Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
RESILIENSI DAN SIKAP TERHADAP PENYALAHGUNAAN ZAT (STUDI PADA REMAJA) P. Tommy Y. S. Suyasa, Farida Wijaya Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta
[email protected]
ABSTRACT This research aimed to find out correlation between resiliency and attitudes toward substance abuse. This research also hope to bring out more details about relationship between resiliency dimension and attitudes toward substance abuse. Dimensions of resiliency are protective factors, risk factors and personal factors. Subjects are students of Junior High School (N=101). Data collected using two measurement: one to measure resiliency and other to measure attitudes toward substance abuse. Data analyzed using product moment correlation from Pearson. The result suggested that from 3 dimensions of resiliency, 1 of them found out to have positive correlation with attitudes toward substance abuse, while the other 2 did not have correlation. Generally, concluded that there is no correlation between resiliency and attitudes toward substance abuse. Keywords: Resiliency, attitude,substance abuse
Pendahuluan Penyalahgunaan napza perlu menjadi perhatian segenap pihak karena kecepatannya dalam menimbulkan ketergantungan serta sukarnya dalam menangani dan menyembuhkan ketergantungan tersebut. Dari data statistik Badan Nasional Narkoba -RI diketahui bahwa 15.000 orang Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat mengkonsumsi napza (Forum, 2005). Kerugian dari segi ekonomi hingga tahun 2009 yang disebabkan penyalahgunaan napza diperkirakan akan mencapai Rp. 46,5 triliun. Selain itu, penyalahgunaan napza di Indonesia semakin banyak dimulai berkisar pada usia 10 tahun, pada umumnya korban berusia 15 sampai 25 tahun yakni remaja. Dalam arti, remaja menjadi sasaran utama dari kejahatan penyalahgunaan napza. Alasan seorang remaja untuk mulai mencoba napza dapat bersifat ekternal maupun internal. Hal-hal eksternal dapat berupa penyalahgunaan napza oleh teman sebaya maupun keluarga. Sedangkan faktor-faktor internal yang menjadi alasan umum untuk penyalahgunaan napza antara lain: rasa ingin tahu, pemberontakan atau ekspresi dari ketidakpuasan terhadap nor-
ma, nilai dan tekanan dari lingkungan sosial, untuk kesenangan semata-mata, untuk meredakan ketegangan dan kekhawatiran, atau untuk menghadapi masalah (Rice, 1999). Walaupun faktor eksternal dan internal memperbesar kecenderungan penyalahgunaan napza dalam diri seorang remaja, namun penelitan Orbell dan koleganya (Baron dan Byrne, 2004) membuktikan bahwa sikap seorang remaja sejak awal akan menentukan kecenderungan subjek dalam menggunakan atau tidak menggunakan napza. Faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi penyalahgunaan napza tersebut merupakan risk factors dalam konsep resiliensi. Individu yang memiliki risk factors saja atau protective factors saja, tidak dapat dikatakan bersifat resilien. Karena seseorang dikatakan memiliki resiliensi apabila ia mempunyai kedua hal tersebut. Dengan kata lain, apabila terdapat keseimbangan antara risk factors dan protective factors, dan hadirnya personal factors, mengindikasikan seseorang yang resilien. Penanganan terhadap penyalahgunaan napza adalah lebih kompleks diban-
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
102
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
dingkan pencegahannya. Secara ilustrasi, penanganan terhadap penyalahgunaan napza dapat digambarkan dengan tim bantuan yang menyediakan mobil ambulan di bawah jurang sebuah tebing terjal dan siap untuk mengobati korban yang terjatuh ke jurang. Namun tindakan yang lebih baik adalah mencegah terjadinya penyalahgunaan napza, yang dapat diilustrasikan dengan tim bantuan yang menaiki ke atas jurang dan memagari sekeliling jurang untuk mencegah terjadinya korban (Hawkins dan Catalano, dikutip oleh Blum, 1998). Resiliensi dan sikap yang negatif terhadap penggunaan napza masing-masing merupakan hal yang berperan dalam tindakan pencegahan terhadap penggunaan napza. Sikap seseorang mempengaruhi cara ia bertingkah laku. Sikap yang negatif terhadap penggunaan napza akan menghadirkan tingkah laku yang menjauhi napza, artinya tidak mencoba-coba napza jenis apapun. Sebaliknya sikap yang positif terhadap penggunaan napza akan menghadirkan tingkah laku yang tidak menjauhi napza, artinya seseorang akan kompromi dan membuka kesempatan untuk mencobacoba napza karena faktor-faktor yang berasal dari diri sendiri ataupun dari lingkungan sekitarnya. Indikasi resilien yang dimiliki seorang remaja dapat mencegahnya melakukan penggunaan napza. Sebagai contoh, seorang remaja yang mempunyai temanteman yang menawarkan napza (risk factors), namun karena terdapat norma kedisiplinan kuat serta adanya penerimaan aspirasi remaja oleh keluarganya (protective factors), maka remaja tersebut tetap berada dalam kondisi resilien. Dalam arti, remaja tersebut akan mempunyai konsep berpikir, jika ia menerima tawaran untuk menggunakan napza, ia akan ditentang oleh keluarganya. Remaja yang diterima aspirasinya dengan baik dalam keluarga cenderung menghindari hal tersebut. Jadi, resiliensi pada diri seorang remaja mampu memprediksikan sikap negatif remaja terhadap penggunaan napza. Dengan demikian, remaja yang memiliki resiliensi mampu menangkal pengaruh negatif dari penyalahgunaan 103
napza yang disebabkan faktor internal maupun eksternal. Artinya, remaja tersebut akan membentuk sikap yang negatif terhadap penggunaan napza dengan salah satu contoh: tidak pernah mau mencobacoba napza. Namun hal ini hanya sebatas pemikiran, belum teruji kebenarannya. Dengan alasan tersebutlah penelitian ini dilakukan.
Resiliensi Dewasa ini banyak peneliti yang memilih istilah resiliensi atau stress resistence (ketahanan terhadap tekanan) daripada invulnerability (kebal atau tak dapat dikalahkan). Kamus Merriam Webster (2005) mengartikan resiliensi sebagai “the capability of a (strained) body to recover its site and shape after deformator causal especially by compressives stress” yaitu kemampuan suatu benda untuk menegang (melenting), kemudian memperoleh kembali tempat dan bentuknya setelah melalui akibat perusakan bentuk, khususnya oleh tekanan yang sangat luar biasa. Hal ini sesuai dengan kata dasar resiliensi yang berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa Inggris bermakna to jump (or bounce) back, artinya melompat atau melenting kembali (Resiliency Center, 2004). Dengan memiliki resiliensi, terdapat lebih besar kecenderungan seseorang untuk menghadapi, mengatasi bahkan keluar dari tekanan yang mengelilinginya. Seorang remaja usia 15 tahun yang telah mengikuti pengajaran tentang resiliensi selama enam bulan mendefinisikan resiliensi sebagai “bouncing back from problems and stuff with more power and more smarts” yang berarti melenting keluar dari masalah-masalah dan kesesakan dengan kekuatan dan kecerdasan yang lebih besar dibandingkan yang dimiliki sebelumnya (Resiliency In Action, Inc., 2004). Tekanan hidup merupakan hal yang tidak terkecuali dialami semua individu, namun yang membedakan antara individu yang satu dan lainnya adalah pada keberhasilan dalam beradaptasi dengan tekanan-tekanan. Werner dan Smith (dikutip oleh Balanon, 2002) mendefinisikan resiliensi sebagai “successful adaptation to stressful life events” yang
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
berarti keberhasilan beradaptasi dengan situasi menekan dalam hidup. Losel bahkan (dikutip oleh Balanon, 2002) mendefinisikan resiliensi sebagai “good outcome despite high-risk status and sustaining competence under threat”. Hal ini berarti bahwa status yang memiliki resiko tinggi sekalipun mampu memberi dampak yang baik bagi orang yang resilien, bahkan membuatnya semakin kompeten. Faktor-faktor yang memperburuk kondisi seseorang disebut dengan istilah faktor-faktor beresiko. Turner (dikutip oleh Balanon, 2002) berpendapat bahwa interaksi dinamis antara risk factors (faktorfaktor beresiko) dan protective factors (faktor-faktor pelindung) sebagai hasil adapatasi akan memampukan seseorang untuk menjadi resilien. Protective factors adalah faktor-faktor yang menjadi pelindung, yang berperan dalam menurunkan dampak dari risk factors dalam kehidupan seseorang. Resiliensi merupakan proses interaksi antara faktor individual dan lingkungan yang memberi hasil yang baik sementara menghadapi penderitaan hidup (Rutter, dikutip oleh Balanon, 2002). Richardson, Neiger, Jensen, dan Kumpfer (dikutip oleh Henderson dan Milstein, 2003) mendefinisikan resiliensi sebagai “the process of coping with disruptive, stressful, or challenging life events in a way that provides the individual with additional protective and coping skills that prior to the disruption that results from the event” yakni proses mengatasi masalah seperti gangguan, kekacauan, tekanan atau tantangan hidup, yang pada akhirnya membekali individu dengan perlindungan tambahan dan kemampuan untuk mengatasi masalah sebagai hasil dari situasi yang dihadapi. Dari definisi-definisi yang diperoleh dari beberapa sumber, penulis menarik kesimpulan bahwa resiliensi adalah interaksi dinamis antara risk factors (faktorfaktor beresiko) dan protective factors (faktor-faktor pelindung) sebagai hasil adaptasi yang diperoleh secara individual maupun dari lingkungan, yang memampukan seseorang untuk mengembangkan diri menuju ke arah yang lebih baik.
