Efek Pemberian Kombinasi Ekstrak Akar Kucing dan Pegagan pada Berbagai Dosis Terhadap Neurogenesis di Girus Dentatus Internus Tikus Sprague Dawley Pascahipoksia Setyo Budi Premiaji Widodo Pembimbing: dr. Siti Farida, Mkes
Abstrak Introduksi: Perkembangan penyakit menunjukkan adanya tren peningkatan penyakit tidak menular yang didominasi oleh penyakit kardiovaskular. Salah satu manifestasinya adalah pada kelainan neurovaskular. Penelitian untuk terapi penyakit ini terus dikembangkan, termasuk salah satunya terapi menggunakan obat herbal. Dua jenis tanaman yang dipercaya memiliki efek terapi adalah akar kucing dan pegagan. Metode: Penelitian dilakukan dalam bentuk eksperimen dengan tujuan mendapatkan data terkontrol dari efek pemberian kombinasi akar kucing dan pegagan, obat citicoline, dan aquades pada 5 kelompok tikus yang sebelumnya dikondisikan hipoksia dalam udara 10% O2 dan 90% N2 selama satu minggu. Data diambil dengan melakukan hitung sel piknotik, terkondensasi dan sel normal pada girus dentatus otak tikus. Hasil: Dari 5 ke tikus yang diamati selnya, jumlah rata-rata sel terbanyak muncul pada kelompok terapi dengan citicoline. Jumlah rata-rata terendah muncul pada kelompok terapi dengan akuades. Pemberian kombinasi akar kucing dan pegagan tidak menunjukkan adanya urutan sesuai dosis. Pada analisis dengan uji One-Way Annova, didapatkan bahwa hasil tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,878). Diskusi dan Kesimpulan: Walaupun secara statistik tidak ditemukan perbedaan bermakna dari masing-masing kategori, pada pengamatan langsung sel dapat diamati adanya peningkatan jumlah sel normal pada pemberian terapi dengan kombinasi ekstrak akar kucing dan pegagan. Pengobatan dengan terapi herbal di Indonesia memiliki potensi besar untuk dikembangkan, peneliti berharap dapat dilakukan studi lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara pemberian ekstrak dengan efek neuroterapinya. Kata kunci: citicoline, piracetam, dentatus internus, hipoksia
Acalypha indica Linn, Centella asiatica, girus
Abstract Introduction: Recent diseases trend shows increasing number of incommunicable disease particularly in cardiovascular diseases (CVD). One of the disease caused by
Efek pemberian…, Setyo Budi Premiaji Widodo, FK UI, 2011
CVD is neurovascular. Research for treatment of this disease still on progress, including research in herbal medicine. Two of herbal medicine that has being used for years are akar kucing and pegagan. Method: Experimental, in purpose to obtain controlled data of treatment with akar kucing with pegagan, citicoline, and aquades from 5 group of mouse that has been hypoxiated. Data taken after treatment are the normal cells of mouse (Sprague dawley.) brain in gyri of dentata. Result: From 32 mouse that observed, mean number of highest normal cells are found in mouse with citicoline treatment. And the lowest mean of normal cell are found in mouse with aquades treatment. Treatment with combination of akar kucing and pegagan did not correlated with order of dose. And statistic analysis with oneway annova shows the differences are not significant (p>0,878). Discussion and Conclusion: Although statistically insignifficant, in direct observation the difference can be seen. In mouse with akar kucing and pegagan treatment, number of normal cells was increased. This may be resulted from anatomycal factor, duration of treatment, and method of observation. Further research still needed for understanding the effect of treatment with neurotheraphy effect. Keywords: citicoline, internus, hypoxia
Acalypha indica Linn, Centella asiatica, gyrus dentatus
