SEMINAR NASIONAL “Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015” Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
REINTERPRETASI DEMOKRASI DALAM KEPEMIMPINAN TRADISIONAL BUGIS YANG BERKEARIFAN LOKAL MENUJU REVOLUSI MENTAL Bustan Dosen Fakultas Ilmu sosial UNM email:
[email protected] ABSTRAK Penghargaan terhadap hak asasi manusia dan penegakan hukum yang adil tanpa pandang bulu harus menjadi patokan dalam menjalankan ketatanegaraan. Pemahaman terhadap kepemimpinan tradisional dengan sistem kerajaan, sering dianggap monarki justru disisi lain di kerajaan-kerajaan Bugis mempunyai unsur demokratis karena adanya pangngaderreng. Untuk itu perlu suatu usaha reinterpretasi dan diberi daya hidup atau revitalisasi untuk mengembalikan fungsi dan peranan lembaga kenegaraan yang relevan dengan kehidupan demokrasi saat ini sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal. Pada tulisan ini menggunakan metode sejarah yakni heuristik (pengumpulan data), kritik (analisa data), interpretasi (menafsirkan data), historiografi (menuliskan data menjadi suatu peristiwa yang utuh). Azas demokrasi dalam hukum dasar penyelenggaraan pemerintahan di kerajaan-kerajaan Bugis didasarkan pada filosofi, bahwa keputusan Datu/Raja dapat dibatalkan oleh ade’ (dewan), keputusan ade’ dapat dibatalkan oleh tokoh masyarakat, dan kemauan tokoh masyarakat dapat dibatalkan oleh rakyat. Jadi keputusan paling tinggi ada pada rakyat. Selain itu, kepemimpinan tradisional dengan sistem kerajaan mempunyai dewan adat yang memiliki fungsi sebagai penyambung lidah bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi ataupun kritik terhadap tindakan raja. Peran raja dan rakyat dalam kepemimpinan demokrasi di kerajaan-kerajaan Bugis saling terkait, bahwa rakyat berhak melakukan protes terhadap rajanya apabila tidak menjalankan pemerintahan dengan baik. Kata Kunci: Demokrasi, Kepemimpinan Tradisional, Kerajaan Bugis PENDAHULUAN Menggali kebudayaan suatu suku bangsa akan selalu menemukan nilai inti yang mampu menjembatani gagasan antargenerasi dan melintasi sekat ruang dan waktu. Hal ini disebabkan kebudayaan selalu berisi inti gagasan dan khazanah pengetahuan bagi masyarakat pendukungnya. Nilai inti dari gagasan suatu
-68-
SEMINAR NASIONAL “Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015” Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
kebudayaan memiliki fungsi yang dapat menjaga dan mengatur sistem kehidupan dalam masyarakat. Berbagai nilai yang terkandung dalam pemikiran intelektual Bugis mencerminkan kecerdasan dan kearifan lokal yang memberi semangat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh cendikiawan Arung Bila dan Kajaolaliddong bahwasanya ada lima macam permata bercahaya (sifat) yang harus dimiliki seorang pemimpin, yakni: Lempu’e nasibawangi tau’, ada tongengnge nasibawangi tike’, siri’e nasibawangi getteng, akkalenggnge nasibawangi nyamekkininnawa, awaraningeng nasibawai cirinna. Artinya : Kejujuran disertai takut/takwa, perkataan yang benar disertai waspada, siri/harga diri yang disertai dengan ketegasan, kecerdasan yang disertai dengan hati, keberanian yang disertai dengan kasih-sayang (Hamid, 2001: 41). Dari uraian tersebut jelas, bahwa seseorang yang ingin diangkat menjadi pemimpin/penguasa harus memiliki sifat keteladanan untuk menegakkan lempu’ (kejujuran), bicara (berkata) dengan benar, siri’ (menjaga harkat dan martabat) pada masyarakat atau rakyatnya, memiliki acca’ (kecerdasan) dalam mengatur sistem pemerintahan, getteng (tegas) dalam kebijakannya dan harus warani’ (berani) menegakkan keadilan dengan tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya atau tidak pandang bulu. Hal tersebut dibuktikan oleh Arumpone La Tenrirawe Bongkangnge (± 1560-1578) sebagai raja di Kerajaan Bone. Pada masa pemerintahannya ia dikenal sebagai raja yang sangat memegang teguh ade’ (adat), sehingga menjadikannya raja yang sangat disegani oleh rakyat. Kehidupan rakyat digambarkan dengan suasana damai tanpa banyak perselisihan yang terjadi, karena raja turut menangani langsung kalau ada rakyatnya yang bermasalah. Di Kerajaan - Kerajaan Bugis khususnya Kerajaan Bone memiliki sistem pemerintahan konfederasi yang merupakan sebuah asosiasi dari unit-unit politik yang berdaulat dalam suatu lembaga untuk mengkoordinasikan kebijakan dalam suatu daerah. Jabatan tertinggi atau pemimpin kerajaan adalah Arung Mangkau (Raja yang berdaulat). Dalam proses pengambilan kebijakan dibantu oleh sebuah dewan yang anggap sebagai wakil rakyat yang berjumlah tujuh orang, makanya disebut Arung Pitu’ atau Ade’ Pitué. Ketujuh anggota dewan adat selain menjadi anggota dewan pemerintahan Kawérrang Tana’ Bone (Kerajaan Bone) juga tetap menjalankan pemerintahan atas wanua asalnya secara otonom. Aktor dalam politik kekuasaan senantiasa memperoleh, merebut, memelihara, mempertahankan dan memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya. Meskipun selalu diklaim untuk kepentingan rakyat, namun pada realitasnya cenderung untuk kepentingan lapisan atau golongan elit penguasa. Kekuasaan lebih banyak didefenisikan sebagai kepenguasaan dan keberkuasaan yang bermakna memiliki hak mutlak untuk mengeksploitasi sumber daya negara dan seluruh sisi kehidupan masyarakat.
-69-
SEMINAR NASIONAL “Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015” Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
Dalam perjanjian antara To-Manurung dengan pemimpin-pemimpin kaum yakni semacam governmental contract. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mattulada (1985: 416), bahwa terjadinya bangunan kekuasaan negara-negara Bugis dalam periode lontara diawali oleh konsepsi kekuasaan To-Manurung sebagai juru selamat untuk menyusun tata kehidupan yang menjamin kesejahteraan bagi rakyat. To-Manurung digambarkan sebagai manusia luar biasa yang tiba-tiba muncul dimuka bumi yang tidak diketahui asal kedatangannya. Dalam lontara dikatakan bahwa kedatangan To-Manurung untuk mengakhiri keadaan kacau-balau. Masyarakat Anang-Anang di Bone dilukiskan berada dalam keadaan hukum rimba dimana yang kuat dan yang besar memakan yang kecil dan yang lemah. Suatu gambaran yang sejalan dengan keadaan yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes dengan istilah “homo homi-ni lupus” bahwa manusia adalah serigala dengan manusia yang lain. Keadaan dunia manusia sebelum adanya negara kacau balau. Kacau karena perjuangan manusia yang buas dan serakah berebut kebutuhan hidup. Setiap kaum bebas menyerang dan diserang, tidak ada kelaliman karena belum ada pangngaderrreng yang menentukan batas adil atau tidak adil, batas baik atau buruk (Mattulada, 1985:416). KEPEMIMPINAN DEMOKRATIS Model kepemimpinan demokratis adalah tipe yang dianggap ideal. Walaupun ada kelemahannya misalnya dalam pengambilan keputusan pemimpin tersebut harus konsekuen pada tatanan demokratis yang harus melibatkan semua unsur golongan dalam memutuskan, maka sering disebut pemimpin tidak efektif. Meskipun ada kelemahan tapi masih dianggap sebagai tipe kepemimpinan yang terbaik. Pemimpin demokratis sangat menjunjung tinggi integritas dan selalu menempatkan