Danang Setyo Budi Baskoro, M.Psi
1. 2.
3.
4.
Menerima rasa sakit karena kehilangan Ekspresi yang terbuka mengenai rasa kehilangan, kesedihan, permusuhan dan rasa bersalah Memahami perasaan yang di alami berhubungan dengan kehilangan. Catatan : takut gila adalah proses normal. Jika ekspresi terlihat, maka hal ini akan berangsur-angsur menurun Memulai kembali aktivitas normal dan hubungan pertemanan tanpa seorang yang telah tiada.
Catatan : yang perlu kita perhatikan adalah anak-anak. Mereka sering di abaikan krn org tua sibuk dg kesedihannya.
1. 2. 3.
4.
5.
6. 7.
Aktif mendengarkan dan penuh perhatian Meningkatkan ekspresi terbuka Membantu klien mengerti mengenai krisisnya Bantu klien menerima kenyataan secara gradual (bertahap) Membantu klien mengeksplorasi cara baru untuk melakukan coping terhadap masalahnya Menjalin hubungan sosial Menguatkan cara baru dalam melakukan coping, evaluasi hasil dan follow-up
Dalam konseling krisis ini menjadi cukup penting Membuat klien merasa dipahami Selain itu untuk menangkap dari inti permasalahan Ex : “emm..yaya..lanjutkan…”
Ekspresi terbuka adalah tanda bahwa kesedihan menjadi wajar dan secara alami akan menurun Ekspresi tertutup mungkin dipengaruhi oleh, pola asuh saat kecil serta budaya Tekniknya : “ jika ini terjadi padaku, aku pikir
aku akan sangat marah”.
Jika terjadi kecemasan yang berlebihan, maka bisa diajari relaksasi
Klien mungkin berkata “mengapa semua ini terjadi padaku?” Persepsi mengenai traumatic event terjadi karena ia menghakimi dirinya Konselor dapat membantu klien mengenali berbagai macam faktor yang berkontribusi kepada situasi krisis, sehingga dapat mengurangi penyalahan dirinya.
Respon klien : menyalahkan dirinya, atau menyalahkan masalah ataupun orang lain Klien yg menganggap dirinya menjadi korban dapat dibantu untuk menghindari itu Klien yg menyalahkan orang lain : terkadang kita juga harus menyetujuinya, jika pendapat tersebut masuk akal. Ex : korban pemerkosaan, penganiyayaan.
Bisa melakukan brainstroming, atau menggali cara yang dulu pernah dilakukan tapi gagal. Atau cara yang berhasil. Problem solving merupakan tulang punggung dari konseling krisis. Konselor dan klien mencoba menetapkan problem utama yang menyebabkan krisis, kemudian membantu klien merencanakan dan mengimplementasikan cara-cara tersebut.
Intervensi krisis meliputi pemberian dukungan. Awalnya, mungkin kita sebagai konselor adalah satu-satunya orang yang memberikan dukungan itu. Namun klien perlu diajak untuk mengembangkan jaringan dukungan dari orang lain juga misalnya: sahabat, orang tua dan sebagainya.
Cara baru yang sudah dilakukan perlu untuk mendapat penguatan, evaluasi dan peneguhan. Konselor dapat meninjau sejauhmana efektifitas konseling
1. 2. 3. 4.
5. 6.
7. 8.
Adanya keterlibatan dari klien dan significant other Berorientasi masalah (problem oriented) Disesuaikan dengan level keberfungsian Menyesuaikan dengan budaya dan life style Kasus jika significant other sbg penyebab krisis Realistis, segera dan kongkrit Dinamis dan bisa berubah Follow up
Brainstrorming alternatif-alternatif pemecahan masalah yang mungkin Menolong klien mempertimbangkan konsekuensi dari alternatifalternatif yang ada, baik sisi positif maupun sisi negatif. Biarkan klien yang melakukan terlebih dahulu, baru konselor. Menolong klien untuk menetapkan tindakan. Konselor perlu mendorong bahkan mungkin mendesak klien untuk menetapkan tindakan. Minta komitmen dari klien atas keputusan/pilihan tindakan yang diambilnya misalnya: mulai kapan dan bagaimana dia akan melakukannya. Membantu klien menghadapi perasaan “sakit”. Lakukan secara gradual, yang membuat klien merasa aman dan nyaman dalam menghadapi kenyataan sepenuhnya. Konselor perlu menanamkan kepercayaan diri dan perasaan bernilai/harga diri klien bahwa dirinya mampu menghadapi persoalannya. Hindari klien bergantung pada konselor; tumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap dirinya sendiri.