ISBN: 978-979-15616-4-8
Soedarwoto Hadhisiswoyo
Resiko Hidrologi Hidraulika dalam Analisis Bendung dan Partisipasi Masyarakat Soedarwoto Hadhisiswoyo
Laboratorium/KBI Teknik Sumberdaya Air Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan Bandung
Abstrak
Dalam menganalisis prediksi debit banjir rencana untuk memperoleh debit aliran di atas mercu bendung, pada umumnya menggunakan periode ulang 50 dan 100 tahun, tanpa menyertakan analisis risiko hidrologi dan hidraulika, yang terkait dengan periode ulang dan umur layanan. Digunakan empat metode distribusi frekuensi terhadap, data debit aliran sungai, untuk memprediksi debit banjir rencana dengan periode ulang 25, 50, dan 100 tahun. Analisis risiko hidrologi dan hidraulika untuk mendapatkan gambaran keandalannya. Tinggi mercu bendung dianalisis menggunakan kriteria pelimpah tinggi menurut Rozgar Baban, P/h1 > 1,33. Diperoleh empat hasil analisis dengan periode ulang 25,50, dan 100 tahun yang menunjukkan pada periode ulang 25 tahun P= 2,223 m. Hasil analisis risiko hidrologi dan hidraulika, risiko = 64 % dengan keandalan R = 36 %, dengan perbedaan ∆P= 0,012 dan 0,022 m. Ditelaah pula apa, mengapa dan bagaimana bentuk partisipasi masyarakat berpedoman kepada UU no.7 tahun 2004, dimulai sejak adanya rencana untuk membangun bendung. Kata Kunci
: data debit, analisis distribusi, analisis risiko, pelimpah tinggi, tinggi mercu signifikan.
1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Perilaku alam selalu tidak dapat diprediksi dengan tepat, oleh karena itu dalam berbagai pemanfaatannya akan memberikan dampak yang tidak dapat dengan tepat diprediksi. Akan diberikan gambaran tentang penentuan kriteria pelimpah tinggi dari suatu bendung, dan pengaruhnya terhadap periode ulang yang diterapkan. 1.2. Maksud dan Tujuan Maksud penulisan adalah untuk membahas studi yang terkait dengan analisis besaran debit aliran yang diperoleh dari empat metode analisis debit banjir rencana, dengan 3 periode ulang. Tujuan penulisan adalah memberikan gambaran risiko dari telaah Hidrologi dan Hidraulika, dengan kriteria pelimpah tinggi, dan bagaimana partisipasi masyarakat dapat diwujudkan terkait dengan UU no.7 tahun 2004 tentang Sumberdaya air. 1.3. Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam studi ini meliputi analisis data debit aliran sungai, menggunakan tiga periode ulang. Berdasarkan hasil analisis tersebut dirancang penampang hidraulik bendung, di dalamnya termasuk menetapkan ukuran lebar efektif, tinggi mercu, dan aliran di atas mercu bendung. Berdasarkan penetapan periode ulang dan umur layanan dianalisis risiko hidrologi dan
keandalannya dan selanjutnya di bahas risiko dari hasil analisis bagian dari penampang hidraulik, khususnya adalah tinggi mercu bendung terhadap elevasi sawah tertinggi yang dapat diberi air. Bagaimana peran serta masyarakat dalam menindak lanjuti amanat Undang-Undang no.7 yang disebutkan di atas, untuk itu akan dikutipkan beberapa pasal dan ayatnya yang terkait dengan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya air termasuk di dalamnya salah satu prasarana sumberdaya air ialah bendung . 2. Metodologi 2.1 Metodologi yang digunakan Metode yang digunakan adalah pengumpulan, pemilihan dan validasi data. Menganalisis data debit sungai, menggunakan tiga periode ulang, dengan empat metode analisis debit rencana. Menganalisis aliran di atas mercu dengan kriteria pelimpah tinggi. 2.2 Metodologi yang dilaksanakan Analisis debit banjir rencana menggunakan metode, distribusi normal, distribusi log normal, distribusi Pearson Tipe III dan distribusi log Pearson tipe III periode ulang 25, 50, dan 100 tahun. Besaran aliran di atas mercu dianalisis menggunakan teori Rozgar Baban, dengan kriteria pelimpah tinggi, P/ h1 > 1,33. (1) Berdasarkan hasil distribusi empat analisis dilakukan telaah terhadap tinggi mercu bendung, dan dianalisis risiko hidrologi terhadap penggunaan periode ulang, serta prediksi umur layanan bendung.
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
85
ISBN: 978-979-15616-4-8
2.3 Pelaksanaan Kegiatan. Elevasi mercu bendung dibatasi, jarak dasar lantai muka sampai muka air banjir rencana di hulu bendung dengan tinggi 3 m atau besaran yang lain, dan aliran di atas mercu diatur sehingga memenuhi kriteria pelimpah tinggi. Hasil analisis penampang hidraulik bendung diasumsikan memenuhi 4 kriteria stabilitas , terhadap guling, geser, daya dukung dasar, dan eksentrisitas gaya yang bekerja pada bendung berada di daerah kern atau galih. 3. Data, Analisis dan Pembahasan Data debit yang digunakan adalah debit sungai Progo stasiun Borobudur dari tahun 1991 s.d. tahun 2001 setelah dilakukan seleksi data, dan validasi data. Menurut tes Low Outliers, Cs = 0,689< -0,40 tidak ada debit yang berada di batas bawah, semua data debit dapat digunakan . 3.1 Teori dan Analisis debit rencana: Dalam kaitannya dengan besaran debit rencana ditetapkan dengan tiga periode ulang 25, 50, dan 100 tahun yang diterapkan untuk menganalis debit rencana ke empat metode distribusi yang disebut di bawah ini. 3.1.1 Distribusi Normal Distribusi normal merupakan distribusi probabilitas dengan peubah acak hidrologi, X = x1,x2,x3,…., xn (2), dengan dua parameter dan nilai mean dinyatakan dalam simbol µ dan varian σ2.. Distribusi normal berbentuk lonceng simetrik dengan koefisien kemencengan(Cs) besarnya nol. Dalam perhitungan peubah acak normal dibentuk dari transformasi pertama dalam variate standar, Z = (X- µ )/ σ (3) dan Z mempunyai nilai mean nol dan varian satuan. Karena Z berupa fungsi linier dari peubah acak X, maka Z juga berupa distribusi normal. 3.1.2 Distribusi Log normal Apabila peubah acak Y = log X terdistribusi normal, nilai X selanjutnya disebut distribusi log normal. Chow (1954) menyatakan bahwa distribusi dibutuhkan dalam bentuk peubah hidrologi, karena sebagai produk peubah lain kalau X = x1,x2,x3,….........................,xn (4) dan nilai
Y = log X = ∑i =1 log Y1 , (5) yang memiliki n
kecenderungan terdistribusi normal bila n besar dan x1 terdistribusi bebas. Log normal merupakan produk dari distribusi normal, yang berasal dari teorema limit terpusat dari urutan peubah acak x1 yang terdistribusi dengan nilai mean µ dan varian σ2 dengan jumlah distribusi n peubah acak dinyatakan dalam Y =
∑
n
i =1
X 1 (6).
Soedarwoto Hadhisiswoyo
Kalau n menjadi besar maka distribusi normal ke depan mempunyai kecenderungan nilai mean nµ dan varian nσ2. Distribusi probabilitas dari sample
( n )∑
mean, X = 1
n
i =1
X 1 (7) sebagai pendekatan
normal dengan mean µ dan varian (1/n) n2σ2 = σ2/n. 3.1.3 Distribusi Pearson Tipe III Distribusi probabilitas Pearson Tipe III dikenal pula sebagai distribusi Gamma tiga parameter, batas bawah ε, dengan metode momen, tiga momen sampel(mean, deviasi standar, dan koefisien kemencengan) dapat ditransformasi kedalam tiga parameter distribusi probabilitas λ, β, dan ε(Bobee and Robitaille,1977). Pearson Tipe III digunakan untuk analisis hidrologi oleh Foster(1924) dalam menentukan distribusi puncak banjir maksimum tahunan. 3.1.4 Distribusi Log Pearson Tipe III Apabila log X mengikuti distribusi Pearson Tipe III, selanjutnya X disebut terdistribusi menurut log Pearson Tipe III. Distribusi ini merupakan distribusi standar untuk analisis frekuensi banjir tahunan maksimum(Benson, 1968). Apabila data sangat menceng, logaritma transformasi digunakan untuk mengurangi kemencengan. 3.2 Teori dan Analisis aliran Banyak teori yang beragam untuk menganalisis aliran di atas mercu bendung, mulai dari rumus Bundchu dan Kregten sampai teori dari WES. Penulis menggunakan teori WES yang dikembangkan oleh Rozgar Baban. 3.2.1 Aliran air di atas mercu Aliran di atas mercu bendung dituliskan sebaga berikut: Q = C.L.H 13 / 2 (8) dengan pengertian: Q = debit aliran melalui mercu (m3/s) C = koefisien yang didasarkan kepada Rozgar Baban = 2,225 H1 = tinggi air di atas mercu bendung (9) = h1 + V 2 / 2 g Ditetapkan beberapa pembatasan tinggi genangan air di hulu bendung, bagian pertama yang di analisis adalah 3 m, sebagai konsekuensinya adalah akan memberikan batasan pula terhadap elevasi sawah tertinggi yang dapat diberi air. Selain itu akan membawa dampak terhadap tinggi tanggul banjir yang akan dibangun setelah proses rencana dan rancangan bendung selesai. 3.2.2 Aliran di hilir mercu Untuk mendapatkan gambaran kondisi dan kedalaman aliran di hilir mercu, di lokasi peredam energi diterapkan teori atau rumusan Bernoulli, yang terkait dengan tinggi tekan, kerapatan air, tinggi energi,
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
86
ISBN: 978-979-15616-4-8
di arah hulu dan arah hilir aliran. Telaah aliran di bagian hilir mercu tidak dimuat dalam makalah ini. 3.3 Teori dan Analisis Risiko Analisis risiko didasarkan kepada konsep teori probabilitas, secara hidrologis telah dikenal periode ulang(Tr) dalam rancangan beban aliran yang digunakan dalam merancang bangunan air dalam studi ini, adalah bendung(weir). Penulis menggunakan tiga periode ulang dalam analisis Tr = 25, 50 dan 100 tahun. Terkait dengan analisis terhadap risiko( ), umur layanan bendung (n) digunakan n = 25, 50, dan 100 tahun, dan prediksi keandalan (R ) . Dalam exceedance probability, apabila Tr = 25, 50 dan 100 tahun, maka probabilitas p= 0,04; 0,02 dan 0,01 dan kalau dilibatkan umur layanan, maka risiko yang terjadi n ˆ R = 1 − (1 − P ( X < xT )) (10) yang selanjutnya dapat di prediksi keandalan dari bendung tersebut dalam hubungannya dengan risiko, R = 1 − Rˆ (11). 3.4 Hasil Analisis 3.4.1 Analisis Risiko Hidrologi Hasil analisis debit aliran dengan periode ulang 25 tahun berturut-turut adalah, R25= 41,473; 43,292; 40,125; 40,640 m3/s. Menggunakan analisis keseragaman(Cu) Christiansen diperoleh koefisien keseragaman adalah 100 %. Didasarkan kepada analisis keandalan diperoleh risiko =0,64 keandalan R = 0,36 atau 36,0 % dan periode ulang setengah dari umur layanan, risiko = 0,87 keandalan R = 13% apabila periode ulang seperempat dari umur layanan risiko = 0,983 dengan keandalan R =1,7 %. 3.4.2 Analisis Risiko Hidraulika. Berdasarkan kepada besaran empat debit aliran yang diperoleh dari keempat teori diperoleh untuk lebar rencana bendung L= 25 m dan tinggi dasar lantai muka bendung sampai dengan banjir rencana 25 tahun, pada batas 3 m. menghasilkan tinggi mercu berturut-turut adalah, P= 2,206; 2,183; 2,223; 2,216 m. dan h1= 0,794; 0,817; 0,777; 0,784 m dengan nilai C = 2,225 dan P/h1 berturut-turut adalah 2,778; 2,673; 2,861; 2,829. Analisis menggunakan kriteria pelimpah tinggi dengan pembatasan jarak dasar lantai muka(upstream apron) dan muka air banjir rencana periode 25 tahun, memberikan angka terbesar. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan diperoleh secara berurutan mercu bendung pada periode ulang 25, 50, dan 100 ditabelkan pada Tabel 1., di bawah, dan Tabel 2. di Lampiran, Tabel
Soedarwoto Hadhisiswoyo
3., Tabel 4., Tabel 5, dan Tabel 6. tidak disertakan(ada pada penulis). Dengan pemilihan berbagai lebar bendung dan berbagai jarak dasar lantai muka ke muka air banjir, terlihat jelas bahwa analisis dengan periode ulang Tr= 25 tahun memberikan tinggi mercu bendung(=P), pada keempat hasil analisis adalah terbesar, dan tinggi mercu terbesar diperoleh dari distribusi Pearson Tipe III. Penulis menyebutnya sebagai risiko hidraulika pada analisis yang telah dilakukan, dengan perbedaan tinggi mercu bendung sebesar ∆P = 0,017; 0,004; dan 0,007 m dan ternyata tidak berbeda jauh. 4. Partisipasi Masyarakat Berdasarkan hak dan kewajiban seperti yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumberdaya Air. Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengelolaan sumberdaya air. Secara partisipatif peran serta masyarakat adalah melakukan pengawasan, kontrol terhadap perkembangan sejak awal sampai dengan akhir pelaksanaan, masa pengoperasian, dan masa pemeliharaan. UU no 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air menegaskan bahwa sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat perlu diberi peran dalam pengelolaan sumberdaya air. Pasal 62 ayat (2) Instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya mengumumkan secara terbuka rancangan rencana pengelolaan sumberdaya air kepada masyarakat. Ayat(3) Masyarakat berhak menyatakan keberatan terhadap rancangan rencana pengelolaan sumberdaya air yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kondisi setempat. Ayat(4) Instansi yang berwenang dapat melakukan peninjauan kembali terhadap rancangan rencana pengelolaan sumberdaya air atas keberatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Ayat(6) menjelaskan rencana pengelolaan sumberdaya air pada setiap wilayah sungai dirinci ke dalam program yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya air oleh instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat. Seperti diketahui dari pembahasan tersebut di atas diperoleh hasil analisis dengan pembatasan dasar dan tinggi air banjir 3 m adalah sebagai berikut:
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
87
ISBN: 978-979-15616-4-8
Soedarwoto Hadhisiswoyo
Tabel 1. Hasil analisis mercu bendung no
Metode analisis
1.
Distribusi Normal
2.
3.
4.
Tr =25 Tr =50 Tr =100 Distribusi Log Normal Tr =25 Tr =50 Tr =100 Distribusi Pearson III Tr =25 Tr =50 Tr =100 Distribusi Log Pearson III Tr =25 Tr =50 Tr =100
Tabel 2. Hasil analisis mercu bendung No Metode analisis
1.
2.
3.
4.
Q m3/s
Tinggi mercu
41,473 43,1 44,561
Tinggi air di atas mercu 0,794 0,814 0,832
2,206 2,186 2,168
2,778 2,684 2,605
43,292 45,71 47,995
0,817 0,846 0,874
2,183 2,154 2,126
2,673 2,545 2,434
40,125 41,092 41.892
0,777 0,789 0,799
2,223 2,211 2,201
2,861 2,801 2,753
40,640 41,659 42,474
0,784 0,796 0,807
2,216 2,204 2,193
2,829 2,767 2,720
Q m3/s
Distribusi Normal Tr =25 Tr =50 Tr =100 Distribusi Log Normal Tr =25 Tr =50 Tr =100 Distribusi Pearson III Tr =25 Tr =50 Tr =100 Distribusi Log Pearson III Tr =25 Tr =50 Tr =100
mercu bendung, lebar =25 m, dasar ke muka air banjir = 3 m h1 P P/h1 >1,33
mercu bendung, lebar =25 m, dasar ke muka air banjir =2,0m h1 P P/h1 Tinggi mercu
41,473 43,1 44,561
Tinggi air di atas mercu 0,780 0,800 0,817
1,220 1,200 1,183
1,564 1,501 1,448
43,292 45,71 47,995
0,802 0,831 0,857
1,198 1,169 1,143
1,494 1,408 1,333
40,125 41,092 41.892
0,763 0,775 0,785
1,237 1,225 1,215
1,620 1,580 1,548
40,64 41,659 42,474
0,770 0,782 0,792
1,230 1,218 1,208
1,598 1,557 1,525
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
>1,33
88
ISBN: 978-979-15616-4-8
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, masyarakat perlu mendapatkan informasi awal selengkap-lengkapnya tentang rencana pembangunan bendung, termasuk didalamnya informasi dari hasil analisis dengan segala aspeknya terhadap rencana lokasi pembangunan. Dilengkapi pula dengan informasi analisis mengenai dampak lingkungan dan analisis dampak lingkungan akibat dibangunnya bendung tersebut. Informasi tentang penentuan pemilihan hasil analisis yang telah ditetapkan dengan segala pengaruhnya terhadap lokasi di sekitarnya, perlu disertakannya masyarakat dalam mengambil keputusan. Problema dalam pengambilan keputusan memerlukan waktu yang cepat dan tepat oleh karena itu perlu dilakukan koordinasi yang baik apabila proses melibatkan masyarakat dijadikan sebagai pedoman dalam memenuhi amanat dari UU no.7 tahun 2004. 5. Pembahasan – Evaluasi Telah di analisis dengan debit yang berbedabeda dan nampak bahwa pada periode ulang 25 tahun dengan nilai C= 2,225 dan kriteria pelimpah tinggi, P/h1 > 1,33 tinggi mercu bendung yang diperoleh adalah terbesar dan distribusi Pearson tipe III ternyata memberikan hasil analisis berupa tinggi mercu yang terbesar. Hasil debit aliran dengan periode ulang 50 tahun berturut-turut adalah, R50= 43,10; 45,71; 41,092; 41,659 m3/s. Menggunakan analisis keseragaman(Cu) Christiansen diperoleh koefisien keseragaman adalah 100 %. Didasarkan kepada analisis keandalan diperoleh nilai =0,397 keandalan R = 0,603 atau 60,3 % dan periode ulang sama dengan umur layanan, = 0,636 keandalan R = 0,364 atau 36,4 % apabila periode ulang setengah dari umur layanan = 0,867 dengan keandalan R = 13,3 %. Hasil debit aliran dengan periode ulang 100 tahun berturut-turut adalah, R100= 44,561; 47,995; 41,892; 42,474 m3/s. Menggunakan analisis keseragaman(Cu) Christiansen diperoleh koefisien keseragaman adalah 100 %. Didasarkan kepada analisis keandalan diperoleh nilai =0,222 keandalan R = 0,778 atau 77,8 % dan periode dua kali dari umur layanan, = 0,395 keandalan R = 0,605 atau 60,5 % apabila periode ulang sama dengan umur layanan = 0,634 dengan keandalan R = 0,366 atau 36,6 %. Aliran melewati mercu bendung masih cukup untuk memberikan kontribusi aliran ke arah hilir lokasi bendung dan besaran terkecil pada periode ulang 25 tahun berdasarkan analisis dari keempat distribusi berturut-turut menurut Tabel 1. adalah 0,794 m., 0,817
Soedarwoto Hadhisiswoyo
m., 0,777 m., dan 0,784 m., dan menurut Tabel 2. adalah 0,78 m., 0,802 m., 0,763 m., dan 0,77 m. Penulis menggunakan penentuan pembatasan jarak dasar lantai muka dengan muka air banjir rencana pada setiap hasil empat distribusi analisis dengan tiga periode ulang, pada Tabel 2. sampai dengan Tabel 6. supaya salah satu perbandingan P/h1 memiliki nilai lebih besar yang mendekati 1,33. Berdasarkan pemikiran yang disampaikan maka diperoleh tinggi mercu bendung pada periode ulang 25 tahun, dengan lebar bendung L = 25,0 m. dan pembatasan jarak 3 dan 2 m., Tabel 1. P= 2,223 m., Tabel 2. P = 1,237 m. dengan lebar bendung L = 20 m. dan pembatasan jarak 2,4 m., Tabel 3. P = 1,509 m., dengan lebar bendung L = 17 m. dan pembatasan jarak 2,61 m., Tabel 4. P = 1,616 m., dengan lebar bendung 15 m. dan pembatasan jarak 2,9 m., Tabel 5. P = 1,816 m. dengan lebar bendung 15 m. dan pembatasan jarak 2 m., Tabel 6. P = 1,237 m. Prosedur penentuan lebar efektip bendung telah dikenal dengan menetapkan penampang ekivalen yang didasarkan kepada lebar dasar sungai yang dilalui oleh aliran dengan berbagai hasil analisis debit banjir rencana yang telah diuraikan di atas, dan maksimum lebar bersih bendung ditetapkan maksimum sebesar 1,2 kali lebar dasar sungai dalam bentuk trapesium. Penulis dalam telaah ini tidak menyampaikan mana yang disarankan untuk ditetapkan, tetapi memberikan suatu alternatif supaya dapat dikembangkan diskusi terhadap penentuan rencana tinggi mercu bendung, seperti tersebut di atas, mana yang paling memungkinkan disesuaikan dengan kondisi lapangan. Demikian pula dalam kaitannya dengan penentuan sawah tertinggi yang dapat diberi air, perlu dilakukan telaah lebih lanjut terkait dengan jarak, kemiringan dasar saluran, kehilangan tinggi tekan di intake, dan di pintu bangunan bagi sadap atau pintu sadap dari sistem irigasinya. 6. Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan 1. Hasil tes low outliers terhadap data K.Progo semua debit memenuhi, dan berdasarkan hasil analisis keseragaman terhadap keempat metode, diperoleh nilai Cu =1 2. Hasil analisis empat besaran debit rencana dengan periode ulang 25 tahun, memberikan tinggi yang lebih besar dibandingkan pada periode ulang 50 dan 100 tahun, dan distribusi Pearson tipe III memberikan tinggi mercu bendung dengan hasil terbesar.
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
89
ISBN: 978-979-15616-4-8
3. Hasil telaah terhadap risiko hidrologi, pada periode ulang yang besarnya sama dengan umur layanan mempunyai risk tinggi dan keandalan rendah, pada periode ulang 100 tahun dan umur layanan 25 tahun mempunyai risiko = 22,20 % dengan keandalan tinggi R = 77,80 %. 4. Dalam telaah risiko hidraulika terhadap tinggi mercu pada periode ulang 50 dan 100 tahun, berturut-turut lebih rendah dari distribusi normal ∆P = 0,094 m; 0,173 m.; distribusi log normal ∆P = 0,085 m.; 0,239 m.; distribusi Pearson III ∆P = 0,06 m.; 0,108 m. dan pada distribusi log.Pearson ∆P = 0,159 m.; 0,109 m. terhadap tinggi mercu pada periode ulang 25 tahun. 6.2 Saran 1. Periode ulang 25 tahun memberikan tinggi mercu yang signifikan, apabila aliran di atas bendung mempunyai kriteria pelimpah tinggi, karena itu disarankan untuk menggunakan periode ulang 25 tahun dalam menganalisis bendung. 2. Pembahasan yang disampaikan berupa preleminary desain, karena itu disarankan untuk melakukan Uji Model Hidraulik Fisik(UMHF) agar
Soedarwoto Hadhisiswoyo
mendapatkan gambaran lebih jelas dari pemikiran yang disampaikan. Daftar Pustaka 1. Chow, ven Te. David Maidment. Larry W. Mays(1988). Applied Hydrology. pp.371-376. 2. Hadhisiswoyo, S.(2004) The Effect Inaccurate Setting of Weir Crest Elevation using Simple Approach.(p.359-361) Proceeding of an International Conference on Bridge Engineering and Hydraulics Structures.University Putra Malaysia. pp.359-366. 3. Hadhisiswoyo, S.(2004). Effect of Weir Types on Dischagre Flow Above the Weir Crest(p.368-370). Proceeding of an International Conference on Bridge Engineering and Hydraulics Structures.University Putra Malaysia. pp.367-375. 4. Mays, L. W. (2005).Water Resources Engineering. Wiley Sudent edition. Arizona. pp.309-341 5. Pemerintah Republik Indonesia(2004). UndangUndang Nomor 7 Tahun 2004.pp.1,20,56-67. 6. Rozgar Baban, (1995). Small Diversion Weir, on Hot Climate, England. pp.47-63
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
90
Priyambodo, Henny HerawatI
ISBN: 978-979-15616-4-8
Kearifan Lokal Masyarakat Dan Peningkatan Fungsi Hidrologis Danau Sentarum Priyambodo 1) dan Henny HerawatI 2) 1) Professional
2) Dosen
Madya Sumber Daya Air Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura.
Abstrak Kawasan Suaka Margasatwa Danau Sentarum, selain merupakan satu-satunya ” primary freshwater swamp forest ” yang tersisa di Kalimantan Barat, juga berfungsi sebagai daerah resapan dan pengendalian tata air secara alami pada SWS Kapuas. Sehingga diperlukan upaya penelitian dalam rangka peningkatan fungsi danau terhadap pengembangan wilayah Sungai Kapuas. Hasil penelitian mennunjukkan bahwa, kearifan lokal masyarakat di kawasan Danau Sentarum yang tercermin dari hukum adat sangat efektif berfungsi meningkatkan fungsi hidrologis Suaka Margasatwa Danau Sentarum. Demikian juga dengan hutan rawa bergambut, kelestariannya harus dijaga, dan tidak boleh dikonversika. Hutan tersebut harus tetap seperti adanya sekarang karena kemampuan tanah gambut untuk menahan air yang sangat tinggi dan pada waktu kemarau kandungan airnya dilepas sedikit demi sedikit, membuat peran hutan gambut ini terhadap aliran dasar ( base flow ) cukup besarrawa yang ada tidak boleh dikonservasi dan perlu dibangun bendung pengendali banjir di Batu Puja dekat Semitau. Untuk menghindari banjir, perlu dilakukan normalisasi Sungai Kapuas sehingga kemampuan mengalirkan air pada waktu banjir dapat ditingkatkan. Ruas Sungai Kapuas yang perlu dinormalisasikan adalah sekitar Batu Puja dekat Semitau. Namun dampak normalisasi ini terhadap ketersediaan air di musim kemarau sangat berbahaya karena air yang ada semakin cepat kering. Untuk itu perlu dibuat bendung pengendali banjir. Kata Kunci
: Kearifan Lokal, Danau Sentarum, Fungsi Hidrologis, Normalisasi Sungai, Bendung Pengendali banjir, Hutan rawa bergambut.
I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang. Kawasan Suaka Margasatwa Danau Sentarum merupakan satu-satunya ” primary freshwater swamp forest ” yang tersisa di Kalimantan Barat, bahkan di kawasan Asia Tenggara. Bagi Kalimantan Barat Danau Sentarum berfungsi sebagai daerah resapan dan pengendalian tata air secara alami pada SWS Kapuas. Bagaimana fungsi tersebut dapat dirtingkatkan, merupakan pokok bahasan dalam makalah ini. 2. Ruang Lingkup. Ruang Lingkup pembahasan mencakup kawasan Suaka Margasatwa Danau Sentarum yang berada di bagian hulu Sungai Kapuas sebagai bagian dari SWS Kapuas. Kawasan tersebut terletak di Kabupaten Kapuas Hulu Propinsi Kalimantan Barat. 3. Maksud dan Tujuan. Maksud dari penulisan makalah ini adalah membahas fungsi Danau Sentarum terhadap pengembangan Wilayah Sungai Kapuas, serta upaya peningkatannya. Tujuan dari penulisan ini adalah mengungkapkan upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan fungsi Danau Sentarum Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
II. METODOLOGI YANG DIGUNAKAN. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode diskripsi yaitu metode penulisan yang menjelaskan atau menerangkan suatu peritiwa. Data yang digunakan dalam penulisan ini diambil dari data sekunder yang berasal dari beberapa sumber kepustakaan. III.
PEMBAHASAN
1. Kondisi Kawasan Suaka Margastwa Danau Sentarum. a. Luas kawasan. Luas kawasan Suaka Margasatwa Danau Sentarum berdasar Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 757/KPTS/Um/10/10/1992 mempunyai luas 80.000 Ha atau 800 km2. Sedang dalam TRRWP Kalimantan Barat ( Perda No.1 tahun 1995 ) kawasan ini dinyatakan sebagai Taman Nasional dengan luas 134.000 Ha atau 1.340 km2. Dan berdasar Perda ini Ditjen PHPA mengusulkan luas 132.000 Ha atau 1.320 km2 sebagai Suaka Margasatwa. Seluruh kawasan berada di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu Propinsi Kalimantan Barat. Luas kawasan ini hanya 1,4 % dari luas SWS Kapuas yang 95.427,00 km2, nasmun pengaruhnya cukup besar karena pada saat musim hujan 25 % aliran dari sungai Kapuas 91
Priyambodo, Henny HerawatI
ISBN: 978-979-15616-4-8
masuk ke danau dan musim kemarau 50 % air danau keluar memasuki aliran Sungai Kapuas. 4) b. Luas perairan. Luas perairan pada kawasan Suaka Margasatwa Danau Sentarum, sekitar 26 % dari luas wilayah. Untuk luas wilayah menurut Keputusan Menteri Pertanian dimana luas kawasan adalah 80.721 Ha, luas perairan adalah 21.727 ha atau 26.92 %. Untuk luas kawasan menurut Perda yang seluas 134.000 Ha, luas perairan adalah 30.094 ha. Danau – danau yang ada di kawasan ini antara lain : Danau Luar, Danau Genali, Danau Belida, Danau Pengembung dan Danau Bekuan. Selain berupa danau, perairan yang ada juga berupa sungai-sungai. Yang menarik, disebelah selatan kawasan ini, disepanjang Sungai Kapus terdapat bekas sungai yang membentuk danau yang umumnya berbentuk tapal kuda. Namun Suyngai Kapuas agak kehilir, tidak berkelok-kelok dan terjadi penyempitan disekitar Semitau yang pada waktu kemarau airnya deras karena sungai berdasar batu, sehingga masyarakat menyebutnya sebagai Batu Puja. c. Kondisi lahan. Berdasar data RePPProt, 1990 system lahan disekitar kawasan ini terdiri dari 8 system lahan : 1) Satuan peta/sistim lahan : SBG ( Sebangau ) Type lahan : jalur meander Sungai Kapuas. Tanah : Alluvial sungai, gambut 11-25 cm. Tanah minimum > 150 cm Resiko banjir : Tinggi Genangan : berkala Drainase : jelek Resiko asam sulfat : 100 – 150 cm Kemasaman tanah : 5,1 – 5,5 K dan P : K rendah dan P sedang 2) Satuan peta/sistim lahan : BKN ( Bakunan ) Type lahan : Lembah anak sungai. Tanah : Alluvial sungai, gambut 0 - 10 cm. Tanah minimum > 150 cm Resiko banjir : Tinggi Genangan : berkala Drainase : jelek Resiko asam sulfat : Kemasaman tanah : 4,0 – 4,5 lapisan atas 5,1 – 5,5 lapisan bawahnya K dan P : K - dan P sangat rendah 3) Satuan peta/sistim lahan : KLR ( Klaru ) Type lahan : Dataran banjir pada dasar danau yang terendam. Tanah : Alluvial danau,gambut < 50 cm. Tanah minimum > 100-150 cm Resiko banjir : Tinggi Genangan : permanen Drainase : sangat jelek Resiko asam sulfat : Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
5)
6)
7)
8)
Kemasaman tanah : K dan P : Satuan peta/sistim lahan : GBT ( Gambut ) Type lahan : Teras rawa gambut dalam. Tanah : Gambut > 200 cm Resiko banjir : Rendah Genangan : Tidak terjadi Drainase : jelek Resiko asam sulfat : > 150 cm Kemasaman tanah : 4,6 – 5,0 K dan P : K tinggi dan P sedang Satuan peta/sistim lahan : SHD ( Suhaid ) Type lahan : Teras rawa gambut sedang. Tanah : Gambut > 200 cm Resiko banjir : Rendah Genangan : Tidak ada Drainase : sangat jelek Resiko asam sulfat : Kemasaman tanah : K dan P : Satuan peta/sistim lahan : MDW ( Mendawai ) Type lahan : Teras rawa gambut dangkal. Tanah : Gambut > 50 cm Resiko banjir : Rendah Genangan : Tidak ada Drainase : sangat jelek Resiko asam sulfat : 0 – 25 cm Kemasaman tanah : 4,0 – 4,5 K dan P : K dan P rendah Satuan peta/sistim lahan : PDH ( Pendreh ) Type lahan : Pegunungan endapan tidak berorientasi. Tanah : Podzolic merah kuning dan litosol ( 26 – 50 cm ) Resiko banjir : Tidak ada Genangan : Tidak ada Drainase : drainase baik Resiko asam sulfat : tidak ada Kemasaman tanah : K dan P : Satuan peta/sistim lahan : LWW ( lawanguang ) Type lahan : Datran sedimen berombak sampai bergelombang. Tanah : Podzolic merah kuning ( 100 – 150 cm ) Resiko banjir : Tidak ada Genangan : Tidak ada Drainase : drainase baik Resiko asam sulfat : tidak ada Kemasaman tanah : 4,0 – 4,5 lapisan atas4,5 – 5,0 lapisan dibawahnya K dan P : K dan P rendah
92
ISBN: 978-979-115616-4-8
Gambar 1. Danau yang ada a di kawasan Suaka M Margasatwa Danau Sentarum Dari data diaatas, lahan di kawasan k danauu sentarum terbagi atas 3 kelompok : ¾ Kelompokk penampung banjir b ( SBG dan BKN ), mempunyai fungsi seperrti waduk banjirr. ¾ Kelompokk lahan rawa bergambut ( KLR, GBT, SHD dan MDW ), sesuai dengan sifat gambut g yang mampu menahan air sampai 13 kali berat keringnya, pada waktuu musim hujaan lahan ini menjadi jenuh j dan paada musim kemarau, k air gambut akan a keluar sedikit demi sedikit dan membentuuk aliran dasar ( base flow ) ¾ Kelompokk lahan kering ( PDH dan LWW L ) yang merupakan daerah tanggkapan hujan. Hujan yang jatuh sebagian akan meresap m dalam m tanah dan akan keluaar dari lapisan tanah sebagaii aliran dasar ( base flow w) Dilihat dari sisi pemanffaatan lahan,, kelompok penampung banjir b tersebuut, walaupun mengalami genangan g 1 saampai 6 bulann, namun padaa waktu tidak tergenang, t m masih dimanffaatkan untuk tanaman semusim, s khussusnya padi. Sedangkan S unntuk kelompokk kedua sampai saat ini masih berupa hutan rawa bergambut daan kelompok ketiga masih dimanfaatkan untuk ladang beerpindah. d. Kearifan lokal masyarrakat di kawaasan Suaka Margasattwa Danau Sen ntarum Kearifan lokal masyarrakat di kawaasan Suaka Margasatwa Danau Senntarum, terccermin dari diberlakukanny d ya hukum adatt yaitu aturan-aaturan dasar yang y timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraaan negara meeskipun tidak teertulis. Mereka menetapkan m huukum adat yanng berlaku di desa d masing--masing dan hukum adat yang terkait dengan d pengelolaan danau Sentarum S dapaat dibagi atas :Perlindungan terhadap ikann Arwana, Betuutu, Jelawat, Pertemuan P Ilmiah Tahunan (PIT) HA ATHI ke-23, Manado 10-12 Nopem mber 2006
Priyyambodo, Henny HeerawatI
Tomann dan Ulang U Uli. Aturan tenntang pengusaahaan madu, rotan dan kayuu ¾ Atuuran tentang penggunaan alat tangkap Bubu, Jala, Pukat, Panncing Jakat, Jermal, J Temilaar dan meenuba ¾ Atuuran lain tentaang pembakaraan hutan, perbburuan daan undian. Peeraturan tersebbut ada yang melarang tappi ada juga yaasng membatassi dan melindungi anak ikan. Saalah satu ketentuan yang teerkait dengan fungsi hidrologis adalah meenuba. Menubaa adalah cara untuk menangkap ikan dengan menggunaakan akar kayuu jenis Derris spp. yang oleeh masyarakaat setempat disebut ”tuba” yang di pukull dan dicampuurkan ke dalam m air, sehinggga ikan yangg tercemar oleh o tuba ini akan pingsann, karena jikaa tidak segera diambil, ikan akan hidup kembali, kareena radiusnyaa tidak jauh serta mudah sekali netral ssetelah terbawaa arus air menggalir. Paada waktu lalu, penggunaaan tuba umuumnya dilakukkan oleh orangg Dayak untuk menangkap ikan, tuba merupakan adat-istiadat a m masyarakat D Dayak dengann kepercayaann bahwa setiaap hendak meemulai membuuka lahan untuk berladang maka m sungai dissekitar ladang harus ditubaa terlebih dahuulu untuk mengusir hama penyakit yang dapat menngganggu tanaaman, sehinggga panen berrhasil. Mulai sekitar s tahun 1995, telah Melayu masyarrakat Dayaak maupun menggunakan racunn kimia (bukann akar kayu) untuk menuba ikan, akibatnnya banyak seekali ikan yangg mati, termasuk ikan yanng dipelihara dalam keraamba. Dampaak daripada raccun kimia ini saangatlah berbaahaya, karena radiusnya saangat luas dan lebih tahan lama tertingggal di dalam air, dan yangg lebih pentingg lagi bahwa penggunaan rracun kimia unntuk membunuhh ikan ini bukan merupakann kebiasaan atau adat masyaarakat Dayak dan itu tidakk dilindungi oleeh hukum adaatnya. Kegiataan menuba um mumnya dilakukan pada saaat air danau mulai surut e. Koondisi muka air danau. Kondisi muka air Danau Sentaarum sebagai hasil perhitungan dan peengamatan Olivier O Klepperr dkk adalah seperti gambaar berikut ini.
Gambar 2. M Muka Air Danauu Sentarum 93
ISBN: 978-979-15616-4-8
Dari gambar tersebut, muka air banjir terjadi pada bulan Maret 1994 dengan ketinggian + 14 meter. Dalam keadaan banjir seperti ini banyak rumah yang halamannya terendam. walaupun tidak ada rumah yang tenggelam, karena masyarakat sudah siap menghadapi resiko ini dengan membuat rumah panggung bagi yang berada di tepi sungai Kapuas. Namun banjir ini telah mengganggu lalu lintas jalan darat, karena banyak jalan yang terendam. Oleh karenanya banjir yang seperti terjadi pada bulan Maret 1994 ini perlu dicegah. Penyebab banjir ini akibat curah hujan yang cukup tinggi dibanding dengan kapasitas palung sungai. Sedangkan muka air paling surut terjadi sekitar September 1992 dan Agusus 1993, dengan ketinggian muka air + 2 meter, sehingga perbedaan tinggi muka air banjir dengan surut terendah adalah 12 meter. Dalam kondisi seperti ini lalu lintas air akan terhambat dan panen ikan akan terjadi karena sungaisungai kecil mengering dan ikan berkumpul pada cekungan-cekungan sungai. Pada umumnya untuk menangkap ikan pada waktu surut ini digunakan cara penubaan, seperti yang diuraikan terdahulu. Produksi ikan dari penangkapan pada saat surut ini, kemudian dijadikan ikan asin yang merupakan pendapatan utama bagi nelayan yang ada disekitar danau. Tapi diantara kedua muka air surut terendah tersebut masih ada muka air surut biasa dimana muka air mempunyai ketinggian sekitar + 5 meter, lebih rendah 2 meter dibanding muka air normal yang mempunyai ketinggian + 7 meter. Seperti kita lihat pada grafik, surut biasa ini terjadi dengan periode sekitar satu bulan. Pada waktu surut biasa ini, umumnya penubaan juga dilakukan sehingga penubaan semakin sering dilakukan, akibatnya anak ikan yang lahir setelah surut periode sebelumnya belum sempat membesar sudah kena tuba lagi. Hal ini menyebabkan berkurangnya populasi ikan di danau. Namun ada sisi positif dari surutnya muka air danau. Pada waktu danau mulai digenangi setelah kering, tanah akan memberi aroma yang mendorong ikan untuk memijah. Karena itu kalau surutnya muka air danau ini bisa diupayakan menjadi periodik setahun sekali atau paling cepat setahun dua kali, akan mengoptimalkan pertumbuhan ikan yang ada di danau. 2. Upaya menjaga dan meningkatkan fungsi Hidrologis Kawasan Suaka Margastwa Danau Sentarum. a. Menjaga kelestarian hutan rawa bergambut. Hutan rawa bergambut yang ada di kawasan ini tidak boleh dikonversikan, hutan tersebut harus tetap seperti adanya sekarang karena kemampuan tanah gambut untuk menahan air yang sangat tinggi dan pada waktu kemarau kandungan airnya dilepas sedikit demi sedikit, membuat peran hutan gambut ini terhadap aliran dasar ( base flow ) cukup besar. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Priyambodo, Henny HerawatI
b. Membangun bendung pengendali banjir di sekitar Batu Puja. Seperti telah diuaraikan diatas, untuk menghindari banjir banjir seperti pada bulan Maret 1994, perlu dilakukan normalisasi Sungai Kapuas sehingga kemampuan mengalirkan air pada waktu banjir dapat ditingkatkan. Ruas Sungai Kapuas yang perlu dinormalisasikan adalah sekitar Batu Puja dekat Semitau. Namun dampak normalisasi ini terhadap ketersediaan air di musim kemarau sangat berbahaya karena air yang ada semakin cepat kering. Untuk itu perlu dibuat bendung pengendali banjir. Beberapa kriteria bendung ini adalah : ¾ Dasar bendung lebih rendah dari dasar sungai yang ada sekarang. ¾ Bendung yang digunakan adalah bendung gerak. ¾ Elevasi mercu bendung mempunyai ketinggian setinggi muka air normal ¾ Bendung perlu dilengkapi dengan pintu pelayaran ( lock ) untuk lalu lintas kapal yang melayari sungai Kapuas. ¾ Pengaliran air banjir dilakukan dengan membuka pintu dan kemampuan pengaliran air banjir tergantung dari perbedaan muka air antara muka air dihulu dan muka air dihilir, serta lebar bendung. ¾ Perlu dipertimbangkan untuk melengkapi bendung dengan lintasan ikan agar ikan dari hilir masih dapat bermigrasi kehulu sungai. Dengan adanya bendung pengendali tersebut, pada musim hujan dan pada waktu banjir, pintu dibuka sampai muka air di hulu mencapai muka air rencana. Dalam musim kemarau pintu bendung selalu ditutup sehingga didapat penyimpanan air yang cukup. Sekali atau dua kali setahun, terutama pada puncak musim kemarau, air darii hulu bendung dilepas kehilir untuk tujuan : ¾ Menggelontor air asin di hilir Sungai Kapuas kearah hilir. ¾ Menggelontor pasir yang terdapat ditengah sungai agar terbentuk alur pelayaran. ¾ Memberi kesempatan dasar danau untuk mengering agar pada waktu digenangi lagi akan timbul aroma tanah yang khas yang mendorong ikan untuk memijah. ¾ memberi kesempatan para nelayan untuk panen ikan. Jadi pada dasarnya pembangunan bendung pengendali banjir diu Sungai Kapuas ini akan meningkatkan fungsi hidrologis Suaka Margasatwa Danau Sentarum baik sebagai pengendali banjir maupun ketersediaan air. Walaupun dalam musim hujan pada saat musim hujan 25 % aliran dari sungai Kapuas masuk ke danau namun masih belum dapat mengatasi banjir besar seperti yang terjadi pada Maret 1994. Pada musim kemarau 50 % air danau keluar 94
ISBN: 978-979-115616-4-8
memasuki alirran Sungai Kapuas K namunn kekeringan danau d masih sering s terjadi paada periode peendek. Diharapkaan setelah adaanya bendung pengendali, muka air didannau menjadi seeperti berikut ini.
Gambar 3. Muka M Air Danau Sentarum (seetelah ada benduung IV. KESIMPUL LAN DAN SAR RAN 1. Kesimpullan. Dari pembbahasan diatass dapat disimpuulkan, bahwa kearifan lokal masyaraakat di kawaasan Danau Sentarum tercermin dari d hukum adat yang diberlakukkan dan unttuk meningkaatkan fungsi hidrologis Suaka Margaasatwa Danauu Sentarum, rawa yangg ada tidak boleh dikonservaasi dan perlu dibangun bendung penggendali banjir di d Batu Puja dekat Sem mitau
Pertemuan P Ilmiah Tahunan (PIT) HA ATHI ke-23, Manado 10-12 Nopem mber 2006
Priyyambodo, Henny HeerawatI
2. Saaran. Peembangunan bendung b di Sunngai Kapus terrsebut meerupakan kerjja besar dann untuk itu kalau peemikiran pembangunan beendung di S Sungai Kaapuas tersebutt dapat diterima perlu pengaakajian lebbih lanjut terhaddap rencana teersebut. Daftar Pustaka 1. Addi Susmianto, Ir. M.Sc, Kebbijakan Dan TTindak Laanjut Pengelolaaan Kawasan Konservasi Danau D Seentarum pasca Project 5, I – UKT FMP ( ODA O ), Seeminar Pemapparan Hasil-Haasil Temuan Teknis T Kaawasan S.M. D Danau Sentarum m. 2. Keevin Jeanes, Catchment Deevelopment Review R Reeserve Boundaary Review & Buffer B Zone Prooposal Prooject 5 – Foreest Conservatiion Indonesia – UK Troopical Forest M Management Programme 3. Olivier Klepper, N Nono Suyatno,, Priyo Budi Assmoro, A Hydrological Model of Danau Senntarum Flooodplain Lakess 4. Preesented at Inteernational Connference on Trropical Lim mnology. 5. Vaalentinus Heri & Emily Harwell, Pemanffaatan Sisstem Pengetahhuan Masyarakat ( Hukum Adat A ) Daalam Pengelolasan Konnservasi. Seeminar Peemaparan Hassil-Hasil Temuuan Teknis P Proyek UK K-Indonesia Diibidang Pengeeloaan Hutan TTropis Di Indonesia : Sub-Proyek Konservasi Suaka S Maargasatwa Dannau Sentarum.
