Jurnal Adminsitrasi Publik
Volume 3 Nomor 1, Juni 2012
REVITALISASI ETIKA ADMINISTRASI SEBAGAI MANIFESTASI PARADIGMA “ NEW PUBLIC SERVICE” DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN Ismanto
[email protected],
[email protected] Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Abstract : The praxis of ethics in Indonesia is being valued in the lowest standard, since many national-scale problems aroused and flooded headlines of mass media. State’s disability to overcome those problems responsively, naturally provoke public consciousness about those fundamental problems which are represented by some big scandal, namely: from Gayus to Cirus; BLBI to Century and Susno Duadji; from Nurdin, Nasrudin, Nazarudin to Syarifuddin; from Artalyta Suryani, Nunun Nurbaiti to Malinda Dee; from Qomariah-Ponco in Pekalongan to Arifinto, Anggodo and Anggoro; from Urip Tri Gunawan to Bulyan Royan, etc. In the different context, the low standard of development and public services can be seen as indicator of marginalized ethics in praxis. This condition is getting worse when imperfect regulation meets bad law enforcement and pragmatic orientation among bureaucrats as the resultante of the low standard of their welfare. Public policy and law then become comodities which can be transacted. Those are the reasons that a big breakthrough is urgently needed to be able to eradicate them. And ethics enforcement prospectively can be the answer because of its great opportunity to be accepted by the people which related to people’s great expectation, although its effectivity is depend on the strong commitment of the national leadership. Meanwhile, the ethics mainstreaming as seen on recent phenomena, theoritically relevan with the contemporary paradigm of public administration which positioning citizen as its focus of interest, not even constituent nor customer. This article will explore the praxis of ethics dimension and propose idea to overcome those problems in the near future. Keywords: ethics, law enforcement menyelesaikannya. Akibatnya, belum
PENDAHULUAN Carut marut mungkin adalah
juga
selesai
pekerjaan-pekerjaan
kata yang paling sering digunakan di
rumah di masa lalu, bertumpuknya
berbagai media untuk menggambarkan
masalah hari ini telah menyandera
kondisi
dan
negara untuk tidak mampu secara
bernegara kita saat ini. Reformasi yang
responsif mengatasi masalah yang ada,
dulu digadang-gadang dapat menjadi
bahkan nyaris gagal untuk proaktif
jembatan emas menuju kemajuan dan
mengantisipasi
kesejahteraan, kini dirasakan makin
perubahan di masa depan.
kehidupan
berbangsa
kemajuan
memang,
namun
dan
Carut marut juga mungkin
menjauh dari harapan. Tidak berarti tanpa
tantangan
adalah
kata
yang
tepat
untuk
yang
menggambarkan sejumlah tantangan
dihadapi terasa makin berat karena
dan problem mendasar yang dihadapi
nyaris
bangsa
kompleksitas
tanpa
permasalahan
diiringi
dengan
peningkatan kapasitas negara untuk
masalah
saat
ini. yang
Tantangan
dan
merepresentasi
86
Jurnal Adminsitrasi Publik
Volume 3 Nomor 1, Juni 2012
tata
bermuara
juga
jatidiri bangsa sebagai akar sebabnya.
berbagai anomali dalam kehidupan
Bangsa ini disadari tengah mengalami
berbangsa dan bernegara. Sejumlah
krisis identitas, krisis kepemimpinan,
kecenderungan berikut paling tidak
krisis keteladanan, hingga krisis moral.
“kegalauan”
sistemik
dalam
kehidupan
bermasyarakat,
pada
makin
Korupsi
menggambarkan sinyalemen tersebut,
terkikisnya
yang
makin
antara lain: kapitalisasi dan liberalisasi
menggurita dan melibatkan banyak
politik yang menjadi kiblat ekonomi
petinggi negara merupakan simptoma
dan politik, kemajuan demokrasi yang
yang nyata dari persoalan mendasar
tak berkorelasi dengan kesejahteraan
dimaksud. Juga hukum yang tak
ekonomi, sistem presidensial yang
mampu
gagal, rekrutmen politik yang asal,
masyarakat; kolusi, nepotisme, dan
demokrasi yang melahirkan oligarki,
praktik-praktik
aristokrasi dan bahkan dinasti-dinasti,
penyelenggara
otonomi daerah yang melahirkan raja
indikasi lain yang menjadi tontonan
dan ratu kecil di daerah, rakyat yang
masyarakat setiap hari. Sementara itu,
hanya
berbagai perilaku kekerasan di tengah
menjadi
komoditas
politik
memenuhi
rasa
keadilan
immoral negara
para
merupakan
dalam Pemilu dan Pemilukada, korupsi
masyarakat,
pelecehan,
yang makin menggurita, birokrasi
ketidakpedulian,
perjudian,
yang tersandera kepentingan, hukum
pelanggaran hak azasi, intoleransi,
yang terkebiri kekuasaan, partai yang
serta berbagai tindak kriminalitas yang
hanya jadi perahu sewaan, reformasi
makin kerap terjadi menjadi semacam
yang
bukti
kebablasan,
ekonomi
yang
yang
menunjukkan
bahwa
dimonopoli, lembaga perwakilan yang
bangsa ini sedang sakit. Inilah akar
tidak
yang
persoalan yang kita hadapi sebagai
prosedural, politik yang transaksional,
bangsa yang semuanya berakar pada
hingga gejala menuju negara yang
makin tergerusnya moralitas sebagai
gagal.