Pendahuluan Pada dekade ini, laporan kesehatan secara umum menunjukkan terjadinya peningkatan angka kematian yang disebabkan oleh non communicable disease. Hal ini dinyatakan oleh WHO dalam laporannya di tahun 2008, dimana dari 57 juta total kematian di seluruh dunia, 36 juta (63%) disebabkan oleh NCD. Lebih lanjut lagi, 80% dari kematian yang disebabkan NCD tersebut terjadi pada negara berpendapatan sedang hingga rendah dimana Indonesia termasuk di dalamnya. Proyeksi dari WHO menyatakan, pada satu dekade kedepan, akan terjadi peningkatan penyakit karena NCD sebesar 15% dan peningkatan tertinggi akan terjadi di daerah afrika, timur-tengah, dan asia tenggara, dimana peningkatannya dapat mencapai 20%.1 Di Indonesia sendiri, kematian yang disebabkan oleh NCD berperan dalam 64% kematian, dengan proporsi penyakit kardiovaskuler mencakup 30% dari total kematian. Hal ini cukup menarik perhatian, terlebih setelah diketahui bahwa 30% dari kematian tersebut terjadi pada usia 60 tahun kebawah, dimana mereka masih dalam usia produktif.2
Efek pemberian…, Setyo Budi Premiaji Widodo, FK UI, 2011
Penyakit kardiovaskuler umumnya menyebabkan gangguan sirkulasi darah. Beberapa organ vital seperti otak, membutuhkan asupan oksigen yang kontinyu dan adekuat. Ketika terjadi serangan akut penyakit kardiovaskular, otak memiliki risiko besar untuk mengalami kerusakan karena iskemi, dan dapat berujung pada kematian. Sebelumnya, diyakini bahwa kerusakan otak karena iskemi tidak dapat diperbaiki karena sifat selnya yang stabil. Namun kini telah diketahui terdapat neurogenesis di otak. Beberapa obat telah diindikasikan dalam stroke iskemik, seperti piracetam dan citicoline. Kedua obat tersebut memiliki fungsi neuroprotektif dan stimulasi otak yang membantu terjadinya neurogenesis. Citicoline dikenal sebagai obat neuroprotektif sejak 1978. Obat ini memiliki bentuk esensial sitidin 5-difosfocoline. Obat ini adalah obat pilihan untuk stroke dengan keamanan dan khasiat yang telah terbukti.3 Masalah yang masih ada terkait pengobatan dengan citicoline terletak pada sisi ekonomi. Dengan harga satuan tablet 500mg sekitar dua ratus ribu rupiah, pasien
dengan
status
ekonomi
mengengah
ke
bawah
kesulitan
untuk
menjangkaunya. Atas dasar hal ini diperlukan upaya menara alternatif pengobatan yang terjangkau dan efektif untuk semua kalangan. Dalam perkembangannya, beberapa tanaman obat tradisional dipercaya juga memiliki efek serupa dalam terapi iskemi otak karena stroke. Beberapa diantaranya yang telah diteliti adalah tanaman akar kucing (Acalypha indica.) dan pegagan (Centella asciatica.). Keduanya diyakini memiliki efek neuroterapi sehingga digunakan untuk meningkatkan regenerasi. Pada studi terdahulu, ekstrak herbal 25 mg Acalypha indica L. yang dikenal dengan akar kucing menunjukkan efek neuroterapi dan neuroproteksi pada neuromuscular junction katak secara ex vivo.5 Selain Acalypha indica L., ada pula herbal lain yang selama ribuan tahun telah digunakan di India, Cina, dan Indonesia dalam pengobatan tradisional. Tanaman herbal ini adalah Centella asiatica atau pegagan. Tanaman ini digunakan untuk merevitalisasi saraf dan sel-sel otak.6 Berdasarkan kedua efek neuroterapi dan neuroprotektif tersebut, diyakini keduanya
dapat
memberikan
efek
neurogenesis
apabila
diberikan
secara
bersamaan. Sebagai pembanding, akan digunakan pemberian citicoline. Dan
Efek pemberian…, Setyo Budi Premiaji Widodo, FK UI, 2011
sebagai indikator terjadinya regenerasi dapat dilakukan penghitungan jumlah sel normal pada hewan uji. Hingga saat ini belum terdapat laporan penelitian yang mencari tahu efek terapi kombinasi kedua herbal tersebut. Sesuai dengan tahapan pengujian obat, maka diperlukan uji efektifitas neurogenesisnya. Hal inilah yang mendasari penelitian untuk mengetahui efek kombinasi ekstrak pegagan dan akar kucing pada hewan tikus. Metode Penelitian Penelitian dilakukan sejak Oktober 2010 hingga Agustus 2011. Penelitian dilakukan pada Departemen Ilmu Farmasi Kedokteran, Laboratorium Departemen Biokimia dan Animal