ANALISIS FUNGSI PENGASUHAN DAN INTERAKSI DALAM KELUARGA TERHADAP KUALITAS PERKAWINAN DAN KONDISI ANAK PADA KELUARGA TENAGA KERJA WANITA (TKW) (Kasus Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi)
SHELY SEPTIANA SETIONINGSIH
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRACT SHELY SEPTIANA SETIONINGSIH. Analysis of Parental Fungtion and Family’s Interaction to Marrital Quality and Child’s Conditions at Family of Migran Woman Workers. Family of Migran Woman Workers are faced disorganitation with condition that family members, especially children are separated from their mother. The separateness has consequences in changing family structure dan function of parenting. Moter have an important role in children change as main bread winner. The aim of this study was to analyze the determinant factors of marriage quality and children conditions (social competence, stress, and achievement at school) at family of Migran Woman Worker. The study was conducted at Cikahuripan, Cisolok, and Cikelat Village, Sukabumi, West Java Province in Mei 2009. The study implemented cross sectional study and retrospective study as a study design. The sample of family were chosen purposively from the chosen location. The total sample was 47 family of migrant woman workers who have school age’s child. The study used descriptive and inferensia (Corelation Rank Spearman, Independent sample t-test, and Multivariate regression) analysis that obtain from primary data (questionnaire), in-depth interview, and secondary data. The results found out that average of family income when wife as migrant woman worker were three times as many as before wife became migrant woman worker. However, more than half of children have medium stress category and low achievement at school. Three-fourth of sampeles have high marriage quality The interactions between father and child and interaction between husband and wife have positive affects to marriage quality. The length of the wife as migrant has negative affects to child’s conditions (social competence, stress, and achievement at school). However, income has significant and positive effect on the conditions of child, especially achievement because income family could afford to give facilities for study. Key words: Parenting, Family’s Interaction, Marrital Quality, Child’s Condition, Migran Woman Workers
RINGKASAN SHELY SEPTIANA SETIONINGSIH. Analisis Fungsi Pengasuhan dan Interaksi dalam Keluarga terhadap Kualitas Perkawinan dan Kondisi Anak pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Dibawah bimbingan HERIEN PUSPITAWATI). Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh fungsi pengasuhan dan interaksi dalam keluarga terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW). Adapun tujuan khususnya adalah: (1) Mengetahui karakteristik keluarga TKW; (2) Mengidentifikasi dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak; (3) Menganalisis perbedaan pengasuhan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW, pengasuhan pengganti ibu saat ini, dan pengasuhan ayah saat ini; (4) Menganalisis perbedaan interaksi antara ibu dan anak dengan interaksi antara ayah dan anak; (5) Menganalisis hubungan antara karakterisik keluarga TKW, dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak; dan (6) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga TKW. Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional study dan retrospective study dengan metode survei. Penelitian dilakukan di tiga desa yaitu Desa Cikahuripan, Cisolok, dan Cikelat, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purpossive) dengan pertimbangan Kecamatan Cisolok merupakan Kecamatan yang memiliki jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sepuluh terbanyak di Kabupaten Sukabumi. Penelitian secara keseluruhan dilakukan selama sembilan bulan, yaitu mulai bulan April 2009 sampai Januari 2010. Contoh penelitian ini adalah keluarga TKW yang istrinya sedang atau sudah pulang dari luar negeri (maksimal 3 bulan), istri pernah berangkat keluar negeri minimal 6 bulan, dan memiliki anak yang duduk di bangku sekolah dasar. Penarikan contoh menggunakan metode purposive sampling dengan teknik snowball. Jumlah contoh adalah 47 keluarga TKW. Responden penelitian adalah suami. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan bantuan kuesioner yang relevan dan melalui indepth interview untuk memperoleh informasi lebih mendalam. Data sekunder dikumpulkan dari Kantor Disnakertrans, BPS, Kantor Desa, Sekolah Dasar di Kecamatan Cisolok, dan instansi terkait di Kabupaten Sukabumi. Data yang terkumpul kemudian diolah secara deskriptif dan inferensia (uji korelasi Spearman, uji regresi linear berganda, uji beda Independent Sample T-test) dengan menggunakan program komputer Mocrosoft Excel dan SPSS 13.00 for Windows. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (74.47%) suami dan hampir seluruh (97.87%) istri termasuk dalam usia dewasa awal, sedangkan sebagian besar (85.11%) anak termasuk dalam masa kanak-kanak akhir yang terdiri dari laki-laki (59.57%) dan perempuan (40.43%). Lebih dari separuh (51.06%) keluarga contoh merupakan keluarga kecil. Persentase terbesar suami (51.06%) dan istri (85.11%) memiliki pendidikan tamat sekolah dasar. Persentase terbesar (29.79%) suami bekerja sebagai nelayan, sedangkan persentase terbesar (85.11%) istri bekerja sebagai ibu rumah tangga sebelum menjadi TKW. Ratarata pendapatan per bulan keluarga sebelum istri menjadi TKW sebesar Rp 1 138 723,00, sedangkan saat istri menjadi TKW rata-rata pendapatan perbulan
meningkat hampir tiga kali lipat menjadi Rp 3 247 670,00. Setelah menjadi TKW, aset keluarga contoh rata-rata mengalami kenaikan sebanyak 17.30 persen. Negara tujuan terbesar (61.70%) TKW adalah Arab Saudi dengan ratarata gaji per bulan sebesar Rp 1 800 000,00. Lama TKW bekerja di luar negeri berkisar antara 7 bulan sampai 10 Tahun dengan rata-rata 44.81 bulan. Hal yang memotivasi istri untuk menjadi TKW adalah agar anak dapat melanjutkan sekolah, memenuhi kebutuhan keluarga, merubah status sosial ekonomi keluarga, membangun rumah, dan menjadi perempuan mandiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh (55.32%) keluarga mendapat dukungan sosial yang tergolong kategori sedang. Sebelum ibu menjadi TKW, pengasuhan anak dilakukan oleh ibu. Setelah ibu menjadi TKW, sebanyak 25.53 persen ayah melakukan pengasuhan tanpa bantuan dari keluarga luas atau lainnya, 48.94 persen ayah melakukan pengasuhan dengan bantuan keluarga luas atau lainnya, dan 25.53 persen pengasuhan dilakukan keluarga luas. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar (78.72%) pengasuhan dimensi kehangatan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW termasuk dalam kategori tinggi. Hasil yang sama dilakukan oleh pengganti ibu dan ayah, dengan kondisi bahwa sebagian besar (74.43%) pengganti ibu dan sebagian besar (80.85%) ayah menerapkan pengasuhan dimensi kehangatan dalam kategori tinggi. Berdasarkan uji beda Independent Sampel T-test diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pengasuhan dimensi penerimaan dan pengasuhan dimensi penolakan yang dilakukan ibu, pengganti ibu, dan ayah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh (59.57%) keluarga TKW memiliki interaksi antara ibu dan anak dengan kategori sedang. Lebih dari separuh (53.19%) keluarga TKW memiliki interaksi ayah dan anak yang tergolong kategori tinggi. Hampir tiga perempat (70.21%) keluarga TKW melakukan interaksi suami dan istri dalam kategori tinggi. Hasil uji beda Independent Sampel T-test menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara komunikasi ibu dan anak (rata-rata=1.817) dengan komunikasi ayah dan anak (rata-rata=2.347). Hal serupa juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara bonding ibu dan anak (rata-rata=1.934) dengan bonding ayah dan anak (rata-rata=2.328). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas perkawinan keluarga contoh termasuk dalam kategori tinggi (78.72%). Hal serupa juga ditunjukkan untuk kebahagiaan perkawinan (65.96%) dan kepuasan perkawinan (65.69%). Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara kualitas perkawinan dengan dukungan sosial, pengasuhan penerimaan pengasuh (ibu, pengganti ibu, ayah), dan interaksi dalam keluarga (bonding ibu anak, interaksi ayah dan anak, frekuensi komunikasi ayah dan anak, dan interaksi suami dan istri). Faktor yang berpengaruh positif terhadap kualitas perkawinan adalah interaksi anak ayah dan interaksi suami istri, sedangkan yang berpengaruh negatif adalah jenis kelamin anak. Hampir dua pertiga (63.83%) anak memiliki keterampilan sosial kategori tinggi. Sebanyak 34.04 persen anak memiliki stres yang tinggi, 27.66 persen memiliki stres sedang, dan selebihnya memiliki stres rendah. Lebih dari separuh anak memiliki prestasi yang mengumpul pada satu kategori yaitu kategori hanya cukup baik. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan negatif antara interaksi ayah anak dan interaksi suami istri serta kualitas perkawinan dengan kondisi anak (keterampilan sosial, stres, prestasi akademik). Faktor yang berpengaruh positif terhadap kondisi anak (keterampilan sosial, stres, prestasi akademik) adalah pendapatan keluarga, sedangkan yang
berpengaruh negatif adalah lama ibu menjadi TKW dan interaksi ayah anak serta interaksi suami istri. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa kepergian TKW selain memberi dampak positif terhadap penambahan pendapatan keluarga, juga memberi dampak negatif terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak. Dengan demikian, sebaiknya pemerintah melakukan konseling secara berkelanjutan untuk memastikan anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dan sebaiknya pemerintah bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Organisasi Wanita lainnya untuk merubah pola pikir bahwa menjadi TKW bukan merupakan jalan terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, terutama berkaitan dengan pembentukan Sumberdaya Manusia (SDM) anak. Keterbatasan penelitian ini yaitu pemilihan contoh secara purposive dan semua variabel dijawab berdasarkan perceived (yang dirasakan) ayah, sehingga penelitian ini tidak bisa mengeneralisasi hasil pembahasan. Selain itu, perlu adanya penelitian lanjutan dengan responden anak untuk mengukur kondisi anak dan responden TKW untuk mengukur kualitas perkawinan.
ANALISIS FUNGSI PENGASUHAN DAN INTERAKSI DALAM KELUARGA TERHADAP KUALITAS PERKAWINAN DAN KONDISI ANAK PADA KELUARGA TENAGA KERJA WANITA (TKW) (Kasus di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi)
SHELY SEPTIANA SETIONINGSIH
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
DEPERTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul
Nama
: Analisis Fungsi Pengasuhan dan Interaksi dalam Keluarga terhadap Kualitas Perkawinan dan Kondisi Anak pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Kasus di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi) : Shely Septiana Setioningsih
NRP
: I24050235
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc NIP. 19621110 198603 2 001
Diketahui, Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Dr.Ir. Hartoyo, M.Sc. NIP. 19630714 198703 1 002
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banjarnegara pada Tanggal 27 September 1987. Penulis merupakan anak ke 4 dari 4 bersaudara keluarga Bapak Ahwan Setiawan dan Ibu Riyadiningsih. Pendidikan SD penulis ditempuh dari Tahun 1993 hingga 1999 di SDN 1 Kalibening. Penulis melanjutkan pendidikan tingkat pertama di SLTP N 1 Kalibening dari Tahun 1999 hingga 2002, dan setelah itu penulis melanjutkan di SMAN 1 Banjarnegara dan lulus pada Tahun 2005. Pada Tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), dengan Mayor Ilmu Keluarga dan Konsumen dan Minor Gizi Masyarakat. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, yaitu Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO) sebagai anggota Divisi Hubungan Masyarakat dan Alumni (2007-2009) dan anggota Unit Kegiatan Manusia (UKM) Lingkungan Seni Sunda (LISES) Gentra Kaheman IPB sebagai salah satu anggota tim tari (2006-sekarang). Selain itu, penulis juga aktif mengikuti beberapa kepanitiaan. Penulis berkesempatan untuk mengikuti beberapa perlombaan karya tulis. Penulis lolos dalam seleksi pendanaan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Bidang Penelitian dan Artikel Ilmiah yang didanai oleh DIKTI pada Tahun 2007 dan 2009. Pada Tahun 2009, penulis terpilih sebagai salah satu tim pembawa Misi Kebudayaan Indonesia 2009 ke Malaysia. Selama menjadi mahasiswa, penulis juga berkesempatan untuk memperoleh beasiswa Supersemar (2007-2008) dan BP- Migas (2008-2009).
PRAKATA Segala Puji dan Syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kesabaran, pengetahuan, dan kenikmatan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Fungsi Pengasuhan dan Interaksi dalam Keluarga terhadap Kualitas Perkawinan dan Kondisi Anak pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Kasus di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi)”. Satu hal yang penulis sadari bahwa penulisan dan penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan moril dan materiil berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada: 1. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc, selaku pembimbing utama yang telah mengarahkan dan memberi masukan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 2. Dr. Ir. Lilik Noor Yuliati, MSFA selaku dosen pemandu seminar hasil penelitian, Ir Melly Latifah, M.Si dan Tin Herawati, SP, M.Si selaku penguji utama yang telah memberikan koreksi, saran, dan masukan dalam rangka perbaikan skripsi ini. 3. Ir. Istiqlaliyah Muflihati selaku pembimbing akademik selama peneliti menjadi mahasiswa IKK dan Ir. Megawati Simanjuntak yang telah banyak membantu peneliti dalam proses perbaikan skripsi. 4. Seluruh Aparat Pemerintah Kabupaten Sukabumi, Aparat Pemerintah Kecamatan Cisolok, Aparat Pemerintah Desa Cisolok, Cikahurupan, dan Cikelat, khususnya Pimpinan Disnakertrans Kabupaten Sukabumi, Bapak Ade, serta Bapak Lurah Cikahuripan (Aji Troy) dan keluarga yang banyak membantu dalam proses penelitian sehingga dapat berjalan dengan lancar. 5. Keluarga tercinta, Papi dan Mami yang telah memberikan kasih sayang, dukungan dan doanya tiada henti. Semoga Allah membalas dengan surgaNya. Kakak-kakak
tersayang (Ko Adven, Mas Denny, dan Mas Dedy)
terimakasih atas kasih sayang dan perhatiannya yang tiada terkira, Mbak Atin dan Dek Tito terimakasih telah menjadi bagian baru keluarga kami dan semakin memberi warna dalam keluarga. 6. M. Arya Wicaksono yang selalu ada dan mendukung serta memberikan semangatnya. Keluarga Soedibyo (Om Soedibyo, Tante Hilda, Zia, dan Arqi)
atas semua kebaikan dan perhatiannya sehingga penulis merasa memiliki keluarga kedua disaat jauh dengan Pami, Mami, dan saudara. 7. Mb yu-mb yu ku tercinta (Wulan dan Ary); Piranha’s Family (Shinta, Lani, Nia, Cici, Mery, dan Anvina); kawan-kawan Asrama Pocut Baren atas segala peristiwa-peristiwa
yang
telah
kita
lalui
bersama,
terimakasih
telah
memberikan warna dalam hari-hari yang penuh canda, tawa, dan kasih sayang serta kebersamaannya; dan Eka Wulida Latifah terimakasih atas bantuannya dalam pengkoreksian skripsi. 8. IKK’ERS 42 atas segala perjuangan yang telah kita lewati bersama, semangat dan perhatiannya. Semoga dengan rahmat-Nya, kita diberi kemudahan dalam mencapai kesuksesan. 9. Tim dosen IKK IPB, terimakasih telah memberikan dukungan dan pengajaran terbaik, juga untuk seluruh staff IKK yang telah membantu selama perkuliahan. Serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu per satu. Terimakasih, semoga Allah membalasnya dengan hal yang lebih baik. Amin.
Bogor, Januari 2010
Shely Septiana S
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ...........................................................................................................iv DAFTAR TABEL ................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................xi PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 Latar Belakang ................................................................................................... 1 Perumusan Masalah .......................................................................................... 3 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 5 Manfaat Penelitian ............................................................................................. 5 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 7 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ............................................................................ 7 Keluarga........................................................................................................... 10 Analisis Gender dan Peran Perempuan .......................................................... 20 Dukungan Sosial .............................................................................................. 22 Pengasuhan ..................................................................................................... 23 Interaksi dalam Keluarga ................................................................................. 29 Kualitas Perkawinan ........................................................................................ 32 Kondisi Anak .................................................................................................... 38 Keterampilan Sosial ..................................................................................... 38 Stres Anak.................................................................................................... 42 Prestasi Akademik ....................................................................................... 43 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................... 46 METODE PENELITIAN ....................................................................................... 48 Disain, Tempat, dan Waktu.............................................................................. 48 iv
Contoh dan Teknik Penarikan Contoh ............................................................. 48 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 49 Pengolahan dan Analisis Data ......................................................................... 50 Definisi Operasional ......................................................................................... 52 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 55 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................................ 55 Karakteristik Keluarga ...................................................................................... 57 Karakteristik Anak ............................................................................................ 68 Dukungan Sosial .............................................................................................. 68 Fungsi Pengasuhan Anak ................................................................................ 71 Interaksi dalam Keluarga ................................................................................. 76 Kualitas Perkawinan ........................................................................................ 84 Kondisi Anak .................................................................................................... 88 Keterampilan Sosial ..................................................................................... 88 Stres Anak.................................................................................................... 89 Prestasi Akademik ....................................................................................... 90 Hubungan Antara Variabel-Variabel Penelitian ............................................... 92 Hubungan Dukungan Sosial dengan Karakteristik Keluarga ....................... 92 Hubungan antara Pengasuhan Anak dengan Karakteristik Keluarga dan Dukungan Sosial .......................................................................................... 93 Hubungan antara Interaksi Keluarga dengan Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, dan Pengasuhan ............................................................. 96 Hubungan Antara Kualitas Perkawinan dengan Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, Pengasuhan, Interaksi Keluarga ................................... 101 Hubungan Antara Kondisi Anak dengan Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, Pengasuhan, Interaksi Keluarga, dan Kualitas Perkawinan ........... 105 Garis Besar Hasil Uji Hubungan antar Variabel Penelitian ............................ 111 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Perkawinan dan Kondisi Anak .. 113 v
Faktor –faktor yang Mempengaruhi Kualitas Perkawinan .......................... 113 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kondisi Anak ....................................... 115 Pembahasan Umum ...................................................................................... 117 Keterbatasan Penelitian ................................................................................. 119 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 120 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 123 LAMPIRAN ........................................................................................................ 129
vi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Sukabumi Tahun 2005-2007 .................... 4 Tabel 2 Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan dan negara Tahun 2006............................................................................................. 9 Tabel 3 Fungsi keluarga dari berbagai sumber ................................................... 16 Tabel 4 Jenis data, peubah, contoh, alat dan cara pengukuran, skala data, jumlah item pertanyaan, dan chronbah alpha (α) ................................. 50 Tabel 5 Sebaran contoh (%) berdasarkan umur orangtua (n=47) ....................... 57 Tabel 6 Sebaran contoh (%) berdasarkan besar keluarga (n=47) ...................... 58 Tabel 7 Sebaran contoh (%) berdasarkan tingkat pendidikan suami dan istri (n=47) ................................................................................................... 58 Tabel 8 Sebaran contoh (%) berdasarkan pekerjaan suami dan istri sebelum menjadi TKW (n=47) ............................................................................. 59 Tabel 9 Sebaran contoh (%) berdasarkan pendapaan keluarga per bulan (n=47) .............................................................................................................. 60 Tabel 10 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori pendapatan perkapita per bulan (n=47) ......................................................................................... 60 Tabel 11 Sebaran contoh (%) berdasarakan negara tujuan dan rata-rata gaji TKW (n=47) .......................................................................................... 63 Tabel 12 Sebaran contoh (%) berdasarkan lama istri menjadi TKW (n=47) ....... 64 Tabel 13 Sebaran contoh (%) berdasarkan persepsi suami terhadap motivasi istri menjadi TKW (n=47) ............................................................................. 66 Tabel 14 Sebaran contoh (%) berdasarkan umur anak (n=47) ........................... 68 Tabel 16 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategorti dukungan sosial (n=47) ... 71 Tabel 17 Sebaran contoh (%) berdasarkan pengasuh anak (n=47) ................... 72 Tabel 18 Hasil uji beda pengasuhan dimensi penerimaan (acceptance) oleh pengasuh .............................................................................................. 73 Tabel 20 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori pengasuhan dimensi kehangatan ........................................................................................... 75
vii
Tabel 21 Sebaran contoh (%) berdasarkan komunikasi antara ibu dan keluarga (n=47) ................................................................................................... 76 Tabel 22 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi ibu dan anak (n=47) .............................................................................................................. 79 Tabel 23 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi ayah dan anak (n=47) ................................................................................................... 81 Tabel 24 Sebaran contoh (%) berdasarkan frekuensi komunikasi ayah dan anak (n=47) ................................................................................................... 81 Tabel 25 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori frekuensi komunikasi ayah dan anak (n=47) ................................................................................... 82 Tabel 26 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi suami istri (n=47) 83 Tabel 27 Hasil uji beda interaksi anggota keluarga ............................................. 84 Tabel 28 Sebaran contoh (%) berdasarkan kualitas perkawinan (n=47) ............ 86 Tabel 29 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori kualitas perkawinan (n=47) .............................................................................................................. 88 Tabel 30 Sebaran contoh (%) berdasarkan keterampilan sosial anak (n=47) .... 89 Tabel 31 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori keterampilan sosial anak (n=47) ................................................................................................... 89 Tabel 32 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori stres anak ......................... 90 Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik anak (n=45) ............. 91 Tabel 35 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dan dukungan sosial .............................................................................................................. 93 Tabel 36 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan pengasuhan .............................................................................................................. 94 Tabel 37 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial dengan pengasuhan anak .............................................................................................................. 95 Tabel 38 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan interaksi keluarga ................................................................................................ 96 Tabel 39 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial dengan interaksi keluarga .............................................................................................................. 98 Tabel 40 Hasil uji korelasi Spearman pengasuhan anak terhadap interaksi keluarga .............................................................................................. 100
viii
Tabel 41 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan kualitas perkawinan ......................................................................................... 101 Tabel 42 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial dengan kualitas perkawinan ......................................................................................... 102 Tabel 43 Hasil uji korelasi Spearman pengasuhan anak dengan kualitas perkawinan ......................................................................................... 103 Tabel 44 Hasil uji korelasi Spearman interaksi keluarga dengan kualitas perkawinan ......................................................................................... 105 Tabel 45 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan kondisi anak ............................................................................................................ 106 Tabel 46 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial terhadap kondisi anak . 106 Tabel 47 Hasil uji korelasi Spearman pengasuhan anak dengan kondisi anak 108 Tabel 48 Hasil uji korelasi Spearman interkasi keluarga dengan kondisi anak . 109 Tabel 49 Hasil uji korelasi Spearman kualitas perkawinan dengan kondisi anak ............................................................................................................ 110 Tabel 50 Hasil uji korelasi Spearman antar variabel penelitian ......................... 113 Tabel 51 Hasil uji regresi linear berganda variabel yang berpengaruh terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak ................................................ 114
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1 Kerangka konseptual prinsip pengasuhan pada teori parental acceptance-rejection............................................................................. 26 Gambar 2 Kerangka pemikiran............................................................................ 47 Gambar 3. Metode penarikan contoh .................................................................. 49
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 Kepemilikan aset sebelum dan setelah istri menjadi TKW (n=47) . 130 Lampiran 2 Keadaan tempat tinggal sebelum dan setelah istri menjadi TKW (n=47) ................................................................................................. 130 Lampiran 3 Frekuensi Makan pada Keluarga Saat ini....................................... 131 Lampiran 4 Pengasuhan Penerimaan Ibu (Pra TKW), Pengganti Ibu (Saat TKW), Ayah (Saat TKW) ................................................................................ 132 Lampiran 5 Pengasuhan Penolakan Ibu (Pra TKW), Pengganti Ibu (Saat TKW), Ayah (Saat TKW) ................................................................................ 133 Lampiran 6 Komunikasi Ibu dan anak (n=47).................................................... 134 Lampiran 7 Bonding Ibu dan anak (n=47) ......................................................... 135 Lampiran 8 Komunikasi ayah dan anak (n=47) ................................................. 136 Lampiran 9 Bonding ayah dan anak (n=47) ...................................................... 137 Lampiran 10 Komunikasi suami dan istri (n=47) ............................................... 138 Lampiran 11 Bonding suami dan istri (n=47) ..................................................... 138 Lampiran 12 Stres Anak (n=47) ........................................................................ 139 Lampiran 13 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penerimaan (Acceptance) oleh Ibu (Pra TKW) dan Pengganti Ibu (Saat TKW) ..... 140 Lampiran 14 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penerimaan (Acceptance) oleh Ibu (Pra TKW) dan Ayah (Saat TKW) ................... 142 Lampiran 15 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penerimaan (Acceptance) oleh Pengganti Ibu (Saat TKW) dan Ayah (saat TKW) 144 Lampiran 16 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penolakan (Rejection) oleh Ibu (Pra TKW) dan Pengganti Ibu (Saat TKW) ......... 146 Lampiran 17 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penolakan (Rejection) oleh Ibu (Pra TKW) dan Ayah (Saat TKW) ....................... 148 Lampiran 18 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Pengasuhan Penolakan (Rejection) oleh Pengganti Ibu (Saat TKW) dan Ayah (saat TKW) .... 150 Lampiran 19 Hasil Uji Beda Independent Sample T-test Interaksi Ibu-Anak dan Ayah-Anak .......................................................................................... 152 Lampiran 20 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Perkawinan ........................ 154 xi
Lampiran 21 Faktor yang Mempengaruhi Kondisi Anak (Keterampilan Sosial, Stres, Prestasi Akademik) .................................................................. 156 Lampiran 22 Hasil Wawancara Mendalam (Data Kualitatif) .............................. 159
xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang Krisis moneter yang melanda Indonesia pada Tahun 1997 meningkatkan angka kemiskinan dan angka pengangguran. Jumlah penduduk miskin selama periode 1996-2006 berfluktuasi dari tahun ke tahun, yaitu 34.01 juta jiwa pada Tahun 1996 menjadi 39.05 juta jiwa pada Tahun 2006 (BPS 2006). Begitu pula angka pengangguran terbuka meningkat tajam dari 4.280 orang pada Tahun 1997 menjadi 10,93 juta orang pada Tahun 2006 (Antara 2007). Salah
satu
penanggulangan
yang
dilakukan
pemerintah
dalam
menangani masalah kemiskinan dan pengangguran tersebut yaitu dengan memfasilitasi permintaan tenaga kerja ke luar negeri. Program pemerintah tersebut tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, yang isinya bahwa penempatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaanya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan hukum nasional. Dalam program Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah 2004-2009, pemerintah menargetkan peningkatan ekspor TKI dari hampir 700.000 orang pada Tahun 2006 menjadi 1 juta orang per tahun hingga Tahun 2009. Demikian pula target negara tujuan akan diperluas dari 11 negara menjadi 25 negara (Subkhan 2007). Kebijakan penempatan tenaga kerja ke luar negeri tersebut memberikan dampak positif antara lain menambah devisa negara terutama daerah asal TKI dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Berdasarkan data Pusat Penelitian dan Informasi (Puslitfo) BNP2TKI (2008), pemasukan devisa dari TKI (remitansi) sepanjang Tahun 2008 naik sebesar 37,3 persen bila dibanding Tahun 2007 yaitu mencapai 8,24 milyar dolar AS (Rp 80,24 trilyun). Devisa dari TKI ini merupakan devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas. Selain dampak positif, pekerjaan sebagai TKI juga memiliki berbagai resiko. Saat ini terdapat 3,8 juta TKI yang bekerja di 27 negara penempatan. Sekitar 70 persen dari jumlah TKI itu adalah perempuan yang rentan terhadap
2 masalah (Subkhan 2007). Menurut data Depnakertrans, sepanjang Tahun 2006 kumulatif kasus TKI-TKW mencapai 1.091 kasus dengan rincian kasus: gaji tak dibayar 371 kasus, pelecehan seksual 29 kasus, penganiayaan 88 kasus, kecelakaan kerja 29 kasus, PHK 140 kasus, sakit 124 kasus, putus komunikasi 253 kasus, kriminal 12 kasus, dan gagal berangkat 45 kasus (Fereshti 2007). Dampak negatif lain akibat dari kepergian Tenaga Kerja Indonesia (TKI), terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang relatif lama menyebabkan adanya perubahan struktur keluarga dan fungsi pengasuhan anak. Sistem keluarga Indonesia menganut sistem patriarki yang menganggap laki-laki atau suami sebagai pencari nafkah utama (main bread winner). Namun demikian dengan adanya kepergian istri menyebabkan terjadinya pergeseran peran dalam keluarga dengan kondisi peran istri sebagai pencari nafkah utama (main bread winner). Blood (1972) diacu dalam Luthfiyasari (2004) menyebutkan beberapa akibat yang mungkin terjadi dari keterpisahan anggota keluarga dan perubahan keberfungsian keluarga antara lain berkurangnya intensitas komunikasi, melemahnya
ikatan
kekerabatan,
goyahnya
stabilitas
keluarga
serta
melonggarnya keterikatan moral terhadap budaya setempat. Pengamatan yang dilakukan oleh Pratama dkk Tahun 2003 di Desa Paciran, Lamongan, Jawa Timur melaporkan bahwa berdasarkan data dari KUA setempat antara Tahun 2000 sampai 2003 angka perceraian rata-rata bertambah dua kali lipat dibanding kurun waktu sebelumnya. Data ini menunjukkan, hampir 60 persen kasus perceraian diakibatkan pengaruh TKI yang bekerja di luar negeri. Faktor penyebab, antara lain persoalan ekonomi, perselingkuhan, pengaruh dukungan sosial dari pihak luar, atau menikah diam-diam di bawah tangan. Dari penelitian ini terungkap, hampir 75 persen penyebab perceraian pada keluarga TKI/TKW adalah perselingkuhan, suami menikah lagi dengan perempuan lain, dan hamil dari suami yang tidak jelas keberadaannya (Republika 2004). Selain berdampak pada hubungan pasangan suami istri, perpisahan ibu dan keluarga juga berdampak kepada kondisi anak. Perpisahan antara ibu dan anak dalam jangka waktu yang relatif lama dapat merenggangkan bonding antara anak dan ibu sehingga menyebabkan tidak terbangunnya basic trust dan menimbulkan kesulitan-kesulitan tingkah laku dalam perkembangan kepribadian anak selanjutnya (Gunarsa 2003). Basic trust dan kepribadian anak merupakan
3 landasan dalam perkembangan sosial anak untuk dapat menjalin hubungan dengan orang lain. Kasus jumlah anak terlantar di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang terdata di Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) NTB hingga Tahun 2008 mencapai 227.633 jiwa. Dalam kurun yang sama tercatat sebanyak 24.705 anak berusia di bawah lima Tahun (Balita) dan anak usia 5-18 tahun terkategori terlantar. Tingginya jumlah anak terlantar di NTB tidak lepas dari masalah kemiskinan dan animo masyarakat NTB menjadi TKI di luar negeri yang sangat tinggi, sebab biasanya para TKI menitipkan anak–anaknya ke kerabat atau tetangga ketika kedua orangtuanya bekerja di luar negeri (BKKBN NTB 2009). Kasus di SMPN 1 Panceng Gresik terdapat sekitar 20 persen siswanya merupakan anak TKI yang menunjukkan adanya kegiatan belajar siswa di rumah yang terabaikan dan peningkatan kenakalan siswa karena kurang kasih sayang dari orangtuanya (Jawa Pos 2008). Keuntungan ekonomi dari TKI berupa pendapatan yang tinggi tidak sebanding dengan social cost yang harus dibayar selama kepergian dan setelah kepulangan TKW. Keutuhan keluarga yang dipertaruhkan serta generasi penerus bangsa yang harus dikorbankan merupakan hal yang harus ditanggung keluarga serta negara. Dengan demikian, sangat menarik untuk diteliti mengenai siapa pengganti pengasuhan anak selama ibu menjadi TKW dan bagaimana cara mengasuhnya serta resiko apa yang ditanggung oleh keluarga TKW berkaitan dengan kualitas perkawinan dan kondisi anak.
Perumusan Masalah Kabupaten Sukabumi sebagai kabupaten terluas se-Jawa dan Bali, yaitu dengan luas 412.799,54 Ha (BPS 2008) memiliki jumlah penduduk yang relatif banyak. Hal ini memberikan tantangan tersendiri bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi untuk meminimalkan tingkat pengangguran yang kian meningkat dengan makin bertambahnya penduduk. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Sukabumi Tahun 2005-2007 dapat dilihat pada Tabel 1.
4 Tabel 1 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Sukabumi Tahun 2005-2007 Tahun 2005 2006 2007
Indikator Ketenagakerjaan TPAK TPT Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan 76.59 9.55 31.9 11.04 75.83 8.04 30.54 6.99 85.45 10.94 42.34 10.66
Total Laki-laki 54.31 53.99 64.77
Perempuan 10.3 7.54 10.85
Sumber: Susenas 2005-2007 dalam BPS Kabupaten Sukabumi 2007 Terbatasnya kesempatan kerja di bidang formal, mendorong banyaknya penduduk Kabupaten Sukabumi untuk bekerja sebagai TKI. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 13 Tahun 2005 tentang pengerahan calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri asal Kabupaten Sukabumi menyebutkan bahwa penempatan dan perlindungan calon TKI (Tenaga Kerja Indonesia) bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya. Sepanjang Tahun 2007, terdapat 2.601 orang yang menjadi TKW di Kabupaten Sukabumi (BPS 2008). Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sukabumi, dari 15.847 TKI asal Kabupaten Sukabumi, yang tercatat di Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sukabumi hanya 100 orang (Tempointeraktif 2004). Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara data dengan fakta di lapangan artinya bahwa TKI illegal jauh lebih banyak bila dibanding dengan TKI legal. Acep Basnasah mengatakan bahwa jumlah TKI asal Kabupaten Sukabumi yang bekerja di luar negeri hingga awal Tahun 2008 mencapai 26.000 orang lebih (Antara 2008). Remitansi TKI Kabupaten Sukabumi Tahun 2007 mencapai 501 milyar rupiah. Namun disisi lain akibat kepergian istri menjadi TKW banyak ditemukan suami yang harus memegang peran ganda dalam keluarga dan banyak anakanak yang tumbuh dan berkembang dibawah pengawasan nenek atau keluarga besar lainnya, sedangkan nenek atau keluarga besar lainnya mungkin mempunyai gaya pengasuhan yang berbeda dengan ibu. Berdasarkan identifikasi dan latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah: (1) Bagaimana karakteristik keluarga TKW; (2) Seberapa besar dukungan sosial yang diterima keluarga TKW, fungsi pengasuhan terhadap anak, interaksi yang terjadi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak selama istri/ibu bekerja di luar negeri?; (3) Apakah terdapat perbedaan pengasuhan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW, pengganti ibu
5 saat ini, dan ayah saat ini; (4) Apakah terdapat perbedaan antara interaksi antara ibu dan anak dengan interaksi ayah dan anak; (5) Apakah terdapat hubungan antara karakterisik keluarga TKW, dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak?; (6) Faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga TKW?.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fungsi pengasuhan dan interaksi dalam keluarga terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW). Tujuan Khusus 1. Mengetahui karakteristik keluarga TKW. 2. Mengidentifikasi dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak. 3. Menganalisis perbedaan pengasuhan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW, pengasuhan pengganti ibu saat ini, dan pengasuhan ayah saat ini 4. Menganalisis perbedaan interaksi antara ibu dan anak dengan interaksi antara ayah dan anak 5. Menganalisis hubungan antara karakterisik keluarga TKW, dukungan sosial, fungsi pengasuhan, interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan, dan kondisi anak. 6. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perkawinan dan kondisi anak pada keluarga TKW.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi bagi masyarakat mengenai dampak positif dan negatif terhadap keluarga akibat kepergian istri/ibu menjadi TKW sehingga dapat menentukan langkah yang tepat dalam mengambil keputusan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu keluarga dan menjadi landasan bagi pengembangan penelitian-penelitian sejenis dimasa yang akan datang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi lembaga terkait seperti lembaga perencana dan pengembangan program pembangunan keluarga. Selain itu juga menjadi sumber informasi dan referensi
6 dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan kehidupan keluarga dengan mempertimbangkan keuntungan ekonomi dan social cost yang harus dibayar sehingga dapat menetapkan kebijakan yang bersifat holistik dan solutif. Keterbatasan penelitian ini adalah mengukur semua variabel penelitian berdasarkan pengalaman yang dirasakan oleh suami (husband’s perceived). Dalam melakukan penelitian, metode seperti ini memang diperbolehkan namun ada kelemahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan responden TKW untuk mengukur variabel kualitas perkawinan dan responden anak TKW untuk mengukur variabel interaksi anak dengan orangtua, keterampilan sosial, dan stres yang dialami anak.
TINJAUAN PUSTAKA
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Menurut Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 Pasal 1 mengenai penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI bertujuan untuk: (1) Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; (2) Menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negeri, di negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal; (3) Meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan dan negara tujuan Tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 2. Hampir 80 persen TKI yang dikirim adalah TKW yang tidak terdidik dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Diketahui bahwa hampir 100 persen TKI yang bekerja di Singapura, 93 persen di Arab Saudi, dan 94 persen di Hongkong adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW). Profil TKI menyajikan adanya data berdasarkan tingkat pendidikan yaitu dari 106.28 juta angkatan kerja berdasarkan Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2006, sebanyak 53.13 persen (56.47 juta) hanya tamatan SD ke bawah, sebanyak 20.61 persen (21.97 juta) lulusan SLTP, 20.64 persen (21.93 juta) lulusan SLTA, sedangkan yang pernah belajar di perguruan tinggi hanya 5.62 persen (5.97 juta) dengan kondisi 2.44 juta orang di antaranya mendapat pendidikan diploma dan sisanya sarjana (S1) (Samhadi 2007). Hal tersebut tentunya juga berdampak pada pekerjaan yang ditekuni TKI. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nusa Tenggara Barat mengatakan sekitar 97 persen dari jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal NTB yang bekerja di luar negeri merupakan tenaga tidak trampil (BNP2TKI 2010). Permasalahan-permasalahan selama masa penempatan yang banyak dialamai TKI/TKW antara lain: 1) Dijebak menjadi pelacur di daerah transit, 2) Diperjualbelikan antar agency di luar negeri, 3) Jenis pekerjaan tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja (PK), 4) Jam kerja melampaui batas, tanpa ada uang lembur, 5) Tidak memegang dokumen apapun karena semua dokumen ditahan majikan, 6) Dilarang berkomunikasi dengan orang lain termasuk dengan keluarga, 7) Akomodasi dan makanan di rumah majikan tidak memadai, 8)
8 Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram (daging babi), 9) Gaji dipotong oleh PPTKIS bekerjasama dengan agency yang besarnya melampui ketentuan, 10) Gaji tidak dibayar, 11) Memperpanjang kontrak kerja tidak ijin dari keluarga dan menggunakan kontrak kerja yang lama, 12) Punggutan yang tinggi oleh agency saat perpanjangan kontrak kerja, 13) Disiksa, dianiaya, makan makanan basi dan bekas, diperkosa oleh majikan atau oleh pegawai agency, 14) Dipenjara dengan berbagai rekayasa tuduhan, 15) Bunuh diri atau membunuh atau melakukan tindakan pidana lainnya atau karena putus asa akibat perlakuan buruk majikan/agency, 16) Disekap oleh majikan atau agency, 17) Mengalami PHK sepihak dan dipulangkan majikan tanpa diberikan hak-haknya, 18) Dipulangkan sepihak oleh agency setelah usai masa pemotongan gaji oleh agency, sehingga tak pernah menerima gaji penuh, 19) Penipuan dengan modus medikal yang direkayasa dan akhirnya dipulangkan karena dianggap tidak fit, 20) Mengadu ke Polisi tetapi “dikembalikan” kepada agency/tekong, yang kemudian oleh agency/tekong dipekerjakan secara illegal, digaji murah atau tidak digaji, bahkan dilacurkan, 21) Dideportasi tetapi tidak pernah sampai di rumah ditangkap oleh calo kemudian diberangkatkan kembali ke luar negeri secara illegal, 22) Pihak aparat KBRI/Konjen RI yang tidak mau membela dan menelantarkan, 23) Penyelesaian kasus tidak tuntas dan dipulangkan karena lamanya proses penyelesaian kasus, 24) Dikenai punggutan oleh aparat KBRI/Konjen RI di luar negeri dengan berbagai dalih, 25) Ketiadaan dan lambannya informasi untuk keluarga jika mengalami sakit, di penjara atau meninggal dunia, 26) Sebelum dipulangkan dipaksa menandatangi surat yang kemudian diketahui isinya adalah pernyataan telah menerima gaji, padahal gajinya belum dibayar/tidak diberikan dan surat pernyataan tersebut ditulis dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh TKI (BNP2TKI 2008). Permasalahan-permasalahan yang dialami TKI sering mendatangkan gangguan psikis tersendiri. Untuk menangani gangguan psikis para TKI yang pulang ke Tanah Air ini, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) telah mendirikan Klinik Psikologi bagi TKI dengan praktek kerja selama 24 jam di Gedung Pendataan Kepulangan (GPK) TKI, Selapajang, Tangerang. Data menunjukkan bahwa selama kurun waktu Januari sampai Oktober 2009, terdapat 554 TKI (14 laki-laki dan 540 perempuan) yang menderita sakit baik fisik maupun psikologis. Diantara jumlah 554 TKI itu, 378 TKI sudah diterapi karena mengalami gangguan psikis (BNP2TKI 2010).
Tabel 2 Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan dan negara Tahun 2006 NEGARA PENEMPATAN Malaysia Singapura Brunai D Hong Kong Taiwan Korea Selatan Jepang Lain-lain SUBTOTAL
FORMAL L P 101600 60336 6 530 1530 427 152 2216 1540 2613 487 26 107991 63472
Saudi Arabia UEA/Ad Dhabi Kuwait Bahrain Qatar Oman Yordania Lain-lain SUBTOTAL TOTAL
3127 162 47 57 1659 4 3 5059 11305
983 19 2 2 26 14 1046 64518
161936 536 1957 152 3756 3100 26 171463
NON FORMAL L P 5992 102171 8539 1 822 13 13448 340 23994 13 8 5 2 6364 148984
4110 181 49 59 1685 4 17 6105 177568
18615 73 28 4 142 4 12 18876 25242
TF
284702 15240 14648 422 3217 3519 6456 2 328206 477190
108163 8539 823 13461 24334 21 7 155348
JENIS KELAMIN L P 107592 162507 6 9069 1531 1249 13 13600 2556 25534 2613 487 13 8 31 2 114355 212456
270099 9075 2780 13613 28090 3100 21 33 326811
303317 15313 14676 426 3359 3523 6468 2 347084 502432
21742 235 75 61 1801 8 12 3 23937 138292
307427 15494 14725 485 5044 3527 6468 19 353189 680000
TNF
285685 15259 14650 424 3243 3519 6456 16 329252 541708
T
Sumber: Direktorat Jendral PPTKLN-Depnakertrans Keterangan: L : Laki-laki P : Perempuan TF : Total Formal TNF : Total Non Formal T : Total
9
10 Keluarga
Definisi Keluarga UU Nomor 10 Tahun 1992, mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut Melson (1980), keluarga adalah kelompok dari individu-individu yang mencari pemaksimalan sumberdaya materi dan fisik agar mencapai tujuan personal dan kelompok. Saxton (1990) mengartikan keluarga sebagai hubungan antara dua atau lebih orang melalui kelahiran, adopsi, atau perkawinan dan hidup dalam satu rumahtangga. Keluarga dipandang sebagai: 1) Suatu sistem interaksi antar anggota keluarga, 2) Suatu seri interaksi yang dilakukan dua pihak (dyadic), 3) Sejumlah interaksi antara seluruh sub kelompok asosiasi lainnya, keluarga memiliki “daya hidup” lebih lama, serta hubungan biologis dan intergenerasi yang berkaitan dengan ikatan kekerabatan yang lebih luas (Klein & White 1996 dalam Puspitawati 2006). Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan. Membangun keluarga sejahtera pada hakekatnya tidak saja mengentaskan keluarga dari kemiskinan harta atau kebutuhan fisik semata, namun juga kebutuhan lainnya yang mencakup sosial psikologis dan pengembangan diri untuk jangka waktu lebih lama (Anonim 1996).
Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Para sosiolog ternama seperti William F. Ogburn dan Talcott Parsons mengembangkan pendekatan struktural-fungsional dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial dan masing-masing akan memiliki fungsinya sendiri. Perbedaan fungsi tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan, tetapi untuk mencapai tujuan bersama. Struktur dan fungsi yang terbentuk tidak akan pernah lepas dari pengaruh budaya, norma, dan nilai sosial yang melandasi sistem masyarakat (Megawangi 1999).
11 Menurut Megawangi (1999), ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu mengacu pada: 1. Status sosial; keluarga inti terdiri dari tiga unsur utama yaitu bapak/suami (pencari nafkah), ibu/istri (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah, remaja, dewasa) serta hubungan timbal balik antar individu dengan status sosial berbeda. 2. Konsep peran sosial; menggambarkan peran dari masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem sosial. Diferensiasi peran ini diharapkan dapat menuju suatu sistem keseimbangan (equilibrium tendency). 3. Norma sosial; peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Norma sosial berasal dari masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi setiap keluarga dapat mempunyai norma sosial yang spesifik untuk keluarga tersebut, misalnya norma sosial dalam pembagian tugas rumah tangga, yang merupakan bagian struktur keluarga untuk mengatur tingkah laku setiap anggota keluarganya. Levy (Megawangi 1999) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang peranannya tidak dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena adanya kesempatan siapa yang akan memerankan tugas apa. Apabila terjadi, maka keberadaan institusi keluarga tidak akan berkesinambungan. Persyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi antara lain: (1) Diferensiasi peran dari serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur, gender, generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor. (2) Alokasi solidaritas yang berkaitan dengan distribusi relasi antar anggota keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antar anggota, misalnya keterikatan emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Misalnya hubungan antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan suami
12 dan istri pada suatu budaya tertentu. Intensitas adalah kedalaman relasi antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan. (3) Alokasi ekonomi yang berkaitan dengan distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Diferensiasi tugas juga ada dalam hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga. (4) Alokasi politik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggungjawab atas tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan. (5) Alokasi integrasi dan ekspresi yang berkaitan dengan distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntunan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.
Peran dan Fungsi Keluarga serta Perubahannya Keluarga sebagai sebuah sistem mempunyai tugas dan fungsi dalam hal menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Menurut seorang profesor ilmu jiwa bernama Lidz, diferensiasi peran adalah sesuatu yang alamiah, yang sesuai dengan determinasi biologis dan psikologis manusia (Megawangi 1999). Peran didefinisikan sebagai persepsi tingkahlaku interpersonal yang dihubungkan dengan pengakuan masyarakat akan diri seseorang (Kammeyer 1987). Peran juga dapat diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan seseorang sesuai dengan kedudukannya. Parson dan Bales (Megawangi 1999) menyatakan bahwa peran orangtua dalam keluarga meliputi peran instrumental yang dilakukan oleh suami atau bapak, dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur istri atau ibu. Peran instrumental dikaitkan dengan peran mencari nafkah untuk kelangsungan hidup seluruh keluarga. Peran ini lebih memfokuskan pada bagaimana keluarga menghadapi situasi eksternal. Dalam keluarga inti, suami sebagai pencari nafkah diharapkan memerankan peran ini agar tujuan keluarga secara keseluruhan dapat tercapai. Peran emosional ekspresif adalah peran pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang. Peran ini bertujuan untuk mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis dalam keluarga, serta meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi sosial antar
13 anggota keluarga atau antar individu di luar keluarga. Istri diharapkan berperan membawa kedamaian agar integrasi dan keharmonisan dalam keluarga dapat tercapai. Pembagian peran ekspresif dan instrumental menurut Kammeyer (1987) dikaitkan dengan stereotip feminin dan maskulin seseorang. Wanita selalu distereotipkan sebagai orang yang penuh emosional, perhatian dan pengasuhan, lebih simpati, sensitif, mudah terharu, dan peduli terhadap orang lain dan mampu memberikan dorongan sehingga cocok untuk melakukan peran ekspresif. Shaver and Freedman (1976), Lunneborg and Rosenwood (1972), dan Bardwick (1971) dalam Saxton (1990) berpendapat sama bahwa orang yang berperan sebagai caretaker adalah orang yang memiliki karakter feminin dan bertindak sebagai tenderness, compassion, dan penuh pengertian. Karakteristik feminin selalu ditemukan pada perempuan dan karakter ini lebih banyak ditemukan pada perempuan daripada laki-laki. Menurut
BKKBN
(1996),
delapan
fungsi
keluarga
dalam
Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera adalah sebagai berikut: (1) Fungsi Keagamaan, dalam keluarga dan anggotanya didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai persemaian nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan-insan agamis yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. (2) Fungsi Sosial Budaya, memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan. (3) Fungsi Cinta Kasih, dalam keluarga akan memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orangtua dengan anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga sebagai wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh kasih lahir dan batin. (4) Fungsi Melindungi, keluarga adalah wahana utama yang memberikan rasa aman dan nyaman serta kehangatan bagi seluruh anggota, anak, istri maupun suami (5) Fungsi Reproduksi, merupakan mekanisme melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan taqwa.
