Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ASAHAN (Studi Kasus Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan)
Ridwan Tambunan, R. Hamdani Harahap, Zulkifli Lubis
Abstract: This study is intend to know how far community participation is, particularly local community live surround the mangrove forest located, as well as whatever local authority policy that has been applied for the management. By monitoring, temporary was concluded that community awareness far the importance of mangrove relative lower in that knowledge resulted in shortage sense of crisis for the problems on the environmental in appearing. The method adopted to this study was descriptive, taken place on Lima sub-district in Puluh Asahan District, where on this sub-distric there are 3 (three) village for spreading the existence mangrove forest such as Desa Gambus Laut, Desa Guntung and Desa Perupuk. At least Desa Gambus Laut included pilot project for Coastal Resources management Project (CRMP) for one of its special activities was to encourage local community board capacity in implementing coastal resources management by approaching with course and training based. Still, to this study, adopted a purpose sampling there involved total 202 respondent either taking sample criterion bases to their residence and gender. On this study has been found that local community participation in the management of mangrove forest so lower, to its measurement by distributing them questionnaire, and their response mostly mentioned just know the useful and advantages of the existence of mangrove forest in tendency, but their participation was so bit either for the planning, socialization, practices, controlling and evaluation, although on the planning stage majority respondent acknowledge in participated for the planning on reason partly community derived from Desa Gambus Laut often included in that planning for the encouragement as practiced by coastal resources management project with consequence those community be more active either from planning throughout matters related with the development of that village. The activities run by the authority Asahan District for handling and management of mangrove forest was classified little and this however associated with the fund source taken from local authority budget was so minim. Still, noted that data presentation about the mangrove forest damaged on Asahan District, where the data available found differently inter official and local authority, either their data as presented not so accurately. Keywords: mangrove forest, local community, authority PENDAHULUAN Negara Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 dan didukung oleh garis pantai kurang lebih 81.000 km, garis pantai yang panjang ini menunjukkan bahwa negara ini memiliki sumber daya pesisir potensial, baik sumber daya hayati maupun sumber daya non hayati. Diantara beberapa sumber daya hayati itu seperti Hutan Mangrove, Perikanan, Terumbu Karang dan lain sebagainya, sedangkan sumber daya non hayati seperti Mineral, Bahan Tambang.
Hutan Mangrove terdiri dari dua suku kata yaitu Hutan dan Mangrove. Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan pasal 1 ayat (2) berbunyi ”Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan”. Arti kata Mangrove digunakan untuk masyarakat tumbuh-tumbuhan (hidronese communities) dari beberapa species. Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari bermacam-macam campuran serta kebanyakan mempunyai akar
Ridwan Tambunan adalah Staf Pemerintah Kabupaten Asahan R. Hamdani Harahap & Zulkifli Lubis adalah Dosen MSP SPs USU
55
Tambunan, dkk., Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten Asahan
mafas (pneumatophores). Mangrove adalah vegetasi yang tumbuh di amtara garis pasang surut, tetapi vegetasi tersebut juga tumbuh di pantai karang yaitu pada koral mati yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur (R. Atmawidjaya, 1986), karena itu hutan mangrove disebut juga hutan pantai (coastal woodland) atau hutan pasang surut. Hutan mangrove sering juga dianggap sebagai suatu ekosistem yang lain dan mempunyai ciri-ciri khusus baik dari segi iklim, formasi tumbuhan maupun faktor edafis. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, Hutan Mangrove merupakan ekosistem yang tergolong unik dan rawan. Keunikan dan khas hutan mangrove disebabkan oleh posisinya sebagai ekosistem peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut. Kondisi ini menyebabkan ekosistem mangrove sangat rawan terhadap pengaruh luar, terutama karena spesies biota pada hutan mangrove ini memiliki toleransi yang sempit terhadap adanya perubahan dari luar. (Alikodra, 1995). Ekosistem hutan mangrove sangat rapuh dan mudah rusak. Kerusakan bisa saja disebabkan oleh tindakan mekanis secara langsung, seperti memotong, membongkar dan sebagainya. Juga sebagai akibat yang tidak langsung seperti perubahan salinitas air, pencemaran air, karena adanya erosi, pencemaran minyak dan sebagainya. Oleh karena itu, hutan mangrove yang bertindak sebagai tempat berlangsungnya proses-proses ekologis dan pendukung kehidupan hendaknya dapat terhindar dari unsur-unsur yang merusak tersebut. Bengen (1998) menyebutkan bahwa hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah interdial dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang terlindung. Mangrove yang hanya dapat hidup pada pinggiran pantai sangat besar manfaatnya bagi kelestarian lingkungan hidup dan sumber daya. Fungsi mangrove yang sangat penting adalah sebagai penghubung antara daratan dan lautan, tumbuhan, hewan serta benda lainnya yang ada di darat maupun yang berada di laut pergeserannya
56
akan disangga oleh hutan mangrove yang ada disekitar pantai, disamping hutan mangrove yang juga secara alami berfungsi sebagai penahan atas gelombang yang datang dari laut, pukulan angin dan perembesan air laut ke daratan. Hutan mangrove mempunyai banyak fungsi lain, seperti fungsi ekologis yang antara lain disebabkan oleh sistem perakaran dan pertumbuhannya sedemikian rupa yang dapat digunakan sebagai pelindung pantai, penahan lumpur dan penangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan. Fungsi ekonomisnya adalah dapat sebagai penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan tanaman itu sendiri menjadi sumber bibit bagi kehidupannya. Selain itu, daun-daunnya dapat digunakan sebagai bahan baku obat-obatan, dan lain-lain. Sedangkan fungsi biologis hutan mangrove dapat sebagai tempat asuhan (nursery ground) bagi biota laut, tempat bertelur dan pemijahan (spawing ground), tempat mencari makan (feeding ground), bahkan dari hasil guguran daunnya dapat menjadi penghasil bahan makanan (detritus) untuk berbagai biota perairan. (Sugiarto, 1996) Potensi lain dari hutan mangrove yang belum dikembangkan secara optimal adalah kawasan wisata alam (ecotorism). Pada beberapa negara lain, seperti Malaysia dan Australia, kegiatan wisata alam di kawasan hutan mangrove sudah berkembang lama dan menguntungkan. (Danuri, et al. 2001) Kondisi hutan mangrove itu saat ini mengalami tekanan-tekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaannya yang kurang memperhatikan aspek kelestarian. Tuntutan pembangunan ekonomi yang mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, seperti konversi hutan mangrove untuk pengembangan kota-kota pantai, pembangunan tambak dan lahan pertanian telah menjadi bukti bahwa penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kesesuaiannya dan melampaui day dukung sehinga terjadi kerusakkan ekosistem hutan mangrove dan degradasi lingkungan pantai. Indikasi ancaman terhadap hutan mangrove berlangsung hampir pada semua wilayah pantai. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pantai terkatakan belum jelas di samping penegakannya juga kurang tegas yang berakibat kesadaran masyarakat akan pentingnya perlindungan dan pelestarian hutan mangrove tidak tumbuh. Pemanfaatan ini selain mem-
