BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Gangguan pendengaran akibat bising/GPAB (Noise-Induced Hearing Loss/NIHL) adalah bentuk permanen dari ketulian yang muncul akibat paparan suara yang keras. Setelah paparan tunggal, terjadi perubahan temporer pada pendengaran yang reversible, tetapi jika suara cukup kuat atau diulang, bisa timbul tuli permanen irreversible, yang mengarah pada pergeseran ambang pendengaran permanen (Thorne, 2011; American Hearing Research Foundation, 2012). Paparan kebisingan dapat menyebabkan pergeseran ambang batas pendengaran yang bersifat sementara (temporary threshold shift/TTS) atau permanen (permanent threshold shift/PTS), tergantung pada intensitas dan durasi suara. Rentang waktu dari kerusakan sementara dapat beberapa hari atau bahkan minggu setelah paparan kebisingan. Selama 16-48 jam setelah paparan kebisingan, umumnya akan terjadi pemulihan jika kondisi dan kerusakan tidak terlalu parah. Jika tidak dapat pulih dalam jangka waktu beberapa minggu, kerusakan akan bersifat permanen dan sel-sel akan mati, menghasilkan pergeseran ambang batas permanen (Attias, et al., 2004; Adelman, et al., 2008; Nelson, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Istilah GPAB mengacu kepada penurunan ketajaman pendengaran yang berhubungan dengan paparan kebisingan. Keadaan ini dapat bersifat sementara dan digambarkan sebagai pergeseran ambang batas sementara (Temporary Threshold Shift/TTS) walaupun belum ada definisi yang pasti tentang durasi paparan kebisingan yang mungkin berkisar dari jam hingga hari. Hilangnya pendengaran bisa saja permanen dan keadaan ini digambarkan sebagai pergeseran ambang batas permanen (Permanent Threshold Shift/PTS). PTS dapat terjadi setelah TTS berulang atau setelah satu episode paparan kebisingan. Perubahan patologis yang berhubungan dengan GPAB telah menjadi bahan penelitian ilmiah yang luas dan beberapa kontroversi serta hipotesis mengenai mekanisme terjadinya perubahan tersebut terus bermunculan terutama mengenai perubahan metabolisme dan struktural pada fungsi koklea (Okpala, 2012). GPAB di tempat kerja (Occupational Noise-Induced Hearing Loss) adalah ketulian yang terjadi perlahan dalam jangka waktu lama (beberapa tahun) sebagai hasil paparan terus-menerus atau bising kuat/keras sekali/intermiten (Hellman & Associates, 2011). Peraturan terbaru di Amerika Serikat tentang GPAB mencakup beberapa tingkat audiometri (Tabel 2.1).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Pengukuran Kehilangan Pendengaran yang Digunakan di Amerika Serikat (Rabinowitz, 2012) Standar pengukuran ketulian
Kriteria
Occupational Safety and Health Perubahan
10
dB
dari
batas
rata-rata
batas
Administration (OSHA)
audiogram
Standard Threshold Shift (STS)
pendengaran level 2, 3 dan 4 kHz,
pada
dengan usia yang terkoreksi OSHA “recordable” hearing loss
Pergeseran 10 dB dari baseline sebagaimana dideskripsikan di atas dengar rata-rata batas pendengaran absolut 2, 3 dan 4 kHz lebih/setara dengan 25 dB HL
American
Medical
Association Rata-rata batas pendengaran pada
(AMA)
0.5 (500 Hz), 1, 2, 3 kHz lebih dari 25
Hearing Impairment
dB HL dengan gangguan monoaural 1.5% untuk setiap dB lebih dari 25 dB
Menurut Rabinowitz (2000), GPAB adalah penurunan pendengaran sensorineural pada frekuensi tinggi (3000-6000 Hz) dan meningkat bertahap akibat paparan kronik terhadap suara keras/kuat secara berlebihan.
Universitas Sumatera Utara
Di dalam keperluan survei, GPAB didefinisikan berdasarkan: (1) riwayat paparan terhadap bising 100 dB atau 83 dBA L aeq,40 selama 50 tahun (paparan yang setara), (2) Kriteria audiometrik: sensorineural, tetapi bukan unilateral, frekuensi 0.5 kHz dengan ambang batas kurang dari 50 dB HL dan terdapat perbedaan sekurangnya ±15 dB antara ambang batas frekuensi tinggi dan rendah untuk masa kerja di bawah 50 tahun (World Health Organization, 1997). Di Indonesia sendiri gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced
Hearing
Loss/NIHL)
ialah
gangguan
pendengaran
yang
disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja (Bashiruddin & Soetirto, 2007).
2.2 Epidemiologi Gangguan pendengaran pada tenaga kerja akibat pajanan bising lingkungan kerja, mempunyai kekerapan yang cukup tinggi di berbagai negara. Pajanan bising secara kontinyu dan berlebihan menjadi salah satu penyebab gangguan pendengaran yang semestinya bisa dihindari. Di negara maju, bising merupakan masalah karena merupakan penyebab utama , kompensasi penyakit akibat kerja. Didukung dengan fakta bahwa gangguan pendengaran pada daerah industri menempati urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa (Kryter, 1985; Dancer, et al., 1992; Harrington & Gill, 2005; Nelson, et al., 2005).
Universitas Sumatera Utara
Kebisingan menjadi masalah lingkungan utama yang diprioritaskan di Eropa sejak 1970 berbagai arahan dan usaha untuk membatasi kebisingan, namun hingga saat ini kebisingan mengalami sedikit peningkatan di seluruh Eropa (WHO, 2011). Gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) telah diketahui sejak revolusi industri. Kebisingan yang berhubungan dengan kehilangan pendengaran telah terdaftar sebagai salah satu masalah yang paling umum pada kesehatan kerja di Amerika Serikat selama lebih dari 25 tahun. Lebih dari 28 juta warga Amerika dengan beberapa tingkat gangguan pendengaran, 10 juta diantaranya disebabkan karena terpapar bising berlebihan di tempat kerja. Biaya yang telah dikeluarkan akibat gangguan pendengaran ini diperkirakan mencapai milyaran dolar Amerika Serikat. Di Eropa, 20% populasinya terpapar bising. Ribuan pekerja setiap tahun menderita kehilangan pendengaran tidak dapat dicegah karena tingkat kebisingan di tempat kerja yang tinggi (OSHA, n.d.). GPAB merupakan tuli sensorineural terbanyak setelah presbiakusis. Kerugian ekonomi akibat ketulian ini diperkirakan mencapai triliunan dolar Amerika Serikat. GPAB banyak dijumpai setelah revolusi industri (Rabinowitz, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Angka gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia tinggi, data dari WHO tahun 2005 dijumpai 278 juta (4.2%) penduduk dunia mengalami gangguan pendengaran, 50% di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Survei nasional 7 provinsi di Indonesia (1994-1996), penduduk Indonesia mengalami gangguan pendengaran sebanyak 16.8% dan ketulian 0.4% (Husni, 2011).
2.2.1 Prevalensi Di Amerika lebih dari 30 juta pekerja yang terpajan kebisingan. Di Jerman sekitar 4-5 juta orang terpajan dalam tingkat kebisingan yang membahayakan (Purnami, 2009). Berdasarkan OSHA (Occupational Health and Safety Administration) setiap tahun, sekitar 30 juta orang di Amerika Serikat yang bekerja terkena kebisingan yang berbahaya. Data WHO mengenai angka gangguan pendengaran dan ketulian sungguh mengejutkan. Pada tahun 2000 terdapat 250 juta (4.2%) penduduk dunia yang menderita gangguan pendengaran dan lebih kurang setengahnya (75-140 juta) terdapat di Asia Tenggara yang mempunyai prevalensi ketulian cukup tinggi yaitu 4.6% termasuk Indonesia, angka ini meningkat terus (KNPGPKT, n.d.). Sejak tahun 2004, Biro Statistik Tenaga Kerja Amerika Serikat melaporkan bahwa hampir 125.000 pekerja telah menderita secara signifikan dan kehilangan pendengaran permanen. Pada tahun 2009 saja, BLS (Bureau of Labor Statistics) Amerika Serikat melaporkan kasus gangguan mendengar lebih dari 21.000 kasus (Mathur, n.d.).
Universitas Sumatera Utara
Dilaporkan bahwa laki-laki lebih banyak terpapar tuli akibat bising dari pada perempuan. Tidak ada perbedaan yang jelas antara usia muda dan usia tua dalam kerentanan mengalami kebisingan yang disebabkan gangguan pendengaran (Mathur, n.d.). Di Indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan sejak lama. Survei yang dilakukan oleh Hendarmin dalam tahun yang sama pada manufacturing plant Pertamina dan dua pabrik es di Jakarta mendapatkan hasil terdapat gangguan pendengaran pada 50% jumlah karyawan disertai peningkatan ambang dengar sementara sebesar 5-10 dB pada karyawan yang telah bekerja terusmenerus selama 5-10 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Hendarmin dan Hadjar tahun 1971, mendapatkan hasil bising jalan raya (Jl. M.H. Thamrin, Jakarta) sebesar 95 dB lebih pada jam sibuk. Sundari pada penelitiannya di pabrik peleburan besi baja di Jakarta, mendapatkan 31.55% pekerja menderita tuli akibat bising dengan intensitas bising antara 85–105 dB dengan masa kerja rata-rata 8.99 tahun. Lusianawaty mendapatkan 7 dari 22 pekerja (31.8%) di perusahaan kayu lapis Jawa Barat mengalami tuli akibat bising dengan intensitas bising lingkungan antara 84.9-108.2 dB (Soetjipto, 2007). Markian melakukan skrining pendengaran Prajurit Batalion 100 Rider Kodam I Bukit Barisan dan mendapati sekitar 22% prajurit menderita tuli sensorineural ringan pada telinga kanan dan 11% pada telinga kiri (Markian, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Pernyataan WHO (Geneva, 2000) menyebutkan 50% gangguan pendengaran
dapat
dicegah
(preventable
deafness).
WHO
merekomendasikan tiap negara menurunkan preventable deafness sampai 50% pada 2010 (Better Hearing, 2010). Melalui program Sound Hearing 2030, diharapkan pada tahun 2030 setiap penduduk Indonesia mempunyai hak memiliki derajat kesehatan telinga dan pendengaran optimal/Better Hearing for All (Purnami, 2009). Untuk pengembangan program-program nasional penanggulangan gangguan
pendengaran
di
wilayah
Asia
Tenggara,
WHO
mengembangkan protokol untuk negara-negara anggota di wilayah tersebut untuk mengumpulkan data tentang layanan infrastruktur dan kesehatan untuk pencegahan dan pengendalian tuli. Hasilnya disajikan pada pertemuan di Kolombo pada tahun 2003 dan ini menyebabkan pembentukan forum regional untuk pencegahan dan pengendalian ketulian dan gangguan pendengaran dan inisiatif regional baru, Sound Hearing 2030 mewujudkan program WWHearing–World Wide Hearing untuk negara berkembang (Mathur, n.d.). Sound Hearing 2030 adalah sebuah inisiatif untuk pencegahan dan keburukan
gangguan
pendengaran.
Fungsi
utamanya
adalah
meningkatkan kualitas hidup manusia yang mengalami gangguan pendengaran melalui pengembangan yang komprehensif, inklusif dan berkelanjutan dan program perawatan di tingkat nasional dan sub nasional.
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia sendiri untuk mendukung program Sound Hearing 2030 dibentuk Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT) dibentuk oleh Departemen Kesehatan RI yang bertujuan agar masyarakat umum di seluruh Indonesia berpartisipasi aktif dalam program ini agar apa yang menjadi tujuan WHO dan pemerintah yaitu menurunkan angka ketulian sebesar 50% tahun 2015 dan secara maksimal tahun 2030 agar terbentuk manusia Indonesia yang mempunyai sumber daya dengan kualitas tinggi dapat tercapai (KNPGPKT, n.d.). Landasan
kebijakan
dalam
melaksanakan
Program
Konservasi
Pendengaran dilindungi oleh beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan Program Kesehatan kerja antara lain: 1. UU Dasar 1945 2. UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja 3. UU No. 3 tahun 1992 tentang Kesehatan 4. UU No. 13 tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan 5. Keputusan Presiden RI No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja 6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Kebisingan di Tempat Kerja 7. Keputusan
Menteri
Kesehatan
No.
1075/Menkes/SK/VII/2003
Tentang Pelaporan GPAB kepada Departemen Kesehatan Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 22 tahun 1993 tentang penyakit yang timbul karena hubungan kerja, bising adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungannya.
Universitas Sumatera Utara
Elemen pokok Program Konservasi Pendengaran adalah: penilaian awal, pemantauan paparan kebisingan, pengendalian kebisingan secara teknik dan administratif, pendidikan dan motivasi kerja, perlindungan telinga, pemantauan ketajaman pendengaran, pencatatan dan pelaporan, evaluasi program (Alberti, 1997; American Academy of Audiology, 2003).
2.4 Sistem Pendengaran Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga. Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius, dan sel-sel mastoid (Oghalai & Brownell, 2008). Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut sebagai labirin. Derivat vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin membran yang berisi endolimfe. Labirin membran dikelilingi oleh cairan perilimfe yang terdapat dalam kapsula otika bertulang. Labirin tulang dan membran memiliki bagian vestibuler dan koklear. Bagian vestibuliris berhubungan dengan keseimbangan, sementara bagian koklearis merupakan organ pendengaran (Liston & Duvall, 1997).
2.4.1 Anatomi koklea Koklea merupakan saluran tulang yang menyerupai cangkang siput dan bergulung 2½ putaran, dengan panjang kurang lebih 35 mm dengan pusatnya yang disebut modiolus (Gambar 2.1a dan Gambar 2.1b) (Moller, 2003; Pawlowsky, 2004; Shier, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1a Koklea (Shier, 2005) Gambar 2.1b Koklea dengan Potongan Melintang (Shier, 2005) Terbentuknya segitiga dari duktus koklearis dengan sisi dasarnya membentuk batas antara skala media dan skala timpani yaitu membran basilaris dan lamina spiralis pars osseus termasuk di dalamnya sel-sel Claudius, sel-sel Boettcher dan organ Corti. Ligamen spiralis, stria vaskularis, prominensia spiralis dan sulkus eksternal sebagai sisi lateralnya, sisi miringnya adalah membran Reissner dan membran basilaris. Koklea terbagi menjadi 3 ruang yaitu skala vestibuli (atas), skala media (tengah) dan skala timpani (bawah) (Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006; Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Anatomi Koklea (Nagashima, et al., 2005) Koklea pada telinga dalam mengandung sel-sel yang berperan terhadap persepsi suara. Koklea terdiri dari labirin tulang, dimana dalamnya terdapat struktur selular yang membentuk labirin membran. Termasuk di dalam labirin tulang adalah kapsul otik yang merupakan batas luar dari koklea dan modiolus, tabung tulang yang membentuk sumbu pusat koklea dan mengandung serat saraf auditori dan sel-sel ganglionnya. Di dalam koklea ada 3 ruang berisi cairan, yaitu skala vestibuli, skala timpani dan skala media dan dipisahkan oleh membran basilaris dan membran Reissner. stria vaskularis dan ligamentum spiralis terdapat dekat dengan tulang sepanjang dinding lateral koklea. Organ Corti, yang mengandung sel rambut (3 sel rambut luar dan 1 sel rambut dalam) sebagai sel sensoris dan sel penyokong, berbentuk spiral pada membran basilaris (Gambar 2.2) (Nagashima, et al., 2005).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Potongan Melintang Organ Koklea (Moller, 2003) Koklea terdiri dari berbagai tipe sel spesialisasi, seperti sel rambut sensori, sel pendukung, sel sulkus, SLF yang merupakan tipe sel yang jumlahnya paling banyak di perilimfe. Karena SLF dianggap salah satu tipe sel di dalam koklea yang jumlahnya paling banyak dan mereka mengeluarkan sitokin dan kemokin setelah stimulasi pro inflamasi, maka dianggap SLF adalah responder terbesar terhadap sinyal-sinyal sitokin dan kemokin tersebut (Moon, et al., 2007). Di dalam organ Corti terdapat sel-sel Hensen, sel-sel Deiters, sel-sel pilar, sel-sel batas dalam, sel-sel rambut luar dan sel-sel rambut dalam, sulkus dalam dan limbus spiralis yang berisi sel-sel interdental dan membran tektorial. Medial dari lamina spiralis pars osseus terdapat kanalis Rosental yang berisi ganglion spiralis dan berhubungan dengan modiolus (Gambar 2.3) (Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006; Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Skala vestibuli dan skala timpani adalah labirin tulang dari koklea yang berisi cairan perilimfe.
Skala vestibuli dan skala timpani saling
berhubungan di helikotrema pada apeks koklea. Pada bagian basis koklea skala vestibuli berakhir di foramen ovale dan skala timpani pada foramen rotundum. Skala media yang berisikan cairan endolimfe berada di antara skala vestibuli dan skala timpani (Gambar 2.4) (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003; Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006).
Gambar 2.4 Skala Vestibuli dan Skala Timpani di Koklea (Moller, 2003) Cairan perilimfe memiliki komposisi ion yang mirip dengan cairan cerebrospinalis (CSF) dan juga mirip dengan cairan ekstraseluler, dengan konsentrasi natrium (Na+) tinggi dan kalium (K+) rendah. Sedangkan pada endolimfe, memiliki komposisi ion yang hampir sama dengan cairan intraseluler yaitu konsentrasi natrium (Na+) rendah dan kalium (K+) yang tinggi (Tabel 2.2) (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003; Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Komposisi Cairan Koklea (Gillespie, 2006) KOMPONEN
ENDOLIMFE
SKALA VESTIBULI
SKALA TIMPANI
Na (mM)
1.3
141
148
K (mM)
157
6
4.2
Ca (mM)
0.023
0.6
1.3
HCO3 (mM)
31
21
21
Cl (mM)
132
121
119
Protein (mg/dl)
38
242
178
pH
7.4
7.3
7.3
Stria vaskularis terdiri dari 3 lapisan sel yaitu sel marginal, sel intermediet dan sel basal. Sel-sel stria vaskularis merupakan satu-satunya sel yang berhubungan dengan pembuluh darah di koklea. Stria vaskularis bertanggung jawab dalam menjaga konsentrasi ion kalium dalam cairan endolimfe tetap tinggi dan menjaga potensial endolimfe skala media positif tetap tinggi (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006). Membran basilaris adalah struktur fibrosa yang berlapis-lapis dari lamina spiral pars osseus ke ligamentum spiralis. Elastisitas membran basilaris bervariasi di sepanjang koklea dari kekakuan dan kelebarannya. Membran basilaris tampak kaku dan sempit di daerah basis koklea dan tampak lebih fleksibel dan luas di daerah apeks koklea (Gambar 2.5) (Moller, 2003; Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 Lebar Membran Basilaris dari Basal ke Apeks (Moller, 2003) Organ Corti merupakan rumah dari sel sensoris pendengaran (Pawlowsky, 2004). Organ Corti terletak di sepanjang membran basilaris, dan menonjol dari basis ke apeks koklea (Despopoulos & Silbernagl, 2008). Ukuran organ Corti bervariasi secara bertahap dari basis koklea ke apeks koklea. Organ Corti di basal lebih kecil sedangkan organ Corti di apeks koklea lebih besar (Guyton & Hall, 2006). Organ Corti terdapat selsel yang terdiri dari sel sensoris (sel rambut dalam dan sel rambut luar), sel pendukung (sel Deiters, sel Phalangeal dalam), ujung saraf aferen (ganglion spiral tipe 1 dan 2) dan eferen (olivokoklear medial dan lateral), sel pilar dalam dan luar dan sel Hensen (Gambar 2.6) (Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006; Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.6 Model Membran Basilaris dengan Organ Corti (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003) Sel rambut merupakan sel sensoris yang menghasilkan impuls saraf dalam menanggapi getaran membran basilaris. Di organ Corti terdapat 1 deret sel rambut dalam dan 3 deret sel rambut luar. Ada sekitar 4.000 sel rambut dalam dan 12.000 sel rambut luar (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006). Bentuk dari sel rambut dalam seperti botol dan ujung sarafnya berbentuk piala yang menyelubunginya, sedangkan bentuk dari sel rambut luar seperti silinder dan ujung sarafnya hanya pada basis sel (Gambar 2.7) (Moller, 2003; Pawlowsky, 2004). Badan sel dari kedua sel rambut ini berisikan banyak vesikula dan mitokondria dan di dinding lateralnya terdapat semacam protein membran yang dikenal sebagai prestin sebagai motor sel. Selain itu pada bahan sel rambut luar terdapat reticulum endoplasma (ER) yang terorganisasi dan khusus di sepanjang dinding lateralnya yaitu apical cistern, Hensen body, subsurface cistern dan subsynaptic cistern (Moller, 2003; Gillespie. 2006; Probst, Greves & Iro, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7 Sel Rambut Dalam dan Sel Rambut Luar (Gillespie, 2006) Sel rambut dalam dan luar ini memegang peranan penting pada perubahan energi mekanik menjadi energi listrik. Fungsi sel rambut dalam sebagai mekanoreseptor utama yang mengirimkan sinyal saraf ke neuron pendengaran ganglion spiral dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi sel rambut luar adalah meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang berjalan dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris pada frekuensi tertentu. Peningkatan gerakan ini disebut cochlear amplifier yang memberikan kemampuan sangat baik pada telinga untuk menyeleksi frekuensi, telinga menjadi sensitif dan mampu mendeteksi suara yang lemah (Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin yang membentuk pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler (stereosilia) (Pawlowsky, 2004). Stereosilia dari sel rambut dalam tidak melekat pada membran tektorial dan berbentuk huruf U sedangkan stereosilia dari sel rambut luar kuat melekat pada membran tektorial atasnya dan berbentuk huruf W (Gambar 2.8) (Pawlowsky, 2004).
