vii
PENGEMBANGAN UJI TANAH UNTUK MEMBANGUN KRITERIA REKOMENDASI PEMUPUKAN FOSFOR DAN KALIUM PADA TANAMAN TOMAT
LUTFI IZHAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
viii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Uji Tanah untuk Membangun Kriteria Rekomendasi Pemupukan Fosfor dan Kalium pada Tanaman Tomat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang terbit maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, 14 Juni 2012
Lutfi Izhar A262080031
ix
ABSTRACT LUTFI IZHAR. Development of Soil Test of Phosphorus and Potassium for Fertilizer Recommendation of Tomato. Under supervision of ANAS. D. SUSILA as chairman, BAMBANG S. PURWOKO, ATANG SUTANDI, and I WAYAN MANGKU as members of the advisory committee. The best management practices for fertilizer application on vegetable crop in Indonesia are not available at present. Environmentally friendliness in fertilizer recommendation based on soil analysis has been adopted by many developed countries for crop production. Soil testing using single-nutrient soil analysis in Indonesia has been developed since 1970. However, due to limited research fund, soil testing has not been programmed continuously and recommendation for fertilization of specific location based on soil family has not been established yet. Therefore, this research developed the basic model of P and K fertilizer efficiency and recommendation based on soil analysis for tomato in Inceptisols. This model will be adopted for other vegetable crops and different soil type in the future. Tomato is a vegetable growing well on Inceptisols soil type, which generally has low pH and high P-fixation. Research was done in greenhouse and open field of Cikabayan, UF, IPB, from March 2010 to December 2011. The objective of this research was to develop the best management practice for P fertilizer and K fertilizer recommendation based on soil analysis on Inceptisols for tomato. The study was designed in two years. The first year was to build recommendation for P and the second year for K fertilizer. Each study consisted of three experiments. First experiment was correlation study that aimed at finding out the best extraction method. The second experiment was calibration study that aimed at developing soil response category. The third experiment was recommendation study that aimed at building P and K fertilizer recommendation for each soil category on Inceptisols for tomato. Treatments were phosphorus and potassium rates i.e. 0X, ¼ X ½ X ¾ X and 1X, where X was 368.6 P2O5 kg ha-1 and was 608.6 K2O kg ha-1. Correlation of soil P and K test with tomato growth was conducted in the greenhouse through media obtained from soil incubation processes. Soil P test used five extraction methods i.e. Bray I, Bray II, Mehlich I, Morgan Wolf and Truog. Soil K test also used five extraction methods i.e. Mehlich I, Morgan Vanema, Truog, HCl 25% and NH4OAc 1 M pH 7. Calibration test was arranged in a completely randomized design with two factors. The treatment consisted of several soil P status (levels) ranging from very low to very high. Fertilizer dosage i.e. X, ¾ X, ½ X, ¼ X, and 0X was the second factor, where X was 368.6 P2O5 kg ha-1 for P and was 608.6 kg ha-1 K2O for K. Results showed that there were significant differences among P and K fertilizer treatments on plant height, stem diameter, leaf number, fresh biomass and dry biomass for both correlation test and calibration test. The correlation test showed that the best extraction reagent was Mehlich I for P and Truog for K. Fertilizer recommendation criteria for “very low-nutrient status” was 183.3 P2O5 kg ha-1 and 281.3 K2O kg ha-1. Fertilizer recommendation for “low-nutrient” status was 71.4 P2O5 kg ha-1 and 178.6 K2O kg ha-1. Keywords: fertilizer dosage, Inceptisols, phosphorus, potassium, tomato.
x
RINGKASAN LUTFI IZHAR. Pengembangan Uji Tanah untuk Membangun Kriteria Rekomendasi Pemupukan Fosfor dan Kalium pada Tanaman Tomat. Dibimbing oleh ANAS. D. SUSILA sebagai ketua, BAMBANG S. PURWOKO, ATANG SUTANDI, dan I WAYAN MANGKU sebagai anggota komisi pembimbing.
Tomat merupakan salah satu jenis sayuran penting di Indonesia. Usahatani tomat dapat dilakukan di berbagai jenis tanah. Salah satu jenis tanah yang memiliki peluang besar dalam pengembangan tanaman tomat adalah Inceptisols. Inceptisols merupakan jenis tanah terluas di Indonesia yang mencapai 70,52 juta hektar atau 37,5% dari total luas areal daratan di Indonesia. Produktivitas nasional tomat di Indonesia masih rendah. Hal ini karena aplikasi teknologi budidaya masih belum dilakukan secara optimal. Salah satu kendala usahatani tomat adalah belum dilakukan pemupukan yang mengandung unsur hara penting sesuai dengan kondisi tanah spesifik lokasi. Unsur hara penting yang sering menjadi pembatas pada pertumbuhan dan produksi tomat adalah fosfor dan kalium. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan produksi tomat adalah aplikasi teknologi pemupukan fosfor dan kalium yang sesuai dengan rekomendasi berdasarkan uji dan analisis tanah. Penelitian ini bertujuan: (1) mendapatkan metode pengekstrak hara P dan K tanah yang terbaik dan sesuai dengan kemampuan tanaman tomat mengekstrak hara di Inceptisols, (2) menentukan kelas status ketersediaan hara P dan K tanah untuk tanaman tomat yang dibudidayakan di Inceptisols, (3) menyusun rekomendasi pemupukan P dan K yang berdasarkan kategori kelas ketersediaan hara P dan K tanah tanaman tomat di Inceptisols. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2010 sampai bulan Desember 2011. Pembuatan rekomendasi pemupukan dengan metode ini harus melalui beberapa tahapan, antara lain: pembuatan status hara (inkubasi pupuk di tanah), uji korelasi, uji kalibrasi dan pembuatan rekomendasi. Tahapan tersebut diawali dengan survey guna pemilihan lokasi yang tepat, melakukan uji tanah dan pembuatan status hara tanah di lahan terpilih. Inkubasi tanah dilakukan selama 6 bulan untuk uji P tanah dan 3 bulan untuk uji K tanah. Pada proses awal inkubasi setelah tanah siap olah, perlakuan diberikan ke tanah berupa penambahan pupuk P dan K dengan dosis terbagi: 0X, ¼ X ½ X ¾ X and 1X, dimana nilai X adalah 368,6 P2O5 kg ha-1 dan 608,6 kg ha-1 K2O. Percobaan I yaitu uji korelasi yang dilakukan di rumah kaca dengan kegiatan budidaya tanaman tomat menggunakan media tanah terinkubasi dengan berbagai tingkat ketersediaan hara P dan hara K. Kandungan P tanah dianalisis dengan berbagai metode ekstraksi antara lain: Bray I, Bray II, Mehlich I, Truog dan Morgan Wolf; sedangkan kandungan K tanah dianalisis dengan berbagai metode ekstraksi seperti HCl 25 %, NH4OAc 1 M pH 7, Mehlich I, Truog dan Morgan Vanema. Berbagai metode ekstraksi tersebut dipilih dan ditentukan yang mempunyai korelasi terbaik terhadap pertumbuhan tanaman tomat. Percobaan II adalah percobaan kalibrasi yang dilakukan di tanah dengan status hara berbeda. Tanah telah selesai diinkubasi. Analisis tanah dilakukan dengan metode ekstraksi terpilih, dan ditentukan kriteria respon hasil
xi
tanaman tomat terhadap konsentrasi hara di dalam tanah. Data ini selanjutnya digunakan untuk membangun kategori ketersediaan hara P dan K, serta sebagai data interpretasi hasil analisis tanah. Percobaan III yaitu penentuan rekomendasi pada masing-masing tingkat kategori ketersediaan hara di Inceptisols untuk tanaman tomat dengan cara optimasi aplikasi pemupukan P dan K. Metode ekstraksi hara P tanah yang terbaik dan sesuai dengan kemampuan tanaman tomat mengekstrak hara P di Inceptisols adalah Mehlich I. Metode ekstraksi hara K tanah yang terbaik dan sesuai dengan kemampuan tanaman tomat mengekstrak hara K di Inceptisols adalah Truog. Kategori ketersediaan hara dengan ekstraktan Mehlich I dikelaskan: (1) kandungan P dengan ekstraktan Mehlich I ≤ 1,7 ppm P2O5 diklasifikasikan ”sangat rendah” memberikan produksi relatif tomat kurang dari 50%, (2) kandungan P dengan ekstraktan Mehlich I > 1,7 – ≤ 18,1 ppm P2O5 diklasifikasikan ”rendah” memberikan hasil relatif tomat diantara 50% – 75%, (3) kandungan P dengan ekstraktan Mehlich I > 18,1 – ≤ 48,1 ppm P2O5 diklasifikasikan ”sedang” memberikan hasil relatif tomat diantara 75% - 90%, dan (4) kandungan P dengan ekstraktan Mehlich I > 48,1 ppm P2O5 diklasifikasikan ”tinggi” memberikan hasil relatif tomat lebih dari 90%. Klasifikasi kategori ketersediaan hara K dengan ekstraktan Truog membagi menjadi empat kategori (1) kandungan hara K berdasarkan ekstraktan Truog ≤ 42,8 ppm K2O dikategorikan ”sangat rendah” memberikan produksi relatif tomat kurang dari 50%, (2) kandungan hara K berdasarkan ekstraktan Truog > 42,8 – ≤ 113 ppm K2O dikategorikan ”rendah” memberikan produksi relatif tomat diantara 50% – 75%, (3) kandungan hara K berdasarkan ekstraktan Truog > 113 – ≤ 191,6 ppm K2O dikategorikan ”sedang” memberikan produksi relatif tomat diantara 75% - 85%, dan (4) kandungan hara K berdasarkan ekstraktan Truog > 191,6 ppm K2O dikategorikan ”tinggi” memberikan produksi relatif tomat lebih dari 85%. Rekomendasi pemupukan P yang berdasarkan kategori kelas ketersediaan P tanah untuk tanaman tomat di Inceptisols antara lain rekomendasi pertama pada tanah yang memiliki kriteria kandungan hara P “sangat rendah”, maksimum pemberian pupuk P dengan jumlah 183,3 P2O5 kg ha-1 atau sama dengan 509 kg ha-1 SP 36 % P2O5. Rekomendasi kedua untuk tanah pertanian dengan kriteria kandungan hara P “rendah”, memerlukan tambahan pupuk sebanyak 71,4 P2O5 kg ha-1 atau sama dengan 198,4 kg ha-1 SP 36 % P2O5. Rekomendasi pemupukan K yang berdasarkan kategori kelas ketersediaan K tanah untuk tanaman tomat di Inceptisols, pada tanah dengan status hara K “sangat rendah”, pertumbuhan tanaman tomat dengan hasil yang maksimum memerlukan tambahan dosis pupuk sebanyak 281,3 K2O kg ha-1 atau setara dengan KCl 468,8 kg ha-1. Tanah dengan kandungan hara K “rendah”, memerlukan tambahan pemupukan K sebanyak 178,6 K2O kg ha-1 atau setara dengan 297,7 KCl kg ha-1. Pada tanah yang memiliki kandungan hara P atau K yang sedang dan tinggi, pemberian pupuk P atau K tidak akan menaikkan produksi secara signifikan, sebaliknya akan dapat menyebabkan penurunan produksi dan menganggu ketersediaan hara lain yang dibutuhkan tanaman. Kata kunci: fosfor, Inceptisols, kalium, dosis pemupukan, tomat, hara makro.
xii
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
xiii
PENGEMBANGAN UJI TANAH UNTUK MEMBANGUN KRITERIA REKOMENDASI PEMUPUKAN FOSFOR DAN KALIUM PADA TANAMAN TOMAT
LUTFI IZHAR
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
xiv
Judul Disertasi
Nama NRP
: Pengembangan Uji Tanah untuk Membangun Kriteria Rekomendasi Pemupukan Fosfor dan Kalium pada Tanaman Tomat : Lutfi Izhar : A262080031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Anas D. Susila, M.Si Ketua
Prof.Dr.Ir.Bambang S. Purwoko, M.Sc Anggota
Ir.Atang Sutandi M.Si., PhD. Anggota
Dr.Ir. I Wayan Mangku, M.Sc Anggota Mengetahui
Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 14 Juni 2012
Tanggal Lulus:
xv
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Maret 2010 sampai dengan Desember 2011 ialah “Pengembangan Uji Tanah untuk Membangun Kriteria Rekomendasi Pemupukan Fosfor dan Kalium pada Tanaman Tomat”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Anas Dinurrohman Susila, M.Si. sebagai ketua, Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, MSc., Ir. Atang Sutandi MSi., PhD., dan Dr. Ir. I Wayan Mangku, MSc, selaku anggota komisi pembimbing. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Ade Wachjar, MS., Dr. Ir. Adiwirman, MS. (penguji ujian prelim), Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS., Dr. Ir. Sudrajat, MS. (penguji ujian tertutup), Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr., Dr. Ir. M. Prama Yufdi, MSc (penguji ujian terbuka), Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. (Dekan Faperta), Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc. (Wakil Dekan Faperta), dan Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS. (Ketua PS-AGH), atas semua saran dan masukan. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada, Kepala BPTP Jambi, dan
Komisi Pembinaan Tenaga, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian atas kesempatan tugas belajar dan beasiswa yang diberikan untuk mengikuti program doktor di Institut Pertanian Bogor tahun 2008. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada KKP3T Badan Litbang Pertanian dan Pemerintah Daerah Provinsi Jambi atas bantuan dana penelitian. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf University Farm dan staf Departemen Agronomi dan Hortikultura, kepada rekan-rekan mahasiswa pasca sarjana AGH, seluruh petugas belajar Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan khususnya petugas belajar dari BPTP Jambi yang telah membantu selama proses belajar dan proses penelitian. Terakhir, penulis sampaikan terima kasih tak terhingga pada babeh, mama, bapak mertua, anak-anak dan istri serta seluruh keluarga yang telah memberi dukungan dan doa. Bogor , 24 Juni 2012
Lutfi Izhar
xvi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Jaya (Lampung) pada tanggal 28 November 1974 sebagai anak sulung dari pasangan H. Nurli Izhar, M.Ed dan Hj. Itje Djoeangsari, B.Sc. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi, lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan studi pascasarjana di Department of Agronomy, University of the Philippines at Los Baños dan menamatkannya pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Bantuan dana penelitian didukung oleh KKP3T tahun 2010 Badan Litbang Pertanian dan Pemerintah Daerah Provinsi Jambi tahun 2011. Penulis berkerja pada tahun 1998 sebagai Peneliti di Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pada tahun 2002 berubah nama menjadi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. Bidang penelitian yang menjadi fokus peneliti adalah sumberdaya pertanian dan usahatani. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar Hortikultura pada tahun ajaran 2009/2010 dan 2010/2011, menjadi wakil ketua Forum Komunikasi Petugas Pelajar Litbang di IPB tahun 2010/2011, menjadi ketua bidang pelatihan dan pengembangan SDM Forum Komunikasi Pascasarjana (Fosca) Agronomi dan Hortikultura tahun 2010/2011. Paper berjudul Penentuan Metode Terbaik Uji Fosfor Tanah untuk Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum Mill. L) di Inceptisols telah disajikan pada Seminar Perhimpunan Hortikultura Indonesia di Lembang pada bulan November 2011. Dua artikel akan diterbitkan di Jurnal Hortikultura Indonesia berjudul Penentuan Metode Terbaik Uji Fosfor Tanah untuk Tanaman Tomat (Lycopersicon esculentum Mill. L) di Inceptisols dan di Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian berjudul Penyusunan Kriteria Rekomendasi Pemupukan Fosfor Berdasarkan Analisis Tanah untuk Tanaman Tomat di Inceptisols.
xvii
Penguji pada Ujian Tertutup
: 1. Dr Ir. Sudrajat, MS 2. Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS.
Penguji pada Ujian Terbuka
: 1. Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. 2. Dr. Ir. M. Prama Yufdi, MSc.
.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ………………………………………………………………...
i
DAFTAR TABEL…………………………………………………………....
iii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….......
v
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………........
vi
PENDAHULUAN……………………………………………………………
1
Latar Belakang………………………………………………………...
1
Rumusan Masalah……………………………………………………..
5
Tujuan dan Kegunaan Penelitian……………………………………...
8
Kerangka Pemikiran…………………………………………………...
8
Hipotesis…………………………………………………………….....
9
TINJUAN PUSTAKA………………………………………………………..
11
Tomat dan Syarat Tumbuh…………………………………………….
11
Inceptisols di Indonesia………………………………………………..
14
Hara Bagi Tanaman…………………………………………………...
15
Fosfor dalam Tanah dan Tanaman…………………………………….
17
Kalium dalam Tanah dan Tanaman…………………………………...
18
Uji Tanah dan Peranannya…………………………………………….
20
Korelasi dan Kalibrasi Uji Tanah……………………………………...
23
METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………………..
29
Tempat dan Waktu…………………………………………………….
29
Metode Penelitian……………………………………………………..
29
Percobaan I: Uji Korelasi P dan K ........................................................
29
Percobaan II. Uji Kalibrasi P dan K Tanah ………………………..
34
Percobaan III: Penyusunan Rekomendasi Pemupukan P dan K .....
36
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………....... Pengembangan Uji Tanah untuk Membangun Kriteria Rekomendasi Pemupukan Fosfor pada Tanaman Tomat …………………………….. Analisis Tanah dan Pembuatan Status Hara P ................................ Uji Korelasi P ………………………………………………………..
39 39 39 43 i
ii
Halaman Uji Kalibrasi P………………………………………………………......
50
Rekomendasi Pemupukan P ……………………………………..…......
54
Pengembangan Uji Tanah untuk Membangun Kriteria Rekomendasi Pemupukan Kalium pada Tanaman Tomat …………………………...
56
Analisis Tanah dan Pembuatan Status Hara K ..........................................
56
Uji Korelasi K …………………………………………………………
59
Uji Kalibrasi K ….…………………………………………....................
66
Rekomendasi pemupukan K …………………………………………....
70
PEMBAHASAN UMUM …………………………………………………….
73
Aplikasi dan Perkembangan Uji Tanah Lebih Lanjut di Indonesia…....
77
SIMPULAN DAN SARAN………..………………………………………….
83
Simpulan ………………….…………………………………………...
83
Saran …………………………………………………………………...
83
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………....
85
LAMPIRAN…………………………………………………………………..
95
2 1
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Hasil analisis kimia dan fisika lahan percobaan uji P tanah di Inceptisols………………………………………………………………. 40
2.
Efek status P tanah yang berbeda terhadap tinggi tanaman tomat ……..
3.
Efek status P tanah yang berbeda terhadap diameter batang tomat ……. 45
4.
Efek status P tanah yang berbeda terhadap jumlah daun tanaman tomat. 45
5.
Efek status P tanah yang berbeda terhadap bobot basah dan bobot kering biomas tanaman tomat ………………………………………….. 46
6.
P2O5 terekstrak pada berbagai metode ekstraksi dari dosis pupuk P yang berbeda di Inceptisols…………………………………………….. 47
7.
Korelasi antara P terekstrak dari berbagai metode ekstraksi dengan bobot segar biomas tomat di Inceptisols……………………………….. 48
8.
Efek status P tanah yang berbeda terhadap tinggi tanaman dan diameter batang tomat di Inceptisols……………………………………………... 52
9.
Efek status P tanah yang berbeda terhadap bobot buah tomat yang dipasarkan (marketable yield), bobot kering biomas dan bobot basah biomas………………………………………………………………….. 52
44
10. Respon kategori P tanah menggunakan ekstraktan Mehlich I pada uji kalibrasi untuk tanaman tomat di Inceptisols…………………………... 54 11. Prediksi rekomendasi dosis pupuk P untuk tanaman tomat di Inceptisols berdasarkan respon kategori P-tanah………………………. 55 12. Hasil analisis kimia dan fisika lahan percobaan uji K tanah di Inceptisols………………………………………………………………. 56 13. Efek status K tanah yang berbeda terhadap tinggi tanaman tomat …..... 61 14. Efek status K tanah yang berbeda terhadap diameter batang tanaman tomat …………………………………………………………………… 61 15. Efek status K tanah yang berbeda terhadap jumlah daun tanaman tomat
62
16. Efek status K tanah yang berbeda terhadap bobot basah tanaman tomat dan bobot kering biomas tanaman tomat ……….……………………… 63 17. K2O terekstrak pada berbagai metode ekstraksi dari dosis pupuk K yang berbeda di Inceptisols…………………………………………….. 64 18. Korelasi antara K terekstrak dari berbagai metode ekstraksi dengan bobot kering biomas tomat di Inceptisols ……………………...………. 64 19. Efek status K tanah yang berbeda terhadap tinggi tanaman dan diameter batang tomat di Inceptisols………………………………….... 67
iii
iv
Halaman 20. Efek status K tanah yang berbeda terhadap jumlah daun tomat di Inceptisols………………………………………………………………. 67 21. Efek status K tanah yang berbeda terhadap bobot buah yang dipasarkan (marketable yield), bobot kering biomas dan bobot basah biomas tanaman tomat………………………………………………………….. 68 22. Respon kategori K2O tanah menggunakan ekstraktan Truog pada uji kalibrasi untuk tanaman tomat di Inceptisols…………………………... 70 23. Prediksi rekomendasi dosis pupuk K untuk tanaman tomat di Inceptisols berdasarkan respon kategori K-tanah………………………. 71
v
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Alur kerangka pemikiran penelitian ………………………………..
10
2.
Alur tahapan penelitian ………………………………………………..
30
3.
Kurva kalibrasi untuk menentukan respon kategori status hara P terhadap hasil relatif…………………………………………………… 34
4.
Pembuatan status hara P dan inkubasi lahan …………………………….. 41
5.
Hubungan antara metode ekstraksi P seperti Bray I, Bray II, Mehlich I, Truog, Morgan Wolf dengan perlakuan pemupukan fosfor pada inkubasi lahan di Inceptisols ………………………………………….... 42
6.
Uji korelasi P tanah …………………………………………………….... 43
7.
Hubungan antara metode ekstraksi P seperti Bray I, Bray II, Mehlich I, Truog, P-Morgan Wolf dengan hasil relatif bobot basah biomas tomat …………………………………………………………………… 49
8.
Perkembangan tomat pada uji kalibrasi P di Inceptisols ..................
9.
Hubungan antara ekstraktan P-Mehlich I dengan produksi relatif tanaman tomat di Inceptisols…………………………………………… 53
51
10. Hubungan antara dosis pemupukan P dengan hasil relatif tanaman tomat di Inceptisols dengan berbagai respon kategori dari metode pengekstrak Mehlich I…………………………………………………. 55 11. Pembuatan status hara K dan inkubasi lahan …………………………..
