Kolom IBRAHIM ISA Selasa Sore, 23 September 2014 --------------------------
REVOLUSI MENTAL – “REVOLUSI JOKOWI” < Menyongsong Diskusi Bulanan “INSTITUT PERADABAN” 24 Sept. 2014> *** Dewasa ini kata 'REVOLUSI' sudah semakin mengglobal. Suatu ketika dibilang, hanya kaum KIRI atau Marxis yang menggunakan kata REVOUSI. Dewasa ini puluhan bahkan ratusan litaeratur dan media mancanegara tidak lagi dituduh “Kiri” atau Marxis, bila menggunakan kata 'revolusi'. Semakin disadari, bahwa kehidupan yang nyata, selalu melewati sedikitnya dua proses yang terpenting yaitu . . . EVOLUSI dan REVOLUSI. Meskipun berbagai aliran sosial, politik dan ekonomi berbeda-beda tafsiran dan pemahaman mengenai apa arti dari katq 'revolusi', Namun, umum diakui bahwa telah terjadi perubahan besar, dan kemajuan dalam kehidupan masyarakat manusia, yang tidak terpisah dari paling tidak tiga Revolusi Besar di dunia, sbb: Revolusi di Inggris yang melahirkan “Magna Carta”, pada tanggal 15 Juni 1215, – atau "Piagam Besar" yang membatasi kekuasaan absolut monarki Inggris. Lahirnya Magna Carta merupakan suatu PERUBAHAN Besar, suatu Revolusi, Maka Magna Carta dianggap lambang perjuangan hak-hak asasi manusia, sebagai tonggak perjuangan lahirnya hak asasi manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) lebih penting daripada kedaulatan, hukum atau kekuasaan. Revolusi Amerika, yang mengumumkan lahirnya sebuah bangsa baru, yang berdaulat dan baru, pada tanggal 4 Juli 1776 . Perang kemerdekaan Amerika,1774—1783, kemenangan yang dicapai melahirkan “Declaration of Independence”. Yang mendeklarasikan sama derajat sesema manusia, bahwa pemerintah yang dibentuk untuk merjamin hak-hak itu memperoleh kekuasaannya dari rakyat, bahwa rakyat berhak mengganti suatu pemerintahan yang melanggar asas ini, dengan pemerintahan lain yang Iebih sesuai dengan kehendak rakyat. Revolusi Perancis yang menggulingkan kekuasaan absolut monarki yg sewenang-wewenang Perancis dan melahirkan kekuasaan baru di bawah semboyan Liberté, Egalité, Frternité.
1
(Penyerbuan terhadap penjara Bastille, 14 Juli 1789). --'Kebebasan' , 'Keadilan', 'Persaudaraan'. *** Ide atau visi “REVOLUSI MENTAL”, -- dilontarkan JOKOWI ke tengah-tengah masyarakat sekitar Pilpres 2014, ditinjau dari 'timing'-nya merupakan suatu prakarsa yang amat 'relevan'. Namun, hakikat dari prakarsa Jokowi yang dinyatakannya dalam seruan “REVOLUSI MENTAL”, sudah lahir sejak dimulai dan bergejolaknya gerakan Reformarsi dan Demokrasi, melawan rezim otoriter Orde Baru di bawah Presiden Suharto. Ide dan visi tsb lahir, berkembang dan tmubah besar dalam proses perjuangan melawan tirani. Sumber inspirasi visi Revolusi Mental adalah AJARAN BUNG KARNO. *** Ide dan visi Bung Karno mengenai REVOLUSI ditaungkannya dalam sebagian besar tulisan dan pidatonya – teritstimewa dalam pidato-pidatonya setelah berdirinya Republik Indonesia. Revolusi di bidang kekuasaan politik harus dikonsekwenkan dengan berlangsungnya revolusi di bidang fikiran, konsepsi, ideologi.