Tinjauan Teori Karakteristik orang yang resilien Penelitian sepanjang 30 tahun terhadap orang-orang yang mencoba bertahan hidup dengan baik dalam kondisi sulit (best survivors) telah membuahkan pengertian tentang resiliensi beserta cara pengembangannya (Siebert, 2004). Menurutnya orang-orang yang memiliki kualitas resiliensi yang tinggi memiliki beberapa persamaan kualitas, yakni playful (suka bermain) dan memiliki rasa ingin tahu seperti pada anak-anak, secara konstan belajar dari pengalaman, beradapatasi dengan cepat, memiliki self-esteem dan kepercayaan diri yang kokoh, memiliki persahabatan yang baik dan hubungan yang penuh kasih, mengekpresikan perasaan secara jujur, mengharapkan sesuatu berjalan dengan baik, mencoba mengerti orang lain dengan berempati, serta memiliki kapasitas intelektual (Turner, 2001) dan internal locus of control (Rouse, 1998). Dengan demikian, terdapat sepuluh karakteristik orang yang resilien. Playful (suka bermain) dan memiliki rasa ingin tahu seperti pada anakanak. Ciri-cirinya mereka mengajukan banyak pertanyaan, untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya sesuatu. Mereka memiliki waktu yang dapat dinikmati dengan baik hampir di seluruh tempat. Dalam arti, terkesan mereka lebih menikmati hidup dibandingkan dengan orang tidak memiliki resiliensi. Mereka mengajukan pertanyaan seperti: “Siapa yang dapat menjawab pertanyaan saya? Bagaimana kalau saya melakukan hal ini?”. Terdapat juga humoritas dalam aspek ini, rasa humoritas memampukan seseorang untuk mendapatkan kegembiraan dari suatu tragedi, mampu meredakan tegangan dan mencoba melihat dari perspektif yang lebih baik (Turner, 2001). Secara konstan belajar dari pengalaman. Artinya mereka secara cepat mencerna pengalaman yang baru maupun yang tak terduga. Hal tersebut dikarenakan adanya kemauan untuk senantiasa belajar dari pengalaman, baik yang bersifat positif maupun negatif. Pertanyaan yang timbul dalam pikiran mereka seperti: “Apakah
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
104
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
pelajaran yang saya dapatkan dari hal ini? Petunjuk apa yang terlewatkan olehku? Lain kali bila hal ini terjadi saya akan..” Mereka memiliki serendipity (kesanggupan untuk menemukan suatu keterangan secara tidak disengaja ketika mencari sesuatu yang lain). Mereka dapat merubah dari situasi yang secara emosional tidak baik menjadi baik untuk mereka. Mereka berkembang dengan pesat dalam situasi yang menekan karena mendapatkan pelajaran yang baik dari pengalaman yang buruk. Mereka merubah ketidakberuntungan menjadi keberuntungan serta memperoleh kekuatan dari tekanan. Orang yang resilien cenderung tidak melewati suatu pengalaman tanpa mempelajari sesuatu darinya, mereka senantiasa mengambil hikmah dari pengalaman-pengalaman yang dialami, walaupun terkadang membutuhkan rentan waktu tertentu. Beradapatasi dengan cepat dan baik. Ciri-cirinya individu bersifat sangat fleksibel secara mental. Mereka mampu untuk bersikap keras maupun lembut, menggunakan perasaan atau menggunakan logika, bersikap tenang atau emosionil, dan sebagainya. Selain itu mereka merasa nyaman walau berhadapan dengan orang lain yang mempunyai kualitas kepribadian yang berlawanan dengan mereka. Individu mampu berpikir tentang hal terburuk yang mungkin terjadi dengan tujuan untuk menghindarinya sehingga memperoleh hasil yang terbaik. Selain itu mereka mampu untuk tetap sehat walaupun berada dalam lingkungan keluarga yang kacau. Hal ini dikarenakan peran model yang diperoleh selain dari rumah, contohnya guru, orang tua dari teman, pelatih dan pembina agama (Turner, 2001). Memiliki self-esteem dan kepercayaan diri yang kokoh. Self-esteem adalah apa yang dirasakan seseorang tentang dirinya. Mereka mengizinkan orang lain memberikan pujian dan ucapan selamat pada mereka. Self-esteem berperan sebagai penahan dalam melawan pernyataan yang menyakitkan dan sekaligus mempelajari sesuatu dari kritik yang diterima. Selfesteem membuat mereka percaya diri dan memampukan mereka untuk melakukan sesuatu dengan kapasitas maksimal mereka. 105
Memiliki persahabatan yang baik dan hubungan yang penuh kasih. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang bekerja dalam lingkungan yang terpolusi dapat lebih bertahan pada tekanan serta lebih jarang sakit jika mereka memilki keluarga yang penuh kasih serta persahabatan yang baik. Penyendiri lebih rentan terhadap kondisi sukar. Individu yang resilien senantiasa berkomunikasi dengan teman dan keluarga karena hal tersebut mengurangi akibat dari kesulitan yang dihadapi dan justru meningkatkan selfworth (kebenaran diri) dan self-esteem. Artinya mereka memiliki orang-orang yang peduli terhadap keberadaannya, sebagai hasil dari kemampuan sosialisasi mereka yang baik (Rouse, 1998). Mengekpresikan perasaan secara jujur. Individu mengalami dan mengekspresikan rasa marah, sayang, benci, penghargaan, sedih – dan bermacammacam bentuk emosi lainnya secara jujur dan terbuka. Mereka tidak berpura-pura dalam menunjukkan sikap mereka seharihari, mereka bertingkah laku apa adanya, artinya tidak berusaha untuk menyembunyikan suatu sikap tertentu. Walaupun demikian, mereka dapat menahan perasaan mereka apabila itu menjadi pilihan yang lebih baik. Intinya, mereka adalah orang yang disenangi orang banyak karena kejujuran sikap yang dimiliki. Mengharapkan sesuatu berjalan dengan baik. Individu memiliki optimisme tinggi yang dipimpin oleh nilai dan standar internal individu. Mereka dapat bekerja tanpa job description (gambaran tentang hal yang harus dilakukan), serta bersikap profesional. Mereka berusaha melakukan yang terbaik, sebagai timbal baliknya, mereka mempunyai keyakinan bahwa hal yang dikerjakan akan membawa hasil yang maksimal. Pertanyaan yang timbul di pikiran mereka seperti: “Bagaimana saya dapat berinteraksi dengan hal ini sehingga hal ini dapat berjalan dengan baik?” Mencoba mengerti orang lain dengan berempati. Ciri-cirinya adalah mencoba melihat sesuatu dari cara pandang orang lain. Mereka mencoba untuk berada di posisi tempat orang lain berada. Mereka memiliki pertanyaan-pertanyaan seperti:
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
“Apa yang orang lain pikirkan dan rasakan? Bagaimana kalau saya dalam posisi mereka?” Orang yang resilien senantiasa mencoba untuk mengerti apa yang sedang dirasakan orang, sekalipun ia sendiri tidak diberlakukan demikian sebelumnya. Memiliki kapasitas intelektual, ciricirinya mereka memiliki kemampuan verbal dan komunikasi yang baik serta mampu memberi ide, yang akhirnya membuat mereka dapat mengerti diri sendiri dan orang lain (Wolin dan Wolin, dikutip oleh Turner, 2001). Mereka memiliki kemampuan untuk memberi alasan dengan baik (Rouse, 1998). Dengan kata lain, walaupun tidak mempunyai IQ yang sangat tinggi, namun mereka termasuk pintar. Karenanya, mereka senantiasa mampu untuk memecahkan setiap masalah yang dihadapi. Internal locus of control, hal ini tampak pada masa remaja awal, dan akhirnya berlanjut pada tahap kehidupan berikutnya. Internal locus of control artinya suatu keyakinan bahwa seseorang mampu menentukan nasibnya. Keyakinan bahwa hal-hal yang terjadi masih berada di bawah kendalinya. Hal ini merupakan kunci dari protective factors dari resiliensi (Blum, 1998), yang merupakan hasil dari interaksi antara lingkungan dan kilas balik dari teman yang membawa remaja sampai pada kesadaran bahwa dirinya mempunyai dampak bagi lingkungan. Contohnya, mereka tidak cenderung menyalahkan halhal eksternal terhadap hal-hal buruk yang mereka alami, mereka mempunyai pola pikir bahwa segalanya tetap dapat mereka kendalikan meskipun dalam situasi yang sangat sulit sekalipun. Internal locus of control ini berhubungan dengan pengalaman menerima bantuan yang diterima seseorang. Hal ini terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya kejadian yang dialami individu. Dengan menganalisis karakteristik dari orang yang resilien, secara tidak langsung dapat dibayangkan manfaat yang diperoleh bila resiliensi yang dibentuk dan dikembangkan dalam diri seseorang. Karakteristik resiliensi dapat dikembangkan dan dibangun pada anak yang vulnerable (rentan terhadap pengaruh buruk lingkungan), sehingga pada akhirnya menghasilkan
kompetensi kognitif dan sosial, serta berfungsi dengan baik di sekolah (Hiew dan Matchett, 2001).
