Permohonan untuk Pertimbangan Tindakan Darurat dan Prosedur Peringatan Dini dalam hal Situasi Masyarakat Adat di Kalimantan, Indonesia oleh Komisi PBB untuk Eliminasi Diskriminasi Suku bangsa/Rasial
Komisi untuk Diskriminasi Suku bangsa/Rasial Sesi ke Tujuhpuluh Satu 30 July – 18 August 2007
Diserahkan oleh Perkumpulan Sawit Watch Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN (Indigenous People Alliance of the Archipelago) Aliansi Masyarakat Adat Kalimantan Barat (Indigenous People Alliance of West Kalimantan) Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM (Center for Community Study and Advocacy) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/WALHI (Friends of the Earth Indonesia) Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis/HuMA (Association for Community and Ecologically based Law Reform) Yayasan Padi Indonesia Lembaga Bela Banua Talino Lembaga Gemawan (Lembaga Pengembangan Masyarakat Swandiri/The Institution of Swandiri Society Empowerment) Institut Dayakologi Forest Peoples Programme
25 June 2007
Contents
Page
Ringkasan Eksekutif
1
Organisasi yang Menyerahkan
4
I. PENGANTAR
6
II. MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA
8
III. PERKEBUNAN MINYAK KELAPA SAWIT DAN HAK MASYARAKAT ADAT
10
IV. PELANGGARAN HAK MASYARAKAT ADAT DI KALIMANTAN YANG BERLANGSUNG SECARA TERUS-MENERUS
11
V. INDONESIA SEDANG DALAM TAHAP AKHIR MELAKUKAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERSKALA SANGAT BESAR DI WILAYAH TRADISIONAL MASYARAKAT ADAT DI KALIMANTAN
13
VI. HUKUM INDONESIA MENDISKRIMINASIKAN MASYARAKAT ADAT
17
A. Undang-Undang Dasar B. Hukum Pertanian C. UU Perhutanan tahun 1999 D. UU Perkebunan tahun 2004
17 18 19 20
VII. PERMOHONAN
22
VIII. LAMPIRAN
23
A. ‘President Admits Indigenous People Mistreated’, Jakarta Post, 10 August 2006
24
B. Oil Palm and Other Commercial Tree Plantations, Mono-cropping: Impacts on Indigenous Peoples’ Land Tenure and Resource Management Systems and Livelihoods, UN Permanent Forum on Indigenous Issues Working Paper, E/C.19/2007/CRP.6
25
C. Plantations Act 2004 don’t translate
43 58
D. Ringkasan terjemahan beberapa protes terseleksi oleh masyarakat Adat melawan proposal ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan.
1
Ringkasan Eksekutif Permohonan ini berkenaan dengan situasi masyarakat adat di Kalimantan, Indonesia untuk dipertimbangkan Komisi untuk Eliminasi Diskriminasi Suku Bangsa/Rasial agar melakukan tindakan secepatnya dan prosedur peringatan dini hingga dengan hormat diserahkan oleh 10 organisasi Indonesia, termasuk organisasi masyarakat adat nasional dan daerah, dan satu NGO internasional (lihat daftar organisasi yang menyerahkan permohonan ini). Permohonan ini disubmisi sehubungan dengan rencana lanjutan ini untuk menetapkan perkebunan kelapa sawit sepanjang kurang lebih 850 kilometer perbatasan IndonesiaMalaysia di Kalimantan sebagai bagian dari Mega-Proyek Kelapa Sawit Perbatasan Kalimantan Areal ini merupakan bagian dari wilayah yang secara tradisional dimiliki oleh masyarakat adat di daerah ini. Proyek ini akan mengakibatkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki …gangguan terhadap wilayah masyarakat adat, cara penghidupan sebesar ini mereka, dan integritas budaya, wilayah dan fisik mereka. mengancam Memang tidak berlebihan bila menyatakan bahwa gangguan sebesar ini mengancam kelangsungan hidup ketahanan masyarakat adat sendiri. Pada tahun 2007, Penyidik Khusus hidup PBB tentang situasi Hak Asasi Manusia dan kebebasan masyarakat fundamental masyarakat adat dan dua Penyidik Khusus yang ditunjuk oleh Forum Tetap PBB untuk Permasalahan adat (Masyarakat) Adat tiba pada kesimpulan yang sama. Produksi minyak kelapa sawit membutuhkan hutan masyarakat adat ditebang habis agar dapat membangun perkebunan dengan satu tanaman panen (mono-crop) yang akan menghancurkan ekosistem yang menjadi gantungan hidup masyarakat selama ribuan tahun. Pengalaman dengan perkebunan kelapa sawit luas yang telah ada di wilayah Indonesia lainnya secara konklusif mendemonstrasikan bagwa hak milik dan hak masyarakat adat lainnya diabaikan, haknya untuk memberikan persetujuan tidak dihormati, sebagian dipindahkan, dan secara de fakto mereka hanya dapat menjadi pekerja kasar yang mengumpulan hasil panen kelapa sawit untuk perusahaan yang mengelola perkebunan. Secara lebih umum, diskriminasi terhadap masyarakat adat sering terjadi pada pengelolaan hutan dan areal hutan di Indonesia. Hutan lindung, hutan konservasi dan lokasi pertambangan ditunjuk hanya oleh pemerintah, tanpa partisipasi oleh warga masyarakat adat, meskipun masyarakat adat adalah kelompok satu-satunya yang telah menghuni, menggunakan, berinteraksi dan bergantung pada tanah/sumber daya hutan selama yang dapat diingat oleh manusia. Biarpun peraturan perundangan Indonesia mengakui masyarakat adat dan sampai titik tertentu mendelegasi kewenangan kepada mereka untuk mengelola hutan, hutan-hutan tersebut secara hokum terklasifikasi sebagai hutan milik Negara dan masyarakat adat tidak diberikan hak apapun yang bermakna sehubungan dengan hal tersebut. Klasifikasi wilayah masyarakat adat sebagai hutan milik Negara berarti bahwa Negara memiliki pengendalian tertinggi atas tanah, dengan sejumlah implikasi untuk masyarakat adat. Contohnya, saat Negara memerlukan tanah untuk konsesi kayu atau perkebunan kelapa sawit, tanah tinggal dikonversikan saja untuk penggunaan tersebut dengan landasan
bahwa tanah adalah “bagian dari hutan negara’ dan digunakan untuk ‘kepentingan bangsa’. Diskriminasi terhadap masyarakat adat tertanam pada Konstitusi Indonesia. Pasal 4 (3) dari Konstitusi Indonesia menyatakan ketentuan bahwa “…..Negara menghargai hak masyarakat adat selama hak tersebut berada dan diakui dan tidak bertolak belakang dengan kepentingan nasional.” Dengan kata lain, hak masyarakat adat hanya akan dihormati sejauh Negara telah mengakui hak-hak sejenis-pada kasus hak milik tanah ini biasanya dilakukan melalui pengeluaran surat pemilikan tanah resmi, yang merupakan persyaratan untuk menunjukkan hak milik tanah dibawah undang-undang Indonesia – dan bahkan ini juga hanya sejauh Negara memilih untuk tidak mengklasifikasikan hak mereka sebagai kurang penting dibandingkan dengan kepentingan nasional. Dalam prakteknya, banyak masyarakat adat yang tidak memegang surat kepemilikan tanah atas tanah, wilayah dan sumberdaya tradisional mereka dikarenakan Negara gagal mengakui kepemilikan mereka dan hak lain mereka dengan menerbitkan hak guna tanah. … kebanyakan masyarakat adat tidak Karenanya Negara tidak perlu mematuhi persyaratan hukum (hak proses dasar dan kompensasi) yang memegang surat hak berhubungan dengan pengambilan alih tanah atas milik tanah, wilayah kepentingan nasional dalam kasus masyarakat adat; dan sumberdaya Negara bisa mengambil tanah masyarakat adat semaunya tradisionalnya, justru dan dengan alasan apapun.
karena Negara telah gagal mengakui kepemilikan mereka dan hak lain mereka
Situasi yang digambarkan disini telah memenuhi kriteria untuk dipertimbangkan oleh Komisi untuk prosedur peringatan dini dan tindakan mendesak dan merupakan cirri khas adanya pola diskriminasi rasial/suku bangsa yang serius, amat berat dan persisten terhadap masyarakat adat Indonesia. Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang amat besar, digabungkan dengan dampak yang terus-menerus dari perkebunan yang telah ada dan adanya hukum yang mendiskriminasi terhadap suku bangsa, termasuk tidak adanya cara yang efektif untuk melakukan banding pada tingkat domestic, adalah situasi yang ‘memerlukan perhatian sekarang juga untuk mencegah atau mematasi skala atau jumlah pelanggaran yang serius terhadap Konvensi” dan untuk mengurangi resiko diskriminasi rasial selanjutnya. Juga terdapat kecenderungan pemindahan jumlah masyarakat adat yang signifikan “dikarenakan oleh pola diskriminasi rasial atau instrusi atas tanah warga minoritas,” dan ancaman kerugian/kerusakan yang signifikan dalam waktu yang singkat dan tak tertolongkan pada masyarakat adat yang berada dalam daerah yang terdampak. Karena alasan-alasan yang tertera diatas, dengan hormat kami memohon agar Komisi: (a)
(b)
Mempertimbangkan situasi yang diuraikan disini dibawah peringatan dini dan prosedur tindakan mendesak pada sesinya yang ke71 yang akan diselenggarakan pada bulan Agustus 2007. Merekomendasikan agar Indonesia tidak melanjutkan Mega-Proyek Minyak Kelapa Sawit Perbatasan Kalimantan atau the Kalimantan Border Oil Palm Mega-Project dan proyek perkebunan kelapa sawit lainnya yang berimbas kepada masyarakat adat di Kalimantan, setidaknya hingga masa dimana Negara telah mengakui secara hukum dan telah mengamankan hak kepemilikan mereka untuk dan atas tanah, wilayah dan sumberdaya tradisional merek dan 2
(c)
(d)
(e)
mendapatkan persetujuan mereka secara bebas, didahulukan dan diinformasikan atas perkembangan apapun setelahnya. Merekomendasikan agar Indonesia membenahi pelanggaran yang berskala sangat besar dan terjadi dengan terus-menerus di perkebunan kelapa sawit yang sudah ada pada saat ini. Merekomendasi agar Indonesia mengadopsi tindakan legislative, administrative dan langkah lainnya untuk memberikan efek optimal dari hak yang dimiliki oleh masyarakat adat, termasuk dengan melakukan amendemen terhadap hukum yang berlaku pada saat ini, dan melakukannya dengan partisipasi yang penuh dan bebas masyarakat adat melalui perwakilan yang dipilihnya sendiri dengan bebas. Memohon perhatian dari Sekretaris Jendral PBB, Dewan Hak Azasi Manusia, Forum Tetap untuk Permasalahan Pribumi/Adat dan Komisaris Tinggi untuk Hak Azasi Manusia tentang situasi serius dan mendesak yang berdampak pada masyarakat adat di Kalimantan dan daerah lainnya di Indonesia.
3
Organisasi yang Menyerahkan •
Perkumpulan Sawit Watch adalah Organisasi non-Pemerintahan yang menangani dampak negatif pengembangan perkebunan kelapa sawit terhadap sosial dan lingkungan di Indonesia. Organisasi ini aktif 17 propinsi dimana perkebunan kelapa sawit tengah dikembangkan di Indonesia. Alamat: Jl. Sempur Kaler No. 28, Bogor 16129, tel: +62 251 352171/fax: +62 251 352047, e-mail:
[email protected], website: www.sawitwatch.or.id
•
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN (Indigenous People Alliance of the Archipelago) adalah organisasi masyarakat adat yang mewakii masyarakat adat dari seluruh Republik Indonesia. Aliansi betujuan untuk menjadi organisasi bagi masyarakat adat untuk memperjuangkan kedaulatan keberadaan dan hak-hak yang diwarisinya dengan itu serta dalam berjuang untuk menjalankan kehidupannya dan mengelola sumberdaya alamnya. Bidang kerja utama AMAN adalah 1] Pengembangan organisasi, jejaring dan lembaga; 2] Advokasi dan pembelaan hak adat; 3] Memperkuat sistem ekonomi yang berbasiskan adat/tradisi; 4] memperkuat wanita adat setempat; dan, 5] pendidikan untuk para muda adat setempat. Alamat: Jl. B No. 4, RT/RW 001/006, Komp. Rawa Bambu I, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Indonesia, tel/fax:+62-21-7802771, e-mail:
[email protected]
•
Aliansi Masyarakat Adat Kalimantan Barat (Indigenous Peoples’ Alliance of West Kalimantan)/AMAN Kalbar adalah salah satu kantor propinsi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN di Kalimantan Barat. Hingga bulan Oktober 2006 AMAN Kalbar telah langsung bekerja dengan anggota terdaftarnya sejumlah 106 komunitas warga adat, mencakupi 247,000 orang. Komunitas ini hidup di 9 kabupaten/kota di Kalbar: Ketapang, Pontianak, Sanggau, Sintang, Bengkayang, Landak, Sekadau, Melawi, dan Kapuas Hulu, dan mayoritas adalah Dayak. Alamat: Jl. Budi Utomo, No.03, Siantan Hulu, Pontianak Utara 78241, Kalimantan Barat, Tel/fax: +62 561 885264/885211, e-mail:
[email protected]
•
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM (The Institute for Policy Research and Advocacy), didirikan pada Agustus 1993, bekerja untuk mendorong dan mempromosikan adanya mekanisme yang efektif untuk akuntabilitas atas terjadinya pelanggaran HAM yang mengerikan; dan untuk mempromosikan resolusi dari pelanggaran HAM dari masa lampau melalui membuka kebenaran, menggunakan sanksi dan reparasi dan untuk membangun adanya asosiasi yang dapat diakui, demokratis dan berkesinambungan. Alamat: Jl. Siaga II No 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510, tel: +62 (21) 7972662/fax: +62 (21) 79192519, e-mail:
[email protected], web: www.elsam.or.id
•
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/WALHI (Friends of the Earth Indonesia) adalah forum non-pemerintah dan organisasi berbasis masyarakat terbesar di Indonesia. Walhi memiliki perwakilan di 25 propinsi dan memiliki lebih dari 438 organisasi anggota (per Juni 2004). Walhi melambangkan transformasi sosial, kedaulatan rakyat, dan kesinambungan kehidupan dan pneghidupan. WALHI bekerja untuk membela dunia lingkungan hidup alami dan komunitas setempat Indonesia dari ketidakadilan yang dilakukan atas nama perkembangan ekonomi. Alamat: Jl. Tegal Parang Utara No.14 Jakarta 12790, Indonesia, tel +62 21 7919 33 63-88 [fax] +62 21 794 1673, e-mail:
[email protected]
•
Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis/HuMA (Association for Community and Ecologically-based Legal 4
Reform), berdiri pada tahun 2001, dimulai oleh individu-individu yang memiliki pengalaman yang lama dan posisi yang jelas terhadap pentingnya komunitas dan reformasi hukum berbasis-ekologi untuk permasalahan yang berkaitan dengan tanah dan sumberdaya alam lainnya. Alamat: Jl. Jati Agung No. 8, Jati Padang – Pasar Minggu, Jakarta 12540, Indonesia, tel: +62(21)78845871, fax: +62(21)7806959, email:
[email protected] and
[email protected] •
Yayasan Padi Indonesia adalah organisasi non-pemerintah yang membidangi proses pembangunan (pertanian, perhutanan, perikanan dan perkebunan) berdasarkan prinsip kesinambungan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Alamat: Jl. Komplek Perumahan Dokter Balikpapan Tengah BPP, Belakang Puskip Rt.24 No.87 Mekarsari Balikpapan Tengah 76122, tel/fax: +62 542-443284/542426118, e-mail:
[email protected]
•
Lembaga Gemawan (Lembaga Pengembangan Masyarakat Swandiri/The Institution of Swandiri Society Empowerment) adalah hasil dari proses introspeksi yang panjang oleh beberapa aktifis mahasiswa untuk berkontribusi paa kebutuhan segera dalam hal transformasi sosial. Lembaga Gemawan didirikan untuk mentransformasikan ide transformasi sosial menjadi gerakan sosial yang sebenarnya. Lembaga ini juga dikembangkan untuk memberdayakan komunitas setempat sebagai mayoritas tanpa suara dalam masyarakat sosio-politis-ekonomi. Alamat: Jl. Dr. Wahidin, Gg. Batas Pandang Komp. Kelapa Hijau No. 18 Pontianak, tel/fax: +62 561 586891, e-mail:
[email protected]
•
Lembaga Bela Banua Talino (the Institute for Community Legal Resources Empowerment) didirikan pada tahun 1993 dan bertujuan untuk menangani berbagai permasalahan dan masalah problema pada perundangan lokcal dan kebijakan terhadap pengakuan dan perlindungan yang efektif untuk hak komunitas lokcal dan masyarakat adat telah dibuktikan tidak dapat menjamin kondisi aspek ekonomi, sosial dan politik. Alamat: Jl Budi Utomo, Komplek Bumi Indah Khatulistiwa, Blok A/3, Siantan Hulu, Pontianak 78241, Kalimantan Barat – Indonesia, tel. +62 561 885623 fax. +62 561 884566, e-mail:
[email protected]
•
Institut Dayakologi adalah organisasi yang berbasis masyarakat yang aktif yang secara utama bertujuan untuk merevitalisasi dan membangun kembali identitas budaya komunitas Dayak di Kalimantan melalui riset, advokasi, publikasi dan kegiatan lainnya. Institut mempromosikan kesadaran tentang orang Dayak dalam hal integritas budaya, hak atas tanah, hak property intelektual mereka dsb. Alamat: Jl. Budi Utomo Blok A 3 No. 3-4, Pontianak 78241, +62 561- 884 567/+62 5618831 735, e-mail:
[email protected]
•
Forest Peoples Programme (UK) adalah NGO internasional, berdiri pada tahun 1990, yang mendukung hak masyarakat hutan. Tujuannya untuk mengamankan hak masyarakat adat dan masyarakat lainnya, yang tinggal di hutan dan bergantung pada hutan untuk mata pencahariannya, untuk mengendalikan tanah dan takdir mereka. Alamat: 1c Fosseway Business Centre, Stratford Road, Moreton-in-Marsh GL56 9NQ, UK. Tel: (44) 01608 652893, Fax: (44) 01608 652878, e-mail:
[email protected]
5
I. PRAKATA 1. Pemerintah Indonesia berencana untuk membangun perkebunan kelapa sawit dalam skala sangat besar di atas areal yang membentang 850 km di Kalimantan sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia.1 Areal ini meliputi sebagian atau keseluruhan dari wilayah adat dari 1-1.4 juta masyarakat adat.2 Mereka tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan tentang perkebunan ini dan persetujuan mereka tidak pernah diminta ataupun diperoleh.3 Baik skala dan karakteristik perkebunan ini merupakan ancaman mendesak dan tak tertolong lagi terhadap masyarakat adat. Kasus ini secara jelas telah didemonstrasikan oleh dampak dari perkebunan kelapa sawit terhadap masyarakat adat di bagian Indonesia lainnya dan di seluruh dunia.4 2. Laporan ini menguraikan dan memperinci fakta bahwa meskipun langkah-langkah yang besar telah diambil dalam hal keterbukaan dan demokratisasi dalam kurun waktu beberapa tahun ini, diskriminasi terhadap masyarakat adat di Indonesia tetap umum dan melembaga. Ekspansi perkebunan kelapa sawit berskala sangat besar di Kalimantan bagaikan menjadi simbol daripada diskriminasi ini dan mengancam kelangsungan hidup dari masyarakat adat yang terdampak. Pada Mei 2007, Mr. Rodolfo Stavenhagen, Penyidik Khusus Special Rapporteur perihal situasi HAM dan kebebasan fundamental dari masyarakat adat, sampai pada kesimpulan yang sama saat beliau mengidentifikasi perkebunan di Indonesia sebagai menempatkan masyarakat adat “ pada ambang kehilangan seluruh wilayah tradisiona mereka dan dengan demikian menghilang sebagai rakyat yang berbeda.”5 3. Forum Tetap PBB untuk Permasalahan Adat atau The United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII) juga telah mengakui parahnya situasi yang diciptakan oleh perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Didorong oleh intervensi tentang situasi di Indonesia, pada 2006, PFII mengambil langkah yang tidak lazim dengan 1
2
3
4
5
‘Pemerintah merencanakan perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia’, The Jakarta Post, 18 Juli 2005 and; ‘Kunjungan Presiden ke Cina: Cina akan investasi US$7.5 milyar’, Media Indonesia, 30 Juni 2005. Mega Proyek Kelapa Sawit Perbatasan Kalimantan, Friends of the Earth Belanda dan the Swedish Society for Nature Conservation (SSNC), April 2006, hal 11 (menyatakan bahwa “Karena lokasinya yang terpencil, populasi di perbatasan Kalimantan cukup jarang. Total populasi di daerah perbatasan diestimasikan ada sekitar 300,000 penduduk, kebanyakan asli Dayak. Di Kalimantan Barat, densitas populasi adalah 27 orang/km2; di Kalimantan Timur adalah 13 orang/km2”). Tersedia di: http://www.orangutans-sos.org/downloads/palm_oil_mega_project.pdf Id. at hal. 13 (menyatakan “secara umum komunitas tidak mengetahui rencana pemerintah atas perbatasan hingga kini. Mereka yang mengetahui adanya proyek, dengan satu suara tidak menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan pengembangan kelapa sawit di daerahnya;”) dan, dalam Boks 3, hal. 13-15, tercantum daftar keluhan yang diserahkan oleh beberapa dari komunitas masyarakat adat. Lihat, antara lain, V. Tauli-Corpuz dan P. Tamang, Oil Palm and Other Commercial Tree Plantations, Monocropping: Impacts on Indigenous Peoples’ Land Tenure and Resource Management Systems and Livelihoods/Kelapa Sawit dan Perkebunan Pohon Komersial Lainnya, Panen Tunggal: Dampak terhadap Penggunaan Lahan dan Sistem Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Mata Pencaharian Masyarakat Adat, UN Permanent Forum on Indigenous Issues Working Paper, E/C.19/2007/CRP.6, paragraf. 33 (disebut sebagai “Makalah UNPFII”). Tersedia di: http://www.un.org/esa/socdev/unpfii/en/session_sixth.html; Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia: Implications for Local Communities and Indigenous Peoples/Tanah yang Dijanjikan: Kelapa Sawit dan Akuisisi Tanah di Indonesia: Implikasi untuk Warga setempat dan Masyarakat Adat, Sawit Watch, Forest Peoples Programme, ICRAF and HuMA, 2006. Tersedia di: http://www.forestpeoples.org/documents/prv_sector/oil_palm/promised_land_eng.pdf dan; Ghosts on Our Own Land: Indonesian Oil Palm Smallholders and the Roundtable on Sustainable Palm Oil/ Hantu di Tanah Sendiri: Petani Kecil Kelapa Sawit dan RSPO”)., Sawit Watch and Forest Peoples Programme, 2006 (disebut “Ghosts on our own Land/Hantu di Tanah Sendiri: Petani Kecil Kelapa Sawit dan RSPO”). Tersedia di: http://www.forestpeoples.org/documents/asia_pacific/bases/indonesia.shtml R. Stavenhagen, Penyidik Khusus tentang situasi HAM dan kebebasan fundamental masyarakat adat, Oral Statement to the UN Permanent Forum on Indigenous Issues Sixth Session/Pernyataan Lisan ke UNPFII, 21
Mei 2007, hal. 3. Tersedia http://www.un.org/esa/socdev/unpfii/documents/6session_SR_statement_asia_en.doc
di:
6
menunjuk dua anggotanya untuk menjadi Penyidik Khusus atau Special Rapporteurs yang ditugaskan untuk menulis makalah kerja tentang dampak dari perkebunan pada masyarakat adat (makalah ini dilampirkan disini sebagai Lampiran B). Makalah kerja ini mencantumkan bahwa pemerintah Indonesia mengumumkan rencana baru, “di dalam Mega-Proyek Kelapa Sawit Perbatasan (April 2006), untuk mengkonversi tambahan 3 juta hektar di Kalimantan, di mana 2 juta akan terletak di perbatasan antara Kalimantan dan Malaysia. … areal yang dianggap sesuai untuk kelapa sawit termasuk hutan yang dipergunakan oleh ribuan orang yang bergantung pada hutan tersebut untuk sumber penghidupan.”6 Selain mencantumkan daftar pelanggara HAM yang umum terjadi dengan adanya perkebunan skala-besar di atas wilayah masyarakat adat,7 makalah ini juga mengambil kesimpulan bahwa perkebunan kelapa sawit sarat dengan kerugian sosial dan lingkungan hidup yang berat yang serius dampaknya terhadap masyarakat adat, penghuni hutan dan hutan hujan tropis. Dari 216 juta orang di Indonesia, diestimasikan bahwa 100 juta, 40 juta darinya merupakan masyarakat adat, secara utam bergantung kepada hutan dan barang serta pelayanan dari sumberdaya alam. Areal hutan yang secara tradisional dipergunakan oleh masyarakat adat telah diambil alih.8 4. Ancaman mendesak dari ekspansi perkebunan kelapa sawit dalam skala sangat besar ke tengah wilayah masyarakat adat di Kalimantan semakin diperberat dan diperparah karena hukum di Indonesia tidak memberikan perlindungan yang efektif atas hak masyarakat adat. Faktanya, masyarakat adat itupun belum diakui keberadaannya dalam hukum nasional. Artikel 18B dari UUD, misalnya, mengakui “komunitas tradisional serta hak adat tradisionalnya” tetapi hanya sepanjang pengakuan itu dianggap konsisten dengan, antara lain, prioritas perkembangan nasional.9 Pengakuan yang mencurigakan ini lebih jauh terkompromi dengan aplikasi UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini on Village Government. Hukum ini menomorduakan otorita, lembaga dan hukum tradisional masyarakat adat di bawah pemaksaan dan penyatuan dengan sistem administrasi desa Jawa yang dengan ketat membatasi dan dalam beberapa kasus meniadakan penggunaan hak masyarakat adat. Undang-undang ini telah digantikan oleh No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang tetap mengandung unsur diskriminasi dalam menomorduakanhak masyarakat adat dan penghidupan mereka, terutama untuk keperluan laporan ini, UU No. 41 tahun 1999 tentang Perhutanan dan UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. 5. Situasi yang digambarkan disini telah memenuhi kriteria untuk dipertimbangkan oleh Komisi untuk prosedur peringatan dini dan tindakan mendesak dan merupakan cirri khas adanya pola diskriminasi rasial/suku bangsa yang serius, amat berat dan persisten terhadap masyarakat adat Indonesia. Ekploitasi perkebunan kelapa sawit dalam skala amat besar, digabungkan dampak yang terjadi secara terus menerus dari perkebunan yang sudah ada dan dengan adanya hukum yang diskriminatif, termasuk tidak adanya cara yang efektif untuk mencari keadilan/banding pada tingkat domestik, adalah situasi yang ‘memerlukan perhatian sekarang juga untuk mencegah atau mematasi skala atau jumlah
6 7 8 9
UNPFII Working Paper, pada para. 20. Id. pada para. 33. Id. pada para. 23. Artikel 18B(2) berbunyi “Negara mengakui dan menghargai hak masyarakat adat serta hak adat tradisional selama hak tersebut berada dan tidak bertolak belakang dengan perkembangan sosial dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan akan diatur oleh hukum.”