Bung Karno: “Apa hukum-hukum revolusi itu? Hukum-hukum Revolusi itu, kecuali garis-besar romantika, dinamika, dialektika yang sudah kupaparkan tadi, pada pokoknya adalah: Pertama, Revolusi mesti punya kawan dan lawan, dan kekuatan-kekuatan Revolusi harus tahu siapa kawan dan siapa lawan; maka harus ditarik garis-pemisah yang terang dan harus diambil sikap yang tepat terhadap kawan dan terhadap lawan Revolusi; Kedua, Revolusi yang benar-benar Revolusi bukanlah «revolusi istana « atau «revolusi pemimpin», melainkan Revolusi Rakyat; oleh sebab itu, maka Revolusi tidak boleh «main atas» saja, tetapi harus dijalankan dari atas dan dari bawah; (huruf miring dari teks aslinya Pen.) Ketiga, Revolusi adalah simfoninya destruksi dan konstruksi, simfoninya penjebolan dan pembangunan, karena destruksi atau penjebolan saja tanpa konstruksi atau 2
pembangunan adalah sama dengan anarchi, dan sebaliknya ; konstruksi atau pembangunan saja tanpa destruksi atau penjebolan berarti kompromi, reformisme Keempat, Revolusi selalu punya tahap-tahap; dalam hal Revolusi kita :
tahap
nasional-demokratis dan tahap Sosialis, tahap yang pertama meretas jalan buat yang kedua, tahap yang pertama harus dirampungkan dulu, tetapî sesudah rampung harus ditingkatkan ke tahap yang kedua -- inilah dialektik Revolusi ; Kelima, Revolusi harus punya Program yang jelas dan tepat, seperti dalam Manipol kita merumuskan dengan jelas dan tepat : (A) Dasar/tujuan dan Kewajiban-kewajiban Revolusi Indonesia ; (B) Kekuatan-kekuatan sosial Revolusi Indonesia ; (C) Sifat revolusi Indonesia, (D) Hari depan Revolusi Indonesia ; dan (E) Musuh-musuh Revolusi Indonesia. Dan seluruh kebijaksanaan Revolusi harus setia kepada Program itu ; Keenam, Revolusi harus punya sokoguru yang tepat dan punya pimpinan yang tepat, yang berpandangan jauh–kemuka, yang konsekwen, yang sanggup melaksanakan tugas-tugas Revolusi sampai pada akhirnya, dan Revolusi juga harus punya kader-kadernya yang tepat pengertiannya dan tinggi semangatnya. Demikianlah hukum-hukum Revolusi» (Kutipan dari “Dibawah Bendera Revolusi”, halaman 572-573) -- <Sumber: artikel Umar Said -- 30 Juli 2010)> *** Kutipan ide atau konsep Bung Karno mengenai masalah REVOLUSI, merupakan sumber inspirasi dalam kegiatan selanjutnya --- bila memang benar-benar berkehendak mengadakan REVOKUSI MENTAL sekarang ini. *** Nursyahbani Katjasungkana -- , ketika memberikan responsnya terhadap seruan Revolusi Mental Jokowi, menyatakn, a.l “ . . . . . . . sebel banget sama orang yg bilang REVOLUSI MENTAL itu konsep komunis, sepahamanku, revolusi mental menjadi kata kunci untuk perubahan dlm segala tingkatan. Kata itu, dalam terminilogi atau istilah yg berbeda, dan konteks yg beda, digunakan siapa saja yg menghendaki perubahan. Inti sarinya kata Revolusi, merupakan “kata kunci untuk perubahan dalam segala tingkatan” . . . “digunakan oleh SIAPA SAJA YANG MENGHENDAKI PERUBAHAN.
3
< Catatan: -- Nursyahbani Katjasungkana -- memulai karirnya sebagai pengacara di LBH Jakarta (1980-1981). Kemudian sebagai Wakil Direktur LBH Jakarta (1984-1987). Ia pernah anggota DPR RI tahun 2004-2009 (Partai Kebangkitan Bangsa, Propinsi Jawa Timur). Sebelumnya Nursyahbani berpengalaman dalam Work Group Coordinator of Indonesian\'s NGO Forum on Women. Lalu menjabat Sekjen Koalisi Perempuan Untuk Keadilan dan Demokrasi dan juga Board Member of Women Law and Development International, dan Anggota Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan (1998-sekarang). >.