RUTH ELLIA
Reversed Time
Penerbit
Arooliamedia
Reversed Time Oleh: Ruth Ellia Copyright © 2014 by Ruth Ellia
Penerbit : Arooliamedia www.nulisbuku.com
[email protected]
Desain Sampul: Adrian Mailoor
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Thank You Note
Pertama dan utama, tentu saja Tuhan Yesus Kristus yang sudah memberi karunia berupa imajinasi tak terbatas, jari-jari untuk menulis dan pengetahuan tentang kata-kata. Untuk Papa pahlawanku, Mama yang melahirkanku, Kakak yang baik. Oma - Oma atas nasihat-nasihatnya. Mama Meila atas supportnya. Randy yang selalu memotivasi, selalu percaya pada kemampuanku, tidak pernah menyerah, sumber inspirasiku. Gajektif Team yaitu Merry, Maria, Vero, Gracia, Claudia, Angel, terutama Adrian yang menjadi mentor soal selfpublishing. Terima kasih banyak atas semangatnya. Teman-teman sekolah, Megan, Felicia, Stephanie terima kasih atas momen-momen menyenangkannya. Melisa, terima kasih karena telah memperkenalkanku pada dunia menulis online dimana semua ini berawal. Galauers, Jessica, Erick, Bill para tempat curhat di jaman putih abu-abu bahkan sampai sekarang.
Navy si lontong cokelat, teman setia, penghibur, teman bermain berkaki empat. Terima kasih, dasar kau bola berbulu! Followers Wattpadku yang membuatku percaya diri. Terima kasih atas vote-vote dan komentar-komentarnya yang membangun. NulisBuku yang membuat mimpiku jadi nyata. Dan kalian yang memegang buku ini dan membacanya. Terima kasih. Banyak. Terima kasih banyak. Tuhan memberkatimu.
Ruth Ellia
PROLOG
Aku tertidur di belakang jok mobil. Perjalanan menuju rumah musim dingin milik ayahku di puncak amat melelahkan bagiku. Bayangan pohon-pohon melintasi wajahku dan udara dingin pegunungan menusuk kulitku. Aku menggigil dalam tidur dan merapatkan mantelku. Samar-samar aku bisa mendengar suara ibuku tertawa. Mobil berbelok, memasuki garasi yang cukup menanjak. Aku terbangun namun tidak ingin bergerak bahkan tidak mau membuka mata. Seperti kebanyakan anak berumur lima tahun, aku ingin digendong. Aku mengintip dari balik kelopak mataku dan melihat ayahku tersenyum melihatku dan membuka jendela sedikit agar aku mendapat sedikit udara. Orang tuaku tampak sibuk mengurus bagasi dan menurunkan barang-barang. Aku sempat mendengar ibuku bersuara "Biarkan saja ia tertidur. Setelah kita selesai membereskan kamar barulah kita bangunkan dia"
~1~
Ayah mengecup puncak kepala ibuku dan mereka mengangkut dus-dus cokelat yang tampak berat ke dalam rumah. Meninggalkanku di dalam mobil. Hening Aku merasakan mobilku meluncur perlahan. Aku masih diam dalam posisiku dan agak kebingungan. Aku terduduk, melihat pintu garasi yang semakin menjauh. Aku membuka mulutku, mencoba memanggil ibuku, tapi yang terdengar adalah suara klakson yang nyaring. Aku menoleh ke arah jendela samping dan melihat sebuah besi besar bergerak dengan cepat dan sebelum aku sempat berkedip, aku merasakan dadaku seperti dihantam batu besar. Aku mendengar bunyi gemeretuk yang berasal dari rusukku dan merasakan amis dalam mulutku. Aku terbanting ke pojok mobil dan berusaha mencari udara. Dadaku terjepit di antara tempat duduk belakang dan depan. Kepalaku terasa berat. Tanganku menggapai tempat duduk dan merasakan serpihan kaca di telapaknya. Akhirnya semua menjadi gelap. Dan jantungku berhenti berdetak.
