REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor Data statistik menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir, rata-rata produktivitas kedelai nasional tidak mengalami perkembangan berarti dan stagnan di kisaran 1,1 – 1,3 t/ha. Sementara itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui program PTT produksi kedelai di tingkat petani bisa mencapai 1,7 – 3,2 t/ha. Beberapa varitas kedelai yang telah dilepas, produktivitasnya bisa mencapai lebih dari 3 t/ha. Senjang produktivitas yang cukup lebar ini merupakan indikasi penerapan teknologi budidaya kedelai oleh petani belum berada pada rel yang benar. Dengan demikian, produksi kedelai nasional sejak tahun 1992 terus merosot dan lebih banyak ditentukan oleh luas areal panen (Gambar 1).
2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4
Areal (juta ha) Produktivitas (t/ha) Produksi (Juta ton)
0.2 0 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Gambar 1. Luas panen, produksi dan produktivitas tanaman kedelai di Indonesia 1990 2005
Luas panen dan produksi kedelai nasional pernah mencapai puncak pada tahun 1992 yaitu 1,67 juta ha, dengan total produksi 1,87 juta ton. Namun luas panen terus mengalami kemerosotan menjadi 621 ribu ha pada 2005. Saat ini
luas tanam dan panen kedelai diperkirakan masih dalam kisaran 650 ribu ha. Sementara itu produksi kedelai nasional terjun bebas menjadi 671 ribu ton pada 2003, dan saat ini produksi kedelai nasional masih dalam kisaran 700 -800 ribu ton. Upaya meningkatkan produksi kedelai nasional dapat ditempuh dengan tiga pendekatan yaitu 1) peningkatan produktivitas, 2) peningkatan intensitas tanam dan 3) perluasan areal tanam. Upaya peningkatan produktivitas dapat ditempuh melalui perbaikan varietas, perbaikan teknik budidaya dan menekan kehilangan hasil melalui perbaikan sistem panen dan pasca panen. Peningkatan intensitas tanam dengan menanam kedelai berturut-turut ditengarai kurang baik karena ada efek alelopati terhadap tanaman kedelai yang kedua. Perluasan areal dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan-lahan suboptimal (marjinal) yang potensi luasannya sangat besar. Teknologi budidaya kedelai pada lahan ini sudah cukup mantap namun perlu diseminasi intensif agar dapat diterapkan secara luas oleh petani. Untuk tanah-tanah yang tergolong masam, Badan Litbang Pertanian pada tahun 2001-2003 telah melepas varietas unggul kedelai yang adaptif di lahan kering masam di Sumatera dan Kalimantan, yaitu Tanggamus, Sibayak, Nanti, Ratai, dan Seulawah yang memiliki potensi hasil lebih dari 2 t/ha. Upaya peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan perbaikan kondisi
lahan
dengan
ameliorasi,
pemupukan
berimbang
dan
terpadu,
penggunaan varietas unggul dan perbaikan tata air. Alternatif teknologi ameliorasi dan pemupukan telah tersedia namun perlu disesuaikan dengan kondisi lahan setempat mengingat adanya variasi potensi kesesuaian lahannya. Potensi pengembangan tanaman kedelai diarahkan ke lahan lahan yang sesuai untuk tanaman ini seperti lahan sawah, tegalan dan lahan alang-alang. Lahan perkebunan dan kebun campuran tidak menjadi target pengembangan karena tidak memungkinkan untuk dikonversi. Berdasarkan kelas kesesuaian, masing-masing lahan digolongkan lahan berpotensi tinggi, sedang dan rendah.
