2011 RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan BALITBANG - KKP
LAPORAN TEKNIS RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
Sonny Koeshendrajana Rikrik Rahadian Cornelia Mirwantini Witomo Maulana Firdaus Nensyana Shafitri Lindawati Estu Sri Luhur Rani Hafsaridewi Budi Wardono Lia Kamelia Aisya
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
LEMBAR PENGESAHAN Satuan Kerja (Satker)
:
Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Judul Kegiatan Riset
:
Daya Saing Produk Dan Karakteristik Pasar, Pengembangan Usaha, Investasi Dan Industri Perikanan
Status
:
Baru
Pagu Anggaran
:
Rp. 502.509.000, - (Lima Ratus Dua Juta Lima Ratus Sembilan Ribu Rupiah)
Tahun Anggaran
:
2011
Sumber Anggaran
:
APBN, DIPA Satker Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Tahun 2011
Penanggung jawab kegiatan
:
Sonny Koeshendrajana NIP. 19600424 198503 1 006
Wakil Penanggung jawab
:
kegiatan
Rikrik Rahadian NIP. 19760815 200901 1 003 Jakarta,
Desember 2011
Penanggung jawab
Wakil Penanggung jawab
Sonny Koeshendrajana
Rikrik Rahadian
NIP 19600424 198503 1 006
NIP. 19760815 200901 1 003
Mengetahui/Menyetujui: Kepala Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, MSc. NIP. 19600831 198603 1 003
i
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
RINGKASAN Daya saing suatu produk atau komoditas merupakan cerminan kemampuan produk atau komoditas tersebut sesuai dengan dinamika sumber daya dimana produk tersebut dihasilkan, dan juga kemampuan pasar yang berpotensi mengalami perubahan lingkungan strategis bersifat dinamis, baik pada tingkatan lokal, domestik, maupun global. Perubahan iklim global yang terjadi cenderung mempengaruhi kinerja produksi dan produktivitas yang dihasilkan; di lain pihak, dinamika perubahan lingkungan strategis yang terjadi, antara lain berupa perubahan preferensi konsumsi, kompetisi produk/komoditas bersifat komplementer dan substitusi, otonomi daerah, liberalisasi perdagangan, tuntutan terhadap kesesuaian daya dukung dan daya tampung lingkungan serta perubahan strategi pembangunan yang dicanangkan berpotensi mempengaruhi daya saing produk/komoditas yang dimaksudkan di atas. Terkait dengan hal tersebut di atas, pemahaman tentang karakteristik pasar domestik atau mancanegara bagi produksi perikanan Indonesia menjadi sangat penting agar di dalam negeri tidak terjadi over produksi yang dapat menekan harga hasil perikanan terlalu murah. Sehingga akan mendorong disinsentif dalam pemanfaatan sumberdaya. Oleh karena itu, kajian daya saing dan karakteristik produk perikanan sebagai salah satu pilar penting bagi implementasi program minapolitan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sangat relevan dan perlu dilakukan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2011 sampai dengan Desember 2011. Lokasi penelitian yang dipilih merupakan sentra produksi perikanan yang mendukung program minapolitan yaitu di Kabupaten Bogor (Lele), Kabupaten Muaro Jambi (Patin), Kabupaten Banyumas (Gurame), Kabupaten Pamekasan (Garam) dan Kota Kendari (rumput Laut). Metoda survai digunakan dalam penelitian ini. Data primer dan sekunder dikumpulkan selama kegiatan penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif statistik dengan bantuan teknik tabulasi silang berdasar hasil analisis dengan pendekatan kajian efisiensi produksi dengan menggunakan model fungsi produksi, kajian daya saing dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) dan kajian pasar dengan menggunakan pendekatan Structure Conduct Performance (SCP). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan dianalisa, maka dijelaskan bahwa usaha budidaya lele berada dalm kondisi increasing return to scale yaitu pena penambahan input produksi dan faktor produksi pada tingkat tertentu, akan meningkatkan produksi dengan proporsi yang lebih besar dari besarnya tingkat penambahan input dan faktor tersebut. Terkait dengan saing produk, diperoleh nilai DRCR sebesar 1,55, dan TRCR sebesar 1,16. Kedua angka tersebut merupakan indikator bagi rendahnya daya saing komoditas Lele kabupaten Bogor, baik pada Faktor Produksi Domestik maupun Input Produksi Tradables, apabila dibandingkan dengan pesaingnya dari Tulung Agung. Rendahnya daya saing tersebut terjadi, selain karena harga faktor dan input yang tinggi, juga karena kondisi lingkungan yang menimbulkan kebutuhan atas input tambahan berupa obat-obatan dan vitamin. Berdasarkan analisis SCP, diperoleh informasi bahwa Pasar komoditas Lele Kabupaten ini bersifat Oligopoli dengan kecenderungan adanya Kartel, yang mengakibatkan para pembudidaya – yang diwakili oleh para ketua kelompoknya – dapat melakukan pengaturan harga jual. Investasi untuk berusaha budidaya lele di kabupaten Bogor tidak kurang dari Rp. 90,000,000.- untuk investasi pada asset, dan Rp. 543,000,000.untuk biaya operasional satu tahun. Adapun kesempatan usaha yang nampaknya muncul adalah di bidang pembenihan, pemasaran ke luar kota, serta usaha produksi pakan tambahan. Untuk usaha budidaya Patin di Kabupaten Muaro Jambi berada pada kondisi decreasing return to scale, yang menunjukkan bahwa proporsi peningkatan penggunaan
ii
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
input dan faktor produksi lebih besar dari proporsi peningkatan produksi yang terjadi. Terkait dengan daya saing, ditunjukan oleh nilai DRCR sebesar 0,83 dan TRCR sebesar 0,75, yang menunjukkan Kabupaten Muaro Jambi memiliki keunggulan dibandingkan pesaingnya baik dari segi faktor produksi domestik maupun input produksi tradable. Berdasarkan analisis SCP, diperoleh informasi bahwa Pasar komoditas Patin Kabupaten Muaro Jambi ini bersifat monopsoni. Wilayah pemasarannya mencakup pasar lokal di kota Jambi, maupun luar kota hingga ke Provinsi Sumsel dan Bangka Belitung. Adapun jalur pemasaran komoditas ini adalah melalui para pengumpul kecil, seorang pedagang besar, beberapa distributor luar kota, dan banyak pengecer. Untuk berinvestasi patin dengan luasan kolam rata-rata 2,412 m2, akan dibutuhkan sekitar Rp. 39,195,150.-, untuk investasi pada asset, dan Rp. 434,299,759.- pada biaya operasional 1 tahun. Kesempatan pengembangan usaha di budidaya Patin Muaro Jambi muncul di bidang pemasaran, terutama pemasaran ke luar negeri. Lebih lanjut, untuk usaha budidaya komoditas Gurame di Kabupaten Banyumas, increasing return to scale dengan nilI rata-rata efisiensi teknis sebesar 0,95. Terkait dengan daya saing relatif sedikit lebih tinggi pada Input tradable dibandingkan komoditas saingan dari Tulungagung, yang ditunjukkan dengan nilai TRCR sebesar 0,9. Adapun di sisi daya saing faktor produksi domestic, dengan nilai DRCR sebesar 1, maka dapat dikatakan bahwa komoditas ini memiliki daya saing yang sebanding dengan komoditas saingannya. Berdasarkan analis SCP dapat disimpulkan bahwa Pasar Komoditas Gurame Kabupaten Banyumas bersifat monopsoni. Pasar komoditas gurame adalah di pasar lokal sekitar kabupaten Banyumas saja. Adapun jalur pemasaran komoditas Gurame ini adalah melalui melalui para pengumpul, seorang pedagang besar, dan akhirnya banyak pengecer. Investasi untuk budidaya Gurame di Banyumas ini dapat dikatakan relatif tidak terlalu besar. Untuk berusaha budidaya dengan luasan kolam rata-rata 1,205 m2, hanya dibutuhkan sekitar Rp. 12,947,672.- untuk investasi pada asset, dan Rp. 47,303,793.- untuk biaya operasional satu tahun. Dilihat dari kondisi usaha saat ini, maka usaha budidaya Gurame ini lebih cenderung untuk dikembangkan kearah usaha pemasaran ke luar kota seperti Jakarta, dan Jawa Barat. Usaha budidaya Komoditas Rumput Laut di Kendari, berada pada kondisi yang decreasing return to scale dengan efisiensi penggunaan input dan faktor produksi dengan nilai rata-rata sebesar 1,10 hal ini menunjukkan bahwa Budidaya Rumput Laut di Kendari sudah melampau titik efisiennya. Sementara daya saing rumput laut di Kendari memiliki daya saing input tradable yang rendah jika dibandingkan dengan komoditas serupa yang dihasilkan di Lombok, ditunjukan oleh nilai TRCR sebesar 1,38. Selain itu, dapat dikatakan bahwa daya saing faktor produksi domestik komoditas ini cukup baik jika dibandingkan dengan komodias serupa produk Lombok, yang ditunjukkan dengan nilai DRCR sebesar 0,98. Berdasarkan analisa SCP, pasar komoditas rumput laut Kendari bersifat monopsoni, Adapun wilayah pemasaran akhir bagi komoditas ini adalah di luar kota (Surabaya) sebagai bahan baku bagi produksi turunan Rumput Laut. Selanjutnya, rantai pemasaran bagi produk ini adalah melalui melalui para pengumpul kecil, beberapa pengumpul besar di Makassar, dan akhirnya satu pengumpul besar di Surabaya/Pabrik pengolah. Nilai investasi budidaya rumput laut di Kendari untuk berproduksi dengan luasan lahan sekitar 12,589 m2, hanya diperlukan sekitar Rp. 11,440,754.- untuk investasi dalam asset produksi, dan Rp. 9,715,909.- untuk biaya operasional satu tahun. Adapun dilihat dari dinamika usaha di lapangan, maka nampaknya pengembangan usaha Komoditas Rumput Laut di Kendari lebih cenderung jika di arahkan ke pengolahan Rumput Laut di lokasi. Berdasarkan analisis daya saing, komoditas garam Pamekasan memiliki nilai dayasaing faktor produksi yang rendah jika dibandingkan dengan komoditas saingannya dari Sumenep. Hal tersebut dapa dilihat dari nilai DRCR sebesar 1,58, yang mengindikasikan bahwa biaya faktor produksi domestik di Pamekasan yang 58% jauh lebih tinggi dibandingkan biaya yang terjadi di Sumenep. Dari hasil analisis SCP, pasar komoditas garam Pamekasan ini cenderung bersifat pasar persaingan sempurna. Adapun wilayah
iii
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
pemasaran komoditas ini mencakup pasar baik lokal maupun nasional. Sedangkan rantai pemasaran yang terjadi adalah melalui banyak pengumpul, banyak tengkulak, banyak agen, beberapa pabrik, bebarapa pedangang besar, dan banyak pengecer. Nilai investasi untuk bertani garam di Pamekasan dengan luasan 10,000 m2, hanya dibutuhkan investasi dalam asset sebesar Rp. 15,324,816.-, dan investasi dalam biaya operasional satu tahun sebesar Rp. 18,671,495. Mengingat besarnya permintaan domestic atas komoditas ini, maka sepatutnya pengembangan usaha komoditas Garam Pamekasan ini dapat diarahkan ke bidang industrialisasi yang menghasilkan garam dengan kualitas lebih baik. Berdasarkan hasil penelitian beberapa saran dan implikasi kebijakan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut : Untuk tujuan peningkatan produksi serta daya saing komoditas Lele di Kabupaten Bogor, maka perlu kiranya diadakan program peningkatan ketersediaan dan stabilisasi harga berbagai Input Produksi – terutama input produksi berupa pakan. Untuk tujuan perluasan wilayah pemasaran komoditas ini, maka perlu kiranya diadakan program bantuan pengiriman ke pasar potensial (Batam). Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan sebuah lembaga pemasaran yang bertugas memasarkan Komoditas Lele ke pasar potensial, yang tentunya ditunjang secara finansial oleh pemerintah. Untuk tujuan Investasi dan pengembangan usaha, maka perlu kiranya diadakan program bantuan investasi, khusus bagi para pelaku yang berminat untuk berusaha di bidang pembenihan serta pembuatan pakan tambahan di Kabupaten Bogor. Adapun jenis bantuan yang dapat diberikan dapat berupa pinjaman lunak untuk modal melakukan usaha di sektor yang berhubungan dengan perikanan, maupun bantuan penyediaan sarana produksi murah. Untuk komoditas Patin Muaro Jambi mempunyai daya saing yang relatif cukup tinggi di skala nasional, namun karena usaha budidaya mengalami decreasing return to scale maka perlu dilakukan program pengenalan teknologi serta tata-cara usaha budidaya yang modern kepada para pembudidaya, serta program bantuan untuk berinvestasi pada sarana yang modern. Terkait dengan permasalahan pemasaran diatasi melalui pengembangan sebuah lembaga pemasaran yang di tunjang secara finansial oleh pemerintah. Sama halnya dengan komoditas Patin, komoditas gurame Banyumas memiliki daya saing yang cukup baik di tingkat nasional. Yang perlu dilakukan adalah kebijakan program stabilisasi harga input dan faktor produksi di Kabupaten Banyumas. Permasalahan yang terkait dengan pemasaran praktek monopsoni, serta sistem bayar tunda yang selama ini berlangsung, oleh karena perlu kiranya dilakukan program Pengembangan Informasi Pemasaran, Penjaminan Permodalan Pemasaran, serta pengembangan lembaga pemasaran yang ditunjang penuh secara finansial oleh pemerintah. Untuk tujuan perluasan wilayah pemasaran, maka perlu kiranya dikembangkan sebuah lembaga pemasaran yang bertugas memasarkan Komoditas Gurame Kabupaten Banyumas ke pasar nasional yang potensial, yang tentunya ditunjang secara finansial oleh pemerintah. Usaha budidaya Rumput Laut di Kendari adalah terjadinya decreasing return to scale, dan daya saing input produksi tradables yang rendah, opsi yang diambil melakukan program modernisasi budidaya dan stabilisasi harga input produksi di Kendari. Selain itu, perlu dikembangkan usaha pengolahan. Sementara untuk rendahnya daya saing komoditas Garam di Pamekasan tergantungnya usaha terhadap variabel di luar kendali seperti cuaca. Opsi yang dihadapi oleh para pengambil keputusan untuk meningkatkan produksi adalah menemukan teknologi yang mengurangi para petambak garam akan variabel cuaca.
iv
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan Laporan Tengah Semester untuk kegiatan Penelitian Daya Saing Produk dan Karakteristik Pasar, Pengembangan Usaha, Investasi dan Industri Perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji daya saing dan karakteristik pasar produk perikanan Indonesia, potensi pengembangan usaha, investasi dan industri perikanan Indonesia, sehingga diharapkan diperoleh rumusan kebijakan terkait dengan upaya peningkatan daya saing dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia yang berkelanjutan. Laporan ini memuat pendahuluan, metodologi, hasil dan pembahasan, dan pada bagian akhir dikemukakan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan sementara yang dihasilkan pada tahun ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi, kesediaan, dedikasi dan konsistensinya dalam memberikan bantuan data dan informasi, arahan dan bimbingan sejak awal penyusunan rencana penelitian hingga pada penyelesaian laporan teknis akhir tahun ini. Kami menyadari bahwa laporan ini masih memiliki berbagai kelemahan, baik pada tataran konsep, pelaksanaan lapangan, kualitas data dan informasi yang dihasilkan serta interpretasi hasil dalam penulisan laporan akhir tahun ini.
Oleh karena itu, pada
kesempatan ini tim peneliti kegiatan penelitian ini mengharapkan saran masukan maupun kritik bersifat membangun dari berbagai pihak demi penyempurnaan ke depan. Harapan kami semoga laporan akhir tahun ini dapat menjadi rujukan atau referensi bagi stakeholders yang terkait baik sebagai penentu kebijakan maupun pihak-pihak lain yang terkait lainnya.
Jakarta, Desember 2011
Tim Penyusun
v
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................................................... i RINGKASAN ......................................................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ v DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... vi DAFTAR TABEL .................................................................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................................. xi I.
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1 1.2. Tujuan ........................................................................................................................................ 4
II.
METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................................................... 5 2.1. Kerangka Pemikiran & Ruang Lingkup ................................................................................. 5 2.2. Waktu dan Lokasi ..................................................................................................................... 7 2.3. Metode Penelitian ..................................................................................................................... 7 2.3.1. Metode Pengumpulan Data ............................................................................................. 7 2.4 Analisis Data............................................................................................................................... 9 2.4.1 Policy Analysis Matrix (PAM) ............................................................................................ 9 2.4.2 Structure Conduct Performance (SCP) ........................................................................ 12 2.4.3 Supply Chain ..................................................................................................................... 14 2.4.4 Value Chain ....................................................................................................................... 16 2.4.5 Frontier Production Analysis (FPA) ............................................................................... 18
III. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN .................................................................................... 20 3.1 Komoditas Lele Kabupaten Bogor ....................................................................................... 20 3.1.1 Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian ............................................................... 20 3.1.2 Status dan Efisiensi Produksi ......................................................................................... 23 3.1.2.1 Analisis Skala Usaha (Return to Scale)..................................................................... 24 3.1.2.2 Efisiensi Teknis ............................................................................................................. 25 3.1.2.3 Analisis Efisiensi Ekonomi ........................................................................................... 26 3.1.3 Daya saing......................................................................................................................... 27 3.1.4 Karakteristik Pasar ........................................................................................................... 29 3.1.5 Investasi dan Potensi pengembangan Usaha ............................................................. 32 3.2. Komoditas Patin Kabupaten Muaro Jambi ......................................................................... 34
vi
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
3.2.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian .............................................................. 34 3.2.2. Status dan Efisiensi Produksi ........................................................................................ 37 3.2.2.1. Pendugaan Fungsi Produksi ...................................................................................... 37 3.2.2.2. Analisis Skala Usaha................................................................................................... 38 3.2.2.3. Analisis Efisiensi Ekonomi .......................................................................................... 39 3.2.3. Daya saing komoditas .................................................................................................... 41 3.2.4 Karakteristik Pasar ........................................................................................................... 43 3.2.4.1 Fungsi Pemasaran Ikan Patin di Kabupaten Muaro Jambi .................................... 45 3.2.4.2 Marjin Pemasaran Ikan Patin Di Kabupaten Muaro Jambi..................................... 46 3.2.5 Investasi dan Potensi pengembangan Usaha ............................................................. 47 3.3. Komoditas Gurame Kabupaten Banyumas ........................................................................ 50 3.3.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian .............................................................. 50 3.3.2. Status dan Efisiensi Produksi ........................................................................................ 55 3.3.2.1 Analisis Skala Usaha .................................................................................................... 56 3.3.2.2 Efisiensi Teknis ............................................................................................................. 56 3.3.2.3. Analisis Efisiensi Ekonomi .......................................................................................... 57 3.3.3. Daya saing komoditas .................................................................................................... 58 3.3.4. Karakteristik Pasar .......................................................................................................... 62 3.3.4.1. Struktur Pasar dan Tata Niaga .................................................................................. 62 3.3.4.2. Fungsi Pemasaran....................................................................................................... 63 3.3.4.3. Struktur Pasar............................................................................................................... 63 3.3.4.4. Perilaku Pasar .............................................................................................................. 64 3.3.4.5. Marjin Pemasaran ........................................................................................................ 66 3.3.5. Investasi dan Potensi pengembangan Usaha ............................................................ 67 3.4 . Komoditas Rumput Laut Kota Kendari, Kabupaten Konawe Selatan ........................... 69 3.4.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian .............................................................. 69 3.4.2. Status dan Efisiensi Produksi ........................................................................................ 70 3.4.2.1. Analisis Skala Usaha (Return to Scale) ................................................................... 71 3.4.2.2. Efisiensi Teknis ............................................................................................................ 72 3.4.2.3. Analisis Efisiensi Ekonomi .......................................................................................... 72 3.4.3. Daya saing komoditas .................................................................................................... 73 3.4.4. Karakteristik Pasar .......................................................................................................... 75 3.4.4.1. Tata Niaga..................................................................................................................... 77
vii
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
3.4.5. Investasi dan Potensi pengembangan Usaha ............................................................ 78 3.5. Komoditas Garam Kabupaten Pamekasan ........................................................................ 80 3.5.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian .............................................................. 80 3.5.2. Status dan Efisiensi Produksi ........................................................................................ 81 3.5.3. Daya saing komoditas .................................................................................................... 83 3.5.4. Karakteristik Pasar .......................................................................................................... 84 3.5.4.1. Tata Niaga..................................................................................................................... 84 3.5.5. Investasi dan Potensi pengembangan Usaha ............................................................ 87 IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .......................................................................... 91 4.1. Kesimpulan .............................................................................................................................. 91 4.1.1. Lele Kabupaten Bogor .................................................................................................... 91 4.1.2. Patin Muaro Jambi .......................................................................................................... 92 4.1.3. Gurame Banyumas ......................................................................................................... 92 4.1.4. Rumput Laut Kendari ...................................................................................................... 93 4.1.5. Garam Pamekasan ......................................................................................................... 94 4.2. Implikasi Kebijakan................................................................................................................. 95 4.2.1. Lele Kabupaten Bogor .................................................................................................... 95 4.2.2. Patin Muaro Jambi .......................................................................................................... 96 4.2.3. Gurame Banyumas ......................................................................................................... 96 4.2.4. Rumput Laut Kendari ...................................................................................................... 97 4.2.5. Garam Pamekasan ......................................................................................................... 98 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 99
viii
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
DAFTAR TABEL Tabel 1. Penetapan Lokasi Penelitian Daya Saing Menurut Kota-Kabupaten dan Fokus Kajian, 2011. . 7 Tabel 2. Matrik Identifikasi Tujuan, Metode Analisis, Jenis Data, Sumber Data, dan Output Penelitian, 2011. ....................................................................................................................................................... 8 Tabel 3. Formulasi Matrik Policy Analysis Matrix (PAM) ...................................................................... 10 Tabel 4. Usaha Budidaya Ikan Lele Kabupaten Bogor, 2011 ................................................................. 20 Tabel 5. Analisis Usaha Budidaya Lele Kabupaten Bogor, 2011 ........................................................... 22 Tabel 6. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Usaha Budidaya Lele di Kabupaten Bogor, 2011.. 24 Tabel 7. Rasio Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-faktor Produksi pada Usaha Pembesaran Lele Kabupaten Bogor, 2011 ................................................................................................................. 26 Tabel 8. Policy Analysis Matrix Budidaya Lele, 2011 ............................................................................ 27 Tabel 9. Nilai Investasi Usaha Budidaya Lele Bogor, 2011 .................................................................... 32 Tabel 10. Analisis Usaha Budidaya Lele Kabupaten Bogor, 2010 ......................................................... 33 Tabel 11. Perkembangan Jumlah Karamba, Kolam dan Produksi Ikan di Muaro Jambi 2003-2009..... 35 Tabel 12. Produksi Ikan Budidaya Perkecamatan Perjenis Ikan di Muaro Jambi 2009 ........................ 36 Tabel 13. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi pada Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Jambi ..................................................................................................................................................... 37 Tabel 14. Rasio dan Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-Faktor Produksi pada Usaha Pembesaran Patin Muaro Jambi ........................................................................................................... 39 Tabel 15. Policy Analysis Matrix (PAM) Budidaya Patin Muaro Jambi ................................................. 42 Tabel 16. Perbandingan Biaya Input Produksi Muaro Jambi dan Katingan .......................................... 43 Tabel 17. Struktur Pasar Ikan Patin Kecamatan Pudak, Kabupaten Muaro Jambi, 2011 ..................... 45 Tabel 18. Fungsi Pemasaran Ikan Patin Kabupaten Muaro Jambi, 2011 .............................................. 45 Tabel 19. Marjin Pemasaran Patin Kabupaten Muaro Jambi, 2011 ..................................................... 46 Tabel 20. Biaya Pemasaran Patin Kabupaten Muaro Jambi, 2011 ....................................................... 47 Tabel 21. Investasi Usaha Budidaya Patin di Muaro Jambi 2011.......................................................... 47 Tabel 22. Struktur Biaya Usaha Budidaya Patin Muaro Jambi 2011 ..................................................... 48 Tabel 23. Analisis Usaha Budidaya Patin Muaro Jambi, 2011 .............................................................. 49 Tabel 24. Investasi Usaha Budidaya Gurame Banyumas, 2011 ............................................................ 52 Tabel 25. Struktur Biaya Usaha Budidaya Gurame di Kabupaten Banyumas, Tahun 2011 (Rp/Thn) ... 53 Tabel 26. Analisa Usaha Budidaya Gurame di Kabupaten Banyumas, 2011 ........................................ 54 Tabel 27. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi pada Usaha Budidaya Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas .............................................................................................................................................. 55 Tabel 28. Rasio dan Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-faktor Produksi pada Usaha Pembesaran Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas............................................................................. 57 Tabel 29. Matrik PAM Pada Budidaya Gurame di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Tulungagung, 2011 ...................................................................................................................................................... 59 Tabel 30. Analisis Break Event Point (BEP) Usaha Budidaya Gurame Kabupaten Banyumas, 2011 ..... 60 Tabel 31. Fungi Pemasaran Ikan Gurame Di Kabupaten Banyumas, 2011 ........................................... 63 Tabel 32. Jenis Ikan Yang Dibeli dan Dijual Dalam Saluran Pemasaran Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas , 2011 ................................................................................................................................... 65
ix
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Tabel 33. Marjin Pemasaran Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas Tahun 2011............................... 66 Tabel 34. Struktur Biaya Investasi Usaha Budidaya Pembesaran Gurame Kabupaten Banyumas, 2011 .............................................................................................................................................................. 67 Tabel 35. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi pada Usaha Budidaya Rumput Laut, di Kendari . 70 Tabel 36. Rasio dan Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-faktor Produksi pada Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan ............................................................ 73 Tabel 37. Matrik Policy Analysis Matrix Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari serta Kabupaten Konawe Selatan dengan Kabupaten Lombok Timur tahun 2011. ...................................... 74 Tabel 38. Break Even Point (BEP) Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan .................................................................................................................................................. 75 Tabel 39. Tabel Pelaku Usaha Rumput Laut Kendari 2010 ................................................................... 75 Tabel 40. Tabel Karakteristik Struktur Pasar Rumput Laut di Kota Kendari dan Kota Konawe Selatan 76 Tabel 41. Struktur Investasi Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan Metode Patok ....................................................................................................................................... 78 Tabel 42. Struktur Biaya Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Se;atan 2011 ......................................................................................................................................... 79 Tabel 43. Produksi Rumput Laut Kota Kendari Tahun 2008 – 2009 ..................................................... 80 Tabel 44. Produksi Rumput Laut Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2008 – 2010 .............................. 80 Tabel 45. Biaya Usaha Penggaraman Pamekasan, 2011....................................................................... 82 Tabel 46. Policy Analysis Matrix Garam Sumenep, 2011 ...................................................................... 84 Tabel 47. Frekuensi & Jumlah Distribusi Produk Garam Skala Rumah Tangga Kelompok Mutiara Indah, Kab. Pamekasan ......................................................................................................................... 86 Tabel 48. Perkembangan Produksi Garam Tahun 2005 – 2009. ........................................................... 88 Tabel 49. Estimasi Kebutuhan, Target Produksi, Impor Garam di Indonesia, Tahun 2010 – 2014....... 89
x
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian ............................................................................................. 6 Gambar 2. Supply Chain ........................................................................................................................ 15 Gambar 3. Aliran Informasi dari Hulu ke Hilir ....................................................................................... 15 Gambar 4. Alur Value Chain (Diadopsi dari Porter, 1980) .................................................................... 17 Gambar 5. Keterkaitan Frontier Production Function dan Yield Gap Analysis (Adaptasi dari Gomez, 1977). .................................................................................................................................................... 19 Gambar 6. Sebaran Tingkat Efisiensi Teknis Usaha Budidaya Lele Kabupaten Bogor, 2011 ................ 25 Gambar 7. Rantai Pemasaran Pertama Komoditas Lele Kabupaten Bogor .......................................... 31 Gambar 8. Rantai Pemasaran Kedua Komoditas Lele Kabupaten Bogor .............................................. 31 Gambar 9. Rantai Pemasaran Ketiga Komoditas Lele Kabupaten Bogor .............................................. 32 Gambar 10. Perbedaan Penggunaan Benih (ekor) dan Hasil Produksi Pada Kondisi Aktual dan Optimal pada Budidaya Ikan Patin di Kab. Muaro Jambi.................................................................................... 40 Gambar 11. Perbedaan Penggunaan Luas Kolam (m2) dan Hasil Produksi Pada Kondisi Aktual dan optimal pada Budidaya Ikan Patin di Kab. Muaro Jambi ...................................................................... 41 Gambar 12. Perbedaan Penggunaan Pakan (kg) dan Hasil Produksi Pada Kondisi Aktual dan Optimal pada Budidaya Ikan Patin di Kab. Muaro Jambi.................................................................................... 41 Gambar 13. Rantai Pemasaran Komoditas Patin Muaro jambi ............................................................ 44 Gambar 14. Frekuensi Tingkat Efisiensi Teknis Usaha Budidaya Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas, Tahun 2011 ........................................................................................................................................... 57 Gambar 15. Tata Niaga Komoditas Gurame di Kab. Banyumas Tahun 2011 ........................................ 62 Gambar 16. Model Konstruksi Longline Persegi ................................................................................... 69 Gambar 17. Frekuensi Tingkat Efisiensi Teknis Usaha Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan, Tahun 2011................................................................................................................ 72 Gambar 18. Jalur Pemasaran Pertama ................................................................................................. 77 Gambar 19. Jalur Pemasaran kedua ..................................................................................................... 78 Gambar 20. Jalur Distribusi Produk Garam di Kabupaten Pamekasan ................................................. 85 Gambar 21. Jalur Distribusi Produk Garam Skala Rumah Tangga di Kabupaten Pamekasan ............... 86 Gambar 22. Jalur Distribusi Produk Garam Impor di Kabupaten Pamekasan ...................................... 87
xi
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
xii
2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
I.
2011
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Luas wilayah lautan Indonesia yang meliputi hampir 2/3 wilayahnya, ditambah dengan garis pantai terpanjang di dunia, dan potensi sumber daya ikan serta kelautan yang cukup beragam dan berlimpah, menjadikan sektor perikanan dan kelautan Indonesia sebagai sektor yang memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage). Jadi bukanlah suatu hal yang luar biasa apabila Pembangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia saat ini dijadikan salah satu motor penggerak pembangunan nasional, mengingat betapa berlimpahnya sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimiliki Indonesia. Maka dengan berbekal modal keunggulan komparatif tersebut, para pengambil keputusan di jajaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) – sebagai aparat pemerintah yang diberikan tanggungjawab dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan –
menunjukkan
keseriusannya. Hal itu diindikasikan melalui penetapan sebuah visi yang cukup berani untuk periode 2010-2014 ini, yaitu “Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar 2015”, dengan misi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan. (Anonim1, 2010). Adapun salah satu strategi yang diterapkan KKP untuk mewujudkan visi dan misi tersebut adalah melalui program-program peningkatan produksi, sehingga – secara optimistis – ditargetkan pada tahun 2015 mendatang akan terjadi total kenaikan produksi perikanan Indonesia sebesar tidak kurang dari 353%. Sebuah angka yang cukup fantastis tentunya – bahkan terkesan agak bombastis – untuk dicapai dalam jangka hanya 5 tahun saja. Adapun komoditas-komoditas yang menjadi perhatian dalam rangka peningkatan produksi, untuk komoditas perikanan tangkap adalah: tuna, udang, rumput laut, dan rajungan; sedangkan untuk perikanan budidaya adalah: nila, patin, dan lele. “Mampukah kita mencapai target peningkatan produksi tersebut?”, adalah sebuah pertanyaan yang amat logis muncul, karena pada kenyataannya, selama ini keunggulan komparatif yang dimiliki sektor kelautan dan perikanan ternyata belum mampu dimanfaatkan sepenuhnya untuk menjadi
keunggulan
kompetitif
(competitive
advantage).