14 (6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang. (7) Fungsi Ekonomi, mengembangkan kemampuan ekonomi keluarga agar semua anggota mampu mengembangkan kemampuan ekonominya untuk mandiri sehingga dapat mendukung ketahanan keluarga. (8) Fungsi Pembinaan Lingkungan, memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis. Keluarga inti, sebagai kelompok primer yang terikat oleh hubungan intim mempunyai fungsi-fungsi utama yang meliputi (Munandar 1985): (1) Pemberian afeksi, dukungan dan persahabatan (2) Memproduksi dan membesarkan anak (3) Meneruskan norma-norma kebudayaan, agama dan moral pada yang muda (4) Mengembangkan kepribadian (5) Membagi dan melaksanakan tugas-tugas di dalam keluarga maupun diluarnya Menurut Guhardja dkk (1992), keluarga bertanggung jawab dalam menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan anggota-anggotanya. Dengan demikian pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan, tumbuh dan berkembang perlu tersedia, yaitu: (1) Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk perkembangan fisik dan sosial. (2) Kebutuhan
akan
pendidikan
formal,
informal
dan
nonformal
untuk
pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual. Menurut
Maryam (2007) ada
persamaan beberapa fungsi yang
dikemukakan oleh Rice dan Tucker dengan PP No. 21 Tahun 1994 yaitu: (1) Sebagai mekanisme procreation yaitu mengadakan keturunan yang selanjutnya menurunkan eksistensi masyarakat sebagai satu kesatuan, (2) Memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi anggota keluarganya mulai sandang, pangan, perlindungan, pendidikan, kesehatan, serta kebutuhan emosional lainya, dan (3) Memberikan peran sosial dan keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat dan keikutsertaannya dalam mengabdikan normanorma sosial dan keagamaan melalui interaksi anak-anak dan orangtua dalam
15 keluarga dan interaksi keluarga dengan masyarakat serta interaksi dengan Yang Maha Pencipta. Perbedaan dari fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas terletak peran orangtua (ayah dan ibu) untuk menjalankan fungsi keluarga. Parson dan Bales membagi dengan jelas fungsi keluarga menjadi dua yaitu fungsi instrumental dan fungsi ekspresif. Fungsi instrumental yang diperankan oleh ayah dan fungsi ekspresif yang diperankan oleh ibu. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 tidak membagi dengan jelas masing-masing fungsi keluarga kedalam peran ayah dan ibu, sehingga untuk menjalankan semua fungsi tersebut dilakukan bersama-sama. Berikut ini disajikan Tabel 3 yang menjelaskan fungsi keluarga dari berbagai sumber (Sunarti 2003).
Tabel 3 Fungsi keluarga dari berbagai sumber BKKBN (1992)
United Nation (1993)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
1. Pengukuhan ikatan suami istri 2. Proteksi dan hubungan sosial 3. Sosialisasi dan pendidikan anak 4. Pemberian hak asasi manusia dan status 5. Perawatan dasar anak (dan lanjut usia) 6. Rekreasi dan perawatan emosi 7. Pertukaran barang dan jasa
Keagamaan Sosial budaya Cinta kasih Melindungi Reproduksi Sosial dan pendidikan 7. Ekonomi 8. Pembinaan lingkungan
Mattesich & Hill dalam Zeitlin et al. (1995) 1. Pemeliharaan fisik 2. Sosialisasi dan pendidikan 3. Akuisisi anggota keluarga baru melalui proteksi atau adopsi 4. Kontrol perilaku sosial dan seksual 5. Pemeliharaan moral keluarga dan motivasi untuk berperan di dalam dan di luar keluarga 6. Akuisisi anggota keluarga dewasa melalui pembentukan pasangan seksual 7. Melepaskan anggota keluarga dewasa
Rice & Tucker (1986)
Roberta Berns (1997)
1. Fungsi ekspresif: memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak 2. Fungsi instrumental: manajemen sumberdaya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui: a) proteksi dan sosialisasi anak, serta b) dukungan dan pengembangan anggota keluarga
1. Reproduksi 2. Sosialisasi atau pendidikan 3. Penetapan peran sosial 4. Dukungan ekonomi 5. Dukungan emosi
(Sumber: Sunarti 2001)
16
17 Menurut Megawangi (1993) beberapa kendala yang dihadapi keluarga Indonesia di dalam menjalankan fungsinya antara lain: (1) Menurunnya
kualitas
dan
kuantitas
waktu
bersama
untuk
Family
Togetherness. Piotrowski (1978) dalam Megawangi (1993) meneliti pengaruh keadaan lingkungan kerja terhadap kehidupan keluarga pada keluarga sosial ekonomi rendah. Ada tiga bentuk pola yang ditemui; pertama adalah yang disebut positive carry-over dimana suasana pekerjaan cukup menyenangkan dan tidak terlalu melelahkan, sehingga suami atau istri yang pulang ke rumah akan mempunyai suasana emosi yang menyenangkan didalam membina hubungan dengan masing-masing anggota keluarga. Bentuk keluarga kedua yang lebih banyak ditemui pada keluara working class adalah yang disebut negatif cary over dimana suasana pekerjaan tidak menyenangkan dan perasaan tidak berdaya untuk mengatasi keadaan sehingga waktu pulang ke rumah dalam keadaan frustasi dan marah, yang membawa akibat negatif pada hubungan antara suami-istri dan anak-anaknya. Kemudian bentuk yang paling sering dijumpai adalah energy deficit. Pada bentuk ini pekerjaan dianggap sangat membosankan dan melelahkan, sehingga sewaktu pulang ke rumah keadaan fisik sangat capai dan tidak ada energi yang tertinggal lagi untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota keluarga lain. (2) Wanita yang bekerja di luar rumah. Hasil penelitian McGurk (1993) dalam Megawangi (1993) dilaporkan bahwa ada pengaruh negatif antara lamanya anak diasuh oleh bukan ibunya dan pembentukan bonding, bahkan akan memberi resiko kepada anak untuk mempunyai sikap agresif dan pembangkang. Tetapi McGurk (1993) berpendapat bahwa keadaan ini akan sangat tergantung pada kualitas, konsistensi, dan reability dari pola pengasuhannya. Wanita kelas sosial menengah ke atas mungkin dapat memilih alternatif pengasuhan yang baik sehingga kemungkinan untuk dapat menghindari pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan menjadi lebih besar tetapi tidaklah demikian pada pekerja kelas bawah. (3) Menurunnya otoritas orangtua. Sehubungan dengan menurunnya kuantitas dan kualitas interaksi antara orangtua dan anak, dan berkurangnya bonding antara orangtua dan anak, peran orangtua sebagai figur yang perlu dicontoh menjadi berkurang. Pada zaman yang kompleks ini anak dihadapkan pada bermacam-macam nilai dari lingkungannya seperti peer group, media cetak atau elektronik, sekolah dll. Pada pihak orangtua sering terjadi sikap yang
18 ambivalen yaitu mereka merasa tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai orangtua di dalam mendidik anak-anaknya. Hal ini disebabkan perubahan sosial yang cepat dan menuntut penyesuaian sikap orangtua terhadap anak-anaknya. Akibatnya banyak orangtua yang berpaling pada para ahli pendidik atau menyerahkan sepenuhnya kepada institusi sekolah, termasuk juga dalam pembentukan moral anak. Karena institusi sekolah tidak dapat secara efektif memberikan dukungan moril kepada siswa sepenuhnya dan membentuk moral para siswa, anak-anak remaja sering mengalami adolence crisis, sehingga banyak yang berpaling kepada peergroupnya daripada orangtuanya. Salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak kota lebih agresif adalah hubungan yang tidak baik antara orangtua dan anak kerena kurangnya waktu kebersamaan. Hasil penelitian Ancok (1993) dalam Megawangi (1993) pada remaja Indonesia menunjukkan bahwa remaja kota cenderung mempunyai hubungan yang kurang baik dengan ayahnya dibandingkan dengan remaja desa. Yusuf (2000) dalam Jatiningsih (2004) menyebutkan bahwa keluarga yang fungsional merupakan keluarga yang telah mampu melaksanakan fungsifungsinya yang ditandai oleh karakteristik: (1) Saling memperhatikan dan mencintai, (2) Bersikap terbuka dan jujur, (3) Orangtua mau mendengarkan anak, menerima perasaan dan menghargai pendapatnya, (4) Ada sharing masalah atau pendapat diantara anggota keluarga, (5) Mampu berjuang mengatasi masalah hidupnya, (6) Saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi, (7) Orangtua melindungi (mengayomi) anak, (8) Komunikasi antar anggota keluarga berlangsung baik, (9) Keluarga memenuhi kehidupan psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai sosial budaya, dan (10) Mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Rogers (1960) dalam Simamora (2005) menjelaskan perubahan fungsi keluarga yang terjadi dewasa ini. Ada tujuh perubahan yang dimaksud: (1) Pergeseran fungsi keluarga: Fungsi produksi, melindungi, mendidik, dan fungsi keagamaan perlahan-lahan digantikan dengan institusi atau organisasi di luar keluarga. Studi di Michigan, Amerika Serikat, ditemukan bahwa keluarga berkumpul secara lengkap hanya sekitar sejam sehari dan kebanyakan waktu tersebut dihabiskan untuk makan. Keluarga petani kebanyakan berkumpul kurang dari waktu tersebut.
19 (2) Perubahan otoritas dalam rumah tangga: Otoritas ayah sebagai pengambil keputusan yang dominan menurun mengiringi peningkatan persentase jumlah wanita bekerja. (3) Perubahan dalam pencarian pasangan: Dewasa ini romantisme menjadi inti pencarian pasangan. Jaman dulu pencarian pasangan dapat dikatakan tidak memiliki romantisme, pria dan wanita dijodohkan pihak keluarga dan diijinkan bertemu sekali saja sebelum perkawinan. (4) Perubahan sikap terhadap perceraian: Dulu perceraian dianggap kotor dan dosa, namun perkembangan dewasa ini lebih kooperatif sehingga pasanganpasangan yang tidak cocok dapat dengan mudah mengajukan perceraian. Akibatnya angka perceraian meningkat drastis. Tidak dapat dipungkiri pula remarriage atau pernikahan kembali juga meningkat. (5) Perlakuan terhadap kaum tua: Kaum tua atau yang sudah jompo kurang dihoramati lagi. Kecenderungan keluarga saat ini memilih jauh dari tempat tinggal orangtua atau mertuanya. (6) Perubahan jumlah dan ukuran keluarga: Rata-rata ukuran keluarga sejak Tahun 1800 menurun akibat peningkatan metode pengaturan kelahiran, pendidikan seks dan persiapan pernikahan, dan perubahan nilai-nilai keluarga mengenai jumlah anak yang diinginkan. (7) Perubahan tujuan keluarga: Dulu tujuan keluarga lebih penting daripada keinginan pribadi, sebagai praktek pengabdian terhadap keluarga dan orangtua.
Dewasa
ini
individualisme
justru
diprioritaskan
ketimbang
familisme. Menurut teori tantangan dan tanggapan Arnold Toynbee (Narwanto 2007), ketiadaan istri dalam keluarga menjadi tantangan budaya tersendiri bagi keluarga Tenaga Kerja Wanita. Secara tradisional, pola keluarga patriarki menempatkan istri sebagai pihak yang mengurusi pekerjaan domestik, terutama mengasuh anak. Ketika istri menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW), keluarga yang ditinggalkan melakukan proses dialektik alamiah untuk menjawab tantangan budaya
tersebut.
menghasilkan
Ketidakseimbangan
pergeseran
peran
dalam
gender
ekosistem
sebagai
keluarga
tanggapan
itu
menuju
keseimbangan baru. Penelitian oleh tim Pusat Studi Gender dan Keluarga STAIN Salatiga di Gamol, Kecandran, Salatiga, Jawa Tengah, yang juga dipresentasikan di The International Seminar of Gender Mainstreaming on Higher Education di UKSW
20 Salatiga pada Desember 2006, menunjukkan adanya kesadaran kolektif menghadapi ketidakseimbangan tersebut. Artinya, ruang kosong yang ditinggal istri menjadi tanggung jawab bersama antara suami, orangtua, atau kerabat yang lain. Kesadaran kolektif tersebut menghasilkan tiga pola pergeseran peran: (1) Suami mengambil alih peran yang ditinggal istri. Mereka mengurusi berbagai pekerjaan domestik, termasuk mengasuh anak. (2) Suami mengambil sebagian peran yang ditinggal istri. Mereka biasanya dibantu ibu atau anggota keluarga lain. (3) Suami tidak mengambil peran. Pola yang dapat dikatakan sebagai kegagalan keluarga dalam melakukan transformasi nilai ini membuat ibu atau mertua TKW mengambil alih peran domestik keluarga.
Analisis Gender dan Peran Perempuan Konsep Gender Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman serta dukungan masyarakat itu sendiri (UNFPA et al. 2005 dalam Puspitawati 2007). Dalam pembahasan mengenai gender dikenal adanya dua aliran atau teori, yaitu teori nurture dan teori nature, namun berdasarkan kedua teori tersebut dikembangkan konsep teori yang merupakan kompromistis atau keseimbangan yaitu teori equilibrium. Teori nurture mengungkapkan bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya merupakan hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas berbeda, sedangkan teori nature berisi bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis ini memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran yang dapat dipertukarkan, tetapi ada pula yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya. Teori equilibrium merupakan pandangan yang tidak mempertentangkan antara kaum lelaki dan perempuan, karena keduanya bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dikehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara (Puspitawati 2007). Dalam memahami konsep gender ada dua hal yang harus dipahami, yaitu (Puspitawati 2007):
21 (1) Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil akibat sistem dan struktur sosial dimana baik perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. Bentuk ketidakadilan tersebut meliputi: (1) Marjinalisasi (peminggiran/pemiskinan), (2) Subordinasi yaitu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding dengan jenis kelamin lainnya, (3) Pandangan stereotip yang sering kali bersifat negatif secara umum dan dapat menyebabkan ketidakadilan karena bersumber dari pandangan gender yang menyangkut pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu, (4) Kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat dari perbedaan peran yang terjadi dalam berbagai bentuk, (5) Beban kerja yang merupakan bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender karena beban kerja yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. (2) Kesetaraan dan Keadilan gender yaitu suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis, adapun kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki.
Analisis Gender Ada beberapa model teknik analisis gender yang dikembangkan oleh para ahli untuk menganalisis peran di dalam keluarga dan masyarakat, antara lain: (1) Teknis Analisis Model Harvard. Model ini terdiri atas sebuah matiks yang mengumpulkan data pada tingkatan mikro (masyarakat dan rumah tangga), meliputi pembagian tiga kegiatan (kegiatan produktif, reproduktif, dan sosial masyarakat) berdasarkan jenis kelamin, rincian sumber-sumber apa yang dikuasai oleh laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan kegiatannya, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian kerja berdasarkan gender. (2) Teknik Analisis Model Moser. Model ini mencakup penyusunan pembagian kerja berdasarkan gender dan mengembangkan kebutuhan gender dari sudut perempuan.
Kebutuhan
tersebut
adalah
kebutuhan
praktis
gender
(kebutuhan yang harus dipenuhi) dan kebutuhan strategis gender (kebutuhan yang disebabkan posisi subordinat mereka).
22 Dukungan Sosial Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain. Pertolongan dari orang lain ini biasanya disebut sebagai dukungan sosial. Dukungan sosial bisa diperoleh dari keluarga besar, masyarakat (tetangga), dan lembaga-lembaga masyarakat dimana orang itu berada. Dukungan sosial sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam menjalani kehidupan perkawinan dan dalam pengasuhan anak. Di dalam ensiklopedi sosiologi dukungan sosial diartikan sebagai pemberian dukungan emosional dan informasi atau dukungan materi oleh orang lain atau lingkungan sosial kepada seseorang individu yang mengalami beberapa kesulitan atau masalah. Cutrona (1996) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah pemenuhan kebutuhan dasar oleh orang lain secara terus menerus untuk kesejahteraan. Kaplan et al. (1977) dalam Cutrona (1996), mengartikan dukungan sosial sebagai pemenuhan kebutuhan dasar seseorang (approval, esteem, succor, dll) oleh orang lain. Safarino (1996) dalam Tati (2004) mengatakan
bahwa
dukungan
sosial
adalah
kenyamanan,
perhatian,
penghargaan, atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan atau kelompok. Kualitas dukungan sosial yang tinggi akan mempengaruhi kesehatan fisik dan mental yang semakin tinggi pula. Bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan menurut Kaplan (Cutrona 1996) dan Safarino (Tati 2004) terdiri dari: 1) Dukungan Emosi (Emotional Support), seperti ekspresi cinta, empati dan perhatian. Menurut Witty et al. (1992) dalam Conger et al. (1994), individu dapat mencurahkan perasaan, kesedihan ataupun kekecewaannya pada seseorang, yang membuat individu sebagai penerima dukungan sosial merasa adanya keterikatan, kedekatan dengan pemberi dukungan, sehingga menimbulkan rasa aman dan percaya. 2) Dukungan Instrumen (Instrument Support) atau Dukungan Nyata (Tangible Assistance), seperti sumberdaya fisik (uang, tempat tinggal), termasuk juga menyediakan waktu dan tenaga untuk mengasuh anak. 3) Dukungan Penghargaan (Esteem Support), seperti respek terhadap orang lain, percaya kepada kemampuan orang, menghargai pikiran, perasaan, dan tingkah laku orang lain. 4) Dukungan Informasi (Informational Support), seperti informasi tentang kenyataan,
nasihat,
penilaian
terhadap
situasi.
Dukungan
informasi
23 memungkinkan individu sebagai penerima dukungan dapat memperoleh pengetahuan dari orang lain. Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa bimbingan, arahan, diskusi masalah maupun pengajaran suatu keterampilan (Felton & Berry 1992 dalam Conger et al. 1994).
Pengasuhan Keluarga sebagai tempat pertama dan utama bagi anak untuk dididik dan dibesarkan dalam pembentukan dan perkembangan pribadi dan perilaku. Faktor yang mempengaruhi perilaku anak salah satunya adalah pengasuhan. Pengasuhan merupakan interaksi antara ibu dan pengasuh dengan anak sesuai keinginan pengasuh. Pengasuhan adalah segala interaksi antara orangtua dengan anaknya dan praktek pengasuhan yang diberikan kepada anak. Interaksi ini meliputi segala perilaku seperti minat, nilai, sikap dan kepercayaan yang diajarkan kepada anak-anak melalui proses pendidikan dan pengasuhan sepanjang hidup anak (Karyadi 1988). Menurut
Sunarti
(2004)
pengasuhan
dapat
diartikan
sebagai
implementasi serangkaian keputusan yang dilakukan orangtua atau orang dewasa kepada anak, sehingga memungkinkan anak menjadi bertanggung jawab, menjadi anggota masyarakat yang baik, memiliki karakter-karakter yang baik. Rohner (1986) mengartikan pengasuhan sebagai salah satu bentuk pola hubungan antara orangtua terutama ibu dengan anak, berupa kehadiran dan perhatian ibu yang diekspresikan dalam bentuk perilaku, ucapan, ungkapan emosi dan kasih sayang, arahan dan kegiatan perawatan ibu kepada anaknya. Secara tradisional, beberapa faktor yang mempengaruhi kebiasaan mengasuh dikelompokkan menjadi (Bigner 1979): (1) Cultural influence. Beberapa studi melaporkan adanya perbedaan pada kelompok
sosial
terhadap
cara
pengasuhannya.
Ditemukan
bahwa
pertumbuhan mental secara potensial mempengaruhi perbedaan gaya bahasa (mengajar) yang digunakan oleh ibu. (2) Personality patterns. Johnson & Medinnus (1974) dalam Bigner (1979) melukiskan bahwa hubungan antara orangtua dan anak sebagai ikatan emosional. Orangtua yang baik akan menghasilkan anak yang baik yang tumbuh menjadi orang dewasa yang baik. (3) Attitudes toward parenting. Menurut Diana Baumrind (1966) dalam Bigner (1979), ada tiga tipe dasar pengasuhan, antara lain:
24 (a) Authoritarian attitudes, pola asuh ini merupakan bentuk interaksi antara orangtua
dan
anak,
dimana
orangtua
berusaha
membentuk
,
mengendalikan dan mengevaluasi sikap juga tingkah laku anak sesuai dengan patokan yang bersifat absolute dan baku yang diterapkan orangtua dan ditunjukkan dengan peraturan ketat, tanpa memberi kesempatan pada anak untuk mendapatkan penjelasan dan biasanya disertai dengan hukuman fisik. (b) Permissive attitudes, orangtua memberikan kebebasan kepada anak dalam bertingkah laku. Orangtua tidak memberikan hukuman dan lebih menerima serta menyetujui apa yang menjadi keinginan dan kemauan anak sehingga anak dibiarkan mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggapnya baik karena pengawasan dari orangtua longgar. Aturan dan batasan yang pasti dalam hal ini tidak ada. (c) Authoritative
attitudes,
orangtua
memberikan
peraturan
dengan
menggunakan penjelasan dan penalaran pada anak untuk membantu anak mengetahui mengapa peraturan dibuat dan mengapa anak diharapkan untuk bertingkah laku tertentu. Dalam proses interaksi ini terlihat adanya saling memberi dan menerima antara orangtua dan anak sehingga
anak
memperoleh
kesempatan
untuk
mengemukakan
pendapatnya pada orangtua. (4) Role modeling. Sesuai dengan prinsip teori social learning, maka anak sesungguhnya belajar dari mengamati tingkah laku, perbuatan, persepsi, pemikiran, cara komunikasi dari orang dewasa yang ada di sekitarnya. Melalui role modeling ini maka orangtua dapat mencontohkan perilaku yang diharapkan tersebut (Hastuti 2007). Ahli
sosiologi
mendeskripsikan
peran
istri-ibu
dan
suami-ayah
dihubungkan dengan peran jenis kelamin. Peran istri-ibu memiliki karakteristik ekspresif dimana mampu mengekspresikan afeksi, kehangatan dan dukungan emosianal kepada anggota keluarga yang lain. Disisi lain, peran suami-ayah dikarakteristikkan oleh fungsi instrumental. Ayah dipandang sebagai pemberi keputusan terakhir dan membuat hukuman, disiplin, dan pengontrol tingkah laku anak. Robert Winch (Bigner 1979) mendiskusikan dua fungsi pengasuhan yang mungkin dibagi antara ibu dan ayah. Fungsi nurturance diberikan kepada istri-ibu (ekspresif) dimana istri-ibu melakukan pemeliharaan sehari-hari seperti memberi makan, memandikan, dan memakaikan pakaian anak. Fungsi kedua yaitu control
25 yang dilakukan oleh suami-ayah (instrumental) dimana suami-ayah memiliki ototitas dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan anak.
Dimensi Kehangatan (Warmth Dimension) Menururt Rohner (1986), pengasuhan dari dimensi kehangatan dapat diekspresikan menjadi dua bentuk antara lain (Gambar 1): 1) Bentuk penerimaan orangtua (parental acceptance) yaitu berkaitan dengan kehangatan,
kasih
sayang,
cinta
orangtua
kepada
anaknya,
yang
diekspresikan melalui fisik dan verbal. Ekspresi fisik dari kehangatan dan afeksi antara lain pelukan, kasih sayang, perhatian, ciuman, senyuman dan lainnya yang mengindikasikan adanya dukungan. Ekspresi kehangatan dan afeksi verbal antara lain pujian, mengatakan hal yang baik tentang anak, mungkin menyanyikan lagu dan menceritakan cerita yang disukai anak. 2) Bentuk penolakan orangtua (parental rejaction) yaitu kebalikan dari dimensi kehangatan, ada tiga bentuk antara lain: (1) hostility dan aggression, meliputi perasaan marah, dendam, benci, iri atau dengki terhadap anak; (2) indifference and neglect, diekspresikan ketika orangtua lalai untuk mengurus fisik,
kesehatan,
pendidikan
dan
kebutuhan
lain
anak.
Orangtua
mengabaikkan kebutuhan, perhatian, harapan dan ketertarikan anak; dan (3) Undifferentiated rejection, adalah perasaan tidak dicintai dan diinginkan. Dagun (1990) dalam Briawan dan Herawati (2005) menyatakan bahwa partisipasi ayah dalam membina pertumbuhan fisik dan psikologis anak tidak kalah pentingnya dengan peran ibu dalam mengasuh anak. Oleh karena itu untuk mendapatkan anak yang tumbuh dan berkembang secara optimal perlu pengasuhan yang lengkap dari kedua orangtuanya. Pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua supaya berkualitas dan berhasil
maka
perlu
diperhatikan:
(1)
Hubungan
kasih
sayang,
(2)
Kelekatan/keeratan hubungan, (3) Hubungan yang tidak terputus, (4) Interaksi yang memberikan rangsangan, (5) Hubungan dengan satu orang, (6) Melakukan pengasuhan di rumah sendiri (Rutter 1984 dalam Nurani 2004).
WARMTH DIMENTION OF PARENTING
Parental Rejection
Parental Acceptance
Hostility/Aggression
Fisik
• Ciuman • Pelukan • Kasih Sayang • Dll
Verbal
• Pujian • Mengatakan hal yang bagus tentang anak • Dll
Fisik
• Memukul • Menggigit • Menendang • Mencakar • Mencubit • Dll
Indifference/Neglect
Undifferentiated Rejection
Verbal
• Tidak ada perhatian • Mengutuk terhadap kebutuhan • Merendahkan • Mengatakan kata anak yang kasar-kasar • Tidak menyediakan kebutuhan fisik dan • Sindiran tajam psikologi dalam • Meremehkan pengasuhan • Dll • Dll
• Anak merasa tidak dicintai, tidak dihargai atau tidak diperhatikan, dll
Gambar 1 Kerangka konseptual prinsip pengasuhan pada teori parental acceptance-rejection Sumber: Rohner (1986)
26
27 Peranan Ibu dalam Pengasuhan Hubungan yang pertama dan terutama dalam kehidupan seseorang anak adalah dengan ibunya dan dari hubungan ini anak akan membentuk pola hubungan antara dirinya dengan orang lain sepanjang hidupnya. Hubungan yang terjalin antara orangtua dengan anak bukan merupakan proses yang searah, akan tetapi timbal balik karena perilaku anak dapat mempengaruhi perilaku orangtua. Peranan orangtua khususnya ibu selaku pengasuh dan pendidik anak dalam keluarga dapat mempengaruhi perkembangan anak secara positif maupun negatif
(Karyadi
1988).
Penelitian
yang
dilakukan
Jatiningsih
(2004)
menunjukkan bahwa semakin banyak alokasi waktu yang dicurahkan ibu dalam pengasuhan anak maka skor perkembangan sosial anak akan semakin baik.
Peranan Ayah dalam Pengasuhan Hadawi (2001) mengatakan bahwa tugas seorang ayah secara tradisional adalah melindungi keluarga (protection) dan mencari nafkah (breadwinner) namun kemudian diperluas dalam hal-hal yang menyangkut child management dan pendidikan. Rudyanto (2007) mengatakan bahwa bila dibandingkan dengan ibu, maka ayah pada permulaan kehidupan seseorang anak memang memiliki kesempatan dan peranan yang lebih kecil dalam mengembangkan anakanaknya. Dengan meningkatnya usia anak, maka peranan ayah semakin banyak dan kompleks. Ayah harus dapat mengerti keadaan anak, bertindak sebagai teman atau rekan, membimbing perkembangan anak serta melakukan sesuatu bersama anak. Peran ayah dalam pengasuhan mempunyai pengaruh nyata pada tingkat perkembangan anak. Ayah berusaha mengembangkan kemampuankemampuan, keahlian, mengarahkan minat dan mengembangkan kemampuan intelektualnya. Pada umumnya peran ayah dalam pengasuhan adalah mengajak anak bermain.
Tokoh Pengganti ibu Keterpisahan antara anak dan ibu yang relatif lama pada keluarga TKW memerlukan pemikiran dan usaha yang tepat agar anak tidak terlalu menderita, sehingga hal ini mungkin bisa menjadi dasar timbulnya kesulitan-kesulitan tingkah laku dalam perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Tokoh pengganti ibu bisa berperan dengan baik, asalkan memiliki sifat kasih sayang terhadap anak. Kasih sayang dengan sikap affeksional sebagai seorang dewasa
28 yang ingin mengasuh, merawat dan mendidik anak sebaik-baiknya, sesuai dengan dasar-dasar perkembangan tingkah laku dan perkembangan kepribadian yang ideal dan normatif (Gunarsa 2003). Hal serupa juga diungkapkan oleh Seaman (1972) dan Wortis (1971) dalam Rice (1983), setiap anak membutuhkan kehangatan, perhatian penuh cinta dari orang dewasa yang akan memenuhi kebutuhan perkembangan anak. Perhatian ini dapat
diberikan oleh seorang
pengganti ibu yang cakap untuk periode waktu yang cocok dengan usia anak, penyediaan perhatian harus konsisten dan cukup. Pada keluarga dengan latar belakang pendidikan yang tinggi, lebih cenderung memahami dan lebih mengetahui cara pengasuhan yang baik pada anaknya. Hal ini berhubungan dengan akses untuk mendapatkan informasi yang lebih memungkinkan pada keluarga berpendidikan dan berpendapatan tinggi. Dengan adanya informasi baik itu dari buku-buku bacaan, media cetak, audio, audio visual ataupun dari rekan kerja menjadikan mereka tahu dan memahami bagaimana cara mengasuh anak yang baik. Hal sebaliknya terjadi pada keluarga miskin dan berpendidikan rendah yang biasanya menanggung beban hidup yang sangat berat sehingga seringkali emosi kurang terkendali. Pada keluarga miskin disiplin diterapkan dengan ketat. Hurlock (1980) mengatakan bahwa pendidikan orangtua mempengaruhi pengasuhan yang diterapkan pada anak. Dengan pendidikan tinggi yang dicapai orangtua akan lebih membantu orangtua memahami kebutuhan anak, sehingga seringkali secara langsung akan berpengaruh juga terhadap pemilihan pengasuhan yang diterapkan pada anak. Orangtua yang status sosial ekonomi lebih tinggi lebih menunjukkan kehangatan dan afeksi terhadap anaknya daripada orangtua yang berada dalam status sosial ekonomi lebih rendah yang cenderung menekankan kepatuhan (Berns 1997). Kedua orangtua dan anak dipengaruhi oleh jumlah anak dalam keluarga. Lebih banyak anak maka lebih banyak interaksi dalam keluarga tetapi interaksi antara orangtua dan anak akan semakin sedikit. Anak dalam keluarga besar mungkin memiliki banyak sumberdaya untuk draw upon for company, teman bermain dan keamanan emosional. Mereka mungkin juga tertarik untuk bertanggungjawab atau perhatian kepada saudara yang lebih muda. Orangtua pada keluarga yang lebih besar, khususnya dengan tempat tinggal yang sempit dan sumber ekonomi yang rendah, memperlakukan anak lebih autoritarian dan lebih senang menggunakan physical punishment dan sedikit menjelaskan peraturan daripada keluarga yang lebih kecil (Berns 1997).
29 Interaksi dalam Keluarga Untuk melihat hubungan yang terjadi dalam keluarga digunakan konsep interaksionalisme
melalui
suatu
konsep
interaksi
dan
dampak
yang
ditimbulkannya. Hubungan yang terjadi dalam keluarga menurut Suleeman (1999), dapat dilihat dari: (1) Hubungan suami-istri, (2) Hubungan orangtua-anak, (3) Hubungan antarsaudara (siblings). Hubungan ini dapat pula ditambahkan dengan (4) Hubungan antargenerasi. Interaksi keluarga (orangtua dan anak) adalah hubungan antara anak dan orangtua yang dilandasi oleh perasaan, perkataan, dan perlakuan orangtua terhadap anak-anaknya serta strategi pendidikan budi pekerti yang dilakukan setiap hari di rumah, mulai bayi hingga dewasa. Interaksi orangtua dan anak diwujudkan dalam bentuk komunikasi dan bonding (Puspitasari 2006). Ilmu sosiologi menggunakan pendekatan bahwa antar manusia harus didahului oleh kontak dan komunikasi. Hubungan manusia ini kemudian saling mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya melalui pengertian yang diungkapkan, informasi yang dibagi, semangat yang disumbangkan, yang semua pesannya membentuk pengetahuan. Model interaksi dari proses komunikasi juga menunjukkan perkembangan peran (role development), pengambilan peran (roletaking) dan pengembangan diri sendiri (development of self) karena manusia berkembang melalui interaksi sosialnya. Komunikasi manusia tersebut juga terjadi dalam satu konteks budaya tertentu dan mempunyai batas-batas (boundaries) tertentu (Ruben 1988 dan Liliweri 1997 dalam Puspitawati 2006). Keluarga mempunyai interaksi kelompok yang memberikan ikatan bonding
(hubungan
biologis
dan
hubungan
intergenerasi
serta
ikatan
kekerabatan) yang jauh lebih lama dibandingkan dengan kelompok asosiasi lainnya. Interaksi dalam keluarga ini lebih dipandang sebagai: (1) Suatu interaksi umum antar anggota keluarga, (2) Suatu seri interaksi yang dilakukan oleh dua pihak (dyadic), (3) Sejumlah interaksi antar sub kelompok keluarga: dyadic, triadic, dan tetradic, dan (4) Sistem hubungan internal keluarga sebagai reaksi terhadap kontrol sosial yang lebih luas (Klein dan White 1996 dalam Puspitawati 2006). Kekompleksan dalam interaksi pasangan, dikonsepkan kedalam tiga komponen dasar yaitu: (1) Kesesuaian dalam persepsi peran; (2) Timbal balik peran; (3) Kesetaraan fungsi peran (Saxton 1990). Interaksi manusia pertama kali terjadi dalam keluarga. Interaksi orangtua dan anak adalah suatu pola
30 perilaku yang mengikat orangtua dan anak secara timbal balik yang mencakup berbagai upaya keluarga. Dalam keadaan yang normal, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orangtua, saudara, dan kerabat dekat yang
tinggal
serumah.
Sikap
orangtua
mempengaruhi
cara
orangtua
memperlakukan anak dan perlakuan orangtua terhadap anak sebaliknya mempengaruhi sikap dan perilaku anak terhadap orangtua. Pada dasarnya hubungan orangtua-anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua sangat menentukan hubungan keluarga. Sekali hubungan terbentuk, maka cenderung bertahan. Orangtua yang mempunyai kemampuan yang baik tentu akan mempunyai cara, sikap, dan waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan anak. Tingkah laku orangtua dapat mempengaruhi dalam pembinaan anak-anak. Hubungan yang baik antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping anggota keluarga akan dapat terjalin dengan baik apabila komunikasi berjalan dengan baik dalam lingkungan keluarga (Effendi et al. 1995 dalam Kunarti 2004). Permasalahan keluarga yang semakin rentan akhir-akhir ini dikarenakan semakin melemahnya kualitas komunikasi antara anggota keluarga sehingga memudarnya fungsi keluarga dalam melindungi anggotanya dari pengaruh pihak luar. Pengaruh luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan teknologi komunikasi di era informasi globalisasi (Susanto-Sunario dalam Puspitawati 2006). Kepergian
Tenaga
Kerja
Wanita
(TKW)
dapat
mengakibatkan
terganggunya fungsi-fungsi dalam keluarga. Hal ini dapat menimbulkan dampak sosial dan psikologis tertentu bagi anggota keluarga yaitu suami dan anak. Blood dalam Luthfiyasari (2004) menyebutkan beberapa akibat yang mungkin terjadi antara
lain
berkurangnya
intensitas
komunikasi,
melemahnya
ikatan
kekerabatan, goyahnya stabilitas keluarga serta melonggarnya keterikatan moral terhadap budaya setempat. Keintiman
diantara
hubungan
anggota
keluarga
akan
sangat
mempengaruhi kehangatan terhadap keluarga (Dagun 1990 dalam Mutyahara 2005). Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama untuk menciptakan komunikasi antara orangtua dan anak, sebab dengan adanya waktu bersama, barulah keintiman dan keakraban dapat diciptakan diantara anggota.
31 Interaksi Suami dan Istri Komunikasi yang baik antara suami dan istri merupakan elemen penting dari kualitas perkawinan (Kammeyer 1987). Kammeyer (1987) mengidentifikasi tiga jenis komunikasi yang penting dalam hubungan suami-istri yaitu: (1) Open and Honest Communication, pasangan mengekspresikan perasaan secara tepat dan tidak mencampuradukkan pesan. Komunikasi tipe ini memberikan kontribusi terhadap hubungan kualitas perkawinan; (2) Supportiveness, memperlakukan orang yang sedang berbicara dengan penuh perhatian dan respect. Komunikasi yang baik tergantung pada jenis dukungan dan konfirmasi (merespon secara positif), dan studi menunjukkan bahwa ketika pasangan yang menikah memperhatikan kualitas komunikasi mereka, kepuasan dan kualitas pernikahan mereka lebih besar (Montgomery 1981 dalam Kammeyer 1987); (3) SelfDisclosure, self-disclosure sama dengan open and honesty, tetapi ada beberapa elemen perasaan dan emosi yang lebih kuat. Berbicara dengan orang lain tentang ketakutan, harapan, dan keinginan merupakan inti dari self-disclosure. Penelitian Hendrick (1981) dalam Kammeyer (1987) menemukan secara umum berhubungan positif antara self-disclosure dengan kepuasan perkawinan.
Interaksi Ibu dan Anak Pada keluarga yang suami-istri bekerja (dual erner), terutama istri, karena istri juga berperan sebagai ibu maka perpisahan anak dan ibu akan berpengaruh pada perkembangan anak. Penelitian Bowlby beberapa puluh tahun berselang sampai pada kesimpulan bahwa bila dalam perkembangannya anak tidak mendapatkan porsi kasih sayang yang cukup dari ibunya, anak akan menderita apa yang disebut oleh Bowlby sebagai maternal deprivation yang menyebabkan anak
mengalami
kesulitan
emosional
serta
hambatan-hambatan
dalam
pengembangan daya pikirnya. Bahkan perpisahan sementara atau kondisi yang disebut partial seperetion sudah cukup mengganggu perkembangan anak. Tidak dapat disangkal bahwa seseorang ibu yang bekerja untuk jangka waktu tertentu akan menciptakan perpisahan dengan anaknya. Perpisahan sementara tersebut dapat menyebabkan keterikatan secara emosional (attachment) antara anak dengan ibunya menjadi terganggu, padahal ikatan tersebut perlu ada untuk menjamin hubungan yang sehat antara anak-ibu (Achir 1985).
32 Interaksi Ayah dan Anak Keterlibatan atau kontribusi ayah di seluruh belahan dunia rendah dalam tugas pengasuhan anak (United Nations 1995, Engel et al 1992 dalam Hastuti 2007). Namun dukungan sosial emosi amat diperlukan dari ayah ketika kondisi ibu harus meninggalkan anak untuk waktu yang cukup lama seperti yang terjadi pada keluarga TKW. Interaksi antara ayah dan anak menjadi sangat penting agar anak tidak terlalu menderita, sehingga hal ini tidak menimbulkan kesulitankesulitan tingkah laku dalam perkembangan kepribadian anak selanjutnya.
Kualitas Perkawinan Definisi Perkawinan Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan
(1996)
mengartikan
perkawinan sebagai hubungan permanen antara lelaki dan perempuan yang diakui sah oleh masyarakat atas dasar peraturan perkawinan yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang perkawinan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan perwujudan formal antara pasangan laki-laki dan perempuan yang akan membentuk suatu rumah tangga dan sudah merupakan kodrat alami antara dua insan manusia yang berlainan jenis, adanya saling ketertarikan satu sama lain untuk tujuan hidup bersama. Dengan adanya perkawinan
hendaknya
setiap
pasangan
dapat
membentuk
suatu
keluarga/rumah tangga yang kekal dan bahagia (Tati 2004). Rifai (1990) dalam Tati (2004) menegaskan bahwa perkawinan memiliki tiga unsur penguat yakni unsur sosial, hukum, dan agama. Perkawinan yang memiliki unsur sosial memberikan status sosial yang tinggi, lebih dihargai dari pada mereka yang tidak menikah. Perkawinan dipandang sebagai kemaslahatan masyarakat dalam arti menghindari perselisihan, permusuhan antara sesama manusia. Dipandang dari sudut agama
bahwa perkawinan merupakan
pembentukan manusia susila, dimana perkawinan sebagai suatu asas yang utama dalam pergaulan atau masyarakat yang beradab, agar menjadi laki-laki dan perempuan yang terhindar dari perbuatan yang dilarang agama. Dalam
33 agama perkawinan dianggap sebagai lembaga yang suci/sakral. Perkawinan dipandang dari unsur hukum, bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian yang sangat kuat, atau merupakan pertalian yang seteguh-teguhnya antara suami istri dan turunannya, dan merupakan pertalian yang erat dalam hidup dan kehidupan manusia. Ada beberapa alasan seseorang melangsungkan perkawinan yaitu menurut Turner dan Helms (1995) yaitu: (a) Adanya komitmen artinya ada seseorang yang dapat dimilikinya secara sepenuhnya, (b) Hubungan satu lawan satu artinya dengan pernikahan ada seseorang yang memberi dukungan secara emosional yang diekspresikan dengan kasih sayang, kepercayaan, keintiman, (c) Kebersamaan, (d) Cinta, (e) Kebahagiaan, dan (f) Legitimasi seksual dan anakanak. Ada alasan lain yaitu karena banyak manfaatnya dan keuntungan yang diperoleh dari perkawinan. Keunikan yang terjadi dalam hubungan perkawinan adalah meskipun banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan seperti perbedaan emosional, lingkungan, genetis dan kepribadian, selalu ada perkawinan yang berhasil. Perkawinan tersebut dinikmati oleh laki-laki dan perempuan sebagai suami istri yang bahagia. Mayoritas pasangan yang menikah memiliki tujuan hidup bersama, berbagi dukungan fisik dan komunikasi tentang berbagai kesenangan dan masalah (Osborne 1988 dalam Suryani 2004). Kualitas perkawinan didefinisikan sebagai sejauh mana mutu perkawinan, baik sebagai pandangan pasangan pada titik waktu tertentu, maupun sebagai kombinasi perasaan yang dialami pasangan, dan ciri-ciri relasional antar pasangan pada titik waktu tertentu (Suhardono 1998 dalam Ritonga 2007). Elder et al. (1991) dalam Tati (2004) menilai kualitas perkawinan dalam batas-batas kebahagian dan kepuasan serta ketidakstabilan perkawinan dalam batasan pemikiran, aksi atau perceraian. Ada juga yang mendefinisikan kualitas perkawinan dalam lima dimensi yaitu kecenderungan bercerai, masalah perkawinan,
kebahagiaan
perkawinan,
interaksi
perkawinan
dan
ketidaksepakatan dalam perkawinan. Menurut Conger et al. (1994), kualitas perkawinan memiliki dua dimensi yakni kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan. Studi menunjukkan apabila pasangan memiliki latar belakang (agama, ras, sosial ekonomi) keluarga yang sama maka kualitas perkawinan akan lebih besar. Kualitas perkawinan berhubungan positif dengan sumberdaya dan
34 kemampuan diri, seperti pendidikan, fisik dan mental yang baik, ekonomi yang tinggi. Dukungan teman dan tetangga juga berhubungan dengan tingginya kualitas perkawinan (Kammeyer 1987). Banyak
penelitian
memperlihatkan
penghormatan
positif
terhadap
pasangan memperbesar kualitas perkawinan. Penghormatan yang positif ditunjukkan melalui evaluasi yang menyenangkan dari pasangan, persetujuan tentang nilai, kepuasan seksual dan fisik yang menarik, persetujuan pada pandangan
diri,
ekspresi
afeksi
dan
cinta,
hubungan
yang
setara,
companionship, dan penyelesaian masalah yang efektif (Kammeyer 1987). Pasangan yang memiliki anak juga memperlihatkan peningkatan kualitas perkawinan karena anak merupakan pelengkap dalam perkawinan. Adanya saling pengertian antara suami istri merupakan faktor yang penting supaya tercapai hubungan yang harmonis. Mengertikan motif-motif tingkah lakunya, sebab-sebab mengapa pasangan berbuat demikian, mempunyai pengertian untuk latar belakang hidup pasangannya. Jika ada saling pengertian antara kedua belah pihak, ini menjadikan mereka lebih toleran. Dan toleransi sangat penting untuk hubungan suami istri. Toleransi untuk kekurangankekurangan, kelemahan-kelemahan, kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik dari pihak yang lain. Penting pula untuk suatu perkawinan yang harmonis, dimana kedua belah pihak merasakan kebahagiaan dan kepuasan, ialah jika ada saling penghargaan antara keduanya. Penghargaan untuk kepribadian, prestasi, minat, individualitas dari partnernya. Ini erat hubungannya dengan pengakuan diri kedua belah pihak, bahwa masing-masing berhak atas kehidupan pribadi (Munandar 1985). Dari studi-studi yang telah dilakukan nyata bahwa banyak sekali faktorfaktor yang perlu diperhatikan untuk menjamin perkawinan yang harmonis (Munandar 1985), antara lain: (1) Keadaan kesehatan dan warisan biologis untuk menjamin keturunan yang sehat (2) Latar belakang/lingkungan hidupnya, apakah berasal dari keluarga yang bahagia
atau
dari
brokenhome,
adakah
konflik-konflik
dengan
orangtuanya/saudaranya, sikap/pandangan yang sehat mengenai seks dan lain-lain (3) Ketertarikan yang tidak banyak berbeda (4) Norma-norma tingkah laku/falsafah hidup yang sama
35 (5) Faktor ekonomis (jika sangat berbeda dengan keadaannya sebelum menikah, dapat menimbulkan kesukaran (6) Apakah keduanya dari lingkungan/status sosial yang sangat berbeda (7) Adakah perbedaan mencolok daam pendidikan, kecerdasan, umur dan lainlain (8) Perbedaan dalam agama (9) Perbedaan dalam kebudayaan, kebangsaan Menurut Duvall (1955), perkawinan yang sukses memiliki aspek: (1) Companionship; (2) Adaptability; dan (3) Determination to succed. Munandar (1985) menyatakan bahwa perkawinan yang sukses ialah suatu hubungan yang dinamis, dimana kepribadian dari kedua pasangan berkembang secara berkelanjutan, sehingga dari hubungan tersebut tercapailah kepuasan pribadi pada taraf yang tinggi. Karakteristik kualitas perkawinan yang sukses menurut Sadarjoen (2009), adalah: (1) Komitmen yang terjaga; (2) Kejujuran, kesetiaan, kepercayaan; (3) Rasa tanggungjawab; (4) Kesediaan untuk menyesuaikan diri; (5) Fleksibilitas dan toleransi dalam setiap aspek perkawinan termasuk kehidupan seksual; (6) Mempertimbangkan keinginan pasangan; (7) Komunikasi yang terbuka, dengan penuh empati dan saling menghormati (respek) antar pasangan; (8) Menjalin hubungan antar pasangan dengan cinta penuh afeksi; (9) Pertemanan yang nyaman antar pasangan; (10) Kemampuan mengatasi krisis dalam setiap situasi dalam kebersamaan; (11) Menjaga nilai-nilai spiritual antar pasangan perkawinan dan keturunannya.
