SUARA PEMBARUAN DAILY --------------------------------------------------------------------------------
Diskriminasi Rasial Kapan Berakhir? Oleh Benny G Setiono Akhir-akhir ini, serangkaian usaha diskriminasi rasial secara bergantian dan sistematis muncul di berbagai tempat di Pulau Jawa. Hal-hal semacam ini perlu dicermati dan dilawan agar tidak menambah masalah yang sedang dihadapi bangsa dan negara kita. Awal Juli 2002, mencuat peristiwa Garut, yaitu seruan dari Muspida Kabupaten Garut agar seluruh etnis Tionghoa di Kabupaten Garut bersama-sama menanggung renteng seluruh utang Acun yang berjumlah Rp 4,2 miliar atau menghadapi risiko timbulnya hura-hara. Sejak 1999 Acun pemilik toko obat "Slamet" di Kota Garut melakukan praktik bank gelap, menerima pinjaman uang dari masyarakat dengan membayar bunga 10 persen setiap bulannya. Sudah tentu Acun yang hanya seorang pemilik sebuah toko obat sederhana tidak akan sanggup melaksanakan kewajibannya dan setelah melakukan usaha gali lubang tutup lubang, pada awal tahun 2002 berhenti melakukan pembayaran kepada para kreditornya. Anehnya para kreditor yang 70 persen anggota militer dan kepolisian, yang seharusnya mengerti bahwa bank gelap adalah suatu tindakan melanggar hukum kemudian mencari jalan pintas dengan meminta agar seluruh etnis Tionghoa membayar utang Acun tersebut. Bandingan dengan kasus PT Qurnia Subur Alam Raya (Ramli Araby) yang telah berhasil menghimpun dana masyarakat sampai Rp 500 miliar dengan iming-iming keuntungan 10 persen sebulannya. Pada 11 Agustus 2002, Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR berhasil mengesahkan Rantap Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional (RKMPEN). Rantap ini menimbulkan kontroversi, karena Rantap yang diajukan oleh Komisi B ini sebelumnya kembali menggunakan istilah "pribumi". Namun, Rapat Paripurna berhasil menghilangkan penggunaan kata pribumi dan disepakati kembali ke naskah asli yang dikerjakan Badan Pekerja. Hanya dua orang anggota Fraksi Utusan Daerah (Harifuddin Cawidu dan Hadi Sutisna) yang melakukan interupsi untuk mempertahankan pencantuman istilah "pribumi" dan "nonpribumi". Sebuah surat pembaca yang ditulis Gan KL, Semarang di harian Suara Pembaruan 1
edisi 8 Agustus 2002 memberitakan bahwa Ketua Pengadilan Negeri Semarang mengharuskan para pemohon naturalisasi yang telah memperoleh Keppres dan bermaksud untuk diambil sumpahnya sebagai WNI, membayar Rp 1 juta. Apabila tidak mau membayar, acara pengambilan sumpah tidak dapat dilakukan. Pada 8 dan 17 Juli 2002, Kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat dan Kelurahan Pejuang, Kecamatan Medan Satria di Kota Bekasi mengeluarkan surat edaran kepada para Ketua RW dan RT di kelurahannya masing-masing, yang isinya mewajibkan setiap WNI keturunan membuat Surat Keterangan Model I. Syarat-syaratnya antara lain melampirkan fotokopi SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia), Keppres naturalisasi, berita acara pengambilan sumpah milik pribadi atau orang tua dan biaya sebesar Rp 10.000. Iyer Suherman dari Bogor pada 30 Agustus 2002 mengirim surat pembaca di harian Kompas yang isinya menceritakan kegagalan seorang temannya untuk memperoleh paspor di Kantor Imigrasi Bogor. Persyaratan seperti akta lahir, akta lahir kedua orangtua, akta nikah orangtua, SBKRI kedua orangtua dapat dipenuhi, namun Surat Pernyataan Melepaskan Kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok (Formulir I) milik kakeknya tidak ditunjukkan. Surat bukti kakeknya ini tidak dapat ditunjukkannya karena entah tercecer di mana, mengingat ayahnya sendiri sepuluh bersaudara. Padahal sesuai Keputusan Presiden No 56/ 1996 tanggal 8 Juli 1996 dan Instruksi Presiden No 4/1999 tanggal 5 Mei 1999 semua peraturan perundang-undangan yang untuk kepentingan tertentu mensyaratkan SBKRI dinyatakan tidak berlaku lagi.
