Judul
: Stres dan Coping Remaja yang mengalami perceraian pada Orangtua
Nama/ NPM : Rahmayati / 10502199 Pembimbing : Ira Puspitawati, SPsi, MPsi
ABSTRAK Suatu perceraian memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan kelangsungan hidup pasangan suami istri terlebih anak-anak, apalagi jika si anak tersebut sedang mengalami masa peralihan dalam perkembangan fisik maupun sosial psikologis atau yang lebih dikenal dengan masa remaja, karena seperti diketahui kebutuhan anak remaja pada saat itu terhadap peran orang tua sangat diharapkan lebih dari sebelumnya. Berdasakan beberapa definsi dari beberapa tokoh, stres merupakan suatu kondisi yang disebabkan ketidaksesuaian yang nyata atau tidak nyata antara tuntutan- tuntutan terhadap situasi tertentu dan stres itu akan muncul jika tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang. Adapun ketika remaja tersebut dihadapkan pada kondisi stres, maka mereka akan berusaha mencoba untuk mengurangi bahkan menghilangkan perasaan stres yang dialaminya itu dengan melakukan berbagai macam cara dalam istilah psikologi disebut strategi coping. Istilah coping disini adalah segala usaha atau proses yang dilakukan oleh seseorang untuk menguasai perasaan stres yang dialaminya dengan cara mengolah adanya tuntutantuntutan atau mengurangi dan bertoleransi dengan tuntutan-tuntutan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui informasi tentang bagaimana gambaran stres dan coping stres pada remaja dalam menyikapi perceraian orang tua, faktor mengapa remaja tersebut memiliki stres dan melakukan coping yang demikian serta bagaimana proses perkembangan stres dan coping stres remaja Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan study kasus dengan subjek penelitian seorang remaja yang mengalami perceraian pada orangtua. Subjek berumur 17 tahun dengan lama perceraian orangtua yakni ± 1 tahun (8 bulan). Hasil penelitian menunjukan bahwa subjek remaja yang orangtuanya bercerai tersebut mengalami stres akibat perceraian orangtua, itu dapat dilihat dari sebagian besar gejala stres yang ditimbulkannya, dan dari hasil penelitian dalam menghadapi permasalahannya subjek lebih condong menggunakan strategi coping yang lebih memfokuskan pada masalah emosi subjek yakni Emotion focused coping. Faktor yang mempengaruhi stres subjek itu dipengaruhi karena adanya kehadiran stressor lain dan karakteristik subjek, untuk faktor yang mempengaruhi strategi coping subjek dipengaruhi karena keyakinan/ pandangan positif, keterampilan sosial, dan dukungan sosial. Proses perkembangan stres dan coping subjek dilalui dalam 2 tahapan yakni respon terhadap kondisi stres yang muncul akibat perceraian orangtua dan proses adaptasi yang dilakukan subjek untuk meminimalisir terhadap kondisi stres yang muncul. Kata kunci: Stres, Coping Stres, Perceraian Orangtua
I. Pendahuluan A. Latar Belakang Dalam kehidupan ini adalah dua pengalaman yang amat menyedihkan dan paling menekan perasaan (stressful) dalam kehidupan berkeluarga yaitu kematian dan perceraian, ditambah lagi jika pasangan yang bercerai mempunyai anak, maka keadaan akan menjadi bertambah rumit (Mu`tadin, 2002). Menurut Holmes dan Rahe (dalam Taylor, 1999), perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup. Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) (dalam Redaksi tv7 Peristiwa Episode 88. 2005) menyebutkan bahwa persentase angka perceraian terhadap perkawinan cenderung meningkat, dari sekitar 7% pada tahun 1998/1999 menjadi 9% pada tahun 1999/2000 dan 8 % pada tahun 2001. Perceraian dalam keluarga manapun merupakan peralihan besar dan penyesuaian utama bagi anak. Anak akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena kehilangan satu orang tua. Bagaimana anak bereaksi terhadap perceraian orang tua berperilaku sebelum, selama, dan sesudah perpisahan. Anak akan membutuhkan dukungan, kepekaan dan kasih sayang yang lebih besar untuk membantunya mengatasi kehilangan yang dialaminya selama masa sulit ini (Cole, 2005). Pada umumnya, para orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik. Perceraian mungkin adalah salah satu keputusan yang sangat berat dan menyakitkan bagi kedua belah pihak,
seperti orang tua yang mengalami kesedihan yang dalam karena perceraian, anak juga memiliki perasaan sedih, marah, penyangkalan, takut, bersalah yang sama dan mungkin reaksi lain yang akan timbul akibat perceraian tersebut seperti adanya rasa luka, rasa kehilangan, dan terlebih lagi mereka mungkin akan menunjukan kesulitan penyesuaian diri dalam bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar, atau penarikan diri dari lingkungan sosial. dan perasaan-perasaan tersebut dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku seperti suka mengamuk, menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya, menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga prestasi di sekolah cenderung menurun, suka melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu kembali. (Mu`tadin, 2002). Mungkin hanya sedikit anak yang berhasil dalam proses adaptasi untuk menerima kenyataan yang ada, mereka tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan kehidupannya ke masa perkembangan selanjutnya, tetapi bagi anak yang gagal beradaptasi, maka ia akan membawa hingga dewasa perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak dicintai. Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak tersebut, setelah dewasa menjadi takut gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain atau lawan jenis (Cole, 2005). Dengan adanya permasalahan ini maka penulis mencoba untuk lebih memaparkan permasalahan tersebut ditinjau dari sudut pandang remaja. Seperti diketahui masa remaja merupakan masa dimana terjadinya peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, tidak hanya itu mereka juga
