1
Ringkasan Disertasi Sugembong CF Dalam memperoleh gelar Doktor di bidang Strategic Management Fakultas Ekonomi UI, Rabu 8 Jan. 2014 PENGARUH KEPEMIMPINAN STRATEJIK DI LAPANGAN DAN PERAN KOMITMEN MANAJEMEN PUNCAK DI PUSAT TERHADAP KINERJA UNIT ORGANISASI DI LAPANGAN: STUDI EMPIRIS DI INDUSTRI PERMINYAKAN SEKTOR HULU Latar Belakang Penelitian ini mempelajari tentang faktor-faktor penentu keberhasilan dalam manajemen stratejik pada perusahaan minyak dan gas (migas). Sampai saat ini dan beberapa dekade kedepan energi migas masih mendominasi pemakaian energi dunia (Chang & Young, 2007). Produksi minyak dunia saat ini mencapai 74,9 juta barrel oil per day (bopd) yang berasal dari negara-negara Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) sebesar 32,6 juta bopd dan non-OPEC sebesar 42,3 juta bopd. Di Indonesia, produksi minyak saat ini sekitar 830 ribu bopd dan gas 9,000 juta cubic feet per day (cfpd) dengan total cadangan yang tersisa masih sekitar 7,56 miliar barel minyak (Pradnyana, 2011) dan gas sekitar 157,1 trilion cubic feet (TCF) (Kusumo, 2011) dari cadangan pasti (proven) dan potensi (potential). Namun demikian, masuk ke industri migas dan survive tidaklah mudah, industri migas sektor hulu mempunyai karakteristik: 1) perlu dana yang besar (misalnya ; pengeboran 1 sumur membutuhkan biaya sekitar 5 – 50 juta US$, bahkan bisa lebih tergantung lokasi) (Stonham, 2000), 2) investasi jangka panjang (lebih 10 tahun untuk bisa berproduksi) (Fattouh and Darbouche, 2010), 3) perlu teknologi tinggi (Longwell, 2002), 4) regulasi yang ketat (Sunley et al., 2002), dan 5) resiko yang tinggi (Sheikhzadeh et al., 2012), terlebih pada tahap eksplorasi. Sukses rasio untuk lapangan eksplorasi sangat rendah 0 – 10% (Keefer et al. 1990), sehingga perusahaan perlu mendapatkan informasi yang banyak dan melakukan evaluasi dengan seksama. Meski harga minyak relatif masih tinggi dan permintaan terus tinggi (JPT, 2012), ironisnya produksi minyak Indonesia terus menurun sejak 15 tahun terakhir (Rubiandini, 2011). Akibatnya sejak tahun 2002 Indonesia sudah menjadi net importer karena peningkatan kebutuhan BBM seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan industri namun tidak diiringi peningkatan produksi minyak. Meski demikian penurunan produksi secara industri tidak diikuti penurunan produksi oleh semua perusahaan, ada beberapa perusahaan yang bisa mempertahankan produksinya dan bahkan meningkatkan produksinya.
Universitas Indonesia
2
Tantangan perusahaan yang sudah berproduksi saat ini adalah bagaimana meningkatkan produksi migas didaerah yang telah mature seperti di Indonesia. Daerah yang mature adalah daerah dengan prospek yang terbatas dan ukuran potensi cadangan yang kecil (Malvic dan Rysan, 2009). Secara umum, permasalahan perusahaan migas di Indonesia saat ini adalah: 1) sebagian lapangan-lapangan yang berproduksi (pada umumnya berada di Indonesia bagian barat dan tengah) adalah lapangan tua yang sudah berproduksi lebih dari 20 tahun, 2) lahan eksplorasi yang masih terbuka berada di laut dalam dan di Indonesia bagian timur yang minim infrastruktur, 3) masalah sosial yang timbul akibat dari kebijakan otonomi daerah dan tuntutan masyarakat lokal, 4) banyak pengusaha nasional non-migas yang masuk ke industri migas dengan kompetensi dan pengalaman yang terbatas, dan 5) kelangkaan sumberdaya dan tenaga kerja untuk mengerjakan proyek-proyek akibat meningkatnya kebutuhan dengan pasokan yang terbatas. Sektor hulu industri migas meliputi tahap eksplorasi dan produksi termasuk kegiatan seperti studi reservoir, seismik, eksplorasi, pengeboran, operasi, instalasi platform produksi, desain dan rekayasa, dan perakitan dan pemasangan peralatan kepala sumur. Sheikhzadeh et al. (2011) menyatakan bahwa industri migas sektor hulu berorientasi pada proyek sementara di hilir berorientasi pada proses, sehingga industri sektor hulu memiliki sifat yang sama sekali berbeda dibandingkan dengan sektor hilir. Misalnya, pada sektor hulu menghadapi beberapa ketidakpastian yang kompleks pada setiap proyek yang berdampak pada waktu, biaya, dan kualitas. Asrilhant et al. (2006) mengemukakan proyek-proyek di sektor hulu migas adalah proyek stratejik, yaitu proyek yang mengelola usaha inti perusahaan guna pertumbuhan dan penciptaan kekayaan. Proyek-proyek ini memerlukan investasi besar dan sering melibatkan ketidakpastian yang tinggi, namun disisi lain menjanjikan hasil keuangan jangka panjang yang menarik (Buckley, 1998). Proyek stratejik juga memotivasi terjadinya penciptaan, akuisisi dan pengembangan kompetensi (Foss, 1997), dengan beragam pilihan (Amram dan Kulatilaka, 1999), dan dilakukan pada situasi yang berubah, tidak