7
pelanggaran yang serius terhadap Konvensi” dan untuk mengurangi resiko dari diskriminasi rasial selanjutnya.10 6. Terdapat juga kecenderungan pemindahan jumlah masyarakat adat yang signifikan “dikarenakan oleh pola diskriminasi rasial atau instrusi atas tanah warga minoritas,” dan ancaman kerugian/kerusakan yang signifikan dalam waktu yang singkat dan tak tertolongkan pada masyarakat adat yang berada dalam daerah yang terdampak.11 Ketua UNPFII, misalnya, menyatakan bahwa meskipun “ ada beberapa statistik yang menunjukkan berapa jumlah orang yang beresiko kehilangan tanahnya” di propinsipropinsi Kalimantan di Indonesia, PBB telah mengestimasikan sekitar 5 juta masyarakat adat menghadapi perpindahan ekonomi, kebudayaan dan tanah karena perluasan penanaman untuk biofuel.12 Situasi ini membutuhkan tambahan perhatian internasional dengan mendesak.
II. MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA 7. AMAN, organisasi masyarakat adat di Indonesia mendefinisikan masyarakat adat sebagai kelompok penduduk dengan kelanjutan sejarah yang berkembang dalam areal geografis tertentu, dan memiliki nilai-nilai, ideologi dan sistem ekonomi, kebudayaan dan sosial serta wilayahnya sendiri.13 Hukum Indonesia menggunakan berbagai istilah untuk menunjuk kepada penduduk yang mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai pribumi, misalnya masyarakat suku terasing (alien tribal communities), masyarakat tertinggal (neglected communities), masyarakat terpencil (remote communities), masyarakat hukum adat (customary law communities) dan, lebih sederhana, masyarakat adat (communities governed by custom). 8. Meskipun tidak ada data sensus tentang jumlah orang yang mengidentifikasikan dirinya sebagai adat/pribumi atau yang bisa didefinisikan sebagai masyarakat adat, banyak studi yang telah menggunakan estimasi kasar 35-95 juta masyarakat adat, sementara lainnya lebih tinggi lagi hingga mencapai 120 juta.14 Dari jumlah ini, 45-60 juta tinggal di atas lahan yang secara hukum diklasifikasikan sebagai hutan (milik) umum.15 Masyarakat adat di Kalimantan mewakili 45% dari total
10
11 12
13 14
15
… PBB menyatakan 5 juta orang menghadapi perpindahan ekonomi, kebudayaan dan tanah …
Pencegahan Diskriminasi Rasial, termasuk peringatan dini dan prosedur mendesak: makalah kerja diadopsi oleh Komisi untuk Eliminasi Diskriminasi Rasial. Dokumen PBB. A/48/18, Lampiran III, para. 8-9. Tersedia di: http://www.ohchr.org/english/bodies/cerd/docs/A_48_18_Annex_III_English.pdf Id. Angka 5 juta orang yang dipublikasikan oleh PBB merujuk kepada seluruh populasi Dayak di propinsi Kalimantan. ‘Biofuels displace Indigenous Peoples’, Associated Press, 15 May 2007. Tersedia di: http://news.mongabay.com/2007/0516-indigenous.html Keputusan Kongres AMAN No. 01/KMAN/1999 O. Lynch, Whither the People? World Resources Institute, Washington DC, 1991; C. Zerner, Indigenous Forest-Dwelling Communities in Indonesia’s Outer Islands: Livelihoods, Rights and Environmental Management Institutions in the Era of Industrial Forest Exploitation, Makalah untuk the World Bank Forest Sector Review, World Bank, Washington DC, 1992; World Agroforestry Centre, 2005, Facilitating Agroforestry Development through Land and Tree Tenure Reforms in Indonesia, ICRAF SE Asia Working Paper No 2, Bogor, 2005. R. Stone & C. D'Andrea, Tropical Forests and the Human Spirit: Journeys to the brink of hope. University of California Press, Berkeley and Los Angeles, 2001, at hal. 125.
8
populasi di Kalimantan, atau sedikit lebih dari 5 juta penduduk.16 Semua masyarakat adat di Kalimantan berpotensi akan terdampak secara langsung oleh proyek perkebunan seperti yang diakui oleh PBB.17 Di daerah propinsi-propinsi Kalimantan yang termasuk dalam Mega Proyek ada 1 – 1.4 juta masyarakat adat yang akan terdampak oleh perkebunan kelapa sawit seluas 1.8 juta hektar.18 9. Kepulauan Indonesia terdiri dari hutan seluas 120.35 juta hektar, yang merupakan areal hutan terluas di Asia Tenggara dan terluas ketiga di dunia setelah Amazon and Congo. Hutan telah dikategorikan sebagai Hutan Produksi/Production Forests (58.25 juta hektar), Hutan Terlindung/Protected Forests (33.52 juta hektar), Hutan Konservasi/Conservation Forests (20.5 juta hektar) dan hutan yang dialokasikan untuk perkembangan non-perhutanan atau Hutan Konversi/Conversion Forests (8.08 juta hektar).19 Masyarakat adat telah hidup dalam hutan yang luasnya tiada tara ini selama milenia dan budaya dan hidup mereka telah bersatu dengan hutan mereka dan kelestarian hubungan yang kompleks dan multidimensional dengannya. 10. ‘Hutan adalah ibu kami, air susu ibu,’ ujar masyarakat adat Paser di Kalimantan Timur. Adalah di dalam hutan keberadaan mereka tercerminkan melalui sejarah lisan dan pengetahuan tradisional dan melalui sistem rezim penggunaan tanah yang terdefinisi dengan jelas dan terperinci yang menjadi dasar bagi semua masyarakat adat untuk memnbatasi teritori tradisional mereka. Dalam hubungannya dengan pengelolaan hutan, hukum adat telah dirancang untuk menjamin kesinambungan dan kebaikan bersama. Hukum hutan adat secara umum mengatur kepemilikan (individu, kolektif dan komunitas), alokasi (penggunaan hutan) dan aspek lainnya yang berkaitan dengan interaksi manusia dengan hutan. Karena itulah, dibawah hukum adat, hutan bebas dari intervensi pihak luar, termasuk bisnis/usaha setempat atau daerah20 Situs suci, yang menjadi titik focus untuk kehidupan spiritual, umumnya berlokasi di dalam hutan. Karenanya, pengelolaan hutan disertai oleh elemen spiritual dalam bentuk upacara keagamaan.
Hutan adalah ibu kami, air susu ibu kami 16
17 18
19
20
Statistik populasi Kalimantan tidak dibagi berdasarkan etnis, dan arsip sensus resmi pemerintah mencatat jumlah masyarakat adat Dayak tidak tersedia. Statistik sensus terbaru pemerintah menyatakan total populasi Kalimantan adalah 12,176,936 penduduk. Menggunakan estimasi bahwa 45%nya adalah orang Dayak, total populasi masyarakat adat adalah 5,479,621 penduduk. Sumber: Departemen Dalam Negeri, Kementerian Dalam Negeri (Sumber: Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Data_Wilayah_Adm_Pemerintahan.pdf) Lihat catatan no. 12 Untuk kepentingan laporan ini, ‘terdampak secara langsung’ digunakan untuk merujuk kepada penduduk yang kemungkinan besar akan direlokasi dari tanahnya, atau sebagian dari teritori tradisionalnya dan sumberdaya alamnya diambil alih oleh pemerintah atau perusahaan untuk perkebunan yang direncanakan.Semua masyarakat adat yang tinggal di ke7 kabupaten/kota di Kalimantan Barat yang menjadi bagian dari perkebunan yang direncanakan dianggap terdampak secara langsung. Total populasi kab/kota ini (pribumi dan non-pribumi) adalah 1.5-2 juta penduduk, dengan estimasi 70% adalah masyarakat adat. Data monografis desa dan distribusi populasi dalam daerah 100 km dari perbatasan dengan Malaysia, BPS Indonesia, 2005. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, Information and Analysis for Sustainable Forest Management: Linking National and International Efforts in South Asia and Southeast Asia, Bangkok, Thailand 2002. Tersedia di: http://www.fao.org/docrep/005/AC778E/AC778E11.htm Lihat, Seven Spells-Seven Curses: Reflection of the 10th Years of SHK Movement, John Bamba, diunduh pada tanggal 8 Juli 2006 dari http://www.kpshk.org/index.php?option=com_content&task=view&id=57&Itemid=2
9
11.
Bahwa masyarakat adat di Kalimantan tergantung pada keberadaan dan kesehatan areal hutan tradisional telah dengan jelas diilustrasikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB atau UN Food and Agriculture Organization study. Kajian tersebut menjelaskan bahwa This study explains that Membandingkan empat aspek yang berbeda dari empat komunitas: populasi, penggunaan lahan, produksi dan hak milik tanah. Perbandingan ini mengemukakan bahwa hanya sedikit kontribusi masyarakat adat terhadap jumlah perkembangan populasi Kalimantan Timur; bahwa masing-masing keluarga petani membutuhkan antara 15 hingga 40 hektar tanah untuk mempraktekkan agro-hutanisasi berkelanjutan yang akan meliputi penjagaan lahan hutan hujan tropis yang substansial; bahwa dalam sistem tradisional meskipun karakteristiknya termasuk hasil panen padi yang rendah, sebetulnya memproduksi banyak hasil (termasuk kayu, produk hutan non-kayu, beragam pangan dan obat-obatan) dan memiliki fungsi konservasi yang penting; dan bahwa kepemilikan tanah perlu diklarifikasi dan diformalisasi.21
12. Perkebunan kelapa sawit skala besar bagaimanapun menolak dan pada akhirnya menghancurkan hubungan masyarakat adat dengan hutan dan kepemilikan tradisional mereka dan sistem pengelolaan sumberdaya dan lembaganya. Karena keragaman hayati hutan seluruhnya dihancurkan dengan panen tunggal, yaitu industri kelapa sawit, persentase besar dari sumber pangan tradisional masyarakat adat juga dihancurkan sehingga ada tingkat ketahanan pangan menjadi rendah. Pertanian musiman (secara rotasi) tidak memungkinkan karena tidak ada hutan alami yang tersisa untuk menyburkan tanah hutan hujan yang tidak memadai sehingga menanam tanaman panen tidak mungkin dilakukan. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, ritual tradisional juga tidak dapat dilakukan di situs suci hutan karena situs ini dihancurkan saat lahan digunduli untuk perkebunan.
III. PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DAN HAK MASYARAKAT ADAT 13. Studi global tentang dampak perkebunan kelapa sawit pada masyarakat adat telah mengungkapkan bahwa selain melanggar hak fundamental atas lahan dan pengamanan sumber mata pencaharian mereka, perkebunan seperti ini membawa beragam dampak langsung dan tidak langsung yang menyebabkan kebinasaan komunitas masyarakat adat. Satu hasil yang langsung dan umum terjadi dari penyergapan perkebunan adalah meningkatnya konflik sosial antara masyarakat adat dan perusahaan yang dimiliki Negara dan pribadi, dengan perusahaan kadangkala menggunakan kekuatan Negara dan non-negara.22 Kekasaran seperti ini secara langsung mengancam keamanan pribadi masyarakat adat dan komunitasnya.
21
22
C. Pierce Colfer, Shifting Cultivators of Indonesia: Marauders or Managers of the Forest? UN FAO, 1993. Tersedia di: http://www.fao.org/docrep/006/u9030e/U9030E01.htm#P20_3622 Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods and Environmental Benefits: Strategic Options for Forest Assistance in Indonesia, World Bank, Desember 2006 hal. 2. Tersedia di: http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/2800161152870963030/IDForestStrategy.pdf?resourceurlname=IDForestStrategy.pdf
10
14.
Dampak kumulatif terhadap komunitas meliputi masalah kesehatan, termasuk meningkatkan malnutrisi dan kematian; perubahan ekologi penyakit yang mengakibatkan tingginya kejadian penyakit; dan meningkatnya tingkat penularan penyakit tertular seksual karena prostitusi di perkebunan atau areal logging. Tercatat juga meningkatnya kondisi pekerjaan yang eksploitatif dan diskriminatif, tingginya tingkat luka antara pekerja hutan dan perkebunan; terciptanya ketergantungan yang mengakibatkan hubungan eksploitatif dan hubungan pelindung-klien yang korup antara petugas hutan dan masyarakat adat. Perkebunan seperti ini secara umum telah disertai dengan runtuhnya struktur sosial tradisional, tercipatnya ketimpangan baru, melemahnya hukum adat, jaringan dukungan sosial dan sistem pengelolaan tanah.23
15.
Yang digambarkan sebelumnya telah didokumentasi dengan jelas dan telah terjadi di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan.24 World Bank mengkaji sektor perhutanan di Indonesia misalnya, secara jelas mengekspos bahwa kebijakan pemerintah dalam mendukung ekspansi kayu dan perkebunan kelapa sawit telah “memarginalisasi dan mengasingkan komunitas yang bergantung pada hutan dan masyarakat adat dari hutan tradisional dan penggunaannya, melalui penolakan hak dan akses” dan penolakan seperti ini telah” didukung dengan kekuatan.”25
16.
Dimana perkebunan telah didirikan diatas lahan mereka, masyarakat adat seringkali terpaksa menjadi petani kecil atau smallholders26 di tanah mereka sendiri, situasi yang hampir sama dengan keterikatan hutang pada kebanyakan kasus, memproduksi kelapa sawit untuk perusahaan yang mengendalikan lahan dan hutang mereka.27 Pengaturan yang umum terjadi adalah bahwa perusahaan kelapa sawit menyediakan bantuan teknis dan cadangan stok benih, pupuk dan pestisida. Petani kecil lalu diharuskan membayar kembali nilai uang tersebut dengan bunganya. Kebanyakan tidak mampu melakukannya – dan hutang mereka semakin menumpuk dengan jalannya waktu – dan dengan demikian mereka secara permanen menanggung hutang pada perusahaan dan terpaksa menyerahkan tenaga mereka sebagai gantinya secara permanen.28
17.
Dampak dan pelanggaran yang sama atas hak yang dijamin secara internasional ini dapat dipastikan terjadi dalam ekspansi perkebunan berskala besar ke dalam wilayah masyarakat adat dalam propinsi Kalimantan Barat dan Timur yang berada di bawah Mega-Proyek Kelapa Sawit Perbatasan Kalimantan ataupun proyek investasi perkebunan kelapa sawit yang disponsori pemerintah lainnya dan yang
23 24
25
26
27
28
Lihat, Makalah kerja UNPFII, supra, para. 33. Lihat, misalnya, Indonesian Path Towards Sustainable Energy: A Case Study of Developing Palm Oil as Biomass in Indonesia, KEHATI, INRISE, Sawit Watch, Bogor Agricultural Institute, Both Ends, 2006, hal. 26 (menggambarkan konflik sosial yang luas disebabkan oleh penanaman kelapa sawit). Tersedia di: http://www.bothends.org/strategic/061211_Biomass%20case%20study%20Indonesia.pdf Sustaining Economic Growth, World Bank, December 2006, supra, hal. 2. Lihat juga, Ghosts on Our Own Land, supra. RSPO mendefinisikan ‘Petani kecil/Smallholders’ sebagai usaha keluarga yang menghasilkan kelapa sawit dari lahan kurang dari 50 hektar luasnya. Lihat, antara lain, ‘Kelapa sawit tidak mutlak harus merugikan lingkungan hidup/ Palm oil doesn’t have to be bad for the environment’, 4 April 2007. Tersedia di: http://news.mongabay.com/2007/0404oil_palm.html; ‘The Impact of Palm Oil in Borneo/Dampak Kelapa Sawit di Kalimantan’, June 2007. Tersedia di: http://www.mongabay.com/borneo/borneo_oil_palm.html; Ghosts on Our Own Land, supra Id. See, also, Inter alia, S. Vermeulen & N. Goad, Towards Better Practices in Smallholder Palm Oil Production, Natural Resources Issues Series No. 5. International Institute for Environment and Development, London, 2006. Tersedia di: http://www.iied.org/pubs/pdf/full/13533IIED.pdf
11
dan yang menjadi focus laporan ini dan yang didiskusikan secara lebih terperinci di bawah ini.
IV: PELANGGARAN TELAH SEJAK LAMA TERUS BERLANGSUNG PERSISTEN TERHADAP MASYARAKAT ADAT DI KALIMANTAN 18. Pelanggaran atas hak dasar masyarakat adat Kalimantan sejak lama telah menjadi aspek hubungan mereka dengan pemerintah Indonesia, terutama dalam sekctor pertanian, perhutanan dan pertambangan.29 Hal ini diakui oleh Presiden Indonesia pada tanggal 10 Agustus 2006, saat beliau menerima bahwa hak masyarakat adat telah seringkali dikorbankan atas nama pembangunan nasional.30 Pelanggaran tersebut terutama terlihat jelas dengan kaitannya pada hak masyarakat adat untuk memiliki dan mengelola wilayah dan sumberdaya tradisionalnya, hak mereka untuk merasa aman dalah hal sumber mata pencahariannya, dan hak mereka untuk berpartisipasi dalam dan untuk menyetujui kegiatan yang mungkin berdampak terhadap mereka. Kebanyakan dari wilayah traditional adat tidak menikmati perlindungan hukum dan perlindungan nyaris tidak ada samasekali. Sebagai yang dijelaskan laporan Asian Development Bank Institute pada tahun 2005 menjelaskan, Hutan adalah pusat dari kehidupan ekonomi dari masyarakat disekelilingnya. Di Indonesia, pemerintah seringkali menganggap masyarakat adat atau penduduk desa hutan yang hidup dalam atau dekat hutan di pulau-pulau luar (seperti Dayak dari Kalimantan) bagaikan mereka tidak ada.31 19. Antara lain, masyarakat adat di propinsi-propinsi Kalimantan telah menderita selama beberapa decade karena kebijakan transmigrasi pemerintah dimana berjutajuta orang dipindahkan dari daerah dengan populasi tinggi di Indonesia ke wilayah dengan populasi yang rendah. Selama transmigrasi, masyarakat adat melihat tanah mereka diasingkan dan diklaim oleh penduduk baru, dan perselisihan dengan kekerasan telah berlanjut hingga kini. Dampak jangka lama dari program transmigrasi termasuk pengasingan masyarakat adat dari tanah mereka, tekanan populasi dan sengketa antar-komunitas. The World BankBank Dunia, dalam kajiannya mengenai transmigrasi yang secara langsung didukungnya, mengakui 29
30
31
Lihat, Without Remedy: Human Rights Abuse and Indonesia’s Pulp and Paper Industry/Tanpa Penyembuh: Pelanggaran HAM dan Industri Pulp and Paper Indonesia, Laporan Human Rights Watch: Indonesia, Vol.
15, No. 1(C), Jan. 2003. Tersedia di: http://www.hrw.org/reports/2003/indon0103/index.htm#TopOfPage; Indonesia: Grave Human Rights Violations in Wasior, Papua, Laporan Amnesty International ASA 21/032/2002, 26 September 2002. Tersedia di: http://web.amnesty.org/library/Index/engasa210322002; C. Ballard, Human Rights and the Mining Sector in Indonesia. International Institute for Environment and Development: London, 2001. Tersedia di: http://www.iied.org/mmsd/mmsd_pdfs/indonesia_hr_baseline.pdf; and, D. Hyndman, Ancestral Forests and the Mountain of Gold: Indigenous Peoples and Mining in Indonesia. Boulder, Colorado and London: Westview Press 1994. ‘President Admits Indigenous People Mistreated’, Jakarta Post, 10 August 2006 (see Annex B for full text). Y. Maunati, Sharing the Fruit of Forestry Products: Indigenous Peoples and their Incomes in the Forestry Sector in East Kalimantan, Indonesia. Asian Development Bank Institute, Makalah diskusi No. 24, 2005, at hal. 9 (disebut “Sharing the Fruit/Berbagi Buah”). Tersedia di: http://www.adbi.org/files/2005.02.dp24.forestry.sector.indonesia.pdf
12
misalnya , bahwa “ada dampak negatif yang besar dan kemungkinan besar tak tertolongkan pada masyarakat adat,” dan mereka menarik pendanaannya pada akhir tahun 1990an.32 20. Salah satu konsekwensi era transmigrasi yang kekal adalah naiknya populasi di Kalimantan. Kalimantan Timur dan Barat memiliki populasi kurang dari 3 juta penduduk pada tahun 1971- pada tahun 2000 populasi ini telah meningkat menjadi 6.5 juta penduduk sebagai konsekwensi langsung dari program yang disponsori oleh pemerintah dan migrasi keluarga yang berkaitan dengannya33. Di Kalimantan Barat, pertumbuhan populasi ini menghasilkan peningkatan pesat dalam jumlah petani kecil lahan kelapa sawit dan di Kalimantan Timur banyak dari penetap baru ini telah diserap ke dalam perkebunan kelapa sawit berskala besar. Transmigrasi secara langsung bertanggung jawab atas Kalimantan kehilangan persentase besar dari tanah tradisional mereka – situasi yang hingga kini belum ditangani secara layak oleh Negara jangankan diperbaiki – keduanya dikarenakan masuknya transmigran dan karena logging dan pendirian perkebunan setelahnya.34 21. Ancaman histories transfer populasi, konsesi logging dan pengasingan lahan yang berkaitan dengannya sekarang diperburuk dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam kutipan dari laporan Asian Development Bank Institute diatas, Pada tahun 1980an masa keemasan penebangan kayu/logging telah usai. Sejak itu kita melihat ekspansi perkebunan berskala besar sebagai hasil panen ekspor. Hal ini berimplikasi berat untuk suku Dayak. Kita ketahui bahwa suku Dayak sangat bergantung pada produk hasil hutan, seperti madu, gaharu dan rotan. Mereka kini menghadapi masalah dalam mempertahankan mata peencaharian tradisional mereka. Konsesi logging dan areal penebangan kayu menyebabkan para Dayak diusir dari tanah milik mereka dan lingkungan hidup mereka telah dihancurkan.35 22. Para Dayak dan masyarakat adat lainnya kini terancam kehilangan persentase yang besar dari sisa basis tanah mereka karena Mega-Proyek Kelapa Sawit Perbatasan Kalimantan dan investasi sponsor pemerintah untuk perkebunan kelapa sawit lainnya. Pembangunan lebih lanjut dari perkebunan kelapa sawit juga akan meningkatkan keberadaan transmigran di wilayah adat dengan dibawa masuknya pekerja perkebunan, memperburuk konflik tanah yang telah ada.