bukan membentuk kematangan fisik (purbetas) saja akan tetapi juga mengarah ke arah kematangan socialpsikologis, antara lain menuju kedewasaan dan kemandirian (Muss, dalam Sarwono 1994), sehingga mereka mulai merasa diperlukan atau dibutuhkannya sosok figure orang tua yang mungkin akan selalu siap dalam memberikan arahan atau bimbingan. Sebaliknya pengharapan tersebut akan berubah jika keinginan mereka terhadap figure orang tua tersebut menjadi tidak tersampai karena adanya permasalahan dalam keluarga, contoh dari permasalahan tersebut salah satunya yakni perceraian, karena bisa jadi dengan adanya permasalahan itu pikiran mereka akan menjadi tidak terarah, tidak terkendali sehingga sulit menerima kenyataan hidup dan pada akhirnya akan menimbulkan masalah stres pada diri anak remaja tersebut. Menurut Ajanuari (dalam Koper, 2005), remaja merasakan beratnya dampak perceraian karena selain perceraian orangtua, mereka juga sedang mengalami masa yang penuh goncangan dan perubahan besar dalam rangka pencarian identitas diri. Pernyataan ini juga ditambahkan pula oleh Wallerstuein dan Kelly (dalam Heaven, 1992) masa remaja merupakan masa yang sangat sulit bila mengalami perceraian orangtua. Bagi remaja yang sedang mengalami masa yang dipenuhi banyak perubahan, perceraian orangtua akan menambah derajat stres yang sudah ada dan akhirnya akan mempengaruhi perkembangan remaja itu sendiri Dalam hal ini Lazarus (dalam Prabowo, 1998) mengungkapkan stres adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Dan penuturan ini ditambahkan pula oleh
Goldberger dan Brenitz (dalam Lidwina, 2004), penyebab stres (stressor) dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari situasi eksternal yang dapat mempengaruhi individu. Jelas disini tidak hanya dari penuturan Lazarus saja tetapi dari Goldberger dan Brenitz juga yang menyatakan bahwa faktor eksternal merupakan salah satu penyebab terjadinya stres, dan faktor eksternal disini meliputi faktor lingkungan, yang berupa lingkungan masyarakat, lingkungan kelompok termasuk lingkungan keluarga. Pada saat individu dihadapkan pada kondisi stres karena adanya suatu permasalahan, maka secara otomatis individu tersebut berusaha untuk dapat mengurangi atau menghilangkan perasaan stres yang dialaminya itu, dan hal itu juga yang dilakukan oleh remaja yang mengalami stres karena perceraian orang tuanya. Seperti diungkapkan oleh Radley (1994) istilah coping stres dapat diartikan sebagai penyesuaian secara kognitif dan perilaku menuju keadaan yang lebih baik, mengurangi dan bertoleransi dengan tuntutan-tuntutan yang ada yang mengakibatkan stres. Adapun pengupayaan individu atau remaja dalam hal mengurangi atau menghilangkan perasaan stres tersebut yakni dengan menggunakan beberapa cara atau strategi. Lazarus (dalam Radley, 1994) beliau mengungkapkan bahwa setiap individu melakukan cara coping yang berbeda-beda dalam menghadapi situasi yang menekan dari lingkungan, mekanisme atau cara coping ini bisa meliputi kognitif (pola pikir) dan perilaku (tindakan). Perbedaan cara yang dilakukan setiap idividu dalam hal menangani stresnya itu dimasukkan kedalam 2 strategi atau cara. Seperti diungkapkan oleh Lazarus dan Folkman (1974) cara coping dibedakan
menjadi dua bagian besar berdasarkan tujuan atau intensi individu yaitu problem focused coping, yakni coping yang memfokuskan pada masalah ini melibatkan usaha yang dilakukan untuk merubah beberapa hal yang menyebabkan stres (stressor). Tujuannya adalah untuk mengurangi tuntutan dari situasi dan meningkatkan usaha individu dalam menghadapi situasi tersebut. Cara ini lebih sesuai apabila digunakan dalam menghadapi masalah atau situasi yang dianggap dapat dikontrol atau dikuasai oleh individu. emotion focused coping yakni coping ini merupakan bentuk coping yang lebih memfokuskan pada masalah emosi, bentuk coping ini lebih melibatkan pikiran dan tindakan yang ditunjukan untuk mengatasi perasaan yang menekan akibat dari situasi stres. emotion focused coping juga terdiri dari usaha yang diambil untuk mengatur dan mengurangi emosi stres penggunaan mekanisme yang dapat menghindarkan dirinya dari berhadapan dengan stressor. Penambahan dalam penanganan stres juga diungkapkan oleh (Carver, Schaver dan Wentraub dalam Triyani, H. 2000) yang menyebutkan tentang strategi coping maladaptif yaitu kecenderungan coping yang kurang bermanfaat dan kurang efektif dalam mengatasi sumber stres. Penggunaan dalam menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauhmana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Berdasarkan ulasan diatas, maka akan diungkap secara simpulan bahwa suatu perceraian memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan kelangsungan hidup pasangan suami istri terlebih anakanak, apalagi jika si anak tersebut sedang mengalami masa peralihan dalam perkembangan fisik maupun sosial
psikologis atau lebih dikenal dengan masa remaja, karena seperti diketahui kebutuhan anak remaja pada saat itu terhadap peran orang tua sangat diharapkan lebih dari sebelumnya. Sehingga dengan adanya permasalahan tersebut suatu perceraian orangtua dapat menjadi suatu faktor penyebab terjadinya stres pada anak remaja. Agar tekanan atau stres yang dialami tidak berlangsung terus-menerus, maka dibutuhkan suatu upaya untuk mengatasi stres tersebut disebut coping stres. Menurut Lazarus (1994) coping adalah suatu respon individu terhadap sumber stres. Coping stres yang digunakan oleh individu bisa bermacam-macam, misalnya melakukan suatu aktivitas yang mengubah sumber stres menjadi suatu hal yang positif atau mengurangi tekanan emosional yang timbul dari situasi stres. Dengan penelitian ini maka secara tidak langsung membantu subjek dalam menghadapi permasalahannya, membantu mengurangi atau mencoba menghilangkan beban subjek dalam mengahadapi pengaruh negatif yang terjadi akibat perceraian orangtuanya tersebut. B. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran stres dan coping stres yang terjadi pada remaja yang mengalami perceraian pada orangtua? 2. Mengapa remaja yang mengalami perceraian pada orangtua memiliki stres dan melakukan coping stres yang demikian? 3. Bagaimana proses perkembangan stres dan coping stres pada remaja yang mengalami perceraian pada orangtua? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ilmiah ini yaitu untuk mengetahui tentang