Gambar 2.8 Sel Rambut Luar dan Dalam Dilihat dengan Mikroskop Elektron (Pawlowsky, 2004) Pada bagian ujung dari stereosilia terdapat filamen aktin yang terpilin, filamen tersebut nantinya akan dikenal sebagai tip link (Gillespie, 2006). Tip link menghubungkan ujung stereosilia dengan ujung stereosilia yang lain. Bagian basal dari sel rambut diliputi oleh dendrit dari neuron ganglionik spiralis yang terletak pada bagian modiolus (Gambar 2.9.a dan Gambar 2.9.b) (Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9a Tip Link (Gillespie, 2006) Gambar 2.9b Tip Link Dilihat dengan Mikroskop Elektron (Gillespie, 2006) Selain sel rambut dalam dan luar, komponen utama organ Corti yang lain adalah 3 lapis penyokong (sel Deiters, Hensen, Claudius). Membran tektorial dan kompleks lamina retikularis lempeng kutikular (Pawlowsky, 2004). Sel-sel pendukung yang mengelilingi sel rambut luar adalah sel Deiters dan sel pilar luar. Sel pilar luar berada di sisi modiolar dari sel rambut luar baris pertama dan diantara sel rambut luar baris pertama dengan kedua. Sel Deiters berada diantara sel rambut luar baris dua dengan tiga dan di sisi lateral dari sel rambut luar baris tiga. Gabungan dari sel rambut luar dengan sel Deiters dan sel pilar luar menciptakan sebuah penghalang yang kuat antara endolimfe dan perilimfe (Gambar 2.10) (Moller, 2003; Pawlowsky, 2004; Moller, 2005; Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.10 Organ Corti (Moller, 2003) Membran tektorial adalah struktur seperti gel yang terdiri dari kolagen, protein dan glukosaminoglikan. Membran tektorial terletak di dekat permukaan lamina retikuler dari organ Corti. Membran tektorial kontak langsung dengan sel rambut luar. Sedangkan untuk sel rambut dalam tidak berkontak secara langsung dengan membran tektorial (Moller, 2003).
2.4.2 Transmisi suara Suara terjadi karena adanya sumber suara, media penghantar gelombang suara serta adanya reseptor penerima informasi tersebut (Despopoulos & Silbernagl, 2008). Suara datang dari sumber akan berjalan secara longitudinal dan menyebar ke segala arah, sedangkan pada media penghantar gelombang suara di udara akan lebih cepat daripada melalui media air karena kecepatan penghantaran suara
Universitas Sumatera Utara
bervariasi
tergantung
jenis
medianya.
Karena
itu
dalam
proses
pendengaran terdapat istilah impedance (Gambar 2.11) (Pawlowsky, 2004).
Gambar 2.11 Transmisi Suara ke Koklea (Despopoulos & Silbernagl, 2008) Suara akan ditangkap serta dihimpun aurikula kemudian diarahkan oleh meatus akustikus eksternus sampai menggetarkan membran timpani lalu dikonduksikan osikel tulang pendengaran dari maleus, inkus, stapes. Selanjutnya kaki dari stapes bergerak ke arah dalam membran foramen ovale dan membuat foramen rotundum menonjol keluar (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003; Pawlowsky, 2004; Shier, 2005; Liberman, 2006), dan dari membran timpani ke tulang pendengaran terjadi proses amplifikasi suara atau terjadi refleks timpani. Fungsi dari organ telinga luar dan tengah adalah untuk meneruskan energi akustik dari luar ke cairan limfe di dalam koklea dan juga memproses energi tersebut sebelum memasuki koklea (Pawlowsky, 2004; Shier, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Mekanoelektrik transduksi koklea Proses Mekanik di Koklea Energi hasil dari pergerakan stapes pada foramen ovale adalah mendorong cairan perilimfe skala vestibuli kemudian ke membran Reissner dan cairan endolimfe skala media sehingga akan menimbulkan pergerakan membran basilaris (Moller, 2003; Liberman, 2006). Stimulasi tersebut yang bergerak sepanjang membran basilaris dalam bentuk travelling wave (Gambar 2.12) (Moller, 2003; Gillespie, 2006).
Gambar 2.12 Arah Gerakan Cairan Perilimfe yang Diakibatkan oleh Gerakan Stapes di Foramen Ovale (Moller, 2003) Gelombang suara dari berbagai frekuensi akan menyebabkan daerah tertentu dari membran basilaris bergetar lebih kuat dari daerah lainnya. Setiap segmen dari membran basilaris disetel untuk frekuensi tertentu. Pada membran basilaris terdapat pemetaan suara yang rapi berdasarkan frekuensi. Suara dengan frekuensi tinggi menggetarkan bagian pangkal dan suara dengan frekuensi lebih rendah menggetarkan bagian ujung (Moller, 2005; Gillespie, 2006; Liberman, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.13 Pemetaan Suara Berdasarkan Frekuensi di Membran Basilaris (Liberman, 2006) Pergerakan membran basilaris naik turun akan menimbulkan gerakan relatif (pergeseran) terhadap membran tektorial dan hal ini dikarenakan kedua membran tersebut mempunyai titik sumbu rotasi yang berbeda. Titik rotasinya membran basilaris adalah di bagian bawah lamina spiralis osseus, sedangkan titik rotasinya membran tektorial adalah di bibir atas dari limbus. Sebagai hasilnya, dengan sumbu rotasi berbeda untuk kedua membran maka pergerakan pada kedua membran akan terjadi gaya geser pada stereosilia sehingga akan menghasilkan impuls saraf (potensial reseptor) (Gambar 2.13) (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003; Couloigner, Sterkers & Ferrary, 2006; Ricci, et al., 2006). Stereosilia sel rambut lebih kuat melekat pada membran tektorial tetapi hanya sebatas menyentuh saja (Moller, 2003; Pawlowsky, 2004). Perbedaan tersebut menyebabkan defleksi pada kedua sel rambut ini akan berbeda juga. Penyebab defleksinya sel rambut luar adalah karena
Universitas Sumatera Utara
pergerakan
relatif
membran
retikuler
dengan
membran
tektorial,
sedangkan defleksinya sel rambut dalam terjadi karena aliran cairan endolimfe yang diakibatkan dari pergerakan membran basilaris atau pergerakan dari stereosilia sel rambut luar (Puel, et al., 2007; Moller, 2003; Lonsbury, Martin & Luebke, 2003). Arah gerakan stereosilia di fase depolarisasi adalah stereosilia yang pendek menuju ke arah stereosilia yang paling tinggi, dan kearah menjauh modiolus (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003) sedangkan arah gerakan stereosilia di fase hiperpolarisasi adalah dari stereosilia yang rendah menjauhi stereosilia yang paling tinggi dan ke arah mendekati modiolus (Gambar 2.14) (Moller, 2003; Lonsbury, Martin & Luebke, 2003; Housley, et al., 2006).
Gambar 2.14 Arah Gerakan Stereosilia Pada Fase Depolarisasi dan Hiperpolarisasi (Moller, 2003) Ujung dari stereosilia terdapat filamen halus yang disebut dengan tip link, filamen halus ini menghubungkan ujung stereosilia dengan yang lain. Bila saat sel rambut defleksi ke arah menjauhi modiolus (eksitasi), tip link
Universitas Sumatera Utara
akan meregang. Peregangan inilah yang nantinya akan membuka saluran pada bagian atas stereosilia yang akan dikenal sebagai saluran Mekanoelektrik Transduksi (MET) dan sebaliknya bila saat sel rambut defleksi ke arah mendekati modiolus (inhibisi), tip link akan mengendur dan membuat saluran MET tertutup (Beurg, et al., 2008; Ricci, et al., 2006; Puel, et al., 2007).
Proses Transduksi di Koklea Proses transduksi adalah proses konversi dari suatu bentuk energi menjadi bentuk energi yang lain. Pada koklea proses transduksi terjadi pada sel rambut dalam dimana energi mekanis (getaran) diubah menjadi energi elektrokimia yaitu potensial membran atau potensial aksi (Beurg, et al., 2008). Gerakan membran basilaris ke atas akan membengkokkan stereosilia ke arah stereosilia yang lebih tinggi pada fase depolarisasi mengakibatkan terjadinya peregangan pada serabut tip link di puncak stereosilia. Ketika tip link meregang langsung membuka saluran MET pada membran stereosilia dan menimbulkan aliran arus K+ ke dalam sel sensoris. Aliran kalium timbul karena terdapat perbedaan potensial endokoklea +80 mV dan potensial intraseluler negatif pada sel rambut, sel rambut dalam -40 mV dan sel rambut luar -70 mV. Hal tersebut menghasilkan depolarisasi intraseluler yang menyebabkan kation termasuk kalium dan kalsium mengalir ke dalam sel rambut (Despopoulos & Silbernagl, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Masuknya ion K+ akan mengubah potensial listrik dalam sel rambut dan mendepolarisasi sel, pada akhirnya sel rambut memendek dengan mempengaruhi motor sel rambut luar (prestin) (Gambar 2.15) (Gillespie, 2006).
Gambar 2.15 Prestin (Protein Membran) Memendek Saat Depolarisasi dan Memanjang Saat Hiperpolarisasi (Gillespie, 2006) Ketika membran basilaris bergerak turun, stereosilia membengkok ke arah stereosilia yang terpendek pada fase hiperpolarisasi mengakibatkan terjadinya pengenduran pada serabut tip link di puncak stereosilia maka saluran MET akan tertutup. Bila stereosilia tegak lurus, pembukaan saluran MET tak akan berpengaruh. Tip link ini seperti saluran elastik yang bisa mengendalikan buka tutupnya saluran MET (Liberman, 2006). Saluran K+ - Ca2+ diaktifkan dan mencegah untuk depolarisasi Ca2+ masuk dan K+ keluar, dengan masuknya Ca2+ terjadi pelepasan neurotransmitter kimia dari vesikula sinaptik di dasar sel dan ditangkap oleh reseptor aferen saraf koklearis (Gillespie, 2006). Saraf-saraf
Universitas Sumatera Utara
pendengaran merespon neurotransmitter dengan menghasilkan potensial aksi, lonjakan arus listrik merambat, diteruskan dari serabut saraf koklearis menuju nukleus koklearis dalam sekian detik dan diterjemahkan oleh otak, sehingga kita dapat mendengar (Gambar 2.16) (Puel, et al., 2007; Moller, 2003; Ricci, et al., 2006). Ion K+ keluar dari sel rambut luar ke dalam ruang ekstraseluler di sekitar sel rambut luar kemudian masuk ke sel pendukung. Rangsangan suara diubah menjadi getaran membran basilaris dan mengarahkan pada pembukaan dan penutupan saluran MET pada stereosilia kemudian menghasilkan respon elektrokimia dan akhirnya akan mempresentasikan suara pada saraf pendengaran (Couloigner, Sterkers & Ferrary, 2006; Housley, et al., 2006).
Gambar 2.16 Proses Transduksi di Sel Rambut Dalam dan Sel Rambut Luar (Probst, Greves & Iro, 2006)
Universitas Sumatera Utara
2.5 Pengaruh Bising Terhadap Organ Pendengaran Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya degenerasi
yang meningkat sesuai dengan
intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia. Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia, sel-sel rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus pendengaran pada batang otak (Robert, 2006). Dari sudut makromekanikal ketika gelombang suara lewat, membran basilaris meregang sepanjang sisi ligamentum spiralis, dimana bagian tengahnya tidak disokong. Pada daerah ini terjadi penyimpangan yang maksimal. Sel-sel penunjang di sekitar sel rambut dalam juga sering mengalami kerusakan akibat paparan bising yang sangat kuat (Alberti, 1997). Saluran transduksi berada pada membran plasma pada masingmasing silia, baik di daerah tip atau sepanjang tangkai (shaft), yang dikontrol oleh tip links, yaitu jembatan kecil diantara silia bagian atas yang berhubungan satu sama lain. Gerakan mekanis pada barisan yang paling
Universitas Sumatera Utara
atas membuka ke saluran menyebabkan influks K+ dan Ca2+ dan menghasilkan depolarisasi membran plasma. Pergerakan daerah yang berlawanan akan menutup saluran serta menurunkan jumlah depolarisasi membran. Apabila depolarisasi mencapai titik kritis dapat memacu peristiwa intraseluler (Alberti, 1997). Telah diketahui bahwa sel rambut luar memiliki sedikit aferen dan banyak eferen. Gerakan mekanis membran basilaris merangsang sel rambut luar berkontraksi sehingga meningkatkan gerakan pada daerah stimulasi dan meningkatkan gerakan mekanis yang akan diteruskan ke sel rambut dalam dimana neurotransmisi terjadi. Kerusakan sel rambut luar mengurangi sensitivitas dari bagian koklea yang rusak (Alberti, 1997; Robert, 2006). Kekakuan silia berhubungan dengan tip links yang dapat meluas ke daerah basal melalui lapisan kutikuler sel rambut. Liberman dan Dodds (1987) memperlihatkan keadaan akut dan kronis pada awal kejadian dan kemudian pada stimulasi yang lebih tinggi, fraktur daerah basal dan hubungan dengan hilangnya sensitivitas saraf akibat bising. Fraktur daerah basal menyebabkan kematian sel. Paparan bising dengan intensitas rendah menyebabkan kerusakan minimal silia, tanpa fraktur daerah basal atau kerusakan tip links yang luas. Tetapi suara dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan kerusakan tip links sehingga menyebabkan kerusakan yang berat, fraktur daerah basal dan perubahanperubahan sel yang irreversible (Alberti, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Trauma akustik terjadi ketika suara dengan intensitas tinggi (misalnya, ledakan) menembus koklea sebelum refleks akustik diaktifkan. impuls suara mengacu ke terpaparnya satu atau beberapa kebisingan yang berlangsung 1 detik atau kurang dan intensitas tinggi impuls suara >140 dB dapat menyebabkan gangguan pendengaran langsung dan irreversible. Refleks akustik adalah kontraksi refleks otot stapedius pada waktu merespon kebisingan >90 dB. Hal ini menghambat refleks transmisi suara dan sangat protektif terhadap suara dengan frekuensi rendah. Penundaan dari paparan kebisingan untuk terjadinya refleks adalah 25150 ms, hasilnya kurang efektif terhadap impuls bunyi dibandingkan dengan bunyi yang terus-menerus (Robert, 2002).
2.6 Bunyi 2.6.1 Definisi bunyi Menurut Doelle (1993), bunyi mempunyai definisi: a. Secara fisis, bunyi adalah penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam medium elastik seperti udara, biasanya disebut sebagai bunyi obyektif. b. Secara fisiologis,
bunyi adalah
sensasi
pendengaran
yang
disebabkan penyimpangan fisis yang telah digambarkan seperti di atas dan biasanya disebut bunyi subyektif.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Ganong (2008), bunyi adalah sensasi yang timbul apabila getaran
longitudinal
molekul
di
lingkungan
eksternal,
yaitu
fase
pemadatan dan pelonggaran molekul yang terjadi secara bergantian mengenai membran. Dengan kata lain bunyi dapat juga didefinisikan sebagai serangkaian gelombang yang merambat dari suara sumber getar sebagai akibat perubahan kerapatan dan juga tekanan udara (Guyton & Hall, 2006).
2.6.2 Produksi dan perambatan bunyi Bunyi diproduksi oleh karena adanya getaran mekanis yang biasa disebut juga sebagai gelombang bunyi. Rambatan gelombang bunyi disebabkan oleh lapisan perapatan dan peregangan partikel udara yang bergerak ke arah luar (Bess & Humes, 2009). Rambatan gelombang bunyi ini terjadi karena adanya penyimpangan tekanan (Doelle, 1993). Gelombang bunyi dapat diukur berdasarkan frekuensi, tekanan suara dan kecepatan perambatannya. Secara umum, kekerasan/kekuatan suara berkaitan dengan amplitudo gelombang suara dan nadanya berkaitan dengan frekuensi. Semakin besar amplitudo semakin keras suara, semakin tinggi frekuensi semakin tinggi nada (Bess & Humes, 2009). Kecepatan suara di udara ialah 340 m/s sedangkan di media padat ialah 5000 m/s contohnya di tulang. Hal inilah yang menyebabkan hantaran suara melalui tulang jauh lebih baik daripada hantaran udara (Probst, Grevers & Iro, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.6.3 Frekuensi bunyi Jumlah pergeseran atau osilasi yang dilakukan sebuah partikel dalam satu sekon disebut frekuensi, dengan satuan Hertz (Hz), secara fisiologi telinga dapat mendengar nada antara 20-20000 Hz. ISO menjelaskan untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara 2000-3000 Hz, namun untuk percakapan sehari-hari biasanya 3000-4000 Hz (Bashiruddin & Soetirto, 2007). Frekuensi suara yang dihasilkan oleh pita suara berbeda antara pria dan wanita. Frekuensi suara pada pria 100 Hz, sedangkan suara pada wanita 200 Hz yang diproduksi dari getaran pada pita suara (Gambar 2.17) (Probst, Grevers & Iro, 2006). Probst, Grevers dan Iro (2006) menjelaskan bunyi atau suara biasanya terdiri dari berbagai macam frekuensi. Dari beberapa frekuensi yang bergabung membentuk suara yang disebut sebagai spektrum frekuensi, antara lain: a. Nada murni: suara atau bunyi yang hanya terdiri dari satu jenis frekuensi, salah satu kegunaanya ialah sebagai tes audiologi untuk menilai sensitivitas pendengaran seseorang. b. Nada musik: gelombang suara yang memiliki pola berulang walaupun bersifat kompleks c.
Bising: bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari spektrum terbatas (narrow band) ataupun spektrum luas (white noise).
