BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Salah satu tujuan yang ingin dicapai dengan adanya suatu perkawinan adalah memperoleh keturunan, akan tetapi tidak semua perkawinan itu dapat memperoleh keturunan, kadangkala dalam suatu perkawinan yang telah berlangsung cukup lama sekali tidak memperoleh keturunan. Bilamana hal seperti ini terjadi, secara psikologi keluarga tersebut akan merasa hampa dengan kata lain kebahagian rumah tangga yang bersangkutan terasa belum cukup. Salah satu tujuan perkawinan adalah untuk membentuk dan membina keluarga yang kekal, berhasil dan mendapatkan keturunan yang diharapkan dan harus di didik dengan baik. 1 Pengangkatan anak tidak terlepas dari pengaruh hukum adat. Dalam masyarakat hukum adat, pengangkatan anak dilakukan untuk mengayomi, membantu dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak angkat. Dalam tradisi masyarakat adat, pengangkatan anak yang dilakukan melalui suatu prosesi adat. Prosesi pengangkatan anak yang dipimpin oleh petua adat, dimaksudkan agar 1
M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, 1993) Hal. 12, Tujuan perkawinan dalam Islam secara luas adalah : 1. Merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar 2. Suatu mekanisme untuk mengurangi ketegangan 3. Cara untuk memperoleh keturunan yang sah 4. Menduduki fungsi sosial 5. Mendekatkan hubungan antar keluarga dan solidaritas kelompok 6. Merupakan perbuatan menuju ketaqwaan
Universitas Sumatera Utara
seseorang yang dijadikan anak angkat akan mengetahui hak dan kewajibannya sebagai anak angkat, dan sebaliknya orang tua angkatnya pun mengetahui hak dan kewajiban sebagai orang tua angkat. Dikalangan masyarakat adat terdapat berbagai alasan seseorang atau pasangan suami isteri melakukan pengangkatan anak. Pada daerah-daerah yang mengikut garis keturunan patrilinial pada prinsipnya pengangkatan anak hanya pada anak laki-laki dengan tujuan utama penerus keturunan. Sedangkan pada daerah-daerah yang mengikuti garis keturunan parental antara lain Jawa dan Sulawesi, pegangkatan anak (laki-laki atau perempuan), pada umumnya dilakukan pada keponakannnya sendiri berdasarkan tujuan: 1. Untuk memperkuat pertalian kekeluargaan dengan orang tua anak yang diangkat. 2. Untuk menolong anak yang diangkat atas dasar belas kasihan 3. Atas dasar kepercayaan agar dengan mengangkat anak, kedua orang tua angkat akan dikaruniai anak sendiri. 4. Untuk membantu pekerjaan orang tua angkat. 2 Pengangkatan anak dalam hukum adat, tidak membawa konsekuensi bahwa anak angkat akan putus hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, dan tidak berpindah hubungan hukum dengan orang tua angkatnya. Anak angkat tidak akan terputus hubungan dengan clan asalnya kecuali ada upacara perpindahan clan atau
2
Runtung Sitepu, Pluralisme Hukum Mengenai Pengangkatan Anak Di Indonesia, Qanun, Jurnal Ilmu Hukum, Unsyiah Banda Aceh No. 39, Edisi Agustus 2004, Hal. 374
Universitas Sumatera Utara
perpindahan marga. Upacara perpindahan clan sangat mahal dan rumit, oleh sebab itu sangat jarang terjadi dalam masyarakat adat. Akibat dari perpindahan clan, hubungan hukum dalam kewarisan dapat berubah dan menyebabkan anak angkat tidak lagi mewarisi harta dari orang tua kandungnya, demikian pula sebaliknya. Anak angkat akan memperoleh harta warisan dari orang tua angkat dan juga sebaliknya. Tradisi mengangkat anak tersebut, hingga saat ini masih merupakan hal yang hidup dalam masyarakat termasuk dikalangan masyarakat Aceh, khususnya pada masyarakat Aceh Barat. Pada penelitian yang dilakukan di Kota Meulaboh, Pasca Bencana alam tsunami jumlah pengangkatan anak tersebut mengalami peningkatan. Pengangkatan
anak
dalam
tradisi
masyarakat
Aceh,
berbeda
dengan
tradisi pengangkatan anak dalam masyarakat adat pada umumnya. Tradisi pengangkatan anak dalam masyarakat Aceh, lebih dominan mendapat pengaruh dari syari'at Islam, bila dibandingkan dengan pengaruh dari hukum adat. Hukum adat bagi masyarakat Aceh bersumber pada Syari'at Islam. 3 Adat 4 yang bertentangan dengan Syari'at Islam adalah bukanlah adat Aceh. 5 Oleh karenanya, bagi masyarakat Aceh, Syari'at Islam merupakan standar norma yang mengatur seluruh prilaku kehidupan termasuk pengangkatan anak. Masyarakat Aceh, melakukan pengangkatan anak 3
Ada istilah dalam masyarakat Aceh, “Hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut” ; artinya Hukum dengan adat seperti zat dengan sifat. Tidak dapat dipisahkan. Kalau bertentangan dengan syariat Islam berarti bertentangan juga dengan adat. Lihat dalam Kata Pengantar Othman Ishak, Hubungan antara Undang-undang Islam dengan Undang-undang Adat, (Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, 2003), Hal. xv 4 Nasroen Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta : Pustaka Kautsar, 1998), Hal. 143 “Adat Kebiasan itu menjadi hukum”, tidak dapat dibantah terjadi perubahan, karena terjadi perubahan zaman dan tempat”, ketetapan melalui ‘uruf (kebiasaan) sama dengan ketetapan melalui nash”. 5 Zainuddin Ali, Islam Tekstual dan Kontekstual : Suatu Kajian Aqidah, Syariah dan Akhlak, (Makassar : Yayasan Al-Ahkam, 1998), Hal. 41
Universitas Sumatera Utara
dalam rangka mewujudkan prinsip ta'awun atau tolong menolong antara sesama muslim. Hal ini terbukti dengan penggunaan istilah dalam bahasa Aceh dengan sebutan "aneuk geutung" yang mendekati makna kasih sayang, belas kasihan. Salah satu akibat dari konflik dan tsunami adalah banyaknya anak-anak yang terpisah dari keluarga intinya, seperti orang tua dan saudara kandung si anak. Hal ini terjadi baik karena ditinggal orang tuanya yang meninggal dunia, maupun karena hilang semasa konflik atau tsunami. Menurut catatan jaringan penelusuran dan penyatuan keluarga (FTR Network) 6 sejak tsunami telah terdaftar 2.500 anak yang terpisah dari atau tak terdampingi oleh keluarga inti. Sebagian besar dari anak-anak itu diidentifikasi secara langsung di kamp dan barak, dimana para pengungsi direlokasi, atau di komunitas tempat mereka ditampung seperti pesantren dan panti asuhan. Beberapa anak diregistrasi di panti asuhan dan Dayah di Aceh, dan sebagian kecil lainnya di luar Aceh. Sebagai catatan, sejauh ini belum ada komitmen bersama antar berbagai organisasi untuk melakukan registrasi dan penelusuran anak yang sistematis baik di institusi maupun dalam komunitas Aceh dan luar Aceh. Secara historis, pengangkatan anak (adopsi) sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. Mahmud Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi pengangkatan anak sebenarnya dan telah dipraktikkan oleh masyarakat dan bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikkan oleh bangsa Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa pada zaman kuno. Di kalangan 6