95
ISBN: 978-979-15616-4-8
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Halaman Kosong
96
ISBN: 978-979-15616-4-8
Moch. Memed, Agustin Purwanti
Penyelamatan dan Konservasi Sumberdaya Air dan Lahan di Daerah Aliran Sungai merupakan Tugas dan Tanggung Jawab Masyarakat dan Pemerintah Moch. Memed 1) Anggota
1)
Agustin Purwanti
2)
HATHI, 2) Dosen Unjani
Abstrak Semua bencana keairan berupa kekeringan, kesulitan memperoleh air berkualitas akibat terjadinya pencemaran air dan bencana banjir yang telah terjadi di Indonesia sesungguhnya diakibatkan oleh perbuatan manusia yang tidak sadar akan konservasi lingkungan. Yang dimaksud dengan Lingkungan ialah Sumberdaya Alam yang harus dipelihara dan diamankan kinerja fungsinya dan Tempat atau Ruang Hidup / Kehidupan yang harus dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya oleh manusia. Salah satu Sumberdya Alam adalah Air dan Sumberdaya Air yang berada di Bumi (termasuk atmosfir). Salah satu upaya pemerintah untuk mengantisipasi dan meminimalisasi terjadinya dan akibat dari bencana keairan, adalah pencanangan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Sumberdaya Air (GNKPSDA) oleh presiden. Gerakan ini harus di laksanakan berdasarkan prioritas oleh Pemerintah Pusat dan Daerah dengan dukungan dari masyarakat dengan wakilnya (DPRD dan DPR). Perlu diingat bahwa Allah akan murka terhadap orang yang hanya ngomong saja tanpa berbuat lanjut. Sebaiknya GNKPSDA selanjutnya dikukuhkan dengan Peraturan yang lebih tinggi dan mengikat, sebagai jabaran dan tindak lanjut dari UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan di Daerah disusun Perda GDKPSDA. Di lapisan masyarakat, Gerakan Masyarakat Penyelamatan Sumberdaya Air (GMPSA) yang sejalan dengan Gerakan nasional, harus dilaksanakan secara serempak di seluruh DAS di Indonesia, oleh seluruh lapisan masyarakat didukung oleh seluruh pejabat Pemerintah mulai dari ketua RT, RW, Lurah, Camat, Bupati / Walikota, Presiden dan oleh para pejabat penegak Hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim). Kata Kunci
: GNKPA, GNKPSDA, GMPSA, UU No. 7 tahun 2004, Kerusakan Lingkungan, Daerah Tangkapan Hujan (DTH)
Pendahuluan Sejalan dengan makin bertambahnya penduduk di berbagai Wilayah di Indonesia, maka semakin intensif pula manusia mendayagunakan Sumberdaya Lahan yang berada di Daerah Tangkapan Hujan / Daerah Aliran Sungai, dengan menggali sumberdaya alamnya yang terkandung pada lahan tersebut dan menggunakan Lahan sebagai tempat berbagai kegiatan dan. Dalam rangka mendaya-gunakan Sumberdaya Lahan, sebahagian besar manusia tidak memikirkan dampak negatifnya yang terjadi antara lain terhadap fungsi dan keamanan lingkungan Sumberdaya Air, yang berakibat menimbulkan kerugian dan malapetaka bagi manusia dan makhluk hidup yang lain. Akibat penggunaan Lahan di Daerah Tangkapan Hujan tersebut yang sembarangan maka dengan jelas telah terjadi kerusakan Lingkungan Sumberdaya Air, baik air yang berada di permukaan Bumi, di dalam tanah (air tanah), air yang berada di jaringan Badan Sungai (Sumberdaya Sungai), di Laut maupun yang berada di Atmosfir. Manusia yang akalnya masih waras pasti meyakini bagaimana pentingnya peran dan manfaat air bagi kehidupan dan penghidupan semua makhluk hidup. Seandainya saja Air atau Sumberdaya Air di suatu negeri dihilangkan-Nya atas kehendak-Nya dari muka bumi ini, maka makhluk hidup akan menderita dan mati. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Semua bencana keairan berupa kekeringan, kesulitan memperoleh air berkualitas akibat terjadinya pencemaran air dan bencana banjir yang telah terjadi di Indonesia sesungguhnya diakibatkan oleh perbuatan manusia yang tidak sadar akan konservasi lingkungan. Yang dimaksud dengan Lingkungan ialah Sumberdaya Alam yang harus dipelihara dan diamankan kinerja fungsinya dan Tempat atau Ruang Hidup / Kehidupan yang harus dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya oleh manusia. Salah satu Sumberdya Alam adalah Air dan Sumberdaya Air yang berada di Bumi (termasuk atmosfir). Kegiatan manusia di DTH dengan kecenderungan merusak Lingkungan Keairan (1) Pendayagunaan Sumberdaya Lahan (tempat dan sumberdaya alam yang terkandung) yang selalu cenderung merusak lingkungan (2) Pembabadan dan pembakaran Pohon Lindung di DTH yang merusak konservasi atau daya dukung sumberdaya air yang alamiah khususnya di daratan. (3) Penutupan lapisan permukaan tanah peresap air oleh struktur, yang mengurangi atau menghilangkan peresapan air permukaan kedalam tanah (lapisan tanah peresap air) (4) Pengalian lapisan tanah peresap air yang menyebabkan tebal dan volume lapisan peresap air berkurang atau hilang (5) Pengurangan atau Penghilangan Volume Retarding Basin atau tempat menampung air banjir menjadi 97
ISBN: 978-979-15616-4-8
berkurang atau hilang sama sekali (legokan / kubangan air, situ, rawa, sawah, kolam tando) (6) Pengambilan air tanah yang berkelebihan (7) Pembuangan sampah, kotoran, polutan kedalam badan air atau aliran air berupa material biotik, abiotik dan bahan kimiawi (8) Yang menyebabkan kerusakan atau menurunnya fungsi dan keamanan Bangunan Air Pengendali air dan atau sedimen (Waduk, Kolam Tando, Sumur / Kolam Resapan, Sedimenttrap) (9) Perusakan fungsi dan keamanan Sumberdaya Morfologi sungai atau akibat yang lain Ciri-ciri Kerusakan Lingkungan Keairan di DTH (1) Gundulnya lahan dari pepohonan lindung di permukaan daratan termasuk di hutan (2) Kekeringan air di dalam tanah permukaan bumi (3) Kekeringan air di sumur dangkal dan sumur dalam (4) Penutupan lahan oleh kawasan kawasan Pemukiman, Perkotaan, Perindustrian dan Jalan yang melebihi persentase yang diizinkan dalam pembangunan (5) Banjir, erosi medan dan longsoran tanah medan terutama yang terjadi pada musim hujan (6) Pencemaran air oleh pembuangan sampah, kotoran biotik, abiotik dan kimiawi. (penduduk dan industri) (7) Penurunan nilai fungsi dan produktifitas hasil pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Sumberdaya Air. (8) Penurunan hasil pertanian padi dan hortikultura akibat "pembunuhan" sawah dan kebun, merupakan gejala yang serius membahayakan swasembada pangan, perekonomian dan kemakmuran rakyat Indonesia yang agraris. (9) Penurunan nilai fungsi keamanan Bangunan Prasarana Pengelolaan Sumberdaya Air (10) Peningkatan pencemaran dan panas udara (11) Dan sebagainya Kerusakan Lingkungan Keairan di DTH tertentu secara kuantatif dapat dipelajri dengan mempelajari atau mengadakan pengukuran debit air, sedimen dan polutan di ruas sungai yang dapat pasokan dari DTH yang bersangkutan. Mengapa sebahagian besar manusia selalu berbuat mungkar dan berbuat kerusakan di Bumi sehingga dimurkai dan tidak dicintai Allah (1) Mereka tidak mengetahui bahwa manusia sesungguhnya diciptakan-Nya untuk beribadah dan minta tolong hanya kepada Allah Yang Maha Esa semata, tidak kepada yang lainnya. Untuk mampu melaksanakan tugas beribadah, Allah Robbil ’alamiin memberi manusia hak, wewenang dan akan memintanya kepada mereka tanggung jawab atas segala perbuatan mereka di hari akhir. (2) Mereka tidak mengetahui dan menyadari bahwa selain diwajibkan bertugas melaksanakan tugas beribadah Ritual, manusia dijadikan-Nya sebagai Khalifah Allah (Mandataris, Manajer Allah) di Bumi diberi amanat Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Moch. Memed, Agustin Purwanti
melaksanakan tugas untuk mengurus dan memakmurkan Bumi. Mengurus Bumi berarti menyelenggarakan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Bumi dan menyelenggarakan Pembinaan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, yang harus dilakukan dengan benar, untuk kepentingan semua dan bukan untuk merusaknya (3) Sebahagian besar dari manusia tidak beriman dan bertaqwa, dengan sebenar-benarnya iman dan taqwa, yang berarti dalam melakukan kegiatannya, mereka tidak mengikuti petunjuk-Nya, untuk melaksanakan perintah-Nya dan untuk menjauhi larangan-Nya. Bahkan mereka tidak mengetahui atau tidak pernah mau mengetahui (dengan membaca dan mengkaji) petunjuk-Nya yang benar, yang tersurat dan tersirat di dalam Kitabullah (yang diwahyukan Allah via malaikat Jibril kepada Rosulullah) dan apa apa yang tersurat dan tersirat di dalam alam ciptaan-Nya yang berisi sunatullah (hukum, aturan peraturan atau perintah yang diberikan kepada alam). Kedua sumber pedoman tersebut sangat diperlukan untuk mengurus Bumi dengan benar dan baik (4) Dalam rangka mengurus atau mengelola Sumberdaya Air, semua manusia sesungguhnya harus mengetahui bahwa Allah memberikan nur-Nya atau energi, kekuatan kepada air dengan perintah dan kehendakNya untuk menghidupkan makhluk hidup ciptaan-Nya berupa tetumbuhan, hewan dan manusia di Bumi ini. (5) Banyak dari mereka yang beribadah ritual yang kelihatannya atau dianggapnya benar, namun sesungguhnya mereka masih berbuat tidak benar, mungkar, berbuat jahat, dan berbuat kerusakan di bumi. Allah tidak mencintai orang-orang yang berbuat kerusakaan di Bumi dan Allah akan murka terhadap manusia yang mungkar. (6) Untuk dapat mengurus Bumi (menyelenggarakan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Bumi dan Pembinaan Sumberdya Manusia), seharusnya manusia bersepakat untuk menjabarkan petunjuk Allah menjadi Norma, Hukum dan Aturan Peraturan yang “membumi” untuk ditaati oleh semua, minimum oleh orang orang yang beriman. (7) Mereka yang berbuat kerusakan, sesungguhnya mereka tidak beriman, tidak taqwa dan beramal tidak sesuai dengan kehendak-Nya merupakan golongan yang fasik. Mereka yang tidak beriman, sebenarnya tidak takut bahwa perbuatannya jahatnya di dunia itu, akan diminta pertanggungan jawabanya, diadili dan akan dibalas-Nya dengan azab yang keras di hari akhir nanti. (8) Sebaliknya orang-orang yang taqwa, dengan mempertahankan keimanannya dengan sebenarbenarnya beriman dan berusaha melaksanakan tugas ibadahnya dengan baik sesuai dengan kehendak-Nya, diikuti dengan bertaubat dan memperbaiki kesalahan 98
ISBN: 978-979-15616-4-8
dan dosa yang telah mereka perbuat, mereka pasti akan mendapat kebaikan di dunia dan di akhirat. Ketentuan dan Persyaratan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berwawasan Lingkungan (Norma) Ketentuan dan persyaratan yang disampaikan ini diambil berdasarkan interprestasi dari apa yang tersurat dan tersirat dalam Kitabullah dan berdasarkan penalaran logis-rasional-empirik. Ketentuan dan Persyaratan ini bersifat Ideal yang seharusnya diperhatikan dan ditaati oleh manusia beriman Khalifah-Nya di Bumi. (1) Segala kegiatan harus diawali dengan ucapan “Atas nama Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang”. (2) Atas nama Allah berati kita melakukan sesuatu kegiatan berdasarkan tugas, hak, wewenang dan tanggung jawab (THWT) yang diberikan kepada manusia sebagai abdi dan Khalifah Allah di Bumi ini, melaksanakan Ibadah Ritual dan melaksanakan Pengurusan Bumi (Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pembinaan Sumberdaya Manusia), berdasarkan keimanan dan ketaqwaan, serta berbuat baik yang diridloi-Nya, berbuat baik kepada Allah, kepada sesama manusia dan alam. (3) Mengetahui dan menjalankan segala petunjuk-Nya, dengan mengikuti Perintah-Nya dan menghindarkan segala larangan-Nya. (4) Mengutamakan azas keselamatan, keamanan, , kedamaian, dengan mentaati petunjuk-Nya. (5) Tidak berbuat kerusakan dan mengantisipasi kegiatan yang bekecenderungan merusak (berwawasan lingkungan). (6) Hasil Pengelolaan Sumberdaya Alam diperuntukkan untuk semua, seluas mungkin (rakhmatan lil ‘alamiin) (7) Pengelolaan Sumberdaya Alam harus dilakukan secara menyeluruh, berarti bahwa lima kegiatan pengelolaan *) harus dilakukan semuanya, dilakukan oleh semua manusia, terkoordinasi dalam suatu sistem kerja sama dan sama sama kerja yang kokoh dengan pembagian THWT yang tepat dan adil. (8) Semua kegiatan PSDA melalui proses Rekayasa. (9) Diawali dengan niat yang baik berkonsep yang dituangkan kedalam dokumen: 1) Perencanaan (Planing) Umum Pengelolaan Sumberdaya Lahan (RTRW) yang harus disusun terkait erat dengan Perencanaan Umum Pengelolaan Sumberdaya alamnya. Kedua macam Perencanaan Umum tersebut harus merupakan Perencanaan yang bersifat “over lay” (overlay general plan). 2) Planing planing teknis yang mendukung kedua macam perencanaan umum tersebut, 3) Desain perangkat keras dan perangkat lunak sebagai pendukung perencanaan. 4) Program pelaksanaan semua kegiatan. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Moch. Memed, Agustin Purwanti
(10) Pelaksanaan pengelolaan SDA harus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. (11) Menggunakan azas tepat guna, efektif, efisien dan optimal, layak lingkungan (sosial budaya), teknis rekayasa, ekonomis serta pembiayaan, (12) Kegiatan Pengelolaan dan TUR-DAL-WAS-BIN dilakukan dengan benar dan adil, dengan memperhatikan unsur urgensi dan prioritas: kepentingan dan kebutuhan, tempat, waktu (perode dan timing), kuantitas dan kualitas. (13) Menggunakan perangkat lunak berupa: 1) Data dan informasi yang tepat, upto date, dan benar, 2) Ilmu dan kebijakan (hikmah /wisdom), teknologi, 3) Kebijaksanaan atau Aturan-Peraturan (Perangkat lunak) untuk menjalankan tugas Pemerintahan dan tugas Pembangunan / Rekayasa (14) Menggunakan perangkat keras berupa prasarana, sarana, alat dan peralatan yang merupakan produk teknologi dan rekayasa. Penyelamatan dan Pencegahan Kerusakan lingkungan Sesungguhnya Allah menghendaki dari sekian banyak manusia masih ada segolongan manusia yang beriman yang mau berusaha dengan sunggu-sunguh untuk mengingatkan, mencegah, menanggulangi dan memperbaiki kerusakan Lingkungan Sumberdaya Alam termasuk kerusakan Lingkungan Sumberdaya Air. Dan atas kehendak-Nya keberadaan Air dan Sumberdya Air masih bisa dipertahankan sebelum Bumi dihancurkan di hari Kiamat. Sesungguhnya usaha penghentian atau pengendalian, rehabilitasi dan konservasi Lingkungan Sumberdaya Air tersebut merupakan tugas dan tanggung jawab seluruh lapisan Masyarakat dan Penguasa (Pemerintah, DPR dan Penegak Hukum). Alhamdulillaah Presiden RI telah mencanangkan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Sumberdaya Air (GNKPSDA) yang dikukuhkan dengan Kepres bulan April tahun 2005. Pencananangan GNKPSDA, tentu harus didukung dan ditindak lanjuti dengan pelaksanaan sampai tuntas di lapangan oleh seluruh jajaran pemerintah dan masyarakat. Perlu diingat bahwa Allah akan murka terhadap orang yang hanya ngomong saja tanpa berbuat lanjut. Sebaiknya GNKPSDA selanjutnya dikukuhkan dengan Peraturan yang lebih tinggi dan mengikat, sebagai jabaran dan tindak lanjut dari UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan di Daerah disusun Perda GDKPSDA. Ingatlah, bahwa Allah telah menciptakan Air di Bumi ini, yang sebelumnya kering, untuk menciptakan makhluk hidup di Bumi ini dan seandainya tidak ada air maka tidak ada kehidupan dan penghidupan. Pemerintah Pusat dan Daerah seharusnya segera menyusun Perencanaan, Perancangan dan 99
ISBN: 978-979-15616-4-8
Program untuk dapat melaksanakan Gerakkan tersebut dengan baik. Untuk itu juga perlu segera dibuatkan NSPM yang diperlukan. Peran Masyarakat dan Pemerintah dalam GNKPSDA Masyarakat yang harus berperan aktif dalam Gerakan Penyelamatan, Rehabilitasi dan Konservasi Lingkungan Sumberdaya Air adalah seluruh anggota masyarakat yang memanfaatkan, memiliki, menghuni dan menguasai lahan yang berada di Derah tangkapan Hujan. Gerakan penyelamatan dan konservasi Sumberdaya Air harus dilakukan di semua lahan yang berada di suatu DAS, dimulai dari Lahan Pekarangan dan Kawasan, dilanjutkan ke lahan yang berada di seluruh Wilayah Rukun Tetangga, Rukun Warga, Desa, Kecamatan, Kabupaten-Kota dan Propinsi. Lahan yang dijadikan objek gerakkan GNKPSDA termasuk lahan yang dipergunakaan untuk fasilitas umum seperti jalan kampung sampai jalan toll, tempat beribadah sampai dengan lahan yang dikuasai oleh Pemerintah. Tenaga penggerak dalam pelaksanaan GNKPSDA adalah semua pemuka, tokoh pemimpin dan pejabat dimulai dari tingkat kepala Keluarga, ketua RT dan RW, Kades, Camat, Bupati, Walikota, Kepala Kantor, Kepala Perusahaan, Presiden sebagai pemimpin para pejabat Pemerintah, Ketua MPR-DPR dan para Penegak Hukum. Tujuh Gerakan Penyelamatan SDA yang mampu dan harus dilaksanakan oleh Masyarakat 1. Gerakan Peresapan Air Hujan dan Air Permukaan ke dalam tanah, Melalui pembuatan Sumur Resapan, Kolam Resapan, Saluran Resapan, Resapan dari Septick Tank dan pemasangan Paving Blok yang porus. Dengan meresapkan air ke dalam tanah maka cadangan air tanah akan bertambah 2. Gerakan Penampungan Air Hujan dengan membuat bak Penampung Air Hujan yang dapat dipasang diatas atau dibawah permukaan tanah. Penampungan air hujan untuk mengurangi limpasan banjir dan dapt digunakan untuk keperluan hidup 3. Gerakan Penanaman Pohon Lindung (Gerakan Penghijauan dan Udara Bersih) dengan penanaman pohon lidung di lahan yang masih bisa ditanami, di wajan / pot tanaman (di kawasan pekarangan, RT, RW, di lahan yang terlantar dan seterusnya). Pepohonan dapat menyimpan air, mengurangi aliran permukaan, memperbaiki keadaan gas dan polusi udara di atmosfir dan menjadi paru paru bumi. 4. Gerakan Pengelolaan dan Pengolahan Sumberdaya Sampah dan Limbah (dimulai di Rumah Tangga, TPS dan di TPA / IPSDS IPAL). Sumberdaya Sampah dapat dijadikan pupuk organik, diambil gasnya (gas metan), bahan daur ulang (kertas dan plastik) dan bahan industri. Pupuk organik dapat menutupi kekurangan pupuk kimiawi dan dapat memperbaiki struktur tanah pertanian. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Moch. Memed, Agustin Purwanti
Gerakan Pematusan (Draining) Genangan dan Pengeringan daerah Tangkapan Hujan Tandon Air Hujan (Retarding Basins) 6. Gerakan Penghematan dan optimasi penggunaan Air dan Sumberdaya Air (Air bersih dan energi air makin lama makin langka, sulit diperoleh dan makin mahal). Pembangkitan tenaga listerik di jaringan saluran Irigasi perlu digalakkan 7. Gerakan Pembinaan Sumberdaya Manusia agar mereka sadar akan peran, fungsi Air dan Sumberdaya Air dan konservasi lingkungan Sumberdaya Air (dimulai oleh orang tua kepada anak anak di rumah dan pekarangan, RT / RW dan seterunya untuk seluruh penduduk negeri). Gerakan Diklatjar tentang Keairan mulai dari masalah yang kecil sampai dengan yang makro. Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Sumberdaya Air (GNKPSDA) yang menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah (Pusat dan Daerah) (1) Gerakan Pembinaan Sumberdaya Manusia (Penyadaran akan Konservasi Air dan Sumberdaya Air) (2) Membuat Crash Program Pelaksanaan GNKPSDA di seluruh Provinsi, Kabupaten dan Kota (3) Membuat Pilot Project GNKPSDA - 7 GMPSA dengan arahan dan bimbingan teknis dari para pakar yan dikoordinasikan oleh Lembaga yang terkait (Pemerintah, Perguruan Tinggi dan LSM) – kegiatan Crash Program disertai dengan Program Pembinaan SDM (4) Menyiapkan Perencanaan dan Perancangan GNKPSDA, konsep kerja sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten – Kota; dan menyusun Program Kegiatan isyarat isyarat dari Allah Jangka Pendek untuk ditidak lanjuti dengan Perda (5) Menyiapkan RUU Penyelamatan Kerusakan SDA dengan masukan dari Daerah (6) Merevisi RTRW-Daerah dengan memasukkan Perencanaan Pencegahan berlanjutnya Kerusakan dan Rehabilitasi Sumberdaya Air dengan memperhatikan batasan Daerah Aliran Sungai (7) Menyusun Atlas Potensi atau Sumberdaya Air di tiap DAS, yang berisi Data dan Informasi ketersedian Sumberdaya Air, pendayagunaan SDA, prediksi kebutuhan akan Sumberdaya Air dan kondisi Kerusakan Sumberdaya Air. (8) Kegiatan Teknis Rehabilitasi dan Pembangunan Prasarana Fisik dan Non Fisik berupa: a. Penyuluhan dan Pembinaan Sumberdaya Manusia (Tatap muka, Diklatjar, media cetak dan elktronik) b. Pembangunan Bangunan Peresap Air di DTHPeresap Air dengan pemberdayaan Masyarakat dan di Kawasan yang dikuasai Pemerintah (antara lain di Kawasan Kantor, Pertanian, dan Jaringan Jalan) 5.
100
ISBN: 978-979-15616-4-8
c. d.
e. f. g.
h.
i. j. k. l.
Rehabilitasi dan Pembangunan Bangunan Penampungan Air (Kolam Tando, Situ, Danau, Waduk dan Embung) Penanaman Pohon Lindung di Lahan yang dikuasai Pemerintah dan di Kawasan Potesial yang Rusak (Reboisasi Kawasan Hutan, Penanaman pohon lindung di Kawasan Pertamanan, Daerah Sempadan Jalan, Kawasan / Lahan Kritis, Pekarangan Kantor dan sebagainya) Pembangunan Bangunan Pencegah Erosi, Longsor dan Bahaya Keairan yang lain dan atau usaha pencegahan yang bersifat non teknis Rehabilitasi dan Pembangunan Bangunan Drainase Makro dan Kawasan (Kawasan Jalan, Kota dan sebagainya) Pengamanan dan Rehabilitasi Prasarana Keairan di DTH, di Badan Sungai, di DPKS (Misal Bangunan Irigasi termasuk sawahnya), di Pesisir dan Pantai, PLTA, Pengolahan Air Baku – Air Bersih, Pengelolaan Limbah Penghentian dan Pencegahan alih fungsi Lahan Pertanian, Kehutanan, Pertamanan, Sabuk Hijau dan Lahan Hijau semacamnya menjadi Kawasan Pemukiman, Industri dan lain lainnya yang merusak Sumberdaya Alam. (Untuk menghentikan alih fungsi lahan pertanian ini, misal sawah dan perkebunan, maka seharusnya Pembinaan, Pengaturan, Pengendalian dan Pengawasan kegiataan Pengelolaan yang berkaitan langsung dengan bidang Pertanian dilimpahkan kepada Instansi bidang Pertanian, bukan ke Istansi yang memberikan Ijin Membangun Bangunan (IMB) Pengamanan dan Rehabilitasi Kerusakan Lingkungan Sungai termasuk Prasarana Bagunan Air di badan Sungai Pengelolaan Sumberdaya Sampah dan Air Limbah (Pengolahan, Penyaluran dan Pembuangan) Peningkatan mutu Pendayagunaan Air dan Sumberdaya air yang afektif, hemat (tidak boros, efektif dan efisien) Penanggulangan Pencemaran air dan Pencemaran Udara (teknis dan non teknis)
Gerakan Penyelamatan dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian dan Hutan Untuk dapat mencegah atau mengurangi pengaliahan fungsi Lahan Pertanian dan Kehutanan, maka Hukum, Aturan dan Peraturan khusus masih harus dibuat. Pembinaan Lahan Pertanian dan Izin pengalihan fungsinya, seharusnya diserahkan penuh kepada Instansi / Departemen Pertanian, seperti halnya Lahan Kehutanan dibina dan dikelola oleh Departemen Kehutanan.. Saat ini lahan persawahan / pertanian dan perkebunan dapat dialih-fungsikan dengan mudah menjadi Kawasan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Moch. Memed, Agustin Purwanti
Perumahan, Industri, Pertambangan dan Jalan, hanya berdasarkan “fatwa” kepala Daerah, kewenangan BPN dan kewenangan Instansi PU untuk mengeluarkan IMB, mengikuti Perda yang tidak bersahabat dengan Konservasi Sumberdaya Air dan Lingkungan, dan yang lebih mementingkan PAD / Ekonomi saja. Kesimpulan dan Saran (1) Kerusakan Lingkungan Sumberdaya Alam, khususnya Sumberdaya Air di Indonesia sudah mencapai tingkat yang membahayakan, menimbulkan bencana dan malapetaka bagi kehidupan dan penghidupan. (2) Kerusakan lingkungan SDA terjadi disebabkan oleh perbuatan sebahagian besar manusia yang tidak mengetahui, tidak berilmu atau bodoh, tidak mengetahui dan mengikuti perintah-Nya dan melanggar larangan-Nya. Mereka tidak menyadari bawa manusia diberi-Nya tugas, hak, wewenang dan tanggung jawab (THWT) sebagai Khalifah Allah di Bumi untuk mengurus dan memakmurkan Bumi demi kepentingan semua makhluk, bukan untuk merusaknya. (3) Allah YM Kuasa telah memperlihatkan peringatan dan kemurkaan-Nya akibat makin banyak manusia Indonesia yang menentang petunjuk-Nya, berbuat musyrik dalam beribadah Ritual, berbuat kejahatan dan kerusakan di Bumi dalam mengurus Bumi dan tidak mensyukuri segala kenikmatan yang diberikan-Nya. (4) Bahaya keairan di darat yang harus diwaspadai adalah kekeringan / kekurangan air, pencemaran air (air sungai, air tanah dan air hujan / pencemaran udara), banjir, longsoran tebing dan pergerakkan sedimen (tanah dan batuan) (5) Kerusakan Sumberdaya Air di DAS, dimulai dengan pendayagunaan Sumberdaya Lahan yang berada di Daerah Tangkapan Hujan, yang tidak memikirkan dampak negatifnya terhadap konservasi Sumberdya Air (6) Dalam rangka menghentikan dan menanggulangi Kerusakan Lingkungan tersebut, semua masyarakat minimal orang orng yang beriman harus mengetahui petunjuk-Nya dan melaksanakan segala perintah dan menghindarkan larangan yang diberikan Allah yang semuanya itu telah tersurat dan yang tersirat di dalam Kitabullah dan Hadits Rosul serta yang tersurat dan yang tersirat berupa Sunatullah (7) Selanjutnya dari ketiga sumber petunjuk-Nya tersebut perlu diterjemahkan dan dijadikan Hukum dan Aturan Peraturan yang “membumi” dan harus ditindak lanjuti menjadi produk, Norma, Hukum, Standar, Pedoman dan Manual Teknis dan non Teknis untuk digunakan dalam kegiatan Pengelolaan Sumberdaya Air. Undang-undang no. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air perlu 101
ISBN: 978-979-15616-4-8
segera dilengkapi atau didukung dengan Aturanperaturan yang lebih rinci. (8) Penegakkan Hukum dan Aturan-peraturan dalam rangka TURDALWAS dalam Pengelolaan Sumberdaya Air perlu dilaksanakan. Perlu dibentuk organisasi Polisi Keairan, bagian khusus dari Polisi Pamongpraja. (9) Hanya dengan meningkatkan keimanan, ketaqwaan, ketaatan kepada-Nya, dengan menggunakan ilmu, kebijakan, kebijaksanaan, teknologi alat peralatan teknologi yang diberikanNya, sebahagian mayarakat Indonesia dan para penguasa di Pemerintahan insya Allah akan mampu mengurangi dan menaggulangi Kerusakan Lingkungan Alam khususnya Sumberdaya Air dan meneruskan Pembangunan di segala bidang, untuk mencapai negeri yang “baldatun thoyibatun war robun ghofur” (Negeri yang baik diberkahiNya, penduduknya berada dalam ampunan Allah YM. Pemurah, YM. Penyayang dan YM Pengampun) (10) Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Sumberdaya Air yang dicanangkan Presiden, harus di laksanakan berdasarkan prioritas oleh Pemerintah Pusat dan Daerah dengan dukungan dari masyarakat dengan wakilnya (DPRD dan DPR) (11) Gerakan Masyarakat Penyelamatan Sumberdaya Air (GMPSA) sejalan dengan Gerakan nasional harus dilaksanakan secara serempak di seluruh DAS di Indonesia, oleh seluruh lapisan masyarakat didukung oleh seluruh pejabat Pemerintah mulai dari ketua RT, RW, Lurah, Camat, Bupati / Walikota, Presiden dan oleh para pejabat penegak Hukum (Polisi, Jaksa dan Kakim). Kerusakan Lingkungan Sumberdaya Air di Daerah Aliran Sungai • Telah tampak kerusakan di Darat dan di Laut akibat perbuatan manusia dan Allah telah menampakkan peringatan, siksa dan azab kepada semua manusia agar mereka bertaubat dan kembali ke jalan yang benar sesuai dengan Petunjuk-Nya. • Komponen lingkungan Sumberdaya Air yang rusak di suatu DAS • Ciri-ciri Kerusakan Lingkungan • Penyebab Kerusakan Lingkungan Sumberdaya Air • Kerusakan Lingkungan Sumberdaya Air di Daerah Tangkapan Hujan (DTH) • Kerusakan Lingkungan Sumberdaya Air di Sungai (Morfologi Sungai) • Usaha Pencegahan dan Rehabilitasi Kerusakan Lingkungan Sumberdaya Air di Daerah Tangkapan Hujan • Usaha Pencegahan dan Rehabilitasi Kerusakan Lingkungan Sumberdaya Morfologi Sungai
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Moch. Memed, Agustin Purwanti
• • •
Usaha Pencegahan dan Rehabilitasi Kerusakan Lingkungan Sumberdaya Lahan di Daerah Pengairan Kendali Sungai (DPKAS) Kepentingan penyusunan Buku Atlas Potensi Sumberdaya Air dan Lahan di DAS Hukum, Aturan-Peraturan dan NSPM yang diperlukan
Komponen sumberdaya alam dan buatan yang rusak di Daerah aliran sungai (1) Sumberdaya alam yang berada pada lahan di Daerah Tangkapan Hujan (DTH) : (2) Lahan Peresap Air (3) Lahan Penampung Air Hujan (Retarding Basin) (4) Sumberdaya Morfologi Sungai (s/d Muara / Delta) (5) Sumberdaya yang berada di Daerah Pengairan Kendali Sungai (DPKS): (6) Daerah Irigasi dan (7) Kawasan Banjir (8) Sumberdaya Lahan yang berada di Pesisir / Laut Lepas Pantai Titipan: Janji dan peringatan Allah: (1) Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (perintah dan larangan-Nya) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Q.7/96). (2) Sesungguhnya bagi kaum Saba' (dengan ratunya Balqis yang asalnya musrik lalu mengikuti jalan Allah bersama Nabi Sulaiman Rosul Allah . Kejadian ini dapat terjadi di Indonesia) ada tanda di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri (diairi dari Bendungan). (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu rezki dari Robb-mu (Allah) dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan Robb-mu Yang Maha Pengampun". (Q.34/15). (3) Tetapi mereka (generasi berikutnya) berpaling (dari jalan Allah maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr (Q. 34/16). (4) Setelah generasi selanjutnya mengikuti Rosul Allah yang terahir, negeri mereka menjadi makmur. Akibat perbuatan orang-orang yang musyrik, jahat dan berbuat kerusakan di negeri yang sangat subur ini, maka negeri Indonesia menjadi negeri yang terpuruk, yang sebelumnya mendapat berkah dari Allah berupa kemerdekaan dan kemakmuran. Coban, siksa, azab dan peringatan dari Allah yang berwujud berbagai macam bencana dan kecelakaan pun datang bertubi-tubi tidak henti hentinya menimpa berbagai tempat di Indonesia.
102
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sessu Sennang
Pengelolaan Irigasi dan Danau dengan Tudang Sipulung Studi Kasus: Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan Sessu Sennang
HATHI Cabang Sulawesi Selatan
Abstrak Tudang Sipulung merupakan budaya di Kabupaten Wajo, yang artinya duduk berkumpul (bermusyawarah). Dalam Tudang Sipulung lahir kebijakan seorang raja atau pemimpin di bidang Pemerintahan dan Sektor Pertanian. Dewasa ini, beberapa kegiatan dalam Tudang Sipulung cenderung memudar mengikuti perkembangan zaman. Pada abad XV-XVI, sejarah Wajo menunjukan bahwa, raja-raja wajo bersikap sangat demokratis dalam pelaksanakan pemerintahannya. Sebelum memerintahkan untuk menurunkan bibit padi sawah dan menangkap ikan di danau, raja mengadakan pertemuan dengan para bangsawan dan masyarakat dalam acara Tudang Sipulung. Pertemuan ini melahirkan suatu kesepakatan bersama sebagai upaya mewujudkan kemakmuran rakyat dan membesarkan negeri sebagai tempat berteduh rakyat. Pada saat ini, penduduk makin bertambah sedangkan kepemilikan lahan makin kecil (± 0,25 – 1,0 Ha). Bersamaan dengan masalah tersebut, sumber daya air pun mengalami degredasi. Walaupun telah melakukan sistem sawah beririgasi, para petani masih dilingkupi oleh berbagai masalah yang cukup kompleks. Kata Kunci
: Tudang Sipulung, sejarah, budaya, partisipatif
I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kabupaten Wajo memiliki luas Wilayah 2.506, 19 Km2 atau 4,0 % dari luas Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, dengan jumlah penduduk 363.160 jiwa. Luas sawah Kabupaten Wajo 86.107 Ha, terdiri dari sawah beririgasi teknis 12.097 Ha, semi teknis 1.113 Ha, irigasi sederhana, irigasi desa dan irigasi pompa 18.158 Ha. Dan sisanya adalah sawah tadah hujan seluas 54.739 Ha. Danau dan Rawa sebagai potensi perikanan mempunyai luas 28.110 Ha, meliputi Danau Tempe (Kec. Belawa, Sabbangparu), Danau Penrang Riawa (Kec. Tanasitolo), Danau Durie, Danau Lappapolo (Kec. Takallala) dan rawa lainnya. Ekologi Danau Tempe memiliki nilai konservasi yang tinggi, terutama jenis ikan dan keberadaan sejumlah besar burung migran. Dahulu Danau Tempe ini dikelola rakyat Wajo, namun pada masa sekarang sungai (pallawang) di areal danau dikuasai oleh pemerintah daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah. Ada juga sungai (pallawang) milik perorangan, sedangkan kanal yang dibuat pemerintah daerah dimanfaatkan sebagai sarana transportasi nelayan. Masyarakat Wajo mempunyai filosofi yang tercermin pada budaya dan moral: Maradeka towajoe, najajiang alena maradeka, tanaemi ata, naia tomakketanae maradeka maneng, ade assimaturusennami napopuang Artinya: orang-orang Wajo itu merdeka sejak dilahirkan, hanya negeri mereka yang abadi, siempunya negeri semua merdeka, hanya hukum adat yang lahir dari kehendak mereka-lah, yang dipertuan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
(Lataringeng To Taba, negarawan Kerajaan Wajo abad XV). Sejak terbentuknya Kerajaan Wajo pada abad ke XV, Budaya bercocok tanam padi dan menangkap ikan tidak terlepas dari peranan raja-raja yang memerintah di Kabupaten Wajo. Dahulu kala, petani dan nelayan merasa makmur dan sangat patuh pada rajanya. 1.2 Ruang Lingkup Ruang Lingkup studi meliputi budaya bercocok tanaman padi dan menangkap ikan di danau serta sejarah Kerajaan Wajo pada abad XV –XVI di bawah raja-rajanya yang bergelar Batara dan Arung Matoa. 1.3 Maksud Menggali kembali sejarah terpendam tentang asal mulanya Kerajaan Wajo yang merupakan bagian sejarah Sulawesi Selatan. Perlunya mengkritisi dan mengambil hikmah yang menjadi arahan bagi pemerintah khususnya pada bidang pertanian. 1.4 Tujuan Menumbuhkan animo petani dan nelayan untuk bercocok tanaman padi dan menangkap ikan untuk kesejahteraannya melalui partisipasi petani/nelayan dalam melestaikan sumber daya air dan irigasi. 1.5 Metodologi Tahapan dalam penyusunan penulisan ini adalah: Mengumpulkan buku dan artikel mengenai asal mula Kerajaaan Wajo dan kebijakan Raja pada waktu itu di bidang Pemerintahan. 103
ISBN: 978-979-15616-4-8
Mengadakan wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat tani dan nelayan. Mengamati pelaksanaan pertemuan untuk membahas pola dan jadwal tanam setiap tahunan yang dihadiri pemda dan masyarakat tani. (penulis adalah Kepala Dinas Pengairan 2001 – 2005) Menganalisis data, hasil wawancara dan pengamatan, lalu membuat formulasi tulisan ini. II. Sejarah Negeri Wajo Tudang Sipulung artinya duduk berkumpul (bermusayawarah). Asal mulanya adalah suatu keluarga datang bercocok tanam di tepi danau (sekarang Danau Lampulung di Kecamatan Majauleng). Kemudian keluarga lain datang bergabung dengannya, karena menganggap pemimpinnya sakti dan pandai meramal. Kemudian banyak orang berkumpul di tepi danau untuk bercocok tanam padi yang dalam bahasa bugisnya disebut sipulung-pulung. Untuk memperluas areal persawahan, maka kelompok keluarga tersebut kearah timur (sekarang Kec. Penrang), kemuadian membentuk kerajaan kecil yaitu Kerajaan Cinnotabi. Namun kerajaan ini runtuh karena mengangkat dua orang bersaudara sebagai raja bersama. Masyarakat pada waktu itu mengalami gagal panen, binatang pengganggu merusak tanaman dan hampir semua orang meninggalkan negeri. Mereka merasa perlunya mengangkat seorang raja yang akan memerintah negeri dan mengayomi serta mampu melaksanakan hukum adat yang lahir pada pemerintahan sebelumnya melalui Tudang Sipulung. Tudang Sipulung ini dimaksudkan untuk menjalankan adat dan hukum yang dibuat atas kehendak secara bersama-sama (ade assituruseng) yang membawa kemakmuran rakyatnya. Kemudian, diibuatlah perjanjian berdasarkan musyawarah di bawah pohon bajo yang sangat besar ataupun aju wajo bottoae di Tosara Kecamatan Majauleng dan mengangkat Latenri Bali sebagai sebagai Raja Kerajaan Wajo yang bergelar Batara Wajo I. Kerajaan Wajo yang bergelar Batara berakhir pada pemerintahan Batara III dibawah La Patedungi To Sammalangi. Berdasarkan pengalaman, sistem kerajaan ini dianggap perlu mengurangi kekuasaan raja. Arung Saotanre Lataringeng To Tabai berwenang mengangkat dan memberhentikan raja pada waktu itu, mengadakan musyawarah dan memutuskan pemberhentian La Patedungi To Samalangi sebagai Batara III. Pimpinan sementara pemerintahan dibawah Arung Saotanre Lataringeng bersama dengan para paddanreng (Bentempola, Talotenreng dan Tuwa). Mereka mempersiapkan konstitusi Wajo dan pemilihan raja Wajo sehingga kerajaan Wajo menjadi kerajaan elektif dibawah pemerintahan Lapallewo To Palipu, dan Matoa Benttempola sebagai Arung Matoa I Wajo (147-1481). Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Sessu Sennang
Puncak kejayaan terjadi pada masa pemerintahan Arung Matoa IV Latadampare Puang Rimagalatung (1491-1521). Negeri Wajo berkembang dengan menaklukkan kerajaan lain dan mengadakan kerja sama. Kerajaan Wajo berakhir pada masa Arung Matoa ke-45 H. Andi Mangkona (23 April 1933 – 21 November 1949) Petuah-petuah (papaseng) Latadangpare Puang Rimagalantung di bidang pertanian antara lain: Raja yang tidak adil terhadap orang banyak, akan membawa bencana pada pertanian. Penyebab lain terjadinya bencana pada pertanian dan rusaknya negeri adalah kondisi rakyat yang saling bertengkar dan tidak mau bersepakat. Apabila tiba masa kerja sawah, pemimpin kerajaan memberikan daging kerbau, makanan dan minuman serta memberikan nasehat seperti: jangan bertengkar, bertobatlah, jangan saling mengambil tanaman, jangan saling berlomba mengerjakan sawah, dan bersama-samalah berjalan bagi para petani yang saling berdampingan pematangnya. Selanjutnya, setelah menuai padi (panen) beliau memberi makan rakyatnya. Pada masa Pemerintahan Puang Rimanggalatung, sektor pertanian selalu mengalami keberhasilan, pendapatan petani meningkat dan sejahtera. III. Budaya Pengelolaan Danau Tempe Kegiatan masyarakat nelayan dalam penangkapan ikan, yang masih nampak sekarang adalah kegiatan mulai dari turun ke danau sampai pesta Maccera Tappareng sebagai pernyataan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil-hasil yang diperoleh dari danau. Cara penangkapan ikan dengan berbagai jenis alat tangkap seperti bungka toddo, pallawang, papanambe, pajjala, salokko, passulo, dan pajjulu. Lokasi penangkapan ikan pallawang (ornamen) dikelola oleh pemda sebagai sumber pemasukan penghasilan Daerah. Cara penangkapan ikan ini menggunakan krei bambu yang dipasang melingkar tertutup dengan ketinggian bambu 1,25 m. Panen dilakukan pada kondisi air di danau mulai surut, akan tetapi jika ketinggian air melebihi tinggi krei bambu yang dipasang, maka nelayan (pakkaja) lain boleh menangkap ikan di area pallawang. Luas pallawang yang dapat dikuasai oleh nelayan bervariasi, yaitu: antara 0,5 hingga 2,0 Ha, antara 2,0 hingga 4,0 Ha, antara 4,0 hingga 6,0 Ha dan antara 6,0 hingga 8,0 Ha. Areal ini di kuasai nelayan pemenang tender selama ada air (musim hujan). Pada musim kemarau lahan ini diberikan ke petani palawija dengan cara undian (tana koti). Nelayan turun ke danau berdasarkan hasil kesepakatan dalam acara Tudang Sipulung dan upacara doa keselamatan agar mendapat hasil banyak. 104
ISBN: 978-979-15616-4-8
Pelaksanaan upacara di pimpin seorang dukun (sanro) dengan sesaji yang mempunyai arti tersendiri. Sesudah panen (penangkapan ikan) nelayan menggelar pesta Macera Tappareng di permukaan danau setiap tahun pada bulan Agustus. Festival tambah marak dengan berbagai atraksi seni dan budaya masyarakat Wajo. Acara ini dirangkaikan dengan pameran dan hasil-hasil kerajinan rakyat. Adapula karnaval perahu hias, lomba perahu antar nelayan dan pertunjukan berbagai tradisional seperti papitu pitu (layang-layang bermusik). Acara macera tappareng dilaksanakan di rumah nelayan yang dituakan (Matoa Tapareng). Pada masa dahulu, Matoa Tapareng ditentukan melalui pemilihan, namun pada masa sekarang, penunjukan melalui kesepakatan saja. Maksud acara Maccera Tappareng agar danau selalu dberkahi dengan limpahan ikan sehingga nelayan memperoleh hasil yang layak dan diharapkan meningkatan pendapatan nelayan. Pada acara ini diadakan pemotongan hewan (kerbau) dan kepala hewan tersebut ditanam di tempat khusus pada areal danau. Pemerintah dan Matoa Tappareng mengingatkan kembali aturan ade abiasang seperti dalam acara Tudang Sipulung, antara lain: tak boleh menangkap ikan setelah acara maccera tappareng selama 3 hari dan menangkap ikan pada hari jumat, serta larangan lainnya yang tertuang dalam perda kabupaten. Pelanggaran aturan ade abiasang dikenakan sanksi adat (didosa). Pelaksanaan sanksi adat dilaksanakan oleh Mattoa Tappareng.
Sessu Sennang
Setelah bibit berumur 40 hari, bibit ditanam kembali di sawah, selama masa pertumbuhan padi, dukun mengamati/mengelilingi sawah dengan maksud tanaman padi terhindar dari binatang/hama perusak tanaman. Panen dimulai berdasarkan hari baik sesuai saran dukun padi. Padi pilihan untuk bibit pada musim tanam yang akan datang ditempatkan pada lantai pusat rumah dan selanjutnya ditempatkan pada langit-langit rumah. Sebagai tanda syukur kepada Yang Maha Esa, petani (pallaoruma atau pagalung) mengadakan pesta panen dengan acara menumbuk padi dan membunyikan lesung (mappadendang), berayun (mattojang), adu kekuatan betis (malanca) dan taritarian. Tudang Sipulung untuk menetapkan jadwal tanam diperlukan orang pintar yang meramal iklim. Peramal tersebut dikenal dengan Pappananrang. Pappananrang ini menetapkan waktu turun ke sawah berdasarkan lontara/pedoman yang mempertimbangkan kondisi iklim dan alam sekitarnya yaitu: geografi, hari awal bulan Muharram (pattaungeng), bintang dan kondisi buah-buahan.
IV. Budaya Bercocok Tanam Padi Seperti dijelaskan pada Bab Pendahuluan, budidaya tanaman padi tidak terlepas dari peranan raja yang memerintah pada waktu itu. Tahapan penanaman padi dahulu kala, meliputi: Bibit diambil dari lumbung padi (diatas langit-langit rumah atau rakkiang) oleh perempuan yang bersih dan berpakaian lengkap. Padi diturunkan ke lantai pusat rumah (possibola) dengan sesaji yang memberikan ramalan apakah bibit ini tumbuh baik atau gagal. Padi diturunkan ke kolong rumah untuk dijadikan gabah/bibit di atas kulit kerbau dan selanjutnya bibit tersebut dikembalikan ke lantai pusat rumah (possibola) Pada hari yang ditetapkan dalam upacara Tudang Sipulung, bibit tersebut dibawa ke sawah untuk ditanam. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang dukun (sanro).
