Daeli, dkk., Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia…
HUBUNGAN SUBKONTRAK ANTARA PARTONUN DENGAN TOKE
Bontor Arifin Hutasoit, R. Hamdani Harahap, Badaruddin
Abstract: Handicraft industry of ulos (traditional cloth of Batak) in subdistrict of Siatas Barita, district of Tapanuli Utara, as well as another small scale industry face the financial capital, marketing, raw material, technology, labor, and management problems. These problems have resulted the subcontracting relationship (decentralization of ulos production) between the ulos craftsman (partonun) and entrepreneur (toke).This study describe how the subcontracting relationship between partonun and toke in ulos industry in subdistrict of Siatas Barita based on financial capital, raw material, marketing, and labor aspect. Finally it will be concluded whether the subcontracting relationship is exploitative or mutualistic. In fact, subcontracting relationship between toke and partonun is an exploitative dependence. This dependence is one way, i.e. from partonun to toke. This trend rised for the requirement of partonun is less than toke, so dependence balance moved to partonun in one direction. The dominant discrepancy of production factor that cause the exploitative is financial capital, it results the lending process between partonun and toke out of ulos production process, finally it makes partonun in the unauthonomous position. The subcontracting relationship are maintened by the social relationship, such us regular social gathering, visiting in calamity or party, the pay of downpayment, and go picnic to the tourist resort. The development of ulos handicraft in a balancing dependence between partonun and toke can be solved by eliminating the financial dependence of partonun to toke. In this case, government interference is very important to supply of financial capital and strive for the subcontracting relationship in written form. Keywords: subcontracting relationship, partonun, toke, principal, subcontractor, ulos, exploitative PENDAHULUAN Aktivitas non-pertanian bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat pedesaan. Keragaman pekerjaan atau kombinasi pekerjaan pertanian dan non-pertanian umum dijumpai di pedesaan. Alasan yang melatarbelakangi persoalan tersebut menurut Sawit (dalam Mubyarto, 1993:148) berkisar antara kesempatan kerja dan pendapatan yaitu antara lain adalah: 1. Tidak cukupnya pendapatan usaha tani, misalnya karena luas usaha tani sempitsempit, sehingga diperlukan tambahan pendapatan. 2. Pekerjaan dan pendapatan di usaha tani umumnya amat musiman, sehingga diperlukan waktu menunggu yang relatif lama sebelum hasil/pendapatan bisa dinikmati. Dalam situasi demikian peranan pekerjaan yang memberikan pendapatan di luar pertanian amat besar. 3. Usaha tani banyak mengandung risiko dan ketidakpastian, misalnya panen gagal atau
produksi amat merosot/rendah seperti serangan hama penyakit, kekeringan dan banjir, oleh karena itu diperlukan pekerjaan/pendapatan cadangan guna mengatasinya. Tambunan (dalam Heddy Shri Ahimsa Putra, 2003:142) menunjukkan bahwa kontribusi langsung industri rakyat kecil terhadap pembangunan ekonomi dalam negeri selain menciptakan lapangan kerja adalah memberikan penghasilan dan memproduksi barang-barang dasar seperti makanan, pakaian, bahan bangunan, peralatan rumah tangga dan sebagainya. Revrisond Baswir (1997:49) mengatakan bahwa keterbelakangan indusrti kecil tidak dapat semata-mata dijelaskan dengan faktor-faktor kelemahan manajerialnya. Kondisi keterbelakangan itu tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor struktural yang selama ini menghambat perkembangan industri kecil secara sehat. Pendapat ini akan jelas dilihat dalam studi Clifford Geertz (1989:128-150) di Mojokuto dan Tabanan, yang mengemukakan dalam suatu
