Hubungan antara Kontaminasi Escherichia coli dalam Air Minum dan Faktor Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Cibaliung, Labuan, dan Pagelaran Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten Tahun 2013 Rizky Indriani, I Made Djaja Departemen Kesehatan Lingkungan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Kasus diare di Kabupaten Pandeglang masih cukup tinggi terutama di wilayah kerja Puskesmas Cibaliung, Labuan, dan Pagelaran dimana setengahnya terjadi pada balita. Kasus diare pada tahun 2012 di Puskesmas Cibaliung, Labuan, dan Pagelaran masing-masing yaitu 244, 1.440, dan 686. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kontaminasi Escherichia coli dalam air minum dan faktor sanitasi lingkungan dengan kejadian diare akut pada balita di wilayah kerja Puskesmas Cibaliung, Labuan, dan Pagelaran Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten Tahun 2013. Disain penelitian yang digunakan adalah case control. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung mengenai faktor risiko lingkungan dengan menggunakan kuesioner serta pengambilan sampel air minum dan usap alat minum balita. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara kontaminasi Escherichia coli dalam air minum dan faktor sanitasi lingkungan dengan kejadian diare akut pada balita. Variabel yang memiliki hubungan dengan diare akut pada balita adalah status gizi, pengetahuan ibu/pengasuh, serta hygiene sanitasi makanan dan minuman. Sedangkan faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian diare akut pada balita adalah pengetahuan ibu/pengasuh (OR: 2,19) serta hygiene sanitasi makanan dan minuman (OR: 1,99). Kata kunci: balita; diare akut; Escherichia coli; faktor sanitasi lingkungan
Association between Contamination of Escherichia coli in Drinking Water and Factor of Environmental Sanitation with Underfive Years Children Acute Diarrhea in Region of Puskesmas Cibaliung, Labuan, and Pagelaran Regency of Pandeglang Banten 2013 Abstract Cases of diarrhea in Pandeglang district is still high especially in Region of Puskesmas Cibaliung, Labuan, and Pagelaran which is half of the cases happened to underfive years children. Cases of diarrhea (2012) in Puskesmas Cibaliung, Labuan, and Pagelaran are 244, 1.440, and 686. This study aims to analyze association between contamination of Escherichia coli in drinking water and factor of environmental sanitation with underfive years children acute diarrhea in region of Puskesmas Cibaliung, Labuan, and Pagelaran, Regency of Pandeglang Province of Banten in 2013. This study used case control design. The information collected by interview about environmental risk factor and laboratorium analyze of drinking water sample and tumbler swab. Conclusion of this study is contamination of Escherichia coli in drinking water and factor of environmental sanitation have not association with underfive years children acute diarrhea. Whereas nutrition, knowledge of mother, and hygiene sanitation of food and water have association with underfive years children acute diarrhea. Main risk factor which causes underfive years children acute diarrhea are knowledge of mother (OR: 2,19) and hygiene sanitation of food and water (OR: 1,99).
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
Keywords: acute diarrhea; Escherichia coli; factor of environmental sanitation, underfive years children
Pendahuluan Kematian balita di negara berkembang umumnya disebabkan oleh lima macam penyakit, diantaranya yaitu pneumonia, diare, malaria, AIDS, dan campak. Diare menjadi penyebab kedua kematian pada balita diseluruh dunia karena telah menyebabkan kematian pada 1,5 juta balita setiap tahunnya. Lebih dari 80% kematian balita yang disebabkan oleh diare terjadi di wilayah Afrika dan Asia Selatan, seperti India, Nigeria, Kongo, Afganistan, dan Etiopia.1 Pada tahun 2012, diare telah menyebabkan kematian pada lebih dari 1.600 balita didunia setiap harinya. Kematian umumnya terjadi pada anak dengan usia dibawah dua tahun, yang kemudian mengalami penurunan insiden seiring dengan bertambahnya usia anak.2 Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki angka kejadian diare yang cukup tinggi sehingga pengendalian diare menjadi salah satu prioritas program kesehatan. Diare tersebar di seluruh kelompok umur dengan prevalensi tertinggi pada balita, yaitu sebesar 16,7%. Data tersebut juga menunjukkan bahwa penyebab kematian bayi (usia 29 hari-11 bulan) yang terbanyak adalah diare (31,4%) dan pneumonia (23,8%). Demikian pula penyebab kematian anak balita (usia 12-59 bulan), terbanyak adalah diare (25,2%) dan pnemonia (15,5%).3 Hasil laporan SDKI menunjukkan bahwa prevalensi diare tertinggi adalah pada anak umur 12-23 bulan, diikuti umur 6-11 bulan dan umur 23-35 bulan. Prevalensi diare sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki (14,8%) dibandingkan dengan anak perempuan (12,5%) dan lebih tinggi pada balita di perdesaan (14,9%) dibandingkan dengan perkotaan (12,0%).4 Diare merupakan penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air. Oleh karena itu, kualitas air yang diminum dapat memengaruhi terjadinya diare pada seseorang. Berdasarkan hasil penelitian Athena et al. (2004) dalam Bambang (2008)5, menyatakan bahwa dari 38 Depot Air Minum Isi Ulang (DAMIU) di daerah Jakarta, Tangerang dan Bekasi yang diteliti terdapat 28,9% sampel air minum isi ulang yang tercemar oleh bakteri koliform dan 18,4% tercemar oleh E. coli. Air minum dan sanitasi lingkungan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Sanitasi lingkungan yang buruk dianggap sebagai penyebab banyaknya kontaminasi bakteri Escherichia coli dalam air bersih yang dikonsumsi masyarakat.6 Faktor sanitasi lingkungan tersebut diantaranya, yaitu Sarana Air Bersih (SAB), Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL), sarana pembuangan tinja, dan sarana pembuangan sampah. Berdasarkan beberapa
