KECAKAPAN BERARGUMEN SEBAGAI PILAR POKOK REVOLUSI MENTAL Bambang Suteng Sulasmono Program Studi S2 Magister Manajemen Pendidikan, FKIP-UKSW Salatiga
[email protected] ABSTRACT Mental revolution was in essence a paradigm change efforts in the governance of social life, state and nation as a whole and sustainable. Although using the word revolution, but the nature of the mental revolution is a planned educational process, systematically towards achieving the ideal goal of Indonesia.Indonesian education system is thus responsible to sustain the mental revolution, through education paradigm shift towards a more humanist and constructivistparadigm. In turn the process of learning in the classroom should also be directed as efforts to achieve the learning outcomes of higher order thinking, sort of critical thinking, creative thinking, and thinking to solve problems. One strategy is the development of higher order thinking skills through the learning argumentation skills, those learners developed their critical thinking skillsfrom arguing. A wide range of learning technologies has now been developed and proven effective in supporting the development of skills of learners in the argument.The teachers as classroom managers, should take advantage of advances in technology to support the development of argumentative learning skills as part of the critical thinkingdevelopment. Those teachers must leave rote learning patterns that have tended to dominate the practice of education in this country. Key words: mental revolution, paradigm shift, arguing skills. A. Pendahuluan Istilah revolusi mental menjadi amat populer di negeri ini seiring dengan proses pemilihan Presiden beberapa bulan lalu. Gagasan yang dikemukakan oleh salah satu calon presiden kala itu, dan kini telah terpilih menjadi Presiden ke tujuh Republik Indonesia, sempat menimbulkan pro dan kontra di kalangan bangsa Indonesia. Bagaimanapun kini semakin nyata bahwa revolusi mental memang hendak dijalankan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Wajar jika kemudian Musyawarah Kerja dan Temu Ilmiah Nasional APMAPI tahun 2014 kali inipun mengambil tema “Revolusi Mental Pemimpin dan Manajer Pendidikan dalam Implementasi Kebijakan Pendidikan Kontemporer Menuju Indonesia Emas”.
1
Walaupun mengandung kata revolusi, yang mengisyaratkan adanya tindakan perubahan yang cepat dan menyeluruh, namun sesungguhnya revolusi mental adalah sebuah proses pendidikan, yang berwatak sebagai usaha sadar terencana, sistematis ke arah pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu sistem pendidikan nasional mempunyai peran strategis dalam menentukan keberhasilan proses revolusi itu sendiri. Lebih dari itu, proses pendidikan yang berlangsung dikelas-kelas pembelajaran juga harus menopang terjadinya proses revolusi mental di kalangan peserta didik itu sendiri. Pembelajaran macam apakah yang dapat menopang proses revolusi mental di kalangan peserta didik negeri ini? Tulisan ini hendak menyajikan salah satu pilar revolusi mental dalam proses pendidikan yaitu pengembangan kecakapan berargumen sebagai pilar pokok revolusi mental. Setelah bagian pendahuluan ini, tulisan akan dilanjutkan dengan membahas hakikat revolusi mental dan implikasinya bagi sistem pendidikan di negeri ini. Kemudian akan disajikan signifikansi hasil belajar kecakapan berargumen, pembelajaran untuk meningkatkan kualitas argumen, dan hasil penelitian di bidang pengembangan kecakapan berargumen. Tulisan akan diakhiri dengan simpulan dan saran. B. Revolusi Mental dan Implikasinya dalam Pendidikan Revolusi mental menurut Jokowidodo (2014) adalah upaya menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja dan berkesinambungan. Sedang Benny Susetyo (2014) menyatakan bahwa revolusi mental bermakna revolusi kesadaran, suatu perubahan mendasar yang menyangkut kesadaran, cara berpikir, dan cara bertindak sebuah bangsa besar. Dua pandangan di atas mengisyaratkan bahwa aspek terpenting dalam revolusi mental sesungguhnya adalah perubahan paradigma dalam pengelolaan tata hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bangsa ini. Istilahparadigma yang merupakanterjemahandari kata dalamBahasaInggris “paradigm”
pertama
kali
dikemukakanoleh
Thomas
Samuel
Kuhn
(1970)dalambukunya yang berjudulThe Structure of Scientific Revolutions, terbitan Chicago University Press. Dalam buku itu Kuhn menjelaskan tentang bagimana