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Gambar 1. Peta Musim Sulawesi Selatan
105
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sessu Sennang
Tabel Kelompok Musyawarah Tani pada Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan Kabupaten/Kota Nama Kelompok Musyawarah Waktu Pelaksanaan I. Sektor Barat 1. Jeneponto Empo Sipatangarri Oktober/November 2. Takalar Appalili Oktober/November 3. Gowa Appalili Oktober/November 4. Maros Tudang Sipulung Oktober 5. Kota Ujungpandang Abbulo Sibatang November 6. Pangkep Mappalili November 7. Barru Mappalili November 8. Polmas Tudang Sipulung Oktober/November 9. Mamuju Malimbo November /Desember II. Sektor Timur 1. Sinjai Abbulo Sipappa April 2. Bone Tudang Sipulung April 3. Soppeng Mattudang-Tudangeng September 4. Wajo Tudang Sipulung Maret 5 Sidrap Tudang Sipulung Maret 6. Pinrang Tudang Sipulung Maret 7. Bulukumba Mattiro Laong Ruma November III. Daeah Peralihan 1. Luwu Tudang Sipulung November 2. Tana Toraja Mesa’ Kada November 3. Enrekang Tudang Sipulung Desember Keterangan: Nama kelompok musyawarah tani pada daerah Sulawesi Selatan adalah Tudang Sipulung
Adapun penjelasan pertimbangan menetapkan jadwal tanam berdasarkan lontara sebagai berikut : 1. Geografi Daerah yang letaknya bagian barat Sulawesi Selatan, dimana angin bertiup dari Selat Makassar, biasanya terjadi banyak hujan pada bulan Oktober – Maret. Daerah yang letaknya bagian timur Sulawesi Selatan termasuk Kabupaten Wajo dimana angin bertiup dari Timur Sulawesi Selatan, akan mengalami musim hujan atau tanaman padi rendeng, yaitu sekitar bulan April – September. Sebagian Kabupaten Wajo berada dalam kondisi kurang hujan seperti kecamatan Belawa, Maniangpajo Barat, Tanasitolo Barat, Tempe, Sabbangparu dan Pammana. Kawasan ini menerima hujan waktunya pendek atau kritis . Dengan demikian Sulawesi Selatan tidak mengalami kekeringan sepanjang tahun atau tidak total gagal panen. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar peta musim. Hari Awal Muharram (Pattaungeng) Alif, awal Muharram jatuh pada hari selasa Ha, awal Muharram jatuh pada hari sabtu Jin, awal Muharram jatuh pada hari kamis Isen, awal Muharram jatuh pada hari senin Daleng Riolo, awal Muharram jatuh pada hari kamis Ba, awal Muharram jatuh pada hari rabu Wau, awal Muharram jatuh pada hari ahad Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Daleng Rimonri, awal Muharram jatu pada hari jum’at Tahun Alif, Isen dan Wau biasanya hasil sawah baik. Tahun Ha, daleng Riolo dan Daleng Rimonri biasanya hasil panen berkurang. Petani harus berhati-hati menentukan jadwal menghambur bibit dan menanam padi. Tahun Jin dan Ba, biasanya hasil panen sangat kurang dan sering disebut keadaan tidak menentu atau dalam bahasa bugis mafella kampongnge. Dalam keadaan ini kurang hujan, penduduk mudah bertengkar bahkan sering terjadi pertumpahan darah dan padi mudah diserang hama dan tikus. 2. Bintang (Walue, Salapae, Lambarue, Worangporonge, Warae, Pampule Riolona Tanrae, Tanrae, Pampulo Rimonrinna Tanrae dan Manue). Setiap bintang mempunyai ciri-ciri dan arti tersendiri. 3. Pertimbangan lain yang memberikan ramalan iklim adalah : Jambu biji, apakah buahnya banyak atau kurang, berulat atau tidak. Demikian pula dengan buah-buahan, apakah berulat atau tidak. Bila jambu biji dan buah-buahan lainnya berulat, maka petani harus menyediakan pestisida Bunga mangga, apakah banyak atau kurang. Bila bunga mangga banyak, dipercaya akan menghasilkan banyak padi. Daerah tepi pantai, air pasang tinggi mencerminkan curah hujan tinggi sehingga dipercaya bertanda hasil panen akan baik. 106
ISBN: 978-979-15616-4-8
Luas sawah di Kab. Wajo 86.107 Ha, diantaranya terdapat sawah beririgasi teknis seluas 12.077 Ha yaitu D.I. Bila seluas 6.747 Ha dan D.I. Awo seluas 5.250 Ha. Pengembangan irigasi sesuai UU No 7 tahun2004 tentang Sumber Daya Air adalah sistem irigasi yang dilakukan dengan partisipasi masyarakat (Pasal 41 Ayat 4). Irigasi partisipatif pada dasarnya merupakan upaya pengelolaan infrastruktur. Bentuk partisipatif petani/nelayan yaitu penyelenggaraan Tudang Sipulung pada waktu: Menetapkan pola dan jadwal tanam, pesta panen dan penangkapan ikan. Menetapkan prioritas rehabilitasi irigasi Menerapkan teknologi bercocok tanam yang baru seperti sistem hemat air (System of Rice Intensification atau SRI) Berikut ini tabel nama kelompok musyawarah tani Sulawesi Selatan. V. Kesimpulan 1. Tudang Sipulung diterapkan di Kabupaten Wajo sejak abad ke XV. Ini memberikan indikasi bahwa pada saat itu sudah dilakukan sistem pemerintahan yang demokrasi.
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Sessu Sennang
2. Budaya tanam padi di sawah dan menangkap ikan di danau tidak terlepas dari peranan pemerintah. 3. Budaya tanam padi dengan sistem tradisional dan Tudang Sipulung dilaksanakan pada mulanya di sawah-sawah tidak beririgasi. Tudang Sipulung telah membudaya terutama dalam masyarakat tani, sehingga sampai sekarang masih dilakukan oleh pemda dan petani di sawah tadah hujan dan sawah beririgasi. VI. Daftar Pustaka 1. Abidin, Andi Zainal Prof., Dr. - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Januari 1983. Wajo Abad XV – XVI Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara. 2. Lauppe, Andi – Tokoh Masyarakat Tani dan Nelayan Kecamatan Sabbangparu Kab. Wajo. Juni 2006. Hasil wawancara.. 3. Ridwan, Andi Tantu – Tokoh Masyarakat (Pelontara) Kab. Wajo. Oktober 1993. PokokPokok Pelaksanaaan Pallaoruma secara Tradisional di Kab. Wajo.. 4. Sennang, Sessu, Dipl. HE.,Ir – Kepala Dinas Pengairan Kab. Wajo. Oktober 2003. Pengembangan Danau Tempe dan Pengelolaan Kawasannya dalam rangka mendukung Ketahanan Pangan Nasional.
107
978-979-15616-4-8
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Halaman Kosong
108
ISBN: 978-979-15616-4-8
Soeprapto Budisantoso
Mandor Way sebagai Ujung Tombak Konservasi dan Pendayagunaan Air Irigasi di Sulawesi Selatan Soeprapto Budisantoso
Kepala Sub Dinas Sungai Danau dan Waduk, Dinas PSDA Propinsi Sulawesi Selatan
Abstrak Mandor Way adalah salah satu kearifan lokal pengelolaan sumber daya air di Sulawesi Selatan, yang secara tradisional bertugas mengatur pemberian air di tingkat usaha tani sekaligus menyelenggarakan pemeliharaan saluran untuk keperluan pemberian air irigasi tersebut. Berdasar kepercayaan yang diberikan oleh para tuan tanah/petani, maka mandor way memegang kuasa tunggal untuk menyelenggarakan pengaturan air irigasi, tanpa campur tangan petani lainnya yang tinggal menerima air saja dari orang kepercayaannya itu. Dengan diberlakukannya ketentuan perundang-undangan mengenai Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang mempunyai peran dalam pembangunan, operasi dan pemeliharaan prasarana irigasi ditingkat usaha tani, maka P3A berfungsi sama dengan mandor way, dan peran mandor way demi undang-undang harus digantikan oleh P3A. Dengan didirikannya P3A yang mempunyai fungsi sama dengan mandor way, maka peran mandor way diambil alih oleh P3A dan peran mandor way terbatas pada fungsi tenaga teknis P3A. Selanjutnya, fungsi pembangunan, operasi, dan pemeliharaan saluran beralih ke tanggung jawab P3A. Sebagai tenaga teknis, peran mandor way tidak lagi independen tetapi diatur oleh AD/ART organisasi, sehingga tidak lagi mempunyai kewenangan penuh dalam pembangunan maupun operasi dan pemeliharaan saluran di tingkat usaha tani. Akan tetapi, peran jasa pembangunan, operasi, dan pemeliharaan jaringan irigasi tingkat usaha tani (tersier dan kuarter) dari mandor way yang memperoleh mandat secara tradisional ke P3A yang didukung oleh ketentuan perundang-undangan pengelolaan irigasi, mempunyai dampak menurunnya kinerja pembangunan, operasi, dan pemeliharaan. Akibatnya penurunan kinerja tersebut, terjadi pemborosan penggunaan air irigasi karena terjadinya pencurian-pencurian air dan perebutan-perebutan air yang sekaligus juga berakibat pada berkurangnya pendayagunaan air irigasi, juga kondisi saluran yang kurang terpelihara sehingga banyak lahan yang tidak bisa dilayani air sehingga mengurangi luas panen dibandingkan kondisi sebelumnya. Dalam rangka konservasi dan pendayagunaan air irigasi melalui kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang efisien dan effektif, maka disarankan agar fungsi pelaksanaan pembangunan, operasi (termasuk upaya pencegahan pencurian air), dan pemeliharaan (termasuk pengamanan terhadap perusakan) prasarana irigasi di tingkat usaha tani yang menjadi tanggung jawab P3A, dapat diserahkan sepenuhnya kepada mandor way selaku tenaga teknis pengatur air P3A dengan didasarkan prinsip pelayanan jasa. Kata Kunci
: Mandor way, P3A, Irigasi
Pendahuluan Salah satu kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya air di Sulawesi Selatan adalah adanya lembaga mandor way yang secara tradisional mempunyai tugas mengatur pemberian air irigasi bagi para petani pemakai air di tingkat usaha tani sekaligus menyelenggarakan pemeliharaan saluran untuk keperluan pemberian air irigasi tersebut. Dengan istilah yang modern, maka mandor way adalah lembaga yang menyelenggarakan operasi dan pemeliharaan saluran irigasi di tingkat usaha tani. Makalah ini memperkenalkan pemilihan, tanggung jawab, dan cara kerja mandor way itu, serta membandingkannya dengan organisasi petani pemakai air yang disyaratkan oleh undang-undang untuk melaksanakan operasi dan pemeliharaan prasarana irigasi (P3A). Maksud dari makalah ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh efektifitas kinerja mandor way itu dibandingkan dengan kinerja P3A dalam operasi dan pemeliharaan prasarana irigasi, dengan tinjauan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
konservasi dan pendayagunaan air irigasi. Tujuannya adalah agar dapat disusun suatu rekomendasi pemanfaatan kearifan lokal dalam menunjang pengelolaan sumber daya air, khususnya air irigasi. Hal ini menjadi perahatian penulis mengingat keberadaan organisasi P3A seperti yang dimaksudkan oleh ketentuan perundang-undangan yang ada, dalam rangka operasi dan pemeliharaan prasarana irigasi yang berkelanjutan secara umum belum memberikan hasil seperti yang diharapkan.. Metodologi Makalah ini disusun berdasarkan pengamatan terhadap berbagai kinerja mandor way dari berbagai laporan pemberdayaan P3A di Propinsi Sulawesi Selatan, dan wawancara dengan berbagai nara sumber termasuk beberapa mandor way, pengurus P3A, dan beberapa petani pemakai air, terutama di Daerah Irigasi Kampili, kawasan Tanabangka, Kabupaten Gowa, yang meliputi 5 P3A, di 4 Petak Tersier (Gambar 1 ). Pengamatan dan 109
ISBN: 978-979-15616-4-8
Soeprapto Budisantoso
Sumber Daya Air, yang didukung oleh Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten Gowa, yang berlangsung sejak tahun 2004. Informasi yang dikumpulkan menyangkut bagaimana mandor way dipilih, siapa yang memilih, apa tugasnya, dan berapa upahnya. Profil P3A didaerah model disajikan dalam Tabel 1.
wawancara dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai keberadaan, fungsi, dan peran mandor way secara tradisional, selanjutnya dibandingkan dengan fungsi dan peran organisasi P3A yang didukung oleh UU7/2004 tentang Sumber Daya Air dan ketentuan ikutan lainnya seperti PP20/2006 tentang Irigasi, dan Kepmendagri 50/2001. Pengamatan dan wawancara tersebut dikaitkan dengan kegiatan pemberdayaan P3A yang merupakan kerjasama Teknis antara JICA dan Direktorat Jenderal Tabel 1. Profil P3A di Daerah Model Nama Petak Tersier
Nama P3A
Luas Areal (Ha)
Jumlah Anggota (kk)
Pm4Ki
Tunnirannuang
49
226
Pm6Ka
Renggang
88
356
Pm6Ki
Binabassa
84
241
Kolasa
20
85
Tangkeballa
36
167
Mg4Ki
Nama Mandor Way
Nama Desa Tanke Bajeng Tanabangka Gentungan
Ahmad dg Mille Suma Betta Lahasang Tutu Baso Talli Hafid Nuntung Amir Dg Sarring Juma Dg Talli Pabolurang Syamsuddin Rowa
Gentungan, Tanabangka Gentungan, Tanabangka Tubajeng Tanabangka
Kota Makassar
Pulau Sulawesi
Daerah Irigasi Kampili
Sungai Jeneberang
P
M Daerah Model M: Majannang P: Pammase
P
P
Gambar 1. Skema Daerah Model Mandor Way Mandor Way, atau ada juga yang menyebutnya Mandor Jene menurut sejarahnya adalah orang yang diupah oleh atau mendapat legitimasi dari tuan-tuan tanah/petani, untuk melayani kebutuhan air irigasi bagi mereka. Untuk keperluan pelayanan tersebut Mandor way perlu melakukan pembuatan dan pemeliharaan saluran pada tingkat usaha tani, sekaligus Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
melakukan pembagian air keseluruh petak yang menjadi tanggung jawabnya. Atas kinerja membangun, memelihara, dan mengatur air ditingkat usaha tani itu, mandor way memperoleh upah sesuai dengan hasil panen petani/tuan tanah yang dilayaninya. Mandor way pada umumnya dipilih oleh para tuan tanah didasarkan atas pengaruh dan keberanian yang dimiliki oleh para mandor way itu itu mengatasi sengketa perebutan dan 110
ISBN: 978-979-15616-4-8
pencurian air yang diklaim menjadi hak tuan tanah dan petani-petani yang mengangkatnya. Berdasar kepercayaan yang diberikan oleh para tuan tanah/petani itu, maka mandor way memegang kuasa tunggal untuk menyelenggarakan pengaturan air irigasi, tanpa campur tangan petani lainnya yang tainggal menerima air saja dari orang kepercayaannya itu. Wilayah kerja mandor way biasanya tidak sejalan dengan rancangan petak tersier, melainkan ditetapkan secara tradisional menurut kelompok penerima air tertentu (lompo), dan berinduk kepada Desa. Pada suatu petak tersier, dimungkinkan terdapat lebih dari satu mandor way, sebaliknya satu mandor way mungkin mempunyai wilayah di beberapa petak tersier, dengan pembagian tugas menurut luasan wilayah tertentu. Petani pemakai air hanya berurusan dengan satu mandor way. Untuk pelaksanaan mandat dari masyarakat tani itu, mandor way berurusan dengan petugas pengairan pemerintah (juru) untuk mengatur pasokan air ke wilayahnya. Dalam banyak kesempatan mandor way ini memegang kunci pintu bangunan pengambilan, meskipun yang bersangkutan bukan Penjaga Pintu Air (PPA) yang mendapat honor/gaji dari Pemerintah. Mandor way diangkat atas rujukan tokoh-tokoh masyarakat, dan diterima secara luas oleh pengguna air irigasi di wilayah kerjanya. Petani pengguna air irigasi dengan sukarela membayar jasa pelayanan air irigasi yang besarnya juga ditetapkan berdasarkan kesepakatan para tokoh, berkisar 5 kg perpetak, atau persentase hasil panen, asalkan air irigasi tersebut benar dapat diperoleh para petani pada waktunya. Keterlambatan pemberian air, atau kekurangan jumlah pemberian air, bisa berakibat petani enggan membayar jasa layanan air irigasi tersebut. Tujuh puluh persen dari total pengumpulan dimanfaatkan secara pribadi oleh mandor way, 30 % sisanya dibagi ke aparat Desa, juru, dan PPA, atau lainnya sesuai dengan kebijakannya sendiri. Upah per petak atau dari persentase hasil panen tersebut berdasarkan pertimbangan jika kerja mandor way dalam membagi air dan memelihara saluran bagus, maka lahan petak panen bertambah luas, hasil panen bertambah banyak, dan upah yang diterima akan semakin besar. Hal ini merupakan pelaksanaan standar upah berbasis kinerja secara tradisional. Untuk keperluan pembagian air yang memadai itu, sudah barang tentu mandor way perlu menjaga agar saluran-saluran air yang ada perlu terawat dengan baik, dan untuk keperluan itu, mandor way selalu melakukan pemeliharaan terhadap saluran-saluran tersebut. Dengan demikian atas upah yang diterimanya itu, mandor way bertanggung jawab untuk melakukan operasi (pembagian
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Soeprapto Budisantoso
air) dan pemeliharaan prasarana irigasi yang menjadi tanggung jawabnya. Selanjutnya, mandor way akan berusaha mengatur air sehemat-hematnya, dan memelihara saluran sebaik-baiknya, bahkan membangun saluran-saluran baru agar bisa mengairi lahan yang seluas-luasnya, karena semakin luas lahan yang dilayani mandor way, semakin besar upah yang akan diperolehnya. Dalam konteks inilah maka peran mandor way dalam konservasi dan pendayagunaan air irigasi menjadi menonjol. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Dengan diberlakukannya ketentuan perundangundangan mengenai Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang mempunyai peran dalam pembangunan, operasi dan pemeliharaan prasarana irigasi ditingkat usaha tani, maka P3A berfungsi sama dengan mandor way, dan peran mandor way demi undang-undang harus digantikan oleh P3A. Disamping tanggung jawab pada jaringan tersier dan tingkat usaha tani, P3A demi undangundang juga dapat berpartisipasi dalam operasi dan pemeliharaan (OP) di tingkat jaringan sekunder dan primer yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Untuk keperluan partisipasi di tingkat jaringan sekunder dan primer ini, P3A dapat membentuk Gabungan P3A (GP3A) yang mewakili petani pemakai air di petak sekunder, dan Induk P3A (IP3A) yang mewakili petani pemakai air di suatu Daerah Irigasi. Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pembentukan lembaga-lembaga tersebut diatur dalam Kepmendagri 50/2001. Pengurus P3A (Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara) dipilih secara demokratis, dan bekerja menurut suatu anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) yang disusun dan ditetapkan secara demokratis pula. Akhirnya susunan pengurus dan AD/ART disyahkan oleh pemerintah daerah, dan dimintakan status badan hukum dari Pengadilan Negeri. Setelah mendapatkan status badan hukum tersebut, P3A dianggap syah pendiriannya dan dapat berpartisipasi dalam atau mendapat pembinaan dari kegiatan Pemerintah. Lembaga tradisional seperti mandor way secara praktis langsung dimasukkan kedalam P3A, dengan maksud untuk tidak terjadi konflik antar dua lembaga OP irigasi ditingkat usaha tani tersebut, sebagai tenaga teknis pengaturan air (Gambar 2). Anggota P3A mempunyai kewajiban membayar jasa pelayanan air irigasi, iuran P3A, gotong royong/kerja bakti pemeliharaan saluran. Jasa pelayanan air irigasi dibayarkan ke mandor jene, iuran P3A dibayarkan ke kas P3A, dan gotong royong/kerja bakti dilakukan sesuai dengan program kerja P3A yang bersangkutan.
111
ISBN: 978-979-15616-4-8
Soeprapto Budisantoso
Majelis Petani/Rapat Anggota
Ketua Wakil Ketua Sekretaris
Bendahara Mandor/Penga tur Air Ketua Blok Kuarter Petani Pemakai Air
Gambar 2. Standar Struktur Organisasi P3A Pengaruh Pendirian P3A terhadap Peran Mandor Way Dengan didirikannya P3A yang mempunyai fungsi sama dengan mandor way, maka peran mandor way diambil alih oleh P3A dan peran mandor way terbatas pada fungsi tenaga teknis P3A. Selanjutnya, fungsi pembangunan, operasi, dan pemeliharaan saluran beralih ke tanggung jawab P3A. Sebagai tenaga teknis, peran mandor way tidak lagi independen tetapi diatur oleh AD/ART organisasi, sehingga tidak lagi mempunyai kewenangan penuh dalam pembangunan maupun operasi dan pemeliharaan saluran di tingkat usaha tani. Meskipun demikian, pembayaran jasa pelayanan kepada mandor way sebagai persentase hasil panen tidak berkurang, karena baik mandor way maupun petanipetani tidak bersedia menyimpang dari konsensus tradisional yang telah mengikat mereka selama bertahuntahun. Selanjutnya, dengan berkurangnya kewenangan mandor way, maka para mandor way pun mengurangi upaya-upaya tradisional yang melekat pada fungsinya, diantaranya peran mengamankan jaringan irigasi terhadap kerusakan dan pencurian air oleh petani-petani yang memerlukan air, yang pada tatanan P3A menjadi tanggung jawab pengurus. Akibatnya, imbalan jasa yang dibayarkan petani kepada mandor way tidak berkurang, tetapi pelayanan jasa irigasi dari mandor way berkurang diluar kemauannya sendiri. Pengaruh Pendirian P3A terhadap Pembangunan, Operasi dan Pemeliharaan Prasarana Irigasi Pengambil alihan peran pembangunan, operasi dan pemeliharaan pada tingkat usaha tani dari mandor way kepada P3A ternyata menimbulkan kemunduran fungsi pelayanan jasa pembangunan, pengaturan air, dan pemeliharaan saluran kepada petani. Keadaan tersebut Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
pada akhirnya mendorong terjadinya pemborosan air irigasi, dan pendayagunaan air irigasi yang tidak effektip. Pemilihan ketua dan pengurus inti P3A lainnya secara demokratis, ternyata tidak menghasilkan pengurus-pengurus P3A yang berorientasi kerja, melainkan pengurus-pengurus yang berorientasi kekuasaan, dimana kedudukan pengurus merupakan prestise untuk menguasai petani bukan untuk mengurus petani. Ketua dan pengurus P3A umumnya adalah tokoh petani yang biasa dilayani kebutuhan airnya, bukan melayani. Akibatnya P3A tidak didasarkan pada fungsi pelayanan sebagaimana seharusnya, melainkan fungsi kekuasaan dan pemerintahan. Disamping itu banyak pula P3A yang dibentuk secara instant, dimana para pengurusnya hanya didasarkan penunjukkan kelompok tertentu, sehingga pengurus ini tidak betul-betul dikenal oleh petaninya, dan sebaliknya pengurus juga tidak betul-betul mengetahui siapa-siapa saja petani yang menjadi anggotanya. Bahkan sering terjadi ada dualisme P3A, dimana P3A bentukan baru tidak menyadari adanya P3A lama yang tidak aktif, atau P3A yang dibentuk oleh kelompok lain pada wilayah petak tersier yang sama. Dengan pendekatan kekuasaan dan pemerintahan, kewajiban pembangunan dan pemeliharaan saluran dilakukan dengan pengerahan petani anggotanya (kerja bakti) yang biasa dipermaklumkan sebagai gotong royong. Sebelum ada P3A, pekerjaan itu dilaksanakan oleh mandor way, petani tinggal menerima air dan membayar kewajibannya saja. Petani yang juga akan dikenakan kewajiban membayar jasa pelayanan air irigasi sebagaimana biasanya dibayarkan ke mandor way ditambah kewajiban baru iuran P3A, merasa enggan melakukan kerja bakti, akibatnya kinerja pembangunan dan pemeliharaan saluran menjadi rendah. 112
ISBN: 978-979-15616-4-8
Meskipun upah pelayanan air yang diterima tidak dikurangi, mandor way sebagai tenaga teknis pengaturan air tidak lagi independent melainkan diatur oleh Ketua P3A berdasarkan AD/ART. Akibatnya distribusi pembagian air tidak merata, tidak memuaskan anggota, dan P3A kehilangan kepercayaan dari anggotanya. Pemeliharaan saluran yang dilakukan dengan partisipasi petani anggota P3A dalam bentuk pengerahan tenaga/kerja bakti, padahal petani sudah berpartisipasi dengan membayar biaya pelayanan air kepada mandor way, sering tidak terlaksana dengan hasil baik. Akibatnya saluran tidak terpelihara, air tidak sampai ke petak sawah, menimbulkan kemarahan petani. Akibat selanjutnya mulai terjadi pencurian air dari saluran tersier, pembobolan saluran sekunder, atau pembelokan air oleh petani, dan keengganan membayar biaya layanan air irigasi dan iuran P3A yang menyebabkan kas bendaharawan P3A kosong. Dengan adanya pencurian air irigasi, pembobolan saluran sekunder, dan pembelokan air oleh petani, maka telah terjadi pemborosan pengunaan air irigasi dibandingkan dengan pengelolaan oleh mandor way. Demikian juga dari segi pendayagunaan mengalami kemunduran mengingat lahan yang mendapat air irigasi menjadi berkurang dibandingkan pengelolaan oleh mandor way sebelum dibentuknya organisasi P3A. Hal ini adalah sebagai akibat dari berkurangnya kinerja pembangunan saluran, saluran kuarter terutama, serta menurunnya fungsi layanan irigasi akibat saluran yang kurang terpelihara. Kesimpulan Berdasarkan hasil-hasil pada bab terdahulu disimpulkan bahwa transformasi peran jasa pembangunan, operasi, dan pemeliharaan jaringan irigasi tingkat usaha tani (tersier dan kuarter) dari mandor way yang memperoleh mandat secara tradisional ke P3A yang didukung oleh ketentuan perundang-undangan pengelolaan irigasi, mempunyai dampak menurunnya kinerja pembangunan, operasi, dan pemeliharaan. Akibatnya penurunan kinerja tersebut, terjadi pemborosan penggunaan air irigasi karena terjadinya pencurian-pencurian air dan perebutan-perebutan air yang sekaligus juga berakibat pada berkurangnya pendayagunaan air irigasi. Akibat lainnya adalah kondisi saluran yang kurang terpelihara sehingga banyak lahan yang tidak bisa dilayani air sehingga mengurangi luas panen dibandingkan kondisi sebelumnya. Penurunan kinerja yang banyak menimbulkan kerugian ditinjau dari segi konservasi dan pendayaangunaan sumber air tersebut disebabkan oleh bergesernya prinsip pengelolaan dari prinsip pelayanan jasa ketika kegiatan pembangunan, operasi, dan pemeliharaan tersebut masih dikelola oleh mandor way, ke prinsip pemerintahan dan kekuasaan pada saat kegiatan tersebut dikelola oleh P3A. P3A justru menjadi beban baru bagi petani, karena petani disamping membayar jasa pengelolaan ke Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Soeprapto Budisantoso
mandor way atas hasil panennya, masih harus membayar iuran P3A, dan diminta kerja bakti membersihkan saluran, sementara itu kinerja pelayanan air irigasi menjadi turun dibanding sebelumnya. Akibatnya petani enggan membayar dan enggan bekerja bakti, yang pada akhirnya semakin menurunkan kinerja pendayagunaan air irigasi. Saran
Dalam rangka konservasi dan pendayagunaan air irigasi melalui kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang efisien dan effektif, maka disarankan agar fungsi pelaksanaan pembangunan, operasi (termasuk upaya pencegahan pencurian air), dan pemeliharaan (termasuk pengamanan terhadap perusakan) prasarana irigasi di tingkat usaha tani yang menjadi tanggung jawab P3A, dapat diserahkan sepenuhnya kepada mandor way selaku tenaga teknis pengatur air P3A dengan didasarkan prinsip pelayanan jasa. Untuk layanan jasa tersebut mandor way mendapat upah/jasa sebagaimana biasanya. Tugas pengurus P3A adalah mewakili para tuan-tuan tanah/petani untuk menetapkan kebijakan umum pembagaian air, memantau tugas, dan membayar jasa mandor way sesuai dengan proporsi hasil panen dari jumlah petani yang bertani di daerah layanannya, menurut ketentuan yang disepakati bersama mandor way yang bersangkutan. Ketentuan mengenai tugas Pengurus P3A dan mandor way/tenaga teknis seperti yang dimaksudkan tersebut, berikut kesepakatan mengenai besarnya jasa layanan air irigasi, iuran P3A, dan hal-hal khusus yang perlu diselesaikan dengan gotong-royong/kerja bakti, dituangkan dalam AD/ART P3A. Dalam hal pembentukan P3A pada daerah irigasi baru yang belum pernah ada mandor way nya, maka pemilihan mandor way oleh Pengurus P3A hendaknya didasarkan pada kaidah-kaidah tradisional dimana mandor way dipilih orang yang mampu menyelenggarakan pelayanan air secara merata, pemeliharaan saluran, pembuatan saluran distribusi, dan pengamanan terhadap perusakan prasarana maupun pencurian air irigasi. Peran perangkat pemerintahan desa dan kecamatan dalam memberi masukan mengenai figur mandor way perlu mendapat perhatian, mengingat adanya aspek pengamanan yang perlu mendapat dukungan dari pemerintah desa dan kecamatan setempat. P3A dari suatu petak sekunder dapat bergabung dalam satu Gabungan P3A (GP3A) dalam rangka kerja sama partisipasi dalam pengelolaan jaringan Sekunder yang dikelola pemerintah. Pada GP3A tersebut perlu didorong kerjasama para mandor way dalam operasi dan pemeliharaan saluran sekunder, terutama dalam aspek pengamanan terhadap pencurian air maupun perusakan saluran irigasi.
113
ISBN: 978-979-15616-4-8
Daftar Pustaka 1. Pemerintah Republik Indonesia, 2004, Undang Undang Negara Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, 2. Pemerintah Republik Indonesia, 2006, Peraturan Pemerintah No. 20, tentang Irigasi. 3. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002,
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Soeprapto Budisantoso
4.
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Yang Berhubungan Dengan Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI). Laporan Kemajuan Kegiatan Pemberdayaan P3A berbagai Proyek, Wawancara berbagai Nara Sumber, Pengamatan dan Observasi Lapangan.
114
Supriya Triwiyana, Hermawan Isran, dan H.M .Nasyit Umar
ISBN: 978-979-15616-4-8
Pengelolaan Waduk Alamiah Di Yahukimo, Papua Supriya Triwiyana, Hermawan Isran, dan H.M .Nasyit Umar
Abstrak Waduk di Yahukimo adalah waduk alamiah yang memiliki potensi air yang melimpah dan kualitasnya yang memadai. Selain itu waduk berfungsi juga sebagai pengendali banjir. Potensi ini harus dikembangkan dan dikelola dengan mempergunakan teknologi yang tepat dan handal. Tulisan ini diadakan untuk mengemukakan fenomena alam system sumber daya air di Kabupaten Yahukimo saat ini, yang bertujuan untuk memberikan informasi tentang kondisi Sumber Daya Air yang Unik di kawasan Yahukimo, Papua untuk kemudian dicoba untuk diberikan solusi penanganan pembangunan selanjutnya. Penerapan Teknologi Handal Pengelolaan Sumber Daya Air ke depan adalah yang mampu memberikan hasil yang efektif dan pelaksanaan yang efisien dan obyektif terhadap ekosistem yang ada dan harus sinerji dengan scenario alam. Awal dari ini seyogyanya dimulai dengan Master Plan Pengelolaan Sumber Daya Kabupaten Yahukimo yang dibarengi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang antara lain juga mempertimbangkan kearifan lokal yang ada. Dengan kondisi lingkungan yang rentan terhadap perubahan maka dalam setiap pembangunan apapun di wilayah tersebut harus segera dibarengi pula dengan Kelola dan Pemantauan Lingkungan yang memadai. Kata Kunci
: Waduk, Yahukimo, SDA,
PENDAHULUAN. Nama Yahukimo muncul di permukaan, dan popular karena bencana kelaparan. Bencana itu terjadi disebabkan kesalahan dalam pola tanam ubi. Namun beberapa saat yang lalu wilayah itu telah mengalami panen raya ubi. Di balik itu semuanya, sebenarnya wilayah tersebut sangat kaya akan sumber daya alam baik pertambangan, kehutanan termasuk sumber daya air. Penulis melihat suatu fenomena yang unik di wilayah tersebut, yakni alam ternyata telah menciptakan waduk air tanah alamiah” dan menyediakan sumber daya air, yang dapat dimanfaatkan. Pembentukan kipas alluviual di jaman kuno mungkin ratusan, ribuan atau jutaan tahun yang lalu memberikan “outcome” berupa sistem waduk penampungan air tanah dalam kaitannya sebagai penyedia sumber daya air. Di lain pihak system tersebut juga merupakan system yang handal sebagai pengendali banjir. Kearifan lokal selama bertahun-tahun telah exist pula sebagai wujud nyata dari manusia lokal yang mampu merespon kondisi alam yang demikian. Kearifan lokal itu berupa aturan tak tertulis yakni ” Barang siapa yang buang air di sungai berekonsekwensi terhadap hukuman untuk menggantinya dengan beberapa ekor babi kepada adat”. Kita tidak tahu kapan aturan ini diterapkan, namun nyatanya kondisi alamiah yang ideal ini berlangsung sampai saat ini. Dengan kondisi air secara kuantitatif melimpah ruah dan secara kualitatif sangat memadai, namun dengan kondisi yang rentan terhadap perubahan untuk pengelolaannya jelas butuh teknologi handal. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
I.1 Latar Belakang Berbagai bencana telah menerpa negeri ini, yang dampaknya mempertontonkan dan menyisakan sejuta kepiluan dan isak tangis, antara lain bencana tsunami di Aceh, gempa buni di Nabire, gempa bumi di Yogya, semburan lumpur panas di Sidoarjo, di Pangandaran dan lain sebagainya. Siapa yang salah ? Pertanyaan sederhana ini mudah diucapkan tetapi amat sulit dijawab. Maka alangkah arif jika itu kita anggap salah bersama, yang tidak mampu dan mau membaca skenario alam semesta, karena bencana akan selalu hadir akibat proses alamiah terbentuknya bumi ini yang merupakan kelanjutan dari fenomena alam menurut teori kabut Emanuel Kant, serta di lain pihak juga sebagai dampak akibat kesalahan manusia Sebuah contoh scenario alam yang menghasilkan keseimbangan alam yang masih baik dan masih tersisa di ranah “The last forest ecological Frontier” daratan Papua, tepatnya di kawasan populer Yahukimo, secara evolusi telah mampu membangun waduk air tanah alamiah yang besar yang mempunyai volume tampungan jauh lebih besar dari tampungan waduk Bili-Bili ( Sulawesi-Selatan), yang salah satu sungainya (S. Bonto) mempunyai aliran dasar kira-kira 4 m3/det dengan air yang sangat jernih. Meskipun juga bagaimana kedahsyatan awal proses itu terjadi masih dinampakkan oleh Kali Seng ( S. Baliem, S. Vriendschaap) dan sungai Brazza dengan alirannya yang keruh meski pada musim kemarau, serta suatu bagian sungai Vriendschaap terdapat bagian dengan aliran sungai ”braided” selebar 115
ISBN: 978-979-15616-4-8
sekitar 5 km. Kondisi ini mengisyaratkan bagaimana besarnya daya rusak air sungai-sungai tersebut. Pembangunan ekonomi tanpa dibarengi dengan kelola lingkungan secepatnya pada kondisi alam yang sedemikian rentan, dapat saja secara relatif mempercepat timbulnya pengulangan proses geologi yang cukup dahsyat ratusan atau ribuan tahun yang lalu yang secara pelan terevolusi dalam rangka mencapai ke keseimbangan barunya lagi, dengan kurun waktu mencapai ratusan atau mungkin ribuan tahun lagi. Dengan Contoh yang ada tersebut timbul pertanyaan kemudian adalah, mengapa kita tidak memilih penanganan yang mengadopsi kecenderungan fenomena alam seperti ini ?, Selama ini kita lebih banyak berangkat dengan bekal logika-logika ilmiah yang bersifat akademis kemudian dilakukan aplikasi di alam. Jika aplikasi tersebut sinerji dengan scenario alam, tentu tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak fakta menunjukkan bahwa aplikasi tidak sinerji dengan scenario alam. tersebut I.2. Ruang Lingkup Ruang lingkup penulisan ini adalah menyajikan kajian yang mayoritas kualitatif tentang kondisi sumber daya air di kabupaten Yahukimo. I.3 Maksud Dan Tujuan Maksud tulisan ini ialah mencoba untuk mengemukakan fenomena alam system sumber daya air di Kabupaten Yahukimo saat ini. Tujuannya adalah untuk memberikan informasi tentang kondisi Sumber Daya Air yang Unik di kawasan Yahukimo, Papua untuk kemudian dicoba untuk diberikan solusi penanganan pembangunan selanjutnya. METODOLOGI 2.1 Metodologi Yang Digunakan Metodologi yang digunakan dalam analisis ini ialah metodologi yang berdasar pada pendekatan konseptual. Tidak banyak analisis kuantitatif yang dilakukan sebab ketersediaan data yang masih minim di daerah tersebut, selain itu juga Perencanaan yang telah dilakukan dalam rangka membangun PSDA masih dalam tahap Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Yahukimo, maupun Rencana Tata Ruang Kota Dekai sebagai ibu kota kabupaten tersebut. Ketersediaan air untuk Bangunan Air idealnya diperhitungkan dari aliran air yang sudah ada (base flow) ditambah dengan curah hujan yang jatuh di catchment area yang kemudian diolah untuk menghitung debit andalan alur (Bangunan Air). Pada investigasi sederhana yang dilakukan di sungai Bonto mendapatkan hasil perhitungan debit sungai sesaat sebesar 4 m3/det meski hal ini dilakukan pada musim kemarau Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Supriya Triwiyana, Hermawan Isran, dan H.M .Nasyit Umar
Kebutuhan Air dan sedimen A. Kebutuhan Air Minum Penduduk Untuk wilayah DPS, kebutuhan air minum penduduk (domestik dan non domestik) dihitung dengan rumus berikut : QDM = 365 hari x [{q(u) / 1000 x P(u)} + {q(r) / 1000 x P(r)}] QDM = kebutuhan air domestik dan non domestik (m3/th) q(u) = kebutuhan air domestik dan non domestik daerah perkotaan (lt/kapita/hari) q(r) = kebutuhan air domestik dan non domestik daerah perdesaan (lt/kapita/hari) P(u) = jumlah penduduk perkotaan (jiwa) P(r) = jumlah penduduk perdesaan (jiwa) Kebutuhan air minum penduduk untuk lokasi Bangunan Air dihitung dengan persamaan : Amt = KAM . Jpt Dengan : KAM = kebutuhan air penduduk menurut standar kebutuhan air penduduk rata-rata (lt/kapita/hari) Jpt = jumlah penduduk pada tahun proyeksi )jiwa) Volume tampungan air minum (Vul) : V(ul) = Jh x Amt Dimana : V(ul) = Volume tampungan air minum (m3) Jh = jumlah hari selama musim kemarau (hari) Amt = kebutuhan air minum penduduk (lt/hari) B. Kebutuhan Volume Sedimen (Vs) untuk tambang galian gol c di sungai Kebutuhan volume sedimen yang ditampung di S. Brazza guna keperluan tambang galian golongan C di sungai yang ada selama pembukaan kota sampai saat ini diperkirakan telah mencapai sekitar 1000,000 m3. Analisis Banjir Rencana A. Curah Hujan Harian Maksimum Tahunan Curah hujan harian maksimum tahunan dihitung dengan mengambil nilai rata-rata curah hujan harian maksimum pada tahun yang sama dari masing-masing stasiun yang ada. B. Curah Hujan Rencana Dari hasil curah hujan harian maksimum tahunan dapat dihitung curah hujan rencana dengan metode Gumbell dan Log Pearson Type III dengan periode ulang tertentu. Resume Perhitungan Curah Huan Rencana Metode Log Pearson Tipe III dan Gumbel
116
Supriya Triwiyana, Hermawan Isran, dan H.M .Nasyit Umar
ISBN: 978-979-15616-4-8
Kala Ulang 2 5 10 20 25 50 100 200
Rata-Rata Suhu Udara Di Kota Wamena 2004
Log Pearson Gumbel 84.29 131.56 176.68 255.03 332.57 430.58 554.85 988.68
92.19 192.94 259.59 323.56 343.83 406.36 468.44 530.25
Hidrograf Banjir Hidrograf Banjir akan digunakan untuk menentukan volume regulation Pond Metode Grafis Hidrograf Hauff Vicari cukup baik untuk menentukan mekanisme dan volume banjir genangan pada areal perkotaan Dekai Dengan hasil seperti Gambar berikut :
Bulan / Month 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
(1) Januari Pebr uari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah /Total Rata-rata / Avarage
Dalam derajat Celcius (º C) Tahun 2004 / Year 2004 (2) 19,7 19,5 19,6 19,6 19,7 19,0 18,3 18,8 18,9 19,6 19,9 19,6 232,2 19,35
sumber : Kantor Station Materologi Wamena source : Meteorologycal Station Office Wamena
Rata-Rata Kelembaban Udara dan Penyinaran Matahari Di Kota Wamena 2004 Bulan / Month (1) 1 Januari 2 Pebr uari 3 Maret 4 April 5 Mei 6 Juni 7 Juli 8 Agustus 9 September 10 O k t o b e r 11 N o p e m b e r 12 D e s e m b e r Jumlah /Total Rata-rata / Avarage
2.2. Pelaksanaan Kegiatan Pelaksanaan kegiatan yang menunjang penulisan ini ialah : 1. Pengumpulan data Gambaran tentang hidroklimatologi kota Dekai secara pasti tidak tersedia datanya. Untuk itu data berikut merupakan data dari stasiun Wamena yang merupakan stasiun terdekat yang cukup lengkap datanya meskipun secara geografis maupun iklimnya jelas sangat berbeda sebab Wamena merupakan daerah peggunungan dengan ketinggian sekitar + 5000 meter sedangkan Dekai merupakan daerah dataran rendah dengan elevasi berkisat antara + 30 m sampai dengan + 100 meter
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Kelembaban Udara % Relative Penyinaran Matahari % Duration Humidity % Of Sun Shine % (2) 86,0 86,0 87,0 86,0 84,0 87,0 84,0 90,0 85,0 86,0 84,0 79,0 1.024,0 85,33
(3) 56,0 59,0 57,0 53,0 57,0 48,0 66,0 69,0 63,0 61,0 56,0 61,0 706,0 58,83
Sumber : Kantor Station Materologi Wamena source : Meteorologycal Station Office Wamena
Kondisi Tata Air di wilayah Kabupasten Yahukimo Kondisi tata Air di wilayah kabupaten Yahukimo dicirikan oleh morfologi daerah yang pada bagian hiulu merupakan aliran air yang melewati lembah yang curam sedangkan pada bagian hilir melewati morfologi kipas alluvial. Terbentuknya kipas alluvial - Lembah Baliem tempat kota Wamena berada dahulunya merupakan bagian lautan. - Proses Pengangkatan akibat tumbukan lempeng mengakibatkan pengangkatan - Lembah Baliem merupakan Danau - Dinding danau runtuh mengakibatkan aliran mair membawa sediment dengan jumlah besar mengalir dari alur yang sempit masuk ke lautan dangkal maka terjadi: a. Kipas Alluvial yang berada di kabupaten Yahukimo b. Rawa primer yang terdapat di Kabupaten Asmat Kipas alluvial terbentuk dengan pola pengendapan bagian hulur merupakan batuan besar berangsurangsur ke hulu menmpunyai butiran yang semakin 117
ISBN: 978-979-15616-4-8
-
-
kecil. Aliran pada kipas alluvial tersebut merupakan aliran braided dengan banyak alur Pada permukaan kipas di bagian hilir tertutup Lumpur dan berangsur angsur tertutup vegetasi. Pada bawah permukaan kipas terbentuk waduk air tanah Dengan tertutupnya permukaan kipas oleh vegetasi hanya ada 2 sungai yang merupakan aliran dominant dengan kondisi air yang keruh meskipun pada musim kemarau Alur-alur lain mengalirkan rembesar air dari waduk air tanah Yahukimo. Tercatat sekitar 20 sungai kecil dengan air jernih yang mempunyai lebar 10 – 20 m di sekitar kota Dekai Foto dan Gambar terlampir akan menjelaskan kondisi tata air alamiah wilayah kabupaten Yahukimo
Supriya Triwiyana, Hermawan Isran, dan H.M .Nasyit Umar
Sumber Air Air merupakan sumber daya alam untuk memenuhi hajat hidup orang banyak dan memerlukan perlindungan dari segi environment atau dengan kata lain dampak yang terjadi akibat adanya suatu perubahan yang mendasar baik secara alamiah atau akibat perlakuan manusia dapat diantisipasi dengan pengelolaan dan pemantauan secara tepat dan teliti. Sumber Air untuk kota Dekai yang memadai baik ditinjau dari segi kuantitatif maupun kualitatif adalah sungai Bonto. Suatu kearifan lokal yang teridentifikasi dan telah berlangsung lama di daratan Kabupaten Yahukimo khususnya, Papua umumnya adalah bahwa terdapat aturan yang berlaku secara turun temurun berupa larangan keras untuk buang air di sungai. Hal ini adalah menjadi faktor positip bahwa air S. Bonto selama ini tidak terlalu dicemari oleh ulah manusia, meskipun demikian analisa laboratorium air S. Bonto diperlukan dengan alasan secara ilmiah mungkin terdapat kandungan kimia serta biologis yang mungkin tidak diingini sebagai air bersih. Kondisi Prasarana Penyediaan Air Bersih yang ada. Telah dibangun intake berupa bendung permanent tetapi tidak berfungsi.
