FILSAFAT BAHASA: KATA DAN PERBUATAN OLEH ZULKIFLI LUBIS, S.Pd.,M.Pd. GURU BAHASA INDONESIA SMAN I PEKANBARU Bahasa merupakan alat untuk berpikir yaitu tentang agama, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan pendidikan. Bahasa adalah ucapan seseorang untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya terhadap sesuatu. Maka bahasa jangan dianggap remeh khususnya bahasa Indonesia karena bahasa manusia dapat menerobos dunia. Contohnya, nama itu adalah ilmu. Jadi, kalau orang tidak kenal dengan nama ( orang ) tidak dapat menguasainya. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Al- Baqarah 2: 31 yang artinya, “ Dia mengajarkan kepada Adam namanama (benda) seluruhnya, kemudian Dia menunjukkan benda-benda itu kepada Malaikat seraya berkata, “ Sebutkanlah kepada-Ku nama bendabenda itu, jika kamu memang benar.” Dan Allah SWT langsung menjawab: “ Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama benda-benda itu”. Setelah dia memberitahukan kepada mereka nama benda-benda itu”. Dia berfirman, “ Bukankah Aku pernah memfirmankan kepadamu bahwa Aku Maha Mengetahui rahasia langit dan bumi dan Aku Maha Mengetahui apa pun yang kamu tampakkan dan apa pun yang kamu rahasiakan? “ ( QS, Al-Baqarah 2: 33 ). Nama – nama itu yang disindir oleh Allah SWT sebenarnya adalah lambang-lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Maka kita tidak tahu nama itu maka barang tersebut tidak dapat dipergunakan dalam kehidupan dunia ini. Di sisi lain, setan-setan menjadi kalah dalam berdebat Bahasa menunjukkan bangsa. Artinya, ucapan seseorang menggambarkan pikiran dan perasaan seseorang dalam rangka mencapai maksud tertentu. Kalau ucapan seseorang sudah tidak menggambarkan pikiran dan perasaan yang baik dan benar maka orang tersebut sudah jatuh hina di muka umum. Tandanya, orang tersebut tidak berilmu. Ungkapan orang bijak mengatakan, “ Dengan agama hidup menjadi teratur, dengan ilmu hidup menjadi mudah, dan dengan seni hidup bisa menjadi indah”. Semua objek itu menggunakan alatnya adalah bahasa. Bahasa adalah ucapan seseorang dalam rangka menyampaikan perasaan dan pikiran terhadap kawan berkomunikasi. Ucapan yang menggambarkan pikiran maka disebut ilmu karena fungsi bahasa salah satunya adalah alat untuk berpikir. Contohnya, jam dengan pukul, bakar dengan panggang. Kalau kita pakai kata “ jam “ dalam kalimat kita, yaitu Saya masuk jam ke- 6, artinya dapat menunjukkan jarak/ jangka dan dapat pula diartikan sebagai nama benda. Contohnya, jam alba, jam seiko. Begitu pula kata “ pukul “ artinya dapat menunjukkan waktu yang sebenarnya. Contohnya, “ Saya masuk pukul 10.00 WIB. Seperti kata “ bakar “ artinya, dapat
menunjukkan menjadi hangus, arang, dan abu. Beda dengan kata “ panggang “ artinya dapat pula menunjukkan sifat panggang tidak menghanguskan, menjadi arang, menjadi abu. Contohnya, membakar sate atau memanggang sate. Yang benar menurut bahasa Indonesia adalah sate panggang, bukan sate bakar. Karena sifat bakar menghasilkan arang, dan abu. Maka janganlah disamakan antara satu kata dengan kata lain. Karena bahasa mempunyai bentuk dan sifat. Contohnya, kata “ air “ bentuknya cair, dan sifatnya pun cair. Saya ganti dengan kata “ es batu “ tentu bentuknya pun berubah menjadi padat, dan sifatnya menjadi padat juga maka diubah namanya akan berubah pula maknanya. Semakin tajam maknanya maka semakin banyak orang termenung atau terkagum-kagum mendengarkan orang yang berbicara. Contohnya, “ Semua orang yang bermenung adalah orang berilmu. Orang gila itu adalah orang yang bermenung. Orang gila adalah berilmu ?”