2
perkembangan ilmu pengetahuan selama ini. Istilah paradigma sendiri oleh Kuhn dimaknai sebagai “contoh-contoh nyata yang telah disepakatidari kegiatan ilmiah/keilmuan; yang mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi yang secara bersama-sama melahirkan model bagi tradisi-tradisi yang terpadu dalam penelitian ilmiah/keilmuan tertentu”. Definisi Kuhn tadi menunjukkan bahwa paradigma hakikatnya adalah “sekumpulan prinsip dan tradisi yang telah disepakati sebagai pedoman dalam berolah ilmu”. Paradigma mengadung pendekatan keilmuan, sudut pandang kelimuan, metode keilmuan maupun cara beripikir keilmuan tertentu. Dalam perkembangan kemudian istilah paradigma dipergunakan dengan pengertian yang amat beragam, mulai dari pengertian “baku” nya seperti tersebut di atas sampai ke sebatas aspek-aspek dari paradigma itu sendiri. Jadi istilah paradigma sering digunakan dalam arti cara berpikir, aliran pemikiran, sudut pandang atas suatu masalah, atau sekedar pendekatan terhadap permasalahan tertentu saja. Implikasi revolusi mental dalam bidang pendidikan, masih menurut Jokowidodo (2014), adalah bahwa sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini. Hal ini bisa dipahami karena bagi Jokowidodo revolusi mental diajukan sebagai upaya mencegah kegagalan bangsa Indonesia dalam memberantas praktik korupsi, intoleransi, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis. Dengan demikian sebagai bagian dari tatakelola hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka sistem pendidikan negeri inipun harus melakukan pergeseran paradigma. Ke arah manakah pergeseran paradigma pendidikan itu harus diarahkan? Tampaknya hal itu tidak jauh dari apa yang dikemukakan oleh Reigeluth (1999) bahwa seiring peralihan era industri ke era informasi, maka berlangsung pula perubahan paradigmatis dalam pendidikan/pembelajaran, yang ia sebut sebagai perubahan dari pendidikan/pembelajaran yang bersifat Darwinian yaitu yang hanya “memajukan yang paling siap” menuju ke pendidikan/pembelajaran yang lebih dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan kemanusiaan
yaitu pendidikan yang
“memajukan semua”. Pendidikan harus diarahkan bukan lagi sekedar sebagai proses 3
transfer pengetahuan dan peradaban dari satu generasi ke generasi berikutnya, melainkan harus diarahkan sebagai proses
untuk memanusiakan manusia yang
tengah menjadi itu agar menjadi manusia yang utuh perkembangan kepribadian dan intelektualitasnya. Pada tataran operasional pembelajaran di kelas maka perubahan paradigma itu harus menampak pada tergesernya praktik-praktik pembelajaran hafalan (rote learning) oleh praktik-praktik pembelajaran bermakna (meaningfull learning). Pembelajaran tidak lagi hanya berkutat ke pengembangan aspek aspek berpikir tingkat rendah (lower order thinking) melainkan lebih fokus ke pengembangan aspek-aspek berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Salah satu proses pembelajaran yang penting saat ini adalah pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis melalui, pengembangan kecakapan membangun argumen (Marzano, 1998). Berpikir kritis adalah berpikir masuk akal dan reflektif yang terfokus untuk memutuskan apa yang akan dipercayai atau akan dilakukan (Marzano,1988). Berpikir dapat disebut „masuk akal‟ jika pemikir berusaha/bekerja keras untuk menganalisa pendapat pendapat secara cermat, mencari bukti yang sahih, dan mencapai kesimpulan yang masuk akal. Kemampuan berpikir kritis secara taksonomik berada pada tingkatan hasil belajar yang tinggi, karena menunjuk pada hasil belajar yang lebih dari sekedar mengetahui dan memahami, melainkan sudah pada tahapan penerapan, analisa, sintesa dan bahkan evaluasi. Berpikir kritis itu sendiri menurut Paul (dalam Marzano, 1988) dapat dibedakan menjadi dua yaitu yang berkarakter “weak sense” (kurang peka perasaan) dan “strong sense” (peka perasaan). Perilaku berpikir kritis yang kurang peka perasaan terjadi ketika orang menggunakan ketrampilan menganalisa dan berargumentasi terutama untuk menyerang dan menjatuhkan orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya. Sedang orang yang berpikir kritis peka perasaan adalah orang yang tidak dibutakan oleh sudut pandangnya sendiri dan sekaligus mampu menyadari pentingnya untuk mempertimbangkan sanggahan-sanggahan atas asumsiasumsi dan gagasan-gagasannya sendiri.
