Hubungan Lingkungan Fisik Bangunan Bengkel dan Karakteristik Pekerja terhadap Kejadian ISPA pada Pekerja Bengkel Sepatu Informal di Wilayah Kerja Puskesmas UPT Ciomas Kabupaten Bogor Tahun 2014 Ridcho Andrian, Sri Tjahyani Budi Utami
Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak ISPA merupakan masalah kesehatan pertama pada sepuluh penyakit terbanyak di Program Kesehatan Kerja Puskesmas UPT Ciomas. Hal tersebut disebabkan kurangnya pengetahuan pekerja terhadap ISPA dan kondisi bengkel yang tidak baik berpengaruh terhadap aktivitas dan kesehatan pekerja. Disain studi yang digunakan adalah cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan fisik bangunan bengkel dan karakteristik pekerja informal terhadap kejadian ISPA dengan sampel sebanyak 85 pekerja yang berada di tujuh bengkel sepatu di Desa Pagelaran. Jumlah pekerja yang positif ISPA sebanyak 34 (40%) orang. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara kelembaban (P = 0,046) dan pencahayaan (P = 0,046) terhadap kejadian ISPA.
The Relationship between Physical Environment and Characterization of Workers toward the Incidence of Acute Respiratory Infections on Informal Footwear Workers in Puskesmas UPT Ciomas Working Area Bogor Regency 2014 Abstract ARI ranks first among the ten largest diseases, caused by a lack of knowledge of the ARI and the condition of the building is not conform standardized environmental health. Cross sectional method is used in this study to know the relationship between physical environment and worker characteristics on the incidence of ARI. The research sample of whole population of workers at seven footwear factory in Desa Pagelaran. There were 34 (40%) workers who suffered from ARI. The study showed there was a relationship between humidity (P = 0,046), illumination (P = 0,046), and ARI incidences. Keywords: Occupational Health Diseases; Factories Footwear; Humidity; Illumination.
Pendahuluan Sebagian besar pelayanan kesehatan kerja di Indonesia masih bersifat kuratif umum saja, sedangkan pelayanan kesehatan kerja yang bersifat promotif, preventif, dan rehabilitatatif belum dapat dijalankan secara optimal. Tidak optimalnya pelayanan ini disebabkan karena keterbatasan berbagai sumber daya yang ada seperti sumber daya manusia, sarana, prasarana, dan rendahnya kesadaran dari masyarakat pekerja mengenai pentingnya kesehatan yang
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
belum menyadari bahwa sistem pencatatan dan pelaporan kesehatan kerja yang belum berjalan dengan baik juga menjadi salah satu sebab sulitnya memperoleh data kesehatan kerja yang dapat dipergunakan untuk perencanaan dan peningkatan upaya kesehatan kerja oleh pemerintah, pengusaha, dan masyarakat pekerja (Kemkes, 2013). Prevalensi ISPA di Indonesia dengan diagnosis gejala (DG) sebesar 25.5%, sedangkan dengan diagnosis tenaga kesehatan (D) sebesar 8.10%. Prevalensi ISPA di Provinsi Jawa Barat berada di bawah angka Nasional yaitu dengan diagnosis gejala (DG) sebesar 24.73%. Kabupaten Bogor merupakan daerah tinggi prevalensi ISPA yaitu DG sebesar 30.9%, di atas nilai rata – rata prevalensi kabupaten/kota provinsi Jawa Barat (Riskesdas, 2007). Berdasarkan laporan Bulanan Kesehatan Pekerja Puskesmas UPT Ciomas Tahun 2013, ISPA menduduki peringkat tertinggi 10 Besar Penyakit Kesehatan Kerja. Prevalensi ISPA mengalami peningkatan selama empat bulan terakhir yaitu di bulan Juni dengan 75 penderita (16.67%) dari 450 pekerja, Juli 86 penderita (14.83%) dari 580 pekerja, Agustus 116 penderita (23.11%) dari 502 pekerja, dan pada bulan September dengan 72 kasus (20.63%) dari 349 pekerja. Keterbatasan tenaga kesehatan di Program Kesehatan Kerja di Puskesmas UPT Ciomas dan kondisi lingkungan bengkel sepatu yang tidak sehat serta banyak terdapat bahan baku pembuatan sepatu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi pekerja khususnya gangguan saluran pernafasan. Oleh karena itu, dirasa penting untuk melihat hubungan lingkungan fisik dan karakteristik pekerja terhadap kejadian ISPA pada pekerja bengkel sepatu.
Tinjauan Teoritis 1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu (WHO, 2007). ISPA masuk ke dalam penyakit yang penyebabnya kompleks dan heterogen. Biasanya penyebabnya berasal dari mikroorganisme seperti infeksi bakteri, jasad renik, riketsia, dan benda – benda partikulat.