I. Lahan Sawah Berdasarkan kelas kesesuaian lahannya, lahan sawah dibedakan menjadi lahan sawah berpotensi tinggi, sedang dan rendah. Lahan sawah yang berpotensi tinggi adalah lahan yang memiliki kelas kesesuaian lahan S1 untuk kedelai. Lahan ini tergolong tidak memiliki kendala berarti untuk budidaya kedelai. Sawah yang berpotensi sedang adalah lahan sawah yang memiliki kelas kesesuaian lahan S2 untuk kedelai. Sedangkan sawah berpotensi rendah adalah lahan yang mempunyai kelas kesesuaian S3. Pada lahan sawah, kedelai bisa ditanam setelah tanaman padi pada pola tanam padi-padi-palawija atau padi-palawija-palawija. Dosis pemupukan NPK spesifik lokasi ditetapkan berdasarkan hasil uji tanah di laboratorium atau uji cepat menggunakan PUTS (perangkat uji tanah sawah). Namun untuk kepentingan perencanaan di tingkat kabupaten, rekomendasi pemupukan ditetapkan berdasarkan kesesuaian lahan untuk kedelai atau potensinya. Berdasarkan hal tersebut, lahan sawah dapat digolongkan menjadi sawah berpotensi tinggi, sedang dan rendah. 1.1. Pola: Padi-Padi-Kedelai Tanaman kedelai yang ditanam langsung setelah padi bisa mendapatkan manfaat dari residu hara dari pemupukan padi. Oleh karenanya, kedelai yang ditanam setelah padi memerlukan lebih sedikit pupuk dibandingkan ditanam setelah palawija lainnya. Rekomendasi pemupukan serta pengelolaan tanah yang diperlukan ditampilkan pada Tabel 1. Pupuk N praktis tidak diperlukan pada lahan sawah berpotensi tinggi, sedangkan pada sawah berpotensi sedang dan rendah diperlukan 25 kg urea/ha sebagai pertumbuhan. Kebutuhan N tanaman bisa dipenuhi dari hasil fiksasi N dari udara oleh bakteri Rhizobium. Untuk meyakinkan proses tersebut terjadi dengan baik, diperlukan inokulasi Rhizobium dengan dosis 200 g untuk 40 kg benih. Produk inokulum yang baik adalah inokulum yang juga mengandung bakteri pelarut fosfat, kalium dan hormon pertumbuhan, selain bakteri pengikat N udara. Pemakaian inokulum yang baik dapat menekan 100% kebutuhan N dan 50% kebutuhan pupuk P dan K. Inokulan Rhizobium juga ada yang berbentuk
granul yang diaplikasikan dengan cara ditugal dekat benih dengan dosis 200 kg/ha. Pupuk P diberikan dalam bentuk pupuk tunggal SP-36 diberikan dengan dosis 0 – 50 kg/ha. Sedangkan pada sawah berpotensi sedang dan rendah masing-masing dianjurkan 50 – 100 kg/ha dan 100 – 150 kg/ha. Bila menggunakan inokulan bakteri pelarut P, dosis pemupukan P bisa ditekan sampai batas minimal yaitu 0 kg untuk sawah berpotensi tinggi, 50 kg SP-36 untuk sawah berpotensi sedang dan 100 kg SP-36 untuk sawah berpotensi rendah. Bila tidak menggunakan inokulum tersebut, tanaman perlu pupuk SP-36 dengan
dosis tertinggi agar polong yang terbentuk bisa mengisi dengan
sempurna. Tabel 1. Rekomendasi pemupukan dan pengelolaan tanaman kedelai pada tipe penggunaan lahan sawah dengan pola tanam padi-padi-kedelai No.
Potensi Lahan
Masukan Tinggi
Sedang
Rendah
25
25
Urea
O
SP-36
0 - 50
50-100
100-150
KCl
0 - 50
50-75
75-100
Inokulum Rhizobium
200 g
200 g
200 g
Kapur*)
-
-
-
Bahan Organik
Mulsa jerami
Mulsa Jerami 5t
Mulsa Jerami 5t
Pengolahan Tanah
TOT
Pengelolaan Air
Saluran drainase berjarak 5 m dan keliling
*)Keterangan : kapur diperlukan jika sawahnya adalah sawah rawa dan sawah bukaan baru.
Pupuk K diberikan dalam bentuk pupuk tunggal KCl diberikan dengan dosis 0 – 50 kg/ha pada sawah berpotensi tinggi. Sedangkan sawah berpotensi sedang diperlukan 50 – 75 kg/ha, dan sawah berpotensi rendah diperlukan 75 – 100 kg KCl/ha. Bila inokulan pelarut K digunakan, tanaman kedelai pada sawah berpotensi tinggi tidak perlu pupuk K sama sekali. Sedangkan pada sawah berpotensi sedang dan tinggi masih diperlukan dengan dosis minimal (Tabel 1).
Inokulum bakteri pelarut K yang biasanya sudah dicampur dalam inokulum Rhizobium. Bila tidak menggunakan inokulum tersebut, tanaman masih perlu pupuk KCl dengan dosis maksimal agar pertumbuhan tanaman kekar dan tidak mudah terserang penyakit. Pupuk majemuk standar yang ada di pasaran saat ini tidak efisien untuk tanaman kedelai karena tanaman kedelai hanya membutuhkan N dalam jumlah kecil, disisi lain kebutuhan P dan K cukup tinggi.
