RELASI SUAMI-ISTRI DAN KUALITAS PERKAWINAN PADA KELUARGA PETANI
NURUL IZMAH
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Relasi Suami-Istri dan Kualitas Perkawinan pada Keluarga Petani adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2014 Nurul Izmah I24100021
ABSTRAK NURUL IZMAH. Relasi Suami-Istri dan Kualitas Perkawinan pada Keluarga Petani. Dibimbing oleh HERIEN PUSPITAWATI. Kualitas perkawinan dapat dilihat dengan mengukur dimensi kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan keluarga petani, menganalisis tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan, dan menganalisis pengaruh relasi suami-istri dan kualitas perkawinan. Desain penelitian ini adalah cross-sectional study. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Petir, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor selama tiga bulan, yaitu pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga petani dengan status pekerjaan suami atau istri atau keduanya sebagai petani. Penelitian ini melibatkan 35 keluarga yang dipilih secara acak dari 85 keluarga dengan istri sebagai responden. Data dikumpulkan dengan cara wawancara dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa realsi suami-istri berhubungan positif signifikan dengan kualitas perkawinan. Tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga petani paling banyak berada pada tipe 2 yaitu relasi suami-istri tinggi dan kualitas perkawinan tinggi. Kata kunci: keluarga petani, relasi suami-istri, kualitas perkawinan
ABSTRACT NURUL IZMAH. Husband-Wife Relationships and Marital Quality of Farmer Families. Supervised by HERIEN PUSPITAWATI. Marital quality can be measured by dimensions of marital happiness and marital satisfaction. This study aims to identify husband-wife relationships and marital quality, to analyze husband-wife relationship and the marital quality, and to analyze typology husband-wife relationships and marital quality of farmer families. This study was used a cross-sectional study design. Research location was at Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor during three months, April until June 2014. The population in this study was the farmer families with a husband or wife or both as a farmer. The study involved 35 families by a simple random sampling method from 85 families with the wife as the respondent. The data were collected by interview and analyzed by descriptive and inferential. The results showed that husband-wife relationships correlated to marital quality. Typology husband-wife relationship and marital quality in farmer families most in type 2 that is higher husband-wife relationships and higher marital quality. Keywords: farmer families, husband-wife relationship, marital quality
RELASI SUAMI-ISTRI DAN KUALITAS PERKAWINAN PADA KELUARGA PETANI
NURUL IZMAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Relasi Suami-Istri dan Kualitas Perkawinan pada Keluarga Petani Nama : Nurul Izmah NIM : I24100021
Disetujui oleh
Dr Ir Herien Puspitawati M Sc M Sc Pembimbing I
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Ujang Sumarwan MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Relasi Suami-Istri dan Kualitas Perkawinan pada Keluarga Petani”. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus ditempuh untuk menyelesaikan program sarjana (S1) Jurusan Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan memberikan saran serta arahan dalam proses penyusunan karya ilmiah sehingga dapat terselesaikan dengan baik. 2. Seluruh dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen yang telah memberikan banyak ilmu dan pemahamannya kepada penulis. Orang tua, kakak, dan saudara-saudara atas doa dan dukungan yang sangat 3. besar dalam proses penyelesaian proposal ini. Teman-teman seperjuangan penulis dalam penelitian ini (Danisya Primasari, 4. Dwi Puspita Sari, dan Ilma Permadani) yang memberikan semangat dan saling menguatkan. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh sahabat penulis (Mardiana, Wa Ode Sofia ZA, Ridha Vivianti SA, dan teman-teman IKK 47) dan teman-teman kostan Wisma Pelangi (kiky, ara, lidya, dian, dan eka) serta Kakak Salsabilah Khotibatunnisa dan mbak Vivi yang selalu membantu saya ketika mengalami kesulitan dan selalu memberikan semangat dan dukungannya. 5. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyusunan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2014 Nurul Izmah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
4
KERANGKA PEMIKIRAN
1
METODE PENELITIAN
1
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
1
Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh
1
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1
Pengolahan dan Analisis Data
1
Definisi Operasional
1
HASIL DAN PEMBAHASAN
1
Hasil
1
Pembahasan
2
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
3
LAMPIRAN
3
RIWAYAT HIDUP
4
DAFTAR TABEL 1 Variabel, skala data, dan pengkategorian 2 Sebaran contoh berdasarkan kategori usia suami dan istri 3 Sebaran contoh berdasarakan kategori tingkat pendidikan suami dan istri 4 Sebaran contoh berdasarkan tipe petani 5 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga 6 Sebaran contoh berdasarkan relasi suami-istri dimensi perlakuan suami terhadap istri 7 Sebaran contoh berdasarkan relasi suami-istri dimensi perlakuan istri terhadap suami 8 Sebaran contoh berdasarkan relasi suami-istri dimensi komunikasi suami-istri 9 Sebaran contoh berdasarkan kategori relasi suami-istri 10 Sebaran contoh berdasarkan kualitas perkawinan 11 Sebaran contoh berdasarkan kategori kualitas perakawinan 12 Sebaran tipologi pasangan perkawinan 13 Hasil uji korelasi suami-istri dengan kualitas perkawinan 14 Pengaruh karakteristik dan relasi suami-istri terhadap kualitas perkawinan
15 ϵ 2 2 2 23 2 2 2 2 2 2
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran hubungan karakteristik keluarga, relasi suami-istri, dan kualitas perkawinan 2 Kerangka penarikan contoh 3 Diagram Kartesius 4 Tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan
13 14 1 2
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Peta lokasi penelitian Penelitian terdahulu Kronologi pengambilan data Data kualitatif arti keluarga Daftar responden berdasarkan tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan 6 Matriks korelasi pearson karakteristik keluarga, relasi suami-istri, dan kualitas perkawinan
3 3 3 42
PENDAHULUAN
Latar Belakang Keluarga merupakan unit sosial dengan dua atau lebih individu dari kelompok usia yang berbeda dan sifat-sifat karakteristik memutuskan untuk tinggal bersama di bawah satu atap, berbagi hak dan tanggung jawab. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendefiniskan keluarga sejahtera sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya. Perkawinan merupakan salah satu cara dalam mengekspresikan rasa cinta untuk seseorang yang ingin menghabiskan waktu bersama selama hidupnya. Di Indonesia perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan batin merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Sebagian besar mata pencaharian keluarga di Indonesia merupakan petani. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 menyatakan penurunan rumah tangga petani dari 31,17 juta rumah tangga pada 2003 menjadi 26,13 juta rumah tangga pada 2013. Mayoritas petani yang berkurang itu beralih profesi ke sektor lain, seperti perdagangan atau perindustrian. Semakin maju suatu bangsa, tren penduduknya memang bergeser dari sektor usaha pangan yang primer ke sektor jasa yang lebih sekunder. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah angkatan kerja Indonesia berjumlah 107,7 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, yang bekerja sebagai buruh sebanyak 34,7 juta jiwa dan sebanyak 26,13 juta rumah tangga bekerja dalam sektor pertanian. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, sekitar 36,5 persen (41,20 juta orang) dari 112,80 juta penduduk yang bekerja pada Februari 2012 menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani. Komunikasi dalam keluarga sangat penting sehingga banyak persoalan dalam masyarakat selalu dihubungkan dengan komunikasi dalam keluarga. Permasalahan keluarga yang semakin rentan akhir-akhir ini menjadi semakin melemahnya kualitas komunikasi antar anggota keluarga terutama komunikasi suami-istri sehingga memudarkan fungsi keluarga dalam melindungi anggotanya dari pengaruh pihak luar. Data Pengadilan Agama Kota Bogor yang dilaporkan oleh Republika Online, angka kasus perceraian terus meningkat tiap tahun. Pada tahun 2011, tercatat 1.109 kasus perkara pengajuan perceraian. Dari jumlah tersebut, 83 persen diantaranya telah diputuskan. Angka ini meningkat drastis dari data 2010 yang hanya mencatat 896 kasus dengan 792 diantaranya dikabulkan.
2
Perceraian yang terjadi pun tidak lagi didominasi oleh talak yang diajukan pihak suami, namun juga diimbangi gugat cerai yang diajukan pihak istri. Pada tahun 2010, angka gugat cerai mencapai 268 kasus. Sementara pada tahun 2011, angkanya meningkat menjadi 280 kasus. Sebagian besar kasus perceraian yang terjadi disebabkan karena faktor ekonomi. Kualitas perkawinan merupakan suatu derajat perkawinan yang dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi pasangan suami dan istri sehingga dapat menjaga kelestarian perkawinan. Kualitas perkawinan yang mencerminkan harmonisasi pasangan suami dan istri merupakan salah satu faktor yang mencegah adanya perceraian (Puspitawati 2012). Banyak penelitian yang meneliti interaksi, tapi belum banyak meneliti tentang relasi suami-istri yang dikaitkan dengan kualitas perkawinan. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga petani. Perumusan Masalah Jawa Barat merupakan sebuah provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Menurut data sensus penduduk dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia tercatat sebesar 237.641.326 dan Jawa Barat dengan jumlah penduduknya sebesar 43.053.700 atau 18,12 persen menempati posisi teratas dalam jumlah penduduk dibandingkan dengan provinsi lainnya. Kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Sehingga kesejahteraan pun sulit dicapai keluarga. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga pertanian (petani) pengguna lahan. Angka ini menunjukkan penurunan jumlah petani gurem sebesar 4,77 juta rumah tangga atau sekitar 25,07 persen bila dibandingkan dengan kondisi pada sepuluh tahun yang lalu. Selama ini, perkembangan jumlah petani gurem dianggap sebagai representasi perkembangan tingkat kesejahteraan petani. Karena itu, penurunan jumlah petani gurem sebanyak 4,77 rumah tangga ini boleh jadi merupakan petunjuk bahwa telah terjadi perbaikan kesejahteraan di sektor pertanian. Bahwa ada jutaan petani yang berhasil melepaskan diri dari belenggu kemiskinan selama satu dasawarsa terakhir. Kualitas perkawinan merupakan suatu derajat perkawinan yang dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi pasangan suami dan istri sehingga dapat menjaga kelestarian perkawinan. Angka perceraian di Indonesia terus meningkat. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga
3
70 persen. Pada tahun 2010 tingkat pereraian di Indonesia mengalami peningkatan 30 persen dari tahun sebelumnya. Begitu pula yang terjadi di Kabupaten Bogor. Berdasarkan data dari Pengadilan (PA) Cibinong, kurun waktu Januari hingga Mei 2013, terdapat 1.216 kasus. Pada bulan Mei 2013, sebanyak 284 kasus sudah diputus cerai, sedangkan 594 kasus lainnya masih dalam proses. Sedangkan pada 2012, ada 2.942 kasus yang diterima oleh Pengadilan Agama. Dari jumlah tersebut, perkara yang diputus sebanyak 2.758 kasus. Salah satu faktor yang mencegah terjadinya perceraian antara suami istri adalah kualitas perkawinan yang mencerminkan harmonisasi pasangan suami dan istri tersebut (Puspitawati 2012). Komunikasi merupakan pusat cara kedua pasangan untuk hidup harmonis satu sama lain (Sadarjoen 2005 dalam Altaira dan Nashori 2008). Menurut Olson dan Defrain (2003) dalam Altaira dan Nashori (2008) komunikasi merupakan kunci kesuksesan suatu hubungan, sehingga kemampuan dan kemauan untuk berkomunikasi menjadi salah satu faktor terpenting dalam memelihara kepuasan suatu hubungan (kepuasan perkawinan). Penelitian Setioningsih (2011) menunjukkan bahwa semakin lemah komunikasi dan kelekatan emosi suami-istri maka semakin menurun kualitas perkawinan yang dirasakan pasangan. Oleh sebab itu penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengenai: 1. Bagaimana relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga petani? 2. Bagaimana tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga petani? 3. Bagaimana pengaruh relasi suami-istri terhadap kualitas perkawinan pada keluarga petani? Tujuan Penelitian Tujuan umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga petani. Tujuan khusus 1. Menganalisis relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga petani. 2. Menganalisis tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan keluarga petani. 3. Menganalisis pengaruh relasi suami-istri terhadap kualitas perkawinan. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna untuk: 1. Bagi peneliti; mengasah kompetensi dalam studi ilmu keluarga dan mengaplikasikan teori yang telah diperoleh saat perkuliahan. 2. Bagi masyarakat; memberikan informasi mengenai relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga petani. 3. Bagi pemerintah; sebagai referensi untuk membuat kebijakan terkait meningkatkan kualitas perkawinan pada keluarga petani.