-*** Gerakan Reformasi dan Demokrasi di Indonesia telah menggemparkan dunia politik Indoneisa dan mancanegara, dengan keberhasilannya memaksa Presiden Suharto turun panggung, dan dengan demikian mengakhiri berkuasanya rezim Orde Baru yang dalam jangka waktu lebih dari tiga-dasawarsa, telah memasung hak-hak demokrasi rakyat dan memerintah Indnesia dengan bersandar pada kekerasan militer, Intel dan Polisi. Visi, semangat dan tuntutan utama Gerakan Reformasi dan Demokrasi -- adalah . . . TERJADINYA SUATU PERUBAHAN DI INDONSIA. Suatu poerubahan yang mengantarkan Indonesia ke alam REFOMRASI dan DEMOKRASI. Menjadi jelas kiranya, suatu REVOLUSI, dalam hal ini REVOLUSI MENTAL JOKOWI, hanya bisa dilangsungkan dengan baik bila berpegang pada prinsip revolousi seperti yang diajarkan Bung Karno. Pentrapannya pada siatuasi kongkrit Indonesia dewasa ini, tentu, --- memerlukan penganalisaan dan programisasi yang akruil dan relevan dengan situasi kongkrit sekarang ini. *** Baik kiranya dibaca dengan tenang dan teliti apa yang dimaksudkan Jokowi dengan “pandangan yang menguraikan permasalahan bangsa ini dan menawarkan paradigma baru untuk bersama mengatasinya'. *** Disini diangkat pemikiran dasar yang dikemukakan Jokowi dalam tulisannya itu sbb: “ Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik kita dalam rangka
4
pembangunan bangsa (nation building). Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.” * * * Jokowi memfokuskan pada masalah berikut ini: “Sudah
saatnya
Indonesia
melakukan
tindakan
korektif,
tidak
dengan
menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan. * * * Jokowi sangat tegas dan eksplisit mengenai tujuan apa yang hendak dicapainya dan cara apa yang digunakan demi kemajuan dan perkembangan bangsa. Ditekankannya, sbb: “Penggunaan istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan pengorbanan oleh masyarakat. Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah
diutarakan
Bung
Karno
dalam
pidatonya
tahun
1963
dengan
tiga
pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Terus terang kita banyak mendapat masukan dari diskusi dengan berbagai tokoh nasional tentang relevansi dan kontektualisasi konsep Trisakti Bung Karno ini. “ Demikian Jokowi. * * * Lampiran: ------
UNDANGAN “INSTITUT PERADABAN” 5
TERM OF REFERENCE (TOR) DISKUSI BULANAN INSTITUT PERADABAN Rabu,24 September 2014
Jokowi dimata publik identik dengan berbagai kebijakan yang menggebrak, sebagian dianggap progressif, tetapi sekaligus juga dianggap kontroversial. Tidak mengherankan kemudian muncul tesis bahwa fenomena Jokowi dalam Pilpres 2014, mengalahkan pasangan Prabowo-Hatta, menandai adanya suatu revolusi rakyat. Pendapat lain menyebut fenomena Jokowi sebagai bukti adanya gerakan anti oligarki dalam masyarakat. Bagaimana persisnya kaitan fenomena itu dengan demokrasi? Juga apakah menangnya Jokowi menggambarkan suatu deepening democracy(makin mantapnya demokrasi) atau sekedar protes vote semata? Lepas dari itu semua, pemerintahan Jokowi-JK harus mulai berpikir serius dan mencarikan solusi atas beberapa persoalan penting yang bakal mereka, dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Yang akan kita diskusikan kali ini tersimpul dalam pertanyaan-pertanyaan
berikut:
Pertama, Sejauhmana demokrasi yang bertumpu pada populisme -- bukan elitis, bukan Oligarkis --
akan dikembangkan pemerintahan Jokowi-JK?
Kedua, Apakah fenomena Jokowi merefleksikan perubahan sosial yang revolusioner dalam masyarakat? Mengapa dan bagaimana menjelaskannya serta kearah mana perubahan sosial itu mengarah? Apa serta bagaimana wujud implikasinya pada pemerintahan? Ketiga, dengan cara apa pemerintahan baru -- yang didukung koalisi minoritas dan memiliki kurang 40% kursi di parlemen -- mampu menjaga stabilitas dan survival kekuasaannya? Bagaimana supaya kebijakan-kebijakannya berjalan dengan efektif tanpa gangguan di DPR? Masalah-masaalah penting inilah yang akan dibahas dengan melibatkan tiga keahlian berbeda. Sejarawan (Fachry Ali, MA) akan menjelaskan makna kemenangan Jokowi sebagai suatu refleksi dan sekaligus transformasi populisme masyarakat kedalam arus kekuasaan politik. Sosiolog (Dr. Meuthia Ganie Rochman) akan mengulas secara sosiologis, sejauhmana fenomena J okowi menggambarkan realitas pergeseran dan perubahan 6
sosio-politik masyarakat, serta bagaimana prospeknya ke depannya? Ahli ilmu politik (Dr. Doddy Ambardi) akan mencermati prospek pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (2014-2019) dari sudut-sudut pandang politik.
***
7