inti dari karakter manusia, jatidiri
mewakili,
Semua
terrepresentasi
demokrasi
anomali dari
kasus
tersebut Gayus
bangsa.
hingga Cirus; BLBI hingga Century
Dalam konteks yang serupa,
dan Susno Duadji; Nurdin, Nasrudin,
buruknya kualitas pelayanan publik
Nazarudin hingga Hakim Syarifuddin,
dan pembangunan daerah, serta KKN
Artalyta Suryani, Nunun Nurbaeti
yang merajalela di berbagai daerah,
hingga
dapat dipandang sebagai bentuk makin
Malinda
Dee;
Qonco
(Qomariyah-Ponco) hingga Arifinto;
terabaikannya
Anggodo
Agus
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Condro; serta Urip Tri Gunawan
Tak terkecuali di Provinsi Banten. Di
hingga Bulyan Royan. Semua menjadi
usianya yang telah memasuki satu
ikon persoalan mendasar bangsa yang
dasawarsa, citra Banten tak banyak
Widjojo
hingga
etika
dalam
87
Jurnal Adminsitrasi Publik
Volume 3 Nomor 1, Juni 2012
berubah dengan era sebelum menjadi
Kementerian Menteri Dalam Negeri
provinsi.
(2010) - dengan skor 44,57 dan
Stigma
ketertinggalan, dan
peringkat keenam dari tujuh provinsi
kebodohan masih sangat melekat pada
baru di Indonesia - juga merupakan
wajah Banten hari ini. Keempat stigma
indikasi
itu memang bukan hanya identik
penyelenggaraan
dengan Banten, karena tidak sedikit
pembangunan
daerah lain di Indonesia yang memiliki
selama lebih dari satu dasawarsa ini.
keterbelakangan,
kemiskinan,
dari
distorsi
dalam
pemerintahan
di
Provinsi
dan
Banten
karakteristik yang sama, bahkan lebih
Sebagaimana dinyatakan secara
buruk dari Banten. Namun, letak
hipotetis di atas, rendahnya kualitas
Banten yang hanya ± 90 km dari
pembangunan dan pelayanan publik di
ibukota negara membuatnya menjadi
daerah
fenomena
yang
karena rendahnya kinerja aparatur
merepresentasi berbagai anomali dan
pemerintah, namun lebih mendasar
patologi
dari
luar
biasa
dalam
pelaksanaan
terjadi
itu
bukan
adalah
semata-mata
karena
tidak
nilai-nilai
moral
pembangunan dan penyelenggaraan
terinternalisasinya
pemerintahan yang dilakukan selama
dalam diri para penyelenggara negara
ini.
di Tingginya
persepsi
korupsi
daerah
menjadi
dan
dibandingkan
sebagaimana
perilaku
mementingkan diri dan kelompok
dalam penyelenggaraan pemerintahan pembangunan
sehingga
lebih
mengemuka
dengan
dilansir oleh Komisi Pemberantasan
publik.
Korupsi
survey
akuntabilitas, partisipasi, efisiensi, dan
Integritas Pemerintahan Daerah yang
efektivitas seringkali diabaikan dalam
rendah
penyelenggaraan
(KPK)
melalui
(5,66),
serta
Transparansi
Akibatnya
kepentingan transparansi,
pemerintahan
Internasional Indonesia (TII) melalui
sehingga berdampak terhadap makin
Indeks Persepsi Korupsi yang cukup
berkurangnya
tinggi (4,87), merupakan buah dari
untuk mendapatkan keadilan sosial.
rendahnya kualitas tata kelola dalam
Karena alasan inilah maka menelaah
penyelenggaraan
berbagai
pemerintahan
dan
hak-hak
anomali
masyarakat
tersebut
Sejumlah
relevan
dan
menjerat
dengan
menggunakan
beberapa pejabat pemerintah Provinsi
perilaku
(behaviouralism),
Banten hanyalah puncak gunung es
memusatkan
dari fenomena korupsi, kolusi, dan
implementasi
nepotisme yang faktanya mungkin
birokrasi dan pemerintahan.
pembangunan perkara
daerah.
korupsi
yang
mendasar
melihatnya pendekatan
perhatian etika
lebih
dalam
dengan pada praktik
jauh lebih menggurita dibanding apa
Makalah ini bertujuan untuk
yang nampak di permukaan. Kinerja
mengeksplorasi berbagai problematika
provinsi yang dinilai buruk oleh
etis dalam praktik pemerintahan di
88
Jurnal Adminsitrasi Publik
Indonesia,
Volume 3 Nomor 1, Juni 2012
sekaligus
menggagas
administration.” (Cooper,
2001:38)
alternatif solusi guna dapat menjadi
Demikian pula halnya dengan Waldo
jawaban
(1948) yang telah jauh lebih dahulu
atas
berbagai
anomali
meyakini tesis bahwa “Those who
tersebut?
