Implementasi Governance dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Studi Kasus Pemerintah Provinsi Bali) Program Studi Administrasi Negara FISIP Universitas Udayana Ni Nyoman Dewi Pascarani, S.S, M.Si, Ketut Winaya, Ni Wayan S, Kadek Chandra W Abstract Policy governance requires transparency, efficient, effective, professional and accountable that stands on the foundation of a healthy communication between the Government and the community. Society as a party to be served requires an increase in the quality of government services that utilize the utilization of information and communication technology. One such service is a means of improving the implementation of electronic government (e-government). This paper describes the application of e-government development in a variety of public service programs that run the Bali Provincial Government in Policy Governance concept. Key Words : Governance Implementation, Bali Province
I.
Pendahuluan Salah satu problematika lokal yang seringkali dihadapi adalah terkait pelayanan publik. Pelayanan publik yang responsif dengan kebutuhan masyarakat dengan sifatnya yang mereduksi atau memangkas in-efektifitas sekaligus in-efisiensi. Salah satu aplikasi program populer yang banyak dijalankan pemerintah daerah di masa sekarang adalah penerapan layanan e-Government. Layanan e-Government pertamakali berkembang di Amerika Serikat tahun 1993 setelah penggunaan internet dalam urusan pemerintahan yang teridentifikasi sejak 1970-an (Gronlund dalam Nurhadryani, 2009). Layanan e-Government berkaitan pemanfaatan teknologi informasi (seperti:wide area network, internet, serta bentuk komunikasi bergerak lainnya) yang diselenggarakan lembaga pemerintah. Sifat yang melekat dari penyelenggaraan e-Government adalah kemampuannya yang mentransformasikan hubungan Pemerintah dengan warga, pelaku dunia usaha (bisnis), maupun lembaga pemerintah lain yang kemudian menderivat ragam istilah G2C (Government to Citizen), G2B (Government to Business Enterprises), serta G2G (inter-agency relationship) (Djunaedi, 2002). Aktor dalam e-Government dibagi menjadi dua jenis. Pertama penyelenggara pemerintahan yang terdiri dari ; eksekutif (kementerian, UPTD, dinas/badan daerah, dsb), yudikatif dan legislatif, di level nasional, regional maupun lokal. Aktor kedua disebut end-user, terdiri dari sektor non-pemerintah maupun sektor privat yang saling berinteraksi (Nurhadryani, 2009). Penerapan teknologi e-Government memiliki tujuan beragam, antara lain pemberian layanan pemerintahan yang lebih baik kepada warganya, peningkatan interaksi dengan dunia usaha dan industri, pemberdayaan masyarakat melalui akses informasi, atau manajemen pemerintahan yang lebih efisien. Outcome yang diharapkan bermuara pada mereduksi tindak korupsi, penegakan integritas dan transparansi, kenyamanan, hingga meniadakan ekonomi biaya tinggi (rente informal, pungli, dll). Komitmen kebijakan terkait e-Government di suatu daerah mengalami pergeseran paradigmatik, Government Centric menuju Customer Centric yang menekankan faktor aksesibilitas layanan. Pergeseran paradigmatik tentinya mengarah pada konsekuensi New
Public Service (NPS), aktualisasi pergeseran old public administration ke paradigma new public service yang menyertakan perubahan pada tataran formulasi, impelementasi dan evaluasi kebijakan publik. Pada arah ini pelibatan komponen warga negara, institusi publik, perusahaan swasta dan Non Governmental Organization (NGO) merujuk pada proses governance sekaligus sebagai bentuk keterlibatan total otoritas publik. Terdapat optimalisasi otoritas publik secara optimal, baik pada bentuk pemberian ruang akses pendapat / suara bagi warga negara serta akomodasi persepsi stakeholders atas isu-isu yang menjadi konsentrasi publik di tingkatan fase formulasi maupun implementasi kebijakan yang dihasilkan, seperti yang diidealkan terjadi pada proses input maupun output kebijakan. 1.1.Perumusan Masalah Permusan Masalah yang diajukan pada penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah bentuk pelaksanaan governance pada Pemerintah Provinsi Bali? 2. Bagaimanakah capaian pelaksanaan governance dalam Pemerintah Provinsi Bali ? 1.2.Kerangka Konsep 1.Prinsip New Public Service Denhardt & Denhardt (dalam Puspitosari, 2010 : 60) menegaskan beberapa prinsip penting new public service. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: Pertama, serve citizens and customers. Prinsip ini menganggap apa yang menjadi kepentingan publik merupakan hasil dialog, bukan sekedar agregasi kepentingan individual. Pejabat publik tidak hanya merespon kebutuhan publik sebagai pelanggan, melainkan fokus untuk membangun relasi kepercayaan dan kolaborasi dengan warga, termasuk penjaringan persepsi para pemakai layanan. Masyarakat adalah warga negara sekaligus pelanggan yang harus diporsikan baik pada proses pemerintahan dan bernegara. Masyarakat adalah pemilik sah dari negara itu sendiri. Kedua, seek public interest, administrator publik harus memberikan kontribusi dalam mengembangkan gagasan tentang kepentingan publik. Tujuannya bukan sekedar menemukan solusi cepat berdasarkan pilihan individual, tetapi lebih pada penciptaan kepentingan sekaligus tanggungjawab bersama yang mengutamakan kepentingan publik bukan privat. Ketiga, citizenship over entrepreneurship, prinsip ini mengutamakan lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan. Kepentingan publik lebih baik apabila ditunjukkan dengan komitmen pejabat publik dalam membuat kontribusi bermakna ketimbang kepiawaian pejabat dalam mengembangkan diri sendiri. Keempat, think strategically, act democratically. Kebijakan publik dan program merupakan upaya pemenuhan kebutuhan publik dan dicapai efektif melalui usaha kolaboratif. Kelima, recognize that accountability not simple, dalam perspektif ini abdi masyarakat harus mematuhi peraturan perundang-undangan, nilai-nilai kemasyarakatan, norma politik, standar profesional, dan kepentingan warga negara. Keenam, serve rather than steer, pejabat publik membantu masyarakat mengartikulasikan apa yang menjadi kepentingan bersama daripada mengendalikan atau mengarahkan publik. Ketujuh, value people, not just productivity, organisasi publik akan berhasil secara jangka panjang bila bekerja secara kolaboratif dan berdasarkan kepemimpinan kolektif dengan menghargai semua masyarakat.