57
12. Hubungan antara metode ektraksi K seperti Mehlich I, Truog, HCl 25%, NH4OAc 1 N pH 7, dan Morgan Vanema dengan perlakuan pemupukan fosfor pada inkubasi lahan di Inceptisols………………….. 58 13. Uji korelasi K tanah……………………………………………………… 60 14. Hubungan antara metode ektraksi K seperti Mehlich I, Truog, HCl 25%, NH4OAc 1 N pH 7, dan Morgan Vanema dengan hasil relatif bobot basah biomas tomat ……………………………………………... 65 15. Perkembangan tomat pada uji kalibrasi K di Inceptisols ..................
66
16. Hubungan antara ekstraktan K-Truog dengan produksi relatif tanaman tomat di Inceptisols…………………………………………………….. 69 17. Hubungan antara dosis pemupukan K dengan hasil relatif tanaman tomat di Inceptisols dengan berbagai respon kategori dari metode 71 pengekstrak Truog …………………………………………………….
v
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Jadwal palang pelaksanaan penelitian……………………..………
95
2.
Denah pengambilan contoh tanah …………………………………
96
3.
Desain inkubasi lahan………………………...…..……….……….
97
4.
Denah penelitian lapangan ..............................................................
98
5.
Denah pertanaman dalam petak percobaan.………………...……..
99
6.
Denah uji korelasi di rumah kaca …………………………………
100
7.
Persiapan sampel dan analisa tanah di laboratorium ...……………
101
8.
Penetapan pH tanah …………………….…………………………
102
9.
Penetapan P dan K ekstrak HCl 25% ..............................................
103
10.
Penetapan P tersedia metode Bray……………….…..…………….
106
11.
Penetapan P tersedia metode Morgan Wolf ……………………
108
12.
Penetapan P dan K tersedia metode Mehlich I ..…………………..
110
13.
Penetapan hara K tersedia metode Morgan Vanema ……………...
113
14.
Penetapan hara K tersedia metode ekstraksi Amonium Asetat Netral (NH4OAc 1 M pH 7)……………………………………….
115
Penetapan hara P dan K tersedia metode Tuog …………………...
117
15.
vi
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Saat ini jumlah penduduk semakin meningkat pesat sehingga permintaan terhadap komoditas pertanian semakin tinggi. Salah satu komoditas pertanian yang memiliki permintaan serta pasar yang semakin meningkat adalah sayuran. Di negara yang telah mencapai swasembada pangan, tanaman sayuran merupakan kunci utama sebagai komoditas yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kesempatan pemasaran dan perdagangan, serta peningkatan pendapatan petani (Johnson et al. 2008). Tanaman sayuran merupakan komoditas penting yang dikonsumsi untuk menunjang kesehatan manusia. Perkembangan saat ini, konsumsi sayuran di Indonesia masih rendah yaitu sebesar 41,90 kg/kapita/tahun. Nilai tersebut masih di bawah standar FAO sebesar 73 kg/kapita/tahun, sedangkan Singapura mencapai 125 kg/kapita/tahun (Bahar 2011). Kementrian Pertanian mencanangkan Gerakan Makan Sayuran (GEMA Sayuran) di seluruh Indonesia sebagai salah satu upaya untuk menaikkan tingkat konsumsi sayur (Kementrian Komunikasi dan Informasi 2009). Ketersediaan lahan dan potensi pengembangan sayuran khususnya di dataran rendah masih berpeluang besar. Lahan potensial yang dapat digunakan sebagai lahan pertanian mencapai 48.747.000 ha, sedangkan lahan dataran rendah yang potensial tersedia dan belum efektif digunakan sekitar 25.090.000 ha (Sukarman dan Suharta 2010; Adimihardja et al. 2009). Lahan pertanian yang paling luas tersedia berdasarkan jenis tanah pada tingkat ordo adalah Inceptisols mencapai 70.520.000 ha atau 37,5% dari total jenis tanah (Adimihardja et al. 2009). Lahan pada jenis tanah ini sebagian besar cocok untuk dikembangkan sebagai lahan usahatani tanaman tomat (Lycopersicon esculentum Mill. L). Tomat merupakan komoditas tanaman sayuran penting di Indonesia, memiliki nilai ekonomis tinggi, dibutuhkan masyarakat, dan mampu beradaptasi di berbagai jenis lahan pertanian (Purwanto 2005; Balai Penelitian Sayuran 2009). 1
2
Pengembangan
dan
permintaan
tomat
akhir-akhir
ini
menunjukkan
kecenderungan yang selalu meningkat, namun produktivitas tanaman tomat Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika, Jepang dan Eropa. Produktivitas rata-rata nasional tanaman tomat di Indonesia hanya mencapai 16,8 ton ha-1 (BPS 2012), sedangkan menurut data FAO 2012 di Amerika Serikat mencapai 81,1 ton ha-1, di Jepang mencapai 56,2 ton ha-1, di Belanda mencapai 56, 2 ton ha-1 dan Malaysia mencapai 32,0 ton ha-1. Rendahnya produktivitas tanaman tomat karena belum optimalnya penerapan teknologi budidaya yang baik seperti karakterisasi lahan, perbenihan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, panen dan pasca panen (Balai Penelitian Tanaman Sayuran 2009). Budidaya tomat yang belum memperhatikan perihal tersebut di atas berakibat pada tidak optimalnya produksi dan kondisi lingkungan sekitar lokasi budidaya akan rusak (degradasi lahan). Alternatif peningkatan produktivitas tomat dapat dilakukan dengan cara perbaikan kualitas tanah melalui penanganan hara yang tepat dan sesuai untuk budidaya tanaman pada waktu tertentu dan di lokasi spesifik (Departemen Pertanian 2001). Penanganan hara tersebut dapat dilakukan melalui aplikasi pemupukan yang sesuai kondisi spesifik tanah. Pemupukan adalah penambahan hara ke dalam media tumbuh tanaman seperti tanah dan air untuk mendukung pertumbuhan maksimum tanaman apabila jumlah hara tersebut tidak dapat dipenuhi dari dalam media tumbuh. Salah satu filosofi pemupukan adalah tingkat kecukupan bagi tanaman (crop sufficiency level) yang banyak diaplikasikan oleh berbagai negara dalam rangka membangun rekomendasi pemupukan dengan keramahan lingkungan (environmentally friendliness) yang tinggi. Dampak negatif aplikasi pemupukan terhadap tanaman, terhadap manusia maupun terhadap lingkungan akan timbul apabila implementasi filosofi pemupukan tidak diterapkan secara baik dan benar. Saat ini tanah yang terkontaminasi bahan kimia dari aplikasi pemupukan anorganik berlebihan dan aplikasi pestisida tidak sesuai anjuran, semakin tersebar dan meluas di seluruh wilayah Indonesia. Upaya-upaya tertentu diperlukan untuk
3
mencegah kerusakan tanah dan pencemaran lingkungan (polusi, pencemaran air dan eutrofikasi) di sekitar wilayah usahatani sayuran oleh unsur kimia yang berlebihan saat diaplikasi dalam usaha budidaya (Setyorini et al. 2003). Perkembangan harga pupuk yang semakin meningkat, mengharuskan petani dan pemangku kepentingan menerapkan aplikasi pemupukan yang lebih efisien dan efektif. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengurangi kontaminasi bahan kimia yang berlebihan pada tanah pertanian serta penerapan pupuk yang efisien adalah perakitan rekomendasi pemupukan berdasarkan uji tanah. Analisis uji tanah merupakan upaya untuk implementasi pemupukan yang menjamin ketersediaan hara tanaman serta mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Uji tanah harus melalui beberapa tahapan yaitu uji korelasi dan uji kalibrasi berdasarkan analisis hara tanah. Prosedur pemupukan ini telah diadopsi oleh banyak laboratorium uji tanah di negara maju guna membantu petani dan pemangku kepentingan lainnya dalam upaya aplikasi pupuk yang tepat. Melalui upaya pemupukan yang baik diharapkan peningkatan produktivitas tanaman tomat akan tercapai dengan selalu memperhatikan kelestarian sumberdaya lahan tanpa adanya kelebihan dan polusi unsur kimia di tanah (Susila 2002). Uji tanah dapat memberikan informasi kebutuhan hara esensial yang optimum untuk tanaman. Aplikasi pemupukan berdasarkan uji tanah akan mempertimbangkan kondisi hara tanah dan kebutuhan hara oleh tanaman, sehingga pemberian pupuk tidak berlebih dengan memperhatikan dukungan lingkungan dan tidak kekurangan bagi kebutuhan hara tanaman. Informasi penting yang perlu diketahui berkenaan dengan ketersediaan unsur hara esensial bagi tanaman dan mekanisme uji tanah adalah jenis tanah dan tingkat kesuburan (ketersediaan hara). Terdapat jenis tanah yang memiliki rentang kandungan unsur-unsur hara dan tingkat kesuburan tanah dengan skala luas mulai dari kandungan sangat rendah sampai tinggi, adalah Inceptisols. Sebagian besar Inceptisols memiliki kandungan liat 18% - 78%, pH (4,6 - 6,8), C/N ratio (rendah sedang), P-potensial dari rendah sampai tinggi, K - potensial (sangat rendah sedang), kapasitas tukar kation (sedang - tinggi) dan kejenuhan basa (rendah - tinggi).
4
Inceptisols merupakan ordo tanah yang tersebar paling luas di seluruh wilayah daratan Indonesia, oleh karena terbentuk dari semua bahan/batuan induk tanah (kecuali bahan organik) dan pada banyak posisi geomorfik yang berbeda seperti dataran pantai sampai dengan pegunungan dan perbukitan (Pusat Penelitian Tanah 2000). Pengembangan sayuran tomat pada Inceptisols paling luas dan mencapai 31,93% total luas pertanaman tomat di Indonesia (Balai Penelitian Sayuran 2009). Inceptisols terbagi atas 3 sub ordo (Aquepts, Udepts dan Usteps) yang merupakan tanah-tanah pertanian utama. Berbagai usahatani dapat dilakukan pada lahan pertanian basah (Aquepts), lahan pertanian lembab (Udepts) dan lahan pertanian kering (Ustepts). Budidaya tanaman tomat banyak dilakukan di lahan pertanian lembab (Udepts) dan di lahan kering (Ustepts), namun teknis budidaya tomat di lahan tersebut masih belum mengaplikasikan teknik pemupukan berdasarkan analisis tanah secara spesifik lokasi dan waktu tertentu. Faktor penting dalam budidaya sayuran seperti tomat di Inceptisols adalah identifikasi ketersediaan unsur hara. Pengelolaan unsur hara yang salah melalui teknik
budidaya
yang
kurang
baik
akan
mempengaruhi
dan
membatasi
ketersediaannya sehingga produksi tanaman akan menurun (Giller et al. 2011). Unsur hara utama dan esensial bagi tanaman tomat adalah Fosfor (P) dan Kalium (K). Unsur P berperan dalam proses fotosintesis, respirasi, penyimpanan energi, transfer, pembelahan dan perbesaran sel serta berperan dalam pertumbuhan akar dan pucuk tanaman (Bennet 1996). Unsur K memegang peranan penting dalam proses membuka dan menutup stomata, transportasi unsur hara dari akar ke daun, serta proses kerja enzim pertumbuhan. Unsur K juga banyak terlibat dalam sistem selular tanaman, sistem enzimatis, ketahanan tanaman, sintesis selulosa,
sintesis
protein dan pengaturan pH (Marschner 1995). Apabila unsur hara esensial tersebut tidak cukup bagi tanaman maka akan berakibat rendahnya pertumbuhan dan produksi tanaman (Mendoza et al. 2009). Salah satu upaya yang dilakukan adalah memberikan tambahan suplai kedua unsur hara P dan K dengan penggunaan pupuk anorganik yang optimal melalui rekomendasi pemupukan sesuai dosis dan berimbang.
5
Pada saat ini di Indonesia belum memiliki Prosedur Operasional Baku (POB) atau Best Management Practices untuk rekomendasi pemupukan tanaman tomat yang dibangun berdasarkan analisis tanah. Bahkan pemupukan masih belum masuk ke dalam salah satu faktor dari POB tersebut. Akibatnya rekomendasi pupuk yang ada sangat bervariasi dengan skala rentang dosis yang lebar sehingga sangat sulit dipakai sebagai acuan untuk meningkatkan hasil sayuran tomat secara maksimal. Disamping itu, status kecukupan hara tanaman khususnya P dan K terutama di dataran rendah lahan kering belum tersedia, sedangkan data status tersebut sangat diperlukan sebagai dasar untuk menentukan rekomendasi penggunaan pupuk. Menurut Hilman et al. (2008), sampai dengan saat ini penerapan rekomendasi pemupukan berimbang berdasarkan analisis tanah pada tanaman sayuran belum ada. Mengingat pentingnya mengatasi masalah ini, maka upaya meletakkan dasar program pemupukan tanaman sayuran perlu dilakukan uji tanah dengan tahapan metode uji korelasi dan uji kalibrasi dalam penetapan dosis pemupukan. Melalui penelitian ini akan dihasilkan rekomendasi pemupukan khususnya P dan K berdasarkan analisis tanah di lahan Inceptisols pada tanaman tomat sebagai model rekomendasi pemupukan tanaman jenis sayuran lain dengan memperhatikan keberlangsungan dukungan lingkungan.
Rumusan Masalah Tomat (Lycopersicon esculentum Mill. L) merupakan tanaman sayuran model yang mempunyai fase pertumbuhan vegetatif dan generatif yang jelas. Daya adaptasi tomat yang tersebar luas pada berbagai jenis tanah termasuk Inceptisols dan berbagai jenis topografi (dataran tinggi dan rendah) merupakan model yang baik sebagai jenis sayuran yang dapat dibudidayakan dan dikaji dalam hal analisis aplikasi pemupukan. Jenis tanah Inceptisols ini merupakan daerah pertanaman tomat yang paling luas sekitar 31,93% dari total luas lahan pertanaman tomat di Indonesia (Balai Penelitian Sayuran 2009).
6
Perkembangan dan produksi tanaman tomat sangat bergantung pada ketersediaan hara di media tanam seperti media tanah dan media air. Banyak faktor yang menyebabkan berubahnya keseimbangan dan jumlah hara esensial yang ada di dalam tanah. Pengikatan hara esensial seperti fosfor oleh mineral liat dan pencucian hara kalium oleh curah hujan yang sangat tinggi, merupakan faktor yang dapat mempengaruhi jumlah ketersediaan hara bagi tanaman tomat. Kekurangan dan minimnya ketersediaan hara essensial bagi tanaman tomat akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan serta rendahnya produksi tanaman. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kekurangan hara adalah pemupukan (tindakan penambahan hara ke dalam media tanam). Saat ini pemupukan yang dilakukan dalam budidaya tanaman tomat masih belum optimal dan tidak berdasarkan analisis hara tanah. Pemupukan akan lebih baik apabila dilakukan dengan menganalisis jumlah hara yang terkandung di dalam tanah dan kebutuhan optimum tanaman untuk melangsungkan pertumbuhan dengan memberikan maksimum produksi. Rekomendasi pemupukan berdasarkan analisis tanah telah banyak diterapkan oleh banyak negara maju. Rekomendasi pemupukan dengan analisis tanah dapat memberikan informasi kebutuhan hara yang optimum untuk tanaman tomat dengan lebih memperhatikan faktor dukungan alam dan ramah lingkungan.
Proses
rekomendasi ini diawali dengan pembuatan status hara pada lokasi terpilih (metode satu lokasi) atau status hara berasal dari beberapa lokasi (multi lokasi) yang memiliki selang ketersediaan hara yang besar mulai dari terendah sampai tertinggi. Mencocokkan dan memilih metode ekstraksi unsur hara dengan mekanisme dan kebutuhan tanaman tomat dalam mengambil unsur hara terbaik dari dalam tanah merupakan tahapan lanjut pembuatan rekomendasi pemupukan (Uji Korelasi). Metode ekstraksi yang banyak dilakukan untuk uji korelasi di negara maju untuk mengekstrak hara Fosfor dalam tanah antara lain: Bray I, Bray II, Mehlich I, Mehlich III, Morgan, Truog, HCl 25% dan Olsen; sedangkan
hara Kalium terdiri dari:
NH4OAc 1M pH 7, NH4OAc 1M pH 4,8 , Morgan Vanema, Mehlich I, Mehlich III, dan HCl 25%. Hasil uji tanah (soil index) berdasarkan metode ekstraksi terbaik harus
7
dikalibrasikan dengan hasil panen tanaman tomat untuk menentukan dosis pupuk optimum (Uji Kalibrasi). Uji tanah menggunakan single-nutrient soil analysis telah dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1970, namun karena keterbatasan dana penelitian, proses keberlanjutan uji tanah ini tidak pernah dilakukan secara berkesinambungan untuk membangun kriteria suatu rekomendasi pemupukan yang spesifik lokasi dan sesuai daya dukung lingkungan (Al-Jabri 2007a). Beberapa penelitian korelasi uji P tanah telah dilakukan pada tanaman padi (Nursyamsi et al. 1993), dan jagung (Kasno et al. 2001) akan tetapi belum pernah dilakukan untuk komoditas hortikultura secara keseluruhan khususnya tanaman tomat. Rekomendasi pemupukan tanaman tomat oleh suatu organisasi internasional (IFA 1999), menyatakan bahwa kebutuhan pupuk untuk tanaman tomat dengan hasil sedang 40 - 50 ton ha-1 memerlukan pupuk sebanyak 20 - 40 P2O5 kg ha-1 dan 150 300 K20 kg ha-1, sedangkan hasil tomat yang tinggi 100 ton ha-1 memerlukan pupuk sebanyak 100 - 200 P2O5 kg ha-1 dan 600 - 1.000 K20 kg ha-1. Rekomendasi ini tidak menjelaskan kapan dosis 100 P2O5 kg ha-1 dan kapan dosis 200 P2O5 kg ha-1 dapat digunakan, serta rekomendasi tersebut tidak mencantumkan jenis tanah dan status hara tanah. Rekomendasi seperti ini sering ditemukan dalam aplikasi pupuk untuk suatu tanaman. Pemberian pupuk harus sesuai dengan kondisi hara tanah dan kebutuhan tanaman, sehingga metode uji tanah merupakan hal penting yang harus dilakukan dalam pembuatan recomendasi pemupukan tersebut. Penggunaan analisis tanah untuk penentuan rekomendasi pemupukan P dan K pada tanaman tomat dipenelitian ini akan menjadi dasar model penyusunan rekomendasi pemupukan tanaman sayuran semusim lain di Indonesia di masa depan, dengan memperhatikan keberlangsungan dukungan lingkungan.
8
Tujuan dan Kagunaan Penelitian Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah: Menetapkan dasar rekomendasi pemupukan P dan K pada tanaman tomat yang rasional untuk mendukung budidaya tanaman tomat berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Penelitian ini bertujuan: 1.
Mendapatkan metode pengekstrak hara P dan K tanah yang terbaik untuk tanaman tomat di Inceptisols.
2.
Menentukan kelas status ketersediaan hara P dan K tanah untuk tanaman tomat yang dibudidayakan di Inceptisols.
3.
Menyusun rekomendasi dosis P dan K untuk tanaman tomat pada setiap kategori kelas ketersediaan hara P dan K Inceptisols.
Kegunaan Kegunaan dari penelitian ini adalah memberi dasar penetapan dosis rekomendasi pemupukan hara fosfor dan kalium berdasarkan analisis tanah pada budidaya tanaman tomat di Inceptisols.
Kerangka Pemikiran Faktor lingkungan merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu usaha pertanian, khususnya tomat yang cukup rentan terhadap perubahan lingkungan. Saat ini issue tentang kerusakan lingkungan semakin meluas. Salah satu anggapan yang ada tentang penyebab kerusakan lingkungan dalam kegiatan pertanian adalah manajemen budidaya tanaman pertanian yang kurang baik saat penerapan dan pengunaan bahan kimia, seperti pemupukan anorganik dan penggunaan pestisida yang berlebihan. Saat ini masih berkembang pengunaan pupuk anorganik yang tidak
9
sesuai dengan dosis anjuran yang berakibat akan mempercepat terjadinya degradasi lahan dan kerusakan lingkungan. Pada kondisi lain, penggunaan pupuk anorganik dengan dosis yang sesuai dengan anjuran untuk budidaya tanaman tomat sangat diperlukan. Pupuk anorganik dibutuhkan untuk menunjang asupan nutrisi/hara, ketahanan dan produksi tanaman tomat. Aplikasi pupuk anorganik dengan dosis sesuai kebutuhan tanaman tidak akan menimbulkan polusi lingkungan sekitar. Namun sejauh ini, penelitian dan penerapan pemupukan pada tanaman tomat yang sesuai dengan rekomendasi berdasarkan uji tanah masih belum ada dan belum cukup lengkap. Melalui penelitian ini, akan disusun suatu kriteria rekomendasi pemupukan berdasarkan tahapan uji tanah khususnya bagi unsur hara esensial seperti fosfor dan kalium (Gambar 1). Beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan ialah: analisis unsur kimia dan kandungan hara di tanah, pertumbuhan dan perkembangan tanaman tomat terhadap pengaruh berbagai tingkatan kandungan unsur hara esensial P dan K (uji korelasi), dan hubungan soil index dengan respon tanaman (uji kalibrasi), serta rekomendasi bagi penerapan pada usahatani tanaman tomat pada lokasi dan waktu tertentu.
Hipotesis
Penelitian ini akan menjawab beberapa hipotesis antara lain 1. Kondisi status hara P dan K tanah yang bervariasi akan menghasilkan respon tanaman tomat yang berbeda. 2. Setiap metode pengekstrak pada uji korelasi mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mengekstrak hara P dan K yang larut. 3. Terdapat metode pengekstrak terbaik untuk mengekstrak hara P dan K yang larut. 4. Semakin meningkat ketersediaan hara P dan K tanah akan menurunkan kebutuhan pupuk kimia anorganik yang akan digunakan.
10
Inceptisols
Ketersediaan hara rendah
Membangun status P tanah
Membangun status K tanah
Uji korelasi
Uji korelasi
Uji kalibrasi
Uji kalibrasi
Rekomendasi pemupukan P berdasarkan analisis tanah
Aplikasi pemupukan tanaman tomat yang rasional
Rekomendasi pemupukan K berdasarkan analisis tanah
Budidaya tanaman tomat berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan produktivitas meningkat
Gambar 1. Alur kerangka pemikiran penelitian
11
TINJUAN PUSTAKA Tomat dan Syarat Tumbuh Sayuran merupakan salah satu tanaman hortikultura.