diri sebagai mediator dalam menjaga integrasi. Pemimpin demokratis sangat menghargai harkat dan martabat manusia sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin ia memperlakukan setiap bawahan secara manusiawi. Seorang pemimpin yang bertipe demokratis sangat paham bahwa kebutuhan manusia tidak hanya sebatas kebutuhan fisik melainkan juga non fisik dan psikologis sehingga bawahannya mendapatkan penghargaan yang sekaligus sebagai prestise aktualisasi diri baik dalam lingkup organisasi maupun di masyarakat umum. Upaya menggali, menguji dan sosialisasi serta kulturasi tatanan nilai luhur perlu terus ditingkatkan secara seimbang dan konsisten dengan upaya penegakan supremasi hukum “Good Goverment”. Upaya-upaya itu juga harus di dukung dengan memperluas aplikasi modal budaya dan modal sosial sebagai sumber daya yang mampu ditransformasikan menjadi nilai tambah. Sejarah Kerajaan Bone menceritakan, bahwa pada zaman ketika belum ada seorang raja, negeri Bone ditimpa oleh gempa, kilat serta guntur selama seminggu. Setelah peristiwa alam itu berhenti, terlihat seorang laki-laki berdiri di tengah padang dengan pakaian putih. Orang tersebut dianggap sebagai orang yang turun dari kayangan (manurung). Jadi segenap rakyat berkumpul dan memutuskan untuk meminta orang itu menjadi raja mereka, sebab sampai saat itu yang timbul hanyalah kesusahan dan perpecahan diantara mereka. Ketika mereka
-70-
SEMINAR NASIONAL “Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015” Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
menghampirinya dan menyatakan maksud tersebut, ternyata laki-laki itu bukan manurung, melainkan hanya hamba dari manurung asli. Lanjut ketika laki-laki itu memperoleh pengukuhan janji dari rakyat Bone bahwa mereka bersedia mengangkat tuannya menjadi raja mereka, dibawanya mereka kepada manurung asli. Mereka menemui seseorang yang berpakaian kuning, duduk di atas sebuah batu datar, dikelilingi oleh para hambanya yang lain yang memegang payung kuning, kipas dan tempat sirihnya. Setelah itu ia setuju menerima kekuasaan penuh sebagai raja Bone dan dinobatkan oleh rakyat menjadi raja (Noorduyn, 1995:118). To-Manurung datang untuk menuntun kebebasan manusia, kemerdekaan pribadi kelompok-kelompok suatu kaum agar dapat berguna demi kesejahteraan bersama. Kedatangan To-Manurung diterima sebagai juru selamat oleh rakyat Bone. Satu hal yang istimewa pada keberadaan To-Manurung ialah bahwa kedatangannya bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat atau rakyatnya. To-Manurung menjadi raja tidak dalam arti pembenaran baginya untuk memiliki kekuasaan tanpa batas. Kewajiban raja untuk menghormati hak-hak asasi rakyatnya. Seseorang diakui memperoleh legitimasi sebagai raja yang dirajakan apabila ia mampu memenuhi segenap kepentingan dan kemakmuran rakyat. Seorang raja yang melanggar ketika ia sedang memangku jabatan, maka berdasarkan norma adat (pangngaderrreng), rakyat berhak mencabut pengakuannya dengan cara palessoi (menurunkan dari tahta), unoi (dibunuh), salaiwi (ditinggalkan) (Rahim, 2004:10). Sistem budaya politik tersebut mengandung nilai-nilai demokrasi yang tampak pada adanya ketetapan yang dibuat oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Sebagai konsekuensinya para raja di tanah Bugis memiliki tanggungjawab untuk mengayomi rakyat, mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Lamellong Kajaolaliddong selanjutnya mengemukakan prinsip tentang hak-hak asasi seseorang yang harus dilindungi dan yang menjadi tanggung jawab penguasa sebagai berikut: “……tak akan