REVITALISASI PETERNAKAN RAKYATa Oleh : Mangonar Lumbantoruanb
a) Disajikan sebagai topik diskusi pada Round Table Discussion dengan tajuk Arah dan Prospek Pengembangan Peternakan Indonesia yang diselenggarakan oleh Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen Medan, tanggal 22 Agustus 2006 di Kampus Jl. Sutomo No. 4a Medan. b)
Dosen Tetap Fakultas Peternakan Universitas HKBP Medan.
1. Pengantar Ada beberapa alasan mengapa kami memilih judul di atas sebagai topik diskusi kita pada round table discussion kali ini. Kata “revitalisasi” kami gunakan karena memang peternakan rakyat dalam arti sebenarnya pernah eksis di negara kita hingga era 80-an. Kalaupun belum mampu mencukupi kebutuhan pangan hewani kita pada saat itu namun setidaknya peternakan rakyat waktu itu masih layak menyandang status sebagai tuan di negeri sendiri. Dalam beberapa hal, misalnya dari segi populasi, usaha peternakan di negara kita memang mengalami peningkatan yang signifikan dibanding sebelumnya. Namun bila dicermati, pola pengembangannya tidak lebih dari sekedar modifikasi gerakan revolusi hijau yang dititik beratkan kepada introduksi masukan-masukan impor berbasis energi fosil sehingga bentuknya lebih cenderung sebagai industri perakitan. Sarana produksi yang kita gunakan bukan bercap made in Indonesia melainkan bermerek milik negara lain. Ironisnya, di tingkat peternakan rakyatpun terjadi pola yang sama. Bahkan saat ini peternak pedesaan kita merasa bangga bila mampu memelihara ternak dengan mengandalkan teknologi dan sarana produksi impor atau hasil pabrikasi. Dengan kondisi seperti itu tentu saja keuntungan terbesar yang dihasilkan dari usaha peternakan kita pada akhirnya lebih banyak mengalir ke negara lain atau ke tangan pemilik modal. Peternak kita akhirnya menjadi tidak lebih dari sekedar pekerja bagi pemilik modal. Lebih daripada itu, untuk memenuhi kebutuhan pangan - yang merupakan salah satu hak dasar manusia - kita menjadi sangat tergantung kepada dunia luar. Pada hal sumberdaya yang kita miliki sebenarnya lebih dari memadai. Sifat latah dan mentalitas instan-lah yang membuat kita mengabaikan potensi itu. Hal ini tercermin antara lain dari kecenderungan kita untuk dengan segera mengadopsi standar-standar teknis yang dikembangkan oleh negara-negara maju yang kondisi lingkungannya sangat berbeda. Akibatnya, daripada mengeksplorasi plasma nuftah lokal, kita lebih suka mengimpor ternak-ternak unggul sekalipun untuk itu kita harus melakukan berbagai modifikasi yang pada gilirannya menuntut biaya yang mahal. Belajar dari kenyataan pahit akibat krisis moneter dan kenaikan harga BBM seperti yang kita alami saat ini sudah saatnya kita memberi perhatian yang serius untuk mengembalikan industri peternakan kita ke hakikat sejatinya yaitu mengandalkan sumberdaya-sumberdaya lokal.