House Departemen Patologi Anatomi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan studi eksperimental dengan menggunakan hewan uji. Penelitian dilakukan dengan membuat ekstrak dari akar kucing terlebih dahulu. Pengerjaan ekstrak dilakukan pada laboratorium Departemen Farmasi. Hasil ekstrak yang telah siap disimpan pada lemari pendingin. Setelah ekstrak dan bahan yang akan diberikan pada hewan uji siap, dilakukan persiapan pada hewan uji. Hewan uji yang akan diberi perlakuan dikondisikan hipoksia kemudian diberi perlakuan selama satu minggu. Pada hari kedelapan, otak dari tikus diambil dan dibuat sediaan girus dentatusnya. Dari preparat patologi anatomi tersebut dilakukan penghitungan jumlah sel normal guna dibandingkan antar terapi yang diberikan. Pembuatan ekstrak akar kucing. Tanaman akar kucing diambil akarnya, dibersihkan, lalu dikeringkan dengan menggunakan pemanas. Akar dipotong kecil, diblender, dan ditimbang seberat 240gr per bagian. Setiap satu bagian akar kucing tersebut direbus dengan perbandingan 1:9 menggunakan akuades (2160cc). Dalam suhu 95oC selama 30 menit. Hasil rebusan tersebut didinginkan, disaring, dan kemudian diuapkan dengan rotavapor dalam suhu 60oC sampai didapat endapan kental ekstrak Acalypha indica L. Hasil endapan kemudian disimpan dalam lemari pendingin hingga tikus uji siap diberi perlakuan. Hewan uji dan pemberian perlakuan. Setiap satu minggu dipersiapkan tikus-tikus guna perlakuan. Pada eksperimen ini dilakukan lima perlakuan. Perlakuan dibagi
Efek pemberian…, Setyo Budi Premiaji Widodo, FK UI, 2011
dalam lima kelompok. Kelompok pertama merupakan kontrol negatif dan mendapatkan terapi 2ml aquades setiap harinya. Kelompok kedua mendapat citicoline. Kelompok 3 mendapat terapi kombinasi ekstrak Acalypha India dengan dosis 150mg/KgBB dan Pegagan dengan dosis 150mg/KgBB. Kelompok 4 mendapat kombinasi ekstrak Acalypha indica 200 mg/KgBB dan pegagan 150 mg/KgBB. Kelompok 5 mendapat kombinasi ekstrak Acalypha indica 250 mg/KgBB dan pegagan 150 mg/KgBB. Karena terdapat lima kelompok perlakuan, maka diperlukan minimal lima ekor tikus pada tiap perlakuan. Lima kelompok perlakuan tersebut dikerjakan dalam lima rombongan pengujian. Setiap rombongan uji terdiri dari 5 jenis perlakuan. Setiap rombongan dikondisikan hipoksia terlebih dahulu dengan ditempatkan dalam kandang berisikan 90% Nitrogen dan 10% Oksigen. Setelah mendapat perlakuan hipoksia, tikus diberikan terapi sesuai kelompoknya selama tujuh hari. Pada hari kedelapan, tikus dianestesi dan diambil otaknya untuk dibuat sediaan girus gentatusnya. Pengamatan sediaan girus dentatus. Sediaan girus dentatus diamati dibawah mikroskop
cahaya
dengan
perbesaran
40x10
Masing-masing
sel
tersebut
dikelompokkan sesuai dengan kriteria yang ditentukan di awal penelitian. Pada penelitian ini dihitung jumlah sel normalnya. Sel yang dianggap normal memiliki sitoplasma jernih dengan inti terlihat jelas ditengah. Pada penelitian ini dihitung 300 sel untuk masing-masing sediaan. Pengolahan Data. Data sel sesuai kategori pemeriksaan dicatat dalam komputer kemudian dianalisis menggunakan SPSS for Windows versi 15. Sebelumnya data diuji normalitasnya dengan Shapiro-Wilk. Apabila data yang diperoleh terdistribusi normal (p>0,05), data dapat dianalisis menggunakan One Way Anova. Uji One Way Anova diperlukan guna melihat hubungan data yang diperoleh. Jika terdapat hubungan pada data, dapat dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Apabila melalui analisis data diketahui data yang didapat tidak terdistribusi normal, sebelum diolah dapat dilakukan dilakukan transform data. Dan jika hasil analisis menggunakan uji One Way Anova menunjukkan nilai p > 0,05 maka
Efek pemberian…, Setyo Budi Premiaji Widodo, FK UI, 2011
variabel bebas yang diolah tidak memiliki hubungan bermakna dengan variabel terkait.