study administration study values and those who practice administration
TINJAUAN TEORI dalam
practice the allocation of values.”
kehidupan berbangsa dan bernegara di
(Cooper, 2001:38) Relasi etika dan
atas
dengan
administrasi publik itu secara tegas
menggunakan teori-teori tentang etika
juga dijelaskan oleh Frederickson dan
sebagaimana dijelaskan oleh Bertens,
Walling sebagai berikut:
dan Solomon. Secara khusus tinjauan
“In government administration values are most often taken to mean political or policy values. Political values such as who should hold elected office and who should exercise the sanctioned power of the state connect to public administration because bureaucrats and civil servants often have extensive discretion. Policy values such as choices between spending on program A versus program B are influenced by administrators. Political and policy values and preferences such as these are often connected to matters of ethics. For example, if a police department deploys shifts and forces in such a way as to leave neighborhoods which need protection without that protection while other neighborhoods are protected, there is an issue of policy ethics. Policy ethics issues such as this are seldom the focus of study in public administration.” (Cooper, 2001:38)
Berbagai
masalah
akan
ditelaah
etika administrasi dilakukan dengan menggunakan dijelaskan
teori
oleh
sebagaimana
Cooper,
serta
Frederickson dan Walling. Teori New Public Service dari Denhardt dan Denhardt
juga
digunakan
guna
membangun relevansi antara urgensi etika
dengan
paradigma
ilmu
administrasi kontemporer. Dalam Merriam-Webster’s Dictionary (www.merriamwebster.com), etika dimaknai dengan “the discipline dealing withwhat is good and bad and with moral duty and obligation”, di samping berarti juga “1) a set of moral principles or values; b) a theory or system of moral values the present-day materialistic ethic; 3) the principles of conduct governing an individual or a group professional ethics; 4) a guiding philosophy.” Dengan definisi yang senada, Solomon memaknai etika sebagai “Ethics is that part of philosophy which is concerned with living well, being a good person, doing the right thing, getting along with other people and wanting the right things in life. Ethics is essential to living in society, any society, with its various traditions, practices and institutions.” (Zimmerli, 2007:13) Cooper (1990)
menjawab
relasi etika dan administrasi, bahwa ” Values
are
the
soul
of
public
Berdasarkan
sejumlah
pemahaman tersebut, substansi etika sebenarnya adalah nilai-nilai moral, sehingga pelanggaran etika juga adalah pelanggaran
moral.
Perbedaannya
tentu saja ada pada wilayah ruang lingkup,
serta
perkembangan
sejarah
kata
maknanya.
dan
Dalam
kaitannya dengan itu, makna etika seringkali dirancukan dengan istilah etiket
dalam
praktiknya.
Etiket
89
Jurnal Adminsitrasi Publik
sebenarnya
Volume 3 Nomor 1, Juni 2012
berasal
dari
bahasa
kondisi
keterpurukan
yang
nyata.
Perancis ”étiquette” yang berarti ”the
Kondisi inilah yang menurut Hart
conduct or procedure required by
(Cooper, 2001:38)) akan mendorong
good
bangkitnya kesadaran
breeding
or
prescribed
by
etis tentang
authority to be observed in social or
pentingnya etika adminstrasi. Hal ini
official
dapat disimpulkan dari konstatasinya
life”
webster.com)
(http://www.merriamatau
“the
form
of
sebagai berikut:
kendati memiliki titik singgung yang
“But out of the stupidities of those bad times has come a growing seriousness about administrative jethics, and the comprehension that ethics must be the foundation upon which all management is practiced. It has been argued herein that of all the ethical systems, the ethics of virtue is most congenial to our human nature.” Dalam konteks ilmu
sama, yaitu terkait dengan perilaku
administrasi
manusia.
kesadaran etis tersebut dapat dikaitkan
conduct or behaviour prescribed by custom or authority to be observed in social,
official
life.”(Queen’s
or
professional
English
Dictionary,
2005). Kata etiket tidak memiliki hubungan
langsung
Hart
dengan
etika,
publik,
bangkitnya
meyakini bahwa etika
dengan munculnya paradigma New
dalam kehidupan organisasional, baik
Public Service (NPS) sebagaimana
politik maupun administrasi, masih
dibangun oleh Denhardt dan Denhardt
relatif terabaikan. Etika masih sekedar
(2007:45-63)
menjadi komitmen yang sifatnya taken
mendasarkan dari pada warga negara
for granted, bukan mewujudkan nilai-
(the
nilai etis tersebut dalam menjalankan
kedaulatan
tugas organisasionalnya.
