Kajian Bulanan
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
EDISI 07 - November 2007
Pilkada dan Pemerintahan Yang Terbelah (Divided Government)
S
Pilkada dan Pemerintahan Yang Terbelah (Divided Government) Jika pemerintah tidak didukung kekuatan mayoritas di legislatif, dikhawatirkan terjadi kemacetan dalam penyusunan kebijakan. Hlm. 1 Fluktuasi Hubungan Lembaga Politik (Eksekutif-Legislatif) dan Birokrat Pasca Pilkada Apa yang terjadi jika Kepala Daerah, DPRD dan birokrasi
ALAH satu fenomena politik pasca Pilkada adalah adanya pemerintahan yang terbelah (divided government) di daerah. Ini terjadi ketika kekuasaan pemerintahan eksekutif (kepala daerah) dikuasai oleh satu partai sementara kekuasaan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) dikuasai oleh partai lain. Hingga Desember 2006, dari 290 wilayah Pilkada yang telah melangsungkan Pilkada, menunjukkan sebagian besar (56.9%) daerah ditandai dengan pemerintahan yang terbelah. Fenomena divided government ini merupakan konsekuensi dari pemilihan langsung, dimana anggota legislatif (DPRD) dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh pemilih. Fenomena ini kurang terlihat dalam sistem pemilihan tidak langsung—di mana kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD. Fenomena divided government penting dibahas karena berhubungan dengan efektivitas pemerintahan di daerah pasca Pilkada. Apakah pemerintahan berjalan secara efektif, berbagai kebijakan pembangunan bisa dijalankan ataukah justru pemerintahan di daerah diwarnai dengan konflik yang berkepanjangan, terutama antara kepala derah dengan DPRD. Meski demikian, tidak selamanya wilayah dengan kondisi divided government, pasti kondisi politik lokal tidak stabil (terjadi konflik antara kepala daerah dengan DPRD).
serta masyarakat terus mengalami keretakan hubungan? Hlm. 13
Masalahnya, banyak kepala daerah yang melihat divided government ini sebagai monster yang menakutkan dan harus dihindari. Jika pemerintah tidak didukung kekuatan mayoritas di legislatif, dikhawatirkan pemerintahan tidak berjalan dan terjadi kemacetan dalam penyusunan kebijakan. Ketakutan ini yang mendominasi suasana politik di banyak daerah. Akibatnya, banyak kepala daerah yang melakukan politik akomodasi yang tidak sehat—mulai dari bagi-bagi kekuasan kepada orang partai, hingga korupsi kolusi berjamaah (bersama-sama).
www.lsi.co.id
2
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
HASIL Pilkada yang telah lewat menunjukkan salah satu fenomena menarik di daerah, yakni terciptanya suatu pemerintahan yang terbelah (divided government). Ini terjadi ketika kekuasaan pemerintahan eksekutif (kepala daerah) dikuasai oleh satu partai sementara kekuasaan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) dikuasai oleh partai lain. Hingga Desember 2006, dari 290 wilayah Pilkada yang telah melangsungkan Pilkada, menunjukkan sebagian besar (56.9%) daerah ditandai dengan pemerintahan yang terbelah. Sebanyak 56.9% wilayah ditandai dengan adanya kepala daerah yang diusung oleh partai yang bukan partai dengan kursi mayoritas di DPRD. Sebanyak 43.1% lainnya ditandai dengan adanya kepala daerah yang diusung oleh partai dengan kursi mayoritas di DPRD (lihat Grafik 1). Tabel 1 menyajikan secara detil pola pemerintahan di daerah pasca Pilkada menurut provinsi. Pemerintahan yang terbelah (divided government) dengan jumlah besar ditemukan di provinsi Bengkulu, Irian Jaya Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Barat. Sementara pemerintahan yang tidak terbelah (unified government) dengan jumlah besar ditemukan di provinsi Jawa Timur, Kepulauan Riau dan Nusa Tenggara Barat. Tabel 2 menyajikan contoh divided dan unified government di wilayah provinsi Bengkulu dan Nusa Tenggara Timur. Fenomena divided government ini merupakan konsekuensi dari pemilihan langsung, dimana anggota legislatif (DPRD) dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh pemilih. Fenomena ini kurang terlihat dalam sistem pemilihan tidak langsung—dimana kepala daerah dipilih oleh
anggota DPRD. Dalam sistem pemilihan tidak langsung, kemungkinan besar kepala daerah berasal dari partai dengan kursi mayoritas di DPRD. Jika tidak ada politik uang dan suara anggota DPRD dari partai solid, calon yang didukung oleh partai mayoritas itu hampir bisa dipastikan akan terpilih sebagai kepala daerah. Fenomena divided government kerap dikaitkan dengan kecenderungan pemilih untuk memilih calon dari partai yang berbeda untuk beberapa jenis pemilihan (split-ticket voting). Di sini, pemilih membagi suara (split) untuk beberapa posisi. Untuk pemilihan anggota legislatif, pemilih memilih partai A, sementara untuk pemilihan kepala daerah, pemilih memilih calon yang didukung oleh partai B, dan seterusnya. Akibat logis dari pembagian suara (split) itu adalah adanya dua kekuasaan yang dikuasai oleh partai yang berbeda. Misalnya, untuk kekuasaan eksekutif dikuasai oleh partai A, sementara untuk kekuasaan pembuatan legislasi (legislatif) dikuasai partai B. Dalam literatur perilaku pemilih (voter behavior), kecenderungan pemilih untuk membagi suara dan berakibat pada terjadinya divided government ini umumnya dijelaskan lewat dua penjelasan utama. Pertama, penjelasan non intensional. Adanya pemerintahan yang terbelah adalah akibat logis dari sistem pemilihan yang memilih orang, dan bukan partai. Pemilih lebih mengevaluasi kandidat (baik anggota legislatif ataupun kepala daerah) daripada partai pendukung. Pemilih akan memilih kandidat yang disukai tanpa memperhitungkan asal partai dari kandidat tersebut. Ini mengakibatkan terjadinya kemungkinan dimana pemilih
Grafik 1: Pola Pemerintahan di Daerah Pasca Pilkada
56,90% 43.10%
Divided Government
Unified Government
Keterangan : Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Hingga Desember 2006, menurut Depertemen Dalam Negeri ( www.depdagri.go.id), Pilkada telah dilangsungkan di 296 wilayah di seluruh Indonesia. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.
3
KAJIAN BULANAN
Tabel 1: Pola Pemerintahan di Daerah Pasca Pilkada Menurut Provinsi
PROVINSI
Divided Government
Unified Government
Jumlah
Jumlah
Persen (%)
Total
Persen (%)
Bangka Belitung
2
50.0
2
50.0
4
Bali
3
50.0
3
50.0
6
Banten
2
50.0
2
50.0
4
Bengkulu
7
87.5
1
12.5
8
Daerah Istimewa Yogyakarta
2
40.0
3
60.0
5
Gorontalo
3
60.0
2
40.0
5
Irian Jaya Barat
7
77.8
2
22.2
9
Jawa Barat
3
42.9
4
57.1
7
Jambi
4
50.0
4
50.0
8
Jawa Tengah
15
60.0
10
40.0
25
Jawa Timur
5
26.3
14
73.7
19
Kalimantan Barat
4
50.0
4
50.0
8
Kalimantan Selatan
8
100.0
0
0.0
8
Kalimantan Tengah
3
75.0
1
25.0
4
Kalimantan Timur
5
45.5
6
54.5
11
Kepulauan Riau
1
16.7
5
83.3
6
Lampung
4
66.7
2
33.3
6
Maluku
4
66.7
2
33.3
6
Maluku Utara
5
71.4
2
28.6
7
Nanggroe Aceh Darussalam
13
65.0
7
35.0
20
Nusa Tenggara Barat
2
33.3
4
66.7
6
Nusa Tenggara Timur
6
75.0
2
25.0
8
Papua
9
60.0
6
40.0
15
Riau
5
50.0
5
50.0
10
Sulawesi Barat
1
100.0
0
0.0
1
Sulawesi Selatan
7
58.3
5
41.7
12
Sulawesi Tengah
3
42.9
4
57.1
7
Sulawesi tenggara
3
50.0
3
50.0
6
Sulawesi Utara
4
50.0
4
50.0
8
Sumatera Barat
11
73.3
4
26.7
15
Sumatera Selatan
3
50.0
3
50.0
6
Sumatera Utara
11
55.0
9
45.0
20
TOTAL
165
56.9
125
43.1
290
Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.
4
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Tabel 2: Contoh Divided Government dan Unified Government di Provinsi Bengkulu dan Nusa Tenggara Timur Provinsi
Bengkulu
DPRD Kabupaten/ Kota/ Provinsi
Total Kursi di DPRD
Partai Kursi Terbesar
Kursi Partai Pemenang Pemilu Legislatif
Partai Penyokong Kepala Daerah
Jumlah
Persen
Kursi Partai Penyokong Kepala Daerah di DPRD Jumlah
Persen
7
16%
dan PKPI
8
32%
Prov. Bengkulu
45
Golkar
13
29%
PKS dan PBR
Kab.Kaur
25
Golkar
4
16%
PDIP, PKPB, P. Pelopor, PPD
NTT
Kab. Seluma
25
Golkar
5
20%
PKPI
5
20%
Kab. Muko-Muko
25
Golkar
4
16%
PDIP dan PKS
5
20%
Kab. Lebong
20
Golkar
5
25%
PPP, PBB
3
15%
Kab. Kepahiang
25
Golkar
8
32%
PDIP dan PPP
5
20%
Kab. Rejang Lebong
30
Golkar
11
37%
PKPB, PAN, PBR
7
23%
Kab. Bengkulu Utara
32
Golkar
9
28%
Golkar
9
28%
Kab. Sumba Timur
25
Golkar
11
44%
Golkar
11
44%
Kab. Sumba Barat
35
PDIP
10
29%
Golkar
10
29%
Kab. Flores Timur
30
Golkar
7
23%
PPDI, Demokrat, PKS, PBSD
6
20%
Kab. Timor Timur Utara
30
Golkar
13
43%
PDIP
13
43%
Kab. Lembata
20
Golkar
5
20%
Golkar
5
20%
Kab. Ngada
30
Golkar
7
23%
PD, PAN, PKPI
3
10%
Kab. Manggarai
40
Golkar
11
28%
PKB, PD, PPDI, 7
18%
6
24%
PNBK, PAN Kab. Manggarai Barat
25
PDIP
5
20%
PPDK, PD, PKB, PNBK, PBB, PPD, PKS, PDS
Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.
memilih anggota legislatif dari partai A, dan kepala daerah dari partai B.
pa partai. Penjelasan mana yang lebih sesuai dalam konteks Indonesia, tentu perlu penelitian tersendiri.
Kedua, penjelasan intensional. Penjelasan ini umumnya bersumber dari pendekatan-pendekatan rasional (ekonomi politik) dalam studi mengenai perilaku pemilih. Tindakan pemilih dalam membagi suara (split) di sini dipahami sebagai sikap rasional dan sengaja (purposif) dari pemilih. Sebelum masuk ke bilik suara pemilih memang secara sadar berusaha membagi suara agar kekuasaan tidak berpusat kepada salah satu partai.
Efektivitas Pemerintahan di Daerah Fenomena divided government penting dibahas karena berhubungan dengan efektivitas pemerintahan di daerah pasca Pilkada. Apakah pemerintahan berjalan secara efektif, berbagai kebijakan pembangunan bisa dijalankan ataukah justru pemerintahan di daerah diwarnai dengan konflik yang berkepanjangan—terutama antara kepala derah dengan DPRD.
