Haji Indonesia) atau pasien dalam perawatan khusus di Intensive Care Unit (ICU) dan Intensive Cardiac Care Unit (ICCU), serta jamaah yang mengalami gangguan jiwa sesuai keterangan dokter. Adapun petugas badal haji adalah petugas haji yang ditunjuk oleh Ketua PPIH Arab Saudi setelah mengikuti wawancara oleh petugas yang ditunjuk dan yang bersangkutan mendapatkan bayaran SAR 1.500 yang diambilkan dari BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) komponen indirect cost. Selain itu, dalam praktik di lapangan, banyak sekali dari jamaah yang membadalkan untuk keluarganya yang sudah meninggal dunia ataupun yang secara fisik tidak mampu berangkat. Mereka meminta kepada orang lain (bisa kepada mukimin, para pimpinan KBIH, bahkan kepada petugas kloter) untuk menjadi badal. Salah seorang jamaah dari kloter 42 SOC yang kebetulan juga sebagai pimpinan KBIH mendapat musibah, yaitu kehilangan uang yang jumlahnya cukup besar, hampir mencapai Rp 70 juta. Padahal, uang tersebut adalah titipan jamaah untuk membayar badal haji untuk keluarganya. Selain itu, masih ada persoalan penipuan dengan modus menerima badal haji dengan biaya murah. Untuk itu, KPHI mengusulkan dan merekomendasikan kepada pemerintah agar membuat aturan/regulasi tentang badal haji. Aturan/ regulasi tersebut juga tidak terbatas untuk jamaah haji yang meninggal di Tanah Suci sebelum wukuf dan jamaah haji yang secara medis (ketika berada di tanah suci) tidak mampu menunaikan ibadah “ma’dzub”. Badal juga untuk masyarakat muslim Indonesia yang dinyatakan (ma’dzub) sakit yang kemungkinan besar tidak bisa sembuh. Bagi jamaah yang sakit dengan resiko tinggi (risti) dan secara medis tidak akan sembuh, cukup dibadalkan ibadah hajinya dan tidak perlu haji sendiri. Jika memungkinkan, bisa untuk masyarakat umum yang menginginkan untuk membadalkan keluarganya.
IV-19
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
B. REKOMENDASI DAN SARAN TINDAK LANJUT BIMBINGAN IBADAH Rekomendasi 1. Pemerintah agar meningkatkan intensitas dan kualitas bimbingan ibadah di tingkat KUA Kecamatan dan Kemenag Kabupaten/Kota, minimal 10 kali pertemuan, dengan mendayagunakan komunitas haji di daerah. 2. Pemerintah agar memberlakukan sertifikasi pembimbing manasik baik di Tanah Air maupun di Tanah Suci mulai musim haji tahun 2016 yang dikeluarkan oleh lembaga yang kompeten. 3. Pemerintah perlu mendesak pemerintah Arab Saudi untuk secara tegas dan konsisten dalam memberlakukan status Mina Jadid yang masih masuk wilayah Muzdalifah untuk tempat mabit di Mina. 4. Pemerintah agar membuat regulasi tentang badal haji bagi calon jamaah haji risti yang secara medis tidak layak dan mengkoordinir pembayaran dam tamattu.
Saran Tindak Lanjut
a. Bimbingan Manasik 1. Pemerintah wajib memberikan bimbingan manasik di Tanah Air lebih awal minimal 10 kali, tujuh kali di tingkat kecamatan oleh KUA dan tiga kali di tingkat Kabupaten/Kota. 2. Pamerintah menyiapkan materi bimbingan disesuaikan dengan kebutuhan jamaah. Tidak hanya menyangkut ibadah haji, tetapi juga pengenalan situasi dan kondisi di Arab Saudi, serta pola konsumsi dan upaya menjaga kesehatan jamaah. 3. Pemerintah menyediakan penyelenggaraan bimbingan manasik dan distribusi buku manasik lebih awal agar jamah memiliki keluangan waktu untuk mempelajarinya lebih awal. b. TPIHI 1. Pemerintah perlu merekrut petugas TPIHI dari ulama/ustadz yang berpengaruh, memiliki basis keilmuan yang memadai dalam bidang manasik dan memiliki kesehatan dan fisik yang baik. 2. Pemerintah memprioritaskan TPIHI yang mempunyai sertifikat pembimbing. 3. Pemerintah menambah petugas di sektor khusus, terutama bidang pembimbing ibadah yang bertugas di sekitar Haram.
IV-20
4. Pemerintah memperjelas tugas TPIHI sebagai pembimbing ibadah jamaah dan bukan difungsikan untuk pelayanan lain. 5. PPIH membekali seluruh TPIHI dengan formulir rekam ibadah jamaah yang dapat direkap untuk mengetahui keberhasilan bimbingan ibadah jamaah. c. Ibadah di Tanah Suci 1. PPIH membentuk Tim Konsultasi Ibadah di Daker untuk memberikan bimbingan dan konsultasi di sektor. 2. Pemerintah tegas dalam mengambil kebijakan, yaitu memberikan fasilitas minimal kepada para jamaah haji yang mengikuti tarwiyah atau menghentikan program tarwiyah. 3. Pemerintah agar mendesak Pemerintah Arab Saudi untuk memberlakukan status yang tegas dan konsisten terhadap lokasi Mina Jadid yang masih masuk wilayah muzdalifah tetapi digunakan untuk mabit di Mina selama hari nahar dan tasyrik. Selanjutnya mensosialisasikan kepada jamaah secara tuntas. 4. Pemerintah agar mensosialisasikan jadwal melontar untuk jamaah haji Indonesia sejak di Tanah Air dengan lebih jelas agar jamaah mengetahui betul dan mengerti akan resikonya. d. Pembayaran Dam Pemerintah secepatnya menciptakan sebuah sistem dalam pembayaran dam tamattu dengan cara: 1. Pembayaran dam semua jamaah haji yang mengambil cara tamattu dikoordinir oleh PHU dengan menindaklanjuti rencana kerja sama dengan lembaga IDB. 2. Pemerintah tidak mengambil dari dana optimalisasi, tetapi akan lebih aman secara fiqh pembayaran dam diambilkan dari uang living cost setiap jamaah. 3. Pengaturan pembayaran dam ini untuk memberikan ketenangan bagi jamaah dalam hal standar harga, keterjaminan pemotongan, dan distribusi yang bermanfaat bagi rakyat Indonesia. e. KBIH 1. Pemerintah perlu membuat aturan untuk mempertegas fungsi dan peran KBIH dalam pembimbingan jamaah. 2. Pemerintah perlu mengikutsertakan Pimpinan KBIH dalam sertifikasi pembimbing ibadah dan memberikan peluang mengikuti seleksi kepada mereka yang benar-benar berprestasi baik untuk menjadi petugas TPIHI.
IV-21
f. Badal Haji Pemerintah agar membuat aturan/regulasi tentang badal haji. 1. Aturan/regulasi tersebut juga tidak terbatas untuk jamaah haji yang meninggal di Tanah Suci sebelum wukuf dan jamaah haji yang secara medis (ketika berada di Tanah Suci) tidak mampu menunaikan ibadah “ma’dzub”. 2. Badal juga untuk masyarakat muslim Indonesia yang dinyatakan (ma’dzub) sakit yang kemungkinan besar tidak bisa sembuh, jamaah yang sakit dengan resiko tinggi (risti) dan secara medis tidak akan sembuh.
BAB V
Balai Pengobatan Haji Indonesia
Salah satu pemondokan Jamaah Haji Indonesia di Mahbas Jin-Makkah
PELAYANAN AKOMODASI
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
A. TEMUAN PELAYANAN AKOMODASI
Pengadaan akomodasi Jamah Haji Indonesia (JHI) di Makkah dan Madinah dilakukan menjelang penyelenggaraan ibadah haji setiap tahun. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama membentuk dua tim perumahan, yaitu tim pengadaan dan tim negosiasi. Personalia ketua tim tersebut berbeda. Padahal, untuk pengendalian dalam pelaksanaan pengadaan dan negosiasi diperlukan satu komando saja, sehingga negosiasi dari setiap rumah atau hotel yang telah dipilih dapat terkontrol dengan baik. Berdasarkan hasil pengawasan terhadap penyelenggaraan ibadah haji pada pada 2013 dan 2014, KPHI telah merekomendasikan agar pemilihan hotel atau perumahan untuk akomodasi Jamaah Haji Indonesia (JHI) tidak lagi berdasarkan atas kedekatan jarak ke Masjidil Haram. PPIH telah menjalankan rekomendasi dari KPHI dan usulan unit pengawasan lainnya untuk memberikan pelayanan akomodasi yang lebih bagus dan aman dari segi kelayakan huni karena hambatan jarak untuk salat ke Masjidil Haram sudah diantisipasi dengan layanan transportasi. Pada 2015 JHI menempati fasilitas akomodasi hotel bintang tiga atau empat di Madinah dan Makkah. Jumlah kontrak akomodasi di Madinah sebanyak 125 buah dengan 20 buah addendum. Sementara kontrak akomodasi di Makkah sebanyak 112 buah. 1. Perumahan di Madinah a. Kontrak hotel Penempatan JHI di Madinah dilakukan dengan kontrak sewa layanan dengan blocking time di 92 hotel yang tertuang dalam 125 buah kontrak. Seluruh kontrak tersebut meliputi 150.881 orang dengan nilai sebesar SAR 127.796.538. Lokasi hotel dalam tiga wilayah markaziyah, yaitu 44,56 persen di Markaziah Garbiah (41 hotel), 29,35 persen di Markaziah Janubiah (27 hotel), dan 26,09 persen di Markaziah Syimaliah (24 hotel). Pola blocking time pada sistem penyewaan hotel di Madinah menyebabkan harga lebih tinggi dari pada kontrak model jasa layanan hotel. Pola tersebut juga dapat membuat jamaah tidak dapat diterima di sebuah hotel jika jumlahnya ternyata melebihi yang tersebut dalam kontrak. Oleh karena itu, diperlukan perubahan sebanyak 20 kontrak yang dimuat dalam addendum kontrak. Jumlah jamaah riil yang harus diberikan pelayanan akomodasi di Madinah sebanyak 155.377 orang dengan nilai kontrak SAR 134.123.138 atau rata-rata SAR 863 per jamaah selama 9 hari 8
V-2
Pelayanan Akomodasi
malam. Harga terendah SAR 550, yaitu di Hotel Manarat al-Aqsha dan Taba Salam wilayah Markaziah Gharbiah. Harga tertinggi SAR 2005 di Hotel Mubarak Zahabi di wilayah Markaziah Janubiah. Pola blocking time memberikan kepastian penempatan jamaah karena hotel sudah ditentukan dan tidak ditempatkan kecuali, hotel-hotel di Markaziah. Kontrak perumahan di Madinah dilakukan sebanyak 125 buah dengan addendum kontrak sebanyak 20 buah. Pengelolaan hotel dilakukan oleh 14 majmuah. Setiap majmuah mengelola antara dua hingga 21 hotel. Majmuah yang hotelnya paling banyak digunakan untuk JHI adalah Zuhdi (21 hotel dengan 20.164 jamaah), Makarim (12 hotel dengan 14.046 jamaah), Mukhtarah (11 hotel dengan 13.261 jamaah). Meskipun sama-sama hanya dua hotel yang digunakan, Majmuah Anshar (5.669 jamaah) mendapat lebih banyak jamaah dari Majmuah Mawadah (2.702 jamaah). Tabel V-1. Nama Majmuah Pengelola Hotel JHI di Madinah Tahun 2015 Nomor
Majmuah
Jumlah Hotel
Jumlah Jamaah
1
Agmad Ubod
3
1.624
2
Amjad Salam
9
12.336
3
Anshar
2
5.669
4
Arees
4
2.292
5
Israq
4
5.906
6
Khomri
3
2.538
7
Makarim
12
14.046
8
Mawadah
2
2.702
9
Mubarak
10
9.627
10
Mukhtarah
11
13.261
11
Said Makki
4
3.118
12
Sattah
10
12.201
13
Wasif
3
4.395
14
Zuhdi
21
20.164
Sumber : Seksi Perumahan dan Penempatan Kantor Daker Madinah 2015 dan Kontrak Rumah KUH Jedah, diolah
b. Penempatan jamaah Untuk pengaturan penempatan jamaah, Tim Perumahan Daerah Kerja Madinah menyusun rencana jadwal penempatan JHI, baik gelombang pertama maupun kedua. Pengaturan penempatan ini karena hotel di Madinah tidak dapat disewa tanpa jadwal penempatan.
V-3
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Gambar V-1: Lokasi akomodasi di Madinah.
Beberapa kloter menempati hotel sendiri, tanpa ada kloter lainnya. Lima hotel di Markaziah Garbiah: Kloter JKS 56 (450 jamaah) di Hotel Al Eiman Ohod, JKS 54 (450 jamaah) di Hotel Anwar Al Makarim, SOC 22 (360 jamaah) di Hotel Lukluk Mubarak 3, UPG 13 (455 jamaah) di Makarim Madinah Zahabi, JKS 20 (313 jamaah) di Hotel Raudah Al Makareem. Lima hotel di Markaziah Janubiah JKS 22 (450 jamaah) di Hotel Nada Al Hijaz, SOC 29 (270 jamaah) di Hotel Nibras Syuhaba, SOC 18 (213 jamaah) di Hotel Nusuk Madinah, SUB 52 (450 jamaah) di Hotel Rehab Qiblah, BTH 10 (450 jamaah) di Hotel Syarief Al Masi. Di sisi lain, beberapa hotel ditempati banyak kloter. Untuk di Markaziah Garbiah, yang terbanyak kloter dan jamaah Indonesianya adalah Hotel Jauharah Rasid (14 kloter dengan 5.033 jamaah), Hotel Zahra (11 kloter dengan 4.980 jamaah), Hotel Hadeel Amjad As Salam (12 kloter dengan 4.893 jamaah). Sementara untuk Markaziah Janubiah, hotel yang terbanyak kloter dan jamaah Indonesianya adalah Hotel Ajnihah Taybah Al Majidi (18 kloter dengan 7.700 jamaah), Hotel Fusul Fairuz Season (21 kloter dengan 7.315 jamaah), Hotel Jauharah Asimah (15 kloter dengan 6.443 jamaah). Dalam pelaksanaannya, rencana penempatan jamaah pada hotel berubah lantaran penggunaan sistem e-hajj yang mengharuskan i’timad atau konfirmasi penempatan di hotel yang bersangkutan. Hal ini berakibat penempatan jamaah tidak sesuai
V-4
Pelayanan Akomodasi
dengan rencana. Jika jumlah tempat tidur (bed) yang disewa pada hotel tidak memenuhi, jamaah dipindahkan ke hotel lain yang setara di wilayah markaziah. Karena itu, terjadi perubahan rencana. Misalnya, jumlah perumahan semula 92 hotel menjadi 87 hotel dengan beberapa penggantian hotel yang dii’timad. Hotel baru yang di-i’timad (pengganti) adalah sembilan hotel di Markaziah Garbiah (Amin Crom, Diyar Salam Fiddi, Madinah Marriott, Manar Amal, Manaratulo Aqsa, Orchid Salam, Qasr Amal, Tayba As Salam, Taybah Diyafah), enam hotel di Markaziah Janubiah (Badar Gumawah, Bahaudin Al Madinah, Crown Plaza, Millinium Taybah, Nusol Falah, Rotana Misk, dan 11 hotel di Markaziah Syimaliyah (Ajnihah Rawdhah, Al Nokhba Royal Inn, Dar Hijrah Continental, Grand Mercure, Jewar As Sakifah, Leader Muna Karim, Majeedi Arac, Markas Elyas 1, Nusol Royal Inn, Ramada Hamra, Rawdhah Royal Inn). Sementara penempatan jamaah di hotel yang tidak sesuai rencana pada gelombang pertama, di antaranya: Lukluk Mubarak 3 (Markaziah Garbiah) serta Nusuk Madinah, Syarif Al Masi, Taibah Mubarak (Markaziah Janubiah). c. Dampak Sistem e-hajj Implementasi sistem e-hajj yang diberlakukan secara mutlak sejak 2015 atau 1436 Hijriyah menyebabkan beberapa hal yang mengganggu penyelenggaraan haji Indonesia di Madinah seperti: 1. Sistem sewa hotel dengan blocking time masih mengalami hambatan dalam penempatan jamaah terkait dengan pemenuhan i’timad. Jika terdapat JHI dalam daftar yang telah diajukan dalam suatu hotel tidak dapat ditempatkan, jamaah dialihkan ke hotel lain, sehingga dapat dipastikan konfirmasinya (i’timad). Karena itu, perlu diupayakan untuk dapat menyewa hotel sekitar 30 persen kapasitas selama satu musim haji selain sistem blocking time (70 persen dengan sistem blocking time). Hal tersebut untuk mengantisipasi jika pada musim haji 1437 Hijriyah. Jika terjadi kondisi yang menyebabkan sebagian tidak dapat tertampung dalam blocking time system, dengan cepat dapat dialihkan ke hotel yang disewa selama satu musim. 2. Keterlambatan kontrak sewa hotel sering diakibatkan oleh sistem penganggaran pemerintah pusat yang melakukan pembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sesuai dengan siklus anggaran. Padahal, penyelenggaraan haji mengikuti siklus kalender hijriyah. Hal ini menyebabkan ketidakpastian
V-5
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
3.
4.
5.
6.
penyewaan hotel karena negara lain juga menginginkan hal yang sama, termasuk kriteria lokasi terdekat dengan Masjid Nabawi. Jika pembahasan BPIH dilakukan setahun sebelumnya, maka Kantor Urusan Haji di Jeddah sudah dapat mempersiapkan penyewaan hotel lebih awal. Penempatan jamaah yang terpisah hotel mengakibatkan permasalahan dalam distribusi koper saat kedatangan di Madinah sesuai dengan tempat JHI tinggal. Kasus yang terjadi jamaah tidak menemukan kopernya karena berada di hotel lain, sehingga terhambat untuk melakukan salat arbain lantaran tidak dapat berganti pakaian. Penempatan JHI yang terpisah hotel juga menyebabkan permasalahan dalam distribusi katering. Terkadang letak antara hotel satu dengan lainnya berada di sektor yang berbeda. Hal ini berakibat pula penanganan JHI dalam satu kloter oleh sektor lain, sehingga terjadi pemborosan tenaga dari suatu sektor. Jamaah yang terpisah gedung sering menginginkan berkumpul atau bergabung bersama dengan famili, keluarga, atau kelompoknya. Akibatnya, terjadi perubahan konfigurasi tempat tidur, yaitu terdapat kamar hotel yang padat karena penggabungan tersebut. Sementara kamar yang ditinggalkan oleh penghuninya di hotel lain terlalu longgar. Pada awal kedatangan JHI di Madinah terjadi permasalahan sampah dari catering boxes yang diklaim oleh pihak hotel. Namun, masalah ini dapat diselesaikan antara pihak penyedia katering dengan pihak hotel tempat JHI menginap.
2. Perumahan di Makkah a. Lokasi Hotel Pemilihan rumah/hotel untuk pemondokan JHI di Makkah tidak lagi didasarkan atas jarak ke Masjidil Haram sebagaimana telah dilaksanakan pada 2014. Pemilihan dimaksud dilihat dari sisi kelayakan tinggal jamaah dan ketersediaan transportasi dari pemondokan menuju Masjidil Haram vice versa. Meski demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan penyewaan hotel yang dekat dengan Masjidil Haram jika hotel tersebut bagus. Dengan demikian perumahan/hotel yang disediakan untuk JHI dipilih yang bagus dan di pinggir jalan raya, meskipun jaraknya jauh dari Masjidil Haram, yaitu sampai 4.500 meter. Banyak hotel baru yang digunakan untuk akomodasi JHI dan dilengkapi dengan
V-6
Pelayanan Akomodasi
fasilitas Wi-Fi. Fasilitas ini dapat menghemat biaya jamaah untuk berkomunikasi dengan berbagai pihak, terutama keluarganya di Indonesia. Dengan jaringan Wi-Fi, para JHI memanfaatkannya untuk menelepon atau melakukan komunikasi elektronik lainnya. Pada saat penawaran dan penentuan hotel, pihak PPIH sudah melakukan upaya agar penempatan JHI tidak mengalami pemadatan. Pihak pemilik selalu mengajukan tawaran jumlah kapasitas sesuai dengan tasrih, yaitu kapasitas setiap kamar. Padahal, tasrih tersebut jika diterapkan akan membuat JHI tidak nyaman karena kamar yang padat. Oleh karena itu, PPIH melakukan tamtir, yaitu dengan mengukur secara riil luas kamar guna menentukan kelayakan hunian setiap kamar. Pihak pemilik sepakat dengan tamtir tersebut, sehingga dari kapasitas seluruh hotel/perumahan yang disewa dapat dihilangkan kapasitas lebih dari 21 ribu. Dari berbagai kunjungan KPHI ke berbagai hotel dan sektor di Makkah saat pelaksanaan haji, setiap kamar kebanyakan dihuni oleh empat orang jamaah, sebagian lagi dihuni oleh tiga orang jamaah, dan kamar yang terluas maksimum dihuni oleh enam orang jamaah. Setiap kamar dicantumkan identitas: nomor gedung, nomor kamar, dan daftar nama penghuni. Kesan pemadatan yang menyebabkan jamaah sulit menempatkan koper dan naik dan/ atau vturun dari tempat tidur tidak dijumpai lagi sebagaimana pelaksanaan haji pada 2014. Kontrak perumahan dilakukan untuk 115 gedung. Perumahan tersebar di 6 wilayah, yaitu (1) Aziziah, (2) Jarwal, (3) Mahbas Jin, (4) Misfalah, (5) Raudah, dan (6) Syisyah. Nilai kontrak seluruhnya SAR 702.113.188 atau rata-rata SAR 4.408 per jamaah. Harga terendah adalah SAR 3.000, yaitu Tayeb Hotel dan harga tertinggi adalah SAR 6.200 di Jarwal yaitu Nawazi Athir. Berdasarkan harga, hotel yang berada di daerah Jarwal adalah paling mahal, yaitu antara SAR 5.500 – SAR 6.200 per orang selama musim haji, kecuali al-Jauharah Towers (kapasitas 21.566) dan Qasr al-Badr (kapasitas 728) yang harganya SAR 4.200 per orang, sepadan dengan hotel-hotel yang berada di daerah Misfalah dan Aziziah. Sementara hotel yang murah berada di daerah Raudhah dan Syisyah.
V-7
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Tabel V-2. Hotel untuk Jamaah Haji Indonesia di Makkah dengan Kapasitas Lebih dari 2.000 Jamaah Gedung
Nama Hotel
306
al-Marwah New
Lokasi
Kapasitas
Aziziah
Harga
Jumlah
(SAR)
(SAR)
2.008
4.000
8.032.000
701
al-Wihdah Tower
Jarwal
5.054
5.800
29.313.200
702
al-Wihdah Tower 2
Jarwal
2.506
5.800
14.534.800
208
Marjanah al-Aseel Hotel
Mahbas Jin
3.093
5.050
15.619.650
305
Grand al-Aseel
Mahbas Jin
3.107
4.992
15.510.144
201
Arkan Bakkah
Mahbas Jin
5.185
4.990
25.873.150
704
Hotel at-Taysir Tower
Jarwal
6.371
5.950
37.907.450
405
Hotel Tharawat Syisah
Aziziah
5.399
4.300
23.215.700
21,566
4.200
90.577.200
2.103
3,850
8.096.550
801
al-Jawharah Towers
Jarwal
516
Tharawat al-Rawda
Raudhah
106
Masat al-Aseel Hotel
Mahbas Jin
2.228
4.000
8.912.000
314
Holyday Inn
Aziziah
2.272
4.300
9.769.600
627
Tharawat al-Taqwa
al-Ghassalah
2.255
4.040
9.110.200
Sumber: Data Seksi Perumahan dan Penempatan Kantor Daker Makkah 1436 Hijriyah, diolah
Perumahan/hotel yang disewa PPIH sesuai data yang didapat oleh KPHI saat pemantauan perencanaan penyelenggaraan ibadah haji seluruhnya berjumlah 115 unit, termasuk hotel cadangan. Pengelompokannya didasarkan atas daerah dan sektor pelayanan jamaah, terdiri atas 9 sektor. Data pengelompokan dimaksud dapat dilihat sesuai dengan rencana penempatan pada tabel berikut.
Tabel V-3. Jumlah Hotel bagi Jamaah Haji Indonesia di Makkah Tahun 2015 Sektor
Lokasi
1
Jumlah Hotel
Kloter
Jamaah
Mahbas Jin Utara
6
29
11.140
2
Mahbas Jin Selatan
8
36
14.224
3
Aziziah
14
45
18.379
4
Syisah
15
42
18.255
5
Raudah
16
36
15.068
6
Syisah
30
51
21.582
7
Jarwal
9
48
20.207
8
Jarwal
1
53
21.283
9
Misfalah
14
40
16.132
113
380
154.394
Sumber: Data Seksi Perumahan dan Penempatan Kantor Daker Makkah 1436 H, diolah
V-8
Pelayanan Akomodasi
b. Penempatan jamaah Realisasi penempatan JHI di Makkah sampai batas akhir pada 18 September 2015 adalah 154.394 orang (99,48 persen dari 155.200) bersama petugas kloter yang mengiringi sebanyak 1.876 orang. Jumlah kloter semula direncanakan 375 kloter menjadi 381 kloter karena ada tiga kloter gabungan saat akhir pemberangkatan. Sebanyak 184 kloter mendarat di Madinah, dan 197 kloter mendarat di Jeddah. Sebaran hunian JHI di Makkah adalah: 1) 11.140 orang (7,13 persen) di Sektor I tersebar di 6 hotel; 2) 14.224 orang (9,10 persen) di Sektor II tersebar di 8 hotel; 3) 18.379 orang (11,76 persen) di Sektor III tersebar di 14 hotel; 4) 18.255 orang (11,68 pesen) di Sektor IV tersebar di 15 hotel; 5) 15.068 orang (9,64 persen) di Sektor V tersebar di 16 hotel; 6) 21.582 orang (13,81 persen) di Sektor VI tersebar di 30 hotel; 7) 20.207 orang (12,93 persen) di Sektor VII tersebar di 9 hotel; 8) 21.283 orang (13,62 persen) di Sektor VIII mengumpul dalam 1 hotel; 9) 16.132 orang (10,32 persen) di Sektor IX tersebar di 14 hotel.
Gambar V-2: Prosentase kapasitas akomodasi di Makkah berdasarkan wilayah
Jumlah JHI yang tiba di Makkah 156.270 orang, terdiri atas jamaah 154.394 orang dan petugas kloter 1.876 orang. Hotel cadangan “Royal Makkah” dengan kapasitas 815 dipakai untuk para petugas Daker Madinah, Daker Airport, dan tamu. Sementara petugas sektor sebanyak 720 orang tinggal di hotel tempat kantor sektor masing-masing. Beberapa kloter ditempatkan tidak dalam satu gedung akibat dari kasus pemvisaan karena penerapan e-hajj. Pada umumnya,
V-9
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
pemecahan jamaah menempati dua hotel dengan nomor berdekatan. Misalnya, Kloter BTH 19 (450 jamaah) dipecah di rumah 101 (135 jamaah) dan 102 (315 jamaah) atau JKS 28 (448 jamaah) dipecah di rumah nomor 104 (131 jamaah) dan rumah nomor 105 (315 jamaah). Namun, ada juga kloter yang dipecah dan menempati rumah yang tidak berurutan. Seperti Kloter JKS 49 (450 jamaah) dipecah di rumah nomor 509 (175 jamaah) dan rumah nomor 502 (273 jamaah) atau Kloter JKS 53 yang dipecah di rumah nomor 516 (85 jamaah) dan rumah nomor 512 (361 jamaah). Terdapat 95 kloter yang jamaahnya tinggal di tempat terpisah, yaitu di dua gedung. Keterpisahan satu kloter pada dua bangunan menyebabkan kerepotan bagi jamaah dan PPIH, terutama dalam pendistribusian koper saat kedatangan. Namun, yang lebih merepotkan lagi jika JHI dalam satu kloter terpisah di dua sektor seperti: 1) JKG-30 di rumah Nomor 313 dan Nomor 401 (sektor 3 dan sektor 4); 2) JKS-23 di rumah Nomor 415 dan Nomor 628 (sektor 4 dan sektor 6); 3) JKS-38 di rumah Nomor 508 dan Nomor 414 (sektor 5 dan sektor 4); 4) UPG-10 di rumah Nomor 106 dan Nomor 201 (sektor 1 dan sektor 2). Lokasi wilayah perumahan JHI di Makkah dapat dilihat dalam gambar berikut:
Gambar V-3: Lokasi Akomodasi Wilayah Makkah (Aziziah, Misfalah, Jarwal, Mahbas Jin, Raudhah, dan Syisyah)
V-10
Pelayanan Akomodasi
c. Kondisi hotel 1) Kondisi bangunan hotel cukup baik. Sebagian berupa bangunan baru yang dipakai pertama kali oleh JHI musim haji tahun 1436 Hijriyah, seperti rumah No. 314, 810, dan beberapa rumah milik Syirkah Arkan Bakkah di Sektor 6. 2) Kondisi kamar dan tempat tidur memuaskan jamaah. Sesuai dengan pernyataan dari para jamaah yang ditemui saat kunjungan ke beberapa bangunan hotel tempat penginapan JHI. Di bangunan nomor 705, setiap kamar banyak yang dihuni hanya tiga orang. 3) Ada beberapa kamar yang mengalami kerusakan sistem air conditioning (AC) seperti di rumah nomor 626 kamar R-105 dan R-106 yang dilaporkan oleh petugas kloter kepada KPHI. Saat itu juga telah diperintahkan kepada Bagian Perumahan dan segera ditindaklanjuti. 4) Beberapa bangunan di Sektor 6 terdapat rembesan air dari atas saat hujan. Semuanya bangunan baru, yang kemungkinan untuk mengejar target agar segera dapat disewakan pada musim haji tahun 2015. 5) Rumah Nomor 630 (Iskan 5 Hotel) terpisah dari deretan bangunan lainnya yang berada di pemukiman penduduk dan berada di daerah rawan, sehingga JHI disarankan untuk tidak keluar pada malam hari. 6) Masih terdapat pemadatan kamar di daerah Misfalah berupa kamar yang diisi dengan 5 tempat tidur, yang mestinya hanya 4 tempat tidur. 7) Pada 16 September 2015 terjadi kebakaran di kamar 810 pada rumah nomor 403 (Sakab al-Barakah Hotel) yang dihuni oleh JHI dari Kloter SUB-61. JHI dari Kloter SUB-61 asal Kediri, Jawa Timur sebanyak 450 orang berada di rumah No. 403 sebanyak 229 orang dan No. 402 sebanyak 221 orang. 8) Perumahan yang dipergunakan oleh JHI musim haji tahun 1436 Hijriyah bertaraf hotel. Namun dengan sistem e-hajj (yang di dalamnya memasukkan kepastian hunian jamaah), menyebabkan 25,30 persen kloter (95 dari 375 kloter) jamaahnya terpisah. Selain itu, pemisahan jamaah menyebabkan kerepotan bagi jamaah dan PPIH. Terutama dalam pendistribusian koper saat kedatangan, juga dalam mengatur keberangkatan kloter.
V-11
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
3. Akomodasi di Arafah a. Tenda Arafah Berdasarkan penjelasan yang diberikan oleh Kantor Urusan Haji Jeddah, semua maktab bersedia untuk menyediakan karpet dalam kondisi baru selama di Arafah. Namun berdasarkan pengamatan KPHI, dari berbagai maktab ditemukan tenda dengan karpet lama, seperti di Maktab 14 yang dihuni oleh Kloter SUB 12. Kondisi tenda sama seperti yang dipasang pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu tenda sementara. Cuaca musim haji pada 2015 yang ditandai dengan angin kencang dan terkadang dengan badai, membuat kondisi tenda sementara tidak mampu tertahan terpaan angin. Tenda di Maktab 47 yang ditempati oleh JHI asal Kloter SOC 38 roboh, tetapi dapat dibetulkan dan dihuni kembali. Tenda yang roboh akibat terpaan angin kencang terdapat di Maktab 8. Sebanyak empat blok tenda roboh (sekitar 40 persen) dan tidak dapat diperbaiki. Ada satu blok yang hanya menyisakan karpet saja. Tenda dan lain-lainnya tidak ada. Untuk mengatasi hal tersebut, sebagian ada yang dipindahkan ke Maktab 1, 2, dan 9. Menteri Agama mengunjungi tenda yang roboh di Maktab 8 tersebut. Selain itu, tenda di Maktab 63 yang dihuni oleh Kloter JKG 20 tidak dikerjakan dengan sempurna, sehingga jamaah kloter tersebut dialihkan ke tenda musala. Sementara itu, di Maktab 36 kondisi tenda belum siap saat jamaah tiba di tempat. b. Penyejuk udara Akomodasi untuk JHI selama di Arafah dipergunakan selama dua hari, yaitu pada 8 dan 9 Zulhijjah. Bentuk bangunan berupa tenda sementara dengan alas karpet. Untuk musim haji tahun 1436 Hijriyah, di setiap tenda dilengkapi dengan water cooler agar suhu dalam tenda tidak terlalu panas. Penyediaan water cooler dilaksanakan oleh Muassasah Asia Tenggara yang dipasang di masing-masing tenda maktab. Pemasangan water cooler tersebut mengacu kepada kontrak antara Kantor Urusan Haji Jeddah dengan Muassasah Asia Tenggara tertanggal 18 Agustus 2015. Nilai kontrak sebesar SAR 4.992.000 dengan rincian: 52 maktab X 60 unit water cooler X SAR 1.600 = SAR 4.992.000. Kondisi penyejuk udara tersebut dalam kenyataannya adalah sebagai berikut: 1) Tiga maktab enggan melakukan tanda tangan pelaksanaan penyejuk udara tersebut, yaitu Maktab 23, 24, dan 65.
V-12
Pelayanan Akomodasi
2) Sebanyak 61,22 persen maktab alat penyejuk udaranya berfungsi 100 persen. Jadi, hampir 40 persen alat penyejuk udara tidak berfungsi dengan baik. 3) Jumlah penyejuk udara yang tidak berfungsi sebanyak 522 unit atau 16,73 persen yang berada di: Maktab 5, 32, dan 69 (masing-masing 1 unit), Maktab 14 (2 unit), Maktab 42, 52, dan 60 (masing-masing 3 unit), Maktab 20 (4 unit), Maktab 54 (5 unit), Maktab 1 (7 unit), Maktab 29 (11 unit), Maktab 31 (13 unit), Maktab 21 dan 44 (20 unit), Maktab 47 (25 unit), Maktab 35 (47 unit), Maktab 37 (56 unit). 4) Maktab 7 menyediakan alat penyejuk udara sebanyak 62 unit. 5) Terdapat alat penyejuk udara yang tidak difungsikan karena kabelnya kecil dan dikhawatirkan menyebabkan kebakaran terdapat di Maktab 28 (3 unit). 6) Ada alat penyejuk udara difungsikan pukul 12.30 WAS, padahal jamaah tiba pukul 9.40 WAS, seperti terdapat di Maktab 48. Akibat dari alat penyejuk udara yang kurang optimal adalah temperatur di dalam tenda panas. Terlebih lagi dengan aliran listrik yang sering padam, seperti di Maktab 29, 38, dan 63. Bahkan, di Maktab 61 listrik padam pada pukul 15.00 WAS hingga 21.00 WAS. Maktab 1 hingga 7 padam pada pukul 13:00 WAS hingga 14.00 WAS. Termperatur udara saat wukuf sekitar 48° Celcius. Akibatnya, jamaah kepanasan dalam tenda, khususnya pada siang hari. Di dalam Maktab 38 misalnya, terdapat jamaah yang pingsan dan seorang jamaah meninggal. Hal tersebut diperparah ketika aliran listrik padam selama sekitar satu jam pada saat wukuf. c. Lampu penerangan Sebagian jamaah mengeluhkan lampu penerangan tenda pada malam hari. Maktab 5 sebagian lampu tidak menyala dari pukul 08.00 – 20.00 WAS. Sementara Maktab 29, 31, 42, 48, dan 55 beberapa tenda tidak ada lampu penerangan. Akibat tidak ada lampu penerangan, jamaah kerepotan melakukan aktivitas. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, temperatur udara setelah khutbah wukuf sempat mencapai 48° Celcius. Tiba-tiba aliran listrik terputus hampir satu jam. Akibatnya, alat pendingin udara tidak ada yang berfungsi. Kegiatan baca doa dan istighotsah tidak terdengar oleh para jamaah. Listrik mati satu jam berdampak fatal juga terhadap perawatan jamaah yang sakit di BPHI, sehingga jumlah yang harus ditangani overloaded. Akibat listrik mati, beberapa jamaah yang sedang mendapat perawatan medis dengan bantuan listrik akhirnya meninggal.
V-13
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
4. Akomodasi di Mina Akomodasi JHI saat berada di Mina selama empat hari, yaitu dari tanggal 10 hingga 13 Zulhijjah adalah tenda permanen anti api yang dilengkapi dengan penerangan listrik dan pendingin udara berupa air conditioning. Permasalahan terkait dengan akomodasi di Mina adalah keterbatasan tempat istirahat JHI untuk tidur. Ruang di bawah tenda yang relatif sempit dan dipenuhi jamaah hanya mampu menampung jamaah beristirahat dengan cara berhimpitan. Ruang tidak dapat dimekarkan lagi. Sementara kapasitas JHI yang ditampung dalam setiap maktab sekitar 3.000 orang. Kelonggaran tempat dapat di atasi jika model tempat tidur dibuat bertingkat.
B. REKOMENDASI DAN SARAN TINDAK LANJUT PELAYANAN AKOMODASI Rekomendasi
1. Pemerintah bersama DPR agar menetapkan BPIH lebih dini dengan mengikuti siklus tahun hijriyah untuk menghindari keterlambatan dalam penyewaan hotel sesuai ketentuan E-hajj. 2. Pemerintah agar menyediakan akomodasi di Madinah dan Makkah dengan menyewa hotel atau pemondokan yang layak dan fasilitatif untuk kepentingan ibadah dengan sistem zona yang mengintegrasikan transportasi dan konsumsi. 3. Menyikapi normalisasi kuota haji mulai Th 2016, pemerintah agar mendesak pemerintah Arab Saudi untuk segera menambah akomodasi jamaah haji Indonesia di Mina dengan membangun perkemahan bertingkat beserta fasilitasnya.
Saran Tindak Lanjut 1. Akomodasi Madinah a. Pemerintah dalam menyewa hotel di Madinah agar dibuat dua pola, yaitu 70 persen blocking time dan 30 persen sewa selama musim haji untuk memastikan penempatan jamaah lebih awal saat kedatangan, serta perlu dilakukan dengan cost and benefit analysis terlebih dahulu. b. Penempatan kloter yang tidak cukup dalam satu hotel agar ditempatkan di dua hotel yang berdekatan, sehingga memudahkan distribusi koper dan katering.
V-14
Pelayanan Akomodasi
c. Perlu disosialisasikan secara intensif kepada calon JHI di Tanah Air tentang ketentuan bertempat tinggal di hotel selama di Tanah Suci. 2. Akomodasi Makkah Oleh karena pemilihan akomodasi tidak didasarkan atas jarak dari Masjidil Haram, Pemerintah perlu: a. Tetap menyewa hotel/perumahan yang memberikan keamanan dan kenyamanan kepada JHI serta mudah dilalui bus salawat. b. Memilih hotel/perumahan disinergikan dengan rute layanan bus salawat dan distribusi katering c. Memilih hotel untuk akomodasi tetap mengutamakan kenyamanan jamaah, antara lain dengan fasilitas hotel dengan jaringan internet berupa Wi-Fi. d. Mempertimbangkan untuk tidak menyewa hotel yang jaraknya dekat, yaitu di daerah Jarwal yang harganya tinggi (sekitar SAR6.000), terkecuali hotel yang harganya rendah (seperti al-Jauharah Towers dan Qasr al-Badr). e. Menyewa hotel yang berada di daerah Raudhah dan Syisyah karena harganya rendah (sekitar SAR3.500). Meski jaraknya jauh dari Masjidil Haram, tetapi terdapat layanan bus salawat yang lancar. f. Tidak menyewa lagi rumah yang terpisah dan menyulitkan jamaah untuk dapat akses ke Masjidil Haram, seperti bangunan No. 630. g. Memastikan hunian jamaah berupa penyewaan perumahan/hotel sudah selesai beberapa bulan sebelum penyelenggaraan haji, sehingga data entry Jamaah Haji Indonesia dalam e-hajj tidak mengalami hambatan. 3. Akomodasi Armina a. Pemerintah agar mengusulkan kepada Pemerintah Arab Saudi untuk melakukan penggantian seluruh tenda yang ada di Arafah dengan tenda permanen yang dilengkapi dengan karpet, kecukupan listrik dan water cooler yang baik, b. Kemenag agar menghitung secara cermat kebutuhan space dan fasilitas yang layak bagi jamaah haji Indonesia dengan kuota normal ketika berkemah di Mina untuk diajukan kepada Pemerintah Arab Saudi agar dipenuhi kebutuhan akomodasinya mulai tahun 2016.
