REFLEKSI KASUS HEPATITIS DRUG INDUCED Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepanitraan Klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Salatiga
Disusun oleh REZKY MAWARNI 20100310187
Diajukan Kepada Dr. Rastri Sp .PD FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2015
1
HALAMAN PENGESAHAN PRESENTASI KASUS ILMU PENYAKIT DALAM
Telah disetujui dan dipresentasikan
Pada tanggal 14 April 2015
Menyetujui Dokter pembimbing
Dr. Rastri Sp. PD
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................. 3 BAB I...................................................................................................................... 4 PENDAHULUAN....................................................................................................... 4 A.
Identitas Pasien............................................................................................ 4
B.
Anamnesis.................................................................................................... 4
C. Pemeriksaan Fisik......................................................................................... 4 D. Pemeriksaan Penunjang............................................................................... 5 E.
Diagnosis...................................................................................................... 8
F.
Penatalaksanaan.......................................................................................... 8
BAB II..................................................................................................................... 9 A.
DEFINISI........................................................................................................ 9
B.
EPIDEMIOLOGI............................................................................................ 10
C. FAKTOR RESIKO.......................................................................................... 10 D. ETIOLOGI.................................................................................................... 11 E.
PATOFISIOLOGI dan MEKANISME.................................................................12
F.
GEJALA....................................................................................................... 21
G. DIAGNOSIS................................................................................................. 21 H. KOMPLIKASI................................................................................................ 24 I.
PENATALAKSANAAN.................................................................................... 24
J.
PROGNOSIS................................................................................................ 26
BAB III.................................................................................................................. 27 PEMBAHASAN...................................................................................................... 27 BAB IV.................................................................................................................. 28 KESIMPULAN........................................................................................................ 28 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 29
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Identitas Pasien Nama Umur Alamat Masuk RS
: Tn. K : 69 tahun : Banaran : 20 februari 2015
B. Anamnesis Keluhan utama Riwayat penyakit sekarang
: muntah, sesak nafas : Pasien datang dibawa oleh keluarganya dengan muntah (+) setiap kali makan dan minum, mual (+), nyeri perut (+), sesak (+), nyeri dada (-), batuk berdahak (+), pilek (-), panas (-), pusing (-), badan terasa lemas (+), BAB cair 3x(+) ,kuning (+), BAK (+) warna kuning jernih,bdan terasa gatal (+). pengobatan TB 6 hari (+)
Riwayat penyakit dahulu
: Riwayat hipertensi (-) , TB (+), jantung (-) DM (-),
Riwayat penyakit keluarga
asma (-). : Riwayat penyakit hipertensi (+) ibu, jantung (-), DM
Riwayat personalitas
(-), asma (-). : Pasien sering merokok pada usia 7 tahun, minum alkohol (-).
C. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum Tekanan Darah Heart Rate Respirasi Rate Suhu Kepala Leher Thorax COR Pulmo
: tampak lemah, compos mentis : 120/90 mmHg : 96x/menit : 22x/menit : 36,5 ᵒC : mata conjunctiva anemis -/-, sklera ikterik +/+ : limfonodi tidak teraba, JVP tidak meningkat : simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-), : S1/S2 reguler, bising (-), cardiomegali(-) : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
4
Abdomen
: supel, BU (+), 5x/menit, timpani (+), nyeri tekan epigastric
Ekstremitas
(+), hepatomegali (-) : akral hangat, udem (-)
D. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium (20 februari 2015) Hematologi Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
Leukosit
4,65
4,5-11
10ᶟ/uL
Eritrosit
5,60
4,50-5,5
10⁶/uL
Hemoglobin
16,6
14-18
g/dL
Hematokrit
49,7
40-54
%
MCV
88,7
86-108
fL
MCH
29,6
28-31
pg
MCHC
33,4
30-35
g/dL
Trombosit
137
150-450
10ᶟ/uL
Pemeriksaan
Hasil
Nilai rujukan
Satuan
Glukosa darah
98
80-144
mg/dl
101
10-50
