RANCANGAN
CATATAN RAPAT KERJA KOMISI III DPR RI DENGAN MENTERI HUKUM DAN HAM, PIMPINAN KPK DAN KEPALA BNN --------------------------------------------------(BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Sifat Jenis Rapat Hari/tanggal Waktu Tempat Acara
: : : : : : : : :
2016-2017 V Terbuka Rapat Kerja Selasa, 30 Mei 2017 Pukul 14.45 WIB s.d. 16.30 WIB Ruang Rapat Komisi III Mendengarkan masukan tentang Bab Tindak Pidana Khusus mengenai narkotika dan psikotropika serta tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP
KESIMPULAN/KEPUTUSAN I. PENDAHULUAN Rapat Kerja tentang RUU KUHP dibuka pada pukul 14.45 WIB dengan agenda rapat sebagaimana tersebut diatas. II. POKOK-POKOK PEMBAHASAN ➢ Pimpinan rapat menyampaikan bahwa di tingkat Panja telah disepakati ada lima tindak pidana yang masuk dalam pembahasan tindak pidana khusus dimana tiga tindak pidana khusus sudah selesai dibahas namun dua tindak pidana yaitu tentang korupsi dan narkotika yang belum dibahas sehingga akan dibahas bersama KPK dan BNN saat ini. ➢ Beberapa penjelasan yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM, diantaranya adalah sebagai berikut : • Pemerintah sepakat bahwa lima tindak pidana tersebut adalah extra ordinary crime dan sudah ada lembaga khusus yang menanganinya • Core Crime dari kejahatan tersebut yang diatur dalam KUHP. • Bahwa kita mau membangun suatu sistem kodifikasi terbuka, jadi jangan nanti ada pikiran dari BNN maupun dari KPK dengan Undang-Undang ini BNN lembaga nya menjadi hilang, ketentuan yang dalam UU Narkotika menjadi hilang, ketentuan yang ada dalam UU KPK maupun UndangUndang tindak pidana korupsi menjadi hilang, tidak seperti itu. Jadi ini lah
1
•
•
•
•
sistematika hukum pidana materiilnya yang disusun beberapa ketentuanketentuan yang ada di dalam tentang Narkotika. Kepala BNN mengatakan ini perkembangan Narkotika ada banyak, itulah yang ada di UU Narkotika akan direvisi lagi nanti, UU nomor 35 akan direvisi dan sudah masuk dalam prolegnas. Dia tetap berlaku, dia tetap ada, bahkan di Rancangan Undang-Undang ini juga dimasukkan dalam konvensi UNCAC yang menambah ketentuan-ketentuan tentang tindak pidana korupsi antara lain perdagangan pengaruh dan lain-lain. Jadi barangkali bagaimana mensiasatinya agar jangan ada pikiran yang negatif, apakah diatur dalam ketentuan peraturan peralihan, supaya jangan ada pikiran-pikiran dari kita semua termasuk institusi, bahwa ini seolah-olah menghilang. Jadi prinsip kodifikasi terbuka bukan kodifikasi tertutup. Kalau tertutup semua ketentuan yang ada diketentuan pidana yang ada dimana pun masuk di KUHPidana. Kodifikasi terbuka membuka ruang, membuka ruang beberapa tindak pidana yang secara politik masih dianggap perlu diatur secara tersendiri sebagai lex specialis dia tetap berlaku. Prinsip ini yang Prof. Muladi mengatakan kalau tidak masukkan dalam ini, ini kan merusak apa yang dikatakan sistem, apa bangunan sistem kodifikasi itu sendiri. Untuk mempertegas itu barangkali supaya semua sama persepsinya dulu. Perlu dicatat sebagai memori vantoelighting dirapat ini sebagai ingatan kita bahwa memang ketentuanketentuan bahkan kalau ada ketentuan dalam pidana yang tidak sama dengan di Undang-Undang ini, memang harus berlaku di Undang-Undang khususnya, itu yang dikatakan lex specialis nya. Kelembagaannya bahkan di KPK ada sedikit hukum acaranya. Kalau nanti pada suatu gilirannya kelak misalnya, secara politik atau mungkin kondisi bangsa ini sudah baik, kejahatan apa, korupsi sudah bersih, dan apa dia tidak menjadi lex specialis lagi, sudah tidak menjadi apa? Apa namanya? Dia tetap ada cantolan dalam hukum pidana. Apakah misalnya teroris sudah tidak ada lagi, atau pelanggaran HAM, atau BNN misalnya, negara ini sudah bersih di dalam apa, beberapa Negara misalnya sudah membebaskan marijuana atau lainlain, ini perubahan-perubahan kondisi masyarakat tetap ada, ada ketentuan yang terbuka di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebenarnya ini prinsip yang disampaikan oleh tim perancang KUHP kepada kita, dan sekali lagi boleh