Sehingga
mengakibatkan
rendahnya kinerja sektor ekonomi berbasis perikanan, serta munculnya berbagai permasalahan seperti biaya produksi yang masih tinggi, lemahnya permodalan, lemahnya kemampuan pembudidayaan ikan, baik benih, pakan, penyakit, pengelolaan lingkungan budidaya dan penanganan pasca panen. Selain itu, apabila target produksi tersebut nantinya mampu untuk dicapai, maka akan memunculkan sebuah pertanyaan penting lain - “Hendak dikemanakan selanjutnya limpahan
1
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
produk tersebut?” – sebuah pertanyaan yang tentunya tidak sulit untuk dijawab, karena ke semua produk sektor kelautan dan perikanan tersebut tentunya nanti akan diserap oleh pasar, baik pasar domestik – untuk dipergunakan sebagai input antara (intermediate inputs) bagi industri perikanan dan/atau sebagai konsumsi rumahtangga domestik – maupun oleh pasar internasional (ekspor). Namun, dengan adanya kecenderungan yang kuat untuk semakin terbukanya pasar di masing-masing negara – tidak terkecuali Indonesia – pada era perdagangan bebas dan globalisasi seperti saat ini, telah pula memunculkan tantangan tersendiri bagi pembangunan sektor perikanan nasional. Hal tersebut dikarenakan oleh kenyataan bahwa produk perikanan Indonesia nantinya tidak hanya harus bersaing dengan produk perikanan negara-negara lain untuk memperebutkan pangsa di pasar international, tetapi harus juga bersaing untuk memperebutkan pangsa dengan produk perikanan negara lain di pasar domestik. Oleh karena itu, sebuah kata kunci yang harus benar-benar dicamkan agar sektor kelautan dan perikanan Indonesia dapat bertahan adalah “peningkatan daya saing”. Daya saing suatu produk atau komoditas merupakan cerminan kemampuan produk atau komoditas tersebut sesuai dengan dinamika sumber daya dimana produk tersebut dihasilkan, dan juga kemampuan pasar yang berpotensi mengalami perubahan lingkungan strategis bersifat dinamis, baik pada tingkatan lokal, domestik, maupun global. Perubahan iklim global yang terjadi cenderung mempengaruhi kinerja produksi dan produktivitas yang dihasilkan; di lain pihak, dinamika perubahan lingkungan strategis yang terjadi, antara lain berupa perubahan preferensi konsumsi, kompetisi produk/komoditas bersifat komplementer dan substitusi, otonomi daerah, liberalisasi perdagangan, tuntutan terhadap kesesuaian daya dukung dan daya tampung lingkungan serta perubahan strategi pembangunan yang dicanangkan berpotensi mempengaruhi daya saing produk/komoditas yang dimaksudkan di atas.
Daryanto (2009) mengungkapkan dalam bukunya bahwa 5 faktor penggerak
pembangunan berpotensi sebagai penentu daya saing, yakni: (1) Sumberdaya alam dan lingkungan dan keragaan hayati; (2) SDM; (3) Kapital atau modal; (4) Teknologi, dan; (5) Kelembagaan. Peningkatan daya saing Indonesia di dunia internasional, menurut Porter dapat dilakukan melalui – salah satunya – peningkatan pembangunan berbasis klaster (cluster development). Untuk itu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengimplementasikan konsep klaster dalam pengembangan minapolitan guna meningkatkan daya saing sektor kelautan dan perikanan. Salah satu tujuan pengembangan minapolitan adalah untuk meningkatkan produksi perikanan, produktivitas usaha, dan meningkatkan kualitas produk kelautan dan perikanan. Adapun sasaran pengembangan minapolitan salah satu
2
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
diantaranya adalah usaha kelautan dan perikanan kelas menengah ke atas makin bertambah dan berdaya saing tinggi, (Anonim1. 2010). Selain itu, berdasarkan arah kebijakan dan strategi Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010-2014 tujuan program peningkatan daya saing produk perikanan adalah meningkatkan mutu dan keamanan hasil perikanan, nilai tambah produk perikanan, investasi serta distribusi dan akses pemasaran hasil perikanan, dengan sasaran peningkatan volume dan nilai ekspor hasil perikanan serta peningkatan volume produk olahan. Setelah produk sudah dihasilkan baik dalam kegiatan sarana produksi, produksi dan agroindustri, maka pemasaran menjadi kegiatan yang sangat penting. Pasar perikanan Indonesia sangat terbuka baik untuk pasar dalam negeri dan pasar luar negeri. Jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak, fungsi ikan sebagai sumber protein alternatif dan berkembangnya usaha pasar ritel, perhotelan dan restoran yang menyediakan produk perikanan menjadi potensi pasar regional yang besar. Untuk itu potensi pasar domestik perlu diperhatikan mengenai kuantitas dan kontinunitas produk perikanan, kualitas, harga, sistem informasi pasar, peningkatan sarana dan prasana pemasaran serta iklim usaha yang kondusif. Dalam hal pangsa pasar luar negeri, produk perikanan Indonesia banyak diekspor ke negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa dan Amerika. Tuntutan kualitas hidup manusia pada negera maju tersebut berdampak pada pengetatan persyaratan mutu ekspor hasil perikanan. Meskipun pada tahun 2008, Indonesia sebagai eksportir perikanan dunia menempati urutan ke-11 dengan nilai US$ 2.699.683 (Anonim2, 2010) Indonesia harus tetap mampu menyediakan produk yang berkualitas lebih tinggi mulai dari tahap produksi (on farm), pengolahan, dan distribusi yang dibuktikan melalui proses pengujian dan sertifikasi (Anonim1, 2010). Komoditas unggulan yang memberikan kontribusi dari sektor kelautan dan perikanan adalah tuna, udang, teri medan dan rajungan untuk perikanan tangkap dan nila, patin, lele dan rumput laut untuk perikanan budidaya (Syabana, 2011). Terkait dengan hal tersebut di atas, pemahaman tentang karakteristik pasar domestik atau mancanegara bagi produksi perikanan Indonesia menjadi sangat penting agar di dalam negeri tidak terjadi over produksi yang dapat menekan harga hasil perikanan terlalu murah. Sehingga akan mendorong disinsentif dalam pemanfaatan sumberdaya. Oleh karena itu, kajian daya saing dan karakteristik produk perikanan sebagai salah satu pilar penting bagi implementasi program minapolitan Kementrian kelautan dan Perikanan sangat relevan dan perlu dilakukan.
3
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
1.2. Tujuan Tujuan dan keluaran kegiatan penelitian daya saing tahun anmggaran 2011 adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Penelitian: 1. Mengkaji daya saing produk perikanan Indonesia; 2. Mengkaji karakteristik pasar produk perikanan Indonesia; 3. Mengkaji potensi pengembangan usaha perikanan Indonesia; 4. Mengkaji potensi investasi dan industri perikanan Indonesia; 5. Menyusun rekomendasi kebijakan terkait dengan upaya peningkatan daya saing dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan perikanan Indonesia. 2. Perkiraan Keluaran: 1. Diperolehnya informasi mengenai daya saing produk perikanan Indonesia; 2. Diperolehnya informasi mengenai karakteristik pasar produk perikanan dan kelautan Indonesia; 3. Diperolehnya informasi mengenai Potensi Pengembangan Usaha Perikanan Indonesia; 4. Diperolehnya informasi mengenai potensi investasi dan Industri Perikanan Indonesia; 5. Rumusan kebijakan terkait dengan upaya peningkatan daya saing dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia yang berkelanjutan.
4
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
II.
METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Kerangka Pemikiran & Ruang Lingkup - Kerangka Pemikiran Di bawah berikut dapat kita lihat bagaimana kerangka pemikiran penelitian ini.
5
2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN Harapan
2011
Kenyataan
Visi & Misi KKP Pasar Internasional
Program Minapolitan Ekspor
Impor
Peningkatan Produksi Domestik Kesejahteraan Pelaku Pasar domestik
Permasalahan Kebutuhan Informasi daya saing produk sektor Perikanan Indonesia
Kebutuhan Informasih karakteristik pasar produk perikanan Indonesia
Kebutuhan Informasi peluang investasi dan usaha sektor perikanan
Kebutuhan informasi potensi Industri Sektor Perikanan
Kajian Daya Saing
Kajian Karakteristik Pasar
Kajian Peluang Investasi dan Usaha
Kajian Potensi Industri
CMS & PAM
SCP, Supply & Value Chain
Deskriptif
Frontier Production Analysis
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
6
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
-
2011
Ruang Lingkup Sesuai dengan yang telah dipetakan pada kerangka penelitian, maka kajian daya
saing produk, karakteristik pasar, potensi industri, serta peluang investasi dan usaha ini akan difokuskan secara penuh pada berbagai komoditi yang dijadikan unggulan pada program Minapolitan, terutama komoditas budidaya dan produk kelautan, yaitu: Gurame, Lele, Patin, Rumput Laut dan Garam.
2.2. Waktu dan Lokasi Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2011 sampai dengan Desember 2011. Lokasi penelitian yang dipilih merupakan sentra produksi perikanan yang mendukung program minapolitan. Adapun lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Penetapan Lokasi Penelitian Daya Saing Menurut Kota-Kabupaten dan Fokus Kajian, 2011.
Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tenggara
-
Kotamadya/ Kabupaten Bogor Sukabumi Banyumas Pamekasan Muaro Jambi Kuala Tungkal Bitung Kuandang Kendari
Kalimantan Barat Bangka-Belitung Maluku Utara DI Yogyakarta
-
Pontianak Bangka Ternate Yogyakarta
Sumatera Selatan
- Palembang
No
Propinsi
1
Jawa Barat
2 3 4
Jawa Tengah Jawa Timur Jambi
5 6 7 8 9 10 11 12
Fokus Kajian Lokasi Minapolitan Budidaya/komoditas Lele (DJPB) Lokasi Minapolitan Tangkap (DJPT) Lokasi Minapolitan Budidaya/komoditas Gurame (DJPB) Lokasi Minapolitan Garam (KP3K) Lokasi Minapolitan Budidaya/Komoditas Patin (DJPB) Lokasi Minapolitan Tangkap (DJPT) Lokasi Minapolitan Tangkap (DJPT) Lokasi Minapolitan Tangkap (DJPT) Lokasi Minapolitan Budidaya/komoditas Rumput Laut (DJPT) Lokasi Minapolitan Tangkap (DJPT) Lokasi Minapolitan Tangkap (DJPT) Lokasi Minapolitan Tangkap (DJPT) Lokasi sosialisasi dan seminar hasil penelitian
2.3. Metode Penelitian 2.3.1. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder dan data primer. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mencatat dan mempelajari dokumen tertulis dan laporan-laporan. Data ini dikoleksi dari berbagai lembaga atau dinas yaitu Departemen Perdagangan, Pusdatin, Biro Pusat Statistik Kabupaten, dan dinas terkait.
7
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Data primer diperoleh melalui survei dan wawancara kepada pembudidaya/nelayan, pengusaha perikanan, pengolah produk perikanan, pelaku pasar, tokoh masyarakat, kelembagaan terkait (Koperasi, LSM, KUB, dll), serta dinas-dinas yang terkait seperti dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan BKPMD. Data sekunder yang akan diperlukan adalah volume dan nilai ekspor/impor produk perikanan ekspor/impor dari negara tujuan, produksi perikanan di daerah, potensi perikanan daerah, jumlah pelaku usaha, dan informasi mengenai potensi investasi di sektor perikanan. Jenis data dan informasi yang dikumpulkan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, meliputi: Tabel 2. Matrik Identifikasi Tujuan, Metode Analisis, Jenis Data, Sumber Data, dan Output Penelitian, 2011. NO
TUJUAN
1
Mengkaji daya Policy Analysis Matrix (PAM) saing produk perikanan Indonesia
2
Mengkaji Karakteristik Pasar
METODE ANALISIS
Structure Conduct Performance (SCP)
JENIS DATA
SUMBER DATA
OUTPUT
- Struktur biaya pendapatan per siklus
Wawancara dengan pelaku usaha
Informasi mengenai daya saing produk perikanan di pasar domestik
- Jumlah pembeli & penjual
Din. KP daerah, Din.Perindustrian,
- Praktek pemasaran
Wawancara dengan key informan
Informasi mengenai struktur pasar dan rantai pemasaran
- Efisiensi pemanfaatan faktor produksi
- Perilaku usaha - Keragaman jenis produk perikanan yang dipasarkan Supply Chain dan Value Chain
- Pelaku pasar - Alur pemasaran - Nilai (harga & Jumlah) Produk
Deskriptif
- Karakteristik pembeli - Karakteristik penjual
3
Mengkaji potensi pengembang an usaha perikanan di lokasi
8
Deskriptif
- Data series produksi menurut jenis & lokasi (kuantitas & nilai) - Data pelaku usaha
Wawancara dengan key informan, pelaku pasar, pembudidaya/nelay an, dan pengolah Informasi yang diperoleh dari analisis SCP dan Supply Value Chain Din.KP, Din. Perindustrian
Trend pengembang an usaha
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN penelitian
2011
Frontier Production Analysis
Struktur biaya pendapatan per siklus
Wawancara dengan key informan, pelaku pasar
Informasi mengenai potensi pengembang an usaha
Bersambung
Tabel Lanjutan NO
TUJUAN
METODE ANALISIS
JENIS DATA
SUMBER DATA
OUTPUT
4
Mengkaji potensi investasi industri perikanan
Struktur Investasi
Data asset produktif usaha menurut jenis & lokasi
Wawancara dengan key informan, pelaku pasar
Potensi investasi dan industri perikanan
Struktur Industri
Identifikasi indutri menurut jenis ikan di lokasi
Wawancara dengan key informan, pelaku usaha
Deskriptif
Informasi mengenai investasi di sector perikanan
Badan Koordinator Penanaman Modal Daerah (BKPMD)
Deskriptif
Hasil penelitian
5
&
Menyusun rekomendasi kebijakan terkait dengan upaya peningkatan daya saing
Rekomendas i kebijakan untuk peningkatan daya saing
2.4 Analisis Data 2.4.1 Policy Analysis Matrix (PAM) Bentuk PAM Secara sederhana, sebuah matriks analisis kebijakan (PAM) tersusun dari empat buah kolom yang mewakili parameter penerimaan, biaya input tradable, biaya faktor domestik dan profit; serta tiga baris yang terdiri dari nilai finansial, nilai ekonomi dan divergensi dari parameter-parameter yang terdapat pada kolom, seperti yang terlihat pada
9
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Tabel 3. Pada matriks tersebut terdapat dua buah hasil perhitungan berupa identitas; yang pertama adalah sebuah kolom yang menunjukkan besarnya profitabilitas yang merupakan perbedaan antara penerimaan dan total biaya; dan kedua adalah sebuah baris yang mengukur dampak dari adanya divergensi (akibat dari adanya kebijakan dan kegagalan pasar) yang menunjukan perbedaan antara nilai financial dan nilai sosial. Idealnya apabila tidak terjadi kegagalan pasar dan kebijakan yang mengakibatkan distorsi maka tidak terjadi perbedaan antara nilai finansial dan nilai sosial (divergensi) sehingga nilai-nilai parameter pada baris divergensi akan bernilai nol.
Tabel 3. Formulasi Matrik Policy Analysis Matrix (PAM) Biaya Uraian
Penerimaan
Nilai Finansial (harga privat) A Nilai Ekonomi (harga sosial) E Divergensi I Sumber: Monke & Pearson (1989).
Input tradable B F J
Faktor Domestik C G K
Profit
dimana: A = Penerimaan pada harga privat B = Biaya input tradable pada harga privat C = Biaya input domestik pada harga privat D = Pendapatan pada harga privat E = Penerimaan pada harga social F = Biaya input tradable pada harga sosial G = Biaya input domestik pada harga social H = Pendapatan pada harga sosial I
= Penerimaan akibat dampak kebijakan dan distorsi pasar
J = Biaya input tradable akibat dampak kebijakan dan distorsi pasar K = Biaya input domestic akibat dampak kebijakan dan distorsi pasar L = Pendapatan akibat dampak kebijakan dan distorsi pasar Data PAM
10
D H L
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Berbeda dengan bentuk PAM yang nampak sederhana, pada kenyataannya akan diperlukan usaha yang cukup berat dalam menyediakan data yang dibutuhkan untuk mengisi kolom-kolom pada PAM tersebut. Oleh karena itu bagian di bawah berikut akan menjelaskan bagaimana berbagai kolom dalam PAM harus diisi. Penyusunan Baris Nilai Finansial Aplikasi empiris pendekatan PAM selalu didasari dengan pengumpulan data ke dalam sebuah tabel budget. Oleh karena didasari dengan table budget, input data bagi PAM adalah pendapatan, dan biaya-biaya; adapun profit diperoleh dengan cara mengurangi profit dengan biaya. Namun, sebelum memulai mengumpulkan data bagi tabel budget, sang analis harus terlebih dahulu memilih sistem komoditas yang akan dipelajari. Pilihan tersebut tentunya akan bergantung pada pertanyaan kebijakan yang akan dijawab oleh penelitian yang dilakukan. Selanjutnya tabel budget tersebut harus berisikan data sesungguhnya dari produksi untuk periode tertentu, dan bukanlah mengenai hasil optimal. Sehingga table budget tersebut menggambarkan hasil output rata-rata para pelaku pada saat ini, dan bukanlah gambaran dari hanya beberapa pelaku yang memang sudah berproduksi secara progresif. Penyusunan Baris Nilai Ekonomi Langkah kedua dari aplikasi PAM adalah penilaian pendapatan, biaya dan profit pada harga sosialnya (efisien). Jika penyusunan baris finansial merupakan proses yang paling menyita waktu, maka penyusunan baris nilai ekonomi ini merupakan proses analitik yang paling menantang dari proses analisis kebijakan. Hal ini disebabkan karena berbagai informasi yang diperlukan untuk proses ini sifatnya sangat luas dan seringkali sulit untuk ditemukan, penilaian sosial sering hanya berupa perkiraan. Kunci dari keberhasilan analisis menggunakan PAM terletak pada keberhasilan analis untuk melakukan perkiraan yang masuk akal akan harga social. Jika perkiraan-perkiraan yang dipergunakan terasa cukup masuk akal dan mampu meyakinkan para pengambil kebijakan dan analis ekonomi lainnya akan kualitas dan keterterapannya, maka kepercayaan pun akan diberikan pada profitabilitas sosial, dan juga akan nilai-nilai divergensi yang nantinya akan dihitung. Tujuan utama dari proses ini adalah untuk menjelaskan secara cermat bagaimana nilai-nilai social tersebut dihasilkan dan untuk memberikan penekanan bahwa nilai-nilai tersebut adalah perkiraan yang kasar. Harga sosial (atau efisien) dari komoditas yang bersifat tradables dapat diperoleh dari harga-harga dunia, hal ini dikarenakan harga import dan eksport adalah ukuran terbaik dari biaya opportunity social dari suatu komoditas. Bagi sebuah komoditas yang importable,
11
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
harga impor mengindikasikan biaya opportunity dari perolehan tambahan satu unit komoditas tersebut untuk memuaskan permintaan domestic. Sedangkan bagi komoditas yang bersifat exportables, harga ekspor adalah ukuran dari biaya opportunity bagi tambahan satu unit produksi domestic yang akan diekspor, bukan untuk konsumsi domestik. Baris Divergensi Divergensi
adalah
penyebab
dari
terjadinya
penyimpangan
harga
pasar
sesungguhnya dari suatu komoditas dari harga sosialnya (efisien). Divergensi dapat muncul dari dua hal, adanya kegagalan pasar atau kebijakan yang mendistorsi. Kegagalan pasar terjadi apabila pasar gagal untuk menyediakan baik hasil yang kompetitif maupun harga yang efisien. Jenis-jenis umum dari kegagalan pasar adalah monopoli, eksternalitas dan ketidaksempurnaan pasar factor produksi. Sedangkan kebijakan yang mendistorsi adalah campur tangan pemerintah yang memaksa harga pasar untuk menyimpang
dari
nilai
efisiennya.
Pajak/subsidi,
pembatasan
perdagangan,
atau
pengaturan harga dapat menghasilkan kondisi demikian. Kebijakan yang mendistorsi biasanya dikeluarkan secara sengaja untuk mencapai tujuan-tujuan non-efektif (untuk tujuan equity atau security). 2.4.2 Structure Conduct Performance (SCP) Teori Structure conduct performance adalah model yang digunakan untuk menghubungkan elemen struktur pasar dengan usaha dan kinerja ekonomi industi. Structure Conduct Performance (SCP) adalah bagian dari organisasi industri yang terdiri dari tiga bagian utama yang digunakan untuk melihat kondisi struktur pasar dan persaingan yang terjadi di pasar. Struktur sebuah pasar akan mempengaruhi perilaku/ strategi perusahaan-perusahaan yang ada di pasar, dan pada akhirnya perilaku tersebut akan mempengaruhi kinerja dari pasar tersebut (Muslim dkk, 2008), Kerangka pemikiran dari aliran SCP dapat digambarkan dalam kerangka dibawah ini: Struktur (Structure) � Perilaku (Conduct) � Kinerja (Performance) 1.
Struktur Pasar Struktur pasar berhubungan dengan karakteristik dan pentingnya pasar tersebut.
Kondisi ini dapat diketahui dengan mengidentifikasi jumlah dan ukuran distribusi dari penjual dan pembeli di pasar tersebut, batasan suatu produk memiliki perbedaan (diferensiasi), dan tingkat kemudahan memasuki pasar bagi pedagang baru. Cara pengukuran tingkat konsentrasi pasar adalah: a. Rasio Konsentrasi (Concentration Ratio/ CR)
12
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Rasio konsentrasi secara luas dipergunakan untuk mengukur pangsa dari output, turnover, value added, jumlah pegawai atau nilai asset dari total industry (Arianto, 2008). Rasio konsentrasi (CR) mengukur total pangsa pasar (S) dari sejumlah (m) perusahaan terbesar dalam suatu industri (Kuncoro, 2007, dalam Muslim, 2008). Biasanya jumlah perusahaan N yang dihitung proporsi pangsa pasarnya adalah 4, sehingga dikenal sebagai CR4. Jika Pi mewakili pangsa pasar, dan jika proporsi dari output, turnover, value added, jumlah pegawai atau nilai asset dari total industry yag diwakili oleh perusahaan I = 1, 2, …., dengan P1>= P2 >= P3 >= …, maka Concentration Ratio (CrRN). Pangsa pasar dapat ditinjau dari nilai penjualan, jumlah asset, dan value added (Waldma & J.,2000, dalam Muslim, 2008). Rumus: CRN = P1 + P2 + P3 + ……+ PN Dimana: PN = pangsa pasar perusahan ke N b. Herfindahl-Hirschman Index Herfindahl-Hirschman Index (HHi) yaitu jumlah dari kuadrat pangsa pasar untuk semua perusahaan dalam suatu industri (Kuncoro, 2007, dalam Muslim, 2008). Indeks ini merupakan jenis ukuran konsentrasi lain yang cukup penting. Rumus (dalam Arianto, 2008): H = P12+ P22 + P32 + … + PN2 dimana, • P adalah kuadrat dari persentase pangsa pasar dari perusahaan • N adalah banyaknya perusahaan dalam industri Nilai HHI berada pada kisaran antara 1 sampai dengan 10.000. Pembagian struktur pasar menurut nilai HHI adalah pasar dengan konsentrasi rendah bila nilai HHI kurang dari 1000, pasar dengan konsentrasi sedang dengan nilai HHI antara 1000sampai dengan 1800, dan pasar dengan konsentrasi tinggi bila mempunyai nilai HHI di atas 1800 (Lee, 2007, dalam Muslim, 2008). 2. Perilaku Perilaku industri dianalisis secara deskriptif dengan tujuan untuk memperoleh informasi mengenai perilaku pelaku pasar. Perilaku industri menganalisis tingkah laku serta penerapan strategi yang digunakan oleh pedagang untuk merebut pangsa pasar dan mengalahkan pesaingnya, yaitu dari sisi fasilitas, harga, promosi, dan syarat perdagangan.
13
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Analisis ini sengaja dilakukan karena variabel yang mencerminkan perilaku sifatnya kualitatif yang sulit dikuantitatifkan. 3.
Kinerja Analisis kinerja industri dilakukan dengan menggunakan analisis rasio keuangan.
Analisis ini menggunakan Rentabilitas/Profitabilitas, Rasio Aktivitas, Rasio Leverage dan Rasio Efisiensi dan Efektivitas Biaya. 2.4.3 Supply Chain Menurut Chopra et.al. (2007), supply chain management (SCM) adalah seperangkat pendekatan
untuk
mengefisienkan
integrasi
supplier,
manufaktur,
gudang,
dan
penyimpanan sehingga barang diproduksi dan didistribusikan dalam jumlah yang tepat, lokasi yang tepat, waktu yang tepat, untuk meminimasi biaya dan memberikan kepuasan layanan terhadap konsumen (simchi-levi ). Definisi SCM menurut the Council of Logistics Management adalah "Supply Chain Management is the systematic, strategic coordination of the traditional business functions within a particular company and across businesses within the supply chain for the purpose of improving the long-term performance of the individual company and the supply chain as a whole". Perusahaan yang berada dalam supply chain pada intinya bertujuan untuk memuaskan konsumen dengan bekerja sama membuat produk yang murah, mengirimkan tepat waktu, dan dengan kualitas yang bagus. Apabila mengacu pada sebuah perusahaan manufaktur, kegiatan-kegiatan utama yang masuk dalam klasifikasi SCM adalah: 1. kegiatan merancang produk baru (product development), yaitu kegiatan mendapatkan bahan baku (procurement); 2. kegiatan merencanakan produksi dan persediaan (planning and control) merupakan kegiatan melakukan produksi (production); 3. kegiatan melakukan pengiriman (distribution). Ukuran performasi SCM: a. Kualitas (tingkat kepuasan pelanggan, loyalitas pelanggan, ketepatan pengiriman) b. Waktu (total replenishment time, business cycle time) c. Biaya (total delivered cost, efisiensi nilai tambah) d. Fleksibilitas (jumlah dan spesifikasi)
14
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
SCM juga dapat diartikan jaringan organisasi yang menyangkut hubungan ke hulu (upstream) dan ke hilir (downstream) dalam proses yang berbeda dan menghasilkan nilai dalam bentuk barang/jasa di tangan pelanggan terakhir (ultimate customer/end user). Berikut adalah gambar model supply chain (Kearney (1994) dalam Chopra et.al. (2007)).
Gambar 2. Supply Chain SCM berusaha mencapai optimasi global yang merupakan proses untuk menemukan strategi terbaik bagi keseluruhan rantai pasokan (systemwide). Tujuan untuk mendesain dan mengoperasikan supply chain yang secara keseluruhan biayanya minimal, serta service levelnya terjaga adalah kegiatan yang sangat menantang. Ada tiga macam hal yang harus dikelola dalam supply chain, yaitu pertama, aliran barang dari hulu ke hilir contohnya bahan baku yang dikirim dari supplier ke pabrik, setelah produksi selesai dikirim ke distributor, pengecer, kemudian ke pemakai akhir. Kedua, aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir ke hulu dan ketiga adalah aliran informasi yang terjadi dari hulu ke hilir atau sebaliknya.
Gambar 3. Aliran Informasi dari Hulu ke Hilir Integrasi supply chain dilakukan untuk mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas sepanjang supply chain sehingga dapat meningkatkan performasi anggota supply chain yang diukur dengan (simchi-levi):
15
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
1. Penurunan biaya 2. Peningkatan service level 3. Penurunan efek bullwhip 4. Peningkatan pemanfaatan sumber daya 5. Peningkatan kecepatan merespon perubahan besar 2.4.4 Value Chain Value Chain diperkenalkan pertama kali oleh Michael Porter pada tahun 1985, melalui bukunya yang berjudul Competitive Advantage. Metode ini digunakan untuk memahami aktivitas perusahaan dalam upaya membangun keunggulan kompetitif. Selain itu analisis value chain dapat digunakan sebagai salah satu alat analisis manajemen biaya untuk pengambilan keputusan strategis dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat. Porter mengidentifikasikan pendorong yang berhubungan dengan aktivitas Value Chain yaitu: 1. Skala ekonomi 2. Pembelajaran 3. Kapasitas pemanfaatan (Capacity utilization) 4. Hubungan antara aktivias 5. Hubungan timbale balik antara unit usaha 6. Derajat integrasi verstikal (Degree of vertical integration) 7. Ketepatan waktu pada saat masuk ke pasar (Timing of market entry) 8. Kebijakan biaya atau diferensiasi Perusahaan 9. Lokasi geografi 10. Faktor kelembagaan (peraturan, aktivitas serikat pekerja, pajak dl) Perusahaan dapat membangun keuntungan biaya dengan mengontol faktor pendorong tersebut di atas lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya. (Anonim3, 2010). Konsep rantai nilai (value chain) dapat digunakan sebagai alat bersaing untuk mengefektifkan rumusan strategi. Tetapi value chain hanya dapat efektif jika didukungan oleh kapasitas internal perusahaan (Achmad, 1998). Oleh karena itu terdapat dua aktivitas yang dilakukan perusahaan yaitu: aktivitas utama dan aktivitas pendukung. Alur rantai nilai berkaitan dengan aktivitas perusahaan dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.
16
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Gambar 4. Alur Value Chain (Diadopsi dari Porter, 1980) Aktivitas Utama 1. Inbound logistics 2. Kegiatan Produksi 3. Outbound logistics 4. Marketing dan Sales 5. Pelayanan (service) Aktivitas Pendukung 1. Pemesanan/pembelian (Procurement) 2. Teknologi 3. Sumberdaya Manusia 4. Infrastruktur Perusahaan Dalam kegiatan ini value chain digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik pasar produk perikanan. Bila karakteristik pasar telah diketahui, maka dapat melakukan proses pengambilan keputusan strategis dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat. Tahapan analisis Value chain yang akan dilakukan adalah: 1. Mengidentifikasi aktivitas value chain Aktivitas value chain yang diidentifikasi adalah proses budidaya dan tangkap, pengepakan dan transportasi, dan pengolahan hasil produk perikanan. 2. Mengidentifikasi cost driver pada setiap aktivitas nilai
17
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Cost driver merupakan factor yang mengubah jumlah biaya total. Pada tahap ini akan diidentifikasi aktivitas perikanan budidaya/tangkap yang mempengaruhi jumlah biaya total, terutama aktivitas budidaya ikan 3. Mengembangkan keunggulan kompetitif dengan mengurangi biaya atau menambah nilai Pada tahap ini akan ditentukan sifat keunggulan kompetitif potensial dan saat ini. Teknik penentuan sifat keunggulan ini yang digunakan adalah dengan mempelajari aktivitas nilai dan cost driver yang telah diidentifikasi pada tahap 2. Kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahap ini adalah: a. Mengidentifikasi keunggulan kompetitif b. Mengidentifikasi peluang akan nilai tambah c. Mengidentifkasi peluang untuk mengurangi biaya 2.4.5 Frontier Production Analysis (FPA) Menurut Greene (1993) dalam Sukiyono (2004), menjelaskan bahwa dengan model produksi Frontier dimungkinkan mengestimasi atau memprediksi efisiensi relative suatu kelompok atau usaha tani tertentu yang didapatkan dari hubungan produksi dan potensi produksi yang diobservasi. Fungsi ini menggambarkan produksi maksimum yang berpotensi dihasilkan sejumlah input produksi yang dikorbankan. Menurut Coelli et.al. (1998), Greene, (1999) dan Kumbhakar and Lovell (2000), banyak model yang telah dikembangkan untuk mengestimasi efisiensi teknik suatu usaha tani (firm) dengan mempertimbangkan aspek teori dan empiris yang berbeda dengan basis kerangka teori produksi ini (Sukiyono, 2004). Pengukuran efisiensi produksi dapat dilakukan dengan menggunakan Data envelopment analysis (DEA) dan stochastic frontier analysis; kedua metode ini menggunakan estimasi fungsi frontier (batas), bahwa setiap input yang digunakan dalam proses produksi mempunyai kapasitas maksimum dan optimal. Pengukuran efisiensi melalui pendekatan DEA meliputi penggunaan Linear Programming dalam menghitungkan efisiensi sedangkan
penggunaan
pendekatan
stochastic
frontier
menggunakan
metode
ekonometrika. Farrell (1957) dalam Battese (1991) seperti diuraikan sebelumnya, mengajukan pengukuran efisiensi yang terdiri dari dua komponen: efisiensi teknis, yang merefleksikan kemampuan perusahaan untuk mendapat output maksimum dari satu set input yang tersedia, dan alokatif efisiensi, yang merefleksikan kemampuan dari perusahaan menggunakan input dalam proporsi yang optimal, sesuai dengan harga masing-masingnya. Kedua ukuran efisiensi ini kemudian dikombinasikan akan menyediakan ukuran total
18
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
efisiensi ekonomi. Pengukuran efisiensi ini mengasumsi bahwa fungsi produksi adalah produsen yang efisien secara penuh diketahui. Sejak fungsi produksi tidak diketahui dalam prakteknya, Farrell (1957) dalam Battese (1991) menyarankan bahwa fungsi diestimasikan dari data sampel menggunakan non-parametric piece-wise-linear technology atau fungsi parametrik, seperti bentuk Cobb-Douglas. Frontier (Yield Gap Analysis) Yield Gap Analysis digunakan untuk menjawab tujuan terkait dengan produksi/ output/kinerja usaha dari praktek pengelolaan budidaya yang dilakukan. Analisis ini akan menunjukkan perbedaan (gap) antara kondisi potensial hasil riset atau penerapan standar budidaya ikan yang baik dengan kondisi maksimal produksi sebenarnya yang dihasilkan oleh pembudidaya ikan.