V-15
c. Pemerintah agar mendesak pemerintah Arab Saudi untuk memindahkan perkemahan jamaah haji Indonesia di Mina Jadid yang masuk wilayah Muzdalifah untuk disatukan ke dalam perkemahan bertingkat di Lembah Muaissim demi menghindari ikhktitaf dan keraguan jamaah bermabit di lokasi tersebut pada hari Nahar dan Tasyrik.
V-16
BAB VI
Suasana keberangkatan jamaah haji ke Tanah Suci
PELAYANAN TRANSPORTASI
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
A. TEMUAN PELAYANAN TRANSPORTASI
Tersedianya transportasi jamaah haji reguler merupakan tanggung jawab Pemerintah, seperti diamanatkan dalam UU Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) Pasal 33 (1) yang menyebutkan bahwa pelayanan transportasi jamaah haji ke Arab Saudi dan pemulangannya ke tempat embarkasi asal di Indonesia menjadi tanggung jawab Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama, dan berkoordinasi dengan menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perhubungan. Sementara transportasi dari daerah asal ke embarkasi dan dari debarkasi ke daerah asal menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Penunjukkan moda transportasi, baik transportasi udara maupun darat, dilakukan oleh Menteri Agama dengan mempertimbangkan efisiensi, kualitas pelayanan, kepastian pelayanan, keselamatan, keamanan, serta kepentingan nasional. 1. Transportasi Udara a. Pengangkutan Jamaah Kementerian Agama telah menunjuk PT Garuda Indonesia (Garuda) dan Saudi Arabian Airlines (Saudi) untuk melaksanakan pengangkutan Jamaah Haji Indonesia dari embarkasi haji di Indonesia ke Arab Saudi pulang pergi. Perjanjian pengangkutan udara Jamaah Haji Indonesia tahun 1436 H/2015 M telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, yaitu antara Kementerian Agama Republik Indonesia dan PT Garuda Indonesia (Persero) serta antara Kementerian Agama Republik Indonesia dan Saudi Arabian Airlines. Kedua dokumen tersebut ditandatangani pada 12 Mei 2015. Pengangkutan jamaah haji Indonesia dilaksanakan dengan sistim carter. Pada saat fase 1 (pemberangkatan), pesawat hanya boleh mengangkut jamaah dari Indonesia ke Arab Saudi dan tidak boleh mengangkut penumpang maupun barang dari Saudi ke Indonesia (empty leg). Demikian pula pada saat fase 2 (pemulangan), hanya boleh mengangkut jamaah dari Arab Saudi ke Indonesia dan tidak boleh mengangkut penumpang ataupun barang dari Indonesia ke Arab Saudi (empty leg). Kecuali, ada kesepakatan lain di antara kedua belah pihak, yaitu antara otoritas penerbangan sipil pemerintah Arab Saudi dan otoritas penerbangan sipil pemerintah Indonesia. Dalam hal ini telah disepakati bahwa pada penerbangan empty leg dari Saudi Arabia ke Indonesia pada fase 1 (pemberangkatan) diperbolehkan membawa air zamzam yang akan dibagikan kepada jamaah pada saat tiba di Indonesia.
VI-2
Pelayanan Transportasi
Kegiatan pengangkutan jamaah haji tahun 1436 H/2015 M dilaksanakan dari 12 embarkasi haji sesuai dengan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2015 tentang Penetapan Embarkasi dan Debarkasi Haji Tahun 1436 H/2015 M, sebagai berikut: 1) Aceh (BTJ), 2) Medan (KNO), 3) Padang (PDG), 4) Palembang (PLM), 5) Batam (BTH), 6) Jakarta (HLP), 7) Solo (SOC), 8) Surabaya (SUB), 9) Balikpapan (BPN), 10) Banjarmasin (BDJ), 11) Makassar UPG), dan 12) Mataram (LOP). Sementara untuk embarkasi antara telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Penetapan Bandara Embarkasi Haji Antara Tahun 1436 H/2015 M sebagai berikut: 1) Bandar Udara Djalaludin – Gorontalo; 2) Bandar Udara Raden Inten II – Lampung; 3) Bandar Udara Tjilik Riwut – Palangkaraya; 4) Bandar Udara Fatmawati Soekarno – Bengkulu; 5) Bandar Udara Sultan Thaha, Jambi (Keputusan Menteri Agama nomor 205 Tahun 2015).
Gambar VI-1: Garuda Indonesia dan Saudi Arabian melaksanakan pengangkutan Jamaah Haji Indonesia Tahun 2015
VI-3
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Pelaksanaan angkutan udara haji tahun 1436 H/2015 M sebagai berikut: a. Jamaah haji Indonesia yang diberangkatkan ke Arab Saudi dibagi menjadi dua gelombang: 1) Gelombang pertama diberangkatkan dari Embarkasi di Indonesia menuju Bandara Amir Mohammad bin Abdul Aziz (AMAA) Madinah dan dipulangkan melalui Bandara King Abdul Aziz International Airport (KAAIA) Jeddah. Pemberangkatan dimulai pada 21 Agustus 2015 sampai dengan 3 September 2015. Pemulangan dimulai pada 28 September sampai dengan 11 Oktober 2015. 2) Gelombang kedua diberangkatkan dari Embarkasi di Indonesia menuju Bandara KAAIA Jeddah dan dipulangkan melalui Bandara AMAA Madinah. Pemberangkatan dimulai dari 4 September 2015 sampai dengan 17 September 2015 dan pemulangan dimulai pada 12 Oktober sampai dengan 26 Oktober 2015. b. Jamaah haji diangkut oleh dua perusahaan penerbangan, yaitu: 1) Garuda Indonesia mengangkut jamaah haji dari Embarkasi/ Debarkasi Aceh, Medan, Padang, Jakarta (khusus Provinsi DKI Jakarta, dan Lampung), Solo, Banjarmasin, Balikpapan, Makassar, dan Lombok. 2) Saudi Arabia Airline mengangkut jamaah haji dari Embarkasi/ Debarkasi Batam, Palembang, Jakarta (khusus Provinsi Jawa Barat dan Banten) dan Surabaya. c. Berdasarkan rencana jadwal keberangkatan dan pemulangan yang diterbitkan oleh Kementerian Agama, jamaah haji yang akan diberangkatkan berjumlah 157.071 yang terdiri atas 376 kloter. Sementara realisasi yang diperoleh dari Kementerian Perhubungan jumlah jamaah yang berangkat sebanyak 156.336 dalam 376 kloter. Dalam hal ini Garuda mengangkut sebanyak 82.871 jamaah 210 kloter, sedangkan Saudi Airlines mengangkut 73.465 jamaah dalam 166 kloter. Dari data tersebut, jamaah yang tidak jadi berangkat sejumlah 735 jamaah haji yang dikarenakan berbagai sebab antara lain : • Jamaah haji meninggal. • Jamaah haji sakit hingga tidak jadi berangkat. • Jamaah haji mengundurkan diri karena berbagai sebab. • Masalah visa haji yang belum selesai hingga jamaah haji tidak jadi berangkat.
VI-4
Pelayanan Transportasi
Jumlah tersebut cukup signifikan karena kalau dihitung jumlah jamaah tersebut lebih dari satu kloter. Bahkan, kalau menggunakan pesawat Airbus 330-300 mencapai dua kloter. Mengingat antrean (waiting list) untuk berhaji cukup panjang ada yang mencapai 29 tahun, jumlah kursi yang tidak terpakai semestinya dapat diminimalkan. Kementerian Agama dapat mengeluarkan aturan yang lebih mempermudah penggantian jamaah sekiranya jamaah tersebut tidak jadi berangkat. b. Kinerja Penerbangan 1) Fase 1 Pemberangkatan Kinerja perusahaan penerbangan atau yang biasa disebut dengan on time performance (OTP) pada fase 1 (pemberangkatan) secara keseluruhan adalah 90,43 persen, mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kinerja (OTP) fase 1 tahun 1435H/2014M, yaitu 94,35 persen. Kinerja PT Garuda Indonesia 90,52 persen dan Saudia 90,38 persen. Rincian kinerja dari masing masing perusahaan penerbangan dari tahun 1431H/2010M sampai dengan tahun 1436H/2015M sebagai berikut: Tabel VI-1. Kinerja Fase 1 Pemberangkatan Jamaah Haji Indonesia Operator
OTP Fase I (%) 2010
2011
2012
2013
2014
2015
PT Garuda Indonesia
92.86
97.66
90.17
94.87
96.14
90.52
Saudi Arabian Airlines
82.07
88.5
87.10
92
92.12
90.38
Total
88.82
93.99
88.98
93.75
94.35
90.43
Gambar jika dibandingkan tahun 2014, kinerja perusahaan penerbangan mengalami penurunan. Penurunan tersebut kebanyakan disebabkan masalah operasional, antara lain masalah kelambatan pengeluaran visa. Cuaca buruk di Arab Saudi juga masalah kabut asap yang terjadi di wilayah Sumatera mengganggu penerbangan jamaah haji Indonesia. Sebagai contoh pada penerbangan Garuda Indonesia, permasalahan visa pada awal penerbangan jamaah menjadi penyebab utama keterlambatan. Dampaknya, 10 penerbangannya mengalami keterlambatan. Bahkan, di Embarkasi Solo tujuh penerbangan mengalami keterlambatan satu hingga dua jam dan dua penerbangan mengalami kelambatan lima hingga tujuh jam. Sementara di Embarkasi Makassar satu penerbangan mengalami kelambatan 1 jam 40 menit.
VI-5
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Untuk itu, ke depan pengeluaran visa harus betul-betul diantisipasi jauh hari. Keterlambatan pengeluaran visa sangat mengganggu. Tidak hanya mengganggu jadwal penerbangan, tetapi juga berakibat pada perubahan kloter dan pemondokan di Arab Saudi yang sangat merepotkan petugas (PPIH), baik di Indonesia maupun di Arab Saudi. Namun demikian, ada hal yang patut mendapat appresiasi, yaitu lancarnya pemeriksaan di Bandar Udara AMAA Madinah. Pemeriksaan hanya memakan waktu antara 35 menit sampai dengan satu jam. Kemudian, jamaah langsung naik bus ke pemondokan. Sementara di Bandara Udara KAAIA Jeddah pemeriksaan tidak secepat di bandar udara Madinah, tetapi sudah cukup bagus. Jamaah menunggu antara dua hingga tiga jam di bandara untuk persiapan umrah sebelum diangkut ke Makkah. 2) Fase 2 Pemulangan Kinerja perusahaan penerbangan (OTP) pada fase 2 (pemulangan) juga menurun dibanding tahun lalu. Pada 1436H/2015M OTP hanya 74,20 persen, sedangkan pada 1435H/2014M OTP pemulangan 87,33 persen. OTP Garuda Indonesia 60,95 persen, sedangkan Saudia 90,96 persen. Rincian kinerja masing masing perusahaan penerbangan pada phase 2 tahun 1431H/2010M sampai dengan 1436H/2015M adalah sebagai berikut: Tabel VI-2. Kinerja Fase 2 Pemulangan Jamaah Haji Indonesia Operator PT Garuda Indonesia
OTP Fase II (%) 2010
2011
2012
2013
2014
2015
35.48
69.13
72.01
84.19
80.58
60.95
Saudi Arabian Airlines
47.28
93
90.32
94.67
95.76
90.36
Total
39.88
78.71
79.12
88.28
87.33
74.20
Penurunan kinerja (OTP) Garuda Indonesia yang cukup signifikan kebanyakan adalah masalah operasional. Jika dirinci, ada 82 kali keterlambatan lebih dari 60 menit, yaitu tiga kali keterlambatan karena masalah teknis dan 79 kali masalah operasional. Jumlah keterlambatan pada 2015 lebih banyak dibanding dengan tahun lalu sebanyak 40 kali keterlambatan, yaitu 3 kali masalah teknis dan 37 kali masalah operasional. Masalah keterlambatan yang menonjol seperti tahun tahun lalu adalah masalah kepadatan gate dan kurangnya fasilitas
VI-6
Pelayanan Transportasi
di Bandar Udara KAAIA Jeddah dan AMAA Madinah pada 10 hari pertama pemulangan. Proses penanganan penumpang di Bandar Udara AMAA Madinah cukup lama. Tidak seperti pada waktu kedatangan yang sangat lancar. Pada waktu pemulangan, jumlah personel yang menangani penumpang/jamaah serta ground handling kurang mencukupi, sehingga proses cukup memakan waktu. Di samping hal tersebut, ada hal-hal lain yang perlu diantisipasi oleh Garuda. Misalnya, adanya perbedaan jadwal pemberangkatan antara Garuda dan Imigrasi pada kloter Aceh, sehingga jamaah terpaksa menunggu. Masalah ini tidak perlu terjadi jika ada koordinasi yang baik sebelumnya. c. Pengaturan Penerbangan Selain kinerja penerbangan, hal lain yang mendapat perhatian tim KPHI adalah pengaturan pelaksanaan penerbangan tahun 1436H/2015M. Penerbangan jamaah haji Gelombang 1 mendarat di Madinah dan pulang melalui Jeddah, sedangkan jamaah haji gelombang 2 mendarat di Jeddah dan pulang melalui Madinah. Pengaturan pelaksanan penerbangan ini tepat. Hanya perlu pengaturan dan koordinasi yang lebih baik lagi dengan perusahaan penerbangan yang ditunjuk. Selain itu, koordinasi dengan otoritas bandar udara, baik Jeddah maupun Madinah, agar penangan Jamaah menjadi lebih baik dan tidak terjadi kelambatankelambatan penerbangan. Pengaturan dengan koordinasi ternyata lebih efisien karena tidak perlu menyewa bus untuk transportasi dari Jeddah ke Madinah pada waktu kedatangan dan Madinah-Jeddah pada waktu kepulangan. Selain perjalanan tersebut cukup melelahkan jamaah, juga tidak diperlukan lagi menyewa hotel transit di Jeddah. d. Air Zamzam Hal lain yang perlu mendapat perhatian, terutama oleh PPIH, adalah sosialisasi terhadap barang-barang yang tidak diperbolehkan dibawa dalam penerbangan, terutama membawa kemasan air zamzam di dalam koper. Hasil peninjauan tim KPHI ke Madinatul Hujaj, masih terlihat timbunan air zamzam yang berhasil dikeluarkan oleh petugas dari dalam koper. Walaupun sudah ada ancaman bahwa koper yang ada air zamzamnya akan ditinggal (tidak dibawa dalam penerbangan), para jamaah masih tetap berusaha membawa air zamzam dalam koper. Untuk itu, perlu sosialisasi yang lebih tegas dan mengena, baik pada waktu manasik di Tanah Air yaitu dengan memperlihatkan
VI-7
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
timbunan air zamzam yang dikeluarkan petugas maupun sosialisasi oleh petugas secara terus-menerus selama di Tanah Suci. Air zamzam yang dibawa di dalam koper selain membahayakan penerbangan juga sangat merepotkan petugas karena harus mengeluarkannya dari dalam koper.
Gambar VI-2: Ketua KPHI sedang meninjau tumpukan air zam-zam di Madinatul Hujaj
2. Transportasi Darat a. Transportasi Antar-kota Perhajian, yaitu transportasi yang disediakan untuk mengangkut jamaah haji dengan rute: • Madinah - Makkah • Makkah - Madinah • Jeddah - Makkah • Makkah - Jeddah • Bandara AMAA Madinah – Hotel Madinah • Hotel Madinah - Bandara AMAA Madinah Pada operasional haji tahun 1436 H/2015 M banyak sekali terjadi permasalahan pada angkutan antar-kota perhajian ini. Masalah terjadi karena adanya penurunan pelayanan dari tahuntahun sebelumnya. Pada operasional haji tahun 1435 H/2014 M pelayanan (untuk rute Madinah - Makkah, Makkah - Madinah, Makkah – Jeddah) telah ditingkatkan pelayanannya dari bus standar menjadi bus upgrade, yaitu bus yang ditingkatkan kualitasnya dari bus standar. Bus upgrade memiliki kualitas yang bagus, tempat duduk yang tidak terlau sempit, dilengkapi toilet, televisi, alat pengaman yang lengkap, bagasi yang luas di bagian bawah untuk koper besar dan tas jinjing jamaah haji.
VI-8
Pelayanan Transportasi
Sementara untuk tahun 1436 H/2015 M diturunkan menjadi bus standar, yaitu bus-bus tua yang diproduksi tahun 2007 ke bawah. Bahkan, ada yang diproduksi tahun 1999 dengan kapasitas bagasi yang sempit, sehingga koper-koper jamaah banyak yang tidak dapat terangkut bersamaan dengan bus. PPIH terpaksa harus menyewa truk untuk mengangkut koper dan tas jinjing tersebut. Akibatnya, banyak tas dan koper jamaah yang tercecer dan baru diketemukan pemiliknya setelah tiga sampai tujuh hari. Untuk pelayanan bus standar, kontrak dilakukan langsung dengan Naqobah ‘Aammah Lissayyarat’. Dalam pelaksanaannya, Naqobah yang mempunyai anggota sebanyak kurang lebih 20 perusahaan bus akan menggilir masing-masing anggotanya untuk mengangkut jamaah haji. Sebagai contoh untuk operasional Madinah - Makkah yang dilaksanakan dari tanggal 30 Agustus - 12 September 2015, bus yang digunakan sebanyak 1.722 unit dari 8 perusahaan. Mayoritas dilayani oleh perusahaan Abu Sharhad dan Qawafil, sebagai berikut : 1) Abu Sharhad sebanyak 908 unit (52,7 persen) 2) Qawafil sebanyak 488 unit (28,3 persen) Dari seluruh pengoperasian, terlihat penggunaan bus Abu Sharhad yang paling mencolok (52,7 persen) karena perusahaan
Gambar VI-3: Perbandingan tampilan bus standar (Abu Sharhad) dengan bus upgrade (Qawafil)
tersebut memiliki armada lebih dari 5.000 bus. Bus Abus Sharhad akan berputar lebih cepat, sehingga sering dipakai. Pada pengawasan praoperasional yang dilaksanakan pada 11 hingga 22 Juni 2015, KPHI telah mengadakan peninjauan ke pul perusahaan Abu Sharhad. Pada saat pengecekan armada bus, bus standar Abu Sharhad menemukan fakta bus tidak layak pakai mengingat bus yang sudah tua. Dari contoh bus yang diperlihatkan ke Tim Pengawas KPHI saja, kondisi bus terlihat keropos di beberapa bagian. Selain ke pul bus Abu Sarhad, Tim KPHI juga melakukan peninjaun ke pul perusahaan bus Hafil. Jumlah armada yang dimiliki hampir sama dengan yang dimiliki oleh perusahaan Abu
VI-9
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Sharhad, tetapi kondisi armadanya masih lebih baik dibandingkan dengan bus Abu Sharhad. Setelah pengawasan praoperasional, Ketua KPHI kemudian mengirim surat kepada Presiden RI dengan nomor surat KPHI/109/ VI/2015 tangga 27 Juni 2015 perihal Rekomendasi Berdasarkan Persiapan Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 1436H/2015M, yang antara lain agar menggunakan bus antar-kota perhajian yang upgrade. KPHI juga menyarankan untuk tidak menggunakan bus Abu Sharhad. Hal tersebut didorong dengan pengalaman masa lalu bahwa penggunaan bus Abu Sharhad banyak menimbulkan masalah, antara lain bus terbakar, tempat bagasi yang kecil, dan sebagainya. PPIH juga pernah mem ”black list” perusahaan Abu Sharhad tersebut.
Gambar VI-4: Komisioner KPHI sedang melakukan peninjauan ke pool bus Abu Sharhad
KPHI telah menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Agama beserta jajarannya (Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah). Namun, kenyataanya saran dari KPHI tidak dilaksanakan. PPIH tidak dapat mengganti bus antar-kota perhajian dari standar menjadi upgrade karena sudah ditetapkan oleh DPR bersama Pemerintah dengan pertimbangan efisiensi anggaran. Penggunaan bus standar dari Naqobah benar-benar menimbulkan masalah. Jamaah haji gelombang pertama yang telah menunaikan salat Arbain kemudian diangkut ke Makkah dengan menggunakan bus tersebut. Ternyata, dari pengoperasian sejak tanggal 30 Agustus sampai dengan 11 September 2015, terjadi 27 kali kerusakan bus, 16 di antaranya bus Abu Sharhad. Kerusakan yang dialami kebanyakan bus karena kerusakan
VI-10
Pelayanan Transportasi
mesin atau mogok di jalan. Ada bus yang terbakar mesinnya, sehingga menghanguskan koper jamaah. Dari pemantauan yang ada, durasi perjalanan Madinah - Makkah yang seharusnya sekitar enam jam, ada yang mencapai 11 jam 55 menit (JKS 10). Dalam cuaca yang sangat panas (hampir 50 derajat Celcius), jamaah haji harus menunggu di dalam bus hingga bus selesai diperbaki atau datang bus pengganti. Dampak bus bermasalah, sebagian jamaah kepanasan, kelelahan, jatuh sakit, atau stres. Dengan memperhatikan kondisi ini, Ketua KPHI kembali mengirim surat kepada Menteri Agama Nomor KPHI/156/IX/2015 tanggal 16 September 2015. Intinya, pengoperasian gelombang kedua agar disiapkan contigency plan. PPIH menyiapkan paling tidak disiapkan sembilan bus cadangan (bus upgrade) yang ditaruh di tiga titik antara Makkah dan Madinah, sehingga jika ada kerusakan bus cepat teratasi dengan mengangkut jamaah haji dengan bus-bus cadangan tersebut. Menteri Agama kemudian merespons dengan cepat dan mengadakan pertemuan dengan DPR RI untuk penggunaan dana safe guard guna menyewa bus-bus upgrade untuk mengangkut jamaah gelombang kedua dari Makkah ke Madinah dan jamaah haji gelombang pertama dari Mekkah ke Jeddah (Bandara KAAIA). Harapannya, dengan penggunaan bus upgrade, masalah yang timbul dapat diatasi. Namun demikian, penggunaan bus upgrade harus dimonitor atau diperiksa secara detail. Ternyata banyak bus yang tidak sesuai kontrak, antara lain pada pengangkutan jamaah gelombang kedua LOP 9 dari Makkah ke Madinah. Semua bus yang digunakan tidak terdapat fasilitas toilet seperti tertera pada kontrak.
Gambar VI-5: Bus Abu Sharhad yang mogok di perjalanan Madinah - Makkah.
VI-11
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Untuk masa yang akan datang, diharapkan tidak ada lagi penggunaan bus standar untuk mengangkut jamaah haji Indonesia. Keadaan bus walapun tidak mogok atau bermasalah, armadanya banyak yang sudah tua, keropos, bagasi di atas kecil, dan sering tidak dapat memuat koper jamaah haji. Selain itu, juga ada peraturan Arab Saudi yang tidak membolehkan bagasi tentengan ditaruh di gang di antara tempat duduk. Hal tersebut bertujuan jika dalam keadaan darurat atau emergency mudah untuk mengevakuasi penumpang. Karena ketentuan ini, Pemerintah Indonesia juga terpaksa harus menyewa truk untuk mengangkut tas-tas tersebut. Harga sewa truk sebesar SAR 900 per truk. Dengan demikian, efisiensi yang diharapkan dengan penggunaan bus standar tidak ada gunanya. Dari hasil evaluasi penurunan BPIH sebesar US$ 503 yang diikuti dengan penurunan kualitas pelayanan transportasi sangat tidak menyamankan jamaah haji. Ke depan, tidak perlu ada penurunan BPIH, tetapi pelayanan ditingkatkan. b. Tranportasi Shalawat Transportasi yang disediakan bagi jamaah haji yang menempati pemondokan/hotel dengan jarak 2.000 meter dari Masjidil Haram. Sesuai dengan peraturan Pemerintah Arab Saudi, negara yang mengirimkan jamaah hajinya wajib menyediakan transportasi shalawat dari pemondokan ke Masjidil Haram pergi pulang. Pemerintah Indonesia juga menyediakan angkutan shalawat pada wilayah-wilayah dengan jarak dari pemondokan ke Masijidil Haram di bawah 2.000 meter karena alasan tertentu (melewati terowongan, dan lain-lain). Transportasi bus shalawat diperuntukan bagi jamaah haji yang menempati pemondokan/hotel dengan jarak 2.000 meter atau lebih dan jamaah haji yang menempati hotel yang jaraknya kurang dari 2.000 meter dengan alasan-alasan tertentu. Pemerintah Indonesia melakukan kontrak bus shalawat dengan dua perusahaan transportasi, yaitu Saptco dan Rawahel. Dengan mempertimbangkan jarak tempuh dan kemacetan lalu lintas terutama pada masa-masa puncak, jadwal bus shalawat sebagai berikut: • Masa kedatangan jamaah haji: 30 Agustus - 18 September 2015 (20 hari) • Masa Armina: 19 September - 26 September 2015 (tidak beroperasi) • Masa kepulangan jamaah haji: 27 September - 16 Oktober 2015 (20 hari)
VI-12
Pelayanan Transportasi
Gambar VI-6: Armada bus yang digunakan untuk angkutan bus Shalawat.
Peta wilayah angkutan transportasi tahun 2015 lebih ramping dari pada tahun lalu. Pengaturan transportasi ini sudah sesuai dengan rekomendasi KPHI tahun lalu agar tim penyewaan perumahan dan tim transportasi saling berkoordinasi untuk mengelompokkan rumah/hotel yang akan disewa. Rute bus tidak terlalu banyak, sehingga petugas transportasi juga dapat bekerja lebih efisien. Pada 2015 rute bus menjadi 11 rute dibandingkan tahun lalu mencapai 14 rute, termasuk rute taradudi Mahbas Jin dan Bab Ali. Tahun ini juga tidak menggunakan terminal Gaza yang sangat padat. Semua rute menggunakan terminal Syieb Amir dan Bab Ali, sehingga petugas lebih terkonsentrasi. Pelaksanan angkutan bus shalawat umumnya sudah lebih baik dari tahun lalu. Rute bus shalawat sebagai berikut: RUTE ANGKUTAN SHALAWAT 1
AZIZAH JANUBIAH – MAHBAS JIN-BAB ALI
7
SYISYAH 1 – SYIB AMIR
2
AZIZAH SYIMALIAH 1 – MAHBAS JIN – BAB ALI
8
SYISYAH 2 – SYIB AMIR
3
AZIZAH SYIMALIAH 2 – MAHBAS JIN- BAB ALI
9
RAUDIAH – SYIB AMIR
4
MAHBAS JIN – BAB ALI
10 BIBAN – SYIB AMIR
5
SYISAH RAUDHAH 1 – SYIB AMIR
11
6
SYISAH RAUDHAH 2 – SYIB AMIR
MISFALAH/NAKKASAH – REA BAKHAS/JIAD
Tahun ini masih ada hotel/perumahan yang tidak dilalui bus shalawat, yaitu sektor 8 di Jarwal dan sektor 7, kecuali hotel 701 dan 702. Hotel/perumahan yang tidak mendapat pelayanan bus shalawat tersebut cukup dekat dengan Masjidil Haram, berjarak antara 900 meter sampai dengan 1.900 meter. Untuk jarak
VI-13
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Gambar VI-7: Supir bus shalawat asal Indonesia
yang dekat, umumnya jamaah berjalan kaki ke Masjidil Haram. Sementara untuk yang jaraknya relatif lebih jauh di siang hari, kebanyakan jamaah menggunakan taksi secara beramai-ramai. Berbeda dengan tahun lalu, untuk bus Rawahel yang melayani rute-rute dari Syisah Raudhah, Raudhah, Syisah, Biban, dan Misfalah/Nakkasah ke Syieb Amir, sopir atau pengendara bus kebanyakan warga negara Indonesia yang sudah lama tinggal di Arab Saudi (mukimin). Sopir cukup akrab dengan jamaah haji Indonesia. Sesuai data ada, 97 sopir warga Indonesia yang menjadi sopir bus Rawahel. Walaupun sudah lebih baik dari tahun lalu, masih ada supir bus yang tidak disiplin. Umumnya bukan warga negara Indonesia (mukimin), yaitu mereka tidak segera kembali ke rutenya setelah mengisi bahan bakar atau pergantian supir.. Memasuki putaran kedua, pengoperasian bus shalawat (27 September - 16 Oktober 2015). Seharusnya bus baru mulai beroperasi pada 27 September 2015, tetapi tanggal 26 September 2015 dari sektor 6 ada yag mencarter bus shalawat (Rawahel rute 7) untuk tawaf ifadhah. Sepulang mengantar dan kembali ke hotel, ternyata banyak jamaah yang naik untuk ikut ke Masjidil Haram. Karena bus belum resmi beroperasi, sopir bus kemudian menarik bayaran masing-masing penumpang SAR 5. Untuk hal ini, perlu
VI-14
Pelayanan Transportasi
dilayangkan surat teguran ke perusahaan bus Rawahel tersebut karena supir bus tidak boleh menarik bayaran dari penumpang. Sementara pelayanan bus shalawat Saptco yang melayani rute Aziziah Syimaliyah - Mahbas Jin dan Aziziah Janubiah - Mahbas Jin cukup baik. Perbandingan sopir warga negara Indonesia dan sopir negara lain sebanyak 50 persen. Perusahaan bus Saptco adalah perusahaan bus milik Pemerintah Arab Saudi sehingga lebih tertib Selain hal-hal tersebut di atas, saran KPHI untuk menempatkan dokter atau dokter mobile di terminal sudah ditindaklanjuti (terminal Syieb Amir). Dengan demikian, jamaah haji yang sakit atau pingsan di terminal dapat mendapatkan perawatan segera. Selain itu, saran untuk memberi makan sopir juga sudah ditindaklanjuti. Hanya perlu diperhatikan bahwa selain sopir asal Indonesia, ada sopir yang kebanyakan dari Sudan atau negara Arab lainnya yang terbiasa makan tamis. Selain nasi, perlu juga disediakan tamis sebagai alternatif bagi sopir yang tidak mengkonsumsi nasi. Masalah yang masih perlu mendapatkan perhatian adalah jumlah petugas transportasi, terutama transportasi shalawat. Penempatan petugas satu orang satu halte dibagi menjadi dua shift. Dengan demikian, satu orang bekerja sendirian selama 12 jam. Panas yang menyengat di siang hari sangat melelahkan petugas. Ke depan, disarankan petugas dapat dibagi menjadi tiga shift. Contoh di Aziziah Janubiah ada tiga halte. Petugas lapangan tiga orang dibagi dua shift ditambah satu orang kepala pos, sehingga berjumlah tujuh orang. Dengan demikian, setiap halte diisi shift satu orang.
Gambar VI-8: Suasana crowded kendaraan di sekitar Mina
VI-15
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
c. Transportasi Masya’ir Transportasi Masyair merupakan angkutan yang disediakan untuk mengangkut jamaah haji dengan rute: • • • •
Makkah - Arafah Arafah - Muzdalifah Muzdalifah - Mina Mina - Makkah Untuk transportasi Masya’ir ini, Pemerintah Indonesia mengadakan kontrak dengan Naqabah Al Lissariyyat. Angkutan ini merupakan angkutan taraddudi, yaitu angkutan shuttle yang mengangkut jamaah dari seluruh negara. Untuk angkutan tahun 1436H/2015M tidak ada permasalahan yang berarti. Jamaah haji Indonesia dapat diangkut sesuai dengan jadwal. Hanya angkutan dari Muzdalifah ke Mina yang seharusnya tidak memakan waktu satu jam. Namun karena kemacetan di Mina, ada yang memakan waktu sampai empat hingga lima jam.
B. REKOMENDASI DAN SARAN TINDAK LANJUT PELAYANAN TRANSPORTASI Rekomendasi 1. Pemerintah agar tetap mengatur penerbangan jamaah haji Indonesia untuk kedatangan gelombang pertama melalui Bandara Madinah dan pulang melalui Bandara Jeddah, serta jamaah gelombang kedua sebaliknya. 2. Pemerintah agar menyediakan pelayanan transportasi antar-kota perhajian menggunakan bus upgrade dan menambah petugas transportasi dengan pengaturan shift yang layak.
Saran Tindak Lanjut 1. Transportasi Udara a. Pemerintah meningkatkan kewaspadaan terhadap hal-hal yang dapat menghambat pemberangkatan jamaah haji, termasuk proses pengeluaran visa, agar pemberangkatan jamaah haji berjalan lancar. b. Pemerintah membuat peraturan atau kebijakan untuk mempermudah penggantian jamaah batal berangkat yang dikarenakan berbagai sebab, sehingga dapat mengurangi antrean yang semakin panjang.
VI-16
Pelayanan Transportasi
c. Pemerintah melakukan pendalaman dan evaluasi guna perbaikan terhadap kebijakan yang telah dilaksanakan, yaitu mengangkut jamaah haji gelombang pertama dengan penerbangan langsung ke Madinah dan kembali melalui Jeddah dan jamaah gelombang kedua dengan penerbangan langsung ke Jeddah dan kembali melalui Madinah untuk lebih meningkatkan layanan terhadap jamaah. d. Pemerintah meningkatkan sosialisasi aturan penerbangan dalam bimbingan manasik haji, terutama terhadap barang bawaan yang tidak diperbolehkan dan membahayakan penerbangan. 2. Transportasi Darat a. Pemerintah memberikan kepastian bahwa pada operasional haji di tahun mendatang tidak lagi menggunakan bus standar pada ruterute yang telah ditentukan. b. Pemerintah mengevaluasi butir-butir kontrak dengan Naqabah “Ammah Lisayyarat” dan dengan perusahaan bus terkait (bus upgrade), termasuk mengecek bus-bus yang akan digunakan agar tidak merugikan pihak Indonesia. c. Pemerintah memberikan layanan transportasi shalawat untuk semua jamaah. d. Pemerintah menambah shift petugas transportasi darat.
VI-17
BAB VII
Pengemasan konsumsi Jamaah Haji Indonesia
PELAYANAN KONSUMSI
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
A. TEMUAN PELAYANAN KONSUMSI Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (UU PIH) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 Pasal 37 dan 40, Pemerintah berkewajiban untuk menyediakan akomodasi dan konsumsi bagi jamaah haji yang memenuhi standar kelayakan dengan memperhatikan aspek kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan kemudahan bagi para jamaah haji. Penyediaan konsumsi dilaksanakan oleh PPIH Arab Saudi dan PPIH Embarkasi. Penyediaan konsumsi dimaksud merupakan hak bagi jamaah haji, sebagaimana disebutkan dalam UU PIH. Pasal 7 huruf b UU PIH yang menegaskan bahwa jamaah haji berhak memperoleh pelayanan konsumsi yang memadai baik di Tanah Air, selama di perjalanan, maupun di Arab Saudi. Dalam implementasinya di Arab Saudi, masih terdapat berbagai persoalan yang mengemuka, yaitu mengenai waktu pendistribusian konsumsi yang tidak sesuai jadwal, kurang sesuainya menu, lemahnya koordinasi dengan perusahaan katering, dan lain-lain Untuk memastikan pelayanan konsumsi bagi jamaah haji secara tepat waktu, jumlah, kualitas makanan yang memenuhi persyaratan kesehatan, keamanan, dan kenyamanan perlu dilakukan pengawasan. Pengawasan mulai dari proses pengadaan, produksi, dan distribusi, baik ketika jamaah tiba di bandara maupun saat berada di pemondokan Mekkah-Madinah dan di Armina. 1. Pelayanan Katering di Bandara Jeddah Alokasi konsumsi untuk jamaah haji Indonesia saat kedatangan di Bandara Jeddah mendapatkan jatah makan sekali (satu boks) dan air mineral dua botol isi 600 ml. Semula, pelayanan akan dilaksanakan oleh dua perusahaan katering, yaitu Bawazir Salamah dan Katering Padang. Namun, Katering Padang mengundurkan diri dan akhirnya hanya Bawazir Salamah yang menyediakan katering. Akibatnya, pelayanan katering di Bandara Jeddah kurang lancar karena pendistribusian makanan ada yang tidak tepat dan jatah air mineral kurang. Misalnya, Yanuar dan Suyatmi dari Kloter JKG 25 mengaku hanya mendapatkan satu botol air mineral saat berada di Bandara KAAIA. Kendala ini juga diakui oleh Reza Riyani petugas Daker Airport Jeddah.
VII-2
Pelayanan Konsumsi
Gambar VII-1: Suasana kedatangan jamaah di Bandara KAAIA - Jeddah
2. Pelayanan Katering di Madinah a. Distribusi Katering Jamaah haji Indonesia selama di Madinah mendapatkan jatah makan dua kali sehari ditambah roti untuk sarapan pagi yang pendistribusiannya disertakan pada saat distribusi makan malam. Pelaksanaan penyediaan katering di Madinah mengalami beberapa masalah sebagai berikut : 1) Pendistribusian terlambat, seperti terjadi pada : a) SUB 4 pada 28 Agustus 2015. Seharusnya jamaah menerima jatah makan pukul 11.00 WAS, tetapi jamaah baru menerima jatah makan pada pukul 14.35 WAS. b) SOC 12, JKG 17, JKG 8, SUB 10, SUB 31, SOC 24, JKS 27, UPG 5, PLM 7, BPN 3, LOP 5, MES 11 mengeluhkan pendistribusian konsumsi sering terlambat. 2) Menu makan monoton (tidak sesuai daftar menu) seperti terjadi pada kloter PLM 3 dan PLM 4. Bahkan, sering tidak ada paket roti untuk sarapan pagi. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, masalah keterlambatan distribusi katering merupakan masalah yang paling banyak terjadi di Madinah. Dampaknya, jamaah kurang selera makan. 3) Paket snack (roti) untuk sarapan pagi sering tidak lengkap, seharusnya terdiri sebuah roti, sebuah biskuit dan paket coffe beserta air meneral. Kurangnya sosialisasi dan pemahaman jamaah haji tentang tidak adanya jatah makan pagi yang digantikan dalam bentuk snack yang distribusikan bersamaan dengan konsumsi untuk malam hari sering menimbulkan tandatanya dan kebimbangan jamaah haji, sehingga berdampak pada kurang puasnya pelayanan konsumsi pada jamaah haji.
VII-3
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Gambar VII-2: Pengawasan Komisioner KPHI di perusahaan katering Madinah.
b. Perusahaan Katering. Perusahaan katering yang melayani konsumsi jamaah di Madinah awalnya sebanyak 10 perusahaan. Namun, sebelum pelaksanaan ada satu perusahaan mengundurkan diri yaitu Al Hamra. Akhirnya, katering di Madinah dilayani oleh sembilan perusahaan dengan kapasitas sebesar 155.200 boks dengan rincian sebagai berikut: 1) Al Andalus 28.800 box; 2) Ahmadi 23.300 box; 3) Saudi Ration 17.900 box; 4) Oriental Savory 16.500 box; 5) Bayan Silver 15.500 box; 6) Salal Istanbul 15.000 box; 7) Al Aliyah 13.700 (telah diputus kontrak); 8) Al Munif 12.250 box; 9) United Catering 12.250 box. Dari sembilan perusahaan katering tersebut, ada beberapa perusahaan yang mendapat sanksi karena tidak mematuhi ketentuan yang diatur dalam kontrak, seperti :
VII-4
Pelayanan Konsumsi
1) Sejak 24 Agustus 2015 sampai 30 Agustus 2015 perusahaan Al Aliyah beberapa kali mengalami keterlambatan pendistribusian katering untuk jamaah dan terjadi makanan yang basi. Pada 30 Agustus 2015 perusahaan katering Al Aliyah telah diputus kontraknya dan dikenakan denda sebagaimana diatur di dalam kontrak. Sisa kapasitas yang belum dilaksanakan diberikan kepada lima perusahaan lain. 2 ) P e rusa h a a n U ni ted Cater ing m engalam i satu kali mendistribusikan makanan basi, sehingga makanan yang sudah diberikan kepada jamaah ditarik kembali dan diganti dengan makanan siap saji. Daker Madinah telah melakukan teguran tertulis dan mengenakan denda sebagaimana diatur dalam kontrak. 3) Terdapat dapur kurang bersih dan lingkungan dapur tidak sehat (terdapat penumpukan sampah didekat dapur), sehingga banyak lalat yang masuk ke dapur dan bau tidak sedap. Hal ini terjadi antara lain pada perusahaan katering Saudi Ration. Pada saat Tim KPHI meninjau langsung ke lokasi dapur katering tersebut pada 11 September 2015 ditemukan kondisi sanitasi lingkungan yang tidak bersih. KPHI telah mengingatkan PPIH pengawas konsumsi untuk menegur pimpinan perusahaan tersebut untuk melakukan pembenahan.