sebenarnya,
“Leaders—whether elected officials, agency heads, CEOs, or university presidents—too often protest that they are ' 'too busy'' to spend time reading books, or going to classes. They tend to take their own ethical commitments for granted, not realizing that of all the disciplines necessary for running an organization, none demands as much effort as ethics. Further, the ethics of virtue is even more demanding, because it requires individuals to intentionally shape their moral character around virtue.” (Cooper, 2001:38)
mendapatkan pelayanan paripurna dari
yang
citizen)
salah
satunya
sebagai
negara
pemilik
yang sah
yang
dan
harusnya
negara. Karenanya negara harusnya bukan hanya mengendalikan (steering) dan memuaskan pelanggannya atau konstituennya melayani Kesadaran
saja, seluruh
untuk
melainkan masyarakat.
melayani
warga
negara dengan sebaik-baiknya inilah yang
merupakan
manifestasi
dari
kembalinya kesadaran etis sebagai mainstream dalam ilmu administrasi
Terabaikannya
dalam
publik. Inilah yang diformulasi dengan
serta
sangat elegan oleh Denhardt dan
kehidupan sosial politik di berbagai
Denhardt pada bagian awal bab 3
negara,
bukunya tersebut, sebagai berikut:
penyelenggaraan
telah
etika negara
menciptakan
suatu
90
Jurnal Adminsitrasi Publik
”Serve citizens, not customers. The public interest is the result of a dialogue about shared calues rather than the aggregation of individual selfinterests. Therefore, public servants do not merely respond to the demands of ”customers,” but rather focus on building relationship of trust and collaboration with and among citizens.” Secara lebih lengkap, Denhardt dan Denhardt mengabstraksikan paradigma NPS ini sebagai berikut: 1. Serve Citizens, Not Customers: The public interest is the result of a dialogue about shared calues rather than the aggregation of individual self-interests. Therefore, public servants do not merely respond to the demands of ”customers,” but rather focus on building relationship of trust and collaboration with and among citizens (Chapter 3) 2. Seek the Public Interest: Public administrators must contribute to building a collective, shared notion of public interest. The goal is not to find quick solutions driven by individual choices. Rather, it is the creation of shared interests and shared responsibility (Chapter 4) 3. Value Citizenship Over Entrepreneurship: The public interest is better advanced by public servants and citizens committed to making meaningful contributions to society than by entrepreneurial managers acting as if public money were their own (Chapter 5) 4. Think Strategically, Act Democratically: Policies and programs meeting public needs can be most effectively and responsibly achieved through collective efforts and collaborative processes (Chapter 6) 5. Recognize that Accountability Isn’t Simple: Public servants should be attentive to more than the market; they should also attend to statutory and constitutional law, community values, political norms,
Volume 3 Nomor 1, Juni 2012
professional standards, and citizen interests (Chapter 7) 6. Serve Rather than Steer: It is increasingly importan for public servants to use shared, value-based leadership in helping citizens articulate and meet their shared interests rather than attempting to control or steer society in new directions (Chapter 8) 7. Value People, Not Just Productivity: Public organizations and the net-works in which they participate are more likely to be succesful in the long run if they are operated through processes of collaboration and shared leadership based on respect for all people (Chapter 9). (Denhardt dan Denhardt, 2007:45-63) Ketujuh preposisi paragidma NPS inilah yang pada akhirnya penulis simpulkan
sebagai
abstraksi
dan
akumulasi dari kesadaran etis yang kembali mewarnai diskursus akademik tentang ilmu administrasi publik, yang muncul
dari
fakta-fakta
empiris
terabaikannya etika dalam praksis administrasi publik selama ini yang telah
berakibat
terabaikannya sebagai
pada
hak-hak
pemilik
makin
masyarakat
kedaulatan
atas
negara.
PEMBAHASAN Diabaikannya praktik Indonesia
etika
administrasi sebagaimana
dalam
publik
di
gejalanya
dirasakan dan terrrepresentasi dari berbagai kasus yang dikemukakan di bagian
pendahuluan,
merupakan
simptoma dari maladministrasi yang harus menjadi public concern untuk diatasi. Bila tidak, tentu ini akan makin merasuk jauh ke dalam sendi-sendi
91
Jurnal Adminsitrasi Publik
Volume 3 Nomor 1, Juni 2012
kehidupan masyarakat, yang dapat
Cooper (1967) bahwa “Who studies
makin menjauhkan bangsa Indonesia
administration studies values, and who
dari cita-citanya untuk dapat menjadi
practices administration practices the
bangsa
makmur
allocation
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2005:301)
yang
adil
dan
Dalam
of
values.”
(Screurs,
implementasi
Ungkapan prepositif Cooper di
penegakan kode etik, penerapan ketiga
atas tadi tampaknya relevan dengan
dimensi etika individual, sosial, dan
masalah
lingkungan sebagaimana dijelaskan di
bangsa ini,
atas,
sampai
harus
memperhatikan
deontologis
maupun
Deontologi
aspek
teleologisnya.
menekankan
kewajiban-kewajiban
pada
dan
kekinian
dihadapi
yang disinyalir telah
pada
mendasar
yang
krisis
yakni
Karenanya,
yang
paling
krisis
nilai.
ilmu
administrasi
larangan
menemukan peran pentingnya sebagai
yang harus dipatuhi seseorang sebagai
ilmu yang mempelajari tentang nilai
diri, dalam masyarakat, dan sebagai
dan
bagian dari lingkungannya. Sedangkan
tersebut dalam kehidupan berbangsa
teleologi
dan bernegara. Dan karena hal ini
menekankan
pada
mengalokasikan
kemanfaatan yang dapat diperoleh
pulalah
karena
dikemukakan
dilaksanakannya
nilai-nilai
nilai-nilai
tampaknya
apa
oleh
yang
Atmosudirdjo
etika dimaksud, tidak hanya bagi
(2003)
dirinya sendiri (egoisme etis), maupun
bahwa pada dasarnya yang dituntut
bagi
masyarakat
masyarakatnya
dan
lingkungannya
(utilitarianism).