FTR, Family Tracing and Reunification (Jaringan Penelusuran dan Penyatuan kembali Keluarga) adalah sebuah jaringan perlindungan anak di Banda Aceh sejak tsunami 26 Desember 2004. Team yang tergabung dalam Jaringan FTR ini adalah Unicef, Child Fund, Save the Children, Lost Children Operation, Muhammadiyah, Kementrian Perempuan, dan Dinas Sosial. http//web.acehinstitute.org/files.php?file=Riset Praktik Perlindungan Anak, Tanggal 28 November 2009, pukul 12.30 wib
Universitas Sumatera Utara
bangsa Arab sebelum Islam (masa jahiliyah) istilah pengangkatan anak dikenal dengan at- tabanni dan sudah ditradisikan secara turun-temurun. 7 Imam Al-Qurthubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah SAW sendiri pemah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya (Haritsah), tetapi masyarakat Arab memanggilnya dengan nama Zaid bin Muhammad. Pengangkatan Zaid sebagai anaknya ini diumumkan oleh Rasulullah Muhammad SAW, didepan kaum Quraisy. Nabi Muhammad SAW, juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy, putri Aminah binti Abdul Muththalib, bibi Nabi Muhammad SAW. Oleh karena Nabi SAW, telah menganggapnya sebagai anak, maka para sahabat pun kemudian memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad. 8 Setelah Nabi. Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, turunlah surat AlAhzab (33) ayat 4-5, 9 yang salah satu intinya, melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum seperti di atas (saling mewarisi dan memanggilnya sebagai anak kandung). Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa kisah di atas menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut. 10 Pengangkatan anak dalam hukum Islam tidak mengenal perpindahan, dalam arti tetap menjadi salah seorang mahram dari keluarga ayah kandungnya, dan berlaku 7
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), Hal. 53 8 Nasroen Haron, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta : P.T. Iktiar Baru van Hoeve, 1996), Hal. 29 9 Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahannya, (Jakarta : Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran, 1984), Surat Al-ahzab ayat 4 dan 5, yang artinya : Ayat 4 : Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataaanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Ayat 5 : Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapa-bapak mereka ; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengamun lagi maha penyayang. 10 H. Ahmad Kamil dan HM fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak Indonesia, (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2008), Hal. 99
Universitas Sumatera Utara
larangan kawin, serta tetap saling mewarisi dengan ayah kandungnya. Jika ia melangsungkan perkawinan setelah wanita dewasa, maka walinya tetap ayah kandungnya. Adapun pada pengangkatan anak yang diiringi oleh akibat hukum lainnya terjadi perpindahan nasab dari ayah kandungnya ke ayah angkatnya. Konsekuensinya, antara dirinya dengan ayah angkatnya dan keluarga kandung ayah angkatnya berlaku larangan kawin serta kedua belah pihak saling mewarisi. Jika ia akan melangsungkan perkawinan nantinya, maka yang berhak menjadi walinya adalah ayah angkatnya tersebut, bukan ayah kandungnya. Ada dua hal yang terkait dengan status hukum anak angkat, yaitu dalam hal kewarisan, dan dalam hal perkawinan. 11 Selanjutnya dalam tulisan ini difokuskan pada status hukum anak angkat dalam hal kewarisan. Pengangkatan anak didasarkan pada pertimbangan bahwa seorang muslim berkewajiban untuk menolong, memberikan perlindungan kepada orang lain. Anak yatim, anak fakir miskin, anak terlantar, anak yang tidak mampu secara ekonomi perlu mendapat perhatian dan tanggung jawab dari seorang muslim yang memiliki kemampuan. Tanggung jawab mulia ini diimplementasikan melalui pengangkatan anak. Seseorang yang melakukan pengangkatan anak ditujukan untuk memberikan perlindungan, kasih sayang, perlindungan kesehatan, pendidikan, dan berbagai kebutuhan psikis lainnya yang dibutuhkan oleh seorang anak. Kebutuhan-kebutuhan ini menjadi tanggung jawab bagi orang tua angkatnya. Pengangkatan anak merupakan
11
Ibid, Hal. 101
Universitas Sumatera Utara
salah satu perbuatan baik. Agama Islam menyuruh umat untuk berlomba-lomba dalam kebajikan. Dalam kehidupan masyarakat Aceh pengangkatan anak juga dilakukan berdasarkan pertimbangan lain berupa upaya `pemancingan' untuk mendapatkan keturunan. Umumnya pengangkatan anak dilakukan oleh keluarga yang tidak memiliki keturunan. Keberadaan anak angkat diharapkan akan mempercepat hadirnya keturunan dalam suatu keluarga. Anak angkat benar-benar diharapkan keberadaannya dalam kehidupan orang tua angkatnya, bukan sekedar basa basi. Orang tua angkat berusaha sekuat tenaga untuk memberi pelayanan perlindungan terhadap anak angkat sama dengan orang tua kandung memberi perlindungan kepada anak kandungnya. Keberadaan anak angkat dalam kehidupan rumah tangga orang tua angkat, akan terbangun hubungan emosional, hubungan psikis dan berbagai hubungan kemanusiaan lainnya, sebagaimana hubungan yang terjalin antara anak dengan orang tua kandung. Hubungan-hubungan ini sudah sewajarnya mendapat posisi tersendiri dalam hukum pengangkatan anak, seperti memperoleh sesuatu berupa harta atau `hak' dari orang tua angkatnya atau sebaliknya. Kewajaran seperti ini tidak dalam arti harus mengorbankan hak-hak orang lain yang telah ditentukan oleh ajaran agama. Orang tua angkat tidak serta merta menyamakan anak angkat dengan anak kandung. Anak angkat menduduki posisi pada tempat anak angkat, begitu juga anak kandung tidak dapat bergeser pada posisi anak angkat. Oleh sebab itu tidak ada alasan tentang kekhawatiran akan terjadi kekeliruan, anak angkat akan menduduki posisi anak kandung.