duduk sedikit lagi untuk melihat ini secara jernih. Yang pasti Pemerintah harus memberi jaminan dan teman-teman DPR bahwa perspektif kita sama semua dalam soal extraordinary crimes ini. Sehingga agar kita bisa maju kedepannya, catatan itu, baik BNN, catatan itu yang penting dicatat dalam artian bahwa ini extraordinary crimes. Bahwa ada Undang-Undang khusus yang harus kita akui, yang terlepas diluar KUHP. Apa yang dalam KUHP menjadi lex generalisnya, termasuk di dalam, apa yang terjadi didalam, apa yang ada di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, maupun Tindak Pidana Narkotika tetap berlaku, institusinya juga tetap berlaku, karena UU nya berbeda. Ada yang berbeda. Komnas HAM masih berlaku. Ini yang barangkali perlu disepakati bersama supaya jangan ada perbedaan yang melihat bahwa seolah-olah RUU KUHP ini menjadi batu sandungan. Jadi cara ini kan Cuma perspektif cara melihat saja. Jadi suatu sistem dengan beberapa prinsip-prinsip bagaimana kita melihat dan menyikapi kebutuhan saat ini yang sangat penting, seperti yang
2
disampaikan oleh pimpinan KPK atau BNN. Intinya hanya perspektifnya saja mungkin yang perlu disamakan. ➢ Beberapa hal yang disampaikan oleh Prof Muladi, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Bahwa RUU KUHP ini tegas-tegas menyatakan sesuai dengan KUHP yang lama, RUU KUHP merupakan kodifikasi terbuka. Jadi dengan rekodifikasi ini juga tetap menyatakan kodifikasi ini sebagai kodifikasi terbuka. RUU KUHP atau Pasal 103 KUHP sekarang dimungkinkan perkembangan peraturan perundang-undangan pidana materiil lain baik didalam maupun diluar KUHP, termasuk untuk melakukan penyimpangan terhadap ketentuan umum KUHP dengan syarat-syarat yang khusus. 2. Yang kedua dalam KUHP yang mengatur konsolidasi substansi hukum pidana materiil, jadi KUHP itu adalah isinya Hukum Pidana materiil dan harus di konsolidasikan. Nantinya akan ada bab tentang tindak pidana khusus menyebutkan secara lengkap substansi hukum pidana materiil beberapa tindak pidana yang dianggap luar biasa extraordinary crimes yaitu tindak pidana korupsi, narkotika dan psikotropika, pencucian uang, terorisme, dan tindak pidana pelanggaran berat terhadap HAM. Tim RUU KUHP beranggapan bahwa berbagai tindak pidana khusus tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa, extraordinary crimes, yang memerlukan perhatian dan pengaturan khusus dengan pertimbangan bahwa tindak pidana tersebut korbannya sangat luas dan multidimensi. Kemudian pelaksana tindak pidana tersebut bersifat trans nasional atau terorganiasasi dan didukung oleh teknologi modern dibidang Komunikasi Informatika dan Transportasi. Sering merupakan crimes tindak pidana pencucian uang dan diperlukan beberapa pengaturan hukum pidana acara pidana dan hukum pidana yang bersifat khusus. 3. Diperlukan adanya lembaga-lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat dengan kewenangan yang luas seperti KPK, PPATK, BNN, KOMNAS HAM, BNPT, yang dilandasi oleh konvensi-konvensi internasional dan berbagai tindak pidana khusus tersebut dirasakan bersifat sangat-sangat penting. Khusus untuk tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang No. 31/1999 dan UU no 20 tahun 2001 perubahan, sepanjang berkaitan dengan materi hukum acara pidana hukum pidana formilnya dan kelembagaan khusus dalam penegakan hukumnya, KPK misalnya, hal tersebut pengaturannya tetap dilakukan secara terpisah dalam Undang-Undang diluar kodifikasi yang sudah ada tanpa perubahan sama sekali tentang substansinya. Tadi dijelaskan KUHP itu merupakan konsolidasi hukum pidana materiilnya. Substansi tindak pidana khusus dalam KUHP termasuk tindak pidana korupsi tidak merupakan tindak pidana baru, hanya saja dalam jenis tindak pidana yang sudah diatur dalam Undang-Undang No. 31/1999 jo UU no 20 tahun 2001 ada penambahan perubahan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang yang sudah di ratifikasi dengan UU No. 7 tahun 2006 tanggal 18 April 2006 yaitu tindak pidana memperdagangkan pengaruh, tindak pidana penyuapan di sektor 3
