Tugas THT-KL
RHINOREA
Disusun Oleh : Imam Mi’raj Suprayoga G99131010
Pembimbing : dr. Anton Christanto, M.Kes, Sp.THT-KL
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD PANDANARANG BOYOLALI 2014
1. Keluhan utama pasien datang ke poli THT-KL A. Keluhan utama pada telinga a. Gangguan pendengaran/pekak (tuli) Merupakan suatu kondisi fisik yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan seseorang untuk mendengarkan suara. Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif, sedangkan gangguan telinga dalam dapat menyebabkan tuli sensoris, seperti tuli koklea atau tuli retrokoklea. b. Telinga berdenging (tinnitus) Merupakan salah satu bentuk gangguan pendengaran berupa sensasi suara tanpa adanya rangsangan dari luar, dapat berupa sinyal mekanoakustik maupun listrik. Keluhan suara yang didengar sangat bervariasi, dapat berupa bunyi mendenging, menderu, mendesis, mengaum, atau berbagai macam bunyi lainnya. Suara yang didengar dapat bersifat stabil atau berpulsasi. c. Pusing berputar (vertigo) Merupakan keluhan gangguan keseimbangan dan rasa ingin jatuh. Perubahan posisi biasanya mempengaruhi kualitas dan kuantitas vertigo. Vertigo biasanya juga disertai dengan keluhan mual, muntah, rasa penuh di telinga dan telinga berdenging yang kemungkinan kelainannya di labirin atau disertai keluhan neurologis seperti disartria dan gangguan penglihatan sentral. d. Nyeri di dalam telinga (otalgia) Otalgia atau sakit telinga adalah nyeri yang dirasakan di telinga. Otalgia primer adalah nyeri telinga yang berasal dari dalam telinga. Otalgia sekunder adalah nyeri telinga yang berasal dari luar telinga. e. Keluar cairan dari telinga (otorhea) Merupakan secret yang keluar dari liang telinga. Secret yang sedikit biasanya berasal dari infeksi telinga luar dan secret yang banyak dan bersifat mukoid umumnya berasal dari telinga tengah. f. Telinga terasa penuh g. Benda asing di telinga (korpus alineum)
B. Keluhan utama pada hidung a. Sumbatan hidung Sumbatan hidung dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Sehingga diperlukan anamnesis yang teliti berkaitan dengan keluhan tersebut, seperti: apakah sumbatan terjadi terus-menerus, pada satu atau dua lubang hidung,
adakah riwayat kontak dengan debu, tepung sari, bulu binatang, adakah riwayat trauma hidung, pemakaian obat dekongestan dalam waktu lama, dan lainnya. b. Sekret di hidung (rhinorea/pilek) Keluhan adanya sekret di hidung cukup sering dijumpai. Sekret di hidung yang disebabkan karena infeksi hidung biasanya bilateral, jernih sampai purulen. Sekret yang jernih seperti air dan jumlahnya banyak, khas untuk alergi. Bila sekretnya kuning kehijauan biasanya berasal dari sinusitis hidung dan bila bercampur darah dari satu sisi, hati-hati adanya tumor hidung. c. Bersin-bersin Apabila terdapat keluhan berupa bersin yang berulang-ulang merupakan keluhan pasien alergi. Untuk itu perlu ditanyakan apakah bersin tersebut timbul akibat menghirup sesuatu yang diikuti dengan keluarnya sekret yang encer dan rasa gatal di hidung, tenggorok, mata, dan telinga. d. Rasa nyeri di daerah muka dan kepala Adanya rasa nyeri di daerah muka dan kepala ada hubungannya dengan keluhan yang ada di hidung. Nyeri di daerah dahi, pangkal hidung, pipi, dan tengah kepala merupakan tanda-tanda infeksi sinus (sinusitis). e. Perdarahan di hidung (epistaksis) Epistaksis dapat berasal dari bagian anterior rongga hidung atau dari bagian posterior rongga hidung. Perdarahan dapat berasal dari kedua lubang hidung. f. Gangguan penghidu Gangguan penghidu dapat berupa hilangnya penciuman (anosmia), atau berkurangnya penciuman (hiposmia), disebabkan karena adanya kerusakan pada saraf penghidu ataupun karena sumbatan pada hidung. g. Adanya benda asing di hidung (kospus alineum) C. Keluhan utama pada tenggorokan a. Nyeri menelan (odinofagi) Merupakan