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
berikan dampak positif seperti peningkatan taraf hidup dan kesempatan, juga mempunyai dampak negatif apabila pemanfaatannya tidak dapat dikendalikan. (Dephutbun, 2000) Emil Salim (1986) menyatakan usaha memanfaatkan lahan mangrove bagi pertanian secara rasional haruslah memperhatikan aspekaspek ekologi, ekonomi dan sosial dari pengusahaan lahan tersebut. Aspek ekologi dari pemanfaatan mangrove secara rasional adalah tetap berfungsinya lahan mangrove itu sebagai suatu ekosistem pantai, khususnya fungsi fisiknya, yaitu menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai dari abrasi, menjadi wilayah penyangga terhadap rembesan air laut dan mengolah bahan limbah. Kabupaten Asahan salah satu daerah di Propinsi Sumatera Utara yang mempunyai kawasan mangrove di atas pesisir pantai dengan luas wilayah sekitar 4.624,41 km2 terdiri dari 17 kecamatan 238 desa dan 33 kelurahan. Dari luas wilayah seperti tersebut yang merupakan wilayah pesisir pada Kabupaten Asahan adalah sekitar 30,6% dari luas keseluruhan wilayah. Kabupaten Asahan yang dibagi atas tiga klasifikasi daerahnya, yaitu Asahan Bawah, Asahan Atas, dan Asahan Tengah. Dari pembagian klasifikasi tersebut, daerah-daerah pesisir didominasi oleh daerah Asahan Bawah dan hanya sebagian kecil wilayah pesisir yang berada pada daerah Asahan Tengah. Ekosistem pesisir Kabupaten Asahan terdiri dari ekosistem alam yang meliputi ekosistem hutan bakau (mangrove), terumbu karang, padang lamun, pantai berpasir, pantai berlumpur dan pantai berbatu. Sedangkan kawasan pesisir yang telah dimanfaatkan antara lain adalah pertambakan (perikanan), perkebunan, pariwisata dan pelabuhan. Habitat utama daerah pesisir Kabupaten Asahan terdiri dari ekosistem mangrove, dan berdasarkan wilayahnya pantai di Kabupaten Asahan terdapat di delapan Kecamatan yaitu, Kecamatan Lima Puluh, Kecamatan Medang Deras, Kecamatan Air Putih, Kecamatan Sei Kepayang, Kecamatan Talawi, Kecamatan Tanjung Tiram dan Kecamatan Tanjung Balai. Kawasan hutan mangrove di Kecamatan Medang Deras, Tanjung Tiram, Lima Puluh dan Air Joman sebahagian besar telah berubah fungsi menjadi tambak udang dan pemukiman masyarakat, sedang di Kecamatan Tanjung Balai
banyak yang berubah fungsi menjadi pemukiman dan kebun kelapa rakyat. Data terakhir hasil dari pemotretan udara (citra land satellite) tahun 2001, menunjukkan bahwa kondisi hutan mangrove yang ada di Kabupaten Asahan sudah jauh dari apa yang seharusnya, karena jika perhitungan sederhana atas satuan jumlah luas hutan mangrove di Kabupaten Asahan seharusnya dengan pendekatan Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mengharuskan sekurang-kurangnya 200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa harus dapat terlindungi yang berguna sebagai sabuk hijau (green belt) pantai. Berdasarkan data diketahui bahwa dengan panjang pantai yang memiliki mangrove sepanjang 79,9 km tersebut setidaknya 1.598,38 Ha hutan mangrove ada di Kabupaten Asahan. Jika dibandingkan dengan keadaan saat ini yaitu seluas 876,06 Ha, maka kurang lebih dari separuh dari keadaan sebenarnya hutan mangrove sudah harus menjadi perhatian yang serius oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Asahan. Dan keadaan ini akan lebih tergambar nyata disaat kita mengadakan observasi kelapangan bahwa banyak sudah lokasi areal hutan mangrove yang sudah berubah fungsi menjadi lahan tambak dan kebun-kebun rakyat. Keterbatasan pemahaman atas nilai dan manfaat mangrove sangat menentukan bentuk, strategi dan kegiatan dalam pengelolaan mangrove yang ada. Kalaulah manfaat yang dan fungsi hutan mangrove dikategorikan secara umum pada dua bagian yaitu fungsi ekologis dan ekonomisnya maka sewajarnya pulalah pendekatan yang akan dilakkan dalam pengelolaannya ditarik dari kedua fungsi tersebut. Mengingat keadaan yang ada saat ini terhadap hutan mangrove seharusnya upaya yang harus dilakukan disamping rehabilitasi ataupun pemulihan kembali terhadap hutan mangrove yang sudah rusak itu dilakukan, tentunya tidak kalah pentingnya diperlukan suatu strategi atas perlindungan untuk mengamankan mangrove itu dari segala bentuk gangguan yang akan terjadi. Rehabilitasi terhadap hutan mangrove adalah merupakan kegiatan penghijauan kembali atas hutan-hutan mangrove yang telah gunduk dengan harapan bukan saja mengembalikan nilai keindahan tetapi yang lebih penting lagi adalah pengembaliann fungsi ekologis kawasan hutan mangrove tersebut.
57
Tambunan, dkk., Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten Asahan
Banyak upaya yang sudah dilakukan oleh Pemerintah dalam melakukan upaya rehabilitasi hutan mangrove yang rusak tersebut, namun ternyata tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan dibanding dengan kerusakan yang ada, disamping sampai dengan saat ini pengrusakan pun berjalan terus dan bahkan bukan menjadi rahasia umum bahwa di beberapa petugas yang bekerja untuk melaksanakan rehabilitasi hutan mangrove di pedesaan, mendapatkan gangguan dari masyarakat sendiri. Ini merupakan gambaran bahwa upay rehabilitasi yang dilaksanakan belum cocok dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri. Bengen (2001) mengatakan, dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi dan debagai bentuk sabuk hijau disepanjang pantai dan tepi sungai. Dengan UU Nomor 22 tahun 2000 tentang otonomisasi, sedikit mengalami perubahan mekanisme pengelolaan hutan mangrove itu, karena sebelum berlakunya Undang-Undang tersebut pengelolaan hutan mangrove lebih banyak dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui aparatnya di daerah, namun dengan otonomisasi tersebut operasional pengelolaan terhadap hutan mangrove tersebut sepenuhnya diserahkan ke daerah kabupaten/kota, sedangkan Pemerintah Pusat hanya bertindak sebagai pengarah dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Hasil observasi sementara rusaknya hutan mangrove di Kabupaten Asahan berawal METODE Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yang dilakukan di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan, karena dari delapan kecamatan yang memiliki hutan mangrove di Kabupaten Asahan, pada Kecamatan Lima Puluh terdapat tiga desa yang menjadi lokasi hutan mangrove yaitu Desa Gambus Laut, Desa Perupuk dan Desa Guntung.