pasti dan lingkungan yang kompleks (Kaplan dan Norton, 1992 , Partington, 2000). Banyak penelitian mengemukakan bahwa untuk mengelola proyek-proyek stratejik dengan lingkungan yang tidak pasti dan kompleks membutuhkan seorang pemimpin yang efektif yang dapat berpikir secara stratejik (Shah, 1996; Hopkins dan Hopkins, 1997; Ireland dan Hitt, 1999). Pemimpin stratejik bisa mengintegrasikan pengetahuan spesifik dan kemampuan untuk menanggapi ketidakpastian dengan melakukan tindakan-tindakan untuk menjaga kelangsungan hidup organisasi dimasa depan (Hitt dan Ireland, 2002; Asrilhant et al., 2006). Penelitian-penelitian kepemimpinan stratejik sebelumnya banyak dilakukan pada dunia Barat (Amerika dan Eropa) (Elenkov et al., 2005; Shrisvatava dan Nachman, 1989; Harrison dan Pelletier, 1997) dan dilakukan oleh kepala eksekutif atau presiden direktur (Hambrick dan Mason, 1984; Boal, 2004; Elenkov et al., 2005; Sosik et al., 2005; Yuki, 2006; Bass, 2007; Jansen et al., 2009; Kiyak et al., 2011). Namun, pengaruh individu pada kinerja organisasi telah berulang kali dinilai
Universitas Indonesia
3
sebagai ambigu (Shrivastava & Nachman , 1989; Flowers , 2004). Studi ini mempertanyakan asumsi bahwa hanya kepala eksekutif dan presiden direktur yang bisa memberikan kepemimpinan stratejik dalam organisasi. Beberapa peneliti mendukung hal ini, misalnya Taylor (1995) menyatakan bahwa kepemimpinan stratejik dapat dilakukan pada tingkat stratejik maupun operasi untuk mengelola perubahan dan mencapai kinerja yang lebih baik asalkan perbaikan dilakukan pada saat pembuatan strategi dan implementasi. Hitt dan Ireland (2002) menyarankan bahwa sebaiknya para pemimpin di semua tingkatan organisasi harus mengembangkan kemampuan untuk menciptakan masa depan yang baik bagi organisasi. Flowers (2004) berpendapat bahwa kepemimpinan stratejik harus diberikan kepada manajemen pada tingkat yang lebih rendah karena kompleksitas masalah yang dihadapi saat ini, seperti: 1) perkembangan teknologi secara global saat ini telah berdampak tidak hanya pada tingkat korporasi, tetapi juga pada tingkat operasi, 2) tanggung jawab manajer pada tingkat yang lebih rendah tidak hanya berhubungan dengan hal-hal teknis dan operasi semata, namun juga mencakup masalah ekonomi, lingkungan, dan masalah sosial, dan 3) sebagian besar bisnis gagal baru-baru ini terjadi pada tahap implementasi dan bukan dalam tahap perumusan strategi (Sosik et al., 2005). Masalah lain dalam cakupan penelitain kepemimpinan stratejik adalah kurangnya perhatian penelitian terhadap "bagaimana" pemimpin dapat mengubah kinerja organisasi (Jansen et al., 2009). Jansen et al. (2009) mencatat bahwa tidak cukup perhatian diberikan kepada proses-proses didalam organisasi. Investigasi masalah ini tergantung pada tingkat kepemimpinan stratejik yang akan diterapkan. Penyelidikan penelitian dalam studi ini akan digunakan dalam konteks industri migas sektor hulu di lapangan. Penelitian teoritis pada sektor hulu migas menyarankan adanya proses-proses tertentu bisa menjembatani antara kepemimpinan stratejik dan kinerja organisasi (Sheikhzadeh et al., 2012; Asrilhant et al., 2006). Tonge et al. (1998) menyarankan untuk menggunakan proses-proses stratejik dan implementasi untuk mengisi kesenjangan tersebut. Selain itu, sesuai dengan konteks penelitian pada industri migas sektor hulu di lapangan terdapat masalah pengaruh komitmen dari manajemen puncak di pusat terhadap kegiatan organisasi migas di lapangan. Banyak studi telah dilakukan sehubungan dengan komitmen manajemen puncak dan pengaruhnya pada berbagai proses dan implementasi suatu strategi (Shah, 1996; Sakthivel, 2007; Chowdhury et al, 2007; Ashill et al., 2008), namun masih jarang penelitian dibidang sektor energi, khususnya industri migas sektor hulu. Komitmen dari manajemen puncak ini akan menjadi faktor utama pada berbagai pelaksanaan suatu strategi atau rencana tertentu (Marx, 1995; Aragon-Correa et al., 2004, Ng & Wyrick, 2001; Hambrick et al., 1993). Pengaruh komitmen manajemen puncak telah banyak dibahas secara teori (Bass, 2007; Sosik et al., 2005; Fattouh dan Darbouche, 2010; Chowdury et al., 2007; Shah, 1996 ) namun belum banyak dilakukan penelitian secara empiris. Berdasarkan uraian diatas, masih terdapat celah penelitian mengenai pengaruh kepemimpinan stratejik pada manajemen tingkat yang lebih rendah
Universitas Indonesia
4