Hasil Penelitian Persiapan Ekstrak. Penelitian dimulai dengan pembuatan ekstrak yang dikerjakan selama tiga bulan. Ekstrak dibuat dengan bahan dasar akar dari Acalypha indica .Linn melalui proses solvent. Ekstrak diambil dengan menggunakan pengenceran dan perebusan rajangan akar Axalypha indica Linn yang kemudian dirotavapor untuk mengentalkannya. Dalam proses ekstraksi, diperoleh 43,6 gram ekstrak. Ekstrak disimpan dalam lemari pendingin dengan wadah tabung erlenmeyer dan ditutup dengan alumunium foil untuk menjaganya dari kontaminan. Persiapan Hewan Coba. Pada penelitian ini digunakan hewan coba tikus putih dengan galur Sprague dawley. Sebanyak 7-8 tikus dalam satu kelompok akan ditempatkan dalam keadaan hipoksia selama satu minggu di Laboratorium Biokimia dengan perbandingan kadar udara nitrogen dan oksigen 9:1. Sebelum dan setelah menjalani pengkondisian, tikus-tikus tersebut ditimbang terlebih dahulu Dari perubahan berat badan yang tampak pada data tersebut peneliti mengamati adanya penurunan berat badan. Berat badan tikus menurun karena adanya penurunan asupan makanan dan perubahan metabolik selama hipoksia. Selama hipoksia, aktivitas dari tikus juga menurun dan menyebabkan atrofi otot jangka pendek Sebelum tikus diberi perlakuan, kondisi hipoksia tikus pada tiap grup diperiksa dengan memilih salah satu tikus secara acak. Pengecekan dilakukan pada Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM. Analisa gas darah menunjukkan semua kelompok telah mengalami hipoksia. Berdasarkan kondisi tikus sebelum pemberian perlakuan, peneliti menyimpulkan tikus sudah dalam kondisi hipoksia sehingga siap untuk diberikan perlakuan .
Efek pemberian…, Setyo Budi Premiaji Widodo, FK UI, 2011
Pemberian Perlakuan. Sesuai dengan jenis perlakuan, masing-masing tikus diberi perlakuan sesuai kelompoknya. Peneliti berharap dengan adanya variasi dosis dapat dibuktikan hubungan bermakna antara masing-masing dosis dengan hasil pengamatan sel di girus dentatus otak. Setelah satu kelompok tikus menjalani perlakuan selama tujuh hari, masing-masing otak dari tikus diambil dan dibuat sediaan mikroskopisnya. Sediaan dibuat dengan pewarnaan hematosilin-eosin agar dapat diamati perubahan sel yang terjadi. Pengamatan sel. Sel dihitung dengan menggunakan mikroskop cahaya dan dihitung dengan penghitung sel. Pada sediaan tikus tersebut dihitung 300 sel pada tiap slidenya dengan kategori sel normal, piknotik, dan kondensasi. Penghitungan dari satu slide dilakukan oleh sedikitnya dua orang mahasiswa untuk mencegah kesalahan penghitungan. Tabel 1. Rata-rata jumlah sel normal berdasarkan perlakuan Jenis Perlakuan
Jumlah rata-rata sel normal
Aquades
9,5
Citicoline
14
150mg akar kucing dan 150mg pegagan (dosis 1) 200mg akar kucing dan 150mg pegagan (dosis 2) 250mg akar kucing dan 150mg pegagan (dosis 3)
13 10,4 11
Dari hasil penghitungan dapat dibuat tabel 1 yang menunjukkan rata-rata jumlah sel normal pada masing-masing perlakuan. Pada tabel tersebut dapat diamati bahwa jumlah rerata sel normal terbanyak berada pada pemberian perlakuan citicoline. Sedangkan jumlah sel normal terendah ditemukan pada pemberian perlakuan pemberian akuades. Disini peneliti menyimpulkan adanya perbedaan jumlah antara sel normal pada dua control yang diamati dengan perhitungan rerata jumlah sel.