4
Pendidikan seharusnya diarahkan untuk mengembangkan kecakapan berpikir kritis yang peka perasaan (strong sense critical thinking). Hal itu bermakna bahwa pendidikan harus mengembangkan kecakapan pebelajar dalam melakukan analisis dan membangun argumen tentang masalah-masalah bersama secara berkeadaban. C. Kecakapan Berargumen sebagai Hasil Belajar yang Signifikan Argumen dapat didefinisikan sebagai pendirian yang dibenarkan secara nalar berdasarkan bukti-bukti atau dasar-dasar (Toulmin, 2005). Dengan demikian ada tiga unsur pokok dalam sebuah argumen yaitu pendirian/klaim, bukti/dasar pendirian, dan penalaran yang membenarkan hubungan masuk akal antara dasar dengan pendirian. Di samping tiga unsur pokok di atas Toulmin (2005) menyatakan bahwa ada 3 komponen lain dari sebuah argumen pendukung penalaran (backing), kata bantu pemberi sifat (modal qualifier), dan sanggahan (rebuttal).Argumen disebut baik, kokoh atau tinggi kualitasnya jika (a) pendiriannya dinyatakan jelas dan lengkap, (b) dasar pendiriannya relevan dan mencukupi sebagai pijakan pendirian, (c) penalarannya relevan dan cukup mendapat dukungan (backing), (d) pendukung penalarannya jelas, relevan dan spesifik, serta (e) mempertimbangkan sanggahan yang mungkin/kontra argumen, sehingga (f) menggunakan kata-kata pemberi sifat secara tepat (Cerbin, 1988). Kecakapan menilai dan membuat argumen yang kokoh merupakan hasil belajar yang penting dalam proses pendidikan di berbagai negara karena terkait erat dengan berbagai hasil belajar seperti berpikir kritis, ketrampilan berpikir tingkat tinggi, dan pemecahan masalah ill-structured(Goodlad, dalam Marzano1988; Kuhn, 1999; Tan dkk, 2001; Nussbaum, 2002; Shin & McGee, 2004;Ge & Land, 2004; Keraf, 2004; Marttunen dkk, 2005; Simon, dkk, 2006; Chang, 2007; Pinkwart, 2008, Abbas & Sawamura, 2009; Easterday, 2010; dan Chase, 2011). Goodlad (dalam Marzano, 1988) menemukan bahwa kebanyakan negara dan sistem persekolahan di dunia ini mengadopsi “kecakapan berpikir kritis” sebagai tujuan pendidikan mereka
karena kecakapan ini
dianggap penting bagi
kewarganegaraan demokratis. Kecakapan berpikir kritis itu antara lain dikembangkan melalui proses berargumentasi. Sedang menurut Tan dkk (2001) salah satu tujuan utama sekolah-sekolah di Amerika adalah mendidik pebelajar agar menjadi pemikir
5
yang rasional dan pemecah masalah yang baik. Kegiatan pemecahan masalah menjadi bagian penting dari kurikulum sekolah di negara itu, di mana argumentasi menjadi kegiatan intelektual utama dalam memecahkan masalah-masalah yang bersifat ill-structured. Shin & McGee (2004) menyatakan bahwa argumentasi merupakan bagian penting dalam ilmu sosial terutama dalam bidang studi sejarah, karena dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis dan membuat keputusan. Sedang Nussbaum (2002) menyatakan bahwa kemampuan untuk membangun dan menilai argumen-argumen sangat penting bagi seseorang yang hendak secara aktif berpartisipasi dalam kehidupan profesional dan kenegaraan. Kecakapan membangun argumen merupakan komponen yang penting dalam mengembangkan kapasitas berpikir tingkat tinggi dan mengembangkan kemampuan dalam menggunakan ketrampilan itu guna memahami isu-isu sosial.Marttunen dkk (2005) menyatakan bahwa warga masyarakat saat ini semakin dituntut untuk menguji secara kritis isu-isu kemasyarakatan mutakhir dari berbagai sudut pandang untuk membangun opini yang bernalar dan terlibat dalam debat publik di