58
sekitar tahun 1989, di mana pada saat itu banyak orang-orang yang mengalihkan usahanya untuk membuka usaha pertambakan dengan jalan mengkonversi hutan mangrove menjadi areal tambak udang yang pada saat itu merupakan salah satu usaha yang sangat menjanjikan, usaha tersebut berjalan tidak begitu lama, satu demi satu pengusaha tambak mulai meninggalkan dan mengalihkan usaha pertambakan tersebut menjadi usaha-usaha sektor lain namun yang paling sangat berbahaya pada saat ini adalah areal bekas-bekas tambak tersebut menggundul dan terlantar tidak dipedulikan lagi sedangkan vegetasi yang semula hutan mangrove tidak kelihatan. Keadaan ini menguatkan pengamatan sementara bahwa secara umum dapat dikemukakan bahwa pengetahuan masyarakat tentang perlunya mangrove relatif rendah, sehingga dengan kurannya pengetahuan tersebut mengakibatkan tingkat kepekaannya terhadap munculnya masalah baru akibat dengan gundulnya hutan mangrove relatif tidak ada, sehingga harapan untuk pengelolaan hutan mengrove yang baik dengan dukungan pasrtisipasi masyarakat tidak akan ditemui. Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan permasalahan terhadap pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Asahan adalah ”bagaimanakah bentuk aspirasi masyarakat setempat dalam mengelola dan melestarikan hutan angrove di Kabupaten Asahan berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Asahan untuk mengelola hutan mangrove”. Dengan begitu akan dapat dideskripsikan kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam pengelolaan hutan mangrove dan aspirasi masyarakat di lingkungan hutan mangrove, yang berbentuk partisipasi. Selain itu dapat dilihat apakah kebijakan yang dilakukan sudah cocok/ sesuai dengan aspirasi masyarakat. Populasi dari penelitian ini adalah penduduk Kecamatan Lima Puluh, dan penarikan sampel dilakukan dengan teknik sampel purposif (purposional sampling), di mana sampel ditetapkan secara sengaja oleh peneliti. Kriteria yang ditetapkan dalam pengambilan sampel berdasarkan keberadaan tempat tinggal dan gender. Pengumpulan data dilakukan dengan Penelitian Kepustakaan (library research), Penelitian Lapangan (field research) dengan
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
Observasi langsung dan penyebaran kuesioner. Untuk menganalisa data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan, digunakan tehnik analisa kuantitatif dengan menyajikan data hasil penelitian melalui tabel tunggal dan tabel silang yang disusun secara sistematis sehingga dapat mendeskripsikan hasil sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Selanjutnya dibuat analisa dengan menginterpretasikan hasil penelitian melalui kerangka pemikiran yang sistematis. PEMBAHASAN Suatu problema, agar dapat menjadi problema umum, tidak cukup bila problema tadi hanya dihayati oleh sebahagian orang saja yang menganggap bahwa hal tersebut adalah meruakan suatu kebutuhan yang harus ditanggulangi segera, atau dengan kata lain agar problema itu dapat berubah menjadi problema umum, tidak sematamata tergantung kepada dimensi objektifnya (secara faktual sesuatu itu timbul sebagai masalah yang kongkrit), tetapi juga tergantung dari dimensi subjektifnya, di mana bak masyarakat maupun pembuat kebijakan memandang masalah itu sebagai suatu kebutuhan yang patut dicari jalan keluarnya. Demikianlah yang terjadi bagi problemaproblema seperti kerusakan lingkungan, peledakan penduduk, dan sebagainya adalah merupakan contoh klasik yang dihadapi oleh daerah-daerah maupun bagi negara-negara berkembang, pembuat kebijakan serta para ilmuwan aktif mendefinisikan masalah yang dihadapi masyarakat atas keberadaan suatu keadaan dimasa yang akan datang, akan tetapi masyarakat itu sendiri mungkin tidak sadar atau tidak mempunyai kemampuan untuk menerjemahkan peoblema itu sendiri adalah merupakan suatu permasalahan yang lebih besar dimasa yang akan datang. Anderson (1979) menjelaskan bahwa suatu problema baru akan menjadi problemaproblema kebijakan bila problema-problema itu dapat membangkitkan orang banyak untuk melakukan tindakan terhadap tindakan itu. Mendekati pernyataan tersebut suatu keadaan seperti kerusakan lingkungan mangrove dibeberapa pantai Indonesia, yang menjadi masalahnya adalah seberapa besar tingkat kesadaran dan kepekaan masyarakat melihat problema itu dan sejauh mana pula tingkat
kepekaan, kesadaran dan kemampuan pembuat kebijakan melihat problema yang dihadapi oleh masyarakat itu sebagai suatu yang menjadi tanggung jawab untuk diatasi. Suatu pembangunan yang berbasis lokal adalah bahwa pembangunan itu dilaksanakan bukan saja disuatu tempat/lokasi di mana pembangunan itu dilaksanakan, tetapi juga melibatkan sumber daya lokal yang ada di daerah tersebut. Dengan demikian maka prinsip daya saing komparatif akan dilaksanakan sebagai dasat atau langkah awal untuk mencapai daya saing kompetitif. Pembangunan yang berbasis lokal tidak akan membuat penduduk lokal sebagai penonton dan pemerhati akan tetapi melibatkan mereka dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan harus berorientasi kepada kesejahteraan, yaitu suatu strategi pembangunan yang dibangun dengan titik berat kesejahteraan masyarakat dan tidak sebagai peningkatan produksi. Strategi ini sekaligus merubah prinsipprinsip yang dianut selama ini yaitu bahwa pencapaian tujuan pembangunan lebih diarahkan kepada pemenuhan target-target variabel ekonomi makro. Pembangunan secara komprehensif diwujudkan dalam bentuk usaha kemitraan yang mutualistis antara orang-orang lokal dengan orang yang lebih mampu, dan kemitraan ini akan membuka akses orang-orang lokal yang miskin terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal manajemen, serta pergaulan bisnis yang lebih luas. Pembangunan yang berkelanjutan mencakup juga aspek ekonomi dan sosial yang berarti merupakan daya tangkal terhadap eksploitasi ekonomi dari pelaku ekonomi yang kuat terhadap yang lemah. Dalam kaitan ini maka perlu ada kelembagaan ekonomi yang menyediakan, menampung dan memberikan akses bagi setiap pelaku, sedangkan keberlanjutan berarti pembangunan tidak bertentangan, merusak ataupun menggantikan sistem dan nilai-nilai sosial yang ada yang telah dipraktekkan oleh masyarakat setempat. Partisipasi masyarakat sangatlah mutlak demi berhasilnya pembangunan, (Slamet, 1985). Selanjutnya menurut beliau pada umumnya dapat dikatakan bahwa tanpa partisipasi masyarakat maka setiap kegiatan pembangunan akan kurang berhasil. Banyak pendapat mengatakan bahwa partisipasi berkaitan dengan bagaimana upaya memberikan dukungan terhadap kegiatan-
59
Tambunan, dkk., Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten Asahan