Bontor Arifin Hutasoit adalah Staf Bappeda Kabupaten Simalungun R. Hamdani Harahap dan Badaruddin adalah Dosen MPSP SPs USU
12
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
aktivitas ekonomi selalu terdapat nilai-nilai nonekonomi yang mempengaruhi berlangsungnya kegiatan ekonomi tersebut. Kelangsungan suatu hubungan kerja sangat dipengaruhi oleh unsurunsur yang mengikat individu-individu tersebut dalam jaringan hubungan kerjasama. Ulos merupakan suatu bentuk hasil kerajinan Industri Rumah Tangga khususnya di daerah Tapanuli Utara. Data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tapanuli Utara menunjukkan bahwa terdapat 2.114 orang lebih tenaga kerja yang umumnya adalah wanita bekerja sebagai pengrajin ulos/partonun (pengrajin ulos dalam bahasa Batak Toba disebut dengan partonun, dan selanjutnya dalam tulisan ini penulis akan menggunakan istilah partonun untuk menyebut pengrajin ulos). Usaha kerajinan ulos tradisional di Tapanuli Utara sebagai bagian dari usaha kecil tidak terlepas dari persoalan-persoalan yang dihadapi seperti modal, pemasaran, bahan baku, teknologi dan managemen. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi adalah dengan melakukan subkontrak. Didin S. Damanhuri (1981:48) mengemukakan bahwa sistem subkontrak adalah sebagai suatu tata kerja dalam dunia usaha, di mana pihak pertama menawarkan subkontrak (farent firm), meminta pihak kedua (subkontraktor) untuk mengerjakan atau keseluruhan pekerjaan yang telah diterimanya dari pihak ketiga, sementara pihak pertama memikul seluruh tanggung jawab terhadap pihak ketiga. Perbedaan antara sistem subkontrak dengan transaksi jual beli biasa, adalah bahwa pada sistem subkontrak terjadi kesepakatan khusus antara pemberi subkontrak lewat spesifikasi tertentu. Berdasarkan pembentukannya, subkontrak menurut Frida Rustiani dan Maspiyati (1996:1-2) terbagi dalam dua tipe. Pertama, terbentuk atas kesamaan kepentingan secara fungsional antara pihak prinsipal dan subkontraktornya, di mana ciri ekonomi lebih mewarnai terciptanya hubungan tersebut. Kedua, terjadi akibat adanya intervensi suatu kebijakan (negara). Sistem subkontrak menjadi bagian penting dari program keterkaitan yang oleh Departemen Perindustrian telah dipromosikan sejak akhir tahun 1970-an. Sistem subkontrak menciptakan suatu kaitan antara pihak pemesan (prinsipal) dengan pihak produsen (subkontraktor). Keterkaitan ini antara lain
ditunjukkan dalam kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak prinsipal maupun produsen. Pihak prinsipal misalnya harus menyediakan modal, bahan baku, dan melaksanakan pemasaran (atau prinsipal hanya menyediakan modal dan melaksanakan pemasarannya), sedangkan pihak produsen melaksanakan proses produksi dan menyediakan tenaga kerja (atau produsen yang menyediakan bahan baku maupun bahan pendukung). Pola subkontrak pada banyak kasus memang dapat mengatasi persoalan-persoalan di atas. Tetapi dari sisi lain subkontrak mempunyai implikasi yang bisa merugikan industri kecil, yakni hilangnya kebebasan produsen dalam berproduksi, produsen semakin terisolir dari pasar, dan menimbulkan ketergantungan produsen terhadap prinsipal. Tulisan ini akan berusaha melihat bagaimana mata rantai hubungan yang terjadi antara partonun sebagai subkontraktor dengan pihak prinsipal atau dalam hal ini adalah para pengusaha ulos/toke (pengusaha ulos dalam konsep masyarakat di Kecamatan Siatas Barita disebut dengan toke, dan selanjutnya dalam tulisan ini penulis akan menggunakan istilah toke untuk menyebut pengusaha ulos). Pihak prinsipal atau toke biasanya mempunyai beberapa orang partonun dan berproduksi dalam suatu pola hubungan subkontak. Perumusan masalah yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini adalah: “Bagaimana hubungan yang terjadi antar partonun dan toke yang terlibat dalam pola hubungan subkontrak? Apa faktor-faktor yang menimbulkan munculnya hubungan subkontrak antara partonun dan toke? Bagaimana implikasi hubungan subkontrak bagi partonun?” METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif dan menggunakan analisis kualitatif. Dalam penelitian ini akan dicoba dideskripsikan bagaimana hubungan antara pelaku-pelaku kerajinan ulos baik partonun sebagai subkontraktor dan toke sebagai prinsipal yang terlibat dalam hubungan subkontrak di Kecamatan Siatas Barita dengan melihat aspekaspek pemasaran, permodalan, bahan baku, dan tenaga kerja. Dengan diperolehnya hasil analisis ini, pada akhirnya akan dapat disimpulkan apakah hubungan subkontrak yang terjalin antara
13
Hutasoit, dkk., Hubungan Subkontrak …
pelaku-pelaku kerajinan ulos menimbulkan hubungan mutualistik atau eksploitatif. Informan dalam penelitian adalah partonun dan toke yang terdapat di Kecamatan Siatas Barita. Untuk mengumpulkan data-data dalam penelitian digunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara, dokumentasi dan pengamatan. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Siatas Barita, dengan pertimbangan bahwa sebagian besar para partonun berdomisili di Kecamatan Siatas Barita. Dari 2.114 orang partonun yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara maka 462 orang (21,85%) terdapat di Kecamatan Siatas Barita yang tersebar di 12 desa. PEMBAHASAN Di Kecamatan Siatas Barita terdapat 462 orang partonun yang tersebar dalam 12 desa. Partonun selalu mengikatkan diri dengan toke dalam hubungan subkontrak, sangat jarang dijumpai partonun yang dapat melakukan kegiatan usaha kerajinan ulos secara mandiri, dapat dikatakan setiap partonun dalam hal pemasaran, baik partonun dengan tingkat ekonomi lemah maupun partonun dengan tingkat ekonomi yang kuat, selalu tergantung kepada toke. Beberapa partonun dengan kemampuan ekonomi yang lebih kuat dapat mandiri dalam hal permodalan dan bahan baku, sehingga mereka relatif mempunyai posisi yang kuat ketika berhadapan dengan toke, dalam artian ketergantungannya kepada toke sangat rendah. Sistem subkontrak yang terjadi antara partonun sebagai subkontraktor dengan toke sebagai prinsipal dalam industri kerajinan ulos di Kecamatan Siatas Barita terjadi secara spontan, informal, dan tidak tertulis. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Siatas Barita, tidak ditemukan adanya pola subkontrak yang muncul karena pengaruh eksternal atau karena intervensi kebijakan dari pemerintah daerah. Pola subkontrak terjadi karena pengaruh internal partonun dengan toke secara spontan karena adanya suatu motif ekonomi dalam usaha mengembangkan kerajinan ulos. Perbedaan dalam penguasaan faktor-faktor produksi, seperti pemasaran, bahan baku, tenaga kerja, dan permodalan, telah mendorong partonun dan toke untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerjasama dalam industri kerajinan ulos yang disebut dengan hubungan subkontrak. Dengan hubungan subkontrak, pihak partonun dan toke
14
akan dapat saling memberikan dan mengisi keterbatasan masing-masing dalam penguasaan faktor-faktor produksi. Sistem subkontrak didasarkan pada hubungan saling percaya dan dalam suatu ikatan kerjasama (kontrak) yang tidak tertulis. Subkontrak yang terjadi antara partonun dengan toke lebih merupakan commercial subcontracting vertical, yang artinya proses pengerjaan tenunan ulos dilakukan sepenuhnya oleh partonun sebagai subkontraktor, dan toke sebagai prinsipal tinggal memasarkan kepada konsumen. Dengan commercial subcontracting vertical, berarti sumber-sumber input seperti modal dan bahan baku sepenuhnya disiapkan oleh toke dan