Salah satu implementasi New Public Service adalah layanan e-Government. Layanan yang diberikan pihak penyedia (baca : pemerintah daerah) dalam bentuk e-Government ini menjadi lebih aspiratif dengan kebutuhan masyarakat yang tak terikat ruang (bisa diakses melalui kantor, kampus, warnet, fasilitas pemerintah, media (melalui penggunaan PC, PDA, Mobile Phone) maupun waktu (akses 24 jam). Dalam aplikasi inilah pihak pemerintah daerah mengelola website daerahnya masing-masing, secara sektoral dinas tertentu, maupun pengelolaan terintegrasi dibawah pengawasan Dinas Perhubungan, Informasi & Komunikasi atau Kantor Pengolahan Data Elektronik & Komunikasi (KPDE & KOM), dengan ragam inovasi yang salah satunya terkait isi (konten) dalam e-Government. 2.Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif mengikuti prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif , yaitu berupa kata-kata tertulis dari perilaku yang diamati (Moleong, 2005:16). Penelitian ini diarahkan pada penggambaran latar serta individu secara holistik (menyeluruh). Untuk memperoleh data secara holistik, maka teknik pengumpulan data dari penelitian ini adalah melalui : a. Observasi, yaitu teknik penelitian dengan melakukan pengamatan langsung ke lokasi penelitian serta mencatat dengan sistematis fenomena yang diamati. Penggunaan teknik observasi ini dimaksudkan untuk mendapatkan data primer mengenai upaya yang dilakukan oleh badan teknis daerah terkait penyelenggaraan governance di pemerintah daerah. b. Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui tanya jawab secara langsung dimana pihak penanya (interviewer) berhadapan langsung secara fisik dengan pihak yang ditanyai (interviewee). Metode wawancara yang digunakan pada penelitian ini adalah metode wawancara mendalam (in-depth interview) dengan berpedoman pada daftar wawancara yang sudah dibuat / dipersiapkan sebelumnya (interview guide). Wawancara mendalam pada suatu penelitian bertujuan menghimpun keterangan tentang fenomena dalam masyarakat (Melly, 1994:129). c. Studi dokumen yaitu kegiatan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen atau data tertulis yang berhubungan dengan penelitian dalam hal ini. 3.Manfaat Penelitian Manfaat Akademis 1. Hasil penelitian ini diharapkan menambah khasanah ilmu pengetahuan bidang sosial, khususnya memberikan kontribusi pada mata kuliah yang diajarkan di Program Studi Administrasi Negara, yaitu Manajemen Layanan Publik serta Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Mata Kuliah Wajib Program Studi Administrasi Negara Semester III dan IV). 2. Hasil penelitian ini sekaligus dijadikan studi awal rencana pengembangan Laboratorium Program Studi Administrasi Negara yang nantinya salah satu visinya diproyeksikan bagi pengembangan studi kebijakan dan pelayanan publik di Provinsi Bali. Manfaat Praktis 1. Hasil penelitian dapat dijadikan rekomendasi yang bisa diakomodasi pihak Pemerintah Daerah terkait peningkatan kebijakan strategi dan standarisasi pelayanan publik. 2. Sebagai bahan masukkan bagi Pemerintah Provinsi Bali.
II.
TINJAUAN PUSTAKA Konsep Governance senantiasa erat kaitannya dengan penerapan e-Governance yang mana elemennya terdiri dari dua faktor penting yaitu ‘governance’ sebagai konsep utama dan ‘electronic’ atau ICTs (Information and Communication Technologies) sebagai alat untuk meningkatkan proses governance. Konsep governance berkembang sejak tahun 1980-an (Bevier,2007:364), sedangkan konsep e-Government pertamakali berkembang di Amerika pada tahun 1993 (Gronlund,2007:364), sementara konsep penggunaan internet dalam government mulai diidentifikasi sejak 1970-an (Gronlund,2007:364). Sejalan dengan berkembangannya konsep governance dan perkembangan ICTs berkembang pula konsep e-Governance, seiring dengan itu pula konsep e-Government dan e-Governance menjadi tumpang tindih. e-Governance seringkali didefinisikan sangat sederhana mirip dengan e-Government yaitu bagaimana pemerintah menggunakan ICTs untuk meningkatkan efisien terutama pada pelayanan publik (Yani, 2011). Kebanyakan penelitian e-Governance terkonsentrasi pada sektor publik, padahal konsep governance sesungguhnya yaitu terdiri dari banyak sektor, yang saling berhubungan dalam berbagai level/tingkat governance. Belakangan konsep e-Government terus berkembang, dengan menambahkan makna meningkatkan proses demokrasi, sehingga pendefinsian e-Government menjadi tumpang tindih pula dengan konsep e-Demokrasi. Pada dasarnya problema ini dikarenakan ketidakjelasan atas pemahaman konsep ‘governance’ sebagai konsep utama pada eGoverannce (Yani, 2011). Penelitian ini menjelaskan konsep ‘e-Governance’ yang diawali dengan menggali konsep ‘governace’ yang dikemukakan oleh Jon Pierre (2000) dan Mark Bevier (2007) untuk memahami ruang lingkup e-Governance serta hubungan antara e-Governance, e-Government dan eDemokrasi. Framework governance tersebut diintegrasikan dengan ICTs sehingga menghasilkan konsep e-Governance yang konprehensif. Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai perkembangan konsep governance atau kepemerintahan; pergeseran paradigman era ‘government’ menuju era ‘goverannce’. Perkembangan tersebut mencakup sektor-sektor yang terlibat dalam proses governance, level governance dan serta aspek penting dari proses governance yaitu demokrasi (Yani, 2011). 2.1.Governance: “Government” Menuju “Governance” Government atau pemerintah merupakan sektor publik yang mempunyai tugas utama menyelenggarakan pemerintahan yaitu melaksanakan proses pembuatan kebijakan (perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik) serta menyelenggarakan pelayanan publik (Zacher,2007:542). Pada dekade 1950-an dan 1960-an khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia dalam proses penyelengaraan pemeritahan terutama pembangunan ekonomi, pemerintah merupakan pemeran utama yang mempunyai wewenang yang besar dalam pembuatan kebijakan serta merupakan aktor yang dominan dalam pelaksanaan kebijakan (Santosa,2008:16 dalam Yani, 2011). Pada tahun 1990-an terjadi pergeseran wewenang yang disebut dengan pergeseran paradigma era ‘government’ (pemerintah) menjadi era ‘governance’ (kepemerintahan). Pergeseran yang dimaksud adalah transfer wewenang dari pemerintah kepada sektor nonpemerintah seperti sektor privat, lembaga swadaya masyarakat maupun masyarakat secara individual sehingga sektor non-pemerintah semakin meningkat dan terbuka aksesnya dalam proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan (Yamamoto, 2007, Antiroiko, Pierre, 2000).