mg/dl
Kimia Darah
sewaktu Ureum
5
Kreatinin
1,6
1,0-1,3
mg/dl
SGOT
467
<37
U/l
SGPT
505
<42
U/l
Bilirubin Total
2,3
<1
mg/dl
Bilirubin direk
1,0
<0,25
mg/dl
Bilirubin indirek
1,30
mg/dl
Serologi
Pemeriksaan HbsAg (Rapid)
Hasil negative
Nilai Rujukan Negative
Pemeriksaan Laboratorium (23 februari 2015) Hematologi Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
Leukosit
5,30
4,5-11
10ᶟ/uL
Eritrosit
4,93
4,50-5,5
10⁶/uL
Hemoglobin
14,6
14-18
g/dL
Hematokrit
44,3
40-54
%
MCV
89,9
86-108
fL
MCH
296
28-31
pg
MCHC
32,9
30-35
g/dL
Trombosit
143
150-450
10ᶟ/uL
6
Kimia darah
Pemeriksaan
Hasil
Nilai rujukan
Satuan
Ureum
40
10-50
mg/dl
Kreatinin
0,9
1,0-1,3
mg/dl
SGOT
91
<37
U/l
SGPT
276
<42
U/l
Bilirubin Total
1,0
<1
mg/dl
Bilirubin direk
0,5
<0,25
mg/dl
Bilirubin indirek
0,50
mg/dl
Serologi
Pemeriksaan Anti HCV
Hasil negative
Nilai Rujukan Negative
Pemeriksaan Laboratorium (26 februari 2015)
Kimia darah
Pemeriksaan
Hasil
Nilai rujukan
Satuan
SGOT
33
<37
U/l
SGPT
159
<42
U/l
Bilirubin Total
1,3
<1
mg/dl
7
Bilirubin direk
0,6
Bilirubin indirek
0,70
<0,25
mg/dl mg/dl
E. Diagnosis Hepatitis drug induced TB paru
F. Penatalaksanaan Infus Asering 20 tpm Injeksi ondansentron 2x1 ampul Injeksi Ranitidin 2x1 ampul FDC stop Curcuma 3x1 UDCA 2x 250
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Hepatitis adalah kelainan hati berupa peradangan (sel) hati. Peradangan ini ditandai dengan meningakatan kadar enzim hati. Peningkatan ini disebabkan adanya gangguan atau kerusakan membran hati. Ada dua faktor penyebabnya yaitu faktor infeksi dan faktor non infeksi. Faktor penyebab infeksi antara lain virus hepatitis dan bakteri. Selain karena virus Hepatitis A, B, C, D, E dan G masih banyak virus lain yang berpotensi menyebabkan hepatitis misalnya adenoviruses , CMV , Herpes simplex , HIV , rubella ,varicella dan lain-lain. Sedangkan bakteri yang menyebabkan hepatitis antara lain misalnya bakteri
Salmonella typhi, Salmonella paratyphi , tuberkulosis , leptosvera. Faktor non-infeksi misalnya karena obat. Obet tertentu dapat mengganggu fungsi hati dan menyebabkan hepatitis . 8
Hepatitis drug induced adalah peradangan/inflamasi pada hati yang disebabkan oleh reaksi obat (Metha, N, 2010). Anti Tuberculosa drug induced hepatotosik (ATDH) adalah peningkatan serum aminotranferase yang muncul > 3 atau 5x dari batas nilai tertinggi normal dengan atau tanpa gejala hepatitis setelah terapi (Alma Tostmann, 2007). Ada pula peneliti yang mendefinisikan ATDH berupa (Sharma SK, 2010) : 1. Peningkatan ≥5 kali dari batas tertinggi nilai normal (50IU/L) dari AST dan atau ALT pada 1 kali pemeriksaan atau ≥ 3 kali batas tertinggi nilai normal (>150 IU/L) pada pemeriksaan 3 kali berturut-turut. 2. Peninhkatan total bilirubin serum (>1,5 mg/L). 3. Peningkatan pada AST dan atau ALT diatas nilai sebelum terapi OAT bersamaan dengan anorexia, nausea,muntah dan jaundice. 4. Tidak dijumpainya bukti infeksi virus hepatitis A,B, C atau e secara serologi. 5. Adanya perbaikan fungsi hati (bilirubin serum <1 mg dl, AST dan ALT <100IU/L) setelah menghentiakn OAT. ATDH didiagnosa apabila ditemukan kriteria1,2 atau 3 dikombinasikan dengan kreteria 4 dan 5.
B. EPIDEMIOLOGI Hepatitis karena obat terjadi pada delapan dalam setiap 10.000 orang. Perempuan cenderung terpengaruh hampir dua kali dibandingkan laki-laki. Orang dewasa lebih rentan terhadap jenis hepatitis ini karena tubuh mereka tidak mampu memperbaiki dengan cepat sel-sel hepatosit yang rusak seperti pada orang muda.
C. FAKTOR RESIKO
Ras Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras.
Misalnya orang kulit hitam lebih rentan terhadap isoniazid ( INH ). Laju metabolisme obat dikontrol oleh enzim P – 450 dan setiap individu bervariasi.
Umur Reaksi obat terhadap hati jarang terjadi pada anak – anak. Resiko cedera ke
hati lebih besar pada orang tua karena menurunnya clearance, interaksi obat, aliran darah hepatik yang berkurang dan variasi dalam pengikatan obat. Selain itu, pola 9
makan yang buruk, infeksi dan dirawat di rumah sakit merupakan faktor untuk terjadinya hepatotoksisitas karena obat.
Jenis kelamin Meskipun alasan yang tidak diketahui, reaksi hepatotoksisitas karena obat
lebih sering pada perempuan.
Alkohol Orang yang mengkonsumsi alkohol lebih rentan terhadap hepatotoksisitas obat
karena alkohol menyebabkan cedera dan kerusakan sel hati sehingga terjadi perubahan pada metabolisme obat.
Penyakit hati Secara umum pasien dengan penyakit hati kronik lebih rentan terjadi
kerusakan hati.
Faktor genetik Gen unik encode pada P – 450, perbedaan genetik dalam enzim P – 450 dapat
menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat. D. ETIOLOGI Beberapa contoh obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya hepatitis drug induced, yaitu : 1.
Acetaminophen: Hepatoksisitas dari acetaminophen disebabkan oleh senyawa metabolit NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinone-imine). Ini adalah senyawa metabolit yang dihasilkan oleh cytochrome P-450-2E1.
2.
Amoxicillin: Amoxicillin menyebabkan peningkatan kadar SGOT, SGPT, atau keduanya.