. Ini contoh dalam mengambil kesimpulan terlalu umum maka hasil kesimpulannya menjadi salah karena semua orang yang bermenung itu dianggap punya ilmu padahal tidak punya ilmu. Apakah semua orang botak adalah tanda berimu. Si A adalah kepalanya botak. Berarti si A mempunyai ilmu. Ini contoh kesimpulan bahasa yang baik dan benar yaitu, “ Manusia bersifat ingin tahu. Mahasiswa adalah manusia. Mahasiswa selalu ingin tahu “. Artinya, kalau menyandang jabatan “ Mahasiswa “ seharusnya mahasiswa pasti kritis, kreatif, inovatif, dan konstruktif, ternyata sekarang mahasiswa pada umumnya hanya menyandang gelar saja sehingga pola pikir mahasiswa itu kurang tajam. Kosa kata/diksi yang dipergunakan itu ( maha) yang pantas atau yang patut menyandangnya adalah Allah SWT bukan siswa. Kalau orang luar negeri menyebut mahasiswa adalah student atau pelajar tersebut ? Sebab Allah SWT dalam Surah Al Baqarah 2: 2 yang artinya, “ Inilah Kitab ( Quran ) yang tidak ada keraguan padanya dan merupakan petunjuk bagi orang- orang yang ingin berbakti”. Sebab sumber ilmu itu datangnya dari Allah maka orang yang selalu taat kepada –Nya pasti dibukakan jalan atau petunjuk kepada orang tersebut sehingga ucapan/bahasanya selalu mengandung makna/ berkias terhadap manusia lainnya. Sebaliknya, orang tidak mendapat petunjuk/hidayah dari Allah SWT itu disebabkan oleh hatinya sudah dikunci mati dan pendengaran dan penglihatan mereka pun sudah ditutup/dikunci. Ini tergambar dalam Surah Al Baqarah 2: 7 yang artinya, “ Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka; penglihatan mereka pun ditutup. (Kelak) mereka akan menerima azab yang berat.” Solusi untuk membuka hati yang terkunci itu adalah dengan mengakui kesalahan kita dengan Allah SWT dan jangan kita menganggap kita merasa tidak berdosa. Ukurannya dapat dilihat dari perkataan kita dan perbuatan kita sehari-hari lebih banyak membanggakan/menonjolkan diri depan umum. Dengan bahasa filsafat bahwa janganlah merasa pintar tetapi pintar merasa. Karena bahasa/katakata itu adalah rasa. Kalau tidak merasa malu berarti dia sudah hilanglah
jatidirinya atau sama dengan sifat binatang atau lebih bejat daripada binatang. Kalau sudah sampai kepada bahasa rasa berarti kita pada tingkat hampir dekat dengan Allah SWT. Dengan merasa adanya Allah SWT maka apapun aktivitas kita tidak akan terjadi kebohongan. Seperti kita meminum air kopi manis yang terasa adalah gulanya padahal gula tidak terlihat. Kendatipun awalnya, semua unsurnya terlihat, kalau sudah diaduk sampai menyatu maka yang terlihat adalah kopinya. Batas kemampuan manusia dalam memahami sifat Allah SWT sebenarnya adalah pada rasa bukan sebatas perkataan yaitu bahasa “ percaya” saja. Contohnya, bahasa sumpah pejabat yang dibacakan oleh orang lain barulah pejabat yang ditanam itu mengucapkan sumpah dengan bunyinya, “ Demi Allah, saya bersumpah ! Saya tidak akan menerima sumbangan dalam bentuk apapun.” Yang mantap adalah pelaku itu membuat sumpahnya dan diucapkan dia sendiri yang lain cukup mendengar ucapannya itu. Kalau tidak sesuai perkataan dengan perbuatan maka dia itu bisa dituntut di depan pengadilan. Oleh sebab itu, jangan mainp-main dengan bahasa sumpah jabatan karena bisa menjadi tantangan. Kita selama ini, dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis pada umumnyatidak memperhatikan kata dengan maknanya sehingga selalu melahirkan hasil karyanya itu