disampaikan kepada partonun bersamaan ketika terjadi transaksi pemesanan ulos. Pola tersebut berbeda dengan apa yang disebut dengan industrial subcontracting, di mana dalam pola ini subkontraktor yang biasanya adalah industri kecil bertindak untuk mengerjakan bagian-bagian tertentu dari suatu proses produksi, atau sering disebut dengan proses assembling. Dengan demikian terdapat berbagai kelompok subkontraktor yang mengerjakan bagian produksi yang berbeda. Posisi prinsipal yang biasanya adalah perusahaan besar, selain bertindak sebagai pelaku pemasaran, juga tetap melakukan kegiatan produksi, yaitu dengan melakukan perakitan terhadap bagian-bagian produksi yang telah dikerjakan subkontraktornya. Dalam proses pembuatan ulos oleh partonun, di samping menggunakan perangkat alat tenun bukan mesin (gedogan) yang pada umumnya telah dimiliki oleh para partonun, mereka juga membutuhkan benang yang nantinya akan ditenun menjadi suatu hasil tenunan yang berbentuk kain. Pertimbangan pemenuhan keinginan dan selera konsumen terhadap suatu motif-motif ulos tertentu tidak hanya mengakibatkan perubahan terhadap penggunaan bahan baku benang, namun juga telah menciptakan suatu ulos yang berbeda dengan jenis-jenis ulos yang selama ini dikenal, sehingga ulos tersebut tidak dapat diklasifikasikan kepada ulos seperti nama-nama dan jenis yang telah dikenal, walaupun ulos seperti ini masih tetap menampilkan ciri dan motif ulos yang sesungguhnya. Mata rantai distribusi bahan baku benang melibatkan beberapa aktor, yaitu: Pabrik benang, pedagang benang, toke, dan partonun, di mana
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
masing-masing mempunyai peranan dan fungsi dalam mata rantai distribusi bahan baku benang. Pada umumnya bahan baku benang disiapkan oleh toke sebagai prinsipal, kecuali apabila pesanan ulos tidak berasal dari toke maka partonun biasanya membeli langsung dari pedagang benang. Gambar mata rantai bahan baku benang dalam industri kerajinan ulos dapat dilihat seperti Gambar 1. Toke kaitannya dengan partonun dalam bidang ketenagakerjaan lebih merupakan upaya untuk memenfaatkan keahlian yang telah dimiliki pengrajin, dapat dikatakan tidak ada suatu upaya atau proses pembentukan tenaga kerja dengan cara yang sistematis oleh toke kepada partonun, bahkan toke sendiri belum tentu seorang yang mempunyai kemampuan dalam hal bertenun ulos. Dalam mendapatkan tenaga kerja, ada dua hal yang dilakukan oleh toke, yakni merekrut mereka secara aktif maupun pasif. Pada jenis yang
pertama, toke aktif mencari tenaga kerja di lokasi setempat ataupun dilokasi lain. Pada mekanisme yang kedua, umumnya toke memanfaatkan tenaga kerja yang datang kepada toke untuk mendapatkan pekerjaan. Rekrutmen partonun oleh toke juga dilakukan dengan berbagai persyaratan, misalnya: penguasaan keterampilan menenun ulos, kecekatan, ketepatan waktu dan pangalaman dalam menenun ulos. Informasiinformasi seperti ini bisa diperoleh dari partonun yang telah ada sebelumnya ataupun melalui kerabat-kerabat toke. Para partonun yang bekerja bagi toke, dalam berproduksi tidak ada yang bekerja di tempat toke. Mereka bekerja di rumah kediaman masing-masing atau los-los tempat bertenun yang telah disiapkan. Bagi partonun hal ini berarti tidak akan mengikat mereka terutama dalam tempat dan waktu bekerja, dan bagi toke tidak perlu menyediakan tempat
Gambar 1. Mata rantai bahan baku benang kerajinan ulos
khusus bagi partonun untuk bertenun. Sistem upah antara toke dengan partonun dilakukan apabila toke melakukan pemesanan ulos (kontrak) terhadap para partonun. Sehingga tidak dikenal adanya upah atau gaji yang bersifat rutin, misalnya: harian, mingguan, atau bulanan. Dengan demikian sistem upah tidak terikat dengan sistem Upah Minimum Regional (UMR).