Sebagian kecil Daerah Aliran Sungai termasuk dalam Satuan Wilayah sungai Mamberamo. Berbeda dengan kondisi sungai yang disebutkan sebelumnya maka sungai Mamberamo. adalah sungai yang bermeander. Meander yang terpotong kemudian menjadi danau dan disebut sebagai “oxbowlike lake” ( danau menyerupai punggung sapi). Danau ini merupakan waduk air permukaan alamiah. Disebutkan bahwa terdapat ribuan oxbowlike lake ini. Sungai Mamberamo
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Kondisi banjir dan prasarana pengendalian banjir & drainase yang ada Sesuai dengan informasi dari penduduk yang tinggal di kota Dekai maka sering terjadi banjir luapan dari S. Bonto maupun S. Brazza. Disamping itu juga adanya banjir genangan yang akan terjadi di kota itu sendiri yang membutuhkan system drainase.. Konstruksi yang dibangun untuk mencegah banjir luapan belum ada. Sedangkan untuk drainase kota sudah dibangun saluran galian tanah di kanan kiri jalan timbunan sirtu yang ada 2. Observasi Lapangan Observasi lapangan dilakukan gambaran tentang kondisi daerah
untuk
mengetahui
3. Studi yang ada Belum ada studi tentang sumber daya air secara detail 118
ISBN: 978-979-15616-4-8
4. Analisis tentang kondisi PSDA dengan pendekatan konseptual.yang menyangkut suply dan demand analysis. Kegiatan utama yang ada dalam memformulasikan Pengembangan Sumber Daya Air di Kota Dekai dalam rangka menunjang RUTRK, sesuai KAK adalah : a. Identifikasi dan Inventarisasi sumber daya air serta permasalahannya mengenai : banjir, erosi, sedimentasi, kekeringan, ketersediaan dan kebutuhan air proyeksi periode tertentu di wilayah studi, termasuk semua potensi Sumber Daya Air existing yang dapat dikembangkan sebagai sumber daya air untuk penyediaan air baku. b Penyusunan program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Pekerjaan Survey & Pengumpulan data - Pekerjaan Survei berupa Observasi daerah studi Kegiatan observasi daerah studi dilakukan untuk mengetahui jenis dan bentuk morfologi serta karakteristik sungai yang ada. Selain itu observasi ini juga untuk mengetahui batas-batas daerah aliran sungai, daerah manfaat dan penguasaan sungai serta melakukan inventarisasi potensi sumber daya air dan berbagai permasalahan mengenai banjir, erosi, sedimentasi dan kondisi tata guna lahan daerah studi. - Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan pada instansi instansi yang ada dan tekait Penyusunan Alternatif Pengembangan Sumber Daya Air Seluruh wilayah studi diidentifikasikan potensi dan permasalahann yang ada dalam kaitannya dengan Rencana Pengembangan Sumber Daya Air dan konservasinya. Sarana dan prasarana dasar sumber daya air yang ada maupun yang akan dibangun secara swadaya oleh masyarakat maupun pemerintah setempat diidentifikasi. Demikian pula usulan-usulan dan masukan dari masyarakat serta pemerintah setempat dalam rangka pengembangan sumber daya air diidentifikasi dan dilakukan survey serta dianalisis potensi dan permasalahannya. Hasil survey dan identifikasi serta data sarana dan prasarana dasar Pengembangan Sumber Daya Air yang ada disusun dalam bentuk usulan rencana pengembangan sumber daya air dan konservasinya, kemudian disusun urutan prioritasnya sesuai dengan kebutuhannya. Dalam penyusunan usulan rencana pengembangan SDA ini juga harus mempertimbangkan studi-studi terdahulu yang telah dilakukan pada daerah studi. HASIL KEGIATAN DAN BAHASAN Hasil Kegiatan : 1. Evaluasi terhadap system Sumber Daya Air yang dimiliki waduk alamiah di Kabupaten Yahukimko. Wilayah Kabupaten Yahukimo mempunyai Sumber Daya Air yang sangat memadai baik secara Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Supriya Triwiyana, Hermawan Isran, dan H.M .Nasyit Umar
kuantitatif maupun kualitatif namun sangat rentan dengan perubajhan 2. Penerapan Teknologi handal untuk pengelolaan waduk alamiah tersebut. Sesuai dengan penjelasan yang tertuang dalam laporan RUTRW Kabupaten Yahukimo, suatu Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Air berwawasan Lingkungan dimaksudkan untuk menyediakan materi, enersi, estetika, ruang maupun waktu (kesempatan) dari daya air untuk memenuhi hajat hidup manusia seiring dengan pelestariannya. Agar suatu Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Air optimum jelas aktifitas dalam rangka menyediakan Sumber Daya Air guna memenuhi hajat hidup, maupun untuk mengantisipasi daya rusaknya tersebut harus efektif, efisien dan obyektif pula. Efektif dalam artian bahwa kegiatan tersebut harus mencapai target yang diinginkan dengan hasil sesuai yang diharapkan, sehingga tidak ada satupun komponen kegiatan yang sia-sia, sehingga setiap komponen benar-benar memberi hasil yang optimum. Efisiensi maksimum kegiatan akan diperoleh jika tidak ada satupun kehilangan di dalam setiap komponen kegiatan baik kehilangan tenaga, waktu maupun biaya akibat miss manajemen. Sedangkan obyektifitas akan diperoleh jika selain pengembangan maupun pengelolaan diperuntukkan bagi suatu masyarakat tertentu, tetapi juga pengembangan dan pengelolaannya tersebut tidak memberikan dampak negatip signifikan terhadap lingkungan baik dampak Sosial Ekonomi dan Budaya, Fisikkimia maupun Biologi dalam sistem environmentnya. Pengembangan dan Pengelolaan tersebut akan menjadi lebih berdaya guna dan berhasil guna apabila selain secara ekonomi memberikan nilai tambah, tetapi juga jika secara ekologis hasilnya juga memberikan banyak dampak positip dan sedikit dampak negatip bagi lingkungannya. Kesimpulannya Pengembangan Sumber Daya Air di kota Dekai disarankan dan diharapkan pula akan memenuhi kriteria tersebut. Dalam Suatu Pengembangan dan Pengelolaan sumber daya air Berwawasan Lingkungan akan dimulai dari perencanaan baik yang bersifat paling umum sampai yang paling detail. Contoh Prosedur Alur Perencanaan disajikan dalam gambar 3 Berbicara masalah Sumber daya air maka kita akan berhadapan dengan masalah Potensi Sumber Daya Air maupun Potensi untuk menimbulkan daya rusak atau lazim disebut Daya Rusak air. Untuk memperkirakan potensi daya air dibutuhkan analisis yang disebut sebagai : Low Flow Analysis. Adapun untuk memperkirakan daya rusaknya dibutuhkan High Flow analysis. Low Flow Analysis diperlukan untuk menghitung potensi sumber daya air di kota Dekai untuk kebutuhan : 119
ISBN: 978-979-15616-4-8
1.
Pengembangan Penyediaan Air bersih untuk penduduk maupun industri 2. Pengembangan Enersi listrik yakni Pembangkit Listrik Tenaga Air. (PLTA) mikro hidro di sungaisungai di Kabupaten Yahukimo yang potensial Salah satu kegunaan listrik tersebut ialah untuk memompa air bersih pada Sungai Bonto guna keperluan penduduk kota Dekai dan sekitarnya. 3. Pengembangan pemanfaatan sedimen guna keperluan bahan tambang galian golongan C di Sungai Brazza. 4. Pengembangan irigasi sawah jika memungkinkan Sedangkan High Flow Analysis diperlukan untuk memperkirakan potensi daya rusak air yang menimbulkan : 1. Bencana Banjir di daerah hilir 2. Bencana Tanah Longsor di daerah hilir 3. Erosi di lahan hutan sekitar kota 4. Erosi dan sedimentasi di sungai bagian hilir (Contoh kemungkinan ancaman Pendangkalan Sungai Brazza di lokasi pelabuhan sungai Logpon) 5. Kerusakan Tata Aliran Air yang ada. 6. Pencemaran air di tata air yang ada. 7. Genangan pada areal perkotaan. Rencana induk pengembangan sumber daya air disusun dengan terlebih dahulu merumuskan potensi potensi, permasalahan dan penanganan masalah yang ada pada DPS Bonto dan sungai Brazza dan lainnya yang berada sekitar kota Dekai, berupa usulan-usulan alternatif pengembangan sumber daya air dan konservasinya. Selanjutnya disusun formulasi pengembangan yang sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang yang ada, dalam bentuk program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Selanjutnya dibuat suatu formulasi status penangan proyek. Gambar 4 merupakan bagan alir yang menujukkan Pengembangan Dan Pengelolaan Sumber Daya Air Di Kota Dekai. Pembahasan mengenai usulan program pengembangan sumber daya air antara lain meliputi : A. Formulasi Pengembangan Formulasi rencana pengembangan yang dimaksud adalah pengembangan pusat-pusat pertumbuhan sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang yang ada. Potensi pengembangan sumber daya air tersebut digunakan untuk menentukan prioritas pengembangan dan rekomendasi, meskipun demikian hasil tersebut masih harus ditindak-lanjuti dalam tahap survey selanjutnya guna mendapatkan gambaran yang lebih detail. Formulasi pengembangan dibagi dalam tiga tahap, yaitu jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Penyusunan formulasi pengembangan didasarkan pada sejumlah kriteria sebagai berikut : Program jangka pendek, yaitu : Jenis kegiatan yang sudah ada dan dirintis oleh Pemda, penduduk setempat atau instansi lain yang terkait. Kegiatan tersebut dapat diselesaikan dalam waktu kurang
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Supriya Triwiyana, Hermawan Isran, dan H.M .Nasyit Umar
dari atau 5 tahun dan perlu mendapat penanganan segera. Dalam tahap ini sudah harus direncanakan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahap jangka menengah Program jangka menengah, yaitu : Jenis kegiatan yang sudah direncanakan pada tahap jangka pendek atau instansi lain yang terkait. Kegiatan tersebut dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari atau 5 tahun Program jangka panjang, yaitu : Kegiatan yang bernilai ekonomi dan sosial besar, dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat tetapi tidak perlu mendapatkan penanganan segera dan dapat dilaksanakan mulai sekarang dan dampaknya akan mulai dirasakan dalam jangka waktu 10 tahun sampai 25 tahun mendatang. B. Aplikasi Pengembangan Penyusunan alternatif pengembangan air baku harus memperhatikan perkembangan wilayah Studi. Disamping itu aspek lain yang perlu diperhatikan adalah : masalahmasalah kependudukan, kondisi topografi, geologi, jenis tanah dan kemampuan wilayah, hidrologi, tata guna lahan dan sosial ekonomi masyarakat. Dengan peta topografi yang diperoleh serta dilanjutkan dengan identifikasi serta pengumpulan data dan informasi serta masukan-masukan dari instansi serta masyarakat setempat, selanjutnya dilakukan analisis untuk mendapatkan gambaran potensi pengembangan air baku. Pada Pengembangan Sumber Daya Air wilayah kabupaten Yahukimo dan kota Dekai direkomendasikan digunakan Pengembangan sumber daya air sungai Bonto dilengkapi dengan pengembangan jaringan perpipaan air minum. Menyangkut masalah Pelestarian Lingkungan Sumber Daya Air wilayah kabupaten Yahukimo dan kota Dekai akan menyangkut dua aspek penekanan yakni Pelestarian Tata Aliran Air dan Pelestarian kualitas Air. Pelestarian Tata Aliran Air sangat disarankan untuk menjadi bahan perhatian. Masalahnya adalah cara pengambilan air dari aliran tersebut ( Contoh S. Bonto). Apabila pengambilan air dilakukan dengan cara gravitasi maka perlu dibangun bendung, tetapi apabila di bangun bendung maka diperlukan tanggul banjir yang nampaknya cukup panjang mengingat kemiringan sungai cukup kecil. Disamping itu juga S. Bonto banyak terdapat percabangan percabangan. Dengan pembendungan disuatu lokasi tertentu, tidak menutup kemungkinan arah aliran justru berpindah ke percabangan yang lain. Cara pengambilan yang lain mungkin dengan menggunakan pompa, namun biaya operasi pompa cukup mahal. Lebih dianjurkan apabila tenaga penggerak pompa adalah tenaga listrik yang digunakan untuk menggerakkan pompa bukan yang dibangkitkan dengan membakar BBM. Kesimpulannya bahwa perlu dilakukan studi yang lebih detail tentang cara yang terbaik untuk melakukan 120
ISBN: 978-979-15616-4-8
pengambilan air. Pelestarian kualitas air dapat dijaga apabila kearifan lokal yang ada di pertahankan dan bahkan ditingkatkan (yakni tidak diperkenankan membuang air di sungai serta kearifan lokal yang lain.) Pembuangan air limbah baik industri dan rumah tangga maupun air genangan hujan di masa yang akan datang pada daerah pemukiman harus mencapai baku mutu tertentu untuk dialirkan kembali ke drainase alam, sehingga tidak mencemari air dalam tata aliran yang ada. Perlu pula menerapkan aturan tentang baku mutu linkungan yang perlu dipersyaratkan di kabupaten Yahukimo. Selain itu Setiap Pembukaan Lahan harus mempertimbangkan pola aliran air dan Tata aliran Air pada Rona Lingkungan awalnya dan minimumkan dampak negatip yang mungkin timbul. Sebagai tindak lanjut dari pengembangan sumber daya air adalah kegiatan operasi dan pemeliharaan yakni : 1. Operasi & Pemeliharaan Prasarana & Sarana Air bersih dan industri 2. Operasi & Pemeliharaan Prasarana & Sarana Pengembangan Enersi Listrik Tenaga Air atau PLTA. 3. Operasi & Pemeliharaan Prasarana & Sarana Pemanfaatan sedimen di sungai Brazza guna keperluan penyediaan bahan galian gol C di sungai. Selain daripada itu kegiatan operasi & pemeliharaan juga tidak lepas dari masalah environment atau lingkungan maka senantiasa harus dibarengi dengan aktifitas yang bersifat pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Dalam melakukan aktifitas agar mencapai hasil yang optimum dibutuhkan pula aktifitas berupa Capacity building yang terdiri dari : a. Soft ware : Peningkatan Sumber Daya Manusia Pendidikan, kursus, on the job training Data Recording b. Hardware : Prasarana penunjang (Laboratorium, Peralatan Survey) Rencana Pengembangan Air Baku Kegiatan-kegiatan pengembangan air baku untuk jangka pendek penanganannya bersifat melanjutkan pengembangan yang ada dengan cara memperbaiki sistem pengambilan airnya. Tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali pengambilan airnya adalah dengan menggunakan pompa. Hal ini mengingat bahwa pembendungan untuk memperoleh head yang cukup untuk dapat dialirkan ke reservoir yang sementara dibangun harus dipindahkan dari lokasi intake yang ada, dan itu akan membutuhkan jarak yang panjang ke arah hulu. Aplikasi sistem pompa untuk sementara dapat digerakkan oleh listrik yang dihasilkan oleh generator dengan bahan bakar minyak. Namun demikian disarankan pemompaan yang dilakukan untuk masa yang akan datang disarankan digerakkan oleh enersi listrik yang dibangkitkan dari mikro hidro atau PLTA, jika pemerintah daerah Kabupaten Yahukimo telah membangun PLTA.. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Supriya Triwiyana, Hermawan Isran, dan H.M .Nasyit Umar
Kegiatan-kegiatan pengembangan air baku yang penanganannya dapat ditunda pelaksanaannya (tidak perlu mendesak) dapat dimasukkan ke dalam program pengembangan air baku jangka menengah dan jangka panjang. Berikut adalah Perhitungan Perkiraan Kebutuhan Air Minum Penduduk Kota Dekai : Proyeksi tahun 2015 adalah 20.000 jiwa Standar kebutuhan air bersih per orang per hari untuk kota kecil 90 liter. Jumlah kebutuhan sebesar 1.800.000 liter per hari. Dibutuhkan instalasi Pengolahan Air (IPA) dengan kapasditas 20.83 liter/detik. Belum dihitung kebocoran 20 % Operasonil 18 jam/hari sehingga Kapasitas adalah 33,328 liter/detik Kebutuhan Prasarana Dasar Air Bersih di kota Dekai tahun 2005-2015 1 Jumlah Perkiraan Penduduk : 20.0000 jiwa 2 Standar Kebutuhan air bersih kota kecil/orang/har : 90 lt/orang/hari 3 Jumlah Kebutuhan Per hari : 1.800 m3/hari 4 Tingkat Kebocoran rata-rata : 20 % 5 Jam operasi IPA : 18 jam 6 Kapasitas IPA : 33.328 l/detik (Bahan Diambil dari.Laporan RUTRK Sumohai) Konsep Pembangunan Prasarana Pengendalian Banjir & Drainase Yang Ada Konsep dasar pembangunan prasarana pengendalian banjir dan drainase adalah memisahkan banjir luapan sungai ditambah aliran air dari hutan sekitar kota Dekai dengan banjir genangan yang terjadi di dalam kota Dekai tersebut.
121
ISBN: 978-979-15616-4-8
Prasarana dan sarana penting yang dibutuhkan (Gambar 5) untuk itu terdiri dari : a. Sarana kawasan hutan sebagai peralihan antara hutan yang sudah ada dengan kawasan terbuka dengan menanam tanaman pelindung yang tahan tumbang untuk melindungi tumbangnya pohon di dalam hutan seperti : bambu (pada kawasan kering), sagu (pada kawasan basah) b. Kawasan buffer yang ditanami dengan pohon perdu dan rerumputan. c. Saluran keliling untuk menampung aliran limpasan dari hutan di sekeliling kota. Sedangkan pada sisi yang berdekatan dengan sungai Bonto dan Sungai Brazza demensinya dibuat lebih besar karena selain menampung aliran limpasan dari hutan di sekeliling kota, juga menampung banjir luapan dari sungai Bonto maupun Sungai Brazza. d. Berm antara tanggul dengan saluran untuk memperkecil kemungkinan terjadinya longsoran tanggul e. Tanggul kurung yang mengitari kota (dilengkapi dengan jalan inspeksi dipuncaknya) digunakan untuk menahan aliran limpasan dari hutan dan aliran akibat luapan sungai Bonto dan Sungai Brazza. f. Saluran drainase primer yang membelah kota sebanyak 3 buah disesuaikan dengan kondisi topografi g. Fasilitas saluran sekunder dan tersier sesuai penataan ruang kota. h. Kolam retensi yang terletak di ujung kota yang elevasinya terendah, digunakan untuk menampung aliran air dari saluran primer yang dilengkapi dengan pintu-pintu air serta pompa emergensi jika air yang mengalir dari areal kota cukup besar. Jika banjir Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Supriya Triwiyana, Hermawan Isran, dan H.M .Nasyit Umar
luapan sungai sudah surut, pintu outlet kolam retensi dibuka.Kolam retensi pada musim kemarau bias dimanfaatkan untuk kolam pemancingan, atau pada areal kolam retensi tersebut kering, dapat ditanami tanaman semusim. Rencana Sistem drainase : Rencana system drainase perkotaan adalah berupa jaringan drainase yang berupa : a. Saluran Tersier : Dibangun sesuai penataan bangunan-bangunan gedung, areal pemukiman dan bangunan-bangunan yang lain. Saluran tersier bermuara pada saluran sekunder. Elevasi outlet saluran tersier harus lebih tinggi dari elevasi dari dasar saluran sekunder di titik pertemuan tersebut b. Saluran Sekunder : Dibangun dengan memperhatikan pembangunan gedung yang ada. Saluran sekunder bermuara pada saluran primer. Elevasi outlet saluran sekunder harus lebih tinggi dari elevasi dari dasar saluran primer. c. Saluran Primer : Saluran Primer terdiri dari 3 buah yakni Saluran Primer Barat ( ± 7 Km), Saluran Primer Tengah ( ± 8 Km) dan saluran Primer Timur ( ± 10.6 Km). Saluran-saluran Primer ini bermuara pada saluran pengarah menuju Regulation Pond. Trace saluran - Saluran Primer ini disesuaikan dengan medan yang ada Luas layanan masingmasing saluran primer ini dapat diperiksa pada Gambar d. Regulation Pond merupakan kolam berukuan 500 m x 500 m yang digunakan untuk menampung air buangan yang berasal dari areal perkotaan. Regulation Pond ini dilengkapi dengan pintu-pintu air pengatur dan pompa. Sistem Drainase yang diaplikasikan pada Wilayah Perkotaan Dekai hanya untuk memfasilitasi aliran air yang berasal dari curah hujan, sehingga sistem sewage yang ada diharapkan adalah merupakan ” seperate sewage system”. Dengan demikian harus dipisahkan antara aliran yang berasal dari curah hujan dengan aliran air limbah buangan rumah tangga dan industri. Namun demikian pada kondisi Kota Dekai sebagai kota yang baru masalah air limbah hanya di dominasi air limbah rumah tangga. Untuk itu setiap rumah seyogyanya diberi persyaratan untuk membuat septic tank ( septic tank individual). Jika kondisi kota di masa yang akan datang industrinya sudah maju maka perlu diberikan persyaratan untuk membangun ” Water Treatment Plant” yakni mengolah air limbah terlebih dahulu sebelum dibuang ke aliran bebas dengan persyaratan baku mutu yang ditetapkan. Seluruh sistem jaringan drainase kota yang ada terletak pada areal di dalam tanggul keliling. Sedang skema Drainasenya dijelaskan pada gambar di bawah ini.
122
Supriya Triwiyana, Hermawan Isran, dan H.M .Nasyit Umar
ISBN: 978-979-15616-4-8
Pada bagian tenggara dari kota akan digunakan sebagai areal rekreasi dan wisata. Untuk menjaga areal tersebut pada kondisi alamiahnya maka tanggul banjir keliling dibelokkan searah alur sungai yang akan digunakan untuk keperluan rekreasi dan pariwisata tersebut. Selain antisipasi banjir di dalam kota, perlu pula dilakukan antisipasi banjir yang terjadi diantara Kota Dekai dengan Logpon, agar supaya jalan penghubung yang ada tidak menjadi langganan banjir. Disamping itu lokasi bandara dan sekitarnya termasuk jalan penghubung bandara yang ada dengan kota Dekai perlu pula tindak pengendalian banjirnya, mengingat lokasi tersebut sangat dekat dengan S. Brazza maupun Kali Bonto. Di dalam perencanaan jalan baik dalam tahapan pendahuluan sampai ke peningkatannya, maka fasilitas untuk antisipasi banjir seperti bangunan gorong-gorong serta jembatan yang perlu disediakan secara memadai. Konsep Penanganan sedimentasi sungai Brazza. Sedimentasi di sungai Brazza cukup besar sehingga ini dikawatirkan akan mempercepat pendangkalan pada sungai Brazza hilir, terutama pada lokasi Logpon yang merupakan cikal bakal pelabuhan sungai yang sangat berarti di kelak kemudian hari. Logpon selama ini sebagai pelabuhan kayu dengan jarak 16 km dari kota Dekai. Dari Logpon angkutan sungai bisa diteruskan ke kota Merauke Dewasa ini Pemda setempat telah mengambil hasil sedimentasi sebagai bahan tambang galian Gol. C di Sungai di lokasi dekat Bandara Dekai. Kegiatan ini sangat positip karena disamping untuk pemenuhan kebutuhan bahan timbunan dan perkerasan jalan dan areal pemukiman, perkantoran dan sebagainya, juga kegiatan ini memperkecil pendangkalan di Logpon. Kegiatan ini perlu dilanjutkan dan bahkan ditingkatkan dengan menjadikannya sebagai industri pertambangan bahan galian golongan C di sungai, yang hasilnya dapat dijual ke luar daerah wilayah kabupaten Yahukimo. Agar sedimentasi yang terjadi lebih efektif untuk dimanfaatkan maka perlu di bangun sebuah sand pocket pada lokasi yang ada sekarang. Studi dan detail desain diperlukan lebih lanjut untuk mendapatkan hasil perencanaan yang optimum. Bahasan Bahasan Terhadap Evaluasi : Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Kajian sementara menunjukkan bahwa Sumber Daya Air Di Wilayah Yahukimo adalah unik. Alam ternyata telah menciptakan waduk yang menyediakan sumber daya air yang memadai baik secara kualitatif maupun kuantitatif, serta daya rusak air telah terkendali oleh system hutan yang ada dalam areal waduk tersebut . Dari segi ekologi alam telah menghadirkan pula suatu rona lingkungan awal yang memadai pula baik Lingkungan Sosekbuid, Fisik-Kimia dan Biologi. walaupun sangat rentan terhadap pengaruh campur tangan manusia. Bahasan terhadap Penerapan Teknologi. Wilayah tersebut saat ini memerlukan pengembangan yang pada gilirannya butuh pembangunan, setidaktidaknya pada tahap awal ini adalah pembangunan kota Dekai yang membutuhkan prasarana dan sarana yang memadai sebagai ibu kota Kabupaten tersebut. Sebuah konsep dasar PSDA sebagai bagian dari hasil Pekerjaan Rencana Tata Ruang Kota Dekai disajikan yang juga mengadopsi kepentingan pembangunan dan scenario alam tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penerapan Teknologi Handal Pengelolaan Sumber Daya Air ke depan adalah yang mampu memberikan hasil yang efektif dan pelaksanaan yang efisien dan obyektif terhadap ekosistem yang ada dan harus sinerji dengan scenario alam. Awal dari ini seyogyanya dimulai dengan Master Plan Pengelolaan Sumber Daya Kabupaten Yahukimo yang dibarengi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang antara lain juga mempertimbangkan kearifan lokal yang ada Saran Dengan kondisi lingkungan yang rentan terhadap perubahan maka dalam setiap pembangunan apapun di wilayah tersebut harus segera dibarengi pula dengan Kelola dan Pemantauan Lingkungan yang memadai. DAFTAR PUSTAKA 1. B.C Yen, Deterministic Surface Water Hidrology 2. Daryl B Simons And Fuat Senturk, Sediment transport Technology. 3. Ground Water Hydrology, J Todd 4. Pemkab Yahukimo, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Yahukimo, 5. Pemkab Yahukimo, Rencana Tata Ruang Kota Dekai, Kabupaten Yahukimo, 6. Pemkab Jaya wijaya Statistik Dalam Angka Kab Jayawijaya, 7. Schumm, The Vluvial Process 8. Van D e Wiele, G.I ,System Aprroach To Water Management 9. Volcanic Sabo Technical Center, Perencanaan Sabo.
123
ISBN: 978-979-15616-4-8
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Halaman Kosong
124
ISBN: 978-979-15616-4-8
L. Budi Triadi
Studi Sistem Sirkulasi Air Petak Tersier Unit Pinang Luar Kalimantan Barat L. Budi Triadi
Peneliti Madya, di Balai Rawa dan Pantai, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum Dosen Luar Biasa Jurusan Teknik Sipil di Universitas Katolik Parahyangan, Bandun Dosen Luar Biasa di Institut Teknologi Nasional, Bandung.
Abstrak Untuk mendukung peningkatan lahan persawahan pasang surut dalam konteks pengambangan bertahap lahan rawa maka dibuat suatu studi sistem sirkulasi air tingkat petak tersier dengan mengambil skema irigasi unit persawahan pasang surut Pinang Luar, Kalimantan Barat sebagai studi kasus Sistem sirkulasi air di tingkat petak tersier ini dibuat dengan memanfaatkan fluktuasi muka air pasang surut dan dengan mengendalikan aliran air masuk dan keluar melalui pengoperasian pintu-pintu air, baik secara otomatis maupun manual. Perhitungan dimensi saluran dan pintu didasarkan pada kriteria desain yang telah ditentukan sebelumnya. Sebagai perkiraan awal, dimensi saluran dan pintu dari sistim tipikal yang terpilih ditentukan dengan perhitungan Aliran Tunak. Namun mengingat bahwa aliran yang terjadi ( kondisi eksisting ) adalah Aliran Tidak Tunak, maka dilakukan pengujian dengan simulasi model matematik yang dikembangkan berdasarkan kondisi Aliran Tidak Tunak. Simulasi tersebut dilakukan dengan perangkat lunak EXTICOM yang dikembangkan untuk berbagai ragam aliran hidraulik. Perangkat ini khusus didesain untuk jenis aliran 1 (satu) dimensi, dengan metode Beda Hingga eksplisit dan skema operator Leap Frog. Mengingat bahwa terdapat perbedaan karakteristik muka air pasang surut untuk suatu ritme tertentu, maka penting dilakukan simulasi pada beberapa kondisi pasang surut ekstrem. Dalam hal ini, kondisi yang dimaksud adalah saat Pasang Surut Besar ( Spring Tide ) dan Pasang Surut Kecil ( Neap Tide ). Selain pengaruh dari pasang surut, elevasi dan fluktuasi muka air pasang surut juga dipengaruhi oleh perubahan musim ( hujan dan kemarau ) yang juga ditinjau dalam studi ini. Pada musim hujan dilakukan pengujian untuk menguji besarnya kapasitas drainasi pada kondisi hujan desain dan kapasitas sirkulasi pada musim kemarau. Hal lain yang juga dikaji dalam simulai model ini adalah rencana operasi pintu. Rencana pengoperasian pintu untuk mendukung kapasitas sirkulasi dibuat dengan memperhitungkan kebutuhan petani yang tidak sama sepanjang siklus pasang surut. Oleh karena itu, dilakukan simulasi yang mewakili kondisi suplai dan kondisi drainasi. Semua kemungkinan di atas, diuji coba dengan simulasi model matematik. Dari banyak percobaan yang dilakukan, akhirnya diperoleh kombinasi dimensi dan elevasi dasar saluran serta pintu yang memenuhi kriteria desain. Kata Kunci : Tersier, Sirkulasi, Drainasi
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
penurunan produksi. Hal ini dapat disebabkan antara lain oleh :
- Hasil pertanian - Investasi
1. LATAR BELAKANG Salah satu kebijakan penting dalam pengembangan lahan rawa di Indonesia, adalah kebijakan pengembangan bertahap. Kebijakan ini ditempuh karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah di samping aspek teknis dan sosial ekonomi yang proses pengembangannya tidak dapat berlangsung dengan cepat. Melalui pengembangan bertahap, diperlukan rangkaian tahapan kegiatan yang runtut dimana tahap berikutnya belum dapat dilaksanakan sebelum tahap yang mendahului belum selesai. Sejauh ini pola pengembangan bertahap dinilai adalah cara yang paling tepat dan sudah dibuktikan dalam prakteknya selama ini pada pengembangan lahan rawa pasang surut, khususnya pertanian. Namun demikian antara pengembangan Tahap Pertama dan pengembangan Tahap Kedua biasanya terjadi
Peningkatan
Rehabilitasi
Waktu
Tahap I
Tahap II
Gambar 1. Strategi Pengembangan Bertahap -
Menurunnya fungsi sistem drainasi karena sedimentasi, rumput liar, dan sebagainya 125
ISBN: 978-979-15616-4-8
membuat saluran kolektor baru yang diperlengkapi dengan pintu-pintu air. Untuk menguji hipotesa di atas maka dilakukan studi dengan mengambil kasus di unit persawahan pasang surut Pinang Luar di Kalimantan Barat.
Lokasi Studi
Gambar 2. Lokasi Daerah Studi TR.25
TR .26
TR. 24
TR .22 TR .21 TR .20
Sun gai Pun ggu r Be sar
TR.19
TR.17
TR.15
TR .13
BL
BL
C
OK
B
TR.11
OK
Perubahan tanah sulfat asam potensial menjadi tanah sulfat asam aktual karena oksidasi - Akumulasi air asam di saluran tersier karena adanya sistem drainasi dan pasang-surut - Serangan hama atau perusakan oleh hewan ( babi hutan, serangga, tikus, gajah dan lain-lain ) Penurunan produksi ini dapat dicegah dengan mengadakan program rehabilitasi atas prasarana yang ada ( pengerukan saluran, perubahan dan / atau penambahan minor pada sistem drainasi yang ada, dan lain-lain ). Dengan demikian produksi dapat dipertahankan sesuai dengan target atau bahkan dapat melampauinya. Lihat Gambar 1. Perlu dicatat bahwa program rehabilitasi ini bukan bagian dari Tahap Pengembangan Kedua, tapi seringkali keduanya dilakukan bersamaan. Setelah rehabilitasi dilakukan maka pengembangan rawa siap memasuki tahap kedua dimana pengembangan ditingkatkan berdasar atas pengalaman yang saat ini sudah dimiliki melalui program peningkatan(upgrading ). 2. MAKSUD DAN UJUAN STUDI Studi ini dibuat dengan maksud untuk menjajagi kemungkinan peningkatan sistem tata air di tingkat saluran tersier melalui sirkulasi air dengan memanfaatkan fluktuasi muka air pasang surut dan dengan mengendalikan aliran air masuk dan keluar melalui operasi pintu-pintu air, baik secara otomatis maupun manual. Sementara itu tujuan studi adalah mendukung program pemerintah dalam meningkatkan pendapatan petani melalui sektor pertanian, yaitu meningkatkan produksi padi melalui peningkatan sistem tata air di tingkat saluran tersier.
U
-
L. Budi Triadi
TR.7
TR.5
TR.3
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
TR .1
Sal. Primer TR.1
LEGENDA TR.4 TR.5
Sungai Saluran Sekunder
A
TR.8
BLOK
3. LOKASI STUDI Studi sistem sirkulasi air petak tersier dalam makalah ini dilakukan dengan mengambil unit persawahan pasang surut Pinang Luar Kalimantan Barat sebagai studi kasus. Untuk lebih jelasnya, lokasi studi dapat dilihat pada Gambar 2. Sementara itu tata letak sistem saluran unit Pinang Luar juga dapat di lihat pada Gambar 3. 4. HIPOTESA Dalam melakukan peningkatan kapasitas sistem saluran di tingkat tersier, diperlukan sistem pengaturan / regulasi air yang berkaitan dengan kebutuhan air ( irigasi pasang surut ), drainasi ( problem banjir ), dan sirkulasi air ( pencucian ) dengan melakukan pengoperasian pintu dan pembuatan tanggul ( problem banjir dan intrusi salinitas ). Sehubungan dengan itu maka dilakukan upaya untuk memenuhi ketiga sasaran di atas melalui penggabungan beberapa saluran tersier dengan
Saluran Kolektor Saluran Tersier Jalan Aspal
TR.11 TR.12
Jalan Tanah Tanggul Jembatan
TR.15
Kampung Areal Studi
Gambar 3. Skema Unit Persawahan Pasang Surut Pinang Luar 5. KRITERA DESAIN 5.1. Tata Letak Saluran Tata letak tipikal sistem sirkulasi tingkat tersier Pinang Luar merupakan penggabungan tiga atau empat saluran tersier untuk membentuk suatu sistem tata air baru yang diperlengkapi dengan pintu-pintu air untuk 126
ISBN: 978-979-15616-4-8
L. Budi Triadi
kepentingan regulasi air. Melalui sistem baru ini, sirkulasi air di dalam sistem membentuk pola aliran satu arah ( one way flow system ) ditiap saluran. Beberapa faktor penting yang diperhitungkan dalam sistem tata air ini, antara lain meliputi :
-
Fluktuasi muka air pasang surut pada kondisi ekstrem ( spring tide dan neap tide ) Pengaruh musiman ( musim hujan dan kemarau ) Kondisi suplai dan kondisi drainasi
Pinang Luar (TR 7, TR 8, dan TR 9)
200 m
200 m
S. Sekunder S. Kolektor S. Tersier 2000 m
Pintu Geser Pintu Klep + Pintu Geser Aliran masuk Aliran keluar
Gambar 4. Tata Letak Tipikal Sistem Sirkulasi Pinang Luar 5.2. Pintu air Pintu-Pintu air yang dipasang perlu memenuhi fungsi suplai dan drainasi, untuk itu dipasang 3 ( tiga ) buah pintu dimana 2 ( dua ) buah pintu dipasang untuk mendukung fungsi suplai ( pintu samping ) dan 1 ( satu ) buah pintu untuk mendukung fungsi drainasi ( pintu tengah ). Selanjutnya pintu-pintu tersebut perlu memenuhi syarat sebagai berikut : Pintu ayun otomatis harus mengendalikan air masuk ke dalam sistem secara otomatis sehingga dapat menahan air di dalam sistim pada elevasi air maksimum Pintu Geser harus dapat memenuhi fungsi : Drainasi Mencegah masuknya air lebih lanjut ke dalam sistem bila ketersediaan air di sistem telah terpenuhi Mencegah air asin masuk ke dalam sistem ( musim kemarau )
5.3. Konsep Pengoperasian Pintu Membuka kedua pintu air samping dan menutup pintu tengah selama pasang agar air dapat masuk ketika petani ingin mengairi lahannya dan sebaliknya menutup Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
kedua pintu samping dan membuka pintu tengah ketika petani ingin membuang air di saat surut. Bila drainasi cepat diutuhkan, dapat dilakukan pembukaan pintu samping dan tengah bersama-sama secara simultan. Untuk mencegah intrusi air asin di musim kemarau dan banjir di musim hujan, semua pintu geser perlu ditutup serempak. 5.4. Desain saluran Dimensi saluran dihitung berdasarkan kebutuhan yang diwakili oleh modulus drainasi. Selain itu saluran juga dirancang untuk memiliki cukup kapasitas tampungan di saat surut untuk kepentingan pembersihan. Perkiraan awal dimensi saluran dihitung berdasarkan aliran tunak seragam ( uniform steady flow ) dengan rumus manning dan selanjutnya diuji dengan simulasi model matematik aliran tidak tunak ( unsteady flow ). Dimensi saluran tersier harus pula memenuhi kriteria pasang surut sebagai berikut : Muka air maksimum saluran tersier harus ada pada elevasi HWL ( Highest Water Level ) di saat pasang besar ( spring tide ) di musim hujan Dasar saluran harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dipelihara pada elevasi LW ( Low Water ) di saat pasang kecil ( neap tide ) 127
ISBN: 978-979-15616-4-8
L. Budi Triadi
dan masih memiliki cukup air selama musim kemarau. 5.5. Modulus Drainasi Berdasarkan perhitungan dari curah hujan, modulus drainasi selama musim hujan adalah sebesar 5,2 lt/dt/ha ( curah hujan selama 3 hari berturut-turut dengan kala ulang 5 tahun ) dan diasumsikan seragam untuk seluruh areal persawahan serta berlaku konstan selama periode dranasi. 5.6. -
-
Penampang Melintang dan Dasar Saluran Muka air maksimum di saluran harus tidak melampaui muka air tanah di saat musim hujan Dasar saluran harus horisontal dan mempunyai elevasi cukup rendah, juga elevasi kedua tanggul saluran tersier dan saluran kolektor harus tidak boleh lebih rendah elevasi banjir, yaitu + 5,3 m. Sirkulasi air harus dapat dipertahankan di saat pasang kecil musim kemarau
5.7. Ukuran Pintu Ukuran standar pintu adalah lebar lebih kurang 1,0 m dan tinggi pintu tergantung pada ketersediaan / kedalaman air di saluran tersier. Dalam hal ini, tinggi pintu harus memenuhi kondisi berikut : Elevasi puncak pintu harus 0,1 m di atas muka air maksimum musim hujan Elevasi dasar pintu setidak-tidaknya harus sama dengan air rendah / surut di saat pasang kecil musim kemarau 6. MODEL MATEMATIK 6.1. Persamaan Dasar Perangkat lunak EXTICOM dirancang untuk menyelesaikan persamaan diferensial gerak air aliran tidak tunak ( persamaan de Saint Venant ) dan gerak garam di sungai dan saluran. Berikut adalah persamaan dasar de Saint Venant untuk gerak air :
dimana v = h = a =
: Kecepatan aliran Muka Air di atas datum Kedalaman Air
q
Debit per satuan Lebar =
=
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
:
Kontinuitas
dimana : S = Luas Permukaan Σ Q = inflow – outflow 6.2. Solusi Numerik Solusi dari persamaan diferensial didapat dengan menggunakan pendekatan skema beda hingga ( Finite Difference Method ). Untuk gerak air, digunakan skema eksplisit Leap Frog dan untuk gerak garam digunakan skema implisit. Dalam studi ini digunakan skema untuk gerak air saja. Skema operator Leap Frog dapat digambarkan sebagai berikut : x
h
n+2
Q
h
h
Q
Q
t h
h
Q
n-1
* Persamaan Kontinuitas ∂h ∂q =0 + ∂t ∂x
(m2/dt)
∂Q ∂h g.Q Q + g.A + =0 ∂t ∂x C 2 AR ∂h : S. = ∑Q ∂t
Momentum
n
vv g.a ∂ρ ∂ ∂vGerak∂h +v +g. +g. 2 + . =0 ∂t ∂x Air ∂x C R 2ρ ∂x
Q b
Q = Debit (m3/dt) b = Lebar Permukaan Saluran (m) g = Percepatan Gravitasi (m/dt2) C = Kekasaran Chezy (m1/2/dt) R = Jari-Jari Hidraulik (m) ρ = Kerapatan Air = 1000 + 0.75 s (kg/m3) A = Luas Penampang Basah (m2) x = Sumbu Longitudinal (m) t = Waktu (dt) Dengan menggunakan penyederhanaan dan kemudian mengintegrasikan persamaan gerak air, maka diperoleh :
n+1
* Persamaan Momentum
(m/dt) (m) (m)
j-3
h
Q
j-2
j-1
Q
j
j+1
j+2
Gambar 5. Skema Operator Leap Frog ( Eksplisit ) Dengan skema operator tersebut, penurunan dalam waktu dan ruang adalah sebagai berikut : n+2 n ∂h h j − h j = Δt ∂t
128
ISBN: 978-979-15616-4-8
L. Budi Triadi
Kontinuitas :
n +1 n −1 ∂Q Q j+1 − Q j+1 = ∂t Δt n
n
∂h h j+ 2 − h j = Δx ∂x Selanjutnya, solusi beda hingga untuk persamaan gerak air menjadi : Momentum :
Q Q nj++11 =
n −1 j+1
⎛ h nj+ 2 − h nj + g.A .Δt ⎜ ⎜ Δx ⎝ g . Δt Q nj+1 1+ 2 (C AR ) nj+1 n j+1
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
h
n+2 j
=h + n j
Σ Q nj +1 S nj +1
. Δt
6.3. Skematisasi Pendekatan Beda Hingga membagi sistem sungai / saluran ke dalam segmen-segmen kecil, diman tiap segmen disebut Cabang. Setiap Cabang dihubungkan satu dengan lain dengan Simpul sehingga diperoleh suatu jaringan yang terdiri dari Simpul dan Cabang yang disebut dengan Skematisasi. Berikut adalah gambaran dari skematisasi termaksud :
Gambar 6. Skematisasi Simpul dan Cabang Untuk gerak air, hasil perhitungan muka air diperoleh pada setiap cabang, sementara itu hasil perhitungan kecepatan dan debit aliran diperoleh pada setiap cabang. 7. TINJAUAN RANCANG BANGUN 7.1. Elevasi Ambang dan Efisiensi Pintu Elevasi ambang dasar pintu diambil 0,1 m di atas elevasi dasar saluran. Dan akibat beragam rintangan terhadap alirn yang mellui pintu, maka untuk melakukan simulasimodel diambil suatu koefisien pada lebar pintu sebesar, μ= 0,8. Oleh karena itu lebar efektif pintu menjadi μ b, dimana b = lebar aktual pintu. 7.2. Tanggul dan Saluran Elevasi tanggul diambil sebesar 0,4 m di atas elevasi banjir maksimum untuk seluruh sistem tersier, yaitu : 5,7 m. Dan berdasarkan perhitungan analisis karakteristik tanah, kemiringan lereng ditentukan sebesar 1 : 1. Selanjutnya kekasaran saluran diambil menurut versi kekasaran Manning, yaitu sebesar, n = 0,0045 yang berlaku untuk semua saluran tersier. 7.3. Kebutuhan Air Irigasi Menurut perhitungan, kebutuhan air irigasi untuk seluruh areal di musim kemarau adalah sebesar 1,2 lt/dt/ha. Debit ini berlaku merata untuk seluruh areal dan konstan sepanjang periode suplai. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
7.4. Skematisasi Skema Sistem saluran tersier tipikal dari unit Pinang luar telah diskematisasikan ke dalam 38 ( tiga puluh delapan ) Simpul dan 39 ( tiga puluh sembilan ) Cabang. SimpulSimpul tersebut mewakili 1 buah Kondisi Batas dan 37 buah simpul biasa, sementara itu Cabang-Cabang yang ada mewakili 3 buah pintu air, 1 buah cabang dummy, dan 35 buah cabang biasa. 7.5. Variant Simulasi Untuk dapat memverivikasi kemampuan sistem tata air tersier yang sesuai dengan kriteria desain, maka dibuat berbagai simulasi model untuk setiap sistem sebagaimana diuraikan di bawah ini : 1. Musim kemarau, pasang besar, model suplai + pengambilan sebesar 1,2 lt/dt/ha 2. Musim kemarau, pasang besar, model suplai tanpa pengambilan 3. Musim kemarau, pasang kecil, model suplai + pengambilan sebesar 1,2 lt/dt/ha 4. Musim kemarau, pasang kecil, model suplai tanpa pengambilan 5. Musim kemarau, pasang besar, model drainasi + drainasi lahan sebesar 1,2 lt/dt/ha 6. Musim kemarau, pasang besar, model drainasi tanpa drainasi lahan 7. Musim hujan, pasang besar, model drainasi dengan 1 pintu terbuka + modulus drainasi 5,2 lt/dt/ha 129
ISBN: 978-979-15616-4-8
L. Budi Triadi
Sementara itu model suplai dan drainasi berkaitan dengan operasi pintu, kondisi awal, dan fase kondisi batas.
8. Musim hujan, pasang besar, model drainasi dengan semua pintu terbuka + modulus drainasi 5,2 lt/dt/ha 9. Musim hujan, pasang kecil, model drainasi dengan 1 pintu terbuka + modulus drainasi 5,2 lt/dt/ha 10. Musim hujan, pasang kecil, model drainasi dengan semua pintu terbuka + modulus drainasi 5,2 lt/dt/ha Kondisi musim kemarau pasang besar dan kecil serta kondisi musim hujan pasang besar dan kecil sesuai dengan 4 ( emapt ) kondisi batas yang digunakan.