bagaimana gambaran stres dan coping stres pada remaja dalam menyikapi perceraian orang tua, faktor mengapa remaja tersebut memiliki stres dan melakukan coping serta bagaimana proses perkembangan stres dan coping stres remaja tersebut. D. Manfaat Penelitian Manfaat Praktis: Penulis berharap bahwa penelitian ini dapat memperkaya pengetahuan dan membantu pemahaman bagi masyarakat khususnya remaja mengenai bagaimana gambaran stres yang terjadi pada remaja dikarenakan masalah perceraian yang terjadi pada orangtua dan diharapkan juga hasil penelitian ini dapat mencoba memberikan gambaran bagaimana jalan keluar atau solusi yang akan dilakukan pada remaja yang mengalaminya. Manfaat Teoritis: Penulis berharap penelitian ini juga dapat memberikan manfaat sehingga akan menjadi bahan literature yang dapat digunakan untuk perkembangan ilmu psikologi khususnya pada bidang psikologi sosial dan psikologi perkembangan yang mempunyai keterkaitan dengan masalah penelitian ini. B. Tinjauan Pustaka 1. Stres a. Pengertian Stres Stres yaitu keadaan yang muncul apabila tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang. Korchin (dalam Prabowo, 1998) b. Gejala Stres Menurut Rice (1998), secara umum gejala- gejala stres dapat dibedakan ke dalam empat macam jenis, yaitu gejalagejala berupa perilaku, emosi, kognitif dan fisik :
1) Gejalagejala perilaku (Behavioral symptoms) Dari banyaknya gejala- gejala perilaku yang timbul, beberapa diantaranya adalah prokrastinasi dan avoidance, menarik diri dari teman dan keluarga, hilangnya nafsu makan dan tenaga, ledakan emosi dan agresi, berubahnya pola tidur (tidur tidak nyenyak). 2) Gejala- gejala Emosi (Emotive symptoms) Gejala- gejala emosi yang paling umum adalah cemas, takut, mudah marah, dan depresi. Gejala lainnya, ketakutan, frustasi, merasa bingung dan kehilangan kendali. 3) Gejala- gejala kognitif (Cognitive symptoms) Gejala- gejala kognitif yang paling umum adalah hilangnya motivasi dan konsentrasi. Individu seakanakan kehilangan kemampuan untuk memfokuskan perhatian pada tugas- tugas yang harus dikerjakan dan kehilangan kemampuan untuk menjalankan tugas-tugas tersebut dengan baik. Gejala- gejala mental dan kognitif lainnya adalah kekhawatiran yang berlebihan. Salah satu gejala final dari gejala kognitif ini adalah keinginan untuk melarikan diri dari situasi dimana dia berada. 4) Gejala- gejala fisik (Physical symptoms) Gejala- gejala fisik yang paling umum adalah pegal- pegal dan lemas, migraine dan sakit kepala, sakit punggung termasuk sakit punggung bagian bawah, dan ketegangan otot yang dapat dilihat dalam bentuk kejang urat. Pada system kardiovaskular, stres seringkali direflesikan dengan meningkatnya detak jantung,
hipertensi, dan buruknya peredaran darah arteri. Pada system pernafasan, seringkali diperlihatkan dengan tarikan nafas yang cepat dan pendek- pendek dan mengalami kelelahan yang luar biasa. c. Faktor yang mempengaruhi stres Lahey dan Cimnero (dalam Jannah, 2006), beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi manusia terhadap stres yaitu: 1) Intensitas dan lamanya stres Pada umumnya semakin kuat dan semakin seseorang mengalami keadaan yang membuat stress, maka makin serius reaksi stres yang akan di alami. 2) Kehadiran stressor lain Suatu sumber stres tidak hanya menyebabkan seseorang mengalami stres, taetapi juga akan membuat individu mudah terpengaruh oleh stressor lain. Menurut Holmes dan rahe (dalam Jannah, 2006) ada hubungan yang erat antara sakit yang serius dan jumlah kejadian stress yang dialami individu dalam kehidupannya. 3) Pengalaman terdahulu Reaksi stres umumnya akan lebih kuat pada waktu individu mempunyai pengalaman terdahulu terhadap kejadian stres tertentu dan bila ia tidak mendapatkan peringatan tentang stres tersebut (casel dalam Jannah, 2006) misalnya jika individu pernah gagal mendapatkan pekerjaan, saat ia melamar lagi ke perusahaan lain untuk bidang pekerjaan yang sama, kemungkinan ia akan mengalami stres lebih besar dibanding stres yang ia alami sebelumnya.
4) Karakteristik Individu Beberapa karakteristik dan keadaan tertentu membuat individu mengalami stres yang berbeda intensitasnya. Jenis kelamin, suku bangsa dan usia memegang peranan penting (Becker dkk dalam Jannah, 2006) 5) Dukungan sosial Beberapa studi (Miller dan igham dalam Jannah, 2006), menunjukan bahwa stres yang dialami berbanding terbalik dengan dukungan sosial yang diterima. Artinya stres yang dialami berbanding terbalik dengan dukungan sosial yang diterima, artinya stres yang dialami bias menurun intensitasnya jika individu menerima dukungan sosial dari lingkungannya. Dukungan sosial yang dapat menurunkan kemungkinan individu berhadapan dengan situasi yang menekan diwaktu-waktu berikutnya (Cooper dan Payne, dalam Jannah, 2006) d. Tiga tahapan dalam stres Menurut Sarafino (1998), tiga tahapan dalam stres atau lebih dikenal dengan General Adaption Syndrome (GAS) yaitu: 1) Alarm Reaction Merupakan respon terhadap kondisi stres yang muncul secara fisik. Terjadi perubahan pada tubuh atau biokimia seperti tidak enak badan, sakit kepala, otot tegang, kehilangan nafsu makan, merasa lelah. Secara psikologi, meningkatnya rasa cemas, sulit konsentrasi atau tidur tidak nyenyak, bingung atau kacau. Mekanisme seperti rasionalisasi atau penyangkalan sering dilakukan.