Universitas Sumatera Utara
Ketiga spektrum frekuensi tersebut diilustrasikan pada gambar: a. Nada murni
b. Nada Musik
c. Bising
oscillogram Teka nan suara (Pa)
Waktu
Teka nan suara (Pa)
Waktu
Teka nan suara (Pa)
Waktu
Analisis frekuensi
Ampli tudo
Ampli tudo
Ampli tudo Frekuensi
Frekuensi
Frekuensi
Gambar 2.17 Spektrum Frekuensi dari Beberapa Contoh Rangsangan Auditori: Nada Murni, Nada Musik, Bising (dikutip dari Probst, Grevers & Iro, 2006) 2.6.4 Tekanan bunyi Tekanan bunyi ialah penyimpangan dalam tekanan atmosfir yang disebabkan getaran partikel udara karena adanya gelombang bunyi (Guyton & Hall,
2006). Variasi dari tekanan amplitudo tersebut dapat
diukur dengan satuan Pascal (Pa). Manusia dapat mendengar tekanan suara antara 20 µPa (ambang dengar) sampai dengan 20 Pa (ambang nyeri) (Gambar 2.18) (Probst, Grevers & Iro, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Untuk pendengaran tingkat tekanan bunyi (dB SPL/decible Sound Pressure Level) diukur dalam skala logaritmik dengan membandingkan tekanan suara yang diukur (p) dengan tekanan suara standar (p 0 /20 µPa). Tingkat tekanan bunyi minimum yang mampu membangkitkan sensasi pendengaran di telinga pengamat disebut ambang dengar. Pendengaran yang normal memiliki ambang dengar 0 dB SPL pada usia muda, jika terjadi gangguan pendengaran, maka dibutuhkan tingkat tekanan bunyi yang lebih besar untuk mencapai ambang dengar (Probst, Grevers & Iro, 2006). Biasanya dB SPL digunakan apabila ingin mengetahui intensitas bunyi yang sesungguhnya secara fisika (ilmu alam) (Bashiruddin & Soetirto, 2007).
2.6.5 Intensitas bunyi Intensitas bunyi ialah laju energi bunyi rata-rata yang ditransmisikan dalam arah tertentu lewat satuan luas tegak lurus dari arah tersebut. Tingkat intensitas bunyi dinyatakan dalam skala dB level pendengaran (dB HL/decible Hearing Level). Perubahan 3 dB dalam tingkat intensitas cukup dapat dirasakan dan perubahan 5 dB jelas tercatat. Biasanya dalam pengendalian bising lingkungan, tingkat tekanan bunyi sama dengan tingkat intensitas bunyi. Dengan demikian, kekerasan bunyi yang didengar oleh telinga merupakan anggapan subyektif terhadap tekanan bunyi dan intensitas bunyi (Bess & Humes, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.18 Beberapa Contoh Sumber Suara dengan Intensitas Suara (dB) dan Tekanan Suara (Pa) (Bess & Humes, 2009) 2.7 Kebisingan 2.7.1 Definisi kebisingan Sebagai definisi standar, tiap bunyi yang tak diinginkan oleh penerima dianggap sebagai bising (Silaban, 2008). Sensasi bising ini ditimbulkan oleh getaran yang bersifat tidak periodik dan tidak berulang (Ganong, 2008). Sedangkan secara audiologi bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi (Bashiruddin & Soetirto, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep 48/MENLH/11/1996
tentang
baku
tingkat
kebisingan
menyebutkan
“kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan” (Mulia, 2005).
2.7.2 Pengukuran tingkat kebisingan Alat yang dapat digunakan untuk mengukur kebisingan adalah: Sound Level Meter, Octave Band Analyzer, Noise Dosimeter, Spectrum Analyzer dan Oscilloscopes. Dari sekian banyak alat, alat yang biasanya digunakan untuk mengukur kebisingan di lingkungan kerja adalah
Sound Level
Meter (SLM). SLM dilengkapi alat yang dapat merinci frekuensi bunyi berbeda. SLM juga dapat mengukur gelombang suara dan dapat membedakan
besar
amplitudo
suara
dalam
berbagai
frekuensi.
Mekanisme kerja SLM apabila ada benda bergetar, maka akan menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang dapat ditangkap oleh alat ini, selanjutnya akan menggerakkan meter penunjuk (Humess & Bess, 2009).
2.7.3 Nilai ambang batas kebisingan Nilai Ambang Batas Kebisingan telah direkomendasi menurut ACGIH (American Conference of Governmental Industrial Hygienist) dan ISO (International Standard Organization) sebesar 85 dB(A), sedang menurut OSHA (Occupational Safety and Health Administration) sebesar 90 dB(A)
Universitas Sumatera Utara
untuk waktu kerja 8 jam/hari. Nilai Ambang Btas Kebisingan menurut ACGIH, setiap kenaikan tingkat intensitas bising sebesar 5 dB (the rule of 5 dB), maka lama kerja yang diperkenankan menjadi setengahnya, sedangkan Nilai Ambang Batas Kebisingan menurut ISO, setiap kenaikan tingkat intensitas kebisingan sebesar 3 dB (the rule of 3 dB), maka lama kerja menjadi setengahnya (Tabel 2.3).
Tabel 2.3 Lama Kerja yang Diperkenankan Berdasarkan Intensitas Bising dB(A) Menurut ACGIH, OSHA, ISO dan Menaker RI Lama Kerja
Indonesia ACGIH
OSHA
ISO
(SK Menaker RI)
8
85
90
85
85
8
87
92
-
85
4
90
95
88
88
3
92
97
-
-
2
95
100
91
91
1
97
105
94
94
0,5
100
110
97
97
0,25
105
115
100
100
(Jam)
Sumber: Susanto, 2006 Ketentuan Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan di Indonesia yang ditetapkan dalam Kepmenaker No. 51 tahun 1999 tentang NAB Faktor Fisik. Di tempat kerja mengadopsi berdasarkan rekomendasi ISO (Tabel
Universitas Sumatera Utara
2.3). Ketentuan ini merupakan pengganti (penyempurnaan) dari SE Menakertrans dan Kop. No. 01/MEN/1978 tentang NAB untuk Iklim Kerja dan NAB untuk Kebisingan di Tempat Kerja, dimana ditetapkan bahwa NAB Kebisingan di tempat kerja sebesar 85 dB(A) untuk waktu kerja 8 jam per hari atau 40 jam seminggu.
2.7.4 Pengaruh bising terhadap organ pendengaran Telah diketahui bahwa patologi koklea, terutama sel rambut, akan berlanjut meningkat sampai kira-kira 30 hari setelah terpapar (Henderson & Hamernik, 1986). Studi terakhir (Hu, Henderson & Nicotera, 2002) sudah menunjukkan bahwa setelah terpapar bising yang level tinggi dan durasi pendek, akan menjadi lesi fokal yang kecil terutama melibatkan sel rambut luar (Outer Hair Cell/OHC). Pada beberapa hari berikutnya, lesi akan meluas, terutama ke arah basal dan dengan kematian sel dengan cara nekrosis dan apoptosis (Hu, Henderson & Nicotera, 2002). Mekanisme dasar terjadinya gangguan pendengaran akibat bising merupakan kombinasi dari faktor mekanis dan metabolik yakni adanya paparan bising kronis yang merusak sel rambut koklea dan perubahan metabolik yang menyebabkan hipoksia akibat vasokontriksi kapiler oleh karena bising (Ferrite & Santana, 2005; Mizuo, Miyamoto & Shimizu, 2011). Gangguan pendengaran akibat bising juga merupakan interaksi dari faktor lingkungan dan faktor genetik (Laer, et al., 2006).
Universitas Sumatera Utara
Paparan bising menyebabkan pembentukan 8-isoprostaglandin F 2α (8-isoPGF 2α ) didalam koklea yang merupakan marker terjadinya proses reaktif oksigen dan berpotensi menyebabkan vasokonstriksi sehingga menurunkan aliran darah ke koklea/Cochlear Blood Flow (CBF) (Miller, Brown & Eschacht, 2003; Seidman & Standring, 2010). Penilaian tuli akibat bising secara histopatologi menunjukkan adanya kerusakan organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut. Kerusakan yang terjadi pada struktur organ tertentu bergantung pada intensitas dan lama paparan. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar separti stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kaku. Dengan bertambahnya intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia, kerusakan pada stria vaskular, kolaps sel-sel penunjang,
hilangnya
jaringan
fibrosit
dan
kerusakan
serabut
saraf (Daniel, 2007; Kujawa, 2009). Penelitian pada pekerja yang berumur 75 tahun dengan pajanan bising selama 20 tahun, pada pemeriksaan mayat (post mortem) ditemukan kerusakan organ Corti berupa destruksi sel rambut dengan kerusakan terberat berasal dari bagian basal koklea. Selain itu ditemukan juga atrofi dari nervus auditoris dan degenerasi ganglion spiralis. Bagian koklea terdekat dengan tingkap lonjong menerima bunyi dengan frekuensi tinggi. Kerusakan koklea akibat frekuensi dan intensitas tinggi terpusat pada frekuensi 4000 Hz dimana keadaan ini sesuai dengan getaran terbesar pada membran basilaris dan organ Corti (Alberti, 1991).
Universitas Sumatera Utara
Sel rambut yang mempunyai amplitudo paling besar terdapat di sekitar 10 mm dari tingkap lonjong terdapat dan menerima energi terbesar pada pajanan bising, sehingga bagian tersebut akan mudah cedera pada pajanan bising. Hal ini yang disebut sebagai '4000 Hz receptors' dan karena hubungannya dengan serabut saraf sering juga disebut '4000 Hz nerve fiber' dan tempat ini merupakan lokus minoris pada organ Corti (Ward, 1991). Mekanisme hidrodinamika pada kerusakan sel rambut dalam, sel rambut luar dan membran basilaris akibat pajanan bising menurut gelombang bunyi yang datang akan tersebar secara merata berbentuk radial. Gelombang bunyi tersebut menimbulkan regangan pada partisi koklea dan menyebabkan fleksi membran basilaris, sepanjang tepi ligamentum spiralis. Akibat dari keadaan di atas bagian tengah membran basilaris yang tidak ditopang oleh penunjang lain akan bergetar lebih kuat dibandingkan struktur lain. Pada bagian tengah ini pula terletak bagian basal sel rambut luar yang mempunyai hubungan erat dengan pilar sel rambut dalam, sehingga mudah dimengerti bahwa sel penunjang pada bagian tengah membran basilaris bersama sel rambut luar dan sel rambut dalam mudah terjadi kerusakan akibat pajanan bising (Alberti, 1991).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Wang, Hirose & Liberman (2002), menunjukkan bahwa paparan bising dengan intensitas tinggi dapat mengakibatkan terjadinya pembengkakan stria vaskularis disertai hilangnya sel intermedial stria vaskularis secara menetap akibat berkurangnya potensial endokoklea sel rambut dan stereosilia (Henderson, et al., 2006). Paparan bising dengan intensitas 120 dB nada murni dengan waktu paparan antara 1-4 jam akan menimbulkan beberapa tingkatan kerusakan sel rambut, sel penyangga, pembuluh darah dan serabut aferen. Paparan bising dengan intensitas sedang mengakibatkan perubahan ringan pada stereosilia dan Hensen's body, sedangkan pada intensitas lebih tinggi dengan waktu yang lebih lama juga akan mengakibatkan kerusakan pada struktur lain seperti mitokondria, granula lisosom, lisis sel dan robekan membran Reissner. Kerusakan stereosilia menetap ditandai dengan fraktur rootlet silia pada lamina retikularis (Wang, Hirose & Liberman, 2002). Selain itu paparan bising juga akan menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah koklea yang turut berperan untuk terjadinya kerusakan organ koklea (Nakai, 1994). Hal ini dapat dilihat dari penelitian pada marmut yang diberi paparan bising nada warble dengan intensitas 125 dBSPL, frekuensi 1 KHz atau musik rock 105-125 dB selama tiga jam sehingga terjadi proses stenosis dan dilatasi dinding lateral koklea, prominens spiralis serta arteri spiralis.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan biokimia yang timbul pasca pajanan bising berupa penurunan kadar oksigen koklea serta peningkatan kandungan glukosa perilimfe (Alberti, 1991). Efek
bising
pada
pendengaran
berdasarkan
pemeriksaan
histopatologis koklea tampak seperti pada gambar dibawah ini:
Gambar 2.19 Koklea yang Diamati 2 Minggu Setelah Pajanan Kebisingan. (Kujawa & Liberman, 2006) Keterangan: Secara histopatologis terjadi kerusakan hanya pada fibrosit tipe IV, tampak pada regio yang dilingkari dibandingkan dengan yang normal. Tanda panah menunjukkan kerusakan fibrosit tipe IV dinding lateral koklea lebih jelas
Universitas Sumatera Utara
Perubahan histopatologi yang diamati pada dinding lateral koklea dengan pajanan kebisingan akut (24 jam) didapatkan edema sel dan vakuolisasi akut. Pada pajanan kronis (2 minggu) degenerasi yang terjadi terutama pada Kolagen Tipe IV dan Tipe II (Hirose & Liberman, 2003). Spoendlin (1971) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa pajanan bising nada tinggi akan mengakibatkan pembengkakan dan ruptur terminal
dendrit
aferen
nervus
koklearis
melalui
mekanisme
eksitotoksisitas glutamat. Eksitotoksisitas glutamat merupakan respon akut koklea terhadap pajanan bising berlebihan yang mengakibatkan pelepasan neurotransmitter glutamat dalam jumlah besar yang dapat membebani reseptor post sinaptik dan mekanisme klirens glutamat sehingga merangsang kaskade metabolik yang akan mengakibatkan terjadinya vakuolisasi dan edema pada area bawah sel rambut dalam dan sel ganglion koklea yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel (Henderson, et al., 2006, Kujawa, 2009). Glutamat merupakan neurotransmitter yang berada pada sinaps sel rambut dalam dan ujung aferen serabut saraf ganglion spiral koklea. Selama pajanan bising nada tinggi, diproduksi glutamat dengan konsentrasi yang besar yang akan mempengaruhi reseptor glutamat pada post sinaps dan hal ini berperan di dalam terjadinya noise induced threshold shift. Keadaan ini dapat pulih menjadi normal kembali dengan pemberian analog glutamat: Asam Kainat yang diteliti oleh Zheng, et al., 1997 (Henderson, et al., 2006, Kujawa, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Perubahan biokimia yang timbul akibat paparan bising berupa penurunan kadar oksigen koklea serta peningkatan kadar glukosa perilimfe. Selain itu akibat paparan bising nada tinggi akan mempengaruhi keseimbangan ion terutama K+ pada membran apikal sel rambut luar. Penelitian Spicer & Schulte (1996) mengatakan bahwa kadar kritis ion K+ dalam endolimf dikontrol oleh suatu mekanisme kompleks mulai saat depolarisasi sel rambut luar dimana K+ masuk ke dalam sel rambut kemudian ke luar ke perilimfe untuk selanjutnya diproses oleh fibrosit tipe IV yang terdapat di outer sulcus dinding lateral sampai kembali lagi pada stria vaskularis. Kehilangan fibrosit tipe II dan tipe IV berpengaruh terhadap gangguan dengar sudah diteliti sebelumnya (Purnami, 2009).
2.8 Respon Stres Intraseluler Banyak definisi yang telah diusulkan untuk memberi pengertian tentang stres. Setiap definisi berfokus pada aspek tantangan internal atau eksternal, gangguan, atau stimulus pada persepsi dari sebuah stimulus oleh organisme atau pada respon fisiologis organisme terhadap rangsangan. Sebuah definisi yang terintegrasi menyatakan bahwa, stres adalah suatu kumpulan reaksi, termasuk stimulus (stresor), yang bereaksi di otak dipicu oleh adanya stimulus (persepsi stres), dan mengaktifkan sistem fight or flight di tubuh (respon stres fisiologis) (Kourtis, 2001). Ada 3 jenis faktor lingkungan utama yang dapat memicu stres di tingkat sel: (1) faktor fisik, seperti paparan pada suhu tinggi, kebisingan, sinar ultraviolet, radiasi, (2) faktor kimia, dengan ribuan xenobiotik industri,
Universitas Sumatera Utara
termasuk karbon monoksida, logam berat dan debu, dan (3) faktor biologis, seperti infeksi oleh virus, bakteri, parasit, dan jamur. Adanya faktor pemicu stres sel ini akan menimbulkan respon sel tubuh yang bermacam-macam. Salah satu respon pertahanan tubuh akibat adanya faktor pemicu tersebut di atas adalah sel tubuh akan memproduksi antigen tertentu (protein asing, misalnya Heat Shock Protein = HSP) dan tubuh juga
akan
membentuk
suatu
antibodi
menetralisir/melawan antigen (misalnya
(auto
antibodi)
antibodi HSP)
yang
untuk baru
terbentuk tersebut (Wu & Tanguay, 2006). Banyak pengamatan menunjukkan bahwa paparan jangka panjang terhadap stres lingkungan, termasuk paparan bising yang pada suatu periode waktu tertentu dapat menyebabkan produksi antibodi HSP dan antibodi ini dapat dikaitkan dengan perubahan abnormal pada tubuh dan dengan beberapa penyakit. Hal ini dilaporkan pertama kali oleh Wu (1996) yang menemukan adanya pembentukan antibodi untuk HSP-27, HSP-60, HSP-70 dan HSP-90 dalam plasma darah para pekerja di industri baja yang terpapar pada suhu tinggi, karbon monoksida dan bahan kimia lainnya di dalam oven pemasak dalam waktu yang lama. Dijumpainya antibodi ini memiliki potensi sebagai biomarker untuk menilai apakah selsel di dalam tubuh pekerja itu mengalami suatu stres akibat paparan dari lingkungan kerjanya dan meningkatnya kadar antibodi terhadap HSP-70 (anti HSP-70) pada pekerja yang terpapar benzen, debu, panas dan kebisingan (Wu & Tanguay, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Semua organisme menunjukkan respon homeostatis, contohnya ketika adanya perubahan lingkungan. Kemampuan organisme untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru ini berperan penting untuk menjaga kelangsungan hidup organisme dan juga merupakan kekuatan dalam suatu proses evolusi kehidupan. Suatu studi telah dilakukan untuk mempelajari mekanisme pertahanan diri organisme terhadap
perubahan
dari
lingkungan
secara
tiba-tiba
dengan
ditemukannya suatu respon sel akibat trauma yang juga dikenal dengan heat shock response. Contoh konkritnya adalah ketika sel-sel tubuh dipaparkan dengan kenaikan suhu lingkungan tiba-tiba ataupun paparan yang berlangsung lama, sel-sel dari suatu organisme akan menunjukkan respon yang sama, yaitu heat shock response. Salah satu tanda adanya heat shock response ini adalah meningkatnya sintesis heat shock protein yang merupakan suatu protein yang berbentuk molekul chaperon (Enzo Lab Sciences, 2010). Bentuk respon stres seluler lainnya yang juga bersifat fisiologis dan berfungsi untuk menjaga homeostasis kehidupan sel adalah dengan mengatur pelepasan neurotransmitter, hormon, peptida dan faktor lain ke dalam sirkulasi atau ke dalam jaringan. Efek dari respon stres seluler ini dipengaruhi juga oleh intensitas dan lama suatu pajanan (Gambar 2.20).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.20 Spektrum Stres (Dhabar & McEwen, 2007) Stres didefinisikan sebagai rangkaian kejadian berupa stimulus (stresor) yang memicu reaksi otak (persepsi stres dan prosesnya) yang mengaktifkan sistem fight-or-flight di tubuh (respon stres fisiologis).