4
TINJAUAN PUSTAKA Teori Struktur Fungsional Teori struktural fungsional merupakan salah satu teori terkemuka yang menjelaskan bagaimana masyarakat bekerja, bagaimana keluarga bekerja, dan bagaimana hubungan keluarga dengan masyarakat luas dan anggotanya sendiri. Teori ini perluasan dari sosiologi dan antropologi, disiplin ilmu fokus pada masyarakat daripada individu. Teori struktural fungsional pada keluarga melihat 3 aspek, antara lain: fungsi keluarga untuk masyarakat, apa persyaratan fungsional uang dilakukan oleh anggotanya untuk kelangsungan hidup keluarga, dan apa kebutuhan pertemuan keluarga untuk setiap anggota keluarga (Strong dan DeVault 1986). Penganut pandangan teori struktur fungsional melihat sistem sosial sebagai suatu sistem yang seimbang, harmonis, dan berkelanjutan. Konsep struktur sosial meliputi bagian-bagian dari sistem dengan cara kerja pada setiap bagian yang terorganisir. Asumsi dasar dalam teori struktur fungsional menurut Klein dan White (1996) adalah: (1) masyarakat selalu mencari titik keseimbangan, (2) masyarakat memerlukan kebutuhan dasar agar titik keseimbangan terpenuhi, (3) untuk memenuhi kebutuhan dasar, fungsi-fungsi harus dijalankan, dan (4) untuk memenuhi semua ini, harus ada struktur tertentu demi berlangsungnya suatu kesimbangan atau homeostatik. Persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga menurut Levy dalam Puspitawati (2012) agar dapat berfungsi, yaitu meliputi: (1) diferensiasi peran yaitu alokasi peran/tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, (2) alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antaranggota keluarga, (3) alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, (4) alokasi politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga, dan (5) alokasi integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/teknik sosialisasi internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku. Keluarga Definisi Keluarga Keluarga merupakan unit sosial dimana dua atau lebih individu dari kelompok usia yang berbeda dan sifat-sifat karakteristik memutuskan untuk tinggal bersama di bawah satu atap, berbagi hak dan tanggung jawab (Knox 1985). Menurut sejumlah ahli adalah sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi, merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi (UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10; Khairuddin 1985; Landi 1989; Day et al. 1995; Gelles 1995; Ember dan Ember 1996; Vosler 1996). Keluarga dijabarkan sebagai suatu sistem yang diartikan sebagai suatu unit sosial dengan keadaan yang menggambarkan individu secara intim terlibat untuk saling berhubungan timbal
5
balik dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya setiap saat dengan dibatasi oleh aturan-aturan di dalam keluarga (Megawangi 1994 dalam Puspitawati 2012). Salah satu definisi keluarga adalah kelompok sosial yang dicirikan dengan adanya tempat tinggal bersama (suami dan istri hidup bersama), kerjasama dalam hal ekonomi (pasangan suami istri berbagi uang atau sumber daya dan pekerjaan), dan melakukan hubungan seksual (suami dan istri memiliki atau mengadopsi anak). Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga menyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Pasal 1). Dengan demikian, pembentukan keluarga harus melalui ikatan perkawinan yang merupakan “kontrak sosial dan spiritual/ibadah” yang merubah status masing-masing individu yang independen (mandiri) menjadi hubungan yang inter-dependent atau saling ketergantungan dengan dasar kemandirian tertentu. Keluarga Petani Praktik pertanian utama di Indonesia yang diwariskan dari leluhur menggunakan pranoto mongso atau tata cara bertani yang mana petani diajarkan membaca tanda-tanda alam untuk menentukan waktu dimulainya aktivitas pertanian. Pranoto mongso menggambarkan indegenous knowledge yang dapat menjaga keseimbangan alam dan menjawab tantangan alam di masa depan (Puspitawati 2013). Berikut ini sepuluh ciri-ciri utama dalam struktur masyarakat pertanian: 1. Pola tingkah laku saling mencurigakan dan saling tidak mempercayai pergaulan sesama orang. 2. Pola tingkah laku tidak merespons hal-hal baru, termasuk terhadap pelaku pembaharu atau orang-orang yang membawa dan melaksanakan ide tersebut. 3. Muncul kepercayaan bahwa perubahan keadaan seseorang terjadi karena sudah dianggap takdir bagi dirinya. 4. Tingkat aspirasi untuk mengembangkan usaha atau kemajuan terlalu rendah. 5. Pandangan ke masa depan terlalu sempit sehingga tidak ada gairah untuk maju. 6. Terdapat pola sikap mumpung, contohnya pemborosan sumber daya atau tidak terdapat usaha untuk menyisihkan sebagian hasil agar dapat digunakan di kemudian hari. 7. Terdapat ikatan keluarga yang kuat sehingga muncul anggapan bahwa struktur sosial bergantung kepada keluarga. 8. Terdapat sikap ketergantungan pada pemerintah sehingga menimbulkan anggapan bahwa sebagian besar persoalan hidup harus ditangani pemerintah. 9. Orientasi ke dalam yang terlalu kuat, sehingga pelaku dalam masyarakat pertanian kurang memiliki wawasan, tidak memiliki pola hubungan sosial yang kosmopolit, mobilitas horizontal rendah, serta kurang memiliki akses terhadap media massa.
6
10. Ketidakmampuan menempatkan diri pada peranan orang lain, termasuk pada orang-orang yang membawa pembaharuan dan melaksanakan hal-hal yang baru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sifat masyarakat pertanian pada dasarnya pasif, statis, dan tertutup terhadap inovasi pembaharuan. Warga masyarakat yang dinamis cenderung mengembangkan dirinya dalam kerja di luar sektor pertanian (Roger 1962). Ditambah lagi bahwa sektor pertanian dianggap sebagai wadah simpanan cadangan untuk angkatan kerja. Relasi Suami-Istri Ilmu sosiologi menggunakan pendekatan bahwa antar manusia harus didahului oleh kontak dan komunikasi. Hubungan manusia ini kemudian saling mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya melalui pengertian yang diungkapkan, informasi yang dibagi, semangat yang disumbangkan, yang semua pesannya membentuk pengetahuan. Model interaksi dari proses komunikasi juga menunjukkan perkembangan peran (role development), pengambilan peran (role taking) dan pengembangan diri sendiri (development of self) karena manusia berkembang melalui interaksi sosialnya. Komunikasi manusia tersebut juga terjadi dalam satu konteks budaya tertentu dan mempunyai batas-batas (boundaries) tertentu (Ruben 1988 dan Liliweri 1997 dalam Puspitawati 2012). Keluarga mempunyai interaksi kelompok yang memberikan ikatan bonding (hubungan biologis dan hubungan intergenerasi serta ikatan kekerabatan) yang jauh lebih lama dibandingkan dengan kelompok asosiasi lainnya. Faktor dalam menjalin good relationship (Hybels dan Weaver 2004) antara lain: verbal skills, emotional expressiveness, conversational focus, nonverbal analysis, conversational encouragement, care and appreciation, dan commitment. Verbal skill bukan hanya dalam komunikasi verbal saja akan tetapi dalam menggunakan ungkapan, memahami bahasa, dan kemampuan dalam berbahasa juga termasuk dalam verbal skills. Pasangan good relationship harus mempunyai percakapan yang berkelanjutan dalam hubungan itu sendiri. Menurut Carry Barbor (2001) dalam Hybel dan Weaver (2004), komunikasi dan perlakuan yang baik antar pasangan akan membantu dalam menjalin hubungan yang bertahan lama. Kemampuan perempuan dalam verbal skill lebih baik dibandingkan dengan laki-laki karena perkembangan bahasa anak perempuan lebih cepat. Hal ini membuat perempuan lebih unggul menterjemahkan perasaan mereka dalam katakata. Emotional expressiveness merupakan hal yang penting jika ingin menjalin relasi yang sukses. Faktor ketiga untuk meningkatkan hubungan pasangan adalah pilih apa yang ingin dikatakan. Laki-laki kurang tertarik membicarakan tentang perasaan dan hubungan personal mereka dibandingkan dengan perempuan. Faktor selanjutnya adalah kemampuan nonverbal analysis. Nonverbal analysis merupakan kemapuan dalam membaca situasi. Hasil penelitian menyatakan perempuan lebih baik daripada laki-laki dalam mengartikan emosi yang tergambar dari wajah aneh seseorang. Sehingga laki-laki harus meningkatkan kemampuan dalam membaca
7
gerakan nonverbal. Seringkali, laki-laki mendengarkan yang lain tanpa melihat bagaimana perasaan orang tersebut. Interaksi Suami dan Istri Komunikasi yang baik antara suami dan istri merupakan elemen penting dari kualitas perkawinan (Kammeyer 1987). Kammeyer (1987) mengidentifikasi tiga jenis komunikasi yang penting dalam hubungan suami-istri yaitu: (1) Open and Honest Communication, pasangan mengekspresikan perasaan secara tepat dan tidak mencampuradukkan pesan. Komunikasi tipe ini memberikan kontribusi terhadap hubungan kualitas perkawinan; (2) Supportiveness, memperlakukan orang yang sedang berbicara dengan penuh perhatian dan respect. Komunikasi yang baik tergantung pada jenis dukungan dan konfirmasi (merespon secara positif), dan studi menunjukkan bahwa ketika pasangan yang menikah memperhatikan kualitas komunikasi mereka, kepuasan dan kualitas pernikahan mereka lebih besar (Montgomery 1981 dalam Kammeyer 1987); (3) SelfDisclosure, self-disclosure sama dengan open and honesty, tetapi ada beberapa elemen perasaan dan emosi yang lebih kuat. Berbicara dengan orang lain tentang ketakutan, harapan, dan keinginan merupakan inti dari self-disclosure. Penelitian Hendrick (1981) dalam Kammeyer (1987) menemukan secara umum berhubungan positif antara self-disclosure dengan kepuasan perkawinan.
Kualitas Perkawinan Definisi Perkawinan Definisi perkawinan diatur dalam hukum Indonesia, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1 Bab 1, perkawinan adalah ikatam lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan seabgai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahgia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Strong dan DeVault (1986) perkawinan adalah persatuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang melakukan ritual publik (yang artinya pernikahan mereka diakui secara sosial), kerjasama dalam hal ekonomi (pasangan suami istri berbagi uang atau sumber daya dan pekerjaan), dan melakukan hubungan seksual (suami dan istri memiliki atau mengadopsi anak). Jika mereka punya anak, anak mereka berstatus sah secara hukum. Perkawinan adalah suatu perjanjian antara dua orang dewasa berbeda jenis kelamin yang mempunyai hubungan dan komitmen hukum satu sama lain di bawah undang-undang negara mana mereka berada. Kebanyakan perkawinan melibatkan pengumuman publik dan upacara umum. Semua itu diperlukan surat nikah, yang disediakan untuk pelimpahan kepemilikan dan keturunan yang sah (Knox 1985). Berkaitan dengan tingkat kebahagiaan perkawinan, terdapat tujuh tipologi pasangan perkawinan (Olson 1981), yaitu: 1. Perkawinan pasangan tanpa vitalitas yang dicirikan dengan kondisi perkawinan yang labil dan pasnagan yang tidak meras puas dengan perkawinannya. Pasangan tipe ini biasa menikah pada usia terlalu muda,
8
2.
3.
4.
5.
6. 7.
masih memiliki penghasilan rendah, dan biasanya berasal dari keluarga yang „berantakan‟. Perkawinan pasangan finansial yang dicirikan dengan kondisi banyak konflik tidak terselesaikan, dan pasangan tidak merasa puas dengan komunikasi dalam perkawinan dan tidak puas dengan kepribadian masing-masing individu. Pasangan tipe ini lebih mempriotaskan karier daripada kleuarga dan uang (finansial) menjadi sangat penting dalam kehidupan keluarga di atas esensi makna berkeluarga. Perkawinan pasangan konflik yang dicirikan dengan kondisi tidak puas dalam berbagai aspek misalnya seksual, kepribadian pasangan, komunikasi, dan pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Pasangan tipe ini selalu diwarnai dengan konflik sehingga mencari kepuasan dari dimensi eksternal, seperti memfokuskan pada hobi atau ritual keagamaan. Perkawinan pasangan tradisonal yang dicirikan dengan kondisi perkawinan yang stabil dengan pencapaian kepuasan dalam banyak aspek kehidupan keluarga, tetapi masih memiliki banyak aspek kehidupan keluarga, tetapi masih memiliki masalh serius dalam aspek komunikasi dan seksual. Kebahagiaan pasangn tipe ini lebih didasari atas aspek tradisional religius dan hubungan yang baik antara kedekatan kerabat atau keluarga besar dan temanteman. Perkawinan pasangan seimbang yang dicirikan dengan kepuasan yang cukup baik dalam komunikasi dan resolusi konflik karena pasangan ini lebih memprioritakan keluarga dibandingkan dengan aspek lain, memiliki kepuasan yang setara antara suami istri dalam aspek aktivitas waktu luang, pengasuhan anak, dan seksualitas. Perkawinan pasangan harmonis yang dicirikan dengan kepuasan perkawinan yang diwujudkan dengan ekspresi kasih sayang, dan kepuasan seksual. Perkawinan pasangan penuh vitalitas yang dicirikan dengan tingkat kepuasan yang tinggi didasari atas pasangan suami istri harmonis dalam menjalin hubungan dengan baik, kepribadian yang saling melengkapi, komunikasi yang baik, mencari solusi dari konflik, kepuasan secara seksual maupun secara finansial.
