RISALAH RAPAT PANJA RUU KUHP RABU, 10 FEBRUARI 2016
BELUM DIKOREKSI
RISALAH RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------(BIDANG HUKUM, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Sifat Jenis Rapat Hari/tanggal Acara :
: : : : : :
2015-2016 III Terbuka Rapat Panja Rabu 10 Februari 2016 Melanjutkan Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP).
PIMPINAN RAPAT (F-PD (DR. BENNY KABUR HARMAN, SH): Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh Selamat malam dan salam sejahtera buat kita semua, Yang kami hormati Bapak dan Ibu Anggota panja, Yang kami hormati Dirjen Perundang-undangan, Nara sumber dan Bapak dan Ibu sekalian, Sebelum kita mulai kami mengajak kita semua untuk bersama-sama memanjatkan puji dan syukur kehadirat tuhan yang maha kuasa, sebab atas berkenan-Nya kita dapat menghadiri rapat panja pembahasan lanjutan DIM rancangan Undang-Undang tentang KUHP pada malam hari ini dalam keadaan sehat wal’afiat. Sesuai dengan catatan yang ada di Pimpinan, rapat pada malam ini baru dihadiri oleh Anggota 7 dari 25 Anggota Komisi III dan 4 dari 10 fraksi. Oleh karena itu rapat ini belum memenuhi korum untuk kita lanjutkan. Karena itu kami tawarkan seijin Ibu dan Saudara-Saudara sekalian rapat kita skors selama 5 menit, kalau nanti tidak hadir juga maka kita lewatkan ya? lima menit ya? (RAPAT DISKORS 5 MENIT)
Lanjutkan ya? Dirjen KUMHAM dan jajarannya yang kami hormati Bapak dan Ibu Anggota panja rancangan Undang-Undang KUHP, Sesuai dengan kesepakatan kita tadi skors rapat ini untuk menunggu kehadiran teman-teman fraksi yang ikut dalam panja. Namun sampai saat ini tidak ada perubahan dan tidak ada perkembangan. Golkar masih ada masalah, PPP masih punya masalah. Oh Golkar ada ya? biasanya dua ya? PDIP yang mungkin ada masalah juga. Saya heran juga harusnya partai Pemerintah paling depan ini. Tapi kami akan konfrensi pers, partai-partai pendukung Pemerintah yang menghambat-hambat ini pembahasan tentang RUU ini. Hanya partai Pemerintah tapi partai paling bontot ini, Pak Taufiq ini. Baik, saya mohon persetujuan Bapak dan Ibu Pemerintah, mungkin pada kesempatan ini kita akan mendengarkan pemaparan dari Pemerintah berkenan dengan beberapa pasal DIM yang kita sepakat pada saat itu untuk dirumuskan ulang oleh Pemerintah. Kalau misalnya kita sepakat maka skors akan saya cabut dan membuka rapat ini dan saya nyatakan rapat ini terbuka untuk umum. Jadi kita sepakat untuk kita lanjutkan, nanti akan datang kalau sudah memenuhi korum kita akan minta persetujuan. Itu Pemerintah ya? (SKORS DICABUT) Baik, acara kita pada malam ini adalah meminta tim Pemerintah untuk menyampaikan melakukan pemaparan hasil rumusan ulang terhadap sejumlah DIM, kalau nanti mungkin ada tanya jawab lalu kita tutup. Sehingga dengan demikian nanti rapat ini kita akhiri pukul setengah sepuluh atau pukul sepuluh. Pukul sepuluh ya paling lambat. (RAPAT : SETUJU) Dirjen Perundang-undangan dan tim Pemerintah yang kami hormati, Bapak dan Ibu Anggota Komisi III, Sebelum kita lanjutkan kami perlu menyampaikan beberapa hal. Sesuai dengan kesepakatan kita pada rapat panja yang terakhir di hotel Santika. Terdapat beberapa DIM. Jadi pembahasan sebelumnya saya ulangi lagi, ada sejumlah DIM yang kita sepakat untuk diserahkan kepada timus dan timsin, termasuk DIM-DIM dan materi yang sudah kita sepakati. Kemudian ada juga substansi DIM yang substansinya harus kita sinkronisasikan kembali satu pasal dengan pasal yang lainnya dan yang terakhir ada sejumlah DIM yang kita sepakati untuk memohon Pemerintah merumuskan dan mereformasi kembali pasal-pasal itu sehingga merupakan rangkaian pasal yang satu sama lain mempunyai tautan yang utuh. Pasal-pasal DIM yang dimaksudkan itu adalah DIM 109 sampai dengan DIM 122. Kemudian DIM 125 sampai dengan DIM 155, DIM 162 dan DIM 163, kemudian DIM 164. Lalu DIM 190 sampai dengan DIM 197a, selanjutnya DIM 198 sampai dengan DIM 202, DIM 212 sampai dengan DIM 215 dan yang terakhir itu DIM yang
berkenaan dengan pasal-pasal hukuman, pasal 66, pasal 70 sampai dengan pasal 81 dan pasal 88. Kemudian ada DIM pasal-pasal yang waktu itu sengaja kita lompati, karena pasal itu berkenaan dengan DIM yang akan kita bahas kemudian. Pada waktu itu kita sepakat untuk kita lompati dulu. Kalau dia kita sepakat untuk lompati nanti akan lebih gampang untuk membahas dan menyepakatinya. Jadi ini beberapa catatan kami dan mudah-mudahan tidak berbeda dengan apa yang ada di dalam catatan Pemerintah. Kalau tidak ada keberatan dengan yang kami sampaikan tadi. Maka kita memohon kesedian tim Pemerintah untuk menjelaskan hasil formulasi ulang dan ada istilahnya dulu rekstrukturisasi kembali sejumlah norma supaya lebih runtun dan lebih sequence antara bab pasal yang satu dengan pasal-pasal berikutnya. Kita setuju begitu caranya Pemerintah? (RAPAT : SETUJU) Kami persilakan. PEMERINTAH : Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh Selamat malam dan salam sejahtera, Terima kasih Pimpinan, Pada kesempatan yang berbahagia ini Pemerintah menyampaikan terima kasih bahwa pembahasan panja RUU KUHP dapat kita lanjutkan untuk menindaklanjuti beberapa kesepakatan panja pada tanggal 21 sampai 23 Januari di hotel Santika beberapa waktu yang lalu . Pada saat beberapa yang lalu juga Pimpinan menugasi pada Pemerintah untuk merumuskan kembali, melakukan konsilidasi dengan tim unsur Pemerintah. Oleh karena itu mohon berkenan Pimpinan, malam ini sesuai dengan arahan Bapak menteri, juru bicara Pemerintah, ini perlu kita sampaikan. Surat sudah kita sampaikan kepada Pimpinan. Malam ini hadir Prof. Eni Nurbaningsih sebagai Ketua, kemudian juga Pak Yucipto Supiadi dan kemudian saya sendiri DR. Mualimin Hardi, Dirjen HAM. Dan Pak Ambeng Paramarta kepala Puslitbangkum HAM, kementerian hukum dan HAM. Juga yang perlu kami sampaikan kepada Pimpinan, unsur Pemerintah yang telah hadir. Bersama Pak Agus Muhardi, maaf tambahan juga, ada sekitar lima juru bicara yang nanti dan kelanjutan pembahasan-pembahasan berikutnya kami akan saling bergantian. Kemudian unsur Pemerintah yang telah hadir juga perlu kami sampaikan kepada Pimpinan dari kementerian hukum dan HAM, kejaksaan agung dan kemudian dari mabes polri juga hadir, dari biro hukum KPK juga hadir. Juga sesuai dengan arahan dari Pimpinan kita juga sudah mengundang Mahakam Agung, tetapi sampai sekarang masih belum ada konfirmasi. Dan juga kita mengundang para pakar juga Prof. Muladi, Prof. Hastuti, DR. Huda dan DR. Swartini yang akan mendampingi kami dalam pembahasan-pembahasan ini.
Untuk itu mohon berkenan Pimpinan dalam pembahasan ini Prof. Eni Nurbaningsih akan memberikan penjelasan sesuai dengan tadi arahan Pimpinan terkait dengan arahan dari Pemerintah mengenai DIM nomor 109 yang mudahmudahan nanti bisa sesuai dengan kesepakatan pukul sepuluh DIM nomor 122 disampaikan. Saya persilakan Prof. Eni. PEMERINTAH (PROF. ENI NURBANINGSIH) : Terima kasih Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh Bapak Pimpinan dan Bapak Ibu Anggota panja RUU KUHP. Saya akan menyampaikan terkait dengan DIM 109 sampai dengan DIM 122 yaitu pasal 27 sampai dengan pasal 31. Dalam kaitan ini Pemerintah bersama dengan tim penyusun menyampaikan apresiasi sebaik-baiknya atas usulan fraksifraksi dalam kontek tindak pidana aduan pasal 27. Pemerintah dalam memahami pandangan fraksi terkait dengan batas usia anak yang berumur dibawah 16 tahun. Substansi pasal 27 ini mengatur hak anak untuk mengajukan pengaduan. Dengan demikian anak yang berumur 12 tahun 3 bulan misalnya, maka yang bersangkutan dapat langsung melakukan pengaduan terhadap polisi. Dalam hal dia menjadi korban dalam pelecehan seksual atau penghinaan misalnya. Jadi ketentuan pasal 27 berbeda dengan batas usia anak. Batas usia bagi anak dalam melakukan tindak pidana. Bagi anak yang melakukan tindak pidana berlaku ketentuan tindak pidana sebagaimana Undang-Undang 11 tahun 2011 tentang sistem tindak pidana anak dan Undang-Undang tentang perlindungan anak. Berkenaan dengan hal ini saya akan membacakan, mohon ijin Pimpinan apakah saya bacakan pasal aslinya dulu atau langsung kepada pasal perubahannya? Langsung keperubahannya. Baik terima kasih. Pasal 27 ini terkait dengan ada perubahan pada paragraph 7 menjadi tindak pidana aduan. Pasal 27 perubahan yang disampaikan disini saya akan bacakan. Dalam hal korban tindak pidana aduan ayat (I) belum berumur 16 tahun, maka yang berhak adalah orang tua atau walinya. Kemudian ayat (2) dalam hal orang tua atau wali sebagaimana dimaksud pada ayat (I) tidak ada atau orang tua/wali itu sendiri yang harus diadukan maka pengaduan dilakukan oleh keluarga dalam garis lurus. Kemudian ayat (3) dalam hal keluarga sedarah dalam garis lurus sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak ada, maka pengaduan dilakukan keluarga sedarah menyamping sampai derajat ketiga. Perubahan-perubahan ini dilakukan oleh Pemerintah karena Pemerintah tadi memahami sebagaimana saya sampaikan terkait dengan batas usia anak yang berusia 16 tahun. Bahwa Pemerintah menentukan pasal 27 baru ini mengatur mengenai anak untuk melakukan pengaduan. Dengan demikian anak yang berumur
16 tahun 3 bulan misalnya. Maka yang bersangkutan dapat langsung mengadukan pengaduan kepada polisi. Dia yang menjadi korban langsung terkait dengan pidana pelecahan dan penghinaan. Jadi ketentuan pasal 27 berbeda dengan batas usia anak yang melakukan tindak pidana yang berlaku baginya adalah Undang-Undang SPPA dan perlindungan anak. Kemudian penjelasan Pemerintah terkait dengan usia anak 16 tahun dan sudah kawin sebagaimana pembahasan yang lalu . Pemerintah meminta persetujuan kembali terkait dengan frase dan belum kawin yang telah dibahas dalam panja tanggal 19 November 2015. Mengingat frase dan belum kawin merupakan syarat kumlatif, sehingga terdapat anggapan tindak pidana yang belum berusia 16 tahun tapi sudah kawin. Untuk itu dari hasil pembahasan itu Pemerintah sepakat untuk menghilangkan frase dan belum kawin, karena menurut Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan mensyaratkan bahwa perkawinan bagi perempuan 16 tahun keatas dan laki-laki 19 tahun. Kemudian Pemerintah menjelaskan bahwa ketentuan pasal 27 ini masuk dalam paragrap tindak pidana aduan. Sehingga korban tindak pidana yang belum berusia 16 tahun atau yang dibawah pengampunan hanya terkait dengan tindak pidana aduan yang Antara lain tadi saya sebutkan, penghinaan, kemudian tindak pidana kesusilaan. Dalam KUHP dan Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang SPPA. Terhadap delik umum berlaku ketentuan pelaporan. Dalam arti setiap orang termasuk korban berhak melaporkan tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Dalam pasal 108 KUHP ayat (1) setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan menjadi korban peristiwa yang menjadi korban tindak pidana berhak melaporkan atau pengaduan terhadap penyelidik atau penyidik baik lisan maupun tertulis. Untuk laporan terhadap tindak pidana umum tidak dibatasi batasan umur bagi pelapor. Terkait dari usulan fraksi Demokrat tentang makna wakilnya yang sah. Pemerintah mengusulkan frase wakilnya yang sah diganti dengan wali. Yang dapat diartikan sebagai badan atau orang yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh orang tua terhadap anak. Jika pengertian ini disepakati Pemerintah mengusulkan untuk dapat ditempatkan sebagai penjelasan. Agar tidak meninggalkan kerancuan diusulkan juga untuk mengajukan frase mejelis pengawas, majelis pengampu. Oleh karena itu lah tadi saya bacakan pasal 27 yang baru sebagaimana penjelasan dari Pemerintah diatas. Jika hal ini diterima kemudian penjelasan pasal 27 ayat (1) nya cukup jelas, ayat (2) cukup jelas, kemudian ayat (3) yang dimaksud dengan keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga adalah kakak/adik kandung dan paman/keponakan. Jika kemudian ini disetujui kami akan menyampaikan pasal 27a, yang kita nanti akan sebut pasal 28 baru. Saya kira ini saya berhenti dulu disini, mungkin ada tanggapan dari anggota panja atau saya bacakan langsung Pak Pimpinan. PIMPINAN RAPAT : Langsung saja ibu.