Napza Napza merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, alkohol dan bahan adiktif lainnya. Menurut Rice (1999), napza secara umum dikategorikan dalam 6 jenis, narkotika, stimulan, depressants, hallucinogens, ganja dan inhalant. Opium dan derivatenya (hasil pengolahan dari ampas opium), yaitu morfin, heroin dan codeine. termasuk dalam jenis narkotika. Amphetamine termasuk jenis stimulan. Depressants yang berfungsi sebagai obat penenang atau obat tidur antara lain adalah transquilizer. Jenis hallucinogens memiliki beberapa contoh antara lain ekstasi dan LSD. Inhalant merupakan jenis napza yang dikonsumsi dengan cara dihirup, contohnya, cairan pembersih kutek, pelekat plastik, bensin, cairan pembersih, tiner dan zat-zat hidrokarbon lainnya yang menyebabkan keracunan bila dihirup secara berlebihan. Jenis-jenis napza yang paling banyak disalahgunakan adalah heroin, ganja, ekstasi, shabu-shabu dan amphetamine (Yayasan Cinta Anak BangsaYCAB). Berbagai penjelasan tentang jenisjenis napza oleh YCAB (sebuah yayasan yang memberi rehabilitasi pada para korban penyalahgunaan napza) adalah sebagai berikut. Heroin merupakan obat terlarang yang sangat keras dengan zat adiktif tinggi dan dapat berbentuk butiran, tepung atau cairan. Salah satu jenis heroin yang popular saat ini adalah putauw. Heroin menyebabkan ketergantungan dengan cepat bagi pengkonsumsinya, baik secara fisik maupun mental, sehingga usaha mengurangi pemakaiannya menimbulkan rasa sakit dan kejang-kejang bila konsumsi dihentikan. Ganja mengandung zat kimia yang dapat mempengaruhi perasaan, penglihatan dan pendengaran ketika dikonsumsi. Efek-efek yang ditimbulkan ganja yaitu: kehilangan konsentrasi, peningkatan denyut jantung, kehilangan keseimbangan dan koordinasi tubuh, rasa gelisah, panik, depresi, kebingungan atau halusinasi. Ganja dikenal
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
106
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
dengan istilah marijuana, gele, cimeng, kangkung, labang, rumput atau grass. Ekstasi termasuk zat psikotropika dan biasanya diproduksi secara illegal di dalam laboratorium dan dibuat dalam bentuk tablet atau kapsul. Ekstasi mendorong tubuh seseorang bekerja di luar batas kemampuan fisiknya, pengerahan tenaga yang tinggi dan lama dapat mengakibatkan kekeringan cairan tubuh. Hal tersebut menyebabkan beberapa pengguna ekstasi meninggal dunia karena terlalu banyak minum akibat rasa haus yang berlebihan. Ekstasi dikenal sebagai inex, kancing, dan lain-lain. Shabu-shabu berwujud kristal dan tidak berbau serta tidak berwarna, karena itu diberi nama ice. Shabu-shabu memiliki efek yang sangat kuat pada jaringan saraf. Pengguna shabu-shabu akan mengalami ketergantungan secara mental, dan pemakaian yang lama dapat menyebabkan peradangan pada otot hati dan bahkan kematian. Amphetamine (stimulan sintesis) yang dikenal dengan sebutan amphet yang dapat berbentuk pil, kapsul atau tepung. Zat ini dapat menjadi stimulan yang mengubah suasana hati. Tingkah laku yang kasar dan aneh sering dijumpai di kalangan pemakai yang kronis. Efek yang ditimbulkan amphetamine adalah penurunan berat badan, gelisah, penampilan seperti kurang tidur, tekanan darah tinggi, denyut jantung tidak beraturan, dan pingsan akibat kelelahan. Selain jenis-jenis napza tersebut di atas, rokok dan minuman beralkohol merupakan dua jenis napza yang paling banyak dikonsumsi dan cepat menimbulkan ketergantungan (Rice, 1999). Aktivitas menghisap rokok merupakan tingkat kecanduan nomor satu dan sangat sulit untuk dihentikan. Penggunaan rokok dan minuman beralkohol terdapat di dua urutan teratas dari semua jenis napza dari tahun 1982 sampai tahun 1994 pada remaja usia 12 sampai 17 tahun. Penggunaan alkohol adalah penyalahgunaan minuman yang mengandung alkohol dalam jumlah tertentu yang mengakibatkan kerusakan secara fisik dan gangguan secara fisik, sosial, intelek107
tual maupun pekerjaan. Contohnya seperti bir dan wine (anggur).
Penyalahgunaan Napza Penggunaan napza merupakan pemakaian zat–zat seperti narkotika, psikotropika, alkohol dan zat adiktif lainnya. Penggunaan napza di luar daripada tujuan medis atau dalam jumlah dan administrasi yang tidak tepat mengacu pada penyalahgunaan napza (Rice, 1999). Menurut APA, penyalahgunaan napza mempunyai kriteria bahwa pemakaian zatzat dilakukan secara berkala dan berkesinambungan dalam jangka waktu pemakaian minimal 12 bulan. Zat-zat yang disalahgunakan termasuk alkohol, amphetamine (stimulan sintetis), kafein, ganja, kokain, halusinogen, inhalant, nikotin, opium, phencyclidine dan obat penenang. Berdasarkan DSM IV-TR (APA, 2000) pengkonsumsian obat-obatan yang dikategorikan penyalahgunaan napza minimal mempunyai satu dari karakteristik berikut: (a) penggunaan zat mengakibatkan kegagalan dalam memenuhi tuntutan peran utama dalam pekerjaan, sekolah atau rumah (performansi kerja yang rendah ataupun buruk, dan ketidakpedulian terhadap anak ataupun rumah tangga berkenaan dengan pemakaian obat-obatan, selain itu ketidakhadiran, pendisiplinan bahkan pengeluaran dari sekolah bagi yang masih bersekolah), (b) penggunaan zat-zat secara berulangkali dalam situasi yang membahayakan fisik (mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin selagi dalam pengaruh napza), (c) penggunaan obat-obatan secara berulang kali yang mengakibatkan keterlibatan dalam masalah hukum (contoh: ditahan karena tingkah laku yang merusak akibat penyalahgunaan napza), (d) terus menerus menggunakan zat walaupun berulang kali mengalami masalah sosial maupun interpersonal dan bahkan semakin memburuk.