Pemilih berusaha untuk menciptakan keseimbangan, dan itu bisa diperoleh jika kekuasaan tersebar pada bebera-
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), memberi kekuasaan yang besar
KAJIAN BULANAN
pada DPRD. Paling tidak terdapat tiga hubungan antara DPRD dengan kepala daerah.1 Pertama, hubungan dalam konteks legislasi. Hubungan antara kedua lembaga negara di sini adalah pada saat membuat peraturan daerah (Perda). Kedua lembaga sama-sama berhak untuk membuat perda (Pasal 140 ayat 1). Tetapi pada saat pembahasan tentang perda yang substansinya sama maka yang harus didahulukan adalah perda yang dibuat oleh legislatif, sedangkan perda yang dibuat oleh eksekutif sebagai bahan perbandingan (Pasal 140 ayat 2). Sebisa mungkin, sebuah perda memiliki kandungan filosofis, sosiologis, yuridis; atau dalam bahasa hukum seperti yang tertera dalam Pasal 137 - syarat perda dan Pasal 138 - asas perda). Sementara satu-satunya perda yang dibuat oleh pemda yang juga dibahas bersama DPRD adalah perda tentang Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (ABPD) (Pasal 181). Kedua, hubungan dalam konteks anggaran. Semua urusan pemerintahan di daerah didanai oleh APBD. APBD tersebut harus mendapat persetujuan dari DPRD karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah (Pasal 179) dalam melakukan pelayanan publik dalam masa satu tahun anggaran. Eksekutif kendati memiliki hak untuk membuatnya, tidak berarti harus menafikan DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama (Pasal 181). Dengan demikian keterlibatan DPRD di sini adalah membahas atau memberikan persetujuan atas rancangan APBD yang dibuat oleh eksekutif (Pasal 42 b). Walau akhirnya, eksekutif merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah (Pasal 156 ayat 1). Ketiga, hubungan dalam konteks pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh DPRD sebenarya merupakan manifestasi dari mekanisme check and balances dalam sistem demokrasi. Beberapa fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD tersebut adalah sebagai berikut: a) mengawasi pelaksanaan peraturan daerah dan perundang-undangan lainnya, b) mengawasi pelaksanaan keputusan pemerintah daerah (gubernur, bupati/ walikota), c) mengawasi pelaksanaan APBD, d) mengawasi kebijakan pemerintah daerah, dan e) mengawasi pelaksanaan kerja sama internasional di daerah (Pasal 42 ayat 1 huruf c), serta mengawasi KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.2
1
2
5
Secara teoritis, pemerintahan dengan pola unified government relatif lebih efektif dibandingkan dengan pemerintahan dengan pola divided government. Pada pemerintahan yang terbelah (divided government) potensial terjadi konflik—terutama apabila antara DPRD dan kepala daerah tidak sejalan. Baik dalam hal anggaran, pembuatan peraturan daerah hingga pengawasan, potensial terjadi konflik antara DPRD dengan kepala daerah. Kalangan DPRD bisa terus menerus mempersoalkan kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah. DPRD juga bisa tidak menyetujui anggaran (APBD) yang diajukan oleh kepala daerah, sehingga berbagai kebijakan yang telah dirancang oleh kepala daerah bisa terbengkalai. Jika kepala daerah tidak bisa menyelesaikan masalah dengan DPRD, pemerintahan akan terus menerus diwarnai oleh konflik berkepanjangan. Salah satu ilustrasi dari konflik antara kepala daerah dengan DPRD adalah apa yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi. Selama masa pemerintahan, bupati Ratna Ani Lestari tidak bisa berkonsentrasi dalam menjalankan program kerja akibat konflik yang berkepanjangan dengan DPRD. Bahkan berkali-kali anggota DPRD berencana memberhentikan (impeach) bupati. Kursi di DPRD mayoritas dikuasai oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dari 45 kursi yang ada, PKB menguasai 16 kursi. Dalam pemilihan kepala daerah, Ratna Ani Lestari didukung oleh partai kecil yang tidak mempunyai kursi di DPRD— PAN, PBR, PNBK dan sejumlah partai lain. Dalam kondisi seperti ini berbagai program kepala daerah bisa diganjal oleh DPRD. Lebih lanjut mengenai kecenderungan konflik pasca Pilkada, terutama di Kabupaten Banyuwangi, lihat dalam tulisan 2 dalam newsletter ini (Fluktuasi Hubungan Lembaga Politik dan Birokrasi Pasca Pilkada). Besar kecilnya potensi konflik antara kepala daerah dengan DPRD ini tergantung kepada dua hal. Pertama, kemampuan kepala daerah dalam menjalin hubungan dengan DPRD. Jika kepala daerah bisa melakukan komunikasi (lobi) dengan anggota DPRD, potensi konflik ini bisa diredam. Kedua, dukungan kursi minimal yang dipunyai, terutama dari partai pendukung kepala daerah. Dalam perjalanannya, kepala daerah memang bisa mendapat dukungan dari partai lain. Tetapi paling tidak dukungan minimal bisa didapatkan dari partai pendukung
Uraian dan penjelasan mengenai hubungan antara kepala daerah dan DPRD ini disarikan dari sejumlah bahan, diantaranya Lexy Armanjaya, “Reformulasi Hubungan DPRD-Kepala Daerah”, Sinar Harapan, 23 Februari 2007; Budiman Rusli,” Hubungan DPRD Kepala Daerah Pasca-Pilkada Langsung”, Pikiran Rakyat, 27 Juni 2005. Ketika DPRD melakukan tugas-tugas pengawasan tersebut dan ternyata banyak hal yang diharapkan tidak terlaksana dengan baik oleh eksekutif maka DPRD dapat menggunakan hak-haknya seperti pada Pasal 43 ayat (1) yaitu hak menyatakan pendapat, hak interpelasi dan hak angket. Penggunaan ketiga hak ini oleh DPRD memungkinkan pemerintah daerah di-impeach. Sehingga kemungkinan munculnya implikasi negatif dari pemberian hak yang sangat besar kepada DPRD (legislative heavy) juga perlu mendapat perhatian, yaitu kemungkinan terjadinya “konflik” yang berkepanjangan antara kepala daerah dan DPRD.
6
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Grafik 2: Apakah Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih Mempunyai Kursi Mayoritas di DPRD?
86.21%
13.79%
Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih Mempunyai Kursi Mayoritas di DPRD
Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih Tidak Mempunyai Kursi Mayoritas di DPRD
Keterangan: Yang dimaksud kursi mayoritas di sini adalah jumlah kursi di atas 50 persen dari total kursi di DPRD. Untuk kepala daerah yang didukung oleh koalisi partai, perolehan kursi dibuat dengan menjumlah kursi dari semua partai anggota koalisi. Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia
saat pencalonan dalam pemilihan kepala daerah. Yang menarik, dari 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006, sebagian besar ditandai dengan fakta bahwa partai pendukung kepala daerah tidak menguasai kursi mayoritas di DPRD. Sebanyak 86.21% dari wilayah yang telah melangsungkan Pilkada, partai pengusung kepala daerah tidak mempunyai kursi mayoritas di DPRD (Lihat Grafik 2). Tabel 3 merinci lebih lanjut mengenai kursi di DPRD ini menurut provinsi. Jika partai atau koalisi partai pendukung kepala daerah tidak mengusai mayoritas kursi di DPRD, lalu seberapa besar kekuatan dari partai penyokong kepala daerah ini? Grafik 3 memperlihatkan kekuatan kursi yang dipunyai oleh partai penyokong kepala daerah di DPRD. Dari grafik ini terlihat, sebagian besar (45.52%), wilayah yang telah melangsungkan Pilkada ditandai dengan kenyataan partai penyokong kepala daerah mempunyai kekuatan lemah— dengan jumlah kursi di DPRD antara 15 hingga 30 persen. Ini menunjukkan, pasca Pilkada di banyak wilayah potensial terjadi konflik antara kepala daerah terpilih dengan
3
DPRD. Yang menarik, sebanyak 9.66% wilayah ditandai oleh kekuatan partai yang sangat lemah—jumlah kursi di DPRD di bawah 15%.3 Tabel 4 merinci lebih lanjut kekuatan kursi partai pendukung kepala daerah terpilih ini menurut provinsi. Besar kecilnya kekuatan partai pendukung di DPRD ini menentukan potensi besar kecilnya konflik dan pola hubungan antara kepala daerah dengan DPRD. Kepala daerah yang didukung oleh partai dengan kursi minoritas di DPRD harus siap-siap konflik dengan DPRD. Pola Akomodasi dan Konsolidasi Tulisan ini hanya memfokuskan pada potensi konflik yang mungkin terjadi akibat pemerintah di daerah yang terbelah —dimana kepala daerah dan mayoritas kursi di DPRD dikuasai oleh partai yang berbeda. Apakah pemerintahan daerah yang mengalami divided government cenderung tidak stabil kondisi politiknya, perlu penelitian lebih lanjut. Tidak selamanya wilayah yang mengalami unified government, politik lokal akan stabil. Sebaliknya, tidak
Ini terjadi di sejumlah wilayah. Sebagai ilustrasi sebagai berikut. Di Kabupaten Belitung Timur, partai pendukung kepala daerah (PIB, PNBK) hanya menguasi 3 kursi (15%) dari total kursi DPRD. Di Kabupaten Banyuwangi, partai pendukung kepala daerah bahkan tidak mempunyai satu pun kursi di DPRD. Di Kota Tomohan, kepala daerah didukung oleh partai dengan kursi minoritas di DPRD (PNIM, PNBK, PKPB, PPD dan P. Pancasila). Total kursi dari partai-partai ini adalah 2 kursi (10%) dari total 21 kursi di DPRD Kota Tomohon. Di Kabupaten Seram Bagian Timur juga demikian. Partai pendukung kepala daerah (PKS, PKPB, PKPI) hanya mempunyai 2 kursi (10%) dari keseluruhan kursi di DPRD. Di Kabupaten Rembang, kepala daerah terpilih didukung oleh PAN dan partai kecil lain, yang total hanya menguasai 2 kursi (4%) dari total kursi di DPRD yang mencapai 45 kursi. Di Kabupaten Dompu, dari total 21 kursi di DPRD, hanya 3 kursi saja yang dikuasai oleh partai pendukung kepala daerah (Golkar). Di Kabupaten Bulukumba juga demikian. Kepala daerah terpilih hanya didukung oleh partai yang menguasai 14 persen (5 kursi) kursi di DPRD—dalam hal ini PDIP dan PBB.
7
KAJIAN BULANAN
Tabel 3: Kursi Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih Menurut Provinsi
PROVINSI
Partai Pengusung
Partai Pengusung
Kepala Daerah Terpilih Mempunyai Kursi Mayoritas di DPRD
Kepala Daerah Terpilih Tidak Mempunyai Kursi Mayoritas di DPRD
Jumlah
Jumlah
Persen (%)
Total
Persen (%)
Bangka Belitung
1
25.0
3
75.0
4
Bali
2
33.3
4
66.7
6
Banten
1
25.0
3
75.0
4
Bengkulu
0
0.0
8
100.0
8
Daerah Istimewa Yogyakarta
1
20.0
4
80.0
5
Gorontalo
1
20.0
4
80.0
5
Irian Jaya Barat
1
11.1
8
88.9
9
Jawa Barat
1
14.3
6
85.7
7
Jambi
3
37.5
5
62.5
8
Jawa Tengah
4
16.0
21
84.0
25
Jawa Timur
8
42.1
11
57.9
19
Kalimantan Barat
0
0.0
8
100.0
8
Kalimantan Selatan
0
0.0
8
100.0
8
Kalimantan Tengah
0
0.0
4
100.0
4
Kalimantan Timur
2
18.2
9
81.8
11
Kepulauan Riau
0
0.0
6
100.0
6
Lampung
2
33.3
4
66.7
6
Maluku
0
0.0
6
100.0
6
Maluku Utara
0
0.0
7
100.0
7
Nanggroe Aceh Darussalam
2
10.0
18
90.0
20
Nusa Tenggara Barat
0
0.0
6
100.0
6
Nusa Tenggara Timur
0
0.0
8
100.0
8
Papua
0
0.0
15
100.0
15
Riau
2
20.0
8
80.0
10
Sulawesi Barat
0
0.0
1
100.0
1
Sulawesi Selatan
1
8.3
11
91.7
12
Sulawesi Tengah
2
28.6
5
71.4
7
Sulawesi tenggara
0
0.0
6
100.0
6
Sulawesi Utara
2
25.0
6
75.0
8
Sumatera Barat
0
0.0
15
100.0
15
Sumatera Selatan
0
0.0
6
100.0
6
Sumatera Utara
4
20.0
16
80.0
20
TOTAL
40
13.8
250
86.2
290
Keterangan: Yang dimaksud kursi mayoritas di sini adalah jumlah kursi di atas 50 persen dari total kursi di DPRD. Untuk kepala daerah yang diukung oleh koalisi partai, perolehan kursi dibuat dengan menjumlah kursi dari semua partai anggota koalisi. Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia
8
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Grafik 3: Kekuatan Kursi Partai Penyokong Kepala Daerah Terpilih di DPRD
45.52%
28.28%
9.66%
Sangat lemah (Jumlah kursi di DPRD <15%)
7.93%
Lemah (Jumlah kursi di DPRD 15-30%)
Sedang (Jumlah kursi di DPRD 31-45%)
Kuat (Jumlah kursi di DPRD 46-60%)
8.62%
Sangat kuat (Jumlah kursi di DPRD >60%)
Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.