PEMERINTAH : Langsung saja ya Pak. Pasal 28 baru yang sekarang kami sebut sebagai pasal 27a dalam draft ini. 28 baru ini. PIMPINAN RAPAT : Belum, sebelum itu tadi DIM 109 ya? PEMERINTAH : 109 ya. Pasal 28 baru. Saya bacakan ayat (1) dalam hal korban tindak pidana aduan dibawah pengampuan, maka yang berhak mengadu adalah pengampunya. Ayat (2) dalam hal pengampu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak ada atau pengampu itu sendiri yang harus diadukan maka pengaduan harus dilakukan istri korban atau keluarga sedarah dalam garis lurus. Ayat (3) dalam hal istri korban atau keluarga sedarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada maka pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga. Penjelasan ayat (1), ayat (2) atau ayat (3) ini kami menganggap ini cukup jelas. Kemudian saya lanjutkan terkait dengan pasal 28 lama. Pemerintah memberikan satu kemudahan untuk memahami rumusan sehingga ada penyempurnaan pasal 28 yang nanti akan menjadi pasal 29. Rumusan barunya adalah pasal 29, dalam hal korban tindak pidana aduan meninggal dunia. Maka pengaduan dapat dilakukan oleh orang tua, anak, suami atau istri korban, kecuali jika korban secara tegas tidak menghendaki adanya penuntutan. Untuk penjelasan kami memandang ini cukup jelas pasal 29 yang merupakan penggantian pasal 28 yang lama. Jadi ini pasal 28 lama menjadi pasal 29. Dapat kami lanjutkan Pak Pimpinan? Kemudian pasal 29 yang lama yang nanti akan menjadi pasal 30 penyesuaiannya. Ayat (1) pengaduan dilakukan dengan cara menyampaikan pemberitahuan dan permohonan untuk dituntut. Ayat (2) pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diadukan secara tertulis kepada pejabat berwenang. Kemudian penjelasan Pemerintah memandang cukup jelas. Terkait dengan hal ini jawaban Pemerintah terhadap pertanyaan dari fraksi partai Demokrat. Untuk mengecek apakah sudah diatur dalam hukum acara, kami dapat menjelaskan bahwa di dalam KUHP belum diatur tata cara pengaduan yang dilakukan secara tetulis. Substansi pasal 29 ini diatur dalam RUU tentang KUHP tidak dalam RUU KUHAP. Karena lebih menekankan dalam konsep fictim factivision, partisipasi korban yang berada ranah hukum pidana materil. Hal ini berbeda dengan hukum acara pidana yang pada substansinya mengatur tentang bagaimana cara acara penegak hukum menegakkan hukum pidana materil. Berlakunya pasal 29 mutatis mutalis untuk pasal 27 sampai dengan pasal 31. Bahwa definisi anak yang menjadi korban adalah anak menjadi korban tindak pidana. Kemudian substansi pengaduan ini juga berlaku pada KUHP yang sekarang, termasuk pengaturan mengenai hapusnya kewenangan yang menuntut pidana dalam menjalankan pidana serta daluarsa. Substansi ini mengenakan pada nilai
historis, sosiologis dan praktis yang telah digunakan oleh praktisi maupun akademisi. Demikian untuk rumusan jawaban terkait dengan pasal 29 atas pertanyaan dari fraksi Demokrat. Selanjutnya untuk pasal 30 yang nanti akan ada penyesuaian penomoran pasalnya. Pasal 30 berbunyi ayat (1) pengaduan harus diajukan dalam tenggang waktu, a. 6 bulan terhitung sejak tanggal orang yang mengadu mengetahui adanya tindak pidana. Jika yang mengadu bertempat tinggal di wilayah Negara republic Indonesia. Atau b. 9 bulan terhitung sejak tanggal orang yang mengadu mengetahui adanya tindak pidana, jika yang berhak mengadu bertempat tinggal diluar wilayah republik Indonesia. Kemudian ayat (2) jika yang berhak mengadu lebih dari seorang maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak masing-masing mengetahui adanya tindak pidana. Terkait dengan pasal 30 lama ini nanti akan ada penyesuaian nomor. Pemerintah memandang penjelasannya cukup jelas. Dalam hal ini Pemerintah memberikan jawaban untuk pasal 30 ini. Pemerintah berpandangan agar rumusan Pemerintah dapat disetujui mengingat dalam DIM DPR RI seluruh fraksi menyatakan tetap terkait dengan pasal 30. Kemudian pasal 31 yang nanti juga akan ada penyesuaian nomor. Ayat (1) pengaduan dapat ditarik kembali dalam waktu 3 bulan terhitung sejak tanggal pengaduan diajukan. Ayat (2) pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi. Penjelasan Pemerintah memandang cukup jelas. Dalam hal ini jawaban Pemerintah terkait dengan usulan dari Gerindra. Pemerintah tidak mengubah konsep yang ada didalam KUHP dengan mempertimbangkan nilai-nilai historis dan praktis yang selama ini tidak menimbulkan permasalahan. Terhadap usulan dari fraksi Demokrat. Pemerintah dapat menjelaskan bahwa praktek selama ini, tawaran untuk menarik kembali pengaduan dilakukan di siding pengadilan dan hakim selalu bertanya kepada pengadu apakah delik aduan ini akan dilanjutkan atau tidak. Waktu tiga bulan merupakan waktu yang sangat proposional untuk berpikir dan mempertimbangkan pengaduan, karena pengaduan tidak dapat diajukan setelah ditarik. Itu yang terkait dengan DIM 109 sampai dengan DIM 122. Mohon ijin Bapak Pimpinan apakah dapat dilanjutkan dari DIM 125 sampai dengan DIM 155 terkait dengan pasal 33 sampai dengan pasal 47. PIMPINAN RAPAT : Ya saya kembalikan kepada Bapak dan ibu anggota panja. Apakah kita untuk pemaparan Pemerintah tadi itu sudah sangat bagus ini untuk, Karena dengan pidana aduan. Itu nanti yang berikutnya 125 sampai dengan 152. Apakah kita minta Pemerintah selesai semua dulu? Kalau kita akan menyampaikan atau mau satu satu ini dulu. Satu satu ya? F-DEMOKRAT (ERMA SURYANI RANIK, SH):
Pak Ketua, usul saya kita selesaikan dulu catatan semua dari Pemerintah. Karena ini sebagian dari teman-teman kan belum datang dari fraksi-fraksi. Jadi nanti supaya lebih fokus. Terima kasih PIMPINAN RAPAT : Ok, silakan. PEMERINTAH : Baik terima kasih kami lanjutkan. Untuk pembacaan terkait dengan DIM 125 sampai dengan DIM 155 terkait dengan pasal 33 sampai dengan pasal 47 yaitu bab 2 tindak pidana dan pertanggungjawban pidana, bagian kesatu tindak pidana paragrap kedelapan alasan pembenar. Pasal 33 nanti penyesuaian pasalnya saya kira ini mengikuti saja. Pasal 33 masih tercatat seperti itu. Berbunyi, setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tetapi perbuatan tersebut untuk melaksanakan perintah jabatan tidak dipidana. Penjelasan pasal 33, ketentuan ini merupakan ketentuan yang berkaitan dengan alasan pembenar. Yaitu alasan yang menghapuskan sikap hukum tindak pidana karena melaksanakan perintah jabatan. Dalam hal ini harus ada hubungan yang bersifat publik Antara yang memberikan perintah dan yang melaksanakannya. Ketentuan ini tidak berlaku untuk hubungan yang bersifat keperdataan. Terkait dengan hal ini ada beberapa usulan dari PPP yang mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tetapi perbuatan tersebut untuk melaksanakan perintah jabatan yang sah tidak di pidana, terkait dengan istilah yang sah. Kemudian usul dari Nasdem, setiap orang yang melakukan yang dilarang tetapi perbuatan tersebut dilakukan untuk melaksanakan perintah jabatan tidak di pidana. Terkait dengan hal itu jawaban Pemerintah terhadap usulan PPP dan Nasdem serta dinamika pembahasan yang berkembang. Pemerintah pada dasarnya menyetujui dua alternative tersebut karena di dalam pasal 51 KUHP. Ditentukan bahwa barang siapa yang melakukan perbuatan untuk melakukan perintah jabatan, yang diberika kuasa untuk itu tidak boleh dihukum. Dari makna rumusan KUHP tersebut. Pemerintah lebih tepat memilih penambahan frase dari pejabat yang berwenang yang dapat diartikan perintah jabatan yang sah sehingga dengan rumusan pasal 33 berbunyi sebagai berikut, ini rumusan barunya. Setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tetapi perbuatan tersebut untuk melakukan perintah jabatan dari pejabat yang berwenang tidak dipidana. Penjelasan pasal 33, dalam ketentuan ini harus ada hubungan yang bersifat hukum publik. Antara yang memberikan Pemerintah dan yang melaksanakannya. Ketentuan ini tidak berlaku untuk yang bersifat keperdataan.