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
2. Faktor Lingkungan Fisik Bangunan Industri a. Dinding Dinding adalah penutup sisi samping (penyekat) ruangan atau bangunan kerja di industri yang terbuat dari anyaman bambu, beton, kayu dan sebagainya. Berdasarkan Kepmenkes RI No. 1405 Tahun 2002 tentang kesehatan lingkungan industri peersyaratan dinding yang baik adalah bersih dan berwarna terang serta permukaan dinding yang sering terkena percikan air terbuat dari bahan yang kedap air. Dinding berguna untuk mempertahankan suhu dalam ruangan, merupakan media bagi proses rising damp (kelembaban yang naik dari tanah) yang merupakan salah satu penyebab kelembaban dalam rumah. b. Atap Pengertian atap adalah kondisi penutup rumah (bangunan) sebelah atas ruangan atau bangunan kerja di industri. Persyaratan atap ialah harus kuat dan tidak bocor. Atap juga harus mampu melindungi penghuninya dari perubahan cuaca seperti padan terik dan hujan (Kepmenkes No. 1405/2002). Atap genteng merupakan atap yang cocok di daerah tropis. Atap seng atau asbes tidak cocok pada daerah tropis, disamping mahal juga meningkatkan suhu dalam ruangan. Peningkatan suhu akan memicu perkembangan mikroorganisme penyebab penyakit ISPA (Notoatmodjo, 2007). c. Ventilasi Lubang tempat udara dapat keluar dan masuk secara bebas yang terdapat di ruangan atau bangunan kerja industri disebut ventilasi. Dapat berupa jendela, pintu, lubang angina, lubang asap dapur, dan sebagainya (Permenkes No. 1096/2011). Sedangkan menurut keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1405 tahun 2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, ventilasi yang baik minimal sebesar 15% dari luas lantai ruangan. d. Suhu Suhu merupakan ukuran kuantitatif yang dinyatakan dalam bentuk satuan derajat terhadap temperatur panas atau dingin suatu ruangan. Berdasarkan peraturan Kepmenkes No. 1405 tahun 2002 suhu normal di ruangan kerja adalah 18 – 28 oC. Suhu dalam ruangan berperan untuk menjaga kelembaban optimal untuk membebaskan ruangan dari bakteri dan virus penyebab ISPA. e. Kelembaban Kelembaban udara tergantung pada berapa banyak uap air (dalam %) yang terkandung di udara. Saat udara dipenuhi uap air dapat dikatakan bahwa udara berada dalam
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
kondisi jenuh yang artinya kelembaban tinggi dan segala sesuatu menjadi lebih basah (Suma’mur, 2009). Kelembaban udara yang memenuhi persyaratan penyehatan udara dalam ruang ialah berkisar antara 40% - 60% (Kepmenkes No. 1405/2002). f. Pencahayaan Pencahayaan adalah jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif. Penyinaran atau pemberian cahaya di dalam ruangan kerja secara umum minimal adalah 100 lux (Kepmenkes, No. 1405/2002). 3. Faktor Karakteristik Pekerja a. Umur ISPA telah diketahui dapat menyerang segala jenis umur. Risiko yang paling tinggi terjadi pada bayi berumur kurang dari 1 tahun dan usia di atas 24 tahun. Semakin tua umur seseorang maka semakin meningkat juga risiko terjadinya ISPA (Nelson oleh Halim, 2012). b. Jenis Kelamin Berdasarkan teori, anak laki – laki lebih banyak membutuhkan oksigen dibandingkan anak perempuan. Berdasarkan penelitian laki – laki lebih berisiko terkena ISPA dibandingkan perempuan. Ketika berusia 15 – 24 tahun risiko ISPA diantara keduanya relatif sama. Namun setelah berusia 25 tahun risiko tersebut meningkat hingga dua kali lipat dari sebelumnya. Hal ini terkait dengan kegiatan di luar rumah, perilaku merokok dan efek nikotin (Nelson oleh Halim dalam Sofia, 2013). c. Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu hak azazi setiap manusia yang bertujuan untuk memajukan kehidupan manusia dan bangsa. Jenjang pendidikan di Indonesia di awali dari pendidikan dasar, menengah, dan atas kemudian lanjut ke Akademi/Perguruan Tinggi. Asumsinya adalah semakin tinggi pendidikan seseorang maka diharapkan semakin baik pula tingkat pemahamannya dan secara mudah memahami informasi tentang kesehatan. Menurut Notoatmodjo (2007) pendidikan kesehatan mengupayakan perilaku masyarakat untuk menyadari atau mengetahui cara memelihara kesehatan, menghindari atau mencegah hal – hal yang merugikan kesehatan dan kemana seharusnya mencari pengobatan ketika sakit. d. Masa Kerja Lamanya waktu selama pekerja terpapar zat yang berbahaya dapat meningkatkan risiko terkenanya bahaya – bahaya kesehatan lingkungan kerja, sehingga
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
menghasilkan efek pemajanan baik akut maupun kronis yang dampaknya bervariasi (Kusnoputranto, 1995). e. Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini pengetahuan hanya diartikan hanya sebatas recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. f. Kebiasaan Merokok Pengertian merokok adalah jumlah rokok yang dikonsumsi pada periode tertentu (WHO dalam Nurussakinah, 2013). Kebiasaan merokok dapat diartikan seberapa sering individu melakukan aktivitas yang berhubungan dengan perilaku merokok seperti menghisap rokok dan sudah menjadi kebiasaan yang rutin. Merokok merupakan faktor risiko terhadap gangguan saluran pernafasan, hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusnabeti dkk. (2010) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada pekerja mebel. g. Penggunaan Alat Pelindung Diri Alat Pelindung Diri (APD) adalah alat yang digunakan oleh para pekerja selama menjalankan pekerjaan sesuai dengan kriteria pekerjaan masing – masing dengan maksud dan tujuan untuk melindungi pekerja agar selama bekerja mendapat kenyamanan dan keselamatan (Suma’mur, 1995). Namun perlu diperhatikan bahwa alat pelindung diri harus sesuai dan adekuat terhadap bahaya – bahaya tertentu, resisten terhadap kontaminan – kontaminan udara, dibersihkan dan dipelihara dengan baik serta sesuai dengan pekerja yang menggunakannya (Kusnoputranto, 1995).