Pergeseran ini terjadi dikarenakan kapasitas pemerintah yang kurang mampu dalam memenuhi perubahan tatanan organisasi (misalnya dengan terbentuknya organisasi internasional (misal PBB), dan organisasi regional (misalnya EU, ASEAN, APEC dll), tekanan sosial dan ekonomi (misalnya tuntutan untuk perubahan dalam kesejahteraan) serta berkembanganya proses globalisasi. Dengan demikian pemerintah tidak lagi menjadi aktor yang dominan namun bergantung pada pada sektor lainnya (Bevier,2007:364, Antiroiko,2007:23) Selain transfer wewenang dari pemerintah ke non-pemerintah, transfer wewenang juga terjadi antar level/tingkat governance. Level governance terdiri dari lima level yaitu level international, regional, nasional, regional dan lokal. Transfer wewenang antar level governance bisa dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, transfer wewenang ke level lebih tinggi, misalnya dari pemerintah pusat ke level international (PBB) atau level regional (EU, ASEAN,APEC). Hal ini dikarenakan semakin bertambahnya isu internasional/regional yang tidak bisa dikerjakan oleh pemerintah sendiri tetapi memerlukan koordinasi dengan negara lain atau organisasi internasional/regional untuk memecahkan masalah seperti isu perdagangan internasional, isu perubahan alam, penyakit endemik, kejahatan yang terorganisasi dll (Yani, 2011). Kedua, transfer wewenang ke level yang lebih rendah misalnya transfer wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal/daerah seperti proses desentralisasi. Salah satu tujuan desentralisasi adalah untuk meningkatkan pelayanan publik yang lebih responsif terhadap kebutuhan lokal, meningkatkan accountabilitas dan meningkatkan proses demokrasi. Terakhir, transfer wewenang dari pemerintah ke non-pemerintah (privat, organisasi nonprofit), misalnya pemerintah melimpahkan sebagian pekerjaannya dalam pelaksanaan pelayanan publik atau mentranfer sebagian asset pemerintah kepada sektor privat (privatisasi) dengan tujuan untuk meningkatkan effisiensi dan effectivitas (Pierre,2000,Bevier,2007). Transfer wewenang multi arah ini sependapat dengan yang dijelaskan oleh Yamamoto yang disebut dengan multilevel schema (Yamamoto,2007) dan multi actor (Yamamoto,2008 dalam Yani, 2012). Governance atau kepemerintahan adalah suatu proses dimana organisasi non-pemerintah (privat, organisasi non-profit) terus bertambah dalam penyelengggaraan pemerintahan (terutama proses pembuatan kebijakan dan penyelenggaraan pelayanan publik) secara simultan berkolerasi antar level local, regional, nasional, regional dan global. Sesuai dengan transfer wewenang yang bersifat multi arah (transfer antar sektor-sektor dan antar level governance) maka framework governance dapat dijelaskan dalam dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan horisontal. Tiap level governance terdiri dari tiga sektor yaitu sektor publik/ pemerintah, sektor privat dan sektor nonpemerintah (organisasi non-profit). 2.2.Partisipasi dan Aspek Penting Proses Governance Seiring dengan meningkatnya proses demokrasi, maka demokrasi juga merupakan aspek penting dalam proses governance. Demokrasi dapat diartikan sebagai kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi secara langsung atau memalui perwakilannya dalam proses pemerintahan (Nooris,2007;164). Antiroiko menjelaskan bahwa partisipasi dalam politik secara konvensional yaitu ikut serta dalam pemilihan umum atau menjadi anggota aktif dalam suatu partai, namun sekarang ini yang terpenting adalah partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. Partisipasi tidak selalu berarti ikut serta secara langsung tetapi partisipasi merupakan suatu proses yang kontinyu mulai dari partisipasi yang paling rendah (non-partisipasi) dimana masyarakat mempunyai kesempatan untuk menerima informasi saja (misal informasi mengenai permerintah), kemudian meningkat ke tahap yang lebih tinggi seperti berdiskusi mengenai isu politik, ikut serta dalam proses voting suatu referendum, ikut serta dalam organisasi masyarakat
atau organisasi politik tertentu, sampai dengan hal yang paling ekstrim yaitu ikut serta secara langsung seperti mengontrol implementasi kebijakan pemerintahan (Antiroiko,2004:36 dalam Yani, 2012). Partisipasi yang diterapkan pada setiap negara berbeda-beda sesuai dengan konteks dan jenis demokrasi yang dianut. Pada umumnya negara menganut sistem perwakilan. Demokrasi dalam sistem perwakilan menekankan pada komunikasi atau interaksi antar masyarakat, pemerintah dan pegawai pemerintahan dan meningkatkan kesempatan pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan sesuai dengan aspirasi masing-masing (Antiroiko,2004:42). Disini terlihat hal yang penting dalam proses demokrasi adalah partisipasi termasuk komunikasi. Komunikasi berarti ada aliran informasi antar aktor yang terlibat. Aspek terpenting dari proses governance adalah banyaknya sektor yang terlibat dan saling berinteraksi dalam level yang sama maupun berbeda serta pentingnya proses demokrasi yang bertujuan untuk meningkatkan proses pembuatan kebijakan dengan cara meningkatkan kesempatan partisipasi semua sektor melalui distribusi informasi dan melakukan komunikasi. Pada bagian analisa dan pembahasan akan dibahas bagaimana peranan ICTs dalam proses governance yang kompleks tersebut merupakan inti dari konsepsi e-Governance (Yani, 2011). 