Definisi kualitas perkawinan Kualitas perkawinan merupakan suatu derajat perkawinan yang dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi pasangan suami dan istri sehingga dapat menjaga kelestarian perkawinan. Kualitas perkawinan yang mencerminkan harmonisasi pasangan suami dan istri merupakan salah satu faktor yang mencegah adanya perceraian. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyatakan bahwa keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1). Menurut Conger dan Elder (1994), kualitas perkawinan memiliki dua dimensi yakni kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan. Definisi kualitas perkawinan dapat dijelaskan secara garis besar sebagai berikut:
9
1. Kebahagiaan adalah keadaan subjektif pikiran, perasaan, kondisi dan pengalaman personal. 2. Konsep dimensi kualitas perkawinan berkaitan dengan penyesuaian dan keharmonisan sebagai proses untuk mencapai satu tujuan perkawinan, yaitu kebahagaian dalam kehidupan perkawinan (marital happiness in marriage). a. Jadi perkawinan yang bahagia adalah perkawinan yang dilandasi dengan cinta (sebagai objek) dapat membuat orang merasakan kenikmatan (joy) terhadap apa yang diraihnya, tapi dengan tidak mengabaikan apa yang telah menjadi kebutuhan dasar manusia dalam rangka memenuhi kepuasannya. b. Kemampuan untuk menghasilkan perasaan bahagia pada masing-masing individu suami istri berbeda tergantung pada kapasitas individu dalam menyesuaikan dan perasan empati serta kematangan sosial. c. Penyesuaian suami dan istri tergantung pada kemampuan dan keefektifak komunikasi antara keduanya dalam melakukan peran instrumental atau ekspresif, dalam menyesuaiakan perilaku seksual dan dalam menyesuaikan prinsip-prinsip hidup. Keberhasilan suatu perkawinan dicerminkan dari bertahannya suatu keluarga memelihara komitmen bersama, kebahagiaan yang dirasakan oleh pasangan suami istri, kepuasan suami istri dalam perkawinan, kesesuaian hubungan seksual antara suami istri, kesesuaian perkawinan dengan berbagai kondisi dan keadaan keluarga, dan integrasi diantara pasangan suami istri. Hal ini menandakan bahwa kualitas perkawinan merupakan kesamaan keseluruhan perasaan yang dirasakan oleh pasangan, bukan kepuasan yang hanya dirasakan oleh sebagian dari pasangan tersebut atau perseorangan (Burgess dan Locke 1960 dalam Puspitawati 2012). Faktor lingkungan seperti dukungan teman dan tetangga di sekitar tempat tinggal dapat membantu dalam memelihara tingginya kualitas perkawinan (Kammeyer 1987). Kebahagiaan perkawinan Kualitas perkawinan berdimensi kebahagiaan perkawinan memiliki ciri adanya kemampuan berkomunikasi dengan baik antar pasangan, hubungan yang setara antar pasangan, hubungan yang baik antara mertua dan ipar, menginginkan hadirnya anak, memiliki minat di bidang yang sama, memiliki cinta, saling menghormati, kesesuaian dalam kehidupan seksual, menikmati waktu luang bersama, hubungan penuh afeksi dan kebersamaan, dan kemampuan untuk memberi dan menerima (Zastrow dan Kirsht 1987 dalam Setioningsih 2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan perkawinan adalah: 1. Keuangan: Keuangan menduduki peringkat pertama sebagai sumber utama konflik sekalipun dalam keluarga dengan perkawinan yang stabil dan finansial yang memadai (Landis dan Landis 1955). 2. Keluarga dari pasangan suami-istri: dengan melakukan perkawinan, seseorang akan mendapatkan hubungan keluarga terikat perkawinan. Kedekatan hubungan ini bervariasi, mulai dari mertua, ipar, sepupu dari pasangan bahkan istri suami yang lain. Baik istri maupun suami harus menyesuaikan dirinya pada keluarga terikat perkawinan ini agar terhindar dari benturan-benturan dengan pasangannya. Landis dan Landis (1955)
10
3.
4.
5.
menyatakan bahwa jika hubungan mertua ipar baik maka perkawinan akan cenderung baik. Kehidupan beragama: Kehidupan beragama berhubungan erat dengan kepuasan perkawinan (Landis dan Landis 1955). Orang yang agresif dan curiga terhadap orang lain karena tidak adanya keamanan dari dalam dirinya. Keamanan dalam diri dari kepercayaan agama mungkin membantu seseorang memahami orang lain dan menerima kebutuhannya. Komunikasi: Pada sekelompok pasangan yang bahagia ditemukan adanya komunikasi yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang kurang bahagia dalam perkawinannya. Dalam kelompok yang kurang bahagia, seiring timbul masalah akibat komunikasi yang salah (Atwater 1985 dalam Setioningsih 2010). Lain-lain: faktor lain yang mempengaruhi adalah penyesuaian seksual, pengasuhan anak, sikap dan nilai terhadap perkawinan, dan pengelolaan rumah tangga serta usia pasangan saat menikah. Karyadi (1988) dalam Setioningsih (2010) mengatakan bahwa seringkali pasangan yang menikah di bawah 20 tahun mengalami perceraian. Persentasenya lebih tinggi dibanding dengan mereka yang menikah di atas 20 tahun.
Kepuasaan perkawinan Duvall dan Miller (1989) dalam Setioningsih (2010), kepuasan perkawinan meliputi ekspresi afeksi yang terbuka satu sama lain, terjalinnya rasa saling percaya, tidak ada dominasi satu terhadap lainnya, komunikasi yang bebas dan terbuka antar pasangan, kesesuaian kehidupan seksual, melakukan kegiatan bersama dalam hal aktivitas di luar rumah, tempat tinggal relatif stabil, dan penghasilan yang memadai. Faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan adalah: (1) Status pekerjaan, tingkat pendidikan dan pendapatan, (2) Kepuasan terhadap pekerjaan, (3) Kesehatan mental dan fisik, (4) Besarnya kebersamaan untuk menghabiskan waktu luang dalam aktifitas, (5) Komunikasi verbal dan non verbal yang baik, (6) Mengekspresikan afeksi, (7) Adanya saling percaya antar pasangan, (8) Adanya perasaan nyaman terhadap harapan akan peran pasangan dalam pernikahan dan adanya peran yang fleksibel (Rice 1983).
KERANGKA PEMIKIRAN Teori struktural fungsional memandang sistem sosial sebagai suatu sistem yang seimbang, harmonis, dan berkelanjutan. Konsep struktur sosial meliputi bagian-bagian dari sistem dengan cara kerja pada setiap bagian yang terorganisir. Menurut William F. Ogburn dan Talcott Parsons dalam Puspitawati (2012) pendekatan teori ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang kemudian diakomodasi dalam fungsi sesuai dengan posisi dalam struktur sebuah sistem. Keluarga terdiri atas ayah, ibu, anak, dan mungkin kakek atau nenek, adalah satu kesatuan yang tinggal dalam satu rumah dan memiliki visi dan misi bersama. Keluarga tidak jauh beda dengan organisasi, setiap anggota keluarga memiliki
11
peran yang sangat penting. Untuk menyelaraskan tugas-tugas antar anggota keluarga tersebut, diperlukan komunikasi antara anggota keluarga yang satu dengan yang lain. Komunikasi dalam keluarga memiliki peran yang sangat penting. Komunikasi merupakan elemen terpenting yang dapat menentukan kualitas perkawinan. Kualitas perkawinan merupakan suatu derajat perkawinan yang dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi pasangan suami dan istri sehingga dapat menjaga kelestarian perkawinan. Perkawinan yang berkualitas menjamin kehidupan perkawinan yang bahagia dan memuaskan yang menjadi harapan dan idaman pada setiap pasangan sejak awal terjadinya sebuah pernikahan. Kualitas perkawinan terdiri atas dua dimensi yakni kebahagiaan perkawinan dan kepuasaan perkawinan (Conger dan Elder 1994). Kualitas perkawinan merupakan komposit dari kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan. Keberhasilan suatu perkawinan dicerminkan dari bertahannya suatu keluarga memelihara komitmen bersama, kebahagiaan yang dirasakan oleh pasangan suami istri, kepuasan suami istri dalam perkawinan, kesesuaian hubungan seksual antara suami istri, kesesuaian perkawinan dengan berbagai kondisi dan keadaan keluarga, dan integrasi diantara pasangan suami istri. Hal ini menandakan bahwa kualitas perkawinan merupakan kesamaan keseluruhan perasaan yang dirasakan oleh pasangan, bukan kepuasan yang hanya dirasakan oleh sebagian dari pasangan tersebut atau perseorangan (Burgess dan Locke 1960). Faktor lingkungan seperti dukungan teman dan tetangga di sekitar tempat tinggal dapat membantu dalam memelihara tingginya kualitas perkawinan (Kammeyer 1987). Rice (1983) menyebutkan faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan antara lain status pekerjaan, tingkat pendidikan dan pendapatan. Davidson et al. dalam Kammeyer (1987) menyatakan bahwa kedekatan suami dan istri dapat memberikan efek terhadap hubungan perkawinan. Rendahnya kedekatan suami dan istri akan menimbulkan masalah untuk pasangan diantaranya menipisnya perasaan lekat terhadap pasangan dan pada akhirnya akan berdampak pada hubungan perkawinan (Setioningsih 2011). Burke dan Weir (1975) menemukan bahwa relasi suami-istri berpengaruh signifikan terhadap kualitas perkawinan.
Kualitas perkawinan - Kebahagian perkawinan - Kepuasan perkawinan
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan karakteristik keluarga, relasi suami dan istri, dan kualitas perkawinan
Komunikasi suami-istri
Relasi Suami dan Istri
Interaksi suamiistri
Keterangan: = Diteliti = Tidak diteliti = Hubungan yang diteliti = Hubungan yang tidak diteliti
Karakteristik keluarga - Besar keluarga - Pendapatan keluarga
Karakteristik istri - Usia istri - Lama Pendidikan istri
Karakteristik suami - Usia suami - Lama pendidikan suami
Keutuhan
12
13
METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan subsampling dari penelitian Strategi Nasional (Stranas) yang diketuai oleh Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc dengan judul “Analisis Gender tentang Strategi Hidup Keluarga, Investasi, dan Kualitas Anak dalam Mencapai Target Millenium Development Goals (MDGs) pada Petani Dataran Tinggi”. Desain penelitian ini adalah cross-sectional study, yaitu dengan mengobservasi banyak orang dalam satu periode waktu tertentu saja dan tidak berkelanjutan. Data cross-sectional study mencakup karakteristik keluarga petani, komunikasi suami-istri keluarga petani dan tingkat kualitas perkawinan keluarga petani. Metode yang digunakan adalah survei dengan menggunakan kuesioner sebagai pengumpul data primer. Lokasi penelitian ini dipilih secara purposive atau sengaja di Desa Petir, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan pertimbangan Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar dibandingkan provinsi lainnya dan sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2014. Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga petani yang memiliki anak SD kelas 3 hingga kelas 5 di Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Penelitian ini mengambil contoh sebanyak 35 keluarga dengan status pekerjaan suami atau istri atau keduanya sebagai petani. Penarikan contoh dilakukan dengan teknik probability sampling teknik simple random sampling dari 85 keluarga. Untuk lebih jelas mengenai tahap pengambilan contoh disajikan Gambar 2 di bawah ini.
Purposive Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia (BPS 2010).
Jawa Barat
Kabupaten Bogor
Purposive Pada tahun 2010 penduduk di Jawa Barat yang terbanyak di Kabupaten Bogor yaitu 4,8 juta jiwa.