7.6. Kondisi Batas Dengan 10 ( sepuluh ) buah simulasi di atas, diperlukan 6 ( enam ) buah kondisi batas untuk sistim tata air Pinang Luar sebagai dapat dilihat pada Gambar 7. Tipe 2 : Pinang Luar, Musim Kemarau, Neap Tide, Model Suplai ) ir (M M ukaA
) ir (M M ukaA
Tipe 1 : Pinang Luar, Musim Kemarau, Spring Tide, Model Suplai 5.00
4.50
4.00
3.50
5.00
4.50
4.00
0
5
10
15 20 Waktu ( Jam )
3.50
25
5
0
10
( a )
25
Tipe 4 : Pinang Luar, Musim Kemarau, Neap Tide, Model Drainasi
5.00
ir (M) ukaA M
ir (M) ukaA M
Tipe 3 : Pinang Luar, Musim Kemarau, Spring Tide, Model Drainasi
4.50
5.00
4.50
4.00
4.00
3.50
3.50 0
5
10
15 Waktu
20
25
0
5
10
( Jam )
20
25
( Jam )
( d )
Tipe 5 : Pinang Luar, Musim Hujan, Spring Tide, Model Drainasi
Tipe 6 : Pinang Luar, Musim Hujan, Neap Tide, Model Drainasi ) ir (M M ukaA
5.50
5.00
5.50
5.00
4.50
4.50
4.00
4.00 0
15 Waktu
( c )
) ir (M M ukaA
15 20 Waktu ( Jam )
( b )
5
10
15 20 Waktu ( Jam )
25
0
5
10
15 Waktu
( e )
20
25
( Jam )
( f )
Gambar 7. Kondisi Batas ( Pinang Luar )
7.7. Kondisi Simulasi Melalui Tabel 1, disajikan operasional pintu pada masing-masing kondisi simulasi dan ragam kondisi
batas yang digunakan juga pada masing-masing kondisi simulasi. Setiap simulasi dieksekusi dengan memberikan nilai awal berupa muka air.
Tabel 1. Operasional Pintu pada berbagai Kondisi Simulasi Variant No. 1 & 2
Kondisi Simulasi Musim kemarau, Pasang Besar, Model Suplai dengan / tanpa pengambilan 1,2 l/dt/ha
Operasi Pintu
3 & 4
Musim Kemarau, Pasang Kecil, model suplai dengan / tanpa pengambilan 1,2 l/dt/ha
5 & 6
Musim Kemarau, Pasang Besar, Model Drainasi dengan / tanpa drainasi lahan 1,2 l/dt/ha
7 & 8
Musim Kemarau, Pasang Kecil, Model Drainasi dengan / tanpa drainasi lahan 1,2 l/dt/ha
9 & 10
Musim Hujan, Pasang Besar, Model Drainasi + Modulus Drainasi 5.2 l/dt/ha
Pintu Samping terbuka waktu pasang Pintu Tengah selalu tertutup – Pintu Samping terbuka waktu pasang – Pintu Tengah selalu tertutup – Pintu Samping selalu tertutup – Pintu Tengah terbuka waktu surut – Pintu Samping selalu tertutup – Pintu Tengah terbuka waktu surut Semua pintu atau hanya Pintu Tengah terbuka waktu surut.
11&12
Musim Hujan, Pasang Kecil, Model Drainasi + Modulus Drainasi 5.2 l/dt/ha
Semua pintu atau hanya Pintu Tengah terbuka waktu surut.
–
Kondisi Batas No. 1
*) M.A. awal + 3.59 (LWS)
–
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
2
+ 3.90 (LWN)
3
+5.00 (HWS)
4
+4.30 (HWN)
5
+5.28 (HWS)
6
+4.72 (HWN)
130
ISBN: 978-979-15616-4-8
L. Budi Triadi
Tabel 2. Hasil Simulasi Nilai Awal No.
Kondisi Simulasi m.a.
1 1
2 3
4 5
6 7 8 9
10
11
12
2 Musim kemarau, Pasang Besar, Model Suplai dengan pengambilan 1,2 l/dt/ha Musim kemarau, Pasang Besar, Model Suplai tanpa pengambilan Musim Kemarau, Pasang Kecil, Model Suplai dengan pengambilan 1,2 l/dt/ha Musim Kemarau, Pasang Kecil, Model Suplai tanpa pengambilan Musim Kemarau, Pasang Besar, Model Drainasi dengan drainasi lahan 1,2 l/dt/ha Musim Kemarau, Pasang Besar, Model Drainasi tanpa drainasi lahan Musim Kemarau, Pasang Kecil, lahan 1,2 l/dt/ha Musim Kemarau, Pasang Kecil, Model Drainasi tanpa drainasi lahan Musim Hujan, Pasang Besar, Model Drainasi, semua pintu terbuka saat surut + Modulus Drainasi 5.2 l/dt/ha Musim Hujan, Pasang Besar, Model Drainasi, Pintu Tengah terbuka saat surut + Modulus Drainasi 5.2 l/dt/ha Musim Hujan, Pasang Kecil, Model Drainasi, semua pintu terbuka saat surut + Modulus Drainasi 5.2 l/dt/ha Musim Hujan, Pasang Kecil, Model Drainasi, Pintu tengah terbuka saat surut + Modulus Drainasi 5.2 l/dt/ha
3 +3.59
Max. m.a. Volume Max. m.a. Volume Max. m.a. Volume Min m.a. Volume Min m.a. Volume Min m.a. Volume Max. m.a. Min. m.a. di Dalam Inflow di Dalam Inflow di Dalam Inflow di dalam Outflow di Dalam Outflow di Dalam Outflow di Dalam di Dalam Hari ke 1 Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 3 hari 1 Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 3 (m) (m3) (m) (m3) (m) (m3) (m) (m3) (m) (m3) (m) (m3) (m) (m) 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 +4.89 24,100 +4.91 12,000 +4.95 12,000
+3.59
+4.92
20,700
+4.95
0
+4.95
0
+3.90
+4.10
13,800
+4.11
12,000
+4.11
12,000
+3.90
+4.24
5,100
+4.28
0
+4.28
0
+5.00
+4.29
25,000
+4.26
12,900
+4.25
12,900
+5.00
+4.07
19,000
+3.90
2,500
+3.81
800
+4.30
+4.23
12,900
+4.23
12,000
+4.23
12,000
+4.30
+4.02
4,300
+3.98
0
+3.95
0
+5.28
+5.16
+4.35
+5.28
+5.27
+4.79
+4.72
+4.75
+4.44
+4.89
+4.80
Catatan : Semua saluran mempunyai lebar dasar 1 m ( di dalam sistem ) dan 1,5 m ( di luar sistim ), serta kemiringan talud 1 : 1 ; semua pintu mempunyai lebar 1 m.
7.8 Dimensi Saluran Berdasar atas kriteria desain yang telah diuraikan pada Bab 5 dan tinjauan rancang bangun / desain yang telah disebut sebelumnya pada Bab 7 serta tinjauan terhadap dimensi minimum yang masih realistis dan kemudahan konstrusi, maka setelah melalui banyak uji coba, akhirnya diperoleh dimensi saluran dan pintu sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9. Seluruh hasil simulasi ditabelkan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2. m.a banjir max 0.10 m m.a banjir max
W1
0,4 m
el.1 el.1 + 0.10 m
8. ANALISIS Pada model suplai musim kemarau, simulasi semula diawali dengan saluran yang hampir kering, namun pada hari pertama elevasi muka air telah hampir mencapai elevasi muka air maksimum kondisi batas. Kondisi ini menunjukan bahwa bahwa terdapat cukup masukan air ( inflow ) dari saluran sekunder ke dalam sistem saluran tersier. Tanpa pengambilan air oleh petani, volume inflow pada hari pertama telah mencapai sekitar 20.000 m3 saat kondisi pasang besar, dan mencapai sekitar 5.000 m3 saat pasang kecil. Debit rata-rata selama 1 ( satu ) siklus pasang surut pada hari pertama di semua cabang dapat dilihat pada Gambar 10 di saat pasang besar dan pada Gambar 11 di saat pasang kecil.
b
Gambar 8. Penampang Melintang Saluran dan Pintu
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
131
ISBN: 978-979-15616-4-8
L. Budi Triadi
a
a
a
a a
a
b
a
b
a
a
a a
m.a. Banjir max = + 5.30 m
c
c
Profil Saluran Profil a – a : W1 = 1,0 m ; el1 = + 3,50 m Profil b – b : W1 = 1,2 m ; el1 = + 3,50 m Profil c – c : W1 = 1,5 m ; el1 = + 3,50 m Pintu Pintu Samping : b = 1,0 m ; el1 + 0.10 = + 3.60 m Pintu Tengah : b = 1,2 m ; el1 + 0.10 = + 3.60 m
a
Gambar 9. Dimensi Saluran dan Pintu Tipikal
Gambar 10. Debit Rata-Rata (m3/dt) pada Model Suplai (Musim Kemarau – Pasang Besar tanpa Pengambilan)
Gambar 11. Debit Rata-Rata (m3/dt) pada Model Suplai (Musim Kemarau – Pasang Kecil tanpa Pengambilan
Kemudian bila model suplai dilanjutkan pada hari berikutnya, ternyata hampir tidak terjadi suplai ( aliran masuk = 0 m3/dt ). Hal ini terjadi karena kapasitas
tampungan dari sistem telah hampir penuh, dimana elevasi muka air maksimum di dalam sistem sama
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
132
ISBN: 978-979-15616-4-8
L. Budi Triadi
Sementara itu debit rata-rata di semua cabang dapat dilihat pada Gambar 12 saat pasang besar dan pada Gambar 13 saat pasang kecil. Pada hari kedua dan ketiga, pemasukan air praktis hanya menggantikan volume air sejumlah yang diambil oleh petani pada hari pertama, yaitu sebesar lebih kurang 12.000 m3.
dengan elevasi muka air maksimum kondisi batas. Kondisi ini juga terjadi sama pada hari ketiga. Selanjutnya bila petani melakukan pengambilan air sebesar 1,2 lt/dt/ha pada periode suplai, maka volume air yang masuk ke dalam sistem meningkat menjadi lebih kurang 24.000 m3 di saat pasang besar dan 14.000 m3 di saat pasang kecil pada hari pertama.
1.2 l / dt / ha
1.2 l / dt / ha 1.2 l / dt / ha
0.03 0.04
0.05 0.04
0.04 0.06
0.02 0.00
0.07
0.01
0.06 0.07 0.07
1.2 l / dt / ha
0.06
0.02
0.05
0.03
0.05
0.03
0.04 0.05 0.05 0.06
0.10 0.11 0.11
0.00
0.08
0.08
0.08
1.2 l / dt / ha
0.08
0.15
0.14
0.08
0.00
0.12 0.13
0.00
1.2 l / dt / ha
1.2 l / dt / ha
0.27
0.15
0.27
0.14 0.14
0.03
0.04
0.03 0.04
0.06 0.08 0.09
0.07
0.05 0.04 0.04 0.03 0.02 1.2 l / dt / ha
0.00
0.01
0.02
0.08
0.14
1.2 l / dt / ha
0.07
0.05
0.08 0.06
0.06 0.07 0.08 0.09 0.10 0.10 0.11 0.12 0.13
1.2 l / dt / ha
1.2 l / dt / ha
0.05
0.07
0.05
0.04
Gambar 12. Debit Rata-Rata (m3/dt) pada Model Suplai (Musim Kemarau – Pasang Besar dengan Pengambilan 1.2 l/dt/ha)
Gambar 13. Debit Rata-Rata (m3/dt) pada Model Suplai (Musim Kemarau – Pasang Kecil dengan Pengambilan 1.2 l/dt/ha)
Kenyataan bahwa volume air yang masuk selalu lebih besar atau setidak-tidaknya sama dengan volume pengambilan oleh petani menunjukan bahwa sistem mempunyai kemampuan untuk memenuhi pasokan air seperti yang direncanakan. Di samping itu, kondisi dimana saluran tidak pernah kering juga merupakan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
indikasi lain yang menunjukkan kemampuan sistem memenuhi kondisi rancang bangun. Pada model drainasi di musim kemarau, model diawali dengan kondisi saluran penuh air ( elevasi muka air di dalam sistem sama dengan elevasi muka air maksimum kondisi batas ). Selanjutnya muka air turun perlahan133
ISBN: 978-979-15616-4-8
L. Budi Triadi
drainasi tanpa adanya drainasi lahan. Masing-masing gambar mewakili kondisi pasang besar dan pasang kecil. Lebih lanjut pada Gambar 16 dan Gambar 17 dapat dilihat kasus serupa namun dengan diperhitungkan adanya drainasi lahan.
lahan dan penurunan lebih lambat dari pada penambahan disaat model suplai, terutama ketika terjadi drainasi lahan. Walaupun demikian, volume air keluar hanya sedikit berbeda dari volume air masuk disaat suplai. Gambar 14 dan Gambar 15 menunjukan debit rata-rata di semua cabang selama hari pertama
0.07
0.02 0.01
0.04
0.01
0.00
0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.05
0.00
0.00
0.23
0.00
0.00
0.22
0.05
0.00
0.00
0.22
0.00
0.05
0.02
0.21
0.00
0.05
0.02
0.20
0.00
0.05
0.03
0.20
0.00
0.04
0.03
0.19
0.00
0.04
0.04
0.18
0.01
0.04
0.05
0.18
0.01
0.04
0.05
0.17
0.05 0.05 0.04 0.03 0.03 0.02 0.02
0.02
0.06
0.06
0.16
0.02
0.02
0.04
0.07
0.16
0.07
0.07
0.00
0.00
0.00
0.05
0.23
0.05
0.00
Gambar 14. Debit Rata-Rata (m3/dt) pada Model Drainasi (Musim Kemarau – Pasang Besar tanpa Drainasi Lahan )
Gambar 15. Debit Rata-Rata (m3/dt) pada Model Drainasi (Musim Kemarau – Pasang Kecil tanpa Drainasi lahan )
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
134
ISBN: 978-979-15616-4-8
L. Budi Triadi
0.04 0.04 0.03 0.03 0.02 0.02 0.01 0.00 0.00
0.00
0.10 0.11 0.12 0.12 0.13 0.13 0.14 0.14 0.15
1.2 l / dt / ha
0.15 0.00
1.2 l / dt / ha
0.00
1.2 l / dt / ha
0.00
0.15
0.00
0.00
1.2 l / dt / ha
0.10
0.11
0.04 0.04 0.00
0.00 0.00
1.2 l / dt / ha
1.2 l / dt / ha
0.00
0.30
0.15
0.30
0.00
0.29
0.00
1.2 l / dt / ha
0.03 0.02 0.01 0.00
0.03 0.02 0.02
1.2 l / dt / ha
1.2 l / dt / ha
0.02
0.03
0.08 0.07 0.06 0.05 0.04
0.25 0.26 0.27
1.2 l / dt / ha
0.29
0.28
0.10
0.09
0.21 0.23 0.24
0.24
0.08 0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.02
1.2 l / dt / ha
0.10
0.22
0.09
0.10
1.2 l / dt / ha
1.2 l / dt / ha
0.00
1.2 l / dt / ha
Gambar 16. Debit Rata-Rata (m3/dt) pada Model Drainasi (Musim Kemarau – Pasang Besar dengan Drainasi Lahan 1,2 l/dt/ha)
Gambar 17. Debit Rata-Rata (m3/dt) pada Model Drainasi (Musim Kemarau – Pasang Kecil dengan Drainasi Lahan 1,2 l/dt/ha)
Dari kondisi-kondisi yang terjadi di atas, dapat disimpulkan bahwa ketika model suplai dan model drainasi dibuat bergantian tiap hari, maka dapat diharapkan bahwa sirkulasi akan terjadi dengan volume sebagai berikut : - Pasang besar dengan pengambilan / drainasi lahan sebesar 1,2 lt/dt/ha = 24.000 m3 / hari - Pasang besar tanpa pengambilan / drainasi lahan sebesar 1,2 lt/dt/ha = 20.000 m3 / hari - Pasang kecil dengan pengambilan / drainasi lahan sebesar 1,2 lt/dt/ha = 14.000 m3 / hari - Pasang kecil tanpa pengambilan / drainasi lahan sebesar 1,2 lt/dt/ha = 5.000 m3 / hari Pada model drainasi di musim hujan dengan modulus drainasi sebesar 5,2 lt/dt/ha, diperlukan pengoperasian 3 ( tiga ) buah pintu, terutama selama periode pasang besar untuk mempertahankan muka air minimum yang cukup rendah di dalam sistem. Dengan cara ini, drainasi dari lahan ke saluran tersier tidak terhambat. Kondisi ini masih sesuai dengan konsep desain operasional pintu, dimana semua pintu harus dibuka untuk mempercepat drainasi di saat surut dan semua pintu ditutup di saat
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
pasang. Walaupun demikian, elevasi muka air di dalam sistem tidak lebih tinggi dari pada elevasi muka air maksimum kondisi batas, bahkan ketika hanya 1 ( satu ) buah pintu saja yang dioperasikan. Namun ketika hanya 1 ( satu ) pintu yang dioperasikan, elevasi muka air di dalam sistem cukup tinggi. Tetapi kondisi ini hanya terjadi bila curah hujan desain terjadi berbarengan dengan kondisi pasang. Oleh karena itu kapasitas drainasi dari sistem dapat disimpulkan telah mencapai kondisi optimum. Pada Gambar 18 sampai dengan Gambar 21, dapat dilihat debit rata-rata pada semua cabang pada model drainasi selama musim hujan dengan modulus drainasi 5,2 lt/dt/ha sebagai berikut : - Pasang Besar : Semua pintu dibuka ( Gambar 18 ) - Pasang Kecil : Semua pintu dibuka ( Gambar 19 ) - Pasang Besar : Hanya pintu tengah dibuka ( Gambar 20 ) - Pasang Kecil : Hanya pintu tengah dibuka ( Gambar 21 )
135
ISBN: 978-979-15616-4-8
L. Budi Triadi
0.01
0.10
0.07
0.13
0.09
0.05
0.08
0.06
0.03
0.04
0.01 0.05 0.07
5,2 l / dt / ha
0.11
0.15
0.14
0.17
0.14 0.18
0.16
0.21
0.18
0.16
0.16
0.19
0.14
0.17 0.19
0.20
0.20
0.23 0.20
0.20
5,2 l / dt / ha
0.20
0.62
0.20
0 .2 0
0.23
0.20
0.18
0.21 0.23 0.23 0 .2 0
5,2 l / dt / ha
5 ,2 l / d t / h a
0 .2 0
0.62
0.62
0.62
0 .2 0
5,2 l / dt / ha
0.11
0.15
0.11 0.14 0.16 0.18 0.20
5 ,2 l / d t / h a
0.01
5 ,2 l / d t / h a 0.11
0.07 0.09
0.05
0.08 0.10 0.12
0.05 0.07 0.09
5,2 l / dt / ha
0.01
0.03
0.01 0.03
0.04
0 .0 1
0.06
0.03
0.01
0 .0 1
5,2 l / dt / ha
5 ,2 l / d t / h a
5 ,2 l / d t / h a
0.09
5 ,2 l / d t / h a
Gambar 18. Debit Rata-Rata (m3/dt) pada Model Drainasi (Musim Hujan – Pasang Besar dengan Drainasi Lahan 5,2 l/dt/ha - Semua Pintu terbuka saat Surut)
Gambar 19. Debit Rata-Rata (m3/dt) pada Model Drainasi (Musim Hujan – Pasang Kecil dengan Drainasi Lahan 5,2 l/dt/ha - Semua Pintu terbuka saat Surut)
5.2 l / dt / ha
0.19
0.44
0.17
0.46
0.15
0.12
0.50
0.12
0.10
0.52
0.10 0.08
0.54
0.08
0.12 0.10
0.06
0.06
0.56
0.08 0.00
0.62
0.58 0.60
0.04
0.04
5.2 l / dt / ha
0.00
0.00
5.2 l / dt / h
0.00
0.62
0.00
0.00
5.2 l / dt / ha
0.02
1.2 l / dt / ha
0.62
0.00
0.02
0.04
0.02
0.06
0.56 0.58 0.60
1.2 l / dt / ha
0.62 0.00
0.00
0.62
0.00
5.2 l / dt / h
5.2 l / dt / ha
0.62
0.62
0.00
5.2 l / dt / h
0.15
0.50 0.52 0.54
0.08 0.06 0.04 0.02 0.00
5.2 l / dt / ha
0.21
0.48
0.15
0.17
0.17
0.19
0.44
0.12 0.10
0.15
0.48
0.17
0.46
0.19
0.21
0.19
0.21
0.21
5.2 l / dt / ha
5.2 l / dt / ha
5.2 l / dt / ha
0.62
5.2 l / dt / ha
Gambar 20. Debit Rata-Rata (m3/dt) pada Model Drainasi (Musim Hujan – Pasang Besar dengan Drainasi Lahan 5,21 l/dt/ha - Pintu Tengah terbuka saat Surut
Gambar 21. Debit Rata-Rata (m3/dt) pada Model Drainasi (Musim Hujan – Pasang Kecil dengan Drainasi Lahan 5,21 l/dt/ha - Pintu Tengah terbuka saat Surut
9. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dari simulasi model matematik yang telah dibuat dan dengan mengacu pada konsep rancang bangun serta kriteria desain, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
1. Dari respon hidraulik model pada simulasi musim hujan dan musim kemarau, terlihat bahwa sistem dengan dimensi saluran dan pintu air yang digunakan telah memenuhi prinsip sirkulasi air dengan konsep aliran satu arah ( one way flow system ). 136
ISBN: 978-979-15616-4-8
2. Sistem saluran tersier mampu melayani kebutuhan air irigasi sebesar 1,2 lt/dt/ha dan mampu mematus kelebihan air sebesar 5,2 lt/dt/ha. Kondisi ini dapat dikategorikan sebagai kondisi optimum. 3. Di musim kemarau, dengan mengoperasikan pintu air sesuai dengan perencanaan, terjadi sirkulasi di sistem saluran tersier. Volume sirkulasi sangat bergantung pada operasi pintu dan besaran aliran masuk / keluar ( inflow / outflow ) yang terjadi akibat tindakan yang dilakukan oleh petani. Nilai volume maksimum adalah sebesar 24.000 m3 / hari. 4. Sirkulasi terbaik terjadi ketika pintu air dioperasikan bergantian setiap hari antara fungsi suplai dan drainasi. 5. Kebutuhan untuk mempertahankan elevasi muka air tinggi di sistem saluran tersier pada elevasi tertentu saat periode suplai sesungguhnya bertentangan dengan kebutuhan sirkulasi maksimum. Kondisi ini terjadi akibat fluktuasi muka air kondisi batas akibat pasang surut air laut. 6. Di samping sirkulasi, kebutuhan petani akan air sebesar 1,2 lt/dt/ha di musim kemarau juga dapat dipenuhi oleh sistem. 7. Di musim hujan dengan curah hujan desain, semua pintu perlu difungsikan untuk mematus kelebihan air sehingga lahan akan terbebas dari banjir. Namun di saat hujan tidak besar, pengoperasian satu pintu saja telah mencukup kebutuhan drainasi. 10. SARAN 1. Mengacu pada kesimpulan no. 4, perlu perhatian adanya intrusi salinitas yang masuk ke dalam sistem ketika pintu air dioperasikan bergantian setiap hari antara fungsi suplai dan drainasi.
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
L. Budi Triadi
2. Mengacu pada kesimpulan no. 6, perlu diingat bahwa jumlah air yang dapat di suplai ke lahan persawahan sangat bergantung pada kondisi hidrotopografi lahan. DAFTAR PUSTAKA 1. Direktorat penyelidikan Masalah Air, Computer Programme for One Dimensional Unsteady Flow and ( Mixed ) Salt Intrusion, Part I: Theoritical Background , Jakarta. 2. Direktorat Penyelidikan Masalah Air, Computer Programme for One Dimensional Unsteady Flow and ( Mixed ) Salt Intrusion, Part II : Users Manual, Jakarta. 3. Chow, V.T., Ph. D., Open Channel Hydraulics, McGraw-Hill Kogakusha, Ltd., Tokyo, 1959. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Sdr. Purwono, BE dan Sdri.Kokom dari Balai Rawa dan Pantai, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, atas kontribusinya dalam menyelesaikan makalah ini. RIWAYAT PENULIS L. Budi Triadi adalah Peneliti Madya, di Balai Rawa dan Pantai, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, Depertemen Pekerjaan Umum serta Dosen Luar Biasa Jurusan Teknik Sipil di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung dan Institut Teknologi Nasional, Bandung.
137
ISBN: 978-979-15616-4-8
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Halaman Kosong
138
ISBN: 978-979-15616-4-8
Melly Lukman
Studi Genangan Yang Terjadi Di Kelurahan Lette Bila Tanggul Patompo Bobol Melly Lukman
Dosen Fakultas Teknik Sipil Uki Paulus Makassar
ABSTRAK Banjir umumnya terjadi ketika lahan kering tiba tiba digenangi air (atau aliran lumpur ) Banjir bisa berasal dari : badan air yang yang meluap , termasuk bangunan buatan manusia seperti bendungan (dam) dan tanggul (levee) ;keruntuhan bendungan ( dambreak ) dan tanggul ( levee failure ) ; terjadinya akumulasi air permukaan ( runoff ) yang sangat cepat ; dan yang tak kalah dahsatnya adalah akibat tsunami . Secara tipikal dua parameter yang sangat perlu diperhatikan adalah akibat banjir (flood) dan yang kedua aadalah terjadinya dam / levee failure (keruntuhan bendungan/tanggul) yang mana hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi topografi . Faktor lain yang yang memberikan kontribusi terhadap kerusakan adalah kecepatan aliran air (velocity head) ,material yang terbawa air ( debris) , dan lamanya waktu terjadi banjir . Banjir bisa terjadi kapan saja dalam setahun , pada umumnya adalah pada musim penghujan. Saat ini cukup banyak dam dan tanggul yang telah dibangun di Indonesia , bila terjadi kegagalan struktur maka akan menimbulkan bahaya terhadap nyawa manusia maupun harta benda Selain hal yang dimaksud. topografi yang curam akan meningkatkan kecepatan aliran permukaan ( runoff ) dan aliran debris . Kelangkaan vegetasi yang bisa menghambat aliran merupakan faktor lain , yang mana hal ini bisa mengakbatkan daerah rawan terhadap bahaya longsor . Studi ini bermaksud untuk meneliti seberapa besar genangan genangan yang akan terjadi apabila tejadi keruntuhan tanggul (levee breach) sungai Jeneberang yang terkenal dengan Tanggul Patompo . Pengaruh tersebut berupa genangan yang akan mengakibatkan pengaruh terhadap komplek perumahan yang sudah ada maupun yang akan direncanakan . Alat analisis yang digunakan adalah hydrodynamic model yang mampu mensimulasi aliran air pada floodplain (bantaran banjir) selama terjadi keruntuhan tanggul . Banjir bisa terjadi kapan saja dalam setahun , pada umumnya adalah pada musim penghujan . Semua daerah teritorial mempunyai resiko masing masing terhadap bahaya banjir . Terpisah dari musim penghujan , akibat faktor resiko lokal , biasanya juga bisa terjadi pada beberapa kombinasi , termasuk : Sungai , Dams dan Levees ( tanggul ) Kata Kunci
: Tanggul bobol, Banjir
1
PENDAHULUAN Banjir umumnya terjadi ketika lahan kering tiba tiba digenangi air (atau aliran lumpur) Banjir bisa berasal dari : badan air yang yang meluap , termasuk bangunan buatan manusia seperti bendungan (dam) dan tanggul (levee) ; keruntuhan bendungan (dambreak) dan tanggul (levee failure) ; terjadinya akumulasi air permukaan (runoff) yang sangat cepat ; dan yang tak kalah dahsatnya adalah akibat tsunami . Secara tipikal dua parameter yang sangat perlu diperhatikan adalah akibat banjir (flood) dan yang kedua aadalah terjadinya dam / levee failure (keruntuhan bendungan/tanggul) yang mana hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi topografi . Faktor lain yang yang memberikan kontribusi terhadap kerusakan adalah kecepatan aliran air (velocity head) , material yang terbawa air (debris) , dan lamanya waktu terjadi banjir . Banjir bisa terjadi kapan saja dalam setahun , pada umumnya adalah pada musim penghujan . Saat ini telah banyak dam dan tanggul yang telah dibangun di Indonesia , bila terjadi kegagalan struktur maka akan menimbulkan bahaya terhadap nyawa manusia maupun harta benda . Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Study ini akan mencoba menjelaskan tentang seberapa besar genangan yang akan terjadi pada bantaran (floodplain) bilamana keruntuhan (bobolnya) tanggul patompo , dimana aliran sungai jeneberang yang melewati Kota Makassar dan bermuara di Selat Makassar akan melalui beberapa kawasan padat penduduk, dimana salah satunya adalah kelurahan Lette yang telah dibangun rusunawa dan, juga sekarang ini sedang dibangun beberapa unit rusunawa . Dengan mengetahui seberapa luas dan tinggi genangan yang akan terjadi akibat bobolnya tanggul Patompo, maka dapat menjadi bahan pertimbangan pihak-pihak terkait dalam membangun infrastuktur pada kawasan tersebut, dan bagi masyarakat, dapat mengetahui resiko yang mungkin akan terjadi, sehingga dapat secara dini dan cepat mengantisipasi, segala kemungkinan yang akan terjadi. Dengan demikian dapat mengurangi terjadinya berbagai kerugian baik berupa harta benda, maupun jiwa. . 2. METODOLOGI PELAKSANAAN STUDI 2.1. Umum Pendekatan dan metodologi yang digunakan adalah one-dimensional looped network hydrodynamic 139
ISBN: 978-979-15616-4-8
Melly Lukman
model m yang akkan memperlaakukan bantaraan (floodplain)) sebagai s suatu penggal sunggai yang terpissah (separatee river reach) dim mana masing-m masing memiliiki karakteristikk hidrodinamis h yang berbedda. Pendekattan ini akann memberikan m sim mulasi kecepaatan dan kedalaaman air padaa bantaran b sepeeti halnya paada sungai utama. u , dann diharapkan d pennulisan ini muddah dipahami bagi b siapapunnn yang y punya minnat dibidang peenangulangan masalah banjirr Dalam m pelaksanaan studi ini akan dilakukan d 2( dua d ) macam perhitungan p yang sangat pentting yaitu pertama p adalahh menentukan lokasi dan anaalisis keruntuhan k tanggul dan keduua adalah perhitungan genangan g yangg terjadi pada bantaran b akibatt keruntuhan taanggul tersebuut . Data D –data yanng diperlukan dalam studi ini adalah a : Foto udaraa yang memilikii referensi koorrdinat UTM Data penggukuran bantaaran dengan menggunakann GPS Merkk Leica , hasil dari pengukuuran ini adalahh koordinat titik scakter dengan d X , Y , Z , yangg selanjutnyaa akan digunakan untuk mem mbangun DEM M ( Digital Eleevation Model ) . Pada penguukuran ini akann menggunakan referensi koordinat k UTM Zona 50 , dann refernsi kettinggian WGS884. Peta Landuse daerah bantaran yang y memilikki georeferennce yang sesuaai dengan data diatas . Potongan melintang Sungai S Jeneeberang padaa penggal yaang ditinjau kerruntuhan tangggulnya .
karakkteristik hidrodinamis yang berbeda b . Penddekatan ini mem mberikan simulaasi kecepatan dan kedalamaan air pada bantaaran seperti haalnya pada sungai utama . Model yanng akan digunnakan adalah HEC-RAS 3.1.22 dari US Armyy Corp. of Enggineers , model ini akan menssimulasi sistim m hidrodinam mis pada suaatu sungai sungai yang dilengkapi dengan suatu tanggul yang y dalam modeel dianggap suatu lateral struucture . Perhituungan yang digunnakan adalah unsteady flow w yang menggacu pada persaamaan Saint V Venant . Daerah yaang akan di buat b model seccara tipikal akan dibagi kedallam suatu sisstem sungai utama u dan bantaaran sesuai dengan keadaaan topografinyaa , bentuk penaampang melinttang (cross seection) serta ppola aliran yang terjadi . Interaaksi antara banntaran dan sunngai utama akan berupa suatu aliran diatas taanggul / levee . WMS 7.1 akan digunaakan untuk mensimulasi m keadaan bantaran selama hidroggrah naik mauppun turun . Hasill dari simulassi ini berupa peta genanggan banjir denggan menunjukkan kedalamaan yang terjjadi pada bantaaran .
2.2 2 Keruntuhan Tanggul ( leevee breachingg ) Sebeluum mengadakkan analisis geenangan yangg teerjadi pada baantaran (floodplain) maka perlu p diadakann analis a keruntuuhan tanggul . Tanggul suatu sungai diasumsikan d sebagai suatu lateral structuure (bangunann samping) s yangg berbentuk bangunan peelimpah (weir)) Skenario S kerunntuhan tanggul ada 2 macam m yaitu akibat : overtoping o atau piping . Apabila terjaadi keruntuhann taanggul maka air sungai akkan mengalir keluar tanggul menuju m ke suatu tempat yangg lebih rendahh di bantaran . Hasil H dari analisis keruntuhan tanggul adalah suatuu hidrograp h outfloow yang selanjutnya akan dipakai dalam m analisis a genanggan pada bantaaran .
3. 3.1
2.3 2 Analisis Geenangan banjir pada bantarran ( floodplain f deliineation ) Suatu model hidrodinamis (hydrodynamic model)) yang y akan dippakai adalah untuk u mensimuulasi aliran airr pada p bantarann dengan suatu s skenarioon keruntuhann taanggul (levee breach scenaario) .Pendekattan yang yangg akan a digunakan adalah one--dimensional loooped networkk hydrodynamic h m model yang akkan memperlakkukan bantarann (ffloodplain) sebbagai suatu peenggal sungai yang terpisahh (separate river reach) , dimaana masing masing m memilikki
Pertemuan P Ilmiah Tahunan T (PIT) HA ATHI ke-23, Manaado 10-12 Nopembber 2006
2.4 Penggambaran P n Genangan Hasil genaangan yang teerjadi dari analisis diatas akan di plot dengann men- superim mpose ke dalam m peta foto udaraa sehingga hassilnya akan lebbih nyata dan jelas j untuk di interpretasikan . Tahapann Pelaksanaan n Studi Data sekuunder yang diibutuhkan Dalam stuudi ini diperlukkan data sekuunder yang akan dipergunakan dalam studi, data d tersebut bberasal dari hasil studi terdahullu yang ada kaaitannya dengaan studi ini sehinngga data tersebut diaanggap relevaan untuk diperrgunakan. Adaapun data teersebut adalahh sebagai berikkut : a. Hydrograp H bannjir PMF untuk Sungai Jenebeerang
Gambar 1 Hydroggrap PMF
140
ISBN: 978-979-15616-4-8
Tabel 3.1 Debit PMF T Debit PMF (jam) (m3/dt) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
0.00 150.00 275.00 562.50 1687.50 2500.00 3250.00 4250.00 4750.00 4500.00 4250.00 3812.50 3687.50 3250.00 3000.00 2562.50 2250.00 2062.50 1750.00 1562.50 1375.00 1250.00 1125.00 1000.00 875.00 600.00
Melly Lukman
T (jam)
Debit PMF (m3/dt)
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
625.00 500.00 475.00 437.50 412.50 400.00 387.50 375.00 312.50 307.77 303.03 298.30 293.56 288.83 284.09 279.36 274.62 269.89 265.15 260.42 255.68 250.95 246.21 241.48 236.74
T (jam) 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75
Debit PMF (m3/dt) 232.01 227.27 222.54 217.80 213.07 208.33 203.60 198.86 194.13 189.39 184.66 179.92 175.19 170.45 165.72 160.98 156.25 151.52 146.78 142.05 137.31 132.58 127.84 123.11 118.37
T (jam) 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
Debit PMF (m3/dt) 113.64 108.90 104.17 99.43 94.70 89.96 85.23 80.49 75.76 71.02 66.29 61.55 56.82 52.08 47.35 42.61 37.88 33.14 28.41 23.67 18.94 14.20 9.47 4.73 0.00
b. Data tataguna lahan yang di hasilkan dari digitasi Peta Rupa Bumi 1 : 50 000 .
Gambar 2 Landuse Makassar Barat c.
Potongan Melintang Sungai Jeneberang
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Gambar 3 Lokasi Potongan Melintang Sungai Jeneberang 3.2 Pengukuran lokasi bantaran ( floodplain) dengan GPS Pengukuran GPS pada lokasi studi dilakukan pada batas garis lintang mulai 5.10oLS sampai 5.22oLS , sedang pada garis bujur terletak antara 119.375o BT sampai 119.515o BT . Pada pengukuran GPS ini dipakai proyeksi koordinat UTM zona 50 sedang datum 141
ISBN: 978-979-15616-4-8
digunakan d WG GS 1984 . Gambar 3.44 berikut ini menunjukkan m grid g hasil penggukuran pada daerah studi . Titik T titik pada grid diatas meenunjukan nilai X,Y.Z dimanaa X,Y X adalah kooordinat titik bersangkutan dann Z merupakann elevasi e , oleh sebab s itu hasil pengukuran ini merupakann pengukuran p 3 dimensi d ( 3D ) .
Melly Lukman
menggalami keruntuuhan akan meenimbulkan dam mpak pada daeraah studi .
Gam mbar 6 Arah alirran dan lokasi tanggul jenebeerang yang paling kritis Gambar 4. Baatas lokasi Penngukuran GPS pada daerah stuudi 3.3 3 Memb buat DEM ( Diigital Elevatio on Model) dari hasil h pengukuran GPS Untuk bisa dipakai d dalam modeling makka data scatterr XYZ X hasil penngukuran GPS S akan ditranssfer ke dalam m bentuk b DEM ( Digital Elevatiion Model ) , untuk ini DEM M yang y akan diguunakan adalah tipe USGS-DE EM . DEM yangg dihasilkan d ham mpir menyerupaai gambar konttour , bedanyaa pada p DEM ini bisa b menunjukkkan XYZ suatuu tempat dalam m peta p bila digunaakan dengan software s berbassis GIS . Padaa pembuatan p DE EM ini dipakai juga j proyeksi koordinat k UTM M zona z 50 sedanng datum diggunakan WGS S 1984 . Hasil trransfer hasil peengukuran menjadi bentuk DEM bisa dilihatt pada p gambar 3.5 berikut ini .
3.5
Modelingg Levee Breacch
Daalam modeling ini lokasi tangggul yang diangggap paling kritis adalah yang berada pada lokasi yang seesuai pada gambbar 3.6 diatass . Untuk itu diambillah sebbanyak 10 potonngan melintanng sungai Jeeneberang untuk dipakai dalam m levee breaach modeling . Debit yangg mengalir disunngai adalah deebit PMF yangg tertera pada Tabel 3.1 dan Gambar 3.1 . Initial flow di asumsikan seebesar 200 m3/dtt untuk dipaakai dalam analisis a tersebbut ( unsteaddyflow analysiss ) . Dalam modeling m ini diasumsikan terjaddi keruntuhan tanggul disebelah kanan suungai pada stasiun 9.6 . Dalam m keruntuhan tersebut akann terbentuk formaasi seperti weeir ( pada HECRAS biasanyya disebut sebaagai Lateral Strructures) padaa akhir breaching dengan panjaang 300m , side slope 1:1 padda kedua sisi . Breaching akan terjadi pada eelevasi muka air a sungai adalah + 12 m dan berakhir padaa elevasi + 6 m . Debit yaang keluar tangggul maksimum m adalah 79 m3/dt , debit inilah yang selannjutnya akan mengalir ke k daratan dan d akan menimbulkan genangan . Hasil seelengkapnya daapat dilihat padaa gambar berikuut dibawah ini .
Gambar 5. DEM hasil daari hasil pengukkuran GPS 3.4 3 Menenntukan flow direction ( arah aliran ) dengan d Prograam Topaz & WMS W 7.1 Dengan DE EM yang telaah dihasilkan diatas makaa dengan d mempergunakan Proogram TOPAZZ & WMS 7.11 bisa b ditunjukkaan arah dan alur aliran bila terjadi banjir . Penentuan P ini berdasarkan aliran grafitassi dimana airr akan a mengalir menuju ketempat yang lebih rendah . Dataa inni sangat pennting untuk diggunakan dalam m menentukann lookasi tanggul sungai Jenebeerang terdekatt yang apabilaa Pertemuan P Ilmiah Tahunan T (PIT) HA ATHI ke-23, Manaado 10-12 Nopembber 2006
Gam mbar 7 Lokasi Potongan P melinntang sungai Jeeneberang pada daerah Paranggtambung . 142
ISBN: 978-979-15616-4-8
Melly Lukman
Gambar 9. Stage –Hydrograph hasil analisis levee breaching .
Gambar 8. Parameter yang digunakan dalam Levee Breaching
Tabel 3.2 Output table dari analisis levee breaching
3.6.
Conceptual Model dengan Program HECRAS 3.1.2 Conceptual model yang dibuat disini adalah model hidrolika yang akan menganalisis tinggi muka air genangan yang mengikuti arah aliran hasil program TOPAZ seperti pada gambar 3.6. Jalur lintasan terdiri dari as dan tanggul pada kedua sisinya yang tersimpan dalam coverage 1D-hydraulic centerline . Perlu ditambahkan bahwa as saluran yang dibuat ini diawali pada lokasi dimana telah diperkirakan terjadi keruntuhan tanggul. Cross section yang digunakan adalah hasil ekstrasi sebanyak 25 potongan yang tersimpan dalam coverage 1D-Hydraulic Crosssection . Koefisien kekasaran Manning diambil berdasarkan dari Landuse pada gambar 3.2 . Dalam analisis ini yang dipakai adalah steady flow dengan debit puncak sebesar 79 m3/dt hasil dari levee breaching . Hasil selengkapnya bisa dilihat pada gambar berikut ini .
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Gambar 10. Jalur as saluran dan lokasi potongan melintang untuk penelusuran banjir
143
ISBN: 978-979-15616-4-8
Melly Lukman
Gambar 14 Grafik kecepatan aliran banjir
Gambar 11. Skematik model dalam Program HECRAS 3.7.
Floodplain delineation dengan Program WMS 7.1
Gambar 12. Potongan memanjang hasil penelusungan banjir Gambar 15. Genangan akibat levee breaching (tanggul runtuh) 4. KESIMPULAN
Gambar 13. XYZ perspectiva plot
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Dari hasil studi ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Semua daerah teritorial mempunyai resiko masing masing terhadap bahaya banjir . Terpisah dari musim penghujan , akibat faktor resiko lokal , biasanya juga bisa terjadi pada beberapa kombinasi , termasuk : keruntuhan tanggul sungai maupun keruntuhan bendungan . 2. Untuk studi ini dipakai pengukuran bantaran dengan GPS yang memakai koordinat UTM zona 50 dan WGS 1984 sebagai datum . 3. Untuk menganalisis pengaruh akibat apabila terjadi keruntuhan tanggul Patompo di S.Jeneberang terhadap Rusunawa Lette maka perlu dipilih lokasi sungai yang paling kritis pengaruhnya terhadap Rusunawa Lette bila terjadi keruntuhan tanggul ( breaching ) , untuk itu dipilih lokasi seperti terlihat 144
ISBN: 978-979-15616-4-8
pada gambar 3.3 dimana lokasi tersebut adalah terletak di Kelurahan Parangtambung . 4. Dengan analisis unsteady flow maka bila terjadi keruntuhan tanggul di sebelah kanan maka debit yang akan keluar tanggul adalah 79 m3/dt . 5. Selanjutnya dengan mengadakan routing maka debit sebesar 79 m3/dt tersebut akan mengalir dibantaran dengan alur seperti terlihat pada gambar 3.15. Terlihat bahwa lokasi rusunawa Lette masih cukup DAFTAR PUSTAKA 1. US Army Corp of Engineers , “ HEC-RAS River Analysis System – Application Guide “ , Hidrology Engineering Center , version 3.1.2 November 2002 .
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Melly Lukman
2. US Army Corp of Engineers , “ HEC-geo RAS User Manual “ , Hidrology Engineering Center , version 2.0 November 2002 . 3. Brigham Young University , “ WMS – Watereshed Modeling System Tutorial version 7.0 “, 2004 . 4. Daniel Snead and David R. Maidment , “ Floodplain Visualization Using HEC-GeoRAS “ , October 2002 . 5. TUCKER, Greg, GASPARINI, Nicole, BRAS, Rafael, RYBARCZYK, Scott , “An Object-Oriented Framework for Distributed Hydrologic and Geomorphic Modeling Using Triangulated Irregular Networks “ , Massachusetts Institute of Technology , 2004 .
145
ISBN: 978-979-15616-4-8
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Halaman Kosong
146
ISBN: 978-979-15616-4-8
Graita Sutadi, Ananta Bambang Sriyadi
Rencana Induk Konservasi Daerah Tangkapan Air Waduk Jatigede
1) Ketua
Graita Sutadi 1 ) Ananta Bambang Sriyadi 2)
HATHI Cabang Cirebon 2) Anggota HATHI Cabang Cirebon
Abstrak Waduk Jatigede yang akan dimulai pembangunannya pada tahun 2007, memiliki luas DTA 146.000 Ha, dengan angkutan sedimen rata-rata 25 juta ton/tahun,atau tingkat denudasi 5,3 mm/tahun. DAS ini adalah salah satu dari 60 DAS terkritis di Indonesia, maka diharapkan pada awal operasinya kondisi daerah tangkapan air (DTA) Waduk Jatigede, sudah dikonservasi seperti yang direncanakan. Seberapa besar tingkat perubahan lahan terhadap produk sedimentasi sungai, berdasarkan perbandingan yang ada dengan sekarang, merupakan bahasan dalam tulisan ini. Maksudnya agar dapat digunakan untuk antisipasi perencanaan konservasi sehingga setiap kegiatan pengelolaan sumber daya air dapat dilaksanakan secara terpadu dan secara sinergis terkoordinasi. Dengan demikian maka kegiatan-kegiatan pengelolaan sumber daya air dapat dipahami, diprogramkan, dan dilaksanakan oleh seluruh stakeholder-nya sebagaimana mestinya. Dalam hasil analisis sedimen studi-studi terdahulu menghasilkan mean annual sediment inflow yang berbeda –beda , termasuk hasil analisis sediment 2006 yang menggunakan data existing. Terobosan rencana induk konservasi DTA Waduk Jatigede dilakukan untuk mengantisipasi kinerja DTA-nya agar sudah siap pada saat waduk beroperasi. Pada saatnya nanti, rencana induk ini perlu dikaji-ulang sesuai dengan acuan induknya. Kata Kunci
: DTA Waduk Jatigede, Tingkat Perubahan Lahan, Konservasi, Angkutan Sedimen
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Waduk Jatigede yang akan dimulai pada tahun 2007, Pelaksanaan seluruh sistem waduk direncanakan dapat diselesaikan dalam waktu sekitar 10 tahun,Luas DTA Waduk Jatigede 146.000 Ha,dengan angkutan sedimen rata-rata 25 juta ton/tahun,atau tingkat denudasi 5,3 mm/tahun, adalah salah satu dari 60 DAS terkritis di Indonesia, maka diharapkan pada awal operasinya kondisi daerah tangkapan air (DTA) Waduk Jatigede, sudah dikonservasi seperti yang direncanakan. Untuk menyiapkan rencana konservasi tersebut, maka segera perlu disusun suatu rencana induk konservasi yang akan digunakan sebagai acuan dalam penyusunan program jangka panjang dan rencana kegiatan tahunan. Ruang Lingkup Bahasan ini mencakup tinjauan tentang rencana Induk Konservasi,yang didalamnya mencakup evaluasi tingkat sedimen yang akan masuk dalam waduk, kajian analisis dan evaluasi terhadap pengelolaan lahan,Menyiapkan rencana induk konservasi berdasakan pengelolaan sumber daya air terpadu, memadukan program kerja stakeholderyang terkait di DTA waduk Jatigede,yang Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
bertujuan meminimalkan beban sedimen yang masuk Waduk jatigede Maksud dan Tujuan Bahasan ini dimunculkan dengan maksud agar diketahui tingkat perubahan lahan terhadap produk sedimentasi sungai, berdasarkan perbandingan yang ada dengan sekarang, digunakan untuk antisipasi perencanan konservasi sehingga setiap kegiatan pengelolaan sumber daya air dapat dilaksanakan secara terpadu dan secara sinergis terkoordinasi. Dengan demikian maka kegiatan-kegiatan pengelolaan sumber daya air dapat dipahami, diprogramkan, dan dilaksanakan oleh seluruh stakeholder-nya sebagaimana mestinya. Sasaran Dan Manfaat. RIK DTA Jatigede disusun sebagai rencana jangka panjang yang memuat pokok-pokok program kegiatan konservasi SDA terpadu,sasarannya adalah tergambarnya daerah yang mengalami percepatan erosi, kuantitasnya, proses erosinya, penyebabnya, dan usulan penanggulangannya baik secara fisik dan non fisik dengan mengakomodasikan aspek-aspek sosio – ekonomi budaya dan lingkungan hidup, penyusunan RIK DTA Jatigede Harus Sudah Mengacu UU No:7, Tahun 2004 ttg SDA. 147
ISBN: 978-979-15616-4-8
Graita Sutadi, Ananta Bambang Sriyadi
Bandung. DTA Waduk Jatigede dibagi dalam 11 Sub DTA diuraikan dari hulu ke hilir seperti dalam Tabel.I.