kegiatan pembangunan yang datang dari pemerintah. Rahardjo (1985) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat dalam programprogram pemerintah, atau dengan kata lain, partisipasi adalah keikutsertaan dari seseorang ataupun sekelompok orang dalam suatu kegiatan baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk ketertiban langsung misalnya seseorang ataupun sekelompok orang ikut secara fisik dalam suatu kegiatan, sedangkan keterlibatan secara tidak langsung, seseorang ataupun sekelompok orang tidak ikut dalam sesuatu kegiatan secara fisik, tetapi mereka memberikan bantuan materil ataupun sumbangan fikiran dalam kegiatan tersebut. Jadi, praktisnya dalam pembangunan partisipasi adalah program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam arti luas yang mendapat dukungan oleh masyarakat, misalnya menghadiri musyawarah dalam pertemuan yang dilaksanakan untuk kegiatan tersebut, dan dalam pertemuan sedikitnya memberikan masukan yang positif dan sangat berguna misalnya seorang petani yang dalam musyawarah kelompok tani ikut aktif dalam ambil bagian mulai dari perencanaan sampai kepada kegiatan dan bahkan sampai kepada pengawasan atas kegiatan tersebut. GBHN tahun 1993 tertulis bahwa ”Pembangunan dari, oleh, dan untuk rakyat, dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan Pemerintah; masyarakat adalah pelaku utama pembangunan; upaya mencapai tujuan pembangunan dilakukan dengan semangat kekeluargaan yang bercirikan kebersamaan, gotong royong, persatuan dan kesatuan melalui musyawarah dan mufakat; pembangunan adalah usaha bersama yang harus merata di semua lapisan masyarakat dan berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri; potensi dan kekuatan efektif bangsa yang tumbuh dari rakyat adalah modal dasar pembangunan dan seterusnya”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa sejak dahulupun partisipasi pembangunan itu sudah dianggap merupakan unsur terpenting dalam proses pembangunan. Hampir tidak ada satu negara pun yang mengatakan bahwa partisipasi itu tidak penting dalam suatu proses pembangunan, dan hal ini terlihat dari beberapa istilah yang ada dalam suatu proses pembangunan seperti perencanaan
60
dari bawah (bottom-up planning), keterlibatan masyarakat sampai kepada masyarakat yang paling bawah (grass root’s), perencanaan demokratis, dan perencanaan partisipatif (partisipatory planning), yang kesemuanya merupakan indikasi bahwa sesuatu kegiatan pembangunan itu haruslah dengan mengikutsertakan atau melibatkan masyarakat. Cohen dan Uphoff (1977) membedakan partisipasi berdasarkan tahapannya, yaitu pertama, partisipasi dalam pembuatan keputusan, kebijaksanaan, perencanaan pembangunan; kedua, partisipasi dalam pelaksanaan program pembangunan; ketiga, partisipasi dalam memanfaatkan atau menggunakan hasil-hasil pembangunan; dan keempat, partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan. Partisipasi dalam pandangan hukum sebagaimana yang ada dalam Pasal 68 dari Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang menyangkut peran serta masyarakat sudah tercantum jelas merupakan landasan bagi siapa saja yang akan mengadakan kegiatan dalam bidang kehutanan adalah merupakan sesuatu yang harus ditaati dan dipatuhi. Pada saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara yang diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif yang meliputi: komponen yang diawasi, sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sangsi (Santoso, 2000). Sama dengan perlunya partisipasi, faktorfaktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat cukup banyak menjadi pembahasan dan dikemukakan oleh para ahli seperti Madrie (1986) yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan, usia, dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan kegiatan. Hal yang hampir bersamaan juga ditambahkan oleh Soeryani (1987) yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan dan
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
kemiskinan adalah merupakan faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup. Tingkat pendidikan masyarakat tersebut akan mempengaruhi tingkat pengetahuan mereka mengenai lingkungan hidup, semakin tinggi pengetahuannya akan memperdalam pemahamannya terhadap menfaat yang dapat mereka peroleh dari lestarinya sumber daya alam. Demikian juga dengan kemiskinan, menurut mereka kemiskinan juga berkaitan dengan rendahnya penghasilan daerah pesisir pantai. Dengan melihat letak geografis dari Kabupaten Asahan yang 30,6% nya merupakan wilayah pesisir, maka keberadaan kemauan, kemampuan, dan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan akan dipengaruhi oleh berbagai faktor di seputar kehidupan manusia yang saling berinteraksi satu dengan lainnnya, seperti faktor umur, pendidikan (baik formal maupun non formal), keterampilan, penghasilan, kelembagaan, budaya lokal (norma, tradisi, dan adat istiadat), serta pengaturan dan pelayanan pemerintah. Pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat atau biasa disebut dengan Community Based Management (CBM) menurut Nikijuluw (1994) dalam Zamani dan Darmawan (2000), merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumber daya alam, yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Dalam sistem ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumber daya yang dimilikinya, di mana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya, serta masyarakat itu pulalah yang membuat keputusan demi kesejahteraannya. Dalam rumusannya mengenai konsep partisipasi, Davis (Sastropoetro) merumuskan bentuk-bentuk partisipasi terdiri dari: 1. konsultasi, dalam bentuk jasa 2. sumbangan spontan berupa uang dan barang 3. mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari sumbangan individu ataupun instansi diluar lingkungannya 4. mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan dibiayai seluruhnya oleh komunitas (lingkungan sendiri) 5. sumbangan dalam bentuk kerja, yang biasanya dilakukan oleh tenaga ahli setempat
6. aksi spontan massa 7. mengadakan pembangunan dikeluarga sendiri 8. membangun proyek komuniti yang bersifat otonom Khusus dalam masalah kebijakan, daerah sebenarnya mempunyai wewenang untuk mengembangkan potensi laut yang dimilikinya. Kewenangan ini jelas terlihat dalam pasal 10 ayat (2) uu No. 22 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa Kewenangan daerah di wilayah laut meliputi: 1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut. 2. Pengaturan kepentingan administrasi. 3. Pengaturan tata ruang. 4. Penegakkan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah. 5. Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan Negara. Dalam ayat (3) pasal 10 UU No. 22 tahun1999 disebut pula, Kewenangan Daerah Kabupaten dan Kota di wilayah laut, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi. Dengan demikian untuk pengembangan potensi wilayah kelautan yang dimiliki daerah, diserahkan sepenuhnya kepada daerah tersebut yang tentunya juga harus diikuti dengan penciptaan peraturan yang mendukung pengembangan potensi wilayah kelautan. Peraturan yang dimaksud disini adalah Perda. Dalam pembuatan Perda mengenai kelautan ini sepenuhnya adalah tanggung jawab Kepala Pemerintahan. Untuk membantu pelaksanaan program sumber daya kelautan, terutama pengelolaan hutan mangrove, maka pemerintah Kabupaten Asahan dapat menuangkannya dalam bentuk Perda. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kekuatan hukum bagi pelaksanaan kebijakan dan dapat dijadikan dasar kebijakan pengelolaan hutan mangrove. Berdasarkan hasil perhitungan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Asahan Barumun, Indeks Tekanan Penduduk (TP) di wilayah Daerah Aliran Sungai secara keseluruhan dinyatakan bahwa daya dukung lahan masih dapat menampung kehidupan masyarakat di wilayah ini, namun observasi yang dilaksanakan
61
Tambunan, dkk., Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten Asahan