Kecamatan Dramaga
Purposive Berdasarkan Purposive data luas lahan Berdasarkan data siswa kelas 3, 4, dan 5 dengan orang tua sebagai petani
Desa Petir n = 35 keluarga petani
Simple random sampling Berdasarkan keluarga petani dengan suami-istri lengkap dari data Stranas
Gambar 2 Kerangka penarikan contoh
14
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari responden seperti karakteristik suami, karakteristik istri dan karakteristik keluarga yang meliputi usia, lama pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga, dan jumlah anggota keluarga; relasi suami-istri; serta kualitas perkawinan. Kualitas perkawinan diukur berdasarkan kepuasan dan kebahagiaan perkawinan menurut persepsi istri dalam menilai kehidupan perkawinan. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung menggunakan alat bantu kuesioner yang relevan dengan variabel yang diteliti. Kuesioner dikembangkan oleh peneliti berdasarkan berbagai penelitian serupa terdahulu dan berdasarkan konsep teoritis. Data sekunder diperoleh dari data siswa/siswi sekolah dasar kelas 3, 4, dan 5 di Desa Petir. Validitas menunjukkan sejauh mana nilai/ukuran yang diperoleh benarbenar menyatakan hasil pengukuran yang ingin diukur. Dengan kata lain, validitas adalah dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Instrumen atau kuesioner dapat dikatakan valid jika instrumen atau kuesioner tersebut memiliki ketepatan dan kecermatan dalam melakukan fungsi ukurnya. Realibilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Realibilitas adalah konsistensi tes dalam mengukur apa yang seharusnya diukur. Variabel relasi suami-istri diukur dengan menggunakan instrumen terstruktur yang terdiri dari 31 item pertanyaan (Cronbach’s α 0,663 dengan validitas isi 0,365-0,639) dengan pilihan jawaban menggunakan skala likert, skor 1 untuk jawaban tidak pernah, skor 2 untuk jawaban kadang-kadang, skor 3 untuk jawaban cukup sering, dan skor 4 untuk jawaban sering. Untuk pertanyaan negatif diberikan skor terbalik yaitu skor 4 untuk jawaban tidak pernah, skor 3 untuk jawaban kadang-kadang, skor 2 untuk jawaban cukup sering, dan skor 1 untuk jawaban sering. Kuesioner relasi suami-istri diadopsi dan dimodifikasi dari konsep Boehi et al. (1997) dan Knox (1985). Variabel kualitas perkawinan diukur dengan menggunakan instrumen terstruktur terdiri dari dimensi kepuasan 2 item pertanyaan dan dimensi kebahagiaan 4 item pertanyaan (Cronbach’s α 0,958 dengan validitas isi 0,7410,968) dengan pilihan jawaban menggunakan skala likert, skor 1 untuk jawaban tidak bahagia/tidak puas, skor 2 untuk jawaban sedikit bahagia/sedikit puas, skor 3 untuk jawaban cukup bahagia/cukup puas, dan skor 4 untuk jawaban sangat bahagia/sangat puas. Kuesioner kualitas perkawinan diadopsi dan dimodifikasi dari konsep Fincham dan Bradbury (1987) dan Conger dan Elder (1994). Secara rinci, jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.
15 Tabel 1 Variabel, skala data, dan pengkategorian No. 1
Variabel
Skala Data
Karakteristik keluarga - Usia istri (tahun)
Rasio
- Usia suami (tahun)
Rasio
-
Pekerjaan istri Pekerjaan suami Lama pendidikan istri (tahun) Lama pendidikan suami (tahun) Pendapatan keluarga (Rp/bulan) Besar keluarga (orang)
2
Relasi suami-istri diadopsi dan dimodifikasi dari konsep Boehi et al. (1997) dan Knox (1985)
3
Kualitas perkawinan diadopsi dan dimodifikasi dari konsep Fincham dan Bradbury (1987) dan Conger dan Elder (1994) - Kepuasan perkawinan - Kebahagiaan perkawinan
Nominal Nominal Rasio Rasio Rasio Rasio
Ordinal
Kategori Data
α
Hurlock (1980) 1= Dewasa awal (18-40 tahun) 2= Dewasa madya (41-60 tahun) Hurlock (1980) 1= Dewasa awal (18-40 tahun) 2= Dewasa madya (41-60 tahun)
BKKBN (1998) 1= kecil (≤4 orang) 2= sedang (5-6 orang) 3= besar ((≥7 orang) 1= Rendah (≤75,0) 2= Tinggi (>75,0) 1= Rendah (≤75,0) 2= Tinggi (>75,0)
0,663
0,958
Ordinal Ordinal
Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah diperoleh selanjutnya diolah melalui proses coding, entry, editing, scoring, dan analisis data. Data akan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia dengan menggunakan program Microsoft Excel dan Statistical Package for Social Sciences (SPSS). Analisis deskriptif (rata-rata, nilai minimum dan maksimum, serta persentase) dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik keluarga, relasi suamiistri, dan kualitas perkawinan. Analisis deskriptif akan disajikan dalam bentuk tabulasi silang (cross tabulation). Sementara untuk analisis inferensia, pengolahan data juga menggunakan uji korelasi dan uji regresi linear berganda. Jumlah
16
pertanyaan yang berbeda pada setiap dimensi variabel dikompositkan dengan mentransformasi skor yang telah didapatkan menjadi skor indeks. Indeks persentase pada variabel relasi suami-istri dan kualitas perkawinan dihitung dengan rumus:
Variabel relasi suami-istri skor minimum yang didapat 31 dan skor maksimum yang didapat 124. Variabel kualitas perkawinan skor minimum yang didapat 6 dan skor maksimum yang didapat 24. Hasil transformasi tersebut dikategorikan dengan menggunakan cut off. Cut off untuk variabel relasi suamiistri dan kualitas perkawinan adalah sebagai berikut: a. Rendah b. Tinggi
: ≤ 75% : > 75%
Variabel relasi suami-istri dan kualitas perkawinan disajikan dalam bentuk tipologi. Data tersebut ditampilkan dalam empat bagian Diagram Kartesius yang menunjukkan Tipe 1 adalah pencapaian relasi suami-istri rendah dan kualitas perkawinan tinggi, Tipe 2 adalah pencapaian relasi suami-istri tinggi dan kualitas perkawinan tinggi, Tipe 3 adalah pencapaian relasi suami-istri tinggi dan kualitas perkawinan rendah, serta Tipe 4 adalah pencapaian relasi suami-istri rendah dan kualitas perkawinan rendah. Berikut ini gambar diagram Kartesius: Y Tipe 1
Tipe 2
Tipe 4
Tipe 3
Gambar 3 Diagram Kartesius
X
Uji regresi linier berganda digunakan untuk menguji pengaruh antara variabel independen dan variabel dependen. Pada penelitian uji regresi linier berganda digunakan untuk menganalisis pengaruh karakterisktik contoh, relasi suami-istri, dan kualitas perkawinan. Model regresi didefinisikan dengan persamaan sebagai berikut: Yi = α + β1 X1 + β2 X2+ β3 X3 + β4 X4 + β5 X5 + β6 X6 + e Keterangan: Yi : Kualitas perkawinan α : Konstanta regresi β : Koefisien regresi
17
X1 : Usia suami (tahun) X2 : Lama pendidikan suami (tahun) X3 : Lama pendidikan istri (tahun) X4 : Besar keluarga (orang) X5 : Pendapatan per bulan (rupiah) X6 : Relasi suami-istri Definisi Operasional Keluarga petani adalah keluarga yang memiliki pekerjaan sebagai petani, baik pemilik lahan, penggarap lahan, maupun buruh tani; dan menghabiskan waktunya di ladang atau sawah. Karakteristik responden adalah ciri khas yang dimiliki responden meliputi usia, lama pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan per bulan. Usia adalah usia istri dan suami dalam tahun. Lama pendidikan adalah lama pendidikan formal yang ditempuh responden dalam tahun. Pendapatan per bulan adalah jumlah pemasukan keluarga baik dari suami atau dari istri. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah orang yang tinggal dalam satu atap dan memiliki ikatan keluarga yang disatukan oleh ikatan darah atau perkawinan. Relasi suami-istri adalah hubungan timbal balik antara suami dan istri yang saling mempengaruhi diukur dengan beberapa komponen sebagai berikut perlakuan suami terhadap istri, perlakuan istri terhadap suami, dan komunikasi suami-istri. Kualitas perkawinan adalah ukuran berdasarkan kebahagiaan dan kepuasan menurut persepsi istri dalam menilai rasa bahagia atau rasa puas istri terhadap suami dan rasa bahagia atau rasa puas dan bersyukur istri terhadap perkawinannya dengan suami. Kepuasan perkawinan adalah kepuasan yang dirasakan oleh istri yang bersifat relatif dan subyektif yang diukur berdasarkan rasa puas istri terhadap suami dan rasa puas dan bersyukur istri terhadap perkawinannya dengan suami. Kebahagiaan perkawinan adalah kebahagiaan yang dirasakan oleh istri yang bersifat relatif dan subyektif yang diukur berdasarkan rasa bahagia istri terhadap suami dan rasa bahagia dan bersyukur istri terhadap perkawinannya dengan suami.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat merupakan daerah yang memiliki luas wilayah sebesar 24,06 Km2 dengan jumlah penduduk 94 825 jiwa dan rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kecamatan Dramaga adalah sebanyak
18
3 941 jiwa/Km2. Wilayah Kecamatan Dramaga berada pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut dan merupakan kawasan yang berbukit dengan suhu ratarata 250C – 300C. Kecamatan Dramaga terdiri dari 10 desa yaitu Desa Purwasari, Petir, Sukadamai, Sukawening, Neglasari, Sinarsari, Ciherang, Dramaga, Babakan, dan Cikarawang. Secara geografis Kecamatan Dramaga berbatasan dengan sebelah utara dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah barat dengan Kecamatan Ciampea, sebelah timur dengan Kecamatan Bogor Barat/kotamadya Bogor, dan sebelah selatan dengan Kecamatan Tamansari/Ciomas. Berdasarkan potensi desa tahun 2012, jumlah pegawai desa di Kecamatan Dramaga sebanyak 77 orang yang terdiri atas 1 orang golongan i, 9 orang golongan ii dan 67 orang non golongan. Pertanian merupakan salah satu mata pencaharian penduduk di Kecamatan Dramaga. Salah satu komoditinya adalah padi sawah. Pada tahun 2012, luas panennya mencapai 1 377 ha dengan rata-rata hasil panen sebesar 6,1 ton/ha. Selain padi sawah, komoditi lainnya adalah tanaman palwija berupa jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan kacang tanah. Tanaman palawija yang paling banyak produksi adalah ubi jalar. Desa Petir merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Dramaga dengan luas wilayah 4,50 Km2. Jumlah penduduk di Desa Petir pada tahun 2012 sebanyak 12 964 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki 6 374 jiwa dan penduduk perempuan 6 590 jiwa. Luas panen di Desa Petir adalah 194 ha dengan rata-rata hasil panen sebesar 6,02 ton/ha. Desa Petir memiliki sarana pendidikan sekolah dasar sebanyak 6 sekolah. Di bidang kesehatan, Desa Petir memiliki 1 Puskesmas, 11 Posyandu, 1 pos KB, dan 1 balai pengobatan. Mayoritas penduduk desa Petir beragama Islam, sehingga sarana beribadah yang tersedia hanya masjid dan musholah. Jumlah masjid yang ada berjumlah 21 dan musholah berjumlah 17. Karakteristik Keluarga Responden Menurut Hurlock (1980), usia dewasa dibagi menjadi tiga kategori yaitu dewasa awal, dewasa madya, dan dewasa akhir. Usia dewasa awal dimulai dari rentang usia 18 sampai 40 tahun sedangkan dewasa madya berada pada usia 41-60 tahun dan dewasa akhir berada pada usia 61 tahun ke atas. Hasil pada Tabel 2 menunjukkan bahwa lebih dari separuh usia suami (54,3%) berada pada dewasa madya dan sisanya (45,7%) berada pada dewasa awal. Dalam hal yang sama ratarata usia suami 42,86 tahun dan berdasarkan kategori usia berada pada usia dewasa madya. Lebih dari separuh responden (65,7%) usia suami berada pada dewasa awal dan sisanya (34,3%) berada pada usia dewasa awal. Rata-rata usia istri 37,06 tahun dan berdasarkan kategori usia berada pada usia dewasa awal. Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan kategori usia suami dan istri Kategori Dewasa awal (18-40 tahun) Dewasa madya (41-60 tahun) Total Min – maks (tahun) Rataan ± SD (tahun)
Suami n 16 19 35
Istri % 45,7 54,3 100,0
25 - 60 42,86 ± 8,66
n 23 12 35
% 65,7 34,3 100,0
24 – 50 37,06 ± 7,33
19
Hasil penelitian ini menunjukkan masih ada istri yang tidak sekolah. Tingkat pendidikan suami bervariasi mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi. Tabel 3 memperlihatkan bahwa rata-rata lama pendidikan suami 5,89 tahun dan rata-rata tingkat pendidikan istri 5,42 tahun. Persentase terbesar tingkat pendidikan suami adalah Sekolah Dasar sedangkan persentase terkecil yaitu tidak sekolah, Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Perguruan Tinggi. Persentase terbesar tingkat pendidikan istri adalah Sekolah Dasar sedangkan persentase terkecil yaitu tidak sekolah bahkan tidak ada istri yang memiliki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Pendidikan Tinggi. Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat pendidikan suami dan istri Suami
Kategori Tidak sekolah (0 tahun) SD (1-6 tahun) SMP (7-9 tahun) SMA (10-12 tahun) Perguruan Tinggi Total Min – maks (tahun) Rataan ± SD (tahun)
n 0 30 2 2 1 35
Istri % 0,0 85,7 5,7 5,7 2,9 100,0
2 – 16 5,89 ± 2,94
n 2 28 5 0 0 35
% 5,7 80,0 14,3 0,0 0,0 100,0
0–9 5,42 ± 2,26
Populasi penelitian ini adalah keluarga petani. Keluarga petani merupakan keluarga yang memiliki pekerjaan sebagai petani baik suami atau istri atau keduanya. Sehingga pekerjaan dikelompokkan ke dalam empat kategori yaitu petani pemilik, petani penyewa, buruh tani, dan bukan petani berdasarkan pekerjaan suami. Hasil penelitian pada Tabel 4 memperlihatkan bahwa hampir setengah responden merupakan buruh tani. Satu dari empat suami bekerja sebagai petani penyewa dan satu dari tiga (31,4%) suami bekerja sebagai petani pemilik. Satu dari lima istri bekerja sebagai petani dan masih banyak (62,9%) istri yang tidak memiliki pekerjaan atau hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Keluarga petani menganggap bahwa istri bertugas mengurus rumah, menyiapkan makanan, dan mengasuh anak saja. Tugas mencari uang atau yang menafkahi anggota keluarga adalah suami. Sisanya (17,1%) istri bekerja selain petani seperti buruh di pabrik. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan tipe petani Kategori Petani pemilik Petani penyewa Buruh tani Bukan petani Total
n 11 9 14 1 35
% 31,4 25,7 40,0 2,9 100,0
Besar keluarga dibagi menjadi tiga kategori yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (≥7 orang). Tabel 5 menunjukkan
20
bahwa jumlah anggota keluarga responden berkisar antara empat sampai delapan orang. Lebih dari separuh responden (57,1%) berada pada kategori keluarga sedang. Rata-rata besar keluarga responden adalah lima orang dan berdasarkan kategorinya merupakan tipe keluarga sedang. Rata-rata pendapatan keluarga responden adalah Rp2 293 500,00 per bulan dengan rentang pendapatan keluarga sebesar Rp400 000,00 per bulan hingga Rp9 900 000,00 per bulan. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Kategori Keluarga kecil (≤4 orang) Keluarga sedang (5-6 orang) Keluarga besar (≥7 orang) Total Min-maks (orang) Rataan±SD (orang)
n 9 20 6
% 25,7 57,1 17,1 35 4–8 5,00 ± 1,13
Relasi suami-istri Relasi suami-istri merupakan hubungan timbal balik antara suami dan istri yang saling mempengaruhi. Relasi suami-istri atau hubungan suami-istri ini sebaiknya bukanlah hubungan “atasan dengan bawahan” atau “majikan dan buruh” ataupun orang nomor satu (pemimpin) dan orang belakang (orang dapur), tetapi merupakan hubungan pribadi-pribadi yang menyatu dalam satu wadah kesatuan yang utuh, yang dilandasi oleh saling membutuhkan, melindungi, melengkapi, dan menyayangi satu dengan yang lain untuk sama-sama bertanggung jawab di lingkungan masyarakat dan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa (Puspitawati 2012). Hasil penelitian Tabel 6 menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden mengaku suami kadang-kadang marah pada istrinya. Sebagian besar istri mengaku suami mereka tidak pernah mencaci maki, membentak, maupun memukul. Hanya sedikit suami yang sering marah, mencaci maki dan membentak istrinya. Hanya sedikit pula istri yang sering marah pada suami. Meskipun kadang-kadang suami marah dan bertengkar, sebagian besar suami juga peduli, menyayangi, dan menghargai satu sama lain. Suami hanya kadang-kadang saja membantu pekerjaan istri.