Gambar VII-3: Proses pengemasan makanan di dapur katering Madinah
VII-5
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
3. Pelayanan Katering di Makkah a. Distribusi Katering Pada musim haji tahun 2015 ini jamaah haji Indonesia selama di Makkah mendapatkan pelayanan konsumsi makan siang sebanyak 15 kali (sehari sekali). Hal ini sesuai dengan ketentuan e-hajj dan rekomendasi KPHI pada tahun yang lalu, walaupun pemenuhan pelayanan ini baru sebatas pemenuhan minimal. Jamaah haji Indonesia selama di Makkah seharusnya membutuhkan tiga kali makan sehari karena jamaah tinggal di hotel yang dilarang untuk memasak bagi jamaah haji dan sulit mendapatkan makanan di hotel. Kalaupun ada, harganya relatif mahal dan menunya (makanan Turki atau India) tidak sesuai dengan selera sebagian besar jamaah Indonesia. Secara umum, pelayanan konsumsi yang pertama diberikan di Makkah ini berjalan dengan lancar. Namun, permasalahan tetap ada seperti keterlambatan distribusi dan kualitas makanan. Perbaikan harus dilakukan untuk memenuhi nilai gizi dan standar kalori, serta pemberian informasi kepada jamaah yang jelas dan benar. Keluhan jamaah haji Indonesia di Makkah, antara lain : 1) JK S 23 da n JK G -07, jam aahnya m engeluh sebab pendistribusian makanan selalu terlambat dan menu makanan tidak menarik. 2) UPG 15, sering terjadi keterlambatan pendistribusian katering. Bahkan, jamaah baru menerima makanan pada pukul 16.15 WAS 3) SUB 2 dan BTJ 3, pendistribusian katering mengalami keterlambatan. 4) SOC 4, JKS 25 dan MES 11, jamaah mengeluh pendistribusian konsumsi selalu terlambat. Bahkan, jamaah pernah menerima makanan yang sudah basi pada 10 September 2015. 5) PLM 5, menu makanan monoton (tidak sesuai jadwal menu). 6) SUB 4 dan PLM 9, pendistribusian makanan sering terlambat dan menunya monoton. 7) JKS-17 baru mendapatkan pelayanan konsumsi pada hari kedelapan di Makkah, tetapi pada hari ke 9 tanggal 15 September 2015 tiba-tiba terjadi penghentian distribusi konsumsi, sehingga jatahnya berkurang.
VII-6
Pelayanan Konsumsi
Gambar VII-4: Proses memasak makanan di dapur katering
b. Konsumsi Jamaah Kesulitan jamaah mendapatkan makanan di luar jatah. Pola pemondokan di hotel yang tidak menyediakan fasilitas dapur bagi jamaah mengakibatkan kesulitan untuk mendapatkan makanan, kecuali melalui kafetaria hotel yang harganya tentu mahal. Alternatif yang ditempuh jamaah adalah membeli makanan di kaki lima tetapi sulit atau memasak di kamar yang sebenarnya dilarang. Sebagian besar jamaah haji yang tinggal di Sektor 6 Sisyah mengeluhkan sulitnya mencari makan, meskipun kadang ada mukimin yang menjual makanan tetapi sering ditertibkan oleh petugas keamanan. Hal ini juga dirasakan oleh jamaah haji yang menempati Sektor 8 mereka mengeluh sulitnya mencari makanan di sekitar hotel apalagi sektor 8 ini menampung 21.279 orang jamaah. Akhirnya, sebagian jamaah memasak di kamar hotel meskipun dilarang dan beresiko terjadinya musibah kebakaran. Tanggapan jamaah haji Indonesia dengan adanya pelayanan konsumsi 15 kali selama berada di Makkah cukup membantu. Namun, mereka menginginkan tidak hanya mendapatkan pelayanan konsumsi 15 kali, tetapi ditambah jatah makannya tiga tiga sehari selama di Makkah. Petugas pengawas katering di Makkah mengakui banyak jamaah yang menginginkan jamaah mendapatkan jatah konsumsi tiga kali sehari. Namun, petugas mengakui tidak mudah menyediakan konsumsi jamaah di Makkah. Pasalnya, jarang sekali perusahaan katering di Makkah yang mampu menyediakan
VII-7
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
konsumsi untuk ribuan jamaah. Apalagi lokasi perusahaan katering di Makkah (selain kecil) juga jauh (terjauh 20 kilometer), sehingga menyulitkan distribusi katering, utamanya pada saat puncak musim haji. Perusahaan katering di Makkah yang melayani jamaah haji Indonesia: 1) Syarikah Al Sulam dengan kapasitas 24.243; 2) Muassasah Abd. Muhammad Fathi Said Abi Jadail dengan kapasitas 13.219; 3) Muassasah Ubaidillah Abd. Abaillah Al Ahmadi dengan kapasitas 9.818; 4) Maktab Maryam Ari Zahroni dengan kapasitas 7.793; 5) Food Tiger Company dengan kapasitas 7.377; 6) Muassasah Rozaib dengan kapasitas 6.863; 7) Syarikah Saudi Catering dengan kapasitas 6.860; 8) Syarikah Amir Ali Kan dengan kapasitas 6.634; 9) Maktab Ahmad Muksin Solimi dengan kapasitas 3.417; 10) Muassasah Mahmud Muhammad Harsi dengan kapasitas 6.136; 11) Muassasah Sobara At Tamyos dengan kapasitas 5.073; 12) Muassasah Fatimah Fuad Marta Catering dengan kapasitas 4.977; 13) Muassasah Yahya Mubarok dengan kapasitas 4.888; 14) Muassasah Zubaidah For Catering dengan kapasitas 5.927; 15) Muassasah Said Salim Bawazir dengan kapasitas 4.771; 16) Muassasah Rimas dengan kapasitas 4.730; 17) Muassasah Abid Abdullah Syak dengan kapasitas 4.696; 18) Muassasah Munib Muhammad Makki dengan kapasitas 4.567; 19) Muassasah Jawahir Dawud Tokio dengan kapasitas 4.532; 20) Muassasah Ahmad Muksin Salimi dengan kapasitas 3.417; 21) Muassasah Sihaj Turki dengan kapasitas 3.569; 22) Muassasah Kholid Mad Dahuri dengan kapasitas 3.884; 23) Muassasah Jabir Abinan Assahbidengan kapasitas 4.861; 24) Madbah Ahmad Muksin Salimi dengan kapasitas 3.004; Kapasitas yang diberikan kepada tiap perusahaan umumnya dapat terpenuhi. Namun, dari segi kualitas pelayanan masih perlu ditingkatkan sebagaimana keluhan dari jamaah haji Indonesia.
VII-8
Pelayanan Konsumsi
Gambar VII-5: Jamaah haji sedang antre makanan di Arafah.
4. Pelayanan Katering Armina a. Katering di Arafah Permasalahan katering yang terjadi pada proses Armina adalah kekurangan air minum, menu yang diberikan tidak standar, tidak tersedianya makan malam saat jamaah akan menuju Muzdalifah dan keterlambatan distribusi. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan pelayanan konsumsi sebagaimana tercantum dalam Keputusan Dirjen PHU nomor: D/338/2015 tentang standar pelayanan akomodasi, konsumsi, transportasi dan angkutan bagi jamaah haji Indonesia di Arab Saudi Tahun 1436 H/2015 M. 1) Pelayanan katering yang tidak sesuai standar terjadi pada saat jamaah di Arafah, antara lain pada kloter-kloter sebagai berikut: a) BTJ 03 pada 23 September 2015 hanya menerima satu botol air minum pada saat makan malam dan pembagian buah tidak merata. b) SOC 55 pada 23 September 2015 dan BTJ 05 sampai pukul 08.30 WAS belum mendapatkan pelayanan untuk sarapan pagi. c) SOC 24 pada 23 September 2015 mendapatkan sarapan pagi dengan menu yang tidak standar dan keterlambatan pembagian air minum. d) UPG 21 pada 23 September 2015 jamaah hanya mendapatkan air mineral sebanyak 2 botol air minum (330 mililiter) pada saat makan. e) Terjadi keterlambatan makan pagi di Arafah pada 9 Zulhijah 1436 H pada Maktab 8.
VII-9
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
f) Terjadi keterlambatan distribusi, makanan tidak standar, dan kekurangan air minum terjadi pada Maktab 25 dan 47 selama prosesi ibadah di Arafah. g) Kekurangan distribusi air minum di Arafah, antara lain pada Maktab 8. Banyak jamaah yang mengeluh karena tidak mendapatkan jatah air minum sebanyak 3 botol ukuran 330 ml setiap makan. Mereka selama di Arafah hanya menerima 2 botol air mineral. Bahkan, ada yang hanya menerima 1 botol saja. Pembagian buah yang tidak merata, pendistribusian makanan tidak tepat waktu, dan porsi makanan ada yang kurang. h) Tidak ada distribusi makanan malam. Jamaah haji pada Maktab 9 (6 kloter) dan Maktab 71 (11 kloter) mengeluh karena mereka tidak mendapatkan pelayanan makan malam pada saat jamaah menjelang berangkat ke Muzdalfah dan juga tidak disusulkan ke Muzdalifah.
Gambar VII-6: Kondisi dapur di Arafah
b. Katering di Mina Pelayanan katering bagi jamaah haji di Mina juga menghadapi kendala keterlambatan distribusi dan kendala lain, antara lain: 1) Beberapa Karom dari Kloter UPG 05, BTJ 03 dan SUB 10 ada yang tidak mengambil jatah makanan. 2) Terjadi keterlambatan distribusi makan pada 24 September 2015/10 Zulhijah di Maktab 54, 55 dan 69. 3) Terjadi kekurangan jatah makan sebanyak 170 boks yang terjadi pada Maktab 71 pada 10 Zulhijah 1436 H. 4) Terjadi kebakaran dapur Maktab 54 pada 10 Zulhijah 1435 H, sehingga alokasi masak digabungkan ke dapur Maktab 55. Dampaknya, beban dapur Maktab 55 terlalu berat dan berakibat terjadi kelambatan distribusi.
VII-10
Pelayanan Konsumsi
Perusahaan katering penyedia konsumsi di Armina: 1) Muassasah Tasmin dengan kapasitas 3 maktab; 2) Muassasah Mamduh Abd. Aris Damanhuri dengan kapasitas 3 maktab; 3) Muassasah Yom-Yom dengan kapasitas 2 maktab; 4) Muassasah Ragail dengan kapasitas 2 maktab; 5) Muassasah Sami Mansyur Damanhuri dengan kapasitas 2 maktab; 6) Muassasah Maberon dengan kapasitas 2 maktab; 7) Muassasah Jawahir Dawud dengan kapasitas 1 maktab; 8) Muassasah Munif Mahammad Makki dengan kapasitas 1 maktab; 9) Muassasah Ubaidillah Abdullah Al Ahmadi dengan kapasitas 1 maktab; 10) Muassasah Abid Abdullah Syah dengan kapasitas 1 maktab; 11) Muassasah Ahmad Muksin Salimi dengan kapasitas 1 maktab; 12) Muassasah Zubaidah For Catering dengan kapasitas 1 maktab; 13) Muassasah Uskom Abdurrozak Yusuf Fatoni dengan kapasitas 1 maktab; 14) Muassasah Muhammad Yusuf Fatoni dengan kapasitas 1 maktab; 15) Muassasah Said Salim Bawazir dengan kapasitas 1 maktab; 16) Muassasah Al Gholia dengan kapasitas 1 maktab; 17) Muassasah Al Esab dengan kapasitas 1 maktab; 18) Muassasah Kholid Muhammad Abdullah Makki dengan kapasitas 1 maktab;
Gambar VII-7: Temuan kekurangan menu pada paket makan malam jamaah haji di Arafah
VII-11
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
5. Analisis Dampak a. Pemenuhan Standar Menu dan Kalori Menu makanan dan minuman pada setiap makan yang telah ditentukan PPIH Arab Saudi sebenarnya cukup memadai bila dilaksanakan secara konsisten oleh pihak katering dan diawasi secara ketat penyajiannya oleh petugas/koordinator katering PPIH. Namun karena jatah makan yang diberikan kepada jamaah haji di Madinah hanya dua kali sehari ditambah snack pagi, kalori yang diperoleh cukup untuk orang yang melakukan aktifits keseharian yang biasa dan berada di daerah yang tidak ekstrem. Dihadapkan dengan cuaca ekstrem yang terjadi di Arab Saudi pada musim haji tahun ini dan aktifitas jamaah haji yang demikian padat serta waktu istirahat yang sangat kurang, jumlah kalori yang dibutuhkan untuk menjaga ketahanan fisik jamaah haji perlu ditambah dengan menu yang sesuai dengan kebutuhan pisik dan selera jamaah haji Indonesia. Hal ini akan terpenuhi jika jamaah mendapatkan alokasi makan 3 kali sehari dengan menu yang sesuai. Apabila kalori tidak tercukupi, tentu akan berdampak pada penurunan ketahanan pisik dan kemampuannya untuk menopang kebutuhan gizi dan kalorinya. Penurunan ketahanan fisik itu akan berpengaruh kepada ketahanan mentalnya, sehingga hal ini akan berdampak pada kemampuan jamaah untuk melaksanakan amaliah ibadahnya secara maksimal, sebagaimana dicita-citakan sejak dari Tanah Air untuk bisa beribadah sebanyak-banyaknya disertai kekhusuan yang tinggi. b. Sistem Distribusi. Problem distribusi konsumsi pada saat jamaah di pemondokan adalah saat kondisi puncak musim haji, yaitu saat jamaah haji mencapai jumlah puncak berada di lokasi tertentu, seperti pada saat menjelang dan sesaat proses Armina. Pada kondisi demikian, distribusi katering ke lokasi pemondokan yang padat jamaah haji akan terkendala oleh antrean kepadatan dan kemacetan lalu lintas. Karena itu, perlu pengaturan jarak antara lokasi dapur katering dengan lokasi hotel yang dilayani. Sementara problem distribusi katering pada saat Armina adalah terletak pada kesiapan dapur, bahan baku, tenaga pemasak, serta distribusi ke kloter-kloter dalam maktab. Karena setiap maktab telah difasilitasi dapur yang mampu melayani jamaah di maktab tersebut. Untuk mengantisipasi terjadinya kendala distribusi konsumsi di Armina adalah dengan pengawasan
VII-12
Pelayanan Konsumsi
dan pengendalian oleh para koordinator katering setiap maktab, baik yang dilakukan oleh pihak maktab maupun petugas PPIH Arab Saudi. c. Kebutuhan Konsumsi Jamaah di Pemondokan. Pemondokan jamaah haji di Makkah yang semula berbentuk apartemen atau perumahan dan sekarang menjadi hotel bintang dua hingga empat. Perubahan akomodasi ini belum diikuti dengan perubahan pola pelayanan konsumsi jamaah haji selama di maktab karena hanya diberikan makan 1 kali 15 hari. Akibatnya, timbul berbagai masalah, antara lain: 1) Jamaah haji memasak di kamar hotel yang seharusnya dilarang. Karena terpaksa, mereka melakukannya sehingga sering terjadi kebakaran. 2) Jamaah haji lansia dan risti yang berasal dari daerah takut keluar kamar untuk turun membeli makanan di lobi hotel, sehingga mereka banyak menahan diri berlapar-lapar di kamar hotel. Akibatnya, kondisi kesehatan mereka menurun dan tidak mampu menghadapi kondisi alam dan kegiatan yang berat selama di Tanah Suci. 3) Biaya makan di restoran/kafetaria hotel cukup tinggi dan banyak jamaah haji yang tidak menyiapkan bekal uang yang cukup, sehingga sebagian jamaah mencari makanan dengan membeli di kaki lima yang kurang terjaga kebersihan dan kelayakannya serta sering di razia. Akibatnya, sebagian jamaah makan seadanya, sehingga asupan gizi dan kalori dari makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi. Hal ini menjadi berpengaruh terhadap beyond health yang pada saatnya menjadikan jamaah haji tersebut jatuh sakit.
B. REKOMENDASI DAN SARAN TINDAK LANJUT PELAYANAN KONSUMSI Rekomendasi 1. Pemerintah agar meningkatkan penyediaan pelayanan makanan jamaah haji di Makkah minimal dua kali dan di Madinah menjadi tiga kali sehari dengan standar kualitas yang memadai sesuai menu Indonesia. 2. Pemerintah agar memenuhi pelayanan konsumsi yang berkecukupan gizi dan kalori, serta menambah air minum di Armina sesuai kebutuhan jamaah haji.
VII-13
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Saran dan Tindak Lanjut
1. Pemerintah Cq Kemenag RI agar memenuhi kecukupan nilai gizi dan kalori jamaah haji selama di Makkah dan Madinah dengan cara: a. Memberikan makan nasi dua kali sehari di Makkah dan tiga kali sehari di Madinah. b. Memberikan kecukupan buah-buahan dan minuman c. Menu variatif dan sesuai selera orang Indonesia 2. Pemerintah Cq Kemenag RI agar membenahi sistem pelayanan konsumsi di Armina dengan cara: a. Memperketat pengawalan penyediaan makanan dan minuman agar tidak terjadi penyimpangan standar kecukupan jumlah dan kelambatan distribusi kepada jamaah. b. Mencukupi kebutuhan air minum tiap orang minimal tiga liter tiap hari untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan heat stroke. c. Menyediakan cadangan makanan yang tahan lama dan minuman yang cukup (gentongisasi) untuk menghadapi keadaan darurat selama prosesi Armina. 3. Pemerintah Cq Kemenag RI dalam memilih perusahaan katering di Arab Saudi agar memperhatikan: a. Kapasitas produksi dan kemampuan distribusi. b. Lokasi dapur relatif dekat dan lingkungannya bersih. c. Tenaga pemasak (chef) orang Indonesia. d. Perusahaan katering tersebut belum pernah wanprestasi dan selama melayani Indonesia berprestasi baik. e. Menggunakan bumbu dasar (rempah-rempah) dari Indonesia dan sesuai selera orang Indonesia. 4. Pemerintah Indonesia Cq Kemenag RI meningkatkan kualitas dan kuantitas petugas pengawas katering dengan cara: a. Memilih petugas pengawas katering yang profesional dan memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam penyediaan katering dan gizi. b. Pemerintah membuat Standar Prosedur Operasi bagi petugas pengawas katering untuk selalu aktif mengawasi dan mengkontrol perusahaan katering berdasarkan standar dan kesepakatan kontrak. c. Menambah jumlah petugas pengawas katering untuk lebih mengawasi proses penyediaan hingga distribusi, serta pengawasan terhadap kecukupan kalori dan gizi yang seimbang.
VII-14
BAB VIII
Balai Pengobatan Haji Indonesia
PELAYANAN KESEHATAN
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
A. TEMUAN PELAYANAN KESEHATAN
Pengawasan bidang kesehatan tidak hanya semata-mata aspek kesehatan secara langsung. Namun mengikuti prinsip kesehatan menurut World Health Organization (WHO), sehat adalah suatu keadaan sehat yang meliputi fisik, psikhis, dan sosial. Karena itu, pengamatan/ pengawasan bidang kesehatan juga melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap hal-hal yang terkait tidak langsung terhadap kesehatan seseorang yang berpengaruh dan mempengaruhi keadaan kesehatan seseorang yang dikenal sebagai beyond health. Dari paparan ketua PPIH Arab Saudi saat pertemuan awal dengan KPHI, antara lain dilaporkan adanya sekitar 63 persen jamaah resiko tinggi, lebih 50 persen adalah jamaah haji yang resiko tinggi dengan masalah penyakit (pengguna gelang merah dan gelang kuning). Hal khusus yang terlihat adalah banyaknya jamaah dengan usia diatas 70 tahun, jamaah dengan keharusan cuci darah (HD). Bahkan, ditemukan sejumlah kasus kanker dan gangguan kepribadian. Memperhatikan perkembangan pelaksanaan penyelenggaran haji tahun 2015, diakui ada perbaikan, terutama secara fisik tempat penginapan jamaah.Namun jika PPIH memperhatikan dengan seksana masukan dan rekomendasi KPHI (termasuk bidang kesehatan) sesungguhnya banyak hal bisa ditingkatkan dan pada akhirnya meningkatkan kualitas pelayanan dan sekaligus kepuasan dari para jamaah. Banyak rekomendasi KPHI kurang diperhatikan utamanya karena penyelenggara tahun berjalan “tidak nyambung” dengan tahun sebelumnya.Misalnya pimpinan pelaksana pelayanan kesehatan di seluruh BPHI maupun sektor hampir semua orang baru atau jika sudah pernah, setelah 5-6 tahun sebelumnya. Padahal, rekomendasi KPHI menegaskan perlunya memperhatikan kesinambungan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan. Hal menggembirakan bahwa pada 11 Agustus 2015 Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) Nomor.HK.05.01/Menkes/308/2015 dan Nomor. 13 Tahun 2015 tentang Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Lingkup MoU ini, antara lain dalam penetapan persyaratan kemampuan (istithoah) kesehatan bagi jamaah haji. Untuk pelaksanaan lebih lanjut akan disusun oleh kedua pihak dalam bentuk Perjanjian Kerjasama. KPHI mengapresiasi kesepahaman ini dan sudah tahun ketiga KPHI merekomendasikan keharusan penetapan istithoah kesehatan, melihat banyaknya masalah kesehatan yang berdampak pada kenyamanan ibadah. Banyak masalah kesehatan jamaah yang ditangani bukanlah sebagai akibat faktor lingkungan ditempat ibadah. Proses pelayanan
VIII-2
Pelayanan Kesehatan
kesehatan haji merupakan integrasi (keterpaduan) dari berbagai aspek, utamanya pelayanan medis, pelayanan promotif, pelayanan pencegahan (termasuk sanitasi dan surveilans), dan pelayanan gizi, serta intervensi kegiatan terkait beyond health. Bentuk kegiatannya adalah pengintegrasian jamaah haji (terutama yang resti atau resiko tinggi) dengan akomodasi, katering/menu makan, bimbingan jamaah. Output-nya adalah menurunkan angka kematian dan angka kunjungan sakit. Sementara outcome-nya adalah Jamaah Haji Indonesia (JHI) dapat melaksanakan seluruh rukun dan wajib haji/ umrahnya dengan dukungan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan profesional sejak persiapan, pelaksanaan di Tanah Suci hingga kepulangan ke Tanah Air.
1. Daerah Kerja
a. Daker Madinah Pada 2015, Daerah Kerja Madinah bertambah satu lagi, yaitu Daerah Kerja Bandara Internasional Amir Mohammad bin Abdul Aziz (AMAA) yang dipersiapkan menerima kedatangan Jamaah haji Indonesia gelombang pertama dan kepulangan gelombang kedua yang semuanya sekitar 50 persen dari total jumlah Jamaah haji Indonesia. Untuk kesiapan pelayanan kesehatan di Madinah, tidak hanya mempersiapkan Daker Bandara AMAA, tetapi juga pemindahan gedung BPHI Madinah dari tempat sebelum ke lokasi baru. Beberapa temuan dan masalah yang ditemukan seperti: 1) BPHI Madinah yang baru berlokasi didaerah Harrad-zarkiyah di Jalan Pangeran Muhammad bin Abdulazis, 5 kilometer dari Masjid Nabawi. Lebih jauh dibandingkan dengan gedung lama (sekitar 1 kilometer dari Masjid Nabawi) di areal yang memiliki akses jalan lebih sulit karena tidak persis di akses jalan utama. Bangunan apartemen baru, diatas lahan seluas 762 meter persegi, setinggi enam lantai termasuk basemen. Luas perlantai 503,6 meter persegi, sehingga total luasnya 3.021,6 meter persegi. 2) Pada peninjauan KPHI pada masa pengawasan praoperasional Juni 2015, pengerjaan renovasi cukup berat dan luas karena mengubah gedung apartemen menjadi Balai Pengobatan layak rumah sakit dan tidak diawasi tenaga profesional. Dalam kunjungan pengawasan pada awal September 2015, renovasi sudah selesai dan operasional. Namun, terlihat sempit dan hanya mampu memuat 35 tempat tidur (TT). Suatu jumlah yang mustahil memberikan pelayanan yang memadai dibandingkan
VIII-3
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
dengan BPHI yang lama di Raudah berlantai 7 dengan 40 TT rawat inap untuk laki/perempuan dalam bentuk zaal dan kamar, 18 TT untuk UGD, 2TT untuk ruang isolasi/gangguan jiwa, pelayanan gigi, dan laboratorium. 3) Laporan dari register sakit yang direkapitulasi sementara pada 26 September 2015, diketahui 19.370 kunjungan berobat di kloter, 10.069 rawat jalan di sektor, 284 rawat jalan dan 102 rawat inap di BPHI Madinah, serta 52 orang rawat inap di Rumah Sakit Arab Saudi di Madinah. 4) BPHI Madinah menjadi tumpuan atau satu-satunya fasilitas pelayanan kesehatan paripurna yang diakui dan diperbolehkan melakukan pelayanan kesehatan. Pemerintah Kota Madinah selalu dan semakin melarang membuka posko pengobatan di hotel (yang kita sebut sektor). 5) BPHI Bandara Internasional AMAA yang diselenggarakan untuk pertama sekali belum mendapat perhatian sepenuhnya. Tempat pelayanan belum optimal. Dari penjelasan Kepala Daker Bandara diketahui pula bahwa akomodasi bagi tenaga kesehatan BPHI Bandara harus sebagian diantar ke Jeddah (5 jam perjalanan dari Madinah) dan bergantian dengan tim lainnya. Sejak kedatangan jamaah haji gelombang I pada 23 Agustus 2015 sampai keadaan 12 September 2015, dilaporkan ada 4.352 kunjungan berobat di bandara, dirujuk ke Sektor sebanyak 37 orang rawat jalan, dan dirujuk rawat jalan sebanyak 269 Jamaah ke BPHI Madinah. 6) Telah terjadi kerusakan 27 buah bus pengangkut Jamaah Haji Indonesia dari Madinah ke Makkah, sehingga terjadi perbaikan selama 2-23 jam karena perbaikan kerusakan mesin atau menunggu bus pengganti. Keadaan ini menyebabkan kondisi jamaah mengalami dehidrasi dan terganggu kesehatannya. 7) Pelayanan kesehatan sektor-sektor yang didukung delapan dokter umum dan delapan paramedis, kurang berjalan efektif karena tidak diperkenankan oleh pemerintah kota Madinah sehingga selalu tampak bagai “kucing-kucingan”. Ke depan perlu dipikirkan model pelayanan kesehatan alternatif/mobil antara Kloter-BPHI. 8) Pelayanan kesehatan di Madinah sampai keadaan 26 September pukul 22.00 WAS dilaporkan 19.370 kunjungan di kloter, 10.069 kunjungan rawat jalan di sektor, 284 rawat jalan dan 102 rawat inap di BPHI, dan 52 orang dirujuk ke RS Arab Saudi. Ini kondisi JHI gelombang pertama yang mendarat di Madinah yang kualitas kesehatannya masih baik.
VIII-4
Pelayanan Kesehatan
b. Daerah Kerja Makkah KPHI mengunjungi semua sektor, termasuk Sektor Khusus di area Masjidil Haram. Dalam bidang kesehatan ditemukan sejumlah catatan situasi dan kinerja pelayanan kesehatan serta hal terkait kesehatan yang dapat mempengaruhi kualitas kesehatan jamaah. 1) Klinik Sektor a) Sektor dipimpin oleh unsur TPIH dari Kementerian Agama. Dari dialog atas ber-bagai aktifitasnya, tidak ditemukan Standar Prosedur Operasional (SOP) dan buku kerja yang antara lain menunjukkan catatan komunikasi intensif antara sektor dan kloter. Kekhawatiran semakin terasa di Sektor 8 yang menangani 52 kloter dengan 21.200 lebih jamaah dan berada pada satu area dengan lima gedung dengan masing-masing berlantai 35. Para jamaah sering kesulitan mengenal lingkungan wilayah tinggal, sehingga menjadi letih dan dehidrasi setiap kembali dari aktifitas diluar gedung. b) Wasektor yang dipimpin unsur Kementerian Kesehatan terdiri atas seorang Spesialis Penyakit Dalam (Sp.PD), seorang Spesialis Paru (Sp.P), dan seorang Dokter umum, mengelola 1 (satu) unit Pelayanan Kesehatan Sektor dengan jejaring pelayanan klinik satelit dan klinik kloter. Di Makkah, ada 9 sektor plus 1 sektor khusus. Beberapa klinik sektor (seperti sektor 3, 5, 6, 7, dan 8) tampak sangat sibuk. Para tenaga medis terjebak pada penanganan pasien yang membutuhkan tindakan serius, sehingga banyak rawat inap dan bisa sampai seminggu. c) Seharusnya klinik sektor berperan sebagai konsultan pelayanan medik bagi klinik kloter. Jika dibutuhkan penanganan di sektor sebatas tempat observasi yang jika tidak ada kemajuan segera rujuk ke BPHI. Dengan demikian, tenaga medik (khususnya dokter sektor) bisa melakukan fungsi monitoring pengawasan kesehatan kloter, khususnya untuk kelompok resiko tinggi sekaligus mendorong pelayanan promotif dan pencegahan. Peran ini perlu dipertegas karena Pemerintah Kerajaan Arab Saudi sesungguhnya tidak berkenan adanya pelayanan kesehatan dengan rawat inap di luar rumah sakit. Jika di Madinah lebih keras lagi, sehingga klinik sektor sering dirazia baladiah/polisi ketertiban Kerajaan.
VIII-5
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Gambar VIII-1: Komisioner KPHI sedang meninjau jamaah haji yang sakit
d) Hal lain ternyata semua dokter yang dikunjungi KPHI belum berhaji. Pada 2014 saat terjadi KLB heat stroke, pasien yang penuh sampai di lantai BPHI Makkah tidak dapat diantar ke sektor karena tidak ada petugas kesehatan karena sedang berhaji. Tahun ini terulang kembali dengan membludaknya pasien di BPHI Makkah dan tidak dapat segera dialihkan ke sektor-sektor. 2) Klinik Satelit a) Menurut keterangan BPHI, klinik satelit ini fasilitas terbaru yang diterapkan di setiap rumah/pemondokan. Pada suatu pemondokan yang terdiri atas beberapa kloter ada klinik satelit yang fungsinya lebih kepada “supporting”. Dari pengamatan KPHI, terlihat klinik satelit tidak efektif dan tidak berjalan optimal. Tidak efektif karena kurang dimanfaatkan jamaah karena jamaah sudah familiar dengan pelayanan kesehatan di kamar dokter kloter. Tidak optimal karena tenaga pelayanannya diambil dari dokter dan perawat kloter berbeda secara bergantian ada yang shift 12 jam (jika jumlah kloternya banyak seperti di Sektor 8) dan umumnya shift 24 jam. b) Sementara obat yang digunakan tidak jelas konsepnya. Menurut dokter Sektor 8, setiap kloter menyediakan obat di klinik satelit. Penggunaannya apabila yang berobat adalah jamaah kloter X, maka diberikan obat dari kotak kloter X. Sementara di tempat lain, dokter jaga dari kloter yang membawa obat sendiri dan digunakan untuk semua pengobatan sepanjang 24 jam tanpa membedakan siapa pun yang datang berobat (informasi dokter kloter PDG-6 dan UPG-12). c) Terungkap pula bahwa hampir semua klinik satelit sampai 19 September 2015 (H20) tidak pernah disupervisi oleh dokter sektor. Di setiap klinik satelit tampak sepi, lemari obat
VIII-6
Pelayanan Kesehatan
atau perbekalan kesehatan tampak kosong tanpa isi, tidak ada alat peralatan medis standar. Di samping itu, diketahui pula ada beberapa dokter kloter tidak melaksanakan tugas jaganya sesuai skedul di klinik satelit. 3) Klinik Kloter Ada kemajuan pada beberapa lokasi di mana kamar petugas kesehatan sepenuhnya digunakan untuk kamar pelayanan kesehatan sekaligus kamar petugas kesehatan (sejenis). Namun, masih sangat banyak kamar/klinik pelayanan kesehatan kloter tidak layak. Kamar berisi 4 hingga 6 tempat tidur yang di dalamnya ada 2 hingga 4 orang jamaah umum, sehingga mengganggu pelayanan bagi pasien. Hal ini tentu berawal dari pengaturan kamar oleh daker atau sektor yang tidak memperhatikan rekomendasi bidang kesehatan dan pemetaan yang disusun dokter kloter. 4) Jamaah Haji a) Pada 2015 sangat banyak jamaah yang tidak mempunyai Buku Kesehatan Jamaah Haji Indonesia (BKJHI)/Buku Hijau yang tampaknya berganti menjadi lembar printer hasil pemeriksaan laboratorium. BKJHI halaman 21/ lembar periksa kesehatan sering tidak tegas/tidak menuliskan diagnosa. Banyak di antaranya menuliskan symptom, demikian pula pada pemeriksaan kedua pada lembar halaman 25-28. Banyak sekali buku BKJHI yang diperlihatkan JHI kepada KPHI tidak menuliskan/memberi tanda pada catatan faktor resiko setiap jamaah, sehingga jamaah tidak mengetahui kondisi kesehatannya dan tidak mengenal atau mengubah faktor resikonya. b) Hampir semua JHI yang menggunakan gelang merah/ kuning/hijau tidak tahu apa maknanya karena tidak menerima penjelasan dari dokter/petugas kesehatan embarkasi. Bahkan, ditemukan perbedaan antara gelang dengan catatan diagnosa/faktor resikonya seperti tertera pada BKJHI/Lembar Printer Hasil Lab. c) Temuan lainnya adalah adanya beberapa kasus kanker di beberapa kloter yang seharusnya tidak lolos pemeriksaan kesehatan (antara lain Ca wajah di BTJ-3). Banyak sekali kasus dengan Hemodialisa (antara lain 22 orang di Sektor 8). Ditemukan 39 orang JHI mengalami gangguan kejiwaan bahkan neurosa sehingga membutuhkan perawatan dalam isolasi/pengawasan dan akhirnya tidak dapat melaksanakan haji.
VIII-7
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
5) Petugas Kesehatan Kloter a) Petugas kesehatan kloter sudah cukup baik dan trampil, tapi masih kurang kreatif. Banyaknya kunjungan kasus perhari (di berbagai kloter rata-rata 30-100 orang) tentu perlu diantisipasi dengan melakukan visitasi ke setiap kamar jamaah, terutama pada kelompok resiko tinggi yang mencapai di atas 60 persen dari jumlah total jamaah dalam kloter. Artinya, petugas kesehatan tidak pasif menunggu kunjungan jamaah sakit di klinik kloter. b) Hal lain yang mengganggu tata kerja dokter kloter terjadi pada SOC-4. Saat di embarkasi sebelum keberangkatan, 80 orang jamaahnya dipindah ke Kloter SOC-3 dan kemudian menerima 110 orang jamaah baru yang tidak dikenal. Akibatnya, petugas haji/kesehatan kesulitan mengelola dan memetakan keadaan jamaahnya. 6) Obat-obatan a) Umumnya dokter kloter mengeluhkan kekurangan obat dan susahnya minta obat ke sektor dan BPHI. Permintaan obat yang direncanakan harian sering setelah 2-3 hari baru dijawab dan itu pun tidak mendapat sejumlah yang dimintakan. b) Tim Kesehatan Kloter BTJ-03 tidak kekurangan obat karena mereka berinisiatif bersedekah obat dengan membeli sendiri dan menyediakan untuk pelayanan kloter. 7) Pelayanan pada BPHI Makkah a) Pelayanan pada BPHI Makkah merupakan pelayanan kesehatan rujukan dari seluruh wilayah pelayanan ibadah haji dan juga tempat penyelenggaraan safari wukuf. Dengan dukungan 138 orang tenaga kesehatan, yang antara lain terdiri atas 92 orang tenaga PPIH dan 46 orang tenaga musiman (temus), termasuk 22 orang dokter (16 spesialis) dan 13 perawat. Menurut keterangan Dr. Anita, Sp.PD dan Kepala Perawat Ruangan dengan rata-rata Bed Occupancy Rate (BOR) di atas 80 pesen dari 155 TT yang tersedia (apalagi saat menjelang dan selama Armina) petugas kesehatan merasakan sangat kewalahan karena rasio normal setiap perawat menangani 2-3 pasien, tetapi menjadi 4-6 pasien. b) Pelayanan kesehatan di wilayah Makkah sampai per 26 September 2015 pukul 22.00 WAS, sesuai informasi Siskohat Makkah, diketahui kunjungan berobat jamaah
VIII-8
Pelayanan Kesehatan
Gambar VIII-2: Komisioner KPHI sedang melakukan pengawasan di Tenda Kesehatan Arafah
pada 371 kloter mencapai 140.890 kunjungan, 1.206 kunjungan rawat jalan dan 335 rawat inap pada 9 sektor, 321 rawat jalan dan 383 rawat inap di BPHI Makkah, dan 195 rawat inap di Rumah Sakit Arab Saudi. Sampai akhir penyelenggaraan, kunjungan pasien di Makkah (sesuai data evaluasi Kemenkes diketahui 270.665 kunjungan ke Kloter, Sektor, BPHI dan RSAS di mana 2.890 kunjungan pasien ke BPHI yang tdd 2.097 rawat jalan, 603 rawat inap dan 190 orang rujukan dari Sektor dan Kloter). c) Pelayanan Safari Wukuf telah dilaksanakan sesuai prosedur. Safari Wukuf adalah pelayanan yang disediakan oleh PPIH kepada jamaah yang sedang dalam perawatan karena sakit, sehingga tidak bisa secara mandiri wukuf di Arafah. Pada hari wukuf 23 September 2015 telah diberangkatkan ke Arafah dengan 10 bus yang terdiri atas 4 bus membawa 32 JHI dengan posisi berbaring dan 6 bus membawa 96 JHI dengan posisi duduk. Sebanyak 72 dari 128 orang jamaah safari wukuf adalah dengan diagnosa Seniliti (R54). Dibandingkan dengan tahun 2013 (156 JH) dan tahun 2014 (137 JH), tahun 2015 mengalami penurunan menjadi 128 orang JH safari wukuf. d) Di samping itu, juga dilakukan badal haji bagi 227 orang JHI yang sama sekali tidak memungkinkan melakukan wukuf dan safari wukuf. Dibandingkan dengan tahun 2014 (155 badalhaji), tahun 2015 meningkat tajam menjadi 227 badal haji. Hal ini perlu didalami karena Badal Haji berkaitan dengan alasan kesehatan e) Pelayanan gangguan jiwa/stres/orientasi di ruangan isolasi BPHI Makkah pada 2015 ini mencapai 35 orang, terdiri atas 17 laki-laki dan 18 perempuan dengan diagnosa utama Dementia Alzheimer, Psikotik akut dan Schizoprenia. Pada 26 September 2015 pukul 22.30 WAS masih ada 17 JH
VIII-9
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
sakit di ruang isolasi. Para JH sakit ini umumnya melakukan perjalanan haji sendiri tanpa keluarga. Dibandingkan dengan tahun 2013 (19 kasus) dan tahun 2014 (29 kasus) tampak pada tahun 2015 jamaah yang mengalami gangguan jiwa mengalami peningkatan. f) Beberapa musibah di Tanah Suci (seperti kerusakan 27 bus pengangkut JHI antara Madinah ke Makkah, jatuhnya crane di area Masjidil Haram, kebakaran kamar di rumah nomor 403 dan rumah 506, serta kejadian di area jalur perjalanan ke Jamarat di daerah Mina) telah menimbulkan stres di antara sebagian jamaah. Untuk itu ke depan dengan pertimbangan memperkuat semangat jamaah dan keutuhan niat, perlu penambahan komposisi tenaga kesehatan yaitu psikolog. c. Satops Armina 1) BPHI Arafah a) Pada BPHI Arafah, sampai pukul 23.30 menjelang perjalanan menuju Muzdalifah, tampak pelayanan kesehatan di bawah tenda BPHI Arafah masih sibuk dan pasien masih mengisi semua veltbed yang tersedia. Sementara di tenda masjid yang lebih luas (sama seperti tahun 2014 terpaksa dibuka dengan area yang lebih luas untuk tempat penanganan pasien karena tidak muat lagi di BPIH yang berjarak sekitar 25 meter) masih banyak pasien sedang dalam perawatan serta tiga jenazah yang hanya ditutup kain menunggu penanganan lebih lanjut. b) Data pasti yang dapat dilaporkan jamaah wafat sebanyak 28 orang.Dibandingkan dengan saat yang sama pada tahun 2014, jumlah JHI yang ditangani mencapai 248 orang (sebagian besar dengan heat stroke) dan 4 orang wafat. c) Dari keterangan Dr. Agus (petugas kesehatan pada BPHI
Gambar VIII-3: Komisioner KPHI sedang melakukan pengawasan di tenda kesehatan Mina
VIII-10
Pelayanan Kesehatan
Arafah) disaksikan Ibu Hj. Ermalena (Wakil Ketua Komisi IX DPR RI) diketahui lebih 60 persen kematian karena heat stroke. Dilaporkan pula bahwa pada sekitar pukul 20.00 WAS, oksigen (konsentrat) sudah tidak tersedia, sehingga beberapa pasien tampak sesak dan gelisah tidak mendapat oksigen. Cairan infus sudah habis lebih dari 1.000 botol dan tinggal 1 boks sekitar 40 botol. Dr. Andi Wahyuningsih (Dirut RS Fatmawati) juga tampak sibuk membantu, tetapi menyesalkan tidak efektif karena tidak ada protap dan alur kerja di BPHI. Akibatnya, in/out pasien tidak terkendali. Sebagian pasien jika melihat kondisinya seharusnya sudah masuk kategori safari wukuf. d) Pengamatan di kloter yang menyebar di area Aziziyah Arafah, pada H-1 wukuf (23 September 2015) sampai pukul 01.00 WAS banyak ditemukan jamaah masih di luar tenda. Banyak pula di antaranya sesat tidak tahu arah kembali ke tenda dan tidak ada petugas haji yang menjadi pengawas/ pemandu. Sementara terlihat jamaah tampak sudah lelah dan sesak. Di bawah tenda, posisi tempat pelayanan kesehatan membaur dengan jamaah. e) Para dokter kloter tidak tahu letak lokasi Sektor dan BPHI. Menjadi kesulitan dalam penanganan rujukan dan permintaan bantuan, seperti ambulans saat terjadi keadaan darurat seperti pada masa sebelum dan sesudah wukuf, di mana terjadi serangan sengatan panas dan diperberat dengan matinya listrik sekitar 1-2 jam, sehingga pendingin dan stok air dingin tidak efektif. 2) BPHI Mina a) Sampai Jumat, 25 September 2015 pukul 03.30 dini hari, pelayanan ditenda BPHI Mina masih berjalan dan relatif tenang dengan pasien sekitar 15 dari 20 bed yang tersedia. Empat jenazah jamaah yang ditempatkan ditempat tersendiri. Tampak petugas sedang menerima laporan, merekapitulasi kunjungan pasien, dan melakukan updating Siskohat. Data yang dapat diberikan petugas adalah 26 jamaah wafat. Petugas yang bekerja adalah yang berasal dari Daker Madinah. Hampir semua petugas kesehatan belum pernah bekerja sebelumnya. Sebagian harus bagi waktu sambil melaksanakan ibadah haji. b) Pada tahun 2014, BPHI Mina menerima limpahan dampak lanjutan heat stroke dari Arafah dalam 24 jam pertama menangani jamaah sakit 268 orang dan 3 wafat. Tahun 2015 juga mengalami limpahan sehingga BPHI overloaded.