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka dilakukan pengkajian Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh (Studi Kabupaten Aceh Barat)
B. Perumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana cara pengangkatan anak pada masyarakat Aceh? 2. Bagaimana hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua kandungnya pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat? 3. Bagaimana hak mewaris dari anak angkat dalam hukum waris adat, pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat?
C. Tujuan Penelitian Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. 1. Untuk mengetahui cara pengangkatan anak pada masyarakat Aceh? 2. Untuk mengetahui Bagaimana hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua kandungnya pada masyarakat Aceh, di Kabupaten Aceh Barat? 3. Untuk Mengetahui hak mewaris dari anak angkat menurut Hukum Waris Adat, pada Masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat?
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat penelitian 1. penulisan ini diharapakan dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan peraturan perundang-undangan tentang hak anak angkat dari orang tua angkat terhadap Hukum Waris Adat Aceh 2. Secara praktis dapat bermanfaat bagi penyelesaian masalah kewarisan terhadap anak angkat
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya dilingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh (Studi Kabupaten Aceh Barat) belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dengan demikian penelitian ini adalah asli. Adapun beberapa penelitian yang menyangkut anak angkat dan kewarisan yang pernah dilakukan adalah : Hak Anak Angkat Dari Orang Tua Angkat Dalam Hukum Islam, oleh Tresna Hariadi, NIM 027011065, tahun 2004, Mahasiswa Program Magister Kenotariatan. Permasalahan yang diteliti adalah: 1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan bagi Pengadilan Agama Medan dalam memberikan harta peninggalan orang tua angkat kepada anak angkat? 2. Bagaimanakah pandangan Hukum Islam dan Pengadilan Agama Medan dalam menentukan hak anak angkat atas harta peninggalan orang tua angkatnya?
Universitas Sumatera Utara
3. Bagaimanakah ukuran keadilan yang diterapkan Pengadilan Agama Medan untuk menentukan bagian anak angkat?
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, 12 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. 13 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoretis 14 menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. Dengan demikian dalam bahasan judul tesis ini, teori yang digunakan sebagai alat atau pisau analisis adalah teori mashlahat. Secara etimologi kata mashlahat, jamaknya mashalih berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan merupakan lawan
12
J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta: FE UI, 1996), hal. 203. lihat M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994), hal. 27. 13 Ibid , hal. 16 14 M. Solly Lubis, Op.Cit, hal. 80
Universitas Sumatera Utara
dari keburukan atau kerusakan. Mashlahat kadang-kadang disebut dengan istilah yang berarti mencari yang benar. Esensi mashlahat adalah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan manusia serta terhidar dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan umum 15 Ibnu Taymiyyah, sebagaimana dikutip oleh syekh Abu Zahrah, 16 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mashlahat ialah pandangan mujtahid tentang perbuatan yang mengandung kebaikan yang jelas dan bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum syara'. Menurut Hasballah, 17 mashlahat yang dimaksud adalah ke-maslahat-an yang menjadi tujuan syara', bukan ke-maslahat-an yang semata-mata berdasarkan keinginan hawa nafsu manusia. Sebab disadari sepenuhnya bahwa tujuan dari syariat hukum tidak lain adalah untuk merealisir ke-maslahat-an bagi manusia dari segala segi dan aspek kehidupan mereka didunia dan terhindar dari berbagai bentuk yang dapat membawa kepada kerusakan. Oleh karena itu masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan
15
H.M.Hasballah Thaib, 2002, Tajdid Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Islam, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, (Medan: 2002). 16 Nasroen Haroen, 1997, Ushul Fiqh, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, hal. 126. 17 Hasballah, Tajdid Reaktualisasi..., op.cit. hal.28.