sekitarnya. Para pebelajar kini juga dituntut untuk selalu menganalisa secara kritis bebagai informasi yang dihadapinya baik melalui bahan-bahan pelajaran, buku-buku teks ataupun internet. Dengan demikian salah satu tugas utama pendidikan adalah mengajarkan kecakapan berargumentasi dan berpikir kritis kepada siswa agar mereka mampu berpartisipasi dalam perdebatan tentang persoalan-persoalan kemasyarakatan dan dalam menguji secara kritis berragam informasi dari bermacam-macam sumber informasi. Dalam kaitannya dengan learning community, Blelaczyc & Collins (dalam Reigeluth, 1999) berpendapat bahwa argumentasi diperlukan untuk menemukan solusi atau pemahaman yang lebih baik serta mengenali kesalahan dan salah konsep yang terjadi. Dalam kaitannya dengan hasil belajar dibidang kognitif, Jonassen (dalam Reigeluth, 1999) berpendapat bahwa argumen merupakan indikator yang memuaskan tentang kualitas ranah pengetahuan yang dikuasai oleh pebelajar. Sementara itu Hong dkk (dalam Cho & Jonassen, 2002) berpendapat bahwa kecakapan berargumentasi merupakan variabel peramal signifikan terhadap prestasi pebelajar dalam memecahkan masalah baik yang bersifat well-structured maupun yang bersifat ill-structured, sedang Cho & Jonassen (2002) menyatakan bahwa 6
argumentasi merupakan salah satu kecakapan yang penting dalam memecahkan masalah yang bersifat ill-structured. Keraf (2004) menyatakan bahwa argumentasi merupakan dasar yang paling fundamental dalam ilmu pengetahuan. D. Pembelajaran untuk Meningkatkan Kualitas Argumen Walaupun kecakapan membangun argumen itu merupakan hasil belajar yang penting, namun sejumlah studi menunjukkan bahwa para siswa umumnya kurang mampu membangun argumen yang kokoh (cogent argument) (Cerbin, 1988; Jonnassen, 1999; Tan dkk, 2001; Marttunen dkk, 2005;Erduran dkk, 2006; Simon dkk, 2006; Chase, 2011). Perkin (dalam Shin & McGee, 2004) menemukan bahwa kemampuan pebelajar sekolah menengah atas untuk membangun argumen umumnya mengecewakan dan tidak mengalami perbaikan yang siginifikan selama di perguruan tinggi. Cerbin (1988) juga menemukan bahwa para pebelajar umumnya tidak mampu menghubungkan dasar-dasar dengan pendirian melalui penalaran (warrant). Jonassen (dalam Reigeluth 1999) juga menyatakan bahwa ketrampilan membangun argumen dari kebanyakan pebelajar belum cukup berkembang, sehingga diperlukan topangan belajar atau pembelajaran untuk membangun argumen. Tan,dkk (2001) mencatat bahwa walaupun argumentasi merupakan sarana pokok dalam memecahkan masalah ill-structured, namun pebelajar sering menghadapi kesulitan dalam melakukan penalaran dan membangun argumen yang masuk akal.Patric (dalam Shin & McGee, 2004) mengutip laporan NAEP 2001 yang menyatakan bahwa sebagian besar pebelajar di K-12 tidak mampu mencapai tingkat pencapaian „advance‟ di bidang studi sejarah Amerika, yang memang menuntut ketrampilan untuk membangun argumen historis. Marttunen (2005) juga mencatat bahwa konstatasi tentang pebelajar sekolah menengah mampu terlibat dalam diskusi argumentatif kritis tidaklah sesuai dengan kenyataan.Erduran dkk, 2006 mencatat bahwa bahkan lulusan program sain sekalipun biasanya tidak mampu menyajikan bukti dan pembenaran atas klaim mereka tentang dunia nyata.Sejalan dengan temuan Patric di atas, Simon dkk, 2006, Chase (2011) menyatakan bahwa hasil evaluasi nasional di AS pada tahun 1996, 1998 dan 2008, hampir 40% dari siswa kelas 12 tidak memiliki ketrampilan membuat argumen tertulis.