32
33
34
35
World Bank, Indonesia Transmigration Program: a Review of Five Bank-Supported Projects, Operations and Evaluation Department, Country Specific Sector Review 12988, April 1994: http://wbln0018.worldbank.org/oed/oeddoclib.nsf/4e0750259652bf5885256808006a000d/777331ddd0 b6239c852567f5005ce5e2?OpenDocument Statistik populasi bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS-Statistics Indonesia), badan independen yang melapor ke Presiden. Statistik persisnya adalah 2,753,733 individu pada tahun 1971 dan 6,489,318 pada 2000 untuk Kalimantan Timur dan Barat. Statistik lengkap tersedia di: http://www.bps.go.id/sector/population/table1.shtml Sharing the Fruit, supra, pada hal. 9 (menjelaskan bahwa “Masalah pendudukan yang dipaksa juga berkaitan dengan tuduhan bahwa para Dayak merusak hutan dengan praktek pertanian potong dan bakarnya. Namun, perlu dicatat bahwa penilaian pemerintah tentang fakta ini patut dipertanyalan mengingat pemerintah Orde Baru mendukung perusahaan kayu untuk merusak hutan sedangkan pada saat yang bersamaan merelokasi suku Dayak ke kompleks perumahan”). Id. pada hal. 11.
13
V. INDONESIA SEDANG DALAM TAHAP AKHIR MELAKUKAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERSKALA SANGAT BESAR DI WILAYAH TRADISIONAL MASYARAKAT ADAT DI KALIMANTAN 23.
Menurut hukumnya, Indonesia mematuhi KoOnvensi Internasional untuk Eliminasi Semua Bentuk Diskriminasi Rasial/Suku Bangsa pada tahun 1999 karena meyakini bahwa Konvensi ini memberikan mekanisme yang penting dalam memastikan kesetaraan di mata hukum dan untuk mencegah dan meniadakan semua bentuk diskriminasi rasial.36 Meskipun demikian, hukum dan prakteknya di Indonesia saat ini mendiskriminasikan masyarakat adat. Seperti yang dijelaskan dalam bagian berikutnya, hukum ini gagal memberikan perlindungan yang layak untuk, antara lain, hak masyarakat adat untuk memiliki dan mengendalikan wilayah tradisional mereka dan haknya untuk menyetujui kegiatan yang berdampak pada mereka.37 Wilayah masyarakat adat mungkin hanya diserahkan dalam konsesi pada pemegang konsesi berdasarkan deklarasi kepentingan umum yang unilateral dan masyarakat adat tidak memiliki jalan untuk melakukan banding untuk menentang keputusan seperti ini.
24.
Kegagalan Indonesia untuk memberikan perlindungan yang berarti bagi masyarakat adat lebih diberatkan oleh diskriminasi rasial/suku bangsa yang serius, amat berat dan persisten terhadap masyarakat adat Indonesia dalam prakteknya. Pelanggaran seperti ini terutama menonjol dan mengakar dalam industri ekstaktif dan agro-industri. Malah laporan ini telah diserahkan justru karena Indonesia tengah merencanakan ekspansi perkebunan kelapa sawit berskala sangat besar ke dalam wilayah tradisional masyarakat adat di Kalimantan sebagai bagian MegaProyek Kelapa Sawit Perbatasan Kalimantan yang kontroversial.38 Proyek ini akan diimplementasikan pertama kali dengan mengambil dan mengkonversi areal hutan tradisional masyarakat adat menjadi perkebunan kelapa sawit, yang akan diserahkan kepada perusahaan multinasional dan domestic melalui penerbitan hal guna Masyarakat adat akan lahan jangka panjang. kehilangan mata
25.
Masyarakat adat, seperti yang telah terjadi di tempat lainnya di Indonesia, akan dipaksa untuk pindah atau untuk menjadi petani kecil yang memanen kelapa sawit untuk perusahaan yang memegang perkebunan. Mereka akan Masyarakat adat akan kehilangan mata pencaharian tradisional dan menjadi buruh
36
37
38
pencaharian tradisional dan menjadi buruh upah dan petani berhutang yang berkerja untuk perusahaan yang mengambil kendali atas lahan leluhur mereka
Pertimbangan a, b and c dari UU No. 29 Tahun 1999 (dengannya Parlemen Indonesia setuju untuk terikat Konvensi). Lihat, Rekomendasi Umum XXIII (51) tentang Masyarakat Adat. Diadopsi pada pertemuan Komisi yang ke 1235, 18 Agustus 1997. Dokumen PBB. CERD/C/51/Misc.13/Rev.4. Untuk kritik keras tentang proyek, lihat, antara lain, The Kalimantan Border Oil Palm Mega Project, Friends of the Earth Netherlands and the Swedish Society for Nature Conservation (SSNC), April 2006; Media Indonesia. 2005. Kunjungan Presiden ke China: China Investasi US$7,5 Miliar. 30 June; Obidzinski, Krystof, Agus Andrianto and Chandra Wijaya, Timber Smuggling in Indonesia, critical or overstated problem?: forest governance lessons from Kalimantan, Bogor, Indonesia, Centre for International Forestry Research (CIFOR), September 2006. hal. 8, 10-12. Tersedia di: http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/Books/BObidzinski0601.pdf
14
upah dan petani berhutang yang berkerja untuk perusahaan yang mengambil kendali atas lahan leluhur mereka. Dasarnya, mereka akan menderita kerusakan yang tak tertolongkan lagi dalam hal hukum mendasar mereka dan kebaikan mereka sehingga bertahannya mereka sebagai wujud kebudayaan yang berbeda akan terancam dengan parah. Situasi ini membutuhkan dan menarik perhatian internasional secara mendesak dan supervisinya. 26.
Dalam Mega-proyek Kelapa Sawit Perbatasan sekitar 18 perusahaan perkebunan kelapa sawit masing-masing telah mengajukan lahan kebun seluas rata-rata 100,000 hektar.39 Berdasarkan perkiraan biaya dari salah satu perusahaan paling barat wilayah perbatasan yang dikembangkan oleh Badan Usaha Milik Negara, PT Perkebunan Nusantara, diperkirakan investasi sekitar US$ 8.6 milliar dibutuhkan untuk menerapkan keseluruhan skema proyek tersebut.Under the Kalimantan Border Oil Palm Mega-Project some 18 separate oil palm plantations have been proposed each with an average size of 100,000 hectares.40 Based on the projected costs of the most westerly of these plantations being established by the para-statal plantation company, PT Perkebunan Nusantara, it is estimated that an investment of around US$ 8.6 billion is being sought to implement the overall scheme.41
27.
Mega-Proyek Kelapa Sawit Perbatasan Kalimantan telah diumumkan dalam konteks dua kunjungan ke Cina oleh Presiden Republik Indonesia. Meskipun kontrak resminya belum diumumkan, artikel koran mengekspos bahwa perusahaan Cina, Singapura, Malaysia serta BUMN Indonesia dan perusahaan swasta telah didukung untuk melakukan investasi dalam rencana ini. Termasuk yang tertarik adalah Artha Graha, yang berhubungan dengan dana kesejahteraan pensiun angkatan bersenjata Indonesia, Yayasan Kartika Ekta Paksi, grup Sampoerna, keduanya dari Indonesia, grup group, both of Indonesia, the grup PT Perkebunan Nusantara, the China Development Bank dan konglomerat milik pemerintah Cina, CITIC, bekerjasama dengan Grup Sinar Mas Indonesia dan Golden-Agri Resources of Singapore.42
28.
Untuk lebih mempromosikan proyek ini, Pemerintah mengadakan pertemuan dengan investor yang tertarik serta tokoh parlemen dan organisasi riset selama tahun 2005 dan 2006. Dalam seminar yang diselenggarakan oleh Bappenas pada awal 2006, dimana lembaga dan organisasi riset, NGOs dan 11 badan pemerintah diundang, pandangan yang berbeda dengan signifikan tentang kemungkinan atau feasibility dari perencanaan ekspansi perkebunan kelapa sawit dipresentasikan,
39
40
41
42
Pembangunan Kawasan Perbatasan Melalui Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di Propinsi Kalimantan Barat, Konsorsium, PT Perkebunan Nusantara 1-XIV (Persero), Jakarta, 2005. Pembangunan Kawasan Perbatasan Melalui Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit di Propinsi Kalimantan Barat, Konsorsium, PT Perkebunan Nusantara 1-XIV (Persero), Jakarta, 2005. China Daily (Beijing) 26 April 2005; Bisnis Indonesia (Jakarta) 9 August 2005; Antara (Jakarta) 9 August 2005. Konsorsium Cina Memandang Bisnis Sektor Kelapa Sawit, Antara, 25 April 2005; Chinese Investors eye RI palm oil sector, Jakarta Post, 9 June 2005; Kadin akan Membantu Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia, Antara, 10 June 2005; Artha Graha, Sampoerna Berkerjasama dengan Investor Cina dalam Agrobusiness, Antara, 18 July 2005; RI inks US$7.5 bn in deals with China, Jakarta Post, 30 July 2005; China Bangun Kebun Sawit Senilai US$8 miliar, Bisnis Indonesia, 9 August 2005; Cina Merencanakan Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan, Antara, 9 August 2005; Ambalat milik Kita, Tempo, 16-22 August 2005.
15
tetapi rencana untuk menjalankan konversi lahan untuk keperluan ini dijalankan.43 Meskipun ada ketidaksetujuan dalam pemerintah dalam kemungkinan program ini, protes eksternal yang kuat dan kurangnya persetujuan oleh masyarakat adat, baik pemerintah pusat maupun daerah di Lundu di Kalimantan Barat dan Malinau di Kalimantan Timur tetap melangkah maju dengan proyek ini.44 29.
Jumlah orang yang secara langsung akan terdampak dengan relokasi secara terpaksa meninggalkan areal Mega-Proyek Kelapa Sawit Perbatasan Kalimantan akan tergantung pada wilayah final yang akan terselimuti oleh perkebunan. Bagaimanapun, untuk 1.8 juta hektar yang diproposalkan saat ini, 300,000 individual akan dipindahkan dari lahan tradisional mereka untuk memeri jalan untuk perkebunan.45 dan sekitar antara 1 – 1.4 juta masyarakat adat akan terdampak secara langsung olehnya.46 Efek mengalir selanjutnya pada komunitas dan rakyat yang tinggal di sekitar perkebunan akan secara besar meningkatkan jumlah orang yang terdampak.
30.
Penebangan hutan berskala besar di tengah aliran air Kalimantan juga berimplikasi hal yang mengkhawatirkan berkaitan dengan ekosistem hutan dan sungainya, dan masyarakat adat dan penduduk di hilir sungai yang sumber mata pencahariannya bergantung pada hutan yang sehat ini. Kajian terperinci menunjukkan bagaimana logging dan konversi menjadi perkebunan kelapa sawit adalah alasan utama cepatnya hutan menghilang di Kalimantan Indonesia.47 Kalimantan Barat, misalnya, kehilangan lebih dari 56% dari hutannya antara tahun 1985 dan 2001. Ilmuwan memprediksi bahwa efek yang meluas akan menyebar ke seluruh ekosistem wilayah, menyebabkan populasi fauna terutama karnivora, ungulates dan primate untuk menurun dengan cepat dan bahkan menyebabkan kepunahan spesies.48 Kebanyakan dari binatang ini adalah sumber fundamental untuk diet masyarakat adat.
31.
Belum ada proses untuk melakukan konsultasi dengan organisasi masyarakat adat untuk memastikan bahwa hak dan kepentingan mereka telah diakomodir oleh Mega-Proyek Kelapa Sawit Perbatasan Kalimantan atau dalam program ekspansi kelapa sawit lebih luas secara nasional. Protes yang diajukan hingga kini oleh koalisi organisasi local, nasional dan internasional, NGO lingkungan hidup dan HAM, organisasi riset dan lembaga donor, anggota DPD dan organisasi dan asosiasi mahasiswa dan Kementerian Perhutanan belum menghasilkan pengkajian ulang Mega-Proyek atau rencana ekspansi perkebunan lainnya.49
43
44 45
46
47
48
49
Dep-II/Bappenas/23 Januari 2006 (23 Januari 2006) tersedia di http://www.bappenas.go.id/ dalam Bahasa Indonesia. Government seeks new land for border project, Jakarta Post, 8 May 2006. The Kalimantan Border Oil Palm Mega Project, Friends of the Earth Netherlands and the Swedish Society for Nature Conservation (SSNC), April 2006, supra, hal. 11. Monografis data desa dan distribusi populasi dalam daerah 100 km dari perbatasan dengan Malaysia, Badan Pusat Statistik, Pemerintah Indonesia, 2006. Lihat catatan no. 16 untuk penjelasan istilah ‘terdampak secara langsung’. The World Bank mengidentifikasi kayu untuk perkebunan kelapa sawit sebagai penyebab utama untuk penggundulan hutan dan penyebab tunggal terbesar untuk ekspansi dalam skala amat besar pada daerah pertanian. Lihat Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods and Environmental Benefits: Strategic Options for Forest Assistance in Indonesia, World Bank, December 2006, supra, hal. 30. LM Curran, et al., Lowland Forest Loss in Protected Areas of Indonesian Borneo, Science Vol. 303 (No.5660):1000-1003 2004; lihat juga, World’s largest oil palm plantation could spell disaster for upland
forests of Indonesian Borneo – WWF, Press Release WWF International, Gland, 10 August 2005. Lihat, respons yang muncul melawan proyek perbatasan yang diproposalkan, http://www.samarinda.go.id/node/8273 atau
16
32.
Survey lapangan yang dilakukan di Kalimantan Barat dan Timur pada tahun 2005 dan 2006 menunjukkan bahwa perkebunan terus dibangun di kedua propinsi tanpa menghargai hak masyarakat adat, dengan kompensasi minimal untuk kehilangan mereka dan disertai oleh intimidasi dan gangguan kepada warga komunitas bila mereka memprotes pengambil alihan tanah mereka.50 Pola yang mirip juga telah didokumentasikan untuk bagian Indonesia lainnya dengan hasil bahwa konflik yang terjadi antara komunitas dan perusahaan perkebunan tersebar luas.51
33.
Mega-Proyek Kelapa Sawit Perbatasan Kalimantan akan menyebabkan relokasi dari sekitar 300,000 warga masyarakat adat dari wilayah warisan leluhur mereka, dan secara langsung akan menyebabkan kerugian yang tak tergantikan pada jutaan lainnya. Hal ini akan secara permanent menyebabkan wilayah tradisional mereka tak berguna untuk hal lain kecuali pemeliharaan kelapa sawit dan akan menghancurkan cara hidup tradisional mereka. Dengan demikian ada ancaman yang mendesak dan amat membahayakan terhadap kemampuan mereka untuk tetap hidup sebagai suku bangsa yang tersendiri dan untuk menggunakan hak mereka yang dijamin secara internasional. Mereka akan memilik dua pilihan: tinggalkan tanah leluhur dan relokasi ke tempat lain atau memasuki hubungan yang nyaris seperti penyedia tenaga yang terikat dengan perusahaan yang telah mendapatkan kendali atas tanah tradisional mereka. Bahwa hal ini akan terjadi telah didemonstrasikan dengan jelas oleh pengalaman pada perkebunan kelapa sawit yang telah dibangun di atas lahan masyarakat adat di lokasi lain di Kalimantan dan di Indonesia pada umumnya. Seperti yang dibahas di bawah ini, hukum Indonesia terbukti tidak memberikan perlindungan yang efektif bagi masyarakat adat, fakta yang telah diakui bahkan oleh Presiden dari Negara tersebut.52 Mereka tak memiliki pertahanan dan sangat membutuhkan perhatian internasional dengan mendesak.
VI. UNDANG-UNDANG INDONESIA DISKRIMINATIF TERHADAP MASYARAKAT ADAT A. Undang-Undang Dasar (Konstitusi)The Constitution 34.
Pasal 18 dalam UUD 1945 mengakui keberadaan masyarakat adat dengan menyatakan bahwa ada 250 wilayah di Indonesia yang diatur oleh sistem administratif adat atau suku (zelfbesturende, volksgemeenschappen – komunitas yang mengatur dirinya sendiri). Pasal ini diamandemen pada tahun 1992 untuk mencakup pasal baru yaitu Pasal 18B, yang, dalam sub-paragraf 2 menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghargai “komunitas tradisional” dan hak tradisional dan adat mereka dengan syarat mereka belum diasimilasi (”mereka masih ada”, kedputusan yang dibuat oleh Negara) dan dengan syarat bahwa menggunakan hak ini konsisten dengan prioritas pembangunan dari Negara http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp? Berita=ProKaltim&id=152966 - Tolak Perkebunan Sawit di Perbatasan, forestry students of Mulawarman University, East Kalimantan, http://dte.gn.apc.org/68ioi2.htm Border Mega-project, Down to Earth Nr. 68 February 2006, Ministry of Forestry rejects oil palm in border areas – no conversion of forest for plantations, http://www.rspo.org/PDF/Projects/STF/Deklarasi%20Serikat%20Petani%20Kelapa%20Sawit.pdf
50
51 52
Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia: Implications for Local Communities and Indigenous Peoples, 2006, supra, and; Ghosts on Our Own Land, supra. Id. ‘President Admits Indigenous People Mistreated’, Jakarta Post, 10 August 2006 (see Annex B for full text).
17
Kesatuan Indonesia (keputusan yang juga dibuat oleh Negara).53 Kriteria yang menetapkan apakah suatu komunitas “masih ada” termasuk pengakuan oleh pemerintah setempat, lebih jauh melemahkan prinsip identifikasi-diri, dan penetapan terakhir dilaksanakan oleh Negara.54. Negara, secara hukum, sehingga menentukan masyarakat mana yang mendapatkan manfaat dari perlindungan Pasal 18B dan mana yang tidak terlindungi.55 35.
53
54
55
UUD Indonesia menyerahkan kepemilikan dan hak pengelolaan ekslusif pada Negara. Dalam hal ini, Pasal 35 menyatakan bahwa
Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia: Implications for Local Communities and Indigenous Peoples, 2006, supra. Id. 5 kriteria yang relevan adalah “(1) komunitas adat masih mengatur dirinya sendiri hanya berdasarkan asosiasi (rechtsgemeinschaft); (2) adanya struktur lembaga adat; (3) adanya wilayah hukum adat komunitas yang; (4)
komunitas adat masih mempraktekkan kegiatan sehari-hari mereka menurut hukum adat dan lembaganya; dan (5) pemerintah setempat telah mengakui keberadaan komunitas adat sesuai dengan perturan setempat yang mengatur pengakuan tersebut.” (Lihat catatan penjelasan dalam Lampiran C UU Perkebunan) Lihat I Nyoman Nurjaya, Proses Pemiskinan Di Sektor Hutan Dan Sumberdaya Alam: Perspektif Politik Hukum (Impoverishment in forestry and natural resource sector: Legal Political Perspective) dalam Laporan tentang ‘Masyarakat Adat Dalam Mengelola Sumber Daya Alam’ (Indigenous Peoples in Natural Resources Management); compilation of presentations and discussions held by Kelompok Diskusi Adat Indonesia (KEDAI). Tersedia di: http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/Files/book/BK0025-04.PDF
18
1. Perekenomian dikelola sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. 2. Kegiatan produktif penting bagi Negara dan berarti untuk kehidupan rakyat Indonesia yang berhubungan dengan sumber daya alam, dikelola secara ekslusif oleh Negara. 3. Bumi, air dan sumberdaya alam dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. 4. Perekonomian nasional diselenggarakan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dnegan menjaga kemajuan dan kesaruan ekonomi nasional. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang. 36. Penguasaan dan pengendalian ekslusif Negara agak diperhalus dengan Pasal 28I(3) UUD yang dengan spesifik melindungi hak komunitas tradisional, meskipun pasal ini tidak mencantumkan persisnya apa hak tersebut dan juga terimbas oleh kekuasaan Negara untuk dengan mudah tidak mengakui keberadaan masyarakat adat sesuai dengan Pasal 18B(2) dari UUD. Article 28I(3) menyatakan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional akan dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”, dengan demikian membatasi pengakuan hak masyarakat adat sesuai dengan prinsip ‘perkembangan dan peradaban’ yang tidak didefinisikan. Bahasa yang asimilatif dan bersifat membatasi dalam Pasal 18B juga ada dalam Pasal 28I(3). Bahasa ini juga terdapat dalam undang-undang yang dibahas di bawah ini. 37. Komisi untuk Eliminasi Diskriminasi Suku Bangsa/Rasial sebelumnya telah menegur adanya hukum seperti ini termasuk yang terdapat dalam Pasal 35 UUD Indonesia, harus dimengerti dan dipraktekkan secara konsisten dengan hak masyarakat adat.56 Hal yang sama, dan dalam menangani provisi yang mirip dengan yang ada dalam hukum, the Inter-American Commission on Human Rights menetapkan bahwa mengedepankan kepentingan umum harus dipandang memalui konteks perlindungan yang efektif bagi hak atas bumi dan sumber daya alam masyarakat adat dan provisi pengadilan yang efektif untuk menetapkan dan membela hak tersebut (semuanya belum dimanifestasikan dalam perundangan Indonesia)..57 B. Undang-Undang Pokok Agraria Pertanian Dasar 56
57
Inter alia, Concluding Observations of the Committee on the Elimination of Racial Discrimination: Suriname, UN Doc. CERD/C/64/CO/9/Rev.2, 12 March 2004, at para. 11. Report on Admissibility and Merits No. 09/06 on the Case of the Twelve Saramaka Clans (Suriname), 2 March 2006, pada para. 241-42 (menyatakan bahwa doktrin perhatian “secara substansial membatasi hak fundamental dari masyarakat adat atas tanah mereka ab initio, demi kepentingan Negara yang suatu masa nanti mungkin akan bersaing dengan hak ini. Lebih dari itu, menurut hukum Suriname, pertambangan, perhutanan dan aktifitas lainnya yang diklasifikasikan sebagai kepentingan umum dikecualikan dari persyaratan harus menghormati hak tradisional. Pada prakteknya, klasifikasi aktifitas sebagai “kepentingan umum” tidak dapat ditindak dan merupakan masalah politik yang tida bisa digugat dalam Pengadilan. Efektif, hasilnya adalah memindahkan masalah tanah dari ranah perlindungan yuridis”).
19
38. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Pertanian Dasar atau The Basic Agrarian Law (BAL) tahun 1960 selaras dengan provisi dalam UUD sebelumnya. Undangundang ini bertujuan menyatukan hak atas sumberdaya alam di bawah hukum adat yang umum disebut dengan hak ulayat, dengan konsep hukum colonial warisan yang berhubungan dengan tanah. Pasal 3 BAL menyatakan dengan demikian bahwa: “… hak ulayat rights and other similar rights of customary law communities should be recognised, selama komunitas ini memang benar adanya, dan (menggunakan hak ini) konsisten dengan kepentingan nasional dan Negara, berdasarkan prinsip kesatuan nasional, dan tidak bertolak belakang dengan hukum ini dan perundangan yang lebih tinggi”. Mirip dengan Pasal 3, Pasal 5 menyatakan bahwa,” Hukum adat mengatur bumi, air dan udara selama tidak bertolak belakang dengan kepentingan nasional dan Negara, berdasarkan prinsip kesatuan nasional dan sosialisme Indonesia, serta juga provisi hukum lainnya selaras dengan asas keagamaan.” 39. Provisi ini membatasi hak masyarakat adat hingga menjadi nyaris tidak ada artinya. Dalam konteks perkembangan perkebunan kelapa sawit berskala besar, misalnya, Negara dapat dengan mudah mengkonversi tanah adat menjadi areal perkebunan sehingga mengingkari hak masyarakat adat.58 Beberapa perusahaan memberikan kompensasi pada masyarakat adat, lainnya tidak; namun kompensasi biasanya hanya dibayarkan untuk kehilangan pohon buah-buahan dan bukan tanah tradisional, sumberdaya dan sumber penghidupan yang hilang karena tanah diambil, dan persetujuan atas pengambilan alih tanah tidak diminta. 40. Meskipun Undang-Undang Pokok Agraria Perundangan Pertanian Dasar memberikan tingkat pengendalian yang tidak lazim pada Negara atas semua kepemilikan tanah, pengamanan kepemilikan yang jauh lebih baik diberikan kepada penduduk (non-adat) yang dihibahkan hak milik dan hak pakai atau pada perusahaan yang dihibahkan hak guna usaha jangka panjang dan hak guna bangunan yang dapat diperbaharui. Sementara peraturan, prosedur dan lembaga yang dapat mengeluarkan dan mengatur hak seperti ini tidak ada untuk pengakuan, registrasi atau perlindungan hak kolektif masyarakat adat berdasarkan hak ulayat.59 41. Yang digambarkan sebelumnya masih merupakan situasi terkini meskipun (TAP/MPR) No. IX/2001 tentang Reformasi Agraria Pertanian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam telah diadopsi enam tahun yang lalu, yang menyerukan refrmasi hukum yang mengatur hutan, tanah dan sumberdaya dalam rangka menangani sengketa tanah berkelanjutan di seluruh kepulauan nusantara.60 Pasal 4 dari TAP ini mencakupi tujuan antara lain: “pelaksanaan fungsi sosial, konservasi dan ekologi selaras dengan kondisi sosio-kebudayaan” dan “mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat adat dan kebudayaan nasional yang beragam berkaitan dengan sumberdaya pertanian/alam.” Meskipun implementasinya masih menjadi 58
59
60
W. Wright, Final Report on the Review of the Basic Agrarian Law 1960. Indonesia: Land Administration Project. World Bank, Jakarta, 1999. Tersedia di: www.worldbank.org; World Bank, 2004, Land Management and Policy Development Project: Project Appraisal Document, Report No: 28178-IND, Washington DC. J. Wallace, A.P. Parlindungan, and A.S. Hutagalung, S. Arie, Indonesian Land Law and Tenures – Issues in Land Rights. Land Administration Project. Government of the Republic of Indonesia, National Planning Agency and National Land Agency, Jakarta, 1997; and, W. Wright, id. Untuk hubungan antara sengketa dan hak milik yang tidak aman, lihat juga, Growing Conflict and Unrest in Indonesian Forests: a summary paper, USAID and ARD, Burlington, 2004.