Universitas Sumatera Utara
sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat. 18 Menurut Kamus Bahasa Indonesia manfaat artinya guna, faedah. 19 Dalam Bahasa Arab manfaat disebut mashlahah (jamaknya mashalih) merupakan sinonim dari kata manfa 'at dan lawan dari kata mafsadat (kerusakan). Secara majas, kata ini juga dapat digunakan untuk perbuatan yang mengandung manfaat. Kata manfaat sendiri selalu diartikan dengan ladzhzah (rasa enak) dan upaya mendapatkan atau mempertahankannya. 20 Al-Ghazali mengatakan arti asli mashlahat ialah menarik manfaat atau menolak mudharat. Adapun artinya secara istilah ialah pemeliharaan tujuan (maqashid) syara', yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Segala sesuatu yang mengandung nilai pemeliharaan atas pokok yang lima ini adalah mashlahat, semua yang menghilangkannya adalah mafsadat dan menolaknya merupakan mashlahat. 21 Menurut Radbruch dalam Chainur Arrasyid yang dimaksud dengan nilai kegunaan ialah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat/berguna bagi masyarakat. 22 Pada dasarnya suatu putusan hakim harus bermanfaat, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat. Masyarakat dalam hal ini berkepentingan, 18
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1988), hal. 134 –135. 19 Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, (Surabaya; Penerbit Terang Surabaya, 1999), hal. 236. 20 Husein Hamid Hassan, Nazhariyah Al-Mashlahah Fi Al-Fiqh Al-Islami, (Kairo: AlMutanabbi, 1981), hal. 4, dalam Jamaluddin, Analisis Hukum Perkawinan Terhadap Perceraian Dalam Masyarakat Kota Lhokseumawe Dan Kabupaten Aceh Utara , Disertasi, (Medan: PPs-USU, 2008, hal. 23. 21 Ibid, Hal. 23 22 Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
karena masyarakat menginginkan adanya keseimbangan tatanan dalam masyarakat. Dengan adanya sengketa keseimbangan tatanan di dalam masyarakat itu terganggu, dan keseimbangan yang terganggu harus dipulihkan kembali. 23 Hakim hendaknya mendasarkan putusan-putusannya pada peraturan undangundang tapi tidak kurang pentingnya supaya putusan-putusan tersebut dapat dipertanggung-jawabkan terhadap asas-asas keadilan, kesadaran dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat. Dalam kehidupan sosial ada nilai-nilai yang lebih tinggi dan nilai-nilai yang lebih rendah, dan yang lebih rendah harus tumbuh menjadi yang lebih tinggi. 24 Jadi hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat 25 Dengan demikian hukum ditujukan untuk tercapainya sebesar-besar manfaat, keuntungan/kebahagiaan bagi masyarakat. 26 Hukum adalah pernyataan kesucian dan moralitas yang tinggi, baik dalam peraturan maupun dalam pelaksanaannya sebagaimana diajarkan dalam agama dan adat rakyat kita. 27 Menurut Mochtar Kusumaatmaadja, dalam Khuzaifah Dimiyati tidak perlu ada pertentangan antara maksud untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui perundang-undangan dan menyalurkan nilai-nilai atau aspirasi yang hidup dalam masyarakat 28
23
Sudikno Mertokusumo, 1996, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1996), hal. 90. 24 Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Idialisme Filosofi dan Problema Keadilan, (Susunan II), (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 120. 25 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 16. 26 Sudarsono, Op.Cit, hal. 102. 27 Jamaluddin, Op. Cit, hal 24. 28 Ibid, hal. 24
Universitas Sumatera Utara
Sebagai satu lembaga hukum, maka kepentingan masyarakat akan Iebih terjamin, karena misi hukum mempertahankan kedamaian di antara manusia dan sekaligus melindungi kepentingannya. Hal ini sesuai dengan yang ditulis oleh Prof. Mr. Dr. LJ. Van Apeldoorn, bahwa: "Hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingankepentingan yang bertentangan di antaranya karena hukum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan) hidup secara damai, jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan pada norma terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, pada mana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya". 29 Berbicara masalah pengangkatan anak, yang oleh hukum telah diberikan hak bagi masyarakat untuk melakukan pengangkatan anak, namun yang paling penting dengan terjadinya pengangkatan anak tersebut harus dapat memberikan manfaatnya baik bagi orang tua angkat itu maupun bagi si anak angkat. Kompilasi Hukum Islam hadir dalam hukum Indonesia melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan diantisipasi secara organik oleh Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Terpilihnya Inpres menunjukkan fenomena tata hukum yang dilematis pada satu segi, pengalaman implementasi program legislatif nasional memperlihatkan Inpres berkemampuan mandiri untuk berlaku efektif di samping instrumen hukum lainnya, karena memiliki daya atur dalam hukum positif nasional dan pada segi lain Inpres tidak terlihat sebagai salah satu instrumen dalam tata perundang-undangan. 29
L.J Van Apeldoorn, Pengangkatan Ilmu Hukum, ( Jakarta:Pradnya Paramita, 1982), Hal. 79
Universitas Sumatera Utara
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 menginstruksikan kepada Menteri Agama Republik Indonesia supaya menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam untuk digunakan
oleh
Instansi
Pemerintah
terkait
maupun
masyarakat
yang
memerlukannya. Atmadja berpendapat bahwa Inpres sebagai perintah, petunjuk dan atau pedoman bukanlah peraturan perundang-undangan akan tetapi sama halnya dengan surat edaran, surat perintah, nota yang memberikan kewenangan badan/pejabat tata usaha negara untuk pelaksanaan pemerintah sehari-hari. 30 Instruksi Presiden ini bersifat teknis operasional untuk melaksanakan sesuatu hal yang bersifat mendesak untuk ditangani secepatnya. 31 Lembaga ini muncul dalam. praktek pemerintah wewenang kepala negara untuk mengintruksikan sesuatu dalam rangka implementasi program legislatif dan/atau eksekutif. Dipilihnya instrumen Inpres lebih banyak merupakan putusan pertimbangan praktek ketimbang teknis perundangan. 32 Di lihat dari tata hukum Nasional, KHI dihadapkan dua pandangan yaitu: Pertama, sebagai hukum yang tidak tertulis seperti yang ditunjukkan oleh penggunaan instrumen hukum berupa Inpres yang tidak termasuk dalam rangkaian tata urutan peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber hukum tertulis.Kedua, KHI dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis, sumber
30
Atmadja Gede, "Hukum Dalam Teori Dan Praktek", Kumpulan Karangan Majalah Ilmiah, (FH Udayana, 1994), hal 111 31 Daman Rozikin, Hukum Tata Negara (Suatu Pengantar), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal 78. 32 Abdul Ghani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), hal 61-62.
