Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
RESTRUKTURISASI PERUNGGASAN DAN PELESTARIAN AYAM INDONESIA UNTUK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PETERNAKAN UNGGAS LOKAL (Restructuring the Keeping of and Conserving Indonesian Chicken for the Development of Local Poultry Industry) ADE M. ZULKARNAIN Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia Kelompok Peternakan Rakyat Ayam Kampung Sukabumi
ABSTRACT Indonesia is a countries that having biological megadiversity including the a large variety of native chicken. There are two species of four species of world Jungle Fowl exist in Indonesia. The two are green and red jungle fowls, which are nowaday developing into 32 kinds of chicken spreading out from Sumatera to Papua islands. The most population of the kinds is called Kampung chicken. This kind has been very popular due to the ability to survive in humid tropical environtment. Altough its productivity is low, it is prefered more by middle to high wealthy consumers with relatively higher product price. Kampung chicken keeping system by Keppraks (group of Kampung chicken farmers of Sukabumi) has been intensified. This sytem has cut half the days of keeping, which needed only 105 days to produce average of 1 kg livebodyweight. The outbreake of avian influenza in 2003 had severe effect on reducing the number of Kampung chicken kept by villagers. Research on the effcet of vaccination of H5N1 in Kepraks area on blood titer was not significant. So the program of restructuring the keeping system of Kampung chicken from traditional to small scale intensive system with heavy sanitation was a starting point of the rise of intensified small-scale Kampung chicken industry in Indonesia, supported with Presidential Decree No. 77, year 2007, directing that keeping and breeding of Kampung chicken is for small scale industry. This serious attention to Kampung chicken has also directed for conserving of genetic resources (germ plasm) of native chicken in Indonesia. Key Words: Biodiversity, Kampung Chicken, Germ Plasm ABSTRAK Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati unggas/ayam lokal terbesar di dunia. Dari empat rumpun ayam hutan yang ada di dunia, dua rumpun terdapat di Indonesia, yaitu ayam hutan hijau dan ayam hutan merah yang telah berkembang menjadi setidaknya 32 galur ayam spesifik dan menyebar dari Sumatera sampai Papua. Ayam lokal Indonesia yang lebih akrab disebut ayam kampung merupakan unggas yang telah memasyarakat dan banyak dipelihara dengan keunggulan, konsumen masyarakat menengah ke atas, permintaan yang lebih tinggi dibanding pasokan dan harga yang premium. Kini peternakan ayam kampung berkembang dengan pola intensif yang menghemat waktu produksi, yaitu menghasilkan ukuran 1 kg hanya dalam waktu 105 hari. Perkembangan ayam kampung terkendala adanya penyakit seperti flu burung dan menurut beberapa kalangan dapat ditularkan ke manusia. Namun, berdasarkan penelitian vaksinasi H5N1 pada ayam kampung di Sukabumi oleh lembaga dari Belanda, tidak ada pengaruh signifikan pada titer darah sebelum dan sesudah vaksinasi. Kebijakan restrukturisasi perunggasan bermanfaat meningkatkan produktivitas ayam kampung yang ideal mengarahkan peternak tradisional menuju peternakan modern skala kecil yang menjaga sanitasi lingkungan dan menjadi titik awal kebangkitan peternakan rakyat ayam kampung yang selama ini terabaikan. Pemerintah mengeluarkan regulasi dengan Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 mengenai daftar negatif investasi yang menegaskan bahwa budidaya, perbibitan dan persilangan ayam buras hanya diperuntukkan bagi peternakan rakyat. Perhatian serius pada ayam kampung juga ditujukan sebagai plasma nutfah yang harus dilestarikan dan dikembangkan karena beberapa galur ayam kampung sudah berkurang populasinya bahkan hampir punah. Kata Kunci: Keanekaragaman, Ayam Kampung, Plasma Nutfah