Universitas Sumatera Utara
Durasi respon stres fisiologis sangat menentukan efeknya terhadap fungsi imun dan kesehatan. Stresor dapat terjadi secara akut (menit sampai jam) maupun berlangsung kronis (bulan sampai tahun). Stres akut atau
kronis
keseimbangan
saling
berpengaruh
kesehatan
atau
set
dalam point.
mempertahankan
taraf
Umumnya,
akut
stres
meningkatkan daya tahan stres dan sistem imun sedangkan stres kronis akan menurunkan kondisi kesehatan tubuh dengan penurunan atau diregulasi sistem imun (Dhabar & McEwen, 2007). Sel menerima sinyal ekstraseluler dan harus merespon dengan tepat. Sinyal dapat berupa sinyal kimiawi yaitu protein, neurotransmitter, steroid atau molekul larut lainnya, sinyal fisik seperti radiasi elektromagnetik (cahaya) dan panas. Berbagai macam sinyal tersebut mempengaruhi bahkan mampu mengubah fisiologi suatu sel, pada umumnya berupa aktivasi dan represi gen. Jalur sinyal mempunyai ikatan spesifik dengan protein reseptor, beberapa second messenger non protein seperti ion Ca2+, cAMP, cGMP, DG dan IP3 yang mengirimkan sinyal ke komponen seluler. Protein G berperan penting dalam jalur transduksi sinyal (Gambar 2.21) yang menentukan suatu sinyal bersifat stimulator atau inhibitor. Protein G trimerik mempengaruhi pori-pori ion dan enzim sehingga dapat membuka atau menutup dan enzim dapat distimulasi atau dihambat.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.21 Jalur Transduksi Sinyal Protein Ras (Stansfield, Colome & Cano, 2006) Jalur transduksi sinyal melibatkan aktivitas IP3 dan DG. Stimulus dapat berupa faktor pertumbuhan berikatan dengan reseptor membran sehingga mampu merubah protein G trimerik berdisosiasi sehingga menjadi aktif memicu PLC yang terikat pada membran dan menghidrolisis PIP2 dalam membran menjadi DG dan IP3. IP3 dapat berikatan dengan pori-pori ion Ca2+ retikulum endoplasma dan membran plasma membuka sehingga terjadi influks Ca2+ intraseluler. Ion Kalsium dan DG berikatan dengan pori-pori ion Ca2+ sehingga menjadi aktif dan memfosforilasi proteinprotein kinase lain. Koklea
mempunyai
batasan
tertentu
dalam
kemampuan
mempertahankan diri saat mengalami stres akibat pajanan bising yang berlebihan. Organ Corti memberikan respon dengan ditandai antara lain oleh ekspresi heat shock protein dan peningkatan aktivitas sistem proteksi dari antioksidan. Sel dapat terjadi kerusakan dan selanjutnya akan
Universitas Sumatera Utara
memicu kematian sel melalui proses apoptosis dan nekrosis. Apoptosis terjadi lebih dahulu pada sel beberapa hari kemudian setelah mengalami trauma bising (Schacht, Popper & Fay, 2008). Sel mempertahankan tekanan osmotiknya dengan keseimbangan berapa macam ion anorganik sehingga volume sel terjaga melalui aliran air. Sel menjadi edema bila tekanan osmotiknya meningkat karena transpor aktif atau degradasi makro molekul. Untuk itu diperlukan sintesis sejumlah bahan aktif osmotik yang disebut osmolit. Pada pajanan bising terjadi stres mekanis yang menyebabkan perubahan struktur protein. Dengan peningkatan vibrasi dari molekul maka temperatur bisa juga meningkat dan protein dapat mengalami denaturasi. Perubahan pada osmolit dalam sel akan memicu aktivasi dari protein kinase dan memberikan efek perubahan ke protein yang lain dengan fosforilasi (Gastael, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.22 Skema Mekanisme Beberapa Regulasi Aktivitas HSF-1 dan Heat Shock Response (Gastael, 2006)
Universitas Sumatera Utara
2.8.1 Heat shock response dan mekanisme pengaturannya melalui aktivasi HSF-1 Seperti yang telah dikemukakan di atas, HSR (Heat Shock Response) adalah reaksi sel dan organisme terhadap kenaikan suhu atau terhadap suatu paparan fisik dari lingkungan yang berlangsung secara tiba-tiba dan dalam jangka waktu tertentu, termasuk paparan bising (heat shock atau heat stress). Faktor pemicu stres yang berat (heat shock) dapat mengakibatkan kerusakan dan kematian sel, sedangkan pada dosis subletal dan heat stress hanya akan memicu reaksi seluler yang disebut heat shock response (Gambar 2.22) (Henderson, Hu & Bielefeld, 2008). HSR diatur pada tingkat transkripsi oleh suatu mekanisme yang melibatkan heat shock transcription factor (HSF). Pada manusia telah ditemukan 3 jenis gen HSF: HSF-1, HSF-2, HSF-4 dan yang paling berperan dalam modulasi HSR adalah HSF-1 (Henderson, Hu & Bielefeld, 2008). Pada kondisi normal, HSF dipertahankan dalam monomer yang tidak aktif. Pada organisme eukariotik, misalnya pada sel telinga manusia, ekspresi HSP dikaitkan dengan salah satu faktor transkripsi yang disebut HSF-1 (Csermely & Yahara, n.d.). Beberapa faktor yang dapat mengaktivasi HSF-1 diantaranya adalah adanya kesalahan dalam pelipatan protein sel, gangguan homeostasis sintesis protein dan perubahan kondisi potensial redoks intraselular yang biasanya diakibatkan karena adanya perubahan temperatur atau stres
Universitas Sumatera Utara
berupa paparan zat kimia dan kebisingan. Walaupun demikian, secara autoregulasi, aktivasi HSF-1 dapat dihambat oleh mekanisme umpan balik negatif melalui interaksinya dengan HSP-70 dan HSP-90 yang telah terbentuk pada jumlah/kadar tertentu di dalam plasma darah. Ekspresi HSP-90 dan HSP-70 yang tinggi pada suatu sel dan di dalam plasma darah akan mengakibatkan terminasi ekspresi gen heat shock, sehingga sintesis HSP-70 atau HSP-90 akan berhenti. Selain itu, HSF-1 juga dapat dihambat oleh mekanisme umpan balik melalui fosforilasi. HSF-1 difosforilasi pada residu serin di daerah regulator yang memodulasi daerah aktivasi pada suhu normal. Fosforilasi residu ini akan meningkat melalui stimulasi jalur protein kinase yang diaktivasi mitogen yang responsif pada faktor pertumbuhan dan berakibat pada inhibisi aktivitas HSF-1 sehingga kadarnya menjadi berkurang. Dengan berkurangnya aktivitas HSF-1 ini dapat diartikan bahwa HSR sudah berkurang sebagai akibat dari berkurangnya pajanan heat stress terhadap sel tubuh (Csermely & Yahara, n.d.).
Universitas Sumatera Utara
2.8.2 Heat shock protein dan molekul chaperon Tubuh membentuk sebagian besar protein yang diperlukan dengan struktur dan fungsi yang bermacam-macam. Mulai dari fungsi transpor (misalnya protein dalam hemoglobin), fungsi imunitas (sel-sel imun tubuh), perlindungan sel (protein membran sel, membran sel koklea dan organ Corti) dan fungsi lainnya. Selain fungsi yang bervariasi, protein di dalam tubuh juga memiliki beberapa struktur umum, yaitu struktur primer, sekunder, tersier dan kuartener (Gambar 2.23) (Liberman & Marks, 2009). Struktur primer terbentuk sesuai sekuens/urutan asam amino yang kemudian membentuk struktur tiga dimensi. Bila protein mengadakan suatu ikatan maka perlu melipat secara khusus, fleksibel dan stabil sehingga bisa berfungsi secara tepat dalam sel dan dapat didegradasi oleh
enzim.
Melalui
struktur
kuartener
memungkinkan
protein
mengadakan ikatan dengan molekul spesifik yang disebut dengan ligan sehingga protein makin stabil (Liberman & Marks, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.23 Struktur Umum Protein Secara Molekuler Pendamping sel tingkat molekuler (molekul chaperon) pada bakteri, mitokondria dan kloroplas merupakan protein yang besar dengan multi subunit yang mempercepat proses pelipatan dengan menyediakan lingkungan dimana polipeptida dapat terlipat menjadi konformasi yang asli dan membentuk struktur kuartener. Molekul chaperon ini adalah heat shock protein yang secara struktural terdiri atas 2 buah cincin subunit yang identik serta tersusun di sekeliling ruang sentral yang dapat menampung
polipeptida
berukuran
besar.
Pendamping
molekul
mendukung lintasan yang menghambat interaksi antar permukaan komplementer yang tidak tepat dan sebaliknya akan memperlancar interaksi yang tepat (Rodwell & Kennel, 2005).
Universitas Sumatera Utara
HSP adalah suatu protein (berbentuk molekul chaperon) yang dihasilkan karena adanya Heat Shock Response (HSR). HSR adalah suatu respon berbasis genetik untuk menginduksi gen-gen yang mengkode molekul chaperon, protease dan protein-protein yang penting dalam mekanisme pertahanan dan pemulihan terhadap jejas seluler yang berhubungan dengan terjadinya misfolded protein (pelipatan protein yang tidak lazim). HSR merupakan suatu tanggapan sel terhadap berbagai macam gangguan, baik yang bersifat fisiologik maupun yang berasal dari lingkungan (Henderson, Hu & Bielefeld, 2008). Dalam keadaan fisiologis, HSP berfungsi sebagai molekul chaperon dan membantu sintesa, pelipatan, pertemuan dan transport intraseluler berbagai protein. Ekspresi HSP meningkat dalam kondisi stres penuh seperti serangan hipertermi (panas) dan stimulus stres lainnya, termasuk iskemik, infeksi virus, terpapar bising, bahan toksik dan lain-lain (Widjaja, Santoso & Waspadji, 2009). Dalam literatur lain, HSP juga merupakan suatu molekul chaperon yang berfungsi untuk melindungi protein lain dari agregasi, melonggarkan protein yang beragregasi, membantu pelipatan protein baru atau pelipatan kembali protein yang rusak, mendegradasi protein yang rusak cukup parah dan dalam kasus kerusakan yang sangat berat, melakukan pemisahan kelompok protein yang rusak menjadi agregat yang lebih besar. HSP di dalam telinga khususnya sel koklea diinduksi setelah adanya pajanan bising yang berlebihan dari lingkungan. Ketika diinduksi oleh bising dengan tingkat tertentu, HSP menunjukkan adanya efek
Universitas Sumatera Utara
proteksi terhadap koklea dengan cara mempertahankan keutuhan struktur protein membran sel dan fungsi protein sel lainnya sehingga sel koklea tidak mengalami kerusakan setelah terpapar bising (Widjaja, Santoso & Waspadji, 2009). Klasifikasi HSP sangat banyak berdasarkan ukuran molekul dan fungsi masing-masing, diantaranya HSP-8, HSP-20, HSP-60, HSP-70, HSP-90, HSP-110.
Angka
yang
mengikuti
kata
HSP
menunjukkan
berat
molekulnya. Masing-masing dari jenis ini terkonsentrasi pada banyak spesies dan diproduksi sebagai respon dari stres pada sel. (Henderson, Hu & Bielefeld, 2008; Widjaja, Santoso & Waspadji, 2009). Pada saat stres, sel menemukan dirinya dalam kondisi yang menguntungkan bagi proses protein folding dan anggota HSP-70 diekspresikan pada tingkat yang lebih tinggi. Peningkatan ekspresi bantuan chaperon dalam perbaikan protein yang rusak oleh peristiwa stres tertentu merupakan petunjuk untuk sintesa polipeptida yang dibutuhkan untuk mengganti kerusakan yang tidak bisa diperbaiki lagi. Pada mamalia, satu partikel dari anggota HSP-70 (misalnya HSP-72) di ekspresikan sekali dalam satu waktu dan ekspresi tersebut berfungsi sebagai indikator penting bahwa suatu sel atau organ telah mengalami respon stres. Peningkatan kadar protein HSP-70 telah dikaitkan dengan penghambatan apoptosis serta resistensi sel untuk berbagai agen kemoterapi.
Universitas Sumatera Utara
2.8.3 Respon stres sel koklea dan organ Corti terhadap kebisingan Koklea
mempunyai
beberapa
jalur
pertahanan
terhadap
stres
lingkungan akibat bising dengan pajanan level tinggi. Secara fisiologis, sistem pendengaran akan merespon pajanan suara bising level tinggi ini dengan adanya gerakan refleks akustik telinga tengah dan mengaktifkan sistem olivary medial. Pada tingkat organ Corti, telinga melakukan heat shock response dengan mengaktifkan ekspresi faktor pertahanan sel, sehingga menghasilkan heat shock protein, khususnya HSP-70. Telinga juga meningkatkan aktivitas dari pertahanan tubuh melalui pengaruh antioksidan mencegah stres sel akibat pengaruh radikal bebas, seperti yang telah diteliti oleh Jacono, et al (1998) (Yang, et al., 2006). HSF-1 ini didapati pada organ Corti, stria vaskularis dan nervus auditorius pada koklea telinga mencit yang normal (Fairfield, Lomax & Dootz, 2005). Hingga kini telah diketahui hubungan antara HSF-1 yang mengatur ekspresi HSP sebagai respon pertahanan sel terhadap pajanan stres lingkungan yang menunjukkan kemungkinan HSF-1, khususnya meningkatnya sintesis HSP-70 yang terlibat dalam perlindungan sel koklea (Konings, Laer & Michael, 2009). Ketika telinga diinduksi oleh kebisingan dengan tingkat suara yang moderat dan nontraumatik, ekspresi HSP dengan meningkatnya ekspresi HSP-70 yang terbentuk dapat menahan kondisi telinga dari efek suara keras dan mengurangi resiko terjadi gangguan pendengaran, walaupun demikian ada variabilitas terhadap individu (Altschuler, Fairfield & Cho, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa penelitian menunjukkan tidak hanya ada peran HSP-70 dalam patogenesis tuli akibat bising, tetapi beberapa bukti penelitian lain juga menemukan karena HSP-70 dianggap sebagai antigen oleh tubuh, maka
reaksi
tubuh
juga
membentuk
antibodi
HSP-70
untuk
menetralisir/menghambat kerja HSP-70. Antibodi terhadap HSP-70 ini juga diduga kuat memiliki hubungan yang erat dengan patogenesis atau prognosis (atau keduanya) dari tuli sensorineural, namun masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Yang, dkk (2004) menemukan bahwa kadar HSP-70 lebih meningkat daripada HSP-60 pada para pekerja yang menderita tuli akibat pajanan bising (Fairfield, Lomax & Dootz, 2005). Xu (2002) dan Pockley (2003) mengemukakan bahwa beberapa jenis HSP yang telah dikenal dapat bertindak sebagai antigen asing bagi sistem imun tubuh sehingga menghasilkan suatu auto antibodi bagi kelompok HSP ini terutama pada pasien dengan penyakit inflamasi, penyakit autoimun, penyakit infeksi, hipertensi dan aterosklerosis. Sehingga auto antibodi HSP ini diduga kuat memiliki kontribusi yang signifikan terhadap patogenesis dan prognosis beberapa penyakit (Fairfield, Lomax & Dootz, 2005). Ada beberapa alasan terbentuknya antibodi terhadap HSP-70 di dalam tubuh, yaitu: (1) faktor genetika, (2) adanya infeksi bakteri dan virus, (3) adanya upaya denaturasi dan eliminasi HSP yang sebelumnya diinduksi adanya kerusakan sel, (4) adanya antigen dengan presentasi spesifik terhadap suatu limfosit di dalam tubuh. Pada kasus tuli akibat kebisingan, terbentuknya antibodi HSP-70 ini lebih mungkin disebabkan karena alasan
Universitas Sumatera Utara
untuk denaturasi dan eliminasi HSP yang terinduksi akibat pajanan bising dan adanya perubahan peran HSP-70 menjadi suatu antigen dengan presentasi spesifik terhadap limfosit sehingga menyebabkan mekanisme yang menyerupai patogenesis terjadinya penyakit autoimun (Fairfield, Lomax & Dootz, 2005) Adanya antibodi terhadap HSP-70 ini yang diduga dapat merusak protein yang lainnya dengan struktur yang mirip sehingga meningkatnya HSP-70 akan diikuti dengan peningkatan antibodi terhadap HSP-70 yang memiliki dampak terhadap protein sel lainnya yang mungkin saja mengganggu fungsi sel tubuh lainnya dalam jalur stres intraseluler, misalnya menyebabkan kekakuan pada silia berhubungan dengan tip links yang dapat meluas ke daerah basal melalui lapisan kutikuler sel rambut ataupun menyebabkan apoptosis pada sel rambut, sehingga akhirnya menimbulkan ketulian. Walaupun demikian, Yang (2004) menyatakan bahwa pengetahuan tentang hubungan antara terbentuknya auto antibodi terhadap HSP-70 yang diinduksi oleh pajanan bising serta peran auto antibodi HSP-70 dalam patogenesis terjadinya ketulian akibat bising ini masih sangat terbatas (Fairfield, Lomax & Dootz, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.9 Nuclear Factor Kappa B (NFκB) Nuclear factor kappa B merupakan faktor transkripsi yang dirangsang sebagai respon terhadap berbagai sinyal yang menyebabkan pada pertumbuhan, diferensiasi, respon inflamasi, regulasi apoptosis dan transformasi neoplastik dari sel (Nagashima, et al., 2005). NFκB mengatur ekspresi sitokin, faktor pertumbuhan dan enzim efektor sebagai respon terhadap ligasi berbagai reseptor yang terlibat dalam imunitas termasuk reseptor sel T (TCR), reseptor sel B (BCR), TNFR, CD-40, BAFFR, LTβR dan keluarga Toll/IL-1R. NFκB juga meregulasi ekspresi gen diluar sistem imun sehingga dapat mempengaruhi berbagai aspek fisiologi normal maupun penyakit. Penelitian akhir-akhir ini telah menitikberatkan pada peran NFκB pada perkembangan embrionik dan fisiologi jaringan (Hayden & Ghosh, 2004). Lima anggota keluarga NFκB pada mamalia adalah p65 (RelA), RelB, c-Rel, p50/105 (NFκB1) dan p52/p100 (NFκB2). Pada sel yang belum terstimulasi, NFκB berada dalam bentuk terikat homodimer atau heterodimer dengan protein keluarga IκB. Protein NFκB dicirikan dengan keberadaan 300 domain homolog Rel asam amino yang terdapat menuju terminus N protein dan bertanggung jawab terhadap dimerisasi, interaksi dengan IκB dan ikatan dengan DNA. Ikatan dengan IκB mencegah kompleks
NFκB-IκB
bertranslokasi
ke
nukleus
sehingga
tetap
mempertahankan NFκB pada keadaan inaktif (Hayden & Ghosh, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Setiap anggota golongan NFκB memiliki peranan penting pada respon yang dimediasi oleh LPS, misalnya tikus dengan subunit NFκB individual yang sedikit akan lebih rentan terhadap infeksi mikroba. Keterlibatan NFκB pada perkembangan dan fungsi sel dendritik juga telah diketahui. Tikus dengan RelB yang rendah menunjukkan gangguan perkembangan sel dendrite. Pada tikus yang defisien p50 dan p65 juga menunjukkan kerusakan
perkembangan
sel
dendrit.
Sel
yang
nekrotik
dapat
merangsang NFκB yang dirangsang oleh TLR-2 (Takeda, Kaisho & Akira, 2003). Pada sel yang tidak terstimulasi, NFκB tersebar pada sitoplasma melalui interaksi dengan IκB. Fosforilasi IκB menghasilkan konjugasi ubikuitin dan degradasi diikuti dengan translokasi kompleks NFκB terhadap nukleus dan aktivasi promoter yang mengandung sisi ikatan untuk faktor tersebut. Homolog ditemukan pada metazoan yang lebih tinggi dan seringkali diaktivasi sebagai komponen respon imun host terhadap mediator inflamasi dan jumlahnya banyak ditemukan di seluruh tubuh. Efektor yang dipengaruhi oleh sinyal NFκB seperti TNF-α diketahui meningkat pada beberapa keadaan, seperti pada keadaan DM tipe-2 dan penyakit jantung kongestif. Pada berbagai kasus diperkirakan bahwa reactive oxygen species atau sinyal lainnya terhadap patogen atau inflamasi dapat bertanggung jawab pada induksi aktivitas transkripsional (Adams, et al., 2009).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian tentang jalur sinyal NFκB banyak dilakukan dimana kebanyakan menyatakan bahwa NFκB menyebabkan dekstruksi jaringan sehingga sel yang terpengaruh olehnya akan mengalami kerusakan (Adams, et al., 2009). Berbagai stimulasi menyebabkan degradasi inhibitor NFκB diikuti dengan aktivasi NFκB. NFκB yang telah teraktivasi kemudian dapat ditranslokasi ke dalam nukleus dimana NFκB mengaktifkan gen target dengan berikatan dengan elemen κB afinitas tinggi pada promoternya. Perangsang
utama
NFκB
termasuk
stimulus
pro
apoptosis
dan
perangsang nekrosis, seperti oksigen radikal bebas dan radiasi UV (Nagashima, et al., 2005). Sinyal NFκB diperkirakan dapat terjadi melalui jalur klasik maupun alternatif. Pada jalur klasik, misalnya dirangsang oleh stimulasi sitokin pro inflamasi TNF-α, jalur sinyal menyebabkan aktivasi subunit β pada kompleks IκB kinase (IKK) yang kemudian memfosorilasi protein IκB pada dua residu serin terminal-N. Pada jalur alternatif IKKα diaktifkan dan memfosforilasi p100. IκB yang terfosforilasi dikenali oleh sistem ligase ubikuiton sehingga terjadi poliubikuitinasasi dan selanjutnya degradasi. Dimer NFκB yang bebas bertranslokasi ke dalam nukleus dimana mereka berikatan dengan sekuens spesifik pada promoter atau enhancer gen target. NFκB yang teraktivasi kemudian dapat diregulasi melalui berbagai mekanisme dan dikeluarkan ke sitosol (Hayden & Ghosh, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Berbagai jalur mengarah pada aktivasi NFκB. Hampir keseluruhan jalur-jalur ini berlanjut melalui aktivasi IKK, degradasi IκB dan dilanjutkan dengan aktivitas transkripsional NFκB. Namun ada perbedaan yang signifikan dalam aspek fundamental dari jalur-jalur ini, misalnya sinyal TNF-α melalui TNFR-1 menyebabkan aktivasi cepat IKK dan degradasi hampir komplit pada IκBα dalam 10 menit, sementara degradasi IκBα yang dirangasang melalui TCR memerlukan sekitar 45 menit. Lebih lanjut lagi respon NFκB individual dapat dicirikan sebagai gelombang aktivasi dan inaktivasi yang terus-menerus dari anggota keluarga NFκB (Hayden & Ghosh, 2004).