terhadap kinerja organisasi, faktor-faktor mediasi antara kepemimpinan stratejik dan kinerja organisasi, dan peran komitmen manajemen puncak di pusat pada kegiatan organisasi di lapangan. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui hubungan antara kepemimpinan stratejik dan kinerja organisasi pada manajer dengan tingkat yang lebih rendah, 2) untuk lebih memahami bagaimana kepemimpinan stratejik mempengaruhi kinerja organisasi melalui proses-proses stratejik dalam organisasi, dan 3) untuk mengetahui peran komitmen manajemen puncak di pusat terhadap hubungan kepemimpinan stratejik pada proses proses stratejik di lapangan. Kerangka teori dibangun berdasarkan pada teori-teori kepemimpinan dan resource-based dengan isu sentral dalam manajemen stratejik, mengapa ada perusahaan yang berkinerja lebih baik daripada yang lain (Hitt dan Ireland, 2002; Miller, 2002; Barnett et al., 1994). Mengacu pada literature teori kepemimpinan, Ireland dan Hitt (1999) berpendapat bahwa salah satu jawaban untuk pertanyaan di atas adalah tergantung sejauh mana kepemimpinan stratejik dilaksanakan di perusahaan. Sedangkan Teori kontingensi lingkungan menyatakan bahwa bagian internal organisasi (struktur organisasi dll) harus bisa menyesuaikan perubahan lingkungan luar supaya bisa merespon terhadap tuntutan yang berbeda guna menjaga kelangsungan hidup organisasi (Lawrence dan Lorsch, 1967). Meneruskan teori kontingensi lingkungan tsb. (Lawrence dan Lorsch, 1967), penelitian ini menggunakan kepemimpinan stratejik dan proses-proses stratejik yang sesuai dengan karakteristik lingkungan luar (industry) sebagai sumber keunggulan kompetitif bagi organisasi guna mencapai kinerja di atas rata-rata dengan moderasi komitmen manajemen puncak di pusat. Untuk memandu pemahaman tentang isu-isu dalam penelitian ini, maka penelitian ini mengusulkan proposisi teori "kepemimpinan stratejik – proses-proses statejik", dimana kognisi pemimpin stratejik termotivasi untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik dalam organisasi dengan menggunakan proses-proses stratejik yang sesuai dengan karakteristik industri. Penelitian ini menggunakan sektor hulu migas Indonesia sebagai konteks penelitian dan daerah operasi lapangan sebagai unit analisis. Untuk mengeksplorasi jenis proses-proses stratejik di sektor hulu migas di lapangan, telah dilakukan semi indepth interview dengan 20 praktisi migas. Ringkasan wawancara tersebut menunjukkan bahwa koordinasi di lapangan, perencanaan proyek-proyek, dan pelaksanaan proyek-proyek dianggap sebagai proses-proses stratejik yang bisa menentukan kinerja organisasi di lapangan. Sehingga dalam penelitian ini terdapat 5 faktor penentu keberhasilan kinerja organisasi migas sektor hulu di lapangan, yaitu: 1) kepemimpinan stratejik, 2) komitmen manajemen puncak di pusat, 3) koordinasi di lapangan, 4) perencanaan proyek-proyek, dan 5) implementasi proyek-proyek. Berikut akan dibahas ke lima factor tersebut. Faktor pertama adalah kepemimpinan stratejik. Seorang pemimpin stratejik adalah seseorang yang berfikir stratejik, mampu menciptakan tujuan dan arah untuk mengintegrasikan sumberdaya dan kapabilitas guna mengantisipasi ketidakpastian dan resiko dalam rangka meningkatkan cadangan dan produksi di lapangan
Universitas Indonesia
5
(Shrivastava & Nachman, 1989; Asrilhant et al., 2006). Kepemimpinan stratejik memiliki beberapa pola dalam konteks pengambilan keputusan stratejik dan kendali organisasi untuk mengelola sumberdaya dalam organisasi yang sesuai dengan karakteristik industri dimana berada (Shrivastava & Nachman, 1989). Kepemimpinan stratejik dalam organisasi migas dilapangan (unit bisnis) menggunakan pola kepemimpinan stratejik sesuai dengan karakteristik industri (Shrivastava dan Nachman, 1989), yaitu: 1) pola birokrasi, 2) pola politik, dan 3) pola profesional. Faktor kedua adalah komitmen manajemen puncak di pusat. Komitmen manajemen puncak mengacu pada keterlibatan dan dukungan manajemen puncak untuk melaksanakan suatu proyek-proyek yang ada (Chowdury et al., 2007; Shah, 1996). Manajemen perlu menempatkan banyak upaya untuk mengarahkan, mengkomunikasikan dan memotivasi serta mengalokasikan sumberdaya pada waktu yang tepat untuk menghindari kerugian finansial karena mahalnya investasi dan tingginya resiko pada industri ini. Tanpa komitmen manajemen puncak, pelaksanaan suatu strategi mungkin akan gagal (Shah, 1996). Faktor yang ketiga adalah masalah koordinasi di lapangan untuk melaksanakan proyek. Koordinasi adalah proses dimana orang melakukan tindakan bersama secara harmonis untuk membantu menyelesaikan tugasnya (Malone & Crowston, 1990; Cannon-Bowers et al., 1995). Koordinasi di lapangan adalah proses kerjasama yang terjadi dilapangan antara sub-unit dalam organisasi dan pihak-pihak lain yang terkait dengan proyek-proyek di lapangan (yang bersifat multi years, investasi besar dan resiko tinggi) untuk meningkatkan produksi dan menambah cadangan migas. Faktor keempat adalah