~2~
SATU “Aku benci Biologi!!" suara Chelsea yang menjerit di telingaku tidak membuatku berhenti mencabik-cabik roti yang ada di piringku. "Oh, tenanglah sedikit. Kita tinggal menghabiskan 2 semester dan semuanya akan jadi masa lalu" Amy mengaduk saladnya dan menatap Chelsea sedikit kesal. "Dan kau! Makanlah yang benar. Jangan mencabik makananmu seperti itu" ia menyikutku sambil melotot. Aku mendengus. "Tapi aku benar-benar benci Biologi!! Kalian tahu tidak tadi aku..." Chelsea meneruskan ocehannya sambil mengangkat garpunya dan menunjuk ke arahku. "Hei! Sudah kubilang jangan mengancungkan benda seperti itu ke wajahku" aku mendorong garpunya menjauh. "Maaf.. tapi aku sudah tidak sanggup lagi dengan Mr. Harrison" Chelsea membuang mukanya, mengakibatkan rambut pirangnya jatuh ke sisi wajahnya yang berbintik cokelat. Mr. Harrison adalah guru biologi kami. Orangnya tegas dan tidak kenal belas
~3~
kasihan. Aku sudah tahu bahwa dari awal Chelsea yang seronok tidak akan cocok dengan guru yang disiplin seperti Mr. Harrison Aku memperhatikan Amy, gadis yang bijaksana di antara kami, dengan rambut hitam lurusnya dan wajah Asianya, mencoba menenangkan Chelsea yang mengomel sepuas hati. Aku kemudian melayangkan pandangan ke seluruh penjuru kantin sekolah. Memperhatikan sekelompok cheerleaders yang memamerkan tubuh berbentuk mereka ke para cowok-cowok berandalan. Sekelompok remaja yang memakai dandanan serba gothic. Ada juga yang tampak normal dan menikmati makanan mereka sambil bercanda. Tapi tidak ada yang seribut Chelsea dan aku tidak begitu mempedulikan tentang pembagian kelompok di sekolah ini. Yang lebih jauh aku khawatirkan adalah apabila anak-anak yang membawa baki ke lantai dua kantin terpeleset jatuh dari tangga. Atau dapur kantin sewaktu-waktu dapat meledak karena kebocoran gas, atau gelang-gelang berpaku milik seorang cowok gothic menusuk mata temannya dan sejumlah kecelekaan mengerikan lainnya.
~4~
"Haloo?? Bumi memanggil Rae...!" lagi-lagi Chelsea berteriak di depan wajahku. Amy memandangku dengan kesal sebelum memutuskan menceramahiku. "Biarkan saja dia. Palingan ia hanya memikirkan tentang kematian seseorang. Menurutku Rae, kau harus mendapat bantuan. Sifat paranoidmu ini membuatku takut. Sungguh, tidak ada yang akan mati, oke?" Amy memang sudah mengetahui sikap konyolku ini. Kami sudah bersama-sama semenjak di bangku SMP. Tapi menurutku ini sama sekali tidak konyol. Namun apa yang bisa kubilang? Maaf, tapi aku tahu rasanya mati itu bagaimana, dan hei aku lolos dari kematian itu karena aku seorang Underhand alias manusia yang bisa mencurangi kematian! Mereka hanya akan tertawa, atau lebih parah lagi, mereka menghubungi guru konseling dan memutuskan aku ditempatkan di rumah sakit jiwa dan menjadwalkan terapi untukku Karena itu sebagai balasan, aku hanya tersenyum sambil mengangkat bahu "Setidaknya, mengkhawatirkan kematianmu sendiri lebih logis daripada proyek Biologi yang konyol" Chelsea cemberut sambil menghirup yogurthnya. Sedangkan aku dan Amy tertawa
~5~