Tabel.1. Sub DTA Waduk Jatigede. Kondisi Daerah DTA Waduk Jatigede. DAS /DTA Jatigede mencakup 3 wilayah Kabupaten Yaitu Garut, Sumedang Dan Kabupaten
LAHAN KRITIS DAS CIMANUK-HULU SUB DAERAH TANGKAPAN AIR (DTA) No
A.
KABUPATEN GARUT
Berdasarkan pengukuran sedimen di lapangan didapat data sebagai berikut. Tabel 2. Sedimen di lapangan Tahun Denudasi 1952 0,6 mm/thn 1977 3,7 mm/thn 2000 4,98 mm/thn 2006 4,4 mm/thn Program konservasi di DTA Jatigede telah dilaksanakan sejak tahun 1950 sampai dengan sekarang, ,namun dalam pelaksanaannya masih terkesan sendiri-sendiri sehingga hasilnya belum optimal . Permasalahan. • Meningkatnya kejadian bencana alam. • Proses degradasi & agradasi yang tidak berimbang. • Terancamnya kelestariam sumber air. • Pola tanam masyarakat cenderung berlawanan dengan kaidah konservasi.
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
(HA)
(%)
1.173
30.460
26
162
8.057
50
1.
Cimanuk Hulu
2.
Cibodas
97
3.363
35
3.
Cicayur - Cipeujeuh
68
964
14
4.
Cikamiri - Ciroyom
100
3.574
35
5.
Ciherang - Cisangkan
133
2.434
18
6.
Cibeureum - Cimuara
117
2.568
22
7.
Citameng - Cipari
123
1.648
13
8.
Cianten - Cipancar
256
6.568
26
9.
Cipedes
117
1.266
11
287
10.415
36
Cialing - Cicacaban
144
6.618
46
Cikujang - Cimuja
143
3.797
27
1.460
40.875
28
KABUPATEN SUMEDANG
B.
Sumber : • BPDAS CIMANUK – CITANDUY • DINAS KEHUTANAN GARUT & SUMEDANG • BIRO BINA PRODUKSI SETDA PROVINSI JAW A BARAT
NAMA
LAHAN KRITIS S/D 2004
(KM2 )
10 . 11 .
JUMLAH LUAS DTA
• •
Erosi pada DTA Waduk Jatigede Relatif Tinggi. Program Konservasi belum optimal ,sehingga cenderung sendiri – sendiri,pelaksanaan konservasi kurang melibatkan masyarakat setempat .
PEMECAHAN MASALAH. Upaya pengendalian konservasi dirumuskan didalam rencana induk yang terdiri dari : Konsep dasar &Strategi, dengan melihat kondisi sosial ekonomi, kondisi lahan, penggunaan lahan kondisi sekarang , penanggulanganya , dan pelaksanaan,seperti pada gambar 1.,Yang berisi sebagai berikut : • Konsep perubahan institusi bidang pengelolaan konservasi SDA,sesuai dengan amanat UU No:7 ,Tahun 2004 ,ttg SDA.. • Penanggulangan erosi DTA dengan cara Fisik & Non Fisik. • Pelaksanaan penanggulangan erosi dengan melibatkan peran serta masyarakat.
148
ISBN: 978-979-15616-4-8
Graita Sutadi, Ananta Bambang Sriyadi
RENCANAINDUK INDUK KAWASAN KAWASANTARGET TARGET RENCANA Konsep KonsepDasar Dasar&&Strategi Strategi Kondisi KondisiSosial SosialEkonomi Ekonomi
Kondisi KondisiLahan Lahan
Kondisi KondisiPenggunaan PenggunaanLahan Lahan
-Protected Forest Area (Including State Forest) -Buffer Area (1 to 3 km) -Cultivated Area
-Rainfall Intensity -Soil Sensitivity -Slope Condition
Existing ExistingMaster MasterPlan Plan
Strategi Strategi
Critical CriticalZoning Zoning
Land Use For Sediment Control Land Use For Sediment Control
Penanggulangan Penanggulangan
-Devasted Area -Grass Land -Bare Land -Dry Field
-Pertanian, Kehutanan -Pertanian, -Dan Lain-lainKehutanan -Dan Lain-lain
Kondisi Kelembagaan
Structural StructuralMeasures Measures
Non-Structural Non-StructuralMeasures Measures
Kondisi Sekarang Kondisi Sekarang
Pelaksanaan Pelaksanaan
-Planting Works -Hillside Works -SlopeProtection Control Works
-Kelembagan -Pemberdayaan Masyarakat
Rencana RencanaPengawasan Pengawasan Pelaksanaan PelaksanaanProgram Program -Proyek Prioritas -Pelaksanaan Program -Perkiraan Biaya
EEvvaal luuaassi i
Gambar 1. Perumusan Rencana Induk Konservasi. Pelaksanaan Konservasi DTA Waduk Jatigede. Untuk mengatasi sedmentasi baik dari erosi lahan maupun sungai dilakukan dengan : Fisik dan Non fisik , cara fisik dilakukan dengan cara sipil teknis
Pengelolaan PengelolaanSediment Sediment Secara Secaraterpadu terpadudi diseluruh seluruh Daerah DaerahAliran AliranSungai Sungai Cimanuk CimanukHulu(DTA) Hulu(DTA)Jatigede Jatigede
dan non sipil teknis , dari hasil analisis data yang telah dilakukan , dibuat program penanganan seperti Gb.1, sedangkan penanganan secara fisik dilakukan seperti Gambar.2.
In InStream Stream: :Pengendalian Pengendaliandengan dengankonsep konsep: : 1. 1. Mengalirkan MengalirkanSediment Sedimentdari darihulu huluke kehilir hilir 2. 2. Menahan MenahanAliran AliranDebris DebrisFlow Flowdi dihulu hulu 3. 3. Mengurangi MengurangiSediment Sedimentyang yangtertampung tertampungdi di bagian bagianhulu hulu(di (disabo sabodam dam&&sand sandpocket) pocket) 4. 4. Mengurangi MengurangiSediment Sedimentdi diwaduk waduksecara secaramekanis mekanis 5. 5. Pengendalian Pengendalianpenambangan penambanganpasir pasir 6. 6. Stabilisasi Stabilisasidasar dasarSungai SungaiCimanuk Cimanukdi dibagian bagian tengah tengahdan danhilir hilir
Off OffStream Stream: :Konservasi Konservasidengan dengankonsep konsep: : 1. 1. Menahan Menahantingkat tingkatlaju lajuerosi erosipermukaan permukaan 2. 2. Pencegahan Pencegahanpembuangan pembuangansampah sampahke kebadan badanair air 3. 3. Pengembangan Pengembanganembung embungdan danLong LongStorage Storage
Gambar .2. Program Penanggulangan DTA Jatigede
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
149
ISBN: 978-979-15616-4-8
Graita Sutadi, Ananta Bambang Sriyadi
Klasifikasi Klasifikasi Fungsi Fungsi Lahan Lahan
Fungsi Fungsi Lahan Lahan II (Kawasan (Kawasan Hutan Hutan Lindung) Lindung)
(1) (1) (2) (2) (3) (3) (4) (4) (5) (5)
Fungsi Fungsi Lahan Lahan IIII (Kawasan (Kawasan Penyangga) Penyangga)
Lahan Lahan yang yang Rusak Rusak Lereng Lereng Longsor Longsor Lahan Lahan Kosong Kosong Lahan Lahan Rumput Rumput Pertanian Pertanian Tanaman Tanaman Kering Kering
(1) (1) (2) (2)
Fungsi Fungsi Lahan Lahan III III (Kawasan (Kawasan untuk untuk ditanam) ditanam)
(1) (1)
Pertanian Pertanian Tanaman Tanaman Kering Kering Lereng Lereng Terjal Terjal Longsor Longsor karena karena pertanian pertanian
Slope Slope << 40% 40%
Slope Slope 40-65% 40-65%
Kawasan Kawasan Keairan Keairan -Kawasan -Kawasan Waduk Waduk -Kawasan -Kawasan Sungai Sungai (2) (2) Kawasan Kawasan Jalan Jalan Umum Umum -Tebing -Tebing Longsor Longsor
Kawasan Kawasan Pertanian Pertanian Berkembang Berkembang
Kemiringan Lereng Kemiringan Lereng
Penghutanan Penghutanan Kembali Kembali
Kawasan Kawasan Lain Lain
Perlindungan Perlindungan Erosi Erosi Permukaan Permukaan Dan Dan Stabilitas Stabilitas Lereng Lereng
Agro-Forestry Agro-Forestry atau atau Terasering Terasering Slope Slope >> 65% 65%
Bangunan Bangunan Parit Parit Penahan Penahan Sediment Sediment
Slope Slope 8-15% 8-15%
Slope Slope 15-25% 15-25%
Slope Slope 25-40% 25-40%
Kerapatan Kerapatan Rendah Rendah
Kerapatan Kerapatan Sedang Sedang
Kerapatan Kerapatan Tinggi Tinggi
Tidak Tidak Ada Ada Masalah Masalah Penanganan Penanganan pada pada Kawasan Kawasan Pengembangan Pengembangan Pertanian Pertanian
Green Green Belt Belt
Perlindungan Perlindungan Stabilitas Stabilitas Lereng Lereng
Penahan Penahan Tanah/Bronjong Tanah/Bronjong Terasering Terasering
Agroforestry Agroforestry
Tanaman Tanaman Pohon Pohon
Terasering Terasering
Tanaman Tanaman Pembatas Pembatas Keliling Keliling
Dilindungi Dilindungi dengan dengan Rumput Rumput
Gambar 3. penanggulangan secara Fisik. peran masyarakat lebih banyak , diusulkan lembaga Penanggulangan Non Fisik. tersebut seperti Gb.3, sedangkan institusi Sesuai dengan isi UU No:7 ,Tahun 2004 Ttg SDA, pelaksanan diusulkan seperti Gb.4. Perlu dipirkan kelembagaan yang menangani konservasi di lapangan dengan mengikut sertakan
PPe emme er irni nt at ah ha an n P ro p in s i P ro p in s i DDinina as sKKe eh hu ut at an na an n
DDi nina as sPPUU P e n g a ira n P e n g a ira n
DDi ni na as sPPe er trat an ni ai an n
B alai P P S A W S B a la i P P S A W S
BBPPDDAASS
J a s a T irta J a s a T irta K a n to r P e n g e m b an g an K a n to r P e n g e m b a n g a n S u n g a i C im an u k S u n g a i C im a n u k K a n to r P ro y e k K a n to r P ro y e k
PPe emme er irni nt at ah ha an n K a b u p a te n K a b u p a te n DDinina as sKKe eh hu ut at an na an n
PPe emme er irni nt at ah ha an n K e c a m ata n K e c a m a ta n
D in a s P U D in a s P U KKa ab bu up pa at et en n
DDi ni na as sPPe er trat an ni ai an n
KKa an nt ot or rCCa ab ba an ng g
KKa an nt ot or rCCa ab ba an ng g
Gambar 4. Organisasi yang terkait dengan Konservasi DTA
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
150
ISBN: 978-979-15616-4-8
Graita Sutadi, Ananta Bambang Sriyadi
FFoorm i PPeere a aann KKoonns s eerva rmuulas la si rennccaanna rvassi iDDAASS RRen enca cana n aaka a k ann DDilak s an ilaks a naakan kan OOleleh h PPUU
MMaassu u kk a nnKKee k ka GGNN-R -RHHLL
RRen a nnaaAAka e ncca kann DDilak s an an ila ks anaakkan DDininas asPPro roppininsi/K s i/Kab ab./K ./Koot t
KKan anto tor r CCim iman anuukk
R e nc a na Ak a n Rencana Akan DDila k aann ilaksa k sanna ak OOleleh h Ins In statannssi iLLaaininnnya ya
MMas t a sya yararak ka at
D in a s K e hu ta n a n D ina s K e hu ta n a n
NNGGOOSS
KKan anto tor r MMt.t.CCim n uukk imaan
DDinina as sPPe erta rtanniaiann
BBalai ala iCCim iman a nuukk
DDinas in a sPPUU
SSeekktotor rSSwwa as s tata LLaainnya in nya PPeerum ru m P erh u ta n i P e rh u ta ni
Gb.5. Institusi pelaksana.
Rumusan Kebijakan SDA Tingkat Nasional Tingkat Propinsi Tingkat Kab/Kota Kearifan Lokal
Masyarakat
Pola Pengelolaan SDA WS (Keputusan Publik)
Rencana Pengelolaan SDA-WS Rencana Induk PSDA Studi Kelayakan PSDA Program PSDA Rencana Kegiatan PSDA
Rumusan Kebijakan SDA
Kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatankegiatan konservasi SDA, pendayagunaan SDA, dan pengendalian daya air yang merusak.
Tingkat Nasional Tingkat Propinsi Tingkat Kab/Kota Kearifan Lokal
Masyarakat
Pola Pengelolaan SDA WS Cimanuk (Keputusan Publik)
Rencana Pengelolaan SDA-WS Cimanuk
Rencana Jangka Panjang Yang Memuat Pokok-Pokok Program Kegiatan PSDA WS
Terselenggaranya Pengelolaan SDA Yang Dapat Memberikan Manfaat Yang Sebesar-Besarnya Bagi Kepentingan Masyarakat Dalam Segala Bidang Kehidupan
Rencana Induk PSDA WS Cimanuk Studi Kelayakan PSDA WS Cimanuk, Program PSDA WS Cimanuk, Rencana Kegiatan PSDA WS Cimanuk.
Kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatankegiatan konservasi SDA, pendayagunaan SDA, dan pengendalian daya air yang merusak.
Rencana Jangka Panjang Yang Memuat Pokok-Pokok Program Kegiatan Konservasi Sumber Daya Air.
Rencana Induk Konservasi DAS Cimanuk
Rencana Induk Konservasi DTA Rencana Waduk Jatigede
Gambar 6. Hirarki Pengelolaan Sumber Daya Air
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Gambar 7. Keterpaduan Pengelolaan SDA.
151
ISBN: 978-979-15616-4-8
Graita Sutadi, Ananta Bambang Sriyadi
Pengelolaan SD Lahan
Pengelolaan SDA
Pengelolaan SD Lainnya
PEMBAGIAM BLOK ARBORETUM CIMANUK
D ENAH TANAMAN ARB OR ETUM CIMANUK D I LE GOK P ULUS ?
Pusp a 5
sur en 3
M angl i d 3
KOLEKSI TANAMAN so s is
4
Ki bereum 1 ?
k emir i
k emi r i
k emi r i
k emi r i
kemi ri
kemi ri
ki p ut ri 1
gl od okan 3
kemi ri
c emp ak a 2
t is uk 1
kemi ri
kemi ri
kemi ri
kemi ri
kemir i
ko pi
ko pi
r bst a
rb st a
sal am
cengk eh
mahk ota dewa
kop i
ar ab ik a
p ic ung
mahko ta dewa
k op i
rbs t a
k opi
p ic ung
mahko ta
s al am
?
sal am
?
k es emek
sawo
k es emek
sawo
beland a
k es emek
mawar
saw o
keci k
?
k op i
duku
duk u
sawo
duk u
c engkeh Zanz i bar
pala
mal ak a
mngg is
k ay u
Duri an
Duri an
Dur i an
M t ong
Pt ruk
Pt ruk
kecapi
Cpd ak
M ngg is
Cpd ak
N ang ka
Cpd ak
Nang ka
J er uk b al i
J er uk Ragi
?
C engki r
Ok yong
Ok yong
A M ani s
M angg a A M ani s Jamb
B ol
Duri an
M ang ga
M angg a
M angg a
?
?
G edo ng
L j i wa
?
J er uk
J er uk
G ar ut
Sr ik ay a
J er uk
G ar ut
Sr ik ay a
J er uk
Garut
L j i wa
Jamb
B ol
Duri an
Cane Sr ik ay a
S i rs ak
Si r sak
Jeruk
Jeruk
Jeruk
J er uk
Gar ut
Gar ut
Gar ut
G ar ut
m k ud u
m k udu
J er uk
Jer uk
Garut
Sunk is t
J amb
Mo ny et
A ir
M angg a
J er uk
J er uk M d ri n
J amb
J amb
Air Jamb
M anal ag i
Air
J BK
Sunk is t
al pukat
J amb
A ir
Jeruk
J BK
JB K
Pr imong
M er ah
M er ah
J er uk
Jeruk Si am
Deli ma
Purut
al pukat
J BK
l engkeng
JB K
l eng keng
leng keng
leng keng
l engk eng
l engkeng
l engk eng
merah
J BK
k ddo ng
k ddo ng
k ddo ng
k ap as
RB T
RB T
L bl s Del i ma
l engkeng
mer ah
JB K no n bi j i
JB K kap as
RB T l bs Del i ma
A pel Cer mai
Cer mai
Blb
W uluh
wuluh
RB T
wl ahar D el i ma
RB T
wl ahar
D el ima
T kuih
Del ima
RB T
R BT
R BT
RB T
T kuih
B nj ai
R api ah
Rapi ah
Del ima
A pel
Tai wan angg ur
Blb
J er uk
mer ah
J BK non bi j i
JB K non bi ji
RB T l bs Del i ma
Cermai
J er uk Ni p is Jeruk
Purut
JB K
mer ah J BK non b ij i
l bs
Jeruk Si am
J er uk N ip is Jeruk
l emo n
no n bi j i RB T
l emonade
Jeruk Si am
Jer uk Purut J er uk
JB K
J er uk
l emond
J er uk
JB K
M er ah J BK M erah
Jeruk Si t run
N ip is
c et ra JB K
JB K Mer ah
Jeruk Si t run
l emo n
J amb A ir
A ir
Air
JB K M er ah
al pukat
Air Jamb
J amb
M erah
J er uk P ri mong
Jamb
Air
M angga
Jeruk
J er uk P ri mo ng
Jer uk Si t run
Jeruk l emon
M onyet Jamb
M ony et
G ar ut
Sunk is t
Jeruk M dri n
Jamb
Jamb
Gol ek
Si r sak
Jeruk
Jeruk M dr in
B ol
M angga
Gedong
Gedo ng
Jeruk Ragi
m k ud u
Jamb
M angga
Garut
Jer uk Ragi m k ud u
k
sal ak
M angga
M ang ga
Duri an
C ane
Sr i kay a
oh
Pnd oh
mangl i d
mani s
cempak a
M ang ga
M angga
M angga
?
D ur ian
P wi ra
m kudu
salak
t anj ung 3
kayu
mani s
kayu
manis
pusp a
C engki r
M ang ga
Dur i an
D ur ian
Jer uk
J er uk b al i
Dur i an
Dur i an Pwi ra
Gar ut J er uk b al i
m kudu
Pnd oh
k ayu
mani s
kayu
mani s
mala
M ang ga
M angg a
Nang ka
A M ani s
J er uk
k ay u
mani s
kayu
mani s
rasa
TEM P AT P ARKIR
M ang ga
Sukun
Duri an M t ong
Ok yong kecapi
Sr i kaya
Ragi
k ay u
manis
kayu
Zanz ib ar
Kl uwi h
mnggi s
k ecapi kecapi
mani s
ceng keh
beureum
p ut ri
K luwi h
Kl uw ih
K l uwi h
Cengk ir
mal ak a
r bs ta
kayu
mani s
cengk eh ?
mawar
ki
p al a Ki ar a
l o bi 2
kec i k s awo
k es emek
duku pi si t an
samol o
rb st a
k ay u
mani s
cengk eh
c engkeh
pala ki
p al a l obi 2
bnt
sawo
keci k
c engk eh
pala
put i h
k es emek
sawo
beland a
s awo kes emek
pi s it an
?
kay u
put i h l obi 2
kes emek
s awo bel anda
c engk eh
ko pi
r bst a kayu
puti h
cengk eh
k opi
r bs ta kayu
puti h
cengk eh
k opi
r bs ta kayu
puti h
dewa
k opi
r bs ta
kayu
A r ab ik a
kesemek
kesemek an
kop i
rb st a
k ay u
mani s
p ic ung
? c okl at
kop i
ik a
nda
jati 3
mahoni 3
ko pi
pi cung
at
o
Cermai
Blb
Blb
B lb
B lb
wul uh
buah
buah
b uah
Tai wan
angg ur
angg ur
ang gur
hij au
hij au
hi j au
hi jau
angg ur
angg ur
angg ur
ang gur
merah
merah
merah
mer ah
BLOK TANAM P ERDU
PROSES INTEGRASI
Keterpaduan Alami : • • • •
•
Daerah Hulu-Hilir Kuantitas-Kualitas Air Hujan, Air Permukaan, dan Air Bawah Tanah Penggunaan Lahan (Land Use) – Pendayagunaan Air (Siklus Hidrologi)
Pengelolaan Terpadu SDA •
Wadah Koordinasi Lintas Sektor + Lintas Wilayah
•
Keterpaduan NonAlami :
KANTOR
Antar Sektor dalam pembuatan kebijakan, program, dan kegiatan (nasional, propinsi, kab/kota) Antar Stakeholder Antar Daerah (horizontal dan vertikal)
GREEN HOUSE
Keterpaduan Tindak Untuk Menjaga Kelangsungan Fungsi dan Manfaat SDA, SD Lahan, dan SD Lainnya
Gambar 8. Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Implementasi Konservasi DTA Jatigede pada IPK Cimanuk-Cisanggarung. Pelaksanaan konservasi terpadu telah dilakukan di IPK Cimanuk –Cisanggarung pada T.A 2002 dengan dimulainya pembangunan Arboritum mata Air Cimanuk di Legok Pulus ,Desa Sukakarya ,Kecamatan Samarang Kabupaten Garut, Jawa Barat., yang terdiri dari pembangunan Kantor ,Laboratorium jenis tanaman, pembuatan percontohan terasering dll, seperti gambar 7. Arboritum diharapkan menjadi laboratorium dijadikan model di Lapangan dimana dalam program yang sedang dan akan berjalan dibuat kegiatan percontohan konservasi dengan melibatkan masyarakat sekitar lokasi, disamping itu pada DAS tersebut dijadikan DAS percontohan GN-KPA yang melibatkan Departemen/Dinas terkait dan masyarakat.
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Gambar 9. Arboritum Mata Air Cimanu Legok Pulus. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan . 1. Dalam hasil analisis sedimen studi-studi terdahulu menghasilkan mean annual sediment inflow yang berbeda –beda , termasuk hasil analisis sediment 2006 yang menggunakan data existing. 2. Terobosan rencana induk konservasi DTA Waduk Jatigede dilakukan untuk mengantisipasi kinerja DTA-nya agar sudah siap pada saat waduk beroperasi. Pada saatnya nanti, rencana induk ini perlu dikajiulang sesuai dengan acuan induknya. Saran. 1. Perlu segera disusun Pola Pengelolaan Sumber Daya Air WS Cimanuk Cisanggarung , yang merupakan keputusan publik , sehingga dapat dipakai sebagai acuan pelaksanaannya. 2. Untuk menjamin keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat SDA, Sumber daya Lahan dan sumber daya lainnya di WS Cimanuk , kiranya perlu segera dibentuk wadah koordinasi lintas sektoral dan lintas wilayah . DAFTAR PUSTAKA 1. Colenco Power Engineering Ltd,et.al. Jatigede, Multipurpose Project,Project Preparation Review, Study. 2000. Dept. PU. Jakarta. 2. Robert J. Kodoatie, Roestam S,2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Penerbit Andi, Yogyakarta.
152
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sochech, Widyo Parwanto
Mengembangkan Mekanisme Transaksi Hulu - Hilir Untuk Kegiatan Konservasi Sumber Daya Air Di DAS Brantas Sochech 1) Widyo Parwanto 2) 1), 2) Perum
Jasa Tirta I
Abstrak Manfaat Sungai Brantas yang merupakan satu dari 2 sungai terbesar di Pulau Jawa sangat besar terhadap masyarakat. Oleh sebab itu Pemerintah telah membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perum Jasa Tirta I yang diberi tugas untuk mengelola sarana dan prasarana pengairan yang ada di wilayah sungai Brantas. Konservasi telah menjadi persoalan dalam pengelolaan sumberdaya air yang berdampak terhadap mutu pelayanan bagi pemanfaat. Masyarakat yang ada di bagian hulu sering dijadikan “kambing hitam” dari persoalan tersebut, bahwa mereka telah melakukan eksploitasi lahan yang tidak mengindahkan kaidah-2 konservasi. Dengan kondisi tersebut sebetulnya ada mekanisme yang perlu dibangun antara pemanfaat yang ada di hilir dan masyarakat yang mengelola lahan di hulu agar terjadi hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Perum Jasa Tirta I (PJTI) mencoba menerapkan model pembayaran jasa lingkungan sebagai bentuk transaksi hulu-hilir sehingga didapatkan suatu hubungan yang saling menguntungkan. Hasil dari kegiatan ini antara lain adalah 1) Secara ekonomi kegiatan transaksi hulu-hilir telah dapat memberikan peningkatan pendapatan masyarakat petani dan perbaikan lingkungan; 2)Bentuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang diberikan PJT I kepada petani berdasarkan program kegiatan yang dituangkan dalam perjajian yang dilaksanakan melalui mediator YPP (LSM); 3) Untuk merealisasikan program-program yang disusun oleh kelompok petani peran fasilitator (YPP) sangat penting Kata Kunci
: Transaksi Hulu-Hilir, Konservasi SDA, Usaha Tani
I. PENDAHULUAN Sungai Brantas merupakan salah satu dari 2 sungai terbesar di Pulau Jawa telah memberikan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat yang berada di sepanjang aliran sungai baik manfaat ekologi, social dan ekonomi. Sejak 1990 Pemerintah telah membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Perum Jasa Tirta I yang diberi tugas untuk mengelola sarana dan prasarana pengairan yang ada di wilayah sungai Brantas. Untuk biaya pengelolaan tersebut PJT I diberi kewenangan untuk menerima biaya jasa pengelolaan sumberdaya air dari para pemanfaat. Konservasi telah menjadi persoalan dalam pengelolaan sumberdaya air yang berdampak terhadap mutu pelayanan bagi pemanfaat. Masyarakat yang ada di bagian hulu sering dijadikan “kambing hitam” dari persoalan tersebut, bahwa mereka telah melakukan ekploitasi lahan yang tidak mengindahkan kaidah-2 konservasi. Dengan kondisi tersebut sebetulnya ada mekanisme yang perlu dibangun antara pemanfaat yang ada di hilir dan masyarakat yang mengelola lahan di hulu agar terjadi hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Perum Jasa Tirta I (PJTI) mencoba menerapkan model pembayaran jasa lingkungan sebagai bentuk transaksi hulu hilir sehingga didapatkan suatu hubungan yang saling menguntungkan dan sekaligus tugas Perum Jasa Tirta I dalam melaksanakan kegiatan konservasi dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Ruang lingkup kegiatan meliputi : 1. Pengumpulan data kondisi wilayah dan pemilihan lokasi kegiatan 2. Merumuskan bentuk mekanisme hubungan hulu hilir 3. Mekanisme penyusunan program kegiatan 4. Pelaksanaan kegiatan 5. Evaluasi kegiatan Maksud dan Tujuan 1. Membangun partisipasi dan kesadaran masyarakat petani di daerah hulu Sungai Brantas agar ikut menjaga kelestariaannya 2. Meningkatkan kesejahteraan petani melalui penanaman tanaman konservasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka yang dapat memberikan nilai tambah. 3. Membangun mekanisme kelembagaan hubungan hulu-hilir antara masyarakat hulu( masyarakat petani) dan masyarakat hilir (melalui Perum Jasa Tirta I atau perusahaan lainnya) dalam kontek pembiayaan jasa lingkungan. II. METODOLOGI 1. Survai Lokasi Sebelum diakukan penetapan lokasi pengembangan program, terlebih dahulu dilakukan survai lokasi. Survai dimaksudkan untuk melihat secara jelas situasi dan kondisi wilayah. Lokasi 153
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sochech dan Widyo Parwanto
tokoh masyarakat serta komponen masyarakat lainnya. Dengan pengalaman program-program sebelumnya yang gagal dan pengalaman petani yang masih bisa bertahan dengan jenis tanaman tertentu maka petani dengan menggunakan matrik ranking, terindentifikasi sejumlah jenis tanaman yang cocok dan dikehendaki petani. Penilaian yang digunakan adalah berdasarkan criteria mudah tumbuh, tahan kering, tidak mudah diserang penyakit, cepat produksi, mudah dijual, dan kualitas kayu baik.
yang disurvai adalah wilayah yang mengalami kerusakan lahan dan pemanfaat lahan yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi. Dari wilayah yang disurvai dipilih desa yang dapat mewakili masing-masing DAS(Daerah Aliran Sungai). 2. Sosialisasi Program Kegiatan sosialisasi pada desa terpilih dilakukan dengan berkunjung ke rumah-rumah para tokoh masyarakat, ke lahan-lahan masyarakat, dan melakukan pertemuan formal. Pada kesempatan tersebut disampaikan tentang tujuan program dan rangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan serta pihak-pihak yang terkait dalam program. Pada saat pertemuan secara formal banyak pertanyaan-2 yang disampaikan yang pada dasarnya mereka ingin mengetahui latar belakang mengapa program ini dilakukan. Disamping itu diskusi juga mengarah pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kondisi lahan pertanian termasuk tata guna lahan, pola tanam kondisi air dan kondisi hutan disekitar lokasi program.
4. Pelaksanaan Untuk melaksanakan program tersebut terlebih dahulu dibentuk organisasi, pelatihan kelompok dan penguatan organisasi, dan monitoring kegiatan. Ditunjuk fasiltator untuk memfasilitasi implementasi program yang telah disusun. 5. Evaluasi Untuk mengetahui dampak dari program ini bagi masyarakat (petani) dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan dan sebagai bahan untuk perbaikan pelaksanaan program ini selanjutnya.
3. Identifikasi Masalah dan Penyusunan Program Metode yang digunakan adalah Participatory Rural Appraisal (PRA). Bersama Pamong Desa melakukan identifikasi dan mengundang tokoh-
Organisasi Kelompok Petani
Konservasi DAS
PJT- I
Industri
PDAM. LP3ES& Partner
Pemanfaat lainnya
Pihak Lainnya
PLN Intermediary YPP (NGO)
Komunikasi dan fasilitasi Jasa Lingkungan Kontrak MOU & Perjanjian Pelayanan Jasa Air Pembayaran Jasa Air
Gambar 1 : Skema Mekanisme Transaksi Hubungan HULU-HILIR (Pembayaran Jasa Lingkungan)
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
154
ISBN: 978-979-15616-4-8
III. MEKANISME TRANSAKSI HULU-HILIR (PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN ) Model mekanisme transaksi hulu-hilir yang dikembangkan di DAS Brantas merupakan hasil kerjasama antara Perum Jasa Tirta I dengan Yayasan Pembangunan Pedesaan Malang, Lembaga Penerapan Pengkajian dan Penelitian Ekonomi Sosial (LP3ES) dan Perum Jasa Tirta I. Sedangkan pembiayaan berasal dari Internationale for Inittiative Environmental Development (IIED) melalui LP3ES dan Perum Jasa Tirta I Perum Jasa Tirta I sebagai BUMN yang diberi tugas untuk mengelola sumberrdaya air yang ada di DAS Brantas mendapat kontribusi pembiayaan dari para pemanfaat (Industri, PDAM, PLN, dan Pemanfaat Komersial lainnya) berupa biaya jasa pengelolaan sumberdaya air yang dalam hal ini mewakili masyarakat hilir sedangkan masyarakat petani yang mengelola lahan di hulu sebagai wakil masyarakat hulu. Untuk sementara pembayaran jasa lingkungan yang diberikan oleh Perum Jasa Tirta I kepada masyarakat hulu diberikan melalui mediator YPP dan sekaligus sebagai fasilitator dalam pelaksanaan program. Tanggung Para Pihak a. Perusahaan Umum (PERUM) Jasa Tirta I (PJT I) : 1) Berpartisipasi dalam penyediaan dana untuk kegiatan konservasi (untuk pengadaan bibit, pupuk dan biaya tanam 2) Memberikan masukanmasukan untuk perbaikan selama pelaksanaan kegiatan b. Yayasan Pengembangan Pedesaan (YPP/LP3ES) : 1) Berpartisipasi dalam penyediaan dana untuk kegiatan konservasi (untuk kegiatan pelatihan dan pendampingan) 2) Melakukan pelatihan dan pendampingan dalam pelaksanaan program kegiatan yang telah disepakati c.
Masyarakat petani :
1) Menentukan jenis tanaman konservasi yang dibutuhkan 2) Melaksanakan kegiatan konservasi di lokasi yang disepakati 3) Merawat / menjamin pertumbuhan tanaman konservasi serta mengganti apabila ada tanaman yang mati. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Sochech dan Widyo Parwanto
IV. PELAKSANAAN KEGIATAN 1. Lokasi Kegiatan Kegiatan survei dilakukan di desa-desa yang akan dipilih dengan melibatkan beberapa pihak seperti Dinas Kehutanan Kota Batu, Dinas Kehutanan Kab. Malang. Di desa yang akan dipilih Tim survai bertemu dengan Kepala Desa setempat dan beberapa tokoh masyarakat sebagai survai awal untuk menentukan lokasi program. Pada lokasi terpilih dilanjutkan dengan survai yang mendalam dengan melakukan wawancara terstruktur pada tokoh-tokoh masyarakat petani yang melakukan usaha tani berkaitan dengan rencana program seperti tentang tata guna tanah, usaha tani yang mereka lakukan, sumber air dan kondisinya, masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan lahan miring yang mereka usahakan dan program-program konservasi yang pernah ada dan pernah dilakukan masyarakat. Ada 2(dua) desa yang dipilih sebagai lokasi kegiatan yaitu Desa Tlekung, Kota Batu yang mewakili Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas Hulu dan Desa bendosari yang mewakili DAS Konto. Gambaran Umum tentang kondisi desa tersebut adalah : a. Merupakan katagori desa tertinggal yang terletak pada ketinggian 500 – 700 dari permukaan laut b. Letak desa di lereng Gunung Panderman (Ds. Tlekung) dan Gunung Kawi (Ds. Bendosari) merupakan desa pinggiaran hutan Pinus milik Perum PERHUTANI yang kondisinya rusak. c. Pendapatan utama petani adalah berternak sapi perah sehingga lahannya lebih banyak ditanami hijauan ternak. d. Lahan yang dimanfaatkan petani sebagian besar adalah laha-lahan miring berlereng dan merupakan lahan tadah hujan. e. Pola tanam dalam setahun adalah jagung, kacang tanah dan sayuran (wortel,bawang merah, kentang dsb) yang hasilnya sangat rendah. Sering tanaman jagung yang ditanam tidak sampai panen tetapi hanya digunakan sebagai pakan ternak. f. Sistem sosial yang masih berlaku kaitannya dengan lahan dan air adalah melakukan Bersih Desa dan Gugur Gunung. Bersih Desa dilakukan secara ritual setiap tahun sekali dan Gugur Gunung adalah membersihkan daerahdaerah di sekitar sumber air dan saluran air. g. Sering ada program penghijauan dari Pemerintah tetapi selalu gagal karena tidak melibatkan masyarakat dalam program tersebut. 2. Sosialisasi Program 155
ISBN: 978-979-15616-4-8
Tujuan khusus dari sosialisai ini adalah adanya program kegiatan konservasi yang merupakan program Pembayaran Jasa Lingkungan dalam upaya konservasi lahan. Artinya bahwa masyarakat jika ingin mendapatkan dana/pembayaran jasa lingkungan maka mereka harus melaksanakan kegiatan konservasi dengan benar, dan yang lebih penting dalam pembayaran jasa lingkungan ini harus ada mekanisme yang mengatur antara hak dan kewajiban petani dengan hak kewajiban yang membayar jasa lingkungan. Kegiatan sosialisasi ini dengan mengundang tokohtokoh masyarakat dan agama serta komponen masyarakat lainnya seperti anggota BPD( Badan Perwakilan Desa), HIPPA/HHIPAM, Karang Taruna, LPMD (Lembaga Permasyarakatan Masyarakat Desa), dan organisasi perempuan (PKK, Yasinan) 3. Identifikasi Masalah dan Penyusunan Program Hasil pemetaan lahan ditemukan beberapa Blok Lahan yang menjadi Demplot Program dengan luas !7,53 ha untuk Desa Tlekung dan 24 ha untuk Desa Bendosari Tanaman yang ditetapkan : Mahoni, Jati, Kemiri, Sengon laut, Cengkeh, Pete, Kopi, Rambutan, Durian, Blinjo, Apokat, mangga , Jeruk. Dengan mempertimbangkan musim dan petani masing-masing kelompok menyusun program kegiatan. 4. Pembentukan Kelompok dan Penguatan Organisasi. Pembentukan Kelompok Kegiatan pembentukan kelompok merupakan salah satu rekomendasi dari PRA. Ketika masyarakat berhasil membuat rencana kegiatan dan rencana pelaksanaan tidak mungkin pelaksanaan kegiatan dilakukan tanpa ada pengorganisasian dalam bentuk pelaksanaan kegiatan. Untuk Desa Tlekung terbentuk Kelompok Tani Sumber Urip dan di Desa Bendosari Kelompok Tani Sidomulyo. Secara garis besar organisasi kelompok tani ini terdiri Ketua, Sekretaris, Bendahara, Ketua Blok. Penguatan Organisasi Penguatan organisasi dilakukan melalui pelatihanpelatihan , anatara lain meliputi : a. Pelatihan Konservasi Lahan b. Pelatihan Pengorganisasian dan Motivasi Kelompok c. Pelatihan Usaha Tani Berkelanjutan d. Pelatihan dan perencanaan usaha peningkatan ekonomi e. Pelatihan Agroforestry f. Pelatihan manajemen Kelompok dan advokasi program konserrvasi
Sochech dan Widyo Parwanto
a. Konservasi Lahan Secara garis besar materi yang diberikan dalam pelatihan adalah tentang konservasi secara teknik sipil dan cara konservasi secara vegetasi. Pelatihan ini dimaksudkan untuk mengenalkan para peserta pelatihan tentang pola usaha tani yang menerapkan prinsip-prinsip konservasi sesuai lahan dan kebutuhan petani. Dan juga meningkatkan ketrampilan kepada peserta pelatihan dalam membuat bangunan konservasi secara teknik sipil sehingga dapat mempraktekan bangunanbangunan konservasi tersebut dimasing-masing lahan petani secara bertahap. Setelah dilakukan pengenalan teori maka dilanjutkan dengan praktek secara langsung pembuatan teras bangku, saluran pembuangan air, drop structure, gully plug. b. Pengorganisasian dan Motivasi Kelompok Dalam pelatihan organisasi hasil yang terpokok adalah merumuskan visi dan misi kelompok sebagai arahan organisasi. Visi yang telah dirumuskan oleh Kelompok Tani Sumber Urip (“ Mewujudkan peningkatan hasil pendapatan dengan melestarikan lingkungan agar tercapai kesejahteraan dan kemakmuran”) sedangkan dari Kelompok Tani Sidomulyo (“ Meningkatkan kinerja usaha serta meningkatkan taraf hidup melalui pelestarian lingkungan menuju kemakmuran”). Disamping itu juga kelompok mampu membuat aturan-aturan kelompok yang dijadikan sebagai mekanisme dalam menjalankan kegiatan kelompok. Yang tidak kalah pentingnya dari pelatihan ini adalah keberanian kelompok untuk melakukan lobilobi dengan pihak luar yang berkaitan dengan program kelompok. Perum Perhutani : dicapai kesepakatan dalam pengelolaan hutan dalam pola kemitraan dan diijinkan petani untuk menanam tanaman konservasi di sekitar mata air. Dinas Peternakan : bantuan 2 ekor sapid an 50 pasang ekor ayam arap Fakultas Peternakan Unibraw : mendapatkan informasi tentang cara-cara berusaha pakan ternak, mendapatkan bibit-bibit tanaman hijauan pakan ternak dan mendapatkan pelatihan yang berkaitan dengan masalah peternakan. Pengusaha Pakan Ternak : bekerjasama untuk membuka toko pakan ternak yang dijadikan usaha kelompok. c. Usaha tani Berkelanjutan Gagasan kelompok untuk mewujudkan pertanian organik. Hal ini ditunjang dengan potensi yang dimiliki petani secara melimpah bahan-bahan organik seperti pupuk kandang dan tanamantanaman yang bisa digunakan untuk mengganti pestisida.
5. Pelaksanaan Program Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
156
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sochech dan Widyo Parwanto
berkonservasi adalah menggunakan pola penanaman secara agroforestry. Pola penanaman agroforestry pada prinsipnya mengkombinasikan anatara tanaman tahunan dan tanaman semusim. Pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan dengan bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Malang.
d. Usaha Peningkatan Ekonomi Salah tujuan program pembangunan hulu hilir adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat hulu. Ketika kehidupan masyarakat secara sosial ekonomi cukup baik maka sumber daya alam yang berada disekitarnya akan aman demikian sebaliknya. Dalam upaya tersebut pada tahap awal dilakukan identifikasi usaha-usaha produktif yang mempunyai prospek besar untuk bisa dikembangkan. Disamping itu pemilihan jenis usaha juga mempertimbangkan masalah yang dihadapi petani. Dari proses diskusi dan penjajagan usaha akhirnya dipilih usaha pakan ternak sapi perah dan usaha simpan pinjam.
f. Pelatihan Manajemen Kelompok dan Advokasi Program Konservasi Pelatihan bertujuan agar kelompok tani dalam mengelola organisasi dapat berjalan secara efektif dan efisien. Disamping itu agar anggota kelompok mempunyai strategi dalam melakukan advokasi di desanya, tidak hanya berkaitan dengan konservasi sumberdaya alam akan tetapi juga persoalan lain yang ada di desanya seperti kontrol terhadapdanadana yang masuk desa.
e. Agroforestry Arah pola pertanian yang diharapkan dalam pembayaran jasa lingkungan ini adalah pola usaha tani yang berkonservasi, salah satu pola usaha tani
Data Skunder Desa PRA
-Pelatihan -Pengembangan Dana
Agroforestri A. Implementasi Pilot Project:
Survey Lokasi
Sosialisasi, identifikasi masalah & kebutuhan
Pembentukan & penguatan organisasi Masyarakat
- Ds Tlekung – Batu 37,5 ha - Ds Bendosari – Pujon 36 ha dan 10 ha (swadaya)
• Usaha Produktip Kelompok • Kebun Bibit Desa
B. Kegiatan/Program organisasi kelompok tani.
Masyarakat & stakeholder desa
Kontrak Kerjasama PJT-I dengan YPP YPP dengan Kel. Tani
Reforestation Forest Management Forest Protection
Serikat Petani Hulu (SPH)
Terlembagakannya Model Transaksi Hulu Hilir untuk Pelestarian Sumberdaya Air dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Malang Raya • Lembaga Independent • Instrument Hukum (Perda, SKB)
Konservasi SDA&Tanah yang Berkelanjutan Org. Petani yg Berdaya, Dinamis dan Solid dg aktifitas yg mendukung pelestarian SDA &tanah
Terwujudnya model Hubungan Hulu Hilir untuk Pelestarian Sumberdaya Air dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Working Group Malang raya Pendukung: • Masyarakat Peserta Program • Dinas Pemerintah Terkait • LSM • Swasta/BUMN • Perguruan Tinggi
Gambar 2.Alur Pelaksanaan Program
Gambar 2. Alur Pelaksanaan Program 6. Bentuk Kompensasi yang telah diberikan PJT I Kegiatan kerjasama antara YPP/LP3ES dan PJT I dalam rangka pelaksanaan pilot project pembayaran jasa lingkungan di Propinsi Jawa Timur telah dilaksanakan sebanyak 3 (tiga) tahap sebagai berikut :
program tahap I di Desa Bendosari (seluas 13,5 hektar) dengan total biaya sebesar Rp. 22.450.000,- (kompensasi dari PJT I Rp. 15.790.000,- )
a. Tahap I (16 September 2004 – 16 Maret 2005) yang dilaksanakan di Desa Tlekung (seluas 17 hektar) dan Desa Bendosari (seluas 5 hektar) dengan total biaya sebesar Rp. 254.280.000,(kompensasi dari PJT I Rp. 44.000.000,- )
c. Tahap III (19 Desember 2005 – 19 Juni 2005) yang merupakan perluasan dan penyempurnaan dari program-program sebelumnya, yaitu untuk Desa Tlekung seluas 8 hektar dan Desa Bendosari seluas 20 hektar, dengan total biaya sebesar Rp. 76.100.000,- (Kompensasi dari PJT I Rp. 36.600.000,- )
b. Tahap II (28 Februari 2005 – 28 Mei 2005) yang merupakan perluasan dari
Total area kegiatan yang telah dilaksanakan (tahap I s/d III) menjadi 63,5 hektar yang terdiri dari 25
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
157
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sochech dan Widyo Parwanto
hektar di Desa Tlekung dan 28,5 hektar di Desa Bendosari.
Kegiatan ini secara ekonomi telah dapat memberikan peningkatan pendapatan masyarakat petani dan perbaikan lingkungan.