7
Tampak bahwa berbagai hasil studi di atas menunjukkan adanya kelemahan umum yang dihadapi pebelajar dalam membangun suatu argumen yang berkualitas. Oleh karena itu kini telah banyak dikembangkan pembelajaran untuk pengembangan kecakapan membangun argumen (Cerbin, 1988; Leeman, 1987; Cho & Jonassen, 2002).Cerbin (1988) menggunakan strategi pembelajaran langsung tentang ketrampilan
bernalar
berbasiskan
model
argumentasi
yang
jelas
guna
mengembangkan kemampuan membangun argumen. Cho & Jonassen (2002) mencatat adanya sejumlah penelitian yang menunjukkan manfaat pembelajaran langsung model Cerbin tersebut di atas dalam perbaikan struktur dan penulisan argumen. Leeman (1987) mendukung penggunaan model argumen Toulmin dalam kelas pendidikan hukum untuk mengembangkan keterampilan berargumentasi. Sedangkan Andriessen (2003) menekankan pentingnya pembelajaran untuk berargumen dalam suasana kolaboratif bukan kompetitif. Di bidang teknologi pendidikan kini telah dikembangkan pula teknik-teknik yang dimaksudkan untuk memperlancar proses dan meningkatkan kemampuan dalam membangun argumen. Salah satu teknologi pembelajaran yang dikembangkan itu adalah pemanfaatan scaffolding (topangan belajar) dalam pembelajaran membangun argumen. Cho & Jonassen (2002) mencatat bahwa kini telah dikembangkan scaffolding kecakapan berargumen dalam bentuk alat-alat kognitif (cognitve tools), seperti program Sherlock buatan Lajole dan Lesgod dan CSCA (computer-supported collaborative argumentation). Di samping itu ada pula program Convine Me dari Diehl dkk (2001), peta argumen dari Nussbaum (2002), ‘Quest-Map’ yang „constrain-based argumentation tool‟‟ dari Tan dkk (2001), „peer challenge‟ berpedoman, „self-monitoring‟ berpedoman dan „self-monitoring‟ tanpa pedoman sebagai scaffolding pembelajaran sejarah dari Choi dkk (2004), dan „online argumentation scaffolds‟ dari Cho & Jonassen (2002).Pinkwart dkk (2008) mengembangkan program LARGO sebuah program untuk argumentasi legal yang membantu siswa membuat diagram argumentasi lisan yang termuat dalam transkrip peradilan Mahkamah Agung Amerika Serikat. Sedang Abbas dan Sawamura (2009) mengembangkan program ALES untuk membantu siswa dalam pengembangan argumen. 8
E. Penelitian tentangPembelajaran Argumen Sejumlah penelitian menunjukkan efektifitas penggunaan berbagai macam scaffolding itu baik bagi pembelajaran secara umum, maupun bagi pengembangan kecakapan membangun argumen pada khususnya. Ge & Land (2004) misalnya mencatat bahwa sejumlah penelitian yang ada menunjukkan bukti tentang efektifitas teknik-teknik scaffolding bagi berbagai macam tugas dan proses belajar, semacam menulis, memahami bacaan, „word problem-solving’, dan konstruksi pengetahuan. Topangan-topangan itu terbukti membantu pebelajar dalam (a) mengaktifkan skemata, (b) mengorganisasikan dan memunculkan kembali pengetahuan, (c) memonitor dan mengevaluasi, serta (d) merefleksikan belajarmereka. Cho & Jonassen (2002) mencatat bahwa studi Lajole dan Lesgold tentang penggunaan program Sherlock untuk mengembangkan kemampuan berargumen, menunjukkan bahwa kelompok ekperimen menampilkan kinerja yang lebih baik dibanding kelompok kontrol baik dari segi jumlah masalah yang dipecahkan maupun dari segi kualitas proses pemecahan masalahnya. Mereka juga mencatat bahwa dari studi Tan tentang penggunaan scaffold ‘Quest-Map’ yang bersifat „constrain-based argumentation tool‟‟ tampak bahwa pebelajar yang menggunakan topangan belajar berbeda secara signifikan (dalam arti lebih baik) dalam menyusun „ground” atau dasar pendirian dibanding kelompok kontrol. Studi Cho & Jonassen sendiri (2002) menunjukkan bahwa kemampuan membangun argumen dapat dibantu secara efektif oleh „online argumentation scaffolds‟ dan produksi argumen yang lebih baik itu secara langsung berdampak kegiatan-kegiatan pemecahan masalah yang digunakan pebelajar.Studi Diehl dkk (2001) juga menunjukkan bahwa scaffold yang mereka pergunakan (Convince Me) dapat membantu pebelajar dalam kegiatan kegiatan pemecahan masalah karena berfungsi sebagai forum argumentasi kolaboratif (as a forum for collaborative argumentation). Hasilpenelitianterhadaphard argumen
scaffolding,
khususnyadalambentuk
peta
danpertanyaanpenuntunantaralaindapatdipaparkansebagaiberikut.