Di
samping
prinsip-prinsip
etis
itu
menemukan
saat
relevansinya
ini
hanyalah
mencakup dua hal mendasar yakni beresnya
urusan
sebagaimana ditemukan dalam filsafat
kemasyarakatan/kenegaraan
moral juga harus menjadi landasan
menuntut eksistensi ilmu administrasi
dalam
sebagai
penerapan
etika,
yang
jawaban
untuk
yang
membuat
mencakup enam prinsip utama yaitu:
segala
estetika, equality, goodness, keadilan,
terselesaikan
liberty, dan kebenaran. Dan bilamana
ketertiban dan kedamaian dalam hidup
prinsip-prinsip ini dapat diakomodasi
bermasyarakat
dalam kode etik para penyelenggara
berkembangnya ilmu hukum sebagai
negara, dan terlaksana dalam praktek
sarana untuk menjamin tidak ada pihak
administrasi publik di Indonesia, maka
yang dirugikan oleh perbuatan atau
tentu keindahan, persamaan, kebaikan,
sikap pihak lain dalam kehidupan
keadilan, kebebasan dan kebenaran
bermasyarakat.
bagi setiap orang akan terwujud dengan
sebenar-benarnya.
sebenarnya
yang
dimaksud
Inilah oleh
urusan
Di administrasi
terselenggara dengan
yang
samping sebagai
baik,
dan serta
menuntut
itu,
ilmu
“...universal
process of efficiently getting activities
92
Jurnal Adminsitrasi Publik
Volume 3 Nomor 1, Juni 2012
completed with and through other
pesat
people”
manusia yang menjalankan fungsi-
sebagaimana
dikemukakan
justru
menjadikan
Robbins (1983) juga penad dengan
fungsi
tesis yang dikemukakan Atmosudirdjo
ubahnya seperti robot yang bekerja
di atas, kendati Robbins menambahkan
tanpa dilandasi oleh nilai-nilai karena
dua kata kunci yang kemudian menjadi
tuntutan kehidupan materialistis yang
pusat
makin
telaahan
ilmu
administrasi
administrasi
manusia-
menjadi
mendesak.
tak
Akibatnya
dan
pencapaian tujuan menjadi panglima
pemberdayaan manusia sebagai pelaku
dan mengesampingkan dimensi proses
perubahan yang diharapkan. Pfifner
yang menuntut tidak hanya efisiensi
(1970)
namun juga keterlibatan nilai-nilai
hingga
kini,
yaitu
efisiensi
sebelumnya
menambahkan
kata
juga
kunci
melalui
etika
didalamnya
guna
menjamin
tesisnya bahwa “Administration may
harkat dan martabat manusia tetap
be
dalam kedudukannya
defined
as
organisation
and
yang mulia.
direction of human and material
Manusia tidak hanya ditempatkan
resources to achieve desire ends.”
sebagai faktor-faktor produksi maupun
Tesis Walter pada akhirnya secara
pelaksana
spesifik menyempurnakan eksistensi,
mekanistis, namun lebih dari itu
definisi
diperankan
dan
ruang
lingkup
ilmu
administrasi
sebagai
yang
pembimbing
penyebutan
masyarakat sehingga ketertiban dan
proses-proses kunci di hulu dan hilir
kedamaian sebagai the end of goal
aktivitas
sebagai
administrasi
melalui
administrasi
yang
tujuan
utama
proses
menentukan tercapai tidaknya desire
administrasi dapat terwujud. Peran
end yang dimaksud oleh Pfifner,
inilah yang dalam bahasa agama
bahwa “administration is the process
disebut sebagai khalifah fil ardh yang
of planning, organizing, managing,
bermakna pengatur dan atau pencipta
appraising,
kesejahteraan di muka bumi.
and
controlling
an
Di samping itu, administrasi
enterprise.” Persoalannya adalah, bahwa
publik yang bekerja dalam lingkungan
telah
politik seringkali mengalami tekanan
berkembang pesat dan menjangkau
sehingga seringkali tak bebas dari
luas kehidupan masyarakat saat ini
kepentingan
politik
yang
ternyata
Praktik
politik
praktik
administrasi
tidak
yang
dibarengi
dengan
menaunginya.
etika
dalam
menghalalkan
berkembangnya
segala
cara
yang
kesehariannya, sehingga pendekatan
menggejala di era liberalisasi politik
dalam
lebih
dan ekonomi seperti saat ini, memaksa
dipengaruhi oleh pendekatan yang
birokrasi untuk berada pada posisi
positivistik
materialistik.
sebagai induk semang bagi parasitisme
Teknologi yang berkembang sangat
politik yang menggerogoti birokrasi
praktik
administrasi
dan
93
Jurnal Adminsitrasi Publik
Volume 3 Nomor 1, Juni 2012
sehingga main jauh dari efektivitas dan
theory yang lebih berorientasi pada
efisiensi yang seharusnya menjadi
penghargaan atas kemampuan individu
orientasi
dibandingkan
kerjanya.