swasta, tindak pidana memperkaya secara tidak sah dan tindak pidana penyuapan pejabat publik asing dan pejabat publik organisasi Internasional. Pada waktu diratifikasi harus ada undang-undangnya tapi sampai sekarang belum dilakukan. Dengan demikian nantinya apabila KUHP baru tersebut sudah di sahkan, maka tindak pidana yang berasal dari undang-undang sebagaimana tersebut diatas langsung berlaku efektif dan bisa di terapkan. Hal ini dibutuhkan karena sampai saat ini ratifikasi terhadap terhadap hal tersebut belum di tindak lanjuti dengan implementing legislation. 4. Pengaturan bab tindak pidana khusus dalam KUHP disamping menggambarkan sifat KUHP sebagai kodifikasi terbuka, juga untuk menunjukkan bahwa kodifikasi berupa KUHP hakikatnya mencerminkan suatu system. KUHP itu merupakan suatu sistem yang terintegrasi dari seluruh hukum pidana materiil, baik didalam maupun diluar KUHP, dengan karakteristik berkembang atas tujuan yang sama, kemudian menggambarkan keseluruhan, kemudian ketertarikan antar bagian dengan yang lain dan antar bagian terjadi transformasi nilai antar subsistem dan berada dalam ketentuan pengendalian yang sama atau melalui azas-azas hukum pidana materiil yang diatur dalam Buku I KUHP. 5. Pengaturan bab tindak pidana khusus juga menggambarkan KUHP sebagai kodifikasi terbuka dan sekaligus menjembatani antara KUHP dengan perundang-undangan hukum pidana diluar kodifikasi KUHP . Hukum acara pidana dan kelembagaan penegakan hukum khusus KPK juga BNN dengan segala kewenangannya yang luas tetap diatur diluar kodifikasi KUHP, karena merupakan disiplin hukum pidana yang berbeda, apabila hukum pidana materiil yang mengatur substansi hukum tentang perbuatan yang dilarang dan bersifat melawan hukum pertanggungjawab pidana dan sanksi, maka hukum acara pidana diatur cara-cara atau prosedur untuk mempertahankan hukum pidana materiil disertai kelembagaan penegakan khusus misalnya KPK yang merupakan lembaga pemerintah untuk berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi atas dasar UU No. 30 tahun 2002. Hal tersebut diatas dilandasi pemahaman bersama dalam panja DPR yang berlangsung sampai saat ini bahwa segala kebijakan hukum atau legal policy yang dilakukan dalam pengaturan tindak pidana khusus tidak akan mengganggu dan melemahkan penegakan substansi hukum dan fungsi kelembagaan KPK yang sudah diatur dalam perundang-undangan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atas dasar Undang-Undang No. 31/1999 dan UU no 20 tahun 2001 dan UU No. 30 tahun 2002. 6. Bahwa perumusan konsep RUU KUHP yang akan menggantikan KUHP warisan Kolonel Belanda yang perubahannya sangat mendasar sehingga lebih tepat disebut sebagai proses re-kodifikasi telah dilakukan melalui suatu proses panjang lebih dari 40 tahun yang melibatkan ahliahli hukum pidana dan ahli-ahli disiplin, ilmu-ilmu lain yang relevan dan terkemuka, termasuk dari luar negeri disertai dengan kajian dan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana disertai kajian 4
perbandingan hukum berbagai Negara. Sebagai kesimpulan dapat di sampaikan bahwa setiap orang yang terlibat dalam perumusan dan pembahasan RUU KUHP memiliki komitmen yang sama bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana luar biasa yang harus ditangani pula dengan cara-cara luar biasa. Pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan salah satu agenda reformasi 98, karena tindak pidana korupsi dirasakan sangat mengganggu pembangunan Nasional yang berkelanjutan, supremasi hukum dan ketahanan nasional, merusak mental aparat Negara, mengancam stabilitas kas dan keamanan masyarakat, meronrong lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai etika dan keadilan dan bahkan merupakan pelanggaran HAM serta hak-hak dasar warga Negara, lebih-lebih apabila ada kaitannya dengan kejahatan lain dibidang ekonomi yang terorganisasi dan transnasional. 