Peta
argumen adalah representasi keruangan dari argumen yang memungkinkan orang menggambarkan struktur logis dari argumen itu sendiri. Representasi itu berupa
9
skema atau bagan yang menggambarkan letak dan saling hubungan antar komponen argumen (pendirian, dasar, penalaran, pendukung penalaran, kata-kata pemberi sifat dan sanggahan) yang ditata secara sistematis sehingga menopang proses penyusunan argumen yang kokoh oleh para pebelajar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian topangan belajar dalam bentuk peta argumen dapat meningkatkan kualitas argumen yang dibentuk oleh pebelajar (Tan dkk, 2001; Nussbaum, 2002); Andriessen, 2003; dan Twardy, 2004). Studi Tan dkk (2001) menunjukkan bahwa menurut umpan balik para pebelajar, penggunaan “Quest Map” meningkatkan kejelasan pemikiran, meningkatkan pengorganisasian ide-ide, mendorong analisa mendalam atas persoalan dan pemecahannya, memfasilitasi proses „sharing‟ gagasan dan perspektif, serta memungkinkan visualisasi argumen itu sendiri. Walaupun demikian, dalam studi Tan, diperoleh temuan bahwa pebelajar lebih cenderung membuat banyak klaim dan dasar pendirian ketimbang penalaran. Pebelajar juga ditemukan jarang merumuskan pendukung penalaran (backing), kata-kata pemberi sifat (modal qualifier) dan sanggahan (rebbutal). Penelitian Nussbaum (2002) juga menunjukkan bahwa penuntun belajar beragumentasi (scaffolding argumentation)dalam bentuk peta argumen dapat menolong pebelajar dalam membangun argumen yang lebih lengkap dan eksplisit.Sedang Andriessen (2003) mencatat bahwa representasi grafis (peta argumen) meningkatkan kualitas interaksi argumentatif dengan cara mendorong siswa untuk menyatakan gagasannya secara lebih jelas/ eksplisit dan lengkap, menajamkan pusat perhatian pebelajar, membantu proses pengorganisasian dan pemeliharaan keterpaduan jawaban selama proses pemecahan masalah, dan sekaligus berfungsi sebagai sumber dalam penalaran. Dengan memanfaatkan peta argumen pebelajar dapat menghasilkan lebih banyak sanggahan, dukungan penalaran dan hubungan antar pendirian. Lebih lanjut Twardy (2004) menemukan bahwa peta argumen dalam program „ReasonAble‟ terbukti meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berpikir kritis. Hal itu karena di samping berpikir kritis itu pada intinya memang merupakan kegiatan berargumen, peta argumen juga lebih mampu memberi gambaran nyata
10
tentang struktur argumen itu sendiri ketimbang kalimat-kalimat penjelasan tentang hal itu. Di samping itu peta argumen juga dapat memusatkan pikiran para pebelajar dalam proses berpikir kritis, karena sesungguhnya proses berpikir kritis itu merupakan proses berargumen yang „liar‟ (wild argumentation processes). Salah satu karakteristik utama dari topangan belajar adalah sifatnya yang interaktif (Palincsar, 1986). Selama proses pembelajaran terjadi proses saling hubungan (interaksi dan komunikasi) antara pembelajar dan pebelajar dalam rangka penyelesaian tugas belajar para pebelajar. Dalam proses interaksi tersebut dialog memainkan peran penting, dan melalui proses dialog itu sesungguhnya topangan belajar dapat diberikan baik oleh pembelajar maupun pebelajar yang lebih mampu kepada pebelajar lain yang membutuhkan. Pernyataan dan pertanyaan dengan demikian dapat berfungsi sebagai penopang belajar yang efektif, termasuk dalam pembuatan argumen yang kokoh (Chi dkk, 2004; Lin & Lehman, 2004; King & Rosenshine, 2004, Choi dkk, 2004; Blanton dkk, 2003; Myhill & Warren, 2005). Chi dkk (dalam Ge & Land, 2004) menemukan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang mendorong penjelasan mandiri membantu siswa dalam merumuskan penalarannya. Jadi, pertanyaan-pertanyaan elaboratif, terutama yang mengungkap penjelasan dan pembenaran (semisal, Dapatkah kamu menjelaskan mengapa kamu memilih solusi ini? Mengapa kamu memutuskan untuk memusatkan diri pada tujuan itu?) dapat digunakan untuk menolong siswa dalam membangun argumen. Studi Lin dan Lehman (dalam Ge & Land, 2004) mendukung adanya efek positif dari pertanyaan-pertanyaan
yang
mengungkap
pembenaran
dalam
mengarahkan
mahasiswa untuk merumuskan langkah-langkah yang mereka ambil dan keputusankeputusan yang mereka tetapkan.Studi King & Rosenshine (dalam Ge & Land, 2004) juga menunjukkan bahwa interaksi dengan sesama menciptakan konteks/lingkungan belajar bagi siswa untuk saling menguji pikiran masing-masing, dan oleh karena itu membuka jalan bagi pembuatan argumen dan membuat pembenaran (warrant) Studi Blanton, dkk (2003) menunjukkan pula bahwa topangan belajar dalam bentuk