saya ambil batang kayu yang bersandar jika bukan saya yang menyandarkannya. Tak akan saya ambil batang kayu yang diletak kedua ujungnya, jika bukan saya yang meletakkannya. Tak akan saya ambil tanaman, jika bukan saya yang menanamnya, karena apabila saya ambil tanaman itu, musuh tana-bone keluar masuklah (Latoa, al 17 dan Lontara JKSST NO.130) Berdasarkan uraian tersebut nyatalah bahwa seorang raja tidak mesti memiliki kekuasaan mutlak dalam mengatur sistem pemerintahan, ekonomi dan politik. Akan tetapi raja harus menghargai dan mengakui hak-hak rakyatnya. Apabila raja sudah mengambil hak rakyat, maka ia akan mempunyai banyak musuh termasuk akan dimusuhi sama rakyat yang dipimpinnya. Apa yang ditunjukkan oleh para cerdik pandai dalam gaya kepemimpinan Bugis tersebut sejalan pula dengan tujuan dan nilai-nilai dasar demokrasi sekarang ini yang dijadikan sistem pemerintahan negara Republik Indonesia yang terangkum dalam dasar negara, yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini yaitu aturan dan perundang-undangan yang mengharuskan
-71-
SEMINAR NASIONAL “Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015” Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
pengangkatan janji atau sumpah jabatan dalam pelantikan pejabat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, penegak hukum dan pejabat negara lainnya dari jajaran paling tinggi hingga aparatur negara paling rendah. Namun seiring dengan perjalanan waktu, pemahaman terhadap nilai kepempinan demokratis dalam budaya Bugis telah mengalami pergeseran baik makna maupun perwujudannya. Para pemimpin atau penguasa agaknya tidak lagi menjadikan petuah-petuah para cendikia dulu sebagai pijakan utama dalam menjalankan sistem pemerintahan, sehingga tidak mengherankan kalau banyak pemimpin atau penguasa yang menuruti kepuasan dunia dan lupa pada tujuan pokoknya yakni mensejahterakan rakyat. Meskipun telah terlihat terjadi pergeseran nilai yang jauh dari nilai-nilai ideal budaya kepemimpinan Bugis yang berkearifan lokal. Namun secara umum, tujuan pemerintah tetap mengisyaratkan suatu keinginan untuk pencapaian kesejahteraan rakyat dan negara. Sehubungan dengan hal itu, model kepemimpinan demokrasi yang yang mengarah pada kearifan lokal tidak boleh diabaikan dalam penerapan di pemerintahan. Sikap saling percaya dan rasa kebersamaan merupakan elementasi dari kultural resoursis dan social capital yang dapat ditransformasikan menjadi addaed value ekonomi dan sosial. Kearifan budaya lokal dan lokal genius direvitalisasi dan diadaftasikan dengan nilai modernitas sehingga menjadi ikatan dan konsensus yang kuat untuk menumbuhkan kebersamaan dan dapat berwujud tindakan-tindakan kesetiakawanan, kerjasama, kemitraan dan gotong-royong diberbagai bidang kehidupan. Dengan terbatasnya sumber daya ekonomi yang mengarah pada capital person dan modal sosial adalah langkah strategi mengingat keduanya dapat berperan sebagai subtitusi dari keterbatasan bahan kelangkaan modal ekonomi. Manfaat model budaya dan modal sosial dalam kehidupan sosial kemasyarakatan itu dapat dirasakan dalam wujud berupa kondisi harmoni. Tantangan ini adalah bagaimana menstranformasikan modal budaya dan modal sosial tersebut agar menjadi nilai tambah ekonomi melalui pengembangan berbagai aplikasinya menuju pembangunan jati diri bangsa. Akan tetapi sistem kemasyarakatan yang korup, nepotisme tidak memungkinkan tumbuhnya jati diri bangsa yang unggul. Sedangkan perubahan sistim kemasyarakatan harus dimulai dari pembenahan struktur dan sistem pemerintahan sebagai pemegang otoritas