Hubungan yang tercipta antara toke dengan partonun dalam pembayaran upah lebih didasarkan atas dasar saling percaya antara kedua belah pihak. Dalam suatu rumah tangga yang terdapat pembagian kerja untuk mengerjakan bagian dalam tahap pembuatan ulos, maka upah dibayarkan oleh partonun itu sendiri dan bukan oleh toke, tetapi
15
Hutasoit, dkk., Hubungan Subkontrak …
dalam prakteknya upah ini pada umumnya tidak dibayarkan (unpaid family labour). Proses penenunan ulos membutuhkan modal tetap dan modal berjalan. Modal tetap adalah modal yang tidak habis dalam sekali pakai dalam proses produksi, yang terdiri dari peralatan serta sarana untuk proses tersebut. Modal berjalan adalah modal untuk membiayai pelaksanaan proses produksi, yaitu untuk membeli bahan baku dan membayar pekerja. Modal usaha di atas dapat diperoleh dari berbagai sumber, dan pada umumnya berasal dar milik sendiri, milik sendiri ditambah pinjaman dari saudara atau keluarga, modal sendiri ditambah pinjaman dari toke dan modal sendiri ditambah pinjaman dari perusahaan. Sumber permodalan bagi partonun dalam industri kerajinan ulos dapat dilihat sebagaimana Gambar 2. Pemasaran pada kerajinan ulos sangat terkait dengan faktor-faktor bagaimana proses permintaan dan penawaran terjadi, siapa-siapa saja yang terlibat dalam proses pemasaran tersebut, siapa aktor yang lebih menguasai informasi pemasaran, dan bagaimana relasi antar aktor tersebut dalam pemasaran. Dalam hal
pemasaran partonun sangat tergantung kepada toke. Beberapa hal yang menyebabkan para partonun menjadi tertutup dari akses pedagang atau konsumen adalah: Pertama, para partonun pada umumnya bekerja di rumah di mana mereka tinggal. Secara fisik tidak ada tanda-tanda yang mengisyaratkan bahwa rumah tersebut juga menjadi tempat bertenun, dengan demikian bagi pedagang atau konsumen akan kesulitan mengidentifikasi, dan akan lebih memerlukan waktu dan biaya yang lebih besar untuk menjumpai mereka di rumah tinggal, kecuali bagi pemesan yang telah saling mengenal dengan partonun dan jumlah ulos yang dipesan juga berkisar satu atau dua. Kedua, pedagang atau konsumen dalam melakukan pesanannya pada umumnya berjumlah banyak, sehingga apabila dipesan kepada seorang partonun tentu akan memerlukan waktu yang lama. Dengan demikian akan lebih praktis apabila pekerjaan ini diberikan kepada toke yang telah memiliki beberapa partonun. Ketiga, para partonun tidak pernah melakukan upaya untuk mempromosikan usahanya kepada konsumen sebagai upaya untuk mendapatkan pesanan diluar dari pengusaha.
Gambar 2. Sumber Permodalan Bagi Partonun
16
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
Gambar 3. Mata rantai pemasaran kerajinan ulos
Hal ini terjadi dikarenakan partonun lebih menganggap usaha ini sebagai sampingan diluar dari pekerjaan pokok sebagai petani. Keadaan ini membuat akses partonun kepada pedagang dan konsumen menjadi tertutup. Untuk lebih memahami mata rantai pemasaran ulos dapat dilihat Gambar 3. Setiap pelaku dalam industri kerajinan ulos, baik toke sebagai prinsipal ataupun partonun sebagai subkontraktor mempunyai motivasi yang berbeda dalam memasuki hubungan subkontrak. Dari pihak toke, secara umum hubungan subkontrak yang mereka masuki dilatarbelakangi oleh motif-motif ekonomi. Motivasi ekonomi yang tampak cukup dominan dari sisi prinsipal pada awal sistem pengembangan sistem subkontrak adalah full capacity subcontracting, yaitu: praktek subkontrak yang timbul karena prinsipal menghadapi kegiatan yang melebihi kapasitas produksinya. Pada awalnya seorang toke adalah seorang partonun, lama-kelamaan partonun ini mendapat pesanan ulos dari konsumen dengan jumlah yang semakin banyak. Untuk mengatasi persoalan ini, prinsipal mengalihkan sebagian pesanannya kepada partonun lain. Berikutnya bentuk complementary atau intermittent subcontracting dilakukan untuk menghadapi fluktuasi
permintaan. Apabila permintaan pasar terhadap ulos meningkat, toke akan dengan mudah memberikan atau menambah pesanan kepada pihak pengrajin. Motivasi lain adalah cost saving subcontracting, dengan alasan biaya produksi akan lebih rendah bila prosesnya dialihkan pada partonun. Dengan memberlakukan sistem subkontrak, pihak toke terbebas dari pengeluaran biaya. Motivasi terakhir adalah, specialized subcontracting untuk memanfaatkan keterampilan dan peralatan yang dimiliki partonun. Bagi partonun sendiri, keterbatasan akses terhadap pasar dan modal yang terbatas menjadi motivasi dominan yang memungkinkan terjadinya hubungan subkontrak. Keuntungan yang dapat diperoleh partonun melalui hubungan subkontrak yaitu diperolehnya supply bahan baku, prospek pasar yang jelas bagi produkproduk jadinya, sistem pembayaran upah yang rutin dan tepat waktu, dan toke dapat sebagai sumber modal baik dalam menenun ulos ataupun untuk kebutuhan mendesak lainnya. Alasan lain yang memungkinkan partonun terlibat dalam hubungan subkontrak, yaitu: 1. Mempunyai hubungan baik dengan toke, hubungan ini biasanya diakibatkan adanya hubungan keluarga ataupun tetangga dengan pihak toke sebagai prinsipal.