1
2. Mengapa Harus Peternakan Rakyat? Pentingnya peranan peternakan sebagai penyedia bahan pangan hewani tidak perlu kita ulas lagi panjang lebar pada diskusi ini. Kita semua sudah memahami dan menyadarinya. Dari segi jumlah produksi, kemampuan peternakan kita untuk mensuplai bahan pangan hewani, terutama daging dan telur, sudah memadai. Yang masih menjadi persoalan adalah bahwa proses produksinya cenderung terkonsentrasi pada wilayah urban dan didominasi oleh segelintir usaha ternak berskala raksasa yang dikelola secara modern. Akibatnya, fungsi-fungsi peternakan - selain sebagai penghasil pangan hewani tidak berjalan efektif. Pada hal untuk negara seperti negara kita yang tergolong developing countries, terlebih-lebih yang sedang mengalami krisis ekonomi, fungsifungsi tersebut bisa menyediakan berbagai alternatif strategis. Modernisasi teknologi yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan peternakan raksasa telah berhasil mencapai efisiensi penggunaan tenaga kerja yang tinggi sehingga kebutuhan tenaga kerja persatuan ternak menjadi kecil. Akibatnya penyerapan tenaga kerja di petenakan seperti itu menjadi minim. Pada saat yang sama, mereka juga tidak berhasil memberikan insentif yang menarik bagi petani untuk membudidayakan tanaman pakan ternak sehingga fungsinya untuk memperluas kesempatan kerja semakin minim. Argumen bahwa perusahaan-perusahaan besar telah membuka lapangan kerja bagi ratusan ribu angkatan kerja mungkin benar. Akan tetapi bila dibandingkan dengan dampaknya mengurangi kesempatan bekerja dan berusaha bagi jutaan penduduk pedesaan maka makna daya serap tenaga kerja tadi perlu kita diskusikan. Terkonsentrasinya pemeliharaan ternak di sekitar daerah urban juga menimbulkan berbagai kerugian, baik dari aspek kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat veteriner maupun aspek pemanfaatan limbah. Daripada memberi manfaat, limbah ternak yang menumpuk di daerah urban tadi justru menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan dan masalah kesehatan manusia. Pada sisi yang lain, limbah ternak tersebut menjadi barang mahal bagi petani karena harus diangkut dengan biaya tinggi. Lebih daripada itu, aliran limbah ternak dari daerah urban ke daerah pertanian disinyalir telah melipatgandakan percepatan menyebarnya berbagai jenis penyakit hewan termasuk yang bersifat zoonosis. Contoh paling gamblang untuk itu adalah penyebaran penyakit flu burung. Resiko penyebaran penyakit hewan ini diperbesar pula oleh makin tingginya ketergantungan penduduk pedesaan kita terhadap ternak dari daerah urban yang hampir seluruhnya didatangkan dalam bentuk hewan hidup. Menurut McMullin (2002) ternak hidup (live markets) merupakan media penyebar bibit penyakit yang paling besar peranannya antar wilayah. Dampak lain dari menumpuknya pemeliharaan ternak pada wilayah urban adalah hilangnya peluang pemanfaatan ternak sebagai sumber energi. Kotoran ternak dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif guna mengurangi penggunaan kayu bakar atau minyak bumi. Menurut Cheeke (1999) dengan mengandalkan kotoran ternak sebagai bahan bakar, penduduk pedesaan di India dan sekitarnya terhindar dari keharusan merambah hutan untuk memperoleh kayu bakar. Efisiensi penggunaan kotoran ternak sebagai bahan bakar dapat ditingkatkan bila terlebih dahulu diolah menjadi biogas. Selain itu, bila
2
diolah menjadi biogas, kotoran ternak akan bermanfaat ganda yaitu sebagai sumber energi dan unsur hara (pupuk). Di daerah urban fungsi ternak sebagai sumber tenaga, baik untuk keperluan transportasi maupun pengolahan lahan pertanian, juga tidak jalan. Pada hal selain mengurangi ketergantungan atas mekanisasi, penggunaan tenaga ternak akan memperluas kesempatan kerja terutama bagi daerah-daerah yang penduduknya under-employed. Alasan-alasan di atas menurut hemat kami sudah lebih dari cukup bagi kita sebagai alasan untuk berpihak kepada peternakan rakyat. Keberpihakan seperti itu rasional mengingat hampir semua fungsi-fungsi ternak yang hilang atau diabaikan oleh perusahaan peternakan besar dapat dieksplorasi secara optimal pada peternakan rakyat, termasuk fungsi sosial budayanya. Dengan berpihak kepada peternakan rakyat bukan berarti kami mau mengajak agar kita mengabaikan atau menghindari perusahaan besar. Yang ingin kami sampaikan adalah agar untuk kondisi saat ini kita memberi perhatian yang lebih besar kepada upaya-upaya pengembangan peternakan rakyat. Tanpa kita campuripun – kita dalam hal ini adalah para akademisi dan peneliti - perusahaan-perusahaan besar tersebut akan terus berkembang dan semakin meminggirkan peternakan rakyat.