Metode Penelitian Desain penelitian ini menggunakan rancangan Cross sectional, dimana data dikumpulkan secara bersamaan, yaitu antara lingkungan fisik bangunan bengkel, karakteristik pekerja sepatu informal, dan kejadian ISPA pada pekerja. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret – April 2014. Populasi penelitian adalah seluruh pekerja sepatu informal di 7 bengkel sepatu yang berjumlah 85 orang dan sampel penelitian adalah seluruh populasi penelitian. Sebagai kriteria inklusi dalam penelitian adalah pekerja yang bekerja di bengkel sepatu dan datang
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
bekerja pada saat dilakukannya penelitian. Kriteria eksklusi penelitian adalah pekerja yang tidak bekerja di bengkel sepatu atau bekerja di rumah masing – masing dan pekerja yang menolak untuk ikut dalam penelitian. Data dikumpulkan dengan melakukan pengukuran kondisi lingkungan fisik bangunan di ruang kerja bengkel pada saat proses produksi untuk variabel dinding, atap, luas ventilasi, suhu, kelembaban, dan pencahayaan di ruang kerja. Pengukuran menggunakan luxmeter untuk mengukur intensitas pencahayaan, thermohygrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban, dan untuk mengukur luas ventilasi bangunan menggunakan meteran atau menanyakan kepada pemilik yang kemudian dicatat pada lembar observasi lingkungan fisik dan bangunan indistrusi sepatu. Sedangkan untuk mengetahui karakteristik pekerja dan pemeriksaan ISPA dilakukan dengan wawancara kuesioner. Penetapan ISPA didasarkan pada adanya satu atau lebih tanda gejala. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat digunakan untuk memberikan penjelasan deskriptif terhadap masing – masing variabel. Sedangkan analisis Bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara dua variabel. Uji statistik yang digunakan adalah Chi Square dengan pertimbangan kedua jenis data variabel tersebut adalah data kategorik.
Hasil Penelitian Gambaran Kejadian ISPA Tabel 1. Distribusi Frekuensi Penderita ISPA Pada Pekerja Industri Sepatu Desa Pagelaran Kecamatan Ciomas Bogor Tahun 2014 Penderita ISPA Positif Negatif Jumlah
Jumlah (n = 85) 34 51 85
Persentase (%) 40 60 100
Diketahui bahwa kejadian penyakit ISPA, sebanyak 34 (40%) orang positif ISPA dan 51 (60%) orang negatif ISPA dari 85 pekerja. Gambaran Kondisi Lingkungan Fisik Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kondisi Lingkungan Fisik Bangunan Bengkel Sepatu Desa Pagelaran Tahun 2014 No.
Variabel
Jumlah
Persentase
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
No. 1
2
3
4
5
Variabel Dinding Bangunan Bengkel
Jumlah
Persentase
MS (tembok)
6
85,71
TS (papan/bambu)
1
14,29
MS (genteng)
1
14,29
TS (seng atau asbes)
6
85,71
MS (minimal 15% dari luas lantai)
3
42,86
TS (< 15% dari luas lantai)
4
57,14
MS (40 % – 60 %)
4
57,14
TS (< 40 % dan > 60 %)
3
42,86
0
0,00
7
100,00
MS (minimal 100 lux)
5
71,43
TS (< 100 lux)
2
28,57
Atap Bangunan Bengkel
Luas Ventilasi
Kelembaban
Suhu MS (suhu 18 – 28 oC) o
TS (suhu < 18 – 28 C) 6
Pencahayaan
Keterangan: MS = Memenuhi Syarat; TS = Tidak Memenuhi Syarat
Tabel 2. Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Bangunan Bengkel dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Sepatu Informal Status ISPA Variabel
Total
Sakit
Tidak Sakit
n (%)
n (%)
n
Jenis Dinding TS
4 (33,3)
8 (66,7)
12
MS
30 (41,1)
43 (58,9)
73
Jenis Atap TS
28 (37,8)
46 (62,2)
74
MS
6 (54,5)
5 (45,5)
11
Luas Ventilasi TS
10 (43,5)
13 (56,5)
23
MS
24 (38,7)
38 (61,3)
62
Kelembaban TS
23 (51,1)
22 (48,9)
45
MS
11 (27,5)
29 (72,5)
40
34 (40)
51 (60)
85
0
0
0
Pencahayaan TS
23 (51,1)
22 (48,9)
45
MS
11 (27,5)
29 (72,5)
40
Suhu TS MS
p
OR
95% CI
0,849
0,717
0,198 – 2,597
0,335
0,507
0,142 – 1,818
0,881
1,218
0,462 – 3,213
0,046
2,756
1,112 – 6,829
0
0
0
0,046
2,756
1,112 – 6,829
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
Jenis Dinding Bangunan Bengkel. Dari 7 bangunan bengkel sepatu menunjukkan bahwa terdapat 6 (85,71%) dinding bangunan memenuhi syarat dan 1 (14,29%) dinding bangunan yang tidak memenuhi syarat. Analisis uji Chi Square menghasilkan nilai P = 0,849 yang menyatakan tidak terdapat hubungan bermakna dengan kejadian ISPA. Dengan nilai OR 0,717, yang berarti pekerja di bengkel dengan jenis dindingnya memenuhi syarat mempunyai peluang 0,717 kali untuk terkena ISPA dari pada pekerja yang bekerja di bengkel dengan jenis dinding yang tidak memenuhi syarat. Jenis Atap Bengkel. Dari 7 bangunan bengkel sepatu menunjukkan bahwa terdapat 1 (14,29%) atap bengkel yang memenuhi syarat dan 6 (85,71%) atap bengkel tidak memenuhi syarat. Analisis uji Chi Square menghasilkan nilai P = 0,507 yang menyatakan tidak terdapat hubungan bermakna dengan kejadian ISPA. Dengan nilai OR = 0,507, berarti pekerja yang bekerja di bengkel dengan jenis atapnya memenuhi syarat mempunyai peluang 0,507 kali untuk terkena ISPA dari pada pekerja yang bekerja di bengkel dengan jenis atap yang tidak memenuhi syarat. Luas Ventilasi Bengkel. Dari 7 bangunan bengkel sepatu menunjukkan bahwa terdapat 3 (42,86%) bengkel yang memenuhi syarat dan 4 (57,14%) bengkel yang tidak memenuhi syarat. Analisis uji Chi Square menghasilkan nilai P = 0,881 yang menyatakan tidak terdapat hubungan bermakna dengan kejadian ISPA. Dengan nilai OR 1,218, yang berarti pekerja yang bekerja di bengkel dengan luas ventilasinya yang tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 1,218 kali untuk terkena ISPA dari pada pekerja yang bekerja di bengkel dengan luas ventilasi yang memenuhi syarat. Kelembaban. Bahwa terdapat 4 (57.14%) bengkel yang memenuhi syarat dan 3 (42,86%) bengkel yang tidak memenuhi syarat. Analisis uji Chi Square menghasilkan nilai P = 0,046 yang menyatakan terdapat hubungan bermakna dengan kejadian ISPA. Dengan nilai OR 1,218, yang berarti pekerja yang bekerja di bengkel dengan kelembabannya tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 1,218 kali untuk terkena ISPA dari pada pekerja yang bekerja di bengkel dengan kelembaban yang memenuhi syarat. Suhu. Bahwa terdapat 0 (0%) bangunan yang memenuhi syarat dan 7 (100%) bangunan yang suhunya tidak memenuhi syarat. Tidak dapat dilakukan uji statistik karena data homogen dan tidak terdapat suhu dalam ruang yang memenuhi syarat.