7. RUU KUHP sama sekali tidak mengandung unsur-unsur yang dapat di manfaatkan untuk melakukan dilegitimasi tindak pidana korupsi, sebagai extraordinary crime beserta kelembagaan khusus yang menanganinya. Apabila kelembagaan khusus yang menanganinya apalagi menempatkannya sebagai instrumen yang bersifat ultimum remedium yang merupakan langkah mundur bahkan RUU KUHP telah menambah 4 area responsibility KPK yang telah ada dengan 4 kejahatan baru yang diatur dalam UNCAC diatas. Dalam pembahasan RUU KUHP selalu dilibatkan secara aktif semua pejabat yang mewakili KPK, semua saran dan masukan dari berbagai pihak selalu di perhatikan dan dianggap secara professional. Tim RUU KUHP selalu bersedia untuk bertukar pikiran dengan pihak-pihak terkait dan berkepentingan. Jadi ada 3 hal yang menonjol disini, bahwa bab tindak pidana khusus merupakan pengkait yang menjembatani atau bridging antara pengaturan di dalam dan diluar KUHP didalam hukum pidana materiil. Kemudian yang kedua modelnya tindak pidana khusus bersifat compromise kompromi, kompromi dan tidak akan mengganggu atau melemahkan efektivitas penegakan hukum masing-masing tindak pidana khusus diluar KUHP baik substansi maupun kelembagaan. Kemudian yang ketiga adalah tindak pidana khusus tidak merupakan tindak pidana administrative, seperti narkoba, keliatannya seperti hukum pidana administratif, tetapi sebetulnya itu merupakan kejahatan yang sangat transnasional dan sangat dahsyat yang tidak bisa dilihat sebagai suatu tindak pidana administrative tetapi merupakan tindak kejahatan yang sangat luar biasa. Bahwa RUU KUHP sebagai kodifikasi terbuka. KUHP itu merupakan suatu konstitusi dari hukum pidana materiil. Orang melihat hukum pidana Indonesia memersatu memegang KUHP terlebih dahulu. Kemudian mengenai perkecualian-perkecualian atau penyimpanganpenyimpangan yang terjadi, itu diberikan pintu terbuka oleh Pasal 218. Yang tertulis oleh KUHP itu bisa disimpangi dengan tindak pidana khusus yang sudah ada saat ini, termasuk hukum administratif dan hukum acaranya. Itu akan berada diluar KUHP dan hukum materiilnya pun bisa di simpangi. Jadi apa yang ada didalam KUHP itu adalah suatu core crime atau tindak pidana yang merupakan inti, tapi itu bisa disimpangi dengan ketentuan-ketentuan diluar KUHP dan itu merupakan 5
jembatan, bridging, untuk bisa melihat perkembangan KUHP diluar KUHP yang telah terjadi. Bahwa KUHP itu merupakan konsolidasi dari hukum pidana materiil. Konsolidasi hukum pidana materiil dan bagaimana juga untuk melihat wawasan yang lebih luas melihat core crime itu sebagai suatu yang bridging. Yang perlu ditegaskan sekali lagi adalah bahwa tidak ada perubahan sama sekali dari fungsi kelembagaan dan fungsi administrasi yang terjadi terhadap perundangundangan tindak pidana khusus. Jadi yang di cantumkan dalam KUHP itu hanya merupakan core nya, core crime dan itu merupakan suatu bagian dari sistematika dari UU Pidana. Jadi dapat dikatakan tadi merupakan suatu kompromi, kalau kompromi pertama dulu ingin mengeluarkan semua tindak pidana khusus diluar KUHP, tetapi perdebatan dalam rapat panja ini, interaksi antara DPR dengan Pemerintah itu kan merusak kodifikasi. Merusak kodifikasi yang merupakan konsolidasi hukum pidana materiil. Tapi kalau waktu itu dimasukkan sepenuhnya, itu akan lebih parah lagi karena akan terjadi duplikasi tadi secara nyata. Jadi jalan tengahnya sebagai kompromi, yaitu ambil core crime nya tapi perkembangan hukum acara dan hukum administrasinya itu tetap terjadi diluar KUHP dan itu yang berlaku. Tidak akan diganggu sama sekali oleh konsep RUU KUHP yang baru ini. Jadi agar dipahami bahwa ini merupakan suatu hasil dari kompromi politik antara Pemerintah dan DPR bahwa ada bab tindak pidana khusus dengan core crime yang disinggung dan perkembangannya akan berada diluar atas dasar prinsip kodifikasi terbuka dengan fasilitas Pasal 218. ➢ Beberapa hal yang disampaikan oleh Prof.Dr. Harkristuti Harkrisnowo, SH sebagai berikut : Bahwa ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hukum acara dan keberadaan lembaga nanti akan di rumuskan didalam satu bab khusus atau Undang-Undang Khusus missal, akan dipilih yang masuk ke dalam undangundang peralihan, dimana akan diatur secara detail bahwa dalam KUHP yang baru