3.
Amiodarone: Amiodarone menyebabkan hasil tes fungsi hati tidak normal dalam 15-50% dari pasien.
4.
Chlorpromazine: Kerusakan hati akibat Chlorpromazine menyerupai hepatitis infeksi dengan fitur laboratorium jaundice obstruktif lebih jelas daripada kerusakan parenkim.
5.
Ciprofloxacin : Kira-kira 1,9% dari pasien yan menggunakan ciprofloxacin menunjukkan tingkat SGPT tinggi, 1,7% mengalami peningkatan SGOT, 0,8% 10
mengalami peningkatan alkalin phosphatase, dan 0,3% kadar bilirubin meningkat. 6.
Diclofenac: Perempuan tua lebih rentan terhadap kerusakan hati akibat diclofenac. Peningkatan dari satu atau lebih hasil tes hati mungkin terjadi.
7.
Erythromycin: Erythromycin dapat menyebabkan kerusakan hati, termasuk peningkatan enzim hati dan hepatocellular dan/atau hepatitis cholestatis dengan atau tanpa jaundice.
8.
Fluconazole: Menyebabkan peningkatan transaminase.
9.
Isoniazid : Hepatitis berat telah dilaporkan pada pasien yang mendapat terapi INH. Pasien yang diberikan INH harus diawasi secara hati-hati.
10.
Methyldopa:
Methyldopa
merupakan
antihipertensi
yang
merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan penyakit hati aktif. 11. Kontrasepsi oral : kontrasepsi oral dapat mengakibatkan intrahepatic cholestasis dengan pruritus dan jaundice dalam sejumlah kecil pasien. 12. Statin/HMG-COA reductase inhibitors : Penggunaan statin terkait dengan abnormalitas biokimiawi dari fungsi hati. 13. Rifampicin: Rifampicin biasanya diberikan dengan INH. Rifampin sendiri dapat menyebabkan hepatitis ringan.
E. PATOFISIOLOGI dan MEKANISME
Mekanisme Hepatotoksisitas Mekanisme jejas hati karena obat yang mempengaruhi protein transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit karena asam empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi Fas sitoplasmik ke membran plasma, dimana reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memacu kematian
sel
melalui
apoptosis.
Disamping
itu,
banyak
reaksi
hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450 yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat 11
dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tidak punya peran. Kompleks enzim-obat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik sel T, merangsang respons imun multifaset yang melibatkan sel-sel sitotoksik dan berbagai sitokin. Obatobat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Kerusakan dari sel hepar terjadi pada pola spesifik dari organella intraseluler yang terpengaruh. Mekanisme hepatotoksisitas mencakup mekanisme hepatoseluler dan ekstraseluler antara lain : a. Kerusakan hepatosit Ikatan kovalen dari obat ke protein intraseluler dapat menyebabkan penurunan ATP, menyebabkan gangguan aktin. Kegagalan perakitan benang-benang aktin di permukaan hepatosit menyebabkan rupturnya membran hepatosit. b. Gangguan protein transport Obat yang mempengaruhi protein transport di membran kanalikuli dapat mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses pembentukan vili dan gangguan pompa transport misal multidrug resistance–associated protein 3 (MRP3) menghambat ekskresi bilirubin, menyebabkan kolestasis. c. Aktivasi sel T sitolitik Ikatan kovalen dari obat pada enzim P-450 dianggap imunogen, mengaktifkan sel T dan sitokin dan menstimulasi respon imun multifaset. d. Apoptosis hepatosit Aktivasi jalur apoptosis oleh reseptor Fas TNF menyebabkan berkumpulnya caspase interseluler, yang berakibat pada kematian sel terprogram (apoptosis). e. Gangguan mitokondria Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada αoksidasi (mempengaruhi produksi energi dengan cara menhambat sintesis dinucleotide
adenine
nicotinamide
dan
dinucleotide
adenine
flavin,
yang
menyebabkan menurunnya produksi ATP ) dan enzim rantai respirasi. f. Kerusakan duktus biliaris Metabolit racun yang dieksresikan di empedu dapat menyebabkan kerusakan epitel duktus biliaris. Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati dibedakan atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang
predictable dan yang
unpredictable (Watkins B, 2007) : 1. Predictable Drug Reactions (intrinsik) : merupakan obat yang dapat dipastikan selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikankepada setiap penderita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan ini ada obat yang 12
langsung merusak sel hati, ada pula yang merusak secara tidak langsung yaitu dengan mengacaukan metabolisme atau faal sel hati. Obat hepatotoksik predictable yang langsung merusak sel hati umumnya tidak digunakan lagi untuk pengobatan. Contohnya ialah karbon tetraklorid dan kloroform. Hepatotoksin yang predictable yangmerusak secara tidak langsung masih banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin, metotreksat, etanol, steroid kontrasepsi dan rifampisin. Tetrasiklin, etanol dan metotreksat menimbulkan steatosis yaitu degenerasi lemak pada sel hati. Parasetamol menimbulkan nekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi dan steroid yang mengalami
alkilasi
pada
atom
C--17
menimbulkan
ikterus
akibat
terhambatnya pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula menimbulkan ikterus karena mempengaruhi konjugasi dan transpor bilirubin dalam hati. 2. Unpredictable Drug Reactions : kerusakan hati yang timbul disini bukan disebabkan karena toksisitas intrinsik dari obat, tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya hanya terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan. Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan idiosinkrasi ini dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi hipersensitivitas dan karena kelainan
metabolisme : Reaksi Hipersensitivitas Biasanya terjadi setelah 1-5 minggu dimana terjadi proses sensitisasi.
Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam kulit, eosinofilia dan kelainan histologik berupa peradangan granulomatosa atau eosinofilik pada hati. Dengan memberikan satu atau dua challenge dose, gejala-gejala di atas biasanya segera timbul lagi. Reaksi idiosinkrasi karena kelainan metabolisme Mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara 1 minggu sampai lebih dari 1 tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam kulit, eosinofilia maupun kelainan histopatologik yang spesifik seperti di atas. Dengan memberikan satu atau dua challenge dose kelainan ini tidak dapat diinduksi untuk timbul lagi ; untuk ini obat perlu diberikan lagi selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan waktu yang cukup lama agar penumpukan metabolit dari obat sampai pada taraf yang memungkinkan terjadinya kerusakan hati. Efek Hepatotoksik OAT 13
Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak terdapat peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan tuberculosis. Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan berdasarkan potensi masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)
Isoniazid (INH) Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki disfungsi hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum AST, ALT dan konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi progresif dan menyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu metabolit dari INH bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH harus dihentikan apabila AST meningkat menjadi lebih dari 5 kali nilai normal. (Kishore, dkk, 2010) Isoniazid merupakan obat yang digunakan sebagai Antituberkolosis. Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid (N-asetilasi) menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan asetilasi dari masing-masing individu yang berdasarkan faktor genetiknya memiliki 2 tipe yaitu tipe asetilator cepat dan asetilator lambat. Reaksi asetilasi merupakan reaksi pada jalur metabolisme obat yang mengandung gugus amina primer, seperti amina aromatik primer dan amina alifatik skunder. Sedangkan fungsi dari reaksi asetilasi adalah untuk proses detoksifikasi, serta mengubah obat/senyawa induk, menjadi senyawa metabolitnya yang bersifat tidak aktif, lebih bersifat polar, agar selanjutnya mudah untuk dieksresikan. Aktivitas dari obat isoniazid sebagai antituberkolosis ini, sangat tergantung pada tingkat kecepatan reaksi asetilasinya. Pada isoniazid, terdapat perbedaan respon dari beberapa individu berupa perbedaan dalam kecepatan proses asetilasinya terhadap obat tersebut (Weber, 1997). Profil asetilasi terhadap isoniazid yang merupakan obat anti tuberkulosis ini digolongkan dalam asetilator cepat dan lambat. Individu yang tergolong dalam asetilator lambat ternyata aktivitas enzim Nasetilastransferase-nya sangat lambat. Perbedaan tersebut ternyata disebabkan oleh adanya variasi genetik dari
gen yang menyandi ekspresi dari enzim N-
14
asetilastransferase. Bagi individu yang mempunyai kelainan yang disebabkan oleh autosomal recessive allele, berupa variasi polimorfik maka aktivitas enzim Nasetilastransferase menjadi lambat. Aktivitas enzim N-asetilastransferase ini sangat bervariasi untuk setiap suku atau ras. Bagi orang barat (Amerika dan Eropa) 50% dari penduduknya ternyata tergolong asetilator lambat, sedangkan untuk orang Jepang dan Eskimo sebagian besar tergolong asetilator cepat ( Muller. RF , 2001). Untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat, memiliki enzim Nasetilastransferase yang jauh lebih besar daripada individu yang memiliki tipe asetilator lambat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif sangat cepat. Sehingga obat akan memiliki masa kerja (t ½) yang pendek, yaitu 45-80 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator cepat, memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar. Hal ini akan berdampak kurang menguntungkan, karena untuk pengobatan tuberkolosis, pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dengan demikian, untuk individu tipe asetilator cepat ini, pemberian INH harus dilakukan berulangkali karena metabolisme INH-pun sangat cepat, sehingga INH cepat dapat menimbulkan efek setelah diminum, namun cepat hilang pula efeknya (t ½ yang pendek). Hal ini harus diperhatikan, karena jika obat harus diberikan secara berulangkali, dengan frekuensi pemberian yang lebih banyak daripada individu tipe asetilator lambat, maka kemungkinan terjadi resistensi akan cukup tinggi. Sehingga dalam pengobatannya, pemberian dosis perlu diperhatikan untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat agar tidak terjadi resistensi. Jika isoniazid diberikan pada individu bertipe asetilator lambat, maka enzim N-asetiltransferase yang dimiliki tidak sebanyak enzim N-asetilastransferase yang dihasilkan oleh individu yang memiliki tipe asetilator cepat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetil-isoniazid yang bersifat tidak aktif berlangsung lambat. Sehingga INH akan memiliki masa kerja (t ½) yang panjang yaitu 140-200 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator lambat, memerlukan dosis pengobatan yang rendah, agar tidak menimbulkan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH. Untuk individu tipe asetilator lambat ini, pemberian INH tidak harus dilakukan berulangkali/frekuensi yang tinggi,
15
hal ini karena metabolisme INH berlangsung lambat, sehingga INH dapat menimbulkan efek yang konstan dengan durasi yang lama setelah diminum.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa karena obat dimetabolisme dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif dengan kecepatan yang lambat, maka kemungkinan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH lebih tinggi. Selain itu, menurut studi yang telah dilakukan, individu bertipe aetilator lambat ini, memiliki kemungkinan untuk menimbulkan efek samping, yaitu neuritis perifer yang lebih tinggi daripada individu bertipe asetilator cepat.