VIII-11
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
3) Pelayanan Farmasi a) Pelayanan farmasi belum berjalan efektif, masih manual. Kloter datang memesan obat dan menuliskan kedalam lembar pemesanan, sekitar 1-2 jam sudah selesai. Namun, hampir semua lembar pemesanan tidak terpenuhi daftar pemesanannya. Beberapa pesanan terpenuhi, tetapi hanya sebagian. Keadaan ini sangat dikeluhkan dokter kloter. Petugas farmasi mengatakan obat tidak dipenuhi karena dianggap hanya permintaan stok di kloter, bukan untuk digunakan. b) Pelayanan kefarmasian dilaksanakan dalam 4 shift per 6 jam. Jam paling sibuk pada pukul 09.00-15.00 WAS dan 15.00-21.00 WAS. Sementara tenaga hanya ada sembilan orang yang dibagi tiga, sehingga tiap shift ada tiga tenaga kefarmasian. Jumlah tenaga ini sangat dirasakan kurang karena ada tiga kegiatan utama, yakni memenuhi permintaan “emergensi” dari BPHI dan persiapan pulang, memenuhi permintaan 371 dokter kloter yang bisa 1-2 kali perhari, melakukan pencatatan dan adminstrasi kendali obat. Selain itu, kadang kala transportasi dan mobilisasi obat keluar. Dari sembilan tenaga kefarmasian, hanya satu orang yang tidak berhaji. d. Daker Bandara 1) Bandara Internasional King Abdul Aziz (KAAIA) Jeddah baru efektif melaksanakan kegiatannya setelah masuknya jamaah haji gelombang kedua. Bandara KAAIA akan kembali efektif saat kepulangan gelombang pertama yang dimulai pada 28 September 2015. Ada sekitar 75.000-an jamaah menjadi perhatian petugas kesehatan Daker Bandara Jeddah. Daker Bandara Jeddah juga bertanggung jawab melaksanakan tugas pada Daker bandara Madinah. 2) Ruangan pelayanan kesehatan Daker Bandara Madinah tidak berbeda masih sama seperti tahun yang lalu, sempit dan menampung semua barang logistik, perbekalan kesehatan, sistem informasi dan pelaporan, sansur, tindakan medis, pantry, dan sekaligus tempat akomodasi petugas kesehatan. Pelayanan kesehatan Daker Jeddah di bandara Jeddah dan bandara Madinah didukung oleh 41 orang tenaga yang terdiri atas 39 orang tenaga fungsional dan 2 tenaga manajerial. Di antaranya 4 dokter spesialis, 7 dokter umum, dan 13 orang perawat. 3) Sampai 26 September 2015, kunjungan jamaah sakit di Bandara Jeddah sebanyak 4.171 orang, dan dibawa ke Sektor sebanyak 18 orang. Tidak ada rawat inap.
VIII-12
Pelayanan Kesehatan
4) Melihat perkembangan ke depan, perlu perhatian untuk mendukung tugas Daker Bandara dengan ketersediaan fasilitas kesehatan rujukan memadai yang dapat mempertimbangkan pemanfaatan fasilitas di Madinatul Hujjaj, Jeddah.
2. Beyond Health Keadaan kesehatan pada setiap jamaah haji tidak sepenuhnya dipengaruhi penyakit menular atau penyakit tidak menular saja. Namun, juga dipengaruhi faktor lingkungan dan faktor dari diri sendiri berupa kebiasaan atau perilaku, dan lain-lain yang dikenal sebagai beyond health. Pada faktor lingkungan, bisa mencakup sanitasi, polusi, cuaca, sesat jalan (tidak ingat jalan pulang, tetapi berjalan dan mencari terus sampai lebih 24 jam), transportasi, dan pemondokan. Penanganan yang salah atau tidak sesuai ketentuan dan standar akan berakibat ancaman penurunan kualitas kesehatan jamaah. a. Pemondokan 1) Banyak kloter yang sama mendapat penempatan akomodasi jamaah pada hotel yang berbeda, sehingga jamaah menjadi sulit dan terganggu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. 2) Pada beberapa tempat khususnya di Makkah, pemondokan Jamaah ditempatkan pada hotel dengan kapasitas besar, sehingga satu hotel untuk banyak kloter. Seperti di Sektor 8 dengan area pemondokan 7 tower masing-masing berlantai 35 sehingga memuat sampai 20.000 jamaah telah menimbulkan masalah dengan seringnya sesat para jamaah untuk menemukan kamarnya masing-masing dan antrian lama untuk menggunakan lift. Keadaan ini membuat jamaah tidak nyaman, Yang tidak kalah pentingnya, akan sangat menyulitkan evakuasi jika terjadi musibah (kebakaran). 3) Kurangnya jatah makan saat JHI mondok di Makkah (hanya 2 kali, sarapan pagi dan makan siang), menyebabkan JHI harus mencari penjual makanan kesana-kemari, sehingga melelahkan dan sebagian yang lain menjadi tidak makan. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas kesehatan jamaah. Di samping itu banyak dilaporkan dan ditemukan adanya JHI yang memasak di kamar yang tentu mengganggu kesehatan dan kenyamanan bagi Jemaah. Hal lain, dilaporkan terjadinya kebakaran di hotel pada beberapa tempat, sehingga jamaah harus dievakuasi ke berbagai tempat, keadaan ini menambah stress jamaah dan terjadi gangguan kesehatan.
VIII-13
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
b. Tranportasi 1) Bus antar-kota perhajian yang berangkat dari Madinah ke Makkah ada 27 unit mengalami keterlambatan tiba antara 2 jam hingga 23 jam dikarenakan kerusakan mesin, kerusakan AC, korslet/terbakar bagian mesin, sehingga membuat jamaah panik, dehidrasi karena cuaca panas dan sakit. KPHI sudah merekomendasikan penggunaan bus up-grade pada Juni 2015 selepas pengawasan praoperasional, tetapi tidak diperhatikan. 2) Perlakuan tidak disediakannya bus shalawat pada sektor 8 karena alasan jarak kurang dari 2000 meter yakni hanya sekitar 800 meter dari Masjidil Haram, berakibat banyak jamaah yang kelelahan karena setiap hari harus berjalan kaki dan berulang kali setiap hari. Keadaan makin buruk terutama kepada jamaah resiko tinggi yang jumlahnya lebih 60%. c. Makanan/Katering 1) Terbatasnya katering makan di Makkah dengan 15 hari x 1 makan siang. Sementara rata-rata masa inap JHI di Makkah 22 hari. Padahal, rekomendasi KPHI agar jamaah mendapat makan penuh 3 kali per hari selama di Makkah. Terbatasnya katering makanan di Makkah mengakibatkan gangguan ketercukupan gizi jamaah. Apalagi, dengan banyaknya aktifitas jamaah di luar pondokan menyebabkan kualitas kesehatan jamaah menurun. Di samping itu, banyak jamaah kesulitan dalam mencari makan. Akhirnya, jamaah haji memasak di kamar walaupun dilarang dan beresiko terjadinya musibah kebakaran. Misalnya, terjadi pada rumah nomor 403. 2) Jamaah tidak mengetahui informasi pemberian konsumsi di Makkah hanya 15 kali dalam 15 hari, sehingga kurang persiapan untuk pengaturan makanan bergizi dan ketersediaan biaya untuk makan malam selama 15 hari dan 7 sisa hari yang sama sekali tidak ada makanan katering. 3) Keterlambatan distribusi katering di Makkah yang menyebabkan makanan basi pada Kloter SOC-04, JKS-25 dan MES-11. Sementara di Arafah ditemukan kurang air, terlambat mendapat kiriman makanan. Bahkan, beberapa maktab saat malam menjelang perjalanan dari Arafah ke Mina melalui Muzdalifah tidak mendapat makan malam (maktab 9 dan 71). 4) Belum terkonfirmasinya jumlah kalori makanan katering dan variasi penyediaan makanan berbasis kebutuhan kesehatan jamaah (sesuai Rekomendasi KPHI). Tujuan penyediaan makanan dan pengawasan menu adalah menjaga mutu
VIII-14
Pelayanan Kesehatan
dan jumlah serta ketercukupan gizi setiap harinya untuk mempertahankan vitalitas dan kualitas kesehatan setiap jamaah agar dapat melakukan aktivitas ibadahnya secara optimal dan terhindar dari bahaya sakit d. Manasik 1) Manasik haji tahun 2015 mengalami pengurangan menjadi enam kali dari semula 10 kali (7 kali di KUA/Kecamatan dan 3 kali di Kandepag/kabKota). Menurut petugas ibadah (TPIHI) pada kloter JKS 25, SOC 4, SOC 23 dan SUB 36, manasik pada 2015 yang dilakukan enam kali di daerah sangat kurang, sehingga mengakibatkan para pembimbing dalam memberikan materi manasiknya tergesa-gesa dan materinya tidak lengkap. 2) Materi kesehatan dan pengenalan lingkungan perhajian di Arab Saudi tidak diberikan. Padahal, manasik ini dimaksudkan sebagai upaya menjadikan setiap jamaah menjadi mandiri, yaitu kondisi ideal dan minimall yang harus dicapai sebelum berangkat haji.
3. Analisis Dampak
Dampak dari berbagai masalah yang kumulatif dan kurang ditindaklanjuti selama ini, menyebabkan peningkatan angka kematian yang sangat besar dibandingkan dengan tahun 2013 dan 2014. Masalah membesar sesungguhnya merupakan akumulasi dari masalah-masalah kecil yang tidak diperhatikan/diabaikan. Dalam hal ini sudah cukup banyak rekomendasi perbaikan dari KPHI pada 2013 dan 2014, tetapi belum sepenuhnya diperhatikan. Rutinitas menyebabkan hilangnya kreatifitas dan inisiatif. Sementara situasi lingkungan strategis penyelenggaraan haji dan medan wilayah ibadah sangatlah dinamis. Memperhatikan data-data yang pernah dilaporkan sejak tahun 2013, tampak trend yang memburuk dibandingkan tahun 2015 pada posisi H+35 (sejak 21Agustus 2015, saat kedatangan kloter awal di Tanah Suci/Bandara Madinah). • Jumlah kematian : 192 (2013), 184 (H+50, 2014) dan 197 (H+35, 2015) • Jumlah kematian Arafah : 4 dari 248 rawatan (2013) dan 26 (2015) • Jumlah kematian Mina
: 3 dari 268 rawatan (2014) dan 29 (2015)
• Jumlah safariwujuf
: 156 (2013), 137 (2014) dan 128 (2015)
• Jumlah badalhaji
: 184 (2013), 155 (2014) dan 227 (2015)
• Jumlah rawat jalan
: 12.286 (H+50, 2014) dan 12.884 (H+35, 2015)
VIII-15
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Dari data di atas, perlu perhatian serius pada trend kematian saat di Armina, meningkatnya badal haji, penurunan safari wukuf dan peningkatan jumlah rawat jalan di sektor dan BPHI.Pertanyaan yang mengusik, mengapa terjadi kematian yang sangat tinggi di Arafah dan Mina? Mengapa yang terevaluasi untuk safari wukuf menurun jumlahnya?Mengapa badal haji (jamaah tidak mampu total melaksanakan rukun haji minimal wukuf) bertambah begitu banyak pada tahun ini? Pertanyaan penting, bagaimana tim medis safari wukuf membuat keputusannya, sehingga boleh jadi berdampak kepada peningkatan kematian di Armina?. Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa peran sarana/fasilitas pelayanan kesehatan hanya sekitar 15 persen untuk mencapai derajat kesehatan seutuhnya. Peran utama ada pada lingkungan dan kebiasaan/perilaku.Karena itu, mengandalkan fasilitas kesehatan untuk meningkatkan kualitas kesehatan jamaah, apalagi saat masa musim haji, adalah pandangan yang salah. Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) perlu mengetahui bahwa aspek yang paling berpengaruh di bidang kesehatan adalah lingkungan, seperti geografi, mobilitas, cuaca, dan budaya. Sementara kebiasaan/perilaku, seperti pola makan, gaya hidup, akomodasi, dan berbagai kebiasaan beresiko seperti merokok. Jika perilaku/kebiasaan tidak diubah atau diantisipasi dengan perbaikan akan menjadi pintu masuk datangnya penyakit. Kebiasaan lainnya adalah pola makan, termasuk pengenalan terhadap asupan gizi dan pengenalannya terhadap bahan makanan bergizi, yang sangat berkontribusi terhadap daya tahan dan imunitas jamaah. Kondisi kesehatan JCHI/JHI merupakan faktor pendukung utama. Bahkan, kadangkala menjadi sangat menentukan kelancaran pelaksanaan ibadah selama di Tanah Suci. Dapat dipastikan ibadah dan kesehatan bagaikan dua sisi mata uang. Apa yang pernah dipaparkan Dirjen Bina Upaya Kesehatan Prof.DR.Dr.Akmal Taher,SP.U(K) pada Pelatihan Tenaga Musiman di Jeddah pada 2013 tampaknya kini semakin tidak terlihat. Beliau menyampaikan kebijakan kesehatan, antara lain: Standarisasi manajemen pelayanan kesehatan di embarkasi/debarkasi sudah mengacu pada Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008; Penguatan sistem informasi kesehatan haji terpadu mulai dari Puskesmas, kabupaten/ kota, embarkasi, sampai di Arab Saudi; Penambahan 117 kabupaten/kota yang melaksanakan pemeriksaan dan pembinaan kesehatan jamaah haji; Perlakuan khusus bagi jamaah dengan status resiko tinggi sudah dilakukan sejak di Tanah Air; pemeriksaan sedini mungkin dan pembinaan kesehatan untuk meningkatkan kemandiriannya.
VIII-16
Pelayanan Kesehatan
B. REKOMENDASI DAN SARAN TINDAK LANJUT BIDANG PELAYANAN KESEHATAN Rekomendasi
1. Pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan haji bidang kesehatan meliputi: pengorganisasian, sistem informasi, sistem komando dan kendali, sistem rekruitmen, audit wafat, audit gagal terbang, perencanaan dan penganggaran. 2. Pemerintah segera menerbitkan pedoman sebagai turunan dari nota kesepahaman yang telah dibuat Kemenkes dan Kemenag tentang fungsi dan tugas kedua lembaga dalam menerapkan istitho’ah kesehatan. 3. Pemerintah agar menerapkan satu kesatuan pelayanan kesehatan haji sebagai sistem yang terpadu dan holistik dan didukung sistem jaminan kesehatan nasional (JKN) yang diberlakukan kepada setiap jamaah sejak minimal dua tahun sebelum keberangkatan.
Saran dan Tindak Lanjut
1. Integrasi Pelayanan Pemerintah Cq Kementerian Kesehatan perlu membangun suatu link-up yang mengintegrasikan pelayanan bagi jamaah haji yang terpadu dan komprehensif. Setiap Jamaah haji (terutama yang resiko tinggi) terintegrasi: a. Dengan sistem informasi yang memungkinkan dokter dapat memonitor dan memberikan konseling kepada jamaah, b. Dengan layanan akomodasi/kamar pemondokan yang lebih dekat ke fasilitas kesehatan kloter, c. Dengan jenis menu/diet yang sesuai masalah kesehatannya, d. Dengan pembimbingan ibadahnya, e. Dengan rencana pemulangan lebih awal/tanazul, Semuanya tertuang dalam Prosedur Operasional Standar (SOP) dan Petunjuk Teknis, serta dibunyikan di dalam Perjanjian Kerjasama Kemenkes dan Kemenag. 2. Integrasi Buku Kesehatan dengan Calon Jamaah Haji Pemerintah perlu membangun link-up pelayanan kesehatan calon jamaah haji di Indonesia dengan memanfaatkan BKJHI/Buku Hijau sejak Calon JH terdaftar dan dalam minimal dua tahun sebelum keberangkatan. CJH dan BKJHI, terintegrasi:
VIII-17
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
a. Dengan dokter Puskesmas secara rutin dan terpantau kemajuan kualitas kesehatan jamaah secara teratur (mungkin perlu ada KMS calon haji), b. Dengan dokter spesialis kabupaten/kota sebagai tempat rujukan, yang dilakukan oleh dokter Puskesmas sesuai kebutuhan, c. Dengan Kantor Urusan Agama (KUA) Kemenag Kecamatan untuk mengikuti sepenuhnya kegiatan manasik haji, termasuk saat bimbingan kesehatan, d. Dengan ahli gizi untuk mendapatkan nasehat asupan gizi dan aktifitas fisik yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kualitas kesehatan jamaah. e. Dengan PPIH kabupaten/Kota/Provinsi untuk memberikan evaluasi hasil pendampingan/pembimbingan/pelayanan kesehatan oleh dokter puskesmas, Kegiatan di atas terhubung dan terintegrasi sebagai suatu linkup yang tertuang dalam Prosedur Operasional Standar (SOP) dan Petunjuk Teknis yang tertera didalam BKJHI dan diawasi pelaksanaan oleh Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota. 3. Rekruitmen tenaga kesehatan yang profesional dan akuntabel Saran yang pernah disampaikan KPHI pada rekomendasi tahun 2013 dan 2014 masih relevan dan mendesak, yaitu agar Pemerintah menyelenggarakan: a. Rekruitmen Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) kloter dan nonkloter sudah selesai satu tahun sebelumnya agar mereka bisa mengikuti situasi pelayanan kesehatan haji tahun berjalan melalui media berita sebagai cara pembelajaran dan membangun karakter yang tepat untuk pelayanan kesehatan haji. b. Diklat komprehensif yang lebih mengutamakan praktis medis dari pada manajemen (seperti kegawatdaruratan dengan praktek lapangan langsung dan simulasi di beberapa RS selama beberapa hari, dan diperkaya dengan aspek pelayanan home care atau geriatri. Pada kenyataannya di lapangan, khususnya para dokter kloter, harus mampu memberikan pelayanan paripurna termasuk sebagai “pendamping” kepada JH karena banyak JH tanpa keluarga. c. Rekruitmen TKHI disarankan dilakukan secara proporsional antara tenaga fungsional dan tenaga manajemen. Khusus tenaga fungsional (dokter, perawat, dan penunjang medik) 50 persen proporsi rekruitmen secara penawaran/pendaftaran terbuka, 20 persen proporsi penugasan dan penghargaan
VIII-18
Pelayanan Kesehatan
kepada Tenaga Kesehatan Teladan dan 30 persen sebagai penugasan yang diambil dari UGD dan ICU rumah sakit pemerintah maupun swasta. d. Khusus petugas kesehatan nonkloter untuk pelayanan di BPHI dan sektor (di Makkah, Madinah, Armina dan Jeddah) dipersyaratkan mutlak tidak berhaji. e. Penempatan tenaga kesehatan di fasilitas BPHI dan Sektor memperhatikan keberlangsungan pelayanan. Pimpinan dan sebagian staf pelayanan adalah wakil dan staf pada tahun sebelumnya, sehingga tidak awam. 4. Lain-lain Beberapa hal yang juga perlu disarankan ulang adalah sbb: a. Audit kematian jamaah. Selama ini sudah didapat sebab kematian setiap jamaah yang wafat. Tetapi untuk perbaikan sistem dan kompetensi, perlu dilakukan audit kematian. Sehingga hal ini akan membuat semua simpul pelayanan akan bekerja penuh tanggungjawab dan akuntabel. Upaya ini akan menurunkan angka/jumlah kematian secara bermakna. b. Tertib tata kelola barang inventaris khususnya perbekalan kesehatan dan alat kesehatan pasca pelaksanaan musim haji. Menghindari kerusakan, salah tempat, kehilangan perbekalan kesehatan. Untuk itu, perlu lebih disiplin dan rapi dalam inventarisasi obat-obatan, vaksin, reagensia) dan penyimpanan alat kesehatan secara tertib, aman, dan lengkap.
VIII-19
BAB IX
Tragedi Mina di jalan 204 pada 10 Zulhijjah 1436 H/24 September 2015
PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN JAMAAH
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
A. TEMUAN PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN JAMAAH
Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 pada lampiran nomor 2 tentang Azas Perlindungan Maksimum dan Inpres Nomor 6 Tahun 2006 tentang Sistem Pelayanan Warga Negara Indonesia di luar negeri, dinyatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia di Luar Negeri (termasuk jamaah haji) “wajib mendapatkan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum dari Pemerintah yang diberikan secara penuh”. Dalam pelaksanaannya di lapangan, perlindungan dan pengamanan jamaah haji Indonesia dilakukan oleh Panitia Penyelenggara Ibadah Haji Indonesia (PPIH) di Arab Saudi yang dibentuk oleh Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI). Petugas PPIH yang menangani masalah perlindungan dan pengamanan jamaah haji diorganisir sebagai unsur pelaksana yang melekat dengan organisasi PPIH Arab Saudi mulai dari Kantor Urusan Haji Indonesia (KUHI), Daerah Kerja (Daker), hingga Sektor. Namun dalam pelaksanaannya, belum maksimal karena sangat kurangnya petugas yang menangani masalah perlindungan dan pengamanan jamaah haji. Padahal, resiko yang dihadapi jamaah haji demikian besar. Mereka harus menghadapi kerasnya alam dan padatnya manusia dalam pusat pusat kegiatan ritual, sehingga sering kali mereka menghadapi pengorbanan yang luar biasa. Bahkan, pengorbanan jiwanya yang sangat berharga. Kondisi geografi, demografi, dan kondisi sosial di Makkah dan Madinah yang dihadapi jamaah haji Indonesia berada dalam suatu negara yang cuacanya ekstrem, daerahnya asing. Tidak ada petunjuk jalan berbahasa Indonesia, sehingga mudah orang tersesat jalan. Kegiatannya selalu dalam kepadatan jamaah yang campur-aduk dengan jamaah negara lain yang jumlahnya tiap tahun bertambah. Sementara tempatnya relatif tidak berubah, serta kebanyakan kegiatan mereka dilakukan di tempat terbuka. Semuanya itu mengandung resiko keamanan dan perlindungan bagi jamaah haji Indonesia yang harus diatasi oleh Pemerintah. Karena itu, petugas perlindungan dan pengamanan jamaah haji mestinya harus disiapkan secara cukup dan melekat dalam seluruh rangkaian kegiatan jamaah haji sejak kedatangan di bandara Arab Saudi (Jeddah dan Madinah), ketika naik kendaraan menuju pemondokan, selama tinggal di pemondokan, ketika mengikuti rangkaian ibadah, dan kegiatan sosial keagamaan lainnya hingga pemulangan dari bandara Arab Saudi menuju Tanah Air.
IX-2
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
1. Perlindungan saat kedatangan Kedatangan jamaah haji Indonesia tahun ini menggunakan dua bandara, yaitu Bandara AMAA Madinah untuk jamaah haji gelombang I dan Bandara KAAIA Jeddah untuk jamaah haji gelombang II. Dengan perubahan pola ini, dapat sedikit mengurangi waktu tinggal di Arab Saudi dan efisiensi pembiayaan. a. Sebagian kecil jamaah terhambat di bandara Proses imigrasi di bandara Arab Saudi pada 2015 lebih lancar dibandingkan dengan tahun lalu. Petugas Arab Saudi yang menangani pengecekan sidik jari dan mata serta dokumen jamaah lebih trampil. Bahkan, proses imigrasi di Bandara AMAA Madinah justru lebih lancar dibanding di KAAIA Jeddah. Permasalahan yang muncul saat kedatangan jamaah di Tanah Suci antara lain: 1) Terjadinya kehilangan paspor saat berada di pesawat karena kelalaian jamaah, seperti terjadi pada jamaah laki-laki atas nama Becik Jupri Bedu (usia sekitar 47 tahun) berasal dari Kloter PLM 08 dan atas nama Bacetang, jamaah Kloter BPN 07. Sementara jamaah atas nama Khusnul Khotimah SUB 26 visanya tidak terbaca oleh barcode imigrasi, sehingga menghambat jamaah tersebut. Akibat kehilangan itu, jamaah harus menunggu di bandara untuk diproses. Selanjutnya, setelah dibuatkan SPLP baru jamaah tersebut dapat bergabung ke kloternya. 2) Tertukarnya paspor empat orang jamaah asal UPG 01 dengan paspor jamaah yang masih di Tanah Air, sehingga empat orang jamaah tersebut ditahan sementara di bandara untuk proses klarifikasi hingga imigrasi Arab Saudi benar-benar percaya tidak terjadi penipuan pada jamaah. 3) Banyaknya barang tercecer di Bandara, seperti 25 buah koper milik kloter SUB 26 dan 52 buah koper milik kloter SOC 33 serta 32 buah koper milik SUB 31. Barang tercecer ini diakibatkan oleh ketidakcermatan petugas bandara saat pengangkutan ke pemondokan dan dampak dari keluarnya visa yang tidak tepat. Sehingga kedatangan jamaah haji di bandara sebagian tidak sesuai dengan bagasinya. b. Pengangkutan bagasi campur aduk Bagasi jamaah pada 2015 banyak yang tercampur antara bagasi sebagian jamaah kloter sebelumnya dengan bagasi jamaah
IX-3
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Gambar IX-1: Bagasi jamaah yang tercampur di pemondokan
pada kloter tersebut. Bagasi yang tercampur ini sebagai dampak dari keluarnya visa pada sebagian jamaah dalam suatu kloter yang terlambat. Ketika kloter tersebut berangkat lengkap dengan bagasinya, ternyata masih ada jamaah yang masih tertinggal. Koper jamaah tersebut telah lebih dahulu terangkut dibandingkan pemilik kopernya. Ketika jamaah yang bersangkutan bisa berangkat bergabung dengan kloter berikutnya, terjadi kesulitan dalam mencari kopernya saat mereka tiba di pemondokan. Apalagi, jika penempatan kloter tersebut terpecah ke dalam dua atau tiga hotel. Penanganan bagasi seperti ini sangat menyusahkan jamaah untuk mencari koper masing-masing dan rawan tercecer di tempat lain. Bahkan, sebagian jamaah tidak dapat menemukan kopernya dalam waktu cukup lama. Misalnya, terjadi pada tiga orang jamaah JKS 55 yang telah berada di Makkah selama 10 hari, tetapi belum menemukan kopernya. c. Dampak kejadian 1) Kendala permasalahan imigrasi pada sebagian kecil jamaah sering kali terjadi akibat peran para patugas kloter yang kurang peduli untuk melakukan pengecekan langsung kepada jamaah. Pengecekan melalui ketua rombongan (karom) dan ketua regu (karu) saat berada di pesawat maupun ketika antre di imigrasi Bandara Saudi seharusnya dikontrol oleh ketua kloter, sehingga bisa diketahui sejak dini bila ada kekurangan administrasi yang diperlukan.
IX-4
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
2) Masalah bercampurnya sebagian bagasi diakibatkan terpecahnya kloter karena keterlambatan keluarnya visa. Padahal, bagasi jamaah telah terlebih dahulu diangkut ke dalam pesawat sesuai jadwal kloternya berdampak pada kesulitan pencarian bagasi yang bersangkutan, bahkan ada yang tidak ditemukan. Kondisi demikian juga terjadi pada jamaah pengganti dalam kloter tersebut yang diambil dari kloter berikutnya. 3) Terpisahnya bagasi/koper-koper jamaah haji mengakibatkan jamaah kesulitan mendapatkan kopernya setelah tiba di pemondokan Madinah/Makkah. Hal ini sangat mengganggu kelancaran jamaah haji untuk menunaikan ibadah, terutama jamaah yang akan melaksanakan arbain. Setibanya di pemondokan Madinah, mereka tidak bisa ganti pakaian yang kotor. Sementara bagi jamaah yang menuju Makkah, mereka juga tidak bisa mengganti pakaian setelah melakukan umrah wajib, sehingga menyengsarakan jamaah. 4) Tertinggalnya banyak koper jamaah dari beberapa kloter saat masih di bandara Saudi menunjukkan peran petugas kloter dan petugas PPIH di Bandara belum bekerja maksimal, sehingga dampaknya menyusahkan jamaah.
Gambar IX-2: Bagan Pos Sektor Khusus Madinah
IX-5
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
2. Ketertiban dan Keamanan Jamaah di Pemondokan dan Al Haram a. Kerawanan di pemondokan dan sekitar Masjid Nabawi Madinah Penempatan jamaah haji gelombang I semuanya turun di Bandara AMAA Airport baru dan langsung ditempatkan di pemondokan Madinah yang tersebar di sekitar markaziah dengan jarak terjauh 650 meter. Sebagian jamaah merasa asing dengan situasi dan kondisi hotel, terutama bagi kloter yang tiba di Madinah malam hari. Kondisi demikian mengandung potensi kerawanan yang harus segera diatasi oleh PPIH Arab Saudi, khususnya Daker Madinah, meliputi: 1) Rawan tersesat jalan ketika jamaah keluar pemondokan menuju dan kembali dari Masjid Nabawi dengan berjalan kaki. Jumlah petugas pengamanan sangat kurang, sehingga hanya mengepos di tiap sektor satu orang. Sebagian jalan dan hotel di sekitar Masjid Nabawi juga mengalami pembongkaran, sehingga terjadi penyekatan jalan. Akibatnya, pada awal kedatangan jamaah haji (jamaah gelombang I) banyak terjadi jamaah yang tersesat jalan di Madinah mencapai 2.393 orang, naik 32 persen dibanding dengan tahun lalu. Sebagian jamaah tersebut mengalami ghaib/hilang lebih dari sehari seperti data di bawah ini: Tabel IX-1. Daftar Jamaah Gelombang I Ghaib di Madinah NO.
NAMA/UMUR
KLOTER
KEJADIAN
1
Mahyuri
LOP -06
Terpisah di sekitar Al Haram
2
Sugiarti
MES-12
Terpisah di sekitar Al Haram
3
Karroh bt Bakri
JKG-17
Terpisah di sekitar Al Haram
4
Kartini Lamri S.
BPN-08
Terpisah di sekitar Al Haram
5
Beccetang J.B.
BPN-08
Terpisah di sekitar Al Haram
6
Nahariah
UPG-10
Terpisah di sekitar Al Haram
7
Nuril
SUB-12
Terpisah di sekitar Al Haram
Sumber : Data Pam Daker Madinah yang diolah KPHI
2) Rawan kehilangan barang berharga. Kondisi kamar yang relatif sempit di Madinah mengakibatkan jamaah sulit menyimpan barang berharga secara baik. Sebagian jamaah terpaksa membawa barang berharganya kemana pun pergi, termasuk ke masjid dan ke tempat lainnya. Akibatnya, banyak jamaah yang kehilangan barang berharganya, baik di sekitar masjid maupun
IX-6
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
di sekitar pemondokan. Kasus kehilangan yang menimpa jamaah mencapai sebesar Rp 148.000.000 + SAR 9.980 + $ 1.100 + perhiasan emas 14,3 gram dan berbagai barang berharga lainnya. b. Kerawanan di pemondokan dan sekitar Masjidil Haram Makkah Penempatan Jamaah Haji Indonesia di pemondokan Makkah menempati enam wilayah yang dikendalikan oleh sembilan sektor ditambah satu sektor khusus Al Haram. Pada musim haji 1436 H/2015 M rumah yang disewa PPIH Arab Saudi sebanyak 85 pemondokan berbentuk hotel bintang tiga dan empat. Sementara jarak rumah dari Masjidil Haram terjauh mencapai 4 kilometer. Kondisi demikian berpotensi timbulnya kerawanan sebagai berikut: 1) Rawan tersesat jalan di sekitar wilayah pemondokan maupun saat berangkat dan kembali dari Masjidil Haram. Hal ini terjadi karena s ebagian besar jamaah Indonesia awam dan belum pernah keluar negeri serta banyak yang risti (61,95 persen lebih). Sementara jalan di sekitar wilayah pemondokan dan sekitar Masjidil Haram banyak persimpangan jalan layang dan terowongan. Petunjuk arah tidak ada yang berbahasa Indonesia dan petugas Indonesia tidak ada yang memantau di tempattempat rawan tersebut karena sangat kurangnya petugas yang menangani masalah ini. Jamaah yang tersesat jalan antara lain sebagai berikut: a) Jamaah yang tersesat jalan di sekitar Sektor Khusus Masjidil Haram pada pra-Armina dan harus dibantu petugas Pam untuk mengantarkan ke sektornya mencapai 1.929 orang dan pasca-Armina sebanyak 128 orang sedang jamaah yang tersesat disekitar sektor khusus selama Armina sebanyak 75 orang, sehingga jamaah keseluruhan mencapai 2.132 orang. Data ini tidak termasuk jamaah yang tercecer dan tersesat jalan dengan jumlah yang cukup banyak, tetapi bisa dipertemukan oleh petugas Sektor Khusus dengan rombongan/kloternya di sekitar Haram. b) Jamaah yang tersesat jalan sekitar pemondokan dari seluruh sektor di Makkah mencapai 918 orang, sehingga jumlah jamaah yang tersesat jalan di Makkah mencapai sebanyak 3.050 orang.
IX-7
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Gambar IX-3: Bagan Pos Sektor Khusus Masjidil Haram
2) Rawan kriminalitas dan kecelakaan. Terjadi pada daerah di sekitar Masjidil Al Haram, persimpangan jalan yang padat jamaahnya, terminal bus dan daerah konsentrasi pemondokan. Kehadiran petugas pengamanan di tempat-tempat tersebut sangat minim karena keterbatasan personil pengamanan. Setiap sektor hanya ada seorang petugas pengamanan yang mengawasi minimal lima hotel besar dengan jumlah jamaah tiap sektor sekitar 21.000 orang. Sementara petugas di sektor khusus Masjidil Haram hanya 19 orang yang terbagi dua shift untuk bertugas di lima pos mobile ditambah satu posko, sehingga di tiap pos praktis hanya ada seorang petugas pengamanan yang memantau, memandu, dan mengamankan jamaah yang sedang beraktifitas ibadah dalam kepadatan jamaah yang beresiko terjadi musibah, seperti data di bawah ini : a. Jamaah yang terjatuh/sakit dan wafat di sekitar Masjidil Haram sebanyak lima orang dan yang kecelakaan di jalan sekitar pemondokan sebanyak tiga orang. b. Kerugian akibat tindak kriminalitas dan kelalaian jamaah di wilayah Makkah pada tahun ini mencapai Rp 28.800.000 + SAR 850 serta barang-barang lainnya.
IX-8
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
3) Terjadi musibah badai dan robohnya crane di Masjidil Haram. Cuaca di Makkah pada musim haji ini sangat ekstrem dengan suhu panas yang sangat tinggi antara 48-50 derajat celsius. Dalam cuaca panas itu tiba-tiba terjadi mendung tebal disertai angin kencang membawa partikel-partikel pasir, sehingga terjadi badai gurun/debu. Pada 11 September 2015 pukul 17.30 WAS terjadi hujan es diikuti halilintar yang dahsyat, kemudian badai gurun dengan kecepatan tinggi, sehingga berdampak pada terjungkal dan robohnya sebuah crane raksasa setinggi 189 meter di halaman depan pintu Babussalam Masjidil Haram. Akibatnya, tiangtiangnya menimpa bangunan tempat Sa’i dan lantai empat Mas’a ada yang jebol tembus ke lantai tiga. Jamaah yang sedang beribadah di sekitar lokasi banyak yang wafat dan lukaluka terkena runtuhan crane dan pecahan bangunan. Jamaah haji Indonesia yang wafat sebanyak 12 orang dan luka-luka sebanyak 46 orang. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menjanjikan akan memberikan santunan kepada korban/keluarganya yang wafat dan cacat seumur hidup berupa uang sebesar @ SAR 1.000.000 (setara Rp 3,8 Milyar). Sementara dari Pemerintah Indonesia memberikan asuransi sebesar @ Rp 13.000.000. Namun realisasinya belum berjalan.
Gambar IX-4: Musibah Crane di Masjidil Haram.
IX-9
Tabel IX-2. Data Jamaah Haji Yang Terluka Akibat Musibah Crane No.
NAMA
PASPOR
KLOTER
KETERANGAN
1
NASRIAH BINTI MUHAMMAD ABDURRAHMAN
B1175082
BTJ-001
DIrawat di RS Zaher
2
TRI MURTI ALI
B0396519
PDG-003
DIrawat di RS Zaher
3
ISNAINY FADJARIJAH ABDUL DJUMALI
B1052806
SUB-021
DIrawat di RS Zaher
4
MAMAN RAHMAN RAHMAT
B0982962
JKG-004
DIrawat di RS Zaher
5
HADIAH SYAMSUDDIN SAKO
B1162080
UPG-015
DIrawat di RS Zaher
6
MUDJIANINGSIH MATKIRAN HUBAIT
B1376345
SUB-017
DIrawat di RS Zaher
7
MURODI YAHYA KASANI
B0754094
SUB-001
DIrawat di RS Al Noor
8
SAINTEN SAID TARUB
B0992684
SUB-015
DIrawat di RS Al Noor
9
JULFITRI ZAINI HAJI
A3910753
PDG-003
DIrawat di RS Al Noor
10
KAMSANAH SARI KAMSIN
B0978840
JKG-017
DIrawat di RS Al Noor
11
SAHARMI UMAR PASSIRE
B0590380
UPG-002
DIrawat di RS Al Noor
12
NORMA LATANG KULASSE
B1161965
UPG-005
DIrawat di RS Al Noor
13
ROSNALLANG CACO BABA
B0901348
UPG-005
DIrawat di RS Al Noor
14
RUBIAH MUHAMMAD ZAILANI
B0525199
BTH-013
DIrawat di RS Syisya
15
IRIANI WIDIA NINGSIH
A1423972
MES-008
DIrawat di RS Syisya
16
SURAHMAN KARSUN HASAN
B1008602
JKG-003
DIrawat di RS Syisya
17
YANTO SUGIANTO SUBANDI
B0976008
JKG-022
DIrawat di RS Syisya
18
KARIADI ABDUL MUIN MAHMUD
B0527939
BTH-013
DIrawat di RS Syisya
19
BAHTIAR TARA SARIDANO
B0507938
BTH-016
DIrawat di RS Syisya
20
SUBANDI AMAD SABRIN
B1163243
UPG-016
DIrawat di RS Syisya
21
ZALNIWARTI MUNAF UMMA
B0393772
PDG-004
DIrawat di RS King Abdullah
22
ARDIAN SUKARNO EFFIEN
B0907275
JKG-007
DIrawat di RS King Abdullah
23
MUHAMMAD HARUN ABDUL HAMID
B1163100
UPG-016
DIrawat di RS King Abdullah
24
UMI DALIJAH AMAT RAIS
B0957604
SOC-024
DIrawat di RS King Askari
25
SOPIAH TAIZIR NASUTION
A6773447
MES009
Sudah Kembali ke Kloter
26
KURSIA NANTING LEMBONG
B0507644
BTH017
Sudah Kembali ke Kloter
27
JUMALI JAMARI SETRO WIJOYO
B1496896
SOC-052
Sudah Kembali ke Kloter
28
HASAN MANSUR AHMAD
B0746467
SUB-010
Sudah Kembali ke Kloter
29
FATMAWATI ABDUL JALIL
B1162645
UPG-018
Sudah Kembali ke Kloter
30
ABDUL JALIL CONCI LETA
B1162600
UPG-018
Sudah Kembali ke Kloter
31
ROSDIANA MUDU TOHENG
B1162756
UPG-018
Sudah Kembali ke Kloter
32
ERNI SAMPE DOSEN
B1162715
UPG-018
Sudah Kembali ke Kloter
33
NURUDIN BAASITH SUJIYONO
B1035292
SUB-021
Sudah Kembali ke Kloter
34
SUJI SYARBAINI IRONO
B1306321
BTH-014
Sudah Kembali ke Kloter
35
TETI HERAWATI MAD SALEH
B0941422
JKS-005
Sudah Kembali ke Kloter
36
APIP SAHRONI ROHMAN
B0941479
JKS-005
Sudah Kembali ke Kloter
37
EMMIWATY JANAHAR SALEH
B1354467
MES-008
Sudah Kembali ke Kloter
38
NUR BAIK NASUTION
B1061239
MES-009
Sudah Kembali ke Kloter
39
ALI SABRI SELAMUN
B0785804
PDG-007
Sudah Kembali ke Kloter
40
ENDANG KASWINARNI POERWOMARTON
B1107076
SOC-O46
Sudah Kembali ke Kloter
41
ENIWATY MUHAMMAD SYARIF
A4212758
BTH-001
Sudah Kembali ke Kloter
42
DEWI LAILA MUFIDA
B1258849
MES-008
Sudah Kembali ke Kloter
43
TUTIK SOLIHAH A. MANAF
B0939952
JKS 48
Sudah Kembali ke Kloter
44
PAHARUDIN BIN PILI
A0503187
UPG 02
Sudah Kembali ke Kloter
45
UCH SOLIHUDIN BIN HANAFI
B0392373
PDG 03
Sudah Kembali ke Kloter
46
SUMIARTI BT PRAPTOWIDIHARJO
A6741816
SOC 46
Sudah Kembali ke Kloter
Sumber: PPIH, 2015, diolah
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
Tabel IX-3. Daftar Nama Korban Wafat pada Musibah Crane di Masjidil Haram pada 11 September 2015 No.