Berdasarkan bagian
tanaman yang dipanen, sayuran dapat dibagi atas sayuran daun, bunga, buah, dan umbi. Tanaman sayuran yang dipanen pada bagian daun antara lain sawi, selada, kangkung, bayam dan kailan. Tanaman sayuran buah antara lain tomat, cabai, timun, terung, dan kacang panjang. Tanaman sayuran bunga antara lain brokoli dan kol bunga. Tanaman sayuran umbi antara lain kentang, lobak dan wortel. Berdasarkan karakter ekosistem tumbuh tanaman dan berdasarkan tinggi tempat (altitude), sayuran terbagi atas sayuran dataran rendah (lahan kering dan lahan rawa) dan sayuran dataran tinggi. Sayuran yang termasuk cocok dibudidayakan di dataran tinggi adalah kentang, wortel, buncis serta sebagian besar jenis tomat dan cabai. Di dataran rendah sayuran yang biasa diusahakan antara lain kangkung, bayam, tomat, cabai, kacang panjang, dan timun (Departemen Pertanian 2001). Salah satu jenis sayuran yang banyak dikonsumsi saat ini dan merupakan sayuran yang paling banyak dibudidaya oleh petani mulai awal abad-19 adalah tomat (Cooperative Extension Service Vegetarian 2001). Tomat juga merupakan komoditas sayuran buah yang penting di Indonesia karena banyak dibutuhkan masyarakat untuk berbagai keperluan, baik untuk konsumsi segar atau sebagai makanan olahan (Purwanto 2005). Tomat mempunyai nilai ekonomis tinggi, karena sangat digemari dan mempunyai nilai gizi yang tinggi. Buah tomat merupakan komoditas multiguna, berfungsi sebagai sayuran, bumbu masak, buah meja, penambah nafsu makan, minuman, bahan pewarna makanan, sampai kepada bahan kosmetik dan obat-obatan (Balai Penelitian Sayuran 2009). Budidaya tomat dapat dilakukan dengan pola tumpang sari atau pola polikultur (Adiyoga et al. 2004). Pola tanam tersebut memberikan keuntungan karena input produksi dapat dioptimalkan bagi tanaman dan biaya produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan penanaman dengan pola monokultur (Nguyen et al. 11
12
2007). Pola tanam juga dapat dilakukan dengan sistem agroforestri, yang akan memberikan keuntungan seperti: mencegah degradasi lahan, menurunkan intensitas serangan hama dan penyakit, penurunan resiko gagal panen dan kerugian ekonomis karena adanya diversifikasi usahatani, memberikan interaksi positif pada lingkungan, meningkatkan produksi tanaman pohon, serta peningkatan pengikat karbon dan hara tanah (Manurung et al. 2008). Budidaya tomat memerlukan penggunaan input yang optimum dan berskala ekonomis menguntungkan seperti penggunaan varietas unggul, benih bermutu, pemupukan yang tepat, pengendalian hama penyakit, dan proses panen/pasca panen yang lebih baik (Izhar et al. 2008). Tanaman tomat dapat beradaptasi luas mulai dari dataran rendah sampai
dataran tinggi, tergantung dari varietas yang digunakan.
Berdasarkan jenis tanah, daerah pertanaman tomat yang paling luas adalah pada tanah Inceptisols (31,93%), Andisol (27,59%) dan Alluvial (13,75%).
Di Indonesia
tanaman tomat banyak diusahakan sebagai tanaman pekarangan ataupun tujuan komersil (Balai Penelitian Sayuran 2009). Tomat dapat dibudidayakan dengan sistem hidroponik dan di lapangan dengan mengaplikasikan komponen teknologi yang berbeda (Susila 2006). Sistem hidroponik masih jarang dilakukan oleh petani di Indonesia, sehingga penanaman di hamparan lahan merupakan budidaya tomat yang biasa dilakukan oleh petani. Saat ini rata-rata produksi tomat di dataran rendah umumnya masih sangat rendah, yaitu ± 6,0 ton ha-1. Produksi tomat di dataran tinggi dapat mencapai 26,6 ton ha-1, sedangkan potensi hasil dari penelitian yang dilaksanakan oleh Balai Penelitian dapat mencapai > 60 ton ha-1 (Balai Penelitian Sayuran 2009). Budidaya tomat memiliki kendala antara lain: (a) terbatasnya ketersediaan varietas unggul di tingkat petani; (b) terbatasnya aplikasi kultur teknis (pengolahan tanah, cara penanaman, pemupukan serta pemeliharaan yang kurang optimal); (c) serangan hama dan penyakit yang merupakan penyebab penurunan hasil. Penyakit busuk daun (Phytophthora infestans) merupakan penyakit utama yang menyerang tanaman tomat di dataran tinggi. Serangan penyakit ini pada bagian daun, batang dan buah. Biasanya penyakit ini berkembang baik pada musim hujan dan dapat
13
mengakibatkan
kerugian
sampai
100%.
Penyakit
layu
bakteri
(Ralstonia
solanacearum) menyerang tanaman muda sampai dewasa terutama di dataran rendah. Penyakit ini dapat menurunkan produksi sampai 75%. Hama yang sering menyerang tomat khususnya saat musim kemarau antara lain: ulat tanah (Agrotis ipsilon), lalat buah (Bactrocera Spp), ulat buah tomat (Helicoverpa armigera), dan beberapa hama lainnya (Balai Penelitian Tanaman Sayuran 2009). Menurut Giller et al. (2006), selain kondisi kesuburan tanah yang buruk, lemahnya adaptasi teknologi budidaya, kurang tersebarnya teknologi hasil penelitian dan pengkajian teknik budidaya di tingkat petani merupakan penyebab rendahnya produksi hasil pertanian. Tanaman tomat yang telah ditaman sesuai dengan teknologi budidaya yang baik biasanya pertama kali siap panen pada umur 75 hari setelah pindah tanam atau 90 hari setelah semai dan tergantung varietas. Panen selanjutnya dapat dilakukan 3 - 5 hari seterusnya sampai habis. Buah yang dipasarkan dalam jarak yang dekat dapat dipanen pada tingkat kematangan 75% (turning) dengan warna buah hijau-kuning kemerahan, sedangkan untuk jarak pemasaran yang jauh panen dilakukan pada tingkat kematangan 50% (breakers) dengan warna buah hijau kekuningan dan warna merah tidak lebih dari 10% di permukaan buah (Qin et al. 2012). Cara panen tomat dilakukan dengan dipetik dan menyertakan tangkai buah. Buah tomat yang akan dipasarkan dimasukan ke keranjang lalu disortasi untuk penggepakan dan didistribusi ke konsumen. Sortasi buah tomat yang dipasarkan dibagi menjadi beberapa standar mutu menurut SNI 01-3162-1992, yaitu: ukuran “A” atau besar dengan buah lebih berat dari 150 g per buah, ukuran “B” atau sedang dengan berat 100-150 g per buah, dan ukuran “C” atau kecil dengan berat kurang dari 100 g per buah.
Menurut standar Codex Stan 293 - 2008, tomat yang dapat
dipasarkan terbagi menjadi sepuluh kriteria berdasarkan ukuran diameter buah, mulai dari kriteria terkecil ukuran terkecil ≤ 20 mm sampai kriteria tertinggi ukuran ≥ 102 mm.
14
Inceptisols di Indonesia Luas daratan Indonesia sekitar 190 juta ha, memiliki sifat dan kondisi tanah serta agroklimat yang sangat beragam. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya lahan yang baik memerlukan pengetahuan dan informasi yang akurat tentang karakteristik masing-masing jenis tanah (Adimihardja et al. 2000).
Berdasarkan
sistem klasifikasi tanah, terdapat 10 ordo tanah yaitu: Inceptisols, Histosols, Entisols, Vertisols, Andisols, Alfisols, Mollisols, Ultisols, Oxisols dan Spodosols (Subagyo et al. 2000). Inceptisols
(inceptum,
beginning,
tanah
mulai
berkembang)
terluas
penyebarannya di Indonesia, mencapai 70.520.000 ha atau 37,5% dari total tanah keseluruhan. Inceptisols merupakan tanah pertanian utama di Indonesia karena terbentuk dari semua bahan/batuan induk tanah (kecuali bahan organik) dan pada banyak posisi geomorfik yang berbeda mulai dari dataran pantai sampai dengan pegunungan dan perbukitan (Subagyo et al. 2000). Inceptisols tergolong tanah muda, sifat tanahnya bervariasi tergantung bahan induknya, tektur halus, sangat masam sampai netral (tergantung sifat bahan asal dan keadaan lingkungan), penampang tanah dangkal dan berbatu serta kandungan aluminum yang tinggi (Hidayat et al. 2000). Sebagian besar Inceptisols memiliki kandungan butiran berliat besar dengan kandungan liat cukup tinggi (35-78%), sebagian termasuk berlempung halus dengan kandungan liat lebih rendah (18-35%), reaksi tanah dengan pH (4,6 – 6,8), C/N ratio (rendah-sedang), P-potensial dari rendah sampai tinggi, K-potensial (sangat rendahsedang), kandungan P2O5 biasanya lebih tinggi dari kandungan K2O, Kapasitas tukar kation (sedang-tinggi) dan kejenuhan basa (rendah-tinggi). Inceptisols memiliki 3 sub ordo (Aquepts, Udepts, dan Ustepts) yang merupakan tanah-tanah pertanian utama dengan cakupan jenis usahatani pada lahan basah atau jenuh air (Aquepts), lahan lembab (Udepts) dan lahan kering (Ustepts) (Pusat Penelitian Tanah 2000). Budidaya tanaman sayuran banyak dilakukan pada lahan pertanian Aquepts dan
15
Udepts. Tanaman tomat diusahakan terluas di lahan Inceptisols, mencapai 31,93% dari luas pertanaman di seluruh jenis lahan (Pusat Penelitian Tanah 2000). Menurut Pusat Penelitian Tanah (2000), ciri-ciri Inceptisols: 1. Apabila sudah memiliki salah satu horizon pedogenik seperti kambik, dan memiliki salah satu epippedon seperti histik. 2. Tanah yang mulai berkembang tetapi belum matang (immature soils) yang ditandai oleh perkembangan profil yang lebih lemah, bahan induk resistem terhadap hancuran iklim, bahan induk abu vulkan, dan permukaan geomorfik muda. 3. Di dataran rendah, tanah terbentuk pada landform marin seperti dataran pasang surut dan wilayah delta, landform alluvial meluputi wilayah daerah aliran sungai dan rawa, dan landform vulkan di wilayah perbukitan dan dataran tinggi. 4. Daerah penyebaran tanah jenis ini: Sumatera, Jawa, Kalimantan. Sebagian besar tanah ini ditanami palawija (Jawa) dan hutan/semak belukar (Sumatera dan Kalimantan)
Hara bagi Tanaman
Tanah merupakan sumber alami utama yang menyediakan faktor-faktor eksternal pengontrol pertumbuhan seperti udara, air dan hara (Marschner 1995). Pada wilayah tropis dan negara berkembang, informasi kualitas tanah yang baik yang memiliki kecukupan hara terfokus untuk mengatasi stabilitas ketahanan pangan, mengatasi kemiskinan di pedesaan dan pencegahan degradasi ekosistem (Sanchez et al. 2003) Ketersedian hara dalam tanah sangat menentukan pertumbuhan dan produktivitas tanaman, karena penyusunan struktur jaringan tanaman dibentuk dari unsur-unsur hara. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, jumlah hara esensial dari waktu ke waktu mengalami penambahan dari 16 sekarang menjadi 21.
16
Hara esensial dapat digolongkan ke dalam hara-hara makro, mikro dan unsur bermanfaat (Idris 1996). Hara makro dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu: non mineral dan mineral. Hara non mineral terdiri atas karbon, hidrogen dan oksigen yang diperoleh tanaman dari atmosfir dan air. Hara mineral terdiri atas nitrogen, fosfor, dan kalium merupakan hara makro yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar, sedangkan hara makro lain kalsium, magnesium, dan sulfur pada umumnya digunakan dalam jumlah lebih sedikit dibandingkan hara nitrogen, fosfor dan kalium (Johnson et al. 1984). Hara mikro seperti besi, mangan, tembaga, seng, boron, molibdenum dan klorida digunakan dalam jumlah sangat sedikit. Beneficial elements/ unsur menguntungkan merupakan hara yang keesensialannya tidak berlaku umum, hanya pada tumbuhan tertentu saja yaitu natrium, cobalt, vanadium, iodium (Bennet 1996). Hara dalam tanah dapat diserap oleh tanaman hanya dalam bentuk-bentuk tertentu saja. Umumnya unsur hara terdapat dalam dua macam keadaan (1) persenyawaan kompleks dan sukar larut, (2) bentuk sederhana, larut dalam air tanah dan mudah tersedia untuk tanaman (Buckman dan Brady 1982). Hara yang diserap oleh tanaman akan berperan dalam berbagai aktivitas metabolisme (Balighar dan Duncan 1990). Tidak semua hara dapat tersedia bagi tanaman, sebagian besar hara terikat pada proses-proses kimia di dalam tanah selain itu ketersediaan unsur hara tertentu yang berlebihan akan mempengaruhi hara lainnya. Kondisi hara Fe dan Al yang tinggi akan menyebabkan hara makro yang dibutuhkan tanaman akan sulit tersedia. Pola tanam yang intensif akan mengakibatkan defisiensi unsur hara apabila tidak dilakukan penambahan pupuk yang cukup (Masto et al. 2007). Diperlukan upaya penambahan pupuk atau perlakuan lainnya untuk membuat unsur hara utama dapat digunakan dan tersedia dalam jumlah optimum bagi tanaman (Juang et al. 2002).
17
Fosfor dalam Tanah dan Tanaman
Secara garis besar fosfor (P) dibedakan atas P anorganik dan P organik. Kandungan P anorganik di dalam tanah mineral selalu lebih tinggi dibanding P organik. Meskipun demikian pada lapisan olah, kadar P organik pada tanah mineral selalu lebih tinggi, karena adanya penimbunan bahan organik. P yang diserap tanaman berasal dari P larutan tanah dan erat sekali hubungannya dengan pertumbuhan tanaman (Susila 2002). Bentuk unsur hara fosfor dalam tanah yang lebih komplek dan kurang aktif adalah Apatit, sumber batuan asli, terikat oleh Ca, Fe dan Al serta dalam bentuk organi seperti fitin dan asam nukleat. Beberapa bentuk sederhana hara P dalam tanah seperti P dalam bentuk ortofosfat primer (H2PO4-) dan sebagian kecil dalam bentuk ion HPO4= (Buckman dan Brady 1982). Sumber cadangan P banyak terdapat dalam kerak bumi. Hampir semua senyawa P yang dijumpai di alam, rendah daya larutnya. Fosfor alami dalam tanah mineral jumlahnya sedikit dan ketersediaannya bagi tanaman rendah, sehingga perlu tambahan dari luar melalui pemupukan. Umumnya ketersediaan P menurun di bawah pH 5,5 karena terfiksasi oleh Al, Fe, hidroksida dan liat. Di atas pH 7,0 P difiksasi oleh Ca dan Mg (Brady 1990). Fosfor dalam bentuk organik terdapat dalam tumbuhan hidup dan hasil pelapukan binatang atau tumbuhan mati. Fosfor dalam bentuk organik terdiri atas asam nukleat dan fosfolipid (Bennet 1996). Tanaman biasanya mengabsorpsi fosfat dalam bentuk ion ortofosfat primer (H2PO4-) dan sebagian kecil dalam bentuk ion HPO4=. Setelah diserap tanaman, fosfat (dalam bentuk H2PO4-) akan berada dalam bentuk fosfat anorganik (Pi) atau dalam bentuk ester dengan kelompok hidroksil membentuk ikatan karbon (C-O-P) ester fosfat (gula fosfat) atau bergabung dengan fosfat lain membentuk ikatan pirofosfat yang kaya akan energi P-P misalnya ATP (Widjaya-Adhi 1993; Syers et al. 2008). Cassagne et al, (2000) menyatakan bahwa pergerakan unsur hara P tergantung kandungan bahan organik dan mineral di dalam tanah. P berasal dari pupuk dan akan diabsorbsi tanaman bergerak lambat dengan jarak yang pendek. Pergerakan P ini
18
secara umum melalui sistem difusi dan tergantung oleh jerapan tanah, kelembaban tanah dan kapasitas serap P (Du et al. 2006). Pada era tahun 1950 -1980 penggunaan pupuk P berkembang sangat pesat di seluruh dunia, hal ini terjadi sejalan dengan berkembangnya varietas hibrida yang membutuhkan konsumsi hara yang besar dan upaya mendapatkan produksi maksimum (Valkama et al. 2009). Aplikasi pupuk P berlebihan akan mengakibatkan kerugian secara ekonomis dan terjadi akumulasi unsur hara P dalam tanah yang memberi pengaruh negatif bagi tanaman dan lingkungan (Watanabe et al. 2005). Saat ini produksi tanaman sangat tergantung dengan unsur hara P dan penggunaannya telah meningkat tiga kali lipat dibandingkan awal abad-20 (Dobermann 2007). Aplikasi pemupukan P pada tanaman tomat di Indonesia sangat bervariasi dengan kisaran 71 - 600 P2O5 kg ha-1 (Susila, 2011). Perhatian terhadap lingkungan dan keberlanjutan penggunaan pupuk berdasarkan kondisi biofisik spesifik lokasi, menyebabkan aplikasi pemupukan telah lebih baik di tingkat petani. Saat ini, tujuan utama pengelolaan unsur hara P bertujuan untuk mengoptimalkan produksi tanaman dengan meminimumkan kehilangan unsur hara P dari dalam tanah (Juang et al. 2002). Fosfor berperan dalam proses fotosintesis, respirasi, penyimpanan energi, transfer energi, pembelahan dan perbesaran sel serta berperan dalam pertumbuhan akar dan pucuk tanaman (Rochayati et al. 1999). Fungsi utama P dalam tanaman adalah penyusun DNA dan RNA, menyimpan dan mentransfer energi dalam bentuk ADP dan ATP. Energi diperoleh dari fotosintesis dan metabolisme karbohidrat yang disimpan dalam campuran fosfat untuk digunakan dalam proses-proses pertumbuhan dan produksi (Lukman 2010).
Kalium dalam Tanah dan Tanaman
Secara umum kalium dalam tanah terdapat dalam bentuk: (1) Kalium dalam mineral primer Felspar dan mika, (2) Kalium terfiksasi oleh mineral sekunder
19
almunium silikat seperti lempung terutama Illit (Buckman dan Brady 1982), (3) Kalium dapat dipertukarkan seperti ion kalium yang diadsorbsi komplek koloida dan garam kalium seperti sulfat atau karbonat, serta (4) Kalium dalam larutan. Berdasarkan ketersediaannya bagi tanaman, kalium dapat digolongkan ke dalam: (a) Kalium relatif tidak tersedia seperti pada No. 1 dan No. 2, (b) Kalium lambat tersedia seperti pada No. 3, dan (c) Kalium segera tersedia seperti pada No. 4 (Moody dan Bell 2006; Al Jabri 2007b). Kalium dalam mineral primer merupakan kalium yang relatif tidak tersedia bagi tanaman. Sebagian besar kalium yaitu sekitar 90% - 98 % total K atau sekitar 5.000 - 25.000 ppm K yang ada di dalam tanah terdapat dalam bentuk relatif tidak tersedia bagi tanaman (Ismunadji 1989). Kalium ini sebagai komponen struktur kristal mineral seperti K-feldspar dan mika. Mineral ini sedikit tahan terhadap perubahan iklim dan mensuplai sejumlah kecil kalium selama satu musim tanam (Alley dan Vanlauwe 2009). Kalium yang terfiksasi pada mineral sekunder merupakan kalium yang lambat tersedia. Jumlahnya sekitar 1% - 10 % total K atau sekitar 50 - 750 ppm K yang terdapat dalam tanah. Kation K pada umumnya terfiksasi pada mineral liat 2:1 antara lembar silikat pada antar lapisan dan terfiksasi sangat kuat pada kondisi kekurangan air (Liu et al. 1997). Kalium dalam bentuk terfiksasi ini tidak segera tersedia bagi tanaman, tetapi berada dalam bentuk keseimbangan dengan bentuk tersedia dan selanjutnya merupakan cadangan dalam bentuk kalium lambat tersedia (Helmke dan Sparks 1996). Kalium yang terdapat dalam bentuk yang dapat dipertukarkan dan terdapat dalam larutan tanah merupakan kalium yang segera tersedia. Jumlahnya sangat kecil yaitu hanya sekitar 1% - 2% total K yang ada dalam tanah. Kalium dalam bentuk ini akan mudah mengalami pencucian sehingga yang dapat diserap oleh tanaman juga rendah. Bolland et al. (2002), menyatakan bahwa hujan dalam intensitas tinggi merupakan salah satu penyebab pencucian K dan menyebabkan hilangnya unsur ini dari tanah. Kalium yang dapat dipertukarkan terdapat dalam permukaan liat, dan akan tersedia ke dalam larutan melalui proses pertukaran kation. Kalium dalam bentuk ini
20
berkorelasi dengan penyerapan dan produksi tanaman, tetapi tidak semua K yang terdapat dalam larutan dapat diambil oleh tanaman tergantung kepada daya jerap permukaan tanah. Pupuk K diaplikasikan pada tanah akan terjadi penambahan hara K yang dapat dipertukarkan dan yang terikat. K dapat berpindah dari larutan tanah akibat penyerapan akar. Apabila konsentrasi anion meningkat dalam larutan tanah, kadar K juga meningkat. Walaupun keseimbangan Ca dan Mg terhadap K dalam tanaman sangat penting, penyerapan K tidak secara nyata dipengaruhi oleh kadar Ca tanah, karena Ca diserap tanaman melalui aliran massa, sedangkan K umumnya melalui difusi. Namun, konsentrasi K yang tinggi akan menghambat serapan Mg dan Ca sehingga menyebabkan terjadinya defisiensi Mg dan Ca pada tanaman (Leiwakabessy dan Sutandi 2004). Saat ini aplikasi pemupukan K pada tanaman tomat di Indonesia sangat bervariasi dengan kisaran 50 K2O kg ha-1 - 590 K2O kg ha-1 (Susila, 2011). Tanaman menyerap kalium dalam bentuk ion K+. Pengangkutan K dari larutan tanah ke akar tanaman terutama melalui difusi dan aliran massa. Hanya sebagian kecil (6 % - 10 %) dari total kalium yang diperlukan tanaman diserap melalui kontak langsung antara akar dengan partikel tanah (Du et al. 2006). Jumlah K tersedia yang tinggi dalam larutan tanah atau permukaan liat menyebabkan tanaman dapat menyerap kalium di atas kebutuhan normal yang dikenal dengan istilah luxury consumption (konsumsi berlebihan). Kalium memegang peranan relatif banyak dan penting pada pertumbuhan dan perkembangan tananam seperti proses membuka dan menutupnya stomata yang dipengaruhi oleh kandungan CO2 dan proses fotosintesis (Masdar 2003), proses transportasi unsur hara dari akar ke daun, akumulasi dan translokasi sukrosa, berperan dalam pengisian biji, umbi dan pertumbuhan akar, sintesis selulosa sehingga memperkuat dinding sel, batang, dan pertumbuhan (Susila 2004), sistem enzimatis, ketahanan tanaman, sintesa protein dan pengaturan pH (Amrutha et al. 2007).