Sikap remaja awal terhadap penggunaan napza Allport (dikutip oleh Franzoi, 2003) berpendapat bahwa sikap merupakan pondasi dasar dari “bangunan” ilmu psikologi sosial Amerika. Alasan dasar
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
mengapa konsep sikap menjadi sangat popular dikarenakan tujuan dari ilmu psikologi adalah untuk mempelajari tingkah laku, dan konsep sikap dianggap turut mempengaruhi tingkah laku seseorang (Franzoi, 2003). Dengan demikian, sikap seorang remaja terhadap penggunaan napza akan turut mempengaruhi tindak nyatanya terhadap penggunaan napza. Jenis-jenis napza yang dimaksudkan adalah rokok, minuman beralkohol, ganja dan lain-lain. Sikap terhadap penggunaan napza merupakan berbagai nilai, kepercayaan dan perasaan yang menjadi penunjuk besarnya derajat seseorang menyukai atau tidak menyukai penggunaan napza, yang turut mempengaruhi tingkah lakunya terhadap penggunaan napza. Apabila sikap terhadap penggunaan napza positif maka remaja mempunyai kecenderungan menggunakan napza. Hal ini misalnya dikarenakan keyakinan bahwa penggunaan napza tidak membahayakan jiwanya dan lagipula membuatnya berani berbicara sehingga lebih percaya diri. Sebaliknya, apabila remaja misalnya yakin bahwa penggunaan napza memiliki resiko tinggi maka sikapnya terhadap penggunaan napza akan melemah dan cenderung bersifat negatif terhadap penggunaan napza.
Resiliensi pada Remaja Risk factors dan protective factors merupakan konsep dasar dari resiliensi. Individu yang memiliki risk factors saja atau protective factors saja, tidak dapat dikatakan bersifat resilien. Karena seseorang dikatakan memiliki resiliensi apabila ia mempunyai kedua hal tersebut. Dengan kata lain bila seseorang dihadapkan pada risk factors namun ia memiliki protective factors, maka hal ini membuatnya dapat beradapatasi dan mampu menanggulangi masalah secara memadai (Yockey, 2001). Dengan demikian, bagi remaja yang resilien kehadiran risk factors tidak secara langsung berakibat fatal karena tersedia protective factors bagi dirinya. Selain itu, resiliensi bukanlah kualitas yang telah selesai (tidak akan berubah lagi), melainkan terus berkembang seiring dengan waktu dan keadaan yang dihadapi. Hal tersebut dihasilkan dengan terdapatnya keseim-
bangan antara risk factors dan protective factors. Salah satu situasi yang memiliki resiko tinggi (risk factors) bagi remaja yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah penggunaan napza. Dari penelitian Ehlers, Wall, Garcia-Andrade, dan Philips (dikutip oleh Hurdle, 2003) diketahui bahwa penyalahgunaan alkohol dan napza merupakan merupakan risk factors yang sangat kuat terhadap perkembangan psikososial remaja penduduk asli bagian barat Amerika Selatan. Pada penelitian Farrell dan White (dikutip oleh Ungar, 2004), yang melakukan observasi terhadap aktivitas penggunaan napza pada remaja, ditemukan bahwa interaksi antara orang tua dan anak dalam kualitas kehidupan keluarga merupakan aspek penting. Ungar (2004) menyatakan bahwa kehadiran orang tua pria memberi dampak yang positif, yakni sebagai pelindung terhadap pengaruh teman sebaya yang negatif, dan sekaligus membentuk identitas anak. Hal ini disebabkan perkembangan identitas anak memerlukan kebutuhan-kebutuhan struktur dan model remaja dan hal ini bergantung pada orang tua (Pettit, Laird, Dodge, Bates, dan Criss, dikutip oleh Ungar, 2004). Hal tersebut berfungsi sebagai protective factors. Penelitian Moon, Jackson, dan Hecht (2000) menunjukkan bahwa hadirnya resiliensi memainkan peran yang besar dalam proses pertahanan terhadap penggunaan napza. Menurut hasil penelitian Hawkins, Catalino, dan Miller (dikutip oleh Losel, 1994) terdapat beberapa perbedaan antara risk factors dan protective factors pada penyalahgunaan napza remaja dalam aspek tingkah laku, keluarga, teman sebaya serta budaya. Pada aspek tingkah laku, bentuk risk factor-nya adalah perlawanan terhadap otoritas dan agresivitas, bentuk protective factor-nya adalah memiliki kemampuan coping (mengatasi masalah) yang memadai. Pada aspek keluarga, risk factor-nya adalah adanya pemakaian napza di lingkungan keluarga, sedangkan protective factor-nya adalah adanya parental bonding (ikatan terhadap orang tua). Pada aspek teman sebaya risk factor-nya adalah memiliki teman sebaya yang menggunakan napza, sedangkan protective factor-nya
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
108
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
adalah penolakan teman sebaya terhadap penggunaan napza. Aspek terakhir yaitu aspek budaya mempunyai risk factor yaitu tersedianya napza secara mudah, sedangkan protective factor-nya adalah mempunyai norma kelompok yang benar dan positif.
Jenis kelamin
Frekuensi
Persentase (%)
Laki-laki
56
55,4
Perempuan
45
44,6
Total 101 Sumber: Hasil Pengolahan Data
Metode Penelitian Subjek Penelitian Subjek pada penelitian ini adalah siswa-siswi yang bersekolah di SLTP X. Subjek tidak dibatasi oleh suku bangsa, jenis kelamin, status sosial ekonomi, status kesehatan, dan agama. Jumlah keseluruhan murid sekolah adalah 208 orang. Sedangkan jumlah subjek penelitian adalah 101 orang. Pengambilan sampel penelitian berdasarkan teknik convinience sampling. Gambaran subjek penelitian dapat dilihat berdasarkan usia, jenis kelamin, jenjang pendidikan, jumlah sahabat, jumlah saudara kandung serta jumlah anggota keluarga di rumah. Berdasarkan usia, diperoleh data subjek penelitian dengan usia minimal 11 tahun dan usia maksimal adalah 14 tahun. Rentang usia ini sudah sesuai dengan karakteristik subjek yang telah ditentukan oleh penulis. Rata-rata usia subjek penelitian adalah 13 tahun, dengan standar deviasi sebesar 1,16. Berdasarkan tabel 2, diketahui subjek yang berusia 11 tahun berjumlah 6 orang (5.9%), subjek yang berusia 12 tahun berjumlah 31 orang (30.7%), subjek yang berusia 13 tahun berjumlah 45 orang (44.5%) dan subjek yang berusia 14 tahun berjumlah 19 orang (18.8%). Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan jenis kelamin, subjek penelitian yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 56 orang (55.4%). Sedangkan subjek dengan jenis kelamin perempuan berjumlah 45 orang (44.6%). Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 1 Gambaran subjek berdasarkan usia Usia Frekuensi Persentase 11 6 5,9 12 31 30,7 13 45 44,5 14 19 18,8 Total 101 100,0 Sumber: Hasil Pengolahan Data 109
Tabel 2 Gambaran subjek berdasarkan jenis Kelamin
100.00
Pengukuran Pengukuran variabel resiliensi dilakukan dengan mengukur dimensi protective factors, risk factors serta personal factors. Butir-butir pada kuesioner disusun berdasarkan batasan konseptual, batasan operasional, dimensi, sub dimensi dan indikator resiliensi. Dimensi variabel resiliensi yang digunakan berjumlah tiga dimensi dan terdiri dari tujuh sub dimensi. Pengukuran resiliensi disusun berdasarkan skala Likert yang terdiri dari lima alternatif jawaban. Penilaian dilakukan dengan memisahkan butir positif dan butir negatif. Pada butir positif penilaian dimensi protective factors, dimensi risk factors, dan dimensi personal factors adalah sama, SS (Sangat Setuju) bernilai 5, S (Setuju) bernilai 4, RR (Ragu-ragu) bernilai 3, TS (Tidak Setuju) bernilai 2, dan STS (Sangat Tidak Setuju) bernilai 1. Sedangkan pada butir negatif penilaian dimensi protective factors, dimensi risk factors, dan dimensi personal factors adalah sebaliknya, SS (Sangat Setuju) bernilai 1, S (Setuju) bernilai 2, RR (Ragu-ragu) bernilai 3, TS (Tidak Setuju) bernilai 4, dan STS (Sangat Tidak Setuju) bernilai 5. Skor total yang diperoleh dari variabel resiliensi merupakan gabungan dari skor yang diperoleh dari tiga dimensi resiliensi. Penjelasan perolehan skor dari masing-masing dimensi dalam adalah sebagai berikut: semakin tinggi skor resiliensi artinya subjek cenderung memiliki hal-hal yang menjadi indikator protective factors dan personal factors, di antaranya yaitu: peran model positif dari orang dewasa, aktivitas atau hobi, selfesteem yang baik, sikap positif terhadap peraturan sekolah, sikap positif terhadap kepolisian, tingkah laku terbuka terhadap
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
dukungan yang diterima dalam mengerjakan tugas sekolah, memiliki struktur dan peraturan di keluarga dan memperoleh dukungan dan bimbingan di keluarga. Walaupun di pihak lain, subjek memiliki indikator-indikator risk factors seperti memiliki keluarga dan teman sebaya yang menggunakan napza, memiliki tingkat kehadiran yang rendah di sekolah, menghadapi kesulitan di sekolah, merupakan anggota suatu geng atau memiliki teman sebaya yang merupakan anggota dari suatu geng dan mengalami penolakan oleh teman sebaya di sekolah. Sebaliknya, semakin rendah skor resilensi, mempunyai arti bahwa semakin kecil jumlah indikator protective factors dan personal factors yang dimiliki subjek. Indikator-indikator tersebut di antaranya seperti peran model positif dari orang dewasa, aktivitas atau hobi, self-esteem yang baik, sikap positif terhadap peraturan sekolah, sikap positif terhadap kepolisian, tingkah laku terbuka terhadap dukungan yang diterima dalam mengerjakan tugas sekolah, memiliki struktur dan peraturan di keluarga dan memperoleh dukungan dan bimbingan di keluarga. Selain itu, subjek juga memiliki jumlah risk factors yang rendah, artinya individu berada pada kondisi yang cenderung kurang merupakan indikator risk factors. Kondisi risk factors seperti memiliki keluarga dan teman sebaya yang menggunakan napza, memiliki tingkat kehadiran yang rendah di sekolah, menghadapi kesulitan di sekolah, merupakan anggota suatu geng atau memiliki teman sebaya yang merupakan anggota dari suatu geng dan mengalami penolakan oleh teman sebaya di sekolah. Dari hasil pengujian dengan menggunakan SPSS 12.0, untuk dimensi protective factors, diperoleh nilai koefisien Alpha Cronbach sebesar 0.769 dengan jumlah butir sebanyak 17 butir. Sedangkan untuk dimensi risk factors, diperoleh nilai koefisien Alpha Cronbach sebesar 0.848 dengan jumlah butir sebanyak 17 butir. Untuk dimensi personal factors, diperoleh nilai koefisien Alpha Cronbach sebesar 0.820 dengan jumlah butir sebanyak 33 butir.