17
Hutasoit, dkk., Hubungan Subkontrak …
2. Partonun masih memiliki kebebasan untuk menentukan tempat dan jam kerja. Adanya hubungan inilah yang membedakan status partonun dengan buruh biasa. 3. Memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan toke. 4. Jarak tempat antara partonun dengan toke relatif dekat, sehingga memudahkan proses perolehan dan pengembalian pesanan. 5. Pesanan dari toke yang relatif lebih stabil 6. Dengan adanya hubungan subkontrak dengan toke, akan dapat menciptakan hubunganhubungan yang bersifat sosial antara toke dengan partonun, maupun antara sesama partonun, diluar dari pada hubungan produksi ulos. Dalam hal ini misalnya adanya arisan dan kunjungan-kunjungan sosial di antara mereka. 7. Adanya hubungan subkontrak, maka bagi partonun merupakan suatu cara atau upaya untuk mempertahankan pola hidup subsisten mereka. Hubungan subkontrak telah menjadi suatu jaminan hidup walaupun hal itu hanya sekedar untuk dapat bertahan pada batas garis subsisten, bukan untuk suatu tujuan bagi pengembangan usaha. Hubungan subkontrak yang terjadi antara toke dengan partonun lebih merupakan hubungan saling ketergantungan yang eksploitatif. Sifat ketergantungan cenderung searah, yakni dari partonun sebagai subkontraktor ke toke sebagai prinsipal. Kecenderungan ini muncul karena pilihan subkontraktor sedikit dan terbatas, dibandingkan dengan pilihan prinsipal. Modal yang dimiliki prinsipal bisa menciptakan berbagai pilihan sehingga neraca ketergantungan bergeser sepihak ke arah subkontraktor Sumber ketimpangan faktor produksi yang paling dominan memunculkan hubungan eksploitatif ini adalah masalah permodalan. Masyarakat di Kecamatan Siatas Barita yang hidup dalam sektor pertanian senantiasa tidak mempunyai kemampuan dalam hal permodalan finansial. Sebagaimana pola hidup dalam pertanian yang subsisten, maka masyarakat di Siatas Barita juga tidak dapat mengandalkan modal/tabungan bagi usaha-usaha lainnya, termasuk bagi usaha kerajinan ulos. Hal ini telah mengakibatkan adanya proses pinjam meminjan antara partonun dengan toke. Proses pinjammeminjam uang antara partonun dengan toke tidak juga semata-mata terjadi ketika mengolah
18
lahan pertanian, namun dapat dikatakan hampir dalam setiap situasi ketika partonun menghadapi kesulitan biaya. Pola hubungan di atas, dapat juga dikatakan sebagai hubungan patront-klien, di mana antara kedua belah pihak merasakan adanya sisi-sisi keuntungan sebagai akibat dari adanya hubungan subkontrak. Bagi partonun merasa diuntungkan karena hubungan subkontrak tersebut telah dapat melanggengkan hidup dalam batas subsisten, dan dalam setiap situasi apabila partonun membutuhkan biaya untuk suatu keperluan, maka partonun dapat memperolehnya dengan mudah dari pengusaha. Bagi toke sendiri hal ini merupakan suatu mekanisme dalam melanggengkan usaha mereka dengan memelihara loyalitas dari partonun terhadap mereka. Situasi tersebut mengakibatkan posisi para partonun sangat rawan dengan permainan dan tuntutan dari toke. Dalam kondisi ini partonun berada dalam posisi yang tidak otonom atau mandiri, dan tidak mempunyai posisi tawar yang kuat terutama dalam penentuan harga atau upah pembuatan ulos. Para partonun sebenarnya menyadari keadaan hubungan eksploitatif ini dan merasakan adanya ketidakadilan dalam hubungan dengan toke. Akibat keterbatasan modal finansial maka partonun mengikatkan