selamanya juga wilayah dengan kondisi divided government, pasti kondisi politik lokal tidak stabil (terjadi konflik antara kepala daerah dengan DPRD). 4 Tulisan ini hanya memperlihatkan adanya potensi masalah yang harus dihadapi oleh kepala daerah terpilih hasil Pilkada. Tetapi pada akhirnya, keberhasilan dan efektifitas pemerintahan lebih ditentukan oleh kemampuan kepala daerah dalam menjalin komunikasi dengan DPRD. Konflik harus dipahami secara sehat sebagai bagian dari kritik dan chek and balances kekuasaan. Kepala daerah harus melihat kondisi divided government ini tidak hitam putih. Lobi dan komunikasi dengan anggota DPRD bisa dilakukan agar program dan kebijakan bisa dijalankan dengan baik. Sistem politik yang multi partai seperti di Indonesia sebenarnya memberi kesempatan luas kepada kepala daerah untuk mendapatkan dukungan 4
dari legislatif. Kepala daerah hasil Pilkada meski didukung oleh minoritas partai politik di DPRD, tetap mempunyai kesempatan besar mendapat dukungan dai DPRD asal bisa berkomunikasi dengan baik, melakukan konsensus. Mengapa? Hal ini karena partai pemenang Pemilu Legislatif sebenarnya juga tidak menguasai mayoritas kursi di DPRD. Dalam sistem multi partai, kursi di DPRD dikuasi oleh banyak partai, sehingga antara kepala daerah dengan partai terbesar di DPRD sebenarnya tidak berhadapan secara diametral. Grafik 4 memperlihatkan dengan jelas kondisi tersebut. Dari grafik ini terlihat, pemenang Pemilu Legislatif sebagian besar hanya menguasai antara 15-30% kursi di DPRD. Ini berarti kekuatan pemenang Pemilu Legislatif juga lemah di DPRD. Baik partai pemenang pemilu legislatif maupun partai pendukung kepala daerah harus bekerjasama atau koalisi dengan partai lain dalam
Jika melihat pengalaman beberapa negara yang mengalami divided government, tidaklah otomatis divided government selalu menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif. Di Amerika Serikat, selama 50 tahun lebih, hampir semua pemerintahan hidup dalam divided government. Ternyata mereka mampu bekerja sama dengan Kongres yang dikuasai partai oposisi untuk menghasilkan berbagai agenda penting. Presiden Bill Clinton (Partai Demokrat), misalnya, bersama Kongres yang mutlak dikuasai Partai Republik berhasil melahirkan UU untuk besar-besaran mereformasi welfare system. Presiden Ronald Reagan (Republikan) bersama Kongres yang dikuasai Partai Demokrat mampu menghasilkan sistem perpajakan yang dipakai hingga kini. UU Udara Bersih, yang didorong Presiden Richard Nixon (Republikan) juga dihasilkan ketika Kongres dikuasai Partai Demokrat. Suatu penelitian yang dilakukan Joseph Klesner (profesor di Kenyon College, Ohio, AS) atas divided government pada periode Kepresidenan Ernesto Zedillo (19972000) menunjukkan, pemerintah dapat membangun koalisi temporer dengan partai-partai oposisi berdasar isu-isu tertentu. Penelitian lain yang dilakukan Benito Nacif, peneliti di lembaga think thank di Meksiko bernama CIDE, atas periode kepresidenan Vincente Fox 2000-2003 juga menunjukkan pemerintah dan partai yang berseberangan tetap bisa bekerja sama dan membangun koalisi berdasar isu-isu. Dikutip dari Bara Hasibuan, “ Pemerintahan Yang Terbelah”, Kompas, 7 Agustus 2003.
9
KAJIAN BULANAN
Tabel 4: Kekuatan Kursi Partai Penyokong Kepala Daerah Terpilih di DPRD Menurut Provinsi Lemah (Jumlah Kursi di DPRD < 30%)
Sedang (Jumlah Kursi di DPRD 31-45%)
Kuat (Jumlah Kursi di DPRD >45%)
Jumlah
Persen (%)
Jumlah
Persen (%)
Jumlah
Persen (%)
Bangka Belitung
3
75.0
0
0.0
1
25.0
4
Bali
1
16.7
2
33.3
3
50.0
6
Banten
1
25.0
2
50.0
1
25.0
4
Bengkulu
7
87.5
1
12.5
0
0.0
8
DIY
2
40.0
2
40.0
1
20.0
5
Gorontalo
2
40.0
2
40.0
1
20.0
5
Irian Jaya Barat
5
55.6
3
33.3
1
11.1
9
Jawa Barat
4
57.1
2
28.6
1
14.3
7
Jambi
4
50.0
1
12.5
3
37.5
8
Jawa Tengah
7
28.0
14
56.0
4
16.0
25
PROVINSI
Total
Jawa Timur
4
21.1
5
26.3
10
52.6
19
Kalimantan Barat
5
62.5
3
37.5
0
0.0
8
Kalimantan Selatan
5
62.5
3
37.5
0
0.0
8
Kalimantan Tengah
3
75.0
1
25.0
0
0.0
4
Kalimantan Timur
7
63.6
1
9.1
3
27.3
11
Kepulauan Riau
5
83.3
1
16.7
0
0.0
6
Lampung
3
50.0
1
16.7
2
33.3
6
Maluku
6
100.0
0
0.0
0
0.0
6
Maluku Utara
4
57.1
3
42.9
0
0.0
7
NAD
16
80.0
2
10.0
2
10.0
20
Nusa Tenggara Barat
5
83.3
1
16.7
0
0.0
6
Nusa Tenggara Timur
6
75.0
2
25.0
0
0.0
8
Papua
11
73.3
3
20.0
1
6.7
15
Riau
5
50.0
3
30.0
2
20.0
10
Sulawesi Barat
1
100.0
0
0.0
0
0.0
1
Sulawesi Selatan
6
50.0
3
25.0
3
25.0
12
Sulawesi Tengah
4
57.1
1
14.3
2
28.6
7
Sulawesi tenggara
4
66.7
1
16.7
1
16.7
6
Sulawesi Utara
3
37.5
3
37.5
2
25.0
8
Sumatera Barat
7
46.7
8
53.3
0
0.0
15
Sumatera Selatan
5
83.3
1
16.7
0
0.0
6
Sumatera Utara
9
45.0
7
35.0
4
20.0
20
TOTAL
160
55.2
82
28.3
48
16.6
290
Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.
10
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Grafik 4: Perbandingan Kekuatan Kursi Partai Penyokong Kepala Daerah Terpilih dan Pemenang Pemilu Legislatif di DPRD 55.52%
45.52%
34.83% 28.28%
9.66%
7.93% 7.24%
1.38%
1.03% Sangat lemah (Jumlah kursi di DPRD <15%)
8.62%
Lemah (Jumlah kursi di DPRD 15-30%)
Sedang (Jumlah kursi di DPRD 31-45%)
Kuat (Jumlah kursi di DPRD 46-60%)
Sangat kuat (Jumlah kursi di DPRD >60%)
Kursi Partai Pemenang Pilkada di DPRD Kursi Partai Pemenang Pemilu Legilatif di DPRD
Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.
menggolkan suatu kebijakan. Tabel 5 merinci kekuatan partai pemenang Pemilu Legislatif menurut partai politik. Tabel 6 merinci kekuatan partai pemenang Pemilu Legislatif menurut provinsi. Masalahnya, banyak kepala daerah yang melihat divided government ini sebagai monster yang menakutkan dan harus dihindari dengan segala cara. Jika pemerintah tidak didukung kekuatan mayoritas di legislatif, dikhawatirkan pemerintahan tidak lancar dan terjadi kemacetan dalam penyusunan kebijakan. Ketakutan ini yang mendominasi suasana politik di banyak daerah. Akibatnya, banyak kepala daerah melakukan politik akomodasi yang tidak sehat. Ada beberapa politik akomodasi yang kerap dilakukan. Pertama, membagi-bagi kekuasaan di daerah kepada orang-orang yang dekat dengan partai. Terpilihnya kepala daerah baru kerap diikuti dengan gerbong mutasi kepala dinas-kepala dinas. Tujuannya jelas, kepala daerah yang
5
tidak mendapat dukungan di legislatif ingin memperluas dukungan dari partai dengan menempatkan orang-orang partai atau orang yang didukung oleh partai di jajaran birokrasi. Kepala derah umumnya “bagi-bagi jabatan” kepada orang dari partai politik. Penempatan orang-orang partai di jajaran birokrasi ini juga untuk menegaskan kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah adalah tanggungjawab bersama, tidak bisa ditimpakan kepada satu orang. 5 Kedua, memberikan insentif kepada anggota legislatif— bisa berupa kenaikan gaji, pemberian tunjangan, tambahan fasilitas dan sebagainya—yang dananya didapatkan dari APBD. Kerap kali terjadi, berbagai fasilitas dan tunjangan ini diusulkan oleh kepala daerah. Pola akomodasi ini dimaksudkan agar anggota DPRD tidak kritis dengan apa yang dilakukan oleh kepala daerah. Ketiga, melakukan sogokan kepada anggota legislatif atau korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. Ini umumnya
Pola ini bukan khas politik lokal tetapi juga nasional. Agar pemerintahannya didukung oleh partai besar, Presiden Susilo Bambang Yuhoyono membentuk kabinet yang terdiri dari orang dari beragam partai. Tujuannya jelas, agar kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah nantinya didukung minimal tidak diganggu gugat oleh partai-partai di parlemen.
11
KAJIAN BULANAN
Tabel 5: Kekuatan Kursi Partai Pemenang Pemilu Legislatif di DPRD
PARTAI
Lemah (Jumlah Kursi di DPRD < 30%)
Sedang (Jumlah Kursi di DPRD 31-45%)
Kuat (Jumlah Kursi di DPRD >45%)
Total
Jumlah
Persen (%)
Jumlah
Persen (%)
Jumlah
Persen (%)
Demokrat
1
100.0
0
0.0
0
0.0
1
Golkar
117
60.9
62
32.3
13
6.8
192
PAN
4
80.0
1
20.0
0
0.0
5
PBB
0
0.0
1
100.0
0
0.0
1
PBSD
0
0.0
1
100.0
0
0.0
1
PDIP
22
44.9
20
40.8
7
14.3
49
PDIP-Golkar
2
25.0
4
50.0
2
25.0
8
PDIP-PKS
1
100.0
0
0.0
0
0.0
1
PD-PBR
0
0.0
1
100.0
0
0.0
1
PDS
2
100.0
0
0.0
0
0.0
2
Pelopor
2
100.0
0
0.0
0
0.0
2
PKB
1
9.1
9
81.8
1
9.1
11
PKB-PDIP
0
0.0
0
0.0
1
100.0
1
PKPI
1
100.0
0
0.0
0
0.0
1
PKS
4
100.0
0
0.0
0
0.0
4
PKS-Golkar
0
0.0
2
100.0
0
0.0
2
PPP
5
100.0
0
0.0
0
0.0
5
PP-PAN-PKS
1
100.0
0
0.0
0
0.0
1
PPP-Golkar
1
50.0
0
0.0
1
50.0
2
TOTAL
164
56.6
101
34.8
25
8.6
290
Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.
terjadi saat pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD). Kepala daerah umumnya mengalokasikan anggaran untuk anggota legislatif dengan tujuan agar rancangan APBD diterima oleh DPRD.6 Jika ini yang terjadi divided government bukan melahirkan chek and balances, sebaliknya melahirkan korupsi dan nepotisme bersama. (Eriyanto) Daftar Pustaka Alvarez, Michael and Matthew M. Schousen, “Policy Moderation or Conflicting Expectations: Testing the Intentional Models of Split-Ticket Voting”, American Politics Quarterly, Vol. 21, No. 4, Oktober, 1993. Anugrah, Panji, “ Pilkada Langsung dan Mitos Good Governance”, dalam Pheni Chalid (ed), Pilkada Langsung: Demokratisasi daerah dan Mitos Good
6
Governance, Jakarta, Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2004. Armanjaya, Lexy, “Reformulasi Hubungan DPRD-Kepala Daerah”, Sinar Harapan, 23 Februari 2007 Hasibuan, Bara, “ Pemerintahan Yang Terbelah”, Kompas, 7 Agustus 2003. Lewis-Beck, Michael and Richard Nadeau, “Split-Ticket Voting: The Effect of Cognitive Madisonianism”, The Journal of Politics, Vol. 65, No. 1, February 2004. Roscoe, Douglas D.,” The Choosers or the Choice? Voter Characteristics and the Structure of Electoral Competition as Explanations for Ticket Splitting”, The Journal of Politics, Vol. 65, No. 4, November, 2003. Rusli, Budiman, “ Hubungan DPRD - Kepala Daerah Pasca-Pilkada Langsung”, Pikiran Rakyat, 27 Juni 2005.