rasa nyeri pada tenggorokan waktu menelan dan terkadang rasa nyeri tersebut dapat dirasakan sampai telinga. b. Dahak di tenggorokan Keluhan yang sering timbul akibat adanya inflamasi di hidung dan faring. Dahak dapat berupa lendir saja, disertai pus, atau bercampur darah. Dahak dapat turun dan keluar bila dibatukkan atau terasa turun di tenggorokan. c. Sulit menelan (disfagia) Merupakan keadaan dimana terjadi kesulitan untuk menelan. Gangguan menelan dapat terjadi pada setiap organ yang berperan dalam proses menelan. d. Rasa sumbatan di leher (sense of lump in the neck) Pada keluhan ini penting untuk mengetahui waktu terjadinya dan tempatnya. e. Suara serak (disfonia)
Merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik yang bersifat organik maupun fungsional. f. Sesak nafas Keluhan sesak nafas sering dijumpai di masyarakat, umunya keluhan sesak nafas ini terjadi karena adanya sumbatan dari benda asing maupun massa pada tenggorokan. D. Keluhan pada kepala dan leher a. Pembesaran pada leher Pembesaran pada leher bisa terjadi karena adanya suatu keganasan, keganasan yang terjadi bisa terjadi di laring, faring, dan organ-organ lainnya. b. Nyeri kepala Nyeri kepala umumnya merupakan keluhan yang sangat sering ditemui dan banyak penyebab yang menyertainya. 2. Mekanisme dan Patofisiologi Rhinorea RHINOREA I.
Definisi Rhinorea berasal dari bahasa Yunani yaitu rhinos yang berarti hidung dan rhea yang berarti cairan. Secara umum rhinorea dapat diartikan keluarnya cairan dari hidung yang dapat disebabkan oleh proses inflamasi atau iritasi. Sekret yang jernih seperti air dan jumlahnya banyak khas untuk alergi hidung. Sekret kuning kehijauan berasal dari sinusitis hidung dan bila bercampur darah dari satu sisi hidung kemungkinan tumor hidung. Bila sekret hanya terdapat pada satu sisi hidung dan berbau kemungkinan terdapat benda asing di hidung. Post nasal drip kemungkinan berasal dari sinus
II.
paranasal. Mekanisme pilek Mekanisme terjadinya pilek atau rhinorea adalah sebagai berikut: a. Alergen yang masuk tubuh akan difagositosis dan diproses oleh Antigen Presenting Cell (APC) seperti sel dendritik dan makrofag. b. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II yang kemudian dipresentasikan pada sel Th 0. Kemudian APC akan melepas sitokin seperti IL 1 yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptor di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan memproduksi Ig E.
c. Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan sel mastosit atau basofil sehingga kedua sisi sel menjadi aktif. Proses ini disebut sensitasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitasi. d. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. e. Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin. f. Selain histamin juga dikeluarkan newly formed mediators antara lain PGD2, LT D4, LT C4, bradikinin, PAF, IL3, IL4, IL5, IL6, dan GM-CSF g. Histamin akan menyebabkan kelenjar dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
III.
Etiologi dan Penatalaksanaan Rinore a. Serous Rinitis Alergi Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Klasifikasi Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi: 1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten (menetap), yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: 1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu. 2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas. Penatalaksanaan 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 2. Medikamentosa Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara per oral. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit. 3. Operatif Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirka bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. 4. Imunoterapi Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.