nanti ini ada sejumlah perbedaan menyolok dengan KUHP yang lama. Ini akan menjadi petunjuk bagi para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Misalnya berkaitan dengan tidak ada laginya perbedaan pelanggaran, misalnya yang berkaitan dengan kata dengan sengaja dan melawan hukum dan juga lembaga, masih berlakunya ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bagian-bagiannya telah dimasukkan kedalam Rancangan KUHP yaitu berkaitan dengan delik-delik khusus tadi, itu masih berlaku, termasuk juga lembaga-lembaga yang menanganinya. Dengan pengaturan seperti ini akan menguatkan apa yang tadi disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM serta Prof Muladi bahwa RUU KUHP ini tidak ada niatan sama sekali untuk melakukan pelemahan terhadap badan-badan yang sudah ada, baik dalam bentuk institusi maupun dalam penegakan hukumnya. ➢ Beberapa hal yang disampaikan oleh Kepala BNN diantaranya adalah sebagai berikut : Bahwa Badan Narkotika Nasional berpendapat rumusan Bab XVII (BAB 17) tentang Tindak Pidana Narkotika untuk tidak dicantumkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
6
(RUU KUHP) yang sedang dalam proses pembahasan Panja RUU-KUHP dan Tim Internal Pemerintah dengan alasan sebagai berikut : 1. bahwa kejahatan Narkotika merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), sehingga diperlukan penanganan khusus dalam menanggulanginya dan hal ini sudah disepakati oleh DPR dan Pemerintah; 2. apabila rumusan tentang Tindak Pidana Narkotika dicantumkan dalam RUU KUHP, maka akan terdapat 2 (dua) undang-undang materiil yang mengatur tentang Tindak Pidana Narkotika, sehingga akan menimbulkan Multitafsir, Kontradiktif dan Kontra produktif dalam pelaksanaannya di lapangan; 3. apabila rumusan tentang Tindak Pidana Narkotika dicantumkan dalam RUU KUHP, maka akan menghilangkan kekhususan dalam penanganan Tindak Pidana Narkotika sebagaimana yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; 4. bahwa apabila rumusan Tindak Pidana Narkotika dicantumkan ke dalam RUU KUHP, maka akan menimbulkan pelemahan. Salah satu contoh BNN memiliki kewenangan penyadapan yang tercantum dalam Pasal 75 huruf i Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi “melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup”. Apakah hal ini akan tetap berlaku bagi penegak hukum Tindak Pidana Narkotika, karena ini merupakan langkah khusus dalam pemberantasan tindak pidana narkotika; 5. bahwa rumusan Tindak Pidana Pencucian Uang yang telah di atur dalam Pasal 137 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun tidak di atur di dalam RUU KUHP sehingga harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; 6. bahwa perumusan pidana denda dalam pasal 507 s.d. 522 RUU KUHP jauh lebih rendah dibandingkan dalam perumusan pasal 111 s.d. 129 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, hal ini tidak sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini dimana Indonesia sedang dalam keadaan DARURAT NARKOTIKA. Sehingga langkah untuk MEMISKINKAN BANDAR akan terhambat; 7. bahwa di dalam RUU KUHP tidak ada pengaturan tentang Demand Reduction dan tidak terdapat Narkotika Golongan I, II, III, dan tabel prekursor serta Zat Narkotika jenis baru (NPS). Ketika dimasukan ke dalam RUU KUHP, akan sangat sulit dalam perumusannya serta menghambat proses pelaksanaan tindak pidana nya; 8. bahwa apabila Tindak Pidana Narkotika masuk ke dalam RUU KUHP, akan menjadi masalah karena bertentangan dengan KonvensiKonvensi Internasional Tahun 1961, 1971, dan 1988 serta penetapan UNCND yaitu penetapan Political Declaration to Counter The World Drug Problem dan Plan Of Action; 9. bahwa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika saat ini juga sedang dalam proses revisi sebagaimana telah disetujui oleh Baleg DPR RI dan Pemerintah menjadi RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2017 serta isinya sangat komperhensif; 10. Bahwa RUU KUHP bersifat “kaku” tidak mudah diubah serta memiliki politik hukum pemidanaan yang sangat tinggi. Hal ini berbeda dengan 7
11.