2.3.Framework E-Governance Berdasarkan penjelasan konsep governance sebelumnya maka e-Governance dapat diartikan sebagai penggunaan ICTs dalam proses governance dimana terdapat banyak sektor yang terlibat (tidak hanya sektor publik tapi juga sektor privat dan sektor non-pemerintah) serta terjadi antar level governance yang berbeda (level international, regional, nasional, regional dan local). e-Governance mempunyai ruang lingkup yang cukup luas yaitu mencakup banyak sektor dan level yang saling berkolaborasi, sehingga banyak jenis penelitian mengenai eGovernance yang sebelumnya banyak terkonsentrasi pada sektor publik saja yang biasa disebut dengan e-Government (Yani, 2011). Misalnya pada sektor publik: bagaimana ICTs digunakan oleh pemerintah pusat untuk mengkoordinasikan pemerintahan daerah dalam melaksanakan proses pemerintahan di bidang tertentu (kesehatan, pendidikan dll). Atau bagaimana ICTs digunakan oleh sektor publik dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyelenggara pelayan publik seperti mendistribusikan informasi mengenai pemerintahan, melaksanakan komunikasi dengan masyarakat. Pada proses desentralisasi, bagaimana ICTs digunakan oleh pemerintahan daerah untuk meningkatkan pelayanan publik terhadap masyarakat lokal. Penelitian ini telah banyak dilakukan yang disebut dengan e-Government. Sedangkan pada sektor non-pemerintah, seperti bagaimana lembaga swadaya masyarakat menggunakan ICTs untuk memfasilitasi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam pelaksanaan kebijakan tertentu. Ditingkat Internasional , bagaimana ICTs digunakan untuk mengkoordinasikan aktor yang terlibat dalam membuat kebijakan internasional tertentu dalam isu tertentu. Ini merupakan salah satu penelitian yang mengarah ke e-Demokrasi. Secara umum penggunaan ICTs yang dimaksud adalah penggunaan aplikasi internet seperti websites, e-mail, mailing list dsb yang dapat digunakan untuk menyebarkan informasi kepada sektor-sektor yang terlibat, menyelenggaraan pelayanan publik kepada sektor yang terkait dan berkomunikasi antar sektor secara elektronik (Yani, 2011).. Masyarakat dapat menerima banyak informasi lebih cepat dan efisien serta dapat berinteraksi dengan pemerintahan maupun sektor lainnya yang tidak terbatas oleh waktu dan jarak dibanding dengan sebelumnya. Tanpa ICTs proses governance sulit atau lamban untuk terwujud. Sehingga ICTs berpotensi untuk meningkatkan pelayanan publik yang merupakan
fungsi e-Governmnet dan meningkatkan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi yang merupakan tujuan dari e-Demokrasi. Sehingga penulis beragumentasi bahwa fungsi dari eGovernance juga mencakup fungsi dari e-Government dan e-Demokrasi (Yani, 2011). 2.4.Fungsi Internal dan Eksternal E-Government Aktor dalam e-Government secara sederhana dapat dibagi menjadi dua jenis. Pertama yaitu sektor publik sebagai penyelenggara pemerintahan yang terdiri dari eksekutif (departemen keuangan, pendidikan, kesehatan dsb), yudikatif dan legislatif pada level nasional, regional dan lokal. Aktor kedua disebut end-user, menurut konsep governance diatas end-user terdiri dari sektor non-pemerintah dan sektor privat yang berinteraksi di lima level governance. Dari dua jenis aktor tersebut maka ICTs dapat digunakan untuk fungsi internal dan eksternal. Fungsi internal yaitu ICTs digunakan untuk proses administrasi dengan mengintegrasikan seluruh sektor internal dalam publik baik secara horisontal (integrasi antar departemen) maupun vertikal (integrasi antara level). Dengan meningkatnya integrasi internal baik secara vertikal dan horisontal maka diharapkan government mampu meningkatkan fungsi eksternalnya yaitu menyelenggarakan pelayanan publik dengan lebih baik terhadap enduser (Yani, 2011). Hal yang penting dalam proses demokrasi adalah partisipasi termasuk komunikasi. Sekarang ini ICTs mempunyai kemampuan sebagai media untuk melakukan proses demokrasi tersebut. Seperti partisipasi yang dikemukakan oleh Antiroiko, maka ICTs mampu mendistribusikan informasi serta komunikasi sehingga ICTs berpotensi untuk meningkatkan kesempatan kepada masyarakat untuk partisipasi secara elektronik, ini adalah inti dari eDemokrasi. Sesuai dengan system politik sederhana menurut Noorismaka ICTs merupakan alat untuk komunikasi antara masyarakat dan pemerintah melalui mediator di berbagai level governance. Nooris mendefinisikan e-Demokrasi dalam dua bagian. Bagian pertama yaitu minimalis yang mencakup tiga komponen yaitu: pengaksesan informasi dan menggunakan pelayanan publik secara elektronik, kemampuan untuk bisa berkomunikasi dengan aparatur pemerintah secara elektronik, bertransaksi secara elektronik dengan pemerintahan (misalnya adanya fasilitas untuk feedback misalnya komentar terhadap proposal anggaran atau regulation). Sedangkan tiga komponen lainnya pada bagian kedua yaitu ICTs digunakan untuk menfasilitasi masyarakat ikut berpartisipasi dalam program pemerintahan yang rutin, partisipasi masyarakat secara elektronik dalam proses pembuatan kebijakan (misal melalui online forum, electronic town hall meeting), berpartisipasi secara elekronik dalam pemilihan umum (e-voting) (Nooris,2007:166). 