23
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati unggas/ayam lokal terbesar di dunia. Dari empat rumpun ayam hutan yang ada di dunia, dua berada di Indonesia, yaitu Ayam Hutan Hijau dan Ayam Hutan Merah. Dari kedua ayam hutan tersebut berkembang setidaknya 32 galur ayam lokal spesifik yang tersebar di Sumatera sampai Papua. Belum lagi ayam ayam pendatang yang sudah didomestikasi menjadi ayam lokal. Besarnya kekayaan ayam lokal Indonesia, yang lebih akrab disebut dengan ayam Kampung, telah menjadikan unggas tersebut sebagai hewan ternak yang telah menyatu dengan masyarakat di pedesaan. Bahkan dapat disebutkan bahwa ayam Kampung satu-satunya hewan ternak yang paling banyak dipelihara, baik dari populasi ternak maupun peternaknya. Data Ditjen Peternakan menyebutkan bahwa dari 52,9 juta rumah tangga pertanian, 60,9% atau 32,2 juta diantaranya merupakan rumah tangga peternakan. Dari jumlah tersebut 65,7% nya adalah rumah tangga yang melakukan ternak unggas. Yang menarik, 98,5% atau 21,5 juta adalah rumah tangga yang memiliki ternak ayam Kampung. Sedangkan yang beternak ayam ras hanya 1,5% saja atau 317.500 orang. Itupun lebih dari 90% mereka hanya sebagai pekerja di peternakan, bukan sebagai pemilik murni karena usaha peternakan ayam ras mulai dari hulu sampai ke hilir dikuasai segelintir orang yang membentuk kartel. Lebih ironis, usaha peternakan ayam ras sangat tergantung dengan impor dan perusahaan-perusahaan peternakan yang ada di Indonesia merupakan kepemilikan asing. Dengan kata lain, peternak ayam kampung lebih menyentuh masyarakat luas dan membumi dibandingkan dengan petenak ayam ras. POTENSI PETERNAKAN AYAM KAMPUNG Seiring perkembangan teknologi dan industri yang menghasilkan rekayasa genetika, produksi ayam ras di Indonesia sejak awal 1970-an hingga saat ini terus melesat. Kendati populasinya terus meningkat namun
24
dari sisi cita rasa, ayam ras tetap belum mampu menggeser keberadaan ayam kampung. Bahkan, sejak 10 tahun terakhir ada fenomena bahwa konsumsi ayam kampung justru semakin diminati oleh masyarakat menengah ke atas atau kaum urban. Selain itu, seiring dengan meningkatnya kesadaran pola hidup sehat, alasan masyarakat kelas menengah lebih memilih mengkonsumsi ayam Kampung dibanding ayam ras karena ayam Kampung lebih alami, bebas dari antibiotik kimiawi. Hampir sebagian besar rumah makan di kota-kota besar dan daerah wisata lebih menonjolkan menu masakan ayam Kampung. Demikian pula pada saat hari Raya, permintaan ayam Kampung melonjak bahkan terjadi ketimpangan yang sangat tajam antara pasokan dan permintaan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa ayam Kampung tidak pernah kehilangan pasar kendati harganya tiga sampai lima kali lipat harga ayam ras. Sebagai contoh, sejak pertama usaha ayam Kampung pola intensif sampai sekarang, belum pernah harga ayam kampung turun. Pada tahun 2004 harga ayam kampung Rp. 15.000/kg di kandang dan sekarang Rp. 25.000/kg di kandang. Pada hari Raya, untuk ayam ukuran 2 kg – 3 kg Rp. 70.000 – Rp. 