21
Uji Tanah dan Peranannya Secara umum uji tanah didefinisikan sebagai pengukuran sifat fisik tanah dan kimia tanah. Sifat fisika tanah yang terpenting adalah solum, tekstur, struktur, kadar air tanah, drainase dan porositas tanah. Sifat kimia tanah yang penting antara lain kadar unsur hara tanah, reaksi tanah (pH), kapasitas tukar kation (KTK) tanah, kejenuhan basa (KB), dan kemasaman (Al dan H) yang dapat dipertukarkan (Dahnke dan Olson 1990). Uji tanah didefinisikan secara terbatas sebagai suatu kegiatan analisis kimia yang sederhana, cepat, murah, tepat, dan dapat diulang untuk menduga ketersediaan hara tertentu dalam tanah (Peck dan Soltanpour 1990; Widjaya-Adhi 1993). Uji tanah pada mulanya dikembangkan untuk memprediksi kebutuhan hara “immobile” pada tanaman utama, dengan perhatian terhadap pengujian dan rekomendasi unsur P dan K. Saat ini uji tanah dianalisis sebelum musim tanam dimulai, dipergunakan untuk berbagai jenis tanaman dengan memonitor kandungan hara dalam tanah selama pertumbuhan tanaman, untuk menghitung keperluan hara yang harus ditambahkan dan untuk mengevaluasi dampak pemupukan terhadap lingkungan (Widjaja-Adhi 1995; Bolland 2007). Uji tanah pada umumnya digunakan untuk menghitung kandungan dan dosis hara tanah yang berguna untuk mengoptimumkan aplikasi dosis pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman tertentu (Mendoza et al. 2009). Program uji tanah di Indonesia baru diperkenalkan pada tahun 1968 oleh Oetit Koswara dari Institut Pertanian Bogor dan diasosiasikan kepada universitas dan lembaga penelitian oleh tenaga ahli dari MUCIA tahun 1971. Program tersebut dilanjutkan oleh Pusat Penelitian Tanah yang telah merintis melakukan juga penelitian uji tanah seperti uji korelasi dan kalibrasi untuk komoditas tanaman pangan (Setyorini et al. 2003). Studi dan penelitian rekomendasi pupuk berdasarkan uji tanah di Indonesia sudah mulai sejak tahun 1970-an namun masih terfokus untuk tanaman pangan. Rekomendasi pemupukan berdasarkan uji tanah untuk tanaman sayuran masih sedikit sekali. Pemupukan yang dilakukan hanya berdasarkan uji dosis pupuk dan bervariasi
22
dengan skala selang yang luas. Aplikasi seperti ini kurang optimal bagi perkembangan dan pertumbuhan tanaman karena tidak mempertimbangkan ketersediaan hara yang ada di dalam tanah (Al Jabri, 2007a). Uji tanah bertujuan: (1) menetapkan dengan teliti status ketersediaan hara dalam tanah, (2) menunjukkan dengan jelas adanya defisiensi atau keracunan untuk berbagai tanaman, (3) membentuk suatu dasar penyusunan rekomendasi pemupukan, dan (4) menyajikan hasil uji tanah dalam bentuk yang memungkinkan suatu evaluasi ekonomi dari rekomendasi yang dianjurkan (Peck dan Soltanpour 1990; WidjayaAdhi 1993). Menurut Maguire dan Sims (2002), uji tanah dilakukan mulai dari identifikasi hara tanah, melakukan interpretasi, evaluasi dan rekomendasi pemupukan serta perubahannya berdasarkan analisis kimia. Tahapan kegiatan uji tanah meliputi: tahap ke-1 pengambilan contoh tanah yang benar dan dapat mewakili lokasi yang diminta rekomendasinya, tahap ke-2 analisis kimia di laboratorium dengan mengunakan metode yang tepat dan teruji, tahap ke-3 interpretasi hasil analisis dan tahap ke-4 rekomendasi pemupukan (Widjaya-Adhi 1995; Sabiham 1995). Tahap ke-2 biasanya dilakukan berdasarkan uji korelasi, sedangkan tahapan ke-3 dan ke-4 berdasarkan hasil penelitian uji kalibrasi di lapangan. Nilai uji tanah tidak akan berarti apabila tidak ada hasil penelitian korelasi dan kalibrasi uji tanah (Evan 1987; Dahnke dan Olson 1990). Menurut Setyorini et al. (2003), penelitian pembinaan uji tanah terdiri atas lima tahap, yaitu: (1) survei karakterisasi tanah; (2) penjajakan hara tanah; (3) korelasi uji tanah; (4) penelitian kalibrasi uji tanah; dan (5) penyusunan rekomendasi pemupukan. Hal awal yang perlu dilakukan antara lain karakterisasi dan identifikasi sampel tanah dari lokasi yang telah diketahui status hara tanah. Tahap awal ini dilakukan melalui dua cara yaitu: (1) pengambilan hara dengan tahapan perbedaan kandungan hara dari berbagai lokasi dengan jenis tanah yang sama dan (2) pembuatan status hara buatan yang bertingkat, dilakukan di satu lokasi tertentu dengan luasan tertentu dengan kondisi hara awal kandungan fosfor tanah yang rendah atau sangat rendah (Morgan 1997; Al Jabri 2007a).
23
Umumnya metode analisis hara tanah di Indonesia masih menggunakan pelarut single nutrient soil analysis, karena keterbatasan biaya, sedangkan di negara maju uji tanah telah menggunakan multi nutrient soil analysis (Al Jabri, 2007a). Kedua metode uji tanah ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu metode uji korelasi, uji kalibrasi dan pembuatan rekomendasi pemupukan. Melalui tahapan uji tersebut akan didapatkan uraian informasi akan kebutuhan unsur hara tanaman khususnya sayuran pada waktu dan tempat tertentu (Haden et al. 2007). Kondisi saat ini, data dasar status hara khususnya P dan K di sentra produksi tanaman sayuran khususnya di dataran rendah lahan kering belum tersedia. Data tersebut sangat diperlukan sebagai dasar untuk menentukan rekomendasi penggunaan pupuk. Selama ini rekomendasi penggunaan pupuk diperoleh dari percobaan dosis pupuk dan bukan didasarkan pada analisis hara tanah yang bersangkutan dan respons tanaman terhadap penggunaan pupuk sehingga hasil yang diperoleh tidak komprehensif (Susila et al. 2010). Uji tanah umumnya diterapkan pada analisis unsur hara esensial bagi tanaman khususnya sayuran seperti Fosfor (P) dan Kalium (K). Kedua unsur hara ini sangat berperan penting dalam proses metabolisme dan fisiologi tanaman (Du Zhenyu et al. 2006). Defisiensi kedua unsur hara ini akan berakibat rendahnya produktivitas tanaman (Redel et al. 2007). Melalui mekanisme uji tanah Aulakh et al. (2003), menginformasikan bahwa terjadi peningkatan Olsen-P tanah sampai 58 kg P ha-1 dan total P tanah meningkat sebesar 410 kg P ha-1 setelah pengunaan pupuk selama 8 tahun di India. Hal ini memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan pada masa yang akan datang. Uji tanah dapat mencegah terjadinya kondisi ekstrim seperti kelebihan, kehilangan dan kekurangan unsur hara esensial yang dibutuhkan tanaman, sehingga pertumbuhan optimum tanaman akan terpenuhi (Maguire dan Sims, 2002).
Korelasi dan Kalibrasi Uji Tanah
Uji korelasi dan uji kalibrasi merupakan bagian dari uji tanah. Tahap awal kegiatan uji tanah adalah pengambilan sampel tanah pada lahan terpilih. Pada
24
tanaman semusim pengambilan sampel tanah biasanya dilakukan pada lapisan tanah atas (top soil) sekitar 0 – 20 cm dari permukaan tanah, sedangkan untuk tanaman tahunan dapat dilakukan dengan analisis tambahan bagian subsoil tanah (> 20 cm) di sekitar perakaran tanaman (Kidder 1993). Nilai uji tanah tidak akan berarti apabila tidak diawali oleh penelitian korelasi uji tanah (Evan 1987; Susila et al. 2010). Uji korelasi dapat dilakukan di dalam rumah kaca dengan media tanam berasal dari lahan yang memiliki kandungan hara tanah bervariasi mulai dari sangat rendah sampai dengan sangat tinggi. Prinsip uji korelasi tanah adalah penggunaan bahan kimia dengan konsentrasi rendah yang dapat mengekstrak unsur hara tertentu yang dikehendaki dan dibutuhkan tanaman (Johnson et al. 1984). Uji korelasi yang baik adalah dasar dari desain prosedur uji tanah secara keseluruhan yang dapat menghemat waktu dan energi, serta hasil yang dapat dipercaya (Peck dan Soltanpour 1990; Horta dan Torrent 2007). Unsur hara tertentu yang dibutuhkan tanaman dapat berkorelasi dengan serapan hara oleh tanaman, pertumbuhan tanaman dan akhirnya berpengaruh secara langsung dengan produksi tanaman (Warncke et al. 2004). Kettering dan Barley (2010) menyatakan bahwa “Agronomic Soil Test” merupakan salah satu pendekatan analisis tanah yang berkembang pada awal tahun 2000. Pendekatan ini merupakan upaya pembuatan rekomendasi pemupukan yang lebih terfokus pada respon hasil tanaman (produksi relatif).
Uji korelasi dan uji kalibrasi dihubungkan langsung
dengan performa agronomi perkembangan, pertumbuhan dan hasil tanaman sehingga pendekatan ini cenderung lebih ekonomis dibandingkan dengan pendekatan lainnya. Hasil uji tanah akan merefleksikan hubungan antara produksi tanaman dengan pemberian pupuk, serta menentukan jumlah pupuk yang dibutuhkan pada kedua pengujian yaitu kalibrasi dan korelasi tanaman tertentu. Pada penelitian uji tanah yang menggunakan falsafah pemupukan Crop Sufficiency Levels, uji korelasi dan uji kalibrasi lebih dihubungkan dengan pertumbuhan dan produksi tanaman (Hochmuth dan Hanlon 2010). Penggunaan beberapa pengekstrak P diperlukan untuk mengetahui kandungan P dalam tanah pada uji korelasi (Fixen dan Grove 1990; Haden et al. 2007). Lima
25
metode ekstraksi yang digunakan untuk mengevaluasi perbedaan tahapan dosis fosfor tanah di Indonesia ialah Bray II, Truog, Bray I, Mehlich I dan Morgan Wolf. Terdapat perbedaan tingkatan kekuatan daya ekstraksi dari ke lima metode yang digunakan untuk uji tanah. Metode ekstraksi dengan asam kuat tidak menjamin merupakan metode terbaik dalam mengekstrak fosfor tanah. Herlihy dan Mc Carthy (2006) melakukan penelitian menganalisis hara P tanah di Inceptisols mengunakan berbagai metode ekstraksi seperti Mehlich III, Morgan, Olsen, Bray, CaCl2, Lactacacetat dan Risin. Analisis kimia untuk uji korelasi berbeda dengan analisis kimia total yang biasanya menggunakan asam kuat. Uji korelasi tanah hanya menggunakan larutan ekstraksi asam encer yang sifatnya selektif, dimana pelarut tersebut hanya mengekstrak bentuk unsur-unsur hara tertentu dalam bentuk tersedia bagi tanaman. Unsur dalam bentuk ini umumnya berupa ion dalam larutan yang tidak terikat, terikat lemah dan immobil namun mudah dilepas (Setyorini et al. 2003). Uji tanah melibatkan bahan-bahan kimia dengan konsentrasi rendah agar unsur yang terekstrak sesuai dengan kebutuhan hara tanaman, sehingga prinsip pentahapan prosedur uji tanah dirancang untuk meminimalkan waktu dan tenaga ekstraksi, namun memperoleh hasil yang lebih teliti (Peck dan Soltanpour 1990). Metode ekstraksi hara fosfor yang biasa digunakan untuk tanah-tanah masam adalah: larutan HCl 25% (nisbah 1:5), Bray I (HCl 0,025 N + NH4F 0,03 N; nisbah 1:7), Bray II (NH4F 0,03 N + HCl 0,10 N), Truog [HCl 0,10 N + (NH4)2SO4 0,025 N; pH 3; nisbah 1:100), Mehlich I (HCl 0,05 M + H2SO4 0,0125 M), dan Morgan Wolf (NaC2H2H3O2.3H2O 1 M; pH 4.8). Untuk tanah alkalin (basa) antara lain Olsen (NaHCO3 0,5 N; pH 8,5; nisbah 1:12) dan Colwell (Al Jabri, 2007a; Horta dan Torrent, 2007; Guerin et al. 2007). Metode ekstraksi kalium yang biasa digunakan adalah: larutan K-HNO3; pH 7, larutan HCl 25% (nisbah 1:5), larutan NaHCO3 0,5 M, Bray I (HCl 0,025 N + NH4F 0,03 N; nisbah 1:7), Bray II (NH4F 0,03 N+ HCl 0,10 N), Truog [HCl 0,10 N + (NH4)2SO4 0,025 N; pH 3; nisbah 1:100), Mehlich I (HCl 0,05 M +H2SO4 0,0125 M), dan Morgan Vanema (NH4OAc 1 M; pH 4,8). Analisis K+ pada tanah alkalin (basa)
26
antara lain Olsen (NaHCO3 0,5 N; pH 8,5; nisbah 1:12), NH4-asetat pH 7 dan larutan NH4OAc 1 N; pH 7 (Moody dan Bell, 2006; Al Jabri, 2007a). Metode uji tanah yang digunakan secara umum di negara bagian Amerika Serikat ialah menggunakan pengekstrak asam ganda. Metode yang dapat digunakan tersebut adalah pengekstrak Mehlich I dan Mehlich III. Metode ini lebih utama digunakan pada tanah pertanian seperti: Ultisols, Inceptisols dan Spodosols (Beck et al. 2004; Haden et al. 2007). Mehlich I dan Mehlich III dapat digunakan dengan baik untuk menganalisis kandungan P tanah yang berguna bagi pertanian dan tidak membahayakan bagi lingkungan (Maguire dan Sims 2002). Guerin et al. (2007) menambahkan, Mehlich III merupakan metode ektraksi uji tanah terbaik untuk menganalisis hara P tanah untuk beberapa tanaman sayuran yang tumbuh di Histosols negara bagian North Carolina, USA. Berbagai uji korelasi menggunakan beberapa reaksi sudah dilakukan oleh banyak negara. Uji korelasi untuk mengekstraksi unsur K yang paling umum digunakan adalah NH4OAc 1 M netral, yang menghasilkan analisis yang baik untuk nilai K-dd (K dapat dipertukarkan). K-dd memiliki korelasi yang cukup baik dengan kemampuan tanah menyediakan unsur K selama musim tanam. Namun metode konvensional ini masih memiliki kelemahan dalam hal mengetahui unsur K yang tidak dapat dipertukarkan, padahal K tersebut berkontribusi banyak terhadap ketersediaan hara tanaman (Evans 1987). Keberhasilan atau kegagalan suatu program uji tanah sangat tergantung dari jumlah dan kualitas data yang tersedia untuk kalibrasi dan interpretasi hasil uji. Ketidaktepatan interpretasi hasil uji akan berdampak pada tidak tepatnya nilai rekomendasi yang diberikan sehingga mengurangi nilai pelayanan uji tanah (Setyorini et al. 2003). Uji tanah menggunakan metode ekstraksi belum memiliki arti luas secara agronomis bila nilai uji tanah dari metode-metode tersebut belum dikalibrasikan dengan kisaran produksi di lapangan. Metode ekstraksi terbaik yang diperoleh dari hasil penelitian korelasi kemudian dilanjutkan dengan penelitian kalibrasi uji tanah
27
dengan tujuan melihat respon pertumbuhan dan perkembangan tanaman di lapangan (Beck et al. 2004; Guerin et al. 2007). Kalibrasi uji tanah merupakan proses mengidentifikasi tingkat kekurangan dan kecukupan hara dan jumlah hara yang akan ditambah jika kurang optimal. Selain itu metode yang digunakan sebaiknya cepat, mudah, murah, otomatis dan biasa digunakan pada jenis tanah yang bermacammacam (Daniels dan Devender 2008). Kalibrasi uji tanah dapat dilakukan dengan pendekatan lokasi banyak (multilokasi) atau dengan pendekatan lokasi tunggal (Widjaja-adhi 1995; Al Jabri 2007a). Pendekatan multi-lokasi memiliki banyak kelemahan antara lain mahal dan karakteristik penyediaan hara yang berbeda. Penggunaan lokasi tunggal dapat menghindari kedua kelemahan tersebut, namun variasi/keragaman status hara yang diperoleh adalah keragaman buatan. Status hara pada model ini dibuat dengan pemberian pupuk, maka harus dipastikan bahwa reaksi pupuk dengan tanah telah mencapai keseimbangan sehingga hara pupuk telah diubah menjadi hara tanah (Susila 2002). Dua cara yang digunakan dalam kalibrasi uji tanah yaitu menggunakan kurva kalibrasi nilai uji tanah terhadap persentase produksi tanaman dan menggunakan pengelompokan dengan metode Cate-Nelson. Perbedaan kedua cara ini terletak pada pengelompokan respon tanaman terhadap nilai uji tanah (Leiwakabessy dan Sutandi 2004). Penentuan batas kritis dalam uji kalibrasi adalah dengan menggunakan grafik yang mengandung kurva continue yang menghubungkan antara hasil relatif dengan nilai uji tanah (Dahnke dan Olson 1990). Pada uji kalibrasi dan uji korelasi tanah akan didapatkan suatu nilai yang terbagi atas beberapa tingkatan seperti ketersediaan unsur hara yang sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi yang pada akhirnya akan mempengaruhi kemungkinan respon tanaman seperti pertumbuhan dan perkembangan serta panen relatif pada setiap tingkatan ketersediaan hara. Adapun tahapan utama melakukan proses pengujian kalibrasi tanah antara lain: analisis tanah, menumbuhkan tanaman di lapangan, mendapatkan data hasil yang dapat dipasarkan (marketable yield), menghubungkan proses pengujian relatif uji tanah terhadap hasil dan mengulanginya
28
pada beberapa jenis tanah, tanaman dan selama beberapa tahun (Rochayati et al. 1999). Kidder (1993) menyatakan bahwa ketersediaan hara dapat dibagi menjadi lima kategori berdasarkan respon hasil relatif seperti: sangat rendah, bila hasil relatifnya < 50%; rendah, bila hasil relatifnya 50 %-75%; sedang, jika hasil relatifnya 75%-100%; dan tinggi, jika hasil relatifnya 100%. Sims et al (2002) menambahkan kategori respon tanaman untuk uji P tanah “rendah” dengan nilai < 25% menunjukkan konsentrasi hara dalam tanah yang tidak cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta panen yang akan rendah, “sedang” antara 26% - 50% memungkinkan tanaman dapat tumbuh namun masih belum cukup untuk mendapatkan panen yang baik, “optimal” antara 51% - 100% merupakan kisaran hara tanah yang dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan hasil tanaman serta tidak diperlukan penambahan hara dalam jumlah besar, dan “tinggi” (excessive) apabila panen maksimal “100%”, pemberian hara yang berlebih akan berpengaruh negatif terhadap lingkungan, menyebabkan terjadi pencemaran hara tertentu, dan penurunan hasil panen tanaman.
29
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di rumah kaca dan lapangan, University Farm IPB, Cikabayan, Darmaga, Bogor dengan letak koordinat 6°33'3" Lintang Selatan 106°42'51" Bujur Timur dan ketinggian tempat sekitar 250 m dari permukaan laut. Persiapan awal tanah untuk analisis seperti pengeringan dan pengayakan dilakukan di Green house University Farm dan analisis tanah dilakukan di Laboratorium Penelitian Kimia dan Uji Tanah, Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, Jalan Raya Sindang Barang, Bogor. Penelitian dimulai dari Maret 2010 sampai dengan Desember 2011.
Metode Penelitian
Penelitian terdiri atas beberapa tahapan utama, yaitu: pembuatan kisaran status hara P dan K tanah, uji korelasi, uji kalibrasi, dan penyusunan rekomendasi pupuk Fosfor dan Kalium. Gambar 2 menunjukkan alur tahapan penelitian.
Percobaan I: Uji Korelasi P dan K 1. 1. Analisis Tanah Awal Tahapan penelitian diawali dengan mengambil sampel tanah dari lokasi penelitian yang merupakan dua hamparan lahan masing-masing seluas 100 m x 10 m. Sampel tanah dikompositkan, masing-masing diambil dari kedalaman 20 cm dari 10 titik pengambilan sampel. Tanah dikeringudarakan selama satu minggu, dan diayak dengan ukuran 2 mm. Kemudian tanah tersebut dianalisis sifat fisik dan kimianya: sifat-sifat fisik adalah tekstur, struktur dan bahan organik; sifat-sifat kimia: pH, KTK,
C-organik, unsur hara N, P, K, Mg, Na dan Ca. P dan K diukur dengan 29
30
menggunakan metode analisis yang dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Kimia dan Uji Tanah, Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian.