Kebahagiaan Perkawinan Apa yang disebut kebahagiaan adalah subjektif dan individual. Setiap pasangan menemukan norma-normanya sendiri tentang apa yang diinginkan dari perkawinannya. Perkawinan dikatakan berhasil jika sesuai dengan norma-norma ini dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Kebahagiaan perkawinan dari pasangan suami istri, tumbuh jika dilandasi perasaan cinta dan kasih sayang, adanya kebersamaan, saling percaya, saling menghargai dan menghormati serta adanya pengorbanan. Kulitas perkawinan berdimensi kebahagiaan perkawinan memiliki ciri adanya kemampuan berkomunikasi dengan baik antar pasangan, hubungan yang setara antar pasangan, hubungan yang baik antara mertua dan ipar, menginginkan hadirnya anak, memiliki minat di bidang yang sama, memiliki cinta,
36 saling menghormati, kesesuaian dalam kehidupan seksual, menikmati waktu luang bersama, hubungan penuh afeksi dan kebersamaan, dan kemampuan untuk memberi dan menerima (Zastrow & Kirsht 1987 dalam Nurani 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan perkawinan adalah: (1) Keuangan: Keuangan menduduki peringkat pertama sebagai sumber utama konflik sekalipun dalam keluarga dengan perkawinan yang stabil dan finansial yang memadai (Landis dan Landis 1955). (2) Keluarga dari pasangan suami-istri: dengan melakukan perkawinan, seseorang akan mendapatkan hubungan keluarga terikat perkawinan. Kedekatan hubungan ini bervariasi, mulai dari mertua, ipar, sepupu dari pasangan bahkan istri suami yang lain. Baik istri maupun suami harus menyesuaikan dirinya pada keluarga terikat perkawinan ini agar terhindar dari benturan-benturan dengan pasangannya. Landis dan Landis (1955) menyatakan bahwa jika hubungan mertua ipar baik maka perkawinan akan cenderung baik. (3) Kehidupan beragama: Kehidupan beragama berhubungan erat dengan kepuasan perkawinan (Landis dan Landis 1955). Orang yang agresif dan curiga terhadap orang lain karena tidak adanya keamanan dari dalam dirinya. Keamanan dalam diri dari kepercayaan agama mungkin membantu seseorang memahami orang lain dan menerima kebutuhannya. (4) Komunikasi: Pada sekelompok pasangan yang bahagia ditemukan adanya komunikasi yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang kurang bahagia dalam perkawinannya. Dalam kelompok yang kurang bahagia, seiring timbul masalah akibat komunikasi yang salah (Atwater 1985 dalam Sari 2004) (5) Lain-lain: faktor lain yang mempengaruhi adalah penyesuaian seksual, pengasuhan anak, sikap dan nilai terhadap perkawinan, dan pengelolaan rumah tangga serta usia pasangan saat menikah. Karyadi (1988) mengatakan bahwa seringkali pasangan yang menikah di bawah 20 tahun mengalami perceraian. Persentasenya lebih tinggi dibanding dengan mereka yang menikah di atas 20 tahun. Menurut Olson dalam Nurani (2004), tipologi pasangan menikah berhubungan dengan tingkat kebahagiaan pernikahan serta apakah perkawinan tersebut bisa bertahan atau tidak. Tipologi pasangan menikah tersebut adalah: (1) Pernikahan tanpa vitalitas, pasangan dalam tipe perkawinan ini merasa tidak
37 menemukan kepuasan dalam semua faktor yang berperan dan selalu berada dalam keadaan labil. Pasangan tipe ini biasa menikah pada usia terlalu muda, memiliki penghasilan rendah, dan biasanya berasal dari keluarga yang berantakan; (2) Pasangan finansial, memiliki banyak konflik yang tidak terselesaikan dan tidak puas dengan komunikasi dalam pernikahan dan dengan keadaan atau kepribadian pasangan. Karir menjadi prioritas yang melebihi keluarga, dan uang menjadi satu-satunya penghiburan; (3) Pasangan berkonflik, pasangan merasa tidak puas dalam aspek seks, kepribadian pasangan, komunikasi, dan pemecahan masalah yang mereka hadapi. Pasangan dari tipe ini yang mencari kepuasan dari dimensi eksternal, seperti menekuni hobi secara berlebihan atau mencari pelarian dalam ritual keagamaan; (4) Pasangan tradisional, pasangan menemukan kepuasan dalam banyak aspek kehidupan rumah tangga mereka tetapi memiliki masalah serius dalam aspek komunikasi dan seksual. Kebahagiaan pasangan berasal dari aspek religius dan hubungan yang baik serta kedekatan dengan kerabat dan teman-teman rumah tangga relatif stabil dan bertahan lebih lama; (5) Pasangan seimbang, pasangan merasa cukup pada kemampuan komunikasi dan resolusi konflik, memiliki kesamaan aspek aktivitas waktu luang, pengasuhan anak dan seksualitas, serta lebih mementingkan kepentingan keluarga batih; (6) Pasangan harmonis, pasangan puas dengan pasangannya, ekspresi kasih sayang yang ditunjukkan serta seksual, namun menganggap anak sebagai hambatan dalam hubungan; (7) Keluarga penuh vitalitas, pasangan menunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi, menjalin hubungan dengan baik, kepribadian yang saling melengkapi, mampu menjalin komunikasi dengan baik, mencari solusi dari konflik, puas secara seksual maupan secara finansial dan juga berasal dari keluarga harmonis.
Kepuasan Perkawinan Duvall & Miller (1989) dalam Nurani (2004), kepuasan perkawinan meliputi ekspresi afeksi yang terbuka satu sama lain, terjalinnya rasa saling percaya, tidak ada dominasi satu terhadap lainnya, komunikasi yang bebas dan terbuka antar pasangan, kesesuaian kehidupan seksual, melakukan kegiatan bersama dalam hal aktivitas di luar rumah, tempat tinggal relatif stabil, dan penghasilan yang memadai. Keluarga bahagia adalah keluarga yang memiliki iklim hidup psikologis yang memberikan nilai-nilai kepuasan yang mendalam kepada para anggotanya,
38 sehingga dirasakan bahwa kepuasan itu diperolehnya dalam situasi yang nyaman, penuh kehangatan, kegembiraan dan penuh rasa aman serta merasa terlindungi. Pandangan ini menunjukan bahwa jika kepuasan terpenuhi maka kebahagiaan pun dapat tercapai (Rifai 1999 dalam Tati 2004). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan menurut Rice (1983) antara lain: (1) Status pekerjaan, tingkat pendapatan dan pendidikan; (2) Kepuasan terhadap pekerjaan; (3) Sehat mental dan fisik; (4) Menghabiskan proporsi waktu luang dalam aktivitas kebersamaan terbesar; (5) Komunikasi verbal dan nonverbal yang baik; (6) Mengekspresikan afeksi; (7) Saling mempercayai satu sama lain; (8) Nyaman terhadap harapan akan peran pasangan dalam pernikahan dan adanya peran yang fleksibel. Menurut Blood dan Wolfe (1960) dalam Sari (2004), kepuasan dalam perkawinan dapat dicapai dengan memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya meliputi: (1) Kebutuhan akan self-esteem (penghargaan), (2) Kebutuhan akan companionship (persahabatan), (3) Kebutuhan untuk dimengerti. Penelitian yang dilakukan Fitasari (2004) menunjukkan bahwa tingkat pendapatan akan mempengaruhi kepuasan perkawinan dimana semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pula kepuasan perkawinan. Semakin tinggi konflik dalam keluarga maka akan semakin menurunkan tingkat kepuasan yang dicapai keluarga.
Kondisi Anak Keterampilan Sosial Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial (Hurlock 1980). Menurut Satoto (1990) proses menuju kesesuaian tuntutan sosial mencakup tiga komponen yaitu belajar berperilaku dengan cara yang disetujui secara sosial, bermain dalam peranan yang disetujui secara sosial, dan pengembangan sikap sosial. Golemen (2006) mengemukakan bahwa keterampilan sosial merupakan modal dalam membina suatu interaksi sosial yang baik dengan individu dan lingkungan. Menurut Hurlock (1980) anak yang memiliki perilaku sosial yang sukses memiliki ciri-ciri mampu bekerjasama, persaingan sehat, kemampuan berbagi, minat untuk diterima, simpati, empati, keterikatan (depedency), persahabatan, keinginan bermanfaat, imitasi dan perilaku lekat (attachment behavior).
39 Megawangi (1999) berpendapat bahwa bekal paling penting bagi anak adalah kematangan emosi-sosialnya, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis sebagaimana juga dalam kehidupan sosialnya. Kematangan emosi-sosial anak ditentukan sejak anak lahir dan sejauhmana orangtua dapat membentuk kedekatan psikologis dengan anak-anaknya. Menurut Berns (1997) perilaku prososial meliputi perilaku yang memberikan manfaat bagi orang lain, seperti altruism, sharing, dan cooperation. Goleman (2007) membagi kecerdasan sosial menjadi dua yaitu: 1) Kesadaran sosial yaitu kesadaran sosial merujuk pada pemahaman keadaan batiniah orang lain sampai memahami perasaan dan pikirannya, meliputi: (1) empati dasar, merasakan yang dirasakan orang lain dan merasakan isyaratisyarat emosi nonverbal; (2) penyelarasan, mendengarkan dengan penuh reseptivitas, menyelaraskan diri pada seseorang; (3) ketepatan empatik, memahami pikiran, perasaan, dan maksud orang lain; (4) pengertian sosial, mengetahui bagaimana dunia sosial bekerja. 2) Fasilitas sosial yaitu semata-mata hanya merasakan bagaimana orang lain merasa atau mengetahui apa yang mereka pikirkan atau niatkan, yang meliputi: (1) sinkroni, berinteraksi secara mulus pada tingkat nonverbal; (2) presentasi diri, mempresentasikan diri sendiri secara efektif; (3) pengaruh, membentuk hasil interaksi sosial; (4) kepedulian, peduli akan kebutuhan orang lain dan melakukan tindakan yang sesuai dengan hal itu. Menurut Santrock dan Yussen (1989), isu-isu yang dapat dikaitkan dengan perkembangan sosial anak adalah: (1) Dependency yang didefinisikan sebagai ketergantungan antara satu orang kepada yang lain yang meliputi kebutuhan untuk ditolong dan dibantu, dipelihara dan dirawat, disayangi dan dilindungi. (2) Otonomi yang didefinisikan sebagai belajar untuk mengontrol dirinya agar dapat mengerjakan sesuatu tanpa adanya bantuan dari orang lain. (3) Mastery yang diartikan sebagai penguasaan akan sesuatu yang merupakan keunggulan individu. (4) Kompetensi yang diartikan sebagai kecakapan/kemahiran. Anak-anak
pada
masa
sekolah
dasar
ini
masih
membutuhkan
pertolongan dalam membentuk tingkah lakunya sesuai dengan situasi, kondisi dan aturan-aturan yang semuanya baru baginya. Anak-anak membutuhkan rasa
40 aman dari kedua orangtuanya dan orang-orang dewasa di lingkungannya. Melalui pengalaman-pengalaman di rumah inilah, anak diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap pengalaman-pengalamannya di sekolah. Erikson mengatakan bahwa pengalaman yang terpenting pada masa sekolah ini adalah dalam kerjasama antar teman, sikap-sikap terhadap kerja, dan kelompok persahabatan. Bila pengalaman pada masa ini banyak membawa perasaan cemas, maka akan menimbulkan perasaan inferiority terhadap kemampuan dan kedudukannya diantara teman-temannya. Anak membutuhkan perlindungan dan pengalaman yang kaya serta bervariasi dari seseorang, melalui kecintaan dalam asuhannya (Rudyanto 2007). Menurut Gunarsa (2003), beberapa faktor yang menentukan serta berapa jauh akan menimbulkan masalah pada anak yang terpaksa terpisah dari ibunya atau tokoh pengganti ibu tempat anak memperlihatkan keterikatannya adalah: 1) Lamanya dan seringnya perpisahan yang terjadi. Perpisahan yang lama tanpa adanya tokoh pengganti pengganti akan menimbulkan akibat yang menyulitkan dirinya maupun orang lain, secara khusus terlihat pada kehidupan dan perwujudan emosinya. Demikian pula bilamana sering terjadi perpisahan tanpa ada tokoh pengganti yang benar-benar bisa memenuhi semua kebutuhan anak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang sedang dialami pada tahapan perkembangannya. 2) Kondisi perawatan atau pengasuhan ketika terjadi perpisahan. Pengganti ibu bisa berperan sebagai tokoh pada siapa anak mengalihkan objek keterikatannya dengan ibunya ke tokoh tersebut. Adakalanya pengganti ibu bisa memperlihatkan sikap, memperlakukan anak, memberikan jawaban dan rangsangan yang memuaskan anak, sehingga anak lambat laun menjadi terikat dengan tokoh pengganti ibu. 3) Sikap ibu atau tokoh setelah terjadi pertemuan kembali. Sikap ibu atau tokoh sangat penting agar anak bisa cepat memulihkan keterikatan terhadapnya. Sikap menerima dan mengerti bahwa anak telah kesal atau kecewa dan membiarkan anak untuk sementara waktu menampilkan kekecewaan atau kejengkelan akan banyak menolong anak mempercepat pulihnya kekeadaan semula sebelum terjadi perpisahan. 4) Masa perkembangan ketika terjadi perpisahan. Perpisahan yang terjadi pada masa pertama terjadinya keterikatan dengan ibu atau tokoh akan berakibat lebih buruk daripada kalau perpisahan terjadi pada masa-masa yang lain.
41 5) Keadaan atau corak hubungan antara anak dengan ibu atau tokoh sebelum terjadi perpisahan. Keterikatan yang longgar menyebabkan anak tidak terlalu merasa kehilangan bahkan mudah untuk mencari atau memperoleh tokoh pengganti dengan siapa ia merasa lebih terikat. Masa-masa terjadinya keterikatan dengan orangtua atau tokoh khusus merupakan masa-masa penting, keterpisahan bisa mempengaruhi timbulnya gangguan dalam kepribadian bayi atau anak. Wibono (2007) melihat adanya suatu hubungan antara penyesuaian diri pada masa kanak-kanak dengan keberhasilan bergaul, lebih hangat dan terbuka menghadapi orang lain dimasa dewasa. Penyesuaian diri didefinisikan sebagai reaksi seseorang terhadap rangsangan-rangsangan dari dalam diri sendiri maupun reaksi seseorang terhadap situasi yang berasal dari lingkungannya. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan anak menyesuaikan diri antara lain: 1) Kehidupan di dalam keluarga. Bila anak dididik secara otoriter dan kekerasan, maka anak akan merasa dendam dengan tokoh otoriter yang dijumpainya sehingga anak mengalami kesulitan bergaul dengan tokoh otoriter tersebut. Lain halnya dengan anak yang dibesarkan secara acuh tak acuh, seringkali memperlihatkan sikap dan perasaan kurang peduli terhadap orang lain. 2) Anak tidak memperoleh model yang baik di rumahnya terutama dari orangtuanya. Pada usia sekolah ini disebut juga sebagai usia kelompok yang ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas-aktivitas teman dan meningkatnya keinginan kuat untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan tidak puas bila tidak bersama teman-temannya. Menurut Hurlock (1980), beberapa cara peningkatan sosialisasi melalui keanggotaan kelompok yaitu belajar kepada kelompok, belajar menyesuaikan diri dengan standar kelompok, belajar bermain dan olah raga, belajar turut berbagi rasa dengan orang yang dianiaya, belajar bersikap sportif, belajar menerima dan melaksanakan tanggungjawab, belajar bersaing dengan orang lain, belajar perilaku sosial yang baik, belajar bekerjasama, belajar bebas dari orang-orang dewasa. Penelitian Jatiningsih (2004) menunjukkan bahwa perkembangan sosial anak pada buruh nelayan yang tergolong rendah lebih banyak bila dibanding dengan anak juragan nelayan dikarenakan keadaan ekonomi buruh nelayan juga lebih rendah bila dibanding
42 dengan juragan nelayan. Keadaan ekonomi yang cukup menyebabkan orangtua lebih punya banyak waktu untuk membimbing anaknya karena orangtua tidak lagi memikirkan keadaan ekonomi yang kurang. Penelitian yang dilakukan kepada keluarga nelayan ditemukan bahwa jenis kelamin anak memiliki pengaruh nyata terhadap perkembangan sosial anak. Anak laki-laki memiliki perkembangan sosial yang lebih rendah bila dibandingkan dengan perempuan (Jatiningsih 2004). Seorang ayah lebih terlihat berbeda dalam pengasuhan terhadap anak laki-laki atau perempuan dibanding ibu (Huston 1983; Fagot 1995 dan Lamb 1981 dalam Berns 1997). Orangtua lebih menekankan anak perempuan untuk berperilaku prososial dan sopan, sementara anak laki-laki ditekankan pada perilaku melindungi. Urutan kelahiran atau posisi diantara saudara kandung menentukan rencana kehidupan yang akan ditiru. Persaingan untuk memperoleh perhatian, hubungan yang terjadi antara saudara kandung, harapan orangtua yang berbeda mengenai perilaku antara saudara kandung dan kepribadian anak perlu diperhitungkan dalam keluarga (Bigner 1979). Misalnya, anak yang lahir pertama mungkin
akan
meniru
pola
perilaku
yang
mempunyai
kekuatan
yang
bertentangan pertama dengan interaksi antara saudara kandung dan orangtua, yang kedua dengan anggota di luar kelompok keluarganya. Urutan posisi anak di dalam keluarga mempengaruhi penampilan anak. Anak yang lahir kemudian cenderung diterima oleh kelompok sebaya daripada anak sulung (Hurlock 1980).
Stres Anak Stres adalah proses yang terjadi saat individu harus menyesuaikan diri dengan suatu keadaan yang biasanya dimanifestasikan oleh sindrom spesifik. Stres merupakan tuntutan perasaan terhadap perubahan lingkungan yang terjadi tiba-tiba (Melson 1980). Badran (2006) dalam Aprilianti (2007), mengelompokkan sumber stres menjadi: (1) Sumber stres yang bersifat internal (berasal dari dalam jiwa seseorang itu sendiri), (2) Sumber stres yang bersifat eksternal (berasal dari luar seperti pekerjaan, hubungan dengan teman dan perbedaan pendapat dengan mereka, pertengkaran bersama pasangan, perceraian, kematian seseorang yang dicintai, dan mengalami suatu peristiwa yang mengejutkan). Teori stres yang digambarkan dengan model stres ABC-X. Model stres McCubbin dan Paterson (1980) menjelaskan perbedaan dalam adaptasi keluarga
43 pada masa setelah krisis. Setiap variabel saling berinteraksi satu dengan lainnya.Variabel dalam model ini digambarkan sebagai berikut: a. Faktor AA: Sumber stres bertumpuk, artinya terdapat lebih dari satu sumber stres utama dalam keluarga b. Faktor BB: Sumber koping keluarga, yaitu kemampuan keluarga untuk menghadapi tuntutan-tuntutan yang dihadapi. c. Faktor CC: Penilaian atau persepsi terhadap sumber stres, yaitu interpretasi subjek terhadap sumber stres d. Faktor XX: Adaptasi keluarga yang merupakan konsep utama dalam usaha mencapai keseimbangan setelah krisis. Stres yang terjadi pada setiap orang berbeda-beda, hal ini dapat dilihat dari gejala-gejala yang dialaminya. Gejala stres dapat dilihat dari segi fisik maupun ciri-ciri segi mental. Berdasarkan segi fisik dapat dilihat bahwa dalam keadaan stres terjadi berbagai perubahan pada fisik seseorang. Para ahli mengatakan bahwa perubahan itu diakibatkan karena adanya aktivitas besar pada alat terpenting yang berfungsi untuk menggerakkan tubuh ketika menghadapi suatu bahaya/reaksi refleks. Akibat adanya aktifitas itu dapat mempengaruhi anggota tubuh lainnya yang berhubungan. Misalnya tangan berkeringat lebih banyak, perut terasa mual, pencernaan terasa sakit, denyut jantung naik, suara serak, sering baung air kecil. Sedangkan berdasarkan segi mental, stres dapat mengganggu mental dan perasaan seseorang serta menyebabkan berbagai kelainan pada dirinya sendiri seperti gampang tersinggung, tidak percaya diri, ragu-ragu mengambil keputusan, susah tidur, merasa lemah dan gagal (Badran 2005 dalam Aprilianti 2007).
Prestasi Akademik Kognitif berasal dari bahasa latin “cognition” yang bermakna untuk mengetahui. Kogitif merupakan suatu proses dari pengetahuan yang mencakup kesadaran (awareness) dan penilaian (judgement). Kognitif berhubungan dengan atau merupakan aktivitas intelektual yang disadari seperti berfikir (thinking), menjelaskan
(reasoning),
membayangkan
(imagining),
mempelajari
kata
(learning words) dan mengungkapkan bahasa (using language) (Webster 1993 dalam Hastuti 2006). Crain (2007) menjelaskan teori kognitif Piaget meliputi empat periode, yaitu:
44 1) Periode I : Kepandaian Sensori-Motorik (dari lahir-2 tahun). Individu/bayi mengorganisasikan skema tindakan fisik mereka seperti menghisap, menggenggam, dan memukul untuk menghadapi dunia yang muncul di hadapannya. 2) Periode II : Pikiran Pra-Operasional (2-7 tahun). Individu/anak-anak belajar berfikir (menggunakan simbol-simbol dan pencitraan batiniah) namun pikiran anak-anak belum sistematis dan tidak logis. Pikiran di titik ini sangat berbeda dengan pikiran orang dewasa. 3) Periode III :
Operasional
kongkret
(7-11
tahun).
Individu/anak-anak
mengembangkan kemampuan berfikir sistematis, namun hanya ketika mereka dapat kepada objek-objek dan aktivitas-aktivitas konkret. 4) Periode IV :
Operasional
Formal
(11
tahun-dewasa).
Individu
mengembangkan kemampuan untuk berfikir sistematis menurut rancangan yang murni abstrak dan hipotesis. Menurut Somantri (1978) dalam Nurani (2004) prestasi akademik anak dapat diukur dengan melalui skor prestasi dari berbagai mata pelajaran yang meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Bahasa Inggris, Pendidikan Agama. Skor prestasi belajar adalah hasil yang dicapai siswa dalam waktu kurun tertentu yang diwujudkan dalam bentuk angka yang dirumuskan dalam rapor. Prestasi akademik yang dicapai seseorang individu merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi baik dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri individu (faktor eksternal). Pengenalan dan pemahaman
seseorang
akan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
prestasi
akademik merupakan langkah yang sangat penting untuk mencapai prestasi sebaik-baiknya (Suryabrata 2001 dalam Nurani 2004). Faktor yang mempengaruhi prestasi akademik yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek fisiologis (keadaan jasmani dan fungsi fisiologis) dan aspek psikologis (kecerdasan, prestasi yang telah dimiliki, serta unsur kepribadian seperti sikap, kebiasaan, bakat, kebutuhan motivasi, emosi, dan penyesuaian diri, sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar meliputi lingkungan sosial dan non sosial. Faktor sosial yaitu lingkungan keluarga (hubungan individu dengan anggota keluarga, besar keluarga, bentuk keluarga, pendidikan orangtua, keadaan ekonomi keluarga), sekolah (fisik sekolah, fisik ruangan, kelengkapan alat pelajaran, disiplin sekolah,
45 metode belajar mengajar, hubungan siswa dengan guru), dan masyarakat (kegiatan yang diikuti oleh individu seperti klub olah raga) (Hadawi 2001 dalam Nurani 2004). Adanya afeksi, penerimaan dan kehangatan yang diterima oleh anak dari ayah serta ibunya terlihat dari adanya penyesuaian diri dan nilai prestasi akademik yang baik dari anak sekolah (Hadawi 2001 dalam Nurani 2004). Hurlock (1980) mengutarakan bahwa pekerjaan di sekolah dan sikap anak terhadap sekolah sangat dipengaruhi oleh hubungan dengan anggota keluarga. Hubungan keluarga yang sehat dan bahagia menimbulkan dorongan untuk berprestasi, sedangkan hubungan yang tidak sehat dan bahagia menimbulkan ketegangan emosional yang biasanya memberikan efek buruk pada kemampuan berkonsentrasi dan kemampuan untuk belajar. Gunarsa dan Gunarsa (2008) juga mengungkapkan bahwa hubungan yang terjalin antara anak dengan orangtuanya ataupun dengan saudaranya, sikap, perhatian dan minat orangtua serta status sosial ekonomi orangtua mempengaruhi prestasi anak di sekolah. Kajian Sarah McLanahan
dan
Gary
Sanderful
(1994)
dalam
Crittenden
(1999)
menginformasikan bahwa anak-anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu kemungkinan mengalami dua kali lebih besar untuk putus sekolah dibandingkan dengan anak-anak yang dibesarkan oleh kedua orangtuanya.
46 KERANGKA PEMIKIRAN Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) merupakan keluarga yang mengalami perpisahan dengan istri dalam jangka waktu yang relatif lama. Ketiadaan istri dalam keluarga menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga TKW. Secara tradisional, pola keluarga patriarki menempatkan istri sebagai pihak yang mengurusi pekerjaan domestik, terutama mengasuh anak. Ketidakseimbangan dalam ekosistem keluarga TKW dikarenakan adanya perubahan fungsi dan peran sebagai tanggapan menuju keseimbangan baru. Dalam keadaan ini keluarga TKW membutuhkan penyesuaian atas perubahan fungsi dan peran anggota keluarga. Keabsenan fungsi yang ditinggal istri secara otomatis akan berpindah tangan menjadi tanggung jawab suami. Artinya suami memegang peran ganda untuk melaksanakan fungsi instrumental dan ekspresif. Dukungan sosial yang diterima keluarga dapat memperkecil beban peran ganda suami sebagai seorang ayah bagi anaknya dan sebagai pencari nafkah bagi keluarganya. Kegagalan tranformasi fungsi dan peran dapat menimbulkan dampak negatif pada keluarga, khususnya terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak. Komunikasi dan afeksi yang berkurang memiliki kemungkinan menurunkan kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan. Selain itu, menurut Gunarsa (2003), perpisahan yang relatif lama antara ibu dan anak bisa menjadi dasar timbulnya kesulitan-kesulitan tingkah laku dan kepribadian anak. Kemerosotan dalam hubungan keluarga juga semakin mengganggu perkembangan anak, hal ini menyebabkan perasaan tidak aman dan tidak bahagia sehingga anak akan mengalami kesulitan penyesuaian sosial di luar rumah serta menurunkan kemampuan berkonsentrasi dan belajar (Hurlock 1980).
Karakteristik TKW • Umur • Pendidikan • Pekerjaan • Pendapatan • Lama menjadi TKW
Kualitas Perkawinan • Kebahagiaan perkawinan • Kepuasan Perkawinan
Karakteristik Suami TKW dan Keluarga • • • •
Umur Pendidikan Pekerjaan Pendapatan
Fungsi Pengasuhan Anak •
•
•
•
Jumlah anggota keluarga Tempat tinggal
•
Aset dan Properti
•
Karakteristik Anak • Umur • Jenis kelamin • Nomor urut anak
Dukungan Sosial Lingkungan • Keluarga besar • Tetangga • PJTKI
Peran pengasuhan pengganti ibu Peran pengasuhan ayah Peran pengasuhan ibu sebelum menjadi TKW
Interaksi dalam Keluarga • Interaksi ibu (TKW)-anak • Interaksi ayah-anak • Interaksi suami-istri (TKW)
Kondisi Anak setelah ditinggal ibu menjadi TKW ‐ Keterampilan sosial ‐ Stres ‐ Prestasi
Gambar 2 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas perkawinan dan kondisi sosial anak pada keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) 47
METODE PENELITIAN Disain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung dengan topik “Analisis Sosial Ekonomi dan Fungsi Keluarga Tenaga Kerja Wanita”. Disain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study, yaitu penelitian yang dilakukan dalam satu waktu tertentu (Prasetyo dan Jannah 2005) dan retrospective study (masa lampau). Data cross-sectional study mencakup karakteristik kelurga saat ibu menjadi TKW, fungsi pengasuhan anak (peran pengganti ibu dan peran ayah dalam pengasuhan), interaksi dalam keluarga, kualitas perkawinan dan kondisi anak, sedangkan data berdasarkan metode retrospective yaitu merecall memori tentang karakteristik sebelum TKW (pendapatan, kondisi tempat tinggal, aset) dan peran pengasuhan ibu (TKW) sebelum menjadi TKW. Penelitian dilakukan di tiga desa yaitu Desa Cikahuripan, Cisolok, dan Cikelat, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purpossive) dengan pertimbangan Kecamatan Cisolok merupakan kecamatan yang memiliki jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sepuluh terbanyak di Kabupaten Sukabumi. Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2009 sampai Januari 2010 mencakup penyusunan proposal dan instrumen, pengambilan data, analisis data, dan penulisan laporan.
Contoh dan Teknik Penarikan Contoh Populasi penelitian ini adalah keluarga TKW yang berada di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Contoh penelitian ini adalah keluarga dari TKW yang istrinya sedang atau sudah pulang dari luar negeri (maksimal 3 bulan terhitung mundur dari waktu penelitian), istri pernah berangkat ke luar negeri minimal 6 bulan, dan memiliki anak yang masih duduk dibangku sekolah dasar. Penarikan contoh menggunakan metode purposive sampling dengan teknik snowball. Teknik snowball yang digunakan yaitu dengan mencari satu individu responden dengan karakteristik yang dicari dalam wilayah tertentu, kemudian ditanyai dengan pertanyaan dari kuesioner yang telah disiapkan. Setelah selesai, enumerator menanyakan siapa calon responden yang memiliki kriteria yang sama hingga mencapai target jumlah contoh yaitu 47 keluarga dimana 19 keluarga berasal dari Desa Cikahuripan, 12 keluarga berasal dari Desa Cisolok, dan 16 keluarga berasal dari Desa Cikelat. Responden dalam
49 penelitian ini adalah suami TKW. Metode penarikan contoh tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Propinsi Jawa Barat
purposive Kabupaten Sukabumi
purposive
Kecamatan Cisolok
Desa Cikahuripan
Desa Cisolok
purposive
Desa Cikelat
purposive
n keseluruhan= 47 responden
purposive dengan teknik snowball
Gambar 3. Metode penarikan contoh
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi: (1) karakteristik orangtua (umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, jumlah anggota keluarga, tempat tinggal, aset dan properti) dan karakteristik anak (umur, jenis kelamin, nomor urut anak); (2) dukungan sosial (keluarga luas, tetangga, PJTKI); (3) pengasuhan anak (pengasuhan ibu sebelum menjadi TKW, pengganti ibu dan ayah selama ibu menjadi TKW); (4) interaksi dalam keluarga (komunikasi dan bonding ibu anak, ayah anak, dan suami istri); (5) kualitas perkawinan (kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan); (6) kondisi anak (keterampilan sosial dan stres). Data primer diperoleh melalui wawancara langsung menggunakan alat bantu kuesioner yang relevan dengan variabel yang diteliti. Kuesioner dikembangkan oleh peneliti berdasarkan berbagai penelitian serupa terdahulu dan berdasarkan konsep teoritis. Selain itu, dilakukan indepth interview yaitu pengumpulan data dengan melakukan wawacara mendalam dengan contoh yang terpilih untuk memperoleh informasi lebih mendalam dan mengklarifikasi informasi yang diperoleh sebelumnya. Data sekunder yaitu rapor untuk mengukur
50 prestasi akademik anak dikumpulkan dari Sekolah Dasar di Kecamatan Cisolok dan data lain yang dikumpulkan dari Kantor Disnakertrans, BPS, Kantor Desa, dan instansi lain yang terkait di Kabupaten Sukabumi. Kontrol kualitas data dilakukan dengan uji reliabilitas Cronbach Alpha (0.577-0.953). Secara lebih rinci peubah, skala, responden, alat dan cara pengukuran penelitian, skala data, jumlah item pertanyaan, dan Cronbach Alpha (α) disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis data, peubah, contoh, alat dan cara pengukuran, skala data, jumlah item pertanyaan, dan chronbah alpha (α) Jenis Data Primer Primer
Primer
Primer
Primer
Primer
Sekunder
Peubah Karakteristik Keluarga Dukungan Sosial • keluarga besar • tetangga • PJTKI Pengasuhan dimensi kehangatan • pengasuhan ibu (pra TKW) • pengasuhan penggnti ibu (saat TKW) • pengasuhan ayah Interaksi dalam Keluarga • interaksi ibu-anak • interaksi ayah-anak • interaksi suami-istri Kualitas Perkawinan • kebahagiaan perkawinan • kepuasan perkawinan Perkemangan Sosial Anak • keterampilan sosial • stres • prestasi belajar Data Demografi
Contoh
Alat & Cara Pengukuran
suami
kuesioner dan wawancara
suami, istri, pengasuh pengganti
kuesioner dan wawancara
suami
suami
kuesioner dan wawancara
kuesioner dan wawancara kuesioner dan wawancara, telaah dokumen
Skala Data
Item pertan yaan
α
0.696 ordinal ordinal ordinal
4 4 4
ordinal
10
ordinal
10
0.949
ordinal
10
0.603
ordinal ordinal ordinal
20 20 20
0.912 0.783 0.910 0.813
ordinal
5
ordinal
5
ordinal ordinal rasio
7 16
0.577
0.688 0.953
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data mencakup tahapan entry, cleaning, editing, scoring, coding, dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS 13.0 for Windows. Pemberian skor terhadap setiap pertanyaan dari
51 masing-masing variabel, kemudian nilai skor tersebut dijumlahkan. Selanjutnya dikategorikan dengan menggunakan interval kelas. Interval kelas dapat dihitung dengan cara sebagai berikut : Interval kelas (Ik)= Skor maksimum- Skor minimum ∑ kategori Data karakteristik anak meliputi umur, nomor urut anak, dan jenis kelamin, sedangkan data karakteristik keluarga meliputi umur orangtua, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan per kapita, jumlah anggota keluarga, tempat tinggal, frekuensi makan keluarga, dan kepemilikan aset. Umur anak dibagi menjadi dua yaitu masa kanak-kanak akhir (9-12 tahun) dan preadolance (13-15 tahun). Umur orangtua dibagi menjadi tiga kategori yaitu dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), usia lanjut (>60 tahun) (Hurlock 1980). Tingkat pendidikan orangtua dikelompokkan menjadi tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMP, tamat SMP, tidak tamat SMA, tamat SMA, dan tamat akademi/PT. Besar keluarga dikelompokkan berdasarkan BKKBN (1996) menjadi tiga kategori yaitu kecil (≤4 orang), sedang (5-6 orang), dan besar (≥7 orang). Pendapatan per kapita per bulan diperoleh dari penjumlahan antara pendapatan keluarga dan pendapatan hasil usaha lain selama satu bulan dibagi jumlah anggota keluarga. Jumlah aset dilihat dari jumlah aset yang dimiliki keluarga antara lain rumah, lahan, alat transportasi, elektronik, furnitur, perhiasan, perlengkapan dapur, dan ternak yang diukur dari kepemilikan sebelum TKW dan saat ini. Tempat tinggal dilihat dari kondisi tempat tinggal keluarga sebelum TKW dan saat ini. Data pengasuhan dimensi kehangatan mengacu pada dimensi arahan Rohner. Gaya pengasuhan ini diberi skor 1 jika jawaban tidak pernah, skor 2 jika jawaban kadang-kadang, dan skor 3 jika jawaban sering. Gaya pengasuhan dikategorikan menjadi tiga ketegori yaitu rendah (10-16), sedang (17-23), dan tinggi (24-30). Interaksi dalam keluarga terdiri dari variabel interaksi anak dan ibu, interaksi anak dan ayah, frekuensi komunikasi anak dan ayah, interaksi suami dan istri. Interaksi terdiri dari komunikasi dan bonding. Interaksi ini diberi skor 1 jika jawaban tidak pernah, skor 2 jika jawaban kadang-kadang, dan skor 3 jika jawaban sering. Masing-masing interaksi anak dan ibu, interaksi anak dan ayah,
52 interaksi suami dan istri dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu rendah (20-33), sedang (34-47), dan tinggi (48-60). Kualitas perkawinan terdiri dari variabel kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan. Kualitas perkawinan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu rendah (10-16), sedang (17-23), dan tinggi (24-30). Keterampilan sosial anak juga dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu rendah (7-11), sedang (1216), dan tinggi (17-21). Stres anak dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu rendah (16-26), sedang (27-37), dan tinggi (38-48). Baik kualitas perkawinan maupun perkembangan sosial anak sebelum pengkategorian, terlebih dahulu diberi skor 1 jika jawaban tidak pernah, skor 2 jika jawaban kadang-kadang, dan skor 3 jika jawaban sering. Prestasi belajar anak dikategorikan menjadi sangat baik (81-90), baik (71-80), cukup (61-70), dan kurang (50-60). Analisi statistik yang digunakan untuk mengolah data adalah : 1. Uji Cronbach Alpha digunakan untuk uji kekonsistenan antar item pertanyaan. 2. Analisis Deskriptif dilakukan untuk menyajikan gambaran berbagai variabel yang diteliti dalam kuesioner dan penjelasan dari wawancara mendalam (indepth interview). 3. Uji beda Independent T-test untuk menguji perbedaan pengasuhan ibu, pengasuhan pengganti ibu, dan pengasuhan ayah; interaksi ibu dan anak dengan interaksi ayah dan anak. 4. Uji Korelasi Spearman untuk mengetahui hubungan antar variabel 5. Uji Regresi Linear Berganda untuk menguji faktor-faktor yang berpengaruh secara
langsung
terhadap
kualitas
perkawinan
dan
kondisi
anak
(keterampilan sosial, stres, dan prestasi akademik).
Definisi Operasional TKI adalah tenaga kerja Indonesia laki-laki dan perempuan yang bekerja di luar negeri baik legal maupun illegal. TKW adalah tenaga kerja wanita yang bekerja di luar negeri baik legal maupun illegal Pra TKW adalah waktu dimana TKW masih tinggal bersama keluarga dan belum bekerja menjadi TKW untuk pertama kalinya. Pasca TKW adalah TKW yang sedang bekerja di luar negeri atau telah pulang dari luar negeri maksimal 3 bulan.
53 Karakteristik Keluarga adalah ciri-ciri dari aspek sosial ekonomi yang melekat pada istri dan suami berupa umur, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan, jumlah anggota keluarga, tempat tinggal, serta aset dan properti; umur anak, jenis kelamin anak, nomor urut anak. Umur adalah usia suami, istri, dan anak saat penelitian berlangsung yang dinyatakan dalam tahun. Tingkat Pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang dicapai oleh anggota keluarga. Pekerjaan adalah jenis profesi yang digeluti oleh ayah/ibu dan anak yang mencakup pekerjaan utama dan sampingan yang mendapat imbalan berupa gaji/upah. Pendapatan adalah upah, gaji, atau hasil yang diperoleh dari semua anggota keluarga, baik barang, jasa dan lain-lain yang dinilai dengan uang selama satu bulan. Jumlah Anggota Keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih tinggal dalam satu rumah atau tidak yang masih menjadi tanggungan keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dikelompokkan berdasarkan kriteria BKKBN (keluarga kecil ≤ 4 orang, keluarga sedang 5-6 orang, keluarga besar ≥ 7 orang,) Tempat Tinggal adalah keadaan rumah mulai dari sanitasi dan pemenuhan standar dari sebuah rumah. Aset dan Properti adalah seluruh kekayaan keluarga berupa rumah, lahan, alat transportasi, elektronik, furniture, perhiasan, perlengkapan dapur, dan ternak. Dukungan Sosial adalah bantuan yang diterima keluarga berupa dukungan emosi, instrumental, dan informasi dari keluarga besar, tetangga, dan PJTKI (Perusahaan pengiriman Jasa Tenaga Kerja Indonesia). Pengasuh
Anak
adalah
orang
yang
melakukan
pengasuhan
dimensi
kehangatan, meliputi pengasuhan ibu sebelum menjadi TKW, pengganti ibu dan ayah saat ibu menjadi TKW. Pengasuhan
Dimensi
Kehangatan
adalah
pengasuhan
yang
diukur
berdasarkan aspek pengasuhan penerimaan dan pengasuhan penolakan. Pengasuhan Penerimaan adalah menerima keberadaan anak dengan kasih sayang dan kehangatan. Secara verbal diungkapkan dengan pujian,
54 penghargaan, dan kata-kata yang indah dan secara fisik diungkapkan dengan pelukan, ciuman, elusan dan lain-lain. Pengasuhan Penolakan adalah menolak keberadaan anak dengan cara mengabaikan,
kemarahan,
dan
menghukum,
yang
secara
fisik
diekspresikan dengan memukul, mencubit, menendang, mencakar, menampar. Secara verbal diekspresikan dengan mengutuk, mencaci, mengucapkan kata-kata kasar dan kotor kepada anak. Interaksi dalam Keluarga adalah hubungan antar anggota keluarga (orangtuaanak dan suami-istri) yang dilandasi oleh perasaan, perkataan, dan perlakuan anggota keluarga yang dilakukan setiap hari. Interaksi orangtua dan anak diwujudkan dalam bentuk komunikasi dan bonding. Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kualitas Perkawinan diukur berdasarkan kebahagiaan dan kepuasan menurut persepsi suami dalam menilai kehidupan perkawinannya. Kebahagiaan Perkawinan diukur berdasarkan komunikasi dengan pasangan, komunikasi
dengan
keluarga
pasangan,
perilaku
pasangan,
penghargaan, dan komitmen perkawinan. Kepuasan
Perkawinan
diukur
berdasarkan
frekuensi
dan
keterbukaan
komunikasi, keuangan keluarga, hubungan afeksi, hubungan yang setara dengan pasangan, dan komitmen terhadap perkawinan. Keterampilan Sosial adalah kemampuan bergaul dengan orang lain. Stres adalah perasaan tidak nyaman akibat menghadapi kondisi yang berubah. Prestasi adalah nilai akademik yang diperoleh anak selama duduk dibangku sekolah dasar dan diukur dalam empat semester pertemuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat merupakan daerah unik karena memiliki kontur wilayah yang bervariasi mulai dari laut, pantai, dataran rendah serta perbukitan dan pegunungan. Luas wilayah Kecamatan Cisolok mencapai 17.806,726 hektar. Secara geografis, sebelah utara dibatasi oleh Kecamatan Kabandungan, sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Indonesia, sebelah timur
dibatasi oleh Kecamatan Cikakak, dan
sebelah barat dibatasi Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak. Kecamatan ini terdiri dari 11 desa, 52 dusun, 87 RW, 334 RT. Jumlah penduduk secara keseluruhan yaitu sebanyak 60.578 orang. Selain memiliki daerah pertanian yang luas, Kecamatan Cisolok juga memiliki daerah wisata yang biasa dikunjungi turis lokal maupun Internasional. Adapun mata pencaharian penduduk Kecamatan Cisolok mayoritas adalah petani, sedangkan sebagian kecil adalah nelayan, pedagang, buruh, serta jasa.
Desa Cisolok Desa Cisolok merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Cisolok. Desa Cisolok memiliki luas wilayah 767 hektar dengan ketinggiaan antara 0-300 meter di atas air laut, dengan bentang lahan sebanyak 40 persen berupa daratan dan 60 persen berupa wilayah perbukitan. Daerah ini memiliki tempat wisata pantai dengan luas wilayah 15 hektar. Sebelah utara Desa Cisolok dibatasi oleh Desa Cikelat, sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Indonesia, sebelah timur dibatasi oleh Desa Karang Papak, dan sebelah barat dibatasi oleh Desa Cikahuripan. Wilayah Desa Cisolok terdiri dari 4 dusun dengan 13 RW dan 46 RT. Jumlah penduduk desa sebanyak 8.414 orang. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani (250 orang), nelayan (103 orang), Pegawai Negeri Sipil (101 orang) dan buruh tani (99 orang), sedangkan yang lain bermata pencaharian sebagai pedagang keliling, pensiunan PNS, pengusaha kecil atau menengah, buruh migran dan lain-lain. Partisipasi pendidikan di Desa Cisolok dapat digambarkan berdasarkan jumlah penduduk yang menempuh pendidikan tertentu. Data potensi desa
56 menunjukan terdapat 1112 orang yang tidak pernah sekolah, 876 orang tidak tamat sekolah dasar, 507 orang tamat sekolah dasar, 1679 orang tamat SMP/Sederajat,
1042
orang
tamat
SMA/Sederajat,
562
orang
tamat
D1/Sederajat, 303 orang tamat D2/Sederajat, 122 orang tamat D3/Sederajat, 338 orang tamat S1/Sederajat, 70 orang tamat S2/Sederajat, dan 47 orang tamat S3/Sederajat.
Desa Cikahuripan Desa Cikahuripan memiliki luas wilayah 702 hektar. Wilayah berada pada ketinggiaan 0-300 dengan bentang lahan 30 persen merupakan daratan dan 70 persen adalah wilayah perbukitan. Desa Cikahuripan merupakan desa pantai yang berbasis pada sumber daya bahari. Sumber pendapatan utama penduduk berasal dari
hasil tangkapan ikan di laut. Dilihat dari tipologi wilayahnya,
sebagian besar Desa Cikahuripan merupakan tanah yang terjal dan berbukit, sehingga pemukiman penduduk mengikuti garis pantai (mendekati pantai) yang banyak memiliki lahan yang relatif lebih datar. Sebagian besar wilayah Desa Cikahuripan merupakan daerah hutan atau perkebunan dengan tipologi pegunungan. Sebelah utara dibatasi oleh Desa Gunung Tanjung, sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Indonesia, sebelah timur dibatasi oleh Desa Cisolok, sebelah barat dibatasi oleh Desa Pasir Baru. Wilayah Desa Cikahuripan terdiri dari 3 dusun dengan 15 RW dan 36 RT. Jumlah penduduk desa sebanyak 5.863 orang. Mata pencaharian penduduk Desa Cikahuripan cukup beragam. Lebih dari separuh (1425) penduduk desa Cikahuripan bermata pencaharian sebagai nelayan, hampir seperempat (600) penduduk desa Cikahuripan bermata pencaharian sebagai buruh tani. Sisanya, mata pencaharian penduduk desa Cikahuripan meliputi petani (126), pegawai negeri (41), buruh migran (28), pedagang keliling (25), dan lain-lain. Sebagian besar (3073) penduduk Desa Cikahuripan memiliki tingkat pendidikan tamat SD/Sederajat, lebih dari sepersepuluh (456) penduduk desa Cikahuripan menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat SMP/Sederajat, hampir
sepersepuluh
(408)
penduduk
desa
Cikahuripan
menyelesaikan
pendidikannya sampai tingkat SMA/Sederajat. Hanya seperduapuluh (224) penduduk desa Cikahuripan memiliki tingkat pendidikan tamat perguruan tinggi, walaupun demikian penduduk di Desa Cikahuripan masih ada yang belum tamat SD dan juga masih buta aksara dan huruf/angka latin.
57 Desa Cikelat Desa Cikelat memiliki luas wilayah 1.627,726 hektar dengan persentase lahan sebanyak 20 persen berupa daratan dan 80 persen adalah wilayah perbukitan. Sebelah utara Desa Cikelat dibatasi oleh Desa Cicadas, sebelah selatan dibatasi oleh Desa Cisolok, sebelah timur dibatasi oleh Desa Karang Papak dan Cicadas, sebelah barat dibatasi oleh Desa Gunung Karamat dan Gunung Tanjung. Wilayah Desa Cikelat terdiri dari 6 dusun dengan 6 RW dan 38 RT. Jumlah penduduk Desa Cikelat berdasarkan data Laporan Tahunan Desa Tahun 2008 adalah 7988 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki 4020 jiwa dan perempuan 3968 jiwa. Mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah petani dan buruh tani.