2.5.Hubungan E-Governance, E-Government dan E-Demokrasi Dari uraian e-Government dan e-Demokrasi diatas, maka secara normatif hubungan antara e-Government dan e-Demokrasi dapat dijelaskan bahwa: melalui e-Government, masyarakat dapat menerima informasi dengan cepat dan transfaran sehingga masyarakat mendapat pengetahuan mengenai bagaimana pemerintahan berjalan, dengan pengetahuannya tersebut dan sesuai dengan minat masing-masing, masyarakat dapat melakukan partisipasi melalui elektronik misalnya dengan berdikusi dan berkomunikasi mengenai isu-isu dalam pemerintahan secara elektronik sehingga proses pemerintahan menjadi lebih demokrasi (Yani, 2011). Dengan demikian, kita dapat menarik argumentasi bahwa salah satu tujuan e-Government adalah e-Demokrasi, atau e-Government merupakan platform untuk e-Demokrasi. Sedangkan eGovernment adalah salah satu komponen dari e-Governance karena government merupakan salah satu sektor dalam proses governance, begitu juga e-Demokrasi adalah salah satu komponen
dari e-Governance, karena demokrasi merupakan salah satu aspek penting dalam proses governance. Governance atau kepemerintahan adalah suatu proses dimana organisasi non-pemerintah (privat, organisasi non-profit) terus bertambah dalam penyelenggaraan pemerintahan (terutama proses pembuatan kebijakan dan penyelenggaraan pelayanan publik) secara simultan berkorelasi antar level governance baik lokal, nasional, regional maupun global. Sehingga konsep governance bersifat multi aktor, multi level serta multi arah dalam transfer wewenang. Dengan demikian e-Governance didefinisikan sebagai penggunaan ICTs pada proses governance/kepemerintahan yang multi aktor, multi level dan multi arah dalam dimensi horisontal dan vertikal (Yani, 2011). Sedangkan hubungan antara ketiga konsep: e-Governance, e-Government dan eDemokrasi adalah: pertama, e-Government merupakan salah satu komponen dari e-Governance karena government merupakan salah satu sektor dalam proses governance. Kedua, e-Demokrasi adalah salah satu komponen dari e-Governance, karena demokrasi merupakan aspek penting dalam proses governance. Terakhir penulis juga menarik argumentasi bahwa salah satu tujuan eGovernment adalah e-Demokrasi, atau e-Government merupakan platform untuk e-Demokrasi. Diharapkan dengan konsep e-governance yang berdasarkan teori governance ini dapat memberikan pemahaman pada konteks penelitian ini sehingga tidak terfokus pada publik sektor saja namun diharapkan juga pada sektor non-pemerintah yang sekarang ini mempunyai peranan cukup signifikan sesuai dengan tuntutan perkembangan proses governance.
III.PEMBAHASAN Electronic Government (E-Government) hakikatnya penyederhanaan penyelenggaraan pemerintahan dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. e-Government telah dianggap sebagai solusi di era globalisasi guna perwujudan pelayanan publik yang kondisinya jauh lebih efektif, akuntabel dan transparan. Penerapan e-government merupakan komitmen guna mencapai suatu tata pemerintahan yang baik (good governance). 3.1.Penerapan Awal Sesuai konsep dasar terdapat dua pengertian dasar dalam e-government. Pertama, pemerintah menjalankan fungsinya ke luar baik itu masyarakat maupun kepada pelaku bisnis. Hal penting pemerintah dalam hal ini menawarkan pelayanan yang kondisinya lebih sederhana serta efektif kepada semua pihak yang harus dilayaninya. Kedua, kegiatan internal pemerintahan dilakukan pegawai pemerintah melalui kegiatan serba elektronik seperti electronic procurement, manajemen dokumen berbasiskan web, formulir elektronik dan hal-hal lain yang dapat disederhanakan dengan penggunaan internet. Konsep dasar e-government inilah yang akan dilihat / ditinjau implementasinya apakah sudah dilakukan secara tepat sasaran oleh Pemerintah Provinsi Bali (Muliarta, Metro Bali, 2012). Pihak pimpinan lokal setempat, dalam hal ini Gubernur Provinsi Bali Made Mangku Pastika mengimplementasikan e-government sebagai usaha peningkatan pelayanan pada masyarakat. Langkah awal penerapan e-government secara bertahap diinisiasi melalui program absen sidik jari, Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) online, samsat online, jaringan internet pada penyelenggaraan perijinan, pengadaan lelang dan sebagainya.
