Reposisi Sikap Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Unsur Mahasiswa tentang Otonomi Pendidikan Tinggi: Konteks Universitas Indonesia oleh Arya Adiansyah, Rifqi Alfian dan Daya Cipta S Tulisan ini merupakan reposisi sikap Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Unsur Mahasiswa (MWA UI UM) mengenai otonomi pendidikan tinggi, khususnya yang sedang berjalan di Universitas Indonesia (UI). Kedepannya, reposisi sikap ini yang akan menjadi landasan MWA UI UM dalam mengambil suatu keputusan kebijakan tata kelola kampus. Kami menjelaskannya dengan menguraikan hakikat pendidikan dan otonominya, pergantian status hukum Universitas Indonesia pada masa otonomi tata kelola, dan evaluasi tiga belas tahun otonomi yang berjalan di Universitas Indonesia. Apa yang dipikirkan dan apa yang terjadi adalah landasan perjuangan kami. Selamat membaca, mari mengawal pelaksanaan otonomi pendidikan tinggi di kampus kita. Demi aksesbilitas yang seadil-adilnya.
Sejak awal kelahirannya, manusia dianugerahi akal sehingga memungkinkannya memiliki kebebasan bertindak dalam rangka menciptakan kemaslahatan bagi kehidupannya. Kebebasan menjadi hak dasar setiap manusia. Menurut H.A.R. Tilaar, realisasi kemanusiaan adalah proses pembebasan manusia.1 Proses pembebasan manusia ini memerlukan alat yang bernama pendidikan. Sejalan dengan kebebasan yang merupakan hak dasar manusia, maka pendidikan sebagai alat pembebasan juga menjadi hak dasar manusia. Merujuk Locke, manusia telah sepakat membentuk perjanjian sosial dalam sebuah negara. Negara menjadi usaha bersama dalam menjaga kebebasan. 2 Pada masa kini, kesepakatan yang telah dibangun mencakup juga bagaimana negara menyelenggarakan pendidikan. Hal ini tak lepas dari sebuah kesadaran bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap manusia dan negara sebagai lingkungan hidup manusia berkewajiban menyelenggarakan pendidikan pada warganya.
H.A.R Tilaar, “Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodern dan Studi Kulturalisme”, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas) 2005, hlm 110. 2 Ahmad Suhelmi, “Pemikiran Politik Barat”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama) 2004, hlm.190. 1
Indonesia sebagai hasil kesepakatan masyarakatnya merumuskan pendidikan dalam UUD 1945. Undang – Undang Dasar 1945 memasukkan pendidikan sebagai elemen penting yang harus diselenggarakan oleh negara untuk mewujudkan salah satu cita-cita Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya, pasal 31 UUD 1945 menggariskan bahwa pendidikan adalah hak dari setiap warga negara. Artinya, setiap warga negara tanpa terkecuali berhak mengakses pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Negara mendirikan universitas sebagai implementasi penyelenggaraan pendidikan tinggi. Masyarakat berhak mengakses universitas sebagai hak dasar atas pendidikan. Mengacu pada pendapat H.A.R Tilaar tentang pendidikan tinggi, pada hakikatnya universitas adalah tempat untuk mencetak manusia-manusia bebas yang dengan kebebasannya mampu menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan bernegara. Universitas adalah tempat untuk mencetak manusia yang berpegang teguh pada kebenaran yang membebaskan manusia dari segala pandangan yang mengekang dan menghalangi manusia mencapai kemaslahatannya.3 Pada konteks pendidikan tinggi di Indonesia sekarang, kita mengenal dengan apa yang disebut otonomi sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi. Kita harus mengetahui ruang lingkup otonomi secara jelas ketika membicarakannya. Secara umum, otonomi dapat kita bagi menjadi dua, yaitu otonomi keilmuan dan otonomi tata kelola. Selama 13 tahun ini, otonomi yang banyak diwacanakan di pendidikan tinggi termasuk UI adalah otonomi tata kelola universitas. Artinya, universitas memiliki wewenang sendiri dalam mengelola sumber dayanya tanpa campur tangan pemerintah.
3
H.A.R Tilaar, loc cit.