Rifampisin Rifampicin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum pada tahap awal terapi. Bahkan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan hepatotoksisitas berat, lebih lagi pada mereka dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya. Rifampicin menyebabkan peningkatan transient dalam enzim hati biasanya dalam 8 minggu pertama terapi pada 10- 15% pasien, dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan rifampisin terbuka-induced hepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas Rifampicin. Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien yang menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa rejimen ini tidak dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis. (Kishore, dkk, 2010)
Pirazinamid Efek samping yang paling utama dari obat ini
adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama terapi. (Kishore, dkk, 2010)
Etambutol Ada sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB. Tes fungsi hati yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol
yang
dikombinasi
dengan
OAT
lainnya
yang
menyebabkan
hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)
16
Streptomisin Tidak ada kejadian hepatotoksisitas yangdilaporkan. (Kishore, dkk, 2010) Tuberculosis pada ibu hamil harus diobati, karena jika tidak diobati dapat menyebabkan kecacatan, aborsi dan kematian. Pemilihan obat TB pada ibu hamil harus rasional dan memperhatikan potensial resiko yang dapat terjadi pada ibu dan janin yang dikandung. Oleh karena itu, dalam memilih obat untuk ibu hamil, harus diperhatikan indeks keamanan oabt tersebut pada ibu hamil. Berikut adalah indeks keamanan obat untuk ibu hamil : (Anonim, 2007a):
Keterangan dan kategori : A Studi terkontrol pada wanita hamil tidak memperlihatkan adanya resiko terhadap janin pada kehamilan trimester 1 (dan juga tidak ada resiko pada trimester selanjutnya), dan sangat kecil kemungkinan untuk membahayakan
janin. B Studi terhadap sistem reproduksi hewan percobaan tidak memperlihatkan adanya resiko terhadap janin pada kehamilan trimester 1 (dan juga tidak ada resiko pada trimester selanjutnya), akan tetapi belum dilakukan studi
terkontrol pada wanita hamil. C Studi terhadap hewan percobaan yang telah memperlihatkan adanya efek samping pada janin, tetapi belum dilakukan studi terkontrol pada wanita hamil. Obat ini hanya dapat diberikan jika manfaat yang diperoleh lebih besar
daripada resiko yang mungkin terjadi pada janin. D Terdapat bukti positif mengenai adanya resiko terhadap janin manusia, tetapi manfaat obat ini pada ibu hamil mungkin lebih besar daripada resiko yang ditimbulkan (misalnya, obat ini diperlukan untuk mengatasi situasi yang mengancam jiwa, dimana obat yang lebih aman tidak tersedia atau tidak
efektif). X Studi terhadap hewan percobaan atau manusia telah memperlihatkan adanya abnormalitas pada janin atau terdapat bukti resiko pada janin (resiko penggunaan lebih besar daripada manfaat). Obat dalam kategori ini dikontraindikasikan pada wanita hamil. Obat TB yang relatif aman digunakan pada ibu hamil adalah Ethambutol,
Isoniazid, dan Rifampisin, yang digunakan selama 9 bulan (Dipiro, et al., 2005): 1. Ethambutol 17
Indikasi : Antituberkulosis dan infeksi Mycobacterium lain (Lacy, et al.,
2006). Kontraindikasi : Hipersensitivitas Ethambutol dan bahan tambahannya, optic neuritis, penggunaan pada anak-anak, pasien tidak sadar, pasien dengan
gangguan penglihatan (Lacy, et al., 2006). Bentuk sediaan, dosis, aturan pakai : Bentuk sediaan berupa tablet 250 dan 500 mg (Anonim, 2007b). Dosis Ethambutol untuk dewasa (Lacy, et al., 2006) : Terapi harian : 14-25 mg/kg BB. 40-45 kg = 800mg, 56-75 kg = 1200mg, 76-90 kg = 1600mg (maksimum dosis yang dianjurkan). Dua kali/minggu Directly Observed Therapy (DOT) : 50 mg/kg BB. 40-45 kg = 2000mg, 56-75 kg = 2800mg, 76-90 kg = 4000mg (maksimum dosis yang dianjurkan). Tiga kali/minggu DOT : 25-30 mg/kg BB (maksimum 2,5 g). 40-45 kg = 1200mg, 56-75 kg = 2000mg, 76-90 kg = 2400mg
(maksimum dosis yang dianjurkan). Efek samping Myocarditis, pericarditis, sakit kepala, malaise, tidak sadar, demam, halusinasi, mata berkunang-kunang, dermatiitis, kulit kemerahan, anoreksia, mual, muntah, gangguan pencernaan, optic neuritis, gangguan penglihatan, nephritis,
hepatotiksik, gejala hipersensitif (Lacy, et al., 2006). Resiko khusus : Ethambutol relatif aman digunakan pada ibu hamil. Obat ini memiliki indeks keamanan kehamilan yang termasuk dalam kategori B (Anonim, 2007a). Untuk pasien dengan gangguan ginjal perlu dilakukan penyesuaian dosis. Selain itu, obat ini juga dapat menyebabkan hepatotoksik, sehingga perlu dilakukan monitoring untuk pasien dengan gangguan hepar (Lacy, et al., 2006).