NAMA
PASPOR
KLOTER
KETERANGAN
1
ITI RASTI DARMINI
B0716645
JKS-023
WAFAT
2
MASNAULI SIJUADIL HASIBUAN
B1061545
MES-009
WAFAT
3
PAINEM DALIO ABDULLAH
B1258831
MES-008
WAFAT
4
SAPARINI BAHARUDDIN ABDULLAH
B1258832
MES-008
WAFAT
5
NURHAYATI RASAD USMAN
B0393770
PDG008
WAFAT
6
FERRY MAULUDDIN ARIFIN DULHAI
A9464489
PDG-004
WAFAT
7
ADANG JOPPY LILI
B1197332
JKS-012
WAFAT
8
SITI RUQAYAH ABSAMAD
A2714350
SUB-39
WAFAT
9
SRIYONO MARJO SIHONO
B118807
SUB-38
WAFAT
10
MASSADI SAIMAN TARMININ
V-222619
SUB 38
WAFAT
11
DARWIS ROHIM LOGE
B1162671
UPG-18
WAFAT
12
JANIRO GANUMBANG SIREGAR
A9106896
MES-09
WAFAT
Sumber: PPIH, 2015, diolah
4) Rawan terjadi musibah di pemondokan, seperti dalam penggunaan alat elektronik, terutama alat masak (walaupun dilarang masak di dalam hotel) dan dalam penyimpanan barang berharga jamaah. Akibatnya, bisa terjadi kebakaran, walaupun cepat diatasi, seperti terjadi di rumah 403 sektor IV lantai 8 kamar 801 di Makkah. Sementara dalam pengamanan barang berharga, jamaah cenderung membawanya ketika bepergian keluar rumah seperti ke masjid dan tempat-tempat ziarah. Padahal, di luar rumah tersebut justru kerawanan lebih tinggi. Akibatnya, banyak terjadi kasus penipuan, penjambretan/ pencopetan dan kelalaian. Kerugian secara kumulatif yang dilaporkan kepada petugas pengamanan PPIH, seperti tersebut berikut ini:
IX-11
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Tabel IX-4. Kejadian Menonjol di Makkah 2015 NO.
KEJADIAN
LOKASI
KORBAN JAMAAH
KERUGIAN MATERI
1
Penipuan
Sekitar Pemondokan
1 orang
Rp 1.500.000
2
Pencurian
Pemondokan
1 orang
Barang
3
Kehilangan
Di pemondokan dan Al Haram
10 orang
Rp 27.300.000 + SAR 850.000
4
Pelecehan Sex
Area Pertokoan
1 orang
5
Kecelakaan Lalu Lintas
Sekitar Pemondokan dan Al Haram
2 orang
6
Tersesat Jalan
Sekitar Pemondokan dan Al Haram
3.050 orang
7
Kebakaran
Sektor IV dan Sektor V
2 kali
Sumber: PPIH, 2015, diolah
c. Dampak Kejadian Dari berbagai kerawanan yang potensial menimpa Jamaah Haji Indonesia, tentu berdampak pada timbulnya berbagai kerugian yang dialami oleh Jamaah Haji Indonesia. Karena itu, perlu dianalisis dampak yang terjadi khususnya dari beberapa kejadian yang menonjol di Madinah maupun Makkah : 1) Rekomposisi Kloter akibat terhambatnya visa pada sebagian jemaah calon haji dalam suatu kloter, mengakibatkan: a) Terpisahnya JCH yang semula telah dipersiapkan dengan baik dan kompak menjadi tercerai-berai. Apalagi, yang susunan regunya merupakan satu keluarga menjadi ada yang terpisah. Pemisahan mahram dan pembentukan kelompok baru pada saat keberangkatan akan sulit untuk memadukan kekompakan dan keutuhan regu/rombongan dalam suatu kloter, apalagi bagi perempuan yang terpisah dari mahram.
IX-12
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
b) Terpisahnya sebagian bagasi/barang-barang jamaah dalam suatu kloter ke kloter lain, sehingga menyulitkan pencarian bagasi ketika sampai di pemondokan. Apalagi, bila pemondokan jamaah terpisah-pisah. Bahkan, ada jamaah yang yang telah dua minggu tiba di Arab Saudi belum mendapatkan koper/bagasinya. 2) Tersesat jalan terjadi di Madinah maupun Makkah pada awal kedatangan jamaah haji Indonesia masih sangat tinggi, sehingga mengakibatkan: a) Saat kedatangan di Madinah mengakibatkan terjadinya penurunan daya tahan fisik dan berkurangnya kesempatan melakukan shalat arbain di Masjid Nabawi. b) Saat awal kedatangan di Makkah mengakibatkan terjadinya penurunan daya tahan fisik bahkan jatuh sakit karena kelelahan. Selain itu kewajiban manasiknya terkendala karena tidak selesai melaksanakan umrah wajibnya (tawaf atau sa’i belum selesai). 3) Terjadinya musibah robohnya crane di Masjidil Haram pada 11 September 2015 menjelang Maghrib, mengakibatkan: a) Terjadinya korban pada jamaah haji Indonesia terdiri dari 12 orang wafat dan 46 orang luka-luka. b) Terganggunya pelayanan terhadap sebagian jamaah haji karena tempat kegiatan ibadah di Masjidil Haram sebagian ditutup dan konsentrasi petugas PPIH terpecah untuk menangani korban musibah tersebut. c) Rasa waswas pada sebagian jamaah haji ketika berada di sekitar Masjidil Haram karena banyaknya crane yang masih beroperasi dikhawatirkan mengalami nasib serupa. 4) Terdapatnya sebuah perusahaan katering di Madinah yang tidak memenuhi kontrak, sehingga dibatalkan kontraknya karena kesalahan prinsip. Dampaknya, sebagian jamaah yang dilayani perusahaan tersebut terhambat pelayanannya, walaupun bisa diatasi dengan menambah porsi pada perusahaan lain.
IX-13
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Tabel IX-5. Data Kriminalitas, Kecelakaan, Tersesat Jalan dan Wafat Tahun 2015 NO.
KASUS
JUMLAH KORBAN
JUMLAH KASUS
ORANG
UANG
BARANG BERHARGA
1
Penipuan
18
18
2
Pencurian
2
2
Rp 36 Jt + SR 2.500
Hp + tas + Kamera
3
Perampasan
1
1
Rp 1 Jt + SR 1.750
3 HP + tas
4
Kehilangan
20
20
5
Kecelakaan Lalin
3
3
6
Pelecehan Sex
2
2
7
Kebakaran
3
3
8
Stress
3
3
9
Tersesat Jalan
10
Wafat
KETERANGAN
Dokumen Rp 156,8 Jt + SR 6.630
59 unit
Rp 12 Jt
6 unit
5.945
502 orang di Mina
630
Sumber: PPIH, 2015, diolah
5) Masalah jamaah tersesat jalan dan ghaib/hilang a) Berdasarkan data di atas jumlah jamaah yang tersesat jalan (tidak bisa pulang ke pemondokan) yang terdata oleh petugas dan selanjutnya diantar petugas ke pemondokan yang bersangkutan mencapai 5.509 orang. Kondisi mereka pada umumnya kategori resiko tinggi, buta aksara arab maupun latin, tidak bisa berbahasa asing maupun Indonesia (hanya bisa bahasa daerah). Kasus kejadian pada umumnya adalah terlepas dari rombongan/kelompoknya saat melaksanakan tawaf dan sai umrah/wajib saat baru datang ke Makkah dan saat tawaf dan sai Ifadhah. Kejadian yang dialami jamaah di Madinah, sehingga tersesat jalan adalah terlepas dari rombongan/ kelompoknya saat beribadah arbain di Masjid Nabawi. Kasus ini menjadi prioritas perhatian petugas PPIH Arab Saudi untuk mencegah dan meminimalisir jumlah jamaah yang tersesat jalan tersebut karena berdampak luas. b) Dari sejumlah jamaah yang tersesat jalan tersebut, bila dalam beberapa hari tidak kembali atau ditemukan di tempattempat tertentu, akan dikategorikan ghaib/hilang. Kepada
IX-14
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
mereka, petugas melakukan pencarian secara khusus ke berbagai lokasi termasuk ke rumah sakit. Banyak ditemukan jamaah ghaib di RSAS sudah wafat. 3. Ketertiban dan Keamanan dalam Perjalanan Darat Semua perjalanan jamaah haji dari suatu kota ke kota lain dan dari pemondokan yang jauh ke Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi dilakukan dengan naik kendaraan, baik yang disediakan pemerintah panitia maupun perorangan. Terdapat tiga sistem transportasi bagi jamaah haji, yaitu: 1) Transportasi antara bandara dengan pemondokan dan sebaliknya. 2) Transportasi antar-kota perhajian (Makkah –Madinah). 3) Transportasi shalawat (dari pondokan ke Masjidil Haram PP). Dari ketiga sistem itu, pada tahun ini yang paling beresiko terhadap ketertiban dan keamanan jamaah haji adalah transportasi antar-kota perhajian dan transportasi bus shalawat. a. Terjadinya kerusakan bus antar-kota perhajian Kerusakan bus terjadi pada pengangkutan jamaah haji gelombang pertama dari Madinah ke Makkah. Dari seluruh bus yang dioperasikan, terdapat 27 bus yang rusak di perjalanan dengan tingkat keterlambatan mulai dua jam hingga tujuh jam. Data bus yang rusak di perjalanan sebagai berikut: Tabel IX-6. Bus Antar-kota Perhajian yang Rusak pada Gelombang pertama Tahun 2015 NO.
TGL
1
30 08 15
2
01 09 15
02 09 15 3
4
04 09 15
KLOTER SOC
3
PDG
1 2
BPN
ROMB
JML
SYARIKAH BUS
URAIAN MASALAH
1
Abu Sarhad Mogok rusak mesin
5
1
Abu Sarhad Rusak tangkinya bocor
1
1
Al Jazirah
3
1
Al Jazirah
5
1
Al Jazirah
SOC
8
1
1
JKG
5
2
1
Hafil
UPG
4
3
1
Ummul Quro
SUB
10
6
1
Abu Sarhad
10
1
Abu Sarhad
Bus mogok AC rusak tidak dingin
Abu Sarhad AC rusak tidak dingin AC rusak tidak dingin Bus rusak Bus rusak
IX-15
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
5
6
7
05 09 15
06 09 15
07 09 15
SUB
13
3
1
Bus mogok radiator jebol Abu Sarhad di km 322
SOC
19
2
1
Al Andalus
Bus pecah ban di km 82
JKS
12
2
1
Abu Sarhad
Bus sempat mogok dan terlambat sampai
SUB
13
8
1
Bus rusak jalannya pelan Abu Sarhad dan berhenti 30 menit bau asap di km 350
1
1
Abu Sarhad Ban bocor
1
1
Muassasah melarang Abu Sarhad bus jalan krn kondisi ban yang kurang bagus
10
1
Sudah diganti bus karena ban bocor, supir tidak tahu jalan 2 jam Abu Sarhad baru sampai Bir Ali, kemudian di km 347 mogok dan berhenti
10
1
Abu Sarhad
3
1
Abu Sarhad Mogok di Jumum
PDG
JKS
8
9
08 09 15
09 09 15
6
21
Kopling bus rusak telat berangkat
BPN
7
1
Hafil
SOC
27
1
Hafil
SOC
27
6
1
Hafil
JKS
24
10
1
Mogok 5 kali berhenti, Abu Sarhad nomor lambung 068 di km 270
JKS
25
3
1
Mogok berhenti 1/2 jam Abu Sarhad setelah checkpoint di km 316, laporan pkl 11. 29
10
10 09 15
PLM
5
7
1
11
11 09 15
SUB
27
9
1
Ummul Quro
Bus datang mendekati jam pendorongan tidak tiga jam sebelumnya sebagaimana dalam I’timad Muassasah 6 jemaah hampir tidak terangkut karena 3 bus Hafil kapasitas seat 43
Mogok sebelum jalan krn rusak mesin
Abu Sarhad Ban bocor
Sumber: PPIH, 2015, diolah
Berdasarkan data tersebut, yang paling banyak terjadi kerusakan adalah bus Abu Sarhad (16 bus dari 27 bus). Kerusakan tersebut sebenarnya sudah diprediksi oleh KPHI sejak peninjauan di Pool Abu Sarhad pada Juni 2015. Saat peninjauan ditemukan pada bus contoh yang dipamerkan oleh perusahaan kepada Tim KPHI antara lain body bus keropos dan banyak terdapat lubang, perbaikan body dengan sistem las yang alakadarnya dan AC
IX-16
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
yang kurang maksimal. KPHI telah merekomendasikan kepada Pemerintah RI untuk tidak memakai bus Abu Sarhad tersebut, tetapi ternyata masih digunakan sehingga sangat merugikan jamaah. b. Kerawanan terminal di sekitar Masjidil Haram Terutama terminal Syeib Amir yang melayani tujuh rute dan terminal Bab Ali melayani tiga rute. Titik kerawanannya terjadi pada: 1) Jalur antrean menuju titik naik/turun bus. Di terminal Syeib Amir sifatnya terbuka tanpa tanda petunjuk arah untuk jamaah suatu negara, sehingga jamaah dari berbagai negara campuraduk. Sering terjadi jamaah Indonesia terbawa arus jamaah negara lain, sehingga bisa salah naik bus. Dalam kepadatan jamaah dengan arah yang tidak teratur sangat rawan tersesat, kriminalitas dan kecelakaan. Sementara di Terminal Bab Ali sudah ada jalur antrean jamaah, tetapi masih campur-aduk jamaah dari berbagai negara. Tidak ada pengelompokan zona atau negara. Akibatnya, Jamaah Haji Indonesia yang badannya relatif kecil dan lemah banyak terjepit jamaah negara lain yang berbadan lebih besar dan kuat saat mengantre di jalur tersebut. Bila hal ini terjadi pada siang hari (bada Zuhur) sangat menyengsarakan karena di samping berhimpit-himpit, juga terpapar panas matahari yang menyengat. 2) Area naik ke bus dan turun dari bus. Di terminal Syeib Amir naik/turun bus lebih tertib karena pemberhentian bus berada di dalam terminal yang luas dan jalurnya telah diatur. Sementara di Bab Ali naik/turun bus berada di pinggir jalan, sehingga sangat rawan kecelakaan dan kriminalitas. Jamaah kloter telah menjadi korban kecelakaan saat turun dari bus di terminal Syeib Amir karena tidak hati-hati dan turunnya belum masuk terminal, sehingga tertabrak bus di belakangnya hingga tewas di RS King Faisal. c. Dampak kejadian 1) Kerusakan bus antar-kota perhajian. Walaupun persentasenya kecil, dampaknya bagi jamaah haji cukup besar. Kapasitas ratarata tiap bus 45 orang x 27 bus = 1.215 orang yang menderita akibat kerusakan tersebut. Mereka tidak bisa berteduh dengan
IX-17
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
baik dalam kondisi panas matahari sangat menyengat. Akibatnya, bisa terjadi dehidrasi dan penurunan daya tahan tubuh. Selain itu, koper-koper jamaah juga tidak terangkut semua dalam bagasi bus tersebut. PPIH harus menyewa truk yang biayanya tidak ditanggung oleh perusahaan bus, sehingga menambah beban biaya dari PPIH. 2) Transportasi bus shalawat telah membantu sebagian jamaah yang pemondokannya terdapat rute bus shalawat. Jamaah dapat berangkat ke Masjidil Haram dan pulang ke pemondokannya dengan naik bus secara gratis. Namun karena Jamaah Haji Indonesia banyak yang risti, mereka membatasi diri ke Masjidil Haram pada waktu tertentu saja. Terutama, yang berkaitan dengan keabsahan hajinya. Apalagi, situasi di terminal sekitar Masjidil Haram yang masih semrawut dan antrean naik bus yang tidak terkendali dengan baik mengakibatkan sebagian besar jamaah haji risti dan lainnya enggan naik bus ke Masjidil Haram. Mereka akan menghadapi resiko terhimpit, kepanasan pada siang hari, kecelakaan, hingga kehilangan barang berharga. 4. Ketertiban dan Keamanan Prosesi Armina Perlindungan di Armina kurang maksimal, terutama pada prosesi mabit di Mina dan melontar jumrah, karena keterbatasan petugas. Penempatan pos-pos petugas yang diisi unsur TNI/Polri tidak cukup untuk meng-cover semua titik-titik rawan. Secara umum, operasional Armina dapat berjalan lancar. Namun, dari sisi kualitas pelayanan, mengalami penurunan. Yang paling terasa dampaknya adalah kurangnya pelayanan yang berhubungan langsung dengan jamaah, seperti pos-pos pelayanan terdepan yang biasanya diisi petugas TNI, Polri, dan mukimin sekarang dibebankan kepada sektor-sektor yang tidak terbiasa tugas di lapangan. Padahal, tuntutan pelayanan tidak pernah berkurang. Kerawanan yang timbul pada prosesi ini meliputi: a. Pemberangkatan jamaah dari pemondokan 1) Sebagian jamaah melakukan tarwiyah sehari menjelang Arafah. Jumlah mereka sekitar 13.119 orang (8 persen) dari total Jamaah Haji Indonesia tahun 2015. Peserta tarwiyah mengalami penurunan sebesar 1 persen dibanding tahun 2014 mencapai 14.181 orang. Kerawanan yang timbul antara lain:
IX-18
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
a) Jamaah lansia yang ikut-ikutan karena terbujuk KBIH tertentu, sehingga di tengah prosesi tarwiyah tidak mampu melanjutkan dan berakibat ditinggal jamaah lain. b) Jamaah yang semula tidak ikut tarwiyah dari rombongannya. Namun karena jumlahnya sedikit akhirnya ikut menyusul, sehingga bisa terjadi tersesat jalan. 2) Pemberangkatan ke Arafah. Jumlah jamaah dan petugas yang melaksanakan wukuf di Arafah mencapai 169.239 orang terdiri atas jamaah reguler 154.454 orang ditambah safari wukuf 132 orang dan pendamping 50 orang, PIHK 13.114 orang dan petugas kloter dan nonkloter 1.876 orang. Kerawanan yang timbul antara lain: a) Jamaah yang tertinggal di pemondokan akibat kurang teliti dalam pengecekan di bus oleh karom dan karu masingmasing saat akan berangkat. b) Bus pengangkut jamaah mengalami gangguan di perjalanan yang berdampak pada keterlambatan pengangkutan jamaah ke Arafah. Pada 2015 tidak terjadi kasus yang signifikan, sehingga pengangkutan jamaah relatif lancar. b. Selama tinggal di tenda Arafah 1) Kelayakan fasilitas tenda pada 2015 lebih baik dengan penggantian karpet yang lebih layak dibanding dengan tahun lalu ditambah water cooler. Namun, jumlah water cooler belum memadai karena cuaca yang sangat panas. Water cooler di Maktab 13 dan 14 tidak berfungsi. Sementara itu terdapat tenda yang roboh terkena badai di Maktab 8 dan 36 belum
Gambar IX-5: Tenda di Arafah yang ambruk akibat badai
IX-19
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
didirikan (rusak) dan terdapat 14 maktab yang listriknya belum berfungsi (Maktab 1, 16, 18, 20, 21, 25, 26, 32, 35, 36, 37, 38, 54 dan 60). 2) Tahun ini tidak terjadi jamaah yang mengalami keterlambatan memasuki kemah di Arafah untuk wukuf setelah mengikuti tarwiyah. Namun, terdapat sebagian kecil yang tiba di tenda Mina sekitar pukul 11.00 WAS. 3) Pelaksanaan wukuf terjadi pada suhu ekstrem mencapai 50°C saat berlangsung wukuf, sehingga banyak jamaah terkena dehidrasi, walaupun dukungan air minum sudah ditambah. Jamaah yang berobat ke kesehatan kloter sebanyak 10.007 orang dan di Poskes Arafah sebanyak 81 orang. Sebagian jamaah, terutama yang risti, terkena heat stroke dan penyakit lainnya mencapai 202 orang yang dirawat di BPHI Arafah dan dirujuk ke RSAS, sedangkan jamaah yang wafat mencapai 32 orang. c. Proses taraddudi dan Mabit di Muzdalifah 1) Ketertiban pengangkutan jamaah dari Arafah ke Muzdalifah dan dari Muzdalifah ke Mina setelah mabit. Tahun ini pengangkutan dengan sistem taraddudi dapat berjalan lancar. Hasil sweeping petugas di Arafah pada pukul 24.00 WAS tidak ditemukan jamaah yang tertinggal di Arafah. Sementara pengangkutan jamaah dari Muzdalifah ke Mina terakhir dilakukan pada 10 Zulhijjah 1436 H pukul 06.30 WAS. 2) Ketertiban kedatangan jamaah mabit di Muzdalifah dapat berjalan lancar karena jamaah dapat terangkut semua dari Arafah ke Muzdalifah tepat waktu. Fasilitas WC yang tersedia pada 2015 telah ada penambahan, sehingga sangat membantu jamaah risti yang membutuhkan sering ke WC pada malam hari, apalagi di ruang terbuka. 3) Pengendalian jamaah dalam prosesi mabit dilaksanakan dengan menggelar pos-pos mabit untuk mengatur ketertiban jamaah dan mengantisipasi adanya jamaah yang sakit atau terkena musibah saat mabit. Pengendalian juga dilakukan saat jamaah diangkut bus taraddudi menuju tenda-tenda di Mina. Pada proses ini jamaah cenderung berdesak-desakan dan ada yang mencoba naik bus lebih dahulu tidak antre sesuai urutan yang telah diatur. 4) Pada saat prosesi Mabit di Muzdalifah terdapat tiga orang jamaah haji Indonesia yang meninggal dunia.
IX-20
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
d. Mabit di Mina 1) Latar belakang kondisi jamaah saat tiba di Mina sudah kelelahan karena kurang tidur. Semalaman berada di ruang terbuka dan aktifitas fisik lainnya yang sangat menguras tenaga, apalagi jamaah lansia dan risti. Kondisi demikian masih harus berhadapan dengan tantangan baru, yaitu kondisi kemah yang lebih sempit dibanding di Arafah, WC semakin berkurang, dan jarak tenda dengan tenda yang lainnya semakin sempit (berhimpitan) kecuali tenda pinggir. Sementara cuaca panas tahun ini sangat menyengat karena suhu mencapai sekitar 50 °C. Bahkan, dalam waktu siang hari pernah mencapai 52°C. Kondisi demikian sangat mempengaruhi daya tahan tubuh jamaah, sehingga rata-rata kondisinya drops. 2) Tantangan lain adalah kewajiban melontar jumrah aqobah di arel jamarat sekitar 4 kilometer dari tenda Mina yang harus segera ditunaikan. Apalagi yang tinggal di Mina Jadid yang jaraknya lebih jauh antara 6-7 kilometer ke arah Jamarat. Kemudian melaksanakan tawaf ifadah dan sa’i di Masjidil Haram yang jaraknya sekitar 7,5 kilometer dari Jamarat. Selain itu, amaliah wajib berikutnya yang harus ditunaikan berupa mabit selama hari tasryik dan melempar tiga jamarat tiap hari dan diakhiri nafar awal ataupun tsani. Kondisi ini yang mengakibatkan banyak jamaah haji, terutama yang usia lanjut dan risti banyak yang jatuh sakit bahkan wafat. 3) Keterbatasan panitia pengamanan/perlindungan Jamaah dan kegiatan yang dilakukan. Gelar operasional bidang perlindungan dan pengamanan jamaah haji Indonesia untuk mem-back up unsur-unsur PPIH sangat kurang, sehingga pospos perlindungan dan pengamanan jamaah yang digelar hanya diisi seorang anggota TNI/Polri. Bahkan, di Pos Jamarat 1,2, dan 3 tidak ada petugas dari TNI/Polri. Beberapa titik rawan yang lain sama sekali tidak ada petugas (tidak terpantau). Selama prosesi mabit di Mina dan pelontaran Jamarat memang tidak digelar beberapa pos pemantauan jamaah yang diawaki oleh petugas yang secara fisik maupun mental siap bertugas di lokasi yang tantangan alamnya terlalu berat. 4) Pengendalian yang dilakukan PPIH untuk mengatasi kondisi demikian lebih banyak bersandar dengan pelayanan yang disesuaikan dengan kebijakan pemerintah Arab Saudi maupun Muassasah dalam operasional Armina. Tingkat kerawanan yang dihadapi pada fase ini antara lain:
IX-21
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
a) Tingkat kelelahan yang sangat tinggi dan kondisi fisik semakin menurun, b) Cuaca yang semakin panas, c) Tingkat kepadatan dalam tenda yang sangat sempit, d) Tingkat kepadatan arus lalu lintas jalan kaki pada beberapa titik yang tidak wajar sehingga mudah terjadi musibah, e) Kehadiran petugas lapangan PPIH Arab Saudi yang sangat kurang. 5) Pengecekan kedatangan jamaah di tiap maktab dan kloter dibentuk koordinator maktab agar jamaah tidak tersesat jalan semakin jauh atau salah masuk tenda. Bagi jamaah yang sakit diupayakan ditolong segera. Dampak dari suhu yaang sangat ekstrem hingga mencapai sekitar 50 derajat celcius dan kondisi tenda yang sempit serta AC yang tidak maksimal berdampak pada dehidrasi dan penurunan daya tahan tubuh jamaah, sehingga mengakibatkan terjadi kenaikan jamaah yang sakit dan harus dirawat di BPHI dan RSAS selama di Mina sebanyak 569 jamaah dan 158 orang di antara mereka meninggal dunia. 6) Pengendalian arus lalu lintas jamaah di sekitar kemah Mina dengan menggelar pos Muasim 1,2,3 dan pos Jamarat 1,2,3 serta pos Aziziah. Pemanduan tersebut dapat meminimalisir terjadinya jamaah yang tersesat jalan. Tingkat ketersesatan jalan seperti tahun yang lalu banyak terjadi pada hari pertama (10 Zulhijah) karena jamaah masuk Mina sebagian besar dini hari, sehingga asing di tempat yang baru. Sementara yang tersesat di Jamarat dan Aziziah umumnya dalam kelompok kecil sampai regu yang melaksanakan prosesi pelontaran jamarat maupun tawaf ifadah pada hari tasyrik. Tahun 1436 H ini jamaah yang tersesat jalan pada prosesi mabit di Mina beserta rangkaiannya mencapai sebagai berikut: • Hari pertama, 10 Dzulhijjah 1436 H
: 205 orang
• Hari kedua, 11 Dzulhijjah 1436 H
: 151 orang
• Hari ketiga, 12 Dzulhijjah 1436 H
: 88 orang
• Hari keempat, 13 Dzulhijjah 1436 H
: 13 orang
Total
: 502 orang
• Jamaah yang dilaporkan ghaib mencapai 75 orang.
IX-22
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
Gambar IX-6: Peta perkemahan di Mina dan Jamarat
e. Tragedi Mina 1) Pada Kamis 10 Zulhijjah 1436 H telah terjadi musibah berdesakdesakan di jalan 204 arah Mina Jadid dan sekitarnya menuju Jamarat. Jamaah haji Indonesia yang mabit di Mina Jadid sejak pukul 03.00 WAS telah ada yang berangkat melontar jamarat dan sebagian lain berangkat ba’da Subuh. Keberangkatan mereka di luar waktu yang telah diatur, tetapi tidak dilarang oleh Maktab. Pertimbangan mereka umumnya mengambil waktu yang relatif tidak terlalu panas. Jalur yang digunakan adalah rute jalan Malik Fahd yang lazim dipakai jamaah Indonesia. Perjalanan jamaah Indonesia di rute tersebut pada sekitar pukul 07.30 WAS tiba-tiba ditutup oleh Askar Saudi dan jamaah dibelokkan ke arah jalan 204 yang lebih sempit karena kiri-kanannya berdiri tenda-tenda jamaah Timur Tengah yang dipagar tinggi. Jamaah dari negara lain (seperti negara-negara Afrika) juga dialihkan ke jalur 204, sehingga terjadi kepadatan jamaah yang luar biasa. Sementara itu askar-askar yang bertugas di jalan layang di sebelahnya mengarahkan agar jamaah terus maju, sehingga semakin padat. Menurut pengakuan saksi korban yang selamat (M.Z. Asofi, MPA Sekda Provinsi Kalimantan Barat), terlihat hanya ada seorang askar yang memberi kode “stag” dengan kedua tangannya, tetapi askar yang lain justru mendorong terus.
IX-23
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Gambar IX-7: Peta bagan jalan di sekitar TKP tragedi Mina
2) Dalam kepadatan yang luar biasa ditambah panas yang semakin menyengat, jamaah mulai kekurangan oksigen. Jamaah dari negara-negara Afrika dan Timur Tengah yang berbadan besar dan kuat berupaya mencari jalan lain, tetapi dengan memaksa, mendorong, dan menabrak. Bahkan, mereka menginjak jamaah Indonesia dan jamaah lain yang lebih kecil. Di sinilah mulai terjadi jamaah yang terjatuh dan terinjak-injak jamaah lainnya. Kekacauan terjadi karena setiap jamaah berupaya menyelamatkan dirinya dan keluarganya atau rombongannya. Sementara semua pintu-pintu maktab di sekitarnya ditutup rapat, sehingga tidak ada jalur evakuasi. Akhirnya, terjadi peristiwa yang sangat tragis dan memilukan. Jamaah yang lemah jatuh terinjak-injak dan bertumpuk-tumpuk, sehingga jatuh korban ribuan orang yang syahid maupun yang luka-luka.
IX-24
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
Gambar IX-8: Situasi berdesakan menjelang terjadinya tragedi Mina di jalan 204
3) Sekitar pukul 10.30 WAS Kasatops Armina baru mendapat informasi kejadian itu dari penanggung jawab/Ketua PPIH Arab Saudi setelah mendapat informasi dari pejabat Arab Saudi. Jaring komando Satops tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan pada jalur jalan 204 tersebut juga tidak ada petugas PPIH. Sementara Pos Muaishim 3 yang dekat TKP saat itu dijaga dua orang temus mahasiswa Mesir yang baru ditugaskan masuk formasi Pos Muaisim 3 karena terlambat datang di Saudi akibat terkendala visa. Petugas ini belum memahami detail tugas dan fungsinya. Petugas Pos itu (Taufik dan Jaim) pada sekitar pukul 09.10 WAS melaporkan kepada Kasatgas Mina/Kadaker Madinah melalui HP bahwa terjadi kepadatan jamaah dan banyak jamaah tua kelelahan yang perlu kendaraan dan pertolongan. Kemudian dijawab Kasatgas agar menghubungi TETA (Tenaga Evakuasi Tanpa Alat) untuk minta bantuan. Karena petugas pos masih sangat awam menangani masalah seperti ini, bantuan TETA pun tidak bisa jalan. Sementara Kasatgas Mina tidak mengkoordinasikan ataupun melaporkan kepada pejabat lain, seperti Kasatops Armina dan Ketua PPIH Arab Saudi. 4) Setelah Kasatops Armina datang di TKP sekitar pukul 11.00 WAS baru diketahui bahwa telah terjadi tragedi di Souq Al Arab jalan 204 dengan korban sekitar dua ribu orang jamaah wafat, ribuan orang jamaah luka-luka (ringan dan berat). Jamaah haji yang menjadi korban sebanyak 2.177 orang jamaah wafat dan ribuan orang jamaah luka-luka (ringan dan berat). Jamaah haji
IX-25
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Gambar IX-9: Ribuan korban syahid tragedi Mina.
Indonesia yang menjadi korban sebanyak 130 orang wafat (termasuk lima mukimin) dan satu orang jamaah luka-luka dirawat di RSAS atas nama Unaini Abdulkarim bin Usman dari kloter JKG 33. Tabel IX-7. Jamaah Haji Indonesia Wafat dalam Musibah Mina Tahun 2015 Jamaah Wafat
Kloter
1
Kloter JKS 61
61
7
Mina Jadid
2
Kloter BTH 14
17
1
Mina Jadid
3
Kloter SUB 48
14
2
Mina Jadid
4
Kloter SOC 62
8
14
Dekat RS Mina
5
Kloter UPG 10
8
14
Dekat RS Mina
6
Kloter SUB 28
4
1
Mina Jadid
7
Kloter SUB 36
3
9
Mina Jadid
(orang)
Maktab
Mabit
8
Kloter SUB 61
3
1
Mina Jadid
9
Kloter BPN 05
2
14
Dekat RS Mina
10
Kloter JKS 21
1
35
Dekat RS Mina
11
Kloter BDJ 01
1
25
Dekat RS Mina
12
Kloter MES 07
1
11
Dekat RS Mina
13
Kloter BTH 04
1
20
Dekat RS Mina
14
Kloter SOC 29
1
3
Mina Jadid
15
Mukimin
5 Sumber: PPIH, 2015, diolah
IX-26
Wilayah
No.
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
5) Besarnya jumlah korban yang wafat (di luar masalah takdir) adalah tidak adanya petugas yang mencegah maupun mengatasi kecelakan tersebut karena petugas Arab Saudi yang berada di lokasi bersifat pasif. Petugas PPIH juga tidak ada dan pasukan askar dalam jumlah besar datangnya terlambat (pasca-kejadian). Sementara itu, penanganan korban juga sembarangan (tidak cermat) dalam menolong korban yang dalam kondisi pingsan dan yang telah wafat nyaris diperlakukan sama danggap wafat semua. Menurut saksi mata (korban selamat), jamaah Indonesia yang masih bisa menggerakkan tangan untuk minta tolong, tetapi posisinya di tengah tidak dihiraukan petugas Arab Saudi, malahan dengan ringannya mengatakan “syahid-syahid”. Oleh karena itu, perlu investigasi secara menyeluruh dan utuh serta independen untuk mengungkap tabir musibah yang mengerikan ini. Harga nyawa manusia yang sedang beribadah haji diremehkan. f. Tawaf Ifadah dan Melontar Jamarat di Hari Tasyrik 1) Pengendalian kegiatan tawaf ifadah beserta rangkaiannya di Masjidil Haram. Kepadatan jamaah pada hari nahar dan tasyrik mencapai puncaknya karena semua jamaah haji dari berbagai negara berupaya melaksanakan tawaf ifadah pada waktu tersebut. Ditambah tawaf wada bagi yang akan segera meninggalkan Tanah Suci untuk kembali ke Tanah Air masing-masing ataupun yang akan melanjutkan ziarah ke makam Rasulullah di Madinah, seperti jamaah haji Indonesia gelombang II lima hari pasca-Armina segera ke Madinah untuk melaksanakan arbain. Karena tingkat kepadatan jamaah yang luar biasa di Masjidil Haram, perlu digelar Sektor Khusus Masjidil Haram dengan mengubah nomenklatur menjadi Poskotis Masjidil Haram selama prosesi Armina. 2) Jamaah yang ditangani Poskotis ini meliputi jamaah yang tersesat jalan, tertinggal atau terpecah dari rombongannya, terkena musibah karena sakit, terjatuh atau terjepit jamaah lain dan sebagainya. Jumlah jamaah yang perlu bantuan atau pertolongan khusus Poskotis Masjidil Haram pada proses ini tercatat sebanyak 2.132 orang. Jumlah ini relatif sedikit karena jamaah haji regular dengan tingkat risti sekitar 60,90 persen cenderung bertahan di kemah Mina selama Armina. Mereka melaksanakan tawaf ifadah setelah kembali ke pemondokan di Makkah.
IX-27
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
3) Pengendalian pelayanan kemah atau tenda, konsumsi dan fasilitas MCK. Pengaturan space dan ploting penempatan jamaah di dalam tenda yang diperuntukan bagi jamaah sering kali bermasalah, baik dengan pihak maktab maupun dengan sesama jamaah (yang tergabung KBIH atau yang mandiri). Pemicunya adalah seperti : a) Maktab menawarkan fasilitas lebih terhadap KBIH dengan imbalan biaya tertentu, sehingga bagi jamaah yang tidak mau akan termarjinalkan dalam penempatan tenda tersebut. Akibatnya, ada jamaah yang tidur di luar tenda (kepanasan di siang hari dan kedinginan di malam hari). b) Maktab tidak maksimal memberikan fasilitas layanan kemah, seperti AC atau kipas angin tidak berfungsi, tenda sobek atau sempit, karpet atau hambal tidak layak, WC sangat kurang dan sebagainya. Akibatnya, jamaah mudah jatuh sakit, tidak bisa istirahat, dan bisa berdampak pada ketegangan antar kelompok jamaah. 4) Pertolongan pertama jamaah menderita sakit yang terjadi di maktab maupun saat mengikuti prosesi Jamarat. Pertolongan pertama ini biasanya ditangani langsung oleh petugas keamanan dan atau petugas TETA (Tenaga Evakuasi Tanpa Alat) karena mereka yang berada di pos terdepan pelayanan Jamaah Haji Indonesia. Namun, karena sangat kurangnya petugas lapangan dari unsur TNI/Polri, berakibat nyaris tidak nampaknya keberadaan petugas di tempat-tempat rawan dan kurang terpantaunya jamaah yang memerlukan pertolongan pertama di sekitar jalan menuju dan kembali dari jamarat maupun jalur pelontaran Jamarat. Kelambatan pertolongan kepada jamaah yang mengalami musibah seperti ini akan berakibat fatal karena jamaah akan mengalami kelelahan yang berat, jatuh sakit, pingsan, bahkan meninggal dunia. 5) Pengamanan jamaah saat kembali ke pemondokan sebelum nafar awal. Sebagian jamaah yang pemondokannya berada dekat jalur Mina-Jamarat- Masjidil Haram banyak memilih kembali ke pemondokan sebelum nafar awal dengan resiko tidak mendapat jatah makan dan tetap harus mabit di Mina, walaupun hanya sebagian malam. Masalah lain adalah kesiapan pemondokan untuk melayani mereka sebelum waktunya. Karena itu, KPHI juga memantau berapa banyak jamaah yang melakukan tindakan seperti ini dan tingkat keamanannya.