Karakteristik Keluarga Umur Orangtua Umur suami berkisar antara 29 hingga 51 tahun dengan rata-rata umur 38.04 tahun. Umur istri berkisar antara 25 hingga 45 tahun dengan rata-rata umur 32.57 tahun. Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa sebagian besar (74.47%) suami dan hampir seluruh (97.87%) istri tergolong pada golongan dewasa awal. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi terbesar suami dan istri termasuk dalam usia produktif. Tabel 5 Sebaran contoh (%) berdasarkan umur orangtua (n=47) No
Umur (Tahun)
1 Dewasa Awal (18-40 tahun) 2 Dewasa Madya (41-60 tahun) Total Rata-rata±sd keterangan: Klasifikasi menurut Hurlock (1980)
Suami % 74.47 25.53 100.00 38.04±5.469
Istri % 97.87 2.13 100.00 32.57±4.680
Besar Keluarga Jumlah anggota keluarga contoh berkisar antara 3 sampai 11 orang dengan rata-rata 4.70 orang. Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa lebih dari separuh (51.06%) keluarga contoh memiliki jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh termasuk dalam keluarga kecil.
58 Tabel 6 Sebaran contoh (%) berdasarkan besar keluarga (n=47) No Besar Keluarga 1 Kecil (≤4 orang) 2 Sedang (5-6 orang) 3 Besar (≥7 orang) Total Rata-rata±sd Keterangan: Klasifikasi menurut BKKBN (1996)
% 51.06 40.43 8.51 100.00 4.70±1.458
Tingkat Pendidikan Orangtua Tingkat pendidikan suami bervariasi mulai dari tidak pernah sekolah hingga tamat dari perguruan tinggi, sedangkan tingkat pendidikan formal istri berkisar mulai dari tamat Sekolah Dasar (SD) sampai dengan tamat Sekolah Menengah Atas (SMA). Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa persentase terbesar tingkat pendidikan suami (51.06%) dan istri (85.11%) ialah tamat Sekolah Dasar (SD). Persentase terkecil (2.13%) tingkat pendidikan suami adalah tamat perguruan tinggi, sedangkan persentase terkecil (2.13%) tingkat pendidikan yang ditempuh istri adalah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA). Mengacu kepada batas tingkat pendidikan dasar sembilan tahun yang dicanangkan oleh pemerintah, maka lama pendidikan yang ditempuh oleh sebagian besar suami dan istri (masing-masing 74.42% dan 85.11%) adalah kurang dari 9 tahun. Hal ini berarti bahwa rata-rata pendidikan yang ditempuh suami dan istri termasuk dalam pendidikan rendah. Tabel 7 Sebaran contoh (%) berdasarkan tingkat pendidikan suami dan istri (n=47) No 1 2 3 4 5 6 Total
Tingkat pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Akademi/PT
Suami % 4.26 19.15 51.06 14.89 8.51 2.13 100
Istri % 0 0 85.11 12.77 2.13 0 100
Pekerjaan Orangtua Pekerjaan suami sangat bervariasi bila dibandingkan dengan pekerjaan istri sebelum bekerja sebagai TKW. Tabel 8 menyajikan bahwa persentase terbesar (29.79%) pekerjaan suami bekerja sebagai nelayan. Hanya sebagian kecil (6.38%) saja suami yang tidak memiliki pekerjaan saat penelitian berlangsung. Sebagian besar (70.21%) suami tidak mempunyai pekerjaan
59 sampingan yang dapat memberikan tambahan pendapatan keluarga. Hanya 29.79 persen suami yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai tukang ojek, petani, dan buruh bangunan. Sebelum istri bekerja sebagai TKW, hampir seluruh (85.11%) istri merupakan ibu rumah tangga. Hanya sepertujuh (14.89%) istri yang bekerja baik sebagai pedagang atau kredit, petani, karyawan, dan pembantu rumah tangga (Tabel 8). Tabel 8 Sebaran contoh (%) berdasarkan pekerjaan suami dan istri sebelum menjadi TKW (n=47) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
Pekerjaan Petani Nelayan Pedagang/Kredit Pengrajin Buruh tani Buruh angkutan Buruh bangunan Wiraswasta PNS Swasta Tidak bekerja/IRT Lain-lain
Suami (Saat TKW) % 8.51 29.79 4.26 2.13 8.51 6.38 10.64 19.15 2.13 0 6.38 2.13 100
Istri (Pra TKW) % 4.26 0 6.38 0 0 0 0 0 0 2.13 85.11 2.13 100
Keadaan Ekonomi Keluarga Contoh Total Pendapatan Keluarga. Total pendapatan keluarga contoh berkisar antara kurang dari Rp 630 000,00 sampai dengan Rp 5 000 000,00 per bulan sebelum istri menjadi TKW, sedangkan pendapatan keluarga contoh setelah istri menjadi TKW berkisar antara Rp 900 000,00 sampai dengan lebih dari Rp 5 670 000,00 per bulan. Persentase terbesar (61.70%) pendapatan per bulan keluarga contoh sebelum istri menjadi TKW adalah kurang dari Rp 1 000 000,00. Namun setelah istri menjadi TKW, terdapat peningkatan pendapatan perbulan keluarga contoh dengan persentase terbesar (40.43%) memiliki pendapatan antara Rp 2 000 001,00 sampai dengan Rp 3 000 000,00. Dengan demikian, secara garis besar dapat dikatakan bahwa rata-rata pendapatan per bulan keluarga sebelum istri menjadi TKW sebesar Rp 1 138 723,00, sedangkan saat istri menjadi TKW rata-rata pendapatan per bulan meningkat hampir tiga kali lipat menjadi Rp 3 247 670,00. Hal ini menunjukkan bahwa istri memiliki kontribusi besar dalam
60 peningkatan pendapatan per bulan keluarga, sehingga keadaan ekonomi pada keluarga contoh setelah istri menjadi TKW lebih baik bila dibandingkan dengan sebelum istri menjadi TKW (Tabel 9). Tabel 9 Sebaran contoh (%) berdasarkan pendapaan keluarga per bulan (n=47) No
Pendapatan Keluarga
1 <1000000 2 1000000-2000000 3 2000001-3000000 4 3000001-4000000 5 4000001-5000000 6 5000001-6000000 7 >6000000 Total Rata-rata±sd
Pra TKW % 61.70 27.66 6.38 0 4.26 0 0 100 1138723±1060983.172
Saat TKW % 2.13 12.77 40.43 21.28 8.51 12.77 2.13 100 3247670±1199758.274
Pendapatan Per Kapita Per Bulan. Pendapatan per kapita merupakan indikator yang baik bukan saja pada tingkat kesejahteraan jasmaniah yang dapat dicapai seseorang, tetapi juga terhadap kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat (Ginting & Penny 1984 diacu dalam Nuryani 2007). Pendapatan per kapita pada penelitian ini merupakan rata-rata pendapatan per bulan dibagi banyaknya anggota keluarga. Tabel 10 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori pendapatan perkapita per bulan (n=47) Pra TKW Saat TKW % % 1 ≤145733 (Garis Kemiskinan) 36.17 0 2 145734 - 291467 36.17 4.26 3 291468 - 437200 10.67 8.51 4 437201 - 582933 10.67 25.53 5 582934 - 728666 0 17.02 6 728667 - 874399 2.13 10.67 7 874400 - 1020132 2.13 14.89 8 1020133-1165865 0 8.51 9 1165866-1311598 0 4.26 10 1311599-1457331 0 4.26 11 >1457331 2.13 2.13 Keterangan: Garis Kemiskinan Kabupaten Sukabumi Tahun 2007 adalah Rp 145 733 (BPS 2007) No
Pendapatan per kapita per bulan
Menurut Susenas (2007), garis kemiskinan diukur berdasarkan minimum pendapatan per kapita per bulan. Rumah tangga Kabupaten Sukabumi dikatakan miskin apabila kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya hanya mencapai Rp
61 145 733,00 per kapita per bulan. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 10), sebelum istri menjadi TKW terdapat 36.17 persen keluarga termasuk dalam kategori miskin. Namun saat istri menjadi TKW mengalami peningkatan tajam yaitu seluruh keluarga contoh (100%) menjadi tidak miskin. Aset. Aset merupakan jumlah kekayaan yang dimiliki keluarga berupa kepemilikan rumah, lahan, alat transportasi (termasuk perahu atau kapal), barang elektronik, furniture, perhiasan, perlengkapan dapur, dan ternak. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan kepemilikan aset sebelum istri menjadi TKW dan saat atau setelah istri menjadi TKW. Data menunjukkan bahwa kenaikan aset terbesar berada pada kepemilikan rumah yaitu mencapai 25.54 persen saat istri menjadi TKW. Adapun kenaikan aset terkecil ada pada penambahan kepemilikan lahan yaitu sebesar 6.91 persen. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan penggunaan uang hasil kerja TKW diprioritaskan untuk membeli aset seperti rumah, furniture, elektronik perhiasan, transportasi, ternak, dan seterusnya hingga prioritas pembelian terakhir yaitu lahan dan perlengkapan dapur. Meskipun perlengkapan dapur mengalami peningkatan paling banyak namun dikatakan sebagai prioritas pembelian terakhir dikarenakan penambahan aset peralatan dapur yang dimiliki merupakan bantuan yang diberikan pemerintah saat program pembagian kompor gas gratis kepada masyarakat (Lampiran 1).
Tempat Tinggal Sebanyak 51.06 persen contoh telah memiliki rumah sendiri sebelum istri menjadi TKW. Setelah istri menjadi TKW, terjadi peningkatan status kepemilikan rumah sebesar 21.28 persen sehingga jumlah contoh yang memiliki rumah sendiri menjadi 72.34 persen. Sebelum istri menjadi TKW, contoh yang memiliki rumah lebih dari satu hanya sebesar 6.38 persen. Namun setelah istri menjadi TKW, terjadi peningkatan kepemilikan
rumah lebih dari satu menjadi 10.64
persen. Mutu lingkungan yang nyaman dan sehat dapat mencegah dari berbagai ancaman bahaya sehingga tercapai derajat kesehatan individu dan keluarga. Lingkungan tempat tinggal merupakan salah satu lingkungan yang penting untuk diperhatikan karena selalu berinteraksi dengan manusia. Kepadatan rumah contoh dengan kepadatan lebih dari sama dengan 9 meter persegi per orang
62 sebelum dan sesudah istri menjadi TKW juga mengalami peningkatan yaitu dari 80.85 persen menjadi 93.62 persen. Kondisi rumah bila dilihat dari tipe dindingnya, sebelum istri menjadi TKW sebanyak 63.83 persen contoh memiliki dinding rumah yang terbuat dari tembok, sedangkan setelah istri menjadi TKW terjadi peningkatan sebesar 6.17 persen contoh. Sebagian besar contoh baik sebelum maupun setelah TKW (masingmasing 91.49% dan 89.36%) memiliki rumah dengan tipe atap yang digunakan terbuat dari genting. Tipe lantai berupa keramik sebelum istri menjadi TKW digunakan oleh 55.32 persen contoh, sedangkan setelah istri menjadi TKW meningkat menjadi 68.09 persen contoh. Hampir seluruh rumah contoh memiliki ventilasi yang cukup sebelum dan sesudah istri menjadi TKW (masing-masing 91.49% dan 91.49%). Sebagian besar contoh memiliki kamar mandi baik sebelum (80.85%) maupun sesudah (82.98%) istri menjadi TKW. Sebanyak 76.60 persen contoh mengkonsumsi air minum yang bersumber dari sumur atau mata air dan sebanyak 17.02 persen contoh mengkonsumsi air minum yang berasal dari PAM. Secara keseluruhan sebanyak 93.62 persen keluarga contoh mengkonsumsi air minum yang bersih dan higienis (Lampiran 2).
Frekuensi Makan pada Keluarga Berdasarkan wawancara mendalam ditemukan bahwa terdapat beberapa anak yang mengalami penurunan frekuensi makan. Semenjak anak ditinggal ibu, anak lebih suka jajan dibanding dengan makan di rumah. Kalaupun makan, anak biasanya lebih senang makan mie instan. Perubahan frekuensi makan tersebut menyebabkan anak mengalami penurunan berat badan. Bahkan terdapat satu anak yang menderita penyakit tipus kronis akibat jarang makan nasi namun senang sekali makan mie instan.
Namun secara umum, hasil penelitian
menggambarkan bahwa empat perenam (65.96%) keluarga contoh memiliki pola kebiasaan makan nasi dengan frekuensi tiga kali per sehari dan selebihnya memiliki frekuensi makan nasi dua kali per hari. Adapun jenis pangan sumber karbohidrat lain yang sering dikonsumsi oleh keluarga contoh yaitu mie dan roti. Rata-rata konsumsi mie pada keluarga contoh yaitu tiga kali dalam seminggu, sedangkan rata-rata konsumsi roti adalah 2.5 kali dalam seminggu. Jenis pangan sumber protein hewani seperti ikan dikonsumsi satu kali sampai tiga kali per hari oleh 76.60 persen keluarga contoh. Jenis protein lain
63 seperti ikan asin dikonsumsi dengan frekuensi satu hingga tiga kali per hari oleh 55.32 persen keluarga contoh, sedangkan telor dikonsumsi dengan frekuensi satu hingga tiga kali per hari oleh 14.89 persen keluarga contoh. Untuk jenis protein hewani lainnya seperti daging ayam dan sapi jarang sekali dikonsumsi keluarga contoh. Jenis pangan sumber protein nabati seperti tempe dan tahu dikonsumsi dengan frekuensi satu kali sampai tiga kali per hari masing-masing oleh 29.79 persen dan 23.40 persen keluarga contoh. Jenis sayuran seperti kangkung, banyam, sup, kacang, asem, dan daun singkong merupakan jenis sayuran yang dikonsumsi oleh keluarga contoh. Namun hanya 10.65 persen contoh yang mengkonsumsi sayuran dengan frekuensi satu kali per hari. Jenis buah yang dikonsumsi keluarga contoh adalah pisang, pepaya, jeruk, apel. Buah dikonsumsi dengan frekuensi satu kali sampai tiga kali per hari oleh 10.65 persen keluarga contoh (Lampiran 3).
Peran Perempuan Sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) Negara Tujuan TKW. Saat penelitian ini dilakukan, dari keseluruhan keluarga contoh terdapat 72.34 persen TKW yang masih berada di luar negeri dan selebihnya sudah berada di rumah selama 2 minggu sampai 3 bulan terhitung dari kurun waktu kepulangan ke Indonesia sampai penelitian ini dilakukan. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 11, terlihat bahwa persentase terbesar (61.70%) negara tujuan istri (TKW) adalah Arab Saudi. Seluruh istri bekerja di sektor informal yaitu sebagai pembantu rumah tangga. Rata-rata gaji terbesar (Rp 3 750 000,00) diterima istri (TKW) yang bekerja di negara Hongkong, sedangkan rata-rata gaji terkecil (Rp 1 133 333,00) diterima istri yang bekerja di negara Malaysia. Tabel 11 Sebaran contoh (%) berdasarakan negara tujuan dan rata-rata gaji TKW (n=47) No Negara Tujuan 1 Malaysia 2 Singapura 3 Hongkong 4 Taiwan 5 Arab Saudi Rata-rata±sd
% 6.38 2.13 4.26 25.53 61.70
Rata-rata Gaji/bulan* 1133333 2000000 3750000 3358333 1800000 2242253±1036663.687
*Gaji kotor
64 Lama Menjadi TKW. Lama istri (TKW) bekerja di luar negeri bervariasi antara 7 bulan sampai dengan 10 tahun. Hampir sepertiga istri (31.91%) bekerja sebagai TKW pada jangka waktu kurang dari sama dengan 24 bulan dan persentase terbesar kedua (29.79%) yaitu 25 sampai 48 bulan. Rata-rata lama kepergian istri adalah 44.81 bulan. Saat penelitian dilakukan, hampir tiga per empat (72.34%) TKW masih berada di luar negeri dan selebihnya sudah berada di rumah. Sebaran contoh berdasarkan lama istri menjadi TKW dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran contoh (%) berdasarkan lama istri menjadi TKW (n=47) No Lama Bekerja 1 ≤ 24 bulan 2 25-48 bulan 3 49-60 bulan 4 61-84 bulan 5 85-108 bulan 6 109-132 bulan Total Rata-rata±sd
% 31.91 29.79 8.51 21.28 6.38 2.13 100 44.81±28.358
Motivasi Menjadi TKW. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa terdapat beberapa motivasi yang menyebabkan istri bekerja sebagai TKW. Motivasi TKW dapat dibedakan menjadi motivasi ekonomi dan non ekonomi. Motivasi ekonomi antara lain untuk membayar utang keluarga, suami menganggur, merubah status sosial ekonomi keluarga, melanjutkan anak sekolah, dan membangun rumah, sedangkan yang termasuk motivasi non ekonomi yaitu agar menjadi perempuan mandiri dan naik haji. Hampir dua pertiga (63.83%) suami tidak membenarkan bahwa kepergiaan istri sebagai TKW adalah untuk membanyar hutang, hanya 27.66 persen suami yang membenarkan hal tersebut. Motivasi menjadi TKW karena suami tidak bekerja dianggap sebagian benar oleh 42.55 persen suami. Sebagian besar suami yang menyebutkan alasan motivasi ini merupakan suami yang memiliki pencahariaan sebagai nelayan. Nelayan merupakan pekerjaan yang bisa dibilang tidak pasti karena selama kurun satu tahun, nelayan mengalami musim panen dan musim paceklik. Saat musim paceklik inilah nelayan seringkali tidak mendapatkan ikan yang cukup untuk dijual sehingga mereka menganggap bahwa dengan istri bekerja sebagai TKW, istri dapat
65 membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga selama musim paceklik berlangsung. Berdasarkan data yang diperoleh, sebagian besar (80.85%) suami menyebutkan kebenaran bahwa istri berangkat bekerja ke luar negeri karena ingin merubah status sosial ekonomi keluarga. Status sosial ekonomi merupakan hal yang dianggap penting oleh hampir seluruh keluarga contoh karena dapat meningkatkan kesejahteraan dan prestige (harga diri) keluarga dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagian besar (82.98%) suami juga membenarkan motivasi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan keluarga. Pendapatan ekonomi keluarga yang rendah mendorong istri untuk dapat membantu suami dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Seluruh (100%) suami menyebutkan bahwa motivasi menjadi TKW adalah agar anak melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Keadaan ekonomi keluarga yang kurang, keluarga contoh merasa tidak mampu membiayai anak sekolah. Biaya sekolah ini lebih dikaitkan dengan biaya anak sekolah setiap harinya seperti uang transport dan uang jajan, kecuali untuk anak dengan tingkat pendidikan tinggi seperti SMP dan SMA, selain membutuhkan uang transport dan uang jajan juga membutuhkan biaya besar untuk SPP dan uang pangkal. Letak geografis antara sekolah dan rumah yang jauh menuntut contoh mengeluarkan biaya transportasi yang dianggap tidak sedikit setiap harinya. Sebagian besar (80.85%) suami membenarkan bahwa motivasi istri menjadi TKW adalah untuk membangun rumah, baik membuat rumah baru maupun memperbaiki kondisi rumah yang telah mereka miliki. Menurut Teori Maslow bahwa kepemilikan perumahan merupakan kebutuhan primer bagi setiap orang, sehingga wajar bila keluarga contoh memiliki motivasi yang kuat untuk mewujudkan keinginan ini. Bagi suami yang menganggap motivasi ini tidak benar karena keluarga contoh telah memilik rumah yang diagap layak untuk dihuni. Hampir tiga perempat (72.34%) suami menganggap benar motivasi yang berhubungan dengan istri ingin menjadi perempuan yang mandiri. Perempuan mandiri merupakan perempuan yang tidak menggantungkan seluruh kebutuhan hidupnya kepada suami, justru mereka mampu membantu suami dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Hanya 8.51 persen suami yang mengganggap bahwa istri mereka tidak memiliki motivasi seperti ini. Hampir tiga perempat (72.34%) suami tidak membenarkan motivasi istri menjadi TKW karena
66 ingin naik haji. Sebanyak 21.28 persen suami yang membenarkan dan selebihnya mengangap sebagian benar istri bekerja sebagai TKW karena dorongan naik haji. Tabel 13 Sebaran contoh (%) berdasarkan persepsi suami terhadap motivasi istri menjadi TKW (n=47) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Motivasi menjadi TKW Membayar hutang keluarga Suami tidak bekerja Merubah status sosial ekonomi keluarga Memenuhi kebutuhan keluarga Menjadi perempuan mandiri Anak dapat melanjutkan sekolah Membangun rumah Naik haji
Tidak Benar % 63.83 38.3 10.64 12.76 8.51 0 17.02 72.34
Sebagian Benar % 8.51 42.55 8.51 4.26 19.15 0 2.13 6.38
Benar % 27.66 19.15 80.85 82.98 72.34 100 80.85 21.28
Permasalahan Selama Menjadi TKW. Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan kepada sepuluh contoh, didapatkan informasi bahwa terdapat beberapa masalah yang menimpa TKW selama bekerja di luar negeri. Permasalahan pertama menimpa istri bapak Ace Sumpena. Istri Bapak Ace Sumpena sudah dua kali putaran menjadi TKW ke Arab Saudi. Pada putaran pertama mengalami kegagalan dan hanya lima bulan bekerja dari dua tahun masa kontrak. Hal ini dikarenakan istri Bapak Ace mengalami masalah dengan majikan. Majikannya sangat menyukai istri bapak Ace dan karenanya istri Bapak Ace memutuskan untuk pulang ke Indonesia agar dapat menghindari pelecehan seksual dari majikan (Kotak 1). KOTAK 1 “Permasalahan Istri Pak Ace” Pak Ace Sumpena merupakan nelayan yang baru saja ditinggal istrinya berangkat menjadi TKW seminggu yan lalu terhitung dari Tanggal wawancara. Sebelumnya, Pak Ace pernah ditinggal istri menjadi TKW selama 2.5 tahun atau 2 kali pemberangkatan. Pemberangkatan yang pertama tidak sukses karena TKW mengalami masalah dengan majikan. Majikan tertarik dengan TKW sehingga TKW memutuskan untuk pulang ke Indonesia untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Permasalahan kedua dialami oleh istri Bapak Yayan. Permasalahan tersebut dapat dilihat pada Kotak 2.
67
KOTAK 2 “Lika-Liku Perjalanan Seorang TKW”
Selama tiga kali pemberangkatan yang telah dilakukan, satu kali pemberangkatan tergolong tidak sukses dan penuh dengan rintangan. Satu kali pemberangkatan yang tidak sukses ini, istri hanya bertahan 1,5 tahun dari kontrak kerja 2 tahun di Arab Saudi. Masalah yang menimpa istri Bapak Yayan tergolong dalam masalah-masalah TKW yang kerap dilaporkan selama ini. Masalah pertama yaitu gaji yang tidak dibayarkan secara penuh. Selama 1,5 tahun masa kerjanya, istri bapak Yayan hanya menerima gaji 6 bulan saja.Masalah kedua yaitu menyangkut pada tidak adanya penghargaan majikan laki-laki yang telah melakukan percobaan pemerkosaan kepada istri Bapak Yayan. Demi menyelamatkan kehormatannya, istri Bapak Yayan melarikan diri dari rumah majikan dan berniat meminta perlindungan dan bantuan KBRI. Namun naasnya di tengah perjalanan menuju KBRI, istri Bapak Yayan bertemu dengan polisi. Pada awalnya istri Bapak Yayan mengira dengan adanya keberadaan polisi dapat mempermudah perjalanannya menuju KBRI. Namun kenyataan berkata lain, polisi justru mengira istri Bapak Yayan merupakan TKW illegal karena tidak membawa paspor atau tanda pengenal lainnya. Polisi akhirnya membawanya ke kantor polisi dan karena istri Bapak Yayan tidak memiliki bukti yang kuat akan keterangan yang diberikan maka selama 6 bulan istri Bapak Yayan harus mendekam dalam penjara. Meskipun istri Bapak Yayan telah keluar dari penjara, kasus percobaan perkosaan yang dilakukan mantan majikan tidak diusut lebih lanjut . Hal ini menggambarkan bahwa masih lemahnya perlindungan hukum pemerintah Indonesia akan keselamatan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri.
Permasalahan-permasalahan lain yang kerap menimpa TKW Indonesia adalah kekerasan verbal yang dilakukan majikan kepada TKW akibat adanya saling tidak memahami bahasa yang digunakan majikan dan TKW. Permaslahan ini tersedia pada Kotak 3. KOTAK 3 “TKW Pemberani”
Akibat kekerasan yang dilakukan majikan, istri Bapak Harun terpaksa melarikan diri dari rumah majikan. Istri Bapak Harun tidak tahan atas perkataan dan perlakuan kasar yang dilakukan kepadanya. Petuah yang diberikan Ibu Yuyun, salah satu TKW Arab Saudi, untuk menghadapi kekerasan verbal ataupun fisik yang dilakukan majikan adalah TKW harus pandai dan lancar berbahasa Arab, karena pada dasarnya kekerasan yang dilakukan majikan kepada TKW adalah akibat komunikasi yang tidak berjalan lancar antara majikan dan TKW. Sebelum Ibu Yuyun berangkat ke Arab Saudi, Ibu Yuyun telah banyak bertanya kepada TKW yang telah berpengalaman dan mencatat kata-kata yang sering digunakan dalam percakapan antara majikan dan TKW. Selain itu, Ibu Yuyun juga belajar dan menghafalkan sendiri kosakata dan percakapan melalui buku bahasa Arab yang dibelinya. Selain masalah kekerasan tersebut, permasalahan lain yang sering dialami TKW yang bekerja di Arab Saudi adalah jam kerja yang terlalu diforsir dan sedikit sekali waktu istirahat yang diberikan majikan terutama saat hari libur sekolah, TKW biasanya hanya bisa tidur selama 2-3 jam saja. Masalah-masalah banyak sekali dialami TKW, meskipun demikian baik TKW yang belum mengalami atau sudah mengalami kekerasan/masalah masih
68 tetap berniat untuk kembali menjadi TKW. Hal ini dikarenakan para TKW selalu memiliki harapan akan nasib baik dan bekerja pada majikan yang baik pula (Kotak 4). KOTAK 4 “Pendapat TKW” Walaupun banyak masalah yang menimpa TKW, TKW masih tetap memiliki keinginan untuk kembali bekerja di luar negeri. Menurut pendapat Ibu Yuyun mengapa banyak terjadi kejadian yang demikian, karena para TKW masih berberharap akan mendapatkan majikan yang baik hati.
Karakteristik Anak Umur, Jenis Kelamin, dan Nomor Urut Anak Anak yang diteliti dalam penelitian ini berjumlah 47 anak. Sebagian besar (85.11%) anak termasuk dalam masa akhir kanak-kanak (9 sampai 12 tahun) yang terdiri dari laki-laki (59.57%) dan perempuan (40.43%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nomor urut anak berkisar dari anak pertama hingga keempat. Sebanyak 51.06 persen anak merupakan anak urutan kesatu, 29.79 persen anak merupakan anak kedua, 17.02 persen anak merupakan anak urutan ketiga, dan sisanya merupakan anak urutan keempat. Sebaran persentase contoh berdasarkan umur anak dapat di lihat pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran contoh (%) berdasarkan umur anak (n=47) No Usia 1 9 -12 Tahun 2 13-15 Tahun Total Rata-rata±sd
% 85.11 14.89 100 11.02±1.452
Keterangan: Klasifikasi menurut Papalia&Old (2008) Dukungan Sosial Dukungan sosial adalah bantuan dalam pemenuhan kebutuhan untuk kesejahteraan. Dukungan sosial dapat memberikan kekuatan dan dapat mengurangi kesulitan seseorang dalam menjalani kehidupannya.
Kualitas
dukungan sosial yang tinggi akan mempengaruhi kesehatan fisik dan mental yang semakin tinggi pula (Tati 2004). Dukungan sosial yang diukur dalam penelitian ini adalah dukungan sosial keluarga luas, tetangga, dan PJTKI. Dukungan keluarga luas dan tetangga menggambarkan bantuan baik emosi,
69 instrumental maupun informasi yang diberikan kepada keluarga contoh disaat keluarga mengalami perpisahan yang relatif lama dengan dengan TKW. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dukungan sosial yang sering diberikan keluarga luas kepada keluarga contoh adalah bantuan dalam mengasuh anak (63.83%) dan membantu pekerjaan rumah tangga (40.43%). Bantuan lain berupa dukungan finansial relatif lebih kecil diterima keluarga contoh bila dibandingkan dengan bantuan instrumental lain seperti mengasuh anak dan membantu pekerjaan domestik (Tabel 15). Menurut Sarafino (1996) dalam Tati (2004) bahwa dukungan instrumental yang dapat diberikan langsung berupa bantuan finansial, bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, pinjaman barang, dan tenaga. Berdasarkan pendapat tersebut maka contoh dalam penelitian ini sudah memperoleh dukungan instrumental cukup baik dari familinya meskipun bantuan finansial yang diterima keluarga contoh relatif kecil. Sebanyak 38.30 persen contoh sering merasa mendapat bantuan informasi berupa pemberian solusi atas permasalahan yang menimpa keluarga contoh. Terdapat dukungan tetangga yang dirasakan tinggi oleh semua contoh yaitu, dukungan tersebut merupakan dukungan emosi berupa rasa aman hidup bertetangga di lingkungan tempat tinggal. Lebih dari satu pertiga (36.17%) keluarga contoh mendapat dukungan informasi dalam hal bertukar pikiran dengan tetangga. Tetangga yang dijadikan tempat bertukar pikiran biasanya adalah tetangga dengan status sama yaitu suami yang ditinggal istri untuk bekerja sebagai TKW. Dukungan tetangga yang tergolong rendah adalah dalam hal meminjamkan uang saat keluarga membutuhkan. Hal ini diduga karena tetangga memiliki karakteritik ekonomi yang hampir sama dengan keluarga contoh. PJTKI
(Perusahaan
Jasa
Tenaga
Kerja
Indonesia)
merupakan
perusahaan yang bergerak di bidang penyaluran jasa ke luar negeri. Tugas dan tanggung
jawab
yang
diemban
oleh
PJTKI
tidak
hanya
sekedar
memberangkatkan TKI. Dukungan sosial yang diberikan PJTKI kepada keluarga contoh dalam penelitian ini tercermin dari pernyataan bahwa keluarga contoh mendapat dukungan dalam bentuk sosialisasi penempatan, pembuatan paspor, penjelasan isi kotrak kerja, serta perlindungan dan menjamin keselamatan TKW. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga contoh telah mendapat dukungan sosial yang cukup baik dari PJTKI (Tabel 15).
70 Tabel 15 Sebaran contoh (%) berdasarkan penerimaan dukungan sosial (n=47)
No
Dukungan Sosial
Keluarga luas 1 Membantu pekerjaan rumah tangga 2 Membantu keuangan 3 Membantu pengasuhan 4 Memberi solusi masalah Tetangga 1 Perasaan aman 2 Membantu keuangan 3 Pertolongan saat kesulitan 4 Bertukar pikiran PJTKI 1 Sosialisasi penempatan TKW 2 Membantu pembuatan paspor 3 Menjelaskan isi lembar kontrak 4 Perlindungan dan keselamatan TKW
Tidak pernah %
Kadangkadang %
42.55 38.30 19.15 40.43
17.02 38.30 17.02 21.28
40.43 23.40 63.83 38.30
0 55.32 36.17 25.53
0 36.17 34.04 38.30
100 8.51 29.79 36.17
27.66 4.26 27.66 2.13
6.38 0 0 8.51
65.96 95.74 72.34 89.36
Sering %
Tabel 16 menunjukkan sebanyak 40.43 persen keluarga contoh mendapat dukungan sosial keluarga luas dalam kategori sedang, 34.04 persen contoh tergolong kategori tinggi, dan selebihnya tergolong dalam kategori rendah. Hal ini menggambarkan bahwa keluarga luas cukup peduli untuk memberikan dukungan sosial kepada keluarga contoh. Lebih dari setengah (51.06%) keluarga contoh memperoleh dukungan sosial tetangga termasuk kategori sedang, hampir sepertiga (31.91%) keluarga contoh merasa bahwa dukungan sosial yang diberikan tetangga tergolong kategori tinggi, dan selebihnya tergolong kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh merasa telah cukup dalam menerima dukungan sosial dari tetangga, sehingga keluarga contoh merasa nyaman hidup berdampingan dengan masyarakat sekitar. Dukungan sosial PJTKI yang diberikan kepada hampir empat perlima (74.47%) keluarga contoh tergolong kategori tinggi, kurang dari seperempat (23.40%) keluarga contoh tergolong kategori sedang, dan selebihnya tergolong dalam kategori rendah. Dukungan sosial dianggap tinggi oleh sebagian besar contoh karena selama proses pendaftaran, pemberangkatan, saat bekerja, dan pemulangan keluarga contoh tidak mengalami kesulitan atau pelecehan yang berarti. Tabel 16 secara umum menunjukkan bahwa lebih dari separuh (55.32%) keluarga contoh mendapat dukungan sosial yang diterima baik dari keluarga
71 luas, tetangga, maupun PJTKI tergolong kategori sedang. Hal ini terlihat dari dukungan sosial yang diterima keluarga TKW berupa dukungan dalam pengasuhan anak dan membantu pekerjaan rumah tangga (dukungan sosial keluarga luas), adanya rasa aman hidup di masyarakat dan tetangga dapat dijadikan teman dalam bertukar pikiran (dukungan sosial tetangga), serta membantu dalam pembuatan paspor dan melindungi keselamatan TKW (dukungan sosial PJTKI). Tabel 16 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategorti dukungan sosial (n=47)
No 1 2 3 Total
Tingkat Dukungan Sosial Rendah (12-19) Sedang (20-27) Tinggi (28-36)
Dukungan Sosial Keluarga Tetangga PJTKI Luas % % % 25.53 17.02 2.13 40.43 51.06 23.40 34.04 31.91 74.47 100 100 100
Dukungan Sosial % 2.13 55.32 42.55 100
Fungsi Pengasuhan Anak Pengasuh Anak Pengasuh merupakan orang yang melakukan fungsi pengasuhan dimana orang tersebut mampu mengasuh, melindungi, dan mengarahkan anak. Sebelum ibu menjadi TKW, pengasuhan anak dilakukan oleh ibu seorang diri, namun terdapat sebagian kecil (6.38%) ibu mendapatkan bantuan pengasuhan dari nenek. Hal ini berarti dukungan sosial keluarga luas dalam hal pengasuhan sudah diterima sebagian kecil keluarga contoh bahkan sebelum ibu menjadi TKW. Perpisahan antara ibu dan anak dalam jangka waktu yang relatif lama, memaksa keluarga menemukan jalan keluar mengenai siapa yang akan menggantikan tugas pengasuhan ibu. Indonesia merupakan negara yang memiliki masyarakat dengan tali ikatan keluarga besar yang cukup erat, sehingga hampir setengah (48.94%) ayah melaksanakan pengasuhan bersama-sama dengan keluarga besar seperti nenek/kakek, kakak ayah/ibu (ua), dan bibi. Lebih dari seperempat (25.53%) pengasuhan anak hanya dilakukan oleh keluarga luas, meskipun demikian ayah secara rutin mengunjungi anak dengan frekuensi antara satu minggu sekali sampai satu bulan sekali. Bagi keluarga contoh yang tinggal berjauhan dengan keluarga besar, maka memaksa ayah untuk melakukan peran
72 pengasuhan sendiri tanpa bantuan dari keluarga lain. Lebih dari seperempat (25.53%) contoh melakukan peran pengasuhan tanpa adanya dukungan atau bantuan dari keluarga lain (Tabel 17). Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan kepada sepuluh contoh, rata-rata suami mengeluh merasa berat melakukan pengasuhan anak tanpa adanya istri. Pengasuhan akan lebih mudah dan ringan bila istri dan suami melakukan bersama-sama. Meskipun suami mendapatkan bantuan pengasuhan dari keluarga besar, namun suami mengaku bahwa tanggung jawab suami untuk melakukan pengasuhan lebih berat dibanding bila istri yang mengasuh anak. Selain itu suami mengaku bahwa istri lebih terampil dalam mengasuh anak dibanding dengan suami. Tabel 17 Sebaran contoh (%) berdasarkan pengasuh anak (n=47) No 1 2 3
Pra TKW % 91.49 2.13 6.38
Pengasuh Anak Ibu Ibu, bapak Ibu, nenek
4 5 6 Total
100
Pengasuh Anak Ayah Ayah,nenek/kakek Ayah, anak yang paling besar Ayah, ua Nenek, kakek Ua, bibi Total
Saat TKW % 25.53 38.30 8.51 2.13 23.40 2.13
100
Pengasuhan Ibu, Pengganti Ibu dan Ayah berdasarkan yang Dirasakan Ayah (Perceived of Father) Ibu dalam keluarga mempunyai peranan penting dalam pengasuhan anak. Namun, keterpisahan ibu dengan anak menyebabkan fungsi pengasuhan ibu harus digantikan oleh pihak lain, dalam hal ini adalah ayah atau keluarga besar. Akibat kepergian ibu ini, keadaan menuntut peran serta tokoh pengganti ibu yang lebih baik secara kuantitas maupun kualitas sehingga tetap terjamin pertumbuhan dan perkembangan anak. Pengasuhan dalam penelitian ini diukur berdasarkan
pengasuhan
dimensi
kehangatan,
terdiri
dari
pengasuhan
penerimaan (acceptance) yang ditandai dengan kasih sayang, dekapan, kepedulian,
memuji,
mengusap
dan
pengasuhan
penolakan
meliputi
permusuhan, pengabaian, dan penolakan anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum ibu menjadi TKW, sebagian besar ibu mencintai secara hangat dengan cara peduli terhadap pemenuhan kebutuhan anak (87.23%), menciptakan suasana hangat dengan melakukan
73 humor kepada anak (72.34%), memeluk dan mengelus (65.96%), dan mengatakan cinta kepada anak (61.70%). Pengasuhan dimensi penerimaan yang dilakukan pengganti ibu ditunjukkan dengan cara menciptakan suasana hangat dengan melakukan humor kepada anak (82.86%), peduli terhadap pemenuhan kebutuhan anak (80.00%), memeluk dan mengelus (57.14%), dan mengatakan cinta kepada anak (54.29%). Pengasuhan dimensi penerimaan yang dilakukan ayah ditunjukkan dengan cara peduli terhadap pemenuhan kebutuhan anak (85.11%), menciptakan suasana hangat dengan melakukan humor kepada anak (65.96%), mengatakan cinta kepada anak (59.57%), serta memeluk dan mengelus (57.45%) (Lampiran 4). Diantara kelima pernyataan dalam pengasuhan penerimaan, pernyataan membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting seperti Pekerjaan Rumah (PR) memiliki persentase terkecil dalam pengasuhan penerimaan yang dilakukan ibu ,pengganti ibu, dan ayah. Tabel 18 Hasil uji beda pengasuhan dimensi penerimaan (acceptance) oleh pengasuh
No
Pengasuhan Penerimaan
1
Mencintai dengan hangat pada anak (memeluk, mengelus kepala anak, dll) 2 Membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting (PR dari sekolah, belajar, dll) 3 Mengatakan cinta pada anak 4 Sangat peduli dengan anak 5 Tertawa bersama apabila ada hal-hal yang lucu Total Pengasuhan Penerimaan
Pengasuh (Rata-rata) Pengganti Ibu Ayah Ibu (n=47) (n=47) (n=35) 2.62 2.46 2.51
Uji Beda (p-value) IbuIbuPengganti Pengganti Ayah Ibu-Ayah Ibu .259 .390 .716
2.26
1.74
1.87
.007**
.020**
.465
2.51
2.29
2.49
.192
.881
.237
2.85
2.80
2.83
.580
.809
.753
2.68
2.46
2.62
.099
.585
.244
12.91
11.74
12.32
.273
.543
.638
*p≤0.05 **p≤0.01 Berdasarkan uji beda Independent Sampel T-test, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pengasuhan dimensi penerimaan yang dilakukan ibu dan pengganti ibu (p=0.273), ibu dan ayah (p=0.543), serta
74 pengganti ibu dan ayah (p=0.638). Namun bila di lihat per item pertanyaan, terdapat perbedaan signifikan pada pengasuhan dalam membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting (Pekerjaan Rumah/PR) antara ibu dan pengganti ibu (p=0.07) serta antara ibu dan ayah (p=0.020) (Tabel 18 yang disarikan dari Lampiran 13, 14, 15). Meskipun tidak terdapat perbedaan signifikan antara pengasuhan ibu, pengganti ibu, dan ayah, namun secara umum pengasuhan kehangatan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW lebih baik bila dibandingan pengasuhan yang dilakukan pengganti ibu maupun ayah. Pengasuhan ayah masih lebih baik bila dibandingkan dengan pengasuhan pengganti ibu (Tabel 18). Bentuk pengasuhan lain dari dimensi kehangatan yaitu pengasuhan dimensi penolakan (rejection). Merujuk pada Rohner (1986), pengasuhan dimensi ini mengarah pada tindakan kekerasan dan pengabaikan terhadap anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengasuhan penolakan yang sering dilakukan ibu sebelum menjadi TKW yaitu membentak atau berteriak pada anak saat marah dengan frekuensi kadang-kadang sampai sering (66.32%). Namun demikian, lebih dari dua pertiga ibu memanggil anak dengan panggilan yang baik, tidak pernah memukul anak, dan tidak pernah berbicara kasar pada anak (Lampiran 5). Berdasarkan hasil penelitian, lebih dari dua pertiga pengganti ibu tidak pernah memanggil anak dengan panggilan jelek, memukul anak, dan mengancam anak. Namun, hampir dua pertiga (63.16%) pengganti ibu tetap membentak atau berteriak pada anak dengan frekuensi kadang-kadang sampai sering. Berdasarkan pengakuan ayah, ayah jarang melakukan pengasuhan penolakan. Hal ini digambarkan melalui ayah memanggil anak dengan panggilan yang baik (91.49%), tidak memukul anak (76.70%), tidak berbicara kasar pada anak (72.37%), dan tidak mengancam bila anak tidak mengikuti perintah (61.80%) (Lampiran 5). Hasil uji beda Independent T-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pengasuhan dimensi penolakan yang dilakukan ibu dan pengganti ibu, ibu dan ayah, serta pengganti ibu dan ayah. Hal ini berarti bahwa tidak terlalu berbeda pengasuhan dimensi penolakan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW, pengganti ibu, dan ayah. Namun bila dilihat dari item pertanyaan, terdapat perbedaan (p<0.1) pengasuhan dimensi penolakan dalam hal membentak atau berteriak pada anak antara pengganti ibu (rata-rata=1.89)
75 dan ayah (rata-rata=1.62) (Tabel 19 disarikan dari Lampiran 16, 17, 18). Hal ini menunjukkan bahwa pengganti ibu lebih sering membentak atau berteriak pada anak disbanding dengan ayah. Tabel 19 Hasil uji beda pengasuhan penolakan oleh pengasuh
No
Pengasuhan Penolakan
1
Membentak atau berteriak pada anak saat marah 2 Mengancam apabila tidak menuruti perintah 3 Memukul anak 4 Berbicara kasar dengan anak 5 Memanggil anak dengan panggilan yang jelek Total Pengasuhan Penolakan *p≤0.05 **p≤0.01
Pengasuh (Rata-rata) Pengganti Ibu Ayah Ibu (n=47) (n=47) (n=35) 1.85 1.89 1.62
Uji Beda (p-value) IbuIbu- Pengganti Pengganti Ayah Ibu-Ayah Ibu .837 .101 .095+
1.57
1.51
1.51
.735
.685
.983
1.34 1.34
1.17 1.46
1.23 1.30
.167 .405
.325 .701
.524 .236
1.15
1.09
1.11
.479
.604
.805
7.26
7.11
6.77
.883
.538
.692
+p≤0.1 Pengasuhan anak dari dimensi kehangatan diukur dari aspek penerimaan dan penolakan (Rohner 1986), yang dikelompokkan dalam tiga kategori rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar (78.72%) pengasuhan dimensi kehangatan yang dilakukan ibu tergolong kategori tinggi. Hasil yang sama dilakukan oleh pengganti ibu dan ayah, dimana sebagian besar (74.43%) pengganti ibu dan sebagian besar (80.85%) ayah menerapkan pengasuhan dimensi kehangatan dalam kategori tinggi (Tabel 20). Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan pengasuhan ibu, pengganti ibu, dan ayah adalah hangat. Tabel 20 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori pengasuhan dimensi kehangatan No 1 2 3 Total
Tingkat Dimensi Kehangatan Rendah (10-16) Sedang (17-23) Tinggi (24-30)
Pengasuhan Ibu % 0 21.28 78.72 100
Pengasuhan Pengganti Ibu % 0 25.53 74.47 100
Pengasuhan Ayah % 0 19.15 80.85 100
76 Interaksi dalam Keluarga
Komunikasi Antara Ibu dan Keluarga Komunikasi antara ibu dan keluarga yang dimaksud disini mencakup media apa yang digunakan untuk komunikasi antara ibu dan keluarga, berapa sering melakukan komunikasi (frekuensi komunikasi), dan berapa lama setiap satu kali komunikasi (intensitas komunikasi). Media yang digunakan dalam berkomunikasi penting untuk diketahui agar diketahui efisiensi dan efektifitas penyampaian informasi. Komunikasi merupakan hal penting atau vital yang harus dilakukan dalam sebuah keluarga. Anggota keluarga yang mengalami keterpisahan fisik sering mendapat hambatan dalam berkomunikasi. Perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih membantu meminimalisir kesulitan dalam berkomunikasi jarak jauh. Salah satu media komunikasi yang mudah dan sering digunakan yaitu telepon seluler. Sebagian besar contoh mengaku bahwa komunikasi yang terjalin antara keluarga dan ibu (TKW) banyak dilakukan melalui pengiriman pesan singkat (sms) dan telepon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi keluarga TKW dilakukan dua arah yaitu ibu kepada keluarga maupun keluarga kepada ibu. Sebagian besar contoh menerangkan bahwa ibu dan keluarga melakukan komunikasi saat hari penting seperti hari raya. Namun saat hari peringatan kelahiran anggota keluarga, sebagian besar contoh mengaku bahwa baik ibu maupun keluarga tidak memberikan ucapan selamat kepada anggota keluarga yang sedang berulang tahun. Hal ini dikarenakan, sebagian besar dari keluarga contoh tidak mengenal akan perayaan yang dilakukan saat hari kelahiran. Bahkan sebagian besar dari contoh tidak mengingat tanggal dan bulan kelahiran anggota keluarga lainnya (Tabel 21). Tabel 21 Sebaran contoh (%) berdasarkan komunikasi antara ibu dan keluarga (n=47) No
Pernyataan Komunikasi
1
Ibu sms/telepon kepada keluarga Ibu telepon saat ulang Tahun anak/suami Ibu telepon saat hari besar Keluarga sms/telepon kepada ibu Keluarga telepon saat ulang Tahun ibu Keluarga telepon saat hari besar
2 3 4 5 6
Tidak Pernah % 8.51 68.09
Kadangkadang % 42.55 8.51
23.40 17.02 74.47 31.91
14.89 44.68 4.26 19.15
Sering % 48.94 23.40 61.70 38.30 21.28 48.94
77 Frekuensi komunikasi adalah penyampaian informasi yang diberikan secara
teratur
dalam
kejadian
tertentu
(Petra
2008).