Universitas Sumatera Utara
yang ditujukan KHI berisi Law dan Rule yang pada gilirannya terangkat menjadi Law dengan potensi Political Power. 33 Fungsi KHI merupakan pedoman dalam rumusan Inpres yang dipertegas oleh Keputusan Menteri Agama dengan kalimat sedapat mungkin menerapkan KHI tersebut. Status KHI bersifat persuasif rekomendatif dan bukan imperatif. Dari sinilah Inpres dan keputusan Menteri lebih menekankan perintah mensosialisasikan KHI ketimbang mewajibkan penerapannya dengan sanksi yang tegas. Hal ini tidak mengurangi efektifitas KHI karena dalam tataran eksekutorial materi KHI ini dilakukan oleh kantor urusan agama, dan dalam tahapan penyelesaian yudisial dilaksanakan oleh pengadilan agama. KHI merupakan suatu tonggak penting bagi lebih berperannya Hukum Islam di Indonesia. Posisi hukum Islam menjadi lebih tegas dengan adanya beberapa produk undang-undang dan kebijakan hukum pemerintahan orde baru pada beberapa dasawarsa terakhir. Setiap pengamat hukum bisa menyebutkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan agama dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, sebagai contoh penting terjadi pergeseran beberapa bagian hukum Islam yang universal kearah hukum positif tertulis dari suatu negara. Pengertian Anak angkat secara bahasa atau etimologi dapat diartikan sebagai berikut: anak angkat dalam bahasa Arab disebut "tabanny" 34 perhatian dan kasih 33
Nur Fadhil Lubis, Hukum Islam Dalam Kerangka Teori Fiqih Dan Tata Hukum Indonesia, (Medan: Pustaka Ubidya Sarana, 1995), hal.139.
Universitas Sumatera Utara
sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri tanpa memberi status anak kandung. 35 Iman Sudiyat mendefinisikan "pengangkatan anak dengan suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar kerabat ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologisnya." 36 Hilman Hadi Kusuma dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat menyatakan: "Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga." 37 Menurut Ali Afandi: "pengangkatan anak adalah pengangkatan oleh seorang dengan maksud untuk menganggap anak itu sebagai anak sendiri." 38 Djaja S Meliala menyatakan: "pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukurn untuk memberi status hukum tertentu pada seorang anak status mana sebelumnya tidak dimiliki anak itu." 39 Menurut Soerjono Soekanto pengangkatan anak atau adopsi berarti "mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau secara umum berarti
34
H. Ahmad Kamil dan H.M. Fuazan, op. cit., ha1.100 Mahmud Syaltut, al-Fatawa, Darul Qalam, hal. 321-322. 36 Iman Sudiyat, Hukum Adat dan Sketsa Azas, (Yogyakarata: Liberty, 1981), hal. 117. 37 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Alumni, 1977), hal. 6. 38 Ali Afandi, Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Yogyakarta : Gajah Mada), hal. 57 39 Djaja S Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, (Bandung : Tarsito, 1982), hal. 8 35
Universitas Sumatera Utara
mengangkat seorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah- olah didasarkan faktor hubungan darah." 40 Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf (h) dinyatakan: "Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan." 41 Dari pengertian anak angkat baik secara etimologi maupun terminologi yang dipaparkan di atas maka dapat dipahami bahwa pengertian anak angkat secara umum adalah anak yang sebenarnya bukan anak sendiri, tetapi karena sesuatu maksud, maka anak angkat tersebut diangkat menjadi bagian dari keluarga sendiri untuk selanjutnya diberikan hak-hak pemeliharaan yang layak kepadanya seperti seorang anak. Selanjutnya istilah anak angkat yang lebih tepat untuk kultur Indonesia yang mayoritas pemeluk Islam adalah perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlukan sebagai anak nasabnya sendiri. Sejalan dengan pengertian anak angkat tersebut di atas Abdullah Syah manyatakan bahwa unsur-unsur pengangkatan anak itu adalah: 1. Ada anak yang bukan anak sendiri. 2. Ada bapak yang bukan bapak sendiri.