IX-28
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
6) Data yang diperoleh di lapangan, mereka yang kembali ke pemondokan umumnya jamaah dari kloter yang maktabnya berada di Mina Jadid dan pemondokannya di sekitar sektor I sampai VI (Mahbas Jin, Aziziyah, Syisyah, dan Raudhah). Jamaah yang kembali ke pemondokan saat hari nahar dan tasyrik banyak tersesat jalan dan kelelahan yang menumpuk di sekitar Bin Dawood Sektor IV. Padahal, di situ tidak ada pos petugas PPIH yang dioperasikan, sehingga jamaah tidak tertolong dalam waktu yang cukup lama. g. Nafar Awal dan Tsani Sekitar 60 persen Jamaah Haji Indonesia mengambil Nafar Awal dalam prosesi mabit di Mina dengan pertimbangan ingin cepat mengurangi kesulitan hidup di tenda Mina panas dan yang serba terbatas fasilitasnya. Karena mayoritas jamaah haji mengambil nafar awal, berakibat adanya kerawanan sebagai berikut: 1) Padatnya jamaah haji yang melontar jamarat sejak dini hari hingga siang hari karena mereka yang mengambil nafar awal berupaya keluar dari Mina sebelum matahari terbenam. Sementara yang mengambil nafar tsani juga tetap melaksanakan kewajiban melontar Jamarat hari itu sebagaimana mestinya. Pengendalian Jamaah Haji Indonesia pada prosesi melontar jamarat pada nafar awal telah berjalan baik, sehingga tidak terjadi kecelakaan yang fatal bagi Jamaah Haji Indonesia di Jamarat. 2) Kepadatan arus lalu lintas bus pengangkut jamaah haji yang mengambil nafar awal. Tiap bus tidak hanya sekali mengangkut jamaah haji keluar dari Mina, tetapi bersifat bolakbalik beberapa kali. Akibatnya, terjadi jamaah yang tercecer di Mina karena kurang cermatnya pengendalian oleh kloter masing-masing. Jamaah tercecer inilah yang bermasalah karena akan diangkut terakhir bergabung dengan kloter dan maktab lain. Ketika bus yang berisi jamaah kloter gabungan ini tiba di Makkah selalu terjadi kemacetan yang luar biasa. Akibatnya, ada jamaah yang diturunkan di jalan, sehingga terjadi kesesatan saat menuju ke pemondokannya. h. Dampak kejadian 1) Operasional Armina secara umum dapat berjalan lancar dari pergerakan jamaah haji dan petugas, baik yang mengikuti
IX-29
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
prosesi sesuai norma biasa maupun yang menggunakan norma khusus (safari wukuf). Kelancaran itu tergambar dalam waktu yang digunakan jamaah untuk bergerak dari satu fase ke fase berikutnya. Semua jamaah pada malam Nahar pukul 24.00 WAS telah terangkut semua dari Arafah ke Muzdalifah. Pada pukul 06.30 WAS semua jamaah telah meninggalkan Muzdalifah menuju Mina. Pada nafar tsani semua jamaah telah terangkut ke pemondokan di Makkah, kecuali yang wafat, sakit dan yang dinyatakan masih hilang/ghaib. 2) Kelancaran pergerakan tersebut bukan berarti tanpa masalah atau kendala yang berdampak pada kerugian jamaah secara fisik materiil maupun moriil dan spiritual. Berikut ini beberapa analisis dari permasalahan krusial yang terjadi selama prosesi Armina: a) Terdapat 13.119 orang jamaah mayoritas di antaranya lansia melaksanakan tarwiyah tanpa difasilitasi oleh PPIH Arab Saudi. Dampak yang timbul antara lain jamaah tercecer di jalan dan tersesat. Bahkan, terjadi kelelahan dan dehidrasi. Jamaah yang kelelahan maupun dehidrasi (kurang minum) masuk di kemah Arafah yang sempit dan pendek. Hal ini akan memicu turunnya kondisi fisik jamaah, sehingga mudah sakit. Padahal, prosesi Armina masih panjang yang perlu fisik prima. b) Terjadinya dehidrasi dan sebagian heat stroke saat Wukuf karena cuaca panas ekstrem dan water cooler di tendatenda tidak memadai. Dampaknya, memicu penurunan daya tahan fisik dan angka kematian di Arafah meningkat tajam mencapai 23 orang, sehingga mereka tidak bisa mengikuti prosesi selanjutnya. c) Banyaknya jamaah yang tersesat jalan selama prosesi mabit di Mina, terutama hari pertama dan melontar Jamarat mencapai 520 orang yang terdata di Posko Mina. Di sisi lain, pos-pos pelayanan lapangan di Muaisim dan Jamarat kurang terjaga baik, sehingga sering kosong. Hal ini dapat mengakibatkan jamaah yang tersesat di daerah tersebut tidak tertolong segera (bisa semakin jauh dan sulit dicari). Pos-pos yang tidak ada petugas dari TNI/Polri umumnya tidak disiplin dan pos dibiarkan kosong pada saat siang hari (petugasnya banyak istirahat).
IX-30
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
d) Fasilitas kemah dan MCK yang sangat kurang, baik di Arafah maupun di Mina mengakibatkan penderitaan jamaah dan berpengaruh kepada penurunan tingkat kesehatan jamaah haji. Apalagi, kebersihan dan sanitasi lingkungan memprihatinkan. Kondisi ini kurang mendukung kelancaran dan kekhusukan beribadah serta kurang memberikan rasa aman bagi jamaah haji. e) Adanya pengalihan arus jalan jamaah haji Indonesia yang mabit di Mina Jadid pada jalur jalan King Fahd. Setelah itu, di perjalanan dibelokkan ke jalan 223 kemudian masuk ke jalan 204 yang asing bagi jamaah haji Indonesia (karena jalan itu khusus untuk jamaah negara Afrika dan Timur Tengah). Pelontaran jamarat pada 10 Zulhijjah pada pagi dan siang hari berdampak pada terjadinya musibah di sekitar pertigaan jalan 204 yang mengakibatkan jamaah haji Indonesia wafat 130 orang, ghaib nihil dan 5 orang masih dirawat di RS Arab Saudi.
Gambar IX-10: Komisioner KPHI meninjau TKP dan mempelajari peta jalan di sekitar TKP
5. Pengamanan Proses Pemulangan ke Tanah Air a. Proses pemulangan Pemulangan jamaah haji Indonesia tahun ini berbeda dengan tahun yang lalu karena perubahan sistem penerbangan. Gelombang pertama turun di Madinah, lalu pulang melalui Jeddah. Sementara
IX-31
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
gelombang kedua turun di Jeddah terus pulangnya nanti lewat Madinah. Perubahan sistem ini akan lebih efisien dari sisi waktu dan dana operasional, tetapi juga bisa muncul permasalahan baru: 1) Pemberangkatan dari pemondokan Makkah untuk semua jamaah gelombang pertama dipulangkan melalui bandara Jeddah langsung dari pemondokan tanpa transit. Kerawanan yang timbul antara lain: a) Tawaf wada ada yang dilakukan pada malam hari. Sementara mereka diangkut ke Jeddah pada keesokan harinya, sehingga masih bermalam di Makkah dengan alasan darurat. Hal ini mengakibatkan keresahan pada sebagian jamaah yang berpendapat tidak boleh tidur atau bermalam di Makkah setelah wada. b) Sikap kurang bersahabat sebagian maktab dengan cara mempercepat pengeluaran jamaah dari pemondokan sebelum waktunya. Jamaah dibikin tergopoh-gopoh yang berdampak ada barang yang tertinggal dan waktu menunggu di bandara terlalu lama tanpa ada kompensasi, sehingga jamaah merasa dirugikan. c) Jadwal penerbangan pada minggu pertama pemulangan banyak terlambat melebihi batas toleransi. Padahal, jamaah sudah terlebih dahulu dikeluarkan dari pemondokan oleh maktabnya di Makkah. Sementara dukungan makan jamaah tidak tersedia, sehingga jamaah resah. d) Timbulnya permintaan baksis dari oknum haris, supir bus, dan pihak maktab untuk suatu keperluan pelayanan dengan nilai relatif kecil, tetapi memberatkan jamaah karena mereka umumnya sudah kehabisan uang bekal. 2) Gangguan kendaraan bus dalam perjalanan yang dapat berpengaruh kepada jadwal penerbangan. Hal ini umumnya dapat diatasi dengan bus pengganti. Pemberangkatan dari pemondokan Madinah. Setelah melaksanakan Arbain, jamaah gelombang kedua segera persiapan kembali ke Tanah Air melalui Bandara AMAA Madinah (Bandara Baru). Kerawanan yang timbul relatif kecil dibandingkan yang melalui bandara KAAIA Jeddah, di antaranya:
IX-32
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
a) Majmuah terlalu cepat mengeluarkan jamaah dari pemondokan dengan alasan yang tidak jelas dengan cara mematikan air dan listrik serta meneriaki jamaah agar cepat keluar dari pemondokan sebelum waktunya. b) Jamaah terlalu lama menunggu di bandara akibat ulah majmuah di pemondokan. Padahal di bandara mereka tidak mendapatkan jaminan yang layak. Selain itu, delay pesawat juga terjadi pada awal pemulangan. b. Dampak Kejadian Permasalahan yang berdampak berat kepada jamaah adalah sikap kurang bersahabat dari oknum maktab atau majmuah yang mempercepat keluarnya jamaah dari pondokan masing-masing. Akibatnya, jamaah kurang siap dan sering ada barang tertinggal. Ketika keluar pondokan belum waktunya, jamaah menjadi terlalu lama di bandara dan sekitarnya dalam kondisi yang tidak nyaman. 6. Analisis Aspek Perlindungan dan Pengamanan Jamaah serta Penyebabnya a. Aspek-aspek pengamanan Dalam rangkaian kegiatan Jamaah Haji Indonesia sejak kedatangan di bandara Arab Saudi hingga berangkat kembali ke Tanah Air, mereka telah tinggal di Arab Saudi sekitar 36 hari. Selama kurun waktu tersebut, sangat banyak permasalahan yang dihadapi Jamaah Haji Indonesia, baik dari aspek internal jamaah haji maupun aspek geografis. Selain itu, kondisi sosial selama berinteraksi dengan jamaah haji negara lain, penduduk setempat, dan para mukimin WNI yang tinggal di Arab Saudi. Untuk mengeliminir permasalahan tersebut, PPIH telah melakukan berbagai langkah kegiatan perlindungan dan pengamanan jamaah. Namun karena berbagai kendala yang dihadapi mengakibatkan hasil yang dicapai belum maksimal. Kendala utama adalah sangat kurangnya jumlah petugas yang menangani perlindungan dan pengamanan jamaah haji Indonesia. Hal ini tergambar dari analisis keuntungan dan kerugian yang meliputi aspek personel, materil dan kegiatan. 1) Aspek personel a) Yang menguntungkan adalah 99,50 persen Jamaah Haji Indonesia telah dapat menyelesaikan rangkaian ibadah
IX-33
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
hajinya dengan aman dan mereka dapat kembali ke Tanah Air sesuai kloternya masing-masing. b) Yang merugikan adalah terdapat jamaah haji yang wafat sebanyak 621 orang (130 orang karena tragedi Mina, 12 orang karena musibah crane di Makkah, dan 479 orang karena sakit dan kecelakaan. Sementara jamaah yang sakit berat masih dirawat di RSAS sebanyak 2 orang dan 81 orang ghaib/hilang, tetapi telah kembali atau ditemukan sebanyak 5.945 orang tersesat jalan selama di Arab Saudi serta tiga orang menjadi korban kecelakaan. Di samping itu, terjadinya tragedi Mina mengakibatkan sebagian jamaah Indonesia yang maktabnya di Mina Jadid mengalami trauma dan semakin kurang percaya kepada petugas/penyelenggara. 2) Aspek materil a) Yang menguntungkan adalah barang-barang dan uang milik jamaah haji Indonesia tahun ini relatif lebih aman. Tidak terjadi suatu kasus kriminalitas yang bernilai besar. b) Yang merugikan adalah terdapat kasus-kasus kehilangan/ kecurian uang campuran dalam skala kecil. Namun, secara kumulatif mencapai senilai Rp 250.000.000 dan 65 unit barang berharga campuran. Saat kedatangan di Arab Saudi, pengurusan koper jamaah kacau dan pengangkutan koper saat perpindahan dari Madinah ke Makkah yang kurang tertib karena diangkut dengan kendaraan yang berbeda dengan jamaahnya. Kerugian yang diderita PPIH yang menonjol adalah pembatalan kontrak bus antar-kota perhajian yang sedang berjalan. Semula, menggunakan bus standar yang dikendalikan langsung oleh Naqobah diubah menjadi bus upgrade. Banyak terjadi bus standar yang mogok/ rusak di perjalanan, terutama bus Abu Sharhad. Padahal pada tahap persiapan operasional Haji, Tim KPHI telah merekomendasikan kepada PPIH/Ditjen PHU Kementerian Agama untuk tidak menggunakan bus tersebut. Akibatnya, PPIH harus menambah biaya upgrade tiap bus yang dioperasionalkan untuk mengangkut jamaah dari Makkah ke Jeddah dan Makkah ke Madinah pada pasca-Armina. 3) Aspek kegiatan a) Yang menguntungkan adalah bahwa rangkaian kegiatan ibadah haji, khususnya prosesi Armina sebagai puncak haji,
IX-34
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Mulai dari wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, mabit dan melontar jumrah di Mina, serta rangkaian tawaf Ifadah di Masjidil Haram. b) Kerugiannya adalah terjadinya musibah robohnya crane di Masjidil Haram dan tragedi Mina yang merenggut korban jiwa sangat banyak (12 wafat akibat crane dan 130 wafat akibat tragedi Mina). Terdapat sebagian jamaah haji yang mengalami sakit (terutama heat stroke di Arafah dan Mina), menjadi korban kecelakaan di Madinah dan Makkah, serta terkendala saat tawaf serta sa’i, sehingga kewajiban manasiknya tidak sempurna. Di samping itu, sebanyak 5.945 orang jamaah haji Indonesia tersesat jalan dalam mengikuti rangkaian kegiatan ibadah haji, baik saat di pemondokan Makkah dan Madinah maupun saat prosesi Armina. Hal ini menunjukkan sangat kurangnya petugas yang menangani perlindungan dan pengamanan jamaah haji Indonesia. b. Faktor penyebab Berdasarkan hasil analisis dari tiap kejadian yang berdampak pada perlindungan dan keamanan jamaah haji seperti telah diuraikan di atas dapat disimpulkan faktor-faktor penyebab dari semua kejadian yang merugikan jamaah haji Indonesia selama di Tanah Suci dan harus segera dibenahi pada musim haji mendatang, mencakup: 1) Pengorganisasian PPIH Arab Saudi kurang terintegrasi antara unsur-unsur utama pelayanan terhadap jamaah di lapangan, seperti unsur kesehatan tidak melekat dengan pos-pos mobil dan unsur bimbingan ibadah sektor tidak mem-back up petugas pos mobil di Masjidil Haram. Padahal tahun yang lalu telah direkomendasikan oleh KPHI, sehingga tiap unsur cenderung berkutat pada fungsinya saja. Sementara rantai komando dan sistem komunikasi timbal balik dari atas ke bawah tidak berjalan dengan baik. 2) Jumlah petugas PPIH Arab Saudi di bidang perlindungan dan pengamanan yang direkruit dari TNI dan Polri sangat kurang dibanding dengan beban tugas mereka dalam pengorganisasian PPIH Arab Saudi. Pada 2013 dan 2014 KPHI dan Komis VIII DPR telah merekomendasikan penambahan jumlah petugas dari TNI/Polri sebanyak dua kali lipat.
IX-35
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Namun, pelaksanaannya pada 2015 ini justru dikurangi dua orang dari jumlah tahun 2014. Akibatnya, tingkat perlindungan terhadap jamaah haji Indonesia menjadi tidak maksimal. Hal ini ditandai oleh adanya beberapa daerah rawan yang tidak terpantau petugas, banyaknya jamaah haji Indonesia yang tersesat jalan, kurangnya antisipasi terhadap potensi kerawanan dan lambatnya penanganan kondisi kedaruratan, sehingga menimbulkan banyak korban jiwa yang wafat dan luka-luka. 3) Fasilitas perlindungan dan keamanan jamaah haji Indonesia masih kurang sesuai kebutuhan riil di lapangan, seperti petunjuk/tanda arah berbahasa Indonesia, alat GPS yang dilengkapi “Chips” untuk mendeteksi posisi jamaah yang hilang atau tersesat jalan, alat komunikasi dan transportasi petugas pengamanan, serta sistem pengendalian jamaah di tiap kloter (petugas kloter tidak disiplin mengendalikan jamaahnya). Fasilitas perlindungan dan pengamanan tersebut di atas pada tahun ini tidak ada penambahan atau perbaikan yang berarti dibanding tahun yang lalu, walaupun telah direkomendasikan/ disarankan oleh KPHI tetapi belum dilaksanakan. 4) Petugas kloter dan TPHD disiplin dan kepemimpinannya kurang serta tidak memahami tugas dan fungsinya di bidang perlindungan dan pengamanan jamaah haji di kloternya, sehingga banyak kegiatan jamaah yang dilaksanakan di luar pondokan/kemah nyaris tidak dikendalikan oleh kloter. Laporan rutin kondisi kloter sulit dilaksanakan dan lapor cepat setiap kegiatan penting (seperti selama prosesi Armina) sangat lambat dan tidak valid. Akibatnya, pertolongan kepada jamaah yang bermasalah lambat dilakukan. 5) Kondisi fisik jamaah haji Indonesia sekitar 61,95 persen resiko tinggi, tingkat pendidikan yang masih rendah, serta kebanyakan belum berpengalaman bepergian ke luar negeri. Kondisi ini menjadi pemicu terjadinya jamaah tersesat jalan, terkena musibah sakit dan kecelakaan, serta menjadi korban kriminalitas. Kondisi ini bisa diminimalisir resikonya apabila sejak awal jumlah jamaah risti ada pendampingan, peran petugas kloter selalu melekat dengan jamaahnya, petugas kesehatan proaktif turun ke lapangan, dan petugas perlindungan dan pengamanan memadai. Namun, realitanya rekomendasi KPHI belum diterapkan sebagaimana mestinya.
IX-36
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
6) Tingkat koordinasi antara pemerintah RI Cq. Kemenag beserta jajarannya dengan Pemerintah Arab Saudi dan otoritas penyelenggara haji dari swasta di Arab Saudi masih kurang intensif. Sementara Pemerintah Kerajaan Arab Saudi cenderung tertutup, sehingga dalam penanganan suatu masalah tidak dapat meminimalisir korban/kerugian bagi jamaah haji Indonesia.
B. REKOMENDASI DAN SARAN TINDAK LANJUT PENGAMANAN DAN PERLINDUNGAN JAMAAH Rekomendasi 1. Mendesak kembali kepada Pemerintah agar menambah jumlah petugas dari TNI/Polri minimal dua kali lipat untuk dapat menutup kebutuhan minimal di lapangan (109 orang). 2. Pemerintah agar mendesak Pemerintah Arab Saudi untuk memberikan izin kepada petugas haji Indonesia untuk membantu mengendalikan kegiatan jamaah haji Indonesia di lapangan dan izin memasang tanda/ petunjuk berbahasa Indonesia ditempat-tempat yang rawan kepadatan jamaah, rawan tersesat jalan, dan rawan terjadinya musibah. 3. Pemerintah agar melengkapi kebutuhan sarana dan prasarana perlindungan dan pengamanan jamaah haji Indonesia meliputi bravo, pakaian seragam petugas yang mencolok, alat GPS yang dilengkapi “Chips” yang kuat dan melekat pada setiap jamaah sebagai pengganti gelang jamaah yang mudah lepas serta fasilitas posko sektor khusus dan pos mobile (Timsus). 4. Ditjen PHU dan PPIH Arab Saudi dalam menyusun organisasi Daker Makkah dan Madinah agar membentuk Timsus Penanganan Jamaah Tersesat jalan secara terintegrasi yang dikendalikan oleh Kasi Linjam Daker. 5. Pemerintah agar merekrut tenaga mukimin dan sekuriti asrama haji yang fisiknya prima untuk memperkuat petugas lapangan seperti pengawas transportasi dan petugas pos linjam di tiap Daker/Sektor 6. Pemerintah agar membayar asuransi jamaah yang meninggal dunia sesuai ketentuan dan korban crane, serta mengurus santunan dari Pemerintah Arab Saudi, baik yang luka-luka maupun wafat akibat musibah crane.
IX-37
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Saran Tindak Lanjut Untuk merealisasikan rekomendasi tersebut di atas, berikut ini disampaikan saran tindak lanjutnya sebagai berikut: 1. Pencegahan terhadap jamaah tersesat jalan dan ghaib serta menghadapi keadaan darurat. Strategi pencegahan jamaah tersesat jalan dan ghaib/hilang serta keadaan darurat yang perlu mendapatkan prioritas perbaikan ke depan secara sungguh-sungguh, sebagai berikut: a. Pemerintah cq. Ditjen PHU Kemenag RI agar merestrukturisasi PPIH Arab Saudi yang lebih mengedepankan pelayanan lapangan dengan mencukupi kebutuhan petugas dari unsur TNI dan Polri secara proporsional, sesuai kompetensi yang dibutuhkan dilapangan. Secara struktural dibutuhkan penambahan jabatan yang diisi unsur TNI/Polri sebagai berikut: 1) Dalam struktur organisasi PPIH (KUHI), Daker dan Sektor agar ditambah jabatan KASOPS (Kepala Staf Operasional) yang bertugas membantu Ketua PPIH/KaDaker/KaSektor untuk mengendalikan operasional sehari-hari yang terkait langsung dengan kegiatan jamaah haji. 2) Dalam struktur organisasi Daker Makkah dan Madinah (Satgas Muzalifah dan Mina) agar dibentuk Tim Pencari Jamaah Tersesat (yang ada hanya Tim Pengantar Jamaah Tersesat di Mina) yang bertugas untuk memonitor, mencari, menyelamatkan, dan mengantarkan ke sektor/maktabnya terhadap jamaah yang tersesat jalan, ghaib dan kecelakaan. Tim ini gabungan unsur TNI/Polri, Kesehatan dan Mukimin. Berdasarkan analisis kebutuhan operasional minimal dibutuhkan 109 orang dari TNI/Polri sebagaimana komposisi dan kualifikasi yang dibutuhkan dalam tabel di bawah ini (tabel IX-8). b. Pemerintah cq Kemenag RI dan Kepala Daerah agar meningkatkan kemampuan semua petugas kloter dengan cara: 1) Rekruitmen TPHI dan TPIHI agar tidak dibatasi hanya PNS Kemenag, tetapi harus didasarkan pada kompetensi, kepemimpinan, kedisiplinan dan kondisi fisik yang prima. 2) Dalam pembekalan petugas kloter di daerah harus ditambahkan materi tentang tugas dan fungsi kloter dalam perlindungan dan pengamanan jamaah haji di Arab Saudi agar petugas kloter lebih disiplin dan bertanggung jawab atas perlindungan dan pengamanan jamaah haji di kloternya.
IX-38
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
3) Keberadaan lima orang petugas kloter ditambah TPHD ketika di Arab Saudi harus ada yang melekat dengan tiap rombongan di kloternya apabila mereka melakukan aktifitas di luar pemondokan dan perkemahan. Tugasnya untuk memback up karom dan karu dalam mengendalikan jamaah ketika beribadah di Al-Haram saat awal kedatangan di Makkah atau Madinah dan pada saat prosesi Armina. 4) Ketua Kloter/TPHI dari tiap kabupaten/kota salah satunya perlu diisi unsur TNI/Polri yang santri untuk mendinamisir kloter. Sebaiknya, salah seorang TPHD tiap kloter diisi unsur TNI/Polri/Pramuka dari daerah yang berkemampuan mengidentifikasi karakteristik jamaah, fisiknya prima, dan kepemimpinannya menonjol dalam mengendalikan pergerakan jamaah sejak dari Tanah Air hingga Tanah Suci. c. Ditjen PHU dan PPIH Arab Saudi agar memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap perlindungan dan pengamanan jamaah dalam beraktifitas, dengan menggelar pos mobil dengan menempatkan petugas dari TNI/POLRI sebagai koordinator dibantu petugas yang direkrut dari tenaga sekuriti asrama haji dan mukimin untuk ditugaskan baik di persimpangan jalan sekitar pondokan tiap sektor, maupun jalan-jalan sekitar masjid yang rawan kriminal dan rawan lalu lintas serta mudah menyesatkan jamaah. Demikian pula jalur-jalur jalan yang sangat banyak dan membingungkan di sekitar Mina hingga Jamarat yang mudah menyesatkan jamaah dan sewaktu-waktu bisa timbul terjadinya musibah harus dipatroli secara rutin tiap 15 menit pada saat prosesi mabit dan melontar jumrah hingga tawaf ifadah. d. Ditjen PHU dan PPIH Arab Saudi agar membenahi manajemen kloter dan keterpaduan semua unsur dalam PPIH Arab Saudi dengan cara: 1) Mengefektifkan sistem pelaporan kloter tiap hari dan menegakkan disiplin kloter dalam menerapkan peraturan dan ketertiban yang harus dipatuhi kloter semenjak masuk asrama haji embarkasi, selama berada di Tanah Suci hingga kepulangan ke Tanah Air. 2) Meningkatkan peran petugas surveilan dan TETA bekerjasama dengan Tim Pencari Jamaah Tersesat tiap Daker/Satgas untuk mencari jamaah yang ghaib sejak jamaah tersebut 1x24 jam tidak diketahui posisinya sehingga dapat segera ditemukan. e. Ditjen PHU dan PPIH Arab Saudi agar memperkuat Sektor Khusus Masjidil Haram dan Mesjid Nabawi dengan menambah 2 kali jumlah
IX-39
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
petugas tahun 2015 dan melengkapi fasilitas yang dibutuhkan. Penguatan Sektor Khusus ini untuk dapat menangani dengan cepat jamaah yang kelelahan, sakit, kecelakaan, terjatuh dalam kepadatan jamaah, menjadi sasaran kriminalitas dan terpisah dari rombongan sehingga tersesat jalan. Unsur petugas yang harus terintegrasi dalam sektor khusus adalah unsur pengamanan, kesehatan, bimbingan ibadah, administrasi dan pengemudi mobil operasional sektor. f. Selain itu, perlu ditambah minimal seorang petugas dari unsur TNI/ Polri pada tiap Sektor di Daker Makkah dan Madinah, sehingga tiap Sektor minimal diawaki dua petugas Pam yang berfungsi sebagai simpul jaring pengamanan jamaah. 2. Pencegahan terhadap Tindak Kriminalitas dan Kecelakaan Strategi pencegahan tindak kriminalitas dan kecelakaan lalu lintas di sekitar pemondokan dan jalan-jalan yang padat jamaah haji pada waktu-waktu tertentu. Untuk itu, Pemerintah cq. Ditjen PHU dan PPIH Arab Saudi harus membuat strategi untuk mencegah tindak kriminalitas dan kecelakaan lalu lintas dengan cara : a. Menggelar patroli secara efektif oleh petugas sektor atau gabungan sektor di tempat dan waktu yang rawan terjadi tindak kriminalitas dan kecelakaan lalu lintas dengan koordinator petugas pengamanan sektor. b. Mengefektifkan peran petugas pengamanan dan transportasi di terminal- terminal dan halte sementara yang digunakan oleh Jamaah Haji Indonesia menunggu bus selama tinggal di pemondokan. c. Meningkatkan kedisiplinan dan kepedulian petugas kloter dalam mengendalikan jamaahnya ketika melaksanakan pergerakan di Arafah, Muzdalifah dan Mina selama prosesi Armina. d. Menunjuk seorang petugas sektor dari mukimin sebagai petugas pengendali hotel/pondokan, tiap pondokan/rumah ditunjuk seorang petugas. e. Meningkatkan kemampuan berbahasa Arab petugas perlindungan/ pengamanan jamaah di tiap daker/sektor untuk kerjasama dengan aparat keamanan (kepolisian) Arab Saudi setempat. f. Mensosialisasikan secara efektif kepada jamaah tentang “sadar keamanan diri“ melalui lisan maupun tulisan yang tegas dan mudah dimengerti, baik saat pembimbingan manasik di Tanah Air maupun selama di pemondokan di Tanah Suci.
IX-40
Perlindungan dan Pengamanan Jamaah
3. Pencegahan Terhadap Kerugian Jamaah secara Massal a. Strategi pencegahan kemungkinan terjadinya pelayanan buruk (wanprestasi) yang dilakukan pihak Arab Saudi, seperti transportasi jelek, fasilitas perkemahan tidak layak, pelayanan konsumsi tidak memenuhi syarat, pemondokan yang tidak sesuai dengan kontrak dan rute jalan/arah yang berubah fungsi dan sebagainya. 1) Meningkatkan peran petugas pelayanan umum dalam chek and re-check terhadap setiap pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya selama kegiatan pelayanan jamaah berlangsung. 2) Mengintensifkan sistem laporan cepat dan akurat terhadap setiap permasalahan yang timbul. 3) Menindaklanjuti segera laporan/informasi dari petugas perlindungan dan pengamanan terkait dengan perkembangan situasi lapangan yang mengandung kerawanan terhadap jamaah haji Indonesia. b. Strategi pencegahan kemungkinan terjadinya penipuan/ penelantaran rombongan jamaah yang dilakukan oleh oknum mukimin dan sindikat kejahatan terhadap jamaah. 1) Petugas sektor agar mem-filter dengan ketat terhadap oknum mukimin dan oknum Maktab yang menawarkan jasa pelayanan ziarah, dam, dan badal terhadap jamaah haji di sektornya. 2) Petugas pengamanan agar mewaspadai sindikat penipuan dan pemerasan terhadap rombongan jamaah yang bingung, akan mencium Hajar Aswad, akan menggunakan kendaraan umum dan keperluan lain yang bersifat kelompok/beberapa orang. c. Strategi pencegahan kemungkinan terjadinya musibah (accident). 1) Petugas perlindungan dan pengamanan harus membuat analisis terus menerus terhadap perkembangan situasi (alam dan kegiatan manusia) di semua area publik yang bisa menimbulkan kerawanan rawan dan menginformasikan kepada Sektor dan Daker untuk diteruskan kepada kloter-kloter agar waspada dan hati-hati. 2) PPIH membentuk Timsus Pemantauan Daerah yang berpotensi terjadi kerawanan bagi Jamaah Haji Indonesia dengan cara berpatroli rutin ke daerah tersebut dan sekitarnya. Timsus ini bisa berubah fungsi menjadi Timsus Penanganan Kedaruratan jika eskalasi kerawanan meningkat atau terjadi accident.
IX-41
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
3) PPIH menyiapkan alat perlengkapan dan dukungan logistik yang diperlukan dalam penanganan keadaan darurat sesuai prosedur yang berlaku. 4) Petugas Sektor dan Kloter agar mensosialisasikan semua aturan yang wajib dipatuhi oleh jamaah haji Indonesia dan meningkatkan kewaspadaan dengan selalu monitor perkembangan situasi disertai pengendalian terhadap jamaahnya. 5) Petugas Kloter harus selalu mengecek keutuhan dan keadaan jamaahnya dan mengendalikan sepenuhnya kloter pada situasi rawan seperti awal kedatangan prosesi Armina dan pada saat bepergian ke Masjidil Haram/Nabawi, serta pada kondisi dan situasi kedaruratan. 6) PPIH Arab Saudi di Kemenag RI agar mengurus dan menyalurkan hak-hak jamaah yang menjadi korban accident sesuai ketentuan yang berlaku. Khusus untuk korban musibah crane di Masjidil Haram agar diurus dan disalurkan santunan uang dari Pemerintah Arab Saudi kepada korban luka-luka dan meninggal dunia dengan nilai dam tertinggi 1.000.000 SAR.
IX-42
11
10
9
8
7
6
5
4
KASOPS SATGAS ARAFAH/
MUZDALIFAH/MINA
KATIMSUS SATGAS ARAFAH/
KASOPS DAKER BANDARA/
MEKAH/MADINAH
KASI LINPAM DAKER BANDARA/
KOORMAKTAB SATGAS ARAFAH/
MUZDALIFAH/MINA
WAKAPOS/KORPUS SATGAS
ARAFAH/MUZDALIFAH/MINA
KASOPS SEKTOR SEKTOR
MADINAH
PELAKSANA LINPAM SEKTOR
SEKTOR DAKER BANDARA/
MEKAH/MADINAH
TIMSUS MINAJADIDJAMARAT
KHUSUS ALHARAM/NABAWI
SERSAN/ BRIGADIR
KAPTEN CKM
KAPTEN/AKP
MAYOR/KOMPOL
LETKOL/AKBP
LETKOL/AKBP
(20+18)
38
(2X4)
8
(2X17)
34
17
2
3
3
1
1
MULTIFUNGSI
BIDKESEHATAN MILITER
MULTIFUNGSI
BID OPS/INTEL/ BINTAL
BID OPS/INTEL/ BINTAL
BID OPS/INTEL/ BINTAL
SUSKA MULTI
SUSKESLAP
SUSPAMULTI
SELAPA
SELAPA
SELAPA
SELAPA
SELAPA
BID OPS/INTEL/ BINTAL
BID OPS/INTEL/ BINTAL
SELAPA
SESKO/ SESPIM
SUSISMEN STRA/
SESKO/ SESPIM
SUSISMEN STRA
DIK KARIR
BID KOMLEK/OPS
BID OPS/INTEL/
MANAJER STRATEGIS
MANAJER STRATEGIS
KEAHLIAN
1X
2X
2X
2X
1X
1X
2X
2X
TUGAS HAJI
PASUKAN
STAFKES
STAF/ PASUKAN
STAF
DAN/KA/
STAF
DAN/KA/
STAF
DAN/KA/
STAF
DAN/KA/
STAF
STAF
DAN/KA
TSANAWIYAH
SETARA
TSANAWIYAH
SETARA S1
ALIYAH
SETARA S1
SETARA S1
SETARA S1
SETARA S1
SETARA S1
SETARA S1
SETARA S1
SETARA S1
SETARA S1
AGAMA
JABATAN
DAN/KA
PENGETAHUAN
PENGALAMAN
JUMLAH SELURUHNYA 109 ORANG (2 KOLONEL +9 LETKOL + 18 MAYOR + 42 KAPTEN + 38 SERSAN)
ANGGOTA TIMSUS ALHARAM/
TIMSUS MINAJADIDJAMARAT
PELAKSANA LINPAM SEKTOR
NABAWI
SEKTOR KHUSUS ALHARAM/
PELAKSANA KESLAP
KESLAP TIMSUS ALHARAM&
MUNAJADID-JAMARAT
NABAWI DAKER
DAKER BANDARA/MEKAH/
KATIMSUS ALHAROM/ KATIMSUS
KASEKTOR KHUSUS ALHAROM/
MEKAH/MADINAH
MUZDALIFAH/MINA
MAYOR/KOMPOL
KASI LINPAM SATOPS ARMINA
KASI LINPAM JAMAAH PPIIH
LETKOL/AKBP
LETKOL/AKBP
KASOPS PPIH
1
1
KOLONEL (SENIOR)
KOLONEL/ KOMBES (YUNIOR)
JUMLAH
PANGKAT
KASI SISLAP SATOPS ARMINA
KASI SWLAP
WAKASATOPS BID LINPAM
KABID PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN HAMAAH PPIH
2
3
KASATOPS ARMINA
KASOPS PPIH
SELAMA ARMINA
POSISI JABATAN DALAM PPIH
PRA+PASCA ARMINA
1
NO.
Tabel IX-8. Daftar Kebutuhan Petugas dari Unsur TNI/POLRI PPIH Arab Saudi
SEKALI
BAIK
BAIK
SEKALI
BAIK
BAIK
BAIK
BAIK
BAIK
BAIK
BAIK
BAIK
BAIK
JASMANI
SAMAPTA
BAB X
Kawasan hotel jamaah haji khusus dekat Masjidil Haram
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI KHUSUS
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
A. TEMUAN PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI KHUSUS
Selama tiga tahun sejak 2013, Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) telah memantau dan mengawasi perkembangan haji khusus, khususnya dalam penyelenggaraan haji di Tanah Suci. Haji khusus perlu mendapatkan perhatian karena termasuk jamaah haji Indonesia yang porsinya hampir 10 persen dari jamaah haji reguler. Pelayanan haji khusus dilakukan oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK). Karena itu, perlu dicermati sejauh mana efektifitas kebijakan Kementerian Agama, seperti Standar Pelayanan Minimum (SPM), diterapkan di lapangan. Keberadaan PIHK diatur oleh beberapa peraturan, mulai dari UndangUndang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Agama (PMA), hingga Keputusan Direktur Jenderal Haji dan Umrah (Kepdirjen PHU), di antaranya: • UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) • PP Nomor 79 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU PIH. • PMA Nomor 22 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) PIHK. • PMA Nomor 15 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. • Kepdirjen PHU Nomor D/250/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dan Pengurusan Dokumen Haji Khusus Tahun 1435H/2014 M. KPHI telah memberikan rekomendasi pada 2014 menyangkut pelayanan PIHK, di antaranya: 1. Pengelolaan sisa kuota dengan baik, 2. Perbaikan SPM haji khusus sesuai dengan kondisi sekarang, 3. Pengaturan haji nonkuota, 4. Pengendalian PIHK yang lebih baik, 5. Sanksi yang jelas serta akreditasi PIHK. Namun, rekomendasi KPHI belum berjalan sepenuhnya. Untuk itu, perlu ada peninjauan secara menyeluruh kebijakan dan peraturan PIHK dengan melibatkan pemangku kepentingan. 1. Perkembangan Haji Khusus a. Regulasi ulang Beberapa peraturan haji khusus tidak konsisten. UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) Pasal 38 hingga 42 telah mengatur PIHK. 1) Muncul wacana haji khusus ditujukan bagi jamaah haji dengan ‘kondisi khusus’, seperti cacat atau sakit tertentu yang perlu
X-2
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
mendapat perhatian khusus. Padahal disebut “khusus”, sesuai Pasal 38 (1) dan (2) UU PIH, PIHK ditujukan bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan khusus dengan pengelolaan dan pembiayaan bersifat khusus yang dijalankan oleh PIHK yang telah mendapat izin dari Menteri Agama. 2) Pasal 2 UU PIH menyebutkan: ”Penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba”. Dalam bagian penjelasan disebutkan ”asas keadilan berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak,...”. Sementara ”prinsip nirlaba itu tidak mencari keuntungan.” 3) UU PIH menyebutkan beberapa pasal yang mengatur haji reguler (Pasal 21-37) dan secara spesifik mengatur PIHK (Pasal 38-42). Selanjutnya, PP Nomor 79 Tahun 2012 Pasal 3 menyebutkan dengan jelas ”Penyelenggaraan ibadah haji terdiri atas: a. Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler dan b. Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.” Karena itu, penyelenggaraan ibadah haji reguler tidak bisa disamakan dengan penyelenggaraan ibadah haji khusus karena azas ”keadilan”. Sementara prinsip nirlaba hanya berlaku bagi haji reguler yang dikelola pemerintah, tapi tidak berlaku bagi haji khusus yang dikelola swasta (profit oriented). 4) Keberadaan jamaah haji khusus tidak dapat dihilangkan, kecuali dengan regulasi ulang. Apalagi, keberadaan jamaah haji khusus beserta travel penyelenggaranya juga terdapat di negara lain serta diakui oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Kementerian Haji Kerajaan Arab Saudi membuat peraturan khusus menyangkut perusahaan penyelenggara ibadah haji, baik perusahaan dan agen pariwisata atau yayasan dalam “Peraturan Urusan Haji” (at-Ta’limat al-Munadhdhomah Li Syuünil Hajj) tahun 2015. b. Kuota Jamaah Kuota jamaah haji khusus tidak terpakai semakin meningkat. Kuota jamaah haji khusus pada 2015 sebanyak 13.600 seperti tahun sebelumnya. Dari kuota 13.600, barcode sebanyak 13.216 untuk jamaah dan petugas. Barcode yang tidak terpakai sebanyak 384 pada tahun ini, lebih besar dari tahun 2014 sebanyak 182 barcode. Dari penelusuran data dan laporan dari petugas pengendalian PIHK, KPHI melihat ada kebijakan dan tahapan yang menyebabkan sisa kuota jamaah haji khusus: 1) Dari permohonan barcode 13.216, PIHK yang mengajukan visa sebanyak 13.141 dan 75 sisanya tidak mengajukan visa. Visa haji khusus yang terbit 13.135 dan enam tidak keluar visa. Dua puluh
X-3
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
orang yang mengantungi visa batal berangkat. Tiga visa jamaah Intan Kencana Travelindo yang bermasalah akhirnya bisa keluar. 2) Menjelang keberangkatan, barcode yang sudah dimiliki PIHK tidak semua terisi karena ada jamaah yang mengundurkan diri sebelum berangkat. Jamaah beralasan belum siap, sakit, dan wafat. Sebagian lagi karena ada jamaah yang belum melunasi. Beberapa PIHK tidak dapat menginformasikan langsung ke jamaah karena sebagian jamaah haji khusus berasal dari ‘pengepul’ jamaah dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH). 3) Berdasar catatan petugas pengendali PIHK di Madinah dan Jeddah, jamaah dan petugas haji khusus yang berangkat dan tiba di Tanah Suci sebanyak 13.115. Kebanyakan jamaah haji khusus mendarat di Jeddah (9.971 jamaah) dan selebihnya di Madinah (3.144 jamaah). 4) Jamaah haji khusus yang berangkat dan tiba di Tanah Suci pada 2015 (13.115 jamaah) lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 2014 sebanyak 13.308 jamaah. Sisa kuota jamaah haji khusus yang tidak terpakai pada 2015 sangat disayangkan dan seperti mubazir. Sebagai perbandingan, sisa kuota jamaah haji reguler pada 2015 tersisa 746 jamaah dari kuota 155.200 jamaah. Sementara di sisi lain, antrean jamaah haji khusus sudah mencapai tujuh tahun. Tabel X-1. Kuota Haji Khusus Tahun 2015 Kuota Haji Khusus
2014
2015
Kuota • Jamaah • Petugas
13.600 12.899 701
13.600 12.899 701
Barcode • jamaah dan petugas • barcode tidak terpakai
13.418 182
13.216 384
Jamaah • yang datang • tidak datang
13.308 282
13.115 101
464
485
Tidak datang + barcode tidak terpakai
Sumber: PPIH 2015, diolah
5) Banyaknya jamaah haji khusus yang gagal berangkat dapat dirunut dari proses penetapan kuota haji hingga pendaftaran atau pelunasan calon jamaaah haji (CJH) khusus. Ketentuan pelunasan haji khusus mengacu pada: • KMA Nomor 32 Tahun 2015 tentang Penetapan Kuota Haji Tahun 1436H/2015M.