Gambar 5. Keterkaitan Frontier Production Function dan Yield Gap Analysis (Adaptasi dari Gomez, 1977). Keterangan : Pada kondisi actual farm yield , produksi pembudidaya belum mencapai efisiensi secara teknis dan maupun alokatif. Pada potential farm yield, produksi pembudidaya dapat dikategorikan menjadi 3 macam, yaitu belum mencapai efisiensi secara teknis, telah mencapai efisiensi secara teknis tetapi belum mencapai efisiensi secara alokatif dan sudah efisien secara teknis dan alokatif tapi belum mencapai maximum possible yield
19
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
III. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3.1 Komoditas Lele Kabupaten Bogor 3.1.1 Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian Berdasarkan status usaha budidaya, pembudidaya di lokasi penelitian dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu: 1) pemilik lahan – merupakan pembudiaya yang mengelola lahan miliknya sendiri; (2) penyewa lahan – merupakan pembudidaya yang murni mengelola lahan dengan membayar sewa; (3) penggarap – merupakan pembudidaya yang mengelola lahan milik orang lain sendiri tanpa menanggung modal usaha dan biaya operasional. Sebagian besar (53%) pembudidaya di lokasi penelitian adalah penyewa lahan, sebagiannya lagi (40%) adalah pemilik lahan, dan sisanya adalah penggarap (7%). Teknik pembudidayaan yang dilakukan oleh pembudidaya lele di Kabupaten Bogor, sebagian
besar,
memanfaatkan
teknik
intensifikasi
dalam
rangka
meningkatkan
produktivitas budidayanya. Masa pemeliharaan budidaya lele adalah 2 bulan, dengan siklus usaha pertahun sebanyak 4 kali. Ukuran ikan (size) yang dipanen sebagian besar berukuran 11—12 ekor/kg, namun ada pula pembudidaya yang memanen ikannya dengan ukuran 6— 10 ekor/kg. Selain kedua ukuran tersebut,
ada pula ukuran 5—7 ekor/kg yang secara
khusus disalurkan untuk konsumen lembaga rumah makan, dan ukuran BS (ukuran 1-2 ekor/kg) untuk disalurkan ke tempat pemancingan. Tabel 4. Usaha Budidaya Ikan Lele Kabupaten Bogor, 2011 Input/Faktor Produksi Benih yang ditebar (ekor/kolam)
2,762
Pakan (kg/petak)
240
Pupuk (kg/petak)
208
Luas kolam (m2)
151
Usia Panen (bulan)
2
Produksi (kg/petak)
2,136
Produktifitas (kg/m2) Sumber: Data Primer diolah, 2011
20
Nilai Rata-rata
14
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Input yang digunakan dalam usaha budidaya komoditas lele di Kabupaten Bogor ini antara lain berupa benih, pakan (pelet dan tambahan), pupuk, obat-obatan, vitamin, tenaga kerja dan lahan budidaya. Benih ikan lele yang digunakan dalam usaha pembesaran di Kabupaten Bogor sebagian besar didatangkan dari daerah Parung, Indramayu, dan Subang. Jumlah benih yang ditebar per kolam yaitu berkisar antara 4.000 ekor sampai dengan 56.000 ekor tergantung dari luas kolam budidaya. Ukuran benih yang digunakan yaitu panjang berkisar antara 5—7 cm dengan harga berkisar antara Rp.191/ekor sampai dengan Rp. 243/ekor dengan rata-rata harga benih per ekor sebesar Rp 216. Tentunya kualitas benih yang digunakan sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat produksi yang dihasilkan. Tabel 4. menunjukkan secara singkat tingkat rata-rata penggunaan berbagai input/faktor produksi komoditas lele di Kabupaten Bogor. Apabila praktek Usaha budidaya lele di Kabupaten Bogor ini dibandingkan dengan usaha budidaya di lokasi pesaingnya – Tulungagung – maka dapat dilihat adanya beberapa perbedaan. Berbeda dengan usaha lele di Tulungagung yang menggunakan terpal, kolam budidaya di Kabupaten Bogor terbuat dari tanah. Adapun alasan penggunaan terpal di Tulungagung tersebut adalah dikarenakan wilayah Tulungagung merupakan wilayah rawa yang dijadikan sebagai daerah pemukiman. Akibatnya, usaha budidaya harus menggunakan terpal agar air tidak cepat terserap ke dalam tanah. Jenis kolam ini mempengaruhi perlakuan penggantian air dimana penggantian air di kolam terpal tidak harus sering dilakukan sehingga pembudidaya bisa menghemat biaya listrik atau bahan bakar sebagai bahan bakar penggerak pompa air. Selain itu, perbedaan juga dapat dilihat dari sisi status kepemilikan faktor produksi berupa kolam. Pembudidaya lele di Kabupaten Bogor umumnya berstatus sebagai penyewa lahan, sedangkan pembudidaya lele di Tulungagung mayoritas mengelola lahan milik sendiri. Perbedaan lain yang tampak adalah jumlah dan jenis penggunaan input produksi, terutama input pakan. Usaha budidaya lele di Kabupaten Bogor menggunakan pakan buatan pabrik (pelet) dan juga pakan tambahan berupa carcass ayam rebus, sosis, usus ayam, dan sisa-sisa makanan. Pembudidaya juga menambah input produksi dengan pupuk urea untuk meningkatkan pertumbuhan pakan alami yang diperlukan ikan lele. Selain itu, untuk menambah daya bertahan hidup ikan, pembudidaya menggunakan obat-obatan dan vitamin yang biasanya diberikan pada awal masa pemeliharaan untuk menekan tingkat kematian ikan. Perlakuan pembudidaya di Kabupaten Bogor ini tidak dilakukan oleh pembudidaya di Tulungagung yang cenderung menggunakan teknik budidaya tradisional atau semi-intensif.
21
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Perbedaan perlakuan ini berdampak pada besarnya biaya input produksi yang harus dikeluarkan pembudidaya di Kabupaten Bogor. Jika dibandingkan dengan biaya produksi usaha budidaya lele di Tulungagung maka tampak perbedaan yang cukup signifikan bagi besarnya keuntungan yang diterima pembudidaya. Keuntungan yang diterima pembudidaya lele di Kabupaten Bogor lebih rendah sebesar 53% dibandingkan keuntungan pembudidaya di Kabupaten Tulungagung dengan tingginya total biaya di Kabupaten Bogor sebesar 22% dibandingkan Kabupaten Tulungagung. Kondisi ini ditampilkan dalam Tabel 5. berikut. Tabel 5. Analisis Usaha Budidaya Lele Kabupaten Bogor, 2011 No 1
2
3
4
Uraian
Kabupaten Bogor (Rp)
Kabupaten Tulungagung (Rp)
Investasi a. Kolam b. Rumah Jaga
3,717,500 1,112,432
c. Pompa Air d. Gudang Pakan e. Lampu Neon/Petromak f. Tempat Ikan g. Timbangan h. Serokan i. Pipa/Selang Air j. Jaring Total Investasi Biaya Tetap a. Pajak Lahan (PBB)
277,922 361,644 29,365 39,269 358,333 86,380 119,289 169,286 6,271,420
18,846,066 1,132,492 629,796 736,667 87,625 0 322,917 110,166 2,100,000 305,909 24,271,638
3,084,186
1,899,217
b. Sewa Lahan c. Penyusutan aset Total Biaya Tetap (TFC)
6,271,421 182,016 9,537,623
66,147 1,378,096 3,343,461
143,211 2,836,843 8,853,946 104,770 20,453,514 409,286,406 83,606,656 1,783,879 654,179 1,279,833 4,854,056 533,857,292
0 1,934,752 0 0 9,246,197 427,233,251 0 0 560,724 1,885,976 1,626,517 442,487,418
565,257,071
492,561,555
Biaya Operasional a. Pupuk Urea b. Obat-obatan c. Vitamin d. Kapur e. Benih/Bibit f. Pakan g. Pakan Tambahan h. BBM i. Tenaker Panen j. Biaya Perawatan k. Listrik Total Biaya Operasional (TVC) Produksi
22
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 5 6
Total Biaya Keuntungan
543,394,915 21,862,156
2011
445,830,878 46,730,677
Sumber : Data Primer Diolah, 2011. Keterangan : Sistem bagi hasil yang digunakan antara pemilik lahan dan penggarap adalah 60% : 40%
3.1.2 Status dan Efisiensi Produksi Besar kecilnya hasil produksi maupun produktivitas usaha budidaya ikan lele pada lokasi penelitian tidak selalu hanya dipengaruhi oleh jumlah benih, jumlah pakan dan luas kolam. Selain luas kolam, benih dan pakan, terdapat banyak faktor lain yang mempengaruhi besarnya hasil produksi. Dari hasil wawancara dengan responden, beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya hasil produksi adalah, seringnya ikan lele pada kolam budidaya terkena penyakit kuning – yang hingga saat ini belum ditemukan cara penanganannya. Untuk menyiasati permasalahan ini, maka para pembudidaya sesegera mungkin melakukan pergantian air pada kolam yang ikannya terkena penyakit kuning ini. Selain faktor penyakit, besar kecilnya hasil produksi juga disebabkan oleh daya dukung lingkungan budidaya yang semakin menurun. Kondisi kolam semakin menurun karena tingkat kesuburannya yang rendah, sehingga responden memerlukan perlakuan input produksi untuk meningkatkan kesuburan perairan dengan cara pemberian pupuk. Selain itu, masih terdapat juga masalah dengan daya dukung sumber daya air, baik dari sisi ketersediaan maupun kualitasnya. Ketersediaan air di lokasi budidaya sangat berkurang, sehingga para pembudidaya sangat sulit untuk memperoleh air untuk mengisi kolam mereka. Dari sisi kualitas, seringkali air yang tersedia sudah tercemar oleh berbagai kegiatan industri yang akhir-akhir ini muncul di sekitar wilayah budidaya. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) diperoleh pendugaan fungsi produksi seperti yang tercantum pada Tabel 6. Secara singkat, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor produksi yang diduga berpengaruh terhadap usaha pembesaran ikan lele di Kabupaten Bogor adalah luas kolam (X1), jumlah benih (X2), dan jumlah pakan (X3). Dari hasil pendugaan fungsi produksi tersebut, diperoleh nilai koefisien determinasi R2 = 0,962. Hal ini berarti bahwa sebesar 96,2% variasi produksi usaha budidaya ikan lele dapat dijelaskan oleh faktor produksi luas kolam (X1), jumlah benih (X2) dan jumlah pakan (X3), sedangkan sisanya sebesar 3,8% dijelaskan oleh variasi faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Sementara berdasarkan uji F-statistik, ketiga peubah bebas tersebut (X1, X2, dan X3) secara bersama-sama (simultan) berpengaruh nyata terhadap
23
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
peubah terikatnya (produksi ikan patin/Y). Namun berdasarkan uji t-statistik (parsial), dari ketiga peubah bebas tersebut ternyata hanya peubah Jumlah Benih yang berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 65% dan peubah Pakan yang berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 99%, keduanya memiliki arah (sign) positif. Sedangkan peubah lainnya, yakni luas kolam tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Di samping itu, dari hasil pendugaan tersebut diperoleh pula nilai DW sebesar 1,997, yang berarti bahwa model persamaan yang digunakan dapat dikatakan terbebas dari dugaan adanya autokorelasi antar variabel bebas (X1, X2, X3). Tabel 6. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Usaha Budidaya Lele di Kabupaten Bogor, 2011 Peubah Koefisien Regresi Konstanta -0,592 Ln X1 0,053 Ln X2 0,144 Ln X3 0,836 R2 = 0,966 R2-adjusted = 0,962 F–hitung = 245,150 Prob .F =0,000 DW = 1,997 Sumber : Data Primer Diolah (2011)
Standart Error 0,553 0,073 0,150 0,109
t-hitung -1,070 0,728 0,956* 7,687**
Keterangan : ns = tidak nyata pada selang kepercayaan 65% * = nyata pada selang kepercayaan 65% ** = nyata pada selang kepercayaan 99%
Selanjutnya, hasil pendugaan fungsi produksi pembesaran ikan lele dengan menggunakan tiga variabel bebas, sebagaimana tertera pada Tabel 6. tersebut, dapat dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut : Ln Y = -0,592 + 0,053Ln X1 + 0,144 Ln X2 + 0,836 Ln X3 ……………………….............(7) sehingga untuk keperluan analisis dengan menggunakan fungsi produksi pendekatan CobbDouglas, Persamaan di atas dapat ditulis ulang menjadi: Y = 0,553X10,053X20,144X30,836.............................................................................................(8) 3.1.2.1 Analisis Skala Usaha (Return to Scale) Return to Scale (RTS) digunakan untuk mengetahui apakah kegiatan usaha budidaya yang diteliti tersebut berada dalam kondisi kenaikan hasil yang semakin berkurang (decreasing return to scale), kondisi kenaikan hasil yang tetap (constant return to scale) atau berada dalam kondisi kenaikan hasil yang semakin bertambah (increasing return to scale). Hasil analisis fungsi produksi Cobb-Douglas akan menghasilkan nilai koefisen regresi yang sekaligus menunjukkan besaran elastisitas dari masing-masing faktor produksi yang
24
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
digunakan. Yang apabila dijumlahkan dapat menjadi indikator dari kondisi skala usaha mana yang terjadi. Hasil analisis pendugaan fungsi produksi menunjukkan bahwa luas lahan (X1), jumlah benih (X2),dan jumlah pakan (X3) memiliki koefisien regresi atau nilai elastisitas masing-masing sebesar 0,053; 0,144; dan 0,836. Sehingga diperoleh nilai penjumlahan koefisien regresi atau elastisitas dari analisis pendugaan fungsi produksi sebesar 1,033 (e>1). Hasil penjumlahan elastisitas produksi tersebut menunjukkan bahwa usaha budidaya berada dalam kondisi “kenaikan hasil yang semakin bertambah” (increasing return to scale), artinya apabila ketiga faktor produksi tersebut (luas kolam, benih dan pakan) secara bersama-sama dinaikkan dengan persentase tertentu, maka maka produksi ikan yang dihasilkan akan meningkat dengan proporsi yang lebih besar. Dari nilai koefisien regresi tersebut (hasil pengujian t-statistik seperti tertera pada Tabel 6. dan Persamaan 2, diketahui bahwam, ceteris paribus, setiap penambahan luas kolam sebesar 1% akan meningkatkan hasil produksi ikan sebanyak 0,053%. Selanjutnya setiap penambahan sebanyak 1% benih, ceteris paribus, akan meningkatkan produksi ikan patin sebanyak 0,144%. Sementara untuk setiap penambahan jumlah pakan yang diberikan sebanyak 1%, ceteris paribus, akan meningkankan produksi ikan patin sebanyak 0,836%. Hal ini diduga karena semakin bertambahnya benih dan pakan yang digunakan, maka selain jumlah yang dihasilkan semakin banyak, bobot ikan juga diduga akan meningkat semakin cepat, sehingga produksi ikan juga akan meningkat. 3.1.2.2 Efisiensi Teknis
Gambar 6. Sebaran Tingkat Efisiensi Teknis Usaha Budidaya Lele Kabupaten Bogor, 2011
25
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Gambar 6. memperlihatkan bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis untuk Kabupaten Tulungagung adalah 0,99, dengan nilai terendah 0,44 dan nilai tertinggi 1,40. Nilai tersebut menunjukkan bahwa nilai efisiensi teknis pada usaha budidaya ikan lele mendekati 1 tapi belum efisien secara teknis. Berdasarkan nilai rata-rata efisiensi tersebut dapat diketahui bahwa usaha budidaya pembesaran ikan lele tersebut masih memiliki kesempatan untuk memperoleh hasil potensial yang lebih tinggi hingga mencapai hasil produksi yang maksimal. Pada jangka pendek, secara rata-rata pembudidaya ikan lele di Kabupaten Bogor berpeluang untuk meningkatkan produksi sebesar 29% (1-(0,99/1,40)) dengan menerapkan teknologi dan teknik budidaya yang paling efisien. 3.1.2.3 Analisis Efisiensi Ekonomi Analisis
efisiensi
ekonomi
alokatif
dapat
ditentukan
dengan
menghitung
perbandingan Nilai Produk Marginal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM) untuk setiap faktor produksi. Jika nilai perbandingan NPM dengan BKM bernilai 1, maka pada kondisi tersebut penggunaan faktor produksi berada pada tingkat optimum. Jika rasio NPM dan BKM untuk setiap faktor produksi yang digunakan pada usaha budidaya menunjukkan nilai kurang dari 1, artinya kondisi optimum telah terlampaui, sedangkan jika nilai rasio NPM dan BKM untuk setiap faktor produksi yang digunakan nilainya lebih besar dari 1, artinya kondisi optimum belum tercapai. Untuk mencapai kondisi optimum, maka penggunaan faktor-faktor produksi harus dikurangi atau ditambah, sehingga rasio NPM dan BKM akan sama dengan 1. Dari hasil pendugaan fungsi produksi dapat diketahui rasio NPM dengan BKM untuk masing-masing faktor produksi. Secara rinci hal ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rasio Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-faktor Produksi pada Usaha Pembesaran Lele Kabupaten Bogor, 2011 Variabel
Satuan
Luas Kolam (X1) Jumlah Benih (X2) Jumlah Pakan (X3)
m2
Penggunaa n RataRata Aktual 926
Koefisie n Regresi
NPM
BKM
NPM/BKM
Pengguna an Input Optimal
0,053
4.223
37.780
0,112
104
ekor
79.629
0,144
133
20.615
0,006
515
Kg
6.962
0,836
8.860
6.688
1,325
9.223
Sumber : Data Primer Diolah (2011) Tabel 7. menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi aktual dan rasio antara Nilai NPM dengan BKM pada usaha pembesaran ikan lele. Rasio-rasio NPM dengan BKM dari setiap faktor produksi menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi dalam
26
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
usaha pembesaran ikan lele Kabupaten Bogor tidak efisien secara alokatif, karena nilai-nilai rasio NPM terhadap BKM tidak sama dengan satu.
Rasio ini juga berarti bahwa
penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha tersebut belum optimal pada jumlah produksi yang sama. Dari Tabel 7. dapat dilihat bahwa nila rasio NPM dan BKM untuk faktor produksi luas kolam (X1) ldan jumlah benih (X2) lebih kecil dari satu, sedangkan jumlah pakan (X3) lebih besar dari satu, yaitu masing-masing sebesar 0,112 (untuk X1), 0,006 (untuk X2), dan 1,325 (untuk X3). Agar kondisi optimal dapat tercapai, maka faktor produksi luas kolam dan pakan perlu dikurangi, sedangkan benih perlu ditambah hingga rasio NPM dan BKM dari ketiga faktor produksi tersebut sama dengan satu. Dengan kata lain, luas kolam (X1) dan jumlah benih (X2) perlu dikurangi masing-masing menjadi 104 m2 per kolam dan 515 ekor per kolam, sedangkan penggunaan faktor produksi pakan (X3) perlu ditambah menjadi 9.223 kg per kolam. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pakan yang diberikan masih belum sesuai dengan jumlah benih yang ditebar, sehingga untuk mencapai hasil produksi yang optimal perlu melakukan penambahan jumlah pakan. 3.1.3 Daya saing Daya saya saing suatu produk merupakan faktor penting yang menentukan kemampuan suatu komoditas untuk dapat bertahan dalam persaingan pasar, baik dalam negeri maupun luar negeri. Komoditas lele Kabupaten Bogor sebagai salah komoditas unggulan dalam program minapolitan – meskipun hingga saat ini hanya dipasarkan di pasar lokal – tidak terlepas dari adanya pesaing dengan komoditas serupa dari daerah lain. Pesaing utama bagi komoditas lele Kabupaten Bogor adalah komoditas Lele dari Kabupaten Tulungagung – salah satu sentra produksi lele di Jawa Tengah. Oleh karena itu, dalam pengukuran daya saing bagi komoditas ini, maka Tulungagung akan dijadikan benchmark bagi berbagai harga baik tradables inputs maupuan Faktor Produksi Domestik DI dalam table PAM. Adapun hasil analisis PAM bagi komoditas Lele dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Policy Analysis Matrix Budidaya Lele, 2011 Revenue
Tradables
Factors
Profit
Private
351,191,275.37
326,483,851.59
10,652,701.45
14,054,722.33
Social
306,025,929.94
280,761,640.18
6,867,597.89
18,396,691.87
Divergence
45,165,345.43
45,722,211.41
3,785,103.56
(4,341,969.54)
Sumber: Data primer (diolah), 2011
27
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Dari faktor penerimaan, usaha budidaya lele di Bogor masih menunjukkan nilai positif yang artinya penerimaan di Bogor masih lebih tinggi dibandingkan di Tulungagung dengan selisih positif Rp 45 juta. Namun demikian, biaya input dan faktor produksi jauh lebih besar dibandingkan Tulungagung dimana selisih biayanya masing-masing sebesar Rp45,7 juta dan Rp3,8 juta. Tingginya biaya input dan faktor inilah yang menyebabkan jumlah keuntungan usaha budidaya lele di Bogor lebih rendah dibandingkan Tulungagung, dimana selisihnya mencapai minus Rp4,3 juta. Berdasarkan perhitungan PAM, komoditas lele Kabupaten Bogor memiliki daya saing yang lebih rendah dibandingkan komoditas lele Kabupaten Tulungagung, baik di sisi faktor domestik maupun input tradables. Hal ini ditunjukkan oleh besaran nilai masing-masing domestic factors cost ratio (DRCR), tradables input cost ratio (TICR), dan total costs ratio (TCR), yang masing-masingnya – secara berurutan – bernilai 1,55, 1,16, dan 1,17. Angkaangka tersebut menunjukkan bahwa untuk melakukan usaha budidaya lele di Kabupaten Bogor, diperlukan biaya faktor produksi (Kolam dan Tenaga Kerja) 55% lebih tinggi dari di Tulungangung, pada tingkat penggunaan yang sama. Demikian pula dengan besarnya tradables input (Benih, pakan, dan obat-batan), usaha budidaya lele di Kabupaten Bogor memerlukan biaya input 16% jauh lebih tinggi dibandingkan di Tulungagung, pada tingkat penggunaan input yang sama. Selain adanya perbedaan harga, tingginya biaya input produksi tersebut disebabkan pula oleh adanya tambahan input pakan, obat-obatan, dan vitamin yang digunakan. Strategi pemakaian pakan tambahan pada dasarnya untuk mengatasi mahalnya harga pakan buatan (pelet). Pemakaian obat-obatan dan vitamin ditujukan untuk menambah daya tahan lele sehingga rasio bertahan hidup (survival ratio) lele tinggi, akibat kondisi lingkungan yang kurang baik. Namun demikian, analisis PAM menunjukkan bahwa strategi tersebut hanya meningkatkan biaya produksi semata, sedangkan penerimaan tidak ikut meningkat secara signifikan. Selain itu, input benih juga menyumbang tingginya biaya input produksi karena harga benih lele dengan ukuran 5—7 cm di Bogor Rp225/ekor, sedangkan di Tulungagung hanya sebesar Rp100/ekor. Faktor produksi yang dominan dalam Biaya Faktor Produksi komoditas lele di Kabupaten Bogor adalah kolam, sewa lahan, dan listrik. Kolam menjadi faktor produksi utama, terutama faktor sewa lahan karena pembudidaya lele sebagian besar berstatus usaha sebagai penyewa dan penggarap. Sementara itu, pembudidaya lele di Tulungagung umumnya berstatus usaha sebagai pemilik lahan sehingga biaya sewa tidak menjadi salah satu biaya faktor produksi budidaya lele di Tulungagung.
28
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Tentunya daya saing lele di Kabupaten Bogor dapat meningkat jika terjadi penurunan baik harga input maupun faktor produksi yang digunakan. Untuk mengetahui sejauh mana penurunan harga tersebut harus terjadi, maka dilakukan analisis sensitifitas harga-harga tersebut terhadap indikator baik DRCR maupun TRCR. Secara parsial, komoditas lele Bogor akan memiliki daya saing Input yang sebanding dengan lele Tulungagung (TRCR = 1) jika harga benih mengalami penurunan sebesar 51%, ceteris paribus, atau harga pakan mengalami penurunan sebesar 20%, ceteris paribus. Apabila terjadi perubahan harga input secara bersama-sama, daya saing lele Bogor dapat menyamai lele Tulungagung (TRCR = 1) jika harga pakan dan benih secara bersama-sama diturunkan sebesar masing-masing 14%, ceteris paribus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa daya saing di sumberdaya tradables lebih sensitif terhadap perubahan harga input secara serentak. Pada dasarnya peningkatan daya saing di sisi faktor domestic dapat terjadi melalui penurunan harga faktor dominan berupa biaya kolam, sewa kolam, dan listrik. Dari hasil analisis sensitivitas untuk efisiensi biaya input dominan secara parsial, ternyata tidak ada satupun penurunan harga faktor secara individu yang mampu meningkatkan daya saing ikan lele di Bogor, bahkan hingga ke titik terekstrim dimana faktor produksi diberikan secara cuma-cuma. Meskipun demikian, nilai DRCR ternyata dapat diturunkan jika harga kolam, sewa kolam dan listrik secara bersama-sama turun sebesar 64%. 3.1.4 Karakteristik Pasar Secara garis besar, di Kabupaten Bogor, terdapat hanya beberapa pengumpul besar/kelompok pembudidaya yang satu-sama lainnya menjual produk yang praktis serupa. Selain itu, terjadi pula upaya kerjasama antar sesama pengumpul besar/kelompok pembudidaya tersebut – dalam bentuk penyeragaman harga pasar – sehingga pasar untuk produk lele berisikan produsen yang memiliki market power (kemampuan untuk menentukan harga/price maker) – hal ini ditunjukkan dengan seragamnya harga lele perkilogram di tingkat pengecer (Rp. 15.000,-). Dengan ciri-ciri sedemikian rupa, maka dapat dikatakan bahwa pasar produk lele di kabupaten Bogor memiliki sifat yang cenderung menuju ke pasar oligopoli, dimana terjadi kerjasama di antara para produsen yang ada (berkolusi). Adapun kecenderungan yang terjadi di pasar lele pada saat ini adalah, adanya fenomena saling berkumpulnya para Pembudidaya dalam suatu kelompok budidaya, dengan seorang ketua kelompok yang memiliki modal yang besar serta informasi mengenai jalur pemasaran produk lele. Dalam setiap kelompok yang terbentuk muncul dominasi dari
29
2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
ketua kelompok – yang notabene adalah pemilik modal sekaligus pemasar – terhadap para anggotanya yang memiliki kekuatan terbatas – yang bertindak sebagai penggarap. Sistem kelompok yang diberlakukan dapat digambarkan seperti berikut: ketua kelompok menanggung penuh resiko serta biaya operasional kegiatan budidaya – melalui penyediaan berbagai input produksi mulai dari benih, obat-obatan, pakan hingga pemberian pakan
tambahan
kepada
masing-masing
anggota
kelompoknya,
sedangkan
pembudidaya/penggarap hanya bertanggungjawab pada kegiatan Pembudidayaan saja. Pada saat panen tiba, hasil penjualan produk akan dikurangi berbagai biaya operasional yang telah dikeluarkan oleh ketua kelompok, dan sisanya akan dibagi antara pembudidaya dan ketua kelompok, dengan besar pembagian 50:50 jika pembudidaya adalah pemilik kolam, atau 40:60 apabila pembudidaya tidak memiliki kolam (menggarap kolam ketua kelompok). Pada saat terjadi kerugian, maka total kerugian akan ditanggung oleh ketua kelompok, dan pembudidaya tidak memperoleh bagian maupun menanggung kerugian sama-sekali. Cakupan area pemasaran bagi produk lele Kabupaten Bogor, hingga saat ini baru meliputi daerah Jabotabek hingga Bogor, Puncak, Cianjur (Bopuncur) saja, dengan daerah Jakarta dan Tangerang sebagai pasar terbesar. Meskipun pada dasarnya harga pokok produk (HPP) Lele Kabupaten Bogor masih jauh lebih tinggi dari HPP Lele saingan, yang berasal dari daerah lain (Tulungagung), namun dengan adanya pengaturan harga seperti yang telah disebutkan di atas, maka telah membuat lele saingan dari daerah lain menjadi sulit untuk bersaing di Jabotabek dan Bopuncur. Para pelaku usaha produk lele di kabupaten Bogor dapat dikelompokkan menjadi seperti berikut: (1) Kelompok Pembudidaya, yang terdiri dari: a. Pembudidaya Penggarap; b. Pembudidaya; dan c. Ketua Kelompok/Pengumpul; (2) Pembenih; (3) Distributor/Tengkulak, dan; (4) Pengecer. Dari hasil survey, maka diperoleh 3 pola rantai pemasaran, meskipun pada dasarnya mirip, namun terdapat sedikit perbedaan. 1. Jalur Pemasaran Pertama Pada Gambar 7., dapat dilihat rantai pemasaran jenis pertama, dimana ketua kelompok pembudidaya, selain bertindak langsung sebagai pengumpul bagi kelompoknya, juga menjadi pengumpul bagi beberapa pembudidaya lain di luar kelompoknya. Selain itu, ketua kelompok lah satu-satunya pihak yang memiliki hubungan langsung dengan pembenih, supplier pakan, distributor bahkan beberapa pengecer. Sedangkan pembudidaya yang menjadi anggota kelompok – yang didominasi oleh penggarap – hanya bertindak sebagai Pembudidaya saja. Para Pembudidaya ini menerima benih,
30
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
pakan dan obat-obatan dari ketua kelompok, dimana besarnya penggunaan ketiga jenis input tersebut akan mempengaruhi besarnya biaya operasional yang nantinya akan diperhitungkan sebelum pembagian keuntungan.
Distributor
Anggota Kelompok Budidaya
Ketua Kelompok Budidaya
Pengecer
Konsumen
Gambar 7. Rantai Pemasaran Pertama Komoditas Lele Kabupaten Bogor 2. Jalur Pemasaran Kedua Pada Gambar 8. Terlihat bahwa ketua kelompok pembudidaya hanya bertindak sebagai pengumpul bagi anggota kelompoknya saja. Ketua kelompok memiliki hubungan langsung dengan para pembenih, supplier pakan, dan distributor, namun tidak dengan para pengecer. Anggota kelompok pembudidaya – yang didominasi oleh penggarap – hanya bertindak sebagai Pembudidaya saja, dan menerima berbagai input dari ketua kelompok.
Anggota Kelompok Budidaya
Ketua Kelompok Budidaya
Tengkulak
Pengecer
Konsumen
Gambar 8. Rantai Pemasaran Kedua Komoditas Lele Kabupaten Bogor 3. Jalur Pemasaran Ketiga Pada gambar 9. Terlihat bahwa anggota kelompok pembudidaya didominasi oleh pembudidaya yang memiliki lahan, dan ketua kelompok pada dasarnya adalah pengumpul. Oleh karena itu, maka ketua kelompok lebih banyak menerima produk dari Pembudidaya di luar kelompoknya.