Sasaran Utama Demikianlah, beberapa fakta tersebut secara gamblang membuktikan bahwa praktik-praktik diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa secara sistematis masih terus dipertahankan oleh para birokrat. Mengapa etnis Tionghoa yang selalu menjadi sasaran utama? Karena etnis Tionghoa secara politis paling tidak berdaya dan paling mudah dijadikan objek pemerasan. Harus diakui, di masa reformasi pemerintah melakukan perubahan berbagai kebijaksanaan yang cukup signifikan terhadap etnis Tionghoa, antara lain Keppres 6/2000 tahun 2000 yang mencabut Inpres No 14/ 1967, sehingga berbagai upacara adat, tradisi dan kebudayaan Tionghoa dapat dirayakan secara terbuka. Demikian juga 2
Tahun Baru Imlek telah dinyatakan sebagai hari nasional dan menjadi hari libur nasional. Bahasa Mandarin yang pada masa pemerintahan Soeharto dilarang, sekarang tumbuh menjamur di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu, Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahenra menyatakan bahwa Departemen Kehakiman tidak akan menerbitkan SBKRI lagi, karena ia tidak mau dituduh rasialis, tetapi kalau ada masalah misalnya dalam pengurusan kredit di Bank, silakan menyelesaikan sendiri (sic!). Bagaimana kenyataannya di lapangan? Apabila seorang etnis Tionghoa ingin membuat paspor baru, ia harus menunjukkan SBKRI miliknya atau milik orangtua atau kakeknya, demikian juga apabila ia ingin membuat akte perkawinan, akte kelahiran anak, akte kematian, akte pendirian perusahaan atau akte jual beli properti, akad kredit di bank dan lain sebagainya. Alasan yang diajukan para pejabat publik bersangkutan, seluruh Keppres, Inpres tersebut belum ada Petunjuk Pelaksanaannya (Juklak), sehingga mereka masih tetap berpegang kepada Juklak lama yang selama ini menjadi acuan. Padahal alasan sebenarnya ujung-ujungnya duit, dapat dibayangkan berapa banyak uang yang dapat dipanen dari urusan ini. Mengapa Menteri Kehakiman dan HAM tidak segera mengeluarkan Juklak sehingga menimbulkan kesan "kepalanya dilepas namun ekornya tetap dipegangi?" Demi persatuan dan kemajuan bangsa, diskriminasi rasial di Indonesia harus segera diakhiri. Pada 25 Juni 1999, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, konsekuensinya tentu harus secara konsisten menghapus seluruh peraturan dan perundang-undangan dengan juklak-juklaknya yang bersifat diskriminatif dan rasis. Demikian juga UUD kita telah berhasil empat kali diamendemen, termasuk pasal-pasal dan ayat-ayat yang berbau diskriminasi rasial. Alasan yang selama ini menjadi stereotip bahwa adanya jurang ekonomi yang dalam antara etnis Tionghoa dan pribumi yang menguasai 70 persen perekonomian Indonesia harus mendapat kajian secara empirik. Kenyataannya 90 persen etnis Tionghoa adalah kelas menengah yang berprofesi sebagai pedagang distribusi dan eceran. Ini pun disebabkan berbagai kebijaksanaan pemerintahan Soeharto yang menutup pintu bidang-bidang lain selain perdagangan. Memang ada sebagian kecil etnis Tionghoa yang dijadikan kroni Presiden Soeharto dan para pejabat lainnya untuk melakukan KKN, namun mereka tidak dapat secara 3