80.000/kg di kandang. Sedangkan di pasar di Jakarta, saat ini harga untuk ukuran 1 kg hidup Rp. 35.000 – Rp. 40.000 dan ayam jago besar saat hari Raya bisa mencapai Rp. 130.000 – 150.000/ekor hidup. Kelebihan beternak ayam Kampung adalah: 1. Konsumennya masyarakat menengah ke atas (segmented) 2. Permintaan lebih tinggi dari pasokan 3. Harga premium Dari paparan tersebut semakin jelas potensi atau peluang usaha di peternakan ayam Kampung. Dari sekian banyak komoditas agribisnis, dapat dikatakan bahwa ayam Kampung merupakan komoditas yang harganya paling stabil dan harga jualnya tidak tergantung pada tengkulak atau pedagang besar. Justru peternak sebagai pemegang kendali harga. Hanya sayangnya pola pemeliharaan atau beternak di masyarakat yang selama ini sebagian besar tradisional lebih berfungsi sebagai tabungan serta penambah kualitas gizi yang murah dan mudah diperoleh. Jika realitas itu yang dipertahankan maka sulit untuk
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
meningkatkan pendapatan secara siginifikan bagi peternak di pedesaan. Pola pemeliharaan ayam kampung yang ada di masyarakat masih sangat tradisional mengikuti tradisi budaya yang diwariskan nenek moyang. Kepemilikannya rata-rata 5 – 10 ekor setiap rumah dan pemiliknya cenderung mengabaikan faktor kesehatan dan membiarkan ayamnya mencari makan sendiri. Juga, masih banyak masyarakat pedesaan yang memelihara ayam kampung di dalam rumah. Bahkan, di beberapa desa di kabupaten Sukabumi dan juga di sebagian besar pedesaan di tanah air, masih banyak ditemukan kandang ayamnya berada di dalam rumah (bawah tempat tidur atau di dapur). Pola pemeliharaan yang tradisional itu tidak sehat bagi kehidupan manusia. Demikian pula dengan unggasnya, tingkat kematian cukup tinggi dan pemeliharaan yang membutuhkan waktu cukup lama. Sebagai contoh, dalam pemeliharaan tradisional, untuk menghasilkan ayam kampung asli bobot 1 kg memerlukan waktu sekitar enam bulan dan ayam jago bobot 2 kg sekitar 12 – 16 bulan. Sedangkan dengan beternak pola intensif untuk ukuran rata-rata 1 kg membutuhkan waktu hanya 70 – 75 hari. Jika pola intensif dalam beternak ayam Kampung dijalankan dengan baik maka untuk mendapatkan ukuran 1 kg peternak dapat menghemat waktu 105 hari.
Dalam beternak ayam, masyarakat hanya mengenal satu nama jenis penyakit, yaitu tetelo atau Newcastle Disease (ND). Karena keterbatasan wawasan, setiap ayam yang sakit disebut tetelo. Belum lagi soal vaksinasi yang masih menjadi momok bagi masyarakat, terutama setelah munculnya virus Flu Burung. Biosekuriti atau pengamanan kesehatan lingkungan ternak juga sangat terabaikan. Itulah sebabnya beberapa kalangan, termasuk media massa, seringkali menyebutkan penularan virus Flu Burung ke manusia berasal dari ternak unggas lokal atau ayam kampung yang hampir seluruhnya diperlihara oleh peternak kecil/backyard farming (peternakan sektor 4). Para pakar kesehatan unggas menyebutkan setidaknya ada dua faktor penularan dan sirkulasi virus Flu Burung pada peternakan kecil. Pertama, virus H5N1 beradaptasi dengan cara sama seperti pada itik domestik. Kedua, survival virus H5N1 pada peternakan unggas skala kecil dan belakang rumah cenderung persisten Memang pembudidayaan ayam Kampung berbeda dengan ayam ras, unggas yang sudah menjadi komoditas industri. Pembudidayaan ayam kampung sebagian besar belum mengenal good farming practice, akibatnya ternak sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk Flu Burung.