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
Pencahayaan. Terdapat 5 (71,43%) bengkel yang memenuhi syarat dan 2 (28,57%) bengkel yang tidak memenuhi syarat. Analisis uji Chi Square menghasilkan nilai P = 0,046 yang menyatakan terdapat hubungan bermakna dengan kejadian ISPA. Dengan nilai OR 2,756, yang berarti pekerja yang bekerja di bengkel dengan pencahayaannya tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 2,756 kali untuk terkena ISPA dari pada pekerja yang bekerja di bengkel dengan pencahayaan yang memenuhi syarat.
Gambaran Karakteristik Pekerja Tabel 3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Pekerja Bengkel Sepatu Desa Pagelaran Tahun 2014 No. 1.
2.
3.
4.
4.1.
4.
4.1.
5.
Variabel
Jumlah (n=85)
Persentase
Tidak Produktif (usia < 18 tahun dan > 49 tahun)
13
15,3
Produktif (usia 18 – 49 tahun)
72
84,71
Jenis Kelamin Pekerja Laki – laki
62
72,94
Perempuan
23
27,06
Umur Pekerja
Tingkat Pendidikan Tinggi (Tamat SMA/Akademi/Perguruan Tinggi)
8
9,41
Rendah (Tidak sekolah/Tamat SD/Tamat SMP)
77
90,59
Masa Kerja ≤ 6 Tahun
50
58,82
≥ 6 Tahun
35
41,18
Lama Kerja/Hari < 8 Jam
6
7,06
8 Jam
30
35,29
> 8 Jam
49
57,65
Pengetahuan Tentang ISPA Tidak Tahu ISPA
75
88,24
Tahu ISPA
10
11,76
Sumber Informasi ISPA Petugas Puskesmas
4
4,71
Kader UKK
1
1,18
Dokter Praktek
1
1,18
Dokter Praktik & TV
1
1,18
Rumah Sakit
1
1,18
Saat Pemeriksaan Kesehatan
1
1,18
TV
1
1,18
Kebiasaan Merokok Tidak
29
34,12
Ya
56
65,88
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
No. 5.1.
5.2.
5.3.
6.
6.1.
Variabel Lama Menjadi Perokok < 1 Tahun
Jumlah (n=85)
Persentase
5
8,93
1 – 5 Tahun
17
30,36
> 5 Tahun
34
60,71
Total
56
100
Banyak Rokok Dihisap < 1 Bungkus
24
42,86
1 Bungkus
30
53,57
> 1 Bungkus
2
3,57
Total
56
100
Jenis Rokok Dikonsumsi Filter
42
75
Keretek
13
23,21
Lainnya (Filter dan Kretek)
1
1,79
Total
56
100
Penggunaan APD Tidak
65
76,47
Ya
20
23,53
APD yang Sering Digunakan (Pengguna APD) Masker
18
90
Sarung Tangan
2
10
Total
20
100
Tabel 4. Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Bangunan Bengkel dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Sepatu Informal Variabel Jenis Kelamin Laki – laki Perempuan Jumlah Kelompok Umur Tidak Produktif Produktif Jumlah Tingkat Pendidikan Pendidikan Rendah Pendidikan Tinggi Jumlah Masa Kerja ≤ 6 Tahun ≥ 6 Tahun Jumlah
Status ISPA Sakit Tidak Sakit n % n %
Total n
OR (95% CI)
P Value
24 10 34
38,7 43,5 40
38 13 51
61,3 56,5 60
62 23 85
0,821 0,311 – 2,166
0,881
8 26 34
61,5 36,1 40
5 46 51
38,5 63,9 60
13 72 85
2,831 0,839 – 9,554
0,157
30 4 34
39 50 40
47 4 51
61 50 60
77 8 65
0,638 0,148 – 2,747
0,82
19 15 34
38,8 41,7 40
30 21 51
61,2 58,3 60
49 36 85
0,887 0,369 – 2,131
0,964
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
Variabel Pengetahuan tentang ISPA Tidak Tahu Tahu Jumlah Kebiasaan Merokok Tidak Merokok Merokok Jumlah Penggunaan APD Tidak Menggunakan Menggunakan Jumlah
Status ISPA Sakit Tidak Sakit n % n %
Total n
OR (95% CI)
P Value
29 5 34
38,7 50 40
46 5 51
61,3 50 60
75 10 85
0,63 0,168 – 2,369
0,512
12 22 34
41,4 39,3 40
17 34 51
58,6 60,7 60
29 56 85