2.9.1 Peran NFκB akibat pengaruh bising pada koklea Semakin banyak bukti yang menujukkan bahwa ekspresi berbagai molekul pada dinding lateral koklea berperan penting pada respon stres akibat bising (Nagashima, et al., 2005). Banyak pertanyaan mengenai mekanisme aktif apa pada tingkat seluler yang memicu kerusakan sel rambut. Saat ini dipelajari bahwa stres oksidatif berperan penting untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pada pertengahan tahun 1990-an sejumlah penelitian menunjukkan adanya peningkatan Reactive Oxygen Species (ROS) dan beberapa radikal bebas toksik setelah paparan bising. Bising menimbulkan stres pada koklea secara
metabolik
dan
mekanik.
Pada
sel
rambut
bising
dapat
menyebabkan kerusakan mitokondria, eksitoksisitas pada hubungan antara sel rambut dalam dan serat saraf auditori aferen serta efek
Universitas Sumatera Utara
iskemi/reperfusi pada suplai darah koklea. Masing-masing respon ini akan menyebabkan peningkatan ROS. Pembentukan ROS dapat merusak DNA dan membran sel dan berfungsi sebagai pemicu apoptosis (Gambar 2.24) (Henderson, et al., 2006). ROS
memegang
mengeluarkan efek
peranan toksik
penting
pada
neurodegenerasi,
langsung melaui reaksi kimia. Secara
khususnya berperan dalam kematian sel di koklea (Green, Altschuler & Miller, 2008).
Gambar 2.24. Jalur Patologis Potensial Berhubungan dengan Kerusakan Koklea Akibat Paparan Bising (Henderson, et al., 2006)
Universitas Sumatera Utara
Pembentukan ROS memicu aktivasi transkripsional gen melaui beberapa faktor transkripsi seperti NFκB. NFκB adalah faktor transkripsi redoks sensitif yang berperan pada jalur apoptosis stress-induced pada sel neuronal maupun pada perkembangan normal sel (Nagashima, et al., 2005). Ada bukti yang menyatakan bahwa apoptosis dan nekrosis memegang
peranan
pada
gangguan
pendengaran
akibat
bising.
Perubahan apoptosis pada sel rambut luar chinchilla ditemukan 5 menit setelah paparan bising dan perubahan nekrosis terjadi setelah 30 menit paparan (Baguley & McCombe, 2006). Telah banyak dilaporkan tentang aktivasi NFκB di koklea setelah stres, termasuk paparan suara, pemberian zat ototoksik dan peradangan. Beberapa penelitian ini tidak menyatakan kelas sel mana yang mengaktivasi NFκB (Adams, et al., 2009). Penelitian Nagashima (2005), menemukan bahwa ikatan DNA NFκB tikus meningkat secara signifikan pada ekstrak nukleus 2-5 jam setelah paparan bising (125 dB SPL, 4 kHz selama 2 jam) dan kembali pada level basal setelah 12 jam. Pemeriksaan Imunohistokimia menunjukkan bahwa translokasi nuklear p65 dan p50 terjadi pada dinding lateral koklea setelah paparan bising. Hasil ini menunjukkan bahwa NFκB mungkin berperan dalam ekspresi gen sebagai respon dari stimulasi akustik berlebihan pada koklea tikus (Nagashima, et al., 2005).
Universitas Sumatera Utara
Satu penelitian melaporkan bahwa jalur NFκB berperan dalam survival sel rambut dan tidak terlibat pada kematian sel rambut luar akibat pemberian aminoglikosida yang diketahui dimediasi oleh ROS pada tikus dewasa. Pada penelitian ini dinyatakan bahwa perubahan redoks pada koklea merangsang aktivasi NFκB dan aktivasi ini melidungi sel pada kematian sel rambut akibat Kanamisin. Sebaliknya penelitian lain menunjukkan bahwa pada kerusakan dinding lateral koklea akibat Cisplatin dimediasi oleh NFκB melalui generasi NO oleh ekspresi nitrit oksida sintase baik di stria vaskularis dan stria ligamen (Nagashima, et al., 2005). Beberapa penelitian menemukan bahwa pada telinga dalam, golongan NFκB diperlukan untuk fungsi sel rambut normal, termasuk homeostasis Ca2+ dan jalur transduksi sinyal dapat merespon degan cepat terhadap stimulant ototoksik, seperti paparan suara dan obat ototoksik, untuk melindungi sel rambut dan sel ganglion spiral. Sebaliknya pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa overekspresi iNOS yang dirangsang oleh NFκB dianggap terlibat dalam kerusakan dinding lateral koklea dengan cara menghasilkan ROS dalam jumah yang banyak. Sebenarnya, peran sitoprotektif dari golongan NFκB pada telinga dalam tikus tidaklah lengkap atau tidak efisien terhadap overstimulasi akustik karena degenerasi sel rambut yang drastis terjadi (Nagashima, et al., 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.10 Toll-like Receptor (TLR) Sistem imun mendeteksi dan mengeliminasi mikroorganisme patogen dengan mendiskriminasi antara yang self dan non-self. Pada mamalia, sistem imun dapat dibagi menjadi dua, yaitu imunitas natural dan imunitas adaptif. Imunitas adaptif mendeteksi non-self melalui pengenalan antigen peptida menggunakan reseptor antigen yang terekspresi pada permukaan sel T dan sel B. Agar dapat merespon terhadap berbagai antigen potensial, sel T dan B mengatur ulang imunoglobulin dan reseptor sel T untuk menghasilkan lebih dari 1011 berbagai spesies reseptor antigen. Ikatan reseptor antigen melalui antigen cognate yang memicu perluasan klonal limfosit dan selanjutnya menghasilkan antibodi spesifik antigen. Sistem yang sangat canggih ini hanya dapat ditemui pada vertebrata dan merupakan sistem pertahanan yang poten terhadap infeksi mikroba. Sebaliknya sistem imunitas natural yang pertama kali dijelaskan lebih dari seabad yang lalu secara filogenetis ada pada semua organ multiseluler. Sistem imunitas adaptif banyak diteliti, namun imunitas natural lebih jarang diteliti. Oleh karena itu, mekanisme sistem imunitas natural mengenali non-self tidak diketahui hingga akhir-akhir ini. Namun identifikasi reseptor Toll-like pada mamalia telah membuat ahli imunologis sadar bahwa imunitas natural berperan penting dalam deteksi patogen yang menginvasi tubuh. Bukti terbaru menunjukkan bahwa Toll-like receptor mengenali pola spesifik komponen mikroba terutama dari patogen dan meregulasi baik imunitas natural maupun adaptif (Takeda, Kaisho & Akira, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Toll pertama kali diidentifikasi pada serangga sebagai reseptor yang penting untuk polaritas dorsoventral pada saat embriogenesis. Penelitian berikutnya juga menunjukkan bahwa Toll berperan pada sistem imunitas natural serangga. Homolog Toll mamalia kemudian dikenali melalui penelitian data sekuens genomik (Akira, 2003). TLR merupakan kelas Pattern Recognition Receptors (PRR) yang terbaru dan homolog dengan protein Toll Drosophila dan famili reseptor IL-1 manusia. Pengenalan PAMP oleh TLR baik tunggal maupun heterodimer dengan TLR yang lain atau dengan reseptor non TLR menginduksi produksi signal yang bertanggung jawab atas aktivasi gen yang diperlukan untuk memperoleh pertahanan tubuh yang efektif, terutama sitokin pro inflamasi (Maat, 2009). Ikatan antara TLR dengan patogen menghasilkan suatu signal untuk aktivasi dari respon imun natural melalui aktivasi dan transkripsi faktor NFκB yang merupakan regulator utama dari respon imun dan respon inflamasi (Maat, 2009). Pada spesies mamalia telah teridentifikasi 10 sampai 15 tipe TLR dengan fungsi yang berbeda dalam pengenalan imun alami, 13 diantaranya diberi nama berurutan mulai dari TLR-1 sampai TLR-13 teridentifikasi pada manusia dan mencit, dan bentuk ekuivalen dari TLR tersebut juga teridentifikasi pada spesies mamalia yang lain (Tabel 2.4).
Universitas Sumatera Utara
TLR memiliki spesifitas yang terbatas dibandingkan reseptor antigen lain dari sistem imun adaptif, akan tetapi TLR mampu mengenali banyak mikroba patogen dan diekspresikan pada banyak tipe sel seperti makrofag, sel dendritik, sel beta dan beberapa sel epitel tertentu yang mampu mengaktifkan respon antimikroba pada banyak jaringan (Murphy, 2012). TLR merupakan protein transmembran tunggal yang terdiri dari 18-25 kopi leucine-rich repeat (LRR) dan memiliki domain TIR (Toll-IL-1 Receptor) pada ekor sitoplasmanya yang mampu berinteraksi dengan domain tipe lainnya di dalam memberikan sinyal intraseluler. Di dalam proses sinyalisasi intraseluler, TLR diaktifasi oleh proses dimerisasi ligan yang akan menyebabkan domain TIR pada TLR melekat sehingga
domain
TIR
tersebut
mampu
berinteraksi
erat,
dengan
molekul adaptor hingga akhirnya sinyalisasi intraseluler dapat terjadi. Terdapat
empat
molekul
adaptor
TLR,
yaitu:
MyD88
(Myeloid
Differentiation Factor 88), MAL (MyD88 Adaptor-Like), TRIF (TIR DomainContaining Adaptor-Inducing IFN-β) dan TRAM (TRIF-Related Adaptor Molecule) (Murphy, 2012). Masing-masing TLR berinteraksi dengan kombinasi adaptor yang berbeda di dalam proses sinyalisasi intrasel. TLR-5, TLR-7, TLR-9 hanya dapat berinteraksi dengan MyD88. TLR-3 hanya berinteraksi dengan TRIF, sedangkan TLR tipe lainnya berinteraksi dengan dua adaptor secara
berpasangan
(MyD88
berpasangan
dengan
MAL,
TRIF
berpasangan dengan TRAM) (Murphy, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Ikatan heterodimer TLR-2 (TLR-1 dengan TLR-2, TLR-2 dengan TLR6) harus berinteraksi dengan MyD88 dan MAL, sedangkan TLR-4 harus berinteraksi dengan empat buah adaptor yang ada (Murphy, 2012). Terdapat dua domain protein pada MyD88 yang berperan dalam fungsinya sebagai adaptor, yaitu domain TIR pada rantai terminal karbon dan death domain (dinamakan demikian karena peranannya dalam apoptosis) pada rantai terminal amino. Domain TIR pada MyD88 berinteraksi dengan domain TIR dari TLR sedangkan death domain mengaktifasi dua serine-threonine protein kinase yakni IRAK4 (IL1Receptor Associated Kinase 4) dan IRAK1. Kompleks IRAK ini memerlukan TRAF6 serta TRICA1 di dalam membentuk bangunan rantai poliubikuitin yang selanjutnya akan mengaktifasi serine-threonine kinase TAK-1. TAK-1 memiliki aktifitas penting di dalam mengaktifasi MAPK seperti c-Jun terminal kinase (JNK) dan MAPK14 (p38MAPK) yang mampu mengaktifasi faktor transkripsi AP-1. TAK1 juga berperan penting di dalam proses fosforilasi dan aktifasi kompleks IκB kinase (IKK) yang mana terdiri dari tiga jenis protein: IKK α, IKK β dan IKK γ. IKK yang teraktifasi akan memfosforilasi IκB yang selanjutnya akan melepaskan NFκB dari ikatannya dengan IκB. Kemampuan TLR di dalam mengaktifasi NFκB ini memiliki peranan penting dalam sistem imun terhadap adanya bakteri patogen (Murphy, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Distribusi TLR pada Berbagai Tipe Sel (Murphy, 2012). Toll-like receptor
TLR 5
Ligand Lipomannans (mycobacteria) Lipoproteins (diacyl lipopeptides; triacyl lipopeptides) Lipoteichoic acids (Grampositive bacteria) Cell-wall β-glucans (bacteria and fungi) Zymosan (fungi) Double-stranded RNA (viruses) LPS (Gram-negative bacteria) Lipoteichoic acids (Grampositive bacteria) Flagellin (bacteria)
TLR-7
Single-stranded RNA (viruses)
TLR-8
Single-stranded RNA (viruses)
TLR-9
DNA with unmethylated CpG (bacteria and herpesviruses)
TLR-10
Unknown
TLR-1:TLR-2 heterodimer
TLR-2:TLR-6 heterodimer TLR-3 TLR-4 (plus MD2 and CD-14)
TLR-11 (mouse only)
Profilin and profilin-like proteins (Toxoplasma gondii, uropathogenic bacteria)
Cellular distribution Monocytes, dendritic cells, mast cells, eosinophils, basophils
NK cells Macrophages, dendritic cells, mast cells, eosinophils Intestinal epithelium Plasmacytoid dendritic cells, NK cells, eosinophils, B cells NK cells Plasmacytoid dendritic cells, eosinophils, B cells, basophils Plasmacytoid dendritic cells, eosinophils, B cells, basophils Macrophages, dendritic cells, liver, kidney and bladder epithelial cells
Lokasi kromosomal pada setiap gen TLR manusia telah ditentukan. TLR-1 dan TLR-2 terpetakan sangat dekat dengan 4p14, TLR-2 dan TLR-3 terpetakan pada 4q32, TLR-4 dan TLR-5 terpetakan pada 64q32-33 dan 1q33.3. TLR-7 dan TLR-8 terdapat secara tandem pada Xp22 dan TLR-9 terpeta pada 3p21.3 (Maat, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.25 Jalur Sinyal Toll-Like Receptor (Akira, 2003) Dalam beberapa tahun terakhir teridentifikasi ligan dari TLR, baik yang telah diketahui pasangannya maupun yang belum. Ligan TLR sangat bervariasi dalam struktur maupun asalnya (Tabel 2.5). Beberapa sifat yang mendasari adanya ligan TLR sebagian besar ligan TLR berupa produk mikrobial yang kompleks (PAMP) yang memberikan signal akan adanya infeksi. Banyak atau mungkin semua TLR dapat mengenali beberapa struktur yang tidak ada hubungannya dengan ligan. Beberapa TLR memerlukan protein asesori untuk mengenali ligannya walaupun mekanisme sesungguhnya pada pengenalan ligan oleh TLR belum diketahui
tuntas
tetapi
ada
beberapa
bukti
hasil
penelitian
mengindikasikan bahwa beberapa TLR mamalia mengenali ligannya dengan berikatan secara langsung sesuai dengan fungsi/sifat dari PRR (Maat, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Sel dendritik berperan kunci dalam memperantai antara imunitas natural dan adaptif karena fungsi tersebut sel dendritk dilengkapi dengan TLR yang komplit dan diperlukan maturasi dendritik guna mencapai aktifitas limfosit T yang efisien (Maat, 2009). Tabel 2.5 Pembagian TLR (Maat, 2009). TLRs
Major cell types
Current recognized igand
TLR1
Myeloid cells, T and B cells, NK
Forms heterodimers with
cells, endothelial cells, epithelial
TLR2 for bacterial tri-acyl
cells, keratinocytes
lipopeptide, OSP of Borrelia
Exogenous
Endogenous
spp. and other ligands TLR2
Myeloid cells, T and B cells,
Peptidoglycan from Gram-
HSP, HSP70, HSP96,
endothelial cells, epithelial cells,
positive bacteria, Mycoplasma
HMGB1
keratinocytes
lipopeptide LAM from Mycobacteria BCG, LTA, GXM and other fungal elements. LPS of leptospirosis and other spirochetes
TLR3
TLR4
Myeloid cells, T cells, NK cells,
Single-stranded viral RNA
endothelial cells, epithelial cells,
(ssRNA) and double-strand-
Self dRNA
keratinocytes, neurons
RNA (dsRNA)
Myeloid cells, NK cells, mast cells, T
BCG, LPS,lipoteichoic acid,
HSP22, HSP60,
cells, endothelial cells, epithelial
respiratory syncytial virus,
HSP70, HSP96,
cells, keratinocytes
fibronectin, heparin sulfate,
HMGB1, β-defensin 2
fusion protein, PTX (paclitaxel) TLR5
Myeloid cells, T cells, NK cells,
Flagellin from Gram-positive or
endothelial cells, epithelial cells,
Gram-negative bacteria
keratinocytes
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.26 Komponen Rantai Unik dari TLR-2 dan TLR-4 (Ganesh & Bharat, 2007). Adanya suatu infeksi makrofag oleh berbagai patogen menghasilkan up regulation dari beberapa gen yang diperlukan untuk membangkitkan respon imun yang efisien terhadap patogen. Hal yang sama terjadi seperti induksi komponen bakteri yang bersifat agonis terhadap TLR-2 atau TLR-4 yang membuktikan bahwa TLR berperan penting dalam memicu respon imun adaptif (Gambar 2.26) (Maat, 2009). Setelah
mendalami
peran
TLR
dalam
imunitas
natural
serta
lanjutannya terhadap imunitas adaptif terhadap berbagai macam penyakit, dikembangkan produk terapeutik melalui modifikasi dari ligan TLR guna mengubah dan meningkatkan bahkan menghambat signal yang dihasilkan dari pengenalan TLR untuk tujuan pengobatan penyakit inflamasi terutama bila terjadi inflamasi berlebihan yang biasa terjadi pada koklea (Maat, 2009).
Universitas Sumatera Utara
TLR-2 merupakan reseptor dari ligan-ligan endogen dan eksogen untuk berpartisipasi dalam respon imun.TLR-4 juga merupakan reseptor membran sel yang teraktivasi oleh stresor pajanan bising. NFkB merupakan protein yang terlibat dalam proses transkripsi gen yang menjadi sitokin pro inflamasi (TNF-α, IL), kemokin, molekul adhesi dan interferon. TLR-2 dan TLR-4 berperan sebagai reseptor eHSP-72 yang mengaktifkan sinyal inflamasi ke sel imun innate. Setelah terjadi ikatan eHSP-72 dengan makrofag maka terjadilah peningkatan Ca2+ intraseluler. Jaringan nekrotik memicu TLR-2 sebagai ligan endogen. Hubungan antara peningkatan respon TLR setelah trauma berat dan supresi imunitas melawan patogen dapat dimengerti dengan adanya ikatan kofaktor CD-14 dan LPS mengaktifkan reseptor TLR (Maat, 2009).