menyimpang. Dengan maksud, dibibir lain, dihati lain pula, dan kenyataannya tidak terbukti. Inilah yang dikatakan gosip/fitnah buka isu. Isu itu indikator menjadi kajian ilmu. Berapa banyak orang berbicara/ bercakap-cakap tanpa disadari sudah berbohong dengan Allah SWT tetapi dampaknya dirasakan oleh yang memilihnya. Contoh bahasa “ akan “ sering dipergunakan oleh para penguasa dalam berpidato di depan masyarakat padahal kata itu maknanya adalah rencana belum lagi melakukannya. “ Saya akan membangun jalan di Riau apabila saya terpilih menjadi Gubenur Riau. Berbeda dengan, “ Saya hendak ( mau) membangun jalan di Riau apabila saya terpilih menjadi Gubenur Riau”. Kata-kata yang lebih operasional adalah “ hendak “ bukan kata “ akan” sebab kata “ hendak “ lebih bermakna ingin/ada kemauan untuk membangun Riau itu daripada kata “ akan” . Kata “ akan “ lebih banyak beroreintasi kepada mabuk pada rencana saja. Karena pendengar tidak mengerti dan paham maka kata itu dianggap sudah betul padahal tidak betul maknanya. Secara tidak langsung, kita sudah makan sumpah. Maka Allah marah memakai nama Dia dalam bersumpah kalau tidak bertanggung jawab melaksanakannya. Seperti pemimpin sekarang ini pada umumnya, hanya sebatas janji-janjinya belaka kenyataannya tidak ada buktinya. Seperti yang tertuang dalam Al-Quran Surah Al- Baqarah 2: 14 yang artinya, “ Apabila mereka bertemu dengan orang-orang beriman, mereka berkata, “ Kami telah beriman”, tetapi bila mereka berkumpul kembali dengan setan-setan ( para pemimpin) mereka, mereka berkata, “
Sesungguhnya kami hanya mengolok-olok mereka.”. Sehubungan dengan ayat itu, Allah menampik kepada pemimpin yang zholim itu dalam AyatNya Surah Al Baqarah 2: 17 yang artinya, “ Perumpamaan mereka ( adalah ) seperti orang yang menyalakan api. Ketika api itu menerangi sekelilingnya, (tiba-tiba ) Allah yang menghilangkan cahaya ( yang menerangi ) mereka dan membiarkan mereka di dalam kegelapan tanpa bisa melihat.” Seperti kata “ kemiskinan “ dipergunakan dalam kalimat para pemimpin, yaitu: “ Saya akan mengentaskan kemiskinan penduduk .” Kata tersebut, kurang bemakna/ kurang tajam sehingga bermain-main dengan istilah-istilah yang memusingkan kepala rakyat. Dengan arti kata, mengentaskan kemiskinan artinya memaparkan keadaan orang miskin lebih terbuka. Seharusnya, kalimatnya adalah saya akan mengurangi orang miskin dari jumlah yang banyak kepada jumlah yang sedikit. Kata kemiskinan maknanya adalah menunjukkan keadaan orang miskin/ sifat orang miskin. Sifat orang miskin dan sifat orang kaya tidak bisa dihilang dengan cara apapun kecuali Allah SWT yang dapat menghapusnya. Selanjutnya, contoh kata yang disandangkan kepada kepada beberapa pemimpin kita di Riau ini yang dianugerahkan oleh Lembaga Adat Melayu Riau yaitu, “ Setia Amanah.” Yang salah bukan pada sang penerima julukan itu tetapi orang yang memberi gelar terlalu hiperbola memakai bahasa sehingga tanggung jawabnya terlalu berat di dunia dan terutama di akhirat. Sedangkan Nabi Muhammad SAW saja hanya menyandang jabatan sebagai amanah, sebagai pathonah, sebagai sidiq, dan sebagai tabliqh. Tidak ada “embel-embel” di depan kata amanah tersebut. Sifat dipercaya, sifat cerdas, sifat benar, dan sifat menyampaikan itulah yang ada dalam dada Nabi Muhammad SAW dikatakan, “ Al-quran berjalan “. Artinya, semua akhlak Nabi Muhammad SAW itu berbasiskan kepada nilai-nilai Allah SWT. Contohnya, ada salah seorang yang berniat buruk kepada Nabi Muhammad SAW . Maka Nabi Muhammad disuruh