masalah perencanaan proyek-proyek di lapangan. Perencanaan proyek adalah proses untuk mengembangkan rencana jangka panjang dan jangka pendek guna meningkatkan cadangan dan produksi migas dengan menggabungkan pengetahuan dan kemampuan mengantisipasi ketidakpastian dan resiko (Asrilhant et al , 2006; Hopkins dan Hopkins, 1997; Glaister dan Falshaw, 1999). Asrilhant et al. (2006) menyarankan menggunakan elemen-elemen yang seimbang antara proses, hasil, dan konteks sesuai dengan karakteristik industri untuk memastikan perencanaan proyek berhasil. Beberapa elemen proses yang secara teori direkomendasikan akan berhasil dan secara praktis dipakai pada industri migas adalah: 1) perancangan, 2) fleksibilitas, 3) skala waktu, dan 4) kesesuaian dengan korporasi. Faktor yang kelima adalah adalah implementasi atau pelaksanaan proyekproyek. Implementasi proyek-proyek dalam konteks industri migas adalah melaksanakan semua proyek yang telah direncanakan untuk meningkatkan produksi dan cadangan minyak dan gas bumi (Asrilhant et al., 2006; 2007; Fattouh dan Darbouche, 2010). Karena industri minyak dan gas bersifat padat modal maka proyek-proyek harus dilakukan secara efektif dan efisien (Stonham, 2000). Yang terakhir menyangkut kinerja unit organisasi di lapangan (daerah operasi lapangan). Kinerja unit organisasi di lapangan dinilai berdasarkan kinerja
Universitas Indonesia
6
keuangan yang diukur dengan unsur-unsur non-financial (Asrilhant et al., 2006), seperti: 1) pencapaian produksi dan jumlah tambahan cadangan migas yang ditemukan setiap tahunnya (Fattouh dan Darbouche, 2010), 2) kinerja operasi, 3) kinerja keselamatan, kesehatan kerja dan lindung lingkungan (K3L) (Asrilhant et al., 2007), dan 4) kinerja sosial (Hasting, 1999). --- ooo 0 ooo --Hipotesis Penelitian Berdasarkan pada kerangka teori diatas, diusulkan 11 hipotesis yaitu : H1 sd H3 : Kepemimpinan stratejik di lapangan secara positif mempengaruhi perencanaan proyek-proyek (H1), koordinasi di lapangan (H2), dan implementasi proyek-proyek. H4 sd H6 : Komitmen manajemen puncak di pusat akan meningkatkan pengaruh positif kepemimpinan stratejik di lapangan terhadap perencanaan proyek-proyek (H4), Koordinasi di lapangan (H5) dan Implementasi proyek-proyek (H6). H7, H8, H10 : Koordinasi di lapangan yang baik secara positif mempengaruhi perencanaan proyek-proyek (H7), implementtasi proyek-proyek (H8) dan Kinerja organisasi di lapangan (H10). H9 : Perencanaan proyek-proyek yang baik secara positif mempengaruhi kinerja organisasi di lapangan H11 : Implementasi proyek-proyek yang baik secara positif mempengaruhi kinerja organisasi di lapangan. --- ooo 0 ooo --ANALISIS DAN PEMBAHASAN DATA Jumlah kuesioner yang disebarkan untuk penelitian ini sebanyak 415 buah dan diperoleh kembali sejumlah 141 buah (34%). Dari 141 buah kuesioner yang kembali yang bisa diolah sebanyak 134 buah (32%). Sejumlah 134 data yang baik tersebut berasal dari 42 perusahaan, yang terdiri dari 29 perusahaan yang telah berproduksi dan 13 perusahaan yang masih dalam taraf eksplorasi. Gambaran Umum Profil Responden. Analisis pada 134 kuesioner data, terdapat sebanyak 97% adalah responden laki-laki sedang sisanya 3% responden perempuan. Berdasarkan jenis perusahaan, terdapat 34% berasal dari perusahaan multi nasional atau asing, 20% dari perusahaan Universitas Indonesia
7
negara, 12% dari perusahaan swasta dan 34% berupa joint venture. Berdasarkan pada tahap pengelolaan lapangan migas, terdapat 19% pada tahap eksplorasi, 36% tahap produksi dan 45% pada tahap keduanya, Hasil Penelitian Untuk Hipotesis Analisis data dengan menggunakan Sequencial Equation Modeling (SEM) dengan dua tahap pendekatan (two-step approach) (Wijanto, 2008), yang meliputi : 1) Analisis model pengukuran (measurement model) yang ditujukan untuk mengevaluasi : kecocokan keseluruhan model, validitas dan reliabilitas model pengukuran. 2) Analisis model struktural (structural model) untuk menganalisis hubungan antara semua variabel laten penelititian utama yang membentuk hipotesishipotesis penelitian. Hasil penelitian menunjukkan ada 7 hipotesis yang diterima dan ada 4 hipotesis yang tidak diterima. H1 sd H3, H7 sd H9, dan H11 diterima sedangkan H4 sd H6 serta H11 tidak diteraima (data tidak mendukung model). Rangkuman Hasil Uji Hipotesis No No Hipotesa 1
H1
2
H2
3
H3
4
H4
5
H5
6
H6
7
H7
8
H8
9
H9
10
H10
11
H11
Hipotesa
Keterangan