20
bagian dari program reformasi hukum parlemen saat ini, hingga kini belum diberikan efektifitas hukum.61 C. Undang-Undang Kehutanan U Perhutanan tahun 1999 42.
UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Perhutanan memberikan kekuasaan yang absolut kepada Negara untuk memerintah dan mengendalikan semua hal yang berkaitan dengan hutan dan produknya tanpa membedakan apakah areal hutan tersebut adalah wilayah tradisional masyarakat adat. UU juga mengandung beberapa pengakuan tentang hak terbats yang diberikan kepada masyarakat adat untuk mengelola hutan, tetapi hanya bila hutan tersebut ditetapkan sebagai ‘hutan Negara’. Penetapan seperti ini lalu memberikan kuasa kepada Negara untuk melakukan konversi hutan untuk penggunaan lainnya, misalnya, untuk menerbitkan konsesi berdasarkan fakta bahwa hutan tersebut termasuk bagian dari ‘hutan Negara’ dan bahwa konversi tersebut demi ‘kepentingan nasional”.
43.
Bahwa Negara dapat mengambil tanah masyarakat adat dan memberikannya pada konsesi dengan menyebutkan kepentingan nasional secara eksplisit tercantum dalam Pasal 4(3), yang menyatakan bahwa “… Negara masih mempedulikan hak masyarakat adat selama hak tersebut berada dan diakui dan selaras dengan kepentingan nasional.” Istilah “mengakui” mensyaratkan bahwa hak yang dipertanyakan, biasanya melalui penerbitan surat hak milik. Dalam kebanyakan kasus, hak masyarakat adat tidak diakui justru karena Negara tidak menerbitkan surat hak milik.
D. UU Perkebunan Tahun 2004 44.
Pemerintah Indonesia menganggap bahwa UU Perkebunan tahun 2004 (lihat Lampiran C untuk teks lengkap), yang merupakan dasar hukum untuk mengembangkan perkebunan panen seperti kelapa sawit, secara penuh sudah konsisten dan mengimplementasikan Pasal 35(3) dari UUD, yang menstipulasikan bahwa “bumi, air dan seluruh sumberdaya yang terkandung d dalamnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
45.
UU ini gagal menyediakan perlindungan yang berarti untuk masyarakat adat. Pengumuman UU ini disambut dengan kekhawatiran mendalam bagi masyarakat adat dan masyarakat sipil di Indonesia, karena dipandang sebagai meneruskan perlakuan tidak layak terhadap hak masyarakat adat dan jelas memperburuk kekurangan tersebut.62 Terutama, UU mensyaratkan hanya bahwa hanya kepentingan masyarakat adat yang perlu dipertimbangkan, bukan dihormati, persyaratan bahwa hak sudah ‘diakui’ tetap ada, dan perkecualian kepentingan nasional yang lebih diutamakan terus mengingkari hak masyarakat adat. Selain itu, paragraph 7 yaitu catatan penjelasan hukum ini menyatakan bahwa: Hak guna untuk areal penanaman akan mempertimbangakn hak ulayat masyarakat adat, selama hak tersebut ada dan diakui dan tidak secara
61
62
World Agroforestry Centre, Facilitating Agroforestry Development through Land and Tree Tenure Reforms in Indonesia, ICRAF SE Asia Working Paper No 2, Bogor, 2005, at hal. 33. "DPR approves Plantation Bill”, gatraonline, Jakarta, 12 July 2004 13:28. Lihat juga “Plantation Regional Bill is considered to ignore farmers: 40 reclaiming cases in Central Java,” suaramerdeka.com, Monday, February 14, 2005
21
langsung bertolak belakang dengan perundangan tingkat tinggi dan pertauran dan kepentingan nasional. Untuk memastikan kepemilikan dan penggunaan yang adil, peraturan akan ditetapkan berkenaan dengan luas maksimum dan minimum tanah untuk perkebunan 46. Sawit Watch telah mendokumentasikan seratus konflik yang berbeda antara komunitas setempat dan perusahaan minyak kelapa sawit di seluruh Indonesia. Penyebab utama dari konflik adalah sengketa tanah, alikasi dari petani kecil, tindakan represif polisi, upah rendah dan penetapan harga.63 Pada tahun 2004, sebelum penerbitan UU tersebut, 143 kasus konflik tercatat tahun itu. Hingga tahun 2006 angka ini telah membengkak menjadi lebih dri 500 kasus aktif konflik berkaitan dengan tanah yang diambil alih untuk perkebunan. Implementasi UU ini telah melihat peningkatan gangguan dan intimidasi, dengan digunakannya Pasal 20 dan 47, antara lain, untuk mengintimidasi komunitas masyarakat adat, Pasal 20 memprbolehkan digunakannya pasukan keamanan swasta dan Negara demi ‘perlindungan’ areal perkebunan setelah hak guna telah dihibahkan: Pelaku bisnis perkebunan akan melaksanakan pengamanan bisnis perkebunan yang dikoordinasikan dengan pihak keamanan dan bisa meminta bantuan dai komunitas disekitarnya. Article 47 memperinci sanksi untuk ‘menggunakan lahan perkebunan tanpa ijin’, dan dengan kombinasi dengan Pasal 20 telah menciptakan suasana yang penuh intimidasi dan ketakutan. 47. Pasal 9(2) dari UU Perkebunan menyatakan bahwa “pemohon hak tersebut akan melakukan konsultasi dengan komunitas pemilik hak hukum adat dan pemilik hak tanah, dalam rangka mendapatkan persetujuan atas pemindahan tangan tanah dan kompensasinya.” Provisi ini dapat dibaca dengan proaktif sebagai persyaratan untuk persetujuan atau izin dari masyarakat adat untuk menggunakan tanah mereka. Bagaimanapun dalam prakteknya, Pasal ini diinterpretasikan sebagai hanya membutuhkan persetujuan atas jumlah kompensasi, bukan izin atas transfer tanah, dan apabila persetujuan tersebut tidak tercapai lalu tanah masih bisa diambil alih ‘demi kepentingan negara’. Kekhawatiran seperti ini telah mendorong adanya permohonan untuk kajian ulang secara yuridis atas UU Perkebunan pada Maret 2005, dimana keputusan apapun belum.64 Sementara kasus ini masih menunggu, pemerintah telah menyatakan bahwa UU bisa dikaji dalam konteks kajian ulang yang lebih luas antara sekarang dan 2009. 48. Pada kesimpulannya, hukum dan prakteknya di Indonesia tidak konsisten dengan obligasinya terhadap Konvensi Internasional untuk Eliminasi Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan hak masyarakat adat tidak dijamin dengan memadai oleh hukum dan juga tidak terlindungi dalam prakteknya. Bahwa ni merupakan situasi di Indonesia telah diakui bahkan oleh Presiden sendiri pada bulan Agustus 2006, dimana beliau menyatakan bahwa masyarakat adat “seringkali dikorbankan demi pembangunan, dengan kepentingan perusahaan yang kuat menginginkan untuk 63
64
See Sawit Watch database tracking active conflicts. An example of a protest letter outlining indigenous peoples' objections to the proposed plantations is provided in Annex D. See, Request for Judicial Review of Law No. 18 Year 2004 on the Government’s Stipulation to Replace Law No. 1 Year 2004 on Changes in Law No. 41 Year 1999 on Forestry into Law, 1 March 2005, hal. 11
22
melakukan eksploitasi sumberdaya alam, “ dan bahwa salah satu alasan kejadian ini adalah bahwa masyarakat adat tidak diakui haknya dan tidak dilindungi oleh hukum yang spesifik.65 Pada saat yang bersamaan, Presiden juga menyatakan beliau akan mengajukan undang-undang yang akan melindungi hak masyarakat adat. Pernyataan yang disambut dan menggembirakan ini masih belum terealisasi setahun sejak saat itu, dan seperti yang lazim terjadi karena Mega-Proyek Kelapa Sawit Perbatasan Kalimantan, masyarakat adat masih menghadapi ancaman yang berat terhadap hukum dan kelangsungan hidup mereka.
VII. PERMOHONAN REQUEST 49. Dengan pertimbangan hal-hal sebelumnya, organisasi yang melakukan submisi memohon Komisi untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk membantu Indonesia agar secara penuh mengakui dan melindungi hak masyarakat adat dengan aturan pengadilannya, terutama masyarakat adat di Kalimantan, yang terancam dengan mendesak dan kerugian yang tak tertolongkan lagi dengan adanya ekspansi perkebunan kelapa sawit. 50.
Dengan alasan tersebut, kami dengan hormat memohon agar Komisi:
(a) Mempertimbangkan situasi yang diuraikan disini dibawah peringatan dini dan prosedur tindakan mendesak pada sesinya yang ke71 yang akan diselenggarakan pada bulan Agustus 2007. (b) Merekomendasikan agar Indonesia tidak melanjutkan Mega-Proyek Kelapa Sawit Perbatasan Kalimantan atau the Kalimantan Border Oil Palm Mega-Project dan proyek perkebunan kelapa sawit lainnya yang berimbas kepada masyarakat adat di Kalimantan, setidaknya hingga masa dimana Negara telah mengakui secara hukum dan telah mengamankan hak kepemilikan mereka untuk dan atas tanah, wilayah dan sumberdaya tradisional merek dan mendapatkan persetujuan mereka secara bebas, didahulukan dan diinformasikan atas perkembangan apapun setelahnya. (c) Merekomendasikan agar Indonesia membenahi pelanggaran yang berskala sangat besar dan terjadi dengan terus-menerus di perkebunan kelapa sawit yang sudah ada pada saat ini. Merekomendasi agar Indonesia mengadopsi tindakan legislative, administrative (d) dan langkah lainnya untuk memberikan efek optimal dari hak yang dimiliki oleh masyarakat adat, termasuk dengan melakukan amendemen terhadap hukum yang berlaku pada saat ini, dan melakukannya dengan partisipasi yang penuh dan bebas masyarakat adat melalui perwakilan yang dipilihnya sendiri dengan bebas.
65
‘President Admits Indigenous People Mistreated’, Jakarta Post, 10 August 2006 (see Annex B for full text).
23
(e)
Memohon perhatian dari Sekretaris Jendral PBB, Dewan Hak Azasi Manusia, Forum Tetap untuk Permasalahan Pribumi/Adat dan Komisaris Tinggi untuk Hak Azasi Manusia tentang situasi serius dan mendesak yang berdampak pada masyarakat adat di Kalimantan dan daerah lainnya di Indonesia.
VIII. LAMPIRANANNEXES
A. ‘President Admits Indigenous People Mistreated’, Jakarta Post, 10 August 2006 B. Oil Palm and Other Commercial Tree Plantations, Mono-cropping: Impacts on Indigenous Peoples’ Land Tenure and Resource Management Systems and Livelihoods, UN Permanent Forum on Indigenous Issues Working Paper, E/C.19/2007/CRP.6 C. Plantations Act 2004 D. Summary translations of selected protests by indigenous peoples against proposed expansion of oil palm plantations in Kalimantan
24
LAMPIRAN A: Presiden mengakui masyarakat adat diperlakukan dengan tidak pantas
Presiden mengakui bahwa masyarakat adat diperlakukan dengan tidak pantas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi hormat kepada masyarakat adat Rabu dan mengatakan beliau akan memproposalkan undang-undang untuk memberi mereka perlindungan khusus. Dalam even untuk memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional di Jakarta, Presiden mengatakan masyarakat adat “telah menunjukkan kebijaksanaan mereka dalam penggunaan dan kelestarian sumberdaya alam”. Yudhoyono mengakui bahwa hak penduduk asli telah sering dikorbankan demi pembangunan, seiring dengan kepentingan bisnis yang kuat ingin mengekpoitasi sumberdaya alam. “Saya menyerukan kepada semua aparatur pemerintah dalam administrasi pusat dan local untuk mempertimbangkan kepentingan orang-orang ini dalam merancang dan melakukan program pembangunan,”ucap beliau. Yudhoyono mengatakan pemerintah seharusnya belajar dari masyarakat adat yang telah menciptakan cara untuk menggunakan sumberdaya alam tanpa menyebabkan kehancuran lingkungan hidup.
“Dan hal itu tidak seperti yang kita lihat sekarang. Kita harus memastikan bahwa penggunaan lahan dan pengaturan lingkungan hidup dilakukan menurut nilai tradisional untuk mencegah ekploitasi yang berlebihan,” ucapnya. Presiden mengatakan bahwa salah satu penyebab hak penduduk asli seringkali diabaikan adalah karena tidak adanya undang-undang yang secara spesifik menyikapi permasalahan tersebut. Beliau mengatakan akan memproposalkan RUU untuk memperincikan hak dan peran masyarakat adat, dan untuk membuat administrasi local mempertimbangkan mereka dalam melaksanakan pembangunan. Proyek seperti tambang emas dan tembaga Freeport di Papua telah lama menjadi target para kritik yang mengatakan bahwa hanya sedikit usaha yang dilakukan untuk melestarikan lingkungan hidup atau meningkatkan kehidupan masyarakat adat di sana. Mereka menuduhkan bahwa sebagian besar uang yang dihasilkan telah diambil perusahaan Amerika dan pemerintah Indonesia. Kasus yang mirip telah terjadi di seluruh negeri. Masyarakat adat telah diambil tanah tradisionalnya dan penghidupannya oleh kepentingan bisnis yang disokong oleh kekuatan pemerintah. Indonesia masih belum meratifikasi Konvensi ILO (Organisasi Tenaga Kerja) 169 tentang Masyarakat Adat dan Siku di Negara Berkedaulatan. Meskipun negara ini belum memiliki undang-undang khusus untuk masyarakat adat, mereka dilindungi oleh undang-undang yang lebih luas seperti yang berlaku untuk HAM. 25
LAMPIRAN B E/C.19/2007/CRP.6 7 Mei 2007 English only Forum Tetap tentang Permasalahan Pribumi/Adat Sesi ke-Enam New York, 14-25 Mei 2007
Kelapa Sawit dan Perkebunan Pohon Komersial Lainnya, Panen Tunggal: Dampaknya terhadap Hak Milik Tanah dan Sistem Pengelolaan Sumberdaya dan Penghidupan Masyarakat Adat. Victoria Tauli-Corpuz dan Parshuram Tamang
Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan melakukan inisiasi pembahasan tentang dampak perkebunan pohon komersial dan panen tunggal atas hak milik tanah dan komunitas masyarakat adat. Makalah ini ditulis sebagai respon terhadap Rekomendasi 31 dalam sesi ke-5 Forum Tetap PBB atau the United Nations Permanent Forum (UNPFII) which stated: “Forum Tetap menunjuk Victoria Tauli-Corpuz dan Parshuram Tamang sebagai Penyidik Khusus atau Special Rapporteurs dengan tugas mempersiapkan working paper, tanpa implikasi keuangan, berkooperasi dengan organisasi masyarakat adat, Pemerintah dan lembaga berkaitan lainnya, tentang perkembangan kelapa sawit, perkebunan pohon komersial dan panen tunggal dan dampaknya terhadap hak milik tanah dan sistem pengelolaan sumberdaya dan penghidupan masyarakat adat.”
26
Isi Prakata……………………………………………………………………………3
Gambaran tentang pengalaman masyarakat adat dengan logging dan perkebunan panen tunggal berskala besar ……………………………………………………………………..3
Perkebunan kelapa sawit dan masyarakat adat ……………………………………6
Permasalahan yang muncul; biofuels, carbon sinks dan pertularan emisi karbon ….…7
Dampak Sosial dan Lingkungan Hidup dari Logging dan Perkebunan Panen Tunggal....9
Respond an inisiatif masyarakat adat, LSM dan badan PBB …………….…………..11
Kesimpulan ………………………………………………………………………….14
Rekomendasi…….……………………………………………………………………..16
27
Prakata 1. Menurut estimasi terakhir, antara tahun 2000 dan 2005, kehilangan hutan secara net adalah 7.3 juta hektar per tahun atau 20,000 hektar per hari. Panel Antar Pemerintah tentang Perhutana (sebelum ada Forum PBB tentang Perhutanan) mengidentifikasi bahwa antara penyebab yang membawahi deforestasi dan degradasi hutan, adalah kegagalm pemerintah dan lembaga lainnya untuk mengakui dan menghormati hak masyarakat adat dan masyarakat yang bergantung pada hutan lainnya dalam hal tanah territorial mereka, hutan dan sumberdaya alam lainnya, serta permasalahan kebijakan pemerinah dengan perkebunan pohon industrial.i 2. Areal yang dikonversi menjadi perkebunan panen tunggal industrial adalah hutan dan tidak terhindarkan bahwa kedua permasalahan tersebut juga ditangani dalam makalah ini; meskipun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengidentifikasi permasalahan seputar kelapa sawit dan perkebunan pohon komersial lainnya. Mengaitkan logging hutan alami dan perkebunan, bagaimanapun, tidak berarti bahwa kedua penyidik (penulis makalah ini) setuju dengan konsep bahwa perkebunan adalah hutan. Kedua penyidik memiliki pandangan bahwa harus ada perbedaan yang jelas antara perkebunan pohon dan hutan alami (primer dan sekunder).ii 3. Sejarah dan siklus pengembangan mulai dengan menghibahkan areal hutan sebagai areal konsesi, tahap berikutnya adalah membuka atau merusak hutan lalu diikuti dengan pendirian perkebunan. Karena perkebunan ini dimaksudkan untuk menghasilkan panen untuk pasar, areal ini ditebang pohonnya setelah jangka waktu yang pendek dan penanaman mulai dari awal lagi. Dalam kedua proses ini perkebunan masyarakat adat diusir dari hutan ini, atau akses mereka ke hutan dibatasi, dan beberapa orang diserapa sebagai tenaga kerja musiman. 4. Bagi masyarakat adat yang bergantung pada hutan, hutan merupakan basis dari pangan dan penghidupan menjadi bagan dari hubungan simbiotiknya dengan hutan selama milenia, yang membentuk masyarakatnya, pandangannya terhadap dunia, pengetahuan, kebudayaan, spiritualitas dan nilai-nilai mereka. Karena itu, evolusi hukum spiritual dan adat yang ketat dan kepemilikan tanah yang canggih, kebanyakan di bawah hak ulayat, dan sistem pengelolaan sumberdaya alam yang memastikan kebutuhan mereka terpenuhi dn juga hutan terlindungi dari kerusakan. Pemeliharaan keutuhan hutan krusial bagi masyarakat adat karena mewakili masa lampau, masa kini dan aspek masa depan bagaimana hidup dalam kebersamaan kerjasama diantara mereka sendiri dan dengan alam. 5. Makalah ini menggunakan sumber laporan penting oleh berbagai badan PBB dan Organisasi Non-Pemerintahan (NGOs atau LSM) yang penting dan kesimpulan yang dicapai oleh kunjungan beberapa anggota UNPFII ke Negara di mana perkebunan skala besar berdiri di atas wilayah masyarakat adat. iii Gambaran pengalaman masyarakat adat dengan logging dan perkebunan panen tunggal berskala besar 6. Konflik sosial yang berkaitan dengan logging (baik legal dan illegal) industrial berskala besar dan perkebunan panen tunggal pada dasarnya merupakan konflik tentang siapa yang berhak memiliki, menggunakan dan mengelola hutan. Protagonis utama adalah masyarakat adat versus Negara dan aparaturnya (kekuatan militer dan polisi, departemen perhutanan, lingkungan hidup, pertambangan, pertanian, pemerintah 28
setempat dsb), logging, perkebunan atau perusahaan pertukaran karbon dan kadangkala bahkan LSM atau NGOs. Hak tanah tetap merupakan salah satu hak masyarakat adat yang paling diperebutkan dan dilanggar. Dalam laporannya, Daes menyoroti kegagalan Negara mengakui hak tanah masyarakat adat; persistensi hukum dan kebijakan yang diskriminatif; kegagalan menegakkan atau melaksanakan hukum; pengambilan alih tanah atas nama pembangunan; alokasi situs suci dan situs kebudayaan kepada individu dan/atau kegagalan untuk mengakui dan menghormati pengendalian masyarakat adat atas wilayahnya.iv 7. Banyak terdapat cerita factual tentang bagaimana masyarakat adat disita lahannya pada waktu era colonial serta pada saat ini. Doktrin penemuan, kebijakan pemusnahan, doktrin kekuasaan plenary dan beberapa doktrin perampasan (misalnya terra nullius), digunakan untuk menjustifikasi okupasi tanah masyarakat adat oleh penjajah.v Satu contoh adalah Doktrin Regalia atau jura regalia. “Istilah “jura regalia" merujuk kepada hak kerajaan, atau hak yang dimiliki oleh Raja sesuai dengan prerogatifnya. Prinsip “eminent domain” telah digunakan oleh pemerintah colonial dan dilanjutkan penggunaannya oleh pemerintah pasca colonial untuk melegitimasi pengambilan atau pengambilan alih tanah dan sumberdaya masyarakat adat. 8. Pada beberapa Negara ada doktrin dan hukum yang mengakui hak masyarakat adat atas tanah tradisional dan wilayah mereka. Sayangnya hukum ini juga mengandung klausul mematikan atau secara sistematis diperlemah atas nama pembangunan nasional dengan interpretasi setelahnya atau amandemen atas undang-undang tersebut. Hukum lainnya dengan mudah dihapus. Beberapa contoh adalah Hak Adat Tradisional atau the Native Customary Rights (NCR) seperti yang tercantum dalam Kode Tanah Sarawak atau the Sarawak Land Code (1958) di Malaysia dan Undang-undang Hak Milik Adat atau the Native Title Act of Australia tahun 1993 dan 1997 Indigenous Peoples’ Rights Act of the Philippines. vi 9. Kelanjutan keberadaan, aplikasi dan perkembangan perundangan yang mirip dengan doktrin perampasan dilihat sebagai rasial dan diskriminatif dan merupakan bagian dari penjelasan atas mengapa banyak masyarakat adat tetap sangat termarginalisasi dan tertindas secara politis. Faktor lainnya adalah perkembangan strategi kolonial dan pasca kolonial yaitu mengintegrasikan ekonomi adat ke dalam pasar domestik dan global. Perkembangan ekonomi nasional adalah argumentasi yang paling disukai dalam melakukan pembenaran atau justifikasi atas pengambilan tanah adat untuk logging, perkebunan, ekstraksi minyak, gas dan mineral. 10. Ekonomi perkebunan berskala besar menjadi bagian dari cerita erosi dan pengambilan alih basis pangan dan wilayah masyarakat adat dan alterasi sistem pemilikan tanah masyarakat adat.vii Laporan Penyidik Khusus PBB atas situasi HAM dan kebebasan fundamental masyarakat adat, telah mengindikasikan kehilangan tanah masyarakat adat melalui kolonisasi, nasionalisasi dan privatisasi tanah mereka.viii 11. Pada tahun 1980an model perkembangan neo-liberal Konsensus Washington menggarisbawahi liberalisasi perdagangan dan pertumbuhan yang dipimpin oleh ekspor, liberalisasi pasar financial dan mobilitas kapital finansial, penyederhanaan fiscal dan moneter, privatisasi dan fleksibilitas pasar tenaga kerja. Lembaga financial multilateral, termasuk beberapa badan PBB, donor bilateral dan sektor swasta semua bekerjasama untuk memfasilitasi liberalisasi investasi, kebijakan perdagangan dan keuangan Negara berkembang yang menstater konversi hutan menjadi perkebunan industrial. Seiring 29
dengan perkebunan monoculture berskala besar menjadi bagian yang integral dari strategi pertumbuhan ekonomi kebanyakan Negara, pengambil alihan yang agresif dan meluas atau pengambilan lahan adat terjadi. Program kehutanan yang meliputi ekspansi perkebunan direncanakan dan dilaksanakan dengan dukungan lembaga keuangan multilateral the World Bank, the Asian Development Bank dan biro PBB dan program seperti Organisasi Pangan dan Pertanian atau Food and Agriculture Organization (FAO) dan United Nations Development Programme (UNDP). 12. Salah satu contoh program kehutanan tersebut adalah Rencana Aksi Hutan Tropis atau the Tropical Forestry Action Plan (TFAP) yang diinisiasi oleh the World Bank bersama dengan UNDP, FAO dan the World Resources Institute (WRI) pada tahun l985. The TFAP memproposalkan ekspansi perkebunan untuk memenuhi permintaan global untuk produk kayu dan memperkenalkan intensifikasi dengan ‘hasil panen berkelanjutan’ hutan untuk pembangunan nasional dan untuk mengentikan penghancuran hutan atau deforestasi. The TFAP telah meningkatkan pasar industri pulp and paper 5 kali lipat selama 40 tahun ke belakang ini. TFAP memainkan peran penting dalam mempromosikan perkebunan berupa pohon jarum, pohon kayu putih dan akasia dalam hutan tropis. Sejak tahun 1998, lebih dari 100 juta hektar hutan primer telah dikonversi menjadi perkebunan pohon.ix Hal ini telah menjadi subjek kritik yang intensif karena, selain menjadi penyebab utama deforestasi, TFAP gagal mencakup masyarakat adat, komunitas local dan masyarakat sipil dalam formulasi dan implementasi dan dengan itu hak, kepentingan dan perspektifnya diabaikan. TFAP juga menyediakan solusi teknis untuk masalah yang bersifat politis, tetapi juga memperkuat hubungan kekuasaan yang sudah ada dan sebagai hasilnya, para miskin yang dalam kebanyakan kasus merupakan masyarakat adat, tetap miskin dan tak berdaya.x 13. Tidak adanya pengertian tentang pandangan dunia yang menyeluruh dan cara hidup masyarakat adat dan masyarakat yang tergantung pada hutan lainnya diidentifikasi pada bulan Desember l996 pada “International Meeting of Indigenous and Other Forestdependent Peoples on the Management, Conservation and Sustainable Development of all Types of Forests”/Pertemuan Internasional Masyarakat Adat dan Masyarakat yang Bergantung pada Hutan lainnya tentang Pengelolaan, Konservasi dan Perkembangan Berkelanjutan dari Beragam Jenis Hutan sebagai faktor yang memperburuk deforestasi. Hasil dari proses ini adalah Deklarasi Leticia atau the Leticia Declaration yang secara garis besar menjelaskan penyebab deforestasi (mengubah hutan menjadi tata guna lainnya) dan degradasi hutan (memburuknya kualitas hutan).xi 14. Panel Internasional tentang Hutan atau The International Panel on Forests mengutip, antara lain, perdagangan internasional yang diskriminatif, kebijakan yang mendistorsi perdagangan, program penyesuaian structural atau structural adjustment programmes (SAPs), hutang eksternal, distorsi pasar dan kegagalan pasar, subsidi yang keliru, produk kayu dan non-kayu yang ditaksir di bawah nilai sesungguhnya, dan investasi dengan peraturan yang kurang memadai sebagai penyebab deforestasi internasional. 15. FAO mengembangkan definisi resmi ‘perhutanan’ yang mendeklarasikan bahwa “hutan termasuk hutan alami dan hutan perkebunan. Definisi ini digunakan untuk merujuk kepada tanah dengan selimut kanopi pohon lebih dari 10% dan areal lebih dari 0.5 hektar."xii Berdasarkan hal ini, definisi tersebut menetapkan dua kategori hutan: hutan alami dan hutan perkebunan. Banyak LSM/NGOs dan masyarakat adat yang membantah dan mendesak bahwa seharusnya ada pembedaan yang jelas antara hutan dan perkebunan. Mereka tidak menerima bahwa perkebunan merupakan hutan. Satu-satunya hal yang 30
sama antara keduanya adalah keduanya memiliki pohon. Selain itu, hutan dan perkebunan merupakan sistem yang berbeda. Hutan adalah sistem yang kompleks, dapat melakukan regenerasi sendiri, mencakupi tanah, air, iklim mikro, energi dan beragam tanaman dan binatang dalam hubungan yang mutualis. Perkebunan, di sisi lain, memiliki satu atau beberapa spesies pohon/tanaman panen (biasanya asing), ditanam dalam blok tang homogen dengan umur yang sama. Pohon perkebunan jauh lebih dekat ke tanaman panen industri pertanian daripada ke hutan (seperti pengertian lazimnya ) atau suatu lading pertanian tradisional. 16. Perbedaan ini penting karena menyamakan perkebunan sebagai hutan adalah menerima bahwa perkebunan merupakan ekosistem hutan, yang jelas-jelas keliru, kedua, hal ini menyamarkan laju deforestasi yang sebenarnya, dan, ketiga, bagaikan membutakan diri terhadap dampak sosial dan lingkungan hidup yang negatif dari perkebunan, terutama terhadap masyarakat adat. Dengan demikian, telah direkomendasikan bahwa “hutan alamiah” atau "natural forests" hanya disebut sebagai forests (primer dan sekunder) dan “perkebunan pohon” disebut sebagai \"forest plantations". 17. The Millennium Development Goal (MDG) No. 7 tentang kelanjutan lingkungan hidup memiliki indicator yang adalah ‘proporsi areal lahan yang ditutup oleh hutan.’(#25). Negara-negara yang telah memperluas areal untuk penanaman pohon dapat mengklaim bahwa mereka mencapai Goal 7 biarpun perkebunan tidak ada hubungannya dengan kelanjutan lingkungan hidup.