lepas karena menggoda Chelsea menimbulkan perasaan yang menyenangkan. Mr. Harrison tampak sibuk berusaha menjejalkan otak kami dengan materi-materi tentang sel dan jaringan. Aku sama sekali tidak tertarik dan membuang muka, menghadap jendela - hal yang kusukai dari sekolah ini adalah tempat dudukku dekat jendela menghadap taman- dan berusaha memikirkan kata-kata Amy tentang aku yang terlalu paranoid dan kenyataan mengerikan yang disampaikan ibuku bahwa aku bukanlah manusia biasa. Mitosnya, semuanya diawali dari kepongahan nenek moyangku, leluhurku, yang mengadakan taruhan dengan seseorang bahwa ia bisa hidup sehari lebih lama. Entah apa taruhannya, tapi membuat kedua orang- yang menurutku bodoh itu- berupaya saling menghabisi hidup satu sama lain. Sampai leluhurku menemukan mantra yang bisa membuatnya umur panjang. Sayang sekali, itu bukan umur panjang yang sering diimpikan setiap orang, tidak bertambahnya umur atau tidak bisa menjadi tua atau menjadi tua tanpa keriput atau kantong mata yang menyedihkan. Menjadi
~6~
umur panjang jauh lebih mengerikan dari itu. Ia menjadi seorang Underhand - pencurang kematian. Memang awalnya agak sukar dipahami, sampai mantra yang kuanggap kutukan itu tidak terlepas dari setiap keturunannya termasuk kakekku, ibuku dan berlanjut padaku dan mungkin sampai ke anak cucuku. Setelah pengalaman 'kematianku' saat aku berumur lima tahun , aku mengetahui bahwa mencurangi kematian merupakan proses yang amat.. amat menyakitkan. Ketika jantungku berhenti berdetak. Saat itu aku yakin aku sudah mati. Tapi aku merasakan kekuatan besar menyambar diriku, seakanakan menarikku keluar dari kegelapan yang menyelimutiku. Dadaku yang sesak tak bernapas perlahan mendapatkan oksigen. Rasa amis di mulutku menghilang dan aku bisa melihat semua luka dan darah di tubuhku lenyap. Berlawanan dengan apa yang kulihat, aku merasakan kesakitan yang luar biasa, yang merayapi saraf-sarafku, merasuk hingga ke sumsum tulangku. Aku menahan jeritanku sambil menyaksikan serpihan kaca kembali menjadi utuh, rongsokan besi kembali menjadi mulus tak bercacat dan seperti film yang
~7~
diputar mundur, aku melihat truk besar yang menubrukku mundur menjauhi kaca samping mobilku yang melucur kembali naik ke tanjakan garasi dan aku melihat kedua orang tuaku yang menggendong dus-dus besar berjalan mundur ke arah bagasi mobil yang terbuka. Adegan demi adegan terulang kembali sampai aku melihat ayahku tersenyum padaku sebelum menutup pintu mobil. Dan saat itu jeritanku meloncat keluar dari tenggorokanku, membuat ayahku dengan panik memelukku, menenangkanku, berkata semuanya hanya mimpi buruk. Mimpi buruk yang menghantuiku sampai setahun kemudian ketika ibuku menjelaskan semuanya padaku, bahwa aku seorang Underhand, sama seperti dirinya. Awalnya aku tidak percaya, namun ketika ia menceritakan proses yang sakit dan gila itu seakan ia ada disana, aku tidak punya pilihan selain percaya dan mimpi-mimpi itu terus merasukiku, mimpi mengerikan yang buruk terus terbayang di otakku. Membuatku paranoid, kata Amy. Aku kembali ke dunia nyata ketika Mr. Harrison menegurku dan bel pulang sekolah menyelamatku dari hukuman. Aku menyusuri
~8~
koridor dengan langkah cepat, hampir menubruk segerombolan anak perempuan yang baru keluar dari toilet. Aku tidak bisa melambatkan gerakan kakiku. Tepatnya tidak mampu. Aku merasakan kematian kapan saja bisa menyergapku dan ketika jantungku berhenti berdetak, aku akan mengulang proses menyiksa itu dan aku tidak ingin mengalaminya lagi,terima kasih. Saat itulah aku ceroboh. Menubruk seseorang. Seorang cowok tepatnya. Lebih detail lagi, seorang cowok berambut hitam, bermata kelabu yang menatapku tepat sampai ke relung hatiku. Entah kenapa jantungku berdebar-debar melihatnya. Dengan gugup aku berusaha mengumpulkan suaraku yang hilang. "Kau tidak apa-apa?" Ya Tuhan, mendengar suaranya seakan menghipnotisku untuk menatap matanya. Siapa dia? Kenapa sikapku jadi seperti ini? Aku menggeleng dan mengucapkan maaf sepelan mungkin dan menghilang ke belokan koridor.