pernyataan-pernyataan
fasilitatif,
berupa
pemberian
contoh-contoh,
pengungkapan kembali dan konfirmasi jawaban pebelajar, dan pertanyaan-
11
pertanyaan transaktif (transactive prompt) berupa pertanyaan-pertanyaan pembelajar yang mendorong terjadinya diskusi di antara pebelajar dapat mendorong terjadinya perkembangan di dalam „zone of proximal development‟ para pebelajar, sebagaimana ditunjukkan oleh keberhasilan pebelajar untuk mengajukan gagasan-gagasan baru serta mengelaborasi lebih lanjut gagasan-gagasan itu sebagai bahan untuk menyelesaikan tugas belajar secara mandiri.Sedang studi Choi dkk (2004) tentang penggunaan „peer challenge‟ berpedoman, „self-monitoring‟ dengan pedoman dan „self-monitoring‟ tanpa pedoman sebagai
scaffolding pembelajaran sejarah
menunjukkan bahwa skor argumen pebelajar dalam esai akhir mengalami peningkatan dibanding esai awal mereka, walaupun tidak terdapat perbedaan signifikan antar strategi pembelajaran. Studi Myhill & Warren (2005) menunjukkan bahwa pemberian topangan belajar dalam bentuk pernyataan dan pertanyaan pembelajar hanya akan berdampak positif bagi hasil belajar pebelajar apabila, pembelajar berhasil memanfaatkan momentum-momentum kritis (critical moments) dengan jalan merespon jawaban pebelajar secara fleksibel dan memberi kesempatan kepada pebelajar untuk saling berinterkasi dan terlibat di dalam interkasi itu. Sebaliknya momentum-momentum kritis justru akan membingungkan pebelajar jika pembelajar sendiri tidak percaya diri terhadap penguasaan bahan pelajaran yang didiskusikan dan kurang memahami pengetahuan awal para pebelajar. Uraian di atas selain menunjukkan manfaat pertanyaan penuntun sebagai penopang dalam belajar membangun argumen, sekaligus juga mengisyaratkan pentingnya peran bahasa atau kecakapan berbahasa dalam pembuatan argumen. Penutup Simpulan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal berikut: (a) revolusi mental hakikatnya adalah upaya perubahan paradigma dalam tatakelola hidup bermasayarakat, berbangsa dan bernegara; (b) sistem pendidikan Indonesia juga harus menopang proses revolusi mental, melalui pergeseran paradigma ke arah yang lebih humanis dan konstruktivis; (c) proses pembelajaran di kelas juga harus lebih diarahkan ke pencapaian hasil pembelajaran berpikir tingkat tinggi (higher order thinking); (d) salah satu cara pengembangan berpikir tingkat tinggi adalah melalui
12
pembelajaran kecakapan berargumen; (e) kini telah banyak teknologi pembelajaran yang terbukti efektif dalam menopang proses pengembangan kecakapan peserta didik dalam berargumen. Saran Para guru selaku manajer pembelajaran di kelas, seyogyanya memanfaatkan kemajuan teknologi pembelajaran dalam menopang perkembangan kecakapan peserta didik dalam mengembangkan argumen yang kokoh sebagai bagian dari upaya pengembangan kecakapan berpikir kritis. Daftar Pustaka Abbas,A.,& Sawamura, H. 2009. Developing an Argument Learning Environment Using Agent-based ITS (ALES). Educational Data Mining, Andriessen, J.2003. Arguing to learn. http://edu.fss.uu.nl/medewerkers/ja/docs/ ATL.pdf diakses tanggal 24 Oktober 2014. Benny Susetyo. 2014. Revolusi Mental. Koran SINDO Sabtu 10 Mei Blanton, M.L., Stylianou, D.A. & David, M.M. 2003. The Nature of Scaffolding in Undergraduate Students’ Transition to Mathematical Proof; http://www.lethedelapreuve.it/PME/PME27/RR_ blanton.pdfdiakses tanggal 1 Oktober 2014 Cerbin, B. 1988.The Nature and Development of Informal Reasoning Skills in College Students; ERIC Document Reproduction Service No.ED 298 805. Chang, Shu-Nu. 2007. Teaching argumentation through the visual models in a resource-based learning environment; Asia-Pasific Forum on Science Learning and Teaching. Volume 8, Issue 1, Article 5, p.2 (June, 2007) Chase, B. J. 2011. An Analysis of the Argumentative Writing Skills of Academically Underprepared College Student; disertation Columbia University Cho, K.L &Jonassen, D.H., 2002.The Effect of Argumentation Scaffold on Argumentation and Problem Solving.ETR&D; Vol 50 (3) pp 5 – 22. Choi, I., Shin, N., Song, L., Oh, A., Martin, J., & Kirby, J. 2004. Building Argumentation Skills ThroughScaffolding Peer-Challenge and SelfMonitoring in the Foundations of Freedom TM Integrated History Classroom; http://www.arches.uga.edu/~sliyan/Final Report.pdf.diaksestanggal 24 Oktober 2014. Diehl, C.L., Ranney, M., &Schank, P. 2001. Model-Based Feedback Supports Reflective Activity in Collaborative Argumentation; http://www.ll.unimaas.nl/euro-csca/Papers/37.pdf.diakses tanggal 24 Oktober 2014.