1,091 0,438 – 2,718
1
26 8 34
40 40 60
39 12 51
60 60 60
65 20 85
1 0,360 – 2,782
1
Umur Pekerja. Berdasarkan umur, pekerja berusia produktif berjumlah 72 (84,71%) orang dan 13 (15,29%) orang berusia tidak produktif. Analisis uji Chi Square menghasilkan nilai P = 0,157 yang menyatakan tidak terdapat hubungan bermakna dengan kejadian ISPA. dengan nilai OR 2,831, yang berarti kelompok umur tidak produktif mempunyai peluang 2,831 kali untuk terkena ISPA dari pada kelompok umur produktif. Jenis Kelamin Pekerja. Berdasarkan jenis kelamin, pekerja berjenis kelamin laki – laki sebanyak 62 (72,94%) orang dan 23 (27,06%) orang berjenis kelamin perempuan. Analisis uji Chi Square menghasilkan nilai P = 0,881 yang menyatakan tidak terdapat hubungan bermakna dengan kejadian ISPA. Dengan nilai OR 0,821, yang berarti perempuan mempunyai peluang 0,821 kali untuk terkena ISPA dari pada laki – laki. Pendidikan Pekerja. Berdasarkan jenjang pendidikan, pekerja dengan pendidikan tinggi berjumlah 8 (9,41%) orang dan 77 (90,59%) pekerja berpendidikan rendah. Analisis uji Chi Square menghasilkan nilai P = 0,820 yang menyatakan tidak terdapat hubungan bermakna dengan kejadian ISPA. Dengan nilai OR 0,638, yang berarti tingkat pendidikan tinggi mempunyai peluang 0,638 kali untuk terkena ISPA dari pada pekerja dengan tingkat pendidikan rendah. Masa Kerja. Pekerja dengan masa kerja kurang dari atau sama dengan 6 tahun adalah sebanyak 50 (58,82%) orang dan bekerja lebih dari atau sama dengan 6 tahun sebanyak 35 (41,18%) orang. Analisis uji Chi Square menghasilkan nilai P = 0,964 yang menyatakan tidak terdapat hubungan bermakna dengan kejadian ISPA. Dengan nilai OR 0,887, yang artinya
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
pekerja yang bekerja lebih dari 6 tahun mempunyai peluang 0,887 kali untuk terkena ISPA dari pada pekerja yang telah bekerja kurang dari 6 tahun.
Gambaran Pengetahuan tentang ISPA. Terdapat 75 (88,24%) pekerja menjawab tidak tahu mengenai penyakit ISPA dan 10 (11,76%) pekerja menjawab tahu mengenai penyakit ISPA. Analisis uji Chi Square menghasilkan nilai P = 0,512 yang menyatakan tidak terdapat hubungan bermakna dengan kejadian ISPA. Dengan nilai OR 0,630, yang berarti pekerja yang tahu tentang ISPA mempunyai peluang 0,630 kali untuk terkena ISPA dari yang tidak tahu tentang ISPA. Gambaran Kebiasaan Merokok. Terdapat 29 (34,12%) orang bukan perokok dan 56 (65,88%) orang perokok. Analisis uji Chi Square menghasilkan nilai P = 1,000 yang menyatakan tidak terdapat hubungan bermakna dengan kejadian ISPA. Dengan nilai OR 1,091, yang berarti pekerja yang tidak merokok mempunyai peluang 1,091 kali untuk terkena ISPA dari yang merokok. Gambaran Penggunaan APD. Pekerja tidak menggunakan APD yaitu 65 (76,47%) orang dan 20 (23,53) orang tidak menggunakan APD. Analisis uji Chi Square menghasilkan nilai P = 1,000 yang menyatakan tidak terdapat hubungan bermakna dengan kejadian ISPA. Dengan nilai OR 1,000, artinya pekerja yang tidak menggunakan APD dan pekerja yang menggunakan APD mempunyai peluang 1,000 kali yang sama untuk terkena ISPA.