b. Mukoid Rinitis Vasomotor Rinitis vasomotor merupakan istilah yang digunakan untuk gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh beberapa rangsangan seperti perubahan kelembapan dan suhu atau iritasi di alam yang tidak spesifik. Hal ini dapat terjadi akibat ketidakseimbangan vasomotor dan juga pengaruh faktor endokrin.2,3 Pada umumnya pasien dengan rinitis vasomotor mengeluhkan gejala yang dominan seperti hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung dengan posisi pasien. Selain itu juga terdapat rinore yang mukoid atau serosa. 4 Gejala ini akan dicetus dan diperparah oleh pengaruh wangi-wangian (seperti parfum, asap rokok, bau cat, tinta), alkohol, makanan pedas, emosi dan faktor lingkungan seperti suhu, perubahan tekanan barometrik dan cahaya terang.3,5 Etiologi Penyebab pasti terjadinya rinitis vasomotor masih belum diketahui. 2 Mayoritas 75-80% dari faktor individual. 6 Etiologi rinitis vasomotor diduga akibat adanya gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yaitu bertambahnya aktivitas parasimpatis dimana terjadi gangguan vasomotor atau gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang dipicu oleh zat-zat tertentu.2,4 Faktor presiposisi terjadinya rinitis vasomotor yaitu :6,7 a. Herediter b. Infeksi yaitu riwayat infeksi bakteri dan virus sebelumnya c. Psikologi dan emosional d. Obat-obatan yang menginduksi gejala dari rinitis seperti aspirin dan obat nonsteroidal anti-inflammatory (NSAID), reserpin, hidralazin, guanetidin, pentolamin, metildopa, penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE), β-blocker, antagonis α-adrenoceptor, klorpromazin, kontrasepsi oral, nasal dekongestan topikal dan agen psikotropik.6 e. Pengaruh endokrin, rinitis vasomotor terjadi saat usia muda, pubertas, selama menstruasi, kehamilan serta rangsangan seksual. Faktor pesipitasi dari rinitis vasomotor yaitu:6,7 a. Keadaan cuaca, perubahan kelembapan dam suhu b. Asap, asap rokok, debu, wangi-wangian dan alkohol Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada rinitis vasomotor sangat bervariasi, tergantung pada faktor penyebab dan gejala yang menonjol. 4 Menghindari faktor presipitasi yang diketahui merupakan langkah awal yang tepat dalam pencegahan terjadinya
vasomotor rinitis. Pemberian antihistamin topikal pada pasien yang menujukkan gejala seperti rinore dengan bersin, post nasal drip dan hidung tersumbat. 3 Pada pasien yang mengeluhkan rinore semata, pemberian antikolinergik topikal dapat menjadi langkah awal.8 Pemberian kortikosteroid topikal dapat diberikan pada pasien yang mengeluhkan hidung tersumbat dan mengalami obstruksi. Saat ini terdapat kortikosteroid topikal baru dalam larutan aqua seperti flutikason propionate dan mometason furoat dengan pemakaian cukup satu kali sehari dengan dosis 200 mcg.4 Selain itu dikenal juga operasi bedah beku, elektrokauter, diatermi submukosal, laser-turbinectomy, krioterapi dan turbinektomi pembedahan sebagai penatalaksanaan rinitis vasomotor yang bersifat invasif.4 Pilihan terapi ini tidak memberikan 100% efek perubahan untuk semua gejala.9 Adapun algoritme pendekatan yang disarankan dalam melakukan tatalaksana dari rinitis vasomotor dijelaskan pada gambar 1. c. Mukopurulen 1) Polip Nasi Polip nasi adalah suatu pseudotumor bersifat edematosa yang merupakan penonjolan keluar dari mukosa hidung atau sinus paranasalis, massa lunak, bertangkai, bulat, berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung. Sering kali berasal dari sinus dimana menonjol dari meatus ke rongga hidung. Berdasarkan hasil pengamatan, polip nasi terletak di dinding lateral cavum nasi terutama daerah meatus media. Paling banyak di sel-sel eithmoidalis. Dapat juga berasal dari mukosa di daerah antrum, yang keluar dari ostium sinus dan meluas ke belakang di daerah koana posterior (polip antrokoanal). Etiologi Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Penyakit ini masih banyak menimbulkan perbedaan pendapat, terutama mengenai etiologi dan patogenesisnya. Terjadinya polip nasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal : umur, alergi, infeksi dan inflamasi dominasi eosinofil. Deviasi septum juga dicurigai sebagai salah satu faktor yang mempermudah terjadinya polip nasi. Penyebab lainnya diduga karena adanya intoleransi aspirin, perubahan polisakarida dan ketidakseimbangan vasomotor. Gejala dan Tanda