Perkebunan kelapa sawit dan masyarakat adat Oil palm plantations and indigenous peoples 18. Kelapa sawit (Elaeis guineensis) adalah tanaman asli dari Afrka Barat yang secara tradisional digunakan sebagai pangan, obat, bahan tenunan dan minuman wine. Kelapa sawit dapat ditumbuhkan dan dipanen dengan cara yang ramah lingkungan seperti di Afrika Barat oleh petani skala kecil yang melakukan agro-kehutanan diversifikasi dengan skala kecil. Tetapi, pada saat ini Negara, lembaga pendanaan multilateral, sektor swasta termasuk termasuk bank swasta serta donor bilateral dan PBB, dukungan dan mempromosikan model agro-industrial skala besar, berlawanan dengan skala kecil. Perkebunan kelapa sawit telah menjadi perkebunan panen tunggal yang berkembang dengan paling cepat di wilayah tropis, bukan hanya Afrika, tetapi juga di Asia Pasifik dan Latin Amerika dan Karibia. 19. Produk utama dari perkebunan ini adalah minyak sawit (stearin) dari daging kelapa sawit dan minyak inti/biji sawit (olein) dari biji sawit.xiii Pada tahun l997 diestimasikan bahwa perkebunan kelapa sawit menyelimuti 6.5 juta hektar dan memproduksi 17.5 juta ton million minyak kelapa sawit (palm oil) dan 2.1 juta ton minyak biji sawit (palm kernel oil). Pada 2005, produksi minyak sawit telah mencapai 30 juta ton dan areal yang dicakupi sudah seluas 12 juta hektar. Dari jumlah ini, 4 juta hektar berada di Malaysia dan 5.3 juta hektar di Indonesia.xiv 20. Indonesia mengalami laju tercepat dalam hal luasnya hutan yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Selama periode 30 tahun (1967-1997) perkebunan kelapa sawit telah berlipat ganda 20 kali dengan rata-rata peningkatan sebesar 12 persen dalam produksi minyak kelapa sawit kasar atau crude palm oil (CPO).xv Dari 106,000 hektar 31
pada 1960, telah meningkat ke 6 juta hektar meskipun ada sekitar 18 juta hektar hutan yang dibuka semestinya untuk keperluan kelapa sawit pada tahun 2006.xvi Sepertinya penebang kayu menggunakan alasan perkebunan kelapa sawit sebagai pembenaran atau justifikasi untuk menebang kayu. Pemerintah mengumumkan rencana baru, di bawah Mega-Proyek Kelapa Sawit Perbatasan Kalimantan (April 2006), untuk mengkonversi tambahan 3 juta hektar di Kalimantan dimana 2 juta hektar berada di perbatasan Kalimantan dan Malaysia. Para penyidik laporan ini mengetahui bahwa areal yang dianggap layak untuk kelapa sawit mencakupi hutan yang dipergunakan ribuan orang yang bergantung pada hutan untuk penghidupan mereka. 21. Para promoter perkebunan kelapa sawit mengklaim bahwa perkebunan akan mengurangi pengangguran, mengentaskan kemiskinan dan membawa manfaat lingkungan hidup. Untuk menjustifikasi pinjaman yang diberikan pada pemilik perkebunan kelapa sawit di Ivory Coast dan Negara lain, seorang Direktur Perusahaan Keuangan Internasional atau the International Finance Corporation menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit akan menghasilkan lapangan kerja yang lebih luas dan standard hidup yang lebih baik dan mempromosikan produksi pertanian yang lebih sensitive kepada lingkungan hidup.xvii Semua klaim ini dibantah dengan keras. 22. Jelas bahwa alasan utama dari ekspansi dramatis dari perkebunan kelapa sawit, sekalipun dampaknya sangat negatif pada manusia dan lingkungan hidup, adalah bahwa perkebunan memberikan keuntungan yang besar pada pemilik dan investor perkebunan domestik dan internasional. Keuntungan mega ini dijamin dengan tenaga kerja murah, hara jual atau sewa tanah yang rendah, pengendalian lingkungan hidup yang tidak efektif, permintaan tinggi, dukungan dari donor multilateral dan bilateral dan siklus penanaman yang pendek. Di Malaysia, misalnya, ekspor kelapa sawit adalah salah satu dari kekuatan kompetitifnya dalam perdagangan global dan telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Negara tersebut. Pada tahun 2002 kelapa sawit memproduksi lebih dari US$2.1 trilyun dalam hasil ekspor di Indonesia $3.8 trilyun untuk for Malaysia.xviii Sektor ini juga menikmati dukungan yang kuat dari pemerintah karena tanaman panen ini umumnya ditujukan untuk pasar ekspor yang menghasilkan devisa. Meningkatnya permintaan untuk bahan bakar nabati biofuel dan perlunya carbon sinks ditambah sistem perdagangan emisi karbon merupakan insentif baru untuk melakukan ekspansi perkebunan yang lebih luas. Hal ini menjadi sumber energi alternative yang paling disukai karena hasil per hektarnya yang tinggi dan harga produksinya yang rendah. 23. Tidak diragukan lagi bahwa perkembangan sub-sektor kelapa sawit telah menghasilkan manfaat ekonomis, terutama untuk pemain kuncinya. Bagaimanapun, hal ini juga membawa serta kerugian sosial dan lingkungan hidup yang serius yang secara negatif berimbas kepada masyarakat adat, penghuni hutan dan hutan hujan tropis. Dari 216 juta orang di Indonesia, diestimasikan bahwa 100 juta orang, yang mana 40 juta orang di antaranya adalah masyarakat adat, bergantung terutama pada bahan dan layanan dari hutan dan sumberdaya alam. Areal hutan luas yang secara tradisional digunakan oleh masyarakat adat telah diambil alih. Permasalahan yang baru muncul; bahan bakar nabatibiofuels, penyerap dan penyimpan karbon atau carbon sinks dan perdagangan emisi karbon 24. Rekomendasi yang diadopsi oleh Konvensi untuk Perubahan Iklim Global atau the Climate Change Convention tentang pemanasan global adalah kasus klasik dimana memberi solusi untuk satu problem yang spesifik sementara secara bersamaan 32
menciptakan berbagai masalah lainnya. Ekspansi perkebunan untuk biofuel atau tanaman panen energi dan sebagai penyerap/penyimpan karbon atau carbon sinks menciptakan ulang dan memperburuk permsalahan problema serupasama yang dihadapi oleh masyarakat adat dengan pertanian tanaman sejenis monocropping berskala besar, pertanian dan perkebunan pohon. Masyarakat adat telah dan terus bekerjasama dengan proses Konvensi Perubahan Iklim atau the Climate Change Convention tetapi seringkali sangat sulit untuk mengintegrasikan perspektif mereka dalam kesimpulan terakhir atau rekomendasinya. 25. Pendekatan paling logis untuk menghentikan emisi karbon dioksida (CO2) adalah untuk negara-negara, terutama negara industrialis, untuk mereduksi konsumsi bahan baker fosil dan memotong emisinya dengan drastis. Negara ini ditargetkan karena penggunaan energinya yang tidak proporsional dank arena ‘hutang karbon’ mereka ke selatan masih belum dibayar.xix 26. Pendekatan keadilan yang menyerang langsung kepada akar penyebab pemanasan global dikalahkan ketika Konvensi mengambil pendekatan yang berdasarkan pasar (market based) seperti yang dilihat dalam proposal the Kyoto Protocol. Negara dalam Lampiran 1 (38 negara industrialis) menjanjikan bahwa pada tahun 2012 mereka akan mereduksi emisi dengan rata-rata 5.2 persen dibawah tingkat tahun 1990 dengan membeli “kredit karbon” dari negara yang polusinya lebih sedikit atau perusahaan dan dengan melakukan investasi dalam proyek yang “mengisolir” atau “menyimpan” karbon. Tidak satupun dari ketiga “mekanisme fleksibel” yang berbasis pasar menangani secara langsung akar penyebab fisik penyebab pemanasan global: transfer bahan bakar fosil dari bawah tanah di mana bahan bakar tersebut secara efektif terisolir dari atmosfer, ke udara. 27. Mekanisme fleksibel memperbolehkan negara-negara Utara untuk menghindari atau memperlambat reduksi emisi gas rumah kacanya. Mekanisme Perkembangan Bersih atau the Clean Development Mechanism (CDM) memperbolehkan negara-negara utara untuk mendanai proyek untuk melakukan mitigasi perubahan iklim dengan kredit sebagai gantinya yang disimpan dalam bank dan pada akhirnya digunakan sebagai lisensi untuk melanjutkan polusi di negaranya sendiri. Implementasi Gabungan atau Joint Implementation beratrti bahwa negara utara bisa mendanai proyek yang bertujuan untuk memitigasi perubahan iklim di negara Utara lainnya (seringkali negara Eropa Timur) dan negara Selatan, menerima kredit yang sesuai.xx Dengan (mekanisme) ini, pedagang/traders dan banker telah mulai menetapkan pertukaran karbon dengan negara dimana pasar saham utama berlokasi. 28. The European Union (EU) atau Uni Eropa secara luas mempromosikan penggunaan biofuel sebagai sumber energi alternative untuk transportasi. European Biofuels Directive (2003) memiliki target 5.75% dari bahan baker transport di Eropa dari biofuels pada tahun 2010 dan 20 persen pada tahun 2020. Di pihak lain, Presiden Bush menyatakan dalam pidato State of the Nation pada bulan Feb. 2006 bahwa pada tahun 2020, 30 persen dari kendaraan bermotor Amerika akan menggunakan bioetanol. 29. Sementara pertanian AS dan Uni Eropa sekarang dipergunakan secara luas untuk menumbuhkan tanaman untuk biofuel masih ada kekosongan pemasokan dalam menangani permintaan untuk biofuel. Malaysia, Indonesia, Colombia, Ecuador, Nigeria, Pantai Gading (Cote d’Ivoire), Papua New Guinea, di antaranya dengan pesat melakukan ekspansi perkebunan kelapa sawitnya untuk mengisi kekosongan ini. Malaysia dan Indonesia sedang bersiap-siap untuk mensuplai 20 persen dari pasar di Eropa dan baru 33
saja mengumumkan bahwa mereka akan mengalokasikan 40 persen dari hasil minyak kelapa sawitnya untuk biodisel. Brazil sedang melakukan ekspansi perkebunan tebu dan kedelainya dengan agresif. Produksi tebunya tumbuh dengan lebih pesat daripada kedelai dan sekarang merupakan eksportir bioetanol yang terbesar, mensuplai sekitar 50 persen dari pasar dunia. Argentina, dengan Brazil, menanam kedelai hasil rekayasa genetika modifikasi genetika atau genetically-modified (GM) untuk biodisel. Produsen gula tradisional lainnya seperti Guatemala, El Salvador, Pakistan, Afrika Selatan South Africa, Swaziland, Filipina, juga melakukan rehabilitasi terhadap perkebunan gulanya untuk bersaing di pasar dunia. 30. Di sela semua sensasi tentang karakteristik kelanjutan lingkungan hidup biofuel, telah ada studi yang dilakukan oleh ilmuwan yang mennjukkan bahwa produksi bahan bakar nabati biofuel berskala besar merupakan proses yang menyerap banyak energi dan beremisi CO2-dan berpolusi. Keseimbangan energi biofuel, yang berarti jumlah energi yang dibutuhkan untuk memproduksi satu unit biofuel dibandingkan dengan energi yang terkandung dalam unit biofuel tersebut, telah dianalisa dan hasilnya tidak menggembirakan. Pembakaran hutan di Indonesia untuk mempersiapkan perkebunan kelapa sawit sendiripun, jelas berkontribusi terhadap emisi CO2. Karbon yang tadinya dengan aman tersimpan dalam hutan dilepas melalui penggundulan hutan tersebut. 31. Dalam waktu terdahulu, wilayah masyarakat adat telah diperas minyak, gas dan deposit batubaranya atas nama pembangunan. Kini, atas nama menyelamatkan dunia dari pemanasan global, tanah mereka lagi-lagi dipandang sebagai cara untuk memberi solusi. Ekspansi perkebunan untuk bahan bakar nabatibiofuel, pembuatan carbon sinks, perdagangan emisi karbon memperburuk masalah-masalah serupa problema sebelumnya dalam hubungannya dengan perkebunan yang tengah dihadapi oleh masyarakat adat. Melakukan konversi ekosistem yang kompleks menjadi penyimpan karbon yang monoculture dan menyikapi emisi CO2 sebagai komoditas yang akan diperdagangkan di pasar karbon tidak hanya menuju kepada dampak sosial dan lingkungan hidup yang negatif, tetapi secara langsung juga bertolak belakang dengan pandangan dunia dasar dan nilai-nilai masyarakat adat yang telah menggunakan tanahnya dan sumberdaya alamnya dengan cara yang berkelanjutan. Pembenaran atas dilakukannya perdagangan emisi terdiri dari distorsi pemikiran teknis, hukum, ekonomi dan intektual yang mengekalkan ketimpangan dunia ini. Pemanasan global yang merupakan problem sosial dan lingkungan hidup telah menjadi usaha bisnis yang memberikan kesempatan untuk mendapatkan hak milik property baru, asset dan kesempatan untuk mengakumulasi modal/capitall.xxi Ada beberapa studi kasus yang telah dituntaskan tentang pengalaman masyarakat adat di Costa Rica, Ecuador, Thailand, India, Brazil, dan Uganda dengan proyek yang dibangun untuk melakukan perdagangan emisi dan kasus tersebut merupakan ulangan dalam hal mengambil alih tanah milik masyarakat adat.xxii 32. Selama pertemuan ke-6 dari Konferensi Pihak-Pihak Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim atau the Conference of Parties of the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) perwakilan masyarakat adat dari 22 negara merilis pernyataan yang menolak dihitungnya hutan dalam CDM dan menyerukan untuk pembuatan dana untuk masyarakat adat dalam rangka menyikapi dampak dari perubahan iklim.xxiii The World Bank telah memainkan peran yang penting dalam mempromosikan dan mendukung konsep pasar karbon. Dampak Sosial dan Lingkungan Hidup dari Pembalakan serta Logging dan Perkebunan Tanaman Sejenis Panen Tunggal 34
33. Dampak sosial dan lingkungan hidup dari pembalakan logging dan perkebunan terhadap tanah dan wilayah masyarakat adat terutama di negara berkembang, telah terdokumentasikan dalam beragam literatur dan literatur tersebut menunjukkan hal-hal berikut:xxiv penolakan hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam, pengasingan tanah, pengusiran dengan paksa, pencegahan akses dan hak yang telah menyebabkan penurunan populasi masyarakat adat, terutama yang berada di wilayah yang terisolir dan terpencil dan penghancuran sistem pengelolaan sumberdaya. Telah terjadi juga kehilangan habitat dan hal tersebut menyebabkan hilangnya sumber penghidupan, kebudayaan dan pengetahuan tradisional yang berkaitan dengan hutan. Telah terjadi peningkatan konflik sosial antara masyarakat adat dan pemerintah dan perusahaan swasta (pemecahbelahan didukung oleh pemerintah dan perusahaan). Telah terjadi kerawanan pangan, masalah kesehatan yang parah, termasuk meningkatnya malnutrisi dan peningkatan tingkat kematian; perubahan dalam ekologi penyakit yang menghasilkan seringnya terjadi penyakit; meningkatnya tingkat penyakit menulat seksual karena peningkatan prostitusi di perkebunan atau areal logging. Telah terjadi meningkatnya kondisi pekerjaan yang eksploitatif dan diskriminatif, tingginya tingkat luka antara pekerja hutan dan perkebunan; terciptanya ketergantungan yang mengakibatkan hubungan eksploitatif dan hubungan pelindung-klien yang korup antara petugas hutan dan masyarakat adat. Telah terjadi runtuhnya struktur sosial tradisional, tercipatnya ketimpangan baru, melemahnya hukum adat, jaringan dukungan sosial dan sistem pengelolaan tanah. Telah terjadi konflik internal atas pengambilan keputusan, alokasi sumberdaya yang menuju kepada semakin melemahnya kohesi sosial dan perpindahan dalam keseimbangan kekuasaan atas hutan dari penghuni hutan yang meliputi masyarakat adat, kepada industri logging dan perkebunan, elit politik dan ekonomi yang memperkuat sikap pelindung dan pencari sewa politis atau patronage and rent-seeking behaviour. 34. Gambaran klasik yang mengilustrasikan hal yang terjdi bila perkebunan panen tunggal diperkenalkan di atas tanah adat adalah kasus Aracruz Cellulose di Brazil. Dengan dukungan dictator militer, perusahaan Aracruz Florestal (kini Aracruz Cellulose) menginvasi tanah adat para Tupinikim pada 1967. Sekarang areal tersebut merupakan produsen bleached eucalyptus pulp, mencatat pemasukan sebesar US$685.9 juta pada tahun 2005.xxv Para masyarakat Tupinikim dan Guarani mencoba untuk mengklaim kembali tanahnya dengan self-delineation dan meninggali kembali beberapa bagian dari tanah mereka. Pada bulan Januari 2006, dengan menggunakan kekerasan, mereka diusir oleh polisi bersenjata dari tanah yang ditinggalinya. Buldozer Aracruz digunakan untuk menghancurkan desa-desa tersebut. Pada 12 September 12, 2006, the National Indigenist Foundation (FUNAI) merekomendasikan pada Menteri Keadilan agar beliau mendeklarasikan 11,009 hektares dari Espiritu Santo sebagai wilayah tradisional daro kaum Tupinkim dan Guarani. 35. Laporan yang dirilis oleh FERN (aliansi hutan Eropa) berjudul “Forest of Fear, the abuse of human rights in forest conflicts” atau Hutan Ketakutan, pelanggaran yang melampaui batas HAM dalam konflik hutanxxvimengandung lebih dar 40 kasus pelanggaran HAM. Penemuan laporan ini dan cerita lainnya dikonfirmasikan dalam laporan Human Rights Watch dan Amnesty International, serta laporan dari Penyidik Khusus PBB dalam situasi HAM dan kebebasan fundamental masyarakat adat. 36. Laporan yang dipublikasikan oleh Majalah Lancet tentang kesehatan masyarakat adat di Afrika menetapkan “resiko kesehatan kaum Pygmy berubah seiring dengan hutan Afrika tengah, yang merupakan pusat dari struktur sosial tradisional mereka, budaya dan 35
ekonomi pemburu-pengumpul mereka, sedang dihancurkan atau diambil alih oleh logging, peternakan dan proyek konservasi.”xxvii Laporan ini selanjutnya menyatakan bahwa di areal dimana sumberdaya pangan hutan telah menjadi sulit didapatkan karena logging yang menghancurkan dan tidak adanya cara lain untuk mendapatkan pangan, malnutrisi anak-anak dan wanita hamil terjadi dengan tingkat yang serius. 37. Dalam laporan misi negaranya, Penyidik Khusus PBB dalam situasi HAM dan kebebasan fundamental masyarakat adat, menyinggung tentang dampak dari pengembangan perkebunan hutan atas tanah masyarkat Mapuche.xxviii Situasi dari masyarakat tak tersentuh atau masyarakat adat yang atas kemauannya sendiri mengisolirkan dirinya juga telah disorot oleh Penyidik Khusus dalam Lapiran Misi Ekuadornya karena mereka telah diinvasi bukan hanya oleh perusahaan minyak dan gas tetapi juga oleh logger dan pemilik perkebunan kelapa sawit.xxix 38. Contoh lainnya adalah masyarakat adat Benet atau Ndorobo, masyarakat adat yang telah tinggal di Gunung Elgon di Uganda, sejak dahulu kala. Hutan ini dicatat dengan resmi sebagai Crown Forest pada tahun l938, menjadi pusat hutan reservasi pada tahun l968 dan taman raya nasional pada tahun 1993. Karena hal ini, para Ndorobo diusir pada tahun l983 dan l993. Pada tahun l994 the Uganda Wildlife Authority (UWA) dan the Netherlands Forest Absorbing Carbon Dioxide Emissions Foundation (FACE), mendapatkan lisensi dari pemerintah Ugand untuk menanam pohon di atas 25,000 hektar di perbatasan sepanjang 211 kilometer Gunung Elgon di dekat perbatasan dengan Kenya. Serangkaian pengusiran terjadi kembali untuk melindungi areal yang diberikan kepada proyek UWA-FACE. Masyarakat adat Ndorobo memasukkan kasus pengadilan melawan Jaksa Agung atau Attorney General Uganda dan UWA untuk pengusiran paksa yang bertolak belakang dengan Konstitusi tahun l995 yang mengakui kepemilikan adat.xxx 39. Deforestation tidak hanya berampak pada hutan tersebut sendiri, tetapi juga berimbas kepada air bawah tanahnya. Penurunan kualitas air telah menyebabkan menurunnya stok ikan dan telah mempengaruhi keragaman hayati perairan karena kehidupan satwa dan tumbuhan sangat rentan terhadap pengurangan oksigen, suspensi materi partikel dan kurangnya cahaya. Tanggapan dan prakarsa Respons dan inisiatif masyarakat adat, LSM/NGOs dan badan PBB 40. Respons umum antara masyarakat adat yang dihadapi dengan pengambilan sepihak atau pengambilan alih tanah mereka oleh negara, adalah untuk melawan secara fisik terhadap logging, perkebunan, proyek minyak, gas dan mineral di tingkat setempat. Hal ini biasanya dilakukan dengan membentuk barikade manusia dan blockade untuk menghentikan masuknya kendaraan perusahaan, mesin dan tindakan menduduki tanah. Bukan suatu kejutan bahwa konflik tentang tanah lazimnya terjadi antara masyarakat adat dan negara dan sektor swasta, telah menjadi pendorong pusat untuk munculnya gerakan masyarakat adat di sebagian besar belahan dunia. Barikade jalanan yang dibuat oleh masyarakat adat di Sarawak dan pendudukan tanah dan aktifitas yang direncanakan sendiri atau self-delineation activities oleh para masyarakat Tupinikim dan Guarani hanya merupakan beberapa contoh dari kasus yang tak terhitung jumlahnya yang telah terjadi sejak kolonisasi. Di banyak negara berkembang, proses peradilannya sangat lamban sehingga biaya legalnya jauh diatas kemampuan masyarakat adat dan hubungan antara perusahaan dengan elit politik tidak mempermudah mereka dalam mempertahankan tindakan ini.xxxi 36
41. Gerakan masyarakat adat lokal dan nasional telah mengalami transnasionalisasi menjadi gerakan global. Hal ini menjadi fokus utama dari pekerjaan yang dilakukan oleh gerakan masyarakat adat dalam menulis konsep UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples. Hal ini diadopsi oleh Dewan HAM atau Human Rights Council pada June 29, 2006 dan sekarang telah berada dihadapan the General Assembly. Perwakilan masyarakat adat berharap bahwa negara-negara akan mengadopsi Draf Deklarasi dalam Sidang Umum sebelum akhir sesi ke-61nya pada tahun 2007.xxxii 42. Sebagian dari pekerjaan dalam hal mengakui hak masyarakat adat atas tanahnya, wilayahnya dan sumberdayanya termasuk dalam Komisi untuk HAM yang kini sudah tidak ada. Hal ini bermula dengan resolusi ECOSOC tahun 1971 yang memberi otorisasi Sub-Komisi untuk membuat kajian tentang “Problem of Discrimination Against Indigenous Populations”/Masalah Problem Diskriminasi Terhadap Populasi Masyarakat Adat (Martinez-Cobo Report/Laporan Martinez-Cobo). Penunjukan Erica-Irene Daes sebagai Penyidik Khusus tentang tanah adat dan sumberdayanya adalah langkah maju. Sub-Komisi juga telah memberikan otorisasi untuk melaksanakan seminar workshop ahli yang secara langsung atau tidak langsung menangani permasalahan seputar perkebunan.xxxiii 43. Penyidik Khusus PBB dalam situasi HAM dan kebebasan fundamental masyarakat adat telah mengunjungi 10 negara sejak penunjukannya pada tahun 2001. Laporan beliau termasuk analisa situasi tanah, wilayah dan sumberdaya masyarakat adat dan beberapa referensi tentang pengalaman masyarakat adat dalam kaitannya dengan logging dan perkebunan. Beliau juga menuntaskan laporan tematik tentang “Impact of large-scale or major development projects on the human rights and fundamental freedoms of indigenous peoples and communities”/Dampak proyek skala besar atau proyek pengembangan besar terhadap HAM dan kebebasan fundamental masyarakat dan komunitas adat.xxxiv 44. Selama sepuluh tahun terakhir telah ada peningkatan jumlah laporan bayangan dan peringatan mendesak yang diserahkan kepada Badan Kesepakatan HAM atau the Human Rights Treaty Bodies yang mengangkat permasalahan diskriminasi dan pelanggaran HAM masyarakat adat oleh beberapa negara yang telah meratifikasi Konvensi-Konvensi. Beberapa di antaranya di alamatkan pada Forum Tetap.xxxv 45. Masyarakat adat tidak membatasi kerjasamanya dengan Sistem HAM PBB atau the UN Human Rights System. Mereka juga telah berhubungan dengan the Economic and Social Council dan badan tambahannya. Hal ini mulai dengan the UN Conference on Environment and Development (UNCED, 1992) atau Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang juga dikenal sebagai the Earth Summit or Rio Summit. Partisipasi dari perwakilan masyarakat adat memastikan memastikan adopsi Chapter 26 dari Agenda 21 yaitu “Memperkuat peran masyarakat dan komunitas adat dalam perkembangan berkelanjutan” atau “Strengthening the role of indigenous and local communities in sustainable development”. Pada Rio plus 10 pada tahun 2002, delegasi masyarakat adat memastikan bahwa “peran vital masyarakat adat dalam perkembangan yang berkelanjutan” yang telah dikuatkan kembali oleh the Johannesburg Declaration of the World Summit on Sustainable Development. 46. Masyarakat adat berhubungan dengan the UNFF (Forum PBB tentang Hutan/UN Forum on Forests) karena UNFF merupakan badan PBB kunci yang dimandatkan untuk 37
“mempromosikan pengelolaan dan perkembangan yang berkelanjutan dari semua jenis hutan dan untuk memperkuat komitmen politik jangka panjang agar dapat mencapainya” tentang pengetahuan tradisional mereka tentang hutan dan monitoring dan melaporkan keadaan hutan.xxxvi Organisasi masyarakat sipil, yang meliputi masyarakat adat, membuat penilaian proses UNFF dan memberikan saran tentang bagaimana memperbaiki kinerja badan ini dan proses antar pemerintahan ke depan yang menangani permasalahan hutan pada tingkat global. 47. Konvensi Organisasi Tenaga Kerja Internasional atau The International Labour Organization (ILO) Convention 169 tentang Masyarakat Adat atau Suku mengandung provisi penting yang mengakui hak masyarakat adat untuk mengendalikan sumberdaya alamnya dalam kapasitas kolektifnya sebagai masyarakat. Konvensi ILO 169 sekarang telah diratifikasi oleh 19 negara, yang terakhir adalah Spanyol dan Nepal. The InterAmerican Court of Human Rights (IACHR) of the Organization of American States telah menerima beberapa kasus yang meliputi banyak dari isu yang garis besarnya ada dalam laporan ini. Salah satu dari kasus landmark adalah kasus the Mayagna (Sumo) Awas Tingni Community v. Nicaragua. xxxvii 48. The FAO di bawah Pelayanan Hak Milik Tanah atau Land Tenure Service, memberikan komisi untuk membuat kajian berjudul “A Survey of Indigenous Land Tenure” yang dilakukan oleh the Forest Peoples’ Programme pada tahun 2001. Laporan yang sangat kaya ini mencantumkan penilaian legal tentang pengakuan hak tanah masyarakat adat dan memasukkan studi kasus yang relevan. 49. The World Bank merevisi Operational Directive (OD) 4.20, yang sekarang disebut Kebijakan Operasional atau Operational Policy (OP) 4.10 tentang Masyarakat Adat. Pada tahun 2002, the World Bank juga mengadopsi kebijakan baru tentang hutan (OP 4.60) yang menurut pendapat masyarakat adat dan NGOs merupakan versi yang lebih lemah daripada kebijakan tahun 1993 yang digantikannya, yang mencegah the World Bank dari mendanai proyek yang menghancurkan hutan primer yang lembab. Kritik lainnya adalah bahwa kebijakan ini tidak berlaku pada anggota the World Bank Group, misalnya International Finance Corporation dan the MIGA (Multilateral Investment Guarantee Agency) dan juga tidak berlaku pada pinjaman structural dan progam.xxxviii 50. Bank Dunia The World Bank telah berubah dari mitigasi dan “tidak melakukan kerugian” menjadi “melakukan kebaikan” dan menuntaskan kajiannya sendiri tentang suksesnya proyek pengembangan-etnis yang telah disokongnya. Mereka mendanai kajian awal yang menganalisa 28 kasus “pengembangan adat” yang mencapai sukses di Amerika Latin.xxxix 51. Bersama dengan beberapa organisasi lingkungan hidup, organisasi masyarakat adat juga mengambil bagian dalam proses yang diinisiasi oleh sektor swasta. Hal ini mencakupi proses sertifikasi the Forest Stewardship Council (FSC) dan the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Sawit Watch, berinkorporasi pada tahun 2004 sebagai NGO dibawah Undang-undang Sipil Swiss. Dengan keragu-raguan yang dalam, beberapa individu masyarakat adat, bukan hanya dari Indonesia tetapi juga Malaysia, berpartisipasi dan berkontribusi kepada evolusi Prinsip dan Kriteria RSPO (adopsi pada Nov. 2005) yang termasuk antara lain, kepatuhan dengan ratifikasi undang-undang internasional dan prinsip Persetujuan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan dan kompensasi yang adil.xl Prinsip dan Kriteria FSC yang menetapkan standard untuk logging dan perkebunan mendeklarasikan bahwa perusahaan harus mengakui hak 38
masyarakat adat atas tanah mereka, untuk Persetujuan Didahulukan dan Diinformasikan berkaitan dengan situs suci mereka bila ingin memenuhi kualifikasi untuk ‘eco-labelling’. 52. Studi yang dilakukan oleh Sawit Watch, Forest Peoples’ Programme, HuMA and ICRAF menyimpulkan bahwa sedikit sekali areal kelapa sawit di Indonesia yang berkemungkinan akan mematuhi standard RSPO dan bahwa hak masyarakat adat masih dilanggar dalam pengembangan areal kelapa sawit.xli 53. Inisiatif dari the Friends of the Earth-Netherlands (Milieudefensie) bergabung dengan Greenpeace-Netherlands dan LSM Indonesia, adalah kampanye untuk menghubungi bank utama Belanda yang terlibat dalam pendanaan industri kelapa sawit. Ini termasuk riset yang menganalisa program Bank untuk hutan dan investasi dan kebijakan perkebunan. Juru kampanye NGO menetapkan bahwa pemain inti dalam melakukan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia, Malaysia dan Papua New Guinea adalah lembaga keuangan asing dari Eropa, Amerika Utara dan Asia tTimur. Dengan demikian, kampanye gabungan pada tahun 2001 menargetkan 5 bank Belanda: ABN Amro Bank, FMO, Fortis Bank, ING Bank dan Rabobank. 54. Para bank mengakui bahwa melalui investasinya mereka berkontribusi atas dampak lingkungan hidup dan sosial yang negatif dari perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara. Selanjutnya mereka menetapkan Kebijakan Kelapa Sawit dan/atau Investasi Perhutanan (OktoberOct. 2001) yang akan menjadi acuan bagi mereka dalam menyediakan pendanaan bagi perusahaan yang terlibat dalam industri ini. Mereka memainkan peranan penting dalam mendirikan RSPO. Bank lainnya seperti Citigroup, JP Morgan dan HSBC langsung mengikutinya dan menetapkan pernyataan kebijakan sehingga setidaknya para klien mereka akan menghormati hukum yang relevan dan konvensi internasional dalam hubungannya dengan menjaga Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi atau High Conservation Value Forests dan menghormati hak masyarakat adat dan komunitas setempat. Kesimpulan 55. Ada perkembangan yang positif dan pencapaian dalam hal pengakuan hak masyarakat adat dalam konstitusi nasional dan perundang-undangan di beberapa negara. Hukum dan kebijakan tentang hak milik tanah adat sekarang telah ada di negara-negara di berbagai belahan dunia, meskipun sifatnya masih beragam, dari hak akses hingga hak untuk memiliki dan mengendalikannya. Banyak negara di Amerika Latin yang melakukan reformasi konstitusinya untuk mengakui bahwa mereka merupakan negara yang meltietnis dan multi-kultural dan menghasilkan perundangan yang mengakui hak tanah adat dan menyerukan untuk demarkasi tanah masyarakat adat. Beberapa di antara negara ini meratifikasi Konvensi ILO No. 169 tentang Masyarakat Adat dan Suku. 56. Di Asia, pengakuan Hak Adat Pribumi atau Native Customary Rights di Malaysia, UU Hak Masyarakat Adat di Filipina atau the Indigenous Peoples’ Rights Act of the Philippines, UU Tanah tahun 2001 atau the Land Act 2001 di Kambodia, dalam berbagai derajat, menjamin beberapa hak masyarakat adat atas hutannya. Di negara-negara Asia dimana undang-undang seperti ini tidak ada, terdapat kebijakan dan proyek dalam titik balik berbasis masyarakat dan pengelolaan hutan yang meliputi pengakuan beberapa praktek adat dan sistem hak milik tanah adat. The 6th Schedule for Tribes in Northeast India mengakui hak ulayat atau kepemilikan tanah secara kolektif. Di Pasifik, beberapa negara seperti Fiji dan Papua New Guinea, telah mengakui hak tanah adat. Di Amerika 39
Utara, Australia, New Zealand dan Kutub Utara atau the Arctic juga ada pengakuan atas hak masyarakat adat atas hutannya yang beragam derajatnya. 57. Meskipun semua yang digambarkan di atas, pengusiran masyarakat adat dari hutannya tetap berlanjut tanpa henti. Dengan demikian, masyarakat adat meneruskan kampanyenya untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah dan sumberdayanya. Kebijakan dan perundangan yang didorong oleh model pembangunan ekonomi neoliberal yang dominan mengalahkan yang melindungi hak masyarakat adat atas tanahnya, wilayahnya dan sumberdayanya. Beberapa studi termasuk yang dilakukan oleh the InterAmerican Development Bank mengindikasikan kebijakan untuk melakukan privatisasi tanah telah menghasilkan tindakan yang memilih untuk menghibahkan surat hak milik tanah individual menyebabkan pengasingan tanah yang lebih cepat. Dalam beberapa kasus, langkah yang diambil untuk mencapai MDG Goal 1 (mengentaskan separuh dari jumlah para miskin pada tahun 2015), ermasuk logging, konversi tanah hutan menjadi perkebunan panen tunggal dan pertanian. Kayu, perkebunan, perusahaan hydrocarbon dan mineral semua mengklaim bahwa mereka akan mengurangi kemiskinan dan menyediakan lapangan kerja meskipun seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sedikit sekali bukti tentang pengurangan kemiskinan. 58. Ada lebih banyak kemauan politik, keuangan dan dukungan teknis untuk makroekonomi dan reformasi structural yang membuat tekanan menjadi lebih intensif atas tanah adat dan sumberdaya dan mengurangi kapasitas pemerintah untuk mengatur tindaktanduk perusahaan. Selain itu, mekanisme financial baru seperti Dana Karbon Prototipe atau the Prototype Carbon Fund dari the World Bank didirikan untuk menguatkan pasar karbon dan pinjaman yang besar disediakan untuk sektor swasta melakukan ekspansi produksi biofuel. 59. Sementara itu, kurangnya pendanaan dan bantuan teknis untuk membangun kapasitas dari negara-negara dalam melakukan implementasi perundangan nasional mereka yang melindungi dan menghormati hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumberdayanya dan obligasi mereka pada konvensi dan kesepakatan HAM Internasional sangat menyedihkan. Demarkasi tanah dan surat hak milik tanah dan proyek perkembangan etnis kurang pendanaan. 60. Banyak ruang lingkup untuk studi yang dilakukan oleh bahdan antar pemerintah dan organisasi masyarakat sipil untuk mempengaruhi kebijakan pada tingkat nasional dan global. Faktanya, beberapa di antaranya dimasukkan dalam laporan bayangan atau submisi peringatan mendesak dari organisasi masyarakat adat dan LSM kepada Badan Kesepakatan HAM atau the Human Rights Treaty Bodies. Sekarang terdapat kumpulan ilmu hukum yang dikembangkan oleh badan ini yang lebih jauh menguatkan perlunya untuk melindungi hak masyarakat adat atas tanahnya, wilayahnya dan sumberdayanya, haknya untuk melakukan penetapan takdirnya sendiri dan untuk persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan. 61. Selanjutnya, masyarakat adat mencari keadilan melalui persidangan atas pengambilan alih tanahnya tidak adil dan untuk menyerukan penghentian proyek yang disebut-sebut sebagai proyek pembangunan, seperi logging dan perkebunan hingga hak mereka atas tanah tradisional ditetapkan. Secara umum keputusan yang dihasilkan tidak memihak kepada masyarakat adat karena sistem keadilan yang tampaknya korup. Jadi meskipun ada beberapa masyarakat adat yang menggunakan persidangan, mayoritas masih
40
menolaknya karena samasekali tidak ada sumberdaya serta pengacara untuk membantu mereka megejar kasusnya. 62. Program dan proyek yang mendukung mata pencaharian tradisional masyarakat adat seperti yang mempromosikan dan mengembangkan pasar untuk produk hutan non-kayu, pengelolaan sumberdaya alam di antaranya, juga telah ditetapkan dengan bantuan saran teknis dan sumberdaya dari badan antar pemerintah. Beberapa diantaranya merupakan contoh dari praktek baik atau good practice. Bagaimanapun, beberapa model ini tidak direplikasi, dinaikkan skalanya atau secara efektif digunakan untuk reformasi kebijakan. 63. Kami juga melihat beberapa usaha dari sektor swasta untuk menetapkan badan untuk menyikapi beberapa permasalahan yang dimunculkan oleh masyarakat adat dan LSM, seperti Forest Stewardship Council, the Roundtable on Sustainable Palm Oil dan hasil kerja beberapa bank swasta transnasional mengembangkan kebijakannya sendiri tentang bagaimana menangani perkebunan kelapa sawit. Rekomendasi 64. Jika dilihat dari apa yang telah dikatakan sejauh ini, ada rekomendasi spesifik tentang apa yang bisa dilakukan oleh Forum Tetap untuk membantu menyikapi isu monocropping skala besar. 65. Karena masalah ini merupakan bagian dari bagaimana hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya dihormati dan dilindungi, rekomendasi dari laporan Daes tentang tanah semua relevan dan perlu dipertimbangkan oleh para Pihak, badan antarpemerintah dan Forum Tetap. 66. Forum Tetap diamanatkan untuk mengkoordinasi dan mengintegrasi kegiatan berkaitan dengan permasalahan adat didalam PBB. Seperti yang diindikasikan oleh studi awal ini, ada beberapa badan, lembaga dan dana PBB yang telah melakukan pekerjaan di bidang perkebunan monocropping. Sehingga penting untuk mengedarkan secara luas kertas kerja ini kepada para anggota IASG dan mengundang mereka untuk memberikan komentar dan informasi atau data tambahan yang mungkin mereka miliki tentang masalah ini. Kontribusi bisa termasuk kebijakan, proyek dan pendanaan yang berhubungan dengan perkebunan dan kehutanan. Forum Tetap (UNPFii) perlu menyebarkan secara luas semua informasi tentang proyek di masa lampau dan saat ini yang relevan terhadap masalah, praktek baik sehubungan dengan dengan perlindungan dan penghormatan hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya mereka dan pembelajaran dari program dan proyek yang mendukung perkembangan yang ditentukan sendiri (self-determined) oleh masyarakat adat secara umum dan proyek kehutanan dan perkebunan, secara khusus. 67. Sumberdaya seharusnya disediakan oleh bank-bank, pihak swasta dan agensi donor bilateral dan multilateral untuk pendirian badan independent untuk memonitor bagaimana kebijakan yang relevan bagi masyarakat adat dan tanah, wilayah dan sumberdaya mereka diimplementasikan oleh sektor swasta, pemerintah dan badan antar pemerintah dan untuk melakukan investigasi atas keluhan yang diangkat oleh masyarakat adat tentang logging dan perkebunan yang beroperasi di wilayah mereka. Badan ini bisa dibawahi oleh Forum Tetap atau the Permanent Forum, yang dapat mempersiapkan kerangka acuannya ruang lingkup referensinya atau terms of reference dan membantunya dalam menseleksi keanggotaanya (pakar dari pemerintahan, masyarakat adat, sektor swasta, bank, NGO dan 41
badan antar pemerintah). Badan ini bisa menyiapkan laporan yang diserahkan secara rutin kepada Forum Tetap yang akan membagikan hasilnya kepada bank pembangunan multilateral, lembaga keuanan internasional dan the Equator Banks. 68. Laporan ini hamper tidak menyentuh permukaan permasalahan yang tengah ditangani. Dengan demikian para penyidik merekomendasikan kajian lanjutan dilaksanakan untuk sesi berikut Forum Tetap yang akn dilaksanakan oleh Penyidik Khusus yang ditunjuk dalam sesi ke-6 ini. Studi lanjutan ini akan mengumpulkan informasi yang lebih banyak dari pemerintah, sektor logging dan perkebunan dan jaringannya, masyarakat adat, NGO dan badan antar pemerintah seperti Konvensi untuk Perubahan Iklim/the Climate Change Convention, Konvensi untuk Keragaman Hayati/the Convention on Biological Diversity dan Forum PBB untuk Hutan /the UN Forum on Forests. 69. Forum Tetap mungkin berkeinginan untuk mempersiapkan laporan khusus tentang “Masyarakat Adat dan Konvensi Perubahan Iklim” atau “Indigenous Peoples and the Climate Change Convention” yang akan lebih mengamplifikasi permasalahan yang diangkat dalam laporan ini misalnya dampak biofuel, penyimpan karbon dan perdagangan emisi karbon, yang semuanya mungkin berdampak pada masyarakat adat dan partisipasinya. Penemuan ini dapat diserahkan dalam Konferensi Pihak-pihak UNFCCC atau Conference of Parties of the UNFCCC berikutnya. i
ii
iii
iv
v
vi
E/CN.17/IPF/1997/6. (1997) “Implementation of Forest Related Decisions of the United Nations Conference on Environment and Development at the national and international levels, including examination of sectoral and cross-sectoral linkages; Surat tertanggal 15 Jan. 1997 dari Wakil Tetap Kolombia dan Denmark kepada Sekjen PBB atau the UN Secretary General. WRM (1992), Rainforest Destruction: Causes, Effects and False Solutions, WRM, Penang. Laporan dituntaskan oleh the World Rainforest Movement dan the Forest Peoples’ Programme dan makalah kerja ditulis oleh Erica-Irene Daes tentang “Masyarakat Adat dan hubungannya dengan tanah“ atau “Indigenous peoples and their relationship to land” dan “Indigenous Peoples’ Permanent Sovereignty Over Natural Resources”/Kedaulatan Masyarakat Adat atas Sumberdaya Alamnya digunakan dengan luas. Laporan Penyidik Khusus PBB, Rodolfo Stavenhagen menyediakan informasi terkini yang penting. Beberapa dari laporan tematik dan misi negaranya merujuk kepada pelanggaran hak masyarakat adat karena perkebunan berskala besar dan operasi logging. Data dikumpulkan oleh Ms. Tauli-Corpuz pada kunjungannya ke Kalimantan Barat (Indonesia), Kambodia, dan di Mindanao (Filipina) dan Ms. Nicolaisen, pakar pemerintah anggota Forum Permanen yang mengunjungi Sarawak di Malaysia juga digunakan. Marcus Colchester ed. (2001), A Survey of Indigenous Land Tenure: A Report for the Land Tenure Service of the Food and Agriculture Organization. www.forestpeoples.org. diakses 12 April 2007. Dokumen E/CN.4/Sub.2/2001/21 (Indigenous Peoples and their relationship to land), Daes mendiskusikan dengan terperinci dalam Bagian 111 laporannya a ‘Framework for the Analysis of Contemporary Problems Regarding Indigenous Land Rights” yang mengandung diskusi yang lebih mendalam tentang doktrin pengambilan milik, penghapusan, etc. Di Sarawak, sekitar seperlima dari tanah diklasifikasikan sebagai Native Customary Rights bagaimanapun, hak ini bisa diambil oleh Negara untuk diberikan kepada perusahaan kayu atau perkebunan. Telah diamandemen beberapa kali dan kini Sidang Legislatif Negara atau the State Legislative Assembly telah mneghibahkan kuasa pada the Chief Minister untuk memusnahkan Native Customary Rights. UU Amandemen Surat Hak Milik Pribumi atau The Native Title Amendment Act (1998) di Australia menyediakan beberapa cara dimana native title dapat dimusnahkan. The CERD memutuskan bahwa UU ini diskriminatif. The Supreme Court of the US menjustifikasi pemusnahan dalam keputusannya tentang the Tee-Hit-Ton Indians v. United States. Dengan pengecualian yang terbatas, AS dapat mengambil atau menyita tanah atau milik suku Indian tanpa proses sesuai hukum dan tanpa kompensasi yang adil. Doktrin hukum yang muncul dari kasus ini digunakan oleh Kongres untuk menjustifikasi pemusnahannya atas hak atas tanah dan klaim oleh 226 nations dan suku di Alaska melalui the Alaska Native Claims Settlement Act.
42
vii
Tides Center- Biodiversity Action Network (1999), Addressing the Underlying Causes of Deforestation and Forest Degradation, Case Studies, Analysis and Policy Recommendations, Biodiversity Action Network, Washington, D.C. hal.33. viii UN General Assembly Document A/HRC/4/32/Add.3, 26 Feb. 2007, Mission to Kenya. Stavenhagen berkata “..para Maasai kehilangan sepertiga dari tanahnya melalui kesepakatan yang terpaksa pada l904 dan l911 oleh rezim colonial, dan diperbolehkan tinggal hanya pada sedikit tanah marginal di distrik Kenya yaitu Narok and Kajiado. Di Laikipia District, 75 persen dari tanah masih dalam tangan pemilik Eropa … skema Pendudukan, logging dan produksi arang telah sangat membebani hutan Kenya yang kaya dan beragam, dan telah menyebabkan kehilangan habitat tradisional masyarakat hutan Kenya, para pemburu-pengumpul pribumi seperti para Awer, Ogiek, Sengwer, Watta dan Yaaku.“ ix WRM (1999), Tree Plantations: Impacts and Struggles. WRM Montevideo, hal.18. x Marcus Colchester (1999). Indigenous Peoples and the new ‘Global Vision’ on Forests: Implications and Prospects – Makalah Diskusi. P.4. www.wrm.org. xi E/CN.17/IPF/1997/6 (1997) “Implementation of Forest Related Decisions of the United Nations Conference on Environment and Development at the national and international levels, including examination of sectoral and cross-sectoral linkages; Surat tertanggal 15 Jan. 1997 dari Wakil Tetap Kolombia dan Denmark kepada Sekjen PBB atau the UN Secretary General..”hal.12. xii Laporan FAO "Global Forest Resources Assessment 2000" (FRA2000) xiii Kelapa Sawit akan Berkembang pada 2004. Inform.2004; 15 (6).355 xiv Lihat Pernyataan oleh Rukka Sombolinggi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam the 5th Session of the UN Permanent Forum on Indigenous Issues. Lihat juga WRM (2006), Oil Palm, From Cosmetics to Biodiesel: Colonization Lives On. World Rainforest Movement, Uruguay. hal.1. xv Ann Casson, (1999) .The Hesitant Boom: Indonesia’s Oil Palm Sub-Sector in an Era of Economic Crisis and Political Change CIFOR, Bogor.hal.8. xvi Marcus Colchester, Norman Jiwan,et.al. (2006), Promised Land, Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia: Implications for Local Communities and Indigenous Peoples, Forest Peoples’ Programme, Perkumpulan Sawit Watch, Moreton-in-Marsh and Bogor.hal.11. Laporan ini merupakan hasil kajian multi-displiner yang dilakukan antara Juli 2005 hingga Sept. 2006 oleh Sawit Watch, Forest Peoples’ Programme, dengan pengacara dari HuMA (organisasi HAM Indonesia) dan pakar hak milik tanah dari the World Agroforestry Centre (ICRAF). xvii Ibid. hal.3. Lihat juga Ellie Brown and Michael Jacobson (2005), Cruel Oil: How palm oil harms health, rainforests and wildlife. Center for Science and Public Interest (CSPI), Washington D.C. hal. 4. xviii Ellie Brown dan Michael Jacobson, hal. 7. xix Development Dialogue (September 2006), Carbon Trading; a critical conversation on climate change, privatization and power.Dag Hammarskjöld Centre, Uppsala, hal.19-20 berkooperasi dengan Cornerhouse, U.K. xx Cornerhouse (2001), Democracy or Carbocracy?, Briefing 24. Cornerhouse, Dorset, U.K. http://www.thecornerhouse.org.uk xxi Development Dialogue (2006).hal. 89 xxii Ibid. hal. 219-309. Dalam artikel oleh Larry Lohman, “Shopping for Carbon, a new plantation economy,” yang dipublikasikan oleh Cornerhouse (http://www.thecornerhouse.org.uk) menggambarkan beberapa inisiatif karbon perhutanan. The Electrical Generating Board of the Netherlands telah melakukan kontrak dengan Innoprise Corporation Malaysia untuk menanam pohon dipterocarp pada lahan tebangan di Sabah dan juga telah berkiprah di Andes, Ekuador untuk menanam ribuan hektar pohon pinus dan kayu putih. Suncor Energy (perusahaan tanbang gas, penyulingan dan pemasaran yang berpusat di Calgary, Canada) memasuki kontrak dengan Southern Pacific Petroleum dan Central Pacific Minerals untuk proyek menanam lebih dari 180,000 pohon asli di tengah Queensland untuk “offset” emisi karbon dioksida dari pengembangan minyak ke depannya. Federation International de l’Automobile telah mengatur agar 30,000 pohon ditanama di Chiapas, Mexico di atas tanah yang dihuni oleh Tojolobal Maya dataran tinggi dan Tzetzals Maya dataran rendah, untuk “offset” 5,500 ton emisi karbon pertahun dari perlombaan mobil Formula One seharga $61,000 per tahun. xxiii WRM (2005), Indigenous Peoples, their forests, struggles and rights, WRM, Montevideo.hal. 18-19. xxiv Marcus Colchester, et. al, (2006), Forest Peoples, Customary Use and State Forests: the Case for Reform. Forest Peoples’ Program. Moreton-in-Marsh, hal.4-5. http://www.forestpeoples.org, diakses pada 18 April 2007. xxv Laporan Tahunan 2006, Council on Ethics for the Government Pension Fund-Global, Norway.hal.63. xxvi WRM (2005), Indigenous peoples, their forests, struggles and rights. P.24-25.
43
xxvii
Nyang’ori Ohenjo, Ruth Willis, et.al. (2006), Health of Indigenous People in Africa, Lancet, London School of Hygiene and Tropical Medicine. London, hal. 367-46. xxviii Lihat para. 23 of Doc. E/CN.4/2004/80/Add.3, 17 November 2003. Report of the Special Rapporteur on the Situation of Human Rights and Fundamental Freedoms of Indigenous People, Rodolfo Stavenhagen, tentang misinya ke Chile. (18 hingga 29 Juli 2003).hal.10. Peningkatan pengunaan herbisida dan pestisida yang digunakan dari pesawat penyemprot tanaman pada perkebunan telah mempengaruhi kesehatan masyarakat adat dan telah menyebabkan putusnya mata rantai makanan tradisional, megeringnya dan terpolusinya sungai dan mata air, dengan kerugian yang cukup besar untuk potensi perikanan atau ichthyological (memancing), dan menghilangnya fauna dan flora tradisional yang kaya dan beragam yang vital untuk kelangsungan hidup komunitas Mapuche. xxix A/HRC/4/32/Add.2, 28 December 2006, Report of the Special Rapporteur on the situation of human rights and fundamental freedoms of indigenous people. Addendum, untuk Misi ke Ekuador, Human Rights Council, Geneva. http://www.ohchr.org xxx Development Dialogue (2006) hal.237-246. The FACE Foundation was established by the Board of Management of the Dutch Electricity Generating Companies to establish 150,000 hectares of tree plantations to compensate for emissions from a new 600 megawatt coal-fired electricity generation plant in the Netherlands. Since 2000, it has been producing and selling carbon credits from tree plantations as an independent non-profit organization. xxxi WRM and Forest Monitor (1998), High Stakes, the need to control transnational logging corporations, A Malaysian Case Study. http://www.forestpeoples.org, accessed 11 March 2007 xxxii Deklarasi PBB mencantumkan serangkaian pasal dari Pasal 25 hingga 32 tentang tanah, wilayah dan sumberdaya dan pengetahuan tradisional. Diantaranya mulai dari hak masyarakat adat untuk memelihara hubungan spiritual dengan tanah, wilayah dan sumberdayanya (25), pasal yang secara ekplisit menyatakan masyarakat adat berhak atas tanah, wilayah dan sumberdayanya yang mereka miliki secara tradisional dan telah dihuni atau yang digunakan atau diperoleh (26), atas hak mereka untuk menetapkan dan mengembangkan prioritas dan strategi untuk pengembangan dan penggunaan tanah, wilayah dan sumberdayanya dan menyerukan pada negara untuk mendapatkan persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan masyarakat adat sebelum mereka dapat menyetujui proyek yang mempengaruhi tanah dan sumberdaya ini. (32). Pasal 10 meneyrukan agar semua negara tidak memaksa masyarakat adat untuk pindah dengan paksa dari tanah dan wilayahnya tanpa persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan mereka. xxxiii Termasuk yang disponsori oleh OHCHR “Expert Seminar on Practical Experiences Regarding Indigenous Land Rights and Claims” pada 1994 dan the “Indigenous Peoples’ Permanent Sovereignty over Natural Resources and on Their Relationship to Land” dilaksanakan pada 2006. xxxiv UN Document E/CN.4/2003/90 , 21 Januari 2003 xxxv Formal Request to Initiate an Urgent Action Procedure to Avoid Immediate and Irreparable Harm, Submitted to CERD, 29 Juni 2006. http://www.ochchr.org dan http:/www.forestpeoples.org xxxvi Briefing note oleh the International Alliance of Indigenous and Tribal Peoples of Tropical Forests, FERN and the Forest Peoples’ Programme, 4th Session of the UN Forum on Forests, 3-4 Mei 2004, http://www.forestpeoples.org dan www.fern.org. xxxvii James Anaya, Indigenous Peoples and International Law (2nd Edition,2004), Oxford University Press. hal.142. xxxviii Marcus Colchester (2006), Broken Promises,hal.4 xxxix Ibid, hal.84 xl Marcus Colchester, Norman Jiwan,et.al (2005). Promised Land. xli Ibid. ringkasan eksekutif.
44
45 ANNEX C: Plantations Law 18 and selected excerpts of the explanatory notes
The Law of the Republic of Indonesia Number 18 Year 2004 On Plantations [Unofficial translation] With the mercy of God, the one and only God The President of the Republic of Indonesia Considering: a. That the earth, water and all the natural wealth within as the gift and mercy from God, the one and only God, which are granted to the Indonesian people are enormous potential for the development of the national economy including the development of plantations in order to realize the wealth and prosperity of Indonesian people according to the justice as written in the Constitution of the Indonesian Republic in the year of 1945; b. That in order to realize both the wealth and prosperity of the people in accordance to justice, the sustainability of plantations have to be guaranteed and their functions as well as roles have to be improved; c. That plantations as one way of managing natural resources have to be conducted, carefully planned, open, integrated, professional and full of responsibility; d. That the rules of the existing law have not been able to be entirely used as the base for the implementation of plantations which are in line with the development of strategic environment; e. That it was due to the above consideration that plantations need to be further regulated in a particular law. Referring to: Article 20, Article 21, and Article 33 of the Constitution of the Indonesian Republic, the year of 1945; Based on the agreement of both The Indonesian Legislative Assembly And The President of Indonesian Republic Hereby DETERMINED: Establishing : THE LAW ON PLANTATIONS CHAPTER I GENERAL RULES Part One The Definition Article 1 In this Law, what is meant by:
1. Plantations are all activities that cultivate particular plants on the land and/or other growing media in a suitable ecosystem, market not only goods but also services as the yield of the above plants by referring to science and technology in order to realize the prosperity for both the agents of plantation activities and the society. 2. Particular plants are seasonal plants and/or yearly plants which are determined as plantation plants due to their types and the aims of the cultivation. 3. A Plantation Business is a kind of business producing goods and/or services of plantations. 4. The agent of plantation business is the farmer and plantation companies managing plantation businesses. 5. The Farmer is an Indonesian citizen running plantation business whose business scale does not reach a specific scale. 6. The plantation company is an Indonesian citizen agent conducting plantation business or a corporate body which is established according to the Indonesian law and located in Indonesia, which manages a plantation business on a specific scale. 7. The Specific scale is a plantation business which is based on the total area of land, the kinds of plants grown, the technology, labor, capital, and/or factory capacity which has to have a business permit. 8. The processing industry of plantation products is an activity for handling and processing applied to plantation plant products so as to reach a higher added value. 9. The plantation products are all goods and services derived from plantations, which consists of main products, by products, derivation products, and other products. 10. The plantation agribusiness is a business approach which has many systems including the sub-systems of production, processing, marketing system, and supporting service. 11. The government is the central government. 12. The province is the provincial government. 13. Regency or city is the local government in the regencies/cities. 14. The Minister is the minister whose duty and responsibility are in the plantation. Part Two Principles, Purposes and Functions Article 2 Plantation is carried out based on the principles of beneficiary, sustainability, integration, togetherness, openness, and justice. Article 3 Plantations are established in order: a. to increase the income of the society; b. to increase the income of the country; c. to increase the foreign exchange of the country; d. to provide job opportunities; e. to increase the productivity, additional value, and competition power; f. to fulfill the needs for consumption and the domestic raw materials; and g. to optimize the management of natural resources in a sustainable manner. Article 4 The plantation has several functions related to:
46
a. economy; namely, to increase the welfare and prosperity of the people, and to strengthen the structure of both regional and national economy; b. ecologic; namely, to improve the conservation of land and water, carbon absorption, oxygen supplier, and supporter of preservation areas; and c. social-cultural; namely, to gather and unity the nation. Part Three The Scopes Article 5 The scope of plantation arrangement includes: a. planning; b. utilizing the land; c. empowering and managing businesses; d. processing and marketing the yields/products; e. researching and developing; f. developing natural resources; g. financing; and h. guiding and controlling CHAPTER II PLANTATION PLANNING Article 6 1. The plantation planning is aimed to give direction, guidelines, and control in order to reach the purpose of establishing the plantation as stated in article 3. 2. The plantation planning comprises national planning, provincial planning, regional / city planning. 3. The plantation planning as mentioned in article 2 is conducted by the central government, provinces, and regencies/cities by taking the society interest into account. Article 7 1. The plantation planning as discussed in Article 6 is performed based on: a. national development planning b. regional layout planning c. the suitability between the land and the weather, and the availability of land for plantation activity d. the performance of plantation development; e. the advancement of science and technology; f. social and culture; g. environment; h. people’s interests; i. market; and j. regional aspiration, yet supporting the unity of people and nation. 2. The plantation planning includes: a. Area b. plantations’ plants c. human resources d. Institutions 47
e. the relationship and integration of both upstream and downstream f. infrastructure and device g. Finance Article 8 The plantation planning as mentioned in article 6 and article 7 has to be measurable, performable, realistic, and advantageous; besides, it has to be conducted in a participative, integrated, open and accountable way. CHAPTER III THE UTILIZATION OF LAND FOR PLANTATION ACTIVITIES Article 9 (1) In order to run a plantation business, and according to the interest, the agent of plantation activity can be given the right upon the land needed for this plantation business in the form of proprietary rights, concession rights, and/or using right according to the rules of the law. (2) The land needed is the land belongs to the society, customary or traditional land, which, in fact, still exists, proceed the right given as mentioned in article (1), the applicant of the right has to conduct a discussion with the indigenous people holding the customary right upon the land in order to obtain an agreement on the utilization of the land and its fee.
Article 10 (1) The utilization of land for plantation activity and the maximum and minimum total area are determined by the Minister; whereas the extension on the land right is determined by the institutions which have the authority in the land affairs. (2) In determining the maximum and minimum total area as discussed in verse (1), the Minister refers to the guidance on the kinds of plants, the availability of suitable land in line with the agro climate, capital, factory capacities, the level of population, business development pattern, geographical condition, as well as technological advances. (3) It is forbidden to transfer the right upon the plantation business land which can cause a business unit unable to reach the minimum total area as written in verse (1). (4) The transfer of the right upon the land as mentioned in verse (3) is declared to be illegal and therefore, cannot be registered. Article 11 (1) The concession right for plantation activities is given for the period of maximally 35 (thirty five) years. (2) The period referred in verse (1) based on the plea of the right holder is given an extension for the period of maximally 25 (twenty five) years by the institution that has an authority in the land affairs provided that the agent of the plantation activity has, according to the Minister, fulfilled all the obligation and carried out the plantation management in line with the technical regulations determined. (3) After the period of extension as mentioned in verse (2) ends, based on the plea of the ex-right holder, new concession right can be given for the period of the one determined in verse (1) and other determined requirements as written in verse (2).
48
Article 12 The Minister can suggest to the institution having authority in the land affairs to confiscate the concession right mentioned in Article 9 verse 1 if, according to the judgment of the Minister, the concession right is not well utilized as the plans required and is neglected for 3 years consecutively since it was given. CHAPTER IV THE EMPOWERMENT AND MANAGEMENT OF PLANTATION BUSINESS Part One The agent of Plantation Business Article 13 (1) The plantation business is able to be conducted in all areas throughout Indonesia by the plantation business agents, not only farmers but also plantation’s company. (2) Foreign corporate body or a foreign nationality that perform plantation activity is obliged to work together with other plantation agents by forming an Indonesian corporate body. (3) Foreign corporate body or a foreign nationality that break the rules mentioned in verse (2) will be given sanction; namely, the prohibition to establish a plantation business. Article 14 (1) In the case of the transfer of the corporate body ownership of plantation business agent which is not yet open and/or a bankruptcy of the foreign corporate body, there must be suggestion and consideration from the Minister. (2) The advice and consideration as mentioned in verse 1 is based on the national interest. Part Two Types and Permit of Plantation Business Article 15 (1) Plantation business consists of business of plantation crop cultivation and/or business of plantation crop processing industries. (2) Business of plantation crop cultivation as stated in point (1) is a series of activities of pre-cultivation, cultivation, plant maintenance, harvesting, and sorting. (3) Business of plantation crop processing industries as stated in point (1) is processing activities of raw materials originating from plantation crops in order to give some added value. (4) Plantation crop processing industries are processing of plantation crops whose raw materials cannot be separated from the business of plantation crop cultivation due to their nature and characteristics, such as sugar and sugar cane, black tea and green tea, as extraction of palm oil. (5) The Government Regulation shall regulate the performance or reduction of business types of plantation crop processing industries as stated in point (4). Article 16 The Minister shall regulate the types of plantation crops in the business of plantation crop cultivation as stated in Article (15) point (1). 49
(1)
(2) (3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(1)
(2)
Article 17 Every individual performing the business of plantation crop cultivation with a specific size of land and/or business of plantation crop processing industries with a specific factory capacity must possess a permit for their plantation businesses. The duty to get a business permit for their plantation businesses as stated in point (1) is exempted for plantation workers. The Minister shall determine a specific size of land for the business of plantation crop cultivation and a specific factory capacity for the businesses of plantation crop processing industries as stated in point (1) depending on the types of plants, technology, manpower, and capital. The business of plantation crop processing industries must be able to ensure the availability of raw materials by cultivating plantation crops by themselves, establishing a partnership with plantation workers, plantation enterprises, and/or raw materials from other natural sources. The Governor shall be the person holding the authority to issue the permit of plantation business as stated in point (1) for the cross-regency regions and the Mayor for the regency area. Any individual running plantation business and the ones who have got the permit of the plantation business must submit a report of their business development regularly for at least once a year to the one giving the permit as stated in point (5). Further regulations regarding prerequisites and rules of permit issuance for the plantation business as stated in point (1) and point (2) and the report on the business development as stated in point (6) as determined by the Minister. Part Three Empowerment of Plantation Business Article 18 The Government – both at the province and regency - together with the actor of plantation business and other related institutions, executes the empowerment of plantation harvest. The empowerment as stated in point (1) includes: a. Facilitating the funding sources or capital; b. Preventing cost administration that is inappropriate with the regulations; c. Facilitating the export implementation of plantation crops; d. Putting the priority for the domestic harvest of plantation crops to supply domestic need for plantation crops consumption and industrial raw materials. e. Managing the income and expenses of plantation products, and/or; f. Facilitating accessibility of knowledge and technology and information.
Article 19 (1) The Government – at the province or regency – encourages and facilitates the empowerment of plantation workers, their cooperatives, and their associations based on the plantation crops they cultivate for the development of plantation agribusiness. (2) In order to establish synergy among entrepreneurs of plantation agribusiness, the Government shall encourage and facilitate the establishment of commodity association that acts as a place to develop plantation crop strategic commodity for all the individuals responsible for the sustainability of the plantation. 50
Article 20 Plantation business actors shall perform plantation business safety that is coordinated with the security people and can ask assistance from the surrounding community. Article 21 Each individual is prohibited to perform any action that can result in the damage of the plantation and/or other assets, use of plantation land without any permit and/or any other actions that can disrupt the plantation activities. Part Four Partnership in Plantation Business Article 22 (1) A plantation enterprise shall establish a partnership on the basis of mutual profit, mutual respect, shared responsibilities, strengthening both parties, and interdependency with the plantation, the workers, and the community surrounding the plantation. (2) The partnership in plantation business as stated in point (1) can be in the form of a partnership in supplying production facilities, joint production, processing and marketing, transportation, operations, stockholding ownership, and other supporting services. (3) The Minister shall outline further regulations regarding the types of partnership in plantation business as stated in point (2). Part Five Plantation Development Zone Article 23 (1) Plantation business is run in integration and in conjunction with the plantation agribusiness by using the approach of the plantation development zone. (2) In plantation development zone as stated in point (1) the business actor can perform business diversification (3) Further regulations concerning the plantation development zone as stated in point (1) are regulated by the Government Regulations. Part Six Protection of Geographical Regions Producing Products Specific to Reserved Areas Article 24 (1) The sustainability of geographical regions producing typical plantation crops are protected as a geographic indication. (2) Geographic regions whose sustainability has been decided to be protected as a geographic indication are not allowed to change their functions. (3) Every individual or institution acting against the regulation as stipulated in point (2) shall be charged with sanction, which requires the region to be converted back its original function. (4) Further regulations regarding geographic regions as stated on points (1) and (2) include the types of plantation crops and their relations with specific flavor of the plantation crops and regulations regarding the borders of the regions as outlined in the Government Regulation. Part Seven Sustainability of Environment Function 51
(1) (2)
(3)
(4) (5)
Article 25 Any individual of plantation business must maintain the sustainability of environment function and prevent the plantation from destroying. To prevent destruction of environment function as stated in point (1), before obtaining the permit for plantation business, the plantation must: a. make an analysis regarding environment impact or any attempt to manage environment and to monitor environment; b. possess an analysis and risk management for those who use its genetic engineering products; c. make a statement on its ability to provide facilities, services, and adequate emergency system to anticipate the possibility of fire when opening and/or managing the land. To maintain the sustainability of environment, the function of environment, and prevent it from destruction and overcome the destruction as stated in point (1) after gaining the permit of plantation business, the plantation business enterprise is bound to apply analysis on environment impact and environment management and make attempt environment monitoring and/or analysis and risk management of the environment as well as monitoring its application. The application for business permit of any plantation enterprise not meeting the requirement as stated in point (2) is rejected. The business permit of any plantation enterprise having obtained a permit for plantation business but not applying environment impact analysis or not performing environment management and environment monitoring as stated in point (3) is made invalid.
Article 26 Any entrepreneur of plantation business is not allowed to open and/or manage its land by burning it, which can result in pollution and destruction of environment. Chapter Five Managing and Marketing Plantation Products Part One Processing Industrial Business of Plantation Products
(1) (2)
(3)
(4)
Article 27 Processing Industrial Business of plantation products is performed to gain added value through system implementation and plantation agribusiness activities. Government – at the province and regency – organizes improvement activities to develop processing industrial business of plantation products to give maximum added value. Processing industrial business of plantation products can be performed within or outside the plantation development zone, and integrated with plantation cultivation business. Further regulations regarding improvement and integrity industrial business of plantation product processing, which runs cultivation business of plantation crops as stated in points (2) and (3) are stipulated by the Government Regulation.