Aplikasi minimal pupuk
majemuk NPK Phonska (15-15-15), Pelangi (20-10-10) dosis 100 kg/ha masih memberikan unsur N yang berlebih. Dilain pihak hara P dan K tidak terpenuhi sehingga harus ditambahkan pupuk tunggal SP-36 dan KCl. Pemberian N yang tinggi akan menghambat proses fiksasi N oleh bakteri bintil akar pada tanaman kedelai. Apabila pupuk majemuk terpaksa harus digunakan, sebaiknya berpatokan pada kadar N dimana dosis pupuk majemuk yang diberikan dihitung berdasarkan kebutuhan N tanaman kedelai. Konsekuensinya adalah masih perlu menambahkan pupuk tunggal yang mengandung P dan K untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Alternatif lain adalah membuat pupuk majemuk NPK dengan formulasi 5-15-10 Untuk alasan efisiensi waktu dan biaya, direkomendasikan untuk menerapkan pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah. Tanam dapat dilakukan dengan sistem tugal dengan jarak tanam 40 x 15 cm. Untuk mengurangi penguapan dan menekan pertumbuhan gulma sangat disarankan untuk menggunakan jerami sebagai mulsa. Sementara itu, untuk menghindari adanya genangan air apabila hujan, perlu dibuat saluran drainase di sekeliling dan tengah petak sawah dengan interval 5 – 10 m. 1.2.
Pola: Padi-Palawija-Kedelai Tanaman kedelai yang ditanam setelah setelah tanaman palawija lainnya,
akan memerlukan
pupuk lebih banyak dibandingkan ditanam setelah padi.
Rekomendasi pemupukan serta pengelolaan tanah yang diperlukan ditampilkan pada Tabel 2. Pupuk N praktis tidak diperlukan pada sawah berpotensi tinggi, tetapi pada sawah berpotensi sedang dan rendah masih diperlukan 25 kg urea/ha sebagai starter pertumbuhan. Kebutuhan N tanaman bisa dipenuhi dari hasil
fiksasi N dari udara oleh bakteri Rhizobium. Untuk meyakinkan proses tersebut terjadi dengan baik, diperlukan inokulasi Rhizobium dengan dosis 200 g untuk 40 kg benih. Produk inokulum yang baik adalah inokulum yang juga mengandung bakteri pelarut fosfat, kalium dan hormon pertumbuhan, selain bakteri pengikat N udara. Pemakaian inokulum yang baik dapat menekan 100% kebutuhan N dan 50% kebutuhan pupuk P dan K. Tabel 2. Rekomendasi dosis pemupukan dan pengelolaan tanaman kedelai pada tipe penggunaan lahan sawah dengan pola padi-palawija-kedelai
No.
Masukan
Potensi Lahan Tinggi
Sedang
Rendah
0
25
25
50 - 75
100 - 150
150 -200
25 - 50
50 -75
75 -100
200 g
200 g
200 g
Mulsa Jerami 5t
Mulsa Jerami 5t
1
Urea
2
SP-36
3
KCl
4
Inokulum Rhizobium
5
Kapur*)
6
Bahan Organik
7
Pengolahan Tanah
Mulsa Jerami 5t TOT
8
Pengelolaan Air
Saluran drainase berjarak 5 m dan keliling
*)Keterangan : kapur diperlukan jika sawahnya adalah sawah rawa dan sawah bukaan baru.