Pembuatan status hara
Tanah dengan kisaran konsentrasi hara yang lebar
Percobaan I. Uji korelasi
Terpilihnya metode pengekstrak terbaik untuk hara P dan K tanah
Percobaan II. Uji kalibrasi
Pengkelasan P dan K tanah berdasarkan interpretasi respon hasil relatif tomat
Percobaan III. Penyusunan rekomendasi pemupukan
Dosis optimum pupuk P dan K untuk tanaman tomat pada Inceptisols
Gambar 2. Alur tahapan penelitian
31
1.2. Pembuatan Status Hara P dan K Tanah Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi hara P dan K dengan kisaran yang lebar pada lahan penelitian serta menilai konsentrasi P dan K terekstrak beberapa larutan pengekstrak seperti untuk hara P (Bray I, Bray II, Mehlich I, Morgan Wolf, Truog, dan HCl 25%); sedangkan hara K (NH4OAc 1M pH 7, Truog, Morgan Vanema, Mehlich I, dan HCl 25 %). Pembuatan status hara dilakukan pada setiap petak dengan aplikasi sumber hara P atau K sebanyak: T0
= tanpa penambahan pupuk P (0 kg ha-1 P2O5) atau K (0 kg ha-1 K2O); 0X
T1
= penambahan pupuk P (92,1 kg ha-1 P2O5) atau K (152,2 kg ha-1 K2O); ¼ X
T2
= penambahan pupuk P (184,3 kg ha-1 P2O5) atau K (304,3 kg ha-1 K2O); ½ X
T3
= penambahan pupuk P (276,4 kg ha-1 P2O5) atau K (456,5 kg ha-1 K2O); ¾ X
T4
= penambahan pupuk P (368,6 kg ha-1 P2O5) atau K (608,6 kg ha-1 K2O); X
Nilai X untuk P2O5 sekitar 368,6 kg ha-1 dan K2O sekitar 608,6 kg ha-1. Nilai X merupakan “erapan hara” P dan K maksimum berdasarkan perhitungan analisis metode Fox dan Kamprath (1970) menggunakan larutan CaCl2 0,01 M yang dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian Tanah dan menggunakan kurva Langmuir dalam penentuan nilai X tersebut. Ukuran petak percobaan 1,5 m x 30 m masingmasing dosis aplikasi hara diulang 4 kali.
Lahan ini selanjutnya juga akan
dipersiapkan sebagai lokasi percoban uji kalibrasi. Pada masing-masing petak dilakukan pengolahan tanah sempurna dan dirotari sampai tanah permukaan tercampur secara sempurna. Pupuk diinkubasi pada tanah minimal selama 6 bulan untuk analisis P tanah dan 3 bulan untuk analisis K tanah. Status hara buatan diaplikasi dengan membagi petakan percobaan menjadi lima tingkat perbedaan kesuburan (Hara P dan K berdasarkan nilai X) diulang sebanyak empat kali. Lahan percobaan terdiri atas pengkelasan status P dan K dari yang sangat rendah sampai sangat tinggi. Pembuatan status hara P dilakukan dengan pemberian pupuk SP-36% P2O5. Pembagian dosis didasarkan perlakuan yang akan digunakan pada petak percobaan. Aplikasi kapur pertanian sebanyak 5 ton ha-1 setelah pembuatan bedengan
32
dan pemerataan tanah guna peningkatan pH tanah dilakukan seminggu sebelum perlakuan pupuk. Perlakuan pupuk dilakukan selama rentang waktu 2 hari. Pupuk SP-36 sebelum diaplikasikan ke tanah, dicampur dahulu dengan air dalam ember (60 g l-1) lalu diaduk merata, kemudian ditebar dan disiram mengunakan gembor secara merata di atas petak perlakuan yang disesuaikan dengan dosis hitungan. Pembuatan status hara K dilakukan dengan pemberian pupuk KCl 60% K2O. Cara dan waktu aplikasi sama seperti pada percobaan hara P. 1.3. Penanaman di Dalam Rumah Kaca Percobaan di dalam rumah kaca bertujuan untuk mengetahui dan memilih metode ekstraksi hara P dan K tanah yang berkorelasi paling baik dengan pertumbuhan tomat pada media jenis tanah Inceptisols. Pada percobaan P dan K, varietas tomat dataran rendah yang digunakan adalah “Ratna”. Persemaian pada percobaan P dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2010 dan penanaman dilakukan pada tanggal 3 September 2010, sedangkan percobaan K persemaian pada tanggal 15 Juni 2011 dan penanaman pada tanggal 6 Juli 2011. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL), empat ulangan. Percobaan dilaksanakan dalam polibag ukuran 45 cm x 45 cm. Tanah sebagai media diambil dari 5 titik sampel tanah di setiap petakan secara acak. Tanah dicampur dan dikompositkan dalam karung. Pengeringan dilakukan pada suhu kamar dan di dalam green house tanpa terkena sinar matahari secara langsung. Tanah yang kering dihaluskan dan diayak menjadi ukuran sekitar 2 mm. Tanah sebagai media dimasukkan ke dalam polibag dengan bobot 6 kg per polibag. Setiap polibag ditanami satu individu tanaman tomat sampai akhir fase vegetatif tanaman. Pupuk lain yang diaplikasi adalah [(urea 100 kg ha-1, 50 kg kg ha-1 SP 36 (perlakuan K), 50 kg ha-1 KCl (perlakuan P)]. Penyiraman dilakukan sesuai kebutuhan tanaman dan diberikan merata menggunakan sistem irigasi tetes sehingga terukur dengan baik. Pengamatan dilakukan hanya pada fase vegetatif sampai umur 7 Minggu Setelah Tanam (MST). Data yang dikumpulkan adalah: tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, bobot biomas segar dan bobot biomas kering tanaman tomat untuk
33
setiap perlakuan. Data dianalisis menggunakan Program Minitab 14 dan Microsoft Excel for Windows. Pada percobaan ini dilakukan analisis regresi untuk melihat korelasi antara metode ekstraksi P terhadap produksi tomat. Analisis tanah uji korelasi P tanah dengan berbagai pengekstrak seperti: Bray I (HCl 0,025 N + NH4F 0,03 N), Bray II (NH4F 0,03 N+ HCl 0,10 N), Mehlich I (HCl 0,05 M +H2SO4 0,0125 M), Morgan Wolf (NaC2H2H3O2.3H2O 1 M; pH 4,8) dan Truog [HCl 0,10 N + (NH4)2SO4 0,025 N; pH 3]; sedangkan K tanah larutan HCl 25% (nisbah 1:5), Mehlich I (HCl 0,05 M +H2SO4 0,0125 M), Truog [HCl 0,10 N + (NH4)2SO4 0,025 N; pH 3; nisbah 1:100), Morgan Vanema (NH4OAc 1 M; pH 4,8) dan larutan NH4OAc 1 N pH 7 yang dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Kimia Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Laladon, Bogor.
1.4. Analisis Korelasi Menentukan Metode Pengekstrak Penentuan metode pengekstrak terbaik didasarkan pada nilai koefisien korelasi (r) yang tinggi antara nilai P atau K terekstrak (X) dan hasil relatif (Y). Nilai koefisien korelasi (r) ditentukan dengan rumus (Gomez dan Gomez 1995) : ΣXY r =
√ (ΣX2 ) (ΣY)2
Nilai r menunjukkan kekuatan hubungan linear. Nilai korelasi berada pada interval -1
r
1. Tanda – dan + menunjukkan arah hubungan. Menurut Sulaeman dan
Evianti (2002) ukuran korelasi adalah sebagai berikut: 0,70 - 1,00 (baik plus atau minus) menunjukkan derajat asosiasi yang tinggi. Nilai korelasi 0,40 - 0,70 (baik plus atau minus) artinya ada korelasi yang substansial, 0,20 - 0,40 (baik plus atau minus) artinya ada korelasi yang rendah, sedangkan 0,0 - 0,20 (baik plus atau minus) artinya korelasi yang dapat diabaikan.
34
Percobaan II. Uji Kalibrasi P dan K tanah Penelitian bertujuan untuk memperoleh kelas ketersediaan P dan K tanah berdasarkan interpretasi respon hasil relatif tanaman tomat dengan aplikasi pemupukan masing-masing unsur hara P dan K. Penentuan kelas ketersediaan hara P tanah mengacu pada Kidder (1993) yang mengelompokkan menjadi beberapa kelas berdasarkan hasil relatif, yaitu: sangat rendah (< 50 %), rendah (50 - 75 %), sedang (75 - 100 %), dan tinggi (100 %). Batas kritis untuk membedakan nilai P terekstrak dari setiap kelas ditentukan dengan persamaan regresi dari kurva kalibrasi yang menghubungkan antara nilai P terekstrak (X) dengan hasil relatif (Y), seperti pada Gambar 3. 100
Hasil Relative (%)
90 80
Y = a + bX + -cX 2
70 60 50 40 30 20
SR
R
S
T & ST
10
X1
0 0
20
40
60
X2 80
X3
100 120 140 160 180 200 220 240 P Terekstrak (ppm)
Gambar 3. Kurva kalibrasi untuk menentukan respon kategori status hara P terhadap hasil relatif. Percobaan dilakukan pada tanah yang telah mendapat perlakuan inkubasi. Perlakuan sesuai dengan dosis untuk inkubasi pada masing-masing petak utama yang sudah memiliki kandungan hara berbeda mulai dari sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi untuk masing-masing hara P dan K, sedangkan pemupukan hara lain selain perlakuan digunakan dosis acuan penelitian Amisnaipa et al. (2009) di lokasi yang berdekatan [(urea 200 kg ha-1, 150 kg SP 36 (perlakuan K), 100 kg ha-1
35
KCl (perlakuan P)]. Setiap petak percobaan berukuran 1,5 m x 5 m ditanam tomat dengan jarak tanam dua lajur (double row), 50 cm dalam baris dan 60 cm antar baris, dengan total jumlah tanaman sebanyak 100 tanaman per unit percobaan (plot). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak terpisah (split plot design) dengan empat ulangan. Varietas tomat yang dipakai pada uji kalibrasi P adalah Arthaloka dan pada uji kalibrasi K adalah Ratna. Pengamatan dilakukan mulai seminggu dari pindah ke lapang (transplanting) sampai dengan panen, dengan rincian sebagai berikut: 1. Pengamatan vegetatif tomat yaitu tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah daun; 2. Pengamatan generatif tomat: bobot kering biomas, bobot basah biomas, bobot buah tomat dapat dipasarkan (marketable yield) per tanaman sampel dan per petak. Data dianalisis menggunakan analisis ragam dan apabila berpengaruh nyata dilakukan uji lanjut ortogonal polinomial untuk melihat responnya. Untuk mengetahui kategori status hara P dan K dilakukan tahapan kegiatan sebagai berikut: 1. Menghitung hasil relatif (Relative Yield = % RY) atau rata-rata dari setiap ulangan sebagai berikut: Yi Hasil relatif =
x 100 %
Yi
Y maks = hasil pada perlakuan hara P dan K ke –i
Ymaks
= hasil maksimum pada status hara P dan K
2. Nilai hasil relatif tanaman tomat sebagai dependent variable (Y) dihubungkan dengan nilai kandungan hara P dan K sebagai independent variable (X) untuk dianalisis dengan beberapa model regresi (kuadratik, linear dan kubik). Model yang mempunyai kriteria terbaik secara statistika akan dipakai untuk menentukan status hara P dan K tanaman tomat. Berdasarkan model yang telah ditetapkan maka ditarik garis untuk menghubungkan antara kadar hara P dan K dengan hasil relatif untuk menentukan status hara sesuai dengan pendapat Kidder (1993).
36
Percobaan III: Penyusunan Rekomendasi Pemupukan P dan K Rekomendasi pemupukan P dan K dari setiap kelas hara P dan K pada tanaman tomat didasari oleh gambaran dari respon hasil relatif
yang diperoleh
dengan menggunakan analisis regresi. Analisis regresi dihitung dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (ordinary least square), yaitu dengan meminimumkan jumlah kuadrat dari sisaan. Asumsi yang mendasari metode ini adalah sisaannya menyebar normal, bebas dan ragam sama. Persamaan regresinya adalah : RY = a + bK + cK2 Keterangan: RY
= hasil relatif (%)
K
= dosis pupuk P atau K
a, b dan c
= konstanta.
Selanjutnya persamaan regresi tersebut dibuat kurva untuk setiap kelas ketersediaan P dan K tanah. Penentuan dosis P dan K menunjukkan hasil relatif maksimum dengan rumus dari persamaan regresinya, yaitu: dRY/dK = b + 2 cK = 0 K = - b/2c Keterangan: RY
= hasil relatif (%)
K
= dosis pupuk P atau K
b dan c
= konstanta. Dosis yang direkomendasikan adalah dosis pupuk P dan K untuk mencapai
hasil maksimum. Komponen hasil yang diamati dan analisis statistik sesuai dengan percobaan sebelumnya. Percobaan ini dilakukan
pada hamparan lahan setelah
37
inkubasi tanah dilakukan. Penanaman tomat dilakukan pada masing masing petak utama yang sudah memiliki kandungan hara berbeda mulai dari sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Petak utama tersebut dibagi menjadi 5 bagian dengan ukuran petak masing masing 1,5 m x 5 m. Setiap petak diberi perlakuan P atau K sebanyak (0, ¼X, ½ X, ¾X, dan X). Analisis kandungan hara P dan K dilakukan sebelum tanam untuk menentukan kategori kandungan hara P dan K, yang selanjutnya akan ditentukan
dosis pupuk optimum untuk masing-masing
kategori. Budidaya tanaman dilakukan secara standar seperti pada percobaan II.
38
73
PEMBAHASAN UMUM Uji tanah didefinisikan secara terbatas sebagai suatu kegiatan analisis kimia yang sederhana, cepat, murah, tepat, dan dapat diulang untuk menduga ketersediaan hara tertentu dalam tanah. Pembangunan rekomendasi pemupukan berdasarkan uji tanah dilakukan mulai dari identifikasi hara tanah, melakukan interpretasi, evaluasi dan rekomendasi pemupukan serta perubahannya berdasarkan analisis kimia (Maguire dan Sims 2002). Identifikasi hara tanah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) pengambilan tanah yang memiliki perbedaan signifikan kandungan hara dari berbagai lokasi dengan jenis tanah yang sama, dan (2) pembuatan status hara buatan yang bertingkat, yang dilakukan di satu lokasi tertentu pada luasan tertentu dengan kondisi hara awal kandungan hara tanah yang rendah atau sangat rendah (Al Jabri 2007a). Cara pertama dilakukan apabila terdapat data yang lengkap tentang kandungan status hara di berbagai lokasi pada jenis lahan yang sama. Hara tanah tersebut harus memiliki tingkatan kandungan hara dengan kriteria yang lengkap mulai dari status hara sangat rendah sampai sangat tinggi. Pembuatan status hara bertingkat dapat dilakukan melalui metode inkubasi pupuk. Inkubasi bertujuan untuk mendapatkan kisaran hara tanah dengan konsentrasi yang lebar mulai dari sangat rendah sampai sangat tinggi. Tanah tersebut akan digunakan sebagai media untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi hara dengan hasil relatif tomat. Analisis hara lebih lanjut menggunakan berbagai metode ekstraksi hara. Analisis semua metode ekstraksi harus menunjukkan hasil yang sesuai dengan kandungan hara sebagai representasi tingkat kesuburan tanah yang mengandung hara P dan hara K seperti yang dilakukan pada penelitian ini. Tahapan penelitian dapat berlanjut
dengan melakukan uji korelasi di rumah kaca untuk
mengetahui korelasi kandungan hara dan pertumbuhan/produksi tanaman (hasil relatif) yang terbaik. Uji korelasi merupakan suatu tahapan kegiatan penelitian uji tanah. Uji korelasi bertujuan untuk menentukan atau menyeleksi jenis pengekstrak terbaik guna
74
mengetahui hubungan hasil relatif tanaman dengan jumlah unsur hara yang tersedia di dalam tanah. Uji korelasi tanah menggunakan larutan ekstraksi yang sifatnya selektif dan sebaiknya berkonsentrasi rendah (Peck dan Soltanpour 1990; Setyorini et al. 2003; Beck et al. 2004). Penelitian ini memberikan informasi bahwa larutan dan metode ekstraksi hara P tanah yang terbaik dan berkorelasi tertinggi terhadap hasil relatif tomat adalah Mehlich I dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,89. Hasil penelitian Sims et al. (2002) menyatakan bahwa pengekstrak Mehlich I digunakan sebagai metode analisis standar P tanah di negara bagian Maryland dan Virginia yang sebagian besar wilayahnya memiliki jenis tanah Ultisols dan Inceptisols. Syers et al. (2008) menambahkan bahwa pelarut Mehlich I sering digunakan sebagai metode ekstraksi hara P tanah. Metode ekstraksi hara K tanah yang terbaik untuk tanaman tomat di Inceptisols adalah Truog dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,56. Metode ekstraksi yang terpilih harus didapat dari uji tanah yang reliable (murah, sederhana, cepat dan reproducible). Metode ekstraksi ini tidak dapat diterapkan pada tanaman tomat dan sayuran lainnya pada lokasi berbeda dan waktu berbeda (spesifik lokasi). Setiap tanaman mempunyai metode ekstraksi yang berbeda, bahkan untuk varietas/jenis tanaman satu akan berbeda dengan jenis tanaman yang lain. Pelarut Mehlich I adalah pelarut terbaik untuk mengekstrak P pada Inceptisols karena merupakan salah satu pelarut yang menggunakan dua macam asam ganda yaitu: HCl dan H2SO4, sehingga akan lebih kuat melepas ikatan molekul P dalam larutan tanah serta P terikat seperti FePO4 2H2O, AlPO4 2H2O dan Organik-P (Hesse 1972). Pengunaan pelarut asam ganda akan lebih baik dalam mengekstrak hara P tanah dibandingkan dengan satu pelarut asam saja (Page et al. 1982). Pelarut yang berasal dari ekstraktan bersifat asam akan lebih baik mengekstrak hara pada tanahtanah masam (Fixen dan Grove 1990). Pada penelitian ini media tanam untuk tanaman tomat berasal dari tanah Inceptisols yang merupakan tanah masam. Pengekstrak “Truog” merupakan pengekstrak yang terbaik untuk ekstrasi hara K tanah dalam penelitian ini. Truog merupakan pengekstrak asam ganda yaitu pengunaan senyawa H2SO4 dan (NH4)SO4, sehingga akan lebih baik dalam mengetahui kandungan hara K tanah jika dibandingkan dengan pengunaan senyawa
75
pengekstrak asam tunggal saja (Hesse 1972). Penggunaan senyawa (NH4)SO4 akan dapat mengikat ion K+ yang dapat dipertukarkan dengan mengantikan dengan ion NH4+, demikian juga H2SO4 yang dapat menukar ikatan K+ dengan H+. Menurut (Page et al. 1982), sebagian kecil dari total K dalam bentuk dapat dipertukarkan (1% - 2%) dan sebagian K terlarut biasanya hanya dalam jumlah kecil, serta K dalam bentuk terikat. Bentuk K dapat dipertukarkan adalah merupakan sumber utama dari K untuk diserap tanaman, sehingga prosedur uji tanah yang paling baik digunakan adalah dengan memperkirakan kebutuhan hara K yang dapat dipertukarkan. Selain kedua metode analisis (Mehlich I dan Troug) terbaik dalam mengekstrak hara P dan K pada Incepsisols untuk tanaman tomat, keduanya pula relatif lebih membutuhkan bahan baku dan biaya analisis yang murah (ekonomis). Nilai bahan ekstraktan yang digunakan dalam metode analisis hara tanah dari termurah hingga termahal adalah: Mehlich I (Rp. 2.585,-), Truog (Rp. 2.832,-), HCl 25% (Rp. 4122,-), Morgan Vanema (Rp. 4.454,-), Bray I (Rp. 7166,-), Bray II (Rp. 9.201), Morgan Wolf (Rp. 10.710,-) dan NH4OAc (Rp. 11.178,-). Penelitian uji korelasi di rumah kaca pada berbagai status hara P dan K yang berbeda memberikan hasil berbeda nyata pada taraf 1% pada peubah pertumbuhan tanaman tomat seperti tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah daun. Peubah bobot segar dan bobot kering biomas tanaman tomat menunjukkan perbedaan nyata pada taraf 1 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa selain analisis hara menggunakan berbagai metode ekstraksi memberikan hasil yang sesuai dengan perkembangan tanaman tomat, peubah pertumbuhan tanaman tomat juga memberikan perbedaan baik secara visual maupun secara statistik. Penelitian kalibrasi uji tanah dengan tujuan melihat respon pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman di lapangan (Guerin et al. 2007). Respon pertumbuhan yang berbeda nyata pada taraf 1% antar perlakuan pada peubah tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah daun terlihat pada uji kalibrasi kedua unsur hara P dan K. Respon tanaman tomat berupa marketable yield, bobot kering dan bobot basah biomas tanaman tomat menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar
76
tingkat kandungan P dan K. Respon ini dapat digunakan lebih lanjut untuk membagi klasifikasi hara berdasarkan tingkat ketersediaan hara di dalam tanah. Kelas ketersediaan status hara P tanah pada uji kalibrasi terbagi atas empat kategori. Kelas ketersediaan status hara P tanah untuk tanaman tomat yang dibudidayakan di Inceptisols dengan kandungan hara P ≤ 1,7 ppm P2O5 memberikan produksi relatif tomat kurang dari 50%, diklasifikasikan sebagai kategori ”sangat rendah”. Hasil relatif dengan kategori ”rendah” sekitar 50% – 75%, ekstraktan P tanah Mehlich I antara > 1,7 – < 18,1 ppm P2O5. Hasil relatif tomat dengan kategori ”sedang” sekitar 76% - 90% dapat dihasilkan jika ekstraktan P tanah Mehlich I antara > 18,1 – ≤ 48,1 ppm P2O5. Hasil relatif produksi tomat yang lebih dari 90% atau respon kategori ”tinggi” diperoleh apabila P tanah ekstraktan Mehlich I sebanyak > 48,1 ppm P2O5. Kelas ketersediaan status hara K tanah pada pada tahun kedua uji kalibrasi terbagi atas empat kategori. Kelas ketersediaan status hara K tanah untuk tanaman tomat yang dibudidayakan di Inceptisols dengan kandungan hara K ≤ 42,8 ppm K2O memberikan produksi relatif tomat kurang dari 50%, diklasifikasikan sebagai kategori ”sangat rendah”. Hasil relatif dengan kategori ”rendah” sekitar 50% – 75%, ekstraktan K tanah Truog antara > 42,8 –
≤ 113 ppm K2O. Hasil relatif tomat
dengan kategori ”sedang” sekitar 76% - 85% dapat dihasilkan jika ekstraktan K tanah Truog antara > 113 – ≤ 191,6 ppm K2O. Hasil relatif produksi tomat yang lebih dari 85% atau respon kategori ”tinggi” diperoleh apabila K tanah ekstraktan Truog sebanyak > 191,6 ppm K2O. Klasifikasi dan batasan kandungan unsur hara P dan K tanah yang dihubungkan dengan produksi relatif tanaman tomat bermanfaat untuk digunakan sebagai acuan pembuatan tabel interpretasi hasil analisis tanah dan sebagai dasar pemberian rekomendasi pemupukan berdasarkan tingkatan kandungan hara tanah. Nilai status hara tanah pada lahan pertanian tertentu menunjukkan batasan hara yang sangat rendah akan memberikan hasil relatif tanaman yang rendah pula, sehingga perlu upaya meningkatkan ketersedian unsur hara melalui pemupukan dengan dosis yang tinggi. Sebaliknya, apabila hasil analisis tanah menunjukkan nilai yang tinggi