Otonomi pendidikan tinggi, pada hakikatnya dapat diturunkan menjadi tiga hal yakni desentralisasi, privatisasi, dan komersialisasi. Tiga hal tersebut berakar dari fenomena global dalam bentuk liberalisasi. 4 Liberalisasi dalam konteks pendidikan tinggi, berarti pendidikan tinggi sebagai sektor jasa dimasukkan ke arus pasar bebas. Sofian Effendy melihat ini dalam logika ekonomi, dimana pendidikan sebagai sektor jasa dimasukkan dalam sektor tersier, karena pendidikan mengubah orang tidak terampil menjadi punya keterampilan. 5 Pengetahuan pada masyarakat (neo) liberal dianggap sebagai alat untuk mencapai kemaslahatan ekonomi, dengan kata lain masyarakat yang telah menempuh pendidikan diharapkan dapat mengisi berbagai sektor industri tersebut. Tren tersebut sering diistilahkan dengan knowledge based economy, pada prakteknya pendidikan lebih difokuskan kepada pendidikan yang teknis, dalam lingkup pendidikan tinggi terejawantahkan dalam pendidikan vokasional dan politeknik. Seiring dengan komodifikasi tujuan pendidikan, diperlukan desentralisasi sebagai mekanisme perumusan dan penetapan kebijakan pendidikan. Menurut Vedi R Hadiz, desentralisasi adalah salah satu wacana inti dari pendekatan neo-institusionalisme, neo-institusionalisme disini berarti aliran pemikiran tentang pembangunan yang bermaksud menjelaskan sejarah, keberadaan, dan fungsi dari berbagai macam institusi. 6 Pada konteks pendidikan tinggi dapat diartikan bahwa institusi-institusi atau organ-organ pada universitas tersebut yang menjadi fokus utama pengelolaannya. Mekanisme pengelolaannya berupa pendelegasian wewenang pemerintah terhadap universitas, yang di universitas itu sendiri otoritas tertinggi terletak pada trustee board atau Majelis Wali Amanat. Dari sini dapat ditarik logika, intervensi pemerintah terhadap universitas menjadi lebih sedikit.
4
Galih Ramadian Nugroho Putra, “Politik Pendidikan: Liberalisasi Pendidikan Tinggi Periode 2000 – 2012 (Studi Komparasi Indonesia dan India”, (Depok: Universitas Indonesia), 2012, hlm. 14 5 Paparan singkat Sofian Effendi “Strategi Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi”, Jakarta, 2 Mei 2005. 6 Vedi R Hadiz, “Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutional Perspectives” dalam jurnal Southeast Asia Research Center vol. 47, Mei 2007.
Sedangkan privatisasi pendidikan tinggi, menurut Levin dalam penelitiannya untuk UNESCO adalah pendidikan tinggi yang pengelolaannya terlepas dari kontrol pemerintah, baik tujuannya untuk mencari profit ataupun tidak. Privatisasilah yang kemudian menjadi refleksi dalam merumuskan dan menetapkan berbagai kebijakan pendidikan. Ketika suatu universitas diberi otonomi untuk mengelola sumber dayanya dan intervensi pemerintah makin minim, akan berimplikasi kepada universitas harus mendanai pengelolaannya sendiri. Di Indonesia, yang terjadi adalah paling tidak ketergantungan universitas pada anggaran pemerintah porsinya menjadi lebih sedikit. Pendidikan tinggi sebagai sebuah komoditas adalah sebuah keniscayaan, dalam artian universitas perlu ‘menghidupi’ dirinya sendiri melalui pemaksimalan potensi ventura ataupun pembukaan program studi yang sedang populer (baca: dibutuhkan dalam industri) sehingga dapat mendatangkan banyak profit untuk pengelolaan universitas. Inilah yang kemudian dinamakan sebagai komersialisasi pendidikan tinggi. Di titik otonomi yang paling ekstrem, pendidikan tinggi dijadikan sebagai suatu perusahaan yang murni ditujukan untuk mencari keuntungan. Otonomi Tata Kelola UI, Dari BHMN hingga PTN-BH Pada periode sebelum tahun 2000, UI berstatus Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Pada saat itu UI merupakan satuan kerja dari Kementerian Pendidikan. Undang-undang yang mendasari kebijakan pendidikan saat itu adalah Undang-Undang (UU) No. 2 tahun 1989 yang selanjutnya diturunkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 30 tahun 1990 terkait penyelenggaraan perguruan tinggi. Pada saat berbentuk PTN, sumber utama pendapatan UI adalah pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. UI, sepenuhnya berada dalam kepengawasan pemerintah. 7 Pada periode 1990an, kebijakan pendidikan di Indonesia mulai mendapatkan pengaruh global. Tepatnya pada tahun 1994, Indonesia tergabung dalam World Trade Organization (WTO). Ketergabungan Indonesia dalam WTO selanjutnya diikuti dengan penandatanganan General Agreement on Trade in Service (GATS) yang mengamanatkan Indonesia untuk meliberalisasi 12 sektor jasa, termasuk di dalamnya pendidikan.8
7 8
Lebih lanjut lihat pasal 33 dan 52 UU No 2 Tahun 1989. Paparan singkat Sofian Effendi “Strategi Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi”, Jakarta, 2 Mei 2005.