Memang terdapat beragam masalah yang muncul dalam implementasinya, mulai dari ego antar instansi hingga kesiapan SDM. Berbagai keterbatasan yang ada menyebabkan implementasi e-government masih terkesan dijalankan kurang optimal. Kondisi ini menimbulkan keranguan pemangku kepentingan pada saat penerapan e-government di Bali masih dianggap sebagai proyek percontohan. Padahal penerapan e-government mulai diefektifkan secara nasional dimana tujuannya adalah memberikan peningkatan kualitas pelayanan pemerintahan yang selama ini dianggap lambat, berbelit-belit, kurang efisien dan tidak transparan. 3.2.Implementasi E-Goverment Implementasi e-government di lingkungan internal pemerintah provinsi Bali dilakukan dalam bentuk penerapan absensi sidik jari pada awal Januari 2011. Absensi sidik jari bertujuan meningkatkan disiplin aparatur dilingkungan Pemerintah Provinsi Bali. Persoalan mendasar yang dihadapi hingga saat ini adalah absensi sidik jari antar satu instansi dengan instansi lainnya masih dalam taraf penyatuan jaringan. Hal ini karena kalau kondisinya masih terpisah antar instansi maka absensi sidik jari tidak akan memberikan manfaat bagi penyederhanaan system adminitrasi di lingkungan pemerintah provinsi Bali. Komitmen penerapan e-government secara penuh menjadi menjadi wajib diimplementasikan agar program absesi sidik jari tidak menjadi program proyek yang menghabiskan dana besar, melainkan tepat sasaran terutama dalam mendispilinkan pegawai publik (Muliarta, Metro Bali, 2012).. Implementasi e-government bagi pelayanan masyarakat lainnya dilakukan pemerintah Provinsi Bali melalui program Samsat online. Selain sebagai upaya mempercepat pelayanan bagi pembayar pajak kendaraan bermotor, pemberlakuan samsat online juga diharapkan dapat menekan kebocoran penyelewengan serta menekan adanya calo-calo samsat yang seringkali berumuculan. Pada taraf implementasinya, keterbatasan infrastruktur menjadi salah satu alasan belum maksimalnya pelaksanaan samsat online. Calo samsat masih banyak terjadi mengingat samsat online belum optimal memberikan kemudahan dan transparansi bagi masyarakat, termasuk pada kondisi pengawasannya. Penerapan samsat online masih berbenah dengan tetap memperhatikan kesiapan infrastrukturnya. Program lainnya yang diproyeksikan secara online adalah program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) online. Tantangan pengembanganya adalah pengadaan infrastruktur pada setiap kabupaten, terutama pada unit pelayanan penyelenggara kesehatan di lingkungan Puskesmas, rumah sakit Kabupaten ataupun Kota. Kondisi keterbatasan infrastruktur menjadi kendala pelayanan akibat rumitnya birokrasi pelayanan kesehatan. Masalah lain yang perlu mendapat perhatian yaitu jaringan online antar puseksmas, rumah sakit dengan dinas kesehatan, sehingga proses rujukan pasien, data antar rumah sakit maupun puskesmas tidak lagi menunggu proses adminitrasi panjang dan berbelit. 3.3.Kesiapan Sumber Daya Manusia Pengembangan kualitas SDM merupakan salah satu kunci dari keberhasilan penerapan egovernment. Kenyataannya di lapangan, Pemerintah Provinsi Bali menyebutkan dari sekitar 7000 pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Provinsi Bali, tercatat 20 persen diantaranya masih tidak melek teknologi. Kondisi ini menjadi salah satu hambatan besar dalam penerapan e-government di Bali, terutama pada unsur birokratnya (Muliarta, Metro Bali, 2012).. Data yang terungkap tersebut baru dilingkungan pemerintah provinsi Bali dan belum lagi terdata kesiapan pegawai negeri pada aparat Pemerintah Kabupaten/Kota atau bahkan kecamatan yang menjadi ujung tombak aplikasi e-government. Dalam prakteknya dilapangan sering kali kendala seperti ini dihadapi dengan memutasi/memindahkan SDM yang kurang mengerti pemanfaatan teknologi ke bidang lain yang tidak berkaitan dengan pemanfaatan teknologi
informasi. Padahal menjawab problem ini perlu adanya peningkatan kapasitas SDM sesuai penataan kebutuhan dalam pendayagunaannya, sekaligus melalui perencanaan matang dan komprehensif baik secara bertahap dan berkelanjutan. Peningkatan kapasitas dengan pemberian bekal keilmuan teknologi informasi bisa ditempuh lewat jalur pendidikan formal maupun non formal. Sanat dipentingkan pengembangan standar kompetensi yang dibutuhkan dalam pengembangan dan implementasi e-government. Peningkatan kualitas SDM tidak terbatas pada upaya pendidikan, melainkan membutuhkan pula peningkatan kesadaran sekaligus pemahaman pentingnya informasi serta pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi (e-literacy), baik kalangan pemerintah dan pemerintah daerah otonom sebagai pihak penyelenggara layanan maupun kalangan masyarakat sendiri dalam rangka mengembangkan budaya informasi ke arah terwujudnya masyarakat informasi (information society). Peningkatan kesadaran dan pemahaman ditindaklanjuti perubahan pola pikir, sikap dan budaya kerja aparat pemerintah yang mendukung pelaksanaan e-government. Kebijakan lain membutuhkan peningkatan motivasi melalui pemberian penghargaan serta apresiasi SDM khususnya yang menguasai bidang teknologi informasi dan komunikasi di lingkungan Pemintah Provinsi Bali serta tentunya masyarakat Bali sendiri yang harus aktif mengembangkan inovasi sekligus diskresi yang mendekatkan fungsi pengembangan e-government pada masyarakat. Keberhasilan kesiapan SDM terhadap literasi teknologi informasi harus menjadi landasan bagi tercapainya implementasi e-government pada level yang lebih sempurna (Muliarta, Metro Bali, 2012). 