Pembahasan Hubungan Jenis Dinding Bengkel dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis dinding terhadap kejadian ISPA pada pekerja. Bagi pekerja yang berada di bengkel dengan dinding yang memenuhi syarat mempunyai peluang 0,717 kali untuk terkena ISPA dari pada pekerja di bengkel dengan jenis dinding yang tidak memenuhi syarat. Walaupun dinding memenuhi syarat akan tetapi tidak bersih, material konstruksi lembab, dan warna dinding gelap dapat mempengaruhi intensitas cahayan dalam ruang sehingga memungkinkan berkembangnya mikroorganisme. Kondisi dinding bangunan di bengkel hampir semuanya terlihat kumuh dan kusam. Hubungan Jenis Atap dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara atap bangunan bengkel terhadap kejadian ISPA pada pekerja. Bagi pekerja yang berada di bengkel atap memenuhi syarat mempunyai
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
peluang 0,507 kali untuk terkena ISPA dari pada pekerja yang berada di bengkel dengan atap tidak memenuhi syarat. Walaupun atap memenuhi syarat namun sebagian besar atap bagian dalam tidak bersih dan banyak terdapat jelaga dan ditambah lagi suhu dalam ruang tinggi atau tidak memenuhi syarat maka akan menyebabkan partikel bertahan lebih lama di udara sehingga memungkinkan terhisap oleh pekerja. Hal tersebut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya ISPA. Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara luas ventilasi terhadap kejadian ISPA pada pekerja dan pekerja yang bekerja di bengkel dengan luas ventilasi tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 1,218 kali untuk terkena ISPA dari pada pekerja yang bekerja di bengkel dengan luas ventilasi memenuhi syarat. Kondisi fisik ventilasi bangunan bengkel terdapat pakaian bergantungan dan ditutup dengan tambalan diperkirakan dapat menimbulkan tersendatnya sirkulasi udara serta kebanyakan bangunan bengkel luas ventilasinya minim. Pertukaran udara yang tidak baik dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan mikroorganisme dan udara menjadi tidak segar yang berakibat terhadap gangguan kesehatan. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Terdapat hubungan yang bermakna antara kelembaban terhadap kejadian ISPA pada pekerja dan pekerja yang bekerja di bengkel dengan kelembaban tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 1,218 kali untuk terkena ISPA dari pada pekerja yang bekerja di bengkel dengan kelembaban yang memenuhi syarat. Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak lancar sehingga akan mempengaruhi suhu udara dalam ruang bengkel menjadi rendah sehingga kelembaban udaranya tinggi. Begitu juga kaitan kelembaban dengan dinding karena dinding berguna untuk mempertahankan suhu dalam ruangan yang berperan dalam menjaga kelembaban optimal dan juga merupakan media bagi proses rising damp (kelembaban yang naik dari tanah) yang merupakan salah satu penyebab kelembaban dalam ruang bengkel. Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Tidak dapat dilakukan uji statistik karena data homogen dan tidak terdapat suhu bangunan bengkel yang memenuhi syarat. Suhu normal dalam ruang kerja berdasarkan Kepmenkes No. 1405 tahun 2002 tentang persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri adalah 18 – 28 oC. Dalam Kusnadi (2003) secara umum bakteri dapat berkembang dengan
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
baik pada suhu 30 – 38 oC. Hal ini menjadi berisiko karena suhu ruangan bengkel berkisar pada 28,8 – 34,8 oC. Suhu yang rendah dapat menyebabkan polutan dalam atmosfer terperangkap dan tidak menyebar karena peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia perubahan suatu polutan udara. Apabila suhu ruang kerja tinggi, suhu udara akan menyebabkan partikel debu bertahan lebih lama di udara sehingga memungkinkan terhisap oleh pekerja besar (Yusnabeti, Wulandari, & Luciana, 2010). Hubungan Pencahayaan dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Diketahui bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pencahayaan dengan kejadian ISPA dan pekerja yang bekerja di bengkel dengan pencahayaan tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 2,756 kali untuk terkena ISPA dari pada pekerja yang bekerja di bengkel dengan pencahayaan yang memenuhi syarat. Pencahayaan dengan intensitas tinggi akan meningkatkan suhu dalam dalam ruang kerja yang dapat menyebabkan partikel atau debu bertahan lebih lama di udara sehingga memungkinkan terhisap oleh pekerja. Hubungan Umur dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur pekerja dengan kejadian ISPA pada pekerja dan kelompok umur produktif mempunyai peluang 2,831 kali untuk terkena ISPA dari pada kelompok umur tidak produktif. Hal ini dimungkinkan terjadi karena mereka yang berusia produktif memiliki kemampuan fisik yang masih bagus dan fungsi sosialnya yang berbeda dibandingkan mereka yang berusia bukan produktif. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin terhadap kejadian ISPA dan pekerja dan laki – laki mempunyai peluang 0,821 kali untuk terkena ISPA dari pada perempuan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena laki – laki memiliki kemampuan fisik dan fungsi sosial yang berbeda dengan perempuan serta terkait dengan kegiatan di luar rumah, perilaku merokok dan efek nikotin. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenjang pendidikan kejadian dengan ISPA dan tingkat pendidikan tinggi mempunyai peluang 0,638 kali untuk terkena ISPA dari pada pekerja dengan tingkat pendidikan rendah. Semakin tinggi pendidikan belum menjamin seseorang untuk terhindar dari penyakit ISPA.
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
Hubungan Masa Kerja dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian ISPA terhadap lamanya bekerja dan pekerja yang bekerja ≥ 6 tahun mempunyai peluang 0,964 kali untuk terkena ISPA dari pada pekerja yang telah bekerja ≥ 6 tahun. Masa kerja dapat meningkatkan lamanya pekerja terpajan dengan agen penyebab ISPA. Hubungan Pengetahuan ISPA dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang ISPA terhadap kejadian ISPA pada pekerja dan pekerja yang tahu tentang ISPA mempunyai peluang 0,630 kali untuk terkena ISPA dari yang tidak tahu tentang ISPA. Hal ini menunjukkan bahwa, mereka yang tahu belum tentu dapat terhindar dari penyakit ISPA. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok terhadap kejadian ISPA dan pekerja yang merokok mempunyai peluang 1,091 kali untuk terkena ISPA dari pada mereka yang tidak merokok. Kebiasaan merokok merupakan salah satu pencetus penyebab terjadinya ISPA karena dengan merokok, asap yang masuk secara langsung dapat membuat silia dalam sistem pernafasan rusak sedikit demi sedikit. Hubungan Penggunaan APD dengan Kejadian ISPA pada Pekerja Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan APD dengan kejadian ISPA dan pekerja yang tidak menggunakan APD mempunyai peluang 1,000 kali untuk terkena ISPA dari pada pekerja yang menggunakan APD. Kebanyakan pekerja tidak menggunakan APD pada saat bekerja dan berdasarkan pengamatan dan wawancara pada pekerja, alasan yang dikemukakan adalah penggunaan masker dapat mengganggu kenyamanan dan tidak terbiasa menggunakannya. Kondisi lingkungna kerja di bengkel dengan bau lem sepatu yang menyengat dan kebersihan lingkungan kerja yang tidak baik dapat menimbulkan gangguan kesehatan melalui jalur pernafasan.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara lingkungan fisik bangunan bengkel dan karakteristik pekerja terhadap kejadian ISPA pada pekerja sepatu informal, dapat disimpulkan bahwa hanya kelembaban dan pencahayaan yang terdapat hubungan bermakna dengan kejadian ISPA.