~9~
*** "Cowok bermata kelabu?" Chelsea mengangkat sebelah alisnya. "Tidak biasanya kau berbicara soal cowok. Siapa kau? Dan apa yang kau lakukan pada Rae yang asli?" "Diamlah. Kau tahu siapa dia?" aku tidak merespon lelucon Chelsea dan menatapnya tajam “Oh sayang, kau mau aku diam, atau menjawab pertanyaanmu?” Tanya Chelsea sambil menyalakan mesin dan menjalankan mobil. Aku mencengkeram sabuk pengaman dan memejamkan mataku. Berbisik pada diriku sendiri bahwa aku akan baik-baik saja dan bersyukur Chelsea rela mengantarku pulang tiap hari karena rumahku cukup jauh dari sekolah. “Rae?” Aku membuka mataku dan menatap Chelsea “Jawab saja pertanyaanku” “Memangnya kau pikir ada berapa cowok bermata kelabu di dunia ini?” "Cukup banyak, tapi kurasa di sekolah kita hanya satu"
~ 10 ~
"Ya mungkin saja” ia menggedikan bahu. “ “Tapi aku tidak menilai cowok dari matanya Rae, namun aku akan memperhatikannya mulai sekarang" Chelsea menyetir mobil dengan tenang. Ia tersenyum. "Menyenangkan rasanya melihatmu tertarik pada seseorang" Aku melengos "Aku tidak tertarik!" aku berteriak. Kemudian terdiam "Aku hanya..kau tahu.. penasaran saja" "Ya ya.. aku tahu" Chelsea tertawa sambil menepikan mobilnya, tepat di depan rumahku. Aku merapikan tas sekolahku, dan meloncat turun dari mobilnya. Ketika aku hendak mengucapkan terima kasih, Chelsea menatapku dan tertawa "Aku akan mengabarimu jika aku tahu siapa si pemilik mata kelabu idamanmu" Sebelum aku sempat mencakarnya, Chelsea menginjak gas dan menghilang di balik belokan.
~ 11 ~
DUA
“Aku pulang!” aku melepaskan sepatuku dan bergegas mencari ibuku. Sebagai sesama Underhand, sudah menjadi naluri kami untuk saling menjaga dan memastikan keadaan masing-masing. Aku menemukannya di dapur, sedang sibuk mengiris-ngiris wortel untuk makan malam. Ia tersenyum melihatku, melepaskan pisaunya dengan hati-hati dan memelukku. “Bagaimana sekolah hari ini?” ia bertanya sambil melakukan ritualnya. Memeriksa mataku, lenganku dan seluruh tubuhku untuk memastikan aku tidak mati hari ini. “Biasa saja Mom. Daaan..aku tidak apa-apa. Tidak ada musibah hari ini” aku mendorongnya pelan, kemudian mencomot irisan wortel. Meskipun sama-sama Underhand, kami tidak bisa mengetahui apakah seorang Underhand baru saja mencurangi kematian. Untuk ibuku, ia memiliki cara tersendiri untuk mengecekku. Memperhatikan
~ 12 ~
gerak tubuhku dan pandangan mataku yang menunjukkan tanda-tanda trauma atau frustrasi menahan sakit yang berlebihan. Ia memperhatikanku sebentar kemudian meneruskan masakannya. Aku segera menuju ke kamarku, tempat keramatku. Satu-satunya tempat yang membuatku merasa aman. Karena berada di lantai dua, jendela kamarku selalu terkunci, dan hampir tak ada benda tajam yang mengancam diriku. Bisa dibilang ibuku sama paranoidnya dengan diriku. Bahkan lebih parah. Saat seperti ini, biasanya aku merenungkan tentang betapa berbedanya diriku dengan orang lain. Berusaha menyingkirkan mimpi buruk yang terus membayangiku, tapi saat ini aku memikirkan hal lain. Merebahkan diriku ke kasur yang empuk sambi menatap langit-langit kamarku yang berwarna biru cerah dihiasi garis-garis krem seperti ukiran. Aku memikirkan cowok itu. Bagaimana ia menatapku dengan tajam dan suaranya yang berat yang menghantam dadaku. Aku terus memikirkan mata kelabunya.