diri dengan toke, mengakibatkan tidak hanya tergantung dalam hal permodalan tetapi juga mengakibatkan ketergantungan terhadap pemasaran dan bahan baku yang sepenuhnya diatur oleh toke. Berbagai cara dilakukan oleh toke sebagai prinsipal untuk melestarikan hubungan subkontrak dalam industri kerajinan ulos. Upaya untuk melestarikan hubungan subkontrak antara toke dengan partonun dilakukan tidak hanya dengan hubungan-hubungan ekonomi saja, tetapi juga oleh hubungan-hubungan sosial yang telah hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. 1. Hubungan arisan 2. Saling mengunjungi apabila ada musibah atau pesta 3. Memberikan uang muka 4. Piknik mengunjungi daerah-daerah wisata. Hubungan arisan dimanfaatkan oleh toke untuk dapat bertemu secara rutin dengan partonun, dan berkomunikasi dengan mereka. Tidak ada kaitan antara arisan dengan pengembangan usaha ulos baik bagi toke ataupun bagi partonun. Karena uang yang ada sebagai hasil arisan juga tidak diperuntukkan bagi
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
produksi ulos. Strategi lain yang diterapkan adalah dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial. Kegiatan ini dilakukan misalnya dengan mengunjungi partonun yang mendapat musibah, atau juga hadir dalam acara pesta yang dilakukan partonun, hubungan ini secara khusus telah menumbuhkan adanya rasa solidaritas dan kebersamaan antara partonun dengan toke, dan antara partonun dengan partonun sendiri. Cara lain yang dilakukan oleh toke untuk mengikat partonun adalah dengan memberikan uang muka setiap terjadi pemesanan ulos kepada partonun. Pembayaran selanjutnya (kekurangannya) diberikan langsung saat pesanan tersebut selesai dikerjakan dan disetorkan kepadanya. Akhirakhir ini, salah satu strategi dalam melestarikan hubungan subkontrak antara toke dengan partonun yang semakin tumbuh dan berkembang adalah dengan melakukan piknik, strategi ini belum dikenal sebelumnya, namun akhir-akhir ini merupakan sesuatu yang sering terjadi. KESIMPULAN 1. Perbedaan dalam penguasaan faktor-faktor produksi seperti pemasaran, permodalan, bahan baku, dan tenaga kerja antara partonun dengan toke telah memunculkan adanya hubungan subkontrak dalam industri kerajinan ulos. Hubungan subkontrak bersifat informal atas dasar saling percaya, dan tidak tertulis. Hubungan subkontrak tersebut cenderung berupa commercial subcontracting vertical, yaitu partonun sebagai subkontraktor menghasilkan tenunan ulos yang tinggal dipasarkan oleh toke sebagai prinsipal, dan bahan baku serta modal disediakan oleh pihak prinsipal. Dalam upaya melestarikan hubungan subkontrak antara partonun dan toke telah terjadi pertukaran sosial melalui hubunganhubungan sosial yang terlembaga dalam bentuk-bentuk arisan, saling mengunjungi apabila ada musibah atau pesta, pembayaran uang muka, dan piknik ke daerah-daerah wisata. 2. Bagi toke, memasuki hubungan subkontrak berarti bisa mengurangi kebutuhan investasi, peralatan, fluktuasi permintaan, ongkos produksi, dll. Melalui sistem ini prinsipal diuntungkan karena dapat merekrut partonun dengan mudah, serta bebas dari kewajiban memberikan jaminan sosial kepada partonun