12.
13.
14.
15.
tindak pidana narkotika yang sangat dinamis dan memiliki tingkat perubahan yang sangat tinggi. (contoh : perubahan penggolongan narkotika, BNN sudah menemukan 65 jenis Zat Psikoaktif baru (NPS), UNODC sudah menemukan kurang lebih 644 jenis Zat Psikoaktif baru (NPS), bahkan negara Tiongkok sudah menemukan 800 jenis Zat Psikoaktif baru (NPS). Dan diperkirakan akan berkembang lagi dengan cepat; bahwa apabila pengaturan pidana terkait narkotika dipaksakan masuk ke dalam RUU KUHP, maka bisa dibayangkan betapa sulitnya melakukan perubahan secara terintergrasi. Pemidanaan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sangat bergantung pada kondisi penanggulangan narkotika. Khususnya pidana yang dapat memenjarakan pengguna dan pecandu, dan apabila Narkotika diatur dalam RUU KUHP akan menghilangkan jejak pendekatan kesehatan yang saat ini coba dilakukan oleh negara; bahwa keputusan untuk memasukan Pidana Narkotika ke dalam RUU KUHP akan mempersulit merubah pendekatan pidana ke pendekatan kesehatan masyarakat khususnya dalam hal pengguna dan pecandu narkotika. Untuk itu, karena tidak ada urgensi dalam memasukan pidana Narkotika ke dalam RUU KUHP, berakibat banyak masalah yang akan timbul, maka mengeluarkan pidana Narkotika dari RUU KUHP sangatlah tepat; bahwa Undang-Undang tidaklah mungkin secara sempurna memuat ketentuan yang diharapkan. Hal tersebut disebabkan oleh kesukaran teknis perumusan, pengaruh kepentingan yang bersifat politis pada penyusunan, dan mengabstraksikan norma-norma yang sudah ada di dalam hukum. Artinya kodifikasi tidak menjawab persoalan kompleksitas kejahatan yang muncul dalam masyakarat yang selalu berkembang; kodifikasi tidak boleh diartikan seluruh tindak pidana harus disusun di dalam satu buku, kodifikasi bisa saja dilakukan, tetapi tidak berarti tidak boleh ada peraturan lain diluar kodiifikasi. Niat pemerintah dan DPR untuk melakukan kodifikasi seluruh tindak pidana dalam RUU KUHP adalah niat baik, namun dalam pelaksanaan kodifikasi tidak boleh dipaksakan dan di artikan bahwa seluruh tindak pidana yang sifatnya khusus harus masuk dalam ranah kodifikasi; bahwa berdasarkan informasi yang kami terima, Undang-Undang Narkotika di Belanda tidak dimasukan dalam KUHP Belanda dengan pertimbangan kejahatan Narkotika berdampak luas dengan korbannya yang sangat banyak, dan hal ini disampaikan oleh Prof. Muladi saat Study Banding di Belanda.