40
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Penerbit Alumni Bandung, 1980, hal. 52 Undang-undang Republik Indonesia No. 7, Tahun 1989, Tentang Peradilan Agama dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Penerbit Duta Karya Medan, 1995, hal. 111 41
Universitas Sumatera Utara
3. Ada kesepakatan diantara kedua belah pihak untuk melakukan pengangkatan anak (untuk bertindak sebagai anak angkat dan bapak angkat). 4. Status nasab kedua belah pihak tidak berubah. 42 Khusus untuk pengertian yang diberikan kompilasi hukum Islam mesti dapat dibuktikan dengan adanya putusan Pengadilan. 43 Selanjutnya, alasan pengangkatan anak yaitu : a. Seorang mengambil anak orang lain sebagai anak angkatnya, karena merasa sedih melihat anak itu, sebab pendidikannya tidak terurus, keperluan sehariharinya juga tidak terpenuhi dikarenakan orang tuanya tidak punya sama sekali atau miskin. Orang tua yang hendak mengangkat anak itu mengetahui dengan jelas bahwa anak itu terlantar, dikarenakan orang tuanya tidak mengakuinya sebagai anak kandungnya yang menyebabkan anak tersebut terlunta lunta. Dalam hal seperti ini dapat diakui sebagai anak angkat akan tetapi jika anak yang diangkat tersebut seorang perempuan bila hendak dikawinkannya yang menjadi walinya tetap diserahkan kepada orang tua kandungnya, tidak kepada bapak angkatnya, bapak angkatnya hanya boleh memberikan hartanya kepada anak tersebut yang bukan atas nama ahli waris, akan tetapi berbentuk wasiat wajibah dengan ketentuan tidak boleh lebih dari sepertiga hartanya. Seorang mengambil anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak angkat dan anak angkat tersebut dianggapnya sebagai anak kandungnya begitu juga dengan nasabnya dihilangkannya dan beralih kepada nasab bapak angkatnya. 44 b. Alasan yang kedua bertentangan dengan ajaran Islam, karena tradisi seperti ini terjadi pada zaman jahiliyah yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, hal ini dilarang dan tidak diakui oleh ajaran Islam. Di dalam hukum adat secara umum dilakukan oleh keluarga Indonesia untuk mengangkat seorang anak laki-laki atau perempuan, untuk kemudian dimasukkan ke dalam lingkungan keluarga mereka, didukung oleh berbagai sistem hukum adat yang 42
H.Abdullah Syah, dkk, Laporan Penelitian Tinjauan Hukum Islam Dan Hukum Adat Terhadap Anak Angkat Pada Suku Melayu Kecamatan Tanjung Pura Langkat, (Medan: Balai Penelitian IAIN Sumatera Utara, 1995), hal.46-47. 43 Ibid, hal. 46-47 44 M. Ali Hasan, Masahil Fiqhiyah Al Hadisah Pada Masalah-masalsah Kontemporer Hukum Islam, (Jakarta : raja grafindo Persada, 1995), hal. 118-119
Universitas Sumatera Utara
bersifat umum dengan karakteristik yang sama di antara kelompok masyarakat berbeda-beda. Pengangkatan anak pada masyarakat hukum adat dapat dilakukan dengan cara; 45 1. Tunai/kontan artinya bahwa anak itu dilepaskan dari lingkungannya semula dan dimasukkan ke dalam kerabat yang mengadopsinya dengan suatu pembayaran benda-benda magis, uang, dan/atau pakaian. 2. Terang artinya bahwa adopsi dilaksanakan dengan upacara-upacara dengan bantuan para Kepala Persekutuan, ia harus terang diangkat ke dalam tata hukum masyarakat. Dalam hukum adat tidak dijumpai beda umur, karena diketahui dalam hukum adat penyelesaian masalah tergantung pada kasus yang dihadapi. Ketika ada kasus pada saat itu pula ada inisiatif untuk menyelesaikan kasus yang terjadi. Pengangkatan anak dalam hukum adat dipastikan ada kepentingan yang ingin ditegakkan. Oleh sebab itu dalam hukum adat tidak mungkin ada persoalan hukum yang merugikan masyarakat. Menurut Soepomo, 46 hukum adat Indonesia mempunyai corak sebagai berikut: 1. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, dan rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum adat
45 46
Iman Sudiyat, Hukum Adat-sketsa adat, (Yogyakarta : Liberty, 1999), hal. 102 R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat ( Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), Hal. 98
Universitas Sumatera Utara
2. Mempunyai corak religius-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia 3. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit; artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya perhubungan hidup yang konkrit 4. Hukum adat mempunyai sifat yang visual artinya perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (tanda yang kelihatan). Dengan pertimbangan-pertimbangan moral sebagai alasan utama dalam pengangkatan anak, misalnya untuk menolong anak yatim, suatu keluarga dapat mengangkat seorang anak dengan konsekwensi hukum bahwa si anak tersebut, baik laki-laki maupun perempuan, akan memperoleh hak yang sama di hadapan hukum sebagaimana anak kandung. Walaupun aplikasi anak angkat ini secara terperinci berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Maka di hukum adat anak angkat secara otomatis dimasukkan ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat, hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua kandung terputus, dan posisi hukum anak angkat dalam kewarisan sama dengan anak kandung. 47 Pengangkatan anak dalam hal ini tidak memerlukan adanya putusan hakim, cukup disaksikan oleh ketua adat atau masyarakat setempat. Dari gambaran di atas, dapatlah dilihat betapa sederhananya bentuk dan prosedur pengangkatan ini cukup
47
M. Yahya Harahap , Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalm Hukum Adat, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), hal, 100-115
Universitas Sumatera Utara
dengan lisan saja, tanpa diperlukan bukti tertulis. Suroyo Wongjodiputro mengemukakan bahwa : Di dalam hukum adat dikenal pengangkatan anak. Cara memperoleh atau mengangkat anak adalah dengan : Anak itu diambil dari lingkungan asalnya dan dimasukkan dalam keluarga orang yang mengangkat ia menjadi anak angkat. Lazimnya tindakan ini disertai dengan penyerahan barang-barang magis atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak diatur dan tidak mengenal lembaga pengangkatan anak, namun karena kebutuhan di lingkungan masyarakat Tionghoa, yang terhadapnya berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adopsi atau pengangkatan anak diatur secara tersendiri dalam Staatsblad 1917 Nomor. 129. Di lingkungan golongan penduduk Tionghoa hanya dikenal adopsi anak laki-laki dengan motif untuk mendapatkan keturunan laki-laki. sebab rnenurut kepercayaan yang hidup di lingkungan masyarakat Tionghoa, hanya anak laki-laki saja yang berwenang memakai nama keluarga dengan maksud melanjutkan marganya, serta melakukan upacara penghormatan kepada leluhurnya, karena perkembangan masyarakat Staatsblad 1917 Nomor. 129 tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan hukum masyarakat khususnya golongan Tionghoa. Golongan tersebut telah meninggalkan adat istiadat di negara asalnya dan banyak mengikuti nilai-nilai yang hidup di Indonesia, hal ini dapat dimengerti mengingat lingkungan hidup mereka adalah di Indonesia yang berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Universitas Sumatera Utara