2. Isoniazid Indikasi Antituberkulosis, baik karena latent tuberculosis infection maupun active TB
infection (Lacy, et al., 2006). Kontraindikasi Hipersensitivitas Isoniazid dan bahan tambahannya, penyakit liver akut, riwayat kerusakan hepar karena penggunana Isoniazid (Lacy, et al., 2006). 18
Bentuk sediaan, dosis, aturan pakai Bentuk sediaan berupa tablet yang mengandung 400 mg Isoniazid dan 10 mg Vitamin B6 (Anonim, 2007a). Dosis Isoniazid untuk dewasa adalah (Lacy, et al., 2006): Untuk pengobatan latent tuberculosis infection (LTBI): 300 mg/hari atau 900 mg dua kali/minggu selama 6-9 bulan (untuk pasien yang tidak terinfeksi HIV), dan 9 bulan (untuk pasien yang terinveksi HIV). Pengobatan dapat dilanjutkan hingga 12 bulan jika terjadi ketidakteraturan dalam terapi. Untuk pengobatan active TB infection: Terapi harian : 5 mg/kg BB/hari (biasanya 300 mg/hari), 10 mg/kgBB/hari 1-2 kali sehari dalam dosis terbagi. Dua kali/minggu DOT: 15 mg/kg BB (maksimum 900 mg).
Tiga kali/minggu : 15 mg/kg BB (maksimum 900 mg). Efek samping : Hipertensi, palpitasi, takikardi, demam, mata berkunangkunang, depresi, kejang, kulit kemerahan, lethargi, kulit terasa terbakar, gangguan liver, gangguan hepar, anoreksia, mual, muntah, gangguan
penglihatan, gejala hipersensitif (Lacy, et al., 2006). Resiko khusus : Isoniazid relatif aman digunakan pada ibu hamil. Obat ini memiliki indeks keamanan kehamilan yang termasuk dalam kategori C (Anonim, 2007a). Untuk pasien dengan gangguan ginjal dan liver akut perlu dilakukan penyesuaian dosis. Selain itu, obat ini juga dapat menyebabkan hepatotoksik, sehingga perlu dilakukan monitoring untuk pasien dengan gangguan hepar (Lacy, et al., 2006). Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent
ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. F. GEJALA Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada hepatitis drug induced, yaitu : demam, ruam dan gatal pada kulit, diare, nyeri sendi, mual, muntah, sakit kepala, anorexia, jaundice , feses berwarna seperti tanah liat, air kencing gelap, dan hepatomegaly.
19
G. DIAGNOSIS Kemungkinan Hepatitis drug induced selalu dipikirkan pada penderita dengan ikterus. Diagnosa kerja dapat dibuat atas dasar anamnesa mendapat obat tertentu, adanya demam dan eosinofilia menyokong diagnosa, tetapi kedua gejala ini tidak selalu dijumpai. Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada hepatitis drug induced, yaitu : demam, ruam dan gatal pada kulit, diare, nyeri sendi, mual, muntah, sakit kepala, anorexia, kuning pada kulit dan mata, BAB berwarna dempul, BAK berwarna gelap, dan pembesaran hati. Pemeriksaan Laboratorium : Penanda dini dari hepatotoksik adalah peningkatan enzim-enzim transaminase dalam serum yang terdiri dari aspartate amino transferase/serum glutamate oxaloacetate transaminase (AST/SGOT) yang disekresikan secara paralel dengan alanine amino transferase/serum glutamate pyruvate transaminase (ALT/SGPT) yang merupakan penanda yang lebih spesifik untuk mendeteksi adanya kerusakan hepar, mengklasifikasikan hepatotoksik menjadi 4 gradasi:
World Health Organization tahun 2012 Serologis Virus: Hepatitis A dieksklusi jika diperoleh anti-HAV negatif (Hepatitis A) imunoglobin M (IgM). Hepatitis C dieksklusi dengan anti-HCV negative (Hepatitis C) antibody, akan tetapi tes ini bisa tetap negatif untuk beberapa minggu setelah onset Hepatitis C. Hepatitis B diekslkusikan jika diperoleh nilai negative pada pemeriksaan hepatitis B surface antigen (HBsAg) atau hepatitis B core antigen (anti-HBc). Dapat juga dilakukan pemeriksaan DNA. Serum iron (SI): Saturasi transferin yagn tinggi berhubungan dengan peningkatan konsentrasi transferin diduga sebagai hemokromatosis, yang terkadang terlihat dengan peningkatan transaminase. Akan tetapi, feritin merupakan penanda fase akut yang terkadang meningkat pada tipe hepatitis yang lain. Jadi, adanya
20
peningkatan serum feritin bukan merupakan penanda hemokromatosis, kecuali saturasi iron juga meningkat. Pemeriksaan fungsi hati dan interpretasinya, antara lain (Metha N, 2010):
Bilirubin (total) untuk mendiagnosa ikterus dan memeriksa beratnya ikterus.
Bilirubin (tak berkonjugasi) untuk memeriksa hemolisis.
Alkali Fosfatase – untuk mendiagnosis kolestasis dan penyakit infiltrasi.