Gambar 1. Pemeliharaan ayam yang tradisional, kandang menyatu dengan dapur
25
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
RESTRUKTURISASI PERUNGGASAN Menyadari kondisi tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan restrukturisasi perunggasan, khususnya lebih diarahkan pada peternak kecil (peternakan sektor 4). Namun, pelaksanaan kebijakan restrukturisasi bukan berarti pemusnahan unggas lokal/ayam Kampung. Unggas lokal merupakan aset atau kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia sekaligus salah satu sumber pendapatan masyarakat di pedesaan. Bentuk ideal restrukturisasi peternakan ayam Kampung di pedesaan adalah mengarahkan peternak kecil untuk mengubah dari pola dan kultur beternak yang tradisional ke arah peternakan modern skala kecil yang menjaga sanitasi lingkungan serta peningkatan produktivitas. Memang ada kecenderungan, kalangan birokrat maupun akademisi masih gamang atau mungkin belum memahami makna sebenarnya dari restrukturisasi di peternakan sektor 4. Kondisi tersebut terjadi karena selama ini peternakan ayam Kampung termarginalisasi atau hanya dianggap sebagai pelengkap.
Implementasi restrukturisasi sistem peternakan di sektor 4 adalah bagaimana mengubah fungsi ayam kampung dari sekedar ternak peliharaan menjadi sumber pendapatan utama masyarakat di pedesaan. Dengan mengubah paradigma serta pola pemeliharaan ayam kampung maka secara perlahan juga akan mengubah pola perilaku beternak ke arah tata laksana peternakan yang baik (good farming practice) termasuk dalam menanggulangi penyebaran berbagai penyakit, termasuk Flu Burung. Berdasarkan pengalaman selama hampir lima tahun, termasuk terkena musibah wabah (outbreak) Flu Burung yang terjadi pada Juli 2005, KEPRAKS mencoba mengimplementasikan restrukturisasi ala rakyat. Konsep yang digunakan adalah “Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Flu Burung Melalui Pendekatan Ekonomi Kerakyatan”. Sebenarnya sebelum maraknya kasus Flu Burung dan munculnya kebijakan restrukturisasi peternakan, KEPRAKS sudah mulai melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk menata ulang pola beternak ayam kampung.
Gambar 2. Pemeliharaan ayam Kampung dengan pola intensif di KEPRAKS
26
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Pendekatan yang dilakukan adalah memberikan nilai tambah untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat desa melalui peternakan ayam kampung pola semi intensif dan intensif. Pada langkah awal, masyarakat Desa Tenjolaya Kecamatan Cicurug, diberikan wawasan bahwa ayam kampung bisa menjadi sumber penghasilan karena pemeliharaan dengan waktu singkat dibandingkan yang selama ini mereka alami. Setelah wawasan mereka terbuka, maka langkah selanjutnya adalah meyakinkan untuk membuat kandang yang sehat walaupun masih di sekitar rumah/permukiman. Sebagian besar anggota KEPRAKS yang telah menjalankan restrukturisasi ala rakyat ini adalah petani penggarap, pekerja bangunan, pengangguran dan pondok pesantren. Setelah muncul kesadaran baru serta pengorbanan membuat kandang maka pemerintah dapat membantu memberikan stimulan berupa ayam induk (parent stock). Pengalaman selama ini, setelah adanya bantuan stimulan tersebut motivasi dan semangat mereka semakin meningkat seiring dengan adanya hasil yang cukup signifikan dibandingkan sebelum mereka mengenal pola semi intensif. Keberhasilan mereka justru mendorong masyarakat lainnya yang tidak menerima bantuan stimulan, mau untuk membuat kandang dan pengadaan bibit secara mandiri. Kondisi tersebut berbeda dengan kebijakan yang pernah dijalankan pemerintah pada masa lalu, yaitu program Intenfsifikasi Ayam Buras (Intab) dan Rearing Rural Multiplication Center (RRMC). Karena kebijakan tersebut datang dari atas (top down) serta tidak adanya pendampingan dalam pengetahuan, pengawasan serta pemasaran, hasilnya gagal total. Untuk RRMC misalnya, puluhan miliar rupiah hasil pinjaman luar negeri, menguap tanpa hasil yang signifikan. Namun, kesalahan jangan hanya ditujukan kepada masyarakat. Pemerintah harus lebih obyektif lagi dalam membuat kebijakan, yaitu dengan melihat potensi yang ada di masyarakat serta penanganannya yang berkelanjutan. Aspek pemasaran sangat penting untuk menunjang keberhasilan pemberdayaan masyarakat dalam menata ulang pola beternaknya. Sejak awal, masyarakat harus diyakinkan dan diberikan semacam garansi
bahwa seluruh hasil produksi ternak ayam Kampung mereka akan dibeli dengan harga yang cukup tinggi. Untuk DOC dibeli seharga Rp. 4.000/ekor sedangkan hasil budidayanya mempunyai harga standar terendah Rp. 24.000/kg. Tanpa adanya penjaminan hasil produksi memang akan sulit meyakinkan masyarakat untuk mengubah pola beternak yang selama ini mereka jalankan. Populasi minimal yang dimiliki masyarakat/ petani untuk meningkatkan pendapatannya adalah 100 ekor untuk breeding (petelur) ayam dan 500 ekor untuk budidaya. Dengan skala usaha seperti itu maka bagi peternak breeding akan mendapat penghasilan bersih rata-rata per bulan Rp. 1.800.000 Sedangkan untuk yang budidaya dengan populasi 500 ekor maka akan mendapat penghasilan bersih dalam waktu 70 hari Rp. 3.000.000. Jika dilihat dari analisa usaha serta pengalaman selama ini, beternak 500 ekor ayam Kampung setara dengan beternak ayam ras 7.000 ekor. Perhitungan ini berdasarkan keuntungan bersih yang diperoleh. Saat ini sudah mulai bermunculan peternak-peternak ayam Kampung di pedesaan yang memiliki populasi sampai 6.000 ekor untuk setiap periode pemeliharaan. Dari analisa sederhana seorang peternak rakyat yang awam dengan perhitungan ekonomi makro, jika kita asumsikan dari 21,5 juta rumah tangga yang memelihara ayam Kampung, 10% nya dioptimalkan melalui kebijakan restrukturisasi perunggasan dengan masing-masing memiliki 100 ekor induk (breeding) maka akan terdapat populasi 215 juta ekor induk. Dalam sebulan akan menghasilkan sekitar 2,5 miliar butir telur ayam kampung asli. Dengan harga per butir Rp. 1.000 maka akan ada pendapatan Rp. 2,5 triliun dari hasil penjualan telur per bulan atau Rp. 30 triliun dalam setahun. Jika keuntungan per butir Rp. 125 maka pendapatan bersih setahun Rp. 3,7 triliun. Perhitungan tersebut akan bertambah jika sebagian dari produksi butir dikembangkan untuk budidaya. Dari potensi peluang bisnis beternak ayam Kampung, yang harus diperhatikan adalah sikap konsistensi pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada peternakan rakyat unggas lokal. Peraturan Presiden No 77 Tahun 2007 mengenai Daftar Negatif Investasi harus benar-benar dipatuhi oleh para pelaku
27
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
peternakan besar. Dalam regulasi itu dengan tegas dinyatakan bahwa untuk budidaya, perbibitas persilangan ayam buras hanya diperuntukan bagi peternakan rakyat dan tertutup bagi perusahaan besar. Sayangnya Peraturan Presiden tersebut bak macan ompong. Perusahaan peternakan multinasional asal Thailand dengan leluasa tanpa pengawasan dan teguran dari pemerintah, bisa memproduksi ’ayam kampung super’ atau ayam kampung palsu, yaitu hasil persilangan ayam Pelung dengan ayam ras Prancis. Apabila restrukturisasi perunggasan, khususnya di sektor 4 benar-benar dilakukan dan dijalankan dengan konsisten dan efektif maka akan ada dua hasil yang diperoleh. Pertama, terciptanya lingkungan peternakan rakyat, khususnya ayam kampung, yang sehat. Lingkungan peternakan yang bersih dan sehat