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
penelitian sebelumnya, kontaminasi Escherichia coli dalam air minum dan faktor sanitasi lingkungan memiliki pengaruh atas kejadian diare akut pada balita. Laporan Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga yang akses pelayanan air minum layak di provinsi Banten, yaitu sebesar 34,95% untuk non perpipaan tidak terlindung dan hanya sebesar 7,39% untuk perpipaan terlindung. Sedangkan untuk proporsi penduduk di Provinsi Banten yang akses fasilitas sanitasi layak sebesar 61,21% dan yang tidak layak sebesar 38,79%.7 Berdasarkan data Dinkes Kabupaten Pandeglang, 84% masyarakat memperoleh air bersih dari sumur gali, 4% dari sumur pompa tangan, dan 12% dari perpipaan. Dari hasil pengawasan kualitas air dengan pengambilan 286 sampel, diperoleh hasil yaitu 181 sampel memenuhi syarat secara bakteriologis atau sekitar 60,3 % rumah tangga di Kabupaten Pandeglang memiliki sumber air minum yang relatif aman dan sekitar 39,7% diidentifikasi memiliki sumber air minum yang relatif tidak aman.8 Menurut Kemenkes tahun 2012, jumlah KK yang memiliki jamban sehat sebesar 30,76% (33.144) KK dan sisanya membuang tinja di kebun atau sungai. Sedangkan jumlah KK yang memiliki jamban di Puskesmas Labuan, Pagelaran, dan Cibaliung masing-masing secara berurutan yaitu sebesar 6946 KK, 65 KK, 2.946 KK. Jumlah KK yang memiliki SPAL yaitu sebesar 7.644 KK, 40 KK, dan 129 KK. Sementara jumlah keluarga yang memiliki SPAL dengan kondisi baik sebesar 24,13% (19.740) KK sehingga sebagian besar sisanya membuang air limbah dari dapur ke halaman belakang rumah. Sedangkan jumlah keluarga yang mempunyai tempat sampah sebesar 18,20% (8.393) KK sehingga sisanya masih membuang sampah di sungai, saluran irigasi atau di kebun. Sampah yang dihasilkan di Kabupaten Pandeglang tahun 2009 mencapai rata-rata 1.188,35 m3/hari, sementara kemampuan pelayanan persampahan baru mencapai sekitar 12,28% dari total sampah di Kabupaten Pandeglang. Berdasarkan Dinas Tata Ruang, Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Pandeglang tahun 2010, jumlah sampah rumah tangga di Kecamatan Labuan yaitu 33,16 m3/hari, di Kecamatan Pagelaran 24,00 m3/hari, dan di Kecamatan Cibaliung 19,97 m3/hari.9 Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan di 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2007, melaporkan bahwa angka nasional prevalensi klinis diare adalah 9%, dengan rentang 4,2%18,9%. Provinsi Banten merupakan salah satu provinsi dengan prevalensi diare klinis lebih dari 9%. Salah satu kabupaten di Provinsi Banten dengan kejadian diare yang cukup tinggi yaitu Kabupaten Pandeglang. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang (2013), kejadian diare pada tahun 2010 sebanyak 62.094 kasus, sedangkan pada tahun 2011
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
sebanyak 50.559 kasus dimana setengahnya terjadi pada balita. Berdasarkan data STP, pada tahun 2009 terjadi 60.330 kasus, yang kemudian menurun pada tahun 2010 dan 2011 menjadi 31.534 kasus dan 33.749 kasus. Akan tetapi, angka tersebut tetap termasuk yang tertinggi di Provinsi Banten.10 Menurut data Surveilans Terpadu Penyakit (STP) diare yang dilakukan oleh Kemenkes di 36 wilayah kerja Puskesmas Kabupaten/Kota Pandeglang pada tahun 2010-2012, jumlah kasus diare di wilayah kerja Puskesmas Cibaliung, Labuan, dan Pagelaran termasuk yang tertinggi dimana setengahnya terjadi pada balita. Kasus diare pada balita di Cibaliung, Labuan, dan Pagelaran tahun 2010 masing-masing secara berurutan yaitu 334, 1.132, dan 476. Pada tahun 2011 kejadian diare pada balita di tiga wilayah kerja puskesmas tersebut mengalami sedikit peningkatan menjadi 385, 1.347, dan 531. Sedangkan tahun 2012, kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Cibaliung mengalami sedikit penurunan menjadi 244. Namun demikian, tetap terjadi peningkatan pada puskesmas Labuan dan Pagelaran menjadi 1.440 dan 686 kasus.10
Tinjauan Teoritis Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theobold Escherichi pada tahun 1885.11 Escherichia coli termasuk organisme enterik, yaitu golongan heterogen gram negatif besar, berbentuk batang, tidak berspora, serta merupakan penghuni alamiah saluran pencernaan manusia.12 Bakteri tersebut termasuk komensal, yaitu organisme yang hidup dalam tubuh manusia tetapi tidak menyebabkan penyakit pada organ tubuh selama keberadaannya normal.13 Bersama dengan Edwarsiella, Citobacter, Klebsiella, Enterobacter, dan Hafnia, E. coli termasuk dalam golongan faecal coliform.14 Sel Escherichia coli mempunyai ukuran panjang 2-6 µm dan lebar 1,1-1,5 µm, tersusun tunggal, berpasangan, dan berflagel. Bakteri ini tumbuh pada suhu antara 10°C-45°C dengan suhu optimum 37°C, pH optimum antara 77,5, dan nilai Aw (kadar air) minimum untuk pertumbuhannya adalah 0,96.14 Sebagian serotipe Escherichia coli dapat menyebabkan infeksi yang ditularkan melalui makanan. Menurut Gould (1996) dalam Gould (2003)15, serotipe Escherichia coli tersebut diantaranya, yaitu E. coli enteropatik (EPEC), E. coli enterovasif (EIEC), E. coli enterotoksigenik (ETEC), dan E. coli enterohemoragik (EHEC).