21
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan relasi suami-istri dimensi perlakuan suami terhadap istri (n=35) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pernyataan Suami marah pada istri Suami peduli pada istri Suami mencaci maki istri Suami membentak istri Suami sangat menyayangi dengan mesra pada istri Suami sangat menghargai istri Suami membantu pekerjaan istri Suami memukul istri Suami bertengkar dengan istri
1 2 3 4 Mean Modus (%) (%) (%) (%) 28,6 65,7 0,0 5,7 1,8 2 0,0 0,0 25,7 74,3 3,7 4 1,2 1 88,6 2,9 5,7 2,9 1,5 1 54,3 40,0 0,0 5,7 0,0 5,7 37,1 57,1 3,5 4 0,0 0,0 31,4 68,6 28,6 28,6 25,7 17,1 97,1 2,9 0,0 0,0 37,1 60,0 2,9 0,0
3,7 2,3 1,0 1,7
4 2 1 2
Keterangan: 1= tidak pernah, 2= kadang-kadang, 3=cukup sering, 4=sering
Hasil penelitian yang ditunjukkan Tabel 7 memperlihatkan lebih dari setengahnya istri kadang-kadang marah terhadap suami. Lebih dari setengahnya istri juga mengaku tidak pernah mencaci maki atau membentak suami. Seluruh istri mengaku tidak pernah memukul suami. Istri cukup sering membantu pekerjaan suami. Lebih dari setengahnya istri peduli terhadap suaminya dan sangat menyayangi dengan mesra suami. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan relasi suami-istri dimensi perlakuan istri terhadap suami (n=35) No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Pernyataan Istri marah pada suami Istri peduli pada suami Istri mencaci maki suami Istri membentak suami Istri sangat menyayangi dengan mesra suami Istri menghargai suami Istri membantu pekerjaan suami Istri memukul suami
1 2 3 4 Mean Modus (%) (%) (%) (%) 28,6 60,0 8,6 2,9 1,9 2 0,0 2,9 28,6 68,6 3,7 4 1,1 1 97,1 0,0 2,9 0,0 1,3 1 68,6 28,6 2,9 0,0 0,0 2,9 34,3 62,9 3,6 4 0,0 0,0 31,4 68,6 14,3 31,4 31,4 22,9 100,0 0,0 0,0 0,0
3,7 2,6 1,0
4 3 1
Keterangan: 1= tidak pernah, 2= kadang-kadang, 3=cukup sering, 4=sering
Hasil penelitian pada Tabel 8 menunjukkan bahwa hampir seluruh contoh tidak pernah memiliki masalah cara berkomunikasi dengan suami. Hanya sedikit yang cukup sering memiliki masalah cara berkomunikasi dengan suami. Sebagian besar pasangan suami-istri sering melakukan komunikasi bersama dan sedikit yang kadang-kadang berkomunikasi bersama suami. Lebih dari setengah contoh selalu berusaha membicarakan masalah yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Selain itu, sebagian besar pasangan suami-istri ini juga membicarakan masa depan anak-anak. Separuh contoh sering konflik ketika membicarakan masalah keuangan akan tetapi sebagian besar contoh tidak pernah bertengkar karena masalah pendidikan anak dan pekerjaan. Menurut Barbor (2001) dalam
22
Hybel dan Weaver (2004), komunikasi dan perlakuan yang baik antar pasangan akan membantu dalam menjalin hubungan yang bertahan lama. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan relasi suami-istri dimensi komunikasi suami-istri (n=35) No.
Pernyataan
1
Masalah cara berkomunikasi dengan suami Saya dan suami berusaha berkomunikasi untuk membicarakan masalah anak Saya dan suami berusaha berkomunikasi membicarakan masalah yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga Saya dan suami sering konflik ketika membicarakan masalah keuangan Saya selalu membicarakan dengan suami bagaimana masa depan anakanak Saya selalu mendoakan suami apabila sedang pergi bekerja Saya dan suami sering konflik ketika membicarakan masalah pendidikan anak-anak Berdebat atau bertengkar dengan suami karena masalah pekerjaan Bertengkar dengan suami karena masalah keuangan Bertengkar dengan suami karena masalah anak-anak Berkomunikasi secara bersama antara suami dan anda Berdiskusi dalam mengalokasikan sumberdaya keuangan antara suami dan anda Saling pengertian dan bekerjasama dalam berbagai hal antara suami dan anda Pengambilan keputusan secara bersama antara suami dan anda
2
3
4 5
6 7
8 9 10 11 12
13
14
1 (%) 91,4
2 (%) 5,7
65,7
0,0
3 (%) 2,9
4 Mean Modus (%) 0,0 3,6 1
5,7 28,6
2,2
1
5,7
2,9 25,7 65,7
3,3
4
14,3
8,6 25,7 51,4
3,3
4
8,6 37,1
1,1
4
0,0 22,9 74,3
1,9
4
31,4 22,9
2,9
51,4 20,0 25,7
2,9
3,5
1
82,9 14,3
2,9
0,0
1,1
1
71,4 25,7
2,9
0,0
2,5
1
80,0 17,1
2,9
0,0
3,7
1
2,9
5,7 20,0 71,4
1,8
4
51,4
0,0 22,9 25,7
1,2
1
0,0
2,9 62,9 34,3
1,3
3
2,9
5,7 48,6 42,9
1,2
3
Keterangan: 1= tidak pernah, 2= kadang-kadang, 3=cukup sering, 4=sering
Secara umum dapat disimpulkan bahwa relasi suami-istri yang baik sebagai berikut: a. Suami peduli, menghargai, menyayangi, dan membantu pekerjaan istri, begitu pula sebaliknya istri peduli, menghargai, menyayangi, dan membantu pekerjaan suami.
23
b.
c.
d. e. f.
Suami tidak berbuat kasar pada istrinya, seperti marah, membentak, memukul, dan mencaci maki. Begitu pula sebaliknya, istri tidak berbuat kasar pada suami. Saling terbuka. Suami dan istri membicarakan bersama-sama dalam menyelesaikan masalah keluarga, keuangan, atau anak tanpa menimbulkan konflik. Suami dan istri membicarakan bersama bagaimana masa depan anak-anak. Suami dan istri berdiskusi dalam mengalokasikan sumberdaya keuangan keluarga. Suami dan istri saling pengertian dan bekerja sama dalam berbagai hal.
Pada penelitian ini relasi suami-istri dibagi menjadi tiga dimensi yaitu perlakuan suami terhadap istri, perlakuan istri terhadap suami, dan komunikasi suami-istri. Tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden (65,7%) mempunyai relasi suami-istri yang berada pada kategori tinggi sehingga komunikasi yang terjalin pada pasangan suami-istri semakin baik dan tidak timbul konflik. Sebanyak 34,3 persen responden mempunyai relasi suami-istri masih berada pada ketegori rendah. Dari ketiga dimensi relasi suami istri, lebih dari setengahnya komunikasi suami-istri masih tergolong rendah. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kategori relasi suami-istri dan dimensinya (n=35) Kategori Min-maks Rataan±SD Tinggi Rendah (skor 0Dimensi (skor 0(≤75,0)
n % Perlakuan suami terhadap 10 27,8 istri Perlakuan istri terhadap 10 27,8 suami Komunikasi suami-istri 21 58,3 Relasi suami-istri 12 34,3
(>75,0)
n % 25 69,4
100)
100)
56-100
25 69,4
54-100
81,27±11,4 6 84,64±9,73
14 38,9 23 65,7
45-97 65-93
72,24±12,48 78,06±16,99
Kualitas Perkawinan Kualitas perkawinan merupakan suatu derajat perkawinan yang dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi pasangan suami dan istri sehingga dapat menjaga kelestarian perkawinan. Menurut Conger dan Elder (1994), kualitas perkawinan memiliki dua dimensi yakni kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan. Kualitas perkawinan merupakan komposit skor kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan. Perbedaannya adalah kebahagiaan perkawinan berdasarkan pada evaluasi afektif, sedangkan kepuasan perkawinan berdasarkan pada evaluasi kognitif. Kualitas perkawinan dalam penelitian ini bersifat subjektif dan individual. Penilaian berdasarkan sudut pandang istri dari keluarga petani. Tabel 10 menunjukkan bahwa lebih dari setengah (68,6%) responden mengaku merasa sangat bahagia dengan suami serta merasa sangat bahagia dan bersyukur dengan perkawinan mereka. Hanya 2,9 persen yang mengaku merasa sedikit bahagia dengan suami serta merasa sedikit bahagia dan
24
bersyukur dengan perkawinan mereka. Lebih dari setengah responden mengaku merasa sangat puas dengan perkawinan mereka. Hanya sedikit responden yang merasa sedikit puas dengan perkawinan mereka. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan kualitas perkawinan (n=35) No
Pernyataan
Kebahagiaan Perkawinan 1 Saya merasa bahagia dengan suami 2 Saya merasa bahagia dan bersyukur dengan perkawinan saya Kepuasan Perkawinan 3 Saya merasa puas dengan suami saya 4 Saya merasa puas dan bersyukur dengan perkawinan saya 5 Hubungan komunikasi antara suami dan anda 6 Hubungan seksual antara suami dan anda
1 (%)
2 (%)
3 (%)
4 (%)
Mean
Modus
0,0 0,0
2,9 2,9
28,6 28,6
68,6 68,6
3,7 3,7
4 4
0,0
5,7
28,6
65,7
3,6
4
0,0
2,9
31,4
65,7
3,6
4
0,0
5,7
25,7
68,6
3,6
4
0,0
2,9
25,7
71,4
3,7
4
Keterangan : 1= tidak bahagia/tidak puas; 2=sedikit bahagia/sedikit puas; 3=cukup bahgia/cukup puas; 4=sangat bahagia/sangat puas
Hasil penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 11 memperlihatkan hampir tiga perempat responden (71,4%) memiliki kualitas perkawinan tinggi dan sisanya berada pada kategori rendah (28,6%). Hal ini dapat diartikan bahwa hampir tiga perempat responden merasa bahagia dan puas dengan perkawinan mereka. Semakin tinggi skor kualitas perkawinan maka semakin merasa bahagia dan puas. Kualitas perkawinan penelitian berada pada kategori tinggi, artinya responden penelitian ini merasakan bahwa hubungan perkawinan antara responden dengan suami responden sudah baik sehingga merasa bahagia dan puas dengan perkawinan. Kualitas perkawinan responden tergambarkan dari tingkat kepuasan dan kebahagiaan responden terhadap perkawinan dengan suaminya. Lebih dari setengah responden baik dimensi kebahagiaan perkawinan maupun kepuasan perkawinan berada pada kategori tinggi (Tabel 11). Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan kategori kualitas perkawinan dan dimensinya (n=35) Kategori Min-maks Rataan±SD Rendah Tinggi Dimensi (skor 0(skor 0(≤75,0) (>75,0) 100) 100) n % n % Kebahagiaan 11 31,4 24 68,6 33-100 88,37±18,24 perkawinan Kepuasaan perkawinan 10 28,6 25 71,4 41-100 87,69±17,16 Kualitas perkawinan 10 28,6 25 71,4 38-100 88,09±16,99
25
Tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan Tipologi pasangan perkawinan merupakan karakteristik atau ciri-ciri pasangan perkawinan (suami-istri) dalam menilai kebahagiaan dan kepuasan. Menurut Olson (1981) terdapat 7 tipologi pasangan perkawinan berdasarkan tingkat kebahagiaan perkawinan yaitu perkawinan pasangan tanpa vitalitas, perkawinan pasangan finansial, perkawinan pasangan konflik, perkawinan pasangan tradisional, perkawinan pasangan seimbang, perkawinan pasangan harmonis, dan perkawinan pasangan penuh vitalitas. Tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan mengacu bentuk tipologi McCubbin dan McCubbin (1987) dalam Farhood (2004) model T-Double ABCX dari family adjusment and adaptation.