Krisis yang terjadi pada tahun 1997 memperkuat pengaruh lembaga keuangan internasional dalam kebijakan di Indonesia, termasuk pendidikan. Singkatnya, Indonesia perlu melakukan deregulasi terhadap pendidikan yang notabene adalah sektor publik. 6 Pada perkembangannya pemerintah mengeluarkan PP No 60 tahun 1999 tentang pendidikan tinggi diikuti dengan PP No 61 tahun 1999 tentang Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Pada dasarnya status BHMN memberikan otonomi pengelolaan lebih kepada universitas dalam bidang keuangan, ketenagaan, dan sarana prasarana. PTN diberikan kesempatan untuk mengubah bentuk menjadi BHMN. Penetapan PTN menjadi BHMN tentunya memiliki syarat tertentu. Perguruan Tinggi Negeri yang dinilai telah siap oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang akan mendapatkan status BHMN. Universitas Indonesia bersama 6 PTN lain di Indonesia ditetapkan sebagai BHMN. UI ditetapkan sebagai BHMN melalui PP Nomor 152 Tahun 2000. Berdasarkan PP Nomor 152 Tahun 2000, keuangan UI dipisahkan dari keuangan negara. Sumber utama pendapatan UI saat berbentuk BHMN adalah dana masyarakat. Majelis Wali Amanat (MWA) dibentuk sebagai badan pengawas check and balances tata kelola universitas. Kontrol pemerintah dilakukan oleh Menteri Pendidikan yang telah mendelegasikan wewenangnya kepada MWA. Pada tahun 2003, pemerintah menerbitkan UU No 23 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini dibuat sebagai pengganti UU No 2 Tahun 1989 yang dianggap tidak memadai. Undang-Undang No 23 Tahun 2003, tepatnya Pasal 53 menyatakan dengan jelas bahwa penyelenggara pendidikan formal yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum. Untuk menjalankan ketentuan Pasal 53 UU No 23 Tahun 2003, pemerintah pada tahun 2009 kembali mengeluarkan UU No 9 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU BHP) tentang Badan Hukum Pendidikan. Badan Hukum Pendidikan inilah yang menurut pemerintah menjadi bentuk terbaik agar perguruan tinggi dapat menjalankan otonominya. Sejak saat itu UI berstatus Badan Hukum Pendidikan. Pada masa ini pula PP No 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan diterbitkan dan mencabut PP No 61 Tahun 1999.
UU BHP mendapatkan penolakan dari sebagian masyrakat karena diindikasikan sebagai bentuk pelepasan tanggungjawab negara terhadap pendidikan tinggi. Beberapa kelompok masyarakat mengajukan judicial review pada Mahkamah Konstitusi. Tepat pada bulan Maret 2010 Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 mengabulkan judicial review UU BHP. UU BHP dinyatakan batal secara keseluruhan. Hal ini berimplikasi pada kosongnya status hukum tujuh universitas badan hukum termasuk diantaranya UI. Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2010 juga tidak membahas status hukum tujuh universitas tersebut. Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, pemerintah menerbitkan PP No 66 Tahun 2010
tentang perubahan atas PP No 17 Tahun 2010.