Lihat Panji Anugrah, “ Pilkada Langsung dan Mitos Good Governance”, dalam Pheni Chalid (ed), Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Jakarta, Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2004.
12
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Tabel 6: Kekuatan Kursi Partai Pemenang Pemilu Legislatif di DPRD Menurut Provinsi Lemah (Jumlah Kursi di DPRD < 30%)
Sedang (Jumlah Kursi di DPRD 31-45%)
Kuat (Jumlah Kursi di DPRD >45%)
Jumlah
Persen (%)
Jumlah
Persen (%)
Jumlah
Persen (%)
Bangka Belitung
3
75.0
1
25.0
0
0.0
4
Bali
0
0.0
1
16.7
5
83.3
6
Banten
3
75.0
1
25.0
0
0.0
4
Bengkulu
6
75.0
2
25.0
0
0.0
8
DIY
3
60.0
2
40.0
0
0.0
5
PROVINSI
Total
Gorontalo
0
0.0
2
40.0
3
60.0
5
Irian Jaya Barat
4
44.4
5
55.6
0
0.0
9
Jawa Barat
2
28.6
5
71.4
0
0.0
7
Jambi
7
87.5
1
12.5
0
0.0
8
Jawa Tengah
10
40.0
13
52.0
2
8.0
25
Jawa Timur
4
21.1
12
63.2
3
15.8
19
Kalimantan Barat
4
50.0
4
50.0
0
0.0
8
Kalimantan Selatan
6
75.0
1
12.5
1
12.5
8
Kalimantan Tengah
2
50.0
2
50.0
0
0.0
4
Kalimantan Timur
7
63.6
3
27.3
1
9.1
11
Kepulauan Riau
6
100.0
0
0.0
0
0.0
6
Lampung
3
50.0
2
33.3
1
16.7
6
Maluku
5
83.3
1
16.7
0
0.0
6
Maluku Utara
5
71.4
2
28.6
0
0.0
7
NAD
19
95.0
1
5.0
0
0.0
20
Nusa Tenggara Barat
4
66.7
2
33.3
0
0.0
6
Nusa Tenggara Timur
6
75.0
2
25.0
0
0.0
8
Papua
11
73.3
3
20.0
1
6.7
15
Riau
7
70.0
3
30.0
0
0.0
10
Sulawesi Barat
1
100.0
0
0.0
0
0.0
1
Sulawesi Selatan
1
8.3
8
66.7
3
25.0
12
Sulawesi Tengah
4
57.1
2
28.6
1
14.3
7
Sulawesi tenggara
3
50.0
2
33.3
1
16.7
6
Sulawesi Utara
1
12.5
5
62.5
2
25.0
8
Sumatera Barat
8
53.3
6
40.0
1
6.7
15
Sumatera Selatan
5
83.3
1
16.7
0
0.0
6
Sumatera Utara
14
70.0
6
30.0
0
0.0
20
TOTAL
164
56.6
101
34.8
25
8.6
290
Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.
13
KAJIAN BULANAN
Fluktuasi Hubungan Lembaga Politik (Eksekutif-Legislatif) dan Birokrat Pasca Pilkada
C
ITA-CITA utama adanya penyelenggaraan Pilkada secara langsung adalah terpilihnya sebuah struktur politik lokal yang demokratis dan sistem pemerintahan yang mampu berjalan secara efektif. Melalui Pilkada, rakyat memiliki kesempatan lebih luas untuk menentukan pasangan pemimpin eksekutif sesuai dengan yang dikehendaki. Harapan terbesar tentunya para pemimpin yang terpilih melalui Pilkada agar mampu menjalankan fungsi dan perannya dalam berbagai kebijakan publik dengan lebih optimal. Apa yang terjadi jika pasangan bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, gubernur/wakil gubernur, DPRD dan birokrasi serta masyarakat terus mengalami keretakan hubungan internal, eksternal, vertikal dan horizontal? Kondisi inilah yang seringkali mewarnai relasi kekuasaan Pasca Pilkada. Ada beberapa fenomena yang kerapkali terjadi. Pertama, keretakan internal terjadi ketika kedua pasangan tersebut tidak lagi harmonis. Kedua, keretakan eksternal terjadi ketika kedua pasangan tersebut, atau salah satunya mengalami ketegangan dan konflik dengan pimpinan DPRD atau pihak DPRD. Ketiga, keretakan vertikal terjadi ketika kedua pasangan tersebut mengalami ketegangan dan konflik dengan pimpinan birokrasi dan struktur birokrasi di semua lapisan. Keempat, keretakan horizontal terjadi ketika kedua pasangan tersebut, atau salah satunya terus menerus mendapatkan desakan mundur (deligitimasi) oleh publik.
KEEMPAT model keretakan, ketegangan dan keterbelahan inilah yang akan menjadi ulasan dalam artikel ini. Kasus pasca Pilkada di Kabupaten Banyuwangi dan Kota Depok akan disajikan untuk menggambarkan bagaimana modelmodel keretakan dan ketegangan yang melibatkan eksekutif-legislatif pasca Pilkada berlangsung. Beberapa data juga akan disajikan bagaimana potensi konflik yang muncul menjelang Pilkada ikut memberikan dampak terhadap konflik-konflik pada level aktor, kelembagaan dan konflik massa pasca Pilkada. Analisis juga memaparkan bagaimana solusi yang memungkinkan untuk dilakukan di dalam menyikapi fenomena keretakan, ketegangan dan
keterbelahan yang melibatkan eksekutif-legislatif dan birokrasi yang terus berlangsung pasca Pilkada. Pasca Pilkada, tidak semua daerah mampu menghasilkan struktur dan sistem pemerintahan yang efektif. Padahal, Pilkada sejak semula didesain untuk melahirkan sistem demokrasi pada level lokal dengan dukungan kinerja pemerintahan yang kuat dan efektif. Bahkan pasca Pilkada, di berbagai daerah seringkali diwarnai dengan berbagai keretakan, ketegangan dan konflik. Hal tersebut bisa muncul baik pada level aktor politik, lembagalembaga politik dan birokrasi dan masyarakat.
14
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Salah satu sumber keretakan, ketegangan dan konflik pasca Pilkada yang sangat menonjol adalah antara eksekutif (kepala daerah/wakil kepala daerah) dengan legislatif (DPRD), Parpol, NGO/LSM dan massa. Fenomena keretakan, ketegangan dan konflik antara lembagalembaga politik dan masyarakat tersebut pada akhirnya memunculkan keterbelahan kekuasaan pemerintahan, tidak efektif dan rentan dengan berbagai keretakan, ketegangan dan konflik. Pemerintahan dengan kondisi tersebut seringkali dikenal dengan istilah divided government.1 Divided government berlangsung ketika kepala daerah atau wakil kepala daerah tidak berasal satu partai dengan mayoritas anggota DPRD. Sebaliknya, united government/unified government berlangsung ketika kepala daerah atau wakil kepala daerah berasal dari satu partai dengan mayoritas anggota DPRD2. Fenomena Divided government didominasi oleh adanya beragam keretakan, ketegangan dan konflik yang berlangsung pada elit/aktor politik dan lembaga-lembaga birokrasi. Namun ketegangan antara elit/aktor politik dan lembaga-lembaga birokrasi dengan massa juga bisa memperuncing derajat keretakan, ketegangan dan konflik yang berdampak pada kinerja lembaga pemerintahan dan sistem demokrasi di masing-masing daerah. Fenomena keretakan, ketegangan dan konflik antar aktor politik maupun antar lembaga politik di Indonesia tidak
1
2
3
4
5
dapat dipisahkan dari model relasi kekuasaan di atas. Proses pilkada di Indonesia seringkali memiliki latar belakang dan konteks ekonomi-politik yang beragam dan sangat kompleks. Arus kepentingan ekonomi-politik dari para aktor politik, maupun lembaga-lembaga politik yang menjadi pelaku Pilkada berdampak besar bagi munculnya keretakan, ketegangan dan konflik pasca Pilkada3. Ada beberapa model keretakan, ketegangan dan konflik yang muncul pasca Pilkada. Pertama, keretakan, ketegangan dan konflik di kalangan elit/aktor politik. Kedua, keretakan, ketegangan dan konflik di kalangan lembagalembaga politik dan birokrasi. Ketiga, keretakan, ketegangan dan konflik pada level massa. Realitas politik di lapangan menunjukkan bahwa ketiga model keretakan, ketegangan dan konflik tersebut seringkali memiliki keterkaitan satu sama lain. Bahkan masing-masing model ikut memberikan dampak terhadap sirkulasi keretakan, ketegangan dan konflik pada masing-masing aktor/elit politik maupun pada lembaga-lembaga politik. Ketegangan dan Konflik di Kalangan Elit/Aktor Politik Ada beberapa model keretakan, ketegangan dan konflik pada level ini. Pertama, keretakan, ketegangan dan konflik antar ketua/anggota parpol (baik pada level DPD/DPW dan DPC)4. Kedua, ketegangan dan konflik antar partai politik. Ketiga, ketua/anggota partai politik versus ketua/ wakil ketua DPRD5.
Fenomena divided government dan united government di berbagai negara demokrasi memiliki dampak terhadap efektifitas kinerja pemerintahan dan arah kebijakan publik. Secara umum, divided government berdampak pada munculnya berbagai kebijakan publik yang tidak responsif terhadap kebutuhan publik dan menimbulkan pola kebijakan yang tidak efektif. Sebaliknya united government— baik pada level Negara maupun pemerintahan lokal/federal—akan memberikan dampak berlangsungnya sistem pemerintahan yang lebih efektif dan kebijakan yang mampu merespon kebutuhan, keinginan dan tuntutan publik. Lebih lanjut tentang hal ini lihat dalam John J. Coleman, “Unified Government, Divided Government, and Party Responsiveness”, The American Political Science Review, Vol. 93, No. 4, Desember 1999, pp. 821-835. Bandingkan dengan William Niskanen (2003), A Case for Divided Government, dalam http://www.cato.org/dailys/05-07-03.html. Selain itu, lihat juga dalam Stephen Slivinski (2005), Would Divided Government Be Better?, dalam http://www.cato.org/pub_display.php?pub_id=6650. Fenomena divided government dan united government telah berlangsung di berbagai negara yang menerapkan demokrasi langsung dalam pemilihan eksekutif (kepala daerah dan wakil kepala daerah) dan legislatif (senate dan house of representative). Studi komparasi tentang fenomena divided government dan united government di Amerika Serikat, Ekuador, Meksiko, Finlandia, Perancis, Polandia, Denmark, Jerman dan Irlandia lihat dalam Robert Elgie (Eds), Divided Government in Comparative Perspective. Robert Dublin City University, Ireland, 2001 Kuatnya warisan struktur sosial feodal dan rejim oligarki di daerah menjadikan proses demokrasi didominasi oleh kepentingan ekonomi-politik para elit. Otonomi daerah bahkan menciptakan ruangan bagi perjuangan kepentingan individu elit daerah. Syarif Hidayat (2006) melihat ada tiga bentuk kepentingan individu para elit lokal. Pertama, kepentingan ekonomi (seeking economic ends). Kedua, kepentingan untuk pengembangan karier (career advancement). Ketiga, kepentingan untuk sponsor politik (political sponsorship). Lihat Syarif Hidayat “Mencari Terapi Pilkada Terbaik”, Batam Pos, 26 Agustus, 2006. Keretakan, ketegangan dan konflik pada level ini biasa berlangsung sejak menjelang pencalonan hingga pasca pencalonan dalam Pilkada. Salah satu contoh di sini misalnya konflik terjadi antara DPC Partai Demokrat Kota Semarang dan DPD Partai Demokrat Jawa Tengah. Dalam hal ini terjadi silang pendapat menyangkut kepengurusan partai dalam mengusung calon wali kota Semarang. Contoh lainnya misalnya, konflik dalam tubuh DPC PDI-P Boyolali. Hal ini dilatarbelakangi kondisi politik dimana Antara DPC dan sebagian besar PAC terjadi ketidaksepakatan menyangkut calon bupati yang akan mereka ajukan. Hal ini banyak terjadi di berbagai daerah pasca pilkada. Salah satunya misalnya di Kabupaten Banyuwangi. Jajaran pimpinan dan fraksi-fraksi di DPRD menyimpulkan kinerja Bupati Ratna Ani Lestari tidak efektif dan ditolak oleh masyarakat. Oleh karena itu mereka mendukung bupati secara legowo mengundurkan diri (Tempointeraktif, 4 Mei 2006).