3.4.Ketersediaan dan Konsistensi Anggaran Permasalahan klasik penerapan teknologi informasi di Pemerintahan Provinsi Bali adalah masalah ketersediaan dana. Walaupun penggunaan teknologi informasi tidak harus analog dengan kebutuhan dana yang tinggi namun dalam perencanaan kebutuhan dalam anggaran di beberapa Unit Satuan Kinerja Pemerintah Daerah Provinsi Bali masih terbatas. Keterbatasan pendanaan dalam penerapan e-government di Provinsi Bali inilah yang berpengaruh pada masih rendahnya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik berbasis teknologi. Tantangan utama bagi Pemerintah Provinsi Bali adalah mampu menyediakan layanan akses teknologi murah dan berkualitas, sehingga pada kondisi ini Pemerintah Provinsi Bali harus senantiasa berstrategi dalam membangun jaringan e-government luas walaupun pendanaan terbatas. (Muliarta, Metro Bali, 2012). Pengadaan infrastruktur e-government melalui sistem tender secara terbuka dan fairness harus tetap diperhatikan. Proses tender ini tentunya harus tetap memperhatikan spesifikasi dan standar kualitas peralatan yang dibutuhkan. Pada implementasi di lapangan harga murah dengan kualitas rendah maka pengadaan peralatan program e-government akan sekedar jadi proyek tahunan justru dengan akumulasi biaya yang lebih tinggi. Pemerintah Provinsi Bali harus memiliki standar peralatan yang bisa memperhatikan aspek keberlanjutan sehingga kualitas peralatan yang akan dipakai terjamin kehandalannya. 3.5.E-Government dan Partisipasi Publik E-government juga diyakini memperluas partisipasi publik dimana masyarakat di Bali dimungkinkan terlibat aktif dalam pengambilan keputusan maupun kebijakan oleh pemerintah khususnya dalam perbaikan produktifitas dan efisiensi birokrasi termasuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan fakta, pelaksanaan e-government di Provinsi Bali belum optimal mengakses keterlibatan publik. Kemudahan e-government hanya dinikmati sebagian kecil masyarakat yang sudah familiar dengan teknologi informasi. Tantangan utama dari
pengembangan e-government adalah kemampuan dan kesiapan manajemen serta para pelakunya sehingga bukanlah kecanggihan teknologi belaka. Terdapat beberapa Kabupaten di wilayan Provinsi Bali yang masih susah mengimplementasikan sekaligus memanfaatkan pelayanan jaringan teknologi informasi. Kondisi ini harus diatasi sebab apabila tidak diatasi akan mengakibatkan timbulnya digital divide. Saat ini ketersediaan akses teknologi terutama internet belum merata hingga ketingkat pedesaan yang ada di wilayah Bali. Pada daerah perkotaan, termasuk Kota Denpasar akses internet juga masih sangat terbatas. Salah satu kasus menarik di lingkungan Pemerintah Provinsi Bali menunjukkan penggunaan informasi melalui website ternyata masih belum mampu di maksimalkan masyarakat Bali. Informasi pengumuman tender pengadaan barang melalui website juga belum secara menyeluruh diketahui oleh masyarakat maupun pelaku usaha yang ada di Bali, sehingga justru peserta tender sekaligus pemenang sebagian besar adalah perusahaan dari luar Bali. Kondisi ini terjadi akibat pada satu sisi akses internet belum menyeluruh dan di sisi lain hanya sebagian kecil masyarakat Bali yang sadar dan tahu pada penggunaan internet (Muliarta, Metro Bali, 2012).. Kesenjangan teknologi inilah harus diantisipasi sehingga informasi pemerintah dengan masyarakat dapat terjalin dengan baik. Harus terdapat upaya Pemerintah Provinsi Bali membangun kerjasama penyediaan pusat-pusat akses informasi bagi masyarakat, termasuk terdapat kebijakan khusus guna mengatasi kesenjangan informasi dan teknologi utamanya pada masyarakat kelas bawah. 3.6.Jaminan Keamanan Data E-Government Pada perkembangan terkini, seringkali penerapan pada e-government , jaminan atas keamanan data seringkali terabaikan. Padahal jika diperhatikan dampak kebocoran data akan berdampak sangat buruk terutama menyankut dokumen birokrasi. Kebocoran data apalagi jika data tersebut bersifat sangat rahasia maka akan dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Seperti rencana pemberlakuan Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) online jika datanya tidak terdapat pengamanan/terproteksi atau bocor maka data tersebut dapat di duplikasi dan menyebabkan kerugian bagi pemerintah dan masyarakat (Muliarta, Metro Bali, 2012). Duplikasi tersebut dapat saja duplikasi kartu dengan menggunakan data yang bocor sehingga orang yang seharusnya tidak mendapatkan layanan JKBM dengan kartu duplikasi dapat mengakses layanan JKBM. Begitu juga dengan data program samsat online yang jika mengalami kebocoran maka data pemilik dan data-data kendaraan dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab. 3.6.Empat Tingkat Perkembangan e-Government Secara umum, perkembangan e-Government di suatu daerah dapat digolongkan dalam empat tingkatan. Tingkat pertama adalah pemerintah mempublikasikan informasi melalui website. Tingkat kedua adalah interaksi antara masyarakat dan kantor pemerintahan melaui email. Tingkat ketiga adalah masyarakat pengguna dapat melakukan transaksi dengan kantor pemerintahan secara timbal balik. Level terakhir adalah integrasi di seluruh kantor pemerintahan, di mana masyarakat dapat melakukan transaksi dengan seluruh kantor pemerintahan yang telah mempunyai pemakaian data base bersama (Bastian, dalam Sinar Harapan No. 4352, 8 Maret 2003). Pemerintah Kota Denpasar melalui aplikasi e-Government yang dijalankannya telah melalui level ketiga dan menuju pada level keempat. Esensi dasar yang telah dibentuk oleh Pemerintah Provinsi Bali melalui program eGovernment adalah memfasilitasi masyarakat ikut berpartisipasi dalam program pemerintahan