31
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Distributor
Pembudidaya Binaan
Pengumpul
Pengecer
Konsumen
Gambar 9. Rantai Pemasaran Ketiga Komoditas Lele Kabupaten Bogor 3.1.5 Investasi dan Potensi pengembangan Usaha Kabupaten Bogor mempunyai potensi perikanan yang cukup besar. Sentra pengembangan perikanan di Kabupaten Bogor berada di wilayah tengah dan barat. Wilayah Bogor Tengah juga merupakan sentra pengembangan lele dengan produksi 30-40 ton/hari untuk memenuhi kebutuhan pasar Jabodetabek. Ikan Lele sebagai komoditas utama yang berkembang di Kabupaten Bogor, pada tahun 2009 produksinya mencapai 18.315,02 ton atau mengalami peningkatan sekitar 8.540 ton dibandingkan pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan terus meningkat setiap tahunnya yang menjadi peluang bagi pembudidaya ikan lele dalam mengembangkan usahanya. Sejalan dengan terbukanya peluang usaha tersebut, pelaku usaha perlu memahami besarnya investasi yang harus dikeluarkan. Berdasarkan hasil penelitian, pelaku usaha budidaya lele di Kabupaten Bogor sebagian besar dalam skala usaha kecil atau usaha rakyat. Investasi usaha budidaya lele di Kabupaten Bogor antara lain lahan, rumah jaga, pompa air, gudang pakan, dan peralatan pendukung budidaya lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi untuk jenis aset lahan merupakan investasi yang paling besar dikeluarkan dalam usaha budidaya lele. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya lahan yang tersedia sehingga harga lahan menjadi sangat tinggi. Pembudidaya lele di Kabupaten Bogor banyak yang menyewa lahan dari orang lain untuk digarap dengan cara membayar sewa per tahun. Tabel 9. Nilai Investasi Usaha Budidaya Lele Bogor, 2011 No
32
Jenis Asset
1
Lahan
2
Rumah Jaga
Nilai (Rp) 74.350.000 8.528.643
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 3
Pompa Air
1.945.455
4
Gudang Pakan
2.400.000
5
Peralatan Pendukung Budidaya
3.392.547
Total
2011
90.616.645
Sumber: Data primer (diolah), 2011 Berdasarkan status kepemilikan lahan, pada umumnya para pembudidaya lele di Kabupaten Bogor memiliki lahan dengan cara membeli kolam-kolam yang telah ada atau dengan menyewa lahan dari orang lain. Untuk melakukan usaha budidaya lele di Kabupaten Bogor, dibutuhkan biaya investasi ± Rp. 90.600.000,- yang digunakan untuk pengadaan aset usaha. Biaya investasi akan bertambah jika lahan yang digunakan adalah berupa lahan sewa. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata harga sewa lahan adalah Rp. 6.300.000 ha/tahun. Usaha yang dilakukan pada usaha budidaya ikan lele di Kabupaten Bogor dilakukan dalam satu siklus produksi atau dalam kurun waktu 2 bulan, yang terdiri dari total penerimaan dan total biaya. Harga yang digunakan dalam analisis usaha ini adalah harga nominal rata-rata yang diperoleh pada saat dilakukan penelitian. Harga jual ikan lele adalah Rp. 10.800/Kg, dengan ukuran 6—12 ekor per kg. Total biaya yang dikeluarkan dalam satu siklus produksi pada usaha budidaya adalah Rp. 543,394,915,- dengan jumlah biaya tetap sebesar Rp. 9,537,623,- dan biaya variabel Rp. 533,857,292,- , dengan penerimaan ratarata per siklus produksi (2 bulan) adalah Rp. 565,257,071,- ,
maka keuntungan yang
diperoleh dalam satu siklus produksi adalah Rp. 21,862,156,- . Tabel 10. Analisis Usaha Budidaya Lele Kabupaten Bogor, 2010 No.
33
Uraian
Nilai (Rp)
1.
Investasi
90,616,600
2.
Biaya Variabel
3.
Biaya Tetap
4.
Total Biaya
543,394,915
5.
Penerimaan
565,257,071
533,857,292 9,537,623
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 6.
Keuntungan
7.
R/C
8.
PP
2011
21,862,156 1,04 4
Sumber : Data Primer diolah, 2011 Nilai R/C ratio pada usaha budidaya lele di Kabupaten Bogor sebesar 1,04 yang menunjukkan bahwa usaha budidaya lele layak diusahakan. Nilai R/C ratio dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan bagi lembaga permodalan untuk memberikan tambahan modal usaha dengan mempertimbangkan aspek yang lain sehingga kegiatan usaha tambak garam dapat lebih berkembang. Sementara itu, waktu pengembalian investasi pada usaha budidaya lele di Kabupaten Bogor dapat diketahui dari nilai Payback Period (PP) yang sebesar 4,14. Hal ini menunjukkan bahwa nilai pengembalian investasi dalam satu siklus usaha adalah selama 3,67 tahun atau diperlukan hampir empat kali siklus usaha (musim panen) untuk mengembalikan uang yang diinvestasikan bagi pembudiaya lele. Permintaan ikan lele yang terus meningkat menjadi sebuah peluang bagi pengembangan usaha ikan lele di Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil penelitian, persepsi para pembudidaya ikan lele sebagian besar memiliki keinginan untuk mengembangkan usahanya. Namun demikian, muncul permasalahan yang dapat menghambat pertumbuhan dan pengembangan usaha budidaya lele. Permasalahan yang dihadapi dalam usaha budidaya ikan Lele di Kabupaten Bogor antara lain terkait dengan benih dan pakan. Ketersediaan benih terkadang tidak dapat memenuhi kebutuhan para pembudidaya, sedangkan yang terkait dengan pakan adalah harga pakan yang terus meningkat. Permasalahan makin bertambah dengan meningkatnya harga pakan tidak diimbangi dengan kenaikan harga jual ikan lele.
3.2. Komoditas Patin Kabupaten Muaro Jambi 3.2.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian Kabupaten Muaro Jambi memiliki potensi sumberdaya alam, ekonomi dan sumberdaya manusia yang potensial yang mampu menumbuh kembangkan perekonomian daerah dan ekonomi masyarakat. Potensi tersebut meliputi sumberdaya lahan dimana terdapat Lahan Budidaya seluas 24.500 ha. Disamping itu Kabupaten Muaro Jambi memliki sumberdaya air yang sangat potensial bagi pengembangan perikanan dan lainnya, sumberdaya air tersebut berasal dari DAS Batanghari, DAS Air Hitam (Kecamatan Kumpeh), DAS Bayung Lincir (Kec.Mestong dan Sei Bahar) dan DAS Tungkal Mendahara (Kec
34
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Sekernan). Sesuai dengan kondisi wilayah yang dibelah Sungai Batanghari dan didukung kondisi air pada daerah daratan mendorong minat masyarakat mengembangkan usahanya dibidang perikanan. Perkembangan bidang perikanan di Kabupaten Muara Jambi sampai saat ini terus mengalami peningkatan, baik budidaya ikan dalam kolam, keramba maupun keramba jaring apung. Sampai dengan Tahun 2009 tercatat luas kolam yang sudah dikembangkan 153,7 Ha, Selama periode 2005-2009 rata-rata peningkatan jumlah kolam 16,78 % atau 1.4 Ha pertahun. Produksi ikan budidaya dalam kolam juga terjadi peningkatan, sampai dengan Tahun 2009 mencapai 11.579,40 ton. Rata-rata kenaikan produksi ikan budidaya kolam selama periode 2005-2009 mencapai 1.100 ton atau 20 % per tahun. Pencapaian peningkatan produksi perikanan diperoleh dari Budidaya Patin dalam Kolam dan KJA, Nila dalam KJA dan Patin dalam Kolam dan budidaya ikan lokal lainnya. Tabel 11. Perkembangan Jumlah Karamba, Kolam dan Produksi Ikan di Muaro Jambi 2003-2009 Luas Kolam/Jumlah KJA dan Produksi Keramba Jaring Apung - Jumlah (Unit) - Produksi (Ton) Keramba - Jumlah (Unit) - Produksi (Ton) Kolam - Luas Kolam (Ha)
TAHUN 2003
2004
2005
2006
2007
3.250
2008
2009
37
59
297
964
2.501
2.946
58,68
71
318,42
808.92
1.818,2 4.234,9
4.386
704
1009
1.341
1.111
1.747,2
497
111
711,76
856
945,60
789,82
2.248,9
462,7
200,8
56,6
62,90
70,37
77,72
120 122,72
153,4
2.386.82
2857
3.212,26
3.668,93
5.096 5.586,2
6.992,6
- Produksi (Ton
Sumber : Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Muaro Jambi, 2010 Perkembangan budidaya ikan dalam keramba/KJA di Kabupaten Muaro Jambi banyak dilakukan masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari. Budidaya ikan dalam keramba/KJA yang paling banyak diusahakan oleh masyarakat di Kecamatan Jambi Luar Kota dengan produksi 4.897,20 Ton/Tahun dan Kecamatan Sekernan produksi 785,90 Ton/Tahun pada tahun 2009 dengan jenis budidaya ikan Patin, Nila, Gurame dan ikan lainnya. Sedangkan untuk budidaya ikan di kolam tersebar pada beberapa kecamatan terutama Kecamatan Sungai Gelam dan Kumpeh Ulu yaitu Desa Tangkit Baru dengan jumlah kolam 2.300 Unit dengan produksi dibanding tahun sebelumnya menurun berkisar
35
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
1.655,60 Ton/Tahun atau 4 Ton/Hari dan kawasan Pudak 1.750 Unit dengan produksi 3.351,00 Ton/Tahun pada tahun 2009. Pada umumnya
pembudidaya ikan patin di Kabupaten Muaro Jambi sudah
melakukan praktek budidaya secara semi intensif. Kolam yang digunakan adalah jenis kolam tanah dengan ukuran petakan 15 M x 10 M , 15 m x 20m, 20mx25m dan 20mx30m namun ukuran petakan ini disesuaikan dengan luas lahan budidaya yang dimiliki oleh pembudidaya. Sementara itu, padat tebar ikan patin di Kabupaten Muaro Jambi bisa mencapai 16 ekor/m2. Usia pemeliharan ikan patin di kabupaten Muaro Jambi berkisar antara 6 bulan dengan ukuran ikan yang siap panen berukuran antara 500 -700 gram/ekor. Benih ikan patin yang digunakan berasal dari dalam Kabupaten Muaro Jambi dengan harga rata-rata Rp 200/ekor – Rp 250/ekor dan ukuran benih yang digunakan yaitu sebesar 2-3 inchi. Tabel 12. Produksi Ikan Budidaya Perkecamatan Perjenis Ikan di Muaro Jambi 2009 Jenis Ikan Desa Patin
Nila
Lele
Gurami
Tembakang
Klemak
Betutu
Toman
Jumlah
349.10
300.8
121
-
13.8
-
1.2
-
785.90
69.50
59.3
-
-
90.8
3
-
21.9
244.50
1,064.50
3256.9
563
-
-
4.8
-
8
4,897.20
3,274.50
21.5
-
17
38
-
-
-
3,351.00
Kumpeh
22.80
22.5
-
-
44.6
-
-
61.6
151.50
Mestong
49.00
252.7
10.5
34.4
-
-
-
-
346.60
1,415.50
65
68.9
87.7
18.5
-
-
-
1,655.60
17.00
95.6
3.7
20.8
-
10
-
-
147.10
6261.9
4074.3
767.1
159.9
205.7
17.8
1.2
91.5
11,579.40
Sekernan Maro sebo Jaluko Kumpeh Ulu
Sei. Gelam Sei. Bahar Jumlah
Sumber : Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Muaro Jambi, 2010
36
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Terkait dengan input pakan, pakan yang digunakan oleh pembudidaya adalah pakan pabrik dan pakan buatan dengan harga pakan buatan di Muaro Jambi berkisar Rp 3.000 – Rp 4.000/kg. Pemberian pakan dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari oleh pembudidaya yaitu pada pagi hari dan sore hari. Penggunaan pakan buatan sudah dilakukan dilakukan di lokasi penelitian, mengingat semakin mahalnya pakan buatan pabrik dan sementara modal yang dimiliki terbatsa, sehingga pembudidaya menggunakan bahan baku lokal untuk digunakan sebagai bahan pembuatan pakan untuk ikan peliharannnya. 3.2.2. Status dan Efisiensi Produksi 3.2.2.1. Pendugaan Fungsi Produksi Faktor produksi yang diduga berpengaruh pada saat usaha pembesaran ikan patin di Desa Pudak, Muaro Jambi adalah adalah luas kolam (X1), jumlah benih (X2), dan jumlah pakan (X3).
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode Ordinary Least
Square (OLS) diperoleh pendugaan fungsi produksi seperti yang tercantum pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi pada Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Jambi Peubah Koefisien Regresi Standart Error t-hitung Konstanta -0,059 0,484 -0,122 Ln X1 0,066 0,131 0,507ns Ln X2 0,674 0,169 3,984** Ln X3 0,223 0,171 1,300* 2 2 R = 0,954; R -adjusted = 0,949; F–hitung = 181,665; Prob .F =0,000; DW = 1,914 Sumber : Data Primer Diolah, 2011 Keterangan : ns = tidak nyata pada selang kepercayaan 80% * = nyata pada selang kepercayaan 80% ** = nyata pada selang kepercayaan 99%
Dari hasil pendugaan fungsi produksi pada Tabel XX diperoleh nilai koefisien determinasi R2 = 0,954.
Hal ini berarti bahwa sebesar 95,4% variasi produksi usaha
budidaya ikan patin dapat dijelaskan oleh faktor produksi luas kolam (X 1), jumlah benih (X2) dan jumlah pakan (X3), sedangkan sisanya sebesar 4,6% dijelaskan oleh variasi faktorfaktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Sementara berdasarkan uji F-statistik, ketiga peubah bebas tersebut (X1, X2, dan X3) secara bersama-sama (simultan) berpengaruh nyata terhadap peubah terikatnya (produksi ikan patin/Y). Namun berdasarkan
37
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
uji t-statistik (pasrial), dari ketiga peubah bebas tersebut ternyata hanya peubah (X 2) yang berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 99% dan peubah (X3) yang berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 80% dengan arah (sign) positif, sedangkan peubah lainnya yakni luas kolam (X1) belum menunjukkan pengaruh yang nyata pada taraf nyata 80% dan 95%. Di samping itu, hasil pendugaan tersebut diperoleh nilai DW sebesar 1,914, yang berarti bahwa model persamaan yang digunakan tidak terdapat indikasi autokorelasi. Dengan demikian secara statistik maupun ekonomi, model persamaan yang digunakan dalam analisis fungsi produksi dalam penelitian ini dapat dipandang sebagai model yang valid untuk digunakan dalam analisis lebih lanjut. Hasil pendugaan fungsi produksi pembesaran ikan patin dengan menggunakan tiga variabel bebas, sebagaiman tertera pada Tabel 1 dapat dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut : Ln Y = -0,059 + 0,066 Ln X1 + 0,674 Ln X2 + 0,223 Ln X3 ………..………...............(1) sehingga untuk keperluan analisis dengan menggunakan fungsi produksi pendekatan CobbDouglas, Persamaan (1) ditulis kembali menjadi: Y = 0,943X10,066X20,674X30,223.......................................................................................(2) 3.2.2.2. Analisis Skala Usaha Hasil analisis pendugaan fungsi produksi menunjukkan bahwa luas lahan (X1), jumlah benih (X2),dan jumlah pakan (X3) memiliki koefisien regresi atau nilai elastisitas masing-masing sebesar 0,066; 0,674; dan 0,223, sehingga besarnya nilai penjumlahan koefisien regresi atau elastisitas dari analisis pendugaan fungsi produksi adalah sebesar 0,963 (e<1). Hasil penjumlahan elastisitas produksi tersebut menunjukkan bahwa usaha budidaya berada dalam kondisi “kenaikan hasil yang semakin berkurang” (decreasing return to scale), artinya apabila ketiga faktor produksi tersebut (luas kolam, benih dan pakan) secara bersama-sama dinaikkan dengan persentase tertentu, maka akan memberikan proporsi penambahan hasil produksi yang lebih kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan budidaya patin di Kabupaten Jambi ini telah memasuki daerah ketiga dari fungsi produksi, sebagai akibat dari adanya fenomena diminishing marginal return. Dari nilai koefisien regresi tersebut hasil pengujian t-statistik seperti tertera pada Tabel 13. dan Persamaan 2, diketahui bahwa ceteris paribus, setiap penambahan luas kolam sebesar 1% akan meningkatkan hasil produksi ikan sebanyak 0,066%. Namun dari hasil pengujian t-satistik untuk peubah luas kolam terbukti tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap hasil produksi ikan patin tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa upaya
38
2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
meningkatkan hasil produksi ikan patin melalui penambahan luas kolam belum tentu akan memberikan hasil yang diinginkan. Selanjutnya, dari hasil Tabel 13 dan Persamaan 2, setiap penambahan sebanyak 1% benih, ceteris paribus, akan meningkatkan produksi ikan patin sebanyak 0,674%. Sementara untuk setiap penambahan jumlah pakan yang diberikan sebanyak 1%, ceteris paribus akan meningkankan produksi ikan patin sebanyak 0,223%. Hal ini diduga karena semakin bertambahnya benih dan pakan yang digunakan, maka selain jumlah yang dihasilkan semakin banyak, bobot ikan diduga akan meningkat semakin cepat, sehingga produksi ikan juga akan meningkat. 3.2.2.3. Analisis Efisiensi Ekonomi Analisis
efisiensi
ekonomi
alokatif
dapat
ditentukan
dengan
menghitung
perbandingan Nilai Produk Marginal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM) untuk setiap faktor produksi. Jika nilai perbandingan NPM dengan BKM bernilai 1, maka pada kondisi tersebut penggunaan faktor produksi pada tingkat optimum. Jika rasio NPM dan BKM untuk setiap faktor produksi yang digunakan pada usaha budidaya menunjukkan nilai kurang dari 1, artinya kondisi optimum telah terlampaui, sedangkan jika nilai rasio NPM dan BKM untuk setiap faktor produksi yang digunakan nilainya lebih besar dari 1, artinya kondisi optimum belum tercapai. Untuk mencapai kondisi optimum, maka penggunaan faktor-faktor produksi harus dikurangi atau ditambah, sehingga rasio NPM dan BKM akan sama dengan 1. Berdasarkan hasil pendugaan fungsi produksi dapat diketahui rasio NPM dengan BKM untuk masing-masing faktor produksi. Secara rinci hal ini dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Rasio dan Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-Faktor Produksi pada Usaha Pembesaran Patin Muaro Jambi Variabel Luas Kolam (X1)
Satuan m2
Penggunaan Rata-Rata Aktual 2.412
Koefisien Regresi
NPM
BKM
NPM/ BKM
Input Optimal
0,066
7.475,58
10.892
0,686
1.655
Jumlah Benih (X2)
ekor
36.767
0,674
4.867,00
4.200
1,159
54.690
Jumlah Pakan (X3)
Kg
37.449
0,223
1.626,83
1.000
1,627
10.837
Sumber: Data Primer Diolah (2011) Dari Tabel 14. menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi aktual dan rasio antara Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) pada usaha pembesaran ikan patin. Rasio-rasio NPM dengan BKM dari setiap faktor produksi menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi dalam usaha pembesaran ikan patin di Jambi tidak efisien secara alokatif, karena nilai-nilai rasio NPM terhadap BKM tidak sama
39
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
dengan satu. Rasio ini juga berarti bahwa penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha tersebut belum optimal pada jumlah produksi yang sama. Nilai rasio NPM dan BKM untuk faktor produksi luas kolam (X 1) lebih kecil dari satu, sedangkan jumlah benih (X2) dan jumlah pakan (X3) lebih besar dari satu, yaitu masingmasing sebesar 0,686 (X1), 1,159 (X2), dan 1,627 (X3). Agar kondisi optimal dapat tercapai, maka faktor produksi luas kolam dan jumlah pakan perlu dikurangi, sedangkan benih perlu ditambah hingga rasio NPM dan BKM dari ketiga faktor produksi tersebut sama dengan satu. Dengan kata lain, luas kolam (X1) dan pakan (X3) perlu dikurangi masing-masing menjadi 1.655,-m2 per kolam dan 10.837,- kg per kolam, sedangkan penggunaan faktor produksi benih (X2) perlu ditambah menjadi 54.690 ekor per kolam. Penambahan faktor produksi benih sebanyak 17.923 ekor tersebut diduga harus dilakukan karena rendahnya SR (Survival Rate) ikan patin yang dibudidayakan, yang mungkin disebabkan oleh kondisi perairan yang tidak mendukung. Sehingga untuk mengatasi hal tersebut dilakukan upaya penebaran benih dengan jumlah yang lebih banyak, dengan harapan ikan yang hidup lebih banyak. Selain itu perlu juga dilakukan penambahan obat-obatan untuk mencegah kematian ikan patin, terutama pada saat awal budidaya (setelah penebaran). Sedangkan pengurangan jumlah pakan diduga karena banyaknya pakan yang terbuang akibat tidak termakan oleh ikan atau rendahnya kualitas pakan yang diberikan,sehingga meskipun pakan yang diberikan dalam jumlah banyak tidak akan memacu pertambahan berat ikan, sehingga biaya operasional (untuk pembelian pakan) terbuang percuma. Untuk meminimalisir pengeluaran biaya operasional dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah pakan yang diberikan, namun sebagai gantinya harus dicari jenis pakan lainnya yang lebih baik. Seperti yang terlihat pada Gambar 10. berikut.
Gambar 10. Perbedaan Penggunaan Benih (ekor) dan Hasil Produksi Pada Kondisi Aktual dan Optimal pada Budidaya Ikan Patin di Kab. Muaro Jambi
40
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Gambar 11. Perbedaan Penggunaan Luas Kolam (m2) dan Hasil Produksi Pada Kondisi Aktual dan optimal pada Budidaya Ikan Patin di Kab. Muaro Jambi
Gambar 12. Perbedaan Penggunaan Pakan (kg) dan Hasil Produksi Pada Kondisi Aktual dan Optimal pada Budidaya Ikan Patin di Kab. Muaro Jambi 3.2.3. Daya saing komoditas Komoditas ikan Patin merupakan salah satu komoditas unggulan dan Indonesia mempunyai beberapa sentra produksi ikan Patin yang cukup potensial. Ikan Patin mempunya pangsa pasar sangat besar baik di dalam maupun di luar negeri. Indonesia bersaing dengan Vietnam dalam penguasaaan pangsa pasar ikan Patin. Biaya produksi di Negara Vietnam yang lebih rendah dibandingkan di Indonesia, menyebabkan Indonesia sulit untuk menggeser posisi Vietnam menjadi produsen utama ikan patin. Namun demikian Indonesia tetap berupaya untuk meningkatkan daya saing produk patin. Salah satunya adalah dengan meningkatkan daya saing produk di masing-masing sentra produksi. Sentra produksi yang menjadi lokasi penelitian adalah Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi, yang produk patinnya dipasarkan di pasar lokal saja. Oleh karena itu, untuk melihat daya saing produk Patin dari Kab. Muaro Jambi ini, perbandingan akan dilakukan dengan produksi Patin dari Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah. Daya saing produk ikan patin dihitung dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM). Nilai Private diperoleh dari pengumpulan data lapangan di Kab. Muaro Jambi dan nilai sosial diperoleh dari hasil penelitian Balai Besar Riset Sosial Ekonomi tahun 2010, berjudul
41
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Evaluasi Sosial Ekonomi Praktek Budidaya.Hasil analisis PAM dapat dilihat pada Tabel 15. di bawah ini. Berdasarkan hasil penelitian dengan asumsi jumlah produksi per tahun sebesar 43.099 kg , luas kolam 2.412 m2 dan harga jual Rp 13.330/kg, bahwa produksi ikan Patin di Kab. Muaro Jambi mempunyai nilai daya saing yang lebih tinggi dibandingkan produksi patin di Kab. Katingan. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan nilai Domestic Factors Costs Ratio (DFCR) sebesar 0,83, Tradable Input Costs Ratio (TICR) sebesar 0,75 dan Total Costs Ratio (TCR) sebesar 0,75. Pada Tabel xx, walaupun penerimaan di Muaro Jambi (Rp.574.506.865) lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan di Kab. Katingan (Rp. 668.031.239), tetapi biaya input produksi dan faktor produksi di Muaro Jambi lebih rendah dibandingkan di Katingan. Biaya input produksi meliputi pakan, benih, garam, dolomite, vitamin, dan BBM, sedangkan biaya faktor produksi meliputi tenaga kerja, biaya perawatan, pajak lahan, retribusi, dan depresiasi asset. Tabel 15. Policy Analysis Matrix (PAM) Budidaya Patin Muaro Jambi Penerimaan (Rp) Private 574.506.865 Social 668.031.239 Efek (93.524.373) Divergensi Domestic Factors Costs Ratio Tradable Input Costs Ratio Total Costs Ratio
Biaya Input 434.299.759 574,523.752 (140.223.992)
Faktor Produksi 21.692.322 25.997.635 (4.305.314)
Profit 118.514.784 67.509.852 51.004.933
= 0,83 = 0,75 = 0,76
Biaya input produksi ikan Patin di Muaro Jambi (Rp.434.299.759) lebih rendah dibandingkan dengan biaya input produksi di Kab. Katingan (Rp 574.523.752). Biaya input di Katingan yang lebih tinggi, disebabkan oleh biaya pakan dan benih di Muaro Jambi yang rendah dibandingkan di Kab. Katingan. Di Muaro Jambi, membutuhkan biaya pakan sebesar Rp.415.714.822, sedangkan di Katingan, biaya pakan mencapai Rp 480.628.352. Biaya pakan di Muaro Jambi ini 13.5% lebih rendah dibandingkan di Katingan. Di Muaro Jambi, pakan yang digunakan adalah pakan buatan dan juga pakan pabrikan. Harga pakan buatan di Muaro Jambi berkisar Rp 3.000 – Rp 4.000/kg. Di Katingan, pakan yang digunakan adalah pakan buatan dengan harga berkisar Rp.6.500/kg. Begitu pula biaya benih, di Katingan biaya benih lebih tinggi 61.5% dibandingkan dengan biaya benih di Muaro Jambi. Biaya benih di Muaro Jambi berkisar Rp.15.786.311, sedangkan di katingan mencapai Rp.25.503.982. Rata-rata harga benih di Muaro Jambi berkisar Rp 200/ekor (ukuran benih 2-3 inchi), sedangkan di Katingan mencapai Rp
42
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
325/ekor (3-4 inchi). Selain itu di Kab. Muaro Jambi, terdapat UPR setempat yang dapat memenuhi kebutuhan benih para pembudidaya. Di Kec. Pudak, terdapat 3 unit UPR dan juga BBI. Sedangkan di Kab. Katingan, kebutuhan benih para pembudidaya tergantung dengan pasokan benih dari Jawa Barat (Bogor, Subang dan Sukabumi). Berdasarkan dua variable ini (Pakan dan Benih) menyebabkan nilai TICR sebesar 0,75. Perbandingan biaya input produksi antara Kabupaten Muaro Jambi dan Kab. Katingan dapat dilihat pada Tabel 16 di bawah ini. Tabel 16. Perbandingan Biaya Input Produksi Muaro Jambi dan Katingan Input Produksi Pakan Kabupaten
Benih
Total Biaya Pakan (Rp)
Harga Pakan (Rp/kg)
Total Biaya Benih (Rp)
Ukuran benih (Inchi)
Harga Benih (Rp/ekor)
Muaro Jambi 415,714,822
3.000 - 4.000
15,786,311
2-3
200
6,500
25,503,982
3-4
350
Katingan
480,628,352
Sumber: Data primer diolah, 2011, dan BBRSE, 2010 Analisis sensitivitas input produksi dilakukan pada variable pakan dan benih. Karena biaya produksi yang paling besar adalah pakan (91.17%) dan benih (3.46%). Nilai daya saing produk Patin di Muaro Jambi akan mengalami penurunan dan menyamai Katingan, jika terjadi kenaikan harga pakan sebesar 34%, ceteris paribus, atau jika harga benih naik hingga 888%, ceteris paribus. Sehingga dapat dikatakan bahwa daya saing Input Produksi Patin Muaro Jambi cukup sensitif terhadap perubahan harga pakan. Dari sisi Faktor produksi, faktor yang paling dominan menyumbang bagi biaya produksi adalah harga lahan. Analisis sensitivitas yang dilakukan pada variable kolam, menunjukkan bahwa nilai daya saing produk Patin di Kab. Muaro Jambi akan mengalami penurunan dan menyamai Katingan, jika terjadi kenaikan harga lahan hingga sebesar 428%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa daya saing faktor domestic tidak terlalu sensitif terhadap perubahan harga kolam. 3.2.4 Karakteristik Pasar Lembaga
pemasaran
yang
terlibat
dalam
pemasaran
ikan
Patin
adalah
pembudidaya, pedagang besar dan pedagang pengecer. Kabupaten Muaro Jambi, khususnya Kecamatan Pudak adalah salah satu sentra produksi ikan Patin. Di kecamatan Pudak terdapat 10 kelompok pembudidaya yang terdiri dari 15 – 20 orang pembudidaya per kelompok, 10 orang pedagang pengecer dan 1 unit pengolah ikan Patin. Sedangkan pedagang besar terdapat di Kota Jambi. Jumlah pembudidaya yang menjadi responden
43
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
berjumlah 30 orang, responden pedagang pengecer berjumlah 10 orang dan 1 orang responden pedagang besar/agen. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden pembudidaya, sebagian besar hasil panen ikan patin dijual langsung ke pedagang besar, dan sisanya dijual ke kelompok pedagang pengecer. Target pasar produk Patin adalah Pasar Angso Duo dan Pasar Baru di Kota Jambi. Pembudidaya menjual hasil panennya ke pedagang besar/Agen besar, kemudian mendistribusikan ikan Patin ke pasar lokal (Pasar Angso Duo dan Pasar Baru) dan pasar di provinsi lain, yaitu Sumatera Selatan (Palembang) dan Bengkulu. Selain dijual ke pedagang ikan, pembudidaya pun menjaul ikannya ke pengolah produk perikanan. Di Kecamatan Pudak terdapat satu unit pengolah produk hasil perikanan. Ikan Patin diolah menjadi abon dan krupuk ikan Patin. Target pasar abon dan krupuk ini masih terbatas di Kota Jambi saja. Adapun saluran pemasaran tersebut memiliki pola saluran pemasaran, yaitu: 1. Saluran I : pembudidaya – pedagang besar di Kab. Muaro Jambi - pedagang besar di provinsi lain - pedagang pengecer di provinsi lain – kosumen rumah tangga dan konsumen lembaga 2. Saluran II : pembudidaya – pedagang
besar di Kab. Muaro Jambi -
pedagang
pengecer – kosumen rumah tangga dan konsumen lembaga 3. Saluran III: pembudidaya – pedagang pengecer
– kosumen rumah tangga dan
konsumen lembaga Gambar berikut menunjukkan aliran produk Patin di Kab. Muaro Jambi. Untuk itu lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran ikan Patin di Kabupaten Muaro
Jambi
terdiri
dari
pembudidaya,
pedagang
pengecer,
dan
pedagang
besar/agen Pedagang Besar (Jambi)
Agen di Propinsi Lain
Pengecer Luar Kota
Konsumen Luar
Pengecer Lokal
Konsumen Lokal
Pembudidaya
Gambar 13. Rantai Pemasaran Komoditas Patin Muaro jambi
44
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Jumlah penjual lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pembeli sehingga ciri-ciri demikian menunjukkan struktur pasar monopsoni. Sedangkan yang pemasaran ikan Patin dikuasai oleh 1 (satu) orang pedagang besar. Pedagang besar ini mempunyai peran penting dalam mengatur harga jual patin di pasar. Pedagang besar ini pula yang mempunyai informasi pasar, tidak saja informasi di Provinsi Jambi tetapi juga di provinsi lain, yaitu Sumatera Selatan dan Bengkulu. Dari sisi pedagang, berarti stuktur pasar ikan patin mempunyai kecenderungan bersifat monopoli. Struktur Pasar dapat dilihat pada Tabel 17. di bawah ini. Tabel 17. Struktur Pasar Ikan Patin Kecamatan Pudak, Kabupaten Muaro Jambi, 2011 Tingkat Pasar Pembudidaya Pedagang Besar Pedagang Pengecer
Jumlah Banyak (±150 orang) 1 Banyak
Sumber: Data Primer, 2011
3.2.4.1 Fungsi Pemasaran Ikan Patin di Kabupaten Muaro Jambi Fungsi Pemasaran adalah kegiatan utama yang khusus dilaksanakan untuk menyelesaikan proses pemasaran. Fungsi pemasaran bekerja melalui lembaga pemasaran atau stuktur pemasaran. Fungsi tataniaga ini harus dikerjakan oleh produsen dan mata rantai saluran barang-barangnya, lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam proses pemasaran misalnya usaha pengangkutan, bank, badan asuransi, dan sebagainya maupun konsumen (http://agrimaniax.blogspot.com/2010/05/fungsi-fungsi-pemasaran.html diunduh tanggal 15 Desember 2011). Fungsi pemasaran ikan Patin di Kab. Muaro Jambi adalah fungsi pembelian, penjualan, pengangkutan, penyimpanan, pembelanjaan/pembiayaan, penanggungan resiko, standarisadi dan grading, informasi pasar. Fungsi pemasaran dan pelaku pasar dapat dilihat pada Tabel 18 di bawah ini.
Tabel 18. Fungsi Pemasaran Ikan Patin Kabupaten Muaro Jambi, 2011 Fungi Pemasaran
Pelaku Usaha
Pembelian
Pedagang besar, pedagang pengecer dan konsumen akhir
Penjualan
Pembudidaya, pedagang besar dan pedagang pengecer
Pengangkutan
Pedagang besar, pedagang pengecer
Penyimpanan
Pedagang besar, pedagang pengecer
45
2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN Pembelanjaan/pembiayaan
Pembudidaya, pedagang besar & pedagang eceran
Penanggungan resiko
Pedagang besar
Standarisasi dan grading
Pedagang besar & pedagang pengecer
Informasi pasar
Pedagang
Sumber : Data Primer Diolah, 2011 3.2.4.2 Marjin Pemasaran Ikan Patin Di Kabupaten Muaro Jambi Marjin harga yang dihitung pada kegiatan penelitian ini adalah harga beli pasar dikurangi harga jual pasar.