~ 13 ~
TIGA
“Sudah siap untuk studi wisata akhir pekan?!” Chelsea memekik dengan penuh kegirangan. Rambut pirangnya bergoyanggoyang seiring ia menganggukkan kepalanya penuh semangat. “Studi wisata?” aku menatapnya heran. Merapatkan mantelku dan bergidik ketika anak-anak kutu buku sedang membawa praktikum biologi mereka yang dikelilingi kawat. Kawat-kawat yang tajam. “Oh ayolah Rae! Kau selalu begitu. Tidak pernah memperhatikan pelajaran ya? Kita akan mengadakan studi wisata di Grand Valley barat, bekas benteng kuno jaman perang dunia kedua. Mrs. Quell, guru sejarah kita sudah membuka pendaftaran sejak 2 minggu lalu. Aku yang mendaftarkan kita bertiga” Chel-begitu panggilanku pada Chelsea-memutar bola matanya. Gemas. “Tidak. Ia hanya menghayalkan tentang hal-hal konyol di jendela” Amy menambahkan. Membetulkan letak kacamatanya dan tersenyum ke arahku “Ia
~ 14 ~
hampir mengacuhkan semua pelajaran. Aku heran ia lolos sampai semester ini” “Yah kalaupun aku tahu mengenai studi wisata ini. Aku tidak bisa pergi. Maksudku, kalian tahu seperti apa ibuku kan?” Aku membela diriku sambil berusaha menghindari tatapan kecewa para sahabatku. Amy tampak sedikit kesal dan mengangguk, tapi Chel justru tersenyum lebih lebar. Tidak baik. “Kurasa saatnya kita melihat sisi lain dari seorang Raellene Sullivan!” Aku menatap Chel curiga dan Amy tampak kebingungan. Mataku melebar melihat Chel mengangkat tangannya, memanggil seseorang. Oh…tidak. “Yo! Sewell! Disini..disini!!” Chel berteriak penuh semangat dan melemparkan tatapan menggodanya padaku. Orang yang dipanggil itu mendekat, menyeberangi kerumunan orang yang sedang menghabiskan waktu istirahatnya di koridor dan taman sekolah. Mendatangi kami yang sedang duduk di rumput taman sekolah. Aku langsung mengenali mata kelabunya. “Semuanya, kenalkan. Ini Vaclav Sewell. Ia teman sekelasku di SMP dulu.”
~ 15 ~
“Senang bertemu denganmu, Vaclav, tapi aku tidak mengerti Chel, apa hubungannya dengan kita?” Amy makin kebingungan. Aku terpuruk, bersembunyi di balik bayangan Amy dan aku bisa merasakan bahwa cowok itu sedang memandangiku. “Kalian bisa memanggilku Val. Setidaknya begitulah teman-temanku yang lain memanggilku dan jujur saja, aku juga tidak mengerti kenapa dipanggil kemari” Suara Val yang berat langsung melumpuhkan saraf-sarafku. Aku menggigit bibir. “Aku hanya ingin tahu kalau kau ikut studi wisata yang diselenggarakan Mrs. Quell? Karena teman kami yang ini…” Chel menarikku dan aku bertatapan langsung dengan Val. Aku yakin inilah caraku menghentikan detak jantungku dan melakukan proses pemunduran. Tapi untunglah tidak ada yang terjadi “....tidak bisa ikut. Jadi siapa tahu kau membutuhkan kelompok? Karena kami kekurangan personil” Chel tersenyum jahil dan merangkulku. Aku merasa mulas. “Sungguh? Sayang sekali kau tidak bisa ikut. Kurasa perjalanannya akan menyenangkan” Val terdengar kecewa. Atau mungkin itu hanya perasaanku saja.