Tipe 1
Tipe 4
Tipe 2
Tipe 3
Gambar 4 Tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan Data Tabel 12 menunjukkan sebaran tipologi pasangan perkawinan berdasarkan kualitas perkawinan dan relasi suami-istri yang digambarkan juga pada Gambar 4. Tipe 1 menunjukkan pencapaian relasi suami-istri rendah dan kualitas perkawinan tinggi. Tipe 2 menunjukkan pencapaian relasi suami-istri tinggi dan kualitas perkawinan tinggi. Tipe 3 menunjukkan pencapaian relasi suami-istri tinggi namun kualitas perkawinan rendah. Tipe 4 menunjukkan pencapaiaan relasi suami-istri rendah dan kualitas perkawinan juga rendah. Hasil penelitian pada Tabel 12 menunjukkan lebih dari setengah responden (51,4%) tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga petani ini berada pada tipe 2 dengan pencapaian ikatan relasi suami-istri tinggi dan kualitas perkawinan tinggi. Pada tipe ini pasangan suami-istri merasa bahagia dengan perkawinan mereka dan merasa puas dengan perkawinan mereka. Pasangan suami-istri dapat menerima kebiasaan dan kepribadian pasangan mereka. Sehingga pasangan suami-istri ini memiliki interaksi yang baik. Pasangan suami-istri berusaha berkomunikasi secara bersama dan komunikasi yang terjalin dua arah. Suami dan istri membicarakan bersama-sama dalam menyelesaikan masalah keluarga, keuangan, atau anak tanpa menimbulkan konflik. Berdasarkan
26
karakteristik keluarga, pada tipe 2 ini memiliki pendapatan di bawah rata-rata, perbedaan usia pasangan, dan pasangan memiliki tingkat pendidikan yang sama. Ciri-ciri tersebut serupa dengan tipologi pasangan perkawinan menurut Olson yaitu tipologi pasangan perkawinan pasangan penuh vitalitas. Satu dari lima responden berada pada kategori tipe 1 yaitu relasi suami-istri rendah dan kualitas perkawinan tinggi (Tabel 12). Relasi suami-istri rendah artinya keluarga ini memiliki hubungan antara suami dan istrinya cenderung tidak baik. Perlakuan suami terhadap istri kurang baik seperti sering marah, kurang peduli, jarang membantu pekerjaan istri, dan kurang menghargai. Begitu pula perlakuan istri terhadap suami yang kurang baik. Meskipun keluarga pada tipe ini memiliki relasi suami-istri cenderung kurang baik namun pasangan ini tetap merasa bahagia dengan perkawinan mereka. Keluarga tipe 1 merupakan keluarga petani yang menggarap lahan sendiri dan memiliki pendapatan di atas rata-rata. Perbedaan jarak usia suami dan istri tidak jauh. Keluarga pada tipe ini bersifat rentan karena memiliki relasi suami-istri yang kurang baik. Tabel 12 menunjukkan bahwa satu dari tujuh responden berada pada kategori tipe 3 yaitu relasi suami-istri tinggi dan kualitas perkawinan rendah. Keluarga pada tipe 3 ini merupakan keluarga yang memiliki relasi suami-istri yang baik seperti komunikasi yang terjadi antara suami-istri lancar, dapat menyelesaikan konflik dan masalah yang dihadapi bersama. Walau demikian pasangan suami istri ini cenderung tidak bahagia dengan perkawinan mereka. Keluarga pada tipe 3 ini memiliki pendapatan di atas rata-rata dan istri ikut mencari uang atau bekerja di luar rumah untuk membantu keuangan keluarga. Moen et al. (2001) menemukan bahwa pekerjaan pasangan berhubungan dengan kualitas perkawinan. Hanya sedikit (14,3%) responden berada pada tipe 4 yaitu pencapaian kualitas perkawinan rendah dan relasi suami-istri rendah (Tabel 12). Pada tipe ini pasangan suami-istri tidak merasa puas atau tidak merasa bahagia dengan perkawinan mereka dan relasi yang terjalin antara pasangan suami-istri ini pun tidak berjalan baik. Pasangan suami-istri ini memiliki kesulitan dalam menjalin komunikasi dan penyelesaian masalah dalam hubungan mereka. keluarga pada tipe ini memiliki keluarga yang besar dan masih memiliki anak usia sekolah, pendapatan rendah atau di bawah rata-rata serta usia suami yang sudah tua. Tabel 12 Sebaran tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan Tipe* 1 2 3 4 Total
Relasi suami-istri Rendah Tinggi Tinggi Rendah
Kualitas perkawinan Tinggi Tinggi Rendah Rendah
n 7 18 5 5 35
% 20,0 51,4 14,3 14,3 100,0
Keterangan : * = secara detil tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan disajikan pada Lampiran 5
Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa relasi suami-istri berhubungan positif sangat signifikan dengan kualitas perkawinan (r=0,468, p<0,001). Hal ini berarti semakin tinggi skor relasi suami-istri maka semakin tinggi juga skor kualitas perkawinan. Usia suami berhubungan negatif signifikan dengan kualitas
27
perkawinan (r=0,416, p<0,05) yang artinya semakin muda usia suami maka semakin tinggi skor kualitas perkawinan. Karakteristik keluarga tidak berhubungan dengan kualitas perkawinan. Menurut Onsy dan Amer (2013) menunjukkan bahwa karakteristik keluarga tidak berhubungan signifikan dengan kualitas perkawinan. Tabel 13 Hasil uji korelasi relasi suami-istri dengan kualitas perkawinan Variabel Usia suami Usia istri Lama pendidikan suami Lama pendidikan istri Besar keluarga Pendapatan keluarga per bulan Relasi suami-istri
Relasi suami-istri Pearson correlation 0,005 -0,130 0,009 -0,065 0,018 -0,172 1,000
Kualitas perkawinan Pearson correlation -0,416* -0,210 -0,017 -0,091 -0,149 0,002 0,468**
keterangan : *=signifikan pada p<0,05; **= signifikan pada p<0,01; secara detil matriks korelasi disajikan di Lampiran 6
Hasil analisis regresi linier berganda yang ditunjukkan pada Tabel 14 memiliki nilai Adjusted R2 sebesar 0,291. Artinya usia suami, lama pendidikan suami, lama pendidikan istri, besar keluarga, pendapatan per bulan dan relasi suami-istri dapat mempengaruhi kualitas perkawinan sebesar 29,1 persen dan sisanya (70,9%) dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam model ini. Umur suami berpengaruh negatif signifikan terhadap kualitas perkawinan (β = 0,471). Hal ini berarti setiap kenaikan satu tahun usia suami akan menurunkan kualitas perkawinan sebesar 0,471. Relasi suami-istri berpengaruh positif signifikan terhadap kualitas perkawinan (β=0,469) poin. Hal ini berarti setiap kenaikan satu skor relasi suami-istri akan menaikkan skor kualitas perkawinan sebesar 0,469 poin. Hasil penelitian menunjukkan besar keluarga tidak berhubungan signifikan dengan kualitas perkawinan. Hal ini sesuai dengan pernyataan menurut Allendorf dan Ghimire (2012) menyatakan bahwa kasta, pekerjaan, usia saat menikah, dan jumlah anak memiliki sedikit atau tidak ada hubungan dengan kualitas perkawinan. Jumlah anak dapat menentukkan besar keluarga. Penelitian lain juga menyatakan bahwa sosial-demografi (umur, jenis kelamin, lama pendidikan) dan karakteristik keluarga (pendapatan keluarga, tahun menikah, dan jumlah anak) tidak berhubungan signifikan dengan kualitas perkawinan (Onsy dan Amer 2013). Hasil penelitian menyatakan bahwa relasi suami-istri berpengaruh positif signifikan terhadap kualitas perkawinan. Hasil penelitian ini mendukung dari pernyataan Burke dan Weir (1975) yang menemukan bahwa relasi suami-istri berpengaruh signifikan terhadap kualitas perkawinan
28
Tabel 14 Pengaruh karakteristik dan relasi suami-istri terhadap kualitas perkawinan Variabel Konstanta Umur suami (tahun) Lama pendidikan suami (tahun) Lama pendidikan istri (tahun) Besar keluarga (orang) Pendapatan per bulan (rupiah) Relasi suami-istri F R2 Adjusted R2 Sig.
B 43,361 -0,927 -0,186 -0,781 1,032 2,823x10-7 1,002
β -0,471 -0,032 -0,104 0,067 0,035 0,469 3,321 0,416 0,291 0,013
Sig. 0,190 0,013 * 0,846 0,541 0,721 0,820 0,004 **
Keterangan: *signifikan p<0,05; **signifikan p<0,01
Pembahasan Para ahli (UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10; Khairuddin 1985; Landis 1989; Day et al. 1995; Gelles 1995; Ember dan Ember 1996; Vosler 1996) mengungkapkan bahwa pengertian keluarga adalah sebagai unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi, merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi (Puspitawati 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga petani. Keluarga petani merupakan keluarga yang memiliki pekerjaan sebagai petani, baik pemilik lahan, penggarap lahan, maupun buruh tani; dan menghabiskan waktunya di ladang atau sawah. Keluarga ini sangat mengutamakan pekerjaan bertani, pekerjaan-pekerjaan yang lain dirasa kurang sesuai dengan dirinya. Keluarga petani merupakan masyarakat tradisonal yang masih memegang nilai-nilai tradisional dan bersifat morfostatik. Sistem morfostatik secara harfiah berarti bentuk yang tetap atau stabil, bersifat mekanis dan relatif tertutup. Keluarga memiliki batasan-batasan yang kaku dan menerima input-input baru yang terbatas dengan kondisi tertentu. Di dalam keluarga, suami-istri memegang peranan penting dalam mewujudkan keluarga sejahtera secara bersama. Upaya tersebut dilakukan dengan mengadakan hubungan yang baik dengan keluarga lingkungan sendiri atau di luar lingkungan keluarga. Relasi suami-istri sebagai permulaan bagi relasi yang lain dan memberikan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga. Banyak kajian yang telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perkawinan. Istilah kualitas perkawinan biasanya disamakan dengan kebahagiaan perkawinan atau kepuasan perkawinan (Ismail 2008). Keduanya sama-sama menunjuk pada suatu perasaan positif yang dimiliki pasangan dalam perkawinan yang maknanya lebih luas daripada kenikmatan, kesenangan, dan kesukaan. Menurut Olson dan Olson (2000) terdapat sepuluh aspek yang membedakan pasangan yang bahagia dan yang tidak bahagia, yaitu komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian, resolusi konflik, kegiatan di waktu luang, keluarga dan teman, pengelolaan keuangan, dan keyakinan spiritual.