Berdasarkan hasil penelitian, pedagang besar memperoleh
marjin sebesar Rp. 1.400/kg. Pedagang besar membeli ikan Patin pada pembudidaya sebesar Rp.14.600/kg dan menjualnya ke pedagang pengecer sebesar Rp. 16.000/kg dan Rp 17.000/kg ke konsumen. Pedagang pengecer membeli ikan Patin sebesar Rp.14.700/kg dan menjualnya ke konsumen sebesar Rp.17.000/kg. Marjin yang diperoleh oleh pedagang pengecer adalah sebesr Rp 2.300/kg. Tabel 19. Marjin Pemasaran Patin Kabupaten Muaro Jambi, 2011 Saluran
Pembudidaya
Harga Beli Harga Jual
14.600
Marjin
Pedagang besar
Pedagang pengecer
Konsumen Akhir
14.600
14.700
17.000
16.000
17.000
-
1.400
2.300
-
Sumber : Data Primer Diolah, 2011 Dalam menjalanan fungsi pembelian, pedagang pengecer tidak hanya mengeluarkan biaya pemasaran untuk membeli ikan tetapi juga untuk transportasi, upah dan retribusi pasar. Biaya transportasi dan upah angkut memerlukan biaya sebesar Rp 59.000/hari. Ikan Patin yang diangkut sebanyak 60 kg/hari, sehingga biaya transportasi dan upah memerlukan biaya Rp 983/kg. Pedagang pengecer harus membayar retribusi pasar sebesar Rp4000/hari. Total biaya yang harus dikeluarkan oleh pedagang pengecer adalah Rp 983/kg. Pedagang besar dalam menjalankan fungsi pemasarannya menggunakan alat angkut mobil pick up yang mengangkut sebanyak 700 kg ikan per trip. Pengiriman dilakukan ke dalam kota yaitu Pasar Angso Dua dan Pasar Baru, dan ke luar kota yaitu ke Palembang dan Bangko. Pengiriman dalam kota membutuhkan biaya Rp 154.000/trip yang terdiri dari biaya transportasi dan upah sebesar Rp 150.000/trip dan retribusi sebesar Rp 4000/trip, sehingga biaya pemasaran yang dikeluarkan sebesar Rp 220/kg. Biaya yang dikeluarkan untuk
46
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
pengiriman luar kota sebesar Rp 600.000/trip atau sebesar Rp 857/kg. Biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh pedagang besar dan pedagang pengecer dapat dilihat pada Tabel 20. di bawah ini. Tabel 20. Biaya Pemasaran Patin Kabupaten Muaro Jambi, 2011 Biaya Pemasaran Pelaku Pemasaran
Pedagang Pengecer
Retribusi (Rp)
Transportasi & Upah (Rp)
Jumlah (Rp)
Total Biaya (Rp/kg)
4.000
55.000
59.000
983
4.000
150.000
154.000
220
-
600.000
600.000
857
Pedagang besar - Dalam kota - Luar Kota (Palembang & Bangko) Sumber: Data Primer diolah, 2011 3.2.5 Investasi dan Potensi pengembangan Usaha Perhitungan analisa budidaya ikan patin, tidak membedakan pada luasan lahan atau musim. Pembudidaya yang menjadi responden dalam penelitian ini tergabung dalam satu kelompok pembudiya ikan. Investasi yang diperlukan untuk usaha budidaya antara lain lahan, kolam, sarana pendukung seperti rumah jaga, pompa air, gudang pakan,lampu neon/petromak, generator/genset, timbangan, serokan, lori dan harpa.. Mayoritas lahan yang dimiliki oleh pembudidaya adalah lahan milik sendiri. Secara rinci, investasi usaha atau jenis aset yang dimiliki oleh pelaku usaha budidaya patin dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Investasi Usaha Budidaya Patin di Muaro Jambi 2011 Jenis Aset
Jumlah
Satuan
Nilai
2.412
m2
26.274.859
Rumah Jaga
1
Unit
2.845.833
Pompa Air
1
Unit
1.814.583
Gudang Pakan
1
Unit
5.500.000
Lampu Neon/Petromak
2
Unit
44.591
Generator/Genset
1
Unit
1.136.200
Kolam
47
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN Timbangan
1
Buah
315.833
Serokan
7
Buah
164.043
Lori/Lainnya
1
Buah
382.778
Harpa/Lainnya
3
Buah
716.458
Total
2011
39.195.180
Sumber : Data Primer Diolah, 2011
Biaya yang dikeluarkan dalam usaha budidaya patin, dapat dikategorikan menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Bagi pembudidaya biaya tetap terdiri dari tenaga kerja persiapan lahan, tenaga kerja panen, pajak lahan produksi, retribusi dan biaya perawatan. Biaya operasional yang dikeluarkan oleh pembudidaya adalah benih, pakan, obat-obatan/vitamin, dolomit dan BBM. Secara rinci struktur biaya tetap rata-rata dan biaya operasional rata-rata yang dikeluarkan dalam satu tahun untuk usaha budidaya patin tersaji pada Tabel 22. Pembudidaya mengeluarkan biaya tetap dalam satu tahunnya sebanyak Rp 21.663.575. Biaya tetap terdiri dari tenaga kerja persiapan lahan sebesar Rp Rp 6.302.090, tenaga kerja panen Rp 5.657.206, pajak lahan produksi Rp 28.758, retribusi Rp 368.750 dan biaya perawatan 6.219.485. Retribusi pada usaha budidaya patin adalah biaya yang dikeluarkan oleh pembudidaya ketikan panen kepada kelompok sebesar Rp 25/kg/panen. Namun hal ini hanya berlaku pada kelompok tertentu dan tidak semua kelompok memberlakukan hal yang sama. Untuk pemeliharaan setiap harinya pembudidaya melakukan secara mandiri dan tidak mempunyai tenaga kerja yang diupah per bulan. Tabel 22. Struktur Biaya Usaha Budidaya Patin Muaro Jambi 2011 Uraian Biaya Tetap Depresiasi Asset Tenaker Persiapan Lahan (Utk sedot air) Tenaker Panen Pajak Lahan Produksi Retribusi Biaya Perawatan Total Biaya Operasional
48
Unit : 1 Tahun Nilai
Jumlah
Satuan
1
Tahun
3.116.033
37 120 1 1 1
OH OH Tahun Tahun Tahun
6.302.090 5.657.206 28.758 368.750 6.219.485 21.692.322
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN Garam Dolomit Benih Vitamin Pakan BBM Total
531 875 78.474 2 73.943 292
Kg Kg ekor Botol Kg L
2011
704.302 580.274 15.786.311 10.125 415.714.822 1.503.926 434.299.759
Sumber : Data Primer Diolah, 2011 Lebih lanjut dalam pengelolaan ikan patin biaya operasional yang diperlukan sebesar Rp 434.299.759/tahun untuk pembelian benih, vitamin, pakan, BBM dan dolomit. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian benih/bibit sebesar Rp 15.786.311, pakan Rp. 415.714.822, vitamin Rp 10.125, dolomit Rp 580.274, garam Rp 704.302 dan BBM Rp 1.503.926. Dalam 1 tahun produksi penerimaan pembudidaya sebesar Rp 610.974.586 dimana hasil panen yang didapatkan sebesar 44.446 Kg dengan harga jual Rp 13.747/Kg. Harga ikan patin ditentukan oleh kondisi permintan dan penawaran di pasar. Ketika penelitian ini dilakukan harga jual patin antara Rp 12.000 – Rp 14.700 di tingkat pembudidaya. Keuntungan yang diperoleh oleh pembudidaya dalam 1 tahun sebesar Rp 154.982.505 dengan RC ratio 1,3 dan hal ini menunjukkan usaha budidaya ini layak dikembangkan. Hasil produksi ikan patin per tahun yang diperoleh pembudidaya memberikan kontribusi dalam ekonomi keluarga. Secara lengkap analisa usaha budidaya patin dapat dilihat pada tabel 23. di bawah ini. Tabel 23. Analisis Usaha Budidaya Patin Muaro Jambi, 2011 Uraian Investasi (Rp) Biaya Tetap (FC)
Nilai 495.187.261 21.692.322
Biaya Variabel (VC)
434.299.759
Total Biaya (TC = FC + VC) (Rp)
455.992.081
Penerimaan (Rp)
610.974.586
Keuntungan (Rp)
154.982.505
R/C Sumber : Data Primer Diolah, 2011
49
1,3
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
3.3. Komoditas Gurame Kabupaten Banyumas 3.3.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian Kabupaten Banyumas merupakan wilayah yang mempunyai potensi perikanan cukup besar. Ketersediaan lahan potensial untuk sektor perikanan baik di kolam dan mina padi seluas 10.630 Ha dan baru termanfaatkan 538 Ha, oleh karena itu lahan seluas 10.092 Ha masih dapat dikembangkan mengingat kondisi geografis Kabupaten Banyumas yang berada pad ketinggain 0=300 m dpl yang sesuai untuk budiaya ikan. (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Banyumas, 2009). Melihat potensi yang ada dan kesesuian dengan komoditas yang dapat dikembangkan, maka ikan gurame menjadi komoditas unggulan yang bernilai ekonomis tinggi. Usaha budidaya ikan gurame yang berkembang saat ini di Kabupaten Banyumas banyak dilakukan secara berkelompok. Kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) tersebut terdiri dari kelompok pembenihan, kelompok pembesaran, kelompok pemasaran. Di samping itu terdapat juga kegiatan yang bertujuan untuk memberikan nilai tambah pada produk perikanan dengan membuat olahan ikan, sehingga terbentuk kelompok pengolah. Berdasarkan data yang diperoleh dan terkait dengan program minapolitan maka telah dipetakan berdasarkan kegiatan usaha budiddaya. Untuk kawasan pembenihan dipusatkan di wilayah kedungbanten dengan wilayah Kecamatan Kedungbanteng, Baturaden dan Karanglewas. Sentra kawasan pembesaran yang dipusatkan pada kecamatan Sokaraja dengan wilayah Kecamatan Sokaraja, Sumbang dan Kembaran. Sementara sentra kawasan pemasaran yang berpusat di kecamatan Ajibarang dengan wilayah Kecamatan Ajibarang dan Cilongok. Sentra kawasan industri olahan berada berpusat di Kecamatam Sumpiuh dengan wilayah Kecamatan Sumpiuh dan Kemranjen. Usaha budidaya ikan gurame di Kabupaten Banyumas dilakukan sepanjang tahun baik musim kemarau maupun musim penghujan, dimana dalam usaha pembesaran lama pemeliharaan ikan hingga panen dalam 1 siklusnya selama 4- 5 bulan. Umumnya budidaya ikan gurame dilaksanakan oleh pembudidaya dengan teknologi semi intensif yaitu dalam pemeliharaan menggunakan pakan buatan disamping pakan alami dan telah dilakukan pengaturan kualitas air, namun belum secara terukur dan terkontrol.( Bank Indonesia, 2008). Pola budidaya ikan gurame yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Banyumas mayoritas adalah pola budidaya tunggal (monoculture), dimana dalam satu unit lahan usaha hanya satu jenis ikan yang dipelihara. Budidaya ikan gurame dapat dibagi dalam beberapa kelompok yaitu pembenihan, pendederan dan pembesaran. Dalam tulisan usaha budidaya gurame yang dibahas adalah tahap pembesaran.
50
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Pemeliharaan gurame di Kabupaten Banyumas dilakukan menjadi empat proses yaitu persiapan kolam, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran. Tahap persiapan dilakukan selama 2 minggu dimana pembudidaya melakukan pembersihan kolam, pemberian kapur, pengisian air, pengukuran air (PH 6-7) dan pengukuran suhu air (23 – 25 C). Tahap pemeliharaan yaitu penebaran bibit dan pemberian pakan, sementara tahap pemanenan dengan cara dijaring secara perlahan dengan tujuan agar ikan tidak rusak. Proses pemanenan gurame mayoritas dilakukan oleh pembeli (pedagang pengumpul), dimana pedagang pengumpul menyediakan tenaga kerja panen dan sarana untuk panen seperti timbangan dan tempat ikan. Tahap terakhir adalah tahap pemasaran dimana setelah dipanen dilakukan penimbangan dan dimasukan ke dalam tempat ikan/drum kemudian diangkut ke dalam mobil/pick up. Berdasarkan hasil wawancara dengan 2 kelompok pembudidaya pembesaran, bahwa usaha budidaya ikan gurame dikendalikan oleh kelompok. Peran kelompok sangat besar dikarenakan kebutuhan input produksi seperti benih/bibit, pakan, lahan dan sarana produksi dikelola oleh kelompok. Salah satu kelompok kegiatan usaha ini dibawah koordinasi seksi usaha. Seksi usaha menjadi ujung tombak keberhasilan usaha budidaya gurame. Seksi usaha mempunyai tanggung jawab untuk menentukan masa tanam gurame, seksi usaha mengatur mulai dari jumlah benih/bibit yang ditebar hingga masa panen dan pemasaran termasuk dengan harga jual. Proses pemanenan, jumlah tenaga kerja dan sarana/prasarana yang diperlukan hingga sampai ke pembeli pertama kesemua berada di seksi usaha. Pembudidaya hanya melakukan kegiatan pemeliharaan seperti pemberian pakan dan pembersihan lingkungan kolam, tetapi terdapat pula pembudidaya yang menyerahkan urusan pemeliharaan juga kepasa seksi usaha. Seksi usaha pada kelompok ini juga bertindak sebagai pedagang pengumpul 1. Informasi yang didapatkan dari kelompok lain, pada dasarnya hampir sama tetapi yang bertanggung jawab terhadap ketersediaan lahan, benih/bibit dan pakan adalah pengurus kelompok (ketua kelompok). Sementara untuk kegiatan pemanenan dan pemasaran dikelola oleh salah satu anggota kelompok yang juga sebagai pedagang pengumpul 1. Pedagang pengumpul pertama ini bertindak atas nama pribadi. Lahan yang digunakan untuk budidadaya adalah lahan desa (bengkok). Perhitungan analisa budidaya ikan gurame konsumsi, tidak membedakan pada luasan lahan atau musim. Investasi yang diperlukan untuk usaha budidaya antara lain lahan/kolam, sarana pendukung seperti serokan/seser, tempat ikan, timbangan, pompa air, jaring. Namun demikian, pada kelompok yang dijadikan sample responden mayoritas responden tidak mempunyai investasi, hanya beberapa responden yang mempuyai asset
51
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
yang diperlukan untuk budidaya gurame dan responden tersebut berstatus sebagai pengurus kelompok. Mayoritas lahan yang dimiliki oleh pembudidaya adalah lahan sewa dan biaya sewa lahan dikategorikan dalam biaya tetap. Aset usaha yang berupa peralatan pendukung usaha budidaya adalah milik kelompok. Secara rinci, investasi usaha atau jenis aset yang dimiliki oleh pelaku usaha budidaya gurame dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Investasi Usaha Budidaya Gurame Banyumas, 2011 Jenis Aset
Jumlah
Satuan
Nilai
Pembuatan Kolam
1.205
M²
Pompa air
1
Unit
2.500.000
Gudang Pakan
1
Unit
5.000.000
Tempat Ikan
32
Unit
817.880
Timbangan
2
Unit
412.500
Serokan
2
Unit
42.759
Jaring
1
Unit
533.333
Total
3.641.200,49
12.947.672
Sumber : Data Primer Diolah, 2011 Biaya yang dikeluarkan dalam usaha budidaya gurame, dapat dikategorikan menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Bagi pembudidaya biaya tetap terdiri dari pajak lahan produksi, retribusi, sewa lahan produksi dan biaya perawatan. Biaya operasional yang dikeluarkan oleh pembudidaya adalah benih, pakan, obat-obatan/vitamin dan bagi hasil. Secara rinci struktur biaya tetap rata-rata dan biaya operasional rata-rata yang dikeluarkan dalam satu tahun untuk usaha budidaya gurame tersaji pada Tabel 25. Pembudidaya mengeluarkan biaya tetap dalam satu tahunnya sebanyak Rp 4.621.532. Biaya tetap terdiri dari pajak lahan produksi sebesar Rp 11.167, sewa lahan produksi Rp 1.285.909, tenaga kerja panen Rp 135.000, biaya perawatan 1.259.276 dan bagi hasil kelompok Rp 657.539. Terkait dengan sewa lahan, lahan yang dijadikan kolam budidaya adalah lahan desa (bengkok), dimana lahan ini disewakan kepada kelompok pembudidaya. Biaya sewa tergantung pada lokasi, dimana besaran sewa per kolam antara Rp 300.000 – Rp 450.000/kolam/tahun. Biaya perawatan yang dimaksud adalah biaya yang dikeluarkan oleh pembudidaya untuk melakukan persiapan lahan dimana persiapan lahan dilakukan selama 2 kali dalam 1 tahun. Sementara bagi hasil diartikan sebagai “bunga” dengan besaran 15% dari modal benih dikarenakan pembudidaya membeli benih dari
52
2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
kelompok dan “bunga” ini dikembalikan kepada kelompok untuk dijadikan modal usaha kelompok. Untuk pemeliharaan setiap harinya pembudidaya melakukan secara mandiri dan tidak mempunyai tenaga kerja yang diupah per bulan. Tabel 25. Struktur Biaya Usaha Budidaya Gurame di Kabupaten Banyumas, Tahun 2011 (Rp/Thn) Unit : 1 Tahun Uraian
Jumlah
Satuan
Nilai
Penyusutan Aset
1
Tahun
1.429.606
Pajak Lahan Produksi
1
Tahun
11.167
Sewa Lahan Produksi
1
Tahun
1.285.909
Tenaga Kerja Panen
1
Tahun
135.000
Biaya Perawatan
1
Tahun
1.259.276
Bagi Hasil Kelompok
1
Tahun
657.539
Biaya Tetap
Total Biaya Tetap
4.621.532
Biaya Operasional Benih
697
Kg
23.046.880
Pakan
1.919
Kg
15.120.853
416
Kg
3.705.526
Obat-Obatan
1
Paket
230.662
Kapur
22
Sak
406.735
Garam
44
sak
171.607
Pakan Tambahan
Total Biaya Operasional
42.682.262
Total Biaya
47.303.794
Sumber : Data Primer Diolah, 2011 Lebih lanjut dalam pengelolaan ikan gurame biaya operasional yang diperlukan sebesar Rp 42.682.262/tahun untuk pembelian benih, obat-obatan, vitamin, pakan buatan, pakan tambahan, kapur dan garam. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian benih/bibit sebesar Rp 23.046.880, pakan buatan Rp 15.120.853, pakan tambahan Rp 3.705.526, obat-
53
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
obatan/vitamin Rp 230.662, kapur Rp 406.735 dan garam Rp 171.607. Pakan buatan yang digunakan oleh pembudidaya adalah paka pelet sedangkan pakan tambahan adalah pakan alami berupa daun sente (alocasia macrorrhiza) dan ampas tahun. Untuk memudahkan mendapatkan pakan alami daun sente, maka di sepanjang pematang kolam ditanam daun sente hal ini juga dimaksudkan untuk mengurangi biaya pembelian pakan tambahan. Input produksi budidaya ikan gurame yaitu benih/bibit berasal dari Desa Beji (Purwokerto), Purbalingga dan Banjarnegara. Ukuran bibit yang digunakan adalah pembudidaya di Kabupaten Banyumas adalah korek, bungkus korek dan tampelan. Siklus pemeliharaan gurame berlangsung antara 4 – 6 bulan tergantung dengan ukuran benih yang digunakan. Jumlah benih yang digunakan bisa dalam ekor atau kilogram dengan harga satuan 1000 – 1500/ekor dan Rp 22.000 – Rp 23.000/kg dengan ukuran 0,2 kg/ekor. Dalam 1 tahun produksi penerimaan pembudidaya sebesar Rp 70.055.501 dimana hasil panen yang didapatkan sebesar 1.1667 Kg dengan harga jual Rp 21.741/Kg. Ukuran ikan gurame konsumsi yang siap panen adalah 0,7-0,8 Kg/ekor. Harga ikan gurame ditentukan oleh kondisi permintan dan penawaran di pasar. Ketika penelitian ini dilakukan harga jual gurame konsumsi terus mengalami peningkatan di tingkat pembudidaya yaitu dari Rp 21.000/Kg menjadi Rp 23.000/Kg. Ukuran gurame konsumsi yang diminati oleh konsumen berkisar 500-700 gram/ekor. Keuntungan yang diperoleh oleh pembudidaya dalam 1 tahun sebesar Rp 68.568.085 dengan RC ratio 1,5 dan hal ini menunjukkan usaha budidaya ini layak dikembangkan. Hasil produksi gurmai per tahun yang diperoleh pembudidaya memberikan kontribusi yang besar dalam ekonomi keluarga dikarenakan usaha ini merupakan usaha sampingan bagi responden. Secara lengkap analisa usaha budidaya gurame dapat dilihat pada tabel 26. di bawah ini. Tabel 26. Analisa Usaha Budidaya Gurame di Kabupaten Banyumas, 2011 Uraian Investasi (Rp) Biaya Tetap (FC)
Nilai 12.947.672 4.621.532
Biaya Variabel (VC)
42.682.262
Total Biaya (TC = FC + VC) (Rp)
47.303.794
Penerimaan (Rp)
68.568.085
Keuntungan (Rp)
21.264.291
R/C
54
1,5
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Sumber : Data Primer Diolah, 2011 3.3.2. Status dan Efisiensi Produksi Faktor produksi yang diduga berpengaruh pada saat usaha pembesaran ikan gurame di Kabupaten Banyumas adalah adalah luas kolam (X1), benih (X2), dan pakan (X3). Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) diperoleh pendugaan fungsi produksi seperti yang tercantum pada Tabel 27. Dari hasil pendugaan fungsi produksi pada Tabel 17. diperoleh nilai koefisien determinasi R2 = 0,968.
Hal ini berarti bahwa sebesar 96,8% variasi produksi usaha
budidaya ikan gurame dapat dijelaskan oleh faktor produksi luas kolam (X 1), padat penebaran benih (X2) dan pakan (X3), sedangkan sisanya sebesar 3,2% dijelaskan oleh variasi faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Sementara berdasarkan uji F-statistik, ketiga peubah bebas tersebut (X1, X2, dan X3) secara bersama-sama (simultan) berpengaruh nyata terhadap peubah terikatnya (produksi ikan gurame/Y), sedangkan berdasarkan uji t-statistik (pasrial), dari ketiga peubah bebas tersebut ternyata semuanya berpengaruh nyata pada selang keercayaan 90% (peubah X1) dan selang kepercayaan 99% (peubah X2 dan X3) dengan arah (sign) positif, Di samping itu, hasil pendugaan tersebut diperoleh nilai DW sebesar 1,661 yang berarti bahwa model persamaan yang digunakan tidak memiliki indikasi autokorelasi. Tabel 27. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi pada Usaha Budidaya Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas Peubah Koefisien Regresi Konstanta -0,513 Ln X1 0,117 Ln X2 0,108 Ln X3 0,904 R2 = 0,968 R2-adjusted = 0,964 F–hitung = 263,512 Prob .F =0,000 DW = 1,661 Sumber : Data Primer Diolah (2011)
Standart Error 0,212 0,066 0,043 0,082
t-hitung -2,418 1,764* 2,528** 11,080**
Keterangan : ns = tidak nyata pada selang kepercayaan 90% * = nyata pada selang kepercayaan 90% ** = nyata pada selang kepercayaan 99%
Hasil pendugaan fungsi produksi pembesaran ikan gurame dengan menggunakan tiga variabel bebas, sebagaiman tertera pada Tabel 17. dapat dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut : Ln Y = -0,513 + 0,117 Ln X1 + 0,108 Ln X2 + 0,904 Ln X3 ………………......………........(5)
55
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
sehingga untuk keperluan analisis dengan menggunakan fungsi produksi pendekatan CobbDouglas, Persamaan (1) ditulis kembali menjadi: Y = 0,599X1 0,117X2 0,108X3 0,904...............................................................................................(6) 3.3.2.1 Analisis Skala Usaha Hasil analisis pendugaan fungsi produksi menunjukkan bahwa luas lahan (X 1), benih (X2),dan pakan (X3) memiliki koefisien regresi atau nilai elastisitas masing-masing sebesar 0,117; 0,108; dan 0,904, sehingga besarnya nilai penjumlahan koefisien regresi atau elastisitas dari analisis pendugaan fungsi produksi adalah sebesar 1,129 (e>1).
Hasil
penjumlahan elastisitas produksi tersebut menunjukkan bahwa usaha budidaya berada dalam kondisi “kenaikan hasil yang semakin bertambah” (increasing return to scale), artinya apabila ketiga faktor produksi tersebut (luas kolam, benih dan pakan) secara bersama-sama dinaikkan dengan persentase tertentu, maka maka produksi ikan yang dihasilkan akan meningkat dengan proporsi yang lebih besar. Dari nilai koefisien regresi tersebut (hasil pengujian t-statistik seperti tertera pada Tabel XX dan Persamaan 6, diketahui bahwa ceteris paribus, setiap penambahan luas kolam sebesar 1% akan meningkatkan hasil produksi ikan sebanyak 0,117%. Untuk setiap penambahan sebanyak 1% benih, ceteris paribus akan meningkatkan produksi ikan gurame sebanyak 0,108%.
Sementara untuk setiap penambahan jumlah pakan yang diberikan
sebanyak 1%, ceteris paribus akan meningkankan produksi ikan gurame sebanyak 0,904%. Hal ini diduga karena semakin bertambahnya benih dan pakan yang digunakan, maka pertumbuhan ikan diduga
akan semakin cepat, sehingga produksi ikan juga akan
meningkat. 3.3.2.2 Efisiensi Teknis Pada Gambar 14. memperlihatkan bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis untuk Kabupaten Banyumas adalah 0,95, dengan nilai terendah 0,20 dan nilai tertinggi 3,80. Berdasarkan nilai rata-rata efisiensi tersebut dapat diketahui bahwa usaha budidaya pembesaran ikan gurame tersebut masih memiliki kesempatan untuk memperoleh hasil potensial yang lebih tinggi hingga mencapai hasil maksimal. Dalam jangka pendek, secara rata-rata
pembudidaya
ikan
gurame
di
Kabupaten
Banyumas
berpeluang
untuk
meningkatkan produksi sebesar 75% (1-(0,95/3,80)) dengan menerapkan teknologi dan teknik budidaya yang paling efisien.
56
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Gambar 14. Frekuensi Tingkat Efisiensi Teknis Usaha Budidaya Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas, Tahun 2011 3.3.2.3. Analisis Efisiensi Ekonomi Analisis efisiensi ekonomi dapat ditentukan dengan menghitung perbandingan Nilai Produk Marginal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM) untuk setiap faktor produksi. Jika nilai perbandingan NPM dengan BKM bernilai 1, maka pada kondisi tersebut penggunaan faktor produksi pada tingkat optimum. Jika rasio NPM dan BKM untuk setiap faktor produksi yang digunakan pada usaha budidaya menunjukkan nilai kurang dari 1, artinya kondisi optimum telah terlampaui, sedangkan jika nilai rasio NPM dan BKM untuk setiap faktor produksi yang digunakan nilainya lebih besar dari 1, artinya kondisi optimum belum tercapai. Untuk mencapai kondisi optimum, maka penggunaan faktor-faktor produksi harus dikurangi atau ditambah, sehingga rasio NPM dan BKM akan sama dengan 1. Dari hasil pendugaan fungsi produksi dapat diketahui rasio NPM dengan BKM untuk masing-masing faktor produksi. Secara rinci hal ini dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 28. Rasio dan Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-faktor Produksi pada Usaha Pembesaran Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas Penggunaan Rata-Rata Aktual
Variabel
Satuan
Luas Kolam (X1)
m2
1.130
Benih (X2)
Kg
Pakan (X3)
Kg
Sumber : Data Primer Diolah (2011)
57
Koefisien Regresi
NPM/ BKM
Pengguna an Input Optimal
NPM
BKM
0,117
3.682
3.021
1,201
1.352
621
0,108
6.094
20.801
0,293
714
2.541
0,904
12.465
5.280
2,361
1.452
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Dari Tabel 15. menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi aktual dan rasio antara Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) pada usaha pembesaran ikan patin. Rasio-rasio NPM dengan BKM dari setiap faktor produksi menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi dalam usaha pembesaran ikan gurame di Jambi tidak efisien secara alokatif, karena nilai-nilai rasio NPM terhadap BKM tidak sama dengan satu. Rasio ini juga berarti bahwa penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha tersebut belum optimal pada jumlah produksi yang sama. Nilai rasio NPM dan BKM untuk faktor produksi luas kolam (X 1) dan pakan (X3) lebih besar dari satu, sedangkan benih (X2) lebih kecil dari satu, yaitu masing-masing sebesar 1,201 (untuk X1), 0,293 (untuk X2), dan 2,361 (untuk X3). Kondisi ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi yang digunakan belum efisien (kondisi optimum belum tercapai). Agar kondisi optimal dapat tercapai, maka faktor produksi luas kolam dan benih perlu ditambah, sedangkan pakan perlu kurangi hingga rasio NPM dan BKM dari ketiga faktor produksi tersebut sama dengan satu. Berdasarkan Tabel di atas untuk mencapai alokasi penggunaan faktor produksi yang optimal dimana dapat tercapai keuntungan yang maksimum, maka penggunaan faktor produksi luas kolam (X1) dan benih (X2) perlu ditambah masing-masing menjadi 1.352 m2 per kolam dan 714 kg per kolam, sedangkan penggunaan faktor produksi pakan (X 3) perlu dikurangi menjadi 1.452 kg per kolam, hal ini menunjukkan bahwa pembudidaya dalam melakukan pemberian pakan tidak memperhatikan dengan ketersediaan jumlah benih yang ditebar, sehingga banyak pakan yang terbuang akibat tidak termakan oleh ikan. 3.3.3. Daya saing komoditas Potensi perikanan yang dimiliki oleh masing-masing wilayah dengan komoditas unggulan yang dimiliki menjadikan persaingan pada produk perikanan. Persaingan antar pedagang membuat pasar semakin terbuka. Oleh karena daya saya saing suatu produk suatu wilayah menjadi penting untuk melihat kemungkinan mampu bersaing dan bertahan untuk memenuhi permintaan pasar. Komoditas gurame yang menjadi salah komoditas unggulan dalam program minapolitan menyebabkan berkembangnya usaha budidaya gurame. Persaingan. Di Indonesia terdapat beberapa sentra produksi gurame, salah satunya adalah Kabupaten Banyumas dan harus bersaing dengan kabupaten lain yaitu Kabupaten Tulungagung, dimana Kabupaten Tulungagung juga menjadisalah satu sentra gurame di Indonesia. Untuk mengukur daya saing produk gurame diukur dengan menggunakan matrik analisis kebijakan atau matrik PAM yang disusun berdasarkan biaya faktor produksi, biaya tradables input dan harga output ikan. Berikut matrik PAM Usaha Budidaya Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Tulungagung tahun 2011.