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa persentase terbesar (44.68%) frekuensi komunikasi antara istri dan keluarga sebanyak tiga kali atau lebih dalam satu bulan. Persentase terbesar kedua (34.04%), contoh melakukan komunikasi dengan frekuensi satu sampai tiga kali dalam satu bulan. Adapun contoh yang lebih dari satu tahun atau sama sekali tidak pernah melakukan komunikasi selama istri bekerja sebagai TKW sebanyak 8.51 persen. KOTAK 5 “Alasan tidak adanya Komunikasi antara TKW dan Keluarga” Sebagian kecil contoh yang tidak dapat melakukan komunikasi dikarenakan adanya pembatasan komunikasi oleh majikan. Seperti yang dialami oleh salah satu TKW Malaysia yang telah pulang ke Indonesia, TKW Malaysia ini hanya satu kali bisa berkomunikasi selama dua Tahun bekerja di Malaysia. Majikan secara sengaja telah memblokir nomor telepon keluarga tanpa sepengetahuan TKW maupun keluarga, sehingga keluarga tidak dapat menghubungi TKW. Keadaan ini awalnya membuat TKW memiliki prasangka buruk terhadap keluarga, terutama suami, karena tidak pernah memberi kabar. Keluarga juga memiliki prasangka buruk terhadap TKW karena setiap keluarga menghubungi nomor yang dituju, tidak pernah tersambung. Selain alasan tersebut, terdapat satu kasus yang menunjukkan bahwa istri tidak mau berkomunikasi lagi dengan suami. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan Bapak Pian diperoleh informasi bahwa komunikasi yang terjalin antara Bapak Pian dan istrinya dahulu berjalan mulus seperti biasa. Namun semenjak istrinya berkeinginan untuk menjadi TKW dan Bapak Pian tidak mengijinkan, pertengkaran demi pertengkaran mulai muncul. Namun akhirnya Bapak Pian mengijinkan istrinya untuk berangkat menjadi TKW karena sedih bila melihat anaknya yang melihat pertengkaran antara Bapak Pian dan istri. Semenjak kepergian istri menjadi TKW inilah semua masalah yang tidak dibayangkan sebelumnya mulai muncul. Istri tanpa ada alasan yang jelas melayangkan permintaan cerai dan istri tidak mau lagi berbicara melalui telepon dengan suami. Setiap istri menelepon hanya berbicara dengan anak. Keinginan istri untuk bercerai disinyalir adanya keterlibatan pihak ke tiga, yaitu keluarga dari pihak istri yang menginginkan mereka berpisah. Hal ini diduga karena istri dan keluarga istri menganggap bahwa power istri dalam perekonomian keluarga lebih kuat, apalagi bila dibandingkan dengan suaminya yang hanya bekerja sebagai tukang ojek. Selama 2,5 tahun istri bekerja sebagai TKW, istri juga tidak pernah mengirim uang bulanan bagi suami maupun anaknya. Keinginan istri untuk bercerai membuat Bapak Pian sangat menyesali keputusannya yang telah mengijinkan istri untuk bekerja sebagai TKW.
Komunikasi yang dibutuhkan tidak hanya penting dilakukan oleh suami istri, namun juga penting dilakukan antara ibu dan anggota keluarga lain, terutama anak. Hampir tiga perempat (74.47%) contoh mengungkapkan bahwa ayah selalu melibatkan anak setiap kali ayah berkomunikasi dengan istri. Komunikasi merupakan hal yang sangat penting untuk tetap menjaga kedekatan antara ibu dan anak. Satu perempat (25.53%) ibu melakukan komunikasi
78 langsung dengan anak tanpa perantara ayah karena anak diasuh oleh keluarga luas. Kuantitas komunikasi selain dilihat dari seberapa sering berkomunikasi namun juga dilihat dari berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam sekali berkomunikasi
(intensitas
komunikasi).
Sebanyak
46.81
persen
contoh
melakukan intensitas komunikasi kurang dari 15 menit, 29.79 persen berkomunikasi 15 sampai 30 menit, 17.02 persen berkomunikasi lebih dari 30 menit. Jenis pembicaraan yang dikomunikasikan antara suami dan istri biasanya menyangkut masalah keuangan, perasaan rindu, dan masalah anak. Lebih dari setengah contoh (55.32%) secara terbuka mengungkapkan perasaan rindu kepada istri. Keterbukaan komunikasi dan afeksi ini merupakan salah satu indikator adanya hubungan yang terjalin baik antara suami dan istri. Sebagian besar contoh (85.11%) membicarakan masalah anak ketika berkomunikasi dengan istri. Masalah anak yang dikomunikasikan biasanya mengenai kesehatan anak, pendidikan anak, teman-teman anak dan lain sebagainya. Lebih dari setengah contoh (61.7%) membicarakan keuangan keluarga. Keuangan keluarga yang dibicarakan biasanya menyangkut berapa besar uang kiriman yang telah ditransfer, digunakan untuk apa saja uang kiriman tersebut, serta berapa besar uang yang dibutuhkan untuk pendidikan anak dan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi. Bagi contoh yang tidak membicarakan masalah keuangan dalam komunikasi karena suami menganggap bahwa suami masih mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga, sehingga tidak perlu mengandalkan uang kiriman istri. Bagi keluarga yang mengalami hal tersebut biasanya uang hasil kerja keras istri tidak ditransfer rutin setiap bulannya, namun dibawa sekaligus saat istri pulang ke Indonesia. Uang ini umumnya digunakan untuk menambah aset keluarga, seperti untuk membeli lahan, alat transportasi (motor), dan merenovasi atau membangun rumah.
Interaksi Ibu dan Anak Interaksi ibu dan anak dapat dilihat dari komunikasi dan bonding yang dilandasi oleh kasih sayang dan kehangatan. Komunikasi yang terjalin antara ibu dan anak menunjukkan bahwa lebih dari setengah contoh (63.83%) memiliki komunikasi cukup terbuka yang dibuktikan dengan ibu yang selalu menasehati anak (42.55%) dan anak selalu mendengarkannya (51.06%), ibu sering bertanya
79 mengenai teman-teman anak baik di sekolah maupun di rumah (63.83%), ibu selalu bersungguh-sungguh dan bersikap positif membantu masalah anak (23.80%), dan ibu meluangkan waktu untuk berbicara dengan anak kapanpun anak memerlukan (12.77%). Persentase tertinggi komunikasi ibu dan anak yaitu dalam hal ibu sering bertanya tentang teman-teman anak baik di rumah maupun di sekolah, sedangkan persentase terendah dalam hal ibu menanyakan mengapa anak pulang terlambat (Lampiran 6). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bonding yang telah dilakukan antara ibu dan anak diwujudkan dengan anak merasa sedih jika ditinggal ibu terlalu lama seperti perpisahannya saat ini (34.04%), ibu dapat merasakan kesulitan yang sedang dirasakan anak meskipun anak tidak menceritakannya (46.81%), ibu mengetahui hobi anak (48.94%), ibu mengenal teman-teman anak (42.55%), ibu bersedia mendengarkan dan memperhatikan jika anak mendapatkan masalah (21.28%), serta berusaha membantu menyelesaikan masalah yang terjadi pada anak (17.02%). Persentase tertinggi bonding ibu dan anak yaitu dalam hal ibu dapat merasakan kesulitan yang sedang dirasakan anak meskipun anak tidak menceritakannya, sedangkan persentase terendah dalam hal ibu keterbukaan anak untuk menceritakan masalah anak kepada ibu (Lampiran 7). Apabila interaksi (komunikasi dan bonding) dikategorikan menjadi tiga tingkatan yakni rendah, sedang, dan tinggi, lebih dari separuh (59.57%) keluarga TKW memiliki interaksi antara ibu dan anak yang tergolong kategori sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (63.83%) memiliki pola komunikasi yang cukup baik, namun lebih dari seperempat contoh (27.66%) berada dalam kategori komunikasi rendah. Sama halnya dengan bonding yang terjalin antara ibu dengan anak yaitu sebanyak 59.57 persen memiliki bonding yang cukup baik, sedangkan 29.79 persen mempunyai bonding yang rendah (Tabel 22). Tabel 22 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi ibu dan anak (n=47) No 1 2 3 Total
Tingkat Interaksi Ibu Anak Rendah (20-33) Sedang (34-47) Tinggi (48-60)
Interaksi Ibu Anak Komunikasi Bonding % % 27.66 27.66 63.83 59.57 8.51 12.77 100 100
Interaksi Ibu Anak % 29.79 59.57 10.67 100
80 Interaksi Ayah dan Anak Interaksi antara anak dan ayah menjadi hal yang sangat penting mengingat keadaan keluarga TKW yang tidak stabil akibat kepergian ibu. Keadaan keluarga seperti ini menuntut ayah untuk memberikan kontribusi lebih dalam meluangkan waktu bersama anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang dibangun ayah dan anak cukup terbuka. Hal ini dibuktikan dengan ayah yang selalu menasehati anak (80.85%) dan anak yang selalu mendengarkan nasehat ayah (80.85%), ayah selalu bersungguh-sungguh dan bersikap positif membantu menyelesaikan masalah anak (59.57%), ayah meluangkan waktu untuk berbicara dengan anak kapanpun anak memerlukan (48.94%), ayah selalu memuji bila anak melakukan atau mendapatkan hal yang baik (53.19%). Persentase tertinggi komunikasi ayah dan anak yaitu dalam hal menasehati anak dan anak mendengarkan, sedangkan persentase terendah dalam hal ayah menyediakan waktu untuk berbicara sesuatu yang pribadi mengenai anak (Lampiran 8). Bonding merupakan koneksi hubungan antara seseorang dengan orang lain dan merupakan perekat untuk membentuk kelekatan (attachment) (Hastuti 2007). Bonding antara ayah dan anak tercermin dalam hubungan timbal balik seperti ayah yang selalu mengetahui dan memantau kegiatan anak di luar sekolah (59.57%), anak lebih suka meminta uang kepada ayah daripada anggota keluarga lain (59.57%), ayah selalu membantu menyelesaikan masalah yang terjadi pada anak (57.45%), ayah paling tahu kegemaran atau hobi anak (55.32%), dan ayah mengenal teman-teman anak (46.81%). Persentase tertinggi bonding ayah dan anak yaitu dalam hal anak lebih suka meminta uang tambahan kepada ayah dibanding dengan anggota keluarga lain, sedangkan persentase terendah dalam hal ibu keterbukaan anak untuk menceritakan masalah anak kepada ayah (Lampiran 9). Apabila interaksi dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi, lebih dari separuh (53.19%) interaksi ayah dan anak berada pada kategori tinggi, dengan komunikasi (59.57%) dan bonding (53.19%) berada pada kategori tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa ayah berusaha untuk menggantikan proporsi komunikasi dan bonding ibu dan anak yang menurun akibat kepergian ibu (Tabel 23).
81 Tabel 23 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi ayah dan anak (n=47) No 1 2 3 Total
Tingkat Interaksi Ayah Anak Rendah (20-33) Sedang (34-47) Tinggi (48-60)
Interaksi Ayah Anak Komunikasi Bonding % % 6.38 8.51 34.04 38.30 59.57 53.19 100 100
Interaksi Ayah Anak % 8.51 38.30 53.19 100
Frekuensi Komunikasi Ayah dan Anak Frekuensi komunikasi antara ayah dan anak dapat dilihat pada Tabel 24. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah (57.45%) ayah berkomunikasi dengan anak setiap hari. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa ayah selalu mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak menjelang tidur (25.53%), ayah sering mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat dalam perjalanan (23.40%), dan ayah sering melakukan komunikasi dengan anak saat makan malam (19.15%). Ketidaksempatan ayah dan anak berkomunikasi biasanya saat makan siang dan saat bekerja. Tabel 24 Sebaran contoh (%) berdasarkan frekuensi komunikasi ayah dan anak (n=47) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Pernyataan Frekuensi Komunikasi Anak dan Ayah Setiap hari anak selalu berkomunikasi dengan bapak Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat makan pagi bersama Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat makan siang bersama Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat makan malam bersama Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat menjelang tidur Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat dalam perjalanan Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat setelah selesai beribadah Saya mempunyai kesempatan berkomunikasi dengan anak saat saya bekerja
% 4.26
Kadangkadang % 38.30
% 57.45
44.68
40.43
14.89
48.94
36.17
14.89
38.30
42.55
19.15
27.66
46.81
25.53
31.91
44.68
23.40
51.06
34.04
14.89
76.60
14.89
8.51
Tidak pernah
Sering
Tabel 25 memperlihatkan bahwa proporsi terbanyak (44.68%) frekuensi komunikasi antara ayah dan anak termasuk kategori sedang. Adapun proporsi
82 frekuensi komunikasi ayah dan anak kategori rendah adalah 40.43 persen, dan selebihnya termasuk kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi komunikasi yang dilakukan ayah dengan anak masih relatif kurang meskipun bila dilihat dari isi dan cara komunikasi antara anak dan ayah tinggi. Tabel 25 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori frekuensi komunikasi ayah dan anak (n=47) No 1 2 3 Total
Frekuensi Komunikasi Anak dan Ayah Rendah (8-13) Sedang (14-19) Tinggi (20-24)
% 40.43 44.68 14.89 100
Interaksi Suami dan Istri Interaksi suami dan istri ditinjua dari aspek komunikasi menunjukkan bahwa hampir seluruh (95.74%) suami merasa saling menghargai diantara pasangan. Menurut Munandar (1985), perkawinan yang harmonis akan dirasakan jika ada saling pengertian diantara keduanya, sehingga tercipta toleransi akan kekurangan-kekurangan, kelemahan-kelemahan, dan kebiasaan pasangan. Hampir tiga perempat (72.34%) suami mengaku sering membicarakan masalah pendidikan anak, tiga perlima (63.83%) suami terbuka dalam mengungkapkan rasa cinta diantara pasangan, tiga perlima (63.83%) suami lebih suka berbicara kepada istri dibandingkan dengan orang lain, dan tiga perlima (61.70%) suami saling meluangkan waktu untuk berbicara dengan pasangan kapanpun suami dan istri memerlukan (Lampiran 10). Dalam suatu rumah tangga, hambatan kadang memang mengganggu ketentraman perkawinan. Akibatnya interaksi antara suami istri sedikit mengalami goncangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga perlima (34.04%) suami kadang mengalami konflik dalam mendisiplinkan dan mengasuh anak, hampir setengah (44.68%) suami mengaku sering marah atau memaki istri, dan juga sebaliknya (Lampiran 10). Berdasarkan hasil wawancara mendalam, selain konflik tersebut, terdapat konflik yang sering terjadi selama istri menjadi TKW yaitu adanya kecemburuan dan kecurigaan istri bahwa suami memiliki teman wanita lain saat istri tidak ada di rumah. Berbagai konflik tersebut dapat mempengaruhi stabilitas keluarga terutama dalam kepuasan perkawinan seperti
83 hasil penelitian yang dilakukan Fitasari (2004) dimana semakin tinggi konflik dalam keluarga maka akan semakin menurunkan tingkat kepuasan yang dicapai keluarga. Interaksi suami dan istri ditinjau dari aspek bonding menunjukkan bahwa tiga perlima (65.96%) suami merasa istri adalah kawan paling dekat yang bisa diajak ngobrol tentang apa saja serta istri bersedia memperhatikan dan mendengarkan jika contoh mendapat masalah. Hal ini menyebabkan apabila suami mempunyai masalah maka akan lebih senang menceritakannya kepada istri dibanding dengan orang lain. Saat suami mendapat masalah, maka istri mencoba membantu menyelesaikan. Hal ini menjadi salah satu penyebab ketika istri pergi menjadi TKW, tiga perlima (61.30%) contoh sering merasa sedih. Selain itu, sebagian besar beban keluarga harus ditanggung contoh sendiri tanpa bantuan dari istri seperti mencari nafkah yang tetap harus dijalankan, namun dilain sisi contoh juga harus mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga (Lampiran 11). Adapun bila interaksi (komunikasi dan bonding) digolongkan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi, hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir tiga perempat contoh (70.21%) memiliki kategori interaksi suami istri yang tinggi. Terdapat lebih dari tiga perlima (65.96%) suami dan istri memiliki tingkat komunikasi yang tinggi dan selebihnya berada pada tingkat sedang. Hampir tiga perempat (74.47%) suami dan istri memiliki kategori bonding yang tinggi, sebanyak 17.02 persen berada pada kategori sedang, dan selebihnya berada pada kategori rendah (Tabel 26). Tabel 26 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori interaksi suami istri (n=47) No
Tingkat Interaksi Suami Istri
1 2 3 Total
Rendah (20-33) Sedang (34-46) Tinggi (47-70)
Interaksi Ibu Anak Komunikasi Bonding % % 0 8.51 34.04 17.02 65.96 74.47 100 100
Interaksi Ibu Anak % 2.13 27.66 70.21 100
Berdasarkan uji beda Independent Simple T-test menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara interaksi ibu dan anak (rata-rata=1.877) dengan interaksi ayah dan anak (rata-rata=2.339). Begitu juga dengan komunikasi dan bonding dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara komunikasi ibu dan anak (rata-rata=1.817) dengan komunikasi
84 ayah dan anak (rata-rata=2.347) (p<0.01) dan antara bonding ibu dan anak (ratarata=1.934) dengan bonding ayah dan anak (rata-rata=2.328) (p<0.01). Hal ini menunjukkan bahwa interaksi, komunikasi, dan bonding antara ayah dan anak lebih baik jika dibandingkan dengan interaksi, komunikasi, dan bonding antara ibu dan anak saat ibu menjadi TKW. Tabel 27 Hasil uji beda interaksi anggota keluarga Interaksi (rata-rata) No 1 2 3
Interaksi Orangtua dan Anak (pasca TKW) Komunikasi Bonding Interaksi (komunikasi+bonding)
Ibu-anak
Ayahanak
1.817 1.934 1.877
2.347 2.328 2.339
Uji Beda (pvalue) Ibu-anak dengan Ayah-anak 0.002** 0.001** 0.000**
Kualitas Perkawinan Kebahagiaan Perkawinan Kebahagiaan perkawinan dalam penelitian ini bersifat subjektif dan individual. Kebahagiaan perkawinan yang diukur dalam penelitian ini meliputi aspek komunikasi dengan pasangan, komunikasi dengan keluarga pasangan, kepribadian pasangan, afeksi dengan pasangan, dan komitmen perkawinan. Komunikasi merupakan aspek penting dalam menjalin hubungan dalam keluarga.
Komunikasi
merupakan
kontributor
penting
dalam
terciptanya
kebahagiaan perkawinan. Sebanyak 74.47 persen suami mengaku merasa bahagia dengan komunikasi yang terjalin antara suami dan pasangan. Hal ini menunjukkan meskipun mereka berkomunikasi menggunakan media telepon namun tidak menjadikan mereka kesulitan dalam mengartikan komunikasi diantara pasangan. Sebanyak
70.21
persen
suami
menganggap
sering
merasakan
kemudahan dalam berkomunikasi dengan keluarga pasangan. Hal ini berarti bahwa hubungan antara suami dan keluarga pasangan terjalin dengan cukup baik. Bahkan sebagian besar dari suami mendapatkan bantuan dari keluarga pasangan dalam pengasuhan anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Landis dan Landis (1955) yang menyatakan bahwa jika hubungan mertua ipar baik maka perkawinan juga cenderung akan baik.
85 Kebahagiaan ditinjau dari aspek kepribadian istri berupa perilaku istri, hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh (59.57%) suami sering merasa tidak ada perilaku istri yang tidak disukai. Hal ini berarti kepribadian istri tidak berpotensi menggangu kebahagiaan perkawinan bagi separuh keluarga TKW. Namun hal ini juga merupakan hal yang harus diwaspadai karena lebih dari sepertiga contoh menganggap bahwa kepribadian istri contoh kadang bahkan sering tidak dapat diterima contoh. Hal ini menggambarkan bahwa pasangan kurang dapat mengalah dan menyesuaikan diri dengan pasangannya. Landis dan Landis (1955) menyatakan bahwa perkawinan bisa dikatakan bahagia dikarenakan pasangan dapat menerima tugas dalam menyesuaikan cara pandang masing-masing pasangan. Penghargaan akan kemampuan dan hasil karya juga dianggap penting dalam mewujudkan kebahagiaan perkawinan. Lebih dari sepertiga (38.30%) suami mengatakan istri selalu memuji atas kemampuannya sebagai suami dan kurang dari setengah suami yang mengaku istrinya hanya kadang-kadang saja memuji suami. Diantara semua item pertanyaan kebahagiaan perkawinan, item pertanyaan ini yang memiliki persentase terendah. Hal ini menggambarkan kebiasaan memuji yang tidak terlalu membudaya dikalangan contoh. Di sisi lain Landis dan Landis (1955) berpendapat bahwa keluarga yang bahagia adalah keluarga yang anggota keluarganya memperlihatkan afeksi dan empati untuk anggota keluarga lain. Begitu pula yang diungkapkan Munandar (1985) bahwa penting untuk suatu perkawinan yang harmonis, dimana kedua belah pihak pasangan merasakan kebahagiaan dan kepuasan, ialah jika ada saling penghargaan atas prestasi, minat, individualitas antara keduanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh contoh (89.36%) mengaku saling menjaga komitmen perkawinan. Menurut Olson (1986) dalam Nurani (2004), keluarga bahagia adalah keluarga dengan pasangan yang menikah dengan anggotanya yang melaksanakan komitmen bersama dan saling mendukung.
Kepuasan Perkawinan Kepuasan perkawinan dalam penelitian ini diukur melalui aspek ekonomi, komunikasi, afeksi, kepribadian/perilaku, dan komitmen perkawinan. Hanya seperdelapan (12.77%) suami sering merasakan kepuasan dari keuangan yang dimiliki keluarga, sisanya kadang-kadang puas (51.06%) dan tidak puas
86 (36.17%). Hasil ini menunjukkan bahwa meskipun pendapatan keluarga rata-rata telah meningkat hampir tiga kali lipat setelah istri yang menjadi TKW, hal ini tidak menjamin akan kepuasan dalam aspek ekonomi. Berdasarkan pengamatan, hal tersebut disebabkan pendapatan yang diperoleh istri sebagian besar tidak dialokasikan
untuk
memenuhi
kebutuhan
sehari-hari
namun
digunakan
menambah aset keluarga seperti untuk membangun atau memperbaiki rumah, membeli motor, membeli sawah atau lahan dan lain-lain. Tabel 28 Sebaran contoh (%) berdasarkan kualitas perkawinan (n=47) No
Pernyataan Kualitas Perkawinan
Kebahagiaan Perkawinan 1 Saya bahagia jika sering/maksimal komunikasi dengan istri saya 2 Saya mudah berkomunikasi dengan keluarga istri saya 3 Ada perilaku istri yang tidak disukai* 4 Istri saya selalu memuji atas kemampuan saya sebagai suami 5 Saya dan istri selalu menjaga komitmen perkawinan Kepuasan Perkawinan 1 Puas dengan keuangan keluarga yang dimiliki sekarang 2 Puas dengan komunikasi yang terjalin diantara saya dan istri saat ini 3 Puas karena istri saya mencintai saya sampai saat ini 4 Puas karena istri saya selalu memperlakukan saya seperti yang diinginkan 5 Puas karena istri saya dan saya saling setia
Tidak pernah %
Kadangkadang %
14.89
10.67
74.47
10.67
19.15
70.21
6.38 19.15
34.04 42.55
59.57 38.30
4.26
6.38
89.36
36.17
51.06
12.77
14.89
17.02
68.09
4.26
12.77
82.98
12.77
21.28
65.96
4.26
12.77
82.98
Sering %
Lebih dari setengah (68.09%) suami sering merasakan kepuasan akan kemudahan dalam berkomunikasi dengan istri, hanya sepertujuh (14.89%) suami yang tidak pernah merasakan kemudahan berkomunikasi dengan istri. Suami yang tidak merasa puas berkomunikasi dengan istri banyak disebabkan adanya kecurigaan diantara pasangan dan ikut campur keluarga besar terhadap masalah rumah tangga keluarga. Kepuasan perkawinan yang dilihat dari aspek cinta, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (82.98%) suami merasa puas karena suami merasa dicintai pasangannya sampai saat ini. Dua pertiga (65.96%) suami
87 merasa puas karena diperlakuan oleh istri sesuai dengan keinginan. Sebagian besar (82.98%) suami merasa puas karena suami dan istri saling setia (Tabel 28). Hal ini sesuai yang diungkapkan oleh Sadarjoen (2009) bahwa salah satu ciri perkawinan yang sukses yaitu perkawinan yang penuh dengan komitmen yang terjaga, kejujuran, kesetiaan, dan kepercayaan. Berdasarkan wawancara mendalam, diperoleh informasi bahwa seluruh suami (10 orang) mengalami ketidakpuasan karena tidak mampu menyalurkan hasrat seksualnya kepada istri selama istri bekerja menjadi TKW. Sebagian suami
biasanya
menahan
hasrat
seksualnya
dengan
berpuasa
dan
mendekatkan diri kepada Tuhan, misalnya dengan mendatangi guru spiritual untuk mendapatkan kajian-kajian agama. Meskipun sebagian besar (82.98%) suami menyatakan merasa puas karena suami dan istri saling setia, namun berdasarkan wawancara mendalam terdapat lima suami yang mengaku suami pernah memiliki teman wanita (PSK) untuk melampiaskan hasrat seksualnya (Kotak 5). Bahkan terdapat satu suami yang menyatakan bahwa hampir 90 persen suami-suami yang ditinggal istri menjadi TKW sering melampiaskan stres kepada hal-hal seperti bermain perempuan, berjudi, dan minum-minuman keras.
KOTAK 6 “Komitmen Perkawinan yang Terabaikan Akibat Kepergian Istri sebagai TKW” Frekuensi komunikasi yang berkurang semenjak ibu pergi menjadi TKW serta kebutuhan akan afeksi yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan biologisnya, menyebabkan suami mengaku mempunyai teman wanita lain untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Teman wanitanya ini adalah seorang PSK yang sering ditemuinya di Pelabuhan Ratu. Hubungannya dengan PSK bisa dibilang tidak terikat, karena PSK tidak menuntut hubungan yang lebih asalkan sudah menerima bayaran yang dianggapnya pantas*. Pak Adang mengaku lebih merasakan kebahagiaan dan kepuasan perkawinan sebelum istri menjadi TKW dibandingkan saat istri menjadi TKW. Pak Adang merasa kesepian terutama saat hasrat seksualnya muncul*.
Kualitas perkawinan diukur dari aspek kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh keluarga contoh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 65.96 persen suami merasakan kebahagiaan perkawinan yang tergolong kategori tinggi, 27.66 persen tergolong kategori sedang, dan selebihnya tergolong kategori rendah. Berdasarkan hasil penelitian untuk variabel kepuasan perkawinan, 65.69 persen keluarga contoh memiliki kepuasan perkawinan kategori tinggi, sebanyak 29.79 persen tergolong kategori
88 sedang, dan selebihnya tergolong kategori rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 78.72 persen keluarga contoh memiliki kualitas perkawinan yang dikategorikan tinggi, 17.02 persen kategori sedang dan selebihnya kategori rendah (Tabel 29).
Sebaran persentase kualitas perkawinan, kebahagiaan
perkawinan, dan kepuasan perkawinan yang cenderung sama menunjukkan bahwa
kebahagiaan
perkawinan
dan
kepuasan
perkawinan
merupakan
kontributor terhadap kualitas perkawinan. Tabel 29 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori kualitas perkawinan (n=47) No 1 2 3
Tingkat Kualitas Perkawinan Rendah (10-16) Sedang (17-23) Tinggi (27-30)
Total
Kualitas Perkawinan Kebahagiaan Kepuasan
Kualitas Perkawinan
%
%
%
6.38 27.66 65.96 100
4.26 29.79 65.96 100
4.26 17.02 78.72 100
Namun hasil penelitian menunjukkan demikian, berdasarkan wawancara mendalam didapatkan informasi bahwa sebagian besar contoh merasa lebih bahagia dan puas dalam perkawinan sebelum istri menjadi TKW bila disbanding saat istri menjadi TKW. Kebersamaan dan afeksi dalam keluarga yang hilang, beban peran ganda, serta kebutuhan biologis yang tidak dapat terpenuhi merupakan penyebab berkurangnya kebahagiaan dan kepuasan perkawinan keluarga contoh.
Kondisi Anak Keterampilan Sosial Sunarti (2004) menyatakan bahwa keterampilan sosial berkaitan dengan kemampuan anak bergaul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (85.11%) anak selalu mengucapkan salam atau permisi ketika lewat dihadapan orang lain. Terdapat tiga perempat (74.47%) anak sering mudah bergaul dengan teman. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar anak TKW memiliki keterampilan sosial yang baik dalam bergaul dengan sesama teman sebaya maupun dengan orang yang lebih dewasa. Tabel 30 menunjukkan bahwa hampir tujuh puluh persen (68.09%) anak selalu meminta maaf jika melakukan kesalahan. Hal ini menunjukkan bahwa anak TKW telah memiliki emotional responsivenes yang cukup baik. Terdapat
89 tiga perlima (61.70%) anak yang suka meminjamkan alat tulis kepada temannya yang tidak membawa, artinya bahwa anak telah memiliki rasa empati terhadap orang lain. Tabel 30 Sebaran contoh (%) berdasarkan keterampilan sosial anak (n=47) No
Pernyataan Keterampilan Sosial Anak
1
Saya takut bila berhadapan atau berbicara dengan orang dewasa* Saya senang berada di lingkungan baru Saya mengucapkan salam/permisi ketika lewat di hadapan orang lain Saya suka meminjamkan alat tulis kepada teman yang tidak membawa/ tidak punya. Saya mudah bergaul dengan teman Saya adalah orang yang suka minta maaf Bila teman saya sedang sedih, saya menanyakannya
2 3 4 5 6 7
Tidak Pernah % 14.89
Kadangkadang % 40.43
36.17 0
21.28 14.89
42.55 85.11
6.38
31.91
61.70
10.67 10.67 6.28
14.89 21.28 44.28
74.47 68.09 48.94
Sering % 44.68
Tabel 31 menunjukkan bahwa terdapat 63.83 persen anak memiliki keterampilan sosial tergolong kategori tinggi, dan selebihnya termasuk dalam keterampilan sosial kategori sedang. Megawangi (1999); Brooks (2001) menyatakan bahwa bekal paling penting bagi anak adalah kematangan emosisosialnya, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis sebagaimana juga dalam kehidupan sosialnya. Tabel 31 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori keterampilan sosial anak (n=47) No 1 2 3 Total
Keterampilan Sosial Anak Rendah (7-11) Sedang (12-16) Tinggi (17-21)
% 0 36.17 63.83 100
Stres Anak Stres merupakan tuntutan perasaan terhadap perubahan lingkungan yang terjadi tiba-tiba (Melson 1980). Kepergian ibu sebagai pengasuh utama merupakan perubahan di lingkungan keluarga TKW dan dapat menimbulkan stres bagi anak. Hal ini dikarenakan anak pada usia sekolah masih membutuhkan sosok ibu untuk memenuhi kebutuhan anak, baik fisik maupun
90 emosional. Anak yang berusia preadolance mungkin tidak membutuhkan banyak sentuhan fisik seperti pelukan atau ciuman dari ibu, namun pada kenyataannya keberadaan ibu menjadi sangat penting bagi anak. Keadaan ini digambarkan melalui hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat sepertiga (34.04%) anak memiliki tingkat stres tinggi, lebih dari seperempat (27.66%) anak memiliki tingkat stres sedang, dan selebihnya memiliki tingkat stres rendah. Stres yang terjadi pada anak lebih banyak terjadi pada kondisi perasaan (emosi) dibanding
pada kondisi perilaku, pikiran, dan fisik. Sebanyak 40.43
persen anak sering mengalami kekecewaan (frustasi), 38.30 persen anak sering merasa cepat marah, dan 34.04 persen anak sering mengalami kecemasan. Persentase terbesar stres pada kondisi perilaku yaitu anak sering mengalami perubahan pola tidur (sulit tidur) (34.04%), stres pada kondisi pikiran yaitu anak akhir-akhir ini sering merasa tidak kreatif dalam memecahkan masalah (36.17%), stres pada kondisi fisik yaitu anak akhir-akhir ini sering merasa sakit-sakit badan (Lampiran 12). Tabel 32 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori stres anak Stres Anak Rendah (16-26) Sedang (27-37) Tinggi (38-48) Total
% 38.30 27.66 34.04 100
Prestasi Akademik Jumlah contoh yang diambil dalam penelitian prestasi ini adalah 45 dari 47 contoh keseluruhan, hal ini dikarenakan dua rapor anak hilang. Data diambil dalam penelitian ini sebanyak empat semester. Prestasi akademik anak dapat diukur melalui skor prestasi dari berbagai mata pelajaran. Penelitian ini menggunakan skor prestasi dari enam mata pelajaran utama yaitu Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Tabel 33 menyajikan bahwa skor prestasi akademik contoh berkisar antara 43 hingga 92, dengan rata-rata 66.70. Hal ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata prestasi akademik contoh termasuk cukup baik, namun ada beberapa contoh yang tergolong rendah. Bahkan terdapat empat anak yang pernah tinggal kelas.
91 Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik anak (n=45) No 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
Mata Pelajaran Semester 1 Pendidikan Agama Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Sosial Semester 2 Pendidikan Agama Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Sosial Semester 3 Pendidikan Agama Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Sosial Semester 4 Pendidikan Agama Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Sosial
Nilai Rata-rata±sd
(min;maks)
68.93 ± 7.874 66.78 ± 8.799 67.65 ± 9.307 64.65 ± 11.735 64.32 ± 9.593 64.48 ± 7.801
(50;85) (50;90) (50;90) (50;90) (50;90) (50;85)
69.87 ± 7.196 67.76 ± 9.409 68.29 ± 9.370 66.35 ± 10.236 66.69 ± 8.350 66.88 ± 8.594
(60;85) (43;90) (49;90) (50;90) (50;85) (50;90)
67.91 ± 8.506 67.20 ± 9.469 66.73 ± 6.585 63.38 ± 9.176 66.04 ± 7.365 63.78 ± 8.133
(50;90) (50;90) (60;85) (50;90) (51;85) (44;85)
71.48 ± 7.241 69.05 ± 8.422 68.16 ± 7.689 65.19 ± 9.382 64.49 ± 9.317 64.83 ± 7.670
(60;90) (60;92) (50;85) (50;92) (50;90) (50;80)
Prestasi akademik anak dikategorikan kurang, cukup, baik, dan sangat baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar anak termasuk dalam kategori cukup dalam semua mata pelajaran yang diteliti, yakni mata pelajaran Pendidikan Agama (68.9%), Pendidikan Kewarganegaraan (57.8%), Bahasa Indonesia (55.6%), Matematika (42.2%), IPA (51.1%), dan IPS (51.1%) (Tabel 34). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak contoh memiliki prestasi akademik yang tidak terlalu memuaskan. Kurangnya bimbingan belajar dan perhatian akan kegiatan belajar anak dari orangtua maupun keluarga besar lainnya diduga sebagai penyebabnya. Berdasarkan data yang diperoleh dalam variabel pengasuhan, dukungan orangtua dan pengganti ibu untuk membantu pekerjaan rumah anak merupakan item pernyataan yang memiliki persentase terkecil bila dibanding dengan lainnya, sehingga kurangnya bimbingan belajar dari ibu, pengganti ibu, maupun ayah menyebabkan prestasi anak tidak terlalu memuaskan.
92 Tabel 34 Sebaran contoh (%) berdasarkan kategori prestasi akademik anak (n=45) Tingkat Prestasi Akademik No 1 2 3 4 5 6
Mata Pelajaran
Kurang (50-60)
Cukup (61-70)
Baik (71-80)
% 2.2 13.3 15.6 35.6 26.7 26.7
% 68.9 57.8 55.6 42.2 51.1 51.1
% 20.0 20.0 24.4 13.3 17.8 20.0
Pendidikan Agama Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia Matematika IPA IPS
Sangat baik (81-90) % 8.9 8.9 4.4 8.9 4.4 2.2
Hubungan Antara Variabel-Variabel Penelitian Hubungan Dukungan Sosial dengan Karakteristik Keluarga Hubungan antara karakteristik keluarga dan anak dengan dukungan sosial dapat dilihat pada Tabel 35. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara pendidikan ayah (r=0.326, p<0.05) dan pendidikan ibu (r=0.522, p<0.01) dengan dukungan sosial keluarga besar. Hal ini menunjukkan apabila semakin tinggi pendidikan ayah dan pendidikan ibu, maka semakin tinggi dukungan sosial keluarga besar yang diterima keluarga contoh. Hal sama menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara pendidikan ayah (r=0.298, p<0.05) dan pendidikan ibu (r=0.446, p<0.01) dengan dukungan sosial total. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hurlock (1980) yang menyebutkan bahwa seseorang yang mempunyai status sosial ekonomi yang baik akan lebih mampu berperan dalam kegiatan sosial dan lebih banyak memiliki teman akrab. Dengan demikian, seseorang yang memiliki status pendidikan yang baik akan mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan sekitar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.374, p<0.05) antara pendapatan keluarga saat istri menjadi TKW dengan dukungan sosial PJTKI. Semakin besar pendapatan yang diperoleh keluarga contoh maka semakin besar dukungan sosial yang diberikan PJTKI. Dukungan sosial yang diberikan PJTKI kepada istri dan keluarga antara lain memberikan sosialisasi/penyuluhan program penempatan TKW ke luar negeri, membantu mengurus pembuatan paspor ke kantor imigrasi yang ditunjuk Dinas Kabupaten,
93 menerangkan
isi
kontrak
pekerjaan,
dan
menjamin
perlindungan
dan
keselamatan TKW di luar negeri. Hasi uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.338, p<0.05) antara nomor urutan anak dengan dukungan sosial keluarga besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi urutan anak maka semakin rendah dukungan sosial keluarga besar. Hubungan nyata dan positif (r=0.324, p<0.01) terdapat pada umur anak dengan dukungan sosial keluarga besar. Hal ini berarti semakin tua umur anak maka dukungan sosial keluarga besar kepada keluarga contoh semakin besar. Hal ini diduga karena anak yang umurnya lebih tua dianggap lebih mudah dalam merawatnya karena sudah bisa melakukan kegiatan sendiri, sehingga tidak perlu pengawasan lebih besar. Dengan demikian keluarga besar merasa lebih menerima merawat anak dengan usia lebih tua dibanding dengan anak yang masih kecil (Tabel 35). Tabel 35 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dan dukungan sosial No 1 2 3 4 5
Variabel Pendidikan ayah Pendidikan ibu Pendapatan saat TKW Urutan anak Umur anak
Dukungan keluarga besar .326* .522** .256
Dukungan tetangga
Dukungan PJTKI
Dukungan sosial (total)
.028 .156 -.078
.176 .083 .374*
.298* .446** .309*
-.338* .324*
-.159 -.223
.154 -.032
-.196 .091
*p<0.05 **p<0.01
Hubungan antara Pengasuhan Anak dengan Karakteristik Keluarga dan Dukungan Sosial Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Pengasuhan Anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan negatif (r=-0.310, p<0.01) antara aset saat ibu menjadi TKW dengan pengasuhan dimensi penerimaan ibu. Apabila dilihat dari data penelitian, semakin rendah pengasuhan dimensi penerimaan ibu sebelum menjadi TKW maka semakin lama ibu menjadi TKW, sehingga semakin besar aset yang dimiliki keluarga saat ibu menjadi TKW. Fenomena ini menggambarkan bahwa ibu yang memiliki pengasuhan dimensi penerimaan yang rendah akan lebih tega untuk meninggalkan anak dalam jangka waktu yang lebih lama.
94 Terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.310, p<0.01) antara urutan anak dengan pengasuhan dimensi penerimaan ibu sebelum menjadi TKW. Hal ini berarti semakin tinggi urutan kelahiran anak maka semakin rendah pengasuhan dimensi penerimaan yang diterapkan ibu. Menurut Hurlock (1980) penerimaan terhadap anak pertama lebih baik dibanding dengan urutan anak selanjutnya, hal ini ditunjukkan dari lebih banyaknya kesempatan dan perolehan perlakuan khusus anak pertama dibanding adik-adiknya sehingga menghasilkan anak yang lebih sehat dan lebih berprestasi. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.471, p<0.01) antara pendidikan ibu dengan pengasuhan dimensi penerimaan pengganti ibu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama ibu duduk di bangku pendidikan maka semakin besar pengasuhan dimensi penerimaan pengganti ibu. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi memiliki keterampilan
dalam
berinteraksi
sosial
(Brooks
2001),
sehingga
dapat
mempengaruhi pengasuh pengganti ibu untuk berbuat seperti yang ibu lakukan. Tabel 36 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan pengasuhan No 1 2 3 4 5 6
Variabel Pendidikan ayah Pendidikan ibu Pendapatan saat TKW Aset saat TKW Urutan anak Umur anak
A1 -.116
R1 .069
P1 -.109
A2 .004
R2 -.049
P2 .020
A3 -.111
R3 .116
P3 -.148
.198
.052
.034
.471**
-.072
.275
.100
-.111
.135
-.191
.009
-.129
.020
-.071
.026
-.166
-.101
-.006
-.310*
.142
-.265
-.167
-.090
-.051
-.263
.002
-.205
-.310*
.039
-.162
-.121
.217
-.183
-.102
.144
-.172
-.063
-.033
-.059
.225
-.049
.191
-.116
-.170
.004
*p≤0.05 **p≤0.01 Keterangan: A1= Pengasuhan acceptace ibu (skor) R1= Pengasuhan rejection ibu (skor) P1= Pengasuhan ibu (total) (skor) A2= Pengasuhan acceptance pengganti ibu (skor) R2= Pengasuhan rejection pengganti ibu (skor) P2= Pengasuhan pengganti ibu (total) (skor) A3=Pengasuhan acceptace ayah (skor) R3= Pengasuhan rejection ayah (skor) P3= Pengasuhan ayah (total) (skor)
95 Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Pengasuhan Anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan positif (r=0.304, p<0.05) antara dukungan sosial keluarga besar dengan pengasuhan dimensi penerimaan ibu, sehingga apabila semakin tinggi pengasuhan dimensi penerimaan ibu sebelum menjadi TKW maka semakin tinggi dukungan sosial keluarga besar. Dukungan sosial keluarga besar berhubungan nyata dan positif (r=0.397, p<0.05) dengan pengasuhan dimensi kehangatan pengganti ibu, artinya bahwa apabila dukungan sosial keluarga besar meningkat maka pengasuhan dimensi kehangatan pengganti ibu akan meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.345, p<0.05) antara dukungan sosial tetangga terhadap pengasuhan dimensi penerimaan ayah, artinya bahwa semakin tinggi dukungan sosial tetangga maka semakin tinggi pengasuhan penerimaan ayah. Dukungan sosial tetangga ialah kehidupan bermasyarakat yang memberikan rasa aman, kesediaan meminjamkan uang atau barang ketika keluarga dalam kesulitan, pertolongan yang datang ketika keluarga dalam kesulitan, serta berbagi dan bertukar pikiran ketika ada masalah. Dukungan-dukungan tersebut dirasa dapat memberikan kenyamanan, menurunkan stres, dan mengurangi perasaan negatif sehingga berdampak pada penerapan pengasuhan yang menerima anak dengan hangat (Brooks 2001). Tabel 37 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial dengan pengasuhan anak Variabel Dukungan keluarga besar Dukungan tetangga Dukungan PJTKI Dukungan sosial (total)
A1 .304*
R1 -.118
P1 .204
A2 .535**
R2 -.169
P2 .397*
A3 .144
R3 -.274
P3 .266
.345*
.251
.022
.128
.206
.062
.346*
.285
.077
-.109
.295*
-.044
.039
.094
-.163
.093
-.227
.368*
.212
.313* .005
.441**
.032
.211
.211
.000
.113
*p≤0.05 **p≤0.01 Keterangan: A1= Pengasuhan acceptace ibu R1= Pengasuhan rejection ibu P1= Pengasuhan ibu (total) A2= Pengasuhan acceptance pengganti ibu R2= Pengasuhan rejection pengganti ibu P2= Pengasuhan pengganti ibu (total)
96 A3=Pengasuhan acceptace ayah R3= Pengasuhan rejection ayah P3= Pengasuhan ayah (total) Secara garis besar dapat diketahui bahwa semakin tinggi nomor urutan anak maka semakin ibu tidak menerapkan pengasuhan penerimaan. Variabel yang mampu mendukung pengasuhan penerimaan ayah adalah dukungan sosial tetangga, sedangkan yang mendukung pengasuhan penerimaan pengganti ibu adalah dukungan sosial keluarga besar. Hal ini berarti bahwa selain keluarga dekat,
komunitas/masyarakat
dapat
menentukan
pengasuhan
seorang
pengasuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Brooks (2001) yang menyatakan bahwa komunitas/masyarakat mempengaruhi pengasuhan yang terdiri dari faktor keamanan yang diberikan tetangga dan jumlah dukungan sosial yang diberikan.
Hubungan antara Interaksi Keluarga dengan Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, dan Pengasuhan Hubungan antara Karakteristik Keluarga dan Anak dengan Interaksi Keluarga Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.298, p<0.05) antara aset pasca TKW dengan interaksi ibu dan anak. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar aset yang dimiliki keluarga saat TKW maka semakin tinggi interaksi ibu dan anak. Tabel 38 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan interaksi keluarga No 1 2 3 4 5 6
Variabel Pendapatan pra TKW Aset pasca TKW Lama TKW
K1 .288
B1 .400**
I1 .331*
K2 .094
B2 .037
I2 .058
FK -.089
K3 -.023
B3 .065
I3 -.007
.190
.335*
.298*
-.183
-.073
-.144
-.159
-.032
.113
.064
-.180
.007
-.126
-.187
.001
-.141
-.237
-.223
-.284
-.296*
Jenis kelamin Urutan kelahiran Umur anak
-.197
-.238
-.233
-.012
-.050
-.023
.127
.106
.095
.115
-.186
-.077
-.150
-.072
-.059
-.093
-.053
-.237
-.008
-.096
-.048
.031
-.020
-.032
-.007
-.037
.020
.002
-.050
-.054
*p≤0.05 **p≤0.01
97 Keterangan: K1= Komunikasi ibu dan anak (skor) B1= Bonding ibu dan anakI1= Interaksi ibu dan anak (skor) K2= Komunikasi ayah dan anak (skor) B2= Bonding ayah dan anak (skor) I2= Interaksi ayah dan anak (skor) FK= Frekuensi komunikasi ayah dan anak (skor) K3= Komunikasi suami dan istri (skor) B3= Bonding suami dan istri (skor) I3= Interaksi suami dan istri (skor) Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.296, p<0.05) antara lama kepergian TKW dengan interaksi suami dan istri (Tabel 38). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin lama istri bekerja sebagai TKW maka semakin rendah interaksi suami dan istri. Kuantitas waktu bersama merupakan prasyarat dalam membentuk bonding diantara anggota keluarga, terutama suami dan istri, sehingga perpisahan suami dan istri dalam waktu yang lama akan menyebabkan berkurangnya interaksi (komunikasi dan bonding) diantara pasangan.
Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Interaksi Keluarga Tabel 39 menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif antara dukungan sosial tetangga dengan komunikasi ibu dan anak (r=0.303, p<0.05) dan interaksi ibu dan anak (r=0.297, p<0.05), artinya semakin besar dukungan sosial tetangga yang diterima keluarga contoh maka semakin tinggi komunikasi dan interaksi ibu dan anak. Hal ini diduga dengan adanya dukungan sosial yang diberikan tetangga maka anak akan memiliki kejiwaan yang lebih positif, sehingga anak lebih nyaman untuk berhubungan dengan ibu. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan nyata dan positif antara dukungan sosial tetangga dengan interaksi ayah dan anak (r=0.358, p<0.05) dan frekuensi komunikasi ayah dan anak (r=0.305, p<0.05). Artinya bahwa semakin besar dukungan sosial tetangga maka semakin baik interaksi ayah dan anak dan semakin sering frekuensi komunikasi ayah dan anak. Dukungan sosial yang tinggi akan memberikan ketenangan dan kenyamanan untuk ayah, sehingga ayah akan memiliki kondisi kejiwaan yang positif. Dengan demikian, ayah akan menjalin hubungan yang positif dengan anak. Terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.301, p<0.05) antara dukungan tetangga dengan interaksi antara suami dan istri (Tabel 39). Hal ini berarti
98 semakin besar dukungan sosial tetangga yang diterima keluarga contoh maka semakin baik interaksi antara suami dan istri. Dukungan sosial tetangga berupa kehidupan
bermasyarakat
yang
memberikan
rasa
aman,
kesediaan
meminjamkan uang atau barang ketika keluarga dalam kesulitan, pertolongan yang datang ketika keluarga dalam kesulitan, serta berbagi dan bertukar pikiran ketika ada masalah merupakan dukungan sosial yang dapat menurunkan stres dan memberikan kenyamanan tersendiri bagi keluarga sehingga interaksi yang terjalin diantara interaksi suami dan istri menjadi semakin baik. Tabel 39 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial dengan interaksi keluarga Variabel Dukungan keluarga besar Dukungan tetangga Dukungan PJTKI Dukungan sosial (total)
K1 .118
B1 .066
I1 .079
K2 -.024
B2 .091
I2 .063
KF .229
K3 .183
B3 .049
I3 .113
.303*
.249
.297*
.345*
.329*
.358*
.305*
.141
.324*
.301*
.243
.197
.233
-.020
-.052
-.045
-,280
-.131
-.163
.392**
.323*
.369*
.156
.250
.226
.191
.050 .161
.128
.145
*p≤0.05 **p≤0.01 Keterangan: K1= Komunikasi ibu dan anak (skor) B1= Bonding ibu dan anak (skor) I1= Interaksi ibu dan anak (skor) K2= Komunikasi ayah dan anak (skor) B2= Bonding ayah dan anak (skor) I2= Interaksi ayah dan anak (skor) FK= Frekuensi komunikasi ayah dan anak (skor) K3= Komunikasi suami dan istri (skor) B3= Bonding suami dan istri (skor) I3= Interaksi suami dan istri (skor) Hubungan antara Pengasuhan Anak dengan Interaksi Keluarga Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan nyata dan positif antara pengasuhan dimensi penerimaan ibu pra TKW dengan interaksi ayah dan anak (r=0.365, p<0.05) dan frekuensi komunikasi ayah dan anak (r=0.355, p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengasuhan dimensi penerimaan ibu sebelum menjadi TKW maka semakin tinggi interaksi antara ayah dan anak dan semakin sering frekuensi komunikasi ayah dan anak. Hal ini diduga karena ayah berusaha untuk menggantikan posisi ibu yang dahulu sebelum menjadi TKW
99 telah mengasuh anak-anak dengan penuh kehangatan, sehingga ayah berusaha untuk menjalin interaksi yang baik dengan anak. Selain itu, keadaan ini menggambarkan bahwa dalam suatu keluarga terjadi suatu proses saling mempengaruhi (interaksi) antar anggota keluarga sehingga dapat menghasilkan perilaku individu-individu yang memiliki kecenderungan tingkah laku yang hampir sama. Terdapat
hubungan
nyata
dan
positif
(r=0.377,
p<0.05)
antara
pengasuhan dimensi penolakan ibu dengan interaksi ibu dan anak, artinya bahwa semakin ibu melakukan pengasuhan dimensi penolakan sebelum menjadi TKW maka semakin tinggi interaksi (komunikasi dan bonding) antara ibu dan anak saat ini. Hal ini diduga karena rasa kehilangan anak yang mengalami perpisahan dengan ibu lebih besar bila dibandingkan dengan pengalaman pengasuhan penolakan masa lalu yang dilakukan ibu, sehingga anak melupakan kekerasan yang dilakukan ibu. Bagi anak yang berumur preadolence, anak telah menyadari bahwa kepergian ibu menjadi TKW adalah untuk membantu perekonomian keluarga sehingga rasa kecewa akan pengasuhan penolakan yang ibu lakukan diabaikan oleh anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.375, p<0.01) antar pengasuhan dimensi kehangatan ayah terhadap interaksi antara ayah dan anak. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pengasuhan dimensi kehangatan yang dilakukan ayah maka semakin tinggi interaksi (komunikasi dan bonding) antara ayah dan anak. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.401, p<0.01) antara pengasuhan dimensi kehangatan ayah dengan frekuensi komunikasi antara ayah dan anak. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pengasuhan dimensi kehangatan yang dilakukan ayah maka semakin tinggi frekuensi komunikasi antara ayah dan anak. Menurut Brooks (2001), ketika orangtua bersikap hangat dan lebih mendukung maka akan tercipta interaksi dan kelekatan yang kuat antara orangtua dan anak. Terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.384, p<0.05) antara pengasuhan dimensi penolakan pengganti ibu terhadap frekuensi komunikasi ayah dan anak. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pengasuhan dimensi penolakan pengganti ibu maka semakin rendah frekuensi komunikasi ayah dan anak. Hasil korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.339, p<0.05) antara pengasuhan dimensi kehangatan ibu dengan
100 komunikasi suami dan istri, hal ini berarti apabila semakin tinggi pengasuhan dimensi kehangatan ibu sebelum menjadi TKW maka semakin tinggi komunikasi yang terjalin antara suami dan istri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.491, p<0.01) antara pengasuhan dimensi kehangatan pengganti ibu dengan interaksi suami dan istri, artinya semakin tinggi pengasuhan dimensi kehangatan yang dilakukan pengganti ibu maka semakin tinggi interaksi antara suami dan istri. Terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.294, p<0.05) antara pengasuhan dimensi kehangatan ayah dengan interaksi suami dan istri, artinya bahwa semakin tinggi pengasuhan dimensi kehangatan yang diterapkan ayah kepada anak maka semakin tinggi interaksi suami dan istri. Hal ini menunjukkan bahwa cara pengasuh mengasuh anak, baik yang dilakukan ibu, pengganti ibu, maupun ayah dapat meningkatkan atau menurunkan interaksi suami dan istri. Tabel 40 Hasil uji korelasi Spearman pengasuhan anak terhadap interaksi keluarga No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Variabel A1 R1 P1 A2 R2 P2 A3 R3 P3
K1 .236 .296* -.084 -.165 .222 -.283 -.108 .132 -.230
B1 .057 .324* -.179 -.015 .049 -.088 -.123 .002 -.154
I1 .173 .337* -.129 -.087 .154 -.198 -.105 .083 -.191
*p≤0.05 **p≤0.01 Keterangan: A1= Pengasuhan acceptace ibu (skor) R1= Pengasuhan rejection ibu (skor) P1= Pengasuhan dimensi kehangatan ibu (total) (skor) A2= Pengasuhan acceptance pengganti ibu (skor) R2= Pengasuhan rejection pengganti ibu (skor) P2= Pengasuhan pengganti dimensi kehangatan ibu (total) (skor) A3= Pengasuhan acceptace ayah (total) (skor) R3= Pengasuhan rejection ayah (skor)
K2 .366* .094 .209 .202 .067 .105 .428** .089 .342*
B2 .287 .146 .145 .292 -.122 .257 .363* .008 .314*
I2 .365* .097 .214 .289 -.065 .236 .441** .022 .375**
FK .355* -.250 .435** .427* -.384* .515** .359* -.137 .401**
K3 .239 -.241 .339* .187 .559** .487** .167 -.309* .370*
B3 .161 .155 .051 .415** .278 .448** .233 .006 .188
P3= Pengasuhan dimensi kehangatan ayah (total) (skor) K1= Komunikasi ibu dan anak (skor) B1= Bonding ibu dan anak (skor) I1= Interaksi ibu dan anak (skor) K2= Komunikasi ayah dan anak (skor) B2= Bonding ayah dan anak (skor) I2= Interaksi ayah dan anak (skor) FK= Frekuensi komunikasi ayah dan anak (skor) K3= Komunikasi suami dan istri (skor) B3= Bonding suami dan istri (skor) I3= Interaksi suami dan istri (skor)
I3 .18 -.010 .167 .331 -.425** .491** .239 -.131 .294*
101
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa semakin lama istri menjadi TKW, maka semakin rendah interaksi (komunikasi dan bonding) yang terjalin antara suami dan istri. Namun demikian, dukungan sosial tetangga dan pengasuhan penerimaan pengasuh berhubungan nyata dan positif dengan interaksi suami istri, artinya semakin besar dukungan sosial tetangga dan semakin tinggi pengasuhan penerimaan pengasuh, maka semakin tinggi interaksi suami dan istri. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin besar pengasuhan dimensi kehangatan pengasuh maka semakin tinggi interaksi ayah dan anak.
Hubungan Antara Kualitas Perkawinan dengan Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, Pengasuhan, Interaksi Keluarga Hubungan Antara Perkawinan
Karakteristik
Keluarga
dengan
Kualitas
Tabel 41 menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.289, p<0.05) antara umur ayah dengan kebahagiaan perkawinan, artinya bahwa semakin tinggi umur ayah maka semakin tinggi kebahagiaan perkawinan. Hal ini diduga karena dengan semakin bertambahnya umur maka ayah akan semakin menerima keadaan dengan lebih baik dari pada ayah yang berumur lebih muda, sehingga kebahagiaan perkawinan yang dirasakan juga semakin tinggi. Tabel 41 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan kualitas perkawinan No 1 2 3 4 5 6 7
Variabel Jumlah anggota keluarga Umur ayah Umur ibu Jenis kelamin Urutan kelahiran Umur anak Pendidikan anak
Kebahagiaan perkawinan .101 .289* .218 -.212 .093 .051 .032
Kepuasan perkawinan .092 .097 .092 -.281 .150 .032 .060
Kualitas perkawinan .113 .256 .202 -.302* .135 .065 .067
*p≤0.05 **p≤0.01 Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.302, p<0.05) antara jenis kelamin anak dengan kualitas perkawinan keluarga. Hal ini berarti keluarga yang memiliki anak berjenis kelamin laki-laki
102 memiliki kebahagiaan perkawinan yang lebih besar bila dibandingkan dengan keluarga yang memiliki anak dengan jenis kelamin perempuan. Kammeyer (1987) menyatakan bahwa hampir diseluruh negara di dunia lebih menginginkan anak laki-laki di banding anak perempuan (Tabel 41). Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Kualitas perkawinan Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.291, p<0.05) antara dukungan sosial total dengan kepuasan perkawinan. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan semakin tinggi dukungan sosial baik yang diterima dari keluarga besar, tetangga, maupun PJTKI maka semakin tinggi kepuasan perkawinan yang dirasakan keluarga contoh. Seseorang yang mendapat dukungan sosial, secara psikologis akan merasakan situasi nyaman, penuh kehangatan, kegembiraan, penuh rasa aman dan merasa terlindungi oleh sanak famili dan masyarakat di lingkungan sekitar tempat tinggalnya (Rifai 1999 dalam Tati 2004), sehingga akan memperbesar kepuasan perkawinan yang dirasakan pasangan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Kammeyer (1987) yang menyatakan bahwa persetujuan dan dukungan dari teman dan anggota masyarakat menyebabkan kualitas perkawinan yang semakin tinggi. Tabel 42 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial dengan kualitas perkawinan No 1 2 3 4
Variabel Dukungan keluarga besar Dukungan tetangga Dukungan PJTKI Dukungan sosial (total)
Kebahagiaan perkawinan .188
Kepuasan perkawinan .105
Kualitas perkawinan .160
.189 -.127 .119
.283 .130 .291*
.242 -.045 .190
*p≤0.05 **p≤0.01
Hubungan Antara Pengasuhan Anak dengan Kualitas Perkawinan Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.300, p<0.01) antara pengasuhan dimensi kehangatan ibu dengan kebahagiaan perkawinan, artinya bahwa semakin baik pengasuhan dimensi kehangatan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW maka semakin tinggi tingkat kebahagiaan perkawinan keluarga contoh. Hal ini menggambarkan bahwa perilaku positif ibu dalam pengasuhan kehangatan yang dilakukan sebelum
103 menjadi TKW masih berbekas dihati ayah untuk waktu yang lama. Menurut Hastuti (2002) dalam Hastuti (2007), hubungan suami istri yang mencapai kebahagiaan dan kepuasan bagi kedua belah pihak membentuk sikap orangtua yang lebih positif daripada tidak ada kebahagiaan dan kepuasan antar pasangan. Bila perkawinan gagal, sikap orangtua cenderung negatif terhadap anak-anak dan ketidakpuasan terhadap pasangan hidup seringkali disalurkan kepada anakanaknya. Tabel 43 menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.477, p<0.01) antara pengasuhan penerimaan dimensi pengganti ibu terhadap kebahagiaan perkawinan keluarga contoh. Sebaliknya, terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.362, p<0.05) pengasuhan dimensi penolakan pengganti ibu dengan kebahagiaan perkawinan. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi pengasuhan dimensi penerimaan pengganti ibu maka semakin tinggi kebahagiaan perkawinan keluarga contoh, dan sebaliknya apabila semakin tinggi pengasuhan dimensi penolakan pengganti ibu maka semakin berkurang kebahagiaan perkawinan yang dirasakan keluarga contoh. Kedua hasil tersebut menggambarkan bahwa peran pengasuh anak memberikan kontribusi terhadap kualitas perkawinan pada keluarga contoh. Tabel 43 Hasil uji korelasi Spearman pengasuhan anak dengan kualitas perkawinan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Variabel Pengasuhan acceptance ibu Pengasuhan rejection ibu Pengasuhan ibu (total) Pengasuhan acceptance pengganti ibu Pengasuhan rejection pengganti ibu Pengasuhan pengganti ibu (total) Pengasuhan acceptance ayah Pengasuhan rejection ayah Pengasuhan ayah (total)
Kebahagiaan perkawinan .173 -.196 .300* .477** -.362* .545** .267 -.268 415**
Kepuasan perkawinan .227 .304* -.068 .259 -.013 .178 .204 -.015 .133
Kualitas perkawinan .244 .021 .188 .454** -.273 484** .309* -.205 .373**
*p≤0.05 **p≤0.01 Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.373, p=0.01) antara pengasuhan dimensi kehangatan ayah terhadap kualitas perkawinan. Hal ini berarti apabila pengasuhan dimensi kehangatan ayah semakin tinggi maka semakin tinggi kualitas perkawinan keluarga contoh (Tabel 43). Kenyataan ini sesuai yang dikemukakan Gottman
104 (2001) dalam Nurani (2004), bahwa kondisi perkawinan yang bahagia akan membuat orangtua memiliki kondisi emosi yang hangat sehingga pengasuhan yang diterapkan kepada anak akan cenderung memberikan kehangatan.
Hubungan antara Interaksi Keluarga dengan Kualitas Perkawinan Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan nyata dan positif antara bonding ibu dan anak (r=0.289, p<0.05) dan bonding ayah dan anak (r=0.311, p<0.05) dengan kepuasan perkawinan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi bonding ibu dan anak dan bonding ayah dan anak, maka semakin tinggi kepuasan perkawinan keluarga contoh. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan nyata dan positif (r=0.297, p<0.05) antara interaksi ayah dan anak dengan kualitas perkawinan, artinya bahwa semakin tinggi interaksi ayah dan anak maka semakin tinggi kualitas perkawinan keluarga contoh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.399, p<0.01) antara frekuensi komunikasi ayah dan anak terhadap kualitas perkawinan. Hal ini berarti semakin tinggi frekuensi komunikasi antara ayah dan anak maka semakin tinggi kualitas perkawinan keluarga contoh. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.455, p<0.01) antara komunikasi suami istri terhadap kualitas perkawinan, artinya semakin tinggi komunikasi antara suami dan istri maka semakin tinggi kualitas perkawinan yang dirasakan keluarga contoh. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa komunikasi yang efektif akan mengarahkan kepada kualitas perkawinan yang lebih baik, sehingga komunikasi yang baik antara suami dan istri merupakan elemen yang penting dalam kualitas perkawinan (Lewis dan Spenier 1979 dalam Kammeyer 1987). Bonding suami dan istri berhubungan nyata dan positif (r=0.554, p<0.01) terhadap kualitas perkawinan. Penelitian ini memperkuat penelitian yang telah dilakukan oleh Hendrick (1981) dalam Kammeyer (1987) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara kedekatan suami istri dengan kepuasan perkawinan. Hasil penelitian dalam Tabel 44 menunjukkan bahwa yang menjadi pendukung terciptanya kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan tidak hanya hubungan antara suami dan istri, namun hubungan antar anggota keluarga juga berkontribusi dalam menciptakan kebahagiaan dan kepuasan
105 perkawinan. Hal ini berarti bahwa suasana yang tercipta dalam keluarga penting untuk menciptakan kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan. Tabel 44 Hasil uji korelasi Spearman interaksi keluarga dengan kualitas perkawinan No
Variabel
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Komunikasi ibu dan anak Bonding ibu dan anak Interaksi ibu dan anak Komunikasi ayah dan anak Bonding ayah dan anak Interaksi ayah dan anak Frekuensi komunikasi ayah dan anak Komunikasi suami dan istri Bonding suami dan istri Interaksi suami dan istri
Kebahagiaan perkawinan -.057 .095 .019 .275 .173 .278 .531** .569** .538** .594**
Kepuasan perkawinan .165 .289* .223 .130 .311* .231 .066 .202 .365* .321*
Kualitas perkawinan .041 .238 .146 .252 .262 .297* .399** .455** .554** .555**
*p≤0.05 **p≤0.01 Secara garis besar dapat dikatakan bahwa terdapat beberapa variabel yang berhubungan dengan kualitas perkawinan (kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan) antara lain dukungan sosial, pengasuhan pengasuh, dan interaksi dalam keluarga. Hal ini berarti apabila semakin besar dukungan sosial yang diterima keluarga contoh, semakin pengasuh menerapkan pengasuhan dimensi kehangatan, dan semakin tinggi interaksi dalam keluarga maka semakin tinggi kualitas perkawinan keluarga contoh. Namun, contoh yang memiliki anak laki-laki lebih bahagia dan puas dalam perkawinannya dibanding dengan contoh yang yang memiliki anak perempuan.
Hubungan Antara Kondisi Anak dengan Karakteristik Keluarga, Dukungan Sosial, Pengasuhan, Interaksi Keluarga, dan Kualitas Perkawinan Hubungan Antara Karakteristik Keluarga dengan Kondisi Anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.329, p<0.01) antara umur ayah dengan stres anak. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi umur ayah maka semakin tinggi stres yang diderita anak. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.350, p<0.05) antara lama pendidikan ayah dengan prestasi belajar anak (Tabel 45). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin lama ayah
106 duduk di bangku pendidikan sekolah formal maka semakin baik prestasi belajar anak. Hal ini dikarenakan ayah yang memiliki pendidikan lebh tinggi lebih mampu menciptakan lingkungan yang kondusif dan mampu memberikan stimulasi kognitif yang lebih baik bila dibanding dengan ayah dengan pendidikan lebih rendah (Papalia et al. 2008). Tabel 45 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan kondisi anak No 1 2 3 4 5 6 7 8
Variabel Jumlah anggota keluarga Umur ayah Umur ibu Pendidikan ayah Jenis kelamin Urutan kelahiran Umur anak Pendidikan anak
Keterampilan sosial anak .042 .192 .138 .089 .005 .078 -.076 -.064
Stres anak .043 .329* .244 -.102 .022 .147 .049 .073
Prestasi belajar -.011 -.060 .004 .350* .060 .122 -.215 -.128
*p≤0.05 **p≤0.01 Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Kondisi Anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.310, p<0.05) antara dukungan sosial tetangga dengan stres anak. Hal ini berarti apabila semakin besar dukungan sosial tetangga yang diterima keluarga contoh maka semakin besar stress anak. Secara tidak langsung, keadaan ini menggambarkan bahwa dukungan sosial yang diberikan tetangga tidak mampu menurunkan stres anak karena anak sangat merasa kehilangan sosok ibu. Tabel 46 Hasil uji korelasi Spearman dukungan sosial terhadap kondisi anak No 1 2 3 4
Variabel Dukungan keluarga besar Dukungan tetangga Dukungan PJTKI Dukungan sosial (total)
Keterampilan sosial anak .004 .122 .120 .130
Stres anak .055 .310* -.602** -.062
Prestasi akademik .000 -.209 .062 -.113
*p≤0.05 **p≤0.01 Terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.602, p<0.01) antara dukungan sosial PJTKI dengan stres anak, artinya bahwa semakin tinggi dukungan sosial PJTKI yang diterima keluarga contoh maka semakin rendah stres yang dialami anak (Tabel 46). Hal ini diduga karena PJTKI merupakan penghubung antara
107 anak dan ibu, sehingga dukungan PJTKI yang baik seolah-olah memberikan rasa pertalian dengan ibu yang aman dan nyaman. Dengan demikian, peran serta dan dukungan PJTKI akan meminimalisir terjadinya stres pada anak.
Hubungan antara Pengasuhan Anak dengan Kondisi Anak Tabel 47 menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.342, p<0.05) antara pengasuhan dimensi kehangatan ibu (pra TKW) dengan stres anak. Hal ini berarti apabila ibu menerapkan pengasuhan dimensi kehangatan sebelum menjadi TKW, maka anak akan mengalami stres yang lebih tinggi bila dibanding dengan anak yang tidak mendapatkan kehangatan dari ibunya. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunarsa (2003) yang menyatakan bahwa ibu dan anak memiliki keterikatan yang longgar menyebabkan anak tidak merasakan kehilangan, bahkan mudah untuk mencari atau memperoleh tokoh pengganti ketika terjadi perpisahan dengan ibunya, dan sebaliknya. Terdapat
hubungan
nyata
dan
positif
(r=0.426,
p<0.01)
antara
pengasuhan dimensi kehangatan ayah dengan stres anak. Hal ini berarti semakin tinggi pengasuhan penerimaan ayah, maka semakin tinggi stres anak. Hasil ini menunjukkan peran pengasuhan ibu memang sulit digantikan oleh pihak lain, meskipun pihak lain tersebut adalah ayah yang telah melakukan pengasuhan dimensi kehangatan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan pendapat yang diungkapkan Bowlby dalam Gunarsa (2003) yang menyebutkan bahwa tokoh ibu dapat digantikan tokoh pengganti ibu asalkan bersifat kasih sayang kepada anak. Namun demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan penuturan Perry dalam Hastuti (2007) yang menyatakan bahwa hubungan paling penting bagi kehidupan anak adalah kelekatan dengan pengasuh utamanya, yaitu ibu. Hal ini mengingat fakta bahwa hubungan yang pertama akan menentukan cetak biologis dan emosi bagi seluruh hubungan di masa selanjutnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.315, p<0.05) antara pengasuhan dimensi penolakan ibu dengan prestasi akademik anak. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengasuhan dimensi penolakan yang diterapkan ibu maka semakin rendah prestasi akademik yang diperoleh anak di sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.349, p<0.05) antara pengasuhan penolakan pengganti ibu dengan prestasi akademik anak, artinya semakin tinggi
108 pengasuhan penolakan yang diterapkan pengganti ibu maka semakin rendah prestasi akademik anak. Kedua hal tersebut sesuai dengan pendapat Rohner (1986) bahwa sering ditemukan anak yang mengalami penolakan mempunyai lebih besar masalah akademik dan intelektual dibanding anak lain. Tabel 47 Hasil uji korelasi Spearman pengasuhan anak dengan kondisi anak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Variabel Pengasuhan acceptance ibu Pengasuhan rejection ibu Pengasuhan ibu (total) Pengasuhan acceptance pengganti ibu Pengasuhan rejection pengganti ibu Pengasuhan pengganti ibu (total) Pengasuhan acceptance ayah Pengasuhan rejection ayah Pengasuhan ayah (total)
Keterampilan sosial anak .108 .044 .030 .155 .106 -.039 .074 -.034 .128
Stres anak .272 -.175 .342* .316 -.126 .285 .416** -.119 .426**
Prestasi akademik -.262 -.315* .057 -.176 -.349* .068 -.134 -.120 .020
*p≤0.05 **p≤0.01 Hubungan antara Interaksi Keluarga dengan Kondisi Anak Dalam mengukur interaksi ayah dan anak digunakan aspek komunikasi dan bonding antara ayah dan anak. Hasil uji korelasi menunjukkan terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.493, p<0.01) antara interaksi ayah dan anak terhadap keterampilan sosial anak. Hal ini berarti apabila semakin tinggi interaksi ayah dan anak maka semakin baik keterampilan sosial yang dimiliki anak. Menurut Megawangi, Latifah, Dina (2004), interaksi anak dalam keluarga mempunyai hubungan positif dengan interaksi anak bersama teman-temannya di sekolah. Proses sosial akan dikenalkan oleh keluarga melalui interaksi yang terjadi antara anak dan orangtua. Peran keluarga dalam pendidikan, sosialisasi, dan penanaman nilai sosial sangat besar. Tabel 48 menyajikan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.467, p<0.01) antara komunikasi ayah dan anak dengan keterampilan sosial anak, artinya semakin tinggi komunikasi antara ayah dan anak maka semakin baik keterampilan sosial anak. Terdapat hubungan nyata positif (r=0.473, p<0.01) antara bonding ayah dan anak terhadap keterampilan sosial anak. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa semakin baik bonding ayah dan anak maka semakin baik keterampilan sosial anak. Menurut Hastuti (2007) kelekatan emosi antara anak dan orangtua merupakan hal penting dalam menumbuhkan
109 kompetensi anak, terutama berkaitan kepercayaan anak terhadap dirinya. Anak yang diasuh dengan kasih dan kehangatan akan tumbuh menjadi anak yang juga penuh dengan kasih kepada orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.406, p<0.01) antara interasi ayah anak dengan stres anak, artinya apabila semakin tinggi interaksi (komunikasi dan bonding) ayah dan anak maka semakin tinggi stres anak. Terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.604, p<0.01) antara frekuensi komunikasi ayah dan anak dengan stres anak, artinya bahwa semakin tinggi frekuensi komunikasi antara ayah dan anak maka semakin tinggi stres yang diderita anak. Semakin baik interaksi antara ayah dan anak, tidak menjamin semakin baiknya perkembangan anak (tingkat stres rendah). Kedua hal ini dikarenakan kelekatan antara anak dan ibu kandungnya memang sulit digantikan oleh orang lain . Menurut Hastuti (2004), jika anak tidak memiliki kedekatan yang kongkrit dengan ibunya, mereka akan terus mencari sosok ibu. Pemisahan antara anak dengan ibu biologisnya akan berpengaruh terhadap perkembangan anak, perkembangan anak ini diduga juga termasuk stres anak ketika berpisah dengan ibunya. Tabel 48 menunjukkan bahwa interaksi suami dan istri berhubungan nyata dan positif (r=387, p<0.01) dengan stres anak. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi interaksi suami dan istri maka semakin tinggi stres yang diderita anak. Interaksi suami istri yang tinggi tidak dapat terlihat langsung oleh anak, sehingga yang ada pada pandangan anak adalah ibu berpisah dengan anak dan ayah. Keadaan ini dapat meningkatkan stres. Tabel 48 Hasil uji korelasi Spearman interkasi keluarga dengan kondisi anak Variabel Komunikasi ibu dan anak Bonding ibu dan anak Interaksi ibu dan anak Komunikasi ayah dan anak Bonding ayah dan anak Interaksi ayah dan anak Frekuensi komunikasi ayah dan anak Komunikasi suami dan istri Bonding suami dan istri Interaksi suami dan istri
Keterampilan sosial anak .123 .221 .179 .467** .473** .493** .258 -.083 .084 .029
Stres anak -.151 .048 -.051 .335* .406** .406** .604** .131 .423** .387**
Prestasi akademik .007 -.180 -.087 -.195 -.100 -.149 -.041 .137 .057 .133
*p≤0.05 **p≤0.01
110 Hubungan Antara Kualitas Perkawinan dengan Kondisi Anak Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.355, p<0.05) antara kebahagiaan perkawinan dengan stres anak, artinya semakin tinggi kebahagian perkawinan keluarga maka semakin tinggi stres anak. Kualitas perkawinan juga berhubungan nyata dan positif (r=0.334, p<0.05) dengan stres anak. Hal ini berarti apabila semakin tinggi kualitas perkawinan keluarga maka semakin tinggi stres yang dialami anak. Hal ini diduga karena kualitas perkawinan dan kebahagiaan perkawinan yang dirasakan ayah tidak dapat dilihat secara kongkrit oleh anak, sehingga yang anak rasakan bahwa keterpisahan antara ibu dan keluarga hanya akan menimbulkan kesedihan bagi keluarga. Keadaan yang seperti dapat ini menimbulkan stres pada anak. Tabel 49 Hasil uji korelasi Spearman kualitas perkawinan dengan kondisi anak No 1 2 3
Variabel Kebahagiaan perkawinan Kepuasan perkawinan Kualitas perkawinan
Keterampilan sosial anak -.089 .105 -.019
Stres anak .355* .097 .334*
Prestasi akademik -.018 -.138 -.112
*p<0.05 **p<0.01 Secara garis besar dapat dikatakan bahwa semakin tinggi interaksi (komunikasi dan bonding) ayah dan anak maka semakin tinggi keterampilan sosial yang dimiliki anak. Hasil korelasi Spearman menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang mendukung anak seperti dukungan sosial keluarga besar dan tetangga, pengasuhan dimensi penerimaan ayah, dan interaksi dalam keluarga tidak mampu menurunkan stres yang diderita anak akibat perpisahan dengan ibu. Anak akan semakin stres dan menderita dengan ibu yang menerapkan pengasuhan dimensi penerimaan sebelum menjadi TKW. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan sosok ibu tidak dapat tergantikan oleh orang lain. Namun demikian, stres dapat diturunkan dengan adanya dukungan PJTKI yang berperan sebagai penghubung antara anak dan ibu. Semakin tinggi pengasuhan dimensi penolakan yang dilakukan ibu dan pengganti ibu maka semakin rendah prestasi akademik anak di sekolah. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa orangtua yang mengasuh dengan penuh penerimaan memiliki anak dengan kemampuaan yang efektif dan strategi dalam belajar di sekolah serta memiliki kesejahteraan mental yang baik.
111 Penelitian lain menunjukkan bahwa anak yang dikeluarkan dari sekolah memiliki orangtua yang tidak mengeksperikan kasih sayang kepada anak (Dubin, Darling, & Glendinning 1995; Reich 1991 dalam Boveja 1998). Selain itu, semakin tinggi pendidikan ayah, maka semakin baik prestasi anak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut terdapat hal yang menarik bahwa semakin tinggi interaksi ayah dan anak maka semakin tinggi keterampilan sosial anak,
namun
menggambarkan
semakin bahwa
tinggi
pula
meskipun
stres anak
yang dalam
diderita keadaan
anak. Hal stres
ini
akibat
perpisahannya dengan ibu, anak tetap dapat menjalin hubungan baik, ramah, dan bersikap empati dengan orang lain. Hasil ini dapat dijelaskan berdasarkan kasus hasil wawancara mendalam dengan TKW bernama Ibu Erna. Selama berpisah dengan Ibu Erna, anak mengalami penyakit tipus kronis akibat terlalu sering makan mie instan. Bila anak terlalu lelah bermain dan terkena terik sinar matahari, maka anak akan pingsan. Disaat pingsan ini biasanya anak sering mengigau memanggil-manggil ibunya, bahkan anak mampu menyanyikan lagulagu yang biasa dinyanyikan ibunya, meskipun dalam keadaan sehat anak kurang mampu menyanyikan. Hal ini menggambarkan bahwa anak sangat tertekan akibat perpisahannya dengan sosok ibu. Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari anak dapat menjalin hubungan yang baik dengan temantemannya.
Garis Besar Hasil Uji Hubungan antar Variabel Penelitian Uji hubungan ini merupakan uji dari variabel-variabel yang telah dikomposit menjadi variabel yang lebih umum. Dukungan sosial merupakan komposit dari dukungan keluarga, tetangga, dan PJTKI. Pengasuhan selain ibu merupakan komposit dari pengasuhan dimensi kehangatan ayah dan pengganti ibu. Interaksi ibu anak adalah komposit dari frekuensi komunikasi ibu anak, komunikasi ibu anak, dan bonding ibu anak. Interaksi ayah anak dan suami istri merupakan komposit dari frekuensi komunikasi ayah anak, komunikasi ayah anak, bonding ayah anak, dan komunikasi suami istri serta bonding suami istri. Kualitas perkawinan merupakan komposit dari kebahagiaan perkawinan dan kepuasan perkawinan. Kondisi anak merupakan komposit dari keterampilan sosial anak, stres anak, dan prestasi akademik anak.
112 Berdasarkan hasil korelasi Spearman diketahui bahwa (Tabel 50): 1. Terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.318, p<0.05) antara dukungan sosial dengan pengasuhan selain ibu. 2. Terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.367, p<0.05) antara dukungan sosial dengan interaksi ibu dan anak. 3. Terdapat hubungan nyata dan positif (r=0.516, p<0.01) antara interaksi ayah anak dan suami istri dengan kualitas perkawinan. 4. Terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.423, p<0.01) antara interaksi ayah anak dan suami istri dengan kondisi anak. 5. Terdapat hubungan nyata dan negatif (r=-0.406, p<0.01) antara kualitas perkawinan dengan kondisi anak. Hasil uji korelasi Spearman di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial yang diterima keluarga contoh maka semakin tinggi pengasuhan dimensi kehangatan yang dilakukan pengganti ibu dan ayah. Brooks (2001) yang menyatakan bahwa dukungan sosial menyediakan dukungan psikologi dan materi, sehingga lebih banyak sumberdaya yang digunakan untuk melakukan pengasuhan. Hal ini berarti bahwa dengan banyaknya sumberdaya yang tersedia, maka kemungkinan pengasuh melakukan pengasuhan dimensi kehangatan akan lebih besar. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima keluarga contoh maka semakin tinggi interaksi ibu dan anak. Hal ini diduga karena dukungan sosial dapat mengurangi potensi stres. Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan antara respon anak pada kejadian yang dapat menimbulkan stres akibat perpisahan dengan ibu. Dengan demikian, interaksi antara ibu dan anak dapat terjalin dengan baik. Semakin tinggi interaksi ayah anak dan interaksi suami istri maka semakin tinggi kualitas perkawinan yang dirasakan contoh. Tingginya tingkat komunikasi antara anggota keluarga membuat anggota keluarga merasa dekat dan suportif (Brooks 2001). Dengan kedekatan dan saling mendukung diantara anggota keluarga, maka akan meningkatkan kualitas perkawinan yang dirasakan contoh. Semakin tinggi interaksi ayah anak dan interaksi suami istri tidak mampu meningkatkan kualitas kondisi anak (meningkatkan keterampilan sosial anak, menurunkan stres anak, dan meningkatkan prestasi anak). Keadaan ini menunjukkan bahwa anak akan tetap mendambakan kehadiran sosok ibu.
113 Menurut Hastuti (2007), jika anak tidak memiliki kedekatan yang kongkrit dengan ibunya, mereka akan terus mencari sosok ibu. Perpisahan antara anak dengan ibu biologisnya akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Semakin tinggi kualitas perkawinan yang dirasakan contoh maka semakin rendah kondisi anak saat ibu menjadi TKW. Hal ini dikarenakan dalam kondisi perpisahan ibu dengan keluarga, kualitas perkawinan hanya dapat dirasakan oleh ibu dan bapak saja sehingga kualitas perkawinan ini hanya bermakna untuk pasangan dan tidak untuk anak. Anak hanya memilik pandangan bahwa perpisahan ibu dan keluarga memberikan penderitaan bagi dirinya dan ayahnya sehingga perkembangan sosial anak dapat menurun akibat kondisi ini. Tabel 50 Hasil uji korelasi Spearman antar variabel penelitian
No
Variabel
1
Dukungan Sosial Pengasuhan selain ibu Interaksi ibu anak Interaksi ayah anak dan suami istri Kualitas perkawinan Kondisi anak
2 3 4 5 6
Dukungan Sosial
Pengasu han selain ibu
Interaksi ibu anak
Interaksi ayah anak dan suami istri
Kualitas perkawi nan
Kondisi anak
1.000 0.318*
1.000
0.367*
-0.035
1.000
0.240
0.244
0.139
1.000
0.190
0.232
0.090
0.516**
1.000
0.004
-0.048
0.185
-0.423**
-0.406**
1.000
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Perkawinan dan Kondisi Anak Faktor –faktor yang Mempengaruhi Kualitas Perkawinan Dari model regresi linier berganda, variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas perkawinan adalah jenis kelamin anak (p=0.053) dan interaksi dalam keluarga (interaksi ayah anak dan interaksi suami istri). Nilai adjusted R Square (R2) dalam model regresi adalah sebesar 0.350. Hal ini berarti bahwa variabel penelitian dapat menjelaskan 35 persen penyebab kualitas perkawinan, selebihnya dipengaruhi oleh variabel lain di luar model tersebut (Tabel 51).
114 Tabel 51 Hasil uji regresi linear berganda variabel yang berpengaruh terhadap kualitas perkawinan dan kondisi anak Model Konstanta X1 Jumlah anggota keluarga X2 Jenis kelamin anak (1=laki-laki, 2=perempuan) X3 Nomor urut anak X4 Pendidikan ayah X5 Pendidikan ibu X6 Lama TKW X7 Pendapatan X8 Dukungan sosial X9 Pengasuhan selain ibu X10Interaksi ibu anak X11Interaksi ayah anak dan suami istri X12 Kualitas perkawinan R2 (R2 adj) F (Sig)
Kualitas perkawinan Beta Tvalue Sign.T 0.374 0.711
Kondisi anak1) Beta Tvalue Sign.T 5.053 0.000
0.129
0.841
0.406
-0.244
-1.553
0.130
-0.259
-2.001
0.053*
0.072
0.521
0.606
0.255 -0.244 0.028 -0.037 -0.004 0.126
1.622 -1.565 0.200 -0.251 -0.025 0.828
0.114 0.127 0.843 0.803 0.980 0.413
0.138 0.043 -0.194 -0.420 0.380 0.108
0.814 0.259 -1.353 -2.753 2.536 0.695
0.422 0.797 0.185 0.010** 0.016** 0.492
0.170
1.188
0.243
0.281
1.812
0.079*
0.120
0.791
0.434
0.121
0.777
0.443
0.562
4.354
0.000***
-0.511
-3.091
0.004***
-
-
-
-0.114
-0.663
0.512
0.505 (0.350) 3.249 (0.004)
0.534 (0.359) 3.054 (0.006)
*p≤0.1 **p≤0.05 ***p≤0.001 1) Komposit dari keterampilan sosial anak, stres anak, dan prestasi akademik anak Jenis kelamin anak memiliki nilai β=-0.259, artinya bahwa orang tua memiliki anak berjenis kelamin laki-laki mempunyai tingkat kualitas perkawinan yang lebih tinggi dibanding dengan orangtua yang memiliki anak berjenis kelamin perempuan. Hal ini berarti bahwa penerimaan keluarga contoh kepada anak lakilaki lebih besar daripada anak perempuan. Penelitian yang dilakukan di India menunjukkan bahwa anak laki-laki terlihat lebih diunggulkan daripada anak perempuan, khususnya di desa India Utara (Unpublished data, CSPAR dalam Rohner 1986). Hal ini dapat menunjukkan bahwa adanya kemungkinan bahwa orang yang tinggal di desa memiliki sikap penerimaan yang lebih baik kepada anak laki-laki dibandingkan kepada anak perempuan. Selain itu, Kameyer (1987) menyimpulkan dari berbagai penelitian bahwa orang-orang hampir di seluruh negara lebih menginginkan anak laki-laki daripada perempuan. Selanjutnya Hurlock (1980) menyatakan bahwa orangtua akan memiliki sikap yang lebih menyenangkan jika mempunyai anak dengan jenis kelamin yang dikehendaki.
115 Interaksi dalam keluarga (interaksi ayah anak dan interaksi suami istri) memiliki nilai β=0.562, artinya setiap kenaikan satu satuan interaksi (komunikasi dan bonding) ayah anak dan interaksi (komunikasi dan bonding) suami istri maka kualitas perkawinan akan naik sebesar 0.562 satuan. Montgomery (1981) dalam Kammeyer (1987) menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara kualitas komunikasi dengan kualitas perkawinan. Hal ini diartikan bahwa pasangan yang memiliki kemampuan baik dalam berkomunikasi, maka akan semakin baik hubungan diantara suami istri. Selain itu, Davidson et al.(1983) dalam Kammeyer (1987) yang menyatakan bahwa kedekatan suami dan istri dapat memberikan efek terhadap hubungan perkawinan. Rendahnya kedekatan suami dan istri akan menimbulkan masalah untuk pasangan diantaranya menipisnya perasaan lekat terhadap pasangan dan pada akhirnya akan berdampak pada hubungan perkawinan yang negatif.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kondisi Anak Dari model regresi linier berganda, variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kondisi anak yaitu lama ibu menjadi TKW (p=0.010), pendapatan keluarga (p=0.016), serta interaksi dalam keluarga (interaksi ayah anak dan interaksi suami istri) (p=0.004). Nilai adjusted R Square (R2) dalam model regresi adalah sebesar 0.359. Hal ini berarti bahwa variabel penelitian dapat menjelaskan 35.9 persen penyebab kondisi anak (keterampilan sosial, stres, prestasi akademik anak), selebihnya dipengaruhi oleh variabel lain di luar model tersebut (Tabel 51). Lama ibu menjadi TKW berpengaruh negatif (β=-0.420) terhadap kondisi anak, artinya bahwa setiap kenaikan satu satuan lama ibu menjadi TKW maka akan menurunkan kondisi anak (menurunkan keterampilan sosial, meningkatkan stress, dan menurunkan prestasi akademik) sebesar 0.420 satuan. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2003), hal yang mempengaruhi perkembangan anak saat mengalami perpisahan dengan ibunya yaitu lama ibu dan anak berpisah serta bagaimana sikap ibu saat bertemu kembali dengan anak. Bowlby juga mengamati gejala pada anak-anak yang tumbuh normal di rumah untuk sementara waktu namun kemudian menderita perpisahan cukup lama. Hasil menunjukkan bahwa anak-anak begitu terguncang. Jika hal ini dibiarkan dalam waktu yang terlalu lama, dan jika anak juga kehilangan pengasuh pengganti ibu, maka anak secara permanen akan menjauh dari ikatan erat dan tidak akan
116 peduli lagi dengan orang lain. Hasilnya adalah “karakter yang tidak memiliki afeksi”, sebuah kepribadian yang tidak lagi peduli dengan orang lain dengan cara yang mengerikan (Crain 2007). Pendapatan keluarga berpengaruh positif (β=0.380) terhadap kondisi anak, artinya setiap kenaikan satu satuan pendapatan maka akan meningkatkan kondisi
anak
(meningkatkan
keterampilan
sosial,
menurunkan
stres,
meningkatkan prestasi anak) sebesar 0.380 satuan. Hal ini sejalan dengan pendapat Brooks (2001) yang menyatakan bahwa salah satu hal yang dapat menurunkan kompetensi sosial anak adalah orangtua yang tidak bekerja. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa salah satu pemicu stres orangtua yang dapat menurunkan kompetensi sosial anak adalah pendapatan keluarga. Selain itu menurut National Research Council [NRC] (1993a) dalam Papalia et al. (2008), status sosioekonomi dapat menjadi faktor yang sangat kuat dalam prestasi edukasional, hal ini karena orangtua mampu membentuk atmosfer keluarga dalam menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran, mampu memilih kualitas sekolah, dan cara orangtua mengasuh anaknya. Hal ini menunjukkan
bahwa
orangtua
yang
memiliki
pendapatan
tinggi
dapat
menyediakan fasilitas-fasilitas untuk meninkatkan keterampilan anak dan prestasi belajar anak, juga fasilitas yang ada dapat menurunkan stres yang diderita anak. Faktor lain yang mempengaruhi kondisi anak adalah interaksi dalam keluarga (interaski ayah anak dan interasi suami istri) (β=-0.511), artinya setiap kenaikan satu satuan interaksi ayah dan anak serta interaksi maka semakin menurun kondisi anak sebesar 0.511 satuan. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan hangat yang dibentuk lingkungan anak tidak mampu meningkatkan kondisi anak. Anak membutuhkan kedekatan dan bonding yang nyata dengan ibunya sehingga anak tetap mengalami stres meskipun orang disekitarnya telah membentuk lingkungan yang hangat dan menyenangkan.
117 Pembahasan Umum Fenomena munculnya keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) di dunia mungkin bukan menjadi hal baru, namun masih menjadi kejadian yang tidak banyak terjadi kecuali untuk negara miskin dan berkembang seperti Indonesia, Filipina, dan Srilangka. Kemiskinan yang melanda keluarga di Indonesia menuntut anggota keluarga melakukan penyesuain agar keluarga dapat melangsungkan hidup layak secara ekonomi. Tenaga Kerja Wanita (TKW) merupakan salah satu strategi istri untuk menyelamatkan ekonomi keluarga. Perpisahan istri dengan keluarga menyebabkan terjadinya perubahan struktur keluarga dan fungsi pengasuhan anak. Berdasarkan teori struktural fungsional, setiap anggota keluarga memiliki peranannya sendiri dalam keluarga dimana ayah melakukan peran pencari nafkah (main breadwinner) sedangkan ibu melakukan peran ekspresif (termasuk pengasuhan anak) dan secondary breadwinner. Pola perubahan dalam keluarga TKW menyebabkan ibu berganti peran menjadi main bread winner sedangkan ayah memerankan peran ekspresif dan secondary breadwinner. Perubahan tersebut dapat menimbulkan resiko baik terhadap pasangan maupun kondisi anak. Hasil analisis menunjukkan bahwa semakin lama istri bekerja menjadi TKW maka komunikasi dan bonding yang terjalin antara suami dan istri semakin melemah, begitu pula bonding antara ibu dan anak menjadi semakin melemah sehingga menurunkan kondisi anak menjadi semakin stres, keterampilan sosial melemah, dan prestasi akademik menurun. Disisi lain, penelitian juga menunjukkan bahwa semakin lemah komunikasi dan bonding suami istri maka semakin menurun kualitas perkawinan yang dirasakan pasangan. Hal ini menggambarkan bahwa lama menjadi TKW secara tidak langsung berpengaruh terhadap kualitas perkawinan, akibat semakin lama istri menjadi TKW. Menarik untuk dicermati bahwa lama ibu menjadi TKW juga berpengaruh terhadap
penurunan
kondisi
anak
(menurunkan
keterampilan
sosial,
meningkatkan stres, dan menurunkan prestasi akademik anak). Hal ini tercermin dari kebutuhan bonding dengan ibu yang tinggi. Bahkan pengasuhan dimensi kehangatan dan komunikasi yang tinggi antara ayah dan anak, kebahagiaan perkawinan yang dirasakan ayah, serta dukungan sosial keluarga luas dan tetangga yang diterima keluarga tidak mampu menurunkan tingkat stres yang dialami anak. Sepertinya ketika pengasuh utama pergi maka akan terjadi
118 perubahan fungsi psikologis anak seperti pola makan dan tidur, pola bemain, dan mood anak, sehingga anak kehilangan pegangan hidup dan menjadi stres. Prestasi akademik anak di sekolah juga menunjukkan adanya kecenderungan perolehan nilai yang tidak cukup memuaskan akibat kepergian ibu. Begitu pula dengan keterampilan sosial anak akan cenderung menurun akibat ketidakhadiran ibu ditengah-tengah keluarga. Namun disisi lain, hasil analisis menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan keluarga maka keluarga dapat memberikan fasilitas untuk dapat meningkatkan kondisi anak, khususnya fasilitas untuk meningkatkan prestasi akademik anak. Fenomena ini menggambarkan adanya dilema paradoks pada keluarga TKW. Disatu sisi kepergian ibu menjadi TKW memberikan dampak positif karena pendapatan yang diperoleh TKW dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga, termasuk dalam investasi pendidikan anak, namun disisi lain ketidakseimbangan ekosistem menurunkan
keluarga
TKW
keterampilan
beresiko sosial
menurunkan
anak,
kualitas
meningkatkan
stres
perkawinan, anak,
dan
menurunkan prestasi akademik anak akibat tidak adanya perhatian ibu terhadap anak. Bagaimanapun juga, benefit dan cost rasio akibat kepergian ibu menjadi TKW tidaklah seimbang. Dampak negatif yang ditimbulkan lebih besar dari pada dampak positif yang didapatkan. Hasil penelitian ini menguatkan teori struktural fungsional dan perkembangan anak yang telah ada bahwa apabila keluarga tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka keluarga menjadi disorganisasi dan dibuktikan dengan berbagai kondisi yang tidak menguntungkan dalam kualitas perkawinan dan kondisi anak TKW yang memburuk. Akibat ketidakseimbangan keluarga tersebut maka dibutuhkan dukungan yang diberikan keluarga besar dan tetangga yang dapat membantu meminimalisir dampak kepergian istri. Dengan dukungan tersebut ayah dapat lebih baik dalam menerapkan pengasuhan kehangatan kepada anak, interaksi yang terjalin diantara anggota keluarga akan semakin baik, dan kualitas perkawinan juga semakin kokoh. Peran PJTKI juga penting untuk menjadi penghubung antara anak dengan ibu sehingga dapat meminimalisir stres anak. Selain dukungan sosial keluarga, tetangga, dan PJTKI sebaiknya pemerintah memberikan kebijakan lebih lanjut yang bersifat holostik dan solutif. Solusi preventif dan kuratif yang dapat diberikan penulis kepada pemerintah yaitu: (1) Anak merupakan generasi penerus bangsa, sehingga Pemda
119 sebaiknya melakukan konseling secara berkelanjutan untuk memastikan anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara normal, misalnya diadakan perkumpulan sesama anak TKW yang didalamnya dilakukan kegiatan-kegiatan bermanfaat seperti out-bond atau bertukar pengalaman; (2) Pemerintah sebaiknya bekerjasama dengan lembaga penting seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Organisasi Wanita untuk merubah pola pikir masyarakat bahwa tanggung jawab terhadap keluarga dan anak merupakan tanggung jawab terpenting bagi keluarga.