Timbulnya gejala biasanya pelan dan insidius, dapat juga tiba-tiba dan cepat setelah infeksi akut. Sumbatan di hidung adalah gejala utama.dimana dirasakan semakin hari semakin berat. Sering juga ada keluhan pilek lama yang tidak sembuh-sembuh(6) , sengau, sakit kepala. Pada sumbatan yang hebat didapatkan gejala hiposmia atau anosmia, rasa lendir di tenggorok. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak adanya massa lunak, bertangkai, tidak nyeri jika ditekan, tidak mudah berdarah dan pada pemakaian vasokontriktor (kapas efedrin 1%) tidak mengecil. Pada pemeriksaan rhinoskopi posterior bila ukurannya besar akan tampak massa berwarna putih keabu-abuan mengkilat yang terlihat mengggantung di nasofaring Penatalaksanaan a) Terapi Konservatif Kortikosteroid sistemik merupakan terapi efektif sebagai terapi jangka pendek pada polip nasal. Pasien yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroid sistemik dapat diberikan secara aman sebanyak 3-4 kali setahun, terutama untuk pasien yang tidak dapat dilakukan operasi. Kortikosteroid spray dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif untuk polip yang masif Kortikosteroid topikal, intranasal spray, mengecilkan ukuran polip dan sangat efektif pada pemberian postoperatif untuk mencegah kekambuhan Leukotrin inhibitor menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5-lipoxygenase yang akan menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator inflamasi. b) Terapi operatif Polipektomi intranasal Antrostomi intranasal Ethmoidektomi intranasal Ethmoidektomi ekstranasal Caldwell-Luc (CWL) Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) 2) Rinosinusitis Rinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. 10 Rinosinusitis yang terjadi pada orang dewasa diartikan sebagai inflamasi dari hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, satu diantaranya harus ada penyumbatan pada hidung/obstruksi/kongesti atau discharge nasal (anterior/posterior/post nasal drip) ditambah dengan ada atau
tidak nyeri tekan pada muka. Pada dewasa dapat ditandai dengan ada atau tidaknya gangguan penciuman, namun pada anak-anak ditandai dengan ada atau tidaknya batuk.11 Etiologi a) Infeksi Infeksi yang tersering pada rongga hidung adalah infeksi virus, kemudian diikuti oleh infeksi bakteri yang sekunder. Virus sangat mudah menempel pada mukosa hidung yang menganggu sistem mukosiliar rongga hidung dan virus melakukan penetrasi ke selaput lendir dan masuk ke sel tubuh dan menginfeksi secara cepat. Akibat dari infeksi virus dapat terjadi edema dan hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi suatu lingkungan ideal untuk perkembangan bakteri. Bakteri aerob yang paling sering ditemukan, antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus viridians,
Haemophilis
influenze,
Neisseria
flavus,
Staphylococcus
epidermidis. Bakteri anaerob termasuk Corynebacterium, Peptostreptococcus dan Vellonela.13 b) Alergi Alergi juga dapat merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis karena alergi dapat menyebabkan mukosa udem dan hipersekresi. Mukosa sinus yang udem dapat menyumbat muara sinus dan menganggu drainase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya dapat menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang mengarah pada rinosinusitis kronis.13 Penatalaksanaan Penatalaksanaan dilakukan tergantung penyebabnya. Pada rinosinusitis viral dapat dilakukan dengan menghilangkan gejala dari hidung tersumbat dan rinore yang diderita, sedangkan untuk rinosinusitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri dapat dilakukan penatalaksanaan dengan pemberian antibiotik untuk mngeradikasi infeksi, mencegah komplikasi dan mencegah penyakit agar tidak menjadi kronis. Menurut The European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2012 merekomendasikan pemberian antibiotik harus diberikan pada pasien dengan gejala yang berat seperti discaj yang bewarna, nyeri local (VAS >7), demam (>380C), peningkatan laju endap darah (LED) atau C-reactive protein (CRP) serta gejala yang timbul lebih berat dari gejala sebelumnya. 11
Adapun pengobatan antibiotik seperti golongan cephalosporin (cefpodoxime, cefuroxime, cefdinir, ceftriaxone) dan amoxicillin/clavulanate potassium dapat direkomendasikan sebagai pengobatan inisial.13 Pasien dilakukan perujukan jika ditemukan beberapa kondisi sebagai berikut periorbital edema,eritema, globe dysplaced,
penglihatan
ganda,
oftalmoplegia,
pengurangan
lapangan