Kepemimpinan stratejik di lapangan secara positif mempengaruhi perencanaan proyek-proyek di lapangan Kepemimpinan stratejik di lapangan secara positif mempengaruhi koordinasi di lapangan Kepemimpinan stratejik di lapangan secara positif mempengaruhi implementasi proyek-proyek di lapangan Komitmen manajemen puncak di pusat akan meningkatkan pengaruh positif kepemimpinan stratejik di lapangan terhadap perencanaan proyekproyek di lapangan Komitmen manajemen puncak di pusat akan meningkatkan pengaruh positif kepemimpinan stratejik di lapangan terhadap koordinasi di lapangan Komitmen manajemen puncak di pusat akan meningkatkan pengaruh positif kepemimpinan stratejik di lapangan terhadap implementasi proyekproyek di lapangan Koordinasi yang baik di lapangan secara positif mempengaruhi perencanaan proyek-proyek di lapangan Koordinasi yang baik di lapangan secara positif mempengaruhi implementasi proyek-proyek di lapangan Perencanaan proyek-proyek yang baik di lapangan secara positif mempengaruhi kinerja organisasi di lapangan Koordinasi yang baik di lapangan secara positif mempengaruhi kinerja organisasi di lapangan Implementasi proyek-proyek yang baik di lapangan secara positif mempengaruhi kinerja organisasi di lapangan
Diterima (data mendukung model) Diterima (data mendukung model) Diterima (data mendukung model) Ditolak (data tidak mendukung model) Ditolak (data tidak mendukung model) Ditolak (data tidak mendukung model) Diterima (data mendukung model) Diterima (data mendukung model) Diterima (data mendukung model) Ditolak (data tidak mendukung model) Diterima (data mendukung model)
--- ooo 0 ooo ---
Universitas Indonesia
8
KESIMPULAN HASIL PENELITIAN Kesimpulan Mengacu kepada pertanyaan penelitian, maka berdasarkan hasil uji statistik terhadap hipotesis-hipotesis penelitian dapat dijelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi migas sektor hulu di Indonesia adalah : 1) kepemimpinan stratejik 2) perencanaan proyek-proyek 3) implementasi proyekproyek dan 4) koordinasi di lapangan (secara tidak langsung). Kepemimpinan stratejik yang berorientasi pada proyek di lapangan secara signifikan mempengaruhi perencanaan proyek-proyek, koordinasi di lapangan dan implementasi proyek-proyek di lapangan. Kepemimpinan stratejik yang berorientasi pada proyek diperlukan pada manajer tingkat menengah di lapangan karena meningkatnya kompleksitas dan resiko yang dihadapi para manajer migas sektor hulu saat ini. Para manajer saat ini tidak hanya berurusan dengan masalah operasi dan teknis semata namun juga berurusan dengan ekonomi, politik dan sosial. Kepemimpinan stratejik secara signifikan mempengaruhi proses-proses stratejik di lapangan guna meningkatkan cadangan dan produksi migas di lapangan. Perencanaan proyek-proyek dan iplementasi proyekproyek secara positif mempengaruhi kinerja organisasi di lapangan. Komitmen manajemen puncak di pusat tidak memoderasi kepemimpinan stratejik pada perencanaan proyek-proyek, koordinasi di lapangan dan implementasi proyek-proyek namun sebagai anteseden dari kepemimpinan stratejik. Komitmen manajemen puncak di pusat tidak langsung memoderasi proses-proses tersebut karena beberapa alasan : 1) Kompleksitas teknikal di lapangan yang tidak memungkinkan manajemen tingkat pusat membantu menyelesaian permasalahan secara langsung. Dalam hal ini, terdapat dua domain yang saling terpisah, yaitu domain di tingkat korporat yang lebih bersifat stratejik dan domain ditingkat lapangan yang lebih bersifat operasional dan teknikal. Dimana kedua domain tersebut tidak saling mempengaruhi secara langsung. 2) Adanya masalah dalam keagenan, perbedaan kepentingan antara manajemen puncak di pusat dan manajer dibawahnya akan memungkinkan terjadinya perbedaan tingkat komitmen pada keduanya. Perbedaan ini mengakibatkan perbedaan prioritas kerja yang telah direncanakan akibatnya komitmen yang besar dari pusat tidak mempengaruhi proses kerja secara langsung. 3) Adanya ketergantungan terhadap sumberdaya dari pusat memungkinkan keterbatasan manajer dilapangan untuk melakukan aktivitasnya. Pusat akan memberikan sumberdaya pada unit-unit lapangan yang sesuai dengan prioritas dari pusat bukan karena kebutuhan dari lapangan. dan 4) Adanya jeda waktu antara komitmen dan pelaksanaan komitmen pada industri migas sektor hulu. Hal ini disebabkan proyek-proyek migas sektor hulu bersifat multi-years sehingga komitmen yang ada pada saat ini baru bisa dilihat hasilnya setelah beberapa tahun mendatang. Koordinasi di lapangan mempengaruhi secara positif perencanaan proyekproyek dan implementasi proyek-proyek namun tidak mempengaruhi secara langsung kinerja organisasi di lapangan karena banyaknya permasalahan yang tidak selesai
Universitas Indonesia
9
pada saat koordinasi, terdapat konflik (biaya vs waktu, biaya vs kualitas) dan koordinasi tidak dilakukan secara konsisten. KONTRIBUSI & IMPLIKASI HASIL PENELITIAN, SERTA SARAN PENELITIAN LEBIH LANJUT Kontribusi Teoritikal Hasil penelitian ini memberikan kontribusi pada literatur manajemen stratejik dengan memberikan teori proposisi baru "kepemimpinan startejik-proses-proses stratejik". Proposisi ini mengintegrasikan teori kepemimpinan dan teori resourcebased dengan teori organisasi dalam hal ini teori kontingensi. Teori proposisi ini menunjukkan bahwa faktor internal organisasi (kepemimpinan stratejik dan prosesproses stratejik) perlu menyesuaikan dengan faktor eksternal (karakteristik industri) untuk menghasilkan keunggulan kompetitif. Kepemimpinan stratejik dan prosesproses stratejik yang berorientasi pada proyek akan dapat menghasilkan kinerja organisasi yang lebih baik dalam industri migas yang berorientasi pada proyek. Penelitian ini memperdalam penelitian tentang kepemimpinan stratejik secara teori dan empiris sebagai berikut. Pertama, penelitian sebelumnya hanya fokus pada pengaruh kepemimpinan stratejik pada kinerja perusahaan melalui pemahaman dan pelaksanaan tujuan stratejik perusahaan yang melalui elemen-elemen korporasi seperti: visi, misi, nilai dan budaya perusahaan ( Hitt et al 2010; Irlandia dan Hitt , 2005; Elenkov et al. , 2005). Temuan ini menunjukkan bahwa kepemimpinan stratejik dapat meningkatkan kinerja organisasi melalui proses-proses stratejik (yaitu perencanaan proyek-proyek dan implementasi proyek-proyek). Kedua, penelitian sebelumnya hanya memberikan diskusi teoritis hubungan antara kepemimpinan stratejik dalam teori kepemimpinan dan proses-proses stratejik dalam teori resourcebased (Pettigrew et al., 2002). Penelitian ini mengisi kesenjangan tersebut dengan penelitian empiris yang menghubungkan teori kepemimpinan dan teori resourcebased. Ketiga, studi tentang kepemimpinan stratejik terdahulu fokus pada manajemen ditingkat atas (Hambrick dan Mason, 1984; Sosik et al., 2005; Hitt et al., 2010). Studi ini memberikan perspektif baru di mana kepemimpinan stratejik dapat dilakukan oleh manajer tingkat yang lebih rendah (manajemen tingkat menengah). Temuan penelitian ini akan membuka kesempatan bagi para peneliti untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan konstruksi teoritis lainnya. Keempat, studi terdahulu tentang kepemimpinan stratejik banyak dilakukan di negara-negara barat (Elenkov et al., 2005; Harrison dan Pelletier, 1997). Penelitian ini memperluas penelitian tentang kepemimpinan stratejik di negara dengan budaya, lingkungan, dan demografi yang berbeda. Selanjutnya, hasil dari hubungan antara proses-proses stratejik (perencanaan proyek-proyek dan implementasi proyek-proyek) dan kinerja organisasi di lapangan memperkaya literature teori resource-based, dimana proses-proses stratejik menjadi sumberdaya VRIO pada industri migas sektor hulu (Barney, 2007). Penelitian Universitas Indonesia
10
empiris ini juga memberikan kontribusi tambahan literature terhadap faktorfaktor kritikal untuk peningkatan kinerja pada sektor energi (Fattouh dan Darbouche, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen manajemen puncak di pusat tidak memoderasi kepemimpinan stratejik pada perencanaan proyek-proyek, koordinasi di lapangan dan implementasi proyek-proyek di lapangan. Temuan ini menunjukkan bahwa di industri migas sektor hulu, karena kompleksitas masalah teknikal dan operasi di lapangan maka manajemen pusat (korporat) tidak bisa mempengaruhi setiap saat kegiatan operasi di lapangan secara langsung. Semua keputusan dan saran yang diberikan kepada lapangan harus melalui pimpinan di lapangan. Pimpinan di lapangan sebagai mediator antara keinginan pimpinan di pusat dan kebutuhan lapangan. Sehingga dapat disimpulkan dalam penelitian ini pada industri migas sektor hulu terdapat dua domain besar, yaitu: 1) Domain pusat yang menentukan visi, misi, strategi dan tujuan perusahaan, dan 2) Domain lapangan yang lebih bersifat operasional yang melaksanakan tujuan-tujuan pusat tersebut. Implikasi Manajerial Kepemimpinan Stratejik Dari sudut pandang praktik, studi ini menunjukkan bahwa perusahaan migas perlu memberikan kepemimpinan stratejik yang berorientasi pada proyek untuk manajer dengan tingkat yang lebih rendah dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan proyek keseluruhan dari perencanaan proyek-proyek, koordinasi lapangan dan implementasi proyek-proyek guna meningkatkan cadangan dan produksi migas. Organisasi migas perlu untuk mengembangkan pemimpin yang berpikir secara stratejik: 1) bekerja cepat menghadapi kompleksitas masalah untuk meningkatkan kinerja (misalnya, menyelesaikan masalah kompleksitas geologi), 2) mengembangkan program jangka panjang untuk mengantisipasi risiko keuangan dan kelangkaan sumber daya (drilling rig, drilling engineer, dll.), 3) secara proaktif menyelaraskan kepentingan