2.10.1 Peran TLR akibat pengaruh bising pada koklea Akhir-akhir ini diketahui bahwa Toll-like Receptor memegang peranan penting pada respon imun natural (Hirano, et al., 2002). Imunitas natural didefinisikan sebagai respon awal dan segera terhadap patogen. Imunitas ini juga dapat diaktivasi oleh sinyal stres termasuk kerusakan jaringan (Miyao, Firestein & Keithley, 2008). Paparan bising dan trauma akustik dinyatakan dapat mengaktivasi beberapa jalur di dalam koklea yang secara umum dihubungkan dengan sistem imunitas natural (Miyao, Firestein & Keithley, 2008). Fredelius & Rask-Anderson (1990) menemukan bukti adanya sel fagosit pada organ Corti hanya 5 hari setelah paparan bising. Dendrit makrofag ditemukan
Universitas Sumatera Utara
memfagositosis sel yang berdegenerasi dan debris pada saluran Corti dan pada sel rambut luar. Monosit yang bertransformasi pada daerah ini dan akumulasi leukosit pada pembuluh darah lamina spiral menunjukkan bahwa sel-sel ini berasal dari monosit darah. Monosit dapat menginfiltrasi koklea setelah akustik trauma atau inflamasi telinga bagian tengah. SLF pada koklea menunjukkan adanya induksi Monocyte Chemotactic Protein-1 (MCP-1). MCP-1 adalah suatu kemokin yang dihasilkan oleh berbagai sel termasuk sel endotel, sel otot polos, fibroblas dan makrofag. MCP-1 di up-regulasi oleh berbagai rangsangan seperti LPS bakteri, interleukin-1, TNF-α, gamma interferon dan lipoprotein. MCP-1 terlibat pada berbagai kelainan inflamasi. Telah diteliti sebelumnya bahwa sel sulkus luar koklea mengekspresikan TLR-4, yang menyebabkan regulasi IL-1β yang dirangsang oleh LPS pada telinga dalam. Namun tidak diketahui secara pasti jalur sinyal mana yang terlibat pada regulasi MCP-1 dependen TLR pada SLF koklea (Moon, et al., 2007). Toll-like
receptor
diketahui
mentransmisikan
sinyalnya
dari
permukaan sel sehingga mengaktivasi NFκB, MAPK p38 dan Jun-amino terminal kinase. TLR-2 dilaporkan sebagai regulator patogenesis pada otitis media. TLR-2 mendeteksi komponen Non Typeable Haemophylus Influenza (NTHI) dan mengaktifkan NFκB pada sel epitel manusia (Hirano, et al., 2002).
Universitas Sumatera Utara
Moon, et al (2007) menyatakan bahwa TLR-2 berperan pada regulasi monocyte chemotactic protein-1 di SLF koklea yang dirangsang oleh Non Typeable Haemophylus Influenzae, bakteri yang berperan pada otitis media. Aktivasi TLR oleh ligan spesifik ke telinga dalam dapat menyebabkan penarikan sel efektor sehingga mengakibatkan disfungsi telinga dalam (Moon, et al., 2007).
2.10.2 Efek curcumin terhadap TLR Curcumin memberikan efek anti inflamasi dengan menginhibisi kerja NFkB sehingga inflamasi yang disebabkan oleh TLR-4 dan MyD88 terhambat juga (Hyung, 2006). Curcumin yang merupakan suatu polifenol dapat mensupresi aktivasi NFkB yang diinduksi oleh pro inflamatori dengan menginhibisi aktivasi IKKp kinase dalam jalur dependen MyD88. Maka aktivasi TLR dan respon imun yang diinduksi molekul-molekul endogen atau infeksi kronis dapat dimodulasi oleh pemberian curcumin. Curcumin dapat meregulasi jalur sinyal inflamatori dari limfosit T sehingga menjadi target terapi dalam pengobatan autoimun yang diperantarai sel T (Lubbad, 2008). Non partikel curcumin menghambat jalur pro inflamasi Tip-DC dan ATM dalam hati dan mengurangi resistensi insulin (Wang, Hsieh & Yang, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Curcumin juga menghambat aktivitas IRF-3 yang diinduksi oleh LPS yang menunjukkan bahwa curcumin menghambat kedua jalur dependen MyD88 dan TRIF di LPS yang diinduksi sinyal TLR-4 (Hyung, 2006). Curcumin dapat mengatur metabolisme lemak yang memainkan peranan sentral (Alappat & Atif, 2010). TLR adalah protein transmembran tipe I yang merupakan regulator kunci dari kekebalan natural dan adaptif tanggapan pada mamalia yang dapat mengenali patogen berbeda terkait tanda molekul (Chearwae, Mo & Bright, 2007). Curcumin mampu menghambat sinyal aktivasi IRF-3 dan TLR-4 yang diinduksi oleh LPS dengan cara menangkap kedua faktor diferensiasi Myeloid 88 (MyD88) serta domain TIR yang mengandung adaptor yang mampu menginduksi jalur IFN-B (TRIF). Akan tetapi, curcumin tidak mampu menghambat sinyal aktivasi IRF-3 pada sel 293T yang disebabkan oleh peningkatan ekspresi TRIF (Ganesh & Bharat, 2007). Dalam beberapa studi yang menggunakan sel mesotel peritoneum dari tikus strain C3H/HeN, curcumin terbukti mampu menekan kadar NFkB yang diinduksi oleh lipid A, MCP-1 dan MIP-2 mRNA, menyiratkan peranannya dalam proses sinyalisasi TLR-4. Dalam percobaan pada tikus strain C3H/HeN lainnya, makrofag limfa yang diterapi dengan curcumin diketahui mampu menghambat ekspresi mRNA TLR-2 yang diinduksi oleh LPS dan aktivasi NFkB (Ganesh & Bharat, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Curcumin bertindak sebagai pengikat radikal bebas dan antioksidan, menghambat peroksidasi lipid dan kerusakan DNA oksidatif. Curcumin mampu menginduksi sintesis glutathione S-transferase dan merupakan inhibitor yang poten di dalam menghambat enzim Sitokrom p450. Sebuah studi pada tikus yang dilakukan UCLA pada tahun 2004 menunjukkan curcumin dapat menghambat akumulasi beta amiloid yang mampu merusak otak penderita Alzheimer dan juga berperan sebagai anti depresan, memiliki efek positif terhadap proses neurogenesis di hipokampus dan faktor neurotropik, yang mana keduanya dapat mengurangi stres, depresi dan kecemasan (News-Medical, 2010). Kemampuan sel imunosensori untuk membedakan antara bakteri patogen dengan bakteri komensal dilakukan oleh sistem PRR (Pattern Recognition Receptor) yang meliputi TLR (Toll-like Receptor). PRR berperan dalam mengaktivasi sel imun dalam memberi respon terhadap pola molekuler mikroba spesifik (Maat, 2009).
2.11 Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) MMP-9 pertama kali diidentifikasi pada vertebra oleh Jerome Gross dan Charles M. Lapiere pada tahun 1962 yang meneliti degradasi kolagen triple-helical selama metamorfosis kecebong (Krizkova, et al., 2011). MMP disebut juga matriksin merupakan endopeptidase zinc-dependent yang merupakan protease utama yang terlibat dalam proses degradasi Extra
Cellular
Matrix
(ECM).
MMP
memiliki
kemampuan
untuk
mendegradasi sejumlah besar molekul ekstra selular dan sejumlah
Universitas Sumatera Utara
molekul bioaktif. Sebanyak 24 matriksin telah diidentifiksi pada manusia, dan dapat dikelompokkan dalam enam grup berdasarkan organisasi dan ketertarikan substrat yakni: collagenases (MMP-1, -8, dan -13), Gelatinase (MMP-2, dan MMP-9), Stromeolysins (MMP-3, MMP-10 dan MMP11), Matrilysin (MMP-7 dan MMP-26), Membran-type (MT)-MMP (MMP-14, MMP-15, MMP-16, MMP-17, MMP-24, dan MMP-25) dan yang lain (MMP12, MMP-19, MMP-20, MMP-21, MMP-23, MMP-27, dan MMP-28). Aktivitas MMP diregulasi oleh dua endogenous inhibitor utama yakni: alpha2-macroglobulin dan tissue inhibitors of metalloproteases (TIMPs) (Gambar 2.27) (HUGO Gene Nomenclature Committee, 2011).
Gambar 2.27 Struktur MMP-9 (HUGO Gene Nomenclature Committee, 2011) MMP, cysteine proteinases, aspartic proteinases dan serine proteinase merupakan enzim proteolisis yang terlibat dalam degradasi matriks ekstraseluler dan membran basal (Amalinei, et al., 2010). MMP merupakan famili zinc dependent endopeptidase, kumpulan besar enzim yang bertanggung jawab terhadap remodelling jaringan dan degradasi
Universitas Sumatera Utara
berbagai komponen dari matriks ekstraseluler, termasuk kolagen, elastin, gelatin, matriks glikoprotein dan proteoglikan (Verma & Hansch, 2007; Cao & Zucker, 2007; Angulo, et al., 2011). Saat ini terdapat lebih dari 26 anggota keluarga MMP dan semuanya dapat dikelompokkan berdasarkan strukturnya (Amalinei, et al., 2010). Struktur MMP secara garis besar terdiri dari: 1) sinyal peptida yang mengarahkan MMP untuk mensekresi atau jalur insersi membran plasma; 2) prodomain; 3) katalitik domain berikatan dengan zinc; 4) domain hemopexin yang menjadi perantara interaksi dengan substrat dan enzim spesifik; 5) regio hinge yang berhubungan dengan katalitik dan domain hemopexin (Gambar 2.28) (Cao & Zucker, 2007).
Gambar 2.28 Struktur MMP (Gill & Parks, 2011) MMP secara garis besar terbagi menurut spesifisitas substrat, persamaan rangkaian dan organisasi domain, dibagi menjadi enam grup, yaitu: Kolagenase, Gelatinase, Stromelysin, Matrilysin, Membran-type MMPs Transmembran, MMP lainnya (Tabel 2.6).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.6 Grup MMP (Charoenrat, Rhys-Evans & Eccles, 2001) ENZIM Kolagenase : • Kolagenase - 1 • Kolagenase - 2 • Kolagenase - 3 Gelatinase : • Gelatinase - A • Gelatinase - B Stromelysin : • Stromelysin – 1 (progelatinase) • Stromelysin – 2 • Stromelysin – 3 Matrilysin : • Matrilysin – 1 (uterine matrilysin) • Matrilysin – 2 (endometase) Membrane-type MMPs Transmembrane : • MT1 – MMP • MT2 – MMP • MT3 – MMP • MT5 – MMP • MT4 – MMP • MT6 – MMP (leukolysin) Lainnya : • Macrophage elastase • RASI–1 • • • • • •
Enamelysin XMMP (Xenopus)/Cy–MMP (Cynops) Femalysin CA–MMP CMMP (Gallus) Epilysin
MMP MMP - 1 MMP - 8 MMP – 13 MMP – 2 MMP – 9 MMP – 3 MMP – 10 MMP – 11 MMP – 7 MMP – 26 MMP – 14 MMP – 15 MMP – 16 MMP – 24 MMP – 17 MMP – 25 MMP – 12 MMP – 19 (MMP – 18) MMP – 20 MMP – 21 (MMP – 23A) MMP – 22 MMP – 23 MMP – 27 MMP – 28
Antara kondisi fisiologis dan patologis, ekspresi MMP akan cepat terangsang ketika remodelling jaringan diperlukan. MMP mempunyai peranan pada embriogenesis dan kondisi fisiologis lainnya seperti proliferasi, motilitas sel, remodelling, penyembuhan luka dan proses reproduksi seperti ovulasi, implantasi embrio, proliferasi endometrium, involusi uterus, payudara serta prostat (Amalinei, Caruntu & Balan, 2007)
Universitas Sumatera Utara
MMP diekskresikan oleh bermacam connective tissue dan sel pro inflamasi termasuk fibroblas, osteoblas, sel endotelial, makrofag, neutrofil dan limfosit (Verma & Hansch, 2007). Ekspresi aktivasi MMP dapat dikontrol pada tingkat transkripsi gen oleh aktivasi pro enzim dan inhibitor spesifik dan non spesifik. Kebanyakan MMP disekresi sebagai proenzim laten (inactive zymogen) yang mengalami pemecahan proteolisis di amino-terminal domain saat aktivasi (Charoenrat, Rhys-Evans & Eccles, 2001; Amalinei, Caruntu & Balan, 2007). Secara kolektif, kesemua famili MMP dapat mendegradasi semua komponen matriks ektraseluler dan membran basalis epitel. Masingmasing komponen matriks ekstraseluler dapat dipecah oleh kelompok MMP atau MMP yang spesifik (Ahmed & Mohammed, 2011). MMP merupakan famili dari metaloenzim zink yang merupakan konten turunan matriks ekstraseluler unmineralized yang mendegradasi bagian dari ekstraselular matriks. Produksi dan sekresi MMP merupakan faktor penting pada berbagai proses tissue remodelling seperti proses embriogenesis, invasi dan metastasis sel tumor, proses penyembuhan luka dan proses inflamasi. Dalam proses inflamasi dengan pembentukan tulang, seperti periodontis dan lainnya telah menunjukkan adanya peran MMP-9 (92 kDa gelatinase) dan MMP-2 (72 kDa gelatinase) dimana kedua enzim tersebut turunannya adalah membran basilaris Kolagen Tipe IV (Schmith, Grunsfelder & Hoppe, 2001).
Universitas Sumatera Utara
MMP berperan pada beberapa proses patofisiologi yang kompleks, antara lain: Destruksi jaringan, misalnya pada invasi dan metastasis kanker, reumatoid artritis, osteoartritis, ulkus dekubitus, ulser gastrikus, ulserasi kornea,
penyakit
periodontal,
kerusakan
otak
dan
penyakit
neuroinflamasi. Fibrosis, misalnya pada sirosis hepatis, fibrosis paru, otosklerosis, aterosklerosis dan multiple sclerosis. Kelemahan matriks, misalnya pada kardiomiopati dilatasi, aneurisma aorta dan epidermiolisis bulosa. Dari keseluruhan jenis MMP yang pernah ditemukan sampai sekarang ini, jenis Gelatinase dalam hal ini MMP-2 dan MMP-9 merupakan enzim utama untuk mendegradasi Kolagen Tipe IV, V, VII, X, XI dan XIV, gelatin, elastin, proteoglycan core protein, myelin basic protein, fibronektin, fibrilin1 dan prekursor TNF-α dan IL-1b dan mampu memecah Kolagen Tipe I, komponen utama yang membentuk struktur molekul stroma (Petruzzeli, 2000; Charoenrat, Rhys-Evans & Eccles, 2001). MMP-2 dan MMP-9 adalah
jenis
enzim
sering
diteliti
dan
dipelajari
karena
sangat
berhubungan dalam pertumbuhan dan perkembangan sel kanker (Decock, et al., 2008). Ekspresi MMP-2 dan MMP-9 mempunyai peranan dalam karakter invasi sel melalui kemampuannya untuk mendegradasi Kolagen Tipe IV yang merupakan komponen utama membran basal (Yoshizaki, et al., 1998).
Universitas Sumatera Utara
MMP-9 (92-kDa gelatinase) membelah N-terminal telopeptide Kolagen Tipe I yang berperan dalam remodelling kolagen matriks ekstraseluler. Enzim
ini
diproduksi
oleh
makrofag
alveolar
normal,
leukosit
polimorfonuklear, osteoklas, keratinosit dan trofoblas (Amalinei, Caruntu & Balan, 2007). Peranan MMP dilakukan dengan regulasi sitokin, growth factor, dan cell
adhesion
molecules.
MMP-3,
MMP-7,
MMP-9
dan
MMP-19
melepaskan IGF (Insulin-like Growth Factor) yang menstimulasi proliferasi tumor.
Permukaan
yang
telah
berikatan
dengan
MMP-9
akan
mengaktifkan TGF-β yang berperan dalam invasi tumor dan angiogenesis. MMP-2, MMP-3, MMP-7, MMP-9, MMP-12, MMP-13 dan MMP-20 melepas angiostatin selain itu MMP-3, MMP-7, MMP-9 dan MMP-19 juga melepas VEGF yang menstimulasi angiogenesis tumor (Amalinei, et al., 2010). Matriks ekstraseluler yang berfungsi mempertahankan elastisitas dari membran basalis terletak di organ Corti, mempunyai peran penting dalam proses transduksi suara. Selama terjadi proses tranduksi suara terdapat perubahan getaran mekanis menjadi gelombang listrik sehingga dapat diteruskan ke pusat pendengaran. Pajanan bising berpotensi sebagai sumber stresor bagi organ koklea di telinga bagian dalam karena strukturnya halus dan peka terhadap stresor. Trauma bising yang berlebihan dilaporkan menyebabkan disosiasi organ Corti, kerusakan stereosilia dan sel rambut sehingga menyebabkan proses transduksi suara yang diteruskan menjadi terhambat (Purnami, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Pada keadaan pajanan bising yang berlebihan akan mempengaruhi fibroblas koklea. Perubahan yang terjadi pada fibroblas akan berpengaruh pada kolagen dan dapat mengganggu fungsi pendengaran (Purnami, 2009). Protein MMP-2 dan MMP-9 diekspresikan di koklea pada 3 lokasi; organ Corti, ganglion bagian spiral dan stria vaskularis. Ekspresi gen MMP-2 secara merata tersebar di koklea, sedangkan ekspresi mRNA terutama sekali tinggi pada ganglion bagian spiral. Komposisi dari matriks ekstraselular memiliki peran penting dalam telinga dalam agar dapat bekerja secara baik, terutama organ Corti.
2.12 Kolagen Kolagen adalah suatu makromolekul yang merupakan komponen utama dari matriks ekstraseluler dengan kandungan protein yang paling besar pada tubuh manusia. Kolagen memiliki daya renggang yang kuat serta lentur (Purnami, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Kolagen berbeda dengan protein lainnya karena molekulnya terdiri atas tiga rantai polipeptida (rantai α) yang membentuk suatu susunan tripel heliks yang unik (Gambar 2.29). Agar ketiga rantai ini dapat secara tepat berkaitan menjadi suatu tripel heliks, mereka harus memiliki asam amino terkecil yaitu glisin pada residu ketiga ditiap rantainya. Rantai ini mengandung Gly-X-Y yang diulang dimana X dan Y bisa dalam bentuk asam amino apa saja, namun biasanya lebih sering berbentuk proline atau hydroproline. Saat ini, ada sebanyak 25 jenis kolagen telah dapat diidentifikasi (Daniels, 2006). Kolagen Tipe I adalah tipe yang paling banyak dijumpai. Kolagen tipe I, II, III, V dan XI adalah kolagen pembentuk fibrin. Fibrin kolagen yang utama biasanya adalah gabungan dari beberapa tipe kolagen (Daniels, 2006). Basal membran dari organ Corti dibentuk oleh Kolagen Tipe IV, kapsul koklea bagian tulang oleh Kolagen Tipe I dan membran tektorial mengandung Kolagen Tipe II, V, IX dan XI. Dinding lateral koklea terdapat Kolagen Tipe I, II, III dan IV. Diketahui bahwa kerusakan terjadi terutama pada Kolagen Tipe IV yang mana paling rawan terhadap efek bising (Purnami, 2009). Fibrilogenesis dari kolagen diartikan sebagai endapan molekul kolagen yang larut (pro kolagen) dan pengaturan susunan serat setelahnya. Retikulum endoplasma dari sel adalah tempat dimana pembentukan kolagen dimulai (Daniels, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Pro kolagen ini mengandung telopeptida yang berguna dalam penggabungan kolagen dan pembentukan mata rantai. Kombinasi dari tiga rantai pro-α membentuk prokolagen tripel heliks. Pro kolagen tripel heliks ini kemudian ditranspor ke membran seluler oleh vesikel sekretori dan disekresikan ke matriks ekstraseluler. Tripel heliks ini larut dalam matriks ekstraseluler. Pro kolagen kemudian diubah menjadi kolagen oleh pecahan enzimatik yang spesifik pada ujung pro peptida dengan pro kolagen C-proteinase dan/atau pro kolagen N-proteinase. Setelah perpecahan terjadi, daya larut menjadi menurun dan polimerisasi dari fibril kolagen dimulai. Molekul kolagen terpolimerasi secara longitudinal dan terpisah secara lateral. Fibril kolagen distabilkan oleh mata rantai kovalen yang dimulai oleh enzim lisil oksidase (Daniels, 2006). Pro kolagen tripel heliks memiliki diameter 1.5 nm dan panjang 300 nm. Gabungan dari 5 tripel heliks disebut five-stranded Smith microfibrils, merupakan susunan filamen dengan diameter 4 nm ikatan serat dilaporkan sama panjangnya dengan beberapa ratus mikrometer (Daniels, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Degradasi kolagen terbentuk dari enzim yang terdegradasi. MMP membentuk kelas utama dari enzim pendegradasi kolagen. MMP dapat dibagi
menjadi
empat
kelompok
tergantung
dari
kekhasan
dan
strukturnya. Kelompok pertama, Kolagenase, dapat memecah kolagen fibrilar (contohnya kolagen tipe I, II dan III). Kolagenase pada mamalia memecah kolagen setelah residu Gly dari rangkaian parsial Gly-[Ile atau Leu]-[Ala atau Leu] pada ¾ dari ujung akhir triple heliks. Hasilnya pada ¼ dan ¾ fragmen kolagen membuka lipatan tripel heliks dan menjadi rantai α tunggal yang disebut gelatin (Daniels, 2006). Gelatin didegradasi oleh MMP kelompok kedua Gelatinase. Kelompok ketiga adalah Stromelisin. Kelompok ini aktif terhadap beberapa tipe kolagen dan berspektrum luas terhadap komponen matriks ekstraseluler lain. Kelompok keempat MMP mendegradasi beberapa komponen matriks ekstraseluler dan dapat mengaktifkan kelompok MMP lainnya (Daniels, 2006).