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
Pada dasarnya, keberadaan Escherichia coli dalam usus manusia memberikan keuntungan karena dapat mengurangi risiko pertumbuhan berlebihan dari bakteri lain yang berpotensi patogenik (Gould, 1996 dalam Gould, 2003)15. Disamping itu, fungsi lain dari Escherichia coli adalah mensintesis vitamin K yang berguna dalam pembekuan darah, mengkonversi pigmen dan asam empedu, membantu proses pencernaan, serta membantu penyerapan zat-zat makanan.12 Selain itu, Escherichia coli merupakan bakteri yang paling banyak digunakan sebagai indikator sanitasi karena bakteri ini adalah bakteri komensal pada usus manusia dan umumnya bukan patogen penyebab penyakit.16 Menurut Aulia (2012) dalam Fardani (2013)18, Escherichia coli dan bakteri patogen lainnya dikeluarkan dari usus bersama-sama dengan tinja manusia. Setelah itu, tinja akan masuk ke lingkungan dan menyebabkan air bersih tercemar apabila sarana sanitasi tidak memadai. Apabila air bersih yang tercemar Escherichia coli tersebut digunakan sebagai sumber air minum, mencuci peralatan makan dan minum, serta memasak maka dapat meningkatkan risiko terjadinya diare pada manusia. Kontaminasi Escherichia coli juga dapat terjadi melalui bagian tubuh manusia seperti tangan yang tidak bersih sehingga meningkatkan kontaminasi saat melakukan pengolahan makanan. Selain itu, penularan Escherichia coli juga dapat terjadi melalui vektor penyakit terutama lalat dan kecoa. Pengukuran kandungan Escherichia coli dalam air dilakukan dengan beberapa metode serta tahapan, seperti metode MPN, metode filtrasi, dan metode khromogenik-fluorogenik (Kusuma, 2010).17 Selain Escherichia coli, faktor sanitasi lingkungan seperti SAB, SPAL, sarana pembuangan sampah, dan sarana pembuangan tinja memiliki pengaruh atas kejadian diare pada balita. SAB umumnya digunakan masyarakat sebagai sumber air minum. Diantara jenis-jenis sumber air minum, yang relatif aman untuk digunakan diantaranya yaitu air ledeng/PDAM, sumur bor,
sumur gali terlindungi, dan mata air terlindungi. Sedangkan jenis sumber air minum yang dianggap memiliki risiko yang lebih tinggi sebagai media transmisi patogen ke dalam tubuh manusia yaitu sumur atau mata air tidak terlindungi serta air permukaan seperti air kolam, sungai, dan danau.19 Sementara Air limbah adalah gabungan atau campuran dari air dan bahan-bahan pencemar yang terbawa oleh air, baik dalam keadaan terlarut maupun tersuspensi.20 Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)
harus memenuhi persyaratan
diantaranya, yaitu tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber air minum, tidak mengakibatkan pencemaran permukaan tanah, tidak mencemari sumber air minum, tidak
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
menjadi tempat berkembang biaknya vektor penyakit, dalam kondisi tertutup dan tidak dapat dijangkau oleh anak-anak, serta baunya tidak mengganggu.21 Seorang manusia normal menghasilkan tinja rata-rata sehari 330 gram sehingga apabila pengelolaan tinja tidak diperhatikan dengan baik, maka penyakit dapat tersebar dengan mudah. Suatu jamban disebut sehat apabila memenuhi persyaratan diantaranya, yaitu tidak mengotori permukaan tanah disekitar jamban, tidak mengotori air permukaan dan air tanah disekitarnya, tidak terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa, serta mudah digunakan.21 Sementara sampah adalah suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak digunakan lagi oleh manusia atau benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia sehingga dibuang.21 Menurut Kemenkes tahun 2011, tempat sampah harus tersedia disetiap rumah, sampah harus dikumpulkan setiap hari, dan dibuang ke tempat penampungan sementara.22 Faktor lain yang memengaruhi kejadian diare pada balita yaitu karakteristik ibu/pengasuh balita (umur, tingkat pendidikan, pengetahuan, pekerjaan, dan status ekonomi), karakteristik balita (umur, jenis kelamin, status gizi, status imunisasi campak, dan ASI eksklusif), hygiene sanitasi makanan dan minuman, serta kualitas bakteriologis alat minum balita. Diare akut merupakan buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair, bersifat mendadak datangnya, serta berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu.23 Menurut Conant24, penularan diare dapat melalui berbagai media yaitu tinja, air, tangan yang tercemar, dan tanah. Diare akut mengakibatkan terjadinya kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa, gangguan sirkulasi darah, serta gangguan gizi.23 Prinsip tatalaksana diare terfokus pada tiga hal, yaitu mencegah terjadinya dehidrasi, mengobati dehidrasi, memberi makanan, dan mengobati masalah lain.25
Metode Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi kasus kontrol (case control) yang bertujuan untuk mengetahui hubungan kontaminasi E. coli pada air minum dan faktor sanitasi lingkungan dengan kejadian diare akut pada balita. Menurut Basuki26, pada desain penelitian kasus kontrol, kasus diidentifikasi terlebih dahulu kemudian disusul dengan mengidentifikasi non kasus. Setelah itu, dilakukan identifikasi beberapa faktor risiko yang dianggap sebagai penyebab penyakit atau outcome. Kelebihan dari desain kasus kontrol diantaranya, yaitu
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
jangka waktu penelitian relatif singkat, menghemat tenaga, biaya penelitian relatif murah, dapat menilai beberapa faktor risiko sekaligus, adanya batasan faktor risiko sehingga hasil penelitian lebih tajam dibandingkan hasil penelitian cross-sectional, serta lebih efektif dan efisien dalam menentukan hubungan sebab akibat dibandingkan penelitian cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di tiga wilayah puskesmas (Cibaliung, Labuan, dan Pagelaran) Kabupaten Pandeglang pada 30 April-31 Mei 2013. Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam tiga periode, yaitu pada tanggal 14-17 Mei 2013 di wilayah Puskesmas Labuan, 21-24 Mei 2013 di wilayah Puskesmas Pagelaran, dan 28-31 Mei 2013 di wilayah Puskesmas Cibaliung. Tenaga pelaksana peneltian diantaranya yaitu dua orang tenaga dari Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang, dua orang tenaga puskesmas setempat (petugas surveilans dan pemegang program diare), bidan desa setempat, dan empat orang tenaga dari BBTKL-PP Jakarta dimana dua diantaranya merupakan petugas laboratorium yang mengambil sampel air minum dan usap alat minum balita. Jumlah seluruh balita berusia 9-59 bulan yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Cibaliung, Labuan, dan Pagelaran Kabupaten Pandeglang pada tahun 2013 yaitu 12.060 balita, dengan jumlah balita di Puskesmas Labuan yaitu 5.578 balita, di Puskesmas Pagelaran yaitu 3.495 balita, dan di Puskesmas Cibaliung yaitu 2.987 balita. Populasi kasus dalam penelitian ini adalah seluruh balita berusia 9-59 bulan yang menderita diare dalam dua minggu terakhir dari pelaksanaan penelitian serta tinggal di wilayah kerja Puskesmas Cibaliung, Labuan, atau Pagelaran. Jumlah kasus di Puskesmas Cibaliung yaitu 244, di Puskesmas Labuan yaitu 1.440, di Puskesmas Pagelaran yaitu 686 sehingga jumlah populasi kasus sebesar 2.370. Populasi non kasus dalam penelitian ini adalah seluruh balita berusia 9-59 bulan yang tidak menderita diare dalam dua minggu terakhir dari pelaksanaan penelitian serta tinggal di wilayah kerja Puskesmas Cibaliung, Labuan, atau Pagelaran. Jumlah non kasus di Puskesmas Cibaliung yaitu 2.743, di Puskesmas Labuan yaitu 4.138, di Puskesmas Pagelaran yaitu 2.809 sehingga jumlah populasi non kasus sebesar 9.690. Sampel dalam penelitian ini diperoleh melalui teknik purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sesuai ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.27 Kriteria inklusi kasus, yaitu balita yang berusia 9-59 bulan; datang berobat ke wilayah kerja puskesmas Cibaliung, Labuan atau Pagelaran dalam dua minggu terakhir dari pelaksanaan penelitian serta tinggal diwilayah setempat; didiagnosis menderita diare akut oleh
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
bidan/dokter/perawat puskesmas setempat; ibu atau pengasuh balita (sebagai responden) bersedia diwawancarai dan diikuti ke rumah atau tempat tinggalnya untuk dilakukan wawancara faktor risiko serta pengambilan sampel air minum dan usap alat minum balita; apabila balita yang telah ditetapkan sebagai kasus berobat kembali ke tiga wilayah kerja puskesmas tersebut dan kembali didiagnosis menderita diare maka kasus tersebut hanya diambil satu kali. Dalam penelitian ini, peneliti membutuhkan sampel sebanyak 80 dan di tambah 10% menjadi 90 sampel (dibulatkan) untuk setiap kelompok. Oleh karena perbandingan jumlah sampel kasus dan non kasus 1 : 1, maka total sampel sebesar 180 sampel, dengan perincian 90 sampel balita untuk kasus dan 90 sampel balita untuk non kasus. Prosedur pengambilan sampel kasus dan non kasus, diantaranya yaitu: 1. Sampel kasus diambil dari semua balita yang menderita diare dan tercatat dalam buku register tiga wilayah Puskesmas (Cibaliung, Labuan atau Pagelaran) dalam dua minggu terakhir. 2. Ketika diperoleh sampel kasus, dilakukan wawancara terhadap ibu atau pengasuh balita (responden) sesuai dengan yang terlampir didalam kuesioner. 3. Setelah dilakukan wawancara terhadap responden, dilakukan pengambilan sampel air minum dan usap alat minum balita. 4. Setiap ditemukan satu kasus, langsung dicari sampel non kasus disekitar rumah kasus yang dipilih secara random dengan bantuan bidan desa setempat. Setelah itu, dilakukan wawancara terhadap ibu atau pengasuh balita (responden) serta dilakukan pengambilan sampel air minum dan usap alat minum balita. 5. Sampel kasus hanya diambil satu kali, apabila kasus menderita diare dan berobat ke puskesmas lebih dari satu kali. Sedangkan prosedur pengambilan sampel air minum dan usap alat minum, diantaranya yaitu: 1. Sampel air minum diambil pada kelompok kasus dan non kasus. Air minum yang diambil adalah yang air yang dikonsumsi balita untuk minum, melarutkan susu, minum obat, dan kebutuhan oral lainnya. Apabila sumber air minum yang digunakan balita (baik dari kelompok kasus maupun non kasus) lebih dari satu, maka sampel air minum yang diambil adalah yang paling sering dikonsumsi oleh balita.
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
2. Sampel air minum yang diambil bersumber dari wadah atau tempat air minum balita, seperti dispenser, guci atau keramik, teko atau ceret, botol, gelas balita, dan lain-lain. Setelah itu, dilakukan usap alat minum balita. 3. Sampel air minum yang telah diambil diberi nomor sesuai dengan nomor responden. 4. Sampel air minum dan usap alat minum balita diperiksa di laboratorium Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKL-PP) Jakarta.
Hasil Penelitian Dalam penelitian ini dilakukan analisis diantaranya yaitu analisis univariat, bivariat, dan multivariat. Pada analisis univariat didapatkan hasil bahwa dari 90 balita yang menderita diare, sebesar 61,1% (55) balita memiliki air minum yang terkontaminasi Escherichia coli, 81,1% (73) balita memiliki Sarana Air Bersih (SAB) yang tidak baik, 81,1% (73) balita memiliki Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) tidak memenuhi syarat, 53,3% (48) balita memiliki sarana pembuangan tinja tidak memenuhi syarat, 73,3% (66) balita memiliki sarana pembuangan sampah tidak baik, 11,1% (10) balita tidak diimunisasi campak, 28,9% (26) balita memiliki status gizi kurang, 57,8% (52) balita memiliki ibu/pengasuh dengan pengetahuan rendah, 75,6% (68) balita memiliki hygiene sanitasi makanan dan minuman tidak baik, 50% (45) balita memiliki alat minum terkontaminasi bakteri. Sementara berdasarkan hasil analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara kontaminasi Escherichia coli dalam air minum (nilai p: 0,879), SAB (nilai p: 0,370), SPAL (nilai p: 0,693), sarana pembuangan sampah (nilai p: 0,151), dan sarana pembuangan tinja (nilai p: 1,000) dengan kejadian diare akut pada balita. Variabel yang memiliki hubungan dengan diare akut pada balita adalah status gizi (OR: 2,21), pengetahuan ibu/pengasuh (OR: 2,60), serta hygiene sanitasi makanan dan minuman (OR: 2,47). Pada penelitian ini, analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan regresi logistik sebab variabel independen dan dependen yang akan dianalisis berbentuk variabel kategorik.28 Setelah dilakukan uji bivariat, ternyata variabel yang memiliki nilai p<0,25 ada empat, yaitu sarana pembuangan sampah, status gizi balita, pengetahuan ibu/pengasuh, serta hygiene sanitasi makanan dan minuman. Setelah dilakukan analisis, didapatkan nilai p dari masingmasing variabel tersebut. Variabel-variabel yang memiliki nilai p>0,05 dikeluarkan dari
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
pemodelan selanjutnya namun tidak secara serentak. Akan tetapi, dikeluarkan dimulai dari variabel dengan nilai p yang tertinggi. Tabel 1. Hasil Regresi Logistik Ganda Variabel Independen dan Dependen Pemodelan Multivariat Tahap I No. 1. 2. 3. 4.