~ 16 ~
“Yah mungkin aku bisa mencoba membicarakannya dengan ibuku. Tapi aku tidak yakin” Val masih menatapku. “Itu lebih dari cukup. Terima kasih Val. “ Chel memecahkan keheningan dan menyeret kami pergi dari situ. “Eh..sama-sama kurasa” Val tampak kikuk dan melemparkan senyum. Pada kami. Padaku. Sambil melangkah menjauh, Amy lebih dulu buka suara. “Apa-apaan itu tadi?” “Amy sayang, yang kau temui tadi itu adalah pujaan hati Rae” “Bukan. Sudah kubilang aku hanya…” Aku terdiam. Bingung harus berkata apa. “Kau tidak pernah bercerita..” Amy tampak tersinggung. “Tapi sekarang kau sudah tahu kan? Amy, kau harus lebih banyak bergaul dengan cowok” Chel tersenyum dan menggandeng aku dan Amy. Ia menoleh padaku. “Katamu kau tidak mengenal cowok bermata kelabu.” Protesku. “Sudah kubilang aku tidak memperhatikan cowok dari matanya. Lagipula Rae..Kau tahu kau tidak akan melewatkan kesempatan ini kan?”
~ 17 ~
Aku benci mengakuinya tapi Chelsea benar. *** “Aku pulang” Aku mendapati sepatu ayahku di depan pintu. Dad pulang. Aku terburu-buru menuju dapur, dan mendapati kedua orang tuaku sedang bercerita. Mom tampak ceria hari ini. Bagus. “Rae, kau pulang cepat” Dad memandangku dibalik kacamatanya dan aku menghampiri untuk mengecup pipinya. “Kabar baik hari ini?” tanya Mom. Ia bergelimang tepung. “Yah, well ada studi wisata di akhir pecan dan Chelsea sudah mendaftarkan namaku.” “Kau tahu tidak kau tidak mendapat izinku kan? Silahkan telepon temanmu itu dan katakan kau tidak bisa pergi” Mom tersenyum dan mencuci tangannya. “Tapi Mom, kurasa aku ingin pergi. Aku tidak pernah ikut kegiatan sekolah” Aku membela diriku, menatap Dad, meminta pembelaan.
~ 18 ~
“Entahlah…kurasa Rae sudah cukup dewasa. Ia bisa mengurus dirinya sendiri” Dad angkat bicara. “Kita tidak tahu pasti bukan? Kita sudah sepakat Raellene, tidak ada kegiatan diluar” Mom memandangku tajam dan melemparkan tatapan kesal pada Dad. “Tapi Mom…” suaraku meninggi. “Tidak ada tapi. Kau tahu resikonya!” “Kurasa kau terlalu mengkhawatirkannya. Rae bisa menjaga dirinya sendiri. Ayolah, ia tidak akan mati dan semacamnya karena studi wisata ringan” Dad terdengar tegas dan beriwabawa. Mom hendak memprotes tapi aku tidak mengizinkannya. “Ya Mom! Toh aku TIDAK AKAN MATI!” aku berteriak marah. Mom terdiam, mengatupkan mulutnya. Tanpa mengeluarkan suara, ia melepaskan celemeknya dan keluar ke halaman belakang. Aku mendesah. Menyadari kejamnya katakataku. Dad tidak tahu tentang kami, tentang diri kami, karena kami tidak bisa membuktikannya. Mom yang mengatakannya padaku dulu. “Aku tidak tahu lelucon apa itu tadi, tapi ibumu tampak tidak senang. Kusarankan kau bicara dengannya” Dad memelukku,
~ 19 ~