Kemudian selanjutnya pasal 34 yang lama berbunyi, setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang karena keadaan darurat tidak di pidana. Kemudian ini ada penjelasan Pemerintah terkait dengan hal ini menanggapi dengan usulan PKS, Nasdem, Pemerintah dapat menjelaskan karena yang ditanyakan mengenai keadaan darurat, yang dalam bahas Belanda kita kenal dengan istilah… yang artinya satu adanya pertentangan dua kepentingan hukum, adanya pertentangan kepentingan hukum dan kewajiban hukum, dan ketiga adanya pertentangan dua kepentingan hukum. Ada beberapa contoh yang berkaitan dengan itu, ada perebutan papan. Ini adalah contoh klasik yaitu papan kenades, kemudian seorang pengemis meminta minta dijalan dengan alasan dia sudah berumur 70 tahun dan cacat dan dia sudah tidak dapat mencari nafkah dengan bekerja. Tindakan pengemisan itu bukan merupakan perbuatan darurat. Jika kemudian rumusan pasal 33 dapat disepakati berarti rumusannya. 33 yang tadi yang saya bacakan, maka rumusan pasal 34 ini menjadi berbunyi sebagai berikut. Setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tetapi perbuatan tersebut dilakukan karena keadaan darurat tidak di pidana. Untuk dapat menjelaskan keadaan darurat, Pemerintah melakukan penjabaran yang cukup panjang yang tertuang dalam penjelasan pasal 34. Yang berbunyi dengan penjelasan baru. Yang dimaksud dengan keadaan darurat adalah keadaan dimana terjadi pertentangan Antara untuk kepentingan hukum dengan kepentingan hukum yang lain, satu kewajiban hukum dengan kewajiban hukum yang lain atau Antara satu kepentingan hukum dengan kewajiban hukum. Dalam menentukan unsur keadaan darurat. Unsur psikis bukan merupakan pertimbangan yang utama. Tetapi bahwa pembuat tindak pidana telah mengambil sikap bahwa lebih mengutamakan perlindungan kepentingan hukum. Rumusan pasal 34 ditambahkan dengan beberapa contoh, yaitu mengenai perebutan papan kenedes dalam rangka menyelamatkan nyawanya sendiri atau menyelematkan nyawa temannya. Berarti antar dua kepentingan hukum. Kemudian tindakan dokter yang menghadapi situasi ibu hamil dengan resiko tinggi. Apakah dokter akan menyelematkan ibu dengan resiko bayi meninggal atau menyelematkan bayi dengan resiko ibu meninggal. Ini terkait dengan dua kewajiban hukum. Kemudian pemadan kebakaran yang menghadapi situasi pilihan Antara menyelematka rumah-rumah sekitar dengan merobohkan rumah yang terbakar. Terkait dengan pertentangan antar kepentingan hukum dengan kewajiban. Itu penjelasan dari pasal 34 yang baru. Kemudian pasal 35. Pasal 35 ini ada beberapa usulan dan ini ada kaitannya jika pasal 33 dan pasal 34 diterima nantinya,maka untuk pasal 35 ini ada penyesuaian rumusan ini satu alur. Pasal 35 Pemerintah menyampaikan usulannya adalah untuk yang baru. Setiap orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang tetapi perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan terhadap serangan dan acaman serangan seketika yang melawan hukum terhada diri sendiri atau orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan, harta benda atau orang lain tidak di pidana.
Kemudian penjelasan pasal 35 untuk menentukan pembelaan terpaksa dilakukan empat keadaan. Yaitu a, harus ada ancaman atau serangan-serangan yang melawan hukum yang bersifat seketika. B. pembelaan dilakukan karena tidak ada jalan lain subdiaritas untuk menghalau serangan. Kemudian c, pembelaan hanya dapat dilakukan terhadap ketentuan yang bersifat limitative, yaitu kepentingan hukum untuk diri sendiri atau orang lain baik yang menyangkut kehormatan, kesulilaan atau harta benda dan d, kesimbangan Antara pembela yang dilakukan atas serangan yang diterima proposionalitas. Kemudian pasal 36, ini kebetulan dari PDIP menyatakan tidak perlu dihapuskan saja. Tetapi Pemerintah mengatakan terkait dengan pasal 36 ini ada penjelasan, bahwa bunyi pasal 36 adalah termasuk alasan pembenar adalah sikap tidak ada maksud melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (2). Terkait dengan hal itu penjelasannya cukup jelas, Pemerintah menyampaikan bahwa usulan dari fraksi partai PDIP. Pemerintah berpendapat bahwa rumusan dari pasal 36 tetap, karena merupakan konsekuensi dari ketentuan pasal 12 ayat (2) yang mensyaratkan bahwa untuk dapat di pidana harus diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan juga harus bersifat melawan hukum dan bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Bahwa pasal 36 merupakan pasal baru yang mengisi kekurangan terhadap KUHP lama yang selama ini berjalan. Dalam KUHP lama tidak ada penegasan atau perumusan formal tentang azas ketiadaan sifat melawan hukum yang materil yang dikenal dengan istilah azas… walaupun sebenarnya azas itu ada diakui atau dikenal sebagai alasan atau alasan pembenar yang tidak tertulis. Kemudian Pemerintah menambahkan perbuatan melawan hukum pada dasarnya terbagi atas perbuatan melawan hukum yang materil dan formil. Dalam kontek ini telah terdapat putusan Mahkamah Agung nomor 42/KR/1965 tanggal 8 Januari 1966 terkait dengan tindak pidana korupsi yang membebaskan terpidana karena memenuhi syarat atau alasan pembenar berupa tidak adanya sifat melawan hukum secara materil yaitu a. terdakwa tidak memperoleh keuntungan, b. pelayanan publik tetap terpenuhi dan c. Negara tidak dirugikan. Itulah penjelasan Pemerintah terhadap usulan dari fraksi PDIP yang Pemerintah menganggap bahwa pasal 36 tetap adanya. Selanjutnya terkait dengan pasal 37. Pemerintah melihat disini memang ada catatan mengenai istilah celaan. Bahwa usul dari Gerindra mengenai pasal 37, pertanggungjawaban pidana adalah suatu kewajiban yang harus ditanggung seorang tindak pidana yang dibuat sebagai penghukuman atas perbuatannya itu. Jawaban Pemerintah terhadap usul tersebut Pemerintah berpendapat bahwa pasal 37 merupakan pengantar yang bersifat umum yang dielabolari untuk pasalpasal dan paragrap berikutnya yang mengatur mengenai kesalahan kesengajaan atau kealfaan, kemampuan bertanggungjawab dan alasan pemaaf sampai dengan pasal 54. Kemudian celaan objektif terhadap perbuataannya sedangkan celaan subjektif itu terkait dengan kesalahan pelaku atau pembuat. Dari hasil pembahasan panja terkait dengan redaksional Pemerintah memberikan rumusan pasal 37
menjadi sebagai berikut. Pertanggungjawaban pidana adalah kondisi terpenuhinya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan celaan yang subjektif terhadap setiap orang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana. Dalam kaitan ini penjelasan Pemerintah pasal 37 berbunyi sebagai berikut. Tindak pidana tidak berdiri sendiri, ini baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan… yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku. Dan secara subjektif yang pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenakan pidana karena perbuatannya. Dasar adanya tindak pidana adalah azas legalitas, sedangkan dapat di pidananya pembuat tindak pidana adalah azas kesalahan. Ini berarti pembuat tindak pidana, ini ada kesalahan ketik ya? Pembuat tindak pidana hanya satu. Hanya akan di pidana jika dia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut hal pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana mempunyai tindak pidana dilihat dari segi kemasyarakatan, dia dapat dicela karena perbuatannya. Dalam hukum pidana penjelasan diatas dikenal dengan konsep monudualistik. Demikian terkait dengan pasal 37 termasuk penjelasannya. Kemudian pasal 38. Ini ada usulan dari Gerindra yang mengatakan ditambahkan unsur kelalaian, kealpaan menujuk kepada ketidak sengajaan sedangkan kelalaian tidak melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan sesuai dengan wewenang atau keadaan secara sengaja. Dapat dilihat dalam DIM nomor 56 pasal 12 ayat (1) yang menyatakan tidak melakukan sesuatu juga termasuk tindak pidana. Rujukannya adalah Antara lain pasal 42 Undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang pengadilan HAM sesuai dengan hukum moniter internasional. Dalam kaitan ini perlu ada penjelasan mengenai adanya kealpaan dan kelalaian. Kemudian PKS mengapa hanya alasan pemaaf yang dimasukkan, alasan pembenar bagaimana? Jawaban Pemerintah terkait dengan hal itu. Apabila rumusan pasal 37 tadi diatas yang baru dan penjelasan yang disetujui. Pemerintah mengusulkan perubahan untuk penjelasan pasal 38 ayat (1). Sehingga kalau saya bacakan pasal 38 ayat (1) tidak seorang pun yang melakukan tindak pidana dapat di pidana tanpa kesalahan. Kemudian ayat (2) kesalahan meliputi kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan atau kealpaan dan tidak ada alasan pemaaf. Kemudian penjelasan Pemerintah untuk pasal 38 ayat (1) apabila dengan syarat tadi pasal 37 nya disetuji maka dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya merujuk pada dilarangnya perbuatan sebagaimana ditetapkan dalam satu peraturan perundangundangan yang bersifat melawan hukum secara materil. Apakah pembuat tindak pidana yang telah melakukan perbuatan yang dilarang kemudian juga dijatuhi pidana sangat tergantung pada persoalan apakah dalam melakukan perbuatan tersebut
pembuat tindak pidana dapat dipertanggungjawaban. Dengan kata lain apakah pembuat tindak pidana mempunyai kesalahan. Yang dimaksud dengan kesalahan adalah keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan dan perbuatan itu dilakukan sedemikian rupa sehingga orang itu patut dicela. Kesalahan adalah unsur subjektif dari pelaku tindak pidana yang meliputi kemampuan unsur bertanggungjawab kurung unsur kewarasan garing kenormalan jiwa si pelaku. Unsur sikap batin dalam melakukan perbuatannya kurung berupa kesengajaan atau kealpaan dan tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahannya itu kurung alasan pemaaf. Apabila pembuat tindak pidana mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana maka dia akan dijatuhi pidana. Dalam hal pembuat tindak pidana tidak mempunyai kesalahan walaupun telah melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana maka dia tidak akan dijatuhi pidana. Dengan demikian azas tiada pidana dengan kesalahan merupakan azas fundamental dalam pertanggungjawaban pidana. Ayat (2) Pemerintah memandang cukup jelas. Terhadap perubahan pasal 38 ayat (2) Pemerintah berpendapat bahwa kata kelalaian dan kata kealpaan merupakan istilah yang sama dalam mengartikan kata kulpah sehingga rumusannya diusulkan tetap tidak ada perubahan. Sedangkan terhadap pertanyaan PKS. Pemerintah dapat menjelaskan bahwa rumusan ini hanya ditujukan terhadap pertanggungjawaban pidana. Sedangkan alasan pembenar merupakan bagian dari perbuatan yang melawan hukum. Jawaban terhadap PKS karena pasal 38 mengatur mengenai kesalahan yang menghapuskan kesalahan adalah alasan pembenar. Alasan pembenar adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan atau tindak pidana. Itu yang terkait dengan pasal 38. Kemudian pasal 39. Pasal 39 ini ada beberapa usulan dari Demokrat. Pasal 39 Demokrat mengatakan bertentangan dengan azas pidana, yakni tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam penerapannya memang ada pidana yang dijatuhkan karena kelalaian yang mengakibatkan jatuhnya korban atau kerugian. Namun karena adanya kerugian atau korban tersebut pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan terhadap dirinya. Usulan perubahan oleh Demokrat, bagi tindak pidana tertentu Undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata karena telah dipenuhinya unsur-unsur di pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan sepanjang adanya kerugian yang ditimbulkan. Kemudian PKS perlu pendalaman dan kriteria tindak pidana tertentu karena justru mengecualikan pasal 38 ayat (1). Kemudian Nasdem, disini kesalahan pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Azas ini dikenal dengan azas pertanggungjawaban mutlak strik liability, bahwa strik liability dimungkinkan untuk tindak pidana tertentu maka tindak pidana atau hal-hal tertentu itu ditentukan secara spesifik dalam aturan khusus. Misalnya dalam buku dua KUHP atau diluar Undang-undang KUHP. Dalam buku dua rancangan Undangundang ketentuan Undang-undang itu belum terlihat. Oleh karena itu perlu dikaji ulang. Maksud tindak pidana tertentu harus diperjelas dalam penjelasan.