formal. Dimasa ini sistem nilai, etika moral karakter manusia mengalami degradasi karena menguatnya semangat individualistik. Dengan terbatasnya sumber daya ekonomi yang mengarah pada capital person dan modal sosial adalah langkah strategi mengikat keduanya dapat berperan sebagai subtitusi dari keterbatasan bahkan kelangkaan modal ekonomi. Upaya pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) baik secara konseptual maupun implementasi belum menyentuh subtansinya karena pendekatan yang ditempuh bersifat parsial dan dangkal, lebih pada sikap reaktif untuk meredam gejolak sesaat yang terjadi dimasyarakat. Untuk itu mencegahnya haruslah diawali pengambiln keputusan legislatif, eksekutif dan yudikatif itu
-72-
SEMINAR NASIONAL “Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015” Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
sendiri. Secara kompetensi modal sosial, modal budaya sebagai sumber daya yang harus segera ditransformasikan. Pemimpin yang bertipe demokratis menafsirkan kepemimpinannya sebagai indikator, hubungan dengan bawahannya bukan sebagai majikan terhadap pembantunya, melainkan sebagai saudara tua diantara temen-teman sekerjanya. Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi bawahannya agar bekerja secara kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan dan usahausahanya, selalu berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, serta mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya. Tipe kepemimpinan ini menempatkan manusia sebagai faktor utama dan terpenting dalam organisasi. Tipe ini diwujudkan dengan dominasi perilaku sebagai pelindung dan penyelamat dari perilaku yang ingin memajukan dan mengembangkan organisasi. Di samping itu, diwujudkan juga melalui perilaku pimpinan sebagai pelaksana. Dalam melaksanakan tugasnya, pemimpin yang demokratis mau menerima bahkan mengharapkan pendapat dan saran-saran dari bawahannya, juga kritikkritik yang dapat membangun dari para bawahan yang diterimanya sebagai umpan balik dan dijadikan bahan pertimbangan dalam tindakan-tindakan berikutnya. Selain itu, pemimpin yang demokratis mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan menaruh kepercayaan pula pada bawahannya, mereka mempunyai kesanggupan bekerja dengan baik dan bertanggung jawab. Pemimpin yang demokratis selalu berusaha memupuk rasa kekeluargaan dan persatuan, senantiasa berusaha membangun semangat bawahannya dalam menjalankan dan mengembangkan daya kerjanya. Di samping itu, juga memberi kesempatan bagi timbulnya kecakapan memimpin pada anggota kelompoknya dengan jalan mendelegasikan kekuasaan dan tanggung jawabnya. BUDAYA KEPEMIMPINAN TRADISIONAL BUGIS Orang Bugis mempunyai sejarah dan masyarakatnya tetap mewujud dari zaman ke zaman. Pola tingkah lakunya terbentuk secara kumulatif pada zamannya yang lampau. Generasi dibelakang memperolehnya sebagai warisan sosial yang dipandang sebagai ide-ide tradisional yang mengandung sejumlah nilai yang mempengaruhinya ketika membuat keputusan dalam menghadapi situasi tertentu. Nilai-nilai budaya masyarakat Bugis sangat memegang teguh tentang konsep yang dikenal yakni. Pertama, Lempu’ (Kejujuran) bahasa Bugis artinya sama dengan lurus sebagai lawan dari bengkok. Dalam berbagai konteks adalah kalanya kata ini berarti ikhlas, benar, baik atau adil, sehingga lawannya adalah culas, curang, dusta, khianat, seleweng, buruk, tipu dan sejenisnya. Sejalan dengan pengertian tersebut cendikiawan Bone Kajaolaliddong menjelaskan kejujuran ketika ditanya oleh Raja Bone tentang dasar-dasar keilmuan. Menurutnya bukti dari kejujuran adalah : a. Jangan mengambil tanaman yang bukan tanamanmu b. Jangan mengambil barang-barang yang bukan barang-barangmu,bukan juga pusakamu c. Jangan mengeluarkan kerbau dari kandangnya, yang bukan kerbaumu