sebagai tenaga kerja sebagaimana yang terdapat dalam industri-industri lainnya. Sementara peluang pemecahan masalahmasalah klasik, seperti pemasaran, bahan baku, dan permodalan menjadi motif utama bagi partonun untuk memasuki hubungan subkontrak. 3. Hubungan subkontrak telah menimbulkan hubungan saling ketergantungan yang tidak seimbang antara partonun dengan toke. Hubungan ketergantungan tersebut telah menimbulkan hubungan eksploitatif terhadap partonun oleh toke. Faktor permodalan partonun yang tidak mendukung dalam melakukan usaha kerajinan ulos, ditambah dengan pola hidup subsisten partonun telah mengakibatkan posisi tawar partonun selalu lebih rendah ketika berhadapan dengan toke. Dengan demikian toke mempunyai kekuasaan yang sangat luas dalam menentukan upah, jumlah produksi ulos, motif, pemasaran, dan bahan baku. Akibatnya, hubungan subkontrak bagi partonun hanya sebatas untuk sekedar dapat bertahan hidup dari pada untuk pengembangan usaha kerajinan ulosnya. SARAN 1. Keterkaitan antara partonun dengan toke dalam suatu hubungan subkontrak dalam industri kerajinan ulos tetap harus dipelihara dan ditingkatkan, karena kenyataannya selalu terdapat perbedaan penguasaan faktor-faktor produksi antara kedua belah pihak, sehingga sangat tidak memungkinkan, baik partonun ataupun toke dapat melakukan usaha kerajinan ulos secara mandiri dan otonom mulai dari hulu sampai ke hilir. 2. Perjanjian kerjasama hubungan subkontrak antara partonun dengan toke perlu dilakukan secara tertulis. Hubungan subkontrak yang cenderung berupa commercial subcontracting vertical perlu dirubah menjadi commercial subcontracting horizontal, yaitu hubungan subkontrak di mana hasil tenunan ulos yang dihasilkan partonun tinggal dipasarkan oleh toke, namun modal dan bahan baku disiapkan oleh partonun. Dengan model ini ketergantungan partonun terhadap toke hanya dalam aspek pemasaran.
19
Hutasoit, dkk., Hubungan Subkontrak …
3. Hubungan ketergantungan yang tidak seimbang dalam hubungan subkontrak antara partonun dengan toke, perlu diatasi dengan memutus ketergantungan permodalan finansial partonun kepada toke. Upaya ini dapat dilakukan dengan lebih memberdayakan hasil-hasil pendapatan rumah tangga diluar dari kerajinan ulos seperti dalam bidang pertanian, dan pemberian modal kepada partonun dari pemerintah dan perusahaan swasta/ BUMN/BUMD.
20
4. Pemberian bantuan modal kepada partonun perlu dirubah, bantuan modal yang diberikan melalui kelompok partonun sebaiknya diberikan secara langsung kepada partonun, atau jika harus melalui bentuk kelompok partonun, maka pihak pemberi bantuan modal harus benar-benar selektif untuk memastikan bahwa kelompok penerima bantuan modal tersebut bukanlah kelompok yang telah terjalin dalam hubungan subkontrak.
Jurnal Studi Pembangunan, April 2006, Volume 1, Nomor 2
DAFTAR PUSTAKA
Baswir, Revrisond, 1997. Agenda Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Damanhuri, Didin S. 1981. Sistem Subkontrak dalam Strategi Industrialisasi dan Pembangunan Ekonomi: Sebuah Gambaran Awal, Majalah Prisma No. 5-Mei 1981, Jakarta: LP3ES. Geertz, Clifford, 1963. Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia. Diterjemahkan oleh S. Supomo,1989. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Mubyarto, 1993. Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaan, Yogyakarta: BPFE Putra, Heddy Shri Ahimsa, 2003. Ekonomi Moral, Rasional dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa, Yogyakarta, KEPEL Press. Rustiani, Frida dan Maspiyati,1996. Usaha Rakyat dalam Pola Desentralisasi Produksi Subkontrak, Bandung: AKATIGA Pusat Analisis Sosial.
21