mengecup kepalaku dan keluar dari dapur. Ia benar, ucapanku kelewatan. Seakan-akan aku menyalahkannya karena keadaan kami. Aku menyusuri pintu menuju halaman belakang. Sebuah taman kecil yang ditata dengan manis oleh ibuku. Dulu kami sering menghabiskan waktu disini. Dad memasang tempat tidur gantung diantara dua pohon oak yang dari dulu sudah tertanam disini. Mom ada disitu, memandang ke arah langit, tampak lelah dan sedih. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar. Aku mendekatinya, dan ia menoleh sedikit, tidak marah. Hanya diam. Dan saat itu aku tahu persis apa yang harus aku lakukan. Aku menelusuri tubuhnya. Tungkainya,lengannya, lehernya. Mom selalu memeriksa diriku, mencari tahu apa ada yang salah denganku, tapi aku tidak pernah melakukan hal yang sama pada Mom. Kurasa sekarang waktu yang tepat. Mom yang mengetahui maksudku, hanya terdiam. Saat itulah aku melihatnya. Guratan kecil di atas alis Mom, tipis dan halus, bisa saja karena terantuk, tapi aku yakin luka itu menandakan sesuatu yang lebih. Aku menyentuh garis itu.
~ 20 ~
“Apa yang terjadi?” bisikku Mom menyentuh lukanya, tersenyum kecil. “2 hari yang lalu, ketika aku mengumpulkan baju kotor di kamarmu, aku tersandung ketika menuruni tangga…” Aku bergidik membayangkannya. Apabila Mom bukan seorang Underhand, mungkin hari ini aku sudah tidak punya ibu “Apakah sakit?” “Kalau sudah terbiasa, tidak terlalu” “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud…” aku bersuara. Benar-benar merasa menyesal. “Tidak apa. Aku mengerti Rae. Lagipula kau tidak sepenuhnya benar. Semua orang, pada akhirnya akan mati. Termasuk kita” “Termasuk kita.” Ulangku “Bagaimana?” “Menurutmu apa yang terjadi pada kakekmu? Ia meninggal 2 hari sebelum kelahiranmu. Toh ia seorang Underhand” Mom mengelusku “Dulu, aku membenci diriku sendiri. Membuktikan bahwa aku bisa mati seperti orang lain. Aku selalu terlibat dalam kekacauan, kecelakaan. Aku dulu
~ 21 ~
berandalan, kau tahu. Ngebut-ngebutan dan sebagainya. Dan aku selalu hidup” Aku memandanginya tak percaya. Mom tidak pernah bercerita tentang masa lalunya dan aku tidak mau tahu. “Aku mengalami kematian dengan berbagai cara. Makin membenci tiap detik kehidupanku. Sampai aku bertemu ayahmu. Ia memberiku alasan untuk bertahan hidup. Dan kematian kakekmu makin menyadarkanku, betapa aku harus menjagamu tetap hidup” Mom merangkulku lembut. Suaranya bergetar. “Proses pemunduran melibatkan perbaikan organ-organ tubuh yang rusak. Makin bertambah umurmu atau makin sering kematianmu, perbaikan tubuhmu makin melemah. Meninggalkan luka yang tidak sembuh total” “Seperti luka itu” kataku pelan “Seperti luka ini.” Mom mengulangi kalimatku. Ia menatapku dalam-dalam dan meremas tanganku. “Aku hanya ingin kau mengalami kematian yang sedikit dalam hidupmu” “Aku akan baik-baik saja Mom” aku memeluknya “Terima kasih”
~ 22 ~
EMPAT
Bus kuning itu melaju dengan gesit di jalan raya. Kami, para murid tampak cukup menikmati perjalanan. Aku duduk sebangku dengan Amy dan Chelsea di seberang kananku. Mataku menatap punggung Val yang duduk dua bangku di depan Chel, yang kemudian berbalik, memergokiku sedang menatapnya dan tersenyum. Pipiku memerah dan aku membuang muka. Aku bisa mendengar Leia Micht sedang bersenandung di bagian belakang bus, dan melihat Andrew Lynn sibuk memainkan ipodnya. Aku juga menangkap adegan Brian Lowell sedang menggoda Susan Lue yang justru mengacuhkannya. Perjalanan ini akan berlangsung lama Aku melayangkan pandanganku kembali pada Val, menepis pikiran konyol kalau bus ini akan terjun ke sisi jurang. Klakson berbunyi nyaring, bus kami disalip sebuah truk besar. Truk. Benda yang menghantuiku selama 12 tahun. Tiba-tiba sisi truk itu