Keterbatasan Penelitian Penelitian ini diakui memikili beberapa keterbatasan yang dapat dijadikan perbaikan untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut yaitu: 1. Teknik pengambilan contoh dengan metode purposive dengan konsekuensi bahwa kesimpulan dari penelitian ini tidak dapat mewakili populasi TKW di Kabupaten Sukabumi 2. Jumlah contoh kurang dari 50 orang dan tidak dibedakan contoh TKW yang belum pulang dan yang sudah pulang ke Indonesia 3. Tidak membedakan anak TKW laki-laki dan perempuan 4. Instrumen ada yang mengukur data retrospektif, sehingga ada kemungkinan bias recall (ingatan) 5. Mengukur semua variabel berdasarkan perceived (yang dirasakan) ayah saja, sehingga perlu penelitian lanjutan dengan responden anak untuk mengukur kondisi anak sendiri (keterampilan sosial, stres, dan hal yang terkait dengan anak) dan responden TKW untuk mengukur kualitas perkawinan dan hal yang terkait dengan TKW.
120 KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN 1. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar umur suami dan istri termasuk dalam usia dewasa awal, sedangkan sebagian besar anak termasuk dalam usia anak sekolah (kelas 2 sampai 6, umur 9 sampai 14 tahun). Lebih dari separuh keluarga contoh termasuk dalam keluarga kecil. Persentase terbesar tingkat pendidikan suami dan istri ialah tamat sekolah dasar. Rata-rata pendapatan per bulan keluarga sebelum istri menjadi TKW sebesar Rp 1 138 723,00, sedangkan saat istri menjadi TKW rata-rata pendapatan perbulan meningkat hampir tiga kali lipat menjadi Rp 3 247 670,00. Negara tujuan terbesar TKW adalah Arab Saudi dengan rata-rata gaji sebesar Rp 1 800 000,00. Lama TKW bekerja di luar negeri berkisar antara 7 bulan sampai 10 Tahun dengan rata-rata 44.81 bulan. Hal yang memotivasi istri untuk menjadi TKW adalah agar anak dapat melanjutkan sekolah, memenuhi kebutuhan keluarga, merubah status sosial ekonomi keluarga, membangun rumah, dan menjadi perempuan mandiri. 2. Dukungan sosial yang diterima keluarga contoh tergolong kategori sedang. Setelah ibu menjadi TKW, persentase terbesar pengasuhan anak dilakukan oleh ayah dengan bantuan keluarga luas. Sebagian besar pengasuhan dimensi kehangatan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW, pengganti ibu, dan ayah tergolong kategori tinggi. Interaksi antara ibu dan anak termasuk kategori sedang, interaksi antara ayah dan anak termasuk kategori tinggi, dan interaksi suami dan istri termasuk kategori tinggi. Kualitas perkawinan sebagian besar contoh termasuk dalam kategori tinggi. Lebih dari tiga per lima anak mempunyai keterampilan sosial kategori tinggi, tiga per lima anak mempunyai stres kategori sedang dan tinggi. Hampir tiga per empat anak mempunyai prestasi kurang memuaskan. 3. Tidak terdapat perbedaan antara pengasuhan dimensi penerimaan dan penolakan yang dilakukan ibu sebelum menjadi TKW, pengganti ibu, dan ayah. Namun terdapat perbedaan nyata antara interaksi ibu dan anak dengan interaksi ayah dan anak. 4. Semakin tinggi dukungan sosial, pengasuhan dimensi kehangatan pengasuh, dan interaksi dalam keluarga, maka semakin tinggi kualitas perkawinan keluarga contoh. Namun, semakin lama istri menjadi TKW maka semakin
121 berkurang komunikasi dan bonding suami dan istri sehingga semakin rendah kualitas perkawinan contoh. 5. Anak-anak pada keluarga TKW merasa kehilangan sosok ibu. Hal ini tercermin dari kebutuhan bonding dengan ibu yang tinggi, sehingga menyebabkan stres pada anak. Bahkan dukungan sosial keluarga luas dan tetangga,
pengasuhan dimensi kehangatan pengasuh, interaksi dalam
keluarga, dan kebahagiaan perkawinan yang dirasakan ayah tidak mampu menurunkan tingkat stres yang dialami anak. Namun demikian, dukungan sosial PJTKI dapat menurunkan stres anak. Prestasi akademik anak di sekolah kurang menunjukkan nilai yang baik terutama bagi anak yang cenderung mendapatkan pengasuhan dimensi penolakan dari pengasuh, namun demikian pendidikan ayah dapat meningkatkan prestasi anak di sekolah. Keterampilan sosial anak dapat menurun karena anak tidak dapat merasakan atmosfer kebahagiaan di dalam keluarga akibat perpisahan dengan sosok ibu, namun interaksi ayah dan anak yang baik dapat meningkatkan keterampilan sosial anak. 6. Semakin lama ibu menjadi TKW maka semakin memperburuk kondisi anak, namun di lain pihak pendapatan kelarga yang semakin tinggi juga dapat memperbaiki kondisi anak, terutama dalam memberikan fasilitas belajar. Hal ini menunjukkan adanya dilema paradoks pada keluarga TKW. Namun secara keseluruhan sosial cost yang harus ditanggung keluarga dan anak lebih besar bila dibanding dengan benefit yang diperoleh keluarga contoh.
SARAN 1. Keterbatasan penelitian ini adalah mengukur semua variabel penelitian berdasarkan percieved (apa yang dirasakan) ayah. Dengan demikian, perlu diadakan penelitian lanjutan dengan responden TKW untuk mengukur kualitas perkawinan dan responden anak TKW untuk mengukur keterampilan sosial anak, stres anak, dan kondisi lain yang terkait dengan anak saat di tinggal ibu menjadi TKW. 2. Sebaiknya diadakan penelitian lanjutan untuk melihat variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap keterampilan sosial (seperti pengaruh teman sebaya dan interaksi anak di sekolah); pengaruh terhadap stres (seperti resilience anak menghadapi tekanan); pengaruh terhadap prestasi belajar
122 anak (seperti keyakinan kecakapan diri, motivasi akademik, dan sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah). 3. Anak merupakan generasi penerus bangsa sehingga Pemda sebaiknya melakukan
konseling
secara
berkelanjutan
untuk
memastikan
anak
mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara optimal, misalnya diadakan perkumpulan sesama anak TKW yang didalamnya dilakukan kegiatan-kegiatan bermanfaat seperti out-bond atau bertukar pengalaman. 4. Sebaiknya ada peran serta Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi wanita, maupun organisasi lain agar dapat merubah pemikiran masyarakat bahwa menjadi TKI/TKW bukan merupakan satu-satunya jalan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, selain itu menekankan bahwa terdapat tanggung jawab yang juga besar dalam mendidik anak.
123 DAFTAR PUSTAKA Achir, Y A. 1985. “Wanita dan Karya” Suatu Analisa dari Segi Psikologi. Dalam Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia Suatu Tinjauan Psikologis. Editor: S.C. Utami Munandar. Jakarta: Universitas Indonesia Anonim. 1998. http://www. geocities. com/ RainForest/ Canopy/ 8087/ miskin. htm. [diakses 25 Januari 2009] Antara. 2007. Pemerintah Targetkan Tempatkan Satu Juta TKI pada Tahun 2007. http://www.antara.co.id/arc/2007/5/22/pemerintah-targetkantempatkan-satu-juta-tki-pada-2007/ [diakses 29 Februari 2009]. Antara. 2008. Kiriman UangTKI Kabupaten Sukabumi Capai Rp 501 Miliar. http: // www. antara. co. id/ arc/ 2008/1/28/ kiriman-uang-tki-kabupaten-sukabumicapai-rp501-miliar/ [diakses 19 Februari 2009] Aprilianti, E. 2007. Analisis Tingkat Stres dan Strategi Koping pada Suami yang Istrinya Bekerja sebagai TKW di Luar Negeri [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Bern, RM. 1997. Child, Family, School, Community Socialization and Support, Fourth Edition. Rinehart & Winston, Inc. Bigner, JJ. 1979. Parent-Child Relations: An Introduction to Parenting. New York: Macmillan Publishing Co, Inc BKKBN NTB. 2009. Ratusan Ribu Anak Terlantar di NTB. http: // prov. bkkbn. go. id/ ntb/ news_detail. php?nid=316 [diakses Februari 2009] BKKBN. 1996. Pemantapan Fungsi Keluarga menuju Terbentuknya Keluarga Sejahtera: Kajian Aplikasi dan Kriteria Implementasi Delapan Fungsi Keluarga. Jakarta. BNP2TKI. 2008. Remitansi TKI Naik 37,3 Persen. http:// www. ham. go. id/ index. php? option=com_content&view= article&id= 384% 3Aremitansi-tki-2008naik-373-persen&Itemid=151 [diakses 23 Febrari 2009] BNP2TKI. 2009. http://www.nakertrans.go.id/pusdatin.html,13,312,pnaker [diakses 26 Juli 2009] Boveja, ME. 1998. Parenting Styles and Adolencents’ Learning Strategies in the Urban Community. Journal of Multicultural Conseling ang Development, 26, 2;Proquest Psycology Jurnals pg 110. BPS. 2006. Pengeluaran Rata-rata Perkapita Sebulan menurut Kabupaten/Kota dan Kelompok Barang di Jawa Barat. http: //jabar. bps.go. id/ Tabel/ konsumsi/ Pengeluaran%20Per%20Kapita.html. [diakses 18 November 2009]
124 BPS. 2006. www.bps.go.id/releases/files/kemiskinan-01sep06.pdf Februari 2009].
[diakses
BPS. 2007. Indikator Sosial Ekonomi Kabupaten Sukabumi Tahun 2007. Briawan, D dan Herawati, T. 2005. Peran Stimulasi Orangtua terhadap Perkembangan Anak Balita Keluarga Miskin [laporan penelitian]. IPB, Bogor. Brooks, JB. 2001. Parenting, Thirth Edotion. California: Mayfield Pblishing Company Conger et al. 1994. Families in Troubled Times: Adapting to Change in Rural America. New York: Aldine De Gruyter Cotrona. 1996. Social Support in Couples. USA: Sage Publications, Inc. Crain, W. 2007. Teori Perkembangan: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Crittenden, D. 2002. Wanita Salah Langkah. Bandung: Qonita Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Fungsi Keluarga dalam Meningkatkan Kualitas Sumberdaya Manusia. Depnaker. 2008. http: // www. jatimprov. go. id/ dbfile/ bidlahta01/ 2008 10 28 014327_data_penempatan_tki_daerah_asal_tki_dan_negara_tujuan_disn aker_2008.pdf [diakses 5 Desember 2008] Depnakertrans. 2006. http: //www. ssffmp. or. id/ suplemen/ cetak_detail. asp? mid=1&id=178590&kat_id=105&kat_id1=151&kat_id2=192 [diakses 26 Juli 2009] Dewanti. 2008. Analisis Persepsi dan Sikap terhadap Peran Gender pada Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Disnakertrans. 2005. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor: 13 Tahun 2005 tentang Pengerahan Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Luar Negeri Asal Kabupaten Sukabumi. Duvall. 1955. Family Living. New York: The Macmillan Company. Fereshti. 2007. Buruh Migran, Batas Tipis Devisa dan Derita. http:/ /202.146.5.33/ kompas-cetak/ 0707/ 26/j ogja/ 1040304.htm [diakses 18 Desember 2009] Fitasari. 2004. Strategi Keluarga Miskin dalam Pemenuhan Kebutuhan Hidup, Gizi Balita dan Tingkat Kepuasan Keluarga [skripsi]. Program Studi Gizi
125 Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Golemen, D. 2006. Emotional Intelegent. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Gunarsa dan Gunarsa. 2008. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia Gunarsa. 2003. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: Gunung Mulia Hadawi, RA. 2001. Psikologi Perkembangan Anak: Mengenali Sifat, Bakat dan Kemampuan Anak. Jakarta: PT Grasindo. Hastuti, D. 2007. Pengasuhan: Teori dan Prinsip serta Aplikasinya di Indonesia. Diktat Mata Kuliah Pengasuhan. Institut Pertanian Bogor Hastuti, D. 2006. Analisis Pengaruh Model Pendidikan Prasekolah pada Pembentukan Anak Sehat, Cerdas, dan Berkarakter [disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hurlock, EB. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga Jatiningsih. 2004. Alokasi Waktu Ibu dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Sosial Anak pada Keluarga Nelayan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Jawa pos. 2008. Suka Cita SMPN I Panceng yang Berada di Kantong TKI. http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=9932 [diakses 26 Juli 2009] Karyadi. 1988. Ilmu Kehidupan Keluarga. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Kammeyer, KCW. 1987. Marriage and Family: A Foundation for Personal Decisions. Allyn Bacon, Inc. Landis and Landis. 1955. Personal Adustment Marriage and Family Living (2rd ed). United States of America: Prentice-Hall, Inc. Leeper SH, Witherspoon RL, Day B. 1984. Good Schools for Young Children. USA: Macmillan Publishing Company. Liefeld JP, Edgecombe FHC, Wolfe L. 1972. Demoraphic Characteristics of Canadian Consumer Complainers. The Journal of Consumer Affairs Luthfiyasari, A. 2004. Peran Instrumental dan Ekspresif Orangtua serta Hubungannya dengan Sikap dan Perilaku Remaja pada Keluarga dengan Ibu Bekerja di Luar Negeri (TKW) [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
126 Mangkuprawira, S. 2009. http://ronawajah.wordpress.com/category/kebijakanpemerintah/ [diakses 22 Februari 2009] Mariana, D. 2008. Menyoal Kemiskinan di Jawa Barat. http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg08685.html [diakses 22 Mei 2009] Megawangi, R. 1993. Keluarga dan Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia dalam Rangka Menyongsong Abad ke-21. Seminar Mengisi Hari Keluarga Nasional 1993 dan Menyongsong Tahun Keluarga Internasional 1994. Jurusan Gizi Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Kantor Menteri Negara Kependudukan BKKBN, Jakarta. Megawangi, R. 1999. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tenteng Relasi Gender. Bandung: Mizan Melson. 1980. Family and Environment An Ecosystem Perspective. Minnesota: Burgess Publishing Company. Mutyahara, A. 2005. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Peran Ibu dalam Pengasuhan dan Kecerdasan Emosional Anak Usia Sekolah [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Nurani. 2004. Pengaruh Kualitas Perkawinan, Pengasuhan Anak dan Kecerdasan Emosional terhadap Prestasi Belajar Anak [tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Papalia DE, Old SW, dan Feldman RD. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group Petra. 2008. Teori Komunikasi. http: //digilib. petra. ac. id/ viewer. php? submit. x=19&submit.y=13&submit=prev&page=3&qual=high&submitval=prev&fna me=%2Fjiunkpe%2Fs1%2Feman%2F2008%2Fjiunkpe-ns-s1-200831401495-9043-oriflame-chapter2.pdf [diakses 26 Oktober 2009] Puspitawati, H. 2006. Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan Teman dan Sekolah terhadap Kenakalan Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Kota Bogor [disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Puspitawati, H. 2007. Konsep dan Teori Gender. Diktat Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, Bogor. Republika. 2004. Pengaruh TKI terhadap Jumlah Perceraian di Paciran. http://www.republika.co.id [diakses Maret 2009] Rice, FP. 1983. Contemporary Marriage. USA: Allyn and Bacon, Inc.
127 Rohner, R. 1986. The Warmth Dimention: Fondation of Parental AcceptanceRejection Theory. California: Sage Publication, Inc. Rudyanto. 2007. “Keadaan Khusus dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Kepribadian Anak dan Peranan Terapi Keluarga” dalam Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Gunarsa dan Gunarsa). Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Sadarjoen, SS. 2009. Membangun Keluarga Bahagia. http: // resources. unpad. ac. id/ unpad content/ uploads/ publikasi _ dosen/ MEMBANGUN % 20 KELUARGA % 20 BAHAGIA. pdf [diakses Februari 2009] Sadli, S. 1993. Peranan Keluarga dalam Proses Modernisasi dan Pelestarian Nilai-Nilai Budaya. Disampaikan pada seminar: Keluarga Menyongsong Abad XXI dan Perananya Dalam Pengembangan Sumberdaya Manusia Indonesia. Bogor: IPB dan BKKBN Samhadi, SH. 2007. Potret Suram TKI, Salah Siapa?. http: //www. migrantcare. net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=2&artid=2 [diakses 18 Desember 2009] Santrock dan Yusen. 1982. Child Developmen: An Introduction. Iowa Sari, K. 2004. Keragaan Kebahagiaan Istri dalam Perkawinan Poligami [skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Satoto. 1990.Pertumbuhan dan Perkembangan Anak: Pengamatan Anak Umur 0-18 Bulan di Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah [disertasi]. Ilmu Kedokterran, Universitas Diponegoro, Semarang Saxton. 1990. The Individual, Marriage, and Family (7th ed). California: A Division of Wadsworth, Inc. Simamora, CMS. 2005.Hubungan Ketegangan Suami Istri dengan Konflik pada Keluarga Bercerai [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Subkhan. 2007. Benang Kusut Persoalan TKI. http:// subkhan. wordpress. com/ 2007/ 11/ 19/ benang-kusut-persoalan-tki/ [diakses Februari 2009] Sunarti, E. 2001. Ketahanan Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Kualitas Kehamilan [disertasi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Sunarti, E. 2004. Mengasuh dengan Hati. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Suryani. 2004. Ilmu Komunikasi. http:// users. monash. edu. au/ ~hwatt/ students/ A%20Suryani_Jurnal%20I%20Komunikasi_2004.pdf[diakses januari 2009]
128 Tati. 2004. Pengaruh Tekanan Ekonomi keluarga, Dukungan Sosial, dan Kualitas Perkawinan terhadap Pengasuhan Anak [tesis]. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tempointeraktif.2004. Sebagian Besar TKI Kabupaten Sukabumi Illegal. http:// www. tempointeraktif. com/ hg/ nusa/ 2004/ 10/ 19/ brk, 2004 10 19-47, id. html [diakses Februari 2009] Turner dan Helms. 1991. Lifespan Development (4th edition). USA: Holt Rinehart and Winston, Inc Undang-Undang No. 39 Tahun 2004. 2005. Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Yogyakarta: Pustaka Sakti. Wibono, I. 2007. “Sosialisasi pada Anak” dalam Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Gunarsa dan Gunarsa). Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Wisnubrono. 2007. http:// agungpw. blogspot. com/ 2007/ 09/ selamat-datang. html [diakses 18 Februari 2009]
LAMPIRAN
130 Lampiran 1 Kepemilikan aset sebelum dan setelah istri menjadi TKW (n=47) No Aset 1 Rumah 2 Lahan 3 Transportasi 4 Elektronik 5 Furniture 6 Perhiasan 7 Perlengkapan dapur 8 Ternak Rata-rata kenaikan
Pra TKW (%) 51.06 5.32 3.40 17.60 68.09 19.15 38.30 19.15
Saat TKW (%) 76.60 12.23 12.77 34.43 91.49 34.04 71.28 27.66
Kenaikan (%) 25.54 6.91 9.37 16.83 23.40 14.89 32.98 8.51 17.30
Lampiran 2 Keadaan tempat tinggal sebelum dan setelah istri menjadi TKW (n=47) No
Keadaan Tempat Tinggal
1
Status Kepemilikan Rumah
2
Kepemilikan Rumah Lebih dari Dua
3
Kepadatan Rumah
4
Tipe Dinding
5
Tipe Atap
6
Tipe Lantai
7
Ventilasi Rumah
8
9
Sumber Air minum
Kepemilikan kamar mandi
Rumah sendiri Kontrak Orangtua Lainnya Ya
Pra TKW (%) 51.1 6.4 42.6 0 6.4
Pasca TKW (%) 72.3 0 25.5 2.1
93.6 17 83 17.0 4.3
89.4 6.4 93.6 12.8 2.1
14.9
10.6
63.8
74.5
10.6
Tidak < 8m2 ≥ 8 m2 Bambu Kayu Sebagian tembok Tembok Lainnya Genting Seng Asbes Nifah Lainnya Keramik Ubin Semen Tanah Lainnya Cukup
91.5 0 4.3 4.3
89.4 0 4.3 6.4
59.6 10.6 10.6 8.5 10.6 97.9
68.1 4.3 12.8 6.4 8.5 97.9
Tidak cukup
2.1
2.1
6.4
6.4
76.6 17.0
70.2 21.3
0
2.1
78.7 21.3
80.9 19.1
Air sungai/air hujan Sumur/mata air Ledeng/PAM Lainnya (air galon) Ya Tidak
131 Lampiran 3 Frekuensi makan pada keluarga saat ini No 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 1 2 3 4 5
Sumber Pangan Karbohidrat Nasi Kentang Mie Roti Jagung Umbi-umbian Lainnya Protein Telor Daging ayam Daging (sapi, kambing, kerbau) Ikan (tawar, laut) Ikan asin Tempe Tahu Buah Pisang Pepaya Jeruk Lainnya Sayuran Kangkung Bayam Sup Kacang-kacangan Lainnya
Rata-rata Frekuensi per bulan
1 (%)
2 (%)
3 (%)
4 (%)
5 (%)
100 0 21.28 19.15 2.13 6.38
0 0 2.13 0 0 2.13
0 6.38 68.08 36.17 2.13 19.15
0 10.64 0 17.02 10.64 38.30
0 82.98 8.5 27.66 85.11 34.04
77.87 0.81 13.15 10.04 0.83 3.62 0.64
14.89 2.13 0
2.13 0 0
61.70 17.02 2.13
14.89 27.65 17.02
6.38 53.19 80.85
10.26 1.77 0.45
76.60 55.32 29.79 23.40
4.26 0 0 0
12.76 29.79 51.06 38.30
4.26 8.51 12.76 12.76
2.13 6.38 6.38 25.53
45.06 27 17.53 11.06
4.26 2.13 2.13 2.13
0 0 0 0
36.17 31.91 38.30 14.89
14.89 14.89 31.91 10.64
44.68 51.06 27.70 72.34
3.94 2.57 3.45 1.68
2.13 2.13 2.13 2.13 2.13
0 0 0 0 12.76
53.19 42.55 59.57 42.55 29.79
6.38 6.38 6.38 8.51 6.38
38.30 48.94 31.91 46.81 48.94
3.62 2.74 4.64 2.62 5.43
Keterangan: 1= setiap hari (1-3 kali) 2= 5-7 kali perminggu 3= 1-4 kali perminggu 4= 1-3 kali perbulan per bulan 5= lebih dari 1 bulan atau tidak sama sekali
132 Lampiran 4 Pengasuhan dimensi penerimaan ibu (ra TKW), pengganti ibu (saat TKW), ayah (saat TKW) No
Pengasuhan Penerimaan
Tidak pernah
Kadangkadang
Sering
%
%
%
4.26
29.79
65.96
23.40
27.66
46.81
10.64 2.13 4.26
27.66 10.64 23.40
61.70 87.23 72.34
11.43
31.43
57.14
51.43
22.86
25.71
25.71 0 8.57
20.00 20.00 37.14
54.29 80.00 82.86
6.38
36.17
57.45
34.04
44.68
21.28
10.64 2.13 4.26
29.79 12.77 29.79
59.57 85.11 65.96
Ibu (n=47) 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Mencintai dengan hangat pada anak (memeluk, mengelus kepala anak, dll) Membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting (PR dari sekolah, belajar, dll) Mengatakan cinta pada anak Sangat peduli dengan anak Tertawa bersama apabila ada hal-hal yang lucu Pengganti ibu (n=35) Mencintai dengan hangat pada anak (memeluk, mengelus kepala anak, dll) Membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting (PR dari sekolah, belajar, dll) Mengatakan cinta pada anak Sangat peduli dengan anak Tertawa bersama apabila ada hal-hal yang lucu Ayah (n=47) Mencintai dengan hangat pada anak (memeluk, mengelus kepala anak, dll) Membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting (PR dari sekolah, belajar, dll) Mengatakan cinta pada anak Sangat peduli dengan anak Tertawa bersama apabila ada hal-hal yang lucu
133 Lampiran 5 Pengasuhan dimensi penolakan ibu (Pra TKW), pengganti ibu (saat TKW), ayah (saat TKW) No
Pengasuhan Kehangatan
Tidak pernah
Kadangkadang
Sering
%
%
%
34.04
46.81
19.15
61.70
19.15
19.15
72.34 70.21 87.23
21.28 25.53 10.67
6.38 4.26 2.13
37.45
37.45
25.71
65.71
17.14
17.14
85.71 48.94 94.29
11.43 22.86 2.86
2.86 11.43 2.86
46.81
44.68
8.51
61.80
25.53
12.77
76.60 72.34 91.49
23.40 25.53 6.38
0 2.13 2.13
Ibu (n=47) 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Membentak atau berteriak pada anak saat marah Mengancam apabila tidak menuruti perintah Memukul anak Berbicara kasar dengan anak Memanggil anak dengan panggilan yang jelek Pengganti ibu (n=35) Membentak atau berteriak pada anak saat marah Mengancam apabila tidak menuruti perintah Memukul anak Berbicara kasar dengan anak Memanggil anak dengan panggilan yang jelek Ayah (n=47) Membentak atau berteriak pada anak saat marah Mengancam apabila tidak menuruti perintah Memukul anak Berbicara kasar dengan anak Memanggil anak dengan panggilan yang jelek
134 Lampiran 6 Komunikasi ibu dan anak (n=47) No
Komunikasi Ibu dan Anak
1
Ibu meluangkan waktu untuk berbicara dengan anak kapanpun anak memerlukan Anak lebih suka berbicara dengan ibu dibanding dengan anggota keluarga lain Ibu menanyakan dan ingin tahu mengapa anak pulang terlambat Ibu selalu bersungguh-sungguh dan bersikap positif membantu menyelesaikan masalah-masalah anak Ibu selalu menasehati anak Anak selalu mendengarkan nasehat yang diberikan oleh ibu Ibu menyediakan waktu untuk berbicara sesuatu yang pribadi menyangkut anak,misalnya hubungan anak dengan teman (persahabatan dan pertengkaran) Ibu sering bertanya tentang temanteman anak di sekolah maupun di rumah Ibu sering memuji dan bangga ketika anak melakukan/mendapat hal yang baik misalnya nilai rapor yang baik Ibu mendengarkan/menanyakan saran/pendapat anak mengenai sesuatu seperti dalam membuat peraturan di rumah sehingga anak merasa dihargai
2 3 4 5 6 7
8 9 10
Tidak Pernah % 29.79
Kadangkadang % 57.45
40.43
46.81
12.77
80.85
14.89
4.26
25.53
51.06
23.40
12.77 12.77
44.68 38.30
42.55 51.06
63.83
29.79
6.38
23.40
12.77
63.83
31.91
40.43
27.66
34.04
48.94
17.02
Sering % 12.77
135 Lampiran 7 Bonding ibu dan anak (n=47) No
Bonding Ibu dan Anak
1
Ibu adalah kawan anak yang paling dekat yang bisa anak ajak ngobrol tentang apa saja Meskipun anak tidak memberitahu, ibu dapat merasakan kalau anak ada kesulitan Jika anak memang mempunyai masalah anak lebih suka menceritakannya kepada ibu daripada oranglain Ibu bersedia memperhatikan dan mendengarkan jika anak mendapat masalah Ibu selalu membantu menyelesaikan masalah yang terjadi pada anak Kalau perlu uang tambahan, anak lebih suka meminta kepada ibu daripada bapak Anak sedih dan merasa kesepian bila ditinggal ibu terlalu lama Ibu paling tahu kegemaran (hobi) anak Ibu mengetahui dan memantau aktivitas anak bila di luar jam sekolah Ibu tahu dan mengenal teman-teman anak
2 3
4 5 6 7 8 9 10
Tidak Pernah % 29.79
Kadangkadang % 61.70
29.79
23.40
46.81
42.55
48.94
8.51
19.15
59.57
21.28
19.15
63.83
17.02
59.57
31.91
8.51
12.77
53.19
34.04
31.91
19.15
48.94
59.57
17.02
23.40
21.28
36.17
42.55
Sering % 8.51
136 Lampiran 8 Komunikasi ayah dan anak (n=47) No
Komunikasi Ayah dan Anak
1
Ayah meluangkan waktu untuk berbicara dengan anak kapanpun anak memerlukan Anak lebih suka berbicara dengan ayah dibanding dengan anggota keluarga lain Ayah menanyakan dan ingin tahu mengapa anak pulang terlambat Ayah selalu bersungguh-sungguh dan bersikap positif membantu menyelesaikan masalah-masalah anak Ayah selalu menasehati anak Anak selalu mendengarkan nasehat yang diberikan oleh ayah Ayah menyediakan waktu untuk berbicara sesuatu yang pribadi menyangkut anak,misalnya hubungan anak dengan teman (persahabatan dan pertengkaran) Ayah sering bertanya tentang temanteman anak di sekolah maupun di rumah Ayah sering memuji dan bangga ketika anak melakukan/mendapat hal yang baik misalnya nilai rapor yang baik Ayah mendengarkan/menanyakan saran/pendapat anak mengenai sesuatu seperti dalam membuat peraturan di rumah sehingga anak merasa dihargai
2 3 4 5 6 7
8 9 10
Tidak Pernah % 6.38
Kadangkadang % 44.68
12.77
48.96
38.30
25.53
31.91
42.55
12.77
27.66
59.57
4.26 2.13
14.89 17.06
80.85 80.85
31.91
46.81
21.28
23.40
38.30
38.30
14.89
31.91
53.19
14.89
48.94
36.17
Sering % 48.94
137 Lampiran 9 Bonding ayah dan anak (n=47) No
Bonding Ayah dan Anak
1
Ayah adalah kawan anak yang paling dekat yang bisa anak ajak ngobrol tentang apa saja Meskipun anak tidak memberitahu, ayah dapat merasakan kalau anak ada kesulitan Jika anak memang mempunyai masalah anak lebih suka menceritakannya kepada ayah daripada oranglain Ayah bersedia memperhatikan dan mendengarkan jika anak mendapat masalah Ayah selalu membantu menyelesaikan masalah yang terjadi pada anak Kalau perlu uang tambahan, anak lebih suka meminta kepada ayah daripada bapak Anak sedih dan merasa kesepian bila ditinggal ayah terlalu lama Ayah paling tahu kegemaran (hobi) anak Ayah mengetahui dan memantau aktivitas anak bila di luar jam sekolah Ayah tahu dan mengenal temanteman anak
2 3
4 5 6 7 8 9 10
Tidak Pernah % 10.64
Kadangkadang % 53.19
27.66
38.30
34.04
14.89
51.06
34.04
8.51
55.32
36.17
10.64
31.91
57.45
6.38
34.04
59.57
29.79
31.91
38.30
14.89
29.79
55.32
12.77
27.66
59.57
12.77
40.43
46.81
Sering % 36.17
138 Lampiran 10 Komunikasi suami dan istri (n=47) No
Komunikasi Suami dan Istri
1
Saya dan istri saya selalu meluangkan untuk berbicara kapanpun kami memerlukannya Saya lebih senang berbicara dengan istri daripada orang lain (saudara, teman, dll) Saya dan istri membicarakan masalah pendidikan anak Saya dan istri membicarakan rasa cinta diantara kami Saya dan istri sering konflik dalam mendisiplinkan anak* Saya dan istri sering konflik dalam pengasuhan anak* Saya dan istri membicarakan mengenai teman kami Saya marah atau memaki istri* Istri saya marah atau memaki saya* Saya dan istri saling menghargai
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak Pernah % 4.26
Kadangkadang % 34.04
12.77
23.40
63.83
10.64
17.02
72.34
12.77
23.40
63.83
2.13
63.83
34.04
2.13
63.83
34.04
42.55
38.30
19.15
4.26 14.89 0.00
48.94 40.43 4.26
46.81 44.68 95.74
Tidak Pernah % 6.38
Kadangkadang % 27.66
25.53
25.53
48.94
10.64
25.53
63.83
8.51
25.53
65.96
10.64
27.66
61.70
23.40
19.15
57.45
6.38
31.91
61.70
17.02
29.79
53.19
17.02
17.02
65.96
6.38
51.06
42.55
Sering % 61.70
Lampiran 11 Bonding suami dan istri (n=47) No
Bonding Suami dan Istri
1
Istri adalah kawan yang paling dekat yang bisa saya ajak ngobrol tentang apa saja Meskipun saya tidak memberitahu, istri dapat merasakan kalau anak ada kesulitan Jika saya memang mempunyai masalah, saya lebih suka menceritakannya kepada istri daripada oranglain Istri bersedia memperhatikan dan mendengarkan jika saya mendapat masalah Istri selalu membantu menyelesaikan masalah yang terjadi pada saya Saya menyerahkan dan mempercayakan pengelolaan uang gaji atau upah kerja pada istri Saya sedih dan merasa kesepian bila ditinggal istri terlalu lama Istri paling tahu kegemaran (hobi) saya Istri mengetahui aktivitas saya di luar rumah Istri saya tahu dan mengenal temanteman saya
2 3
4 5 6 7 8 9 10
Sering % 65.96
139 Lampiran 12 Stres Anak (n=47) No 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pernyataan Kondisi Perasaan (emosi) Suka mengalami kecemasan Merasa cepat marah Suka mengalami kekecewaan (frustasi) Suka merasa jenuh atau bosan Perilaku Suka melakukan kekeliruan Suka mengalami kecelakaan Mengalami perubahan pola makan (tidak nafsu makan) Mengalami perubahan pola tidur (sulit tidur) Kondisi Pikiran Akhir-akhir ini sulit berkonsentrasi Akhir-akhir ini sulit mengingat sesuatu Akhir-akhir ini sulit mengambil keputusan Akhir-akhir ini merasa tidak kreatif dalam memecahkan masalah Kondisi Fisik Akhir-akhir ini suka berkeringat banyak Akhir-akhir ini suka merasa sakit kepala (pusing) Akhir-akhir ini suka merasa mual Akhir-akhir ini suka merasa sakit-sakit badan
Tidak pernah (%)
Kadangkadang (%)
Sering (%)
27.66 36.17 29.79 23.40
38.30 25.53 27.66 38.30
34.04 38.30 40.43 2.13
40.43 44.68
42.55 23.40
17.02 31.91
42.55
36.17
21.28
46.81
19.15
34.04
38.30 42.55 44.68
34.04 23.40 23.40
27.66 34.04 31.91
42.55
21.28
36.17
38.30
34.04
27.66
42.55 44.68
23.40 23.40
34.04 31.91
42.55
21.28
36.17
Lampiran 13 Hasil uji beda Independent Sample T-test pengasuhan dimensi penerimaan (acceptance) oleh ibu (pra TKW) dan pengganti ibu (saat TKW) Group Statistics
accep1 accep2 accep3 accep4 accep5
Keterangan: Accep1 Accep2 Accep3 Accep4 Accep5 1 2
kode 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
N
Mean 47 35 47 35 47 35 47 35 47 35
Std. Error Mean
Std. Deviation 2.62 2.46 2.26 1.74 2.51 2.29 2.85 2.80 2.68 2.46
.573 .701 .820 .852 .688 .860 .416 .406 .556 .657
.084 .118 .120 .144 .100 .145 .061 .069 .081 .111
: Mencintai dengan hangat pada anak (memeluk, mengelus kepala anak, dll) : Membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting (PR dari sekolah, belajar, dll) : Mengatakan cinta pada anak : Sangat peduli dengan anak : Tertawa bersama apabila ada hal-hal yang lucu : Pengasuhan Ibu sebelum menjadi TKW : Pengasuhan Pengganti ibu saat ibu menjadi TKW
140
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F accep1 Equal variances assumed Equal variances not assumed accep2 Equal variances assumed Equal variances not assumed accep3 Equal variances assumed Equal variances not assumed accep4 Equal variances assumed Equal variances not assumed accep5 Equal variances assumed Equal variances not assumed
3.368
.195
5.434
.854
3.891
Sig. .070
.660
.022
.358
.052
t-test for Equality of Means
t
Mean Sig. (2-tailed) Difference
df
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
1.136
80
.259
.160
.141
-.120
.440
1.103
64.492
.274
.160
.145
-.130
.449
2.753
80
.007
.512
.186
.142
.883
2.737
71.824
.008
.512
.187
.139
.886
1.316
80
.192
.225
.171
-.115
.565
1.274
63.447
.207
.225
.177
-.128
.578
.556
80
.580
.051
.092
-.132
.234
.558
74.361
.579
.051
.092
-.131
.234
1.667
80
.099
.224
.134
-.043
.491
1.627
66.023
.109
.224
.138
-.051
.498
141
Lampiran 14 Hasil uji beda Independent Sample T-test pengasuhan dimensi penerimaan (acceptance) oleh Ibu (pra TKW) dan ayah (saat TKW) Group Statistics
accep1 accep2 accep3 accep4 accep5
Accep1 Accep2 Accep3 Accep4 Accep5 1 3
kode 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3
N
Mean 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47
Std. Deviation 2.62 2.51 2.26 1.87 2.51 2.49 2.85 2.83 2.68 2.62
.573 .621 .820 .741 .688 .688 .416 .433 .556 .573
Std. Error Mean .084 .091 .120 .108 .100 .100 .061 .063 .081 .084
: Mencintai dengan hangat pada anak (memeluk, mengelus kepala anak, dll) : Membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting (PR dari sekolah, belajar, dll) : Mengatakan cinta pada anak : Sangat peduli dengan anak : Tertawa bersama apabila ada hal-hal yang lucu : Pengasuhan Ibu sebelum menjadi TKW : Pengasuhan Ayah saat ibu menjadi TKW
142
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F accep1 Equal variances assumed Equal variances not assumed accep2 Equal variances assumed Equal variances not assumed accep3 Equal variances assumed Equal variances not assumed accep4 Equal variances assumed Equal variances not assumed accep5 Equal variances assumed Equal variances not assumed
1.173
2.690
.005
.204
.559
Sig. .282
.104
.944
.653
.457
t-test for Equality of Means
t
Mean Std. Error Sig. (2-tailed) Difference Difference
df
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
.863
92
.390
.106
.123
-.138
.351
.863
91.410
.390
.106
.123
-.138
.351
2.376
92
.020
.383
.161
.063
.703
2.376
91.062
.020
.383
.161
.063
.703
.150
92
.881
.021
.142
-.260
.303
.150
92.000
.881
.021
.142
-.260
.303
.243
92
.809
.021
.088
-.153
.195
.243
91.845
.809
.021
.088
-.153
.195
.548
92
.585
.064
.116
-.167
.295
.548
91.915
.585
.064
.116
-.167
.295
143
Lampiran 15 Hasil uji beda Independent Sample T-test pengasuhan dimensi penerimaan (acceptance) oleh pengganti ibu (saat TKW) dan ayah (saat TKW)
Group Statistics
accep1 accep2 accep3 accep4 accep5
Accep1 Accep2 Accep3 Accep4 Accep5 2 3
kode 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3
N
Mean 35 47 35 47 35 47 35 47 35 47
Std. Deviation 2.46 2.51 1.74 1.87 2.29 2.49 2.80 2.83 2.46 2.62
.701 .621 .852 .741 .860 .688 .406 .433 .657 .573
Std. Error Mean .118 .091 .144 .108 .145 .100 .069 .063 .111 .084
: Mencintai dengan hangat pada anak (memeluk, mengelus kepala anak, dll) : Membantu anak mengerjakan sesuatu yang penting (PR dari sekolah, belajar, dll) : Mengatakan cinta pada anak : Sangat peduli dengan anak : Tertawa bersama apabila ada hal-hal yang lucu : Pengasuhan Pengganti ibu saat ibu menjadi TKW : Pengasuhan ayah saat ibu menjadi TKW
144
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F accep1 Equal variances assumed Equal variances not assumed accep2 Equal variances assumed Equal variances not assumed accep3 Equal variances assumed Equal variances not assumed accep4 Equal variances assumed Equal variances not assumed accep5 Equal variances assumed Equal variances not assumed
.890
3.600
5.309
.219
2.017
Sig. .348
.061
.024
.641
.159
t-test for Equality of Means
t
Mean Sig. (2-tailed) Difference
df
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
-.365
80
.716
-.053
.146
-.345
.238
-.359
68.185
.721
-.053
.149
-.351
.244
-.734
80
.465
-.129
.176
-.480
.221
-.719
67.280
.475
-.129
.180
-.489
.230
-1.191
80
.237
-.204
.171
-.544
.137
-1.153
63.447
.253
-.204
.177
-.556
.149
-.316
80
.753
-.030
.094
-.217
.158
-.319
75.837
.750
-.030
.093
-.216
.156
-1.173
80
.244
-.160
.136
-.431
.111
-1.150
67.424
.254
-.160
.139
-.437
.118
145
Lampiran 16 Hasil uji beda Independent Sample T-test pengasuhan penolakan (rejection) oleh ibu (pra tkw) dan pengganti ibu (saat tkw) Group Statistics
rejec1 rejec2 rejec3 rejec4 rejec5
Keterangan: Rejec1 Rejec2 Rejec3 Rejec4 Rejec5 1 2
kode 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
N
Mean 47 35 47 35 47 35 47 35 47 35
Std. Deviation 1.85 1.89 1.57 1.51 1.34 1.17 1.34 1.46 1.15 1.09
.722 .796 .801 .781 .600 .453 .562 .701 .416 .373
Std. Error Mean .105 .135 .117 .132 .088 .077 .082 .118 .061 .063
: Membentak atau berteriak pada anak saat marah : Mengancam apabila tidak menuruti perintah : Memukul anak : Berbicara kasar dengan anak : Memanggil anak dengan panggilan yang jelek : Pengasuhan ibu sebelum menjadi TKW : Pengasuhan pengganti ibu saat ibu menjadi TKW
146
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F rejec1 Equal variances assumed Equal variances not assumed rejec2 Equal variances assumed Equal variances not assumed rejec3 Equal variances assumed Equal variances not assumed rejec4 Equal variances assumed Equal variances not assumed rejec5 Equal variances assumed Equal variances not assumed
.679
.165
6.959
3.076
1.797
Sig. .412
.686
.010
.083
.184
t-test for Equality of Means
t
Mean Sig. (2-tailed) Difference
df
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
-.206
80
.837
-.035
.168
-.370
.300
-.203
69.199
.840
-.035
.171
-.375
.306
.340
80
.735
.060
.177
-.292
.412
.341
74.370
.734
.060
.176
-.291
.411
1.396
80
.167
.169
.121
-.072
.410
1.454
79.976
.150
.169
.116
-.062
.400
-.837
80
.405
-.117
.140
-.394
.161
-.810
63.640
.421
-.117
.144
-.405
.171
.711
80
.479
.063
.089
-.114
.240
.722
77.157
.472
.063
.088
-.111
.238
147
Lampiran 17 Hasil uji beda Independent Sample T-test pengasuhan dimensi penolakan (rejection) oleh ibu (pra tkw) dan ayah (saat tkw) Group Statistics
rejec1 rejec2 rejec3 rejec4 rejec5
Keterangan: Rejec1 Rejec2 Rejec3 Rejec4 Rejec5 1 3
kode 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3
N
Mean 47 47 47 47 47 47 47 47 47 47
Std. Error Mean
Std. Deviation 1.85 1.62 1.57 1.51 1.34 1.23 1.34 1.30 1.15 1.11
.722 .644 .801 .718 .600 .428 .562 .507 .416 .375
.105 .094 .117 .105 .088 .062 .082 .074 .061 .055
: Membentak atau berteriak pada anak saat marah : Mengancam apabila tidak menuruti perintah : Memukul anak : Berbicara kasar dengan anak : Memanggil anak dengan panggilan yang jelek : Pengasuhan ibu sebelum menjadi TKW : Pengasuhan ayah saat ibu menjadi TKW
148
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F rejec1
rejec2
rejec3
rejec4
rejec5
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
.001
1.225
5.152
.693
.970
Sig. .980
.271
.026
.407
.327
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
1.658
92
.101
.234
.141
-.046
.514
1.658
90.847
.101
.234
.141
-.046
.514
.407
92
.685
.064
.157
-.248
.375
.407
90.941
.685
.064
.157
-.248
.376
.990
92
.325
.106
.107
-.107
.320
.990
83.192
.325
.106
.107
-.107
.320
.385
92
.701
.043
.110
-.177
.262
.385
91.030
.701
.043
.110
-.177
.262
.521
92
.604
.043
.082
-.120
.205
.521
91.030
.604
.043
.082
-.120
.205
149
Lampiran 18 Hasil uji beda Independent Sample T-test pengasuhan penolakan (rejection) oleh pengganti ibu (saat tkw) dan ayah (saat tkw) Group Statistics
rejec1 rejec2 rejec3 rejec4 rejec5
Keterangan: Rejec1 Rejec2 Rejec3 Rejec4 Rejec5 2 3
kode 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3
N
Mean 35 47 35 47 35 47 35 47 35 47
Std. Error Mean
Std. Deviation 1.89 1.62 1.51 1.51 1.17 1.23 1.46 1.30 1.09 1.11
.796 .644 .781 .718 .453 .428 .701 .507 .373 .375
.135 .094 .132 .105 .077 .062 .118 .074 .063 .055
: Membentak atau berteriak pada anak saat marah : Mengancam apabila tidak menuruti perintah : Memukul anak : Berbicara kasar dengan anak : Memanggil anak dengan panggilan yang jelek : Pengasuhan pengganti ibu sebelum menjadi TKW : Pengasuhan ayah saat ibu menjadi TKW
150
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F rejec1
rejec2
rejec3
rejec4
rejec5
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
1.055
.342
1.059
6.474
.206
Sig. .307
.560
.306
.013
.652
t-test for Equality of Means
t
Mean Sig. (2-tailed) Difference
df
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
1.688
80
.095
.269
.159
-.048
.585
1.637
64.021
.107
.269
.164
-.059
.597
.022
80
.983
.004
.166
-.328
.335
.022
69.847
.983
.004
.169
-.333
.340
-.639
80
.524
-.063
.098
-.258
.132
-.634
71.044
.528
-.063
.099
-.260
.134
1.195
80
.236
.159
.133
-.106
.425
1.141
59.065
.259
.159
.140
-.120
.439
-.247
80
.805
-.021
.084
-.187
.146
-.247
73.564
.805
-.021
.084
-.187
.146
151
Lampiran 19 Hasil uji beda Independent Sample T-test interaksi ibu-anak dan ayah-anak Group Statistics
kom bon
kode 1 2 1 2
N
Mean 1.8170 2.3468 1.9340 2.3277
10 10 10 10
Std. Deviation .36991 .28102 .27052 .16968
Std. Error Mean .11698 .08887 .08555 .05366
Keterangan: 1 : ibu dan anak 2 : ayah dan anak Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F kom
bon
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig. .475
4.142
.500
.057
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
-3.606
18
.002
-.52979
.14690
-.83842
-.22115
-3.606
16.793
.002
-.52979
.14690
-.84002
-.21955
-3.898
18
.001
-.39362
.10098
-.60577
-.18146
-3.898
15.132
.001
-.39362
.10098
-.60869
-.17855
152
Lampiran 20 Hasil uji beda Independent Sample T-test Interaksi ibu-anak dan interaksi ayah-anak Group Statistics
intrksi
kodeintr 1 2
N
Mean 10 10
Std. Deviation 1.8770 2.3390
.18667 .21089
Std. Error Mean .05903 .06669
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F intrksi
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig. .312
.583
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
-5.187
18
.000
-.46200
.08906
-.64911
-.27489
-5.187
17.738
.000
-.46200
.08906
-.64931
-.27469
153
Lampiran Hasil Uji Regresi Lampiran 21 Faktor yang mempengaruhi kualitas perkawinan b
Variables Entered/Removed Variables Entered
Model 1
intaasi, pentots, jka, jak, asuhpia, pddk_ibu, lamatkw, intkomia, dsjumlah, pddk_ay, nourut
Variables Removed
Method
.