2) Resistance Kondisi dimana tubuh berhasil melakukan adaptasi terhadap stres. Gejala menghilang, tubuh dapat bertahan dan kembali pada kondisi normal. 3) Exhaustion Kondisi yang muncul jika stres berkelanjutan sehingga individu menjadi rapuh/ kehabisan tenaga. Secara fisik, tubuh menjadi breakdown, energi untuk beradaptasi habis, reaksi atau gejala fisik muncul kembali, yang akhirnya dapat mengakibatkan individu meninggal. Secara fisiologis, mungkin terjadi halusinasi, delusi, perilaku apatis bahkan psikosis. 2. Coping Stres a. Pengertian Coping Stres Coping stres yaitu sebagai penyesuaian secara kognitif dan perilaku menuju keadaan yang lebih baik, mengurangi dan bertoleransi dengan tuntutantuntutan yang ada yang mengakibatkan stres, Radley (1994). b. Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping Menurut Mu`tadin (2002), cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik/energi, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi, 1) Kesehatan Fisik Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar
2) Keyakinan atau pandangan positif Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi coping tipe : problem-solving focused coping 3) Keterampilan Memecahkan masalah Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat. 4) Keterampilan sosial Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan caracara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat. 5) Dukungan sosial Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya 6) Materi Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.
c. Jenis Coping stres Menurut Lazarus dan Folkman (1976), cara coping dibedakan menjadi dua bagian besar berdasarkan tujuan atau intensi individu, yaitu: 1) Problem Focused Coping. Coping yang memfokuskan pada masalah ini melibatkan usaha yang dilakukan untuk merubah beberapa hal yang menyebabkan stres (stressor). Tujuannya adalah untuk mengurangi tuntutan dari situasi dan meningkatkan usaha individu dalam menghadapi situasi tersebut. Cara ini lebih sesuai apabila digunakan dalam menghadapi masalah atau situasi yang dianggap dapat dikontrol atau dikuasai oleh individu. Menurut Carver, Scheiver dan Weintraub (dalam Triyani Harika, 2000) Dalam penelitiannya telah menyebutkan beberapa strategi coping yang bisa dikelompokan kedalam kelompok problem focused coping, yaitu a) Active coping, merupakan proses mengambil langkah aktif untuk mencoba menghilangkan stressor atau untuk meringankan dampaknya. b) Planning, memikirkan bagaimana cara untuk mengatasi stressor. Termasuk didalamya adalah memikirkan suatu strategi untuk bertindak, langkah-langkah apa yang harus diambil dan bagaimana cara paling baik untuk mengatasi masalah. c) Restraint coping, menunggu sampai adanya kesempatan yang tepat untuk bertindak sebelum waktunya. Coping ini dapat dilihat sebagai strategi
yang aktif dalam arti tingkah lakunya dilakukan untuk mengatasi stressor, namun juga dapat dilihat secara pasif karena dalam strategi ini individu tidak melakukan tindakan apapun. d) Seeking social support for instrumental reasons, mencari nasihat, bantuan atau informasi. e) Suppressing of competing activites. Salah satu bentuk coping yang di fokuskan pada masalah adalah individu berusaha membatasi ruang gerak/aktifitas dirinya yang tidak berhubungan dengan masalah. Dalam hal ini individu mengurangi keterlibatannya dalam kegiatan lain yang juga membutuhkan perhatian untuk dapat berkonsentrasi penuh pada tantangan manapun ancaman yang dialaminya. Yang juga termasuk dalam jenis coping ini adalah perilaku mengabaikan masalah lain untuk menghadapi sumber stres. 2) Emotion Focused Coping Coping ini merupakan bentuk coping yang lebih memfokuskan pada masalah emosi. Bentuk coping ini lebih melibatkan pikiran dan tindakan yang ditunjukan untuk mengatasi perasaan yang menekan akibat dari situasi stres. Emotion focused coping, terdiri dari usaha yang diambil untuk mengatur dan mengurangi emosi stres penggunaan mekanisme yang dapat menghindarkan dirinya dari berhadapan dengan stressor.
Lazarus, Folkman, dan rekannya (dalam Sarafino, 1998) telah menyebutkan beberapa strategi coping yang bisa dikelompokkan kedalam kelompok emotion focused coping, yaitu: a) Distancing. Individu mencoba membuat suatu pola pemikiran (berpikir) yang lebih positif terhadap masalah yang dihadapinya. Individu bisa mencoba bertingkah laku seakan-akan tidak pernah terjadi apapun. Individu mencoba untuk tidak terlalu terpengaruh dengan cara tidak terlalu memikirkan masalahnya. Carver, Scheier dan Weintraub (dalam Sarafino, 1998) menyebut bicara coping sebagai suatu usaha individu untuk menyangkal (denial) bahwa dirinya dihadapkan pada suatu masalah. b) Escape- avoidance. Individu menghindari untuk menghadapi masalah yang dihadapinya. Contohnya, individu berkhayal bahwa akan ada suatu keajaiban yang bisa membuat masalahnya selesai. Biasanya individu mengambil tindakan pengalihan perhatian yang negatif (menghindar) terhadap masalahnya dengan tidur terus menerus, keluar rumah, lebih sering menonton televisi, merokok atau minumminuman beralkohol. c) Self control. Individu mencoba untuk mengatur emosinya supaya tidak diketahui oleh orang lain dan mengatur tindakannya dalam menghadapi masalahnya.