77
akan diprediksi memberikan hasil relatif tanaman yang tinggi pula sampai pada batasan maksimum kebutuhan dan serapan hara oleh tanaman serta tidak perlu dilakukan pemupukan. Tahapan akhir dari keseluruhan uji tanah adalah pembuatan rekomendasi pemupukan berdasarkan klasifikasi kandungan hara yang ada. Rekomendasi pemupukan P dan K dari setiap kelas hara P dan K pada tanaman tomat di Inceptisols didasari oleh hubungan dosis pupuk yang diplot dengan hasil relatif tomat yang menggunakan analisis regresi. Dosis yang direkomendasikan adalah dosis pupuk P dan K pada hasil maksimum. Rekomendasi pertama pada tanah yang memiliki kriteria kandungan hara P “sangat rendah”, maksimum pemberian pupuk P dengan jumlah 183,3 P2O5 kg ha-1 atau sama dengan 509 kg ha-1 SP 36 % P2O5. Rekomendasi kedua untuk kandungan hara P “rendah”, memerlukan tambahan pupuk sebanyak 71,4 P2O5 kg ha-1 atau sama dengan 198,4 kg ha-1 SP 36 % P2O5. Rekomendasi pemupukan K tanah dengan status hara K “sangat rendah”, pertumbuhan tanaman tomat dengan hasil yang maksimum memerlukan tambahan dosis pupuk sebanyak 281,3 K2O kg ha-1 atau setara dengan KCl 468,8 kg ha-1. Tanah dengan kandungan hara K “rendah”, memerlukan tambahan pemupukan K sebanyak 178,6 K2O kg ha-1 atau setara dengan 297,7 KCl kg ha-1. Pada penelitian ini, kandungan hara P dan K kategori sedang sampai tinggi tidak memerlukan adanya pemberian rekomendasi pemupukan karena hara di dalam tanah sudah mampu mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan tanaman tomat. Pada lahan pertanian yang
memiliki kandungan hara sedang dan tinggi,
pemberian pupuk P atau K tidak akan menaikkan produksi secara signifikan, sebaliknya kemungkinan akan dapat menyebabkan penurunan produksi karena keracunan
atau interaksi dengan unsur hara lainnya. Uji tanah dapat mencegah
terjadinya kondisi ekstrim seperti kelebihan, kehilangan dan kekurangan unsur hara esensial yang dibutuhkan tanaman, sehingga pertumbuhan optimum tanaman akan terpenuhi (Maguire dan Sims 2002). Penelitian dan penyusunan rekomendasi pemupukan P dan K melalui beberapa tahap uji tanah pada tanaman tomat merupakan pertama kali dilakukan di
78
Indonesia. Pembuatan dosis rekomendasi pemupukan dengan metode uji tanah yang selektif, memiliki nilai ekonomis tinggi karena dosis pupuk rekomendasi disesuaikan dengan status hara yang ada sehingga penggunaan tidak berlebihan, dan rekomendasi pemupukan tersebut dapat diaplikasi oleh petani tomat. Perbedaan metode ini dengan metode lainnya ialah: metode ini tidak memerlukan tambahan analisis jaringan tanaman dengan biaya yang semakin banyak
(metode Cate-Nelson), metode ini
hanya menghubungkan antara kandungan hara dan produksi relatif tanaman (metode Kidder). Selain itu perbedaan metode ini adalah membagi status hara menjadi empat kategori (sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi) sedangkan metode Cate-Nelson hanya membagi menjadi dua kategori yaitu rendah dan tinggi. Rekomendasi pupuk hasil penelitian ini dapat diterapkan di lokasi pertanaman tomat yang memiliki jenis tanah Inceptisol dengan karakteristik tanah yang sama di Indonesia tetapi harus diketahui status hara tanah sebelumnya (sangat rendah atau rendah). Apabila status hara yang ada pada kategori sedang dan tinggi, tidak perlu dilakukan pemupukan sebelum tanam. Selain itu perlu dipertimbangkan varietas tanaman tomat yang akan ditanam pada saat musim tanam tersebut. Varietas yang digunakan pada penelitian ini adalah Arthaloka dan Ratna. Idealnya untuk varietas tomat lainnya perlu juga dilakukan tahapan uji pembuatan dosis rekomendasi pemupukan seperti pada penelitian ini. Secara umum, pembuatan dosis rekomendasi pemupukan akan lebih baik apabila dilakukan melalui tahapan uji tanah pada berbagai lokasi spesifik dan untuk berbagai jenis tanaman sayuran serta jenis varietasnya, sehingga akan diperoleh data spesifik rekomendasi dosis pupuk untuk wilayah tertentu. Semakin banyak pengujian akan meningkatkan ketelitian terkait hubungan antara kandungan hara tanah dengan produksi tanaman serta akan terpilih metode ekstraksi yang paling sesuai. Aktivitas penyusunan rekomendasi dengan uji tanah seyogyanya selalu dilakukan pada masa yang akan datang dan untuk membangun tabel interpretasi dan tabel rekomendasi di setiap area produksi. Selama ini rekomendasi pemupukan pada tanaman tomat dan sayuran lainnya dilakukan dengan cara uji optimasi dosis pupuk terhadap hasil tanaman, tanpa
79
mempertimbangkan kondisi hara dan status hara tanah, sehingga saat ini dosis yang ada sangat bervariasi dengan selang antara 50-600 kg ha-1. Rekomendasi pupuk tersebut diterapkan pada semua jenis tanah (Susila 2011). Hal ini akan berakibat semakin banyak dampak negatif yang timbul seperti kandungan hara tertentu, pencemaran lingkungan, eutrofikasi, dan penurunan produktivitas tanaman. Status hara merupakan dasar yang terpenting dalam pembuatan rekomendasi dosis pemupukan yang rasional untuk jenis tanaman tertentu pada lokasi spesifik. Saat ini informasi tentang status hara masih sangat minim. Status hara yang ada hanya dianalisis untuk tanaman padi sawah dan dipakai untuk semua jenis tanaman. Badan Litbang Pertanian melalui Gerakan Revitalisasi Sumber Daya Lahan, pada tahun 2013 akan kembali mengkaji lebih mendalam status hara tanah pertanian yang ada di Pulau Jawa untuk berbagai jenis tanaman. Menurut Hilman et al. (2008) data sebaran status hara P dan K di sentra produksi sayuran dataran rendah di Kabupaten Bogor yang sebagian besar merupakan tanah Inceptisols, menunjukkan bahwa luas tanah berdasarkan peta status hara P sebesar 1.365,03 ha termasuk kategori sangat rendah, 3.395,37 ha kategori rendah, 21.248,71 ha kategori sedang, dan 13.978,87 ha kategori tinggi, sedangkan peta status hara K adalah 6.337,79 ha termasuk kategori sangat rendah, 12.768,03 ha kategori rendah, 17.243,78 ha kategori sedang, dan 3.638,39 ha kategori tinggi. Klas status hara ditetapkan oleh Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian dan menggunakan metode ekstraksi HCl 25%. Kelemahan klasifikasi status hara dan data interpretasi ini adalah tidak disebutkan komoditas spesifik tanaman sayuran dataran rendah yang menjadi dasar pengkelasannya. Berkaitan dengan data luasan lahan berdasarkan status hara tersebut di atas dan hasil rekomendasi pemupukan dari penelitian ini, maka pemberian pupuk P dan K hanya diberikan pada tanah yang memiliki status hara dengan kriteria sangat rendah dan rendah (seluas 4.760,4 ha untuk P dan 19.105,82 ha untuk K). Pada status hara dengan kriteria sedang dan tinggi (seluas 35.117,58 ha untuk P dan 20.871,17 ha untuk K), tidak perlu dilakukan pemupukan P dan K. Rekomendasi pemupukan berdasarkan uji tanah dan penggunaannya akan lebih efisien dan efektif untuk
80
budidaya tanaman melalui aplikasi filosofi tingkat kecukupan hara bagi tanaman (crop sufficiency level). Namun sampai saat ini, umumnya pemberian pupuk selalu dilakukan oleh petani atau pengusaha bidang pertanian tanpa mengetahui dan mempertimbangkan kandungan hara tanah di lokasi budidaya tanamannya. Pemberian pupuk yang sesuai dosis akan lebih optimum menggantikan hara tanah yang diserap oleh tanaman. Namun apabila pemberian dilakukan dalam jumlah dosis yang tinggi dan berlebihan akan terjadi pemborosan penggunaan pupuk khususnya di lokasi yang memiliki status hara sedang dan tinggi karena dosis tersebut berada di atas kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan tanaman tomat.
Aplikasi dan Perkembangan Uji Tanah Lebih Lanjut di Indonesia Aplikasi dan rekomendasi pemupukan berdasarkan analisis tanah telah berkembang pesat khususnya di beberapa negara maju seperti Amerika, Australia dan Eropa (Guerin et al. 2007; Horta dan Torrent 2007). Namun aplikasi dan rekomendasi pemupukan dengan metode ini di Indonesia masih banyak menghadapi kendala (Al Jabri 2007a). Beberapa kendala tersebut antara lain masih terbatasnya dana penelitian, kebijakan pembangunan pertanian yang belum optimum mendukung pengembangan
subsektor
hortikultura
khususnya
sayuran,
kolaborasi
dan
perencanaan pengembangan teknologi ini yang masih belum berkesinambungan antar institusi dan lembaga. Aplikasi teknologi rekomendasi pemupukan masih berpeluang besar dikembangkan di Indonesia. Pemberian rekomendasi pemupukan yang tepat akan meningkatkan produktivitas sayuran dan tanaman lainnya dengan selalu berpedoman pada pertanian berkelanjutan yang menerapkan optimalisasi penggunaan unsur hara dan memperhatikan kelestarian sumberdaya lahan tanpa adanya kelebihan atau polusi unsur kimia di tanah dan air (Kidder 2003; Susila 2002). Pembuatan rekomendasi pemupukan berdasarkan uji tanah untuk tanaman tomat dan hortikultura lainnya perlu dilakukan terencana, berkesinambungan dan spesifik lokasi. Perlu dilakukan uji tanah di seluruh sentra produksi sayuran untuk
81
berbagai jenis tanaman sayuran. Pembuatan rekomendasi pemupukan melalui uji tanah yang semakin sering dilakukan akan memperbaiki keakuratan dosis rekomendasi yang dikeluarkan. Mengingat pentingnya pengembangan rekomendasi penelitian ini maka ada beberapa program yang dapat dikembangkan: 1. Pengembangan laboratorium analisis tanah yang berskala provinsi, melalui peningkatan SDM, keterampilan dan fasilitas laboratoium, standarisasi alat dan standar prosedur operasional analisis serta monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara berkala. Saat ini hanya terdapat beberapa laboratorium tanah yang berkembang baik di Indonesia, namun standar analisis masih bervariasi antara satu laboratorium dengan laboratorium lainnya. Peluang besar dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara lebih intensif fasilitas laboratorium tanah yang dimiliki BPTP dan Universitas di daerah dengan wilayah operasional yang jelas. Setiap laboratorium uji tanah harus melakukan uji korelasi, uji kalibrasi untuk membangun rekomendasi pemupukan di wilayah kerjanya. Bila laboratorium uji tanah tidak melakukan tahapan tersebut, maka tidak diperkenankan mengeluarkan rekomendasi pemupukan. 2. Perbaikan struktur pembiayaan pembangunan pertanian, melalui dukungan pembiayaan yang optimum untuk pengembangan teknologi, informasi dan karakteristik lahan pertanaman. Peningkatan survei kondisi kesuburan tanah, peningkatan penelitian uji tanah dan diseminasi hasil teknologi rekomendasi pemupukan pada berbagai jenis tanaman dan jenis lahan tertentu. Perlu dilakukan pengembangan piranti uji tanah yang portable hasil pengembangan Pusat Penelitian Tanah Bogor (Soil Test Kit) sangat menunjang pengembangan uji tanah secara cepat di berbagai wilayah Indonesia. 3. Pengembangan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan uji tanah yang mudah dilakukan oleh petugas di lapangan dan kelompok petani dengan hasil yang dapat dipercaya dan sesuai dengan kondisi alami lahan pertanaman. 4. Terjadi perubahan persepsi dan teknik budidaya petani. Setiap kali akan memulai bercocok tanam tanaman tertentu, petani akan menganalisis tanah lahan
82
pertaniannya guna mendapatkan rekomendasi pemupukan yang sesuai. Perbaikan kelembagaan tani, diharapkan dapat membantu pembiayaan uji tanah yang dilakukan di semua lahan petani dalam waktu tertentu dan luasan tertentu.
83
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Metode ekstraksi hara pada tanah Inceptisols yang terbaik dan sesuai dengan kemampuan mengekstrak hara P oleh tanaman tomat adalah Mehlich I dan hara K adalah Truog. 2. Kelas ketersediaan status hara tanah untuk tanaman tomat yang dibudidayakan di Inceptisols pada kandungan hara P-Mehlich I ≤ 1,7 ppm P2O5 kategori ”sangat rendah”, antara > 1,7 – ≤ 18,1 ppm P2O5 kategori ”rendah”, antara > 18,1 – ≤ 48,1 ppm P2O5 kategori ”sedang”, dan > 48,1 ppm P2O5 kategori ”tinggi”. Pada kandungan hara K-Truog ≤ 42,8 ppm K2O kategori ”sangat rendah”, antara > 42,8 – ≤ 113 ppm K2O kategori ”rendah”,.antara > 113 – ≤ 191,6 ppm K2O kategori ”sedang”, dan > 191,6 ppm kategori ”tinggi”. 3. Rekomendasi pemupukan untuk tanaman tomat di Inceptisols pada kandungan hara P “sangat rendah”, ialah pemberian pupuk P sebanyak 183,3 P2O5 kg ha-1, sedangkan pada kandungan hara P “rendah”, ialah pemberian pupuk P sebanyak 71,4 P2O5 kg ha-1. 4. Rekomendasi pemupukan untuk tanaman tomat di Inceptisols pada kandungan hara K “sangat rendah”, ialah pemberian pupuk K sebesar 281,3 K2O kg ha-1, sedangkan pada kandungan hara “rendah”, ialah pemberian pupuk K sebanyak 178,6 K2O kg ha-1. Pada tanah pertanian yang memiliki kandungan hara P atau K yang sedang dan tinggi, pemberian pupuk P atau K tidak akan menaikkan produksi secara signifikan. Saran Pembuatan rekomendasi pemupukan berdasarkan uji tanah untuk tanaman tomat dan hortikultura lainnya perlu dilakukan terencana, berkesinambungan dan spesifik lokasi. Semakin banyak uji kalibrasi dilakukan akan semakin tinggi tingkat keakuratan data yang dibangun. 83
84
Kualitas dan validitas data uji tanah sangat tergantung pada kemampuan analisis laboratorium. Semakin sering laboratorium menganalisis data tanah akan semakin akurat data yang didapat. Prosedur Operasional Baku (POB) analisis laboratorium perlu dikembangkan sehingga data yang dihasilkan akan lebih baik dan mudah dibaca oleh pengguna. Keakuratan rekomendasi pemupukan sangat tergantung dari ketepatan menghitung nilai X (erapan P dan K). Perlu adanya standar yang baku tentang metode penentuan nilai X tersebut. Analisis erapan P dan K dilakukan dengan menggunakan pengekstrak CaCl2 0,01 M, mengevaluasi proses keseimbangan P dan K dalam larutan minimum selama 6 hari serta menghitung nilai berdasarkan kurva P dan K dalam larutan dengan P dan K dierap.
85
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Biro Pusat Statistik. 2012. Data Produktivitas Tanaman Tomat di Indonesia. [CESV] Cooperative Extension Service Vegetarian, 2001. A Vegetable Crops Extension Publication: Heirloom Tomato Varieties for Florida. University of Florida, Institute of Food and Agricultural Sciences. 1 - 6 June 2001. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2001. Data Base Pasar Internasional Hortikultura tahun 1995-2000. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2012. Tomato Productivity Statistic. http://faostat.fao.org/site/567/DesktopDefault.aspx?PageID=567#ancor. [18 Mai 2012]. [IFA] International Fertilizer Association. 1999. Tomato (Lycopersicon esculentum Mill.). http:// www.fertilizer.org/ifa/content/tomato.pdf [20 Juni 2012]. [KEMENKOMINFO] Kementrian Komunikasi dan Informasi. 2009. Kementan canangkan gerakan makan sayuran. http://www.indonesia.go.id/id/ index.php.699. [5 Nov 2009]. [PUSLITTANAK] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Bogor: Puslittanak, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 266. Adimihardja A, Herry HD, Wahyunto. 2000. Penelitian untuk pendayagunaan lahan secara optimal. Di dalam: Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Bogor. Puslittanak:1-22. Adimihardja A, Karmawati E, Rusastra IW, Dwiyanto K, Makarim AK. 2009. Pengembangan Inovasi Pertanian: Pengembangan Iptek Sumber Daya Lahan Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian. 2(4): 305 Adiyoga W, Rachman S, Nikardi G, Achmad H. 2004. Karakteristik teknis sistem pertanaman polikultur sayuran dataran tinggi. J. Hort. Indo. 14(4):287-301, 2004. Al Jabri M. 2007a. Perkembangan uji tanah dan strategi program uji tanah masa depan di Indonesia. J Litbang Pert. 26:54-66. Al Jabri M. 2007b. Penetapan pupuk kalium berdasarkan kurva respon serta nisbah kalsium-kalium dan magnesium-kalium untuk padi sawah di Jawa Timur. Akta Agrosia J. 1(10):23-31. Alley MM, Vanlauwe B. 2009. The Role of Fertilizer in Integrated Plant Nutrient Management. Tropical Soil Biology and Fertilizer Institute of International Centre for Tropical Agriculture: 61. 85
86
Amisnaipa, Susila AD, Situmorang R, Purnomo DW. 2009. Penentuan kebutuhan pupuk kalium untuk budidaya tomat menggunakan irigasi tetes dan mulsa polyethylene. J Agron. Indo. 37(2):115-122. Amrutha RNP, Nataraj S, Rajeev KV, Kavi PBK. 2007. Genome-wide analysis and identification of genes related to potassium transporter families in rice (Oryza sativa L.). J Plant Sci.172:708-721. Aulakh MS, Kabba BS, Baddesha HS, Bahl GS, Gill MPS. 2003. Crop yields and phosphorus fertilizer transformations after 25 years of application to subtropical soil under groundnut-based cropping systems. Field Crop Research 83:283-296. Bahar Y. 2011. Gerakan Makan Sayuran Banten, DKI Jakarta dan Makasar tahun 2011. Direktur Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. Direktorat Jendral Tanaman Hortikultura. Kementrian Pertanian Indonesia. Balai Penelitian Sayuran. 2009. Varietas Unggul Tomat Harapan Dari Balitsa. Puslithorti.litbang Deptan go. id. [27 maret 2010]. Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis: Analisa Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balighar VC, RR Duncan. 1990. Crops as Enhancers of Nutrient Use. Toronto: Academic press, Inc: 574. Beck MA, Zelazny LW, Daniels WL, Mullins GL. 2004. Using the Mehlich I extract to estimate soil phosphorus saturation for environmental risk assessment. SSSA J: 68(5):1762-1771. Bennet WF. 1996. Nutrient Deficiencies and Toxicities on Crop Plants. USA: APS Press. St. Paul Minnessota. Bolland M. 2007. Soil testing for phosphorus. Department of Agriculture and Food. The State of Western Australia. Farm note No 217. Bolland MDA, Cox WJ, Codling BJ. 2002. Soil and tissue test to predict pasture yield responses to application of potassium fertilizer in high-rainfall areas on South-western Australia. Aust. Exp. Agr. J. 42: 149-164. Brady NC. 1990. The Nature and Properties of Soils. New York, USA: 10th Ed. Macmilan. Buckman HO, Brady NC. 1982. Ilmu Tanah. Penerbit Bhrata Karya Aksara. Jakarta: 786. Cassagne N, Remaury M, Gauquelin T, Fabre A. 2000. Form and profile distribution of soil phosphorus in alpine Inceptisols and Spodosols. Geoderma 95:161-172.
87
Cisse L, Amar B. 2000. The importance of phosphate fertilizer for increasing crop production in developing countries. World Phosphate Institute. IMPHOS paper 5: 17. Chang J, Clay DE, Carlson CG, Reese CL, Clay SA, Ellsbury MM. 2004. Defining yield goals and management zones to minimize yield and nitrogen and phosphorus fertilizer recommendation errors. Agro. J. 96:825-831. Chen J, Gabelman WH. 2000. Morphological and physiological characteristics of tomato roots associated with potassium-acquisition efficiency. Scien. Horti. 83:213-255. Covacevich F, Marino MA, Echeverria HE. 2006. The phosphorus source determines the arbuscular mycorhiza potential and the native mycorhiza colonization of tall fescue and wheatgrass. Eur J Soil Biol 42:127–138. Dahnke WC, Olson RA. 1990. Soil test correlation, calibration, and recommendation. Di dalam: Westernman et al. (1990). Soil Testing and Plant Analysis, Ed ke-3. Madison, Wisc. USA: SSSA Inc. Book Series 3:45-71. Daniels M, Daniel T, van Devender K. 2008. Soil phosphorus levels: concern and recommendations. The University of Arkansas Cooperative Extension Services. USDA and County Governments Cooperating. FSA1029-4M-698M. Dechassa N, Schenk MK, Claassen N, Stienggrobe B. 2003. Phosphorus efficiency of cabbage (Brassica oleracea L. Var capitata), carrot (Daucus carota L.) and potato (Solanum tuberosum L.). Plant and Soil 250:215-224. Dobermann A. 2007. Nutrient use efficiency-measurement and management. Di dalam: [International Fertilizer Industry Association] 2007. Fertilizer Best Management Practices: General Principles, Strategy for Their Adoption and Voluntary Initiatives vs Regulations. IFA International Workshop on Fertilizer Best Management Practices 7-9 March 2007, Brussels, Belgium: 1-28. Dobermann A, George T, Thevs N. 2002. Phosphorus fertilizer effect on soil phosphorus pools in acid upland soils. SSSA J. 66: 1436-1444. Du Z, Jianmin Z, Houyan W, Changwen D, Xiaoqin C. 2006. Potassium movement and transformation in an acid soil as affected by phosphorus. SSSA J. 70(6); ProQuest American Journal: 2057. Elrashidi MA. 2001. Selection of an appropriate phosphorus test for soil. Soil Survey Laboratory, National Soil Survey Center. USDA. Natural Resources Conservation Service No 326. Evans, C.,E. 1987. Soil test calibration. Madison Special Publication. 21:23-39. Fixen PE, Grove JH. 1990. Testing soil for phosphorus. Di dalam: Westernman et al. 1990. Soil Testing and Plant Analysis, Ed ke-3. Madison, Wisc. USA: SSSA Inc. Book Series 3:141-172.