X-4
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
• Kepdirjen PHU Nomor D/114/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dan Pengurusan Dokumen Haji Khusus Tahun 1436H/2015M. • Kepdirjen PHU Nomor D/272/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1436H/2015M. • Kepdirjen PHU Nomor D/408/2015 tentang Pemenuhan Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1436H/2015M. 6) Meskipun ada kebijakan pengaturan kuota haji khusus, kuota jamaah haji khusus masih tersisa setelah melalui berbagai tahapan: a) Saat terakhir pelunasan pada 3 Juli 2015 sisa kuota jemaah haji khusus sebanyak 151. Namun, update data hingga 29 Juli 2015 sisa kuota sebanyak 712 karena sebagian jamaah mengundurkan diri atau batal dan menunda keberangkatannya. b) Untuk mengisi sisa kuota, dilakukan penggabungan mahram, anak orang tua yang terdaftar hingga 31 Desember 2013, serta penyelesaian kasus-kasus jamaah yang dizalimi PIHK. Dari laporan dari CJH Khusus, setidaknya ada 23 PIHK yang telah menzalimi CJH khusus terkait dengan proses pendaftaran dan pelunasan untuk sejumlah 191 CJH. c) Pengisian sisa kuota haji khusus dikoordinir melalui Asosiasi PIHK dan diperuntukkan bagi calon jemaah yang sudah setor awal hingga akhir Desember 2013. Namun, hingga Agustus 2015 kuota jamaah haji khusus masih tersisa hingga barcode tidak terpakai 384. Dalam waktu singkat, PIHK juga tidak bisa menambah jamaahnya karena telah menyelesaikan kontrak di Arab Saudi pasca-Idul Fitri 2015. d) Beberapa asosiasi PIHK merasa kebijakan pemanfaatan sisa kuota oleh Kemenag kaku, sehingga masih banyak kuota haji khusus yang tidak terpakai. Jika batas yang mendaftar hingga setahun sebelumnya, sisa kuota bisa digunakan. Tentu saja bagi PIHK yang memiliki kemampuan finansial untuk melakukan kontrak. Sisa kuota dapat berkurang seandainya ada pemberitahuan lebih awal dengan menginformasikan nomor masuk daftar tunggu pada tahun ini. Di sisi lain, pembayaran lunas oleh jamaah dapat mengurangi potensi PIHK menjaminkan nomor jamaah untuk mendapat pinjaman dari bank. e) Seiring pertambahan kuota 20.000 jamaah haji Indonesia pada 2016, perlu evaluasi kuota jamaah haji khusus secara proporsional. Namun agar kuota jamaah haji khusus terserap, syaratnya ada kebijakan dan penyetoran lebih dini.
X-5
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
c. Perkembangan PIHK Perkembangan dan persaingan PIHK yang tidak sehat. Setelah pencabutan moratorium pada 2011, jumlah PIHK terus bertambah dari 208 hingga mencapai 277 pada tahun ini. Namun, ada beberapa fenomena kurang sehat yang akan mengakibatkan tingginya arus keluar-masuk PIHK. Dampaknya, pembinaan terhadap PIHK yang baik tidak akan berkesinambungan. Tabel X-2. Pertumbuhan PIHK Tujuh Tahun Terakhir Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
J u m l a h PIHK
208
206
205
244
262
270
275
277
Sumber: Ditjen PHU, diolah
Dalam pengawasan di lapangan dan memperhatikan rencana perjalanan PIHK, KPHI menemukan praktek-praktek PIHK yang tidak sehat dan patut menjadi perhatian terhadap perkembangan PIHK pada tahun mendatang, di antaranya: 1) Penggabungan antar-PIHK. Ada PIHK yang telah berpengalaman dalam penyelenggaraan haji khusus, tapi kekurangan jamaah. Sebaliknya, ada travel yang jago mencari jamaah, meskipun manajemen dan pengalaman masih minim. 2) Peminjaman bendera. Tavel non-PIHK atau KBIH dengan banyak jamaah meminjam bendera PIHK yang telah terdaftar di Kemenag. Selain itu, PIHK tidak ingin terdegradasi dari PIHK terdaftar di Kemenag. Sesuai PMA 15 Tahun 2012 Pasal 6, izin PIHK berlaku untuk jangka tiga tahun dan perpanjangan berlaku jika telah memberangkatkan jamaah haji khusus minimal 135 orang selama tiga tahun atau berarti mengirimkan 45 orang per tahun. 3) Munculnya PIHK baru. Pada tahun mendatang pemain baru PIHK bermunculan seiring dengan tingginya animo jamaah Indonesia yang menunaikan ibadah umrah karena lamanya daftar tunggu jamaah haji. Sesuai PMA 15 Tahun 2012 Pasal 2, Menteri Agama menetapkan izin PIHK yang telah menyelenggarakan perjalanan umrah minimal tiga tahun dengan jumlah jamaah paling sedikit 300 orang. 4) Sanksi bagi PIHK yang melakukan pelanggaran belum tegas dan lebih banyak berupa sanksi administratif berupa teguran peringatan tertulis. Padahal, sesuai PP Nomor 79 Tahun 2012, sanksi juga berupa pembekuan izin hingga pencabutan izin.
X-6
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
d. Kategori PIHK Banyak PIHK membawa sedikit jamaah. Berdasar data barcode jamaah khusus tahun 2015 dan data perjalanan PIHK, KPHI menemukan semakin banyak PIHK yang bergabung dalam konsorsium dengan membawa sedikit jamaah. 1) PIHK membawa sedikit jamaah. Pada 2015 total ada 271 PIHK yang memberangkatkan jamaah haji, terdiri atas 138 PIHK pimpinan (10.990 jamaah) dan 133 PIHK anggota yang melimpahkan jamaah (2.226 jamaah). Jumlah PIHK pada 2015 sedikit lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2013 (203 PIHK) dan tahun 2014 (246 PIHK). Tabel X-3. Penyelenggara PIHK 2013-2015 PIHK konsorsium
2013
2014
2015
PIHK
Jamaah
PIHK
Jamaah
PIHK
Jamaah
PIHK pimpinan
138
11.346
139
11.189
138
10.990
PIHK anggota
65
2.208
97
2.229
137
2.226
Jumlah
203
13.554
246
13.418
275
13.216
Sumber: PPIH 2015, diolah
2) Dari 13.216 barcode, 138 PIHK memiliki jamaah di bawah 45 (63 PIHK memiliki jamaah di bawah 10 dan 85 PIHK memiliki 10 hingga 44 jamaah). Bahkan, 18 PIHK di antaranya hanya memiliki satu jamaah. Namun dari kategori jumlah jamaah, yang terbanyak adalah yang membawa 46 hingga 90 jamaah (78 PIHK). Tabel X-4. Jumlah Jamaah Haji Khusus* Jumlah jamaah
PIHK
1-45
148
46-90
78
91-135
20
136-180
11
Di atas 180 11 *berdasar barcode Sumber: PHU, 2015, diolah
3) Sebaliknya, ada 12 PIHK yang memiliki jamaah di atas 180 dan tujuh di antaranya memiliki jamaah di atas 200 (tiga PIHK merupakan PIHK konsorsium). Setelah dikurangi dengan barcode petugas,
X-7
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
jumlah jamaah yang dibawa oleh PIHK yang membawa rombongan jamaah besar masih sesuai ketentuan (maksimal 225), kecuali Blang Ponte Tours yang memiliki 235 jamaah dan petugas. Dari barcode yang ada untuk jamaah dan petugas, sayangnya tidak jelas jumlah barcode untuk jamaah dan petugas. Tabel X-5. PIHK Memiliki Lebih dari 180 Jamaah No.
Nama PIHK
Jumlah barcode
1
Blang Ponte Tours*
235
2
Nur Rima Al Waali*
223
3
Shafira Lintas Semesta
223
4
Ebad Alrahman Wisata*
221
5
Rihlah Alatas Wisata*
213
6
Noor Abika Tours*
202
7
Ananda Nurul Haramain*
202
8
Annaba International
191
9
Lintas Ziarah Sahara
186
10
Arminareksa Perdana
184
11
Resi Manunggal Lestari
184
12
Tauba Zakka Atkia
183
Jumlah
2.081 * PIHK gabungan Sumber: PPIH 2015, diolah
Beberapa PIHK yang membawa jamaah besar berasal dari daerah (kantor utama di luar Jakarta). Ebad Alrahman Wisata dari Sidoarjo (Jawa Timur), Noor Abika dari Bandung (Jawa Barat), Shafira Lintas Semesta dari Surabaya (Jawa Timur), Arrehlah Wisata dari Samarinda (Kalimantan Timur), dan Rihlah Alatas Wisata dari Tangerang (Jawa Barat). PIHK yang juga banyak membawa jamaah adalah PIHK yang merekrut jamaah dengan model semacam sistem multi level marketing (MLM), seperti Arminareksa dengan beberapa bendera. 2. Standar Pelayanan Minimal Masih banyak PIHK yang tidak mematuhi ketentuan Standar Pelayanan Minimal (SPM) PIHK. KPHI melihat PMA Nomor 22 Tahun 2011 yang mengatur SPM PIHK sudah saatnya direvisi karena kebijakan yang tidak lagi sesuai dengan kondisi di lapangan pada saat ini
X-8
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
a. PIHK Gabungan Beberapa PIHK tidak mematuhi aturan PIHK gabungan. Berdasar SPM PIHK dan Kepdirjen Nomor D/250/2014, PIHK yang memiliki jamaah kurang dari 45 jamaah diwajibkan melakukan penggabungan pada PIHK lain, sehingga jumlah minimal 45 jamaah. PIHK yang bertindak sebagai penerima penggabungan adalah PIHK yang memiliki jumlah jamaah haji lebih banyak dari PIHK yang akan bergabung. Sementara PIHK memperoleh jamaah haji yang masuk kuota tahun berjalan lebih dari 225 jamaah (sebelumnya dalam SPM maksimal 200), PIHK wajib melimpahkan kelebihan jamaahnya kepada PIHK lain paling lambat tiga hari sebelum tanggal dimulainya pelunasan. Dari 138 PIHK yang memiliki bendera, ada 63 PIHK yang menggunakan bendera sendiri dan 75 merupakan konsorsium. 1) PIHK dengan jumlah jamaah di atas 45 dapat memberangkatkan jamaah haji dengan bendera sendiri. Ada PIHK dengan jamaah di atas 45 menerima limpahan jamaah dari PIHK lain yang memiliki jamaah sedikit. Namun, ada enam PIHK dengan jumlah jamaah di atas 45 yang memilih bergabung dengan PIHK lainnya. Pilihan bergabung dengan konsorsium menyangkut kesiapan PIHK, efisiensi petugas, dan biaya operasional. Tabel X-6. PIHK Gabungan dengan Jumlah Masing-Masing di Atas 45 Jamaah No.
PIHK Pimpinan Konsorsium
Jumlah barcode
PIHK Anggota Konsorsium
Jumlah barcode
Total rekom
1
Raudhah Amani Wisata
115
Marwah Sari Utama
54
169
2
Menan Ekspresindo
87
Kaisa Rosie (+ 2 PIHK)
60
157
3
Al Ahram Sarana Wisata
59
Surya Sekawan Nusa
73
132
55
119
4
Tisaga Multazam Utama
62
Wisata Rahman Semesta (+1 PIHK)
5
Diyo Siba
50
Al Khalid Jaya Megah (+1 PIHK)
46
122
6
Ebad Al Rahman Semesta
168
Dian Saltra perdana
53
221
Sumber: PPIH 2015, diolah
2) Sesuai dengan daftar barcode yang dikeluarkan Ditjen PHU Kemenag, empat PIHK dengan jumlah jamaah di atas 45 yang menjalin konsorsium tidak sesuai dengan peraturan. PIHK yang memiliki jamaah semestinya menjadi pimpinan konsorsium dan bukan menjadi anggota konsorsium. Karena itu, dalam SPM, perlu peraturan menambahkan pimpinan konsorsium yang lebih berpengalaman.
X-9
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Tabel X-7. Penggabungan PIHK Jamaah Lebih Sedikit Jadi Pimpinan PIHK Pimpinan Bhuana Etam Lestari
Jamaah 35
PIHK Anggota Patih Indo Permai
Jamaah 49
Al Ahram Sarana Wisata
59
Surya Sekawan Nusa
73
Idah Roes
21
Al Amsor Mubarokah Wisata
79
12
Kamilah Wisata Muslim
47
Nadwa Mulia Utama
Sumber: PPIH 2015, diolah
3) Ada enam PIHK yang konsorsiumnya terdiri atas lima hingga sembilan PIHK. Karena jumlah jamaahnya sedikit, PIHK menitipkan jamaahnya ke PIHK lainnya. Alhamdi Global Lestari (48 jamaah) menampung sembilan PIHK, dua di antaranya hanya memiliki satu hingga dua jamaah. Sementara Muna Bina Insani bertindak sebagai pimpinan konsorsium (57 jamaah) dengan tujuh anggota konsorsium (47 jamaah). Tabel X-8. Penggabungan Banyak PIHK Jamaah Pimpinan
PIHK Anggota
Jamaah Anggota
Jamaah Gabungan
Alhamdi Global Wisata
48
9
56
104
Muna Bina Insani
54
7
47
101
Avianca Muliautama
46
5
71
117
Masyaril Haram
78
5
18
96
Neekoi Nuansa Wisata
34
4
32
66
25
140
PIHK Pimpinan
Gamal Hikmah Pusaka
115 4 Sumber: PPIH 2015, diolah
4) Penggabungan antar-PIHK kerap menimbulkan ketidaknyamanan jamaah karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Meskipun biasanya penggabungan melibatkan PIHK di bawah satu asosiasi, sebagian jamaah merasa tidak nyaman dengan lingkungan baru. Saat ini, ada empat asosiasi PIHK: Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji Indonesia (HIMPUH), Asosiasi Muslim Penyelenggara Ibadah Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), Asosiasi Penyelenggara Haji Umrah dan In-bound Indonesia (Asphurindo), dan Kesatuan Tour Travel Haji dan Umrah Republik Indonesia (Kesturi). 5) Pemindahan jamaah dari satu PIHK ke PIHK lebih karena ketentuan penggabungan minimal jumlah. Penggabungan bukan karena antar-PIHK memiliki program yang sama. Misalnya: Gaido Azza Darussalam Indonesia sebagai pimpinan konsorsium (71 jamaah) menjual paket program seharga AS$10.250 selama 25 hari. Sementara Cordova Abila Travel sebagai anggota konsorsium (25 jamaah) memiliki program sendiri seharga AS$22.000 selama
X-10
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
15 hari. Masing-masing PIHK ini memiliki fasilitas dan program berbeda, tapi berjalan dengan baik. 6) PIHK menitipkan sebagian jamaahnya ke PIHK yang memiliki program sama. Misalnya, Thayiba Tora yang memberangkatkan 66 jamaah dengan bendera sendiri menitipkan lima jamaahnya ke Muna Bina Insani sebagai pimpinan konsorsium (66 jamaah). Andalus Nusantara sebagai pimpinan konsorsium (66 jamaah) menitipkan seorang jamaahnya ke Gamal Hikmah Pusaka sebagai pimpinan konsorsium (115 jamaah). Noor Abika Tours sebagai pimpinan konsorsium (198 jamaah) menitipkan tiga jamaahnya ke Tima Amanah Prima Wisata (48 jamaah). b. Harga Program Harga program haji khusus minimal sudah tidak sesuai kondisi pasar. Berdasarkan KMA Nomor 34 Tahun 2015, besaran biaya haji khusus tahun 2015 minimal AS$8.000, termasuk AS$291 untuk pembayaran General Service Fee USD 277 dan biaya jaminan sewa pemondokan USD 14. 1) Ada 13 PIHK yang menawarkan program sesuai ketentuan harga minimum AS$8.000. Misalnya: Aida Toiurindo Wisata, Al Amin Mulia Lestari, Arrehlah Wisata Travel, Femmy Tours and Travel, Gadika Expressindo Tours, dan Margi Suci Minarfa. 2) Dalam harga program AS$8.000 itu, PIHK menyisihkan untuk pengepul dan biaya-biaya lain. Karena itu, PIHK memberikan pelayanan (hotel, transport, konsumsi) dengan standar pelayanan minimal yang ada. 3) Harga dan paket program PIHK belum ada standar. Perbedaan harga, khususnya dipengaruhi oleh pilihan hotel transportasi (udara dan darat), konsumsi, termasuk paket di Armina. PIHK paling banyak menawarkan harga di atas AS$9.000. 4) Meskipun jumlahnya sedikit, tiga PIHK menawarkan paket program dengan harga premium di atas AS$20.000, yaitu Makassar Toraja Tour & Travel atau Maktour (AS$24.500), Hikmah Perdana Tour (AS$23.000), Cordova Abila Travel (AS$22.500). Harga sedikit di bawah itu: Aril Buana Wisata dan Makassar Mandiri (AS$18.500), dan Patuna Mekar Jaya (AS$17.750). Jamaah haji khusus yang membayar lebih dari Rp 250 juta per jamaah ini mendapatkan layanan hotel bintang lima di Makkah selama puncak haji sekamar berdua. Harga paket program PIHK termahal di Indonesia masih di bawah Malaysia yang mencapai AS$55.000 atau Rp 770 juta.
X-11
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Gambar X-1: Hotel bagi jamaah haji khusus di sekitar Markaziyah Madinah
c. Bimbingan ibadah 1) Manasik ibadah Bimbingan manasik jamaah secara intensif. PIHK wajib memberikan bimbingan manasik dan perjalanan haji sebelum keberangkatan, selama di perjalanan, dan selama di Arab Saudi. Bimbingan manasik dan perjalanan haji sebelum keberangkatan diberikan paling sedikit lima kali pertemuan. a) PIHK umumnya melakukan manasik di Tanah Air kurang dari lima kali. PIHK melakukan pemadatan manasik di Tanah Air menjadi dua kali. Walaupun hanya dua kali, bimbingan manasik dilakukan secara intensif selama dua hari di hotel. b) Sebagian jamaah khusus berasal dari tempat tersebar yang jauh dan tidak sedikit yang dari luar Pulau Jawa (Kalimantan dan Sulawesi). Sebagian besar jamaah juga sudah pernah melakukan umrah, sehingga sudah memahami sebagian besar rukun haji dan kondisi di Tanah Suci. c) Selama di Tanah Suci, jamaah haji khusus mendapatkan manasik haji dan bimbingan ibadah hampir setiap hari. Bahkan, pengajian khusus dilakukan pada malam hari. d) Selain pembimbing ibadah dari Tanah Air, PIHK menyiapkan mukimin yang menjadi pembimbing ibadah sekaligus membantu jamaah selama perjalanan. Rombongan PIHK ini kerap berjalan bersama saat tawaf dan sa’i. e) Sebagian PIHK menggunakan alat bantu teknologi untuk memudahkan bimbingan jamaah. Bina Kreasi Pesona Selaras
X-12
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
membekali jamaahnya dengan peralatan yang dapat membantu jamaah yang tawaf bersama-sama dengan pembimbing tidak mengganggu jamaah lainnya. Saat pembimbing ibadah berceramah pun hanya didengar oleh jamaah yang menggunakan alat. Peralatan ini juga berguna agar jamaah tahu posisi, sehingga tidak tersesat jalan. 2) Ibadah di Tanah Suci Program ibadah yang berbeda. Jamaah haji khusus mendapat berbagai kemudahan saat menjalankan ibadah haji: a) Jamaah haji khusus tinggal dekat dengan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Namun, tidak semua jamaah haji khusus pergi ke Masjidil Haram. Beberapa jamaah yang tinggal di Hotel Hilton, Grand Zamzam, Dar al Tawhid salat di masjid atau selasar hotel karena suara masih imam masjid terdengar di hotel. b) Berbeda dengan haji reguler yang seperti mengharuskan untuk menjalankan program arbain (salat wajib 40 waktu tanpa putus), sebagian PIHK tidak mengadakan program arbain. Safari Suci pada 2014 mengadakan program arbain, tapi pada tahun ini tidak mengadakan program arbain karena kemauan dan kesepakatan dengan jamaah. Sementara jamaah Pinisi Wisata yang samasama tinggal di Hotel Movenpick Madinah memilih program arbain. Karena tinggal lebih lama, paket arbain lebih mahal dari nonarbain. c) Sebagian jamaah haji khusus memilih tarwiyah untuk mengikuti sunah Rasul dalam menunaikan ibadah haji. Pada 8 Zulhijah jamaah menginap dulu di Mina sebelum pergi ke Arafah pada hari esoknya (9 Zulhijah). Misalnya, Tourindo Travel memilih tarwiyah untuk pengkondisian jamaah agar lebih siap ketika berada di Arafah. Dari hotel transit, sebagian besar jamaah menggunakan bus untuk tarwiyah. Sayangnya, pada 2015 tidak ada laporan ke petugas pengendalian PIHK, berapa jumlah PIHK dan jamaahnya yang melakukan tarwiyah dan nontarwiyah seperti tahun sebelumnya. d) Dari Arafah, jamaah haji khusus menuju Muzdalifah untuk mengambil kerikil dan setelah pukul 24.00 langsung menuju Masjidil Haram untuk tawaf ifadah lalu kembali ke pemondokan. PIHK membawa jamaahnya dengan bus untuk melempar jumrah dan kembali lagi ke pemondokan. Namun, sebagian besar PIHK tinggal di perkemahan Mina yang dekat dengan jamarat. e) Jamaah haji khusus memilih melontar bukan waktu afdlaliyah, melainkan saat tengah malam ketika jamarat tidak ramai. Jamaah
X-13
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Cordova (25 orang) melontar jumrah pada tengah malam dengan dikawal 8 petugas dan dibekali batu untuk melontar. Setelah melontar, jamaah kembali ke hotel di Makkah. f) PIHK yang memilih program nafar lebih banyak dari dan nafar tsani (hingga 13 Zulhijah). Beberapa PIHK gabungan memilih program berbeda, sehingga dapat membingungkan jamaah. Jamaah yang memilih program nafar awal menunggu jamaah lain yang memilih program nafar tsani. Padahal, jamaah sudah memiliki program arbain pasca-Armina. d. Pelayanan Akomodasi 1) Akomodasi Makkah dan Transito Akomodasi di Makkah sesuai SPM minimal hotel berbintang 4, jarak paling jauh 500 meter dari Masjidil Haram, dan setiap kamar diisi paling banyak empat orang. Menjelang dan setelah wukuf, PIHK dapat memberikan akomodasi berupa apartemen transit di Makkah paling lama lima hari antara 3 hingga 15 Zulhijah, memiliki akses transportasi yang mudah ke Masjidil Haram, setiap kamar diisi paling banyak empat orang, dan kualitas akomodasi transit setara dengan hotel berbintang empat. a) Jamaah haji khusus umumnya tinggal di hotel-hotel yang dekat dengan Masjidil Haram di Makkah. Jamaah haji khusus yang membayar lebih mahal tinggal di hotel yang lokasinya dekat dengan Masjidil Haram, seperti Dar al Tauhid, Hilton, dan Movenpick. Beberapa PIHK menempatkan jamaah agak jauh dari Masjidil Haram karena batasan jarak paling jauh 500 meter itu diukur dari titik terluar, misalnya Hotel Ajyad Makkah, Elaf Kindah, Retaj, Royal Al Eiman, dan Al Jewar Orchid. b) Beberapa PIHK yang menjual program dengan harga AS$8.000 hingga AS$8.500 menempatkan jamaah di Pulman Grand Zamzam yang terletak di depan Masjidil Haram, meskipun sebentar (tiga hari). c) Untuk mensiasati mahalnya harga hotel di Makkah yang mahal mendekati puncak haji, sebagian PIHK memilih beberapa cara. Pertama, memberangkatkan jamaah hajinya mendekati puncak musim haji. Kedua, tinggal di hotel hanya sebentar di Makkah (dua-tiga hari) hanya untuk memenuhi persyaratan tinggal di hotel bintang empat Makkah. Kemudian, jamaah haji ditempatkan di sekitar MIna. d) Tahun ini dengan sistem e-hajj, PIHK tidak melakukan cara ’tiktok’, seperti tahun sebelumnya. Misalnya, dari Jeddah-MakkahMadinah-Makkah (hotel transito)-Jeddah atau Jeddah-Hotel
X-14
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
Transito (Makkah)-Madinah-Makkah-Jeddah. Tahun ini sebagian PIHK lebih banyak menginapkan jamaahnya di hotel transito. e) Harga hotel di Makkah dekat Masjidil Haram sangat mahal. Harga kamar Hotel Hilton misalnya, pada 4 hingga 14 Zulhijah mencapai SAR 56.000. Hanya PIHK yang menawarkan program paket di atas AS$20.000 yang menempatkan jamaahnya di Hotel Hiton atau setara. Karena itu, pada 4 hingga 14 Zulhijah PIHK menempatkan jamaaahnya di hotel transito. f) Sebagian hotel di transito memiliki kualitas yang tidak lebih baik dibandingkan dengan hotel jamaah haji reguler. Ada beberapa PIHK yang menempatkan jamaah haji khusus di hotel dekat dengan Jamarat (Jalan Syari Sidqi). Hotel di daerah ini ada yang sederhana dan jamaah tinggal di kamar berdesakan. PIHK beralasan bukan kenyamanan yang dicari, melainkan kenikmatan beribadah dekat dengan Mina. g) Beberapa PIHK menempatkan jamaahnya di lokasi yang jauh dari Masjidil Haram, seperti di Nuskha dan Khalidiyah. Hotel beberapa jamaah haji khusus di Nuskha terlihat jorok di lobi dan banyak lalat. Sementara PIHK yang menempatkan jamaahnya di hotel yang jauh dari Masjidil Haram, seperti Khalidiyah, beralasan agar jamaah lebih tenang dalam beribadah.
Gambar X-2: Dari hotel, jamaah haji khusus dapat menikmati suasana di Masjidil Haram
2) Akomodasi Madinah Ada akomodasi hotel di Madinah di bawah standar. Seperti di Makkah, SPM akomodasi di Madinah berupa hotel paling rendah berbintang empat, berjarak paling jauh 500 meter dari Masjid Nabawi (markaziah), dan setiap kamar diisi paling banyak empat orang.
X-15
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
a) Jamaah haji khusus relatif tidak mendapatkan masalah dalam pemondokan selama tinggal di Madinah. Jamaah tinggal di hotel-hotel berbintang empat yang lokasinya berdekatan dengan Masjid Nabawi. Setiap kamar rata-rata ditempati dua hingga empat jamaah bergantung harga paket program. b) Hotel bintang empat dan lima yang bagus dan banyak ditempati jamaah haji khusus, di antaranya Hilton, Movenpick, dan sekelas. Namun, beberapa jamaah haji khusus menempati hotel yang sekelas dengan jamaah haji reguler, seperti Taybah Al Majid, Fairuz Sattah, dan Al Rawdah Suite. Buana Etham Lestari menempatkan 49 jamaahnya di Fayrouz Satta, jaringan hotel (empat hotel) di markaziah Syimaliyah yang juga ditempati jamaah haji reguler Indonesia. Sementara Blang Ponte menempatkan hampir 180 jamaahnya di Al Rawda Royal Inn yang kelompok hotelnya sama dengan jamaah haji reguler. 3) Akomodasi Armina Sebagian akomodasi jamaah di Armina mirip jamaah haji reguler. Pelayanan jamaah haji khusus yang menjadi tanggung jawab muassasah menempati areal khusus. Di Armina, tempat dan pelayanan jamaah haji khusus dibedakan berdasarkan harga: 68 dan 72 (2.700 SAR), 111 dan 113 (3.700 SAR), 112 (7.500-19.000 SAR), 114 (3.250 SAR), 115 (3.050 SAR), 116 (3.000 SAR). Paket harga di Armina meningkat sekitar SAR 1.500 dibandingkan dengan tahun lalu. a) Akomodasi jamaah haji khusus di Masyair (Arafah dan Mina) menempati tenda ber-AC di wilayah untuk jamaah haji khusus. Sementara Maktab 68 dan 72 berada di wilayah sama dengan perkemahan jamaah haji reguler. Maktab 68 diisi oleh jamaah haji dari negara-negara Asia Tenggara (Vietnam, Kamboja, Thailand, Brunei, dan lain-lain). Lokasi Maktab 68 berhimpitan dengan jamaah haji reguler di maktab 69 yang dibatasi oleh seng. b) Jamaah dari haji khusus Maktab 68 yang datang di Arafah pada 9 Zulhijah pukul 09.00 tidak dapat langsung menempati tenda di Arafah. Jamaah haji khusus dari Hira Tour bersama Ujaz Tour dan Mida Tour (130 jamaah) dan Al Haramain Jaya (13 jamaah) menunggu di luar sambil menunggu penempatan di tenda karena tenda tidak ada nama PIHK seperti tahun sebelumnya. c) Kondisi tenda di Maktab 68 tidak jauh beda dengan tenda jamaah haji reguler. Bedanya, jamaah haji mendapat kasur tidur dan bantal. Seorang jamaah haji khusus Al Haramain Jaya dari
X-16
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
Jakarta mengeluhkan mesin pendingin (water cooler) di tendanya tidak berfungsi dengan baik. Ketika air sudah habis, hanya udara panas yang keluar. Jamaah tidak tahu cara mengisi air. Petugas yang baru datang pukul 15.00 WAS pun tidak bisa memperbaiki, sehingga udara di dalam tenda terasa panas. Apalagi, suhu udara di Arafah pada tahun ini mencapai lebih dari 50 derajat Celcius.
Gambar X-3: Ada jamaah haji khusus menempati Maktab 68.
d) Kondisi tenda di Maktab 72 Arafah tidak jauh beda dengan Maktab 68. Meskipun tendanya lebih baik dari jamaah haji reguler, jamaah haji khusus di Maktab 68 dan 72 yang mendapatkan kasur hanya mendapatkan fasilitas water cooler dan bukan AC. e) Tidak semua jamaah haji khusus merasakan fasilitas plus di Arafah. Menteri Agama yang juga pimpinan Amirul Hajj Indonesia saat mengunjungi Maktab 111 di Arafah terkejut dengan fasilitas maktab yang terbatas. Jamaah Maktab 111 mengeluhkan fasilitas tenda yang bermasalah. Tenda jamaah padat dan sebagian AC tidak berfungsi hingga jamaah merasa kepanasan. Toilet bersama untuk jamaah sebagian tidak berfungsi, sehingga terkesan jorok dan menimbulkan antrean jamaah di toilet. f) Jamaah haji khusus Maktab 111 kembali merasakan ketidaknyamanan saat menempati tenda di Mina. Meski berada di paling depan dan dekat dengan jamarat, jamaah berdesakan tinggal di tenda yang berkasur. Oleh muassasah, kapasitas 2.000 dipadatkan menjadi 2.500. • Beberapa PIHK merasa jatah kasurnya berkurang karena diambil yang lain.
X-17
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
• Tenda yang semula disiapkan untuk Hira Cahaya Illahi (74 jamaah) malah diarahkan untuk Menara Suci Sejahtera (80 jamaah). Sementara jamaah haji Hira dipindahkan ke lokasi yang lain. • Tenda untuk jamaah Patuna Mekar Jaya ditambah jamaah haji dari PIHK lain karena masih longgar. • Sebagian AC tidak berfungsi maksimal karena AC sudah lama tidak diservis, sehingga jamaah merasa kepanasan. g) PIHK dan asosiasi tidak dapat berbuat banyak menghadapi pelayanan dari muassasah (pengelola baru yang baru dibentuk sebelum musim haji). Pelayanan maktab pada tahun ini lebih jelek dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, meskipun sudah ada peningkatan harga. Posisi PIHK lemah terhadap muassasah karena kontrak dilakukan oleh asosiasi dengan muassasah. Berbeda dengan kontrak layanan jamaah haji reguler yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Dalam perjanjian kontrak, asosiasi sudah membayar sebelum klausul kontrak diterima. Akibatnya, asosiasi tidak dapat memprotes terhadap pelayanan yang di bawah standar. h) Di luar Maktab 111 dan maktab haji khusus yang berdekatan dengan areal haji reguler (68, 72, dan 75), pelayanan untuk haji khusus berjalan normal. Beberapa PIHK di Maktab 112 yang memiliki paket program di atas AS$20.000 memberikan layanan plus selama di Arafah dan Mina, seperti Makasar Touraja Tour (Maktour) dan Cordova Abila Travel. PIHK lain yang menempati Maktab 112, di antaranya Muna Tour, Annatama Purna Tour, Neekoi Nuansa Wisata, Dua Ribu Wisata. i) Tenda jamaah di Maktab 114 di Mina tidak terlalu padat. Namun menurut pengelola Tourindo Travel, kasur di Maktab 114 lebih tipis dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kendala yang juga dialami oleh jamaah khusus lainnya di Mina adalah parkir kendaraan yang jauh, sehingga jamaah berjalan agak jauh setelah melontar di Jamarat. j) Jamaah haji khusus yang sudah membayar mahal sudah selayaknya mendapatkan fasilitas yang baik selama di Armina. Meski standar harga pelayanan di Maktab 112 sebesar SAR 6.000, Cordova membayar SAR 30.000 kepada muassasah. Jamaah Cordova yang membayar paket program AS$22.000 menikmati fasilitas tenda dengan tempat tidur nyaman serta makanan, buah, dan minuman berlimpah. Mereka hanya bermalam sesaat hingga tengah malam di Mina karena tinggal di hotel Makkah.
X-18
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
Gambar X-4: Fasilitas tempat istirahat bagi jamaah haji khusus program premium di Mina
e. Pelayanan Transportasi 1) Transportasi Udara Sebagian PIHK tidak menggunakan penerbangan langsung ke Arab Saudi dengan satu pesawat. Sesuai dengan SPM, transportasi udara ke dan dari Arab Saudi menggunakan penerbangan langsung satu kali transit dengan maskapai yang sama (dibuktikan dengan dokumentasi perjalanan). PIHK memberangkatkan jamaah haji khusus dengan menggunakan penerbangan reguler. Karena tiket pesawat yang mahal dan terbatas pada musim haji, beberapa PIHK menyiasati penerbangan dengan mencari aneka maskapai dengan harga yang lebih murah. a) Maskapai penerbangan yang digunakan PIHK pada 2015: Garuda Indonesia (GA), Emirates Airline (EK), Ettihad Airways (EY), Kuwait Airways (KU), Saudia Arabia (SV), Turkish Airlines (TK), Flynas dan Nas Air (XY), Qatar Airways (QR), Oman Airlines (WY). Pesawat ini umumnya mendarat di Bandara KAAIA Jeddah, sedangkan yang dapat mendarat di Madinah pesawat GA, EK, dan SV. b) Beberapa penerbangan terbang langsung dari Jakarta ke Jeddah. Namun, kebanyakan penerbangan transit di kota negara asal maskapai (Kuwait, Dubai, Doha, Turki). Jamaah merasa lelah menempuh perjalanan yang lebih panjang dan lama dari waktu penerbangan langsung Jakarta-Jeddah (sembilan jam) karena transit sebelum ke Arab Saudi.
X-19
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
c) Satu PIHK dapat memberangkatkan jamaahnya dalam beberapa penerbangan. Misalnya, Arminareka Perdana dengan GA pada 11 September (82 jamaah), 12 September (6 jamaah), 13 September 2015 (75 jamaah). Sementara Blang Ponte Travel mendarat pada 2 September dengan EY (156 jamaah), 3 September dengan SV (24 jamaah), dan 13 September 2015 dengan SV (5 jamaah). d) PIHK yang pertama kali mendarat di Madinah pada 30 Agustus 2015 adalah Kamilah Wisata Muslim (93 jamaah) dengan GA. PIHK yang mendarat di Madinah pada saat terakhir tanggal 15 September 2015 adalah Muna Bina Insani (93 jamaah) dengan EK. Jumlah jamaah yang datang sesuai dengan jumlah barcode, termasuk PIHK yang membawa jamaah besar: Tauba Zakka Atkia (183 jamaah), Kafilah Maghfirah Semesta (173). Jamaah terakhir mendarat di Madinah pada 21 September 2015 e) Tujuh puluh lima jamaah haji khusus Sangkan Hurip Bersama yang pertama mendarat di Jeddah pada 3 September 2015 dengan pesawat GA. Jamaah haji khusus mulai banyak mendarat di Jeddah pada 14 September 2015. Jamaah PIHK mendarat terakhir di Jeddah pada 21 September 2015 adalah Shafira Lintas Semesta (100 jamaah), Oriana Cakrawala (72 jamaah), Cahaya Pilihan (71 jamaah). Pada 211 September 2015, enam PIHK terakhir berangkat dari Madinah menuju Makkah. f) Rombongan jamaah haji khusus mulai kembali ke Tanah Air pada 26 September 2015 ada tiga PIHK: Menan Express (89 jamaah), Asia Utama Wisata (75 jamaah), dan Tunas Rizki Semesta (4) yang transit di Turki melalui KAAIA Jeddah. Sementara melalui Bandara AMAA Madinah, PIHK yang pertama pulang pada 30 September 2015 adalah Citra Usaha Ceria Kafilah (70 jamaah). Kepulangan terakhir jamaah haji khusus pada 14 Oktober 2015, dari Jeddah (Tunas Rizki Semesta dan Intan Kencana Travelindo) dan Madinah (Masy’aril Haram Tour). 2) Transportasi darat Beberapa PIHK tidak mengontrak bus sendiri. Sesuai SPM, transportasi darat yang disediakan selama di Arab Saudi sesuai SPM menggunakan bus syarikah dan ber-AC diisi paling banyak 45 jamaah. Menurut Peraturan Urusan Haji Kementerian Haji Arab Saudi, penyelenggara (perusahaan dan agen pariwisata dan
X-20
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
yayasan) harus disiplin melakukan kontrak transportasi jamaah haji dengan Naqabah Aammah Lissayyarat antara kota-kota perhajian (Makkah, Madinah, Jeddah) dan Masyair Muqaddasah. a) Sebagian besar PIHK membuat kontrak pelayanan bus dengan perusahaan penyewaan bus untuk memberikan pelayanan yang baik kepada jamaah, meskipun hanya dipakai sebentar untuk perjalanan ke Makkah-Madinah atau sebaliknya, dan beberapa tempat ziarah. Armada bus yang disewa, di antaranya: Farouk Jameel Khoger, Al Ahmadi, Saptco, Tamimi, Al Maghribi, Dallah, Awad, Rawahel, United Saudi Co, Tamimi, Sya’lan, Abu Faisol, Makkah Transportasi, Qartay, dan Rabitat. Sewa bus tidak murah, misalnya Bina Kreasi Selaras menyewa satu bus Aziz Kooger selama musim haji SAR 67.000. b) Dari perencanaan program, ada 33 PIHK yang menggunakan bus yang disediakan Naqabah. Sebagian besar adalah PIHK yang menjual dengan harga program di bawah AS$ 9.000, seperti Aida Tourindo Wisata, Amanah Mulia Wisata, Barfo Sis Al Khairat, Femmy Tours and Travel, Gadika Expressindo Tour, Gamal Hikmah Pusaka, Linytas Ziarah Sahara, Margi, Suci Minarfa, Mumtaz, Sabila Mabrur, Safana Nabila Wisata, Tunas Rizki Semesta, Sahara Kafila Wisata. c) Sebagian PIHK menyewa bus saat di Armina, sebagian lagi menggunakan bus dari Naqabah. Bus sewaan itu mengangkut jamaah sesuai dengan tempat duduk. Namun, sebagian jamaah mengeluh pelayanan transportasi di Armina yang menggunakan sitem taraddudi (terus berputar). Beberapa jamaah haji khusus mengeluh menunggu lama bus jalan berangkat dari Makkah ke Madinah.
Gambar X-5: Deretan bus menunggu jamaah haji khusus yang melontar jumrah pada malam hari.