Isu
pemerasan
Badan-badan Usaha Milik Negara
dengan
kemampuan
publik secara bersama-sama. Sejumlah
(BUMN) sebagaimana sedang bergulir
kelemahan
dalam
saat ini merupakan indikasi nyata dari
paradigma NPM inilah yang kemudian
sinyalemen ini. Dan dalam konteks
melahirkan paradigma NPS sebagai
inilah etika dibutuhkan melekat dalam
antitesisnya. NPM yang meyakini
setiap
bahwa
proses
dan
tindakan
diibaratkan
administrasi. Dalam administrasi
organisasi
konteks publik
teori
ilmu
kontemporer,
sehingga
pemerintah
sebagai peran
sebuah
kapal,
pemerintah
hanya
sebagai nakhoda yang mengarahkan
memandang berbagai permasalahan
(steering)
mendasar
mengayuh (rowing) kapal tersebut,
bangsa
sebagaimana
lajunya
kapal
disebutkan di atas dari sudut pandang
banyak
etika
menemukan
mengingat dampaknya yang mereduksi
relevansinya dengan paradigma ilmu
fungsi domestikasi pemerintah. Tugas
administrasi publik kontemporer yang
pemerintah
telah
dari
penyempitan, yang hanya berperan
pardigma Old Public Administration
sebagai pengarah sehingga dapat lebih
(OPA) ke New Public Management
berkonsentrasi
(NPM), serta dari NPM menuju New
persoalan-persoalan
domestik
Public Services.
internasional
lebih
tampaknya
mengalami
pergeseran
NPM muncul pada tahun 1990 yang
merupakan
antitesis
dari
misalnya
mendapat
bukan
kritik
menjadi
mengalami
untuk
yang
persoalan
pertumbuhan
tajam
mengurusi dan
strategis,
meningkatkan
ekonomi
dan
paradigma Old Public Administration
perdagangan luar negeri. Paradigma
yang berbasis traditional ruled based,
steering rather than rowing ala NPM
authority
dengan
inilah yang dikritik sebagai paradigma
pendekatan baru yang berbasis market-
yang melupakan siapa sebenarnya
based dan competition driven based.
pemilik kapal (who owned the boat?)
Dengan demikian paradigma ini lebih
sehingga meletakkan warga negaranya
menekankan pada perubahan perilaku
dalam posisi yang marjinal sebagai
pemerintah agar menjadi lebih efektif
dampak
dan efisien dengan mengurangi peran
individualisme
pemerintah di satu sisi serta membuka
Padahal seharusnya pemerintah lebih
peran swasta dalam porsi yang lebih
dapat memfokuskan usahanya untuk
besar dalam memenuhi kebutuhan
melayani dan memberdayakan warga
masyarakat. Dan
negaranya
driven
process
karenanya NPM
lebih menekankan pada public choice
dari
sesungguhnya
liberalisasi yang
karena pemilik
dan
didewakan.
merekalah “kapal”
94
Jurnal Adminsitrasi Publik
tersebut.
Volume 3 Nomor 1, Juni 2012
yang
praktik administrasi publik inilah yang
kedaulatan
kini menjadi perhatian bersama di
Merekalah
sesungguhnya
pemiliki
sebagaimana menjadi dasar filosofis
tengah
dari sistem demokrasi yang dianut.
pengabaian terhadap nilai-nilai etis
Karena inilah maka paradigma NPS
dapat
dipandang
makin
menggejalanya
dalam penyelenggaraan negara dan
sebagai
pemerintahan saat ini. Korupsi yang
kesadaran
etis
untuk
merajalela bukan hanya merupakan
warga
negara
pada
fenomena hukum semata, melainkan
tempatnya yang benar, yaitu sebagai
fenomena administrasi dan bahkan
pemilik kedaulatan yang sah, yang
fenomena moral, yang bersumber dari
wajib dilayani dengan sebaik-baiknya
terabaikannya ide ketertiban, efisiensi,
oleh pemerintah, sebagai manifestasi
kemanfaatan,
dan
produktivitas,
nyata dari filosofi demokrasi yang
sebagaimana
pernah
dikemukakan
dianutnya. Itu sebabnya demokrasi
oleh Frederickson dan Walling (2001)
menjadi
yang
di atas, dan dikutip kembali oleh
mendasari lahirnya paradigma NPS
Ginanjar Kartasasmita dalam orasi
ini,
mampu
ilmiahnya pada Dies Natalis ke-41
menempatkan citizen sebagai people
FISIPOL UGM Tahun 1996 dengan
who owned the boat, sehingga dapat
tajuk makalah “Etika Birokrasi dalam
“memaksa” pemerintah untuk kembali
Administrasi
pada peran idealnya sebagai public
Tantangan
servant, yang melayani rakyat dengan
Globalisasi”, sebagai berikut:
sebaik-baiknya,
“Etika adalah dunianya filsafat, nilai, dan moral. Administrasi adalah dunia keputusan dan tindakan. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan administrasi adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan (get the job done). Pembicaraan tentang etika dalam administrasi adalah bagaimana mengaitkan keduanya, bagaimana gagasan-gagasan administrasi ---seperti ketertiban, efisiensi, kemanfaatan, produktivitas-- dapat menjelaskan etika dalam prakteknya, dan bagaimana gagasangagasan dasar etika --mewujudkan yang baik dan menghindari yang buruk itu—dapat menjelaskan hakikat administrasi.”