akan mampu mengatasi atau menanggulangi penyebaran berbagai penyakit unggas dan manusia, khususnya Flu Burung. Kedua, restrukturisasi akan menjadi titik awal kebangkitan peternakan rakyat ayam kampung yang selama ini terpinggirkan dan terabaikan. Pengembangan kelompok peternakan rakyat yang mandiri sesuai kebutuhan dan kemampuan masyarakat harus terus mendapat dukungan pemerintah. Pembinaan kelompok peternak jangan lagi melihat dari sudut pandang pemerintah saja melainkan sudah harus menjalankan prinsip partisipasi aktif masyarakat. Sudah saatnya pemerintah meninggalkan sikap arogannya saat berhadapan dengan masyarakat. PELESTARIAN PLASMA NUTFAH Masalah lain yang juga harus mendapat perhatian serius adalah pemurnian plasma nutfah. Ayam kampung sebagai salah satu kekayaan keaneragaman hayati Indonesia harus terus dilestarikan dan dikembangkan. Beberapa jenis plasma nutfah ayam Kampung sekarang ini sudah berkurang populasinya bahkan hampir punah. Pemda Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, misalnya, sangat mengkhawatirkan semakin berkurangnya populasi ayam Kedu asli yang kini tinggal sekitar 11.000 ekor. Atau ayam Sentul dari Ciamis, Jawa Barat yang populasi di daerah asalnya tidak lebih dari 200 ekor. Nasib yang
28
sama juga dialami ayam Gaok dari Madura, ayam Tukong dari Kalimantan Barat yang semakin jarang ditemukan. Menurut Dr. Sofyan Iskandar, pakar dan peneliti unggas lokal, upaya pelestarian plasma nutfah ayam lokal merupakan investasi masa depan. Upaya ini sebaiknya dipelopori oleh instansi pemerintah bekerjasama dengan masyarakat sebagai pemanfaat langsung dan sekaligus pelestari plasma nutfah. Fungsi Balai Perbibitan dan Pengembangan Ternak Unggas (BPPTU) milik pemerintah ternyata tidak efektif dalam menjalankan program pelestarian plasma nutfah ayam Kampung. Lihat saja BPPTU milik Pemda Jawa Barat di Jatiwangi yang hingga kini belum mampu menjalankan fungsinya sebagai pusat perbibitan dan perlindungan plasma nutfah. Ironisnya, ketika pemerintah belum terlalu terbuka matanya melihat betapa strategisnya perlindungan plasma nutfah ayam Indonesia, Food and Agriculture Organization (FAO), justru telah menetapkan ayam lokal Indonesia salah satu kelompok ternak yang harus dilestarikan. Pernyataan tersebut tertuang dalam Deklarasi Interlaken yang ditetapkan pada tahun 2007 di Interlaken, Switzerland. Besarnya perhatian pemerintah untuk mengembangkan peternakan unggas lokal, termasuk ayam kampung harus diimbangi dengan pelestarian plasma nutfah yang konsisten dan berkelanjutan. Salah satu langkah yang bisa dijalankan adalah mengembangkan pemurnian berbasis masyarakat. Kehilangan plasma nutfah ayam kampung berati kehilangan masa depan usaha peternakan ayam kampung. Merebaknya virus Flu Burung di Indonesia ternyata juga memberi hikmah untuk pengembangan peternakan rakyat ayam kampung. Dengan semakin disorotnya pola peternakan sektor 4 serta kebijakan pemerintah menata ulang (restrukturisasi) sistem peternakan unggas, telah membuka mata semua pihak, termasuk kalangan peternakan rakyat. Dari kasus Flu Burung, kini peternakan rakyat ayam kampung telah bangkit menuju pola peternakan yang lebih baik dan sehat. Kehadiran Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (HIMPULI) pada Juli 2007 diharapkan dapat mewarnai dunia peternakan tanah air. Ayam kampung kini tidak lagi dilihat sebelah mata. Jika pemerintah konsisten
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
dengan kebijakan Village Poultry Farming (VPF) serta Village Breeding Center (VBC) maka tidak lama lagi ayam Kampung benarbenar dapat menjadi salah satu komoditas
andalan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Insya Allah.
29