88
Fox
RL, Kamprath EJ. 1970. Phosphate sorption isotherms for evaluating the phosphate requirement of soils. Soil Sci. Soc. Am. Pro. 34: 902-907.
Giller KE, Tittonell P, Rufino MC, van Wijk MT, Zingore S, Mapfuno P, AdjeiNsiah S, Herrero M, Chikowo R, Corbeels M, Rowe EC, Baijukya F, Mwijage A, Smith J, Yeboah E, van der Burg WJ, Sanogo OM, Misiko M, de Ridder N, Karanja S, Kaizzi C, K’ungu J, Mwale M, Nwaga D, Pacini C, Vanlauwe B. 2011. Communicating complexity: Integrated assessment of trade-offs concerning soil fertility management within African farming systems to support innovation and development. Agri Syst. 104:191-203. Giller KE, Rowe EdC, de Ridder N, van Keulen H. 2006. Resource use dynamics and interactions in the tropics: scaling up in space and time. Agri Syst. 88:827. Gomez KA, Gomez AA. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian, Ed ke-2. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Guerin J, Parent LE, Abdelhafid L. 2007. Agri-environmental thresholds using Mehlich III soil phosphorus saturation index for vegetable in Histosols. Env. Qual. J. 36(4):975-982. Haden VR, Katterings QM, Kahabka JE. 2007. Factor effecting change in soil test phosphorus following manure and fertilizer application. SSSA J. 71(4):12251232. Hebbar SS, Ramachandrappa BK, Nanjappa HV, Prabhakar M. 2004. Studies on NPK drip fertigation in field grown tomato (Lycopersicon esculentum. Mill). Europ. J. Agro. 21:117-127. Helmke PA, Sparks DL. 1996. Lithium, Potassium, Rubidium and Caesium. Di dalam: Bartels JM (1997). Methods of Soil Analysis 3. Chemical Methods. Madison, Wisconsin USA: SSSA and Americ. Socio. of Agro. 551-574. Herlihy M, McCarthy J. 2006. Association of soil-test phosphorus with phosphorus fractions and adsorption characteristics. Nutr Cycl Agro.75:79-90. Hidayat A, Hikmatullah, Santoso J. 2000. Potensi dan pengelolaan lahan kering dataran rendah. Di dalam Adimihardja A, Amien LI, Agus F, Djaenuddin. 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Bogor: Puslittanak: 197-226. Hesse PR. 1972. A Textbook of Soil Chemical Analysis. Chemical Publishing CO., INC. New York. USA.520. Hilman Y, Sutapradja H, Rosliani R, dan Suryono Y. 2008. Status hara fosfat dan kalium di sentra sayuran dataran rendah. J Hort. 18(1):27-37. Hochmuth G, Hanlon E. 2010. Principles of Sound Fertilizer Recommendations. IFAS Extension. University of Florida. SL 315:7.
89
Horta MC, Torrent J. 2007. The Olsen P method as an agronomic and environmental test for predicting phosphate release from acid soils. Nutr Cycl Agro.77:283– 292. Idris K. 1996. Kegunaan dan keterbatasan uji tanah dan analisis tanaman bagi pendekatan kebutuhan pupuk. Makalah Pelatihan Pembinaan Uji Tanah dan Analisis Tanaman, Fakultas Pertanian IPB dan Agriculture Research Management Project Litbang Deptan. Bogor: 25 November-7 Desember 1996. Ige DV, Akinremi OO, Flaten DN. 2007. Direct and indirect effects of soil properties on phosphorus retention capacity. SSSA J.71(1):95-101. Ismunadji M. 1989. Unsur hara dan pemupukan pada tanaman pertanian. Makalah Latihan Teknik Pengelolaan Pupuk pada Pembibitan Hortikultura. Segunung: 19 Juni-18 Juli 1989. Izhar L, Araz M, Dewi N, Kiki S, Rustan H. 2008. Primatani Kota Jambi tahun 2007. [laporan tahunan]. Jambi: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. Badan Litbang Pertanian: 62. Johnson GI, Weinberger K, Mei HW. 2008. The Vegetable Industry in Tropical Asia. Exploration Series 1. Taiwan: AVRDC. The World Vegetable Center: 54. Johnson GV, Isaac RA, Donohue SJ, Tucker MR, Woodruff JR. 1984. Procedure used by state soil testing laboratories in the southern region of the United States. USA: Southern Coop. Ser. Bull. Oklahoma State University: 190: 16. Juang KW, Liou DC, Lee DY. 2002. Site-specific phosphorus application based on the rigging fertilizer-phosphorus availability index of soil. Env. Qual. J. 31:1248-1255. Kartika JG, Susila AD. 2008. Phosphorus correlation study for vegetable grown in the Ultisols-Nanggung, Bogor, Indonesia. Working Paper No. 7–8 in Sustainable Agriculture and Natural Resource Management Collaborative Research Support Program (SANREM CRSP). SANREM-TMPEGS Publication. Kasno A, Adiningsih JS, Sulaeman, Nurjaya, Asmin. 2001. Kalibrasi uji tanah hara P tanah Oxisols, Sulawesi Tenggara untuk tanaman jagung. Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk: Prosiding Seminar Nasional Buku I. Bogor. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat: 397-417. Kettering QM, Barley P. 2010. Phosphorus soil testing method. Nutrient Management Spear Program. Cornell University Cooperative Extension. Agronomy Fact Sheet Series No.15. Kidder G. 1993. Methodology for calibrating soil test. [SCSS] Soil and Crop Science Society. USA: Florida Proc. 52:70-73.
90
Kidder G, Hanion EA, Yeager TH, Miller GI. 2003. IFAS standardized fertilizer recommendation for environmental horticulture crops. IFAS Extension. University of Florida. Fact Sheet SL 141. Leiwakabessy FM, Sutandi A. 2004. Diktat Kuliah Pupuk dan Pemupukan. Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Leiwakabessy FM. 1995. Persiapan contoh, pembuatan ekstrak, dan penetapan kandungan hara dalam contoh. Materi Pelatihan Pembinaan Uji Tanah dan Analisis Tanaman. Bogor: 23 Januari – 4 Februari 1995. Liu YJ, Laird DA, Barak P. 1997. Fixation of ammonium and potassium under long term fertility management. USA: SSSA J 61:310-314. Lukman L. 2010. Efek pemberian fosfor terhadap pertumbuhan bibit mangis. J.Hort. 20(1):18-26. Maguire RO, Sims JT. 2002. Soil testing to predict phosphorus leaching. J Env. Qual. 31:1601-1609. Mallarino AP. 2008. Fertilizing crops in the new price age-phosphorus and potassium. Integrated Crop Management Conference. Iowa State University. Agribusiness Education Program. 2008: 261-266. Manurung G, Susila AD, Reyes J, Palada MC. 2008. Findings and challenges: can vegetables be productive under tree shade management in West Java?. SANREM CRSP dan Office of International Research, Education, and Development (OIRED), Virginia Tech. Working Paper 8: 8 November 2008. Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition in Higher Plants. New York: Academic press. Masdar. 2003. Pengaruh lama dan beratnya defisiensi kalium terhadap pertumbuhan tanaman durian (Durio zibethinus Murr.). J Akta Agro. 6(2):60-66. Masto RE, Chhonkar PK, Singh D, Patra AK. 2007. Soil quality response to longterm nutrient and crop management on a semi-arid Inceptisols. Agri. Ecost. and Env. 118:130-142. McGechan MB. 2002. Sorption phosphorus by soil. Part 2: Measurement methods, result and model parameter value. Biosyst Eng. 82: 115-130. Mendoza R, Lamas MC, Garcia I. 2009. How do soil P test, plant yield and P acquisition by Lotus tenuis plant reflect the availability from different phosphorus sources?. Nutr Cycl Agroecosyst J. 85:17-29. Moody PW. Bell MJ. 2006. Availability of soil potassium and diagnostic soil test. Aus. J Soil Research. 44:265-275. Morgan MA. 1997. The behaviour of soil and fertilizer phosphorus. Di dalam: Tunney H, Carton OT, Brookes PC, Jhonston AE. (1997). Phosphorus Loss from Soil to Water. CAB International. New York. USA:137-149.
91
Nguyen RM, De Mesa PAJ, Agnes CR. 2007. Vegetable agro-forestry system: baseline survey results in Songco, Lantapan, Bukidnon, Philippines in 2006. SANREM CRSP dan OIRED, University of the Philippines-Los Baños College, Laguna. Working Paper 5: 7 Apr 2007. Nursyamsi D, Idris K, Sabihan S, Rachim DA, Sofyan A. 2008. Dominant soil characteristics influencing available potassium on smectitic soils. IJAS. 1(2):121-131. Nursyamsi D, Setyorini D, Widjaja-Adhi IG. 1993. Penentuan kelas hara P terekstrak dengan metode analisis keragaman yang dimodifikasi. [Prosiding] Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat Bidang Kesuburan Tanah dan Produkstivitas Tanah. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. 217-235 [18-21 Februari 1993]. Page AL, Miller RH, Keeney DR, editor. 1982. Methods of Soil Analysis: Chemical and Microbiological Properties. No. 9 (Part 2). Madison, Wisconsin, USA. SSSA and American Soc. of Agr 1159. Peck TR, Soltanpour PN. 1990. The principle of soil testing. Di dalam: Walsh, Bartels JM (1997). Methods of Soil Analysis 3. Chemical Methods. Madison, Wisconsin, USA: SSSA and American Soc. of Agr. Purwanto. 2005. Pengaruh pupuk majemuk NPK dan bahan pemantap tanah terhadap hasil dan kualitas tomat varietas intan. J Pen UNIB. 9 (I):54-60. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Hortikultura. 2009. Varietas Unggul Tomat Harapan Dari Balitsa. Puslithorti.litbang Deptan go. id. Diakses Minggu 27 Maret 2010. Qin J, Chao K, Kim M.S. 2012. Nondestructive evaluation of internal maturity of tomato using spatial offset Raman spectroscopy. Post Harv Bio. 7(2012): 2131. Rangel YA, Edwards AC, Hiller S, Öborn I. 2007. Long-term K dynamics in organic and conventional mixed cropping systems as related to managements and soil properties. Agri. Ecost. Env. 122:413-426. Redel YD, Rubio R, Rouanet JL, Borie F. 2007. Phosphorus bio-availability affected by tillage and crop rotation on a Chilean volcanic derived Ultisol. Geoderma. 139:388-396. Rochayati R, Setyorini D, Suping S, Widowati LR. 1999. Korelasi Uji Tanah Hara P dan K. [laporan tahunan] Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan. Bogor: Puslittanak. Sabiham S. 1995. Dasar, tujuan dan sasaran uji tanah dan analisis tanaman. [Materi Kuliah dan Praktikum] Pelatihan Pembinaan Uji Tanah dan Analisis Tanaman. Bogor: Litbang Pertanian. 23 Januari – 4 Februari 1995.
92
Sanchez PA, Palm CA, Buol SW. 2003. Fertility capability classification: a tool to help assess soil quality in the tropics. Geoderma. 114:157-185. Setyorini D, Adiningsih JS, Rochayati S. 2003. Uji Tanah Sebagai Dasar Penyusunan Rekomendasi Pemupukan. Seri Monograf 2: 45. Sumber Daya Tanah Indonesia. Bogor: Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian: 45. Sims JT, Leytem AB, Gartley KL. 2002. Interpreting soil phosphorus tests. University of Delaware, College of Agriculture and Natural Resouces Cooperative Extension. NM-04:1-6. Sims JT, Edward AC, Schoumans OF, Simard RR. 2000. Integrating soil phosphorus testing into environmentally based agricultural management practices. J. Env. Qual. 29:60-71. Skogley EO. 1994. Reinventing soil testing for the future. Di dalam: Havling JL, Jacobsen JS. 1994 (Eds). Soil Testing Prospect for Improving Nutrient Recommendation. Soil Sci. AMr. Inc. Medison: 187-201. Subagyo H, Suharta N, Siswanto AB. 2000. Tanah-tanah pertanian Indonesia. Di dalam Adimihardja A, Amien LI, Agus F, Djaenuddin. 2000. Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Bogor. Puslittanak. 21-66. Subhan, Nurtika N. 2004. Penggunaan pupuk fosfat, kalium dan magnesium pada tanaman bawang putih dataran tinggi. Ilmu Pert. 11(2):56-67. Sukarman, Suharta N. 2010. Kebutuhan lahan kering untuk kecukupan produksi pangan periode 2010 -2050. Analisis Sumber Daya Lahan Menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Badan Litbang Pertanian. 111-124. Sulaeman, Evianti, Adiningsih S. 2000. Hubungan kuantitas dan intensitas kalium untuk menduga kemampuan tanah dalam penyediaan hara kalium. [Prosiding] Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunan Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Cipayung-Bogor: 31 Oktober – 2 November 2000. Sulaeman, Evianti. 2002. Metode Analisis Uji Tanah. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Sutriadi T, Setyorini D, Nursyamsi D, Murni AM. 2008. Penentuan pupuk kalium dengan uji K tanah untuk tanaman jagung di Typic Candiudox. J Tnh. Trop. 13(3):179-187. Susila AD. 2002. Rekomendasi Pemupukan. Departemen Budidaya Pertanian. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Susila AD. 2004. Fungsi Hara. Bahan Kuliah Interaksi Hara dan Tanaman (AGR 627). Departemen Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor: 95.
93
Susila AD. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Bagian Produksi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura. Bogor: Institut Pertanian Bogor. SANREM-CRSP-USAID project: 68. Susila AD, Kartika JG, Prasetio T, Palada MP. 2010. Fertilizer recommendation: correlation and calibration study of soil P test for yard long bean (Vigna unguilata L.) on Ultisols in Nanggung-Bogor. J Agron Indo. 38(3):225-231. Susila AD. 2011. Permasalahan pemupukan tanaman sayuran di Indonesia. Mini Seminar Solusi Permasalahan Pupuk Nasional. ADC-University Farm, IPB. 29 Desember 2011. Syers JK, Johnston AE, Curtin D. 2008. Efficiency of soil and fertilizer phosphorus use. FAO Fertilizer and Plant Nutrition Bulletin No. 18:123. Valkama E, Uusitalo R, Ylivainio K, Virkajarvi, Tertola E. 2009. Phosphorus fertilization: A meta-analysis of 80 years of research in Finland. Agri. Ecost. Env. 139:75-85. Van Erp PJ,Van Beusichem ML. 1998. Soil and plant testing program as a tool for optimizing fertilizer strategies. Crop Prod. J: 1. 2 (#2):53-80. Walsh L, Beaton JD. 1973. Soil Testing and Plant Analysis. Ed-revision. [SSSA]Soil Science Society of America. USA: Inc. Madison, Wisconsin. Warncke D, Dahl J, Jacobs L, Laboski C. 2004. Nutrient Recommendation for Field Crop in Michigan. Extension Bulettin E2904. Michigan State University: 30. Watanabe K, Murayama T, Niino T, Nitta T, Nanzyo M. 2005. Reduction of phosphatic and potash fertilizer in sweet corn production by pre-transplanting application of potassium phosphate to plug seedling. Prod. Sci. 8(5):608-616. Watson M, Mullen R. 2007. Understanding soil test for plant-available phosphorus. The Ohio State University Extension. Widjaja-Adhi IPG. 1995. Penggunaan Uji Tanah dan Analisis Daun Sebagai Dasar Rekomendasi Pemupukan. [Materi Kuliah dan Praktikum] Pelatihan dan Pembinaan Uji Tanah dan Analisis Tanaman. Bogor: Litbang Pertanian. 23 Januari – 4 Februari 1995. Widjaya-Adhi IPG. 1993. Soil testing and formulating fertilizer recommendation. Indo. Agric. Res. Rev J. 15(4):71-79.
94
Lampiran 1. Jadwal palang pelaksanaan penelitian
No.
Jenis Kegiatan
Bulan (2009)
12 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Bulan (2010) 1
2
3
4
5
6
7
8
Bulan (2011) 9
10 11 12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Pemilihan lokasi Pengolahan tanah dan inkubasi tanah untuk kalibrasi P tanah Pengolahan tanah dan inkubasi tanah untuk K tanah Persiapan media dan rumah kaca untuk uji korelasi tomat Uji korelasi P dan K tanah pada tanaman tomat Pengamatan biomas dan analisis data uji korelasi Persiapan lahan uji kalibrasi P dan K tanah untuk tomat Budidaya tanaman tomat untuk uji kalibrasi Pengamatan dan analisis data pertumbuhan vegetatif dan generatif tomat
95
96
Lampiran 2. Denah pengambilan contoh tanah
27 m
9m
Lubang Sampel
Lampiran 3. Desain inkubasi lahan
O
X
½X
¼X
¾X
¾X
¼X
O
½X
X
¼X
½X
X
¾X
O
¾X
O
¼X
X
½X
½X
X
¾X
O
¼X
Keterangan: X
= Dosis pupuk P dan K tertinggi yang dipergunakan
0
= Tanpa dosis pemupukan
97
96
Lampiran 4. Denah penelitian lapangan LOKASI: KEBUN PERCOBAAN CIKABAYAN DENGAN LUAS 100 M2 Sebelah kanan berbatasan dengan Pertanaman Kedelai dan Jagung (Penelitian Lain) Sebelah kiri berbatasan dengan beberapa rumpun bambu dan kandang ayam Sebelah atas berbatasan dengan jalan setapak, semak dan padang pengembalaan kuda Sebelah bawah berbatasan dengan semak PERLAKUAN : X (368,6 kg ha-1 P2O5 dan 608,6 kg ha-1 K2O), ¾ X, ½ X, ¼ X dan 0 X. Sebelah kanan
bawah
atas
50 m
25 m ¼X
0
X
¾X
½X
½X
¾X
¼X
0
X
X
¼X
¾X
½X
¾X
½X
0
0
X
½X
5m 0
X
¼X
½X
¾X
½X
½X
0
¼X
X
0
¼X
½X
X
¾X
¾X
X
¼X
¾X
0
½X
O
¼X
¼X
¾X
X
1/4 X
¾X
X
0
2m 1,5 m
U 2m ¼X
½X
¾X
X
0
0
¼X
½X
¾X
X
¾X
¼X
½X
0
X
¼X
½X
¾X
X
0
½X
0
X
¾X
¼X
½X
¾X
X
0
¼X
X
¾X
0
¼X
½X
¾X
X
0
¼X
½X
0
X
¼X
½X
¾X
X
0
¼X
½X
¾X
10 m
Sebelah kiri SR
R
S
T
5m
ST
1.5 m
97
Lampiran 5. Denah pertanaman dalam petak percobaan
98
Lampiran 6. Denah uji korelasi di rumah kaca
BAGIAN DEPAN
100
51
50
1
76
75
26
25
BAGIAN BELAKANG
101
Lampiran 7. Persiapan sampel dan analisis tanah di laboratorium
Pencatatan contoh tanah Pengambilan tanah di lokasi percobaan dengan membuat lubang menggunakan bor tanah sebanyak 5 titik pada setiap petak perlakuan.
Pengeringan Contoh disebarkan di atas tampah/karung yang dialasi kertas sampul. Label karton yang berisi nomor laboratorium contoh diselipkan di bawah kertas. Akar-akar atau sisa tanaman segar, kerikil, dan kotoran lain dibuang. Bongkahan besar dikecilkan dengan tangan. Simpan pada rak di ruangan khusus bebas kontaminan yang terlindung dari sinar matahari seperti di dalam rumah kaca atau dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 40oC.
Penumbukan/pengayakan Siapkan contoh-contoh tanah dengan ukuran partikel <2 mm dan <0,5 mm sebagai berikut: Contoh ditumbuk pada lumpang porselen atau mesin giling dan diayak dengan ayakan dengan ukuran lubang 2 mm. Simpan dalam botol yang sudah diberi nomor contoh. Contoh <0,5 mm diambil dari contoh <2 mm, digerus atau digiling dan diayak dengan ayakan 0,5 mm. Lumpang, ayakan dan alat-alat lainnya harus bersih sebelum dipakai.
102
Lampiran 8. Penetapan pH Tanah Dasar penetapan Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion H+ dalam larutan tanah, yang dinyatakan sebagai –log [H+]. Peningkatan konsentrasi H+ menaikkan potensial larutan yang diukur oleh alat dan dikonversi dalam skala pH. Elektrode gelas merupakan elektrode selektif khusus H+, hingga memungkinkan untuk hanya mengukur potensial yang disebabkan kenaikan konsentrasi H+. Potensial yang timbul diukur berdasarkan potensial elektrode pembanding (kalomel atau AgCl). Biasanya digunakan satu elektrode yang sudah terdiri atas elektrode pembanding dan elektrode gelas (elektrode kombinasi). Konsentrasi H+ yang diekstrak dengan air menyatakan kemasaman aktif (aktual) sedangkan pengekstrak KCl 1 N menyatakan kemasaman cadangan (potensial). Peralatan Neraca analitik Botol kocok 100 ml Dispenser 50 ml gelas ukur-1 Mesin pengocok Labu semprot 500 ml pH meter Pereaksi Air bebas ion Larutan buffer pH 7,0 dan pH 4,0 KCl 1 M dan Larutkan 74,5 g KCl dengan air bebas ion hingga 1 l. Cara kerja Timbang 10 g contoh tanah sebanyak dua kali, masing-masing dimasukkan ke dalam botol kocok, ditambah 50 ml air bebas ion ke botol yang satu (pH H2O) dan 50 ml KCl 1 M ke dalam botol lainnya (pH KCl). Kocok dengan mesin pengocok selama 30 menit. Suspensi tanah diukur dengan pH meter yang telah dikalibrasi menggunakan larutan buffer pH 7,0 dan pH 4,0. Laporkan nilai pH dalam 1 desimal.