PP No 66 Tahun 2010
mengamanatkan UI mengambil bentuk pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Pada bentuk BLU, sumber utama pendanaan universitas adalah pemerintah melalui APBN, kekayaan universitas tidak dipisahkan dari negara, dan kepengawasan keuangan dilakukan oleh Menteri Keuangan. Transisi UI menuju BLU tidak berjalan mulus. Perdebatan yang terjadi berkutat pada bentuk badan hukum apa yang seharusnya diambil oleh UI pasca dibatalkannya UU BHP. Di tengah perjalanannya, Pemerintah mengeluarkan UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Berdasarkan undang-undang ini, UI ditetapkan sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). Konsep PTN BH tidak jauh berbeda dengan PT BHMN yang memberikan memberikan otonomi kepada perguruan tinggi yang mencakup
organisasi,
kemahasiswaan, keuangan, ketenaga kerjaan dan sarana prasarana. Mekanisme pendanaan PTN BH lebih lanjut diatur dalam PP No 58 Tahun 2013. Berdasarkan UU No 12 Tahun 2012 ini, Universitas berstatus PTN BH diamanatkan untuk membuat statuta sebagai dasar pengelolaan Universitas. UI telah rampung membuat statuta dan telah disahkan sebagai PP No 68 tahun 2013 pada tanggal 14 Oktober 2013 oleh Presiden.
Evaluasi 13 Tahun Otonomi UI Sudah 13 tahun UI menjalani otonomi perguruan tinggi, dalam waktu yang tidak singkat tersebut terdapat banyak perubahan di dalam tubuh UI. Perubahan tersebut, baik yang mendapat banyak perhatian dari publik atau tidak, harus diakui memberikan dampak yang besar bagi seluruh sivitas akademika UI. Perubahan pertama adalah kepegawaian di UI, dalam hal ini menyentuh semua pegawai di UI mulai dari tenaga kependidikan hingga dosen. Sebelum otonomi, sistem kepegawaian di UI seluruhnya adalah pegawai negeri sipil (PNS) dan honorer seperti instansi pemerintahan. Hal ini membuat adanya kejelasan jenjang karier bagi pegawai serta terjaminnya kesejahteraan pegawai. Sekalipun bagi mereka yang honorer, sudah ada kejelasan hukum bagi mereka untuk menjadi PNS melalui PP No. 56 Tahun 2012 PP No. 43 Tahun 2007. Tentu saja seperti layaknya PNS dasar hukum yang dipakai untuk kepegawaian UI pada saat itu adalah UU No. 8 Tahun 1974 yang telah direvisi dalam UU No. 43 Tahun 1999. 9 Namun, ketika UI memasuki masa otonomi dengan mengacu kepada PP No.152 Tahun 2000, terjadi perubahan pada status kepegawaian UI. PP No. 152 Tahun 2000 Pasal 42 menyebutkan bahwa selama-lamanya dalam jangka waktu sepuluh tahun (tahun 2010) semua pegawai di UI beralih statusnya menjadi pegawai UI, artinya baik yang PNS maupun yang belum punya status beralih status menjadi pegawai UI. Pada kenyataannya, UI tidak membuat aturan turunan yang terejawantahkan dalam Perjanjian Kerja Bersama di tingkat universitas sehingga kemudian terjadi ketidakjelasan kepegawaian di UI. Perjanjian Kerja Bersama sendiri berisi hak dan kewajiban pemberi kerja, serikat pekerja/pegawai, dan pekerja/pegawai yang dibuat dengan musyawarah antara pegawai (yang diwakili serikat pekerja/pegawai) dengan pemberi kerja. Pejanjian Kerja Bersama menjadi dasar dalam membuat Perjanjian Kerja kepada pegawai secara individu. Jika Perjanjian Kerja Bersama tidak ada maka pegawai tidak memiliki jaminan mendapatkan gaji yang layak, perlindungan kerja, dan kejelasan masa depan. Maka bagi mereka yang telah menjadi PNS tentu tidak bersedia berganti status menjadi pegawai UI.