➢ Beberapa hal yang disampaikan Pimpinan KPK (Laode M Syarif), diantaranya adalah sebagai berikut : • Bahwa aturan atau norma-norma yang ada didalam Tindak Pidana Korupsi itu tetap menjadi ada diluar KUHP. Yang berikutnya KPK melihat bahwa di dalam RUU yang ada sekarang, semua tindak pidana korupsi yang KPK hitung itu ada beberapa masih menjadi bagian di dalam pasal-pasal yang ada di dalam RUU, di dalam Rancangan KUHP. Misalnya korupsi yang berkaitan dengan keuangan Negara, korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap, korupsi yang berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan dan seterusnya, itu masih masuk didalam 8
•
•
•
•
•
KUHP. Oleh karena itu, apabila semua norma-norma tersebut masuk di dalam Rancangan KUHP, maka yang tersisa sebagai Tindak Pidana Khusus itu dimana?. Bahwa yang rumusan terakhir dalam KUHP itu masih memasukkan semua tindak pidana korupsi di dalam Rancangan UU, Rancangan KUHP yang ada sekarang. KPK ingin bertanya kepada tim, khususnya dalam keterangan yang dikatakan oleh Profesor Muladi bahwa di dalam KUHP nanti yang masuk itu hanya core crimenya saja. Kalau yang akan masuk hanya core crimenya saja, pada pertemuan sebelumnya KPK mengatakan bahwa semua tindak pidana korupsi yang ada sekarang ini core semua, tidak ada yang tidak core, tidak ada yang tidak inti. Tetapi KPK ingin pertanyakan lagi apakah yang di maksud itu hanya sebagai bridging dari pasalnya sehingga semua normanya masih ada dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang ada sekarang. KPK perlu pertanyakan dan sekaligus menjadi catatan dari forum yang ini. Sekali lagi sikap keinginan KPK, masih bahkan, semua norma yang ada dalam tindak pidana korupsi itu masih menjadi diluar KUHP, tetapi KPK ingin mempertanyakan apabila tadi dikatakan oleh tim ahli, khususnya Prof. Muladi mengatakan bahwa yang akan ada didalam KUHP itu adalah hanya core dan hanya merupakan pasal yang menjembatani antara tindak pidana khusus dengan KUHP. Bahwa UU No. 31 Tahun 1999 jo Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) mengatur tentang hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Apabila materi hukum pidana materiilnya diatur dalam RUU KUHP maka terdapat dua kemungkinan yaitu hukum pidana materiilnya akan dinyatakan tidak berlaku atau kedua duanya (materil dan formil) dinyatakan tidak berlaku Bahwa ketentuan Pasal 218 dalam Bab VI Aturan Penutup RUU KUHP menyatakan “Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut perundang undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut undangundang”. Artinya Buku I tentang Ketentuan Umum yang terdiri dari Bab I sampai dengan Bab V berlaku pula untuk Buku II sehingga Tindak Pidana Korupsi bukan lagi sebagai tindak pidana khusus. RUU KUHP secara umum telah mengambil keseluruhan ketentuan ketentuan hukum pidana materiil yang telah diatur dalam dalam UU TPK. Secara normatif dan filosofis apabila materi UU TPK dimasukkan dalam Buku II RUU KUHP Bab XXXIII Pasal 687-706, maka Tindak Pidana Korupsi akan kehilangan rohnya sebagai tindak pidana khusus. Bahwa Tindak Pidana Korupsi merupakan merupakan suatu kejahatan yang luar biasa. Hal tersebut dinyatakan secara tegas oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 109/PUU-XIII/2015 tanggal 9 November 2016 halaman 136 yang menyatakan bahwa KPK hadir sebagai lembaga yang bertugas menangani kejahatan yang luar biasa karena itu harus didukung dengan instrument hukum yang tidak konvensional yang disiapkan untuk mendukung KPK agar dapat bekerja lebih optimal. Bahwa memasukkan tindak pidana korupsi dalam kodifikasi RUU KUHP akan menghilangkan determinasinya dan juga sifat kekhususannya karena politik kriminal dan cara-cara khusus yang dibutuhkan untuk menghadapi modus, struktur dan jaringan korupsi yang begitu kompleks
9
•
dan cepat berubah akan tenggelam dalam keumuman kodifikasi RUU KUHP yang diusulkan oleh pemerintah dan DPR. Bahwa semua tindak pidana khusus tetap berada diluar KUHP, maka didalam KUHP yang baru, norma-norman yang sudah diatur dalam undang-undang yang bersifat khusus jangan diatur dalam KUHP, karena dalam korupsi semua adalah inti. Bahwa akan ada bridging article disetujui namun jangan sampai norma norma dalam UU Tipikor masuk dalam norma KUHP kecuali belum diatur dalam undang-undang tentang Tipikor