Variabel Sarana pembuangan sampah Status gizi balita Pengetahuan ibu/pengasuh Hygiene sanitasi makanan dan minuman Constant
B 0,181 0,533 0,706 0,593
Nilai p 0,602 0,172 0,031 0,088
OR 1,20 1,70 2,03 1,81
-1,058
0,004
0,347
95% CI 0,61-2,36 0,79-3,66 1,07-3,86 0,92-3,57
Hasil analisis multivariat yang dilakukan secara bersama-sama antara variabel independen yang masuk kandidat dengan variabel dependen, menunjukkan ada beberapa variabel yang mempunyai nilai p>0,05 dan tertinggi pada variabel sarana pembuangan sampah (Tabel 1) sehingga pada tahap pemodelan berikutnya, variabel tersebut dikeluarkan. Tabel 2. Hasil Regresi Logistik Ganda Variabel Independen dan Dependen Pemodelan Multivariat Tahap II No. 1. 2. 3.
Variabel Status gizi balita Pengetahuan ibu/pengasuh Hygiene sanitasi makanan dan minuman Constant
B 0,542 0,735 0,621
Nilai p 0,164 0,023 0,071
OR 1,72 2,09 1,86
-1,032
0,005
0,356
95% CI 0,80-3,69 1,11-3,93 0,95-3,65
Setelah variabel sarana pembuangan sampah dikeluarkan, kemudian dilakukan analisis berikutnya dan menunjukkan bahwa status gizi balita memiliki nilai p>0,05 yang tertinggi (Tabel 2) sehingga variabel tersebut dikeluarkan dari pemodelan. Setelah itu, dilakukan analisis kembali dan didapatkan seluruh variabel yang tersisa dengan nilai p<0,05. Maka diperoleh model akhir multivariat seperti terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 3. Model Akhir Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda
No. 1. 2.
Variabel Pengetahuan ibu/pengasuh Hygiene sanitasi makanan dan minuman Constant
B 0,784 0,687
Nilai p 0,014 0,043
OR 2,19 1,99
-0,657
0,006
0,519
CI 95% 1,17-4,11 1,02-3,87
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
Berdasarkan Tabel 3 diatas, maka persamaan logistik yang terbentuk untuk menilai variabel yang berhubungan dengan kejadian diare akut pada balita adalah sebagai berikut: Logit (Y)
= k + b1x1 + b2x2 + b3x3 + ..... + bixi
Logit Y (diare akut pada balita) = -0,657 + 0,784 (Pengetahuan ibu/pengasuh) + 0,687 (Hygiene sanitasi makanan dan minuman) Artinya, yaitu diare akut pada balita dipengaruhi oleh pengetahuan ibu/pengasuh dan hygiene sanitasi makanan dan minuman. Dari persamaan diatas, misalkan dimasukkan nilai p1=1 untuk faktor risiko pengetahuan ibu/pengasuh rendah serta hygiene sanitasi makanan dan minuman tidak baik, maka logit (diare akut pada balita) yaitu: Logit (diare akut pada balita) = -0,657 + 0,784(1) + 0,687 (1) = 0,814 Setelah itu, dapat dihitung probabilitas setiap balita untuk terkena diare akut dengan persamaan sebagai berikut: p(1)
= =
Probabilitas
! !!! !(!"#$% !) ! !!! !(!,!"#)
=
! !!!,!!"#
= 0,6930 = 69,30%
Hasil tersebut menunjukkan bahwa balita yang memiliki ibu/pengasuh dengan pengetahuan rendah serta hygiene sanitasi makanan dan minuman tidak baik mempunyai probabilitas untuk terkena diare akut sebesar 69,30%. Sedangkan jika dimasukkan nilai p0=0 untuk faktor risiko pengetahuan ibu/pengasuh tinggi serta hygiene sanitasi makanan dan minuman baik, maka logit (diare akut pada balita) yaitu: Logit (diare akut pada balita) = -0,657 + 0,784(0) + 0,687 (0) = -0,657 Setelah itu, dapat dihitung probabilitas setiap balita untuk terkena diare akut dengan persamaan sebagai berikut: p(0)
= =
Probabilitas
! !!! !(!"#$% !) ! !!! !(!!,!"#)
=
! !!!,!"!#
= 0,3414 = 34,14%
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
Hasil tersebut menunjukkan bahwa balita yang memiliki ibu/pengasuh dengan pengetahuan tinggi serta hygiene sanitasi makanan dan minuman baik mempunyai probabilitas untuk terkena diare akut sebesar 34,14%. Besarnya risiko kedua kelompok tersebut yaitu: OR =
!! !!
!,!"#$
=
!,!"#"
= 2,03
Dari hasil tersebut diketahui bahwa balita yang memiliki ibu/pengasuh dengan pengetahuan rendah serta hygiene sanitasi makanan dan minuman tidak baik, mempunyai risiko 2,03 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan balita yang memiliki ibu/pengasuh dengan pengetahuan tinggi serta hygiene sanitasi makanan dan minuman baik.