Paparan singkat Paguyuban Pekerja UI (PPUI) pada “Evaluasi 13 Tahun Otonomi UI”, Depok, 5 Desember 2013. 9
Akhirnya terjadilah dualisme status kepegawaian di UI, dimana ada pegawai yang masih berstatus PNS dan non-PNS. Ketidakjelasan dan dualisme status kepegawaian ini berdampak pada berbagai hal, yang pertama adalah jenjang karier. Untuk PNS jenjang kariernya telah memiliki dasar hukum yang jelas, sedangkan untuk non-PNS di tingkat UI tidak memilikinya. Kedua adanya diskriminasi antara pegawai PNS dan non-PNS, seperti perbedaan fasilitas asuransi dan jaminan pensiun. Ketiga, belum jelasnya sistem kepegawaian di UI, dapat membuat daya tawar pegawai non-PNS menjadi lemah, sehingga kemungkinan dipecat kapan saja sangat besar, apapun kontribusinya untuk UI. Keempat sampai 2013 tercatat 2.471 pegawai di UI tidak memiliki status dan banyak dari pegawai yang gajinya dibawah UMR.10 Saat ini, menjelang 14 tahun otonomi, telah disahkan PP No. 68 tahun 2013 tentang Statuta UI yang merupakan dasar hukum bagi UI setelah berstatus PTN Berbadan Hukum. Dalam status kepegawaian yang diterapkan di UI sekarang (yang mengacu statuta) ada tiga, yaitu PNS, pegawai tetap, dan pegawai tidak tetap. Harapannya sekalipun tidak menganut status tunggal, hal yang paling penting adalah adanya kejelasan di tiap status tersebut. Perubahan juga terjadi di sumber pendapatan UI. Di era etonomi dimana keuangan UI terpisah dari keuangan negara, UI diharuskan mandiri secara keuangan. Sekalipun ada dana dari pemerintah, tetapi tidak akan menjadi pemasukan signifikan. Maka, di era otonomi ini yang bisa dilakukan UI adalah memaksimalkan pemasukan dari biaya pendidikan, ventura, dan hibah. Tetapi kenyataannya untuk pemasukan, UI sangat mengandalkan pemasukan dari biaya pendidikan. Pada tahun 2008, kontribusi biaya pendidikan atau mahasiswa pada pendapatan UI adalah 48% dan menurun tiap tahunnya walaupun secara nominal terus meningkat. Namun pada tahun 2012 kontribusi biaya pendidikan terhadap pendapatan UI melejit menjadi 57,17%.11 Bahkan menurut World Bank kontribusi biaya pendidikan terhadap pendapat UI sebesar 59%, terbesar diantara PTN Berbadan Hukum lainnya.
10
Ibid. Hal ini dikemukakan pada LAKIP UI 2008-2012 sebagaimana dikutip dalam Alldo Fellix Januardy, Pengaruh Neoliberalisme Terhadap Korporatisasi dan Komersialisasi Universitas Publik: Studi Kasus Universitas Indonesia (2014), hal. 91-93. 11
Kenaikan ini wajar adanya karena terlihat pula kenaikan biaya operasional pendidikan yang dikenakan mahasiswa. Tahun 2008 merupakan penerapan awal BOP-B (Biaya Operasional Pendidikan-Berkeadilan) yang sekarang dirasakan oleh mahasiswa UI dimana mahasiswa reguler dapat dikenakan biaya hingga 7,5 juta rupiah untuk rumpun sains, teknologi dan kesehatan, sedangkan untuk rumpun sosial humaniora dikenakan biaya hingga 5,1 juta rupiah. Penerapan BOP-B yang memiliki rentang biaya ini diharapkan dapat menjangkau mereka yang berpendapatan menengah kebawah dan kurang mampu tanpa mengorbankan potensi pemasukan dari mereka yang mampu. Namun, dilihat dari penerapannya ternyata ada tren BOP-B yang dikenakan mahasiswa terus meningkat. Pada tahun 2009, rata-rata BOP yang dikenakan kepada mahasiswa reguler sebesar Rp 2.194.249,00; tetapi pada tahun 2010 meningkat 50,9% menjadi Rp 3.311.924,00.12 Kenyataan ini diperkuat dengan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) UI 2008 yang merupakan tahun pertama dilaksanaknnya BOP-B. LAKIP UI 2007 mencatat penerimaan dari biaya pendidikan sebesar 870 miliar, pada LAKIP UI 2008 melonjak tajam menjadi 1,173 triliun. Tidak hanya itu, di tahun 2010 diterapkan pertama kalinya program non-reguler, yaitu paralel dan kelas khusus internasional di UI. Keberadaan kedua program baru ini mengakibatkan kenaikan pendapatan signifikan dari 621 milyar rupiah pada tahun anggaran 2010 menjadi 933 milyar rupiah pada tahun anggaran 2011. 