13
Easterday, M., W. 2010. An Intelegent Debater for Teaching Argumentation, in V. Aleven, J. Kay, and J. Mostow (eds.): ITS 2010, Part II, LNCS 6095, pp. 218-220, 2010: Berlin Heidelberg: Spriger-Verlag Erduran, S., Ardac, D. & Yakmaci-Guzel, B. 2006. Learning to Teach Argumentation: case Studies of Pre-Service Secondary Science Teachers; Eurasia Journal of mathematics, Science and Technology Education. Volume 2, Number 2, July 2006 Ge, X., & Land.S.M., 2004. A Conceptual Framework for Scaffolding Ill-Structured Problem solving Processes Using Question Prompts and Peer Interactions; ETR&D: Vol. 52 (2) pp 5-22. Jokowidodo. 2014. Revolusi Mental. Kompas, Sabtu 10 Mei Jonassen, D. 1999. Designing Constructivist Learning Environment.Dalam C.M. Reigeluth (ed), Instructional Design Theories and Models Volume II. A New Paradigm of Instructional Theory (pp. 215 – 240). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Keraf, G. 2004. Argumentasi dan Narasi; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kuhn, D. 1999. A Developmental Model of Critical Thinking; Educational Researcher: Vol. 28 (2), pp 16-26 Kuhn, T.S. 1970.The Structure of Scientific Revolutions; Chicago: University Press.
Chicago
Leeman, R.W. 1987. Taking Perspectives: Teaching Critical Thinking in the Argumentation Course.ERIC Document Reproduction Service No.ED 292 147. Marttunen, M., Laurinen, L., Litosseliti, L., & Lund, K. 2005. Argumentation Skills as Prerequisites for Collaborative Learning among Finnish, French, and English Secondary School Students; Educational Research and Evaluation;Vol 11 (4) August: pp. 365 – 384. Marzano, R.J. et all, 1988. Dimension of Thinking: A Framework for Curriculum and Instruction. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Development. Myhill, D. & Warren, P. 2005. Scaffolding or Staitjacket? Critical Moment in Classroom Discourse; Educational Review;Vol 57 (1) February, pp 55 – 69. Nussbaum, E.M., 2002. Scaffolding Argumentation in the Social Studies Classroom;. The Social Studies: March/April, pp 79 – 83. Palincsar, A.S. 1986. The Role of Dialogue in Providing Scaffolded Instruction; Educational Psychologist; Vol 21 (1 & 2) pp. 73 – 98. Pinkwart, N., Lynch, C., Ashely,K., and Aleven, V. 2008. Re-evaluating LARGO in the Classrom: Are Diagrams Better Than Text for Teaching Argumentation Skills? in B. Woolf et al. (Eds): ITS 2008, LNCS 5091, pp. 90-100, 2008: Berlin Heidelberg: Spriger-Verlag Reigeluth, C.M. 1999. What Is Instructional-Design Theory and How Is It Changing?. Dalam C.M. Reigeluth (ed), Instructional Design Theories and 14
Models Volume II. A New Paradigm of Instructional Theory. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Shin, N. & McGee, S. 2004. Facilitating Multiple Perspectives to Promote Historical Argumentation Skills in a Multimedia Learning Environment. Paper presented in Symposium Developing Historical Thinking Practices through Technology-Supported Inquiry, ICLS,http://www.gseis.ucla.edu/~icls/schedule.htmdiaksestanggal 3 Oktober 2014. Simon, S., Erduran, S. and Osborne, J. 2006. Learning to Teach Argumentation: Research and Development in the science classroom; International Journal of Science Education. Vol. 28, Nos 2-3, 15 February 2006, pp. 235 – 260 Tan, S.C., Turgeon, A.J., &Jonassen, D.H. 2001. Develop Critical Thinking in Group Problem Solving throuhg Computer-Sopprted Collaborative Argumentation: A Case Study; J. Nat. Resour. Life Sci. Educ. Vol 30, pp: 97 – 103. Toulmin, S.E. 2005. The Uses of Argument. Updated Edition; New York: Cambridge University Press. Twardy, C.R. 2004. Argument Maps Improve Critical Thinking; Teaching Philosophy, Vol 27 (2), June, pp: 95-116.
*****
15