AST/SGOT – untuk mendiagnosis penyakit hepatoseluler dan menilai progresivitas penyakit.
ALT/SGPT – ALT biasanya relatif lebih rendah dari AST pada alcoholism.
Albumin – untuk menilai beratnya kerusakan hati (infeksi HIV dan malnutrisi dapat memperberat hal ini).
Gamma globulin – peningkatan yang besar diduga sebagai hepatitis autoimun, kelainan lain yang tipikal meningkat pada pasien sirosis.
Prothrombin time setelah vitamin K – untuk mendiagnosis beratnya penyakit hati.
Antimitokchondrial antibody – untuk mendiagnosis sirosis biliaris primer.
ASMA – untuk mendiagnosis primary sclerosing cholangitis.
Pemeriksaan Radiologi : Pemeriksaan radiologi dipergunakan untuk mengeksklusikan penyebab patologi pada hati.
Ultrasonografi: Ultrasonografi efektif untuk mengevaluasi kandung empedu, saluran empedu, dan tumor hati.
CT scan: CT scan dapat membantu mendeteksi lesi hati yang berukuran 1 cm atau lebih dan beberapa kondisi yang difus. Pemeriksaan ini dapat dipergunakan pula untuk memvisualisasikan struktur lain di dalam abdomen.
MRI: MRI memberikan resolusi kontras yang sangat baik. Pemeriksaan ini dapat dipergunakan untuk mendeteksi kista, hemangioma, dan tumor primer maupun sekunder. Vena Porta, Vena Hepatik, dan traktus biliaris dapat dilihat tanpa suntikan kontras.
21
Berdasarkan international concensus criteria maka diagnosis hepatotoksisitas karena obat berdasarkan (Bayupurnama, 2006) : 1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari lima hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat untuk reaksi kolestatik) dengan hepatotoksisitas obat. 2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif (penurunan enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat. 3. Alternatif sebab lain telah dieksklusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk biopsi hati tiap kasus. 4. Dijumpai respons positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama paling tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati. Dikatakan reaksi drugs related jika semua ketiga kriteria terpenuhi atau jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respons positif pada pemaparan ulang obat. Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit tetapi kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternatif lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab berhubungan dengan resiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum obat dan membaik secara nyata setelah penghentian obat merupakan hal esensial dalam diagnosis hepatotoksisitas karena obat H. KOMPLIKASI 1. Peningkatan tekanan di vena porta 22
Darah dari usus, lien dan pancreas masuk ke hati melalui vena porta. Jika ada kerusakan pada jaringan hati maka akan terjadi bendungan sirkulasi darah yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada vena porta. 2. Pelebaran vena Ketika ada pembendungan di vena porta maka darah akan mengalir kembali ke perut, esophagus dan traktus intestinal bagian bawah. 3. Jaundice Terjadi jika ada peningkatan bilirubin. 4. Cirrhosis kondisi hati yan serius dan irreversible.
I. PENATALAKSANAAN Pengobatan hepatitis drug induced pada prinsipnya sama dengan pengobatan penyakit hati yang ditimbulkan oleh penyebab lain. Obat yang dicurigai sebagai penyebab harus dihentikan. Penatalaksanaan Tuberkulosis pada Hepatotoksisitas drug induced Penatalaksanaan: -
Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop
-
Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop
-
Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT distop
-
SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop
-
SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasan
Paduan obat yang dianjurkan -
Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
-
Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium kembali normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid (H) desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan Rifampicin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES.
-
Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi (PDPI, 2006) 23
Penderita diberi diet 2500-3000 kalori, 70-100 g protein dan 400-500 g karbohidrat sehari. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid, meskipun belum ada bukti penelitian klinis dengan kontrol, kemungkinan kortikosteroid
ini
mensupresi
gejala
sistemik
yang
berhubungan
dengan
hipersensitivitas atau reaksi alergi. Demikian pula dengan penggunaan ursodioksikolat pada keadaan kolestatik. Pada obat-obatan tertentu seperti amoksisilin asamklavulanat dan fenitoin berhubungan dengan sindrom dimana kondisi pasien memburuk dalam beberapa minggu sesudah obat dihentikan, dan perlu waktu berbulan-bulan untuk sembuh seperti sedia kala. Kecuali penggunaan N-asetilsistein untuk keracunan asetaminofen, tidak ada antidotum spesifik terhadap hepatitis imbas obat (Bayupurnama, 2006). Pengobatan yang diberikan ini antara lain: a.
Pengobatan suportif. Pasien dengan gejala yang berat membutuhkan untuk menerima pengobatan suportif di rumah sakit, antara lain cairan intravena dan obatobatan untuk menghilangkan mual dan muntah.
b.