Efek pemberian…, Setyo Budi Premiaji Widodo, FK UI, 2011
Untuk hasil perlakuan dengan kombinasi ekstrak pegagan dan akar kucing, hasil penghitungan tidak menunjukkan adanya pola urutan sesuai dosis. Hasil pengamatan menunjukkan jumlah sel normal terbanyak secara berurutan yaitu perlakuan dosis 1. Perlakuan dosis 3 dan perlakuan dosis 2. Dari perbedaan jumlah sel pada masing-masing kelompok, dapat dilihat adanya perbedaan. Untuk menguji kebermaknaan dari perbedaan tersebut, peneliti menggunakan uji statistik Uji Statistik. Hasil penghitungan masing-masing sel kemudian diolah dengan SPSS for Windows version 15 untuk mengetahui kebermaknaannya secara statistik. Sebelum diuji, dilakukan tes normalitas pada data yang ada. Hasil uji normalitas dengan menggunakan Saphiro-Wilk menunjukkan rentang distribusi data normal dengan hasil >0,05. Tabel 2. Uji normalitas data masing-masing perlakuan Jenis Perlakuan
Nilai p
Aquades
0,623
Citicoline
0,950
150mg akar kucing dan 150mg pegagan (dosis 1) 200mg akar kucing dan 150mg pegagan (dosis 2) 250mg akar kucing dan 150mg pegagan (dosis 3)
0,137 0,665 0,850
Selanjutnya dilakukan uji korelasi dengan menggunakan One Way Annova. Dari hasil analisa didapatkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna data tersebut, karena memiliki nilai p= 0,878 dimana p> 0,05 yang menunjukkan hubungan antara variable tersebut normal. Dari hasil uji statistik, peneliti menyimpulkan tidak ditemukan perbedaan bermakna pada uji statistik dengan One-Way Annova. Diskusi
Efek pemberian…, Setyo Budi Premiaji Widodo, FK UI, 2011
Dari pengujian secara analitik oleh peneliti, dapat terlihat adanya perbedaan dari pemberian kombinasi ekstrak akar kucing dan pegagan. Namun hal tersebut tidak dapat dianggap sebagai perbedaan yang berbeda bermakna oleh uji statistik. Dari
hal
tersebut,
peneliti
mengajukan
beberapa
hal
yang
mungkin
menyebabkan terjadinya hal tersebut: 1. Terlalu kecilnya rentang dosis yang diberikan. Hal ini berhubungan dengan kecilnya perbedaan antara sel normal, sehingga perbedaan antara jumlah sel normalnya tidak mencapai batas normal dalam uji statistik. 2. Lokasi penghitungan sel normal. Dalam penelitian yang dilakukan pada girus dentatus ekternus tikus, ditemukan perbedaan jumlah sel normal yang bermakna, baik secara analitik dan statistik. Berdasarkan struktur anatominya, girus dentatus eksternus lebih berdekatan dengan ventrikel lateral dari otak tikus. Hal ini berkaitan dengan distribusi dari senyawa yang diberikan pada masing-masing perlakuan. Dengan lokasi yang lebih jauh, manifestasi yang ada menjadi lebih sulit diamati. 3. Durasi terapi yang terlalu sebentar. Pemberian terapi dalam penelitian ini dilakukan selama satu minggu, dimana merupakan waktu minimal bagi citicoline dalam memberikan efek terapinya. Peneliti berasumsi bahwa terdapat kemungkinan terapi yang menggunakan kombinasi dosis kedua herbal tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama sebelum dapat memberikan efek yang dapat dibuktikan secara statistik. Jenis data yang dievaluasi kurang tepat. Penghitungan jumlah sel normal sebagai indikator neurogenesis merupakan salah satu metode termudah yang dapat dilakukan. Sayangnya metode ini juga memiliki kekurangan dimana subjektivitas dari peneliti berpengaruh. Melalui data-data lain seperti konsumsi oksigen pasca terapi atau pengamatan menggunakan mikroskop yang lebih baik dapat dievaluasi parameter lain yang lebih objektif. Kesimpulan Berdasarkan analisis dengan menggunakan One Way Anova, pemberian ekstrak akar kucing dan pegagan pada berbagai dosis tidak memiliki efek yang berbeda bermakna (p=0,878) terhadap jumlah sel normal yang mendapatkan pemberian citicoline maupun aquades.
Efek pemberian…, Setyo Budi Premiaji Widodo, FK UI, 2011
Daftar Rujukan 1. Frosch MP, Anthony DC, De Girolami U. The central nervous system. Dalam: Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Edisi ke-8. USA: Sauders; 2010. p. 1290-1291. 2. WHO. The World Health Report: Reducing Risks, Promoting Healthy Life. 2002. p. 57-63. 3. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. Laporan riset kesehatan dasar nasional. 2007. Diunduh dari http://kesehatan.kebumenkab.go.id/data/lapriskesdas.pdf 4. Blanchard K. High cost of stroke medication putting patients at risk. Diakses di http://www.emaxhealth.com/1020/high-cost-stroke-medication-puttingpatients-risk 5. Conant R, Schauss AG. Therapeutic applications of citicoline for stroke and cognitive dysfunction in the elderly: a review of the literature. Altern Med Rev. 2004;9(1):17-31. 6. Secades JJ, Lorenzo JL. Citicoline: pharmacological and clinical review, 2006 update. Methods Find Exp Clin Pharmacol. 2006;28 Suppl B:1-56.
Efek pemberian…, Setyo Budi Premiaji Widodo, FK UI, 2011