tunggu di sini, saya pergi ke atas bukit ternyata malaikat Jibril sudah tahu maksud sang penghianat itu maka langsung Jibril menyapa Nabi Muhammad SAW, itu ada orang yang ingin menjatuhkan batu besar kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, berikanlah aku ( Jibril) izin untuk membunuhnya tetapi kata Nabi Muhammad SAW bahwa, “ Orang itu tidak tahu kalau tahu dia dengan Aku maka dia tidak akan niat ingin membunuh Aku “. Kita ( pemimpin ) kalau kritik oleh rakyat langsung dihadang oleh hulubalangnya. Padahal rakyat tujuannya baik bukan ingin mengambil alih kekuasaan itu. Inilah tipe manusia yang tidak berbasis kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi itu cara memimpinnya mengajak bukan memerintah kalau kita bergaya memerintah orang kepada tujuan yang ingin kita capai. Kekuatan kepemimpin tidak hanya bergantung kepada bagaimana mempengaruhi pengikut-pengikut, tetapi sekaligus harus mampu pula untuk mengatasi kesulitan kebutuhan para pengikutnya secara optimal, ( Ali, 2013: 5) Senada dengan firman Allah SWT dalam Al-
Quran Surah Al- Baqarah 2: 30 yang artinya, “ Dialah yang menjadikan kamu khalifah di muka bumi “. ( QS Al – Fathir 35: 39) Walaupun Rasulullah telah dilahirkan ke dunia ini untuk menjadi seorang rasul, tetapi tidaklah serta merta beliau menjadi pemimpin umat yang besar dengan tugas-tugas yang besar pula, keculai melalui sutau proses pembelajaran dan pendalaman. Pemimpin kita setelah ditunjuk sulit untuk temu ramah dengan rakyatnya. Akhirnya, rakyatnya dianggap sebagai lawannya padahal kalau tidak karena suara tidak dapat duduk di kursi yang empuk itu. Begitulah berharganya suara rakyatnya. Sebab Allah SWT lebih mendengarkan jeritan hati rakyat yang miskin daripada pemimpin yang zholim. Maksudnya, doa rakyat yang baik lebih cepat terkabul daripada doa pemimpin zholim. Dengan sendirinya, orang yang haus dengan kekuasaan duniawi ini maka Allah SWT dengan mudah mecabut darinya padahal dalam hatinya tidak mau melepaskan. Seperti firman Allah SWT dalam Surah Ali Imran 3: 26 yang artinya, “ Katakanlah, “ Ya, Tuhan yang memiliki kekuasaan , Engkau melimpahkan kekuasaan kepada dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau memuliakn siapa saja yang Engkau kehendaki dan Engkau pun menghinakan siapa saja yang Engkau kehendaki. Di tangan –Mulah ( segala) kebaikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu”. Disambut dengan ayat lain, bahwa tanggung jawab itu sebenar terpulang kepada diri sendiri bukan kepada kelompok-kelompok atau kepada orang lain. Maka pemimpin yang banyak jatuh disebabkan oleh pendukungnya dan maju pemimpin itu disebabkan oleh pendukungnya juga tetapi tanggung jawabnya adalah kita sendiri. Maka kita jangan larut dengan sanjungan orang. Kalau bangga dengan sanjungan orang lain tunggulah sajalah tanggal kehancurannya. Firman Allah SWT dalam Surah Bani-Israil 17: 15 yang artinya, “ Barangsiapa mendapat petunjuk, maka sesungguhnya dia mendapat petunjuk semata-mata untuk (keselamatan) dirinya-sendiri. Barangsiapa sesat, maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kecelakaan) dirinya-sendiri, karena seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang Rasul. “ Daftar Rujukan Ali, Eko Maulana, 2013. Kepemimpinan Intergratif dalam Konteks Good Governance. Jakarta: Multicerdas Publishing. Hasan, A. 2006. Al- Furqan Tafsir Al – Quran. Jakarta: Universitas AlAzhar Hamidy, UU. 1998. Dari Bahasa Melayu sampai Bahasa Indonesia. Pekanbaru: Unilak Press.