d) Accepting responsibility. Individu menyadari perannya sebagai salah satu penyebab dari masalah yang dihadapinya dan mencoba mengambil tindakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Individu merasa bertanggung jawab atas munculnya masalah tersebut. e) Positive repprasial. Individu berusaha mengambil sisi positif dari permasalahan yang dihadapinya yang dapat membantu pertumbuhan pribadinya. Menurut Carver, Scheire dan Weintraub (dalam Sarafino, 1998) terkadang hal ini disertai dengan meningkatnya kesadaran sisi religius individu (turnind to religion). Lebih jelasnya, Carver, Scheire dan Weintraub (dalam Sarafino, 1998) menyebut cara coping ini penting bagi beberapa individu, karena agama (keyakinan terhadap tuhan) dapat dijadikan sebagai dukungan sosial pribadi, individu terkadang menganggap hal ini sebagai sebuah alat untuk dapat mencapai pertumbuhan pribadi yang positif dan strategi coping yang aktif. f) Seeking for social support (for emotional reason). Jenis coping ini lebih mengarah kepada dukungan moral yang diperoleh individu, simpati ataupun pengertian dari orang lain terhadap masalah yang sedang dihadapinya.
3) Coping Maladaptif Coping Maladaptif adalah kecenderungan coping yang kurang bermanfaat dan kurang efektif dalam mengatasi sumber stres (Carver, Schaver dan Wentraub dalam Triyani Harika, 2000). Begitu pula jenis coping tersebut terbagi 4 strategi, antara lain: a) Focusing and venting of emotions Kecenderungan untuk memusatkan diri pada pengalaman distres atau kekecewaan individu dan untuk mengeluarkannya. Sedangkan penonjolan gejalagejala distres dapat meningkatkan ketegangan dan menjauhkan individu dari usaha coping aktif. b) Behavioral Disengagement Mengurangi usaha dalam menghadapi situasi yang menimbulkan stres bahkan menyerah atau tidak melakukan apapun terhadap sumber stres tersebut. Perilaku ini muncul pada seseorang yang merasa bahwa apapun yang dilakukannya tidak akan menimbulkan hasil. Fenomena ini sering disebut “Helplessness”. c) Mental Disengagement Merupakan variasi dari behavioral disengagement yaitu perilaku yang muncul apabila suatu kondisi tidak memungkinkan dilakukannya behavioral disengagement. Mental disengagement berupa kegiatan yang bertujuan untuk melupakan sressor yang sedang dihadapi misalnya
dengan menghayal atau day dreaming, tidur, menonton dan berolahraga. d) Alcohol Drug Disengagement Individu berusaha untuk melepaskan diri dari masalah dengan lari kepada alcohol atau obat-obatan terlarang. 3. Perceraian a. Pengertian Menurut Fisher (1974), Perceraian terjadi jika selalu diikuti oleh konflik yang semakin menimbulkan ketegangan antar pasangan suami istri yang merupakan proses komplek yang mengawasi berbagai perubahan emosi dan psikologis. 4. Remaja a. Pengertian Remaja atau istilah lain “Adolencent” yang berasal dari kata latin “adolencere”, yang artinya tumbuh ke arah kematangan (Muss, dalam Sarwono 1994), kematangan disini tidak hanya kematangan fisik (pubertas) akan tetapi juga mengarah kearah kematangan sosial psikologis antara lain menuju kedewasaan dan kemandirian. C. Metode Penelitian 1. Pendekatan Kualitatif Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif berbentuk studi kasus. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan penelitian kuantitatif dengan positifismenya. Peneliti menginterpretasikan bagaimana
subjek memperoleh makna disekelilingsekeliling dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka. Penelitian dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah (naturalistic) bukan hasil perlakuan (treatment) atau manipulasi variable yang dilibatkan. (Basuki, H.2006). 2. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah anak remaja yang orang tuanya bercerai dengan batasan usia antara usia (12 tahun- 21 tahun) Jumlah subjek dalam penelitian studi kasus ini adalah 1 (satu) orang. 3. Tahap-tahap Penelitian Tahap-tahap penelitian yang dilakukan peneliti adalah: a. Tahap persiapan Meliputi persiapan keperluan pelaksanaan seperti menentukan dan mencari ciri-ciri yang akan menjadi subjek penelitian sesuai dengan kasus penelitian lalu berikutnya membuat pedoman wawancara sesuai dengan tujuan penelitian dan berdasarkan teori yang relevan dengan permasalahan dan terakhir melakukan teknik pengumpulan data lainnya yakni observasi. Pedoman wawancara ini berupa berisi pertanyaanpertanyaan yang mendasar yang nantinya dapat berkembang dalam wawancara, setelah itu mempersiapkan waktu yang tepat untuk melakukan wawancara berdasarkan kesepakatan bersama antara subjek dan si peneliti. b. Tahap pelaksanaan Melakukan hal-hal yang berkaitan dengan teknis seperti melakukan wawancara dengan subjek sesuai pedoman yang telah dibuat, lalu mengobservasi subjek dan menganalisis data yang telah diterima.