KAJIAN BULANAN
Keempat, keretakan, ketegangan dan konflik antara kepala daerah/wakil kepala daerah6. Kelima, keretakan, ketegangan dan konflik antara kepala daerah/wakil kepala daerah versus ketua partai politik7. Keenam, ketegangan dan konflik antara kepala daerah /wakil kepala daerah versus tokoh-tokoh masyarakat. Ketujuh, ketegangan dan konflik antara pimpinan KPUD, DPRD dan pimpinan partai politik8. Keretakan, ketegangan dan konflik di atas terus menerus tidak lepas dari proses politik yang terjebak dalam perangkap demokrasi elektoral. Demokrasi elektoral merupakan konsep yang menekankan pada pertarungan kompetitif dalam memperoleh suara rakyat. Pasca Pilkada langsung dalam kadar tertentu elit politik seringkali terperangkap demokrasi elektoral. Di kalangan aktor politik masing-masing daerah ada kecenderungan kuat dimana dalam merumuskan makna demokrasi para aktor politik selalu merujuk pada tiga hal yang paling elementer; partisipasi, kompetisi dan liberalisasi. Akibatnya fluktuasi relasi kekuasaan terus menerus terjadi di tengah berbagai ketidakpuasan hasil Pilkada dan model kepemimpinan politik dari pejabat publik yang telah terpilih. Trend menguatnya penekanan yang berlebihan pada elektoralisme menimbulkan beberapa kosekuensi 9 . Pertama, demokrasi seolah-olah sudah selesai untuk dibicarakan ketika sistem pemilihan yang menjamin
6
7
8
9 10
11
15
partisipasi dan kompetisi politik secara formal sudah terbangun. Kedua, konsep-konsep demokrasi elektoral beresiko menimbulkan potensi kekeliruan elektoralisme. Kekeliruan elektoralisme ini terjadi ketika konsep itu mengistimewakan pemilu di atas dimensi-dimensi lain, dan mengabaikan kemungkinan yang bisa ditimbulkan pemilu multi partai dalam menyisihkan hak sebagian masyarakat tertentu untuk bersaing memperebutkan kekuasaan atau meningkatkan dan membela kepentingannya, atau menciptakan arena-arena pembuatan kebijakan penting yang berada di luar kendali para pejabat terpilih10. Ketiga, optimisme yang menggebu dari konsep demokrasi elektoral dalam menciptakan kepastiankepastian membuat konsep ini mengabaikan faktor-faktor di luar dimensi pemilu dan partai politik, seperti budaya politik dan legitimasi demokrasi. Keempat, demokrasi elektoral cenderung formalis dan prosedural sehingga gagal untuk menjelaskan kemunculan bentuk-bentuk partisipasi dan kompetisi semu11. Ketegangan dan Konflik di Kalangan Lembaga Politik dan Birokrasi Ketegangan dan konflik yang berlangsung dalam lembaga-lembaga politik (eksekutif dan legislatif) dan birokrasi pada umumnya berlangsung secara kompleks. Masing-masing kelembagaan politik memiliki derajat
Keretakan, ketegangan dan konflik pada level ini kecenderungan kuat berlangsung di kalangan pasangan Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memiliki latarbelakang partai politik, latarbelakang kepentingan ekonomi-politik dan latarbelakang personalitas yang berbeda. Latarbelakang partai politik (dukungan politik) dan latar belakang kepentingan ekonomi-politik merupakan faktor yang cukup menonjol dibalik keretakan, ketegangan dan konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. Fenomena ketegangan dan konflik ini pada umumnya berlangsung ketika pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah salah satunya atau keduanya tidak berasal dari partai politik yang dominan di DPRD atau berasal dari partai yang memiliki dukungan legislatif yang rendah. Kendatipun tidak menutup kemungkinan ada beberapa kepala daerah dan wakil kepala daerah, pasca Pilkada berpindah dukungan partai politik atau bahkan menjadi ketua partai yang memiliki kursi dominan di DPRD dalam rangka mendapatkan dukungan politik. Konfigurasi politik seperti ini misalnya berlangsung di Kabupaten Semarang Pasca Pilkada. Beberapa anggota DPRD Kabupaten Semarang menyatakan menolak hasil pemilihan bupati 31 Juli 2005. Mereka berdalih, KPUD setempat telah melanggar hukum. Anggota DPRD yang menolak hasil pemilihan adalah Achsin Ma’ruf (Ketua FPAN) dan Bambang Kusriyanto (Wakil Ketua DPRD dari PDI Perjuangan). Menurut mereka, KPUD telah berpihak pada pasangan Bambang Guritno-Siti Ambar Fathonah, yang dicalonkan Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia. KPUD meloloskan Ambar meski keabsahan ijazahnya yang dikeluarkan Pesantren Pabelan, Magelang, dipertanyakan. KPUD jugs mengundur tahapan pemilihan seperti penetapan pasangan calon yang lolos administrasi (mestinya 30 Juni menjadi 1 Juli) serta pengambilan nomor urut pasangan calon (semula 1 Juli menjadi 4 Juli) Lihat Tempo Interaktif, 5 Agustus 2005. AAGA Ari Dwipayana, Pilkada Langsung & otonomi Daerah, dalam http://www.bainfokomsumut.go.id/open.php?id=13&db=pilkada. Keyakinan mendapatkan legitimasi yang kuat bagi kalangan pejabat publik seringkali memunculkan otoritas yang luar biasa sehingga cenderung mengabaikan tuntutan publik. Hal ini membawa implikasi dimana para pejabat publik pimpinan eksekutif mengedepankan kepentingannya, kepentingan politik kelompoknya, kepentingan bisnisnya atau bahkan kepentingan keluarganya dengan mengabaikan berbagai harapan publik pasca Pilkada. Kecenderungan ini menguat terutama jika pimpinan eksekutif cenderung gagal memahami aspirasi elemen-elemen politik dan masyarakat. Legitimasi yang pernah didapatkan ketika Pilkada berlangsung terus mengalami penurunan, karena sikap dan ketidakpuasan publik terhadap pimpinan eksekutif terus menguat. Potensi ketegangan, keretakan dan konflik kian terbuka, ketika pimpinan eksekutif gagal mengakomodasi kepentingan elemen-elemen politik dan masyarakat pendukungnya.
16
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
ketegangan dan konflik satu sama lain. Selain itu, masingmasing aktor politik yang ada di dalamnya juga berpengaruh terhadap realitas politik yang berlangsung12. Ada beberapa model keretakan dan konflik di kalangan lembaga-lembaga politik dan birokrasi. Pertama, keretakan internal terjadi ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut tidak lagi harmonis 13. Kedua, keretakan eksternal terjadi ketika kedua pasangan tersebut, atau salah satunya mengalami ketegangan dan konflik dengan DPRD atau faksi-faksi yang ada di DPRD. Ketiga, keretakan vertikal terjadi ketika Kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut mengalami ketegangan dan konflik dengan birokrasi di beberapa lapisan atau bahkan semua lapisan. Keempat, keretakan horizontal terjadi ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut, atau salah satunya terus menerus mendapatkan desakan mundur (delegitimasi) oleh publik14. Kelima, ketegangan dan konflik antara KPUD dan Parpol, karena ketidakpuasan terhadap proses penyelenggaraan Pilkada 15 . Keenam, ketegangan dan konflik antara Kepala Daerah dan LSM/ organisasi lokal16. Berbagai keretakakan, ketegangan dan konflik antara lembaga-lembaga politik(eksekutif-legislatif) dan birokrasi ini secara umum mulanya tidak nampak ke permukaan. Namun ketika skala relasi semakin memburuk, ketegangan dan konflik pun seringkali menim-
12
13
14
15
16
17
bulkan dampak yang meluas. Padahal keterkaitan antara keduanya secara tegas dirumuskan dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Pasal 19 ayat 2 bahwa keduanya sebagai mitra sejajar yang sama-sama melakukan tugas sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Itu berarti bahwa salah satu dari keduanya tidak boleh ada yang disubordinatkan. Tidak ada peran yang bisa disubstitusikan oleh lembaga lain17. Realitas politik pasca Pilkada menunjukkan, salah satu diantaranya seringkali lebih dominan di dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan perebutan otoritas seringkali terjadi terkait wewenangan dan koordinasi kelembagaaan dengan dinas dan badan-badan pemerintahan daerah. Akibatnya format hubungan ideal diantara keduanya cukup sulit dilakukan. Ketegangan dan Konflik Pada level Massa Ketegangan dan konflik pasca Pilkada juga kadangkala terjadi pada level massa. Beberapa kota/kabupaten yang dilanda konflik politik horizontal seperti demonstrasi yang berbuntut pada terjadinya kerusuhan sosial sebagai bentuk protes terhadap hasil perhitungan suara pikada. Adanya iklim politik yang kontroversial sangat berpengaruh pasca diselenggarakannya pilkada langsung. Ada beberapa fakta yang cukup signifikan terkait dengan ketergangan dan konflik pasca Pilkada.
Selama Pilkada gelombang pertama Juli 2005, tercatat beberapa DPRD yang enggan meneruskan hasil pilkada ke gubernur, antara lain Kabupaten Gorontalo, Banyuwangi, Padang Pariaman, Samosir, Mandailing Natal, Poso, Seram Bagian Timur, dan Manggarai. Sementara daerah yang masih menunggu keputusan pengadilan adalah Kabupaten Tanah Toraja, Kota Surabaya, Kota Gresik, Kabupaten Kediri, dan Kota Manado. Sedangkan Pilkada Kota Bitung diliputi permasalahan, karena DPRD menyatakan status quo terhadap keputusan KPUD yang menyatakan pencoblosan ulang di beberapa TPS bermasalah (Pikiran Rakyat, 8 September 2005) Keretakan hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam kadar tertentu terus berlangsung pasca Pilkada. Secara umum, tidak banyak media massa yang mengekspos fenomena tersebut. Namun rumor-rumor politik tentang keretakan hubungan antar keduanya seringkali banyak menjadi pembicaraan di kalangan birokrat, elit parpol dan para tokoh masyarakat. Contoh di sini misalnya yang terjadi di Kota Surabaya, Propinsi Jawa Timur. Tanggal 12 Juli 2005, massa melakukan perusakan di gedung DPRD. Massa juga memaksa anggota dewan untuk menandatangani pernyataan yang menolak hasil penetapan pemilihan walikota (Suara Karya, 19 Juli 2005) Contoh di Kabupaten Cilegon, Jawa Barat. PKS mengadukan kecurangan penghilangan suara dalam tahap pendataan pemilih di Pilkada Cilegon pada Desk Pusat Pilkada di Departemen Dalam Negeri. Sekitar 56.208 suara atau 24,3 persen dari jumlah pemilih tidak dapat memberikan suara karena tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap walaupun mereka menyoblos dalam Pemilu 2004 lalu (Kompas, 11 Juni 2005). Selain itu fakta serupa juga terjadi di Kota Bitung. DPRD Kota Bitung yang mementahkan keputusan KPU setempat yang telah lebih dulu menetapkan pengulangan pilkada pada 13 Agustus 2005 di 12 TPS bermasalah (Kompas, 05 Agustus 2005). Kabupaten Bone Bolango, Propinsi Gorontalo, Lembaga swadaya masyarakat (LSM) bersama sejumlah warga meminta agar bupatiwakil bupati terpilih Bone Bolango yang baru saja dilantik, segera melakukan perombakan ‘kabinet‘, karena kinerja mereka selama ini dinilai tidak berhasil. Ketua LSM Walihua, Iwan Hulakati, mengatakakan, jika ingin ada perubahan dalam pemerintah dan pembangunan, maka bupati-wakil bupati definitif, Ismet Mile-Mohammad Kilat Wartabone segera melakukan perombakan personil di jajaran pemerintah kabupaten setempat (Suara Merdeka, 28 September 2005) . Kasus lainnya misalnya di Kabupaten Fak-Fak, Propinsi Papua. Masyarakat adat Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua akan menolak pelantikan bupati terpilih hasil pilkada langsung 2005 karena yang bersangkutan dinilai “cacat hukum”. Penolakan terhadap Bupati terpilih Wahidin Puarada karena selama kepemimpinan sebagai bupati pada periode 2001-2005 dia dianggap banyak terlibat kasus pidana yang dilakukan(Suara Karya, 30 November 2005) Lexy Armanjaya, “Reformulasi Hubungan DPRD-Kepala Daerah”, Sinar Harapan, 23 Februari, 2005.