V. EVALUASI DAN KESIMPULAN 1. EVALUASI Dampak pada kemiskinan dan kehidupan No 1
2 3
4
5
Dampak
Penjelasan
• Bendosari: dari 15 ekor kambing berkembang menjadi 32 ekor (5 bulan) • Tlekung: dari 8 ekor berkembang menjadi 11 ekor (3 bulan) Ket: Sistem bagi hasil untuk kas kelompok dan pemelihara Usaha toko pakan ternak • Omzet penjualan pakan mencapai 4-5 ton/minggu, manfaat: - Harga relatif murah untuk anggota dan peternak - Keuntungan untuk menjalankan organisasi petani Usaha pembibitan • Akses kelompok tani pada lahan Perhutani • Ketersediaan bibit tanaman sesuai dengan kebutuhan lokal Manfaat untuk penyulaman dan keuntungan dari penjulan masuk kas kelompok tani Perbaikan sarana air bersih • Pembuatan bak penampung air • Perbaikan pipa • Pemasangan meteran air Industri keluarga (emping) • Memanfaatkan hasil kebun • Usaha produktif perempuan • Ket: Usaha berbasis sumberdaya lokal Usaha ternak kambing
Dampak pada Lingkungan No Dampak 1
Kesadaran masyarakat meningkat
2
Penghijauan sekitar lokasi mata air di kawasan Perhutani Persemaian bibit tanaman
3 4
Penjelasan • Debit dan jumlah mata air yang berkurang menjadi pendorong kemauan mereka untuk menghijaukan mata air Berperan aktif dalam program hulu-hilir (penyulaman tanaman, kebun bibit, konservasi sekitar mata air) • Penghijauan kawasan mata air Jarakan 5 ha • Katesan dan Kalianget masing-masing 10 ha Penghijauan juga dilakukan di Mata Air Sumber Urip dan Mata Air Pajiah Tersedia sekitar 3.000 bibit yang berasal dari swadaya dan Dinas Kehutanan
Pembuatan kebun bibit desa • Dikelola oleh blok dengan sistem bagi hasil antara pemilik lahan, pemelihara, dan kelompok tani (Tlekung)
Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan, pelaksanaan program ini membawa dampak dengan peningkatan jumlah tanaman per rumah tangga dan pendapatan per kapita penduduk di Desa Tlekung dan Bendosari pada tahun 2005 dan 2006. Pendapatan per kapita (juta rupiah)
b. Bentuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang diberikan PJT I kepada petani berdasarkan program kegiatan yang dituangkan dalam perjajian yang dilaksanakan melalui mediator YPP (LSM). c. Utuk merealisasikan program-program yang disusun oleh kelompok petani peran fasilitator (YPP) sangat penting.
Jml pohon per rumah tangga (btg/ha)
2004
2005
2004
2005
Tlekung
3,339
3,457
136,8
139,4
Bendosari
2,967
3,049
173,8
189,2
2. KESIMPULAN a. Kegiatan ini secara ekonomi telah dapat memberikan peningkatan pendapatan masyarakat petani dan perbaikan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA 1) Final Report Action Research on Development Upstream Downstream Transaction for Watershed Protection Services and Improved Livelihoods., Kerjasama iied (International Institute for Environmental and Development), LP3ES, YPP dan Perum Jasa Tirta I.
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
158
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
Studi Prioritas DAS Kritis Di Kalimantan Timur Sigit Hardwinarto 1) Sumaryono 2) Mislan 3) Maliki 4) Naniek Sulistyowati 5) 1), 2) Pusat
3), 4), 5) Sub
Penelitian Sumberdaya Air (PPSA) Universitas Mulawarman, Samarinda. Dinas Pengairan, Dinas PU dan KIMPRASWIL Propinsi Kalimantan Timur, Samarinda
Abstrak
Dalam upaya penanganan atau pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis seperti yang terdapat di wilayah propinsi Kalimantan Timur, langkah awal yang perlu ditempuh yaitu pemilihan dan penentuan prioritas DAS berdasarkan tingkat kekritisannya yang sesuai dengan kondisi obyektif atau faktual lapangan. Hal ini untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekurangtepatan dalam pemilihan/penentuan prioritas DAS kritis. Penentuan urutan prioritas DAS dan Sub DAS kritis dilakukan dengan cara mengacu S.K. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI No. 128/Kpts/V/1997 tertanggal 11 Desember 1997 tentang Kriteria Penetapan Prioritas Daerah Aliran Sungai. Selain itu, juga dilakukan modifikasi SK tersebut khususnya pada jumlah dan nilai persentase pembobotan dari kriteria beserta sub kriteria, karena didasarkan atas pertimbangan karakteristik kondisi DAS dan Sub DAS di wilayah propinsi Kalimantan Timur. Hasil studi penentuan urutan prioritas DAS kritis dari 25 DAS dan Sub DAS di wilayah propinsi Kalimantan Timur ini, baik yang sesuai dengan S.K. tersebut maupun hasil modifikasi kriteria dan sub kriterianya, keduanya bisa dipertimbangkan dalam pemilihan urutan prioritas penanganan dari 25 DAS dan Sub DAS tersebut. Apabila penekanannya dalam penanganan lahan kritis, maka dapat menggunakan urutan prioritas yang sesuai dengan S.K. tersebut, namun jika penekanannya dalam penanganan kondisi hidrologi, maka dapat menggunakan urutan prioritas dari hasil modifikasi kriteria dan sub kriterianya. Kata Kunci: Daerah Aliran Sungai (DAS), Lahan Kritis, Hidrologi, Sosial Ekonomi, Prioritas DAS Kritis, Penanganan/Pengelolaan DAS.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Timur yang luas wilayahnya sekitar 245.237,8 km2 atau seluas satu setengah kali luas Pulau Jawa dan Madura, memiliki potensi sumber daya air yang sangat besar. Hal tersebut disebabkan oleh ketersediaan aliran mantap yang jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan sumberdaya air. Potensi sumberdaya air tersebut dalam bentuk seperti sungai, danau, rawa, embung dan air tanah serta curah hujan relatif tinggi yang terjadi sepanjang tahun, yang terwujud dalam suatu sistem yang disebut Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan jumlah sungai induk sebanyak 164 sungai dan sistem Wilayah Sungai (WS) yang berjumlah 5 Wilayah Sungai (WS 14.10 Sesayap, WS.14.11 Kayan, WS 14.12 Berau Kelay, WS 13. Karangan, dan WS 14. Mahakam). Potensi sumberdaya air tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat Kalimantan Timur dalam berbagai aspek kehidupan, diantaranya sebagai prasarana lalu lintas dan transportasi air, sumber air baku air bersih, sumber air bagi irigasi, pengembangan budidaya perikanan, prasarana rekreasi dan pariwisata, serta mempunyai fungsi sosial. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan kesejahteraan dan pembangunan di Kalimantan Timur, sehingga pemanfaatan sumberdaya alam seperti sumberdaya lahan, hutan, air, hasil tambang dan lain-lainnya juga terus meningkat. Dampak negatif pemanfaatan sumberdaya alam tersebut telah mengakibatkan munculnya berbagai permasalahan, antara lain Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
terjadinya erosi, sedimentasi, banjir, kekeringan dan lahan kritis, serta menurunnya kualitas air. Luas hutan di Kalimantan Timur semakin berkurang tiap tahun oleh kegiatan penebangan baik oleh perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) maupun penebangan liar (illegal logging), selain itu juga semakin bertambah/meluasnya kegiatan pertambangan (batubara) maupun pembukaan lahan untuk kegiatan usaha lainnya, sehingga relatif banyak DAS yang mengalami kemerosotan luasan daerah tangkapan air. Berkurangnya daerah tangkapan air menyebabkan bertambahnya luasan lahan kritis, erosisedimentasi dan air limpasan, sebaliknya menurunkan besarnya infiltrasi air yang mengakibatkan aliran dasar sungai menjadi lebih kecil. Oleh karena itu, pada saat musim hujan hampir seluruh DAS di Kalimantan Timur mengalami kejadian banjir, sedangkan pada saat musim kemarau debit aliran menjadi sangat kecil bahkan terjadi peningkatan pengaruh intrusi air asin dari laut. Besarnya erosi-sedimentasi yang masuk ke badan sungai pada DAS – DAS di Kalimantan Timur telah menyebabkan relatif banyak sungai di Kalimantan Timur (yang sebagian besar menjadi sarana transportasi air) menjadi dangkal dan membutuhkan biaya yang besar untuk pengerukannya. Problem lainnya seperti menurunnya aliran air pada saat musim kemarau dan pengaruh intrusi air asin meningkat, yang menyebabkan terbatasnya kemampuan PDAM terbatas dalam mengolah air baku untuk air bersih. Permasalahan-permasalahan tersebut di atas merupakan gambaran menurunnya daya dukung lingkungan pada DAS. Penurunan daya dukung 159
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
secara obyektif sesuai dengan kondisi faktual lapangan yang perlu segera ditangani, agar pengelolaannya dapat berlangsung secara efisien dan efektif. II. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI A. Kondisi Biogeofisik Wilayah di Kalimantan Timur
lingkungan DAS yang secara terus menerus menyebabkan DAS kurang mampu menopang kehidupan manusia, sukar dipulihkan dan menimbulkan kerugian yang sangat besar dalam jangka panjang. Oleh karena itu, upaya pengelolaan DAS secara terpadu menjadi sangat mendasar, terutama bila ditinjau dari upaya mitigasi bencana dan konservasi lingkungan DAS serta untuk mempertahankan daya dukung DAS untuk kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan DAS tersebut. Sehingga, untuk mendukung upaya pengelolaan DAS di wilayah Kalimantan Timur secara terpadu dan berkelanjutan, dipandang perlu untuk mengadakan studi prioritas DAS Kritis di Kalimantan Timur, agar kegiatan penanganannya dapat berhasilguna dan berdaya guna. Selain itu, kegiatan pengelolaan DAS di Kalimantan Timur diharapkan lebih fokus sesuai dengan derajat mendesaknya permasalahan pengelolaan DAS di Indonesia, sebagaimana telah dikemukakan oleh Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen kehutanan RI mengenai Kriteria Penetapan Urutan Prioritas Daerah Aliran Sungai.
1. Kondisi Geografis Kalimantan Timur yang luas wilayahnya sekitar 245.237,8 km2 terletak antara 113o44’00’’ Bujur Timur dan 119o00’00’’ Bujur Timur, serta di antara 4o24’00’’Lintang Utara dan 2o25’00’’ Lintang Selatan. Dengan adanya perkembangan dan pemekaran wilayah, propinsi terluas kedua setelah Papua ini dibagi menjadi 9 kabupatan, 4 kota, 109 kecamatan dan 1.299 desa/kelurahan. Propinsi Kalimantan Timur terletak di bagian timur pulau Kalimantan dan sekaligus merupakan wilayah perbatasan dengan Negara Malaysia, khususnya Negara Sabah dan Serawak. Tepatnya Propinsi ini berbatasan langsung dengan Negara Malaysia di sebelah utara, Laut Sulawesi dan Selat Makasar di sebelah timur, Kalimantan Selatan di sebelah selatan dan dengan Kalimantan Tengah serta Negara Malaysia di sebelah barat.
B. Tujuan Tujuan studi ini adalah untuk menyediakan informasi kondisi, status dan prioritas/tingkat kekritisan DAS dan Sub DAS di wilayah propinsi Kalimantan Timur berdasarkan kriteria obyektif parameter DAS, sehingga dapat mempercepat dan mempermudah dalam memilih atau menentukan prioritas DAS kritis
2. Kondisi Ketinggian Wilayah Kondisi ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl) dan luasannya pada masing-masing wilayah kabupaten/kota di propinsi Kalimantan Timur secara rinci disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelas Ketinggian Wilayah dan Luasannya pada Kabupaten/Kota di Propinsi Kalimantan Timur (dalam ha)
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Kabupaten/ Kota
0-7
7 - 25
Kelas Ketinggian (m) dpl 25 - 100 100 - 500 500 - 1000
> 1000
Pasir Kutai Barat Kukar Kutai Timur Berau Malinau Bulungan Nunukan Panajam PU Balikpapan Samarinda Tarakan Bontang
202.632 49.008 64.314 101.302 72.772 11.687 213.561 174.434 21.445 7.465 15.747 6.920 1.49.3
214.251 885.453 654.717 1377.817 117.078 77.937 249.257 138.156 74.203 17.011 33.486 18.160 6.061
366.115 692.521 543.211 642.620 479.932 532.249 220.119 199.312 90.627 28.221 29.029 7.226
246.851 581.421 565.313 636.438 878.859 831.204 531.364 298.407 103.828 38 -
47.523 673.451 601.064 533.376 290.457 2.258.433 193.172 307.732 23.547 -
277 281.116 180.071 137.705 487.530 151.317 273.749 -
Jumlah
942.771
1.863.589
3.811.085
4.673.723
4.931.665
1.796.667
Sumber: Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Timur (2004a)
3. Kondisi Kelerengan Wilayah Kondisi kelerengan (kelas lereng) dan luasannya pada masing-masing wilayah Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
kabupaten/kota di propinsi Kalimantan Timur secara rinci disajikan pada Tabel 2. 160
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
Tabel 2. Kelas Kelerengan Wilayah dan Luasannya pada Kabupaten/Kota di Propinsi Kalimantan Timur (dalam ha) Kabupaten/ Kelas Lereng No. Kota 0-2% 2 - 15% 15 - 40% > 40%
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Pasir Kutai Barat Kukar Kutai Timur Berau Malinau Bulungan Nunukan Panajam PU Balikpapan Samarinda Tarakan Bontang Jumlah
Jumlah
259.677 170.100 591.191 215.100 118.961 13.500 381.429 391.300 29.700 6.976 2.813 6.120 3.807
228.899 436.500 812.265 261.900 311.306 72.500 247.007 12.600 31.500 6.709 6.123 1.950 2.543
152.548 987.185 702.116 1.276.130 467.911 257.400 278.348 88.200 181.818 15.846 44.771 17.010 3.839
436.516 1.569.085 506.118 1.676.130 1.225.819 3.855.610 652.006 996.690 67.542 23.169 24.593 4.591
1.077.640 3.162.870 2.611.690 3.429.260 2.124.000 1.199.010 1.558.790 1.391.790 313.560 52.700 78.300 25.080 14.780
2.093.677
2.431.802
4.476.122
11.017.899
20.039.500
Sumber: Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Timur (2004a)
3. Kondisi Geologi/Jenis Tanah Kondisi geologi/jenis tanah yang terdapat di wilayah propinsi Kalimantan Timur dapat dijelaskan
dengan penggunaan peta sistem lahan (RePPPRoT, 1987) yang secara rinci disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Sebaran dan Nama Sistem Lahan di Propinsi Kalimantan Timur
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Nama Sistem Lahan Bakunan Beliti Bukit pandan Barah Beriwit Batu Ajan Barong Tongkok Gunung Baju Gambut Gunung Diangan Honja Juloh Kahayan Kajapah Klaru Kapor Lohai Luang Liang Paran Lawangguang Mendawai Mangkaho Maput Mantalat Okki Pendereh
Kode Sistem Lahan BKN BLI BPD BRH BRW BTA BTK GBJ GBT GDG HJA JLH KHY KJP KLR KPR LHI LNG LPN LWW MDW MGH MPT MTL OKI PDH
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Taksonomi Tanah Tropaquepts,Fluvaquents, Tropofluvents Fluvaquents, Tropaquepts Dystropepts, Paleudults, Tropudults Placaquods,, Trpopsamments, Tropohemists Tropudults, Dysropepts, Troporthods Tropudults Tropudults Rendolls, Eutropepts Tropohemist, Tropofibrist Tropudults, Dysropepts, Haplorthoxs Rendolls, Eutropepts Dystropepts, Tropudults Tropaquepts, Fluvaquents, Tropohemist Sulfaquents, Hydraquents Tropaquepts,Fluvaquents Tropudults, Tropudalfs, Eutropepts Tropudults, Dystropepts Tropudults, Dystropepts Tropudults Tropudults, Tropaquepts Troposaprists,Trpohemists,Tropaquents Tropaquepts, Tropaquents, Tropudults Tropudults, Dystropepts Tropudults, Dystropepts Rendolls, Eutropepts, Tropofolist Tropudults, Dystropepts 161
ISBN: 978-979-15616-4-8
No.
Nama Sistem Lahan
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
Kode Sistem Lahan
27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42.
Pakau Pakalunai Paminggir Pulau Sebatik Putting Rangankao Sebangau Sungai Medang Sungai Seratai Sungai Tabang Tambera Tandur Tanjung Tewai Baru Teweh Telawi Sumber: RePPPRoT (1987)
PKU PLN PMG PST PTG RGK SBG SMD SST STB TBA TDR TNJ TWB TWH TWI
4. Kondisi Hidrologi Propinsi Kalimantan Timur memiliki potensi sumberdaya air yang sangat besar. Potensi sumberdaya air yang berasal dari sungai diperkirakan mencapai 325.380 juta m3/tahun, danau 42.917 juta m3 dan waduk 3,80 juta m3. Sedangkan potensi air tanah tidak terlalu besar dibandingkan potensi air permukaan, tersebar dalam 7 Cekungan Air Tanah (CAT) yaitu CAT Balikapapan, CAT Bontang, CAT Tenggarong, CAT Tanjung Redeb, CAT Tanjung Selor, CAT Tanah Grogot dan CAT Kota Bangun. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 39/PRT/1989 Tentang Pembagian Wilayah Sungai, sungai-sungai di Kalimantan Timur memiliki 5 Wilayah Sungai (WS) yaitu (04.10 Sesayap, 04.11 Kayan, 04.12 Berau-Kelai, 04.13 Karangan, dan 04.14 Mahakam) yang terdiri dari 164 sungai induk. Sedangkan jumlah danau di Kalimantan Timur berjumlah 17 buah, keseluruhannya berada di Kabupaten Kutai dengan danau yang paling luas yaitu Danau Jempang, Danau Semayang dan Danau
Taksonomi Tanah Placaquods, Tropopsamments, Dystropepts Dystropepts, Tropudults Fluvaquents, Tropaquepts Tropohumods, Paleudults,Tropudults Pasmmaquents, Tropaquents, Tropopsamments Tropudults, Dystropepts, Tropaquepts Tropaquepts,Fluvaquents, Tropofluvents Tropudults Tropudults, Dysropepts, Troporthods Tropudults Tropudults, Tropohumults, Dystropepts Tropudults, Dysropepts, Troporthods Tropaquepts,Fluvaquents Tropudults, Dystropepts Tropudults, Dystropepts Tropudults, Dystropepts
Melintang dengan luas masing-masing 15.000 hektar, 13.000 hektar dan 11.000 hektar. Sebagaimana sumberdaya air di Indonesia, sumberdaya air di Kalimantan Timur juga menghadapi permasalahan, di antaranya terjadi kerusakan dan hilangnya daerah tangkapan air, hilangnya daerah yang berperan sebagai retarding basin, menurunnya kualitas air, terjadinya fluktuasi debit aliran saat musim hujan dan musim kemarau, sedimentasi dan meningkatnya jumlah pemakaian air. Permasalahan tersebut telah menyebabkan menurunnya daya dukung sumberdaya air bagi kehidupan masyarakat Kalimantan Timur dan menyebabkan terjadinya bencana banjir, pendangkalan, gagal panen, terbatasnya air bersih, dan naiknya biaya pengolahan dan konsumsi air. 5. Kondisi Penutupan Lahan Kondisi/tipe penutupan lahan dan luasannya yang terdapat di wilayah propinsi Kalimantan Timur secara rinci disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Tipe Penutupan Lahan dan Luasannya di Kalimantan Timur
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Tipe Penutupan Lahan Hutan Mangrove Primer Hutan Mangrove Sekunder Hutan Lahan Kering Primer Hutan Rawa Primer Hutan Rawa Sekunder Hutan Lahan Kering Sekunder Hutan Tanaman Industri Belukar Belukar Rawa
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Luas (ha)
Persentase (%) 73.904 1.970.740 76.992 46.804 977.203 1.794.826 74.616 3.716.169 1.922.938
0,35 9,30 0,36 0,22 4,61 8,47 0,35 17,54 9,07
162
ISBN: 978-979-15616-4-8
No.
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
Tipe Penutupan Lahan
11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Luas (ha)
Persentase (%)
Pertanian Lahan Kering Bercampur Semak Pertanian Lahan Kering Sawah Perkebunan Pertambangan Tanah Terbuka Tambak Rawa Air Pemukiman Lain-lain
1.317.324 315.478 42.651 69.171 45.631 1.760.541 825.439 3.841.809 5.428 369.954 1.942.382
6,22 1,49 0,20 0,33 0,22 8,31 3,90 18,13 0,03 1,75 9,17
Jumlah
21.190.000
100,00
Sumber: BAPLAN (2004)
kebakaran hutan dan lahan, selanjutnya disusul kejadian La Nina yang dapat mengakibatkan terjadi bencana banjir. Wilayah propinsi Kalimantan Timur secara umum berdasarkan Sistem Klasifikasi Iklim Schmidt dan Ferguson (1951) termasuk wilayah yang relatif sangat basah dengan curah hujan relatif tinggi. Selain itu, juga dicirikan oleh kelembaban yang relatif tinggi dan beriklim panas dengan perubahan suhu yang relatif kecil atau tidak berfluktuasi (Tabel 5).
B. Kondisi Klimatologi Kalimantan Timur yang beriklim tropis basah mempunyai musim yang agak berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya, yang ditunjukkan oleh ketidakjelasan perbedaan antara musim hujan dan musim kering (kemarau), atau sepanjang tahun sering terjadi hujan. Namun demikian, akibat pengaruh perubahan iklim global (climate change), seperti kejadian El Nino secara periodik bisa menyebabkan musim kering/kemarau relatif panjang yang mengakibatkan terjadi bencana Tabel 5. Data Klimatologi Bebarapa Stasiun di Kalimantan Timur Uraian
Samarinda
Balikpapan
Tarakan
Stasiun Tanjung Tanjung Redep Selor
Long Bawan
Nunukan
Suhu Udara (oC): - minimum - maksimum
23,43 32,17
22,88 32,62
24,00 30,75
22,71 34,69
23,02 32,18
18,83 29,89
23,42 31,37
Kelembaban Udara (%)
81,42
87,07
83,81
83,67
85,25
86,25
83,83
Tekanan Udara (mb)
1.011,92
1.011,32
1.010,00
1.009,96
1.012,43
0,00
1.010,00
Kecepatan Angin (knot)
1,81
6,30
5,17
1,35
3,58
51,00
5,17
Curah Hujan (mm)
195,44
267,32
183,28
204,22
180,01
122,39
181,28
Penyinaran Matahari (%)
15,39
11,33
52,67
49,46
46,42
654,00
52,67
Sumber: Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Timur (2004a)
C. Kondisi Sosial Ekonomi Budaya di Kalimantan Timur 1. Wilayah Administrasi Pemerintahan Propinsi Kalimantan Timur terdiri atas 4 (empat) wilayah administrasi pemerintahan kota dan 9 (sembilan) wilayah administrasi pemerintahan kabupaten, yang memiliki 113 kecamatan dan 1.334 Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
desa/kelurahan. Kabupaten Malinau merupakan daerah yang paling luas yaitu 41.990,40 ha, dan yang paling kecil adalah Kota Samarinda dengan luas 783 ha. Jumlah kecamatan dan desa/kelurahan pada masingmasing wilayah administrasi pemerintahan kabupaten/kota di propinsi Kalimantan Timur secara rinci disajikan pada Tabel 6. 163
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
Tabel 6. Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan serta Luas Wilayah Administrasi Kabupaten/Kota di Propinsi Kalimantan Timur Banyaknya Luas Wilayah No. Kabupaten/Kota Kecamatan Desa (ha) (%) 1. Pasir 8 110 1.246.056 5,45 2. Kutai Barat 15 211 3.162.870 13,84 3. Kutai Kartanegara 18 212 2.897.298 12,67 4. Kutai Timur 11 111 3.731.720 16,32 5. Berau 11 102 3.412.747 14,93 6. Malinau 9 135 4.199.040 18,37 7. Bulungan 13 87 1.900.305 8,31 8. Nunukan 6 218 1.696.666 7,42 9. Panajam Pasir Utara 4 46 333.310 1,46 10. Balikpapan 5 27 86.718 0,38 11. Samarinda 6 42 78.300 0,34 12. Tarakan 4 18 65.733 0,29 13. Bontang 3 15 49.757 0,22 Jumlah 113 1.334 22.860.520 100,00 Sumber: Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Timur (2004a)
2. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Penduduk Propinsi Kalimantan Timur dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang cukup berarti. Pertumbuhan penduduk di Kalimantan Timur tidak merata sepanjang tahun, antara tahun 1995-1996 pertumbuhan penduduk mencapai 3,94%, tahun 19961997 sekitar 4,30 %, tahun 1999-2000 sebesar 2,58%,
pada tahun 2000-2001 sebesar 3,27%, tahun 20012002 tercatat 2,75% dan pada tahun 2002-2003 sebesar 5,72%. Jumlah penduduk terbanyak adalah 561.471 jiwa, sedangkan yang paling sedikt adalah Kabupaten Malinau sebanyak 46.694 jiwa. Kepadatan penduduk tertinggi di Kota Samarinda, tetapi pertumbuhan penduduk terbesar adalah Kota Tarakan sebesar 24,4% (Tabel 7).
Tabel 7. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk pada Kabupaten/ Kota di Propinsi Kalimantan Timur Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota Luas (km2) (Jiwa) (Jiwa/km2) 13,87 172.845 12.460,56 1. Pasir 4,54 143.664 31.628,70 2. Kutai Barat 16,58 489.499 28.972,98 3. Kutai Kartanegara 4,38 163.549 37.317,20 4. Kutai Timur 3,91 133.386 34.127,47 5. Berau 1,11 46.694 41.990,40 6. Malinau 4,98 94.564 19.003,05 7. Bulungan 6,14 104.112 16.966,66 8. Nunukan 31,10 113.659 3.333,10 9. Panajam Paser Utara 191,50 128.819 867,18 10. Balikpapan 717,08 561.471 783,00 11. Samarinda 225,64 148.319 657,33 12. Tarakan 227,65 113.270 497,57 13. Bontang Rataan Jumlah 228.605,20 2.413.851 (10,56) Sumber: Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Timur (2004a)
3. Pendidikan, Kesehatan, Keamanan, Agama dan Kemiskinan Banyaknya sekolah dari tingkat SD hingga SMU/SMK sejak tahun pembelajaran 1999/2000 hingga 2003/2004 tercatat adanya peningkatan. Pada tahun 2003/2004 jumlah sekolah keseluruhan mencapai 3.096 sekolah, yang terdiri atas 2.321 SD, 485 SLTP, dan 290 untuk tingkat SMU/SMK. Rasio murid-guru untuk SD antara 20-24 orang, sedangkan untuk tingkat SLTP dan SMU/SMK 15-18 orang. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Hingga tahun 2002, pemerintah telah membangun 167 unit puskesmas dan 593 unit puskesmas pembantu, dan jumlah tersebut bertambah 2 unit puskesmas dan 5 unit puskesmas pembantu pada tahun 2003. Jumlah dokter puskesmas mencapai 380 orang pada tahun 2003, naik sebanyak 6 orang dibandingkan tahun 2002. Hingga tahun 2003 jumlah rumah sakit mencapai 31 buah terdiri dari 2.978 tempat tidur, dan jumlah tenaga medis sebanyak 1.246 orang. Di Propinsi Kalimantan Timur terdapat Polda Kaltim yang membawahi 12 Polres dan 1 Poltabes, 164
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
selain itu terdapat 1 Kodam (Kodam Tanjung Pura) yang membawahi seluruh Kalimantan, 1 Korem dan 13 Kodim yang tersebar di tiap-tiap kabupaten/kota. Pada tahun 2003, perkara yang ditangani oleh Polda Kaltim mencapai 4.792 perkara yang dilaporkan, sedangkan perkara yang ditangani Kejaksaan Tinggi Kaltim mencapai 38.616 kasus. Penduduk Kaltim sebagian besar (82,20%) beragama islam, selebihnya 9,98% beragama kristen protestan, 5,62% beragama Kristen katolik, 1.02 % beragama budha dan 1,09% beragama hindu. Jumlah sarana ibadah pada tahun 2003 terdiri atas 4.150 buah masjid/langgar, 591 gereja protestan, 332 gereja katolik, 45 pura dan 41 vihara. Pada tahun 2003, jumlah penduduk miskin di Kalimantan Timur mencapai 12,15% penduduk Propinsi Kalimantan Timur atau sebanyak 328.597 jiwa, lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2002 yang mencapai 313.040 jiwa. Dibandingkan wilayah desa, ternyata jumlah penduduk miskin kota jumlahnya lebih banyak untuk 2-3 tahun terakhir. III. METODE STUDI Metode pendekatan yang digunakan dalam studi ini meliputi metode kompilasi data, prosedur studi dan analisis data. A. Kompilasi Data Data yang dikumpulkan dalam pelaksanaan pekerjaan ini antara lain sebagai berikut: 1. Pengumpulan dan inventarisasi data yang berupa data biogeofisik, data klimatik, data kondisi sosial ekonomi dan data kebijakan pembangunan wilayah yang terdapat pada beberapa DAS di Kalimantan Timur; 2. Data biogeofisik meliputi peta dasar dan peta tematik, diantaranya Peta DAS Kalimantan Timur, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Peta Administrasi Wilayah Pemerintahan, Peta Rupa Bumi, Peta Penutupan Lahan (Tata Guna Lahan), Peta Topografi (Kontur), Peta Hidrologi, Peta Jaringan Sungai (Pola Drainase), Peta Geologi dan Jenis Tanah/Peta Sistem Lahan (Reppprot), Potret Udara dan Citra Landsat serta GIS; 3. Data klimatik berupa Peta Curah Hujan/Data Curah Hujan yang terdapat di Kalimantan Timur; 4. Data kondisi sosial ekonomi dan data kebijakan pembangunan wilayah, antara lain Data Statistik, Data Perkembangan Demografi, Data Sosial Ekonomi Masyarakat dan Monografi Desa, serta data/informasi yang terkait dengan kebijakan pembangunan wilayah di Kalimantan Timur. B. Prosedur Studi Prosedur dalam pelaksanaan pekerjaan studi ini diantaranya dapat dirinci sebagai berikut: Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
1. Menyeleksi beberapa DAS dan Sub DAS yang terdapat di Kalimantan Timur yang memungkinkan untuk dilakukan studi dan dapat dianalisis sesuai dengan ketentuan kriteria penetapan DAS kritis; 2. Menentukan beberapa DAS dan Sub DAS di Kalimantan Timur menggunakan rujukan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 39/PRT/1989 tentang Pembagian Wilayah Sungai di Kalimantan Timur, sedangkan untuk menentukan kriteria penetapan DAS kritis merujuk Surat Keputusan (SK) Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI No. 128/Kpts/V/1997 tentang Kriteria Penetapan Urutan Prioritas Daerah Aliran Sungai (DAS); 3. Dalam penentuan urutan prioritas DAS kritis di Kalimantan Timur dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan menganalisis kriteria lahan kritis, hidrologi, sosial ekonomi, investasi dan kebijakan pembangunan wilayah pada masingmasing DAS dan Sub DAS yang diteliti; 4. Menentukan nilai-nilai sub kriteria luasan lahan kritis dan penutupan lahan (land cover) pada masing-masing DAS dan Sub DAS yang diteliti dengan cara mengidentifikasi dan menganalisis peta penutupan lahan/pola penggunaan lahan, peta topografi, peta geologi/jenis tanah, peta hidrologi dan peta/data iklim (curah hujan) pada masing-masing DAS dan Sub DAS yang diteliti; 5. Menentukan nilai sub kriteria Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada masing-masing DAS dan Sub DAS yang diteliti dengan cara memprediksi/ memprakirakan laju erosi tanah pada masingmasing DAS dan Sub DAS yang diteliti melalui pendekatan persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation) menurut Wischmeier and Smith (1978) dan matriks kombinasi antara prakiraan laju erosi tanah tahunan dengan tingkat kedalaman solum tanah untuk menentukan Tingkat Bahaya Erosi (Anonim, 1998); 6. Menentukan nilai sub kriteria muatan sedimen pada masing-masing DAS dan Sub DAS yang diteliti dengan cara menggunakan pendekatan rumus “Sediment Delivery Ratio” atau disingkat SDR (Hammer, 1981 dalam Asdak, 1995) dan (Robinson, 1979 dalam Arsyad, 1989); 7. Menentukan nilai sub kriteria Indeks Penggunaan Air (IPA) dengan cara menggunakan data sekunder kebutuhan dan potensi persediaan air pada masing-masing DAS dan Sub DAS yang diteliti; 8. Menentukan nilai sub kriteria Coefision of Variation (CV) dengan cara mengggunakan pendekatan rumus Indeks Rejim Air (IRA) dari data debit limpasan air sungai pada masing-masing DAS dan Sub DAS yang diteliti (Anonim, 1988); 9. Menentukan nilai sub kriteria kualitas air dengan cara membandingkan data kualitas air pada 165
ISBN: 978-979-15616-4-8
10.
11.
12.
13. 14.
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
masing-masing DAS dan Sub DAS yang diteliti dengan rujukan standar kualitas air dari Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Anonim, 1988); Menentukan nilai-nilai sub kriteria tekanan penduduk, indeks kesadaran masyarakat terhadap konservasi tanah, tingkat kesejahteraan penduduk dalam DAS dan jumlah desa tertinggal dilakukan dengan cara menggunakan data kondisi sosial ekonomi yang tersedia pada masing-masing DAS dan Sub DAS yang diteliti; Menentukan nilai-nilai sub kriteria nilai perbandingan terhadap bangunan air dan nilai jual obyek pajak digunakan data investasi, sedangkan nilai sub kriteria keberadaan kawasan lindung, kawasan andalan, kawasan khusus dan kawasan timur Indonesia digunakan data kebijakan pembangunan wilayah yang terdapat pada masing-masing DAS dan Sub DAS yang diteliti; Mengkalkulasikan dan menganalisis data nilai-nilai sub kriteria seperti tersebut di atas, kemudian mengelompokkan dalam nilai-nilai kriteria lahan kritis, hidrologi, sosial ekonomi, investasi dan kebijakan pembangunan wilayah dari setiap DAS dan Sub DAS yang diteliti; Menyusun urutan prioritas DAS kritis dengan cara membandingkan nilai total kriteria dari masingmasing DAS dan Sub DAS yang diteliti; Apabila mempertimbangkan karakteristik kondisi DAS dan Sub DAS di Kalimantan Timur yang mungkin ada beberapa perbedaan dengan kondisi DAS lainnya di Indonesia, maka dalam penelitian ini dicoba dilakukan modifikasi terhadap nilai-nilai kriteria dan sub kriteria penetapan urutan prioritas DAS dari S.K. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI No. 128/Kpts/V/1997) yang mungkin lebih sesuai dengan kondisi DAS di Kalimantan Timur.
C. Analisis Studi Analisis dalam pelaksanaan studi ini antara lain dapat dirinci sebagai berikut: 1. Kriteria Penetapan Prioritas DAS Kritis 1. Menganalisis kriteria dan sub kriteria untuk menetapkan prioritas DAS kritis di Kalimantan Timur sesuai dengan S.K. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI No. 128/Kpts/V/1997 secara rinci disajikan pada Tabel 8.
2.
2. Penetapan Urutan Prioritas DAS Penetapan urutan prioiritas DAS di wilayah Kalimantan Timur dengan cara menggunakan teknik ‘kelas’ dan ‘skor’ terhadap data yang tersedia di masing-masing DAS, selanjutnya dilakukan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
pembobotan sesuai persentase kriteria dan dijumlah sehingga diperoleh nilai skor total dengan mengacu secara utuh pada SK Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan No. 128/Kpts/V/1997 tentang Kriteria Penetapan Urutan Prioritas Daerah Aliran Sungai (DAS) tanggal 11 Desember 1997. 3. Modifikasi Penetapan Urutan Prioritas DAS Sehubungan dengan adanya karakteristik DAS dan Sub DAS di wilayah Kalimantan Timur yang relatif berbeda dengan DAS-DAS lainnya di Indonesia, terutama antara lain mengenai: (a). kondisi biogeofisik yang diindikasikan oleh penutupan lahan yang didominasi vegetasi belukar/semak, hutan dan rawa, topografi/fisiografi yang bergelombang, tanah yang didominasi oleh jenis ultisol (podsolik merah kuning) yang bersifat rentan tehadap erosi, dan pola jaringan sungai yang berupa pola dendritik (percabangan pohon) yang bersifat relatif cepat melimpaskan air; (b). kondisi klimatik diantaranya yang dicirikan oleh curah hujan relatif tinggi yang turun sepanjang tahun dan kelembaban yang relatif tinggi, serta secara periodik sering dipengaruhi oleh El Nino maupun La Nina; (c). kombinasi pengaruh karakteristik kondisi biogeofisik dan klimatik tersebut dapat mempermudah kemungkinan terjadi bencana banjir, erosi dan sedimentasi maupun kebakaran hutan dan lahan pada saat terjadi El Nino; (d). kondisi sosial ekonomi seperti jumlah penduduk yang relatif sedikit dan kepadatan penduduk ratarata relatif kecil yang tersebar tidak merata, sebagian besar mata pencahariannya masih tergantung pada usaha di bidang pertanian, pemanfaatan hasil hutan dan perdagangan yang dampak kegiatan usahanya terhadap degradasi kawasan dan sumberdaya alam jauh relatif kecil bila dibandingkan dengan kegiatan eksploitasi sumberdaya alam oleh perusahaan-perusahaan yang hanya berorientasi pada profit semata dan tidak memperhatikan prinsip kelestarian. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dicoba disesuaikan dengan karakteristik kondisi DAS di wilayah Kalimantan Timur dengan cara memodifikasi Kriteria Penetapan Urutan Prioritas DAS menurut SK Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan No. 128/Kpts/V/1997 tersebut, khususnya pada jumlah kriteria beserta nilai persentase pembobotan dari kriteria maupun sub kriteria sebagai berikut: (a). Kriteria lahan kritis (bobot 40%) tersusun atas sub kriteria lahan kritis (bobot 20%) + tingkat bahaya erosi (bobot 13%) + penutupan lahan (bobot 7%);
166
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
Tabel 8. Kriteria Penetapan Prioritas DAS sesuai dengan S.K. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI No. 128/Kpts/V/1997 No. 1
Kriteria
Sub Kriteria
Lahan Kritis (44,7%)
1. Lahan Kritis (28%)
2. TBE (12,5%)
3. Land Cover (4,2%)
2
Hidrologi (19,8%)
1. Muatan Sedimen (10%)
2. IPA (4,9%)
3. CV (3,7%)
Nilai (%) 0-5 >5-10 >10-15 >15-20 >20 SR R S B SB >80-100 >60-80 >40-60 >20-40 0-20 0-15 >15-60 >60-180 >180-480 >480 0-2 >2-4 >4-6 >6-8 >8 0-1 >1-2 >2-3 >3-4 >4
4. Kualitas Air (1,2%)
3
Sosial Ekonomi (22,8%)
1. Tekanan Penduduk (15%) 2. IKM thd Konservasi (2,2%)
3. Tingkat Kesejah. Pend. (4,6%)
4. Jumlah Desa Tertinggal (1%)
<1.0 =1.0 >1.0 >80 >60-80 >40-60 >20-40 0-20 <20 20-40 >40-60 >60-80 >80 <20 20-40 >40-60 >60-80 >80
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Kelas I II III IV V 0 I II III IV I II III IV V I II III IV V I II III IV V I II III IV V A B C D I II III I II III IV V I II III IV V I II III IV V
Skor 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 0.25 0.50 0.75 1.00 0.20 0.60 1.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00
Keterangan (LK/LDAS) x 100%
USLE
(LH/LDAS) x 100%
Ton/ha/tahun
Kebutuhan/Run off
CV > amat kritis
Standar Baku Mutu Menteri LH
Rerata Tertimbang
(KK anggota KT / Jumlah KK Petani) x 100 %.
(Jml Pend Miskin / Jml DAS) x 100 %.
(Jml DT/Jml Desa) x 100 %
167
ISBN: 978-979-15616-4-8
No. 4
Kriteria Investasi (8%)
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
Sub Kriteria
Nilai (%)
1 Nilai Perlindungan thd Bangunan Air (4%)
2. NJOP (4%)
5
Kebijakan Pembangunan Wilayah (4,7%)
1. Kawasan Lindung (1,7%)
>80 >60-80 >40-60 >20-40 0-20
2. Kawasan Andalan (1,5%) 3. Kawasan Khusus (1%) 4. Kawasan Timur Ind. (0,5%)
Kelas
Skor
I II III IV V I II III IV V I II III IV V Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada
0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 0
Keterangan
0.20 0 0.20 0 0.20
Catatan: Jika data tidak tersedia maka dapat diisikan klas sedang (III), atau jika untuk DAS tertentu sulit datanya dikumpulkan maka dapat menggunakan nilai DAS terdekat.
3.
(b). Kriteria hidrologi (bobot 40%) tersusun atas sub kriteia muatan sedimen (bobot 15) + indeks penggunaan air (bobot 7%) + Coefficient of Variation (bobot 13%) + kualitas air (bobot 5%); (c). Kriteria sosial ekonomi (bobot 20%) tersusun atas sub kriteria tekanan penduduk (bobot 5%) + indeks kesadaran masyarakat terhadap konservasi tanah (bobot 5%) + tingkat kesejahteraan penduduk (bobot 5%) + jumlah desa tertinggal (bobot 5%). IV. HASIL SELEKSI PENENTUAN PRIORITAS DAS KRITIS Dalam penentuan prioritas DAS dan Sub DAS yang didasarkan atas tingkat kekritisannya di wilayah propinsi Kalimantan Timur, mulai dari wilayah bagian utara ke arah bagian selatan yang terpilih dari hasil seleksi untuk diteliti sebanyak 25 DAS dan Sub DAS. A. Nilai Prioritas DAS Kritis sesuai dengan S.K. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI No. 128/Kpts/V/1997 Nilai Prioritas DAS berdasarkan kekritisannya ini diperoleh dari penjumlahan nilai total dari masingmasing kriteria yaitu lahan kritis, hidrologi, sosial ekonomi, investasi dan kebijakan pembangunan wilayah. Hasil perhitungan tersebut secara rinci disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 menunjukkan bahwa total nilai prioritas DAS berdasarkan kekritisannya dari 25 DAS Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
yang diteliti secara keseluruhan berkisar antara 43.54% – 66.38%. Nilai prioritas DAS tertinggi yaitu sebesar 66.38% terjadi pada Sub DAS Karang Mumus, kemudian secara berturut-turut disusul oleh DAS Telake, DAS Kendilo, DAS Tunan, DAS Riko, DAS Sepaku, DAS Semoi, Sub DAS Belayan, DAS Santan, Sub DAS Kedang Kepala, DAS Manggar, DAS Bontang, DAS Sebuku, DAS Sembakung, DAS Enggelam, DAS Sesayap, Sub DAS Kahala, DAS Karangan, DAS Bengalun, DAS Kayan, Sub DAS Kedang Pahu, DAS Kelay, Sub DAS Mahakam (Melak) dan DAS Segah, sedangkan nilai urutan prioritas DAS terendah yaitu sebesar 43.54% terjadi pada DAS Wain. Selanjutnya, dari Tabel 9 juga dapat disusun urutan prioritas DAS berdasarkan kekritisannya yang secara rinci disajikan pada Tabel 10, sedangkan gambaran/peta urutan prioritas DAS kritis sesuai dengan S.K. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan tersebut disajikan pada Gambar 1. B. Nilai Prioritas DAS Kritis Hasil Modifikasi S.K. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI No. 128/Kpts/V/1997 Nilai Prioritas DAS berdasarkan kekritisannya ini diperoleh dari penjumlahan nilai total dari ketiga kriteria hasil modifikasi yaitu lahan kritis (bobot 40%), hidrologi (bobot 40%) dan sosial ekonomi (bobot 20%), sehingga kriteria investasi dan kebijakan pembangunan wilayah ditiadakan. Selain itu, nilai persentase dari sub kriteria juga dimodifikasi, yaitu: 168
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
yang diteliti secara keseluruhan berkisar antara 48.1% – 72.4%. Nilai prioritas DAS tertinggi yaitu sebesar 72.4% terjadi pada Sub DAS Karang Mumus, kemudian secara berturut-turut disusul oleh DAS Telake, Sub DAS Belayan, DAS Kendilo, DAS Tunan, DAS Santan, DAS Sepaku, DAS Riko, DAS Semoi, Sub DAS Enggelam, Sub DAS Kedang Kepala, Sub DAS Mahakam (Melak), DAS Bontang, DAS Manggar, Sub DAS Kahala, DAS Kelay, DAS Karangan, DAS Bengalun, Sub DAS Kedang Pahu, DAS Sebuku, DAS Sembakung, DAS Sesayap, DAS Segah dan DAS Kayan, sedangkan nilai urutan prioritas DAS terendah yaitu sebesar 48.1% terjadi pada DAS Wain. Selanjutnya, dari Tabel 11 juga dapat disusun urutan prioritas DAS berdasarkan kekritisannya yang secara rinci disajikan pada Tabel 12, sedangkan gambaran/peta urutan prioritas DAS kritis hasil modifikasi S.K. tersebut disajikan pada Gambar 2.
(1). kriteria lahan kritis tersusun oleh sub kriteria lahan kritis (bobot 20%), tingkat bahaya erosi (bobot 13%), dan penutupan lahan (bobot 7%); (2). kriteria hidrologi tersusun oleh sub kriteia muatan sedimen (bobot 15), indeks penggunaan air (bobot 7%), Coefficient of Variation (bobot 13%), dan kualitas air (bobot 5%); (3). kriteria sosial ekonomi (bobot 20%) tersusun oleh sub kriteria tekanan penduduk (bobot 5%), indeks kesadaran masyarakat terhadap konservasi tanah (bobot 5%), tingkat kesejahteraan penduduk (bobot 5%), dan jumlah desa tertinggal (bobot 5%). Hasil perhitungan nilai prioritas DAS berdasarkan kekritisannya dari hasil modifikasi tersebut di atas secara rinci disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 menunjukkan bahwa total nilai prioritas DAS berdasarkan kekritisannya dari 25 DAS
Tabel 9. Penentuan Nilai Prioritas DAS Berdasarkan Kekritisannya dari 25 DAS di Wilayah Propinsi Kalimantan Timur No.
Nama DAS/Sub DAS
Luas (ha)
Lahan Kritis
Hidrologi
Sosial Ekonomi
Investasi
Kbjk. Pemb. Wil.
TOTAL NILAI
44.70%
19.80%
22.80%
8.00%
4.70%
100.00%
1.
DAS Sebuku
552147.30
38.84
7.58
6.80
3.2
1.12
57.54
2.