Pengukuran variabel sikap terhadap penggunaan napza disusun berdasarkan batasan konseptual dan batasan operasional. Alat ukur variabel sikap terhadap penggunaan napza diperoleh dari wawancara atau elisitasi terhadap beberapa subjek yang menghasilkan pernyataan-pernyataan umum tentang sikap terhadap penggunaan napza. Keseluruhan siswa berjumlah 40 orang siswa kelas I sampai III SLTP, terdiri dari 18 orang laki-laki dan 22 orang perempuan. Pernyataan-pernyataan yang dipakai hanyalah pernyataan yang termasuk dalam 75% jawaban yang sering muncul. Dari masingmasing pertanyaan yang diajukan diperoleh 21 jawaban, 75% dari pertanyaan pertama, yaitu tentang alasan-alasan seseorang menggunakan napza atau obat terlarang diperoleh 11 buah jawaban urutan teratas. Sedangkan untuk pertanyaan kedua, tentang dampak negatif dari penggunaan napza diperoleh 6 buah jawaban urutan teratas. Pengukuran sikap terhadap penggunaan napza disusun berdasarkan skala Likert yang terdiri dari tujuh alternatif jawaban. Penilaian dilakukan dengan memisahkan butir positif dan butir negatif. Pada butir positif penilaian sikap terhadap penggunaan napza (outcome evaluations), dari kiri ke kanan “Sungguh Sangat” bernilai 1, “Sangat” bernilai 2, “Agak” bernilai 3, “Ragu-ragu” bernilai 4, “Agak” bernilai 5, “Sangat” bernilai 6, dan “Sungguh Sangat” bernilai 7. Sedangkan pada butir negatif, penilaian dari kiri ke kanan adalah sebaliknya, “Sungguh Sangat” bernilai 7, “Sangat” bernilai 6, “Agak” bernilai 5, “Ragu-ragu” bernilai 4, “Agak” bernilai 3, “Sangat” bernilai 2, dan “Sungguh Sangat” bernilai 1. Selain itu, penilaian kekuatan dari sikap (belief strength) adalah nilai sesungguhnya, “0” bernilai 0, “1” bernilai 1, “2” bernilai 2 dan “3” bernilai 3. Skor sikap terhadap penggunaan napza adalah skor total yang diperoleh dari alat ukur sikap terhadap penggunaan napza. Skor ini merupakan hasil perkalian dari skor yang diperoleh dari butir-butir pernyataan tentang sikap terhadap penggunaan napza (outcome evaluations) dengan skor keyakinan (belief strength) subjek terhadap tiap pernyataan tentang sikap terhadap penggunaan napza. Semakin
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
110
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
positif sikap terhadap penggunaan napza, artinya subjek memiliki sikap yang kuat terhadap penggunaan napza, antara lain bahwa penggunaan napza tidak dapat menyebabkan kecanduan, tidak merusak kesehatan dan tidak menyebabkan masa depan yang suram. Hal ini secara tidak langsung memberi prediksi bahwa di waktu yang akan datang terdapat kecenderungan subjek untuk tidak anti atau tidak menutup diri terhadap penggunaan napza. Sedangkan apabila subjek memiliki sikap yang negatif terhadap penggunaan napza, artinya subjek memiliki sikap yang lemah terhadap penggunaan napza atau tidak yakin bahwa penggunaan napza antara lain dapat mengatasi rasa stres, dapat membuat subjek diterima oleh lingkungannya atau dapat membuat subjek disukai oleh teman-teman. Hal ini secara tidak langsung memberi prediksi bahwa di waktu yang akan datang terdapat kecenderungan subjek untuk menutup diri bahkan menentang penggunaan napza. Pengujian reliabilitas dilakukan dengan bantuan SPSS 12.0. Uji reliabilitas dengan internal reliability disertai dengan analisis butir. Butir yang memiliki nilai korelasi minimal 0.2 akan dibuang satu per satu untuk memperoleh hasil korelasi di atas ataupun sama dengan 0.2. Untuk alat ukur sikap terhadap penggunaan napza, diperoleh nilai koefisien Alpha Cronbach sebesar 0.889.
Prosedur Pengambilan data dengan penyebaran kuesioner sebanyak tiga kali dilakukan pada hari Sabtu, 20 Agustus 2005, masing-masing dari pukul 08.00 sampai 08.40 WIB kelas di kelas I SLTP, pukul 08.45 sampai 09.15 WIB di kelas II SLTP dan pukul 09.45 - 10.20 WIB di kelas III SLTP. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner lengkap yang terdiri dari kata pengantar, data kontrol, alat ukur resiliensi dan alat ukur sikap terhadap penggunaan napza kepada subjek, yaitu siswa-siswi SLTP. Penulis mendatangi subjek pada ruang kelas, meminta kesediaan waktu selama 30 menit untuk mengisi kuesioner. 111
Sesudah memberikan instruksi singkat, penulis membagikan kuesioner kepada masing-masing siswa. Kemudian penulis menjelaskan petunjuk-petunjuk pengisian kuesioner langkah demi langkah. Penulis mengawasi proses pengisian kuesioner sampai selesai, memberikan penjelasan secara individual bagi yang mengacungkan tangan dan mengumpulkan kembali seluruh kuesioner yang telah diisi. Dari tiga kali pengumpulan data, diperoleh data dari 101 orang subjek.