~ 23 ~
menyambar sisi bus dan kaca di barisan kami pecah. Amy menjerit dan mencengkeram tanganku. Bus kami pun menubruk pagar pembatas dan meluncur. Senandung Leia berubah menjadi teriakan. Chel menangis. Dan punggung Val menegang. Bus terbalik. Berputar-putar menuruni lereng dan jeritan-jeritan makin melemah, berubah menjadi isak tangis menyedihkan. Bau asam yang familier menyengat hidungku dan pandanganku berputar-putar. Ketika bus berhenti, posisi kami terbalik. Aku tergantung di kursiku, tertahan sabuk pengaman. Kepalaku pusing dan berdenyut-denyut. Pandanganku memerah, kurasa pembuluh darah di mataku pecah akibat terantuk kursi depan. Aku mencakari tempat dudukku, mencoba melepaskan diri. Amy tidak sadarkan diri. Darah menetes-netes dari pelipisnya namun pundaknya masih bergerak naik turun, menandakan ia masih hidup. Aku menoleh ke kanan, dan mendapati Chel terbaring di dasar -yang sekarang adalah atap bus- rambut pirangnya berbercak merah, menutupi wajahnya. Ia tidak bergerak. Aku
~ 24 ~
mengamatinya lebih lama. Tidak terlihat tanda-tanda kehidupan. Tidak bernapas.. Begitu aku menyadarinya tangisku pecah. Aku mendenger Leia menangis memanggil-manggil nama seseorang. Kepalaku makin berat, dan aku makin sulit bernapas karena sakit dan karena airmata mulai mengalir melalui hidungku. Sulit kupercaya, ibuku benar. Val. Ia berdiri dengan lunglai, mengumpulkan tenaga. Menatapku dengan kaget dan menghampiriku dengan susah payah. "Val..."panggilku lirih "Val!!" Ia mencengkeram kursiku, menekan tombol pelepas sabuk pengaman dan menangkapku ketika gravitasi mengambil alih tubuhku. "Amy…Chelsea…"bisikku pelan. "Sst.." Aku mengerang dan perasaanku kacau balau. Tangisanku melemah. Kepalaku meremasku, penglihatanku memburam dan jantungku berdetak tak karuan. Aku tahu saatku akan tiba. Val masih memelukku. Memar di bibir kananya dan luka di dahinya tidak
~ 25 ~
mempengaruhi kekuatannya. Ia masih memelukku, meletakkan kepalaku di dadanya sehingga aku bisa mendengar detak jantungnya yang berdebar kencang namun, entah kenapa aku merasa aman. Aku masih mendengar erangan dan rintihan dari sisi bus yang lain. "Kau akan baik-baik saja…Percayalah…Kau akan baik-baik saja" bisik Val lembut namun suaranya bergetar. "Bertahanlah...kumohon…kau…kita akan baik baik saja" katanya sambil mengurai rambutku. Aku tersenyum, mengangguk. Mataku mulai terasa berat dan aku menengadahkan kepalaku, menatap Val ke dalam matanya yang kelabu. Aku menangkupkan tanganku ke wajahnya dengan segenap sisa kekuatanku. "Aku tahu" Dan jantungku berhenti berdetak.
~ 26 ~