DAS Sembakung
524896.62
38.84
7.58
6.80
3.2
1.12
57.54
3.
DAS Sesayap
1003300.00
38.84
6.84
6.80
3.2
1.12
56.80
4.
DAS Kayan
3605117.34
38.84
5.80
7.72
3.2
0.78
56.34
5.
DAS Segah
639317.39
38.84
6.54
5.88
1.6
0.78
53.64
6.
DAS Kelay
664829.20
39.68
6.54
6.68
1.6
0.78
55.28
7.
DAS Karangan
477050.63
40.52
7.28
5.88
1.6
1.12
56.40
8.
DAS Bengalun
283900.00
40.52
7.28
5.88
1.6
1.12
56.40
9.
DAS Bontang
11699.67
39.70
7.28
5.88
4.0
0.78
57.64
10.
DAS Santan
11.
Sub DAS Mhkm (Melak)
125475.79
42.20
7.28
6.28
1.6
1.12
58.48
2637300.00
38.84
7.28
6.68
1.6
0.78
55.18
12.
Sub DAS Belayan
997728.75
42.18
7.58
6.68
1.6
1.12
59.16
13.
Sub DAS Kedang Kepala
14.
Sub DAS Enggelam
1028600.00
43.02
6.84
5.88
1.6
1.12
58.46
47132.00
41.36
7.58
5.88
1.6
1.12
57.54
15.
Sub DAS Kahala
82156.00
41.36
6.84
5.88
1.6
1.12
56.80
16.
Sub DAS Kedang Pahu
680034.16
39.68
7.58
5.88
1.6
1.12
55.86
17.
Sub DAS Karang Mumus
36527.73
44.70
9.88
5.88
4.8
1.12
66.38
18.
DAS Manggar
13250.33
39.70
7.28
5.88
4.8
0.78
58.44
19.
DAS Wain
10539.49
25.14
7.28
5.88
4.8
0.44
43.54
20.
DAS Semoi
24329.05
41.36
7.28
6.28
3.2
1.12
59.24
21.
DAS Sepaku
32539.66
41.36
7.58
6.28
3.2
1.12
59.54
22.
DAS Riko
66021.54
42.18
7.58
6.28
3.2
1.12
60.36
23.
DAS Tunan
80345.21
43.02
7.58
6.28
3.2
1.12
61.20
24.
DAS Telake
222968.51
43.02
7.58
6.68
3.2
1.12
61.60
25.
DAS Kendilo
354033.82
42.18
7.58
6.68
4.0
0.78
61.22
Tabel 10. Urutan Prioritas Kekritisan pada 25 DAS dan Sub DAS di Wilayah Propinsi Kalimantan Timur sesuai dengan S.K. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI No. 128/Kpts/V/1997. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
169
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
No. Urut
Nama DAS/Sub DAS
Luas (ha) 36527.73
Total Nilai (%)
1.
Sub DAS Karang Mumus
2.
DAS Telake
222968.51
66.38 61.60
3.
DAS Kendilo
354033.82
61.22
4.
DAS Tunan
80345.21
61.20
5.
DAS Riko
66021.54
60.36
6.
DAS Sepaku
32539.66
59.54
7.
DAS Semoi
8.
Sub DAS Belayan
9.
DAS Santan
24329.05
59.24
997728.75
59.16
125475.79
58.48
10.
Sub DAS Kedang Kepala
1028600.00
11.
DAS Manggar
58.46
13250.33
58.44
12.
DAS Bontang
11699.67
57.64
13.
DAS Sebuku
552147.30
57.54
14.
DAS Sembakung
524896.62
57.54
15.
Sub DAS Enggelam
16.
DAS Sesayap
17.
Sub DAS Kahala
18.
DAS Karangan
19.
DAS Bengalun
20.
DAS Kayan
21.
Sub DAS Kedang Pahu
22.
DAS Kelay
23.
Sub DAS Mahakam (Melak)
24.
DAS Segah
25.
DAS Wain
47132.00
57.54
1003300.00
56.80
82156.00
56.80
477050.63
56.40
283900.00
56.40
3605117.34
56.34
680034.16
55.86
664829.20
55.28
2637300.00
55.18
639317.39
53.64
10539.49
43.54
Gambar 1. Peta Urutan Prioritas Kekritisan pada 25 DAS dan Sub DAS di Wilayah Propinsi Kalimantan Timur sesuai dengan S.K. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI No. 128/Kpts/V/1997.
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
170
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
Tabel 11. Penentuan Nilai Prioritas DAS Kritis Berdasarkan Hasil Modifikasi pada 25 DAS di Kalimantan Timur No.
Nama DAS/Sub DAS
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
DAS Sebuku DAS Sembakung DAS Sesayap DAS Kayan DAS Segah DAS Kelay DAS Karangan DAS Bengalun DAS Bontang DAS Santan Sub DAS Mahakam (Melak) Sub DAS Belayan Sub DAS Kedang Kepala Sub DAS Enggelam Sub DAS Kahala Sub DAS Kedang Pahu Sub DAS Karang Mumus DAS Manggar DAS Wain DAS Semoi DAS Sepaku DAS Riko DAS Tunan DAS Telake DAS Kendilo
Luas (ha) 552147.30 524896.62 1003300.00 3605117.34 639317.39 664829.20 477050.63 283900.00 11699.67 125475.79 2637300.00 997728.75 1028600.00 47132.00 82156.00 680034.16 36527.73 13250.33 10539.49 24329.05 32539.66 66021.54 80345.21 222968.51 354033.82
Lahan Kritis 40% 31.8 31.8 31.8 31.8 31.8 33.2 34.6 34.6 34.8 37.4 31.8 35.8 37.2 36 36 33.2 40 34.8 21.2 36 36 35.8 37.2 37.2 35.8
Hidrologi 40% 21.15 21.15 18.55 14.7 17.3 17.3 19.9 19.9 19.9 19.9 19.90 21.15 18.55 21.15 18.55 21.15 25.4 19.9 19.9 19.9 21.15 21.15 21.15 21.15 21.15
Sosial Ekonomi 20% 8 8 8 9 7 11 7 7 7 9 11 11 7 7 7 7 7 7 7 9 9 9 9 11 11
Total Nilai 100% 60.95 60.95 58.35 55.5 56.1 61.5 61.5 61.5 61.7 66.3 62.7 67.95 62.75 64.15 61.55 61.35 72.4 61.7 48.1 64.9 66.15 65.95 67.35 69.35 67.95
Tabel 12. Urutan Prioritas Kekritisan pada 25 DAS dan Sub DAS di Wilayah Propinsi Kalimantan Timur Hasil Modifikasi S.K. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI No. 128/Kpts/V/1997. No. Urut 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Nama DAS/Sub DAS Sub DAS Karang Mumus DAS Telake Sub DAS Belayan DAS Kendilo DAS Tunan DAS Santan DAS Sepaku DAS Riko DAS Semoi Sub DAS Enggelam Sub DAS Kedang Kepala Sub DAS Mahakam (Melak) DAS Bontang DAS Manggar Sub DAS Kahala DAS Kelay DAS Karangan DAS Bengalun Sub DAS Kedang Pahu DAS Sebuku DAS Sembakung DAS Sesayap DAS Segah DAS Kayan DAS Wain
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Luas (ha) 36527.73 222968.51 997728.75 354033.82 80345.21 125475.79 32539.66 66021.54 24329.05 47132.00 1028600.00 2637300.00 11699.67 13250.33 82156.00 664829.20 477050.63 283900.00 680034.16 552147.30 524896.62 1003300.00 639317.39 3605117.34 10539.49
Total Nilai (%) 72.40 69.35 67.95 67.95 67.35 66.30 66.15 65.95 64.90 64.15 62.75 62.70 61.70 61.70 61.55 61.50 61.50 61.50 61.35 60.95 60.95 58.35 56.10 55.50 48.10
171
ISBN: 978-979-15616-4-8
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
Gambar 2. Peta Urutan Prioritas Kekritisan pada 25 DAS dan Sub DAS di Wilayah Propinsi Kalimantan Timur Hasil Modifikasi S.K. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI No. 128/Kpts/V/1997 V. PENUTUP 1. Berdasarkan kriteria lahan kritis, dari 25 DAS tersebut terdapat 24 DAS yang memiliki lahan kritis yang termasuk kategori relatif luas, sedangkan pada 1 DAS Wain lahan kritisnya relatif sedikit. 2. Berdasarkan kriteria hidrologi, dari 25 DAS tersebut secara keseluruhan hasil muatan sedimennya masih termasuk kategori relatif rendah, namun bisa mengakibatkan kekeruhan/sedimentasi di saluran sungai, karena kondisi DAS yang relatif luas, Indeks Penggunaan Air (IPA) secara keseluruhan menunjukkan bahwa jumlah kebutuhan air relatif sedikit bila dibandingkan dengan potensi persediaan air, nilai Coefficient of Variation (CV) sebagian besar termasuk kategori tinggi, kemudian disusul kategori agak tinggi dan kategori sedang, nilai kualitas air termasuk kategori B, C dan D yang secara keseluruhan air sungai-sungai dari 25 DAS ini tidak dapat digunakan sebagai air minum secara langsung. 3. Berdasarkan kriteria sosial ekonomi, dari 25 DAS tersebut secara keseluruhan tekanan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
4.
penduduknya relatif rendah, indeks kesadaran masyarakat (IKM) terhadap upaya konservasi tanah masih relatif agak rendah bila dibandingkan dengan yang memahami dan melaksanakan praktek konservasi tanah, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sebagian besar masih terdapat relatif banyak, jumlah desa tertinggal terbanyak ditemukan pada 5 DAS dan jumlah desa tertinggal yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelima DAS tersebut terdapat pada 5 DAS, sedangkan yang paling sedikit jumlah desa tertinggalnya terdapat pada 15 DAS. Berdasarkan kriteria investasi, dari 25 DAS tersebut yang memiliki nilai perlindungan terhadap bangunan air tertinggi ditemukan pada 3 DAS dan yang nilai perlindungannya sedikit lebih rendah dibanding dengan ketiga DAS tersebut ditemukan pada 2 DAS, sedangkan yang memiliki nilai lebih rendah dibanding kelima DAS tersebut ditemukan pada 20 DAS, nilai jual obyek pajak/NJOP secara keseluruhan tergolong relatif masih rendah atau nilai jual obyek pajak lahan per satuan luas lahan relatif masih murah. 172
ISBN: 978-979-15616-4-8
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Berdasarkan kriteria kebijakan pembangunan wilayah, dari 25 DAS tersebut yang memiliki kawasan lindung terluas (> 80%) ditemukan hanya pada 1 DAS Wain dan yang memiliki kawasan lindung sekitar 60 - 80% ditemukan pada 7 DAS, sedangkan yang memiliki kawasan lindung sekitar 40 - 60% ditemukan pada 13 DAS, pada 25 DAS ini secara keseluruhan tidak terdapat kawasan andalan dan kawasan khusus, namun temasuk dalam Kawasan Timur Indonesia. Hasil penentuan urutan prioritas DAS kritis dari 25 DAS dan Sub DAS yang diteliti di Kalimantan Timur, baik yang sesuai dengan S.K. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI No. 128/Kpts/V/1997 maupun hasil modifikasi kriteria S.K. tersebut, keduanya bisa dipertimbangkan dalam pemilihan urutan prioritas penanganan dari 25 DAS dan Sub DAS tersebut. Apabila penekanan (stressing) pelaksanaan kegiatannya dalam upaya penanganan lahan kritis, maka pemilihan dan penentuan urutan prioritas dari 25 DAS dan Sub DAS tersebut dapat menggunakan urutan prioritas yang sesuai dengan S.K. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI No. 128/Kpts/V/1997. Apabila penekanan (stressing) pelaksanaan kegiatannya dalam upaya penanganan kondisi hidrologi, maka pemilihan dan penentuan urutan prioritas dari 25 DAS dan Sub DAS ini dapat menggunakan urutan prioritas dari hasil modifikasi S.K. Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan tersebut. Pada DAS dan Sub DAS prioritas yang terdapat lahan kritis relatif luas, perlu segera diupayakan tindakan rehabilitasinya, baik secara vegetatif melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan, maupun secara teknik sipil/mekanik misalnya pembuatan teras, saluran pembuangan air, bangunan pengendali erosi dan sedimentasi serta penguat tebing. Pada DAS dan Sub DAS prioritas yang terdapat permasalahan hidrologi seperti bencana banjir, debit limpasan air sungai yang relatif berfluktuatif, pendangkalan/sedimentasi saluran sungai, dan pencemaran air sungai, perlu segera diupayakan tindakan penanganannya secara teknik sipil, misalnya pembangunan bendung/bendungan, waduk, pengerukan sedimen, pembangunan turap dan pembersihan sampah di sungai (normalisasi saluran sungai). Dalam pengelolaan DAS dan Sub DAS prioritas, sebaiknya perlu dilakukan kerjasama antar sektor instansi pemerintahan terkait maupun pelibatan masyarakat setempat dan para pihak terkait
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
12.
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
lainnya, agar pengelolaan DAS dan Sub DAS tersebut bisa berhasil secara optimal. Sehubungan dengan adanya dinamika kegiatan pembangunan dan pemanfaatan kawasan pada 25 DAS dan Sub DAS ini, sehingga urutan prioritas DAS kritis dalam jangka waktu tertentu kemungkinannya bisa berubah, oleh karena itu selama periode tertentu ke depan perlu dikaji ulang urutan prioritas DAS dan Sub DAS tersebut.
DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim, 1988. Keputusan Menteri KLH No. 2/1988 tentang Baku Mutu Kualitas Lingkungan, Jakarta. 2. Anonim, 1993. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Sub Daerah Aliran Sungai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan, Jakarta. 3. Anonim, 1997. Kriteria Penetapan Urutan Prioritas Daerah Aliran Sungai. Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan RI, Jakarta. 4. Anonim, 1998. Keputusan Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Nomor 041 Kpts V 1998 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi dan Konservasi Tanah, Jakarta. 5. Anonim, 2001, Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Jakarta. 6. Anonim, 2003a. Peta Penafsiran Citra Landsat 7 ETM. 7. Anonim, 2003b. Laporan Utama Studi Identifikasi dan Analisis Erosi − Sedimentasi Sungai Santan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur. Kerjasama antara Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai, Dinas PU dan Kimpraswil Prop. KalTim dengan CV Wira Buana Konsultan, Samarinda. 8. Anonim, 2003c. Laporan Akhir Detail Desain Penanggulangan Banjir S. mahakam, S. Sesayap, S. Sembakung – Sebuku, S. Bengalun di Propinsi Kalimantan Timur. Kerjasama antara Proyek Pengembangan dan Pengelolaan Sungai Kalimantan, Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah dengan PT Tata Guna Patria Engineering Consultant, Jakarta. 9. Anonim, 2004a. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. 10. Anonim, 2004b. Laporan Akhir Studi Optimasi Pengembangan Sumberdaya Air Sungai Kendilo Kabupaten Pasir. Kerjasama antara Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai, Dinas PU dan Kimpraswil Prop. KalTim dengan PT Antusiasme Engineering Consulting Engineers, Samarinda. 11. Anonim, 2004c. Exsecutive Summary (Laporan Ringkas) Studi Penyusunan Rating Curve Aliran Sungai Mahakam.Kerjasama antara Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai, 173
ISBN: 978-979-15616-4-8
12.
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
24.
25. 26. 27. 28. 29. 30.
Sigit Hardwinarto, Sumaryono, Mislan, Maliki, Naniek Sulistyowati
Dinas PU dan Kimpraswil Prop. KalTim dengan CV Portal Consultant, Samarinda. Anonim, 2005. Laporan Antara Penyusunan Data Base Spasial DPS Telake dan Aplikasi SISDA Kabupaten Pasir. Kerjasama antara Proyek Pengendalian Banjir dan Pengamanan Pantai, Dinas PU dan Kimpraswil Prop. KalTim dengan PT Hilmy Anugerah, Samarinda. Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB (IPB Press), Bogor. Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Timur, 2004a. Kalimantan Timur Dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Timur, 2004b. Samarinda Dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Timur, 2004c. Kutai Kartanegara Dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Timur, 2004d. Penajam Paser Utara Dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Timur, 2004e. Nunukan Dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Timur, 2004. Kabupaten Kutai Timur Dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasir, 2004. Kabupaten Pasir Dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik Kabupaten Malinau, 2005. Malinau Dalam Angka 2004. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Balikpapan dan Badan Pusat Statistik Kota Balikpapan, 2004. Kota Balikpapan Dalam Angka 2004. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bulungan dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bulungan, 2004. Kabupaten Bulungan Dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Berau 2005. Kabupaten Berau Dalam Angka 2004 (Draft). Bappeda dan BPS Kabupaten Kutai Barat, 2005. Kutai Barat Dalam Angka 2004. BAPLAN, 2004. Peta Penutupan Lahan Wilayah Propinsi Kalimantan Timur dengan Klasifikasi dan Nilai Skornya. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum, 1991. SNI Bidang Pekerjaan Umum mengenai Kualitas Air, Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum, 1991. SNI Metode Pengukuran Debit Sungai dan Saluran Terbuka. Yayasan LPMP Bandung, Bandung. Departemen Pekerjaan Umum, 1991. SNI Metode Pengambilan Contoh Muatan Sedimen Melayang di
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
31. 32. 33. 34.
35.
36.
37. 38. 39. 40.
41.
42.
43.
Sungai dengan Cara Integrasi Kedalaman Berdasarkan Pembagian Debit. DSN Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum, 1998. Pembagian Wilayah Sungai di Indonesia. Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum, tth. Sungai Induk di Kalimantan Timur. Jakarta. Gregory, K.J. and Walling, D.E., 1976. Drainage Basin Form and Process. Fletcher and Son Ltd., Norwich. Hammer, W.I., 1981. Second Soil Conservation Consultant Report. AGOF/INS/78/006. Tech. Note No. 10. Centre for Soil Research, Bogor, Indonesia. Hardwinarto, S., 2000. Pola Limpasan Air dan Sedimen pada Sungai Kahala di Sebelah Hulu Danau Semayang, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Journal “Frontir ” Univ. Mulawarman No. 31, hal. 109 ~ 120. Hardwinarto, S., A. Febrianto, A. Rizani, dan F. Darwanti, 2005. Kajian Debit Air dan Sedimen dari Sungai-sungai pada Daerah Tangkapan Air Waduk Manggar di Wilayah Kota Balikpapan. Jurnal Ilmiah Fakultas Kehutanan UNMUL “Rimba Kalimantan”, Edisi Juli 2005. Hewlett, J. D., 1982. Principles of Forest Hydrology. The University of Georgia Press Athens, Georgia. Linsley, R.K. et al., 1975. Hydrology for Engineers. Mc Graw-Hill, Kogakusha Ltd. RePPProT, 1987. Land Systems/Land Suitability. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. Schmidt, F.H. and J.H.A. Ferguson, 1951. Rainfall types based on wet and dry period ratios for Indonesia with Western New Guinea. Kementerian perhubungan, Djawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. TNC, 2002. Folio Text for Maps and Figures Ilustrating East Kalimantan Terrestrial Ecoregional Planning Process. The Nature Conservancy, Samarinda. Voss, F., 1983. Atlas East Kalimantan Transmigration Area Development Project (TAD). Cooperation between the Republic of Indonesia and the Federal Republic of Germany : Department of Manpower and Transmigration, Jakarta. Wischmeier, W.H. and D.D. Smith, 1978. Predicting Rainfall – Erosion Losses: A Guide to Conservation Planning, USDA Agriculture Handbook No. 537.
174
ISBN: 978-979-15616-4-8
Nurhayati, Eko Yulianto
Kajian Karakteristik Hidrologi sebagai Dasar Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu di Daerah Aliran Sungai Mempawah 1), 2) Staf
Nurhayati 1) Eko Yulianto 2)
Pengajar Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura
Abstrak
Penelitian ini dilaksanakan di DAS Mempawah Kalimantan Barat. Penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari karakteristik hidrologi DAS Mempawah yang akan digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan dan sumberdaya air yang komprehensif, terpadu, terencana dan berkelanjutan di DAS Mempawah. Kajian karakteristik hidrologi berdasarkan survey hidrologi, geomorfologi dan hidrometri, kajian sedimentasi dilakukan dengan cara menganalisis sampel-sampel sedimen melayang yang diambil dari bagian hulu, tengah dan hilir sungai utama, sedangkan data lainnya merupakan data sekunder. Dari hasil penelitian ini diperoleh curah hujan pada DAS Mempawah rata-rata hujan selama 10 tahun terakhir adalah 2.831 mm. Penggunaan lahan terbesar adalah pertanian lahan kering campur semak sebesar 64,4 %, sedangkan penggunaan terkecil adalah tambak sebesar 0,2 %. Kemiringan lereng dominan adalah landai sebesar 41,2 %. Pola aliran sungai-sungai secara umum menyerupai bentuk percabangan pohon dengan bentuk daerah aliran sungai adalah memanjang, orde sungainya terdiri dari 5 orde dengan indeks kerapatan sungai termasuk dalam kategori sedang yakni 0,8. Konsentrasi sedimen melayang (Cs) pada Outlet I sebesar 10,67 mg/liter, Outlet II sebesar 13,11 mg/liter dan Outlet III sebesar 41,33 mg/liter. Debit limpasan air sungai (Q) rata-rata pada Outlet I sebesar 17,54 m3/detik, Outlet II sebesar 59,05 m3/detik dan Outlet III sebesar 126,03 m3/detik. Debit sedimen melayang (Qs) pada Outlet I sebesar 16,17 ton/hari, Outlet II sebesar 66,89 ton/hari dan Outlet III sebesar 450,04 ton/hari. Kata kunci : karakteristik, DAS, outlet, debit
1. Pendahuluan Latar Belakang Air merupakan bagian terbesar pada permukaan bumi dan merupakan faktor kunci dalam mempertahankan kondisi udara bumi bagi keberadaan manusia dan berpengaruh terhadap perkembangan peradaban manusia. Semakin maju peradaban manusia, kebutuhan akan air pun semakin meningkat pula. Daerah aliran sungai (DAS) merupakan satu kesatuan hidroorologis yang memiliki keseimbangan dalam proses-proses yang terjadi secara alamiah di dalamnya dan memiliki ambang batas dalam mempertahankannya. Kemampuan DAS dalam mempertahankan kerusakan yang ditimbulkan pada DAS, tidak hanya dirasakan pada daerah hilir tetapi juga merambah ke daerah hulu sungai. Sungai-sungai yang membawa fraksi tanah dari daerah hulu akan mengendapkannya pada bagian hilir dan muaranya. Daya dukung DAS dipengaruhi oleh pola penggunaan lahan yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Setiap DAS memiliki karakteristik yang bersifat spesifik, dan sangat dipengaruhi oleh keadaan fisik dan biologis yang terdapat di dalam sistem DAS yang pada akhirnya mempengaruhi debit aliran (output). Karakteristik hidrologi DAS akan berpengaruh terhadap jalannya proses-proses hidrologi. Dalam hubungannya dengan sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur utamanya seperti jenis tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan, dan panjang lereng (Asdak, 2002:16). Karakteristik hidrologi suatu DAS dapat dievaluasi Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
diantaranya dari pola aliran dengan memandang DAS sebagai satu kesatuan sistem, di mana terdapat masukan (input), diikuti oleh proses-proses yang terjadi didalamnya yang kemudian menghasilkan aliran sebagai keluaran (output). Oleh sebab itu, studi tentang karakteristik hidrologi DAS Mempawah penting dilakukan sebagai dasar dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya air DAS secara komprehensif, terpadu, terencana dan berkelanjutan. Lingkup Penelitian Daerah aliran sungai yang diteliti adalah DAS Mempawah, dimana terdapat tiga outlet pengamatan. Outlet I merupakan bagian hulu, outlet II merupakan bagian tengah dan outlet III merupakan bagian hilir DAS Mempawah. Dalam penelitian ini dibatasi pada input, output dan karakteristik hidrologi daerah aliran sungai. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh karakteristik hidrologi DAS Mempawah yang akan digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan sumberdaya air yang komprehensif, terpadu, terencana dan berkelanjutan di DAS Mempawah Kalimantan Barat. 2. Metoda Penelitian Tahapan dalam melakukan penelitian ini adalah pengumpulan dan inventarisasi data sekunder yang berupa data hasil penelitian dan beberapa peta tematik yang terkait antara lain peta tata guna lahan, peta topografi, serta peta lainnya yang menunjang 175
ISBN: 978-979-15616-4-8
penggambaran kondisi DAS Mempawah. Pengamatan dan pencatatan data beberapa elemen kondisi biogeofisik DAS Mempawah. perkembangan pola penggunaan lahan. Pengukuran luasan DAS Mempawah dari peta lokasi dan peta topografi yang terkait. Survey hidrologi dan hidrometri, antara lain melakukan pengukuran kecepatan aliran dan pengambilan sampel air. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di daerah aliran sungai (DAS) Mempawah Propinsi Kalimantan Barat. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Seperangkat alat untuk mengukur debit dan sampel air, yaitu current meter, stop watch, meteran 100 m, thermometer, botol untuk sampel air, alat tulis, alat dokumentasi. 2. Komputer, printer dan scanner untuk kompilasi dan analisis data. 3. Peta tematik dan data sekunder yang menunjang penelitian. 4. Sampel air dari daerah aliran sungai (DAS) Mempawah. Kompilasi Data Sekunder Pengumpulan dan inventarisasi data sekunder yang berupa data hasil penelitian dan beberapa peta tematik yang terkait antara lain peta tata guna lahan, peta topografi, serta peta lainnya yang menunjang penggambaran kondisi DAS Mempawah. Prosedur Penelitian Prosedur dalam pelaksanaan penelitian ini di antaranya adalah: 1. Pengamatan dan pencatatan data beberapa elemen kondisi biogeofisik DAS Mempawah. 2. Perkembangan pola penggunaan lahan. 3. Pengukuran luasan DAS Mempawah dari peta lokasi dan peta topografi yang terkait. 4. Penggunaan beberapa data penunjang dan peta lainnya yang digunakan untuk melengkapi dalam analisis data hasil penelitian ini. 5. Survey hidrologi dan hidrometri, antara lain melakukan pengukuran kecepatan aliran. 6. Pengambilan sampel air. Analisis Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan pendekatan analisis geomorfologik dan hidrologik pada DAS dan berdasarkan survey dan pengukuran lapangan. Adapun dalam analisis tersebut secara lebih rinci dapat diuraikan sebagai berikut: Analisis geomorfologik di antaranya difokuskan pada pengaruh parameter-parameter luasan dan faktor bentuk (shape factor) DAS, kelas kelerengan, pola jaringan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Nurhayati, Eko Yulianto
sungai (drainage network), jenis tanah pada DAS. Parameter faktor bentuk DAS dapat diperoleh dengan cara melakukan perhitungan dengan persamaan: 1. Kerapatan Sungai Dd =
L A
Dimana : Dd = indek ker apatan sungai (km/km2)
L = jumlah panjang sungai termasuk anak-anak sungainya (km) A = luas DAS (km2)
2. Orde dan tingkat percabangan sungai Berdasarkan jumlah alur sungai untuk suatu orde akan ditentukan angka indeknya yang menyatakan tingkat percabangan sungai (bifurcation ratio). Indek tersebut dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: Rb =
Dimana:
Rb Nu Nu +1
= = =
Nu Nu + 1
indek tingkat percabangan sungai jumlah alur sungai untuk orde ke-u jumlah alur sungai untuk orde ke-u + 1
Analisis hidrologik di antaranya difokuskan pada pengkajian prakiraan curah hujan, limpasan air (runoff), prediksi sedimen yang dihasilkan oleh DAS. 1. Debit aliran Debit aliran didapat dihitung dengan rumus :
Q =V xA
Dimana :
Q V A
= = =
debit aliran (m3/detik) kecepatan aliran (m/detik) luas penampang sungai (m2 )
2. Sedimentasi Pengukuran sedimen diambil sebanyak 3 kali pada masing-masing outlet, kemudian dianalisis di laboratorium. Dengan asumsi bahwa konsentrasi sedimen merata pada seluruh bagian penampang melintang sungai, maka debit sedimen dapat dihitung sebagal hasil perkalian antara konsentrasi dan debit air yang dirumuskan sebagai berikut:
Qs = 0,0864 x C x Qw
Dimana :
Qs C Qw
= = =
debit sedimen (ton/hari) konsentrasi sedimen (mg/liter) debit aliran (m3/detik)
3. Hasil dan Pembahasan Letak dan Luasan Daerah aliran sungai (DAS) Mempawah menurut pembagian wilayah administrasi pemerintahan, termasuk ke dalam 2 (dua) wilayah, yaitu wilayah pemerintah Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Landak. Secara geografis DAS Mempawah terletak di antara 0°20’ – 176
ISBN: 978-979-15616-4-8
Nurhayati, Eko Yulianto
0°30’ LU dan 108°53’ BT – 109°30’ BT. DAS Mempawah mempunyai luas wilayah ± 160.293,161 ha, yang termasuk wilayah administrasi Kabupaten Pontianak ± 70.842,911 ha (44,2%) dan Kabupaten Landak ± 89.450,25 ha (55,8%) (Anonim, 2005). Wilayah administrasi Kabupaten Pontianak yang termasuk dalam wilayah DAS Mempawah adalah Kecamatan Mempawah Hilir, Kecamatan Sungai Kunyit dan Kecamatan Toho, sedangkan wilayah administrasi Kabupaten Landak yang termasuk dalam wilayah DAS Mempawah adalah Kecamatan Menjalin dan Kecamatan Mempawah Hulu. Daerah aliran sungai (DAS) Mempawah, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Ketapang, sebelah barat berbatasan dengan Laut Natuna dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sanggau. Penggunaan Lahan Jenis penggunaan lahan pada DAS Mempawah dan luasannya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Penggunaan Lahan pada DAS Mempawah Jenis Penggunaan Hutan lahan kering sekunder Hutan rawa sekunder Lahan terbuka Pemukiman Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering campur semak Semak belukar Semak belukar rawa Tambak Jumlah
Luas (Ha) 8.392,727 20.571,479 765,026 659,103 10.560,142 103.191,150
Prosentase (%) 5,2 12,8 0,5 0,4 6,6 64,4
7.413,569 8.425,741 314,224 160.293,161
4,6 5,3 0,2 100
Sumber: Analisis Data Sekunder,Peta Penggunaan Lahan DAS Mempawah, 2005
Tabel 1 menunjukkan bahwa penggunaan lahan pada wilayah DAS Mempawah beragam. Penggunaan lahan tertinggi adalah pertanian lahan kering campur semak sebesar 64,4% dan penggunaan lahan terendah adalah tambak sebesar 0,2%. Dilihat dari keanekaragaman penggunaan lahan, hutan yang masih terdapat pada DAS Mempawah hutan adalah hutan lahan kering sekunder sebesar 5,2 % dan hutan rawa sekunder sebesar 12,8 %. Hutan akan melindungi lapisan permukaan tanah dari evaporasi dan mengurangi bahaya pukulan air hujan yang dapat memadatkan tanah. Sehingga hutan merupakan daerah alami yang berfungsi sebagai daur hidrologi yang menjaga keseimbangan alam. Topografi Data kelas lereng pada DAS Mempawah yang diperoleh dari peta kelas lereng pengamatan disajikan pada Tabel 2. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Tabel 2. Kelas Lereng pada DAS Mempawah Kelas Lereng Fisiografi (%) 0–8 Datar 8 – 15 Landai 25 – 40 Agak curam > 40 Curam Jumlah
Luas (Ha) 61.230,587 66.074,933 24.891,164 8.096,477 160.293,161
Prosentase (%) 38,2 41,2 15,5 5,1 100
Sumber: Analisis Data Sekunder, 2005
DAS Mempawah memiliki topografi yang beranekaragam, mulai datar (0–8%), landai (8–15%), agak curam (25–40%) hingga curam (>40%). Fisiografi DAS Mempawah yang terbesar adalah landai (8–15%) dengan prosentase sebesar 41,2% terhadap prosentase luasan DAS Mempawah, sedangkan fisiografi DAS Mempawah yang terkecil adalah curam (>40%) dengan prosentase sebesar 5,1% terhadap prosentase luasan DAS Mempawah. Sebagian besar wilayah DAS Mempawah bagian hilir memiliki fisiografi datar (0–8%), sehingga partikel tanah yang masuk ke dalam aliran sungai kerena erosi menjadi lebih kecil dibandingkan bagian hulu yang bertopografi lebih curam. Bagian hulu wilayah DAS Mempawah memiliki topografi dengan kemiringan tinggi, maka kemungkinan terjadi erosi lebih besar. Peningkatan laju erosi ini menyebabkan konsentrasi sedimen yang terdapat pada aliran sungai menjadi lebih tinggi karena pengikisan terhadap tanah lebih tinggi dari bagian hilir DAS Mempawah. Jenis Tanah Berdasarkan klasifikasi tanah, jenis-jenis tanah yang terdapat pada DAS Mempawah adalah jenis tanah alluvial, jenis tanah organosol dan podsolik merah kuning (PMK). Jenis tanah alluvial dan podsol umumnya rentan terhadap erosi (Asdak: 2002,18). Jenis tanah alluvial pada umumnya terdapat pada wilayah yang bertopografi datar, dimana sebagian besar terdapat pada bagian hilir DAS Mempawah. Jenis tanah podsolik merah kuning sebagian besar terdapat pada wilayah yang bertopografi agak curam hingga curam, yaitu pada bagian tengah dan hulu DAS Mempawah. Tanah podsolik memiliki sifat fisik yang jelek, kurang akan unsur hara, kestabilan agregat tanah yang rendah sehingga mudah terkikis oleh aliran air terutama air hujan (Suripin: 2002,10) Luas dan prosentase jenis tanah pada DAS Mempawah disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Luas Jenis Tanah pada DAS Mempawah Jenis Tanah Luas (Ha) Prosentase (%) Alluival 10.426,753 6,505 Organosol 19.235,206 12,000 PMK 130.631,202 81,495 Sumber: Analisis Data Sekunder, Peta Jenis Tanah DAS Mempawah, 2005
177
ISBN: 978-979-15616-4-8
Nurhayati, Eko Yulianto
Iklim Hujan dalam sistem daerah aliran sungai (DAS) merupakan masukkan bagi suatu wilayah DAS dan merupakan faktor yang mengendalikan proses daur hidrologi di suatu DAS. Data iklim DAS Mempawah untuk 10 tahun terakhir disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Data Iklim pada DAS Mempawah Tahun 19952004 No.
Tahun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Hujan (mm) 3.200 2.972 2.380 3.657 2.475 3.043 2.653 2.460 3.007 2.459
Kelembaban (%) 83,50 85,17 84,75 85,58 83,58 81,83 79,00 77,33 82,58 81,10
Suhu °C 26,73 26,43 26,66 26,88 26,89 26,78 26,84 27,13 21,07 27,37
Sumber: Stasiun Klimatologi Jungkat Kalimantan Barat, 2005
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson dan mengacu data curah hujan dari Stasiun Klimatologi Jungkat Propinsi Kalimantan Barat selama 10 tahun (1995-2004) (Anonim, 2005) seperti yang tersaji pada Tabel 4, kawasan penelitian ini termasuk tipe iklim A dengan nilai Q = 9,09%, hal ini berarti bahwa pada kawasan penelitian ini relatif sangat basah dengan curah hujan yang relatif tinggi. Sementara itu, berdasarkan data curah hujan selama periode tersebut dapat diketahui bahwa curah hujan tahunan maksimum sebesar 3.200 mm, minimum sebesar 2.380 mm dan rataan sebesar 2.831 mm. Selain itu, berdasarkan data kelembaban dan suhu udara menunjukkan bahwa kelembaban nisbi maksimum sebesar 85,58%, minimum 77,33% dan rataan sebesar 82,44%, sedangkan suhu udara maksimum sekitar 27,37°C, minimum sekitar 21,07°C dan rataan sekitar 26,28°C. Kondisi Fisik DAS Mempawah Tabel 5. Beberapa Elemen Kondisi Fisik DAS secara umum pada DAS Mempawah No. 1. 2.
Elemen Kondisi Biogeofisik DAS Faktor Bentuk DAS Hidrologi (pola jaringan sungai)
Keterangan 0,8 dendritik
Tabel 5 menunjukkan bahwa faktor bentuk DAS Mempawah sebesar 0,8 berarti bahwa bentuk DAS tersebut termasuk dalam kategori sedang. Nilai bentuk DAS Mempawah mengindikasikan bahwa limpasan air (runoff) pada permukaan DAS relatif lebih cepat untuk mencapai bagian muara DAS tersebut. Kondisi topografi/kelerengan DAS ini mulai datar dan bergelombang ringan sampai curam (Anonim, 2005). Pola jaringan saluran sungainya (drainage network) dan kondisi hidrologi pada Sungai Mempawah bercirikan pola percabangan pohon (dendritic pattern). Jenis tanah yang terdapat pada DAS tersebut terdiri dari jenis tanah alluvial, organosol dan podsolik merah kuning (Anonim, 2005). Berdasarkan nilai-nilai elemen fisik seperti tersebut di atas dapat menggambarkan bahwa kondisi faktor bentuk dan kelerengan DAS yang memungkinkan laju limpasan air pada permukaan DAS relatif cepat, serta lahan yang relatif peka terhadap erosi, maka hal-hal tersebut tentu dapat menopang terjadinya proses percepatan sedimentasi. Konsentrasi Sedimen Melayang (Concentration of Suspended Sediment) Hasil pengambilan sampel sedimen melayang pada ketiga outlet di DAS Mempawah, setelah dianalisis di laboratorium untuk diukur dan dihitung besarnya konsentrasi sedimen melayang (Cs), hasil perhitungan tersebut secara rinci disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Konsentrasi Sedimen Melayang Rata-rata pada Ketiga Outlet DAS Mempawah No.
Lokasi Sampling
1. 2. 3.
Outlet I Outlet II Outlet III
Konsentrasi Sedimen Melayang Rata-rata Cs (mg/liter) 10,67 13,11 41,33
Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai konsentrasi sedimen melayang rata-rata pada ketiga outlet di DAS Mempawah. Konsentrasi sedimen melayang terbesar terdapat di Outlet III yang merupakan bagian hilir dari DAS Mempawah. Untuk mengetahui kategori konsentrasi sedimen melayang pada ketiga outlet tersebut, digunakan standar kualitas lingkungan Keputusan Menteri KLH No.2/1988 (Anonymous, 1988) yang disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Kategori Konsentrasi Sedimen Melayang (Cs) berdasarkan Skala Kualitas Lingkungan Nilai dan Rentangan Komponen Sangat Lingkungan Jelek Sedang Baik Sangat Baik Jelek Konsentrasi Sedimen 250 – > 500 100 – 250 0 – 100 0 Melayang (Cs) (mg/liter) 500 Sumber : Anonymous, 1988 Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
178
ISBN: 978-979-15616-4-8
Nurhayati, Eko Yulianto
Apabila merujuk pada Standar Kualitas Lingkungan pada Tabel 7 tersebut, maka konsentrasi sedimen melayang rata-rata pada masing-masing outlet di DAS
Mempawah dapat dikelompokkan berdasarkan kategori yang disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Kategori Konsentrasi Sedimen Melayang Rata-rata pada Ketiga Outlet DAS Mempawah Berdasarkan Skala Kualitas Lingkungan No
Lokasi Sampling
Konsentrasi Sedimen Melayang Rata-rata Cs (mg/liter)
Skala Kualitas Lingkungan (mg/liter)
Kategori
1. 2. 3.
Outlet I Outlet II Outlet III
10,67 13,11 41,33
0 – 100 0 – 100 0 – 100
Baik Baik Baik
Sumber : Hasil perhitungan data primer, 2006
Tabel 8 memperlihatkan bahwa berdasarkan standar skala kualitas lingkungan, konsentrasi sedimen melayang pada ketiga oultelt termasuk kategori baik. Debit Limpasan Air Sungai (Discharge) Pengukuran debit yang dinotasikan dengan Q,
dilakukan secara bersamaan dengan pengambilan sampel beban endapan layang pada pada ketiga outlet di DAS Mempawah. Hasil perhitungan debit limpasan air sungai pada masing-masing outlet sungai tersebut disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Pengukuran Debit Limpasan Air Sungai Rata-rata pada DAS Mempawah Luas Penampang Debit Lokasi Kecepatan Air No. Basah Sungai Q=V x A Sampling Sungai (V) m/detik (A) m2 (m3/detik) 1. Outlet I 0,64 27,26 17,54 2. Outlet II 0,54 110,03 59,05 3. Outlet III 0,35 360,08 126,03 Sumber : Hasil perhitungan data primer, 2006
Tabel 9 menunjukkan bahwa debit di Outlet III (hilir) mempunyai nilai terbesar, yaitu 126,03 m3/detik. Besarnya debit pada Outlet III disebabkan karena luas vertikal sungai yang jauh lebih besar dibanding luas vertikal sungai pada Outlet I (hulu) dan Outlet II (tengah). Hasil perhitungan nilai debit limpasan air sungai pada ketiga outlet sungai tersebut diperlukan untuk menentukan besarnya jumlah sedimen melayang setiap satuan waktu atau disebut debit sedimen melayang.
Debit Sedimen Melayang (Discharge of Suspended Sediment) Hasil perhitungan nilai debit sedimen melayang (Qs) pada masing-masing outlet sungai tersebut diperoleh dari hasil perkalian antara debit limpasan air sungai (Q) dengan konsentrasi debit sedimen melayang (Cs) yang disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Perhitungan Debit Sedimen Melayang pada DAS Mempawah Debit Limpasan Air Sungai Q (m3/detik) 1. Outlet I 17,54 2. Outlet II 59,05 3. Outlet III 126,03 Sumber: Hasil Analisis Data Primer, 2006 No.
Lokasi Sampling
Konsentrasi Sedimen Melayang Rata-rata Cs (mg/liter) 10,67 13,11 41,33
Tabel 10 menunjukkan bahwa nilai debit sedimen melayang pada ketiga outlet dari yang terbesar sampai dengan terkecil berturut-turut yaitu Outlet III sebesar 450,04 ton/hari, Outlet II sebesar 54,4 ton/hari dan Outlet Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Debit Sedimen Melayang Qs (gr/detik) 187,15 774,14 5.208,82
Debit Sedimen Melayang Qs (ton/hari) 16,17 66,89 450,04
I sebesar 19,87 ton/hari. Nilai debit sedimen melayang pada ketiga outlet di DAS Mempawah secara umum relatif besar. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi biogeofisik sebagian 179
ISBN: 978-979-15616-4-8 Kusnaeni
besar DAS Mempawah mengalami gangguan terutama kondisi hidoorologinya, yang diduga diakibatkan oleh perluasan lahan terbuka untuk berbagai kegiatan dengan pola penggunaan lahan yang kurang tepat atau tidak sesuai dengan potensi daya dukungnya, bahwa ditambah lagi oleh kondisi fisik jenis tanahnya yang didominasi oleh jenis tanah podsol yang bersifat sangat peka terhadap erosi, dominasi topografi yang bergelombang, curah hujan tahunan yang cukup tinggi dan pola jaringan sungai sebagian besar berbentuk seperti percabangan pohon (dendritic pattern) yang bersifat cepat mengalirkan limpasan air sungai. 4. Penutup Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Curah hujan pada DAS Mempawah menurut Schmidt dan Fergusen termasuk klasifikasi A, dengan ratarata hujan selama 10 tahun terakhir adalah 2.831 mm. 2. Penggunaan lahan terbesar pada wilayah DAS Mempawah adalah pertanian lahan kering campur semak sebesar 64,4 %, selanjutnya hutan rawa sekunder sebesar 12,8 %, pertanian lahan kering sebesar 6,6 %, semak belukar rawa sebesar 5,3 %, hutan lahan kering sekunder sebesar 5,2 %, semak belukar sebesar 4,6 %, lahan terbuka sebesar 0,5 %, permukiman 0,4 %, dan penggunaan lahan terkecil adalah tambak sebesar 0,2 %. 3. Kemiringan lereng dominan pada wilayah daerah aliran sungai (DAS Mempawah) adalah landai dengan prosentase sebesar 41,2 %. 4. DAS Mempawah mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. Pola aliran (drainage pattern) sungai-sungai pada DAS Mempawah secara umum menyerupai bentuk percabangan pohon (dendritic). b. Bentuk daerah aliran sungai adalah bentuk memanjang (bulu burung). c. Orde sungainya terdiri dari 5 orde dengan indeks kerapatan sungai termasuk dalam kategori sedang yakni 0,8. 5. Konsentrasi sedimen melayang (Cs) pada Oulet I adalah sebesar 10,67 mg/liter, Outlet II sebesar 13,11 mg/liter dan Outlet III sebesar 41,33 mg/liter. Berdasarkan standar skala kualitas lingkungan, konsentrasi sedimen melayang pada ketiga oultelt termasuk kategori baik. 6. Debit limpasan air sungai (Q) rata-rata pada Outlet I sebesar 17,54 m3/detik, pada Outlet II sebesar 59,05 m3/detik dan pada Outlet III sebesar 126,03 m3/detik. 7. Debit sedimen melayang pada Outlet I sebesar 16,17 ton/hari, pada Outlet II sebesar 66,89 ton/hari dan pada Outlet III sebesar 450,04 ton/hari.
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006
Saran 1. Konservasi sumberdaya air berbasis DAS menjadi prioritas utama yang harus dilakukan di DAS Mempawah. Dalam melakukan kegiatan ini sangat dibutuhkan keterlibatan seluruh stakeholder, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat, kerjasama hulu dan hilir DAS (role sharing) sebagai wujud keterpaduan pengelolaan DAS. 2. Berkaitan dengan tingkat pendidikan yang rendah pada sebagian masyarakat di DAS Mempawah, maka harus dilakukan sosialisasi (penyadaran publik) yang intensif tentang pengelolaan sumberdaya air pada masyarakat yang berada di DAS Mempawah. Daftar Pustaka 1. Anonim, 2005. Peta Topografi Kalimantan Barat. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III Badan Planologi Departemen Kehutanan. Kalimantan Barat. 2. Anonim, 2005. Peta Penggunaan Lahan Kalimantan Barat. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III Badan Planologi Departemen Kehutanan. Kalimantan Barat. 3. Anonim, 2005. Peta Kelas Lereng Kalimantan Barat. Balai Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kapuas Departemen Kehutanan. Kalimantan Barat. 4. Anonim, 2005. Peta Jenis Tanah Kalimantan Barat. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III Badan Planologi Departemen Kehutanan. Kalimantan Barat. 5. Anonim, 2005. Data Klimatologi. Stasiun Klimatologi Jungkat. Kalimantan Barat. 6. Anonymous, 1988. Kep. Men. KLH No. 2/1988 tentang Baku Mutu Kualitas Lingkungan, Jakarta. 7. Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 8. Soewarno. 1991. Hidrologi Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri). Nova. Bandung.
180