58
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Tabel 29. Matrik PAM Pada Budidaya Gurame di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Tulungagung, 2011 Penerimaan Biaya Faktor Biaya Keuntungan Produksi Tradables Inputs Private 68.568.085,18 4.621.531,75 42.682.262,15 21.264.291,27 Social 68.568.058,18 4.573.711,55 43.898.250,24 20.096.123,39 Divergence 47.820,20 (1.215.988,08) 1.168.167,88 Sumber : Data Primer Diolah, 2011 Total Cost Ratio = 0,98 Domestik Resource Cost Ratio (DRCR) = 1 Private Cost Ratio = 0,9 1. Analisis Keunggulan Kompetitif Analisis keunggulan kompetitif terdiri dari keuntungan financial (private provit/PP) dan Private Cost Ratio. Keuntungan finansial pada usaha budidaya gurame merupan selisih antara penerimaan dari harga jual gurame (kg)/tahun dengan biaya yang dikeluarkan dengan menggunakan harga yang dipengaruhi kebijakan pemerintah. Berdasarkan tabel xxx biaya provit toal yang dikeluarkan/tahun di Kabupaten Banyumas sebesar Rp 47.303.793,90 yang terdiri dari input tradable Rp 42.682.262,15 dan biaya input domestik Rp 4.621.531,75 dengan pendapatan per tahun Rp 68.568.085,18 maka keuntungan finansial yang diperoleh Rp 21.264.291,27. Sementara Di Kabupaten Tulungagung menunjukkan keuntungan lebih rendah yaitu sebesar Rp 20.096.123,39. Hal ini menunjukkan bahwa secara finansial pengusahaan budidaya gurame di Kabupaten Banyumas relatif lebih menguntungkan tinggi dibandingan dengan usaha budidaya di Kabupaten Tulungagung. Keunggulan komparatif suatu komoditi dapat dilihat dari bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi financial dalam usaha budidya gurame. Efisiensi finansial dapat diukur dengan Private Cost Ratio (PCR). PCR merupakan rasio antara biaya input domestic dengan nilai tambah atau selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga aktual. Suatu aktivitas akan efisien secara finansial jika nilai PCR lebih kecil dari satu (<1). Berdasarkan tabel diatas terlihat terlihat bahwa daya saing ikan gurame Kabupaten Banyumas relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Tulungagung, seperti ditunjukkan oleh angka PCR sebesar 0,9. Data menunjukkan bahwa benih dan pakan adalah dua input produksi yang secara dominan menjadi faktor-faktor penentu daya saing di Kabupaten Banyumas. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan resonden yang menyatakan bahwa Benih yang digunakan oleh pembudidaya gurame Kabupaten Tulungagung berasal dari Kabupaten Banyumas, sehingga tentunya akan mempengaruhi harga jual benih di Kabupaten Tulungagung. Rupanya Hal ini rupanya merupakan dampak dari adanya program kebijakan Pemerintah
59
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Kabupataen Banyumas terkait dengan program minapolitan, dalam bentuk bantuan selisih benih. 2. Analisis Keunggulan Komparatif Nilai keunggulan komparatif diukur dengan menggunakan keuntungan social (Sosial Profit, SP) dan Domestic Resource Cost Ratio (DRCR). Keuntungan social adalah keuntungan yang diperoleh jika terjadi pada pasar persaingan sempurna dimana tidak ada campur tangan pemerintah dan kegagalan pasar. Berbeda dengan analisis keuntungan privat, di dalam analisis keuntungan ekonomi (social) komponen input output dapat dinilai dengan menggunakan harga social. Keunggulan komparatif terhadap usaha budidaya gurame juga dapat diketahui dari rasio Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) yaitu rasio antara biaya faktor domestik dengan selisih dan penerimaan dikurangi biaya tradable pada harga sosial tanpa adanya investasi pemerintah. DRCR menyatakan suatu usaha efisien secara ekonomi jika nilainya kurang dari satu dan sebaliknya. Nilai DRCR < 1 memiliki arti bahwa untuk memperoleh tambahan nilai Rp 1 output diperlukan tambahan biaya faktor domestic lebih kecil dari Rp 1 yang dinilai dari harga social. Sebaliknya akan terjadi pemborosan jika DRCR lebih besar dari satu. Hasil analisis DRCR yang diperoleh 1 pada usaha budidaya gurame di Kabupaten Banyumas. Faktor yang mempengaruhi terbesar adalah lahan, sewa lahan, pompa air dan gudang pakan. Kebijakan pemerintah dalam hal bantuan pembuatan kolam, pompa air dan gudang pakan relatif tidak berpengaruh pada peningkatan produksi. Oleh Karena komoditas Gurame Banyumas ini pemasarannya masih bersifat local, maka untuk perbandingannya akan dipergunakan komoditas Gurame dari Tulungagung yang merupakan saingan utamanya. Untuk mengetahui titik impas usaha budidaya gurame di Kabupaten Banyumas, maka digunakan analisis titik impas (BEP). Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat produksi dimana produsen tidak akan mengalami keuntungan kerugian kerugian/impas. Tingkat BEP bagi usaha budidaya Gurame Kabupaten Banyumas, telah disajikan pada tabel 30. Tabel 30. Analisis Break Event Point (BEP) Usaha Budidaya Gurame Kabupaten Banyumas, 2011 Uraian
Nilai
Luasan Kolam BEP (m2)
217
Harga Jual BEP (Rp/Kg)
14.987
60
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Sumber : Data Primer Diolah, 2011 Dari tabel 29. dapat dilihat bahwa angka luasan kolam bagi produksi usaha budidaya gurame di Kabupaten Banyumas yang menghasilkan BEP – ceteris paribus – adalah pada luasan kolam sebesar 217 m². Selain itu, dari sisi harga jual produk, BEP untuk usaha budidaya ikan gurame terjadi pada harga jual sebesar Rp 14.987/Kg, ceteris paribus. Perubahan kondisi usaha yang berupa kenaikan biaya dan penurun gross benefit akan mempengaruhi usaha yang dijalankan dan untuk mengetahui kepekaaan suau proyek terhadap perubahan yang mungkin terjadi di masa mendatang maka diperlukan analisis sensitivitas. 1. Peningkatan Biaya Input/Tradables Dominan Faktor dominan yang dimaksud dalam input produksi usaha budidaya adalah benih dan pakan. Ke dua input tersebut yang mempengaruhi daya saing gurame di Kabupaten Banyumas. Daya saing komoditas gurame Banyumas akan tetap memiliki daya saing tinggi selama harga Pakan dan benih, secara bersama-sama tidak meningkat melebihi 8%. Kenaikan benih sebesar 8% maka hasil perhitungan pada usaha budidaya gurame menjadi Rp 22.414. Demikian pula dengan pakan, jika kenaikan 8% maka perhitungan usaha harga per kg Rp 4.806. Namun jika kenaikan harga tidak terjadi secara bersama-sama, maka gurame masih mempunyai daya saing jika benih mengalami kenaikan harga sampai dengan 5.521% atau Rp 1.148.485. Gurame Kabupaten Banyumas juga akan tetap mempunyai daya saing jika harga pakan mengalami kenaikan sebesar Rp 8% menjadi Rp 5.704/Kg dengan jumlah pakan 1.481 Kg sehingga nilai total pakan menjadi Rp 16.336.841.
Sehingga dapat
disimpulkan daya saing input tradables komoditas gurame Banyumas ini lebih sensitive terhadap perubahan harga pakan.
2. Peningkatan Biaya Faktor Produksi Dominan Faktor produksi/domestik dalam budidaya gurami yang dimaksud adalah pembuatan kolam dan sewa kolam. Jika terjadi kenaikan harga dan penurunan daya beli maka dua faktor tersebut tidak berpengaruh. Beberapa asumsi telah dilakukan baik secara bersamasama atau sendiri-sendiri terhadap ke dua faktor tersebut dan menunjukkan bahwa tidak ada kepekaan terhadap perubahan yang mungkin terjadi dimasa mendatang.
61
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
3.3.4. Karakteristik Pasar 3.3.4.1. Struktur Pasar dan Tata Niaga Lembaga pemasaran adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran denga mana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai ke pihak konsumen. Ke dalam istilah lembaga tataniaga ini termasuk golongan produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa. (Hanafiah, 1986 : 26). Untuk itu lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran ikan gurame di Kabupaten Banyumas terdiri dari pembudidaya, pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer. Adapun saluran pemasaran tersebut memiliki pola saluran pemasaran, yaitu:
1. Saluran I : pembudidaya – seksi usaha/pedagang pengumpul 1 – pedagang pengumpul 2 atau pedagang besar - pedagang pengecer – kosumen rumah tangga dan konsumen lembaga 2. Saluran II : pembudidaya – seksi usaha/pedagang pengumpul 1 – konsumen lembaga
Pengecer
Pembudidaya Anggota Kelompok
Seksi Usaha
Pengumpul
Konsumen
Konsumen Lembaga
Gambar 15. Tata Niaga Komoditas Gurame di Kab. Banyumas Tahun 2011 Jalur pemasaran pada ikan gurame pembesaran dilakukan oleh pembudidaya ke pada pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul adalah adalah mereka yang aktif membeli dan mengumpulkan barang dagangan dari produsen (pembudidaya) didaerah produksi dan menjualnya kepada perantara berikutnya dan jarang menjual kepada konsumen terakhir. (Hanafi, 1986 : 33). Jalur pemasaran ikan gurame dilakukan oleh pembudidaya melalui lembaga perantara (pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer). Pola distribusi mempunyai dua variasi dan kondisi seperti ini menyebabkan panjangnya jalur pemasaran sehingga pada setiap cabang pemasaran, pelaku mengambil keuntungan dan mengakibatkan harga ikan gurame menjadi semakin tinggi.
62
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
3.3.4.2. Fungsi Pemasaran Proses daripada pertukaran yang mencakup serangkaian kegiatan yang tertuju untuk memindahkan barang-barang atau jasa-jasa dari sektor produksi ke sektor konsumsi disebut sebagai fungsi pemasaran (Hanafi, 1896 : 7). Menurut Daryanto (2011 : 77 – 79), fungsi pemasaran terdiri dari fungsi pembelian, penjualan, pengangkutan, penyimpanan, pembelanjaan, penanggungan resiko, standarisasi dan grading serta pengumpulan informasi pasar. Tabel 31. Fungi Pemasaran Ikan Gurame Di Kabupaten Banyumas, 2011 Fungi Pemasaran Pelaku Usaha Pembelian
Pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang pengecer dan konsumen akhir
Penjualan
Pembudidaya, pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer
Pengangkutan
Pedagang besar
Penyimpanan
Pedagang besar
Pembelanjaan/pembiayaan
Pembudidaya, pedagang pengumpul, pedagang besar & pedagang eceran
Penanggungan resiko
Pedagang besar
Standarisasi dan grading
Pedagang pengumpul
Informasi pasar
Pedagang pengumpul dan pedagang besar
Sumber : Data Primer Diolah, 2011 3.3.4.3. Struktur Pasar Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran ikan gurame adalah pembudidaya, pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer. Responden pembudidaya berjumlah 15 orang dari sekitar 107 orang jumlah populasi pembudidaya yang terhitung. Pedagang pengumpul merupakan pihak yang melakukan kegiatan transaksi jual beli dengan pembudidaya.
Jumlah pedagang pengumpul 1 yang menjadi responden 2
orang. Pedagang pengumpul 1 sebagai pihak penjual untuk menjual ke pasar lokal yang berhadapan dengan beberapa pedagang pengumpul 2/pedagang besar dan konsumen lembaga. Pedagang pengumpul 2 atau pedagang besar sebagai penjual yang berhadapan langsung dengan pedagang pengecer yang jumlahnya relatif banyak. Pedagang pengecer sebagai penjual berhadapan dengan konsumen akhir yang jumlahnya relatif banyak. Konsumen akhir yang dimaksud adalah konsumen rumah tangga dan konsumen lembaga yaitu catering, hotel, restoran, warung makan atau institusi.
63
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Produk ikan gurame yang dijual di lokasi penelitian dari mulai pembudidaya sampai dengan ke tangan konsumen akhir adalah ikan hidup dengan ukuran konsumsi yaitu 0,5 -0,8 kg/ekor, Informasi pasar dalam penelitian ini diidentifikasikan berupa harga pasar yang berlaku pada tiap jalur pemasaran. Informasi harga jual untuk setiap jalur pemasaran diperoleh secara langsung dari pedagang yang berada di tingkat atasnya. Harga yang berlaku di Kabupaten Banyumas adalah harga yang sudah ditetapkan oleh pedagang yang berada diatasnya sebagai akibat dari sifatnya sebagai pelaku monopsoni, sehingga tidak ada pilihan bagi pedagang pengumpul 1 menerima harga yang sudah ditetapkan oleh pedagang pengumpul 2 atau pedagang besar. Fluktuasi harga dipengaruhi oleh kwantitas ikan yang terserap dipasaran. Semakin banyak ikan terserap dipasaran, maka harga jual ikan di tiap saluran kecenderungan mengalami kenaikan, tetapi jika tidak harga ikan cenderung mengalami penurunan. Pembudidaya tidak mempunyai pilihan selain menerima harga yang sudah ditetapkan oleh pedagang pengumpul tanpa mempunyai kekuatan untuk menentukan harga. 3.3.4.4. Perilaku Pasar Dalam praktek pembelian dan penjualan, pembudiaya mempunyai ruang gerak sempit untu menjual dan hampir sebagian besar menjual hasil produksinya kepada pedagang pengumpul 1 yang sama setiap dalam setiap penjualannya. Hal ini disebabkan karena pembudidaya telah tergabung dalam satu kelembagaan pelaku utama yang mempunyai aturan main yang teleh disepakati bersama. Kelembagaan dibentuk dengan tujuan meningkatkan posisi tawar pembudidaya, di samping itu kelembagaan yang ada juga berfungsi sebagai unit usaha pemasaran yaitu seksi usaha dan atau salah satu anggota kelompok merangkap sebagai pedagang pengumpul. Meskipun telah terdapat unit pemasaran, namun fungsi pemasaran belum mampu berjalan secara efektif terlihat pada kondisi pangsa pasar ikan gurame saat ini hanya terserap untuk konsumsi lokal dimana sebelumnya pasar ikan gurame terbesar adalah Jakarta dan sekitarnya. Hal ini disebabkan persaingan harga dengan ikan yang dipasok dari Tulungagung Jawa Timur. Keadaan seperti ini, mengakibatkan pembudidaya terkadang waktu penjualan ikan gurame ditentukan oleh kebutuhan pembudidaya terhadap uang dan atau permintaan pasar. Apabila pembudidaya membutuhkan uang, responden akan menjual ikannya begitu juga apabila permintaan pasar untuk ukuran tertentu akan dijual sepanjang tercapai kesepakatan harga melalui pedaganng pengumpul. Pembudidaya tidak selalu memelihara benih ikan dengan ukuran yang sama setiap periode pemeliharaan tergantung pada kebutuhan keuangannya dan permintaan pasar.
64
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Penetapan waktu penjualan juga ditentukan oleh kebutuhan keuangan pembudidaya dapat mengakibatkan kondisi yang kurang menguntungkan bagi pembudidaya karena kebutuhan yang mendesak dapat menjual kilogram bibit atau bibit ekoran. dapat memperlemah posisi tawar sehingga dapat mengakibatkan penjualan ikan dengan tingkat harga yang lebih rendah. Sistem pembayaran ikan gurame dilakukan dilakukan dengan sitem pembayaran kemudian atau jatuh tempo. Sistem pembayaran dari pedagang pengumpul 1 kepada pembudidaya dengan jatuh tempo selama 7 hari, sementara dari pedagang pengumpul 2 atau pedagang besar pembayaran kemudian kepada pedagang pengumpul 1 dilakukan antara 5-7 hari jika pembelian diatas Rp 10.000.000 dan 2-3 hari jika pembelian bawah Rp 10.000.000. Pedagang pengecer mempunyai sistem pembayaran kepada pedagang besar dengan jatuh tempo selama 2 hari atau akan dibayar ketika pedagang pengecer ketika akan mengambil ikan. Kerjasama antara pembudidaya dengan pedagang pengumpul 1 adalah dalam kelompok, dimana pemasaran dilakukan dalam satu pintu melalui seksi usaha atau anggota kelompok yang berfungsi sebagai pedagang pengumpul 1. Kerjasama yang dilakukan oleh seksi usaha dengan pembudidaya adalah pembudidaya bertindak selaku investor dan seksi usaha melakukan kegiatan dari mulai persiapan lahan, pembelian bibit/benih, penebaran bibit/benih, panen hingga pemasaran. Bahkan untuk sarana input produksi telah disediakan oleh kelompok. Pada salah satu kelompok yang menjadi responden menetapkan aturan main mengenai bagi hasil bahwa harga pakan dan sewa lahan akan dibayarkan sesuai harga pokok setelah panen ditambah 15% dari modal bibit/benih ikan. Sementara kelompok yang lain bagi hasil untuk kelompok diperoleh dari keuntungan dari biaya panen sebesar Rp 1.000/Kg dan penjualan benih/bibit dan pakan. Terkait dengan jenis ikan yang diperdagangkan, pembudidaya hanya memeliharan dan menjual satu jenis ikan saja yaitu gurame. Di lokasi penelitian, ditemui pedagang pengumpul 1 hanya yang menjual dan membeli satu jeni ikan yaitu gurame, tetapi terdapat pula menjual jenis ikan yang heterogen. Begitu juga dengan pedagang pengumpul 2/pedagang besar dan pedagang pengecer membeli dan menjual ikan dengan jenis yang heterogen. Jenis ikan yang banyak diperjual belikan pada saluran pemasaran adalah gurame, mujair, lele, nilem, bawal dan tawes. Tabel 32. Jenis Ikan Yang Dibeli dan Dijual Dalam Saluran Pemasaran Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas , 2011
65
2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN Saluran Pemasaran
Jenis Ikan Yang Dib eli
Jenis Ikan Yang Dijual
Pembudidaya
Homogen
Homogen
Pedagang Pengumpul 1
Homogen
Homogen
Heterogen
Heterogen
Pedagang Pengumpul 2
Heterogen
Heterogen
Pedagang Pengecer
Heterogen
Heterogen
Sumber: Data Primer Diolah, 2011 3.3.4.5. Marjin Pemasaran Marjin pemasaran yang dianalisa terdiri harga beli pasar yang dikurangi dari harga jual pasar pada masing-masing tingkatan pemasaran. Berdasarkan pada Tabel xxx dapat diperoleh informasi bahwa marjin antara pedagang pengumpul 1 dan pedagang pengumpul 2 atau pedagang besar adalah Rp 1.000/kg. Sementara marjin terbesar didapat oleh pedagang pengecer sebesar Rp 5.000/Kg. Terkait dengan biaya pemasaran dijelaskan bahwa biaya pemasaran untuk pedagang pengumpul 1 adalah biaya pengangkutan sebesar Rp 500/Kg untuk dalam kota dan Rp 1000/kg-Rp2.000/kg untuk luar kota, sedangkan biaya panen sebesar Rp 1.000/Kg hasil panen. Pada pedagang besar biaya fungsi pemasaran yang dikeluarkan sebesar Rp 400.000/hari dan pedagang pengecer sebesar Rp 5.000/hari yang digunakan untuk pembayaran retribusi dan air PDAM. Tabel 33. Marjin Pemasaran Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas Tahun 2011 Saluran
Pembudidaya
Harga Beli Harga Jual
21.000
Marjin Sumber : Data Primer Diolah, 2011
66
Pedagang
Pedagang
Pedagang
Konsumen
pengumpul
besar
pengecer
Akhir
21.000
22.000
23.000
28.000
22.000
23.000
28.000
1.000
1.000
5.000
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
3.3.5. Investasi dan Potensi pengembangan Usaha Pengentasan kemiskinan di wilayah pesisir dan sentra-sentra perikanan merupakan salah satu fokus pelaksanaan pembangunan dan kelautan. Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) menjadi media pemberdayaan antara lain melalui fasilitasi bantuan pengembangan usaha bagi nelayan, pembudidaya, pengolah/pemasar ikan dalam wadah Kelompok Usaha Kelautan dan Perikanan (KUKP). Menurut PERMEN KP NO. PER.06/MEN/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan Tahun 2011, PUMP adalah bagian dari pelaksanaan program PNPM Mandiri KP melalui bantuan pengembangan usaha dalam menumbuhkembangkan usaha perikanan sesuai dengan potensi desa. PUMP Perikanan Budidaya mendorong peningkatan produksi, menumbuhkan wirausaha dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perikanan budidaya di pedesaan. Sejalan dengan penumbuhan wirausaha, penting bagi pelaku usaha untuk mengetahui berapa besar investasi yang diperlukan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Banyumas, pelaku usaha budidaya gurame konsumsi dalam skala usaha rumah tangga. Investasi budidaya gurame konsumsi di Kabupaten Banyumas antara lain ; lahan/kolam, pompa air, tempat ikan, timbangan, serokan dan jaring. Namun karena aset adalah milik kelompok maka nilai investasi yang dikeluarkan pelaku usaha tidak terlalu besar. Berbeda dengan lahan, karena pembudidaya tergabung dalam kelompok dan lahan yang digunakan adalah lahan desa yang disewakan serta tingginya harga lahan (mencapai 800.000/m) maka pembudidaya menyewa lahan dari kelompok dengan membayar sewa dimana besaran sewa dapat dibayar per satu siklus panen atau per tahun. Berdasarkan status kepemilikan lahan budidaya, mayoritas pembudidaya menjadi penyewa lahan. Pembudidaya yang mempunyai status lahan sendiri pada umumnya lahan yang dimiliki adalah warisan. Investasi untuk biaya pembuatan kolam sebesar Rp 750.000 – 800.000 per kolam dengan ukuran kolam 250 m². Namum jika lahan yang digunakan adalah lahan sewa, maka ditambahkan biaya sewa sebesar Rp 150.000 – Rp 200.000 / kolam / siklus panen. Tabel 33. dapat dilihat struktur biaya investasi usaha budidaya gurame per luasan kolam 250 m² di Kabupaten Banyumas Tabel 34. Struktur Biaya Investasi Usaha Budidaya Pembesaran Gurame Kabupaten Banyumas, 2011 Unit : Per Siklus Panen Uraian Volume Satuan Biaya Total (Rp) Keterangan (Rp) Sewa Lahan 2 Tahun 300.000 600.000 Dibesarkan ke Benih 540 Kg 23.000 12.420.000 dalam 2 kolam
67
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
Pakan Pelet
1.620
Kg
5.500
8.910.000
Pakan Tambahan Biaya perawatan Kolam
1
Paket
1.350.000
1.350.000
8
Orang
50.000
Total Biaya
2011
ukuran @ 250 m²
400.000 23.680.000
Sumber : Pokdakan Ulam Sari, 2011 Harga jual gurame konsumsi di Kabupaten Banyumas sangat fluktuaktif ditentukan oleh kondisi permintaan dan penawaran harga. Dalam 1 tahun terakhir harga gurame konsumsi di tingkat pengepul antara Rp 21.000 – Rp 23.000/Kg. Harga ikan gurame di suatu daerah tidak bisa dilepaskan dari pengaruh produksi di daerah lain karena sistem transportasi memungkinkan terjadinya perpindahan produk dari satu daerah ke daerah lainnya. Berdasarkan hal tersebut, produksi ikan yang melimpah pada suatu daerah dapat mengakibatkan pasar ikan gurame di daerah konsumsi ikan mengalami kelebihan penawaran sehingga terjadi penurunan harga. Hasil produksi dipengaruhi oleh gurani dipengaruhi oleh luasan lahan,benih yang ditebar dan pakan yang digunakan. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pada kondisi optimal rata-rata jumlah produksi per 500 m² kolam dengan benih 540 Kg atau 2700 ekor dengan asumsi angka kematian 10%, maka hasil produksi sebanyak 2.430 ekor dengan berat 0,8 Kg/ekor ekor sehingga total produksi sebanyak 1.944 Kg dengan harga jual Rp 22.000/Kg. Penerimaan yang diperoleh oleh pembudidaya untuk luasan kolam 500 m² dalam satu siklus Rp 42.768.000. Berdasarkan tabel 33. diketaui bahwa keseluruhan total biaya dalam 1 musim sebesar Rp 23.340.000/siklus, sehingga keuntngan yang diperoleh adalah sebesar Rp 18.828.000/siklus. Nilai R/C ratio pada usaha budidaya gurmai di Kabupaten Banyumas yaitu sebesar Rp 1,8 hal ini menunjukkan bahwa usaha budidaya gurame layak diusahakan. Nilai R/C ratio dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan bagi lembaga permodalan untuk memberikan tambahan modal usaha dengan mempertimbangkan aspek yang lain sehingga kegiatan usaha gurame dapat lebih berkembang. Nilai Payback Period (waktu pengembalian investasi) pada usaha budidaya gurame yaitu 1, hal ini menunjukkan bahwa nilai pengembalian investasi dalam satu siklus usaha adalah selama 1 tahun atau diperlukan satu siklus usaha (musim panen) untuk mengembalikan uang yang diinvestasikan bagi pembudidaya. Namun demikian terdapat beberapa kendala yang dialami oleh pembudidaya dikarenakan untuk berinvestasi antara permodalan, manajemen usaha budiya dan pengairan ketika musim kemarau.
68
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
3.4 . Komoditas Rumput Laut Kota Kendari, Kabupaten Konawe Selatan 3.4.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian
Gambar 16. Model Konstruksi Longline Persegi Sumber : BBL Lombok, 2011 Saat ini metode budidaya rumput laut tidak hanya metode patok dan metode rakit, namun kini ada metode longline. Di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan metode yang digunakan adalah metode longline, selain bersifat lebih ekonomis dapat diterapkan di lokasi dengan perairan yang lebih dalam (Sujatmiko, et.al,. dd). Konstruksi dasar dari longline persegi ini adalah berbentuk persegi, baik itu persegi empat maupun persegi panjang. Tali ris bentang diikatkan searah dengan arah arus perairan. Bagian sisi longline yang menghadang arah arus, pemberat longline ditambah sesuai kebutuhan dilapangan untuk mencegah sarana terseret oleh arus. Panjang tali ris bentang disesuaikan dengan lebar longline. Bahan yang digunakan adalah Polyethilene (PE) ukuran 4 atau 5 mm. Jarak antar titik ikat (tali raffia) adalah 20 – 25 cm. Dalam satu tali ris bentang dengan panjang 5 meter terdapat 25 titik tali ikat, dimana jarak antar tali titik adalah 20 cm (dalam 50 meter terdapat 250 titik tali ikat). Tali titik terbuat dari tali rafia atau plastik es atau tali PE 1.5 - 2 mm, yang digunakan untuk mengikat bibit rumput laut. Setiap ujung tali rafia atau plastik es sebaiknya dibakar untuk menyatukan seratnya. Panjang tali rafia atau plastik es atau
69
PE adalah 35 – 40 cm per tali titik.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Waktu pengikatan bibit sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari. Pengikatan bibit dalam jumlah besar sebaiknya tetap dalam keadaan basah, agar kelembaban bibit tetap terjaga. Penyulaman dilakukan pada minggu pertama dengan cara pengganti bibit yang lepas atau rontok. Pemeliharaan dilakukan dengan membersihkan lumut, kotoran atau sampah yang menempel.
Masa pemeliharaan tergantung pada hasil yang diharapkan.
Masa panen antara 20 – 25 hari, dilakukan untuk menghasilkan bibit rumput laut, sedangkan masa panen 35 – 40 hari, dilakukan untuk menghasilkan rumput laut produksi. Pembersihan dilakukan pada tali frame, pelampung besar dan tali jangkar. Tali dibersihkan dari tumbuhan lumut, hewan teritip dan kotoran sampah yang melekat pada tali. Panen adalah melakukan pengambilan atau pemungutan secara menyeluruh setelah masa pemeliharaan berakhir. Panen dilakukan dengan melepas tali ris bentang pada tali utama dan diangkut ke darat. Rumput laut dilepas dari tali titik dengan membuka tali titik, agar kualitas rumput laut kering dapat terjaga 3.4.2. Status dan Efisiensi Produksi Faktor produksi yang diduga berpengaruh pada saat usaha budidaya rumput laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan adalah jumlah bibit (X1) dan luas lahan (X2). Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) diperoleh pendugaan fungsi produksi seperti yang tercantum pada Tabel 35. Dari hasil pendugaan fungsi produksi pada Tabel 34. diperoleh nilai koefisien determinasi R2 = 0,256. Hal ini berarti bahwa sebesar 25,6% variasi produksi usaha rumput laut dapat dijelaskan oleh faktor produksi jumlah benih (X 1) dan luas lahan (X2), sedangkan sisanya sebesar 74,4% dijelaskan oleh variasi faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Sementara berdasarkan uji F-statistik, kedua peubah bebas tersebut (X1 dan X2) secara bersama-sama (simultan) berpengaruh nyata terhadap peubah terikatnya (produksi rumput laut/Y), sedangkan berdasarkan uji t-statistik (pasrial), kedua peubah bebas tersebut berpengaruh nyata pada selang keercayaan 80%. dengan arah (sign) positif, sedangkan nilai DW diperoleh sebesar 1,441. Tabel 35. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi pada Usaha Budidaya Rumput Laut, di Kendari Peubah Konstanta Ln X1 Ln X2
Koefisien Regresi 3,416 0,230 0,169
Standart Error 1,000 0,152 0,129
R2 = 0,256 R2-adjusted = 0,205 F–hitung = 4,998 Prob .F =0,014 DW = 1,441 Sumber : Data Primer Diolah (2011) Keterangan : *
70
= nyata pada selang kepercayaan 80%
t-hitung 3,417 1,512* 1,314*
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Hasil pendugaan fungsi produksi usaha budidaya rumput laut dengan menggunakan dua variabel bebas, sebagaiman tertera pada Tabel 34. dapat dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut : Ln Y = 3,416 + 0,230 Ln X1 + 0,169 Ln X2 ……………… ………………………...........(9) sehingga untuk keperluan analisis dengan menggunakan fungsi produksi pendekatan CobbDouglas, Persamaan (9) ditulis kembali menjadi: Y = 30,447X1 0,230X2 0,169 ....................................................................................................(10) 3.4.2.1. Analisis Skala Usaha (Return to Scale) Return to Scale (RTS) digunakan untuk mengetahui apakah kegiatan usaha yang diteliti tersebut berada dalam kondisi kenaikan hasil yang semakin berkurang (decreasing return to scale), kondisi kenaikan hasil yang tetap (constant return to scale) atau berada dalam kondisi kenaikan hasil yang semakin bertambah (increasing return to scale). Hasil analisis fungsi produksi Cobb-Douglas akan menghasilkan nilai koefisen regresi yang sekaligus menunjukkan besaran elastisitas dari masing-masing faktor produksi yang digunakan. Hasil analisis pendugaan fungsi produksi menunjukkan bahwa jumlah bibit (X 1) dan luas lahan (X2) memiliki koefisien regresi atau nilai elastisitas masing-masing sebesar 0,230 dan 0,169. Kondisi skala usaha budidaya rumput laut dapat dilihat dari nilai penjumlahan koefisien regresi atau elastisitas. Berdasarkan hasil analisis pendugaan fungsi produksi besarnya nilai penjumlahan koefisien regresi atau elastisitas dari analisis pendugaan fungsi produksi adalah sebesar 0,399 (e<1).
Hasil penjumlahan elastisitas produksi tersebut
menunjukkan bahwa usaha budidaya berada dalam kondisi “kenaikan hasil yang semakin berkurang” (decreasing return to scale), artinya apabila ketiga faktor produksi tersebut (luas kolam, benih dan pakan) secara bersama-sama dinaikkan dengan persentase tertentu, maka akan memberikan proporsi penambahan hasil produksi yang lebih kecil. Dari nilai koefisien regresi tersebut (hasil pengujian t-statistik seperti tertera pada Tabel 34. dan Persamaan 10, diketahui bahwa ceteris paribus, setiap penambahan jumlah bibit sebesar 1%, ceteris paribus akan meningkatkan hasil produksi ikan sebanyak 0,230%. Untuk setiap penambahan sebanyak 1% luas lahan, ceteris paribus akan meningkatkan produksi rumput laut sebanyak 0,169%.
Hal ini diduga semakin banyak jumlah benih
ditambah, yang diikuti dengan penambahan luas lahan makan akan menambah jumlah produksi rumput laut.
71
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
3.4.2.2. Efisiensi Teknis Pada Gambar 18. memperlihatkan bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis untuk usaha budidaya rumput laut adalah 1,10, dengan nilai terendah 0,34 dan nilai tertinggi 4,44. Nilai tersebut menunjukkan bahwa nilai efisiensi teknis pada usaha budidaya ikan patin dikatakan sudah efisien secara teknis karena angka yang diperoleh lebih besar dari 1. Akan tetapi usaha budidaya pembesaran ikan patin tersebut masih memiliki kesempatan untuk memperoleh hasil potensial yang lebih tinggi hingga mencapai hasil produksi yang maksimal. Dalam jangka pendek, secara rata-rata pembudidaya ikan patin di Kabupaten Muaro Jambi berpeluang untuk meningkatkan produksi sebesar 75% (1-(1,10/4,44)) dengan menerapkan teknologi dan teknik budidaya yang paling efisien.
Gambar 17. Frekuensi Tingkat Efisiensi Teknis Usaha Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan, Tahun 2011 3.4.2.3. Analisis Efisiensi Ekonomi Analisis efisiensi ekonomi dapat ditentukan dengan menghitung perbandingan Nilai Produk Marginal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM) untuk setiap faktor produksi. Jika nilai perbandingan NPM dengan BKM bernilai 1, maka pada kondisi tersebut penggunaan faktor produksi pada tingkat optimum. Jika rasio NPM dan BKM untuk setiap faktor produksi yang digunakan pada usaha budidaya menunjukkan nilai kurang dari 1, artinya kondisi optimum telah terlampaui, sedangkan jika nilai rasio NPM dan BKM untuk setiap faktor produksi yang digunakan nilainya lebih besar dari 1, artinya kondisi optimum belum tercapai. Untuk mencapai kondisi optimum, maka penggunaan faktor-faktor produksi harus dikurangi atau ditambah, sehingga rasio NPM dan BKM akan sama dengan 1. Dari hasil pendugaan fungsi produksi dapat diketahui rasio NPM dengan BKM untuk masing-masing faktor produksi. Secara rinci hal ini dapat dilihat pada Tabel 35.