3. Mengapa Peternakan Rakyat Sulit Berkembang? Jawaban terhadap pertanyaan di atas bisa sangat beragam. Seorang birokrat pernah kami dengar berkata demikian : “Ai so tar-ajaran rayaton. Nga nidok ingkon
mangallang konsentrat do pinahani asa hatop balga, alai so ditangihon hata niba!”. Sesederhana itukah masalah yang dihadapi peternakan rakyat? Menurut hemat kami tidak, melainkan sangat kompleks sehingga memerlukan pendekatan yang komprehensif. Penanganannya tidak mungkin dilakukan oleh satu pihak saja tetapi menuntut partisipasi semua pihak terkait. Dari sedikit pengalaman berhubungan dengan peternak pedesaan kami memiliki suatu kesimpulan sementara, yang perlu diuji atau didiskusikan kesahihannya, bahwa akar permasalahan peternakan rakyat kita terletak di pihak peternak itu sendiri yaitu cara mereka memposisikan dan memfungsikan usaha ternak tersebut di dalam kegiatan ekonominya. Pada umumnya peternak pedesaan kita menempatkan usaha ternak sebagai usaha sambilan dan lebih memfungsikannya sebagai tabungan hidup daripada sebagai aktivitas ekonomi. Dengan posisi dan fungsi seperti itu maka sumberdaya yang dicurahkan ke dalam usaha ternak adalah sisa-sisa dari kegiatan ekonomi pokok. Selama ketersediaan sumberdaya yang mereka miliki belum melebihi kebutuhan usaha pokok maka kebutuhan usaha ternak tidak akan diprioritaskan. Dengan pola seperti itu sudah bisa kita prediksikan hasil seperti apakah yang mungkin diperoleh dari pemeliharaan ternak tadi. Selain masalah sikap, tentu saja masih banyak permasalahan lain yang melekat pada peternakan rakyat. Salah satu di antaranya yang sangat strategis adalah penyediaan bahan pakan, khususnya sumber protein, mineral dan vitamin. Peternak pedesaan kita rupa-rupanya masih terikat dengan kebiasaan masa lalu yaitu membiarkan ternak mencari sendiri sebagian besar dari kebutuhannya akan bahan pakan. Memang dahulu ketika lingkungan masih subur dan ternak masih dimungkinkan bebas berkeliaran, sebagian
3
besar dari kebutuhan tersebut dapat dicari sendiri oleh ternak bersangkutan. Namun sekarang kondisinya sudah berbeda; areal untuk melepaskan ternak sudah habis dan kalaupun masih ada kekayaan biomassanya sudah hilang. Pilihan yang paling mungkin adalah memelihara ternak di dalam kandang di mana semua kebutuhannya, termasuk sumber protein, dipenuhi oleh peternak. Khusus untuk ternak monogastrik, bahan pakan sumber protein inilah yang umumnya sulit dipenuhi oleh peternak.