c. Tahap analisis data Pada penelitian ini, analisis yang dilakukan pertama-tama terhadap kasus. Peneliti menganalisis hasil wawancara berdasarkan pemahaman terhadap hal-hal yang diungkapkan oleh responden. Data yang telah di kelompokan tersebut oleh peneliti dicoba untuk memahami secara utuh dan ditemukan tema-tema penting serta kata kuncinya, sehingga peneliti dapat megangkat pengalaman, permasalahan, dan dinamika yang terjadi pada subjek. d. Tahap penulisan laporan Dalam penelitian ini, penulisan yang dipakai adalah presentasi data yang didapat yaitu, penulisan data-data hasil penelitian berdasarkan wawansara mendalam dan observasi dengan subjek. Prosesnya dimulai dari data-data yang telah diperoleh dari subjke dipahami kembali dengan membacanya berulang-ulang hingga akhirnya penulis benar-benar mengerti permasalahannya dan kemudian dianalisis, sehingga mendapat gambaran mengenai permasalahan dan pengalaman subjek. Selanjutnya dilakukan interpretasi secara keseluruhan dimana didalamnya tercakup keseluruhan kesimpulan dari penelitian ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode observasi dengan jenis observasi non partisipan yaitu observasi dimana pengamat berada diluar subjek yang diteliti dan tidak ikut dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan , selain itu subjek juga menggunakan observasi berstruktur yaitu observasi dimana pengamat dalam
melaksanakan observasinya menggunakan pedoman pengamatan. 5. Alat Bantu Pengumpul Data Dalam penelitian, informasi atau data yang dibutuhkan bisa dalam bentuk verbal dan non verbal. Oleh sebab itu dalam melakukan observasi dan wawancara peneliti memerlukan beberapa alat bantu yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mempermudah proses jalannya suatu penelitian. Beberapa sarana atau instrumen yang digunakan adalah menggunakan media perekam suara, catatan atau tulisan tangan, pedoman wawancara, dan pedoman observasi. 6. Keakuratan Penelitian Untuk mencapai keakuratan dalam suatu penelitian dengan metode kualitatif, ada beberapa teknik yang digunakan dan salah satu teknik tersebut adalah triangulasi. Triangulasi dapat dibedakan menjadi emapat macam yaitu triangulasi data, pengamat, teori, dan metodologis.Dalam penelitian ini peneliti menggunakan semua triangulasi yang tersedia karena menurut peneliti triangulasi yang tersedia saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. 7. Teknik Analisa Data Data yang diperoleh akan di analisa dengan menggunakan teknik analisa data kualitatif. Adapun tahapan tersebut adalah penyusunan data, Klasifikasi data, Menguji asumsi atau permasalahan yang ada terhadap data, Mencari alternatif penjelasan bagi data, Menulis hasil penelitian. D. Hasil Dan Analisis. 1. Hasil Observasi dan Wawancara a. Gambaran Umum Subjek Subjek memiliki postur tubuh dengan tinggi ± 155 cm, berat 50 kg, rambut sebahu dan mempunyai kulit sawo matang. Subjek berumur 17 tahun duduk
di kelas 3 SMU A, subjek dalam kurun 8 bulan ini mengalami perceraian orangtua dan kondisi ekonomi keluarganya pun terbilang ekonomi bawah, saat ini subjek tinggal bersama ibunya dan profesi ibu subjek sendiri membuka usaha warung sembako dan mengkreditkan jenis barang rumah tangga serta jenis pakaian dan segala kebutuhan subjek dipenuhi oleh ibu dan kakaknya. b. Pembahasan 1) Bagaimana gambaran stres dan coping stres yang terjadi pada remaja yang mengalami perceraian pada orangtua? a) Gambaran stres Hasil penelitian baik dari segi wawancara dan observasi, dapat disimpulkan bahwa banyak gejalagejala stres yang muncul. Pertama dari segi gejala perilaku subjek yaitu ketika masa perceraian orangtua terjadi, subjek selalu meghindar karena merasa kurang percaya diri terhadap temantemannya, juga adanya perubahan sikap dari setiap anggota keluarga lainnya termasuk subjek yakni masingmasing menjaga jarak dan berdiam diri. Subjek pun mengalami perubahan dalam pola makan yaitu kurangnya nafsu makan subjek setelah mengalami perceraian orangtua, juga perubahan dalam pola tidur yakni kurangnya waktu tidur subjek dan selalu tidur larut malam Gejala emosi pada masa perceraian orangtua, subjek merasakan kecemasan pasca perceraian seperti kecemasan perubahan sikap temantemannya, kurangnya intensitas pertemuan dengan ayahnya pasca perceraian juga kecemasan untuk mendapatkan ayah baru., sikap subjek menjadi mudah marah atau mudah tersinggung setelah perceraian orangtua subjek. Subjek juga merasa
tertekan atau frustasi karena tidak diperbolehkan bertemu ayahnya, merasa tertekan dan sedih jika mengingat masalah perceraian tersebut, dan subjek juga merasakan ketidaknyamanan karena suasana yang penuh tekanan dalam rumah termasuk setiap anggota keluarga saling berdiam diri, perasaan subjek yang terlalu sensitive dengan kasus perceraian orangtua subjek, prestasi subjek yang mulai menurun, juga dengan intensitas migrainenya yang menjadi lebih sering muncul, ketakutan hilangnya perasaan ayah subjek atas kasih sayangnya.terhadap subjek. Gejala kognitif, subjek merasa kurangnya motivasi atau intensitas dorongan subjek dalam melakukan suatu hal termasuk tidak adanya dorongan dalam mengkonsumsi makanan, Adanya penurunan nilai prestasi subjek pasca perceraian, dan hilangnya konsentrasi subjek dalam melakukan tugas di sekolah, juga ketakutan atau kekhawatiran dari diri subjek memiliki ayah baru Gejala fisik subjek merasakan lemasnya badan dan merasakan pusing sebelum perceraian dan setelah perceraian itu terjadi intensitasnya menjadi lebih sering. b) Gambaran Coping Stres Tiga jenis coping yang diteliti dapat dilihat ada sebagian coping yang digunakan untuk mengungkap gambaran coping yang terjadi pada remaja tersebut dari jenis problem focused coping yakni subjek menyatakan belajar keluar bersama teman adalah langkah aktif yang digunakan, subjek pun merasa perlu untuk menanyakan perihal perceraian terhadap teman-teman subjek dan adanya kebutuhan dari diri subjek