X-21
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
f. Pelayanan Konsumsi Layanan katering dengan prasmanan untuk jamaah haji khusus belum standar. Pasal 16 PMA Nomor 11 Tahun 2011 mengatur SPM PIHK mengatur layanan konsumsi di Jeddah, Makkah, dan Madinah wajib memenuhi persyaratan: pelayanan standar hotel dan sistem penyajian secara prasmanan dengan menu Indonesia. Sementara untuk konsumsi di Masyair wajib memenuhi persyaratan: pelayanan dengan sistem prasmanan, menu Indonesia, dan pelayanan coffee shop. Penyediaan konsumsi dalam perjalanan atau di bandara diberikan dalam kemasan boks. Peraturan Urusan Haji Kementerian Haji Arab Saudi mengatur agar PIHK melakukan kontrak sesuai dengan format kontrak terpadu dan ketentuan penyajian pelayanan katering untuk jamaah hajinya di Makkah, Masyair Muqaddasah, Madinah, dan Jeddah dengan perusahaan Arab Saudi yang memiliki izin dan memenuhi persyaratan kesehatan dari instansi yang berwenang. 1) Katering di Makkah dan Madinah a) PIHK yang menginapkan jamaahnya (Makkah dan Madinah) di hotel bintang lima dan sebagian bintang empat menyiapkan paket fullboard atau buffet restoran hotel, seperti di Dar al Tawhid, Hilton Tower, Intercontinental, Movenpick, Marriot Hotel, Royal Dar El Eman, Grand Mercure, Oberoi, dan Radisson Blue. Paket harga makan buffet di Hotel Hilton sehari (sarapan pagi, makan siang, makan malam) mencapai SAR 250. b) Sebagian hotel di Madinah, Makkah, dan khususnya transito, membolehkan travel menyiapkan makanan yang disiapkan oleh perusahaan katering di ruang makan untuk jamaah. Katering yang digunakan PIHK di antaranya Al Ahmadi, Femmy (Dapur Kita), Tasneem Catering, Cita Rasa, Masaya, Al Munif, Evi Catering, Mr Sate, Bin Martak, dan Ajaj Catering. Sebagian katering ini melayani katering jamaah haji reguler dan jamaah umrah. Untuk tiga kali makan, biaya setiap jamaah SAR 65 hingga 80. c) Konsumsi katering di Makkah dan Madinah disajikan prasmanan. Menu yang disajikan di hotel berbintang berlimpah dengan cita rasa internasional dan Timur Tengah. Sementara menu yang disajikan oleh perusahaan katering terbatas dengan lauk dua, sayur, buah dan minuman dengan cita rasa Indonesia. Jamaah yang datang terlambat sering mendapatkan makanan kurang lengkap.
X-22
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
Gambar X-6: Katering buffet hotel di Makkah dengan aneka makanan berlimpah.
2) Katering di Armina a) Konsumsi jamaah haji khusus di Armina dalam bentuk prasmanan. Jamaah yang tinggal di Maktab 112 Arafah mendapatkan konsumsi makanan dengan aneka menu plus buah dan minuman karena harga paket di Armina yang paling mahal. Begitupun konsumsi untuk Maktab 114, 115 dan Maktab 116 mencukupi. b) Jamaah haji khusus di Maktab 68 harus mengantre panjang bersama jamaah dari berbagai travel negara lain. Oki, jamaah dari Al Haramain Jaya, mengeluhkan antrean panjang untuk mengambil makanan serta menu sarapan minim (nasi kuning, sosis, tempe kering, dan roti). Bahkan, yang antre belakangan hanya mendapat sisa. c) Saat di Mina, ada jamaah di Maktab 111 tidak mendapatkan jatah konsumsi makan pada pagi dan siang. Jaya Wisata Nusantara Travel yang tidak mendapatkan konsumsi siang pada hari pertama tinggal di Mina. Jamaah haji khusus tidak dapat jatah makan karena terjadi penambahan kapasitas jamaah. Sementara jamaah haji khusus Maktab 72 mendapatkan konsumsi makan terlambat pada pagi dan siang hari pertama di Mina.
X-23
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
g. Pelayanan Kesehatan Dalam SPM PIHK telah diatur, PIHK wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi jamaah haji khusus sejak sebelum keberangkatan sampai kembali ke Tanah Air. Namun, standar pelayanan kesehatan (jumlah dokter, obat-obatan, dan jenis pelayanan) bagi jamaah haji khusus belum jelas. 1) Pada awal kedatangan di bandara Jeddah, beberapa PIHK kesulitan mengeluarkan obat dari bandara. Obat dapat keluar setelah petugas PPIH memberikan penjelasan PIHK membawa obat-obatan sendiri. Penahanan obat di bandara tidak akan terjadi jika dilengkapi surat pengantar yang berisi daftar obat, jumlah, dan peruntukan. 2) Beberapa PIHK membebankan biaya kesehatan kepada jamaahnya. Barsyiah Mansyah (57 tahun) dari Batulicin, Kalimantan Selatan, yang tersesat di Masjid Nabawi dan dibawa ke Kantor Daker Madinah mengaku membayar tambahan Rp 3 juta kepada PIHK Riyal Tunggal. Uang tambahan itu digunakan untuk bayar dam (Rp 2 juta) dan kesehatan (Rp 1 juta). 3) Petugas Helutrans Alhadi Ziarah mengeluhkan tidak mendapat jatah obat ketika mengambil di Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) Makkah, seperti tahun-tahun sebelumnya. PIHK merasa sebagai jamaah haji Indonesia berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama dengan jamaah haji reguler. Pada prakteknya, jamaah haji khusus yang berobat jalan atau berobat inap di BPHI mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama dengan jamaah haji reguler.
Gambar X-7: BPHI Makkah juga memberikan layanan bagi jamaah haji khusus.
X-24
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
4) Koordinator Kesehatan Arab Saudi menjelaskan, pada tahun-tahun sebelumnya PIHK dapat mengambil obat-obatan sesuai kebutuhan. Namun, hampir tidak ada yang melaporkan penggunaannya. Pada tahun ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberi arahan agar BPIH tidak boleh memberi stok obat untuk PIHK, kecuali layanan emergensi. Alasannya, biaya PIHK yang mahal tidak jelas pengeluarannya, termasuk kewajiban travel menyiapkan layanan kesehatan. Arahan ini menjadi dasar bagi BPIH dalam melayani jamaah haji khusus. Namun, PIHK beralasan biaya kesehatan haji ditanggung APBN. Karena itu, perlu diatur lebih rinci hak dan kewajiban PIHK dan pelayanan kesehatan. 5) PIHK harus menyiapkan layanan kesehatan bagi jamaah, sehingga ada hak dan kewajiban yang perlu dilakukan travel. Penjabaran hak dan kewajiban ini belum dijelaskan secara rinci. Namun dalam prakteknya, PIHK mendapatkan otonomi dalam merekrut petugas (tidak melalui proses seleksi seperti reguler), mendapat buku kesehatan jamaah, dan menyiapkan obat sesuai dengan kebutuhan penyakit jamaah. 6) Jumlah petugas kesehatan diatur dalam Kepdirjen PHU Nomor D/250/2014: a) Antara 45-89 jamaah memperoleh satu petugas kesehatan, b) Antara 90-179 jamaah memperoleh dua petugas kesehatan, c) Antara 180-225 jamaah memperoleh tiga petugas kesehatan. Namun, ada PIHK tidak menyertakan petugas dokter dengan alasan tidak mendapat kuota. Jika ada jamaahnya yang dokter, beberapa PIHK meminta jamaah yang dokter untuk menjadi petugas kesehatan. Maktour Travel tidak dapat membawa dokter ketiganya yang sakit untuk digantikan dengan dokter yang lain. 7) Hingga kini belum ada yang mengatur kewajiban PIHK terhadap petugas kesehatan. Berbeda dengan petugas kesehatan haji reguler yang harus mengikuti proses rekrutmen, mengikuti pendidikan dan latihan, membuat catatan laporan setiap hari, sampai pulang ke Tanah Air harus tetap ikut ikut memantau kesehatan jamaah agar tetap terlindung dari penyakit infeksi. 8) Tim kesehatan sulit melihat secara utuh kondisi kesehatan dan pelayanan kesehatan jamaah haji khusus karena tidak ada data dasar jumlah pasti jamaah haji khusus. Selain itu, belum ada standar operasional prosedur terhadap penanganan jamaah haji khusus. 9) Karena tidak memiliki fasilitas pengobatan yang cukup, seorang jamaah haji khusus Hira Tour dari Maktab 68 dirawat oleh Tim Kesehatan di tenda Arafah. Namun, pasien yang hanya ditemani
X-25
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
anaknya ini ditinggal oleh rombongannya di Arafah. Akhirnya, petugas mengantar jamaah ke Muzdalifah dengan bus. 10) Beberapa jamaah haji khusus mendapatkan perawatan di BPHI Makkah serta rumah sakit Arab, seperti di RS Al Noor dan Al Zahir di Makkah, serta RS Mina Emergency Hospital. 11) Sampai akhir musim PIH tahun 2015, jumlah jamaah haji khusus yang wafat kurang dari 10 orang dari total jumlah jamaah haji yang wafat yang mencapai 601 orang. Pasca H+3 pasca-Arafah, jumlah jamaah haji khusus yang wafat empat orang karena sakit dan risti. Mazlan Abu Bakar (Hidayah Shafir) wafat setelah dirawat di RS An Noor Arab Saudi karena septic shock, sedangkan Herman Gunyadi (Al Hamdi Global) wafat di BPHI Makkah karena menderita sakit jantung. Seorang jamaah wafat di perjalanan dari Makkah ke Madinah pasca-Armina, yaitu Abdul Ghaffar (75 tahun) dari Gaido Azza Darussalam. Nurung Lauseng juga wafat di perjalanan karena mengalami sakit gangguan pernapasan. h. Perlindungan Jamaah Perlindungan terhadap jamaah haji khusus lemah. Jamaah haji reguler mendapat perhatian dengan adanya Seksi Perlindungan dan Keamanan Jamaah PPIH pada tiap-tiap daerah kerja dan sektor dengan petugas dan petunjuk yang jelas. Sementara UU PIH hanya mengatur PIHK wajib memberikan berbagai layanan (akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan) tanpa menyebutkan perlindungan jamaah. Kewajiban PIHK dalam perlindungan jamaah disebutkan dalam Pasal 40 PP Nomor 79 Tahun 2012 dengan mengasuransikan jamaah dan petugas haji khusus. Pada akhirnya, jamaah haji khusus yang terpisah dari rombongan atau tersesat jalan ditolong oleh petugas. Petugas perlindungan dan keamanan mengantar ke daker atau sektor khusus yang ada di Madinah dan Makkah: 1) Saat kunjungan ke Sektor Khusus Madinah, petugas mengaku telah menolong beberapa jamaah khusus dan mengantarkan kembali ke hotelnya. Namun, petugas tidak mencatat identitas dan kronologis kejadian dengan alasan bukan menjadi tanggung jawab. Sementara Sektor Khusus Makkah juga membantu jamaah khusus yang tesesat, tapi sebagian tidak dicatat nama PIHK. Padahal, catatan nama dan kronologis penting untuk monitoring jamaah jika tersesat kembali. 2) Umumnya jamaah haji khusus terpisah dari rombongannya di halaman Masjidil Haram, Masjid Nabawi, atau ditemukan oleh petugas tersesat hingga sektor lain. Mereka yang baru datang dari
X-26
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
Tanah Air itu lupa nama hotel. Jumain Daeng Rapi (72 tahun) dari Sangkan Hurip Bersama ditemukan tersesat di sektor dua kemudian diantar ke Daker Makkah. 3) Kendala bahasa dan ketidakadaan identitas jamaah yang tersesat merepotkan petugas. Misalnya, Joni binti Barnas (An Naba Travel) dari Pinrang tidak dapat berbahasa Indonesia dan tidak tahu tahu jalan pulang diantar ke Daker Madinah. Sementara seorang jamaah Rihlah Alatas yang ditemukan petugas sektor khusus Makkah minim identitas dan telepon yang tertera sulit dihubungi. Setelah mengkontak petugas di Indonesia, baru diketahui alamat hotel jamaah tersebut. 4) Ketidakpulangan jamaah khusus mengkhawatirkan rombongannya, apalagi jika sedang terjadi musibah. Lemah Mancun Abdullah terpisah dari rombongan Asia Utama Abadi dan ditemukan oleh petugas pada pukul 01.05 WAS atau tujuh jam setelah musibah crane. Petugas mengantar Lemah ke Daker dan dijemput oleh PIHK sejam kemudian. 5) Petugas harus mewaspadai jamaah yang tersesat berkali-kali, seperti Sastro Hadi Karman dari Edipeni Travel. Jamaah berusia 67 tahun ini pertama kali tersesat di terminal shalawat sektor dua pada pukul 20.00 WAS. Petugas kemudian mengantar Sastro ke Daker Makkah dan dijemput oleh petugas PIHK. Pada hari lain Sastro kembali terpisah dari rombongan dan ditemukan oleh petugas sektor jamarat pada pukul 22.000 WAS dan selanjutnya diantar ke Daker Makkah. 6) Dalam kurun 3 hingga 19 September 2015 saja petugas perlindungan dan keamanan Sektor Khusus Masjidil Haram telah menemukan dan membantu 16 jamaah haji khusus yang tersesat. Hampir seluruh jamaah yang tersesat berusia di atas 50 tahun dan berasal dari daerah. Pada 3 Oktober 2015 petugas menemukan dua jamaah Farfasa Nurul Qalbi terpisah dari rombongan di Masjidil Haram. Padahal, hotel Al Shofwah tempat tinggal jamaah itu terletak depan Masjidil Haram. Selama di Sektor Khusus, petugas mencatat identitas jamaah, menenangkan jamaah, memberi makan minum, dan menghubungi call center atau kontak PIHK yang bersangkutan. 7) Petugas keamanan dan perlindungan juga turut membantu jamaah haji khusus nonkuota yang tersesat di Masjidil Haram. Tiga jamaah berusia lanjut dari Al Arafa Al Hukama yang tersesat di Masjidil Haram: Sojarno (77 tahun), Supiyan Ambyah (76 tahun), Supri Sofwan (77 tahun). Tiga jamaah ini tidak mengenakan gelang identitas yang menunjukkan nomor paspor. Travelnya juga tidak termasuk PIHK terdaftar Kemenag pada tahun ini.
X-27
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Gambar X-8: Lingkungan di sekitar Masjidil Haram tidak selalu aman bagi jamaah haji khusus
i. Pengawasan dan Pengendalian Pengawasan dan pengendalian internal terhadap penyelenggaraan haji khusus dilaksanakan oleh Ditjen PHU, baik di Tanah Air dan di Arab Saudi selama pra, operasional dan pascahaji dengan mengacu pada Standar Pelayanan Minimal (SPM). Hasil pengawasan sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan dalam pelaksanaan akreditasi dan penetapan kembali izin operasional. Sanksi diberikan kepada PIHK yang telah terbukti melanggar normanorma dan etika dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2008 beserta turunannya. Pengendalian PIHK pada 2015 dilakukan di Jeddah, Makkah plus Armina, dan Madinah di bawah supervisi Kepala bidang Pengendalian PIHK. Pengendalian PIHK dilakukan untuk meminta laporan kedatangan kepada PIHK yang mendarat di Bandara AMMA Madinah dan KAAIA Jeddah; meminta laporan kedatangan kepada PIHK yang masuk ke kota Madinah, Jeddah, dan Makkah; melakukan peninjauan lapangan ke hotel yang dipergunakan oleh jamaah haji khusus; menerima laporan dari jamaah haji khusus yang merasa dirugikan oleh PIHK. Namun, pengendalian PIHK menghadapi berbagai kendala: 1) Jumlah petugas terbatas di Kantor Daker (Makkah, Madinah, Jeddah) masing-masing dua orang. Dengan keterbatasan petugas, sulit bagi petugas untuk intens melakukan pengawasan di lapangan. Selain di Bandara Jeddah yang melakukan monitoring langsung kedatangan dan kepulangan jamaah, petugas pengendalian di Makkah dan Madinah lebih banyak menerima laporan di kantor Daker. Saat di Arafah-Mina, petugas pengawas dari pengendali PIHK terlihat mengawasi PIHK, meskipun hanya sebagian Maktab.
X-28
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
2) Petugas pengendalian tidak memiliki posko khusus di lapangan untuk jamaah haji khusus yang ingin mendapatkan informasi serta kendaraan mobile yang dapat digunakan untuk pengawasan ke lapangan. Sementara jamaah haji khusus tinggal di hotel-hotel sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, serta hotel transito dekat Mina. Pengawasan jamaah haji khusus lebih sulit dilakukan di Makkah karena lokasi hotel yang tersebar dan medannya yang sulit. Karena itu, sulit bagi jamaah untuk menghubungi petugas jika membutuhkan informasi. 3) Pengendalian PIHK terbatas pada pendataan PIHK sesuai formulir yang diisi oleh PIHK, sehingga akurasi datanya belum tentu sesuai dengan kondisi riil tanpa pengecekan langsung ke lapangan. Sebagian besar PIHK hanya menyerahkan laporan melalui petugas atau kurir yang tidak dapat menjawab jika ada pertanyaan. Beberapa PIHK melapor terlambat setelah empat hari. Apalagi, tidak semua PIHK taat melapor ke Daker Makkah dan Madinah. Petugas pengendali harus menjemput sendiri laporan dari PIHK ke hotel. 4) PIHK tidak menyertakan manifes atau data jamaah, sehingga tidak dapat diketahui nama jamaah riil serta jumlahnya. Termasuk, apabila PIHK membawa jamaah tambahan (nonkuota). Jumlah riil jamaah dapat diketahui jika pemberangkatan jamaah untuk proses imigrasi dilakukan di embarkasi. 5) Sulitnya komunikasi dengan beberapa asosiasi untuk mengecek kondisi jamaah (seperti pasca-tragedi crane di Masjidil Haram dan musibah Mina) karena tidak adanya posko bersama pengendalian PIHK. 6) Formulir yang diisi PIHK tidak secara spesifik membuat daftar pertanyaan sesuai dengan SPM, seperti jumlah jamaah dan petugas (pembimbing ibadah, petugas kesehatan, pendamping). Akibatnya, tidak dapat diketahui persis jumlah jamaah serta jumlah petugas kesehatan dan petugas lainnya yang dibawa PIHK sesuai SPM. Begitupun layanan fasilitas (akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan) yang lebih jelas dan jadwal PIHK di Tanah Suci. 7) Pengendalian dan pengawasan PIHK oleh petugas lebih bersifat administratif. Terhadap pelanggaran SPM dan peraturan lainnya, PIHK yang memberikan pelayanan yang kurang kepada jamaah tidak mendapatkan sanksi. Begitu pun bagi PIHK yang membawa jamaah haji nonkuota tidak mendapatkan sanksi. Karena itu, sulit bagi masyarakat calon jamaah haji khusus untuk mengetahui rapor PIHK.
X-29
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Gambar X-9: Komisioner KPHI berdialog dengan PIHK di tenda Mina.
3. Haji Khusus Nonkuota a. Kebijakan Haji Nonkuota Kebijakan menyangkut haji nonkuota tidak jelas dan tidak konsisten. Karena ketidakjelasan kebijakan, ada PIHK yang terdaftar di Kemenag membawa jamaah haji nonkuota secara sembunyi-sembunyi. PIHK mengambil celah karena Kerajaan Arab Saudi membolehkan kehadiran jamaah haji nonkuota sepanjang menggunakan visa haji. Peraturan yang mengatur keberadaan haji nonkuota, di antaranya: 1) Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 79 Tahun 2012 dinyatakan ”Warga Negara Indonesia (WNI) mendapatkan undangan dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk melaksanakan ibadah haji dikecualikan dari kewajiban pendaftaran”. Namun, dalam ayat (2) diatur WNI yang mendapatkan undangan dapat melaksanakan ibadah haji setelah mendapat rekomendasi dari Menteri (Agama). Kemudian pada ayat (3), rekomendasi diberikan setelah mendapatkan pemberitahuan dari kantor perwakilan negara Arab Saudi di Jakarta kepada Menteri. 2) Selain tidak ada kewajiban mendaftar, jamaah haji khusus nonkuota tidak dapat mengikuti PIHK resmi yang terdaftar resmi di Kemenag. Kebijakan ini diatur dalam Pasal 37 PP Nomor 79 Tahun 2012 yang menyebutkan: “PIHK wajib melakukan pelayanan pendaftaran hanya bagi jamaah haji khusus yang telah terdaftar di Kementerian Agama.”
X-30
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
3) Pasal 40 (ayat 1) UU Nomor 13 Tahun 2008 menyebutkan: “penyelenggara PIHK wajib menerima pendaftaran dan melayani jamaah haji hanya yang menggunakan paspor haji.” Padahal, jamaah haji nonkuota pun menggunakan paspor haji. 4) Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah membuat peraturan untuk jamaah haji bukan kuota (dengan visa haji) pun harus menggunakan biro perjalanan resmi. Peraturan Urusan Haji Kementerian Haji Kerajaan Arab Saudi Tahun 2015 telah merinci aturan menyangkut perusahaan penyelenggara ibadah haji, baik perusahaan dan agen pariwisata atau yayasan: a) Setiap orang yang ingin menunaikan ibadah haji di luar (penyelenggaraan) misi haji resmi, harus melalui agen pariwisata dan perusahaan atau yayasan atau ekspedisi yang diakui di negara tempat ia tinggal. Disyaratkan bagi setiap agen pariwisata atau perusahaan wisata atau yayasan atau ekspedisi yang diakui untuk mendapatkan visa bagi orangorang yang ingin mereka selenggarakan hajinya. b) Pentingnya agar daftar nama penyelenggara (perusahaan dan agen pariwisata dan yayasan) tersebut mencantumkan nomor registrasi mereka di Kementerian Haji, jumlah jamaah haji yang diizinkan untuk masing-masing penyelenggara, namanama petugas penyelenggara, serta nomor paspor mereka. 5) Masalahnya, Kedutaan Besar Arab Saudi (KBSA) di Indonesia tidak transparan berapa banyak visa haji yang dikeluarkan di luar kuota resmi untuk Indonesia (155.200 untuk jamaah haji reguler dan 13.600 untuk jamaah haji khusus pada 2015). Karena itu, sulit bagi Pemerintah Indonesia untuk mengetahui jumlah dan mengatur keberadaan jamaah haji nonkuota. 6) Ada dua solusi untuk mengatur keberadaan jamaah haji nonkuota. Pertama, tetap membiarkan keberadaan jamaah di luar sistem penyelangggaraan ibadah haji nasional dengan potensi merugikan jamaah serta menganggu penyelenggaraan ibadah haji. Kedua, membuat regulasi khusus yang mengatur keberadaan haji nonkuota dalam penyelenggaraan ibadah haji. b. Visa haji Jumlah jamaah haji nonkuota pada 2015 masih banyak dengan menggunakan berbagai jenis visa.Pada 13 hingga 16 September 2015 petugas pengendali PIHK di Bandara Jeddah mencatat jumlah haji nonkuota mencapai 158 orang. Jumlah jamaah haji nonkuota semakin
X-31
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
meningkat saat menjelang penutupan bandara, tapi tidak dapat tercatat semua karena keterbatasan jumlah petugas dan pengurus jamaah nonkuota menghindari petugas. Rombongan jamaah haji nonkuota terdiri atas nongrup dan travel, meskipun belum terdaftar di Kemenag. Jamaah haji nonkuota yang nongrup dari Jakarta pada 13 September 2015 (18 orang), 15 September (15 orang), dan 16 September 2015 (28 orang). Pada 16 September 2015 tercatat lima kelompok jamaah haji nonkuota yang datang menggunakan travel: Kanomas (26 orang), Goenawan (5 orang), Nurkhasanah (13 orang), Cinema (14 orang), El Teyba Restu Group (28 orang). Kanomas dan Goenawan adalah PIHK terdaftar yang memberangkatkan jamaah haji khusus (kuota). Cinema memberangkatkan jamaah haji yang mendapatkan visa dari atase pertahanan.
Gambar X-10: Kedatangan jamaah haji nonkuota terpantau di bandara Jeddah.
Keberadaan jamaah haji nonkuota dapat menimbulkan masalah karena kuota dimanfatkan oleh oknum untuk mengeruk keuntungan. Oknum ini menjual visa kepada travel maupun kelompok yang akan menjual mahal kepada calon jamaah. Masalah muncul ketika visa tidak keluar atau ada travel yang memperlakukan jamaah tidak memberikan fasilitas yang layak. Dari penelusuran di lapangan dan informasi berbagai sumber, KPHI melihat ada lima macam visa haji yang dimanfaatkan untuk haji nonkuota: 1) Visa undangan yang diberikan terbatas kepada tamu raja dan dibiayai penuh oleh Kerajaan. Tahun ini ada sekitar 60 jamaah haji Indonesia yang beruntung mendapat undangan langsung dari Raja.
X-32
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
Para tamu raja ini mendapatkan fasilitas tinggal di apartemen raja dan benar-benar diperlakukan istimewa sebagai tamu khusus Raja Arab Saudi. 2) Visa undangan yang diberikan oleh Pemerintah Saudi Arabia melalui Kedutaan Besar Saudi Arabia. Visa haji ini diberikan kepada para pejabat, seperti Pimpinan DPR RI. Mereka hanya mendapatkan visa haji dan tidak mendapat perlakuan istimewa karena membiayai sendiri penerbangan dan fasilitas pelayanan (hotel, konsumsi, transportasi, dan lain-lain). 3) Visa haji yang diberikan kepada diplomat, atase haji dan atase pertahanan. a) Dubes Indonesia sebuah negara di Timur Tengah mendapat 17 visa haji dari Kedubes Arab Saudi di Indonesia. Pengajuan visa haji ini menjelang pelaksanaan haji yang diberikan kepada rombongan kecil yang terdiri atas seorang mantan menteri, direktur jenderal kementerian beserta keluarga dan koleganya. Marzuki, salah satu rombongan, menuturkan rombongannya tidak kesulitan keluar dari Bandara Jeddah karena ada petugas konsulat yang mengurus. Rombongan tinggal mengatur sendiri hotel, konsumsi, dan akomodasi selama di Arab Saudi. b) Rombongan kecil petinggi tentara Indonesia beserta keluarganya terlihat di pelataran Masjidil Haram usai umrah. Salah satu anggota rombongan mengaku mereka membayar melalui travel yang mengurus mereka selama menjalankan ibadah haji. c) Seorang jamaah yang tersesat diketahui menggunakan visa haji yang diperoleh dari diplomat di Filipina dengan membayar sejumlah uang. Sebagian visa untuk diplomat dari negara yang minoritas Islam dimanfaatkan oleh oknum untuk dijual kepada calon jamaah haji khusus. 4) Visa undangan atas rekomendasi keluarga kerajaan. Visa ini banyak dimanfaatkan oleh PIHK, tapi tidak diketahui pasti jumlahnya. Beberapa PIHK yang memiliki ijin resmi Kemenag diketahui membawa juga jamaah haji nonkuota. a) Beberapa PIHK yang memiliki ijin resmi ’berkelamin ganda’. Selain membawa jamaah haji khusus kuota, PIHK ini juga menyusupkan jamaah haji nonkuota. Fakta ini ditemukan ketika jamaah ditemukan saat tinggal di hotel transito (sekitar kawasan Aziziah, dekat Mina, dan Nuskha). b) Umar, jamaah Kanomas Arci Wisata, mengaku baru mendaftar dua bulan bisa berangkat haji pada tahun ini dengan membayar AS$17.000 dari paket program AS$9.000. Jamaah haji dari Jakarta yang tidak mengenakan gelang besi jamaah haji
X-33
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
Gambar X-11: Jamaah haji nonkuota juga menggunakan visa haji.
Indonesia ini mendapat tawaran berangkat haji cepat. Kanomas yang mendapat barcode 34 jamaah (sebagai pimpinan konsorisum bersama Arafah Travel Mandiri (17 barcode) dan menitipkan 10 jamaah dalam konsorsium PIHK lain. c) Dengan jumlah jamaah yang tidak banyak, Kanomas menyewa dua hotel transito di Jalan Syari Sidqi. Tri bersama sekitar 46 jamaah tinggal di hotel yang berbeda dengan Umar mengaku mendapatkan layanan hotel dan konsumsi yang cukup dari PIHK. d) Jamaah haji khusus yang dibawa oleh PIHK berijin ada yang menginap di maktab furada (individual). Jamaah haji furada mudah dikenali menggenakan gelang karet dari Maktab 68 dan tidak mengenakan gelang besi seperti penanda jamaah haji Indonesia. e) Oki Gunawan tidak sampai setahun mendaftar untuk dapat berangkat haji pada tahun ini dengan membayar AS$13.000 (dari paket harga AS$8.500). Ia bersama 13 jamaah haji Al Haramain Jaya Wisata tinggal di apartemen transito maktab 68 yang sederhana. Sebagian jamaah haji Haramain lainnya ditempatkan di maktab 72. Selama di Armina, Oki yang tinggal di Jakarta ini juga menempati tenda di Maktab 68 dengan pelayanan yang kurang memuaskan (water cooler tidak berfungsi maksimal dan konsumsi sederhana). f) Sebagian jamaah haji Hira Cahaya Illahi (Hira Tour) bersama Ujaz Tour dan Mida Tour juga memakai gelang Maktab 68 ketika sedang menunggu penampatan di tenda Arafah. Padahal dalam rekomendasi barcode, Hira (74 barcode) bukan merupakan
X-34
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
konsorsium serta Ujas dan Mida Tour tidak termasuk dalam daftar PIHK yang membawa jamaah pada tahun ini. g) Beberapa PIHK berijin lainnya juga membawa jamaah haji nonkuota, tidak terkecuali PIHK besar yang menawarkan paket VIP. Jamaah haji khusus kelas VIP ini tidak terlihat mencolok karena tinggal di hotel selama prosesi haji di Mina dan hanya mabit sebentar. h) Dengan menggunakan visa haji, beberapa kelompok kecil masuk ke Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Namun karena kurang informasi, sebagian jamaah menghadapi kendala di bandara karena tidak siap membayar general service fee sebesar AS$ 277. 5) Kemungkinan pemanfaatan sisa kuota jamaah haji khusus yang mencapai 400-an. Menjelang akhir pemberangkatan, beredar visa haji dengan harga AS$7.000. Karena itu, ada saja calon jamaah yang berani membayar AS$20.000 agar dapat berangkat pada tahun ini.
Gambar X-12: Jamaah haji furada di maktab 68 menggunakan gelang penanda berbeda.
c. Visa Nonhaji Beberapa jamaah haji menggunakan visa di luar visa haji. UU PIH Pasal 32 secara jelas juga menyebutkan ”Setiap warga negara yang akan menunaikan ibadah haji menggunakan paspor haji yang dikeluarkan oleh menteri” dan tentu saja menggunakan visa haji sebagai persyaratan. 1) Visa pekerja a) Visa pekerja (umal) atau pekerja musiman (amir musim) digunakan oleh mereka yang akan bekerja di Arab Saudi atas dasar permintaan pihak (perusahaan) di Arab Saudi yang
X-35
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
mengajukan permohonan tenaga kerja. Misalnya, perusahaan di bidang transportasi atau katering membutuhkan tenaga kerja dari Indonesia untuk masa tertentu (musiman atau tahunan) selama musim haji. Namun, jalur visa pekerja (musiman) ini dimanfaatkan untuk berhaji. b) Kelompok-kelompok kecil jamaah haji Indonesia yang menggunakan visa pekerja banyak ditemukan di sekitar apartemen kawasan Aziziah yang relatif dekat dengan jamarat. Travel atau KBIH ini bekerjasama dengan mukimin yang mengurus kebutuhan jamaah selama di Tanah Suci. Meskipun fasilitasnya sederhana, para jamaah yang menggunakan visa umal ini membayar seperti jamaah haji khusus hingga lebih dari Rp 100 juta. Selain visa, biaya lainnya yang mahal untuk penerbangan pulang pergi ke Indonesia. 2) Visa ziarah a) Visa ziarah biasa digunakan untuk umrah di luar musim haji. Pada tahun ini visa pekerja dibatasi, sehingga beberapa travel mencoba menggunakan visa ziarah. Pemerintah Arab Saudi membuat kebijakan melarang visa nonhaji, termasuk visa ziarah. Akibatnya, banyak calon jamaah haji yang batal terbang ke Arab Saudi. Namun, saat akhir pemberangkatan jamaah haji, sebagian jamaah haji menggunakan visa ziarah dapat lolos ke Arab Saudi. b) Jamaah calon haji yang menggunakan visa ziarah akan ditolak masuk Makkah untuk berhaji. Namun, masih ada saja biro perjalanan yang menggunakan visa ziarah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka mencoba masuk melalui Riyad, kemudian menggunakan perjalanan darat ke Makkah. Setelah melalui pemeriksaan petugas, rombongan jamaah calon haji ini dilarang masuk Makkah. Bahkan, mereka harus dideportasi dari Arab Saudi dan kembali ke Jakarta tanpa menunaikan ibadah haji. c) Sakri, mukimin yang terbiasa mengelola bisnis umrah dan haji di Makkah, mengaku menampung tujuh jamaah haji menggunakan visa ziarah. Sebagian jamaah haji yang menggunakan visa ziarah melalui travel ini mendarat di Riyad dan melanjutkan perjalanan darat ke Makkah. Beberapa jamaah haji yang menggunakan visa ziarah ini ditolak dan harus dideportasi kembali ke Indonesia, seperti dari kelompok Al Jazeera. Sebagian jamaah haji yang menggunakan visa ziarah dapat lolos jika petugasnya tahu celah-celahnya dan
X-36
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
jamaah tidak menggunakan ihram saat di Jeddah menuju Mina. Ada juga jamaah yang memanfaatkan visa ziarah saat mengikuti umrah Ramadhan untuk berhaji.
Gambar X-13: Jamaah haji nonkuota berkumpul dengan jamaah haji lain di dekat Jamarat.
3) Tasrih Haji Warga Negara Indonesia yang tinggal di Arab Saudi dapat menunaikan ibadah haji menggunakan surat keterangan (tasrih) haji yang berlaku tiap lima tahun melalui travel resmi. Di luar itu, banyak mukimin yang berhaji tanpa menggunakan tasrih haji dengan ’cara koboi’ (menggunakan bus ke Arafah) dan bermalam di Mina). Pada 2015 tiga mukimin yang bekerja Grup Bin Ladin dengan menggunakan travel resmi Al Rajhi wafat dalam tragedi Mina: Akhmad Jamhuri, Wartoyo Usman, dan Asdinur Sanuri. Seorang mukimin lainnya yang tidak menggunakan travel dan meninggal dalam tragedi Mina adalah Rumiyati.
B. REKOMENDASI DAN SARAN TINDAK LANJUT PENYELENGGARA IBADAH HAJI KHUSUS Rekomendasi
1. Pemerintah agar membuat regulasi ulang berkenaan dengan kebijakan yang mengatur penyelenggaraan ibadah haji khusus (PIHK) untuk memperjelas dan mempertegas standarisasi dan klasifikasi pelayanan PIHK. 2. Pemerintah agar meningkatkan pengawasan PIHK untuk mencegah praktek yang merugikan jamaah haji khusus.
X-37
Laporan Hasil Pengawasan Penyelenggaraan Haji 1436 H/2015
3. Pemerintah agar membuat kebijakan khusus terhadap perlakuan jamaah haji dengan visa undangan (visa haji) dari pemerintah Arab Saudi (nonkuota) agar tidak terjadi penyalahgunaan pelayanan.
Saran Tindak Lanjut
1. Jamaah Haji Kuota a. Pemerintah membuat kebijakan ulang untuk menata ulang keberadaan haji khusus dalam hal: 1) Dalam UU PIH, prinsip PIHK berbeda dengan dengan penyelenggaraan haji reguler dengan ”pinsip nirlaba”. 2) Kebijakan dalam pengelolaan PIHK lebih jelas merinci hak dan kewajiban PIHK beserta jamaah haji khusus. b. Pemerintah terus meningkatkan pelayanan bagi jamaah haji khusus untuk: 1) Pendaftaran langsung oleh jamaah haji khusus agar tidak ada manipulasi jamaah yang sudah melunasi atau belum. 2) Penyediaan akses bagi jamaah haji khusus ke Siskohat untuk mengetahui nomor porsi dan tahun keberangkatan. 3) Pengaturan batas pendaftaran agar tidak terjadi banyak kursi jamaah haji khusus yang lowong. 4) Pengaturan ijin dan perpanjangan izin PIHK yang dapat meningkatkan kualitas pembinaan agar PIHK dapat meningkatkan pelayanan kepada jamaah haji khusus. 5) Perlindungan dan keamanan jamaah haji khusus sebagai bagian dari perlindungan Jamaah Haji Indonesia. c. Pemerintah segera pada 2015 merevisi Standar Pelayanan Minimum (SPM) dalam PMA Nomor 22 Tahun 2011 menyangkut: 1) Ketentuan penggabungan antar-PIHK yang menyangkut jumlah, pemindahan, dan penitipan agar tidak merugikan jamaah. 2) Laporan program manasik haji (frekuensi, tempat, dan acara) bagi jamaah. 3) Kewajiban PIHK menyiapkan Standard Operate Procedure (SOP) dalam pelayanan transportasi udara dan darat; akomodasi di hotel Makkah, Madinah, Jeddah, dan Armina; pelayanan konsumsi (katering dan menu); pelayanan kesehatan (fasilitas pengobatan dan obat-obatan); serta perlindungan dan keamanan jamaah. 4) Laporan jumlah petugas pembimbing ibadah, petugas kesehatan, pendamping pengelola perjalanan sesuai ketentuan.
X-38
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus
d. Pemerintah meningkatan kualitas standarisasi dan pengawasan PIHK dengan cara: 1) Meningkatkan Seksi Pengendalian menjadi Direktorat PIHK dan Umrah di Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah agar dapat lebih fokus dalam pengawasan PIHK. 2) Meningkatkan kuantitas dan kualitas pengawasan PIHK pada tahun depan dengan penambahan jumlah tenaga pengawas minimal tiga hingga empat orang di tiap-tiap daker yang memiliki spesifikasi dan uraian tugas yang lebih jelas. 2. Jamaah Haji Nonkuota a. Pemerintah mengevaluasi kebijakan haji nonkuota yang selalu menjadi masalah tanpa solusi dengan cara: 1) Membuat ketentuan bagi jamaah haji nonkuota yang mendapat undangan dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk melaporkan keberangkatan sesuai dengan adanya rekomendasi yang disebut dalam PP Nomor 79 Tahun 2012, meskipun tidak ada kewajiban mendaftar. 2) Mengatur agar kuota undangan jamaah haji nonkuota diberikan kepada PIHK yang terdaftar sesuai ketentuan pemerintah Arab Saudi. 3) Mengawasi penggunaan porsi haji nonkuota hanya untuk yang mendapatkan undangan resmi dengan visa haji dan bukan dengan menggunakan visa nonhaji. b. Pemerintah Indonesia terus menjalin komunikasi dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk mencari solusi bagi jamaah haji nonkuota dengan pengawasan agar: 1) Jamaah haji nonkuota dengan visa haji telantar tidak mendapatkan pelayanan buruk dari travel yang membawanya. 2) Tidak melakukan pembiaran terhadap jamaah haji nonkuota karena Peraturan Urusan Haji Pemerintah Kerajaan Arab Saudi telah mengatur keharusan bagi jamaah haji menggunakan travel resmi yang tercatat di Kemenag. 3) Penertiban jamaah haji nonkuota sejalan dengan tekad Pemerintah Arab Saudi untuk meningkatkan pelayanan terhadap ‘tamu Allah’ melalui e-hajj yang mensyaratkan jamaah haji terdaftar dan fasilitas yang digunakan selama di Tanah Suci melalui travel.
X-39
BAB XI
Masjid Nabawi
PENUTUP
Penutup
Penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional yang memiliki dinamika dan problematika yang kompleks. Penyelenggaraan ibadah haji menyangkut jumlah jamaah yang sangat banyak dengan heterogenitas yang tinggi pula. Jenis pelayanan bermacam-macam, serta kondisi geografis dan sosial yang jauh dan berbeda dengan di Indonesia. Kompleksitas permasalahan ini membutuhkan manajemen penyelenggaraan yang mampu menjawab tantangan dan mengelola semua permasalahan dengan baik. Manajemen penyelenggaraan ibadah haji akan berhasil jika aspek pengawasan sebagai salah satu pilar manajemen diposisikan dengan tepat, sehingga bisa berperan maksimal. Karena itu, kehadiran dan peran Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) sangat strategis dalam sistem manajemen penyelenggaraan ibadah haji. Langkah-langkah pengawasan KPHI meliputi tahapan perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan konsolidasi penyelenggaraan ibadah haji. Sasarannya semua aspek yang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji. Hasil pengawasan yang telah dilakukan terdapat sejumlah permasalahan di bidang organisasi, petugas, administrasi, bimbingan ibadah, pelayanan (transportasi, akomodasi, konsumsi, kesehatan), perlindungan dan pengamanan, serta penyelenggaraan ibadah haji khusus. Permasalahan tersebut dianalisis secara mendalam, sehingga menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk perbaikan dan penyempurnaan penyelenggaraan ibadah haji Indonesia ke depan. Semoga segala upaya perbaikan yang telah dilakukan dan yang akan diterapkan ke depan dapat memberikan kenyamanan beribadah bagi jamaah haji Indonesia, sehingga memperoleh hasil “haji yang mabrur”.