4. Apa yang Dapat Kita Lakukan? Beranjak dari kesimpulan sementara seperti yang kami kemukakan di atas maka menurut hemat kami langkah pertama yang perlu kita lakukan untuk merevitalisasi peternakan rakyat adalah melakukan upaya-upaya penyadaran untuk mengajak peternak agar menempatkan usaha ternak sebagai usaha pokok atau setidaknya cabang usaha dan memandangnya bukan sebagai tabungan melainkan aktivitas ekonomi penghasil profit. Untuk itu kita perlu memperkenalkan kepada mereka fungsi-fungsi lain dari usaha ternak yang secara totalitas akan meningkatkan penghasilan dan keberlanjutan usaha tani (farm sustainability). Bila perubahan sikap dan perilaku itu telah terjadi maka kami yakin kebutuhan akan berbagai masukan dan teknologi akan tumbuh dengan sendirinya pada mereka. Kita tidak akan kesulitan lagi memperkenalkan teknologi kepada mereka karena mereka sendirilah yang akan mencarinya. Yang perlu kita lakukan adalah mendampingi mereka untuk memilih teknologi tepat guna yang kompatibel dengan kondisi lingkungan di mana mereka berada sehingga usaha ternak dan usaha tani yang mereka kembangkan lebih diandalkan kepada ketersediaan sumberdaya lokal. Agar bisa menjadi pendamping yang efektif bagi peternak rakyat, kita harus mengenal mereka secara mendalam dan memahami persoalan-persoalan riel yang mereka hadapi sehari-hari. Untuk itu kita harus menggunakan pendekatan pastisipatif serta sering berada di tengah-tengah dan berdialog dengan mereka. Bagaimana bentuknya mari kita diskusikan. 5. Penutup Sudah barang tentu upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk merevitalisasi peternakan rakyat tidak sesederhana seperti yang kami kemukakan di atas. Harapan kami hal tersebut akan dapat kita diskusikan secara berkesinambungan melalui forum seperti ini dan melibatkan semua pihak terkait, sehingga pada suatu tahap dapat kita rumuskan langkah-langkah komprehensif yang memungkinkan terciptanya sinergisme di antara kita semua.
4
Bahan Bacaan Aho, P. 2000. Globalisation and the Independent Feed Mill. Feed International. April:12-13. Chantalakhana, C. 1990. Small Farm Animal Production and Sustainable Asgriculture. Food and Fertilizer Technology Centre (FFTC). Extension Bulletin. No, 309. 18p. Cheeke, P. R. 1999. Contemporary Issues in Animal Agriculture. Second Edition. Interstate Publishers, Inc. Danville, Illinois. USA. Esmail, S.H.M. 1999. Single-Cell Protein in Poultry Nutrition. Poultry. International. January:5658. Lihgfoot, C. 1990. Integration of Agriculture : A Route to Sustainable Farming System. Naga. The ICLARM Quaterry. January, 1990: 9–12. Lumbantoruan, M. 2001. Meningkatkan Pandaraman Warga dengan Sistim Usaha Tani Terpadu. Surat Parsaoran IMMANUEL. Vol. 111 (No. 11):54–57. -----------------------. 2002. Pengembangan Sistim Usaha Tani Terpadu dengan Introduksi Usaha Ternak Berorientasi Bisnis sebagai Starting Poinnya dalam Rangka Implementasi Konsep Pembangunan Berkelanjutan di Kawasan Danau Toba. Di dalam : Strategi Pembangunan Berkelanjutan dan Pengelolaan Kawasan Danau Toba. Prosiding Seminar Nasional. 6 April 2002. Partungkoan Batak Toba (Parbato) Medan, Yayasan Del Jakarta dan Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba (YPPDT) Jakarta. (18 hlmn). McMullin, P. 2003. Food Safety and Other Contemporary Industry Concerns. International. November: 33,34,36.
Poultry
Obias, E. D. 1988. Integrated Farming System and Waste Recyling. FFTC. Ext. Bull. No. 220. Pp.711. Reddy, C.V. 1999. Where Cassava Deserves More Attention. Pig International. March. Vol. 29. No. 3: 28,30 Sudaryanto, B., M. Winugroho, A. Djajanegara dan A.R.A. Karto. 1999. Potensi dan Kualitas Biomass Kebun Kelapa Sawit untuk Pakan Ternak Ruminansia. Dalam : Supriyati. (Penyunting). Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Anggaran 1998/1999. Buku I. Penelitian Ternak Ruminansia Besar, Unggas & Aneka Ternak dan Hijauan Makanan Ternak. Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Peternakan Departemen Pertanian. Hal. 1-8. Vaillancourt, J.P. 2002. Biosecurity Now. Poultry International. July 2002:12,14,16,18. van de Sluis, W. 1994. Local Breeds Fetch a Better Price. Misset-World Poultry. Vol. 9 No. 10:3031.
5