Hasil Penelitian Gambaran Resiliensi Gambaran resiliensi terbagi menjadi tiga dimensi, dimensi protective factors, dimensi risk factors serta dimensi personal factors. Pengolahan data resiliensi adalah berdasarkan skor masing-masing dimensi resiliensi yang ada. Hasil rata-rata skor protective factors yang diperoleh adalah 3.76 (s=0.48). Bila dibandingkan dengan titik tengah alat ukur yaitu 3 (rentang skor 1–5), maka hasil yang diperoleh adalah skor tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa subjek mempunyai peran model positif dari orang dewasa, seperti anggota keluarga, guru, pembina ataupun tokoh idola lainnya, subjek memiliki aktivitas atau hobi, baik di bidang olahraga, seni maupun kegiatan ibadah. Sedangkan hasil rata-rata cenderung rendah diperoleh dari skor risk factors, yaitu 2.71 (s=0.68) dari titik tengah alat ukur sebesar 3 (rentang skor 1–5). Hal ini menunjukkan bahwa subjek cenderung berada dalam lingkungan yang kondusif terhadap penggunaan napza. Penggunaan napza ditemukan dalam lingkungan keluarga dan teman sebaya subjek. Subjek cenderung menghadapi kesulitan di sekolah, serta memiliki teman sebaya atau teman bermain yang beranggotakan dalam suatu kelompok geng dan mengalami penolakan oleh teman sebaya di sekolah. Hasil rata-rata skor personal factors yang diperoleh adalah 3.48 (s=0.38). Bila dibandingkan dengan titik tengah alat ukur yaitu 3 (rentang skor 1–5), maka hasil yang diperoleh adalah skor tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa subjek mempunyai self-esteem yang baik dalam
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
segi kompetensi kognitif, kompetensi fisik, kompetensi sosial dan penampilan fisik. Subjek memiliki sikap yang positif terhadap peraturan kepolisian, peraturan sekolah, dan memiliki tingkah laku positif terhadap dukungan yang diterima dalam mengerjakan tugas sekolah. Jadi secara umum subjek tergolong resilien karena memiliki rata-rata skor protective factors dan personal factors yang cukup tinggi yaitu 3.76 dan 3.48 dan risk factors cenderung rendah yaitu 2.71 dari titik tengah alat ukur yaitu 3. Artinya, walaupun subjek masih dikelilingi oleh indikator risk factors namun di pihak lain, subjek tetap digolongkan resilien karena memiliki protective factors dan personal factors yang tinggi dan bersifat menyeimbangkan.
penggunaan napza mempunyai nilai signifikansi sebesar 0.248. Hasil perhitungan korelasi antara resiliensi dan sikap terhadap penggunaan napza diolah berdasarkan masing-masing dimensi resiliensi. Skor resiliensi diperoleh dari kombinasi penjumlahan skor dimensi protective factors, risk factors dan personal factors yang telah terstandarisasi (T-Score). Dari hasil pengolahan data diperoleh nilai korelasi antara resiliensi dan sikap terhadap penggunaan napza adalah rxy (99) = 0.159, p > 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara resiliensi dan sikap terhadap penggunaan napza. Artinya semakin tinggi resiliensi yang dimiliki subjek, belum tentu semakin negatif sikap subjek terhadap penggunaan napza, ataupun sebaliknya.
Gambaran Sikap terhadap Penggunaan Napza
Korelasi antara Resiliensi (per dimensi) dan Sikap terhadap Penggunaan Napza
Rata-rata skor yang diperoleh untuk variabel sikap terhadap penggunaan napza adalah –4.8 (s=2.84). Bila dibandingkan dengan titik tengah alat ukur yaitu 0 (rentang skor –9 sampai +9), maka skor rata-rata sikap terhadap penggunaan napza cenderung rendah. Hal ini menunjukkan bahwa subjek memiliki sikap yang cenderung negatif terhadap penggunaan napza. Artinya, subjek memiliki sikap yang lemah terhadap penggunaan napza atau tidak yakin bahwa penggunaan napza dapat mengatasi rasa stres, dapat membuat subjek diterima oleh lingkungannya atau dapat membuat subjek disukai oleh teman-teman.
Korelasi antara Resiliensi dan Sikap terhadap Penggunaan Napza Keseluruhan variabel yang ada di penelitian yaitu tiga dimensi dari resiliensi yaitu protective factors, risk factors dan personal factors serta sikap terhadap penggunaan napza telah melalui uji normalitas dan hasilnya semua berdistribusi normal. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa protective factors mempunyai nilai signifikansi sebesar 0.692, risk factors mempunyai nilai signifikansi sebesar 0.709, personal factors mempunyai nilai signifikansi sebesar 0.865, serta sikap terhadap
Korelasi antara resiliensi dimensi protective factors dan sikap terhadap penggunaan napza adalah rxy (99) = 0.048, p > 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara dimensi protective factors dan sikap terhadap penggunaan napza. Protective factors yang terdiri dari sub dimensi yaitu peran model positif dari orang dewasa dan kepemilikan aktivitas atau hobi. Artinya, semakin subjek memiliki peran model positif dari orang dewasa termasuk anggota keluarga, guru, tokoh idola dan lain-lain, ataupun subjek memiliki aktivitas atau hobi, misalnya di bidang seni, olahraga dan terlibat dalam kegiatan religius (beribadah secara rutin menurut keyakinan masing-masing), belum tentu semakin negatif sikap terhadap penggunaan napza yang dimiliki subjek. Korelasi antara resiliensi dimensi risk factors adalah rxy (99) = 0.304, p < 0.01. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dimensi risk factors dan sikap terhadap penggunaan napza. Dengan demikian, semakin tinggi risk factors, yaitu subjek memiliki keluarga dan teman sebaya yang menggunakan napza, memiliki tingkat kehadiran yang rendah di sekolah, menghadapi kesulitan di sekolah, merupakan ang-
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
112
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
gota suatu geng atau memiliki teman sebaya yang merupakan anggota dari suatu geng dan mengalami penolakan oleh teman sebaya di sekolah, maka semakin positif sikap subjek terhadap penggunaan napza. Korelasi antara resiliensi dimensi personal factors adalah rxy (99) = -0.053, p > 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara dimensi personal factors dan sikap terhadap penggunaan napza. Artinya, semakin subjek memiliki hal-hal seperti harga diri (self-esteem) yang baik, yang mencakup kompetensi secara kognitif; fisik dan sosial serta keyakinan yang positf akan penampilan fisiknya, sikap yang positif baik terhadap peraturan sekolah maupun peraturan kepolisian, sikap terbuka terhadap dukungan yang diterima dalam mengerjakan tugas sekolah, struktur dan peraturan di keluarga, serta dukungan dan bimbingan dari keluarga, belum tentu semakin negatif sikap subjek terhadap penggunaan napza.
Resiliensi dan Sikap terhadap Penggunaan Napza berdasarkan Usia Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa ada hubungan antara resiliensi dan usia subjek, rxy (99) = 0.286, p < 0.01. Dengan demikian berarti, semakin tinggi usia subjek, maka semakin tinggi tingkat resiliensi yang dimiliki. Dari hasil analisis, didapatkan pula bahwa ada hubungan antara sikap terhadap penggunaan napza dan usia subjek, rxy (99) = 0.286, p < 0.01. Dengan demikian berarti, tidak ada hubungan antara sikap terhadap penggunaan napza dan usia subjek.
Resiliensi dan Sikap terhadap Penggunaan Napza berdasarkan Jenis kelamin Rata-rata skor resiliensi pada subjek laki-laki adalah 51.67 (s=9.65) dan pada subjek perempuan adalah 47.93 (s=10.14). Berdasarkan hasil analisis, kedua rata-rata tersebut tidak berbeda secara signifikan, t(99) = 1.89, p > 0.05. Rata-rata skor sikap terhadap penggunaan napza pada subjek laki-laki adalah 52.06 (s=10.28) dan pada subjek perempuan adalah 47.43 (s=9.10). 113
Berdasarkan hasil analisis, kedua rata-rata tersebut tidak berbeda secara signifikan, t(99) = 2.36, p > 0.05.
Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara resiliensi dengan sikap terhadap penggunaan napza. Artinya resiliensi subjek tidak secara langsung menentukan sikap subjek terhadap penggunaan napza. Protective factors ternyata tidak berhubungan dengan sikap terhadap penggunaan napza. Artinya, walaupun subjek yang memiliki peran model positif dari orang dewasa, memiliki aktivitas atau hobi, dan terlibat dalam kegiatan religius, hal tersebut tidak berhubungan dengan pembentukan sikap yang negatif terhadap penggunaan napza. Dengan demikian terdapat kemungkinan sikap subjek tetap positif terhadap penggunaan napza dan subjek tetap tertarik untuk mencoba-coba menggunakan napza. Hal ini mungkin disebabkan bahwa ada tidaknya peran model positif dari orang dewasa ataupun kepemilikan aktivitas atau hobi tertentu tidak menjadi jaminan untuk seseorang membentuk sikap tertentu (positif atau negatif) terhadap penggunaan napza. Namun risk factors dan sikap terhadap penggunaan napza ternyata mempunyai hubungan yang positif. Artinya, semakin tinggi risk factors, yaitu subjek mempunyai indikator-indikator risk factors maka semakin positif sikap subjek terhadap penggunaan napza. Sebaliknya, semakin rendah risk factors maka semakin negatif sikap subjek terhadap penggunaan napza. Subjek dengan risk factors tinggi memberi beberapa indikasi. Pertama, subjek yang di lingkungannya terdapat keluarga, teman sebaya yang mencoba-coba atau menggunakan napza. Hal ini secara tidak langsung membentuk sikap yang cenderung setuju terhadap penggunaan napza karena pengaruh dari lingkungan tersebut. Kedua, subjek mempunyai tingkat kehadiran yang rendah di sekolah dan sering menghadapi kesulitan di sekolah. Hal ini membuka peluang untuk seseorang mencoba-coba napza dengan anggapan awal bahwa penggunaan napza dapat menyelesaikan masalah
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
atau menghilangkan tekanan walaupun hanya bersifat sementara. Ketiga, subjek merupakan anggota dari suatu kelompok geng dan atau memiliki teman sebaya yang terlibat dalam kelompok geng dan atau mengalami penolakan oleh teman sebaya di sekolah. Hal-hal tersebut menjadi pemicu dari sikap yang positif terhadap penggunaan napza, apalagi bila ternyata teman-teman se-gengnya adalah pengguna napza. Sebaliknya, semakin negatif risk factors, atau semakin sedikit subjek memiliki hal-hal yang menjadi indikator risk factors, maka semakin negatif sikap subjek terhadap penggunaan napza. Indikator-indikator risk factors seperti: memiliki keluarga dan teman sebaya yang menggunakan napza, memiliki tingkat kehadiran yang rendah di sekolah, menghadapi kesulitan di sekolah, merupakan anggota suatu geng atau memiliki teman sebaya yang merupakan anggota dari suatu geng dan mengalami penolakan terhadap teman sebaya di sekolah. Personal factors ternyata tidak berhubungan dengan sikap terhadap penggunaan napza. Subjek yang memiliki personal factors mempunyai beberapa indikasi, memiliki harga diri (self-esteem) tinggi, yang mencakup kompetensi secara kognitif, fisik dan sosial serta keyakinan akan penampilan fisiknya. Selain itu subjek memiliki sikap yang positif baik terhadap peraturan sekolah maupun peraturan kepolisian, maupun terhadap dukungan yang diterima dalam mengerjakan tugas sekolah yang ditunjukkan lewat tingkah laku. Hal tersebut ternyata tidak berhubungan dengan pembentukan sikap yang negatif terhadap penggunaan napza. Jadi, kepemilikan protective factors dan personal factors sebagai indikasi dari seseorang yang resiliensi ternyata tidak berhubungan dengan pembentukan suatu sikap terhadap penggunaan napza. Walaupun demikian, seseorang yang memiliki risk factors menunjukkan sikap yang positif terhadap penggunaan napza. Pesan implisit dari penelitian ini adalah bahwa, hal-hal yang positif yang diperoleh seseorang dari protective factors dan personal factors tidak berhubungan dengan pembentukan sikap yang tentunya diharapkan negatif
terhadap penggunaan napza. Dengan demikian hasil penelitian Moon, Jackson dan Hecht, (2000) yang membuktikan bahwa protective factors memainkan peranan yang besar di samping kehadiran risk factors dalam proses pencegahan terhadap penggunaan napza tidak terbukti di penelitian ini. Hal yang harus diperhatikan dalam membentuk sikap yang negatif terhadap penggunaan napza (sehingga mencegah tingkah laku mencoba-coba atau menggunakan napza) ternyata bukan pada usaha penyediaan protective factors dan personal factors semata-mata, melainkan dengan menjauhkan dan menghindarkan seseorang dari risk factors yang berpotensi untuk membentuk sikap yang cenderung positif terhadap penggunaan napza. Berarti, penelitian Werner, Garmezy dan Rutter (dikutip oleh Blum, 1998) yang menyatakan bahwa subjek yang diteliti tidak terpengaruh oleh dampak negatif dari lingkungan tidak terbukti di penelitian ini. Selain itu, sikap terhadap penggunaan napza dan pengalaman dengan napza ternyata mempunyai hubungan yang positif. Artinya, semakin positif sikap terhadap penggunaan napza, semakin besar pengalaman subjek terhadap penggunaan napza. Sebaliknya, semakin negatif sikap terhadap penggunaan napza maka semakin kecil pengalaman subjek terhadap penggunaan napza. Hal ini memberi indikasi bahwa seseorang yang memiliki sikap yang positif terhadap penggunaan napza terkesan telah mempunyai pengalaman yang lebih banyak tentang napza karena sikap positif tersebut. Pengalaman terhadap penggunaan napza dilihat dari sisi mengetahui, mencium, menyentuh dan bahkan mencoba jenis-jenis napza seperti rokok, minuman beralkohol, ganja, ekstasi, morfin dan lain-lain. Hal ini menambah informasi bahwa alat ukur sikap terhadap penggunaan napza bersifat valid (atau mengukur apa yang hendak diukur) karena subjek yang memiliki sikap yang positif terhadap penggunaan napza seharusnya cenderung mempunyai pengalaman yang lebih banyak tentang napza dan sebaliknya subjek yang memiliki sikap yang negatif terhadap penggunaan napza
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
114
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
seharusnya cenderung mempunyai pengalaman yang minim tentang napza.
Kesimpulan Dari hasil pengolahan data, diketahui bahwa secara umum tidak terdapat hubungan antara resiliensi dan sikap terhadap penggunaan napza. Hal tersebut berarti, subjek yang memiliki resiliensi, belum tentu mempunyai sikap yang negatif atau positif terhadap penggunaan napza. Hasil pengolahan data per dimensi dari resiliensi dengan sikap terhadap penggunaan napza sebagai berikut: 1. Tidak terdapat hubungan antara protective factors dan sikap terhadap penggunaan napza. 2. Terdapat hubungan positif antara risk factors dengan sikap terhadap penggunaan napza. Artinya, semakin tinggi risk factors maka semakin positif sikap terhadap penggunaan napza yang dimiliki oleh subjek. Sebaliknya, semakin rendah risk factors maka semakin negatif sikap terhadap penggunaan napza yang dimiliki oleh subjek. 3. Tidak terdapat hubungan antara personal factors dan sikap terhadap penggunaan napza. Secara keseluruhan, dari 3 (tiga) dimensi resiliensi, hanya risk factors yang berhubungan secara positif dengan sikap terhadap penggunaan napza. Sedangkan 2 (dua) dimensi resiliensi lainnya tidak berhubungan dengan sikap terhadap penggunaan napza. Dan dapat disimpulkan secara garis besar, bahwa tidak ada hubungan antara resiliensi dengan sikap terhadap penggunaan napza.
Daftar Pustaka Ajzen, I., & Fishbein, M, “Understanding attitudes and predicting social behavior” Prentice-Hall, Inc, NJ, 1980. Allen, L. (1 April 2004). Bouncing back: How to develop resiliency through outcame-based recreation programs. Diakses 23 November 2004, www.highbeam.com/library/ doc3.asp. 115
Andrews, D. W. (1997). “Understanding adolescent problem behavior”, diakses 23 November 2004, www.highbeam.com/library/doc3. asp. American Psychiatric Association, “Diagnostic and statistical manual of mental disorders”, (4th ed.,textrevision), Washington D. C, 2000. Azwar, S, “Sikap manusia: Teori dan pengukurannya”, (edisi ke-2). Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1995. Badan
Narkotika Nasional-Republik Indonesia, “Perkembangan kasus narkoba di Indonesia”, Badan Narkotika Nasional-Republik Indonesia, Jakarta, 2004.
Badan
Narkotika Nasional-Republik Indonesia, ”Peran orang tua dalam mengatasi masalah penyalahgunaan narkoba”,. Badan Narkotika Nasional-Republik Indonesia, Jakarta, 2004.
Balanon, T. G, ”Integrating child centered approaches in children’s work”, Program on Psychosocial Trauma and Human Rights UP Center for Integrative and Development Studies, Phillipiness, 2002. Baron, R. A., & Byrne, D. C, “Social psychology”, (10th ed.), Pearson Education, Inc, Ney York, 2004. Benard, B, “The foundations of the resiliency framework: From research to practic”, diakses 23 November 2004, www.resiliency. com/htm/ research.htm Blum,
R. W. M, “Health youth development as a model for youth health promotion”, Journal of Adolescent Health, 22, 368-375, Society for Adolescent Medicine, New York, 1998.
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Christantie, J. I., & Hartanti, “Hubungan antara persepsi terhadap jurusan A1, A-2, A-3 dan motif berprestasi dengan prestasi belajar”, Anima, 12 (47),1997.