-73-
SEMINAR NASIONAL “Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015” Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
d. Jangan mengambil kayu yang disandarkan, yang bukan kau yang menyandarkannya e. Jangan juga kayu sudah ditetak ujung pangkalnya, yang bukan engkau yang menetaknya (Muhtamar, 2007: 17). Kedua, Acca’ (Kecendikiaan), nilai kecendikiawan sering dipasangkan dengan nilai kejujuran, karena keduanya saling mengisi. Cendikia atau intelek dalam bahasa Bugis biasa disebut acca. Dalam konsep kecendikiawan terkandung nilai kejujuran, kebenaran, kepatutan, keikhlasan dan semangat penyiasatan atau penelitian. Acca juga diartikan pintar,dalam arti memiliki kemampuan intelektual yang baik. Ketiga, Assitinajang (kepatutan), dapat diartikan sebagai pantas dan kelayakan. Nilai kepatutan ini erat hubungannya dengan nilai kemampuan baik secara jasmanih maupun rohanih. Penyerahan atau penerimaan sesuatu, apakah itu amanat atau tugas, haruslah didasarkan atas kepatutan dan kemampuan. Nilai kepatutan dapat dalam diri La Taddampare’ Puang Rimaggalatung yang mengatakan: “Jangan serakahi kedudukan, jangan pula terlalu inginkan kedudukan tinggi, kalau kamu tidak mampu juga memperbaiki negeri. Nantilah bila dicari baru kamu muncul, nantilah bila ditunjuk baru kamu mengia” (Muhtamar, 2007: 22) Keempat, Getteng (Ketegasan), dalam bahasa Bugis berarti keteguhan. Orang yang memegang nilai keteguhan ialah orang menepati untuk tidak mengerjakan ketidak-baikan, dan berketetapan melakukan kebaikan, meski keburukan itu menarik hatinya tetapi sudah diketahuinya tentang keburukan, lalu tidak dilakukannya. Nilai keteguhan terikat pada makna yang positif, sebagaimana yang dikemukakan oleh To Ciung bahwa ada empat perbuatan nilai keteguhan yakni: Pertama, tidak mengingkari janji, kedua tidak mengkhianati kesepakatan, ketiga tidak membatalkan keputusan, tidak mengubah keputusan, keempat, jika berbicara dan berbuat tidak berhenti sebelum rampung. Hal tersebut menerangkan, bahwa perlunya menegakkan ketegasan dengan selalu menepati janji yang sudah dikatakan. Berkata dengan sejujurnya dengan tidak membatalkan dan mengubah sesuatu yang sudah disepakati bersama antara penguasa dengan rakyat dan bekerja maksimal untuk kepentingan rakyat bukan untuk kepentingan sekelompok golongan atau pribadi. Kelima, Warani (Ksatria), Seorang pemimpin seharusnya memiliki sifat warani yang bermakna berani mengambil tindakan untuk menjaga kestabilan pemerintahan. Keberanian sangat diperlukan dalam pemerintahan karena apabila seorang pemimpin tidak warani, maka dengan mudah dipengaruhi oleh orang lain atau lebih jauh oleh bawahannya. Konteks warani berarti berani bertindak dan berani mengambil resiko. Begitulah seorang pemimpin dalam suatu lembaga pemerintahan. Keenam, Masagena (Kemampuan), Nilai kepatutan erat kaitannya dengan kemampuan (makamaka) jasmaniah dan rohaniah, Penyerahan atau penerimaan sesuatu harus didasarkan pada kepatutan dan kemampuan. Makamaka lebih banyak menekankan penampilan bagi pemangku tanggung jawab. Perkataan terima kasih adalah kata pinjaman dalam bahasa Bugis. Sebelumya bila orang menerima sesuatu
-74-
SEMINAR NASIONAL “Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015” Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