KAJIAN BULANAN
Pertama, menguatnya alienasi politik dan kekerasan politik18. Kedua, menguatnya ketidakpercayaan terhadap lembaga penyelenggara Pilkada (KPUD) dan legitimasi hasil Pilkada19. Ketiga, menguatnya ketidakpercayaan publik terhadap kepala daerah atau wakil kepala daerah yang terpilih20. Pilkada secara langsung yang diadakan dari bulan Juni 2005 sampai sekarang ini nampak masih dihiasi konflik yang berujung kekerasan atau kerusuhan massa. Hal ini antara lain berupa bentrokan antara pendukung, atau dengan pihak kepolisian yang penyebabnya tidak puas dengan pelaksanaan pilkada. Konflik massa ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang juga terkait dengan konfigurasi kepentingan politik parpol, DPRD dan organisasi sosial/keagamaan setempat. Beberapa kasus seperti ini misalnya muncul pasca Pilkada Binjai, Labuhan batu, Sibolga, Sumatera Utara, Kota Depok Jawa Barat, dan di Kabupaten Kaur, Bengkulu21. Dari beberapa kasus keretakan, ketegangan dan konflik pasca Pilkada yang berlangsung, dua fenomena yang cukup menonjol adalah apa yang berlangsung di Kabupaten Banyuwangi dan Kota Depok. Dua fenomena ini
18
19
20
21
22
17
nampak mencerminkan bagaimana kompleksitas keretakan, ketegangan dan konflik yang melibatkan berbagai aktor/elit politik, lembaga-lembaga politik dan birokrasi. Fenomena pasca Pilkada di Kabupaten Banyuwangi menarik dibahas terkait dengan keberadaan pasangan Bupati dan Wakil Bupati yang diusung oleh koalisi partapartai kecil yang menang dalam Pilkada, namun terus mengalami guncangan politik yang luar biasa sehingga pemerintahan daerah tidak mampu berjalan secara efektif. Fenomena pasca Pilkada di Kota Depok menarik dibahas terkait dengan dinamika sengketa putusan Pilkada, ketegangan dan konflik antara para elit politik dan lembaga-lembaga politik(DPRD dan Parpol) dan NGO/LSM yang menjadi pendukung masing-masing pasangan walikota dan wakil walikota yang terpilih. Kasus Banyuwangi Peristiwa kemenangan pasangan calon Bupati Banyuwangi Ratna Lestari-Yusuf Noer Iskandar dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung cukup mengagetkan banyak kalangan. Ratna Ani Lestari- Yusuf Noer Iskandar yang diusung oleh koalisi 18 partai kecil non parlemen di Kabupaten Banyuwangi menjadi pemenang Pilkada Kabupaten Banyuwangi 22. Ratna-Noeris dinyatakan menang di 20 kecamatan dari 24 kecamatan yang ada.
Sebelum dan pasca pilkada senantiasa diwarnai berbagai bentuk kekerasan politik seperti kerusuhan yang disertai dengan pengrusakan dan pembakaran terhadap bangunan/gedung pemerintah dan swasta, pembakaran kendaraan (mobil dan motor) dan bentrokan antara massa pendukung calon kepala daerah. Kekerasan komunal dan tindakan anarkis menghambat terwujudnya relasi politik yang sehat Maraknya aksi kekerasan politik massa terutama setelah pelaksanaan pilkada langsung tidak lepas dari beberapa faktor seperti adanya dugaan terjadinya kecurangan (manipulasi) suara hasil pilkada, munculnya kandidat yang dinilai tidak memenuhi syarat (bermasalah) namun dalam kenyataannya tetap lulus seleksi calon kepala daerah, adanya sebagian anggota KPUD yang independensinya masih dipertanyakan, kuatnya dugaan terjadinya praktik politik uang yang telah dilakukan oleh calon tertentu, adanya calon yang telah mengeluarkan ongkos politik yang sangat mahal dan tidak siap menerima kekalahan dalam pemilihan dan selanjutnya menolak hasil pilkada dan bahkan kalau perlu masalah ini menjadi sengketa pilkada di pengadilan, serta munculnya anggapan di kalangan pendukung calon kepala daerah tertentu tentang terjadinya konspirasi politik di tingkat elit yang hanya membodohi rakyat Fenomena ini misalnya berlangsung di Kabupaten Fak-Fak, Propinsi Papua. Masyarakat adat Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua akan menolak pelantikan bupati terpilih hasil pilkada langsung 2005 karena yang bersangkutan dinilai “cacat hukum”. Penolakan terhadap Bupati terpilih Wahidin Puarada karena selama kepemimpinan sebagai bupati pada periode 2001-2005 dia dianggap banyak terlibat kasus pidana yang dilakukan(Suara Karya, 30 November 2005) Massa yang tidak puas dengan hasil pilkada yang dimenangkan oleh pasangan Syaukani Saleh-Warman Suwardi, melakukan tindakan-tindakan anarkis yang menyebabkan terbakarnya: kantor Dinas Pekerjaan Umum (DPU), kantor KUA dan musholla, rumah dinas ketua DPRD, dan kantor camat Kaur Selatan. Sedangkan yang dirusak Kantor DPRD, pemerintah kabupaten dan KPUD. Rintisan karir politik Ratna Ani Lestari—istri Bupati Jembrana, Bali, Gede Winasa—ketika maju dalam pencalonan Pilkada terbilang menempuh jalan yang berliku-liku. Pada mulanya Ratna memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk menjadi kendaraan politiknya. Ratna sempat lolos dalam proses konferensi cabang khusus (konfercabsus) DPC PDIP Banyuwangi. Sesuai dengan mekanisme di tubuh PDIP, beberapa calon yang unggul di konfercabsus PDIP Banyuwangi diusulkan ke tingkat DPW PDIP Jawa Timur dan diteruskan ke DPP PDIP. Kalangan DPP PDIP ternyata tidak merekomendasikan nama Ratna Ani Lestari dalam pencalonan Pilkada. Kalangan DPP PDIP lebih memilih Ali Sya’roni dimana pada waktu itu menjabat sebagai kepala biro umum sekretariat Pemprov Jatim. Ali Sya’roni kemudian lolos menjadi calon tunggal Bupati Banyuwangi dengan rekomendasi DPP PDI-P. Para tokoh-tokoh partai non parlemen seperti Suroso dari Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Kahfi Brantanala dari Partai Amanat Nasional (PAN) serta Nuraji dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI) Marhaen mengambil langkah koalisi untuk mendukung pencalonan Ratna Ani Lestari maju dalam Pilkada Banyuwangi. Mereka kemudian mengorganisir 18 partai gurem untuk mendukung pencalonan Ratna. Ratna juga menyatakan siap menggunakan 18 parpol kecil itu sebagai kendaraan politiknya dalam pilkada. Rencana kerja pun akhirnya dibuat, termasuk segera mendaftarakan diri pada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) karena waktunya saat itu sangat mepet. Setelah resmi terdaftar di KPUD, para pimpinan partai-partai kecil tersebut segera menjalankan mesin politiknya masing-masing. Kenyataan di lapangan beberapa bulan menjelang Pilkada menunjukkan bahwa tim kerja koalisi
18
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Tabel 1: DPRD Kabupaten Banyuwangi Periode 2004-2009
No
Nama Partai
Peroleh Kursi
1.
Partai Kebangkitan Bangsa
16
2.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
11
3.
Partai Golkar
7
4.
Partai Demokrat
5
5.
Partai Persatuan Pembangunan
4
Jumlah
45
Sumber: KPUD Kabupaten Banyuwangi dan DPRD Kabupaten Banyuwangi
Meski masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput, memang cukup tinggi, sekitar 35,36%. Dari 1.202.303 pemilih, yang memanfaatkan hak pilihnya hanya sekitar 777.145 ribu orang saja. Kemenangan Ratna dalam pilkada Banyuwangi ini disinyalir tidak lepas dari limpahan suara warga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB di Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu partai besar yang sangat berpengaruh di wilayah basis NU tersebut. Namun konflik internal PKB di Banyuwangi melahirkan dua arus politik. Dualisme arus politik PKB telah muncul sejak dalam proses pendaftaran calon. Pasangan Wahyudi– Eko Sukartono, yang mendapatkan rekomendasi dari DPW PKB Jawa Timur dan DPP PKB pusat versi Alwi Shihab, mendaftar ke KPUD lebih dulu. Sedangkan Samsul Hadi (incumbent) mendapatkan rekomendasi PKB versi Gus Dur-Muhaimin23. Perjalanan pemerintahan pasangan Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi tersebut selama beberapa tahun nampak cenderung mengalami guncangan politik dari berbagai elemen parpol, LSM dan masyarakat. LSM yang tergabung dalam Sekretaris Bersama (Sekber) LSM Banyuwangi pada 1 September 2005, mengajukan permintaan mundur pada bupati terpilih. Sikap politik ini didasarkan pada kondisi Banyuwangi yang terus terjadi
23
pro dan kontra terhadap hasil pilkada. Pilkada Banyuwangi juga dinilai cacat hukum. Mereka menilai tahapan pilkada telah banyak dilanggar oleh KPUD Banyuwangi. Ketua DPRD Banyuwangi Ahmad Wahyudi menyatakan setuju dan segera mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan polemik Banyuwangi. Salah satunya, membuat sebuah kesepakatan antara pihak yang berkepentingan dan pemenang pilkada, untuk menemukan jalan tengah (Bali Post, 3 September, 2005). Reaksi elemen-elemen politik dan masyarakat terhadap pasangan Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi dari waktu ke waktu pun terus menguat. Ratusan warga yang tergabung dalam Gerakan Antikorupsi (Gerak) berunjuk rasa di depan Pendopo Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur pada tanggal 28 November, 2006. Mereka menuntut penyelidikan kasus dugaan penyelewengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2006 senilai Rp 2,2 miliar yang dilakukan Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari. Sebelumnya, massa sempat mendatangi Gedung DPRD Banyuwangi. Mereka meminta sikap tegas anggota DPRD merespons dugaan korupsi dana tersebut. Anggota Dewan yang menerima pengujuk rasa berjanji akan mengusut kasus ini melalui pembentukan panitia khusus. Setelah itu, massa bergerak ke Kantor Bupati Banyuwangi(Metrotvnews.com, 28 November 2006).
partai-partai kecil tersebut cukup efektif karena tersebar ke seluruh pelosok Banyuwangi. Ratna dengan dukungan 18 koalisi partaipartai kecil tersebut kemudian mengusung isu pendidikan gratis dan pengobatan gratis dalam setiap acara sosialisasi dan kampanyenya. Isu-isu tersebut ternyata mendapatkan sambutan positif dari para konstituen. Pendekatan humanis yang dilakukan Ratna juga sangat bagus, seperti mendatangi warga Banyuwangi di pasar-pasar, tempat berkumpulnya ibu-ibu rumah tangga seperti posyandu, klinik bersalin, dan lain-lain. Dan hal itu sangat efektif untuk menarik simpati konstituen. Ibu-ibu inilah yang diperkirakan memberikan sumbangan besar bagi kemenangan Ratna. KPUD bersikukuh tidak bisa menerima pendaftaran Samsul Hadi, karena dalam aturannya, partai hanya bisa mendaftarkan satu pasangan calon. Samsul Hadi sendiri memiliki suara yang benar-benar riil. Kekecewaannya karena tidak bisa masuk dalam bursa Pilkada, bisa saja membuat dirinya mengarahkan suaranya bukan pada pasangan Wahyudi-Eko Sukartono. Kabarnya, dua hari sebelum pilkada di gelar, Samsul Hadi mengarahkan massanya untuk mendukung pasangan Ratna – Noeris (Sinar Harapan, 22 Juni 2005).
19
KAJIAN BULANAN
Tabel 2: Ketua Komisi DPRD Kabupaten Banyuwangi Periode 2004-2009 Nama Komisi
Nama
Komisi A (Bidang Pemerintahan)
H.Ruliono, SH (Fraksi Partai Golkar)
Komisi B (Bidang Perekonomian)
Drs. H. Khairullah Nahrawi (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa)
Komisi C (Bidang Keuangan)
Pebri Arisdiawan, SE (Fraksi Partai Golkar)
Komisi D (Bidang Pembangunan)
Wahyudi, SE (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa)
Sumber : KPUD Kabupaten Banyuwangi dan DPRD Kabupaten Banyuwangi
Tabel 3: Berbagai Alasan Tuntutan Mundur Untuk Bupati Banyuwangi
Alasan Penuntutan Mundur Mutasi terhadap PNS secara sepihak
Keterangan Kebijakan-kebijakan Bupati Ratna Ani dinilai banyak menyengsarakan pegawai, termasuk soal pemutasian PNS
Dugaan Korupsi APBD 2006
Kasus korupsi yang diduga melibatkan Bupati Ratna Ani dan Wakil Bupati
Isu Pelecehan Agama (Islam dan Hindu)
Ratna dituding telah melakukan pembohongan publik, melecehakan agama Islam
Yusuf Nur Iskandar dalam penggelembungan dana APBD 2006 Sebesar Rp 2 miliar dan Hindu, membuat keresahan masyarakat Banyuwangi serta membuat perpecahan di antara para ulama. Ratna juga dituding berpindah-pindah agama demi kepentingan politik. Status perkawinan Ratna pun dianggap melanggar norma agama. Ratna juga mengeluarkan peraturan daerah yang mengatur penjualan daging babi, yang membuat harga daging babi lebih murah dari harga daging lainnya. Kebijakan pendidikan yang tidak memihak masyarakat Islam.