Pupuk P diberikan dalam bentuk pupuk tunggal SP-36 diberikan dengan dosis 50 - 75 kg/ha pada sawah berpotensi tinggi. Sedangkan pada sawah berpotensi sedang dan rendah masing-masing dianjurkan 100 – 150 kg/ha dan 150 – 200 kg/ha. Bila menggunakan inokulan bakteri pelarut P, dosis pemupukan P bisa ditekan sampai batas minimal yaitu 50 kg untuk sawah berpotensi tinggi, 100 kg SP-36 untuk sawah berpotensi sedang dan 150 kg SP-36 untuk sawah berpotensi rendah. Bila tidak menggunakan inokulum tersebut, tanaman perlu pupuk SP-36 dengan dosis tertinggi agar polong yang terbentuk bisa mengisi dengan sempurna. Pupuk P juga diberikan dengan dosis maksimal, bila kedelai ditanam pada sawah rawa (lahan potensial maupun sulfat masam)
Pupuk K diberikan dalam bentuk pupuk tunggal KCl diberikan dengan dosis 25 – 50 kg/ha pada sawah berpotensi tinggi. Sedangkan sawah berpotensi sedang diperlukan 50 – 75 kg/ha, dan sawah berpotensi rendah diperlukan 75 – 100 kg KCl/ha. Bila inokulan pelarut K digunakan, tanaman kedelai pada sawah berpotensi tinggi tidak perlu pupuk K sama sekali. Sedangkan pada sawah berpotensi sedang dan tinggi masih diperlukan dengan dosis minimal (Tabel 2). Inokulum bakteri pelarut K yang biasanya sudah dicampur dalam inokulum Rhizobium. Bila tidak menggunakan inokulum tersebut, tanaman masih perlu pupuk KCl dengan dosis maksimal agar pertumbuhan tanaman kekar dan tidak mudah terserang penyakit. Pupuk K juga diberikan dengan dosis maksimal bila kedelai ditanam pada sawah tadah hujan. Pupuk majemuk standar yang ada di pasaran saat ini tidak efisien untuk tanaman kedelai karena tanaman kedelai hanya membutuhkan N dalam jumlah kecil, disisi lain kebutuhan P dan K cukup tinggi.
Aplikasi minimal pupuk
majemuk NPK Phonska (15-15-15), Pelangi (20-10-10) dosis 100 kg/ha masih memberikan unsur N yang berlebih. Dilain pihak hara P dan K tidak terpenuhi sehingga harus ditambahkan pupuk tunggal SP-36 dan KCl. Pemberian N yang tinggi akan menghambat proses fiksasi N oleh bakteri bintil akar pada tanaman kedelai. Apabila pupuk majemuk terpaksa harus digunakan, sebaiknya berpatokan pada kadar N dimana dosis pupuk majemuk yang diberikan dihitung berdasarkan kebutuhan N tanaman kedelai. Konsekuensinya adalah masih perlu menambahkan pupuk tunggal yang mengandung P dan K untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Alternatif lain adalah membuat pupuk majemuk NPK dengan formulasi 5-15-10 Untuk alasan efisiensi waktu dan biaya, direkomendasikan untuk menerapkan pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah. Tanam dapat dilakukan dengan sistem tugal dengan jarak tanam 40 x 15 cm. Untuk mengurangi penguapan dan menekan pertumbuhan gulma sangat disarankan untuk menggunakan jerami sebagai mulsa. Sementara itu, untuk menghindari adanya genangan air apabila hujan, perlu dibuat saluran drainase di sekeliling dan tengah petak sawah dengan interval 5 – 10 m.
II. Tegalan Tegalan adalah tipe penggunaan lahan kering yang umum ditanami dengan tanaman semusim. Tipe penggunaan lahan ini terdapat pada berbagai jenis klasifikasi tanah, tapi yang paling banyak adalah Inceptisols, Ultisols, Oxisols dan Alfisols. Oleh karenanya potensi lahan ini untuk budidaya kedelai bisa digolongkan menjadi potensi tinggi, potensi sedang dan potensi rendah. Lahan tegalan di Indonesia bagian barat yang memiliki curah hujan tinggi, tanahnya bereaksi masam karena kation basa-basa tercuci secara intensif. Seringkali komplek jerapan didominasi oleh kation masam yang beracun seperti Al dan Fe yang memiliki kemampuan menjerap unsur hara, khususnya P, sangat tinggi. Akibatnya, walaupun kadang-kadang tanah ini mengandung P total yang tinggi, ketersediaanya untuk tanaman tetap rendah. Pada kondisi seperti ini diperlukan pemberian bakteri pelarut P untuk meningkatkan efisiensi pemupukan P.
Senyawa P yang semula terfiksasi dalam bentuk Al-P dan Fe-P akan
dilepaskan
oleh
adanya
senyawa
organik
Rekomendasi pemupukan pada lahan kering
hasil
metabolisme
bakteri.
tegalan dapat ditetapkan
berdasarkan hasil uji cepat dengan PUTK (perangkat uji tanah kering) atau berdasarkan sifat tanah secara empiris. Rekomendasi pemupukan dan pengelolaan tanaman kedelai di lahan tegalan untuk perencanaan tingkat kabupaten ditampilkan pada Tabel 3. Seperti pada lahan sawah, pupuk N untuk tanaman kedelai pada tegalan, baik yang berpotensi tinggi, sedang maupun rendah diperlukan 25 kg urea/ha sebagai starter pertumbuhan. Kebutuhan N tanaman bisa dipenuhi dari hasil fiksasi N dari udara oleh bakteri Rhizobium. Untuk meyakinkan proses tersebut terjadi dengan baik, diperlukan inokulasi Rhizobium dengan dosis 200 g untuk 40 kg benih. Produk inokulum yang baik adalah inokulum yang juga mengandung bakteri pelarut fosfat, kalium dan hormon pertumbuhan, selain bakteri pengikat N udara. Pemakaian inokulum yang baik dapat menekan 100% kebutuhan N dan 50% kebutuhan pupuk P dan K.