berbeda di mana secara keadaan hutan mangrove di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan terlihat sangat memprihatinkan. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, tentang Kehutanan pasal 50 ayat (3) berbunyi bahwa setiap orang dilarang mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak syah, merambah hutan, dan melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari pantai. Dengan adanya Undang-Undang diatas, sebenarnya sudah seharusnya Undang-Undang tersebut akan mengikat kepada siapa saja warga negara Indonesia untuk melaksanakan dan mematuhinya, ditambah lagi bentuk UndangUndang yang melindungi keadaan hutan pantai ini bukan saja ada dan berlaku sejak diterbitkannya pada tahun 1999 yang lalu, namun Undang-Undang sebelumnya yang pada hakekatnya mewajibkan kepada setiap orang untuk dapat melindungi keadaan hutan pantai sudah ada sebelumnya. Berdasarkan wawancara dengan responden di Desa Gambus Laut, dan Desa Perupuk, penggunaan lahan yang dimiliki oleh penduduk rata-rata antara 1 – 2,5 Ha per keluarga, bahkan ada penduduk yang bermata pencarian diluar kemampuan lahan seperti menjadi buruh tani pada perkebunan disekitar desa dan bahkan ada yang menyatakan bahwa kayu laut juga merupakan sumber pendapatan yang dapat dijual dengan mudah dan menghasilkan uang yang memadai. Komoditi yang banyak dikembangkan masyarakat pemanfaat lahan adalah komoditi tanaman semusim dan jika tanaman tahunan komoditi yang banyak ditemukan adalah kelapa dalam dan sedikit ditemukan juga kelapa sawit dan tanaman karet. Hal ini mungkin sangat dipengaruhi dengan adanya perusahaan perkebunan negara maupun swasta yang mengembangkan perkebunan disekitar desa tempat pemukiman masyarakat setempat. Hasil observasi menunjukkan, panjang pantai di Kecamatan Lima Puluh yang menjadi lokasi hutan mangrove adalah 6.214,5 meter dan keadaan hutan mangrove yang ada pada lokasi tersebut sebagaimana data yang ada terdapat beberapa versi. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Asahan menyajikan data bahwa di Kecamatan Lima Puluh hutan mangrove ada 300
62
Ha kritis, pada data yang berdasarkan foto citra land satelit Bappeda Kabupaten Asahan, luas hutan mangrove yang ada adalah 33,35 Ha dan observasi yang dilaksanakan bahwa keadaan hutan mangrove lebih mendekati kepada data yang ada hasil pemotretan melalui citra land satelit. Dan ketika di konfirmasikan kepada pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Asahan, dinyatakan bahwa perhitungan data yang ada pada Dinas tersebut belum akurat dan akan diadakan perhitungan dengan jalan pengukuran kembali lahan hutan yang ada. Pada desa Perupuk, terdapat sejumlah lokasi hutan mangrove telah menjadi areal bekas tambak yang pernah dikelola namun saat ini ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya dan ketika hal ini dikonfirmasikan kepada kepala desa setempat Bapak Ir. Elyusri Agus, jumlah areal yang sudah digarap untuk menjadi areal tambak tersebut ada sekitar 97 Ha, dan menurut beliau ini sudah terjadi sejak tahun 1980-an. Demikian juga halnya, pada desa yang sama, ketika observasi dilaksanakan akibat erosi ditemukan pinggiran pantai yang sudah sangat dekat dengan pemukiman penduduk serta sebuah sekolah dasar negeri. Jarak pinggitan pantai yang terdekat diperkirakan kira-kira hanya sekitar 40 meter dari jalan desa yang merupakan jalan satusatunya yang menghubungkan desa tersebut kedesa lainnya. Desa Gambus Laut, tepatnya di Dusun V pinggiran pantainya terbentang menjadi hamparan yang hutan mangrovenya tidak ditemukan lagi dan bahkan pada lokasi tersebut pada saat observasi dilaksanakan sebahagian dari pinggiran pantai itu telah ditanami oleh masyarakat setempat dengan kelapa sawit dan pohon semangka. Ketika wawancara dilakukan pada pemilik kelapa sawit tersebut terdapat kesan bahwa respons masyarakat terhadap upaya konservasi tanah cukup variatif, di mana mereka menganggap bahwa dengan penanaman kelapa sawit di pinggir pantai sudah merupakan bahagian dari perlindungan pantai. Hal ini memberikan gambaran bahwa sebagian masyarakat sudah memahami dan mengadopsi tentang usaha konservasi dan perlindungan pantai, namun pengetahuan yang mereka miliki belum sepenuhnya mengacu kepada kehendak dan tehnik perlindungan pantai yang seharusnya ditanami dengan mangrove dengan perakarannya yang cukup kuat untuk menahan pengikisan pantai. Kondisi ini dapat dimaklumi sejalan
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
dengan kurangnya informasi tentang upayaupaya yang seharusnya mereka terima baik lewat penyuluhan maupun informasi non-formal lainnya. Dari temuan dan hasil penelitian yang telah dilaksanakan terlihat bahwa sisi kebijakan menjadi fokus penting dalam menjaga kelestarian hutan mangrove. Sebagaimana yang telah diutarakan bahwa di Kabupaten Asahan tempat penelitian dilakukan tidak terdapat Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur khusus tentang pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Dasar kebijakan yang dipakai dalam pengelolaan hutan mangrove antara lain masih menggunakan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Keputusan Presiden No. 32 Tentang Kawasan Lindung, Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 31 tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan dan lain-lain. Dalam tataran idealnya bila pihak pemerintah provinsi, kota/kabupaten serius mengelola dan melestarikan hutan mangrove maka sebaiknya dibuat Perda khusus yang mengatur tentang pengelolaanya, yang tentunya akan menjadi kekuatan hukum yang dapat menjadi landasan untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Perda perlu mengatur mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam ketentuan tersebut. Artinya bentuk partisipasi masyarakat dan cara membangkitkan partisipasi tersebut juga menjadi fokus dalam peraturan yang dibuat. Hanya perlu difikirkan agar tidak terjadi Perda yang tambal sulam maka harus direncanakan dan dibuat sesempurna mungkin dengan melihat kondisi riil dan aspirasi masyarakat. Dalam Perda tersebut harus memunculkan peran aktif masyarakat, bahkan bila perlu usulan Perda tersebut datang dari rakyat. Untuk daerah Asahan, kebijakankebijakan yang diambil masih dalam taraf keputusan Bupati dan kegiatan operasional yang dilakukan daerah. Keputusan dan kegiatan tersebut antara lain tertuang dalam Keputusan Bupati Asahan No. 1826-BAPP/2001 Perihal Pembentukan Tim Pelaksanaan Program Proyek Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Kabupaten Asahan Tahun 2001 dan Keputusan Bupati Asahan No. 226-Bappeda-2002 Tentang
Pembentukan TIM koordinasi Pelaksanaan Program Proyek Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Kabupaten Asahan Tahun Anggaran 2002. Selebihnya kegiatan operasional mengenai pengelolaan hutan mangrove berupa pengawasan hutan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Asahan yang dalam hal ini diperankan oleh Sub Dinas Perlindungan. Secara operasional disetiap tahun anggaran Dinas Kehutanan dan Perkebunan mengalokasikan dana melalui APBD Kabupaten Asahan dalam rangka monitoring dan pengawasan hutan. Monitoring dan pengawasan ditiap kecamatan biasanya terjadwal. Penyusunan jadwal dilakukan mengingat luas hutan yang cukup besar sehingga harus dilakukan penjadwalan tersebut. Selanjutnya bila ada pengaduan, laporan atau informasi dari masyarakat mengenail hal-hal yang berkaitan dengan pengrusakan hutan mangrove, maka petugas Dinas Kehutanan dan Perkebunan akan segera menindaklanjuti dengan melakukan penanganan langsung ke tempat kejadian. Demikian juga bila disinyalir ada gejala pengrusakan di suatu daerah, maka petugas akan segera melakukan penanganan sesuai dengan prosedur yang berlaku di Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Untuk pengawasan dan monitoring hutan ini kegiatan dipimpin dan ditanggungjawabi oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Sebagai dinas yang bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan mangrove maka Dinas Kehutanan dan Perkebunan melakukan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat daerah mengenai pentingnya pelestarian hutan mangrove dan sumber daya pesisir. Penyuluhan yang dilakukan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat dan memberikan motivasi untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan mangrove didaerahnya. Hanya saja kegiatan penyuluhan ini sangat tergantung dari dana yang tersedia dari APBD. Adapun dana yang dialokasikan untuk pengelolaan ataupun yang berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove pada Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan adalah dana yang dialokasikan sejak dilaksanakannya otonomi sesuai dengan hakekat UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, karena dana yang dialokasikan sebelum berlakunya UU No 22 tersebut sangat sulit disampaikan berhubung pada