Pembahasan Keterbatasan penelitian ini terutama terletak pada desain penelitian yang digunakan. Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol yang lebih cocok digunakan untuk penyakit langka dengan angka insiden atau prevalen kurang dari 15-20%. Sementara diare merupakan penyakit yang sering ditemui terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sehingga kurang tepat apabila menggunakan desain studi kasus kontrol. Desain tersebut digunakan karena memiliki jangka waktu penelitian relatif singkat, menghemat tenaga, menghabiskan biaya yang relatif murah, dapat menilai beberapa faktor risiko, serta dapat memberikan risiko relatif yang memadai.26 Menurut Basuki26, terdapat beberapa kelemahan pada desain studi kasus kontrol yang juga menjadi kelemahan dalam penelitian ini, diantaranya yaitu: 1. Bias seleksi Bias seleksi dapat terjadi dalam pemilihan kelompok kasus dan kontrol. Kelompok kontrol harus berasal dari populasi yang sama dengan kelompok kasus sehingga terpajan faktor risiko yang sama pula dengan kelompok kasus. Dalam penelitian ini, kelompok kasus hanya diperoleh dari balita yang menderita diare akut dan datang berobat ke Puskesmas Cibaliung, Labuan, dan Pagelaran. Hal ini menyebabkan sampel dalam penelitian kurang cukup mewakili seluruh balita yang menderita diare akut di wilayah kerja Puskesmas Cibaliung, Labuan, dan Pagelaran sebab tidak semua balita yang menderita diare akut di tiga wilayah kerja Puskesmas tersebut datang berobat ke
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
puskesmas. Oleh karena kasus yang diperoleh hanya kasus yang teridentifikasi oleh Puskesmas sehingga tidak mencakup seluruh kasus yang terdapat dalam populasi penelitian, maka tidak dapat diperoleh angka insiden atau prevalensi kasus dalam populasi penelitian. 2. Bias pada pengumpulan data Bias pada pengumpulan data atau bias informasi dapat terjadi akibat ketidaklengkapan data mengenai faktor risiko yang diteliti serta responden tidak menjawab hal yang sebenarnya.29 Bias informasi dapat berasal dari responden, pewawancara, serta instrumen yang digunakan. Bias dari responden dapat terjadi karena data yang diperoleh berasal dari ingatan responden. Responden pada kelompok kasus akan lebih ingat dengan kejadian (faktor) yang menyebabkan sakit, sedangkan kelompok kontrol umumnya kurang dapat mengingat karena tidak menderita penyakit tersebut.18 Selain itu, jawaban dari responden yang tidak sebenarnya juga dapat menjadi bias informasi terutama pada pertanyaan yang berkaitan dengan perilaku, misalnya perilaku cuci tangan. Sementara bias dari pewawancara dapat terjadi karena pengetahuan atau keyakinan pewawancara terhadap suatu faktor risiko yang sedang dibuktikan sebagai penyebab penyakit sehingga pewawancara cenderung menanyakan lebih mendalam atau memberi arahan kepada kelompok kasus untuk memberi jawaban positif mengenai variabel yang diteliti. Sedangkan kepada kelompok kontrol, pewawancara cenderung mendapatkan jawaban negatif mengenai faktor risiko yang diteliti. Sementara itu, bias dari instrumen dapat terjadi karena pertanyaan kuesioner yang sulit dimengerti oleh responden sehingga responden kesulitan dalam menjawab. Untuk mengatasi bias informasi, dapat dilakukan dengan cara menggunakan pertanyaan yang lebih mudah dimengerti serta melakukan pengarahan pada seluruh enumerator untuk penyamaan persepsi. Berdasarkan hasil analisis bivariat, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kontaminasi Escherichia coli dalam air minum dengan diare akut pada balita karena kondisi kontaminasi Escherichia coli dalam air minum pada kelompok kasus dan non kasus hampir sama atau homogen. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, jumlah air minum balita yang terkontaminasi Escherichia coli lebih besar yaitu 60% dibandingkan yang tidak terkontaminasi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh sumber air minum balita yang sebagian besar (58,3%) berasal dari air sumur serta 75,6% memiliki jarak kurang dari sepuluh meter dari saluran akhir pembuangan tinja (septic tank). Menurut Firmansyah (2009) dalam Fardani
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
(2013)18, air sumur mengambil air tanah sebagai sumber air bersih, sehingga risiko pencemaran air tanah oleh Escherichia coli lebih besar dibandingkan risiko pencemaran pada air minum dalam kemasan, terutama jika jarak sumber air minum kurang dari sepuluh meter dari septic tank. Meskipun demikian, cara pemasakan air minum yang sebagian besar (48,9%) dilakukan hingga mendidih dan dibiarkan tetap mendidih selama kurang lebih lima menit, dapat menurunkan risiko kontaminasi dalam air minum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara Sarana Air Bersih (SAB) dengan diare akut pada balita karena kondisi SAB pada kelompok kasus dan non kasus hampir sama atau homogen. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa sebagian besar responden menggunakan sumur gali terlindung sebagai sumber air untuk memasak dan mencuci peralatan makan atau minum balita, dimana sebesar 72,2% berada dalam kondisi bersih. Namun demikian, 75,6% Sarana Air Bersih (SAB) responden memiliki jarak kurang dari sepuluh meter dari saluran akhir pembuangan tinja (septic tank). Hal ini tentu berkaitan dengan kontaminasi pada sumber air yang digunakan untuk minum oleh balita, dimana risiko kontaminasi akan sangat tinggi. Kualitas air yang baik merupakan kriteria standar untuk mencegah terjadinya penyakit yang ditularkan melalui air. Jenis SAB yang paling banyak digunakan oleh responden adalah sumur gali. Sumur gali menyediakan air dari lapisan tanah yang relatif dekat dengan permukaan tanah sehingga mudah terkontaminasi melalui rembesan yang berasal dari kotoran manusia, hewan, dan lain-lain. Oleh karena itu, konstruksi sumur gali harus memenuhi syarat agar kualitas air tetap aman. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara SPAL dengan kejadian diare akut pada balita karena kondisi SPAL pada kelompok kasus dan non kasus hampir sama atau homogen. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dari balita yang menderita diare, sebesar 73,3% memiliki Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) dan sebesar 47,8% memiliki SPAL dalam keadaan terbuka. Setiap rumah tangga menggunakan air untuk berbagai keperluan seperti memasak, mencuci peralatan makan atau minum, mandi, dan lain-lain. Sebagian air yang digunakan tersebut akan menjadi limbah yang kemudian dibuang ke lingkungan. Air limbah tersebut dapat menyebabkan bau dan pemandangan yang tidak sedap serta dapat mengganggu kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara sarana pembuangan tinja dengan kejadian diare akut pada balita karena kondisi sarana pembuangan tinja pada