72
2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
Tabel 36. Rasio dan Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-faktor Produksi pada Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan
Variabel
Satuan
Jumlah Bibit (X1)
kg
Penggunaa n RataRata Aktual 1.479
Luas Lahan (X2)
m2
12.589
Koefisie n Regresi
NPM
BKM
NPM/BKM
Pengguna an Input Optimal
0,230
957
2.517
0,380
563
0,169
83
1.144
0,072
910
Sumber : Data Primer Diolah (2011) Dari Tabel 35. menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi aktual dan rasio antara Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) pada usaha pembesaran ikan patin. Rasio-rasio NPM dengan BKM dari setiap faktor produksi menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi dalam usaha rumput laut tidak efisien secara alokatif, karena nilai-nilai rasio NPM terhadap BKM tidak sama dengan satu. Rasio ini juga berarti bahwa penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha tersebut belum optimal pada jumlah produksi yang sama. Nilai rasio NPM dan BKM untuk faktor produksi jumlah bibit (X 1) dan luas lahan (X2) lebih kecil dari satu, yaitu masing-masing sebesar 0,380 dan 0,072.
Kondisi ini
menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi yang digunakan belum efisien (kondisi optimum belum tercapai). Agar kondisi optimal dapat tercapai, maka faktor produksi jumlah bibit dan luas lahan perlu dikurangi hingga rasio NPM dan BKM dari ketiga faktor produksi tersebut sama dengan satu. Berdasarkan tabel di atas untuk mencapai alokasi penggunaan faktor produksi yang optimal dimana dapat tercapai keuntungan yang maksimum, maka penggunaan faktor produksi jumlah bibit (X1) dan jumlah pakan (X2) perlu dikurangi masing-masing menjadi 563 kg dan 910 m2, hal ini sesuai dengan kondisi usaha yang berada dalam tahap decreasing return to scale, yang berarti bahwa penembahan input berapapun akan menyebabkan jumlah produksi berkurang. 3.4.3. Daya saing komoditas Potensi perikanan yang dimiliki oleh masing-masing wilayah dengan komoditas unggulan yang dimiliki menjadikan persaingan pada produk perikanan. Persaingan antar pedagang membuat pasar semakin terbuka. Oleh karena daya saya saing suatu produk suatu wilayah menjadi penting untuk melihat kemungkinan mampu bersaing dan bertahan untuk memenuhi permintaan pasar. Komoditas rumput laut yang menjadi salah komoditas unggulan dalam program minapolitan menyebabkan berkembangnya usaha budidaya rumput laut. Persaingan. Di Indonesia terdapat beberapa sentra produksi rumput laut, salah satunya adalah Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan dan bersaing dengan
73
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
kabupaten lain yaitu Kabupaten Lombok Timur. Untuk mengukur daya saing produk rumput laut diukur dengan menggunakan matrik analisis kebijakan atau matrik PAM yang disusun berdasarkan biaya faktor produksi, biaya tradables input dan harga output ikan. Berikut matrik PAM Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari serta Kabupaten Konawe Selatan dengan Kabupaten Lombok Timur tahun 2011. Tabel 37. Matrik Policy Analysis Matrix Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari serta Kabupaten Konawe Selatan dengan Kabupaten Lombok Timur tahun 2011. Variabel Private Social divergence
Revenue Rp 29.150.451 Rp 34.202.436 Rp (5.051.985)
Variabel Ratio DRCR TRCR TCR
Ratio 0,98 1,38 1,13
Factors Rp 11.046.788 Rp 11.288.181 Rp (241.393)
Tradables Rp 9.715.909 Rp 7.035.249 Rp 2.680.661
Profit Rp 8.387.753 Rp 15.879.006 Rp (7.491.252)
Sumber : Data primer diolah(2011)
Berdasarkan tabel diatas terlihat terlihat bahwa daya saing rumput laut Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan kurang bersaing dengan rumput laut di Kabupaten Lombok Timur. Hal tersebut dilihat dari total cost ratio yang lebih dari 1. Nilai total cost ratio diperoleh dari dua variabel ratio yaitu Domestic Resources Cost Ratio (DRCR) dan tradables resources cost ratio (TRCR). Apabila dilihat dari DRCR, komoditas rumput laut Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan mampu bersaing dengan komoditas rumput laut dari Kabupaten Lombok Timur. Namun jika dilihat dari TRCR daya saing rumput laut Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan lebih rendah dengan rumput laut Kabupaten Lombok Timur. Tradables input untuk budidaya rumput laut dengan metode longline adalah bibit rumput laut dan bahan bakar minyak, sedangkan untuk factor input terdiri dari tenaga kerja upahan dan depresiasi dari aset produksi budidaya rumput laut. Harga satuan bibit dan BBM di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan lebih tinggi dari pada harga satuan di Kabupaten Lombok Timur. Hal ini disebabkan ketika pengambilan data praktek budidaya di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan pada bulan September 2011, harga rata-rata bibit cottoni sebesar Rp 2500 dan harga rata-rata BBM mencapai Rp 6000 ditingkat pembudidaya. Untuk meningkatkan daya saing komoditas rumput laut di Kota Kendari dan Kota Konawe Selatan, harga satuan di tradable input meliputi bibit dan BBM secara bersamasama diturunkan sebesar 28% hingga mencapai TRCR bernilai 1 dan mampu berkompetisi
74
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
dengan meningkatkan harga satuan factor input meliputi tenaga kerja upahan dan depresiasi aset produksi secara keseluruhan sebesar 4%. Untuk mengetahui titik impas usaha budidaya rumput laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan digunakan analisis titik impas (BEP). Analisis Break Event Point (titik impas) dilakukan untuk mengetahui tindak produksi dimana tidak ada keuntungan dan tidak ada kerugian. Analisis BEP menunjukkan hubungan penjualan, biaya dan keuntungan. Pada penelitian ini, BEP menggunakan pendekatan seberapa besar penggunaan lahan yang dikelola dan seberapa besar tingkat harga yang diterima. Analisis BEP usaha budidaya rumput laut dapat dilihat pada tabel 37. Apabila penggunaan lahan yang digunakan minimal untuk memperoleh keuntungan dengan luasan sebesar 1085 m2 atau turun hingga 91% dan harga jual yang dapat diterima oleh para pembudidaya rumput laut sebesar Rp 2121 turun sebesar 69%. Tabel 38. Break Even Point (BEP) Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan Variabel Satuan Luasan m2 Harga Rp Sumber : Data primer diolah (2011)
BEP
Rataan 12589 6818
1085 2121
3.4.4. Karakteristik Pasar Struktur pasar rumput laut yang terdapat di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan adalah beberapa pedagang pengumpul kecil skala desa dan empat pedagang pengumpul besar di Kota Kendari (Tabel 39). Tabel 39. Tabel Pelaku Usaha Rumput Laut Kendari 2010 N
Nama Pelaku Usaha
o 1 2 3 4 5 6 7 8
Rata-Rata
Tujuan
Keterangan
Produksi/Thn UD. Sumber Makmur (H. Hasan) CV. Sinar Laut (H. Haruna)/Lapulu UD. Harapan Bone (H. Baide)/Kampung Salo KSU. Teporombu/Sambuli Klp. Budidaya (8 Klp) Tondonggeu Klp. Pembudidaya (8 Klp) Sambuli Klp. Pembudidaya (7 Klp) Petoaha Klp. Pembudidaya (5 Klp) Bungkutoko
59 Ton 60 Ton 36 Ton 50 Ton 22 Ton 22 Ton 20 Ton 20 ton
Makassar/ Surabaya Makassar/ Surabaya Makassar/ Surabaya Lokal/Makassar Lokal/Makassar Lokal/Makassar Lokal/Makassar Lokal/Makassar
Harga rata-rata Rp. 8.000 – 11.000/ kg
Sumber : Pemerintah Kota Kendari (2010)
Dari masing-masing pedagang pengumpul kecil tersebut mampu membeli hasil panen rumput laut kering hingga 20 orang pembudidaya dengan kisaran 300 – 400 kg perorangnya setiap bulannya dengan harga perkilonya Rp 6.000. Pedagang pengumpul
75
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
kecil kemudian menjualnya kepada pedagang pengumpul besar dengan perbedaan harga Rp 1.000 s.d Rp 1.500. Hubungan antar pedagang pengumpul kecil dan pedagang pengumpul besar tidak ada ikatan, namun hubungan antar pedagang pengumpul kecil dengan para beberapa pembudidaya rumput laut ada ikatan karena ada faktor pembiayaan (permodalan) Tabel 40. Tabel Karakteristik Struktur Pasar Rumput Laut di Kota Kendari dan Kota Konawe Selatan Karakteristik Jumlah Produsen Jumlah Pembeli
Sifat Produk Tingkat Deferensiasi Produk Penentuan Harga
Rumput Laut di Kota Kendari dan Kota Konawe Selatan - Kota Kendari : 158 KK - Kota Konawe Selatan : - Pedagang Pengumpul Kecil : 4 (Kota Kendari), - Pedagang Pengumpul Besar di Kota Kendari : 4 orang - Eksportir di Kota Makasar : 9 perusahaan - Eksportir di Kota Surabaya : 4 Perusahaan Ditingkat pembudidaya s.d pedagang pengumpul besar : homogen (rumput laut kering) Alkali Treated Chips
Harga ditentukan oleh pembeli, (eksportir, pedagang pengumpul besar, pedagang pengumpul kecil) bukan di produsen atau pembudidaya Metode Pemasaran Pembudidaya menjual rumput laut kering ke pedagang pengumpul kecil kemudian pedagang pengumpul besar menjual ke eksportir Keterlibatan sektoral Produk rumput laut kering dipergunakan untuk kepentingan dalam perekonomian konsumsi dan sektor industri Sumber : Data Primer diolah (2011) dan Koperasi Rumput Laut Bina Bahari (2009) Fungsi pemasaran yang dilakukan dimasing-masing tahapan hampir sama, kecuali oleh si pembudidaya. Pedagang pengumpul kecil memiliki fungsi pemasaran yaitu sebagai penanggung resiko dan melakukan pengangkutan. Maksud sebagai penanggung resiko adalah total rumput laut yang dibayarkan oleh pedagang pengumpul besar 1 di Kota Kendari hanya 85% karena dianggap rumput laut yang dijual (setelah mengalami pengeringan selama 2-3 hari penjemuran dibawah sinae matahari) akan mengalami penyusutan sebanyak 15% (kadar air di rumput laut kering makin sedikit dan berat rumput laut tersebut makin ringan) namun jika rumput laut dalam keadaan lembab (lebih kering lagi) pedagang menanggung penyusutan 5% dari total berat rumput laut. Makin lama rumput laut dijemur maka nilai penyusutan makin kecil. Pedagang pengumpul kecil melakukan pengangkutan dengan biaya yang dikeluarkan sekali jalan Rp 12.000 untuk bahan bakar. Fungsi pemasaran yang dilakukan oleh pedagang pengumpul besar di Kota Kendari adalah penyimpanan dan melakukan standarisasi. pedagang pengumpul besar setelah menerima produk rumput laut dari pedagang pengumpul kecil melakukan kegiatan standarisari berupa pengujian kadar air dan penjemuran. Kegiatan tersebut dalam rangka meningkatkan kualitas
76
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
dari produk tersebut. Kualitas tersebut dilihat dari makin rendahnya kadar air dari rumput laut tersebut dan bersih tidaknya rumput laut tersebut dari pasir, tali rafia dan barang-barang asing lainnya. 3.4.4.1. Tata Niaga Para pelaku usaha produk rumput laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan dapat dikelompokkan menjadi seperti berikut: (1) Kelompok Pembudidaya; (2) Pedagang pengumpul kecil lokal (tingkat desa); (3) Pedagang pengumpul besar 1 (di Kota Kendari); (4) Pedagang pengumpul besar 2 (di Kota Makasar); (5) Eksportir. Dari hasil survey, maka diperoleh 2 pola rantai pemasaran, meskipun pada dasarnya mirip, namun terdapat sedikit perbedaan.
4. Jalur Pemasaran Pertama Dari Gambar 19. diperoleh informasi jalur pemasaran dengan tahapan produk rumput laut kering dari pembudidaya dijual ke pedagang pengumpul kecil lokal di tingkat desa. Setelah itu dari pedagang pengumpul kecil lokal maka dijual ke pedagang pengumpul besar di Kota Kendari, dari pedagang pengumpul besar tersebut, proses tata niaga berlanjut ke pedagang pengumpul besar 2 di Kota Makasar dan langsung dijual ke eksportir di Kota Surabaya maupun di Kota Makasar. Pengolah/Eksportir Makassar
Pembudidaya
Pengumpul Kecil
Pedagang/ Pengumpul Besar Kendari
Pengumpul Besar Makassar
Pengolah/Eksportir Surabaya
Gambar 18. Jalur Pemasaran Pertama
5.
Jalur Pemasaran Kedua Dari Gambar 20. diperoleh informasi tahapan niaga produk rumput laut kering.
Produk rumput laut kering dari pembudidaya dijual langsung ke pedagang pengumpul besar 1 di Kota Kendari yang selanjutnya dikirim langsung pedagang pengumpul besar 2 di Kota Makasar dan langsung dijual ke eksportir di Kota Makasar maupun di Kota Surabaya.
77
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Pengolah/Eksportir Makassar
Pembudidaya
Pedagang/ Pengumpul Besar Kendari
Pengumpul Besar Makassar
Pengolah/Eksportir Surabaya
Gambar 19. Jalur Pemasaran kedua 3.4.5. Investasi dan Potensi pengembangan Usaha Total investasi untuk luasan satu ha dibutuhkan nilai investasi sebesar Rp 13.374.744. Aset produksi yang digunakan dalam budidaya rumput laut di Kota Kendari dan Konawe Selatan terdiri dari Tali PE 12 mm, Tali PE 10 mm, Tali PE 4 mm dan Tali PE 1,5 mm, perahu, pelampung botol dan gabus dan pemberat. Biaya terbesar dalam budidaya rumput laut terdapat pada pembelian tali karena luas areal budidaya rumput laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan bisa mencapai 1 hingga 1,2 ha. Untuk lebih jelasnya terlihat pada tabel berikut Tabel 41. Struktur Investasi Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan Metode Patok
Aset Produksi
Nilai
Tali Utama (Tali PE 10 mm)
Rp
1.033.475
Tali Jaring (Tali PE 12 mm)
Rp
2.180.008
Tali Bentang (Tali PE 6 mm)
Rp
3.350.981
Tali Nylon (Tali PE 1,5 mm)
Rp
2.549.955
Perahu
Rp
1.446.667
Pelampung Botol Pelampung Gabus
375.789 Rp
Pemberat Total Aset Produksi
486.565 Rp
Biaya Operasional Persiklus Total Investasi
383.544 11.806.984
1.943.182 Rp
13.750.166
Sumber : Data Primer Diolah (2011) Biaya yang dikeluarkan dalam usaha budidaya rumput laut, dapat dikategorikan menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Bagi pembudidaya biaya tetap terdiri dari depresiasi aset. Biaya operasional yang dikeluarkan oleh pembudidaya adalah tenaga kerja upahan dan BBM. Secara rinci struktur biaya tetap rata-rata dan biaya operasional
78
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
rata-rata yang dikeluarkan dalam satu tahun untuk usaha budidaya rumput laut tersaji pada Tabel 22. Tabel 42. Struktur Biaya Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Se;atan 2011 Unit : 1 Tahun
Struktur Biaya Penerimaan Biaya Tetap Biaya Variabel Total Biaya
Nilai 6.483.475 9.715.909 16.199.385
Penerimaan
31.100.333
Keuntungan R/C
14.900.949 1,9
Sumber : Data Primer Diolah, 2011 Pembudidaya mengeluarkan biaya tetap dalam satu tahunnya sebanyak Rp 6.483.475 dan lebih lanjut dalam pengelolaan ikan patin biaya operasional yang diperlukan sebesar Rp 9.715.909 Dalam 1 tahun produksi penerimaan pembudidaya sebesar Rp 31.100.333 dimana hasil panen yang didapatkan sebesar 4.512 Kg dengan harga jual Rp 6.800/Kg. Harga rumput laut ditentukan oleh kondisi permintan dan penawaran di pasar. Ketika penelitian ini dilakukan harga jual patin antara Rp 6000 – Rp 7000 di tingkat pembudidaya. Keuntungan yang diperoleh oleh pembudidaya dalam 1 tahun sebesar Rp 14.900.949 dengan RC ratio 1,9 dan hal ini menunjukkan usaha budidaya ini layak dikembangkan. Hasil produksi rumput laut per tahun yang diperoleh pembudidaya memberikan kontribusi dalam ekonomi keluarga. Potensi pemanfaatan areal budidaya rumput laut di Kota Kendari khusus di Kecamatan Abeli baru hanya 45% dari luas potensi 200 ha dan Kecamatan Kendari hanya 3% dari luas potensi 170 ha (Pemerintah Kota Kendari, 2010)Target produksi rumput laut di Kota Kendari tahun 2010-2014 sebagai kawasan minapolitan sebesar 1.791,7 ton dengan luas mencapai 133 ha dengan produksi rumput laut Kota Kendari dari tahun 2008 s.d 2009 meningkat sebesar 4,95%, namun total potensi lahan yang ada bisa mencapai 370 ha dan baru dimanfaatkan 95,7 ha yang tersebar di dua kecamatan. Pembudidaya rumput laut di Kota Kendari tahun 2009 sebanyak 17 kelompok terbagi dalam dua kecamatan dan lima kelurahan dengan jumlah petani
pembudidaya 158 KK. Jumlah unit produksi dan
pemasaran rumput laut di Kota Kendari hingga saat ini tercatat 8 unit dengan kapasitas produksi rata-rata 20 – 60 ton/tahun. (Ilham etal.,2011). Kota Kendari dengan posisi yang cukup strategis sebagai ibukota propinsi dan sebagai sentra pengembangan industri rumput
79
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
laut walaupun di Kota Kendari belum ada industri pengolahan rumput laut untuk memberikan nilai tambah yang signifikan. Tabel 43. Produksi Rumput Laut Kota Kendari Tahun 2008 – 2009 No
Kecamatan
1
Abeli
2
2008 (ton)
2009 (ton)
438,033
459,934
Kendari
27,500
28,875
Jumlah
465,533
488,809
%
4,95
Sumber : Pemerintah Kota Kendari (2010) Target produksi rumput laut di Kabupaten Konawe Selatan tahun 2010-2014 sebagai sentra produksi rumput laut di Sulawesi Tenggara sebesar 26.860 ton dengan luas mencapai 3750 ha dengan produksi rumput laut dari tahun 2008 mengalami peningkatan hingga 30% pada tahun 2010 (tabel xx), namun total potensi lahan yang ada bisa mencapai 17.718 ha dan baru dimanfaatkan 2.627 ha yang tersebar di delapan kecamatan. Pembudidaya rumput laut di Kabupaten Konawe Selatan tahun 2009 sebanyak 629 RTP (Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan, 2010). Tabel 44. Produksi Rumput Laut Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2008 – 2010 No
Kecamatan
2008 (ton)
2009 (ton)
2010 (ton)
1
Tinanggea
4689
6351
8256
2
Pallangga Selatan
1312
1598
2077
3
Laeya
467
671
872
4
Lainea
1630
1975
2568
5
Moramo
1670
1810
2353
6
Moramo Utara
781
971
1262
7
Kolono
501
718
933
8
Laonti
692
810
1053
Jumlah
11.742
14.904
19.375
Sumber : Pemerintah Kota Kendari (2010)
3.5. Komoditas Garam Kabupaten Pamekasan 3.5.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian Kabupaten Pamekasan merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur yang memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan cukup melimpah, hal tersebut didukung dengan letak geografis, dimana pada bagian selatannya berbatasan dengan Selat Madura dan bagian utaranya berbatasan dengan Laut Jawa. Kegiatan usaha sektor
80
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
kelautan dan perikanan yang berkembang di Kabupaten Pamekasan salah satunya adalah usaha tambak garam. Luas lahan tambak garam potensial di Kabupaten Pamekasan yaitu seluas 2.096,5 Ha, namun dari keseluruhan luas tersebut, yang baru diusahakan sebagai lahan tambak garam yaitu seluas 888,7 Ha oleh rakyat dan 907 Ha oleh PT Garam (Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pamekasan, 2010). Keadaan musim di Kabupaten Pamekasan pada umumnya sama dengan di wilayah lainnya di Indonesia yang dikenal dengan 2 (dua) musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan terjadi antara bulan Oktober sampai dengan bulan April sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan April sampai dengan bulan Oktober. Namun pada saat ini waktu terjadinya musim kemarau dan hujan di Kabupaten Pamekasan tidak dapat ditentukan secara pasti, hal ini pun terjadi pada sebagian besar wilayah lainnya di Indonesia. Usaha produksi garam sangat tergantung pada musim, dimana usaha produksi garam di Indonesia pada umumnya termasuk Kabupaten Pamekasan hanya dapat diproduksi pada saat musim kemarau saja yaitu saat intensitas matahari tinggi dan tidak ada hujan. Produksi garam di Kabupaten Pamekasan dapat dibedakan menjadi tiga proses, yaitu pengolahan lahan yang dilakukan ± 1 bulan, pemanenan yang dilakukan selama 3 – 5 kali dalam sebulan dan pengangkutan/pemasaran. Proses pengolahan lahan dilakukan pada saat awal musim kemarau tiba. Proses ini merupakan proses vital yang menentukan kualitas dan kuantitas garam yang dihasilkan. Proses pemanenan garam merupakan proses pengumpulan garam dari lahan tambak dengan menggunakan alat tertentu ke pinggirpinggir pematang lahan tambak. Setelah garam terkumpul, maka proses selanjutnya adalah memasukkan garam ke dalam karung dan kemudian diangkut menggunakan truk/mobil pick up. Pada musim hujan, sebagian lahan tambak garam di Kabupaten Pemekasan dimanfaatkan untuk budidaya ikan bandeng, yaitu pada bagian kolam penampungan air. 3.5.2. Status dan Efisiensi Produksi Usaha produksi garam di Kabupaten Pamekasan dalam kondisi musim kemarau normal dapat dilakukan selama 4 sampai dengan 6 bulan dalam setahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Pamekasan, 2010). Jika dalam musim kemarau tersebut tidak terjadi hujan, maka produksi garam akan semakin meningkat. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pada kondisi optimal (musim kemarau yang stabil) rata-rata jumlah produksi per 1 Ha lahan di Kabupaten Pamekasan dapat menghasilkan garam sebanyak 125 ton/Ha/musim. Jika diasumsikan jumlah produksi yang dihasilkan sebanyak 125 ton/Ha/musim dengan harga jual garam Rp. 235.000/ton, maka penerimaan yang diperoleh oleh petani garam untuk luasan 1 Ha dalam 1 musimnya adalah sebesar Rp. 29.375.000,-
81
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
/musim. Pada Tabel 42. dapat dilihat rincian investasi dan biaya pada usaha tambak garam berdasarkan tahapan kegiatan usahanya, yaitu persiapan lahan, pengelolaan dan pada tahap panen penerimaan usaha tambak garam dengan luas lahan 1 hektare. Tabel 45. Biaya Usaha Penggaraman Pamekasan, 2011 No. 1
Uraian Persiapan Lahan a. Saluran b. Meja peminian c. Meja garam d. Kincir angin e. Pompa air : Pompa besar Pompa kecil f. Alat perata tanah g. Pemecah garam h. Pengumpul garam i. Alat angkut 2 Pengelolaan a. Tenaga kerja 1 orang x 6 bulan b. pemilik 1 orang x 6 bulan 3 Panen a. Upah tenaga kerja panen b. Konsumsi tenaga kerja panen c. Upah tenaga angkut Total Biaya
Volume
Satuan Biaya (Rp.)
Total (Rp.)
1 1 1 2
unit unit unit unit
1.000.000,200.000,250.000,1.250.000,-
1.000.000,200.000,250.000,2.500.000,-
1 1 1 2 2 1
unit Unit Buah Buah Buah Unit
5.000.000,3.000.000,100.000,25.000,150.000,150.000,-
5.000.000,3.000.000,100.000,50.000,300.000,150.000,-
6 6
OB OB
25.000,10.000,-
4.500.000,1.800.000,-
96 96 125
OB OB Ton
20.000,15.000,30.000,-
1.920.000,1.440.000,.750.000,25.960.000,-
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pamekasan, 2010. Harga jual garam di Kabupaten Pamekasan sangat fluktuatif. Pada saat musim panen harga garam berkisar antara Rp. 235.000/ton sampai dengan Rp.350.000/ton. Namun pada saat musim paceklik (musim hujan) harga garam dapat mencapai Rp. 600.000/ton sampai dengan Rp. 1.000.000/ton. Hal tersebut terjadi pada tahun 2010, dimana pada tahun tersebut hujan turun hampir sepanjang bulan, sehingga banyak lahan garam yang ada di wilayah Madura maupun wilayah lainnya di Indonesia mengalami gagal panen, sehingga terjadi lonjakan harga garam dari harga Rp. 235.000/ton (tahun 2009) sampai dengan Rp. 1.000.000/ton (akhir tahun 2010). Pada kondisi optimal (musim kemarau yang stabil) rata-rata jumlah produksi per 1 Ha lahan di Kabupaten Pamekasan dapat menghasilkan garam sebanyak 125 ton/Ha/musim. Jika diasumsikan jumlah produksi yang dihasilkan sebanyak 125 ton/Ha/musim dengan harga jual garam Rp. 235.000/ton, maka penerimaan yang diperoleh oleh petani garam untuk luasan 1 Ha dalam 1 musimnya adalah sebesar Rp. 29.375.000,/musim. Berdasarkan Tabelxx, diketahui bahwa keseluruhan total biaya dalam 1 musim yaitu
82
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
sebesar Rp. 25.960.000,-/musim. Sehingga keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp. 3.415.000,-/musim. Nilai R/C ratio pada usaha garam di Kabupaten Pamekasan yaitu sebesar 1,13, hal ini menunjukkan bahwa usaha tambak garam layak diusahakan. Nilai R/C ratio dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan bagi lembaga permodalan untuk memberikan tambahan modal usaha dengan mempertimbangkan aspek yang lain sehingga kegiatan usaha tambak garam dapat lebih berkembang.
Nilai Payback Period (waktu pengembalian
investasi) pada usaha tambak garam di Kabupaten Pamekasan yaitu 3,67, hal ini menunjukkan bahwa nilai pengembalian investasi dalam satu siklus usaha adalah selama 3,67 tahun atau diperlukan hampir empat kali siklus usaha (musim panen) untuk mengembalikan uang yang diinvestasikan bagi petani garam. 3.5.3. Daya saing komoditas Garam merupakan salah satu komoditas yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam keberlangsungan industri di Indonesia. Walaupun Indonesia termasuk negara maritim, namun usaha meningkatkan produksi garam belum diminati termasuk dalam usaha meningkatkan kualitasnya. Hal ini dibuktikan pada Tahun 2011 impor garam di Indonesia melalui Pelabuhan Tanjung Perak saja sudah mencapai 1,07 ton ( http://regional.kompas.com/read/2011/09/16/2211503). Pada umumnya garam yang di impor merupakan garam dengan kualitas baik (setara K1), dalam hal ini merupakan garam beryodium dan garam untuk kebutuhan industry. Dalam era globalisasi perdagangan dan investasi saat ini, komoditas garam yang dihasilkan harus dapat bersaing dengan komoditas sejenis asal negara lain, baik di pasar internasional maupun pasar domestik. Persaingan tersebut dapat mengancam keberlanjutan pengembangan usaha garam di Indonesia yang pada akhirnya akan menghambat laju pertumbuhan produksi, serta mempengaruhi kesejahteraan ekonomi para petambak garam di Indonesia. Persaingan antar produsen membuat pasar semakin terbuka. Di Indonesia terdapat beberapa sentra produksi garam, salah satunya adalah Kabupaten Pamekasan. Selain harus bersaing dengan wilayah lainnya di Indonesia, produksi garam asal Kabupaten Pamekasan pun harus bersaing dengan produksi garam asal negara lainnya, seperti Australia dan India. Kabupaten Pamekasan merupakan salah satu sentra produksi garam yang ada di wilayah Jawa Timur. Dalam pemenuhan kebutuhan garam nasional, produk garam asal Kabupaten Pamekasan harus bersaing dengan produk garam asal sentra produksi disekitarnya, seperti produk garam asal Kabupaten Sampang dan Kabupaten Sumenep. Daya saing produk dalam suatu wilayah menjadi penting untuk
83
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
melihat kemungkinan mampu bersaing dan bertahan untuk memenuhi permintaan pasar. Untuk mengukur daya saing produk garam di Kabupaten Pamekasan diukur dengan menggunakan matrik analisis kebijakan atau matrik PAM. Daya saing produk garam asal Kabupaten Pamekasan akan dibandingkan dengan
produk garam asal Kabupaten
Sumenep. Pengukuran daya saing yang dilakukan yaitu berdasarkan biaya faktor produksi, biaya tradables input dan harga output. Berikut matrik PAM Usaha Tambak Garam di Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sumenep tahun 2011. Tabel 46. Policy Analysis Matrix Garam Sumenep, 2011
Input Penerimaan Produksi Private/Pamekasan Rp 29,375,000 Rp. Social/Sumenep Rp 29,375,000 Rp. Efek Divergensi Rp Rp. Sumber : Data Primer Diolah, 2011. Domestik Factor Cost Ratio (DRCR) = 1,58
Biaya Faktor Produksi Rp 18,671,495 Rp 11,748,162 Rp 6,923,333
Profit Rp. 10,703,505 Rp. 17,626,838 Rp. (6,923,333)
Analisis yang dilakukan pada usaha tambak garam di Kabupaten Pamekasan tidak memasukkan nilai input produksi. Hal ini dikarenakan jenis input produksi yang digunakan pada usaha tambak garam adalah air laut. Air laut berdasarkan hak kepemilikannya bersifat common property
sehingga para petambak garam dapat dengan bebas memanfaatkan
sumberdaya ini. Berdasarkan tabel diatas terlihat terlihat bahwa daya saing produk garam Kabupaten Pamekasan relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan produk garam Kabupaten Sumenep. Hal ini terlihat dari nilai Domestic Resources Cost Ratio (DRCR) pada lokasi tersebut sebesar 1,58. Nilai ini menunjukkan bahwa besarnya biaya faktor produksi di Kabupaten Pamekasan jauh lebih tinggi sebesar 58% jika dibandingkan dengan biaya produksi pada Kabupaten Sumenep. Faktor yang mempengaruhi besarnya biaya faktor produksi pada Kabupaten Pamekasan adalah biaya sewa lahan, upah tenaga kerja dan peralatan pendukung tambak garam yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan hargaharga faktor produksi di Kabupaten Sumenep. 3.5.4. Karakteristik Pasar 3.5.4.1. Tata Niaga Garam yang dihasilkan oleh petani tidak langsung dijual kepada konsumen, baik konsumen rumah tangga maupun konsumen industri. Tetapi petani menjual produknya ke pedagang pengumpul, kemudian pedagang pengumpul ke pabrik atau usaha garam rakyat. Berdasarkan hasil penelitian, jalur distribusi garam di Kab. Pamekasan dibagi ke dalam tiga jenis jalur distribusi, yaitu:
84
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
1. Jalur Ditribusi Garam Pada jalur ini petani menjual hasil produksinya ke pengepul. Petani mengeluarkan biaya produksi sampai dengan panen. Sedangkan pengepul mengeluarkan biaya untuk pembelian karung. Pengepul kemudian menjual ke agen besar/distributor/ mitra perusahaan. Dalam hal ini pengepul dapat langsung mengirimkan produk garam ke pabrik, tetapi dengan ‘memegang’ lisensi dari mitra perusahaan tersebut atau ‘meminjam nama’ agen/mitra perusahaan tersebut. Pabrik/perusahaan yang menerima produk garam melakukan proses pencucian, iodisasi sampai dengan pengemasan. Produk yang dikemas siap dikirimkan ke distributor atau pedagang besar di seluruh Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara dengan dua perusahaan, daerah distribusi garam meliputi Surabaya, Sumatera Utara (Medan), dan Kalimantan. Jalur distribusi dapat dilihat pada Gambar 21. di bawah ini.
Tengkulak
Petani Pengep ul
Petani Garam
Agen/ distributor/ Mitra PT
Pabrik
Pedagang Besar
Pengecer
Konsumen
Sumber: Data Primer diolah, 2011
Gambar 20. Jalur Distribusi Produk Garam di Kabupaten Pamekasan 2. Jalur Distribusi Usaha Garam Rakyat Selain didistribusikan ke pabrikan atau perusahaan, di Kabupaten Pamekasan terdapat usaha garam rakyat skala industri rumah tangga. Para petani garam bergadung dalam kelompok tani. Hasil produksi garam kelompok tani ini dijual ke Usaha Garam Rakyat skala rumah tangga. Unit usaha ini melakukan pengolahan garam seperti perusahaan garam, yaitu proses pencucian, iodisasi dan pengemasan. Kemudian unit usaha ini mendistribusikan ke pedagang kecil/pengecer di pasar lokal Pulau Madura yaitu Pamekasan dan Sumenep, dan pedagang kecil/pengecer di pasar local menjual kepada konsumen. Selain dijual ke pasar local, hasil produksi garam dijual ke pedagang besar di luar daerah, yaitu Jombang, Magetan, Banyuwangi dan Wonogiri. Jumlah produk garam yang didistribusikan mencapai 80 ton/bulan. Frekuensi dan jumlah distribusi garam skala rumah tangga
85
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Tabel 47. Frekuensi & Jumlah Distribusi Produk Garam Skala Rumah Tangga Kelompok Mutiara Indah, Kab. Pamekasan
No
1
Daerah
Lokal (Pamekasan &
Frekuensi
Jumlah
pengiriman (per
Distribusi
bulan)
(ton/bulan)
30
15
0,5 ton/hari
Keterangan
Sumenep) 2
Wonogiri
2
20
10 ton/trip
3
Magetan
2
20
10 ton/trip
4
Banyuwangi
1
10 - 20
10 ton/trip
5
Jombang
1
10
10 ton/trip
Sumber: Data primer diolah, 2011
Jalur distribusi hasil produksi garam skala rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 22. di bawah ini.