29
Hasil penelitian menyatakan bahwa relasi suami-istri berpengaruh positif signifikan terhadap kualitas perkawinan. Kenaikan skor relasi suami istri akan meningkatkan juga skor kualitas perkawinan. Relasi suami-istri merupakan hubungan interpersonal. Salah satu motif dalam mencari hubungan interpersonal adalah kebahagiaan dan kasih sayang (Kammeyer 1987). Tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan tipe 2 dicirikan dengan pencapaian ikatan relasi suami-istri tinggi dan kualitas perkawinan tinggi. Menurut Lavee dan Olson (1993) tipologi pasangan perkawinan yang dicirikan dengan tingkat kepuasan yang tinggi didasari atas pasangan suami istri harmonis dalam menjalin hubungan dengan baik, kepribadian yang saling melengkapi, komunikasi yang baik, mencari solusi dari konflik, kepuasan secara seksual maupun secara finansial merupakan ciri-ciri dari perkawinan pasangan penuh vitalitas. Keterbatasan penelitian ini adalah responden dalam pengukuran variabel kualitas perkawinan. Responden yang ditanya hanya pada istri saja. Sehingga perlu penelitian lanjutan dengan suami sebagai responden untuk mengukur kualitas perkawinan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Secara umum, arti keluarga bagi istri petani di Desa Petir adalah segalanya yang diutamakan dan harta yang paling berharga. Rata-rata usia suami pada keluarga petani di Desa Petir berada pada kategori dewasa madya dan rata-rata usia istri berada pada kategori dewasa awal. Rata-rata tingkat pendidikan keluarga petani baik suami maupun istri hanya mencapai Sekolah Dasar. Penghasilan per bulan keluarga petani berada pada rentang Rp400 000 hingga Rp9 900 000 dengan rata-rata besar keluarga berjumlah lima orang. Sebagian besar relasi yang terjalin antara suami dan istri pada keluarga petani di Desa Petir tergolong tinggi dan sebagian besar kualitas perkawinan yang dirasakan istri tergolong tinggi. Tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga petani ini sebagian besar berada pada tipe 2 yaitu relasi suami-istri tinggi dan kualitas perkawinan tinggi. Dilihat dari tipologi pasangan perkawinan menurut Olson, maka tipe 1 termasuk tipologi perkawinan pasangan tradisional, tipe 2 termasuk tipologi perkawinan pasangan penuh vitalitas, tipe 3 termasuk tipologi perkawinan pasangan konflik, dan tipe 4 termasuk tipologi perkawinan pasangan tanpa vitalitas. Relasi suami-istri berhubungan positif signifikan dengan kualitas perkawinan. Artinya semakin tinggi skor relasi suami-istri maka akan semakin tinggi juga skor kualitas perkawinan. Saran Keluarga yang berada pada tipologi tipe 1, tipe 3, dan tipe 4 perlu adanya perhatian lebih untuk meningkatkan relasi suami-istri dan kualitas perkawinan
30
sehingga dapat menjaga keutuhan keluarga. Relasi suami-istri yang baik dapat diciptakan dari perlakuan antar suami- istri, serta suami-istri menjalin komunikasi yang baik. Suami dan istri harus mampu mengatur waktu dan berinteraksi dengan baik serta dapat berbagi tugas dalam menjalankan perannya masing-masing secara adil dan seimbang, karena semua urusan rumah tangga, baik aspek produktif, domestik, dan sosial kemasyarakatan, serta kekerabatan merupakan urusan bersama dan tanggung jawab bersama suami-istri. Sebaiknya pemerintah dapat memberikan kebijakan yang dapat mendukung keluarga petani sehingga keluarga petani dapat meningkatkan kualitas perkawinan dan menjaga keutuhan keluarga. Selanjutnya diperlukan pengembangan penelitian yang lain hingga memperoleh model yang baik atau faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000, dan 2010 [internet]. http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=12 ¬ab=1 (diakses tanggal 14 April 2014). Allendrof K. 2012. Determinants of marital quality in an arranged marriage society. Population Study Center Research Report 12-758 Altaira E, Nashori F. 2008. Hubungan antara kualitas komunikasi dengan kepuasan dalam perkawinan istri [skripsi]. Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya. Universitas Islam Indonesia. Bodenmann G, Pihet S, Kayser K. 2006. The relationship between dyadic coping and marital quality a 2-year longitudinal study. Journal of Family Psychology. 20(3): 485-493. Bookwala J. 2005. The role of marital quality in physical health during the mature yaers. Journal of Aging and Health. 17: 85-104. Burke RJ, Weir T. 1975. The husband-wife relationship: how significant in career and life succes?. Business Quarterly. 40(3): 62-67. Conger RD, Elder GH. 1994. Families in Troubled Times: Adapting to Change in Rural America. New York(USA): Aldine De Gruyter. Duvall EM, Miller BC. 1985. Marriage and Family Development. New York(USA): The Macmillan Company. Farhood LF. 2004. The impact of low stress on the health of Lebanese families. Research and Theory for Nursing Practice: An International Journal. 18(2/3). Fincham FD, Beach SRH. 2007. Forgiveness and marital quality: precursor or consequence in well-established relationships?. Journal of Positive Psychology. Fincham FD, Bradbury TN. 1987. The assessment of marital quality: a reevalution. Journal of Marriage and the Family. 49(11): 797-809. Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta (ID): Erlangga. Hybels S, Weaver RL II. 2004. Communicating Effectively: seventh edition. New York (USA): McGraw-Hill.
31
Ismail R. 2008. Kajian dimentions of marital quality: memahami konsep, metode penelitian, dan beberapa kajian kepustakaan dalam sosiologi keluarga. Jurnal Harmoni Sosial. 2(2): 88-99. Johnson DR, Booth A. 1998. Marital quality: a product of the dyadic environment or individual factors?. Social forces. 76(3): 883-904. Kammeyer KCW. 1987. Marriage and Family: A foundation for personal desicisions. The United States of America: Allyn and Bacon, Inc. Klein DM, White JM. 1996. Family Theories. California: Sage Publications. Knox D. 1985. Choises In Relationships: An Introduction To Marriage And The Family. United States of America: West Publishing Co. Koerner AF, Fitzpatrick MA. 2003. Handbook of Family Communication: Communication in Intact Famillies. USA: Lawrence Erlbaum Associates. Landis JT, Landis MG. 1955. Personal Adjusment Marriage and Family Living (second edition). United State of America: Prentice-Hall, Inc. Lavee Y, Olson DH. 1993. Seven types of marriage: emperical typology based on ENRICH. Journal of Marital and Family Therapy. 19(4): 325-340. Ledermann T, Bodenmann G, Rudaz M, Bradbury TN. 2010. Stress, communication, and marital quality in couples. Family Relation. 59: 195206. Moen P, Kim JE, Hofmeister H. 2001. Couples‟ Work/Retirement Transitions, Gender, and Marital Quality. Social Psychology Quarterly. 64(1): 55-71. Noller P, Feeney JA. 2003. Handbook of Family Communication: Studying Family Communication: Multiple Methods and Multiple Sources. USA: Lawrence Erlbaum Associates. Olson DH. 1981. Family Typologies: Bridging family research and family therapy. In E.E. Filsinger & R.A. Lewis (Eds.), Assesing Marriage: New Behavioral Approaches. Beverly Hills (CA): Sage. Onsy E, Amer MM. 2013. Attitudes toward seeking couples counseling among egyptian couple: towards a deeper understanding of common marital conflicts and marital satisfaction. Procedia-Social and Behavioral Sciences. 140: 470-475. Proulx CM, Helms HM, Buehler C. 2007. Marital quality and personal wellbeing: a meta-analysis. Journal of Marriage and Family. 69: 579-593. Puspitawati H. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor(ID): PT IPB Press. Puspitawati H. 2013. Ekologi Keluarga: Konsep dan Lingkungan. Bogor(ID): PT IPB Press. Rice FP. 1983. Contemporary Marriage. The United States of America: Allyn and Bacon, Inc. Sadeghi MS, Mazaheri MA, Motabi DF, Zahedi K. 2012. Marital interaction in iranian couple: examining the role of culture. Journal of Comparative Family Studies. 43: 281-298. Schmitt M, Kliegel M, Shapiro A. 2007. Marital interaction in middle and old age: a predictor of marital satisfaction?. Journal Aging and Human Development. 65(4): 283-300. Septiana VS. 2011. Pola komunikasi, penyesuaian suami istri, dan keharmonisan keluarga dari suku yang sama dan berbeda [skripsi]. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.
32
Setioningsih SS. 2010. Analisis fungsi pengasuhan dan interaksi dalam keluarga terhadap kualits perkawinan dan kondisi anak pada keluarga tenaga kerja wanita (TKW) [skripsi]. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Strong B, DeVault. 1986. The Marriage and Family Experience. The United States of America: West Publishing Co. Umberson D, Williams K. 2005. Marital quality, health, and aging: gender equity?. The Journal of Gerontology. 60B: 109-112. Veskhi SK, Botlani S, Shahsiah M, Sharifi E. 2012. The effect of sex education on marital quality improvement in couple of Qom. Interdisiplinary Journal of Contemporary Research in Business. 4(7).
LAMPIRAN
34
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
Desa Petir
35
Lampiran 2 Penelitian terdahulu Relasi Suami-Istri Definisi/Konsep Berdasarkan hasil penelitian kepada 576 pasangan, hal-hal yang mempererat hubungan pasangan antara lain: tidak merubah perilaku pasangan, percaya pada pasangan, menunjukkan rasa kasih sayang setiap hari, dan saling mengerti dan memahami. Menurut Strong dan DeVault (1986) Strongest bond: love, attacment, loyalty, or guilt. Cuber dan Harroff (1968) menemukan dua marriage relationship antara lain vital marrriage relationship dan total marriage relationship. Karena perempuan mungkin sedikit berbeda dengan laki-laki untuk mengadopsi gaya dismissive dalam merespon kesulitan hubungan dan sering merasa lebih berorientasi pada relasi dibandingkan laki-laki serta lebih merasa (terpaksa) bertanggung jawab dalam mengatasi kesulitan dalam hubungan, salah satu berharap lebih banyak saling mempengaruhi antara memaafkan dan kualitas perkawinan (Fincham dan Beach 2007). Faktor-faktor Faktor dalam menjalin good relationship (Hybels dan Weaver 2004) antara lain: verbal skills, emotional expressiveness, conversational focus, nonverbal analysis, conversational encouragement, care and appreciation, dan commitment. Peneliti terdahulu Hubungan stress rendah dan komunikasi yang positif merupakan hal penting dalam relasi (Ledermann et al. 2010). Menurut Burke dan Weir (1975) menemukan bahwa relasi suami-istri berpengaruh signifikan terhadap kualitas perkawinan. Dimensi Kualitas dan relasi pasangan terbentuk berdasarkan empat unsur dasar yaitu hubungan emosional, hubungan kognitif, hubungan ekonomi, dan hubungan seksual (Veskhi et al. 2012). Kualitas Perkawinan Definisi/konsep Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyatakan bahwa keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1). Kepribadian individu memainkan peran penting dalam stabilitas kualitas perkawinan (Johnson and Booth 1998).
36
Perkawinan yang berkualitas menjamin kehidupan perkawinan yang bahagia dan memuaskan yang menjadi harapan dan idaman pada setiap pasangan sejak awal terjadinya sebuah pernikahan, kepuasan perkawinan sebagai perasaan subjektif bagi suami atau istri, misalnya bagi suami berarti terpenuhinya perasaan dihargai, kesetiaan dan perjanjian terhadap masa depan dari hubungan tersebut, sedangkan bagi istri berarti terpenuhinya rasa aman secara emosional komunikasi dan terbinanya kedekatan (Duvall dan Miller 1985). Faktor-faktor Index kualitas perkawinan berpengaruh terhadap kesehatan fisik (Bookwala 2005). Gaya insecure attachment berpengaruh signifikan dengan kualitas perkawinan sedangkan secure attachment tidak berpengaruh terhadap kulaitas perkawinan (Hollist dan Miller 2005) Faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan adalah: (1) Status pekerjaan, tingkat pendidikan dan pendapatan, (2) Kepuasan terhadap pekerjaan, (3) Kesehatan mental dan fisik, (4) Besarnya kebersamaan untuk menghabiskan waktu luang dalam aktifitas, (5) Komunikasi verbal dan non verbal yang baik, (6) Mengekspresikan afeksi, (7) Adanya saling percaya antar pasangan, (8) Adanya perasaan nyaman terhadap harapan akan peran pasangan dalam pernikahan dan adanya peran yang fleksibel (Rice 1983). Dyadic coping berhubungan positif dengan kualitas perkawinan dengan dua mekanisme: yang pertama mengurangi dampak negatif dari stress dalam perkawinan dan yang kedua menguatkan rasa “we—ness”. (Bodenmann et al. 2006). Dengan perbedaan usia dan gender dalam status sosial-ekonomi, personality, interaksi perkawinan sebagai prediktor kepuasan perkawinan (Schmitt et al. 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik pada suami ataupun istri, ditemukan korelasi signifikan antara memaafkan dan kualitas perkawinan (Fincham dan Beach 2007). Penelitian terdahulu Penelitian terdahulu menyatakan bahwa kepuasan perkawinan memiliki kurva lengkung dimana menjadi tinggi saat awal perkawinan, lalu menurun saat mempunyai anak dan meningkat lagi saat anak pertama memasuki usia remaja (Schram 1979). Survei pada tahun 1973 menunjukkan 93 persen ibu berusia 40 hingga 49 tahun merasa sangat bahagia dengan perkawinannya dibandingkan dengan ibu yang masih mengasuh anak hanya 57 persen yang merasa sangat bahagia. Sejalan dengan penelitian National Opinion Research Center 1973, bahwa ibu yang berusia 50-59 tahun merasa sangat bahagia. Orang tua merasa mempunyai tekanan finansial yang lebih berat saat memiliki anak usia sekolah.