Gambar 2.29 Kolagen: Rantai-α, Tripel Heliks, Fibril dan Serat
Universitas Sumatera Utara
2.13 Kunyit Kunyit (Curcuma longa) merupakan salah satu tanaman rempah sekaligus tanaman obat-obatan. Habitat asli tanaman ini adalah wilayah Asia, khususnya Asia Tenggara. Tanaman ini kemudian mengalami persebaran ke daerah Indonesia, Malaysia, Thailand, Cina, India, Vietnam, Taiwan, Filipina, Australia bahkan Afrika. Kunyit dapat tumbuh di berbagai tempat, tumbuh liar di ladang, di hutan (misalnya hutan jati) ataupun ditanam di pekarangan rumah, di dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian 200 m di atas permukaan laut. Selain itu, kunyit dapat tumbuh dengan baik di tanah yang baik tata pengairannya, curah hujannya cukup banyak. Selain untuk rempah, kunyit juga ditanam secara monokultur yang kemudian diekspor untuk bahan obat-obatan. Dalam taksonomi tanaman kunyit diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Curcuma
Jenis
: Curcuma longa L.
(Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2001)
Universitas Sumatera Utara
Beberapa nama kunyit yang dikenal di Indonesia adalah sebagai berikut: Sumatera: kakunye (Enggano); kunyet (Aceh); kuning (Gayo); hunik (Batak); under (Nias); kunyit (Melayu); kunir (Lampung). Jawa: kunyir, konengtemen (Sunda), konye, temokoneng (Madura). Kalimantan: kunit, janar (Banjar); cahang (Dayak Penabung). Sulawesi: uinida (Talaut); awalahu (Gorontalo);
panigon (Toli-toli);
uni
kuni (Toraja);
kunyi
(Makassar); unyi (Bugis); nuyik (Mandar). Maluku: unim (Goram); unine (Seram Barat); gogohoki (Halmahera); guraci (Ternate). Papua: rame (Kapaur); nikwai (Windesi) (Dirjen POM, 1977).
2.13.1 Morfologi tumbuhan Kunyit merupakan tumbuhan tanaman yang tumbuh merumpun, berbatang basah dan merupakan batang semu yang tersusun atas pelepah-pelepah daun yang saling menutup dan membentuk batang yang tingginya mencapai 0.75-1 m. Bagian-bagian penyusun daun adalah pelepah daun, gagang daun dan helai daun. Panjang helai daun antara 31-84 cm sedangkan lebar daun antara 10-18 cm. Bagian helai daun buah memanjang. Pertulangan daun menyirip. pinggir helaian daun rata, ujung daun runcing atau melengkung menyerupai ekor, dilengkapi warna daun hijau muda tersusun dalam karangan bunga (inflorescentia). Bunga biasanya muncul dari ujung batang semu. Panjang bunga antara 10-15 cm. Bunganya merupakan bunga majemuk berwarna merah, putih atau kuning pucat dengan pangkal berwarna putih. Bunga-bunga ini biasanya mekar bersamaan. Bentuk rimpang bulat atau bulat memanjang dan
Universitas Sumatera Utara
memiliki akar serabut. Rimpang kunyit mempunyai dua bagian yaitu induk kunyit atau umbi utama dan tunas atau cabang rimpang. Jumlah tunas umumnya banyak, tumbuh mendatar atau melekung, serta berbuku-buku pendek, lurus atau melengkung. Warna kulit rimpang adalah jingga kecoklatan atau berwarna terang agak kuning sampai agak kehitaman. Warna daging jingga kekuningan dilengkapi dengan bau khas dan rasanya agak pahit dan pedas (Nugroho, 1998).
2.13.2 Sifat kimia, fisika, zat aktif dan khasiat kunyit Rimpang dimanfaatkan
kunyit dalam
merupakan pengobatan
bagian dimana
terpenting
yang
mengandung
banyak beberapa
komponen antara lain minyak atsiri, pigmen, zat pahit, resin, protein, selulosa, pentosa, pati dan elemen mineral. Salah satu komponen kimia dalam kunyit yang berkhasiat sebagai obat adalah curcuminoid. Pigmen curcuminoid merupakan satu kelompok zat yang terdiri dari campuran senyawa-senyawa curcumin (yang paling dominan), demethoxycurcumin dan bisdemethoxycurcumin (Sidik, Mulyono & Ahmad, 1995). Mills dan Bone (2000) mengemukakan bahwa curcumin yang terkandung dalam curcuminoid bekerja sebagai anti inflamasi kronis dan akut. Curcumin dapat menghambat pelepasan asam arakidonat dari membran fospolipid sehingga sekresi enzim 5 lipoksigenase dan siklooksigenase berkurang. Berkurangnya enzim-enzim ini menyebabkan produksi leukotrien dan prostaglandin yang merupakan mediator peradangan juga berkurang (Mycek, Harvey & Champe, 1997).
Universitas Sumatera Utara
2.13.3 Kandungan kunyit Kunyit mengandung protein (6.3%), lemak (5.1%), mineral (3.5%), karbohidrat (69.4%) dan moisture (13.1%) (Tabel 2.7). Terdapat minyak esensial (5.8%) yang diperoleh melalui distilasi uap dari rhizome/ rimpang tanaman kunyit yang mengandung phellandrene (1%), sabinene (0.6%), cineol (1%), borneol (0.5%), zingiberene (25%) dan sesquiterpenes (53%). Curcumin (diferuloylmethane) (3-4%) membuat warna rhizoma kunyit menjadi kuning dan terdiri dari curcumin I (94%), curcumin II (6%) dan curcumin III (0.3%). Derivat dari curcumin berupa demethoxycurcumin, bisdemethoxycurcumin dan curcumenol juga diperoleh melalui distilasi uap rimpangnya (Chattopadhyay, et al., 2004).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.7 Komposisi Kimia Kunyit Komponen Kadar Air (%) Bahan Kering (%) Abu (%) Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) Karbohidrat (%) Energi Bruto (kal) Minyak Atsiri Curcumin (%) Fe (mg/100 g)
1 13.1 3.5 6.3 5.1 12.6 69.4 1.3-6 0.5-6 3.30
2 80.49* 19.51* 6.93* 8.21* 7.5* 18.02* 4250.0 5.4** -
Sumber: 1 = Purseglove, Brown, Green and Robbins, 1981 2 = * Hasil Analisis Laboratorium Akademi Kimia Analis Bogor (2004) ** Hasil Analisis Laboratorium Balai Besar Pasca Panen, Cimanggu Bogor (2004) 2.13.4 Manfaat kunyit Di Indonesia, khususnya daerah Jawa, kunyit banyak digunakan sebagai ramuan jamu karena berkhasiat menyejukkan, membersihkan, mengeringkan, menghilangkan gatal dan menyembuhkan kesemutan. Manfaat utama tanaman kunyit yaitu sebagai bahan obat tradisional, bahan baku industri jamu dan kosmetik, bahan bumbu masak, peternakan dan lain lain. Di samping itu rimpang tanaman kunyit juga bermanfaat sebagai analgetika, anti inflamasi, antioksidan, anti mikroba, pencegah kanker, anti tumor dan menurunkan kadar lemak darah dan kolesterol, serta sebagai pembersih darah (Olivia, Alam & Hadibroto, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Curcumin atau diferuloylmethane merupakan suatu pigmen kuning dari kunyit digunakan sebagai bumbu dan pewarna alami makanan. Selain itu juga memiliki aktivitas anti inflamasi dan antioksidan. Terdapat efek yang menguntungkan pada suatu penelitian eksperimental pada tikus yang dibuat kolitis dengan induksi 2,4,6-trinitrobenzene sulphonic acid, yang merupakan model dalam penyakit inflamasi usus (Ukil, et al., 2003). Kemanjuran curcuminoid dalam kunyit untuk menghambat respon inflamasi
mikrovaskular
hepatic
oleh
lipopolysacharide
ditunjukkan
menggunakan tikus BALB/C. Penelitian tersebut menggunakan agen anti inflamasi alternatif alami (Lukita-Atmadja, et al., 2002) Kunyit dapat menambah nafsu makan (Darwis, Madjo & Hasiyah, 1991)
dan
digunakan
sebagai
bumbu
masakan
karena
kunyit
mengandung curcumin yang pada kadar tertentu dapat meningkatkan palatabilitas,
tetapi
jika
diberikan
berlebihan
dapat
menurunkan
palatabilitas makanan (Sambaiah, et al., 1982). Berdasarkan hasil penelitian, kunyit memiliki efek farmakologis melancarkan darah dan vital energi,
anti
radang
(anti
inflamasi),
anti
bakteri,
memperlancar
pengeluaran empedu (kolagogum) dan pelembab (astringent). Rukmana (2004), mengemukakan bahwa kunyit juga berkhasiat peluruh empedu (kolagoga), penawar racun (antidotum), penguat lambung dan penambah nafsu
makan.
Di
bidang
peternakan,
kunyit
dimanfaatkan
untuk
menambah cerah atau warna kuning kemerahan pada kuning telur. Disamping itu jika dicampurkan pada ransum ayam dapat menghilangkan bau kotoran ayam dan menambah berat badan ayam.
Universitas Sumatera Utara
Dalam bidang keamanan pangan, minyak atsiri kunyit memberikan efek anti mikroba, sehingga dapat mengawetkan makanan (Winarto 2003). Beberapa zat aktif kunyit dengan efek farmakologis disajikan pada Tabel 2.8 berikut: Tabel 2.8 Efek Farmakologis Zat Aktif yang Terkandung dalam Rimpang Kunyit Zat aktif
Efek farmakologis
Caffeic acid
Merangsang semangat, penyegar, mengurangi rasa lelah, anti radang, anti kejang, dan antioksidan
L-α dan L-β curcumae
Penyegar
Guanicol
Menurunkan kepekaan saraf peraba dan menekan batuk
Protochatechuic acid
Merangsang daya tahan tubuh
Ukanon A, B, C dan D
Merangsang daya tahan, stamina dan kekebalan tubuh
Zingiberene
Feromon (zat pengharum obat atau tanaman)
Sumber: Karyasari diacu dalam Winarto, 2003 Curcuminoid adalah kelompok senyawa fenolik yang terkandung dalam rimpang tanaman famili Zingiberaceae antara lain: Curcuma longa syn. Curcuma domestica Val. (kunyit) dan Curcuma xanthorrhiza (temulawak). Curcuminoid bermanfaat untuk mencegah timbulnya infeksi berbagai penyakit. Kandungan utama dari curcuminoid adalah curcumin yang
Universitas Sumatera Utara
berwarna kuning. Kandungan curcumin di dalam kunyit berkisar 3-4% (Eigner & Schulz, 1999; Joe, Vijaykumar & Lokesh, 2004). Tiga varietas unggul kunyit yang telah dilepas Balittro memiliki kadar curcumin cukup tinggi yaitu 8.7%. Curcumin (C 12 H 20 O 6 ) atau diferuloylmethane (Gambar 2.30) pertama kali diisolasi pada tahun 1815 (Gambar 2.30). Kemudian tahun 1910, curcumin didapatkan berbentuk kristal dan bisa dilarutkan tahun 1913. Curcumin tidak dapat larut dalam air, tetapi larut dalam etanol dan aceton (Araujo & Leon, 2001; Joe, Vijaykumar & Lokesh, 2004; Chattopadhyay, et al., 2004).
Gambar 2.30. Struktur Kimia Curcumin Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa curcumin aman dan tidak toksik bila dikonsumsi oleh manusia. Jumlah curcumin yang aman dikonsumsi oleh manusia adalah 100 mg/hari sedangkan untuk tikus 5 g/hari (Commandeur & Vermeulen, 1996). Kunyit mengandung curcumin dengan kadar 3-4%, terdiri dari curcumin I 94%, curcumin II 6% dan curcumin III 0.3%. Curcumin pertama kali diisolasi tahun 1815
Universitas Sumatera Utara
(Chattopadhyay, et al., 2004). Sampai tahun 2006, Balittro telah melepas tiga varietas unggul kunyit, yaitu Turina 1 dengan produksi 23.78 ton/ha, kadar curcumin 8.36%, Turina 2 dengan produksi 23.16 ton/ha, kadar curcumin 9.95% dan Turina 3, produksi 25.05 ton/ha dengan kadar curcumin 8.55% (Syukur, et al., 2006). Umur panen agar mendapatkan produktivitas tinggi adalah saat tanaman berumur 10-12 bulan setelah tanam, pada kondisi tertentu tanaman dapat dibiarkan di lapang dan dipanen pada umur 20-24 bulan setelah tanam. Curcumin merupakan komponen utama dalam pigmen kunyit. Rumus molekulnya adalah C 12 H 20 O 6 yang ditemukan oleh Silber dan Ciamician pada tahun 1897 yang kemudian disebut sebagai diferuloimetana oleh Molibedzka dan kawan-kawan pada tahun 1990 (Purseglove, et al., 1981). Komponen
pigmen
yang
lain
adalah
demethoxycurcumin
dan
bisdemethoxycurcumin. Jitoe, et al., (1992), mengemukakan bahwa aktivitas antioksidan dari kunyit lebih kuat daripada jenis rempah-rempah atau tanaman obat dari kelompok jahe-jahean (Zingiberance).
Universitas Sumatera Utara
Model struktur curcuminoid dari kunyit dapat dilihat pada Gambar 2.31 di bawah ini:
Gambar 2.31 Struktur Molekul Komponen Curcuminoid (Chattopadhyay, et al., 2004) Substansi murni curcumin adalah bubuk kristal kuning jingga yang memiliki titik cair 180-182ºC, tidak larut dalam air, sangat larut dalam eter, larut dalam alkohol, asam asetat glasial dan juga larut dalam alkali yang memberi warna coklat kemerah-merahan. Warna curcumin tidak stabil terhadap sinar matahari. Kandungan minyak atsiri kunyit tersusun dari 60% turmeron, 25% zingiberene, dan sedikit d-α-phellanaren, d-sabinene,
Universitas Sumatera Utara
cineole dan borneol (Natarajan & Lewis, 1980). Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat seperti yang dilaporkan oleh Rukmana (2004), bahwa kandungan curcumin kunyit rata-rata 10.92%. Dinyatakan pula bahwa kandungan curcumin rimpang bulat lebih besar dibanding rimpang jari. Hadi (1985), mengemukakan bahwa khasiat curcumin sebagai anti inflamasi dapat dihubungkan dengan kortison yang dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik
atau
adenokortikoid
alergen. dari
Curcumin
korteks
adrenal
merangsang terutama
sekresi
hormon
glukokortikoid
yang
mempunyai efek utama pada anti inflamasi. Glukokortikoid meningkatkan jumlah leukosit polimorfonuklear karena mempercepat masuknya sel-sel tersebut dari sumsum tulang ke dalam darah dan mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi (Ganiswara, 1995). Secara mikroskopik dapat menghambat migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosisnya juga menghambat manifestasi inflamasi yang lebih lanjut. Juga glukokortikoid menghambat reaksi anafilaksis dan respon jaringan terhadap pengeluaran histamin.
Universitas Sumatera Utara
2.13.5 Dosis terapi curcumin Curcumin mempunyai potensi yang baik untuk berbagai penyakit. Pada fase I percobaan klinik mengindikasikan sebanyak 12 g curcumin perhari selama 3 bulan dapat ditoleransi oleh tubuh manusia. Dosis optimum curcumin
untuk
pengobatan
suatu
penyakit
belum
jelas.
Data
menunjukkan bahwa curcumin memiliki bioavaibilitas yang rendah (Aggarwal, et al., 2006). Sebuah studi keselamatan preklinis, curcumin dosis tunggal 1.3803.500 mg/kgBB (3.7-9.5 mmol/kgBB) tidak menimbulkan efek samping pada tikus kecuali feses yang berwarna. Dalam sebuah penelitian yang dipublikasi, dinyatakan bahwa dosis tunggal curcumin di atas 5.000 mg/kgBB (13.6 mmol/kgBB) tidak mempunyai efek secara klinis ataupun efek terhadap berat relatif organ pada tikus jantan maupun betina (Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996). Penelitian pada tikus selama 90 hari, dimana tikus diberikan curcumin dengan dosis 1.140, 1.515, 1.995, 2.630 dan 3.500 mg/kgBB/hari (3.1-9.5 mmol/kgBB/hari) memiliki efek klinis feses berwarna dan bulu kekuningan. Pada tikus jantan, dijumpai penurunan jumlah retikulosit pada semua grup kecuali pada grup 1.515 mg/kgBB/hari dan dijumpai peningkatan Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) pada 2 grup (grup dosis 1.995 dan 2.630 mg/kgBB/hari) tidak signifikan secara biologis (Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian mengenai curcumin menunjukkan bahwa toksisitas curcumin tidak signifikan. Pada tikus yang diberi curcumin pada makanannya dengan dosis 0.1-2.0% (0.1-2.7 mmol/kgBB/hari) selama 8 minggu, tidak ada efek pada nafsu makan, peningkatan berat badan, hematologi, kimia serum, atau perubahan histologi saluran pencernaan, hati, limpa dan ginjal yang diperiksa. Penelitian yang serupa, tikus diberikan curcumin hingga 1.000 mg/kgBB/hari per oral selama 3 bulan dan tidak ada efek samping
pada
histopatologi
pertumbuhan,
(Chemoprevention
perilaku, Branch
parameter and
biokimia
Agent
dan
Development
Committee, 1996). Laporan ulkus lambung pada tikus yang diberi curcumin sebagai anti inflamasi (ED50/Effective Dose = 50 mg/kgBB/hari selama 6 hari), curcumin food grade mampu melindungi lambung dari ulkus melalui penurunan
asam
lambung
atau
peningkatan
sekresi
musin
(Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996). Penelitian pada tikus yang diberi curcumin 600 dan 1.600 mg/kgBB pada usia kehamilan 6-15 hari tidak menimbulkan efek terhadap implantasi, resorpsi dan tidak menimbulkan kematian pada embrio, tidak menimbulkan abnormalitas tulang dan organ dalam. Penelitian jangka panjang pada lebih dari tiga generasi tikus, tidak ada menunjukkan efek teratogenik atau gangguan pada reproduksi (Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Dosis curcumin sebagai antioksidan adalah 2 g/kgBB/hari (Sharma, et al., 2010). Dosis curcumin sebagai anti kanker yaitu sampai 10 g/hari (Aggarwal, Kumar & Bharti, 2003). Dosis curcumin sebagai terapi kanker kolorektal yaitu 2.2 g/hari (ekstrak curcuma). Kanker kolorektal stadium akhir diberikan dosis antara 0.45 dan 3.6 g/hari selama empat bulan (Jurenka, 2009; Burgos-Moron, et al., 2010). Dosis curcumin sebagai anti inflamasi sebanyak 400-600 mg tiga kali sehari (Alter, 2010). Dosis curcumin sebagai anti inflamasi pada tikus 100, 250, 500 dan 1000 mg/kgBB. Daya anti radang minyak atsiri kunyit (senyawa mirip curcumin) 1.2 ml/kgBB secara oral (Salasia, et al., 2002). Inflamasi dan edema pada mencit, curcumin dapat mencegah edema dengan dosis antara 50-200 mg/kg. Pada tikus dosis 20-80 mg/kg dapat mengurangi bengkak pada telapak kaki dan inflamasi. Curcumin juga menghambat formaldehida yang dapat memicu artritis pada tikus dengan dosis 40 mg/kg. Dosis 50mg/kgBB selama 10 hari dapat menurunkan kerusakan mukosa pada mencit yang telah dipicu terjadinya kolitis ulseratif. Dosis 4 mg/kgBB/hari secara injeksi intraperitoneal dapat secara signifikan mengurangi inflamasi pada persendian baik itu pada fase akut (75%) maupun pada fase kronik (68%). Pada pasien post operasi hernia inguinal dan hidrokel diberikan dosis 400 mg terbukti dapat mengurangi inflamasi pada persendian. Pada pasien dispepsia dan ulkus lambung diberikan dosis 600 mg sebanyak lima kali sehari diminum 30-60 menit
Universitas Sumatera Utara
sebelum makan dalam 1-2 minggu nyeri perut dan keluhan lain berkurang secara signifikan. Pada pasien irritable bowel syndrome dengan penyakit protitis diberikan dosis sebanyak 550 mg dua kali sehari selama satu bulan dan lalu diberikan dosis yang sama sebanyak tiga kali sehari selama bulan selanjutnya. Pada pasien Crohn’s disease diberikan dosis 360 mg sebanyak tiga kali sehari selama satu bulan lalu diberikan dosis empat kali sehari untuk bulan selanjutnya (Jurenka, 2009). Ekstrak etanol kunyit dengan berbagai dosis memperlihatkan efek anti inflamasi pada tikus yang diinduksi dengan karagen dimana pada dosis tinggi (1000 mg/kgBB) dapat menekan edema sebesar 78.37%. Pada penelitian tersebut menunjukkan semakin tingginya dosis ekstrak etanol kunyit, jumlah zat aktif yang terkandung di dalamnya semakin tinggi sehingga kemampuannya di dalam menginhibisi edema semakin besar (Rustam, Atmasari & Yanwirasti, 2007). Konsentrasi perasan air kunyit 30% paling efektif dalam memperbaiki kerusakan sel hati pada mencit (Kardena & Winaya, 2011). Penelitian dengan mengkombinasikan antibiotik dan curcumin pada sedian piringan diffusion assay dengan dosis curcumin 500 µg setiap piringan menghasilkan peningkatan aktivitas dari antibiotik Cefixime, Cefotaxime, Vancomycin dan Tetrasiklin (Moghaddam, et al., 2009). Nilai paruh waktu (T½) curcumin pada pemberian intravena (10 mg/kgBB) pada tikus dilaporkan sekitar 28.1 ± 5.6 jam dan pada pemberian oral (500 mg/kgBB) yaitu sekitar 44.5 ± 7.5 jam (Anand, et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
Pemberian curcumin pada tikus secara oral dengan dosis 500 mg/kgBB didapatkan kadar dalam plasma sebesar 0.06 ± 0.01 µg/mL (Yang, et al., 2007).