sendiri dalam meminta dukungan dari orang disekelilingnya dalam menghadapi cobaan tersebut. Jenis emotion focused coping yakni subjek merasa perlu untuk menggunakan cara menyangkal atau bertingkah seakan-akan tidak adanya permasalahan dalam diri subjek seperti tidak adanya keinginan untuk mencampuri urusan perceraian orangtuanya dan lebih banyak tidak terlalu memikirkan permasalahan orangtuanya, Subjek merasa bentuk pengalihan perhatian yang negatif seperti menghindar adalah cara terbaik, dan bentuk pengalihan perhatian seperti main bareng temen adalah cara yang paling baik. Subjek juga merasakan kesedihan pasca perceraian orangtua, dan perlunya mengontrol perasaannya dengan menentramkan hatinya juga mengatur perasaannya agar tidak terlalu dalam kesedihan dan dari diri subjek sendiri subjek memiliki pengaturan suasana bathin. Subjek merasa ada sisi positif dari perceraian orangtua subjek yaitu adanya kepasrahan dan keyakinan akan nasib yang diberikan Tuhan YME kepada subjek. Bentuk dukungan moril atau simpati dari orang lain adalah hal yang dibutuhkan oleh subjek. Subjek selalu mendapatkan perhatian dari so baik dari segi kebutuhan, teman share atau yang lainnya termasuk teman-teman subjek dan subjek merasa teman subjek selalu menjadi teman setia yang selalu mendengarkan keluh kesah subjek. 2) Mengapa remaja yang mengalami perceraian pada orangtua memiliki stres dan melakukan coping stres yang demikian? a) Faktor yang mempengaruhi stres
Faktor yang dapat meningkatkan kondisi stres pada subjek yang mengalami perceraian orangtua yaitu kehadiran stressor lain dan karakteristik individu. Kehadiran stressor lain merupakan faktor yang dapat meningkatkan kondisi stres subjek, subjek berpikir tentang biaya kehidupan selanjutnya, ini lebih disebabkan karena ayah subjek setelah perceraian itu tidak pernah lagi memberikan nafkah terhadap keluarganya Selain itu karakteristik subjek menjadi faktor lainnya, meskipun subjek berusaha dengan sikap yang seolah olah tidak terjadi apa-apa terhadap permasalahan yang dihadapinya tetapi itu hanya terlihat diluar diri subjek saja, faktanya subjek begitu tertekan dan merasakan kesedihan akibat perceraian orangtuanya. b) Faktor yang mempengaruhi strategi coping Faktor yang mempengaruhi strategi coping pada subjek yg mengalami perceraian orangtua yaitu keyakinan atau pandangan positif, keterampilan sosial dan dukungan sosial. Keyakinan atau pandangan positif merupakan faktor yang mempengaruhi strategi coping, Adanya keyakinan dalam diri subjek untuk dapat menjalani kehidupan selanjutnya, memasrahkan dan meyakinkan akan nasib yang diberikan Tuhan YME kepada dirinya membuat dirinya yakin dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Lain halnya untuk keterampilan sosial, subjek terbiasa keluar rumah untuk bersosialisasi dengan tetangga, melakukan aktifitas bersama temantemannya seperti mendiskusikan masalahnya ataupun bermain. Begitu juga dengan bentuk dukungan sosial,
itu sangat berpengaruh terhadap coping yang subjek lakukan, subjek mendapatkan dukungan berupa bentuk emosional dari teman-teman dan keluarganya dan subjek merasakan kepuasan bathin terhadap bentuk dukungan tersebut 3) Bagaimana proses perkembangan stres dan coping stres pada remaja yang mengalami perceraian pada orangtua? Dalam kasus subjek proses perkembangan stres dan coping tersebut hanya subjek jalani 2 tahap yakni proses alarm reaction dan resistance. Awal proses perkembangan stres, subjek dihadapkan pada respon terhadap kondisi stresnya. Munculnya respon tersebut secara fisik seperti hilangnya nafsu makan dan gangguannya di sekitar kepala dan secara psikologi munculnya respon tersebut seperti perasaan kacau, tidur tidak nyenyak sulitnya konsentrasi, merasakan kesedihan dan perasaan tertekan. Proses adaptasi yang dilakukan subjek untuk meminimalisir kondisi stres yang muncul tersebut dilakukan dengan beberapa cara antara lain subjek berusaha untuk tidak mencampuri urusan dan memikirkan masalah perceraian tersebut, cara itu dilakukan seperti keluar rumah dengan bermain bersama temantemannya, subjek merasa cara itu dapat mengurangi gangguan sakit kepalanya dan dapat menjernihkan kembali pikirannya. Banyaknya dukungan yang subjek rasakan dari keluarga dan temantemannya, seperti dukungan moral, simpati ataupun pengertian dari mereka itu dapat dijadikan suatu cara subjek untuk dapat mengurangi perasaan tertekan dan kesedihannya. Subjek juga mencoba untuk mengontrol perasaannya dengan keyakinan akan nasib yang
diberikan Tuhan YME kepada subjek, mencoba untuk menentramkan hatinya, dan mengatur perasaannya agar tidak terlalu dalam kesedihan. Dengan proses adaptasi tersebut, subjek akhirnya dapat meminimalisir kondisi stresnya, proses adaptasi itu subjek jalani sampai sekarang. Kondisi subjek yang semula normal dan mengalami respon terhadap kondisi stres yang muncul karena perceraian tersebut akhirnya dapat berjalan kembali seperti semula. E. Penutup 1. Kesimpulan a. Bagaimana gambaran stres dan coping stres yang terjadi pada remaja yang mengalami perceraian pada orangtua? Dalam menghadapi permasalahan yang terjadi pada dirinya tersebut, subjek lebih condong menggunakan strategi coping yang lebih memfokuskan pada masalah emosi subjek yakni emotion focused coping, dapat dilihat dari pernyataan subjek antara lain subjek lebih memilih untuk menghindari permasalahan, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan permasalahannya, mengatur emosi dan tindakannya dalam menghadapi permasalahannya,bersikap pasrah, menerima dan yakin akan nasib yang telah diberikan Tuhan YME kepada subjek dan lebih mengarah kepada dukungan moral yang diperoleh subjek, simpati ataupun pengertian dari orang lain terhadap masalah yang sedang dihadapinya. b. Mengapa remaja yang mengalami perceraian pada orangtua memiliki stres dan melakukan coping stres yang demikian? Faktor yang dapat meningkatkan kondisi stres pada remaja yg mengalami perceraian orangtua yaitu kehadiran stressor lain. Sedangkan faktor yang