yang rutin, partisipasi masyarakat secara elektronik dalam proses pembuatan kebijakan (misal melalui online forum, electronic town hall meeting), berpartisipasi secara elekronik dalam pemilihan umum kepala desa (e-voting) (Nooris dalam Nurhadryani, 2009). Heeks (dalam Nurhadryani, 2009) mempersyaratkan bahwa kesiapan menuju keberhasilan e-Government berkaitan dengan beragam faktor sepeti, infrastruktur sistem data, infrastruktur legal/hukum, infrastruktur kelembagaan, infrastruktur SDM, infrastruktur teknologi, dan kepemimpinan serta pemikiran strategis. Dari enam persyaratan tersebut, di era otonomi daerah sekarang ini Pemerintah Daerah bisa fokus pada empat faktor. Infrastruktur legal/hukum, dimana perlu ada perangkat hukum untuk menangkal kejahatan digital, seperti perlindungan atas keamanan data/informasi. Infrastruktur kelembagaan, dimana e-Government tidak terbatas pada publikasi informasi belaka, melainkan perlu dikembangkan layanan transaksi digital termasuk transparansi anggaran daerah. Infrastruktur SDM dimana dalam sistem kepegawaian di daerah bisa menyediakan sumber daya pemerintah yang unggul dalam bidang ICT, karena pada beberapa daerah kondisi ini justru menjadi hambatan yang masih sulit terpecahkan. Infrastruktur teknologi, meski teknologi yang diperlukan relatif mahal, namun peluang kerjasama dengan swasta perlu dikembangkan dalam membangun infrastruktur teknologi untuk mendukung e-Government, seperti kerjasama antara Pemerintah Provinsi Bali dengan pihak pendidikan tinggi penyelenggara teknologi informasi. IV.PENUTUP IV.1.Kesimpulan Governance policy mensyaratkan adanya transparansi, efisien, efektif, profesional dan akuntabel yang berdiri pada pondasi komunikasi sehat antara Pemerintah dengan masyarakat. Masyarakat sebagai pihak yang harus dilayani menghendaki adanya peningkatan kualitas pelayanan pemerintahan yang mendayagunakan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Salah satu sarana peningkatan layanan tersebut adalah penerapan electronic government (e-government). Tulisan ini mendeskripsikan penerapan e-government dalam ragam pengembangan program pelayanan publik Pemerintah Provinsi Bali yang dijalankan dalam konsep Governance Policy. IV.2.Saran Hakikat dasar dalam penerapan e-Government merupakan komitmen penyelenggaraan kepemerintahan yang berprinsip pada penegakan iklim governance. Accenture (dalam Nurhadryani, 2009) menegaskan lima karaktaristik e-Government yang unggul yang sebaiknya disarankan untuk diperhatikan Pemerintah Provinsi Bali, antara lain memiliki : Pertama, memiliki visi dan implementasi yang jelas sehingga mekanisme implementasinya bisa berjalan dengan tepat. Kedua, berorientasi pada pengguna/warga masyarakat sesuai dengan prinsip New Public Service dimana informasi yang dipublikasikan disusun dan diorganisasikan dengan mempertimbangkan kemauan dan cara berpikir masyarakat umum, bukan sematamata berdasar cara kerja lembaga-lembaga pemerintahan yang mekanistik. Penyedia layanan termasuk pemerintah daerah setempat harus senantiasa tanggap menangani volume informasi yang besar dengan kompleksitas tinggi. Pembakuan forum warga via elektronik, misalnya, seorang kepala unit bisa memanfaatkan fasilitas chatting, sms, serta sarana elektronik lain untuk berkoordinasi sehingga penanganan pelayanan publik bisa lebih cepat dan efisien sekaligus mengurangi beban administrasi yang tinggi.
-
-
-
-
-
-
-
Daftar Pustaka Hakim, Lukman, EM, 2011. Pengantar Administrasi Pembangunan. Ar-Ruzz Media : Yogyakarta; Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif: Bandung : Rosdakarya; Puspitosari, Heni, 2010, Filsafat Pelayanan Publik, Averoes Press : Malang Ratminto & Atik Septi Winarsih, 2006, Manajemen Pelayanan (Pengembangan model konseptual, penerapan citizens charter dan standar pelayanan), Pustaka Pelajar ; Yogyakarta; Thoha, Miftah, 2008, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana Media : Jakarta; Anttiroiko, Ari-Veikko (2004), Introduction to Democratic e-Governance, pada: Matti, Malkia, Ari-Veikko Anttiroiko and Reijo Savolainen (eds.), e-transformation in Governance: New Directions in Government and Politics, Hershey: Idea Group Publishing. Bevier, Mark (2007),Governance, pada: Bevier, Mark (ed.), Encyclopedia of Governance, Vol. I, Los Angeles: Sage Publication. Gronlund, Ake (2007), Electronic Government, pada: Anttiroiko, Ari-Veiko and Matti Malkia (eds.), Encyclopedia of Digital Government, Volume I, Hershey: Idea Group Reference. Norris, Donald F. (2007), Electronic Democracy at the American Grassroots, pada: Norris, Donald F. (ed.), Current Issues and Trends in E-Government Research, Hershey: Cyber Tech Publishing. Norris, Pippa (2001), Digital Divide: Civic Engagement, Information Poverty, and the Internet Worldwide, Cambridge: Cambridge University Press. Nurhadryani , Yani (2008), e-Governent dan e-Governance: A Case Study of Local Government in Indonesia, Japan Academy of Koeki Studies. 8-2: 42-45. Japan Nurhadryani, Yani (2009), Eksploring the Links between e-Governance, e-Government and e-Democracy: How ICTs Contribute to Democratization. Japan Academy of Koeki Studies. Japan (proses review). Pierre, Jon and B. Guy Peters (2000), Governance, Politics and The State, London: Macmillan Press LTD. Santosa, Pandji (2008), Administrasi Publik: teori dan Aplikasi Good Governance, PT. Refika Adiatama. Bandung, Indonesia. Yamamoto, Hiraku (2007), Multi-level Governance and Public Private Partnerships: Theoretical Basis of Public Management, Interdisciplinary Information Sciences, 13-1: 65-88. Yamamoto, Hiraku (2008), Governance including Government: Multiple Actors in Global Governance, Interdisciplinary Information Sciences, 14-2: 117-131. Zacher, Lech W. (2007), E-Government in the Information Society, pada: Anttiroiko, Ari-Veiko and Matti Muliarta, I Nengah, Penerapan E-Government di Bali masih Sebatas Pilot Project, Metro Bali, 9 Desember 2012 Malkia (eds.), Encyclopedia of Digital Government, Volume I, Hershey: Idea Group Yani, Nurhadryani (2011) Memahami Konsep E-Governance serta Hubungannya dengan E-Government dan E-Democracy, UPN Yogyakarta