gebyah uya dijadikan representasi keseluruhan etnis Tionghoa. Bagaimana dengan kehidupan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat, Riau, pinggiran Tangerang, Bekasi dan Cileungsi atau daerah-daerah kumuh (ghettos/slum) di daerah Tambora/Penjaringan (DKI Jakarta)? Ada sementara wakil rakyat di MPR yang berpikiran bahwa kita harus mencontoh Malaysia dengan melakukan affirmative action memberikan bantuan dan keistimewaan kepada golongan bumiputera di sana. Padahal diakui PM Mahathir beberapa bulan yang lalu bahwa bantuan yang selama belasan tahun diberikan kepada para pengusaha bumiputera tidak membawa hasil yang memuaskan malahan membuat mereka menjadi "manja". Sebaliknya para pengusaha Tionghoa semakin solid, kuat dan tangguh. Sebenarnya sejak zaman pemerintahan demokrasi parlementer pada awal tahun 1950-an pemerintah Indonesia telah melakukan hal yang sama dengan program "Benteng Importir" dan pada tahun 1959 dengan PP-10. Ternyata program Benteng Importir hanya menghasilkan pengusaha aktentas dan Ali-Baba, sementara P-10 menghancurkan jaringan distribusi di pedesaan sehingga menambah penderitaan para petani. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto usaha yang sama diterapkan dengan mengeluarkan Keppres 14 dan Keppres 14A (1979) serta Keppres 10 (1980), lagi-lagi semua Keppres ini hanya menghasilkan pengusaha "pribumi" yang manja dan aktif melakukan KKN dan saat ini menjadi pasien BPPN. Belum lagi berbagai bentuk kredit seperti KIK, KUK dan sebagainya yang diharapkan dapat membantu para pengusaha ekonomi lemah, istilah populer di zaman Orba untuk menggantikan istilah pengusaha pribumi. Telah dapat diduga, hasilnya tidak seperti yang dibayangkan. Demikian juga pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, Menteri Koperasi Adi Sasono mengucurkan triliunan rupiah kepada koperasi-koperasi dadakan dalam usahanya untuk mematahkan jaringan distribusi sembako terutama minyak goreng yang menurut pendapatnya dikuasai etnis Tionghoa. Hasilnya Nurdin Halid dan lain-lainnya diinterogasi pihak kepolisian karena tidak dapat mengembalikan kredit yang berjumlah triliunan rupiah tersebut.
Solusi
4
Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia harus diterima sebagai warisan sejarah dan menjadi bagian integral bangsa kita. Seluruh peraturan/UU/Juklak yang bersifat diskriminatif harus dihapuskan, karena seluruh hak dan kewajiban warga negara Indonesia tanpa memandang asal-usulnya adalah setara. Seluruh lapangan pekerjaan dan profesi harus dibuka selebar-selebarnya bagi setiap warga negara Indonesia termasuk etnis Tionghoa, sehingga tidak terjadi konsentrasi pada suatu lapangan kerja oleh etnis tertentu saja. Selama masih ada usaha-usaha untuk memojokkan dan mendiskriminasi etnis Tionghoa, seperti yang dilakukan terhadap etnis lain, misalnya Aceh, Papua, Madura dan sebagainya, sulit dibayangkan bahwa kita dapat segera keluar dari krisis yang telah lima tahun kita hadapi, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Menjadi tugas mendesak seluruh bangsa kita untuk bersama-sama bergandeng tangan berusaha keluar dari penderitaan yang kita hadapi dan meningkatkan pendidikan serta pendapatan seluruh rakyat. Sebaliknya, kalangan etnis Tionghoa juga wawas diri dan mengubah perilakunya sehingga dapat diterima dengan legowo tanpa prasangka oleh seluruh komponen bangsa. Etnis Tionghoa jangan hanya berkonsentrasi di bidang bisnis, harus memasuki bidang-bidang lainnya. Etnis Tionghoa harus mau memikirkan kehidupan bangsa dan menerjunkan diri ke tengah-tengah masyarakat dan tidak hidup secara eksklusif serta berusaha menunjukkan solidaritas yang tinggi kepada penderitaan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Kepada etnis Tionghoa tertentu, janganlah meninggalkan KKN tetapi malahan menjadi penyelundup, bandar judi, narkoba dan germo yang sangat merusak kehidupan rakyat Indonesia.
Penulis adalah pemerhati masalah sosial.
5