Kemudian Hanura belum jelas tindak pidana tertentu itu seperti apa? Bahwa strik lability dimungkin dalam tindak pidana tertentu atau dalam hal-hal tertentu maka dalam tindak pidana atau hal-hal tertentu itu ditentukan secara spesifik dalam aturan khusus misalnya dalam buku dua KUHP atau Undang-undang diluar KUHP. Dalam buku dua rancangan Undang-undang ini ketentuan khusus ini belum terlihat, oleh karena itu perlu dikaji ulang. Terkait dengan hal ini jawaban Pemerintah bahwa pasal 39 ayat (1) merupakan pengecualian terhadap jenis pidana umum yang berasal dalam pasal 37. Sehingga terhadap usul dari Demokrat, PKS, Nasdem dan Hanura, Pemerintah mengusulkan rumusan ayat (1) dan ayat (2) tetap kemudian penambahan frase sepanjang adanya kerugian yang ditimbulkan dirasa tidak diperlukan. Karena a, sangat sulit untuk menentukan batasan dari kerugian yang ditimbulkan dari suatu perbuatan. Kemudian b, pengaturan ini hanya ditujukan terhadap perbuatan tertentu yang mengatur khusus Undang-undang tersebut. Sebagai contoh tindak pidana lingkungan hidup apakah akan menunggu suatu kerugian baru kemudian ditentukan. Kemudian dalam rumusan pasal 39 ayat (1) disetujui. Pemerintah mengusulkan perubahan pada penjelasan pasal 39 ayat (1) sehingga penjelasan pasal 39 ayat (1) berbunyi sebagai berikut. Ketentuan ini mengandung azas pertanggungjawaban mutlak atau strik liability yang menentukan bahwa pembuat tindak pidana telah dapat di pidana hanya telah dipenuhinya unsur-unsur pidana oleh perbuatannya. Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap azas tiada pidana tanpa kesalahan. Oleh Karena itu tidak berlaku bagi semua tindak pidana. Melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh Undang-undang. Misalnya tindak pidana lingkungan hidup pasal 88 Undang-undang lingkungan hidup. Tindak pidana penyebaran bahan yang membahayakan nyawa kesehatan itu buku dua rancangan Undang-undang KUHP pasal 395 sampai dengan pasal 397. Demikian untuk penjelasan pasal 39 ayat (1). Kemudian paragraph tiga yaitu mengenai kesengajaan dan kealpaan. Ini juga ada masukan terkait dengan catatan dari PDIP bahwa definisi gradasi tingkat kesalahan dan ketegori bagi kesengajaan dan ketidak sengajaan atau kelalaian harus dirumuskan secara detail. Sebab a. gradasi kesalahan pada kesengajaan lebih tinggi pada kelalaian atau tidak sengaja, karena itu sanksi hukuman dari kesengajaan lebih tinggi dari pada kelalaian. Kemudian Bapak, percobaan pada kesengajaan harus dapat dipidana tetapi percobaan pada kelalaian tidak dipidana. Selanjutnya disampaikan pula dari segi doktrin hukum pidana. Kesengajaan punya tiga tingkatan dari yang tertinggi sampai yang terendah. Yakni kesengajaan sebagai maksud atau tujuan atau kehendak. Kemudian kedua kesengajaan sebagai keharusan atau kepastian atau kesengajaan dengan kesadaran pasti, kemudian tiga kesengajaan sebagai kemungkinan atau kesengajaan dari kemungkinan. Kemudian d, gradasi kelalaian atau ketidak sengajaan juga ada gradasinya dari yang tertinggi ke yang rendah. Yaitu satu, kealpaan berat kurva lata, dua, perbandingan kurva lepis. Kurva lata bersyarat adanya kekurang waspaan pada diri pelaku sedangkan kurva lepis bersyarat adanya hasil perkiraan atau perbandingan Antara tindakan pelaku dengan tindakan yang orang lain segolongan atas kemampuan seperti pelaku pada situasi
dan kondisi sebagaimana tindak pidana itu terjadi. Kemudian e, ajaran dari tindak pidana hukum diatas juga sudah dijabarkan pada putusan hakim yuris pudensi sehingga demikian pengertian kesalahan baik pengertian kesengajaan maupun kelalaian tidak dibisa diserahkan begitu saja pada pertimbangan hakim. Sebagaimana disebutkan pada penjelasan pasal 603 rancangan Undang-undang KUHP itu dari usulan PDIP. Terkait dengan hal ini jawaban Pemerintah menyatakan bahwa terkait dengan paragrap tiga judul ini Pemerintah menyatakan tetap sehingga tidak ada perubahan mengenai judul dari paragrap tersebut. Selanjutnya pasal 40, ada usulan dari Gerindra minta adanya usulan penambahan unsur kelalaian. Disesuaikan dengan DIM 134 yaitu disesuaikan dengan pasal 38 ayat (2). Jawaban Pemerintah bahwa sudah disampaikan didalam DIM nomor 137. Untuk memperjelas rumusan Pemerintah menyempurnakan penjelasan sebagai berikut untuk pasal 40. Jadi yang dirubah adalah pasal 40 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut. Ketentuan ini menegaskan kembali prinsip yang dituangkan padal 40 ayat (1) bahwa tiada pidana tanpa kesalahan. Secara doktriner bentuk kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kealpaan. Oleh karena itu apabila bentuk kesalahan, kesengajaan atau kealpaan dolus atau kurva tidak ada maka seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ayat (2) walaupun pada prinsipnya seseorang hanya dapat dipidana apabila ada kesalahan baik berupa kesengajaan atau kelalaian, namun ketentuan yang menegaskan bahwa terutama yang dapat dipidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. Sedangkan pemindanaan terhadap tindak pidana kealpaan kulva bersifat terkecualian. Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan bahwa setiap tindak pidana dalam perundangan-undangan selalu dianggap harus dilakukan dengan sengaja. Apabila pembuat tindak pidana nya akan dipertanggungjawaban. Jadi pada dasarnya setiap delik adalah delik kesengajaan, dolus. Walaupun unsur sengaja tidak dirumuskan secara eksplisit dalam perumusan tindak pidana. Tidak dirumuskannya sengaja dalam perumusan delik karna sengaja pada dasarnya adalah unsur pertanggungjawaban pidana. Penegasan bahwa perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja mengandung arti bahwa sengaja merupakan syarat umum untuk adanya pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu apabila dalam hal-hal tertentu seseorang dipandung patut juga dipertanggungjawabkan atas perbuatannya yang dilakukan karena kealpaan, maka kealpaan secara khusus itu harus secara tegas dirumuskan juga dalam perumusan tindak pidana yang bersangkutan. Bentuk-bentuk khusus dari sengaja dalam kurung yang dalam perumusan teknis peraturan perundang-undangan biasanya digunakan dengan istilah mengetahui, yang diketahuinya, padahal diketahuinya atau sedangkan dia mengetahui dinyatakan pula sebagai dapat dipidana. Maka berbagai istilah atau bentuk-betuk khusus dari kesengajaan itu harus tetap dirumuskan sebagai syarat khusus dalam perumusan delik yang bersangkutan. Jadi ketentuan pada ayat (2) ini dimaksudkan mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, baik tindak pidana formil
yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang maupun delik materiil yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang. Kemudian ayat (3) ketentuan yang bermaksud mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap pembuat tindak pidana, ini dihilangkan satu tindak pidana yang diperberat atau yang dikualifikasikan oleh akibatnya. Secara doktriner pertanggungjawaban terhadap orang yang melakukan tindak pidana ini didasarkan pada ajaran menanggung akibat yang tidak memerlukan adanya hubungan sikap batin tercela atau kesalahan antara pembuat tindak pidana dengan akibat yang timbul. Ajaran demikian dipandang bertentangan atau tidak sesuai dengan azaz tiada pidana tanpa kesalahan sebagaimana ditegaskan pada Pasal 38. Oleh karena azaz kesalahan merupakan azaz yang penting, maka dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkannya seseorang akibat tertentu yang oleh Undang-undang diperberat ancaman pidananya tetap diperlukan adanya kesalahan. Walaupun dalam bentuknya yang paling ringan yaitu dapat berupa kesengajaan dengan sadar kemungkinan atau dolus eventualis atau minimal ada kealpaan. Demikian terkait dengan perubahan penjelasan Pasal 41 yang semakin jelas sekali menggambarkan mengenai apa yang dipertanyakan oleh penanya sesuai dengan DIM yang saya sebutkan tadi. Selanjutnya Pasal 41 ini ada beberapa usulan dari Demokrat Pasal 41 dapat diartikan terhadap pembjuat tindak pidana lepas dari tuntutan hukum. Kemudian PKS, namun harus dipastikan adanya keterangan ahli yang menyatakan kondisi tersebut, apakah ini dapat dimasukkan ke dalam ketentuan pasal atau ke penjelasan. Kemudian PPP, mengatakan tetap namun sebagai catatan istilah gangguan jiwa, penyakit jiwa, retadasi mental atau disabilitas mental lainnya perlu disesuaikan dengan RUU disabilitas. Jawaban pemerintah, untuk pertanyaan Demokrat pemerintah bisa menjelaskan bahwa pada dasarnya yang bersangkutan lepas dari tuntutan hukum, namun dapat dikenakan tindakan....dalam arti yang bersangkutan perlu dirawat di rumah sakit jiwa, lembaga sosial atau mengikuti pendidikan tertentu. Kemudian mengenai pertanyaan PKS, pemerintah dapat menjelaskan bahwa penyesuaian istilah gangguang jiwa, penyakit jiwa, retadasi mental atau disabilitas mental lainnya dengan RUU tentang disabilitas tidak bisa dilakukan karena istilah tersebut tidak ditemukan dalam Undang-undang Disabilitas yang memang sampai sekarang belum proses pembahasan. Oleh karena itu terkait dengan itu pemerintah dalam hal ini dapat menjelaskan untuk Pasal 41 ini mengenai keterangan itu sudah ada dalam penjelasan, sehingga semuanya oleh pemerintah dianggap sudah cukup jelas.