pemangku kepentingan, kapabilitas organisasi, dan sumber daya untuk menyelesaikan masalah dengan cepat guna mencapai tujuan organisasi, dan 4) merekrut, mengembangkan, dan menjaga potensi karyawan yang baik dengan memberi motivasi dan menempatkan pada tempat dan waktu yang tepat untuk memenuhi kebutuhan organisasi. Kinerja industri migas saat ini tidak memenuhi target yang ditetapkan karena masih lemahnya kepemimpinan stratejik di tingkat lapangan dalam membuat perencanaan, koordinasi dan implementasi proyek-proyek. Berdasarkan hasil survei menunjukkan bahwa pemimpin dilapangan masih relatif lemah dalam melakukan: 1) analisa resko terhadap perubahan lingkungan (politik, ekonomi, sosial, dan teknologi), 2) melakukan simulasi teknis dan bisnis, 3) antisipasi terhadap perubahan lingkungan, dan 4) analisa skenario untuk menanggapi perubahan lingkungan yang pada akhirnya pembuatan jadwal proyek menjadi tidak realistis. Universitas Indonesia
11
Kondisi ini didukung data sekunder dari SKKMIGAS yang menunjukkan bahwa jumlah pengeboran sumur eksplorasi, sumur pengembangan, work-over dan kerja rutin sebagai mesin peningkatan cadangan dan produksi tidak pernah memenuhi target yang telah ditetapkan. Akibat lain dari hal tersebut adalah terjadinya peningkatan biaya operasi dan proyek-proyek karena penundaan yang memicu meningkatnya jumlah kebutuhan disisi lain jumlah pasokan yang terbatas. Hal ini akan mengakibatkan naiknya biaya untuk cost recovery. Didalam koordinasi di lapangan para pemimpin di lapangan merasakan kurangnya: 1) dana yang diperlukan untuk melakukan proyek, 2) partispasi sesuai peran dan tanggung jawabnya dari seluruh unit pada seluruh proses, 3) informasi mengenai status kemajuan proyek, dan 4) menyetujui jadwal proyek yang realistis. Koordinasi tidak menghasilkan kinerja kerja yang baik apabila terdapat “kongkalikong” (tidak memenuhi aturan dan etika yang berlaku). Kegiatan supply chain management (SCM) tidak dimaksudkan untuk memenuhi tujuan proyek atau tujuan organisasi dengan meresponse kebutuhan proyek dengan cepat namun untuk menumpuk pundi-pundi dari pihak-pihak yang yang melakukan. Kong-kalikong bisa terjadi akibat keinginan internal organisasi SCM yang akan mempengaruhi keputusan manajernya maupun dari pihak luar karena desakan para supplier untuk memenuhi target setoran yang telah ditetapkan. Dikatakan bahwa sekali seseorang melakukan kong-kalikong maka hal tersebut akan dilakukan untuk seterusnya. Untuk memutus mata rantai kong-kalikong, maka perusahaan harus menjelaskan tujuan koordinasi kepada semua pihak yang terkait, membuat pelatihan-pelatihan dan evaluasi secara konsisten mengenai tata kelola dan kinerja. Untuk kegiatan yang sudah mencapai pada taraf kecurangan, maka perusahaan harus membuat standar etika berkomuniaksi dengan para supplier dan membuat hot-line system dimana setiap orang bisa melaporkan apabila ada tindakan yang tidak memenuhi aturan. Di dalam implementasi proyek-proyek, para pemimpin di lapangan merasakan kendala terhadap kecukupan dana, kecukupan jumlah pegawai untuk mengerjakan proyek-proyek, kompetensi para pimpinan proyek yang relatif masih lemah, kekurangan tenaga ahli yang membantu menangani masalah dan lemahnya kemampuan para pimpinan di lapangan untuk menyelesaikan hambatan-hambatan yang timbul dengan segera. Dari pembahasan tersebut diatas maka perusahaan perlu melakukan pelatihan-pelatihan dan penugasan-penugasan untuk meningkatkan kompetensi dan kapabilitas para pemimpin dilapangan guna mencapai kinerja yang telah ditetapkan. Proses-Proses Stratejik Karena proyek-proyek perencanaan dan implementasi proyek-proyek berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja organisasi di lapangan, perusahaan migas perlu fokus dan mengembangkan perencanaan dan implementasi proyekproyek dengan baik. Dalam perencanaan proyek-proyek, organisasi perlu mempertimbangkan: 1) kompleksitas geologi dan reservoir dengan menggunakan metode simulasi matriks (menggunakan model statis vs dinamis dan simulasi
Universitas Indonesia
12
produksi saat ini vs masa depan) untuk menemukan potensi migas yang belum terproduksi, 2) ketidakpastian lingkungan dengan menjaga fleksibilitas perencanaan proyek melalui metoda-metoda risk analysis, sensitivity analysis, scenario analysis, dan real options dimana organisasi dapat memutuskan untuk berhenti, menunggu, atau melanjutkan proyek ketika perubahan terjadi, 3) kelangkaan sumberdaya dengan melakukan integrasi secara vertikal (membuat kontrak stratejik jangka panjang dengan para pemasok) dan integrasi secara horisontal (bekerja sama dengan pesaing) untuk meningkat kekuatan negosiasi dengan pemasok, dan 4 ) kelangkaan tenaga kerja dengan merekrut, mendidik, dan melakukan program retensi jangka panjang. Dalam pelaksanaan proyek-proyek, organisasi perlu: 1) mengembangkan skenario-skenario implementasi alternatif untuk mengantisipasi ketidaktentuan lingkungan seperti isu-isu sosial dan masalah perijinan, 2) standarisasi perancangan teknikal dan prosedur pengerjaan untuk mendapatkan efisiensi, dan 3) mengembangkan monitoring dan pengontrolan dengan menggunakan real time monitoring system sehingga potensi masalah dapat diketahui dan direspon dengan segera. Saran Manajerial Pada Kebijakan Publik Dalam hal kebijakan publik, karena sifat industri hulu migas mempunyai peran penting untuk perekonomian bangsa, maka pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan dalam proses seleksi pimpinan perusahaan hulu migas. Kebijakan tersebut menjelaskan kriteria pemimpin yang sesuai, yaitu: 1) memiliki pemikiran stratejik untuk mengelola ketidakpastian dan risiko dengan melakukan tindakan mitigasi yang stratejik, 2) memiliki latarbelakang profesional migas yang kuat yang bisa memahami kompleksitas industri migas, 3) memahami aturan dan ketentuan migas untuk memastikan semua keputusan dan tindakan yang sesuai dengan kaidah profesi, SHE, dan peraturan pemerintah dalam rangka meminimalkan kerugian finansial dan non-finansial, dan 4) memiliki kemampuan untuk membangun kerja sama tim internal yang kuat dan koordinasi dengan lembaga terkait untuk mendukung keberhasilan proyek-proyek stratejik. Pemerintah sebagai regulator di industri harus mendefinisikan ulang rencana kerja dan anggaran (WP&B) saat ini. Usulan proyek-proyek baru dalam WP&B tersebut tidak hanya mencamtumkan tentang rencana, anggaran, dan jadwal tetapi juga harus mencakup: 1) rencana mitigasi untuk mengatasi resiko dan ketidakpastian, 2) perencanaan tenaga kerja, 3) analisa dan strategi pengadaan sumberdaya dan keuangan, dan 4) strategi pemantauan dan pengendalian terhadap biaya, waktu dan kualitas untuk memastikan proyek dapat dilakukan secara efektif, tepat waktu, anggaran, kualitas dan produksi. Pemerintah dapat membentuk satuan tugas khusus yang terdiri dari wakil pemerintah, perusahaan, dan personil lembaga lain untuk secara konsisten melakukan koordinasi guna mendukung perencanaan dan implementasi proyek-proyek supaya mencapai tujuan dan sasaran.
Universitas Indonesia
13
Keterbatasan dan Saran Penelitian Selanjutnya Meskipun penelitian ini memberikan temuan dan kontribusi bagi literatur manajemen stratejik, namun penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan ini akan dijadikan sebagai saran untuk penelitian selanjutnya. 1) Kepemimpinan stratejik mempengaruhi kinerja organisasi melalui prosesproses stratejik, tapi pada studi ini terbatas pada perencanaan proyek-proyek, koordinasi di lapangan dan implemenatsi proyek-proyek. Penelitian di masa depan dapat meneliti proses-proses stratejik yang lain yang dapat mempengaruhi kinerja organisasi seperti outsourcing, turn-key manajemen proyek, pemberdayaan dan sebagainya yang bisa membantu pengembangan konstruksi teori. 2) Pola-pola kepemimpinan stratejik yang digunakan dalam penelitian ini terbatas pada pola birokrasi, politik, dan profesional, penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi pola kepemimpinan lainnya, seperti pola sosial, inovatif, dan lain sebagainya yang dapat memperkuat pengaruh kepemimpinan stratejik pada kinerja organisasi. 3) Penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan proyek-proyek adalah faktor terkuat yang mempengaruhi kinerja pada organisasi. Penelitian di masa depan dapat fokus pada hal ini dengan mencari dimensi selain perancangan, fleksibilitas, skala waktu, dan keselarasan dengan korporasi, seperti kesesuaian kompetensi, kapabilitas keuangan dan lain sebagainya untuk memperkaya pengembangan konstruksi teori. 4) Penelitian ini dilakukan pada tingkat daerah operasi lapangan sebagai unit analisis dan dilakukan pada manajer lapangan sebagai responden. Penelitian di masa depan dapat dilakukan pada tingkat perusahaan atau industri dengan TMT sebagai responden, yang dapat membantu pada generalisasi pengembangan teori. 5) Proyek-proyek di migas sektor hulu bersifat multi-years, sehingga komitmen manajemen puncak di pusat memerlukan waktu untuk mempengaruhi prosesproses stratejik di lapangan. Hal ini bisa digunakan sebagai saran untuk melakukan penelitian secara longitudinal guna memperjelas hubunganhubungan tersebut. 6) Yang terakhir, penelitian ini dilakukan ketika harga minyak dalam posisi harga yang tinggi. Penelitian masa depan bisa dilakukan ketika harga minyak rendah untuk melihat konsistensi hubungan hipotesis. --- ooo 0 ooo ---
Universitas Indonesia