Tabel 3. Rekomendasi dosis pemupukan dan pengelolaan tanaman kedelai pada tipe penggunaan lahan tegalan. No.
Masukan
Potensi Lahan Tinggi
Sedang
Rendah
1
Urea
25
25
25
2
SP-36
100
150
250
3
KCl
50
100
150
4
Inokulum Rhizobium
200 g
200 g
200 g
5
Kapur
500
1000
2000
6
Bahan Organik
7
Pengolahan Tanah
2 t pupuk 2 t pupuk kandang kandang Minimum - sempurna
8
Pengelolaan Air
Saluran drainase atau guludan searah lereng
5 t pupuk kandang
Pupuk P diberikan dalam bentuk pupuk tunggal SP-36 diberikan dengan dosis 100 kg/ha pada tegalan berpotensi tinggi. Sedangkan pada tegalan berpotensi sedang dan rendah masing-masing dianjurkan 150 kg/ha dan 250 kg/ha. Bila menggunakan inokulan bakteri pelarut P, dosis pemupukan P bisa ditekan sampai sampai 50%. Pada lahan tegalan yang tanahnya masam, sumber P dapat menggunakan fosfat alam. Penggunaan fosfat alam (rock phosphate) lebih
menguntungkan
karena
selain
harganya
lebih
murah,
juga
bisa
meningkatkan pH tanah. Dosis fosfat alam yang direkomendasikan adalah 350 – 500 kg/ha. Pupuk K diberikan dalam bentuk pupuk tunggal KCl diberikan dengan dosis 50 kg/ha pada tegalan berpotensi tinggi. Sedangkan tegalan berpotensi sedang diperlukan 100 kg/ha, dan tegalan berpotensi rendah diperlukan 150 kg KCl/ha. Penentuan dosis pemupukan K secara lebih akurat bisa menggunakan PUTK Pupuk majemuk standar yang ada di pasaran saat ini tidak efisien karena tanaman kedelai hanya membutuhkan N dalam jumlah kecil, disisi lain kebutuhan P dan K cukup tinggi. Penggunaan pupuk majemuk tidak disarankan untuk lahan tegalan karena akan terjadi inefisiensi penggunaan pupuk.
Untuk mengurangi tingkat kemasaman tanah, disarankan menggunakan amelioran kapur (kaptan) masing-masing 500, 1000 dan 2000 kg/ha untuk tegalan berpotensi tinggi, sedang dan rendah. Penggunaan kapur juga berfungsi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemupukan. Penentuan dosis kapur yang tepat sebaiknya menggunakan PUTK. Karena lahan kering pada umumnya miskin bahan organik, maka perlu penambahan bahan organik kompos atau pupuk kandang sebanyak 2 – 5 t/ha. Pengolahan tanah direkomendasikan untuk menerapkan pengolahan tanah yang baik, sekaligus untuk menekan pertumbuhan gulma. Tanam dapat dilakukan dengan sistem tugal dengan jarak tanam 40 x 15 cm. Untuk mengurangi penguapan dan menekan pertumbuhan gulma sangat disarankan untuk menggunakan mulsa. Saluran drainase perlu dibuat memotong arah lereng untuk mengurangi erosi dan meningkatkan infiltrasi air.
II.