13 Namun, disisi lain ada beberapa pencapaian positif UI pada era otonomi. Selama UI dalam status otonomi, UI mengalami peningkatan rangking internasional. Tahun 2007 QS Higher Education menobatkan UI di rangking 395 dunia. Di tahun berikutnya UI naik peringkat ke posisi 287 dan di tahun 2009 peringkat UI mencapai puncaknya di peringkat 201. Setelah 2009, peringkat UI melorot hingga menduduki peringkat 309 di tahun 2009, karena pada proses transisi dari PP 152/2000 ke PP 66/2010 tidak berjalan dengan baik, yang mengakibatkan konflik dan penurunan kinerja akademik.14
12
Hal ini dikemukakan oleh BK MWA UI UM 2013 sebagaimana dikutip dalam Alldo Fellix Januardy, Pengaruh Neoliberalisme Terhadap Korporatisasi dan Komersialisasi Universitas Publik: Studi Kasus Universitas Indonesia (2014), hal 85. 13 Januardy. loc.cit. 14 Paparan Wiku Adisasmito pada “Evaluasi 13 Tahun Otonomi UI”, Depok, 5 Desember 2013.
Selain itu, pembangunan UI baik fisik maupun non-fisik menjadi lebih cepat karena UI tidak perlu lagi menunggu birokrasi pemerintah yang berbelit dan lama. Contoh nyata adalah pada tahun 2013 terjadi pemblokiran anggaran Kemendikbud yang menyebabkan pospos anggaran termasuk anggaran untuk perguruan tinggi tidak bisa turun tepat waktu. Namun, dengan otonominya UI tetap bisa melaksanakan pembangunannya karena memang keuangannya yang mandiri dan terpisah dari keuangan negara. Terlihat dengan begitu masifnya pembangunan di UI 13 tahun terakhir. Mulai dari perpustakaan pusat hingga gedung rumpun ilmu kesehatan. Epilog: Mensiasati Otonomi Pendidikan Tinggi Perdebatan tetang otonomi pendidikan tinggi sepertinya belum habis, bahkan setelah Statuta UI, yang menjadi landasan hukum otonomi tata kelola UI disahkan. Sampai tulisan ini dibuat, masih terdapat berbagai wacana yang mengkritik otonomi tata kelola pendidikan tinggi. Salah satunya, sebut saja yang datang dari Paguyuban Pekerja UI yang masih memperjuangkan judicial review untuk Statuta UI, agar kejelasan status dan kesejahteraan pekerja UI lebih terjamin. Jauh sebelum itu, dari pihak mahasiswa mengajukan judicial review untuk UUPT, terakhir diajukan oleh Universitas Andalas. Alldo Fellix Januardy, MWA UI UM 2013 menjadi saksi ahli di sidang tersebut. Tetapi, gugatan tersebut ditolak dan tidak lama Statuta UI pun disahkan. Telah diuraikan sebelumnya hakikat otonomi pendidikan tinggi dan bagaimana Universitas Indonesia mengkontekstualisasikannya, sehingga kini yang menjadi pertanyaan bagaimana kita mensiasati otonomi pendidikan tinggi tersebut. Kata ‘mensiasati’ disini berarti adalah bagaimana kita sebagai mahasiswa yang diwakili oleh Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa sadar akan kerugian dan keuntungan yang datang dari sebuah produk kebijakan pendidikan. Tetapi sebelumnya kita terlebih dahulu perlu memahami posisi Majelis Wali Amanat (MWA) secara umum dan Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa (MWA UM) secara khusus. Menurut Statuta UI pasal 1, yang dimaksudkan dengan Majelis Wali Amanat adalah organ UI yang menyusun dan menetapkan kebijakan umum di UI. MWA bukanlah organ yang baru ada setelah Statuta UI disahkan, MWA hadir sejak tiga belas tahun lalu dimana UI pertama kalinya ditetapkan sebagai PT BHMN melalui PP.152 tahun 2000.