dari seseorang, maka yang menerima mengucapkan gembira atau senang. Misalnya dikatakannya "marennu, temmaka rennuku" gembira alangkah gembira saya. Kemampuan disini juga bermakna bahwa seorang calon pemimpin itu seharusnya memiliki kecukupan harta atau kekayaan. Ketuju, Makaritutu (Kewaspadaan), dapat dimaksudkan bahwa seoramg pemimpin dalam menjalankan roda pemerintahan hendaknya berhati-hati. Jangan sampai organisasi yang dipimpin dibawa pada hal-hal negatif bukan pada hal-hal yang positif. Misalnya adanya kecenderungan KKN, menghalalkan segala cara dalam mencapai suatu tujuan dan sebagainya. Untuk itu diperlukan seorang pemimpin yang mampu bertanggung jawab dan sifat kehati-hatian dalam setiap tindakannya. KESIMPULAN Nilai-nilai dan esensi demokrasi tampil dalam wujud idea dan wujud aktivitas dalam budaya politik Kerajaan Bugis tak terkecuali pada Kerajaan Bone. Secara idea tampak dari berbagai perjanjian To Manurung sebagai cikal bakal Raja dengan para pemimpin kaum yang mengisyaratkan bahwa Raja dan rakyat memiliki hak-hak dan tanggung jawab masing-masing. Rakyat memilki hak untuk menyatakan pendapat secara tertib berdasarkan aturan (wari’), serta hak untuk mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan. Nilai dasar sipakatau (saling memanusiakan), menjadi patokan dalam membangun hubungan antara Raja dan rakyat. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai dan martabat manusia memperoleh penghargaan yang sangat tinggi yakni semacam cultural imperative (keharusan budaya) untuk selalu melakukan usaha memanusiakan manusia. Nilai-nilai dasar seperti Lempu’ (jujur), Adatongeng (perkataan benar), Getteng (tegas) dan Amaccang (kepandaian) mempunyai posisi sentral dalam menjalankan pemerintahan. Kepandaian yang tidak bersumber atau tidak disertai dengan kejujuran, maka tidak akan mampu menopang pemeliharaan ’induk kekayaan’ negara dan rakyat. Lempu’ (kejujuran) harus diserukan, didakwahkan dan dipraktekkan oleh pemimpin. Apabila sumber kepandaian adalah kejujuran, maka sabbinna (saksinya) adalah Gau’ (perbuatan). DAFTAR PUSTAKA Hamid, Abu dkk. 2007. Sejarah Bone. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone Jumadi dkk. 2009. Demokrasi di Sulawesi Selatan. Makassar : Reyhan Intermedia Lontara, Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, Ujung Pandang’ No. 13 0 Tentang Rapang. Lontara’ 121, 122, 123 Tentang Latoa. Muhtamar, Shaff. 2007. Masa Depan Warisan Luhur Kebudayaan Sulsel. Makassar : Pustaka Refleksi. Mattulada. 1985. Latoa : Suatu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Mattata, HM. Sanusi. 1967. Luwu dalam Revolusi. Makassar :Nawawi, Hadari dan M. Martini. 2004. Kepemimpinan yang Efektif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
-75-
SEMINAR NASIONAL “Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015” Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
Nawawi, Hadari. 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press. Noordyun, J. 1995. Historiografi Indonesia sebuah pengantar. Jakarta : Gramedia. Rahim, A. Rahman,1985, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang : LEPHAS. Rahim, Abdul dan Anwar Ibrahim. 2004. Nilai Demokrasi Dalam Budaya BugisMakassar. Dinas Kebudayaaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. Siagian, Sondang. P. 2003. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Reneka Cipta. Soemanto, Wasty dan Soetopo, Hendyat. 1982. Kepemimpinan dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Soetopo, Hendyat. 2005. Pendidikan dan Pembelajaran (Teori, Permasalahan, dan Praktek). Malang: UMM Press.
-76-