Petani Garam Rumah Tangga
Home Industry
Pedagang Besar
Pengecer Lokal
Konsumen Lokal
Pengecer
Konsumen
Sumber: Data Primer diolah, 2011
Gambar 21. Jalur Distribusi Produk Garam Skala Rumah Tangga di Kabupaten Pamekasan 3. Jalur Distribusi Garam Impor Rendahnya hasil produksi garam menyebabkan beberapa perusahaan mengimpor garam dari Australia dan India. Berdasarkan wawancara dengan pihak perusahaan pengimpor yang menjadi responden, kuota impor garam yang dimiliki sebesar 80.000 ton/2 bulan. Kebutuhan produk garam perusahaan tersebut sekitar 750-1000 ton/hari untuk didistribusikan ke pasar local (sekitar 20 ton/hari) dan luar daerah (seluruh Indonesia) sekitar 750 – 1000 ton/hari. Garam impor ini disalurkan oleh perusahaan
86
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
pengimpor ke agen/distributor/mitra kerja perusahaan lain dan ke pedagang besar di seluruh Indonesia. Agen/distributor/mitra kerja mendistribusikan ke perusahaan yang menjadi mitra kerja para agen tersebut, pedagang besar sekitar Pulau Jawa (Surabaya, Solo dan Kediri), dan pedagang kecil/pengecer di pasar local Kab. Pamekasan. Sedangkan Perusahaan mendistribusikan garam impor ke pedagang besar di seluruh Indonesia. Jalur distribusi garam impor dapat dilihat pada Gambar 23. di bawah ini.
Luar Negeri
Importir/ Pengolahan & Pengemasan
Agen distributor/Mitra PT
Pengecer Lokal
Konsumen Lokal
Pengecer
Konsumen
Pabrik/PT
Pedagang Besar
Sumber: Data Primer diolah, 2011
Gambar 22. Jalur Distribusi Produk Garam Impor di Kabupaten Pamekasan 3.5.5. Investasi dan Potensi pengembangan Usaha Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Pamekasan, pelaku usaha industri garam di wilayah ini mayoritas dalam skala usaha kecil atau usaha rakyat. Investasi usaha tambak garam di Kabupaten Pamekasan antara lain terdiri dari lahan, kincir angin, pompa air, gudang penyimpanan dan peralatan tambak garam lainnya. Khusus di Kabupaten Pamekasan, investasi untuk jenis aset lahan merupakan investasi yang paling besar dikeluarkan dalam usaha tambak garam. Hal ini dikarenakan, harga lahan yang sangat tinggi (mencapai Rp.1.000.000,-/meter) dan luas lahan
tersedia yang terbatas .
Semakin jauh lokasi lahan dari bibir pantai atau dekat dengan akses jalan, maka akan semakin tinggi harga jual lahan tersebut. Petani garam di Kabupaten Pamekasan banyak yang menyewa lahan garam dari orang lain untuk digarap, baik dengan cara sistem bagi hasil atau sewa tahunan. Berdasarkan status kepemilikan lahan, pada umumnya para petani garam di Kabupaten Pamekasan yang memiliki lahan garam merupakan lahan warisan dari keluarga yang sudah turun temurun. Untuk melakukan usaha tambak garam dengan luasan lahan 1 Ha, dibutuhkan biaya investasi ± Rp. 12.550.000,- yang digunakan untuk pengadaan aset usaha. Namun, jika lahan yang digunakan adalah berupa lahan sewa, maka ditambahkan dengan biaya sewa lahan. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata harga sewa lahan adalah Rp. 3.000.000 Ha/Thn.
87
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Permasalahan yang dihadapi oleh usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan maupun di wilayah lainnya di Indonesia pada umumnya hampir sama. Pengelolaan usaha garam rakyat ini selalu dihadapkan pada berbagai permasalahan, antara lain; (1) produksi yang masih sangat bergantung pada iklim (musim kemarau), (2) mutu garam yang dihasilkan masih rendah, (3) dukungan sarana, prasarana dan infrastruktur yang belum optimal, dan (4) minimnya akses permodalan (pendanaan) serta pemasaran. Beberapa permasalahan tersebut menjadi faktor utama terhambatnya perkembangan industri garam di Indonesia. Ketidakmampuan industri garam di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan garam nasional baik untuk konsumsi dan industri hal ini memberikan peluang terhadap negaranegara lain untuk mengekspor garamnya ke Indonesia. Di satu sisi, impor garam memang diperlukan untuk memenuhi defisit garam dalam negeri, namun di sisi lain dengan masuknya garam impor membuat harga garam dalam negeri menjadi turun, sehingga tidak sedikit para pelaku usaha garam rakyat di Indonesia yang mengalami kerugian. Sejauh ini, memang kualitas garam impor sedikit lebih baik dibandingkan dengan garam dalam negeri dan dari segi harga pun lebih murah. Kondisi inilah yang menambah terpuruknya industri garam di Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh, produksi garam oleh rakyat dan PT. Garam sampai dengan tahun 2009 adalah sebanyak 1.100.000 ton, sedangkan jumlah produksi garam yang setara dengan Kualitas 1 (K1) hanya sebesar 956.800 ton. Hal ini menunjukkan bahwa hanya sebesar 87% garam yang dihasilkan memiliki kualitas 1 (K1), sedangkan sebesar 13% dibawah kualitas 1. Tentu saja kualitas garam berpengaruh terhadap harga garam. Untuk harga garam kualitas 1, untuk wilayah Kabupaten Pamekasan pada tahun 2009 adalah sebesar Rp.325.000,-/ton sedangkan untuk kualitas 2 adalah sebesar Rp. 250.000,-ton. Pada Tabel 45. berikut dapat dilihat perkembangan produksi garam pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Tabel 48. Perkembangan Produksi Garam Tahun 2005 – 2009. TAHUN Uraian
2005
2006
2007
2008
2009
Garam Rakyat (ton)
895,000
988,000
777,000
783,000
800,000
PT Garam (ton)
255,000
316,000
200,000
250,000
300,000
Jumlah Nasional (ton)
1,150,000
1,304,000
977,000
1,033,000 1,100,000
Produk Setara K1 (ton)
994,684
1,147,520
870,898
932,283
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010
88
956,800
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Indonesia sebagai salah satu negara kepulaan di dunia memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah. Salah satu produk kelautan yang dihasilkan oleh negara Indonesia adalah garam. Secara singkat, garam diproduksi dengan cara menampung air laut, kemudian di uapkan dengan menggunakan sinar matahari sehingga tertinggal kristal-kristal garam. Di Indonesia terdapat beberapa wilayah yang menjadi sentra usaha garam rakyat, antara lain (1) Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon dengan masing-masing potensi luas lahan 1.287,90 Ha dan 1.728 Ha, (2) Provinsi Jawa Tengah, yaitu wilayah Kabupaten Pati dan Kabupaten Rembang dengan masing-masing potensi luas lahan 2.860 Ha dan 1.465,14 Ha, (3) Provinsi Jawa Timur, yaitu Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Tuban dengan masing-masing potensi luas lahan 4.200 Ha, 1.864 Ha, 888,70 Ha dan 202,86 Ha, dan (4) Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu di Kabupaten Nagekeo dengan potensi luas lahan 1.765 Ha. Estimasi kebutuhan garam nasional baik industri dan konsumsi pada tahun 2012 mencapai 3.028.630 ton, sedangkan target produksi nasional pada tahun 2012 adalah 2.444.482. Dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa Indonesia secara keseluruhan belum mampu untuk memenuhi kebutuhan garamnya sendiri sehingga harus melakukan impor garam dari negara lain, seperti Australia dan India. Pada tahun 2012, diperkirakan impor garam yang dilakukan oleh Indonesia untuk memenuhi kebutuhan nasional adalah sebanyak 584.148 ton (KP3K, 2011). Pada Tabel berikut akan disajikan besarnya estimasi kebutuhan garam, target produksi dan impor garam di Indonesia sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Tabel 49. Estimasi Kebutuhan, Target Produksi, Impor Garam di Indonesia, Tahun 2010 – 2014. No
Uraian
1
Tahun 2010
2011
2012
2013
2014
Kebutuhan Nasional (Ton)
2.779.429
2.942.760
3.028.630
3.117.421
3.209.241
2
Target Produksi Nasional (Ton)
1.265.600
1.569.600
2.444.482
3.997.946
7.762.305
3
Impor (Ton)
1.513.829
1.373.160
584.148
-880.525
4.553.064
Sumber : KP3K, 2011. Berdasarkan Tabel 46., diketahui bahwa estimasi kebutuhan nasional garam sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 terus meningkat. Hal ini dapat menjadi salah satu faktor pendorong pengembangan usaha garam di Indonesia dalam rangka pemenuhan kebutuhan garamnya secara mandiri. Mayoritas usaha tambak garam yang dilakukan di
89
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Indonesia tergolong dalam skala usaha kecil atau lebih dikenal dengan istilah usaha garam rakyat. Pengembangan industri kecil dan menengah merupakan salah satu kelompok prioritas pengembangan industri di Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Jangka Menengah Nasional. Industri garam di Indonesia pada umumnya dilakukan dalam skala usaha rakyat atau industri kecil. Sejalan dengan
Rencana
Pembangunan
Jangka Panjang
Menengah,
pemerintah melalui
Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat kebijakan swasembada garam melalui pemberdayaan usaha garam rakyat (PUGAR) yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan mutu garam yang dihasilkan.
90
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 4.1. Kesimpulan Dari hasil analisis yang telah disampaikan pada bab terdahulu, maka untuk masingmasing komoditas budidaya yang dianalisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 4.1.1. Lele Kabupaten Bogor Berdasarkan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas, dapat disimpulkan bahwa usaha budidaya komoditas Lele Kabupaten Bogor, berada dalam kondisi increasing return to scale, yang mengindikasikan bahwa secara bersama-sama, penambahan input produksi dan faktor produksi pada tingkat tertentu, akan meningkatkan produksi dengan proporsi yang lebih besar dari besarnya tingkat penambahan input dan faktor tersebut. Selain itu, diperoleh pula informasi bahwa pakan adalah variabel input produksi yang paling berpengaruh secara signifikan terhadap produksi. Selanjutnya, pada analisis efisiensi diketahui pula bahwa pada proses produksinya, terjadi nilai rata-rata efisiensi teknis yang cukup tinggi, yaitu 0,99 dengan sebaran yang cenderung mendekati efisien. Berdasarkan analisis daya saing, dengan menggunakan metoda PAM, maka diperoleh nilai DRCR sebesar 1,55, dan TRCR sebesar 1,16. Kedua angka tersebut merupakan indikator bagi rendahnya daya saing komoditas Lele kabupaten Bogor, baik pada Faktor Produksi Domestik maupun Input Produksi Tradables, apabila dibandingkan dengan pesaingnya dari Tulung Agung. Rendahnya daya saing tersebut terjadi, selain karena harga faktor dan input yang tinggi, juga karena kondisi lingkungan yang menimbulkan kebutuhan atas input tambahan berupa obat-obatan dan vitamin. Berdasarkan analisis SCP, diperoleh informasi bahwa Pasar komoditas Lele Kabupaten
ini
bersifat
Oligopoli
dengan
kecenderungan
adanya
Kartel,
yang
mengakibatkan para pembudidaya – yang diwakili oleh para ketua kelompoknya – dapat melakukan pengaturan harga jual. Selain informasi tersebut, diperoleh pula informasi bahwa wilayah pemasaran komoditas tersebut adalah daerah sekitar JABODETABEK serta BOPUNCUR. Dari hasil wawancara, diperoleh pula informasi bahwa sebenarnya terdapat permintaan yang cukup tinggi di daerah Batam. Namun tidak ada pemasar yang mau memasarkan ke lokasi tersebut, karena margin pemasaran tidak menutup biaya pemasaran. Adapun rantai pemasaran produk ini adalah melalui pengumpul, pedagang besar, distributor, dan pengecer.
91
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Dari data primer yang diolah, maka diperoleh informasi bahwa nilai Investasi untuk berusaha budidaya lele di kabupaten Bogor ini sangat besar. Tidak kurang dari Rp. 90,000,000.- untuk investasi pada asset, dan Rp. 543,000,000.- untuk biaya operasional satu tahun. Adapun kesempatan usaha yang nampaknya muncul adalah di bidang pembenihan, pemasaran ke luar kota, serta usaha produksi pakan tambahan. 4.1.2. Patin Muaro Jambi Usaha budidaya Patin di Kabupaten Muaro Jambi berada pada kondisi decreasing return to scale, yang menunjukkan bahwa proporsi peningkatan penggunaan input dan faktor produksi lebih besar dari proporsi peningkatan produksi yang terjadi. Selain itu diperoleh juga informasi bahwa benih merupakan variabel input produksi yang memiliki pengaruh signifikan terbesar terhadap produksi. Dari hasil analisis daya saing, diperoleh informasi bahwa komoditas Patin Kabupaten Muaro Jambi ini berdayasaing relatif lebih tinggi dibandingkan pesaingnya di Kabupaten Katingan. Hal tersebut ditunjukan oleh nilai DRCR sebesar 0,83 dan TRCR sebesar 0,75, yang menunjukkan Kabupaten Muaro Jambi memiliki keunggulan dibandingkan pesaingnya baik dari segi faktor produksi domestik maupun input produksi tradable. Dari analisis SCP, maka diperoleh informasi bahwa Pasar komoditas Patin Kabupaten Muaro Jambi ini bersifat monopsoni, dimana banyak pembudidaya dengan hanya satu pembeli yang memiliki kemampuan untuk mengatur harga beli. Selain itu, diketahui pula bahwa wilayah pemasarannya mencakup pasar lokal di kota Jambi, maupun luar kota hingga ke Provinsi Sumsel dan Bangka Belitung. Adapun jalur pemasaran komoditas ini adalah melalui para pengumpul kecil, seorang pedagang besar, beberapa distributor luar kota, dan banyak pengecer. Dari olahan data primer, diperloleh informasi bahwa nilai Investasi untuk berusaha budidaya patin di Muaro Jambi ini sangat besar. Untuk berusaha budidaya dengan luasan kolam rata-rata 2,412 m2, akan dibutuhkan sekitar Rp. 39,195,150.-, untuk investasi pada asset, dan Rp. 434,299,759.- pada biaya operasional 1 tahun. Kesempatan pengembangan usaha di budidaya Patin Muaro Jambi muncul di bidang pemasaran, terutama pemasaran ke luar negeri. 4.1.3. Gurame Banyumas Usaha budidaya komoditas Gurame di Kabupaten Banyumas, berdasarkan analisis fungsi produksi, berada pada kondisi increasing return to scale. Selain itu, diketahui pulah bahwa secara rata-rata terjadi efisiensi teknis dengan nilai sebesar 0,95. Selanjutnya, dapat
92
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
disimpulkan pulah bahwa pakan adalah variabel input produksi yang secara signifikan paling berpengaruh terhadap produksi. Dari analisis PAM, diperoleh informasi bahwa Komoditas Gurame Kabupaten Banyumas memiliki dayasaing yang relatif sedikit lebih tinggi pada Input tradable dibandingkan komoditas saingan dari Tulungagung, yang ditunjukkan dengan nilai TRCR sebesar 0,9. Adapun di sisi daya saing faktor produksi domestic, dengan nilai DRCR sebesar 1, maka dapat dikatakan bahwa Komoditas ini memiliki daya saing yang sebanding dengan komoditas saingannya. Dari hasil analisis SCP, dapat disimpulkan bahwa Pasar Komoditas Gurame Kabupaten Banyumas bersifat monopsoni, dimana terdapat banyak pembudidaya dengan hanya satu pembeli besar yang mengatur harga beli. Selain itu, dikitahui pula bahwa wilayah pemasaran komoditas ini adalah di pasar lokal sekitar kabupaten Banumas saja. Hakl tersebut merupakan akibat dari system pembayaran para pemasar yang menggunakan sistem tunda, sehingga para pembudidaya mengalami resiko kekurangan modal untuk menutupi biaya operasional jika masa tunda pembayaran penjualan ke luar kota terlalu lama (tidak kurang dari 1 bulan). Adapun jalur pemasaran komoditas Gurame ini adalah melalui melalui para pengumpul, seorang pedagang besar, dan akhirnya banyak pengecer. Investasi untuk untuk berusaha budidaya Gurame di Banyumas ini dapat dikatakan relatif tidak terlalu besar. Untuk berusaha budidaya dengan luasan kolam rata-rata 1,205 m2, hanya dibutuhkan sekitar Rp. 12,947,672.- untuk investasi pada asset, dan Rp. 47,303,793.untuk biaya operasional satu tahun. Dilihat dari kondisi usaha saat ini, maka usaha budidaya Gurame ini lebih cenderung untuk dikembangkan kearah usaha pemasaran ke luar kota seperti Jakarta, dan Jawa Barat. 4.1.4. Rumput Laut Kendari Usaha budidaya Komoditas Rumput Laut di Kendari, berdasarkan analisis fungsi produksi, berada pada kondisi yang decreasing return to scale. Selain itu, secara rata-rata, terjadi efisiensi penggunaan input dan faktor produksi dengan nilai rata-rata sebesar 1,10. Hal tersebut menunjukkan bahwa Budidaya Rumput Laut di Kendari sudah melampau titik efisiennya. Selanjutnya, diketahui pula bahwa bibit merupakan variabel input produksi yang secara signifikan paling berpengaruh terhadap produksi. Dari analisis daya saing menggunakan metode PAM, maka diperoleh informasi bahwa Komoditas ini memiliki daya saing input tradable yang rendah jika dibandingkan dengan komoditas serupa yang dihasilkan di Lombok, ditunjukan oleh nilai TRCR sebesar 1,38. Selain itu, dapat dikatakan bahwa daya saing faktor produksi domestik komoditas ini
93
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
cukup baik jika dibandingkan dengan komodias serupa produk Lombok, yang ditunjukkan dengan nilai DRCR sebesar 0,98. Dari analisis SCP, dapat dilihat bahwa Pasar Komoditas Rumput Laut Kendari bersifat monopsoni, dimana terdapat banyak pembudidaya dengan hanya satu pembeli utama yang memiliki kemampuan untuk menentukan harga. Adapun wilayah pemasaran akhir bagi komoditas ini adalah di luar kota (Surabaya) sebagai bahan baku bagi produksi turunan Rumput Laut. Selanjutnya, rantai pemasaran bagi produk ini adalah melalui melalui para pengumpul kecil, beberapa pengumpul besar di Makassar, dan akhirnya satu pengumpul besar di Surabaya/Pabrik pengolah. Nilai investasi untuk berusaha budidaya rumput laut di Kendari dapat dikatakan relatif cukup rendah. Untuk berproduksi dengan luasan lahan sekitar 12,589 m 2, hanya diperlukan sekitar Rp. 11,440,754.- untuk investasi dalam asset produksi, dan Rp. 9,715,909.- untuk biaya operasional satu tahun. Adapun dilihat dari dinamika usaha di lapangan, maka nampaknya pengembangan usaha Komoditas Rumput Laut di Kendari lebih cenderung jika di arahkan ke pengolahan Rumput Laut di lokasi. 4.1.5. Garam Pamekasan Dari hasil analisis daya saing, maka dapat disimpulkan bahwa Komoditas Garam Pamekasan memiliki nilai dayasaing Faktor produksi yang rendah jika dibandingkan dengan komoditas saingannya dari Sumenep. Hal tersebut dapa dilihat dari nilai DRCR sebesar 1,58, yang mengindikasikan bahwa biaya faktor produksi domestik di Pamekasan 58% jauh lebih tinggi dibandingkan biaya yang terjadi di Sumenep. Dari hasil analisis SCP, dapat dikatakan bahwa Pasar Komoditas Garam Pamekasan ini cenderung bersifat pasar persaingan sempurna, dimana terdapat banyak penggaram yang menghasilkan produk serupa, sehingga tidak memiliki maket power. Adapun wilayah pemasaran komoditas ini mencakup pasar baik lokal maupun nasional. Sedangkan rantai pemasaran yang terjadi adalah melalui banyak pengumpul, banyak tengkulak, banyak agen, beberapa pabrik, bebarapa pedangang besar, dan banyak pengecer. Nilai investasi untuk bertani garam di Pamekasan dapat dikatakan cukup rendah. Untuk berusaha dengan luasan 10,000 m2, hanya dibutuhkan investasi dalam asset sebesar Rp. 15,324,816.-, dan investasi dalam biaya operasional satu tahun sebesar Rp. 18,671,495. Mengingat besarnya permintaan domestik atas komoditas ini, maka sepatutnya pengembangan usaha komoditas Garam Pamekasan ini dapat diarahkan ke bidang industrialisasi yang menghasilkan garam dengan kualitas lebih baik.
94
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
4.2. Implikasi Kebijakan Dengan diperolehnya berbagai fakta hasil analisis data seperti yang telah disimpulkan di bagian terdahulu, maka untuk masing-masing komoditas, agar program minapolitan dapat bergulir secara berhasil, terdapat berbagai implikasi kebijakan yang bersifat commodity-specific, yang harus diambil oleh para pengambil keputusan. Di bawah berikut akan disampaikan secara singkat berbagai kebijakan yang harus disiapkan untuk masing-masing komoditas. 4.2.1. Lele Kabupaten Bogor Untuk tujuan peningkatan produksi serta daya saing komoditas Lele di Kabupaten Bogor, maka perlu kiranya diadakan program peningkatan ketersediaan dan stabilisasi harga berbagai Input Produksi – terutama input produksi berupa pakan. Peningkatan ketersediaan input, selain akan mempermudah para pembudidaya untuk memperoleh akses bagi peningkatan penggunaan input produksi, juga diharapkan akan menginisiasi terjadinya peningkatan supply input di pasaran, sehingga – ceteris paribus – akan mengakibatkan terjadinya penurunan harga pasar secara otomatis.
Penurunan harga input tersebut
selanjutnya juga akan menjadi faktor yang memperkuat daya saing Komoditas Lele Kabupaten Bogor. Apabila telah terjadi penurunan harga, maka selanjutnya perlu dilakukan stabilisasi untuk mempertahankan harga agar tidak terjadi peningkatan kembali. Untuk tujuan perluasan wilayah pemasaran komoditas ini, maka perlu kiranya diadakan program bantuan pengiriman ke pasar potensial (Batam). Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan sebuah lembaga pemasaran yang bertugas memasarkan Komoditas Lele ke pasar potensial, yang tentunya ditunjang secara finansial oleh pemerintah. Adapun pada operasionalnya, Lembaga Pemasaran ini akan langsung melakukan pembelian ke pembudidaya dan memasarkannya ke wilayah pemasaran potensial, sehingga marjin pemasaran yang terjadi akan mencukupi karena berkurangnya peran para middlemen (tengkulak, dan Pedagang besar) dalam tataniaga. Untuk tujuan Investasi dan pengembangan usaha, maka perlu kiranya diadakan program bantuan investasi, khusus bagi para pelaku yang berminat untuk berusaha di bidang pembenihan serta pembuatan pakan tambahan di Kabupaten Bogor. Adapun jenis bantuan yang dapat diberikan dapat berupa pinjaman lunak untuk modal melakukan usaha di sektor yang berhubungan dengan perikanan, maupun bantuan penyediaan sarana produksi murah.
95
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
4.2.2. Patin Muaro Jambi Pada dasarnya daya saing komoditas Patin Muaro Jambi di skala nasional relatif cukup tinggi, sehingga untuk mempertahankan tingginya daya saing tersebut para pengambil kebijakan tinggal menjaga stabilitas harga input dan faktor produksi agar tidak mengalami peningkatan harga yang cukup drastis. Akan tetapi terdapat dua hal yang menjadi permasalahan bagi usaha budidaya Patin di kabupaten Muaro Jambi. Permasalahan pertama adalah relatif masih tradisionalnya teknologi budidaya sehingga mengakibatkan terjadinya decreasing return to scale; dan kedua adalah masih terbatasnya skala pemasaran di pasar lokal dan regional. Untuk mengatasi permasalah masih tradisionalnya usaha budidaya Patin, maka perlu dilakukan program pengenalan teknologi serta tata-cara usaha budidaya yang modern kepada para pembudidaya, serta program bantuan untuk berinvestasi pada sarana yang modern. Modernisasi usaha budidaya tersebut diharapkan akan mengembalikan posisi usaha kembali ke keadaan increasing return to scale, serta meningkatkan kualitas produk sehingga siap untuk dipasarkan secara internasional. Sumber dari keterbatasan skala pemasaran sebenarnya berada pada rantai pemasaran yang berlangsung saat ini, dimana hanya terdapat satu orang pedagang besar yang meskipun memiliki kemampuan untuk mengatur harga, namun juga memiliki keterbatasan kemampuan permodalan untuk menembus pasar lebih luas. Oleh karena itu, permasalahan ini harus diatasi melalui pengembangan sebuah lembaga pemasaran yang di tunjang secara financial oleh pemerintah. Lembaga ini akan langsung membeli produk dari pembudidaya dan memasarkannya ke berbagai pasar nasional maupun internasional yang potensial, sehingga dapat mengurangi inefisiensi dari banyaknya campur tangan para middlemen. Selain itu, diharapkan lembaga ini dapat mengurangi praktek monopsoni yang selama ini berlangsung di bidang pemasaran Komoditas Patin Kabupaten Muaro Jambi. 4.2.3. Gurame Banyumas Serupa dengan Komoditas Patin Muaro Jambi, daya saing Komoditas Gurame Banyumas memiliki daya saing yang cukup baik di tingkat nasional. Sehingga untuk mempertahankan keunggulan tersebut, maka para pengambil kebijakan cukup melakukan program stabilisasi harga input dan faktor produksi di Kabupaten Banyumas. Adapun hal yang menjadi masalah bagi kelangsungan usaha budidaya gurami kabupaten Banyumas ini adalah perihal terbatasnya skala pemasaran hingga di tingkat lokal saja, padahal permintaan di tingkat nasional cukup tinggi dan menjanjikan. Sumber dari permasalahan tersebut adalah adanya praktek monopsoni, serta sistem bayar tunda yang
96
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
selama ini berlangsung. Oleh karena itu, agar masalah ini dapat diatasi, maka perlu kiranya dilakukan program Pengembangan Informasi Pemasaran, Penjaminan Permodalan Pemasaran, serta pengembangan lembaga pemasaran yang ditunjang penuh secara finansial oleh pemerintah. Pengembangan informasi pemasaran diharapkan akan menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh pembudidaya mengenai berbagai pasar potensial serta para penyalur di lokasi tersebut, sehingga mengurangi ketergantungan para pembudidaya terhadap pengetahuan pedagang besar (Assimetric Information), dan mengurangi praktek monopsoni. Selain itu, juga akan menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh para penyalur di lokasi yang potensial mengenai potensi budidaya kabupaten Banyumas. Penjaminan permodalan pemasaran, diharapkan akan dapat mengurangi resiko terjadinya kekurangan modal untuk operasional para pembudidaya, sebagai akibat dari perputaran kas yang cukup lama dari sistem bayar tunda, juga memperluas lokasi pemasaran komoditas. Melalui penyediaan pinjaman lunak bagi para pedagang, maka memungkinkan bagi para pembudidaya untuk langsung menerima kas pada saat produk dibeli, dan para pemasar untuk menyicil pembayaran setelah produk dijual. Untuk tujuan perluasan wilayah pemasaran, maka perlu juga kiranya dikembangkan sebuah lembaga pemasaran yang bertugas memasarkan Komoditas Gurame Kabupaten Banyumas ke pasar nasional yang potensial, yang tentunya ditunjang secara finansial oleh pemerintah. Adapun pada operasionalnya, Lembaga Pemasaran ini akan langsung melakukan pembelian ke pembudidaya dan memasarkannya ke wilayah pemasaran potensial, sehingga marjin pemasaran yang terjadai akan mencukupi karena berkurangnya peran para middlemen (pengumpul, dan Pedagang besar) dalam tataniaga. 4.2.4. Rumput Laut Kendari Permasalahan yang dialami oleh usaha budidaya Rumput Laut di Kendari adalah terjadinya decreasing return to scale, dan daya saing input produksi tradables yang rendah. Oleh karena itu, untuk meningkatkan produksi dan daya saing Komoditas ini, maka opsi yang dihadapi oleh para pengambil keputusan agar terjadi peningkatan produksi dan daya saing adalah melakukan program modernisasi budidaya, peningkatan ketersediaan dan stabilisasi harga input produksi di Kendari. Selain itu, cukup memungkinkan bagi komoditas ini untuk dikembangkan pengolahannya, agar terjadi peningkatan pendapatan masyarakat pelaku Usaha Budidaya Rumput Laut di Kendari.
97
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
4.2.5. Garam Pamekasan Permasalahan bagi komoditas Garam di Pamekasan adalah rendahnya kualitas produk dan daya saing, serta tergantungnya usaha terhadap variabel di luar kendali seperti cuaca. Oleh karena itu, opsi kebijakan yang dihadapi oleh para pengambil keputusan untuk meningkatkan produksi dan daya saing produk garam Pamekasan adalah dengan melakukan program modernisasi proses produksi, peningkatan efisiensi faktor produksi dan investasi riset teknologi yang mengurangi ketergantungan para petambak garam akan variabel cuaca.
98
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
DAFTAR PUSTAKA Achmad, A. B. 1998. Visi Baru Sebuah Pelabuhan. Agrimedia Volume 4 No. 3. ISSN 08538468. (Online). Available at : http://journal.ipb.ac.id/index.php/agrimedia/article/ viewFile/2577/1563. Verified at : 27 Januari 2011. Anonim. 20101. Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010-2014. Kementarian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Anonim. 20102. Stastistik Ekspor Impor Perikanan Indonesia Tahun 2009. Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Anonim. 2010. The Value Chain. (Online). Available at : (http://www.netmba.com /strategy/value-chain/. Verified at : 20 Februari 2011. Anonim. The Value Chain. (http://www.netmba.com /strategy/value-chain/, diunduh tanggal 20 Februari 2011. Arianto, E. 2008. MEngukur Struktur Industri (Pasar). http://strategika.wordpress.com/ 2008/08/04/mengukur-struktur-industri/ diunduh tanggal 25 Februari 2011 Battese, G. E. 1991. Frontier Production Funtions and Technical Effeicieny : A Survey of Empirical Application in Agricultural Economics. Departemen of Econometrics University of New England Armidale, Australia. Chopra, Sunil & Peter Meindl. 2007. Supply Chain Management: Strategy, Planning & Operations, 3rd Edition. Pearson Prentice Hall. Daryanto, A.
2009.
Dinamika Daya Saing Industri Peternakan.
IPB Pres – Bogor,
Indonesia. 238 hal. Daryanto, A. 2010. Minapolitan: Strategi Peningkatan Daya Saing Perikanan Berbasis Klaster. Artikel Majalah Trobos Edisi Februari 2010 Monke, E.A. & S.R. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix For Agricultural Development.
http://www.stanford.edu/group/FRI/indonesia/documents/pambook/
pambook.pdf diunduh tanggal 18 Februari 2011 Muslim, E. & G.T. Febriana. 2008. Analisis Industri Hypermarket di Indonesia dengan Aliran Structure Conduct Performance. Makalah Seminar on Application and Research in Industrial Technology di Yogyakarta tanggal 27 Agustus 2008.
99
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
2011
Sukiyono, K. 2004. Analisis Fungsi Produksi dan Efesiensi Teknik : Aplikasi Fungsi Produksi Frontier Pada Usahatani Cabai di Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 6 No 2. Hlm 104 – 110. ISSN 1411-0067. (Online). Available at http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/ jurnal/6204104110.pdf . Di unduh pada: 28 Februari 2011. Syabana, A. 2011. Kawasan Minapolitan Percontohan berbasis Perikanan Tangkap di PPN Pelabuhan Ratu. (Online). Availabel at : http://akhmadsyahbana.wordpress.com /2011/01/14/kawasan-minapolitan-percontohan-berbasis-perikanan-tangkap-di-ppnpalabuhanratu/. Di unduh pada: 25 Januari 2011
100