37
Secara khusus, pria yang bersekolah lagi, mereka yang berpartisipasi dalam pemilihan pasangan mereka, dan mereka yang telah menikah lagi memiliki tingkat yang lebih tinggi kualitas perkawinan. Sebaliknya, kasta, pekerjaan, usia saat menikah, dan jumlah anak memiliki sedikit atau tidak ada hubungan dengan kualitas perkawinan. Namun, sementara kita mengidentifikasi penentu utama kualitas perkawinan dalam konteks ini, sebagian besar variasi dalam kualitas perkawinan tetap tidak terjelaskan (Allendorf and Ghimire 2012). Kualitas pernikahan yang buruk merugikan mempengaruhi lintasan kesehatan fisik dari waktu ke waktu dan bahwa efek samping ini adalah sama untuk pria dan wanita (Umberson dan Williams 2005). Transisi pensiunan berhubungan dengan penurunan kualitas perkawinan bagi suami dan istri. Istri yang masih bekerja dan suami sudah pensiun memiliki konflik perkawinan lebih tinggi (Moen et al. 2001). Beberapa variabel memoderasi hubungan antara kualitas perkawinan dan kesejahteraan pribadi, termasuk jenis kelamin, durasi perkawinan peserta, sumber pengukuran, pengumpulan data tahun, dan variabel dependen (Proulx et al. 2007). Stres sehari-hari memainkan peran sentral untuk memahami perselisihan perkawinan. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa stres sehari-hari berasal dalam hubungan tampaknya menjadi karakteristik yang sangat penting dari hubungan intim karena tiga alasan. Pertama, hubungan stres sehari-hari tampaknya memediasi pengaruh stres eksternal harian pada fungsi perkawinan. Kedua, hubungan stres sehari-hari cenderung mempengaruhi kualitas perkawinan kedua sendiri dan komunikasi perkawinan mitra dan Akhirnya, bukti menunjukkan bahwa hubungan stres sehari-hari mempengaruhi kualitas perkawinan tidak hanya secara tidak langsung melalui komunikasi perkawinan, tetapi juga secara langsung (Ledermann et al. 2010). Ada hubungan positif sangat signifikan antara kualitas komunikasi dengan kepuasan istri dalam perkawinan (Altaira dan Nashori 2008). Dimensi Kepuasan perkawinan adalah evaluasi sejauh mana masing-masing pasangan perkawinan merasa menerima dari perasaan, sikap, layanan, dan barang yang dibutuhkan pasangan (Rice 1983). Kualitas perkawinan diukur dengan lima dimensi, yang terdiri dari: kepuasan, komunikasi, kebersamaan, masalah, dan perbedaan pendapat (Allendorf and Ghimire 2012). Jenis kelamin, pendidikan, pilihan pasangan, dan durasi perkawinan muncul sebagai penentu yang paling penting dari dimensi-dimensi kualitas perkawinan. Menurut Conger dan Elder (1994), kualitas perkawinan memiliki dua dimensi yakni kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan. Dimensi dari kualitas perkawinan: marital satisfaction, sexual satisfaction, marital commitment, marital adjusment, conflict, dan sexual intimacy (Veskhi et al. 2012). Nilai-nilai dan evaluasi hidup berubah selama reaksi yang terjadi dalam hidup dan pengalaman. Hidup berkualitas yaitu dengan kebahagiaan, kepuasan, kesenangan, dan kemampuan dalam mengatasi masalah (Veskhi et al. 2012)
38
Lampiran 3 Kronologi pengambilan data Awalnya penelitian ini berlokasi di Kelurahan Situ Gede dan Desa Cikarawang. Di Kelurahan Situ Gede terdapat 5 sekolah dasar, yaitu SDN Situ Gede 1, SDN Situ Gede 2, SDN Situ Gede 3, SDN Situ Gede 4, dan SDN Situ Gede 5. Sementara di Desa Cikarawang terdapat 4 sekolah dasar yaitu SDN Cangkrang, SDN Carangpulang 1, SDN Carangpulang 2, dan SDN Babakan Dramaga 2. Setelah melakukan survei untuk mengetahui jumlah anak kelas 4 dan 5 yang orang tua atau bisa salah satunya bapak/ibu bekerja sebagai petani/penggarap/buruh tani, ternyata jumlah anak tidak mencukupi. Setiap sekolah (SD) hanya ada satu sampai empat orang yang berstatus sebagai anak petani. Oleh sebab itu, lokasi penelitian ini dipindahkan ke desa Petir, kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor dengan pertimbangan jumlah anak petani di desa tersebut lebih banyak dari lokasi sebelumnya dan memenuhi syarat penelitian. Penelitian ini menggunakan metode sensus yaitu contoh yang digunakan dalam penelitian merupakan populasi yang ada. Penelitian ini melibatkan empat SD di desa petir yaitu SD Negeri 1 Petir, SD Negeri 2 Petir, SD Negeri 3 Petir, dan SD Negeri 4 Petir. Berdasakan data yang diperoleh dari setiap SD di desa Petir, jumlah anak petani di kelas 4 dan 5 berjumlah 113 responden terdiri dari 53 laki-laki dan 60 perempuan. Dengan rincian dari setiap sekolah sebagai berikut: No. 1 2 3 4
Sekolah SDN 1 Petir SDN 2 Petir SDN 3 Petir SDN 4 Petir JUMLAH
Jumlah Total Laki-laki Perempuan 14 19 33 10 5 15 6 7 13 22 30 52 52 61 113
Setelah ditanyakan langsung kepada responden baik anak atau kepada ibunya, banyak responden yang gugur atau tidak sesuai dengan kriteria penelitian. Hampir setengah responden sudah beralih pekerjaan dari petani menjadi buruh serabutan yang lain misalnya buruh bangunan, kuli panggul di pasar, sopir angkutan umum, dan pedagang. Jumlah responden yang gugur dari SDN 1 Petir sebanyak 20 anak, SDN 2 Petir sebanyak 2 anak, SDN 3 Petir sebanyak 2 anak, dan SDN 4 Petir sebanyak 32 anak. Sehingga responden yang tersisa dari kelas 4 dan 5 berjumlah 57 anak. Jumlah responden masih kurang. Oleh sebab itu, untuk menambah jumlah responden peneliti menambahkan anak petani yang duduk di kelas 3. Jumlah anak petani di kelas 3 dari semua SD di desa petir 28 responden dengan total anak petani dari kelas 3 sampai 5 berjumlah 85 responden yang terdiri dari 38 anak laki-laki dan 47 anak perempuan.
39
Lampiran 4 Data kualitatif arti keluarga Nores Arti keluarga 121 Tempat kumpul dan berlindung 122 Bahagia dan harmonis 125 Keluarga tempat berbagi suka dan duka 126 Keluarga itu tempat untuk mencurahkan kebahagiaan, harta yang tak ternilai 128 Senang dan bahagia 129 Segalanya 130 Keluarga itu rumah tangga 132 Harta yang berharga 133 Keluarga itu kebahagiaan saya 134 Keluarga itu penting, segalannya buat saya 136 Tempat mendidik anak 137 Bahagia 142 Segalanya, saling mendukung dalam kebersamaan 145 Segalanya 148 Keluarga itu sebuah anugerah 150 Keluarga merupakan tanggung jawab yang harus dijaga 155 Kebahagiaan 156 Berkah 158 Keluarga itu paling penting 164 Keluarga itu segalanya 165 Keluarga itu kebahagiaan untuk saya 168 Tempat berlindung dan sumber kebahagiaan 170 Keluarga itu penting 171 Harta yang berharga 172 Segalanya 179 Harta yang berharga 181 Harta yang berharga 182 Segalanya 185 Segalanya, susah senang bareng keluarga 188 Tempat kumpul-kumpul 191 Tempat berkumpul 193 Harta yang paling berharga 194 Tempat berbagi suka duka 203 Segalanya 206 Bahagia punya anak
Dari data di atas ditemukan arti keluarga menurut istri pada keluarga petani di Desa Petir adalah sebagai berikut: a. Harta yang paling berharga Hal yang paling penting b. c. Segalanya d. Sumber kebahagiaan e. Tempat mendidik anak-anak f. Tempat berlindung g. Tempat berbagi suka dan duka
40
Lampiran 5 Daftar responden berdasarkan tipologi relasi suami-istri dan kualitas perkawinan Relasi suami-istri Kualitas perkawinan Tipologi Nores Nilai Kategori* Nilai Kategori* (1,2,3,4)** 121 72,04 100 R T 1 122 73,12 100 R T 1 125 88,17 100 T T 2 126 65,59 33,33 R R 4 128 77,42 66,67 T R 3 129 66,67 66,67 R R 4 130 75,27 66,67 T R 3 132 79,57 100 T T 2 133 69,89 66,67 R R 4 134 82,80 66,67 T R 3 136 73,12 100 R T 1 137 67,74 66,67 R R 4 142 79,57 100 T T 2 145 77,42 100 T T 2 148 92,47 100 T T 2 150 80,65 100 T T 2 155 70,97 100 R T 1 156 79,57 66,67 T R 3 158 80,65 100 T T 2 164 66,67 100 R T 1 165 86,02 100 T T 2 168 70,97 100 R T 1 170 81,72 100 T T 2 171 72,04 100 R T 1 172 78,49 100 T T 2 179 82,80 100 T T 2 181 83,87 100 T T 2 77,42 66,67 182 T R 3 81,72 100 185 T T 2 69,89 66,67 188 R R 4 75,27 66,67 191 T R 3 83,87 100 193 T T 2 93,55 100 194 T T 2 92,47 100 203 T T 2 82,80 100 206 T T 2 Keterangan: * = R: Rendah ≤75 (skor 0-100), T: Tinggi > 75 (skor 0-100) ** = Tipe 1: Relasi suami-istri rendah kualitas perkawinan tinggi, Tipe 2: Relasi suami istri tinggi kualitas perkawinan tinggi, Tipe 3: Relasi suami istri rendah kualitas perkawinan rendah, Tipe 4: Relasi suami istri rendah kualitas perkawinan rendah
Total: Tipe 1, n= 7 (20,0%)
Tipe 2, n= 18 (51,4%) Tipe 3, n= 5 (14,3%) Tipe 4, n= 5 (14,3%)
41
Lampiran 6 Matriks korelasi pearson karakteristik keluarga, relasi suami-istri, dan kualitas perkawinan Variabel
umur suami
umur suami 1 lama pendidikan suami -0,082 umur istri 0,804** lama pendidikan istri -0,159 besar keluarga 0,544** pendapatan keluarga -0,109 per bulan relasi suami-istri 0,005 kualitas perkawinan -0,416* ** nyata pada taraf 0,01 (2-tailed). * nyata pada taraf 0,05 (2-tailed).
lama pendidikan suami
umur istri
lama pendidikan pendapatan besar keluarga relasi suami-istri istri keluarga per bulan
1 -0,224 0,370* 0,075
1 -0,512** 0,547**
1 0,306
1
0,159
-0,025
0,018
0,054
1
0,009 -0,017
-0,130 -0,210
-0,065 -0,091
0,018 -0,149
-0,172 0,002
1 0,468**
kualitas perkawinan
1
42
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Serang pada tanggal 3 Mei 1992 dari pasangan Marsyim dan Hujaenah. Penulis adalah putri ke tiga dari tiga bersaudara. Tahun 2004-2007 penulis menempuh pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Cilegon kemudian melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 KS Cilegon dan lulus SMA pada tahun 2010. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2010. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berorganisasi. Penulis menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO) Divisi Child Development Club tahun 2012-2013. Penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan seperti menjadi Bendahara Masa Perkenalan Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (MPD IKK) tahun 2012, staff Divisi Konsumsi dan Dana Usaha Family and Consumer Day tahun 2012, staff Divisi Desain, Dekorasi dan Dokumentasi (3D) Family and Consumer Day tahun 2013, dan staff Divisi Dana Usaha Hari Keluarga tahun 2013. Pada tahun 2013 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi selama kurang lebih dua bulan di Desa Curug Muncar, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan. Selain itu, penulis juga pernah menjadi relawan Peduli Kelud selama sepuluh hari di bulan Maret 2014 di Desa Ngantru, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang.