RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS) YANG DIBIAYAI OLEH BANK DUNIA
Working Paper No.3, 2008
Tim Riset RALAS : 1. Abdul Jalil 2. Delima Silalahi 3. George Junus Aditjondro 4. Sri Khairil Tarigan 5. Jufriadi 6. Darmawan
NGO in Special Consultative Status with the Economic and Social Council of the United Nations
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS) YANG DIBIAYAI OLEH BANK DUNIA
Tim Riset RALAS : 1. Abdul Jalil 2. Delima Silalahi 3. George Junus Aditjondro 4. Sri Khairil Tarigan 5. Jufriadi 6. Darmawan
Working Paper No.3, 2008
DAFTAR ISI
Daftar Singkatan
i
Ucapan Terima Kasih
ii
Kata Pengantar
iii
Pendahuluan
1
Metodologi Penelitian
3
Temuan Lapangan
5
Kesimpulan
12
Rekomendasi
13
Bibliography
14
DAFTAR SINGKATAN BI BPD BPN BRI BNI BQ CDA FGD GAM GSF INFID JBIC KK LKM MDTFANS NAD NGO PLN PLTU PNS RALAS Sekdes SKT UTU Yayasan PUSPA YEU
: Bank Indonesia : Bank Pembangunan Daerah : Badan Pertanahan Nasional : Bank Rakyat Indonesia : Bank Nasional Indonesia : Baitul Qiradh : Community-Driven Adjudication : Focus Group Discussion : Gerakan Aceh Merdeka : Grassroots Society Foundation : International NGO Forum on Indonesian Development : Japan Bank for International Cooperation : Kartu Keluarga : Lembaga Keuangan Mikro : Multi Donors Trust Fund for Aceh and North Sumatra : Nanggroe Aceh Darussalam : Organisasi Non Pemerintah : Perusahaan Listrik Negara : Pembangkit Listrik Tenaga Uap : Pegawai Negeri Sipil : Reconstruction of the Aceh Land Administration System : Sekretaris Desa : Surat Kepemilikan Tanah : Universitas Teuku Umar : Yayasan Pusat Pengembangan Sumberdaya Alam : Yakkum Emergency Unit
-i-
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian yang singkat di Tanah Rencong ini hanya dimungkinkan, berkat dukungan kawankawan dari Grassroots Society Foundation (GSF) di Meulaboh, Yayasan PUSPA di Takengon, dan perwakilan ’ornop kembar’ YEU (Yakkum Emergency Unit) dan CD Bethesda di Meulaboh. Mudah-mudahan laporan penelitian kami bisa sedikit membalas budi baik dan keramahtamahan kawan-kawan di Aceh ini. Medan, 25 Mei 2007. Tim Riset RALAS untuk INFID: 1. Abdul Jalil 2. Delima Silalahi 3. George Junus Aditjondro 4. Sri Khairil Tarigan 5. Jufriadi 6. Darmawan
- ii -
KATA PENGANTAR
Penelitian tentang RALAS (Reconstruction of the Aceh Land Administration System) di Aceh yang dibiayai oleh dana hibah dari berbagai donor yang dikelola oleh Bank Dunia ini merupakan satu dari tiga penelitian INFID atas proyek-proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia baik melalui utang maupun melalui dana hibah dari berbagai donor melalui manajemen Bank Dunia. Penelitian-penelitian ini dilakukan untuk menelusuri manfaat dari proyek-proyek yang dibiayai utang dan hibah luar negeri yang berpengaruh pada kebijakan dan program pembangunan di Indonesia. Pengaruh itu bisa secara langsung pada sector yang dilaksanakan dengan dana utang dan hibah luar negeri tersebut, atau pun pengaruh pada kebijakan yang tidak ada hubungannya dengan sector yang dibiayai oleh utang atau hibah luar negeri tersebut. RALAS diadakan setelah terjadinya tsunami pada bulan Desember 2004, tepatnya dimulai pada bulan Agustus 2005 sebagai bagian dari rencana rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh. Berbagai donor, dikoordinasikan oleh Bank Dunia, menghimpun dana melalui Multi-Donors Trust Fund, untuk membiayai beberapa proyek dan program di Aceh dan Nias, di antaranya proyek RALAS. Konflik yang berkepanjangan di Aceh pada dasarnya berawal dan berujung pada perebutan atas hak atas penguasaan sumberdaya alam yang kaya raya di Aceh. Separatisme atau gerakan separatis hanyalah merupakan salah satu strategi gerakan, dengan asumsi bahwa independensi sebagai sebuah Negara berdaulat Aceh maka rakyat Aceh akan dengan leluasa menikmati karunia alam dan karunia Tuhan tersebut untuk kesejahteraan masyarakat local.1 Kepemilikan kolektif atas tanah yang mengandung kekayaan mineral yang berlimpah tersebut menjadi landasan yang kuat untuk perjuangan kolektif. Qanun-qanun yang dibuat berdasarkan UndangUndang Otonomi Khusus Aceh No. 18/2001 juga memperkuat kolektivitas social dan kepemilikan kolektif atas sumberdaya alam. Kepemilikan kolektif atas sumberdaya alam dan kolektivitas social adalah fondasi yang kuat untuk menjamin kesejahteraan bersama bagi masyarakat setempat. Di lain pihak kepemilikan kolektif merupakan hambatan utama bagi para investor untuk mengambil-alih dan mengeksploitasi sumberdaya alam yang berlimbah tersebut. Program RALAS ini merupakan salah satu strategi utama untuk menghancurkan kolektivitas tersebut dan tsunami menjadi moment yang tepat untuk memulai penghancuran secara total tersebut. Jika tsunami menghancurkan seluruh infrastruktur fisik, program seperti ini akan menghancurkan kolektivitas social, yang sejalan dengan keinginan para pendukung ekonomi pasar bebas. Mengutip pernyataan dari the American Enterprise Institute – sebuah think-tank yang berbasis di Washington – ketika mengomentari bencana Katrina di Louisiana yang mengatakan bahwa “Katrina melaksanakan segalanya dalam sehari …..” untuk hal-hal yang bagi Negara dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melaksanakan reformasi untuk ekonomi pasar bebas2, Bank Dunia dengan program RALAS akan berterima kasih kepada
1
Michael Hardt dan Antonio Negeri (2004). Multitude: War and Democracy in the Age of Empire (London: Penguin Books), hal. 4. Hardt dan Negri mengatakan bahwa konflik-konflik seperti halnya di Aceh dikondisikan dan selanjutnya mempengaruhi system imperial global. 2 Naomi Klein (2007). The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (London: Penguin Books), pg. 6.
- iii -
tsunami yang telah memberikan peluan yang begitu besar untuk menyapu semua hambatan untuk membawa Aceh ke dalam kancah ekonomi pasar bebas global, dan selanjutnya akan membawa seluruh Indonesia ke dalam penguasaan ekonomi pasar bebas global di bawah pengawasan dan pengarahan Bank Dunia. Ketika solidaritas kemanusiaan global dan seluruh umat manusia di dunia tenggelam di dalam kedukaan yang mendalam atas korban-korban dan sibuk mencari berbagai upaya untuk membantu rakyat di Aceh, Bank Dunia mempersiapkan strategi fundamental untuk mempersiapkan Aceh sebagai arena bagi ekonomi pasar bebas global atau mempersiapkan Aceh sedemikian rupa untuk mempermudah para actor ekonomi global untuk menguasai dan mengeksploitasi sumberdaya alam Aceh. Sama seperti sejawat pendukung pasar bebas yang bahagia dengan kedatangan bencana Katrina, Bank Dunia melihat tsunami telah mempersiapkan “clean sheet” untuk mulainya strategi penguasaan dan eksploitasi sumberdaya alam di Aceh tanpa hambatan. RALAS merupakan bagian utama dari strategistrategi untuk menghancurkan atau untuk menyapu bersih fondasi utama dari semangat kolektif dan identitas kolektif Aceh. Melalui system kepemilikan individual yang dikembangkan oleh program RALAS institusi-institusi local yang mendukung dan mengawasi manajemen kolektif dari sumberdaya alam di Aceh akan kehilangan peran-perannya dan selanjutnya ikatan-ikatan kolektif akan dengan mudah dihancurkan. Ketika ikatan-ikatan kolektif yang sudah bertahun-tahun menjadi jiwa perjuangan kolektif akan hilang, dan dengan demikian Aceh akan siap untuk dieksploitasi tanpa hambatan internal dan tidak akan pernah dihantui ketakutan akan munculnya perjuangan kolektif termasuk perjuangan kolektif bersenjata sekalipun. Bagi mayoritas umat manusia di dunia, tsunami di Aceh dan Negara-negara lain di Asia Selatan pada 26 Desember 2004 merupakan satu dari tragedy kemanusiaan terbesar dalam sejarah abad terakhir, dan karena itu telah membangkitkan solidaritas kemanusiaan yang kuat. Namun untuk para perencana ekonomi seperti yang ada di Bank Dunia, tsunami merupakan peluang yang paling tepat untuk memperkenalkan dan mengintegrasikan ideology ekonomi pasar bebas, suatu peluang untuk membangun Aceh yang baru di mana rakyatnya tidak perlu lagi memiliki tanggungjawab kolektif dan tidak memerlukan kolektivitas social untuk memenuhi kesejahteraan sosialnya. Pasar akan memberikan kesejahteraan social. RALAS merupakan salah satu fondasi untuk menghancurkan kolektivitas social dan tanggungjawab kolektif tersebut. Tsunami telah dipakai sebagai moment yang tepat untuk menjadikan Aceh sebagai sebuah wilayah di mana kapitalisme bisa beroperasi secara bebas. Bencana alam, konflik horizontal (konflik antar-etnik dan konflik antar-agama), krisis institusional, krisis Keuangan, krisis BBM dan pangan, dan sebagainya untuk mayoritas umat manusia merupakan tragedy, tetapi untuk para pendukung pasar bebas (seperti Bank Dunia) merupakan peluang yang tepat untuk membangun fondasi yang kuat untuk berkembangnya kapitalisme pasar bebas. Konflikkonflik di Indonesia sudah menjadi instrument untuk menghancurkan solidaritas social local dan semangat kolektif, dan menjadi strategi untuk mempersiapkan akses yang bebas untuk kekuatan-kekuatan ekonomi global yang telah siap mengambil-alih dan mengeksploitasi sumberdaya alam yang sudah lama menjadi milik kolektif dari masyarakat local. Krisis institusional – seperti pemerintahan yang korup – telah dipakai sebagai pintu masuk untuk membangun system governance dan aturan-aturan yang memaksa pemerintah untuk mengdopsi kebijakan-kebijakan ekonomi pasar bebas. Krisis pahan dan krisis BBM telah dipakai sebagai moment yang tepat untuk mendorong dengan lebih kuat liberalisasi pasar pangan dan pasar minyak dalam negeri, tanpa peduli apakah biayanya tinggi dan apakah bebannya akan ditanggung oleh orang miskin atau tidak.
- iv -
Konflik-konflik di Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan, Ambon semuanya berawal dari dan mengalir pada arah yang sama: penghancuran kolektivitas social local dan pengambil-alihan sumberdaya alam,yang sudah diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang, oleh actor-aktor ekonomi domestic dan global. Di dalam situasi dan kasus-kasus seperti ini lembaga-lembaga Keuangan internasional berperan sebagai pendukung Keuangan untuk membangun infrastruktur-infrastruktur yang membuka akses ke wilayah-wilayah yang sudah ditinggalkan para pemilik aslinya (yakni Komunitas local), yang kini hidup dalam ketakutan akan potensi konflik-konflik baru. Ironinya adalah bahwa utang-utang untuk membangun infrastruktur-infrastruktur ke wilayah eksploitasi baru tersebut, yang dulunya merupakan hak milik dari Komunitas local yang kini harus hidup miskin karena kehilangan hartanya, akan dibayar kembali oleh para korban ini di masa yang akan dating. Krisis dan bencana telah dimanfaatkan secara efektif oleh lembaga-lembaga Keuangan internasional untuk memaksakan ideology pasar bebas dan membiarkan rakyat miskin untuk bertarung untuk keberlangsungan dan keselamatan hidupnya. Inilah yang oleh Naomi Klein sebagai kapitalisme bencana (disaster capitalism), yang di Indonesia sudah begitu riil, jelas dan terang benderang di depan mata dan di depan wajah seluruh rakyat. RALAS hanyalah sebuah contoh dari bagaimana bencana telah dimanipulasi untuk kepentingan actor-aktor ekonomi global yang tidak akan membutuhkan biaya lagi untuk mengambil alih sumberdaya alam local dari para pemilik local. Pertanyaan-pertanyaan dan temuan-temuan dalam penelitian ini memperlihatkan bagaimana kepemilikan individual sebenarnya bukanlah satu-satunya cara untuk memberi rasa kepastian terhadap hak milik. Sudah ada institusi-institusi local yang dapat memberi jaminan atas kepastian hak milik. Mudah-mudahan penelitian ini akan memicu refleksi kritis terhadap ideology yang ada di balik program dan proyek-proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia di Indonesia, dan rakyat Indonesia bisa lebih menyadari dan awas terhadap agenda di belakang program-program dan proyek-proyek Bank Dunia. Juni, 2008 Don K. Marut Executive Director INFID
-v-
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS)
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS) YANG DIBIAYAI OLEH BANK DUNIA
I. PENDAHULUAN Hanya enam bulan sejak tsunami melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, Multi-Donors Trust Fund for Aceh and North Sumatra (MDTFANS) menyetujui untuk mendanai proyek RALAS/Reconstruction of the Aceh Land Administration System (Sistem Administrasi Rekonstruksi Pertanahan Aceh). Menurut dokumen penilaian proyek yang disetujui pada bulan Juni 2005, sasaran keseluruhan dari bantuan sebesar US$ 28,50 juta ini adalah “untuk meningkatkan keamanan atas hak guna tanah di Aceh setelah kerusakan besar yang disebabkan bencana tsunami dan hancurnya bukti-bukti kepemilikan” (Afiff 2006). Atau dengan kata-kata direktur World Bank untuk Indonesia saat itu, Andrew Steer dan Duta besar Komisi Eropa untuk Indonesia, Jean Breteche, proyek RALAS “akan memungkinkan masyarakat menggunakan tanah mereka sebagai kolateral untuk mendanai perumahan dan usaha, dan karenanya memberikan modal substansial yang tidak aktif bagi ribuan keluarga miskin yang berusahaa membangun kembali kehidupan mereka yang hancur” (Steer and Breteche 2006). Implementasi proyek RALAS secara resmi dimulai pada bulan Agustus 2005 dan akan berlangsung hingga tahun ini, 2008, saat diperkirakan 600.000 pemilik tanah di Aceh dan Nias sudah akan menerima dokumen kepemilikan tanah sah mereka (Afiff 2006). Namun, menjelang akhir tahun 2006, hanya 7.700 hak atas tanah yang telah dibagikan pada para korban tsunami, dengan sesungguhnya sekitar 20 ribu hak atas tanah yang telah siap didistribusikan, seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan penulisannya telah selesai, masih berada di Kantor Pertanahan di Aceh. Separuh dari sertifikat-sertifikat tersebut, yang masih harus dikerjakan hanyalah penandatanganan kepala Kantor Pertanahan, sementara separuhnya yang telah ditandatangani tinggal diserahkan pada para pemilik tanah. (Steer & Breteche 2006). Sesungguhnya, kesalahannya tidak semata-mata pada para birokrat di Kantor Pertanahan di wilayah tersebut, sebagaimana yang terlihat dalam penelitian lapangan yang dilakukan team peneliti INFID pada bulan Mei 2007 di Aceh Barat dan dua daerah yang baru dipisahkan dari Aceh Barat yakni Aceh Jaya dan Nagan Raya. Kesalahannya juga terletak pada tugas yang sangat besar dalam mengidentifikasi para pemilik hak atas tanah yang sebenarnya, melakukan survey atas batas-batas tanah mereka, mengembalikan hasilnya ke kantor pertanahan wilayah, menandatangani sertifikat tanah yang baru diterbitkan, dan mengembalikan sertifikat tersebut kepada para pemilik tanah yang berhak (lihat Aditjondro 2007). Proyek sertifikasi tanah di wilayah-wilayah ini dilakukan dalam dua tahap, yakni RALAS 2005 (Juli 2005 sampai Juni 2006) sewaktu sepuluh team Adjudikasi dari Badan Pertanahan Negara/BPN ditugaskan di dua kota dan kecamatan, diikuti dengan RALAS 2006 (Juli 2006 hingga Juni 2007) dengan lebih banyak team Adjudikasi yang ditugaskan pada sembilan kota dan kecamatan. Selama RALAS 2005 sekitar 14.000 sertifikat tanah telah dicetak, sementara sekitar 9.000 telah diserahkan pada pemilik tanah yang berhak. Sementara selama RALAS 2006 hingga bulan November 2006, batas-batas tanah dan data fisik lainnya atas 80.000 bidang tanah telah diidentifikasi, tetapi hanya 1.000 sertifikat tanah yang telah diserahkan pada pemilik yang berhak (idem). Sebagaimana terlihat dalam laporan-laporan resmi pada Kantor Pertanahan Aceh Barat, tingkat pengembalian bidang-bidang tanah yang telah disurvey oleh ke sembilan team adjudikasi BPN
-1-
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS)
sangat rendah. Di kecamatan Arongan Lambalek, Aceh Barat, dimana terdapat 3.931 sertifikat tanah yang berpotensial telah diidentifikasi oleh Team XVIII BPN, hanya 1.842 sertifikat yang dihasilkan dan diserahkan pada pemilik tanah yang berhak. Sementara di kecamatan Drien Rampak, di wilayah yang sama, dari 1.180 sertifikat tanah yang berpotensi yang telah diidentifikasi oleh Team VIII BPN, hanya 101 sertifikat yang dihasilkan dan disampaikan pada pemilik tanah yang berhak. Jadi dari keseluruhan 20.748 pemilik sertifikat tanah yang berpotensi yang diidentifikasi oleh para teman BPN dari seluruh Indonesia, hanya kurang dari sepertiga jumlah sertifikatnya telah dihasilkan dan diserahkan ke para pemilik tanah yang berhak hingga 26 April 2007. Hal ini disampaikan oleh kepala Kantor Pertanahan Aceh Barat, Budi Yazir, yang juga mengepalai Aceh Jaya, kepada pemerintah di tingkat yang lebih tinggi (idem). Dalam suatu wawancara dengan Budi Yazir di kantornya di Meulaboh, pada tanggal 2 Mei 2007, pejabat pertanahan tersebut menjelaskan halangan-halangan yang dihadapi dalam proses sertifikasi tanah. Pertama-tama, karena RALAS merupakan proyek nasional, BPN harus merekrut 30 team adjudikasi dari beragam kantor BPN setempat di Indonesia untuk melakukan penilaian atas penerima potensial sertifikat tanah yang baru diterbitkan, dan juga membagikannya pada para pemilik yang berhak. Team yang terutama terdiri atas staf BPN yang bukan orang Aceh ditambahkan staf BPN setempat yang menguasai bahasa setempat, seperti dalam ke sepuluh team yang dikirim ke Aceh Barat dan ke dua daerah pisahan dari Aceh Barat, yakni Aceh Jaya dan Nagan Raya. Proses identifikasi ini dimulai pada pertengahan April 2007, dengan masing-masing team yang ditugaskan untuk menyelesaikan pendistribusian 5.000 sertifikat tanah yang baru kepada pemilik tanah dan bidang kepemilikan lainnya yang sesuai (idem). Proses identifikasi ini melibatkan dua perusahaan, PT PT Tesaputra Adiguna dan PT Surveyor Indonesia yang membantu team adjudikasi dengan layanan pemetaan tanah, memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan, karena harus menghadapi beragam masalah. Efek demografis yang besar yang ditimbulkan oleh tsunami dan gempa bumi tahun 2004 yang telah menyebabkan kematian ribuan pemilik tanah dan lahan lainnya selain juga menyebabkan ribuan lainnya mengungsi ke barak-barak pengungsian dan tempat-tempat lainnya, memisahkan banyak bidang tanah dari pemiliknya yang berhak. Karenanya, tugas pengidentifikasian pemilik yang sah, atau pewaris masing-masing bidang tanah merupakan suatu pekerjaan yang memusingkan bagi setiap team, yang tidak mengenal daerah dan penduduk daerah-daerah tugas mereka (idem). Bagaimanapun juga, faktor-faktor teknis ini bukanlah satu-satunya alasan atas tingginya jumlah sertifikat tanah yang belum dikembalikan, yang masih menjadi kasus di bulan Juli 2007, dimana masih terdapat 4.467 sertifikat yang belum dikembalikan ke pemilik tanah di Aceh Barat dan Aceh Jaya, yang pada saat itu masih berada dalam pengawasan Kantor Pertanahan Aceh Barat. Faktor-faktor lain yang mempunyai efek-efek yang berpengaruh, seperti kualitas kerja team Adjudikasi, kurangnya keterlibatan petugas desa atau kecamatan, kurangnya antusiasme penduduk desa di Aceh sendiri untuk mendapatkan sertifikat tanah, yang mungkin bukan merupakan prioritas tertinggi mereka, atau keberadaan cara-cara lain untuk mengakui kepemilikan tanah seseorang, terutama berdasarkan hokum adat, yang dapat menjadikan sertifikat tanah siasia. Keseluruhan faktor ini membutuhkan penelitian lapangan dan dokumenter yang mendalam yang dilakukan oleh para peneliti muda progresif yang berafiliasi dengan INFID dengan menggunakan metodologi penelitian sebagai berikut.
-2-
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS)
II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini lebih bersifat kualitatif ketimbang kuantitatif, di mana tujuan utama adalah menilai RALAS sebagai suatu kebijakan, walaupun menggunakan jumlah sertifikat yang tidak tersalur sebagai titik masuk. Penelitian ini menggunakan penelitian dokumen, pengamatan lapangan, wawancara mendalam, metode graphis untuk mengkonsolidasikan informasi yang ada dan menjadi panduan dalam wawancara mendalam. Walaupun penelitian ini lebih bersifat kualitatif, seluruh proses penelitian ini tidak begitu saja jatuh dari langit. Alih-alih menguji hipotesa, seluruh proses penelitian ini dipandu oleh sejumlah asumsi dari mereka yang total mendukung prolyek RALAS ini, dan dari Tim Riset INFID ini sendiri. Asumsi-asumsi itu sebagai berikut: 1.
Asumsi Bank Dunia a. Membantu Korban tsunami yang kehilangan sertifikat. b. Meningkatkan peredaran roda ekonomi karena sertifikat dapat menjadi agunan untuk pinjam uang ke bank (lihat Steer & Breteche 2007). c. Sebagai rasa empati terhadap korban tsunami
2.
Asumsi Badan pertanahan Nasional a. Mengembalikan hak-hak keperdataan para korban tsunami b. Memampukan korban tsunami untuk memperoleh kembali haknya khususnya hak mereka terhadap tanahnya yang dilindungi oleh hukum atau peraturan negara
3.
Asumsi Tim Peneliti INFID a. Mempermulus masuknya investor sehingga mempersempit akses masyarakat terhadap tanah. b. Sertifikasi mempercepat pergeseran nilai kepemilikan tanah dari alat produksi dan perekat sosial menjadi komoditi. c. Sertifikasi bertentangan dengan semangat menghormati tradisi historis dan adat istiadat Aceh, di mana hak ulayat rakyat dikawal oleh imuem (kepala) mukim (mulai dari UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus NAD, diakui dalam MoU GAM-RI di Helsinki, 15 Agustus 2005, dan dikukuhkan dalam UU Pemerintah Aceh ).
Asumsi-asumsi ini telah digunakan sebagai semacam ‘kodifikasi’, dalam pengertian pedagogi Paulo Freire, yang telah mengalami ‘dekodifikasi’ melalui focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan di Meulaboh, Aceh Barat, dengan melibatkan beberapa orang dosen Universitas Teuku Umar (UTU), aktivis-aktivis ornop setempat, serta Camat Samatiga, yang wilayah yurisdiksinya meliputi sejumlah desa yang tercakuo dalam studi ini. Adapun pemilihan desa-desa yang dijadikan ajang wawancara mendalam dan pengamatan lapangan, berdasarkan suatu tipologi dengan kategori-kategori sebagai berikut: 1.
Kontras antara desa-desa yang mendapatkan pembagian sertifikat yang tinggi dengan pembagian sertifikat yang rendah;
2.
Kombinasi antara desa kota dan desa agraris;
-1-
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS)
3.
Kontras antara desa-desa dalam kategori (a) dan (b), dengan desa-desa yang tidak diliput oleh proyek RALAS;
4.
Kontras antara desa-desa di mana penduduknya telah mendapat sertifikat melalui proyek RALAS, lalu harus menjual tanahnya kepada proyek-proyek besar, dengan desa-desa yang tidak mendapat pembagian sertifikat RALAS, di mana penduduknya juga harus menjual tanahnya kepada suatu proyek besar milik pemerintah, yakni PLTA Peusangan.
Semua desa dalam kategori (a) dan (b) terletak di tiga kabupaten yang termasuk proyek RALAS, yakniu Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya. Sementara desa-desa dalam kategori (c) dan (d) berada di Kabupaten Nagan Raya, yang termasuk proyek RALAS dan Kabupaten Aceh Tengah, yang tidak termasuk proyek RALAS. Itu sebabnya, studi terhadap proyek RALAS ini janganlah dibaca sebagai suatu survei dalam pengertian konvensional yang kuantitatif dan positivistis, di mana hasil survei diperoleh dengan menyebarkan kuestioner kepada sejumlah cuplikan (samples), yang mereduksi orangorang desa sekedar menjadi angka. Sebaliknya, studi ini harus dilihat sebagai suatu semigrounded multiple case study, di mana para penelitinya merupakan instrumen penelitian yang utama, dengan menggunakan, antara lain, jaring laba-laba sebagai pedoman wawancara.
-2-
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS)
III. TEMUAN LAPANGAN
1. Tidak semua yang mendapat sertifikat adalah korban Tsunami Program RALAS ini ditujukan pada korban-korban tsunami, namun kenyataannya tidak semua sertifikat yang dibagikan tepat sasaran pada para korban tsunami. Ada beberapa desa yang sebenarnya bukan korban tsunami mendapat sertifikat gratis sementara desa yang benarbenar korban tsunami tidak memperolehnya. Misalnya, dari 12 gampong (desa) di Kecamatan Samatiga yang merupakan korban tsunami, hanya enam yang mendapat sertifikat. Sedangkan yang mestinya mendapat serfikat, digantikan dengan enam gampomg yang tidak kena tsunami, yakni Cot Seumereung, Cot Ploh, Cot Mesjid, Cot Seulamat, dan Cot Lampise. Program ini juga menyisakan pertanyaan bagi sebagian besar korban tsunami yang belum mendapatkan sertifikat gratis. Mereka masih menantikan sertifikat karena sejak tahun 2006 mereka telah didata oleh tim ajudikasi, juga fotokopi KTP dan Kartu Keluarga (KK) mereka sudah dikumpulkan. Misalnya di Kuala Seukee, Kecamatan Samatiga (Aceh Barat) banyak warga mengaku sudah mengisi formulir, menyerahkan KTP dan KK kepada keuchik merea, dan tanah mereka sudah diukur oleh petugas BPN awal Januari 2007. Tetapi sampai akhir penelitian ini mereka belum mendapat sertifikat. 2. Kelancaran Program RALAS tergantung pada keaktifan tim ajudikasi dan BPN. Menurut Kepala Kantor Agraria Aceh Barat, Budi Yasir, setiap Tim Ajudikasi mendapat target membagi 5000 sertifikat, tapi di Aceh Jaya dan Aceh Barat realisasinya jauh di bawah target, yakni hanya berkisar antara 1799 lembar sertifikat di Kecamatan Johan Pahlawan , Meulaboh (Aceh Barat) s/d 4392 lembar sertifikat di Kecamatan Arongan Lambalek (Aceh Barat). Tidak ada tim yang mampu menyelesaikan target 5000 sertifikat. Pembagian sertifikat pada pemiliknya juga tidak berjalan lancar, di mana masih banyak sertifikat yang belum dibagikan kepada pemiliknya yang sah. Pihak BPN dan tim ajudikasi pun sama sekali tidak memberitahukan kepada keucik dan camat perihal sertifikat-sertifikat yang masih menumpuk di kantor BPN tersebut. Menurut BPN Aceh Barat, seharusnya pembagian sertifikat itu dilakukan oleh tim ajudikasi. Namun karena waktu kontrak mereka sudah habis maka sertifikat–sertifikat yang belum terbagi diserahkan kepada BPN di daerah. Dengan alasan tidak ada anggaran, maka BPN di daerah kembali belum membagikan sertifikat yang masih menumpuk. Bahkan BPN Aceh Jaya, menurut Sayuti MB, warga gampong Kedai Panga dan Teuku Marhedi warga gampong Kuta Tuha, terkesan mempersulit para korban tsunami yang belum mengambil sertifikat gratis dengan alasan program ini sudah kadaluwarsa. Jadi sertifikat sudah tidak bisa diambil lagi. Hal-hal seperti ini tidak akan terjadi jika tim ajudikasi menyelesaikan pekerjaannya sesuai target, sampai dengan sertifikat berada di tangan pemilik yang sah.
-3-
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS)
3. Pelaksanaan program RALAS tidak banyak melibatkan masyarakat, dan bertentangan dengan sejumlah peraturan pemerintah dan qanun Pemerintah NAD: Bank Dunia mengklaim bahwa proses ajudikasi itu merupakan community-driven adjudication (CDA) process, tapi kenyataannya, petugas-petugas ajudikasi bekerja sesuai dengan proyek. Mereka hanya melibatkan keuchik dan camat, yang mendapat honorarium, tapi tidak melibatkan warga masyarakat yang lain, kecuali untuk memastikan batas-batas setiap persil tanah. Rakyat juga tidak diberitahu, apa indikator atau parameter pemilihan gampong yang mendapat sertifikat gratis tersebut. Keterlibatan keuchik (kepala gampong) dalam proses ajudikasi juga hanya simbolis. Hal ini bertentangan dengan PP No. 24/1997 tentang Proses Pendaftaran Tanah, khususnya pasal 8.2.b.3, di mana ditegaskan bahwa Kepala Desa (dhi, keuchik) harus menjadi salah seorang anggota Panitia Ajudikasi. Pelaksanaan proyek RALAS ini juga bertentangan dengan Qanun No. 5/2005 Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tentang Pemerintahan Gampong yang menegaskan peranan pembantu-pembantu keuchik dalam bidang pertanian yang dikenal dengan keujreun blang dan peutua seuneubo. Kenyataannya, pembantu-pembantu keuchik ini tidak dilibatkan dalam proyek RALAS ini, begitu oula Tuha Peut yang merupakan mitra kerja keuchik, berdasarkan Qanun di atas. Selain melanggar Qanun di atas, pelaksanaan proyek RALAS juga tidak melibatkan Imeum Mukim, yang bertentangan dengan Qanun No. 2/2003 tentang Susunan, Kedudukan dan Kewenangan Kabupaten atau Kota Dalam Provinsi NAD, serta Qanun No. 4/2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi NAD. Berdasarkan kedua Qanun itu, Mukim yang dipimpin oleh Imeum Mukim, merupakan pengelola dari sejumlah Gampong, dan sekaligus menjadi perantara antara Gampong dan Kecamatan. Dengan kata lain, Imeum Mukim merupakan perantara dari Keuchik dan Camat, dan ini adalah salah satu kekhususan dalam penyelenggaraan Pemerintah di Aceh. Tapi kenyataannya, walaupun Keuchik dan Camat dilibatkan secara pro forma atau simbolis dalam pekerjaan Tim Ajudikasi, Imeum Mukim sama sekali tidak dilibatkan. Tim ajudikasi tinggal terasing dari komunitas masyarakat, komunikasi dengan korban tsunami sangat terbatas, hanya dalam hal menunjukkan batas-batas tanah. Dari semua informan, tim riset INFID juga memperoleh informasi bahwa tim ajudikasi tidak pamit kepada Keucik dan Camat ketika mereka akan berangkat karena kontrak telah berakhir. Semua dilakukan sangat terburu-buru, sehingga di akhir tugasnya, dua orang anggota tim ajudikasi meninggal dunia akibat kecelakaan. 4. Tidak ada koordinasi yang jelas antara tim ajudikasi, BPN dan Pemerintah Kabupaten Menurut keterangan Mulyadi, Kabag Hukum Pemkab Aceh Barat yang ditemui tim riset INFID di Meulaboh, dalam program sertifikasi ini mereka pun tidak pernah dilibatkan. Bahkan data sertifikat yang belum dibagikan kepada masyarakat desa juga tidak diserahkan BPN kepada mereka. Berbagai masalah itu timbul akibat tidak adanya koordinasi antara BPN dengan Pemkab Aceh Barat. Salah satunya ketika ada program pembebasan tanah relokasi dari Pemkab, di mana dalam proses jual beli mereka membuat akte jual beli dari pemilik tanah kepada Pemkab Aceh Barat. Ketika hendak dilanjutkan pada pengurusan sertifikat kepada BPN, oleh BPN mengatakan tanah tersebut sudah disertifikatkan.
-4-
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS)
Mulyadi menyayangkan tidak adanya koordinasi tersebut, karena jika ada koordinasi maka sertifikat-sertifikat yang belum terbagi bisa disampaikan kepada masyarakat yang memiliki melalui Bagian Pemerintahan Pemkab Aceh Barat. 5. Sertifikasi tanah tidak serta merta mempermudah korban tsunami mendapatkan akses modal dari bank Fihak Bank Dunia mengklaim bahwa sertifikasi gratis mampu meningkatkan peredaran roda ekonomi karena sertifikat dapat menjadi agunan untuk pinjam uang ke bank (lihat Steer & Breteche 2007). Dari penelitian tim riset INFID diperoleh informasi yang berbeda-beda dari sejumlah informan. Yang jelas, klaim di atas tidak seutuhnya benar, karena ternyata sebagian besar korban tsunami tidak begitu mudah mengakses modal dari bank, khususnya mereka yang berprofesi sebagai petani. Akses yang paling besar diberikan kepada pengusaha dan PNS. Ini disebabkan karena menurut Kepala Bagian Kredit BRI Cabang Meulaboh, prinsip kredit Bank BRI adalah ekspansi modal, untuk mengembangkan usaha yang sudah ada. Para korban tsunami pada umumnya tidak memiliki usaha, karena semuanya sudah hancur dihantam tsunami. Padahal, untuk urusan pemberian kredit dengan agunan sertifikat tanah, BRI sangat ketat, karena jika angka kredit macet tinggi, maka mereka akan mendapat peringatan dari Bank Indonesia. Hal yang sama juga dikatakan oleh pegawai Bagian Kredit BPD Aceh Jaya, bahwa BPD memberikan pinjaman untuk pengembangan usaha bukan untuk modal usaha. Dari BRI Cabang Aceh Jaya di Calang diperoleh informasi, bahwa ada sekitar 50 orang PNS korban tsunami yang sudah mengagunkan sertifikatnya ke bank. Lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pengusaha korban tsunami yang sudah mencapai 70 orang. Selanjutnya menurut informan ini, jika warga masyarakat yang telah mengagunkan sertifikatnya ke bank tidak mampu membayar cicilannya, fihak bank berhak menyita dana melelang sertifikat tanah si peminjam, berdasarkan ketentuan yang baru. ”Tapi sejauh ini, fihak bank belum pernah menyita dan melelang tanah masyarakat, karena fihak bank menginginkan yang terbaik bagi masyarakat,” begitu informan itu menambahkan. Lain lagi keterangan aparat pemerintah lokal di Aceh Jaya. Menurut Camat Krueng Sabe, sudah ada 30 % warga masyarakatnya yang mengagunkan sertifikat mereka ke bank. Tapi itupun lewat pemborong. Sedangkan menurut Keuchik Ladang Baro, dari 80% warganya yang sudah mendapat sertifikat, yang sudah mengagunkan sertifikatnya ke bank hanya ada dua tiga orang. Sementara itu, dari kantor BPN Aceh Barat di Meulaboh diperoleh informasi, bahwa sertifikat gratis yang sudah masuk dalam catatan BPN sebagai jaminan di bank tidak terlalu banyak. Dari 30.847 sertifikat yang sudah dibagikan oleh tujuh Tim Ajudikasi yang dikerahkan ke Aceh Jaya dan Aceh Barat, hanya sekitar 5 % ”yang telah disekolahkan ke bank” (maksudnya, telah dijadikan agunan ke BPD Aceh, BRI, dan BNI). Begitu menurut Budi Yazir, Kepala Kantor Agraria Aceh Barat. Menjadikan sertifikat sebagai agunan ternyata dapat menjadi bumerang bagi para korban tsunami, jauh dari harapan Bank Dunia untuk memampukan mereka memutar roda ekonomi. Misalnya, seorang warga desa Suak Pandan bernama R sudah meminjam Rp 5 juta ke BRI dengan agunan sertifikat tanahnya untuk mengembangkan bisnis jual beli sepeda motor. Namun karena kesulitan membayar cicilan tepat waktu, R sering tidak berada di gampongnya dan tinggal di gampong mertuanya, a.l. untuk menghindari petugas bank.
-5-
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS)
Di Gampong Kuta Baru Nagan Raya juga, menurut keuchiknya,, banyak korban tsunami sudah mengagunkan sertifikatnya ke bank dan lembaga keuangan mikro lainnya. Hasilnya bukan pengembangan ekonomi keluarga, namun terancam kehilangan tanah karena tidak mampu mengembalikan cicilan hutang dan bunganya. Sertifikat gratis mendorong masyarakat untuk lebih konsumtif, sehingga uang hasil pinjaman hanya sedikit yang bermanfaat untuk usaha produktif. Di samping birokrasi yang panjang dan persyaratan yang berat, ternyata kewajiban yang berat setiap bulan membuat sebagian besar korban tsunami tidak tertarik meminjam ke bank. Dari pengamatan di daerah Meulaboh, ternyata bahwa bukanlah bank yang lebih banyak menerima sertifikat tanah sebagai agunan, melainkan lembaga keuangan mikro (LKM). Sementara bagi yang ingin proses cepat, pilihannya adalah rentenir, tanpa memikirkan bunga yang mencekik leher. Lembaga Keuangan Mikro sistem Syariah, yang menolak riba, seperti Baitul Qiradh (BQ) Amanah Ummat di Meulaboh cukup banyak dimanfaatkan para korban tsunami, dengan konsep bagi hasil lebih menguntungkan rakyat kecil. Namun BQ tidak terpaku pada sertifikat tanah sebagai agunan. Kepercayaan menjadi modal utama bagi mereka dalam meminjamkan uang. Sebagian besar nasabah BQ yang meminjam tidak disertai agunan. Mereka kuatirkan bahwa di masa depan banyak warga Aceh yang memperoleh sertifikat gratis akan kehilangan tanahnya karena terjerat pada rentenir. Lain lagi Desa Panggong, Kec. Johan Pahlawan, Meulaboh. Di kampung nelayan itu, para nelayan tidak tertarik mengagunkan sertifikatnya di bank. Alasannya takut tidak bisa membayar cicilan, proses dan syaratnya juga rumit. Selama ini keluarga nelayan yang sering berburu ikan hiu sampai ke Kepulauan Andaman dan Nicobar, yang termasuk wilayah maritim India, ini lebih percaya meminjam uang lepada sesama mereka. Peminjamannya tidak rumit, tanpa agunan bahkan tanpa kuitansi. Sesama mereka bisa meminjam sampai Rp 15 juta. Selain kepada sesama nelayan, mereka juga bisa meminjam ke toke bangku (pedagang penampung ikan) dengan jaminan hasil tangkapan ikan. 6. Sertifikat mendorong masyarakat menjadi warga yang wajib Pajak. Memang betul pembagian sertifikat meningkatkan peredaran roda ekonomi, tapi yang utama bukan dengan penggunaan sertifikat sebagai agunan untuk mendapatkan pinjaman dari bank, melainkan dengan pengukuhan kewajiban pelunasan pajak-pajak penduduk yang berkaitan dengan pemilikan dan jual-beli tanah, yang besarnya tergantung pada luas dan letak tanah, berdasarkan UU No. 21/1997 dan PP No. 28/1997. Jadi ironisnya, sementara tidak terlalu berhasil mengakses modal dari bank, sertifikat gratis lebih menjerat para korban tsunami ke sistem perekonomian negara, karena tidak seperti bukti kepemilikan tanah lainnya, sertifikat tanah mewajibkan pemegang sertifikat membayar pajak tanah sesuai dengan UU No. 21/1997. Dengan kata lain, sertifikatnya memang gratis, tapi sang pemegang sertifikat harus membayar lebih banyak pajak kepada Negara. Penerimaan pajak ini nantinya akan pakai untuk membayar kembali hutang-hutang Indonesia kepada Negara Kreditor dan lembaga-lembaga keuangan multilateral, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, serta lembagalembaga keuangan bilateral, seperti USAID (AS) dan JBIC (Jepang). Di situlah letak agenda tersembunyi Bank Dunia di balik pemberian sertifikat gratis itu.
-6-
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS)
7. Sertifikat bukan bukti kepemilikan tanah satu-satunya yang sah bagi masyarakat Aceh. Menurut pihak BPN, program RALAS sangat penting dalam mengembalikan hak-hak keperdataan para korban tsunami. Namun sebelum tsunami, bukti kepemilikan tanah yang diakui oleh masyarakat pada umumnya adalah Surat Kepemilikan Tanah (SKT) dan Akte Tanah yang ditandatangani oleh Camat. Kedua bukti tersebut sangat kuat nilainya bagi masyarakat Aceh. Hadirnya sertifikasi gratis mengubah pola pikir masyarakat bahwa bukti kepemilikan tanah yang paling kuat secara hukum adalah sertifikat. Itu sebabnya, warga yang belum mendapat sertifikat merasa kuatir suatu saat tanahnya digugat. Kuatnya kepercayaan masyarakat pada bukti-bukti kepemilikan tanah yang sudah ada, sebelum ada sertifikat, dapat dilihat dari kasus rencana ekspansi tanah untuk RS Cut Nyak Dien di kota Meulaboh. Rencana ekspansi itu terbentur pada sebidang tanah yang sudah diwakafkan oleh almarhum pemiliknya, khusus untuk kegiatan pendidikan agama. Jadi, surat wakaf pun tidak boleh dilanggar oleh warga masyarakat Aceh. 8. Sertifikat tidak menjamin kuatnya kepemilikan tanah. Jika di mata hukum, sertifikat diklaim sebagai bukti kepemilikan tanah yang paling kuat, tidak berarti tanah yang bersertifikat tersebut kebal dari ancaman invasi investor. Dengan atau tanpa sertifikat, invasi investor telah dan terus terjadi dengan dukungan pemerintah dan mukim. Misalnya, tanah seluas 65 hektar di Suak Puntong (Nagan Raya) milik 42 keluarga yang sudah disertifikasi saat ini sudah dibeli oleh PLN dengan harga Rp.100.000/ meter persegi. Tanah tersebut sebelumnya sudah disertifikatkan melalui program RALAS tahun 2007, namun hanya satu tahun setelah mendapatkan sertifikat, tanah tersebut harus diserahkan dengan terpaksa kepada PLN yang akan membangun sebuah PLTU di daerah tersebut, berkongsi dengan Sinohydro, sebuah BUMN RRT. Sementara itu, di gampong Kuta Makmu (Nagan Raya), sang keuchik berkolaborasi dengan Media Group dalam pencabutan hak-hak atas tanah penduduk di sana, sehingga perusahaan milik Surya Paloh, pengusaha nasional dan politikus berdarah Aceh dapat membuka tambang batubara dan mendirikan PLTU di sana. Tambang itu dibuka dan PLTU itu didirikan, dan keduanya sudah mulai beroperasi, tanpa perhatian terhadap aspek-aspek lingkungan, dengan ganti rugi yang rendah sekali, dan dengan sangat kurang mempekerjakan penduduk setempat dalam PLTU yang berbahan baku batubara di sana. Penduduk gampong itu, belum mendapatkan sertifikat gratis dari Bank Dunia. Sedangkan di Aceh Tengah, di mana tanah-tanah warga pada umumnya belum bersertifikat, PLN sudah menguasai banyak tanah warga masyarakat sepanjang aliran Sungai Peusangan untuk membangun PLTA Peusangan I, khususnya di gampong Senehen (Kec. Silihnara). Pencabutan hak atas tanah mereka sudah dilakukan di tahun 1995, untuk pembangunan diversion weir (bendung pengalih aliran) bagi PLTA itu. Walaupun tidak rela, mereka harus serahkan tanah tersebut untuk kepentingan umum dan takut dikatakan menghambat pembangunan.
-7-
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS)
9. Sertifikasi mempercepat pergeseran nilai kepemilikan tanah dari alat produksi dan perekat sosial menjadi komoditi. Menurut pengakuan informan di Suak Pandan, Suak Seukee, Kuala Bubon (Aceh Barat), Kuala Baru dan Suak Puntong (Nagan Raya) dengan adanya sertifikat harga tanah akan semakin mahal dari pada sekedar Akte Tanah. Proses jual belinya juga lebih cepat. Dalam pikiran masyarakat, sertifikat juga lebih mudah dijadikan agunan untuk meminjam uang ke bank. Begitu menurut Faisal Muhammad Ali, Keucik Kedai Panga. Motivasi masyarakat untuk mengurus sertifikat lebih bertumpu pada harapan memperoleh kemudahan mengajukan pinjaman ke bank, dan bagaimana tanah tersebut bisa dijual dengan harga yang lebih mahal. Bahkan di beberapa tempat sertifikat sudah menjadi semacam simbol status. Mereka yang belum memiliki sertifikat, merasa ’minder’ terhadap tetangganya yang sudah mendapat dokumen pemilikan tanah itu. Sertifikasi ini juga membuka peluang bagi unsur-unsur luar untuk masuk dalam komunitas masyarakat adat Aceh. Sehingga tanah sebagai perekat sosial komunitas adat perlahan-lahan memudar. Tidak ada lagi ketaatan terhadap Reusam Gampong yang sudah disepakati sejak zaman dulu, di mana jika seseorang hendak menjual tanah, maka dia harus menawarkan terlebih dahulu terhadap keluarga. Jika tidak ada yang berminat, baru kepada tetangga. Jika tetangga juga tidak berminat baru diberi kesempatan kepada kepada warga kampung. Baru terakhir jika warga kampung tidak ada yang berminat membeli boleh diberi kesempatan menjualnya kepada fihak luar. Di sisi yang lain, mayoritas masyarakat tidak menyadari bahwa kepemilikan sertifikat akan membawa beban baru, khususnya kewajiban pembayaran pajak yang tidak sedikit, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. 10. Sertifikasi bertentangan dengan semangat menghormati tradisi historis dan adat istiadat Aceh, di mana kepentingan rakyat desa seharusnya dikawal oleh imuem mukim dan keuchik berikut perangkat desa dan mukim, sebagaimana diteguhkan dalam berbagai undang-undang tentang pemerintahan Aceh serta Kesepakatan Helsinki, 15 Agustus 2005. Sertifikasi tanah secara besar-besaran, yang hanya melibatkan keuchik dan camat, dan tidak melibatkan imuem mukim, secara struktural mengabaikan institusi yang paling spesifik dalam melindungi hak ulayat orang gampong. Padahal, keberadaan mukim sebagai semacam federasi antar gampong, justru merupakan hal yang sangat spesifik di Aceh. Penggalakan proyek sertifikasi gratis tersebut dapat mengancam sistem adat yang ada di Aceh, karena tidak melibatkan imuem mukim, serta pejabat-pejabat gampong yang bertanggungjawab atas pengelolaan tanah, air, hutan dan laut, dan tidak mengindahkan reusam gampong yang semuanya itu telah dikukuhkan oleh qanun-qanun yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah NAD. Walaupun qanun-qanun yang baru yang didasarkan pada UU No. 11/2006 tentang Pemerintah Aceh Belem dikeluarkan, tapi kesepakatan internacional yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki tanggal 15 Agustus 2005, menegaskan dalam butir 1.1.6, bahwa ”kanun-kanun Aceh akan dikeluarkan kembali yang menghormati tradisi sejarah dan adat-istiadat rakyat Aceh dan mencerminkan kebutuhan hukum kontemporer Aceh” (Kanun Aceh will be re-established for Aceh respecting the historical traditions and customs of the people of Aceh and reflecting contemporary legal requirements of Aceh).