Lahan Alang-alang Lahan alang-alang adalah tipe tutupan lahan kering yang didominasi oleh
rumput alang-alang (Imperata sp.). Lahan alang-alang adalah salah satu ciri dari kondisi lahan yang telah mengalami degradasi dan merosotnya status kesuburan tanah. Sebagian besar lahan alang-alang memiliki potensi rendah sampai sedang. Rekomendasi pemupukan dan pengelolaan lahan untuk tanaman kedelai pada lahan alang-alang ditampilkan pada Tabel 4. Seperti pada lahan sawah, pupuk N untuk tanaman kedelai pada lahan alang-alang, baik yang berpotensi tinggi, sedang maupun rendah diperlukan 25 kg urea/ha sebagai starter pertumbuhan. Kebutuhan N tanaman bisa dipenuhi dari hasil fiksasi N dari udara oleh bakteri Rhizobium. Untuk meyakinkan proses tersebut terjadi dengan baik, diperlukan inokulasi Rhizobium dengan dosis 200 g untuk 40 kg benih. Produk inokulum yang baik adalah inokulum yang juga mengandung bakteri pelarut fosfat, kalium dan hormon pertumbuhan, selain bakteri pengikat N udara. Pemakaian inokulum yang baik dapat menekan 100% kebutuhan N dan 50% kebutuhan pupuk P dan K.
Tabel 3. Rekomendasi dosis pemupukan dan pengelolaan tanaman kedelai pada tipe penggunaan lahan alang-alang.
No.
Potensi Lahan Alang-alang
Masukan
Tinggi
Sedang
Rendah
1
Urea
25
25
25
2
SP-36
100
200
300
3
KCl
50
100
150
4
Inokulum Rhizobium
200 g
200 g
200 g
5
Kapur
500
1000
2000
6
Bahan Organik
2 t pupuk kandang
5 t pupuk kandang
7
Pengolahan Tanah
8
Pengelolaan Air
2 t pupuk kandang Sempurna
Rorak, mulsa vertikal, teras gulud memotong lereng
Pupuk P diberikan dalam bentuk pupuk tunggal SP-36 diberikan dengan dosis 100 kg/ha pada alang-alang berpotensi tinggi. Sedangkan pada alangalang berpotensi sedang dan rendah masing-masing dianjurkan 200 kg/ha dan 300 kg/ha. Bila menggunakan inokulan bakteri pelarut P, dosis pemupukan P bisa ditekan sampai sampai 50%. Pada lahan alang-alang yang tanahnya masam, sumber P dapat menggunakan fosfat alam. Penggunaan fosfat alam (rock phosphate) lebih menguntungkan karena selain harganya lebih murah, juga bisa meningkatkan pH tanah. Dosis fosfat alam yang direkomendasikan adalah 350 – 500 kg/ha. Pupuk K diberikan dalam bentuk pupuk tunggal KCl diberikan dengan dosis 50 kg/ha pada alang-alang berpotensi tinggi. Sedangkan alang-alang berpotensi sedang diperlukan 100 kg/ha, dan alang-alang berpotensi rendah diperlukan 150 kg KCl/ha. Penentuan dosis pemupukan K secara lebih akurat bisa menggunakan PUTK Pupuk majemuk standar yang ada di pasaran saat ini tidak efisien karena tanaman kedelai hanya membutuhkan N dalam jumlah kecil, disisi lain kebutuhan
P dan K cukup tinggi. Penggunaan pupuk majemuk tidak disarankan untuk lahan alang-alang karena akan terjadi inefisiensi penggunaan pupuk. Sama seperti pada lahan tegalan, untuk mengurangi tingkat kemasaman tanah, disarankan menggunakan amelioran kapur (kaptan) masing-masing 500, 1000 dan 2000 kg/ha untuk lahan alang-alang berpotensi tinggi, sedang dan rendah. Penggunaan kapur juga berfungsi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pemupukan.
Penentuan
dosis
kapur
yang
tepat
sebaiknya
menggunakan PUTK. Karena lahan kering pada umumnya miskin bahan organik, maka perlu penambahan bahan organik kompos atau pupuk kandang sebanyak 2 – 5 t/ha. Pengolahan tanah direkomendasikan untuk menerapkan pengolahan tanah yang baik dengan mengangkat seluruh akar alang-alang, sekaligus untuk menekan pertumbuhan gulma. Tanam dapat dilakukan dengan sistem tugal dengan jarak tanam 40 x 15 cm. Untuk mengurangi penguapan dan menekan pertumbuhan gulma sangat disarankan untuk menggunakan mulsa dari alangalang. Pengawetan air menjadi bagian penting dalam budidaya di lahan alang. Saluran drainase perlu dikombinasikan dengan mulsa vertikal dibuat memotong arah lereng untuk mengurangi erosi dan meningkatkan infiltrasi air. Pada lahan miring perlu dibuat teras gulud atau teras kredit atau sistem alley cropping dan pembuatan rorak (dapat dikombinasikan dengan mulsa vertikal)