Enter
a
a.
All requested variables entered.
b.
Dependent Variable: kuaper
Model Summary Model 1
R a.
.711a
Adjusted R Square
R Square .505
Std. Error of the Estimate .350
3.107
Predictors: (Constant), intaasi, pentots, jka, jak, asuhpia, pddk_ibu, lamatkw, intkomia, dsjumlah, pddk_ay, nourut
154
ANOVA Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 344.868 337.771 682.638
b
df
a.
Predictors: (Constant), intaasi, pentots, jka, jak, asuhpia, pddk_ibu, lamatkw, intkomia, dsjumlah, pddk_ay, nourut
b.
Dependent Variable: kuaper
Coefficients
Model 1
a.
(Constant) jak jka nourut pddk_ay pddk_ibu lamatkw pentots dsjumlah asuhpia intkomia intaasi
Mean Square 31.352 9.651
11 35 46
Unstandardized Coefficients B Std. Error 2.315 6.192 .341 .405 -2.012 1.005 1.179 .727 -.294 .188 .083 .415 -.005 .020 -1.2E-008 .000 .137 .165 .056 .047 .040 .050 .142 .033
F
Sig. 3.249
.004a
a
Standardized Coefficients Beta
t .129 -.259 .255 -.244 .028 -.037 -.004 .126 .170 .120 .562
Sig. .374 .841 -2.001 1.622 -1.565 .200 -.251 -.025 .828 1.188 .791 4.354
.711 .406 .053 .114 .127 .843 .803 .980 .413 .243 .434 .000
Dependent Variable: kuaper
155
Lampiran 22 Faktor yang mempengaruhi kondisi anak (keterampilan sosial, stres, prestasi akademik)
b
Variables Entered/Removed Variables Entered
Model 1
kuaper, pentots, jak, asuhpia, jka, pddk_ ibu, lamatkw, dsjumlah, intkomia, pddk_ay, intaasi, nourut
Variables Removed
Method
.
Enter
a
a.
All requested variables entered.
b.
Dependent Variable: perkbsos
156
Model Summary Model 1
R a.
.731a
Adjusted R Square
R Square .534
.359
8.739
Predictors: (Constant), kuaper, pentots, jak, asuhpia, jka, pddk_ibu, lamatkw, dsjumlah, intkomia, pddk_ay, intaasi, nourut
ANOVA Model 1
Std. Error of the Estimate
Regression Residual Total
Sum of Squares 2799.091 2444.021 5243.111
b
df 12 32 44
a.
Predictors: (Constant), kuaper, pentots, jak, asuhpia, jka, pddk_ibu, lamatkw, dsjumlah, intkomia, pddk_ay, intaasi, nourut
b.
Dependent Variable: perkbsos
Mean Square 233.258 76.376
F
Sig. 3.054
.006a
157
Coefficients
Model 1
a.
(Constant) jak jka nourut pddk_ay pddk_ibu lamatkw pentots dsjumlah asuhpia intkomia intaasi kuaper
Unstandardized Coefficients B Std. Error 91.804 18.168 -1.817 1.170 1.594 3.058 1.795 2.205 .150 .577 -1.601 1.183 -.160 .058 3.36E-006 .000 .328 .472 .263 .145 .113 .146 -.360 .116 -.321 .484
a
Standardized Coefficients Beta
t -.244 .072 .138 .043 -.194 -.420 .380 .108 .281 .121 -.511 -.114
Sig. 5.053 -1.553 .521 .814 .259 -1.353 -2.753 2.536 .695 1.812 .777 -3.091 -.663
.000 .130 .606 .422 .797 .185 .010 .016 .492 .079 .443 .004 .512
Dependent Variable: perkbsos
158
159 Lampiran 23 Hasil Wawancara Mendalam (Data Kualitatif)
KASUS 1 “Pak Ace Sumpena, Sang Pelaku Fungsi Instrument dan Ekspresif Keluarga” Pak Ace Sumpena merupakan nelayan yang baru saja ditinggal istrinya berangkat menjadi TKW seminggu yang lalu terhitung dari Tanggal wawancara. Sebelumnya, Pak Ace pernah ditinggal istri menjadi TKW selama 2,5 tahun atau 2 kali pemberangkatan. Pemberangkatan yang pertama tidak sukses karena TKW mengalami masalah dengan majikan. Majikan tertarik dengan TKW sehingga TKW memutuskan untuk pulang ke Indonesia untuk menghindari halhal yang tidak diinginkan. Jam kerja TKW sama seperti TKW-TKW Arab Saudi pada umumnya yaitu mulai pagi dan selesai malam hari sekitar jam 8 malam. Gajinya juga standar yaitu Rp 2,5 juta rupiah. Pak Ace merasa sangat sedih akibat kepergian istrinya, namun istrinya sendiri yang memiliki keinginan untuk bekerja di luar negeri. Motivasi istri bekerja sebagai TKW yaitu ingin membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga terutama ketika musim paceklik (musim jarang ikan). Kesedihan pak Ace memang memiliki alasan, kurangnya afeksi antara suami dan istri, lelahnya dalam mengurusi pekerjaan rumahtangga serta mengurus anak yang harus dilakukan seorang diri kadang membuatnya stes sehingga beliau berpendapat bahwa melakukan pengasuhan tanpa adanya istri merupakan perjuangan yang berat. Anaknya yang masih berumur balita sering menangis bila teringat ibunya dan bila sudah teringat maka anak akan susah dikendalikan. Anaknya yang SD tidak bertambah nakal namun anak jadi lebih pendiam karena anak suka merasa sedih bila teringat akan ibunya. Berat badannya juga turun sehingga terlihat kurus. Hal ini dikarenakan anak mengalami susah makan (banyak jajan) dan kemauannya hanya bermain sepanjang hari yang menyebabkan anak tidak fokus dalam belajar. Hal ini diduga karena anak ingin menghilangkan rasa kesepian dan kesedihannya dengan bermain dengan teman-teman. Meskipun kadang anak mengalami hubungan yang tidak baik dengan teman-temannya, namun secara umum anak dapat bergaul dengan baik. Teman-temannya bahkan sering diajak ke rumah sehingga bapak kebanyakan mengenal teman anak. Perbedaan komunikasi antara suami istri sebelum dan setelah menjadi TKW sebatas pada frekuensi sering atau tidaknya saja sedangkan kualitas
160 komunikasi dirasakan sama.
Konflik yang terjadi antara suami dan istri hampir
dikatakan jarang karena beliau dan istri tidak mengalami konflik yang besar selama pernikahannya, konflik yang ada merupakan konflik yang sepele dan dapat segera diselesaikan. Beliau merasa tidak ada perubahan ekonomi antara sebelum dan setelah istri TKW, karena semua uang yang dihasilkan istri hanya dialokasikan untuk merenovasi rumah, sebagian kecil saja yang dikirim saat musim paceklik. Secara psikologis, rasa cinta suami kepada istri justru lebih meningkat karena sering merasa rindu. Meskipun demikian, Pak Ace mengakui bahwa beliau pernah memiliki teman wanita untuk memenuhi kebutuhan biologisnya.
Secara
keseluruhan
beliau
menganggap
ketidakadaan
istri
menyebabkan ketidak seimbangan dalam keluarga.
KASUS 2 “Komitmen Perkawinan yang Terabaikan Akibat Kepergian Istri sebagai TKW” Ibu yang baru satu minggu pulang dari Arab Saudi ini menceritakan kisahnya dari masa proses menjadi calon TKW hingga saat dia telah bekerja di negeri seberang sana. Saat mengurusi persyaratan, dia merasa mendapatkan kesusahan yang berhubungan dengan tinggi badan, tinggi badannya yang relatif pendek sedikit menghambat dia saat menjalani proses menjadi TKW. Saat dia telah menjadi TKW bukan berarti hambatan usai sampai disini. Rumah yang besar dan kerja keras sangat memforsir tenaganya. Sedikit melakukan kesalahan dalam pekerjaanya, maka majikan tidak segan-segan untuk membentak dan mengumpat. Meskipun majikan galak namun majikan tidak pernah sekalipun memukul beliau. Hambatan seperti ini juga sering dialami oleh TKW Indonesia yang lain di Arab Saudi. Setiap hari beliau bekerja selama 16 jam yaitu dari jam 8 pagi sampai 12 malam. Beliau mendapat hari libur 1 hari dalam 1 minggu. Suaminya, Bapak Adang,
mengaku bahwa dia mengalami kesedihan
ditinggal istri hanya saat tiga bulan awal saja. Bulan selanjutnya suami mampu melakukan adaptasi akan keadaan tersebut. Namun dia mengakui bahwa pengasuhan lebih baik dilakukan saat istri berada di rumah, menurutnya pengasuhan yang dilakukan bersama antara suami dan istri secara bersamasama akan lebih mudah bila dibanding dengan ia harus melakkan pengasuhan sendiri. Beban dan ketelatenan seorang bapak dalam mengurus anak tidak sepandai dan selihai istri yang menjalankannya. Selama anak di asuh oleh bapak
161 dengan bantuan nenek, anak tidak banyak mengalami perubahan kepribadian. Anak tetap dapat melakukan hubungan sosial di dalam dan di luar keluarga dengan baik. Hanya saja yang terlihat secara kasat mata, berat badan anak lebih menyusut bila dibandingkan sebelum ibu menjadi TKW. Anak lebih banyak jajan di warung dari pada makan nasi di rumah. Keadaan ekonomi keluarga dirasakan ada perubahan sebelum dan sesudah istri menjadi TKW yaitu hasil upah TKW digunakan untuk merenovasi rumah. Rumah yang dianggapnya sudah tidak layak membuat mereka kurang nyaman untuk menempatinya. Bila hanya mengandalkan suami yang bekerja sebagai nelayan, cita-cita untuk merenovasi rumah mungkin akan terwujud dalam jangka waktu yang lama. Masalah inilah yang menjadi salah satu motivasi ibu Irma untuk pergi ke Luar Negeri. Pak Adang mengaku ada perbedaan komunikasi sebelum dan sesudah istri menjadi TKW. Meskipun sudah tersedia teknologi komunikasi yang mempermudah seseorang berhubungan jarak jauh (HP), namun biaya pulsa yang mahal menyebabkan frekuensi komunikasi harus dikurangi. Selama 1 bulan mereka berkomunikasi 1-3 kali, intensitas komunikasi dalam satu kali berkomunikasi kurang lebih 10 menit. Frekuensi komunikasi yang berkurang semenjak ibu pergi menjadi TKW serta kebutuhan akan afeksi yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan biologisnya, menyebabkan suami mengaku mempunyai teman wanita lain untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Teman wanitanya ini adalah seorang PSK yang sering ditemuinya di Pelabuhan Ratu. Hubungannya dengan PSK bisa dibilang tidak terikat, karena PSK tidak menuntut hubungan yang lebih asalkan sudah menerima bayaran yang dianggapnya pantas*. Pak Adang mengaku lebih merasakan kebahagiaan dan kepuasan perkawinan sebelum istri menjadi TKW dibandingkan saat istri menjadi TKW. Pak Adang merasa kesepian terutama saat hasrat seksualnya muncul*. Ibu Irma mengaku bahwa sebelum dan sesudah menjadi TKW, konflik yang kerap kali muncul adalah masalah kecemburuan, curiga suami memiliki teman wanita lain, dan kesalahpahaman dengan teman. Meskipun demikian, istri tetap ingin bekerja kembali sebagai TKW agar memiliki sawah sendiri sehingga apabila masa paceklik datang (ikan di laut jarang) keluarga bisa mengandalkan pendapatan yang diperoleh dari hasil sawah. *Suami mengungkapkan saat istri tidak bersama suami dan peneliti.
162 KASUS 3 “Meninggalkan Keluarga Demi Menyelesaikan Konflik Ekonomi” TKW yang telah pulang dari Taiwan ini memiliki alasan mengapa ia dulu memutuskan untuk pergi ke Taiwan. Alasannya tidak jauh berbeda dengan TKW lain, alasan ekonomi menjadi sebab utama. Pekerjaan suaminya menjadi nelayan dengan pendapatan tidak menentu, apalagi di musim paceklik, kerap kali nelayan tidak mendapatkan ikan di laut. Hal ini menyebabkan tidak ada pendapatan selama musim paceklik. Kondisi seperti ini yang memaksa beliau meninggalkan anak dan keluarga selama 6 Tahun. Selama proses pendaftaran menjadi calon TKW, istri pak Badru ini tidak mengalami hambatan yang berarti. Semua persyaratan dapat dipenuhi. Di tempat kerjanya, istri pak Badru memiliki hari libur seminggu satu kali, namun hari libur tersebut tidak digunakan sehingga beliau mendapat uang tambahan untuk mengupah kerjanya selama hari libur tersebut. Bapak Badru mengaku bahwa selama ditinggal istri menjadi TKW, beliau tidak mengalami kesedihan yang sangat. Bapak badru merasakan adanya perasaan bahagia istri menjadi TKW. Perasaan bahagia yang ia rasakan karena pertengkaran yang dahulu terjadi mengenai keuangan dapat teratasi karena adanya kontribusi ekonomi dari istri yang membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Setelah menjadi TKW, bapak badru justru merasakan bahwa cintanya kepada istri menjadi lebih besar. Perasaan rindu sering melanda disaat menjelang tidur. Selama ibu ilah menjadi TKW, anak kedua diasuh oleh nenek yang rumahnya tidak terlalu jauh dengan rumahnya. Sedangkan anak ketiga diasuh oleh suami dan anak paling besar yang telah beranjak dewasa. Anak ketiga ibu ilah, dandi, merupakan anak yang ringkih, dia sudah sering mengalami sakitsakitan sejak masih kecil. Bila merasa capai maka Dandi akan mudah sekali terserang penyakit.
Keadaan ini yang membuatnya tidak banyak bermain
dengan teman-teman seusianya. Dandi merupakan anak yang pendiam dan penurut.
Dalam usia yang relatif muda sekarang ini, dia tidak pernah
meninggalkan solat lima waktu dan selalu berjamaah di masjid. Berat badan Dandi selama ditinggal ibu menjadi TKW terlihat lebih menurun. Hal ini dikarenakan kurang perhatian soal makanan oleh orangtuanya, apalagi Dandi termasuk anak yang agak susah soal makan. Hal ini menyebabkan daya tahan Dandi semakin menurun.
163 Meskipun
keadaanya
demikian,
Pak
Badru
mengatakan
bahwa
pengasuhan ada atau tanpa ibu tidak ada bedanya. Hal ini diduga karena peran pengasuhan selama ibu tidak ada digantikan oleh kakak Dandi yang paling besar. Keadaan keluarga TKW memang serba dilema, bila istri pergi menjadi TKW perekonomian keluarga semakin baik namun disisi lain afeksi diantara anggota keluarga semakin melemah, terutama antara anak dan ibu. Dandi dirasa masih sangat memerlukan perhatian dari ibunya, sehingga apabila keluarga harus memililih, sebaiknya istri tidak pergi lagi ke luar negeri. Hasil kerja keras selama di luar negeri dirasakan cukup untuk berinvestasi saat musim paceklik tiba. Namun bila perekonomian keluarga kembali memburuk, keluarga sepakat agar anak pertamanya menggantikan ibu bekerja menjadi TKW.
KASUS 4 “Bapak Harun Berguru Spiritual (Agama) demi Menjaga Diri dari Hal-Hal yang Dilarang Agama” Masalah yang pernah dihadapi istri pak Harun adalah saat awal bulan istri bekerja sebagai TKW. Adanya kesusahan berkomunikasi dengan majikan menyebabkan komunikasi yang tidak lancar antara pembantu dan majikan. Hal ini menyebabkan emosi sering muncul dari majikannya. Karena TKW tidak tahan akan kegalakan majikan, TKW melarikan diri dari rumah majikan. Kehidupan keluarga pak Harun sebelum istri berangkat menjadi TKW tidak jauh dengan masalah ekonomi. Kebutuhan sehari-hari yang kadang susah untuk dipenuhi menjadi pengganggu keharmonisan keluarga. Namun setelah istri menjadi TKW berangsur-angsur kehidupan ekonomi mereka membaik. Mereka dapat membeli rumah yang awalnya mereka kontrak dan merenovasinya. Kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak pun menjadi terjamin. Selain sisi positif yang hasilkan, terdapat sisi negatif akibat keterpisahan pasangan. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan istri akan komitmen suami menjaga kesetiaan kadang sering diombang-ambingkan oleh gosip yang beredar. Isu suami sering pergi keluar rumah dan selingkuh juga kadang menjadi masalah di antara mereka setelah suami dan istri ini berpisah. Masalah lain yang tidak dapat dipungkiri adalah masalah dalam menahan hasrat seksual yang tidak dapat tersalurkan selama istri bekerja menjadi TKW. Jalan yang ditempuh suami yaitu dengan berpuasa serta secara rutin mendatangi guru spiritualnya agar jiwa selalu mendapatkan siraman rohani.
164 Dengan demikian, hal-hal buruk yang biasa dilakukan oleh suami-suami TKW di sekitar tempat tinggalnya seperti berjudi, minum-minuman serta bermain perempuan dapat dihindari. Beliau berpendapat bahwa hampir 90% suami yang ditinggal istri menjadi TKW akan melakukan pelampiasan kepada hal yang tidak terpuji seperti disebutkan di atas. Beliau mengakui bahwa keluarga lebih bahagia saat mereka sekeluarga dapat berkumpul bersama. Suka duka di tanggung bersama. Disaat suami merasa kesepian ataupun kesedihan disebabkan suatu masalah, ada istri yang selalu menemani, memperhatikan, dan berbagi masalah dengan istri sehingga masalah dapat terselesaikan dengan perpaduan solusi antara suami dan istri. Meskipun demikian, secara keseluruhan bapak harun merasakan kepuasan dalam perkawinannya. Bapak Harun berpendapat bahwa perolehan materi dari istri bekerja tidak seimbang dengan resiko yang ditanggung keluarga. Memiliki uang cukup, rumah bagus, semua materi tercukupi namun merasa hampa tidak dapat berkumpul dengan istri dan anaknya, tutur bapak harun. Apalagi ketakutan bapak harun atas pengalaman tetangga-tetangganya bahwa istri yang menjadi TKW memiliki banyak uang sehingga merasa memiliki kekuatan untuk menghidupi dirinya sendiri. Apalagi seringkali orang ketiga (mertua) mengompor-ngompori untuk bercerai. Biasanya layangan cerai mulai muncul dari istri, sehingga beliau berpikir tidak akan mengijinkan istrinya bekerja menjadi TKW lagi setelah kepulangannya nanti. Selama istri mejadi TKW anak tinggal bersama nenek dan kakeknya yang rumahnya juga tidak jauh dari rumah bapak Harun. Setiap hari bapak dan anak dapat bertemu, namun demikian anak tidak begitu dekat dengan bapak. Anak justru lebih lengket dengan neneknya. Anak tidak mengalami penurunan dalam pertumbuhan.
Tubuhnya
tumbuh
dengan
normal.
Begitu
pula
dengan
hubungannya dengan teman-temannya. Anak terlihat mampu bergaul dan berhubungan baik dengan teman-temannya.
KASUS 5 “Penyesalan Seorang TKW” Ibu Erna merupakan salah satu TKW Arab Saudi yang memiliki nasib sangat baik. Beliau memiliki majikan yang sangat nice.Majikannya merupakan pasangan muda yang baru menikah dan tinggal di rumah yang berbeda dengan
165 keluarga besarnya, berbeda dengan tradisi keluarga Arab pada umumnya yang tinggal dalam satu rumah besar dengan orangtua dan saudara-saudara mereka. Majikan yang berumur lebih muda ini lebih menganggap Ibu Erna sebagai kakaknya, yaitu orang yang sering dipercaya sebagai tempat curhat, sehingga pekerjaan rumah tangga yang dilakukan tidak menyita tenaga dan diberikan waktu istirahat yang cukup. Ibu Erna bahkan diminta untuk memperpanjang kontraknya, namun beliau menolak karena anak pertamanya mengalami penyakit tipus kronis dimana penyakit tipus tersebut sudah menjalar ke otak. Ibu Erna sebelum menjadi TKW merupakan penyayi yang sering diundang untuk mengisi acara di cafe atau di acara pernikahan tetanggatetangganya. Selain itu ibu dua anak ini juga berjualan barang dagangan yang beliau kreditkan ke tetangga-tetangganya. Pendapatan dari pengkreditan ini terhitung lumayan karena mampu membantu mencukupi kehidupan keluarga. Selama Ibu Erna menjadi TKW, suami dan anaknya pindah sementara dari rumah kontrakan ke rumah orangtua Ibu Erna dengan tujuan agar anak ada yang memperhatikan. Namun karena terlalu dekatnya anak dengan ibu serta ketidak dekatan anak dengan bapak maka banyak dampak negatif yang dihasilkan akibat keterpisahan anak dan ibu selama 2 Tahun 3 bulan lalu. Ditambah lagi kesibukan kakek neneknya sebagai petani dan bapaknya yang tidak banyak waktu bersama menyebabkan anak kurang perhatian sehingga makanan yang dimakan pun tidak sehat yaitu mie instan. Kesukaan anak terhadap mie instan yang berlebih semenjak ditinggal ibu menjadi TKW diduga menjadi salah satu penyebab penyakit tipus kronis yang diderita anak. Penyakit tersebut akan kambuh bila anak terlalu banyak bermain dan terlalu banyak terkena sinar matahari langsung. Awalnya anak akan pingsan hingga tidak sadarkan diri mengigau dan mencracau tentang mamanya. Bahkan anak suka menyanyikan lagu-lagu yang kerap kali mamanya nyanyikan disaat tidak sadarkan diri. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan adanya tekanan batin anak karena keterpisahannya dengan ibu. Selain fisik, akibat buruk juga terjadi pada psikis anak. Anak menjadi nakal, cepat marah, suka melawan dan tidak takut dengan ibunya. Pergaulan sosial anak dengan teman laki-lakinya tidak ada masalah namun anak tidak pernah mau bermain dengan teman yang berjenis kelamin berbeda dengannya. Dia juga tidak mudah menjalin hubungan baru dengan orang yang lebih dewasa, anak sering malu-malu bila berhadapan dengan orang lain.
166 Suami Ibu Erna tergolong orang yang pendiam dan jarang berbincang. Semenjak istri pergi ke Arab Saudi serta suami dan anak pindah ke rumah mertua, suami jarang pulang ke rumah dan jarang memberi uang setoran hasil nyopirnya kepada orangtua maupun kepada anak. Beberapa tetangga yang melaporkan bahwa selama ditinggal istri, suami terseret dalam pergaulan yang tidak benar, suami sering minum-minuman bahkan ibu Erna mengira-ngira bahwa suaminya juga bermain dengan wanita lain di belakang selama keterpisahannya dengan ibu Erna. Namun ibu Erna tidak banyak menuntut banyak dan hanya bisa pasrah karena beliau menyadari semua kesalahan yang dilakukan suami adalah akibat kelalaian Ibu Erna sendiri yang meninggalkan suami dan keluarganya. Namun setelah kepulangan Ibu Erna, suami sedikit demi sedikit pulih seperti sedia kala, suami jadi sering tinggal di rumah dan kadang pergi ke masjid untuk solat berjamaah. Konflik yang terjadi dalam rumah tangga ibu Erna kebanyakan hanya soal keinginan mereka memiliki rumah sendiri. Ibu Erna mengaku bahwa dalam perkawinannya yang membuat ia belum puas karena hal tersebut dan hal lain yang berkaitan dengan ekonomi seperti memiliki angkot sendiri dan memiliki warung. Sedangkan perubahan komunikasi sebelum dan saat ibu menjadi TKW hanya berkaitan dengan frekuensi namun pada dasarnya suami ibu Erna merupakan orang yang pendiam. Ibu juga merasakan bahwa selama beliau mejadi TKW ada jarak yang memisahkan antara beliau dan suami sehingga beliau merasa tidak dekat. Ibu Erna merasakan tidak ada perubahan keuangan sebelum dan setelah ibu Erna menjadi TKW karena sebagian besar gaji beliau digunakan untuk biaya berobat anak yang selama dua bulan dirawat di rumah sakit serta berobat jalan yang hingga kini masih dilakukan. Menurut beliau tidak sebanding antara pendapatan yang dihasilkan dari TKW dan dampak negatif yang harus ditanggung beliau, suami, dan anakanaknya. Beliau memutuskan untuk tidak kembali bekerja menjadi TKW dan berniat akan menata kembali hubungan beliau dengan suami dan anak. Beliau kini akan memulai usaha barunya yaitu menernakan ayam agar dapat membantu ekonomi keluarga.
167 KASUS 6 “Izin Suami yang Berujung pada Kehancuran Keluarga” Bapak yang berprofesi sebagiai tukang ojek ini memiliki satu anak perempuan yang berada di akhir kelas 4. Selama ayahnya bekerja, anak perempuan yang biasa di panggil Nissa ini, lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman dan kakeknya. Menurut analisis dari bapak Pian, semejak ditinggal ibunya, Nissa tidak mengalami banyak perubahan baik dilihat dari segi kenakalannya maupun menjadi pemdiamnya. Hal ini dikarenakan anak kurang kasih sayang dan perhatian dari ibu sehingga semenjak ibunya memutuskan untuk menjadi TKW , anak-anak lebih dekat dengan ayah. Anak juga memiliki hubungan yang baik dengan teman-temannya, terutama dengan kedua sahabatnya yang juga tinggal tidak jauh dari rumahnya. Anak mengaku lebih banyak menceritakan segala sesuatu kepada kedua sahabatnya daripada dengan orang lain termasuk orangtua dan keluarganya. Komunikasi yang terjalin antara Bapak Pian dan istrinya dahulu berjalan mulus seperti biasa. Namun semenjak istrinya berkeinginan untuk menjadi TKW dan Bapak Pian tidak mengijinkan, pertengkaran demi pertengkaran mulai muncul. Namun akhirnya Bapak Pian mengijinkan istrinya untuk berangkat menjadi TKW karena sedih bila melihat anaknya yang melihat pertengkaran mereka. Semenjak kepergian istrinya inilah semua masalah yang tidak dibayangkan sebelumnya mulai muncul. Istri tanpa ada alasan yang jelas melayangkan permintaan cerai. Bahkan istri tidak mau lagi berbicara melalui telepon dengan suami. Setiap istri menelepon hanya berbicara dengan anak. Keinginan istri untuk bercerai disinyalir adanya keterlibatan pihak ke tiga, yaitu keluarga dari pihak istri yang menginginkan mereka berpisah. Hal ini diduga karena istri dan keluarga istri menganggap bahwa power istri dalam perekonomian keluarga lebih kuat, apalagi bila dibandingkan dengan suaminya yang hanya bekerja sebagai tukang ojek. Selama 2,5 Tahun istri bekerja sebagai TKW, istri juga tidak pernah mengirim uang bulanan bagi suami maupun anaknya. Keinginan istri untuk bercerai membuat Bapak Pian sangat menyesali keputusannya yang telah mengijinkan istri untuk bekerja sebagai TKW. Beliau berpendapat bahwa apabila memang rumah tangganya tidak dapat diselamatkan, namun perceraian antara beliau dan istrinya harus berjalan dengan baik. Bapak Pian tidak ingin cerai lewat telepon. Beliau dan istrinya harus tatap muka agar bisa dibicarakan masalah apa yang sebenarnya terjadi sehingga
168 membuat istrinya memiliki tekat yang kuat untuk mengakhiri pernikahannya. Bapak Pian berpendapat bahwa bila ingin berpisah dengan cara baik2, dan bila ingin bercerai juga dengan cara baik-baik. Bapak Pian merasa berat mengasuh anak sendiri tanpa istri karena semua pekerjaan termasuk mencari nafkah, membersihkan rumah, serta mengasuh anak harus di tanggungnya sendiri sehingga bapak Pian merasa rutinitasnya
tidak
pekerjaannya.
seimbang
Semua
dan
kejadian
tidak yang
maksimal
dalam
menimpanya
menjalankan
membuat
beliau
berpandangan bahwa mengijinkan suami menjadi TKW bukanlah keputusan yang bijak. Kehidupan keluarga menjadi tidak seimbang. Keluarga serta anak mendapatkan imbas yang menyengsarakan mereka.
KASUS 7 “Kelancaran Komunikasi menjadi Salah Satu Tips untuk Menjaga Kualitas Hubungan Keluarga TKW” Bapak satu anak ini ditinggal istriya menjadi TKW di Singapura selama 2 Tahun.
Istrinya
pergi menjadi TKW karena suaminya yang bekerja sebagai
kontraktor mengalami kebangkrutan. Bahkan kehidupan keluarganya kini berbeda jauh bila di banding dengan keadaan saat mereka berjaya. Kini bapak Soleh mulai merintis usahanya kembali dengan menyewakan motor untuk diojekkan. Ibu Yati sudah pulang ke Indonesia sejak dua bulan yang lalu. Sebenarnya, tinggi badannya yang hanya 155 cm tidak memenuhi syarat sebagai TKW Singapura. Namun akibat kegigihannya untuk belajar bahasa Inggris telah membawa dirinya ke Singapura. Selain syarat tinggi badan dan lulus SMA, syarat lain umumnya sama dengan syarat TKW Negara lain yaitu adanya surat ijin dari keluarga dan sehat. TKW Singapura digaji lebih tinggi bila dibanding dengan TKW di negaranegara lain seperti Malaysia dan Arab Saudi. Pekerjaanya juga tidak terlampau berat bila di banding dengan TKW Arab Saudi. TKW Singapura memiliki waktu istirahat cukup yaitu satu jam untuk tidur siang, malam harinya Ibu Yati beristirahat mulai jam 10 malam hingga jam 7 pagi. Bahkan majikan sangat memperhatikan kesehatan TKW, setiap enam bulan satu kali TKW Singapura melakukan medical ceck up dengan biaya yang ditangung majikan.
169 Kehidupan di Singapura sangat memperhatikan kehematan dalam pemakaian air dan listrik karena sumber air yang digunakakan di Singapura merupakan air yang di beli dari Malaysia sedangkan listik di Singapura sangatlah mahal. Suami mengakui bahwa tidak merasakan stres yang berkepanjangan selama ditinggal istrinya. Dia menungkapkan bahwa kesedian dan stresnya hanya tiga bulan awal semenjak keberangkatan istri ke Singapura. Responden merasakan bahwa keluarganya selalu dalam keadaan yang harmonis. Hanya saja saat awal kepergiaan istri kadang terjadi masalah akibat masih dalam proses adaptasi mengatasi kerinduan dan kesepian yang melanda mereka. Komunikasi yang terjalin antara istri dan suami serta anak tergolong lancar. Paling tidak selama seminggu sekali mereka selalu melakukan komunikasi melalui telepon seluler, komunikasi ini tergolong sering bila dibandingkan dengan keluarga TKW lainnya. Cinta dan afeksi serta kehidupan seksual pun tidak menjadi masalah selama istri bekerja di Singapura. Mereka mengakui bahwa keluarganya merupakan keluarga bahagia dan mereka merasa telah memiliki kepuasan akan kehidupan perkawinan mereka. Hubungan antara istri dan suami yang tidak mengalami perubahan setelah istri menjadi TKW diduga karena pasanga tersebut mampu memaintance komunikasi diantara keduanya. Saat penelitian berlangsung, pasangan ini memang terlihat tidak memiliki kesulitan yang berarti dalam berkomunikasi dengan pasangan, keluarga, maupun orang lain. Kemudahan suami dan istri bergaul juga diduga menjadi penyebab keduanya tidak mengalami stress yang berarti. Selama istri menjadi TKW, anak dititipkan di rumah neneknya. Tiga minggu satu kali ayah secara rutin mengunjungi anak. Setiap minggu ayah dan ibu juga selalu menelepon anak. Meskipun pertumbuhan anak tidak mengalami penurunan atau penyusutan berat badan namun orangtua merasakan adanya perubahan pribadi anak setelah dua Tahun ditinggal ibu dan bapaknya. Mereka merasakan bahwa anak menjadi tidak menuruti perintah orangtua. Nasihat orangtua kadang tidak di dengarkan oleh anak. Sehingga orangtua berpendapat bahwa pengasuhan anak lebih baik dilakukan oleh orangtua sekalipun selama ini pengasuan digantikan oleh nenek. Anak merupakan anak yang tergolong mudah bergaul dengan teman-temannya. Bahkan dengan orang baru pun anak mudah menjalin hubungan pertemanan.
170 KASUS 8 “Lika-Liku Perjalanan Seorang TKW” Istri Pak Yayan merupakan orang yang ketat dan taat dalam menganut agamanya. Sebelum menjadi TKW, istri pak Yayan merupakan guru Madrasah Ibtidaiyah (MI). Beliau memilih Arab Saudi sebagai tujuan negara tempat beliau bekerja karena beliau memperoleh informasi bahwa TKW Arab Saudi lain tidak mengalami kesulitan dalam beribadah, sedangkan di negara lain seperti Hongkong atau Taiwan ibadah bagi TKW muslim sangatlah sulit. Pak Yayan menceritakan kisah istrinya sebagai TKW dari pengalaman yang lalu. Istri bapak Yayan mengalami manis pahitnya menjadi TKW. Selama tiga kali pemberangkatan yang telah dilakukan, satu kali pemberangkatan yang tergolong tidak sukses dan penuh dengan rintangan. Satu kali pemberangkatan yang tidak sukses ini, istri hanya bertahan 1,5 Tahun dari kontrak kerja 2 Tahun. Masalah yang menimpa istri bapak Yayan tergolong dalam masalah-masalah TKW yang kerap dilaporkan selama ini. Masalah pertama yaitu gaji yang tidak dibayarkan secara penuh. Selama 1,5 Tahun masa kerjanya, TKW hanya menerima gaji 6 bulan saja. Masalah kedua yaitu menyangkut pada tidak adanya penghargaan majikan laki-laki terhadap TKW yaitu majikan telah melakukan percobaan pemerkosaan sehingga memaksa TKW untuk menyelamatkan kehormatannya dengan cara melarikan diri dan berniat meminta perlindungan dan bantuan KBRI. Di tengah perjalanan, TKW bertemu dengan polisi namun karena beliau tidak membawa Pasport maka polisi menyangka bahwa TKW ini merupakan TKW illegal. Polisi akhirnya membawa TKW ke kantor polisi, karena TKW tidak memiliki bukti yang kuat maka selama 6 bulan TKW harus mendekam dalam penjara dan harus menerima ganjaran yang seharusnya tidak dideritanya tersebut. Bapak Yayan mengaku sedih ditinggal istri terutama pada momentmoment seperti anak sakit, ramadhan, dan lebaran. Apalagi bila melihat anak yang sedang menangis atau menatap foto ibunya jika sedang kangen. Anak pun terlihat lebih pendiam bila dibandingkan saat ada ibunya. Anak lebih banyak tinggal di rumah dan berkumpul dengan bapak dan adeknya bila dibanding dengan bermain dengan teman-temannya. Sebelum istri menjadi TKW, suami lebih senang mencurahan segala masalah yang terjadi kepada istri namun semenjak istrinya menjadi TKW, suami
171 menjadi jarang menceritakan masalah yang menimpa suami maupun keluarga karena takut akan mengganggu pikiran istri di tempatnya beliau bekerja. Anak yang terkecil selalu ingin ikut kemana saja bapaknya pergi, hal ini mengindikasikan bahwa anak
akan selalu mencari orang yang dapat
memberikan dia keamanan yang selama ini hilang karena keterpisahannya dengan ibu. Konflik yang terjadi sebelum ibu menjadi TKW yaitu munculnya pertengkaran yang dipicu karena suami kerap kali pulang ke rumah tengah malam. Namun hal ini hanya dilakukannya hanya karena menyangkut soal pekerjaannya sebagai tukang ojek yang kadang memaksanya untuk mencari uang hingga malam hari. Lain halnya dengan konflik yang terjadi saat istri menjadi TKW yaitu kekhawatiran istri bahwa suaminya memiliki wanita idaman lain. Pada kenyataannya, suami mengaku tidak pernah memiliki
teman
wanita. Beliau berkata “bagaimana bisa saya memiliki wanita lain kalau anak juga selalu mengikuti kemana saja pergi”. Bapak Yayan memang tidak berniat untuk mencari wanita idaman lain. Beliau akan menjaga sekuat tenaga komitmen perkawinan agar keluarga mereka jauh dari kehancuran.
KASUS 9 “Dampak Keterpisahan Ibu dan Keluarga terhadap Kepribadian Anak dan Suami” Responden yang satu ini bernama Bapak Yendi, beliau
berprofesi
sebagai nelayan. Bapak Yendi menceritakan bahwa selama proses pendaftaran sebagai TKW istri bapak Yendi mengalami sedikit kendala dalam persyaratan pendaftaran yaitu yang berhubungan tinggi badan yang tidak mencapai taget minimal, namun akhirnya lolos juga dalam proses penyeleksian. Menurutnya selama sang istri bekerja menjadi TKW, istri tidak pernah mengeluhkan adanya masalah sehingga keluarga hanya tahu bahwa istri selalu dalam keadaan baikbaik saja. TKW Hongkong selalu mendapatkan hari libur satu kali dalam satu minggu serta jam kerjanya mulai dari jam 7 pagi hingga 10 malam, hal ini juga berlaku bagi istri Pak Yendi. Bapak Yendi sering merasakan kesepian dan stres semenjak ditinggal sang istri. Dia merasa tidak memiliki teman untuk berbagi cerita, sehingga masalah yang terjadi harus dia hadapi sendiri. Menurutnya mengasuh anak tanpa bantuan istri juga merupakan hal yang cukup berat. Pekerjaannya sebagai nelayan memaksanya untuk sering meninggalkan anak dari pagi sampai malam.
172 Namun beliau merasa banyak terbantu dengan bantuan nenek yang bersedia untuk mengasuh anak selama Pak Yendi bekerja di laut. Beliau merasakan karena kurang dekatnya ia dengan anak serta kurangnya perhatian dari ibu menyebabkan anak menjadi sedikit lebih nakal dan kadang suka membangkang bila diberi perintah atau nasihat. Anak juga kadang mengalami hubungan yang kurang baik dengan temannya, namun hubungan itu dapat dibenahinya kembali. Bapak Yendi merasakan sedikit berkurangnya kebahagiaan dalam perkawinannya setelah istri berangkat menjadi TKW. Hubungan seksual yang tidak dapat dilakukan bersama istri sering kali mengganggu ketenangan dan ketentraman dirinya. Namun demikian dia terus berusaha untuk selalu menahan hawa nafsunya sehingga hingga kini ia tidak pernah bermain wanita di luar rumah. Selain masalah itu, Bapak Yendi tidak pernah mengalami konflik. Konfliknya sebelum istri berangkat menjadi TKW yang berkaitan dengan keuangan keluarga dapat di atasi namun kini konflik itu tidak pernah terjadi lagi karena pendapatan istri sebagai TKW membantu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Bapak Yendi mengakui bahwa kepuasan perkawinan dia rasakan sebelum istri berangkat menjadi TKW di bandingkan sekarang ini. Sehingga dalam lubuk hatinya, dia tidak menginginkan istrinya untuk menjadi TKW. Pak Yendi terpaksa mengijinkan istri bejerja sebagai TKW karena adanya keinginan mereka berdua untuk merenovasi rumah yang saat ini masih terbuat dari bilik bambu.
KASUS 10 “TKW Pemberani” TKW yang bernama Ibu Yuyun ini merupakan mantan TKW yang baru dua bulan pulang dari Arab Saudi. Beliau merupakan tipe orang yang gemar berbagi pengalaman, sehingga beliau menceritakan dengan detail kisah hidupnya selama dua Tahun sebagai TKW. Awal keinginannya menjadi TKW adalah mewujudkan cita-citanya untuk
merenovasi rumah, membantu suami
yang usahanya sedang sepi dan membuka usaha baru yang akan dibangun bersama suaminya di Jakarta. Sebelum beliau memutuskan untuk mendaftarkan diri kepada sponsor, beliau tidak segan-segan untuk bertanya kepada mantanmantan TKW lain yang sebelumnya memiliki pengalaman mencari uang di luar negeri. Mantan TKW dari Taiwan, Hongkong, dan Arab Saudi didatanginya demi memperoleh cerita pengalaman kehidupan mereka selama bekerja di luar negeri.
173 Menurut pengalaman TKW asal Hongkong dan Taiwan, mereka tidak diperbolehkan untuk beribadah, terutama bagi yang beragama Islam, mereka dilarang untuk melakukan ibadah solat. Bahkan selama mereka masih dikarantina di Indonesia, mereka juga tidak diperbolehkan membawa mukena. Pihak PJTKI yang mengirimkan TKW ke Hongkong atau Taiwan beralasan karena calon majikan mereka takut apabila melihat orang yang menggunakan mukena, selain itu menurut tutur Ibu Yuyun, orang Taiwan atau Hongkong percaya bahwa rumah mereka selalu dijaga oleh Tuhan, sehingga tidak diperbolehkan untuk melakukan ibadah lain di luar agama mereka. Hal ini bertujuan agar berkah dan rejeki selalu terlimpah kepada keluarga Hongkong dan Taiwan. Pada akhirnya beliau memutuskan untuk memilih Arab Saudi sebagai negara tujuan yang akan dia datangi dengan berbagai pertimbangan seperti kemudahan dalam beribadah dan mewujudkan keinginannya untuk menginjakkkan kaki di kota suci Makkah. Ibu Yuyun tidak ingin mengalami nasib buruk seperti TKW-TKW lain yang tidak beruntung. Menurutnya nasib-nasib TKW yang mengalami hal tersebut karena adanya keterbatasan kemampuan komunikasi dengan majikannya. Hal ini menyebabkan sebelum berangkat ke Arab Saudi, beliau banyak menghafal dan berlatih menggunakan bahasa arab dengan cara mempelajari dari buku-buku maupun mencatat kalimat yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari dari mantan TKW Arab Saudi. Selama tiga bulan sebelum keberangkatannya beliau melakukan pembelajaran bahasa Arab secara intensif sehingga beliau cepet diterbangkan ke Arab Saudi. Namun hal yang menarik dari cerita wanita ini adalah sebelum keberangkatannya,
beliau
dan
suaminya
bercerai
karena
suami
tidak
mengijinkan istrinya pergi ke Arab Saudi. Konflik inilah yang terjadi di keluarganya sebelum bu Yuyun berangkat sebagai TKW. Suami tidak mengijinkan istri berangkat ke Arab Saudi karena takut Ibu Yuyun mengalami nasib jelek. Namun setelah Ibu Yuyun kembali ke Indonesia, Ibu Yuyun dan suamiruju kembali. Meskipun Bu Yuyun dan suaminya telah bercerai selama Ibu Yuyun menjadi TKW, bukan berarti hubungan mereka menjadi tidak baik. Mereka tetap selalu berkomunikasi melalui telepon seluler dan menjalin komunikasi yang lancar. Uniknya lagi, karena kepercayaan beliau kepada mantan suaminya, yang
174 kini telah menjadi suaminya kembali, uang hasil kerja beliau tetap dikirim kepada mantan suaminya itu. Kehidupan keluarga antara ibu Yuyun dan suaminya berlangsung lancar. Meskipun beliau dan suaminya telah bercerai, mereka tetap menjaga kesetiaan satu sama lain meskipun keadaan saat itu mereka telah bercerai. Suaminya tidak pernah bermain dengan wanita lain selama di tinggal. karena suami sangat menginginkan keselamatan istrinya di Arab Saudi. Prinsipnya adalah bila suami melakukan hal “nakal” di Indonesia, maka istri juga akan “dinakalin” orang lain di luar negeri. Anak diasuh oleh nenek selama Ibu Yuyun menjadi TKW karena suami bekerja di Jakarta. Namun beberapa bulan sebelum istrinya pulang, suami memutuskan untuk membuka usaha di rumah dan mengurus renovasi rumah serta mengurusi anak. Setelah istrinya pulang, mereka memutuskan untuk rujuk kembali. Namun sepeninggal ibunya, anak menjadi lebih bandel atau susah diatur. Hal ini diduga karena anak kurang perhatian orangtua dan pengasuhan yang dilakukan nenek mungkin tidak sebaik yang dilakukan kedua orangtuanya. Namun anak mapu mempertahankan prestasinya yang semenjak dari kelas 1 SD selalu mendapatkan rangking pertama. Semenjak kepulangan ibu ke Indonesia, anak agak menjaga jarak kepada ibunya. Kebiasaan istri bernada tinggi selama di Arab, maka nada tinggi tersebut juga terbawa hingga kini sehingga anak-anak agak merasa takut kepada ibunya. Untuk sementara waktu, saat ini anak masih perlu beradaptasi untuk menjalin kedekatan dan kelekatan kembali dengan ibu. Yang menjadi penjembatan antara ibu dan anak adalah suami ibu Yuyun yang tidak pernah lelah memberi pengertian kepada anak agar memaklumi kebiasan ibu selama di Arab. Ibu juga kian lama kian mengurangi kebiasaan buruk untuk tidak berkata dengan nada tinggi kepada anak-anaknya. Beliau menceritakan bahwa selama bekerja menjadi TKW, waktu tidur beliau hanya 2-3 jam, terutama pada hari libur, beliau harus siap untuk memiliki sedikit waktu tidur dan terkuras tenaganya lebih banyak bila di banding hari biasa. Pekerjaan disana juga sangat berat, majikan sepertinya tidak senang bila pembantunya beristirahat sejenak. Selain pekerjaan yang berat, majikan perempuan juga biasanya sangat cerewet, sehingga menurut Ibu Yuyun
175 sebaiknya omelan majikan tidak perlu didengarkan dan jangan dimasukkan kedalam hati, istilahnya “masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri”. Karena beliau telah lancar berbahasa arab maka apabila beliau dipersalahkan majikan maka beliau bisa membela diri. Menurut beliau TKW harus pintar dan cerdas, agar memiliki akal agar tidak selalu dipersalahkan majikan. Menurut TKW yang memiliki keberanian yang luar biasa ini, majikan yang galak memang harus dilawan. Bila kita hanya menurut dan tidak melawan maka selamanya kita akan ditindas. Selama bekerja, paspor ditahan oleh majikan, gaji juga tidak di berikan tiap bulan. Namun beliau selalu meminta gaji untuk dikirimkan kepada keluarganya di Indonesia setiap 4 bulan satu kali. Bila gajinya tetap ditahan maka beliau mengancam kepada majikan tidak akan melakukan pekerjaan rumah tangga selama gajinya belum dikirimkan kepada keluarganya. Biasanya di Arab, majikan laki-laki takut kepada majikan perempuan. Namun berbeda dengan keluarga majikanya. Sehingga bila majikan perempuan galak atau menyakitinya maka dia mengancam akan mengadukan kepada majikan laki-laki yang baik hati. Kegalakan majikan perempuan biasanya selain soal pekerjaan, juga soal kecemburuan majikan kepada pembantunya yang berbadan bagus sehingga ada ketakutan suaminya akan tertaerik dengan pembantunya. Kebanyakan wanita arab gemuk-gemuk dan tidak begitu pandai merawat badan.