63
Tambunan, dkk., Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten Asahan
saat itu pengelolaannya ditangani langsung Dinas Kehutanan Propinsi Tingkat I Sumatera Utara. Jumlah alokasi dana dalam pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Lima Puluh adalah sebesar Rp. 414.885.717,- dengan rincian: 1. Pembangunan Pemecah Ombak di Pantai Sejarah Kecamatan Lima Puluh Tahun Anggaran 2001, sebesar Rp.295.000.000,2. Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Hutan Bakau seluas 30 Ha di Desa Gambus Laut T. Anggaran 2003, sebesar Rp 108.473.000,3. Pembuatan Tanaman Rehabilitasi Hutan Bakau seluas 3 Ha di Desa Perupuk T. Anggaran 2003, sebesar Rp 11.412.717,Secara empiris peneliti melihat bahwa Pemerintah Kabupaten Asahan perlu menetapkan prioritas dalam mengelola dan melestarikan hutan mangrove. Prioritas-prioritas tersebut diantaranya adalah: a. Meningkatkan koordinasi pengambilan keputusan melalui proses antar sektor dalam membuat dan meninjau keputusan-keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan mangrove. b. Melindungi habitat hutan mangrove melalui penetapan dan pelaksanaan Daerah Perlindungan Propinsi dan Kabupaten/ Kota. c. Meningkatkan keadilan dan partisipasi melalui pengakuan hak masyarakat tradisional. d. Meningkatkan kapasitas melalui pendidikan, pelatihan dan pelayanan kepada masyarakat. e. Memperbaiki perencanaan tata ruang melalui prioritas ketergantungan pemanfaatan pada hutan mangrove. Dari berbagai kegiatan yang dipantau dan kerjasama yang dilakukan, peneliti melihat kecenderungan program pengelolaan harus mulai berani mengandalkan kemampuan dan sumberdaya yang ada dalam masyarakat. Kegiatan yang dilakukan dalam bentuk program seperti Coastal Resource Management Project (CRMP) dari ADB memang terlihat memberikan hasil yang positif bagi peningkatan pengetahuan masyarakat. Pemerintah Kabupaten Asahan tentunya dapat memodifikasi program ini dengan mengadopsi cara dan sistem yang dilakukan CMRP. Pada hasil penelitian terlihat jelas bahwa masyarakat yang menerima program CMRP lebih mengerti dan memahami pentingnya pelestarian hutan mangrove. Pemerintah daerah juga dapat mulai menggali kembali atau menciptakan (create)
64
bentuk-bentuk kearifan tradisional yang dilembagakan dalam masyarakat. Disuatu pihak hal ini tidak bisa dicapai dalam waktu singkat, karena untuk mengendapkan norma dan nilai-nilai kearifan akan sangat membutuhkan waktu, namun intensitas untuk melembagakan pikiran positif melalui kearifan budaya tentunya akan sangat dibutuhkan. Pada penelitian dan observasi dilapangan tidak ditemukan cerita-cerita ataupun bentukbentuk budaya yang mencerminkan adanya kearifan tadisional mengenai pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Ada baiknya dalam membentuk image dan mengkreasikan kearifan tersebut dikemas melalui bentuk penyampaian pesan tradisional. Seperti yang telah disampaikan dalam hasil penelitian bahwa masyarakat melayu merupakan mayoritas suku yang bermukim di daerah penelitian. Oleh sebab itu model penyampaian pesan berdasarkan budaya melayu seperti pantun, syair, gurindam dan petuahpetuah orang tua perlu dipertimbangkan penggunaannya. Penyampaian pesan dan transformasi pengetahuan yang intensif untuk kaum muda merupakan hal yang perlu menjadi perhatian serius. Generasi masyarakat selanjutnya sudah harus diberikan informasi-informasi mengenai pentingnya hutan mangrove. Sosialisasi informasi pada tiap jenjang pendidikan SD, SLTP dan SMA perlu dimulai untuk memberikan pengetahuan mengenai pentingnya hutan mangrove tersebut. Temuan data lain pada penelitian yang menunjukkan umur responden yang berada pada usia produktif memberikan peluang yang potensial bagi pengelolaan hutan mangrove yang partisipatif. Hal ini didasari atas kemampuan menyerap dan melakukan kegiatan partisipatif lebih besar kemungkinan berhasilnya pada usia produktif. Selanjutnya bila melihat taraf pendidikan yang beragam, maka perlu metode dan cara yang tepat untuk menyampaikan informasi agar dapat dipahami oleh seluruh masyarakat. Taraf pendidikan yang beragam ini akan mempengaruhi daya nalar setiap individu, sehingga ada kemungkinan melakukan penafsiran yang berbeda terhadap program yang dilaksanakan. Dari jawaban-jawaban yang diperoleh dari masyarakat, menunjukkan mereka sebenarnya paham dan mengerti mengenai
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
kegunaan dan manfaat hutan mangrove untuk kehidupan mereka, yaitu beberapa diantaranya untuk penahan tanah pinggiran sungai, agar sungai tidak dangkal, untuk penghijauan hutan yang rusak, dan lain-lain. Selain itu, mereka juga mempunyai pengetahuan dan tahu mengenai pentingnya pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Bahkan mereka sadar akan pentingnya partisipasi masyarakat, tetapi dalam prakteknya mereka masih melakukan proses pengambilan kayu di hutan mangrove, bahkan ada yang mencoba mengganti dengan tanaman karet dan sawit. Peneliti merasa masih perlu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran msyarakat di desa pesisir mengenai partisipasi mereka dalam tahap perencanaan, sosialisasi, kegiatan, pengawasan dan evaluasi. Selanjutnya ada beberapa hal yang dirasakan perlu menjadi perhatian setelah melihat hasil penelitian ini, diantaranya adalah: 1. Masyarakat sasaran: di mana harus diperhatikan jumlah wilayah kerja dan masyarakat yang menjadi binaan atau sasaran. Hal ini akan sangat berpengaruh pada program yang akan direncanakan. Dengan mengetahui jumlah wilayah kerja dan masyarakat sasaran maka pemerintah akan dapat memprediksikan sumber daya yang akan digunakan. 2. Tingkat pengetahuan dan kemampuan, pada umumnya masyarakat yang ada di dalam dan di sekitar hutan memiliki tingkat pendidikan dan kemampuan teknis yang relatif rendah serta memiliki wawasan pemikiran yang sederhana. Dengan kondisi yang seperti itu, biasanya masyarakat tersebut sangat kuat memegang kebiasaan-kebiasaan tradisional sehingga tingkat adopsi terhadap inovasi teknologi yang menguntungkan juga relatif rendah. Relatif rendahnya tingkat pengetahuan dan kemampuan juga mempengaruhi tingkat kesadaran dan partisipasinya dalam pembangunan kehutanan serta dalam pelestarian sumber daya alam pada umumnya. 3. Ketergantungan terhadap sumber daya alam. Sejak jaman dahulu, masyarakat banyak bergantung pada sumber daya alam di sekitarnya termasuk hutan. Masyarakat sekitar hutan banyak yang memanfaatkan hasil hutan, baik kayu maupun non kayu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat. Pada umumnya masyarakat tidak merasakan manfaat dan nilai tambah dari pembangunan yang dilaksanakan. Sebagai akibatnya perekonomian rakyat teap lemah, terjadi kesenjangan ekonomi dan timbulnya kecemburuan sosial. Dampak sistim pembangunan di atas antara lain bahwa, banyak anggota masyarakat menjadi antipati terhadap upaya-upaya pembangunan kehutanan yang dilakukan pemerintah dan mereka tidak peduli terhadap pelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Kondisi diatas merupakan tantangan yang amat berat bagi jajaran Pemerintah Kabupaten, karena disamping hasilhasil pendekatan kepada masyarakat pada periode waktu sebelumnya menjadi hilang, juga dengan adanya perubahan sikap dan perilaku masyarakat yang demikian itu, akan memerlukan waktu yang lama dalam proses penyadarannya. Contoh yang dapat diambil dalam pengelolaan hutan mangrove adalah yang dilakukan di Kabupaten Pemalang Jawa Tengah. Sebagai langkah awal untuk mengelola keadaan pantai yang rusak akibat ditinggalkan oleh petani tambak, pemerintah Kabupaten Malang memberikan hak pengelolaan kepada para masyarakat yang ada disekitar pantai untuk mengusahai lahan pantai tersebut. Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Pemalang bertindak sebagai motivator dan pengendali, dan sebagai pegangan dan panduan untuk dilaksanakannya pengelolaan daerah pantai ini Pemerintah Daerah Kabupaten Pemalang telah menerbitkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah Pantai (Perda RTRDP No. 13 tahun 1999), yang mengatur tentang pengelolaan, pemanfaatan dan pengembangan potensi pantai. Dalam Perda ini diatur tentang struktur tata ruang, alokasi pemanfaatan, sampai kepada ketentuan pidana bagi setiap orang yang akan menggunakan wilayah pantai. Dampak dan hasil yang didapatkan oleh masyarakat dengan diterbitkannya Perda ini adalah bahwa termotivasinya masyarakat disekitar pantai untuk mengelola pantai yang merupakan milik mereka, masyarakat mengusahakan lahan-lahan pantai dengan berbagai usaha baik sebagai tempat menghasilkan ikan, pembesaran kepiting, ternak dan lainnya karena lahan pantai didorong oleh Pemerintah Kabupaten Pemalang untuk dijadikan lahan
65
Tambunan, dkk., Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten Asahan
produktif dan hutan mangrove dibuat sebagai sarana pendukungnya yaitu pengelolaan hutan pantai dengan cara empang parit di mana pada lahan empang parit tersebut banyak produksi ikutan yang dapat dihasilkan. Kebijakan tersebut mengundang partisipasi masyarakat untuk mengamankan dan melindungi pantai sangat besar karena dengan rusaknya pantai secara langsung akan mempengaruhi dan bahkan mengganngu tempat/lahan untuk mereka dapat berusaha. Kebijaksanaan yang dilakukan oleh Kabupaten Pemalang menunjukkan bahwa dengan diberikannya kesempatan kepada masyarakat untuk dapat mengelola dan memanfaatkan lahan pantai untuk kepentingan pembangunan ekonomi masyarakat akan memungkinkannya partisipasi masyarakat dilibatkan. Dengan demikian pelibatan masyarakat secara langsung dalam kebijakan pembangunan yang dilakukan akan membuat masyarakat terlibat dalam memikul beban dan memetik hasil atau manfaat pembangunan. Hal tersebut diyakini akan meningkatkan daya dorong partisipasi yang tinggi (Tjokroamidjoyo, 1983) Untuk kabupaten Pemalang, keberadaan Peraturan Daerah No. 13 tahun 1999, tentang Rencana Tata Ruang Daerah Pantai, merupakan sebuah aspek legalitas yang tidak hanya bermanfaat buat Pemerintah Kabupaten Pemalang tetapi juga sangat besar manfaatnya bagi masyarakat sekitar pantai, karena berdasarkan Peraturan Daerah Tersebut dimungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan kepastian hukum dalam mengelola daerah pantai seperti hak untuk mendapatkan Sertifikat Tanah atas tanah yang mereka kelola, yang pada umumnya masyarakat pengelola sudah memiliki Sertifikat Hak Milik. Keberadaan sertifikat tersebut kelihatannya menambah keseriusan dari mereka untuk mengelola pantai tersebut, karena dengan pengakuan itu dirasakan oleh mereka merupakan penghargaan yang besar dan perlu dipertahankan dan dilindungi. Dari uraian diatas, terlihat bagaimana keseriusan Pemerintah Kabupaten Pemalang dalam membangun partisipasi rakyat. Dasar hukum yang dikeluarkan ini akan memberikan pijakan penting bagi pelaksanaan pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove yang berbasis masyarakat.
66
Selanjutnya dengan diterapkannya dasar hukum tersebut maka tujuan pengelolaan hutan mangrove dapat menjadi lebih terpadu. Dasar kebijakan tersebut tentunya akan dapat memberikan dasar bagi penyusunan dan penetapan kerangka kerja dan prioritas pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang mempunyai mangrove, sehingga diharapkan dapat memberikan dampak sebagai berikut: 1. Mengurangi, menghentikan, menanggulangi, dan mengendalikan tindakan dari kegiatankegiatan merusak terhadap habitat dan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut 2. Menjamin dan melindungi kondisi lingkungan dan sumber daya wilayah pesisir dan laut dalam rangka pembangunan di wilayah pesisir yang memperhatikan daya dukung lingkungan. 3. Mendorong kerjasama dan meningkatkan kapasitas pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu antara masyarakat lokal, pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan. 4. Meningkatkan kapasitas, kemampuan dan kemandirian mengelola sumberdaya wilayah pesisir secara terpadu oleh masyarakat lokal ditingkat pedesaan/ kelurahan. Keberhasilan dan keefektifan Peraturan tersebut nantinya akan teruji berhasil apabila dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Secara umum dapat dikemukakan bahwa manfaat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Terwujudnya rencana, penetapan dan koordinasi prioritas-prioritas pengelolaan hutan mangrove dalam rangka memanfaatkan secara efisien dan konsisten kapasitas hutan tersebut. 2. Terlindunginya wilayah-wilayah penting dari degradasi akibat pemanfaatan dan konsumsi yang berlebihan, dan perusakan habitat. 3. Berkembangnya sumberdaya di wilayah pesisir bagi pemanfaatan ekonomi melalui cara-cara keilmuan yang benar dan adil secara ekonomis. 4. Terwujudnya akuntabilitas dan kepemimpinan dalam pengelolaan hutan mangrove. KESIMPULAN Dengan mempedomani kepada hasil analisis yang ada dalam penelitian yang dilaksanakan dapat dikatakan bahwa hutan
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
mangrove mempunyai manfaat yang cukup besar dalam proses ekologis dan penyangga kehidupan kawasan. Disisi lain diketahui bahwa ekosistem hutan mangrove ini sangat rentan dengan kerusakan baik akibat tindakan manusia menebang atau dikarenakan kondisi lingkungannya tidak terawat dan kurang dilindungi dengan baik. Di ketiga desa yang ada di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Asahan (Desa Gambus Laut, Perupuk dan Guntung), telah terjadi kerusakan habitat mangrove yang sangat serius, sedangkan penyebab kerusakan habitat mangrove tersebut adalah akibat adanya konversi lahan menjadi tambak seperti penjelasan yang disampaikan oleh Kepala Desa Perupuk bahwa seluas 94 Ha lahan bekas tambak terlantar disamping penebangan liar yang dilakukan oleh orang-orang yangtidak bertanggung jawab baik untuk keperluan penyediaan bahan baku pembuatan arang maupun untuk kepentingan lainnya. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, maka kewenangan Pemerintah (Pusat) dalam rehabilitasi hutan dan lahan (termasuk hutan mangrove) hanya terbatas menetapkan pola umum rehabilitasi hutan dan lahan, penyusunan rencana makro, penetapan kriteria, standar, norma dan pedoman, bimbingan teknis dan kelembagaan, serta pengawasan dan pengendalian. Sedangkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan (pada hutan produksi, hutan lindung, hutan hak, dan tanah milik) diselenggarakan oleh pemerintah daerah, terutama pemerintah Kabupaten/Kota. Dengan diakibatkan oleh kurang mendalamnya pengetahuan para pengambil keputusan akan pentingnya hutan mangrove, khususnya para pengambil kebijakan yang ada pada Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal ini pihak Eksekutif dan Legislatif mengakibatkan pengelolaan dan perlindungan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dapat dikatakan hanya bersifat insidentil dan didukung oleh dana yang sangat terbatas dan tidak dapat menjamin terjaganya hutan mangrove pada daerah pantai. Melalui observasi yang dilaksanakan maupun apa yang digambarkan oleh kuesioner dapat dikemukakan bahwa partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi, konservasi dan perlindungan
hutan mangrove baik dalam perencanaan, sosialisasi, kegiatan, pengawasan maupun evaluasi masih sangat rendah, dan temuan ini sangat menyolok ditemukan pada Desa Guntung dan Perupuk, sedangkan pada Desa Gambus Laut dikarenakan pada Desa ini proyek CRMP yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat, mengakibatkan mereka merasa telah berpartisipasi dalam perencanaan dan kegiatan, keadaan ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya masyarakat lingkungan hutan mangrove tidak berpartisipasi dalam pengelolaan hutan mangrove. Secara umum dapat dikatakan bahwa jumlah satuan luas kerusakan hutan mangrove yang pasti pada Kabupaten Asahan umumnya dan Kecamatan Lima Puluh khususnya tidak ada, ini terbukti bahwa data yang ada pada masingmasing instansi, baik pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Asahan sebagai instansi tehnis yang bertanggung jawab terhadap kehutanan di Kabupaten Asahan maupun pada Bappeda sebagai instansi perencana ditambah lagi data kongkret kerusakan hutan mangrove pada kantor Kepala Desa tidak jelas. Hal ini kemungkinan disebabkan belum adanya Perda khusus yang mengatur tentang pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Peneliti melihat bahwa dengan tidak adanya Perda khusus mengenai pengelolaan hutan mangrove kegiatan dan program yang dilaksanakan belum terpadu. Tidak ditemukannya bentuk-bentuk kearifan tradisional yang melembaga dalam masyarakat mengenai pengelolaan hutan mangrove menunjukan bahwa ada kecenderungan budaya lokal kurang mendukung terhadap program-program pengelolaan hutan berbasis masyarakat. SARAN Mengingat pentingnya hutan mangrove pada bibir-bibir pantai untuk menjaga ekosistem dan menjamin kedaan daratan yang berada disekitar hutan mangrove tersebut, sebagai apapun kemampuan yang ada pada Pemerintah, sangatlah diperlukan keikutsertaan ataupun partisipasi dari masyarakat dalam menjaga dan memelihara kawasan hutan mangrove tersebut, dan dalam melaksanakannya sebaiknya dapat dilakukan dengan: 1. Untuk menjamin upaya penegakan hutan hukum dalam upaya melindungi, mengawasi
67
Tambunan, dkk., Pengelolaan Hutan Mangrove di Kabupaten Asahan
dan meningkatkan keadaan lingkungan hutan mangrove dari perambahan kawasannya, penebangan liar, pemberian izin yang bertentangan dengan ekosistem dan keselamatan wilayah maka sangatlah diperlukan aturan yang dapat mengikat bagi setiap orang ataupun badan yang mempunyai kekuatan hukum yang jelas, dalam hal ini diharapkan Pemerintah Kabupaten Asahan untuk dapat membuat Peraturan Daerah yang mengakomodir kepentingan masyarakat pesisir dengan memfokuskan kegiatan pada proses partisipasi masyarakat. 2. Untuk mengembangkan model pengelolaan dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove diperlukan program-program yang mampu memberikan rangsangan dan kemauan dari masyarakat untuk berperan serta. Sesuai dengan teori jenjang kebutuhan dari Maslow, seseorang baru akan berperan serta apabila kondisi ekonominya sudah layak serta pengetahuannya yang cukup, maka dengan ini diharapkan Pemerintah Daerah Kabupaten Asahan dapat mengembangkan pola kegiatan pengelolaan yang dapat saling menguntungkan bagi masyarakat disekitar hutan dan sebagai contoh yang dapat disampaikan adalah pengelolaan hutan mangrove dengan model empang parit. 3. Mengingat pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan khususnya dalam pengelolaan hutan mangrove, dilain pihak juga disebutkan bahwa untuk mengundang datangnya partisipasi, salah satunya adalah pengetahuan dan pemahaman yang dalam mangrove itu sendiri, maka untuk ini sangatlah harus lebih ditingkatkan kegiatankegiatan advokasi seperti penyuluhan , pelatihan serta diklat-diklat yang membahas tentang mangrove dan lingkungan, sehingga dengan demikian timbul rasa kepedulian dan kepekaan atas alam dan lingkungannya.
68
4. Perlu diperhatikan penyampaian pesan dan pengetahuan yang bersumber dari budaya masyarakat pesisir di Asahan yaitu budaya melayu seperti pantun, syair, gurindam dan petuah-petuah orang tua perlu dipertimbangkan penggunaannya. 5. Penyampaian pesan dan transformasi pengetahuan yang intensif untuk kaum muda merupakan hal yang perlu menjadi perhatian serius. Generasi masyarakat selanjutnya sudah harus diberikan informasi-informasi mengenai pentingnya hutan mangrove. Sosialisasi informasi pada tiap jenjang pendidikan SD, SLTP, SMA, perlu dimulai untuk memberikan pengetahuan mengenai pentingnya hutan mangrove tersebut. 6. Pemerintah Kabupaten Asahan juga harus melakukan inventarisasi atas jumlah kerusakan hutan mangrove yang benar sesuai dengan hakekat yang ada dalam peraturan dan perundangan yang berlaku sehingga fungsi mangrove sebagai pengaman pantai jelas diketahui keberadaannya dan dengan diketahuinya kerusakan tersebut, maka rasa untuk merehabilitasi akan lebih menguat lagi. 7. Pandangan yang kurang menampakkan arti positif terhadap mangrove bagi para aparatur pemerintahan baik yang ada di legislatif maupun pada eksekutif perlu menjadi perhatian yang sangat serius bagi pemerintah diatasnya secara umum, dan lebih khusus lagi bagi Pemerintah Pusat dengan harapan pemberdayaan tentang perlunya bagi setiap aparatur yang bertugas terhadap arti lingkungan, khususnya bagi daerah hutan mangrove di mana daerah-daerah yang memilikinya sangat diperlukan, dan demi tegaknya disiplin itu pemerintah juga diharapkan menetapkan salah satu dari sukses sebuah Pemerintah Daerah adalah daerah yang peduli terhadap lingkungan dalam hal ini hutan mangrove.
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, James E. Cases in Pulic Policy Making. 1979. dalam Kebijakan Publik. Cetakan pertama April 1988 Penerbit Karunika Jakarta. Alikodra, H.S. Dampak Reklamasi Teluk Jakarta Pada Ekosistem Hutan Mangrove. Makalah pada lokakarya Reklamasi Teluk Jakarta yang diselenggarakan oleh Bappeda DKI Jakarta – PPSML – LPUI, 23 – 24 Januari 2003. Bengen, D.G., 1998. Ekosistem dan Sumber Daya Hutan Mangrove. Makalah dalam Pelatihan Singkat Perlindungan Lingkungan Mangrove dan Tambak di Bogor, 19 – 22 Oktober 1998. Cohen, JM and Uphoff. 1977. Rural Development, Participation, Penerbit Ithaca, New York. Danuri, R., Rais, J. Ginting, SP., Sitepu, M.J., 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta Pradnya Paramita dalam Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Penyunting Dietriech G Bengen. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Pemberdayaan Masyarakat dalam Rehabilitasi Habitat Mangrove. Emil Salim, 1986. dalam G. Satari, F. Cholik, dan N. Naamin, Bahan Seminar III, Ekosistem Mangrove, Pemanfaatan Lahan Mangrove Secara Rasional bagi Pertanian, Prosiding Seminar III 1987 Jakarta 1987. Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia. Soeryani, M (editor). 1987. Lingkungan Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Penerbit Universitas Indonesia Jakarta. Sugiarto W. Ekariyono, 1996. Penghijauan Pantai, Penebar Swadana Jakarta. Zamani, NP dan Darmawan, 2000. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Bogor 21-26 Februari 2000. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
69