menurunkan kondisi stres pada remaja yg mengalami perceraian orangtua yaitu dukungan sosial dan karakteristik individu. Hasil analisis copingnya sendiri, faktor yang dapat mempengaruhi subjek untuk melakukan coping yaitu keyakinan atau pandangan positif, keterampilan sosial, dan yang terakhir dukungan sosial. c. Bagaimana proses perkembangan stres dan coping stres pada remaja yang mengalami perceraian pada orangtua? Awal proses perkembangan stres, subjek dihadapkan pada respon terhadap kondisi stresnya. Munculnya respon tersebut secara fisik seperti hilangnya nafsu makan dan gangguannya di sekitar kepala, secara psikologi muncul respon seperti perasaan kacau, tidur tidak nyenyak sulitnya konsentrasi, merasakan kesedihan dan perasaan tertekan. Adanya proses adaptasi yang dilakukan subjek untuk meminimalisir kondisi stres yang muncul tersebut dilakukan dengan beberapa cara, seperti dengan cara pengalihan perhatian subjek untuk tidak mencampuri urusan dan memikirkan masalahnya tersebut, banyaknya dukungan yang subjek rasakan dari keluarga dan teman-temannya itu dapat dijadikan suatu cara subjek untuk dapat mengurangi perasaan tertekan dan kesedihannya, dan cara meyakinan diri subjek akan nasib yang diberikan Tuhan YME kepada subjek Dengan proses adaptasi tersebut akhirnya subjek dapat meminimalisir kondisi stresnya, proses adaptasi itu subjek jalani sampai sekarang. Kondisi subjek yang semula normal dan mengalami respon terhadap kondisi stres yang muncul karena perceraian tersebut akhirnya dapat berjalan kembali seperti semula..
DAFTAR PUSTAKA
2. Saran a. Bagi subjek Diharapkan untuk subjek agar mampu mengatasi stres yang dialaminya, sekiranya subjek berusaha untuk dapat menghadapi situasi- situasi dari lingkungan yang menurutnya tidak menyenangkan, berusaha untuk menerima kenyataan bahwa untuk bisa berkumpul lagi dirasakan tidak mungkin, Subjek juga jangan terlalu fokus dalam kekecewaan, jangan mudah menyerah dan tidak berdaya untuk menghadapi stressor, karena hal tersebut tidak akan membantu mengatasi masalah dan bukan merupakan strategi coping yang efektif. b. Bagi Orangtua Diharapkan bagi orangtua agar tetap menjaga komunikasi dengan anakanaknya, tetap meluangkan waktu untuk berkumpul, tetap memberikan perhatian dan kasih sayangnya. c. Bagi Masyarakat Bagi masyarakat juga janganlah memandang negative tentang perceraian untuk diperbincangkan karena hal tersebut dapat membawa dampak psikologis terhadap anakanak dan keluarga yang mengalami perceraian tersebut. . d. Bagi peneliti selanjutnya Untuk para peneliti selanjutnya diharapkan mencoba untuk mencari aspek-aspek-aspek lain yang berkaitan dengan remaja yang mengalami perceraian pada orangtua dengan teori dan metode yang lebih spesifik.
Atwater,
E.
1983.
Psychology
of
adjustment (edisi ke2). New Jersey: Prentice
Basuki, H. 2006. Pendekatan Kualitatif. Depok. Universitas Gunadarma
Cole, K. 2004. Mendampingi anak menghadapi perceraian orang tua. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya. Djuwita, E. 2002. Stres dan Coping pada remaja terhadap ibu yang mengalami kanker payudara. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Faisal,
S. 2003. Format-format penelitian sosial. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada
Fisher, E. O 1974. Divorce: anew freedom a guide to divorcing and divorce counseling. New York: Harper and Row. Publisher Heaven.P.C.L. 1992. Live span development. New South Wales: Harcaourt Brace Jovanovah Group (Australia) Pty Ltd Koper, C. 2005. Dampak perceraian orangtua terhadap penyesuaian diri remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
Lazarus, R.S.1976. Patterns of adjustment. Tokyo: McGrawHill Kogakusha, ltd Lidwina. 2004. Strategi Coping Loneliness wanita dewasa muda yang mengalami perceraian. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Mangoenprasadjo, A. S. 2005. Self Improvement for your stress. Yogyakarta: Thinkfresh. Moleong, L. J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Mu`tadin. 2002. Strategi Coping. (Http://www.epsikologi.com.2002.html) Nabuko, C & Achmadi, A. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara
Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Jakarta: Gunadarma. Radley, A. 1994. Making sense of illness. The social psychology of health and disease. London: Sage Publication. Rice, P. L. 1998. Stress and Health. New York: International Thomson Publishing Company Sarafino, E. P. 1998. Health Psychology Biopsychososial Interaction. New York: John Willey and sons, Inc Sarwono, S. W. 1994. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Setyaningrum, E. 2005. Gambaran penerimaan diri remaja dengan oranngtua bercerai. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
Nazir, M. 1996. Metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia
Soeratno. 1987. Metodologi Riset Khusus. Jakarta: Karunika Jakarta Universitas Terbuka
Papalia, D. E. 2002. A Childs world. Infancy through Adolescence. New York: McGraw- Hill company
Stenberg, L. D. 2002. Adolescence. New
Poerwandari K. 1998. Pendekatan Kualitatif atau penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3 UI
Triyani, H. 2000. Sumber-sumber stres dan coping pada subjek yang mengalami PHK. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas
York: McGraw- Hill company
Psikologi Gunadarma
Universitas
Taylor, S. E. 1998. Health Psychology. New
York:
McGraw-
Hill
company
Http://www.tv7.com/Redaksi tv7.2005.Peristiwa Episode 88: Bachelor party dan biro jodoh di Jakarta.html