103
Lampiran 9. Penetapan P dan K ekstrak HCl 25% Dasar penetapan Fosfor dalam bentuk cadangan ditetapkan dengan menggunakan pengekstrak HCl 25%. Pengekstrak ini akan melarutkan bentuk-bentuk senyawa fosfat dan kalium mendekati kadar P dan K-total. Ion fosfat dalam ekstrak akan bereaksi dengan ammonium molibdat dalam suasana asam membentuk asam fosfomolibdat. Selanjutnya akan bereaksi dengan asam askorbat menghasilkan larutan biru molibdat. Intensitas warna larutan dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm, sedangkan kalium diukur dengan flamefotometer. Peralatan Neraca analitik Botol kocok Mesin kocok bolak-balik Alat sentrifus Tabung reaksi Dispenser 10 ml Pipet volume 0,5 ml Pipet volume 2 ml Pipet ukur 10 ml Spektrofotometer UV-VIS Flamefotometer Pereaksi HCl 25 % , Encerkan 675,68 ml HCl pekat (37%) dengan air bebas ion menjadi 1 liter. Pereaksi P pekat, Larutkan 12 g (NH4)6 Mo7O24.4H2O dengan 100 ml air bebas ion dalam labu ukur 1. Tambahkan 0,277 g K (SO)C4H4O6 0,5 H2O dan secara perlahan 140 ml H2SO4 pekat. Jadikan 1 l dengan air bebas ion.
104
Pereaksi pewarna P. Campurkan 1,06 g asam askorbat dan 100 ml pereaksi P pekat, pereaksi P ini harus selalu dibuat baru. Standar induk 1.000 ppm PO4 (Titrisol). Pindahkan secara kuantitatif larutan standar induk PO4 Titrisol di dalam ampul ke dalam labu ukur 1 l. Impitkan dengan air bebas ion sampai dengan tanda garis, kocok. Standar induk 200 ppm PO4 .Pipet 50 ml standar induk PO4 1.000 ppm titrisol ke dalam labu 250 ml. Impitkan dengan air bebas ion sampai dengan tanda garis lalu kocok. Standar induk 1.000 ppm K (titrisol). Pindahkan secara kuantitatif larutan standar induk K titrisol di dalam ampul ke dalam labu ukur 1000 ml. Impitkan dengan air bebas bebas ion sampai dengan tanda garis lalu kocok. Standar 200 ppm K. Pipet 50 ml dari standar induk 1000 ppm K ke dalam labu ukur 250 ml. Impitkan dengan air bebas ion sampai dengan tanda garis lalu kocok. Deret standar PO4 (0; 4; 8; 16; 24; 32 dan 40 ppm). Pipet berturut turut 0; 2; 4; 8; 12; 16 dan 20 ml standar 200 ppm PO4 ke dalam labu ukur 100 ml. Masing-masing ditambah 5 ml HCl 25% dan air bebas ion hingga tanda garis lalu kocok. Deret standar K (0; 2; 4; 8; 12; 16; dan 20 ppm). Pipet berturut turut 0; 1; 2; 4; 6; 8; 10 ml standar 200 ppm K ke dalam labu ukur 100 ml. Masingmasing ditambah 5 ml HCl 25% dan air bebas ion hingga tanda garis lalu kocok. Cara kerja Timbang 5 g contoh tanah ukuran <2 mm, dimasukkan ke dalam botol kocok dan ditambahkan 20 ml HCl 25% lalu kocok dengan mesin kocok selama 5 jam. Masukan ke dalam tabung reaksi dibiarkan semalam atau disentrifuse. Pipet 0,5 ml ekstrak jernih contoh ke dalam tabung reaksi. Tambahkan 9,5 ml air bebas ion (pengenceran 20x) dan dikocok. Pipet 2 ml ekstrak contoh encer dan deret standar masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 10 ml larutan pereaksi
105
pewarna P dan dikocok. Dibiarkan selama 30 menit, lalu ukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm. Untuk kalium, ekstrak contoh encer dan deret standar K diukur langsung dengan alat flamefotometer.
Perhitungan Kadar P potensial mg P2O5 (100 g) per 1 l. = ppm kurva x (ml ekstrak/1.000 ml) x (100 g/g contoh) x fp x (142/90) x fk = ppm kurva x 10/1.000 x 100/2 x 20 x 142/90 x fk = ppm kurva x 10 x 142/190 x fk Kadar K potensial mg K2O (100g) per 1 l. = ppm kurva x 10 x 94/78 x fk ml ekstrak =
Ac.Ab X
g contoh
X ppm standar X 10 X fk As
Keterangan: ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko. fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 – % kadar air) fp = faktor pengenceran (20) Ac, Ab, As = pembacaan contoh, blangko dan deret standar 142/190 = faktor konversi bentuk PO4 menjadi P2O5 94/78 = faktor konversi bentuk K menjadi K2O
106
Lampiran 10. Penetapan P tersedia metode Bray Dasar penetapan Fosfat dalam suasana asam akan diikat sebagai senyawa Fe, Al-fosfat yang ukar larut. NH4F yang terkandung dalam pengekstrak Bray akan membentuk senyawa rangkai dengan Fe dan Al dan membebaskan ion PO43-. Pengekstrak ini biasanya digunakan pada tanah dengan pH <5,5. Peralatan Neraca analitik Dispenser 25 ml Dispenser 10 ml Tabung reaksi Pipet 2 ml Kertas saring Botol kocok 50 ml Mesin pengocok Spektrofotometer Pereaksi HCl 5 N. Sebanyak 416 ml HCl p.a. pekat (37 %) dimasukkan dalam labu ukur 1.000 ml yang telah berisi sekitar 400 ml air bebas ion, kocok dan biarkan menjadi dingin. Tambahkan lagi air bebas ion hingga 1.000 ml. Pengekstrak Bray dan Kurts I (larutan 0,025 N HCl + NH4F 0,03 N). Timbang 1,11 g hablur NH4F, dilarutkan dengan lebih kurang 600 ml air bebas ion, ditambahkan 5 ml HCl 5 N, kemudian diencerkan sampai 1 liter. Pereaksi P pekat. Larutkan 12 g (NH4)6 Mo7O24.4H2O dengan 100 ml air bebas ion dalam labu ukur 1 liter. Tambahkan 0,277 g K (SbO) C4H4O6 0,5 H2O dan secara perlahan 140 ml H2SO4 pekat. Jadikan 1 liter dengan air bebas ion.
107
Pereaksi pewarna P. Campurkan 1,06 g asam askorbat dan 100 ml pereaksi P pekat, kemudian dijadikan 1 liter dengan air bebas ion. Pereaksi P ini harus selalu dibuat baru. Standar induk 1.000 ppm PO4 (titrisol). Pindahkan secara kuantitatif larutan standar induk PO4 titrisol di dalam ampul ke dalam labu ukur 1 liter. Impitkan dengan air bebas ion sampai dengan tanda garis, kocok. Standar induk 100 ppm PO4. Pipet 10 ml larutan standar induk 1.000 ppm PO4 ke dalam labu 100 ml. Impitkan dengan air bebas ion sampai dengan tanda garis lalu kocok. Deret standar PO4 (0-20 ppm). Pipet berturut-turut 0; 2; 4; 8; 12; 16; dan 20 ml larutan standar 100 ppm PO4 ke dalam labu ukur 100 ml, diencerkan dengan pengekstrak Olsen hingga 100 ml. Cara kerja Timbang 2.50 g contoh tanah <2 mm, ditambah pengekstrak Bray dan Kurt I sebanyak 25 ml, kemudian dikocok selama 5 menit. Saring dan bila larutan keruh dikembalikan ke atas saringan semula (proses penyaringan maksimum 5 menit). Dipipet 2 ml ekstrak jernih ke dalam tabung reaksi. Contoh dan deret standar masingmasing ditambah pereaksi pewarna fosfat sebanyak 10 ml, dikocok dan dibiarkan 30 menit. Diukur absorbansinya dengan spektrofotometer panjang gelombang 693 nm. Perhitungan Kadar P2O5 tersedia (ppm) = ppm kurva x ml ekstrak/1.000 ml x 1.000g/g contoh x fp x 142/190 x fk = ppm kurva x 25/1.000 x 1.000/2,5 x fp x 142/190 x fk = ppm kurva x 10 x fp x 142/190 x fk Keterangan: ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko. fp= faktor pengenceran (bila ada) 142/190 = faktor konversi bentuk PO4 menjadi P2O5 fk= faktor koreksi kadar air = 100/(100 – % kadar air)
108
Lampiran 11. Penetapan hara P tersedia metode Morgan Wolf Dasar penetapan Pengekstrak Morgan (Natrium asetat, pH 4,8) digunakan untuk menentukan ketersediaan unsur hara dalam tanah. pH 4,8 dimaksudkan untuk mendekati pH tanah yang berada sekitar perakaran tanaman. Kation-kation dan anion-anion dapat larut dengan baik dalam pengekstrak ini. Penambahan DTPA ke dalam pengekstrak Morgan meningkatkan kemampuan mengekstrak logam-logam. Pengekstrak Morgan Wolf ini digunakan untuk menetapkan ketersediaan unsur-unsur makro NH4 +, NO3 -, P, K, Ca, Mg, SO42- serta unsur-unsur mikro Fe, Mn, Cu, Zn, dan B dari tanah. Pengekstrak ini cocok untuk tanah ber-pH masam sampai hampir netral. Peralatan Neraca analitik Tabung reaksi Dispenser 25 ml Kertas saring Botol kocok plastik 100 ml Pipet volume 1, 2 dan 5 ml Pipet ukur 10 ml Mesin kocok bolak balik 180 goyangan menit-1 Flamefotometer AAS Spektrofotometer Pereaksi Pengekstrak Morgan-Wolf Timbang 100 g Na-asetat (NaC2H3O2.3H2O) dalam labu ukur 1000 ml ditambah 30 ml asam asetat glasial dan 0,05 g DTPA. Diencerkan dengan air bebas ion sampai 950 ml. Atur pH sampai 4,8 dengan penambahan asam asetat. Setelah pH nya tercapai impitkan sampai tanda garis 1000 ml dan dikocok.
109
Karbon aktif Pengekstrak Morgan-Wolf pekat empat kali Cara kerja Seperti pembuatan pengekstrak Morgan-Wolf dengan menggunakan bahan empat kali, kecuali pengenceran tetap hingga 1 liter. Pereaksi P pekat. Larutkan 12 g (NH4)6 Mo7O24.4H2O dalam 100 ml air. Tambahkan 140 ml H2SO4 pekat dan 0,227 g K (SbO)C4H4O6.0,5 H2O. Jadikan 1 l dengan air bebas ion. Pereaksi pewarna P pekat. Timbang 0,53 g asam ascorbat ke dalam labu ukur 100 ml, ditambah 50 ml pereaksi P pekat dan diencerkan dengan air bebas ion sampai tanda garis. Standar pokok P 500 ppm. Larutkan 2,2 g KH2PO4 p.a. (kering 40oC) dengan air bebas ion dalam labu ukur 1000 ml, ditambah beberapa tetes kloroform, kemudian diimpitkan sampai tanda garis. Dapat pula digunakan standar pokok PO43- dari titrisol. Standar P 50 ppm. Pipet 10 ml standar pokok 500 ppm P ke dalam labu ukur 100 ml. Tambahkan 25 ml pengekstrak Morgan-Wolf pekat empat kali dan kemudian diimpitkan dengan air bebas ion. Standar P 1 ppm. Pipet 2 ml standar 50 ppm P ke dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan pengekstrak Morgan-Wolf hingga tepat 100 ml. Deret standar P (0-1 ppm). Pipet berturut turut 0; 1; 2; 4; 6; 8 dan 10 ml standar 1 ppm P ke dalam tabung reaksi. Tambahkan pengekstrak Morgan-Wolf sehingga volume masing-masing menjadi 10 ml. Bila menggunakan standar PO4 3-, deret standar dibuat dengan kepekatan 0 – 4 ppm.
110
Lampiran 12. Penetapan unsur hara K dan P dengan ekstraktan Mehlich I Dasar penetapan Nilai hasil analisis P tanah dengan metode Mehlich 1 sebesar 20 mg P kg-1 tanah sampai dengan
25 mg P kg-1 tanah merupakan nilai optimum untuk
pertumbuhan tanaman. Nilai ini bervariasi tergantung dari perbedaan tipe tanah dan perbedaan sistem budidaya tanaman. Pada tanah bertekstur lebih halus hasil analisis P tanah sebesar 10 mg P kg-1 tanah sudah mencukupi kebutuhan tanaman. Peralatan: Botol kocol plastik 100 ml. Alat sentrifuse. Dispenser otomatis untuk ekstraktan yang berkapasitas 25 ml. Tabung reaksi kapasitas 50 ml. Pipet volume Corong untuk proses penyaringan (ukuran 9 dan 11 cm). Rak tabung reaksi. Mesin pengocok dengan kecepatan kocok 180 gerakan per menit. Kertas saring Whatman No. 42 atau No. 2 atau yang serupa. Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Pereaksi : Larutan ekstraksi Mehlich 1 (0,0125 M H2SO4 + 0,05 M HCl). Larutan ini disebut juga sebagai ”Pelarut Asam Ganda” atau ”Ekstrak North Carolina”, di pipet 4 ml HCL pekat dan 0,7 ml H2SO4 pekat kedalam labu ukuran 1 liter. Diencerkan dengan air murni sampai tanda garis. Larutan standar 100 ppm K. Encerkan 25 ml larutan standar 1000 ppm K dalam labu ukur 250 ml dengan air bebas ion sampai tanda garis. Larutan deret standar K. Masing-masing labu ukur 100 ml dimasukkan berturut-turut 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 ml larutan standar 100 ppm K. Ditambahkan larutan pengekstrak Mehlich I dan diencerkan dengan air murni sampai tanda garis. Deret standar ini mengandung berturut-turut 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 ppm K.
111
Standar P 50 ppm. Pipet 10 ml standar pokok 500 ppm P ke dalam labu ukur 100 ml. Tambahkan 25 ml pengekstrak Mehlich I dan kemudian diimpitkan dengan air bebas ion. Standar P 1 ppm. Pipet 2 ml standar 50 ppm P ke dalam labu ukur 100 ml dan diencerkan dengan pengekstrak Mehlich I hingga tepat 100 ml. Deret standar P (0-1 ppm). Pipet berturut turut 0; 1; 2; 4; 6; 8 dan 10 ml standar 1 ppm P ke dalam tabung reaksi. Tambahkan pengekstrak Mehlich I sehingga volume masing-masing menjadi 10 ml. Bila menggunakan standar PO43-, deret standar dibuat dengan kepekatan 0 – 4 ppm. Cara Kerja: Sampel tanah halus yang berukuran 2 mm untuk ditimbang seberat 5 gram. Tanah yang sudah ditimbang dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer ukuran 50 ml, dicampur dengan 25 ml larutan Mehlich I. Dikocok selama 30 menit dengan mesin pengocok berkecepatan minimal 180 gerakan per menit pada suhu kamar (24oC - 27oC). Selanjutnya larutan disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman No. 42 atau No. 2 atau yang serupa. Pipet 2 ml larutan tersebut dan diencerkan dengan air bebas ion sebanyak 8 ml dan dikocok sampai homogen. Diukur kandungan P larutan dengan prinsip kolorimetri (perbedaan warna) dengan menggunakan alat spektrofotometer. Dilakukan juga pengukuran terhadap Blanko dan Deret Larutan Standar. Perhitungan: Di buat kurva standar untuk K dan P berdasarkan kepekatan (0 – 10 ppm) dan pembacaan intensitas sinar. Kemudian hasil pengukuran kepekatan dalam contoh dicari pada kurva standar. Kepekatan contoh ekstrak yang diukur setelah dikoreksi dengan belangko, diperoleh:
112
P-terekstrak metode Mehlich (mg P/kg tanah) = {(Cp x 0,020 liter)/(0,005 kg tanah)} A contoh ppm K = 25 X
X ppm Standar X fk A Standar
Keterangan: Cp = hasil pengukuran konsentrasi P dari setiap sampel tanah yang telah dikalibrasi dengan kurva larutan standar. A = Absorban Fk = faktor koreksi
113
Lampiran 13. Penetapan hara K tersedia metode Morgan Vanema Peralatan: Tabung reaksi Neraca 3 desimal Dispenser 25 ml Pipet volume 1, 2, 5, dan 10 ml Labu ukuran 100 ml Labu semprot Mesin pengocok dengan kecepatan kocok 180 gerakan per menit. Kertas saring Whatman No. 42 atau No. 2 atau yang serupa. Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Pereaksi : Pengestrak ammonium asetat (NH4OAc) 1 M pH 4,8 sebanyak 57,7 g dilarutkan dengan air bebas ion sambil digoyang hingga mencapai 900 ml. setelah pH ditetapkan menjadi 4,8 lalu diencerkan menjadi 1 liter dan dikocok hingga homogen. Larutan standar. Diencerkan 25 ml larutan pengekstrak NH4OAc 1 M pH 4,8 dengan air tanpa ion dalam labu ukuran 500 ml sampai tanda garis. Larutan standar 20 ppm K. Masukan 10 ml larutan standar 1000 ppm K dan 25 ml larutan pengekstrak NH4OAc 1 M pH 4,8 kedalam labu ukur dan encerkan dengan air tanpa ion sampai tanda garis 500 ml. Larutan standar 1000 ppm K dibuat dari larutan standar titrisol. Menyediakan deret standar. Larutan standar campuran 20 ppm K dipipet sebanyak 0, 1, 2, 4, 6, 8, dan 10 ml, masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan diencerkan dengan larutan standar 0 sampai menjadi 10 ml. Deret standar ini berturut-turut mengandung 0, 2, 4, 8, 12, 16 dan 20 ppm unsur K.
114
Cara Kerja: Timbang 5 g contoh tanah halus dalam botol kocok. Tambahkan 25 ml larutan pengekstrak NH4OAc 1 M pH 4,8 dan dikocok dengan mesin pengocok 180 goyangan per menit selama 5 menit. Kemudian saring untuk mendapatkan ekstrak jernih. Siapkan juga blangko. Pipet 0,25 ml ekstrak jernih kedalam tabung reaksi, diencerkan dengan 4,75 ml air bebas ion. Kadar Kalium dalam ekstrak encer diukur mengunakkan AAS dengan deret standar K sebagai pembanding. Alat dipersiapkan untuk pengukuran K. sebelum pengukuran alat dikalibrasi dengan deret standar K, kemudian diukur contoh. Setiap pengukuran 10 contoh, alat dikalibrasi dengan standar 0.
Perhitungan: Buat kurva standar K berdasarkan kepekatan K (0 – 20 ppm) dan pembacaan alat. Kepekatan K dalam ekstrak diukur serta dicari dalam kurva standar. A contoh ppm K = 25 X
X ppm Standar X fk A Standar
Keterangan: Cp = hasil pengukuran konsentrasi P dari setiap sampel tanah yang telah dikalibrasi dengan kurva larutan standar. A = Absorban Fk = faktor koreksi
115
Lampiran 14. Penetapan hara K tersedia metode ekstraksi Amonium Asetat Netral (NH4OAc 1 M pH 7) Peralatan: Tabung perkolasi Pipet volume 1, 2, 5, dan 10 ml Labu ukuran 50 ml Labu semprot Alat sentrifuse Mesin pengocok dengan kecepatan kocok 180 gerakan per menit. Kertas saring Whatman No. 42 atau No. 2 atau yang serupa. Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Pereaksi : Pengestrak ammonium asetat (NH4OAc) 1 M pH 7 dilarutkan 60 ml asam asetat glacial 100% dan sambil digoyang ditambahkan 75 ml ammonia pekat 25%. Kemudian encerkan dengan air bebas ion hingga 900 ml. setelah pH ditetapkan menjadi 7 lalu dengan penambahan ammonia kemudian diencerkan menjadi 1 liter. Larutan standar. Diencerkan 25 ml larutan pengekstrak NH4OAc 1 M pH 7 dengan air tanpa ion dalam labu ukuran 500 ml sampai tanda garis. Larutan standar 20 ppm K. Masukkan 10 ml larutan standar 1000 ppm K dan 25 ml larutan pengekstrak NH4OAc 1 M pH 7 kedalam labu ukur dan encerkan dengan air tanpa ion sampai tanda garis 500 ml. Larutan standar 1000 ppm K dibuat dari larutan standar titrisol. Menyediakan deret standar. Larutan standar campuran 20 ppm K dipipet sebanyak 0, 1, 2, 4, 6, 8, dan 10 ml, masing-masing dimasukan kedalam tabung reaksi dan diencerkan dengan larutan standar 0 sampai menjadi 10 ml. Deret standar ini berturut-turut mengandung 0, 2, 4, 8, 12, 16 dan 20 ppm unsur K.
116
Cara Kerja: Timbang 1 g contoh tanah halus masukan ke dalam tabung sentrifuse. Tambahkan 20 ml larutan pengekstrak NH4OAc 1 M pH 7 dan dikocok dengan mesin pengocok 180 goyangan per menit selama 30 menit. Kemudian saring untuk mendapatkan ekstrak jernih. Siapkan juga blangko Pipet 1ml ekstrak jernih kedalam tabung reaksi, diencerkan dengan 9 ml air bebas ion. Kadar Kalium dalam ekstrak encer diukur menggunakan AAS dengan deret standar K sebagai pembanding. Alat dipersiapkan untuk pengukuran K. sebelum pengukuran alat dikalibrasi dengan deret standar K, kemudian diukur contoh. Setiap pengukuran 10 contoh, alat dikalibrasi dengan standar 0.
Perhitungan: Buat kurva standar K berdasarkan kepekatan K (0 – 20 ppm) dan pembacaan alat. Kepekatan K dalam ekstrak diukur serta dicari dalam kurva standar. A contoh ppm K = 25 X
X ppm Standar X fk A Standar
Keterangan: Cp = hasil pengukuran konsentrasi P dari setiap sampel tanah yang telah dikalibrasi dengan kurva larutan standar. A = Absorban Fk = faktor koreksi
117
Lampiran 15. Penetapan hara P dan K tersedia metode Truog Peralatan: Neraca analitik Botol kocok Mesin pengocok Spektofotometer Tabung reaksi Labu ukur Pereaksi: H2SO4 Ammonium sulfat Pewarna biru molibdat (pekat) Air bebas ion Kertas saring Cara kerja: Pengekstak Truog (0,02 N H2SO4 dan 0,3% ammonium sulfat), dipipet 4 ml H2SO4 5N dan 3 g ammonium sulfat ke dalam labu ukur 1 liter, kemudian ditambah air bebas ion hingga tanda tera. Ditimbang 0,5 g contoh tanah dan dimasukan ke dalam botol kocok, selanjutnya ditambah 50 ml pengekstrak Truog (1:100) dan kocok 30 menit. Kemudian disaring hingga memperoleh cairan jernih. Cairan jernih dipipet 5 ml dan masukan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1ml larutan biru molibdat sehingga timbul warna biru. Setelak 30 menit selanjutnya diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm. Deret standar P dan K: 0; 0,5; 1; 2; 3; 4; dan 5 ppm, dipipet sama seperti contoh tanah.