Kemudian Pasal 42, dari PKS namun harus dipastikan adanya keterangan ahli yang menyatakan kondisi tersebut. Kemudian PPP mengatakan tetap, namun sebagai catatan istilah gangguang jiwa, penyakit jiwa, retadasi mental, disabilitas mental lainnya perlu disesuaikan dengan RUU Disabilitas. Jawaban pemerintah terkait dengan hal ini mengenai catatan PKS pemerintah dapat menjelaskan hal tersebut sebagaimana penjelasan Pasal 41. Kemudian mengenai pertanyaan dari PPP, pemerintah dapat menjelaskan bahwa istilah ganggungan jiwa, penyakit jiwa, retadasi mental atau disabilitas mental lainnya itu memang tidak diketemukan dalam RUU Disabilitas. Selanjutnya mengenai perlunya yang terkait dengan keterangan ahli mengenai kejiwaan yang terganggu tersebut sudah cukup jelas dituangkan dalam penjelasan pasal yang bersangkutan. Selanjutnya Pasal 43 ini Demokrat mengatakan bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (1) perlu diberikan penjelasan mengenai frasa “sesat mengenai keadaan”, sehingga tidak menjadi multi tafsir dalam penerapannya. Di dalam ...hukum setiap orang dianggap faham terhadap hukum yang tervaliditas ke dalam Undang-undang melalui suatu lembaran negara sebagai bentuk kehati-hatian seseorang tersebut dapat bertanya atau melakukan tindakan yang patut maka tidak dipersalahkan secara pidana atas perbuatan itu. Kemudian PKS mengusulkan apa maksud dari kata “sesat”, kemudian masalah tidak tahu batasan seperti apa, bukankah ini merupakan bagian dari azaz fiksi setiap orang dianggap tahu akan hukumnya. Kemudian PPP mengatakan tetap, namun ada catatan kalimat “atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana kecuali ketidaktahuan, kesesatan atau keyakinannya itu patut disalahkan kepadanya” membingungkan dan multi tafsir. Kemudian Nasdem mengatakan kalimat atau “berkeyakinan bab perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana kecuali ketidaktahuan, kesesatan atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya” juga dipandang membingungkan dan multi tafsir, sehingga perlu ada perbaikan redaksional. Termasuk Hanura juga menginginkan perbaikan redaksional. Mengenai pertanyaan dari Demokrat, pemerintah mengucapkan terima kasih kepada Demokrat bahwa “fiksi” setiap orang dianggap tahu hukumnya karena setiap Undang-undang diumumkan atau diundangkan. Namun demikian ketidaktahuan seseorang tentang suatu tindak pidana yang sudah diatur dalam Undang-undang harus didasarkan pada alasan-alasan yang masuk akal. Misalnya seorang petani yang tinggal di tempat yang sangat terpencil dan tidak mempunyai akses informasi apapun menanam tumbuhan yang dilarang oleh Undang-undang. Mengenai pertanyaan dari PKS, pemerintah dapat menjelaskan bahwa kata “sesat” mneurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah tidak melalui jalan yang benar, salah jalan atau keliru. Namun yang dimaksud dengan kata sesat dalam rumusan di sini adalah keliru, misalnya error faksi dan error yuris. Kemudian mengenai usulan redaksional dari PPP, Nasdem, Hanura, pemerintah bersedia
mebahas kembali di dalam Timus. Jadi pemerintah mengusulkan untuk dimasukkan dalam Timus terkait dengan rumusan pasal tersebut. Kemudian Pasal 44 ini ada beberapa masukan yaitu PKS menanyakan tentang apa yang dimaksud dengan kekuatan yang tidak ditahan, apa yang dimaksud dengan ditahan dan perbedaannya dengan kata dihindari. Kemudian Nasdem apa yang dimaksud dengan kekuatan yang tidak bisa ditahan, apa yang dimaksud dengan ditahan dan perbedaannya dengan dihindari. PKS batasan kekuatan yang tidak dapat dihindari seperti apa. Pemerintah menanggapi terkait dengan pertanyaan PKS dapat memberikan contoh bahwa perbuatan yang dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan misalnya persetujuan untuk menikah seorang suami atau istri yang diperoleh dalam keadaan tidak sadar. Terhadap pertanyaan dari Nasdem dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 44 yang membedakan kekuatan ini tidak dapat ditahan merupakan ancaman fisik, sedangkan perbuatan yang tidak dapat dihindari merupakan psikis. Kemudian terhadap pertanyaan dari PKS, pemerintah dapat menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari ada fiskompulsiva yaitu daya paksa relatif. Apabila rumusan Pasal 44 disetujui tetap, pemerintah mengusulkan pengubahan pada rumusan penjelasan Pasal 44 sehingga berbunyi sebagai berikut untuk penjelasannya “yang dimaksud dengan dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan adalah vis absolutan yaitu daya paksa absolut”. Penggunaan frasa “ditahan” pada huruf A lebih tepat dibandingkan frasa “dihindari” untuk membedaka bentuk redaksi paksaan yang diterima oleh si pembuat. Mohon izin Bapak Pimpinan, bisa kami lanjutkan lagi. Kami mohon kepada Pak Mualimin untuk gantian melanjutkan Pasal 45. PEMERINTAH (MUALIMIN): Terima kasih. Assalammu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Terima kasih Pak Dirjen PP. Terima kasih Pak Ketua. Sebelum lanjut Pimpinan, sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM pada Rapat Kerja yang lalu bahwa tadi walaupun sudah disampaikan oleh Pak Dirjen Peraturan Perundang-undangan, bahwa di tim ini ada beberapa narasumber, para ahli sebagaimana yang ada di hadapan Pimpinan dan para Anggota. Maksud kami pemerintah menginformasikan bahwa Prof. Muladi,
Prof. Astuti, maupun DR. Huda itu walaupun ada di baris pemerintah tetapi kami persilakan pemerintah, Para Anggota bahwa ini menjadi narasumber baik pemerintah maupun dari DPR RI. Jadi kalau ada yang nanti akan diperdalam dan selanjutnya atau yang mau ditanyakan lebih lanjut, dipersilakan para Anggota maupun Pimpinan untuk memperdalamnya. Terima kasih, kami akan lanjuta pemerintah mulai Pasal 45. Terhadap Pasal 45 ada beberapa usulan sebagaimana yang disampaikan oleh PKS bahwa perlu definisi dan batasan yang jelas pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Kemudian Nasdem juga menyampaikan bahwa perlu diperjelas dalam bab penjelasan, apa yang dimaksud dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Kemudian terhadap hal tersebut pemerintah memberikan penjelasan, yang pertama terhadap usulan PKS dan Nasdem, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau yang dikenal ...access, keadaan pelaku karena kegoncangan jiwa yang hebat yang langsung disebabkan oleh serangan atau ancaman serangan yang bersifat melawan hukum. Dengan keterangan ini maka mneurut pemerintah tidak perlu diberikan definisi lagi tetapi cukup dijelaskan dalam penjelasan pasal. Kemudian Pimpinan, dalam hal penjelasan tersebut diterima oleh Pimpinan ataupun Anggota maka pemerintah mengusulkan perubahan pasal dan penjelasan atau perubahan Pasal 45 dan penjelasannya untuk agar tercipta suatu konsistensi dengan pasal-pasal sebelumnya. Sehingga berbunyi sebagai berikut: setiap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum tidak dipidana. Kemudian penjelasannya yang dimaksud dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas adalah pembelaan terpaksa sebagaimana dimaksud dalam ketetuan Pasal 35 atau pasal yang nanti disesuaikan yang mengakibat langsung atau yang mengakibatkan langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat karena adanya serangan atau dengan kata lain antara kegoncangan jiwa dan serangan harus ada hubungan kausal. Barangkali nanti kalau tidak pas maka akan diperbaiki redaksionalnya Pimpinan. Kemudian terkait dengan Pasal 46, Gerindra mengusulkan agar diubah karena menurut Gerindra adanya kewenangan atau tidak pada pemberi perintah tidak bisa dijadikan alasan untuk pertanggungjawaban pidana pelaksana perintah, tetapi pada ada atau tidaknya unsur kesalahan dari pemerintah tersebut. Kemudian Fraksi Demokrat mengusulkan frasa jika orang yang diperintahkan dengan itikad baik, mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkup pekerjaannya bertentangan dengan
adagium hukum seseorang dianggap faham atas hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan demikian menurut Demokrat frasa tersebut sebaiknya dihapus. Terhadap beberapa catatan dan usulan tersebut pemerintah dapat memberikan penjelasan bahwa terhadap usulan Partai Gerindra, pemerintah mengusulkan untuk dibahas dalam Timus. Kemudian terhadap usulan Fraksi Demokrat untuk menghapus frasa jika orang yang diperintahkan dengan itikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkup pekerjaannya, menurut pemerintah merupakan syarat penting dalam menentukan hapusnya pidana bagi orang yang melaksanakan perintah bagi yang melaksanakan. Contoh Pimpinan dan Anggota yang saya hormati, seseorang reserse di kepolisian yang diberi perintah untuk menangkap seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat penangkapan sedangkan reserse itu mengetahui kondisi tidak mengetahui kondisi tersebut. Selanjutnya Pimpinan terkait dengan Pasal 47, terhadap Pasal 47 mneurut Fraksi PDIP Pasal 47 tidak perlu ada atau usulannya dihapuskan. Catatannya menurut Fraksi PDIP Pasal 47 tidak perlu ada atau dihapuskan sebab: a. Ketentuan Pasal 47 huruf A sudah diperjelas dalam penjelasan Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa alasan pemaaf adalah alasan meniadakan kesalahan pembuat tindak pidana dan oleh karena itu pembuat tindak pidana tidak dapat dijatuhi pidana. Perbuatan pembuat tindak pidana tetap merupakan tindak pidana tetapi terdapat alasan pemaaf tersebut maka pembuat tindak pidana tidak dipidana. b. Ketentuan pada Pasal 47 huruf B juga sudah diatur didalam Pasal 40 atau pasal-pasal yang nanti disesuaikan karena di atas tadi ada perubahan, ada penambahan pasal. c. Ketentuan pada Pasal 47 huruf C pun sudah ada pada Pasal 115 ayat (1). Terhadap usulan PDIP tersebut pemerintah dapat memberikan jawaban atau memberikan penjelasan sebagai berikut: pertama terhadap usulan PDIP, pemerintah bersedia untuk membahas secara lebih mendalam didalam Timus dan Timsin Pimpinan. Kemudian menurut pemerintah ketentuan ini masih diperlukan karena pasal-pasal yang disebutkan didalam Pasal 47 merupakan alasan pemaaf, jika Pasal 47 sebagaimana diusulkan oleh PDIP dihapus, maka perbuatan yang diatur didalam pasal-pasal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai alasan pemaaf dan demi penegakan azaz kepastian hukum maka menurut pemerintah ketentuan Pasal 47 bukan ketentuan yang sama dengan pasal-pasal sebelumnya karena pasal sebelumnya merupakan azaz, sedangkan Pasal 47 bagian dari kategori alasan pemaaf. Oleh karena itu terhadap penjelasan-penjelasan terkait dengan Pasal 47 maka Pasal 47 dapat dibacakan sebagai berikut: selain alasan pemaaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43-46 termasuk juga alasan pemaaf: a. Tidak ada kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1).
b. Pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguang jiwa, penyakit jiwa atau retadasi mental sebagaimana dimaksud pada Pasal 41 atau, c. Belum mencapai umur 12 tahun sebagaimana dimaksud didalam Pasal 115 ayat (1).
Demikian Pimpinan, apakah bisa diteruskan pada DIM 162 sampai dengan DIM 164 yaitu Pasal 53 dan Pasal 54. Bab II sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 53 dan Pasal 54, Bab II tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, bagian II paragraf VI dengan judul korporasi. Terhadap Pasal 53 ada beberapa catatan, pertama dari Fraksi PDIP. Menurut Fraksi PDIP ketentuan tersebut tidak perlu ada atau dihapuskan, kemudian juga Demokrat memberikan masukan bahwa frasa memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana sebaiknya tidak menghapuskan pemidanaan terhadap korporasi. Hal ini penting sebagai bagian dari fungsi penegakan hukum yakni sebagai efek jera terhadap masyarakat di samping memberikan fungsi pembinaan. Terhadap usulan-usulan tersebut yaitu usulan dari PDIP dan Demokrat, maka pemerintah dapat mengusulkan terhadap ketentuan Pasal 53 hanya pada perubahan redaksional. Jadi itu yang bisa disampaikan Pimpinan, jadi Pasal 53 hanya perubahan redaksional. Kemudian yang terkait dengan Pasal 54, apabila pemerintah bacakan alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan atau atas nama korporasi dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi, dengan penjelasan cukup jelas. Terhadap ketentuan Pasal 54 Fraksi PDIP memberikan masukan atau mengusulkan bahwa Pasal 54 tidak perlu ada atau dihapuskan, terhadap masukan usulan dari Fraksi PDIP tersebut pemerintah memberikan penjelasan bahwa ketentuan Pasal 54 masih diperlukan karena sesuai dengan azaz subsidiaritas. Demikian Pimpinan, apakah masih bisa atau lanjut kepada, lanjut. Baik pemerintah akan melanjutkan DIM 190 sampai dengan DIM 197 yaitu yang terkait dengan Pasal 58, title-nya adalah Bab III dengan judul pemidanaan, pidana dan tindakan. Kemudian bagian kesatunya pemidanaan, paragraf III perubahan atau penyesuaian pidana, Pasal 58. Terhadap ketentuan Pasal 58, pasalnya kami tidak bacakan Pimpinan. Terhadap ketentuan Pasal 58 Fraksi Golkar memberikan masukan, memberikan usulan bahwa kebijakan seperti ini harus menjamin agar dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya dan tidak bersifat diskriminatif. Khusus untuk kejahatan khusus harus ada pembatasan terhadap hal ini, sebagai contoh menurut Fraksi Golkar yaitu lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan II atas perubahan Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan warga binaan pemasyarakatan
yang dilatarbelakangi oleh pelaksanaan yang dipandang tidak adil khususnya terhadap narapidana korupsi. Kemudian dalam konteks inilah menurut Fraksi Partai Golkar diperlukan adanya kebijakan dalam menerapkan fasilitas perubahan atau penyesuaian pidana baik melalui kemungkinan adanya penjatuhan pidana tanpa kemungkinan untuk memperoleh fasilitas-fasilitas tertentu atau diterapkannya persyaratan khusus untuk menjamin agar pelaksanaannya tidak melukai perasaan keadilan masyarakat. Kemudian kalau usulan Fraksi Partai Demokrat bahwa ketentuan Pasal 58 dicabut. Kemudian Fraksi PKS memberikan masukan harus diatur lebih rinci agar nantinya tidak diskriminatif yang kemudian dapat mencederai perasaan keadilan bagi korban atau masyarakat serta membuka peluang obral perubahan putusan pidana. Kemudian selanjutnya PKS juga memberikan masukan apa beda remisi, grasi, asimilasi, pembebasan bersyarat, amnesti dan abolisi. Kemudian Nasdem memberikan masukan bahwa pasal tersebut tetap dengan tambahan kalimat dengan tidak mencederai perasaan keadilan masyarakat. Fraksi Hanura memberikan masukan bahwa kebijakan seperti ini harus menjamin agar dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya dan tidak bersifat diskriminatif. Khusus untuk kejahatan khusus harus ada pembatasan terhadal hal ini, sebagai contoh menurut Hanura lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 yang tadi pemerintah sudah bacakan karena menurut Hanura dalam konteks inilah diperlukan adanya kebijakan dalam menerapkan fasilitas perubahan atau penyesuaian pidana, baik melalui kemungkinan adanya penjatuhan pidana tanpa kemungkinan untuk memperoleh fasilitas-fasilitas tertentu atau diterapkannya persyaratan khusus untuk menjami agar pelaksanaannya tidak melukai perasaan keadilan masyarakat. Kemudian Fraksi Partai Golkar juga memberikan masukan yang pada intinya bahwa perubahan penyesuaian ini harus berdasarkan putusan yudisial bukan keputusan eksekutif lewat Menkumham. Eksekutif hanya sebagai eksekutor dari keputusan hakim karena itu ketentuan ini harus merubah sistem yang telah ada. Oleh karena itu harus diperjelas bahwa memutuskan perubahan atau penyesuaian ini adalah pengadilan atau dengan putusan hakim. Kemudian Fraksi Nasdem, perubahan penyesuaian ini harus berdasarkan putusan yudisial bukan keputusan eksekutif sama tadi tidak melalui keputusan Menkumham, eksekutif hanya berposisi sebagai pelaksana dari keputusan hakim. Oleh karena itu ketentuan ini harus merubah sistem yang ada. Kemudian selanjutnya Partai Nasdem juga memberikan penjelasan, memberikan masukan harus diperjelas bahwa yang memutuskan perubahan atau penyesuaian adalah pengadilan. Kemudian Fraksi Hanura mengusulkan perubahan penyesuaian ini harus berdasarkan keputusan yudisial bukan keputusan eksekutif, ini hampir sama Pimpinan kami tidak usaha bacakan secara lengkap karena hampir sama. Kemudian kalau Fraksi Partai Demokrat mengusulkan dicabut.
Terhadap usulan-usulan tersebut maka pemerintah akan melakukan inventrisasi syarat-syarat untuk tidak dijatuhkan pidana. Untuk itu pemerintah meminta waktu atau kami nanti akan mempersilakan kepada Prof. Muladi untuk memberikan penjelasan terhadap substansi pasal tersebut, tapi untuk agar mengingatkan Pak Ketua dan Anggota kemudian hadirin yang hadir pada kesempatan hari ini. Maka pemerintah akan membacakan terhadap bunyi ketentuan Pasal 58 sebelum nanti Prof. Muladi akan memberikan penjelasan lebih lanjut. Pasal 58 ayat (1) “putusan pidana dan tindakan yang telah memperoleh ketentuan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengikat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan, serta tidak mencederai rasa keadilan masyarakat”. Ayat (2) “perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas permohonan narapidana, orang tua, wali atau penasehat hukumnya atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau hakim pengawas”. Kemudian ayat (3)-nya “perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana”. Kemudian ayat (4)-nya “perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. Pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan atau penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya”. Ayat (5) “jika permohonan perubahan atau pennyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh pengadilan, maka permohonan dapat diajukan lagi setelah 1 tahun sejak penolakan”. Ayat (6) “jika terdapat keadaan khusus yang menunjukkan permohonan tersebut patut untuk dipertimbangkan sebelum batas waktu 1 tahun maka ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku”. Kemudian ayat (7)-nya “ketentuan mengenai syarat perubahan atau penyesuaian pidana dan tata caranya diatur dengan Undang-undang”. Sebagaimana tadi pemerintah sudah sampaikan sebelum lanjut kepada pembahasan DIM 198 sampai DIM 202, maka saya persilakan Dirjen Peraturan Perundang-undangan untuk mempersilakan Prof. Muladi untuk memberikan penjelasan lebih lanjut. Saya persilakan.
DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: Saya persilakan Prof. Muladi mungkin memberikan tambahan beberapa hal. PEMERINTAH (PROF. MULADI): Jadi secara konseptual Saudara Ketua, di dalam pendekata aliran modern itu ada yang namanya inditerminate sentence. Inditerminate sentence itu seorang hakim tidak mutlak harus mengharapkan bahwa putusannya itu akan diselesaikan oleh eksekutif. Jadi di sini ada kewenangan dari eksekutif katakanlah disamping hak prerogatif presiden, itu untuk menilai seberapa jauh telah terjadi suatu perubahan di dalam perilaku dari narapidana. Jadi kalau menurut pendapat saya pribadi ya tidak perlu ada suatu keputusan yudisial lagi kalau sudah ada suatu keputusan yang di inkrahkan Komisi Yudisial tapi sudah diserahkan oleh pelaksana. Pelaksana dari putusan itu yaitu lembaga pemasyarakatan, dia mempunyai Undang-undang sendiri. jadi untuk itu seperti dikembalikan lagi karena yudisial sendiri sudah diwakili oleh hakim pengawasan dan pengamat. Jadi dengan demikian eksekutif mempunyai kewenangan juga untuk melaksanakan konsep yang namanya inditerminate sentence, bahwa dia bisa menilai apakah suatu pelaksanaan pidana itu, artinya pelaku itu sudah mengalami suatu perbaikan atau tidak. Jadi itu pendapat saya, terima kasih. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: Pimpinan, apakah diizinkan untuk melanjutkan DIM 198 sama DIM 202. PIMPINAN RAPAT: Kita lanjutkan saja dulu nanti setelah itu kita tanya-jawab. DIRJEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: Saya persilakan Bu Emi, DIM 198 sampai dengan DIM 202, Pasal 59. PEMERINTAH (EMI): Baik, terima kasih. Bapak Pimpinan dan Bapak-Ibu Panja RKUHP yang saya hormati. Saya lanjutkan DIM nomor 198 sampai dengan DIM 202, Pasal 59 Bab III yaitu pemidanaan, pidana dan tindakan. Bagian kesatu pemidanaan paragraf keempat yaitu pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan
perumusan alternatif. Paragraf keempat ini terkait dengan ketentuan penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan perumusan alternatif. Dalam kaitan ini ada usulan dari Gerindra untuk ditambahkan frasa “pidana mati” dan frasa “pidana penjara” yang kedua diganti dengan pidana tersebut. Ini dapat dilihat dalam DIM nomor 185. PIMPINAN RAPAT: Mohon maaf pemerintah ini khusus Pasal 59 paragraf IV yang berkenaan dengan pedoman penerapan pidana penjara, waktu itu kita sepakati untuk dimasukkan di Pasal yang mengatur tentang pidana penjara karena inikan mengenai pedoman, itu dimasukkan di belakang. Jadi waktu itu kita belum membahas substansinya hanya waktu itu kita kita minta supaya lebih sistematis lah itulah yang kita, istilah kita itu direstrukturisasi lah pasal-pasalnya itu, supaya nyambung. Pedoman penerapan pidana penjara nanti dimasukkan bagian ini di pasal tentang di paragraf II Pasal 70 tentang pidana penjara dan pedomannya, begitu juga dengan yang lain-lain waktu itu sepakat, catatan saya itu tidak usah dibahas. Kita sekarang lanjutkan kalau bisa yang rame diskusi pada saat itu mengenai jenis pidana. Ini sekalian nanti kita adopt dan mengenai jenis pidana ini waktu itu diskusi kita lebih banyak ke soal jenis pidana, pidana pokok, pidana tambahan, lalu pidana mati di mana letaknya, kenapa kita tidak malu-malu memasukkan itu ke pidana pokok kan begitu. Yang berikutnya waktu itu pertanyaannya adalah apakah pidana tambahan itu dependent on pidana pokok atau tidak kan begitu. Waktu itu narasumber kita menjelaskannya itu bukan dia bisa berdiri sendiri katanya, pidana tambahan. Kalau demikian kita usulkan jangan pakai tambahan, jadi ini istilahnya kurang, lebih begitu diskusinya, lalu kita tutup waktu itu diskusi. Jadi itu yang menjadi poin di DIM tentang jenis, tentang pidana dan jenis-jenisnya dan itu diskusi kita pada saat itu supaya kita bisa dan waktu itu kita minta kalau bisa pemerintah rumuskan lagi bagaimana setelah kita diskusikan panjang lebar soal itu dulu. Jadi bahkan waktu itu ada yang mengusulkan jangan pakai pidana pokok, pidana tambahan, langsung saja jenisjenis pidana supaya tidak menimbulkan interpretasi ini, ini, ini. Kemudian yang kedua ada yang berpandangan kalau tetap pakai pidana pokok sedangkan pidana, selain pidana pokok itu ya pidana tambahan ini, itu diskusinya semacam itu. Kemudian apakah pidana tambahan ini bisa berdiri sendiri atau tidak, jadi kalau itu sudah terjawab ya silakan diformulasi lagi. Jadi kami persilakan kalau memang sudah siap. Kami persilakan. PEMERINTAH (EMI):
Baik, terima kasih Bapak Pimpinan. Kami akan restrukturisasi lagi khusus yang terkait dengan paragraf keempat ini, kemudian yang paragraf lima ini ada sedikit penambahan saya kira tidak terlalu krusial karena menambahkan penjelasan terkait dengan narapidana dan terpidana. Tetapi saya akan lanjutkan sebagaimana tadi Bapak Pimpinan sampaikan yaitu DIM nomor 218 sampai dengan DIM nomor 415 yaitu Pasal 66 sampai dengan Pasal 102, yaitu Bab II pemidanaan, pidana dan tindakan yang bagian kedua adalah pemidanaan paragraf satu jenis pidana. Ini memang kemarin sempat terhenti pembahasannya dan kami pemerintah mencoba membuat semacam klustering Bapak Pimpinan. Jadi kami membuat klusteringnya yang terkait nanti pidana penjara, itu klusternya semua terkait dengan pidana penjara sampai selesai. Kemudian terkait dengan pidana tambahan, eh pidana tutupan, pengawasan, denda, kerja sosial itu tuntas menjadi satu-kesatuan ada klusternya masing-masing, kemudian setelah itu tambahan dan terakhir adalah pidana mati. Kami mencoba mendesainnya seperti itu sehingga pada pasal perubahan ini hasil restrukturisasi yang kami buat adalah kai menambahkan satu pasal yaitu Pasal 65 A sebagai pasal baru yang di dalam tayangan di sebut dengan Pasal 66, sementara kami sebut Pasal 65 A yaitu pidana terdiri atas: a. Pidana pokok, b. Pidana tambahan, c. Pidana yang bersifat khusus untuk pidana tertentu yang ditentukan vdalam Undang-undang ini. Kemudian penjelasannya cukup jelas, selanjutnya Pasal 67 yang baru ini kami mencoba kemudian membangun klusteringnya Pasal 67 yang baru ini adalah pertama membahas mengenai pidana pokok. Satu, pidana pokok sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 huruf A terdiri atas: pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda dan pidana kerja sosial. Kemudian ayat (2) urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana, kecuali pidana bagi anak. Ini yang belum muncul di sini dalam rumusan, mungkin perlu ditambahkan rumusan dari kami, kecuali pidana bagi anak, untuk ayat (2), “urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana, kecuali pidana bagi anak”. PIMPINAN RAPAT: Waktu itu juga kita pertanyakan kenapa kok tiba-tiba nongol itu kecuali pidana bagi anak. PEMERINTAH (EMI):
Ini sudah di drop Pimpinan, mohon maaf Bapak Pimpinan. Kemudian Pasal 67 ini berbunyi sebagai berikut: “ketentuan ini memuat jenisjenis pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim”. Ancaman pidana terhadap tindak pidana yang dirumuskan dalam buku kedua hanya meliputi jenis pidana penjara, pidana denda dan atau pidana mati. Pidana tutupan dan pidana pengawasan pada dasarnya merupakan suatu cara pelaksanaan pidana sebagai alternatif dari pidana penjara. Sedangkan pidana kerja sosial merupakan jenis pidana baru yang di berbagai negara sudah dilaksanakan secara luas. Pencantuman jenis pidana ini merupakan konsekuensi diterimanya hukum pidana yang bersifat ....yang sejauh mungkin berusaha untuk mengembangkan laternatif pidana kemerdekaan. Melalui penjatuhan jenis pidana ini terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Kemudian Pasal 68, kita menjelaskan di sini khusus pidana tambahan sebagaimana merujuk kepada Pasal 66 di atas. Pidana tambahan sebagaimana dimaksud didalam Pasal 66 huruf B terdiri atas: a. Pencabutan hak tertentu. b. Perampasan barang tertentu dan atau tagihan c. Pengumuman putusan hakim. d. Pembayaran ganti kerugian e. Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Kemudian penjelasan Pasal 68, pidana tambahan dimaksudkan untuk menambahkan pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Pidana tambahan harus dicantumkan secara jelas dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan, sehingga hakim dapat mempertimbangkan untuk dikenakan terhadap terpidana. Pidana tambahan yang berupa pencabutan hak tertentu apabila terpidananya adalah korporasi dalam keadaan tertentu mempunyai penangkalan yang lebih efektif. Oleh karena itu hakim dapat mengenakan pidana pencabutan hak yang memiliki suatu korporasi, meskipun dalma rumusan pidana ancaman tersebut tidak tercantumkan. Begitu pula pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat, hakim bebas untuk mempertimbangkan apakah akan menjatuhkan pidana tambahan ini, meskipun tidak tercantum sebagai ancaman dalam rumusan tindak pidana. Pemenuhan kewajiban adat yang dijatuhkan oleh hakim diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat yang terganggu karena dilakukannya suatu tindak pidana. Kemudian Pasal 69 kaitannya dengan pidana mati, “pidana yang bersifat khusus sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 66 huruf C adalah pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif”. Penjelasannya untuk ini adalah cukup
jelas, ada perbaikan penjelasan bukan Pasal 89 tapi 69, ada ralat di situ mohon diganti. Kemudian paragraf dua, kami ingin menuntaskan terkait dengan pidana penjara terlebih dahulu. F-PPP (H. ARSUL SANI, SH, M.Si): Interupsi Ketua, boleh bertanya, masih terkait dengan pidana ini. PIMPINAN RAPAT: Nanti dulu, kita biarkan dulu pemerintah menjlaskan. PEMERINTAH (EMI): Baik, saya lanjutkan. Untuk paragraf II, pidana penjara, Pasal 70 ayat (1) “pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu”. Ayat (2) “pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 tahun berturut-turut atau paling singkat 1 hari, kecuali ditentukan minimum khusus”. Ayat (3) “jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhkan pidana penjara 15 tahun, maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 tahu berturut-turut”. Kemudian ayat (4) “pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 tahun”. Penjelasan Pasal 70, Kita Undang-undang Hukum Pidana ini di samping menganut azaz maksimum juga di ketentuan minimum khusus. Maksimum khusus dalam arti untuk tiap jenis pidana terdapat maksimum ancaman pidananya, sedangkan untuk batas pemidanaan yang paling rendah ditetapkan minimum umum. Minimum umum untuk pidana penjara adalah 1 hari, minimum khusus dalam arti untuk tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Seseorang yang melakukan tindak pidana hanya dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun, akantetapi hakim dapat menjatuhkan pidana selama 20 tahun berturut-turut bilamana tindak pidana itu diancam pidana mati atau seumur hidup atau ada pemberatan pidana, tetapi dalam keadaan manapun hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara lebih dari 20 tahun.