Keberadaan MWA sebagai organ tertinggi universitas adalah bentuk pengejawantahan prinsip desentralisasi dalam otonomi pendidikan tinggi. Desentralisasi disini berarti ada pendelegasian wewenang dari pemerintah ke MWA. MWA mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan rektor. Karena rektor mendapatkan legitimasi dari MWA, rektor bertanggungjawab kepada MWA untuk menyusun laporan akhir. Dapat kita tarik dua gagasan mengenai eksistensi MWA sebagai organ tertinggi di universitas. Pertama, MWA hadir sebagai produk otonomi, MWA ada untuk mengawasi check and balances di tubuh universitas. Kedua, fungsi MWA sebagai penyusun dan penetap kebijakan di universitas. Kebijakan yang berlaku di universitas adalah ranah otonomi universitas tersebut, meskipun ada kebijakan pendidikan yang mengatur dalam lingkup nasional. Kebijakan pendidikan di masing-masing universitas dibuat berdasarkan kebutuhan dan karakter universitas masing-masing. UI, yang dipercaya dapat sepenuhnya otonom tentu memuat beragam kebijakan yang mendukung otonomi universitas tersebut. Konstituen mahasiswa diwakili oleh MWA UM, yakni M. Amar Khoerul Umam pada periode 2014 ini. Amar, duduk di rapat MWA dalam rangka merepresentasikan kepentingan mahasiswa. Tentu saja, penting bagi Amar untuk memberikan perspektif mahasiswa dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan ditetapkan. Amar juga dapat menyampaikan ‘kesadaran’ mahasiswa akan keuntungan dan kerugian akan sebuah produk kebijakan pada masa otonomi pendidikan tinggi sekarang ini. Meskipun otonomi pendidikan tinggi di Universitas Indonesia yang berlangsung selama 13 tahun telah membawa rentetan permasalahan, tidaklah perlu tergesa-gesa untuk melawan gagasan tentang otonomi pendidikan tinggi itu sendiri. Melawan gagasan otonomi tidak dapat diterapkan dalam posisi Amar sebagai MWA UM, karena MWA UM sendiri adalah produk otonomi yang mempunyai fungsi merumuskan dan menetapkan kebijakan umum yang berlaku di UI. Sehingga, dapat disimpulkan, Amar mempunyai posisi strategis untuk membawa kebijakan yang memuat kepentingan mahasiswa, berdasarkan masalahmasalah yang timbul akibat otonomi pendidikan tinggi yang ‘belum’ berjalan cukup baik di Universitas Indonesia.
Daftar Pustaka Buku: Januardy, A. F. Pengaruh Neoliberalisme Terhadap Korporatisasi dan Komersialisasi Universitas Publik: Studi Kasus Universitas Indonesia. Depok: Universitas Indonesia, 2014. Prasetyo, Eko. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Resist Book, 2006. R. Nugroho Putra, Galih.. Politik Pendidikan: Liberalisasi Pendidikan Tinggi Periode 2000 – 2012 Studi Komparasi Indonesia dan India. Depok: Universitas Indonesia, 2012. Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004. Tilaar, H. A.R., Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan dari Perspektif Postmodern dan Studi Kulturalisme. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.
Jurnal dan Dokumen: Adisasmito, Wiku. "Refleksi Kinerja UI Pada Masa Otonomi." Depok: Evaluasi 13 Tahun Otonomi UI, 2013. Effendi, Sofian, “Strategi Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi”. Makalah pada Seminar Nasional “Pendidikan Tinggi di Era Pasar Bebas: Tantangan, Peluang, dan harapan” diselenggarakan oleh UIN Syarif Hidayatullah dan unika Atma Jaya, Jakarta: 2 Mei 2005 . Paguyuban Pekerja UI. "Paparan Singkat Evaluasi 13 Tahun Otonomi Universitas Indonesia Bidang Ketenagakerjaan." Depok: Evaluasi 13 Tahun Otonomi UI, 2013. R. Hadiz, Vedi. “Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of NeoInstitutional Perspectives” dalam jurnal Southeast Asia Research Center vol. 47, Mei 2007. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah UI Tahun 2012. Undang-Undang No.12 Tahun 2012. Peraturan Pemerintah No. 152 Tahun 2000. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2013.