2.14 Perubahan Epigenetik dalam Sintesis Protein DNA utama dikemas dalam sistem yang efisien dan kompak dengan menggunakan protein histon untuk menggulung molekul DNA. Satu kompleks
DNA
Pembentukan
dan
protein
struktur
histon
nukleosom
disebut
sebagai
menyebabkan
nukleosom.
kondensasi
atau
pengemasan DNA lebih kompak. Rangkaian nukleosom membentuk struktur yang disebut sebagai kromatin dan membentuk rangkaian menyerupai solenoid, struktur pilinan nukleosom (Yuwono, 2005). Pengemasan DNA pada eukariotik secara skematis seperti pada Gambar 2.32 di bawah ini:
Gambar 2.32 Skema Pengemasan DNA dalam Histon (Yuwono, 2005) Keterangan: Jika diuraikan kromosom berupa molekul DNA linier yang sangat panjang dan dikemas dengan menggunakan protein histon
Universitas Sumatera Utara
Epigenetik yaitu berupa modifikasi suatu proses perubahan ekspresi gen yang tidak dikode dalam sekuens DNA dan pada modifikasi post translasi DNA dan protein histon. Perubahan tersebut bukan merupakan mutasi gen. Mekanisme epigenetik meliputi DNA metilasi dan beberapa macam modifikasi histon terutama asetilasi (Gambar 2.33). Termasuk dalam proses ini yaitu asetilasi, metilasi dan fosforilasi histon. DNA hipometilasi dan histon asetilasi memicu aktivasi transkripsi gen. Kelainan metilasi DNA dan asetilasi terkait dengan sejumlah penyakit yang berhubungan dengan faktor usia yaitu kanker, autoimun dan yang lainnya. Regulasi epigenetik penting dalam perkembangan berbagai jenis set selama fase pertumbuhan dan juga penting untuk mempertahankan stabilitas dan integritas profil ekspresi dari jenis sel yang berbeda. Studi tentang mekanisme penyakit pada manusia lebih banyak berkembang pada
mekanisme
genetik
daripada
peristiwa
non-coding.
Namun
sebagaimana telah diketahui bahwa semakin jelas peran dari proses epigenetik yang terganggu akan mengarah pada beberapa kondisi patologis yang nyata. Selanjutnya telah dilaporkan ekspresi dan aktivitas abnormal dari enzim yang meregulasi modifikasi epigenetik pada penderita dengan penyakit saluran napas. Dengan perkembangan yang baru ini memungkinkan untuk menemukan penyakit karena perubahan epigenetik. Perubahan ini bisa diwariskan, menetap maupun potensi reversibilitas. Perkembangan baru inilah yang mengarah pada lingkup era terapi epigenetik.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.33 Mekanisme Translokasi Nuclear NF K B (Tahera, 2006) Inaktivasi NF K B dalam sitoplasma mengikat I K B. Saat stimulasi terjadi fosforilasi
dan degradasi I K B
menyebabkan NF K B menjadi aktif,
translokasi ke nukleus sehingga mengaktifkan beberapa target gen yang sesuai. NF K B terlibat dalam regulasi beberapa gen yang berperan dalam inflamasi, apoptosis, diferensiasi dan kelangsungan hidup sel. NF K B dapat memicu asetilasi histon dan modifikasi lainnya (Gambar 2.34.a dan Gambar 2.34.b).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.34a Modifikasi Histon (Adcock, et al., 2006). 2.34b Asetilasi Histon (Liberman & Marks, 2009) Keterangan: Beberapa macam cara modifikasi histon yaitu asetilasi, metilasi dan fosforilasi histon (Gambar A) Histon terasetilasi dapat mengalami deasetilasi kembali (Gambar A dan B) Perubahan struktur kromatin sangat menentukan regulasi ekspresi gen. Struktur kromatin yang terbuka memudahkan transkripsi gen terjadi. Modifikasi asetilasi dan fosforilasi yang bersifat reversibel dan dinamis mengikuti ekspresi gen individual. Perubahan kecil dari binding site NF K B akan menyebabkan perubahan bermakna pada kemampuan aktivasi ekspresi gen. Perubahan kromatin (chromatin remodelling) kemungkinan dipicu oleh berbagai stimulus, yaitu antara lain seperti pada Gambar 2.35 berikut ini:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.35 Model Represi Gen, Kompleks HSF-1/MTA-1/NuRD Keterangan: Pada saat fase aktif, DNA dalam konformasi terbuka dan polimerase RNA II dapat mentranslasikan sekuens gen. Dengan ikatan HSF-1, membawa MTA-1 dan menuju promoter
sehingga
menyebabkan
histon
perekrutan
mengalami
nukleosom
dan
deasetilasi, membentuk
kromatin yang lebih padat. Hal ini mendukung terjadinya represi gen (Asea & De Maio, 2007)
Universitas Sumatera Utara
2.15 Perbandingan Struktur dan Fungsi Pendengaran Spesies Berbeda Banyak penelitian mengenai masalah pengembangan ilmu dasar, klinis dan sosial menggunakan model hewan coba karena keterbatasan toleransi terhadap efek perlakuan yang tidak memungkinkan diaplikasikan pada manusia (Gambar 2.36). Oleh karena itu pengetahuan tentang anatomi dan fisiologi pendengaran telah dilakukan antara lain konfigurasi profil audiometri, sensitivitas auditorius, simetris ke dua sisi dan lainnya.
Gambar 2.36 Perbandingan Audiogram Manusia dan Tikus (Heffner & Heffner, 2003) Keterangan: Frekuensi yang paling peka pada manusia pada 2-4 kHz, sedangkan tikus pada frekwensi 8-16 kHz Pada perkembangannya, fungsi
pendengaran hewan dibanding
manusia mempunyai perbedaan mendasar. Pada hewan stimulus suara sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup, mencari makan, mobilitas dan menghindari musuh. Sedangkan pada manusia
Universitas Sumatera Utara
fungsi auditori untuk komunikasi lebih menonjol perannya sehingga dapat dimengerti bahwa rentang frekuensi penangkapan indra pendengaran manusia lebih pendek yaitu berkisar 20-20.000 Hz, lebih terfokus pada frekuensi untuk komunikasi. Sedangkan pada tikus bisa mencapai pada frekuensi ultrasonik yaitu 1-60 kHz dengan rentang yang lebih panjang dibanding spesies manusia (Gambar 2.37) (Heffner & Heffner, 2003).
Gambar 2.37 Rentang Ambang Pendengaran Pada Hewan Coba Laboratorium (Heffner, 2007) Keterangan: Ambang pendengaran pada manusia lebih peka pada rentang frekwensi yang lebih rendah dibanding tikus (rat) Rattus norvegicus merupakan hewan coba laboratoris yang umum digunakan sebagai model penelitian biomedik yang penting untuk menjelaskan berbagai penyakit pada manusia. Struktur yang mirip dan kesamaan patobiologi telinga dalam menyebabkan hewan ini banyak
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk penelitian, selain karena mudah didapat, cepat berkembang biak sehingga mendapatkan populasi homogen yang diperlukan untuk kesamaan genetik. Identifikasi gen dan sekuensnya homolog,
dengan
demikian
tikus
mempunyai
potensi
untuk
pengembangan studi ketulian genetik. Selain itu perubahan histopatologis yang diamati dari hasil penelitian pada tikus juga mempunyai relevansi klinis dengan manusia (Gravel & Ruben, 1996; Cancian, 1997; Steel, 1998). Studi pada hewan coba juga telah banyak dilakukan untuk mengetahui efek bising pada pendengaran. Pada umumnya eksperimen dilakukan jangka pendek (short-term exposure conditions). Diketahui bahwa terdapat hubungan antara dosis pajanan dengan tingkat gangguan pendengaran (Gambar 2.38). Sesuai dengan penelitian sebelumnya didapatkan data bahwa pendengaran mulai terganggu dapat terukur pada intensitas 100 sampai 110 dB SPL yang mewakili kondisi bising daerah industri (Cappaert, et al., 2000).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.38
Perbandingan
Noise-Induced
Threshold
Shifts
pada
Beberapa Studi (Cappaert, et al., 2000) Keterangan: Garis ordinat adalah peningkatan maksimal ambang dengar. Garis aksis adalah tingkat pajanan bising yang disesuaikan dengan dosis ekivalen 8 jam perhari, 5 hari dalam seminggu
2.16 Teknik Imunohistokimia untuk Identifikasi Ekspresi Protein Teknik pemeriksaan identifikasi protein yang dilakukan yaitu antara lain dengan teknik Imunohistokimia untuk mengetahui ekspresi variabel yang diperiksa di fibroblas sediaan jaringan koklea dengan menggunakan metode Avidin-Biotin kompleks. Reagen yang digunakan pada teknik ini adalah antibodi primer, antibodi sekunder yang diikatkan secara kimia dengan biotin dan suatu kompleks glikoprotein yang diikatkan pada biotin dan
peroksidase.
Avidin
memiliki
kemampuan
berikatan
secara
nonimunologik dengan biotin. Peroksidase akan bereaksi dengan H 2 O 2 , bila terdapat elektron donor membentuk molekul berwarna.
Universitas Sumatera Utara
Antibodi primer dan sekunder dapat melekat pada elemen jaringan yang bermuatan tinggi, seperti jaringan ikat sehingga menghasilkan reaksi warna yang positif ditempat yang tidak mengandung variabel yang diperiksa.
Sebelum pewarnaan daerah ini dapat
ditutup dengan
menggunakan protein plasma non imun yang berasal dari binatang dengan spesies yang sama dengan binatang yang memproduksi antibodi sekunder. Penutupan ini bertujuan mengurangi perlekatan antibodi sekunder non spesifik dengan jaringan sehingga reaktivitas non spesifik menurun. Sebagian besar jaringan yang mengandung peroksidase akan bereaksi dengan substrat kromogen. Peroksidase endogen dapat dihambat dengan menambahkan H 2 O 2 3% dalam larutan metanol. Pelabelan StreptavidinPeroksidase dapat dilihat pada Gambar 2.39 di bawah ini:
Gambar 2.39 Pelabelan Streptavidin-Peroksidase (Ramos-Vara, 2005)
Universitas Sumatera Utara
2.17 Kerangka Teori Kebisingan Faktor Intrinsik : - Usia - Jenis kelamin - Riwayat penyakit kardiovaskuler - Faktor vaskuler : hipoksia, iskemia
Faktor Perilaku : Pemakaian APD (Jenis APD dan kontinuitas pemakaian APD) Faktor Ekstrinsik
Pajanan bising
Riwayat pemakaian obat ototoksik
- Dosis - Durasi - Intensitas
Diatas NAB (>85dB)
Auditori
Dibawah NAB (<85 dB)
Non-Auditori
Kerusakan sel rambut luar koklea
Kerusakan jaringan penyangga
Kekakuan, penciutan ukuran akar atau kekacauan susunan stereosilia
Kerusakan fibroblas membran basilaris dan dinding lateral koklea
Gangguan Fisiologis
Peningkatan tekanan darah, denyut nadi, metabolisme basal, peristaltik usus, ketegangan otot
Gangguan Psikologis
Gangguan emosional, komunikasi, konsentrasi, produktifitas, sulit tidur
Kerusakan stria vaskularis
Fraktur akar stereosilia
Kerusakan serabut saraf koklea
Eksitotoksisitas glutamat : Vakuolisasi dan edema pada area bawah sel rambut dalam dan sel ganglion koklea
Gangguan Pendengaran Akibat Bising
Gambar 2.40 Kerangka teori
Universitas Sumatera Utara
2.18 Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 2.18.1 Kerangka konseptual
Gambar 2.41 Kerangka Konseptual Keterangan: Kotak
merupakan variabel yang diukur
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan Kerangka Konseptual Pajanan bising memberikan efek pada fibroblas koklea. Fibroblas akan mengalami trauma mekanis yang menyebabkan stres karena masuknya Ca2+ ke dalam sel. Peningkatan Ca2+ dalam sel akan memicu pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) dan aktivitas protein kinase yang menyebabkan fosforilasi protein. Fosforilasi protein akan: 1. Mengaktivasi transkripsi gen Heat Shock Factor (HSF). HSF monomer di sitoplasma mengalami trimerisasi dan translokasi ke nukleus, kemudian mengikat Heat Shock Element (HSE) pada regio promoter gen sehingga mengaktivasi sintesis protein HSP-70 dan HSP-70 yang baru disintesis keluar sitoplasma. 2. Mendegradasi IκB sehingga menyebabkan NFκB menjadi aktif, translokasi ke nukleus sehingga mengaktifkan beberapa target gen yang sesuai dengan melepas mediator pro inflamasi yaitu TNF-α dan IL-6 yang menarik sel radang menuju tempat lesi, melokalisir dan meregulasi sitokin mayor lain dan TGF-β dalam tingkatan mRNA yang memicu reaksi degradasi matriks ekstraseluler dan proliferasi sebagai respon pemulihan terhadap trauma. Peran curcuminoid diduga menghambat Ca2+ masuk ke dalam sel, menghambat pembentukan ROS, menghambat aktivasi protein kinase sehingga fosforilasi protein dapat ditekan. Curcuminoid juga diduga menghambat aktivasi dari NFκB yang merupakan protein yang terlibat dalam proses transkripsi gen dari beberapa sitokin pro inflamasi (TNF-α, IL-6, IL-1) dan MMP-9.
Universitas Sumatera Utara
HSP-70 merupakan protein molecular chaperon yang berperan sebagai sitoproteksi untuk melindungi dan membantu polipeptida yang rusak untuk kembali ke bentuk semula. HSP-70 menstabilkan struktur protein TNF-α, IL-6, IL-1, TGF-β, MMP-9, TLR-2 dan TLR-4 (Purnami, 2009). Curcumin dalam hal ini justru menurunkan produksi HSP-70. TLR-2 dan TLR-4 merupakan reseptor membran sel yang teraktivasi oleh stresor pajanan bising yang mengerahkan dan mengaktivasi protein kinase
sehingga menyebabkan aktivasi faktor transkripsi NFκB.
Curcuminoid menekan inflamasi dengan menghambat reseptor TLR-2 dan TLR-4 sehingga kaskade sinyal intraseluler melalui aktivasi faktor transkripsi NFκB dapat dihambat. MMP tidak diekspresikan pada keadaan normal, pada kondisi patologis aktivasi MMP meningkat. Peningkatan kadar MMP-9 karena stimuli ekstra sel dan diikuti oleh aktivasi protein kinase yang mengubah pro MMPs tidak aktif menjadi enzim aktif. MMP-9 aktif mampu mendegradasi kolagen. Curcuminoid mampu menekan produksi MMP-9, sehingga degradasi Kolagen Tipe IV yang merupakan penyusun utama membran basilaris dan destruksi matriks ekstraseluler dapat diminimalisir. Dengan demikian stres seluler pada fibroblas yang menimbulkan perubahan molekuler melalui aktivasi beberapa target gen faktor transkripsi HSP dan NFκB dapat ditekan dengan pemberian curcuminoid. Selanjutnya gangguan yang terjadi pada fungsi koklea dapat dicegah.
Universitas Sumatera Utara
2.18.2 Hipotesis Berdasarkan latar belakang masalah, landasan teori dan kerangka konseptual tersebut disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: a. Hipotesis mayor Curcuminoid dapat mengobati dan mencegah kerusakan fibroblas koklea. b. Hipotesis minor 1. Curcuminoid menurunkan ekspresi HSP-70 pada fibroblas koklea. 2. Curcuminoid menurunkan ekspresi NFκB pada fibroblas koklea. 3. Curcuminoid menurunkan ekspresi TLR-2 pada fibroblas koklea. 4. Curcuminoid menurunkan ekspresi TLR-4 pada fibroblas koklea. 5. Curcuminoid menurunkan ekspresi MMP-9 pada fibroblas koklea. 6. Curcuminoid meningkatkan ekspresi Kolagen Tipe IV pada fibroblast koklea. 7. Ada hubungan antara dosis curcuminoid dengan ekspresi HSP-70. Semakin tinggi dosis curcuminoid maka semakin rendah ekspresi HSP-70. 8. Ada hubungan antara dosis curcuminoid dengan ekspresi NFκB. Semakin tinggi dosis curcuminoid maka semakin rendah ekspresi NFκB. 9. Ada hubungan antara dosis curcuminoid dengan ekspresi TLR-2. Semakin tinggi dosis curcuminoid maka semakin rendah ekspresi TLR-2.
Universitas Sumatera Utara
10. Ada hubungan antara dosis curcuminoid dengan ekspresi TLR-4. Semakin tinggi dosis curcuminoid maka semakin rendah ekspresi TLR-4. 11. Ada hubungan antara dosis curcuminoid dengan ekspresi MMP-9. Semakin tinggi dosis curcuminoid maka semakin rendah ekspresi MMP-9. 12. Ada hubungan antara dosis curcuminoid dengan ekspresi Kolagen Tipe IV. Semakin tinggi dosis curcuminoid maka semakin tinggi ekspresi Kolagen Tipe IV.
Universitas Sumatera Utara