Transplantasi hati. Ketika fungsi hati sangat menurun (drug induced fulminant hepaticinjury), transplantasi hati mungkin satu-satunya pilihan terapi (Metha N, 2010). Terapi awal untuk transplantasi hati penting untuk disadari. Skor Model for End-Stage Liver Disease dapat dipergunakan untuk mengevaluasi prognosis jangka pendek, skor ini dapat dipergunakan pada orang dewasa dengan penyakit hati tahap akhir. Parameter yang dipergunakan adalah kreatinin serum, bilirubin total, INR (International Normalized Ratio). Kriteria lain yang umumnya dipergunakan untuk transplantasi hati adalah kriteria Kings College. Kriteria Kings College untuk transplantasi hati pada kasus toksisitas asetaminofen:
pH darah kurang dari 7,3 ( tanpa melihat grade ensefalopati)
Prothrombin time (PT) lebih besar dari 100 detik atau INR > 7,7
Konsentrasi serum kreatinin lebih besar dari 3,4 mg/dL pada pasien dengan ensefalopati derajat III atau IV
24
Pengukuran laktat serum pada 4 dan 12 jam pertama juga membantu detifikasi awal pasien yang memerlukan transplantasi hati. Kriteria Kings College untuk transplantasi hati pada kasus hepatotoksisitas imbas obat yang lain (Metha N, 2010) :
PT > 100 detik (tanpa memandang derajat ensefalopati) atau
3 dari kriteria di bawah ini: 1. Usia < 10 tahun dan > 40 tahun. 2. Etiologi Non-A/Non-B hepatitis, halotan hepatitis, atau reaksi obat idiosinkrasi 3. Durasi ikterik lebih dari 7 hari sebelum onset ensefalopati. 4. PT lebih besar dari 50 detik. 5. Konsentrasi bilirubin serum lebih besar dari 17 mg/dL..
J. PROGNOSIS Prognosis penyakit ini bergantung pada gejala pasien dan derajat kerusakan hati. Sebuah studi prospektif yang dilakukan di Amerika pada tahun 1998-2001 menyimpulkan bahwa prognosis pasien (termasuk mereka yang menerima transpalantasi hati) sebanyak 72% (Bass N, 2003). Kejadian Gagal Hati akut ini ditentukan oleh etiologinya, derajat ensefalopati hepatik, dan komplikasi seperti infeksi (Metha, N, 2010). Prognosis gagal hati akut untuk reaksi idiosinkratik obat buruk dengan angka mortalitas lebih dari 80% (Bayupurnama, 2006).
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien mengalami penyakit hepatitis drug induced yang disebakan karena obat tb paru yaitu dari gejala klinis seperti ruam dan gatal pada kulit, diare, mual, muntah. Kemudian dari pemeriksaan fisik di dapatkan sklera ikterik dan ruam kulit pada pasien
serta di dukung oleh pemeriksaan penunjang dimana terdapat 25
peningkatan kadar SGPT yaitu 505 U/l , berdasarkan dari kadar SGOT, pasien ini mengalami penyakit hepatitis drug induced grade 4. Dengan demikian penatalaksanaan pada pasien ini adalah obat yang dicurigai sebagai penyebab dihentikan yaitu obat FDC, dengan penghentian obat FDC kadar SOPT relatif menurun dari 505 U/l 276 U/l 159 U/l. Kemudian dilakukan pengobatan suportif seperti cairan intravena dan obat-obatan untuk menghilangkan mual dan muntah yaitu injeksi ranitidin dan injeksi ondansentron.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan dari kasus dan dihubungkan dengan tinjauan pustaka di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami penyakit hepatitis drug induced berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pengobatan pada pasien sesuai dengan teori yaitu dilakukan penghentian obat tuberkulosis dan dilakukan terapi suportif yaitu pemberian cairan, pengobatan mual dan muntah.
26
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Yoga dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Indah Offset Citra Grafika. Jakarta. 2006. Alma Tostmann. Antituberculosis drug-induced hepatotocixity: Concise up-to-date review. Journal of gastroenterology and hepatology 2007; 23:192-202. Anonim 2007a, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 6, 131-140, 225-228, Info Master, Jakarta. Bass N. Drug-Induced Liver disease in Current Diagnosis & Treatment in Gastroenterology. 2nd ed. McGraw Hill. Singapore. 2003; 44:664-78 Bayupurnama P, Hepatotoksisitas Imbas Obat di dalam Buku Ajar Penyakit Dalam
27
Jilid I, Edisi ke 4. Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta, 2006; 109: 473-480 Dienstag JL and Isselbacher KJ. Toxic and Drug Induced Hepatitis. InHarrison’s: Principles of Internal Medicine 16th Edition. Editors: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, et al. 2005;1838−1849. Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. Drug Induced Hepatitis with Anti-tubercular Chemotherapy: Challenges and Difficulties in Treatment. Kathmandu University Medical Journal (2007), Vol. 5, No. 2, Issue 18, 256-260 Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L., 2006, Drug Information Handbook, 14th Ed., 593-595, 868-870, Lexicomp, Inc., USA. Mehta, Nilesh MD dkk. Drug-Induced Gastroenterology and Hepatology. 2010
Hepatotoxicity.
Department
of
Muller, RF. And Young. I. D. 2001. Emery’s Elemens of Medical genetics. Eleventh Edition, Churchill Livengstone, london. pp. 169-175. Sharma SK. Singka R.Safety of 3 different reintroduction regimens of antituberculosis drugs after development of antituberculosis treatment-induced hepatotoxicity. Clin Infect Dis 2010; 50:833-839. Watkins B, Mechanism of Drug-Induced Liver Injury in Schiff et all, Schiff’s Diseases of the Liver, 10th edition, Lippincott Williams & Wilkins, USA, 2007; 34:10061020. Weber, W. W. 1997. Pharmacogenemics oxford universityPress, New York, pp62 .
28