➢ Ketua Rapat menyampaikan bahwa yang dipersoalkan ini hanya soal locus saja, apakah jika masuk KUHP akan menghilangkan aturan dalam UU khusus. bahwa tidak ada maksud untuk melemahkan. Bahwa apa yang disampaikan oleh BNN dan KPK penting untuk mendapat penjelasan sehingga tidak timbul prasangka. ➢ Beberapa pandangan yang disampaikan Fraksi-Fraksi, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Fraksi Golkar menyampaikan bahwa pegangan yang harus digunakan adalah naskah akademis. Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara setuju untuk menggunakan naskah akademis. Bahwa semangat perubahan RUU KUHP adalah melakukan kodifiikasi tanpa menghapus institusi yang sudah ada. Saat ini terjadi perbedaan penafsiran sehingga perlu kembali ke semangat fundamental dalam naskah akademis bahwa tidak ada keinginan untuk mengkerdilkan institusi yang sudah ada. 2. Fraksi PDIP menyampaikan bahwa kodifikasi yang dianut adalah kodifikasi terbuka sehingga aturan korupsi dan narkotika masuk dalam RUU KUHP yang baru. Bahwa salah satu karakteristik KUHP adalah sebagai aturan pengait sehingga jika sudah diatur dalam UU khusus maka yang digunakan adalah aturan yang ada dalam UU khusus 3. Fraksi Gerindra menyampaikan bahwa kodifikasi yang dipakai adalah kodifikasi terbuka, setuju bahwa core crime nya saja yang masuk dalam KUHP, bahwa aturan khusus dalam UU Khusus tetap berlaku 4. Fraksi Demokrat menyampaikan bahwa sejak awal setuju kodifikasi terbuka. memahami keberatan KPK dan BNN mengenai masuknya norma norma yang masuk kedalam RUU KUHP. Hal ini seharusnya dibahas di internal pemerintah lebih dahulu. Mengusulkan agar pemerintah duduk bersama untuk mengambil keputusan agar bisa satu suara. 5. Fraksi PKB menyampaikan pendapat yang sama dengan Fraksi Partai Demokrat bahwa pemerintah satu suara lebih dahulu. Bahwa kodifikasi dimaksudkan untuk menyatukan aturan pidana yang tersebar di berbagai UU 6. Fraksi PKS menyampaikan bahwa tujuan kodifikasi adalah terbuka dan meminta pemerintah jangan setengah hati dalam melakukan kodifikasi karena jika setengah hati maka akan ada penolakan dari institusi institusi lainnya. Penolakan KPK dan BNN bisa diatasi jika pemerintah punya ketegasan mengenai semangat kodifikasi RUU KUHP ini. Berharap KPK
10
7.
8. 9. 10.
dan BNN mengikuti semangat yang dimiliki pemerintah karena BNN dan KPK adalah organ penunjang negara. Fraksi PPP menyampaikan bahwa apa yang dibicarakan sebenarnya sudah diputuskan dalam rapat sebelumnya. Bahwa semua kewenangan dan kompetensi lembaga lembaga khusus tidak akan berkurang sedikitpun. Solusinya adalah di aturan peralihan atau adanya RUU Pemberlakuan KUHP. Bahwa KUHP yang dibuat adalah KUHP terbuka yang tidak mengurangi kewenangan institusi yang sudah ada dan ini telah disetujui Fraksi Partai Nasdem meminta agar pemerintah satu suara terlebih dahulu. Fraksi PAN tidak hadir. Fraksi Hanura tidak hadir.
➢ Menteri Hukum dan HAM menyampaikan bahwa dalam RUU KUHP yang baru semuanya memiliki semangat yang sama hanya masalah kekhawatiran saja. Pemerintah tidak meragukan tim perumus sehingga ini hanya soal teknis. Bahwa ada solusi di aturan peralihan atau di UU Pemberlakuan KUHP. Bahwa semangat kodifikasi dilakukan dengan prinsip dan semangat yang benar sehingga tidak ada tujuan untuk melemahkan istitusi yang sudah ada. Bahwa prinsip kehati-hatian harus dikedepankan ➢ Prof Muladi menyampaikan bahwa ada empat pola perkembangan undang undang yaitu : amandemen, global , kompromi (munculnya masalah baru) dan komplementer. Harus dikonsolidasikan semua aturan dan setuju bahwa isi core crime harus dibicarakan kembali.
III. KESIMPULAN/PENUTUP Komisi III DPR RI meminta Menteri Hukum dan HAM RI untuk kembali membicarakan bersama KPK, BNN, dan seluruh lembaga terkait untuk melakukan konsolidasi terkait pengaturan Tindak Pidana Khusus dalam RUU KUHP. Rapat ditutup pukul 16.30 WIB
11