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
Saran Pemilik Bengkel Sepatu 1. Kondisi dinding bangunan di bengkel hampir semuanya terlihat kumuh dan kusam. Sebaiknya permukaan dinding dibersihkan secara berkala sekurang – kurangnya sekali dalam setahun dan dilakukan pengecatan ulang dengan warna terang paling tidak setahun sekali sehingga apabila terdapat kotoran ataupun debu mudah terlihat. 2. Sebaiknya mengganti atap asbes/seng dengan genteng dan/atau melakukan pemasangan langit – langit atau plafon yang bertujuan untuk menahan hawa panas/dingin dan menghambat partikel yang jatuh dari atap. 3. Pengaturan pencahayaan yang cukup di dalam ruang kerja agar intensitas pencahayaan cukup, seperti memasang genteng kaca pada atap. 4. Membuat ventilasi yang cukup pada bangunan bengkel untuk menjaga kelancaran sirkulasi udara, suhu yang nyaman, masuknya sinar matahari ke ruangan kerja, dan mencegah zat – zat pencemar di udara mencapai pernafasan manusia. 5. Melakukan usaha dalam meningkatkan kesadaran pekerja untuk menggunakan APD selama bekerja, khsusunya masker. Misalnya dengan membuat peraturan tertulis yang selanjutnya apabila terdapat pekerja yang tidak menggunakan APD maka diberikan peringatan, teguran atau bahkan sanksi. Pekerja Bengkel Sepatu 1. Menggunakan APD selama bekerja khususnya masker, agar pekerja terlindungi dari bahaya yang berasal dari setiap kegiatan produksi yang dapat membahayakan kesehatan pekerja. 2. Menjaga kebersihan dan kesehatan diri dengan menjalani pola hidup bersih dan sehat, seperti menjaga kebersihan pakaian mengingat pekerjaan mereka berhubungan dengan bahan kimia dan partikel – partikel yang terdapat di bengkel. 3. Memeriksakan kesehatan diri secara rutin dan apabila terjadi gangguan kesehatan pada saat bekerja segera memeriksakan diri sehingga dapat ditangani sejak dini. 4. Menjaga dan memelihara kebersihan lingkungan bengkel. 5. Membentuk kelompok pekerja yang peduli kesehatan kerja. Poskesdes 1. Membantu Puskesmas dalam melakukan pemetaan bahaya kesehatan dan keselamatan kerja di wilayahnya.
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
2. Memberikan pelayanan kesehatan kepada pekerja yang membutuhkan. 3. Mendorong pembentukan Pos UKK dan membina Pos UKK yang ada di wilayahnya. 4. Melaksanakan pencatatan dan pelaporan kesehatan kerja di wilayahnya. Puskesmas UPT Ciomas 1. Perlu dilakukan Promosi Kesehatan Di Tempat Kerja (PKDTK) secara terus menerus yang bertujuan untuk memberikan informasi kesehatan dan memodifikasi perilaku pekerja agar kondusif bagi kesehatan. Diharapkan dengan adanya informasi kesehatan yang memadai akan meningkatkan kemampuan pekerja untuk mengenali masalah kesehatan potensial yang terjadi baik di dalam maupun di luar tempat kerja. Setelah mengenali, mereka akan menyadari apakah sudah terkena atau tidak dari masalah kesehatan tersebut. Bagi yang sudah terkena akan menyadari seberapa parah mereka menderita. 2. Melakukan pemantauan terhadap kondisi kesehatan lingkungan bengkel, kesehatan pekerja, dan penilaian kelayakan bangunan bengkel yang dilakukan secara berkala. 3. Memaksimalkan keberadaan kader dan Pos UKK dalam bentuk pemberdayaan masyarakat di kelompok pekerja informal utamanya di dalam upaya promotif dan preventif untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. 4. Membuat program yang dapat memotivasi pemilik dalam penerapan kesehatan lingkungan kerja di bengkel sepatu. 5. Membagikan masker secara gratis kepada pekerja sekaligus mengkampanyekan pentingnya APD dalam mencegah terjadinya risiko akibat kerja. 6. Melakukan pendataan ulang dan secara berkala terhadap populasi pekerja dan jumlah bengkel yang beroperasi. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 1.
Melakukan pemetaan jenis usaha, jumlah pekerja, faktor risiko, dan besarnya masalah/penilaian besarnya masalah.
2.
Penyediaan dana, sarana, prasarana, dan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk pelaksanaaan program kesehatan kerja.
3.
Meningkatkan kemampuan staf Dinas Kesehatan dan jajarannya di dalam melaksanakan upaya kesehatan kerja dengan cara pelatihan dan studi lanjutan.
4.
Mendorong setiap klinik/dokter perusahaan melaksanakan upaya kesehatan kerja bagi pekerja informal.
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
5.
Mendorong
Puskesmas
untuk
memberdayakan
masyarakat
pekerja
informal
melaksanakan upaya kesehatan kerja melalui pembentukan Pos UKK. 6.
Menjadi penggerak atau fasilitator lintas sektor dalam pelaksanaan program kesehatan kerja.