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
kelompok kasus dan non kasus hampir sama atau homogen. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dari balita yang menderita diare, sebesar 60% memiliki jamban pribadi dan sebesar 57,8% memiliki jamban berleher angsa. Selain itu, sebesar 56,7% ibu dari balita yang menderita diare memiliki kebiasaan BAB di jamban pribadi. Kebiasan ibu yang melakukan BAB tidak dijamban dapat menyebabkan meningkatnya kejadian diare pada balita. Ariningrum et al.30 menyebutkan bahwa risiko diare meningkat secara bermakna dengan penggunaan tempat BAB yang tidak semestinya. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh adanya pencemaran air tanah dan makanan oleh vektor yang secara tidak langsung mengkontaminasi makanan dan minuman balita. Menurut Notoatmodjo21, syarat pembuangan tinja yang memenuhi aturan kesehatan adalah tidak mengotori permukaan tanah, air permukaan, dan air dalam tanah di sekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara sarana pembuangan sampah dengan kejadian diare akut pada balita karena kondisi sarana pembuangan sampah pada kelompok kasus dan non kasus hampir sama atau homogen. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dari balita yang menderita diare, sebesar 47,8% memiliki keluarga yang membuang sampah ke lahan kosong atau kebun, sebesar 3,3% melakukan pengangkutan sampah dari rumah setiap hari, sebesar 65,6% memiliki tempat sampah di dalam rumah, dan sebesar 55,6% memiliki tempat sampah dalam kondisi terbuka. Ketersediaan sarana pembuangan sampah didalam rumah, merupakan hal yang sangat penting karena jika sampah tidak dikumpulkan dengan baik maka dapat mengundang berbagai vektor penular penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita dengan gizi kurang mempunyai risiko menderita diare sebesar 2,205 kali dibandingkan balita dengan gizi baik. Kemungkinan balita dengan gizi kurang untuk terkena diare persisten juga akan lebih besar dibanding balita dengan gizi baik, dimana kematian balita gizi kurang akibat diare persisten juga semakin meningkat. Masa balita merupakan bagian dari masa pertumbuhan dan perkembangan yang sangat penting, oleh karena itu kebutuhan gizi yang cukup adalah hal yang perlu dilakukan oleh orangtua. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara status imunisasi campak dengan kejadian diare akut pada balita karena proporsi kejadian diare akut pada balita yang tidak diimunisasi campak dan balita yang sudah diimunisasi campak tidak jauh berbeda. Imunisasi pada balita merupakan hal yang penting karena dapat memberikan kekebalan tubuh sehingga tidak mudah terkena penyakit. Menurut Ariningrum et al.30 jika balita menderita
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
campak maka komplikasi yang sering terjadi adalah diare, pneumonia, otitis media, dan limfadenopati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang memiliki ibu/pengasuh dengan pengetahuan rendah mempunyai risiko menderita diare sebesar 2,604 kali dibandingkan balita yang memiliki ibu/pengasuh dengan pengetahuan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dari balita yang menderita diare, sebesar 38,9% memiliki ibu yang mengetahui bahwa diare dapat dicegah, sebesar 63,3% tidak mengetahui media penularan diare, sebesar 58,9% mengetahui bahwa diare dapat dicegah, sebesar 51,1% tidak mengetahui cara pencegahan diare, sebesar 84,4% mengetahui satu cara pengobatan diare, dan sebesar 58,9% mengetahui satu gejala atau tanda diare. Pengetahuan yang tidak disertai dengan perilaku langsung atau praktik, maka akan dengan mudah terlupakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita dengan hygiene sanitasi makanan dan minuman tidak baik mempunyai risiko menderita diare sebesar 2,473 kali dibandingkan balita dengan hygiene sanitasi makanan dan minuman baik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dari balita yang menderita diare, sebesar 36,7% memiliki ibu/pengasuh yang terbiasa mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, sebesar 56,7% memasak air minum hingga mendidih, sebesar 94,4% memasak makanan hingga matang, sebesar 43,3% menyimpan makanan dimeja dalam keadaan tertutup, sebesar 72,2% mencuci alat makan dan minum dengan air bersih yang ditampung dalam wadah, dan sebesar 93,3% mengeringkan alat makan dan minum dengan cara ditiriskan. Dalam sanitasi makanan, perlu diperhatikan kebersihan pada proses pengolahan dan penyimpanan makanan yang bertujuan menjaga makanan agar tetap bersih, sehat dan nilai gizinya tetap. Perilaku cuci tangan merupakan bagian dari hygiene sanitasi makanan dan minuman, yaitu pada bagian personal hygiene penjamah makanan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, dan sebelum menyuapi makanan pada anak mempunyai pengaruh terhadap kejadian diare. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kualitas bakteriologis alat minum balita dengan kejadian diare akut pada balita karena kondisi bakteriologis alat minum balita pada kelompok kasus dan non kasus hampir sama atau homogen. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, kontaminasi pada alat minum balita cukup tinggi. Kontaminasi tersebut kemungkinan terjadi pada saat proses pencucian, dimana air yang digunakan untuk mencuci sebagian besar berasal dari air sumur
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
yang telah terkontaminasi Escherichia coli. Selain itu, kontaminasi pun dapat terjadi setelah proses pencucian, yaitu pada proses penyimpanan. Penyimpanan yang kurang baik (disembarang tempat) dapat menimbulkan kontaminasi yang salah satunya disebabkan oleh vektor penyakit. Oleh karena itu, pemahaman mengenai hygiene sanitasi makanan dan minuman sangat dibutuhkan dalam menjaga agar peralatan makan atau minum balita tetap bersih.