-8-
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS)
Makanya, pemerintah Indonesia secara nasional dan internasional terikat untuk mempertahankan dan mengfasilitasi transisi sistem pemerintahan Aceh dan seluruh perangkat hukumnya untuk menghidupkan kembali pengetahuan generasi lalu yang lebih arif secara sosial dan ekologis, dan tidak membebek pada suatu proyek Bank Dunia yang sepintas lalu kelihatannya gratis, tapi di kemudian hari menyodorkan kuitansi hutang luar negeri Republik ini kepada para korban tsunami.
-9-
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS)
IV. KESIMPULAN
1.
Dari kacamata Bank Dunia sendiri, pelaksanaan proyek RALAS ini telah dicemari oleh buruknya kualitas ajudikasi dari tim-tim ajudikasi yang dikirim BPN dari seluruh Indonesia ke Aceh, bertentangan dengan klaim proyek akan menjalankan “community-based adjudication”.
2.
Pelaksanaan proyek RALAS ini telah melanggar beberapa instrumen hukum nasional (UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh; Peraturan Pemerintah No. 28/1997) dan beberapa Qanun Provinsi NAD (Qanun No.2/2003 tentang Susunan, Kedudukan dan Kewenanganan Kabupaten atau Kota Dalam Provnsi NAD; Qanun No. 4/2003 tentang Pemerintahan Gampong; dan Qanun No. 5/2003 tentang Pemerintah Mukim).
3.
Pelaksanaan proyek RALAS membuka peluang terhadap kecurangan, seperti: •
Pemberian prioritas pengadaan sertifikat kepada orang-orang dekat Aparat Desa;
•
Pemberian sertifikat kepada penduduk desa-desa yang tidak merupakan korban tsunami, seperti yang terjadi di enam desa di Kecamatan Samatiga;
•
Sesuai dengan peraturan, bahwa sertifikat tanah gratis ini diprioritaskan untuk tanah pemukiman, namun dalam kenyataannya banyak lahan perkebunan yang disertifikatkan, dengan dipecah-pecah menjadi parsel seluas dua hektar.
4.
Distribusi sertifikat tanah melalui proyek RALAS ini tidak dirasakan sebagai kebutuhan yang urgen bagi banyak korban tsunami di Aceh, sebab berbagai bentuk bukti pemilikan tanah yang sudah ada di luar sertifikat tanah cukup dihormati oleh warga masyarakat Aceh:
5.
Alih-alih memperkuat partisipasi rakyat setempat dalam ekonomi lokal dan provinsi, distribusi sertifikat tanah secara meluas bukannya membuat mereka punya lebih banyak akses ke bank, melainkan memperdalam penetrasi Negara melalui peningkatan pajak (khususnya PBB) dibarengi penetrasi modal besar ke dalam kehidupan rakyat di gamponggampong :
6.
Dengan belum berfungsinya struktur imeum mukim, yang baru mulai dihidupkan kembali sejak era reformasi, maka dengan atau tanpa sertifikat, masyarakat pedesaan Aceh praktis tidak punya kekuatan menawar (bargaining power) terhadap masuknya proyekproyek raksasa yang didukung, atau dilaksanakan, dengan restu pemerintah pusat.
7.
Dari semua yang telah disimpulkan di atas, pada tataran yang lebih tinggi dan lebih lebar dapatlah disimpulkan bahwa proyek RALAS ini bertentangan dengan jiwa reformasi hukum tentang Aceh, yakni revitalisasi sistim pemerintahan yang berdasarkan hukum Islam dan hukum adat Aceh, yang berlandaskan sistem pemerintahan dari gampong ke mukim, yang lebih menjamin perlindungan bagi tanah, air, dan sumber daya alam (SDA) milik rakyat Aceh. Jiwa reformasi hukum inilah menjelujuri semua undang-undang tentang Aceh (khususnya UU No. 18/2001, yang sudah diganti oleh UU No. 11/2006), dan juga telah diakui dalam Kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan GAM yang ditandatangani di Helsinki tanggal 15 Agustus 2005:
- 10 -
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS)
V. REKOMENDASI
Sesuai dengan kesimpulan FGD hasil penelitian tim riset INFID dengan tokoh-tokoh pendidik, aktivis ornop dan seorang Camat di Meulaboh, hari Rabu malam, tanggal 8 Mei 2008, hanya ada dua hal yang ingin kami ajukan sebagai rekomendasi: 1.
Badan Pertanahan Negara (BPN) tidak perlu melanjutkan proyek RALAS, yang dibiayai dari hibah Bank Dunia, sebab pada dasarnya pengadaan sertifikat tanah secara meluas di provinsi ini menimbulkan banyak masalah di tingkat masyarakat, seperti: • kesenjangan satu gampong dengan gampong tetangganya, serta kecurigaan masyarakat desa terhadap keuchiknya buat mereka yang tidak kebagian sertifikat gratis; • di aras yang lebih tinggi, memperlemah kedaulatan rakyat Aceh berhadapan dengan kekuatan Negara dan modal besar, dan bertentangan dengan jiwa reformasi hukum di Aceh.
2.
Sesuai dengan jiwa reformasi hukum di Aceh yang telah dikukuhkan dalam UU No. 18/2001, yang sudah diperbaharui dalam UU No. 11/2006, dan ditegaskan pula dalam Kesepakatan Helsini tanggal 15 Agustus 2005, maka yang perlu diperkuat adalah fungsi dan peranan struktur pemerintahan adat, khususnya peranan mukim sebagai perantara antara rakyat gampong dan Negara di tingkat Kecamatan.
- 11 -
RECONSTRUCTION OF THE ACEH LAND ADMINISTRATION SYSTEM (RALAS)
BIBLIOGRAPHY:
Aditjondro, George Junus (2007). Profiting from Peace: The Political Economy of Aceh’s PostHelsinki Reconstruction. INFID Research Report No. 3. Afiff, Suraya (2006). Notes on Some Potential Impacts of the Implementation of Reconstruction of the Aceh Land Administration System (RALAS) on Customary Land Rights Institutions. Draft of paper presented at the 11th Biennial Conference on International Association for the Study of Common Property in Bali, Indonesia, June 19-23. Harley (ed) (2008). Mukim Masa ke Masa. Banda Aceh: Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh. Syarif, Sanusi M. (2003). Riwang U La’ot: Leuen Pukat dan Panglima La’ot dalam Kehidupan Nelayan di Aceh. Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu. Steer, Andrew and Jean Breteche (2006). “Land Titles in Aceh: So Much Hope, but More Action Needed.” The Jakarta Post, 2 December.
- 12 -
Address: Jalan Mampang Prapatan XI No.23 – Jakarta 12790 – Indonesia Phone (6221) 79196721, 79196722, Fax (6221) 7941577 Email:
[email protected],www.infid.org