Grotberg, E. H, “A guide to promoting resilience in children: Strenghtening the human spirit”, Bernard van Leer Foundation, Den Haag, 1995.
Daradjat, Z, ”Remaja: Harapan dan tantangan”, Rohani, Jakarta, 1993.
Grotberg, E. H, “Tapping you inner strength: How to find the resilience to deal with anything”, New Harbinger Publications, Inc, Canada, 1999.
Davies,
D, ”Child development: A pratitioner’s guide”, The Guilford Press, New York, 1999.
Dayakisni, T., & Hudaniah, ”Psikologi sosial”, Buku 1, UMM Press, Malang, 2003. Dishion, T. J., & Owen, L. D, “Longitudinal analysis of friendships and substance use: Bidirectional influence from adolescence to adulthood”, Journal of Developmental Psychology, 38, 480-491, 2002. Finsterbusch, K, “Taking sides: Dashing views on controversial social issues”, (10th ed.), McGraw-Hill, New York, 1999. Franzoi, S. L, “Social psychology”, (3rd ed.), McGraw-Hill, Boston, 2003. Forum, “Bocahpun berjualan narkoba”,. Diakses 7 Juli 2005, http:// www.bnn.go.id, 2005. Fuligni, A. J., Barber, B. L., Eccles, J. S. & Clements, P, “Early adolescent peer orientation and adjustment during high school”, Journal of Developmental, 37, 28-36, 2001. Galinsky, M. J, “Risk, protection, and resilience: Toward a conceptual frame work for social work practice. Social Work Research”, diakses 7 Juli 2005, www.highbeam.com/ library/doc3.asp, 1999. Gerungan, W. A, ”Psikologi sosial”,. Rafika Aditama, Bandung, 2002.
Grotberg, E. H, “The International resilience project: Research and application”, diakses 23 November 2004, http://resilnet.uiuc.edu/ library/ grotb96a.html., 2004. Gunarsa, Y. S. D., & Gunarsa, S. D, “Psikologi Remaja”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001. Harter, S, “Developmental”, diakses 23 November 2004, http://www.du. edu/psychology/people/harter. htm., 2003. Henderson, N., & Milstein, M. M, “Resiliency in schools: Making it happen for students and educators”, (updated edition), Thousand Oaks, Corwin Press, CA, 2003. Hiew, C. C, “Social support, social competence, and parental bonding in promoting resilience child responses to adversity”, Dipresentasikan pada: The International Congress of Psychology, Beijing, 1995. Hiew, C. C., & Matchett, K, “Resilience measurement: Using a resilience scale”, Fredericton, University of New Brunswick, CA, 2001. Hiew, C. C, “Resilience, self-regulation and health”, Dipresentasikan pada International Congress of Psychology, Beijing, 2004.
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
116
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
Hurdle, D. E, “Resiliency factors related to substance use/ resistence: Perceptions of native adolescents of the southwest”, Journal of Sociology and Social Welfare. Retrieved November 23, 2004, from www.highbeam.com/ library/ doc3.asp2003.
23, 2004, from http://www.drugabuse.gov/DirRepo rts/DirRep501/DirectorReport5.htm .2000. Myers, D. G, “Social psychology”, (4th ed.), McGraw-Hill, New York, 1993. Myers,
Jaccard, J., Blanton, H., & Dodge, T, “Peer influences on risk behavior: An analysis of the effects of a close friend”, Journal of Developmental Psychology, 41, 135-147, 2005.
D. G, “Exploring social psychology”, (3th ed.), McGrawHill, New York, 2004.
Neufldt, V, “Webster’s new world college dictionary”, (3th ed.), Macmillan, New York, 1996.
Johnson, D. W, “Reaching out: Interpersonal effectiveness and self-actualization”, (5th ed.), Allyn & Bacon, Boston, 1993.
Panduan bagi orang tua untuk mengatasi masalah narkoba, Yayasan Cinta Anak Bangsa
Jung, J, “Psychology of alcohol and other drug: A research perspective”, Thousand Oaks, Sage Publications, Inc, CA, 2001.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D, “Human development”, (7th ed.)., McGraw-Hill, New York, 1998.
Kindle, E, “Women and the importance of self esteem”, diakses 23 November 2004, http://www.lifefokuscenter. com.html., 2003.
Raising Resilient Kids, “Resilience and futurists: Changing the lives of our children”, diakses 23 November, 2004, ., 2004.
Maisto, S. A., Galizzo, M., & Connors , G. J, “Drug use and abuse”, (4th ed.). Wadsworth, Thomson Learning, CA, 2004.
Raising
Resilient Kids, “What is resilience?”, diakses 23 November 2004, http://www.raising resilientkids.com/resources/articles/ futurists.html., 2004.
Ranew,
L. F., & Serritella, D. A, “Substance abuse and addiction: Handbook of differential treatments for addictions”, Needham Heights, Allyn & Bacon, MA, 1992.
Mangham, C., McGrath, P., Reid, G., & Stewart, M, “Resiliency: Relevance to health promotion”, diakses 23 November 2004, from http://www.hcsc.gc.ca/hppb/alcoholtherdrugs/pube/resilncy/discus.htm., 1995. Merriam-Webster Online, “Retrieved July 7, 2005, from http://www.mw.com/home.htm., 2005.
Reivich, K., & Shatte, A, “The resilience factor: 7 essential skills to overcoming life’s inevitable obstacles”, Broadway Book, New York, 2002.
Moon, D. G., Jackson, K. M., & Hecht, M. L, “Family risk and resiliency factors, substance use, and the drug resistance process in adolescence”, Journal of drug education, 30 (4), hlm. 373-398. Retrieved November
Resiliency Center, “Resiliency in individuals, families & communities: Overall concept”, diakses 7 Juli 2005,
117
Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
Resiliensi dan Sikap Terhadap Penyalahgunaan Zat (Studi Pada Remaja)
http://www.resiliencycenter.com/ welcome.shtml., 2005. Resiliency In Action, Inc., Retrieved November 23, 2004, from http://www.resiliency.com., 2004. Rice,
F. P, “Intimate relationships, marriage & families”, (4th). Mountain View, Mayfield Publishing Company, CA, 1999.
people”. Diakses 23 November 2004, http://www.cascadecen ter.com/assessments/ee_resiliency_ results.html., 2004. Siliman, “Resilience minimises risk”, diakses 23 November 2004, www.highbeam.com/library/doc3.a sp
F. P., & Dolgin, K.G, “The adolescent: Development, relationships & culture”, (10th ed.), Allyn & Bacon, Boston, 2002.
Tugade, M. M., & Fredrickson, B. L. ”Resilient individuals use positive emotions to bounce back from negative emotional experiences”, Journal of Personality and Social Psychology, 86, 320-333, 2004.
Romach, M., & Parker, K, “Relapse. Encyclopedia of drugs and alcohol”, vol 3, 908-909, Macmillan Library Reference, Baltimore, 1995.
Turner, S. G, “Resilience and social work practice: Three case studies”, diakses 23 November 2004, www.highbeam.com/library/doc3.a sp
Rouse, K. A. G, “Resilience from poverty and stress”, Human development and family life bulletin: A review of research and practice vol 4, issue 1. diakses 23 November 2004, www.highbeam.com/library/doc3.a sp 1998.
Ungar, M, “The importance of parents and other caregivers to the resilience of high-risk adolescents”, Retrieved November 23, 2004, from www.highbeam.com/library/doc3.a sp.
Rice,
Santrock, J. W, “Adolescence”, (7th ed., McGraw-Hill, Boston, 1998. Santrock, J. W, “Psychology”, McGrawHill, New York, 2003. Sarafino, E. P, “Health psychology: Biopsychosocial interaction”, (2nd ed.), John Wiley and Sons, New York, 1994. Sarwono, S. W, ”Psikologi remaja”, RajaGrafindo, Jakarta, 1997. Shaffer, D. R, “Developmental psychology: Childhood and adolescence”, (6th ed.). Belmont, Wadsworth/ Thomson Learning, CA, 2002.
Vandiver, T. A,”Risk and protective factors among youth offenders”, diakses 23 November 2004, from www.highbeam.com/library/doc3.a sp Woolfolk, A, “Educational psychology”, (9th ed.), Pearson Education, Inc, New York, 2004. Yockey, R. D, “Correlates of resilience in homeless adolescents”, Journal of Nursing Scholarship, 2001. Retrieved November 23, 2004, from www.highbeam.com/library/doc3. asp.
Siebert, A, “How resilient are you? Qualities of highly resilient Jurnal Psikologi Vol. 4 No. 2, Desember 2006
118