Di antara kebijakan tersebut adalah tidak membebaskan biaya belajar di madrasah, berbeda dengan sekolah negeri. Maraknya Keluhan para guru terkait belum cairnya dana insentif mereka, meski telah disetujui dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2006.
Pelarangan menghadiri Istighotsah
Kebijakan yang melarang masyarakat Banyuwangi untuk menghadiri istighotsah.
Pengadopsian perda-perda Kabupaten
Etika dan kebijakan bupati yang mengadopsi peraturan daerah Jembrana ke
Jembrana ke Kabupaten Banyuwangi
Banyuwangi dianggap meresahkan warga.
Keterangan : Diolah dari hasil analisis media nasional dan lokal.
Tiga bulan kemudian, desakan tuntutan mundur terahadap pasangan Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi juga terus bermunculan. Demonstrasi tidak hanya datang dari kalangan masyarakat, namun juga dari lingkungan birokrasi. Belasan ribu pegawai negeri sipil di seluruh Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, melakukan mogok kerja mulai 22 Januari, 2006. Mereka memprotes kepemimpinan Bupati Ratna Ani Lestari karena kebijakankebijakannya dinilai banyak menyengsarakan PNS. Para PNS ini mengancam akan terus mogok kerja hingga Ratna Ani mundur dari jabatannya. Ancaman mogok kerja massal para PNS sudah terlihat sejak pagi tadi dalam apel yang dipimpin Sekretaris Kabupaten (Sekkab) nonaktif, Sudjiharto.
24
Sementara di gedung pemerintah Kabupaten Banyuwangi, sejumlah ruang kerja terlihat lengang, bahkan hampir tidak ada aktivitas sama sekali. Selain PNS, aksi tersebut juga diikuti kelompok masyarakat yang menamakan diri Gerakan Masyarakat Penyelamat Banyuwangi yang berasal dari 24 kecamatan yang berasal dari Kabupaten Banyuwangi. Aksi juga dihadiri oleh Mantan Bupati Banyuwangi Syamsul Hadi. Dalam aksi ini berbagai orasi dilakukan secara bergantian. Intinya mereka menuntut Bupati Ratna Ani Lestari mundur dari jabatannya. Dalam orasinya, Syamsul secara spesifik meminta Bupati Ratna Ani untuk segera lengser dari jabatannya guna menyelamatkan masyarakat Banyuwangi24.
Lihat Metrotvnews.com, 22 Januari 2007; 24 Januari 2007; 25 Januari 2007.
20
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
Keretakan, ketegangan dan konflik politik yang berlangsung di Kabupaten Banyuwangi berlangsung cukup kompleks. Sejak pasca terpilihnya Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari-Yusuf Noer Iskandar, pemerintahan daerah dan agenda pelayanan publik cenderungan mengalami penurunan. Legitimasi politik yang pernah didapatkan kedua pasangan ini pada waktu Pilkada, ternyata terus menuai reaksi penolakan dari berbagai elemen politik, LSM dan masyarakat. Fluktuasi hubungan lembaga-lembaga politik, aktor-aktor politik dengan masyarakat di Kabupaten Banyuwangi tersebut pada akhirnya menimbulkan respons pemerintah pusat. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mohammad Ma’ruf, 23 Januari, 2007 meminta Gubernur Jawa Timur untuk segera menyelesaikan konflik yang terjadi antara Bupati Banyuwangi dengan Pegawai Negeri Sipil di Banyuwangi. Permintaan Mendagri ini disampaikan untuk menanggapi pemogokan kerja yang dilakukan PNS honorer se-Kabupaten Banyuwangi. Mendagri bahkan meminta Gubernur Jawa Timur harus segera turun tangan. Mendagri menilai telah terjadi kesalahan dalam pembinaan kepegawaian, dan kekeliruan dalam hal hubungan antara bupati dan sekretaris daerah. Mendagri juga menghimbau agar PNS Banyuwangi segera aktif bekerja kembali agar aktivitas pelayanan publik tidak terganggu (Metrotvnews.com, 24 Januari 2007). Hingga saat ini, fluktuasi politik tersebut terus berlangsung. Bupati Ratna Ani Lestari merasa tetap sah sebagai Kepala Daerah di Banyuwangi kendatipun rapat paripurna DPRD pernah menyatakan pemecatan. Keberadaan Gubernur Jawa Timur juga mengalami dilema yang tak kalah rumitnya karena pemecatan dan pengesahan kepala daerah/wakil kepala daerah merupakan wewenang Presiden melalui Mendagri. Padahal, Mendagri telah meminta Gubernur Jawa Timur untuk menyelesaikan kasus tersebut. Sementara UU No.32 tahun 2004 tidak mengatur secara spesifik terkait dengan penyelesaian kasus seperti ini. Akibatnya, keretakan, ketegangan dan konflik antara Bupati Banyuwangi dengan elemen-elemen politik, DPRD, LSM dan masyarakat terus berlangsung tanpa menemukan solusi terbaik. Kasus Kota Depok Tanggal 5 Juli, 2005, Komisi Pemilihan Umum Daerah
25
Kota Depok secara resmi menetapkan pasangan Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra sebagai walikota dan wakil walikota Depok. Kedua pasangan yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera tersebut dinyatakan menjadi pemenang Pilkada berdasarkan hasil resmi pemilihan secara langsung pada 26 Juni 200525. Hari Kamis, tanggal 4 Agustus 2005, Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat, mengabulkan permohonan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad (BK-SA) dan membatalkan penghitungan suara pemilihan kepala daerah Kota Depok. Majelis hakim juga memutuskan suara yang benar untuk pasangan BK-SA sebanyak 269.551 suara dan untuk pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra, sebanyak 204.248 suara. Keputusan tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Nana Juwana, S.H, di ruang sidang Pengadilan Tinggi Jabar, Bandung. Dengan keputusan PT Jabar ini, maka kemenangan pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra dianulir. Dasar hukum pembatalan kemenangan Nur Mahmudi ini, menurut majelis hakim, adalah keterangan 11 saksi dari pihak pemohon. Hakim menilai, kesaksian itu mengungkapkan adanya kejanggalan dan penyimpangan, yang terungkap di pengadilan. Kejanggalan tersebut antara lain, bertambahnya jumlah pemilih yang berasal dari luar Kota Depok, adanya kartu pemilih yang salah cetak dan banyaknya pemilih yang tidak bisa memilih. Hakim, juga berdasarkan keterangan saksi meyakini, ribuan suara untuk pasangan BK-SA terbukti digembosi. Total suara yang digembosi, mencapai 62.772 suara. Sementara untuk pasangan calon nomor 5, Nur Mahmudi IsmailYuyun Wirasaputra, ada penggelembungan suara hingga 27.782 suara. Berdasarkan keterangan dan bukti yang diajukan ke pengadilan, majelis hakim mengabulkan permohonan pemohon dan membatalkan penghitungan hasil akhir suara pilkada Kota Depok. Pihak BK-SA sebagai peserta Pilkada No 3 mengajukan keberatan terhadap penetapan KPUD Kota Depok pada 6 Juli lalu tentang penetapan pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok (Nur Mahmudi Ismail- Yuyun Wairasaputra). Dalam penghitungan suara yang telah ditetapkan KPUD Kota Depok tanggal 6 Juli 2005, pasangan Badrul KamalSyihabuddin hanya memperoleh 206 ribu lebih suara dan pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra sebanyak 232 ribu lebih suara (Pikiran Rakyat, 5 Agustus 2005).
Pengumuman dilakukan oleh Kepala Bidang Penghitungan Suara KPUD, Udi Bin Muslih. Acara tersebut dihadiri oleh pelaksana tugas wali kota Warma Sutarma, Kepala Polres Depok Ajun Komisaris Besar Ratnawati, dan Komandan Daerah Militer 0508 Letnan Kavaleri Lesmono. Saksi dari pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad menolak menandatangani berita acara. Babay Suhaemi, saksi pasangan dari Partai Golkar itu, menyatakan, sejak awal meminta pleno ditunda hingga pelanggaran-pelanggaran saat pemilihan yang ditemukan diselesaikan. Didi Sutarjo, saksi dari Abdul Wahab-Ilham Wijaya juga menolak karena ada perbedaan perhitungan antara KPUD dan saksi pasangan dari Partai Demokrat itu (Tempo Interaktif, 5 Juli 2005)
21
KAJIAN BULANAN
Tabel 5: Perolehan Kursi Parpol di DPRD Kota Depok
No
Nama Partai
Jumlah Kursi
1.
Partai Keadilan Sejahtera
12
2.
Partai Demokrat
8
3.
Partai Golongan Karya
8
4.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
6
5.
Partai Amanat Nasional
5
6.
Partai Persatuan Pembangunan
6
Jumlah
45
Sumber : KPUD Kota Depok dan DPRD Kota Depok
Tabel 6: Struktur Pimpinan DPRD Kota Depok
Posisi
Nama
Ketua DPRD
H.Naming D.Bothin, S.Sos (Partai Golkar)
Wakil Ketua DPRD I
Drs. Amri Yusro (Partai Keadilan Sejahtera)
Wakil Ketua DPRD II
Agung Witjaksono, SH (Partai Demokrat)
Sumber : KPUD Kota Depok dan DPRD Kota Depok.
Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat ini pada akhirnya memunculkan protes dari berbagai kalangan. Pengunjuk rasa menentang keputusan Pengadilan Tinggi yang menganulir kemenangan Nurmahmudi Ismail menjadi Wali Kota Depok. Ada beberapa jenis pelaku konflik Pasca Pilkada. Pertama, massa pendukung kandidat, baik yang jadi ataupun yang tersingkirkan dalam pertarungan Pilkada. Kedua, massa penentang kandidat yang terpilih. Ketiga, massa partai politik yang menjadi pendukung salah satu kandidat dalam Pilkada ataupun pendukung kebijakan politik DPRD. Keempat, aktivis/mahasiswa/LSM. Kelima, warga masyarakat di wilayah setempatt. Keretakan, ketegangan dan konflik yang potensial berlangsung Pasca Pilkada di berbagai wilayah di Indonesia tidak lepas dari berbagai latarbelakang konfigurasi politik dan birokrasi. Ada beberapa kondisi yang menjadi latarbelakang hubungan eksekutif-legislatif pasca Pilkada. Pertama, kepala daerah, wakil kepala daerah dan ketua DPRD berasal dari satu partai. Kedua, kepala daerah dan wakil kepala daerah salah satu dari keduanya satu partai dengan ketua DPRD. Ketiga, kepala daerah, wakil kepala daerah kedua-duanya tidak berasal dari satu partai dengan ketua DPRD. Keempat, kepala daerah atau
wakil kepala daerah pada mulanya dari calon partai kecil atau bukan orang partai tetapi diusulkan oleh partai tertentu, namun setelah menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah kemudian mencalonkan diri dan menjadi ketua partai dominan dalam DPRD, atau partai yang pemimpinya secara nasional berkuasa. Ditinjau dari ragam keretakan, ketegangan dan konflik yang muncul ada beberapa sumber pemicu yang signifikan. Pertama, bersumber dari konflik internal parpol. Kedua, bersumber konflik antar pendukung kandidat. Ketiga, bersumber dari konflik internal pasangan Kepala daerah dan wakil kepala daerah. Keempat, bersumber dari konflik antara pasangan Kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan birokrasi. Kelima, bersumber dari konflik antara pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan para kandidat Pilkada lainnya. Keenam, bersumber dari konflik antara pasangan Kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan faksi-faksi politik di DPRD. Ketujuh, bersumber dari pasangan Kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan partai-partai politik. Kedelapan, bersumber dari konflik antara Kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan LSM dan masyarakat. Konsolidasi Pasca Pilkada Dibalik beragam fenomena potensial yang muncul pasca Pilkada, konsolidasi pasca Pilkada menjadi persoalan
22
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
penting dilakukan oleh pasangan Kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk merespon fenomena keretakan, ketegangan dan konflik yang terus berkembang. Langkah konsolidasi setidaknya meliputi tiga level. Pertama, konsolidasi di level antar aktor/elit politik. Kedua, konsolidasi di level lembaga-lembaga politik dan birokrasi. Ketiga, konsolidasi di level massa/publik. a) Konsolidasi antar aktor/elit politik. Upaya konsolidasi di level elit ini nampak dilakukan beberapa kali oleh Ratna Ani Lestari. Hal ini misalnya nampak dari adanya pertemuan antara bupati dan para ulama. Namun Pertemuan yang difasilitasi oleh Kepala Polda Jawa Timur, Irjenpol Herman Suryadi berlangsung pada 3 Mei 2006 berakhir buntu. Kedua belah pihak tidak mencapai titik temu. Bahkan para ulama menyodorkan surat pengunduran diri bermaterai kepada bupati. Langkah konsolidasi pada level elit juga dilakukan oleh Wakil Bupati Yusuf Nur Iskandar dengan kalangan DPRD pada tanggal 4 Mei, 2006. Wakil Bupati Banyuwangi yang mewakili Bupati Ratna Ani Lestari menyatakan belum bisa memberi keputusan terkait tuntutan pengunduran diri yang diajukan ulama dan anggota DPRD Banyuwangi. Hal tersebut mengemuka dalam pertemuan antara perwakilan ulama dan anggota Komisi C DPRD Banyuwangi di kantor Pemkab. Secara umum, langkah konsolidasi di level elit yang dilakukan oleh Bupati Banyuwangi nampak cenderung menemui kegagalan. Resistensi elit penentang Bupati Banyuwangi cenderung kuat dan mendapatkan dukungan dari kalangan elit DPRD, Parpol dan birokrasi. Pada kasus Depok, pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra nampak tidak disibukan dengan agenda konsolidasi di level elit. Pasangan ini lebih mengedepankan agenda tuntutan melalui jalur hukum. Agenda konsolidasi hanya dilakukan pasangan ini melalui lembaga penyelenggara Pilkada, yaitu KPUD Kota Depok. Hal ini nampak setelah Badrul Kamal-Shihabuddin Akhmad mengajukan gugatan terhadap KPUD terkait dengan keputusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang memenangkan gugatan Badrul Kamal-Sihabuddin Akhmad, KPUD Kota Depok secara resmi mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA. Putusan MA kemudian memenangkan pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra. Langkah ini juga berjalan mulus seiring dengan keputusan Mahkamah Konstitusi menggelar sidang uji materiil terhadap putusan MA yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jabar yang memenangkan Badrul Kamal-Sihabuddin.