kembalinya menempatkan
primary
yang
theory
diharapkan
bukan
sekedar
melakukan steering apalagi membatasi perannya dengan memberi peran lebih luas bagi terjadinya liberalisasi politik dan ekonomi. Dengan kembalinya kesadaran etis dalam paradigma NPS ini, maka nilai-nilai etika berpeluang menjadi “panglima”
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
pelayanan
publik.
praktik dan
Keharusan
menempatkan rakyat sebagai pemilik kapal mendorong pemerintah untuk
Pembangunan: Menghadapi
Era
dapat meningkatkan kinerjanya dalam menyediakan pelayanan publik yang efektif dan efisien, transparan, serta akuntabel.
Nilai-nilai
etis
dalam
Penegakan
hukum
atas
berbagai kasus yang terjadi tentu menjadi
keniscayaan
guna
95
Jurnal Adminsitrasi Publik
Volume 3 Nomor 1, Juni 2012
menegakkan etika sosial yang telah
manusiawi
dilanggar.
penindakan dan pencegahan terhadap
Namun
demikian
law
untuk
enforcement dirasakan sangat tidak
berbagai
cukup akhir-akhir ini. Defisit keadilan
maraknya praktik maladministrasi saat
yang dirasakan masyarakat sebagai
ini. Persoalannya hanya terletak secara
dampak dari berliku-likunya proses
teknis
penegakan hukum serta penegakan
penegakan
hukum yang berbiaya mahal, menuntut
hasil-hasil persidangan majelis kode
ada jalan alternatif guna memecah
etik
kebuntuan dalam menegakkan etika
tersebut sebagai bagian dari
sosial sekaligus mencegah meluasnya
alternative dispute resolution ataupun
pelanggaran
mediasi
etika
dalam
praktik
kasus
melakukan
immoralitas
pada
dan
bagaimana
hukum
atau
otoritas
mengakomodasi
badan
penal
yang
kehormatan
yang
pro
proses
justitia.
Artinya proses penegakan kode etik
administrasi di Indonesia. Dalam konteks inilah gagasan
yang
dilakukan
majelis
terkait
untuk merevitalisasi penegakan kode
nantinya dapat diakui hasilnya sebagai
etik di kalangan para penyelenggara
penyelesaian
negara menemukan momentumnya.
melalui proses hukum, namun tentu
Kebutuhan akan adanya Dewan Etik
dengan
atau Badan Kehormatan di setiap
tertentu dimaksud di atas.
hukum
kondisi
Dalam
kementerian, lembaga negara, hingga
tanpa
dan
konteks
harus
syarat-syarat
apa
yang
lingkungan
dilaporkan oleh Menteri Negara Badan
pemerintahan daerah dirasakan sudah
Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan
sangat mendesak untuk membantu
Iskan
mempercepat
proses
Dewan Perwakilan Rakyat Republik
hukum
memperkecil
satuan
kerja
di
penegakan
kepada
Badan
Kehormatan
ruang
Indonesia (BK DPR RI) beberapa
terjadinya penyimpangan etika sosial
waktu lalu, tampaknya relevan dengan
dalam keseharian praktik administrasi
apa yang penulis tesiskan di muka.
publik yang dijalankan oleh para
Pembuktian yang tidak terlalu rigid
penyelenggara negara.
terhadap pelanggaran etika diharapkan
serta
Formalisme yang kerap kali menyebabkan
berbelitnya
proses
dapat membantu bangsa ini perlahan tapi pasti keluar dari ”kemelut”.
hukum tentu dapat dihindari karena
Kelemahan
tidak terikatnya proses penegakan
memberikan efek jera sebagai dampak
kode etik pada hukum-hukum acara
sosialnya,
yang bersifat rigid. Di samping itu,
sanksi moral sosial yang diberikan dari
biayanya yang sangat murah dengan
sebuah
proses yang cepat serta berorientasi
sehingga perlahan tapi pasti pula nilai-
pada
nilai moral akan kembali menghiasi
social
recovery,
bukan
punishment, merupakan cara paling
sistem
dapat
proses
hukum
terbantu
penegakan
untuk
dengan
etika,
kehidupan masyarakat sehari-hari.