penglihatan, nyeri kepala yang hebat unilateral atau bilateral, bengkak pada bagian frontal, tanda-tanda meningitis dan tanda-tanda neurologis lainnya.11 3) Korpus Alienum Etiologi Benda asing adalah benda yang berasal dari luar (eksogen) atau dalam (endogen) tubuh yang dalam keadaan normal tidak ada pada tubuh. Benda asing dapat masuk melalui hidung atau mulut. Benda asing eksogen terdiri dari benda padat, cair atau gas. Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, darah, bekuan darah, nanah, krusta, membrane difteri atau cairan amnion.14 Pembagian lain juga membagi benda asing menjadi benda asing hidup dan benda asing mati. Benda asing hidup yang pernah ditemukan yaitu larva lalat, lintah dan cacing sedangkan benda asing mati yang tersering yaitu manikmanik, baterai logam dan kancing baju.14 Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing kedalam saluran nafas antara lain faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial, tempat tinggal), kegagalan mekanisme proteksi yang normal, faktor fisik, faktor dental, faktor medikal dan surgikal, faktor kejiwaan, ukuran dan bentuk benda asing serta faktor kecerobohan. Benda asing dapat masuk melalui hidung dan dapat tersangkut di hidung, nasofaring, laring, trakea dan bronkus. 14 Penatalaksanaan Secara prinsip benda asing yang berada pada saluran nafas diatasi dengan pengangkatan segera secara endoskopik dalam kondisi yang paling aman dan dengan trauma yang minimum. Benda asing yang berada dalam hidung dapat dilakukan pengangkatan dengan menggunakan pengait (haak) yang dimasukkan kedalam bagian hidung bagian atas, menyusuri atap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring.Setelah itu pengait diturunkan sedikit dan ditarik
kedepan. Dengan cara ini benda asing itu akan terbawa keluar. Cara lain yang dapat digunakan dengan alat cunam Nortman atau wire loop.14 4) Rinitis Atrofi (Ozaena) Rinitis atrofi didefinisikan sebagai penyakit infeksi pada hidung yang kronik. Penyakit ini ditandai dengan adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka serta terdapat adanya pembentukan krusta. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mongering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.15 Etiologi Penyebab rinitis atrofi belum dapat diketahui sampai sekarang. Adapun beberapa keadaan yang menjadi faktor predisposisi yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis atrofi yaitu :15
Infeksi setempat atau kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella ozaena. Kuman spesifik lainnya antara lain Stafilokokkus,
Streptokokus, Pseudomonas dan Kokobasil. Defisiensi Fe dan vitamin A Infeksi sekunder seperti sinusitis kronis Kelainan hormon Penyakit kolagen termasuk penyakit autoimun
Penatalaksanaan Penatalaksanaan rinitis atrofi lebih ditujukan dalam mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan rinitis atrofi bersifat konservatif yaitu diberikan antibiotik bersprektrum luas yang sesuai dengan uji resistensi kuman yang dikultur. Pemberian antibiotik dianjurkan harus adekuat dan lama pemberian bervariasi tergantung dari hilangnya tanda klinis berupa sekret yang kehijauan.15 Selain itu untuk membantu dalam menghilangkan bau busuk yang dihasilkan dari proses infeksinya, dapat diberikan obat cuci hidung yang sering diberikan yaitu larutan garam hipertonik. Larutan ini dimasukkan kedalam rongga hidungdan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan sekuat-kuatnya atau yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut. Pencucian ini dilakukan dua kali dalam sehari. Jika dengan menggunakan pengobatan konservatif tidak memberikan perbaikan, maka dilanjutkan dengan melakukan pengobatan operatif. Teknik
operasi yang akan dilakukan dengan menutup lubang hidung atau penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal. Tindakan ini diharapkan dapat mengurangi turbulensi udara dan pengeringan sekret serta inflamasi dari mukosa juga berkurang.15 Akhir-akhir ini dilakukan bedah endoskopik fungsional (BSEF) untuk mengatasi rinitis atrofi. Dilakukannya pengangkatan sekat-sekat tulang yang mengalami osteomyelitis dengan harapan infeksi tereradikasi, fungsi ventilasi dan drainase sinus kembali menjadi normal.15 5) Rinitis Hipertrofi Etiologi Rinitis hipertrofi terjadi dikarenakan adanya proses inflamasi yang disebabkan oleh infeksi berulang dalam hidung dan sinus, kelanjutan dari rinitis alergi dan rinitis vasomotor serta akibat paparan bahan iritan kimiawi dan udara kotor.15 Penatalaksanaan Pada penatalaksanaan rinitis hipertrofi ditujukan untuk mengatasi faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya rinitis hipertrofi. Terapi simtomatis hanya dapat meredakan sumbatan hidung akibat terjadinya hipertrofi konka, antara lain dapat menggunakan nitras argenti atau dengan kauter listrik . Bila tidak ada perbaikan dapat dilakukan dengan luksasi konka, frakturisasi konka multipel, konkoplasti ataupun konkotomi parsial.15 6) Rinitis Tuberkulosa Etiologi Rinitis tuberkulosa merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner. Penyakit ini meningkat seiring dengan meningkatnya kasus tuberculosis. Penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis ini berbentuk noduler atau ulkus pada hidung dan dapat mengenai tulang rawan septum bahkan dapat menyebabkan perforasi septum.15 Penatalaksanaan Penatalaksanaan rinitis tuberkulosa seiiring dengan etiologinya yaitu melakukan pengobatan antituberkulosis dan diberikan obat cuci hidung untuk menghilangkan sekret dan bau yang berada pada hidung.15