26
Konsolidasi pada level elit nampak hanya dilakukan oleh Nurmahmudi Ismail dan Yuyun Wirasaputra terkait dengan sidang-sidang yang berlangsung di DPRD. Arus kuat resistensi kalangan elit parpol di DPRD—minus PKS— nampak beberapa kali terlihat dalam beberapa sidang pandangan fraksi-fraksi terkait dengan kinerja Walikota dan wakil walikota. Bahkan agenda elit DPRD tertuju pada upaya interpelasi terhadap Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra. Kendati demikian, kinerja kedua pasangan ini dengan lembaga-lembaga birokrasi nampak mampu berjalan cukup normal. b) Konsolidasi Antar Lembaga Politik dan Birokrasi UU No.43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dan berbagai PP turunannya, lebih banyak mengatur aspek internal birokrasi (tata organisasi, aparatur, manajemen/ kinerja) ketimbang konteks kaitannya dengan aktor/ institusi lain semacam kepala daerah /wakil kepala daerah, DPRD, atau masyarakat umum. Meski UU No.32/ 2004 tentang Pemda menyinggung soal ini, namun peratutan ini semata menyangkut pengangkatan dan pemberhentian Sekda dan pejabat eselon II Kabupaten/ Kota; bukan mengenai hal-hal umum lain mengenai hubungan kelembagaan. Bahkan, ihwal pengangkatan dan pemberhentian Kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak masuk dalam domain kewenangan Gubernur, sehingga praktis tak ada pengaturan formal hubungan antara Kepda (bupati /walikota) dan birokrasinya26. Realitas politik pasca Pilkada yang berlangsung di Banyuwangi, langkah konsolidasi dengan DPRD maupun birokrasi nampak gagal dilakukan. Kebijakan penggantian Sekda (Sekkab) yang dilakukan oleh Bupati justru memunculkan arus balik kekecewaan politik di kalangan birokrasi. Tidak hanya itu, sikap politik DPRD yang tidak memberikan dukungan politik kepada Bupati menjadikan posisi politik Bupati kian lemah. Kendatipun Mendagri meminta Gubernur Jatim untuk segera mengambil kebijakan terkait dengan apa yang berlangsung di Banyuwangi, namun Gubernur belum memiliki payung hukum yang spesifik terkait dengan hal tersebut. Akibatnya, kinerja birokrasi pun tidak mampu berlangsung secara efektif. Berbeda dengan fenomena Kota Depok pasca Pilkada, pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra nampak mendapatkan dukungan politik yang cukup kuat dari DPRD. Setidaknya, PKS memiliki 12 kursi di DPRD. Kendatipun tekanan terus menguat di kalangan DPRD untuk mendelegitimasi Nur Mahmudi-Yuyun Wirasaputra,
Robert Endi Jaweng, “Institusionalisasi Relasi Kepala Daerah dan Birokrasi,” Jurnal Nasional, 23 Mei 2007
KAJIAN BULANAN
namun posisi PKS menjadi kekuatan politik signifikan di DPRD. Kendatipun dorongan politik di DPRD telah mengarah ke interpelasi, namun pasangan ini mampu merespon kebijakan politik DPRD melalui elemenelemen politiknya yang ada di F PKS. Tidak hanya itu, Nur Mahmudi-Yuyun Wirasaputra juga secara umum tidak banyak memiliki gesekan politik signifikan dengan lembaga birokrasi. Selama konflik pasca Pilkada, lembagalembaga birokrasi secara manifest nampak tidak terseret dengan arus pro ataupun kontra. c) Konsolidasi Pada Level Massa Upaya konsolidasi di level massa misalnya dilakukan oleh Bupati Banyuwangi,Ratna Ani Lestari dengan menggelar istighotsah di Pendopo Saba Swagata, Blambangan, Banyuwangi, pada 12 Mei, 2006. Istighotsah sempat dihadiri lebih dari 500 orang dan dipimpin Kiai Haji Dailami Ahmad yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Banyuwangi, Jatim. Peserta didominasi oleh kalangan pegawai negeri sipil Pemkab Banyuwangi. Dari 42 undangan untuk para kyai se-Banyuwangi, hanya enam kyai yang hadir. Minimnya kalangan kyai yang datang dalam acara tersebut menunjukkan resistensi yang cukup besar para ulama terhadap Bupati. Bahkan pada 17 Mei, 2006 Forum Ulama Banyuwangi Bersatu (FBB) mengeluarkan tausiyah (seruan) kepada masyarakat Banyuwangi untuk tidak menghadiri semua acara yang berkaitan dengan Bupati. Tausiyah FBB ini dikeluarkan pada acara silaturahmi ulama se-Banyuwangi. Acara tersebut dihadiri 22 kyai karismatik, di antaranya Kyai Haji Hisyam Syafaat, Kyai Haji Nurudin Qosim, Kyai Haji Maksum Syafii, dan Kyai Haji Suyuti Thoha. Dari sini nampak bahwa Bupati Ratna Ani Lestari nampak cenderung gagal melakukan konsolidasi di level massa. Akibatnya desakan publik yang menuntut pengunduran dirinya kian tak terbendung dan terus menyebar dengan skala yang meluas. Berbeda dengan apa yang berlangsung di Kabupaten Banyuwangi, posisi Nur Mahmudi-Yuyun Wirasaputra di Depok nampak mendapatkan dukungan publik yang cukup luas. Selama proses sengketa berlangsung di PT Jabar, MA hingga keluar putusan MK, berbagai demonstrasi yang mendukung terhadap pengesahan kedua pasangan ini nampak signifikan. Ragam dari elemen masyarakat yang memberikan dukungan dalam demonstrasi tersebut juga ada dalam skala yang cukup luas. Ini artinya, kedua pasangan ini cukup berhasil dalam melakukan konsolidasi pada level massa. Pasangan Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi tersebut nampak tidak memiliki representasi kekuatan politik di lembaga DPRD Kabupaten Banyuwangi. Akibatnya,
23
tekanan publik yang dilakukan terhadap DPRD berdampak terhadap sikap-sikap politik DPRD terhadap Bupati Banyuwangi. Bahkan sikap politik mengarah kepada sidang paripurna pemberhentian Bupati Banyuwangi. Apa yang berlangsung di Kabupaten Banyuwangi pasca Pilkada merupakan cermin dari fenomena divided goverment. Dampak yang cukup terasa dimana relasi kekuasaan yang fluktuatif pada divided goverment ini menjadikan pemerintahan di Kabupaten Banyuwangi tidak mampu berjalan secara efektif. Berbagai tekanan politik dari massa dan DPRD menjadi salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kinerja pemerintahan tidak berjalan secara normal. Secara umum, pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra mendapatkan dukungan publik yang cukup kuat. Terbukti nampak beragam elemen yang melakukan demonstrasi mendukung pengesahan pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yusun Wirasaputra menjadi Walikota dan Wakil Walikota Depok. Selain itu, kalangan birokrasi nampak tidak banyak terseret secara langsung dalam konflik pasca Pilkada. Partai Keadilan Sejahtera yang mencalonkan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra cukup memiliki representasi politik signifikan di DPRD. Bahkan PKS memiliki kursi dominan di DPRD Kota Depok, yaitu 12 kursi. Kendatipun posisi Ketua DPRD Kota Depok dipimpin oleh kader Partai Golkar. Konfigurasi kelembagaan politik di Kota Depok nampak tetap mencerminkan united goverment/unified government. Pola relasi kekuasaan yang berbasis united goverment/unified government ini cukup menguntungkan posisi politik walikota/wakil walikota Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra di dalam menjalankan pemerintahan Kota Depok. (Ahmad Nyarwi). Daftar Pustaka Armanjaya, Lexy, “Reformulasi Hubungan DPRD-Kepala Daerah”, Sinar Harapan, 23 Februari, 2005. Coleman, John J. , “Unified Government, Divided Government, and Party Responsiveness”, The American Political Science Review, Vol. 93, No. 4, Desember 1999. Dwipayana, AAGA Ari , “Pilkada Langsung dan Otonomi Daerah”, http://www.bainfokomsumut.go.id/open.php?id =13&db= pilkada. Elgie, Robert (Eds), Divided Government in Comparative Perspective, Robert Dublin City University, Ireland, 2001 Hidayat, Syarif , “Mencari Terapi Pilkada Terbaik”, Batam Pos, 26 Agustus, 2006. Jaweng, Robert Endi , “Institusionalisasi Relasi Kepala Daerah dan Birokrasi”, Harian Jurnal Nasional, 23 Mei 2007. Niskanen, William, A Case for Divided Government, dalam http:// www.cato.org/dailys/05-07-03.html Slivinski, Stephen, Would Divided Government Be Better?, dalam http://www.cato.org/pub_display.php?pub_id=6650.
24
LINGKARAN SURVEI INDONESIA
PEMIMPIN UMUM Denny JA REDAKSI Eriyanto (Ketua) Widdi Aswindi Eka Kusmayadi Sukanta, Setia Dharma Arman Salam Redaktur Tamu: Bagus Sartono & Ahmad Nyarwi
LINGKARAN SURVEI INDONESIA (LSI) Jl. Raya Venesia EB 1, Kompleks Bukit Gading Mediterania Kelapa Gading, Jakarta Utara Telp (021) 4514701, 4514704, Fax (021) 45858035, 4587336 www.lsi.co.id
Kajian bulanan ini diterbitkan tiap awal bulan, berisi tentang analisis fenomena sosial politik di Indonesia berdasarkan database dan survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia. Diperbolehkan memperbanyak atau mengutip bagian dari kajian bulanan ini, dengan menyebut sumber tulisan. Untuk permintaan berlangganan (gratis) kajian bulanan ini, bisa menghubungi Ika Pratiwi (email:
[email protected]). Lingkaran Survei Indonesia (LSI) adalah perusahaan profesional yang mengkhususkan diri pada kegiatan riset opini publik—baik survei politik (nasional, lokal) maupun survei untuk kalangan bisnis. Selain riset, LSI juga konsultan politik bagi kepala daerah, partai politik ataupun politisi.