96
Jurnal Adminsitrasi Publik
Volume 3 Nomor 1, Juni 2012
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
New Public Service yang dibangun
nantinya mungkin tidak akan lagi
oleh Denhardt dan Denhardt (2007)
dapat bertindak sesuka hatinya dengan
merupakan abstraksi dan akumulasi
datang dan pulang sekehendaknya,
dari kesadaran etis dimaksud, yang
berpakaian seenaknya, berjalan-jalan
kemudian diformulasi dalam 7 (tujuh)
pada jam kerja sesukanya, hingga
preposisi, yaitu: Serve Citizens, Not
membaca koran dan/ atau bermain
Customers; Seek the Public Interes;
game online pada jam kerja; karena
Value
bila suasana etis telah tumbuh di
Entrepreneurship;
kalangan birokrasi maka perilaku-
Accountability Isn’t Simple; Serve
perilaku tersebut dapat ”diperkarakan”
Rather than Steer; dan Value People,
sebagai bentuk pelanggaran etis yang
Not Just Productivity.
Citizenship
etis ini ditegakkan secara kolektif
penyelenggara
karena
sedemikian
bersama
Recognize
that
Penegakan etika di kalangan
serius. Dan bila kemudian pelanggaran
kesadaran
Over
negara
sudah
mendesak
untuk
sebagaimana dimaksud oleh Denhardt
dilakukan.
dan Denhardt (2007) dalam paradigma
berbagai deviasi dan anomali yang
NPS-nya di atas, dan atas pelanggaran
makin marak menggejala dan hampir
etis tersebut dijadikan secara formal
tak tertanggulangi oleh kemampuan
sebagai pertimbangan tidak hanya atas
penegak hukum untuk mengatasinya,
kinerjanya
jejak
namun lebih dari itu adalah untuk
rekamnya untuk pertimbangan dalam
membantu mempercepat penegakan
promosi, mutasi, hingga terminasi
hukum itu sendiri. Bangsa Indonesia
pegawai. Dan pada akhirnya, bila hal
yang besar ini harusnya tidak boleh
ini dapat dilakukan secara sistemik,
terbelenggu oleh satu jalan semata
maka kesadaran etis ini akan menjadi
dalam penyelesaian berbagai kasus
code of conduct tidak hanya bagi PNS
tindak pidana, melainkan merintis
namun juga bagi masyarakat secara
jalan lain yang sesuai dengan budaya
keseluruhan. Dan pada kondisi inilah
dan kepribadian bangsa agar lebih
ketujuh tesis Denhardt dan Denhardt di
produktif, efisien, efektif, dan mampu
atas baru akan termanifestasi secara
berkontribusi
nyata.
terhadap pencapaian tujuan bangsa.
melainkan
juga
Tidak
Dalam
KESIMPULAN
hanya
secara
karena
signifikan
konteks
inilah
etis
kehadiran majelis-majelis kode etik di
sebuah
setiap kementerian, lembaga negara,
keniscayaan atas sejumlah anomali dan
hingga di tingkat satuan-satuan kerja
deviasi yang terjadi dalam praksis
menjadi
administrasi tidak hanya di Indonesia
keniscayaan. Agar tersedia banyak
melainkan juga dunia. Dan paradigma
jalan
Bangkitnya masyarakat
kesadaran
merupakan
kebutuhan,
bagi
bangsa
bahkan
ini
untuk
97
Jurnal Adminsitrasi Publik
menyelesaikan
Volume 3 Nomor 1, Juni 2012
masalahnya
secara
optimis dan produktif. Amien..
DAFTAR RUJUKAN Atmosudirdjo, Prajudi. Dasar-dasar Ilmu Administrasi. 2003. Ghalia Indonesia. Jakarta Bertens, K. Etika. 2001. Gramedia. Jakarta. Cooper, Terry L. 2001. Handbook of Administrative Ethics. 2nd Edition (revised and Expanded). Marcel Dekker Inc. New York Basel Encyclopaedia Britannica. 2005. DVD Version Denhardt, Janet Vinzant. Robert B. Denhardt. 2007. “The New Public Service: Serving Not Steering”. Expanded Edition. M.E. Sharpe, Armonk, New York. Kartasasmita, Ginanjar. Etika Birokrasi dalam Administrasi Pembangunan: Private Limited Tantangan Menghadapi Era Globalisasi. 1996. Orasi Ilmiah Dies Natalis ke -41 FISIPOL UGM. Yogyakarta, 19 September 1996 Merriam-Webster’s Dictionary. 2005
Collegiate
Queen’s English Dictionary. 2005. Robbin, Stephen P. The Administrative Process. 1980. Prentice Hall of India. New Delhi Schreurs, Petra. The Value(s) of Public Administration. Journal “Administrative Theory and Praxis”, Vol.27 No.2, Leiden University. 2005 Zimmerli, Walther Ch. Et al. Corporate Ethics and Corporate Governance. 2007. Springer Berlin Heidelberg. New York
98