Kesimpulan Tidak ada hubungan antara kontaminasi Escherichia coli dalam air minum dan faktor sanitasi lingkungan dengan kejadian diare akut pada balita. Variabel yang memiliki hubungan dengan diare akut pada balita adalah status gizi, pengetahuan ibu/pengasuh, serta hygiene sanitasi makanan dan minuman. Sedangkan faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian diare akut pada balita adalah pengetahuan ibu/pengasuh (OR: 2,19) serta hygiene sanitasi makanan dan minuman (OR: 1,99).
Saran Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang, diharapkan melakukan promosi kesehatan yang lebih baik lagi terutama mengenai hygiene sanitasi makanan dan minuman (termasuk perilaku cuci tangan yang baik serta pemasakan makanan dan air minum yang benar) untuk kelompok masyarakat yang terkena
kasus diare khususnya di wilayah kerja Puskesmas
Cibaliung, Labuan, dan Pagelaran Kabupaten Pandeglang sehingga mampu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat serta menerapkannya dalam peningkatan kesehatan masyarakat. Disamping itu, dilakukan penyediaan sarana sanitasi dasar pada masyarakat yang belum memiliki sarana sanitasi memadai, seperti penyediaan Sarana Air Bersih (SAB) yang memiliki jarak ≥10 meter dari saluran akhir pembuangan tinja, penyediaan Saluran Pembuangan Akhir Limbah (SPAL) yang tertutup, penyediaan jamban berleher angsa, penyediaan tempat sampah dalam keadaan tertutup di dalam rumah serta pengangkutan sampah setiap hari dari setiap rumah. Sedangkan untuk peneliti selanjutnya, agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam mengenai faktor yang paling berpengaruh
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
dengan kejadian diare akut di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten sebab didaerah tersebut masih memiliki kejadian diare terutama pada balita yang cukup tinggi. Variabel penelitian dapat diperluas ataupun dipersempit dari yang sudah peneliti lakukan agar penelitian menjadi lebih terfokus pada variabel yang ingin diteliti dan menghasilkan informasi yang lebih akurat dan rinci.
Daftar Referensi 1. UNICEF. (2009). Diarrhoea: Why Children are Still Dying and What Can Be Done? Desember 24, 2013. http://www.unicef.org/health/index_51412.html. 2. UNICEF. (2013). Comitting to Child Survival: A Promise Renewed. Desember 24, 2013. http://www.unicef.org/publications/index_70354.html. 3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2007b). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2007c). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 5. Bambang & Retno. (2008). Higiene Sanitasi Depot Air Minum Isi Ulang di Kecamatan Tanjung Redep Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 4 (2), 81-88. 6. Adisasmito, Wiku. (2007). Faktor Risiko Diare pada Bayi dan Balita di Indonesia: Systematic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat. Jurnal Makara Kesehatan, 11, 1-10. 7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010c). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 8. Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang. (2013). Puluhan Ribu Warga Pandeglang Menderita Diare Setiap Tahun. November 14, 2013. www.dinkespandeglang.com. 9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012a). Data dan Informasi Kesehatan Provinsi Banten. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012b). Surveilans Terpadu Penyakit (STP)
Diare
di
Kabupaten/Kota
Pandeglang.
Jakarta:
Direktorat
Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 11. Suwito, Widodo. (2009). Makalah: Dampak Verotoksigenik dan Enterohemoragik Escherichia coli (VTEC DAN EHEC) pada Hewan, Manusia dan Makanan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Yogyakarta. 12. Jawetz, E., Melnick, J.L., & Adelberg, E.A. (1986). Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan (H. Tonang, Penerjemah). Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 13. Gaman, P.M., & Sherrington, K.B. (1994). Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 14. Faridz, R., Hafiluddin, & Anshari, M. (2007). Analisis Jumlah Bakteri dan Keberadaan Escherichia coli pada Pengolahan Ikan Teri Nasi di PT. Kelola Mina Laut Unit Sumenep. Jurnal Embryo, 4 (2), 94-106. 15. Gould, D. & Brooker, C. (2003). Mikrobiologi Terapan untuk Perawat (Brahm U, Penerjemah). Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 16. Kusuma, Sri Agung Fitri. (2009). Karya Ilmiah: Uji Biokimia Bakteri. Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran, Bandung. 17. Kusuma, Sri Agung Fitri. (2010). Makalah: Escherichia coli. Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran, Bandung. 18. Fardani, Sekar Astrika. (2013). Skripsi: Hubungan Escherichia coli dalam Air Minum dan Kondisi Sarana Sanitasi Dasar dengan Kejadian Diare Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pancoran Mas, Depok. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. 19. Kelompok
Kerja
Sanitasi
Kabupaten
Wonosobo.
(2012).
Laporan
Studi
Environmental Health Risk Assessment (EHRA) Kabupaten Wonosobo. Desember 25, 2013.http://ppsp.nawasis.info/dokumen/perencanaan/sanitasi/pokja/bp/kab.wonosobo/ EHRA Wonosobo.pdf. 20. Soeparman. (2002). Pembuangan Tinja dan Limbah Cair. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 21. Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013
22. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011b). Buku Saku Petugas Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 23. Suharyono. (2008). Diare Akut: Klinik dan Laboratorik. Jakarta: Rineka Cipta. 24. Conant, J. & Fadem, P. (2008). A Community Guide to Environmental Health (Rini A. Sulaiman, Penerjemah). Bandung: The Eksyezet. 25. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Buku Krida Pengendalian Penyakit. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 26. Basuki, Bastaman. (2012). Aplikasi Metode Kasus-Kontrol. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 27. Elfindri, Hasnita E., Abidin Z. et al. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Baduose Media. 28. Hastono, Sutanto. (2007). Analisis Data Kesehatan. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 29. Murti, Bhisma. (1997). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 30. Ariningrum, R., Sundari S., & Riyadina, W. (2009). Determinan Penyakit Diare pada Anak Balita di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam, Jawa Barat, NTB, NTT, Gorontalo dan Papua. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 12, 144-153.
Perkembangan daerah..., Rizkiansyah Rizal, FT UI, 2013