1945 yang tidak membenarkan adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Anak wanita mempunyai derajat dan martabat yang sama dengan anak laki-laki. Menurut Stb. 1917 Nomor 129 tentang Adopsi, bahwa akibat hukum dari perbuatan adopsi sebagai berikut : a. Sesuai dengan Pasal 11 bahwa anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dan orang yang mengadopsi. 48 b. Sesuai Pasal 12 ayat (1) bahwa anak adopsi dijadikan sebagai anak yang ditahirkan dari orang yang mengadopsi. Konsekwensinya, anak adopsi, menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi. 49 Terhadap Pasal 12 tersebut J.Satrio berkomentar, konsekwensi lebih lanjut adalah bahwa karena dianggap dilahirkan dari perkawinan orang yang mengadopsi, maka dalam keluarga adoptan, adoptandus berkedudukan sebagai anak sah, dengan konsekwensinya lebih lanjut. 50 Bila anak adopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan adoptandus berkedudukan sebagai anak sah, maka akibat hukumnya sebagai berikut ; 1. Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 maka akibat hukumnya tunduk kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, meliputi :
48
Pasal 11 berbunyi : “….bahwa dengan yang diadopsi, jika mempunyai keturunan lain daripada yang mengadopsinya sebagai anak laki-lakinya memperoleh keturunan dari orang yang mengadopsi sebagai ganti daripada nama keturunan orang yang diadopsinya itu.” 49 Bunyi pasal 12 ayat (1) yang menyatakan : bila orang-orang yang kawin mengadopsi seorang anak laki-laki, maka dianggap dilahirkan dari perkawinan mereka. 50 J. Satrio, Hukum Keluarga tentang kedudukan anak dalam Undang-undang, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 236
Universitas Sumatera Utara
a. Kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak, yaitu orang tua wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa (Pasal 298 KUHPerdata) dan sepanjang perkawinan bapak dan ibu tiap-tiap anak sampai ia menjadi dewasa, tetap dibawah kekuasaan orang tua sepanjang kekuasaan orang tua belum dicabut (Pasal 299 KUH Perdata). b. Kekuasaan orang tua terhadap harta kekayaan anak, yaitu terhadap anak yang belum dewasa maka orang tua harus mengurus harta kekayaan anak itu (Pasal 307 KUH Perdata). c. Hak dan kewajiban anak terhadap orang tua, yaitu tiap-tiap anak dalam umur berapa pun wajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak dan ibunya serta berhak atas pemeliharaan dan pendidikan. Pengangkatan anak merupakan sikap kerelaan dan ketulusan hati seseorang untuk mengambil alih tanggung jawab pemeliharaan anak. Pada dasarnya Islam tidak mengatur cara-cara pengangkatan anak, hal ini hanya didasari atas motif pengangkatan anak yang mengacu kepada fungsi sosial. Rasulullah SAW pernah mempunyai anak angkat yang bernama Zaid bin Haritsah dalam status budak, setelah itu anak tersebut dimerdekakan lalu diangkat menjadi anak angkatnya. Sebagai orang tua angkat, beliau memelihara, mengasuh dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang serta memperhatikan kesejahteraannya dengan penuh rasa tanggung jawab. Pemeliharaan anak dianjurkan oleh Islam terutama memelihara anak yatim, anak miskin dan sebagainya. Oleh karena itu perlu diperhatikan larangan Islam
Universitas Sumatera Utara
seperti memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandung, menyamakan pembagian harta warisan anak angkat dengan anak kandung dan menjadikan anak angkat sebagai budak yang tidak bermartabat. Syari'ah Islam merupakan syari'ah yang universal, Al-Qur'an sebagai pokok yang fundamental dalam syari'at Islam berisi ketentuan-ketentuan yang lengkap. Hal Ini mencakup kesegenap bentuk tingkah laku manusia yang akan muncul dimasa yang akan datang. Semua tingkah laku itu dapat diukur dengan norma dan ukuran yang pedomannya terdapat dalam AI-Qur'an. Dengan demikian garis hukum apapun yang akan dibuat oleh manusia dapat diukur menurut Al-Qur 'an. Ada tiga cara pendekatan untuk memahami Islam atau syari'at Islam, yakni dengan pendekatan naqli atau tradisional, pendekatan aqli atau akal dan pendekatan kasyfi atau mistik. Ketiga pendekatan tersebut sudah ada sejak zaman nabi Muhammad SAW, dan terus digunakan oleh ulama-ulama selanjutnya. Ketiga pendekatan tersebut, salah satu diantaranya sangat berkembang dan berpengaruh, dan pada masa yang lain menjadi berkurang, silih berganti secara pasang surut. 51 Memperhatikan pernyataan di atas, suatu saat orang memahami syari 'at Islam dengan mengutamakan naqli dari pada aqli dan sebaliknya, oleh karena itu memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat dalam memahami syari'at Islam. Pemahaman itu dapat berbeda antara lain karena nash syari 'at bersifat umum, dan
51
Hasballah Thaib, Memahami islam Secara rasional, (Medan : Program Pasca Sarjana USU, 1998), hal. 4
Universitas Sumatera Utara
nash syari 'at itu mempunyai beberapa makna sehingga ada alternatif makna yang terkandung dalam nash. Memperhatikan pendapat Hasballah Thaib, maka nampak jelas pola pikir atau paradigma yang menimbulkan atau terjadinya perbedaan mazhab dalam memahami syari'at Islam, tidak terkecuali memahami
nash yang berkenaan dengan
permasaalahan terhadap anak angkat. 2. Konsepsi Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. 52 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 53 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Selanjutnya sebagai pendefinisian konsepsi dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: a. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidup sehari-hari biaya pendidikan dan sebagainnya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
52
Sutan remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 10 53 Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan fidusia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, (Medan : PPs-USU, 2002), hal. 35
Universitas Sumatera Utara
b. Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. c. Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan / harta warisan dapat diteruskan kepada ahli waris dari suatu generasi kegenerasi berikutnya. d. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan terbuka, Di daerah Nanggroe Aceh Darussalam ini terdapat 8 sub etnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. kedelapan subetnis tersebut mempunyai sejarah asal-usul dan budaya yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Misalnya sub etnis Aneuk Jamee, menurut sejarahnya merupakan pendatang yang berasal dari Sumatera Barat (etnis Minangkabau) sehingga budaya sub etnis Aneuk Jamee mempunyai kemiripan dengan budaya etnis Minangkabau.