7) Rinitis Jamur Etiologi Rinitis akibat jamur dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat invasive atau non invasif. Rinitis jamur non invasif dapat menyerupai rinolith dengan inflamasi mukosa yang lebih berat, sedangkan rinitis jamur tipe invasive ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propria. Adapun jamur penyebab rinitis jamur yaitu Aspergillus, Candida, Histoplasma, Fussarium dan Mucor. Aspergilosis merupakan infeksi jamur paling sering yang menyebabkan rinitis kronik spesifik dengan koloni jamur yang terdapat dalam sinus paranasal.15 Penatalaksanaan Penatalaksanaan rinitis jamur non invasif dapat dilakukan dengan mengangkat bola jamur (fungus ball). Pemberian obat anti jamur untuk non invasif tidak begitu diperlukan, sedangkan untuk pengobatan rinitis jamur invasif dapat diberikan anti jamur
oral dan topikal yang bertujuan untuk
mengeradikasi agen penyebabnya. Obat cuci hidung dapat diberikan untuk pembersihan hidung dari krusta-krusta yang lengket. Khusus untuk rinitis jamur invasif
perlu
dilakukannya
tindakan
debridement
sebelumnya
untuk
mengangkat seluruh jaringan yang nekrotik dan tidak sehat sehingga tidak akan terjadi proses destruksi tulang yang lebih lanjut.15 d. Bercampur Darah Neoplasma Sinonasal Etiologi Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor sinonasal antara lain : 1. Penggunaan tembakau Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok, cerutu, rokok pipa, mengunyah tembakau, menghirup tembakau) adalah faktor resiko terbesar penyebab kanker pada kepala dan leher. 2. Alkohol Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin merupakan faktor resiko kanker kepala dan leher.
3. Inhalan spesifik Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja, mungkin dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal, termasuk diantaranya adalah : a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit sintetis, dan tepung. b. Debu logam berat : kromium, asbes c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium d. Uap pelarut yang digunakan dalam memproduksi furniture dan sepatu. 4. Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV 5. Virus : Virus HPV, Virus Epstein-barr 6. Usia Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45 tahun hingga 85 tahun. 7. Jenis Kelamin Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kali lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita DAFTAR PUSTAKA 1. Kamus Kedokteran Dorland.EGC.edisi ke 31. 2010:1991 2. Adam, Boies, Higler. Rinitis vasomotorik. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.Jakarta: EGC. 1997:218-19 3. Patricia W, Wheeler MD, Stephen F. Vasomotor rhinitis. Kentucky : American Academy of Family Physicians Publishing. 2005. 4. Irawati N, Poerbonegoro NL, Kasakeyan E. Rinitis vasomotor. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2007:135-37 5. Druce HM. Allergic and nonallergic rhinitis. Dalam : Middleton E jr, Ellis EF, Yunginger JW, Reed CE, Adkinson NF, Busse WW,edisi Allergy principles and practices.Edisi ke 5. St.Louis:Mosby.1998:1005-16 6. Garay G. Mechanism of vasomotor rhinitis.France:Journal of Allergy.2004:4-10 7. Downtown D, Blau JN. Vasomotor rhinitis in a synopsis of otolaryngology. Edisi ke4. Bristol:Wright.1985:230-31. 8. Dolovich J, Kennedy L, Vickerson F, Kazim F. Control of the hypersecretion of vasomotor rhinitis by topical ipratropium bromide. J Allergy Clin Immunol.1987;2748.
9. Ellen A, Jaatun, Claude L. Radio-wave therapy of inferior turbinates for treatment of intractable vasomotor rhinitis-a clinical study of the subjective long term outcome. Clinical Medicine and Diagnostics. Norway.2012;1-5. 10. Endang M,Damajanti S. Sinusitis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2007: 150-4 11. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. European Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinol Suppl.2012 Mar(23):1-298. 12. Paul C, Potter MD, Ruby P. Indication, efficacy and safety of intranasal corticosteroids in rhinosinusitis. WAO Journal.Tokyo.2012:14-17. 13. Dewey C, Sched MD, Robert M. Acute bacterial rhinosinusitis in adults: part II.treatment. American Academy Family Physician.Oklahoma.2004:1711-12. 14. Junizaf MH. Benda asing di saluran nafas. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2007: 259-265 15. Wardani RS, Mangunkusumo E. Rinorea, infeksi hidung dan sinus. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2007:139-143.