Article 28 (1) To achieve business result of competitive plantation processing industries, the Government apply a system of product quality for processed plantation products
52
and guidelines of good and proper plantation product processing industries in line with the development of science and technology. (2) The Government shall issue regulations regarding application, improvement, and monitoring of the system of processed plantation product quality and guidelines for plantation product processing industries. Article 29 Plantation Product Processing Industries are regulated based on the regulations in the areas of industry, except for the points regulated in this regulation. Part Two Marketing Plantation Products Article 30 (1) The agent of plantation business, marketing association, commodity association, other institutions, and/or the people work together in conducting market information, promotion, and growing marketing centers not only inside but also outside the countries. (2) The government, the provinces and regencies/cities facilitate the cooperation among the plantation business agents, marketing association, commodity association, other institutions, and/or the people as written in verse (1). Article 31 Every plantation business agent, when conducting processing, circulating, and/or marketing his plantation product is forbidden to: a. counterfeit the quality and/or the package of plantation products b. use supporting material for processing; and /or c. mix the plantation products with other foreign objects or materials; which can threaten the health and safety of human, disturb the function of environment, and/or cause an unhealthy business competition. Article 32 Every plantation business agent is forbidden to promote the plantation business products which mislead consumers. Article 33 Every plantation business agent is forbidden to hold the plantation business products obtained from plunder, and/or theft. Article 34 The marketing of plantation industry products can be conducted based on the rules in the law of trade field. CHAPTER VI PLANTATION RESEARCH AND DEVELOPMENT Article 35 The purpose of plantation research and development is to produce both science and technology required in the development of plantation business so that it is significantly competitive and environmentally friendly by appreciating the traditional and local cultures. Article 36
53
(1) The research and development of plantation can be performed by individuals, universities, and government and/or private development and research agencies and other development research institutes. (2) Individuals, universities, government and/or private development and research agencies, and other research and development agencies as stated in point (1) can establish a partnership with: a. Similar research and development agents; b. Agent of plantation business; c. Association of plantation commodities; d. Related organization; and/or e. Foreign research and development for plantations. (3) The Government – at the province and regency – and/or agent of plantation business in a special circumstance provides facilities to support the improvement of capability of research and development agents to master and develop science and technology of plantation. (4) The Government – at the province and regency – encourages the business agents of plantations either as an individual or as a group to establish a research and development unit of plantation or establish a partnership among business agents, research and development executors, and universities. (5) Individuals of foreign citizens and/or foreign research and development institutes that are going to conduct research and development for plantations are required to obtain from relevant government institution based on the regulation. (6) With its policy, the Government – at the province and regency – motivates foreign plantation agents to perform technology transfer.
(1)
(2)
Article 37 The Government – at the province and regency – facilitates research and development agents, plantation business agents and society to publish and develop information service system for research and development results for plantations, by valuing the intellectual property rights based on the regulations. The Government provides protection over intellectual property rights for invention results for science and technology for the plantation.
Chapter VII Human Resource Development for the Plantation Article 38 (1) Human resource development for the plantation is implemented through an improvement on the quality of education and training, extension, and/or other development methods to increase skills, professionalisms, interdependency, and dedication. (2) Human resource development for plantations include officials and all business agents of the plantations either in terms of individuals or groups. Article 39 The central government, provinces and regencies /cities as well as plantation business agents, individually or cooperatively, carry out education, trainings and guide human resources in the plantation. Article 40 Plantation extension is performed by regencies/cities and plantation business agent individually or cooperatively. 54
Article 41 The guidance and standard for guidance, education and training, extension, and other development method as written in article 38 verse 1 is further determined by the Minister. CHAPTER VIII FINANCING PLANTATION BUSINESS Article 42 (1) The finance of plantation business derives from plantation business agents, society, funding institutions inside and outside the countries, the government, provinces, and regencies/cities (2) The government supports and facilitates the formation of plantation financial institutions in line with the need and characteristic of plantation business. (3) The finance that comes from the government, provinces, and regencies/cities as written in verse (1) is mainly spent for plantation. Article 43 (1) The government, provinces, and regencies/cities as well as the plantation business agents gather some fund so as to improve human resources, research and development, and plantation promotion. (2) Further determination about this fund gathering as written in verse (1) is determined by government regulations. CHAPTER IX THE GUIDANCE AND MONITORING OF PLANTATION BUSINESS Article 44 (1) The guidance and monitoring of plantation business is performed by the government, provinces and regencies/cities in accordance with the rules of the law. (2) Further rules on both guidance and monitoring of plantation business as written in verse (1) are determined by the Minister. CHAPTER X INVESTIGATION
(1)
(2)
Article 45 Apart from the investigator from the Police department of the Republic of Indonesia, specific civil servants whose duties and responsibilities are in the area of plantations are also given special responsibilities as state investigators as stated in the Constitution regarding Criminal Law, to perform investigating activities in the area of plantations. State investigators as stated in point (1) are responsible for: a. Conducting an examination based on truthful report or a report related to criminal acts in the plantations; b. Calling individuals to present their statements for hearing and to be investigated as suspects or witnesses related to criminal acts in the plantations;
55
(3)
c. Conducting examination over individuals or institutions that are suspected to have performed a criminal act in plantations; d. Checking identities of individuals being in the plantation development zone; e. Searching and taking proofs of evidence related to plantations; f. gathering information and proofs from individuals or institutions in relation to criminal acts in plantations; g. Preparing and signing the agendas; and h. Dismissing investigation if there is no adequate proofs of criminal acts related to plantations. State investigators as stated in point (1) announce the commencement of investigation and report the results of the investigation to the general prosecutors through the Officials from the Police Department of the Republic of Indonesia. CHAPTER XI CRIMINAL REGULATIONS
Article 46 (1) Any individual cultivating plantation crop intentionally in a certain size of area and/or plantation crop processing industries with specific capacity and not possessing business permit of plantation business as stated in Article 17 point (1) is sent to trial with the maximum period to be jailed for 5 (five) years and fined at the maximum of IDR 2,000,000,000,000. (2) Any individual carelessly performing cultivation business of plantation crops in a certain size of area and/or plantation product processing industries with certain capacity and not possessing business permit of plantation business as stated in Article 17 point (1) is sent to trial with the possibility of being jailed for the maximum of 2 (two) years and 6 (six) months and of being fined for the maximum of IDR 1,000,000,000 Article 47 (1) Any individual intentionally break the law by performing activities leading to destruction of plantation and/or other assets, using plantation land without any permit and/or other actions that lead to the disruption of plantation activities as stated in Article 21 shall be sent to trial with the maximum parole of 5 (five) years and fined with the maximum of IDR 5,000,000,000 (2) Any individual carelessly perform activities leading to destruction of plantation and/or other assets, using plantation land without permit and/or other actions leading to the disruption of plantation activities as stated in Article 21 shall be sent to trial with the maximum parole of 2 (two) years and 6 (six) months and fined with the maximum of IDR 2,500,000,000 Article 48 (1) Any individual intentionally open and/or manage land by burning, which leads to polluting and destructing the function of environment as stated in Article 26 shall be sent to trial with the maximum period in jail of 10 (ten) years and fined at the maximum of IDR 10,000,000,000 (2) If the criminal act as stated in point (1) causes people’s death or injured badly, the individual can be sent to trial with the maximum parole of 15 (fifteen) years and fined at the maximum of IDR 15,000,000,000
56
Article 49 (1) Any individual carelessly opens and/or manages land by burning, which leads to polluting and destructing the functions of environment as stated in Article 26 is sent to trial with the maximum parole of 3 (three) years and fined at the maximum of IDR 3,000,000,000 (2) If the criminal act as stated in point (1) results in people’s death or injured heavily, the individual shall be sent to trial with the maximum parole of 5 (five) years and fined at the maximum of IDR 5,000,000,000 Article 50 (1) Any individual performing management, distribution, and/or marketing plantation products intentionally break the law by: a. faking the quality and/or packaging of plantation products; b. using material aids for plantation product processing industries; and/or c. mixing plantation products with materials or other materials; that can endanger the health and safety of human beings, destroy the functions of environment, and/or creating unhealthy business competition, as stated in Article 31 shall be sent to trial with the maximum parole of 5 (five) years and fined at the maximum of IDR 2,000,000,000 (2) Any individual performing management, distribution and./or marketing plantation products carelessly break the regulations by: a. faking the quality and/or packaging of plantation products; b. using material aids for plantation product processing industries; and/or c. mixing plantation products with materials or other materials; that can endanger the health and safety of human beings, destroy the functions of environment, and/or creating unhealthy business competition, as stated in Article 31 shall be sent to trial with the maximum parole of 2 (two) years and fined at the maximum of IDR 1,000,000,000 Article 51 (1) Any individual intentionally breaking the regulation by advertising the plantation products, which results in misleading consumers as stated in Article 32 shall be sent to trial with the maximum parole of 5 (five) years and fined at the maximum of IDR 2,000,000,000 (2) Any individual carelessly breaking the regulation by advertising the plantation products, which results in misleading consumers as stated in Article 32 shall be sent to trial with the maximum parole of 2 (two) years and fined at the maximum of IDR 1,000,000,000 Article 52 Any individual intentionally breaking the regulations by illegally accumulating plantation products obtained from robbery and/or stealing as stated in Article 33 shall be sent to trial with the maximum parole of 7 (seven) years and fined at the maximum of IDR 2,000,000,000 Article 53 All items as the results of criminal acts and/or equipment including transporting facilities used to perform criminal acts as stated in Article 46, 47, 48, 49, 50, 51, and 52 can be taken away and/or destroyed by the state based on the regulations. CHAPTER XII CHANGING REGULATION 57
Article 54 With this constitution being made effective, all implementation rules and regulations for the existing plantation continue to be valid as long as the contents are not contradictory or not replaced with a new regulation based on this constitution. Article 55 Except for the land rights given, the plantation enterprise having managed plantations not in line with the Constitution is given 3 (three) years’ time to make necessary adatations since this Constitution is made effective. CHAPTER XIII THE CLOSING RULES Article 56 This law is implemented on the date of enactment. In order to make all people aware of it, it is commanded to publish this law in the Government official Gazette of Indonesian Republic
Enacted in Jakarta On August, 11,2004
Legalized in Jakarta On August, 11, 2004 The president of Indonesian Republic signed MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
THE SECRETARY OF INDONESIAN REPUBLIC THE GOVERNMENT OFFICIAL GAZETTE OF INDONESIAN REPUBLIC YEAR 2004 NUMBER 85
PENJELASAN ATAS UU NO 18/2004 TENTANG PERKEBUNAN 1. UMUM [paragraph 7] The distribution of right upon the land used for plantation activities has to consider indigenous people, and traditional law, provided that in reality the land still exists, and the rules are not against the higher law and the national interest. In order to guarantee the ownership, authorization, usage and utilization of land in accordance with justice, there is a need to determine the rules on the limit of maximum and minimum total area, and the usage of land for plantation business. In order to maintain the efficiency of plantation authorization, the transfer of the right upon the land being used is prohibited. Due to the technology innovation, plantation management including seedling business is able to utilize growing media other than land; for instance, hydroponics and tissue culture media.
Article 9 Paragragh 1
58
The extension of proprietary right is conducted by the officers who have the authority upon the plea of the farmer. The extension of using concession right is carried out by the authorized officers upon the state land base on the plea of plantation companies. The extension of construction concession right is performed by authorized officers upon the plea of plantation business agents if it is needed in their plantation area. The extension of utilization right is carried out by the authorized officers upon the state land in accordance with its function. Paragragh 2 The indigenous people who are still, in fact, alive, if they fulfill the following: a. The society is still in the form of an informal group or “paguyuban” (rechtsgemeinschaft); b. There is an institution in the form of custom officer board; c. There is a clear traditional law area; d. There is a rules and law officers, especially traditional justice which is still obliged and respected; e. There is an affirmation in the form of regional rules.
59
LAMPIRAN ANNEX E Terjemahan ringkasan atas beberapa protes-protes oleh masyarakat adat yang menentang usulan perkebunan minyak kelapa sawit di Kalimantan. Dikompilasi berikan oleh Sawit Watch
1. Malinau, East Kalimantan Timur Pada On tanggal 12 Januariy 2006, the Foundation for Protection and Development of the Dayak Punan in Malinau (Lembaga Pemerhati dan Pemberdayaan Dayak Punan Malinau, LP3M) mengeluarkan sebuah pernyataan tentang kelapa sawit yang isinya merekomendasikan kepada pemerintah untuk:issued a statement on oil palm in which it recommended to the government: 1. menghentikan jutaan hektar proyek untuk pemanfaatan perkebunan kelapa sawit dan proyek perkebunan skala besar lainya di Kalimantan TimurTo stop the million hectare project for the exploitation of large-scale oil palm plantations in East Kalimantan and other large-scale oil palm projects; 2. mengakui hak tradisional masyarakat atas tanah warisan leluhurTo recognise traditional community rights over ancestral lands; 3. memenuhi janji kepala daerah untuk membangun Kabupaten Konservasi sebagaimana dijanjikan oleh kepala daerah dalam sebuah lokakarya pada 2006To fulfil of the district head’s commitment to develop a Conservation District in Malinau, as committed by him at a workshop in 2006; 4. tidak mengeluarkan izin baru untuk membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit skala besar di MalinauTo not issue any new permits for the opening of land for large scale oil palm in Malinau; 5. memperkuat tata-cara perlandangan tradisional yang tidak merusak ekosistem dan proaktif mempermudah akses pasar untuk produk hutan bukan kayu (NTFP)To revive the traditional farming systems which do not harm the ecosystem, and to proactively facilitate market access for rattan and other Non-Timber Forest Products; 6. mendukung organisasi non pemerintah dan To support Non-governmental organizations (NGOs) and Credit Unions yang mendukung pengembangan masyarakatwho support community development; 7. mulai program aksi untuk alat-alat produksi yang ramah lingkungan dan melindungi sumber mata air, obat-obatan tradisional dari NTFP dan praktek budaya lokal; To start an action program for means of production that are environmentally friendly and that protect water sources, traditional medicines from NTFPs and the traditional cultural practices; 8. melakukan upaya-upaya untuk melindungi hutan-hutan Kalimantan, karena menjadi sumber penyerap oksigen bagi seluruh umat manusia. 2. Semunying Jaya, Kabupaten Bengkayang District, West Kalimantan Barat Masyarakat adat dari Semunying Jaya marah dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Tanah-tanah adat mereka menjadi bagian dari konsesi izin 20,000 hektar perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh PT Ledo Lestari milik Group Dutapalma dari Riau. Masyarakat adat Semunying Jaya tidak pernah diajak bicara tentang adanya 60
proyek, bahkan mereka tidak pernah memberikan izin untuk operasi tersebut. Lebih lanjut, perusahaan mulai berkerja dilapangan tanpa izin pembukaan lahan, Izin Pemanfaatan KayuFurthermore, the company started operations without a Land Clearing Permit (IPK), tanpa Analisa Mengenai Dampak Lingkungan without an Environmental Impact Statement (AMDAL), without a Forest Use Licence (PKH) dan tanpa Hak Guna Usaha and without an Operation Permit (HGU). Walaupun begitu, akhirnya masyarakat harus mengalami masalah, karena marah dengan proyek tersebut, mereka menahanHowever, it was the community that got into trouble when, out of anger with the project, they confiscated a ekskavator Komatsu excavator dan and enam six Stihl TIHL chainsaws pada tanggal 12 Desember 2005.on December 12, 2005. Tindakan mereka mengakibatkan ditahannya 2 warga desa antara 30 Januari dan 7 Februari 2006Their action resulted in the detention of 2 villagers between 30 January and 7 February 2006. Pada tanggal 19 Februari 2006, masyarakat Semunying mengeluarkan pernyataan ditanda-tangani 229 warga desa kepada Presiden On February 19, 2006, the Semunying community issued statement, signed by 229 villagers, to President Yudhoyono, 23 pejabat pemerintah dan other government officials and PT Ledo Lestari: “Kami masyarakat adat Dayak dari Semunying Jaya meminta anda untuk menghargai kedaulatan tanah kami, perlindungan sumber air dan sumber hutan kami, sebagaimana kami sampaikan kepada anda bahwa kami masih menolak setiap kebun sawit didaerah kami, dalam bentuk atau pola apapun karena alasan berikut:We the indigenous Dayak community of Semunying Jaya call upon you to respect the sovereignty of our land, the protection of our water and forest resources as we inform you that we still refuse any oil palm plantation in our area, in whatever form or shape it may be for the following reasons: 1. perkebunan kelapa sawit membohongi masyarakat adat dayak desa Semunying Jaya, kecamatan Jagoi Babang, kabupaten Bengkayang, propinsi Kalimantan BaratThe oil palm plantation deceived the community of Dayak indigenous people in Semunying Jaya village, Jagoi sub-district, Bengkayang district provincy West Kalimantan; 2. dua anggota masyarakat kami telah ditahan oleh polisi kabupaten BengkayangTwo of our community members have been arrested by the Bengkayang police; 3. kelapa sawit tidak sesuai dengan budaya dan cara hidup kamiOil palm does not suit the way of life and culture; 4. kami tidak akan bebas menjual Tandan Buah Segar (TBS) karena perushaan akan mengendalikan monopoli setempat; We would not be free to sell any Fresh Fruit Bunches, as the company would control a local monopoly; 5. terakhir, kami menolak kelapa sawit karena mengakibatkan kami kehilangan tanah kami, kehilangan hutan, meningkatkan banjir dan konflik antar masyarakatLast, we oppose oil palm because it will result in the loss of our land, the loss of our forests, increased flooding and conflicts between communities. 3. Melingkat, Kabupaten Sintang District, West Kalimantan Barat pada tanggal 12 On November 12th 2005, tokoh-tokoh adat dari the adat leaders of 61
Melingkat membuat pernyataan lugas bahwa mereka “menantang semua perkebunan kelapa sawit, yang mungkin dapat muncul dalam pola apapun”simply compiled a statement that they “strongly oppose all oil palm plantations, in whatever form they may appear”. 4. Sungai Antu, Kabupaten Sintang District, West Kalimantan Barat Pada 30 On Ocktober 30, tahun 2005, tokoh-tokoh dari Sungai Antu mengaskan kembali pernyataan mereka sebelumnya tertanggal bulan January 2005 dimana dengan tegas menyatakan “untuk menghentikan setiap perusahaan perkebunan kelapa sawit yang masuk kawasan mereka” the village leaders of Sungai Antu reinforced an earlier statement dating of January 2005 in which they committed, with strength,“to stop any oil palm companies entering their area” untuk alasan berikut ini:for the following reasons: 1. kelapa sawit akan merusak sumber air kami yang hingga sekarang masih bersih dan sehatOil palm will destroy our source of water, which is now still clean and healthy; 2. kelapa sawit akan merusak praktek pertanian turun-temurun kami, dan ini akan terjadi akibat perkebunan kelapa sawitOil palm will destroy our traditional agricultural practises, specifically locust attacks will occur which surely have their origin in the oil palm estates; 3. kelapa sawit tidak sesuai dengan masa depan rakyat di kecamatan Ketungau Hulu, dan khususnya masyarakat adat Dayak BugauOil palm does not suit the vision of the people in the sub-district of Ketungau Hulu, and specifically not that of the Adat Bugau community. 5. Desa Sanjan Emberas, Pandan Sembuatn village, Kabupaten Sanggau District, West Kalimantan Barat Pada In 1985-1986, Perusahaan Perkebunan Nusantara the State Plantation Corporation (PTPN XIII) membuka perkebunan kelapa sawit di Desa Pandan Sembuat opened an oil palm plantation in Pandan Sembuan village. Sejak saat itu hubungan antara perusahaan dengan masyarakat semakin buruk. Sebuah pernyataan ditanda-tangani oleh 52 warga desa Sanjan Emberas mendesak perusahaan untuk: Ever since, relations between the company and community have been tense. A statement, signed by 52 villagers of Sanjan Emberas, calls upon the company to:
1. mengganti rugi tanam-tumbuh yang digusur saat pembukaan lahanCompensate crops lost during conversion; 2. memberikan ganti rugi panen bagi petani yang belum mendapat kebun plasma dari tahun 1989 dan 2004Compensate the harvest for the farmers who have not yet received their plasma between 1989 and 2004; 3. membayar ganti rugi biaya menghadiri 32 kali persidangan antara 19941999Compensate the cost for court attendance for in total 32 times between19941999; 4. menyerahkan kebun plasma kepada petani yang belum mendapatkan kebun tersebutHand over the plasma (smallholder) units to the farmers who have not yet received them;;
62
5. menyerahkan kebun inti Hand over the inti unit (kebun milik perusahaan)the corporate owned plantation) kepada masyarakatback to the community; 6. memulihkan nama baik warga desa yang diintimidasi oleh perusahaanRestore the pride of those villagers who were intimidated by the company. 6. Kab. Lubuk Tapang, Sintang , Kalimantan Barat Masyarakat Lubuk Tapang mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani oleh 304 warga desa: 1. Wilayah kami sudah punya cukup banyak masalah, oleh karena itu kami tidak mau sawit di wilayah kami; 2. Jika sawit masuk ke Lubuk Tapang, kami tidak akan ragu untuk menghancurkannya; 3. Satu-satunya perusahaan yang boleh masuk wilayah kami adalah perusahaan karet alami. 7. Desa Muakan village, Kabupaten Sintang District, West Kalimantan Barat Atas nama 1,005 warga desa, pemimpin desa Muakan dan Sungai Enteli Pedian menerbitkan pernyataan yang menentang minyak kelapa sawit di desa mereka pada tahun 2005. Mereka berargumentasi bahwa: 1. Hutan dan lingkungan harus dirawat dengan baik; 2. Lebih baik untuk menanam jenis karet local, kebun durian dan produk local lainnya; 3. Jangan membiarkan perusahaan-perusahaan untuk menyepelekan praktek-praktek adat tradisional; 4. Masuknya merkebunan minyak kelapa sawit diberhentikan karena hanya akan membawa bencana bagi masyarakat adat tradisional; 5. Warga desa Muakan dan Sungai Enteli Padian akan memberhentikan perusahaan manapun yang tidak menghormati keinginan masyarakat adat di setempat. 8. Kabupaten Dayak Pengunungan Niut, Landak dan Bengkayang , Kalimantan Barat Pada Mei tanggal 29, 2005, pemimpin desa Dayak Pengunungan Niut, mewakili 10 desa dari kabupaten Landak dan satu desa di kabupaten Bengkayang, menyatakan: 1. Berhentikan expansi minyak kelapa sawit di desa kami karena kami ingin pembangunan tanpa merusak lingkungan; 2. Berhentikan logging, perkebunan kayu, pertambangan dan penebangan lainnya yang merusak sumber daya kami di desa kami; 3. Berhentikan judi, miras, dan narkoba karena membahayakan masyarakat kami 4. pemerintah dan perusahaan harus menjunjung tinggi dan menghormati hak kami atas sumber daya alam; 5. berkonsultasi dengan kami jika ada pilihan untuk penggunaan SDA yang berkelanjutan 6. Kami meminta pemerintah kabupaten Landak dan Bengkayang untuk menyikapi kebutuhan mendesak kami atas pendidikan dan pelayanan kesehatan, listrik, jembatan, dan yang terutama, jalan. Ini semua diperlukan untuk membangun potensi ekonomi di desa kami. 63
7. melaksanakan pemetaan yang benar-benar partisipatif atas tanah kami untuk mempertahankan SDA kami 8. Demi kesejahteraan kami sendiri, kami akan menjadi anggota koperasi/credit union 9. terakhir, dengan tegas kami meminta penarikan kembali atas Perpres 36/2005 yang mengusulkan peniadaan hak atas tanah demi pembangunan nasional. 9. Desa Empunak, Kabupaten Sintang , Kalimantan Barat Dalam surat yang ditujukan kepada Kepala Kabupaten Sintang, tertanggal 30 Okt 2005, masyarakat desa Empunak menggambarkan visi dan keinginan mereka dengan cara yang sangat tidak diduga: “Kami membahas masalah minyak kelapa sawit, dan menemukan bahwa minyak kelapa sawit tidak bisa diterima oleh masyarakat Empunak. Mereka ingin menanam karet, padi, dan sayur-sayuran karena telah berhasil sampai saat ini. Oleh karena itu, kami dapat maju untuk saat ini dan di masa dating. Kami tidak ada waktu untuk mengadakan banyak rapat tentang masalah-masalah ini karena kami perlu mengurus kebun kami dan memastikan bahwa masyarakat kami memiliki rumah untuk tempat tinggal. Hanya itu yang kami harapkan” 10. Masyarakat Adat Sungai Bala di Sungsong, Bunut, dan Jangka Riam di kecamatan Sekadau Hulu , Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, Indonesia menolak PT. Bintang Sawit Lestari karena masuk tanpa ijin dan tanpa menghormati hak adat masyarakat. (2) pada tahun 2004, PT BSL berjanji kepada masyarakat akan membangun jalan dan listrik tapi hal ini belum terjadi, (3) masyarakat terganggu karena menemukan bahwa mereka harus menyerahkan 7.5 hektar tanah per keluarga untuk menerima kembali 2 hektar sawit; (4) perusahaan mulai beroperasi sebelum masyarakat menyelenggarakan upacara pembukaan tanah; (5) perusahaan membagi konsesi diantara anggota masyarakat-mereka yang ingin berhenti dan mereka yang mendukung minyak kelapa sawit. 11. Penolakan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), (Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat district), dan SPKS dan Kalimantan (Kabupaten Paser, Kalimantan Timur district). SPKS di kedua propinsi mendeklarasikan pada poin kesebelas’ Tolak ekspansi perkebunan minyak kelapa sawit di seluruh perbatasan Indonesia-Malaysia ’.
64