Kemudian Pasal 71 ayat (1) “jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling lama 15 tahun dengan berkelakuan baik, maka terpidana dapat diberikan pembebasan bersyarat. Ayat (2) “ketentuan mengenai tata cara pembebasan bersyarat terpidana seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah”. Terhadap penjelasan Pasal 71 sebagai berikut, ketentuan ini memberikan kewenangan kepada pejabat yang berwenang yang ditentukan dalam keputusan presiden untuk memberikan keringanan pidana bagi terpidana seumur hidup yaitu dengan mengubah pidana penjara seumur menjadi pidana penjara paling lama 15 tahun dengan ketentuan apabila terpidana telah menjalani pidananya sekurangkurangnya 10 tahun dengan berkelakukan baik karena putusan pengadilan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka instansi atau pejabat yang diberi wewenang menetapkan keringanan pidana adalah eksekutif. Pasal 72 ayat (1) “dengan tetap mempertimbangkan Pasal 55 dan Pasal 56, ini terkait dengan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan, pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut: a. Terdakwa berusia di bawah 18 tahun atau di atas 70 tahun b. Terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana c. Kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar d. Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban e. Terdakwa tidak menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar f. Tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain g. Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut h. Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi i. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa dia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain j. Pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya k. Pembinaan yang bersifat non institusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa l. Penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa m. Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga, atau n. Terjadi karena kealpaan. Kemudian ayat (2) “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 5 tahun atau diancam dengan pidana minimum khusus atau tindak pidana tertentu yang
sangat membahayakan atau merugikan masyarakat atau merugikan keuangan atau perekonomian negara”. PIMPINAN RAPAT: Bisa saya perpanjang sampai 22.30 WIB setengah jam lagi ya. (RAPAT:SETUJU) PEMERINTAH (EMI): Baik, terima kasih saya lanjutkan. Penjelasan Pasal 72 khusus untuk huruf H kami memberikan penjelasan bahwa dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi, misalnya akibat bencana alam, seseorang mengambil bahan makanan milik orang lain karena lapar. Kemudian ayat (2) “tindak pidana yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat misalnya tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana terorisme, tindak pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, misalnya tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang”. Selanjutnya Pasal 73 ayat (1) “dalam hal hakim menjatuhkan pidana penjara 1 tahun atau kurang 1 tahun, maka hakim dapat menetapkan pelaksanaan pidana dengan jalan mengangsur”. Ayat (2) “pelaksanaan pidana penjara angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila hakim mempertimbangkan adanya kondisi yang sangat gawat atau menimbulkan akibat lain yang sangat mengkhawatirkan apabila terdakwa menjalani pidananya secara berturut-turut”. Kemudian ayat (3) “ketentuan mengenai pelaksanaan pidana angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan paling lama 2 hari dalam 1 minggu atau 10 hari dalam sebulan dengan ketentuan jumlah atau lama angsuran tidak melebihi 3 tahun”. Terkait dengan hal ini penjelasan Pasal 73 hanya terkait ayat (2), yang dimaksud dengan kondisi yang sangat gawat atau menimbulkan akibat lain yang sangat mengkhawatirkan, misalnya menyangkut keluarga, kesehatan atau medis, pekerjaan atau profesi atau keadaan sosial tertentu pada diri terdakwa yang dinyatakan dengan tegas dalam pertimbangan hukum putusan tersebut.
Kemudian Pasal 74 ayat (1) “narapidana yang telah menjalani sekurangkurangnya 2/3 dari pidana penjara yang dijatuhkan dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak kurang dari 9 bulan dan berkelakuan baik dapat diberikan pembebasan bersyarat sebagai pelayanan pemasyarakatan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak azazi manusia”. Ayat (2) “terpidana yang menjalani beberapa pidana penjara berturut-turut jumlah pidananya dianggap sebagai satu pidana”. Ayat (3) “dalam memberikan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan masa percobaan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan”. Ayat (4) “masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sama pada sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan satu tahun”. Kemudian ayat (5) “narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditahan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara lain waktu tahanannya tidak diperhitungkan sebagai masa percobaan”. Ayat (6) “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah”. Penjelasan Pasal 74 sebagai berikut, ketentuan ini memuat ketentuan pembebasan bersyarat bagi narapidana yang menjalani pidana penjara. Narapidana yang dapat diberikan pembebasan bersyarat hanyalah narapidana yang masa pidananya paling singkat 1,5 tahun setelah narapidana menjalani pidana penjara paling singkat 9 bulan di lembaga pemasyarakatan dan berkelakuan baik. Maka narapidana tersebut dapat diberikan pembebasan bersyarat dengan harapan dapat dibina sedemikian rupa untuk berintegrasi kembali dengan masyarakat. Oleh karena itu selama menjalani pidana dalam lembaga setiap narapidaa harus dipantau mengenai perkembangan hasil pembinaan terhadap dirinya. Dalam hal narapidana telah melakukan beberapa tindak pidana sehingga harus menjalani beberapa pidana penjara berturut-turut maka untuk mempertimbangkan kemungkinan pemberian pembebasan bersyarat pidana tersebut dijumlahkan dan dianggap satu pidana. Pemberian pembebasan bersyarat disertai dengan masa percobaan, masa percobaan ini sama dengan sisa waktu pidana penjara yang masih belum dijalani ditambah 1 tahun. Dalam masa percobaan ditentukan pula syarat-syarat yang harus dipenuhi narapidana, apabila dalam masa percobaan terpidana ditahan secara sah karena suatu perkara maka waktu selama dia berada di tahanan tidak diperhitungkan. Pembebasan bersyarat harus dipandang sebagai usaha pembinaan dan bukan sebagai hadiah karena berkelakuan baik.
Selanjutnya Pasal 75 ayat (1) “syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) adalah: a. Klien pemasyarakatan tidak akan melakukan tindak pidana, dan b. Klien pemasyarakatan harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan berpolitik. Ayat (2) “syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf B dapat diubah, dihapus atau diadakan syarat baru yang semata-mata bertujuan membina terpidana”. Ayat (3) “ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah”. Penjelasan pemerintah Pasal 75, dalam ketentuan ini ditetapkan syarta-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Syarat untuk tidak melakukan tindak pidana selama masa percobaan merupakan syarat umum. Sedangkan syarat khusus dalam masa percobaan adalah perbuatan tertentu yang harus dihindari atau harus dilakukan oleh narapidana, misalnya tidak boleh minum-minuman keras. Syarat-syarat khusus tersebut tidak boleh mengurangi hak narapidana misalnya hak menganut dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Pasal 76 ayat (1) “pembebasan bersyarat tidak dapat ditarik kembali setelah melampaui 3 bulan terhitung sejak saat habisnya masa percobaan”. Ayat (2) “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika sebelum waktu 3 bulan klien pemasyarakatan dituntut karena melakukan tindak pidana adalah masa percobaan dan tuntutan berakhir karena putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Ayat (3) “jangka waktu antara saat mulai menjalani pembebasan bersyarat dan menjalani kembali pidana tidak dihitung sebagai menjalani pidana”. Dalam kaitan ini penjelasan pemerintah Pasal 76 berbunyi sebagai berikut, ketentuan yang mengatur mengenai kemungkinan pencabutan pembebasan bersyarat, 3 bulan setelah habis masa percobaan pembebasan bersyarat tidak dapat dicabut kembali. Namun apabila sebelum waktu 3 bulan narapidana dituntut karena melakukan tindak pidana dalam masa percobaan dan tuntutan berakhir dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka pembebasan bersyarat dapat dicabut kembali. Dalam hal terpidana harus menjalani kembali pidananya, maka jangka waktu antara saat mulai menjalani pembebasan bersyarat dan saat mulai menjalani kembali pidananya tidak dihitung sebagai menjalani pidana.
Selanjutnya Pasal 77 ayat (1) “keputusan pembebasan bersyarat ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan HAM setelah mendapatkan pertimbangan dari tim pengamat pemasyarakatan dan hakim pengawas”. PIMPINAN RAPAT: Kalau bisa bagian yang ini kalau saya tidak salah catat ini kita belum bahas ini. Jadi kalau bisa kita berhenti di situ dulu, kecuali tadi yang saya jelaskan itu yang saya sampaikan masalah-masalah yang mesti dijelaskan oleh narasumber nanti soal yang lain-lainnya saya rasa sampai dengan Pasal 103 itu tidak ada masalah dan di situ juga sudah ada pidana mati, lalu nanti pelaksanaannya. Hal yang masih belum dijawab itu adalah hal yang tadi saya sampaikan, jadi saya rasa Bapak-Ibu Anggota Panja ini tadi penjelasan pemerintah, bukan penjelasan, penyampaian hasil formulasi sejumlah DIM yang kita minta pemerintah untuk merumuskan kembali sesuai dengan apa yang kita sepakati di tingkat Panja. Tadi sudah disampaikan dan saya yakin masih banyak hal yang perlu kita klarifikasi, sejumlah pasal yang tadi sudah disampaikan, kita nanti minta lagi penjelasan pemerintah paling tidak untuk mendapatkan pemahaman yang sama. Jadi saya usul sekarang ini sudah pukul 22.15 WIB, apakah kita simpan dulu bahan ini, masukan-masukan ini tadi, luar biasa bagusnya tapi banyak juga hal yang ingi kita tanyakan nanti, tapi tentu supaya pertanyaannya lebih tajam, lebih bagus kalau kita istirahat dulu. Saya usulkan, kami usulkan kalau bisa pemerintah kita mulai besok malam pukul 19.30 WIB kalau bisa tempatnya di mana. Jadi kita konsinyering Kamis malam, Jumat, Sabtu, kalau bisa Minggu juga kita usahakan, Kamis belum atau Kamis kita tidak tapi Jumat kita mulai bisa nggak. Kalau bisa Pak, Jumat, Sabtu, Minggu, kalau nggak begini nggak selesai ini Undang-undang, besok malam, belum ada duitnya besok malam Pak, kecuali pemerintah yang tanggung ya bisa, bisa nggak di sini sebab kalau di sini saya yakin begini modelnya, bagaimana kalau kita Jumat Pak, Jumat, Sabtu, Minggu. PEMERINTAH (EMI): Mohon izin Bapak Pimpinan, ini kebetulan Prof. Muladi Jumat, Sabtu, Minggu itu izin tidak bisa ada di sini, ada kegiatan di luar. PIMPINAN RAPAT: Besok bisa nggak, kalau besok di sini, masalahnya kita Paripurna besok pagi, dengan PPATK besok pagi, siang jam 13.00 WIB Paripurna besok paling sampai jam 16.00 WIB, paling jam 19.00 WIB malam lagi, bagaimana jam 19.00 WIB bisa sebab kalau nanti pemerintah selesai ini kita sudah disetujui ya sudah, ini babii
sudah selesai ini kalau bisa. Berarti nanti Jumat, Sabtu, Minggu kita tinggal selesaikan Bab sedikit lagi ini, tipis ini, buku I kita selesai. Jadi kalau bisa Jumat, Sabtu, Minggu selesai buku I ini dengan catatan apa yang diformulasikan oleh pemerintah besok ini tidak banyak, yang penting substansinya sudah oke, kita tinggal nanti masukkan ke Timus, Timsin untuk kita selesaikan. Bagaimana kita skors sampai besok pukul 19.00 WIB untuk pendalaman ini ya begitu, setuju ya. Baik, kita setuju ya? Baik kita skors dulu sampai jumpa besok, kami tutup disertai ucapan terima kasih kepada pemerintah dengan tim yang sangat solid. Kami malu ini tapi yakinlah biar sedikit pasti berkualitas. Terima kasih banyak. Wassalammu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Rapat kami skors. (RAPAT DISKORS PUKUL 22.20 WIB)