Unit Teknis di Lingkup Pemerintah Kabupaten Bogor Terkait dengan Kesehatan Kerja 1. Melaksanakan kesehatan dan keselamatan kerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing – masing, seperti: a. Dinas Perindustrian mensyaratkan izin industri harus menyertakan program kesehatan dan keselamatan kerja untuk karyawan. b. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengawasi pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja di bengkel. 2. Mendorong petugas penyuluh lapangan di Dinas/Instansi terkait untuk turut mendukung program kesehatan kerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing – masing instansi. Pemerintah Kabupaten Bogor 1. Menetapkan peraturan atau kebijakan untuk mendukung program kesehatan kerja. 2. Membentuk wadah/forum kesehatan dan keselamatan kerja yang secara rutin membahas masalah kesehatan dan keselamatan kerja dengan melibatkan lintas sektor terkait, swasta, dan masyarakat di tingkat Kabupaten sampai Kecamatan. 3. Memberikan dukungan anggaran, sarana, dan prasarana bagi pengembangan kesehatan dan keselamatan kerja.
Daftar Pustaka Achmadi, Fahmi, Umar (2011). Dasar – Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: Rajawali Press. Besral. (2012). Analisis Data Riset Kesehatan Tingkat Dasar Menggunakan SPSS. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Chin, James. (2000). Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: CV. Infomedika. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405 Tahun 2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri.
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Pedoman Teknis Upaya Kesehatan Kerja Bagi Perajin Sepatu. Jakarta. Franswijaya, Caroline, Christabel. (2012). Kualitas Udara dalam Ruang dengan Kejadian Sick Building Syndrome di Gedung 4 Kantor Pusat Badan Pusat Statistik, Jakarta Pusat Tahun 2012. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Univeristas Indonesia. Halim, Fitria. (2012). Hubungan Faktor Lingkungan Fisik dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Pekerja di Industri Mebel Dukuh Tukrejo. Jepara. Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Univeristas Indonesia. Infections of the Respiratory System. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK8142/. Diakses pada 6 Desember 2013. Kecamatan Ciomas Dalam Angka 2013. http://www.bogorkab.bps.go.id/publikasi_bps/2013/kcda2013/070ciomas. Diakses pada 10 Mei 2014. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Pedoman Pengembangan Upaya Kesehatan Kerja di Kabupaten/Kota Percontohan Bidang Kesehatan Kerja. Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Promosi Kesehatan di Tempat Kerja. Jakarta. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP–51/MEN/I999 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja. Krieger J., Higgins D.L. (2002). Housing and Health. Time Again for Public Action. Am J Public Health; 92 (5): 758 – 759. Kusnadi. (2003). Mikrobiologi. Common Textbook (Edisi Revisi). Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia. Mulia, Ricki, M. (2005). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Promosi Kesehatan. Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. Nurussakinah. (2013). Faktor Risiko Lingkungan Fisik Kerja terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Pekerja Bagian Material, Cutting, dan Sewing Industri Garmen PT. X Tahun 2013. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Univeristas Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011 Tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.08/MEN/VII/2010 Tentang Alat Pelindung Diri. Prabu, B.D.R. (1996). Penyakit – penyakit Infeksi Umum. Jilid I. Jakarta: Widya Medika.
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014
Puskesmas UPT Ciomas – Program Kesehatan Kerja. (2013). Laporan Bulanan Kesehatan Pekerja Tahun 2011 – 2013. Bogor. Puskesmas UPT Ciomas – Program Kesehatan Kerja. (2011). Profil Puskesmas UPT Ciomas Tahun 2011. Bogor. Rahayu, Winiati P. (2012). Mikrobiologi Pangan. Bogor: PT. Penerbit IPB Press. Sari, Wenang, Duniantri. (2009). Hubungan Parameter Fisik Kualitas Udara dalam Ruangan dengan Gejala Sick Building Syndrome (SBS) pada Tiga Gedung di DKI Jakarta Tahun 2009. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Univeristas Indonesia. Sri Tjahyani Budi Utami, Budi Haryanto. (2006). Pencemaran Udara dan Kesehatan. Bahan Ajar di Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Sofia. (2013). Hubungan Lingkungan Fisik Industri Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Pekerja Industri Tahu di Kelurahan Utan Kayu Utara, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Univeristas Indonesia. Sofia, Nur A. (2011). Karakteristik Risiko Pajanan Benzen dan Toluen terhadap Pekerja Sektor Informal Alas Kaki di Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor Tahun 2011. Studi Kasus pada 11 Bengkel Sepatu Informal. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Univeristas Indonesia. Sulastri. (2008). Hubungan Antara Bangunan Fisik Industri Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Pekerja Tahu Tempe di Kelurahan Kuningan Barat Kecamatan Mampang Prapatan Jakarta Selatan Tahun 2008. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Univeristas Indonesia. Soemirat, Juli. (2011). Kesehatan Lingkungan. Revisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soemirat, Juli. (2010). Epidemiologi Kesehatan Lingkungan. Edisi Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sutanto. (2008). Analisis Data Kesehatan. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Widagdo, Suharyo. (2009, Agustus 3). Kualitas Udara dalam Ruang Kerja. Jurnal Sigma Epsilon, 13 (3). Desember 6, 2013. http://www.batan.go.id/ptrkn/file/Epsilon/vol_13_03/p5.pdf. World Health Organization. (2008). Infeksi Saluran Pernapasan Akut yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jenewa. World Health Organization. (2008). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Pedoman Interim WHO. Jenewa Yusnabeti. Wulandari, A, R. & Luciana, R. (2010). PM10 dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Pekerja Industri Mebel. Jurnal Makara Kesehatan; 14 (1): 25-30.
Hubungan lingkungan..., Ridcho Andrian Am, FKM UI, 2014