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang akan memaparkan dan mengkaji bagaimana peraturan perundangundangan yang berlaku dihubungkan dengan Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat, bagaimana cara pengangkatan anak pada masyarakat Aceh, bagaimana hubungan hukum
Universitas Sumatera Utara
antara anak angkat dan orang tua kandungnya pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat, serta bagaimana hak mewaris dari anak angkat dalam hukum waris adat pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat.
2. Metode Pendekatan Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis empiris. Metode yuridis empiris dipergunakan untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan dengan melihat berbagai aspek yang terdapat dalam masyarakat yang berhubungan dengan Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Barat.
3. Sumber Data. Data Penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder, yaitu : a. Data Primer Data Primer yaitu data pokok yang diperoleh dari nara sumber yang dianggap berkompeten untuk memberikan pendapat yang berhubungan dengan permasalahan ini. Untuk mendukung data primer diperlukan informasi dari anggota masyarakat yang melakukan pengangkatan anak pada Kabupaten Aceh Barat, yang sampelnya berasal dari 4 (empat) Kelurahan b. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan studi kepustakaan dengan mempelajari: 1) Bahan hukum primer yaitu berupa Al-Qur'an dan Al-Hadist.
Universitas Sumatera Utara
2) Bahan hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, hal ini berupa hasil seminar, pertemuan ilmiah, pendapat pakar hukum dan para ulama sepanjang relevan dengan objek telaah penelitian ini. 3) Bahan hukum Tertier yaitu hukum penunjang dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Ensiklopedia.
4. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek-objek penelitian yang mempunyai ciri-ciri yang sama yang dapat berupa orang atau benda.” 54 Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Kecamatan Johan Pahlawan sedangkan populasi sasaran 55 adalah anggota masyarakat yang telah melakukan pengangkatan anak dan bertempat tinggal di Kecamatan Johan Pahlawan. Untuk itu diambil sebanyak 4 (empat) orang dari populasi tersebut diatas sebagai sampel dalam penelitian ini. Untuk melengkapi data dalam penelitian ini, perlu nara sumber yang berkompeten yang berhubungan dengan permasalahan dalam tesis ini antara lain yaitu : 1. Satu orang Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Meulaboh. 2. Satu orang Panitera Penganti Mahkamah Syar’iyah Meulaboh. 54
. Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum,PT Raja Grafindo, Jakarta, 1996, halaman.118. . Populasi sasaran (target populasi) adalah populasi darimana akan ditarik suatu sampel berdasarkan tata cara sampling tertentu. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta 1984 hal. 172 55
Universitas Sumatera Utara
3. Satu orang ulama 4. Satu orang Tokoh Adat 5. Satu orang anak angkat
5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara Non Probability
dengan menggunakan teknik Purposive sampling yaitu menentukan
jumlah sampel yang dipilih sebanyak 4 (empat) responden dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi yaitu anggota masyarakat yang melakukan pengangkatan anak pada Kabupaten Aceh Barat, dan bertempat tinggal di Kecamatan Johan Pahlawan, Sampel yang dipilih telah dianggap mewakili seluruh populasi.
6. Alat Pengumpulan Data Dalam penelitian ini untuk memperoleh data yang diperlukan, dipergunakan alat pengumpulan data sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan dengan mempelajari dokumen resmi berupa peraturan perundang-undangan dan dokumen resmi lain yang berlaku dan menelaah literatur-literatur yang berhubungan dengan objek penelitian. b. Wawancara Wawancara dilakukan pada beberapa nara sumber yang berhubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
penelitian ini, yaitu Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, Panitera Penganti Mahkamah Syar’iyah Meulaboh, Tokoh Adat, Ulama dan anak angkat dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya. c. Kuisoner Kuisoner yang dipergunakan adalah kuisoner yang bersifat kombinasi, dilakukan terhadap 4 (empat) responden dari 4 (empat) Kelurahan dari Kecamatan Johan Pahlawan, dengan perincian sebagai berikut : - Kelurahan Kuta Padang
1 responden
- Kelurahan Ujong Baroh
1 responden
- Kelurahan Ujong Kalak
1 responden
- Kelurahan Suak Raya
1 responden
7. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dalam penulisan tesis ini yaitu Kabupaten Aceh Barat, karena kabupaten Aceh Barat merupakan salah satu kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam yang masyarakat adatnya beragama Islam dan Kecamatan Johan Pahlawan merupakan Kecamatan yang banyak melakukan pengangkatan anak sebagai dampak telah terjadinya bencana tsunami
8. Analisis Data Dari hasil pengumpulan data yang diperoleh melalui data primer dan data sekunder sesuai dengan yang diharapkan, untuk menghasilkan data yang akurat,
Universitas Sumatera Utara
dilakukan pemeriksaan dan pengelompokan agar menghasilkan data yang sederhana yang bertujuan agar mudah dimengerti. Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun data yang diperoleh di lapangan, selanjutnya akan dianalisa dengan pendekatan kualitatif, 56
sehingga akan diperoleh data yang bersifat deskriptif. Analisa kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompokkan dan
menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya. Kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan, sehingga akan diperoleh jawaban permasalahan. Dalam menganalisis data yang diperoleh akan digunakan cara berfikir yang bersifat induktif yaitu data hasil penelitian dari hal yang sifatnya khusus kepada yang sifatnya umum. Dengan metode induktif diharapkan akan diperoleh jawaban permasalahan. Cara berpikir deduktif akan digunakan untuk menggambarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang akan dijadikan sebagai acuan pelaksanaan di lapangan.
56
. Pendekatan Kualitatif sebenarnya merupakan tatacara penelitian yang mengasilkan data bersifat deskriptif yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata, dipelajari secara utuh. Soerjono Soekanto, Op.cit, hal 32.
Universitas Sumatera Utara